kinerja dstp - ptnnt

116
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam www.ptnnt.co.id Juni 2011

Upload: ptnnt-public-relation

Post on 06-Mar-2016

295 views

Category:

Documents


35 download

DESCRIPTION

Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut (DSTP) PTNNT selama lebih dari 10 tahun telah dibuktikan melalui pemantauan sistem dan lingkungan yang komprehensif dan menerus. Hasil kajian lingkungan di sekitar daerah penempatan tailing yang didasarkan atas perbandingan data terkini dengan rona dasar sebelum operasi dan rona lingkungan sekitar di daerah yang tidak terkena dampak (daerah kontrol) menunjukkan bahwa tidak ada dampak yang teridentifikasi yang tidak sesuai dengan prediksi ANDAL PTNNT.

TRANSCRIPT

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Kinerja SistemPenempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    www.ptnnt.co.id

    Juni 2011

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Kinerja SistemPenempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Daftar IsiDaftar Isi i

    Daftar Gambar iii

    Daftar Tabel vii

    Kata Pengantar viii

    PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang Proyek 21.2 Gambaran Umum Proyek 21.3 Kebijakan dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan 3

    TAMBANG BATU HIJAU 52.1 Cadangan dan Sumber Daya 62.2 Kegiatan Penambangan 6

    PROSES PENGOLAHAN BIJIH DAN PENGELOLAAN TAILING 113.1 Pendahuluan 123.2 Proses Pengecilan Ukuran 13

    3.2.1 Peremukan (Crushing) 133.2.2 Penggerusan (Grinding) 14

    3.3 Proses Pemisahan Mineral 153.3.1 Pengapungan (Flotasi) 15Box 1 Uji Toksisitas Tailing 17Box 2 Studi Pengembangan Flotasi CPS 183.3.2 Penanganan konsentrat 20

    3.4 Pengelolaan Tailing 203.5 Pemantauan Jaringan Pipa 23

    Box 3 Konstruksi Pipa Laut 26

    PEMANTAUAN LINGKUNGAN 294.1 Pendahuluan 304.2 Pemantauan Tailing Effluent (Lumpur Tailing dan Air Proses) 35

    4.2.1 Metode 354.2.2 Kondisi latar belakang 354.2.3 Data terkini 36Box 4 Studi Alternatif Upaya Peningkatan Fraksi Padatan (% Solid) 394.2.4 Dampak 40

    Daftar Isi

    i

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Daftar Isi

    ii

    4.3 Pemantauan Lingkungan di Area Penempatan Tailing 404.3.1 Kualitas air laut 40Box 5 Pemantauan Upwelling di Daerah Penempatan Tailing PTNNT 42Box 6 Pemantauan TSS Menerus (Real Time) 494.3.2 Kualitas sedimen 504.3.3 Konsentrasi logam jaringan ikan lereng laut dalam 54Box 7 Studi Kandungan Logam Berat pada Jaringan Otot

    Kerang-kerangan Bivalvia (filter feeder) 584.3.4 Komunitas bentos 604.3.5 Komunitas plankton 644.3.6 Ekosistem terumbu karang 674.3.7 Ekosistem intertidal 714.3.8 Survei Perikanan 76

    STUDI PENDUKUNG DAN VALIDASI 795.1 Studi laut dalam (LIPI) 80

    5.1.1 Latar belakang 805.1.2 Tapak pengendapan tailing 80

    5.2 Pemodelan (tapak dan kolom air) 825.2.1 Pemodelan tapak 825.2.2 Perbandingan contoh dan model tapak 835.2.3 Pemodelan kolom air 84

    5.3 Pergerakan tembaga dalam air laut 865.4 Rekolonisasi tailing 865.5 Studi uji tuntas (CSIRO 2009) 88

    5.5.1 Latar belakang 885.5.2 Hasil dan pembahasan 89

    5.6 Kajian Alternatif Pemanfaatan Tailing dengan Prisip 3R 905.7 Studi Penerimaan Masyarakat dan Dampak Sosial DSTP 91

    5.7.1 Pemantauan Sosial Partisipatif Terhadap Dampak DSTPbagi Masyarakat Pesisir 91

    5.7.2 Studi penilaian kesehatan masyarakat(Community Health Assesment Study/CHAS) 91

    Box 8 Sosialisasi Dampak DSTP PTNNT 925.7.3 Studi Pengelolaan Terumbu Berbasis Masyarakat

    (Community Reef Assesment) 93

    PENUTUP 95

    REFERENSI 97

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Daftar Gambar1.1 Peta Lokasi Proyek Tambang Batu Hijau dan Batas Wilayah Kontrak Karya

    PT Newmont Nusa Tenggara 21.2 Peta Topografi Perairan Selatan Pulau Sumbawa dan Sekitarnya 31.3 Dokumen ANDAL PTNNT 42.1 Infrastruktur Tambang Batu Hijau 62.2 Beberapa Kegiatan Penambangan Batu Hiijau 72.3 Timbunan Batuan Penutup Tongoloka dan Kolam Pengelolaan Air

    Tambang 82.4 Skema Sistem Pengelolaan Air Tambang 82.5 Fasilitas Sistem Pengelolaan Air Tambang Santong 82.6 Beberapa Tahapan Kegiatan Reklamasi 93.1 Diagram Alir Proses Pengolahan Bijih 123.2 Gyratory Chruser 133.3 Svedala SAG Mills 133.4 Svedala Ball Mills 133.5 Skema Prinsip Pengecilan Ukuran 153.6 Rougher Scavenger 153.7 Polishing Column dan Regrind Column 153.8 Skema Fasilitas Pengapungan dalam Proses Pemisahan Mineral 163.9 IC50 - 96jam Tailing pada Marine Diatom 173.10 LC50 - 96jam Tailing pada Anakan Ikan Kerapu 173.11 NaHS Plant 183.12 Santong Water Treatment Plant 183.13 Profil Perbandingan Perolehan Tembaga antara Flotasi CPS dan Non-CPS

    Skala Pabrik 193.14 Profil Cu terlarut dalam Air Asam Tambang PT NNT(air Santong 3) 193.15 Alat-alat Penangan Konsentrat 203.16 Tangki Deaerasi Pemipaan Tailing 213.17 Sistem Pemipaan Tailing Darat dan Dasar Laut PT NNT 213.18 Penempatan Tailing di Darat akan Berdampak pada 2.316 Ha Hutan

    Produktif dan Lahan Pertanian 223.19 Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu, Pesisir Selatan

    Pulau Sumbawa 233.20 Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu yang Menunjukkan

    Tapak Tailing 233.21 Konstruksi Pipa Baja dan Pipa Polimer (HDPE) serta Sambungan

    antara Keduanya 243.22 Inspeksi Ketebalan Pipa Menggunakan ILI 253.23 Inspeksi Bulanan Pipa Tailing Laut Menggunakan ROV 253.24 Diagram Sejarah Konstruksi Pipa Tailing Laut 1999 sampai dengan 2010 264.1 Lokasi Pengambilan Contoh Tailing, Air Proses dan Air Tambang (Santong 3) 324.2 Lokasi Stasiun Pemantauan Curah Hujan di Area tambang 324.3 Skema Pembagian Zona A, B, dan C di Daerah Penempatan Tailing

    di Sepanjang Pesisir Selatan 334.4 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, dan Profil Kolom Air

    di sepanjang Pesisir Selatan 334.5 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Plankton, Sedimen, Transek Ekosistem

    Intertidal dan Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Selatan 34

    Daftar Gambar

    iii

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Daftar Gambar

    iv

    4.6 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam dan Kerangan-kerangan 344.7 Pengambilan Contoh Tailing di Kotak Deaerasi Tailing 354.8 Total Kuantitas Tailing per Tahun 364.9 Sifat-sifat Fisika Tailing 364.10 Kandungan Beberapa Unsur Logam Berat dalam Tailing 374.11 Profil Rerata Curah Hujan Di Area Tambang, Komposisi Air Proses dan

    Air Laut serta Kualitas Fisika dan Kimianya Periode Pemantauan 2005 - 2010 384.12 Hubungan antara Persen Solid dan Berat Jenis Slurry untuk Variasi

    Penambahan Air Laut dan Santong 3 394.13 Hasil Simulasi Berdasarkan Revisi Rencana Penambangan, Penjadwalan

    Ulang Shutdown Pabrik dan Pemasangan Pipa Tailing Laut denganDiamater yang Lebih Kecil 39

    4.14 Pemantauan Profil Kolom Air Menggunakan CTD 404.15 Pengambilan Contoh Air Menggunakan Polyethylene Go-Flo

    Oceanographical Sampler 414.16 Rerata Bulanan Historikal (Klimatologi) Suhu Permukaan (C)

    dan Vektor Angin dalam Interval Dua-bulanan Sumber: Iskandar et.al, 2010 424.17 Skema Profil Kolom Air yang Dipengaruhi Upwelling dan Proses Lainnya 424.18 Profil Suhu, Salinitas, Kandungan Oksigen Terlarut dan Transmissivitas Cahaya

    di Stasiun Pantau S16, September 1999 Desember 2009. Pressure atauTekanan (dbar) = Kedalaman (meter). Sumber: Waworuntu, 2010. 43

    4.19 Profil Suhu di Sepanjang Poros Pipa Tailing (Stasiun Pemantauan S12,S15, S16, dan S28) Periode Pemantauan 2007 - 2010 44

    4.20 Profil Kedalaman Tailing Plume Berdasarkan Transmisivitas 35% di Zona A,B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 2007 - 2010 44

    4.21 Profil Total Suspendid Solid (TSS) di Zona A, B, dan C di SepanjangPesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 45

    4.22 Profil Kandungan Logam Terlarut di Zona A, B, dan C di SepanjangPesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 46

    4.23 Alat Pantau TSS Menerus (TSS Buoy), Saat Masih Terpasang hingga UsahaPengambilan Kembali 49

    4.24 Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut Menggunakan Box Corer 504.25 Contoh Sedimen dari Lokasi yang Terkena Pengaruh Tailing (Kiri)

    dan Tidak Terkena (Kanan) 514.26a Profil Rerata Ukuran Partikel Sedimen di Sepanjang Pesisir Selatan 524.26b Profil Rerata Beberapa Kandungan Logam Berat Total dalam Sedimen

    di Sepanjang Pesisir Selatan 534.27 Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam Menggunakan Metode Pancing Dasar 544.28 Spesies Utama Ikan Laut Dalam Hasil Tangkapan yang Digunakan dalam

    Analisis Kandungan Logam Berat 554.29a Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam

    dari Perairan Senunu dan Lokasi Kontrol 564.29b Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam

    dari Perairan Senunu, Lokasi Kontrol dan Selat Alas Dibandingkan denganContoh Ikan dari Pasar-pasar di Sumbawa Barat, Lombok Timur danMataram. Sumber: CSIRO, 2010 57

    4.30 Lokasi Survei di Area Intertidal Pantai Maluk dan Tiram (Saccrostrea sp.)yang Menempel di Batuan Vulkanik 58

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    4.31 Pengambilan Contoh Jaringan untuk Analisis Kandungan Logam Berat 584.32 Perbandingan Konsentrasi Tembaga dalam Jaringan Kerang Penyaring

    Makanan dari Beberapa Lokasi Survei atau Pasar yang Dianalisisdi Laboratorium CSIRO dan ALS 59

    4.33 Beberapa Jenis Kerang Penyaring Makanan yang Umum Dijumpaidi Lokasi Survei 59

    4.34 Pengambilan Contoh Makrobentos dan Meiobentos Menggunakan Box Corer 604.35 Beberapa Jenis Makrobentos yang Umum Teramati dalam Contoh

    Sedimen di Pesisir Selatan 614.36 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Makrobentos di Sepanjang

    Pesisir Selatan 624.37 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Meiobentos di Sepanjang

    Pesisir Selatan 634.38 Pengambilan Contoh Plankton Menggunakan Plankton Net 644.39 Pengawetan Contoh Plankton 654.40 Jenis Fitoplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan 654.41 Jenis Zooplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan 654.42 Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Fitoplankton di Sepanjang

    Pesisir Selatan 664.43 Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Zooplankton di Sepanjang

    Pesisir Selatan 674.44 Pemasangan Pita Transek dan Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang

    dengan Metode Line Intercept Transect 684.45 Kondisi Umum Terumbu Karang Subtidal di Sepanjang Pesisir Selatan 684.46 Ciri-ciri Tutupan Karang dengan Profil Rendah namun Luas di Sepanjang

    Pesisir Selatan 694.47 Komponen alga yang Umum Teramati di Terumbu Karang di Sepanjang

    Pesisir Selatan 694.48 Jenis Ikan Karang yang Umum Teramati saat Perhitungan dengan Sensus Visual 694.49 Prsentase Komposisi Bentuk Pertumbuhan Karang di Sepanjang Pesisir Selatan 704.50 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Ikan Karang Berdasarkan Sensus

    Visual di Sepanjang Pesisir Selatan 714.51 Survei Intertidal menggunakan Transek 1 m Persegi 724.52 Komposisi Tutupan Koral, Flora, dan Fauna yang Umum Teramati di Daerah

    Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan 734.53 Komposisi Rerata Biota Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan pada Pasang Tinggi,

    Menengah dan Rendah 744.54 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada

    Bulan Oktober 2002 754.55 Tanda-tanda Pemulihan Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada Bulan April 2004 754.56 Aktifitas Pengumpulan Karang oleh Masyarakat Lokal (Madak)

    di Tanjung Mangkun 754.57 Profil Kelompok Nelayan Responden di Beberapa Wilayah Survei,

    Desa Tanjung Luar (atas) dan Labuan Lalar (bawah) 764.58 Profil Rerata CPUE Berdasarkan Pembagian Wilayah Survei

    Periode Pemantauan 2006 - 2010 77

    v

    Daftar Gambar

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    5.1 Sebaran Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam BerdasarkanSemua Kriteria pada September 2000 80

    5.2 Sebaran Ketebalan Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam BerdasarkanAspek Geologi pada September 2009 81

    5.3 Batas Luar Tapak Tailing dan Batas Tapak Tailing Utama Hasil SurveiSeptember 2009 82

    5.4 Profil 3 Dimensi Hasil Simulasi Sebaran Arus Densitas dan Area AkumulasiEndapan Tailing (Skenario Operasi Tambang hingga May 2011) 83

    5.5 Perbandingan Tapak Tailing - Rescan (ANDAL) 1996, LIPI 2009dan Operasi Tambang hingga 2009 (OSI Model) 84

    5.6 Perbandingan Distribusi TSS rata-rata pada Musim Timur Hasil Simulasi(Skenario 160 KT/hari) dengan Distribusi Transmisivitas P2O LIPI (2009) 85

    5.7 Skema Ruang Mikrokosmos dan Mesokosmos Rekolonisasi Tailingdi Dasar Laut Benete 86

    5.8 Rerata Total Kelimpahan dan Jumlah Taxa Meiofauna pada RuangMesokosmos dan Mikrokosmos 87

    5.9 Kegiatan Studi Rekolonisasi Tailing di Teluk Benete dan Beberapa JenisMeiofauna yang Umum Teramati 87

    5.10 Kandungan Tembaga Terlarut dalam Air Laut: (a) Perbandingan antaraData Sebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai dengan Studi Uji TuntasCSIRO (2004 dan 2009) di Zona A, B, C dan Selat Alas; (b) Distribusinyadi Berbagai Lokasi Pengambilan Contoh dan Fraksi Cair Tailing (pada StudiUji Tuntas CSIRO 2009) 88

    5.11 Perbandingan Kandungan Tembaga dalam Jaringan Otot Ikan: (i) DataSebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai vs Studi Uji Tuntas CSIRO(2004 dan 2009); (ii) CSIRO 2009 vs Baku Mutu; dan (iii) CSIRO 2009 vs ALS 89

    5.12 Laboratorium CSIRO yang Digunakan dalam Studi Uji Tuntas 905.13 Pasta Semen Hasil Pemanfaatan Tailing 905.14 Pengujian Spesimen Pasta Semen Selama 7 Hari dan Pola Kehancurannya 915.15 Sosialisasi Dampak Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT

    pada Pemerintah dan Masyarakat Sekitar Tambang 92

    vi

    Daftar Gambar

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Daftar Tabel

    vii

    Daftar Tabel

    1 Jenis Reagen yang Digunakan pada Proses Pengolahan PT NNT 142 Spesifikasi Pipa Tailing Darat dan Laut yang Digunakan PT NNT 243 Sistem Perawatan Pipa Tailing Darat dan Laut 254 Program Pengelolaan dan Pemantauan Sistem Penempatan Tailing

    di Dasar Laut Dalam PTNNT 305a Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, Plankton, Bentos dan

    Profil Kolom Air di Sepanjang Pesisir Laut Selatan 315b Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang di Sepanjang

    Pesisir Laut Selatan 315c Lokasi Transek Pemantauan EkosistemIntertidal dan Filter Feeder 31

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam viii

    Kata Pengantar

    Kata PengantarKinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut (DSTP) PTNNT selama lebih dari 10 tahun telah dibuktikan melaluipemantauan sistem dan lingkungan yang komprehensif dan menerus. Hasil kajian lingkungan di sekitar daerah penempatantailing yang didasarkan atas perbandingan data terkini dengan rona dasar sebelum operasi dan rona lingkungan sekitardi daerah yang tidak terkena dampak (daerah kontrol) menunjukkan bahwa tidak ada dampak yang teridentifikasi yangtidak sesuai dengan prediksi ANDAL PTNNT. Namun demikian perbaikan berkelanjutan di dalam sistem manajemen,teknologi pengoperasian dan teknik pemantauan DSTP terus dilakukan sebagai bagian dari komitmen PTNNT untukmemastikan operasi yang aman, ketaatan terhadap hukum dan perlindungan lingkungan.

    Buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kinerja sistem DSTP PTNNT denganmenampilkan secara ringkas hasil pemantau sistem dan lingkungan, serta studi-studi pendukung dan validasi yang telahdilakukan oleh PTNNT bekerja sama dengan tenaga ahli nasional maupun internasional sejak awal operasi hingga tahun2010. Keberadaan buku ini diharapkan pula menambah referensi bagi PTNNT, Pemerintah dan Masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan usaha-usaha perbaikan kinerja sistem DSTP dan proses penyusunan kebijakannya di Indonesia.

    Perhargaan yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Kritik dansaran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan. Semoga buku ini bermanfaat.

    Batu Hijau, Mei 2011

    Penyusun

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalamix

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 1 Pendahuluan

    1

    Pendahuluan

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam2

    PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT)mengoperasikan proyek tambang BatuHijau di bagian Barat Daya PulauSumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat,Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia(Gambar 1.1). PTNNT merupakanperusahaan patungan yang sahamnyapada tahun 2010 dimiliki oleh NusaTenggara Partnership (Newmont &Sumitomo), PT Pukuafu Indah(Indonesia) dan PT Multi DaerahBersaing. PTNNT menandatanganiKontrak Karya pada tanggal 2 Desember1986 dengan Pemerintah RI untukmelakukan eksplorasi dan eksploitasi didalam wilayah Kontrak Karya.

    Pendahuluan

    1.1 Latar BelakangProyek

    Bab 1 Pendahuluan

    Kontrak tersebut mengukuhkan posisiPTNNT sebagai kontraktor bagiPemerintah Indonesia. Kontrak Karya inimemberi izin kepada PTNNT untukmelakukan eksplorasi dan ekploitasimineral yang bernilai ekonomis didalam area kontrak karya sekaligusmemberi tanggung jawab khususkepada penanda tangan, yangmewajibkan kedua belah pihak untukmelaksanakan berbagai komitmenbersama, menjabarkan manfaat sertakontribusi bagi masyarakat danpenduduk Indonesia.

    Pada tahun 1990, PTNNT menemukancebakan tembaga porfiri dalam jumlahbesar di daerah tersebut, yang kemudiandiberi nama Batu Hijau. Setelah melaluipengkajian teknik dan lingkungan yangmendalam selama enam tahun,persetujuan pengembangan proyekdiberikan oleh Pemerintah Indonesia.Proyek Batu Hijau memulai masakonstruksi pada tahun 1996. Masakonstruksi dan komisioning memakan

    waktu lebih dari 3 tahun dengan biayaUS$1,8 miliar. PTNNT mulai beroperasipenuh pada bulan Maret 2000.

    1.2 Gambaran UmumProyek

    Proyek Batu Hijau terletak tepatnya diKecamatan Maluk, Jereweh danSekongkang, Kabupaten SumbawaBarat. Pulau Sumbawa adalah bagiandari deretan pulau di sebelah selatankepulauan Indonesia, di sebelah timurPulau Lombok dan Samudera Hindiadi sebelah selatannya. Di lepas pantaiselatan Sumbawa, dasar laut menuruncuram dan berakhir di CekunganLombok (>4.000 m di bawahpermukaan laut), sekitar 70 km darigaris pantai (Gambar 1.2).

    Seperti pulau-pulau lain yangbertetangga, karakteristik Sumbawa

    Gambar 1.1 Peta Lokasi Proyek Tambang Batu Hijau dan Batas Wilayah Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 1 Pendahuluan

    3

    ditandai oleh medan perbukitan,daerah aktivitas gempa, dan iklimtropis (rata-rata curah hujan tahunan2.500 mm). Lahan pertanian danpedesaan berada di lembah-lembahdekat pesisir. Kegiatan tambang beradadi pedalaman pulau sekitar 450 m diatas permukaan laut, 15 km daripelabuhan khusus PTNNT di TelukBenete, dan sekitar 10 km dari PesisirSelatan Sumbawa. Seluruh kegiatanpenambangan dan pengolahan mineralserta seluruh prasarana tambangProyek Batu Hijau bertempat di satudaerah seluas 400 km persegi.

    PTNNT menggali bijih tembaga danemas dari pit di tambang terbukatunggal. Penambangan batuan, baikbijih maupun batuan kadar rendah diproyek Batu Hijau mencapai lebih dari600.000 ton per hari. Bijih yangditambang rata-rata mengandung0,53% tembaga dan 0,4 gram per ton(g/t) emas. PTNNT mengolah rata-rata120.000 ton bijih tembaga-emas perhari hingga menjadi konsentrat. Bijihlalu dikapalkan ke sejumlah tempatpeleburan bijih di berbagai penjurudunia, termasuk pabrik peleburan di

    Indonesia, yang memurnikankonsentrat tersebut untuk mendapatkankembali logam berharganya dalambentuk yang paling murni.

    Produk limbah utama hasil operasipenambangan dan pengolahan bijihadalah batuan limbah dan tailing.Batuan limbah merupakan batuan sisayang tidak ekonomis namun harusdikeluarkan dari lubang tambangsebagai upaya mendapatkan bijih.Tailing adalah produk sampinganoperasi pengolahan mineral, yangberbentuk bubuk halus batuan(sebagian besar berupa pasir) sisapenghancuran dan penggilingansetelah kandungan mineral berharga-nya diambil.

    Seluruh kegiatan perencanaan,kelayakan, konstruksi dan operasionaltambang telah diatur dalam KontrakKarya PTNNT dan sebagai bagian daripersyaratan tersebut, perencanaanlingkungan dan studi kelayakandilaksanakan pada awal tahun1990an. Berbagai pilihan pengelolaantailing dipertimbangkan dalam studikelayakan tersebut, termasuk diantara-

    nya penempatan tailing di darat dandi dasar laut-dalam. Studi tersebutselesai pada tahun 1996, termasukAnalisis Dampak Lingkungan (ANDAL)(PTNNT, 1996) yang mengedepankanopsi terpilih untuk mengelola tailingserta pertimbangan potensi dampaklingkungan dan sosial, sebelum,selama, dan sesudah pembangunantambang. Rencana PengelolaanLingkungan (RKL) dan RencanaPemantauan Lingkungan (RPL)diserahkan bersama-sama denganANDAL.

    Setelah mengkaji dan mempertimbang-kan ketiga dokumen tersebut,Pemerintah Indonesia kemudianmengeluarkan izin untuk melaksana-kan pembangunan tambang pada tahun1996 dengan penggunaan sistempenempatan tailing dasar laut dalam(Deep Sea Tailings Placement, DSTP).Masa pembangunan (konstruksi)rampung tahun 1999. Komisioningsistem DSTP berlangsung padaSeptember 1999 dan pengapalanperdana konsentrat dari pelabuhankhusus Benete dilaksanakan padaDesember 1999.

    Gambar 1.2 Peta Topografi Perairan Selatan Pulau Sumbawa dan Sekitarnya.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam4

    1.3 Kebijakan danKomitmen PengelolaanLingkungan

    Visi Korporasi Tambang PT NNT adalahmenjadi perusahaan tambang yangdihargai dan dihormati melaluipencapaian kinerja terdepan dalamindustri tambang. Guna mencapai visitersebut, salah satu nilai utama PT NNTadalah mewujudkan kepemimpinan dibidang keselamatan kerja, perlindunganlingkungan, dan tanggung jawab sosial.Newmont berkeyakinan bahwapengelolaan lingkungan yangbertanggung jawab dan kinerjalingkungan terdepan merupakan bagianyang tidak terpisahkan untuk menjadiperusahaan yang efektif dan sukses.Untuk mencapai tujuan kebijakanlingkungan, setiap operasi dan fasilitastambang PTNNT, berkomitmen antaralain untuk mematuhi ketentuan hukum/perundangan yang berlaku sebagaistandard minimum; menerapkanstandar manajemen terpadu (IMS) danstandar spesifik untuk meminimalkanrisiko lingkungan; serta memadukanpertimbangan lingkungan dalam semuaaspek keputusan bisnis dan kegiatan.Sejak tahun 2009, PTNNT menerapkandan mendapatkan sertifikatISO14001:2004 dalam bidangpengelolaan lingkungan.

    Meskipun persetujuan PemerintahIndonesia terhadap ANDAL PTNNT telahmenjadi landasan hukum untukmengoperasikan sistem DSTP, namunperaturan pemerintah PP19/1999mengenai Pengendalian Pencemarandan/atau Perusakan Laut, yangdikeluarkan oleh Pemerintah Indonesiapada 1999, mewajibkan PTNNT untukmemiliki izin tambahan penempatantailing. PTNNT telah menyerahkanaplikasinya pada Agustus 2000 dankemudian disetujui oleh PemerintahIndonesia pada Mei 2002. Sejak itu, izinpenempatan tailing PTNNT telahdiperpanjang dua kali yaitu tahun 2005dan 2007.

    Pengelolaan tailing di PTNNT didasarioleh ANDAL yaitu Rencana PengelolaanLingkungan (RKL) dan PemantauanLingkungan (RPL), ketentuan izin,standar spesifik pengelolaan tailingdalam sistem manajemen terpadu, sertastandar pengelolaan lingkungan lainyang diterapkan di PTNNT. Pengelolaan

    tailing dimulai dari hulu dengan adanyamanajemen bijih dan air tambang, didalam pabrik pengolahan berupakontrol terhadap proses pengambilanmineral berharga, rekayasa,pemeriksaan dan perawatan berkalainfrastruktur sistem penempatan tailingmulai dari deaeration box, pipa darat,dan pipa dasar laut, serta programpemantauan kualitas tailing danlingkungan yang komprehensif untukmenentukan dampak penempatantailing di laut terhadap kondisilingkungan sekitarnya. Berbagai studitentang tailing PTNNT juga telahdilakukan sebagai dasar upayaperbaikan berkelanjutan dalammengelola tailing.

    Deskripsi kegiatan penambangan di BatuHijau dan upaya pengelolaanlingkungan di daerah tambang diuraikansecara ringkas di dalam Bab 2. Uraian

    Bab 1 Pendahuluan

    proses pengolahan mineral danpengelolaan infrastruktur sistempenempatan tailing disajikan di dalamBab 3. Bab 4 berisi analisis hasilpemantauan lingkungan yang berkaitandengan penempatan tailing di dasarlaut. Hasil pemantauan dikaji denganmembandingkan data kondisi latarbelakang, data terkini, dan analisisdampak DSTP. Data pemantauan terkinidifokuskan terhadap periode datapemantauan tahun 2007-2010. Kajianhasil pemantauan periode sebelumnyatelah dilakukan dalam LaporanPemantauan Lingkungan SistemPenempatan Tailing PTNNT (PTNNT,2007). Ringkasan beberapa hasil studipenting tentang tailing disajikan dalamBab 5 buku ini. Secara umum, buku inimerangkum upaya-upaya pengelolaandan menyajikan data pemantauansebagai bukti ukuran kinerja sistemDSTP PTNNT.

    Gambar 1.3 Dokumen ANDAL PTNNT

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

    5

    Tambang Batu Hijau

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam6

    Stratigrafi daerah Batu Hijau terdiri atasbatuan Andesitic Volcanic Klastik yangditerobos oleh beberapa fase batuanintrusive yaitu Porphyritic Andesite,Diorite Kwarsa dan seri intrusive Tonalitestock dan dike dimana proses terjadinyacebakan mineralisasi tembaga dan emasberasosiasi dengan batuan intrusiveTonalite. Batuan tersebut mengalamitingkatan perubahan sesuai denganintesitas perubahan-perubahan mineralawal menjadi mineral-mineral ubahan.Struktur umum di Batu Hijauberkembang berarah Timur-Barat yangberorientasi dengan penyebaranintrusive Diorite kwarsa, Barat-Baratdaya dan Timur Laut.

    Selama tahun 2000-2008 telahdilakukan pemboran rapat di lokasi

    Tambang BatuHijau

    2.1 Cadangan danSumber Daya

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

    penambangan, hal ini digunakan untukpengakuratan dan pemutakhiran datasebelumnya baik itu data geologimaupun data geoteknik dan sangatberguna untuk pembaharuan modelgeologi maupun model geoteknik yangada. Data pemboran geologimemperkaya informasi kandunganmineral di daerah lubang pit Batu Hijau.Elemen ikutan lainnya dari mineral yangterukur dengan metode Fire Assay danMulti Element Package selain Tembaga(Cu), Emas (Au) dan Perak (Ag) adalahAlumunium (Al), Besi (Fe), Kalsium(Ca), Magnesium (Mg), dan Natrium(Na) serta beberapa unsur minorlainnya.

    2.2 KegiatanPenambangan

    Batu Hijau mengoperasikan sistempenambangan terbuka (open cut)konvensional. Pekerjaan dimulai denganpembersihan lahan dan penyelamatantanah pucuk di lokasi yang akanditambang atau bakal tempatpenimbunan batuan tambang yangdipindahkan. Kegiatan operasi

    penambangan dimulai denganpengeboran dan pengambilan contohbatuan untuk analisa di laboratorium,dilanjutkan dengan peledakan.Pemberian batas di lapangan dilakukanuntuk membedakan bijih dan batuan sisasebelum dilakukan pengangkutan.Batuan galian diangkut ke beberapalokasi yang telah disiapkan sesuaiklasifikasinya. Bijih yang ditambangakan dikirim ke crusher (alat peremukbatuan) atau ke tempat penimbunan(stockpile) bijih sementara di Sejorongdan Timur. Infrastruktur tambang BatuHijau dapat dilihat pada Gambar 2.1.

    Pembukaan lahan diperlukan baik untuktapak timbunan batuan sisa maupunlubang tambang. Luas pembukaanlahan untuk lubang tambang adalah 406Ha, sedangkan luas pembukaan lahanuntuk penempatan batuan sisa seluas 947ha (PTNNT, 2010). Tanah pucuk(topsoil) dan tanah bawah (subsoil)yang dihasilkan dari penggalian pit BatuHijau, pembukaan lahan untuktimbunan batuan sisa dan timbunansementara bijih, akan langsungdigunakan untuk reklamasi, setelahsuatu areal siap untuk direklamasi. Sisatanah pucuk dan tanah bawah yang

    Gambar 2.1 Infrastruktur Tambang Batu Hijau

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

    7

    tidak digunakan akan disimpansementara di tempat timbunanTongoloka dan Timur, sebelumdigunakan untuk reklamasi daerah-daerah yang terganggu oleh kegiatanpenambangan.

    Berbeda dengan batuan penutup, tanahpucuk dan tanah bawah tidakdiperlakukan sebagai material buangankarena memiliki fungsi khusus dalamprogram reklamasi yaitu sebagai mediatumbuh vegetasi. Batang-batang kayuyang tidak ekonomis yang dihasilkanpada waktu membuka hutan, dipotong-potong, diperkecil ukurannya dankemudian disebar di atas timbunantanah Tongoloka dan Timur untukmeningkatkan kandungan organiktanah.

    Kegiatan peledakan adalah salah satubagian penting dari suatu prosespenambangan. Sebelum dilakukanpeledakan maka dilakukan pengeboranblok-blok bijih dan batuan sisa.Peledakan batuan tambang dilaksana-kan secara teratur mengikuti desainrekayasa dan jadwal yang ketat gunamengurangi potensi gangguan meskipunlokasi lubang tambang lebih kurang 10km dari desa terdekat (Tongo-Sejorong).Kebisingan, getaran, dan debu sebagaiakibat ledakan bersifat sesaat dan terjadihanya di area lubang tambang.

    Kegiatan operasi penambangan di BatuHijau menggunakan truk dengankapasitas 218 ton dan alat muat (shovel)yang berkapasitas muat 35-46 BCM.Konfigurasi peralatan ini dipilih setelahdilakukan evaluasi terhadap efisiensiproduksi dan biaya operasipenambangan. Gambar 2.2 menunjuk-kan beberapa kegiatan penambangan diProyek Batu Hijau.

    Pemetaan geologi dan pengambilan datadari inti bor menunjukkan bahwa daerahpenambangan terbagi atas beberapadomain geotek yang mempunyaikarakter-karakter tersendiri yangdicerminkan ke dalam desain lerengyang berbeda-beda sesuai dengantingkat keamanan yang harus dimiliki.Penambangan batuan, baik bijihmaupun batuan sisa, di Batu Hijau dapatmencapai jumlah 600.000 ton per hari.Tiga truk batuan hanya akanmenghasilkan rata-rata 1 truk bijih.Bijih diangkut ke instalasi pengolahanmineral, dan batuan sisa diangkut kearea pembuangan. Tempat penumpukanbatuan sisa, tempat penumpukan bijihsementara dan penumpukan tanahsementara direncanakan denganmempertimbangkan faktor kestabilandan keamanannya, pembangunanpengontrol aliran permukaan dankemiringan yang terbaik serta batasanyang diberikan oleh perizinan yangdidapatkan.

    Di Batu Hijau diperkirakan terdapat1,63 milyar ton batuan sisa yang harusdipindahkan untuk mendapatkanpenambangan bijih yang maksimal.Batuan sisa tersebut sebagian besarditempatkan di tempat penimbunanTongoloka, di selatan Batu Hijau(Gambar 2.1 dan 2.3). Tempatpenimbunan batuan sisa dilengkapidengan sistem aliran air (saluranterbuka, perpipaan, dan strukturbangunan air lainnya sebagai saranapenunjang yang menyatu dalam dalamsistem pengelolaan air tambang.

    Sistem pengelolaan air di daerahtambang mencakup pengelolaan airasam tambang yaitu air yangterpengaruh oleh kegiatan tambang danair bersih dari daerah hutan di huluwilayah tambang yang dijaga agartidak memasuki daerah penambangan.Daerah penambangan Batu Hijau beradadi dua daerah aliran sungai (DAS) yaituDAS Sejorong dan DAS Tongoloka.Pengelolaan air tambang Batu Hijaubertujuan: Meminimalkan area yang

    berpotensi menghasilkan run-off(air permukaan) yang bersifatasam.

    Memaksimalkan pemisahan airpermukaan dari hutan di huludaerah lubang tambang dan air daridaerah penimbunan batuan.

    Gambar 2.2 Beberapa Kegiatan Penambangan Batu Hiijau

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam8

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

    Mengumpulkan air yang berpotensiterkena dampak kegiatanpenambangan.

    Memanfaatkan air yang terkumpuluntuk keperluan pabrik (re-use),atau dilepas ke badan sungaiapabila dalam kondisi tidaknormal dengan mengikuti ketentuanperundangan yang berlaku.

    Mengumpulkan air rembesan daridaerah timbunan bijih batuansementara untuk diproses diinstalasi pengolahan air.

    Air permukaan yang berasal dari daerahhulu (hutan) yang menuju ke daerahpenambangan sedapat mungkinditangkap dan dialirkan ke sungai dihilir daerah tambang melalui saluranatau pipa. Air dari daerah huludiupayakan untuk tidak terpengaruhkegiatan tambang dan sekaligusmengurangi air asam tambang.

    Air yang dari kegiatan tambang padaumumnya mengandung padatantersuspensi dan karena kontak denganbatuan yang teroksidasi menjadikan airbersifat asam yang terkonsentrasi logamberat (Djalilah dan Sumarah, 2008). PTNNT telah membangun suatu sistemuntuk mengelola air asam serta erosidan sedimentasi sebagai dampakkegiatan tambang Batu Hijau (Gambar2.4 dan 2.5). Bangunan-bangunan airdibangun di daerah tambang pada tahapkonstruksi (1997 1998) dimulai daripembuatan kolam-kolam penampungsedimen (sediment control structure)yang saling berhubungan, sistemdrainase (saluran terbuka danperpipaan), pompanisasi, dan sistempengolahan air. Pada akhirnya air akandipompa dan dialirkan ke pabrik untukdapat dimanfaatkan kembali (Re-use)dan dinetralisasikan. Dengan demikiansistem pengelolaan air tambang BatuHijau merupakan sistem terbatas yangdapat memanfaatkan air tambang untukkeperlukan pabrik. Sistem air tambangberujung pada Santong 3 untukselanjutnya dipompa ke pabrik sebagaibagian dari air proses.

    Proses reklamasi di Batu Hijaudilakukan segera setelah lahan bekastambang siap atau daerah timbunanbatuan sisa selesai ditimbun. Kegiatanreklamasi dimulai dari penyiapan danpelapisan tanah bawah, tanah pucuk,persiapan lahan hingga penanamanpohon, perawatan sampai denganpemantauannya. Penyiapan lahandilakukan dengan re-counturing lahan

    Gambar 2.3 Timbunan Batuan Penutup Tongoloka dan Kolam Pengelolaan Air Tambang

    Gambar 2.4 Skema Sistem Pengelolaan Air Tambang

    Gambar 2.5 Fasilitas Sistem Pengelolaan Air Tambang Santong

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    bekas tambang atau re-sloping dan re-contouring permukaan timbunan. Re-sloping dan re-contouring mukatimbunan dikonstruksi dengan sudutmuka lereng 2H:1V dan kemiringantimbunan keseluruhan minimum(kemiringan Inter Ramp) 2,5H:1V untuk

    9

    mencapai kestabilan geoteknik daritimbunan dalam kondisi statik danseismik. Ketika pengkonturan suatudaerah sudah usai, diikuti denganpenempatan tanah dan dilanjutkandengan revegetasi. Proses revegetasimembantu untuk menstabilkan

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

    Gambar 2.6 Beberapa Tahapan Kegiatan Reklamasi

    permukaan timbunan batuan penutupdan mengurangi erosi. Sedangkan tujuanakhirnya adalah untuk menumbuhkankembali hutan alami melalui prosessuksesi yang terencana.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam10

    Bab 2 Tambang Batu Hijau

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    11

    Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam12

    PT Newmont Nusa Tenggara mengolahrata-rata 120.000 ton bijih tembaga-emas per hari. Bijih yang ditambangrata-rata mengandung 0,53% tembagadan 0,4 gram per ton (g/t) emas. Bijihdiolah di konsentrator menghasilkankonsentrat tembaga emas (biasanyadikatakan sebagai konsentrattembaga) serta tailing. Produksikonsentrat tembaga rata-rata 1.750 tonper hari. Kadar tembaga di dalamkonsentrat rata-rata adalah 34% atauperolehannya (recovery) rata-rata 92%bila dibandingkan terhadap tembagayang terkandung di dalam bijihasalnya.

    Bijih diremukkan di dalam 2 buahgyratory crusher primer dan kemudianditimbun di stockpile antara (surge

    ProsesPengolahanBijih danPengelolaanTailing3.1 Pendahuluan

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    pile). Dari surge pile, bijih diumpankanoleh apron feeder ke ban berjalan,overland belt conveyor, sepanjang 5.6km menuju ke tempat penimbunan diarea mill yang disebut coarse orestockpile. Lalu bijih dari coarse orestockpile ini akan diumpankan oleh beltfeeder ke ban berjalan yang menuju kedua jalur paralel sirkuit penggilingandi sirkuit konsentrator. Di sirkuitkonsentrator ini bijih diolah sebagaislurry (lumpur) dengan menggunakanair laut sebagai air proses. Pabrikkonsentrator juga memanfaatkan airtambang yang dipompa dari kolamSantong 3 untuk mencukupi ~25%kebutuhan air proses. Masing-masingsirkuit penggilingan meliputi 1 mesinpenggiling semi autogenous atau SAGmill dengan sirkuit penghancuranpebble (bijih keras) yang kemudiandiikuti oleh sirkuit penggilingansekunder yang terdiri dari 2 mesin Ballmill yang dipasang paralel dandioperasikan sebagai sirkuit tertutupdengan siklon.

    Produk dari sirkuit penggilingan diolahdi dalam sirkuit flotasi rougher danscavenger menghasilkan konsentratyang kandungannya sebagian besaradalah mineral-mineral tembaga-emas. Sirkuit rougher-scavenger terdiridari 5 lajur sel-sel flotasi rougher-scavenger yang tersusun paralel.

    Konsentrat yang dihasilkan dari selflotasi rougher kemudian digiling lebihlanjut di polishing mill yang beroperasisebagai sirkuit terbuka dengan siklondan produknya dikirim ke dua buahcolumn flotation cell (polishingcolumn) untuk dipisahkan menjadikonsentrat dan tailing polishingcolumn. Sedangkan konsentrat yangdihasilkan dari sel flotasi scavengerdigiling di mesin penggiling regrindmill yang dioperasikan sebagai sirkuittertutup dengan siklon. Produk darisirkuit regrind mill digabung denganampas (tailing) polishing columnkemudian dikirim ke dua buah columnflotation cell (regrind column) dandipisahkan lagi menjadi konsentrat dantailing regrind column. Ampas dariregrind column dialirkan ke sirkuitcleaner flotation yang terdiri dari tigatahap flotasi pembersihan (cleaner) dansatu tahap cleaner scavenger. Konsentratyang dihasilkan oleh polishing column,regrind column, dan cleaner tahapketiga kemudian digabung menjadiproduk akhir pabrik konsentratorberupa konsentrat yang berkadartinggi. Ampas atau tailing dari sirkuitcleaner-scavenger dikembalikan kesirkuit rougher-scavenger. Ampas slurryatau tailing dari flotasi rougher-scavenger mengalir melalui saluranpemipaan menuju penempatan di dasarlaut dalam.

    Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pengolahan Bijih

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam 13

    Konsentrat akhir selanjutnya dicuci dandikentalkan di dalam sirkuit CCD(counter current decantation) yangterdiri dari tiga buah thickener yangmengalirkan konsentrat secaraberlawanan arah (counter current)dengan arah aliran air tawar pencuci.Pencucian konsentrat dilakukan untukmenurunkan kandungan klorida dalamslurry konsentrat sedangkanpengentalan dilakukan untukmemperkecil volume slurry konsentrat.Konsentrat yang telah dicuci dandikentalkan kemudian dipompakanmelalui saluran pemipaan ke filtrationplant yang berlokasi di dekatpelabuhan. Di filtration plant, slurrykonsentrat dikeringkan denganmenggunakan filter press hinggakandungan air dalam konsentratmenjadi sekitar 9%. Produk akhirfiltration plant, berupa konsentratkering kemudian ditimbun di gudangsampai beratnya cukup untukdikapalkan ke pabrik peleburantembaga dalam negeri maupuninternasional. Gambar 3.1 menunjuk-kan diagram alir pengolahan bijihhingga siap dikapalkan.

    3.2 Proses PengecilanUkuran

    3.2.1 Peremukan (Crushing)

    Bijih yang dihasilkan dari tambangatau Run-of-Mine (ROM) ore berukurandiameter nominal 1.2 meter dikirimdari tambang ke crusher menggunakantruk pengangkut. Ada 2 buah mesinpenghancur, gyratory crusher, yangdioperasikan secara paralel (Gambar3.2). Crusher memperkecil ukuran bijihhingga kira-kira 80% lolos ukuran 175mm. Fasilitas penghancuran dirancanguntuk mengolah bijih dengan kapasitasproduksi rata-rata 120.000 ton bijihkering per hari pada ketersediaan 80%.Truk-truk pengangkut mengirimkanbijih ke dua buah kantung curah (dumppocket) yang masing-masingberkapasitas 500 ton. Kantung-kantungcurah ini dirancang sedemikian rupasehingga truk-truk bisa mencurahkanbijih ke salah satu dari dua sisi terbuka.2 mesin hidrolik penghancur batuanatau hydraulic rock breaker dipasangdi dinding dalam dump pocket. Alatini digunakan untuk memecahkanbatuan yang berukuran terlalu besaruntuk memasuki lubang pemasukan ke

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    Gambar 3.2 Gyratory Chruser

    Gambar 3.3 Svedala SAG Mills

    Gambar 3.4 Svedala Ball Mills

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam14

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    Tabel 1. Jenis Reagen yang Digunakan pada Proses Pengolahan PT NNT

    crusher. Sistim pengikat debu dengancara atomisasi bertekanan tinggiterpasang untuk meminimalkan debudi kantung curah.

    Jenis crusher yang digunakan adalahgyratory crusher berdimensi 1.520 mmx 2.260 mm. Produk hasil peremukan(bijih masih kasar) turun langsung kekantung tampung (surge pocket)berkapasitas 250 ton di bawah masing-masing crusher. Bijih kasar darimasing-masing kantong tampung turunke crusher discharge conveyor yangmengirim bijih ke surge pileberkapasitas 5,500 ton.

    Alat pengumpan apron feeder dengankecepatan yang bisa diubah-ubahmenarik bijih dari surge pile danmengumpankannya ke overlandconveyor. Overland conveyor mengirimbijih kasar sejauh 5.6 kilometer ketripper conveyor yang kemudianmencurahkannya ke tempatpenimbunan sementara yangdinamakan coarse ore stockpileberkapasitas total 360.000 ton dankapasitas dinamis (live capacity) kira-kira 70.000 ton atau kira-kira 14 jamkapasitas penimbunan antara tambangdan pabrik pengolahan ataukonsentrator. Debu-debu terbang yangdihasilkan di kantung tampung crusherdan apron feeder dikendalikan olehsistim pengikatan debu berjenis foggingatau pengkabutan.

    3.2.2 Penggerusan (Grinding)

    Terdapat dua buah terowongan dibawah coarse ore stockpile. Bijihditarik dari coarse ore stockpile oleh 6buah belt feeder yang kecepatannyabisa diubah-ubah, 3 belt feeder untukmasing-masing SAG mill feed conveyor,dan diumpankan ke dua lajurpenggilingan paralel. Belt feeder dan

    SAG mill feed conveyor terletak didalam terowongan di bawah coarse orestockpile. Rasio kecepatan relatifketiga feeder bisa diatur untukmemastikan bahwa stockpile turunsecara merata. Sistim pengikat debuberjenis fogging meminimalkan debu dititik-titik jatuhan belt feeder.

    Masing-masing lajur sirkuitpenggilingan dirancang untukmengolah rata-rata 60.000 ton bijih perhari, memperkecil ukuran bijih untukmembebaskan mineral-mineralberharga dari pengotornya (gangue)atau waste. Bijih dari belt feederdiumpankan ke SAG mill feed conveyor.Air ditambahkan ke dalam saluranpemasukan umpan ke SAG mill denganlaju alir yang disesuaikan dengan lajupemasukan bijih fresh dan yangdisirkulasi (pebble) agar dicapaidensitas slurry di dalam mill sesuaidengan yang diinginkan.

    Diameter SAG mill adalah 10.97 m danpanjangnya 5.26 m (Gambar 3.3).Masing-masing SAG mill digerakkanoleh motor penggerak wrap aroundyang kecepatannya bisa diubah-ubahdengan daya 13.432 kW. Fungsi darimill ini adalah memperkecil ukuranbijih dari 175 mm menjadi sekitar 2hingga 10 mm. SAG mill dioperasikandi dalam sirkuit tertutup bersama-samadengan trommel screen dan pebblecrusher. Bola-bola penggilingditambahkan sesuai kebutuhan kedalam SAG mill untuk membantuproses penggilingan trommel screenmemisahkan material keras dan kasaryang dinamakan pebble dari produkhasil penggilingan SAG mill danmengumpankannya ke sistim banberjalan untuk resirkulasi pebble(recycle conveying system). Recycleconveyor kemudian mengirimkanpebble tersebut ke surge bin. Lajuumpan pebble ke cone crusher diatur

    oleh kecepatan crusher feed conveyoryang menarik pebble dari bin danmengumpankannya ke crusher. Pebbleyang telah diremukkan oleh conecrusher kemudian dikirim kembali keSAG mill bersama-sama dengan umpanbaru yang berasal dari stockpile ataudikirim ke vibrating screen. Produkpebble crusher yang tidak lolosvibrating screen disirkulasi kembali kesirkuit pebble crusher sedangkanmaterial yang lolos vibrating screenbergabung dengan aliran slurryunderflow dari SAG mill tromel.

    Aliran slurry underflow dari masing-masing SAG mill trommel akan turunmasuk ke dalam sump umpan siklonprimer atau primary cyclone feed sumpdimana slurry tersebut bergabungdengan produk slurry yang keluar darikedua Ball mill. Slurry dari sumpumpan siklon mengalir ke 2 buahpompa umpan siklon yang selanjutnyadipompakan ke masing-masing 2kumpulan (cluster) siklon. Siklonmemisahkan materi padatan dalamslurry berdasarkan ukurannya menjadifraksi ukuran kasar dan halus Masing-masing pompa umpan siklonmemompakan slurry ke satu kumpulanatau kelompok siklon yang berjumlah9. Fraksi ukuran kasar atau underflowdari masing-masing kelompok siklonakan dikirim ke masing-masing ballmill untuk penggilingan lanjutan atausekunder. Fraksi halus atau overflowakan meninggalkan sirkuitpenggilingan dan mengalir ke tahapanflotasi. Pada aliran overflow siklon initerpasang alat monitor ukuran partikeluntuk memantau kekasaran ataukehalusan partikel hasil penggilingan.Ada 2 Ball mill di masing-masing lajurpenggilingan. Diameter Ball milladalah 6.1 m dan panjangnya 10.1 m(Gambar 3.4). Ball mill digerakkanoleh motor yang kecepatannya tetapberdaya 7090 kW melalui suatu clutch

    Jenis Reagen

    KapurPrimary Collector (MBTmecaptobenzothianozole + DTPdithiophosphate)

    Frother (campuran dari ikatanalcohol dan glycol methyl ether)

    Secondary collector (amylxanthate)

    1,5 2,5 kg

    3 4 gram

    5 10 gram

    Volume (dosis)per 1 ton bijih

    15 20 gram

    Pemakaian

    Menstabilkan gelembung udaradalam sel pengapungan

    Untuk mengontrol pH sampai 8,5

    Sebagai pengumpul mineral tembagapada proses pengapungan

    Sebagai pengumpul mineral tembagapada proses Pengapungan

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    3.3 ProsesPemisahan Mineral

    3.3.1 Pengapungan (Flotation)

    Overflow dari kumpulan siklon telahdigiling hingga cukup halus untukmembebaskan partikel-partikel bijihyang mengandung tembaga daripartikel-partikel pengotornya (lihatprinsip pengecilan ukuran padaGambar 3.5). Di sirkuit pengapungan(atau biasa disebut flotasi), mineral-mineral tembaga dan emas dipisahkandari bijihnya menjadi konsentrat.Mineral-mineral tembaga sulfida didalam bijih PT NNT didominasi olehbornite [Cu5FeS4], chalcopyrite[CuFeS2] dan degnite. Bahan kimiaatau reagen ditambahkan ke dalamslurry di sirkuit flotasi untukmemisahkan mineral-mineral tembagasulfida dari mineral lainnya denganproses pengapungan (flotation).Reagen-reagen khusus ditambahkan kedalam slurry umpan sirkuit flotasi, agarmineral-mineral tembaga sulfida dan

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    15

    Gambar 3.5 Skema Prinsip Pengecilan Ukuran Gambar 3.7 Polishing Column dan Regrind Column

    Gambar 3.6 Rougher Scavenger

    and pinion-girth gear arrangement.Slurry digiling ketika berada di dalammill dan produknya dialirkan ke dalamsump umpan siklon, dan kembalidipompakan ke siklon untukpemisahan berdasarkan ukuranpartikelnya. Bola-bola penggilingdimasukkan ke dalam Ball mill melaluisistim ban berjalan.

    emas menjadi bersifat hydrophobic(menolak air) sehingga mudah melekatpada gelembung udara danmengapung, sedangkan materialpengotornya yang bersifat hydrophilic(mengikat air) tetap tinggal dalamslurry dan terbuang sebagi ampas(tailing). Jenis reagen yang digunakandalam pengolahan mineral di BatuHijau dan fungsinya masing-masingdapat dilihat dalam Tabel 1.

    Slurry dari masing-masing 2 lajursirkuit penggilingan mengalir ketangki distributor umpan flotasi.Umpan flotasi selanjutnyadidistribusikan ke 5 lajur (bank) flotasirougher dan scavenger yang tersusunparalel (Gambar 3.6). Masing-masinglajur rougher-scavenger terdiri dari 10tangki sel flotasi berkapasitas 127 m3

    yang tersusun seri menjadi 5 stage (total

    ada 50 sel flotasi). Dua tangki pertama(stage 1) dari tiap lajur berfungsi sebagisel rougher dan 8 tangki berikutnya(stage 2-5) merupakan sel sel scavenger.Tiap stage sel flotasi terdiri dari duatangki tersusun seri yang dihubungkanke stage berikutnya oleh sebuahjunction atau connection box. Di dalamsel flotasi tersedia sistim pengadukanyang memasukkan udara ke dalampulp dan mencampurnya sehinggamineral-mineral tembaga di dalamslurry akan menempel padagelembung-gelembung udara,mengapung di permukaan tanki, danselanjutnya meluber sebagaikonsentrat. Slurry yang meninggalkansel terakhir di bank flotasi rougher-scavenger memiliki kandungan mineralberharga yang sudah rendah sekali.Slurry ini dinamakan sebagai tailingatau tails.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    16

    Gambar 3.8 Skema Fasilitas Pengapungan dalam Proses Pemisahan Mineral

    Konsentrat dari masing-masing selflotasi rougher mengalir menuju sirkuitpolishing yang terdiri dari polishing milldan siklon yang tersusun sebagai sirkuitterbuka. Produk sirkuit polishing yangmerupakan gabungan dari produkpolishing mill dan overflow siklonkemudian dipompakan ke polishingcolumn yang memisahkan konsentratrougher menjadi konsentrat dan tailingpolishing column. Konsentrat yangdihasilkan sel-sel scavenger digabungmenjadi satu dan dialirkan menujusirkuit regrind yang merupakan sirkuittertutup yang terdiri dari regrindvertimill dan regrind siklon. Konsentratscavenger dipompakan menujudistributor umpan siklon yangmendistibusikan slurry ke beberapasiklon. Fraksi partikel berukuran halusdan sebagian besar air mengalirmenuju overflow siklon sump dan fraksipartikel kasar mengalir menujuunderflow siklon sump. Underflowsiklon disistribusikan diantara duasump umpan ke regrind vertimillsedangkan overflow siklon digabungdengan tailing polishing column dandipompakan menuju regrind columnyang memisahkannya menjadikonsentrat dan tailing regrind column.Polishing column dan regrind columnditunjukkan pada Gambar 3.7.

    Tailing regrind column dipompakanmenuju sirkuit flotasi cleaner yangterdiri dari tiga tahap pembersihan

    (cleaning) untuk meningkatkan kadarkonsentrat secara bertahap. Sirkuitcleaner memiliki bank-bank cleanerpertama, kedua, ketiga dan bankcleaner scavenger. Bank cleanerpertama dan bank cleaner scavenegermasing-masing memiliki 4 buah selberkapasitas 42.5 m3 yang disusunsecara seri dan terbagi dalam dua stage(2 - 2). Bank cleaner kedua memiliki10 sel berkapasitas masing-masing 14.5 m3 yang disusun secara seri danterbagi dalam empat stage dengankonfigurasi 2 - 2 - 3 - 3. Bank cleanerketiga memiliki 5 sel yang masing-masing berkapasitas 14.2 m3 yangdisusun seri dan terbagi dalam duastage dengan konfigurasi 2 - 3.Konsentrat yang dihasilkan oleh sel-selcleaner pertama dipompakan ke bankcleaner kedua. Konsentrat yangdihasilkan bank cleaner keduadipompakan ke bank cleaner ketiga,dan konsentrat bank cleaner ketigadigabung dengan konsentrat polishingcolumn dan konsentrat regrind columnmenjadi konsentrat akhir dandipompakan ke sirkuit CCD. Tailingdari cleaner ketiga mengalir ke cleanerkedua. Tailing dari cleaner keduadigabung dengan konsentrat cleanerscavenger dan dialirkan ke cleanerpertama. Tailing dari cleaner pertamamengalir ke cleaner scavenger,sedangkan tailing dari cleanerscavenger dikembalikan ke sirkuitrougher-scavenger Skema fasilitas

    pengapungan dapat dilihat padaGambar 3.8.

    Sebagai implementasi hasil kajianSejorong Stockpile Oxidation (PTNNT,November 2004) mengenai usahamemaksimalkan perolehan tembaga,metode flotasi yang disebut denganControlled Potential Sulfidization (CPS)mulai diterapkan di konsentrator BatuHijau sejak 2005. Mekanisme CPSadalah menambahkan NaHS ke dalamslurry umpan sirkuit flotasi untukmemodifikasi potensial sulphidisasislurry guna meningkatkan kinerjaproses flotasi dalam mengolah bijihsulfida yang teroksidasi. Berdasarkandata produksi, upaya ini berhasilmeningkatkan perolehan tembaga daribijih segar (fresh ore) yang belumteroksidasi sebesar 1% dan untuk bijihyang teroksidasi sebesar 2%.

    Penerapan metoda CPS ini jugamemberikan dampak positif kepadalingkungan karena dapat mengurangijumlah tembaga yang terbuangbersama tailing. Potensi bahayapenggunaan NaHS terhadap kesehatankarena risiko pembentukan gas H2Shampir tidak ada karena penambahanNaHS dilakukan pada pH di atas 7.Hasil uji toksisitas tailing secararingkas dipaparkan pada Box 1 danuraian yang lebih rinci mengenai hasilkajian metoda CPS ini dapat dilihatpada Box 2.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Box 1. Uji Toksisitas Tailing PT NNT

    Uji biota terhadap tailing PTNNT juga dilakukanuntuk meneliti adanya kemungkinan sifat racunterhadap biota laut. Pengujian dilakukan P2O-LIPI(Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia) dengan menerapkanmetode baku yang telah diakui secarainternasional. Uji toksisitas akut dilakukan selama96 jam (LC50) pada anakan ikan kakap merahdan kerapu macan. Uji toksisitas kronis (IC50)juga dilakukan pada plankton (marine diatom).Semua pengujian dilakukan pada tailing dengantingkat konsentrasi yang berbeda-beda. Hasilpengujian secara tegas menunjukkan bahwatailing PTNNT tidak beracun secara akut ataukronis, meskipun pada konsentrasi tailing sebesar100%.

    Tailing PTNNT tidak berbahaya dan tidakmenunjukkan kadar toksisitas yang signifikan. Halini dapat dilihat dari hasil laporan pemantauankualitas air laut yang dilakukan PTNNT dan pihakketiga yang secara konsisten menunjukkan bahwatingkat kandungan logam terlarut di dalam airlaut di dekat mulut pipa tailing, di luar zonapercampuran tailing, tetap memenuhi baku mutuair laut untuk biota laut yang ditetapkan olehPemerintah Indonesia.

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    17

    Gambar 3.10 LC50 - 96jam Tailing pada Anakan Ikan KerapuGambar 3.9 IC50 - 96jam Tailing pada Marine Diatom

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Box 2. Studi Pengembangan Flotasi CPS

    Strategi operasi penambangan PT.Newmont Nusa Tenggara (PTNNT)untuk mengoptimasi umur tambangsecara ekonomis menerapkanoperasi penambangan pada tingkatproduksi yang lebih tinggi daripadatingkat produksi penggilingan.Karenanya bijih berkadar tertinggidiproses lebih dahulu dan pada saatyang sama sebagian dari bijih yangberkadar rendah ditimbun untukdiproses kemudian hari.

    Umumnya bijih tembaga yang baruditambang atau fresh ore, memilikidua spesies tembaga yangdiklasifikasikan di PTNNT sebagaiacid-soluble Cu (ASCu) dantembaga total (Cu total). ASCuadalah spesies tembaga yangmudah terlindi karena sebagiankandungan sulfidanya telahteroksidasi menjadi oksida.Sedangkan Cu-total adalahgabungan antara ASCu danCusulfida. Pengklasifikasian inispesifik dilakukan oleh PTNNTuntuk membantu memonitor kinerjaperolehan tembaga melalui sistemflotasi yang diadopsi oleh PTNNT.

    Oksidasi pada stockpiled-oremeningkatkan kadar ASCu dalambijih, sehingga umumnya rasioantara ASCu terhadap Cu-total akansemakin meningkat dengansemakin intensifnya proses oksidasiyang terjadi dipermukaan partikelbijih. Proses oksidasi inimengakibatkan turunnya perolehantembaga pada saat bijih tersebutdiolah. Proses oksidasi dalamtimbunan juga menghasilkan airasam tambang yang dapatmelarutkan sebagian kandungantembaga dari timbunan. PTNNTtelah secara terus menerusmelakukan upaya untukmemperkecil dampak oksidasi bijihtimbunan terhadap perolehantembaga dalam proses flotasisulfida serta berusaha untukmemperoleh kembali tembaga yangterlepas ke dalam sistempengelolaan air asam tambang.

    Mekanisme CPS adalahmenambahkan NaHS, memodifika-si potensi sulphidisasi (diukur

    dengan Es), yang sudah umumdigunakan untuk mengolah bijihsulfida yang teroksidasi.Serangkaian pengujian skalalaboratorium dan lapangan telahdilakukan mulai dari tahun 2004 2008 untuk pengembangan flotasimetoda CPS (Controlled PotentialSulphidization) dan pengolahan airasam tambang. Rangkaianpengujian dan penerapannya telahmemberikan hasil yang dapatdisimpulkan sebagai berikut: Kajian skala laboratorium

    menunjukan bahwa penerapanmetode CPS berhasilmeningkatkan perolehantembaga dalam proses flotasiuntuk kategori bijih fresh oremaupun stockpiled-ore.

    Hasil dari studi flotasi denganmetode CPS telah diterapkansecara permanen dalam skalapabrik. Secara statistik metodeCPS menunjukkan peningkatan2% - 3% perolehan tembagasemenjak penerapannya dalamskala pabrik di tahun 2005.

    Hasil menyeluruh uji toksisitasmenunjukkan bahwa tailingsfresh-ore CPS dan stockpiledoreCPS, berikut komponen-komponen yang berasosiasidengan tailing tersebut tidakmenunjukkan efek akut dankronik yang signifikan terhadaporganisme yang diuji.

    Dari hasil diatas menunjukkanbahwa kualitas fraksi cairtailing memenuhi batasan

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    18

    Gambar 3.11 NaHS Plant

    Gambar 3.12 Santong Water Treatment Plant

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    parameter yang ditetapkandalam izin yang berlaku.Analisis TCLP menunjukkanbahwa fraksi padatan tailingberada dibawah baku mutuTCLP kecuali tembaga yangtercantum dalam PP 85/1999(tentang perubahan atas PP18/1999 mengenai PengelolaanLimbah Berbahaya danBeracun/ limbah B3).

    Kajian skala laboratorium untukpengolahan air asam tambangmenunjukkan bahwa penam-bahan NaHS efektif memperolehkembali tembaga terlarut danmenghasilkan produk presipi-tasi CuS.

    Hasil kajian pengolahantembaga terlarut telahditerapkan dalam skala pabrikpada tahun 2006 dengandifungsikannya pabrik peng-olahan air asam tambang diarea Santong (SWTP, SantongWater Treatment Plant). Produkdari proses ini digabung denganproduk konsentrat dari prosesflotasi. Semenjak penerapannyadi awal 2006, SWTP telahmengalami dua tahappeningkatan kapasitas, yaitudari kapasitas pemrosesanumpan 225m3/jam menjadi 500m3/jam (2009) dan akhirnya700 m3/jam di tahun 2010.

    Dengan peningkatan kapasitaspabrik diharapkan 60-70%tembaga terlarut berhasilmenjadi produk siap jual.

    Hasil pemantauan konsentrasitembaga yang ada di kolamSantong-3, menunjukkanperbaikan yang nyata dari tahunke tahun dengan diberlakukan-nya proses pengolahan air asamtambang di SWTP.

    Hasil kajian skala laboratoriumterhadap mekanisme pelepasan(pelarutan) logam (tembaga)dari material tailing ke dalamair laut mengindikasikan bahwakandungan logam terlarutdalam air asam tambang yangdigunakan dalam proses flotasimerupakan kontributor yangsignifikan dalam pelepasanlogam tembaga dari residu sisaproses.

    Dengan demikian, penerapanmetoda flotasi CPS secara permanenpada pabrik pengolahan bijihtembaga serta upaya PTNNTmengoperasikan SWTP dalamusaha memperoleh kembalitembaga terlarut dari sistempengelolaan air asam tambangtelah berhasil meningkatkan kinerjapabrik pengolahan sertamengurangi dampak prosespengolahan terhadap lingkungan.Pemantauan hasil implementasi CPSdan pengolahan air asam tambangakan terus dilakukan untukmempertahankan dan meningkat-kan kinerja yang lebih baik lagi.Keberhasilan produksi dalam halini, sangat berkaitan erat dengankeberhasilan lingkungan, sebabpeningkatan produksi yangdiakibatkan oleh naiknya perolehantembaga dengan proses flotasi,akan menurunkan kadar tembagadalam tailing, sehingga akanmemperbaiki kualitas tailing.

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    19

    Gambar 3.13 Profil Perbandingan Perolehan Tembaga antara Flotasi CPS dan Non-CPS Skala Pabrik

    Gambar 3.14 Profil Cu terlarut dalam Air Asam Tambang PT NNT (air Santong 3)

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    3.3.2 Penanganan Konsentrat

    Proses penggilingan (grinding) danflotasi bijih di Batu Hijaumenggunakan air laut dan/atau airdari kolam Santong 3 sebagai airproses. Klorida yang terkandung dalamair laut masih bercampur dengan slurrykonsentrat akhir yang keluar dari

    sirkuit cleaner. Karena kloridaberpotensi mengganggu prosespeleburan (smeltering) konsentrat,maka kandungan klorida dalam slurrykonsentrat harus disingkirkan sebelumproses pengeringan/filtrasi. Konsentratdicuci dengan air bersih dalam sirkuitCounter Current Decantation (CCD)yang terdiri dari tiga buah thickener

    yang disusun secara seri. Arah alirankonsentrat di dalam sirkuit CCDberlawanan arah (counter current)dengan aliran air pencuci. Sirkuit CCDjuga berfungsi untuk mengentalkanslurry konsentrat akhir agar volumepemompaan slurry menuju fasilitaspenyaringan (filtration plant) menjadilebih rendah. Flocculant ditambahkanke setiap thickener untuk membantuproses pengendapan dan pengentalan.Konsentrat yang sudah kental danbersih disimpan dalam tangki dandipompa menuju fasilitas penyaringandan pengeringan di Benete, melaluijaringan pipa sepanjang 16 km.

    Slurry konsentrat yang dialirkanmelalui jaringan pipa ini terdiri dari60% -70% padatan konsentrat dan 30%- 40% air. Setelah melalui prosespenyaringan dan pengeringan dalamalat filter press, kandungan air didalam konsentrat kering menjadisekitar 9%. Konsentrat kering diangkutdengan konveyor untuk ditimbun dandisimpan di tempat tertutup danterlindung. Pada saat prosespengapalan, konsentrat dari tempatpenyimpanan diangkut dengan front-end loader ke reclaim hooper. Beltfeeder kemudian menarik konsentratdari hopper, mengumpankannya kereclaim conveyor berpenutup yangakan mengangkut konsentrat sampaike palka kapal. Air dari sisapengeringan kemudian di pompakembali ke pabrik konsentrator untukdigunakan kembali sebagai air proses.Dengan demikian tidak ada limbah airyang dibuang dari fasilitaspenyaringan dan pengeringan Gambar3.15 menunjukkan alat-alatpenanganan konsentrat yang ada dikonsentrator dan di pelabuhan Benete.

    3.4 PengelolaanTailing

    Tailing dari pabrik flotasi terkumpuldi saluran tailing dan mengalir secaragravitasi ke tangki deaerasi tailing (de-aeration box, Gambar 3.16). Tinggipermukaan lumpur tailing di dalamtanki deaerasi dipertahankan tetappada kisaran 80% untuk memastikanaliran tailing yang stabil di dalam pipadan mencegah masuknya gelembungudara ke dalam aliran tailing di dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    20

    Gambar 3.15 Alat-alat Penangan Konsentrat

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    pipa. Dari tangki deaerasi, tailingmengalir secara gravitasi melaluisaluran pipa darat dan pipa di dasarlaut (Gambar 3.17) menuju titikpelepasan di hulu Ngarai Senunu padakedalaman 125 meter di bawahpermukaan laut. Tailing akan mengalirmengukuti dasar ngarai dan padaakhirnya mengendap di kedalaman3000-4000 meter di bawah permukaanlaut.

    Perencanaan proyek Batu Hijaumempertimbangkan dua pilihan utama

    untuk pengelolaan tailing: Penempatan padatan tailing di

    darat, di mana lumpur tailing akandiangkut dengan jaringan pipa danditempatkan dalam fasilitaspenyimpanan tailing konvensionalseperti lembah. Pilihan inimengharuskan penggunaan areahutan tropis atau lahan pertanianyang produktif, pemindahanpenggunaan lahan pertanian yangsudah ada dan relokasi beberapapemukiman yang telah ada.Pengelolaan curah hujan tropis yang

    ekstrem dan air laut di fasilitaspenampungan tailing tersebut,ditambah dengan kondisi daerahyang rawan gempa bumi, akanmenambah banyak jenis kesulitandan risiko bila mengambil opsi ini.

    DSTP, di mana lumpur tailing akandiangkut dengan jaringan pipa kelepas pantai Selatan, melintasikarang tepi pantai sebelum dilepaske dalam ngarai dasar laut padakedalaman sekitar 125 m. Lumpurtailing yang lebih berat daripadaair akan mengalir turun di dasarngarai laut yang terjal (kemiringan8 hinggga 15 atau perubahankedalaman sebesar 1000 m dalamjarak 3-7 km) hingga kedalaman2.000 m, dan kemudian menurundi dasar yang lebih landai(kemiringan sekitar 2 sampai 4)hingga kedalaman 3.000 m ataulebih. Pada akhirnya, tailing akanmengendap di dasar laut di dalamCekungan Lombok, di sebelah BaratDaya ujung pipa tailing.

    DSTP merupakan usulan pilihanpengelolaan tailing yang lebihdiutamakan berdasarkan sejumlahalasan berikut: Penempatan tailing di darat akan

    berdampak pada lebih dari 2.300ha hutan dan lahan pertanian sertamengharuskan pemindahan empat

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    21

    Gambar 3.16 Tangki Deaerasi Pemipaan Tailing

    Gambar 3.17 Sistem Pemipaan Tailing Darat dan Dasar Laut PT NNT

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    22

    Gambar 3.18 Penempatan Tailing di Darat akan Berdampak pada 2.316 Ha Hutan Produktif dan Lahan Pertanian

    pemukiman yang telah ada, yang akanberdampak pada 2.100 jiwapenduduk setempat dan matapencaharian mereka (Gambar3.18).

    Curah hujan tahunan lebih dari2.500 mm akan menyebabkanpengelolaan air dalam fasilitaspenampungan di darat menjadisangat sulit.

    Penampungan tailing di darat,dalam jangka panjang, berisikomengalami kegagalan karenacurah hujan yang sangat tinggi dangempa bumi.

    DSTP hanya mempengaruhilingkungan bawah laut yangproduktivitasnya rendah dan tidakberdampak pada ekosistem pantaidan sumber daya terkait.

    Pemulihan ekosistem bawah lautsetelah penutupan tambangdiperkirakan memakan waktu 2tahun, sementara penempatan didarat akan memakan waktu 50tahun.

    Penempatan tailing di darat akanmemerlukan biaya pengelolaan danpengolahan air yang terus menerusuntuk mencegah dampak terhadaplingkungan setelah penutupantambang.

    DSTP kemudian dimasukkan dalamopsi uraian proyek dalam studikelayakan dan ANDAL menguraikandampak lingkungan dan sosialnya.Studi-studi ini mencatat bahwa selaindari manfaat lingkungan dan sosialdari penempatan tailing di dasar laut,penempatan tailing di darat kurangmenarik atau kurang layak secaraekonomi untuk proyek ini dan terdapatrisiko-risiko lingkungan dan publikyang signifikan yang terkaitdengannya. Tujuan-tujuan pengelolaansistem DSTP merupakan upayapencegahan dampak terhadapkomponen-komponen ekosistem yangsangat produktif seperti terumbukarang, bakau, air permukaan danperikanan, serta upaya pembatasandampak agar terbatas pada area yangproduktivitasnya biologinya rendah.Pemerintah Indonesia menyetujuipenilaian ini dan AMDAL dengan opsiDSTP proyek Batu Hijau disetujuiberdasarkan penilaian tersebut padatahun 1996 (KEP41/MENLH/10/1996).

    Tambang PTNNT saat ini beroperasidengan menggunakan sistempengelolaan tailing DSTP dan saat inimendapat izin untuk menempatkanlebih dari 58,4 juta metrik-ton-kering

    per tahun. Mulut pipa DSTP yangmengeluarkan tailing berada padakedalaman 125 m, di bibir NgaraiSenunu (lihat Gambar 3.19 dan 3.20).Studi-studi yang telah dilakukanmembuktikan prediksi ANDAL, karenaberat jenisnya sendiri maka sebagianbesar lumpur (slurry) tailing yangdilepaskan ke Ngarai Senunu akanmengalir ke dasar ngarai dankemudian terakumulasi padakedalaman antara 3.000 - 4.000 m,sekitar 50 - 100 km jauhnya dari garispantai. Selain itu, pemantauanmenunjukkan bahwa tailing yangdilepas tidak akan naik ke permukaanair yang produktif secara biologi. Halini disebabkan faktor, berat jenisnyasendiri, curamnya lereng dasar laut,dan kondisi fisik oseanografi yang ada,sehingga penempatan tailing tidakakan mempengaruhi lingkunganperairan pesisir yang dangkal.

    Komisioning sistem DSTP dilakukanpada September 1999. Dan sejak itu,pemantauan kualitas air laut dansedimen serta pembuatan profil lauttelah dilaksanakan sedikitnya setiaptiga bulan dan pemantauan parameterbiologi dilakukan dua kali per tahun.Survei oseanografi independent untuk

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    3.5 PemantauanJaringan Pipa Tailing

    Perpipaan untuk sistem penempatantailing di dasar laut, mulai dari tankideaerasi hingga ke dasar laut terdiridari 2 jenis, yaitu pipa tailing daratyang terbuat dari pipa baja yangbagian dalamnya dilapisi karet danpipa tailing laut yang terbuat daripolimer HDPE (High Density PolyEtilene) seperti dapat dilihat padaGambar 3.21. Panjang pipa tailing

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    23

    memvalidasi jejak tailing yang telahdiperkirakan dan sebaran tailng plumetelah dilakukan oleh LIPI sejak 2003,(LIPI, 2004a) dan kemudian pada 2009(LIPI, 2010). Studi uji tuntaspengambilan contoh dan presisianalitis dalam menentukan konsentrasilogam dalam air, sedimen dan jaringanbiota juga telah selesai dilaksanakanpada 2004 dan 2009 (CSIRO, 2005;2010). Semua studi yang dilakukanoleh PTNNT, LIPI dan CSIRO konsistendan menunjukkan bahwa padatantailing terakumulasi di bawah mulutpembuangan baik di dalam maupundi dekat ngarai bawah laut yangmenuju ke tepi Cekungan Lombok(pada kedalaman sekitar 4.000 m),sebagaimana diperkirakan dalamANDAL. Sejak operasi dimulai pada1999, tailing yang ditempatkantersebut belum pernah ditemukan naikmelewati kedalaman penempatan

    Gambar 3.19Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu, Pesisir SelatanPulau Sumbawa

    Gambar 3.20Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu

    yang Menunjukkan Tapak Tailing

    darat sekitar 6 km dan pipa tailing lautsekitar 3,2 km. Spesifikasi dari keduajenis pipa tersebut dapat dilihat padaTabel 2. Di dekat ujung pipa daratterdapat serangkaian choke yangdipasang untuk mengatur volume dankecepatan aliran lumpur tailing dalampipa. Pipa laut terpasang pada duajalur, pipa Barat dan pipa Timur, dankeduanya berujung di hulu NgaraiSenunu. Pipa tersebut dioperasikansecara bergantian, pada saat satu pipaberoperasi pipa kedua akan berfungsisebagai pipa cadangan (Gambar3.17).Seluruh jaringan pipa tailing diperiksadan dirawat secara berkala untukmemastikan sistem berfungsi secaraoptimal. Program perawatan pipa bajadan pipa polimer meliputi programinspeksi rutin dan pengukuranketebalan pipa, sistem deteksi dinidan pencegahan kebocoran, program

    menuju perairan pantai di dekatnyadan karang di Pesisir di Sumbawa BaratDaya. Secara lebih rinci, hasilpemantauan dan kajian DSTPdiuraikan di dalam Bab 4 dan Bab 5.

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    24

    Gambar 3.21 Konstruksi Pipa Baja dan Pipa Polimer (HDPE) serta Sambungan antara Keduanya

    Tabel 2. Spesifikasi Pipa Tailing Darat dan Laut yang Digunakan PT NNT

    perawatan terhadap pipa baja dan pipapolimer, pencegahan prosespenggerusan di dalam pipa danprogram pencegahan korosi eksternalpipa baja. Tabel 3 menunjukkan secararingkas sistem perawatan pipa tailingdarat dan pipa tailing laut yangdilakukan. Selain perawatan rutin,penggantian pipa dilakukan secarabertahap untuk bagian pipa darat yangtelah diidentifikasi mengalami keausanberlebih atau kerusakan/sobek/penggelembungan pada karet pelapis.Penggantian spool pipa tailing daratdan pemeriksaan keseluruhan bagiandalam pipa darat dan laut hanya dapatdilakukan bersamaan dengan saatpelaksanaan penghentian (shutdown)pabrik untuk perawatan utama pabrik(reline SAG mill) yang dilakukan 2 kalisetahun.

    Sejak beroperasi hingga tahun 2010,telah dilakukan sebanyak 21 kalipemeriksaan dan penggantianbeberapa bagian pipa darat. Pipa lautHDPE juga mengalami keausan,terutama di bagian bawah pipa pada

    arah jam 5-7. Pengukuran mingguanmenggunakan alat ultrasonik di titiktransisi (sebelum pipa masuk ke laut)merekam ketebalan dan tingkatkeausan pipa laut sehinggapenggantian pipa dapat direncanakandan dilakukan sebelum ketebalanminimum yang disyaratkan dicapai.Pemeriksaan dan pengukuranketebalan pipa laut juga dilakukanuntuk keseluruhan pipa menggunakanalat In-Line Inspection (ILI) pada saatpenghentian pabrik. Inspeksi bulananmenggunakan kamera yang terpasangpada wahana kendali jarak jauh (ROV,Remote Operated Vehicle) memastikantidak terjadinya kebocoran pipa lautselama beroperasi (Gambar 3.22 dan3.23). Sejak beroperasi hingga tahun2010, PTNNT telah mengoperasikanenam pipa laut (Gambar 3.24). Proseskonstruksi dan penggantian pipa lauttelah mengalami berbagai perbaikansejalan dengan perkembanganteknologi (Box 3).

    Kajian teknis penempatan pipa outlettailing lebih dalam telah dilakukan

    untuk menilai kelayakan penempatanujung pipa tailing pada kedalaman 150dan 200 meter di bawah permukaanlaut (LAPI ITB, 2011a). Kajian inimencakup aspek lingkungan,kestabilan pipa tailing, dan hidraulika.Data lingkungan yang digunakanberdasarkan data 10 tahunpemantauan mencakup kondisithermoklin, TSS dan densitas. Hasilnyaadalah kondisi lingkungan untukkedalaman yang dimaksud tidak jauhberbeda dengan kondisi lingkungandengan kedalaman pipa saat ini (125meter di bawah permukaan laut) dandata pemantauan juga telahmenunjukkan tidak adanya tailingyang naik kepermukaan.

    Kajian hidraulika menunjukkanpendalaman ujung pipa dapatmenaikkan persentasi fraksi padatantailing namun tidaklah signifikan jikadibandingkan dengan kesulitan dalaminstalasi maupun penggantian pipaserta perawatan yang diperlukan.Kestabilan pipa tailing dipengaruhioleh kondisi dasar laut yang di sebagian

    Pipa Tailing

    Darat

    Laut

    Jenis

    BajaASTM A139

    HDPE

    Panjang(km)

    6

    3,2

    Diameter(mm)

    1120

    1020

    Ketebalan(mm)

    9,4

    110

    Keterangan

    Dilapisi karet setebal20 mmHDPE

    (High DensityPolyethylene)

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    25

    Tabel 3. Sistem Perawatan Pipa Tailing Darat dan Laut

    Gambar 3.22 Inspeksi Ketebalan PipaMenggunakan ILI

    Gambar 3.23 Inspeksi Bulanan Pipa Tailing Laut Menggunakan ROV

    besar kedalaman setelah 108 metermempunyai tingkat kecuraman yanglebih tinggi. Akibatnya terjadipengausan ketebalan pipa lebih cepatserta potensi putusnya pipa karenatarikan pipa pada lereng yang lebihcuram. Kondisi alami daerah lautSelatan Sumbawa sebenarnya telahmembantu PTNNT dengan adanyaNgarai Senunu yang berfungsi sebagaiselokan. Tailing yang keluar pipakemudian turun melalui ngarai tersebutsampai dengan kedalaman 3000 4000meter di bawah permukaan laut.

    Aktivitas

    Ketebalan pipalaut: ILI

    Inspeksi visual ROV

    Ketebalan pipa laut

    Inspeksi fisik pipadarat bagian dalam

    Inspeksi visual pipadarat bagian luar

    Pengukuran tekanan Real timemonitoring

    Metode

    Pengamatan

    Pengamatan

    Ultrasonik

    Pengamatandan perekaman

    Ultrasonik

    Setiap saat

    Frekuensi

    Setiap hari (per 2 jam)

    Untuk 2 tahun pertama satutahun sekali dan selanjutnyasetahun dua kali

    2 kali per tahun

    Mingguan

    Setiap 3 bulan

    Titik Pengukuran

    Sebelum dan sesudah choke

    Sepanjang pipa tailing darat

    Sepanjang pipa darat

    Di antara area transisi danarea kontrol

    Sepanjang pipa tailing laut

    Sepanjang pipa tailing laut

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Box 3. Konstruksi Pipa Laut

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

    26

    Konstruksi pipa laut untuk tailingini pertama kali selesai tahun 1999dengan menggunakan pipa HDPEberdiameter 46.5" dengan ketebalanpipa 85mm. Metode pemasanganpipa yang digunakan adalah S bendlay yang sudah sangat umumdigunakan dalam dunia konstruksipemasangan pipa bawah laut.Pemasangan pipa ini dilakukansampai kedalaman ujung pipa padaposisi 125m dibawah permukaanlaut. Pada tahun 2002, dibangunjalur pipa bawah laut yang baruyang berlokasi disebelah barat darijalur pipa pertama yang kemudiandikenal dengan jalur pipa timursebagai pipa cadangan dari pipaawal masih dengan metode yangsama.

    Pada tahun 2005 dilakukan studikelayakan untuk metodepemasangan pipa bawah laut yangbaru, dimana metode yangdilakukan sebelumnya dirasa belumoptimal dan kurang tepat untukpemasangan terutama pipa jenisHDPE. Dari hasil studi ini

    diperkenalkan salah satu metodekonstruksi baru yang dirasa cocokdengan kondisi di batu hijau yaitumodified bottom tow out methodatau metode modifikasi penarikanpipa dasar laut.

    Pada tahun 2006 awal berdasarkanhasil pemeriksaan pipa yang sudahtipis, maka dilakukan penggantian

    pipa bawah laut dijalur pipa timurdengan menggunakan metodekonstruksi yang baru. Dengansemakin tipisnya pipa yangdipasang pada tahun 2006 makapada tahun 2007, pihak ManajemenPTNNT memutuskan untukmembangun kembali jalur pipabawah laut baru sebagai pipacadangan yang siap dioperasikanapabila pipa lama harus digantidengan mempertimbangkan bahwajalur pipa yang pertama kalidibangun sulit untuk dilakukanpenggantiannya. Jalur baru yangdipilih berada disebelah barat darijalur pipa timur yang kemudiandisebut jalur pipa barat.

    Pembangunan jalur pipa baratdilakukan dengan menggunakanmetode penarikan bawah laut yangterus disempurnakan. Pekerjaannyadimulai dengan pemasangan pipapembungkus besi terlebih dahuluseperti jalur pipa sebelah timur yangmenyeberangi wilayah pantai dariposisi 8m diatas permukaan lauthingga 10m dibawah permukaan

    Gambar 3.24 Diagram Sejarah Konstruksi Pipa Tailing Laut 1999 sampai dengan 2010

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    laut. Terdapat perbedaan dalammetode konstruksi yang digunakanpada pembangunan pipa jalur baratini dari sebelumnya, antara lain:1. Panjang sambungan pipa per

    string menjadi 240 m, yangmenghemat waktu penarikanpipa kedalam laut.

    2. Kapal yang digunakan bukanlagi jenis Diver Support Vessel(DSV) melainkan ConstructionSupport Vessel (CSV) dimanajenis kapal ini menggunakanROV dalam pelaksanaankonstruksi bawah lautnya.

    3. Tidak ada lagi penggunaan satu-ration diver pada masa ini danoperasi bawah laut sepenuhnya

    diganti dengan menggunakanWorld Class Remote OperatingVehicle (WROV). Dimana WROVini mampu untuk mengerjakansemua pekerjaan yangsebelumnya dilakukan oleh satu-ration diver.

    Pada tahun 2008, pipa bawah lautpada jalur sebelah timur yang sudahaus karena tererosi oleh materialtailing diganti dengan pipa barudengan menggunakan metodekonstruksi yang disempurnakandari metode pembangunan pipajalur barat. Sebagai gantinya pipapenyalur bawah laut kembalimenggunakan pipa bawah lautjalur barat.

    Pembangunannya dilakukandengan penyambungan setiapbatang pipa HDPE 15m menjadisatu string 240m. Prosespenyambungan ini dilakukanmenggunakan mesin penyambung-an pipa HDPE dengan teknik buttfusion weld. Pada setiap prosespenyambungan, beads yangterbentuk dari hasil pemanasanpipa HDPE ini dibuang baik padabagian luar maupun bagian dalampipa untuk mengurangi resikoturbulensi yang terjadi pada alirantailing yang dapat menyebabkanlaju keausan pipa semakin cepatdan juga bisa digunakan untukdilakukan pengecekan manualterhadap kualitas hasil penyam-bungan.

    Setelah semua pekerjaanpemasangan selesai, maka akandilanjutkan dengan pelaksanaan teskebocoran untuk membuktikanbahwa pipa ini aman untukdigunakan. Selama proses tes

    kebocoran ini akan disaksikan olehpihak ketiga yang akan menjaminpelaksanaan tes ini dilakukandengan benar dan dinyatakan siapuntuk digunakan. Penyempurnaanserta pengembangan terusdilakukan terhadap metodekonstruksi modifikasi penarikanpipa dasar laut yang terbukti sangatsesuai dengan kondisi proyekpemasangan dan atau penggantianpipa tailing bawah laut di BatuHijau, serta merupakan metodekonstruksi terbaik yang sangatjarang ditemui diseluruh dunia.

    27

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam28

    Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 4 Pemantauan Lingkungan

    29

    Pemantauan Lingkungan

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam30

    Program pemantauan tailing danlingkungan di sekitar area DSTPdilakukan sesuai dengan ketentuanAMDAL/RKL/RPL Proyek Batu Hijau(KEPMENLH No 41/1996). KiniPTNNT mempunyai basis datapemantauan pesisir selatan yangekstensif dengan data rona awalsebelum tambang beroperasi yaituselama lima tahun sebelum tailingditempatkan, dan menjadi buktikepatuhan PTNNT terhadap tujuanRPL, validitas prediksi ANDAL, danjuga penilaian kondisi lingkungan lautdi daerah yang terpengaruh.

    Pengoperasian sistem DSTP di huluNgarai Senunu merupakan sumberutama yang berpotensi menimbulkan

    PemantauanLingkungan

    4.1 Pendahuluan

    Bab 4 Pemantauan Lingkungan

    Program Parameter Frekuensi Lokasi

    Pengukuran tekanan dalam pipa tailing

    Perbedaan tekanan(untuk deteksi dini jika ada kebocoran pipa tailing)

    Terus menerus Ruang kontrol di pabrik pengolahan

    Inspeksi pipa darat Inspeksi bagian luar 2 Jam Sepanjang pipa daratInspeksi dan pemeliharaan bagian dalam 2-3 kali / Tahun

    Inspeksi pipa laut

    Inspeksi bagian luar dengan ROV 1-3 kali / 3 Bulan Sepanjang pipa lautPengukuran ketebalan pipa Mingguan Daerah transisiInspeksi kondisi dan ketebalan pipa 1-3 kali / Tahun Sepanjang pipa lautPenggantian pipa Sekali / 23 Tahun Pipa laut

    Debit tailing Debit rata-rata (m3/hari) Harian Pabrik pengolahan

    Karakteristik fisik tailing pH, berat jenis, dan fraksi padatan Harian

    Tangki De-aerasi tailing

    Suhu, konduktivitas Mingguan

    Karakteristik kimia tailing

    Logam terlarut (tailing cair): Cu, Mn, dan H2S

    Mingguan

    Hg, As, Cr, Cd, Cr(VI), Cu, Zn, Pb, dan Ni BulananLogam total (tailing padat):Hg, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Pb, Ni, dan Mn Bulanan

    TCLP (tailing Slurry) 3 Bulanan

    Air proses Suhu, pH, dan konduktivitas Bulanan Pabrik pengolahanLogam Terlarut: Cu, Mn

    Air Santong Suhu, pH, dan konduktivitas Bulanan Santong 3Logam Terlarut: Cu, Mn

    Karakteristik fisika laut Profil salinitas, suhu, dan transmisivitas BulananNgarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa

    Arah dan kecepatan arus, dan suhu Terus menerus Pesisir Selatan Sumbawa

    Karakteristik kimia air laut

    Logam Terlarut: Hg, As, Cd, Cr(VI), Cu, Zn, Pb, Ni, Mn, CrTSS, kekeruhan

    3 Bulanan Ngarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa

    TSS, kekeruhan, Logam Terlarut: Cu Pada bulan Upwelling (Agustus) Ngarai Senunu

    Karakteristik sedimen laut Logam Total: Hg, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Pb, Ni, MnUkuran butir 3 BulananNgarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa

    Ekologi pesisirMeiobentos, Makrobentos, Fitoplankton, Zooplankton, Komunitas Karang, Ikan Karang, dan Komunitas Intertidal

    6 Bulanan Pesisir Selatan Sumbawa

    Ikan demersal dan Filter Feeder (kerang-kerangan)

    Logam Total dalam jaringan: Hg, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Pb, Ni, Mn Tahunan

    Pesisir Selatan Sumbawa dan Selat Alas

    Perikanan Produksi perikanan nelayan Sepanjang Tahun Kabupaten Sumbawa Barat dan sebagian Lombok Timur

    dampak terhadap lingkungan perairanlaut-dalam pesisir selatan. Hal iniakan menjadi topik pembahasanutama dalam bab ini. Kecuramandinding ngarai memudahkan tailingmengalir sebagai arus densitas dasarlaut sebagaimana studi AMDAL(PTNNT, 1996) yang memprediksikantailing selanjutnya akan terakumulasipada kedalaman di bawah 3.000 m.ANDAL juga memprediksikan setiapplume yang keluar dari aliran tailingutama dan menyebar ke kolom airakan tetap terperangkap di bawahlapisan campuran permukaan(biasanya sekitar 80 m) dan tidak akannaik ke habitat karang yang dangkaldekat pantai, yang merupakan zonafotik paling produktif. Prediksi ANDALini telah terbukti dari hasil pemantauanlingkungan laut PTNNT dan surveiP2O-LIPI (LIPI, 2004a; 2010) dansurvei uji tuntas CSIRO yang diuraikandalam laporan saat ini dansebelumnya.

    Pengelolaan dan pemantauanlingkungan penempatan tailing di

    dasar laut dalam yang dilakukan olehPTNNT proyek Batu Hijau pada saatini selain mengacu pada RPL jugamengacu pada amanat danpersyaratan yang terdapat dalam izinPenempatan Tailing di Dasar LautDalam (izin DSTP) berdasarkankeputusan Menteri Negara LingkunganHidup Nomor: 236 tahun 2007(KEPMENLH No. 236/2007).

    PTNNT melakukan pemantauanvolume tailing, karakteristik fisikadan kimia tailing baik itu fraksi padatmaupun cair, serta air proses yangmungkin mempengaruhi kualitastailing. Pemantauan lingkunganpesisir di area penempatan tailing dandaerah yang terpengaruh meliputi:pemantauan aspek-aspek fisika dankimia mutu air laut, profil kolom airlaut dan mutu sedimen, sertapemantauan berbagai komponenbiologi seperti komunitas planktondan bentos, ekosistem intertidal,komunitas ikan karang dan karangsubtidal, serta potensi pencemar(logam) yang terakumulasi dalam

    Tabel 4. Program Pengelolaan dan Pemantauan Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT

  • Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam

    Bab 4 Pemantauan Lingkungan

    31

    Lokasi Kode LokasiKoordinat(WGS 84)

    Mangkun SC1 116o45.000E

    Madasanger SC2 116o46.500E

    Senunu SC3 116o49.000E

    Sejorong - Senutuk SC4 116o50.000E

    Senutuk SC5 116o51.000E

    Tabel 5a. Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, Plankton, Bentos dan Profil Kolom Airdi Sepanjang Pesisir Laut Selatan

    Tabel 5b. Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Laut Selatan

    Keterangan: W1 = Kualitas Air ( 3m, 50m, 120m, dekat dasar ) S = Sedimen W2 = Kualitas Air ( 3m, 50m, dekat dasar ) P = Plankton W3 = Kualitas Air ( 3m, dekat dasar ) B = Bentos W4 = Kualitas Air ( 50m, 120m) K = Profil Kolom Air

    K, W14816508995240252CO344

    K, W14744728997655326CO243

    K, W14737268998560273CO142

    K, W44813158992747620CI1241

    K, W447664389929351000CI1129

    K, W447365989929871033CI1028

    K, W44801968995039400CI927

    K, W44778368994382857CI826

    K, W44762098994436850CI725

    K, W447365989945971033CI624

    K, W44809298996759127CI523

    K, W44799668996303269CI422

    K, W44790498996703549CI321

    K, W44773008996490329CI220

    K, W44761548997083335CI119

    K, W2, S, B, P471607900297466SC218

    K, W1, S, B, P4843568994937206SC117

    K, W1, S, B4787998998103223S2816

    K, W3, S478634899962347S2315

    K, W14790198997153447S1614

    K, W14790198997631318S1513

    S478160899810086S1412

    K, W2, S478240899856083S1311

    K, W2, S478655899894073S1210

    K, W3, S478819900037822S099

    K, W2, S, B, P476375899845298S088

    S, B, P474396900062951S077

    P4743098998417105S066

    S, B, P478020899963549S055

    S, B, P479852899927154S044

    K, W1, S, B, P4780068997290210S033

    K, W2, S, B, P479886899854384S022

    K, W1, S, B, P4796278997837208S011

    EastingNorthingContoh yang

    diambilKoordinatKedalaman

    (m)StasiunNo

    K, W14816508995240252CO344

    K, W14744728997655326CO243

    K, W14737268998560273CO142

    K, W44813158992747620CI1241

    K, W447664389929351000CI1129

    K, W447365989929871033CI1028

    K, W44801968995039400CI927

    K, W44778368994382857CI826

    K, W44762098994436850CI725

    K, W447365989945971033CI624

    K, W44809298996759127CI523

    K, W44799668996303269CI422

    K, W44790498996703549CI321

    K, W44773008996490329CI220

    K, W44761548997083335CI119

    K, W2, S, B, P471607900297466SC218

    K, W1, S, B, P4843568994937206SC117

    K, W1, S, B4787998998103223S2816

    K, W3, S478634899962347S2315

    K, W14790198997153447S1614

    K, W14790198997631318S1513

    S478160899810086S1412

    K, W2, S478240899856083S1311

    K, W2, S478655899894073S1210

    K, W3, S478819900037822S099

    K, W2, S, B, P476375899845298S088

    S, B, P474396900062951S077

    P4743098998417105S066

    S, B, P478020899963549S055

    S, B, P479852899927154S044

    K, W1, S, B, P4780068997290210S033

    K, W2, S, B, P479886899854384S022

    K, W1, S, B, P4796278997837208S011

    EastingNorthingContoh yang

    diambilKoordinatKedalaman

    (m)StasiunNo

    Filter Feeder4475679026800Tanjung LuarTanjung Luar7

    Filter Feeder4794429026382Labuhan LalarLab. Lalar6

    Intertidal, Filter Feeder4718039014442MalukMaluk5

    Intertidal, Filter Feeder4714949005316Tanjung MangkunMangkun4

    Intertidal, Filter Feeder4912928999060PunaTongoloka3

    Intertidal, Filter Feeder4746699003094Brang PedangMadasanger2

    Intertidal, Filter Feeder4813989000146SejorongSejorong1

    EastingNorthingPemantauan

    KoordinatLokasiStasiunNo

    Filter Feeder4475679026800Tanjung LuarTanjung Luar7

    Filter Feeder4794429026382Labuhan LalarLab. Lalar6

    Intertidal, Filter Feeder4718039014442MalukMaluk5

    Intertidal, Filter Feeder4714949005316Tanjung MangkunMangkun4

    Intertidal, Filter Feeder4912928999060PunaTongoloka3

    Intertidal, Filter Feeder4746699003094Brang PedangMadasanger2

    Intertidal, Filter Feeder4813989000146SejorongSejorong1

    EastingNorthingPemantauan

    KoordinatLokasiStasiunNo

    Tabel 5b. Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Intertidal dan Filter Feeder

    Keterangan: Posisi Lintang tidak ditetapkan namun berdasarkan kedalaman peyelaman (15 - 18 m).

    populasi ikan laut dalam. Tidakketinggalan dilakukan survei sosialuntuk mengetahui produksi perikanannelayan di beberapa area di wilayahsekitar tambang (Tabel 4).

    Program pemantauan limbah tailingdilaksanakan untuk memastikanbahwa seluruh parameter lumpurtailing yang akan ditempatkan telahmemenuhi kriteria perizinan, sertauntuk memastikan operasiPenempatan Tailing Dasar Laut Dalamberjalan optimal. Contoh kualitastailing diambil di titik penaatan didalam kotak deaerasi, sebelum tailingdialirkan melalui pipa ke dasar laut.Air proses dan air tambang yangdigunakan di dalam proses jugadipantau secara berkala di lokasipantau seperti pada Gambar 4.1.

    Fokus utama dari pemantauanlingkungan laut di sepanjang PesisirSelatan adalah untuk membuktikanhipotesis kedua ANDAL bahwapenempatan tailing tidakmempengaruhi ekologi intertidal danterumbu karang subtidal di wilayahpesisir dan perairan dangkal yangproduktif. Konsekuensinya, pemantau-an ekologi laut Pesisir Selatandirancang sedemikian hinggasebagian besar pengamatan danpengambilan contoh dilakukan diberbagai lokasi di mana tailing tidakdiharapkan terdeteksi. Sedikit berbedadengan periode pemantauansebelumnya, sejak periode izin 2007pemantauan dan pengambilan contohkualitas air dikelompokkan ke dalamdi tiga zona: Zona A di dalam DaerahPenempatan Tailing (DPT) dengankedalaman >120 m; Zona B di atasDPT dengan kedalaman d120 m; danZona C di luar DPT (Gambar 4.3).Sesuai dengan