khulafaur rasyidah 1 dan 2

Upload: tuty-marlina

Post on 06-Jan-2016

71 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangAl-Khulafa al-Rosyidin merupakan pemimpin Islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan baiat (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Al-Khulafa al-Rosyidin adalah para penganti Nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan Islam sebagai institusi negara mulai tumbuh dan berkembang pada masa tersebut.[footnoteRef:1] [1: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.77]

Al-Khulafa al-Rosyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat sebagai pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Pemilihan keempat pemimpin ini melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi tidak menetapkan bagaimana suksesi kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat. Empat khalifah ini merupakan orang-orang mulia dan memiliki peran yang cukup menonjol di Makkah dan Madinah. Mereka dikenal sebagai rasyidin, khalifah-khalifah yang mendapatkan petunjuk, dan model pemerintahan yang mereka pakai sama formatifnya dengan yang dilakukan oleh Nabi.[footnoteRef:2] Khulafaur Rasyidin merupakan istilah gelar resmi merujuk pada empat khalifah pertama Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. [2: Karen Amstrong, Islam; Sejarah Singkat, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), hal. 34-35 ]

Islam pada masa khulafaur rasyidin tetap pada aslinya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi, namun ada beberapa hal yang tentunya berbeda dari empat khalifah Islam yang merupakan corak tersendiri pada setiap masa kepemimpinannya. Adapun untuk lebih jelasnya kedua tokoh yang dari keempat khilafah Islam (Abu Bakar dan Usman bin Affan) secara lebih jelasnya telah penulis paparkan pada makalah ini.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan pada latar belakang di atas maka dirasa perlu untuk merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini:1. Bagaimana biografi tokoh khilafah al-Rasyidah I-II?2. Bagaimanakah Islam pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?3. Bagaimana cara pembentukan khilafah pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?4. Bagaiamanakah perkembangan Islam sebagai kekuatan politik di masa khilafah al-Rasyidah I-II?5. Bagaimanakah sistem ghanimah yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?6. Bagaimanakah sistem pertanahan yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?

C. Tujuan MakalahMelihat rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan untuk:1. Menjelaskan biografi tokoh khilafah al-Rasyidah I-II2. Menguraikan tentang Islam pada masa khilafah al-Rasyidah I-II3. Menjelaskan cara pembentukan khilafah pada masa khilafah al-Rasyidah I-II4. Menjelaskan perkembangan Islam sebagai kekuatan politik di masa khilafah al-Rasyidah I-II5. Menjelaskan sistem ghanimah yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II6. Menjelaskan sistem pertanahan yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II

BAB IIPEMBAHASAN

A. Biografi Tokoh1. Biografi Abu BakarAbu Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu Kabah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573 M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3 tahun. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki yang masuk Islam pertama kali. Sedangkan gelar As-Shidiq diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra Miraj.Setelah masuk Islam, beliau menjadi anggota yang paling menonjol dalam jamaah Islam setelah Nabi SAW. Beliau terkenal karena keteguhan pendirian, kekuatan iman, dan kebijakan pendapatnya. Beliau pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi SAW., agar ia mendampingi Nabi untuk bertukar pendapat atau berunding.Pekerjaan pokoknya adalah berniaga, sejak zaman jahiliyah sampai setelah diangkat menjadi Khalifah. Sehingga pada suatu hari beliau ditegur oleh Umar ketika akan pergi ke pasar seperti biasanya : Jika engkau masih sibuk dengan perniagaanmu, siapa yang akan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan?. Jawab Abu Bakar : Jadi dengan apa saya mesti memberi makan keluarga saya? . Lalu diputuskan untuk menggaji Khalifah dari baitul mal sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam taraf yang amat sederhana.Abu Bakar adalah putra dari keluarga bangsawan yang terhormat di Makkah. Semasa kecil dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati serta kemuliaan akhlaknya, sehingga setiap orang mencintainya. Ketika Nabi SAW mengajak manusia memeluk agama Islam, Abu Bakar merupakan orang pertama dari kalangan pemuda yang menanggapi seruan Rasulullah, sehingga Nabi SAW memberinya gelar Ash-Siddiq.2. Biografi Umar bin KhattabUmar bin Khattab adalah putra Nufail Al-Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Khalifah kedua dalam Islam dan juga orang kedua dari kalangan Khulafa al-Rasyidun (Khalifah yang lurus). Ia merupakan satu di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam. Ia terkenal dengan tekad dan kehendaknya yang sangat kuat, cekatan, dan karakternya yang berterus terang. Sebelum menjadi khalifah ia dikenal sebagai pribadi yang keras dan tidak mengenal kompromi dan bahkan kejam.Semula ia adalah musuh Islam yang sangat bengis. Perubahan pendiriannya yang terjadi pada tahun keempat sebelum hijrah merupakan peristiwa yang sangat terkenal. Ia telah memutuskan untuk membunuh Nabi, namun ketika mendengar perihal saudara perempuannya yang bernama Fathimah bersama suaminya yang bernama Said ibnu Zayd telah memeluk agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka ia segera mencari keduanya untuk memberikan peringatan kepada keduanya. Tetapi ketika Umar mendapatkan keduanya sedang membaca al-Quran, Umar menjadi berminat memeluk agama Islam. Dan setelah ia masuk Islam, ia menjadi sahabat yang sangat setia, bahkan pada akhir hayatnya ia berkata : kematian akan sangat buruk bagiku, seandainya aku tidak menjadi seorang muslim.[footnoteRef:3] [3: 3 repository.um.edu.my...5.%20KEPENTINGAN%20... ]

B. Islam pada Masa Khalifah al-Rasyidah I-II1. Islam pada Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq

2. Islam pada Masa Khalifah Ummar bin Khattab

C. Pembentukan KhilafahKata (khalifah), menurut Luis Maluf Yasui dalam Kamus Al-Munjid biasa diterjemahkan dengan pengganti dalam al-Quran terdapat dua kata , dan tiga kata , tapi tidak satu pun tertuju kepada Muhammad SAW atau khalifahnya. Yang dimaksud dengan kata dalam al-Quran surat 2 (al-Baqarah):30.[footnoteRef:4] [4: Abul Ala Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 58-59]

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumiKata khalifah dalam surat 38(Shad):26, Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, jelas tertuju kepada Nabi Daud.[footnoteRef:5] [5: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.77]

Khilafah merupakan bentuk pemerintahan sepeninggal Nabi Muhammad. Ada empat khalifah (pemimpin) di saat itu yang terkenal dengan kedekatannya dengan Nabi Muhammad semasa hidupnya. Ketika Nabi wafat maka terjadilah kekalutan dalam penentuan siapakah yang akan menjadi pemimpin umat yang akan menggantikan Nabi. Ada kalangan yang mengatakan bahwa kelompok kesukuan harus memilih imam-nya sendiri. Sahabat Nabi, Abu Bakar dan Umar bin Khattab berpendapat bahwa ummah adalah masyarakat yang bersatu dan dipimpin oleh seoragn pemimpin tunggal, sebagaimana pada masa Nabi. Di Arabia, adalah suatu yang sakral, sehingga ada anggapan bahwa kualitas khusus seorang pemimpin diturunkan pada keturunanya, oleh karena itu sebagian kelompok beranggapan bahwa Nabi Muhammad mungkin menginginkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya dalam memimpin umat.[footnoteRef:6] [6: Ibid., hal. 34-35]

1. Pembentukan Khilafah pada Masa Abu Bakar ash-ShiddiqSepeninggal Nabi Muhammad sekelompok orang berpendapat bahwa Abu Bakar yang lebih berhak atas kekhalifahan, karena Rasulullah merelakannya dalam urusan-urusan agama dengan menyuruhnya mengimami shalat jamaah selama Nabi sakit. Kelompok yang lain berpendapat bahwa yang paling berhak atas kekhalifahan adalah ahlu-bait Rasulullah sendiri yang diwakili oleh Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib, selain itu masih ada kelompok yang mengatakan bahwa kekhalifahan paling pantas dipegang oleh golongan Quraisy termasuk di dalamnya adalah kaum Muhajirin awal. Kelompok lainya juga berpendapat bahwa yang berhak atas kekhalifahan adalah kaum Ansar.[footnoteRef:7] Melihat perbedaan di atas ketika kaum Ansar menginginkan adanya pemimpin dari golongannya dan dari golongan Muhajirin, tatkala itu Umar mendatangi mereka dan berkata, wahai kaum Ansar tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah telah memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa di antara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar? maka orang Ansar pun berkata, kami berlindung kepada Allah untuk maju mendahului Abu Bakar.[footnoteRef:8] [7: Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 80] [8: Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa Sejarah Para Penguasa Islam, terj. Samson rahman, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005), hal. 74]

Maka dari sinilah kemudian Umar membaiat Abu Bakar kemudian diikuti oleh orang-orang Muhajirin lalu kaum Ansar. Seketika itu Abu Bakar terpilih menjadi khalifah yang akan meneruskan perjuangan Nabi dalam memimpin negara dan kaum muslimin saaat itu.Melihat peristiwa di atas, perselisihan pertama yang terjadi dalam tubuh umat Islam adalah perihal masalah kekhalifahan. Perselisihan ini terjadi di kediaman Rasulullan dan sebelum jenazahnya dimakamkan. Perselisihan kedua terjadi di Saqifah Bani Saidah, yaitu tatkala kaum Ansar menuntut hak atas kekhalifahan. Perselisihan ini pun berakhir dengan di baiatnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ia kemudian berpidato menjelaskan apa yang akan dilakukan dalam pemerintahannya. Berikut ini adalah isi pidato Abu Bakar:Wahai Manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku.[footnoteRef:9] [9: A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hal. 227]

Pidato khalifah itu mengandung arti yang sangat penting, karena terbukti pemerintahannya penuh demokratis dan berdaulat. Walaupun dalam Islam kedaulatan itu mutlak berada di tangan Allah, namun dalam hal urusan dunia, khalifah sebagai penganti Nabi yang penuh berdaulat dan legitimasinya diperoleh dari pengakuan rakyat. Hal initerlihat dalam pidatonya, seorang khalifah itu baru berdaulat apabila dapat pengakuan dari rakyat. Setelah terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi berbagai tugas dan persoalan seperti mengirim kembali ekspedisi Usamah ke Syam yang telah ditugaskan Nabi untuk menghadapi Bizantium yang sekaligus juga membalas kematian ayahnya, Zaid di medan perang sebelumnya. Di sini, Abu Bakar bertindak seolah-olah menjalankan sunah Nabi karena Nabilah yang memilih Usamah sebagai panglima perang.[footnoteRef:10] [10: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.82]

Kekhalifahan Abu Bakar merupakan pemilihan yang berlangsung secara demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Saidah, hal ini sebagaimana tata cara perundingan modern yang dikenal saat ini. Abu Bakar memenangkan pemilihan untuk menduduki jabatan khalifah setelah melalui perdebatan dan adu argumentasi dari berbagai golongan sampai hampir terjadi perpecahan bahkan adu fisik.2. Pembentukan Khilafah pada Masa Ummar bin Khattab Menjelang wafat, Abu Bakar menunjuk Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Umar dipilih sebagai khalifah berdasarkan persetujuan jamaah kaum muslimin dan kesepakatan pemuka masyarakat saat itu. Sebelum itu Abu bakar telah memilihnya, melihat situasi negara yang masih labil. Pilihan Abu Bakar ini berdasarkan pendapat dan persetujuan tokoh masyarakat yang diminta pandangannya ketika menjenguk dirinya yang sedang sakit, seketika itulah Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khalifah. Piagam penunjukan itu pun ditulis oleh Abu Bakar sebelum ia wafat.[footnoteRef:11] [11: Ibid., hal.. 238]

Rahman mengutip dari al-Tabari, Kitab al-Rasul wa al-Muluk sebagai berikut.Dalam keadaan sakit (berbaring di tempat tidur), Abu Bakar menunjuk Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Ada keberatan dari sahabat atas penunjukan tersebut. Akan tetapi, ia mengumumkan, bahwa dengan nama Allah, saya tidak meleset sedikitpun dan tidak berbuat kekurangan sedikitpun dalam menunjuk Umar sebagai pengganti. Oarang yang saya tunjuk, bukan dari keluargaku dan kalian mendengar kata-kata dan mematuhi perintah, maka rakyat yang hadir semua serentak menjawab kami dengar dan menerimanya.[footnoteRef:12] [12: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.84]

Dengan demikian, Abu Bakar menyelesaikan persoalan calon pengganti, supaya tidak muncul problem seperti ketika Nabi tinggalkan umat Islam dalam memilih pengganti timbul perselisihan yang nyaris Islam terbawa ke gerbang kehancuran. Pada periode Khalifah Umar (634-644 M), peta Islam meluas di Timur sampai perbatasan India dan sebagaian Asia Tengah serta wilayah kekuasaan Bizantium, Syam dan Mesir yang menjadi ancaman bagi negara Islam waktu itu. Di Barat sampai Afrika Utara. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan perubahan. Telah disebutkan, bahwa untuk kelancaran pemerintahan, Umar membentuk departemen-departemen dan membagi wilayah kekuasaannya dengan beberapa provinsi dikepalai seorang amir dan unit wilayah perpajakan (distrik) dipimpin oleh seorang amil. Disebutkan, bahwa Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang baru yang tidak terdapat pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas/mutu tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan Non Arab.[footnoteRef:13] [13: Ibid., hal.. 88]

Pada akhir kepemimpinannya, Umar dibunuh oleh Abu Lulu (orang persia). Hal ini dilatarbelakangi oleh pemecatan Umar pada Mughirah Ibn Syuba sebagai Gubernur Kufah. Karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia negara dan pengkhianatan. Menjelang wafat Umar menugaskan kepada enam orang sahabat, yaitu Abdurrahman Ibn Auf, Thlhah, Zubair, Ustman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Tholib, dan Saad Ibn Waqas. Kelompok tersebut diketahui Abdurrahman ditambah satu lagi yaitu Abdullah Ibn Umar, namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi khalifah. Alasannya membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak bisa sebaik Nabi Muhammad untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah? Tidk membiarkan atau menunjuk penggantinnya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat sedangkan Abu Bakar menunjuk langsung penggantinnya?Umar berkata sebagai berikut.[footnoteRef:14] [14: Ibid., hal.. 88]

....kalau aku mengangkat penggantiku, telah ada orang yanglebih baik dari yang memilih pengganti dan kalau aku biarkan menurut kehendak rakyat, maka telah ada pula orang yang lebih baik dari pada aku membiarkannya...

Setelah melakukan voting, pemungutan suara dalam tim tersebut, maka terpilihlah Usman Ibn Affan sebagai khalifah, pengganti Umar Ibn Khattab. Dalam sejarah Islam itulah panitia pemilihan khalifah pertama kali.Usman dilantik menjadi khalifah tiga hari setelah Umar dimakamkan. Pengangkatan Usman sebagai khalifah berawal dari kekhawatiran kaum muslimin sesaat setelah Umar ditikam. Kaum muslimin meminta Umar untuk menunjuk penggantinya.[footnoteRef:15] Berbeda dengan yang sebelumnya, Umar membentuk enam orang tim formatur, salah satunya adalah putranya dengan syarat tidak boleh dipilih menjadi khalifah. Umar memberikan batasan waktu dalam pemilihan tersebut. Ketika Umar wafat, maka keenam sahabat ini berkumpul dan bermusyawarah. Saat itu Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan hal itu disepakati oleh para sahabat. Tetapi ia ditugaskan untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin, dan memilih seorang untuk menjadi khalifah di antara sahabat-sahabat yang telah dipilih Umar. Maka Abdurrahman bin Auf melakukan musyawarah dengan kaum muslimin dan dengan para sahabat yang telah dipilih oleh Umar. Kesimpulan yang diambil dari hasil musyawarah tersebut bahwa pendapat tertuju kepada Usman dan Ali. Maka Usman pun yang menjadi pilihan karena lebih tua dari Ali, dan perilakunya pun lunak.[footnoteRef:16] Pilihan enam orang ini berdasarkan pada pengamatan dan penilaian Umar dan mayoritas kaum muslimin yang memang pantas menjadi khalifah. Usman pun terpilih dengan mendapatkan suara terbayak mengungguli Ali. [15: A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hal. 267] [16: Ibid., hal.. 268]

Usman merupakan seorang sahabat Nabi yang sangat populis. Saat ia masuk (awal) Islam, kebanyakan orang Umayyah memusuhi Nabi dan agama Islam. Sahabat Nabi yang diberitakan bahwa ia akan masuk surga, dan seorang hartawan yang berhati murah baik di lingkungan famili maupun bukan famili adalah Usman. Usman Ibn Afan Ibn Abdillah Ibn Umayah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Mannaf Ibn Qushayi. Ibunya adalah Urwah, putri Ummu Hakim al-Baidha, putri Abdul Muttalib, nenek Nabi SAW. Dzu al-Nurain (julukan ini diberikan kepdanya karena Usman menikah dengan dua orang putri Rasulullah SAW, yaitu Roqayyah dan Ummi Kalsum) lahir pada 576 M di Taif. Ayahnya Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dari suku Qushayi.[footnoteRef:17] [17: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.90]

Sejak sebelum Islam ia sebagai seorang pedagang yang kaya raya pula. Ia bukan saja salah seorang sahabat terdekat Nabi, juga salah seorang penulis wahtu dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulullah, hijrah ke mana saja Nabi hijrah, atau disuruh hijrah oleh Nabi, dan berperang pada setiap peperangan kecuali perang Badar, yang itupun atas perintah Nabi untuk menunggui isterinya, Roqayyah yang sedang sakit keras. Sebagai seorang hartawan Usman menghabiskan hartanya demi penyebaran dan kehormatan agama Islam, serta kaum muslim. Selain menyumbang biaya-biaya perang dengan angka yang sangat besar, juga untuk pembangunan kembali Masjid al-Haram (Mekkah) dan Masjid al-Nabawi (Madinah). Usman juga berperan aktif sebagai perantara dalam Perjanjian Hudaybiyah sebagai utusan Nabi. Telah disebutkan, bahwa menjelang wafatnya Umar, ia membuat tim formatur untuk memilih calon khalifah. Akhirnya Usman Ibn Affan (644-656 M) terpilih menjadi khalifah III dari al-Khulafa al-Rasyidin, pengganti Umar. Dalam sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Abd al- Rahman Ibn Auf sebagai ketua tim pelaksana pemilihan khalifah, pasca wafatnya Umar Ibn Khattab, berkata di suatu tempat sebagai berikut.[footnoteRef:18] [18: Ibid., hal.. 90]

Jika saya tidak membayarmu (Usman), maka siapa yang kau usulkan? Ia berkata, Ali. Kemudian ia (Abd al-Rahman Bin Auf) berkata kepada Ali, jika saya tidak membaiatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibaiat? Ia berkata, Usman. Kemudian Abd al-Rahman Bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata mayoritasnya lebih memilih Usman, sebagai khalifah.

Memperhatikan percakapan dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Usman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah secara musyawarah. Fakta penting inilah yang sering dikaburkanoleh sebagaian sejarawan, yang lebih melihat bahwa antara kedua menantu Rasulullah SAW tersebut terjadi bermusuhan.Ali dipilih dan diangkat menjadi khalifah di saat kekacauan terjadi akibat terbunuhnya Usman. Pada dasarnya ketika Usman terpilih menjadi khalifah, ada dua golongan yang memiliki kepentingan. Pertama, golongan yang benar-benar tidak ingin dan tidak merestui Usman sebagai khalifah. Kedua, golongan yang mendukung Usman, tetapi dukungan itu nampaknya bukan karena penghargaan terhadap Usman, melainkan memiliki kepentingan-kepentingan pribadi.[footnoteRef:19] Setelah Sayyidina Usman dibunuh, orang banyak hendak mengangkat Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, maka ia pun berkata kepada mereka : Urusan ini bukanlah urusan kalian, tetapi ini adalah urusan tokoh-tokoh ahli syura bersama para mantan pejuang Badr. Dan siapa saja yang disetujui oleh tokoh-tokoh ahli syura dan mantan pejuang Badr [19: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 273-274]

Ali dipilih berdasarkan pertimbangan jika tidak segera dipilih dan diangkat maka keadaan akan semakin bertambah kacau, maka majulah Ali sebagai satu-satunya orang yang pantas menjadi khalifah.[footnoteRef:20] Terpilihnya Ali sebagai khalifah merupakan peristiwa pembaiatan rakyat terbayak dibandingkan khalifah-khalifah sebelumnya karena mereka yang telah menjatuhkan Usman tidak sedikit jumlahnya. Pembaiatan Ali dinilai bukanlah pembaiatan sepenuh hati kaum muslimin. Terutama Bani Umayyah yang merupakan rival dan yang memelopori orang-orang yang tidak menyetujui Ali.[footnoteRef:21] [20: Siti Maryam dkk (editor), Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal. 45 -46] [21: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 284]

Demikianlah pembentukan khilafah dan sekaligus pengangkatan para khalifah yang terjadi pada masa setelah Rasulullah. Hal ini terjadi karena Nabi tidak menunjuk dan berwasiat tentang siapa yang akan menjadi penggantinya setelah wafat. Meskipun demikian, para sahabat khususnya empat sahabat yang tergolong khulafaur rasyidin ini telah mendapatkan prinsip-prinsip dalam menentukan dan memutuskan suatu perkara. Musyawarah merupakan prinsip yang ditanamkan Nabi kepada para sahabatnya, sehingga pemilihan setiap khalifah pada dasarnya menggunakan musyawarah namun dengan model yang berbeda-beda.

B. Perkembangan Islam sebagai Kekuatan PolitikKeempat khalifah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendekiawan di antara kaum muslimin.[footnoteRef:22] Diriwayatkan dalam Sunan ad-Darimi bahwa Maimun bin Mahran menuturkan tentang perilaku Sayyidina Abu Bakar dalam hal ini, dan bahwasannya ia selalu, apabila terjadi suatu perkara, mencari hukumnya dalam kitab Allah. Bila ia tidak memperolehnya, ia mempelajari bagaimana Rasulullah SAW, bertindak di dalam perkara seperti ini. Dan bila ia tidak menemukan apa yang dicarinya, ia pun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang telah diputuskan oleh mereka setelah pembahasan, diskusi dan penelitian, ia pun menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.[footnoteRef:23] [22: Abul Ala Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 107] [23: Ibid., hal.. 107]

Permasalahan politik pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Demikian kaum muslimin dutuntut untuk menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Rasulullah telah mengajarkan satu prinsip, yaitu musyawarah. Prinsip ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada setiap pergantian empat pemimpin pada periode khulafaur rasyidin, meski dengan model yang berbeda.Arabs were unfamiliar with the hereditary descent of kingly power, while the idea had not yet dawned of a Divine right resident in the Prophet's family. It was thoroughly in accord with Arabian practice that the Moslem community should elect its own leader, just as in heathen days the tribe chose its own chief. The likeliest men-all three belonged to Quraysh -were Abu Rakr, whose daughter A'isha had been Mubam-mad's favourite wife, 'U mar b. ai-KhaHab, and 'All, Abu T:Hib's son and Fatima's husband, who was thus connected with the Prophet by blood as well as by marriage. Abu Bakr . was the eldest, he was supported by 'U mar, and Ali on him the choice ultimately fell, thougt not without an ominous ebultion of party strife. A man of simple tastes and unassuming demeanour, he had earned the name al-Siddlq, i.e., the True, by his unquestioning faith in the Prophet ; naturally gentle and merciful, he stood firm when the cause of Islam was at stake, and crushed with iron hand the revolt which on the news of Muhammad's death spread like wildfire through Arabia.[footnoteRef:24] False prophets arose, and the Bedouins rallied round them, eager to throw off the burden of tithes and prayers. In the centre of the penin-Muoayllma the sula the Banu Hanifa were led to battle by Liar. ' Musaylima, who imitated the early style of the Koran with ludicrous effect, if we may judge from the sayings ascribed to him, e.g.," The elephant, what is the elephant, and who shall tell you what is the elephant l He has a poor tail, and a long trunk: and is a trilling part of the creations of thy God." Moslem tradition calls him the Liar (al-Kadhdhab), and represents him as an obscene miracle-monger, which can hardly be the whole truth. It is possible that he got some of his doctrines from Christianity, as Professor Margoliouth has sug-gested,[footnoteRef:25] but we know too little about them to arrive at any conclusion. [24: Reynold A. Nicholson. A Literary History of The Arabs (By Curzon Press Ltd Taylor & Francis, 1993). Hal. 216] [25: On the Origin and Import of the Names Muslim and Hanif J.R.A.S. for 1903, P. 491)]

1. Abu Bakar (11-13 H)Abu Bakar as-Shiddiq, dalam salah satu khutbahnya yang pertama setelah dibaiat, berkata: Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin atas kamu sekalian, sedangkan aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat buruk, luruskanlah aku. Ketulusan adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang yang lemah di antara kamu akan aku anggap sebagai orang yang kuat sampai aku memperoleh kembali baginya haknya, insya Allah, dan orang yang kuat di antara kamu adalah seorang yang lemah menurut anggapanku sampai aku berhasil mengambil hak itu dari padanya, insya Allah.Perkembangan Islam dengan kemenangan yang dicapai di seluruh Tanah Arab. Ketika itu pula bangsa Romawi dan Persia tak henti-hentinya melakukan tipu daya untuk menghancurkan Islam. Berawal dari masa Rasulullah yang telah menyiapkan pasukan besar untuk menandingi kekuatan Persia dan Romawi. Tatkala Rasulullah wafat, tentara itu belum sempat berangkat ke tempat yang dituju, karena tertahan oleh wafatnya Rasulullah. Maka ketika Abu Bakar meneruskan niat Rasulullah ini dengan mengirimkan pasukan tersebut. Pemberangkatan pasukan ini, lebih dititik-beratkan pada segi politis, bukan karena kepentingan pertahanan. Karena saat itu pula terjadi pemberontakan di Tanah Arab. Pengiriman pasukan terus dilakukan oleh Abu Bakar supaya terkesan bahwa kaum muslimin memiliki kekuatan yang besar. Pengiriman yang dilancarkan Abu Bakar ini dinilai berhasil karena dapat menimbulkan ketakutan bagi bangsa Romawi dan pemberontakan bangsa Arab.[footnoteRef:26] [26: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 239]

Sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh Abu Bakar adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yakni bersifat sentral dengan memusatnya kekuasaan eksekutif,[footnoteRef:27] legislatif,[footnoteRef:28] dan yudikatif[footnoteRef:29] pada satu tangan.[footnoteRef:30] Dari sini terlihat akan betapa Abu Bakar memang benar-benar melakukan apa yang dilakukan Rasulullah. [27: eksekutif /ksekutif/ 1 a berkenaan dng pengurusan (pengelolaan, pemerintahan) atau penyelenggaraan sesuatu; 2 n Huk kekuasaan menjalankan undang-undang; 3 n Man pejabat tingkat tinggi yg bertanggung jawab kpd direktur utama atau pemimpin tertinggi dl perusahaan atau organisasi] [28: legislatif /lgislatif/ a berwenang membuat undang-undang; badan -- , dewan yg berwenang membuat undang-undang] [29: yudikatif a 1 bersangkutan dng fungsi dan pelaksanaan lembaga peradilan; 2 bersangkutan dng badan yg bertugas mengadili perkara] [30: Siti Maryam dkk (editor), Op. Cit., hal.49]

2. Umar Bin Khattab (13-23 H)Right on the second caliph Umar ibn Khattab is appointed by Abu Bakr as his successor to lead the Muslims. Caliph Umar was first to receive the title of supreme commander of the special forces of Islam that is amir al-Mu'minin (Commander of the believers). Towards the death of Caliph Umar formed election council consisting of six companions of the Prophet who will determine a replacement caliph Umar, they are: Ali, Uthman, Zubayr ibn al-Awwam, Talha bin Abdullah, Sa'd ibn Abi Waqqas, Abd al-Rahman ibn Awf, and Abdullah ibn Umar with their provisions should not be a replacement.[footnoteRef:31] [31: Phillip K. Hitti,. History of The Arabs Third Edition., ( New York : Corlear Bay Club Lake Champlain, 1946), hal. 176-177]

Abu-Bakr had been known as the representative of Muhammad, his khaUfah (Anglicized as 'caliph'). His had been essentially an emergency status. The term continued to be used of 'Vmar, but he later chose for formal use the title amir al-mu'minin, commander of the faithful. The only binding authority the Arabs had recognized was that of the military commander on the march to new pastures or at war. Though the Qur'an enforced the idea of a com-munity, in which individual pious action was completed by joint action in the cause of God, it provided directly for no government other than that of the Prophet himself. The only position, therefore, that could be felt to be legiti-mate was still that of military commander, with authority correspondingly limited. 'Umar saw this as his position. But war was the business of the com-munity for the present and such a position opened a wide scope of responsi-bility. The Muslims accepted him as commander of the community in any matter wherein each man could not act for himself. This position of command rested on personal prestige; and in this case, on a religious prestige. Since any group action beyond tribal interests was a matter for religion, we may say that it was precisely in religious matters that he was successor, 'caliph', to the Pro-phet; certainly his decisions were to be consistent with what Muhammad had shown of God's will. Of course, since he received no revelations from God, he had no independent religious authority; it was only current political questions that he was to decide on this religious basis. In any case, his authority depen-ded on his personal closeness to the precepts and example of Muhammad and on his being personally recognized at Medina-and on that account also by the bulk of the Muslims at large-as in fact representing Muhammad's way. 'Vmar's position, then, religious and military as it was, was based on person-to-person relationships, as had been Muhammad's. But with the vast increase in the number of persons in the community, even among the ruling Arabs (to say nothing of the subject peoples), the organization which he set up had to be ess immediately personal. It was, in fact, an institution capable of operating apart from the immediate intervention of any given individual. This organiza-tion was centred in an army dzwan, a register of all the Muslims of Medina and Mecca and of the conquering armies (and their descendants). The booty from the conquest was to be distributed in individual pensions to the men (and sometimes women) listed in the diwan, according to their rank therein. Some prominent Muslims received revenue from particular tracts, but most received their share through the diwan system.[footnoteRef:32] [32: Marshal G. S. Hodgson. The Venture of Islam Conscience and History in a Word Civilization The Classical Age of Islam Volume 1. (America : United Stateg, 1997). Hal. 207-208]

Pemerintahan Umar berbeda dengan Abu Bakar. Lembaga yudikatif telah berdiri sendiri, terpisah dengan eksekutif dan legislatif dengan didirikannya lembaga pengadilan bahkan sampai ke daerah-daerah. Umar melakukan perubahan-perubahan dalam pemerintahannya tanpa melihat sebelumnya. Umar lebih mengadopsi model Persia dengan membentuk departemen-departemen (diwan) yang memiliki tugas menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke berbagai daerah dan melaporkan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah. Ketika Umar memerintah, wilayah dibagi menjadi delapan provinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Di setiap provinsi dibentuk jawatan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan juga didirikan jawatan-jawatan umum. Saat itu pula mulai diatur dan diterbitkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Ketika itu juga didirikan Baitul Mal yang berfungsi sebagai lembaga pengelolaan keuangan negara.[footnoteRef:33] Di masa Umar diberlakukan sistem provinsi dengan dikepalai oleh seorang Amir (gubernur) yang diberi keluasan untuk mengatur daerahnya secara mandiri. Pemilihan pejabat sering dilakukan oleh rakyat sendiri. Tidak ada hak istimewa dalam pemerintahan Umar sehingga rakyat dan penguasa tidak ada bedanya, sehingga rakyat bisa menemui para penguasa dengan mudah kapan pun. [33: Siti Maryam dkk (editor), Op. Cit., hal. 48]

Telah berkata Umar r.a. dalam salah satu pidatonya:Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada suatu hak bagi siapa pun untuk ditaati dalam suatu perbuatan maksiat. Kamu sekalian memiliki beberapa hak atas diriku yang akan kujalani dan akan kupegang teguh. Aku berjanji tidak akan memungut suatu pajak atas hasil karunia yang kamu peroleh dari Allah kecuali dengan jalan yang sebenarnya, dan kamu sekalian berhak mencengah aku mengeluarkan sesuatu yang telah berada di tanganku kecuali dengan haknya.[footnoteRef:34] [34: Abul Ala Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 112]

Umar merupakan sosok khalifah yang kuat, adil, dan berwibawa. Ia tidak tumbuh dari lingkungan orang-orang yang berperadaban tinggi namun dialah yang secara khusus meletakkan tatanan, politik, sosial, dan peradaban. Ekspansi yang dilakukan Umar pada masa kekhalifahannya sampai ke Persia dan meruntuhkan imperiunnya, ini merupakan jasa besar Umar bagi umat Islam. Demikian juga negeri Syam, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir dibawah pimpinan Saad.[footnoteRef:35] Setelah berhasil merobohkan Persia dan melenyapkan kekuasaan mereka. Timbul dendam kepada Umar dari orang-orang lapisan atas bangsa Persia beserta pendukung-pendukungnya dan berniat untuk membunuhnya.[footnoteRef:36] [35: Ahmad Amin, Op. Cit., hal. 86] [36: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 264]

One said : "I saw 'Umar coming to the Festival. He walked with bare feet, using both hands (for he was ambidextrous) to draw round him a red embroidered cloth. He towered above the people, as though he were on horseback.[footnoteRef:37] A client of (the Caliph) 'Usthman b. 'Affan relates that he mounted behind his patron and they rode together to the enclosure for the beasts. which were delivered in payment of the poor-tax. It was an exceedingly hot day and the simoom was blowing fiercely. They saw a man clad only in a loin-cloth and a short cloak, in which he had wrapped his head, driving the camels into the enclosure. 'Uthman said to his companion, "Who is this, think you ? " When they came up to him, behold, it was 'Umar b. al-Khatab. "By God," said 'Uthman, "this is the strong, the trusty." [footnoteRef:38] Umar used to go round the markets and recite the Koran and judge between disputants wherever he found them.[footnoteRef:39] [37: Tabari, 2729, I. 15 sqq. The words in italics ace quoted from Koran, xxviii, 26, where they are applied to Moses.] [38: Tabari, 2736, I. 5 sqq. The words in italics ace quoted from Koran, xxviii, 26, where they are applied to Moses.] [39: Reynold A. Nicholson. A Literary History of The Arabs (By Curzon Press Ltd Taylor & Francis, 1993). Hal. 218]

Now there was a Persian satrap (marzuban) at Medina who, when he saw 'Umar's bewilder-ment, said to him, "0 Commander of the Faithful, the Persian kings have a thing they call a Dlwdn, in which is kept the whole of their revenues and expenditures without exception ; and therein those who receive stipends are arranged in classes, so that no confusion occurs." 'Umar's attention was aroused. He bade the satrap describe it, and on comprehending its nature, he drew up the registers and assigned the stipends, appointing a specified allow-ance for every Moslem ; and he allotted fixed sums to the wives of the Apostle (on whom be God's blessing and peace I) and to his concubines and next-of-kin, until he exhausted the money in hand. He did not lay up a store in the treasury. Some one came to him and said : " O Commander of the Faithful, you should have left something to provide for contingencies." 'Umar rebuked him, say-ing, "The devil has put these words into your mouth. May God preserve me from their mischief I for it were a temptation to my successors. Come what may, I will provide naught except obedience to God and His Apostle. That is our provision, whereby we have gained that which we have gained." Then, in respect of the stipends, he deemed it right that precedence should be according to priority of conversion to Islam and of service rendered to the Apostle on his fields of battle.[footnoteRef:40] [40: Al-Fakhrl, ed. by Derenbourg, p. II6, 1. I to p. 117,1. 3]

Beberapa hal yang patut di apresiasi pada pemerintahan Umar adalah pada sistem sosial. Sistem pemberian yang dilakukan Umar merupakan hal yang baru. Sistem ini diberlakukan bagi mereka yang sakit, orang-orang yang lemah, lanjut usia, cacat dan tak sanggup lagi mencari nafkah. Demikian juga bagi mereka yang mengabdi kepada negara dan lembaga-lembaga sosial. Mereka ini diberikan tunjangan yang berasal dari perbendaharaan negara. Sistem ini baru dijalankan sejak pemerintahan Umar, akan tetapi kebijaksanaan Umar ini terhenti tatkala Umar wafat. Kebijakan ini pada masa Usman sempat berjalan beberapa saat namun pada akhirnya rakyat memprotes Usman karena banyaknya pemberian yang diberikan Usman hanya kepada beberapa orang. Kemudian tuntutan ini pun dikabulkan oleh Usman dan pemberian terbatas hanya kepada tentara dan sahabat-sahabat Nabi saw.[footnoteRef:41] [41: Taha Husain, Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam Abu Bakar dan Umar, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1986), hal. 188-189 ]

It may be said of 'U mar, not less appropriately than of Cromwell, that he "cast the kingdoms old Into another mould ; " and he too justified the poet's maxim-" The same arts that did gain A power, must it maintain.'' Under the system which he organised Arabia, purged of infidels, became a vast recruiting-ground for the standing armies of Islam : the Arabs in the conquered territories formed an exclusive military class, living in great camps and supported by revenues derived from the non-Mubammadan population. Out of such camps arose two cities destined to make their mark in literary history-Basra (Bassora) on the delta of the Tigris and Euphrates, and Kufa. Which was founded about the same time on the western branch of the latter stream, not far from Hira. 'Umar was murdered by a Persian slave named Firuz while leading the prayers in the Great Mosque. With his death the military theocracy and the palmy days of the Patriarchal Caliphate draw to a close. The broad lines of his character appear in the anecdotes translated above, though many details might be added to complete the picture. Simple and frugal ; doing his duty without fear or favour ; energetic even to harshness, yet capable of tenderness towards the weak ; a severe judge of others and especially of himself, he was a born ruler and every inch a man.[footnoteRef:42] Looking back on the turmoils which followed his death one is inclined to agree with the opinion of a saintly doctor who said, five centuries afterwards, that "the good fortune of Islam was shrouded in the grave-clothes of 'U mar b. ai-Khattab."[footnoteRef:43] [42: Reynold A. Nicholson. A Literary History of The Arabs (By Curzon Press Ltd Taylor & Francis, 1993). Hal. 222] [43: Ibn Khallikan (ed. by Wiistenfeld), No. 68, p. 96, 1. 3 ; De Slane's translation, vol. i, p. I52).]

Pada masa Usman perluasan wilayah kekuasaan Islam dapat disimpulkan pada dua bagian:1. Menumpas para pendurhaka dan pemberontak yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam di masa Umar.2. Melanjutkan perluasan Islam ke daerah-daerah yang sampai di sana telah terhenti perluasan Islam di masa Umar.[footnoteRef:44] [44: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 270]

Starting from the time of Abu Bakr, Islam began to conquer the world and the highest peak when Umar became the Caliph. In the caliphate of Ali, the Muslim conquest relatively stalled because due to internal disputes that do not allow for further expansion, as was done by the previous caliphs. In one generation after Muhammad, Islam has now become a widely stretched Arab Islamic caliphate in the world.[footnoteRef:45] [45: Phillip K. Hitti,. History of The Arabs Third Edition., ( New York : Corlear Bay Club Lake Champlain, 1946), hal. 172]

3. Utsman bin Affan (23 35 H/644 656 M)Usman merupakan seorang sahabat Nabi yang sangat populis. Saat ia masuk (awal) Islam, kebanyakan orang Umayyah memusuhi Nabi dan agama Islam. Sahabat Nabi yang diberitakan bahwa ia akan masuk surga, dan seorang hartawan yang berhati murah baik di lingkungan famili maupun bukan famili adalah Usman. Usman Ibn Afan Ibn Abdillah Ibn Umayah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Mannaf Ibn Qushayi. Ibunya adalah Urwah, putri Ummu Hakim al-Baidha, putri Abdul Muttalib, nenek Nabi SAW. Dzu al-Nurain (julukan ini diberikan kepdanya karena Usman menikah dengan dua orang putri Rasulullah SAW, yaitu Roqayyah dan Ummi Kalsum) lahir pada 576 M di Taif. Ayahnya Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dari suku Qushayi.[footnoteRef:46] [46: M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.90]

Sejak sebelum Islam ia sebagai seorang pedagang yang kaya raya pula. Ia bukan saja salah seorang sahabat terdekat Nabi, juga salah seorang penulis wahtu dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulullah, hijrah ke mana saja Nabi hijrah, atau disuruh hijrah oleh Nabi, dan berperang pada setiap peperangan kecuali perang Badar, yang itupun atas perintah Nabi untuk menunggui isterinya, Roqayyah yang sedang sakit keras. Sebagai seorang hartawan Usman menghabiskan hartanya demi penyebaran dan kehormatan agama Islam, serta kaum muslim. Selain menyumbang biaya-biaya perang dengan angka yang sangat besar, juga untuk pembangunan kembali Masjid al-Haram (Mekkah) dan Masjid al-Nabawi (Madinah). Usman juga berperan aktif sebagai perantara dalam Perjanjian Hudaybiyah sebagai utusan Nabi. Telah disebutkan, bahwa menjelang wafatnya Umar, ia membuat tim formatur untuk memilih calon khalifah. Akhirnya Usman Ibn Affan (644-656 M) terpilih menjadi khalifah III dari al-Khulafa al-Rasyidin, pengganti Umar. Dalam sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Abd al- Rahman Ibn Auf sebagai ketua tim pelaksana pemilihan khalifah, pasca wafatnya Umar Ibn Khattab, berkata di suatu tempat sebagai berikut.[footnoteRef:47] [47: Ibid., hal.. 90]

Jika saya tidak membayarmu (Usman), maka siapa yang kau usulkan? Ia berkata, Ali. Kemudian ia (Abd al-Rahman Bin Auf) berkata kepada Ali, jika saya tidak membaiatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibaiat? Ia berkata, Usman. Kemudian Abd al-Rahman Bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata mayoritasnya lebih memilih Usman, sebagai khalifah.

Memperhatikan percakapan dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Usman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah secara musyawarah. Fakta penting inilah yang sering dikaburkanoleh sebagaian sejarawan, yang lebih melihat bahwa antara kedua menantu Rasulullah SAW tersebut terjadi bermusuhan.Pada masa khalifah Utsman bin Affan pelaksanaan pendidikan tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya pendidikan dimasa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Usaha konkrit di bidang pendidikan Islam ini di buktikan adanya lanjutan usulan khalifah Umar kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Quran. Khalifah Utsman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit bersama Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits, supaya menyalin mushaf Al-Quran yang dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar. Setelah selesai menyalin mushaf itu Utsman memerintahkan para penulis Al-Quran untuk menyalin kembali dan dikirimkan ke Mekkah, Kuffah, Bashrah dan Syam, khalifah Utsman sendiri memegang satu mushaf yang disebut mushaf Al-Imam.Mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi ketempat peyimpanan semula yaitu rumah Hafsah. Khalifah Utsman meminta agar umat Islam memegang teguh apa yang tertulis dimushaf yang dikirimkan kepada mereka sedangkan mushaf-mushaf yang sudah ada ditangan umat Islam segera dikumpulkan dan dibakar untuk menghindari perselisihan bacaan Al-Quran serta menjaga keasliannya. Fungsi Al-Quran sangat fundamental bagi sumber agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu menjaga keasliannya Al-Quran dengan menyalin dan membukukannya merupakan suatu usaha demi perkembangan ilmu-ilmu Islam dimasa mendatang.Seperti khalifah-khalifah sebelumnya, khalifah Utsman memberikan perhatian besar pada pengiriman tentara kebeberapa wilayah yang belum ditaklukan. Besar juga hasil yang diperoleh dari pengiriman ekspedisi dimasa ini bagi perluasan kekuasaan Islam, yang mencapai Tripoli,Ciprus, dan beberapa wilayah lain, tetapi gelombang ekspedisi terhenti sampai disini karena perselisihan pemerintahan dan kekacauan yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Utsman.4. Ali bin Abi Thalib (35 40 H/656 661 M)Ali dipilih berdasarkan pertimbangan jika tidak segera dipilih dan diangkat maka keadaan akan semakin bertambah kacau, maka majulah Ali sebagai satu-satunya orang yang pantas menjadi khalifah.[footnoteRef:48] Terpilihnya Ali sebagai khalifah merupakan peristiwa pembaiatan rakyat terbayak dibandingkan khalifah-khalifah sebelumnya karena mereka yang telah menjatuhkan Usman tidak sedikit jumlahnya. Pembaiatan Ali dinilai bukanlah pembaiatan sepenuh hati kaum muslimin. Terutama Bani Umayyah yang merupakan rival dan yang memelopori orang-orang yang tidak menyetujui Ali.[footnoteRef:49] [48: Siti Maryam dkk (editor), Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal. 45 -46] [49: A. Syalabi, Op. Cit., hal. 284]

Mengganti Utsman naiklah Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah sejak awal kekuasaannya kekhalifahan Ali selalu diselimuti pemberontakan, salah satunya peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) bersama Talhahd dan Abdullah bin Zubair yang berambisi menduduki jabatan khalifah, peperangan diantara mereka disebut dengan perang Jamal (Unta) karena Aishyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Muawiyah sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasaan Ali, Ali terpaksa harus menghadapi peperangan lagi melawan Muawiyah dan pendukungnya yang terjadi di Shiffin. Tentara Ali sudah hampir pasti dapat mengalahkan tentara Muawiyah, akhirnya Muawiyah mengambil siasat untuk mengadakan takhim, penyelesaian dengan adil dan damai. Semula Ali menolak, tetapi atas desakan sebagian tentaranya ia menerima juga, namun takhim malah menimbulkan kekacauan Karena Muawiyah bersifat curang. Dengan takhim Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan akhirnya mendirikan pemerintah tandingan di Damaskus.Sementara itu sebagian tentara Ali menentang keputusan dengan cara takhim karena tidak setuju mereka meninggalkan Ali, mereka membentuk kelompok sendiri sebagai kelompok Khawarij, Golongan ini selalu merongrong kewibawaan kekuasaan Ali sampai akhirnya beliau mati terbunuh seperti yang dialami Utsman. Kekacauan dan pemberontakan dimasa khalifah Ali membuat Syalabi, seperti yang dikutip Soekarno dan Ahmad Supardi, berkomentar Sebenarnya tidak pernah ada barang satu haripun keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali. Tak ubahnya dia sebagai orang yang menambal kain usang jangankan menjadi baik malah bertambah sobek demikian nasib Ali.[footnoteRef:50] Lebih lanjut dijelaskan oleh Soekarno dan Ahmad Soepardi bahwa saat kericuhan politik dimasa Ali ini hampir pasti dapat dipastikan bahwa kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan walaupun tidak terhenti sama sekali, khalifah Ali pada saat itu tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman empat khalifah belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya, pelaksananya tidak jauh berbeda dengan masa nabi yang menekankan pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist nabi, hal ini disebabkan oleh kosentrasi umat Islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya dimasa Ali bin Abi Thalib. [50: Soekarno dan A. Supardi, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung, Angkasa, 1990) hal.]

Meluasnya wilayah yang ditaklukkan oleh khulafaur rasyidin merupakan perkembangan yang luar biasa umat Islam. Dilihat dari runtuhnya dua imperium yang menguasai dunia saat itu yaitu Persia dan Romawi. Di sisi politik, perkembangan ini terlihat jelas pada era pemerintahan khalifah Umar. Umar membentuk dan mengembangkan sistem pemerintahan sebelumnya dengan mendirikan pengadilan, Baitul Mal, dan membentuk departemen-departemen di setiap wilayah kekuasaan sebagaimana pemerintahan saat ini. Di masa Utsman, perluasan juga terjadi dan dibentuklah angkatan laut pertama dalam pemerintahan Islam. Politik Ali tidak menekankan pada perluasan wilayah, karena hal ini disebabkan banyaknya kasus-kasus internal umat Islam yang harus diselesaikan, dan itu jauh lebih penting.

C. Nepotisme dan Pertentangan antarkelompokUtsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib.[footnoteRef:51] Utsman juga merupakan salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah Abdu Manaf.[footnoteRef:52] Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan.[footnoteRef:53] Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam. [51: Prof. DR. Abu bakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan Keenam. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 37-39] [52: Abdu Manaf memiliki putra yaitu Hasyim dan Abdu Syams. Dari Hasyim kemudian menurunkan Abdul Muththalib lalu Abdullah dan sampai kepada Nabi Muhammad. Sedangkan Abdu Syams memiliki anak bernama Ummayah lalu Abdullah lantas Affan dan kemudian sampai kepada urutan Utsman. (Lihat Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta,1996). Hal. 254] [53: M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007). Hal. 89]

Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya.[footnoteRef:54] Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun.[footnoteRef:55] Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.[footnoteRef:56] [54: Dalam sidang Formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman Bin Auf, Utsman mengusulkan nama Ali Bin Abu Thalib dalam pencalonan sebagai khalifah ketiga. Sedangkan Ali Bin Abu Thalib bersikeras agar Utsman yang terpilih sebagai khalifah pengganti Umar Bin Khatthab. Karena hal inilah maka kemudian diadakan musyawarah penetuan suara sampai terpilihnya Utsman Bin Affan dengan suara mayoritas. Dengan demikian terbukti jelas bahwa Tokoh Ali maupun Utsman bukanlah tokoh yang ambisius terhadap kekuasaan. Selengkapnya baca Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi. Tarikh al Khulafa. (Dar al Fikr, Beirut, 2001). Hal. 176. Lihat pula Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred).et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid I. (PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 25] [55: A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 67] [56: Ibid,. Hal..67]

Nepotisme, isu ini tersebar pada pemerintahan Usman. Awalnya Usman pada enam tahun pertama kekhalifahannya menempuh kebijaksanaan yang adil dan lunak. Pada usianya lebih lanjut Usman tunduk kepada kerabatnya, yaitu orang-orang Bani Umayyah. Jalannya pemerintahan diserahkan kepada meraka, Marwan bin Al-Hakam, dan orang inilah yang mengangkat orang-orang Bani Umayyah sebagai pejabat tinggi negara. Kenyataan ini menimbulkan kemarahan di kalangan sahabat Nabi, khususnya Ali bin Abi Thalib, Zubair, Thalhah dan lain-lain. Awal mulanya mereka ingin membebaskan Usman dari pemerintahan seperti itu dengan memintanya meletakkan jabatannya sebagai khalifah, tetapi ia menolak. Sejak itulah Usman hanya ditemani oleh beberapa orang sahabatnya di Madinah.[footnoteRef:57] [57: Ahmad Amin, Op. Cit., hal. 87]

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut.[footnoteRef:58] Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut : [58: Di antara buku yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah Utsman bisa dilihat pada Abu Ala Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984). Hal. 120-130. Juga Philip K. Hitti. History of The Arabs. (The MacMillan Press, London, 1974). Hal. 44 ]

1. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[footnoteRef:59] [59: Keterikatan silsilah antara Utsman dan Muawiyah bertemu pada garis silsilah Ummayah. Ustman adalah putra Affan putra Abdullah Putra Ummayyah. Sedangkan Muawiyah adalah putra Abu Sufyan putra Harb putra Ummayyah. Lihat Soekama Karya. Opcit. Hal. 254]

2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asyari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.3. Pimpinan Kuffah, Saad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Said Bin Ash. Said sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.4. Pemimpin Mesir, Amr Bin Ash, diganti dengan Abdullah Bin Saad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.5. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Saad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[footnoteRef:60] Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut. [60: A. Latif Osman. Opcit. Hal.67]

a. PermasalahanDalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata nepotisme dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi bermuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara pendekatan kekeluargaan tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi dosa-dosa politis sebuah rezim kekuasaan. Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah terhadap masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan. Disadari proses ini tidaklah mudah. Maka perlu dibatasi permasalahan kajian ini dengan menfokuskan pembahasan guna menjawab pertanyaan : Mengapa Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan publik strategis ?b. Kronologi Pejabat Negara Keluarga Khalifah UtsmanMengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab.[footnoteRef:61] Yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan. [61: Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 247]

Furthermore, replacement of the Governor Basyrah Abu Musa al Asyari with Abdullah Bin Amir, a cousin of Uthman also difficult to prove as a act of nepotism. The process of change of leadership is based on the aspirations and will of the people are demanding Basyrah Abu Musa al Asyari resign. By the people Basyrah, Abu Musa was considered too frugal in spending for the State's financial interests of the people and be put Quraysh than natives. Post demoting Abu Musa, Caliph Uthman surrender entirely new leadership election matters to the people Basyrah. People Basyrah then choose leaders from their own ranks. However, people's choices are actually failing to run the government and judged incompetent by the people who vote for their own Basyrah. So then the people unanimously hand administration of the caliphate and asked him to appoint a new leader Basyrah region. So then caliph Uthman appointed as chairman Abdullah Bin Amir Basyrah and local people accept the leadership of the caliph. Abdullah Bin Amir himself has shown fairly good reputation in some areas of the Persian conquest.[footnoteRef:62] [62: William Muir. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall. (The R.T. Society, Esinbargh, 1892). Hal. 216-217]

Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut. Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syubah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Saad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Saad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Masud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Masud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin masud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Saad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Said Bin Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[footnoteRef:63] Namun terjadi konflik antara Said dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Saad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asyari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan. [63: Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80 ]

Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Saah Bin Abu Sarah selaku Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Saah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[footnoteRef:64] [64: Termasuk didalamnya tentang isu surat rahasia khalifah yang sebenarnya adalah buatan Marwan Bin Hakam yang memicu huru-hara. Lihat Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143]

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan.[footnoteRef:65] Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negative. [65: Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred). et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169]

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Saad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin saad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[footnoteRef:66] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin saad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya.[footnoteRef:67] Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Saad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Saad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. [66: DR. Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Insan Amanah, Surabaya, 2004). Hal. 444-450. Juga H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. (Sinar Baru, Bandung, 1990). Hal. 426-427] [67: Joesoef Souyb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 438-439]

Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[footnoteRef:68] [68: Joesoef Souyb. Ibid. Hal. 438-439]

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ..[footnoteRef:69] [69: Joesoef Souyb. Ibid. Hal. 437]

Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji.[footnoteRef:70] [70: Joesoef Souyb. Ibid. Hal. 438]

Usman dinilai mengucilkan orang-orang Madinah dengan memberikan pos-pos paling bergengsi pada keluarganya sendiri dari Umayyah. Mereka menuduh Usman melakukan nepotisme, walaupun banyak dari pejabat Umayyah adalah orang-orang yang memiliki kemampuan hebat. Semua itu tidak benar bagi orang-orang Madinah yang masih tergolong kaum Ansar (penolong) Nabi, sehingga mengabaikan keturuna Abu Sufyan.[footnoteRef:71] [71: Karen Amstrong, Op. Cit., hal. 44-45]

Lawan-lawan khalifah Usman mulai melancarkan perlawanan terhadap Usman dengan membangkitkan massa di berbagai daerah untuk memberontak. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam menggerakkan orang banyak untuk melancarkan perlawanan adah Aisyah binti Abu Bakar. Orang-orang Madinah mulai bergerak dan mengepung kediaman Usman dan tidak mau beranjak sebelum tuntutan mereka dikabulkan. Ketika itu pula orang-orang Mesir ikut memberontak setelah mengetahui adanya sepucuk surat atas nama Usman yang dikirim kepada kepala daerah Mesir, Abdullah bin Abi Sarah, yang berisi perintah membunuh tokoh-tokoh Mesir sepulangnya dari Madinah usai menghadap khalifah. Maka seorang dari Mesir berhasil membunuh khalifah Usman. Orang-orang dari Bani Umayyah menuntut supaya pembunuh khalifah diserahkan kepada mereka, namun tuntutan itu tidak dikabulkan oleh para pemberontak.[footnoteRef:72] Penolakan terhadap Usman juga datang dari para penghafal Quran, di mana mereka menjadi kepala otoritas agama, mereka tidak setuju ketika Usman bersikeras untuk menggunakan hanya satu naskah suci yang digunakan di kota-kota garnisun.[footnoteRef:73] [72: Ahmad Amin, Op. Cit., hal. 87-88] [73: garnisun n Mil 1 bagian angkatan bersenjata yg mempunyai kedudukan atau tempat pertahanan yg tetap (dl sebuah benteng pertahanan atau sebuah kota); 2 tempat kedudukan tentara]

Ketika Ali telah dibaiat sehari setelah Usman terbunuh di Madinah. Semua sahabat membaiatnya, demikian juga Thalhah dan Zubair yang membaitnya dengan terpaksa dan bukan dengan kerelaan. Mereka pergi menuju Makkah disertai juga oleh Aisyah. Kemudian mereka pergi ke Bashrah untuk menunutut mati pembunuh Usman. Ali mendengar kabar ini dan menyusulnya hingga menemui mereka semua. Maka terjadilah peperangan yang dikenal dengan Perang Jamal. Pada peperangan ini Thalhah dan Zubair serta beberapa orang lainnya terbunuh. Peperangan ini menelan tiga belas ribu jiwa dan meraka itu adalah kaum muslimin.[footnoteRef:74] Peristiwa ini merupakan salah satu pertentangan antarkelompok sehingga penumpahan darah pertama yang terjadi dalam tubuh umat Islam. [74: Imam As-Suyuthi, Op. Cit., hal. 202]

Kemudian terjadi juga pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah di Syam. Ali pun mendengar berita ini maka Ali bergegas dan merekapun bertemu di Shiffin, maka terjadilah peperangan antara kubu Ali dan Muawiyah yang terkenal dengan nama Perang Shiffin. Kemudian orang-orang yang datang dari Syam mengangkat al-Quran dan mengajak mereka untuk berhukum dengan apa yang ada di dalam al-Quran. Namun ini merupakan tipu muslihat dari Amr bin al-Ash. Maka peperangan pun terhenti seketika itu dan dilakukannya perundingan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.Kubu Ali mengutus Abu Musa sebagai juru runding, sedangkan dari kubu Muawiyah mengutus Amr bin al-Ash sebagai perwakilan dari pihaknya. Kedua belah pihak menulis sebuah surat kesepakatan dan akan bertemu di Adzruah (satu desa di Syam) di akhir tahun sehingga meraka bisa melihat permasalahan yang sebenarnya. Ketika kedua belah pihak ini kembali ke daerah masing-masing maka muncullah kelompok Khawarij yang memisahkan diri dari barisan Ali karena tidak setuju dengan bar-tahkim (proses pengambilan keputusan) kecuali dengan hukum Allah. Di penghujung tahun itu, sesuai dengan kesepakatan maka kedua kubu yaitu dari kubu Ali dan Kubu Muawiyah bertemu di Adzruh. Tampak hadir dalam pertemuan itu beberapa sahabat di antaranya Saad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Amr bin al-Ash meminta kepada Abu Musa untuk melakukan pidato pertama kali sebagai muslihat darinya. Dia berbicara dan menyatakan memecat Ali, kemudian seketika itu Amr bin al-Ash maju dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah dan membaiatnya. Adanya keputusan ini menyebabkan yang hadir saat itu berpencar dan Ali pun menghadapi konflik di antar sahabat-sahabatnya. Maka Ali dinilai telah melakukan kecerobohan dan telah diperdaya oleh kelompok Muawiyah.[footnoteRef:75] [75: Imam As-Suyuthi, Ibid., hal. 202-203]

Dari peristiwa terbunuhnya Usman inilah bermunculan berbagai fitnah-fitnah dan pertentangan antarkelompok terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang mengkibatkan tenjadinya Perang Jamal, Perang Shiffin, dan peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di kalangan kaum muslimin.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanPaparan di atas tentu memerlukan beberapa kesimpulan untuk dapat menangkap inti dari pembahasannya, oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa:1. Terbentuknya khilafah dimulai ketika Nabi wafat dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah (pemimpin) pertama. Asas musyawarah merupakan landasan yang digunakan dalam setiap pergantian khalifah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi. Namun Nabi tidak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dan bagaimana tata cara pemilihan setelahnya. Demikian juga pada pengangkatan khalifah lainnya, semuanya didahului oleh perselisihan dan pada akhirnya terpilihnya mereka yang terpilih setelah melalui musyawarah dengan model yang berbeda-beda.2. Kebangkitan Islam dengan meluasnya wilayah kekuasaan pada masa khalifaur rasyidin merupakan indikasi atas kuatnya politik Islam saat itu. Berawal dari Abu Bakar yang melanjutkan perjuangan Rasulullah dengan mengirimkan parsukan untuk menaklukkan Romawi dan Persia. Kemudian dilanjutkan oleh Umar yang terkenal dengan gelar amiril muminin yang berhasil menaklukkan Romawi dan Persia, Umar juga membuat pembaruan dalam sistem pemerintahannya. Usman melakukan perluasan sebagaimana yang dilakukan Umar dan membentuk angkatan laut pertama dalam Islam. Pada era Ali, politik Islam lebih menfokuskan pada penyelesaian-penyelesaian urusan dalam negeri dari pada melakukan perluasan wilayah.3. Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Fitnah mulai terjadi saat Usman memimpin khekhalifahan. Tuduhan terhadap Usman melakukan nepotisme karena mengangkat kerabatnya pada jabatan tinggi negara. Ketika Usman terbunuh maka pertentangan antarkelompok pun tak terelakkan sehingga mengakibatkan pecahnya peperangan dan pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya. Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas.

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, bakar Abu. 1989. Sejarah Al Quran. Surakarta: RamadhaniAl-Fakhrl, ed. by Derenbourg, p. II6, 1. I to p. 117,1. 3Al-Maududi , Ala Abul. 2007. Khilafah dan kerajaan. Bandung: Mizan Media UtamaAmin, Ahmad. 1991. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Amstrong, Karen. 2002. Islam; Sejarah Singkat. Yogyakarta: Penerbit JendelaArabi, Ibnul. 2010. Gejolak Api Permusuhan syiah-Khawarij-Orientalist terhadap Sahabat Nabi saw., terj, Muhammad Suhadi. Jakarta: AkbarmediaAs Suyuthi, Jalaluddin Al Hafidz. 2001. Tarikh al Khulafa. Daral Fikr, BeirutAs-Suyuthi, Imam. 2005. Tarikh Khulafa Sejarah Para Penguasa Islam. terj. Samson rahman. Jakarta: Pustaka Al-kautsarDasuki , Hafidz A. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van HoeveHitti, Phillip K. 2010. History of The Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu SemestaHitti, Phillip K. 1946. History of The Arabs Third Edition Revised. New York : Corlear Bay Club Lake Champlain.Hodgson, Marshall G. S. 1997. The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization The Classical Age of Islam Volume 1. United Stateg of America.Husain, Taha. 1986. Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam Abu Bakar dan Umar. Jakarta: PT Dunia Pustaka JayaIbn Khallikan (ed. by Wiistenfeld), No. 68, p. 96, 1. 3 ; De Slane's translation, vol. i, p. I52)Karya, Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: LogosKBBI Offline Versi 1.1Lewis, Bernard. 1993. The Arabs in History. New York : Oxford University Press.Maryam, Siti. Dkk. (editor).2009. Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: LESFIMuir, William. 1892. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall. Esinbargh: The R.T. SocietyNicholson, Reynold A. 1993. A Literary History of The Arabs. By Curzon Press Ltd Taylor & Francis.On the Origin and Import of the Names Muslim and Hanif J.R.A.S. for 1903, P. 491).Osman, Latif A. 1992. Ringkasan Sejarah Islam. Jakarta: Penerbit Widjaya

Rasjid, Sulaiman. 1990. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka AlhusnaShiddiqi, Nourouzzaman. 1984. Menguak Sejarah Muslim. Yogyakarta: PLP2M Souyb, Joesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. Jakarta: Bulan BintangSunarto, Ahmad. 2004. At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. Surabaya: Insan AmanahTabari, 2729, I. 15 sqq. The words in italics ace quoted from Koran, xxviii, 26, where they are applied to Moses.Tabari, 2736, I. 5 sqq. The words in italics ace quoted from Koran, xxviii, 26, where they are applied to Moses.7