kompem kelompok 2 20 april

Upload: ardhyan-seto

Post on 08-Jul-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENELITIAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Dampak Tindakan Kuratif terhadap Mahasiswa Pasca Kasus Pembakaran di ITB

Oleh : Andre Mathias Lumban Tobing Zahra Asiyah Rizky Fauzia Ardhyan Seto Prabowo Andrian Hadiana Octaviandry Saputra Ocky Bhimantara Briawan Dwipa Keswara Masyitha Ambarwati Dhimas Satria Pinilih (13208011) (12907024) (10509027) (18008011) (13707046) (10509050) (10509004) (15008060) (10509085) (15008069)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Identifikasi Masalah C. Tujuan D. Rumusan Masalah BAB II LANDASAN TEORI BAB III METODE PENELITIAN BAB IV PEMBAHASAN BAB V SIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Institut Teknologi Bandung ( ITB )merupakan salah satu institusi terkemuka dan cukup terpandang di Indonesia. ITB didirikan pada tanggal 2 Maret 1969 dengan status BHMN. Mahasiswa ITB juga dikenal sangat aktif dalam gerakan mahasiswa terpusat maupun himpunan mahasiswa jurusan. Dalam sejarahnya banyak diceritakan pergerakan mahasiswa ITB acap kali berpengaruh terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Tingkat keaktifan mahasiswa yang tinggi menjadikan kampus gajah duduk ini seakan tidak pernah mati. Di tengah malam masih sering kita jumpai mahasiswa yang sedang beraktifitas, baik itu berdiskusi tentang organisasi, belajar kelompok, membuat laporan, maupun melakukan kegiatan di labiratorium. Namun akhir-akhir ini ITB sedang didera sebuah kasus yang cukup menggegerkan, yaitu adanya pembakaran yang dilakukan pada beberapa spot di ITB, seperti kamar mandi dan gudang laboratorium. Walaupun proses identifikasi masih terus dilakukan oleh pihak terkait, pelaku dan modus dari pembakaran ini masih belum diketahui. mahasiswa. Pihak Hal ini tentu meresahkan warga kampus terutama sendiri melakukan usaha preventif dengan

kampus

meningkatkan pengawasan dan keamanan di malam hari. Adanya kebijakan dari kampus tersebut menyebabkan mahasiswa hanya boleh beraktifitas maksimal hingga pukul 23.00, dan harus mengurus perizinan jika melakukan kegiatan diatas jam tersebut ( sendirian maupun berkelompok ). Kebijakan tersebut dirasa kurang bersahabat dengan mahasiswa, karena kebanyakan mahasiswa ITB berkegiatan laboratorium di malam hari untuk praktikum dan menyelesaikan tugas akhir. Kebiasaan mahasiswa untuk saling mengakrabkan diri dan berdiskusi di himpunan maupun unit kegiatan mahasiswa pun jadi terbatas, padahal hanya malam hari lah waktu yang dimiliki mahasiswa

ITB untuk melakukan hal tersebut, tentunya karena jadwal kuliah ITB yang sangan padat di pagi hinnga sore hari. Dari latar belakang masalah tersebut dibutuhkan suatu penelitian khusus untuk mengetahui dampak yang dirasakan mahasiswa terhadap tindakan kuratif yang diambil oleh pihak ITB.

B. FOKUS PENELITIAN 1. Respon pihak kampus terkait kasus pembakaran di ITB. 2. Respon mahasiswa terhadap tindakan kuratif yang diambil oleh pihak kampus pasca kasus pembakaran di ITB.

C. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana respon pihak kampus terhadap kasus pembakaran yang terjadi di ITB? 2. Bagaimana respon mahasiswa terhadap tindakan yang diambil pihak kampus setelah kasus pembakaran di ITB terjadi? 3. Bagaimana win-win solution untuk pihak mahasiswa dan ITB?

D. TUJUAN 1. Mengetahui respon pihak keamanan kampus ITB dan K3L setelah kejadian tersebut. 2. Mengetahui respon mahasiswa terhadap tindakan yang diambil oleh pihak kampus ITB setelah kejadian tersebut. 3. Menemukan suatu win-win solution untuk mahasiswa dan pihak ITB.

E. KEGUNAAN 1. Makalah ini akan menjadi informasi yang aktual dan terpercaya bagi warga kampus mengenai kasus pembakaran toilet di ITB. 2. Memberikan win-win solution untuk mahasiswa dan pihak ITB.

BAB II LANDASAN TEORIUntuk membantu perumusan masalah nomor 1: a. Teori Pertukaran Sosial Sebagian besar masyarakat dunia dewasa ini mau tak mau, suka atau tidak suka, sudah terlibat pada proses modernisasi, baik yang sedang berada dalam taraf permulaan ataupun yang sudah atau sedang menjalani dan meneruskan proses (tradisi; modernisasi itu sendiri. Dalam sejarahnya, modenisasi adalah suatu proses perubahan yang menuju pada tipe-tipe sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa barat dan Amerika Utara pada abad 17 yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya di dunia. Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan

merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena

berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisikondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubahubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.

Homans dalam bukunya Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi . Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah distributive justice aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut obyektif berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan. Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai. b. Teori Penilaian Kinerja

A. DEFINISI KINERJA Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2002:15) memberikan pengertian atau kinerja sebagai berikut : performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu. Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya. Sementara menurut Ilyas (1999: 99), kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi. Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak (2005:1) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Menurut Irawan (2002:11), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai. Dessler (2000:87) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja maupun prestasi kerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian bahwa kinerja maupun prestasi kerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinrja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja

perusahaan (corporate performance) juga baik. Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja. Secara umum faktor fisik dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial perusahaan.

Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Menurut Gibson (1987), model teori kinerja individu pernah dibahas dalam artikel lain di site ini.

Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung.

Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai

dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi. Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat. Mengingat sifatnya ini, untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para manajer untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui suasana organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana ini tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi melalui praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya. B. SYARAT PENILAIAN KINERJA Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif; dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes, 2003:136).

Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian (2008-223224) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya. Sedangkan bagi organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara objektif serta didokumentasikan secara sistematik. Dengan demikian, dalam melalukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian

C. METODE PENILAIAN KINERJA Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan oleh Gomes (2003:137-145), yaitu : Metode Tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Yang

termasuk kedalam metode tradisional adalah : rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident. (a) Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya. (b) Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya. Metode ini terdiri dari : (1) Alternation ranking : yaitu metode penilaian dengan cara mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. (2) Paired comparation : yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh pegawai lainnya, sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan yang akan diambil. Metode ini dapat digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif sedikit. (3) Porced comparation (grading) : metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relative banyak. (c) Check list. Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia. (d) Freeform essay. Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/pegawai yang sedang dinilainya. (e) Critical incident Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukan kedalam buku catatan khusus yang terdiri dari berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya. Misalnya mengenai inisiatif, kerjasama, dan keselamatan. Metode Modern. Metode ini merupakan perkembangan dari metode tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk kedalam metode modern ini adalah : assesment centre, Management By Objective (MBO=MBS), dan human asset accounting. Assessment centre. Metode ini biasanya dilakukan dengan pembentukan tim penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa dari luar, dari dalam, maupun kombinasi dari luar dan dari dalam. Management by objective (MBO = MBS). Dalam metode ini pegawai langsung diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan persoalan dengan memperhatikan kemampuan bawahan dalam menentukan sasarannya masing-masing yang ditekankan pada pencapaian sasaran perusahaan. Human asset accounting. Dalam metode ini, faktor pekerja dinilai sebagai individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga kerja dinilai dengan cara membandingkan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

c. Teori Kebijakan Sosial Istilah 'kebijakan' yang dimaksud dalam buku ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris 'policy' yang dibedakan dari kata 'kebijaksanaan' (wisdom) maupun 'kebajikan' (virtues). Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata 'kebijakan' dan kata 'sosial' (social).Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Pewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory,

implementation failures (Hakim, 2002). Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan. Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling

tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002): 1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. 2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan. 3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain. 5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain. 6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan. 7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya. d. Teori Sistem Sosial Adam Smith Menurutnya masyarkat sebagaimana juga individu adalah sebuah sistem, atau mesin, yang bekerja bukan karena maksud-maksud manusia. Sistem sosial sebagai mekanismemekanisme yang hidup yang bagian-bagaiannya tanpa disadari mempengaruhi kehidupan dan kegiatan keseluruhan. Mekanisme berlangsung dengan mempertahankan

keseimbangan-keseimbangan alamiah tertentu, atau equilibriumequilibrium, yang dapat pulih kembali bila karena alasan-alasan tertentu terganggu. Untuk membantu perumusan masalah nomer 2: a. Teori Konflik Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser

Sejarah Awal Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel. Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut: Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.[4] Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4] Inti Pemikiran Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. [5]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik praKonsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. [5] Contoh: Badan

Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut. Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu: Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. [5] Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5] Contoh: Dua pengacara yang selama masih

menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran

untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubunganhubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benarbenar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih. Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7] Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf Sejarah Awal Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori

sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] Inti Pemikiran Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8] Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. [8] Diantaranya: Dekomposisi modal Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8] Dekomposisi Tenaga kerja Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawaipegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. [8] Timbulnya kelas menengah baru Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8] Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. [9] Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada

dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6] Untuk membantu perumusan masalah nomer 3: a. Teori Pengambilan Keputusan Teori-teoripengambilan keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihanpilihan semacam itu dibuat. Kebijaksanaa, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu. Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di antaranya ada yang merupakankeputusan rutin, ada yang tidak rutin. Dalam praktek pembuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalamtulisan ini akan dibahas 3 (tiga) teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijaksanaan negara. Teori-teori yang dimaksud ialah : teori Rasional komprehensif, teori Inkremental dan teori Pengamatan terpadu. Teori Rasional Komprehensif Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain. 2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kePentingannya. 3. Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama. 4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang diPilih diteliti. 5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya,

dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya. 6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau Sasaran yang telah digariskan. Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964 1959) Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas. Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih ada masalah yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan_-keputusan, kesepakatan-kesepakatan dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan programprogram yang ada sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada. Untuk konteks negara-negara sedang berkembang, menurut Rs. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung birokrasi di negara sedangberkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.

Teori Inkremental Teori inkremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori

pengambilankeputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan, pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari. Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut. a. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah. b. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang

langsung berhubungan dengan pokok masalah dan altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang. c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi. d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi. e. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan. f. Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang. Kepurtusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh pelbagai kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap programprogram yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki sifat ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory) Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misatnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh

pembuat keputusanpenganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompokkelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Iebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaankebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam

pembuatankeputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror yang pada dasarnya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran. Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para

pembuatkeputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilankeputusan tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan keputusan.

BAB III METODOLOGI PENELITIANA. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kampus Institut Teknologi Bandung. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanankan pada bulan Maret 2011.

B.

Metode Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan secara analisis kualitatif. Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Proses penelitian kualitatif supaya dapat mengahasilkan temuan yang benar-benar bermanfaat memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006) secara umum penelitian kualitatif sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemaparan. Berbeda dengan penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, desain penelitian tidak ditentukan sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Bogdan dan Biklen, 1982 dalam Arief Furchan, 1996) fungsi disain tetap sama yaitu digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang bagaimana melangkah maju

C.

Teknik Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data a. Data Primer Data primer yang dimaksud meliputi data yang diperoleh dari hasil wawancara keamanan dan penentu kebijakan kampus.

b. Data Skunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan.

Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a. Observasi dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti atau dapat dirumuskan sebagai proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), obyek (benda) atau kejadian sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti. Metode ini dilakukan tanpa perlu memberikan pertanyaan kepada responden. Peneliti melakukan pengamatan baik di lingkungan kampus ITB, dan mencatat perilaku subyek penelitian. Pengamatan terhadap objek yang akan diteliti, berusaha mengumpulkan data dari fenomena yang telah muncul untuk memberikan penafsiran, yang diperoleh melalui data primer dalam pengumpulan data. Observasi dilaksanakan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap proses pelaksanaan kerja dan hasil kerja yang diperoleh dan untuk menilai tingkat akurasi data dan informasi yang disampaikan oleh setiap unit kerja yang dianggap perlu dengan pertimbangan: 1. Adanya data atau informasi yang dinilai kurang layak atau meragukan, sehingga perlu diobservasi ke lapangan (unit kerja yang bersangkutan). 2. Adanya unit organisasi yang spesifik dan cenderung mengarah kepada bentuk organisasi fungsional sehingga perlu pendalaman lebih khusus untuk perumusan dan pengkajiannya. b. Wawancara adalah percakapan dengan maksud untuk maksud tertentu. Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi secara lesan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Sesuai dengan jenisnya, peneliti memakai jenis wawancara,yaitu: 1. Wawancara berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara sistematis dan pertanyaan yang diajukan telah disusun sebelumnya. 2. Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih luas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, biasanya pertanyaan muncul secara sepontan sesuai denagn perkembangan situasi dan kondisi ketika melakukan wawancara.Dengan tehnik ini diharapkan terjadi komunikasi langsung, luwes dan fleksibel serta terbuka, sehingga informasi yang didapat lebih banyak dan luas. c. Dokumentasi merupakan kegiatan penelitian dengan mengamati berbagai dokumen yang berkaitan dengan topik dan tujuan penelitian, teknik ini sering disebut juga observasi historis.

Dokumentasi merupakan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen,baik dokumen tertulis,gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumuen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumendokumen tersebut.

D.

Teknik Analisis Data Analisa data adalah proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan. S Nasution (1996:126) menjelaskan bahwa menyusun data berarti menggolongkannya kedalam pola, tema atau kategori sehingga dengan demikian tidak akan terjadi chaos. Tafsiran atau interpretasi data artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep yang mencerminkan pandangan atau perspektif peneliti, dan bukan kebenaran. Kebenaran hasil penelitian masih harus dinilai orang lain dan diuji dalam berbagai situasi lain. Hasil interpretasi juga bukan generalisasi dalam arti kuantitatif, namun lebih bersifat hipotesis kerja yang senantiasa harus diuji kebenarannya dalam situasi yang lain. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk analisis kualitatif. Teknik ini digunakan untuk memberikan gambaran sistem keamanan dan kebijakan yang diambil pihak kampus ITB pra dan pasca kejadian. Jenis analisis data kualitatif yang digunakan adalah analisis komponensial. Analisis komponensial digunakan untuk mencari cirri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengkontraskan antar elemen. Dilakukan melalui observasi dan wawancara terseleksi dengan pertanyaan yang mengkontraskan.

Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: (Miles dan Huberman, 1992: 18) 1. Pengumpulan informasi, melalui wawancara maupun observasi langsung. 2. Reduksi. Langkah ini adalah untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian. 3. Penyajian. Setelah informasi dipilih maka disajikan bisa dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan. 4. Tahap akhir, adalah menarik kesimpulan. (Miles dan Huberman, 1992: 18) Wawancara yang diajukan kepada informan semata-mata sebagai bahan kajian yang mendasar untuk membuat kesimpulan. Bagaimanapun pendapat banyak orang merupakan hal penting

meskipun tidak dijamin validitasnya. Semakin banyak informasi, maka diharapkan akan menghasilkan data yang sudah tersaring dengan ketat dan lebih akurat.

Triangulasi Sumber Data: Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi Teknik Pengumpulan Data: Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda Triangulasi Waktu: Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya. Triangulasi dapat juga dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian dari tim peneliti lain yang diberi tugas mengumpulkan data.

Objek penelitian yang dijadikan sebagai narasumber dalam wawancara adalah sebagai berikut:

a. Kepala K3L b. Presiden KM ITB 2010-2011 c. Kepala Satpam

Perumusan Masalah Keamanan

Teori yang Digunakan

Pedoman Wawancara

Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow

a. Dengan pengambilan kebijakan tersebut, bagaimana efeknya terhadap system keamanan di ITB? b. Bagaimna pembagian wilayah penjagaan di ITB pra dan pasca kejadian? c. Bagaimana jalur komunikasi aparat keamanan ITB ? d. Siapa saja yang turut andil dalam penjagaan keamanan di ITB? e. Apakah pernah terjadi pelanggaran

terhadap peraturan di ITB? f. Apa saja sanksi bagi pelanggar peraturan keamanan tersebut? g. Pernahkah terjadi kasus seperti ini sebelumnya? h. Bagaimana SOP penjagaan keamanan di ITB? i. Apakah dengan jumlah personil keamanan yang sekarang sudah cukup untuk mengamankan ITB? j. Apa saja kendala untuk menegakkan peraturan keamanan ? Kebijakan a. Teori Sistem Sosial Adam Smith b. Teori Kebijakan Sosial a. Apa saja bentuk sosialisasi peraturan yang pernah dilakukan? b. Adakah protes mengenai suatu kebijakan oleh warga kampus ITB? c. Apa saja peraturan yang diubah dan ditambah? d. Siapa saja penentu kebijakan di ITB? e. Bagaimana proses pengambilan kebijakan itu diambil? f. Apa saja criteria yang digunakan untuk menganalisis alternative kebijakan? g. Apa alasan kebijakan itu diambil? h. Apa saja kebijakan yang menimbulkan konflik antara pihak mahasiswa dengan pihak ITB?Solusi Teori Kebijakan Sosial a. Apa saja alternative kebijakan yang ditawarkan saat musyawarah pembuatan kebijakan baru?

b. Adakah kebijakan lain yang mungkin dapat diambil agar tidak terjadi konflik dengan mahasiswa? c. Apakah ada inisiatif dari KM untuk membahas kebijakan tersebut dengan pihak ITB untuk memperoleh win-win solution?

Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Kepala K3L adalah sebagai berikut. Pertanyaan: 1. Seperti apa respon yang dilakukan K3L terkait masalah pembakaran di ITB? 2. Sebelum K3L memberikan respon tersebut apakah diadakan musyawarah terlebih dahulu? 3. Siapa saja peserta musyawarah tersebut? 4. Bagaimana proses pengambilan hasil musyawarah itu diambil? 5. Apa saja kriteria yang digunakan untuk menganalisis tindakan-tindakan alternatif saat musyawarah? 6. Apa alasan hasil musyawarah itu diambil? 7. Apa saja peraturan yang diubah dan ditambah sebagai respon dari kasus pembakaran? 8. Apakah ada kaitannya pemasangan fasilitas keamanan seperti CCTV dan fire extinguisher dengan kasus pembakaran? 9. Apakah K3L merasa kecolongan dengan kasus pembakaran ini? 10. Dengan pengambilan respon tersebut, bagaimana efeknya terhadap system keamanan di ITB? 11. Apakah K3L menetapkan sanksi bagi civitas akademik yang melakukan pelanggaran keamanan di ITB? 12. (Jika yang menetapkan sanksi adalah K3L) Apakah K3L mempersiapkan sanksi bagi pelaku jika pelaku tersebut merupakan civitas akademik?

13. (Jika yang menetapkan sanksi adalah K3L) Apakah pernah terjadi pelanggaran terhadap peraturan keamanan di ITB? 14. (Jika yang menetapkan sanksi adalah K3L) Apa saja sanksi bagi pelanggar peraturan keamanan tersebut? 15. Apa saja bentuk sosialisasi peraturan yang pernah dilakukan? 16. Apa saja hal yang diharapkan oleh pihak kampus tentang keamanan di ITB?

Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Presiden KM ITB 2010-2011 adalah sebagai berikut: Pertanyaan: 1. Apa saja peran KM ITB dalam kasus pembakaran di kampus ITB ini? 2. Sejauh apa kasus ini mempengaruhi agenda KM ITB? 3. Apa saja aspirasi yang pernah diberikan oleh mahasiswa mengenai peraturan-peraturan yang baru? 4. Apakah ada inisiatif dari KM untuk membahas kebijakan tersebut dengan pihak ITB untuk memperoleh win-win solution? 5. Adakah solusi dari KM ITB yang akan diajukan untuk menghindari konflik kegiatan mahasiswa dengan peraturan yang dibuat?

Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Kepala Satpam adalah sebagai berikut: Pertanyaan: 1. Dengan pengambilan kebijakan tersebut, bagaimana efeknya terhadap system keamanan di ITB? 2. Bagaimna pembagian wilayah penjagaan di ITB pra dan pasca kejadian? 3. Bagaimana jalur komunikasi aparat keamanan ITB ? 4. Siapa saja yang turut andil dalam penjagaan keamanan di ITB? 5. Apakah pernah terjadi pelanggaran terhadap peraturan di ITB? 6. Apa saja sanksi bagi pelanggar peraturan keamanan tersebut? 7. Pernahkah terjadi kasus seperti ini sebelumnya? 8. Bagaimana SOP penjagaan keamanan di ITB?

9. Apakah dengan jumlah personil keamanan yang sekarang sudah cukup untuk mengamankan ITB? 10. Apa saja kendala untuk menegakkan peraturan keamanan ?

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASANIV. Temuan Penelitian IV.1. Temuan Hasil Observasi Patroli Malam di Kampus ITB Setelah mengobservasi kegiatan penjagaan malam satpam pada hari Jumat, 18 Februari 2011, diketahui bahwa tugas malam satpam ada dua, yaitu menjaga pintu gerbang utama dan gerbang belakang ITB serta berpatroli keliling ITB. Dari hasil observasi, yang pertama kami ketahui adalah bagaimana proses pemeriksaan keluar masuk kendaraan bermotor melalui gerbang utama ITB. Persyaratan untuk dapat membawa kendaraan bermotor masuk melalui gerbang utama dan gerbang belakang ITB adalah memiliki kartu tanda pengenal karyawan ITB atau masuk sebagai tamu jika ada event di ITB. Namun selain itu ada juga pengecualian untuk mahasiswa yang ingin mengangkut barang berat dari luar ITB ke dalam ITB untuk kepentingan acara dan bagi taxi atau bus transportasi tamu yang ingin mengantar atau menjemput tamu di ITB. Untuk dosen dan karyawan yang tidak membawa kartu tanda pengenal akan diberikan tiket parker oleh pegawai ISS Parking Service ketika masuk, begitu juga bagi mahasiswa dan transportasi public yang disebutkan di atas. Khusus bagi yang ingin mngangkut barang berat ke dalam ITB, barang bawaan akan diperiksa terlebih dahulu sebelum diizinkan masuk. Pada saat keluar tiket itu akan diperiksa kembali oleh pegawai ISS Parking Service dengan mencocokkannya dengan plat nomor mobil. Pemeriksaan terhadap mobil yang masuk hanya dilakukan sampai jam 11 malam karena pada jam 11 malam jalan masuk ke gerbang utama dan gerbang belakang ITB akan ditutup. Dari yang kami amati di pos jaga gerbang utama ITB, pegawai ISS dan satpam yang mendapat shift malam tidak mendapat konsumsi sama sekali dari pihak ITB. Hasil observasi berikutnya adalah patrol keliling ITB yang biasa dilakukan malam hari oleh satpam. Patrol ini dilakukan dengan dua pilihan, yaitu menggunakan motor dan berjalan kaki. Patrol yang menggunakan motor merupakan patrol yang terjadwal, sedangkan patrol yang berjalan kaki merupakan patrol tak terjadwal yang dilakukan oleh satpam. Patroli hanya dilakukan pada malam hari dan dimulai saat pergantian shift malam yaitu jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Hampir setiap prodi memiliki parkiran di dalam ITB, begitu juga untuk beberapa gedung di ITB, seperti gedung GKU Timur. Patroli satpam memeriksa kendaraan yang ada di setiap parkiran dalam di ITB agar menghindari tindak criminal pencurian kendaraan dengan mengecek apakah ada kunci yang tertinggal di dalam kendaraan, kendaraan yang masih menyala, dan jendela kendaraan yang

terbuka. Jika ada, maka akan dilaporkan ke gedung terdekat atau jika tidak ada orang yang masih tinggal di gedung terdekat maka kunci dapat dibawa ke pos satpam sehingga pengguna kendaraan yang kuncinya dibawa dapat melapor ke pos. Tugas patrol selanjutnya adalah untuk memeriksa ruangan di tiap gedung apakah masih ada ruang kuliah yang terbuka. Jika ada akan dikunci. Alasan patrol menggunakan motor agar respon terhadap tindak criminal lebih cepat dibandingkan berjalan kaki. IV.2. Temuan Hasil Wawancara dengan Kepala Satpam Q A : Bagaimana efek tragedi pembakaran toilet terhadap keamanan di ITB? : Petugas keamanan menjadi lebih waspada, karena menyangkut aset-aset yang ada di ITB. Jika terjadi kasus pembakaran yang lebih besar, biaya untuk perbaikan fasilitas yang ada di ITB menjadi lebih mahal. Q A : Apakah ada pembagian wilayah penjagaan keamanan di ITB? : Ya, ada dua macam satpam di ITB, yaitu dari ITB nya sendiri (organik), dan dari yayasan (sentinel). Kami bagi menjadi dua bagian, yaitu dari gedung farmasi ke utara untuk sentinel, dan dari farmasi ke selatan untuk satpam organik. Masing-masing satpam tersebut kemudian dibagi lagi penjagaannya pada daerah-daerah yang lebih spesifik. Q A : Apakah terdapat penjagaan pada malam hari? : Ya, ketika pertama kali terjadi kejadian pembakaran tersebut, pihak ITB menambah petugas sentinel sebanyak 40 orang, namun sekarang hanya tinggal 20 orang. Q A Q A : Apakah sebenarnya sentinel itu? : Sentinel itu adalah yayasan, merupakan jasa keamanan dari luar yang dikontrak. : Apakah pernah terjadi pelanggaran selama peraturan baru diterapkan? : Alhamdulillah setelah personil petugas keamanan ditambah, tidak ada kejadian pembakaran lagi. Mungkin pelakunya juga takut karena telah diekspose ke media massa dan telah ditangani oleh polisi. Sanksinya mungkin juga bukan hanya dari ITB, tetapi juga ada sanksi pidana dari polisi. Q A Q : Apa sanksi yang diberikan ITB jika terjadi pelanggaran? : Mungkin sanksi yang terberat dari ITB adalah DO. : Jika pelanggaran yang dilakukan adalah pulang melebihi dari jam yang ITB tetapkan, apakah ada sanksinya? A : Kalau pelanggaran ringan seperti itu mungkin hanya akan ditegur oleh petugas keamanan saja. Karena saya juga sedang bertugas untuk menyelidiki orang-orang yang dicurigai. Jadi maaf jika mahasiswa kami tegur untuk segera meninggalkan kampus ketika sudah melewati jam 11 malam, karena semakin banyak orang proses penyelidikan

akan semakin sulit. Mungkin kalau keadaan sudah seperti biasa lagi, kegiatan sampai pagi pun akan diizinkan. Q A : Bagaimana jalur komunikasi sesama penjaga keamanan? : Dari satpam ke kepala K3L, lalu ke organisasi sumber daya manusia (Ibu Ira), lalu ke rektor. Q A : Adakah SOP yang jelas mengenai penjagaan keamanan di ITB? : Apabila ada mahasiswa yang masih melaksanakan kegiatan pada jam 11 malam, pertama akan ditanya, dilihat KTM nya, dicatat data-datanya dan ditanya siapa penanggungjawabnya sebagai bahan pengawasan kami apakah kegiatan tersebut benar atau tidak. Q A Q A : Berapa jumlah personil petugas panjaga keamanan sekarang? : Untuk saat ini ada 40 orang personil. : Apakah jumlah tersebut mencukupi? : Sejauh ini cukup, mungkin akan dikurangi kembali jumlahnya jika keadaan sudah berangsur-angsur pulih. Q A : Kendala apa saja yang dihadapi? : Banyak mahasiswa yang kehilangan barang seperti sepeda atau tas. Padahal itu akibat dari kecerobohan mahasiswanya sendiri. Sedangkan kami harus melakukan penyelidikan sehingga butuh saling tunjang antara mahasiswa dan petugas, untuk membantu melaporkan apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan. IV.3. Temuan Hasil Wawancara dengan Presiden KM Q A : Bagaimana tanggapan mahasiswa mengenai system keamanan pasca pembakaran? : Perubahan pada system keamanan justru mempersempit ruang gerak mahasiswa. Tindakan yang diambil oleh rektorat hanya sebatas tindakan kuratif saja bukan tindakan preventif. Selain itu nama dari teman-teman mahasiswa sendiri menjadi tercoreng karena mahasiswa juga dicurigai sebagai pelaku kasus pembakaran tersebut.

Q A

: Bagaimana tanggapan mahasiswa tentang kebijakan yang diambil oleh ITB? : 1. Sebenarnya kebijakan dilarang pulang malam itu sudah ada sejak 5 tahun yang lalu, tapi semenjak ada K3L jadi lebih dipertegas lagi dan dengan adanya kasus pembakaran ini peraturan tersebut menjadi lebih dipertegas lagi. 2. K3L mengadakan banyak tabung pemadam kebakaran setelah kasus pembakaran ini terjadi. 3. Lebih sulit menginap di kampus.

4. Jumlah satpam ditambah melalui outsourcing dari yayasan Sentinel. 5. Penyisiran lingkungan ITB di malam hari mulai dilakukan.

Q A

: Apakah K3L pernah melakukan koordinasi dulu sebelum menetapkan kebijakan baru? : Ya, MSDO langsung koordinasi 40 orang ke annex setelah kasus pembakaran ke 2.

Q

: Apakah ada titik tengah untuk mengatasi konflik antara mahasiswa dengan peraturan yang dibuat?

A

: Ada, kalau masih ada mahasiswa yang beraktivitas sampai malam hari akan diperbolehkan setelah dicatat identitasnya.

Q A

: Bagaimana kebijakan yang menurut mahasiswa ITB paling tepat? : Melakukan tindakan preventif agar kejadian ini tidak terulang kembali dan elemen di ITB, termasuk mahasiswa ikut menjaga kampus bersama. Akan tetapi pihak rektorat menolak ide mahasiswa untuk menjaga kampus bersama karena menurut mereka tugas utama mahasiswa adalah untuk belajar, bukan jadi satpam.

Q

: Adakah tindakan mediasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara mahasiswa dengan pihak rektorat ini?

A

: Tindakan mediasi akan dilakukan dengan instrument forsil yaitu Campus Meeting yang akan diadakan di Aula Barat tanggal 29 Maret 2011.

IV.4. Temuan Hasil Wawancara dengan Wakil Kepala K3L Bapak Herto Dwi Ariesyady merupakan Wakil Kepala K3L dan juga dosen dari jurusan Teknik Lingkungan ITB. Berdasarkan hasil wawancara dengan beliau, ternyata tidak ada perubahan peraturan sejak terjadinya kasus pembakaran di ITB. Hal ini juga dinyatakan dalam hasil wawancara dengan Presiden KM ITB.

Q A

: Seperti apa respon yang dilakukan K3L terkait masalah pembakaran di ITB? : Tidak ada respon khusus dari K3L, hanya penegakan aturan-aturan yang telah ada sebelumnya.

Q

: Apa saja peraturan yang diubah dan ditambah sebagai respon dari kasus pembakaran?

A

: Tidak ada, hanya saja untukbahan evaluasi unit pelaksana keamanan.

Q

: Apakah ada kaitannya pemasangan fasilitas keamanan seperti CCTV dan fire extinguisher dengan kasus pembakaran?

A

: Ada, fasilitas tesebut untuk membantu menambah tingkat keamanan karena area ygn cukup luas sehingga membantu kinerja dari satpam.

Q A

: Apakah K3L merasa kecolongan dengan kasus pembakaran ini? : Iya.

Q

: Dengan pengambilan respon tersebut, bagaimana efeknya terhadap system keamanan di ITB?

A

: Bertambah, karena dengan personil satpam yang terbatas dan dana yang terbatas, bantuan CCTV membuat pengawasan area kampus lebih baik.

Q

: Apakah K3L menetapkan sanksi bagi civitas akademik yang melakukan pelanggaran keamanan di ITB?

A

:Tidak, segala tindakan kasus kriminalitas yang terjadi di kampus, pengamanan awal dilakukan oleh K3L namun segala pengusutan dan pemutusan hukuman dilakukan oleh polisi.

IV.5. Pembahasan Pembahasan untuk penyebab kasus pembakaran di ITB dan langkah strategis yang dilakukan oleh ITB akan difokuskan sesuai dengan tujuan penelitian kami. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui system keamanan di ITB sebelum kejadian tersebut. 2. Mengetahui system keamanan di ITB setelah kejadian tersebut. 3. Mengetahui alasan kebijakan kebijakan pasca kejadian dipilih. 4. Menemukan suatu win-win solution untuk mahasiswa dan pihak ITB.

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan Rumusan Masalah 1 Bagaimana respon pihak kampus terhadap kasus pembakaran yang terjadi di ITB?

Landasan Teori : 1. Teori Kebutuhan Maslow

Pembahasan Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan Maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Lima kebutuhan dasar Maslow, disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial : 1. Kebutuhan Fisiologis Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya. 3. Kebutuhan Sosial Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lainlain. 4. Kebutuhan Penghargaan Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Gambar 1.Teori Maslow

Berkaitan dengan Masalah kebakaran di ITB, salah satu dasar manusia berdasarkan teori Maslow adalak kebutuhan keamanan dan keselamatan. Sehingga sangat wajar jika pihak ITB ingin memastikan lingkungan kampus menjadi lingkungan yang aman. Oleh karena itu respon pihak ITB setelah kejadian kebakaran ini adalah dengan meningkatkan keamanan dan keselamatan di lingkungan ITB dengan cara, meningkatkan jumlah personil satpam sentinel, menambah CCTV, menambah jumlah alat pemadam kebakaran dan

memberlakukan jam malam untuk kegiatan kampus. 5.2 Pembahasan Rumusan Masalah Kedua Bagaimana respon mahasiswa terhadap tindakan yang diambil pihak kampus setelah kasus pembakaran di ITB terjadi?

Landasan teori 1. Teori konflik oleh Lewis A. Coser 2. Teori konflik oleh Ralf Dahrendorf

Pembahasan Teori yang digunakan untuk rumusan masalah di atas adalah teori konflik yang dicetuskan oleh Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. Kedua teori ini memiliki inti pemikiran tentang konflik antara dua kelompok atau lebih, hanya saja teori yang diungkapkan Ralf

Dahrendorf lebih menekankan kepada konflik yang melibatkan antara pihak yang memiliki kuasa dan tidak, berikut inti pemikirannya: Menurut Lewis A. Coser konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Struktur sosial pada kasus yang kami bahas adalah struktur sosial kampus antara mahasiswa dan pihak kampus. Konflik terjadi setelah ditegaskannya kembali peraturan yang telah ada sebelumnya, yaitu mengenai pembatasan waktu beraktivitas bagi mahasiswa di dalam kampus di malam hari. Hal tersebut membuat mahasiswa merasa dibatasi dalam mengekspresikan diri baik dalam hal akademis maupun non akademis, padahal setelah rutinitas akademik formal yang dilakukan dari pagi hingga sore hari, malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas non formal. Menurut Coser, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya, dalam hal ini konflik tersebut telah memperjelas jati diri sebagai mahasiswa ITB yang cenderung memiliki banyak hal untuk dilakukan dan juga memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi di kampus. Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu konflik realistis dan non realistis, dimana pada kasus ini hanya konflik realistis yang terjadi. Konflik realistis tersebut berasal dari kekecewaan mahasiswa terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dengan pihak kampus yaitu, kegiatan di kampus yang hanya dibatasi hingga pukul 23.00. Sehingga, mahasiswa mengalami kekecewaan terhadap penegasan kembali peraturan tersebut oleh pihak kampus. Sedangkan teori konflik non realistis sama sekali tidak sesuai dengan kasus yang kami bahas. Menurut Dahrendorf, terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Pada kasus ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki banyak kekuasaan yaitu pihak kampus, dan kelompok yang memiliki sedikit kekuasaan yaitu mahasiswa. Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta

hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Jika diterapkan pada kasus ini, kegiatan mahasiswa yang dilakukan melebihi pukul 23.00 dapat memberikan ancaman (dalam hal ini keamanan) baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kampus. Secara langsung maksudnya mungkin saja pelaku pembakaran berasal dari kalangan mahasiswa, sedangkan secara tidak langsung keramaian pada malam hari dapat mengahambat pihak keamanan kampus dalam melakukan investigasi kasus ini.

5.3 Pembahasan Rumusan Masalah 3 Bagaimana win-win solution untuk pihak mahasiswa dan ITB?

Landasan Teori : 1. Teori Kebijakan Sosial

Pembahasan Berdasarkan Teori Kebijakan Sosial, kebijakan diartikan sebagai prinsip atau cara

bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Pewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002): 1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.

2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan. 3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain. 5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain. 6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan. 7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya. Berkaitan dengan Teori Kebijakan Publik yang dibuat oleh Mustopadidjaja, dalam hal ini, kebijakan yang diambil oleh pihak ITB sudah mengikuti tahapan-tahapan yang perlu dilakukan sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Pertama, persoalan tentang kebakaran dijadikan bahan kajian untuk menentukan kebijakan apa yang akan diambil. Kedua, penentuan tujuan dari kebijakan yang diambil adalah untuk membuat kemanan di ITB lebih baik. Ketiga, pihak ITB telah membuat beberapa pilihan untuk meningkatkan keamanan di ITB. Keempat, penyusunan model-model untuk

mempermudah pencapaian tujuan juga sudah dilakukan. Kelima, selain menyusun model-model matematis, pihak ITB juga telah memutuskan kriteria-kriteria apa saja yang bisa digunakan untuk memperjelas model-model yang telah dibuat. Keenam, penilaian alternatif terhadap kebijakan pun dibuat dengan tujuan untuk mengukur pencapaian dari kebijakan yang diambil. Terakhir, pihak ITB juga membuat rumusan rekomendasi dari kebijakan yang dibuat tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja dari kebijakan tersebut, dan mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut.

BAB V

SIMPULANSebelum ada kejadian pembakaran di kampus ITB, sistem keamanan ITB berjalan tidak terlalu ketat. Mahasiswa diperbolehkan untuk berkegiatan walaupun sampai larut malam tanpa adanya pengawasan. Personil keamanan pun hanya berkisar 20 orang saja, yaitu satpam organik atau satpam yang berasal dari kampus ITB. Namun. setelah kejadian pembakaran terjadi, terdapat beberapa perubahan sistem keamanan yang terdapat di ITB. Diantaranya adalah sistem keamanan menjadi lebih ketat, hal ini ditandai dengan penambahan jumlah personil keamanan menjadi 40 orang dan adanya patroli yang dilakukan setiap malamnya. Personil keamanan tambahan tersebut merupakan sentinel-sentinel yaitu jasa kemanan yang dikontrak dari yayasan. Selain itu, kegiatan mahasiswa pun dibatasi hanya sampai pukul sebelas malam saja. Jika setelah melewati pukul 11 masih terdapat mahasiswa yang melakukan berbagai kegiatan, maka satpam sebagai personil keamanan akan menegur agar mahasiswa segera meninggalkan kampus. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah proses penyelidikan. Namun, jika mahasiswa masih ingin berkegiatan melebihi pukul 11 malam, maka akan dimintai keterangannya terlebih dahulu seperti ditanyai KTM, dan ditanyai mengenai siapa yang bertanggujawab atas kegiatan yang masih dilakukan sebagai bahan pengawasan personil keamanan. Selain itu, pihak ITB pun menambah beberapa CCTV dan alat pemadam kebakaran di beberapa tempat untuk meningkatkan keamanan di ITB. Sesaat setelah kejadian pembakaran terjadi, ada beberapa langkah yang diambil oleh pihak keamanan diantaranya, menambahkan jumlah sentinel menjadi empat puluh orang, dan menetapkan jam malam untuk kegiatan kampus sampai dengan jam sebelas malam. Alasan diambilnya keputusan seperti atas adalah untuk

meningkatkan kemanan di kampus, agar kejadian serupa tidak terulang. Namun demikian, saat ini langkah-langkah di atas sudah tidak dilakukan kembali mengingat keadaan kampus yang sudah relatif lebih aman. Meskipun ada keputusan untuk membatasi kegiatan mahasiswa sampai dengan jam 11 malam, pihak keamanan ITB tetap memberikan kelonggaran bagi mahasiswa yang berkepentingan untuk menginap di kampus. Bentuk toleransi yang diberikan adalah dengan mendata mahasiswa yang menginap di kampus, dengan demikian,

pihak keamanan ITB memiliki data yang jelas siapa saja yang ada di kampus saat itu, dan kegiatan mahasiswa pun tidak terganggu. Jadi, pada dasarnya tidak ada perubahan yang signifikan pada sistem keamanan di ITB sebelum dan sesudah kejadian pembakaran terjadi. Selain itu, sudah ada jalan tengah bagi kepentingan pihak kemanan ITB dengan mahasiswa yaitu dengan mendata mahasiswa yang menginap di kampus.

LAMPIRANHasil Observasi Patroli Malam Satpam Setelah mengobservasi kegiatan penjagaan malam satpam pada hari Jumat, 18 Februari 2011, diketahui bahwa tugas malam satpam ada dua, yaitu menjaga pintu gerbang utama dan gerbang belakang ITB serta berpatroli keliling ITB. Dari hasil observasi, yang pertama kami ketahui adalah bagaimana proses pemeriksaan keluar masuk kendaraan bermotor melalui gerbang utama ITB. Persyaratan untuk dapat membawa kendaraan bermotor masuk melalui gerbang utama dan gerbang belakang ITB adalah memiliki kartu tanda pengenal karyawan ITB atau masuk sebagai tamu jika ada event di ITB. Namun selain itu ada juga pengecualian untuk mahasiswa yang ingin mengangkut barang berat dari luar ITB ke dalam ITB untuk kepentingan acara dan bagi taxi atau bus transportasi tamu yang ingin mengantar atau menjemput tamu di ITB. Untuk dosen dan karyawan yang tidak membawa kartu tanda pengenal akan diberikan tiket parker oleh pegawai ISS Parking Service ketika masuk, begitu juga bagi mahasiswa dan transportasi public yang disebutkan di atas. Khusus bagi yang ingin mngangkut barang berat ke dalam ITB, barang bawaan akan diperiksa terlebih dahulu sebelum diizinkan masuk. Pada saat keluar tiket itu akan diperiksa kembali oleh pegawai ISS Parking Service dengan mencocokkannya dengan plat nomor mobil. Pemeriksaan terhadap mobil yang masuk hanya dilakukan sampai jam 11 malam karena pada jam 11 malam jalan masuk ke gerbang utama dan gerbang belakang ITB akan ditutup. Dari yang kami amati di pos jaga gerbang utama ITB, pegawai ISS dan satpam yang mendapat shift malam tidak mendapat konsumsi sama sekali dari pihak ITB. Hasil observasi berikutnya adalah patrol keliling ITB yang biasa dilakukan malam hari oleh satpam. Patrol ini dilakukan dengan dua pilihan, yaitu menggunakan motor dan berjalan kaki. Patrol yang menggunakan motor merupakan patrol yang terjadwal, sedangkan patrol yang berjalan kaki merupakan patrol tak terjadwal yang dilakukan oleh satpam. Patroli hanya dilakukan pada malam hari dan dimulai saat pergantian shift malam yaitu jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Hampir setiap prodi memiliki parkiran di dalam ITB, begitu juga untuk beberapa gedung di ITB, seperti gedung GKU Timur. Patroli satpam memeriksa kendaraan yang ada di setiap parkiran dalam di ITB agar menghindari tindak criminal pencurian kendaraan dengan mengecek

apakah ada kunci yang tertinggal di dalam kendaraan, kendaraan yang masih menyala, dan jendela kendaraan yang terbuka. Jika ada, maka akan dilaporkan ke gedung terdekat atau jika tidak ada orang yang masih tinggal di gedung terdekat maka kunci dapat dibawa ke pos satpam sehingga pengguna kendaraan yang kuncinya dibawa dapat melapor ke pos. Tugas patrol selanjutnya adalah untuk memeriksa ruangan di tiap gedung apakah masih ada ruang kuliah yang terbuka. Jika ada akan dikunci. Alasan patrol menggunakan motor adalah agar respon terhadap tindak criminal lebih cepat dibandingkan berjalan kaki.

Wawancara Kepala Satpam

Q A

: Bagaimana efek tragedi pembakaran toilet terhadap keamanan di ITB? : Petugas keamanan menjadi lebih waspada, karena menyangkut aset-aset yang ada di ITB. Jika terjadi kasus pembakaran yang lebih besar, biaya untuk perbaikan fasilitas yang ada di ITB menjadi lebih mahal.

Q A

: Apakah ada pembagian wilayah penjagaan keamanan di ITB? : Ya, ada dua macam satpam di ITB, yaitu dari ITB nya sendiri (organik), dan dari yayasan (sentinel). Kami bagi menjadi dua bagian, yaitu dari gedung farmasi ke utara untuk sentinel, dan dari farmasi ke selatan untuk satpam organik. Masing-masing satpam tersebut kemudian dibagi lagi penjagaannya pada daerah-daerah yang lebih spesifik.

Q A

: Apakah terdapat penjagaan pada malam hari? : Ya, ketika pertama kali terjadi kejadian pembakaran tersebut, pihak ITB menambah petugas sentinel sebanyak 40 orang, namun sekarang hanya tinggal 20 orang.

Q A

: Apakah sebenarnya sentinel itu? : Sentinel itu adalah yayasan, merupakan jasa keamanan dari luar yang dikontrak.

Q A

: Apakah pernah terjadi pelanggaran selama peraturan baru diterapkan? : Alhamdulillah setelah personil petugas keamanan ditambah, tidak ada kejadian pembakaran lagi. Mungkin pelakunya juga takut karena telah diekspose ke media massa dan telah ditangani oleh polisi. Sanksi nya

mungkin juga bukan hanya dari ITB, tetapi juga ada sanksi pidana dari polisi. Q A Q : Apa sanksi yang diberikan ITB jika terjadi pelanggaran? : Mungkin sanksi yang terberat dari ITB adalah DO. : Jika pelanggaran yang dilakukan adalah pulang melebihi dari jam yang ITB tetapkan, apakah ada sanksinya? A : Kalau pelanggaran ringan seperti itu mungkin hanya akan ditegur oleh petugas keamanan saja. Karena saya juga sedang bertugas untuk menyelidiki orang-orang yang dicurigai. Jadi maaf jika mahasiswa kami tegur untuk segera meninggalkan kampus ketika sudah melewati jam 11 malam, karena semakin banyak orang proses penyelidikan akan semakin sulit. Mungkin kalau keadaan sudah seperti biasa lagi, kegiatan sampai pagi pun akan diizinkan. Q A : Bagaimana jalur komunikasi sesama penjaga keamanan? : Dari satpam ke kepala K3L, lalu ke organisasi sumber daya manusia (Ibu Ira), lalu ke rektor. Q A : Adakah SOP yang jelas mengenai penjagaan keamanan di ITB? : Apabila ada mahasiswa yang masih melaksanakan kegiatan pada jam 11 malam, pertama akan ditanya, dilihat KTM nya, dicatat data-datanya dan ditanya siapa penanggungjawabnya sebagai bahan pengawasan kami apakah kegiatan tersebut benar atau tidak. Q A Q A : Berapa jumlah personil petugas panjaga keamanan sekarang? : Untuk saat ini ada 40 orang personil. : Apakah jumlah tersebut mencukupi? : Sejauh ini cukup, mungkin akan dikurangi kembali jumlahnya jika keadaan sudah berangsur-angsur pulih. Q A : Kendala apa saja yang dihadapi? : Banyak mahasiswa yang kehilangan barang seperti sepeda atau tas. Padahal itu akibat dari kecerobohan mahasiswanya sendiri. Sedangkan kami harus melakukan penyelidikan sehingga butuh saling tunjang antara mahasiswa dan petugas, untuk membantu melaporkan apabila terdapat orang-orang yang mencurigakan.

Wawancara Presiden KM

Q pembakaran? A

: Bagaimana tanggapan mahasiswa mengenai system keamanan pasca kasus

: Perubahan pada system keamanan justru mempersempit ruang gerak

mahasiswa. Tindakan yang diambil oleh rektorat hanya sebatas tindakan kuratif saja bukan tindakan preventif. Selain itu nama dari teman-teman mahasiswa sendiri menjadi tercoreng karena mahasiswa juga dicurigai sebagai pelaku kasus pembakaran tersebut.

Q A

: Bagaimana tanggapan mahasiswa tentang kebijakan yang diambil oleh ITB? : 1. Sebenarnya kebijakan dilarang pulang malam itu sudah ada sejak 5 tahun

yang lalu, tapi semenjak ada K3L jadi lebih dipertegas lagi dan dengan adanya kasus pembakaran ini peraturan tersebut menjadi lebih dipertegas lagi. 2. K3L mengadakan banyak tabung pemadam kebakaran setelah kasus pembakaran ini terjadi. 3. Lebih sulit menginap di kampus. 4. Jumlah satpam ditambah melalui outsourcing dari yayasan Sentinel. 5. Penyisiran lingkungan ITB di malam hari mulai dilakukan.

Q baru? A ke 2.

: Apakah K3L pernah melakukan koordinasi dulu sebelum menetapkan kebijakan

: Ya, MSDO langsung koordinasi 40 orang ke annex setelah kasus pembakaran

Q

: Apakah ada titik tengah untuk mengatasi konflik antara mahasiswa dengan

peraturan yang dibuat? A : Ada, kalau masih ada mahasiswa yang beraktivitas sampai malam hari akan

diperbolehkan setelah dicatat identitasnya.

Q A

: Bagaimana kebijakan yang menurut mahasiswa ITB paling tepat? : Melakukan tindakan preventif agar kejadian ini tidak terulang kembali dan

seluruh elemen di ITB, termasuk mahasiswa ikut menjaga kampus bersama. Akan tetapi pihak

rektorat menolak ide mahasiswa untuk menjaga kampus bersama karena menurut mereka tugas utama mahasiswa adalah untuk belajar, bukan jadi satpam. Q : Adakah tindakan mediasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara

mahasiswa dengan pihak rektorat ini? A : Tindakan mediasi akan dilakukan dengan instrument forsil yaitu Kampus

Meeting yang akan diadakan di Aula Barat tanggal 26 Maret 2011.

Wawancara dengan K3LQ A : Seperti apa respon yang dilakukan K3L terkait masalah pembakaran di ITB? : Tidak ada respon khusus dari K3L, hanya penegakan aturan-aturan yang telah ada sebelumnya.

Q

: Apa saja peraturan yang diubah dan ditambah sebagai respon dari kasus pembakaran?

A

: Tidak ada, hanya saja untukbahan evaluasi unit pelaksana keamanan.

Q

: Apakah ada kaitannya pemasangan fasilitas keamanan seperti CCTV dan fire extinguisher dengan kasus pembakaran?

A

: Ada, fasilitas tesebut untuk membantu menambah tingkat keamanan karena area ygn cukup luas sehingga membantu kinerja dari satpam.

Q A

: Apakah K3L merasa kecolongan dengan kasus pembakaran ini? : Iya.

Q

: Dengan pengambilan respon tersebut, bagaimana efeknya terhadap system keamanan di ITB?

A

: Bertambah, karena dengan personil satpam yang terbatas dan dana yang terbatas, bantuan CCTV membuat pengawasan area kampus lebih baik.

Q

: Apakah K3L menetapkan sanksi bagi civitas akademik yang melakukan pelanggaran keamanan di ITB?

A

:Tidak, segala tindakan kasus kriminalitas yang terjadi