kitab solo

95

Click here to load reader

Upload: xxxx

Post on 25-Jun-2015

4.251 views

Category:

Documents


75 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kitab Solo

KITAB SOLO 3KITAB SOLO 2

DiterbitkanPEMERINTAH KOTA SURAKARTA

Badan Informasi dan KomunikasiJalan Jenderal Sudirman 2 Surakarta

OlehArswendo Atmowiloto

KITAB SOLO

Page 2: Kitab Solo

KITAB SOLO 5KITAB SOLO 4

Catatan Penyusun 10 KITAB SOLO: Sebuah Pengantar 26

Babad 33Pilihan Tanah 35Mbokmenawa 38

Ningrat 49Seluruh Dunia 55

Bandha Laksana 59Sekaten 60

Tirakatan 66Kalender Baru 67

Kreativitas Kompromi 70Punakawan 74Sastra Jawa 80

Jumat Kliwon 84Manunggaling kawula-Gusti 88

BOTHEKAN 89NARLON KAWIT 90

WALJINAH 92MBAH LATIF 94

SERABI NOTOSUMAN 96TENGKLENG KLEWER 100

HIK 102GUSTI MOENG 104

YU SARWI 106

KITAB SOLOOleh: Arswendo Atmowiloto

XX XXXXXXCopyright c 2008, KITAB SOLO

Desain Sampul dan Isi : Dito SugitoFoto: Luax Mawardi, Ichwan Gembeng

Dicetak oleh Percetakan xxxxxxIsi di luar tanggung jawab Percetakan

Page 3: Kitab Solo

KITAB SOLO 7KITAB SOLO 6

BAKSO (di)KALILARANGAN 108GESANG MARTOHARTONO 110

GUDEG CEKER (di) MARGOYUDAN 112DR LO 114

PASOPATI 116TAMAN JURUG 118DIDI KEMPOT 120

SOLO BALAPAN 122ANOM SUROTO 126

SUPRAPTO SURYODARMO 128HARIADI SAPTONO dan ENDANG KUSUMA ASTUTI 130

GENDHON HUMARDANI 132RW 09 134

Gladag Langen Bogan 138Bangkok 150London 154

Ratu Kidul 156Sangga Buwono 164W.O. Sriwedari 166

W.O. RRI 170Wow 172

Taman Balekambang 176WHCCE 182

Page 4: Kitab Solo

KITAB SOLO 9KITAB SOLO 8 Kumpulan tukang becak, juga ciri khas senyumam ramah, selama 24 jam

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 5: Kitab Solo

KITAB SOLO 11KITAB SOLO 10

Catatan Penyusun

Page 6: Kitab Solo

KITAB SOLO 13KITAB SOLO 12 KITAB SOLO 13

LU

AX

MA

WA

RD

I

Judul buku ini, Kitab Solo, terjadi karena salah dengar. Tadinya saya menjuduli KirabSolo, namun dalam pembicaraan, yang diajak bicara menangkap sebagai Kitab Solo.

Sebagai “warga negara” Solo, berarti dua-duanya bisa dipakai. Karena ini buku (kitab)mengenai Solo, dan terutama mengenai momentum kirab.

Ada dua kirab yang menyejarah. Yaitu ketika Keraton Kartasura terpaksa dipindah keKeraton Surakarta Hadiningrat. Suatu kesibukan, juga pelaksaan proyek besar sekali.Terbesar pada zamannya—dan sesudahnya, karena sejak itu Keraton tak pernah pindah,walau terpecah dan terbelah. Yang kedua, perpindahan para pedagang kaki lima diBanjarsari menuju pasar klitikan Nitihardjo di Semanggi. Suatu kesibukan, jugapelaksanaan proyek kemanusiaan yang cemerlang. Di mana pun penggusuran ataupemindahan pedagang kaki lima menimbulkan congkrah, menimbulkan dredah, adakalanya sampai berdarah-darah. Tapi kali ini berjalan aman damai, bahkan ada spandukyang menyatakan kesediaan berpindah.

Apa yang luar biasa di tempat lain, kelihatannya seperti biasa-biasa saja di Solo. Sehinggaseolah di Solo-lah segala yang aneh bisa berlangsung secara wajar. Penjual makanan yangbuka selewat tengah malam, pertunjukkan wayang orang dengan penonton tak lebih dariseperempat jumlah pemain, pasar kain terbesar yang salah ucapan—mungkin jugatermasuk nama Solo itu sendiri, upaya menggiatkan anak-anak bersekolah denganmembangun Taman Sriwedari, atau menyebut nama sungai terbesarnya Bengawan Solo—pun ketika air sungai itu mengalir sampai Jawa Timur, sampai dengan stadion sepak bola

Page 7: Kitab Solo

KITAB SOLO 15KITAB SOLO 14

yang pertama kali bisa dipakai bertanding malam hari, panggung gamelan komplit dihalaman masjid Agung, atau juga … apa saja. Kita tinggal menyebutkan. Karena setiapbatu, setiap debu di Solo menyimpan seribu cerita. Tergantung siapa yang ditanya. Kadangriwayat yang satu berbeda dengan riwayat oleh penutur kedua. Kadang bahkanbertentangan. Tapi, inilah eloknya. Kedua pengertian yang bisa sama, bisa berbeda itu,pada dasarnya bisa saling melengkapi. Makanya boleh saja buku itu disebut Kitab Solo,atau Kirab Solo, atau Kitab Kirab Solo, atau bahkan Solo saja, atau yang lain lagi—IniBukan Solo Lagi, misalnya.

Solo sendiri, bukanlah definisi yang selesai. Bahkan juga dalam kepentingan geografissekali pun. Ia bisa berarti “hanya” seluas pemerintah kota Surakarta, atau berikutkabupaten-kabupaten yang mengitari, atau bahkan lebih luas dari itu semua, yaitu Jawa.Dalam kaitan budaya ini menjadi menarik, menggelitik, mungkin juga mendidik bagiwarganya. Hubungan warga Solo satu dengan yang lain sedemikian akrab, sedemikiannostalgis, terutama jika mereka berada di perantauan—meskipun itu hanya Jakarta, ataukota lain. Istilah yang dipergunakan dalam percakapan adalah :“Kapan pulang ke Solo?”.Seolah dengan demikian pergantian kartu tanda penduduk, waktu yang sudah puluhantahun tak membuatnya menjadi bukan Solo. Seolah keberadaan di kota lain semacamperantauan, semacam diaspora, dan nantinya pulang ke rumah yang sebenarnya.

Dua tata nilai sekaligus juga tata krama yang bisa paradoksal, bisa saling bertentanganternyata bisa diterima dalam satu pengertian. Ternyata juga, dalam banyak hal ini bisadikatakan menjadi salah satu ciri sikap masyarakat Solo. Dalam percakapan di warunghik, dalam pertemuan resmi, gaya Solo ini—dalam kesenian disebut gagrak, muncul dalamguyonan, dalam plesetan. Antau gurau dan serius menyatu. Antara dua, atau bahkan tigatata nilai dijadikan pegangan bersama, tanpa mengalahkan satu dengan yang lainnya.Tanpa menanggalkan salah satunya. Permulaan kalender Jawa yang menyatu dengankalender Hijriah merupakah contoh jenius, bagaimana tata nilai baru ini disepakati, danbagaimana tahun Saka tetap dipergunakan. Sekurangnya ada tiga wilayah budaya, Hindu,Jawa, juga Islam yang menemukan kalender yang sama.

ISTI

MEW

A KITAB SOLO 15

Page 8: Kitab Solo

KITAB SOLO 17KITAB SOLO 16

Sesungguhnya inisuatu kreativitas kompromi

yang tiada taranyadalam sejarah,

sebagaimana jas Belandamenjadi beskap

atau sepatu dipotongbagian belakangnya

sehingga selop.Dan ketika itulah kita menerima

sebagai busana Jawa.

ILL.

REP

RO

DIT

O S

UG

ITO

KITAB SOLO 17

Page 9: Kitab Solo

KITAB SOLO 19KITAB SOLO 18

Peristiwa-peristiwa itulah yang mendasari buku ini. Memang bukan buku tentangpariwisata atau petunjuk tempat-tempat menarik dan bersejarah—semua batu mempunyaiseribu satu cerita, melainkan mengenai mengapa tempat itu menjadi menarik. Danbegitulah susunan buku ini, lebih merupakan personal esai dibandingkan penulisan yangmenukik dalam penelitian, atau pembabaran yang melebar. Materi utama beberapa kalisudah pernah saya tuliskan terpisah dalam beberapa artikel di surat kabar, terutama harianSeputar Indonesia, beberapa dari makalah dalam berbagai pertemuan dan ceramah budaya.Tapi yang paling besar adalah ketika saya berusaha berada di dalam budaya Solo, denganbertemu banyak orang, dengan ngobrol, dengan rerasanan, dengan guyonan, dengancelelekan.

Dari sudut pendekatan ini, beberapa tokoh yang kita tampilkan, kita wawancarai, kitatunggui, tidak lagi mewakili profesi tertentu, atau jabatan, atau bahkan “kasta” tertentu.Tak ada strategi tertentu memilih atau tidak memilih, melainkan seperti tengah berjalanmenuju pasar, dan siapa yang kita temui kita ajak bercakap, dengan bahan apa saja yangterlintas. Seperti juga percakapan yang terjadi kala kita bertemu seseorang dalamperjalanan, atau ketika sama-sama dalam perjalanan menuju suatu tujuan.

Konsep komunikasi yang di masyarakat luar negeri dicoba dengan susah payah, konsepto whom I must speak today, kepada siapa saya berbicara hari ini, ternyata sudah menjadibagian dalam kehidupan keseharian.

Konsep ini pula yang mulus ketikaakhirnya Keraton Surakarta dibangun

dari tanah rakyat yang diberi pengganti,dan juga ketika Pasar Klithikan

menemukan bentuknya.

ISTI

MEW

A

Page 10: Kitab Solo

KITAB SOLO 21KITAB SOLO 20

Dalam penyusunan dituliskan bersama dengan Begog Djoko Winarso yangmengawani ke seluruh sudut , Leo Tejakusumo yang melakukan wawancara, foto olehLuax Mawardi, Ichwan Gembeng dan desain oleh Dito Sugito, dan beberapa dokumendari berbagai perpustakaan yang ada di Solo, termasuk dari pemerintah daerah, terutamnadari Badan Informasi dan Komunikasi. Meskipun demikian, ini bukan buku mengenai parapejabat, dan atau strategi rinci pembangunan. Saya sepenuhnya memperoleh kebebasandalam menuliskan—sebagaimana kebebasan kreatif kalau saya menoleh novel atau opini.

Selama ini saya telah menulis puluhan buku, mungkin ratusan buku yang telahditerbitkan, mungkin ribuan kalau dihitung dengan skenario, namun dalam prosespenulisan baru kali ini saya merasa tak bisa menyelesaikan dengan tuntas. Mungkin karenasaya terlalu bodoh, mungkin karena Solo bukanlah definisi yang selesai, closed caption,mungkin dua-duanya, mungkin bukan dua-duanya.

Judul Kitab Solo, juga bukan sebuah promosi. Karena yang selama ini berpromosi denganbangga, sudah banyak dan masih terus berlangsung. Mereka yang mengadakan arisanbukan di Solo tapi berlatar belakang kekerabatan Solo, mereka yang patungan menontonwayang orang, atau menelusuri jalanan pelosok untuk menemukan makanan, ataupenganan, yang pernah memanjakan lidahnya, atau juga berburu barang-barang antikyang dulu dimiliki, atau benar-benar pulang dan membangun kampung kelahirannya.Termasuk di zaman sekarang ini, ketika internet menguasai komunikasi dunia maya. Adaselalu situs, ada selalu blog yang mengisahkan Solo. Juga, pembicaraan ketika terjadipertemuan tanpa perencanaan.

Solo telah banyak berubah, tapi selaluteraba benang merah, ungkapan :Solo ya ,tetep, Solo. Kita bisa datang dan pergi keSolo, tapi kita tak pernah meninggalkan.

Page 11: Kitab Solo

KITAB SOLO 23KITAB SOLO 22

Kepada mereka jugalah,dan dari mereka jugalah,Kitab Solo ini dituliskan,sebagai bagian dari debu,

bagian dari batu.

Page 12: Kitab Solo

KITAB SOLO 25KITAB SOLO 24

Sebagai pengantar—dan seluruh isi buku ini

sebenarnya hanyalahsebuah pengantar.

Page 13: Kitab Solo

KITAB SOLO 27KITAB SOLO 26

KITAB SOLOSebuah Pengantar

ISTI

MEW

A

Page 14: Kitab Solo

KITAB SOLO 29KITAB SOLO 28

Di Solo, setiap batu punya cerita, barang kali seribu cerita.

Page 15: Kitab Solo

KITAB SOLO 31KITAB SOLO 30

Atau bahkan setitik debu, bisa menjadi seribu satu cerita yang seru, lucu, haru, mungkinagak-agak tabu. Bahkan untuk kata Solo itu sendiri bisa panjang riwayatnya, bisa luascakupannya. Mulai apakah dituliskan Solo atau Sala, berasal dari nama pohon ataunama seseorang, apakah ada batas geografis atau batas budaya dengan wilayah yang“bukan Solo”, atau apakah ini sebuah pemerintahan kota, karesidenan, atau sebuahkomunitas yang lebih menyeluruh dari budaya Jawa, atau pertanyaan yang salingbertentangan.

Jawabannya bisa lebih panjang, karena jawaban yang mana pun bisa benar. Palingtidak, bukan jawaban yang salah. Itulah yang mengembangkan cerita, kisah, sejarah,yang tak pernah berhenti. Sambung menyambung menjadi satu, itulah… Solo.

Kita bisa menceritakan Solo dari mana pun, dari apa pun, tapi hampir pasti mengalamikesulitan mengakhiri. Kita bisa menarik kesimpulan dari pendekatan yang kita lakukan,tapi hampir pasti pula, kesimpulannya bisa berbeda. Tanpa perlu kecewa, karenakesimpulan mana pun bisa diterima.

Kita bisa merumuskan identitas Solo, dari segi apa pun, tapi tak akan sepenuhnyamewadahi. Bahkan kalau mencoba bertanya : Solo ki jan-jane apa lan piye to, Solo itusebenarnya apa dan bagaimana, jawabannya adalah Solo ya Solo, Solo adalah Solo.

Solo sebuah pertanyaan, sekaligus sebuah jawaban.

KITAB SOLO 31

Page 16: Kitab Solo

KITAB SOLO 33KITAB SOLO 32

BABADSaya menggunakan sebutan Solo—bukan Sala, juga bukan Surakarta—dalam tulisan

ini dan tulisan-tulisan sebelum dan sesudah ini, tanpa harus menjelaskan alasannya.Suka-suka saja, kalaupun ada alasan lebih sentimental sifatnya. Selama ini nama Sololebih punya karakter (toh tak ada kota lain bernama Solotiga, yang ada Salatiga), tohnama sungai terbesar adalah Bengawan Solo, nama stasiun kereta api yang tercetakjuga Solo Balapan, dan lebih dulu ada istilah wong Solo, atau priyayi Solo.

Adapun asal usul nama Solo sendiri, ada beberapa cerita :· Nama orang. Ini yang paling sering diceritakan, bahwa dulunya ada pendudukawal bernama Ki, atau Kiai (yang dilafalkan dengan huruf kental, menjadi Kiyai)

Solo, atau Ki Ageng Solo. Nama inilah yang kemudian dipakai sampai sekarang. Sesuatuyang masuk akal, dan ada jejak makam Ki Ageng Solo.

Meskipun sebenarnya, yang disebut sebagai Kiai Solo, bukanlah satu orang saja,melainkan terdiri dari tiga generasi. Ada Kiai Solo I, II, dan tiga.

Akan halnya nama itu sendiri, sebenarnya merupakan pengucapan yang salah kaprah.Kata awalnya konon soroh bahu. Ini jenis pekerjaan, di mana kelompok orang yangmemberi tenaga secara suka rela. Nama soroh bahu sendiri bisa diartikan pemberi (soroh)tenaga (bahu), atau sukarelawan, atau persembahan tenaga dari rakyat sebagai tandabakti untuk raja. Penduduk yang menempati suatu wilayah, menyetorkan tenaganyauntuk membantu pihak Keraton. Menurut penulisan R.M. Sajid ( Babad Sala, ReksoPustaka, Mangkunegaran, tahun 1984), tenaga kerja, atau bausuku ini diberikan selamasatu minggu. Mereka ini tenaga kerja yang akan melakukan pekerjaan, membantu apayang menjadi keperluan pihak Keraton, waktu itu zaman Keraton Pajang.

Adalah wajar jika nama orang pun disebutkan dengan jenis pekerjaan. Sehinggapemimpin kelompok ini, disebut sebagai Ki Soroh Bahu, atau singkatnya Ki Soroh. Dalampengucapan terjadi pergeseran, kalentuning pangucap, menjadi terdengar sebagai Ki Sala.Dari sinilah nama itu terdengar, dengan asal usul sebutan untuk tenaga kerja.

· Nama tumbuhan. Jenis pohon Sala Pinus Merkusii, adalah jenis pepohonan pinusSungai kecil, tanpa nama inilahyang menjadi sumber air sungai yangmelegenda, Bengawan Solo FO

TO A

TO

K S

UG

IRTO

Page 17: Kitab Solo

KITAB SOLO 35KITAB SOLO 34

atau mirip pohon cemara. Jenis pohon yang getahnya bisa diolah menjadi bahan cat,atau juga untuk gondorukem ini banyak terdapat di lereng-lereng daerah itu. Adabeberapa jenis tanaman Sala, namun Pinus Merkusii yang paling dekat, karena dalampenjelasannya disebutkan ditebang, ditegor. Pastilah jenis pohon yang tinggi dan bukansebangsa rerumputkan. G.P.H. Hadiwidjaja, dalam salah satu tulisannya (Sala, terbitanRadyapustaka, 1960) berkesimpulan bahwa Sala berasal dari nama desa, dan di desa itubanyak pohon Sala, atau bahkan hutan Sala.

Dua pendekatan yang sangat berbeda, di samping ada pendekatan-pendekatanlain, yang tetap bisa diterima tanpa menyalahkan atau mengalahkan yang lain. Atau

bahkan bisa ditemukan kompromi kreatif. Misalnya saja, memang daerah yang sekarangbernama Solo itu dulunya banyak pohon-pohon pinus yang menghasilkan minyakterpentin. Kamituwa, penguasa wilayah itu yang juga abdi dalem, meskipun bernamaKi Bau Rekso, lebih dikenal sebagai Ki Sala. “Kebetulan” tokoh ini juga menjadi penyediatenaga kerja bagi pihak Keraton, ketua dari barisan soroh bahu.

Klop. Gothak gathuk, manthuk.

Memang ini akan menjadi cerminansikap warganya yang bisa terbuka.

Termasuk penulisan Solo atau Sala. Yangpenting dituliskan dalam huruf Jawa “sa legena dan la legena”. Huruf sa dan

huruf la yang nglegena, yang telanjang,

bukan yang memakai taling tarung,tanda penutup.

Barang kali keterbukaan tata nilai dantata krama ini, mendominasi warna Solo,

dan warganya.PILIHAN TANAH

Pendekatan sejarah, juga meninggalkan banyak cerita. Baik yang dicatat dengan indah,dengan gagah, dengan megah—walau kadang menyembunyikan kesan kurangmenggugah.Suasana saat itu, pertengahan abad 18, tanah Jawa sedang mengalamipeperangan di berbagai bidang. Dinasti Keraton Mataram yang pernah sakti mandragunasedang merana. Juga terluka.

Di Keraton Kartasura Hadiningrat, bertahta Sinuwun Paku Buwana II, pada usiayang muda, baru 16 tahun. Pengendali pemerintahan adalah ibunda Ratu Ageng danPatih Danurejo yang anti Kumpeni/ VOC. Sikap politik pun diwarnai ini, dan ikut berubahketika Danurejo diselong—kata yang berasal dari dibuang ke Ceylon, Sri Langka. Politikbergeser dan bergoyang. Sementara suasana keseluruhan juga amburadul. Di Batavia,tahun 1740, Belanda membinasakan lebih dari sepuluh ribu keturunan Tionghoa. Pelarianyang selamat, mengadakan perlawanan di Jawa Tengah, termasuk Kartasura. Padasaat yang sama, perebutan tahta Mataram tengah berlangsung terbuka. Sinuwun yangrelatif muda usia, sekali lagi berada dalam tekanan dari berbagai jurusan. Dari bersekutudengan pasukan Tionghoa sampai memusuhi, dari memusuhi Pangeran Cakraningatkemudian bersekutu, dari memusuhi VOC alias Kumpeni, menjadi peminta bantuan.Apalagi setelah Geger Pecinan, yang membuat Sinuhun mengungsi.

Walau kemudian akhirnya bisa kembali menempati Keraton Kartasura Hadidingrat.

Page 18: Kitab Solo

KITAB SOLO 37KITAB SOLO 36

Namun keadaan Keraton sudah porak poranda. Kekuasaan Dinasti Mataram agaknyamemang temaram.

Peta kekuasaan sedang ruwet, dan memerlukan biaya kelewat mahal untuk akhirnyaPaku Buwono kembali bertahta. Dan berduka. Juga luka kuasa, luka karisma. BangunanKeraton, ibarat kata telah diinjak-injak, kehormatan dan kebesaran Dinasti Mataramyang gagah perkasa telah rata dengan tanah.

Jalan terbaik untuk membangun citra baru adalah mendirikan Keraton baru. Begitulahyang biasanya terjadi para kerajaan-kerajaan zaman dulu. Kita lupakan sejenak konflikpelik yang mencekik kekuasaan Mataram. Sudah banyak telaah yang dituliskan dengancermat, teliti. Kita rerasanan mengenai dimulainya tempat baru.

Di sinilah permulaan pencarian tanah untuk mendirikan Keraton baru. Pastilahperistiwa yang rumit, berbelit, juga ada campur tangan Kumpeni. Sebelum akhirnyaada tiga pilihan.

Yang menarik di sini adalah proses pemilihan dan berbagai pertimbangan sebelumakhirnya diambil keputusan.

Pilihan pertama desa Talangwangi, atau kini dikenal sekitar Kadipala. Tanahnya bagus,konon berbau wangi. Beberapa bagian masih berupa perbukitan kecil, gumuk, dengankemungkinan perluasan wilayah kurang bawera., kurang luas. Menurut perhitunganspiritual, Keraton yang didirikan di sini tak akan berusia lama.

Pilihan kedua, desa Solo, termasuk tanah yang sudah jadi—sudah ada penghuni.Dekat dengan sungai besar yang menjadi urat nadi perdagangan. Ketika itu pelabuihanBeton dan Nusupan sudah disinggahi perahu-perahu dari Gresik maupun Surabaya.Hanya saja tanah sekitar termasuk rendah, berupa rawa-rawa, selalu berair, dan sebagianmasih berupa hutan belukar. Perhitungan spiritual mengatakan bahwa Keraton yangdibangun di situ akan berjaya, dan berusia panjang.

Pilihan ketiga, desa Sanasewu, sebelah timur Bengawan Solo, masih sebelah barat desaBekonang. Tempat itu akan bertambah besar, jaya, makmur, serta mulya. Namunperhitungan spiritual mengatakan bahwa masyarakatnya akan kembali memeluk agamaBuddha.

ISTI

MEW

A

Page 19: Kitab Solo

KITAB SOLO 39KITAB SOLO 38

Bahwa pilihan kemudian jatuh ke desa Solo—dengan segala kesulitan menimbun rawa-rawa, begitulah catatan sejarah. Tapi bahwa perhitungan spiritual—pastilah denganberpuasa, dengan manekung, dengan semedi, dengan segala kemampuan batin yangtiada taranya, sekaligus juga diimbangi dengan berbagai pertimbangan yang rasional.Pertimbangan geografis tak terlalu jauh dengan bengawan yang merupakan jalan utamaperdagangan, misalnya. Atau perluasan wilayah untuk masa depan.—membawa tanahperbukitan di dusun Talangwangi untuk menimbun rawa-rawa yang menurut ceritabersambung ke Segara Kidul yang dikuasai Ratu Pantai Selatan, sehingga airnya takakan pernah habis. Demikian juga kalau diingat bahwa pihak Keraton tidak serta mertadatang dan membangun. Ada ganti untung, dengan segala perhitungan yang rumit.Menurut catatan, sekurangnya penduduk asli sudah bertempat tinggal di situ selamalebih dari 160 tahun. Sedikitnya tiga generasi, kalau dilihat dari sudut Kiai Solo generasiketiga yang melaksanakan persetujuan pemindahan tempat warga sebelumnya.

Ini semua memerlukan manajemen yang luar biasa rumit, repot dan ruwet.. Prosesyang luar biasa panjaaaaaang dan mencengangkan.

MBOKMENAWAKadang terbersit pikiran, andai—hanya berandai-andai, kalau benar Keraton Surakarta

Hadiningrat—namanya akan tetap begitu dibangun di mana pun, dibangun di Sanasewupeta sosial dan warna keagamaan akan berubah?

Atau kalau dibangun di daerah Kadipala, akan lebih cepat surut? Akan pendekusianya?

Penggandaian ini adalah penggandaian yang tidak mungkin. Karena sejarah berjalan,dan bukan jenis games anak-anak yang bisa restart lagi dari awal. Penggandaian iniseperti berucap :”andai aku jadi kupu-kupu”, sesuatu yang belum pernah terjadi manusiamenjadi kupu-kupu, walau ia bersedia menjadi kepompong. Namun dalam alam pikiran,pengandaian atau perumpamaan ini bisa hidup dalam alam pikiran masyarakat. Kata“mbokmenawa” atau “mbokmenawa bae”, adalah sikap hebat masyarakat ketika

Dalam pembicaraan di warungangkringan, di hik, obrolan mengenai apasaja bisa terjadi, mengalir “ngalor ngidul,

ngetan bali ngulon”, baik masalah besar ataumasalah rumah tangga. Waktu seakanberhenti, tak ada persoalan yang benargawat. Kalau pun “gawat keliwat-liwat”,

tetap bisa diobrolkandengan selingan tawa.

menghadapi masalah yang seolah tak bisa diselesaikan. “Mbokmenawa bae” adalahungkapan harapan, kepercayaan bahwa ada sesuatu yang bisa terjadi, walau sepertinyatidak mungkin. Dalam bahasa percakapan, kata ini disusul dengan ungkapan, sapa ngerti,atau siapa tahu. Ya, siapa yang tahu pasti? Jalan pikiran dan sikap hidup yang terbukadan membuka.

Ini mungkin bentuk-bentuk atau sikap diri, yang mampu bertahan dari gempurankeadaan, mampu melihat satu titik di ujung terowongan gelap, satu modal sosial yang takpernah habis. Dalam bentuk mistisnya, keberadaan Nyi Roro Kidul misalnya, masih akanselalu ada. Dalam bentuk lainnya, kedatangan dan kemunculan Ratu Adil, masih bisa kitadengar. Tidak selalu dalam pembicaraan yang serius—meskipun ada, namun juga bukandalam guyonan yang asal-asalan. Sebagai “warga negara” Solo dan dibesarkan di tempatini dan masih selalu “pulang” (ini istilah yang dipakai jika mudik, atau pergi ke Solo,seakan selama ini hanya bertamu ke kota lain), suasana ini terhayati, bukan hanyaterasakan.

Page 20: Kitab Solo

KITAB SOLO 41KITAB SOLO 40

Idiom-idiom yang menjadi bahan pembicaraandimengerti satu dengan yang lainnya. Teori

komunikasi yang susah payah diterangkan dandicoba diterapkan para pakar, sudah mengalir

dengan sendirinya. Sehingga tuntutan to whom Imust speak today, kepada siapa saya bicara, yang

menjadi syarat utama terjadinya komunikasi yangefektif, menjadi tidak relevan. Karena satu dengan

yang lain telah sama-sama mengetahuimaksud dan tujuannya.

Cerita dibangunnya Keraton bisa menjadi contoh ilustrasi.Alkisah setelah ditentukan tempat untuk pembangunan Keraton, mulailah tanah

diratakan, pepohonan liar ditebang dan daerah rawa ditutup. Para Bupati dari wilayahBarat maupun Timur semua menyediakan balok-balok kayu untuk menutup rawa. Semuausaha pembangunan berjalan lancar, kecuali di tengah sumber air. Berapa pun balokdimasukkan, tak ada hasilnya. Bahkan air yang keluar makin banyak. Pangeran Wijil,Kiai Kalipah Buyut, Pengulu Pekik Ibrahim, yang mendapat tugas utama tak bisa berbuatbanyak. Segala upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Air tetap tak bisadibendung. Bahkan kemudian dari rawa itu muncul jenis ikan dan binatang yang biasanyahidup di laut. Ini kejadian yang luar biasa dan menggetarkan.

Setelah semua upaya tidak berhasil, Panggeran Wijil serta Kiai Yasadipura bersemedi,manekung di sebelah timur rawa. Mereka berdua bertapa, selama seminggu, tidak makantidak tidur. Sampai akhirnya terdengar suara :

“Heh kang mangun subrata.Wruhanira, teleng iku mulane

ora bisa mampet, amargatembusane Segara Kidul. Dene

yen sira udi pampete telengmau, kang dadi saranane :Tambalen gong Kiyai SekarDelima, karo roning lumbulawan sirahing taledhek. Ing

kono bisa pampet telenge,ananging ing tembe dadikedhung ora mili ora asat,

ajeg banyune,ora kena dipampet salawase.”

Page 21: Kitab Solo

KITAB SOLO 43KITAB SOLO 42

Ada dua tata nilai yang tersampaikan dengancara seperti ini. Nilai spiritual atau mistis—

termasuk kisah yang gaib, termasuk nama asalusul Kedung Lumbu, tapi sekaligus juga juga nilai

praktis dan rasional. Yaitu warga mendapatkanganti untung atas tanahnya, warga dibayar untuk

membiayai berdirinya Keraton.Pola komunikasi ini terbukti sakti, boleh

dikatakan sukses lahir batin.Yang batin tidak menggantikan yang lahir, sebaliknya yang lahir tidak meninggalkan

atau menanggalkan yang batin.Dengan “komunikasi Gong”, barang kali kita akan lebih memahami, lebih mengerti,

lebih menemukan sesuatu ketika berada di Solo. Karena memang setiap bangunan, setiapjengkal tanah menyimpan kisah yang basah untuk dimaknai.

Kita ambil contoh Pasar Klewer.Pusat perbelanjaan tekstil yang pernah dijuluki terbesar di Indonesia karena volume

perdagangannya ini, adalah contoh berkembangnya industri lokal, industri yangmelibatkan masyarakat secara luas. Berada di sebelah barat, agak ke selatan Alun-alunUtara, berdampingan dengan Masjid Agung. Jalan di samping itu adalah jalan tertua,kalau diingat perpindahan rombongan dari Keraton Kartasura melewati itu pertamakalinya. Kemudian tempat itu menjadi pakretan, pa-kreta-an, atau tempat parkir kereta.Pada abdi dalem atau juga terutama para pembesar dari Delanggu, Kartasura, Boyolali,menempatkan kendaraan utama saat itu di situ. Dari nama pakretan, berubah menjadislompretan, dan jadilah nama Pasar Slompretan.

Berbeda dengan pasar-pasar yang lain, Pasar Slomperan merupakan pasar yang

Terjemahan harafiahnya, kira-kira : “Hai yang tengah bertapa, ketahuilah, bahwasumber air itu tak bisa berhenti, karena sumbernya dari Laut Selatan. Kalau kalian inginmenghentikan, ini caranya : masukkan gong (alat musik) Kiai Sekar Delima, serta daunlumbu, dan tanamlah kepala ledhek ( pesinden, perempuan yang nembang atau menari).Di situ akan berakhir airnya. Besoknya tempat itu masih ada airnya, tapi tak membuatbanjir dan tak akan kering. Tak akan bisa ditutup selamanya.”

Wisik atau sasmita suara gaib itu dicatat terjadi pada malam Anggara Kasih, bulanSapar tanggal 29 tahun Jimawal, angka 1669.

Dalam bahasa harafiah, untuk menghentikan air dari pusatnya adalah denganmenanam gong, daun lumbu, serta kepala ledhek, kepala manusia.

Namun bukan itu makna sesungguhnya. Melalui uraian yang susah diterjemahkandalam bahasa Indonesia, makna dibalik arti harafiahnya adalah : bahwa taledhek berartiduit, kata lain ringgit, jumlahnya saleksa, atau sepuluh ribu uang ringgit. Gong itukependekan dari gangsa, yang artinya bibir. Bibir itu berarti ucapan. Ucapan adalahjanji. Janji harus ditepati. Dengan kata lain, ada ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit,sebagai ganti untung—bukan ganti rugi, bagi Kiai Solo dan semua penghuni yang akandipindahkan. Begitu banyak nama benda yang bisa berarti lain, kemudian diartikan lainlagi, sampai kemudian jelas apa yang dimaksud.

Inilah yang kemudian terjadi. Daerah rawa itu bisa ditutup, airnya tak lagi mengalir,dan tempat di mana daun lumbu itu ditebarkan sekarang menjadi nama tempat, KedungLumbu.

Terlepas dari suara gaib ( yang sebenarnya sangat mungkin terjadi, karena hanyadidengar yang bersangkutan, sebagaimana seseorang mendapatkan ilham), serta upayamendengar suara itu ( yang sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa untuk berpuasaselama tujuh hari tanpa tidur sekalipun), idiom gong bisa terkomunikasikan sebagaigangsa, sebagai bibir, sebagai ucapan, sebagai janji, sebagai komitmen, adalah luar biasa.Idiom “kepala taledhek”, yang berarti ringgit, atau bisa berarti wayang bisa berartiuang, sampai ke sasaran dengan tepat, sungguh mengagumkan.

Page 22: Kitab Solo

KITAB SOLO 45KITAB SOLO 44

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 23: Kitab Solo

KITAB SOLO 47KITAB SOLO 46

tumbuh bersamaan dengan dinamika masyarakat. Setidaknya dibandingkan denganPasar Gedhe, atau Pasar Gede, atau Peken Ageng, yang ada di tengah daerah Pecinan.Bangunan, los-los pasar relatif teratur, tertata. Pada tahun 1927 sudah dibangunbertingkat dua, mungkin sekali pasar pertama di Indonesia yang bertingkat. Pasar GedeHardjanagoro, menjadi yang pertama – seperti juga banyak hal terjadi pertama kaliterjadi di Solo.

Begitu juga pasar yang hanya ramai pada hari pasaran—Pasar Pon, Pasar Kliwon(pasar khusus hewan), Pasar Legi, (banyak transaksi dengan warga dari “luar” Solo),atau juga Pasar Kembang—yang secara khusus menjaul bunga untuk keperluan ritualseperti untuk kembang setaman, kembang boreh, kembang campur untuk ditebar dimakam, juga kembang untuk keperluan pemakaman.

Sebagai pasar rakyat, Pasar Slompretan, mengalami masa surut di zaman Jepang.Pedagang tak mampu lagi menyewa kios, sehingga berada di jalanan. Barangdagangannya dibawa dengan tangan, seperti para pengasong atau penjaja jalanan.Dagangannya pun bisa diperkirakan adalah pakaian atau barang bekas. Keberadaanpara penjaja pun, kleweran, di jalanan. Itu pun selalu diusir, karena menggangguketertiban. Keadaan yang serba kleweran itulah yang membuat nama Pasar Slompretankemudian menjadi Pasar Klewer.

Untunglah nama itu tidak diubah lagi.Bukan karena apa, nama Pasar Klewer dalam artian tertentu mempunyai riwayat,

mempunyai cerita yang panjang. Di samping nilai-nilai penjualan-pembelian yang terjadi,di samping transaksi tanpa henti, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bisa dikisahkandengan gagah. Karena bukan pasar atau plaza yang tiba-tiba dan menggusur pedagangsebelumnya, atau semacam itu.

Inilah saya maksudkan dengan setiap debu memiliki seribu satu cerita. Yang bisamembuat kita ceria kala mendengar, atau kala menuturkan kembali. Terutama karenadi dalamnya ada inspirasi, ada dinamika, ada kegagahan, yang menjadi penanda.

Bagaimana membuat nilai-nilai itu tetap relevan dan aktual, adalah bagaimanamensosialisasikan, sehingga bisa terus terpahami getarannya.

Pasar Klewer bisa menjadi contoh yang pas, justru karena ia bukan bangunan purbadan kuno, bukan petilasan raja atau gubernur Kumpeni, bukan karena nilai-nilai seniyang tersimpan di dalamnya. Pasar Klewer adalah pasar, tempat jual beli seketika, yangtidak dimaksudkan sebagai warisan sejarah. Belum lagi kalau kita kaitkan dengankeberadaan Sarekat Dagang Islam, yang didirikan 16 Oktober 1905, tiga tahun sebelumberdirinya Boedi Oetomo. Adalah Sarekat Dagang Islam, yang melihat perlunyamengembangkan perekonomian rakyat, sekaligus juga nasional dan religius. Dalamperjalanannya berubah menjadi Sarekat Islam, namun pastilah ada bekas-bekas sikapnyasehingga Pasar Klewer lebih banyak menampilkan para pedagang pribumi—ketikapersaingan dengan pedagang Tionghoa menjadi masalah besar. Para juragan batik, parambokmase—sebutan untuk kaum perempuan yang mengendalikan usaha batik, bisa turutmerasakan berkahnya.

Dan Pasar Klewer juga bukan satu-satunya.Sebanyak batu, sebanyak debu, sebanyak itulah Solo memiliki warisan budaya yang

berharga.

Pada titik inilah sesungguhnya nilai-nilaibudaya itu menemukan kekuatannya yangutama, menjadi sejarah, dan menggugah.Pasar Klewer bukan sekadar pasar tekstil

semata, bukan pasar kelontong belaka,melainkan pasar rakyat yang sesungguhnya.

Yang sampai kapan pun, akan terusmenggemakan kehadirannya.

Page 24: Kitab Solo

KITAB SOLO 49KITAB SOLO 48

NINGRATKembali ke pengandaian, kalau saja Keraton dibangun di Kadipolo, akankah usianya

lebih pendek dari sekarang ini? Tidak ada yang bisa memastikan, dan mungkin jugatidak perlu. Yang jelas dan pasti, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak selaluutuh seperti yang diperkirakan. Belum usai seorang raja berkuasa telah terjadiperpecahan, peperangan, perebutan kekuasaan. Sampai akhirnya wilayah dibagi dua,dengan seorang Sultan bertahta di Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan kekuasaan yangsama. Dan kemudian di Surakarta, juga akhirnya dibagi dua, dengan KeratonMangkunegaran.

Sekarang ini mungkin dengan ringan kita menceritakan bahwa Keraton dibagi dua,lalu dibagi dua lagi, atau menyebutkan tahun-tahun perjanjian, tahun-tahun perdamaian.Namun di balik semua itu, saya hanya membayangkan dengan pedih, dengan perih,betapa menyakitkan hati peristiwa semacam itu terjadi. Baik Kasunanan, Kasultanan,Mangkunegaran, Paku Alaman, masih bersaudara. Sangat-sangat dekat, sama-samaketurunan raja gung binatara. Ikatan darah, ikatan tata nilai dan tata karma ternyata takcukup kuat untuk mengikat dan menyatukan diri. Sehingga yang terjadi adalahperpecahan, juga pemisahan, dan bukan tidak mungkin permusuhan. Adalah sangatmungkin sekali adanya perbedaan-perbedaan dalam tata nilai dan tata krama. Apa yangsakral di Kasunanan Solo adalah hal yang biasa atau malah profan di Kasultanan Yogya.Demikian juga tercermin dalam cara berbusana, cara merias pengantin dengan segalaatribut-atributnya.

Jangan lupa bahwa pada masa-masa itu, tanda-tanda kebesaran, tanda-tandakehormatan, tata krama adalah nilai utama. Sehingga perbedaan menjadi pemisah dalamarti yang sebenarnya. Tercermin dalam bentuk-bentuk kesenian, sampai kehidupansehari-hari. Perbedaan yang tajam dari tata nilai ini mewarnai perjalanan tumbuhnyaKeraton-keraton yang ada.

Makin terasa menyakitkan mana kala diingat bahwa untuk menjadi raja baru, restuyang diperlukan dari VOC atau Kumpeni. Para pembesar ‘sabrang’ inilah yang menyetujui

ISTI

MEW

A

Page 25: Kitab Solo

KITAB SOLO 51KITAB SOLO 50

atau tidak menyetujui, merestui atau tidak merestui kapan Keraton baru diresmikan.Termasuk penentuan waktu pelantikan, dan tentu saja batas-batas wilayah. Menyakitkandan sungguh merendahkan harga diri sampai rata dengan tanah. Justru di tanah tumpahdarah sendiri, seorang raja yang berkuasa penuh dengan gelar tertinggi sebagai panglimaperang dan wakil Allah di buminya, untuk menggapai itu harus berseteru dengan sanaksaudara sendiri, harus meminta restu Belanda.

Saya membayangkan masa-masa itu sebagai masa yang suram, sulit, menyesakkandada, membuat ‘unjal ambegan’, menghela napas setiap kali. Bagaimana hal semacamini bisa terjadi?

Bagaimana masyarakat hidup dalam perpecahan, juga persaingan, dalam perbedaantata nilai dan tata krama, ketika sama-sama masih mengakui sebagai ‘wong Jawa’?Bagaimana masyarakat yang Jawa ini merasa Jawa dengan mengabdi ke raja yangmana?

Betapa membingungkan, mengingat bahwa para raja, untuk Solo, antara Kasunanandan Mangkunegaran, juga ada pertalian leluhur yang sama, di samping juga adaperkawinan antar sentana dalem, antarkerabat dekat raja?

Sedemikian tajam perbedaan itu, sehingga sepasang rel kereta api yang berada dijalan Slamet Riyadi sekarang ini, pernah dianggap sebagai batas pemisah, antaraKasunanan dan Mangkunegaran.

Sedemikian berlanjut perbedaan ini, sehingga sampai saat ini pun, ada “dua sinuwun”di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang dalam prosesnya ada demontrasisegala?

Tak terbayangkan bahwa itu bisa terjadi. Bahkan sasmita yang paling buruk pun,mungkin tidak menggambarkan akhir yang demikian tragis.

Tapi, di sinilah keunggulan dan daya tahan masyarakat Solo dan sekitarnya. Dalamkeadaan begitu rancu, dalam perpecahan yang membelah makin memisahkan, merekatetap bisa menjalani. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, antara Kasunanan danMangkunegaran seolah tak ada perbedaan. Dua tata nilai – atau lebih, bisa diterimadengan sabar dan tenang.

Tapi, di sinilah uniknya. Bahkan dalamkekuasaan yang nyaris putus pun, kesetiaan

para abdi dalem tidak surut karenanya.Berita bahwa abdi dalem yang menjaga

pintu, atau yang tugur—berjaga dan berdoasemalaman, adalah contoh-contoh yang

mentakjubkan. Bahwa Keraton yang telahcoreng moreng, telah berada dalam situasi

“ ora cetha alang ujure”, tidak jelas posisipolitis, ekonomis, maupun sosialnya, masihdianggap membawa berkah. Masih menjadi

acuan moral, etika maupun estetika.Secara pribadi saya merasakan ini, karena berada di dalam pusaran ini. Ketika masih

SMP, di SMP Negeri 4, ketika teman sekelas main ke rumah, ibu saya menemui danmenyembah. Teman sekolah saya ini adalah putri dokter Padmanegoro—nama ini sudahturun temurun sejak awal Keraton, dan bagi almarhumah ibu, merupakan bentukkekuasaan Keraton. Ibu bisa bercerita mengenai garis keturunan, hubungan terdengardengan Sinuwun yang mana, yang keberapa, juga dari garis istri yang mana. Bahwasaat itu menjadi teman sekolah anaknya, tidak menghalangi ibu untuk dengan tulusmelakukan itu.

Untuk generasi ibu, tata nilai dan tata krama itu masih terangkat kental. Dan bisa

Page 26: Kitab Solo

KITAB SOLO 53KITAB SOLO 52

Saya tidak mengalami itu, sebagaimana Ki Lurah Atmolelewo juga tidak mengalami—atau bahkan membayangkan, bahwa salah satu cucunya yang “durung Jawa” ini suatuketika memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung—dengan nama baru,Wilotodipura. Untunglah beliau tidak mengalami, kalau tidak, kakek akan melakukansembah ke saya—yang “pngkatnya” tiga empat tingkat di atasnya. Saya tidak sedangbergurau, karena ketika selesai upacara, mertua saya melakukan hal yang sama. Sanakkeluarga—dari pihak keluarga, dari pihak mertua, dari yang “sudah jauh”, memerlukandatang memberi selamat dengan tulus dan bersungguh-sungguh. Ketika sayamemenangkan Asean Awards dalam bidang penulisan, dan hadiah itu diberikan olehRaja Muangthai, jangan kata memberi selamat, menanyakan juga tidak. Kalau pun tahu,dianggap biasa. Akan tetapi menjadi seorang KRT adalah something dan penting. Belumpernah saya menerima kehormatan yang begitu hangat, begitu hormat seperti ketikaitu. Termasuk dirasakan oleh istri saya, yang boleh disebut sebagai Ibu Menggung—IbuTumenggung. Termasuk kalau saya memakai hiasan di rumah dengan payung—yangtidak terbuka, menjadi sah.

Ilustrasi nyata ini menunjukkan betapa sesungguhnya, ketika puing-puing kuasaKeraton telah berkeping, masih mempunyai makna. Masih ada tata nilai yang dihormati.Dan masih relevan. Bagi saya mendapat gelar kehormatan—apa pun gelar yangdianugerahkan, bukan sekadar menjadi terhormat atau merasa diakui. Juga bukan merasamemasuki daerah baru yang feodal, masuk kasta ningrat. Karena justru ketika beradadalam sebutan ningrat, dituntut untuk berperi laku yang bertanggung jawab. Dari segiucapan ningrat diartikan sebagai ‘ning Rat’, atau di jalan Tuhan.

Pemahaman seperti inilah yang dibutuhkan di saat kita menjadi kritis, atau mengritisisesuatu. Karena tanpa itu, selalu sesuatu yang berbau tradisi seakan menjadi masa lalutanpa relevansi aktual—baik aktual waktu maupun aktual masalah. Dan bisadicampakkan begitu saja karena menjadi penghalang. Padahal justru karena memilikinilai-nilai tradisi itulah, kita belajar memahami dan membantu menentukan langkah.

dimengerti karena kakek—ayah dari ibu, adalah abdi dalem. Dari namanya,Atmolelewo—itu sebabnya nama tua ibu-bapak adalah Atmowiloto, terlihat jelas bahwaalmarhum kakek adalah abdi dalem bagian lelewo, menari. Atau lebih khusus lagitermasuk dalam canthang balung, yang menari di jalanan mendahului iringan parapembesar Keraton yang akan berjalan. Sebagai pemeriah adanya iring-iringan. Barangkali mirip cheer leader sekarang ini. Bukan sebagai prajurit yang maju perang. Pangkatterakhirnya lurah. Namun agaknya ini pangkat anumerta, karena lebih dikenal sebagaibekel—satu tingkat di bawahnya. Meskipun demikian, meskipun pangkatnya berada digolongan bawah, derajat dan kewibawaan almarhum kakek cukup disegani. Setidaknyadibandingkan sanak keluarga yang lain yang bukan abdi dalem. Setidaknya secaraekonomis juga lumayan, karena meskipun sebagai abdi dalem, hidupnya lumayan sukses.Kalau ukuran sukses adalah mempunyai rumah sendiri, dan istrinya bekerja, dan anak-anaknya bisa sekolah.

Saya tidak mengalami zaman keemasan KiLurah Atmolelewo, karena beliau sudah

meninggal dunia ketika saya lahir. Tapi sayakenyang dengan cerita yang membuat senang,juga bangga yang selalu dituturkan oleh nenek,

oleh ibu, oleh kerabatnya. Betapa semua perhatiantertuju ke beliau menjelang menghadap ke

Keraton, jangan sampai keliru apa yang dipakaiatau terlambat atau lupa berpuasa. Betapa keramat

hari-hari yang dilalui sebagai abdi dalem.

Page 27: Kitab Solo

KITAB SOLO 55KITAB SOLO 54

SELURUH DUNIADengan memiliki tradisi kehidupan Keraton dengan segala liku-liku sejarahnya,

masyarakat Solo menjadi berbeda—dibandingkan yang tidak memiliki, atau memilikikemudian, atau pernah memiliki dalam jangka waktu yang jauh.

Gambaran ini sangat memungkinkan melirik kepada asal usul, atau sekaligus posisisosial yang disandang, dibandingkan dengan orang lain.

Ambil misal nama kakek, Atmolelewa. Kata depan Atmo, dalam tatanan KeratonKasunanan—yang bisa berbeda dengan Keraton Mangunegaran, menunjukkan pekerjaandan kepangkatan tertentu, dalam hal ini berkaitan dengan tari. Dalam gabungan dengannama Lewa, menunjukkan pekerjaan sebagai penari. Penari kelas tertentu, yang bukanpenari “dalem Keraton”. Atau lebih dekat dengan sebutan badhut, atau juga canthangbalung. Dengan demikian kalau kakek atau orang yang bernama Gunalewa,Wignyolelewa, akan ditertawakan misalnya mengaku sebagai penari utama di Keraton,atau prajurit perang, atau berpangkat tinggi. Demikian pula pemberian namaWilotodipuro, menunjukkan kelas tersendiri, dibandingkan dengan misalnya pemberiannama menjadi Wilotodiningrat, atau Wilotonegara. Kelas ini tidak selalu berarti lebihtinggi atau lebih rendah, tapi dengan demikian terbedakan, juga karena profesinya.

Hal yang sama bila kita mendengar nama besar, misalnya Ngabehi Maesawira. Berartipangkat kebangsawanannya tingkat ngabehi, sementara profesinya sebagai tukangjagal.Atau nama Ngabehi Kudadipraja, berurusan dengan kuda, atau gamel. Sebanyakprofesi yang ada—termasuk juru khitan, atau pemain gamelan, tukang ukir, pemeliharakuda, juru selam, juru pandhe, pembuat peralatan dari besi, juru ukir kayu, juru ukirbesi, juru pembersih perhiasan, pemandi pusaka, dan tak mungkin disebutkansepersekiannya pun—sebanyak itulah nama yang ada.

Di Mangkunegaran mempunyai cara penamaan yang bisa sama bisa berbeda.Dengan tatanan dan tingkat pengaturan kelas sosial atau juga jenis pekerjaan yang

ada, yang demikian banyak dan beragam, sebenarnya juga menunjukkan bahwa sampaititik tertentu, pencapaian dalam menempatkan seseorang atau kelompok telah

Page 28: Kitab Solo

KITAB SOLO 57KITAB SOLO 56

Melihat ke arah belakang, sebenarnya bukan hanya nama orang, melainkan, jikakita melihat nama kampung yang ada. Untuk tidak terlihat Kasunanan sentris, kitaambil dua nama kampung yang ada dalam wilayah Mangkunegaran.

· Nama kampung Setabelan dan kampung Kestalan.Syahdan pada zaman dahulu, daerah di sebelah utara Keraton Mangkunegaran,

sekitar 300 meter dari Kali Pepe, ada alun-alun yang lebar, luas. Dibelah oleh jalanterbuka, arah ke stasiun Solo Balapan. (Masyarakat menyebut lengkap sebagai stasiunSolo Balapan, dan bukan Balapan saja). Di sebelah barat, adalah prajurit “dragonder”, pasukan berkuda, lengkap dengan kestal, atau kandang kuda. Penempatan di situmerupakan perpindahan dari depan pura Mangkunegaran, sekitar tahun 1784. darinama istal, atau kestal inilah lahir nama Kestalan, dan menjadi kampung Kestalan.

Sedangkan di sebelah timur digunakan sebagai asrama oleh prajurit meriam, yangdalam lidah Jawa disebut setabel. Dari sinilah kemudian ada nama Kampung Setabelan.

Alun-alun itu sendiri kemudian didirikan perumahan elit pada masa itu, denganbangunan loji, diberi nama Villapark, sebelum, kemudian berubah lagi menjadiBanjarsari.

menemukan bentuknya. Kalau dikatakan sangat ruwet, itu semata-mata karena idiom-idiom yang melatar belakangi penamaan itu tak sepenuhnya diketahui. Padahal dengannama, Atmolelewa, semuanya telah terjelaskan. Jauh lebih dahulu dengan nomor sosialatau nomor kartu tanda penduduk, atau kartu kredit sekali pun. Sebuah identifikasiyang, bia dikatakan, sempurna.

Yang jauh lebih menarik adalah bahwa pakem penamaan ini sangat baku, akan tapijuga terbuka kemungkinan yang dinamis. Misal, ini hanya misal, saya berhasilmenyunting Putri Keraton, pangkat dan nama saya berubah. Status sosial dan keberadaansaya menjadi berbeda. Hal yang sebenarnya juga sudah terjadi, ketika cucu lurahmendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung.

Dengan adanya dinamika ini kemungkinan menjadi terbuka lebar. Bukan hanya untukbersangkutan, yang mendapat nama dan pangkat atau identitas baru, melainkan jugaistrinya—atau juga sebaliknya, suaminya, sampai ke anak turun. Secara bercanda sayapernah mengatakan bahwa suatu hari nanti, seluruh Indonesia ini akan mempunyaigelar, mempunyai pangkat tinggi. Bahkan bisa jadi seluruh dunia. Baik karena pemberiangelar atau karena perkawinan.

Taman Banjarsari dan sekitarnya pada zaman dulu. Dengan tempat rekreasi air mancuruntuk berpotret, asrama tentara, sebelum menjadi pasar pedagang kaki lima

Page 29: Kitab Solo

KITAB SOLO 59KITAB SOLO 58

BANDHA LAKSANAYang mengasyikan, selain bisa menelusur ke belakang, kita bisa bagian-bagian yang

menarik. Kestalan atau Setabelan—sama seperti kampung lain yang mempunyai riwayat,mempunyai kisah cerita yang bisa menerangkan diri.

Sebagian, kini menjadi bagian dongeng masa lalu, atau terhenti sebagai cerita. Namunbukan tidak mungkin, ada kemungkinan-kemungkinan yang berbeda.

Yang ini bukan nama jalan, bukan nama orang, melainkan nama suatu organisasi,nama suatu kempalan. Namanya, salah satunya, adalah Bandha Laksana. Dalamorganisasi ini tiap kelompok bisa terdiri dari 10 atau 25 orang. Mereka mengumpulkanduit seperti arisan. Pada giliran duit yang terkumpul bisa dipinjam oleh anggota. Denganpengembalian yang ringan, disertai “bunga”. Kelebihan pengembalian ini, setelahdipotong untuk administrasi yang tak seberapa, pada gilirannya dikembalikan kepadaanggota. Perputaran yang sekarang lebih dikenal sebagai Koperasi Simpan-Pinjam.

Yang lebih menarik lagi, agaknya juga tercermin dalam sikap dasar, bahwa segalaurusan diselesaikan di antara para anggota. Boleh dikatakan tak pernah ada masalahyang harus diselesaikan secara hukum, kalau ada anggota yang tak mampu membayar—atau terlalu terlambat. Dalam “Bandha Laksana”, ada perputaran uang, tapi juga adaperhitungan yang menjadi pertimbangan selain soal bunga-berbunga. Ada unsurpersaudaraan, ada unsur saling mengetahui kekuatan ekonomi masing-masing anggota,dan ada unsur persoalan yang ada dipecahkan secara bersama.

Dalam hal tertentu, kempalan ini jauh lebih manusiawi dibandingkan denganberhutang kepada lintah darat atau mindring, bahkan juga tetap lebih manusiawidibandingkan berhubungan dengan bank sekalipun. Ada unsur kebersamaan, baikpengelolaan, keanggotaan, juga dalam berbagi keuntungan—atau kerugian.

Barang kali saja, keluwesannya masih lebih unggul dibandingkan dengan KoperasiSimpan-Pinjam antarkaryawan di perusahaan-perusahaan terutama dalam jumlahpinjaman dan jaminan tetap.

Sebagaimana nama kampung Kestalan atau Setabelan yang sayup-sayup, demikianjuga bentuk-bentuk kempalan yang ada.

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 30: Kitab Solo

KITAB SOLO 61KITAB SOLO 60

Salah satu monumen budaya yang masih hidup dan terus berlangsung sampai saat ini,ada pasamuan Sekaten. Kata pasamuan, menunjuk kepada suasana pesta, suasanapertemuan yang boleh dikatakan resmi.

Menurut beberapa sumber dari para penulis Jawa sendiri, pasamuan Sekaten sudahdiadakan sejak zaman Keraton Demak. Raja pertama Keraton Demak, yang dikenal dengannama Raden Patah, mengumpulkan para wali, untuk mengadakan Sekatenan, setahunsekali. Peringatan yang dikenal sebagai Maulud Nabi Muhamad SAW. Dalam acara yangdiadakan setahun sekali, berlangsung selama tujuh hari. Bagian utama dari acara itu adalahpara wali, para ulama, memberikan khotbah pengajaran agama Islam. Juga bagi merekayang baru memeluk agama Islam dengan mengucapkan kalimat Sahadat. Namanyamenjadi Pasamuan Sahadaten—artinya dalam suasana pesta gembira mengucapkankalimat Sahadat. Seperti kisah nama yang lain, dari Sahadaten, berubah menjadi Sekaten—lebih mudah diucapkan. (Meskipun tetap saja versi lain asal usul nama Sekaten)

Pada waktu itu, urutan upacara sama dengan yang sekarang ini. Raja penggede di daerah

Sekaten

Page 31: Kitab Solo

KITAB SOLO 63KITAB SOLO 62

berdatangan ke Keraton untuk menyatakan pengakuan kekuasaan Keraton, di sampingmemberi persembahan, sebagaimana lazimnya wilayah yang ada di bawah kekuasaanKeraton. Tradisi ini sudah dicatat sejak zaman Keraton Majapahit—hanya waktu pada tahunbaru. Dengan masuknya agama Islam, hari pertemuan para petinggi daerah berubah menjadisaat Maulud Nabi.

Ketika itu sudah memakai gamelan, dan dibunyikan. Sekurangnya ada catatan bahwaseperangkat gamelan yang ada dibawa ke Keraton Cirebon—karena permaisuri RajaDemak kedua, Pangeran Sabrang Lor, berasal dari Cirebon. Dengan demikian tradisigamelan saat Sekaten, turut boyong dan menjadi tradisi di Keraton Kanoman Cirebon.

Surutnya Keraton Demak, tidak menyurutkan tradisi yang ada. Yang terus bergemadan dilakukan, sampai kemudian di Pajang, dan kemudian dari Kartasura pindah keSurakarta. Pada zaman “Pajang Mataram” itulah Ingkang Sinuwun Prabu Anyakrawatiatau dikenal sebagai Pangeran Seda Krapyak, membuat seperangkat gamelan secara khususuntuk dibunyikan saat Sekaten. Nama gamelan itu—seperti benda lain, pusaka lain yangdiberi nama, Kiai Guntursari, di tahun 1613.

Menurut buku, atau serat, Sri Radya Laksana, pada masa pemerintahan Paku Buwonoke III, di halaman masjid Agung Solo, didirikan panggung, bangsal pradangga, khususuntuk tempat gamelan, letaknya di sebelah selatan. Tercatat penggunaan panggunggamelan ketika Muludan tahun Wawu angka 1713, atau tahun 1786 Masehi. Pada masaPaku Buwono ke IV, satu perangkat gamelan lagi ditambahkan, ukurannya lebih kecil,diletakkan di sebelah utara. Nama gamelan itu adalah Kiai Guntur Madu. Memang nama-nama yang diberikan bernada maskulin. Tapi begitulah harmoni itu terjadi, dan duaperangkat gamelan ini dibunyikan bergantian. Panbuh gamelan sebelah selatan olehkelompok Pangrawit, sedangkan di sebelah utara oleh kelompok Mlaya. Sekadarmengingatkan kembali kalau seseorang bernama Mlayakusuma, misalnya, pastilah iapenabuh gamelan yang ada utara. Penggunaan kedua gamelan bergantian itu ditandaidimulai pada hari Selasa, tanggal 6 Mulud tahun Dal angka 1807, atau 17 Maret 1878.

Surat kabar Tjakrawati, terbitan Jimawal angka 1837 atau tahun 1907, mencatat dengan

teliti upacara Sekaten dengan urut. Mulai dari malam sebelumnya, mulai kapan gamelandiberangkatkan dari Keraton—sampai nanti dikembalikan lagi, tak boleh lebih dari pukul24.00, urutan siapa yang datang antara Mangkunegaran dan Kasunanan, atau pembesarBelanda, seorang Residen muncul saat kapan dan berdiri di mana, kapan gunungandimunculan, jenis gending pembuka yang mana—di hari pertama berebda dengan harikedua dan seterusnya, termasuk iringan para prajurit yang harus rinci dengan segalabreak down nya. Semua rencana upacara yang rumit, boleh dikatakan rincian menit demimenit, yang akan berlangsung sedikitnya satu minggu. Dengan ratusan, untuk mengatakanribuan, “panitia inti” yang menyiapkan dan mengawasi kegiatan yang melibatkanmasyarakat secara massal.

Bagi saya ini suatu perhelatan yang mencengangkan.Lebih dari itu, sungguh mengangumkan. Terutama perubahan kreatif yang berlangsung

secara dinamis.

Page 32: Kitab Solo

KITAB SOLO 65KITAB SOLO 64

ini memberi komanda awal, biasanya juga akhir, untuk menentukan irama. Peran ini digantidengan bedhug. Irama, ritme pukulan, disesuaikan dengan kemampuan dan mediumbedhug. Sehingga diawalinya dengan alat musik bonang, kemudian disampung dengandemung, untuk menjadikan orkestrasi.

Dengan kata lain, bukan sekadar memindah seperangkat gamelan ke halaman masjidsemata, melainkan juga penyesuaian dengan penambahan dan penggantian beberapaperalatan, termasuk yang utama, yaitu kendang.

Ada perubahan mendasar, namun juga masih bersinambungan dengan sebelumnya.Gendhing Rambu atau Bangkung yang dipersembahkan di hari pertama misalnya,mempunyai makna tersendiri. Demikian juga iramanya untuk gendhing yang lain. Denganlegitimasi para niyaga, yang memainkan gamelan berbeda untuk di panggung selatan danutara, dengan laku puasa sebelum memainkan—dan juga selama memainkan, dengan hanyaditampilkan satu tahun sekali, semua menuju ke arah standar yang ditetapkan. Dan diberikansebagai yang terbaik.

Pasamuan Sekaten tidak hanya terdiri dari upacara resmi semata. Melainkan, pada saatyang bersamaan, di Alun-alun Utara, sebelah timur masjid, juga ada kegiatan yang dikenaldengan Pasar Malam. Di sini segala kebutuhan pasar, segala kemampuan ekonomimasyarakat menemukan bentuknya. Segala apa yang tak biasa dijual ada di situ, dan semuapembeli datang dari berbagai daerah. Benar-benar menjadi kegiatan yang positif, di manasyiar agama berlangsung, adat istiadat Keraton dilestarikan, dan roda perekomomianmasyarakat digerakkan.

Sekaten adalah peristiwa yang indah, gabungan kegiatan spiritual, legitimasi Keraton,serta dinamika pasar. Semuanya dikemas dalam satu pasamuan, tanpa menghilangkan ataumerendahkan satu dengan yang lain.

Seluruh masyarakat ikut merasakan, ikut merayakan, tanpa terganggu dan salingmengganggu.

Sekaten adalah bukti kreativitas kompromi yang luar biasa nenek moyang kita, yangbegitu arif, begitu cendekia bisa mempersatukan antara lahir dan batin.

Dimulai dari tradisi zaman Majapahit,di mana para bawahan sowan ke pusat

Keraton saat tahun baru, menurutkalender perhitungan Jawa. Kemudian

ketika pengaruh Islam masuk danmenguat, tradisi ini mengalami

perubahan. Waktu yang tepat bukan lagitahun baru, melainkan saat Maulud Nabi.

Tema dan inti kegiatan pun bergeser.Lebih kepada syiar agama Islam.

Pada titik ini, menjadi pasamuan. Unsur budaya lokal diberi tempat, dengan masuknyagamelan. Yang diciptakan secara khusus dan hanya diperdengarkan untuk saat itu. Bahkankemudian diberi panggung khusus. Nama-nama gendhing dan tata kramanya pun bukangendhing yang biasa diperdengarkan. Serentak dengan dinamika ini, peralatan gamelanpun mengalami perubahan. Ukuran kayu yang dipergunakan lebih besar, sehingga terdengarnyaring. Perangkat gamelan seperti kendang—juga kethuk, kenong, kempul, menjadi surut,serta tak ada irama suwukan.

Padahal dalam karawitan Jawa, kendang memegang peran sangat penting. Karena alat

Page 33: Kitab Solo

KITAB SOLO 67KITAB SOLO 66

Tirakatan

Peristiwa budaya ini menegaskanbahwa dengan idiom-idiom budayapula, yang sama-sama dikenali, bisa

membuahkan saling pengertian.

Di awal tahun 1970an, saya masih ingat betul, ketika Sekaten dibayarkan. Artinyaoleh pemerintah kota waktu itu, untuk masuk ke dalam Sekaten diharuskan membayar.Alun-alun diberi pagar, juga penjaga. Saya ikutan dengan beberapa seniman yang sudahsenior—juga yang masih yunior, melakukan aksi demontrasi menentang peraturantersebut. Dengan alasan, bahwa Sekaten bukan hanya peristiwa dagang semata, bukancara pemerintah—atau sebenarnya segelintir orang, mengkomersialkan peristiwa yangsarat makna. Dengan menarik tiket masuk, peristiwa budaya menjadi urusan duit semata.

Demonstrasi itu sebenarnya hanya dilakukan belasan orang, dengan membawaspanduk seadanya. Menjadi peristiwa “besar”, karena kemudian terjadi penangkapan,pemeriksaan, dan penahanan. Di sini terjadi pemaksaan, dan komunikasi menjadi buntu.Para pendemo mengalihkan tempat demonstrasi ke Taman Jurug di tepi Bengawan Solo,kali ini dengan acara tirakatkan. Melakukan permenungan, melakukan refleksi, sampaipada kesimpulan bahwa “kebudayaan Solo dimatikan.”

Agaknya bentuk tirakatan, gaya prihatin ini lebih kena. Karena kemudian koran-koranJakarta memuat.Bukan kebetulan kalau peserta tirakatan atau peserta demo adalahwartawan, atau koresponden dari media yang terbit di pusat.

Nyatanya sangat ampuh.Tiket untuk masuk Sekaten dihapus.

Pendekatan budaya ini bisa dilacak jauh ke belakang.Untuk memudahkan ingatan dan memberi rasa bangga baik bagi masyarakat maupun

kalangan Keraton, adalah satu nama bergaransi, sekaligus bergengsi : Sultan AgungHanyakra Kusuma. Inilah Sultan Mataram yang banyak dicatat sejarah, dengan segalakegagahan, keberanian, dan rasa hormat. Kediddayaannya berani menyerang markaskuat VOC di Batavia, pada tahun 1628 dan 1629, merupakan pertanda tidak maumengakui kekuasaan Belanda. Konsep Keraton harus agung binatara—berdaulat, utuh,tidak berbagi dengan musuh, wiujudkan dengen tekad besar. Kisah yang dramatis,persiapan panjang untuk berani menggebrak Belanda di bentengnya yang paling kuat.

Kalau kita lihat dalam catatan sejarah, keunggulan mengirimkan prajurit untukmenggempur musuh, tak bisa berdiri sendiri. Ada kerangka pemikiran, ada persiapan,juga perhitungan rumit. Ini semua hanya mungkin jika Keraton cukup kuat, berwibawa,dan bersatu. Kemajuan yang diperoleh dengan menyiapkan prajurit, tidak mungkinkalau perekonomian lemah. Tak mungkin kalau tidak bersatu di bawah pemimpin yangdikagumi.

Prestasi penyerbuan hanyalah salah satu dari prestasi unggul. Pada titik yang sama,Sultan Agung mampu menggalang kekuatan dengan prajurit lain, Keraton lain—disepanjang jalan yang dilalui, juga kekuatan-kekuatan lain di luar Jawa, atau Jawa bagiantimur. Ke dalam dengan masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam, SultanAgung juga melakukan pendekatan yang jempolan. Untuk pertama kali dalam sejarahKeraton, Sultan Agung memberi tempat yang proposional dalam kelembagaan Keraton,mengembangkan karya sastra Islam, mengadakan pembaharuan dalam bidang hukum

Kalender Baru

Page 34: Kitab Solo

KITAB SOLO 69KITAB SOLO 68

Di tangan dan di masa Sultan Agung Hanyakra Kusuma—yang menurut babadmemang keturunan Panembahan Senopati yang adalah generasi ke 52 dari dari NabiAdam—segala pembaharuan dan pembakuan bisa terjadi.

Kalau disinggung nama Panembahan Senopati, karena sesungguhnyalah kebesaranMataram yang ini, tidak muncul begitu saja, tidak ujug-ujug.

Ada proses sebelumnya, yang mendorong terciptanya suasana kreatif.Menurut catatan, sebelum bergelar Sultan, gelar yang dipergunakan adalah Susuhunan.

Yang bagi masyarakat Jawa berarti senada dengan Wali Allah. Barang kali, untukmenghindarkan konflik yang bisa muncul, beliau memakai gelar Sultan. Walau kemudiankita tahu, para anak cucu, seperti Pabu Buwono memakai kembali gelar Susuhunan.

Dan kalau masyarakat Solo merasa sebagai keturunan langsung Sultan Agung, bisadimengerti dan mudah diterima. Terutama dari kisah yang ada, nama-nama tempat,masih ada hingga sekarang ini.

sama, memungkin lahirnya karya-karya sastrayang linuwih, melahirkan ajaran-ajaran atau

panduan yang menjadi pegangan bersama. Sepertikitab Sastra Gending, yang berisi ajaran budi

pekerti luhur, keselarasan lahir batin, harmonisasidengan kehidupan. Atau juga Kitab Nitipraja, yang

berisi mengenai tata krama hubungan antarapenguasa dalam menjalankan tugas kewajibannya,

hubungan dengan sesama penguasa, terutamabagaimana hubungan itu diatur secara baku

dengan masyarakat luas.

yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.Masa bulan madu indah ini bahkan meninggalkan tonggak sejarah yang tetap

dipergunakan sampai masa kini. Ketika itu masyarakat Islam menggunakan perhitungankalender berdasarkan tahun Hijriah, sementara masyarakat “Kejawen”, memperhitungantahun Saka. Dua perhitungan menurut kalendar bulan ini disatukan. Sehingga sejaktahun 1633—setelah perang berdarah darah di Batavia, masyarakat Jawa menggunakansistem kalender yang sama. Kalender Jawa mengikuti tanggal kalender Hijriah. Dengantetap mempertahunkan tahun Saka, atau kalau dimasehikan menjadi tahun 78. Makasejak hari Jumat Legi 1 Muharam 1046 Hijriah, hari baru dimulai dengan perhitunganyang sama, walau berbeda angka tahun.

Sungguh suatu mahakarya budaya yang agung dan wicaksana, bijaksana. Suatupendekatan budaya yang benar-benar mendekatkan dua tradisi yang berbeda.Atau lebihtepatnya tiga budaya yang berbeda. Budaya Hindu, budaya Jawa, juga budaya Islam.Yang masing-masing memiliki tata nilai dan tata krama yang tidak sama, atau berbedaatau bertentangan.

Betapa elok dan jenius, bisa dibandingkan dalam perhitungan waktu, bahkan zamanKeraton Demak pun hal ini tidak, atau belum, terjadi. Sulit dibayangkan bagaimanamasyarakat Kejawen kemudian bisa dengan rela mengikuti kalender yang sama, yangberarti mengubah pola yang selama ini. Pada titik yang sama, perhitungan tahun masihmemakai tahun Saka—yang memang lebih mempunyai akar sejarah dalam masyarakatJawa.

Gambaran ini menempatkan pada posisi, bahwakreativitas kompromi yang membuka atau

membongkar tata krama lama, menggantikandengan tata krama sekaligus tata nilai baru. Tanpapergolakan yang berarti. Dengan kreativitas yang

Page 35: Kitab Solo

KITAB SOLO 71KITAB SOLO 70

Kedigdayaan raja sekaligus pujangga Sultan Agung Hanyakra Kusuma masihmelegenda, menumbuhkan rasa bangga setiap kali mengenangnya. Tentu bisa adapenilaian yang berbeda, namun tak pernah menghapus jejak dan posisinya sebagaisumber inspirasi.

Inilah yang turut mewarnai perkembangan pribadi masyarakat Jawa pada umumnya,dan masyarakat Solo pada khususnya. Kalau kemudian ada semboyan Solo sebagai“The Spirit of Java”, barang kali spirit kreativitas ini menjadi salah satu unsur utama.

Proses penyatuan kalender Jawa dengan kelender Islam, hanya mungkin terjadi karenavisi ke depan yang jauh. Hanya mungkin terjadi karena memahami dengan arif duabudaya yang berlaku di masyarakat.

KreativitasKompromi

ISTI

MEW

A

Page 36: Kitab Solo

KITAB SOLO 73KITAB SOLO 72

Saya menyebutkan sebagai kreativitas kompromi. Mungkin istilah ini kurang gagah,kurang mencerminkan sikap jawara, karena ada kata kompromi. Akan tapi, justru disinilah letak keunggulannya. Dalam suartu seminar mengenai budaya Jawa di Surabaya,29 Agustus 2002, saya menyebutnya sebagai “kemenangan ketika menyatu dengansemesta”. Di situ bukan budaya mana yang kalah atau budaya mana yang menang—dari dua budaya yang disatukan, melainkan kemenangan bersama. Istilah sederhanya,win-win solution, akhirnya sama-sama menang.

Dalam contoh lain dengan mudah bisa dilihat pada potret-potret lama para raja. Disamping mengenakan pakaian kebesaran, di balik kain itu juga… mengenakan celanapanjang, yang pastilah pengaruh budaya Barat atau Belanda. Bahkan beskap, pakaiantradisi Jawa yang identik dengan kejawaan seratus persen itu, modelnya adalah jasmodern—Belanda, yang bagian punggung, terkerowok, karena untuk penempatan keris.Dengan memakai beskap, model jas modern bisa terlihat jelas, namun di belakang itutetap ada keris—sebagai bagian dan identitas kejawaan. Hal yang sama pada alas kakiyang disebut selop. Pada dasarnya sama dengan model sepatu—ujungnya tertutup rapat.Namun, perubahan terjadi di bagian belakang yang terbuka. Yang menjadikan luwes,karena mudah dilepaskan—sesuatu yang harus dilakukan jika masuk ke dalam Keraton.

Barang kali agak berlebihan, namun beskap maupun selop, bisa menjadi contoh hebat,betapa kreativitas kompromi itu menemukan bentuknya, yang jenius. Masyarakat Jawamerasa tetap menemukan pakaian—dan juga harga dirinya, identitas atau jati diri tanpamenjadi tidak kalah modern dengan budaya lain—dalam hal ini dengan jas atau sepatuBelanda.

Kalau ini benar, kita menemukan salah satu jurus, bagaimana budaya Jawa masihakan terus bertahan di tengah perubahan dunia. Kalau ini benar, budaya Jawamenyediakan peluang, menyediakan ralat, menyediakan kompromi, menyediakanpenciptaan kembali, datangnya tata nilai dan tata krama dari mana pun datangnya.

Ada proses kreatif yang berlangsung.Ada kompromi kreatif yang bersambung.

ISTI

MEW

A

Page 37: Kitab Solo

KITAB SOLO 75KITAB SOLO 74

Contoh lain, yang juga klasik adalah kisah-kisah dalam wayang, baik Ramayanamaupun Mahabarata. Wayang—wayang kulit, adalah bentuk kesenian yang “Jawabanget”, sangat Jawa. Dibandingkan dengan kisah di India—boleh disebut aslinya,sebagian tetap ada yang menganggap aslinya dari tanah Jawa, wayang di Jawa memberipeluang adanya tokoh-tokoh punakawan. Yaitu para abdi dari dua buah pihak. Pihakyang benar, Pandawa atau Rama, mempunyai Panakawan seperti Semar, Gareng, Petrukdan Bagong. Sedangkan pihak yang jahat, Astina atau Alengkja, ada Togog dan Mbilung.Ada juga tokoh kelas masyarakat bawah yang lain seperti Limbuk yang subur atauCangik yang bentuk tubuhnya menjadi idaman perempuan sedunia sekarang ini, kuruskerempeng.

Dari sisi mana pun, penghadiran tokoh wayang yang mewakili kelas bawah ini—bukan ksatria, bukan pendeta, bukan bangsawan, bukan saudagar, sangatmenyenangkan, menghibur. Tokoh-tokohnya pandai melucu, selalu bersenda gurau,tapi… nah ini yang luar biasa, sekaligus mistis. Mereka yang menyukai atau pernahmenonton pertunjukkan wayang bukan hanya terpingkal dan terhibur, melainkan jugamenemukan adanya tata nilai yang lain.

Ambil contoh salah satu tokoh wayang kulit, Semar. Ia bisa berarti samar, ia bisaberarti “ora lanang ora wadon”, alias melewati batas jender karena bukan laki-laki bukanperempuan, ia hanya seorang abdi—pelayan, buruk rupa, sulit dibedakan mana, maaf,pantat, mana perut, matanya sipit—gambaran yang aneh dalam dunia pewayangan,menciptakan anak dari bayangan tubuhnya—lebih hebat dari sistem kloning, dan sederet

Punakawan

ISTI

ME

WA

Page 38: Kitab Solo

KITAB SOLO 77KITAB SOLO 76

Bisa dimengerti kalau kemudian prosesidentifikasi diri dengan tokoh Semar,

terus melebar. Berbagai tafsirandimunculkan, berbagai tanda, berbagaikajian tentang Semar tak pernah selesai.

Sampai kepada kepercayaan bahwaSemar mempunyai tempat tinggal yangletaknya di tanah Jawa. Bahwa Semar

masih hidup, bahwa Semar….Dan lain sebagainya.

atribut yang lain. Semakin wasis sang dalang, semakin variatif dan kaya narasi akanKi Semar Badranaya ini. Yang luar biasa adalah, tokoh tanpa kasta ini—sudra pun, kastaterendah, bukan—ternyata sakti. Bahkan para dewa yang di kahyangan tak akan menangmelawannya. Bahkan digambarkan kocar kancir hanya terkena, maaf, kentutnya!

Dalam mitologi Hindu, dewa-dewa adalah penguasa tinggi dengan kesaktian danpengaruhnya : Brahma, Indra, Wisnu. Di atas mereka masih ada yang tertinggi BataraGuru. Posisinya yang tinggi juga tergambar karena tokoh-tokoh ini memakai sepatu.Tapi bahkan mereka ini, satu-satu atau mengeroyok, tak bisa mengalahkan Semar.

Di sinilah terjadi penjungkirbalikkan tata nilai dari wayang Hindu—kalau bisa disebutdemikian. Di sinilah terjadi proses kreatif ketika tokoh-tokoh wayang diterima,dimunculkan tokoh-tokoh “Jawa”, yang tak punya kelas, tapi juga tak bisa dikalahkan.

ISTI

MEW

A

Page 39: Kitab Solo

KITAB SOLO 79KITAB SOLO 78

Perubahan bentuk tampilan—termasuk waktu pementasan, pastilah membawaperubahan mendasar yang lain. Yang pada gilirannya, akan membuka berbagaikemungkinan kreatif, ke arah penciptaan baru, lebih baru, dan lebih baru lagi.

Saya hanya mau menekankan, ketika diintrodusir tokoh Cakil dalam wayang kulit,sequel tarian Bambangan—pertarungan Cakil dengan ksatria Bambang, bisa berdiri,bisa dinikmati sendiri, sebagai pethilan.

Inilah roh sesungguhnya dari kebudayaan, sehingga tak pernah mati.Sehingga selalu nitis, selalu tumimbal lahir.Inilah spirit of Java.

Kelihatannya sekilas ini hal yang biasa.Namun bentuk-bentuk baru jauh

melampaui zamannya ketika sekarangini kita mengenal istilah sequel darisebuah lakon—dalam film ataupun

televisi, dalam sinetron atau sinetronseri. Atau juga ketika bentuk banjaran

tak ditemui di dalam pakem. Karena takpernah ada judul yang mengisahkan

riwayat hidup seorang tokoh.Bukan hanya dari tokoh, melainkan juga daripakem, atau babon, atau lakon-lakon yang

demikian baku. Bentuknya pun berubah banyak,sehingga di sini lahir lakon-lakon carangan—

pengembangan sendiri dengan tokoh-tokoh yangsama, atau model banjaran—kisah biografis

seorang tokoh.

Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu aneh, karena tokoh Punakawan ini mengatasimasalah waktu. Rasanya tak ada lakon dalam wayang yang dipertunjukkan, terjadi masakerajaan mana pun, tidak memunculkannya. Semar, juga para Punakawan

Dinamika adanya tokoh wayang yang lebih “baru”, bisa ditunjukkan adanya tokohbernama Butho Cakil atau Gendir Penjalin. Tokoh raksasa kurus yang rahang bawahnyalebih panjang dari rahang atas, yang selalu bergerak dan bicara cepat seperti penyiartelevisi ini, juga ada di kisah Ramayana maupun Mahabarata. Seorang ahli dengan mudahbisa menjelaskan sejak kapan tokoh Cakil ini mulai tampil dalam pertunjukkan, hanyadengan menfasirkan nama, ketemu tahun “kelahirannya”. Buto Cakil dalam sengakalanberbunyi Tangan Jaksa Satataining Jalma, atau berarti 1552 tahun Jawa, atau 1670 Masehi.Demikian juga dengan “kakaknya, yang lahir belakangan”, yang bernama Buto RambutGeni—yang model rambut kribo mendahului ratusan tahun sebelum dipopularkan pararocker, memakai sengakalan Urubing Wayang Gumulung Tunggul, atau berarti tahunJawa1553, setahun setelah tokoh Cakil diintrodusir.

Saya hanya mengambil contoh sekenanya berdasarkan ingatan, dan bukanmembicarakan wayang itu sendiri. Terutama mengenai proses kreatif yang berlangsungdan berkembang.

Page 40: Kitab Solo

KITAB SOLO 81KITAB SOLO 80

Spirit atau roh ini, bisa diberikan contohnya dalam Sastra Jawa.Kebetulan di awal karier saya sebagai penulis, saya memulai dengan bahasa Jawa.

Menulis cerita pendek, sampai cerita bersambung, di hampir semua majalah berbahasaJawa saat itu, di akhir tahun 68an. (Tidak berarti saya sekarang sudah tua, hehehe).Keadaan Sastra Jawa secara umum menggelisahkan. Majalah yang ada hanya itu-itusaja. Pelajaran bahasa Jawa di sekolah mulai ditanggalkan. Ada beberapa sekolah masihmengajarkan , itu pun hanya sampai kelas tiga. Keprihatinan terasakan betul.

Situasi sebenarnya sudah terasa sejak lama. Bahkan sebetulnya, sejak awal punperubahan mendasar telah terjadi. Sejak zaman tembang-tembang ageng diciptakan,kemudian huruf Jawa mulai diganti huruf Latin, ketika tembang menjadi geguritan,atau kemudian dinarasikan.

Dalam keadaan yang memedihkan itu, dalam suatu seminar Sastra Jawa di Solo,saya mempertanyakan : Apakah ada yang menangisi kalau benar Sastra Jawa berakhir?Apa masih ada yang merasa kehilangan?

Mungkin akan berakhir dan pembicaraan dalam seminar atau diskusi atau rembuganapapun juga rasa-rasanya seperti nyekar, seperti membawa bunga ke makam. Takmembuat Sastra Jawa hidup kembali.

Agaknya apa yang saya utarakan, juga naskahnya kemudian dimuat di Kompas Jakarta

Sastra Jawa

Salah satukegiatan macapatanyang berlangsungdi Keraton

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 41: Kitab Solo

KITAB SOLO 83KITAB SOLO 82

menimbulkan polemik. Beberapa pengarang mengatakan saya sebagai Anggada, tokohkera dari barisan Rama yang kemudian berpihak ke lawan, Rahwana. Saya dituduhmbalela—jauh sebelum istilah itu menjadi popular.

Tidak berarti mati-ti dan tak mempunyai arti atau gema lagi. Melainkan, roh SastraJawa akan menitis dalam bentuk yang lain, dalam ekspresi yang lain. Bisa jadi bahasaIndonesia, bahasa Inggris, atau bahasa yang lain lagi. Saya memakai istilah tumimballahir, atau terlahir kembali. Realitas empiris memperlihatkan itu. Sastra Jawa, menurutperhitungan sudah habis ketika huruf –hurufnya ditanggalkan. Tak berbeda dengan sastradaerah lain, apalagi yang tak mempunyai huruf sendiri. Nyatanya tidak..

Pertanyaan kenapa begitu?Karena masih ada pengarang, sastrawan, yang setia,sampai mati.Karena ada pendukungnya, walau makin sedikit, makin terjepit.Karena roh memang tidak pernah bisa mati—atau dimatikan, selama masih ada raga

yang mewadahi.

Realitas empiris menunjukkan itu. SastraJawa tanpa didukung penerbitan buku, atau

majalah, apa jadinya? Bahasa Jawa masihakan muncul dalam sandiwara radio

berbahasa Jawa, atau lirik-lirik lagu, ataubahasa percakapan lokal, tapi secara

keseluruhan tidak ada fondasi yang kuatuntuk tumbuh.

Mentakjubkan bahwa kegiatan seperti ini masih ada,juga di luar tembok Keraton, sampai ke perguruan tinggi.FOTO: LUAX MAWARDI

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 42: Kitab Solo

KITAB SOLO 85KITAB SOLO 84

Roh Jawa dengan segala pergulatan yang kreatif dinamis, antara lain tercermin dalampenentuan kalender, dalam menyebut hari. Misalnya Jumat Kliwon.

Pada awalnya kalender masyarakat Jawa, memakai siklus sepekan berarti lima hari.Paing, Pon,Wage, Kliwon dan Legi. Dasar perhitungan itu tergerus oleh perhitungankalender dengan sistem lain, sehingga yang dipergunakan adalah perhitungan hariMinggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Secara teori, sebutan hari-hariyang berjumlah tujuh ini dipakai di sedluruh dunia, dan masyarakat Jawa pun tak bisamengelak. Secara teori pula, nama-nama hari Jawa musnah. Tak berlaku lagi.

Nyatanya tidak.Sebutan hari pasaran Jawa masih hidup. Masih dipergunakan, dengan cara menempel

pada kalender matahari. Sehingga ada sebutan untuk Jumat Kliwon, atau Jumat yanglain. Serentak dengan itu varian hari mungkin hanya lima, bukan hanya tujuh,melainkan… 35 hari. Setiap 35 hari, siklus Jumat Kliwon akan ada lagi.

Dengan sangat jenius, nenek moyang kita merumuskan sikap yang luar biasa. Padasatu titik, tak mungkin melawan “kalender matahari” yang dipakai di seluruh dunia,pada titik lain tak mau begitu saja kehilangan “kejawaannya”. Tidak mungkin jugamelawan secara konfrontatif dengan ngotot mempertahankan perhitungan pasaran. Yangterjadi adalah kreativitas kompromi, sehingga hari pasaran masih menempel terus,dipergunakan terus. Dan sebutan itu hilang karenanya.

Jumat Kliwon

KITAB SOLO 85

Page 43: Kitab Solo

KITAB SOLO 87KITAB SOLO 86

Bahkan, boleh dikatakan memperkaya apa yang ada dan dipergunakan. Denganmenyebut Jumat Kliwon, ada perbedaan – bukan hanya ruang dan waktu, denganmisalnya Jumat Legi, atau Jumat Paing atau Jumat Pon atau Jumat Wage. Jumat tetapJumat, namun Jumat hari ini, “bobotnya” bisa berbeda dengan Jumat minggu depanatau Jumat minggu lalu.

Bahwa kemudian Jumat Kliwon lebih angker atau lebih mistis adalah pembobotankemudian. Tapi yang jelas, dengan menempel hidup, hari pasaran tetap dipergunakan.

Sampai sekarang.Sampai kapan pun.Ini yang saya maksudkan dengan roh Jawa, the spirit of Java, yang akan selalu bisa

menitis kembali, karena memiliki dinamika yang abadi untuk setiap zaman, setiaptantangan.

Sulit menemukan padanan ada budaya lain yang bisa demikian kreatif, demikianluwes, bisa manjing ajur ajer, bisa kompromistis, bisa mancala putra mancala putri,sebagaimana budaya Jawa dalam soal pemberian nama hari.

Dan kalau sikap mendasar budaya inimempunyai benang merah lurus denganperistiwa munculnya tokoh Semar atauButho Cakil dalam dunia wayang kulit,

segaris dengan penemuan danpemakaian selop, karakterisasi roh itu

bisa agak teraba.

ISTI

MEW

A

Page 44: Kitab Solo

KITAB SOLO 89KITAB SOLO 88

Sebenarnya ada ungkapan lain yang sakti yang menandai sikap mendasar ini. Yaituungkapan “manunggaling kawula-Gusti”, menyatunya manusia ciptaan dengan GustiAllah Sang Pencipta. Secara konsep, ini jauh berbeda dengan konsep agama dan ataukepercayaan yang menjadi mainstream, arus kuat dunia, saat ini. Tapi juga, ini hebatnya,tidak menjadikan bertentangan.

Bersamaan dengan ungkapanpertanyaan tanpa perlu jawaban, sangkan

paraning dumadi, asal usul kehidupandan ke mana jalannya, oleh para paraahli, para peneliti dianggap sebagaidasar utama dari Kejawen, kejawaan,

Javanism, Javaneseness,atau apa saja istilahnya.

Barang kali agak berlebihan untuk mengatakan pandangan Kejawen ini ternyatamemiliki paradigma yang berbeda, memiliki pendekatan yang tidak sama, dengan apayang selama ini dikenal dan diyakini.

Dan biar saja ini menjadi bahasan lain.

Manunggaling kawula-Gusti

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

b o t h e k a n

Page 45: Kitab Solo

KITAB SOLO 91KITAB SOLO 90

NARLON KAWIT, pelukis Solo dalam artian sebenarnya.Karyanya banyak dipamerkan di Jakarta, dikoleksi, tapi ia memilihtetap tinggal di Kratonan. Sketsa tentang kota kelahirannya banyakdiburu para kolektor, tapi tak membebani jiwa senimannya. Bersikapbiasa, sederhana, bergaul dengan warga sekitarnya, antar jemputistrinya yang berjualan di Pasar Gede, mengasuh cucu. Pernahmembuat komik, melukis poster bioskop, sama pentingnya denganmengadakan pameran tunggal. Pujian kritikus seni juga tak mengubahpenampilannya. Saat jiwa seninya muncul, ia melukis, tanpamemperhitungkan pasar. Ia juga tak begitu peduli tahun kelahirannya.Nama Narlon adalah pemberian teman-temannya, menggeser namaTristanto yang dimiliki.

“Dulu yang menikmati dan menampilkan karya seni hanya orang-orang tertentu. Kini kesempatan itu lebih terbuka.” Menurutnyakegiatan budaya yang berlangsung setingkat nasional atauinternasional, sangat penting untuk Solo, untuk masyarakatnya.“Pertama mereka datang untuk bersenang-senang, lalu mereka akantertarik karya seni yang ada.”

Idealnya ada gedung khusus untuk menampung karya lukisseniman-seniman Solo. “Ada galeri khusus.” Ini untuk mengimbangikalau nantinya banyak apartemen dan hotel. “Menjual Solo” dalambenak pelukis ini bisa dari sisi mana saja, termasuk dari hasil kesenian.

Kawit merasa senang, setidaknya dua tahun terakhir ini, karenatempat-tempat bersejarah, kini difungsikan kembali. Termasuk ruangpublik. “Itu ciri khas Solo.” Juga dari sinilah suasana kreatif itu terusterciptakan.

“Seni di Solo itu tak ada matinya.”Ngandel… nyatanya ora ana kuburan seni..

KITAB SOLO 91

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 46: Kitab Solo

KITAB SOLO 93KITAB SOLO 92

WALJINAH, masih duduk di sekolah dasarketika menjadi juara menyanyi keroncong. Sampaisekarang gelar “ratu Kembang Kacang” tak pernahbergeser. Namanya identik dengan Solo, dengankeroncong. Sebagaimana sang empu kampiunGesang.

“Kalau mau jujur, Solo dikenal di belahan duniamana pun karena keroncong, bukan yang lain.” Takterlalu keliru jika kota Solo ini menjadi ibu kotadunia keroncong. Ia melihat masa-masa tahun 70-90 adalah masa emas keroncong. Setiap malam adapentas keroncong di Taman Sriwedari. “Inginnyadi setiap sudut kota ada panggung keroncong.”

Ia bukan hanya menginginkan, tapi jugamewujudkan bersama Hamkri, Himpunan ArtisKeroncong Indonesia, bersama mereka yang jatuhhati pada langgam musik ini.

“Harus orang Solo yang membangkitkankeroncong. Sebab yang mencintai keroncongadalah orang Jawa dan Solo itu Jawa.”

Ia gembira kini jenis pentas dan kegiatan mulaimarak lagi, mulai bermunculan, terutama—meskipun masih sebatas harapan—adanyagenerasi baru dalam musik ini.

“Kami merasa terbantu sekarang ini. Janganmengaku sebagai wong Solo kalau tak bisamembangkitkan keroncong.”

Cong!

KITAB SOLO 93

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 47: Kitab Solo

KITAB SOLO 95KITAB SOLO 94

MBAH LATIF, dua kali menunaikan ibadah haji. Sebagai pedagangklithikan, ia salah satu yang ikut “kirab” dari tempat lama di Banjarsari.Kini spesialis penjual onderdil mobil di Pasar Nitihardjo, Semanggi, bisaberseri. “Lima atau sepuluh tahun lagi akan ada perubahan dahsyat di pasarini.”

Optimismenya punya dasar karena selama ini dunia jual beli barangbekas—juga barang baru dengan harga miring ini—dijalani bersama ribuankeluarga yang lain. Mengenang kembali perpindahkan yang aman-damai-lancar, kuncinya adalah .” Diuwongke”, atau dimanusiakan, diperlakukansebagai manusia terhormat, walau hanya pedagang kaki lima, walaudianggap biang keruwetan dan kesemrawutan. “Diuwongke, dandipermudah cara mencari makan. Orang Solo itu sebenarnya mauberkorban, demi cita-citanya.”

Asal jangan dikecewakan. Kalau itu yang terjadi, suasana bisa berbalikarah. Dari dukungan menjadi penolakan. Mbah Latif, Muh. Latif Sirajt, yangmengelola enam kios yakin jika suasana terus berlangsung seperti saatperpindahan, “Akan aman dan kondusif.” Dari segi bisnis pasarnya, iaberharap para pembeli dari luar kota akan berdatangan lagi seperti dulu.Kan bagus jika Nitiharjo menjadi pusat klithikan di Jawa.

Kalau ada yang dirasa berkurang atau hilang, yaitu bahwa generasi mudaseperti kehilangan unggah-ungguh, etika dalam pergaulan. “Juga semangatjuang. Dilandasi dengan kejujuran, kerja keras, pasti membuahkan hasil.”

Mbah Latif mengalami itu. Bahkan kini ada kebanggaan lain. Kinistatusnya bukan lagi pedagang kaki lima, melainkan saudagar. Karenamemiliki kios, karena memiliki anak buah.

Status sodagar, dalam kosa kata masyarakat Solo memang sangatterhormat. Dan itu yang dirasakan bersama para sodagar klithikan, hari ini.

Benar-benar nglithik-lah.

KITAB SOLO 95

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 48: Kitab Solo

KITAB SOLO 97KITAB SOLO 96

SERABI NOTOSUMAN, lebih dari sekadar nama. Termasuk nama pengelola,yang kini sudah sudah berganti tiga keturunan, sejak usaha ini dirintis tahun 1923. Dimulaidari Ny. Hoo Geng Hok, turun ke Ny. Margohutomo, kini dikendalikan sang cucu, IbuHandayani, penganan yang dibuat dari tepung beras, bentuknya seperti apem ini, telahmemanjakan lidah banyak orang atau puluhan juta orang. Sukses makanan tradisi inimenjadikan serabi Notosuman, menyatu dengan nama Solo. Sehingga tak sedikit produkdi kota lain yang memakai nama serabi Solo, kadang dituliskan srabi, atau bahkanmemakai nama Notosuman, nama kampung, walau tidak buka cabang atau franchise.

Tanpa berpromosi melalui media cetak atau elektronik, jaminan kegurihanmembuatnya bertahan. Pengelolanya pun rendah hati, ketika ditanya di manakeistimewaan serabinya dibandingkan yang lain. “ Bahan yang digunakan sama, tepungberas, santan, gula. Cara memasaknya pun sama, di atas bara tungku dari cetakan besi.Hanya itu saja.”

Dengan nama tenar sekian lama, pelanggannya bisa dari kelas mana saja. Dariberbagai kota mana saja. Baik yang berkunjung langsung ke “warungnya”, maupunmenerima sebagai oleh-oleh. Atau dirinya “terbang” ke Cendana , ke tempat kediamanPresiden Soeharto. Kalau ada yang mencemaskan adalah peristiwa Mei 1998, di manaada bakar-bakaran dan penjarahan. Tempat usahanya selamat, namun usaha dagangnyaterpengaruh. Juga ada rasa ketakutan.

Keinginannya sangat sederhana, dan baik serta benar adanya. “Kalau banyak kegiatandiusahakan Pemerintah Kota, banyak tamu yang datang, dengan sendirinya banyak yangmemesan. “Dengan cara halus, pemerintah bisa menjaga agar warga Solo tertib. Dengancara ini, warga yang ingin berbuat kerusuhan akan berpikir ulang.”

Kota tenang, lumayan.Banyak kegiatan, menyenangkan.Serabi Notosuman, lebih dari maknyuuus tenan…Boleh kita katakan mbahnyuusss..

KITAB SOLO 97

ISTI

MEW

A

Page 49: Kitab Solo

KITAB SOLO 99KITAB SOLO 98

TENGKLENG KLEWER, sesuai dengan tempatnya diPasar Klewer, atau Tengkleng Gapura, karena tempatnyamenempel dengan gapura Pasar Klewer tak banyak berubah.Sebuah warung terpal dengan ukuran 5 X 2,5 meter, dengan tigaderet bangku di belakang penjualnya, dan yang istimewa : jamkerjanya dua jam saja. Atau paling banyak tiga jam. Waktu yangteramat singkat untuk menyikat 6 panci besar hangat menuutama. Yaitu tengkleng, sejenis gulai dengan memakai santan,dengan bahan dasar tulang kambing. Edy Warsono, danistrinya—sebagai pengusaha perempuan yang khas Solo serbaulet, luwes itu, sudah ditunggui pelanggan sebelum datang. Parapelanggan rela antre lebih dulu.

Usaha ini, menurut Edy dimulai sejak ia ikut orang tuanyamenjual produk yang sama. Berkeliling dan berhimpitan ditengah pasar, sebelum akhirnya mendirikan warung sederhana.Orang tuanya meneruskan usaha dari neneknya. Variasi yangdihidangkan seperti iga, jeroan, usus, otak atau pun buntut takjauh berbeda dengan usaha semula. Agaknya resep klasik ini yangngangeni buat penggemarnya.

Nama besar tengkleng, keberadaannya yang menjadi ikonuntuk keplek ilat—memanjakan lidah, tidak menjadi beban benar.Mereka melayani pembeli di tempat atau untuk dibawa pulang,mereka berkeringat dan tetap ceria. Tak ada beban yang terlihat,pun andai—hanya andai, tempat berjualan dipindahkan.”Asalbersama pedagang kaki lima yang lain, ya mangga…. Silahkan.”

Kini mereka membuka cabang di pasar Jongke, juga di pusatjajanan di Gladag. Dan tempat awal yang sudah ditunggui selama22 tahun, masih juga ramai. Padahal warung tengkleng yang

KITAB SOLO 99

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 50: Kitab Solo

KITAB SOLO 101KITAB SOLO 100

Kecuali, tentu saja keamanan dan kenyamanan suasana berdagang. Karena peristiwabakar-bakaran yang banyak disesalkan itu, ternyata “tidak membawa perubahan apa-apa. Malah dampak kerugian yang terasakan.”

Benar sekali.Tak perlu aneh-anehlah. Hidup bisa menjadi nikmat, berkeringat, sambil menyantap

tengkleng… dan mensyukurinya.Mawi pincuk nggih Bu…

Bersama dengan puluhan pedagang“khas” yang lain—bisa bernama sega

liwet, tahu guling atau tahu kupat,pecel, bakmi, tahu acar, selat, cacuk

rambak, sate kere—just name it--dengankekhasan masing-masing, dengan

bumbu cerita yang berbeda atau sama,memberi warna dasar budaya Solo.

Memberikan yang terbaik, disadari atautidak, tanpa banyak menuntut.

lain cukup banyak, cukup bertebaran, cukup gencar berpromosi, cukup menggoyanglidah bagi yang menggemari. Menariknya, yang berkembang bukan persaingan salingmenyingkirkan atau mengganti, melainkan berkembang bersama—walau bisa tidaksama pertumbuhannya.

KITAB SOLO 101

ISTI

MEW

A

Page 51: Kitab Solo

KITAB SOLO 103KITAB SOLO 102

HIK, tempat berjualan makanan serba ada, bisa dalam bentuk penjualnya menjajakanberkeliling, dan atau kemudian lebih banyak menetap. Kelompok ini juga dikenal dengansebutan tempat wedangan, minum-minum tanpa ada konotasi minuman keras, atau jugaangkringan. Banyak juga yang menggunakan sebagian dari halaman rumahnya, atau menempatiemperan toko. Jumlahnya bisa puluhan untuk satu jalan yang sama. Mereka menjadi sebuahkomunitas tersendiri, dengan pelanggan tetap, dengan teman pelanggan, dengan keleluasaanwaktu untung ngobrol.

Ini memang lebih menekankan placement, penempatan, dibandingkan dengan makananyang dijual. Karena dari satu hik dengan yang lain, satu wedangan dengan yang lain, satutempat angkringan dengan yang lain, tak beda-beda amat. Suasana yang membedakan, dankeluasaan untuk berbicara apa saja. Dari soal politik negara sampai dengan nasib tetangga,dari soal janda muda sampai janda siapa. Komunitas kecil, tapi jumlahnya banyaaaak sekali,menjadikan malam tak pernah sepi, menjadikan jam tidur malam hari ke titik terendah. Salahhatinya yang dikelola Jembuk—begitulah, masing-masing punya nama akrab panggilan dariRachmat Wahono, di jalan Ronggowarsito. Dan Jembuk pun dengan enteng bisaberkomentar.”Solo sudah menjadi kota mati.” Yang dimaksudkan dulu banyak pengamencokekan, atau pengamen keroncong, kini tak ada lagi. Menurut cerita, hiknya merupakan“pionir”, karena berdiri 20 tahun lalu, dan masih sama, hingga kini.

Jembuk banyak berkenalan dengan tamu penting yang mampir di tempatnya, — termasuk paracalon bupati atau wali kota, atau siapa saja. Ia turut mendengarkan, turut berbicara dan merasa puas.

Di komunitas ini sebenarnya kita bisa mendengarkan keluhan yang paling menyakitkan—disuarakan dengan keras atau guyonan, adu pendapat tentang topik apa saja, dan bisa berakhirtanpa harus ada kesimpulan. Untuk disambung di malam berikutnya. Dengan orang-orangyang sama dan topik yang berbeda, atau sebaliknya, topik yang sama dengan orang yangberbeda. Keleluasaan inilah yang membuatnya bertahan karena suasana ini tak akan ditemuidi pub, di café, di mal, di plaza, atau rumah makan sekali pun. Secara keseluruhan bisa menjaditumpahan semua uneg-uneg, baik masih gagasan atau harapan, atau keinginan. Yang datangbisa menjadi pembicara, bisa menjadi penyanggah, bisa menjadi moderator, bisa menjadisemuanya. Bisa juga menjadi pendengar. Dan selalu ada cerita di tempat semacam ini.Bersambung atau berdiri sendiri. Hik masih akan terus bertahan, dengan elusan dada ataukebanggaan, selama orang masing memerlukan ruang untuk bicara dengan leluasa.

Lha mangga… ngersake punapa….

KITAB SOLO 103

Page 52: Kitab Solo

KITAB SOLO 105KITAB SOLO 104

GUSTI MOENG, barang kali saja satu-satunya puteri dalem, trah langsung Keratonyang bisa bergaul dengan masyarakat. Sebutan itu saja menunjukkan adanya idiom yangmendekatkan ini, dibandingkan nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari. PutriPaku Bowono XII, mampu menyikapi peranan waktu, kaitannya dengan keberadaanKeraton. “Masa lalu adalah sejarah, masa kini adalah realita, hari besok adalah misteri.”

Dan sejarah bukanlah sekadar tontonan, atau telah sepenuhnya berlalu. Tak bisamembicarakan masyarakat Solo, tanpa membicarakan peranan Keraton. Kadangmemang terasakan, bahwa pembangunan kota, tidak selalu seiring dengan keberadaanKeraton.

“Mau dibawa ke mana Solo ini? Menjadi kota metropolitan yang hingar bingar ataukota budaya yang penuh tuntunan edukatif berbudi luhur.”

Pertanyaan refleksif yang patut direnungkan. Juga untuk kerabat dalem keratonsendiri. Apakah keberadaan keraton hanya menjadi beban, atau sebaliknya. Apakahkejayaan masa lampau bisa diaktualkan kembali, atau hanya bisa dikenang sebagaimanaadanya bangunan lama yang dilihat sepintas saja dari mata seorang turis.

Budaya Jawa, dan Solo bisa dianggap kiblatnya, harus bisa lebih dipahami. “Pahamartinya mengerti jika meninggalkan budaya berarti meninggalkan leluhur. Jikameninggalkan leluhur, berarti meninggalkan Tuhan.”

Masalah hubungan pemerintah (daerah) dengan Keraton, boleh dikatakan masalahsejarah masa lalu, yang tak selesai tuntas, sekaligus juga sejarah masa depan, bagaimanamengkomunikasikan kebutuhan kedua pihak, bagaimana memilah hak keduanya. Danagaknya ini masih akan terus berlangsung. Dengan pasang surut, dengan kompromi disana-sini, dengan harapan sama-sama bisa lebih memahami.

Proses ke arah yang lebih ideal ini, mudah-mudahan terus terjadi.“Jika tak ada masa lalu, tak ada masa sekarang. Tak ada wong Solo tanpa nguri-uri

budaya, hormat menghormati, budaya unggah-ungguh. Itu diajarkan di Keraton.”Sendika dawuh, Gusti Putri…

Gusti moeng dan dubes asing

KITAB SOLO 105

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 53: Kitab Solo

KITAB SOLO 107KITAB SOLO 106

YU SARWI, belajar menari dari kecil, dan terus menari sampai kini. Nama panggilanyu, kependekan dari mbakyu, atau kakak perempuan. Kadang berubah menjadi lik.Kependekan dari bulik, atau ibu cilik, panggilan dari generasi di bawahnya. Dan generasidi bawahnya lagi kalau generasi sekarang yang masih anak-anak belajar menari padagrup yang didirikan, Sarwi Reno Budaya di kediamannya, Serengan.

Kecintaannya pada dunia tari, dimulai saat masih anak-anak. Situasi dan kondisimemungkinkan itu, karena mereka bisa melihat pentas-pentas kesenian, seperti wayangwong, ketoprak, atau pagelaran tari. “Lalu menjadi hobi.” Juga menjadi karier, dalamarti terus digeluti ketika zaman berubah. Barang kali inilah yang memantapkanlangkahnya untuk melatih tari pada anak-anak, juga membuat pementasan. Meskipundiakui, bahwa peminatnya terbatas. “Yang penting saya seneng, saya tidak berhitungdari segi uang semata. Saya punya kepandaian kalau tidak , meh dienggo apa.” Kalaupunya keahlian, kalau tidak dibagikan untuk apa.

Kecintaan pada dunia seni bagi Sarwiyati Hartono, juga ada pada penari-penariseangkatannya, atau para pangrawit, atau lebih luas lagi, pada komumnitas budaya. Itusebabnya mereka ini masih terus berpentas di panggung Radio Republik Indonesia,RRI, secara rutin, walau sebagian anggota sudah pensiun sebagai pegawai negeri.Kecintaan yang sama yang mampu mengatasi status kepegawaian, atau juga masalah-masalah keuangan yang menyertai, atau panggung di mana berkarya—bisa di RRI, diSriwedari, panggung orang hajatan, atau juga kursus-kursus yang diberikan.

Sesungguhnya juga, mereka inilah pendukung kesenian yang ada, yang setia, apapun keadaannya. Pasti lebih baik jika pemerintah kota memperhatikan. “Kalau belummencintai tari, disuruh urunan untuk mendukung kegiatan masih enggan. Tapi kalauada stimulan dana, mereka tinggal tampil saja, saya kira lama kelamaan generasi anak-anak akan mencintai seni tari.”

Cocok, Yu.

KITAB SOLO 107

FOTO: ICHWAN GEMBENG

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 54: Kitab Solo

KITAB SOLO 109KITAB SOLO 108

BAKSO (di) KALILARANGAN, memiliki kelebihan. Selain rasanya, juga nos-talgia bagi pembelinya. Maklum ketika Kalilarangan masih benar-benar kali atau sungai,warung bakso itu sudah berdiri, sekitar tahun 1950. Hingga kini.

Dimulai dengan warung dari bambu, Liem Tjiaw Hi, memperkenalkan jenis makananini. Dan tak banyak perubahan atas menu yang disajikan. Kini dilanjutkan olehmenantunya, Liem Tjie Ru, dan Anna Liliana, kakaknya. Ada dua cabang lain yangdikelola keturunan pionir bakso Solo.

Menarik mengetahui keberadaan keluarga ini yang rukun dengan tetangga sekitar,sehingga terhindar dari huru hara yang terjadi beberapa blok warungnya, juga dayatahan menghadapi pesaing-pesaing baru yang bermunculan, yang memasang tarif lebihmurah.

Memang ana rega, ana rupa, yang artinya barang yang bagus lebih mahal.. Terutamakarena daging bakso di sini tidak dicampur tepung, karena dulu pun digepuk agar halus—tidak memakai mesin penggiling. Sehingga tetap kenyal, sekaligus bisa empuk. “Dulumasih memakai kompor minyak tanah. Tapi harganya naik. Sekarang pakai komporgas.” Dan harganya juga naik. Dan juga daging sapi pun juga naik. Pilihannya hanyalahmengurangi bahan atau menaikkan harga. Yang terakhir yang dipilih.

Berbeda dengan serabi Notosuman, tengkleng Klewer yang menjadi ramai kala adakeramaian besar, Bakso Kalilarangan lebih tenang. Nostalgia yang menjadi daya tariknyaadalah kala Lebaran. Ketika para perantau pulang kampung, ketika ingin mengenangsaat pacaran dulu di tempat itu. Kunci kenangan ini makin lama makin dirindu, dan takbakal hilang.

So…bakso…

KITAB SOLO 109

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 55: Kitab Solo

KITAB SOLO 111KITAB SOLO 110

GESANG MARTOHARTONO, lebih dari legenda hidup, ikon Solo yangmenyatu padu, dalam kesederhanaan yang tulus. Simbah, begitu Gesang memanggildirinya, kini 91 tahun, sudah menyolo ketika berusia 23 tahun, dengan karyanyakeroncong Bengawan Solo. Hidup tanpa istri dan anak, hanya bersama ponakan tinggaldi rumah tipe T-36, di Perumnas, Palur. Seperti halnya Narlon Kawit, Yu Sarwi, danseniman “tulen”, simbah tetap berada di Solo, meskipun karyanya diagungkan di negerilain, bahkan beberapa kali ada pertunjukkan khusus untuknya—terutama di Jepang.

Monumen Gesang yang ada di Taman Jurug yang dibangun tahun 1983, kondisinyakurang terawat. Menyedihkan memang. Simbah sendiri tak sempat melihat, sudah limatahun terakhir ini lebih banyak berada di rumahnya, tak bisa pergi ke mana-mana. Usiamenua, kesehatan menurun, namun tak menyurutkan niatnya. Keinginan sederhana,melihat tempat yang bersejarah baginya : Taman Jurug, Balekambang, Tirtonasi, PasarGede. Di sana ilhamnya datang dan menjadi abadi dalam lagu keroncong ciptaannya.

“Kalau bisa saya ingin nunggoni perbaikan museum Gesang di Jurug,” itukeinginannya. Masih tetap sederhana.

Barang kali kita perlu mengantar beliau jalan-jalan, juga sampai ke tempat pasarklithikan yang baru, dan berharap beliau masih terkesima, masih tergugah, untuksetidaknya menciptakan satu lagu lagi. Ini sebuah permintaan terhormat atas kehormatanbeliau. Sehingga keinginannya agar “ mudah-mudahan keroncong bisa menjadi iramanasional. Sehingga keroncong bisa lebih besar dan lebih berirama lagi.”

Keroncong kanthi irah-irahan : Pasar Klitihikan……

Gesang dan titik puspa, ketika konser pada 2008 menghargai jasa-jasanya

Gesang dapat kunjungan Yaysan Peduli Gesang tahun 2007 lalu

KITAB SOLO 111KITAB SOLO 110

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 56: Kitab Solo

KITAB SOLO 113KITAB SOLO 112

GUDEG CEKER (di) MARGOYUDAN, melampaui batas lokasi maupun bataswaktu. Batas lokasi, karena poster warungnya tersebar sampai Ontario Kanada—yangdibuat oleh biro perjalanan di sana. Melewati batas waktu penjualan, karena warung tendaini buka mulai pukul 01.30, sampai menjelang fajar. Warung yang buka lewat tengah malamadalah against the main stream, melawan arus, dan malah menjadi ciri suksesnya, jugauniknya.

Bu Kasno, yang kini mengelola warung beken ini, contoh liat perempuan Solo. Menjandasejak 33 tahun lalu, kini kelima anaknya bisa lulus sebagai sarjana. Satu anaknya sedangmenempuh S-3 di Jerman. Dalam usia 63 tahun, Bu Kasno menyimpan kearifan lokalmengenai usahanya. “ Ndak ada susahnya. Mikir yang senang-senang saja, yang baik-baik saja, tak usah neka-neka. Pokoknya jualan dan layani pelanggan dengan baik.”

Ia mewarisi berjaualan ceker (cakar ayam) yang empuk dan gurih dari ibundanya, BuKartowirono, yang sudah berjualan sejak tahun 1932. Warung yang ditempati, di jalanWalter Monginsidi atau lebih dikenal sebagai Margoyudan, adalah warung yang didirikantengah malam, dibongkar lagi pagi hari, dan bisa ditempati pedagang yang lain.

Mengenai mula-buka jualan selewat tengah malam, ada kisah menarik. Waktu itu diSolo sedang ramai “bisnis” buntutan, atau angka terakhir dari nalo, undian resmiberdasarkan angka-angka. Bukaan nomor itu tengah malam. Menjelang saat bukaan itu,para pemasang juga Bandar mencarinya, menggedor rumahnya untuk makan. Bu Kasno,takut mengganggu tetangga, akhirnya membuka warung dini hari. Sekarang buntutanyang mewabah di tahun 1975-an, sudah tak ada, tapi “manusia malam” masih banyak,dan jadilah warungnya tetap ditunggui pembeli, sebelum tenda dipasang.

Kini, ada beberapa cabang yang dibuka, termasuk yang ada di Gladag. “Baru sekali iniWali Kota memberi penghargaan seperti ini, memberikan tempat jualan. Wali Kotasebelumnya hanya menjadi pelanggan.”

Dengan omzet 60 ekor ayam kampung, Bu Kasno telah memberikan yang terenak untuklidah yang mencarinya. Dan terus jalan. “Saya tidak pernah diganggu. Paling ada premanyang makan dan tak mau membayar. Ya biarkan saja. Yang penting saya bis a terus jualan.”

Itulah kesederhaan. Juga kesuksesan.Nambah cekernya , Bu…

KITAB SOLO 113

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 57: Kitab Solo

KITAB SOLO 115KITAB SOLO 114

DOKTER LO, mirip hantu. Namanya menjadi bahan pembicaraan, juga kekaguman,namun sosoknya jarang terlihat. Dokter Lo Siauw Ging, 74 tahun kadang memakai tongkat,identik dengan dokter gratis, bagi pasien-pasiennya. Membuka praktek di kediamannyadi jalan Jagalan, Jebres, dari pukul 06 hingga pukul 08, pagi. Di sambung sore hari, pukul16.00 hingga 20.00. Dengan bayaran gratis, atau semampu pasien. Berapa saja. Tidak jarangyang mendapat bantuan obat gratis, atau kadang bantuan untuk mondok di rumahsakit.”Ada donatur yang tak mau disebutkan identitasnya.”

Dokter Lo sendiri juga menolak publikasi, bahkan tidak suka difoto.“Ini panggilan jiwa saya. Sebagai manusia, saya ingin membantu yang tidak mampu.”

KITAB SOLO 115

Ucapan sederhana, merendah, dan menjamah masalahyang mendasar. Bahwa sesungguhnya, kesehatan adalahhak semua umat manusia. Hak tersebut juga dilindungiundang-undang. Maka cukup menyedihkan kalau sampaiada warga yang tak bisa memperoleh hak untuk sehat.

Bagi dokter Lo, bukan bayaran jasa konsultan medisnyayang penting.” Ada kepuasan tersendiri. Itu yang tak bisadiukur dengan uang.” Di tengah dunia yang begitu mengejar

harta, di arus kuat “menjadi dokter agar kaya”, kehadiran dokter Lo tergolong luar biasa.Para pasien yang berobat kepadanya—yang juga diberi nasihat atau marah karenaterlambat berobat, bisa bercerita panjang lebar. “Sang dewa penolong”, ini juga tak berniatmemensiunkan diri. Karena, bisa ditebak, masih selalu ada yang memerlukan jasa baiknya.

Dokter Lo seakan membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan tanpa pamrih masihbisa dilakukan. Pendahulunya, dokter Oen—yang kini diabadikan namanya menjadi rumahsakit besar dan masih tetap sosial, adalah contoh hidup, contoh kemanusiaan yang perkasa,yang berjalan diam-diam. Yang tak memerlukan hura-hura kekaguman, atau menjadi tenarkarena perbuatan sosialnya. Ini yang monumental. Ini yang menyebabkan kita masihterus mempercayai bahwa masih banyak orang-orang yang baik, yang memperhatikansesamanya, yang peduli, dan tak ingin dipuji secara berlebihan.

Matur nuwun pak dokter, bahkan kata ini pun bisa jadi hanya diucapkan dalam hati.

dr. Lo

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 58: Kitab Solo

KITAB SOLO 117KITAB SOLO 116

PASOEPATI, kelompok supporter sepak bola, bisa jadibentuk organisasi ala Solo: spontan, meriah, berbedadengan yang lain, dan juga surut dengan mudah. Berbedadengan yang lain, dibandingkan Arema Malang, JakmaniaJakarta, Viking Bandung, dan klub penggemar lain. Palingtidak komunitas ini tidak dibikin onar, malah bikin amanmeskipun tetap “sorak-sorak bergembira.” Kelompok yangdiprakarsai mayor Harostanto dan kawan-kawannya inikonon mencapai anggota lebih dari 7 ribu, pernah amandamai membawa pasukannya ke Surabaya dalam suatupertandingan dengan menyewa 12 gerbong kereta api, 37bis umum, dan mobil pribadi yang susah dihitung.

Sebagai komunitas, yang didirikan 9 Februari 2000—dengan pergantian pimpinan, keberadaannya pantasdicatat. Setidaknya membuktikan bahwa kekuataan massayang bisa diatur, diarahkan, bukan untuk tawuran atau adukeras. Dan relatif berhasil. Namun sebagaimana organisasiyang bersifat spontan, tak begitu saja bisa diubah menjadi—misalnya—organisasi usaha, atau menjadi salah satukekuatan politik. Bahkan ketika kegiatan persepak bolaandi sini surut, — karena pindah markas, para pencintanyajuga kehilangan gairah. Kalau dialihkan kepada kegiatanolah raga lain, seperti bola basket, belum tentu semangatnyasama.

Mungkin ini cerminan lugas komunitas yang spontan,jujur, penuh semangat, apa adanya, dan nonpartisan. Lahirbegitu, dan berkembang—atau terhenti secara alamiah.

Horeeee…Lho, sih gol ngendi?Koleksi piala PERSIS

PERSIS tahun 1951

KITAB SOLO 117

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 59: Kitab Solo

KITAB SOLO 119KITAB SOLO 118

TAMAN JURUG, barangkali tempat wisata yang terbaik yang ada, juga sekaliguspaling merana. Pada lahan seluas 13 hektar ini, di pinggiran Bengawan Solo yangmasyhur, di situlah Taman nJurug—pengucapannya dengan huruf n di depan berada.Sejak dulu pun ruang publik ini diperlukan. Baik mereka yang datang untuk pacaran—sampai menyewa perahu dan bermesraan di situ, atau bersama keluarga, atau beroasedalam kepenatan kota. Pengunjung keluarga muda, baik dari dalam maupun luar kota.

Baru kemudian sekali kebon binatang dipindahkan ke tempat ini, juga monument.Gesang, juga kegiatan hiburan yang lain. Beberapa kali ganti pengelola, namun nasibnyajuga tak banyak berubah—dalam artian menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Taman nJurug cerminan kerja samayang pas-pasan, tak mampu

mengangkat nostalgia masyarakat yangsebenarnya merupakan modal sosial

yang besar dengan pengelolaan modernyang bernas. Sayang juga.

Nembe sepi….

KITAB SOLO 119

ISTI

MEW

A

Page 60: Kitab Solo

KITAB SOLO 121KITAB SOLO 120

kesenian di Solo maju, kalau masyarakat berbondong-bondong nonton wayang orang diSriwedari, atau nonton panggung ketoprak. “Masyarakat kita sebenarnya bukan hanyamembutuhkan hiburan, mereka memiliki apresiasi pada karya seni.” Artinya bekal untuknguri-uri, untuk melestarikan tetap besar. Inilah yang harus bisa diwadahi, dengan fasilitasyang ada, terutama juga dari para senimannya sendiri. “Pada akhirnya kreativitas, hasilkarya yang menentukan. Kalau tidak kreatif ya bakal ditinggal penonton.” Apalagi,persaingan dengan kota lain, apalagi hiburan dari televisi nyaris tak terbendung.” Kuncinya,kerja sama antara seniman dengan pemkot bisa berlangsung dengan baik dan terus-menerus. Rumusan agak-agak kuno, tapi perlu didengar, karena menuntut keterbukaanbaik antara seniman maupun birokrat. Pemilik nama Didi Prasetyo yang tidak kempotini, optimistis akan kembali kejayaan seni di Solo. “Terus berusaha dan jangan minder.Jangan kecil hati, tugas seniman adalah menghasilkan karya secara kreatif.” Ada benarnya,karena bentuk campur sari merupakan sesuatu pentas musik yang baru. Setidaknya takada ada di seribu kota lain, Sewu Kutho, dan Stasiun Balapan, masih terus bisa digali sebagaisumber imajinasi.

Iki tenanan lho…

DIDI KEMPOT, tak lagi ngamen di jalanan.Panggungnya kini berbeda, demikian juga bayaranyang diterima. Terlahir dari keluarga seniman,ayahnya adalah pelawak kondang Ranto Edi Gudel—rangkaian nama bikinan yang unik, melihat bahwaSolo dalam bidang kesenian banyak mengalamikemajuan. Pemkot menjadi penyelenggara keseniansampai tingkat internasional, seperti Solo Interna-tional Ethnic Music, SIEM, atau InternationalKeroncong Festival. Di samping dibangunnya kembalipanggung kesenian seperti Ketoprak Balekambang.Impian dan tolok ukurnya masih di situ. “Tanda kalau

KITAB SOLO 121

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 61: Kitab Solo

KITAB SOLO 123KITAB SOLO 122

SOLO BALAPAN, nama stasiun kereta api, seperti halnyaTaman Sriwedari, Pasar Klewer, Pasar Gede, gedung RRI, bukansemata-mata harus dikagumi sebagai bangunan tua, melainkan –nah inilah makna utama dalam tamasya rohani, karena sejarahperubahan yang menyertainya.

Di bangun di atas tanah sepuluh hektar kurang sedikit di tahun1873 oleh Nedeherlands Indische Spuurwagen,NIS, pada masaKasunanan dan Mangkunegaran masih berkuasa, dan masihberebut pengaruh. Sudarmono SU, pengamat budayamenyimpulkan dengan jitu. “Melalui pembangunan setasiun SoloBalapan, terjadi pergeseran-pergeseran besar. Yaitu perluasanwilayah dan terjadinya wilayah perkotaan dari “dua” keraton.”

Tanah yang dijadikan stasiun tadinya lahan pacuan kuda, —maka namanya Balapan, yang dikuasai Mangkunegaran. Akibatnyalapangan baru dibuat, dan menghadap ke arah selatan. Dengandemikian, Mangkunegara VII bisa melebarkan wilayahnya ke arahbarat—yang saat itu masih berwujud rawa dan tak diperhitungkan.Rel kereta api di sekitar Balapan, dari Purwasari ke Jebres, jugaberlanjut dari Purwasari melalui tengah kota, Sriwedari sampaiGladag—yang merupakan wilayah Paku Buwono X,— terus sampaiSukoharjo dan Wonogiri, membuka transportasi yang membukake segala arah, dan mengubah wilayah kekuasaan.

Pada satu pihak, rel di tengah kota yang masih ada hingga saatini, bisa dilihat sebagai batas pemisah kekuasaan Kasunanan danMangkunegaran, namun juga bisa sebagai penanda bahwakeduanya sama-sama memiliki, sama-sama merasa terjagakehormatannya. Semangat yang mendasari dan yang dihasilkanadalah semangat transformasi yang menyeluruh. “Kedua belah

KITAB SOLO 123

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 62: Kitab Solo

KITAB SOLO 125KITAB SOLO 124

pihak”—kalau kata ini bisa digunakan, sama-sama diuntungkan. “Bukan pembangunanyang sifatnya parsial,” tutur Sudarmono SU yang sekaligus menekankan bahwa semangatitulah yang seharusnya berlanjut untuk Solo.

Stasiun Balapan pada akhirnya bukan sekadarbangunan dengan kontruksi baja sepenuhnya, dengan

gaya arsitek yang masih bertahan sampai sekarang,dengan tulisan dan bentuk huruf yang dipertahankan,

bukan hanya membuka transportasi dari berbagai daerah,bukan sekadar sebuah sejarah bangunan tua yang tersisa,bukan sekadar perubahan dari 3 spoor menjadi 13 spoor

atau jalur, bukan hanya penggunaan sinyal elektrik,melainkan dan yang terutama adalah bagaimana semuaitu bisa dilaksanakan tanpa menimbulkan perpecahan,

kecemburuan, dan memihak pada kepentingansatu kelompok saja.

Ini yang luar biasa ketika kita berada di sana—untuk berangkat atau datang, ketika kitaini bagian dari penumpang yang mencapai 70.000 sebulan, yang mempunyai kenanganakan rel-rel, penjual buku Jawa di kios bagian tengah, juga penjual koran dan makananserta kuli-kuli pengangkut bawaan, ataupun sopir becak dan kusir dokar di halaman parkiryang membungkuk sambil mengacungkan jempolnya. Kita masih bisa selalu salingmengenali, menyapa, dan merasakan serta merayakan semangat bahwa pada akhirnya inimemang menampung kepentingan bersama, sejak awalnya.

Solo Balapan memang indah…juga gagah.Ing stasiun Balapan, tresnaku ora owah…

KITAB SOLO 125

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 63: Kitab Solo

KITAB SOLO 127KITAB SOLO 126

ANOM SUROTO, ki dalang senior—tidak anom lagi, melihat bahwa pendekatanbudaya untuk mengembangkan kota Solo, merupakan langkah yang tepat. Bahkan yakinakan jaya. “Solo itu kaya dengan seniman-seniman handal. Kualitas mereka akan semakinterlihat jika diberi ruang gerak yang sama. Istilahnya mereka tinggal digosok dan diberipeluang. Mereka bisa menjadi bagian dari perubahan yang sedang terjadi.”

Mereka ini, adalah seniman-seniman dalam arti yang luas. Bukan hanya wayang wongatau ketoprak saja, melainkan juga kelompok disiplin karawitan, pedalangan, tari ataupun bentuk-bentuk yang lain. Yang jika diberi ruang dan “digosok”, melalui eksplorasidan penggalian akan menjadi identitas budaya Solo.

“Kalau semua bentuk kesenian mendapat kesempatan yang sama, hasilnya pastiberbeda.” Memang iya, walau memang skala prioritas kadang tak bisa ditinggalkanbegitu saja. Untuk inilah peran warga masyarakat bisa terus berkomunikasi,menyampaikan gagasan dan menerima gagasan lain. Baik antarseniman ataupun denganpara pejabat atau birokrat. Karena bagaimana pun, birokrat pula yang menetapkansebagai keputusan dan pengaturan langkah operasional di lapangan.

Dalang kondang yang meneruskan tradisi nilai lebih dalam memainkan wayang inimerenungi bahwa : “Mengembalikan Solo sebagai kota budaya, kuncinya ada pada wargaSolo.” Kunci itu antara lain adalah “adat ketimuran”—apapun pengertiannya. Termasukdalam bertutur kata, tersenyum, menyapa dan disapa, sampai dengan tatapan mata.Tangan yang dipakai untuk menari pastilah lebih berbudaya dibandingkan untukmemukul, juga mata yang melotot dan wajah tengadah menantang, pastilah bukanbahasa tubuh yang bersahabat. “Demikian juga cara berpakaian sekarang ini.”

Perubahan, atau juga pergeseran bisa terus terjadi, tanpa harus menggerus nilai-nilaiyang mendasari sikap hidup budaya selama ini. Tuntutan yang sama pada hasil seni itusendiri, yang harus terus menemukan dinamikanya untuk berkembang. “Jika hanyadipertunjukkan saat dibutuhkan, jadinya monoton.” Dengan kata lain sekadar standar,dan tidak menemukan terobosan.

Lha nggih mangga, jejer malih….

KITAB SOLO 127

ISTI

MEW

A

Page 64: Kitab Solo

KITAB SOLO 129KITAB SOLO 128

SUPRAPTO SURYODARMO, bisa disejajarkan denganGesang, dengan pelukis A.S. Budiono, Narlon Kawit, sasatrawan danpendidik N. Sakdani Darmopamujo, sastrawan Jawa Moch. NursyahidP., Waljinah, dalam kesetiaan dan terus berkesenian di Solo. Bahkan“Mbah Prapto” ini mendirikan markas Padepokan Lemah Putih ditempat kelahirannya. Kekentalan dengan kehidupan di kampung,dengan masyarakat sekitar meneteskan kesimpulan bahwa :”Rohkesenian ada di kampung-kampung. Yang diperlukan adalah revitalisasikesenian di kampung-kampung.”

Jika semangat berkesadaran kesenian ini dihidupkan, serta merta akanmuncul sanggar-sanggar, dan dari sinilah muncul bentuk-bentuk karyaseni—tidak selalu terpakem pada bentuk yang sudah ada. Sebaliknyaakan terjadi jika roh seni hanya diperlukan saat dibutuhkan. “Janganjadikan kesenian dan hasil hasil budaya hanya sebagai tontonan, ataumelibatkan dan memandang dari kacamata politik praktis atau agama.”

Dengan kata lain, dinamika kesenian ada kalanya bisaberdampingan dengan kegiatan pariwisata, atau bahkan kampanye—tapi seharusnya tidak berhenti di situ. Karena kesenian juga mempunyairohnya sendiri, juga dalam menghadapi dan menjalani kehidupan ini,kini dan pada masa mendatang. Pencerahan dari alam, dari sesamamanusia, dan dari Tuhan, ada dalam kesenian.

Caranya?“Menjadikan warga sadar akan kepemilikan atas kebudayaannya.

Harus ada perubahan pendekatan. Dimulai dari kedidupan warga dikampung-kampung.” Ujarnya tetap bersemangat seperti juga kegiatansehari-harinya yang menyatu antara berkesenian dengan kelompoknyaataupun bersama masyarakat dalam mengekspesikan diri.

Wah, mathuk sanget Mbah… dilanjut…

Mbah Praptotolak RUU APP

KITAB SOLO 129

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 65: Kitab Solo

KITAB SOLO 131KITAB SOLO 130

HARIADI SAPTONO, dan ENDANG KUSUMA ASTUTI, anggota DPR-D Solo periode 2004-2009, seperti warga Solo lainnya merasakan ganas dan kerasnya peristiwaMei 1998, “akibat” dari dimulainya era reformasi. Kota serasa gelap—juga dalam artiansesungguhnya, karena asap dari kebakaran terlihat di mana-mana. Terjadi penjarahan, danbahkan Balai Kota pun ter—atau di, bakar. Beginikah watak warga Solo yang disering disebutbersumbu pendek alias cepat meledak?

Diperlukan penelitian panjang sebelum menyimpulkan sebabnya, atau menemukanjawabannya. Karena kini nampaknya suasana sudah kembali tenang, sudah lebih tertata,dan bisa diperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak harus mengejutkan.

Seiring berlalu waktu, Hariadi Saptono melihat perubahan birokrat mempunyai pengaruh,dan bergerak ke perubahan yang baik. “Semangat kepemimpinan Jokowi dan Rudy lebihterlihat berkembang dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya.” Dalam pandangannya,Wali Kota Joko Widodo dan Wakil Wali Kota, mampu menciptakan pelayanan bagi warganya.Namun :”Ibarat naik kendaraan, Jokowi dan Rudy ngebut smpai kecepatan 90 kilometerper jam, sementara kecepatan birokrat di bawahnya hanya 40 kilometer per jam.” Yangterasakan eksekusi kebijakan baru sebatas memenuhi target . Dengan kata lain, kalau adaakselerasi atasan-bawahan di kalangan birokrat, wuaah, jalannya pembangunan akan lebihpas. Kalau ada yang disayangkan, adalah tidak terlihat munculnya generasi muda yangmenjadi pemimpin. “Perlu dikenalkan dunia politik dan birokrasi pada generasi muda.”

Endang Kusuma Astuti melihat bahwa salah sifat warga Solo seperti umumnya “orangTimur”. Tidak suka ribut di depan umum, lebih suka mengalah, tapi kemudian nggrundelbelakangan. “Ini bisa menimbulkan masalah. Apalagi bagi yang kurang mengerti peri lakuseperti ini dianggap cerminan kurang dewasa. “ Pada generasi muda, sikap kurang terbuka,kurang tegas ini pula sering memberi gambaran yang keliru. Seperti generasi muda yangterperangkap narkoba, atau tindak kriminalitas yang dilakukan mereka yang masih muda.Untuk itu perlu perda, peraturan daerah, tentang pembinaan kawula muda. Supaya adaprogram positif di hari libur dan waktu senggang. “Agar tidak terjerumus pada kegiatanyang melanggar norma agama dan susila.”

Lhoo, lha mangga ketok palu… tok-tok-tok

KITAB SOLO 131

FOTO

-FO

TO I

CH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 66: Kitab Solo

KITAB SOLO 133KITAB SOLO 132

GENDHON HUMARDANI, sudah meninggal 25 tahun lalu. Di awal tahun 70-an,almarhum memulai gerakan kesadaran kesenian di Baluwerti Solo, dengan markas yangdikenal sebagai Pusat Kesenian Jawa Tengah, PKJT. Sampai sekarang nama itu masih terusdiungkapkan dengan bangga. Atau juga melalui Akademi Seni Karawitan Surakarta, ASKI,yang bertumbuh menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia dan berubah mantap dengan InstitutSeni Indonesia. Boleh dikatakan, semua ini jasa dan pergulatannya. Sulit dibayangkan padasaat, bahkan sampai hari ini, kini ada perguruan tinggi yang dipenuhi pengajar Doktor atauProfesor dari seniman tradisi. Dengan kaliber luar negeri.

Sama sulitnya membayangkan, bahwa ketika terjadi dredah antara seniman dengan birokratterjadi jarak sehingga saling memusuhi dan mencurigai. Sehingga yang muncul adalah beritayang tidak sedap. Termasuk penangkapan atau pelarangan. Adalah Sedyono Humardaniyang muncul dan melatih sendiri, cara-cara berkomunikasi, cara-cara memandang sepertiapa sebenarnya seni tradisi, apa itu seni modern, bagaimana keduanya bisa mempunyaihak hidup dan berkembang yang sama. Juga para cantrik—begitu anak buahnya menamakandiri, yang selama itu dipandang sebelah mata, kini bisa menjadi seniman sekaligus birokratyang seimbang. Dari generasi di atasnya, sampai anak-anak—dalam pengertian sebenarnya,yang bisa dirangkul. Banyak kajian yang dilakukan, bagaimana pendekatannya melahirkanbibit-bibit unggul, dan tentu pertanyaan kritis : bagaimana dengan keadaan sekarang ini,setelah 25 tahun, setelah semuanya lebih terbuka.

Pak Gendhon sebenarnya bukan menjadi dewa pelindung seniman tradisi—pedalangan,tari, karawitan sampai pembuat gamelan,abdi dalem dan pembuat topeng kayu. Pada saatmemimpin PKJT, seniman modern—pelukis, sasrtawan, dramawan, demonstran, wartawan,penyair, dosen, pengajar, — pun diajak serta dalam berbagai diskusi, adu argumen, aduteriak. Sedemikian rupa sehingga untuk pertama kalinya ada pemimpin yang diseganisekaligus dicintai para seniman dari disiplin apa pun, dari tingkat lokal, nasional, bahkaninternasional, yang berhasil dikumpulkan untuk saling memahami. Dan kalau sekarangkita melihat apa yang terjadi atau sedang berlangsung, dalam dunia kesenian, itu adalahbayangan dari jejak pendekatan langsung – bahkan secara phisik, tokoh yang agak terlupakanuntuk dipetakan dalam nama resmi. Tak ada nama gedung, atau nama jalan, atau namakehormatan yang mengabadikan. Padahal swargi adalah sumber inspirasi tanpa henti.

Nyuwun pangapunten Pak Dhon..

KITAB SOLO 133

ISTI

MEW

A

Page 67: Kitab Solo

KITAB SOLO 135KITAB SOLO 134

RW 09Di antara sekian RW, rukun warga, di negara kita ini, ada

yang istimewa. Tercatat RW 09, di daerah Kampung Sewu,kecamatan Jebres. Warga di situ sekitar 120 keluarga, danmemiliki kekerabatan yang unik. Selain, tentu sajamerayakan Hari Kemerdekaan, tiap 17 Agustus, danberhalal-bilalal setiap Lebaran, kesehariannya jugamempunyai apa yang disebut kas kecil. Dana yangterkumpul dijadikan modal sosial jika ada warga yang sakit,meninggal, atau… kesulitan membayar uang sekolah.Kekerabatan ini, konon sudah berjalan selama 10 tahun.Cukup rukun, berbaik-baik antara warga yang berpunya danyang biasa, yang keturunan, yang asli, yang campuran—kalau istilah ini bisa digunakan.

Bahkan di salah satu jalan, warung angkringan, tempatmakan dan minum yang diusahakan warga yang jumlahnyabisa ratusan atau malah ribuan, dibuat “modern”. Tempatduduknya lumayan, ada atap tetap—sehingga tak repotkalau hujan, bahkan ada rak piring, diusahakan oleh seorangsuami yang istrinya baru pulang menjadi Tenaga KerjaWanita yang ketiga kalinya. Siang hari, tempat itu bisadigunakan untuk “pusat komunikasi” warga dan tetanggaRW lain, juga untuk menjual barang-barang seken, secondhand, barang bekas yang masih ada sisa kualitas.

Kerukunan, keguyuban—kebersamaan yang dinamis,tercerminkan dalam masalah keamanan. Menurut

KITAB SOLO 135

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 68: Kitab Solo

KITAB SOLO 137KITAB SOLO 136

Sumartono Hadinoto, 51 tahun, warga setempat yang aktif di berbagai organisasi—belumtermasuk pengurus beneran dari sekitar 12 organisasi yang beragam, kerukunan dankebersamaan masih bisa terus ditingkatkan. Kini sudah merambah untuk mengusahakanpengadaan air bersih, bahkan beberapa sudah merencanakan penghijauan.

Kalau pendekatan budaya RW 09 bisa dijadikan model, rasa-rasanya akan banyak RWyang bisa berswasembada—setidaknya dari urusan sakit atau meninggal, atau uang sekolahanak-anak. Kalau model ini bisa juga dikerja samakan dengan RW-RW yang lain, bukantidak mungkin akan mengubah wajah kebersamaan kita secara keseluruhan. Karena begitubanyak RW di seluruh Indonesia, karena kebutuhan untuk keamanan bersama, sejahterabersama, masih akan didamba. Swasembada yang bisa lahir tanpa birokrasi, tanpamengandalkan proteksi dan bantuan resmi, pada akhirnya bisa menciptakan komunitasyang saling mengerti.

Menurut saya, komunitas semacam ini lebih pas, dibandingkan menciptakankebersamaan dan kerukunan dalam menentang jalur bus way, atau mempertahankan por-tal di kompleks perumahannya.

Barang kali saja, wajah-wajah seperti RW 09 juga perlu pemberitaaan, perlu dukungan,karena bisa memberi gambaran berbeda mengenai komunitas yang ada. Yang bukan unik,tapi masih tetap bisa dilirik.

“Anggere ana sing miwiti,apik, gampang ditiru,”

ujar wong Solo memberi komentar. Maksudnya : kalau ada yang memulai, hasilnyabermanfaat, lebih mnudah ditiru.

Sederhana. Dan ya.

KITAB SOLO 137

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 69: Kitab Solo

KITAB SOLO 139KITAB SOLO 138

Salah satu daya tarik bagi warga “Solo diaspora”, atau “Solo perantauan”, yang diakuisedang bebadra, berusaha di kota lain, adalah makanan khas. Sebenarnya ini hal yangbiasa. Mereka yang berada di perantauan selalu kangen dengan makanan khas didaerahnya.

Bedanya, jenis dan varian makanan yang dianggap khas untuk Solo, terlalu banyaknamanya, dan selalu lebih original recipe, selalu lebih pas dinikmati di tempat aslinya.Untuk Jakarta misalnya, ada tempat-tempat tertentu yang menjual nasi liwet—dari ho-tel berbintang lima, sampai warung khusus—atau tengkleng, atau bahkan tumpang.Sebagian besar rasanya cukup mendekati, tapi ya itu tadi, tetap terasa kurang sesuaidengan keinginan. Barang kali ada benarnya : karena suasana juga menentukan. Padaakhirnya selera, rasa, juga berkaitan dengan suasana yang sampai kapan pun susahditiru—karena memang suasana kota Solo berbeda dengan Jakarta, atau di luar negeri.Sebagai catatan di beberapa kota di Belanda—bukan di kedutaan, ada rumah makanyang menghidangkan makanan khas ini, termasuk nasi liwet dan .. nasi goreng.

Maka saya sempatkan datang ke Gladag Langen Bogan, sebuah food court di ujungjalan Slamet Riyadi—jalan protokal utama. Malam itu—bukan “malem Minggu”, karena

GladagLangen Bogan

KITAB SOLO 139

FOTO

-FO

TO W

WW

.WIS

AT

AS

OLO

.CO

M

Page 70: Kitab Solo

KITAB SOLO 141KITAB SOLO 140

kata Begog tak akan dapat tempat karena penuh—kami berangkat untuk “ngumbahmata”, sebelum memanjakan lidah.

Lokasinya strategis. Antara perempatan Gladag yang ramai sampai ujung pertigaanSangkrah. Mungkin sepanjang satu kilometer, di jalan beraspal yang bisa dilewatikendaraan empat jalur, dengan penerangan yang gemerlap. Sisi sebelah selatan masihada rel kereta api—dan masih digunakan untuk jurusan sampai Wonogiri. Malam hari,kereta api tidak lewat, sehingga di atasnya bisa digelari tikar. Kiri kanan jalan dipenuhipenjual makanan yang jumlahnya lebih dari 70 kios. Kalau masing-masing kios gerobakini menyajikan 10 menu, berarti ada 700 jenis makanan yang bisa dipilih. Malam itu,sata langsung menelepon istri yang biasa berburu makanan bila mudik, menceritakanketersediaan makanan yang ada. “Brambang asem ana ora?” Ini jenis makanan yanganeh lagi : kangkung direbus, dimakan dengan sambal pakai kecap, pedaaaas sekali,dan biasa dibawa mbok-mbok penjual berkeliling. Harganya tak seberapa, dibandingmenu yang lain. Saya telusuri, dan memang…. ada.

Bukan hanya brambang asem, di sinijuga ada sate kere—sate yang dari tempegembus, atau kalau ada dagingnya sangat

kecil—dan makanan yang menjadikebanggaan : mulai dari gudeg ceker, nasi

liwet, tengkleng, tumpang, dan segalajenis minuman yang aneh—

yang tak dikenal lagi.KITAB SOLO 141

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 71: Kitab Solo

KITAB SOLO 143KITAB SOLO 142

Penjual makanan di dibagi dua kelompok. Kelompok yang berjualan siang hari dengankelompok yang berjualan malam hari—dibedakan dari warna gerobaknya. Malam hari,termasuk rapi jali, karena gerobaknya warna baja putih.

Pada sore hari, sebelum mahgrib, terjadilah pemandangan yang mempesona, puluhangerobak siang pulang kandang, sementara jumlah yang sama untuk edisi malam mulaimenempati tempatnya. Untuk urusan makan, agaknya berlaku ungkapan lama “ Solokota yang tak pernah tidur.” Selalu ada, jam berapa pun—kecuali kalau kehabisan.

Rasanya kalau jenisnya sampai ratusan, tetap ada pilihan kedua.

RUANG PUBLIKUntuk sebuah pusat jajanan, syarat utama adalah : variasi jumlah makanan yang

tersedia, kebersihan, kenyamanan, harga yang relatif murah, dan suasana yangmenyenangkan, bisa untuk bersantai.

Untuk soal kebersihan, saya melakukan “inspeksi” dengan melihat air bersih yangdipergunakan, dan ternyata ada air pam yang mengalir. Pada beberapa tempat air untukmencuci piring dan gelas biasanya seadanya. Untuk kenyamanan tak kalah dengan kota-kota lain di kawasan Asia Tenggara. Tak ada pengamen, tak ada peminta-peminta, jugatak ada pedagang asongan, yang bernada memaksa. Di Bangkok, sebagai perbandingan,tempat untuk pengamen disediakan di salah satu sudut—sehingga tidak menganggu.Yang saya dengar di sini, para pengamen ke daerah pertokoan pun memiliki hari-haringamen tertentu. Juga untuk pengemis. Penataan ini termasuk sangat bagus—bagusuntuk pengamen maupun dingameni—dan sama-sama menguntungkan.

Peran lain yang menentukan adalah tempatseperti ini bisa menjadi ruang publik. Artinyamasyarakat merasa memiliki, menggunakan

dengan aman, dengan santai.KITAB SOLO 142

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 72: Kitab Solo

KITAB SOLO 145KITAB SOLO 144 KITAB SOLO 145

Joko Wi, wali kota Solo

kemeriahannya. Ada rombongan bule yang merasakan kebebasan berpakaian. Ada yangmendapat tempat strategis, di tengah jalan yang dijadikan lokasi utama bagi para pembeli,ada yang berbeda tempat untuk rombongan yang sama. Menyenangkan melihat sebagianbesar datang bersama rombongan, dan lebih menyenangkan lagi melihat suasana malam ituyang hangat. Banyak senyum, banyak obrolan, dan peran sebagai ruang publik pun terasakan.Interaksi sesama warga terlihat secara jelas—pembicaraan apa kabar atau mungkin meneruslanmasalah bisnis.

Seakan menegaskan keberadaannya sebagai ruang publik, malam itu kami bertemuJokowi—sebutan akrab bagi pak wali kota, yang sedang berada di salah satu tenda. Tubuhnyamasih kurus, mengingatkan petenis dengan nama yang hamper sama Jokovic, memakai jaket.Kami duduk bersama, saya memesan minuman yang terdiri dari berbagai racikan : ada buah,ada roti, ada santan, ada isi yang lain.

Saya tidak melakukan wawancara, juga untuk buku ini. Saya pernah saya meja ketikadiskusi di rumah kediamannya. Juga ketika membuat dokumentasi kehidupan masyarakatSolo : di sini masih ada kelompok penembang macapat, masih ada kampung batik, masihada ketoprak, masih banyak tokoh-tokoh seniman yang kasusra, kondang, secara nasional.Dokumentasi untuk ditayangkan ke seluruh sekolah di Indonesia, dan bukan hanya diputarsekali dua. Sebagai perbandingan untuk kota lain hanya satu item yang dikomentasikan, tapiuntuk Solo, ada tujuh item. Dan itu belum semuanya. Malam itu bukan hanya saya yangmemasuki tenda bersama Jokowi. Ada sedorang ibu-ibu yang mengenali—padahal lumayan

Itu pula yang langsung kami rasakan ketika berjalanmenelusuri, berjalan dari barat ke timur dan ke barat lagi.Bertemu beberapa orang, bersapa dengan kenalan lama,dengan beberapa keluarga yang berdatangan bersama—ada rombongan mulai dari mertua sampai cucu, ada yangmengajak berpotret, ada yang menceritakan ia datang dariluar kota, dan berbagai basa-basi menyenangkan. Adarombongan anak-anak muda dengan segala asesori danFO

TO L

UA

X M

AW

AR

DI

LUA

X M

AW

AR

DI

LUA

X M

AW

AR

DI

LUA

X M

AW

AR

DI

LUA

X M

AW

AR

DI

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 73: Kitab Solo

KITAB SOLO 147KITAB SOLO 146

Wakil walikota, F.X. Rudy Hadiatmomemimpin upacara pemberangkatan kirab budaya

boyongan PKL di Monumen’45 Banjarsari

KITAB SOLO 147

remang di bawah tenda, dan menyempatkan diri mendekat. Untuk melaporkan bahwa diperempatan stasiun Purwasari masih banyak sampah. Pak Wali mendengarkan, menjawabakan mengecek. Si ibu berlalu, disusul warga yang lain, yang bersalaman, dan…. Mengatakanlampu lalu lintas di salah satu perempatan Banjarsari mati. Ada lagi yang mengusulkanagar pusat makanan ini lebih hidup : dengan panggung kesenian. Termasuk usulan :bagaimana kalau para pelayan memakai seragam tertentu pada hari tertentu. Bahkan sudahmerencanakan desainnya.

Ruang publik menjadi sempurna ketika keleluasan ada, ketika tanya jawab terjadi, ketikauneg-uneg tersampaikan. Ketika itulah komunikasi terjalin, saling bertanya, sekaligus salingmendengar. Ketika makin banyak warga yang mendatangi, saya memilih melanjutkanberjalan, mencari makanan yang lain.

SUMBU SRAWUNGMalam makin larut, pengunjung tak juga surut.Langkah terus berlanjut, dan benar saja, tanpa rencana tanpa agenda, di salah satu sudut

bertemu dengan Rudy, Wakil Wali Kota, yang kumisnya menawan dan nampak masih segar.F.X. Rudy Hadiatmo memang selalu terlihat segar, semangat, dengan berbagai kesibukanyang seabrek. “Untuk menyelesaikan persoalan, tidak butuh waktu lama.” Itulah yang pernahdikatakan pada pertemuan lain. Wakil wali kota yang menolak menempati rumah dinas,dan menolak menerima santunan untuk rumah dinas, serta memilih menempati rumahlama yang kadang masih terkena banjir ini, memang dikenal “berada di mana-mana”, daritingkat RT hingga RW. Ia sendiri pernah menjabat sebagai ketua RT di usia 21 tahun, menjabatsecara berturut-turut. Dan aktif di organisasi yang membuat terus bergerak.

Malam itu saya sempat bertanya, apakah sedang mengkontrol sesuatu yang gawat.Dijawab melakukan kerja rutin, karena mendengar ada remaja mabuk di hari-harisebelumnya. Suatu antisipasi yang terkoordinir, juga bentuk komunikasi dini yang selamaini terbukti ampuh. Duetnya sebagai pimpinan, sehingga media menyebutkan dalam satutarikan napas—Jokowi-Rudy,— termasuk utuh dalam menciptakan komunikasi antar warga.

KITAB SOLO 147

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 74: Kitab Solo

KITAB SOLO 149KITAB SOLO 148

Kegaiatan srawung—gaul, terjadi pada tingkat dan antar RT, juga pada tingkat desa masihditeruskan. Dengan cara inilah, warga yang pernah dijuluki bersumbu pendek, ini bisa dieliminir.Beberapa persoalan mendasar bisa diatasi. Yang mencapai puncaknya dengan kirab klithikanyang mengagumkan itu.

Mereka berdua, sebagai pimpinan, nampaknya berhasil memperjemahkan semboyan:”birokrat untuk rakyat”. Yang pada akhirnya akan menjadikan dinamika rakyat untuk rakyat.Bahwa keduanya dinilai melangkah terlalu cepat dan birokrasi di bawahnya masih lambat, ituhanya soal waktu. Dan juga kesabaran. Contoh konkret lebih efektif. Setidaknya malam itu,sudah larut, masih ada pembicaraan. Dengan bagian keamanan, dengan petugas resmi atausetengah resmi, untuk mendengar lebih dini apa yang menjadi rerasan masyarakat. Pendekatanyang efektif, walau dituntut kerja keras, secara konsisten. Sumbu srawung sebagai pendekatanbarang kali memang paling tepat untuk diteruskan.

Malam makin larut. Saya masih menyempatkan diri ke Alun-alun Utara, karena di situ adaPesta Rakyat. Semacam pasar malam.

Dan memang ada. Dengan kegiatan seperti umumnya pasar malam—walau kini denganbanyak pengeras suara. Masih ada penjual angkrok, mainan dari kartun yang ditarik untukmenggerakkan, masih ada tukang ramal, masih ada penjual obat, masih ada seniman yangmemamerkan karyanya—baik yang naturalis maupun abstrak. Masih banyak penjualmakanan, atau dawet khas, dan di salah satu tempat masih ada yang menjual obat tetes mata.Di papan iklannya berbunyi : “jual obat tetes mata, Insya Allah menyembuhkan mata positif,mata negatif, dan sebagainya.”

Kehidupan ini masih ada. Tidak hilang atau tergusur karena adanya Langen Bogan disebelahnya. Dengan kata lain banyak pentas untuk tampil, banyak kesempatan untuk dipakaibersama. Kalau malam itu bisa menjadi salah satu ukuran, rasa-rasanya perubahan Solo beradadi jalan yang tepat.

Yang menyenangkan.Membanggakan.

KITAB SOLO 149

Page 75: Kitab Solo

KITAB SOLO 151KITAB SOLO 150

BangkokSaya sedang berada di kota Bangkok, ketika di Solo sedang ada perebutan tahta,

ketika kabar bahwa dua pengikut Susuhunan berebut pintu masuk.Saya tak tahu apakah sedih atau biasa-biasa. Keraton Muangthai ini dulu pernah

berhubungan dengan Keraton di Jawa, sangat erat. Raja-raja di sini turun temurun datangke tanah Jawa, juga ke Borobudur, menghormati dan berziarah. Di sini masih ada raja.Tapi keadaannya berbeda.

Bangkok, sejak saya kecil, telah menjadi idiom bahasa kita dengan arti bagus, ok.Ayam Bangkok, artinya ayam yang lebih ok. Betinanya seksi dan cepat betelor, jantannyapilihan untuk aduan. Belakangan merambah ke istilah durian, juga tanaman jenis kantungsemar, dan berbagai hasil buah-buahan. Artinya secara budaya, jenis ayam yang hidupdi sana maupun di sini sama, tapi kualitas berbeda.

Kota Bangkok sendiri, , juga ibu kota yang sama dengan Jakarta. Tentu banyak macet—di sana macet tertahan karena patuh pada rambu lalu lintas, ada juga tilang damai dijalanan—saya mengalami di tengah malam ketika naik taksi, banyak pengamen di tempatpenjual makanan—pengamen dipusatkan di satu tempat sehingga tidak menganggupengunjung, dan bis kota sampai malam—yang memberi rasa aman meskipun jendeladibuka.

Yang berbeda dengan tahun sebelumnya adalah kibaran bendera warna kuning, yangkalau diperhatikan ada ikon kerajaan. Bendera ini dikibarkan di samping benderanasional. Di kantor-kantor resmi pemerintahan—jangan heran kalau di sana juga dipajangfoto Raja, atau – ini lebih menarik, di kantor-kantor perusahaan. Umbul-umbul kuningini serta merta juga ada di sepanjang jalanan, di kapal sungai, atau kendaraan lain.Dalam bentuk kaos, dalam bentuk jaket—dipakai untuk pengojek, pegawai negeri,pegawai kantoran, karyawan, atau juga pelajar. Menurut cerita ini akan berlangsungselama satu tahun, merajakan Raja yang berulang tahun ke- 80. Yang lebih menarik lagi

adalah bahwa bendera “Raja”, atau umbul-umbul atau asesori kuning ini merupakankesadaran masyarakat. Bukan karena diberi seperti di sini saat-saat kampanye. Bahkanuntuk memproduksi dan memperbanyak, konon harus memperoleh izin terlebih dahulu.Di beberapa tempat, tagline : We Love The King, memaksa orang membacanya, terutamayang tak mengerti huruf-huruf lokal di sebelahnya.

Misalnya saja, kotanya relatif bersih dari sampah, tempat sampah berada dalamhalaman rumah—bukan setengah ke jalanan, calo dan sopir kendaraan umum tidakmerecoki penumpang, baik di bandara atau stasiun kereta atau atau depan mal. Takterlihat ada “pak ogah”, dan di gang pengojek antri dengan motornya dengan rapi.Bahkan di sungai dengan waterway yang sedang dicoba di Jakarta, terlihat jelas. Bukanhanya perahu berbendera kuning yang mengangkut para turis, atau kapal-kapalmengangkut barang, melainkan juga kapal yang wara-wiri, untuk mengambili sampahyang masih saja ada.

Penilaian saya bisa salah. Saya hanya melihat sekilas, itu pun di permukaan yangterlihat. Akan tapi saya merasa hal-hal semacam ini tidak terjadi dengan sendirinya.Spontanitas yang berlangsung berawal dari sikap dan peri laku yang tertata sebelumnya.

Seperti peristiwa yang saya ulas dengan “Kirab Pedagang Kaki Lima” di Solo.Kepindahan hampir seribu pedagang kaki lima beserta keluarganya untuk menempati

Kesadaran budaya memasang benderadan umbul-umbul tanpa dipaksa, tanpa

diperintah, tanpa diawasi dan tanpa sanksi,adalah sikap dasar yang menemukan

bentuknya pada kegiatan lain.

Page 76: Kitab Solo

KITAB SOLO 153KITAB SOLO 152

lokasi baru dengan damai—bahkan mirip pesta, adalah buah dari sekian banyakkomunikasi, dialog dan rerasanan- dari hati ke hati.

Barang kali ini yang seharusnya menjadipendekatan budaya mana kala kita masukke dalam peri laku keseharian. Ada yang

harus ditekankan, diajarkan dengan contoh-contoh yang terlihat, di mana pada akhirnyabisa menjadi sikap masing-masing pribadi.Ini adalah usaha yang panjang, dan tidakmenarik perhatian sebagai kisah sukses,

karena bukan suatu gerakan atau gebrakan,melainkan rerasanan,

obrolan dan saling mendengarkan.Bendera Raja berwarna kuning itu tak serta merta dikibarkan dengan khidmat, para

tukang ojek tak serta memakai jaket kutung – lebih praktis karena udara panas, jugapara pelajar atau karyawan-karyawati, kalau peran Raja tidak berwibawa, tidak memberirasa aman, tidak memberi panutan.

Ketika kesadaran masyarakat menjadi kebutuhan yang tergerakkan dengan sendirinya,itulah sesungguhnya kemenangan. Kibaran bendera yang membanggakan.

Ok, bang?Nggih!Saya masih di Bangkok, dan suara hati menjawab dalam bahasa daerah. Apa yang

salah dengan semua ini? Titik mana yang menjadikan beda dalam perjalanan waktu,ketika sang raja masih dielu-elukan rakyatnya, di zaman yang setiap artis bisa menjadisuperstar?

Atau malah dianggap penyelesaian—seperti kehadiran pak ogah, — sampai hal-halyang keenganan seperlima warga pemilih pilkada gubernur di DKI. Atau malah dianggapkalau tidak begitu tidak seru—seperti pelanggaran lalu lintas habis-habisan ketika parafans sepak bola berarakan, atau menutup jalan umum untuk keperluan pribadi. Seolahini sudah benar adanya dan mempertanyakan hanya menimbulkan persoalan baru. Ataumalah dianggap lahirnya kreativitas baru. Seperti kasus-kasus peraturan “three in one”,yang melahirkan joki jalanan, dengan berbagai ekses mengenaskan. Atau yang kemudianmenjadi tradisi menutup jalan raya, membakar ban mobil, menghentikan laju keretaapi, membakar tempat publik yang sebenarnya milik bersama.

Saya tidak sedang menyalahkan para joki, pak ogah, pembuntu jalan, tapi saya jugatak bisa membenarkan karnaval yang menabraki semua peraturan lalu lintas hanya karenamau menonton pertandingan sepak bola, dan menjadikan kerusuhan ketika kalah atauseri, atau bahkan menang. Saya mencoba memahami bahwa peri laku yang kita lihatsehari-hari di jalanan ini mempunyai akar sikap yang mendasari. Sehingga ketika jalankeluar dengan menangkapi para joki, bukan menyelesaikan masalah. Atau membiarkanpara mania bola seenaknya di jalanan adalah apresiasi besar kepada dunia olah raga.Karena ada dua hal yang berbeda antara mendukung kesebelasan dengan naik di atapmobil dengan mengibarkan bendera dan berteriak-teriak.

Barang kali pula ini yang harusdiperhatikan mana kala kita

menemukan hal-hal sederhanayang tak bisa diselesaikan.

Page 77: Kitab Solo

KITAB SOLO 155KITAB SOLO 154

LondonSaya pernah ke Inggris, bersama istri, di awal karier sebagai penulis. Sebenarnya

saya nebeng, karena yang diundang adalah istri saya. Ini pertama kalinya naik pesawatterbang—selain pertama kali ke luar negeri. Mengatur jadual penerbangan dari Solosaja susahnya minta ampun—yaaaah, terutama karena tidak mengerti. Di London yangdingin untuk ukuran “wong Solo”, walau sudah mengenakan jaket tebal, terasakan betulpengaruh Keraton Inggris ini. Bukan hanya istananya—kita berpotret pun di luar pagar,melainkan juga dalam keseharian. Simbol-simbol Keraton terlihat di mana-mana,sebagian menjadi barang souvenir.

Konon wapen di Surakarta Hadiningrat ini menyimbolkan bersatunya tiga keluargabesar dinasti Mataram. Bersatu padunya trah, anak cucu Sultan Agung. Di dalamnyatersimpan kata dari trah Surya, Sasangka, Sudama. Nama-nama yang dipertalikan dalampernikahan.

Ada juga simbol gula-klapa, merah putih, ada simbol padi kapas, boleh dikatakanmemenuhi semua unsur yang menyatukan juga menyejahterakan.

Lebih artistik, lebih menarik dari sekadar bendera kuning—yang pada masyarakattertentu berarti bendera tanda adanya kematian.

Di Bangkok, saya sadar bahwa gambar, simbol, segala apa telah berubah. Jugapengertian akan Keraton, atau raja. Meskipun tak mengurangi kemungkinan bahwadua negeri itu masih bisa meneriakkan kecintaan kepada raja.

Tapi, kalau kita kembalikan di sini, ke raja yang mana?Pertanyaan yang akan terus tergema. Mungkin agak lama.Dalam satu diskusi di radio BBC, kami bertuikar pikiran. Kurang lebihnya kenapa

raja-raja di Eropa—termasuk Belanda, masih bertahan, sementara di Jawa hancur? Takusah heran kalau orang Indonesia yang ada di sana menjadi kritis—kadang juga sinis,akan keadaan di Indonesia. Kadang “wong Solo” sendiri juga begitu ketika baru beradadi Jakarta.

Dari semua perbantahan saya menjawab : sebenarnya di Inggris, atau Belanda masihbertahan, karena yang memerintah adalah ratu, bukan raja. Kalau saja Keraton-keratondi Jawa diperintah oleh ratu, pasti akan lebih luwes dan bertahan terus.

Nyatanya begitu.Ratu?Tak ada keturunan Mataram yang menjadi ratu.Padahal ada.Yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kidul, yang sedemikian unggul kisahnya, sehingga masih

terus tergemakan hingga saat ini. Dengan segala pandangan yang mempercayai, sangatmempercayai, meragukan, menyepelekan, memusuhi. Sikap apa saja.

Itu sebabnya masih terus bertahta, masih terus ada.

Dari segi makna symbol,sebenarnya tak jauh berbeda.

Lambang Keraton, wapen, coat of arms,mirip dengan logo Kasunanan. Radya

Laksana Surakarta yang memakai simbolSura , matahari, Sasangka, rembulan

Sudama, bintang, di bawah satu mahkota.

Page 78: Kitab Solo

KITAB SOLO 157KITAB SOLO 156

Dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan di Loji Gandrung – tempat kediamanresmi Wali Kota, ada yang bertanya apa sebaiknya yang menjadi ikon kota Solo. Selamaini sudah ada beberapa kesepakatan, dan itu benar adanya.

Batik. Solo memang pernah dijuluki kota batik, dan sebagai pusat kegiatan, produksidan penemuan motif-motif baru masih berlangsung.

Keris. Solo memang identik dengan keris—yang kalau dibahas tak akan pernah habis.Bahkan kata “keris” itu sendiri bisa menghabiskan waktu panjang.

Rajamala. Patung kepala raksasa yang dipasang di atas perahu Keraton yang sangatkhas dan dianggap keramat.

Sego liwet. Makanan khas Solo bukan hanya nasi liwet melainkan juga tongseng, jugatengkleng, juga serabi, juga timlo, juga dan lain sebagainya. Ada puluhan nama makananyang dianggap khas.

Ratu Kidul

KITAB SOLO 157

ISTI

MEW

A

Page 79: Kitab Solo

KITAB SOLO 159KITAB SOLO 158

Panggung Sangga Buwono. Menara Keraton ini sudah sejak dibangun zaman PakuBuwono menjadi ciri utama, dengan bangunan yang tak ditemukan di Keraton lain.

Apa saja. Bisa sungai Bengawan Solo, Taman Sriwedari atau Taman Balekambang,bisa Pasar Gede, atau pasar yang baru, pasar klithikan Nitiharjo di Semanggi.

Pada waktu itu, tanpa ragu saya menyebutkan bahwa Nyi Roro Kidul, namapopularnya di masyarakat, pantas menjadi ikon Solo. Pembicaraan menjadi ramai. Dansesungguhnya, inilah yang juga khas, rerasanan dan atau nguda rasa berlanjut diwedangan, lesehan, di depan Loji Gandrung, setelah acara resmi selesai.

Semua duduk di tikar, memesan minuman dan makanan, tidak kikuk, lutut bisaditekuk atau diselonjorkan, melewati jam-jam kantuk. Juga berlanjut pada hariberikutnya, di tempat berbeda.

Demikian juga karakter Rajamala lebih dikenal sebagai topeng dari tarian reyogPonorogo, atau tarian kuda lumping di wilayah Magelang dan sekitarnya.

Sementara Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sebutan hormat dengan panggilan gusti,

Kurang lebihnya saya mengatakan, bahwasimbol keris, atau batik, atau bahkan wajah

Rajamala sangat bisa diterima. Hanyakekhasannya tak ada. Boleh dikatakan

semua kota dengan latar belakangKeraton—Yogya, Cirebon, atau bahkan luarJawa, juga menggunakan wesi yang sama—

dengan sedikit perbedaan luknya.

KITAB SOLO 158

ISTI

MEW

A

Page 80: Kitab Solo

KITAB SOLO 161KITAB SOLO 160

kisahnya berlanjut ke Sultan Agung dan kepada raja-raja anak keturunannya yangmempermaisurikan— memang begitulah kisahnya.

Konon kepermaisurian ini hanya sampai dengan Paku Buwono X. Dari sini Ratu Kidulbergeser perannya, menjadi ibunda, karena menyebut sinuwun dengan sebutan ngger,kependekan dari angger, sebutan untuk anak—adalah legitimasi yang tidak mengganggusiapapun. Bahwa seorang Pramudya Ananta Tour, pengarang besar yang menuliskanini sebagai pembodohan masyarakat, tidak mengurangi kebesarannya. Sebagaimanajuga banyak karya besar yang lahir dari inspirasi tokoh dan kisah yang sama. Baik dalamtarian adi luhung yang sangat terkenal, Bedaya Ketawang, yang hanya dipanggungkansetahun sekali, atau juga dalam karya lukis seperti Basuki Abdullah. Bahwa sampaidetik ini pun, masih ada ratusan blog di internet, bukan hanya dari dalam negeri, tetapramai dikunjungi peminat. Baik yang menceritakan pengalaman pribadi, menggalimithos-mithos, sampai dengan yang tak terkirakan. Bahwa ada komunitas tertentu yangmemerangi, yang ingin menghapus takhayul terhadapnya, menandai keberadaannya.Bahwa masih akan ada selalu perbincangan seru, menandai keberadaannya. Atau ketidakberadaannya. Bahwa ini sudah berlangsung sejak abad 16 tanpa henti, menandaidinamika yang menyertai.

Bahwa, pada akhirnya ini sebuah permulaan,bagaimana pertarungan antara yang rasionaldengan klenik menemukan bentuknya, juga

bagaimana menemukan harmoni baru. Bagaimanayang serba lahir, serba wadag, bersinggungan

dengan dengan yang serba batin, serba rasa, serbaalam pikiran. Begitulah kompromi dalam

parakdoksal terus berlangsung.

sekaligus kanjeng, merupakan sosok yang terbuka. Karena dinamika yang terkandungdi dalamnya. Mulai hari riwayat yang dituturkan, sampai dengan pemahaman terhadapbeliau. Kontroversi yang akan selalu muncul, justru karena begitu terbukanmya tafsiranjuga penerimaan. Rasanya tak ada tokoh lain yang begitu sempurna dalam membukawawasan seperti beliau.

Bahwa banyak kisah tentang putri ratu yang kelewat cantik dan “terbuang” ke LautSelatan, tidak hanya ada di Jawa Tengah. Di tanah Pasundan kisah ratu cantik yangberpenyakit kulit dan “bunuh diri” ke laut juga ada, sebelum akhirnya menjelma menjadiputri cantik jelita. Bahwa kadang dicampur adukkan dengan Nyi Blorong atausejenisnya—menyerap kisah manca negara ala ikan duyung, di mana di sini bagian bawahtubuh adalah tubuh ular, atau ada yang membedakan antara Ratu Kidul dengan abdinyayang bernama Nyi Roro Kidul—atau ada abdi-abdi lain lagi, tidak mengurangikeberadaannya, sekaligus keterbukaan untuk dikreatifkan kembali. Bahwa dengannyadikaitkan segala yang gaib, tak masuk akal, gugon tuhon, mistik, tidak rasional, klenik,memang di situlah yang menjadi salah satu daya tarik.

Juga bukan kebetulan bahwa kehadirannya sejak awal, dalam dongengan yangterdengar di Solo, beliau bukanlah putri yang sakit ragawi atau patah hati, melainkankarena keinginannya menjadi abadi, dan itu hanya dimungkinkan dengan menjelmasebagai makhluk halus—atau apapun sebutannya. Bahwa pemunculannya pertamamenemui Panembahan Senopati, untuk ikut menjaga tanah Jawa dan menjagai anakcucu semuanya, adalah berawal dari niat baik untuk memayu hayuning buwana. Bahwa

Bahwa dengan memilih ikon “seorang” tokohperempuan adalah pemihakan jender, itulah

keunggulan, juga keberanian mengakui perananperempuan yang menentukan.

KITAB SOLO 161KITAB SOLO 160

Page 81: Kitab Solo

KITAB SOLO 163KITAB SOLO 162

Solo, memiliki dinamika yang sama.Berarti Ratu Kidul menjadi ikon Solo?Dalam dinamika yang ada, bisa iya, bisa tidak. Bisa resmi, bisa pula tidak. Inilah

yang akan selalu terjadi. Tak ada satu pengertian, satu tafsiran, dan berhenti di situ.Sebagaimana juga sang ratu penguasa laut selatan, yang angin asinnya bertiup sampaike daratan. Sebagaimana sarang burung walet yang dinikmati jauh dari tempat asalnya,di antara karang terjal sunyi sekaligus bergelora oleh debur ombak. Sebagaimanapantangan mengenakan pakaian hijau, gadhung mlati, bisa dipatuhi bisa pula tidak.Sebagaimana adat melarung di laut, sebagaimana adat lainnya, bisa dijalankan dengangempita atau perorangan. Semua tak pernah menghilangkan keberadaan Ratu Kidulsebagai ikon yang terbuka.

Inilah dinamikayang masih akan bisa digali

dari Gusti Kanjeng Ratu Kidulsebagai inspirasi, sebagai tafsiran,sebagai perlawanan mengemohi,

yang kesemuanyamenjadikan tetap ada,

tetap hidup, tetap tak berhenti.

KITAB SOLO 162

ISTI

MEW

A

Page 82: Kitab Solo

KITAB SOLO 165KITAB SOLO 164

Sangga BuwonoSalah satu tempat peraduan Ratu Kidul dengan para raja di Kasunanan adalah

Panggung Sangga Buwono. Bangunan setinggi 30 meter yang dibangun masa PakuBuwono III ini strategis untuk melihat ke arah benteng-benteng Belanda di arah utara,juga ke selatan, ke laut selatan di mana Ratu Kidul bertahta.

Bangunan ini ditandai berdirinya dengan Naga Muluk Tinitihan Janma, atau berarti1708 tahun Jawa, 1198 tahun Hijriah, 1782 tahun Masehi. Pada bagian atas ada hiasansosok manusia mengendarai naga yang tengah memanah. Ujung panahnya, jugabagian dari penangkal petir. Sosok pemanah di atas naga itu sendiri bisa diartikansebagai Tri Buwono Kiblat, atau kalau dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1945.Tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan itu sudah menjadi ramalan, menjadiperhitungan, jauh sebelumnya, ketika pasukan Belanda masih sangat berkuasa.

Kebetulan?Gothak-gathik, gathuk—dipas-paskan sehingga pas?Ini semua bukan pertanyaan dengan satu jawaban pasti.Barang kali jawabannya justru pertanyaan itu sendiri.Dan ketika pertanyaan adalah jawaban, ketika itulah kita memasuki wilayah yang

sesungguhnya—sangkan paraning dumadi, kembali ke asal penciptaan.Hanya dengan menyebut nama Ratu Kidul, semua asal usul, semua pemikiran

dimungkinkan untuk muncul, dan lebih penting dari semua itu : dialog berkelanjutan,rerasan bisa terus terjadi.

Dalam berbagai bentuknya.

ISTI

MEW

A

Page 83: Kitab Solo

KITAB SOLO 167KITAB SOLO 166

W.O. SriwedariWayang Orang Sriwedari, bisa disebutkan sebagai bagian dari keuletan yang

mengagumkan, atau juga pertahanan budaya yang memedihkan. Dua tata nilai ini yangberbeda ini, semuanya bisa pas untuk menggambarkan keberadaannya saat ini.Kenyataan paradoksal ini tidak hanya berlaku untuk grup kesenian ini sendiri, melainkanjuga bentuk-bentuk kesenian, organisasi, atau tempat-tempat keramat lainnya, ikon yangpernah menjadi kebanggaan dan menyatu dengan identitas Solo.

Membicarakan Wayang Orang Sriwedari, tak bisa dilepaskan dari keberadaannya ditengah setting lokasinya, yaitu Taman Sriwedari. Suatu wilayah kotak di tengah kotayang megah, di suatu tempat yang pernah dilirik untuk mendirikan Keraton. Batasgeografis sebelah utara adalah Puwasari—sekarang jalan Slamet Riyadi, sebelah baratjalan Mangunjayan—sekarang jalan Bayangkara, sebelah timur Pasar Kembang—sekarang jalan Honggowongso, sebelah selatan, jalan Baron—sekarang jalan Dr. Rajiman.

ISTI

MEW

A

Page 84: Kitab Solo

KITAB SOLO 169KITAB SOLO 168

Di sinilah dibangun pusat rekreasi, pusat pemanggungan, pusat pentas dan pestarakyat yang mengagumkan. Beberapa orang masih melafalkan sebagai Kebon Raja, ataukebun Raja, untuk kebun binatang yang ada. Ada juga bangunan untuk museumRadyapustaka, yang menjadi museum tertua di Indonesia.

Pada salah satu bangunan di halaman Sriwedari ada gedung pertunjukkan khususuntuk wayang orang. Pada awalnya hanya hanya hari Jumat dan Minggu ada pementasan,sebelum akhirnya, juga diadakan pentas pada Minggu siang. Ini saja sebenarnyamerupakan terobosan yang luar biasa. Bagaimana waktu siar, broadcast time, mengalamiperubahan mendasar, karena kepentingan pasar.

Harus diingatkan, pada awal-awalnya, Taman Sriwedari merupakan pusat hiburanyang tiada taranya. Di situ juga diputar film, pertunjukkan seni yang lain, dan segalakegiatan pasar. Bukan hanya masyarakat sekitar, tapi juga orang asing—Belanda, Inggris,Spanyol, Arab, ikut menikmati. Menurut catatan, Taman Sriwedari resmi dibuka dengan“sengkalan”, Luwih Katon Esthining Wong, (ada juga yang mengatakan sengkalan JanmoGuna Ngesti Ratu), walau artinya sama, yang berarti tahun Dal 1831, atau tahun 1899kalender sekarang ini.

Yang menarik adalah taman itu dulunya diprioritaskan untuk anak-anak sekolah.Dalam catatan penulis Yasaharjana (Babad Taman Sriwedari, penerbit Liem Gwan Bie,1926), yang masih memakai huruf Jawa, dikisahkan pada saat liburan digratiskan untukanak-anak sekolah. Sedangkan anak-anak yang tidak atau belum sekolah, harusmembayar. Sekali lagi ini juga merupakan jurus yang ampuh untuk membuat anak-anak ingin bersekolah, membuat orang tua tak bisa menolak anaknya yang mendesak.Pada titik yang sama, pengakuan akan anak-anak yang bersekolah menempatkan padaposisi yang membanggakan. Sedemikian rupa kebanggaan itu, sehingga mereka yangbersekolah di siang hari pun ingin mendapat persamaan. Sehingga selain dikawal guru,anak-anak yang “baru mau masuk sekolah” pun bisa diikutkan dengan surat keterangankhusus.

Dengan kata lain, pusat hiburan yang didirikan mempunyai makna yang lain dalam

memajukan pendidikan. Bahkan boleh dikatakan sangat sakti. Sekaligus menjaditempat yang mengistimewakan anak-anak sekolah, menjadi promosi budaya agar anak-anak menempuh pendidikan di sekolah.

Bahwa yang merasakan keistiwaan para orang tua yang datang berbondong-bondongdan merasakan keteduhan tempat yang sejak awal dirancang dengan penghijauan, itusudah dengan sendirinya. Juga, terutama para muda-mudi yang melakukan “dugem”,dunia gemerlap, abis. Banyak novel-novel Jawa masih memperlihatkan suasana pacarandi Taman Sriwedari. Bahkan di tahun 1925, masih ada kisah—bukan karangan fiksi,yang menceritakan seorang lelaki bertemu gadis cantik di Taman Sriwedari, yangternyata adalah makhluk halus. Kisah itu menjadi klasik dan masih terus diceritakan,seakan mengukuhkan bahwa daerah itu memang angker sejak awal, sehingga urungdijadikan Keraton.

Bagaimana keberadaan masyarakat yang terpikat dengan Taman Sriwedari—yangdatang dengan berjalan kaki, karena kendaraan masih sangat terbatas, terlihat dariungkapan Yasaharjana ini. Untabipun tiyang ingkang ningali panda sulung ngroyok dilah,selur jaler estri enom sepuh tanapi lare saking wetan kilen ler kidul andeledeg kados ilining toyatuk tanpa wonten pedhotipun, tupleng datang Sriwedari. Masyarakat yang datang sepertilaron mendekat ke sinar, baik lelaki maupun perempuan juga anak-anak dari arah timurbarat utara selatan, mengalir bagai air sumber tanpa terputus, semua menuju keSriwedari.

Dalam gegap gempita Maleman Sriwedari,yang berlangsung di bulan Puasa yang di

era Ingkang Sinuhun Paku Buwono Xdimulai tanggal 21, selikuran, inilah ada

panggung wayang orang.

Page 85: Kitab Solo

KITAB SOLO 171KITAB SOLO 170

W.O. RRIDengan menyebutkan wayang orang, atau wayang wong yang ada di Sriwedari, kita

mau tak mau akan melihat wayang orang dari awalnya. Atau bahkan wayang itu sendiri,yang menjadi identitas masyarakat Jawa.

Konon wayang ini sudah dikenal masyarakat Jawa di abad 11, ketika Keraton Prambananpindah ke Kediri. Pada masa pemerintahan Jenggala inilah berbagai jenis wayangmengalami perkembangan.

Wayang Orang , adalah satu dari sekian jenis pertunjukkan wayang, pentas tradisi yangpernah jaya. Ada wayang kulit—diperagakan dengan “boneka” dari kulit hewan, adawayang beber—selembar kain dibeber untuk menceritakan adegan, ada wayang gedog—dimainkan dengan golek (kayu), mengambil era sesudah Mahabharata, ada wayanggolek,— dari kayu dengan kostum lebih modern, ada wayang keling—yang ceritanyaberawal dari kisah Adam-Hawa, ada wayang topeng—pemainnya menggunakan topeng,ada wayang krucil—boneka dari kayu tapi dibuat pipih seperti wayang kulit, dan jenislain yang hanya ada dalam catatan, bukan dalam ingatan.

Wayang Orang, di Jawa disebut wayang wong, (wong artinya orang, manusia), barangkali yang paling susah dipentaskan. Karena sedikitnya didukung 50- 80 pemain, dengankostum yang rumit, pengiring gamelan komplet, dengan durasi waktu bisa dua kali kalaukita nonton film, dengan pilihan cerita yang sangat banyak, sejak Ramayana hinggaMahabharata. Jumlahnya bisa ribuan dengan varian-varian yang berbeda, atau sampaidengan bentuk carangan—cerita di luar dari pakem, tapi tak bertentangan, atau yangbersifat banjaran—berbentuk biografi satu tokoh, atau campuran dengan keinginanpemesan atau sponsor.

Menurut catatan, wayang wong adalah yasan, hasil kreativitas Sultan Amangkurat I,pada tahun 1731. Untuk pertama kalinya dipertunjukkan diperagakan oleh manusia,tanpa memakai topeng. Kalau tadinya dialog diucapkan oleh dalang, kini para pemainyang langsung mengucapkan, dan tentu saja menari, dengan koreografi dan komposisi,dalam perpaduan harmonis dengan perangkat gamelan.

Dalam perkembangannya yang kemudian, wayang orang gagrak, gaya atau jenis ataualiran Solo lebih berkembang, terutama ketika para seniwati masuk ke dalam danmemainkan peran-peran alusan, bambangan. Ketika para pemain perempuan memainkantokoh Arjuna atau ksatria alus.

Tarian alus merupakan satu dari gaya dari jenis tari lain, yaitu gagah, kasar serta gecul,atau jenaka. Dasar-dasar tarian ini masih terasakan sampai sekarang.

Puncak pentas wayang orang Sriwedari terjadi di tahun 50-an hingga 60an, ketika sekitar1500 tempat duduk terjual habis, ketika para calo juga mendapatkan pekerjaan. Itu semuabisa berlangsung setiap malam. Mengalahkan pentas Broadway atau Off Broadway atauOff-off Broadway di New York, Amerika Serikat, yang dibanggakan di seluruh dunia.

Pada titik kulminasi itu, Solo bukan satu-satunya. Kota-kota lain juga memiliki pentas,walau tidak setiap hari mengadakan pertunjukkan, punya nama besar dengan pemeran-pemeran yang legendaris. Di antara di Semarang ada Ngesti Pandawa yang beruntungditangani Ki Narto Sabda—pujangga tradisi terbesar dan terakhir, di Yogya ada WiromoBudaya dan di Jakarta ada Bharata. Panggung-panggung ini, tidak terbatas pada gedungsebagai bangunan, menciptakan sistem komunikasi, juga dinamika ekonomi, sampaidengan bagaimana masyarakat mengatur waktu untuk menonton. Memilih lakon yangdimainkan, menyatu dengan bintang-bintang pujaan yang menjadi super star pada saatnya,menjadi idola dalam artian sebenarnya.

Tentu banyak kisah asmara,kisah keberhasilan dan juga kedodoran

dari para peraga—tidak hanya artisnya, yangbarang kali akan menjadi wayang

wongtainment kalau terus berjalan sampaisekarang.

Page 86: Kitab Solo

KITAB SOLO 173KITAB SOLO 172

Namun kemudian memang terjadi apayang disebut sebagai wolak-walinging jaman,

berubahnya selera, beralihnya pilihan.Wayang Orang Sriwedari mulai sepi,

dan makin sepi.Hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada pergantian Tahun Baru, atau hari-

hari besar lainnya, atau ketika ada “warganegara Solo yang tinggal di perantauan” pulangbersama, dan memborong pertunjukkan.

Nasib ini sedikit berbeda, dengan wayang orang RRI, atau wayang orang yang digelardi gedung Radio Republik Indonesia.

Pada suatu malam, hari Selasa awal Januari 2008, saya menyempatkan menontondua pertunjukkan dan meraba-raba gambaran yang ada.

WOWKalau w.o., singkatan dari wayang orang sudah terlepas dari ingatan, bisa dimengerti.

Karena kini dalam istilah politik wo, lebih dikenal sebagai walk out, atau meninggalkansidang, memboikot persidangan.

Masyarakat Solo tak sepenuhnya meninggalkan wayang orang.Masih akan terdengar wow—tanda kekaguman.Begini ceritanya.Dalam kondisi yang seperti ini, rasanya boleh meneriakkan wow sebagai tanda kagum,

ketika pentas wayang orang dengan penonton penuh. Kejadiannya di gedung RRI, Ra-dio Republik Indonesia, di Solo, yang jatuh pada hari Selasa 8 Januari 2008 kemaren.Hari Selasa perlu disebutkan, sebab ini adalah waktu tetap diadakan pentas wayangorang, pada minggu kedua setiap bulan. Sedangkan pada hari lain, di minggu keempat,

dipentaskan ketoprak—bentuk pertunjukkan dimainkan sejumlah orang dengan matericerita lebih ke masa kerajaan. Wow karena penonton memenuhi kursi yang tersedia, wow,karena pentas ini gratis—tidak dipungut bayaran. Hanya ada kotak bertulisan : sumbanganbudaya, yang biasa diisi, bisa dilewati. Saya bisa menyelundup ke belakang panggung,bertemu dan mengobrol dengan pemain yang sebagian masih saya kenali, sebagian sayakenali sebagaian pemain lama, sebagian dari profesinya yang berbeda, juga dari “generasimuda”, yang namanya berkibar dalam pentas teater modern. Sebagian dari merekapegawai negeri, sebagian lagi sudah pensiun tapi tetap datang dan pentas bersama—denganbiaya sendiri untuk kostum, tata rias atau transportasinya.

Hal yang sama, dalam soal pentas, juga terjadi di gedung wayang orang Sriwedari,yang berjarak tak sampai 5 kilometer. Di sana, malam yang sama itu, juga ada pentasseperti yang berlaku setiap hari—ya setiap hari, beberapa pemainnya ada yangseharusnya sudah pensiun. Di sini penonton lebih sedikit, karena harus membayar tiket.Saya juga menelusup ke belakang panggung, bertemu dengan tokoh-tokoh dengan namabesar ketika saya masih remaja, sebagian lagi menunggu naik pentas—sudah dengankostum lengkap, bergerombol menonton pesawat televisi.

Ada semangat yang menggetarkan daridua panggung ini. Semangat

berkesenian yang begitu bersungguh-sungguh, kegigihan yang tak tersisih,

pilihan atau bahasa tingginya panggilanhidup yang tak meredup.

Page 87: Kitab Solo

KITAB SOLO 175KITAB SOLO 174

Sulit membayangkan bagaimana grup wayang orang itu mampu bertahan. Lebihsulit memperkirakan bagaimana interaksi para pendukung satu sama lain, bagaimanamengorganisir diri, bagaimana mengatur waktu, sehingga bisa terus pentas. Kesetiaanmacam apa yang membuat mereka ini—juga grup wayang orang Bharata di Jakarta,masih bisa menemukan bentuknya seperti ini? Kekuatan apa yang masih menyatukandan mempertemukan mereka ini?

Kalau jawabannya karena tak ada pilihanlain, rasa-rasanya meragukan. Karena

mereka yang mempunyai profesi lain—ataubahkan pensiun, masih menyempatkan diriuntuk bersama. Kalau jawabannya karena

ini bentuk kesenian yang memang memilikidaya sihir untuk keberadaan diri mereka,

barang kali kita masih bisa berharap, bahwaperistiwa budaya ini masih akan terus

berlangsung, walau generasi muda makinmenjauh dan tak tersentuh.

Ini benar-benar wow, ketika perkembangan berkesenian atau masyarakat secara luasseakan tidak memperdulikan mereka. Bahkan ketika acara televisi menyiarkan programseni tradisi pun, sama sekali tak bersentuhan dengan mereka, atau kisah-kisah yangmereka pentaskan.

Nyatanya mereka masih bertahan.

Entah sampai kapan, kalau tak ada campur tangan yang memberi kemungkinan,juga kemudahan.

Yang mentakjubkan bukan kapan bantuan itu datang, atau ada perubahan zaman.Yang mentakjubkan adalah mereka ini, memang, masih bertahan. Masih berpentas, masihberdiskusi, masih saling memaklumi satu dengan yang lain, tidak saling menyalahkan,dan terus menjalani.

Apa yang saya saksikan malam itu, seperti juga malam-malam sebelumnya ketikamencoba membuat dokumentasi budaya yang disiarkan TVRI adalah kegigihan tanpapedih, keberadaan tanpa bergeser.

Apa yang saya saksikan malam itu, tak berbeda dengan malam-malam yang lainketika saya menonton Ketoprak Bale Bambang, yang juga nyaris tanpa penonton. Parapemain yang sebagian menempati bagian belakang, siang hari ada yang memperbaikidekor, ada yang bekerja – sebagai penarik beca, malamnya berperan sebagai raja, adayang hidup dengan keluarga dan anak-anaknya yang bersekolah.

Pentas yang lain juga berlangsung di Solo.Ketika sekelompok komunitas

menembangkan macapat—baik di dalambangunan Keraton atau di rumah-rumah

warga. Di sana masih ditembangkan dengantekun, dengan tulus tentang sifat-sifat mulia,

tentang berbakti kepada negeri,tentang penyadari diri

sebagai umat dari Sang Pencipta.

Page 88: Kitab Solo

KITAB SOLO 177KITAB SOLO 176

TamanBalekambang

Taman Balekambang, sebuah kenangan, tapi sekaligus juga kebangkitan. Barang kalibisa menjadi potret bagus bagaimana perubahan dan tuah pembangunan berlangsung.Dibangun pada tahun 1921 oleh Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII untuk duaputrinya— yang dijadikan nama bagian dari taman, Partini Tuin serta Partinah Bosch, —sebagai tempat hiburan yang menawan. Dengan konsep penghijauan, juga rekreasi danhiburan. Pertunjukkan ketoprak pernah berjaya di sini—dan masih dirindukan. Grup lawaktenar Srimulat, juga pernah memakai tempat ini sebelum—dan sesudah, berjaya di Jakarta.Teguh Srimulat bukan warga asing untuk Balekambang, karena sejak masih grup ketoprakbernama Sri Bedoyo, telah berkarier di situ. Ini bisa menunjukkan bahwa pertalian emosimasa lalu, bisa berlaku.

Page 89: Kitab Solo

KITAB SOLO 179KITAB SOLO 178

Namun juga tak berbeda dengan tempat lain, kemudian merana, dan berbau mesum.Saya pernah membuat dokumentasi budaya mengenai ketoprak yang sangat sepi

pengunjung. Sebagian pemainnya masih mengenal dan saya kenal, karena ketika membuatsinetron—beberapa kali, saya mengajak bersama. Di sini juga ada grup ketoprak yangseluruh pemainnya perempuan. Pernah menjelang pentas terpaksa tertunda, karenapemainnya ada yang ditangkap polisi. Karena tempat sekitar gedung pertunjukan memangada panti pijat, tempat berdisko, ada juga yang bersliweran di sekitar keremangan. Ditempat itu juga ada perkumpulan pencak silat yang saya dokumentasikan. Termasukkehidupan keseharian para pemain, sutradara, kru di belakang panggung. Boleh dikatakansemua memakai gedung itu, sekaligus sebagai rumah kediaman. Agak memilukan, bahkanjika dibandingkan nasib wayang orang di Sriwedari, yang sebenarnya juga memrihatinkan.

Namun sebagai tempat,Balekambang masih menjadi

menampung keinginan berkreasi.Pernah terkumpul 8.899 orangantre untuk mencium bendera

pusaka, Sang Merah Putih.Sehingga masuk rekor Muri, Mu-

seum Rekor Indonesia.

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 90: Kitab Solo

KITAB SOLO 181KITAB SOLO 180

Sebagian peserta bahkan datang dengan enggrang. Kegiatan yang sehat, bermanfaat,dan menyertakan nilai-nilai mencintai tanah air. Bahkan di saat sedang sulit sekalipun.

Keadaan berubah dengan cepat, ketika tahun lalu saya melihat adanya upayaPemerintah Kota, Pemkot, yang mengembalikan kejayaan dan fungsi Taman Balekambang.Juga dengan damai, karena seniman-seniman menempati rumah baru, yang tidaksementara. Taman Balekambang kini bahkan disiapkan sebagai salah satu pusat kegiatankesenian, sekaligus taman, sekaligus paru-paru kota. Yang cukup besar dan prestisius.

Taman Balekambang—nama ini juga ada di Keraton Yogya, atau Bali atau tempatlain—di Solo ini menjadi contoh mengagumkan akan pendekatan pembangunan. Lokasiyang mempunyai sejarah, setelah melalui masa-masa tak terurus, akhirnya bisa dibangunkembali. Tanpa melupakan peran lama, tanpa penggusuran begitu saja. Juga tanpa ributruwet, berebut hak. Semua ini proses yang melegakan, dan lebih dari itu memberi harapanbagaimana perkembangan selanjutnya.

Berada di antara bangunan yang tengahdisiapkan, di daerah berpohon tinggi

di Balekambang, saya merasakansemangat seorang ayah kepada putrinya

ketika taman ini diciptakan,menyaksikan kekerabatan seorang

pamong kepada kebutuhan masyarakat,yang adalah anak-anaknya yang dicintai.

Cinta dua pihak, dan pastilah berkembang, di Balekambang.

FOTO

LU

AX

MA

WA

RD

I

Page 91: Kitab Solo

KITAB SOLO 183KITAB SOLO 182

Kirab Dunia. Dan saya berada di dalamnya.Ketika itu Minggu sore, 26 Oktober 2008, saya berada di antara ribuan warga Solo

yang menunggu kirab yang lain. Kali ini bisa dikatakan Kirab Dunia. Karena yang terlibatikut kirab adalah warga dari berbagai belahan dunia.

Seharinya sebelumnya pembukaan World Heritage Cities Conference and Expo, WHCCE,Konperensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia, wilayah Eropa-Asia, saya nimbrung dannumpang beken karena diwawancarai, termasuk media dari luar negeri. Peserta mewakili156 kota di dunia, sekurangnya ada wali kota dari 37 negara, dalam satu rombonganbesar lain yang jumlahnya bisa mencapai 2. 500 peserta. Mereka ini akan melihat, danberada di Solo sampai akhir bulan. Serangkaian acara dipersiapkan—dan kirab termasuksalah satu daya tarik—karena mereka tampil dengan pakaian tradisi, naik kuda atau kereta.

Minggu sore itu hujan rintik-rintik, makin membasah. Sebagian penonton jalananberteduh, sebaiknya membuka payung, sebagian lagi seperti tak terpengaruh. Apa yangterlihat di jalan Slamet Riyadi sepanjang 4, 5 kilometer adalah permukaan dari sebuahperencanaan yang sama njlimetnya. Upaya untuk bisa menjadi tuan rumah saja, pastilahbukan perkara yang gampang. Meyakinkan organisasi dunia dengan saingan negara-negara yang lebih maju, pastilah butuh keuletan. Apalagi Solo, yang barang kali belumtergema benar. Indonesia pun baru sekali ini menjadi tuan rumah. Belum lagi mengaturpara tamu undangan dengan seabrek acara di beberapa tempat. Salah satunya di

WHCCE

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 92: Kitab Solo

KITAB SOLO 185KITAB SOLO 184

Mangkunegaran, untuk memperkenalkan segala keunggulan yang akan diperkenalkan.Setengah bercanda saya mengatakan , para wali kota dunia kini sowan ke wali kota

Solo. Para “raja” dari 37 negara kini, sowan, kini menghadap ke “raja” Solo, Jokowi. Akanberlebihan mungkin, namun ini adalah peristiwa yang barang kali tak terulang lagi.Meskipun kegiatan yang bersifat internasional masih akan digelar. Nyatanya begitu,dengan deretan acara sampai akhir tahun. Pada saat yang sama, juga digelar untuk keduakalinya, Solo International Ethnic Music, SIEM 2008, juga dengan beberapa peserta dariluar negeri—di samping kiprah musisi dalam negeri, dari berbagai provinsi atauperorangan. Daftar ini bisa bertambah dengan Festival Keroncong, atau Campur Sari,atau Batik, atau Keris, atau Gamelan, atau sebenarnya bisa apa saja – termasuk barangkali nantinya batu akik. Ini untuk menggambarkan bahwa apa saja bisa dilakukan, denganbaik dan tetap unik, selama kerja sama bisa dimaksimalkan.

Bahwa ini melibatkan mesin birokrasiuntuk bekerja keras untuk jangka waktu

lama, tak bisa dipungkiri lagi. Tapi bahwaSolo bisa menyelenggarakan dengan aman,dengan memukau, itu suatu prestasi yang

sulit dicari tandingannya.Karena peristiwa budaya tingkat internasional yang terjadi bukan semata-mata peristiwa

itu sendiri, melainkan dinamika yang terjadi berikutnya. Sehingga Solo menjadi bagianyang diperhitungkan sebagai tempat penyelenggara, sebagai tempat hajatan kelas dunia.Bukan hanya Jakarta dan Bali saja. Baik untuk kegiatan budaya maupun hajatan yanglain. Harus segera saya tambahan, keberhasilan ini bisa berasal dari inisiatif satu orang,

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 93: Kitab Solo

KITAB SOLO 187KITAB SOLO 186

namun dalam pelaksanaan yang melibatkan hampir semua sektor patut diacungi jempol.Media dalam dan luar negeri juga mengangkat sebagai berita di halaman satu.

Ini merupakan langkah awal yang menunggu langkah-langkah berikutnya.Sebagaimana dulu stadion Sriwedari bisa menjadi tempat lahir dan diadakan Pesta OlahRaga Nasional, PON, pertama kali. Karena prasarana sudah siap, dan masyarakatnyajuga siap. Sebagaimana lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia, atau juga pasar pertamaqbertingkat, dan hal-hal yang serba pertama, mempelopori.

Ada yang terasa menghangatkan,membanggakan, ketika hujan makin menderas.Kedigdayaan Solo sebagai pelopor, sebagai yangpertama, terasakan kembali. Solo masa lalu, kini

sedang mewujud kembali. Mewujud dalam kebersamaan, dan terasakan seluruh anggota masyarakat. Dalam

pembukaan, ada tarian reyog yang gegap gempita, dan ternyata pemainnya adalahanggota sopir taksi. Ada prajurit berseragam yang membawa bendera, berada di panggungdengan gagah, dan ternyata pegawai Perusahaan Daerah Air Minum. Ada, dan banyakyang tergerak dan mengambil peran—termasuk beberapa penulis, wartawan, budayawanyang selama ini berada di “perantauan”, mudik untuk terlibat bersama. Dan ketika kegiatanini terasakan bersama, bukan hanya hotel, toko-toko batik, toko-toko oleh-oleh besar yangikut panen. Karena mereka yang berdiri kehujanan, meneduh di warung-warung, makan,minum, atau nanti pulang naik becak atau taksi.

Hujan, sementara terhenti.Hanya tersisa di tanah, bagian dari berkah.Iringan masih panjang. Sayup-sayup terdengar drum-band mendendangkan lagu

Bengawan Solo, dalam irama mars yang gagah.Mata airmu dari Solo….

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 94: Kitab Solo

KITAB SOLO 189KITAB SOLO 188

FOTO

ICH

WA

N G

EM

BEN

G

Page 95: Kitab Solo

KITAB SOLO 191KITAB SOLO 190

Inilah yang mentakjubkan.Seperti juga pentas wayang orang

yang masih berlangsung,hingga sekarang.