kitab undang-undang hukum acara pidana (kuhap) · bab i. pendahuluan a. tujuan umum setelah...

80
BUKU INFORMASI Modul 04 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Upload: others

Post on 25-Sep-2019

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BUKU INFORMASI

Modul 04

KITAB UNDANG-UNDANGHUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Tujuan Umum 1

B. Tujuan Khusus 1

BAB II. MENJELASKAN SEJARAH DAN

PEMBENTUKAN HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA 2

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Sejarah dan Pembentukan Hukum Acara Pidana di

Indonesia 2

1. KodifikasiPeraturanHukumAcaraPidana 2

2. Istilah dan Pengertian Hukum Acara Pidana 2

3. Tujuan Hukum Acara Pidana 3

4. Asas Hukum Acara Pidana 4

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Sejarah dan Pembentukan Hukum Acara Pidana di

Indonesia 7

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Sejarah dan Pembentukan Hukum Acara Pidana

di Indonesia 7

BAB III. MENGIDENTIFIKASI PENGATURAN

HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA 8

A.PengetahuanyangDiperlukandalamMengidentifikasi

Pengaturan Hukum Acara Pidana di Indonesia 8

1. Sumber Permulaan Penindakan dalam Hukum

Acara Pidana 12

2. Pihak Terkait dalam Hukum Acara Pidana 33

3. Proses Hukum Acara Pidana 33

DAFTAR ISI

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam

MengidentifikasiPengaturanHukumAcara

Pidana di Indonesia 33

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam

MengidentifikasiPengaturanHukumAcara

Pidana di Indonesia 33

BAB IV. MENJELASKAN ACARA PEMERIKSAAN

PIDANA 35

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Acara Pemeriksaan Pidana 35

1. Acara Pemeriksaan Perkara 35

2. Tata Tertib Persidangan 39

3. Tahapan Pemeriksaan di Persidangan 39

4. Pelaksanaan Putusan Pengadilan 49

5. Upaya Hukum 50

6. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian 51

7. Koneksitas 52

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Acara Pemeriksaan Pidana 58

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Acara Pemeriksaan Pidana 58

BAB V. MENJELASKAN PRAPERADILAN DAN

PERKEMBANGANNYA TERHADAP

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA 59

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Praperadilan dan Perkembangannya terhadap

Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 59

DAFTAR ISI

1. Konsep Praperadilan 59

1.1 Pengertian Praperadilan 59

1.2. Tujuan Praperadilan 59

1.3. Wewenang Praperadilan 60

1.4. Subjek Praperadilan 60

1.5. Objek Praperadilan 62

2. Perbedaan Praperadilan 63

2.1. Perbedaan Praperadilan dengan Kasasi 63

2.2. Perbedaan Proses Praperadilan dengan Peradilan

Normatif 63

3. Pengaturan dan Pelaksanaan Praperadilan 65

3.1 Kaitan Hakim Komisaris pada Praperadilan 65

3.2. Upaya Hukum Praperadilan 65

3.3. Peraturan Lain Terkait Praperadilan 66

3.5. Kasus Praperadilan 68

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Praperadilan dan Perkembangannya terhadap

Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 70

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Praperadilan dan Perkembangannya terhadap

Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 71

DAFTAR REFERENSI 72

TENTANG PENULIS 75

DAFTAR ALAT DAN BAHAN 76

BAB I. PENDAHULUAN

A. TUJUAN UMUM

Setelah mempelajari modul ini peserta pelatihan diharapkan mampu menjelaskan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

B. TUJUAN KHUSUS

Adapun tujuan mempelajari unit kompetensi melalui Buku Informasi Menjelaskan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini guna memfasilitasi peserta sehingga pada akhir pelatihan diharapkan

memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan sejarah dan pembentukan hukum acara pidana di Indonesia.

2. MengidentifikasipengaturanhukumacarapidanadiIndonesia.

3. Menjelaskan acara pemeriksaan pidana.

4. Menjelaskan praperadilan dan perkembangannya terhadap penanganan tindak pidana korupsi di

Indonesia.

1 Buku Informasi - Modul KUHAP

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Sejarah dan Pembentu-

kan Hukum Acara Pidana di Indone-

sia

1. Kodifikasi Peraturan Hukum Acara

Pidana

Pada tanggal 1 Agustus 1848 berdasar-

kan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desem-

ber 1847 Staatblaad No. 57 maka di Indonesia

(Hindia Belanda) berlaku Inlands Reglements

atau di singkat IR. Andi Sofyan (2012) menyata-

kan bahwa pada masa itu di Indonesia dikenal

pulabeberapakodifikasiperaturanhukumacara

pidana, seperti:

• Reglement op de Rechtterlijke Organisatie

(Stbl. 1848 No. 57); berisi ketetapan tentang

organisasi dan susunan peradilan (justitie) di

Hindia Belanda.

• Reglement op de burgerlijke Rechtvorder-

ing (Stbl. 1849 No. 63); berisi hukum acara

perdata untuk penduduk Hindia Belanda

dengan golongan Eropa serta golongan lain

yang disetarakan dengan golongan Eropa

tersebut.

• Reglement op de Strafvordering (Stbl. 1849

No. 63); berisi hukum acara pidana untuk

penduduk Hindia Belanda dengan golongan

Eropa serta golongan lain yang disetarakan

dengan golongan Eropa tersebut.

• Landgerechtsreglement (Stbl. 1914 No. 317);

berisi hukum acara di depan pengadilan

Landgerecht; Pengadilan Landgerecht ber-

wenang memutus perkara-perkara kecil

untuk semua bangsa di Hindia Belanda.

• Inlandsch Reglement, atau disingkat IR. (Stbl.

1848 No. 16); berisi hukum acara per-

data dan hukum acara pidana dalam pen-

gadilan Landraad; IR hanya berlaku untuk

golongan penduduk Hindia Belanda serta

Timur Asing, dan secara lokasi hanya ber-

laku di Jawa dan Madura. Ketetapan ini di-

dasarkan pada Pengumuman Gubernur

Jenderal tertanggal 3 Desember 1847 (Stbld

Nomor 57).

Seiring waktu, “Inlandsch Reglement”

diperbaiki menjadi “Het Herzien Inlandsch Regle-

ment” (HIR) pada tahun 1941 melalui persetujuan

Volksraad. Isi dari HIR adalah organisasi-ulang

terhadap proses penuntutan, serta perbaikan

17 (tujuh belas) peraturan undang-undang ten-

tang pemeriksaan pendahuluan. Adanya HIR me-

ngakibatkan munculnya lembaga baru yang tidak

di bawah pamongpraja, yaitu Lembaga Penuntut

Umum (Openbare Ministrie), dengan kedudukan

langsung di bawah Officier van Justitie den Pro-

cureur General.

Secara umum, tidak ada perubahan

mendasar di era pendudukan Kekaisaran Jepang

di Hindia Belanda, kecuali hilangnya Raad van

Justitie - pengadilan khusus golongan Eropa

(Andi Sofyan, 2012). Karena itu, hukum acara

pidana juga tidak berubah. HIR, Reglement voor

BAB II. MENJELASKAN SEJARAH DAN PEMBENTUKAN HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA

Buku Informasi - Modul KUHAP 2

de Buitengewesten dan Landgerechtreglment ber-

laku untuk pengadilan negeri, pengadilan tinggi

dan pengadilan agung (Andi Hamzah, 2008).

Menurut Andi Hamzah (2008), pasca-

kemerdekaan 17 Agustus 1945 sejumlah pera-

turan dari masa kolonial dicabut dan dihapus.

Juga dilakukan penyatuan hukum acara guna

kesatuan penyelenggaraan susunan, kekuasaan,

dan acara semua pengadilan negeri dan pengadi-

lan tinggi. Sesuai Pasal 6 Undang-Undang Daru-

rat Nomor 1 Tahun 1951, ditetapkan bahwa hu-

kum acara pidana sipil terhadap penuntut umum

di semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi

masih berpedoman pada HIR. Undang-Undang

No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ke-

tentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditetap-

kan pada tahun 1965. Undang-Undang No. 19

Tahun 1964 memberikan keleluasaan besar bagi

pre-siden untuk ikut campur dalam urusan per-

adilan, sehingga menyulitkan penegakan hukum

dan keadilan dalan lingkup kekuasaan sebuah ne-

gara merdeka. Maka pada tahun 1970, Undang-

Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibuat,

menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun

1964. Dikarenakan Pasal 12 Undang-Undang No.

14 Tahun 1970 menyatakan bahwa hukum acara

pidana akan diatur dalam sebuah undang-undang

tersendiri maka tanggal 31 Desember 1981 di-

terbitkan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

2. Istilah dan Pengertian Hukum Acara

Pidana

Apa yang dimaksud dengan hukum

acara pidana? Mengenai hal ini Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak

memberikan definisi tentang hukum acara pi-

dana. KUHAP hanyamemberikan definisi-defi-

nisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti

penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,

putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan,

penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan

lain-lain.

Maka dari itu, pengertian hukum acara

pidana hingga saat ini bertumpu pada pengertian

dari para ahli hukum, yang memberikan penger-

tian hukum acara pidana sebagai suatu rangkaian

peraturan yang memuat cara bagaimana badan

pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna

mencapai tujuan negara dengan mengadakan

hukum pidana (Wirjono P, 1977). Moeljatno

(1979) juga yang memberikan batasan ten-

tang pengertian hukum formal (hukum acara),

sebagai hukum yang mengatur tata cara pelak-

sanaan hukum materiil (hukum pidana). Se-

mentara hukum acara pidana (hukum pidana

formal) adalah hukum yang mengatur tata cara

melaksanakan/mempertahankan hukum pidana

materiil.

Kemudian menurut R. Soesilo (1982),

pengertian hukum acara pidana (hukum pidana

formal) adalah kumpulan peraturan-peraturan

hukum yang memuat ketentuan-ketentuan

mengatur soal-soal sebagai berikut:

a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-

tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana, cara

bagaimana mencari kebenaran-ke-

benaran tentang tindak pidana apakah

yang telah dilakukan.

b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak

pidana yang dilakukan, siapa dan cara

bagaimana harus mencari, menyelidik dan

menyidik orang-orang yang disangka ber-

salah terhadap tindak pidana itu, cara me-

nangkap, menahan dan memeriksa orang

itu.

3 Buku Informasi - Modul KUHAP

c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-

barang bukti, memeriksa, menggeledah

badan dan tempat-tempat lain, serta me-

nyita barang-barang itu, untuk membukti-

kan kesalahan tersangka.

d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam si-

dang pengadilan terhadap terdakwa oleh

hakim sampai dapat dijatuhkan pidana,

dan

e. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana

putusan penjatuhan pidana itu harus

dilaksanakan dan sebagainya, atau de-

ngan singkat dapat dikatakan: yang me-

ngatur tentang cara bagaimana memper-

tahankan atau menyelenggarakan hukum

pidana materiil, sehingga memperoleh

keputusan hakim dan cara bagaimana isi

keputusan itu harus dilaksanakan.

3. Tujuan Hukum Acara Pidana

Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP

tahun 1982, tujuan hukum acara pidana adalah:

a. Untuk mencari dan mendapatkan atau

setidak-tidaknya mendekati kebenaran ma-

teriil ialah kebenaran yang selengkap-leng-

kapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana

secara jujur dan tepat.

b. Untuk mencari siapa pelakunya yang dapat

didakwakan melakukan pelanggaran hukum

dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan

putusan dari pengadilan guna menentukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan menentukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah

dilakukan dan apakah orang yang didakwa

itu dapat dipersalahkan.

c. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan

segala upaya hukum telah dilakukan dan

akhirnya putusan telah mempunyai kekua-

tan hukum tetap maka hukum acara pidana

mengatur pula pokok acara pelaksanaan

dan pengawasan dari putusan tersebut.

Selain Pedoman Pelaksanaan KUHAP

tahun 1982 di atas yang merumuskan tujuan KU-

HAP, landasan atau garis-garis tujuan yang hen-

dak dicapai KUHAP termaktub dalam konsid-

erans huruf c KUHAP, yaitu supaya masyarakat

menghayati hak dan kewajibannya, dan untuk

meningkatkan pembinaan sikap para pelak-

sana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan

wewenang masing-masing menuju tegaknya

hukum, keadilan dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia, ketertiban serta

kepastian hukum demi terselenggaranya negara

hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945.

Penjelasan landasan tujuan KUHAP

dengan didasarkan konsiderans huruf c KU-

HAP dikemukakan oleh Yahya Harahap (1993),

sebagai berikut:

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat,

artinya menjadikan setiap anggota

masyarakat mengetahui apa hak yang diberi-

kan hukum dan undang-undang kepadanya

serta apa pula kewajiban yang dibebankan

hukum kepada dirinya.

2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak

hukum, yaitu:

a. meningkatkan pembinaan ketertiban

aparat penegak hukum sesuai dengan

fungsi dan wewenang masing-masing.

b. peningkatan kecerdasan & keteram-

pilan teknis para aparat penegak hu-

kum.

c. pejabat penegak hukum yang bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ber-

moral perikemanusiaan yang adil dan

beradab.

Buku Informasi - Modul KUHAP 4

3. Tegaknya hukum dan keadilan di tengah-

tengah kehidupan masyarakat bangsa, yaitu:

a. menegakkan hukum yang berlandas-

kan sumber Pancasila, Undang-Undang

Dasar 1945, dan segala hukum dan

perundang-undangan yang tidak ber-

tentangan dengan sumber hukum dan

nilai-nilai kesadaran yang hidup dalam

masyarakat.

b. menegakkan nilai-nilai yang terkandung

dalam falsafah Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 serta segala nilai-

nilai yang terdapat pada hukum dan

perundang-undangan yang lain, yang

nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa

keadilan masyarakat.

c. agar tidak bergeser dari KUHAP yang

telah ditentukan sebagai pedoman tata

cara pelaksanaan dan asas-asas prinsip

hukumnya.

4. Melindungi harkat dan martabat manu-

sia, artinya manusia sebagai hamba Tuhan

dan sebagai makhluk yang sama derajatnya

de-ngan manusia lain, harus ditempatkan

pada keluruhan harkat dan martabatnya.

5. Menegakkan ketertiban dan kepastian

hukum, maksudnya arti dan tujuan ke-

hidupan masyarakat ialah mencari dan

mewujudkan ketenteraman atau ketertiban

yaitu kehidupan bersama antara sesama ang-

gota masyarakat yang dituntut dan dibina

dalam ikatan yang teratur dan layak, seh-

ingga lalu lintas tata pergaulan masyarakat

yang bersangkutan berjalan dengan tertib

dan lancar.

Menurut R. Soesilo (1982), rumusan

tujuan hukum acara pidana adalah, “Pada haki-

katnya memang mencari kebenaran. Para Pene-

gak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada

hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili

perkara senantiasa harus berdasar kebenaran,

harus berdasarkan hal-hal yang sungguh-sung-

guh terjadi (hlm. 19).” Dikemukakan juga bahwa,

“Dalam mencari kebenaran ini, hukum acara

pidana menggunakan bermacam-macam ilmu

pengetahuan seperti kriminalistik, daktiloskop,

ilmudokterkehakiman,fotografidanlainseba-

gainya, agar jangan sampai terdapat kekeliruan-

kekeliruan dalam memidana orang.”

Sedangkan menurut Andi Hamzah

(1983), tujuan hukum acara pidana adalah,

“Mencari dan menemukan kebenaran materiil

itu hanya merupakan tujuan antara, artinya ada

tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh

tertib hukum Indonesia, dalam hal ini, mencapai

suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai,

adil dan sejahtera (tata tenteram kerta raharja)

(Hlm.19).”

4. Asas Hukum Acara Pidana

Asas-asas hukum acara pidana seba-

gaimana termuat dalam KUHAP, adalah sebagai

berikut:

1. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Ber-

dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal

2 ayat (1), UU No. 48 Tahun 2009).

2. Asas persamaan di depan hukum (equality

before the law), dimana setiap orang diper-

lakukan sama dengan tidak memperbedakan

tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit,

kaya, miskin, dan lain-lainnya di muka hukum,

atau pengadilan mengadili menurut hukum

dengan tidak membeda-bedakan orang

(Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

3. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di

depan pengadilan selain daripada yang diten-

tukan oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1)

UU No. 48 Tahun 2009).

4. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana,

5 Buku Informasi - Modul KUHAP

kecuali apabila pengadilan, karena alat pem-

buktian yang sah menurut undang-undang,

mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan

atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 48

Tahun 2009).

5. Asas perintah tertulis dari yang berwenang:

segala tindakan mengenai penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan

hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah

tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh

undang-undang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun

2009).

6. Asas praduga tak bersalah (presumption of

innocence): setiap orang yang ditangkap, di-

tahan dan dituntut dan/atau dihadapkan

di depan pengadilan, wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

7. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi

atas salah tangkap, salah tahan dan salah

tuntut, mengadili tanpa alasan berdasarkan

undang-undang atau kekeliruan mengenai

orangnya (error in persona) atau hukum yang

diterapkannya berhak menuntut ganti keru-

gian dan rehabilitasi (Pasal 9 ayat (1) UU No.

48 Tahun 2009).

8. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana,

cepat, dan biaya ringan atau lazim disebut

contante justitie (Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4

ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).

9. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-

luasnya, artinya bahwa setiap orang wajib

diberikan kesempatan untuk memperoleh

bantuan hukum pada tiap tingkatan pemerik-

saan guna kepentingan pembelaan (Pasal 56

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

10. Asas wajib diberitahu dakwaan dan

dasar hukum dakwaan, serta hak-haknya

ter-masuk hak menghubungi dan meminta

bantuan penasihat hukum.

11. Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan

memeriksa, mengadili, dan memutus perka-

ra pidana dengan hadirnya terdakwa (Pasal

12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

12. Asas pemeriksaan terbuka untuk umum,

artinya pengadilan dalam pemeriksaan

perkara terbuka untuk umum. Jadi, setiap

orang diperbolehkan hadir dan mendegar-

kan pemeriksaan di persidangan (Pasal 13

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

13. Asas pembacaan putusan, yaitu semua

putusan pengadilan hanya sah dan mem-

punyai kekuataan hukum apabila diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13

ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).

14. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan

lisan, artinya langsung kepada terdakwa dan

tidak secara tertulis antara hakim dan ter-

dakwa (Pasal 154 KUHAP dan seterusnya).

15. Asas putusan harus disertai alasan-alasan,

artinya segala putusan pengadilan selain

harus memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat pula pasal tertentu dan

peraturan perundang-undangan yang ber-

sangkutan atau sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal

50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

16. Asas tidak seorang pun dapat dijatuhi pi-

dana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-un-

dang, mendapat keyakinan bahwa seseorang

yang dianggap dapat bertanggung jawab,

telah bersalah atas perbuatan yang didakwa-

kan atas dirinya (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48

Tahun 2009).

17. Asas pengadilan wajib memeriksa, men-

Buku Informasi - Modul KUHAP 6

gadili, dan memutus perkara, artinya penga-

dilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

ada atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) UU

No. 48 Tahun 2009).

18. Asas pengawasan pelaksanaan putusan,

artinya dalam menjalankan putusan pidana,

Ketua Pengadilan Negeri wajib mengawasi

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap Pasal 55 ayat (1)

UU No. 48 Tahun 2009)

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Sejarah dan Pembentu-

kan Hukum Acara Pidana di Indone-

sia

1. Menjelaskan kodifikasi peraturan hukum

acara pidana dari masa Hindia Belanda

hingga era kemerdekaan Indonesia.

2. Menjelaskan istilah dan pengertian hukum

acara pidana.

3. Menjelaskan tujuan hukum acara pidana.

4. Menjelaskan asas hukum acara pidana.

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Sejarah dan Pembentu-

kan Hukum Acara Pidana di Indone-

sia

1. Bertindak cermat dan teliti serta berpikir

analitis dalammenjelaskan kodifikasi pera-

turan hukum acara pidana dari masa Hindia

Belanda hingga era kemerdekaan Indonesia.

2. Bertindak cermat dan teliti dalam menje-

laskan istilah, pengertian, dan tujuan hukum

acara pidana.

3. Bertindak cermat dan teliti serta berpikir

analitis dalam menjelaskan asas hukum

acara pidana.

7 Buku Informasi - Modul KUHAP

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

MengidentifikasiPengaturanHukum

Acara Pidana di Indonesia

1. Sumber Permulaan Penindakan

dalam Hukum Acara Pidana

Proses penindakan dalam hukum acara

pidana dimulai dengan adanya suatu keadaan,

yaitu adanya laporan, aduan, atau tertangkap

tangan. Laporan dan aduan merupakan upaya

dari masyarakat dalam rangka memberitahukan

pihak yang berwenang untuk mengatasi suatu

permasalahan hukum (pidana). Hal ini menjelas-

kan bahwa upaya pemidanaan dan penanganan

perkara tidak dapat dilakukan sewenang-wenang

tanpa adanya suatu sebab akibat.

1.1. Laporan

Pengertian laporan berdasarkan Pasal

1 butir 24 KUHAP adalah pemberitahuan yang

disampaikan oleh seorang karena hak atau ke-

wajiban berdasarkan undang-undang kepada

pejabat yang berwenang tentang telah atau

sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa

pidana. Laporan tersebut dapat berbentuk lisan

maupun tertulis yang harus dilaporkan atau di-

sampaikan kepada polisi selaku penyelidik/pe-

nyidik tunggal untuk tindak pidana umum. Dalam

hal terjadi suatu tindak pidana maka KUHAP

telah menentukan pihak-pihak yang berhak me-

lapor, yaitu sebagai berikut:

1. Setiap orang yang mengalami, melihat, me-

nyaksikan dan/atau menjadi korban peris-

tiwa yang merupakan tindak pidana berhak

mengajukan laporan kepada penyelidik dan/

atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

2. Setiap orang yang mengetahui permufaka-

tan jahat untuk melakukan tindak pidana,

terhadap ketenteraman umum dan keaman

umum atau terhadap hak milik wajib seke-

tika itu juga melaporkan hal tersebut kepada

penyelidik atau penyidik.

3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melak-

sanakan tugasnya yang mengetahui tentang

terjadinya peristiwa pidana yang merupakan

tindak pidana wajib segera melaporkan hal

itu kepeda penyelidik atau penyidik.

Untuk melaporkan suatu tindak pidana

maka cara atau bentuk pelaporan seseorang da-

pat dilakukan sebagai berikut:

1) Menurut Pasal 103 ayat (1), (2) dan (3)

jo. Pasal 108 ayat (3), (4) dan (5) KUHAP,

bahwa:

a. Laporan yang diajukan secara tertulis

harus ditandatangani oleh pelapor.

b. Laporan yang diajukan secara lisan

harus dicatat oleh penyelidik dan ditan-

datangani oleh pelapor dan penyelidik.

c. Dalam hal pelapor tidak dapat menu-

lis, hal itu harus disebutkan sebagai

catatan dalam laporan tersebut.

d. Setelah menerima laporan, penyelidik

atau penyidik harus memberikan tanda

BAB III. MENGIDENTIFIKASI PENGATURAN HUKUM ACARA PIDANA

DI INDONESIA

Buku Informasi - Modul KUHAP 8

penerimaan laporan kepada yang ber-

sangkutan.

2) Hal yang dilaporkan secara lisan oleh pe-

lapor harus dicatat oleh penyidik, dan sete-

lah selesai dicatat oleh penyi-dik, kemudian

dibacakan kembali oleh penyidik atau ke-

pada si pelapor diminta untuk membacanya,

dan setelah si pelapor menyetujui dan tidak

ada hal-hal yang perlu diperbaiki/keberatan

maka segera ditandatangani laporan itu oleh

si pelapor dan penyelidik (Pasal 108 ayat (4)

KUHAP).

3) Apabila si pelapor tidak dapat menulis, maka

laporan si pelapor dicatat oleh pe-nyidik ke-

mudian dibacakan kembali, dan hal itu harus

disebutkan sebagai catatan dalam laporan

tersebut (Pasal 103 ayat (3) KUHAP), dan

proses selanjutnya sebagaimana dimaksud

pada Pasal 103 ayat (2) KUHAP jo. Pasal

108 ayat (6) KUHAP.

4) Dengan laporan secara tertulis (Pasal 103

ayat (1) jo Pasal 108 ayat (1) dan (4) KU-

HAP).

5) Untuk itu penyidik wajib memberikan surat

tanda tarima penerimaan la poran ke-

pada pelapor (Pasal 103 ayat (2) KUHAP jo.

Pasal 108 ayat (6) KUHAP).

Untuk menindaklanjuti setiap laporan

tentang suatu tindak pidana maka prosesnya

dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Penyelidik menerima laporan tentang

terjadinya suatu peristiwa yang patut di-

duga merupakan tindak pidana wajib segera

melakukan tindakan penyelidikan yang

diperlukan (Pasal 102 ayat (1) KUHAP).

2. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut

pada ayat (1) penyelidik wajib membuat

berita acara dan melaporkannya kepada

penyidik sedaerah hukum (Pasal 102 ayat

(3) KUHAP).

3. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima

laporan tersebut segera datang ke tempat

kejadian dapat melarang setiap orang untuk

meninggalkan tempat itu selama pemerik-

saan di situ belum selesai (Pasal 111 ayat (3)

KUHAP).

Pelanggar larangan tersebut dapat di-

paksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan

dimaksud di atas selesai (Pasal 111 ayat (4) KU-

HAP).

1.2. Pengaduan

Pengertian pengaduan menurut Pasal 1

butir 25 KUHAP adalah pemberitahuan disertai

permintaan oleh pihak yang berkepentingan ke-

pada pejabat yang berwenang untuk menindak

menurut hukum seorang yang telah melakukan

tindak pidana aduan yang merugikannya. Dalam

hal pengaduan barulah dapat dilakukan tindakan

atau proses, apabila terdapat pengaduan (per-

mintaan) dari orang yang mengalami, melihat,

menyaksikan dan atau korban peristiwa yang

merupakan tindak pidana.

Tindak pidana di sini bukanlah semua

jenis tindak pidana yang tertera dalam KUHP,

melainkan tindak pidana aduan/delik aduan

(klacht delicten). Menurut Lamintang (1990),

yang dimaksud dengan delik aduan adalah delik

yang hanya dapat dituntut karena adanya pe-

ngaduan dari pihak yang dirugikan. Delik aduan

menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi:

• Delik aduan absolut (Absolute Klachdelict),

adalah tindak pidana yang tidak dapat ditun-

tut, apabila tidak ada pengaduan dari pihak

korban atau yang dirugikan atau dipermalu-

kan dengan terjadinya tindak pidana terse-

but, sebab di dalam tindak pidana aduan

absolut yang dituntut bukan hukumnya teta-

9 Buku Informasi - Modul KUHAP

pi adalah peristiwanya, sehingga permintaan

dalam penuntutan dalam pengaduan harus

berbunyi “saya minta agar peristiwa ini ditun-

tut” (Soesilo, 1982, hal 7). Delik aduan abso-

lut, misalnya delik yang diatur dalam Pasal

284, 310, 332 KUHP.

• Delik aduan relatif, pada prinsipnya bukanlah

merupakan delik aduan, melainkan terma-

suk laporan (delik biasa). Akan tetapi dapat

menjadi delik aduan apabila dilakukan dalam

lingkungan keluarga sendiri. Jadi, penuntu-

tan dilakukan bukan peristiwanya atau ke-

jahatannya tetapi hanya kepada orang-orang

yang telah melakukan tindak pidana itu (Soe-

silo, 1982). Delik aduan relatif misalnya delik

yang diatur dalam Pasal 367 KUHP tentang

pencurian dalam keluarga.

Adapun pihak-pihak yang berhak me-

ngajukan pengaduan tentang peristiwa pidana

sebagai suatu tindak pidana atau delik, sebagai

berikut:

1. Menurut Pasal 72 KUHP, yaitu:

a. Selama orang yang terkena kejahatan

yang hanya boleh dituntut atas pe-

ngaduan, dan orang itu umurnya belum

cukup enam belas tahun dan lagi belum

dewasa, atau selama ia berada di bawah

pengampuan yang disebabkan oleh hal

lain daripada keborosan, maka wakilnya

yang sah dalam perkara perdata yang

berhak mengadu.

b. Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri

yang harus diadukan, maka penuntutan

dilakukan atas pengaduan wali penga-

was atau pengampu pengawas, atau ma-

jelis yang menjadi wali pengawas atau

pengampu pengawas; juga mungkin atas

pengaduan istrinya atau seorang kelu-

arga sedarah dalam garis lurus, atau jika

itu tidak ada, atas pengaduan seorang

keluarga sedarah dalam garis menyim-

pang sampai derajat ketiga.

2. Menurut Pasal 73 KUHP, yaitu jika yang ter-

kena kejahatan meninggal di dalam tenggang

waktu yang ditentukan dalam pasal berikut

maka tanpa memperpanjang tenggang itu,

penuntutan dilakukan atas pengaduan orang

tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya)

yang masih hidup kecuali kalau ternyata

bahwa yang meninggal tidak menghendaki

penuntutan.

3. Menurut Pasal 284 ayat (2) KUHP, bahwa

tidak dilakukan penuntutan melainkan atas

pengaduan suami/istri yang tercemar, dan

bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW,

dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti de-

ngan permintaan bercerai atau pisah-meja

dan ranjang karena alasan itu juga.

Dalam hal seseorang yang mengadukan

suatu peristiwa sebagai tindak pidana, menurut

Pasal 103 ayat (1), (2) dan (3) jo. Pasal 108 ayat

(3), (4) dan (5) KUHAP, bahwa:

a. Pengaduan yang diajukan secara tertulis

harus ditandatangani oleh pengadu.

b. Pengaduan yang diajukan secara lisan harus

dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani

oleh pengadu dan penyelidik.

c. Dalam hal pengadu tidak dapat menulis, hal

itu harus disebutkan sebagai catatan dalam

pengaduan tersebut.

d. Setelah menerima pengaduan, penyelidik

atau penyidik harus memberikan tanda

penerimaan pengaduan kepada yang

bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa perbedaan

antara laporan dan pengaduan adalah sebagai

berikut:

Buku Informasi - Modul KUHAP 10

1.3. Tertangkap Tangan

Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP, bahwa yang dimaksud tertangkap tangan yaitu tertangkapnya

seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak

pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,

atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melaku-

kan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu

melakukan tindak pidana itu. Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir (1983) bahwa tertangkap tangan sama

de-ngan “heterdaad”, yaitu kedapatan tengah berbuat, tertangkap basah; pada waktu kejahatan tengah dilaku-

kan atau tidak lama sesudah itu diketahui orang.

1. Tertangkapnya seseorang, artinya ada orang yang tertangkap.

2. Pada waktu sedang melakukan tindak pidana, artinya orang itu tertangkap sewaktu sedang melakukan

tindak pidana; atau

3. Segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, artinya si pelaku tertangkap beberapa saat

kemudian setelah melakukan tindak pidana itu; atau

4. Sesaat kemudian diserukannya/diteriakkan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak

pidana, artinya si pelaku ketika sedang melakukan perbuatan tindak pidana terlihat oleh khlayak ramai,

lalu diserukan sebagai pelakunya dan ketika ia melarikan diri ditangkap oleh orang ramai tersebut; atau

5. Sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak

pidana dan/atau barang bukti hasil kejahatannya.

Dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidanaPerbuatan

Diajukan oleh

Syarat penuntutan

Waktu

Hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat

Setiap orang Orang-orang yang berhak mengajukannya

Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana

Laporan tidak ada batas waktu untuk dapat melaporkan

Pengaduan di dalam hal-hal kejahatan ter-tentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan

Pengaduan mempunyai batas waktu untuk dapat dilaporkan

PENGADUAN LAPORAN PENGADUAN

Berdasarkan Pasal 1 butir 19 KUHAP di atas, maka unsur-unsur tertangkap tangan, yaitu:

11 Buku Informasi - Modul KUHAP

Proses pemeriksaan terhadap sese-

orang yang tertangkap tangan sebagaimana di-

atur dalam KUHAP, adalah sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 102 ayat (2) dan (3)KUHAP,

bahwa:

a. Dalam hal tertangkap tangan tanpa me-

nunggu perintah penyidik, penyelidik

wajib segera melakukan tindakan yang

diperlukan dalam rangka penyelidikan

sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat

(1) huruf b KUHAP.

b. Terhadap tindakan yang dilakukan

tersebut di atas, penyelidik wajib mem-

buat berita acara dan melaporkannya

kepada penyidik sedaerah hukum.

2. Menurut Pasal 111 KUHAP, bahwa:

a. Dalam hal tertangkap tangan setiap

orang berhak, sedangkan setiap orang

yang mempunyai wewenang dalam tu-

gas ketertiban, ketenteraman dan ke-

amanan umum wajib, menangkap ter-

sangka guna diserahkan berserta atau

tanpa barang bukti kepada penyelidik

atau penyidik.

b. Setelah menerima penyerahan ter-

sangka sebagaimana dimaksud di atas,

penyelidik atau penyidik wajib segera

melakukan pemeriksaan dan tindakan

lain dalam rangka penyidikan.

2. Pihak Terkait dalam Hukum Acara

Pidana

2.1. Penyelidik

Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP jo

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Ta-

hun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, bahwa

yang dimaksud dengan penyelidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk me-

lakukan penyelidikan, sedangkan menurut Pasal

4 KUHAP penyelidik adalah setiap pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia.

Penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5

KUHAP jo Pasal 1 angka 9 UU No. 2 Tahun 2002

adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menu-

rut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam rangka penyelidikan, penyelidik

mempunyai wewenang sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 5 KUHAP, yaitu:

a. Karena kewajibannya mempunyai we-

wenang:

1. menerima laporan atau pengaduan dari

seorang tentang adanya tindak pidana.

2. mencari keterangan dan barang bukti.

3. menyuruh berhenti seorang yang di-

curigai dan menanyakan serta me-

meriksa tanda pengenal diri.

4. mengadakan tindakan lain menu-

rut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) hu-

ruf a, angka 4, bahwa yang dimaksud

dengan “tindakan lain” adalah tindakan

dari penyelidik untuk kepentingan pe-

nyelidikan dengan syarat: tidak berten-

tangan dengan suatu aturan hukum;

selaras dengan kewajiban hukum yang

mengharuskan dilakukannya tindakan

jabatan; tindakan itu harus patut dan

masuk akal dan termasuk dalam ling-

kungan jabatannya; atas pertimbangan

yang layak berdasarkan keadaan me-

maksa; menghormati hak asasi manusia.

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan

tindakan berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan

tempat, penggeledahan dan penahanan.

2. pemeriksaan dan penyitaan surat.

Buku Informasi - Modul KUHAP 12

3. mengambil sidik jari dan memotret

seorang.

4. membawa dan menghadapkan seorang

pada penyidik.

2.2. Penyidik

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP jo

Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara RI, bahwa yang dimaksud

dengan penyidik adalah pejabat polisi negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan,

demikian pula menurut Pasal 6 KUHAP, bahwa

penyidik adalah:

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia.

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-un-

dang.

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP jo

Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara RI, bahwa yang dimaksud

dengan penyidikan adalah serangkaian tinda-

kan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti

itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP,

bahwa penyidik karena kewajibannya mempun-

yai wewenang, yaitu:

a. menerima laporan atau pengaduan dari se-

orang tentang adanya tindak pidana.

b. melakukan tindakan pertama pada saat di

tempat kejadian.

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan

memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d. melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan dan penyitaan.

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan

surat.

f. mengambil sidik jari dan memotret sese-

orang.

g. memanggil orang untuk didengar dan dipe-

riksa sebagai tersangka atau saksi.

h. mendatangkan orang ahli yang diperukan

dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara.

i. mengadakan penghentian penyidikan.

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum

yang bertanggung jawab.

2.3. Penyidik Pembantu

Menurut Pasal 1 angka 3 jo Pasal 10 ayat

(1) KUHAP, bahwa yang dimaksud penyidik pem-

bantu adalah pejabat Kepolisian Negara Re-

publik Indonesia yang karena diberi wewenang

tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.

Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 12 UU No.

2 Tahun 2002, bahwa penyidik pembantu adalah

pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia berdasarkan syarat kepang-

katan dan diberi wewenang tertentu dalam

melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam

undang-undang.

Kewenangan dari penyidik pemban-

tu adalah sama dengan kewenangan dari pe-

nyidik seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1)

KUHAP. Namun terdapat pengecualian dalam

hal penahanan yang wajib diberikan dengan

pelimpahan wewenang dari penyidik.

2.4. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepoli-

sian Negara RI, bahwa yang dimaksud Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku

penyidik dan mempunyai wewenang untuk me-

lakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup

13 Buku Informasi - Modul KUHAP

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Mengenai kewenangan dari PPNS, Pasal 7 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa PPNS mempunyai we-

wenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Sebagai contoh, PPNS

yang berada di lingkungan Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat provinsi memiliki

wewenang yang berbeda dengan PPNS yang berada di lingkungan Kementerian Kehutanan. Beberapa ke-

wenangan PPNS adalah sebagai berikut:

a. PPNS Lalu Lintas (UU No 22, Tahun 2009) memiliki kewenangan untuk:

1. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor

yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus.

2. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan ken-

daraan bermotor umum.

3. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi kendaraan bermotor di tempat

penimbangan yang dipasang secara tetap.

4. melarang atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan

teknis dan laik jalan;

5. meminta keterangan dari pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, atau perusahaan angkutan

umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian kendaraan bermotor, dan per-

izinan; dan/atau

6. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas

pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menan-

datangani berita acara pemeriksaan.

b. PPNS di Bidang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) berwenang untuk:

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.

4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, ka-

wasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubu-ngan dengan tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

6. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

7. membuat dan menandatangani berita acara.

8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Buku Informasi - Modul KUHAP 14

2.5. Jaksa dan Penuntut Umum

Pengertian antara jaksa dan penuntut

umum dibedakan, yaitu sebagaimana menurut

Pasal 1 angka 6 KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk bertindak se-

bagai penuntut umum serta melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memper-

oleh kekuatan hukum tetap (Undang-Un-

dang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia).

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim (pasal 1 UU No 16 Tahun

2004).

Adapun wewenang penuntut umum

sebagaimana diatur menurut Pasal 14 KUHAP

adalah sebagai berikut:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara

penyidikan dari penyidik atau penyidik pem-

bantu.

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada

kekurangan pada penyidikan dengan mem-

perhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan

ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam

rangka penyempurnaan penyidikan dari

penyidik.

c. memberikan perpanjangan penahanan, me-

lakukan penahanan atau penahanan lanjutan

dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.

d. membuat surat dakwaan.

e. melimpahkan perkara ke pengadilan.

f. menyampaikan pemberitahuan kepada ter-

dakwa tentang ketentuan hari dan waktu

perkara disidangkan yang disertai surat

panggilan, baik kepada terdakwa maupun

kepada saksi, untuk datang pada sidang yang

telah ditentukan.

g. melakukan penuntutan.

h. menutup perkara demi kepentingan hukum.

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup

tugas dan tanggung jawab sebagai penun-

tut umum menurut ketentuan undang-un-

dang ini. Tindakan lain dalam hal ini adalah

meneliti indentitas; tersangka, barang bukti

dengan memperhatikan secara tegas batas

wewenang dan fungsi antara penyidik,

penuntut umum, dan pengadilan.

j. melaksanakan penetapan hakim.

2.6. Penasihat Hukum

Ada beberapa pengertian yang harus

dijelaskan, yaitu pengertian penasihat hukum,

advokat, bantuan hukum dan jasa hukum dan

klien. Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut:

a. Menurut Pasal 1 angka 13 KUHAP, bahwa

yang dimaksud penasihat hukum adalah se-

orang yang memenuhi syarat yang ditentu-

kan oleh atau berdasar undang-undang un-

tuk memberi bantuan hukum.

b. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Ta-

hun 2003 tentang Advokat (UU Advokat),

bahwa yang dimaksud dengan advokat ada-

lah orang yang berprofesi memberi jasa

hukum, baik di dalam maupun di luar pe-

ngadilan yang memenuhi persyaratan ber-

dasarkan ketentuan UU No. 18 Tahun 2003.

c. Menurut Pasal 1 huruf a Kode Etik Advokat,

bahwa yang dimaksud dengan advokat ada-

lah orang yang berpraktik memberi jasa

hukum, baik di dalam maupun di luar pen-

gadilan yang memenuhi persyaratan ber-

dasarkan undang-undang yang berlaku,

baik sebagai advokat, pengacara, penasehat

hukum, pengacara praktik ataupun sebagai

konsultan hukum.

Buku Informasi - Modul KUHAP 16

Sebelum berlakunya UU Advokat, ketentuan yang mengatur mengenai advokat, penasihat hukum,

pengacara praktik dan konsultan hukum tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga

pengertian pengacara dan penasihat hukum berbeda (“Perbedaan Pengacara dengan Penasihat Hukum”,

2011). Namun, sejak diberlakukannya UU Advokat, baik penasihat hukum, advokat maupun pengacara prak-

tik disebut sebagai advokat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat.

Hak-hak dari advokat tersebar dalam KUHAP dan UU Advokat, di antaranya:

Menurut KUHAP

1. Pasal 69 yang menyebutkan bahwa penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap

atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.

2. Pasal 70 ayat (1), penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 KUHAP berhak menghubungi

dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan

pembelaan perkaranya.

3. Pasal 72, atas permintaan penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita

acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.

4. Pasal 73, penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki

olehnya.

5. Pasal 115 ayat (1), dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat

hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.

Menurut UU Advokat

1. Pasal 14 menyatakan bahwa advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela

perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode

etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 15 menyatakan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara

yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perun-

dang-undangan.

3. Pasal 16 menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam

menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepen-tingan pembelaan klien dalam sidang

pengadilan.

4. Pasal 17 menyatakan bahwa dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh informasi, data,

dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepen-

tingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perun-

dang-undangan.

5. Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, terma-

suk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan

terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.

17 Buku Informasi - Modul KUHAP

6. Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah

diberikan kepada kliennya.

7. Selain hak-hak penasihat hukum/advokat tersebut, beberapa kewajiban sebagaimana diatur dalam UU

Advokat adalah advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya

karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; Advokat wajib memberikan

bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

2.7. Hakim

Mengacu pada Pasal 1 angka 8 KUHAP, dinyatakan bahwa hakim adalah pejabat per-

adilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka

5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah hakim pada Mahkamah

Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, ling-

kungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada

pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Ade Saptomo (2010) menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, sesuai de-ngan Pasal 22 Alge-

meene Bepalingen (AB) hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili). Mengadili adalah

serangkaian tindakan hakim untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas

bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pe-ngadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Kewajiban hakim menurut UU Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut:

1. Pasal 3 ayat (1), dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga ke-

mandirian peradilan.

2. Pasal 5 ayat (1), hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

3. Pasal 5 ayat (3), hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

4. Pasal 8 ayat (2), dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat

yang baik dan jahat dari terdakwa.

5. Pasal 14 ayat (2), dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau

pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

putusan.

6. Pasal 17 ayat (3), seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan kelu-

arga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,

dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

7. Pasal 17 ayat (5), seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia

mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas

kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Buku Informasi - Modul KUHAP 18

2.8. Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Tersangka menurut Pasal 1 butir 14

KUHAP adalah seorang yang karena perbu-

atannya atau keadaannya, berdasarkan bukti

permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana. Atau dengan kata lain, masih dalam tahap

pemeriksaan pendahuluan (Simorangkir, 1983).

Dalam Pasal 1 butir 15 KUHAP penger-

tian terdakwa adalah seorang tersangka yang

dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadi-

lan. Dan yang terakhir terpidana atau terhu-

kum adalah terdakwa yang kesalahannya telah

dibuktikan dalam sidang di pengadilan dan ka-

rena itu ia dijatuhi hukuman yang ditetapkan

untuk tindak pidana tersebut (Pasal 1 butir 32

KUHAP).

Adapun hak-hak tersangka sebagaimana

diatur di dalam KUHAP adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk segera diperiksa perkaranya,

sebagaimana menurut Pasal 50 KUHAP,

yaitu berhak segera mendapat pemerik-

saan oleh penyidik dan selanjutnya dapat

diajukan kepada penuntut umum, bahkan

tersangka yang ditahan dalam waktu satu

hari setelah perintah penahanan itu dijalan-

kan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik;

berhak perkaranya segera dimajukan atau

dilanjutkan ke pe-ngadilan oleh penuntut

umum; berhak segera diadili oleh pengadi-

lan; berhak untuk mempersiapkan pembe-

laan, sebagaimana menurut Pasal 51 huruf a

KUHAP, bahwa tersangka berhak untuk di-

beritahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang di-

sangkakan kepadanya pada waktu pemerik-

saan dimulai; tersangka berhak untuk diber-

itahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang didak-

wakan kepadanya.

2. Hak untuk bebas memberikan keterangan,

sebagaimana menurut Pasal 52 KUHAP,

bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat

penyidikan, tersangka berhak memberikan

ke-terangan secara bebas kepada penyidik.

3. Hak untuk mendapatkan juru bahasa,

sebagaimana menurut Pasal 53 ayat (1)

KUHAP bahwa dalam pemeriksaan pada

tingkat penyidikan tersangka berhak untuk

setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.

4. Hak untuk mendapatkan penerjemah,

sebagaimana menurut Pasal 53 ayat (2) KU-

HAP bahwa dalam hal tersangka bisu dan

atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaima-

na dimaksud dalam Pasal 178.

5. Hak untuk mendapatkan bantuan hu-

kum, sebagaimana menurut Pasal 54

KUHAP bahwa guna kepentingan pem-

belaan, tersangka berhak mendapat ban-

tuan hukum dari seorang atau lebih penasi-

hat hukum selama dalam waktu dan pada

setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata

cara yang ditentukan dalam undang-undang

ini.

6. Hak untuk memilih penasihat hukum,

sebagaimana menurut Pasal 55 KUHAP,

yaitu berhak untuk mendapatkan penasihat

hukum tersebut dalam Pasal 54, dan berhak

memilih sendiri penasihat hukumnya.

7. Hak untuk didampingi penasihat hukum

secara cuma-cuma, sebagaimana menu-

rut Pasal 56 KUHAP, bahwa apabila dalam

hal tersangka disangka melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati

atau ancaman pidana lima belas tahun atau

lebih atau bagi mereka yang tidak mampu

yang diancam dengan pidana lima tahun

atau lebih yang tidak mempunyai penasihat

hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan

pada semua tingkat pemeriksaan dalam

19 Buku Informasi - Modul KUHAP

proses peradilan wajib menunjuk penasihat

hukum bagi mereka.

8. Hak untuk menghubungi penasihat hukum-

nya, sebagaimana menurut Pasal 57 ayat (1)

KUHAP, bahwa tersangka yang dikenakan

penahanan, berhak menghubungi penasihat

hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-

undang.

9. Hak untuk menghubungi perwakilan nega-

ranya, sebagaimana menurut Pasal 57 ayat

(2) KUHAP, bahwa tersangka yang berke-

bangsaan asing yang dikenakan penahanan

berhak menghubungi dan berbicara dengan

perwakilan negaranya dalam menghadapi

proses perkaranya.

10. Hak untuk mendapatkan perawatan ke-

sehatan, sebagaimana menurut Pasal 58 KU-

HAP, bahwa tersangka yang dikenakan pena-

hanan berhak menghubungi dan menerima

kunju-ngan dokter pribadinya untuk kepen-

tingan kesehatan baik yang ada hubungannya

dengan proses perkara maupun tidak.

11. Hak untuk diberitahukan atau menghubungi

keluarganya, sebagaimana menurut Pasal 59

KUHAP, bahwa tersangka yang dikenakan

penahanan berhak diberitahukan tentang

penahanan atas dirinya oleh pejabat yang

berwenang, pada semua tingkat pemerik-

saan dalam proses peradilan, kepada keluar-

ganya atau orang lain yang serumah dengan

tersangka ataupun orang lain yang bantuan-

nya dibutuhkan oleh tersangka untuk men-

dapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi

penangguhannya.

12. Hak untuk menghubungi dan menerima

kunjungan, sebagaimana menurut Pasal 60

KUHAP, bahwa tersangka berhak meng-

hubungi dan menerima kunjungan dari pihak

yang mempunyai hubungan kekeluargaan

atau lainnya dengan tersangka guna men-

dapatkan jaminan bagi penangguhan pena-

hanan ataupun untuk usaha mendapatkan

bantuan hukum.

13. Hak untuk menghubungi dan menerima

kunjungan keluarganya, sebagaimana me-

nurut Pasal 61 KUHAP, bahwa tersangka

berhak secara langsung atau dengan peranta-

raan penasihat hukumnya menghubungi dan

menerima kunjungan sanak keluarganya

dalam hal yang tidak ada hubungannya de-

ngan perkara tersangka untuk kepentingan

pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluar-

gaan.

14. Hak untuk surat-menyurat, sebagaimana

menurut Pasal 62 ayat (1) KUHAP, tersang-

ka berhak mengirim surat kepada penasihat

hukumnya, dan menerima surat dari penasi-

hat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali

yang diperlukan olehnya. Untuk keperluan

itu, bagi tersangka disediakan alat tulis-me-

nulis.

15. Hak untuk menghubungi dan menerima

kunjungan dari rohaniawan, sebagaimana

menurut Pasal 63 KUHAP, bahwa tersangka

berhak menghubungi dan menerima kun-

ju-ngan dari rohaniwan.

16. Hak untuk mengajukan saksi yang meringan-

kan, sebagaimana menurut Pasal 65 KUHAP,

bahwa tersangka berhak untuk mengusa-

hakan dan mengajukan saksi dan atau sese-

orang yang memiliki keahlian khusus guna

memberikan keterangan yang menguntung-

kan bagi dirinya (saksi a de charge).

17. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pem-

buktian sebagaimana menurut Pasal 66

KUHAP bahwa tersangka tidak dibebani

kewajiban pembuktian.

18. Hak untuk menuntut ganti kerugian, seba-

gaimana menurut Pasal 30 KUHAP, Pasal

95 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 95 ayat (2)

Buku Informasi - Modul KUHAP 20

KUHAP.

19. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan

rehabilitasi, sebagaimana menurut Pasal 68

KUHAP dan Pasal 81 KUHAP.

20. Hak untuk diperiksa di tempat kediaman,

sebagaimana menurut Pasal 119 KUHAP,

bahwa dalam hal tersangka yang harus diden-

gar keterangannya berdiam atau bertempat

tinggal di luar daerah hukum penyidik yang

menjalankan penyidikan, pemeriksaan ter-

hadap tersangka dan atau saksi dapat dibe-

bankan kepada penyidik di tempat kediaman

atau tempat tinggal tersangka tersebut.

21. Hak untuk mendapat rehabilitasi, sebagaima-

na menurut Pasal 97 ayat (3) KUHAP, bahwa

permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas

penangkapan atau penahanan tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang atau keke-

liruan mengenai orang atau hukum yang di-

terapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan

ke pengadilan negeri diputus oleh hakim

praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

22. Hak untuk segera diperiksa, sebagaimana

menurut Pasal Pasal 122 KUHAP, bahwa

dalam hal tersangka ditahan dalam waktu

satu hari setelah perintah penahanan itu

dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh

penyidik.

23. Hak untuk mengajukan keberatan, seba-

gaimana menurut Pasal 123 ayat (1) KUHAP,

bahwa tersangka, keluarga, atau penasihat

hukum dapat mengajukan keberatan atas

penahanan atau jenis penahanan tersangka

kepada penyidik yang melakukan penahanan

itu.

24. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum

sebagaimana menurut Pasal 114 KUHAP,

bahwa dalam hal seorang disangka me-

lakukan suatu tindak pidana sebelum dimu-

lainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik

wajib memberitahukan kepadanya tentang

haknya untuk mendapatkan bantuan hu-

kum atau bahwa ia dalam perkaranya itu

wajib di dampingi oleh penasihat hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.

25. Hak untuk mendapatkan saksi yang me-

ringankan, sebagaimana menurut Pasal 116

ayat (3) KUHAP, bahwa hak tersangka

untuk mendapatkan saksi yang dapat me-

ringankan atau yang menguntungkan baginya.

26. Hak untuk memberikan keterangan tanpa

tekanan, sebagaimana menurut Pasal 117

ayat (1) KUHAP, bahwa hak tersangka untuk

memberikan keterangan kepada penyidik

tanpa tekanan dari siapa pun dan bentuk apa

pun.

27. Tersangka yang sakit, maka tersangka yang

sakit dan diharuskan dirawat di luar Rutan,

yaitu dirawat di rumah sakit, maka berhak

dirawat di luar Rutan demikian sebagaimana

menurut Pasal 9 Keputusan Menteri Kehaki-

man RI No. M.04UM. 01.06/1983 tentang

Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan,

dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara.

Adapun hak-hak terdakwa sebagaimana

diatur di dalam KUHAP adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk segera diperiksa perkaranya,

sebagaimana menurut Pasal 50 ayat (3)

KUHAP.

2. Hak untuk mempersiapkan pembelaan,

sebagaimana menurut Pasal 51 huruf b

KUHAP.

3. Hak untuk bebas memberikan keterangan,

sebagaimana menurut Pasal 52 KUHAP.

4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa, seba-

gaimana menurut Pasal 53 ayat (1) KUHAP.

5. Hak untuk mendapatkan penerjemah, seba-

gaimana menurut Pasal 53 ayat (2) KUHAP.

21 Buku Informasi - Modul KUHAP

6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum,

sebagaimana menurut Pasal 54 KUHAP.

7. Hak untuk memilih penasihat hukum, seba-

gaimana menurut Pasal 55 KUHAP.

8. Hak untuk didampingi penasihat hukum

secara cuma-cuma, sebagaimana menurut

Pasal 56 KUHAP.

9. Hak untuk menghubungi penasihat

hukumnya, sebagaimana menurut Pasal 57

ayat (1) KUHAP.

10. Hak untuk menghubungi perwakilan nega-

ranya, sebagaimana menurut Pasal 57 ayat

(2) KUHAP.

11. Hak untuk mendapatkan perawatan

kesehatan, sebagaimana menurut Pasal 58

KUHAP.

12. Hak untuk untuk diberitahukan atau meng-

hubungi keluarganya, sebagaimana menurut

Pasal 59 KUHAP.

13. Hak untuk menghubungi dan menerima

kunjungan, sebagaimana menurut Pasal 60

KUHAP.

14. Hak untuk menghubungi dan menerima,

sebagaimana menurut Pasal 61 KUHAP;

15. Hak untuk melakukan surat-menyurat, seba-

gaimana menurut Pasal 62 ayat (1) KUHAP.

16. Hak terdakwa untuk menghubungi dan

menerima, sebagaimana menurut Pasal 63

KUHAP.

17. Hak untuk segera diadili/disidang pada pe-

ngadilan terbuka untuk umum, sebagaimana

menurut Pasal 64 KUHAP.

18. Hak untuk mengajukan saksi dan keahlian

khusus, sebagaimana menurut Pasal 65 KU-

HAP.

19. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pem-

buktian sebagaimana menurut Pasal 66

KUHAP.

20. Hak untuk minta banding, sebagaimana

menurut Pasal 67 KUHAP.

21. Hak untuk menuntut ganti rugi dan rehabili-

tasi, sebagaimana menurut Pasal 30 KUHAP;

22. Hak untuk mendapatkan salinan, sebagaima-

na menurut Pasal 72 KUHP.

23. Hak untuk mengajukan permohonan, seba-

gaimana menurut Pasal 79 KUHAP.

24. Hak untuk menuntut ganti kerugian, seba-

gaimana menurut Pasal 95 (1) KUHAP.

25. Hak untuk rehabilitasi, sebagaimana menu-

rut Pasal 97 ayat (1) KUHAP.

26. Hak untuk ingkar, sebagaimana menurut

Pasal 17 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

27. Hak untuk memahami dakwaan, sebagaima-

na menurut Pasal 155 ayat (2) huruf b KU-

HAP.

28. Hak untuk mengajukan keberatan, seba-

gaimana menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

29. Hak untuk mengajukan pertanyaan, seba-

gaimana menurut Pasal 165 ayat (2) KUHAP.

30. Hak untuk diam, sebagaimana menurut Pasal

166 KUHAP.

31. Hak untuk tidak memberikan izin

kepada saksi, sebagaimana menurut Pasal

167 KUHAP.

32. Hak untuk mengajukan saksi dengan

keterangan di bawah sumpah, sebagaimana

menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP.

33. Hak untuk mengeluarkan saksi dari ruang

sidang, sebagaimana menurut Pasal 172 ayat

(1) KUHAP.

34. Hak untuk menuntut saksi, sebagaimana

menurut Pasal 174 ayat (2) KUHAP.

35. Hak untuk menolak keterangan ahli, seba-

gaimana menurut Pasal 180 ayat (2) KUHAP;

36. Hak untuk mengajukan pembelaan, seba-

gaimana menurut Pasal 182 ayat (1) huruf

b KUHAP.

37. Hak untuk mendapatkan saksi yang me-

ringankan (a de charge), sebagaimana

menurut Pasal 116 ayat (3) KUHAP.

Buku Informasi - Modul KUHAP 22

Adapun hak-hak terpidana sebagaimana

diatur di dalam peraturan perundang-undangan,

sebagai berikut:

1. Hak untuk menuntut ganti kerugian, diatur

dalam Pasal 95 (1) KUHAP;

2. Hak untuk segera menerima dan segera

menolak putusan pengadilan, diatur dalam

Pasal 214 ayat (2);

3. Hak untuk mempelajari putusan sebelum

menyatakan menerima atau menolak putu-

san dalam tenggang waktu 7 hari (yang di-

tentukan undang-undang).

4. Hak untuk minta perkaranya diperiksa dalam

tingkat banding dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang (menolak

putusan).

5. Hak untuk meminta penangguhan pelaksan-

aan putusan dalam tenggang waktu yang di-

tentukan oleh undang-undang, untuk dapat

mengajukan Grasi, (menerima putusan).

6. Hak untuk mencabut pernyataan tentang

menerima atau menolak putusan pengadilan

dalm tenggang waktu yang ditentuak oleh

undang-undang hukum acara pidana.

7. Hak mengajukan permintaan kasasi.

8. Hak mengajukan keberatan yang beralasan

terhadap hasil keterangan ahli.

9. Hak mengajukan Herziening (peninjauan

kembali) atas putusan yang telah berkekua-

tan hukum tetap, diatur dalam Pasal 263 ayat

(1).

3. Proses Hukum Acara Pidana

3.1. Penangkapan

Menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP,

bahwa yang dimaksud dengan penangkapan

adalah suatu tindakan penyidik berupa penge-

kangan sementara waktu kebebasan tersangka

atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti

guna kepentingan penyidikan atau penuntutan

dan atau peradilan dalam hal serta menurut

cara yang diatur dalam KUHAP. Menurut Pasal

17 KUHAP, bahwa seseorang dapat ditangkap

atau perintah penangkapan, apabila terhadap se-

orang yang diduga keras melakukan tindak pi-

dana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP, yang di-

maksud dengan “bukti permulaan yang cukup”

ialah bukti permulaan untuk menduga adanya

tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir

14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perin-

tah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan

sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada

mereka yang betu-betul melakukan tindak pi-

dana. Demikian pula menurut Pasal 19 ayat (2)

KUHAP, bahwa terhadap tersangka pelaku pe-

langgaran tidak diadakan penangkapan, kecuali

dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali

berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu

tanpa alasan yang sah. Menurut Pasal 16 KUHAP,

bahwa yang berwenang melakukan penang-

kapan, adalah:

1. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik

atas perintah penyidik berwenang melaku-

kan penangkapan.

2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan

penyidik pembantu berwenang melakukan

penangkapan.

Untuk batas waktu penangkapan menu-

rut Pasal 19 ayat (1) KUHAP dapat dilakukan

paling lama satu hari.

3.2. Penahanan

Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP,

bahwa yang dimaksud dengan penahanan adalah

penempatan tersangka atau terdakwa di tempat

tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum

atau hakim dengan penetapannya, dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Dalam pembahasan tentang penangka-

23 Buku Informasi - Modul KUHAP

pan, telah dibahas bahwa seseorang yang diduga

melakukan suatu perbuatan sebagai tindak pi-

dana, maka penyelidik atau penyidik berwenang

untuk menangkap orang tersebut, dan ber-

dasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17

KUHAP), maka proses selanjutnya tersangka

dapat dilakukan penahanan. Dalam proses pena-

hanan terhadap tersangka, maka harus meme-

nuhi 2 syarat atau alasan, yaitu syarat subjektif

dan syarat objektif sebagai berikut:

1. Syarat subjektif, yaitu karena hanya ber-

gantung pada orang yang memerintahkan

penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau

tidak. Syarat subjektif sebagaimana diatur

dalam Pasal 20 ayat (3) KUHP, yaitu:

a. Tersangka atau terdakwa dikhawatir-

kan melarikan diri.

b. Tersangka atau terdakwa dikhawatir-

kan akan merusak atau menghilangkan

barang bukti.

c. Tersangka atau terdakwa dikhawatir-

kan akan melakukan lagi tindak pidana.

Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bahwa

alasan penahanan dan penahanan lanjutan, yaitu

seorang tersangka atau terdakwa yang diduga

keras melakukan tindak pidana berdasarkan

bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang

menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka

atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan atau mengu-

langi tindak pidana.

2. Syarat objektif, yaitu syarat tersebut

dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain.

Syarat objektif sebagaimana diatur di dalam

Pasal 21 ayat (4) KUHAP, bahwa penahanan

tersebut hanya dapat dikenakan, apabila

tersangka atau terdakwa melakukan tindak

pidana dan atau percobaan maupun pembe-

rian bantuan dalam tindak pidana tersebut

dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pi-

dana penjara lima tahun atau lebih.

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,

Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1),

Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,

Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal

455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal

506; Rechtenordonnantie (pelanggaran

terhadap Ordonansi Bea dan Cukai,

terakhir diubah dengan Staatersebutlad

Tahun 1931 Nomor 471), yaitu Pasal

25 dan Pasal 26; Undang-Undang RI

No. 22 Tahun 1997 tentang Narko-

tika, yaitu Pasal 85, 86, 87, dan Pasal 88;

Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi

(Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun

1955, Lembaran Negara Tahun 1955

Nomor 8), yaitu Pasal 36 ayat (7), Pasal

41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal

48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1976 tentang Narkotika.

3.2.1. Jenis Tahanan

Penahanan terdiri dari beberapa jenis,

yang dapat dibedakan dari persyaratan atau

penempatan tersangka atau terdakwa ditahan.

Adapun jenis penahanan sebagaimana menurut

Pasal 22 KUHAP, yaitu:

a. penahanan rumah tahanan negara; yaitu ter-

sangka atau terdakwa ditahan dan ditem-

patkan di rumah tahanan negara (Rutan).

Pasal 1 angka 2 UU No. 27 Tahun 1983

tentang Pelaksanaan KUHAP, menjelaskan

bahwa Rumah Tahanan Negara selanjutnya

disebut RUTAN adalah tempat tersangka

atau terdakwa ditahan selama proses pe-

nyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

Buku Informasi - Modul KUHAP 24

sidang pengadilan.

b. penahanan rumah. Penahanan rumah di-

laksanakan di rumah tempat tinggal atau

rumah kediaman tersangka atau terdakwa

dengan mengadakan pengawasan terhadap-

nya untuk menghindarkan segala sesuatu

yang dapat menimbulkan kesulitan dalam

penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di

sidang pengadilan.

c. penahanan kota. Penahanan kota dilaksana-

kan di kota tempat tinggal atau tempat ke-

diaman tersangka atau terdakwa, dengan

kewajiban bagi tersangka atau terdakwa

melapor diri pada waktu yang ditentukan.

3.2.2. Batas waktu penahanan

a. Tingkat Penyidikan

Menurut Pasal 24 KUHAP, bahwa

untuk perintah penahanan pada tingkat penyidi-

kan, dapat dilakukan atas:

1. Perintah penahanan yang diberikan oleh

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.

2. Jangka waktu sebagaimana tersebut di

atas, apabila diperlukan guna kepen-

tingan pemeriksaan yang belum selesai, da-

pat diperpanjang oleh penuntut umum yang

berwenang untuk paling lama empat puluh

hari.

b. Tingkat Penuntutan

Menurut Pasal 25 KUHAP, bahwa untuk

perintah penahanan pada tingkat penuntutan,

dapat dilakukan atas:

1. Perintah penahanan yang diberikan oleh

penuntut umum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama

dua puluh hari.

2. Jangka waktu sebagaimana tersebut di

atas, apabila diperlukan guna kepen-

tingan pemeriksaan yang belum selesai,

dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan

negeri yang berwenang untuk paling lama

tiga puluh hari.

3. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas,

tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

tersangka dari tahanan sebelum berakhir

waktu penahanan tersebut, jika kepentingan

pemeriksaan sudah terpenuhi.

4. Setelah waktu enam puluh hari tersebut,

penuntut umum harus sudah mengeluarkan

tersangka dari tahanan demi hukum.

c. Tingkat Pengadilan Negeri (Tingkat I)

Menurut Pasal 26 KUHAP, bahwa untuk

perintah penahanan pada tingkat pemeriksaan

perkara di pengadilan negeri, dapat dilakukan

atas:

1. Hakim pengadilan negeri yang mengadili

perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

84, guna kepentingan pemeriksaan ber-

wenang mengeluarkan surat perintah pena-

hanan untuk paling lama tiga puluh hari.

2. Jangka waktu sebagaimana tersebut di

atas, apabila diperlukan guna kepen-

tingan pemeriksaan yang belum selesai,

dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan

negeri yang bersangkutan untuk paling lama

enam puluh hari.

3. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas

tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

terdakwa dari tahanan sebelum berakhir

waktu penahanan tersebut, jika kepentingan

pemeriksaan sudah terpenuhi.

4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun

perkara tersebut belum diputus, terdakwa

harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi

hukum.

25 Buku Informasi - Modul KUHAP

26 Buku Informasi - KUHAP

d. Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi/

Tingkat II)

Menurut Pasal 27 KUHAP, bahwa untuk

perintah penahanan pada tingkat pemeriksaan

perkara di tingkat banding (pengadilan tinggi),

dapat dilakukan atas:

1. Hakim pengadilan tinggi yang mengadili

perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

87, guna kepentingan pemeriksaan banding

berwenang mengeluarkan surat perintah

penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.

2. Jangka waktu sebagaimana tersebut di

atas apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat

diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi

yang bersangkutan untuk paling lama enam

puluh hari.

3. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas

tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

terdakwa dari tahanan sebelum berakhir

waktu penahanan tersebut, jika kepentingan

pemeriksaan sudah terpenuhi.

4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun

perkara tersebut belum diputus, terdakwa

harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi

hukum.

e. Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung)

Menurut Pasal 28 KUHAP, bahwa untuk

perintah penahanan pada tingkat pemeriksaan

perkara di tingkat kasasi (Mahkamah Agung),

dapat dilakukan atas:

1. Hakim Mahkamah Agung yang mengadili

perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi

berwenang mengeluarkan surat perintah

penahanan untuk paling lama lima puluh hari.

2. Jangka waktu sebagaimana tersebut di

atas apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat

diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung

untuk paling lama enam puluh hari.

3. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas

tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

terdakwa dari tahanan sebelum berakhir

waktu penahanan tersebut, jika kepentingan

pemeriksaan sudah terpenuhi.

4. Setelah waktu seratus sepuluh hari walau-

pun perkara tersebut belum diputus,

terdakwa harus sudah dikeluarkan dari

tahanan demi hukum.

3.3. Penggeledahan

Pengertian penggeledahan menurut

KUHAP adalah sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 1 angka 17 KUHAP, bahwa

yang dimaksud dengan penggeledahan

rumah adalah tindakan penyidik untuk

memasuki rumah tempat tinggal dan tempat

tertutup lainnya untuk melakukan tindakan

pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau

penangkapan dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini.

2. Menurut Pasal 1 angka 18 KUHAP, bahwa

yang dimaksud dengan penggeledahan badan

adalah tindakan penyidik untuk mengada-

kan pemeriksaan badan dan atau pakaian

tersangka untuk mencari benda yang diduga

keras ada pada badannya atau dibawanya

serta, untuk disita.

Penggeledahan dapat dilakukan oleh

penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti terkait

suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

1. Penggeledahan Biasa

a. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri

setempat, penyidik dalam melakukan penyi-

dikan dapat mengadakan penggeledahan

yang diperlukan.

b. Dalam hal yang diperlukan atas perintah

tertulis dari penyidik, petugas Kepolisian

27 Buku Informasi - Modul KUHAP

Negara Republik Indonesia dapat memasuki

rumah.

c. Setiap kali memasuki rumah harus disaksi-

kan oleh dua orang saksi dalam hal tersang-

ka atau penghuni menyetujuinya.

d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksi-

kan oleh kepala desa atau ketua lingkungan

dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka

atau penghuni menolak atau tidak hadir.

e. Dalam waktu dua hari setelah memasuki

dan atau menggeledah rumah, harus dibuat

suatu berita acara dan turunannya disam-

paikan kepada pemilik atau penghuni rumah

yang bersangkutan.

Pasal 33 KUHAP adalah merupakan

pedoman umum dalam tindakan penggeledahan.

2. Penggeledahan yang Sangat Mendesak

Apabila terjadi hal-hal yang luar biasa

atau dalam hal-hal yang sangat perlu dan mende-

sak, maka menurut Pasal 34 KUHAP, yaitu:

a. Dengan tidak mengurangi ketentuan

Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melaku-

kan penggeledahan pada halaman rumah

tersangka bertempat tinggal, berdiam atau

ada dan yang ada di atasnya; pada setiap

tempat lain tersangka bertempat tinggal,

berdiam atau ada; di tempat tindak pidana

dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat

penginapan dan tempat umum lainnya.

b. Dalam hal penyidik melakukan penggele-

dahan seperti dimaksud di atas, penyidik

tidak diperkenankan memeriksa atau me-

nyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak

merupakan benda yang berhubungan de-

ngan tindak pidana yang bersangkutan, ke-

cuali benda yang berhubungan dengan tin-

dak pidana yang bersangkutan atau yang

diduga telah dipergunakan untuk melaku-

kan tindak pidana tersebut dan untuk itu

wajib segera melaporkan kepada ketua pe-

ngadilan negeri setempat guna memperoleh

persetujuannya.

3. Penggeledahan Rumah

Selanjutnya, untuk penggeledahan ru-

mah, tata cara dan prosedur penggeledahannya

telah diatur sebagai berikut:

a. Menurut Pasal 125 KUHAP, bahwa apabila

dalam hal penyidik melakukan penggele-

dahan rumah maka terlebih dahulu menun-

jukkan tanda pengenalnya kepada tersangka

atau keluarganya, selanjutnya berlaku keten-

tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33

dan Pasal 34 KUHAP.

b. Menurut Pasal 126 KUHAP, bahwa pada saat

penyidik melakukan penggeledahan rumah

maka: Penyidik membuat berita acara ten-

tang jalannya dan hasil penggeledahan ru-

mah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33

ayat (5); Penyidik membacakan lebih dahulu

berita acara tentang penggeledahan rumah

kepada yang bersangkutan, kemudian diberi

tanggal dan ditandatangani oleh penyidik

maupun tersangka atau keluarganya dan

atau kepala desa atau ketua lingkungan de-

ngan dua orang saksi. Dan dalam hal ter-

sangka atau keluarganya tidak mau mem-

bubuhkan tanda tangannya, hal itu dicatat

dalam berita acara dengan menyebut ala-

sannya.

c. Menurut Pasal 127 KUHAP, bahwa untuk

keamanan dan ketertiban penggeledahan

rumah, penyidik dapat mengadakan pen-

jagaan atau penutupan tempat yang ber-

sangkutan. Dalam hal ini penyidik berhak

memerintahkan setiap orang yang dianggap

perlu tidak meninggalkan tempat tersebut

selama penggeledahan berlangsung.

d. Menurut Pasal 36 KUHAP, bahwa penyidik

Buku Informasi - Modul KUHAP 28

dalam melakukan penggeledahan rumah di

luar daerah hukumnya, dengan tidak me-

ngurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33,

maka penggeledahan tersebut harus diketa-

hui oleh ketua pengadilan negeri dan di-

dampingi oleh penyidik dari daerah hukum

tempat penggeledahan itu dilakukan.

4. Penggeledahan Badan dan Pakaian

Menurut Pasal 1 angka 8 KUHAP,

bahwa yang dimaksud dengan penggeledahan

badan adalah tindakan penyidik untuk mengada-

kan pemeriksaan badan dan atau pakaian ter-

sangka untuk mencari benda yang diduga keras

ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk

disita. Untuk melakukan penggeledahan badan

dan pakaian maka menurut Pasal 37 KUHAP,

bahwa:

a. Pada waktu menangkap tersangka, penye-

lidik hanya berwenang menggeledah pa-

kaian termasuk benda yang dibawanya serta,

apabila terdapat dugaan keras dengan alasan

yang cukup bahwa pada tersangka tersebut

terdapat benda yang dapat disita.

b. Pada waktu menangkap tersangka atau

dalam hal tersangka sebagaimana dimak-

sud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik,

penyidik berwenang menggeledah pakaian

dan atau menggeledah badan tersangka.

3.4. Penyitaan

Menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP,

bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah

serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil

alih dan atau menyimpan di bawah penguasaan-

nya benda bergerak atau tidak bergerak, ber-

wujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan

peradilan.

Penyitaan dapat dilakukan oleh pe-

nyidik dengan cara yang telah ditentukan dalam

KUHAP, yaitu:

1. Menurut Pasal 38 KUHAP, penyitaan han-

ya dapat dilakukan oleh penyidik dengan

surat izin ketua pengadilan negeri setem-

pat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak bilamana penyidik harus segera

bertindak dan tidak mungkin untuk men-

dapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa

mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik da-

pat melakukan penyitaan hanya atas benda

bergerak dan untuk itu wajib segera me-

laporkan kepada ketua pengadilan negeri

setempat guna memperoleh persetujuannya.

2. Menurut Pasal 128 KUHAP, bahwa penyidik

pada saat akan melakukan penyitaan maka

penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda

pengenalnya kepada orang dari mana benda

itu disita.

3. Menurut Pasal 129 KUHAP, bahwa pada saat

penyitaan dilakukan maka: Penyidik mem-

perlihatkan benda yang akan disita kepada

orang dari mana benda itu akan disita atau

kepada keluarganya dan dapat minta ke-

terangan tentang benda yang akan disita itu

dengan disaksikan oleh kepala desa atau ke-

tua lingkungan dengan dua orang saksi; Pe-

nyidik membuat berita acara penyitaan yang

dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari

mana benda itu disita atau keluarganya de-

ngan diberi tanggal dan ditandatangani oleh

penyidik maupun orang atau keluarganya

dan atau kepala desa atau ketua lingkungan

dengan dua orang saksi. Dalam hal orang

dari mana benda itu disita atau keluarganya

tidak mau membubuhkan tandatangannya,

hal itu dicatat dalam berita acara dengan

menyebut alasannya.

4. Menurut Pasal 130 KUHAP, bahwa ter-

hadap barang sitaan: Benda sitaan sebelum

29 Buku Informasi - Modul KUHAP

wenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini dengan permintaan su-

paya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan. Dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP

disebutkan, bahwa setelah penuntut umum me-

nerima atau menerima kembali hasil penyidikan

yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentu-

kan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi

persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpah-

kan ke pengadilan. Pasal 140 ayat (1) KUHAP

menyatakan apabila penuntut umum berpenda-

pat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, ia dalam waktu secepatnya mem-

buat surat dakwaan, namun apabila penuntut

umum berpendapat lain sebagaimana diatur

dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:

1. Dalam hal penuntut umum memutuskan

untuk menghentikan penuntutan karena

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa

tersebut ternyata bukan merupakan tindak

pidana atau perkara ditutup demi hukum,

penuntut umum menuangkan hal tersebut

dalam surat ketetapan.

2. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan

kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib

segera dibebaskan.

3. Turunan surat ketetapan itu wajib disam-

paikan kepada tersangka atau keluarga atau

penasihat hukum, pejabat rumah tahanan

negara, penyidik dan hakim.

4. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru,

penuntut umum dapat melakukan penun-

tutan terhadap tersangka.

3.6. Penyusunan Surat Dakwaan

Surat dakwaan menempati posisi sentral

dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana

di pengadilan, karena itu surat dakwaan sangat

dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas

penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan

dibungkus, dicatat berat dan/atau jumlah

menurut jenis masing-masing, ciri maupun

sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyi-

taan, identitas orang dari mana benda itu

disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi

lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh

penyidik. Dalam hal benda sitaan tidak

mungkin dibungkus, penyidik memberi cata-

tan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

yang ditulis di atas label yang ditempelkan

dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Selanjutnya, barang atau benda yang da-

pat disita adalah sebagai berikut:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa

yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh

dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari

tindak pidana.

2. Benda yang telah dipergunakan secara lang-

sung untuk melakukan tindak pidana atau

untuk mempersiapkannya.

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-

halangi penyidikan tindak pidana.

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntuk-

kan melakukan tindak pidana.

5. Benda lain yang mempunyai hubungan

langsung dengan tindak pidana yang dilaku-

kan.

6. Benda yang berada dalam sitaan karena

perkara perdata atau karena pailit dapat juga

disita untuk kepentingan penyidikan, penun-

tutan, dan mengadili perkara pidana, sepan-

jang memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (1)

KUHAP.

3.5. Proses Penuntutan di Kejaksaan

Pengertian penuntutan sebagaimana di-

sebutkan dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang ber-

Buku Informasi - Modul KUHAP 30

yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara

pidana maka fungsi surat dakwaan dapat dika-

tegorikan:

a. Bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan

merupakan dasar dan sekaligus membatasi

ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertim-

bangan dalam penjatuhan keputusan.

b. Bagi penuntut umum, surat dakwaan meru-

pakan dasar pembuktian/analisis yuridis,

tuntutan pidana dan penggunaan upaya hu-

kum.

c. Bagi terdakwa/penasihat hukum, surat dak-

waan merupakan dasar untuk memper-

siapkan pembelaan.

Dasar pembuatan surat dakwaan

adalah kewenangan penuntut umum untuk

membuat surat dakwaan berdasarkan Pasal 14

huruf d KUHAP, penuntut umum juga berwenang

me-lakukan penuntutan terhadap siapa pun yang

didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam

daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara

ke pengadilan, yang berwenang mengadili (Pasal

137, KUHAP), dan pembuatan surat dakwaan

dilakukan oleh penuntut umum bila ia berpen-

dapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilaku-

kan penuntutan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP).

3.7. Syarat Surat Dakwaan

Menurut Pasal 143 KUHAP, bahwa surat

dakwaan mempunyai 2 syarat yang harus dipe-

nuhinya, ialah:

1. Syarat Formal

Syarat formal surat dakwaan sebagaimana

diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a

KUHAP mencakup:

a. Diberi tanggal.

b. Identitas terdakwa secara lengkap,

meliputi: nama lengkap; tempat lahir,

umur/tanggal lahir; jenis kelamin; ke-

bangsaan; tempat tinggal; agama; dan

pekerjaan.

c. Ditandatangani oleh penuntut umum.

Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka-

hakim dapat membatalkan dakwaan penun-

tut umum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP).

2. Syarat Materiil

Sesuai ketentuan Pasal 143 (2) huruf b

KUHAP, syarat materiil meliputi:

a. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap

mengenai tindak pidana yang didakwa-

kan.

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap

mengenai waktu dan tempat tindak pi-

dana itu dilakukan.

Cermat, berarti menuntut ketelitian

penuntut umum dalam mempersiapkan

surat dakwaan yang akan diterapkan bagi

terdakwa. Dengan menempatkan kata

“cermat” paling depan dari rumusan Pasal

143 (2) huruf b KUHAP, pembuat undang-

undang menghendaki agar penuntut umum

dalam membuat surat dakwaan selalu bersi-

kap benar dan teliti (SE Jaksa Agung No-004

Tahun 1993).

Jelas, berarti uraian kejadian atau fakta

kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, se-

hingga terdakwa dengan mudah memahami

apa yang didakwakan terhadap dirinya dan

dapat mempersiapkan pembelaan dengan

sebaik-baiknya.

Lengkap, berarti bahwa uraian surat

dakwaan harus mencakup semua unsur-

unsur yang ditentukan oleh undang-undang

secara lengkap. Dalam uraian tidak boleh

ada unsur delik yang tidak dirumuskan se-

cara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan

materiilnya secara tegas, sehingga berakibat

31 Buku Informasi - Modul KUHAP

perbuatan itu bukan merupakan tindak pi-

dana menurut undang-undang.

3.8. Proses Penyusunan Surat Dakwaan

1. Voeging

Voeging adalah penggabungan berkas

perkara dalam melakukan penuntutan, seba-

gaimana menurut ketentuan Pasal 141 KUHAP,

yaitu penuntut umum dapat melakukan peng-

gabungan perkara dan membuatnya dalam satu

surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama

atau hampir bersamaan ia menerima beberapa

berkas perkara dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan

oleh seorang yang sama dan kepentingan

pemeriksaan tidak menjadikan halangan

terhadap penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-

paut satu dengan yang lain;

c. beberapa tindak pidana yang tidak bersang-

kut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi

yang satu dengan yang lain itu ada hubu-

ngannya, yang dalam hal ini penggabungan

tersebut perlu bagi kepentingan pemerik-

saan.

Yang dimaksud dengan tindak pidana

yang dianggap mempunyai sangkut-paut satu

dengan yang lain menurut penjelasan Pasal 141

huruf b KUHAP, apabila tindak pidana tersebut

dilakukan:

a. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama

dan dilakukan pada saat yang bersamaan.

b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tem-

pat yang berbeda, akan tetapi merupakan

pelaksanaan dari permufakatan jahat yang

dibuat oleh mereka sebelumnya.

c. Oleh seorang atau lebih dengan maksud

mendapatkan alat yang akan dipergunakan

untuk melakukan tindak pidana lain atau

menghindarkan diri dari pemidanaan, ka-

rena tindak pidana lain.

2. Splitsing

Selain penggabungan perkara, penuntut

umum juga dapat melakukan penuntutan de-

ngan jalan pemisahan perkara, sebagaimana di-

atur dalam Pasal 142 KUHAP, yaitu dalam hal

penuntut umum menerima satu berkas perkara

yang memuat beberapa tindak pidana yang di-

lakukan oleh beberapa orang tersangka yang

tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KU-

HAP, penuntut umum dapat melakukan penun-

tutan terhadap setiap terdakwa secara terpisah.

3.9. Bentuk-bentuk Surat Dakwaan

Undang-undang tidak menetapkan

bentuk surat dakwaan dan adanya berbagai

bentuk surat dakwaan dikenal dalam perkem-

bangan praktik, sebagai berikut:

1. Tunggal, artinya hanya satu tindak pidana

saja yang didakwakan, karena tidak terdapat

kemungkinan untuk mengajukan alternatif

atau dakwaan pengganti lainnya. Misalnya

hanya didakwakan “Tindak Pidana Pencu-

rian” (Pasal 362 KUHP).

2. Alternatif, artinya terdapat beberapa dak-

waan yang disusun secara berlapis. Lapisan

yang satu merupakan alternatif dan bersifat

mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.

Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum di-

dapat kepastian tentang tindak pidana mana

yang paling tepat dapat dibuktikan. Meski-

pun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan,

tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan

dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak per-

lu dilakukan secara berurut sesuai lapisan

dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan

yang dipandang terbukti. Apabila salah satu

telah terbukti maka dakwaan pada lapisan

lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Misalnya,

Buku Informasi - Modul KUHAP 32

didakwakan Pertama: Pencurian (Pasal 362

KUHP), atau Kedua: Penadahan (Pasal 480

KUHP).

3. Subsider, sama halnya dengan dakwaan

alternatif, dakwaan subsider juga terdiri

dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun

secara berlapis dengan maksud lapisan yang

satu berfungsi sebagai pengganti lapisan

sebelumnya. Sistematik lapisan disusun se-

cara berurut dimulai dari tindak pidana yang

diancam dengan pidana tertinggi sampai

dengan tindak pidana yang diancam dengan

pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan

secara berurut dimulai dari lapisan tera-

tas sampai dengan lapisan yang dipandang

terbukti. Lapisan yang tidak terbukti harus

dinyatakan secara tegas dan dituntut agar

terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan

yang bersangkutan. Misalnya didakwakan:

Primer:

Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP),

Subsider:

Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)

Lebih Subsider:

Penganiayaan yang menyebabkan matinya

orang (Pasal 351 ayat (3) KUHP).

4. Kumulatif. Dalam Surat Dakwaan kumu-

latif, didakwakan beberapa tindak pidana

sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuk-

tikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak

terbukti harus dinyatakan secara tegas dan

dituntut pembebasan dari dakwaan terse-

but. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal

terdakwa melakukan beberapa tindak pi-

dana yang masing-masing merupakan tindak

pidana yang berdiri sendiri. Misalnya didak-

wakan:

Kesatu:

Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dan

Kedua:

Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363

KUHP), dan

Ketiga:

Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

5. Kombinasi, artinya di dalam bentuk ini

dikombinasikan/digabungkan antara dak-

waan kumulatif dan dakwaan alternatif atau

subsider. Timbulnya bentuk ini seiring de-

ngan perkembangan di bidang kriminalitas

yang semakin variatif baik dalam bentuk/

jenisnya maupun dalam modus operandi

yang dipergunakan. Misalnya didakwakan:

Kesatu:

Primer: Pembunuhan berencana (Pasal

340 KUHP)

Subsider: Pembunuhan biasa (Pasal 338

KUHP);

Lebih Subsider : Penganiayaan yang me-

ngakibatkan matinya orang (Pasal 351 ayat

(3) KUHP);

Kedua:

Primer: Pencurian dengan pemberatan

(Pasal 363 KUHP)

Subsider: Pencurian (Pasal 362 KUHP),

dan

Ketiga : Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

33 Buku Informasi - Modul KUHAP

B.KeterampilanyangDiperlukandalamMengidentifikasiPengaturanHukumAcaraPidana

di Indonesia

1. Mengidentifikasisumberpermulaanpenindakandalamhukumacarapidana.

2. Mengidentifikasipihakterkaitdalamhukumacarapidanasesuaidenganketentuanyangmendasarinya.

3. MengidentifikasiproseshukumacarapidanasebagaimanapengaturandalamKUHAP.

C.SikapKerjayangDiperlukandalamMengidentifikasiPengaturanHukumAcaraPidanadi

Indonesia

1. Cermat,teliti,danberpikiranalitisdalammengidentifikasisumberpermulaanpenindakandalamhukum

acara pidana.

2. Cermat,teliti,danberpikiranalitisdalammengidentifikasipihakterkaitdalamhukumacarapidana.

3. Cermat,teliti,danberpikiranalitisdalammengidentifikasiproseshukumacarapidana.

Buku Informasi - Modul KUHAP 34

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Acara Pemeriksaan Pi-

dana

1. Acara Pemeriksaan Perkara

Di dalam acara pemeriksaan perkara

pidana, KUHAP telah membedakan tiga macam

pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, aca-

ra pemeriksaan singkat, dan acara pemeriksaan

cepat.

1.1. Acara Pemeriksaan Biasa

Menurut A. Karim Nasution (1981)

acara pemeriksaan biasa (tolakkan vordering),

yaitu perkara-perkara sulit dan besar yang diaju-

kan oleh penuntut umum dengan surat dakwaan.

Perkara jenis ini menurut istilah KUHAP disebut

acara pelaksanaan biasa. Pada prinsipnya, proses

acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku

juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali

dinyatakan hal-hal tertentu yang secara tegas

dinyatakan lain. Untuk lebih jelasnya, proses

acara pemeriksaan dapat diuraikan sebagai beri-

kut:

1. Proses pertama adalah penyerahan berkas

perkara. Menurut ketentuan Pasal 155 ayat

(1) KUHAP, yang berbunyi bahwa pada

saat penuntut umum menyerahkan berkas

perkara ke pengadilan negeri cq. Hakim

juga dengan disertai dengan surat dakwaan

(vordering) supaya perkara pidananya diaju-

kan dalam persidangan hakim (terechzitting)

untuk diperiksa dan diadili.

2. Proses kedua yaitu sidang I. Menurut Pasal

153 ayat (3), untuk keperluan pemeriksaan

hakim ketua sidang membuka sidang dan

menyatakan terbuka untuk umum kecuali

dalam perkara mengenai kesusilaan atau

terdakwanya anak-anak. Selanjutnya menu-

rut Pasal 155 ayat (1) KUHAP, pada permu-

laan sidang, hakim ketua sidang menanyakan

kepada terdakwa tentang nama lengkap,

tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama

dan pekerjaannya, serta mengingatkan ter-

dakwa supaya memperhatikan segala sesua-

tu yang didengar dan dilihatnya di sidang,

dan selanjutnya menurut Pasal 155 ayat (2)

huruf a KUHAP, sesudah itu hakim ketua

sidang minta kepada penuntut umum untuk

membacakan surat dakwaan; selanjutnya

pada huruf b, bahwa hakim ketua sidang

menanyakan kepada terdakwa apakah ia su-

dah benar-benar mengerti, apabila terdakwa

ternyata tidak mengerti, penuntut umum

atas permintaan hakim ketua sidang wajib

memberi penjelasan yang diperlukan.

3. Proses ketiga pada sidang II. Setelah proses

pemeriksaan identitas terdakwa dan pem-

bacaan surat dakwaan oleh penuntut umum

maka menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP,

terdakwa atau penasihat hukum mengaju-

kan eksepsi atau keberatan atas dakwaan

penuntut umum dan/atau bahwa pengadilan

tidak berwenang mengadili perkaranya.

4. Proses keempat pada sidang III adalah proses

BAB IV. MENJELASKAN ACARA PEMERIKSAAN PIDANA

35 Buku Informasi - Modul KUHAP

pembuktian. Proses ini setelah eksepsi atau

keberatan terdakwa sebagaimana dimaksud

Pasal 156 KUHAP.

5. Proses kelima pada sidang IV adalah pem-

bacaan tuntutan penuntut umum (requisitoir).

6. Proses keenam, ketujuh dan kedelapan pada

sidang V, VI, dan VII, adalah tanya jawab yaitu

pembacaan pleidooi oleh terdakwa/penasi-

hat hukum; pembacaan nader requisitoir oleh

penuntut umum, dan terakhir pembacaan

nader pleidooi oleh terdakwa/ penasihat hu-

kum.

7. Proses kesembilan pada sidang IX, yaitu

musyawarah majelis hakim dan pembacaan

putusan.

1.2. Acara Pemeriksaan Singkat (Sumir)

Acara pemeriksaan singkat (perkara

sumir), yaitu perkara-perkara yang sifatnya tidak

berat, khususnya mengenai soal pembuktian dan

pemakaian undang-undang, dan yang dijatuhkan

hukuman pokoknya diperkirakan tidak lebih

berat dari hukuman penjara selama satu tahun

(A. Karim Nasution, 1981).

Adapun perkara yang dapat diperiksa

secara singkat (sumir), sebagaimana menurut

Pasal 203 ayat (1) KUHAP, perkara kejahatan

atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan

Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum

pembuktian serta penerapan hukumnya mudah

dan sifatnya sederhana, selanjutnya menurut ayat

(2) bahwa dalam perkara sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan

terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa, dan ba-

rang bukti yang diperlukan.

Sebagaimana telah dikemukakan sebe-

lumnya, bahwa ketentuan tentang acara

pemeriksaan biasa, juga berlaku bagi pemerik-

saan singkat (sumir), kecuali ditentukan lain, se-

bagaimana menurut Pasal 203 ayat (3), yang ber-

bunyi bahwa dalam acara ini berlaku ketentuan

dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua, dan Bagian

Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak ber-

tentangan dengan ketentuan di bawah ini, yaitu:

a. penuntut umum dengan segera setelah ter-

dakwa di sidang menjawab segala pertan-

yaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan

dari catatannya kepada terdakwa tentang

tindak pidana yang didakwakan kepadanya

dengan menerangkan waktu, tempat dan

keadaan pada waktu tindak pidana itu di-

lakukan. Pemberitahuan ini dicatat dalam

berita acara sidang dan merupakan peng-

ganti surat dakwaan.

b. dalam hal hakim memandang perlu pemerik-

saan tambahan, supaya diadakan pemerik-

saan tambahan dalam waktu paling lama

empat belas hari dan bilamana dalam waktu

tersebut penuntut umum belum juga da-

pat menyelesaikan pemeriksaan tambahan

maka hakim memerintahkan perkara itu

diajukan ke sidang pengadilan dengan cara

biasa.

c. guna kepentingan pembelaan maka atas

permintaan terdakwa dan atau penasihat

hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan

paling lama tujuh hari.

d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi

dicatat dalam berita acara sidang.

e. hakim memberikan surat yang memuat

amar putusan tersebut.

f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hu-

kum yang sama seperti putusan pengadilan

dalam acara biasa.

Berdasarkan Pasal 203 ayat (3) KUHAP

di atas maka Bagian Keempat Bab XVI menge-

nai pembuktian tidak dinyatakan berlaku bagi

pemeriksaan singkat, sehingga menjadi pertan-

Buku Informasi - Modul KUHAP 36

yaan alat pembuktian apa yang dapat dipakai

untuk pemeriksaan singkat (sumir). Hal ini tidak

ada penjelasan lebih lanjut baik dalam pasal-pasal

dan penjelasan pasal dalam KUHAP maupun

dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010

tentang Pelaksanaan KUHAP.

Dalam acara pemeriksaan singkat hakim

dapat mengubahnya menjadi acara pemeriksaan

cepat, sebagaimana menurut Pasal 204 KUHAP,

yang berbunyi bahwa jika dari pemeriksaan di

sidang sesuatu perkara yang diperiksa dengan

acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan,

yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat,

maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat

melanjutkan pemeriksaan tersebut.

1.3. Acara Pemeriksaan Cepat

Menurut ketentuan KUHAP, bahwa

pemeriksaan cepat dibagi atas atas dua bagian,

yaitu acara pemeriksaan tindak pidana ringan

dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu

lintas. Segala ketentuan tentang acara pemerik-

saan biasa berlaku pula pada acara pemeriksaan

cepat ini dengan kekecualian tertentu, demikian

menurut ketentuan Pasal 210 KUHAP Jo Pasal

216 KUHAP. Untuk lebih jelasnya tentang aca-

ra pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara

pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas, di-

uraikan sebagai berikut:

1) Tindak Pidana Ringan

Yang dimaksud dengan “perkara ringan”,

sebagaimana menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP

adalah perkara yang diancam dengan pidana

penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan

atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima

ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang

ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

Adapun tata cara pemeriksaan tindak

pidana ringan sebagaimana diatur menurut KU-

HAP adalah sebagai berikut:

• Menurut Pasal 205 ayat (2) KUHAP, yang

berbunyi bahwa dalam perkara tindak

pidana ringan, penyidik atas kuasa penuntut

umum, dalam waktu tiga hari sejak berita

acara pemeriksaan selesai dibuat, meng-

hadapkan terdakwa beserta barang bukti,

saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang

pengadilan. Selanjutnya pada Pasal 205 ayat

(3) KUHAP bahwa pengadilan mengadili

dengan hakim tunggal pada tingkat pertama

dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan

pidana perampasan kemerdekaan terdak-

wa dapat minta banding.Dalam perkara ini

tidak dibuat surat dakwaan ke pengadilan,

jadi cukup panitera mencatat dalam register

yang diterimanya atas perintah hakim yang

bersangkutan. Berita acara dalam tindak

pidana ringan tidak dibuat, kecuali jika dalam

pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang

tidak sesuai dengan berita acara yang dibuat

oleh penyidik.

• Menurut Pasal 206 KUHAP, pengadilan

menetapkan hari tertentu dalam tujuh

hari untuk mengadili perkara dengan acara

pemeriksaan tindak pidana ringan.

• Menurut Pasal 207 KUHAP: Penyidik mem-

beritahukan secara tertulis kepada terdakwa

tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus

menghadap sidang pengadilan dan hal terse-

but dicatat dengan baik oleh penyidik, selan-

jutnya catatan bersama berkas dikirim ke

pengadilan. Perkara dengan acara pemerik-

saan tindak pidana ringan yang diterima harus

segera disidangkan pada hari sidang itu juga.

Kemudian, hakim yang bersangkutan me-

merintahkan panitera mencatat dalam buku

register semua perkara yang diterimanya.

Dalam buku register tersebut dimuat nama

lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal la-

hir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,

37 Buku Informasi - Modul KUHAP

agama dan pekerjaan terdakwa, serta apa

yang didakwakan kepadanya.

• Menurut Pasal 208 KUHAP bahwa saksi

dalam acara pemeriksaan tindak pidana

ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji

kecuali hakim menganggap perlu.

• Menurut Pasal 209 KUHAP bahwa putu-

san dicatat oleh hakim dalam daftar catatan

perkara dan selanjutnya oleh panitera di-

catat dalam buku register serta ditanda-

tangani oleh hakim yang bersangkutan dan

panitera. Mengenai berita acara pemerik-

saan sidang (BAP), BAP tidak dibuat kecuali

jika dalam pemeriksaan tersebut temyata

ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara

pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.

2) Perkara Pelanggaran Lalu Lintas

Proses pemeriksaan perkara rol polisi,

sebagaimana menurut Pasal 211 KUHAP berbu-

nyi bahwa berkas dikirim ke pengadilan negeri

tanpa surat dakwaan. Perkara yang diperiksa

menurut cara ini adalah perkara pelanggaran

tertentu terhadap peraturan perundang-undan-

gan lalu lintas jalan. Selanjutnya menurut Penje-

lasan Pasal 211 KUHAP, yang berbunyi bahwa

yang dimaksud dengan perkara pelanggaran ter-

tentu, adalah:

a. mempergunakan jalan dengan cara yang da-

pat merintangi, membahayakan ketertiban

atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin

menimbulkan kerusakan pada jalan.

b. mengemudikan kendaraan bermotor yang

tidak dapat memperlihatkan surat izin

mengemudi (SIM), surat tanda nomor ken-

daraan, surat tanda uji kendaraan yang sah

atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan

menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan lalu lintas jalan atau ia dapat

memperlihatkannya tetapi masa berlakunya

sudah kedaluwarsa.

c. membiarkan atau memperkenankan ken-

daraan bermotor dikemudikan oleh orang

yang tidak memiliki surat izin mengemudi.

d. tidak memenuhi ketentuan peraturan pe-

rundang-undangan lalu lintas jalan tentang

penomoran, penerangan, peralatan, per-

lengkapan, pemuatan kendaraan dan syarat

penggandengan dengan kendaraan lain.

e. membiarkan kendaraan bermotor yang ada

di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor

kendaraan yang sah, sesuai dengan surat

tanda nomor kendaraan yang bersangkutan.

f. pelanggaran terhadap perintah yang diberi-

kan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan

dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas

jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di

permukaan jalan.

g. pelanggaran terhadap ketentuan tentang

ukuran dan muatan yang diizinkan, cara me-

naikkan dan menurunkan penumpang dan

atau cara memuat dan membongkar barang.

h. pelanggaran terhadap izin trayek, jenis ken-

daraan yang diperbolehkan beroperasi di

jalan yang ditentukan.

Tata cara pemeriksaan terhadap perkara

pelanggaran lalu lintas, menurut KUHAP, sebagai

berikut:

• Menurut Pasal 213 KUHAP, yang berbunyi

bahwa terdakwa dapat menunjuk seorang

dengan surat untuk mewakilinya di sidang,

tetapi apabila terdakwa atau wakilnya tidak

hadir di sidang.

• Menurut Pasal 214 KUHAP yang berbunyi

bahwa:

a. Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir

di sidang, pemeriksaan perkara dilan-

jutkan.

b. Dalam hal putusan diucapkan di luar

Buku Informasi - Modul KUHAP 38

hadirnya terdakwa, surat amar putusan

segera disampaikan kepada terpidana.

c. Bukti bahwa surat amar putusan telah

disampaikan oleh penyidik kepada ter-

pidana, diserahkan kepada panitera un-

tuk dicatat dalam buku register.

d. Dalam hal putusan dijatuhkan di luar

hadirnya terdakwa (verztek) dan pu-

tusan itu berupa pidana perampasan

kemerdekaan, terdakwa dapat menga-

jukan perlawanan (verzet).

Dalam hal pengajuan verzet tersebut,

maka menurut Pasal 214 KUHAP:

a. Dalam waktu tujuh hari sesudah putu-

san diberitahukan secara sah kepada

terdakwa, ia dapat mengajukan perla-

wanan kepada pengadilan yang men-

jatuhkan putusan itu.

b. Dengan perlawanan itu putusan di luar

hadirnya terdakwa menjadi gugur.

c. Setelah panitera memberitahukan ke-

pada penyidik tentang perlawanan itu,

hakim menetapkan hari sidang untuk

memeriksa kembali perkara itu.

d. Jika putusan setelah diajukannya perla-

wanan tetap berupa pidana sebagaima-

na dimaksud di atas, terhadap putusan

tersebut terdakwa dapat mengajukan

banding.

2. Tata Tertib Persidangan

1. Pemeriksaan Terbuka untuk Umum

Sesuai Pasal 153 ayat (3) KUHAP maka

semua persidangan pengadilan terbuka untuk

umum, artinya pada saat hakim akan memulai

memeriksa perkara dalam sidang, maka ketua

majelis hakim harus menyatakan “sidang dibuka

dan terbuka untuk umum”, kecuali dalam perka-

ra mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-

anak.

2. Seluruh Hadirin Bersikap Hormat

Menurut ketentuan Pasal 218 ayat

KUHAP, bahwa:

a. Dalam ruang sidang siapa pun wajib menun-

jukkan sikap hormat kepada pengadilan.

b. Siapa pun yang di sidang pengadilan bersi-

kap tidak sesuai dengan martabat pengadi-

lan dan tidak menaati tata tertib setelah

mendapat peringatan dari hakim ketua si-

dang, atas perintahnya yang bersangkutan

dikeluarkan dari ruang sidang.

c. Dalam hal pelanggaran tata tertib seba-

gaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat

suatu tindak pidana, tidak mengurangi ke-

mungkinan dilakukan penuntutan terhadap

pelakunya.

d. Larangan membawa senjata tajam

3. Harus Hadir Sebelum Hakim Mema-

suki Ruang Sidang

Yang dimaksud harus hadir sebe-

lum hakim memasuki ruang sidang adalah pe-

ngunjung sidang/penonton, berlaku juga bagi

panitera, penuntut umum, penasihat hukum

demikian menurut ketentuan Pasal 232 KU-

HAP. Demikian pula menurut ketentuan Pasal

232 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi bahwa pada

saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang

sidang semua yang hadir berdiri untuk meng-

hormat dan ayat (3), bahwa selama sidang ber-

langsung setiap orang yang keluar-masuk ruang

sidang diwajibkan memberi hormat.

4. Hadirnya Terdakwa dalam per-

sidangan

KUHAP tidak membenarkan proses

peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan

biasa dan acara pemeriksaan singkat, sehingga

tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan,

pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan,

39 Buku Informasi - Modul KUHAP

maka berdasarkan Pasal 154 KUHAP:

a. Hakim ketua sidang memerintahkan supaya

terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam

tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan be-

bas.

b. Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa

yang tidak ditahan tidak hadir pada hari

sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua

sidang meneliti apakah terdakwa sudah di-

panggil secara sah.

c. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah,

hakim ketua sidang menunda persidangan

dan memerintahkan supaya terdakwa di-

panggil lagi untuk hadir pada hari sidang

berikutnya.

d. Jika terdakwa ternyata telah dipanggil se-

cara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa

alasan yang sah, pemeriksaan perkara terse-

but tidak dapat dilangsungkan dan hakim

ketua sidang memerintahkan agar terdakwa

dipanggil sekali lagi.

e. Jika dalam suatu perkara ada lebih dari se-

orang terdakwa dan tidak semua terdakwa

hadir pada hari sidang, pemeriksaan terha-

dap terdakwa yang hadir dapat dilangsung-

kan.

f. Hakim ketua sidang memerintahkan agar

terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan

yang sah setelah dipanggil secara sah untuk

kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada

sidang pertama berikutnya.

g. Panitera mencatat laporan dari penuntut

umum tentang pelaksanaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan

menyampaikannya kepada hakim ketua

sidang.

3. Tahapan Pemeriksaan di Persidangan

3.1. Sidang Pertama

3.1.1. Proses Pemeriksaan Identitas

Terdakwa

Pada saat persidangan pertama

(Sidang I) maka menurut ketentuan Pasal 155

ayat (1) KUHAP, hakim ketua sidang (ketua ma-

jelis hakim) bertanya kepada terdakwa tentang:

• nama lengkap.

• tempat lahir, umur atau tanggal lahir.

• jenis kelamin.

• kebangsaan.

• tempat tinggal/alamat/domisili saat ini.

• agama.

• pekerjaan.

Setelah ketua majelis hakim menanya-

kan identitas terdakwa, selanjutnya menurut

Pasal 155 ayat (1) KUHAP, ketua majelis hakim

mengingatkan terdakwa agar memperhatikan

segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya

selama persidangan.

3.1.2. Pembacaan Surat Dakwaan oleh

Penuntut Umum

Setelah pemeriksaan identitas terdakwa

sebagaimana dimaksud di atas yang masih dalam

pemeriksaan sidang pertama, selanjutnya pem-

bacaan surat dakwaan oleh penuntut umum,

sebagaimana menurut ketentuan di bawah ini:

1. Setelah penuntut umum siap surat dakwaan-

nya maka menurut ketentuan Pasal 155 ayat

(2) huruf a KUHAP, hakim ketua sidang

dapat meminta kepada penuntut umum un-

tuk membacakan surat dakwaan.

2. Setelah pembacaan surat dakwaan oleh

penuntut umum selesai, ketua majelis hakim

menanyakan isi surat dakwaan kepada ter-

dakwa sebagaimana menurut Pasal 155 ayat

(2) huruf b KUHAP, yang berbunyi bahwa

selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan

Buku Informasi - Modul KUHAP 40

kepada terdakwa apakah ia sudah benar-

benar mengerti isi surat dakwaan penun-

tut umum, apabila terdakwa ternyata tidak

mengerti surat dakwaan tersebut, maka

penuntut umum atas permintaan hakim

ketua sidang wajib segera memberi pen-

jelasan yang diperlukan.

3.2. Sidang Kedua

Eksepsi atau tangkisan terdakwa atau

penasihat hukum adalah suatu jawaban atau

tanggapan terhadap dakwaan penuntut umum,

yang tidak mengenai pokok perkara (Sutan-

tio & Iskandar, 1985). Oleh karena itu, eksepsi

atau tangkisan ini sangat penting artinya bagi

terdakwa atau penasihat hukum, sebab dengan

mengeksepsi suatu surat dakwaan yang dibuat

oleh penuntut umum dapat berakibat:

a. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut

umum, dinyatakan ”tidak dapat diterima”

(Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP).

b. Surat dakwaan yang dibuat oleh penun-

tut umum, dinyatakan ”batal demi hukum”

(Pasal 143 ayat (3) KUHAP).

c. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut

umum, dinyatakan ”ditolak”.

d. Perkara dinyatakan sudah ”nebis in idem”.

e. Pengadilan menyatakan dirinya tidak ber-

wenang mengadili perkara tersebut, karena

menjadi wewenang pengadilan lain atau

pengadilan negeri yang lain (kompetensi

absolut dan relatif dari pengadilan).

f. Penuntutan dinyatakan ”telah kedaluwarsa”.

g. Pelaku tindak pidana dinyatakan tidak dapat

dipertanggungjawabkan (Pasal 14 KUHAP).

KUHAP hanya mengatur tentang

beberapa jenis dan alasan atau dasar eksepsi

sebagiaman diatur dalam ketentuan Pasal 143

ayat (2) KUHAP dan Pasal 148 KUHAP, yang

berbunyi sebagai berikut:

a. Masalah Kompetensi Pengadilan:

1. Eksepsi Absolut. Eksepsi absolut ada-

lah suatu tangkisan mengenai kom-

petensi pengadilan, yaitu kompetensi

relatif dan absolut. Kompetensi absolut

merupakan wewenang apa yang dimi-

liki oleh pengadilan atau pengadilan

apa yang mempunyai kewenangan un-

tuk mengadili suatu perkara. Misalnya

pengadilan pajak memiliki kewenangan

mengadili perkara terkait pajak, dan

pengadilan militer memiliki wewenang

mengadili perkara terkait perma-

salahan militer.

2. Kompetensi Relatif. Kompetensi

relatif merupakan kompetensi pe-

ngadilan untuk mengadili suatu perkara

berdasarkan wilayah di mana perkara

tersebut terkait. Terdapat bebera-

pa peraturan di luar KUHAP yang

juga mengatur kompetensi relatif ini.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 ten-

tang Peradilan Tata Usaha Negara (UU

PTUN) menjelaskan gugatan diajukan

kepada PTUN berdasarkan domisili

tergugat dan apabila lebih dari satu ter-

gugat maka dipilih salah satu (domisili)

tergugat. Selain itu kompetensi relatif

dapat juga berdasarkan domisili peng-

gugat. Pasal 118 (1) HIR menyatakan

bahwa kompetensi relatif mengacu

kepada wilayah hukum atau domisili

tergugat.

b. Masalah Surat Dakwaan Penuntut Umum:

1. Syarat Formal

Eksepsi atau tangkisan terdakwa/pe-

nasihat hukum adalah menyangkut ten-

tang surat dakwaan penuntut umum

yang tidak memenuhi syarat formal,

41 Buku Informasi - Modul KUHAP

d. Perkara yang sama sedang diadili di penga-

dilan negeri lain atau sedang dalam tingkat

banding atau kasasi.

e. Terdakwa tidak dapat dipertanggungjawab-

kan (Pasal 44 KUHPidana).

f. Dakwaan penuntut umum kabur (obscuur

libel).

g. Penuntutan telah kedaluwarsa (Pasal 74

KUHPidana).

3.3. Sidang Ketiga (Pembuktian)

Untuk membuktikan kesalahan terdak-

wa, pengadilan (hakim) terikat oleh cara-cara

atau ketentuan-ketentuan pembuktian seba-

gaimana yang telah diatur dalam undang-undang.

Pembuktian yang sah harus dilakukan di sidang

pengadilan yang memeriksa dan mengadili ter-

dakwa. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan alat

bukti yang sah sebagaimana diatur dalam keten-

tuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi (Pemeriksaan Saksi)

Adapun yang dimaksud dengan kete-

rangan saksi sebagaimana menurut Pasal 1 angka

27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam

perkara pidana mengenai suatu peristiwa pi-

dana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan

ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pe-ngetahuannya itu.

Tentang tata cara pemeriksaan saksi da-

pat diuraikan sebagai berikut:

1. Sebelum dimulai pemeriksaan saksi maka

menurut Pasal 159 ayat (1) KUHAP, hakim

ketua memeriksa/meneliti apakah semua

saksi-saksi yang dipanggil oleh penuntut

umum telah hadir, selain ketua memerintah-

kan penuntut umum untuk mencegah jangan

sampai saksi saling berhubungan antara yang

satu dan yang lain.

2. Ketua majelis segera memerintahkan kepa-

sebab penuntut umum di dalam mem-

buat surat dakwaan yang tidak diberi

tanggal dan ditandatangani serta tidak

memuat secara lengkap, tentang: nama

lengkap, tempat lahir, umur atau tang-

gal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tem-

pat tinggal/alamat, agama dan pekerjaan

tersangka sebagaimana yang ditentu-

kan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP.

Dengan demikian, surat dakwaan pe-

nuntut umum menimbulkan ”error of

subjektum”, sehingga dapat dibatalkan

oleh hakim dan/atau dinyatakan tidak

dapat diterima.

2. Syarat Materiil

Eksepsi atau tangkisan terdak-

wa/penasihat hukum adalah menyang-

kut surat dakwaan penuntut umum

yang tidak memenuhi syarat-syarat

materiil sebagaimana yang dimaksud

menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2)

huruf b KUHAP, bahwa surat dak-

waan:

• Tidak memuat uraian secara cer-

mat, jelas dan lengkap menge-

nai tindak pidana yang didakwa-

kan.

• Tidak memuat dengan menyebut-

kan kapan waktu tindak pidana itu

dilakukan (tempos delictie).

• Tidak memuat dan menyebutkan

di mana tempat tindak pidana itu

dilakukan (locus delictie).

Sehingga surat dakwaan terse-

but di atas menurut ayat (3), bahwa su-

rat dakwaan yang tidak memenuhi ke-

tentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) huruf b batal demi hukum.

c. Perkara itu telah ne bis in idem ( Pasal 76

KUHAP).

Buku Informasi - Modul KUHAP 42

tang keterangan tersebut. Terdakwa dapat

mengajukan keberatan atau bantahan atas

keterangan saksi tersebut atau sebaliknya

menerima dan/atau menambahkan serta

memperjelas atas keterangan saksi tersebut.

6. Demikian pula menurut Pasal 165 KUHAP:

a) Hakim ketua sidang dan hakim ang-

gota dapat minta kepada saksi segala

keterangan yang dipandang perlu untuk

mendapatkan kebenaran.

b) Penuntut umum, terdakwa, atau penasi-

hat hukum dengan perantaraan hakim

ketua sidang diberi kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan kepada saksi.

c) Hakim ketua sidang dapat menolak

pertanyaan yang diajukan oleh penun-

tut umum, terdakwa, atau penasihat hu-

kum kepada saksi dengan memberikan

alasannya.

d) Hakim dan penuntut umum atau ter-

dakwa atau penasihat hukum de-

ngan perantaraan hakim ketua sidang,

dapat saling menghadapkan saksi untuk

menguji kebenaran keterangan mereka

masing-masing.

7. Menurut Pasal 166 KUHAP, pertanyaan

yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan

kepada saksi.

Menurut Pasal 167 KUHAP:

a) Setelah saksi memberi keterangan, ia

tetap hadir di sidang kecuali hakim ke-

tua sidang memberi izin untuk mening-

galkannya.

b) Izin itu tidak diberikan jika penuntut

umum atau terdakwa atau penasihat

hukum mengajukan permintaan supaya

saksi itu tetap menghadiri sidang.

c) Para saksi selama sidang dilarang saling

bercakap-cakap.

da penuntut umum untuk segera memanggil

saksi-saksi masuk ke ruang sidang yang

hadir, sebagaimana menurut Pasal 160 ayat

(1) huruf a KUHAP.

3. Sebelum saksi memberikan keterangan

maka menurut Pasal 160 ayat (2) KUHAP,

hakim ketua sidang menanyakan kepada

saksi keterangan tentang: (1) nama lengkap;

(2) tempat lahir; (3) umur atau tanggal lahir;

(4) jenis kelamin; (5) kebangsaan; (6) tem-

pat tinggal; (7) agama; dan (8) pekerjaan, dan

selanjutnya ketua menanyakan kepada saksi,

tentang:

• apakah ia kenal terdakwa sebelum ter-

dakwa melakukan perbuatan yang men-

jadi dasar dakwaan

• apakah ia berkeluarga sedarah atau

semenda dan sampai derajat keberapa

dengan terdakwa, atau

• apakah ia suami atau istri terdakwa

meskipun sudah bercerai atau terikat

hubungan kerja dengannya.

4. Saksi sebelum memberikan keterangan,

menurut Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sak-

si wajib mengucapkan sumpah atau janji

menurut cara agamanya masing-masing,

bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya dan tidak lain daripada yang se-

benarnya.

5. Selanjutnya tanya jawab kepada saksi

dengan melalui perantaraan hakim ketua

sidang. Dasar hukumnya terdapat dalam

Pasal 164 ayat (2) KUHAP, penuntut umum

atau penasihat hukum dengan perantaraan

hakim ketua sidang diberi kesempatan un-

tuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.

Setelah saksi memberikan keterangan atau

kesaksian maka menurut Pasal 164 ayat (1)

KUHAP, hakim ketua sidang menanyakan ke-

pada terdakwa bagaimana pendapatnya ten-

43 Buku Informasi - Modul KUHAP

b. Keterangan Ahli

Adapun yang dimaksud dengan ke-

terangan ahli, sebagaimana menurut ketentuan

Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan

yang diberikan oleh seorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan un-

tuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan.

Setiap orang yang dipanggil untuk

memberikan keterangan (ahli) di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana di pengadilan me-

nurut ketentuan Pasal 179 KUHAP adalah:

1. Setiap orang yang diminta pendapatnya

sebagai ahli kedokteran kehakiman atau

dokter atau ahli lainnya wajib memberikan

keterangan ahli demi keadilan.

2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk

saksi berlaku juga bagi mereka yang mem-

berikan keterangan ahli, dengan ketentuan

bahwa mereka mengucapkan sumpah atau

janji akan memberikan keterangan yang se-

baik-baiknya dan yang sebenarnya menurut

pengetahuan dalam bidang keahliannya.

3. Adapun tujuan daripada keterangan ahli

menurut Pasal 180 ayat (1) KUHAP untuk

menjernihkan duduknya persoalan yang

timbul di sidang pengadilan. Tetapi apabila

keterangan ahli tersebut telah menimbul-

kan keberatan dari terdakwa atau penasi-

hat hukum maka menurut Pasal 18 ayat (2)

KUHAP, hakim dapat memerintahkan agar

hal itu dilakukan penelitian ulang.

c. Alat Bukti Surat

Adapun surat yang digunakan se-

bagai alat bukti surat yang sah dalam per-

sidangan adalah alat bukti surat sebagaimana dia-

tur dalam Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi surat

sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1)

huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah, yaitu:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk

resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang atau yang dibuat di hadapannya

yang memuat keterangan tentang kejadian

atau keadaan yang didengar dilihat atau yang

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan

yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan pera-

turan perundang-undangan atau surat yang

dibuat oleh pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi

tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang

memuat pendapat berdasarkan keahlian-

nya mengenai sesuatu hal yang atau sesua-

tu keadaan yang diminta secara resmi dari

padanya.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuk-

tian yang lain. Adapun contoh-contoh dari

alat bukti surat, antara lain berita acara

pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyi-

dik (polisi), berita acara pemeriksaan pe-

ngadilan (BAPP), berita acara penyitaan,

surat perintah penangkapan, surat perintah

penyitaan, surat perintah penahanan, surat

izin penggeledahan, surat izin penyitaan, dan

lain sebagainya.

d. Alat Bukti Petunjuk

Adapun tentang petunjuk sebagai

alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 188

KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau

keadaan, yang karena persesuaiannya, baik

antara yang satu dan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menanda-

Buku Informasi - Modul KUHAP 44

KUHPidana, yang berbunyi bahwa jika

terdakwa tidak mau menjawab atau

menolak untuk menjawab pertanyaan

yang diajukan kepadanya, hakim ketua

sidang menganjurkan untuk menjawab

dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.

2. Tingkah laku terdakwa dalam persida-

ngan, menurut Pasal 176 KUHAP, yang

berbunyi bahwa jika terdakwa ber-

tingkah laku yang tidak patut sehingga

mengganggu ketertiban sidang, hakim

ketua sidang menegurnya dan jika

teguran itu tidak diindahkan ia me-

merintahkan supaya terdakwa dike-

luarkan dari ruang sidang, kemudian

pemeriksaan perkara pada waktu itu di-

lanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.

3. Menurut Pasal 164 ayat (2) KUHAP,

bahwa penuntut umum atau penasihat

hukum dengan perantaraan hakim ketua

sidang diberi kesempatan untuk menga-

jukan pertanyaan kepada terdakwa.

3.4. Sidang Keempat

Adapun isi dari pada requisitoir atau

surat tuntutan hukum pada umumnya, antara

lain berisi hal-hal sebagai berikut:

1. Identitas terdakwa secara lengkap, yaitu: (1)

nama lengkap; (1) tempat lahir, umur/tanggal

lahir; (2) jenis kelamin; (3) kebangsaan; (4)

tempat tinggal; (5) agama; dan (6) pekerjaan,

dan sebagainya.

2. Isi dakwaan.

3. Fakta-fakta yang terungkap dalam persi-

dagan, antara lain seperti: (1) keterangan

saksi; (2) keterangan terdakwa; (3) keterang-

an ahli; (4) barang bukti; dan bukti-bukti su-

rat lainnya.

4. Fakta-fakta yuridis, dan lain sebagainya.

5. Pembahasan yuridis, yaitu penuntut umum

kan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) hanya dapat diperoleh dari:

a) keterangan saksi;

b) surat;

c) keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari

suatu petunjuk dalam setiap keadaan ter-

tentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan

bijaksana setelah ia mengadakan pemerik-

saan dengan penuh kecermatan dan ke-

seksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Adapun alat bukti keterangan terdak-

wa adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 189

KUHAP yang berbunyi bahwa:

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang ter-

dakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan

yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri

atau alami sendiri.

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di

luar sidang dapat digunakan untuk mem-

bantu menemukan bukti di sidang, asalkan

keterangan itu didukung oleh suatu alat

bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang

didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat diguna-

kan terhadap dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melaku-

kan perbuatan yang didakwakan kepadanya,

melainkan harus disertai dengan alat bukti

yang lain.

Dalam hal terdakwa memberikan ke-

terangan dalam persidangan, adalah sebagai

berikut:

1. Anjuran agar terdakwa menjawab per-

tanyaan, demikian menurut Pasal 175

45 Buku Informasi - Modul KUHAP

membuktikan satu per satu tentang pasal-

pasal yang didakwakan, yaitu apakah terbuk-

ti atau tidak.

6. Pertimbangan tentang hal-hal yang mem-

beratkan dan meringankan terdakwa.

7. Tuntutan hukum (menuntut), yaitu penuntut

umum meminta kepada majelis hakim agar

terdakwa: dijatuhi berapa lamanya hukuman

atau pembebasan atau pelepasan terdakwa

dari segala dakwaan atau tuntutan hukum

dan tuntutan lainnya atau pidana tambahan.

8. Diberi nomor (register) dan tanggal, serta

ditandatangani oleh penuntut umum.

3.5. Sidang Kelima (Pembelaan)

Setelah pembacaan tuntutan oleh

penuntut umum maka proses selanjutnya

terdakwa atau penasihat hukum dapat me-

ngajukan pleidoi atau pembelaan atas tun-

tutan penuntut umum. Dasar hukum pembelaan

(pleidoi) sebagaimana diatur dalam Pasal 182

ayat (1) huruf b KUHAP, bahwa terdakwa dan

atau penasihat hukum mengajukan pembelaan-

nya yang dapat dijawab oleh penuntut umum.

Adapun isi atau sistematika pembelaan

(pleidoi) tidak ada ketentuan atau diatur dalam

KUHAP. Namun demikian, menurut Andi

Sofyan (2012), pada pokoknya suatu pembelaan

dapat berisikan antara lain:

1. Pendahuluan

a. Pengantar.

b. Uraian bahasan tentang dakwaan pe-

nuntut umum.

c. Uraian bahasan tentang tuntutan

(requisitoir) penuntut umum.

2. Fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan:

a. Keterangan saksi-saksi.

b. Keterangan terdakwa.

c. Uraian tentang alat bukti dan barang

bukti.

d. Fakta-fakta yuridis dan non-yuridis.

3. Pembahasan atau uraian, tentang:

a. Socio-psychologis.

b. Yuridis dan non-yuridis.

4. Kesimpulan, yaitu antara lain:

a. Terdakwa minta dibebaskan dari segala

dakwaan (bebas murni) atau vrispraak

(karena tidak terbukti).

b. Terdakwa supaya dilepaskan dari segala

tuntutan hukum (anslag van Rechtsver-

volging) karena dakwaan terbukti, tetapi

bukan merupakan suatu tindak pidana.

c. Terdakwa minta dihukum yang se-

ringan-ringannya, karena telah terbukti

melakukan suatu tindak pidana yang

didakwakan kepadanya.

3.6. Sidang Keenam (Replik)

Setelah pembacaan pleidoi atau pem-

belaan oleh terdakwa atau penasihat hukum,

proses selanjutnya diberikan kesempatan

kepada penuntut umum untuk menanggapi

pleidoi atau pembelaan terdakwa atau penasihat

hukum, yaitu dengan replik. Dasar hukum dari

replik adalah Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP,

yaitu penuntut umum dapat menjawab pem-

belaan terdakwa dan atau penasihat hukumnya.

Dan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP yang

berbunyi, bahwa jawaban atas pembelaan di-

lakukan secara tertulis. Jadi istilah “replik” baik

di dalam HIR maupun KUHAP tidak ditentukan,

hanya menemukan istilah ”dapat dijawab” oleh

penuntut umum.

Namun demikian, istilah “replik” dapat

digunakan sebagai tanggapan balik atau jawaban

atas pleidoi terdakwa/penasihat hukum dan hal-

hal lainnya yang belum termuat dalam requisitoir

atau surat tuntutan hukum.

Buku Informasi - Modul KUHAP 46

3.7. Sidang Ketujuh (Duplik)

Dasar hukum dari duplik sama dengan

dasar hukum dari replik, yaitu sebagaimana di-

atur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP,

bahwa terdakwa dan atau penasihat hukum

mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab

oleh penuntut umum, dengan ketentuan ter-

dakwa atau penasihat hukum selalu mendapat

giliran terakhir. Dan menurut Pasal 182 ayat (1)

huruf c KUHAP, bahwa jawaban atas pembelaan

dilakukan secara tertulis.

3.8. Sidang Kedelapan (Putusan)

Adapun yang dimaksud dengan putusan

pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini. Untuk

lebih jelasnya tentang putusan pengadilan seba-

gaimana diatur dalam KUHAP, sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 191:

a. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari

hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan ter-

dakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

b. Jika pengadilan berpendapat bahwa perbua-

tan yang didakwakan kepada terdakwa ter-

bukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan

suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus

lepas dari segala tuntutan hukum.

c. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam

status tahanan diperintahkan untuk dibe-

baskan seketika itu juga kecuali karena ada

alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

2. Menurut Pasal 192, bahwa:

a. Perintah untuk membebaskan terdakwa se-

bagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat

(3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah

putusan diucapkan.

b. Laporan tertulis mengenai pelaksanaan

perintah tersebut yang dilampiri surat

penglepasan, disampaikan kepada ketua

pengadilan yang bersangkutan selambat-

lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh

empat jam.

3. Menurut Pasal 193, bahwa:

a. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdak-

wa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya maka pengadilan

menjatuhkan pidana.

b. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika

terdakwa tidak ditahan, dapat memerin-

tahkan supaya terdakwa tersebut ditahan,

apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan

terdapat alasan, cukup untuk itu. Dalam hal

terdakwa ditahan, pengadilan dalam men-

jatuhkan putusannya, dapat menetapkan

terdakwa tetap ada dalam tahanan atau

membebaskannya, apabila terdapat alasan

cukup untuk itu.

4. Menurut Pasal 194, bahwa:

a. Dalam hal putusan pemidanaan atau be-

bas atau lepas dari segala tuntutan hu-

kum, pengadilan menetapkan supaya barang

bukti yang disita diserahkan kepada pihak

yang paling berhak menerima kembali yang

namanya tercantum dalam putusan tersebut

kecuali jika menurut ketentuan undang-un-

dang barang bukti itu harus dirampas untuk

kepentingan negara atau dimusnahkan atau

dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan

lagi.

b. Kecuali apabila terdapat alasan yang sah,

47 Buku Informasi - Modul KUHAP

pengadilan menetapkan supaya barang bukti

diserahkan segera sesudah sidang selesai.

c. Perintah penyerahan barang bukti dilakukan

tanpa disertai sesuatu syarat apa pun, ke-

cuali dalam hal putusan pengadilan belum

mempunyai kekuatan hukum tetap.

5. Menurut Pasal 195, semua putusan pe-

ngadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan

hukum apabila diucapkan di sidang terbuka

untuk umum.

6. Menurut Pasal 196, bahwa:

a. Pengadilan memutus perkara dengan

hadirnya terdakwa kecuali dalam hal un-

dang-undang ini menentukan lain.

b. Dalam hal terdapat lebih dari seorang ter-

dakwa dalam satu perkara, putusan dapat

diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang

ada.

c. Segera sesudah putusan pemidanaan diu-

capkan, bahwa hakim ketua sidang wajib

memberitahukan kepada terdakwa tentang

segala apa yang menjadi haknya, yaitu:

1. hak segera menerima atau segera me-

nolak putusan.

2. hak mempelajari putusan sebelum

menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang ini.

3. hak minta penangguhan pelaksanaan

putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk

dapat mengajukan grasi, dalam hal ia

menerima putusan.

4. hak minta diperiksa perkaranya dalam

tingkat banding dalam tenggang waktu

yang ditentukan oleh undang-undang

ini, dalam hal ia menolak putusan.

5. hak mencabut pernyataan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dalam teng-

gang waktu yang ditentukan oleh un-

dang-undang ini.

7. Menurut Pasal 197, bahwa:

1. Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbu-

nyi: “DEMI KEADILAN BERDASAR-

KAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA”.

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau

tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tem-

pat tinggal, agama, dan pekerjaan ter-

dakwa.

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam

surat dakwaan.

d. pertimbangan yang disusun secara ring-

kas mengenai fakta dan keadaan be-

serta alat pembuktian yang diperoleh

dari pemeriksaan di sidang yang men-

jadi dasar penentuan kesalahan terdak-

wa.

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat

dalam surat tuntutan.

f. pasal peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan pasal peraturan perun-

dang-undangan yang menjadi dasar

hukum dari putusan, disertai keadaan

yang memberatkan dan yang meringan-

kan terdakwa.

g. hari dan tanggal diadakannya musya-

warah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal.

h. pernyataan kesalahan terdakwa, per-

nyataan telah terpenuhi semua unsur

dalam rumusan tindak pidana disertai

dengan kualifikasinya dan pemidanaan

atau tindakan yang dijatuhkan.

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara

Buku Informasi - Modul KUHAP 48

dibebankan dengan menyebutkan jum-

lahnya yang pasti dan ketentuan me-

ngenai barang bukti.

j. keterangan bahwa seluruh surat ter-

nyata palsu atau keterangan di mana le-

taknya kepalsuan itu, jika terdapat surat

otentik dianggap palsu.

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau

tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

l. hari dan tanggal putusan, nama penun-

tut umum, nama hakim yang memutus,

dan nama panitera.

2. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1)

(a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l) pasal ini me-

ngakibatkan putusan batal demi hukum.

8. Menurut Pasal 199:

1. Surat putusan bukan pemidanaan memuat:

a. ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf

e, f, dan h.

b. pernyataan bahwa terdakwa diputus

bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum, dengan menyebutkan alasan

dan pasal peraturan perundang-un-

dangan yang menjadi dasar putusan.

c. perintah supaya terdakwa segera dibe-

baskan jika ia ditahan.

9. Menurut Pasal 200, surat putusan ditanda-

tangani oleh hakim dan panitera seketika setelah

putusan itu diucapkan.

4. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Setelah pembacaan putusan penga-

dilan, apabila terdakwa atau penasihat hukum

dan penuntut umum tidak mengajukan upaya

hukum atas putusan pengadilan tersebut maka

putusan pengadilan telah berkekuatan hukum

yang tetap. Keputusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tersebut tetap harus segera

dilaksanakan (eksekusi), dengan pelaksanaan

sebagaimana menurut UU No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

1. Pasal 54 yang berbunyi bahwa:

1. Pelaksanaan putusan pengadilan dalam

perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

2. Pelaksanaan putusan pengadilan dalam

perkara perdata dilakukan oleh pani-

tera dan juru sita dipimpin oleh ketua

pengadilan.

3. Putusan pengadilan dilaksanakan de-

ngan memperhatikan nilai kemanusiaan

dan keadilan.

2. Pasal 55 yang berbunyi bahwa:

1. Ketua pengadilan wajib mengawasi

pelaksanaan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

2. Pengawasan pelaksanaan putusan pe-

ngadilan sebagaimana dimaksud di atas

dilakukan sesuai dengan peraturan pe-

rundang-undangan.

3. Untuk lebih jelasnya, diuraikan pasal-

pasal dalam KUHAP yang mengatur

tentang pelaksanaan putusan pengadi-

lan, sebagai berikut:

• Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum

tetap dilakukan oleh jaksa, yang

untuk itu panitera mengirimkan

salinan surat putusan kepadanya.

• Pasal 271 KUHAP, dalam hal

pidana mati, pelaksanaannya di-

lakukan tidak di muka umum dan

menurut ketentuan undang-un-

dang.

• Pasal 272 KUHAP, jika terpidana

dipidana penjara atau kurungan

49 Buku Informasi - Modul KUHAP

dan kemudian dijatuhi pidana yang

sejenis sebelum ia menjalani pi-

dana yang dijatuhkan terdahulu

maka pidana itu dijalankan bertu-

rut-turut dimulai dengan pidana

yang dijatuhkan lebih dahulu.

4. Menurut Pasal 273 KUHAP:

• Jika putusan pengadilan menjatuh-

kan pidana denda, kepada terpidana

diberikan jangka waktu satu bulan

untuk membayar denda terse-

but kecuali dalam putusan acara

pemeriksaan cepat yang harus

seketika dilunasi.

• Dalam hal terdapat alasan kuat,

jangka waktu sebagaimana tersebut

pada ayat (1) dapat diperpanjang

untuk paling lama satu bulan.

• Jika putusan pengadilan juga me-

netapkan bahwa barang bukti

dirampas untuk negara, selain

pengecualian sebagaimana terse-

but pada Pasal 46, jaksa mengua-

sakan benda tersebut kepada kan-

tor lelang negara dan dalam waktu

tiga bulan untuk dijual lelang, yang

hasilnya dimasukkan ke kas negara

untuk dan atas nama jaksa.

5. Menurut Pasal 274 KUHAP, dalam hal

pengadilan menjatuhkan juga putusan

ganti kerugian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya

dilakukan menurut tata cara putusan

perdata.

6. Menurut Pasal 275 KUHAP, apabila

lebih dari satu orang dipidana dalam

satu perkara maka biaya perkara dan

atau ganti kerugian sebagaimana di-

maksud dalam Pasal 274, dibebankan

kepada mereka bersama-sama secara

berimbang.

7. Menurut Pasal 276 KUHAP, dalam

hal pengadilan menjatuhkan pidana

bersyarat, pelaksanaannya dilakukan

dengan pengawasan serta pengamatan

yang sungguh-sungguh dan menurut

ketentuan undang-undang.

5. Upaya Hukum

Menurut R. Atang Ranoemihardjo

(1976), yang dimaksud upaya hukum yaitu suatu

usaha dari pihak-pihak yang merasa tidak puas

terhadap keputusan hakim yang dianggapnya

kurang adil atau kurang tepat. Sedangkan menu-

rut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, upaya hukum adalah hak

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan. Demikian pula

menurut Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu hak ter-

dakwa atau penuntut umum untuk tidak mene-

rima putusan pengadilan yang berupa perlawa-

nan atau banding atau kasasi atau hak terpidana

untuk mengajukan permohonan peninjauan

kembali dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam KUHAP.

Jadi upaya hukum menurut Pasal 1 butir

12 KUHAP di atas telah membedakan antara

upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa,

yaitu:

5.1. Upaya Hukum Biasa

a. Banding

Pemeriksaan tingkat banding dalam

hukum pidana diatur dalam Pasal 233 sampai

dengan Pasal 234 KUHAP. Pengajuan banding

diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7

(tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau

setelah putusan diberitahukan kepada ter-

dakwa yang tidak hadir dalam pengucapan pu-

tusan (Pasal 233 ayat (2) KUHAP). Pengajuan

Buku Informasi - Modul KUHAP 50

banding yang diajukan melampaui tenggang wak-

tu tersebut harus ditolak dengan membuat surat

keterangan (Pasal 234 ayat (2) KUHAP). Setiap

putusan pengadilan dapat diajukan permoho-

nan banding, tetapi ada pengecualiannya seba-

gaimana diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Penge-

cualian untuk mengajukan banding menurut

Pasal 67 KUHAP yaitu: putusan bebas, lepas

dari segala tuntutan hukum yang menyangkut

masalah kurang tepatnya penerapan hukum, dan

putusan pengadilan dalam acara cepat.

b. Kasasi

Kasasi adalah tindakan pembatalan dari

Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi

atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan

lain (Prodjodikoro, 1983). Adapun dasar pe-

ngajuan kasasi adalah Pasal 244 KUHAP, bahwa

terhadap putusan perkara pidana yang diberikan

pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain

dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut

umum dapat mengajukan permintaan pemerik-

saan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali

terhadap putusan bebas. Adapun alasan untuk

mengajukan permohonan kasasi, yang diatur

dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu:

1. apakah benar suatu peraturan hukum tidak

diterapkan atau diterapkan tidak seba-

gaimana mestinya.

2. apakah benar cara mengadili tidak dilak-

sanakan menurut ketentuan undang-undang.

3. apakah benar pengadilan telah me-lam-

paui batas wewenangnya. Maka Mahkamah

Agung menetapkan pengadilan atau hakim

lain mengadili perkara tersebut (Pasal 255

KUHAP).

5.2. Upaya Hukum Luar Biasa

a. Kasasi Demi Kepentingan Hukum

KUHAP telah mengatur tentang upaya

hukum luar biasa dalam Bab XVIII Bagian Kesatu

dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP

tentang Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan

Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal

269 KUHAP tentang Peninjauan Kembali.

Dalam pengajuan kasasi demi kepen-

tingan hukum oleh Jaksa Agung dimaksudkan

untuk menjaga kepentingan terpidana (Andi So-

fyan, 2012). Sebab putusan kasasi demi kepen-

tingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan (terpidana) (Pasal 259 ayat (2)

KUHAP). Artinya, hukuman yang akan dijatuhkan

oleh Mahkamah Agung atas permintaan kasasi

demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung tidak

boleh lebih berat daripada hukuman semula

yang telah dijatuhkan dan mempunyai kekuatan

hukum yang tetap.

b. Peninjauan Kembali

Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP,

bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan, kecuali putusan bebas

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum,

terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan

permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah

Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP,

dasar diajukannya permohonan Peninjauan

Kembali adalah sebagai berikut:

a. Adanya keadaan baru (novum).

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat

saling pertentangan.

c. Apabila terdapat kekhilafan hakim yang

nyata dalam putusan.

Selain upaya hukum tersebut di atas,

masih terdapat upaya hukum lainnya diatur

dalam KUHAP, yaitu upaya hukum verzet atau

upaya hukum perlawanan. Di samping itu, ter-

dapat pula upaya hukum yang tidak diatur dalam

KUHAP, yaitu grasi sebagaimana diatur dalam

Ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002

51 Buku Informasi - Modul KUHAP

dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No.

5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

6. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti

Kerugian

Penggabungan perkara gugatan ganti

kerugian merupakan upaya untuk meminta per-

tanggungjawaban atas suatu tindakan yang di-

lakukan suatu pihak dengan melihat beberapa

kerugian dalam satu kejadian. Untuk lebih jelas-

nya dicontohkan sebagai berikut, yaitu Si A me-

nabrak si B, kemudian si B dirawat di rumah sak-

it, si A diadili dengan dakwaan ”akibat kelalaian”

menyebabkan si B cacat. Namun si B mengalami

kerugian, misalnya biaya pengobatan, dan lain-lain

sebagainya, maka berdasarkan Pasal 98 ayat (1)

KUHAP, bahwa di samping A dituntut melaku-

kan suatu perbuatan ”akibat kelalaian” dan juga

dihukum untuk membayar ganti kerugian pada si

B akibat perbuatan tersebut. Selengkapnya, bu-

nyi Pasal 98 ayat (1) KUHAP, bahwa jika suatu

perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam

suatu pemeriksaan perkara pidana oleh penga-

dilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang

lain maka hakim ketua sidang atas permintaan

orang itu dapat menetapkan untuk mengga-

bungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada

perkara pidana itu.

6.1. Pihak dalam Gugatan Ganti Rugi

Dengan dikabulkannya penggabungan

gugatan ganti rugi pada perkara pidana maka

berdasarkan pasal 101 KUHAP, ketentuan dari

aturan hukum acara perdatalah yang berlaku

bagi pemeriksaan gugatan ganti kerugian. Dalam

hukum acara perdata, yang disebut pihak-pihak

dalam gugatan ganti rugi adalah pihak penggugat

dan tergugat.

6.2. Waktu untuk Dapat Mengajukan

Gugatan Ganti Rugi

Gugatan ganti kerugian dapat diaju-

kan dalam penggabungan perkara pemeriksaan

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat

(2) KUHAP, yang menetapkan saat pengajuan gu-

gatan ganti kerugian dalam penggabungan, yaitu:

1. Dalam pemeriksaan perkara pidana acara

biasa dan acara singkat (sumir), penuntut

umum hadir dalam persidangan, maka guga-

tan ganti kerugian hanya dapat diajukan se-

lambat-lambatnya, sebelum penuntut umum

mengajukan tuntutan pidana; sedangkan

2. Apabila penuntut umum tidak hadir dalam

pemeriksaan perkara acara cepat dan

pemeriksaan perkara lalu lintas jalan, tun-

tutan ganti kerugian dapat diajukan selam-

bat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan

putusan.

6.3. Besarnya Jumlah Ganti Kerugian

Besarnya tuntutan ganti kerugian yang

dapat diminta korban atau orang yang dirugikan

kepada terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 99 ayat (2) KUHAP, apabila dalam hal pe-

ngadilan negeri menyatakan tidak berwenang

mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat di-

terima, putusan hakim hanya memuat tentang

penetapan hukuman penggantian biaya yang

telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

6.4. Maksud dan Tujuan Penggabungan

Perkara Gugatan Ganti Kerugian

Maksud dan tujuan penggabungan

perkara ganti kerugian dengan pemeriksaan

perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal

98 ayat (1) KUHAP, bahwa maksud pengga-

bungan perkara gugatan pada perkara pidana

ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada

Buku Informasi - Modul KUHAP 52

suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus

sekaligus dengan perkara pidana yang bersang-

kutan. Atau dengan kata lain, untuk menyeder-

hanakan proses pemeriksaan dan pengajuan

gugatan ganti kerugian itu sendiri. Yang dimak-

sud dengan “kerugian bagi orang lain” di sini ada-

lah termasuk kerugian pihak korban.

Masalah gugatan ganti kerugian yang

diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP berbeda

dengan apa yang dimaksud dengan ganti keru-

gian yang dimaksud pada Bab XII Bagian Kesatu

Pasal 95 KUHAP, sebab gugatan ganti kerugian

sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 KUHAP

adalah suatu gugatan ganti kerugian yang tim-

bul akibat dilakukannya suatu tindak pidana

atau gugatan ganti kerugian bukan akibat pe-

nangkapan, penahanan, penuntutan, atau per-

adilan yang tidak berdasar undang-undang.

7. Koneksitas

Indonesia mengenal empat lingkungan

peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, per-

adilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata

usaha negara yang masing-masing berdiri sendi-

ri dan terpisah antara yang satu dan yang lain,

dengan fungsi dan kompetensi atau wewenang

mutlak mengadili yang tidak bisa dicampuri oleh

lingkungan peradilan lainnya. Namun, dalam

hal-hal tertentu, seperti koneksitas, pembuat

undang-undang memberi kemungkinan untuk

melakukan penyimpangan dari prinsip-prinsip

kompetensi absolut dengan ketentuan dan

syarat yang berlaku. Yaitu, apabila dalam satu tin-

dak pidana dilakukan secara bersama-sama oleh

pelaku yang tunduk pada lingkungan peradilan

umum dan lingkungan peradilan militer maka

dapat diadili dalam suatu lingkungan peradilan

saja, yaitu apakah diperiksa atau diadili di ling-

kungan peradilan umum dan/atau di lingkungan

peradilan militer.

Tentang pengertian koneksitas, seba-

gaimana menurut ketentuan Pasal 89 ayat (1)

KUHAP, adalah tindak pidana yang dilakukan

bersama-sama oleh mereka yang termasuk

lingkungan peradilan umum dan lingkungan

peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pe-

ngadilan dalam lingkungan peradilan umum ke-

cuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan

dan Keamanan dengan persetujuan Menteri

Kehakiman, perkara itu harus diperiksa dan di-

adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan

militer. Dasar hukum yang paling pokok tentang

peradilan koneksitas terdapat di dalam Pasal 22

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang

Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Pasal

tersebut berbunyi: “Tindak pidana yang dilaku-

kan bersama-sama oleh mereka yang termasuk

lingkungan peradilan umum dan lingkungan per-

adilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadi-

lan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali

kalau menurut keputuasn Menteri Pertahanan/

Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehaki-

man perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”

7.1. Penyidikan Perkara Koneksitas

Untuk melakukan penyidikan atas tin-

dak pidana koneksitas, sebagaimana diatur Pasal

89 ayat (2) KUHAP, penyidikan perkara pidana

tersebut dilaksanakan oleh suatu tim tetap

yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angka-

tan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur

militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan

wewenang mereka masing-masing menurut

hukum yang berlaku untuk penyidikan perka-

ra pidana. Selanjutnya, menurut Pasal 89 ayat

(3) KUHAP, bahwa tim tetap yang terdiri dari

penyidik tersebut dibentuk dengan surat kepu-

tusan bersama Menteri Pertahanan dan Ke-

53 Buku Informasi - Modul KUHAP

amanan dan Menteri Kehakiman.

Berdasarkan ayat (3) tersebut maka

lahirlah Surat Keputusan Bersama antara Men-

teri Pertahanan dan Keamanan RI (Menhankam)

dan Menteri Kehakiman RI. (MenKeh) Nomor:

KEP.10/M/XII/1985 & No. KEP.57.1.R. 09.05.

Tahun 1985, yaitu:

1. Menurut Pasal 1, untuk melakukan penyi-

dikan atas tindak pidana koneksitas dilaku-

kan oleh suatu Tim Tetap di Pusat dan Dae-

rah.

2. Menurut Pasal 2:

a. Tim Tetap itu, terdiri dari:

1. Penyidik dari Markas Besar Kepoli-

sian Negara RI.

2. Penyidik dari Polisi Militer ABRI

(sekarang TNI) pada Pusat Poli-

si Militer ABRI (TNI), disingkat

PUSPOM ABRI (TNI).

3. Oditur Militer atau Oditur Militer

Tinggi dari Oditur Jenderal ABRI

(TNI), disingkat OTJEN ABRI

(TNI).

b. Dalam Daerah Hukum Pengadilan

Negeri:

1. Penyidik pada Markas Komando

Wilayah Kepolisian RI, Markas

Komando Kota Besar RI, Markas

Komando Resort/Resort Kota

Kepolisian RI, dan Markas Koman-

do Sektor/Sektor Kota Kepolisian

RI.

2. Penyidik dari Polisi Militer ABRI

(TNI) pada Detasemen POM ABRI

(TNI).

3. Oditur Militer dari Oditurat

Militer.

3. Menurut Pasal 3, bahwa:

a. Tim Pusat berkedudukan di Ibu Kota

Negara RI dan Tim Tetap Daerah

berkedudukan dalam daerah hukum

pe-ngadilan negeri atau pengadilan

tinggi yang bersangkutan.

b. Tim Tetap dalam melaksanakan tugas-

nya dikoordinasi dan diawasi oleh salah

seorang anggota Tim Tetap. Ketua Tim

Tetap dijabat oleh salah seorang ang-

gota Tim Tetap, secara bergilir bertu-

rut-turut dari Kepolisian, POM ABRI

(TNI), dan Oditur Militer, setiap kali

masa jabatan selama satu tahun. Dalam

hal kepangkatan, ketua Tim Tetap yang

baru lebih rendah dari kepangka-

tan anggota tim lainnya maka kepala/

komandan kesatuan dari unsur Tim

Tetap yang bersangkutan mengadakan

penyesuaian seperlunya.

Tim Tetap Pusat bertugas melakukan

penyidikan terhadap perkara koneksitas:

a. Apabila perkara dan atau tersangka mem-

punyai bobot nasional dan/atau internasio-

nal.

b. Apabila dilakukan atau akibat yang ditimbul-

kannya terdapat dalam lebih dari satu dae-

rah hukum pengadilan tinggi.

Tugas Tim Tetap Daerah:

a. Dalam Daerah Hukum Pengadilan

Tinggi

• Apabila dilakukan atau akibat yang

ditimbulkannya lebih dari satu daerah

hukum pengadilan negeri, tetapi masih

dalam satu daerah hukum pengadilan

tinggi.

• Apabila pelaksanaan penyidikannya

tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap

yang ada dalam daerah hukum pe-

ngadilan negeri dan masih dalam dae-

rah hukum pengadilan tinggi yang ber-

Buku Informasi - Modul KUHAP 54

sangkutan.

b. Dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri

apabila dilakukan tindak pidana koneksi-

tas atau akibat yang ditimbulkan-nya ter-

jadi dalam daerah hukum pengadilan negeri

yang bersangkutan (Pasal 4).

7.2. Pelaksanaan Penyidikan

Menurut Pasal 5, pelaksanaan penyidikan

oleh Tim Tetap dilakukan oleh unit pelaksana.

Dalam hal pada suatu daerah salah satu unsur

Tim Tetap tidak ada maka pelaksanaan penyidi-

kan perkara koneksitas dilakukan oleh unsur-

unsur Tim Tetap yang ada di daerah itu. Dalam

hal perkara koneksitas merupakan tindak pi-

dana tertentu, yang diatur dalam undang-undang

tertentu dan dengan ketentuan khusus Acara

Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 284 ayat

(2) KUHAP, maka unsur kejaksaan atau pejabat

penyidik lainnya yang berwenang berdasarkan

peraturan perundang-undangan, diikutsertakan

sebagai anggota Tim Tetap. Demikian pula dalam

hal perkara koneksitas tertentu yang diatur

dalam undang-undang, yakni ditetapkan adanya

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), maka

unsur PPNS itu diikutsertakan sebagai anggota

Tim Tetap.

Selain Surat Keputusan Bersama di atas,

diatur lebih lanjut dalam KUHAP, sebagaimana

menurut Pasal 89 ayat (2) KUHAP, bahwa pe-

nyidikan perkara pidana sebagaimana dimak-

sud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu Tim

Tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Ang-

katan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur

militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan

wewenang mereka masing-masing menurut

hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara

pidana, selanjutnya menurut ayat (3), bahwa tim

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk

dengan surat keputusan bersama Menteri Perta-

hanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

7.3. Menetapkan Wewenang Mengadili

Menurut Pasal 89 ayat (1) KUHAP jo

Pasal 24 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

(terakhir diubah Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 (Pasal 16)) tentang Kekuasaan Kehakiman,

bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-

sama oleh mereka yang termasuk lingkungan

peradilan umum dan lingkungan peradilan mi-

liter, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut

keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan

dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Untuk

menetapkan dalam lingkungan peradilan mana

yang berwenang mengadili, sebagaimana ditentu-

kan Pasal 90 KUHAP, maka diadakan penelitian

bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur

militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil

penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2),

yang berbunyi bahwa:

1. Pendapat dari penelitian bersama tersebut

dituangkan dalam berita acara yang ditanda-

tangani oleh para pihak sebagaimana dimak-

sud dalam ayat (1).

2. Jika dalam penelitian bersama itu terdapat

persesuaian pendapat tentang pengadilan

yang berwenang mengadili perkara tersebut

maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa

tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur

militer atau oditur militer tinggi kepada

Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Re-

publik Indonesia.

Adapun yang menjadi dasar untuk me-

netapkan pengadilan dalam lingkungan peradi-

lan mana yang mengadili perkara itu, ditentukan

oleh besar kecilnya kepentingan umum atau

kepentingan militer, sebagaimana menurut Pasal

91 KUHAP, yang berbunyi:

55 Buku Informasi - Modul KUHAP

1. Jika menurut pendapat sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat keru-

gian yang ditimbulkan oleh tindak pidana

tersebut terletak pada kepentingan umum

dan karenanya perkara pidana itu harus

diadili oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum, maka perwira penyerah

perkara segera membuat surat keputusan

penyerahan perkara yang diserahkan mela-

lui oditur militer atau oditur militer tinggi

kepada penuntut umum, untuk dijadikan

dasar mengajukan perkara tersebut kepada

pengadilan negeri yang berwenang.

2. Apabila menurut pendapat itu titik berat

kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pi-

dana tersebut terletak pada kepentingan

militer sehingga perkara pidana itu harus

diadili oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer, pendapat sebagaimana di-

maksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan

dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Ber-

senjata Republik Indonesia untuk mengu-

sulkan kepada Menteri Pertahanan dan Kea-

manan, agar dengan persetujuan Menteri

Kehakimaan dikeluarkan keputusan Menteri

Pertahanan dan Keamanan yang menetap-

kan, bahwa perkara pidana tersebut diadili

oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan

militer.

3. Surat keputusan tersebut pada ayat (2) di-

jadikan dasar bagi perwira penyerah perkara

dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerah-

kan perkara tersebut kepada mahkamah mi-

liter atau mahkamah militer tinggi.

Dalam hal pengajuan perkara di ling-

kungan peradilan yang berwenang, maka berita

acara pemeriksaan sebagaimana menurut Pasal

92 KUHAP, bahwa:

1. Apabila perkara diajukan kepada pengadilan

negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal

91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan

yang dibuat oleh tim sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi cata-

tan oleh penuntut umum yang mengajukan

perkara, bahwa berita acara tersebut telah

diambil alih olehnya.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau

oditur militer tinggi apabila perkara terse-

but akan diajukan kepada pengadilan dalam

lingkungan peradilan militer.

7.5. Memutus Sengketa Mengadili

Apabila terjadi perbedaan pendapat

dalam penentuan wewenang lingkungan peradi-

lan mana yang mengadili, maka menurut Pasal 93

KUHAP, yang berbunyi bahwa:

1. Masing-masing melaporkan tentang per-

bedaan pendapat itu secara tertulis, dengan

disertai berkas perkara yang bersangkutan

melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan

kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersen-

jata Republik Indonesia.

2. Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia bermusyawa-

rah untuk mengambil keputusan guna me-

ngakhiri perbedaan pendapat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

3. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat anta-

ra Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angka-

tan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat

Jaksa Agung yang menentukan.

Demikian pula menurut Pasal 5 ayat (3)

Keputusan Bersama, bahwa “bila perlu berdasar-

kan pertimbangan-pertimbangan praktis Jaksa

Agung dan Oditur Jenderal ABRI/TNI dapat

mendelegasikan wewenang kepada Jaksa Tinggi

dan Oditur Tinggi Angkatan Bersenjata yang se-

Buku Informasi - Modul KUHAP 56

cara hierarki merupakan atasan langsung jaksa

dan oditur Angkatan Bersenjata untuk mengam-

bil keputusan.

7.6. Susunan Majelis Hakim

Untuk mengadili perkara koneksitas se-

bagaimana dimaksud Pasal 89 ayat (1) KUHAP,

menurut Pasal 94 KUHAP, diadili oleh pengadi-

lan dalam lingkungan peradilan umum atau ling-

kungan peradilan militer, yang mengadili perkara

tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari

sekurang-kurangnya tiga orang hakim.

Dalam hal pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum yang mengadili perkara konek-

sitas, majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari

lingkungan peradilan umum dan hakim anggota

masing-masing ditetapkan dari peradilan umum

dan peradilan militer secara berimbang. Dalam

hal pengadilan dalam lingkungan peradilan mi-

liter yang mengadili perkara koneksitas, majelis

hakim terdiri dari, hakim ketua dari lingkungan

peradilan militer dan hakim anggota secara ber-

imbang dari tiap lingkungan peradilan militer dan

dari peradilan umum yang diberi pangkat militer

tituler. Ketentuan Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3)

KUHAP juga berlaku bagi pengadilan tingkat

banding.

57 Buku Informasi - Modul KUHAP

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Acara Pemeriksaan Pi-

dana

1. Mengidentifikasiacarapemeriksaanperkara

menurut jenisnya.

2. Menjelaskan secara runtut tata tertib persi-

dangan sesuai ketentuan dalam KUHAP.

3. Mengidentifikasi tahapan pemeriksaan di

persidangan secara runtut.

4. Menjelaskan secara lengkap pelaksanaan pu-

tusan pengadilan

5. Menjelaskan upaya hukum sesuai ketentuan

dalam KUHAP.

6. Menjelaskan penggabungan perkara gugatan

ganti kerugian sesuai ketentuan dalam KU-

HAP.

7. Menjelaskan koneksitas secara sistematis

sesuai ketentuan dalam KUHAP.

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Acara Pemeriksaan Pi-

dana

1. Bertindak cermat dan teliti dalam meng-

identifikasiacarapemeriksaanpidana.

2. Bertindak cermat dan teliti dalam menjelas-

kan tata tertib persidangan.

3. Bertindak cermat, teliti, berpikir analitis dan

evaluatif dalam mengidentifikasi tahapan

pemeriksaan di persidangan.

4. Bertindak cermat, teliti, berpikir analitis dan

evaluatif dalam menjelaskan pelaksanaan

putusan pengadilan.

5. Bertindak cermat dan teliti dalam menjelas-

kan upaya hukum.

6. Bertindak cermat, teliti, berpikir analitis dan

evaluatif dalam menjelaskan penggabungan

perkara gugatan ganti kerugian sesuai ke-

tentuan dalam KUHAP.

7. Bertindak cermat dan teliti dalam menjelas-

kan koneksitas.

Buku Informasi - Modul KUHAP 58

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Praperadilan dan Per-

kembangannya terhadap Penanganan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Konsep Praperadilan

1.1 Pengertian Praperadilan

Menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP, Pra-

peradilan adalah wewenang pengadilan negeri

untuk memeriksa dan memutus menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini, tentang

sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau

penahanan atas permintaan tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersang-

ka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan atas permintaan

demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan

ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya

yang perkaranya tidak diajukan ke pengadi-

lan. Praperadilan dengan kata lain adalah suatu

proses pemeriksaan voluntair sebelum pemerik-

saan terhadap pokok perkara berlangsung di

pengadilan. Diperkenalkannya lembaga praper-

adilan dalam hukum acara pidana di Indonesia

didasarkan pada pengalaman terjadinya banyak

pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa

oleh penyidik, seperti kekerasan dalam pemerik-

saan, pengumpulan barang bukti dan alat bukti

secara ilegal, dan pelaksanaan upaya paksa yang

melawan hukum (Makhamah Konstitusi No. 85/

PUU-XI/2013:55).

Praperadilan sendiri merupakan kesatu-

an yang melekat pada pengadilan negeri, hanya

dijumpai pada tingkat pengadilan negeri dan

sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari

pengadilan negeri (Harahap, 2006:1). Namun

bukan berarti praperadilan berada di luar atau di

samping atau sejajar dengan pengadilan negeri,

tetapi hanya merupakan divisi dari pengadilan

negeri. Begitu pula dengan sistem administrasi

yustisial, personel, peralatan, dan finansial pra-

peradilan bersatu dengan pengadilan negeri dan

berada di bawah pimpinan serta pengawasan

dan pembinaan ketua pengadilan negeri.

1.2. Tujuan Praperadilan

Praperadilan dibentuk sebagai penga-

wasan atas tindakan aparat penegak hukum

yang merupakan pengurangan atau pembatasan

hak asasi manusia dari tersangka (Ramelan,

2006:124). Pembatasan hak-hak asasi tersangka

di sini dapat dilakukan berdasarkan ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam peraturan perun-

dang-undangan. Selanjutnya, menurut R. Soepar-

mono (2003:16), bahwa diadakannya lembaga

praperadilan bertujuan demi tegaknya hukum,

kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi

tersangka. Sebab, menurut sistem KUHAP setiap

tindakan seperti penangkapan, penggeledahan,

penyitaan, penahanan, penuntutan, dan sebagai-

nya yang dilakukan bertentangan dengan hukum

dan perundang-undangan adalah suatu tindakan

perkosaan atau perampasan hak asasi tersangka.

BAB V. MENJELASKAN PRAPERADILAN DAN PERKEMBANGANNYA TERHADAP

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

59 Buku Informasi - Modul KUHAP

Hal yang sama juga diamanatkan oleh Mahkamah

Konstitusi dalam putusan No. 65/PUU-IX/2011

yang menyatakan bahwa “...filosofi diadakannya

pranata praperadilan yang justru menjamin hak-

hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai manusia.”

1.3. Wewenang Praperadilan

Kewenangan secara spesifik pra-

peradilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal

83 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya

upaya paksa, yaitu penangkapan dan penahanan

serta memeriksa sah atau tidaknya penghen-

tian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Dikaitkan dengan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP,

kewenangan praperadilan ditambah dengan

kewenangan untuk memeriksa dan memutus

perihal ganti rugi dan rehabilitasi. Berikut bu-

nyi pasal-pasal yang mengatur wewenang pra-

peradilan dalam KUHAP, bahwa praperadilan

berwenang untuk memeriksan dan memutus

tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan (kecuali terhadap penyam-

pingan perkara demi kepentingan umum

oleh Jaksa Agung), sebagaimana ditentukan

Pasal 77 KUHAP.

b. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai

alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) dan (3)

KUHAP).

c. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau

ahli warisnya atas penangkapan atau pena-

hanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orang atau hukum

yang diterapkan sebagaimana dimaksud

dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diaju-

kan ke pengadilan negeri (Pasal 95 ayat (2)

KUHAP jo Pasal 77 huruf b KUHAP);

d. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas

penangkapan atau penahanan tanpa ala-

san yang berdasarkan undang-undang atau

kekeliruan mengenai orang atau hukum

yang diterapkan yang perkaranya tidak di-

ajukan ke pengadilan negeri (Pasal 97 ayat

(3) KUHAP jo Pasal 77 huruf b KUHAP).

Dalam keputusan Menteri Kehakiman

RI No.M.01-PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4

Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan

KUHAP, praperadilan dapat dilakukan atas tin-

dakan kesalahan penyitaan yang tidak terma-

suk alat bukti, atau seseorang yang dikenakan

tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang karena kekeliruran orang atau

hukum yang diterapkan. Dan yang terbaru dalam

putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU/

XII/2014, wewenang praperadilan ditambah

dalam pemeriksaan keabsahan penetapan ter-

sangka yang sebelumnya penetapan tersangka ini

muncul dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

1.4. Subjek Praperadilan

Siapa saja yang berhak mengajukan per-

mohonan pemeriksaan praperadilan ke penga-

dilan negeri akan dikelompokkan alasan yang

menjadi dasar pengajuan pemeriksaan pra-

peradilan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang

berhak mengajukan, sebagai berikut:

1. Tersangka, Keluarga Tersangka, atau

Kuasanya

a. Menurut Pasal 79 KUHAP, bahwa yang

berhak mengajukan praperadilan untuk

permintaan pemeriksaan tentang sah

atau tidaknya suatu penangkapan atau

penahanan diajukan oleh tersangka,

keluarga, atau kuasanya kepada ketua

pengadilan negeri dengan menyebutkan

Buku Informasi - Modul KUHAP 60

alasannya.

b. Menurut Pasal 124 KUHAP, bahwa

yang berhak mengajukan praperadilan

dalam hal apakah sesuatu penahanan

sah atau tidak sah menurut hukum,

tersangka, keluarga, atau penasihat hu-

kum dapat mengajukan hal itu kepada

pengadilan negeri setempat untuk di-

adakan praperadilan guna memperoleh

putusan apakah penahanan atas diri

tersangka tersebut sah atau tidak sah

menurut undang-undang ini.

2. Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya

Menurut ketentuan Pasal 95 ayat (2)

KUHAP, bahwa tuntutan ganti kerugian oleh

tersangka atau ahli warisnya atas penangka-

pan atau penahanan serta tindakan lain tan-

pa alasan yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orang

atau hukum yang diterapkan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus

di sidang praperadilan sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 77 KUHAP.

3. Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana

Menurut ketentuan Pasal 95 ayat (1)

KUHAP, bahwa tersangka, terdakwa, atau

terpidana berhak menuntut ganti kerugian

karena ditangkap, ditahan, dituntut dan di-

adili atau dikenakan tindakan lain, tanpa

alasan yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya

atau hukum yang diterapkan.

4. Penyidik atau Penuntut Umum atau Pihak

Ketiga yang Berkepentingan

Menurut Pasal 80 KUHAP, bahwa per-

mintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya

suatu penghentian penyidikan atau penun-

tutan dapat diajukan oleh penyidik atau

penuntut umum atau pihak ketiga yang

berkepentingan kepada ketua pengadilan

negeri dengan menyebutkan alasannya.

5. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepen-

tingan Menuntut Ganti Rugi

Menurut Pasal 81 KUHAP, bahwa per-

mintaan ganti kerugian dan/atau rehabili-

tasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan, atau akibat sahnya penghentian

penyidikan atau penuntutan diajukan oleh

tersangka atau pihak ketiga yang berkepen-

tingan kepada ketua pe-ngadilan negeri de-

ngan menyebut alasannya.

Selanjutnya, tersangka berhak untuk

mengajukan permohonan praperadilan melalui

pengadilan negeri tentang sah atau tidak sah

penangkapan atau penahanan terhadap dirinya

(Pasal 77 huruf a KUHAP) apabila pengajuan

praperadilan atas sah atau tidak sah penang-

kapan, dilakukan sebagai berikut:

1. Penangkapan dilakukan tanpa didasar-

kan pada bukti permulaan yang cukup, se-

bagaimana menurut ketentuan Pasal 17

KUHAP.

2. Penangkapan dilakukan tanpa memperlihat-

kan dan memberikan surat perintah penang-

kapan, sebagaimana ditentukan Pasal 18 ayat

(1) KUHAP, kecuali sebagaimana menurut

ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP.

3. Penangkapan tidak dilakukan oleh petugas

Kepolisian Negara RI atau pejabat yang ber-

wenang, sebagaimana menurut ketentuan

Pasal 16 ayat (1) dan (2) KUHAP.

4. Tembusan surat perintah penangkapan dari

pejabat yang berwenang tidak diberikan ke-

pada keluarga tersangka, sebagaimana me-

nurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP.

5. Surat perintah penangkapan dikeluarkan

setelah 1 x 24 jam sejak penangkapan di-

lakukan, sebagaimana ketentuan Pasal 19

ayat (1) KUHAP.

61 Buku Informasi - Modul KUHAP

6. Tersangka tidak dapat ditangkap karena me-

lakukan perbuatan pelanggaran, sebagaima-

na ketentuan Pasal 19 ayat (2) KUHAP.

Sedangkan apabila pengajuan praperadi-

lan atas sah atau tidak sah penahanan, dilaku-

kan sebagai berikut:

1. Penahanan yang dilakukan oleh pejabat

yang tidak berwenang melakukan pena-

hanan, sebagaimana ketentuan Pasal 20

ayat (1), (2) dan (3) KUHAP.

2. Penahanan dilakukan di tempat yang

bukan diperuntukkan penahanan (bagi

tahanan Rutan) sebagaimana ditentukan

Pasal 22 ayat (1) huruf a KUHAP.

3. Penahanan dilakukan tanpa memberikan

surat perintah penahanan atau pena-

hanan lanjutan atau penetapan hakim

yang dilakukan oleh penyidik atau pe-

nuntut umum terhadap tersangka atau

terdakwa, sebagaimana dimaksud Pasal

21 ayat (2) KUHAP.

4. Tanpa memberikan tembusan surat

perintah penahanan atau penahanan

lanjutan atau penetapan hakim kepa-

da keluarga tersangka atau terdakwa,

sebagaimana ditentukan Pasal 21 ayat

(3) KUHAP.

5. Penahanan dilakukan kepada tersangka

yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 21

ayat (4) huruf a dan b KUHAP.

6. Tersangka atau terdakwa yang ditahan

melebihi lamanya penahanan sebagaima-

na ditentukan dalam KUHAP, yaitu

Pasal 24 ayat (4) (tingkat penyidikan);

Pasal 25 ayat (4) (tingkat penuntutan);

Pasal 26 ayat (4) (tingkat pengadilan ne-

geri); Pasal 27 ayat (4) (tingkat banding/

pengadilan tinggi), dan Pasal 28 ayat (4)

(tingkat kasasi/Mahkamah Agung).

7. Terpidana yang telah menjalani hukuman

lebih dari hukuman yang seharusnya di-

jalankan, sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 22 ayat (4) dan (5) KUHAP.

1.5. Objek Praperadilan

Praperadilan diatur dalam Pasal 1 angka

10, Pasal 77 sampai dengan Pasal 83, Pasal 95

ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal

124. Adapun yang menjadi objek praperadilan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP

adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk me-

meriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan

yang di-atur dalam undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi se-

orang yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Selain sebagaimana tersebut di atas,

objek praperadilan juga termasuk mengenai pe-

netapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang me-

nyatakan, Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan

inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai

termasuk penetapan tersangka, penggeledahan,

dan penyitaan. Namun, mengenai hal ini terda-

pat banyak pro dan kontra karena putusan yang

berisi pendefinisian tersebut seharusnya menja-

di kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

sebagai lembaga legislatif, dan bukan Mahkamah

Konstitusi yang berperan sebagai lembaga yang

menguji dan membatalkan undang-undang

(judicial review) (Pasal 10 ayat (1) Undang-Un-

dang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi).

Maka, sesuai ketentuan Pasal 77

Buku Informasi - Modul KUHAP 62

KUHAP tersebut, objek mengenai “salah

penerapan hukum” adalah tidak termasuk seba-

gai salah satu objek praperadilan.

“Salah penerapan hukum” dalam suatu perka-

ra dikenal dalam Upaya Hukum Permohonan

Kasasi (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No-

mor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung jo. Pasal 253 KUHAP).

2. Perbedaan Praperadilan

2.1. Perbedaan Praperadilan dengan

Kasasi

Kasasi termasuk dalam upaya hukum

biasa yang diatur dalam Pasal 259 ayat (1)

KUHAP, yang berbunyi: “Demi kepentingan

hukum terhadap semua putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dari pe-

ngadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,

dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh

Jaksa Agung.”

Putusan Kasasi Demi Kepentingan

Hukum tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan (Pasal 259 ayat (2) KUHAP) dan

permohonan kasasi demi kepentingan hukum

disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung

kepada Mahkamah Agung melalui panitera pe-

ngadilan yang telah memutus perkara dalam

tingkat pertama, disertai risalah yang memuat

alasan permintaan itu (Pasal 260 ayat (1) KU-

HAP).

Berbeda halnya dengan kasasi, praper-

adilan tidak termasuk dalam upaya hukum yang

dikenal dalam KUHAP. Akan tetapi, merupakan

suatu proses persidangan sebelum sidang perka-

ra pokok disidangkan (Hartono, 2010:116).

Selain itu, praperadilan dilakukan terhadap:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan (kecuali terhadap penyam-

pingan perkara demi kepentingan umum

oleh Jaksa Agung), sebagaimana ditentukan

Pasal 77 KUHAP.

b. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai

alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) dan (3)

KUHAP).

c. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau

ahli warisnya atas penangkapan atau pena-

hanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orang atau hukum

yang diterapkan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diaju-

kan ke pengadilan negeri (Pasal 95 ayat (2)

KUHAP jo Pasal 77 huruf b KUHAP).

d. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka

atas penangkapan atau penahanan tanpa

alasan yang berdasarkan undang-undang

atau kekeliruan mengenai orang atau hu-

kum yang diterapkan yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 97 ayat

(3) KUHAP jo Pasal 77 huruf b KUHAP).

2.2. Perbedaan Proses Praperadilan

dengan Peradilan Normatif

Perbedaan praperadilan dengan per-

adilan normatif ditinjau dari prosesnya adalah

proses praperadilan dapat diajukan pada saat se-

belum masuknya perkara ke pengadilan negeri.

Artinya, mulai dari proses penangkapan, pena-

hanan, penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan, penyitaan, sebagaimana yang dijelas-

kan dalam Pasal 77 KUHAP. Selanjutnya, dalam

waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan,

hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang

(Pasal 82 ayat (1) KUHAP).

Dalam memeriksa dan memutus ten-

tang sah atau tidaknya penangkapan atau pena-

hanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan

63 Buku Informasi - Modul KUHAP

atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan

atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penang-

kapan atau penahanan, akibat sahnya penghen-

tian penyidikan atau penuntutan dan ada benda

yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian,

hakim mendengar keterangan baik dari tersang-

ka, pemohon, maupun pejabat yang berwenang

(Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP). Pemeriksaan

tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lam-

batnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuh-

kan putusannya. Dalam hal suatu perkara sudah

mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedang-

kan pemeriksaan mengenai permintaan kepada

praperadilan belum selesai, maka permintaan

tersebut gugur (Pasal 82 ayat (1) huruf c dan d

KUHAP).

Sedangkan dalam peradilan normatif,

lebih spesifik dalam proses peradilan pidana,

dimulainya proses peradilan tersebut adalah

apabila terdapat laporan, pengaduan atau dalam

hal tertangkap tangannya seseorang/beberapa

orang melakukan tindak pidana untuk selan-

jutnya dilakukan penyelidikan, penyidikan, pe-

nangkapan, penahanan, hingga masuk ke dalam

proses beracara di pengadilan.

Dalam proses pembuktian di praper-

adilan, sama halnya dengan proses pembuktian

di peradilan normatif, yaitu dalam Pasal 82 ayat

(1) huruf b KUHAP, disebutkan bahwa hakim

mendengar keterangan baik dari tersangka atau

pemohon maupun dan pejabat yang berwenang.

Namun, pembuktian dalam proses praperadilan

dilakukan dengan cara cepat, karena selambat-

lambatnya, dalam waktu 7 hari hakim harus su-

dah menjatuhkan putusannya (Pasal 82 ayat (1)

huruf c KUHAP).

Selanjutnya, hakim dalam proses praper-

adilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk

oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh

seorang panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).

Tidak seperti halnya dengan peradilan nor-

matif, yang persidangannya dipimpin oleh majelis

hakim, yang pengaturannya terdapat dalam Pasal

11 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman

yang berbunyi:

1. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan me-

mutus perkara dengan susunan majelis

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim,

kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan

dua orang hakim anggota.

Meskipun KUHAP tidak menjelaskan

lebih lanjut mengapa praperadilan dipimpin oleh

hakim tunggal, hal ini berkaitan dengan prinsip

pemeriksaan dengan acara cepat yang meng-

haruskan pemeriksaan praperadilan selesai di-

lakukan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh

hari dan bentuk putusan praperadilan yang se-

derhana (Pramesti, 2015).

3. Pengaturan dan Pelaksanaan Pra-

peradilan

3.1 Kaitan Hakim Komisaris pada Pra-

peradilan

Mekanisme lembaga praperadilan diang-

gap tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam

pelaksanaannya karena dianggap banyak me-

rugikan masyarakat pencari keadilan, sehingga

banyak bermunculan pendapat dan pandangan

yang menginginkan agar lembaga praperadilan

digantikan oleh Hakim Komisaris yang diajukan

dalam RUU KUHAP 2008. Beberapa kelemahan

praperadilan (“Konsep Hakim Komisaris”, 2009)

di antaranya:

1. Proses penyitaan dan penggeledahan tidak

diatur sebagai objek praperadilan.

2. Posisi yang tak seimbang antara aparat dan

tersangka yang acapkali mengalami intimi-

dasi dan kekerasan.

Buku Informasi - Modul KUHAP 64

3. Hakim praperadilan hanya mengedepankan

aspek formal ketimbang menguji aspek ma-

teriil karena tidak ada kewajiban bagi pe-

nyidik (untuk membuktikan alasan-alasan

penahanan (Harahap, 2008).

Terkait dengan kelemahan praperadilan

tersebut, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 77

jo Pasal 1 ayat 10 KUHAP yang telah menentu-

kan secara limitatif upaya paksa apa saja yang da-

pat menjadi objek praperadilan. Sehingga terha-

dap upaya paksa yang tidak diatur dalam Pasal 77

jo Pasal 1 ayat 10 KUHAP, tidak dapat dilakukan

praperadilan. Persoalan lain juga terdapat pada

Pasal 79 KUHAP yang menyatakan bahwa per-

mintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya

suatu penangkapan atau penahanan diajukan

oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada

ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan

alasannya. Dengan pasal tersebut, apabila per-

mohonan tersebut tidak diajukan oleh tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa ter-

sangka serta pihak yang merasa dirugikan, seka-

lipun upaya paksa yang dilakukan oleh aparat pe-

negak hukum telah menyimpang dari ketentuan

yang berlaku, praperadilan tidak dapat dilakukan

(Eddyono dan Napitupulu, 2014).

Maka dengan berbagai persoalan terse-

but, kemudian memunculkan wacana untuk

menghapus lembaga praperadilan dan meng-

gantikannya dengan lembaga Hakim Komisa-

ris. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim

Komisaris sangat luas dan lengkap dibandingkan

dengan lembaga praperadilan dalam KUHAP.

Pasal 111 Ayat (1) RUU KUHAP mengatur ten-

tang kewenangan Hakim Komisaris, yaitu: Hakim

Komisaris berwenang menetapkan atau memu-

tuskan:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan.

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan.

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh ter-

sangka atau terdakwa dengan melanggar

hak untuk tidak memberatkan diri sendiri.

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh

secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat

bukti.

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi un-

tuk seseorang yang ditangkap atau ditahan

secara tidak sah atau ganti kerugian untuk

setiap hak milik yang disita secara tidak sah.

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau

diharuskan untuk didampingi oleh pengaca-

ra.

g. Bahwa penyidikan atau penuntutan telah di-

lakukan untuk tujuan yang tidak sah.

h. Penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan yang tidak berdasarkan asas

oportunitas.

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk di-

lakukan penuntutan ke pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apa

pun yang lain yang terjadi selama tahap

penyidikan.

Kelebihan lain dari lembaga Hakim

Komisaris adalah bahwa kewenangan terse-

but dapat dilaksanakan dengan atau tanpa per-

mohonan tersangka, terdakwa, atau keluarga

mereka (Pasal 111, RKUHAP). Dengan demikian,

lembaga hakim komisaris dalam RKUHAP di-

harapkan mampu memperbaiki kelemahan-kele-

mahan praperadilan sehingga dapat mengako-

modasi rasa keadilan bagi masyarakat.

3.2. Upaya Hukum Praperadilan

Upaya hukum terhadap proses praper-

adilan diatur dalam Pasal 83 KUHAP, yang me-

nyatakan:

1. Terhadap putusan praperadilan dalam hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80

65 Buku Informasi - Modul KUHAP

dan 81 KUHAP tidak dapat dimintakan

banding.

2. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) ada-

lah putusan praperadilan yang menetapkan

tidak sahnya penghentian penyidikan atau

penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan

putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam

daerah hukum yang bersangkutan.

Terhadap Pasal 83 ayat (2) telah di-

cabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Pu-

tusan Nomor 65/PUU-IX/2011 tentang Pe-

ngajuan Banding Terhadap Putusan Praperadilan,

atas dasar acara praperadilan adalah acara

cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohon-

kan pemeriksaan banding dan Pasal 83 ayat (2)

KUHAP bertentangan dengan pasal 27 ayat (1)

dan pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena

Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempersamakan

kedudukan warga negara di dalam hukum dan

pemerintahan serta tidak memberikan kepastian

hukum yang adil.

Melihat perumusan Pasal 83 KUHAP di

atas, dapat dilihat bahwa pada prinsipnya putu-

san praperadilan tidak dapat dimintakan upaya

hukum, baik upaya hukum biasa ataupun upaya

hukum luar biasa.

Selanjutnya, terhadap putusan praper-

adilan tidak dapat dimintakan kasasi. KUHAP

sama sekali tidak mengatur tentang hal ini, akan

tetapi dalam Lampiran Keputusan Menteri Ke-

hakiman Republik Indonesia No. M.14.PW.07.03

Tahun 1983, poin 23, dengan judul “Putusan

Praperadilan dalam Hubungannya dengan Kasa-

si” dijelaskan bahwa untuk putusan praperadilan

tidak dapat dimintakan kasasi. Alasan tidak dibe-

narkannya putusan praperadilan dibanding atau

kasasi, adalah adanya keharusan penyelesaian

secara cepat dari perkara-perkara praperadilan,

yang jika hal tersebut (upaya hukum) dimungkin-

kan, maka perkara praperadilan akan berlarut-

larut dan tidak akan diselesaikan secara cepat.

Alasan lainnya, karena wewenang pengadilan

negeri yang dilakukan dalam praperadilan hanya

dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan

horisontal dari pengadilan negeri atas upaya

paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut

umum. Mengenai upaya hukum luar biasa dalam

praperadilan, KUHAP tidak mengatur secara te-

gas, namun diatur dengan Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016

tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan

Praperadilan (PERMA No. 4 Tahun 2016).

Melalui PERMA No. 4 Tahun 2016, setiap

perkara praperadilan tidak bisa diajukan upaya

hukum baik kasasi, banding, maupun peninjauan

kembali. PERMA ini juga berisi tentang objek

perkara apa yang saat ini dapat diajukan pra-

peradilan, khususnya pasca-putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang mem-

perluas objek praperadilan menjadi melingkupi

pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan

penetapan tersangka (InstituteforCriminalJustice

Reform (ICJR), 2016). Menurut Ridwan Man-

syur, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah

Agung, latar belakang diterbitkannya PERMA

No. 4 Tahun 2016 ini untuk menghindari ke-

simpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh

atau tidak pengajuan peninjauan kembali dalam

perkara praperadilan, karena ada yang berpen-

dapat bahwa perkara praperadilan tidak boleh

banding, kasasi, tetapi boleh diajukan peninjauan

kembali (Sahbani, 2016).

3.3. Peraturan Lain Terkait Praperadilan

3.3.1. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014

Melalui putusan ini, penetapan

tersangka masuk dalam ruang lingkup praper-

Buku Informasi - Modul KUHAP 66

adilan. Hakikat keberadaan pranata praperadilan,

menurut Mahkamah Konstitusi, adalah bentuk

pengawasan dan mekanisme keberatan terha-

dap proses penegakan hukum yang terkait erat

dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Sehingga, dimasukkannya keabsahan penetapan

tersangka sebagai objek pranata praperadilan

adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam

proses pidana memperhatikan hak asasi ter-

sangka sebagai manusia di hadapan hukum (MK:

Penetapan Tersangka Masuk Lingkup Praper-

adilan, 28 April 2015).

3.3.2. Putusan Mahkamah Konstitusi No-

mor 65/PUU-IX/2011

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

65/PUU-IX/2011 berisi tentang dihapuskan-

nya upaya hukum banding untuk proses pra-

peradilan. Dalam pertimbangan hukumnya,

Hakim Mahkamah Konstitusi menyebutkan

bahwa acara praperadilan adalah acara cepat,

sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan

pemeriksaan banding. Dan selanjutnya, bahwa

Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Hal tersebut dikarenakan Pasal 83 ayat

(2) KUHAP tidak mempersamakan kedudukan

warga negara di dalam hukum dan pemerintahan

serta tidak memberikan kepastian hukum yang

adil. Pasal 83 ayat (2) KUHAP memperlakukan

secara berbeda antara tersangka atau terdakwa

di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum

di pihak lain dalam melakukan upaya hukum

banding terhadap putusan praperadilan. Keten-

tuandemikiantidaksesuaidenganfilosofidiada-

kannya lembaga praperadilan yang justru men-

jamin hak-hak tersangka atau terdakwa sesuai

dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

3.3.3. Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 4 Tahun 2014

Surat ini berisi tentang Pemberlakuan

Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Kemungkinan diajukannya peninjauan kem-

bali terhadap putusan praperadilan dalam hal

ini ditemukan indikasi penyelundupan hukum.

Namun dengan demikian, terdapat penafsiran

yang berbeda-beda mengenai penyelundupan

hukum sehingga dapat mengakibatkan putu-

san yang saling bertentangan dan menimbulkan

ketidakpastian hukum.

3.3.4. Pasal 45A Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung me-

nentukan larangan diajukannya kasasi terhadap

putusan praperadilan.

3.3.5. Rapat Pleno Mahkamah Agung pada

tanggal 2 Februari 2016

Rapat pleno ini menentukan putusan

praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan

kembali. Termohon sebagai jaksa penuntut umum

dapat mengajukan peninjauan kembali dengan

dasar menggunakan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Ma-

ret 2014 yang menyatakan, bahwa peninjauan

kembali terhadap praperadilan tidak diperbo-

lehkan kecuali ditemukan indikasi penyelundu-

pan hukum yaitu praperadilan yang melampaui

kewenangannya sesuai Pasal 77 KUHAP, meski

tidak ada penjelasan dalam lampiran Surat Edar-

an Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tang-

gal 28 Maret 2014.

3.4. Upaya Hukum yang Memungkinkan

67 Buku Informasi - Modul KUHAP

untuk Praperadilan

Dalam uji materi terhadap Pasal 83 ayat

1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana yang diajukan oleh An-

thony Chandra melalui kuasa hukumnya, yakni

David Surya, Ricky Kurnia Margono, dan Adhi-

darma Wicaksono, mendapat kesimpulan bahwa

seorang yang telah memenangkan praperadilan

dapat ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh

penyidik aparat penegak hukum.

Terhadap permohonan uji materi terse-

but, majelis hakim menolak gugatan yang dia-

jukan karena permohonannya tidak beralasan

menurut hukum. Namun, dalam pertimbangan-

nya, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul me-

nyampaikan, praperadilan hanya berkenaan

dengan prosedur tata cara penanganan seorang

tersangka yang diduga melakukan tindak pidana

sebagai fungsi checks and balances ada atau

tidaknya pelanggaran hak asasi manusia. Namun

demikian, tidak serta-merta tertutupnya dilaku-

kan proses penyidikan kembali terhadap seorang

tersangka apabila ditemukan bukti-bukti yang

cukup setelah permohonan praperadilannya di-

kabulkan (“MK Tolak Permohonan Uji Aturan

Banding terhadap Putusan Praperadilan”, 2017).

Manahan menyampaikan, Pasal 2 ayat

3 PERMA Nomor 4 Tahun 2016, memberikan

kewenangan terhadap penyidik untuk dapat

menetapkan status tersangka kembali kepada

orang yang sama dengan syarat paling sedikit 2

alat bukti baru yang sah, yang berbeda dari alat

bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi

perkara (Fachrudin, 2017). Makna alat bukti yang

berbeda dari sebelumnya, menurut Makhamah

Konstitusi, adalah alat bukti yang telah diguna-

kan pada perkara sebelumnya, namun, harus

disempurnakan secara substansial dan bukan se-

bagai alat bukti yang sifatnya formalitas semata

sehingga alat bukti tersebut dapat dikatakan se-

bagai alat bukti baru (Muhtarom, 2017).

Selanjutnya, Makhamah Konstitusi juga

menegaskan penyidik dapat kembali mene-rbit-

kan surat perintah penyidikan (sprindik), seh-

ingga penyidikan dapat kembali dilakukan secara

ideal dan benar, meskipun praperadilan telah

membatalkan status tersangka atas seseorang.

“Hal ini harus dipahami, bahwa sepanjang prose-

dur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan maka penyidikan baru tetap

dapat dilakukan,” ujar Hakim Konstitusi An-

war Usman, ketika membacakan pertimbangan

Mahkamah Konstitusi di Gedung MK Jakarta, 10

Oktober 2017 (Muhtarom, 2017).

3.5. Kasus Praperadilan

1. Kasus Setya Novanto

Setya Novanto ditetapkan sebagai ter-

sangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17

Juli 2017. Ia lalu mengajukan praperadilan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Sep-

tember 2017. Gugatan terdaftar dalam Nomor

97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Adapun yang men-

jadi alasan Setya Novanto mengajukan praper-

adilan adalah karena Novanto keberatan atas

status tersangka dari KPK.

Dalam pertimbangannya, hakim pada

proses praperadilan Setya Novanto, Cepi

Iskandar, menilai bahwa penetapan tersangka

Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal pe-

nyidikan, yang menurut Hakim Cepi seharusnya

penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap

penyidikan suatu perkara (Ihsanudin, 2017).

Selain itu, Cepi juga mempermasalahkan alat

bukti yang digunakan KPK. Hakim menilai alat

bukti yang diajukan berasal dari penyidikan

terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat

Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis

bersalah melakukan korupsi e-KTP. Hakim me-

nilai, alat bukti yang sudah digunakan dalam

Buku Informasi - Modul KUHAP 68

perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk

menangani perkara selanjutnya (Agustina, 2017).

Direktur Eksekutif Lingkar Madani

(Lima) Ray Rangkuti, mengatakan bahwa pertim-

bangan putusan hakim Cepi Iskandar yang me-

menangkan gugatan Ketua DPR Setya Novanto

membingungkan karena KPK telah mengguna-

kan sekitar 200 alat bukti untuk menjerat Setya

Novanto sebagai tersangka pada kasus korupsi

e-KTP, apakah mungkin 200 alat bukti tersebut

sama dengan alat bukti yang menjerat Irman

dan Sugiharto. Selain itu, kejanggalan lain terda-

pat pada pertimbangan Cepi yang menegaskan

bahwa sebagian alat bukti dapat menggugurkan

alat bukti lainnya, misalnya dari 200 alat bukti

yang disampaikan dalam sidang praperadilan

hanya sebagian kecil, yakni tiga atau empat alat

bukti saja yang dipakai untuk membuktikan ket-

erlibatan Irman dan Sugiharto, maka otomatis

menggugurkan alat bukti lainnya (Fachrudin,

2017). Hal ini pula yang menjadi kejanggalan

dalam putusan praperadilan Setya Novanto.

Selain itu, juga terdapat kejanggalan yang

disampaikan oleh ICW (Nadlir, 2017) terkait

putusan praperadilan Setya Novanto:

1. Hakim menolak memutar rekaman bukti

keterlibatan Novanto dalam korupsi e-KTP.

2. Hakim menunda mendengar keterangan ahli

dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

3. Hakim juga menolak eksepsi KPK.

4. Hakim mengabaikan permohonan inter-

vensi dengan alasan gugatan tersebut belum

terdaftar di dalam sistem informasi pencata-

tan perkara.

5. Hakim bertanya kepada ahli KPK tentang

sifat ad hoc lembaga KPK yang tidak ada

kaitannya dengan pokok perkara praper-

adilan.

6. Tentang laporan kinerja KPK yang berasal

dari Pansus Angket dijadikan bukti Praper-

adilan.

2. Kasus Budi Gunawan

Permohonan praperadilan Komjen Pol.

Budi Gunawan atas penetapan tersangka yang

dilakukan oleh KPK telah dikabulkan sebagian

oleh Hakim Sarpin Rizaldi. Salah satu amarnya,

“Menyatakan tidak sah segala keputusan atau

penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh

Termohon yang berkaitan dengan penetapan

Tersangka oleh Termohon”. (BBC, 16 Februari

2015). Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua

Majelis Hakim Sarpin Rizaldi, dinyatakan bahwa

keputusan diambil berdasarkan undang-undang

yang menyatakan bahwa subjek hukum pelaku

tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seba-

gai termohon adalah orang yang perbuatannya

menyebabkan kerugian negara paling sedikit Rp1

miliar.

Namun dalam Surat Perintah Penyidikan

(Sprindik) Nomor 03/01/01/2015 per tanggal 12

Januari 2015, dinyatakan bahwa pemohon yaitu

Komjen Budi Gunawan diduga melakukan tindak

pidana korupsi, menerima hadiah atau janji seba-

gaimana diberitakan oleh BBC Indonesia (2015).

“Menimbang perbuatan menerima hadiah atau

janji tidak dikaitkan dengan timbulnya kerugian

negara karena perbuatan itu berhubungan de-

ngan penyalahgunaan kewenangan maka apa yang

diduga dilakukan pemohon tidak menyebabkan

kerugian negara,” kata Hakim Sarpin. “Berdasar-

kan pertimbangan itu ternyata pemohon bukan

subjek hukum tindak pidana korupsi yang men-

jadi kewenangan korupsi untuk melakukan pe-

nyelidikan, penyidikan, atau penuntutan tindak

pidana korupsi maka proses penyidikan yang di-

lakukan penyidik KPK terkait pidana penetapan

tersangka tidak sah dan karenanya penetapan itu

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” lan-

jutnya.

Sah atau tidaknya penyidikan atau sah

69 Buku Informasi - Modul KUHAP

atau tidaknya penetapan tersangka, berdasarkan

hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupa-

kan objek praperadilan. Pasal 77 UU Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KU-

HAP), yang berbunyi: “Pengadilan negeri ber-

wenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam undang-

undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan, atau penghentian

penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi

seorang yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pertanyaannya sekarang, apakah di luar

kedua alasan praperadilan di atas, masih dimung-

kinkan adanya alasan praperadilan yang lain,

seperti sah atau tidaknya penyidikan atau sah

atau tidaknya penetapan tersangka sebagaimana

objek praperadilan dalam perkara praperadi-

lan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan

ini? Perlu untuk diketahui bahwa sistem hukum

yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sis-

tem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran

freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim

untuk menciptakan hukum (judge made law).

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Al-

gemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie

(AB). AB masih berlaku sepanjang belum di-

cabut secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan

Peralihan UUD 1945, yang menyatakan: “Hakim

harus mengadili berdasarkan Undang-Undang.”

Hal ini berarti, bahwa dalam hukum

yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menaf-

sirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas

pengaturannya (Situmeang, 2015). Namun, bukan

berarti hakim menjadi tidak bebas dalam men-

jalankan kewenangannya. Hakim diperkenankan

untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di

kala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya

atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu

kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum,

karena pada hakikatnya, hakim dilarang menolak

perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.

Oleh karenanya, dalam perkara pra-

peradilan yang diajukan oleh Komjen Budi

Gunawan, pendapat hakim praperadilan yang

menyatakan bahwa mengenai permohonan yang

diajukan oleh Komjen Budi Gunawan mengenai

penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP,

sehingga terjadi kekosongan hukum adalah per-

timbangan yang salah tafsir.

Buku Informasi - Modul KUHAP 70

B. Keterampilan yang Diperlukan da-

lam Menjelaskan Praperadilan dan

Perkembangannya terhadap Pe-

nanganan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia

1. Menjelaskan konsep praperadilan melalui

pengertian, tujuan, wewenang, subjek dan

Objek praperadilan.

2. Mendefinisikan perbedaan praper-

adilan dengan upaya hukum dan perbedaan

proses praperadilan dengan peradilan

normatif sesuai ketentuan dalam KUHAP.

3. Menjelaskan pengaturan dan pelaksanaan

praperadilan.

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Praperadilan dan

Perkembangannya terhadap Pe-

nanganan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia

1. Bertindak cermat, teliti, dan berpikir ana-

litis dalam menjelaskan konsep praper-

adilan melalui pengertian, tujuan, wewenang,

subjek dan objek praperadilan secara

komprehensif dan lengkap sesuai ketentuan

dalam KUHAP.

2. Bertindak cermat, teliti, dan berpikir analitis

dalam mendefinisikan perbedaan praper-

adilan dengan upaya hukum dan perbedaan

proses praperadilan dengan peradilan

normatif sesuai ketentuan dalam KUHAP.

3. Bertindak cermat, teliti, berpikir analitis dan

evaluatif dalam menjelaskan pengaturan dan

pelaksanaan praperadilan.

71 Buku Informasi - Modul KUHAP

DAFTAR REFERENSI

BUKU

Eddyono S.W dan Napitupulu, E. (2014). Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Pengawasan

Penahanan dalam Rancangan KUHAP. Seri Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Jakarta: Institute

for Criminal Justice Reform

Hamzah, Andi. (2008). Asas-asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamzah, Andi. (2008). Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta:SinarGrafika.

Hamzah, Andi. (1983). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia.

Harahap, M. Yahya. (1993). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid

I. Jakarta: Penerbit Pustaka Kartini.

Harahap, M. Yahya. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

Pengadilan Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali.Jakarta:SinarGrafika.

Harahap, M. Yahya. (2008). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntu

tan).Jakarta:SinarGrafika.

Hartono. (2010). Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan Hukum Progresif).

Jakarta:PenerbitSinarGrafika.

Lamintang, P.A.F. (1990). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cet 2. Bandung: Sinar Baru.

Moelyatno. Hukum Acara Pidana, Bagian Pertama, Seksi Kepidanaan. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.

Nasution, A. Karim. (1981). Masalah Surat Tuduhan dalam proses Pidana. Jakarta: CV. Pantjuran Tujuh.

Prodjodikoro, Wirjono. (1983) Hukum Acara Pidana Indonesia. Cet.7. Bandung: Sumur.

Ramelan. (2006). Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya.

Ranoemihardjo, R. Atang. (1976). Hukum Acara Pidana. Bandung: Tarsito.

Saptomo, Ade. (2010). Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: PT

Grasindo.

Soesilo, R. (1982). Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi

Penegak Hukum). Bogor: Politeia.

Soeparmono, R. (2003). Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam

KUHAP. Bandung: Mandar Maju.

Sofyan, Andi. (2012). Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang Educat.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar, Oeripkartawinata. (1985). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

Buku Informasi - Modul KUHAP 72

Praktik. Bandung: Alumni.

PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Republik Indonesia. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. (1976) Diterjemahkan oleh

Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Se-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan

Surat Dakwaan.

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2010.

PUTUSAN

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 65/PUU-IX/2011.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 85/PUU-XI/2013.

KAMUS

Simorangkir, J.C.T., et.al. (1983) Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.

INTERNET

Agustina, Widiarsi. (2017, 29 September). Pertimbangan Hakim Cepi Menangkan Setya Novanto.

https://nasional.tempo.co/read/1020843/pertimbangan-hakim-cepi-menangkan-setya-novan

to.

Apakah Perbedaan Pengacara dengan Penasihat Hukum?. (2011, 21 Juli). http://www.hukumonline.

com/klinik/detail/cl6143/perbedaan-pengacara-dengan-penasihat-hukum.

BBC Indonesia (2015, 16 Februari). Hakim Nyatakan Penetapan Tersangka Budi Gunawan Tidak Sah

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216 _vonis_budigunawan_kpk.

Fachrudin, Fachri. (2017, 10 Oktober). MK: Kalah Praperadilan, Penegak Hukum Bisa Kembali Tetap

kan Tersangka. http://nasional.kompas.com/read/2017/10/10/ 13480521/mk-kalah-praperadi

73 Buku Informasi - Modul KUHAP

lan-penegak-hukum-bisa-kembali-tetapkan-ter-sangka.

Fachrudin, Fachri. (2017, 30 September). Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto Dianggap

Membingungkan. http://nasional.kompas.com/read/2017/09/30/ 20251991/putusan-

hakim-praperadilan-setya-novanto-dianggap-membingung kan

Ihsanuddin. (2017, 29 September). Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya

Novanto. http://nasional.kompas.com/read/2017/09/29/ 18430571/ini-pertim-bangan-hakim-cepi-

batalkan-status-tersangka-setya-novanto

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). (2016, 5 Juni). Mekanisme Praperadilan harus direfor

masi Total, Perma 4 Tahun 2016 Belum Komprehensif Mengatur Soal Praperadilan. http://icjr.

or.id/mekanisme-praperadilan-harus-di-reforma si-total-perma-4-tahun-2016-belum-kom

prehensif-mengatur-soalpraperadilan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2015, April 28). Penetapan Tersangka Masuk Lingkup

Praperadilan. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php page=web.Berita&id=10796#.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.(2017, 10 Oktober). MK: Tolak Permohonan

Uji Aturan Banding terhadap Putusan Praperadilan. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

index.php?page=web.Berita&id=14037#.WgDbWWSXc2w

Masih Pentingnya Mendorong Konsep Hakim Komisaris. (2009, 15 Februari). http://www.hukumon

line.com/berita/baca/hol21203/masih-pentingnya-mendorong-konsep-hakim-komisaris 2017.

Muhtarom, Iqbal. (2017, 10 Oktober). MK: Penyidik Bisa Terbitkan Sprindik Baru Setelah

Praperadilan. https://nasional.tempo.co/read/1023670/mk-penyidik-bisa-terbitkan-sprindik-

baru-setelah-praperadilan.

Nadlir, Moh. (2017, 30 September) ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan

Setya Novanto. http://nasional.kompas.com/read/2017/09/30/

06581381/icw-kemukakan-6-kejanggalan-putusan-hakim-praperadilan-setya-novanto.

Pramesti, Tri Jata Ayu. (2015, 26 Agustus). Hakim Tunggal dan Objek Praperadilan Pasca-Putusan MK.

http://www.hukumon(seline.com/klinik/detail/ lt55dbbb824661d/hakim-tunggal-dan-objek-

praperadilan-pasca-putusan-mk.

Sahbani, Agus. (2016, 25 April). Catat!! Perma Ini Larang PK atas Putusan Praperadilan. http://www.

hukumonline.com/berita/baca/lt571de3941949f/ catat-perma-ini-larang-pk-atas-putusan-

praperadilan.

Buku Informasi - Modul KUHAP 74

TENTANG PENULIS

Paku Utama lahir di Jakarta, memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Indonesia tahun 2008. Master Hukum (LLM) pada Western Cape University, Afrika Selatan, dan

Humboldt University, Jerman, diperolehnya pada tahun 2012. Ph.D dari China University of Political

Science and Law, Cina, diperolehnya pada tahun 2016. Fokus penelitian penulis adalah asset recovery

(pemulihan aset) dan pencucian uang.

75 Buku Informasi - Modul KUHAP