khalifah fil ardh dalam implementasi kehidupan … · kehidupan sosial bermasyarakat ... dengan...
TRANSCRIPT
ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG
KHALIFAH FIL ARDH DALAM IMPLEMENTASI
KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT
Jurnal
Diajukan Sebagai Syarat Mengikuti
Latihan Kader II HMI Cabang Garut Tahun 2017
Disusun oleh:
MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
CABANG BANDUNG
1438 H / 2017 M
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada Penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang merupakan salah satu syarat
menikuti Latihan Kader II HmI Cabang Garut Tahun 2017. Adapun tema dari
Makalah yaitu “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH
DALAM IMPLEMENTASI KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT”.
Makalah LK-II ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Allah SWT 2. Rakanda Beni Eka Putra, S.H. 3. Rakanda M. Sigit Ismail, S.H. 4. Rakanda Firman Nurhakim 5. Rakanda Dendinar Badrusalam 6. Keluarga Besar HmI Komisariat Hukum Unpas 7. Agitha Yolanda Agustine
8. Keluarga Saya di Garut
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah LK II ini. Terlepas dari
semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar Penulis dapat
memperbaiki makalah LK-II ini. Akhir kata Penulis berharap semoga makalah
LK-II tentang “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH
DALAM IMPLEMENTASI KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT”
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, 1 September 2017
Penulis
ii
ABSTRAK
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang
membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup
manusia di dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian,
menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam
maupun ke luar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui esensi penciptaan
manusia sebagai khalifah fil ardh, mengetahui kehidupan manusia sebagai
khalifah, dan mengetahui manusia sebagai khalifah fil ardh dalam implementasi
kehidupan sosial bermasyarakat.
Penelitian ini dilakukan dengan cara tinjauan pustaka. Adapun sumber yang
digunakan adalah buku-buku yang menjadi referensi peneliti dalam penelitian ini
serta menggunakan sumber lainnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah)
dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat
bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui
dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan
manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai
wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rasul sebagaimana tercantum
dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 30. Hubungan antara muslim dengan
penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam
persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern
umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial
kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerjasama yang baik. Tujuan akhir dari
esensi manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dan kemasyarakatan adalah untuk
menciptakan manusia muslim yang paripurna dalam konsep al-insan dan al-kamil,
yaitu manusia yang selalu istiqamah dan kontinium terampil dalam memfungsikan
daya jasmani dan rohani mereka untuk selalu tunduk dan patuh kepada Allah
SWT.
Kata kunci: esensi penciptaan, manusia sebagai khalifah, implementasi dalam
kehidupan sosial
iii
ABSTRACT
Conceptually-doctrinal has been known that Islam is a religion that brings a
protective teaching and plenary to human beings in the world. Of the many
teachings of Islam, the essence of Islamic teachings lies in the universal respect
for humanity that stands for truth, goodness and justice by promoting peace,
conflict and persecution, both within the internal and outside Muslims. This
research is intended to know the essence of human creation as khalifah fil ardh, to
know human life as khalifah, and to know man as khalifah fil ardh in social life
form society.
This research is done by detailing the literature. The sources used are the books
that become references in this study and use other sources.
The results show that in the conception of Islam God (God) is seen as the source
of all perfection and glory. Place dependent (benchmark) everything. Hence also
in the conception of Islam, the ideal man (man kamil) is the ultimate manifestation
of God in the earth and the birth as a representative of God known as khalifah /
prophet or apostle in Alquran letter Al Baqarah verse 30. The relationship
between Muslims with followers of other religions is not prohibited by the Shari'a
of Islam, except to cooperate in the content of aqidah and worship. Both of these
are internal rights of Muslims who should not be interfered with other parties,
then social aspects can be united in a good cooperation. The ultimate goal of
human essence as the Caliph of Fil Ardh and society is to create the perfect
Muslim man in the concept of al-insan and al-kamil, the always-istiqamah and
kontinumorial people in the functioning of their physical and spiritual power to be
always and obedient to Allah SWT.
Keywords: essence of creation, man as khalifah, implementation within social life
Page 1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia memiliki
keistimewaan dibanding dengan
makhluk lainnya. Allah SWT
telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang paling
sempurna sebagaimana tersirat
dalam surat At-Tiin. Meskipun
demikian, manusia berpotensi
atau berpeluang untuk menjadi
makhluk paling mulia atau paling
hina. Hanya orang yang beriman
dan beramal saleh yang akan
menjadi makhluk mulia di sisi
Allah SWT.
Potensi inilah yang
menjadikan manusia sangat
disayang oleh Sang PenciptaNya.
Di antara bukti kasih sayangNya
adalah penciptaan alam semesta
ini. Alam sengaja diciptakan
olehNya dengan penuh
keseimbangan dan keteraturan,
bukan tercipta secara kebetulan.
Penciptaan alam ini terkait
dengan kepentingan manusia
sebagai khalifah fil ardh
(pemakmur di muka bumi ini),
karenanya alam diciptakan dalam
pola-pola tertentu yang teratur
agar manusia dapat dengan
mudah memahami alam dan
memanfaatkannya.
Manusia, sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT,
memiliki sifat fitrah (kesucian)
dan hanif (cenderungan kepada
kebenaran). Hal ini ditegaskan
dengan ikrar kesaksian pada
ketauhidan sebagaiman
tercantum dalam Alquran surat
Al-Araf ayat 172. Manusia ketika
masih di alam arwah telah
berjanji akan senantiasa beriman
kepada Allah SWT. Namun
Allah SWT tidak membiarkan
manusia berkata seperti itu begitu
saja. Allah SWT akan menguji
kebenaran janji mereka. Ujian
keimanan itu adalah menjadi
makhluk penghuni bumi. Lantas
Allah SWT juga membekali
manusia dengan hati, akal, dan
nafsu untuk menjalankan misi
khalifah tersebut. Sisi
keunggulan inilah yang
menempatkan manusia layak
menerima amanat “khalifah
Allah SWT di muka bumi ini”.1
Kesadaran akan eksistensi
diri sebagai langkah awal dalam
melakukan kerja kemanusiaan
memuat dimensi penting yaitu
dimensi Ilahiyah. Dimensi inilah
yang mendatangkan pencerahan
dalam gerak langkah setiap
individu, karena hal itu sekaligus
berperan sebagai sumber energi
yang memotivisir dan
menggerakkan langkah. 2 Maka
tiada gerak dan kerja yang tidak
memiliki dimensi Ilahiyah
tersebut, karena tanpa itu hanya
merupakan sesuatu perjalanan
tanpa tujuan, sehingga bagi HmI,
semua kerja-kerja di muka bumi
merupakan suatu rangkaian
ibadah kepada Allah SWT yang
senantiasa hanya semata-mata
mengharap ridaNya. Sekaligus
merupakan satu simbol dari
penghambaan diri dan pengakuan
terhadap ke Maha Kuasaan Allah
SWT. Oleh karena itu, kata
1 Budhy Rahman Munawar,
Membaca Nurcholish Majid, Islam dan
Pluralisme, Democary Project, Jakarta,
2011, hlm. 17. 2 Nurcholish Majid, Islam Doktrin
dan Peradaban, Pramadina, Jakarta, hlm.
28.
Page 2
terakhir dari rumusan tujuan HmI
adalah “Terbinanya insan
akademis, pencipta, pengabdi
yang bernafaskan Islam, dan
bertangung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil
makmur yang diridai Allah SWT
”.3 Dengan kecenderungan yang
terjadi pada saat ini, maka
penguatan dimensi Ilahiyah
menjadi sesuatu yang mutlak.
Bukan saja terhadap diri
individu, tetapi juga dalam
menghadapi tantangan mondial.
Kemajemukan masyarakat
menimbulkan adanya variasi
unsur (yang sering disebut
primordialisme), sehingga untuk
terciptanya suatu harmoni dalam
kemajemukan itu dituntut adanya
satu simbol besama berupa
consensus. Untuk itu, maka
penguatan terhadap jati diri
individu berdasar basis unsur
kemasyarakatan (bukan
primordalisme) seperti terhadap
agamanya justru diperlukan bagi
penegasan itu, maka suatu
harmoni dapat dieleminir dengan
munculnya identitas dan prioritas
masalah yang dihadapi.4
Berdasarkan latar
belakang tersebut maka penulis
bermaksud membahasnya dalam
bentuk makalah yang diberi judul
“ESENSI AJARAN ISLAM
TENTANG KHALIFAH FIL
ARDH DALAM
IMPLEMENTASI KEHIDUPAN
SOSIAL BERMASYARAKAT”.
3 Buku Saku LK I Komisariat
Hukum Unpas, Komisariat Hukum Unpas,
Bandung, 2015, hlm. 5. 4 Syekh Muhammad Abduh,
Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta,
hlm. 36.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana esensi penciptaan
manusia sebagai khalifah fil
ardh?
2. Bagaimana kehidupan
manusia sebagai khalifah?
3. Bagaimana manusia sebagai
khalifah fil ardh dalam
implementasi kehidupan
sosial bermasyarakat?
3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui esensi
penciptaan manusia sebagai
khalifah fil ardh.
2. Untuk mengetahui kehidupan
manusia sebagai khalifah.
3. Untuk mengetahui manusia
sebagai khalifah fil ardh
dalam implementasi
kehidupan sosial
bermasyarakat.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
cara tinjauan pustaka. Adapun
sumber yang digunakan adalah
buku-buku yang menjadi
referensi peneliti dalam
penelitian ini serta menggunakan
sumber lainnya.
Page 3
C. PEMBAHASAN
1. Esensi Penciptaan Manusia
Sebagai Khalifah Fil Ardh
Satu hal yang mesti
dilakukan sebelum kita
membicarakan hal-hal lain dari
manusia adalah sebuah
pertanyaan filosofis yang
senantiasa hadir pada setiap
manusia itu sendiri, yakni apa
sesungguhnya manusia itu? Dari
segi aspek apakah manusia itu
mulia atau terhina? Dan apa tolok
ukurnya? Tentu manusia
bukanlah makhluk unik dan sulit
untuk dipahami bila yang ingin
dibicarakan berkenaan dengan
aspek basyariah (fisiologis)nya.
Karena cukup dengan
menpelajari anatomi tubuhnya
kita dapat mengetahui bentuk
atau struktur terdalamnya. Tetapi
manusia selain merupakan
makhluk basyariah (dimensi
fisiologis) dan Annaas (dimensi
sosiologis), ia juga memiliki
aspek insan (dimensi psikologis)
sebuah dimensi lain dari diri
manusia yang paling sublim serta
memiliki kecenderungan yang
paling kompleks. Dimensi yang
disebut terakhir ini bersifat
spritual dan intelektual dan tidak
bersifat material sebagaimana
merupakan kecenderungan aspek
basyarnya.5
Dari aspek inilah nilai dan
derajat manusia ditentukan
dengan kata lain manusia dinilai
dan dipandang mulia atau hina
tidak berdasarkan aspek basyar
(fisiologis). Sebagai contoh cacat
5 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah
Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan, PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 69.
fisik tidaklah dapat dijadikan
tolok ukur apakah manusia
itu hina dan tidak mulia tetapi
dari aspek insanlah seperti
pengetahuan, moral dan
mentallah manusia dinilai dan
dipahami sebagai makhluk mulia
atau hina. Dalam beberapa
kebudayaan dan agama manusia
dipandang sebagai makhluk
mulia dengan tolok ukurnya
bahwa manusia merupakan pusat
tata surya. Pandangan ini
didasarkan pada pandangan
Plotimius bahwa bumi
merupakan pusat seluruh tata
surya. Seluruh benda-benda
langit ‘berhikmat’ bergerak
mengitari bumi. Mengapa
demikian? Karena di situ
makhluk mulia bernama manusia
bercokol. 6 Jadi pandangan ini
menjadikan kitaran benda-benda
langit mengelilingi bumi sebagai
tolok ukur kemulian manusia.
Namun seiring dengan kemajuan
sains pandangan ini kemudian
ditinggalkan dengan tidak
menyisakan nilai mulia pada
manusia. Para ahli astronomi
justru membuktikan hal
sebaliknya bahwa bumi
bukanlah pusat tata surya tetapi
matahari.
Manusia tidak lagi
dipandang sebagai makhluk
mulia bahkan dianggap tak ada
bedanya dengan binatang adapun
geraknya tak ada bedanya dengan
mesin yang bergerak secara
mekanistis. Bahkan lebih dari itu
dianggap tak ada bedanya dengan
materi, ada pun jiwa bagaikan
6 Syekh Muhammad Abduh,
Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta,
hlm. 67.
Page 4
energi yang di keluarkan oleh
batu bara.7 Karena itu wajar bila
manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan tak lagi dihargai.
Maka datanglah kaum
humanisme berupaya
mengangkat harkat manusia,
dengan memandang bahwa
kekuatan, kekuasaan, kekayaan,
pengetahuan ilmiah dan
kebebasan merupakan hal
esensial yang membedakan
manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolok
ukurnya, lantas haruskah orang
seperti Fira’un atau Jengis Khan
yang dapat melakukan apa saja
terhadap bangsa-bangsa yang
dijajahnya dipandang mulia? Jika
berilmu pengetahuan merupakan
tolok ukurnya. Lantas, apakah
dengan demikian orang-orang
seperti Einstein yang paling
berilmu tinggi abad ke-20 atau
para sarjana-sarjana itu lebih
mulia dari seorang Paus Yohanes
Paulus II, Bunda Teresia atau
Mahadma Ghandi bagi
ummatnya masing-masing?
Sungguh semua itu termasuk
ilmu pengetahuan sepanjang
peradaban kemanusiaan. Manusia
tidak mampu mengubah dan
memperbaiki watak jahat
manusia untuk kemudian
mengangkatnya menjadi mulia.
Lantas, apa sesunguhnya tolak
ukur kemanusian itu? Sungguh
dari seluruh bentuk-bentuk
konsepsi tentang manusia yang
ada di muka bumi tak satu pun
yang dapat menandingi
paradigma (tolok ukur)nya serta
7 Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 82.
tidak ada yang lebih representatif
dalam memupuk psikologisnya
kearah yang lebih mulia dari apa
yang ditawarkan Islam.
Dalam konsepsi Islam
Tuhan (Allah) dipandang sebagai
sumber segala kesempurnaan dan
kemulian. Tempat bergantung
(tolak ukur) segala sesuatu.
Karena itu pula sebagaimana
diketahui dalam konsepsi Islam,
manusia ideal (insan kamil)
dipandang merupakan
manifestasi Tuhan termulia di
muka bumi dan karenanya
ditugaskan sebagai wakil Tuhan
yang dikenal sebagai
khalifah/nabi atau rasul
sebagaimana tercantum dalam
Alquran surat Al-Baqarah ayat
30. Karena itu, ciri-ciri kemulian
Tuhan tergambar/
termanifestasikan pada dirinya
yang terdapat dalam Alquran
surat Al-Ahzab ayat 21.
Kemudian sebagai contoh nyata
yang terbaik (uswatun hasanah)
dari “gambaran/cerminan” Tuhan
di muka bumi sebagaimana
dijelaskan dalam Alquran surat
Alqalam ayat 4. Dengan kata lain
bahwa karena Nabi merupakan
representasi (contoh) Tuhan di
muka bumi bagi manusia dengan
demikian nabi/rasul/khalifah
sekaligus merupakan
representasi yakni insan kamil
(manusia sempurna) dari seluruh
kualitas kemanusiaan manusia.
Tetapi walaupun manusia
dipandang sedemikian rupa
dengan nabi sebagai contohnya,
pada saat yang sama, dalam
konsepsi Islam manusia dapat
saja jatuh wujud kemulian
Page 5
menjadi sama bahkan lebih
rendah dari binatang.8
Dengan demikian
keidentikan kepadanya
(khalifah/nabi/rasul) merupakan
tolok ukur kemulian
kemanusiaan manusia dan
sebaliknya berkontradiksi
dengannya merupakan ukuran
kebejatan dan dianggap sebagai
syaitan sebagaimana tercantum
dalam Alquran surat Al-An’am
ayat 112.
2. Kehidupan Manusia Sebagai
Khalifah
Manusia sebagai mahluk
yang mulia, menempati posisi
yang istimewa yang diberikan
Allah di muka bumi ini.
Keistimewaan manusia ini
terlihat dari fungsi yang
diberikan Allah kepadanya yakni
sebagai Khalifah Allah di bumi.
FirmanNya dalam Alquran surat
Al-Baqarah ayat 309:
Artinya: “Dan (ingatlah)
tatkala Tuhanmu berkata
kepada malaikat
“sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang
Khalifah di muka bumi ….
(Qs. Al-Baqarah [2]:30).
Dari ayat tersebut terlihat
bahwa manusia diberi kekuasaan
8 Syekh Muhammad Abduh,
Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta,
hlm. 73. 9 Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahannya, Syaamil Alquran, PT.
Sygma Exmedia Arkaleema, Bandung,
2007.
untuk mengolah dan
memakmurkan alam ini dalam
rangka beribadah kepada Allah
SWT, sehingga akan
membedakannya dengan mahluk
lain dalam kedudukan dan
tanggung jawab. Konsekuensi
dari kedudukan dan tanggung
jawab tersebut, manusia akan
diminta pertanggungangjawaban
atas segala amal yang
dilakukannya dimuka bumi ini
sebagai Khalifah Fil Ardh.
Makna kata Khalifah
artinya “pengganti”. Ar-Ragib al-
Asfahani, dalam Mu’jam
Mufradat fi Gharibil Quran,
menjelaskan bahwa
menggantikan yang lain berarti
melaksanakan sesuatu atas nama
yang digantikan, baik bersama
yang digantikannya maupun
sesudahnya. Lebih lanjut, Al-
Asfahani menyebutkan bahwa
kekhalifahan tersebut dapat
terlaksana akibat ketiadaan di
tempat, kematian atau
ketidakmampuan orang yang
digantikan, dan dapat juga akibat
penghormatan yang diberikan
kepada orang yang
menggantikan”.10
Menurut Ahmad Hasan
Firhat, seperti dikutip Samsul
Nizar menyebutkan bahwa
kedudukan kekhalifahan manusia
dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu khalifah kauniyat
dan khalifah syariat. Khalifah
kuaniyat mencakup wewenang
manusi secara umum yang telah
dianugerahkan Allah SWT untuk
mengatur dan memanfaatkan
10 Achmad Maulana, Kamus Ilmiah
Populer, Abosulte, Yogyakarta, 2010, hlm.
17.
Page 6
alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat
manusia di muka bumi.
Pemberian wewenang Allah
kepada manusia dalam konteks
ini, meliputi pemakmuran yang
bersifat umum tanpa dibatasi oleh
agama atau keyakinan apa yang
dia akui. Artinya, label
kekahalifahan yang
dimaksud diberikan kepada
semua manusia sebagai penguasa
alam semesta.11
Bila dimensi ini dijadikan
standar dalam melihat predikat
manusia sebagai Khalifah Fil
Ardh, maka akan berdampak
negatif bagi kelangsungan
kehidupan manusia dalam alam
semesta. Manusia dengan
kekuatannya akan
mempergunakan alam semesta
sebagai konsekuensi
kekhailifahannya tanpa kontrol
dan melakukan penyimpangan-
penyimpangan dari nilai ilahiyah.
Akibatnya, keberadaannya di
muka bumi bukan lagi sebagai
pembawa kemakmuran, namun
cenderung berbuat mafsadah dan
merugikan mahluk Allah lainnya.
Ketiadaan nilai kontrol inilah
yang dikhawatirkan malaikat
tatkala Allah mengutakarakan
keinginanNya mahluk yang
bernama manusia.
Khalifah syari’at meliputi
wewenang Allah yang diberikan
kepada manusia untuk
memakmurkan alam semesta.
Hanya saja untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawab ini,
predikat khalifah, secara khusus
11 Hamid Mowlana, Masyarakat
Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik, Shdra Press, 2010, hlm 34.
ditujukan kepada orang-orang
mukmin. Hal ini dimaksudkan,
agar dengan keimanan yang
dimilikinya, mampu menjadi
pilar dan kontrol dalam mengatur
mekanisme alam semesta, sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiyah yang
telah digariskan Allah SWT
lewat ajaranNya. Dengan prinsip
ini manusia, akan senantiasa
berbuat kebaikan dan
memanfaatkan alam semesta
demi kemaslahatan umat
manusia.12
Bila dimensi ini
dikembangkan dalam kajian
pendidikan Islam, maka dalam
proses mempersiapkan generasi
penerus estafet kekhalifahan
yang sesuai dengan nilai-nilai
Ilahiyah, pendidikan yang
ditawarkan harus mampu
memberikan dan membentuk
pribadi peserta didiknya dengan
acuan nilai-nilai Ilahiyah.
Dengan penanaman ini, akan
menjadi panduan baginya dalam
melaksanakan amanat Allah
SWT di muka bumi. Kekosongan
akan nilai-nilai religius, akan
mengakibatkan manusia bebas
kendali dan berbuat
sekehendaknya. Sikap yang
demikian akan berimplikasi
timbulnya nilai-nilai egoistis
yang bermuara kepada timbulnya
sikap angkuh dan sombong pada
diri manusia. Sikap ini akan
berbias kepada tumbuhnya sikap
memandang rendah orang lain.
Manusia di luar dirinya adalah
alat yang bisa dikorbankan untuk
12 Budhy Rahman Munawar,
Membaca Nurcholish Majid, Islam dan
Pluralisme, Democary Project, Jakarta,
2011, hlm. 39.
Page 7
mencapai tujuan yang
diinginkannya. Jika ini terjadi,
pada waktu yang sama, nilai-nilai
sakral kemanusiaan manusia
telah tercampak dan sekaligus
menumbuhkan cikal bakal
mafsadah di muka bumi ini. 13
Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan janganlah
kamu memalingkan
mukamu dari manusia
(dengan sombong), dan
janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai
orang-orang yang
sombong lagi
membanggakan diri.”
(QS. Lukman [31]:18).
Berpijak pada penjelasan
dan ayat di atas, dipahami bahwa
untuk menciptakan tatanan
kehidupan yang sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiyah, tugas dan
fungsi manusia sebagai khalifah
tidaklah bisa diartikan secara
umum, akan tetapi dapat dilihat
dalam konteks khalifah
syar’iyyah. Sebab, hanya dengan
predikat inilah manusia dapat
melaksanakan fungsinya dengan
baik, sesuai dengan amanat Allah
yang diberikan kepadanya.14
Uraian di atas, secara
implisit memberikan gambaran
13 Nizar Samsul, Pengantar Dasar-
dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya
Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm. 21. 14 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah
Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan, PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 74.
bahwa dalam melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah,
manusia dihadapkan pada
beberapa konsekuensi yang harus
dipertanggungjawabkan15, yaitu:
1. Senantiasa taat, tunduk
dan patuh, serta
berpegang teguh pada
ajaran-ajaranNya.
2. Mempersiapkan diri
dengan seperangkat ilmu
pengetahuan yang
menopang terlaksananya
tugas dan fungsinya
sebagai Khalifah Fil Ardh
secara optimal. Ilmu yang
dimaksud, meliputi ilmu
agama sebagai indikator
dalam bertindak, maupun
ilmu-ilmu kealaman
lainnya dalam upaya
menerjemahkan ayat-ayat
Allah (baik quraniyah
maupun kauniyah) bagi
terwujudnya
kemaslahatan umat
manusia.
3. Bertanggung jawab
terhadap amanat yang
diberikan Allah SWT
kepadanya, dengan cara
memelihara serta
memanfaatkan alam
semesta beserta
isinya bagi kepentingan
dan kesejahteraan umat
manusia, sekaligus
sebagai sarana ibadah
kepada Khaliqnya, sesuai
dengan kemampuan
mereka masing-masing.
15 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah
Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan, PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 76.
Page 8
4. Dengan diserahkannya
predikat khalifah
syar’iyyah kepada
manusia, maka akan
terpeliharalah amanat
yang diberikan Allah
kepadanya dengan sebaik-
baiknya. Dengan
demikian nilai-nilai
kemanusiaan manusia
pada derajat yang tinggi
akan terjaga dengan baik
sesuai dengan potensi
yang dimilikinya.
3. Manusia Sebagai Khalifah Fil
Ardh Dalam Implementasi
Kehidupan Sosial
Bermasyarakat
Salah satu sifat khas
manusia sebagai makhluk dan
karenanya ia berbeda dengan
binatang adalah bahwa ia
merupakan makhluk yang
diciptakan selain sebagai makluk
berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan
kecenderungan alamiah dari
jiwanya yang paling sublim.
Kedua aspek ini mesti dipahami
dan di letakkan pada porsinya
masing-masing secara terkait.
Sebab yang pertama melahirkan
perbedaan dan yang kedua
melahirkan kesatuan. Karena itu
mencabut salah satunya dari
manusia itu berarti membunuh
kemanusiaananya. Dengan kata
lain bahwa perbedaan-perbedaan
(bukan pembedaan-pembedaan)
yang terjadi di antara setiap
individu-individu (sebagai
identitas dari jiwa individual)
merupakan prinsip kemestian
bagi terbentuknya masyarakat
dan dinamikanya. Sebab bila
sebuah masyarakat, individu-
individu haruslah memiliki
kesamaan, maka ini berarti
dinamisasi, dalam arti, saling
membutuhkan pastilah tak terjadi
dan karenanya makna masyarakat
menjadi kehilangan konsep. Di
sisi lain dengan adanya
perbedaan-perbedaan di antara
para individu meniscayakan
adanya saling membutuhkan,
memberi dan kenal-mengenal
dan karena itu konsep
kemanusiaan memiliki makna.
Sejarah umat manusia
menunjukkan mata rantai yang
panjang di mana berbagai
kejadian selalu muncul. Jika
kemudian selalu lahir orang-
orang besar, orang-orang yang
mampu menangkap kehendak
sejarah dan berperan besar di
dalamnya, maka hal itu tak
terlepas dari sejarah itu sendiri.
Sang pemimpin selalu muncul,
dia ada di depan untuk
mengarahkan masyarakat akan
harapan hari depan. Dia mampu
menangkap sesuatu yang menjadi
keresahan masyarakat dan
sekaligus memberikan harapan
akan hari depan.
Sejarah munculnya Nabi
Muhammad SAW sebagai
pemimpin dan pelopor orang-
orang Arab (dan kemudian dunia)
yang kemudian dikenal sebagai
orang besar dalam sejarah dunia.
Beliau memberikan jawaban dan
mengarahkan masyarakat
bergerak untuk menjawab
berbagai macam kontradiksi yang
ada, yang oleh banyak orang
dikenal sebagai zaman
Page 9
jahiliyah.16 Sejarah tersebut dapat
dijadikan motivasi dan renungan
bagi kita sebagai umat Islam
untuk menyongsong masa depan.
Dalam untaian khazanah
perkembangan ilmu pengetahuan
dunia Islam, berbagai hal yang
berkaitan dengan aktivitas
masyarakat dan individu yang
ada di dalamnya, telah
mendapatkan perhatian yang
besar. Hal tersebut dapat dilihat
di dalam beberapa karya besar
ilmuwan muslim yang berbicara
tentang masyarakat, negara,
politik, pemerintahan, dan lain
sebagainya. Sayangnya, ketika
disiplin yang berkaitan dengan
hal tersebut berkembang dan
mewujud dalam disiplin sosiologi
serta menjadi semakin krusial
keberadaannya dalam ranah
praktis, para ilmuwan muslim
kontemporer justru sedikit sekali
yang dapat memberikan
kontribusi signifikan yang
mewarnai sosiologi
kontemporer.17
Pusat kemanusiaan adalah
masing-masing pribadi manusia
dan kemerdekaan pribadi adalah
hak asasinya yang pertama. Tiada
sesuatupun yang berharga selain
kemerdekaan itu. 18 Di sisi lain,
kehidupan manusia secara fitri
bersifat kemasyarakatan yang
hidup dalam suatu bentuk
16 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah
Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan, PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 103. 17 Hamid Mowlana, Masyarakat
Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik, Shdra Press, 2010, hlm 47. 18 Hamid Mowlana, Masyarakat
Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik, Shdra Press, 2010, hlm 48.
hubungan tertentu dengan dunia
sekitarnya. Kebutuhan,
keuntungan, kepuasan, karya dan
kegiatan manusia tidak mungkin
terpenuhi dengan baik tanpa
berada di tengah sesamanya
dalam suatu perangkat tradisi dan
sistem tertentu.
Masyarakat merupakan
senyawa sejati, sebagaimana
senyawa ilmiah, yang bersintesis
dalam kebudayaan, bukan
kefisikan. Kemudian yang
disintesis adalah jiwa, pikiran
dan hasrat manusia yang
memasuki kehidupan
bermasyarakat. Dengan karunia-
karunia yang diperoleh dari alam
dan kemampuan-kemampuan
bawaan mereka, secara kejiwaan
melebur untuk mendapatkan
suatu identitas baru, yaitu jiwa
kemasyarakatan. Sintesis ini
bersifat alamiah, unik dan khas.
Unsur-unsur individu dan
masyarakat saling memengaruhi
dan diubah oleh pengaruh timbal
balik untuk mendapakan suatu
kepribadian baru.19
Namun, suatu bentuk dan
identitas baru ini tidak mengubah
kejamakan perseorangan menjadi
suatu ketunggalan. Sintesis tidak
menjadikan manusia tunggal,
suatu entitas kefisikan yang di
dalamnya seluruh inividu terlebur
secara fisikal. Masyarakat yang
diartikan sebagai suatu entitas
tunggal kefisikan hanyalah
sebuah abstraksi rekaan. Individu
yang merupakan salah satu unsur
pembentuk masyarakat selain
alam dan sistem sebagai ikatan
19 Hamid Mowlana, Masyarakat
Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik, Shdra Press, 2010, hlm 49.
Page 10
kemanusiaan tetap merdeka
dalam berfikir dan berkehendak
secara perseorangan. Keberadaan
individu mendahului
masyarakatnya.
Pertanggungjawaban
individual terjadi ketika sebuah
perbuatan memiliki dua dimensi,
pelaku (sebab-aktif) dan sasaran
yang disiapkan oleh pelaku
(sebab-akhir). 20 Apabila dalam
perbuatan tersebut terdapat
dimensi ketiga, berupa saran dan
peluang yang diberikan untuk
terjadinya tindakan tersebut
menjadi tindakan kolektif.
Masyarakat adalah pihak yang
memberikan landasan bagi
tindakan kolektif dan membentuk
sebab material. Untuk itu, ia
menjadi catatan amal suatu
bangsa di hari akhir.
Tidak ada manusia yang
memiliki hak secara intrinsik
untuk mengatur orang lain,
bahkan jika ia mengeluarkan
ketetapan-ketetapan yang benar
dan adil, karena semua orang,
sebagaimana makhluk-makhluk
lain, adalah diciptakan dan
merupakan kepunyaan
Allah Yang Maha kuasa, dan tak
seorang pun yang boleh turut
campur dengan kepunyaan orang
lain tanpa izin pemiliknya.
Seorang manusia tidak memiliki
hak, bahkan untuk menggunakan
anggota tubuhnya sendiri dengan
cara yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan, dan sebagai
konsekuensinya, ia tidak bisa
membiarkan orang lain
melakukannya juga. Karenanya,
20 Hamid Mowlana, Masyarakat
Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik, Shdra Press, 2010, hlm 50.
satu-satunya yang memiliki hak
mutlak untuk memerintah
dan menolak siapapun dan
apapun hanyalahTuhan Yang
Maha Esa. Semua otoritas dan
wilayah harus berasal dari Dia
atau paling tidak sesuai dengan
hukum-hukumNya.
Islam tidak hanya
menekankan pentingnya
kehidupan sosial, bahkan
menganggap perhatian pada
permasalahan sosial dan
perjuangan bagi kepentingan
semua umat manusia sebagai
suatu kewajiban. Tidak peduli
pada permasalahan semacam itu,
dalam Islam dianggap sebagai
dosa besar.
Agar tercipta keteraturan
sosial, diperlukan suatu hukum
dalam kehidupan sosial, karena
tak ada masyarakat yang bisa
bertahan hidup tanpa adanya
peraturan dan ketentuan sosial.
Tujuan hukum bukan hanya
untuk menciptakan peraturan dan
disiplin sosial, namun lebih dari
itu adalah untuk menjaga
keadilan sosial.
Dalam perpsektif Islam,
hukum-hukum sosial harus bisa
mempersiapkan landasan dan
kondisi yang mendukung
perkembangan spiritual dan
kebahagiaan abadi bagi manusia.
Paling tidak, hukum-hukum
sosial tidak boleh bertentangan
dengan perkembangan spiritual.
Bahkan jika suatu hukum bisa
menegakkan suatu tatanan sosial
namun menyebabkan
kemalangan abadi bagi manusia,
dari sudut pandang Islam hukum
ini tidak bisa diterima, bahkan
Page 11
jika hukum tersebut diterima oleh
mayoritas.
Teori yang berlaku di
kebanyakan masyarakat dewasa
ini adalah bahwa hukum harus
disahkan dan disepakati oleh
masyarakat itu sendiri, atau
wakil-wakil mereka. Karena
konsensus dari semua anggota
masyarakat maupun dari semua
wakil-wakil mereka itu praktis
mustahil terjadi, maka pendapat
mayoritas (bahkan jika hanya
setengah plus satu) merupakan
kriteria validitas hukum tersebut.
Dari sudut pandang Islam,
hukum-hukum harus disahkan
sedemikian rupa sehingga bisa
memberikan manfaat bagi
anggota masyarakat, khususnya
bagi mereka yang ingin
meningkatkan diri dan ingin
memperoleh kebahagiaan abadi.
Jelas bahwa hukum semacam itu
harus disahkan oleh seseorang
yang memiliki pengetahuan yang
memadai tentang manfaat yang
sejati dan sesungguhnya bagi
manusia, dan yang kedua, yang
tidak mengorbankan manfaat
bagi orang lain demi
kepentingannya pribadi dan nafsu
yang sia-sia.
Jelas bahwa tak ada yang
lebih bijaksana daripada Tuhan
Yang Maha Kuasa, yang tidak
memiliki kepentingan atas
hamba-hambaNya atau sesuatu
yang mereka lakukan, dan yang
telah menetapkan ketentuan
ketuhanan hanya demi
memberikan manfaat bagi
hamba-hambaNya itu. Tentu saja,
hukum-hukum sosial yang
digambarkan dalam kitab-kitab
yang diturunkan dari langit itu
tidak secara eksplisit menyatakan
semua ketentuan sosial yang
berlaku di semua tempat dan
waktu melainkan sekadar
memberikan kerangka umum
yang bisa menjadi sumber
penetapan peraturan yang
diperlukan, berkaitan dengan
perbedaan waktu dan tempat.
Islam, sebagaimana
kebanyakan mazhab politik yang
lain, membutuhkan keberadaan
suatu negara sebagai kekuatan
yang bisa mencegah
penyimpangan hukum, dan
kelemahan suatu negara akan
berarti terhambatnya penerapan
hukum, keadaan chaos, dan
pelanggaran hak-hak kaum yang
lemah.
Jelas bahwa ada dua
kualifikasi fundamental bagi
mereka yang bertugas
menerapkan hukum, terutama
bagi yang berada di puncak
piramida kekuasaan: pertama,
pengetahuan yang memadai dari
hukum tersebut untuk
menghindari penyimpangan yang
disebabkan oleh ketidaktahuan;
dan yang kedua, kontrol pribadi
atas kehendaknya untuk
mencegah keinginan yang
disengaja untuk menerapkan
hukum secara salah. Dalam
termonologi religius, orang
seperti ini disebut
sebagaimaksum (terjaga dari
dosa). Semua umat Islam percaya
pada kemaksuman Nabi
Muhammad SAW.21
21 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah
Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan, PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 103.
Page 12
Di sisi lain, kita
mengetahui bahwa kecuali bagi
para nabi tidak ada orang lain
yang secara khusus ditunjuk oleh
Tuhan untuk menjalankan hukum
dan untuk memerintah. Jadi,
manusia harus berusaha untuk
menemukan orang-orang yang
sebisa mungkin menyerupai para
nabi, yang kemudian lebih
dikenal dengan istilah manusia
sempurna (insan kamil).
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Secara konseptual-doktrinal
telah diketahui bahwa Islam
adalah agama yang membawa
ajaran yang menyeluruh dan
paripurna bagi kelangsungan
hidup manusia di dunia. Dari
sekian macam ajaran Islam,
esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan kepada
kemanusiaan secara universal
yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan, dan
keadilan dengan
mengedepankan kedamaian,
menghindari pertentangan
dan perselisian, baik ke
dalam intern umat Islam
maupun ke luar. Dengan
demikian tampak bahwa
nilai-nilai ajaran Islam
menjadi dasar bagi hubungan
antar umat manusia secara
universal dengan tidak
mengenal suku, bangsa dan
agama.
b. Hubungan antara muslim
dengan penganut agama lain
tidak dilarang oleh syariat
Islam, kecuali bekerja sama
dalam persoalan aqidah dan
ibadah. Kedua persoalan
tersebut merupakan hak
intern umat Islam yang tidak
boleh dicampuri pihak lain,
tetapi aspek sosial
kemasyarakatan dapat bersatu
dalam kerjasama yang baik.
Selanjutnya mengenai
keadilan ekonomi adalah
aturan main (rules of the
game) dalam ajaran Islam
dapat dipaparkan dalam
beberapa hal. Pertama,
seluruh anggota masyarakat
mesti memperoleh
kesejahteraan yang
memadai. Kedua, perbedaan
dalam hal pendapatan
hendaknya bukan terjadi
akibat praktik diskriminasi
dalam undang-undang dan
kesempatan memperoleh
fasilitas dan kesempatan.
Selain itu, kalangan kaya
hendaknya menunaikan tugas
dan kewajibannya terkait hak
kaum miskin dan hak
pemerintahan Islam. Dalam
sistem ekonomi Islam,
kemajuan jangan sampai
berakibat buruk pada
pendistribusian kekayaan
secara adil. Sebab kemajuan
dan pertumbuhan ekonomi
tak lain adalah sarana untuk
mewujudkan keseimbangan
dan keadilan ekonomi.
c. Tujuan akhir dari esensi
manusia sebagai Khalifah Fil
Ardh dan kemasyarakatan
adalah untuk menciptakan
manusia muslim yang
paripurna dalam konsep al-
insan dan al-kamil, yaitu
manusia yang selalu
istiqamah dan kontinium
terampil dalam
Page 13
memfungsikan daya jasmani
dan rohani mereka untuk
selalu tunduk dan patuh
kepada Allah SWT.
2. Saran
a. Dalam rangka meningkatkan
peran esensi ajaran Islam
tentang khalifah fil ardh
dalam implementasi
kehidupan sosial
bermasyarakat harus
meningkatkan kemampuan
bakat dan minatnya dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Sebaiknya para membaca
harus memahami dirinya
sebagai khalifah sehingga
dapat mengimplementasikan
kebenaran ilmu pengetahuan
yang menopang
terlaksananya tugas dan
fungsinya sebagai Khalifah
Fil Ardh secara optimal
dalam kehidupan sehari-
harinya.
c. Diharapkan para pembaca
dapat mengimplemtasikan
tujuan akhir dari esensi
manusia sebagai Khalifah Fil
Ardh dan kemasyarakatan
yakni untuk berusaha menjadi
manusia muslim yang
paripurna dalam konsep al-
insan dan al-kamil.
iv
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Abuddin, Nata. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Buku Saku LK I Komisariat Hukum Unpas. 2015. Bandung: Komisariat
Hukum Unpas.
Departemen Agama RI. 2007. Alquran dan Terjemahannya, Syaamil Alquran,
Bandung: PT. Sygma Exmedia Arkaleema.
Hatami, Munzir. 2009. Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai
Agen Perubahan. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Majid, Nurchlish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pramadina.
Maulana, Achmad. 2010. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Abosulte.
Mowlana, Hamid. 2010. Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik. Shdra Press.
Munawar, Budhy Rahman. 2011. Membaca Nurcholish Majid, Islam dan
Pluralisme. Jakarta: Democary Project.
Samsul, Nizar. 2001. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.