kola gen

30
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Penuaan 1. Pengertian Menjadi tua merupakan kodrat yang harus dijalani oleh semua insan di dunia. Namun, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses penuaan dapat diperlambat atau dicegah (Smith, 2001). Menjadi tua atau aging adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur, serta fungsi normalnya. Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Cunnningham, 2003). Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh organ tubuh meliputi organ dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru, ginjal, indung telur, otak, dan lain-lain, juga organ terluar dan terluas tubuh, yaitu kulit (Cunnningham, 2003; Yaar & Gilchrest, 2007). 2. Patogenesis Proses Penuaan Proses penuaan kulit berlangsung secara perlahan-lahan (Leijden, 1990; Yaar & Gilchrest, 2007). Batas waktu yang tepat antara terhentinya pertumbuhan fisik dan dimulainya proses penuaan tidak jelas, tetapi umumnya sekitar usia pertengahan dekade kedua mulai terlihat tanda penuaan kulit (Cunnningham, 2003). Berbagai teori tentang proses penuaan telah dikemukakan, antara lain: a. Teori Replikasi DNA Universitas Sumatera Utara

Upload: wina-laili-m

Post on 25-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Penuaan

1. Pengertian

Menjadi tua merupakan kodrat yang harus dijalani oleh semua

insan di dunia. Namun, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, proses penuaan dapat diperlambat atau dicegah (Smith, 2001).

Menjadi tua atau aging adalah suatu proses menghilangnya

kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki atau

mengganti diri dan mempertahankan struktur, serta fungsi normalnya.

Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau

memperbaiki kerusakan tersebut (Cunnningham, 2003). Proses penuaan

ini akan terjadi pada seluruh organ tubuh meliputi organ dalam tubuh,

seperti jantung, paru-paru, ginjal, indung telur, otak, dan lain-lain, juga

organ terluar dan terluas tubuh, yaitu kulit (Cunnningham, 2003; Yaar &

Gilchrest, 2007).

2. Patogenesis Proses Penuaan

Proses penuaan kulit berlangsung secara perlahan-lahan (Leijden,

1990; Yaar & Gilchrest, 2007). Batas waktu yang tepat antara terhentinya

pertumbuhan fisik dan dimulainya proses penuaan tidak jelas, tetapi

umumnya sekitar usia pertengahan dekade kedua mulai terlihat tanda

penuaan kulit (Cunnningham, 2003). Berbagai teori tentang proses

penuaan telah dikemukakan, antara lain:

a. Teori Replikasi DNA

Universitas Sumatera Utara

13

Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan akibat

akumulasi bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA, sehingga

terjadi kematian sel. Kerusakan DNA akan menyebabkan

pengurangan kemampuan replikasi ribosomal DNA (rDNA) dan

mempengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50% rDNA akan menghilang

dari sel jaringan pada usia kira-kira 70 tahun (Cunnningham, 2003;

Yaar & Gilchrest, 2007).

b. Teori Kelainan Alat

Terjadinya proses penuaan adalah karena kerusakan sel DNA yang

mempengaruhi pembentukan RNA sehingga terbentuk molekul-

molekul RNA yang tidak sempurna. Ini dapat menyebabkan terjadinya

kelainan enzim-enzim intraselular yang mengganggu fungsi sel dan

menyebabkan kerusakan atau kematian sel/organ yang bersangkutan.

Pada jaringan yang tua terdapat peningkatan enzim yang tidak aktif

sebanyak 30% - 70%. Bila jumlah enzim menurun sampai titik

minimum, sel tidak dapat mempertahankan kehidupan dan akan mati

(Cunnningham, 2003).

c. Teori Ikatan Silang

Proses penuaan merupakan akibat dari terjadinya ikatan silang yang

progresif antara protein-protein intraselular dan interselular serabut-

serabut kolagen. Ikatan silang meningkat sejalan dengan

bertambahnya umur. Hal ini mengakibatkan penurunan elastisitas dan

kelenturan kolagen di membran basalis atau di substansi dasar

jaringan penyambung. Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan

fungsi organ (Cunnningham, 2003; Yaar & Gilchrest, 2007).

d. Teori Pace Maker/Endokrin

Universitas Sumatera Utara

14

Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pace

maker, seperti kelenjar timus, hipotalamus, hipofise, dan tiroid yang

menghasilkan hormon-hormon, dan secara berkaitan mengatur

keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia.

Proses penuaan terjadi akibat perubahan keseimbangan sistem

hormonal atau penurunan produksi hormon-hormon tertentu

(Cunnningham, 2003).

e. Teori Radikal Bebas

Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya

sebagai mekanisme proses penuaan. Radikal bebas adalah

sekelompok elemen dalam tubuh yang mempunyai elektron yang tidak

berpasangan sehingga tidak stabil dan reaktif hebat. Sebelum

memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus menghantam

sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya termasuk menyerang

sel-sel tubuh yang normal. Teori ini mengemukakan bahwa

terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl, superoxide, hydrogen

peroxide, dan sebagainya) adalah akibat terjadinya otooksidasi dari

molekul intraselular karena pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan

merusak enzim superoksida-dismutase (SOD) yang berfungsi

mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan menjadi

rusak. Proses penuaan pada kulit yang dipicu oleh sinar UV

(photoaging) merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini

(Cunnningham, 2003; Yaar & Gilchrest, 2007).

3. Proses Penuaan pada Kulit

Universitas Sumatera Utara

15

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang secara langsung

akan memperlihatkan terjadinya proses penuaan pada seseorang.

Perubahan-perubahan yang terlihat pada penuaan kulit seperti kulit

menjadi kering, kasar, kendor, dan keriput disertai garis-garis ekspresi

wajah yang nyata dan sebagainya, akan sangat mempengaruhi

penampilan seseorang dan secara langsung akan memperlihatkan

gambaran bahwa seseorang telah memasuki usia senja (Leijden, 1990)

Penuaan kulit merupakan suatu fenomena yang berkelanjutan dan

multifaktorial yaitu terjadinya pengurangan baik dalam ukuran maupun

jumlah dari sel-sel dan pengurangan kecepatan berbagai fungsi organik

baik pada tingkat seluler ataupun molekuler (Breinneisen, et al., 2002).

Saat mulai terjadinya proses penuaan kulit tidak sama pada setiap

orang. Pada orang tertentu dapat terjadi sesuai dengan usianya, tetapi

pada sebagian orang proses penuaan kulit datang lebih awal (proses

penuaan dini) dan dapat pula terjadi lebih lambat dibandingkan dengan

usianya (Baumann & Saghari, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa proses

penuaan pada setiap individu sangat bergantung pada berbagai faktor

yang mempengaruhi proses penuaan tersebut.

Ada dua proses penuaan kulit, yaitu proses penuaan yang

disebabkan oleh faktor intrinsik (intrinsic aging). Proses ini disebut juga

proses penuaan sejati, yaitu proses penuaan yang berlangsung secara

alamiah yang disebabkan oleh berbagai faktor fisiologik dari dalam tubuh

sendiri, seperti genetik, hormonal, dan ras (Yaar & Gilchrest, 2008;

Baumann & Saghari, 2009). Perubahan kulit terjadi secara menyeluruh

Universitas Sumatera Utara

16

dan perlahan-lahan sejalan dengan bertambahnya usia serta dapat

menyebabkan degenerasi yang ireversibel (Leijden, 1990; Yaar &

Gilchrest, 2008; Baumann & Saghari, 2009).

Proses kedua adalah proses penuaan ekstrinsik (extrinsic aging,

photoaging, premature aging), yaitu proses penuaan yang terjadi akibat

berbagai faktor dari luar tubuh, seperti sinar UV (Wlascheck, et al., 2001;

Baumann & Saghari, 2009), kelembaban udara (Cunnningham, 2003;

Yaar & Gilchrest, 2008), suhu (Leijden, 1990; Baumann & Saghari, 2009),

polusi (Baumann & Saghari, 2009), dan lain-lain. Perubahan kulit yang

terjadi tidak menyeluruh dan tidak sesuai dengan usia sebenarnya. Proses

penuaan dini dapat dihambat atau dicegah dengan menghindari faktor

yang mempercepat proses ini (Cunnningham, 2003; Yaar & Gilchrest,

2007; Baumann & Saghari, 2009).

Kulit sendiri memiliki kemampuan untuk membatasi kerusakan yang

disebabkan oleh pajanan sinar UV misalnya melalui penghamburan

cahaya oleh stratum korneum, penyerapan cahaya oleh melanin dan

perbaikan DNA (DNA repair), dan melalui sistem antioksidan yang

berfungsi mempertahankan keseimbangan antara prooksidan dan

antioksidan (Pillai, et al., 2005; Dong, et al., 2008). Sistem antioksidan kulit

meliputi komponen enzimatik dan nonenzimatik. Komponen enzimatik

berupa SOD, katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase,

sedangkan komponen nonenzimatik berupa flavonoid, vitamin A, vitamin

C, vitamin E, selenium, seng, dan glutation. Antioksidan enzimatik yang

terpenting dalam melindungi sel dari sinar ultraviolet B (UVB) adalah SOD.

Universitas Sumatera Utara

17

Aktivitas SOD akan meningkat guna melawan ROS yang terbentuk akibat

pajanan sinar UV. Sistem yang kompleks ini merupakan mekanisme

pertahanan pertama kulit untuk melawan serangan radikal bebas (Pillai, et

al., 2005; Baumann & Allemann, 2009).

4. Kerusakan Kulit Akibat Sinar UV

Efek fotobiologik sinar ultra violet (UVA dan UVB) menghasilkan

radikal bebas dan menimbulkan kerusakan pada DNA (Baumann &

Allemann, 2009). Faktor radikal bebas merupakan faktor utama yang

mempengaruhi atau mempercepat terjadinya proses penuaan dini.

Radikal bebas menyebabkan kerusakan pada kulit, seperti menurunkan

kinerja zat-zat dalam tubuh, misalnya enzim yang bekerja

mempertahankan fungsi sel (enzim protektif); menimbulkan kerusakan

protein dan asam amino yang merupakan struktur utama kolagen dan

jaringan elastin, kerusakan pembuluh darah kulit; dan mengganggu

distribusi melanin. Kerusakan-kerusakan tersebut menyebabkan kulit

menebal, kaku, dan tidak elastis, keriput, pucat dan kering, serta timbulnya

bercak kehitaman atau kecoklatan. Kerusakan pada berbagai struktur kulit

ini memberikan gambaran klinis yang khas pada kulit di daerah terpajan

matahari terutama di daerah wajah dengan gambaran wajah terlihat lebih

tua dari usianya (Fisher, 2002).

Pajanan sinar UV pada kulit akan diserap oleh kromofor yang

merupakan permulaan reaksi fotokimiawi dan dapat mengakibatkan

penuaan kulit dini dan kanker. Reaksi fotokimiawi ini dapat menyebabkan

perubahan pada DNA yang meliputi oksidasi asam nukleat. Reaksi

Universitas Sumatera Utara

18

oksidasi juga dapat mengubah protein dan lipid yang mengakibatkan

fungsi sel terganggu. Akumulasi keduanya ini mengakibatkan penuaan

jaringan (Dong, et al., 2008). Tubuh sebenarnya sudah dilengkapi untuk

menghadapi stres oksidatif yang secara alami menggunakan enzim dan

nonenzim antioksidan untuk mengurangi efek buruk ini. Namun, sinar UV

serta pembentukan radikal bebas dapat memperberat proses ini, yaitu

dengan membuat kontrol perlindungan secara alami menjadi tidak

adekuat, yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan oksidatif (Finkel,

2000; Baumann & Allemann, 2009).

5. Pembentukan Radikal Bebas pada Kulit

Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dikaburkan karena

keduanya mempunyai sifat yang mirip dalam hal sebagai penerima

elektron (Baumann & Allemann, 2009). Oksidan dalam pengertian kimia

adalah senyawa penerima elektron, yaitu senyawa-senyawa yang dapat

menarik elektron (Fisher, 2002) sedangkan radikal bebas adalah atom

atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbit

luarnya (Baumann & Allemann, 2009). Molekul radikal bebas ini dapat

menarik elektron dari molekul normal lain sehingga menimbulkan radikal

bebas baru yang pada akhirnya menimbulkan efek domino (self-

perpetuating process). Bahan radikal bebas dalam tubuh paling banyak

berasal dari oksigen disebut sebagai ROS, yang dapat timbul dalam

pembentukan energi dalam tubuh atau pada waktu netrofil

menghancurkan benda asing dalam tubuh. Sebaliknya radikal bebas dari

luar dapat berasal dari polusi asap rokok, atau sinar matahari (sinar UVA

Universitas Sumatera Utara

19

dan UVB) ( Pillai, et al., 2005). Satu triliun molekul oksigen melalui sel

dalam tubuh setiap hari, dapat menimbulkan 100.000 free radical wounds

pada DNA. Kerusakan DNA mempunyai potensi menimbulkan mutasi

genetik yang menjurus ke arah onkogenesis. Sampai dengan umur 50

tahun sekitar 30% dari protein seluler dalam tubuh kita mengalami

kerusakan oleh radikal bebas (Fisher, 2002).

Adanya molekul oksigen (O2) dalam kulit yang terdapat pada

bagian bawah epidermis merupakan target utama gelombang sinar UV

yang masuk ke dalam kulit (Jenkins, 2000; Bickers & Athar, 2006).

Molekul oksigen bersifat unik karena elektron yang terdapat pada lapisan

luar tidak lengkap berada dalam orbit elektron sehingga mempunyai

kecenderungan untuk menarik elektron dalam melengkapi pasangan

elektronnya. Konsekuensinya adalah bahwa masuknya sinar UV dapat

berperan sebagai donatur sebuah elektron kepada molekul oksigen di

epidermis. Produksi radikal bebas yang berasal dari interaksi sinar UV

dengan molekul oksigen di dalam sel kulit adalah anion superoksida,

hidrogen peroksida, hidroksi radikal, dan oksigen singlet (Schwarz, et al.,

2001).

Salah satu kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah

hilangnya fungsi kontrol membran sel (Fisher, 2002; Pillai, et al., 2005).

Walaupun demikian, sel kulit masih mempunyai enzim antioksidan, seperti

superoksida dismutase yang dapat menghilangkan dan menetralisir anion

superoksid. Vitamin E yang ada dalam sel kulit juga dapat mencegah

terbentuknya beberapa radikal bebas dari anion superoksid. Namun,

Universitas Sumatera Utara

20

ketika sel-sel kulit terpajan sinar UV yang kuat dan lama, mekanisme

pertahanan antioksidan yang normal dalam sel tidak mampu menghambat

perkembangbiakan radikal bebas. Akibatnya, kerusakan yang berat akibat

radikal bebas pada sel kulit tak dapat dielakkan. Semua ini akan

mempercepat proses penuaan dini dan meningkatkan risiko terjadinya

kanker kulit (Breinneisen, et al., 2002).

6. Mekanisme Molekuler dari Photoaging

Pajanan oleh lingkungan oksidatif terutama sinar UV dapat

mengakibatkan kerusakan kulit. Pajanan dengan sinar UV selama

10-20 menit dapat menyebabkan kadar hidrogen peroksida pada kulit

lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan kadar semula. Selanjutnya,

hidrogen peroksida secara cepat dapat memicu pembentukan ROS yang

lain (Rittie & Fisher, 2002).

Reactive Oxygen Species (ROS) berperan penting pada

metabolisme kolagen, tidak saja langsung menghancurkan kolagen

interstisial, tetapi juga menginduksi sekelompok enzim yang bertanggung

jawab dalam degradasi kolagen, sehingga mengakibatkan kerusakan

integritas kulit (Fisher, 2002).

Paparan sinar matahari, terutama sinar UVB, terbukti dapat

menghambat proliferasi fibroblas, menghambat sintesis kolagen, merusak

kolagen menjadi patahan-patahan serabut kolagen akibat meningkatnya

aktifitas MMP. Patahan serabut kolagen tersebut terbukti dapat

menghambat sintesis kolagen lebih lanjut. Menurunnya aktivitas fibroblas

dan kerusakan pada serabut kolagen tersebut dianggap mendasari

Universitas Sumatera Utara

21

timbulnya penuaan dini pada kulit yang terpapar sinar matahari (Brennan,

et al., 2003; Choi, et al., 2007).

Berbeda dengan kulit tua yang terlindungi dari sinar matahari yang

memperlihatkan hiposelularitas, kulit yang rusak karena sinar sering

menunjukkan suatu peningkatan jumlah fibroblas hiperplastik bersama-

sama dengan meningkatnya sel-sel radang termasuk sel mas, histiosit,

dan sel-sel mononuklear lainnya, yang diistilahkan dengan

“heliodermatitis” (inflamasi kulit karena sinar matahari). Penelitian secara

imunohistologi menunjukkan adanya peningkatan sel-sel T CD4+ pada

dermis (Yaar & Gilchrest, 2008).

Radiasi UV, melalui pembentukan ROS, menghambat fosfatase

yang berfungsi untuk mempertahankan reseptor-reseptor pada keadaan

tidak aktifnya; mengaktifkan reseptor permukaan sel (fosforilasi)

termasuk reseptor epidermal growth factor, interleukin-1 (IL-1) dan tumor

necrosing factor- (TNF-); menginduksi sinyal intraselular yang

mengakibatkan pengaktifan kompleks AP-1 nuklear transkripsi yang terdiri

dari protein c-jun dan c-fos (Karin, et al., 1997; Young, 2008). Di kulit

manusia yang utuh, dosis sub eritemogenik yang tetap dari sinar UVB (0.1

dosis minimal eritema) secara transkripsi dapat meningkatkan pengaturan

dan pengaktifan AP-1. Peningkatan aktivitas AP-1 dapat menghalangi

sintesis kolagen dermal utama I dan III dengan cara menghambat efek

dari TGF-, yaitu suatu sitokin yang meningkatkan transkripsi gen-gen

kolagen. Aktivator protein-1 juga menurunkan kadar reseptor TGF-,

menghambat transkripsi kolagen, dan juga menimbulkan efek antagonis

Universitas Sumatera Utara

22

retinoid intrinsik di kulit. Mekanisme ini mengarah kepada suatu defisiensi

fungsi retinoid dan penurunan sintesis kolagen yang secara normal

dipromosikan oleh ikatan asam retinoid terhadap reseptor nuklearnya

(Griffith, 1993., Griffith, 1999). Sebagai tambahan, sinar UV yang

menginduksi sintesis dan sekresi dari cysteine-rich growth regulatory

factor (CYR61) mampu mengurangi sintesis prokolagen tipe I,

meningkatkan kadar MMP-1, menurunkan kadar reseptor TGF-, dan

menginduksi pengaktifan AP-1. Oleh sebab itu, pada kulit yang mengalami

kerusakan karena radiasi UV terdapat suatu penurunan yang menyeluruh

pada sintesis kolagen. Bertambahnya aktivitas AP-1 juga dapat

meningkatkan kadar dan aktivitas beberapa enzim yang mendegradasi

komponen matriks ekstraselular, khususnya MMP-1 (kolagenase), MMP-3

(stromelisin-1), dan MMP-9 (92-kd gelatinase) (Fischer, et al., 1997;

Fischer, et al., 1998; Yaar & Gilchrest, 2007).

Pada manusia telah dibuktikan bahwa MMP terutama kolagenase

dan gelatinase diinduksi dalam beberapa jam setelah paparan sinar UVB

(Brennan, et al., 2003). Jalur ini dapat dihambat dengan antioksidan

(Baumann, 2006).

Ada beberapa tanaman yang telah diteliti sebagai antipenuaan

kulit, seperti tanaman teh yang diproduksi menjadi teh hijau dengan

kandungan senyawa polyphenolic (epigallocathechin-3 gallate/EPGCC)

dan mempunyai efek antioksidan dan antikarsinogenik (Fuller, 2010),

kacang kedelai melalui kandungan genistein yang memiliki efek estrogen

dan antioksidan yang dapat menghambat penuaan kulit (Chen, et al.,

1996; Trattner, 2002), biji anggur (prosianidin) (Mantena & Katiyar, 2006),

Universitas Sumatera Utara

23

tomat (likopen) (Fazekas, et al., 2003), dan berbagai spesies berberis

yang mengandung antioksidan berberin (Kim & Chung, 2007), dan lain-

lain.

Sinar ultra violet juga mengaktifkan nuclear factor kappa B

(NF - B), yaitu faktor transkripsi yang mempengaruhi ekspresi berbagai

protein dan memperburuk degradasi matriks kulit dengan cara

meningkatkan kadar MMP-1 dan MMP-9. Penurunan matriks selanjutnya

diperburuk dengan MMP-8 (kolagenase) dari sumber neutrofil yang masuk

ke dalam kulit yang terpapar sinar UV setelah infiltrasi neutrofil. Walaupun

demikian, terdapat juga suatu up regulation yang bersamaan dari tissue

inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) membatasi degradasi matriks.

TIMPs diduga tidak efektif mengatasi hal tersebut (Yaar & Gilchrest,

2008).

C = O UV C = O C = O C = O C = O C = O

MMP-8 NF-B NF-B AP-1 ROS IL-1/6 VEG-F TNF- TGF Procollagen receptors I & III MMPs C = O C = O ROS

Gambar 1. Mekanisme Molekuler Photoaging (Yaar & Gilchrest, 2008)

Universitas Sumatera Utara

24

Peningkatan degradasi kolagen dan penurunan sintesis kolagen

adalah hal yang utama pada photoaging (Baumann & Saghari, 2009). Setiap

paparan sinar UV menginduksi respon jejas dengan penyembuhan yang

tidak sempurna, dan meninggalkan invisible solar scar. Paparan sinar UV

yang repetitif sepanjang hidup dapat mendorong perkembangan visible solar

scar yang bermanifestasi sebagai kerutan (wrinkle) (Jenkins, 2000; Rittie &

Fisher, 2002; Baumann & Saghari, 2009).

7. Matriks Metalloproteinase

Remodeling matriks ekstraseluler adalah suatu proses kerjasama

multitahap yang melibatkan degradasi terlokalisasi dari komponen-

komponen matriks yang ada, yang diikuti dengan penyusunan ulang

sitoskeletal, translokasi sel, dan deposisi komponen-komponen matriks

ekstraseluler baru. Walaupun tiap-tiap tahap ini dikontrol oleh berbagai

variasi mekanisme molekuler, tahap awal bergantung pada keberadaan

proteinase yang dapat memicu degradasi makromolekul matriks. Enzim ini

terdiri atas famili gen matriks metalloproteinase (MMP) (Uitto, 2008).

Matriks metalloproteinase (MMP) adalah suatu zinc-dependent

endopeptidase yang berkaitan dengan turn over matriks ekstraseluler,

penyembuhan luka, angiogenesis, dan kanker. Sejumlah MMP mampu

menimbulkan degradasi kolagen tipe I, antara lain MMP-1, MMP-8,

MMP13, MMP-14, MMP-15, dan MMP-16. Namun, pada kulit hanya

MMP-1 yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh pajanan sinar

UV dan yang paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen

akibat paparan sinar matahari (Uitto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

25

Kolagenase interstisial (MMP-1) adalah enzim pertama yang

ditemukan dari famili MMP dan didefinisikan menurut kemampuannya

dalam menguraikan kolagen triple-helix yang resistan terhadap sebagian

besar protease. Kolagenase kulit manusia pada awalnya diisolasi dalam

bentuk aktif dari medium kultur explant kulit dan selanjutnya sebagai

proenzim dari kultur fibroblas selapis. Banyak tipe sel lainnya, termasuk

keratinosit, sel sinovial, dan monosit-makrofag, yang mengekspresikan

sebagai enzim yang identik. Kolagenase interstisial, seperti halnya MMP

lainnya, mengandung zink intrinsik di tempat aktif dan membutuhkan

kalsium untuk aktivitas dan termostabilisasinya. Kolagenase ini memicu

kejadian proteolitik yang menyebabkan degradasi kolagen dan pergantian

matriks ekstraseluler secara keseluruhan (Brennan, 2003).

MMP-1 akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia,

sebagai akibat fragmentasi serat kolagen dan disorganisasi susunan serat

kolagen pada dermis (Seltzer & Eisen, 2008; Fisher, et al., 2009). Proses

photoaging yang melibatkan MMP-1 dapat dilihat pada gambar berikut:

UV

Keratinosit

– AP-1 AP–1 MMPs MMPs

Procollagen MMP MMP Promoters Promoters MMPs Promoters

NUCLEUS NUCLEUS DERMAL MATRIX BREAKDOWN

IMPERFECT REPAIR PHOTOAGING

Growth Factor Cytokine Receptors

Signal Transduction Cascade

Growth Factor Cytokine Receptors

Signal Transduction Cascade

Gambar 2. Proses Photoaging yang melibatkan MMP-1 (Fisher, et al., 2002)

Fibroblas

Universitas Sumatera Utara

26

Matriks metalloproteinase dapat dengan segera timbul hanya dengan

dosis minimal sinar UV, yaitu di bawah dosis yang dibutuhkan untuk

menimbulkan eritema. Ada suatu hubungan dosis dan respon yang

ditimbulkan antara paparan UV dan induksi MMP. Paparan terhadap sinar UV

yang tidak cukup untuk menimbulkan sunburn dapat memfasilitasi terjadinya

degradasi kolagen dan pada akhirnya dapat menimbulkan photoaging.

Paparan minimal yang berulang dengan dosis yang setara dengan 5-15

menit paparan matahari pada tengah hari cukup untuk meningkatkan

tingkat MMP (Berneburg, et al., 2000; Rabe, et al., 2006).

8. Kolagen

Peranan fisiologis dari serat-serat kolagen di dalam kulit adalah

untuk memberikan sifat regang dan elastis dari kulit. Serat-serat kolagen

dapat membentuk matriks ekstraselular yang terdiri atas 90 persen berat

dermis. Massa kolagen di dalam dermis diendapkan sebagai gumpalan-

gumpalan besar serat yang terorientasi secara teratur dari komponen

fibril-fibril yang tersusun secara paralel, yang dapat menghasilkan bentuk

lurik-lurik melintang dan dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Lurik-

lurik melintang yang paling menonjol tampak sebagai rangkaian jaringan

dengan jarak antara jaringan 70nm (Uitto, et al, 2008).

Prototipe dari kolagen adalah kolagen tipe I, yaitu kolagen yang

paling banyak di dalam dermis dan pada sebagian besar jaringan ikat

lainnya. Molekul kolagen tipe I mempunyai massa molekul sekitar 290kd

dan terdiri atas tiga rantai polipeptida, yang masing-masing sekitar 94kd.

Ketiga polipeptida ini dikenal sebagai rantai yang bergulung mengelilingi

Universitas Sumatera Utara

27

satu dengan lainnya seperti untaian tali, sehingga monomer kolagen

mempunyai struktur triple helix. Konformasi ini memberikan bentuk yang

kaku seperti balok terhadap molekul dengan ukuran sekitar 1,5 x 300nm

(Uitto, et al., 2008).

Selama tahap awal ekspresi gen, keseluruhan gen ditranskripsikan ke

dalam prekursor mRNA dengan berat molekul tinggi, dan ini merupakan

salinan pelengkap dari untaian penyandian DNA helikal ganda. Prekursor

mRNA mengalami modifikasi pascatranskripsi, seperti caping dan

polyadenylasi, dan intron yang dihilangkan dengan penyambungan. Ini

dilakukan untuk menghasilkan rangkaian pengkodean linier yang tidak

terputus dengan 5’ dan 3’ daerah pengapit yang tidak ditranslasikan.

Kemudian, mRNA yang sudah matur dipindahkan ke dalam sitoplasma dan

ditranslasikan di dalam sel-sel, seperti fibroblas dermal, menjadi polipeptida

yang bersesuaian (Millyharju & Kivirikko, 2004).

Dalam kondisi fisiologis molekul kolagen pembentuk-fibril terangkai

secara spontan menjadi serat yang tidak dapat larut. Temuan ini

menimbulkan masalah karena sulit untuk melihat bagaimana molekul

kolagen bisa disintesis di dalam sel dan kemudian disekresikan ke dalam

ruang ekstraselular tanpa rangkaian molekul prematur dalam serat yang

tidak dapat larut. Solusi untuk masalah ini telah ditemukan dengan

pembuktian bahwa kolagen pada awalnya disintesis sebagai prekursor

molekul yang besar, yaitu prokolagen yang larut dalam kondisi yang

fisiologis (Uitto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

28

Setelah sekresi ke dalam ruang ekstraseluler, molekul-molekul

prokolagen dikonversi (diubah) menjadi kolagen dengan proteolisis

terbatas, untuk yang menghilangkan peptida ekstensi pada molekul.

Konversi prokolagen tipe I menjadi kolagen dikatalisasi oleh dua enzim

spesifik, yaitu prokolagen N-proteinase dan prokolagen C-proteinase.

Masing-masing secara terpisah menghilangkan ekstensi terminal-amino

dan ekstensi terminal-karboksil (Uitto, 2008).

Akumulasi kolagen dalam jaringan bisa dikontrol pada beberapa

tingkatan biosintesis dan degradasi. Beberapa pengamatan menunjukkan

bahwa mekanisme kontrol yang penting bertindak pada tingkat

pembentukan mRNA melalui regulasi aktivitas transkripsi ekspresi gen.

Regulasi transkripsi atas ekspresi gen kolagen melibatkan elemen cis-

acting dan faktor trans-acting. Elemen cis-acting adalah rangkaian

nukleotida di daerah promotor gen yang berfungsi sebagai tempat

pengikatan untuk protein seluler trans-acting, yang dapat membuat

regulasi naik atau regulasi turun sebagai aktivitas promotor transkripsi.

Beberapa faktor trans-acting adalah reseptor nukleus, seperti reseptor

asam retinoat (RAR dan RXR) yang berbentuk kompleks dengan ligand

(retinoid) dan kemudian mengikat diri pada elemen responsif asam

retinoat (RARE) pada gen target. Retinoid, seperti asam retinoat all trans,

memodulasi ekspresi gen kolagen tipe I, baik secara in vitro maupun

secara in vivo (Fisher, et al., 1999; Varani, et al., 2000).

Salah satu modulator paling kuat atas ekspresi gen jaringan ikat

adalah faktor pertumbuhan transformasi- (TGF-), yaitu suatu anggota

Universitas Sumatera Utara

29

dari famili faktor-faktor pertumbuhan yang meregulasi naiknya ekspresi

beberapa gen protein matriks ekstraseluler termasuk yang menyandikan

kolagen tipe I, III, IV, V, VI dan VII (Choi, 2009).

Penelitiaan pada tikus berbulu jarang (hairless mice) menunjukan

bahwa sinar UVB energi rendah (50-300mJ/cm2) berulang-ulang dapat

memacu sintesis serabut elastin di sekitar folikel rambut dan kelenjar

sebasea (Starcher, et al., 1999), dapat menyebabkan keriput yang

menetap pada kulit tikus meskipun penyinaran telah dihentikan

(Kambayashi, et al., 2001) dan dapat menurunkan sintesis kolagen baru

pada keriput yang timbul (Takema, et al., 1996).

Temuan tersebut di atas lebih diperkuat dengan eksperimen pada

kulit organotipik pada biakan organ pengganti dermis dan biakan organ

pengganti kulit, yang menunjukan bahwa pajanan UVB dapat merusak

fibroblas dan keratinosit, serta merusak susunan serabut kolagen (Paquet,

et al., 1996). Hal serupa dijumpai pada pengamatan klinis yang

menunjukan bahwa timbunan kolagen pada kulit punggung pergelangan

tangan yang terpajan sinar matahari dapat menurun drastis jika

dibandingkan dengan kulit bokong yang tertutup pakaian pada individu

yang sama (Yamauchi, et al, 1991). Hal serupa ditemukan oleh Chung,

et al., (2001) yang mengamati ekspresi mRNA prokolagen tipe I pada kulit

bokong dan kulit lengan bawah yang terpajan sinar matahari, baik pada

orang berusia lanjut maupun pada penderita berusia muda.

Universitas Sumatera Utara

30

B. Brokoli

1. Taksonomi

Klasifikasi tanaman brokoli menurut USDA, 2008 adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Brassicales

Suku : Cruciferae / Brassicaceae

Genus : Brassica

Species : Brassica oleracea L. var. italica Plenck.

2. Sejarah Perkembangan Brokoli

Brokoli dan kubis bunga diduga berasal dari Eropa. Pertama kali

ditemukan di Cyprus, Italia Selatan, dan Mediterania. Beberapa spesies

kubis bunga telah tumbuh di Mediterania selama lebih dari 2000 tahun.

Selama beberapa ratus tahun terakhir banyak terjadi perbaikan warna

ataupun ukuran bunga terutama di Denmark (Rukmana, 1994).

Pada tahun 1866 Mc. Mahon seorang ahli benih dari Amerika

mencatat bahwa jenis-jenis kubis bunga sangat beragam; ada yang

massa bunganya berwarna ungu, putih, hijau, dan merah kehitam-

hitaman. Sejak saat itulah berkembang adanya kubis bunga putih, hijau

dan ungu, yang kemudian menyebar luas ke seluruh dunia, terutama

negara-negara yang telah dikenal daerah pertaniannya (Rukmana, 1994).

Universitas Sumatera Utara

31

Jenis tumbuhan ini luas dibudidayakan di seluruh dunia sehingga

mencakup berbagai bentuk budidaya. Pembagian secara taksonomik

biasanya berdasarkan kelompok budidaya bukan berdasarkan aspek

botani. Berikut adalah tujuh kelompok dalam Brassica oleracea :

- Brassica oleracea kelompok Acephala – kale dan borekale

- Brassica oleracea kelompok Alboglabra – kailan

- Brassica oleracea kelompok Botrytis – kubis bunga

- Brassica oleracea kelompok Capitata – kubis atau kol

- Brassica oleracea kelompok Gemmifera – kubis tunas

- Brassica oleracea kelompok Gongylodes – kolrabi

- Brassica oleracea kelompok Italica – brokoli

Masuknya kubis bunga ke Indonesia tidak terdapat keterangan

yang pasti, diduga terjadi pada abad XIX dan varietasnya berasal dari

India. Pemasaran brokoli dan kubis bunga tidak hanya dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan di dalam negeri, tetapi telah meluas ke pasaran luar

negeri misalnya Jepang, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Bahkan kubis

bunga dan brokoli bersama-sama dengan bawang merah, tomat, kentang,

cabai, dan kubis krop telah menduduki jajaran kelompok enam besar

sayuran segar yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke beberapa

negara (Rukmana, 1994).

3. Nama Asing (Rocha, 1995)

Broccoli (Inggris); Yang Hua Ye Chai (China); Asparkapsa

(Estonia); Parsakaali (Finlandia); Chou broccoli (Perancis); Brokkoli

(Jerman); Cavolo broccoli (Italia); Burokkori (Jepang); Bròcolos (Portugis);

Universitas Sumatera Utara

32

Bròculos (Brazil); Brokkoli; Kapústa sparzhevaia (Rusia); Bròcoli, Bròculi,

Brécol (Spanyol); Brokul (Polandia); Brokolica (Slovenia); Brokolice

(Cekoslovakia)

4. Daerah Tumbuh

Brokoli (Brassica oleracea L. var italica Plenck) merupakan

tanaman sayuran subtropik yang banyak dibudidayakan di Eropa dan

Asia. Tanaman brokoli termasuk cool season crop sehingga cocok

ditanam pada daerah pegunungan (dataran tinggi) yang beriklim sejuk. Di

Indonesia, tanaman brokoli sebagai sayuran dibudidayakan secara luas

pada daerah tinggi seperti Karo (Sumatera Utara), Bukit Tinggi (Sumatera

Barat), Lembang, Cisarua, Pangalengan (Jawa Barat), Sumber Brantas

(Jawa Timur), dan daerah dataran rendah seperti Sleman dan Kulonprogo

(Daerah Istimewa Yogyakarta). Di Indonesia sayuran brokoli telah dikenal

sejak abad ke-15, yaitu mulai penjajahan Belanda, sehingga lebih dikenal

sebagai sayuran Eropa (Muslim, 2009).

Pada mulanya bunga brokoli dikenal sebagai sayuran daerah

beriklim dingin (subtropis) sehingga di Indonesia cocok ditanam di dataran

tinggi antara 1,000 – 2,000 meter dari atas permukaan laut yang suhu

udaranya dingin dan lembab. Kisaran temperatur optimum untuk

pertumbuhan produksi sayuran ini adalah antara 15,5 – 18OC dan

maksimum 24OC. Setelah beberapa negara di kawasan Asia berhasil

menciptakan varietas-varietas unggul baru yang toleran terhadap

temperatur tinggi (panas), brokoli dapat ditanam di dataran menengah

sampai tinggi (Rukmana, 1994).

Universitas Sumatera Utara

33

5. Morfologi Tanaman

Secara morfologi brokoli (kubis bunga hijau) memang mirip

dengan kubis bunga putih. Brokoli memiliki tangkai daun agak panjang

dan helai daun berlekuk-lekuk panjang. Tanaman ini berbentuk sejenis

kepala bunga yang terdiri atas kuntum-kuntum bunga berwarna hijau

dengan tangkai bunga yang berdaging. Massa kepala bunga yang utama

tersusun secara kompak dan membentuk bulatan berwarna hijau tua atau

hijau kebiru-biruan, serta dapat mencapai diameter 15cm atau lebih. Pada

ketiak daun timbul juga kepala bunga yang lebih kecil. Kepala bunga

samping akan cepat keluar bila kepala bunga utama telah dipanen

(USDA, 2008).

Pada kondisi lingkungan yang sesuai, massa bunga brokoli dapat

tumbuh memanjang menjadi tangkai bunga yang penuh dengan kuntum

bunga. Tiap bunga terdiri atas 4 helai kelopak daun (calyx), 4 helai daun

mahkota bunga (corolla), 6 tangkai sari yang komposisinya 4 memanjang

dan 2 pendek. Bakal buah terdiri dari atas dua ruang, dan setiap ruang

berisi bakal biji (Rukmana, 1994).

Biji brokoli memiliki bentuk dan warna yang hampir sama, yaitu

bulat kecil berwarna coklat sampai kehitaman. Biji tersebut dihasilkan oleh

penyerbukan sendiri ataupun silang dengan bantuan sendiri atau

serangga. Buah terbentuk seperti polong-polongan, tetapi ukurannya kecil,

ramping, dan panjangnya sekitar 3-5cm (Rukmana, 1994).

Sistem perakaran relatif dangkal, yaitu dapat menembus

kedalaman 60-70cm. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5mm, tetapi

Universitas Sumatera Utara

34

setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran menyebar ke samping pada

kedalaman antara 20-30cm (Rukmana, 1994).

Masa tumbuh bunga brokoli lebih lama dari kubis bunga. Bunga

brokoli akan terasa lebih lunak setelah direbus dibandingkan dengan kubis

bunga (Dalimartha, 1999).

Panen bunga brokoli dilakukan setelah umurnya mencapai 60-90

hari sejak ditanam, yaitu sebelum bunganya mekar dan sewaktu kropnya

masih berwarna hijau. Jika bunganya mekar, tangkai bunga akan

memanjang dan keluarlah kuntum-kuntum bunga berwarna kuning

(Dalimartha, 1999).

Gambar 3. Tumbuhan Brokoli

6. Kandungan Kimia

Tanaman brokoli memiliki berbagai kandungan kimia seperti

protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, zat besi, vitamin A, C, E,

tiamin, riboflavin, nikotinamid, kalsium, betakaroten, selenium dan

glutation. Selain itu, juga mengandung sianohidroksibutena, sulforafan,

kaempferol, kuersetin, dan iberin, yang dapat merangsang pembentukan

glutation (Ipteknet, 2005; Maestri, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

35

7. Khasiat dan Kegunaan

Penelitian terhadap khasiat brokoli telah dilakukan antara lain

sebagai antikanker dengan cara melalui mekanisme peningkatan produksi

enzim fase II detoksifikasi pada kanker hati (Fahey & Talalay, 1999),

kanker payudara (Cornblatt, et al., 2007), kanker kolon (Fahey, et al.,

1997), kanker kandung kemih (Munday, et al., 2008), kanker prostat

(Singh, et al., 2005) dan lain sebagainya. Juga mampu mengeliminasi

infeksi Helicobacter pylori yang merupakan penyebab utama ulkus dan

kanker lambung (Fahey, et al., 1997).

Khasiat pada kulit telah diteliti bahwa kandungan sulforafan dari

brokoli secara penggunaan topikal mampu memperbaiki kerusakan akibat

sinar UV dengan cara mencegah efek eritema yang diinduksi oleh sinar

UV, baik secara in vitro maupun in vivo (Talalay, 2007). Shibata, et, al.,

(2010) pada studi in vitro menggunakan kultur keratinosit manusia

(HaCaT) membuktikan bahwa sulforafan mampu mereduksi ekspresi gen

inflamatorik IL-6, IL-1 dan siklooksigenase (COX-2) yang diinduksi oleh

pajanan sinar UVB. Selain itu, pemberian sulforafan oral pada tikus

percobaan menunjukkan adanya kemampuan menekan ekspresi protein

COX-2. Kesemua hal ini menunjukkan efek sulforafan sebagai

antiinflamasi.

Khasiat lain yang telah diteliti adalah sulforafan topikal yang

memiliki efek antimutagenik pada pengobatan epidermolisis bullosa

simpleks (Kerns, et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

36

C. Keberadaan Obat Herbal di Indonesia

Herbal tradisional baru bisa dikatakan sebagai obat jika telah diteliti

melalui proses yang panjang dan lama sehingga bisa dipastikan unsur/zat

aktifnya, diketahui efek farmakologisnya, bisa dipastikan dosisnya,

diketahui efek sampingnya, dan dipastikan proses pembuatannya. Untuk

memudahkan pengawasan dan perizinan, Badan Pengawas Obat dan

Makanan mengelompokkan tanaman obat dalam kelompok jamu, herbal

terstandar, dan fitofarmaka. Masing-masing memilik syarat tersendiri.

Yang disebut jamu adalah ramuan yang dibuat dari bahan-bahan alam,

digunakan secara turun temurun, dipercaya berkhasiat berdasarkan

pengalaman, dan belum ada penelitian ilmiah untuk mendapatkan bukti

klinik mengenai khasiat tersebut. Bahan-bahan jamu umumnya berasal

dari semua bagian, bukan hasil ekstrasi/isolasi mengenai bahan aktifnya

saja. Bahkan kemungkinan bahan aktif belum diketahui secara pasti

karena belum ada penelitian (Departemen Kesehatan RI, 2004).

Setingkat di atas jamu adalah herbal terstandar, yaitu bahan-bahan

jamu yang telah diuji secara ilmiah (penelitian praklinik dengan hewan uji)

yang meliputi uji khasiat dan manfaat. Jamu harus memenuhi kriteria

aman. Adanya khasiat dibuktikan secara ilmiah, telah dilakukan

standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan dalam produk jadi,

dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Hingga saat ini sudah ada

tujuh belas herbal terstandar di Indonesia (Badan POM, 2004).

Universitas Sumatera Utara

37

Kategori tertinggi adalah fitofarmaka dengan persyaratan aman,

klaim khasiat yang berdasarkan uji klinik (diterapkan pada manusia), telah

dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan, dan

memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sebuah jamu akan melalui uji-

uji berikut ini sebelum sukses diakui sebagai bagian dari fitofarmaka : uji

toksisitas, uji eksperimental pada hewan serta uji klinik fitofarmaka pada

manusia yang sehat dan pada pasien dengan penyakit tertentu. Jamu

pada kategori fitofarmaka sudah bisa disejajarkan dengan obat modern

(Badan POM, 2004).

Serangkaian uji itu dimulai dengan uji praklinis. Dari uji praklinis

diperoleh informasi penting tentang efikasi farmakologi, profil

farmakokinetik, dan tingkat toksisitas bahan. Uji praklinis adalah pengujian

obat pada reseptor kultur sel terisolasi atau organ yang terisiolasi. Setelah

itu diuji pada hewan utuh seperti mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster,

anjing atau beberapa primata lain. Hanya dengan menggunakan hewan

utuh dapat diketahui efek toksik obat pada berbagai dosis pengobatan.

Selain itu, toksisitas merupakan cara untuk mengevaluasi kerusakan

genetik (genotoksisitas, mutagenesitas), pertumbuhan tumor

(onkogenesitas dan karsinogenesitas), dan kejadian cacat waktu lahir

(Departemen Kesehatan RI, 2004).

Selain uji pada hewan, juga dikembangkan uji in vitro untuk

menentukan khasiat obat. Contohnya, uji aktivitas enzim, uji antikanker

menggunakan cell line, uji antimikroba pada perbenihan mikroba, uji

antioksidan, dan uji antiinflmasi (Departemen Kesehatan RI, 2004).

Jika sudah dinyatakan memilki manfaat dan aman pada hewan

percobaan, bahan obat diuji ke manusia. Uji itulah yang disebut uji klinis.

Universitas Sumatera Utara

38

Uji itu harus mengikuti deklarasi Helsinki yang terdiri atas empat fase.

Fase pertama, calon uji adalah sukarelawan sehat untuk mendapatkan

hasil yang sama dengan hewan percobaan. Fase kedua, calon obat diuji

pada pasien tertentu dan diamati efikasinya pada penyakit yang ingin

diobati. Fase ketiga, pengujian efikasi dan keamanan obat baru

dibandingkan dengan obat pembanding yang selama ini digunakan untuk

mengobati penyakit itu.

Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat dan menunjukkan

keamanan saat dipakai, obat itu diizinkan untuk diproduksi sebagai legal

drug. Obat tersebut dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat

diresepkan oleh dokter (Badan POM, 2004)

Fase terakhir atau fase keempat, setelah obat dipasarkan masih

dilakukan studi pascapemasaran yang diamati pada pasien dalam

berbagai kondisi, usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka panjang

dan dalam jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman

jangka panjang dalam menggunakan obat. Dari hasil evaluasi itu masih

memungkinkan suatu obat ditarik dari peredaran jika terbukti

membahayakan (Badan POM, 2004).

Tanaman unggulan nasional yang telah diuji klinis adalah salam,

sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabai

jawa dan mengkudu. Hingga saat ini Indonesia baru memiliki enam

produk fitofarmaka (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

39

D. Kerangka Teori Sinar UV

Fibroblas

ROS

intraseluler

NF–KB Signal Transduction Cascade

IL-1, IL-6 c – Jun c-Fos VEGF, TNF AP-1 TGF- receptor

Ekstrak Ekstrak bunga brokoli mRNA MMPs mRNA prokolagen bunga brokoli [glikosida (sulforafan), (MMP-1, MMP-3, MMP-9) (tipe I dan tipe III) [glikosida (sulforafan), indola, -karoten, flavonoid, indola, -karoten, glutation, vitamin A, C, E flavonoid, glutation, dan selenium] vitamin A, C, E dan selenium] ekstraseluler

protein MMP protein prokolagen degradasi kolagen sintesis kolagen

Imperfect repair

Invisible solar scar Paparan UV berulang

Visible solar scar = wrinkle of photoaging

(Rittie & Fisher, 2002; Rabe, et al., 2006, Yaar & Gilchrest, 2008)

Diagram 1. Bagan Kerangka Teori

Growth factor dan Cytokine receptors

Universitas Sumatera Utara

40

E. Hipotesis

1. Hipotesis Mayor

Ekstrak bunga brokoli mempunyai efek penghambat penuaan kulit

dini (photoaging) secara in vitro

2. Hipotesis Minor

a. Ekstrak bunga brokoli dapat menurunkan ekspresi mRNA MMP-1

pada kultur sel fibroblas kulit manusia.

b. Ekstrak bunga brokoli dapat menurunkan ekspresi protein MMP-1

pada kultur sel fibroblas kulit manusia.

c. Ekstrak bunga brokoli dapat meningkatkan ekspresi mRNA

prokolagen tipe I pada kultur sel fibroblas kulit manusia.

d. Ekstrak bunga brokoli dapat meningkatkan ekspresi protein

prokolagen tipe I pada kultur sel fibroblas kulit manusia.

e. Ada hubungan konsentrasi ekstrak bunga brokoli dengan ekspresi

mRNA MMP-1. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak bunga brokoli,

semakin rendah ekspresi mRNA MMP-1.

f. Ada hubungan konsentrasi ekstrak bunga brokoli dengan ekspresi

protein MMP-1. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak bunga brokoli,

semakin rendah ekspresi protein MMP-1.

g. Ada hubungan konsentrasi ekstrak bunga brokoli dengan ekspresi

mRNA prokolagen tipe I. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak

bunga brokoli, semakin tinggi ekspresi mRNA prokolagen tipe 1.

h. Ada hubungan konsentrasi ekstrak bunga brokoli dengan ekspresi

protein prokolagen tipe I. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak

bunga brokoli, semakin tinggi ekspresi protein prokolagen tipe 1.

Universitas Sumatera Utara

41

i. Ada hubungan ekspresi mRNA MMP-1 dengan ekspresi protein

MMP-1. Semakin tinggi ekspresi mRNA MMP-1, semakin tinggi

ekspresi protein MMP-1.

j. Ada hubungan ekspresi mRNA prokolagen tipe I dengan ekspresi

protein prokolagen tipe I. Semakin tinggi mRNA prokolagen tipe 1,

semakin tinggi ekspresi protein prokolagen tipe 1.

k. Ekstrak bunga brokoli tidak menimbulkan efek sitotoksik.

F. Kerangka Konseptual

Diagram 2. Bagan Kerangka Konseptual

Sinar ultraviolet B

↑ekspresi mRNA prokolagen tipe I

↓ ekspresi mRNA MMP-1

Sel fibroblas kulit manusia

Ekstrak bunga brokoli [Glikosida (sulforafan), indola, β-karoten,

flavonoid, glutation, vitamin A, C, E dan selenium]

↓ ekspresi protein MMP-1

↑ekspresi protein prokolagen tipe I

Universitas Sumatera Utara