komitmen kerja dan intensi absensi sebagai pemediasi

19

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi
Page 2: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi
Page 3: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi
Page 4: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi
Page 5: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

KOMITMEN KERJA DAN INTENSI ABSENSI SEBAGAI PEMEDIASI HUBUNGAN KEPUASAN KERJA

DAN KINERJA KARYAWAN

Buchori Muslim1

Ibnu Khajar

2

Keunggulan kompetitif dapat diraih jika para pelaku bisnis mempunyai kompetensi, khususnya kompetensi pada peningkatan hasil kerja. Hal tersebut mencakup peningkatan kinerja pada input, output, dan manajerial (Lado et al., 1992). Kinerja menurut Byars (1984), diartikan sebagai hasil usaha seseorang yang dicapai dengan melalui kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Dengan demikian kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan dan persepsi individu mengenai tugas. Usaha (effort) merupakan hasil motivasi yang menunjukkan jumlah energi baik secara fisik atau mental yang digunakan individu ketika menjalankan suatu tugas. Kemampuan merupakan karakterisitik individu yang digunakan dalam menjalankan suatu pekerjaan. Kemampuan

ABSTRACT

This research is analyze the effect of job satisfaction towards job performance staff in Secretariat DPRD Province of Central Java. The problem on this research are how much the effect of: 1) job satisfaction towards organization commitment; 2) job satisfaction towards absence intense; 3) organization commitment towards absence intense; 4) organization commitment towards job performance staff; 5) absence intense towards job performance staff; 6) job satisfaction towards job performance staff; 7) job satisfaction towards job performance staff through organization commitment; 8) job satisfaction towards job performance staff through absence intense.

This research is using regression analysis. Total sample were used 108 respondent. The sampling technique is purposive sampling method. Sample research method were used multistage sampling. Data derivation method with questioners distribution and interview.

The research result with using double regression indicated that job satisfaction have significant influence towards organization commitment; job satisfaction towards absence intense; organization commitment towards absence intense; organization commitment towards job performance staff; absence intense towards job performance staff; job satisfaction towards job performance staff; job performance towards job performance staff through organization commitment; job satisfaction towards job performance staff through absence intense. Key Words : Job Satisfaction, Organization Commitment, Absence Intention, Job

Performance Staff.

PENDAHULUAN Globalisasi menuntut organisasi banyak melakukan terobosan-terobosan secara

proaktif guna memenangkan persaingan. Dewasa ini organisasi tidak bisa jika hanya mengandalkan keunggulan komparatif di bidang bahan baku atau keunggulan teknologi informasi yang berorientasi pada pasar saja. Namun, organisasi akan mendapat keunggulan sesungguhnya melalui pengelolaan sumber daya manusia secara baik dan efektif.

1 Alumni Magister Manajemen Unissula 2 Dosen Program Pascasarjana Magister Manajemen Unissula Semarang.

Page 6: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

biasanya tidak dapat dipengaruhi secara langsung dalam jangka pendek. Persepsi tugas merupakan persepsi individu mengenai tugas-tugasnya dan mereka percaya dapat mewujudkan usaha-usaha tersebut dalam pekerjaan. Sedangkan Robbins, (2001), mengartikan kinerja sebagai suatu hasil yang dicapai pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja individual. Penelitian yang dilakukan Morrison (1997:39) pada 307 perusahaan waralaba di Amerika Serikat, memperoleh kesimpulan bahwa kinerja individu dipengaruhi oleh komitmen kerja. Mendukung temuan tersebut Mowday, Porter dan Steers (1982) dalam Moerhead & Griffin (1989) menyatakan bahwa komitmen organisasional mempengaruhi perilaku pekerja seperti absenteeism (tidak hadir dalam kerja) dan turnover. Seseorang dikatakan memiliki komitmen kepada organisasi, jika memiliki tiga aspek. Pertama, jika orang tersebut percaya dan menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi. Kedua, jika orang tersebut rela berusaha mencapai tujuan organisasi. Ketiga, jika orang tersebut memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Hasil riset yang dilakukan Mowday, Porter dan Steers (1982) dalam Gibson (1995) menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen dapat mengurangi keefektifan organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen rendah pada organisasi memiliki kemungkinan untuk terlambat kerja dan melakukan tindakan absensi. Mendukung pendapat Mowday et al. (1982), Allen dan Mayer (1990) mengemukakan bahwa peningkatan komitmen memiliki hubungan dengan peningkatan produktivitas dan absensi yang semakin rendah. Dengan demikian para ahli berusaha memahami segi-segi komponen dan perbedaan hubungan pada anteseden kinerja individu.

Penelitian yang dilakukan Clugston (2000), mengemukakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Seorang karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja, cenderung memiliki komitmen kuat terhadap organisasinya. Kepuasan kerja merupakan sikap pekerja mengenai pekerjaannya, yang mana sikap tersebut dihasilkan dari persepsi pekerja mengenai pekerjaannya (Gibson et al., 1996:150). Robbins (1996:179) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum dari seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerja menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, kondisi kerja yang ideal, dan ganjaran yang pantas. Davis (1990:105) berpendapat kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Wexley dan Yukl (1992:129) menilai kepuasan kerja sebagai cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Dari beberapa pengertian mengenai kepuasan kerja di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah derajat sejauh mana perasaan yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya.

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor anteseden kinerja individual, dengan menganalisis hubungan langsung maupun tidak langsung dari variabel kepuasan kerja, komitmen organisasi dan intensi absensi terhadap kinerja, dengan mengambil obyek penelitian pada karyawan di bagian sekretariat DPRD Jawa Tengah.

Karyawan di bagian sekretariat DPRD Jawa Tengah, memiliki tugas dan pekerjaan yang relatif berat. Dengan adanya UU RI No.32 dan No.33/th.2004 dan Perpu RI No.25/th.2000 mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, maka memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya-upaya penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan yang berada di bawahnya. Tugas-tugas tersebut meliputi pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi dan susunan organisasi Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Tengah sebagai Unit Kerja atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melayani legislatif. Kemudian dalam hal melayani anggota legislatif,

Page 7: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah sangat atensi sekali. Tidak jarang pekerjaan lembur (kerja di luar jam dinas) dilakukan karena adanya kunjungan kerja/sidang lapangan ke daerah, sidang atau rapat paripurna atau rapat komisi sering dilaksanakan pada malam hari atau melebihi waktu jam kerja (diatas jam 16.00 WIB). Pekerjaan karyawan di sekretariat termasuk melayani akomodasi, penyediaan bahan rapat/ risalah, sehingga dibutuhkan kerja yang maksimal. Dengan demikian pengambilan obyek penelitian ini diharapkan sesuai dengan tujuan penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA Kinerja

Kinerja merupakan hasil kerja seseorang, yang bisa diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Gibson et al. (1996:470) mengartikan job performance sebagai prestasi kerja. Hasibuan (1992:105) menyatakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan waktu. Dharma (1991:153) menyatakan kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok orang. Seasto (1996:30) mengemukakan kinerja merupakan pelaksanaan tugas yang telah diselesaikan seseorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur karena berhubungan dengan kualitas dan kuantitas pekerjaan.

Penilaian kinerja di instansi pemerintah sesuai dengan pasal 3 UU No. 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta Inpres No. 7/1999 tentang akuntabilitas kerja instansi pemerintah adalah untuk pemenuhan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepentingan hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas profesionalisme, asas keterbukaan, asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas.

Honeman, Schab dan Fossum (1981:82) menyatakan bahwa secara umum pengukuran prestasi kerja mencakup dua kegiatan, yaitu 1) identifikasi kinerja yang mencakup semua unsur yang akan dievaluasi dalam pekerjaan masing-masing karyawan dalam suatu organisasi 2) penetapan standar kinerja, dengan demikian untuk mengetahui kinerja para pegawai diperlukan standar kerja

Dharma (1986:55) mengemukakan bahwa standar prestasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal, antara lain:1) kuantitas yaitu jumlah yang harus diselesaikan, 2) kualitas yaitu mutu yang dihasilkan, 3) ketepatan yaitu kesesuaian dengan waktu yang telah direncanakan. Agar pengukuran prestasi kerja berjalan efektif, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu kriteria prestasi kerja secara obyektif, dan adanya obyektivitas dalam proses pengukuran.

Menurut Nawawi (1995), ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria prestasi yang dapat diukur secara obyektif: 1) relevancy menunjukkan tingkat kesesuaian antara kriteria dengan tujuan-tujuan prestasi kerja; 2) reability menunjukkan tingkat mana menghasilkan hasil yang konsisten; 3) discrimination mengukur tingkat dimana suatu kriteria prestasi kerja dapat memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam tingkat prestasi kerja.

Selanjutnya pengukuran prestasi kerja menurut Bernardin dan Russel (1995:383) terdapat enam kriteria primer yang digunakan untuk mengukur prestasi kerja, yaitu: 1)kualitas dan kuantitas pekerjaan yang sesuai dengan standar 2) kontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi 3) kompetensi teknik 4) kompetensi komunikasi 5) ide dan dukungan rekan kerja dan 6) pengambilan keputusan dan dukungan rekan kerja. Dalam penelitian ini yang dijadikan tolok ukur penelitian kinerja karyawan adalah mengacu pada pendapat Bernardin dan Russel (1995:383).

Page 8: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Absence dan Absence Intention Pada tahun 1980-an, penelitian mengenai absensi berkisar pada meneliti hubungan

antara absensi dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasional (Ilgen dan Hollenback, 1977; Mowday, Porter dan Steers, 1982; dalam Martocchio, 1992). Selanjutnya pada masa tahun 1990-an para peneliti lebih memfokuskan pada penelitian absensi sebagai hasil dari keputusan yang sadar untuk tidak berada di tempat kerja dalam mengejar alternatif tidak bekerja. Matocchio (1992) meneliti hubungan kepuasan kerja dan komitmen organisasional dengan menyertakan faktor-faktor psikologis (attitude toward absence dan subjective norms) dalam memprediksi intensi absensi yang berakhir pada keputusan absensi. Theory of reasoned action atau intention model merupakan model yang paling tepat digunakan untuk memprediksi absensi karyawan. Hal ini karena teori tindakan beralasan mampu memprediksi perilaku secara akurat untuk situasi dan kondisi yang sangat spesifik (Fishbein dan Ajzen, 1975; dalam Dharmmesta, 1992).

Intensi absensi merupakan variabel yang sangat berhubungan dengan perilaku absensi atau dengan kata lain bahwa intention merupakan antecedent dari perilaku (Mortocchio, 1992). Secara khusus, theory of reasoned action mengasumsikan bahwa intention (kehendak) seseorang untuk menunjukkan suatu perilaku tertentu merupakan penentu langsung dari tindakan (Becker et al., 1995). Absensi mengarah pada hasil akhir yang dihadapi organisasi pada periode tertentu sebagai keputusan dari jam bekerjanya. Sedangkan intensi absensi merupakan hasil evaluasi dan keyakinan seseorang terhadap perilaku absensi yang belum diwujudkan dalam tindakan untuk masuk kerja atau absen. Intensi absensi merupakan fungsi dari dua determinan dasar yaitu sikap individu terhadap perilaku absensi dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku absensi.

Absensi merupakan perilaku seorang individu yang dapat mengganggu jalannya aktivitas dan hilangnya kesempatan-kesempatan perusahaan. Absensi (absence) adalah sebuah perilaku meninggalkan tempat kerja dengan maksud meningkatkan pemenuhan dan kepuasan motivasi individu (Fichman, 1988). Rhodes dan Steers (1990) mengemukakan bahwa motivasi kehadiran individu dapat terjadi karena adanya interaksi antara nilai-nilai atau budaya absensi dan praktek-praktek organisasi, yakni perbedaan kepentingan individu (pekerja) dengan tanggapan mereka terhadap sikap, nilai dan tujuan. Hal ini didasarkan apa yang dikemukakan oleh Farrell dan Stamn (1988) dan Hackett (1988) dalam Rhodes dan Steers (1990), sikap yang berkaitan dengan pekerjaan (seperti: keterlibatan kerja dan kepuasan kerja) dapat memainkan peranan yang signifikan dalam penetuan bagaimana pandangan pekerja terhadap kontrak psikologis antara pekerja dan manajemen, sebagaimana komitmen mereka untuk datang bekerja. Lebih jauh, Rhodes dan Steers (1990) mengatakan praktek-praktek organisasi seperti misalnya, kebijakan absensi, desain pekerjaan dan etika kerja yang buruk dalam kelompok kerja dapat mempengaruhi sikap bekerja karyawan sehingga menyebabkan perusahaan memperketat kebijakan absen hal ini karena karyawan mungkin tidak dapat dipercaya atau tidak mempunyai komitmen. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti basar manfaatnya bagi kepentingan individu maupun organisasi. Bagi individu, penelitian tentang kepuasan kerja dan akibat-akibatnya akan memungkinkan timbulnya usaha-usaha untuk meningkatkan kebahagiaan dalam hidup mereka. Bagi organisasi penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka mengusahakan peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Untuk lebih jelasnya perlu diketahui tentang apa yang dimaksud dengan kepuasan kerja.

Page 9: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Gibson et al. (1996:150) memandang kepuasan kerja sebagai sikap yang dipunyai pekerja mengenai pekerjaannya, yang dihasilkan dari persepsi pekerja mengenai pekerjaannya. Sementara menurut Robbins (1996:179) kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerja menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kuranag ideal. Davis (1990:105) berpendapat kepuasaan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasaan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Wexley dan Yukl (1992:129) menilai kepuasan kerja sebagai cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Menurut Robbins (1996:181) kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, dan rekan sekerja yang mendukung. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah derajat sejauh mana perasaan karyawan terhadap pekerjaannya. Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wexley dan Yukl (1992:130) terdapat tiga teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal, yaitu: 1) discrepancy theory; 2) equity theory; 3) two factor theory. 1. Discrepancy Theory. Teori ini yang mengukur kepuasan kerja seseorang dengan

menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kepuasan kerja seseorang bergantung kepada discrepancy antara harapan, kebutuhan atau nilai dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh melalui pekerjaan.

2. Equity Theory. Pada prinsipnya teori ini mengaitkan kepuasan kerja dengan keadilan. Orang akan merasa puas atau tidak tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan adil atau tidak adil atas situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang setaraf, sekantor maupun di tempat lain. Keadilan didefinisikan sebagai rasio antara masukan kerja seseorang (seperti usaha atau ketrampilan) dan imbalan (seperti pembayaran dan promosi) dibandingkan dengan imbalan yang diterima orang lain untuk masukan kerja yang sama. Bila karyawan merasakan adanya ketidakadilan, maka keadaan ketegangan akan berkembang dalam dirinya. Orang berusaha memecahkan ketegangan ini dengan menyesuaikan perilaku mereka. Pegawai yang merasa bahwa ia dibayar terlalu rendah, misalnya akan mencoba untuk mengurangi ketidakadilan ini dengan mengurangi usahanya. Pegawai yang dibayar terlalu tinggi, sebaliknya mungkin akan bekerja lebih keras. Prinsip keadilan seringkali menjadi tolok ukur kepuasan kerja karyawan.

3. Two Factor Theory. Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda. Teori ini pertama kali ditemukan oleh Herzberg dan menemukan ada dua faktor kebutuhan yaitu satisfiers dan dissatisfiers. Satisfiers (motivator) merupakan faktor pemeliharaan yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsic, kepuasan pekerjaan (job content) yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Namun jika kondisi ini tidak ada maka kondisi ini ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini dinamakan satisfiers atau motivators yang meliputi: a) pengakuan; b) pekerjaan itu sendiri; c) tanggung jawab; d) kemajuan/promosi; dan e) pengembangan potensi individu. Dissatisfiers (hygiene factors), yaitu kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan pemeliharaan. Hal ini berhubungan dengan hakekat manusia yang ingin memperoleh ketentraman lahiriah. Faktor-faktor pemeliharaan mencakup imbalan jasa, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, mobil dinas, rumah dinas, dan bermacam-

Page 10: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

macam lainnya. Hilangnya faktor pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan, tingkat absensi karyawan, dan meningkatnya turnover.

Bentuk atau wujud perilaku ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dalam sejumlah cara (Robbins, 1996:184-185) antara lain: keluar (exit), suara (voice) yang diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, kesetiaan (loyalty) yang pasif hanya menunggu membaiknya kondisi dan pengabaian (ignore), yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi yang memburuk. Komitmen Karyawan

Porter dalam Mowday et al. (1998:27) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari karyawan dalam mengindentifikasi keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Hal ini ditandai dengan tiga hal, yaitu: 1) penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, 2) kesiapan dan kesediaan untuk berusaha sungguh-sungguh atas nama organisasi 3) keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi).

Menurut Steers (1985:50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai tujuan organisasi.

Gibson (1996:315) memberikan pengertian bahwa: “komitmen karyawan merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisai atau unit“. Pengertian tersebut menggambarkan peran penting komitmen karyawan sebagai upaya menciptakan iklim kerja yang positif bagi manajemen organisasi, seperti diungkapkan Steers (1985:145-146) sebagai berikut: 1. Para pekerja yang benar-benar komitmen (terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi)

mempunyai kemungkinan jauh lebih besar untuk berpartisipasi yang tinggi dalam organisasi.

2. Individu yang kuat komitmennya akan sepenuhnya melibatkan diri pada pekerjaan karena yang merupakan saluran utama untuk memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan organisasi

3. Para pekerja dengan komitmen tinggi akan mengerahkan banyak usaha demi kepentingan organisasi.

Dongoran (2001:38) memberikan pengertian bahwa komitmen organisasi yang menyangkut kedua belah pihak yaitu organisasi dan anggota, untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan sistem nilai organisasi, yang menguntungkan bagi perkembangan dan kesejahteraan dua belah pihak dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sehingga terdapat mutual benefits antara anggota dan organisasi, artinya satu sisi terdapat kesediaan anggota untuk menerima sistem nilai organisasi, kesediaan melakukan tugas organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dan kesediaan untuk tetap menjadi anggota organisasi, dan sisi lain terdapat kesediaan organisasi untuk memenuhi kebutuhan anggota agar sejahtera, kesediaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif untuk dapat berkerja dengan baik, tersedia resources yang diperlukan, hubungan bawahan atasan yang

Page 11: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

baik, waktu untuk melakukan tugas cukup, informasi akurat tersedia tepat waktu, gaji yang memadai dan karier terjamin.

Porter dan Smith dalam Steers (1985:142-143) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai sifat hubungan seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seorang yang mempunyai ikatan yang tinggi memperlihatkan untuk : 1. Tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan 2. Kesediaan untuk bersaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi tersebut 3. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai tujuan organisasi.

Dari beberapa pendapat di atas dapatlah ditarik simpulan bahwa komitmen organisasi adalah derajat sejauh mana seorang pekerja memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Komitmen Menurut Allen dan Meyer

Allen dan Meyer dalam Dunham et al. (1994:370) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu: afektif, normative dan continuance. a. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di

dalam suatu organisasi. Pegawai dengan komponen afektif tinggi masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.

b. Komponen normative merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Pegawai dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi karena mereka membutuhkan organisasi

c. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapi jika ia meninggalkan organisasi. Pegawai yang memiliki komponen normative tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.

Komitmen Organisasi Menurut Mowday, Porter dan Steers

Komitmen organisasi jenis ini lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap ini mencakup: a. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan

ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai nampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi

b. Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan kepadanya

c. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.

Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah : a. Kesediaan untuk menampilkan usaha. b. Keinginan tetap berada dalam organisasi. MODEL PENELITIAN

Perilaku absensi akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas organisasi dalam mencapai tujuannya, motivasi kehadiran karyawan ditentukan oleh bagaimana sikap dan nilai pekerja terhadap absensi, seperti halnya kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Peneliti terdahulu telah menguji hubungan absensi dengan komitmen organisasional (seperti:

Page 12: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Mathieu dan Kohler, 1990; Price, 1989). Penelitian ini memberikan dasar bagi model yang berhubungan dengan intensi absensi yang selanjutnya menghasilkan model perilaku absensi.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara komitmen organisasional, keefektifan organisasi dan perilaku karyawan. Hasil riset yang dilakukan Mowday et al. (1982) dalam Gibsons (1995) menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen dapat mengurangi keefektifan organisasi. Sedangkan menurut Lum et al. (1998) memperlihatkan adanya hubungan yang konsisten antara komitmen dan perilaku karyawan seperti: turnover, absensi dan kinerja.

Brooke dan Price (1989) menguji faktor-faktor penentu ketidakhadiran karyawan dengan model kausal (causal model) menunjukkan komitmen organisasional berhubungan negatif namun antara variabel-variabel sikap lainnya dengan absenteeism.

Berdasarkan telaah pustaka tersebut di atas, maka model penelitian yang dijukan adalah sebagai berikut :

H1 H6 H

4

H3

H2 H5

Hipotesis

Berdasarkan model penelitian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1: Kepuasan kerja berpengaruh positif langsung terhadap komitmen organisasi. H2: Kepuasan kerja berpengaruh negatif langsung terhadap intensi absensi H3: Komitmen organisasi kerja berpengaruh negatif langsung terhadap intensi

absensi H4: Kepuasan kerja berpengaruh positif langsung terhadap kinerja karyawan H5: Intensi absensi berpengaruh negatif langsung terhadap kinerja karyawan H6: Komitmen organisasi berpengaruh positif langsung terhadap kinerja karyawan. H7: Kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui komitmen

organisasi H8: Kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui intensi absensi

METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel dengan metode purposive sampling dengan cara multistage. Hasil perhitungan statistik deskriptif responden sebagai berikut:

Kepuasan Kerja (X1)

Intensi Absensi (X3)

Komitmen Organisasi (X2)

Kinerja Karyawan

Y

Page 13: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Karakteristik Responden

Karakteristik Responden

Frek. (%) Mean SD Max. Min.

Jenis Kelamin : Pria Wanita

Total

69 39

108

63,9 36,1 100

2

1 Umur - - 41,57 7,47 55 27 Masa Kerja - - 16,26 5,08 33 2 Pendidikan SD SMP SMA D3 S1 S2 Total

9 8

33 18 31 9

108

8,3 7,4

30,6 16,7 28,7

8,3 100

Golongan IC ID II A IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID IVA Total

5

11 10 3 6

11 31 19 7 2 3

108

4,6

10,2 9,3 2,8 5,6

10,2 28,7 17,6

6,5 1,9 2,8

100

Unit Kerja: Bagian Umum Humas Keuangan Pepsid

Total

65 15 12 16

108

60,2 13,9 11,1 14,8 100

Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas pada penelitian ini menggunakan korelasi product moment, jika hasil perhitungan r hitung >r tabel, maka kuesioner valid atau sahih. Berdasarkan hasil perhitungan dengan Program SPSS 10.00 (Corrected Item-Total Correlation). Seluruh variabel menunjukkan r hitung lebih besar dari r tabel (0,1809). Sehingga semua butir kuesioner dalam penelitian ini adalah valid / sah.

Uji reliabilitas pada pengujian ini menggunakan Cronbach Alpha, jika Cronbach Alpha >0,6 maka kuesioner dikatakan konsisten atau reliabel. Berdasarkan perhitungan dengan Program SPSS 10.00 semua variabel dinyatakan reliabel.

Page 14: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Tabel 1 : Uji Reliabiltas Data

No Variabel Alpha Cronbach Keterangan

1 Kinerja 0.7825 Reliabel

2 Komitmen Organsasi 0.6381 Reliabel

3 Intensi Absensi 0.8545 Reliabel

4 Kepuasan Kerja 0.6714 Reliabel

Uji Asumsi Klasik a. Multikolinearitas. Uji asumsi multikolinearitas artinya antar variabel bebas tidak boleh

ada korelasi. Untuk menguji adanya kolinearitas ganda digunakan uji VIF dan Tolerance. Jika hasil perhitungan nilai VIF di bawah 10 dan “tolerance” variabel bebas di atas 10 %, maka dapat dikatakan data terhindar dari penyakit multikolinear. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa “tolerance” di atas 10 % dan VIF dibawah 10, maka dapat disimpulkan bahwa asumsi tidak ada multikolineritas dalam penelitian ini terpenuhi.

b. Heterokedastisitas. Heterokedastisitas artinya bebas heterokedastisitas. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa variabel bebas tidak berubah dari satu sampel ke sampel lain, sebab variabel bebas akan diukur pengaruhnya terhadap variabel tergantung. Pengujian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi

c. Autokorelasi. Pengujian ini menginginkan model yang digunakan secara tepat menggambarkan rata-rata variabel tergantung dalam setiap observasi. Dari hasil pengujian penelitian ini bebas dari “autokorelasi”.

Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis,dapat dirangkum sebagai berikut :

Page 15: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Hasil Analisis Regresi (unstandardized coefficients)

Terikat Bebas β t Sign. Keterangan

Komitmen Organisasi

Kepuasan kerja

0.723

10.762 0.000

H1 Diterima

Adjusted R 2

Constant = 5.416 = 51.8 %

N = 108

Intensi Absensi

Komitmen Orga. Kepuasan Kerja

- 0. 297 - 0. 266

2.672 2.390

0.009 0.019

H2 Diterima H3 Diterima

F Hitung = 18.786 (Prob - Sign. = 0.000 ) Adjusted R 2

DW = 1.884 = 57.9 %

N = 108

Kinerja Komitmen Organisasi Intensi Absensi Kepuasan Kerja

0.435 - 0.251 0.262

4.822 -3.903 3.161

0.000 0.000 0.002

H6 Diterima H5 Diterima H4 Diterima

F Hitung = 53.297 (Prob - Sign. = 0.000 ) Adjusted R 2

DW = 1.964 = 59.5 %

N = 108

PEMBAHASAN Hipotesis 1

Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja berpengaruh positif langsung terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS 10 (Tabel 19) persamaan regresinya adalah :

Y = 0.723 X + e Persamaan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa, jika kepuasan kerja meningkat

maka komitmen akan meningkat. Kemudian t hitung (10.762) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat signifikansi sebesar 0.000. Maka H1 diterima, yakni kepuasan kerja berpengaruh positif langsung terhadap komitmen organisasi di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung Clugston (2000) kesimpulan studinya mengemukakan bahwa kepuasan kerja (“job satisfication”) berpengaruh langsung dan sangat kuat terhadap komitmen organisasional. Hipotesis 2 dan 3

Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja berpengaruh negatif langsung terhadap intensi absensi karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS 10 (Tabel 19) persamaan regresi berganda adalah :

Y = - 0.297 X1 - 0.266 X2 + e Persamaan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa, jika kepuasan kerja dan komitmen

meningkat maka intensi absensi akan menurun. Pada tabel 4.18 t hitung (2.672) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat

signifikansi sebesar 0.009. Maka H2 diterima, yakni kepuasan kerja berpengaruh negatif langsung terhadap intensi absensi karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung penelitian Mowday, Porter dan Steers (1982) dalam Moorhead dan

Page 16: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Griffin (1989), kepuasan kerja komitmen organisasional mempengaruhi perilaku pekerja seperti “absenteeism” dan “turnover”.

Kemudian hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah komitmen organisasi kerja berpengaruh negatif langsung terhadap intensi absensi karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Pada tabel 19. t hitung (2.390) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat signifikansi sebesar 0.019. Maka H3 diterima, yakni komitmen organisasi berpengaruh negatif langsung terhadap intensi absensi karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung penelitian Mowday, Porter dan Steers (1982) dalam Moorhead dan Griffin (1989), kepuasan kerja komitmen organisasional mempengaruhi perilaku pekerja seperti “absenteeism” dan “turnover”. Hipotesis 4, 5 dan 6

Hipotesis keempat yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja berpengaruh positif langsung terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS 10 (Tabel 19. ) persamaan regresi berganda adalah :

Y = 435 X1 + 0. 251 X2 - 0.282 X3 + e Persamaan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa, jika kepuasan kerja dan komitmen

meningkat maka kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah akan meningkat. Namun, jika intensi absensi karyawan meningkat maka maka kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah akan menurun.

Pada Tabel 19. t hitung (4.822) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat signifikansi sebesar 0.000. Maka H4 diterima, yakni kepuasan kerja berpengaruh positif langsunng terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung studi Morrison (1997), penelitian ini berjudul “How Franchise Job Satisfaction and Personality Affects Performance, Organizational Commitment, Franchise Relations, and Intention to Remain”. Penelitian terhadap 307 perusahaan waralaba AS di dalam 4 industri menggunakan korelasi dan regresi. Kesimpulannya bahwa kepuasan kerja berpengaruh pada kinerja.

Kemudian hipotesis kelima yang diajukan dalam penelitian ini adalah intensi absensi karyawan berpengaruh negatif langsung terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah.

Pada Tabel 19. t hitung (3.903) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat signifikansi sebesar 0.000. Maka H5 diterima, yakni intensi absensi karyawan berpengaruh negatif langsung terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung penelitian Price (1989) yang melakukan pengujian terhadap parameter absensi dengan “causal model” pada 407 karyawan “full-time”, mengemukaan bahwa pengaruh langsung komitmen organisasional terhadap “absenteeism” signifikan dan intensi absensi berpengaruh negatif terhadap kinerja.

Hipotesis keenam yang diajukan dalam penelitian ini adalah komitmen organisasi berpengaruh positif langsung terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah.

Pada tabel 19. t hitung (3.161) lebih besar dari t tabel (1.9818) dengan tingkat signifikansi sebesar 0.000. Maka H6 diterima, yakni komitmen organisasi berpengaruh positif langsung terhadap kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut mendukung penelitian Price (1989) yang melakukan pengujian terhadap parameter absensi dengan “causal model” pada 407 karyawan “full-time”, mengemukaan bahwa pengaruh langsung komitmen organisasional terhadap kinerja.

Page 17: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Hipotesis 7 dan 8 Hipotesis ketujuh yang diajukan adalah kepuasan kerja berpengaruh langsung

terhadap kinerja, dengan mediasi Komitmen Organisasi. Berdasarkan perhitungan dengan SPSS 10 (Tabel 19.) dapat dijelaskan sebagai berikut:

P1= 0.723 P 4= 0.282

Dengan demikian koefisien path pengaruh tidak langsung kepuasan kerja terhadap

kinerja dengan mediasi komitmen organisasi dapat ditentukan (0.723X 0.282) = 0.2038. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja, dengan mediasi komitmen organisasi. Pengaruh positif dan signifikan artinya peningkatan kepuasan kerja secara tidak langsung akan menaikkan kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah.

Kemudian hipotesis kedelapan yang diajukan adalah kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap kinerja, dengan mediasi intensi absensi karyawan. Berdasarkan perhitungan dengan SPSS 10.00 (Tabel 19) dapat dijelaskan sebagai berikut: P2= -0.297 P 6=- 0.251

Dengan demikian koefisien path pengaruh tidak langsung kepuasan kerja terhadap kinerja dengan mediasi intensi absensi dapat ditentukan (-0.297X - 0.252) = 0.074. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja, dengan mediasi intensi absensi organisasi. Pengaruh negatif dan signifikan artinya peningkatan kepuasan kerja secara tidak langsung akan menaikkan kinerja karyawan di Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan pada pengujian hipotesis, maka masing-masing koefisien dapat digambarkan sebagai berikut :

P1 = 0.723 P3= -0.266 P4 = 0.282

P5 = 0.435 P2 = - 0.297 P6 = -0.251

Kepuasan kerja

Komitmen Organisasi

Kinerja

Kepuasan Kerja (X1)

Intensi Absensi (X3)

Komitmen Organisasi

Kinerja Karyawan

Y

Kepuasan kerja

Intensi Absensi Kinerja

Page 18: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

Implikasi Manajerial 1. Perilaku absensi akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas organisasi dalam mencapai

tujuannya, motivasi kehadiran karyawan ditentukan oleh bagaimana sikap dan nilai pekerja terhadap absensi, seperti halnya kepuasan kerja dan komitmen organisasional. senatiasa dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan, karena kondisi tersebut akan meningkatkan komitmen organisasi dan konsekuensinya dapat menaikkan kinerja. Hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa kemungkinan, yaitu secara langsung kepuasan kerja mempengaruhi kinerja karyawan; maupun secara tidak langsung dengan melalui komitmen organisasi atau melalui intensi absensi.

2. Mengenai hubungan antara kepuasan, komitmen dan kinerja, Davis dan Newstrom (1996:107) menyatakan bahwa prestasi kerja yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan ekonomis, sosiologis dan psikologis yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas dan adil, maka timbul kepuasan yang lebih besar karena pegawai merasa bahwa mereka menerima imbalan yang sesuai dengan prestasinya. Sebaliknya, apabila imbalan dipandang tidak sesuai dengan tingkat prestasinya, cenderung timbul ketidakpuasan. Dalam hal apapun, tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan komitmen lebih besar atau dapat pula menimbulkan komitmen yang lebih kecil yang kemudian mempengaruhi upaya dan akhirnya prestasi

3. Imbalan diberikan secara tepat dan benar, para karyawan akan memperoleh kepuasan kerja dan termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Karyawan yang puas akan lebih berkomitmen dan setia, karena secara psikis mereka lebih merasa diperhatikan oleh organisasi. Disamping itu ada penilaian lain secara kedinasan yaitu terbentuknya loyalitas terhadap pimpinan / organisasi dimana karyawan berlindung, dan tidak hanya sebatas sampai pada tingkat / strata seperti ini, melainkan akan sangat tercipta saling ketergantungan antar komponen: “kepuasan kerja, komitmen organisasi, intensi absensi dan kinerja karyawan” yang menjadi satu kesatuan siklus yang apabila dijalankan fungsi manajerial secara konstan. Mungkin akan tercapai tingkat kesadaran dan kesejahteraan bagi para karyawan khususnya di lingkungan Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah.

SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN Saran 1. Bagi menajemen Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah, senatiasa berupaya agar

dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan, karena kondisi tersebut akan meningkatkan komitmen organisasi dan konsekuensinya dapat menaikkan kinerja karyawan dalam hal melayani kebuthan dinas lembaga legislatif (DPRD Propinsi Jawa Tengah), walaupun secara tegas diformalkan di dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 3 tahun 2001 yang tersirat bahwa pembentukan, kedudukan, tugas pokok dan fungsi serta susunan organisasinya bertanggung jawab kepada Gubernur lewat Sekretaris Daerah, tetapi tugas kedinasan lebih banyak terfokus melayani anggota legislatif. Maka dari itu perlu adanya pola kerja yang saling mendukung agar tercapai kinerja yang baik sesuai harapan dan tujuan organisasi.

2. Perilaku karyawan selalu dinamis, begitu pula dengan tingkat kepuasan kerja. Belum tentu tingkat kepuasan sekarang sama dengan tingkat kepuasan yang akan datang. Oleh karena itu manajemen perlu mengantisipasi dengan selalu menagadakan peningkatan kualitas, serta komit terhadap aturan-aturan yang telah ditentukan bersama antara pihak eksekutif dan pihak legislatif maupun yudikatif (Pemerintah Propinsi Jawa Tengah) yang dalam implikasi berbentuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur maupun keputusan atau bentuk lainnya, selanjutnya sepakat untuk dipatuhi, sehingga eksistensi lembaga terjaga dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan

Page 19: Komitmen Kerja dan Intensi Absensi Sebagai Pemediasi

dalam kedinasan. Keterbatasan Penelitian 1. Obyek penelitian ini hanya terbatas pada lingkungan Sekretariat DPRD Propinsi

Jawa Tengah sehinga tidak dapat digeneralisasikan pada Sekretariat DPRD Propinsi lain.

2. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode kuesioner, oleh karena itu faktor subyektifitas selalu ada. Maka penelitian berikutnya harus didukung dengan metode observasi.

DAFTAR PUSTAKA --------,Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Th. 2004 Tentang Pemerintah Daerah

--------,Undang-Undang Republik Indonesia No.33 Th. 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

--------,Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Th. 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonomi

--------,Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Th. 2001 Tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Susunan Organisasi Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah

Allen , J.J and Meyer, J.P. 1990. The measurement and antecedent of affective continuance, and normative commitment to the organization. Journal of Applied Psychology. 63: 1-18.

Clugston, Michael. 2000. The mediating effect of multidimensional commitment of job satisfaction and intent to leave. Journal of Organizational Behavior. 21:477-486.

Gibson, J.L, Ivancevich, J.M and Donnelly, Jr.J.H. 1995. Organization 8 Edition. By Richard D. Irwin. Inc.

Meyer, J.P. Irving, G. and Allen, N.J. 1998. Examination of combined effect of work values and early work experience on organizational commitment. Journal of Organizational Behavior. 19:29-52.

Rival, H.A. 2001. Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap Intensi Keluar. Tesis Magister Sains UGM. Yogyakarta (tidak dipublikasikan).

Wulani, Fenika. 2001. Analisis Hubungan Politik dan Dukungan Organisasional dengan Sikap Kerja, Kinerja dan Perilaku Citizenship Organizational. Tesis Magister Sains UGM. Yogyakarta (tidak dipublikasikan).

--