keuangan negara, perkembangan … · web viewprinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun...

165
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

Upload: lamdat

Post on 18-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DANLEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

Page 2: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber
Page 3: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

BAB IV

KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETERDAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN

A. PENDAHULUAN

Rangkaian kegiatan pembangunan nasional yang telah dilak-sanakan selama Repelita I, II dan III, sampai dengan tahun pertama Repelita IV, senantiasa tak terlepas dari berbagai ikhtiar rasional untuk dapat menjamin tersedianya dana pem-biayaan pembangunan. Berbagai upaya yang diarahkan secara op-timal, telah memungkinkan terwujudnya landasan pembangunan yang semakin kokoh dan tercermin pada kemampuan yang semakin mantap untuk memperbesar tabungan dalam negeri. Kesemua ikh- tiar ini tetap tertuju pada sasaran dan tujuan pembangunan jangka panjang, seperti yang telah ditentukan di dalam GBHN. Dalam hubungan ini usaha untuk dapat mencapai keseimbangan yang serasi dan terkait antara realisasi pemerataan, pertum-buhan dan stabilitas nasional, selama periode 1969/70 sampai dengan 1984/85 telah ditunjang dan dimungkinkan oleh adanya berbagai perangkat sarana yang semakin efektif di bidang ke-uangan negara, moneter serta lembaga-lembaga keuangan.

Kegiatan pembangunan sejak Repelita I, telah diarahkan secara sadar untuk mencapai berbagai sasaran jangka menengah dan jangka panjang, sebagaimana dicantumkan di dalam GBHN. Dalam hal ini, keuangan negara khususnya APBN, merupakan wadah rencana operasional tahunan dari setiap Repelita, yang pelaksanaannya telah berjalan sejak tahun 1969/70, sebagai tahun pertama Repelita I, sampai dengan tahun 1984/85, seba-gai tahun pertama Repelita IV.

Kebijaksanaan keuangan negara dalam tahun 1984/85 tetap dilandasi oleh prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis, yang telah dianut secara konsisten pada setiap tahun pelaksa-naan Repelita serta sesudah tahun 1966 pada umumnya. Prinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber utama dari suatu hyperinflasi, yang pada tahun 1966 misalnya, masih mencapai 650 % dengan segala akibat ne-gatifnya pada kegiatan pembangunan. Dengan telah dihilangkan-nya sifat inflatoir dari pengelolaan keuangan negara sesudah tahun 1966, maka peranan APBN sebagai pendorong dan pengarah kegiatan pembangunan, menjadi semakin besar. Dalam realisasi tahun 1984/85, komponen pengeluaran pembangunan dari APBN,

IV/3

Page 4: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

telah mencapai jumlah Rp 9.951,9 milyar dibanding dengan Rp. 2.555,6 milyar dalam tahun 1978/79 dan Rp 57,9 milyar dalam tahun 1968, ketika laju inflasi tahun 1984/85 adalah 3,64 %, tahun 1978/79 adalah 11,79 %, dalam tahun 1969/70 adalah 10,65 %, sedang dalam tahun 1968 laju inflasi masih relatif tinggi sebesar 85,1 %.

Berlandaskan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis, maka berbagai kebijaksanaan di bidang penerimaan dan penge-luaran telah berhasil untuk tidak hanya memantapkan stabili-tas nasional tetapi sekaligus mengupayakan pertumbuhan ekono-mi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan sesuai dengan Tri-logi Pembangunan. Berbagai sarana kebijaksanaan tersebut se-nantiasa diusahakan untuk disempurnakan yang dimungkinkan oleh tingkat perbaikan yang telah tercapai pada tahap yang bersangkutan maupun dalam rangka usaha penyesuaian terhadap berbagai masalah baru yang timbul agar tetap dapat merealisa-sikan berbagai sasaran pembangunan secara optimal.

Dengan telah terciptanya landasan yang lebih kokoh pada akhir Repelita III, maka dalam tahun pertama Repelita IV telah dimungkinkan untuk menyempurnakan landasan perundang-undangan di bidang perpajakan. Selain itu, dalam akhir Repe-lita III kegiatan pembangunan juga telah dipengaruhi resesi ekonomi dunia, yang akibatnya masih terasa ketika memasuki tahun pertama Repelita IV ini. Dalam hubungan ini telah di-usahakan berbagai kebijaksanaan untuk mempertajam prioritas dibidang pengeluaran negara. Pengeluaran rutin yang diusaha-kan secara ofisien, telah ikut mengusahakan jumlah tabungan Pemerintah yang makin membesar untuk membiayai pengeluaran pembangunan.

Melalui berbagai penyempurnaan kebijaksanaan tersebut, telah dapat dipelihara momentum kegiatan pembangunan yang me-ningkat dan berkesinambungan dalam lingkungan ekonomi dunia yang tak menentu.

Dengan telah disempurnakannya landasan perundang-undangan perpajakan maka realisasi jumlah penerimaan dalam negeri tetap dapat ditingkatkan dalam tahun 1984/85, sehingga men-capai jumlah Rp. 15.905,5 milyar. Jumlah ini merupakan suatu kenaikan terhadap realisasi yang dicapai pada tahun terakhir Repelita III, sebesar Rp. 14.432,7 milyar dan terhadap tahun 1973/74 serta tahun 1968 ketika realisasinya masing-masing mencapai Rp. 967,7 milyar dan Rp. 149,7 milyar.

Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan jumlah dan mutu

IV/4

Page 5: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Pelayanan kepada masyarakat dan pemeliharan hasil-hasil pem-bangunan, pengeluaran rutin menunjukkan pula peningkatan. Bila dalam tahun 1978/79, jumlah pengeluaran rutin baru men- capai Rp. 2.743,7 milyar, maka pada tahun 1983/84 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 8.411,8 milyar, yang ber- arti suatu peningkatan sebesar Rp. 5.668,1 milyar, atau rata-rata meningkat sebesar 25,1 % setiap tahunnya. Kemudian dalam tahun pertama Repelita IV yaitu tahun 1984/85 jumlah penge-luaran rutin tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.429,0 mil- yar yang berarti peningkatan sebesar Rp. 1.017,2 milyar atau 2,1 % terhadap tahun 1983/84.

Tekad untuk menjadi semakin mandiri dalam pembiayaan pem- bangunan serta kemajuan di bidang pengelolaan keuangan negara selama ini tercermin pada meningkatnya pertumbuhan tabungan Pemerintah yang dapat dihimpun dalam setiap tahun anggaran- nya. Tabungan Pemerintah dalam perkembangannya selalu menun-jukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dalam tahun ter- akhir Repelita I jumlah tabungan Pemerintah baru mencapai Rp. 254,4 milyar, maka dalam tahun terakhir Repelita II jumlah tabungan tersebut telah mencapai Rp. 1.522,4 milyar atau hampir 6 kalinya. Lima tahun kemudian, yaitu dalam tahun terakhir Repelita III, jumlah tersebut telah meningkat menja- di Rp. 6.020,9 milyar, suatu kenaikan sebesar Rp. 4.498,5 milyar, atau rata-rata 31,7 % per tahun. Jumlah tabungan Pe-merintah yang berhasil dihimpun tersebut telah meningkat lagi menjadi Rp. 6.476,5 milyar pada tahun 1984/85 atau meningkat dengan Rp. 455,6 milyar dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III. Peningkatan-peningkatan yang cukup berarti ter-sebut telah dicapai berkat upaya peningkatan penerimaan dalam negeri melalui berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan po-tensi sumber dana dari dalam negeri, sementara pengelolaan pengeluaran rutin selalu diarahkan kepada pendayagunaan dana yang tersedia secara lebih efisien tanpa mengurangi mutu pe-layanan yang disediakan bagi masyarakat.

Tabungan Pemerintah yang setiap tahun meningkat tersebut, bersama-sama dengan bantuan luar negeri membentuk dana pem-bangunan yang selanjutnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Semakin berkembangnya dana pembangunan berarti semakin luas jangkauan pembangunan yang dapat dilak-sanakan. Pada tahun terakhir Repelita II jumlah dana pemba-ngunan mencapai jumlah sebesar Rp. 2.557,9 milyar, dan selan-jutnya lima tahun kemudian, yaitu pada tahun terakhir Repe- lita III, jumlah tersebut telah mencapai Rp. 9.903,3 milyar, yang berarti suatu peningkatan rata-rata sebesar 31,1 % se-

IV/5

Page 6: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

tiap tahunnya. Dalam tahun 1984/85 jumlah tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.954,5 milyar.

Dana pembangunan yang terus meningkat tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan baik secara sektoral maupun regional. Jumlah pengeluaran pembangunan dalam ter-akhir Repelita II, adalah Rp. 2.555,6 milyar. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp. 9.899,2 milyar dalam tahun 1984/85, yang berarti telah meningkat sebesar Rp. 7.343,6 milyar atau rata-rata 31,1% setiap tahunnya dalam kurun waktu Repelita III. Pengeluaran tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 9.951,9 milyar dalam tahun 1984/85, yang berarti Rp. 52,7 milyar le- bih besar dari pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya.

Ringkasan realisasi APBN dalam periode 1968-1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.

Langkah-langkah melalui perangkat sarana kebijaksanaan moneter, yang telah ditempuh, sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1984/85, dapat diikuti dari perkembangan jumlah uang beredar, dana perbankan, jumlah dan arah penggunaan kre- dit, suku bunga dan perkembangan harga.

Kebijaksanaan jumlah uang beredar menyangkut usaha untuk memperlancar kegiatan roda perekonomian dan mengusahakan serta mempertahankan stabilitas harga-harga serta sekaligus dalam hubungan yang terkait, mencapai tujuan pemerataan. Pe-riode Repelita I merupakan awal rangkaian pelaksanaan kegiat-an pembangunan secara terarah setelah berhasil diciptakan pra-kondisinya dalam bentuk pemulihan stabilitas harga-harga dari keadaan hyperinflasi pada periode sebelumnya. Kebijak-sanaan jumlah uang beredar yang telah terarah dan terkendali juga terkait dengan keberhasilan untuk kembali menegakkan di- siplin pelaksanaan kebijaksanaan keuangan negara. Jika dalam tahun 1968 jumlah uang beredar baru mencapai jumlah sebesar Rp.113,9 milyar, maka dalam tahun 1973/74, telah meningkat mencapai jumlah Rp.784,3 milyar. Serasi dengan semakin man-tapnya stabilitas harga-harga dan semakin meningkatnya laju kegiatan pembangunan, maka jumlah uang beredar telah mening-kat sampai jumlah Rp.8.988,4 milyar pada akhir pelaksanaan tahun pertama Repelita IV.

Bersamaan dengan telah dapat diciptakannya tingkat kese-imbangan moneter, maka jumlah dana pembangunan dan jumlah perkreditan yang dalam tahun 1968 baru mencapai jumlah Rp. 76,6 milyar dan Rp.126,0 milyar sedangkan dalam tahun

IV/6

Page 7: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 1RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

Uraian 1968 1973/74(Akhir Re-pelita I)

1978/79(akhir Re-pelita II)

1982/83 1983/84(akhir Re-pelita III)

1984/85

Penerimaan Dalam NegeriPengeluaran RutinTabungan PemerintahDana Bantuan Luar Negeri(Bantuan Program)(Bantuan Proyek)Dana PembangunanPengeluaran Pembangunan

149,7149,7

-57,9

(35,5)(22,4)

57,957,9

967,7713,3254,4203,9(89,8)

(114,1)458,3450,9

4.266,12.743,71.522,41.035,5

(48,2)(987,3)2.557,92.555,6

12.418,36.996,35.422,01.940,0

(15,1)(1.924,9)

7.362,07.359,6

14.432,78.411,86.020,93.882,4

(14,9)(3.867,5)

9.903,39.899,2

15.905,59.429,06.476,53.478,0

(69,3)(3.408,7)

9.954,59.951,9

Surplus/Defisit - + 7,4 +2,3 + 2,4 + 4,1 +2,6

IV/7

Page 8: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV – 1RINGKASAN REALISASI, ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

1968 – 1984/85

IV/8

Page 9: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

1984/85, jumlah-jumlah tersebut telah mencapai masing-masing Rp.16.687,8 milyar dan Rp.19.636 milyar. Keberhasilan kebi-jaksanaan moneter, terlebih nyata lagi tercermin dalam per-kembangan tingkat harga-harga yang langsung mempengaruhi daya beli masyarakat luas, dari 85,1% dalam tahun 1968 menjadi 3,6% dalam tahun 1984/85.

Dengan pulihnya serta meningkatnya kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah, maka telah dapat diusahakan pengem-bangan dan penyempurnaan di bidang lembaga perbankan serta lembaga-lembaga keuangan pada umumnya. Jumlah bank-bank umum yang dalam tahun 1973/74 baru mencapai 123 buah, pada akhir tahun 1984/85 telah meningkat mencapai 1.111 buah. Selain itu juga telah dikembangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang sejak tahun 1973/1974 telah mencapai jumlah 10 buah. Melalui berbagai penyempurnaan dan penyesuaian kebijak-sanaan yang lainnya maka telah dapat ditingkatkan tabungan masyarakat, yang bersama-sama dengan tabungan pemerintah telah memperbesar kemungkinan pembiayaan pembangunan, sesuai dengan GBHN.

B. KEUANGAN NEGARA

Semakin meningkat dan meluasnya pembangunan yang dilaksa-nakan, memerlukan penyediaan dana yang semakin berkembang. Di samping itu dengan akan terus berkurangnya peranan sektor mi-nyak bagi penerimaan negara, maka perlu ditempuh langkah-langkah kebijaksanaan yang mendorong peningkatan pengerahan sumber-sumber dana di luar minyak dan gas alam. Usaha-usaha peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut, senantiasa di-laksanakan dalam rangka menunjang upaya pemerataan hasil-ha- sil pembangunan, upaya meningkatkan pertumbuhan kegiatan pem-bangunan serta mempertahankan stabilitas ekonomi nasional.

Sejak Repelita I telah ditempuh berbagai langkah kebijak-sanaan intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang perpajakan antara lain berupa penyesuaian tarip pajak, serta penyempur-naan di bidang administrasi pemungutan pajak. Dalam hubungan ini, menjelang awal Repelita IV telah disahkan beberapa un-dang-undang perpajakan baru sebagai pengganti undang-undang perpajakan lama yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan alam dan gerak pembangunan dewasa ini. Sistem perpajakan baru ini lebih mencerminkan kesederhanaan prosedur, dan lebih me-ningkatkan kepastian hukumnya.

Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut peneri- maan dalam negeri-negeri yang pada tahun 1978/79 sebagai

IV/9

Page 10: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

akhir tahun pelaksanaan Repelita II baru mencapai Rp. 4.266,2 milyar, meningkat menjadi Rp. 14.432,7 milyar pada tahun 1983/84 atau berarti selama pelaksanaan Repelita III peneri-maan dalam negeri setiap tahunnya telah meningkat rata-rata sebesar 27,6%. Dalam tahun anggaran 1984/85, sebagai tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan dalam negeri menca-pai jumlah sebesar Rp. 15.905,5 milyar, yang berarti mening-kat sebesar 10,2% dari tahun terakhir Repelita III. Perkem-bangan realisasi penerimaan dalam negeri dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.

1. Penerimaan Dalam Negeri

a. Penerimaan dari Minyak dan Gas Alam

Penerimaan dari minyak bumi dan gas alam sampai saat ini masih merupakan sumber penerimaan negara yang paling dominan. Namun demikian, harganya di pasar minyak dunia sejak awal ta-hun 1981 mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan sehingga mempengaruhi pertumbuhan penerimaan negara dari sek-tor ini. Hal sama terjadi dalam tahun 1975.

Perkembangan harga minyak dalam tahun 1979 meningkat de-ngan pesat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1981 dengan harga patokan minyak ekspor Indonesia mencapai US $ 35,00 per barrel. Sebelum munculnya krisis energi yang pertama pada ta-hun 1973, harga minyak dunia hanya mencapai tingkat US $ 3.40 per barrel. Dalam tahun 1981, seperti pada tahun 1975, ber-langsung resesi dunia dan terjadi berbagai perubahan struktu-ral yang berhubungan dengan pasaran minyak dunia, antara lain dengan adanya usaha konservasi dan diversifikasi dalam pema-kaian bahan bakar, dan peningkatan produksi minyak negara-ne-gara produsen non OPEC. Hal ini telah mengakibatkan adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran minyak dunia yang selanjutnya menyebabkan melemahnya tingkat harga minyak di pasaran dunia. Agar harga minyak di pasaran dunia dapat di-pertahankan pada tingkat yang wajar maka OPEC telah mengambil langkah-langkah kebijaksanaan pengamanan, dimana dalam sidang daruratnya pada bulan Oktober 1984 di Jenewa, OPEC telah me-netapkan untuk mengurangi produksinya dari batas tertinggi 17,5 juta barrel menjadi 16,0 juta barrel per hari. Sebagai kelanjutan dari penurunan tersebut, telah pula ditentukan kuota baru yang lebih rendah kepada anggota-anggotanya. Kemudian untuk mengatasi semakin memburuknya harga minyak, dalam pertemuan luar biasa para menteri perminyakan OPEC di Jenewa bulan Januari 1985, telah pula diputuskan untuk mele-paskan kaitan harga minyak pada minyak ringan Arab (ALC) se-

IV/10

Page 11: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 2PENERIMAAN DALAM NEGERI,

1968 – 1984/85(dalam milyar rupiah)

Jenis Penerimaan 1968 1973/74(Akhir Re-pelita I)

1978/79(akhir Re-pelita II)

1982/83 1983/84(akhir Re-pelita III)

1984/85

Penerimaan Minyak bumuDan gas alamPenerimaan di luar minyakBumi dan gas alam

33,3

116,4

382,2

585,5

2.308,7

1.957,4

8.170,4

4.247,9

9.520,2

4.912,5

10.429,9

5.475,6Jumlah 149,7 967,7 4.266,1 12.418,3 14.432,7 15.905,5

IV/11

Page 12: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

IV/12

GRAFIK IV - 2PENERIMAAN DALAM NEGERI

1968 - 1984/85

Page 13: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

bagai harga patokan, dan ditempuh pula penurunan harga pem- beda dari sekitar US $ 4,00 menjadi US $ 2,40 per barrel. De-ngan adanya ketentuan kuota baru dan kesepakatan tentang pe-nurunan harga pembeda tersebut, maka Indonesia sejak bulan Nopember 1984 mendapatkan pengurangan kuota produksi sebesar 111.000 barrel per hari dan penurunan harga minyak (Minas) dari US $ 29,53 menjadi US $ 28,53 per barrel yang mulai berlaku 1 Februari 1985. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut serta dengan telah sedikit pulihnya perekonomian dunia, diharapkan untuk masa mendatang harga minyak akan berada pada tingkat yang lebih wajar.

Realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam Indonesia umumnya meningkat terutama selama pelaksanaan Repelita II dan Repelita III. Apabila dalam tahun terakhir Repelita II yaitu tahun 1978/79, jumlah penerimaan ini baru mencapai Rp. 2.308,7 milyar, maka lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III, penerimaan terse-but telah meningkat menjadi Rp. 9.520,2 milyar atau kenaikan rata-rata sebesar 32,7% per tahun. Selanjutnya jumlah terse-but meningkat lagi menjadi Rp. 10.429,9 milyar pada tahun 1984/85, yang berarti telah meningkat dengan Rp. 90,7 milyar atau 9,6 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan peneri- maan dalam negeri dari minyak dan gas alam dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.

b. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam

Usaha peningkatan penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam dalam rangka menghimpun dana yang bersumber dari dalam negeri terus dilakukan. Kebijaksanaan di bidang peneri-naan di luar minyak bumi dan gas alam tersebut pada awal Re-pelita IV antara lain berupa pelaksanaan undang-undang perpa-jakan baru, yang selain dimaksudkan agar dapat meningkatkan penerimaan negara, juga diusahakan agar dapat lebih menggai-rahkan investasi dunia usaha, melancarkan kegiatan perda-gangan, melindungi barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri, mendorong terciptanya pola hidup sederhana dan menjamin stabilitas harga. Sehubungan dengan telah disah-kannya undang-undang perpajakan yang baru, yang terdiri dari Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajak-an, Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Mengingat bahwa masyarakat belum sepenuhnya siap untuk dapat melaksanakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, maka berdasarkan Per-

IV/13

Page 14: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Jenis Penerimaan 1968 1973/74(Akhir Re-pelita I)

1978/79(akhir Re-pelita II)

1982/83 1983/84(akhir Re-pelita III)

1984/85

Penerimaan dari Minyak bumi

Penerimaan darigas alam

33,3

--

382,2

---

2.308,7

---

7.449,8

720,6

8.522,2

998,0

8.937,0

1.492,9

Jumlah 33,3 382,2 2.308,7 8.170,4 9.520,2 10.429,9

TABEL IV – 3PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

IV/14

Page 15: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 3PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM

1968 - 1984/85

IV/15

Page 16: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

aturan Pemerintah No. 1 Tahun 1985, pelaksanaannya ditangguh-kan sampai 1 April 1985. Dengan demikian penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1984/85 terdiri dari pe- nerimaan-penerimaan pajak penghasilan, pajak penjualan, bea masuk, cukai, pajak ekspor, penerimaan pajak lainnya, Ipeda dan penerimaan bukan pajak. Selain ditempuh langkah-langkah kebijaksanaan perpajakan yang di dalamnya mencakup unsur-un-sur kesederhanaan, pemerataan dan kepastian, yang pada gilir-annya akan dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesa-daran kewajiban perpajakan, telah pula dilaksanakan langkah-langkah kebijaksanaan penyesuaian tarip di bidang bea masuk, cukai, pajak, ekspor, Ipeda, dan pajak-pajak lainnya.

Selama pelaksanaan Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita IV, penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam se-tiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kalau dalam tahun 1978/79 penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai jumlah sebesar Rp. 1.957,4 milyar, maka dalam tahun 1983/84 penerimaan tersebut telah mencapai Rp. 4.912,5 milyar. Hal itu berarti bahwa selama Repelita III telah ter-jadi peningkatan rata-rata sebesar 20,2% per tahun. Selan-jutnya dalam tahun 1984/85, sebagai tahun awal Repelita IV, penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai Rp 5.475,6 milyar atau meningkat 11,5% dari tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan diluar minyak bumi dan gas alam dapat diikuti pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4.

Kebijaksanaan di bidang pajak penghasilan, di samping di-arahkan untuk dapat mengingatkan penerimaan negara, juga di-maksudkan agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak guna ikut berperanserta di dalam membiayai pembangunan yang sedang dilaksanakan. Oleh karena itu di da-lam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, sistem pemungutan-nya tetap berpegang pada asas pemerataan dan keadilan dalam pengenaan pajaknya dan sesuai dengan daya pikul masing-masing wajib pajak. Di samping itu lebih luasnya dasar pengenaan pa-jak, terutama dengan dimasukkannya semua jenis penghasilan ke dalam dasar pengenaan pajak, dan dengan diwajibkannya pega-wai negeri untuk mengisi surat pemberitahuan (SPT), serta dengan dihapuskannya berbagai bentuk fasilitas dan pembebasan pajak, diharapkan akan semakin memperluas potensi penerimaan pajak penghasilan.

Selain daripada itu untuk lebih memudahkan baik di dalam pemungutan maupun pembayaran pajak penghasilan, ditetapkan lapisan kena pajak dan penggolongan tarip yang lebih sederha-

IV/16

Page 17: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 4PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/79 1983/84Jenis Penerimaan 1968 (Akhir Re- (Akhir Re- 1982/83 (Akhir Re- 1984/85

pelita I) pelita II) pelita III)

1. Pajak penghasilan 25,3 140,3 617,2 1.706,5 1.932,3 2.121,0

2. Pajak penjualan *) 9,2 54,6 221,1 476,6 575,2 637,2

3. Pajak penjualan impor *) 6,0 50,7 125,5 231,0 255,4 240,8

4. Bea Masuk 37,3 128,2 295,3 521,9 557,0 530,1

5. C u k a i 16,6 61,7 252,9 620,1 773,2 872,6

6. Pajak Ekspor 13,9 68,6 166,2 82,5 104,0 91,0

7. Pajak lainnya 3,4 12,1 24,7 68,5 64,0 138,4

8. I p e d a 19,5 63,1 105,2 132,4 157,2

9• Penerimaan bukan pajak 4,7 49,8 191,4 435,6 519,0 687,3

Jumlah : 116,4 585,5 1.957,4 4.247,9 4.912,5 5.475,6

*) Pajak Penjualan den Pajak Penjualan Impor, mulai dengan tahun anggaran 1985/86, masing-masing menjadi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

IV/17

Page 18: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV –4PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUNI DAN GAS ALAM

1968 – 1984/85

IV/18

IV/18

Page 19: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

na dan lebih rendah dari tarip di dalam undang-undang perpa-jakan sebelumnya. Tarip tersebut hanya terdiri dari tiga la-pisan tarip yaitu sebesar 15%, 25%, dan 35%, masing-masing untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 10 juta, anta-ra Rp. 10 juta sampai Rp. 50 juta, dan lebih dari Rp. 50 juta. Sedangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang ta-dinya disebut batas pendapatan bebas pajak (BPBP) untuk satu keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan tiga orang anak, ditingkatkan dari Rp. 1.050.000 menjadi Rp. 2.800.000.

Realisasi penerimaan pajak penghasilan serta jenis-jenis penerimaan ekuivalennya, senantiasa menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun pelaksanaan Repelita II realisasi penerimaan berbagai jenis pajak penghasilan mencapai Rp. 617,2 milyar dan pada akhir tahun pelaksanaan Repelita III telah meningkat menjadi Rp. 1.932,3 milyar, atau peningkatan sebesar 213,1% selama Repelita III. Perkembangan realisasi penerimaan pajak penghasilan dalam tahun 1984/85 telah dapat mencapai jumlah sebesar Rp. 2.121,0 milyar yang berarti meningkat sebesar Rp 188,7 milyar dari tahun sebelumnya.

Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984, yang ditetapkan ber-laku mulai 1 April 1985 merupakan pengganti daripada Pajak Penjualan yang didasarkan atas Undang-undang PPn tahun 1951. Dengan dilaksanakannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut, di samping diharapkan akan dapat meningkatkan jenis penerimaan ini, juga dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh Pajak berganda yang terdapat pada sistem pajak penjualan yang lama. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem perpajakan yang baru ini pemungutannya didasarkan atas tambahan nilai, di samping lebih menekankan unsur kesederhanaan dan kepastian di dalam pengenaan pajaknya, penetapan taripnya hanya terdiri dari dua tarip yaitu 0% dan 10%. Dalam tahun 1984/85, se-perti tahun-tahun sebelumnya realisasi jenis penerimaan ini masih didasarkan atas sistem Pajak Penjualan yang lama.

Dalam tahun 1978/79 realisasi penerimaan pajak penjualan mencapai Rp. 221,1 milyar, yang selanjutnya meningkat men-jadi Rp. 575,2 milyar dalam tahun 1983/84. Selama pelaksanaan Repelita III, penerimaan pajak penjualan mengalami peningkat-an rata-rata sebesar 22,1% setiap tahunnya. Selanjutnya da-lam tahun 1984/85 yang merupakan permulaan tahun pelaksanaan Repelita IV, penerimaan pajak penjualan telah dapat mencapai jumlah sebesar Rp. 637,2 milyar. Bila dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam tahun 1983/84, berarti meningkat se-besar Rp. 62,0 milyar atau 10,8%.

IV/19

Page 20: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Di bidang bea masuk dan pajak penjualan impor, dalam rangka mendorong tingkat perkembangan industri dalam negeri terutama yang banyak menyerap tenaga kerja, sejak tahun per-tama Repelita I senantiasa diadakan penyesuaian tarip bea masuk dan pajak penjualan impor secara bertahap. Penyesuaian tarip tersebut selain diarahkan untuk mendorong perkembangan investasi dalam negeri juga ditujukan untuk lebih memantapkan kestabilan harga-harga, melancarkan perdagangan, serta lebih meratakan hasil-hasil pembangunan. Untuk melindungi dan men-dorong pertumbuhan industri dalam negeri terutama yang meng-hasilkan nilai tambah yang tinggi serta menyerap banyak tena-ga kerja dan menggunakan sumber daya dalam negeri, maka jenis industri tersebut diberikan keringanan pembebanan tarip serta keringanan pembebanan impor terhadap pemasukan bahan-baku/ba-han penolong yang digunakan dalam proses produksi. Dalam rangka mendorong pertumbuhan industri perakitan dalam negeri, kepada sektor tersebut diberikan perlindungan dengan tarip CKD yang lebih rendah dan tarip yang tinggi terhadap produk yang diimpor dalam keadaan built up/non-CKD. Begitu pula untuk melindungi industri pengolahan dalam negeri, terhadap impor produk-produk sejenis dikenakan tarip yang lebih ting-gi. Berbagai langkah dan usaha tersebut di atas sekaligus me-rupakan upaya penghematan penggunaan devisa dan usaha untuk memperluas kesempatan kerja.

Perkembangan realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor selalu menunjukkan peningkatan, kecuali dalam tahun 1982/83 dan 1984/85 ketika bea masuk menurun terhadap tahun sebelumnya serta dalam tahun 1984/85 ketika pajak pen-jualan impor menurun dari tahun 1983/84. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun 1978/79 baru mencapai Rp. 295,3 milyar dan Rp. 125,5 milyar, maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 557,0 milyar dan Rp. 255,4 milyar dalam tahun 1983/84. Penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut sedikit menurun, yaitu masing-masing menjadi Rp. 530,1 milyar dan Rp. 240,8 milyar, dalam tahun 1984/85. Penurunan realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut terutama dise-babkan oleh adanya penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap nilai tukar dollar. Sebagai akibatnya nilai barang import terutama yang terkena tarif yang tinggi umumnya barang kon-sumsi, menurun jumlahnya. Di samping itu juga disebabkan oleh komposisi barang-barang impor yang cenderung mengarah pada bahan baku/penolong dan barang modal serta barang-barang ter-tentu yang secara umum tarifnya relatif rendah.

Realisasi penerimaan cukai dari tahun ke tahun menunjuk-

IV/20

Page 21: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

kan peningkatan yang cukup mengesankan. Apabila realisasi pe-nerimaan cukai dalam tahun 1978/79 baru mencapai Rp. 252,9 milyar, maka dalam tahun 1983/84 atau tahun terakhir Repelita III, penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 773,2 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 realisasi penerimaan cukai tersebut meningkat lagi menjadi Rp. 872,6 milyar suatu kenaikan sebesar 12,9 % dari tahun sebelumnya. Realisasi pe-nerimaan cukai tersebut sebagian besar terdiri dari penerima-an cukai tembakau, dan hanya sebagian kecil saja berupa cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan. Di dalam perkem-bangannya, penerimaan cukai dipengaruhi antara lain oleh per-kembangan pertumbuhan produksi, penyesuaian harga pita dengan harga jualnya, peningkatan daya beli masyarakat, serta inten-sifikasi dan verifikasi pemungutannya.

Di bidang cukai tembakau, telah ditetapkan beberapa kebi-jaksanaan yang bertujuan mendorong dan menunjang peningkatan penerimaan jenis ini, antara lain menyangkut pelunasan hutang cukai serta kebijaksanaan lainnya seperti peningkatan peng-awasan dan penertiban baik fisik maupun administratip. Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan di bidang cukai tembakau senantiasa diarahkan juga untuk tetap menun-jang perkembangan industri rokok dan hasil tembakau dalam ne-geri terutama bagi produsen yang tergolong lemah dan banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini, sejak tanggal 1 0ktober 1984 terhadap perusahaan sigaret kretek tangan (SKT) yang produksinya lebih dari 4 milyar batang setahun dikenakan tarip 25 % dari harga pita cukai, yang produksinya antara 750 juta batang sampai dengan 4 milyar batang setahun dikenakan tarip 22,5 % dari harga pita cukai, sedangkan untuk produksi antara 100 juta sampai 750 juta batang setahun dikenakan ta-rip 20 % dari harga pita cukai. Bagi jenis produksi sigaret buatan mesin, baik sigaret putih mesin (SPM) maupun sigaret kretek mesin (SKM) dikenakan tarip tunggal yang besarnya 40 % dari harga pita cukai. Di samping kebijaksanaan di bidang cukai tembakau, juga dilakukan penyesuaian harga dasar dalam pemungutan cukai bir dari Rp. 400 per liter menjadi Rp. 500 per, liter yang berlaku sejak 1 Oktober 1983. Harga dasar cukai gula juga telah disesuaikan sejak bulan Mei 1984, yaitu untuk jenis SHS-I, SHS-II dan HS-I masing-masing sebesar Rp. 40.000,- per kuintal, Rp. 39,850,- per kuintal, Rp. 39,700,- per kuintal, yang sebelumnya masing-masing sebe-sar Rp. 35.000,- per kuintal, Rp. 34.850,- per kuintal, dan Rp. 34.700 per kuintal.

Di lain pihak, realisasi penerimaan pajak ekspor sejak awal Repelita III menunjukkan kecenderungan menurun. Apabila

IV/21

Page 22: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

realisasi penerimaan pajak ekspor dalam tahun 1978/79 menca-pai Rp. 166,2 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah menurun menjadi Rp. 104,0 milyar. Penerimaan pajak ekspor itu telah menurun lagi menjadi Rp. 91,0 milyar dalam tahun 1984/85 atau berkurang 12,5% dari tahun sebelumnya. Resesi ekonomi yang melanda dunia selama beberapa tahun belakangan ini, telah mengakibatkan lesunya permintaan terhadap komoditi ekspor da-ri negara-negara berkembang, yang selanjutnya berakibat kepa-da menurunnya harga beberapa komoditi utama di pasaran inter-nasional. Akibat selanjutnya ialah penurunan nilai ekspor terutama ekspor non-migas yang mulai terasa dalam tahun 1980/81 yang pada gilirannya menyebabkan menurunnya penerima-an pajak ekspor. Karenanya dianggap perlu untuk mengambil berbagai langkah kebijaksanaan di bidang ekspor, antara lain berupa pemberian fasilitas yang diharapkan dapat merangsang dunia usaha untuk mendorong ekspor, seperti halnya penyediaan fasilitas kredit dan pemberian kemudahan prosedur ekspor. Se-hubungan dengan itu dalam rangka upaya meningkatkan daya sa-ing ekspor komoditi di luar minyak bumi dan gas alam di pa-saran internasional, telah diambil kebijaksanaan memberikan keringanan pajak ekspor tambahan terhadap beberapa komoditi tertentu antara lain minyak kelapa sawit, crude stearin, dan refined bleached deodorized stearin yaitu dengan penurunkan taripnya dari masing-masing 37,18%, 13,18%, dan 18,48% men-jadi masing-masing 10%, 0% dan 0%. Di samping itu guna me-ningkatkan ekspor bijih nikel serta bauksit, juga telah ditu-runkan tarip pajak ekspornya masing-masing dari 10% menjadi 0%.

Realisasi penerimaan iuran pembangunan daerah (Ipeda) se-nantiasa menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun ter-akhir Repelita II, yaitu pada tahun 1978/79, penerimaan Ipeda baru mencapai Rp. 63,1 milyar maka dalam tahun terakhir Repe-lita III yaitu tahun 1983/84 penerimaan tersebut menjadi Rp. 132,4 milyar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya me-ningkat sebesar 16,0%. Selanjutnya dalam pelaksanaan tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan Ipeda mencapai Rp. 157,2 milyar yang berarti meningkat sebesar 18,7% terhadap tahun terakhir Repelita III.

Meningkatnya realisasi penerimaan Ipeda tersebut adalah karena berbagai langkah kebijaksanaan yang telah diambil, berupa perluasan pemungutan Ipeda yang tetap diarahkan pada tujuan pembebanan yang adil dan merata, terus dilakukannya penyempurnaan baik di bidang pendataan, administrasi maupun tatalaksana pembukuannya, pembinaan kerjasama yang lebih baik dengan Pemerintah Daerah, dan penyuluhan kepada masyarakat.

IV/22

Page 23: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Juga telah diambil kebijaksanaan untuk menyederhanakan peng-golongan tanah dan sistem pentaripannya, sehingga memudahkan pemungutannya serta menghasilkan pembebanan yang lebih adil dan merata. Untuk Ipeda sektor pedesaan, selain diterapkan cara pemungutan yang lebih praktis dan seragam juga diadakan pembedaan tarip antara tanah sawah dan tanah darat yang kon-disinya sama tetapi berbeda dalam luas yang dimiliki atau di-kuasai oleh wajib pajak. Sementara itu untuk Ipeda sektor perkotaan telah diadakan penyesuaian tarip yang mulai berlaku da1am tahun takwim 1983 yang disesuaikan dengan perkembangan nilai sewa/nilai jual tanah dan bangunan.

Selanjutnya realisasi penerimaan pajak lainnya yang ter-diri dari pajak kekayaan, bea meterai dan bea lelang menun-jukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Jika dalam ta-hun terakhir Repelita II, penerimaan pajak lainnya baru men-capai Rp. 24,7 milyar, maka dalam tahun terakhir Repelita III, penerimaan pajak lainnya menjadi sebesar Rp. 64,0 mil-yar, yang berarti rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar Rp. 21,0 milyar, sehingga rata-rata setiap tahunnya meningkat sebesar 21,0%. Kemudian dalam tahun pertama Repelita IV, pe-nerimaan pajak lainnya mencapai Rp. 138,4 milyar yang berarti meningkat sebesar Rp. 74,4 milyar atau sebesar .116,3% dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan realisasi penerimaan pajak lainnya terjadi terutama karena adanya peningkatan pe-nerimaan yang menonjol dari penerimaan bea meterai sekalipun realisasi penerimaan pajak kekayaan dan bea lelang setiap ta-hunnya juga menunjukkan peningkatan. Jenis penerimaan ini terutama ditujukan untuk lebih menyesuaikan pemikulan beban pajak sesuai dengan berbagai tingkat kemampuan anggota masya-rakat. Dalam hubungan ini telah ditetapkan tarip baru untuk pajak kekayaan yaitu semula lima permil telah dinaikkan men-jadi satu persen yang berlaku untuk perhitungan pajak keka-yaan tahun 1983. Karena kebijaksanaan di bidang penerimaan dalam negeri tidak hanya diarahkan bagi peningkatan penerima-an semata-mata melainkan juga diarahkan untuk menunjang sek-tor-sektor yang perlu mendapat prioritas dan bimbingan, ter-utama pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi Unit Desa dan demi kelancaran pelaksanaan tata niaga cengkeh pro-duksi dalam negeri, maka sejak bulan Maret 1980 telah diberi-kan keringanan berupa penurunan bea meterai. Atas tanda bukti pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan tata niaga cengkeh tidak dikenakan bea meterai kredit sebesar satu permil me-lainkan cukup dikenakan bea meterai umum Rp. 25,- tiap lem-barnya.

Penerimaan bukan pajak merupakan jenis penerimaan negara

1V/23

Page 24: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

di luar pajak, bea masuk dan cukai, baik yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri yaitu antara lain terdiri dari penerimaan berbagai Departemen/Lembaga Non Departemen seperti penerimaan pendidikan, penerimaan penjualan, peneri-maan jasa, penerimaan kejaksaan dan peradilan, penerimaan ba-gian Pemerintah dari laba perusahaan negara/bank negara, iur-an hasil hutan dan royalty, serta berbagai jenis penerimaan lainnya. Dalam perkembangannya, realisasi penerimaan bukan pa-jak pada umumnya menunjukkan peningkatan pada setiap tahun-nya. Bila dalam tahun 1978/79 yang merupakan tahun terakhir Repelita II penerimaan bukan pajak baru mencapai Rp. 191,4 milyar maka pada tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III penerimaan ini meningkat menjadi Rp. 519,0 mil-yar, yang berarti rata-rata meningkat sebesar 22,1% setiap tahunnya. Dalam tahun pertama Repelita IV, realisasi peneri-maan bukan pajak mencapai Rp. 687,3 milyar yang berarti naik sebesar Rp. 168,3 milyar atau 32,4% lebih tinggi dari tahun 1983/84. Meningkatnya realisasi penerimaan bukan pajak antara lain disebabkan terus dilakukannya usaha intensifikasi dan ekstensifikasi, dan peningkatan pengawasan penyetorannya yang dilaksanakan oleh Departemen/Lembaga badan usaha milik negara dan bank-bank Pemerintah.

2. Pengeluaran Rutin

Sebelum tahun 1969/70, pengeluaran rutin masih relatif kecil sekali. Kemudian selama pelaksanaan Repelita I hingga Repelita IV pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan yang berarti, selaras dengan semakin meningkatnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini. Dengan semakin me-ningkatnya hasil-hasil pembangunan dituntut pula peningkatan dana pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih besar melalui pengeluaran rutin. Namun demikian, dalam pelaksanaan penge-luaran rutin selalu berpedoman pada kebijaksanaan pokok yang mengarah pada tercapainya sasaran peningkatan tabungan Peme-rintah, peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah ser-ta pengamanan kekayaan negara.

Peningkatan tabungan Pemerintah ini ditempuh melalui usa-ha peningkatan penerimaan dalam negeri serta usaha penghemat-an pengeluaran rutin semaksimal mungkin tanpa mengorbankan tercapainya sasaran. Dengan demikian pengeluaran rutin ter-sebut harus dilaksanakan seefisien dan sehemat mungkin. Dalam tahun anggaran 1968 masih belum tercipta tabungan Pemerintah, dan baru pada awal pelaksanaan Repelita I, tahun 1969/70, dapat dibentuk tabungan Pemerintah. Tabungan Pemerintah ini

IV/24

Page 25: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

terus meningkat setiap tahunnya, yang menunjukkan keberhasil-an usaha untuk meningkatkan dana pembangunan.

Kenaikan belanja pegawai, belanja barang dan subsidi dae-rah otonom mencerminkan usaha peningkatan mutu dan jumlah pe-layanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara. Penge-luaran rutin secara keseluruhan dalam tahun 1984/85 telah mencapai Rp. 9.429,0 milyar, suatu kenaikan sebesar 12,1 % bila dibanding dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1968 pe- ngeluaran rutin baru mencapai jumlah sebesar Rp. 149,7 mil-yar. Selama Repelita I pengeluaran rutin telah mencapai ke-naikan rata-rata setahun sebesar 36,7 %, sedangkan selama Re-pelita II telah mencapai sebesar 30,9 % dan selama Repelita III mencapai 25,1 %. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin sejak tahun 1968 sampai dengan tahun pertama Repelita IV atau tahun 1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-5 dan Grafik IV-5.

Belanja pegawai dalam tahun 1968 baru mencapai jumlah Rp. 78,3 milyar, sedangkan pada akhir Repelita I belanja pe-gawai mencapai Rp. 268,9 milyar atau mengalami kenaikan sebe-sar 243,4 % bila dibandingkan dengan tahun 1968. Pada akhir Repelita II, belanja pegawai mencapai sebesar Rp. 1.001,6 milyar atau sebesar 272,5 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan akhir Repelita I. Selanjutnya belanja pegawai mencapai sebesar Rp. 2.757,0 milyar dalam akhir Repelita III atau se-besar 175,3 % bila dibandingkan dengan akhir Repelita II. Se-dangkan dalam tahun 1984/85 atau awal Repelita IV belanja pe-gawai mencapai Rp. 3.046,8 milyar. Perkembangan realisasi be-lanja pegawai sejak tahun 1968 sampai dengan awal Repelita IV dapat dilihat pada Tabel IV-6.

Realisasi belanja barang juga terus menunjukkan pening-katan setiap tahunnya. Dalam tahun 1968 realisasi belanja ba-rang mencapai jumlah sebesar Rp. 29,1 milyar yang kemudian meningkat menjadi Rp. 110,1 milyar pada akhir Repelita I. Se-dangkan pada akhir Repelita II realisasinya meningkat lagi menjadi Rp. 419,5 milyar atau 281,0 % lebih besar jika diban-dingkan dengan akhir Repelita I. Selanjutnya pada akhir Repe-lita III realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.057,1 milyar atau 152,0 % lebih besar jika dibandingkan dengan akhir Repelita II sedang dalam tahun awal Repelita IV reali-sasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 1.182,8 milyar. Pening-katan belanja barang ini sejalan dengan peningkatan kegiatan pembangunan.

Subsidi daerah otonom menampung bantuan kepada daerah terutama untuk membiayai belanja pegawai. Subsidi ini dalam

IV/25

Page 26: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 5

PENGELUARAN RUTIN1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

Jenis Pengeluaran 1968 1973/74(Akhir Re-pelita I)

1978/79(akhir Re-pelita II)

1982/83 1983/84(akhir Re-pelita III)

1984/85

1. Belanja Pegawai2. Belanja Barang

a. Dalam Negeri

b. Luar Negeri

3. Subsidi Daerah Otonoma. Irian

Jayab. Daerah

Lainnya4. Bunga dan Cicilan

Hutanga. Dalam

Negerib. lLuar

Negeri5. Lain-lain

78,329,1

(22,7)(6,4)25,5(4,6)

(20,9)10,0(1,9)(8,1)

6,8

268,9110,1(98,3)(11,8)108,6(10,3)(98,3)

70,7(8,2)

(62,5)155,0 1)

1.001,6419,5

(398,4)(21,1)522,3(22,1)

(500,2)534,5(8,8)

(525,7)265,82)

2.418,11.041,2

(1.007,0)(33,8)

1.315,4(43,0)

(1.272,4)1.224,5

(19,8)(1.204,7)

997,12)

2.757,01.057,1

(1.007,0)(50,1)

1.547,0(41,5)

(1.505,5)2.102,6

(29,8)(2.072,8)

948,13)

3.046,81.182,8

(1.134,2)(48,6)

1.883,3( - )

1.883,32.776,5

(39,3)(2.737,2)

539,53)

Jumlah 149,7 713,3 2.743,7 6.996,3 8.411,8 9.428,9

1) Termasuk subsidi pangan2) Termasuk subsidi pangan dan BBM3) Termasuk subsidi BBM

Page 27: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV – 5PENGELUARAN RUTIN

1968 – 1984/85(dalam persen)

IV/27

Page 28: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 6BELANJA PEGAWAI,1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/79 1983/84Janie Pengeluaran 1968 (Akhir Re- (Akhir Re- 1982/83 (Akhir Re- 1984/85

pelita I) pelita II) pelita III)

1. Tunjangan Beres 36,2 50,6 132,8 289,9 346,1 407,0

2. Gaji pegawai/pensiun 25,8 173,9 760,3 1.749,0 1.996,0 2.206,6

3. Uang makan/lauk pauk 9,4 16,8 51,2 254,9 261,3 271,4

4. Lain-lain belanja4,4 20,2 33,6 78,6 87,6 89,7pegawai dalam negeri

5. Belanja pegawailuar negeri 2,5 7,4 23,7 45,7 66,0 72,1

Jumlah : 78,3 268,9 1.001,6 2.418,1 2.757,0 3.046,8

IV/28

Page 29: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

perkembangannya selalu menunjukkan peningkatan yang sejalan dengan perkembangan realisasi belanja pegawai pada umumnya. Dalam tahun 1968, realisasi subsidi daerah otonom mencapai Rp. 25,5 milyar yang kemudian meningkat menjadi Rp. 108,6 milyar dalam akhir Repelita I atau berarti 325,9% lebih besar bila dibandingkan dengan tahun 1968. Sedangkan dalam akhir Repelita II subsidi daerah otonom mencapai Rp. 522,3 milyar yang berarti 380,9% lebih besar dari realisasi akhir Repelita I. Selanjutnya pada akhir Repelita III realisasinya telah mencapai Rp. 1.547,0 milyar atau 196,2% lebih besar dari realisasi akhir Repelita II. Realisasi subsidi daerah otonom tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 1.883,3 milyar.

Sementara itu pembayaran bunga dan cicilan hutang juga menunjukkan peningkatan yang berarti, terutama pembayaran un-tuk hutang luar negeri. Pembayaran bunga dan cicilan hutang ini merupakan kewajiban Pemerintah untuk membayar kembali angsuran dan bunga hutangnya kepada negara lain maupun kepada pihak ketiga di dalam negeri. Dalam tahun 1968, realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang mencapai sebesar Rp. 10,0 milyar dan pada akhir Repelita I telah mencapai Rp. 70,7 mil-yar. Sedangkan pada akhir Repelita II realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 534,5 milyar dan mencapai Rp. 2.102,6 mil-yar dalam tahun akhir Repelita III, yang terutama disebabkan oleh diadakannya kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 30 Maret 1983, yaitu dari Rp. 625,- menjadi Rp. 970,- per US $ 1,-. Dalam tahun 1984/85 realisasinya mencapai jumlah sebesar Rp. 2.776,5 milyar.

Selanjutnya lain-lain pengeluaran rutin seperti subsidi pangan dan BBM umumnya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sedang sejak tahun 1982/83 mulai menurun. Dalam lain-lain pengeluaran rutin tersebut, subsidi BBM mencapai jumlah sebesar Rp. 1.021,7 milyar dalam tahun. 1980/81, dan mencapai jumlah sebesar Rp. 1.316,4 milyar dalam tahun 1981/82. Dalam tahun 1982/83 dan 1983/84 realisasi subsidi BBM menjadi lebih rendah masing-masing mencapai jumlah sebesar Rp. 961,5 milyar dan Rp. 928,1 milyar. Lebih rendahnya subsidi BBM terutama akibat kenaikan harga jual bahan bakar minyak pada tahun 1982 dan 1983, yang masing-masing mulai berlaku pada tanggal 1 A-pril 1982 dan 7 Januari 1983. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 melalui usaha peningkatan efisiensi, subsidi BBM hanya men-capai Rp. 506,7 milyar atau mengalami penurunan sebesar 45,4 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan sejak akhir Repelita III subsidi pangan sudah tidak diberikan

IV/29

Page 30: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

lagi berhubung dengan keberhasilan usaha untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri. Pengeluaran rutin lain-lain yang dalam tahun 1968 baru mencapai Rp. 6,8 milyar, dalam akhir Repelita III mencapai Rp. 948,1 milyar dan dalam tahun 1984/85 hanya berjumlah Rp. 539,5 milyar, yang berarti meng- alami penurunan sebesar 43,1 % bila dibandingkan dengan tahun 1983/84.

3. Dana Pembangunan

Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dituntut pula peningkatan dana pembangunan yang besar untuk membiayai pembangunan tersebut yang bersumber dari tabungan Pemerintah dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah merupakan selisih penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, se-dangkan dana bantuan luar negeri terdiri atas nilai bantuan program dan bantuan proyek. Sesuai dengan tekad untuk melak-sanakan pembangunan berdasarkan kepada kekuatan sendiri, maka telah diusahakan untuk meningkatkan tabungan Pemerintah seba-gai sumber utama pembangunan. Dengan demikian bantuan luar negeri hanya merupakan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan.

Dalam tahun 1968 jumlah dana pembangunan baru mencapai Rp. 57,9 milyar yang seluruhnya berasal dari bantuan luar ne-geri. Selanjutnya dana pembangunan pada akhir Repelita I men-capai Rp. 458,3 milyar yang terdiri atas tabungan Pemerintah sebesar 55,5% dan 44,5% dari bantuan luar negeri. Peranan tabungan Pemerintah ini semakin meningkat, sehingga pada ta-hun 1982/83 merupakan 73,6% dari dana pembangunan. Sedangkan dalam tahun 1983/84 jumlah dana pembangunan mencapai Rp. 9.903,3 milyar yang terdiri atas tabungan Pemerintah dan bantuan luar negeri masing-masing sebesar 60,8% dan 39,2%. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 peranan tabungan Pemerintah mencapai sebesar 65,1% dan bantuan luar negeri sebesar 34,9% dari keseluruhan dana pembangunan yang berjumlah Rp 9.954,5 milyar.

Untuk menjamin kelanjutan pembangunan, pelaksanaan pene-rimaan bantuan luar negeri selalu berpedoman bahwa pemberian bantuan tersebut tanpa ikatan politik. Di samping itu penggu-naan bantuan luar negeri tersebut selalu diarahkan untuk pro-yek-proyek yang bersifat produktif serta mendorong tercipta-nya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kemampuan in-dustri dalam negeri. Sedangkan di dalam jumlah dan persyarat-annya selalu diusahakan agar sesuai dengan kemampuan pereko-nomian nasional untuk membayar kembali.

IV/30

Page 31: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Realisasi jumlah dan komponen dana pembangunan dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1984/85 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6.

4. Pengeluaran Pembangunan

Pembangunan yang sedang dijalankan bangsa Indonesia me-lalui serangkaian program pembangunan pada hakekatnya merupa-kan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional seperti termaksud di dalam GBHN. Penyelenggaraan program-program pembangunan yang merupakan tugas yang diamanatkan oleh MPR tersebut, di-lakukan melalui tahapan-tahapan Repelita yang pada tahun 1984/85 ini telah memasuki tahun pertama Repelita IV, dan me-rupakan tahap keempat dari Pola Umum Pembangunan Jangka Pan-jang. Berkat kesungguhan serta kerja keras yang dilandasi oleh tekad untuk pembangunan dari segenap jajaran aparat pe-merintah dan didukung oleh peran aktif serta peranserta selu-ruh bangsa Indonesia, maka hasil-hasil pembangunan yang dica-pai telah menciptakan keadaan yang mantap untuk melanjutkan pembangunan tahap selanjutnya.

Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 1984/85 yang merupakan tahun pertama Repelita IV mencapai jumlah sebesar Rp. 9.951,9 milyar. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp.9.899,2 milyar, menun-jukkan peningkatan sebesar Rp. 52,7 milyar, tetapi bila di-bandingkan dengan realisasi tahun 1982/83, meningkat sebesar Rp. 2.592,3 milyar atau sebesar 35,3.%. Dengan anggaran sebe-sar Rp. 9.951,9 milyar yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp. 6.543,2 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp. 3.408,7 milyar, telah berhasil diselesaikan berbagai ma-cam program pembangunan sektoral maupun regional. Perkembang-an, dalam periode 1968-1984/85, dari realisasi jumlah penge-luaran pembangunan, dapat diikuti pada Tabel IV-8, Tabel IV-9, Grafik IV-7, sedang realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dapat dilihat pada Tabel IV-10, Grafik IV-8 serta realisasi komponen bantuan proyeknya dapat diikuti pada Tabel IV-11, Grafik IV-9.

Ditinjau secara sektoral, pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 9.951,9 milyar dalam tahun 1984/85 tersebut digunakan an-tara lain untuk membiayai program-program pembangunan di bi-dang ekonomi, terutama sektor pertanian dan pengairan, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pendidikan, sektor pertam-bangan dan energi, dan sektor pembangunan daerah, desa dan kota, dengan jumlah pengeluaran masing-masing sebesar Rp. 1.699,1 milyar, Rp. 1.428,3 milyar, Rp. 1.231,0 milyar,

IV/31

Page 32: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 7

PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAHDAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

Tahun Jumlah Dana Tabungan Dana BantuanAnggaran Pembangunan Pemerintah Luar Negeri

1968 57,9 (100%) - ( - ) 57,9 (100%)

1973/74 458,3 (100%) 254,4 (55,5%) 203,9 (44,5%)

1978/79 2.557,9 (100%) 1.522,4 (59,5%) 1.035,5 (40,5%)

1982/83 7.362,0 (100%) 5.422,0 (73,6%) 1.940,0 (26,4%)

1983/84 9.903,3 (100%) 6.020,9 (60,8%) 3.882,4 (39,2%)

1984/85 9.954,5 (100%) 6.476,5 (65,1%) 3.478,0 (34,9%)

IV/32

Page 33: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 6

PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAHDAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,

1968 - 1984/85,(dalam persen)

IV/33

Page 34: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 8

PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/79 1983/84No Sektor dan Sub Sektor, 1968 (Akhir Re- (Akhir Re- 1982/83. (Akhir Re- 1984/85

pelite I) polite II) ',elite III)(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (a)

1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 98,1 450.

93~? 91_ 2,9 1.699,1

Sub-sektor Pertanian - 186,7 641,7 639,7 1.234,6Sub-sektor Pengairan - 263,6 289,4 273,2 464,5.

2. SEKTOR INDUSTRI 33ye) 157 506,0 512,9 602,9

Sub-sektor Industri - 157,4 506,5 512,9 602,9

3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 45,12) 31 1.164.8 . 2.299.7 .17.7

Sub-sektor Pertambangan 47,6 406,6 1.640,2 236,3Sub-sektor Energi 271,8 758,2 659,5 911,4

4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 79,4 413,2 11111,12 1.527.7 1.428,3

Sub-sektor Prasarana Jalan ) 373,3 469,1 679,6Sub-sektor Perhubungan Darat - ) 104,5 5730. 180,2

Sub-sektor Perhubungan Lout - ) 409,9 250,9 309,0 276,7Sub-sektor Perhubungan Udara - ) 86,8 126,0 219,8

Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi - ) 53,7 33,1 49,4Sub-sektor Pariwisata 3,3 6,6 16,6 22,6

5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN K0PE8A8I 22.42) 12,4 131,6 1 ~ 5

Sub-sektor Perdagangan 8,8 93,1 158,2 314,0Sub-sektor Koperasi 3,6 38,7 40,6 28,5

6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMI-

Ott'1 94,7 436,(l 456,4 421,6GRASI

Sub-sektor Tenaga Kerja 11,2 48,6 57,8 61,5Sub-sektor Transmigrasi 83,5 387,4 398,6 360,1

7. SEKTOR PEM860888 N DAERAH,

69,8 2751 711,3 748,7 790,8DESA DAN KOTA

Sub-sektor Pembangunan Daerah,Dees den Kota 275,1 711,3 748,7 790,8

8. SEKTOR AGAMA 0,6 7.56) 50,6 54,0 59,8

Sub-sektor Agama 7,5 50,8 54,0 59,8

9. SEKT0R PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,

36,9 251,17) 703,2 1.032,1 1.231 0KEBUDAYAAN NASI0NAL DAN KEPERCAYA-AN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Sub-sektor Pendidikan Umum danGenerasi Muda 226,3 626,9 944,6 1.110,9

Sub-sektor Pendidikan Kedinasan 15,8 56,7 67,5 85,5Sub-sektor Kebudayaan Nasionaldan Kepercayaan Terhadap TuhanYang Maha Esa 9,07) 19,6 20,0 34,6

IV/34

Page 35: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

(Lanjutan Tabel IV - 8),

IV/35

Page 36: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 7PENGELUARAN PEMBANGUNAN,

1968 - 1984/85

IV/36

Page 37: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 9PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/79 1983/84Jenis Pembiayaan 1968 (Akhir Re- (Akhir Re- 1982/83 (Akhir Be- 1984/85

pelita I) pelita II) pelita III)

1. Pembiayaan Departemen/Lembaga 167,3 851,0 3.260,9 3.219,6 3.474,4

2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah 85,7 431,1 1.090,4 1.447,5 1.526,2a. Bantuan Pembangunan Desa (5,7) (24,0) ( 88,4) (91,6) (92,8)b. Bantuan Pembangunan Kabupaten/

Kotamadya (19,2) (70,9) (193,9) (194,1) (194,6)c. Bantuan Pembangunan Dati I (20,8) (86,8) (253,0) (253,0) (253,0)d. Irian Jaya (3,3) ( - ( - )e. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar (17,2) (111,8) (267,4) (549,3) (572,0)f. Bantuan Pembangunan Kesehatan/

PUSKESMAS ( - )

(26,9) ( 80,3) (87,3) (64,6)g. Bantuan Pembangunan dan

Pemugaran Pasar ( - ) (1,2) ( 4,5) (10,6) (25,5)h. Bantuan Penghijauan ( -

)(36,0) ( 49,6) (59,4) (61,2)

i. Bantuan Penunjangan jalandan Jembatan Kabupaten ( -

)(-) ( 42,4) (64,6) (101,1)

j. Timor Timur ( -)

(4,5) (5,7) (5,2) (4,2)k. Ipeda (19,5) (63,1) (105,2) (132,4) (157,2)

3. Pembiayaan lainnya 83,8 286,2 1.083,4 1.364,6 1.542,6a. Subsidi Pupuk (33,0) (82,6) (420,1) (324,2) (731,6)b. Penyertaan Modal Pemerintah (40,8) (128,5) (336,6) (591,7) (336,1)c. Lain-lain (10,0) (75,1) (326,7) (448,7) (474,9)

Jumlah : 35,5 336,8 1.568,3 5.434,7 6.031,7 6.543,2

IV/37

Page 38: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 10REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK

MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

IV/38

Page 39: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

(Lanjutan Tabel IV - 10)(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAANSOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUK-AN DAN KELUARGA BERENCANA 7,54) 57 76) 23__5_7 245_8 2R,5_Sub-sektor 60606 tan 41,0 149,0 150,4 153,1Sub-sektor Kesejahteraan Sosialden Peranan Wanita 5,79) 48,1 42,7 44,2Sub-sektor Kependudukan donKeluarga Berencana - 11,010) 38,6 48,7 45,2

11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DANPEMUKIMAN 5,85) 371_3 129,5 165? 140,6Sub-sektor Perumahan Rakyat

don Pemukiman 37,3 129,5 169,7 140,6

12. SEKTOR HUKUM 11,1 66,1 56,_6 60,5Sub-sektor Hukum - 11,1 66,1 56,6 60,5

13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANANNASIONAL i 2 12 ,122 418,2 505,9 4 5 ~Sub-sektor Pertahanan don KeamananNasional 108,8 418,0 505,9 451,7

4. SEKTOR PENERANGAN, PENS DANKOMUNIKASI S05IAL _1c0 58_3 27,5 32,6

Sub-sektor Penerangan donKomunikasi Social - 7,0 50,3 27,5 32,6

15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEHN0L011DAN PENELITIAN 33,9 128,2 8 , 1 109,9

Sub-sektor Pengembangan IlmuPengetahuan don Teknologi - 6,8 15,3 23,3 25,9Sob-sektor Penelitian - 27,1 86,7 96,1 84,0

116. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH 5017 215_2 1d l l l c2Sub-sektor Aparatur Pemerintah 50,7 218,2 184.,4 159,8

17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA 40,8 .12LI 235_9 188,_7 131,4Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha 40,8 128,5 233,9 188,7 131,4

18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGANHIDUP _ 11) 184,4 170 145,9

Sub-sektor Somber Alam den Ling-kungan Hidup 184,4 170,6 145,9

Jumlah 35,5 336,8 1.568,3 5.434,7 6.031,7 6.543,2

1) Termasuk sektor Pertambangan2) Sektor Energi coin3) Merupakan penjumlahan dari sektor 5, 12 den 14 0/d 16'4) Sektor K000hetan den Keluarga Berencana5) Termasuk Kesejahteraan Sosialb) Termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa'7) Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa'8) Tidak termasuk Peranan Wanita '9) Jumlah sub-sektor Kesejahteraan sosial saja10) Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana saja(1) Jumlah sektor/sub-sektor Somber Alan dan Lingkungan Hidup

dimasukkan di dalam sub-sektor Pertanian, sub-sektor Pengairan denSub-Sektor Poe dan Telekomunikasi

,

IV/39

Page 40: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 8PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK

1968 - 1984/85

IV/40

Page 41: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 11

REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/79 1983/84No. Sektor dan Sub Sektor 1968 (Akhir Re-

pelita I)(Akhir Re-pelita II)

1982/83 (Akhir Re-pelita (III)_

1984/85

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 18,6 135,2 100E 1 5 2 472,11

Sub-sektor Pertanian 55,0 78,2 107,6 266,4Sub-sektor Pengairan 80,2 22,7 47,6 205,7

2. SEKTOR I050010I 2 8 _7 153mt 345,9 246 1 470,3

Sub-sektor Industri - 153,8 345,9 246,1 470,3

3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 27,5 251,.(2 8 2 4 , 0 1.986.6 854,0

Sub-sektor Pertambangan - 45,2 387,9 1.599,0 200,6Sub-Sektor Energi - 207,8 506,1 387,6 653,4

4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 25,3 241,1 335,1 600,6

Sub-sektor Prasarana Alan - ) 53,2 163,7 220,0Sub-sektor Perhubungan Darat - ) 55,9 494,3 123,8Sub-sektor Perhubungan Laut - ) 247,0 164,9 179,5 122,3Sub-sektor Perhubungan Mara - ) 10,1 24,5 90,5Sub-sektor Poe dan Telekomunikasi - ) 46,9 26,5 38,6Sub-sektor Pariwisata 2,7 1,1 0,6 5,4

5. SENIOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 5,83)1,3 18,7 2,1

Sub-sektor Perdagangan 0,1Sub-sektor Koperasi 1,3 18,7 2,0

6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 11, 15,0 45,2 7m_7

Sub-sektor Tenaga Eerie 3,2 2,6 5,3Sub-sektor Transmigrasi

7. SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH,

8,4 12,4 45,2 70,4

DESA DAN KOTA i 8 1,0

Sub-sektor Pembangunan Daerah,Dose dan Kota 7,9 2,6 6,8 1,0

8. SENIOR AGAMA Sub-

sektor Agama

9. SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCAYAANTERHADAP TUHAN YANG MARA ESA L _ 5 _ 35,36) 24,2 1 6 , 1 1

Sub-sektor Pendidikan Umum danGenerasi Muda 34,8 22,3 21,6 159,5Sub-sektor Pendidikan Kediaman 0,2 1,9 6,8 15,2

Sub-sektor Kebudayaan NasionalKepercayaan Terhadap Tuhan YangMaha Esa

dan

0,36) 5 , 0

IV/41

Page 42: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

(Lanjutan Tabel IV - 11)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAANSOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUK-AN DAN KELUARGA BERENCANA 121' 2 7) 2 3 .66 36.9 7T

Sub-sektor Kesehatan 15,8 14,9 3,9 50,5

Sub-sektor Kesejahteraan Sosialdan Peran WanitaSub-sektor Kependudukan danKeluarga Berencana 5,97) 8,7 33,0 27,0

11. SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DANPEMUKIMAN 2.75) 18.3 21cE 51.2 1 1Sub-sektor Perumahan Rakyatdan Pemukiman 18,3 21,2 51,2 83,7

12. SEKTOR HUKUM

Sub-sektor Hukum

13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANANNASIONAL 50.6 58,8 20.1 150,6

Sub-sektor Pertabanan den KeamananNasional 50,6 58,8 20,1 250,0

14. SEKTOR PENERANGAN, PENS DANKOMUNIKASI SOSIAL 12

Sub-sektor Penerangan danKomunikasi Sosial 3,8 12,9

15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGIdan PENELITIAN 8 2_63 183.2 80,0

Sub-sektor Pengembangan IlmuPengetahuan dan Teknologi 7,4 1,0 146,8 40,1

Sub-sektor Penelitian 1,1 25,3 36,4 39,9

16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH 24.4 151,1 ALISub-sektor Aparatur Pemerintah 3,5 24,4 132,2 4.3

17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA 46.8 45,2 160,3

Sub-sektor Pengembangan Dunia Usaha 33,1 46,8 45,2 160,3

18. SEKTOR SOMBER ALAN DAN LINGKUNGANLINGKUNGAN HIDUP 9.1 22.6 87.9

Sub-sektor Somber Alam dan Ling-kungan Hidup 9,1 22,6 83,9

Jumlah t 22,4 114,1 987,3 1.924.9 3.867,5 3.408,7

1) Termasuk sektor Pertambangan2) Sektor Energi Baja3) Penjumlahan dari sektor 5 B/d 8 dan 12 mid 174) 8ektor Kesehatan dan Keluarga Berencana Baja5) Termasuk Kesejahteraan Sosial6) Tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Naha Esa7) Tidak termasuk Peran wanita

IV/42

Page 43: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 9REALISASI BANTUAN PROYEK,

1968 - 1984/85

IV/43

Page 44: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Rp. 1.147,7 milyar, dan Rp. 790,8 milyar. Sesuai dengan arah dan kebijaksanaan Repelita IV, penggunaan dana di kelima sek-tor pembangunan bidang ekonomi tersebut ditujukan untuk me-ningkatkan kesejahteraan yang makin merata bagi seluruh rak-yat, yang berarti pula makin memperkokoh ketahanan nasional.

Pengeluaran pembangunan melalui sektor pertanian dan pe-ngairan sebesar Rp. 1.699,1 milyar merupakan peningkatan se-besar 86,1 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan 82,5 % diatas realisasi dalam tahun 1982/83. Pada akhir Repe-lita I dan akhir Repelita II realisasi pengeluaran melalui sektor ini baru mencapai masing-masing sebesar Rp. 98,1 mil-yar dan Rp. 450,3 milyar. Selanjutnya melalui pengeluaran pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata sebesar Rp. 1.428,3 milyar, telah dilaksanakan usaha-usaha untuk me-ningkatkan prasarana angkutan dan perhubungan, serta usaha-usaha untuk memperluas kepariwisataan dalam rangka meningkat-kan penerimaan devisa, perluasan lapangan kerja, di samping untuk memperkenalkan kebudayaan bangsa. Sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.231,0 milyar. Dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp. 1.032,1 milyar berarti meningkat sebesar 19,3 %, dan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1982/83 menunjukkan kenaikan sebesar Rp. 527,8 milyar atau 75,1 %. Pada akhir Repelita I realisasi pengeluaran sektor pendidikan baru mencapai jumlah sebesar Rp. 36,9 milyar. Sementara itu sektor pertambangan dan energi dalam tahun 1984/85 telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.147,7 milyar. Kegiatan pembangunan pada sektor pertam-bangan yang meliputi inventarisasi dan pemetaan, eksplorasi, dan eksploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral dan ener-gi, dalam tahun 1984/85 terus ditingkatkan sehingga produksi dan ekspor pertambangan serta distribusi tenaga listrik yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat desa dan kota, serta untuk mendorong kegiatan ekonomi terus dilanjutkan dan di-tingkatkan. Realisasi pengeluaran pembangunan melalui sektor pembangunan daerah, desa dan kota, dalam tahun 1984/85 adalah sebesar Rp. 790,8 milyar yang berarti peningkatan sebesar Rp. 42,1 milyar dan Rp. 79,5 milyar dari ralisasi dalam tahun 1983/84 dan tahun 1982/83. Dalam tahun 1973/74 yang merupakan tahun terakhir Repelita I baru direalisasikan sebesar Rp. 69,8 milyar, sedangkan pada akhir Repelita II direalisasikan sebesar Rp. 275,1 milyar.

Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga dalam tahun 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 3.474,4 milyar,

IV/44

Page 45: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

rang berarti Rp. 254,8 milyar lebih tinggi dibandingkan de-ngan realisasi tahun 1983/84. Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga melihat pembiayaan proyek-proyek pemba-ngunan sektoral dari segi departemen/lembaga.

Realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah dalam tahun 1984/85 telah mencapai jumlah sebesar Rp. 1.526,2 milyar. Bantuan ini diberikan Pemerintah pusat dalam rangka menseim-bangkan tingkat pembangunan antara berbagai daerah di samping memberikan kesempatan kepada Pemerintah daerah untuk melaksa-nakan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kondisi daerah. jumlah bantuan pembangunan yang berupa program-program Inpres, Ipeda dan bantuan Timor Timur selalu diusahakan untuk ditingkatkan setiap tahunnya. Perkembangan realisasi pengelu-aran pembangunan bagi daerah dapat diikuti pada Tabel IV-9.

Bantuan pembangunan desa yang diberikan sejak tahun 1969/ 70, dimaksudkan untuk mendorong serta mengarahkan usaha-usaha swadaya gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya. Bantuan yang semula baru sebesar Rp. 2,6 milyar, selalu di-tingkatkan tiap tahunnya sehingga pada akhir Repelita I, Re-pelita II, dan akhir Repelita III telah mencapai jumlah ma-sing-masing sebesar Rp. 5,7 milyar, Rp. 24,0 milyar dan Rp. 91,6 milyar. Sedangkan pada tahun 1984/85 telah diberikan bantuan sebesar Rp. 92,8 milyar. Meningkatnya jumlah bantuan yang diberikan disebabkan bertambahnya jumlah desa serta di- tingkatkannya besarnya bantuan tiap desa. Bila pada tahun 1969/70 besar bantuan tiap desa baru sebesar Rp. 100 ribu ta-hun 1975/76 ditingkatkan menjadi Rp. 300 ribu, dan menjadi Rp. 350 ribu dalam tahun 1977/78. Selanjutnya pada tahun 1979/80 ditingkatkan lagi menjadi Rp. 450 ribu, kemudian men-jadi Rp. 750 ribu dan Rp. 1 juta untuk masing-masing tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Pada tahun 1982/83 jumlah bantuan ditingkatkan lagi menjadi Rp. 1,25 juta per desa, termasuk di dalamnya dana untuk kegiatan Pembiayaan Kesejahteraan Keluar-ga (PKK) sebesar Rp. 250 ribu.

Bantuan pembangunan Kabupaten/Kotamadya diberikan sejak tahun 1970/71, dan besar bantuannya terutama didasarkan atas jumlah penduduk. Pada akhir Repelita I realisasinya baru men-capai sebesar Rp. 19,2 milyar, dan pada akhir Repelita II me-ningkat menjadi Rp. 70,9 milyar, kemudian meningkat lagi pada pada akhir Repelita III menjadi Rp. 194,1 milyar. Di samping didasarkan atas jumlah penduduk, kepada daerah-daerah yang masih jarang penduduknya, diberikan jumlah bantuan minimum yang jumlahnya juga ditingkatkan setiap tahunnya. Bila pada

IV/45

Page 46: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

tahun 1974/75 jumlah bantuan minimum adalah sebesar Rp. 16 juta per kabupaten/kotamadya, maka pada akhir Repelita II (1978/79) telah meningkat menjadi Rp. 50 juta, dan kemudian ditingkatkan lagi setiap tahunnya sehingga pada akhir Repeli-ta III telah mencapai 160 juta per kabupaten/kotamadya. Atas dasar perkembangan jumlah penduduk, serta perkembangan besar-nya bantuan per jiwa dalam tahun 1984/85 telah berhasil di-realisasikan bantuan sebesar Rp. 194,6 milyar.

Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I adalah program In-pres yang pada mulanya merupakan sumbangan Pemerintah sebagai pengganti ADO (Alokasi Devisa Otomatis). Program Inpres ini terdiri dari bantuan yang penggunaannya ditetapkan serta yang diarahkan. Bantuan yang ditetapkan digunakan untuk membiayai penunjangan jalan dan jembatan, penggantian jembatan serta perbaikan dan peningkatan irigasi untuk eksploitasi dan peme-liharaan pengairan. Sedangkan bantuan yang penggunaannya di-arahkan membiayai proyek-proyek yang meningkatkan taraf hidup rakyat, mengembangkan daerah minus dan daerah kritis serta proyek-proyek lain yang penting dalam rangka pembangunan dae-rah. Pada akhir Repelita I realisasi bantuan pembangunan ini baru mencapai jumlah sebesar Rp. 20,8 milyar, tetapi pada akhir Repelita II telah mencapai jumlah sebesar Rp. 86,8 mil-yar, dan pada akhir Repelita III meningkat menjadi sebesar Rp. 253,0 milyar. Kenaikan ini disebabkan terutama karena di-tingkatkannya jumlah bantuan minimum dan bantuan maksimum tiap propinsi. Apabila dalam tahun 1974/75 jumlah bantuan mi-nimum hanya sebesar Rp. 500 juta, maka setelah mengalami ke-naikan setiap tahunnya pada akhir Repelita II menjadi Rp. 2 milyar, dan pada akhir Repelita III telah menjadi Rp. 9 mil-yar untuk tiap propinsi.

Program bantuan pembangunan sekolah dasar diberikan untuk pertama kalinya pada tahun 1973/74, dengan jumlah bantuan se-besar Rp. 17,2,milyar. Pada mulanya Inpres ini hanya meliputi pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung SD, baik gedung SD negeri maupun swasta dan Madrasah Ibtidaiyah swasta yang ada serta penyediaan buku-buku pelajaran dan bacaan bagi anak-anak SD. Kemudian pada akhir Repelita II diperluas lagi de-ngan pembangunan ruang kelas baru, dan pada tahun berikutnya diperluas lagi dengan pembangunan rumah kepala sekolah dan guru di daerah terpencil. Pada akhir Repelita III bantuan lebih ditingkatkan lagi, yaitu ditambah dengan penyediaan pa-ket peralatan olah raga untuk sekolah dasar negeri dan swasta serta Madrasah Ibtidaiyah. Atas dasar kebijaksanaan-kebijak-sanaan tersebut, maka pengeluaran bagi bantuan pembangunan sekolah dasar yang pada tahun 1973/74 baru mencapai jumlah

IV/46

Page 47: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

sebesar Rp. 17,2 milyar, pada akhir Repelita II telah menjadi Rp. 111,8 milyar, dan pada akhir Repelita III telah mencapai jumlah sebesar Rp. 549,3 milyar. Dalam tahun 1984/85 realisa-si bantuan pembangunan untuk sekolah dasar ini ditingkatkan lagi menjadi Rp. 572,0 milyar.

Inpres saran kesehatan yang dimaksudkan untuk meningkat-kan pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota, terus ditingkatkan jumlah bantuannya pada setiap tahun-nya. Apabila pada akhir Repelita II bantuan yang diberikan baru mencapai Rp. 26,9 milyar, pada akhir Repelita III telah meningkat menjadi Rp. 87,3 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan yang diberikan ditingkatkan menjadi Rp. 64,6 milyar, berupa bantuan untuk obat-obatan, pembangunan gedung puskesmas baru, puskesmas pembantu, dan rumah dokter/paramedis. Di samping itu juga untuk puskesmas keliling, dan rehabilitasi puskes-mas/puskesmas pembantu yang sudah ada serta pengadaan air bersih pedesaan.

Dalam rangka melindungi para pedagang kecil golongan eko-nomi lemah di daerah, maka sejak tahun 1976/77 telah diberi-kan bantuan subsidi bunga atas kredit pembangunan dan pemu-garan pasar. Bantuan ini dipergunakan untuk membantu penye-diaan tempat berjualan bagi para pedagang, khususnya para pedagang kecil golongan ekonomi, lemah dengan sewa semurah mungkin. Pada 1978/79 bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp. 1,2 milyar, sedangkan pada akhir Repelita III meningkat menjadi Rp. 10,6 milyar. Pada tahun 1984/85 bantuan yang di-berikan mencapai jumlah sebesar Rp. 25,5 milyar.

Bantuan penghijauan dan reboisasi merupakan program In-pres yang bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah, hutan, dan air. Sasaran Inpres penghi-jauan ini terutama daerah-daerah kritis, yaitu daerah-daerah yang ditinjau dari segi hidrologi dapat membahayakan ke-langsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau wilayah lain. Pada tahun 1976/77 realisasi program In-pres penghijauan ini adalah sebesar Rp. 16,0 milyar, sedang-kan selama Repelita III telah direalisasikan anggaran sebesar Rp. 268,8 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1984/85 telah di-realisasikan bantuan penghijauan sebesar Rp. 61,2 milyar.

Inpres prasarana jalan adalah program bantuan yang dibe-rikan dalam rangka pemerataan pembangunan, dan menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan, dan

IV/47

Page 48: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

distribusi serta menunjang proyek-proyek di daerah. Dalam tahun 1979/80 bantuan yang diberikan melalui Inpres ini baru sebesar Rp. 13,0 milyar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp. 25,9 milyar dan Rp. 54,8 milyar masing-masing dalam tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Dalam tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 diberikan masing-masing sebesar Rp. 42,4 milyar dan Rp. 64,6 milyar, sehingga selama Repelita III telah direali-sasikan bantuan sebesar Rp. 200,7 milyar. Dalam tahun 1984/85 bantuan yang diberikan telah mencapai jumlah sebesar Rp. 101,1 milyar.

Bantuan pembiayaan pembangunan daerah lainnya berupa ban-tuan untuk daerah Timor Timur yang diberikan sejak tahun 1977/78. Bantuan ini diberikan dalam rangka memberi kesempat-an kepada propinsi termuda tersebut untuk mengejar keterting-galannya dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bantuan yang diberikan pada tahun 1977/78 adalah sebesar Rp. 3,5 mil-yar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp.4,5 milyar pada tahun 1978/79. Selama Repelita III Timor Timur mendapat bantuan pembangunan sebesar Rp. 30,7 milyar, dan pada tahun 1984/85 telah diberikan bantuan sebesar Rp. 4,2 milyar.

Program pembangunan daerah melalui dana IPEDA dalam tahun anggaran 1984/85 mencapai jumlah sebesar Rp. 157,2 milyar, yang berarti suatu kenaikan sebesar 18,7 %, dan 49,4 % bila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1983/84 dan tahun 1982/83. Dana pembangunan yang sebenarnya berasal dari daerah sendiri itu dipungut berdasarkan kerjasama antara Pusat dan Daerah, dan dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan daerah.

Pengeluaran pembangunan lainnya terdiri dari subsidi pupuk, penyertaan modal Pemerintah, dan lain-lain pengeluaran pembangunan. Subsidi pupuk diberikan dalam rangka meningkat-kan produksi pangan, khususnya pertanian dengan mempertahan-kan harga pupuk yang stabil, dan dapat dijangkau oleh petani. Sedangkan penyertaan modal pemerintah ditujukan dalam rangkamempercepat pengembangan dunia usaha, dengan meningkatkan li-kuiditas berbagai badan usaha milik negara, dan proyek-proyek lainnya, antara lain proyek Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam, BTN/KPR Perumnas, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, dan PT Danareksa, pembiayaan proyek-proyek Benih II/ Perum Sang Hyang Seri, PT PAL Indonesia, PT TWC Borobudur dan Prambanan serta PT INKA. Sedangkan pembiayaan pembangunan lain-lain ditujukan antara lain untuk proyek pencetakan sa-wah, proyek air minum/air bersih, program keluarga berencana, sensus dan proyek sumber daya laut. Di samping itu juga untuk dana tanaman ekspor, pembiayaan pembangunan rumah susun, pem-

IV/48

Page 49: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

bangunan gedung lantai jemur, serta pengembangan Badan Kredit Kecamatan (BKK). Realisasi subsidi pupuk dalam tahun 1984/85 adalah sebesar Rp. 731,6 milyar, sedangkan penyertaan modal Pemerintah dalam tahun tersebut adalah sebesar Rp. 336,1 mil-yar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 474,9 milyar.

C. PERKEMBANGAN MONETER

1. Kebijaksanaan Moneter

Keadaan moneter di Indonesia menjelang dilaksanakannya kebijaksanaan stabilisasi dan rehabilitasi bulan Oktober 1966, nampak tidak menentu memprihatinkan. Hal tersebut ter-cermin pada tingginya laju inflasi serta tidak mampunya sek-tor perbankan menjalankan fungsinya untuk mengerahkan dan me-nyalurkan dana ke masyarakat secara baik. Menghadapi keadaan ini program stabilisasi dan rehabilitasi Oktober 1966 telah dilaksanakan pemerintah yang pada dasarnya meliputi kebijak-sanaan anggaran belanja berimbang dan dinamis, kebijaksanaan suku bunga yang tinggi serta upaya untuk mengusahakan terse-dianya kebutuhan pokok. Dengan program stabilisasi ekonomi tersebut dapat dicapai penurunan pertambahan uang beredar dan laju inflasi, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan per-baikan posisi neraca pembayaran.

Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal, moneter dan devisa yang secara terpadu dilaksanakan maka sarana utama bagi pelaksanaan rencana pembangunan, yaitu kestabilan mone-ter dan ekonomi pada umumnya di samping bidang-bidang lain, telah diletakkan pada tahun-tahun tersebut.

Dalam Repelita I kebijaksanaan moneter penting yang di-laksanakan pada dasarnya melanjutkan program stabilisasi yai-tu kebijaksanaan suku bunga yang realistis mencerminkan ke-langkaan dana. Hal ini telah berhasil mengerahkan dana masya-rakat dan memulihkan kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan. Deposito berjangka pada bank-bank pemerintah yang pada bulan Desember 1968 berjumlah Rp. 4,5 milyar telah me-ningkat menjadi Rp. 146,6 milyar pada akhir Repelita I, se-dangkan jumlah Tabanas/Taska meningkat dari Rp. 1,2 milyar menjadi Rp. 36,8 milyar selama periode Repelita I. Kebijaksa-aan pokok lain adalah pelaksanaan program penyediaan kredit investasi yaitu kredit jangka menengah (3 - 5 tahun) untuk mendorong sektor swasta melakukan penanaman modal dan bersama

IV/49

Page 50: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

dengan bantuan luar negeri pada gilirannya dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di semua sektor. Kebijaksanaan moneter Repe-lita I tersebut telah berhasil memantapkan stabilitas ekono-mi, meskipun pada akhir Repelita I timbul masalah hanya be-sarnya pengaruh pemberian kredit terhadap peningkatan uang beredar yang bersama pengaruh sektor luar negeri telah ber-akibat meningkatnya laju inflasi.

Dalam rangka menanggulangi laju inflasi yang tinggi se-lanjutnya pemerintah dalam Repelita II menempuh kebijaksanaan stabilisasi pada 9 April 1974 dan 28 Desember 1974. Kebijak-sanaan 9 April 1974 meliputi ketentuan-ketentuan yang antara lain: a) menetapkan batas tertinggi (pagu) pertambahan pembe-rian pinjaman dan aktiva netto lainnya; b) menaikkan suku bunga kredit secara selektif, suku bunga deposito berjangka Inpres serta Tabanas; serta c) memperketat pembatasan pemasu-kan dana dari luar negeri. Untuk menghindarkan naiknya suku bunga kredit, maka pada tanggal 28 Desember 1974 pemerintah mengadakan tindakan penyesuaian berupa: a) penurunan suku bunga kredit jangka pendek, khususnya kredit ekspor, produk-si, dan perdagangan dalam negeri; b) penurunan suku bunga de-posito berjangka Inpres; dan c) pencabutan ketentuan tentang simpanan wajib dalam rangka pinjaman luar negeri bagi perusa-haan swasta dan perubahan ketentuan pembatasan pinjaman luar negeri. Dalam rangka membantu pengusaha golongan ekonomi le-mah serta untuk menunjang tercapainya tujuan program pemera-taan, pemerintah menyediakan fasilitas Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) serta beberapa jenis kredit kecil lainnya. Dalam tahun 1977/78 terjadi penu-runan daya saing barang-barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri antara lain sebagai akibat dari lebih tingginya tingkat inflasi di Indonesia dibandingkan inflasi dunia. Un-tuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 15 Nopember 1978 pe-merintah mengadakan penyesuaian nilai tukar rupiah yakni dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- untuk setiap dollar Amerika. Sa-saran utama tindakan devaluasi itu adalah untuk meningkatkan ekspor komoditi non-migas, dan meningkatkan kemampuan ber-saing bagi kegiatan ekspor Indonesia, yang sangat penting bagi landasan kegiatan pembangunan nasional dalam jangka pan-jang.

Setelah periode peningkatan-peningkatan ekonomi dan pem-bangunan dalam tahun 1970-an, kelesuan ekonomi dunia yang mu-lai terjadi pada tahun 1980, telah menunjukkan dampak nega-tifnya terhadap perekonomian Indonesia menjelang akhir 1981, terutama dengan turunnya permintaan dan harga dari barang-ba-rang ekspor Indonesia, baik migas maupun non-migas. Dampak

IV/50

Page 51: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

negatif dari kelesuan ekonomi dunia tersebut lebih dipertajam lagi dengan adanya musim kemarau panjang dalam tahun 1982 yang pada akhirnya menurunkan kenaikan PDB 1982 menjadi 2,2%. Di bidang moneter kemunduran keadaan ekonomi dunia telah me-nimbulkan tekanan berat pada nilai rupiah dan cadangan devisa Indonesia. Pemerintah berusaha menanggulangi masalah tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982, yang menentu-kan dihapuskannya keharusan menjual devisa yang diperoleh dari hasil ekspor pada Bank Indonesia. Selain itu untuk men-dorong ekspor non-migas Pemerintah memberikan fasilitas kre-dit ekspor dengan bunga yang rendah menyediakan jaminan kre-dit ekspor dan asuransi ekspor.

Kebijaksanaan fiskal juga dilaksanakan untuk menghadapi salah tersebut yaitu dalam bentuk mengurangi pengeluaran di satu pihak dan meningkatkan penerimaan Negara di pihak lain. Dalam rangka mengurangi beban subsidi, untuk pertama kalinya semenjak 1976, harga pupuk dan pestisida telah dinaikkan. Untuk mengurangi ekspansi moneter yang berlebihan, kebijaksa-naan moneter dilakukan melalui penetapan pagu kredit dan pe- nentuan prioritas yang lebih ketat. Sektor kegiatan yang men-dapat prioritas tinggi adalah sektor-sektor yang dapat mengu-rangi impor, menunjang penyerapan tenaga kerja dan yang di-laksanakan oleh pengusaha kecil.

Perkembangan ekonomi dunia, khususnya yang menyangkut mi-nyak telah memberikan pengaruh yang semakin tidak menguntung-kan terhadap neraca pembayaran nampak dari membengkaknya de-fisit pada transaksi berjalan dan menurunnya cadangan devisa. Untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk lagi, pada bulan Maret 1983 Pemerintah melakukan penyesuaian kurs rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US S. Tindakan tersebut di-maksudkan selain untuk memperkecil defisit transaksi berja-lan, juga untuk mendorong pemasukan modal, serta penggunaan teknik produksi yang padat karya.

Kebijaksanaan moneter selama Repelita III yang sangat penting adalah kebijaksanaan 1 Juni 1983. Sebagaimana dike-tahui, kebijaksanaan perkreditan selama lebih kurang 15 tahun sebelum 1 Juni 1983 dilaksanakan melalui penyediaan dana mu- rah dalam bentuk kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana yang kemudian menyalurkannya pada berba-gai sektor yang diprioritaskan. Namun dapat dicatat bahwa kredit likuiditas tersebut pada hakekatnya merupakan pencip-taan uang oleh Bank Sentral yang berarti mempunyai pengaruh inflatoir terhadap perekonomian Indonesia serta tekanan ter-

IV/51

Page 52: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

hadap neraca pembayaran pada transaksi berjalan maupun ca-dangan devisa.

Dampak negatip pemberian kredit likuiditas terhadap per-kembangan neraca pembayaran selama satu dasawarsa terakhir ini sebagian besar dapat ditampung oleh keadaan neraca pemba-yaran yang baik, khususnya karena naiknya harga minyak bumi dan meningkatkan produksi minyak serta membaiknya ekspor non migas. Akan tetapi mulai akhir 1981 terjadi perubahan dalam perkembangan neraca pembayaran Indonesia terutama disebabkan oleh resesi ekonomi dunia dan kemudian juga karena penurunan harga minyak bumi di pasaran internasional. Perkembangan ter-sebut mempersulit perekonomian nasional untuk menampung dam-pak negatif dari kredit likuiditas yang terus membengkak ter-sebut.

Untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan perkembangan harga, maka pada tanggal 1 Juni 1983, telah di-keluarkan kebijaksanaan moneter baru. Kebijaksanaan tersebut meliputi langkah-langkah untuk : 1) lebih mendorong bank-bank mengerankan dana dari masyarakat serta menyalurkannya secara efisien dengan memberikan kebebasan kepada mereka dalam mene-tapkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi, 2) mengurangi pemberian kredit likuiditas oleh Bank Indonesia kepada bank-bank dengan memba-tasi pemberian kredit likuiditas hanya untuk sektor-sektor yang tergolong prioritas tinggi; dan 3) menghapuskan penentu-an pagu kredit.

Hasil-hasil positif dari kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 yang telah dicapai antara lain adalah seperti berikut :

a.Dana perbankan, terutama deposito berjangka telah menun-jukkan perkembangan yang sangat mengesankan, sehingga ke-tergantungan bank-bank kepada kredit likuiditas Bank In-donesia telah berkurang. Di samping itu kepercayaan bank-bank kepada diri sendiri menjadi lebih meningkat.

b.Mekanisme pasar uang telah mulai berkembang ke arah yang lebih baik sehingga bunga telah lebih mampu mencerminkan keadaan pasar. Suku Bunga lebih ditentukan oleh perkem-bangan dan keadaan pasar, dan fragmentasi pasar telah mu-lai berkurang.

c.Terdapat indikasi bahwa bank-bank telah dengan sungguh-sungguh berusaha untuk meningkatkan efisiensi kerjanya.

1V/52

Page 53: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Selain itu, telah dilakukan penjadwalan kembali proyek-proyek yang banyak menggunakan devisa negara. Penjadwalan tersebut bertujuan untuk membatasi penggunaan devisa negara sehingga tidak mengakibatkan beban pembayaran kembali pinjam-an luar negeri yang terlalu berat dimasa mendatang.

Dengan dihapuskannya sistem penetapan pagu kredit per-bankan sejak 1 Juni 1983 Bank Indonesia mengatur jumlah uang beredar melalui penetapan target uang primer, yaitu kewajiban moneter Bank Indonesia kepada sektor perbankan dan swasta do-mestik. Untuk mengendalikan perkembangan moneter tersebut, Bank Indonesia mempergunakan alat pengendalian moneter tidak langsung melalui penetapan likuiditas minimum, penyediaan fa-silitas diskonto dan kebijaksanaan pasar terbuka yang dewasa ini dilakukan dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).

Dalam tahun 1984/85, pada umumnya Pemerintah tetap ber-usaha menjaga kestabilan moneter yang tercermin pada pengen-dalian jumlah uang beredar. Hal tersebut dapat terlaksana berkat adanya usaha untuk menyempurnakan penggunaan alat-alat moneter, seperti yang berkaitan dengan penghapusan pemberian bunga atas simpanan pada Bank Indonesia, perpanjangan jangka waktu pasar uang antar bank, pengaturan pelaksanaan transaksi antar bank, penyempurnaan transaksi jual beli SBI serta dimu-1ainya transaksi SBPU di kalangan lembaga keuangan di Indone-sia. Keseluruhan tindakan-tindakan yang telah dilakukan ter-sebut adalah merupakan pelaksanaan paket kebijaksanaan di bi-dang moneter yang selalu memperhatikan keterkaitannya dengan kebijaksanaan di bidang fiskal dalam rangka pelaksanaan pem-bangunan nasional.

Dalam pada itu sejak dikeluarkannya Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983, pemberian kredit perbankan tetap didasarkan pada kemampuan pengerahan dana yang berasal dari masyarakat. Dalam hubungan ini Bank Indonesia secara terus menerus memonitor perkembangan pasar uang dan berusaha membantu bank-bank yang kurang sehat. Dengan memperhatikan perkembangan ekonomi keseluruhan, Bank Indonesia dapat mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dengan menyesuaikan instrumen-instrumen yang tersedia dalam usaha pengarahan pemberian kredit per-bankan.

2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar

Selama masa Repelita I, pemerintah telah berhasil mengen-

IV/53

Page 54: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

dalikan jumlah uang beredar untuk disesuaikan dengan kebutuh-an pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kestabilan harga. Apabila persentase kenaikan jumlah uang beredar diban-dingkan dengan persentase kenaikan harga, maka dalam masa Re-pelita I, jumlah uang beredar telah meningkat dengan 499,2% sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan 87,4%.

Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan jumlah uang beredar terlihat adanya pergeseran dari sektor Pemerin-tah ke sektor kegiatan perusahaan dan sektor luar negeri. Hal ini berarti bahwa Pemerintah telah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan pengeluarannya dari sumber-sumber penerimaan yang non-inflatoir. Selama masa Repelita I, sektor Pemerintah umumnya memberikan pengaruh kontraktif sedangkan sebaliknya sektor kegiatan perusahaan telah menyebabkan pengaruh ekspan-sif terhadap jumlah uang beredar.

Menurunnya laju inflasi, selain disebabkan oleh pergeseran sektoral di dalam unsur-unsur penyebab kenaikan uang beredar, juga oleh karena perkembangan pengerahan dana-dana dalam bentuk deposito dan tabungan. Dana deposito dan tabungan tersebut merupakan sumber keuangan bagi perbankan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Sejak dilaksana-kannya gerakan deposito berjangka dan tabungan dalam bulan Oktober 1968, jumlah dana yang dapat dikerahkan meningkat dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan pengaruh kontrak-tif terhadap jumlah uang beredar.

Dalam Repelita I sektor luar negeri juga mempunyai penga-ruh yang besar terhadap perubahan jumlah uang beredar, ter-utama pada tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa ne-raca pembayaran mengalami surplus yang sekaligus merupakan penambahan pada cadangan devisa.

Selama Repelita II, jumlah uang beredar telah meningkat dengan 257,0% sedangkan harga-harga hanya meningkat dengan 98,4%. Hal ini mencerminkan kecenderungan digunakannya seba-gian besar jumlah pertambahan uang beredar untuk pembiayaan kegiatan yang produktif dan semakin mantapnya kepercayaan ma-syarakat terhadap rupiah.

Di dalam periode 1974/75-1978/79, sektor luar negeri me-nyebabkan pengaruh ekspansif, sedangkan sektor Pemerintah memberikan pengaruh yang kontraktif terhadap uang beredar. Sampai dengan tahun permulaan Repelita II peranan uang kartal terhadap jumlah uang beredar masih lebih besar dibandingkan dengan uang giral, yaitu masing-masing 54,0% pada 1973/74 dan

IV/54

Page 55: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

52,0% pada tahun 1974/75. Akan tetapi pada tahun 1975/76 pe-ranan uang giral mulai menggeser kedudukan uang kartal seba-gai alat pembayaran dan penyimpan kekayaan yang utama. Hingga akhir Repelita II proporsi uang giral terhadap jumlah uang beredar merupakan bagian yang dominan, yaitu 54,0%. Proporsi uang giral yang dominan ini mencerminkan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan uang giral yang semakin meningkat. Selain dari pada itu sejalan dengan berkembangnya dunia usaha, maka keperluan masyarakat akan jasa-jasa lembaga perbankan juga semakin bertambah.

Di antara faktor-faktor yang menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar, sektor kegiatan perusahaan menduduki tempat utama selama periode Repelita II. Pengaruh ekspansif deri sektor kegiatan perusahaan meningkat dari Rp. 458,6 mil-yar dalam tahun 1973/74, menjadi Rp. 1.606,0 pada akhir Repe-lita II. Kenaikan yang sangat besar pada tahun 1975/76 ber-si,mber pada pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan ne-galra, terutama PN Pertamina, yang memerlukan kredit dalam jumlah yang besar untuk pembayaran kembali hutang-hutangnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sektor aktiva luar negeri yang menimbulkan efek kontrak-tif sangat besar dalam tahun 1975/76 telah berubah menjadi ekspansif dalam tahun berikutnya. Hal ini berkaitan dengan telah terbayarnya hutang-hutang luar negeri PN Pertamina yang sekaligus menyebabkan pula turunnya kebutuhan pemberian kre-dit kepada perusahaan-perusahaan negara. Hingga akhir Repe-lita II sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah ter-hadap jumlah uang beredar/ekspansif sebesar Rp. 956,1 milyar.

Sektor Pemerintah, terkecuali dalam tahun 1974/75, selalu mempunyai efek kontraktif terhadap perkembangan uang beredar. Efek kontraktif sektor Pemerintah sejumlah Rp. 410,1 milyar dalam tahun 1975/76 sebagian besar merupakan pembukuan nilai lawan pinjaman luar negeri Pemerintah untuk pelunasan hutanghutang luar negeri Pertamina.

Jumlah uang beredar (Ml) yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, selama Repelita III telah naik dengan 187,7% atau rata-rata 23,5% setahun sehingga mencapai Rp 8.054,7 milyar pada tahun 1983/84. Kenaikan pada dua tahun terakhir Repelita III relatif rendah, yakni sebesar 8,9% pada tahun 192/83 dan 9,2% pada tahun 1983/84. Dilihat dari komposisi uang beredar, peranan uang giral terus meningkat menjadi 62% pada tahun 1981/82. Namun peranan tersebut menurun menjadi

IV/55

Page 56: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

59% pada tahun 1982/83 dan 56% pada tahun 1983/84. Menurunnya peranan uang giral tersebut terutama disebabkan oleh terda-patnya penarikan rekening giro perusahaan-perusahaan pemerin-tah untuk penyetoran hutang pajak.

Perkembangan moneter Indonesia selama Repelita III sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian dunia yang antara lain tercermin pada keadaan neraca pembayaran kita. Dalam dua tahun pertama Repelita III, sektor luar negeri memberikan pe-ngaruh ekspansif yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 2.497,7 milyar pada tahun 1979/80 dan Rp. 2.296,2 milyar pada tahun 1980/81. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan mening-katnya harga barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri, terutama minyak, di samping pengaruh dari tindakan penyesuai-an nilai tukar rupiah pada tanggal 15 Nopember1978. Dalam tahun-tahun berikutnya, sektor luar negeri memberikan penga-ruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar. Pengaruh kon-traktif yang besar pada tahun 1982/83 terutama disebabkan oleh defisit dalam transaksi berjalan pada neraca pembayaran yang membesar sebagai akibat pengaruh resesi ekonomi dunia dan memburuknya pasaran minyak internasional. Pada tahun 1983/84, dengan diambilnya kebijaksanaan devaluasi pada bulan Maret 1983, maka sektor luar negeri telah memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 2.684,9 milyar.

Sektor Pemerintah pada dua tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh kontraktif yang cukup besar, terutama berkaitan erat dengan meningkatnya penerimaan pajak perseroan (PPs) minyak sehubungan dengan meningkatnya harga minyak di pasar dunia. Selanjutnya, pengaruh kontraktif sektor Pemerin-tah menurun untuk kemudian pada tahun 1982/83 berubah menjadi ekspansif sebesar Rp. 697,1 milyar. Hal ini disebabkan oleh menurunnya penerimaan pemerintah yang berasal dari PPs mi-nyak. Dalam tahun 1983/84, sektor tersebut memberikan pe-ngaruh mengurang lagi sebesar Rp. 1.719,1 milyar, sebagai hasil usaha penghematan yang dilakukan Pemerintah melalui pe-ngurangan beban subsidi BBM dan pupuk, serta penghapusan sub-sidi pangan. Di samping itu, kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada bulan Maret 1983 dan pelaksanaan pemungutan pajak yang lebih intensif telah dapat meningkatkan arus pene-rimaan pemerintah.

Taiwan pada perusahaan negara dan swasta sampai dengan tahun 1982/83 terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan perkembangan kegiatan usaha. Sektor tersebut pada tahun 1982-/83 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 2.741,8 milyar (tidak diperhitungkan hasil penilaian kembali rekening valuta

IV/56

Page 57: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

asing sebesar Rp. 294,3 milyar karena devaluasi bulan Maret 1983). Dalam tahun 1983/84, pengaruh ekspansif tersebut me-nurun menjadi Rp. 2.633,2 milyar terutama disebabkan oleh berhati-hatinya bank dalam pemberian kredit, di samping lesu- nya dunia usaha karena pengaruh resesi ekonomi dunia.

Deposito berjangka dan tabungan yang merupakan unsur uangkiasi, dalam tiga tahun pertama Repelita III memberikan pe-ngaruh kontraktif yang relatif sama yakni rata-rata sebesarRp. 674 milyar setahun. Dalam tahun 1982/83, uang kuasi ter-sebut memberikan pengaruh mengurang yang besar yaitu Rp.1.491,4 milyar. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnyajumlah simpanan dalam valuta asing sebagai akibat semakinmembuatnya dollar Amerika Serikat dan beberapa mata uang a-sing lainnya terhadap rupiah. Dalam tahun 1983/84, pengaruh kontraktif dari deposito berjangka dan tabungan mencapai jum-lah Rp. 2.835,5 milyar, terutama disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka dalam rupiah sebagai akibat kebijaksanaan 1 Juni 1983.

Sektor lain-lain yang terutama terdiri dari rekening mo-dal, cadangan dan laba, serta jaminan impor, dalam tahun 1983/84 memberikan pengaruh kontraktif terhadap jumlah uang beredar sebesar Rp. 88 milyar yang merupakan pengaruh mengu-rang terkecil selama Repelita III.

Jumlah uang beredar dalam tahun 1984/85 mencapai Rp. 8.988,4 milyar atau meningkat 11,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertambahan uang beredar selama tiga tahun ter-akhir ini adalah merupakan kenaikan yang terendah selama masa Repelita. Hal ini berkaitan dengan program penghematan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengurangan dan peng-hapusan berbagai jenis subsidi.

Dalam tahun 1984/85, sektor luar negeri mempunyai penga-ruh ekspansif sekitar Rp. 2.349,7 milyar dibandingkan dengan Rp, 2.684,9 milyar dalam tahun sebelumnya. Hal ini mencermin-kan bahwa neraca pembayaran masih mengalami surplus meskipun tidak sebesar kelebihan pada tahun sebelumnya.

Sektor Pemerintah dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh kontraktif terhadap uang beredar sebesar Rp. 2.259,7 milyar. Sedangkan tagihan pada badan/lembaga dan perusahaan negara, perusahaan swasta dan perorangan dalam tahun 1984/85 memberi-kan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 3.465,3 milyar dibanding-kan dengan Rp 2.633,2 milyar dalam tahun sebelumnya. Kenaik-

IV/57

Page 58: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

an tersebut mencerminkan bahwa bank-bank telah lebih longgar dalam pemberian kreditnya sejalan dengan membaiknya kegiatan perekonomian.

Dalam tahun yang sama uang kuasi menunjukkan pengaruh kontraktif sebesar Rp. 2.755,2 milyar dibandingkan dengan Rp. 2.835,5 milyar dalam tahun sebelumnya. Melambatnya per-tumbuhan uang kuasi tersebut menyebabkan lebih rendahnya pertumbuhan likuiditas perekonomian dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sektor lain-lain, dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp. 133,5 milyar dibandingkan dengan penga-ruh kontraktif sebesar Rp. 88,0 milyar dalam tahun sebelumnya.

Perkembangan jumlah uang beredar, komposisi uang beredar, sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar, perbandingan anta-ra tingkat kenaikan harga dan pertambahan uang beredar, sela-ma periode 1968-1984/85 dapat diikuti masing-masing pada Ta-bel IV-12, Grafik IV-10, Tabel IV-13, Tabel IV-14 dan Grafik IV-11.

3. Dana Perkreditan Bank

a. Kebijaksanaan Dana Perkreditan

Kebijaksanaan untuk mengerahkan dana perbankan semenjak Pemerintah Orde Baru telah meningkatkan tabungan masyarakat melalui sektor perbankan guna pembiayaan pembangunan yang se-makin meningkat.

Dalam periode stabilisasi dan rehabilitasi telah dilaksa-nakan gerakan tabungan dalam bentuk deposito berjangka yang dimulai sejak bulan Oktober 1968. Kemudian pada bulan Pebrua-ri 1969 diadakan pula gerakan tabungan berhadiah 1969. Gerak-an tabungan ini bertujuan untuk menghimpun dana masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Agar lembaga-lembaga keuangan dapat memanfaatkan dananya secara lebih produktif, maka pada tanggal 1 April 1970 Bank Indonesia telah merintis pengeluaran Sertifikan Bank Indone-sia (SBI). Program ini juga bertujuan untuk memulihkan kemba-li kepercayaan masyarakat terhadap surat-surat berharga dan merintis pembentukan pasar uang dan modal di Indonesia. Usaha tersebut telah berhasil mendorong beberapa bank untuk ikut mengeluarkan sertifikat deposito sebagai upaya untuk menge-rahkan dana masyarakat.

IV/58

Page 59: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 12

PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)Akhir

Tahun/Triwulan/Jumlahlong

Uang Kartal Uang Giral MutasiUang

Persentase Perubahan

Jumlah % Jumlah % Tahun/Triwulan

BulanBulan Beredar Beredar

1968 113,9 74,7 (66) 39,2 (34) +62,4 +121,3

1968/69 130,8 80,8 (62) 50,0 (38) +68,1 +108,4

1969/70 210,7 126,3 (60) 84,4 (40) +79,9 +61,1

1973/74(Akhir Repelita I)

784,3 421,1 (54) 363,2 (46) +254,0 + 47,9

1974/75 1.027,1 538,5 (52) 488,6 (48) +242,8 +31,0

1975/76 1,427,9 659,2 (46) 768,7 (54) +400,8 +39,0

1978/79(Akhir Repelita II)

2.799,9 1.368,7 (49) 1.431,2 (51) +689,0 + 32,6

1979/80 3.797,1 1.773,9 (47) 2.023,2 (53) +997,2 + 35,6

1980/81 5.214,1 2.228,7 (43) 2.985,4 (57) +1.417,0 + 37,3

1981/82 6.774,7 2.541,3 (38) 4.233,4 (62) +1.560,6 + 29,9

1982/83 7.379.4 3.000.7 (41) 4.378,7 (59) + 604,7 + 8,9

1983/84(Akhir Repelita III)

8.054.7 3.553,5 (44) 4.501,2 (56) * 675,3 + 9,2

Triwulan I 7.505,5 3.283,8 (44) 4.221,7 (56) + 126,1 + 1,7Triwulan II 7.715,9 3.306,5 (43) 4.409,4 (57) + 210,4 + 2,8

Triwulan -III 7.569,2 3.333.3 (44) 4.235,9 (56) - 146,7 - 1,9Triwulan IV 8.054,7 3.553,5 (44) 4.501,2 (56) + 485,5 + 6,4

1984/851) 8.988,4 3.785,2 (42) 5.203,2 (58) + 933,7 + 11,6April 8.072,6 3.508,9 (43) 4.563,7 (57) + 17,9 + 0,2

Mei 7.982,9 3.572,7 (45) 4.410,2 (55) - 89,7 - 1,1Juni 8.182,9 4.046,7 (49) 4.136,2 (51) + 200,0 + 2,5

Triwulan I + 128,2 + 1,6Ju11 8.036,1 3.615,2 (45) 4.420,9 (55) - 146,8 - 1,8Agustus 7.934,4 3.631,6 (46) 4.302,8 (54) - 101,7 - 1,3September 7.961,4 3.640,7 (46) 4.320,7 (54) + 27,0 + 0,3

Triwulan II - 221,5 - 2,7

Oktober 8.010,8 3.641,6 (45) 4.369,2 (55) + 49,4 + 0,6

Nopember 8.256,1 3.643,3 (44) 4.612,8 (56) + 245,3 + 3,1

Desember 8.581,3 3.712,4 (43) 4.868,9 (57) + 325,2 + 3,9

Triwulan III + 619,9 + 7,8

Januari 8.146,4 3.595,3 (44) 4.551,1 (56) - 434,9 - 5,1Februari 8.381,0 3.616,5 (43) 4.764,5 (57) + 234,6 + 2,9

Maret 8.988,4 3.785,2 (42) 5.203,2 (58) + 607,4 + 7,3

Triwulan IV * 407,1 + 4,7

IV/59

Page 60: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 10PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR

1968 - 1984/85(dalam persen)

IV/60

Page 61: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 13PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN

HARGADAN TINGKAT PERTAMBANGAN JUMLAH UANG

BEREDAR,1968 - 1984/85

TahunJumlah uang

beredar(milyar Rp)

TingkatPerubahan uang beredar (%) 2)

Tingkatkenaikan harga(%) 1) 2)

1968 113,9 121,3 85,1

1973/74 784,3 47,9 47,41978/79 2.799,9 32,6 11,8

1979/80 3.797,1 35,6 19,1

1980/81 5.214,1 37,3 15,9

1981/82 6.774,7 29,9 9,8

1982/83 7.379,4 8,9 8,4

1983/84 8.054,7 9,2 12,6

1984/85 8.988,4 11,6 3,6

1) Sampai dengan Maret 1979, berdasarkan IBH, sedangkan mulai dengan April 1979 berdasarkan IHK. Kedua indeks dengan tahun dasar April 1977 sampai dengan Maret 1978.

2) Perubahan terhadap tahun sebelumnya.

IV/61

Page 62: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 11PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGADAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,

1968 - 1984/85

IV/62

Page 63: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 14SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

1973/74 1978/791)2) 1983/84 1984/6,5

Jests 5ektor Penyebab 1966 (Akhir Re- (Akhir Re- 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 (Akhir Re- 1984/85pelita I) pelita II) pel i ta III) II I I I IV

SEK20R AKTIVA LUAR NEGERI •12,5 *154,2 •956,1 •2.497,7 32.296,2 -67,5 •16,4 32.684,9 *532.0 *49,4 *760,1 •2.349,7

SEKTOR PEMERINTAH *2,9 -13,9 -445,9 -1.099,6 -1.825,5 -70,4 *697,1 -1.719,1 -765,3 -906.9 -693,4 *105.9 -2.259,7(Tagihan pada Pemerintah) (-0,9) (-15,1) (-446,3) (-1.101,4) (-1.834,0) (-102,7) (•699,0) (-1.719,1) (-765.3) (-906,9) (-693,4) (.105,9) (-2.259,7)(DISC) (*3,8) (*1,2) (*0,4) ( *1,8) (*8.5) (232,3) (-1,9) ( - ) ( - ) ( - ) ( - ) ( - )

SEKT0R KEGIATAN PERU5ANAAN *62,6 3458,6 *1.606,0 +808,0 •1.837,2 *2.605,2 •3.036,1 32.633,2 3907,1 *1.065,0 *1.010,2 •483,0 *3.465.3(Taiwan pada PerusahaanNegara den Swasta) (241,4) (*435,4) (*1.544,8) (*831.1) (•1.612,7) (*2.199,5) (•2.969,2) (32.352,7) (*692,2) (•769,1) (*1.052,9) (*722,2) (*3.236,4)(Kredit pengadaan pagan) (*21,2) (*23,4) (.61,2) (-23,1) (*224,5) (*405,7) (.66,9) (.280,5) (•214,9) (•295,9) (-42,7) (-239.2) (*228,9)

LAIN-LAIN 3 5 , 3 -164,5 -1.236.3 -558,4 -26_2 1 -1.653,5 *SJ_9 •84,4 -130,0 •1~1 22 •133,5

TOTAL LIKUIDITAS 272,7 •434,4 *879,9 •1.647,7 32.103,2 *2.245,2 •2.096,1 •3.511,0 .691,7 *291,9 •1.195,0 31.510,2

DEP0SITO BERJANGKA DANTABUNGAN -10,3 -180,4 -190,9 -650,5 -686,2 -684,7 -1.491,4 -2.835,5 -563,5 -56 3 4` -5 ~5 2 -1.103,1 - 2 . 7 5 2

JUMLAH UANG BEREDAR *62,4 3254,0 •689,0 *997,2 •1.417,0 *1.560,5 *604.7 *675,5 •128,2 -221,5 *619,8 *407,1 •933,6(Kartal) (240,6) (•129.9) (•332,9) (•405,2) (*454,8) (3312,6) (•459,4) (2552,9) (*493,2) (-406,0) (*71,7) (272,8) (•231,7)(Giral) (221,8) (•124.1) (•356,1) (*592,0) (3962,2) (.1.247,9) (*145,3) (•122,6) (-365,0) (*184,5) (•548,1) (•334,3) (*701,9)

1) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta acing karena penyesuaian ni la i taker rupiah deri Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US Dollar pad. tanggal 15 Nopember 1978.

2) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Karat 1983 , masing-masing sebesar Rp. 1.962,50 pad. sektor luar negeri, Rp. 237.3 milyar pada sektor Pe8orinteh, Rp. 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor lain-la in dan Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (Uang Kuasi ) .

IV/63

Page 64: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Agar kegiatan menabung dapat semakin ditingkatkan maka pada tanggal 1 Agustus 1971 tabungan berhadiah 1969 dihentikan dan selanjutnya diganti dengan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska).

Dalam Repelita II, telah diadakan beberapa kali perubahan suku bunga deposito berjangka yang disesuaikan dengan perkem-bangan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Di samping itu, dalam ketentuan yang dikeluarkan tanggal 9 April 1974 ter-sebut, telah diciptakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan serta melarang bank-bank pemerintah untuk menerima deposito berjangka Inpres yang dananya berasal dari luar ne-geri. Dalam hal dana deposito berjangka tersebut ternyata berasal dari luar negeri maka bunga paling tinggi yang akan dibayarkan adalah 6% setahun. Sementara itu dalam ketentuan 1 Januari 1978 ditetapkan bahwa deposito berjangka waktu 3 bulan atau kurang penetapan suku bunganya diserahkan kepada masing-masing bank.

Dalam rangka lebih meningkatkan pengerahan dana dari ma-syarakat, maka pada tanggal 1 Mei 1983 bank-bank Pemerintah telah diberi wewenang untuk menetapkan sendiri suku bunga de-posito berjangka waktu 6 bulan ke bawah.

Selanjutnya, pada tanggal 1 Juni 1983 Bank Indonesia te-lah menetapkan bahwa Bank Umum Pemerintah dan Bapindo dapat menentukan sendiri suku bunga deposito berjangka kecuali un-tuk deposito berjangka waktu 24 bulan yang bunganya ditetap-kan oleh Bank Indonesia sekurang-kurangnya 12% setahun. Di samping itu, dalam usaha pengerahan dana dan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, bank-bank diper-kenankan menerbitkan bilyet deposito berjangka, baik atas nama maupun atas unjuk yang dapat diperpanjang secara otoma-tis.

Kebijaksanaan pengerahan dana perkreditan dalam tahun 1984/85 masih tetap dititik beratkan pada usaha untuk mening-katkan pengerahan dana masyarakat sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Sehubungan dengan itu pada akhir Oktober 1984 telah disempurnakan keten-tuan yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat deposito. Berdasarkan ketentuan baru ini, penerbitan sertifikat deposi-to yang semula hanya dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan bank asing, kini dapat dilakukan oleh semua bank umum dan bank pembangunan yang termasuk dalam kategori sehat dan cukup sehat. Sertifikat deposito tersebut diterbitkan atas unjuk dengan jangka waktu tidak kurang dari 15 hari. Dalam hal bank

IV/64

Page 65: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

memiliki sertifikat deposito yang diterbitkan bank lain, jumlahnya setiap saat tidak boleh melebihi 7,5% dari jumlah pinjaman yang diberikannya baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing.

Selanjutnya Pemerintah tetap menangguhkan pemungutan pa-jak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dalam valuta asing milik penduduk Indonesia, sedang-kan bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dalam ru-piah maupun valuta asing milik bukan penduduk Indonesia dipo-tong pajak penghasilan (PPh). Di samping itu atas jasa giro, bunga call money dan deposito on call dalam rupiah dan valuta asing baik milik penduduk maupun bukan penduduk Indonesia di-kenakan PPh.

b. Perkembangan Dana Perkreditan

Dana perkreditan yang terdiri atas giro, deposito ber-jangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita IV se-makin meningkat. Perkembangan dana dalam Repelita I menunjuk-kan kenaikan rata-rata 53,1% setiap tahun sehingga mencapai Rp. 864,8 milyar pada akhir Repelita I. Kenaikan tersebut terjadi pada giro, deposito dan tabungan sehingga jumlahnya masing-masing menjadi Rp. 426,8 milyar, Rp. 399,5 milyar dan Rp. 38,5 milyar pada tahun 1973/ 74.

Perkembangan dana dalam Repelita II menunjukkan kenaikan rata-rata 30,9% setiap tahun sehingga mencapai Rp. 3.327,8 milyar pada akhir Repelita II. Dalam tahun 1978/79 jumlah giro, deposito dan tabungan telah meningkat masing-masing menjadi Rp.1.791,9 milyar, Rp. 1.330,1 milyar dan Rp. 205,8 milyar.

Perkembangan dana dalam Repelita III menunjukkan kenaikan rata-rata 32,0% setiap tahun sehingga menjadi Rp. 13.337,1 milyar pada tahun 1983/84. Dalam tahun tersebut jumlah giro terus meningkat menjadi Rp. 6.350,4 milyar, sedangkan depo-sito dan tabungan meningkat menjadi Rp. 6.348,8 milyar dan Rp. 637,9 milyar.

Jumlah dana yang dihimpun oleh perbankan sampai dengan tahun pertama Repelita IV mencapai Rp. 16.687,8 milyar. Di-bandingkan dengan posisi pada tahun 1983/84 jumlah tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 25,1%. Komposisi dana perkredit-an mengalami perubahan yaitu giro yang semula merupakan jum-lah yang terbesar dari seluruh dana perkreditan, pada tahun

IV/65

Page 66: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

1984/85 peranam ya menurun, yaitu dari 53,8% pada akhir Repelita II telah menurun menjadi 43,1% pada tahun 1984/85. Penurunan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya minat masyarakat dalam deposito berjangka rupiah karena semakin menariknya suku bunga deposito tersebut.

Perkembangan dana perkreditan selama periode 1968-1984/85 dapat dilihat pada Tabel IV-15.

c. Perkembangan Deposito Berjangka, Tabanas dan Taska serta Tabungan lainnya

Dari jumlah dana perkreditan, maka jumlah deposito ber-jangka rupiah perbankan merupakan komponen terbesar. Perkem-bangan deposito. berjangka rupiah ini, yang telah dirintis oleh program deposito berjangka Inpres No. 28 Tahun 1968, me-rupakan hasil dari usaha stabilisasi yang telah memulihkan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada mata uang ru-piah dan pada lembaga perbankan pada umumnya.

Jika jumlah deposito berjangka rupiah perbankan pada ta-hun 1968 baru mencapai Rp. 12,0 milyar, maka pada akhir Repe-lita I, II dan III, meningkat dengan pesat menjadi berturut-turut Rp. 250,5 milyar, Rp. 946,4 milyar dan Rp. 4.912,6 mil-yar. Pada tahun pertama realisasi Repelita IV, jumlah terse-but mencapai Rp. 6.544,6 milyar, suatu peningkatan cukup besar 33,2% terhadap realisasi tahun terakhir Repelita III.

Dilihat dari segi kelompok bank, deposito rupiah yang di-himpun bank pemerintah dalam tahun 1984/85 meningkat dengan 28,9%, bank swasta nasional naik 48,4%, sedangkan yang dihim-pun bank asing hanya naik sebesar 23,8%. Bila dilihat dari jangka waktunya, peningkatan deposito rupiah yang berjangka wait-hi 12 bulan memegang peranan yang terbesar yaitu 42,4% kemudian menyusul deposito 6 bulan yaitu 17,9%. Pergeseran dalam komposisi deposito rupiah perbankan menurut jangka wak-tunya berhubungan erat dengan berbagai langkah untuk terus mengusahakan tingkat suku bunga deposito yang realistis, khu-susnya langkah kebijaksanaan yang ditempuh pada bulan Juni tahun 1983.

Tabungan yang terdiri dari Tabanas, Taska dan tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) serta tabungan lainnya meningkat de-ngan cukup menggembirakan. Tabungan tersebut yang pada tahun 1968 berjumlah Rp. 1,4 milyar meningkat menjadi Rp. 38,5 milyar pada akhir Repelita I. Selanjutnya, tabungan tersebut

IV/66

Page 67: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 15PERKEMBANGAN DANA PERKREDITAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING 1)

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

IV/67

Page 68: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

meningkat menjadi Rp. 205,8 milyar pada akhir Repelita II, menjadi Rp. 6.379 milyar pada akhir Repelita III dan menjadi Rp. 774,1 milyar pada akhir Maret 1985.

Usaha pengerahan Tabanas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Nilai Tabanas yang pada 1973/74 sebesar Rp. 36,7 milyar naik menjadi Rp. 200 milyar pada tahun 1978/79, menja-di Rp. 575,6 milyar pada tahun 1983/84 dan menjadi Rp. 699,3 milyar pada tahun 1984/85. Jumlah penabung Tabanas yang pada tahun 1973/74 sebesar 3 juta lebih telah meningkat menjadi kurang lebih 13 juta dalam tahun 1984/85. Adapun bank yang ditunjuk sebagai bank penyelenggara Tabanas/Taska sampai dengan akhir tahun 1984/85 berjumlah 61 bank.

Mengenai Taska sejak dimulainya gerakan tersebut dari ta-hun ke tahun perkembangannya kurang begitu menggembirakan. Nilai Taska dan penabungnya pada akhir 1973/74 masing-masing adalah Rp. 78 juta dan 11.134 penabung, naik menjadi Rp. 566 juta dan 16.893 penabung pada akhir 1984/85.

Di samping Tabanas dan Taska telah pula dilaksanakan ke-bijaksanaan tabungan lainnya yaitu tabungan Ongkos Naik Haji (ONH). Tabungan ONH ini merupakan cicilan setoran untuk ong-kos naik haji. Terhadap setoran tersebut bank memberikan dis-konto (potongan) dengan maksud agar calon jemaah haji menye-tor ONH seawal mungkin. Jumlah tabungan ONH dari tahun ke ta-hun menunjukkan kenaikan yaitu sebesar Rp. 3 milyar dengan 9 ribu jemaah pada tahun 1969/70, Rp. 17 milyar dengan 39 ribu jemaah pada tahun 1973/74, Rp. 54 milyar dengan 70 ribu jemaah pada tahun 1978/79, Rp. 106 milyar dengan 51 ribu jemaah pada tahun 1982/83, Rp. 144 milyar dengan 47 ribu jemaah pada tahun 1983/84 dan Rp. 107 milyar dengan 35 ribu jemaah pada tahun 1984/85.

Perkembangan deposito berjangka rupiah perbankan dalam periode 1968-1984/85 dapat diikuti pada Tabel IV-16, Grafik IV-12 sedangkan perkembangan Tabanas dan Taska dalam periode tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-17.

d. Perkembangan Sertifikat Deposito

Perkembangan jumlah sertifikat deposito dari tahun ke ta-hun juga menunjukkan peningkatan. Sertifikat deposito yang pada akhir Repelita I meliputi jumlah Rp. 56,8 milyar telah meningkat menjadi Rp. 444,8 milyar pada akhir tahun pertama

IV/68

Page 69: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 16

PERKEMBANGAN DEPOSITO RUPIAH PERBANKAN,MENURUT JANGKA WAKTU 1)

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

1 3 6 9 12 18 24 Lain- Kenaik-Persentase

kenaikanbin.2) bin. bin. bin. bin. bin. bin. nya Jumlah

Tahun/ HideoTr iwu lan

1968 0,6 1,1 1,0 1,7 0,2 6,8 0,6 12,0 - -1973/74 11,4 22,3 21,2 - 35,5 5,1 142,3 12,7 250,5 74,5 42,31978/79 80,9 39,9 109,6 0,3 98,1 1,6 612,0 4,0 946,4 42,3 4,71979/80 108,6 54,1 139,2 1,2 103,1 1,3 618,0 12,8 1.038,3 91,9 9,7 -1980/81 180,1 106,1 199,2 3,4 162,7 2,9 721,0 14,0 1,389.4 351,1 33,81981/82 226,2 160,3 229,0 6,9 249,9 1,6 855,0 89,1 1.818,0 428,6 30,91982/83 483,0 255,9 282,2 7,6 334,8 7,9 949,5 86,7 2.407,6 589,6 32,4 -1983/84 1.010,3 631,8 890,6 3,4 1.619,8 9,9 591,2 155,2 4.912,2 2.504,6 104,0 -

Triwulan ITriwulan I ITriwulan I I ITriwulan IV1984/85 1.100,9 955,0 1.171.3 6,2 2.778,0 3,5 379,1 150,6 6.544,6 1.632,4 33,2 -

April 1.076,1 680,4 991,0 2,5 1.737,7 9,4 569,3 115,7 5.181,7 269,5 - 5,5M e I 1.078,2 806,1 1.006,8 2,9 1.786,3 9,1 518,7 119,7 5.327,8 146,1 - 2,8Juni 831,6 821,3 1.166,6 2,4 1.980,3 8,6 480,5 107,5 5.398,8 71,0 9,9 1,3Juli 869,5 748,7 1.183,6 5,2 2.128,1 7,9 450,4 114,5 5.507,9 109,1 - 2,0Agustus 806,0 803,5 1.222,2 6,7 2.261,2 7,9 418,5 114,7 5.640,7 132,8 - 2,4September 832,5 725,2 1.165,1 6,4 2.267,0 5,8 407,5 107,1 5.516,6 -124,1 2,2 2,2

Oktober 966,9 807,8 1.064,8 6,9 2.293.4 3,7 392,8 151,3 5.687,6 171,0 - 3,1Nopember 928,6 822,6 1.100,9 16,1 2.299,9 3,7 386,3 203,9 5.762,0 74,4 - 1,3

Desember 1.061,8 876,5 1.132,2 6,2 2.351.7 3,7 395,9 194,0 6.200,0 260,0 9,2 4,5Januari 1.058,5 936,2 1.115,1 6,5 2.603,2 3,7 289,5 221,6 6.334.3 312,3 - 5,2Februari 1.067.5 938,9 1.151,5 7,3 2.638.7 3,6 381,3 183,7 6.372,5 38,2 - 0,6

Maret 1.100,9 955,0 1.171,3 6,2 2.778,0 3,5 379,1 150,6 6.544,6 172,1 8,7 2,7

1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan termasuk Dana milik Pemerintah Pusat dan bukan Penduduk2) Termasuk sertifikat deposito3) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji

IV/69

Page 70: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 12PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN,

MENURUT JANGKA WAKTU I)

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

(milyar Rp)

IV/70

Page 71: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 17PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1)

1968 - 1984/85

TABANAS T A S K A J u m l a hAkhir

Triwulan/ Posisi Posisi PosisiBulan Penabung (juta Penabung (juta Penabung (juta

rupiah) rupiah) rupiah)

19681973/74 3.010.760 36.773 11.134 78 3.021.894 36.8111978/79 7.600.382 199.954 6.296 117 7.606.678 200.0711979 7.996.389 212.560 5.880 112 8.002.269 212.6721979/80 8.296.854 237.357 5.544 118 8.302.398 237.4751980 8.828.909 291.731 5.428 122 8.834.337 291.8531980/81 9.021.750 321.382 5.698 133 9.027.448 321.5151981 9.480.647 384.255 12.704 168 9.493.351 384.4231981/82 9.589.604 399.545 17.002 227 9.606.606 399.7721982 9.952.239 445.845 16.134 307 9.968.373 446.1521982/83 10.186.110 483.488 16.532 303 10.202.642 483.7911983 11.003.630 532.344 15.716 331 11.019.346 532.6751983/84 11.474.295 575.672 17.263 357 11.491.558 576.029Triwulan I 10.228.296 460.680 14.213 317 10.242.509 460.997Triwulan II 10.572.736 483.921 15.546 366 10.588.282 484.287Triwulan III 11.003.630 532.344 15.716 331 11.019.346 532.675Triwulan IV 11.474.295 575.672 17.263 357 11.491.558 576.0291984 12.424.913 669.598 16.362 452 12.441.275 670.0501984/85 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878April 11.544.991 584.853 15.984 343 11.560.975 585.196Mei 11.630.381 580.701 16.400 357 11.646.781 581.058Juni 11.054.840 581.050 19.301 1.296 11.074.141 582.346Juli 11.703.524 584.454 18.853 669 11.722.377 585.123Agustus 11.841.293 589.484 18.280 668 11.859.573 590.152September 12.032.517 592.633 17.628 659 12.050.145 593.292Oktober 12.227.322 612.971 17.093 564 12.244.415 613.535November 12.359.176 632.624 17.265 459 12.376.441 633.083Desember 12.424.913 669.598 16.362 452 12.441.275 670.050Januari 11.917.717 666.306 15.690 403 11.933.407 666.709Februari 12.660.529 697.269 14.543 360 12.675.072 697.629

Maret 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878

1). Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-Bank Umum Pemerintah, Bank Tabungandan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA. Program TABANAS/TASKA ini dimulai penyelenggaraannya dalam tahun 1971.

IV/71

Page 72: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Repelita IV. Perkembangan sertifikat deposito dapat diikuti pada Tabel IV-18.

4. Perkreditan

a. Kebijaksanaan Perkreditan

Setelah stabilitas ekonomi dapat diciptakan lewat berba-gai upaya dalam program stabilisasi dan rehabilitasi, mulai dilaksanakan program pembangunan dan mengambil langkah-lang-kah yang penting dalam kebijaksanaan kredit dengan melakukan alokasi dana sebaik-baiknya guna menunjang pembangunan nasio-nal. Kebijaksanaan kredit tersebut diarahkan kepada usaha un-tuk mendorong kegiatan produksi pangan, produksi barang-ba-rang ekspor dan distribusi 9 jenis bahan pokok. Untuk kelan-caran program tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit li-kuiditas kepada bank-bank umum untuk pembiayaan sektor-sektor prioritas dengan tetap memperhatikan kestabilan moneter.

Selain itu dalam usaha menunjang peningkatan produksi dan investasi sejak awal Repelita I bank-bank umum dapat memberi-kan kredit investasi jangka menengah/panjang untuk pembangun-an pabrik-pabrik baru, modernisasi dan rehabilitasi peralatan produksi yang telah ada, atau dapat pula untuk pembayaran im-por barang-barang modal. Untuk kredit investasi ini Bank In-donesia menyediakan kredit likuiditas dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah. Sejalan dengan meningkatnya per-tumbuhan ekonomi, sektor perbankan terus meningkatkan usaha-nya untuk mempermudah dan memperlancar pemberian kredit in-vestasi. Di samping itu terhadap kredit untuk keperluan modal kerja telah diadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyederha-naan yang bertujuan untuk memperlancar produksi barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam pada itu untuk memberikan kesempatan usaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah serta untuk membuka kesempatan kerja yang lebih besar, sejak Mei 1973 kredit in-vestasi digolongkan menjadi 4 kelompok. Pengelompokan ter-sebut didasarkan pada jumlah pinjaman dan besarnya pembiayaan sendiri. Untuk lebih meningkatkan kegiatan golongan ekonomi lemah, sejak akhir Desember 1973 bank-bank pemerintah membe-rikan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dengan persyaratan yang lebih ringan. Pinjam-an KIK dan KMKP yang dilaksanakan dibeberapa daerah di Indo-nesia dimaksudkan pula untuk menggali potensi ekonomi yang ada di daerah masing-masing. Di samping itu dalam usaha me-

IV/72

Page 73: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV- 18

PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK-BANK,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

Periode Penjualan Pelunasan DalamPeredaran

1968 - - -

1973/74 110,1 61,9 56,8

1978/79 174,1 201,9 29,8

1979/80 93,5 76,5 46,8

1980/81 295,0 259,3 82,51981/82 373,2 381,7 74,0

1982/83 319,8 291,7 102,1

1983/84 1.766,0 1.491,8 376,3April - Juni 269,2 126,8 244,5Juli - September 239,4 25,4 229,5

Oktober - Desember 656,9 512,7 373,7

Januari - Maret 600,5 597,9 376,3

1984/85 1.532,5 1.464,0 444,8April 339,6 289,7 426,2

Mei 113,3 208,8 330,7

Juni 79,8 108,7 301,8

Juli 77,0 119,0 259,8

Agustus 47,7 56,7 250,8

September 78,3 105,1 224,0

Oktober 53,0 153,2 123,8

November 50,0 45,9 127,9

Desember 51,3 48,8 130,4

Januari 140,1 29,6 240,9

Februari 218,0 62,0 396,9

Maret 284,4 236,5 444,8

1) Termasuk sertifikat deposito antar bank

IV/73

Page 74: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

ningkatkan peranan bank-bank swasta nasional dalam pemberian kredit sejak Mei 1973 disediakan pula bantuan kredit likuidi-tas kepada bank-bank tersebut.

Mengingat bahwa menjelang akhir pelaksanaan Repelita I terdapat gangguan terhadap kestabilan moneter, maka untuk me-nanggulanginya telah dikeluarkan serangkaian tindakan fiskal dan moneter, antara lain meninjau kembali kebijaksanaan pem-berian kredit. Dalam rangka ini, sejak April 1974 dilaksana-kan program stabilisasi dengan cara antara lain menaikkan suku bunga kredit secara selektif dan mempertahankan suku bunga kredit untuk kegiatan berprioritas tinggi, seperti kre-dit Bimas, KIK dan KMKP.

Kebijaksanaan kredit dalam Repelita II diarahkan untuk mendorong peningkatan kesempatan kerja, pengembangan usaha golongan ekonomi lemah dan peningkatan produksi barang-barang ekspor, di samping pemberian kredit untuk pengadaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya seperti terigu dan gula yang di-kelola Bulog. Dalam pada itu guna meningkatkan produksi ba-rang ekspor, khususnya barang-barang ekspor tradisional, di-sediakan pula kredit investasi kepada petani kecil serta un-tuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE) bagi tanaman karat, kelapa, kopi, lada, teh dan co-klat, dengan persyaratan yang lebih ringan dibanding kredit investasi biasa. Untuk mengembangkan usaha kecil dipedesaan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat, disediakan Kredit Mini dan Kredit Midi serta Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan persyaratan yang cukup ringan.

Dalam Repelita III kebijaksanaan kredit perbankan tetap diarahkan untuk memperluas kesempatan kerja, perbaikan pela-yanan masyarakat serta perbaikan fasilitas kesehatan dan pen-didikan. Dengan timbulnya dampak negatif kelesuan ekonomi du-nia terhadap perekonomian Indonesia, maka pada bulan Juni 1983 Pemerintah memandang perlu mengadakan deregulasi keten-tuan perbankan. Maksud dari pada ketentuan tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bank-bank dalam menjalankan fungsinya mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya lewat pemberian pinjaman.

Kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 mengelompokkan kredit dalam kredit yang berprioritas tinggi dan kredit yang tidak berprioritas tinggi. Bagi kredit yang berprioritas tinggi Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan kredit kepada nasabahnya. Adapun persyaratan dan suku bunga kredit yang tidak berprioritas

IV/74

Page 75: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

tinggi ditentukan sendiri oleh masing-masing bank dengan pen-danaan yang seluruhnya berasal dari bank yang bersangkutan.

Seluruh jenis kredit yang berprioritas tinggi merupakan kredit yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi barang kebutuhan pokok, angkutan, jasa-jasa serta pendidikan. Kredit modal kerja meliputi kredit Bimas, KMKP, produksi dan impor pupuk untuk Bimas, kredit koperasi dan kredit ekspor. Sedangkan kredit investasi terdiri dari kredit investasi sam-pai dengan Rp. 75 juta, KIK, kredit koperasi serta kredit in-vestasi yang mendorong program Pemerintah seperti kredit Per-kebunan Inti Rakyat (PIR), kredit untuk Peremajaan, Rehabili-tasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan kredit kepada Perkebunan Swasta Nasional. Kredit lainnya terdiri dari kre-dit untuk pemilikan rumah, dan kredit untuk Asrama Mahasiswa. Untuk jenis-jenis kredit tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas antara 70% - 100% dengan suku bunga 3 % se-tahun, sedangkan suku bunga kepada nasabah adalah 12% setahun kacuali untuk kredit ekspor 9%, KPR (5% - 9%), KMI (6%) dan kredit Asrama Mahasiswa 5% .

Dalam hal bank-bank umum mengalami kesulitan dalam penge-lolaan dana ataupun dalam pemberian kreditnya, Bank Indonesia menyediakan pula fasilitas diskonto dengan cara pembelian promes yang diterbitkan oleh bank-bank. Dengan demikian bank-bank umum akan dapat meningkatkan kreditnya dengan cara-cara yang lebih sehat dan tidak lagi tergantung pada kredit likui-ditas Bank Indonesia.

Perkembangan ekonomi dalam tahun 1984/85, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita IV menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan berkat adanya langkah-langkah kebijaksa-naan di sektor keuangan negara dan moneter. Kebijaksanaan kredit dalam tahun 1984/85 pada dasarnya melanjutkan kebijak-sanaan pengarahan kepada usaha-usaha untuk meningkatkan pro-duksi dalam negeri terutama pengembangan golongan ekonomi lemah, produksi barang-barang ekspor bukan migas dengan mem-perhatikan pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, neraca pembayaran serta untuk kestabilan harga. Dalam usaha memberi-kan kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan eko-nomi lemah, bank-bank umum dengan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia mendorong kegiatan-kegiatan berprioritas ting-gi, memberikan bantuan permodalan pada koperasi dan menetap-kan persyaratan kredit yang lebih ringan kepada nasabah KIK/-KMKP. Selain itu kepada bank-bank umum didorong untuk mening-katkan pemberian kredit dengan cara menerbitkan atau memper-dagangkan surat berharga pasar uang (SBPU).

IV/75

Page 76: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

b. Jumlah dan arah penggunaan kredit

Dalam Repelita I jumlah kredit meningkat dengan rata-rata 55% setahun sehingga mencapai Rp. 1.213 milyar dalam tahun 1973/74. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun pertama Repelita I terutama untuk menampung kenaikan pemberian kredit untuk sektor produksi dan perdagangan. Kredit tersebut digu-nakan untuk membiayai produksi dan perdagangan 9 bahan kebu-tuhan pokok, pupuk dan ekspor.

Dalam periode Repelita jumlah kredit naik dengan rata- rata 36% setahun sehingga mencapai Rp. 5.674 milyar pada akhir Maret 1979. Lebih rendahnya kenaikan kredit dalam Repe-lita II dibanding Repelita I merupakan kelanjutan dari kebi-jaksanaan stabilisasi bulan April 1974 yang dilaksanakan sam-pai akhir Repelita II. Dalam kebijaksanaan tersebut diusaha-kan agar ekspansi moneter karena pemberian kredit tidak akan mengganggu kestabilan harga.

Dilihat dari kelompok bank, pinjaman Bank-bank Umum Peme-rintah merupakan bagian yang terbesar dari keseluruhan kre-dit, namun peranannya menurun dari 72,7% pada akhir Repelita I menjadi 53,2% pada akhir Repelita II. Peranan kredit Bank Swasta Nasional hampir tidak berubah, yaitu sekitar 6%, Bank Asing 5% sedangkan kredit langsung Bank Indonesia meningkat dari 11,1% menjadi 34,7%. Peningkatan kredit langsung Bank Indonesia tersebut erat kaitannya dengan kredit dalam rangka pembiayaan pengadaan pangan nasional dan kredit kepada PN Pertamina.

Dalam Repelita III, jumlah kredit naik dengan rata-rata 23% setahun. Tingkat pertambahan kredit tersebut mulai melam-bat dalam tahun 1982/83, berkaitan erat dengan kelesuan eko-nomi Indonesia, yang mulai merasakan akibat resesi dunia. Dengan pelaksanaan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, pertam-bahan kredit dalam tahun 1983/84 tidak banyak mengalami penu-runan, karena meningkatnya dana yang dapat dikumpulkan per-bankan. Dalam tahun 1981/82 terdapat kecenderungan bahwa kre-dit yang diberikan oleh bank-bank umum swasta nasional me-ningkat lebih cepat dibanding bank-bank umum pemerintah, ka-rena kemampuan bank-bank swasta nasional dalam pengumpulan dana yang semakin meningkat. Di lain pihak ketergantungan bank-bank umum pemerintah kepada kredit likuiditas Bank Indo-nesia secara berangsur-angsur semakin berkurang.

Pinjaman perbankan pada akhir tahun 1984/85 berjumlah Rp. 19.336 milyar yang berarti naik 19,8% dibanding kenaikan

IV/76

Page 77: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

17,7% dalam tahun 1983/84. Peningkatan pinjaman tersebut ter-utama nampak pada sektor jasa-jasa, perindustrian dan per-dagangan. Kenaikan kredit di sektor jasa-jasa adalah untuk membiayai jasa-jasa konstruksi, jasa-jasa dunia usaha, penye-diaan air bersih dan angkutan. Di bidang perindustrian pe-ningkatan kredit terutama untuk industri barang-barang logam, mesin-mesin dan peralatan, industri kertas dan percetakan, industri pengelolaan bahan-bahan kimia, industri tekstil, sandang dan kulit serta industri kayu dan hasil-hasilnya. Se-dangkan kenaikan kredit pada sektor perdagangan meliputi per-dagangan ekspor dan produksi barang ekspor, pengumpulan dan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, serta perdagangan eceran.

Dilihat dari sektor perbankan kredit bank-bank umum Peme-rintah naik 31,5% sehingga mencapai Rp. 13.522 milyar dalam tahun 1984/86. Dalam kenaikan tersebut telah termasuk penga-lihan kredit Bank Indonesia dalam rangka pengadaan pangan na-sional. Apabila tidak diperhitungkan pengalihan kredit ter-sebut, maka kredit oleh bank-bank umum pemerintah meningkat dengan 18,4% dibandingkan dengan 16,1% pada tahun sebelumnya. Kredit dalam rupiah bank-bank umum pemerintah naik dengan 40,0% dibandingkan dengan 16,4% dalam tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan semakin meningkatnya peranan bank-bank umum pemerintah dalam usaha pemberian kredit dengan dana yang ber-asal dari masyarakat.

Pada akhir tahun 1984/85 kredit Bank-bank Umum Swasta Na-sional dan Bank Pembangunan Daerah mencapai Rp. 3.814 milyar atau naik dengan 47,7%. Angka ini hampir tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 1982/83 (48,4%) dan 1983/ 84 (49,7%). Adapun kredit bank asing dalam tahun 1984/85 naik dengan 8,7%.

Peranan kredit bank-bank umum Pemerintah sejak tahun 1982/83 senantiasa meningkat hingga mencapai 70,0% dari kese-luruhan kredit pada tahun 1984/85. Dalam periode yang sama kredit bank umum swasta nasional meningkat dari 12,6% menjadi 19,7%. Sedangkan kredit bank asing hampir tidak mengalami perubahan yakni sekitar 6% dari jumlah kredit. Dapat ditam-bahkan bahwa kredit prioritas bank-bank umum dalam tahun 1984/85 mengalami kenaikan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan kredit tersebut terutama terjadi pada kredit untuk ekspor dan kredit investasi untuk pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan PRPTE. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dan sektor ekonomi da-

IV/77

Page 78: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

pat dilihat pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20, serta Grafik IV-13.

c. Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit Mini/Midi, Kredit Candak Kulak, Kredit Umum Pedesaan dan Kredit Peru-mahan Rakyat.

Program kredit investasi mulai diberikan oleh bank-bank Pemerintah sejak 1 April 1969, waktu dimulainya pelaksanaan Repelita I. Sumber pembiayaan kredit investasi terdiri dari kredit likuiditas dari Bank Indonesia, dana anggaran pemba-ngunan dan dana sendiri bank-bank Pemerintah.

Selanjutnya pemberian kredit investasi lebih diarahkan untuk mendorong kegiatan usaha golongan ekonomi lemah dan ke-giatan yang bersifat padat karya. Untuk itu kredit investasi digolongkan menjadi 4 golongan : golongan I sampai dengan Rp.25 juta; golongan II di atas Rp. 25 juta s/d Rp.100 juta; golongan III di atas Rp.100 juta s/d Rp.300 juta; golongan IV di atas Rp. 300 juta s/d Rp. 1 milyar.

Kemudian berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pe-laksanaan pemberian kredit investasi, baik melalui penyempur-naan ketentuan kredit, penyederhanaan tatacara pemberian kre-dit ataupun keringanan persyaratannya. Dalam tahun 1977/78 persyaratan jangka waktu pelunasan yang, semula maksimum 5 tahun dengan masa tenggang 2 tahun diperpanjang menjadi 10 tahun dan masa tenggang 4 tahun. Selanjutnya jumlah maksimum kredit investasi dinaikkan menjadi Rp.75 juta, Rp.300 juta, Rp.500 juta dan Rp.1.500 juta masing-masing untuk golongan I s/d IV. Untuk kredit di atas Rp.1.500 juta dan/atau kredit berjangka waktu lebih dari 10 tahun hanya dapat diberikan oleh Bapindo. Jangka waktu paling lama untuk semua jenis pin-jaman adalah 15 tahun dengan masa tenggang maksimum 6 tahun.

Kebijaksanaan kredit investasi sejak tahun 1978 hingga tahun 1984/85 antara lain menyangkut penyediaan fasilitas kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah pinjaman s/d Rp.75 juta dan pemberian kredit investasi untuk proyek yang dibiayai dengan APBN (Keppres 14A). Selain itu diadakan lagi penyesuaian dalam jumlah maksimum kredit investasi yang semula ditetapkan Rp.1.500 juta dinaikkan menjadi Rp.2.500 juta, sedangkan untuk kredit di atas Rp.2.500 juta hanya dapat diberikan oleh Bapindo.

Pemberian kredit investasi selama Repelita I sampai dengan

IV/78

Page 79: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 19PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN,

1968 - 1984/85(dalam milyar rupiah)

AkhirTahun/Triwulan/

Bulan

BankIndonesia

Bank-bank2)

Pemerintah

Bank-bankSwastaNasional

Bank-bankAsing/Campuran Jumlah Kenaikan

Persentase Kenaikan

Tahun/Triwulan

Bulan

1 9 6 8 61 56 8 1 126

1973/74(Akhir Repelita I)

135 882 72 124 1.213

1978/79(Akhir Repelita II)

1.969 3.021 387 297 5.674 +1.5993) +39,2

1979/804) 2.009 3.441 532 345 6.327 +653 +11,5

1980/81 2.314 4.620 785 435 8.154 +1.827 +28,9

1981/82 2.632 6.353 1.163 587 10.735 +2.581 +31,6

1982/835) 2.388 8.854 1.726 737 13.705 +2.970 +27,7

1983/84(Akhir Repelita III)

2.292 10.283 2.583 977 16.135 +2.430 +17,7

Triwulan I 2.293 9.062 1.784 661 13.800 +95 +0,7Triwulan II 2.362 9.542 1.966 735 14.605 +805 +5,8Triwulan III 2.356 9.787 2.294 862 15.299 +694 +4,8Triwulan IV 2.292 10.283 2.583 977 16.135 +836 +5,5

1984/85 938 13.522 3.814 1.062 19.336 3.201 +19,8April 1.084 11.512 2.701 981 16.278 +143 +0,9

N e 1 1.081 11.782 2.808 1.004 16.675 +397 +2,4',J u n i 895 12.107 2.917 1.039 16.958 +283 +5,1 +1,7

J u 1 i 923 12.293 3.039 1.030 17.285 +327 +1,9

Agustus 938 12.644 3.177 1.068 17.827 +542 +3,1September 906 12.773 3.269 1.095 18.043 +216 +6,4 +1,2

Oktober 925 12.984 3.379 1.058 18.346 +303 +1,7November 834 13.243 3.484 1.070 18.631 +285 +1,6Desember 870 13.345 3.552 1.046 18.813 +182 +4,3 +1,0

Januari 874 13.448 3.594 1.062 18.978 +165 +0,9

Februari 909 13.395 3.683 1.051 19.038 +60 +0,3

Maret 938 13.522 3.814 1.062 19.336 +298 +2,6 +1,6

1) Kredit dale. rupiah, maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi,KIK den KMKP tetapi tidak termasuk kredit antar bank aorta kreditkepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek

2) Termasuk kredit yang dibiayai oleh kredit likuiditas Bank Indonesia3) Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US $ 1,-4) Sejak akhir Desember 1979 untuk kredit di luar Bank Indonesia, tidak termasuk bunga

dalam penyelesaian yang belum diperhitungkan dalam laba/rugi5) Termasuk kenaikan karma perubahan kurs dari Rp. 702,5 menjadi Rp. 970,- per US$ 1,-

IV/79

Page 80: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 20

PERKEMBANGAN KREDIT1) MENURUT SEKTOR EKONOMI,1968 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

Persentase KenaikanAkhir

Tahun/Triwulan/Bulan

Produkai2) Perdagangan3) Lain-lain4)Jumlah Kenaikan( % )

TahunTriwulan Bulan

1968 55 71 126 - -

1973/74(Akhir Repelita I)

457 421 335 1.213

1978/795)

(Akhir Repelita II)2.172 1.153 2.349 5.674 +1.599 +39,2

1979/805) 6) 2.548 1.249 2.530 6.327 +653 +11,5

1980/81 2.977 2.026 3.151 8.154 +1.827 +28,9

1981/82 3.930 3.263 3.542 10.735 +2.581 +31,6

1982/837) 5.832 4.135 3.738 13.705 +2.970 +27,7

1983/84(Akhir Repelita III)

7.115 5.297 3.723 16.135 +2.430 +17,7

Triwulan I 5.966 4.187 3.647 13.800 +95 +0,7

Triwulan II 6.117 4.800 3.688 14.605 +805 +5,8

Triwulan III 6.519 5.132 3.648 15.299 +694 +4,8Triwulan IV 7.115 5.297 3.723 16.135 +836 +5,5

1984/85 8.613 6.204 4.519 19.336 3.201 +19,8

April 7.182 5.359 3.737 16.278 +143 +0,9

M e i 7.443 5.651 3.581 16.675 +397 +2,4

J u n 1 7.443 5.888 3.627 16.958 +283 +5,1 +1,7

J u 1 i 7.436 6.132 3.717 17.285 +327 +1,9

Agustus 7.561 6.450 3.816 17.827 +542 +3,1

September 7.745 6.227 4.071 18.043 +216 +6,4 +1,2

Oktober 7.908 6.206 4.232 18.346 +303 *1,7Nopember 8.109 6.334 4.188 18.631 *285 +1,6

December 8.210 6.334 4.269 18.813 +182 +4,3 +1,0

Januari 8.391 6.309 4.278 18.978 +165 +0,9Februari 8.401 6.235 4.402 19.038 +60 +0,3

Maret 8.613 6.204 4.519 19.336 +298 +2,6 +1,6

1) Kredit dalam rupiah maupun valuta acing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar bank Serta kredit kepada Pemerintah Neat dan bukan penduduk Serta nilai lawan bantuan proyek

2) Termasuk produksi barang-barang hasil pertanian, pertambangan (kecuali PN. Pertamina) dan Perindustrian

3) Terdiri dari kredit ekspor, kredit impor den kredit. perdagangan dalam negeri

4) Terdiri dari kredit untuk PN. Pertamina, jasa-jasa dan lain-lain5) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp 415,- menjadi

Rp.625,- per us $ 1,- sejak 15 November 19786) Sejak akhir December 1979 tidak termasuk bunga dalam penyelesaian

yang dibebankan dalam pinjaman7) Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,50 per

US$ 1,- menjadi Rp. 970,- sejak 30 Maret 1983

IV/80

Page 81: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV – 13 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR EKONOMI,

1968 - 1984/85

(milyar Rp.)

IV/81

Page 82: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

tahun pertama Repelita IV dapat dilihat pada Tabel IV-21, Grafik IV-14.

Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan jumlah kredit investasi baik realisasi maupun persetujuannya. Reali-sasi kredit investasi tahun 1973/74 adalah Rp.119 milyar, me-ningkat menjadi Rp.665 milyar tahun 1978/79, menjadi Rp.2.367 milyar tahun 1982/83, menjadi Rp.2.912 milyar tahun 1983/84 dan Rp.3.902 milyar dalam tahun 1984/85. Adapun jumlah kredit investasi yang disetujui juga meningkat dari Rp.175 milyar dalam tahun 1973/74, menjadi Rp.4.955 milyar pada tahun 1984/ 85.

Perkembangan KIK, KMKP, Kredit Mini, Kredit Midi, KCK, KUPEDES dapat diikuti pada Tabel IV - 22, Grafik IV-15, Tabel IV-23, Tabel IV-24 dan Tabel IV-25.

Jumlah pemberian KIK selama periode 1973/74 - 1982/83 se-nantiasa mengalami peningkatan, yaitu dari Rp.5 milyar menjadi Rp.68 milyar dan Rp.414 milyar. Dalam tahun 1983/84 dan 1984/85 posisi KIK menurun menjadi Rp.387 milyar dan Rp 349 milyar. Turunnya pemberian KIK tersebut erat kaitannya dengan masih lesunya gairah kegiatan investasi. Dalam pada itu pem-berian KMKP mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga posisinya yang pada tahun 1973/74 masih sebesar Rp. 3 milyar terus meningkat menjadi Rp.815 milyar tahun 1982/83, kemudian menjadi Rp.867 milyar dan Rp.890 milyar masing-masing untuk tahun 1983/84 dan 1984/85.

Jumlah kredit Mini yang pada tahun 1973/74 baru mencapai Rp.2 milyar telah meningkat menjadi Rp.63 milyar tahun 1982/-83, untuk kemudian menurun menjadi Rp.9 milyar tahun 1984/85. Demikian pula kredit Midi yang pada tahun 1982/83 sebesar Rp.42 milyar menurun menjadi Rp.12 milyar tahun 1984/85. Pe-nurunan tersebut sejalan dengan ditiadakannya kredit Mini dan kredit Midi yang untuk kemudian diganti dengan Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES). Jumlah Kupedes yang baru dimulai pelaksa-naannya telah menunjukkan kenaikan, yaitu dari Rp.31 milyar dalam tahun 1983/84 menjadi Rp.143 milyar tahun 1984/85.

Posisi KCK yang dalam tahun 1978/79 berjumlah Rp.2 milyar telah meningkat menjadi Rp.10 milyar dan Rp.15 milyar masingmasing pada tahun 1983/84 dan 1984/85. KCK yang disalurkan melalui KUD tersebut dimaksudkan untuk membantu pedagang kecil di pasar-pasar. Dalam pada itu jumlah KUD yang menyalurkan KCK telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga mencapai 4.286, pada tahun 1984/85.

IV/82

Page 83: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

.TABEL IV - 21

PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR1969 - 1984/85

EKONOMI,1)

(dalam milyar r6pi8h)2)

AkhirTahun/Triwulan/

Bulan

Kenaikan PersentaseKen4tksa ($)Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Jumlah

Perse-tujuan

Reali- sasi

Perse-tujuan

Reali-sasi

Perse-tujuan

Reali-sasi

Perse-tujuan

Reali-sasi

Perse-tujuan

Reali-asi

Pers.-tujuan

Reali-seal

Perse-tujuan

Reali- sasi

Perse- Reali-Tujuan sasi

Perse-tujuan

Reali-sasi

1969 (Des) 7 4 8 2 2 1 3 1 7 1 - - 27 91973/74 18 10 84 61 1 12 8 50 32 10 7 175 119 *28 *22 *19,0 +22,7(Akhir Repelita I)1978/79 86 56 403 382 10 10 35 33 171 171 3 3 708 655 *104 +126 +17,2 +23,8(Akhir Repelita II)1979/80 92 74 512 432 6 4 42 35 315 301 4 3 971 849 +263 *194 *37,1 +29.6

1980/81 240 116 661 614 15 11 47 38 323 305 4 4 1.290 1.088 *319 +239 +32,8 +28.11981/82 352 217 982 812 43 31 78 62 543 408 3 3 2.001 1.533 *711 *445 +55,1 +40,9

1982/83 641 356 1.669 1.327 53 43 112 91 626 507 15 13 3.116 2.367 +1.115 +834 +55,7 +54,41983/84 787 490 2.001 1.679 59 58 137 92 691 584 9 9 3.684 2.912 +568 +545 +18,2 +23,0(Akhir Repelita III)April 489 395 1.661 1.322 52 44 111 92 846 508 23 23 3.182 2.384 +66 *17 +2,1 +0,7Rai 555 405 1.670 1.335 52 44 108 87 950 553 11 9 3.346 2.433 +164 +49 +5,1 +2,1Joel 612 413 1.806 1.380 52 45 112 93 776 512 5 4 3.363 2.447 +17 +14 *0,5 *0,6Juli ' 629 428 1.817 1.391 52 45 120 102 764 519 6 5 3.388 2.490 *25 *43 +0,7 +1,8Agustus 633 437 1.820 1.417 53 47 123 103 793 530 8 6 3.430 2.540 +42 +50 *1,2 *2,0September 708 434 1.835 1.443 60 52 128 108 746 526 6 6 3.483 2.569 +53 +29 +1,5 +1,1Oktober 720 444 1.870 1.472 52 47 132 115 737 535 7 6 3.518 2.619 *35 +50 +1,0 +1,9Nopember 713 458 1.905 1.519 56 49 126 106 754 539 9 9 3.563 2.680 +45 +61 +1,3 +2,3December 730 474 1.914 1.567 56 48 116 103 747 543 8 8 3.571 2.743 +8 +63 +0,2 +2.3Januari 750 483 1.985 1.619 63 56 132 109 652 554 9 9 3.591 2.830 +20 +87 +0,6 *3.2Februari 714 487 1.982 1.624 63 56 127 104 734 579 9 9 3.629 2.859 +38 +29 +1,1 +1,0Maret 787 490 2.001 1.679 59 58 137 92 691 584 9 9 3.684 2.912 *55 *53 +1,5 +1,8

1984/85 1.219 661 2.392 2.112 202 191 237 181 837 726 68 31 4.955 3.902+1.271 +990 *34,5 +34,0April 810 504 2.006 1.676 59 58 145 107 716 598 9 9 3.745 2.952 +61 *40 +1,7 *1.4Mei 826 517 2.026 1.700 63 62 145 109 700 607 8 7 3.768 3.002 +23 +50 *0,6 +1,7Juni 847 533 2.067 1.760 68 65 151 119 723 631 8 8 3.864 3.116 +96 *114 +2,5 +3,8Dili 871 578 2.084 1.778 66 63 164 124 746 637 13 11 3.944 3.191 *80 *75 +2,1 +2,4Agustus 869 581 2.130 1.849 73 66 158 135 735 649 21 12 3.986 3.292 +42 +101 +1,1 +3,2September 885 582 2.153 1.892 70 67 207 152 788 694 32 22 4.135 3.409 *149 +117 *3.7 +3,6Oktober 778 510 2.240 1.965 80 68 207 154 779 688 63 34 4.147 3.419 +12 +10 +0,3 +0,3Nopember 795 535 2.265 1.974 178 176 204 149 823 717 54 38 4.319 3.589 +172 +170 +4,1 +5,0December 804 550 2.294 2.025 179 178 221 152 804 717 41 26 4.343 3.648 +24 +59 +0,6 +1,6Januari 1.026 583 2.332 2.054 178 177 228 173 842 727 61 28 4.667 3.742 +324 *94 +7,5 *2.6Februari 1.099 648 2.298 2.034 186 177 242 183 813 708 68 38 4.706 3.788 *39 +46 +0,8 *1.2Maret 1.219 661 2.392 2.112 202 191 237 181 837 726 68 31 4.955 3.902 +249 +114 *5.3 +3.0

1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman Investasi dalam rangka bantuan proyek

Page 84: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber
Page 85: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV –14PERKEMBANGAN JUMLAH PERSETUJUAN DAN REALISASI KREDIT INVESTASI

1969 – 1984/85

(Miyar Rp.)

IV/84

Page 86: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 22

PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1973/74 - 1984/85

(dalam milyar rupiah)

Kredit Investasi Kecil Kredit Modal Kerja PermanenAkhir

Tahun/Triwulan/Bulan

permohonanyang

disetujui(dalam

ribuan)

permohonanyangdisetujui

PosisiKredit

permohonanyangdisetujui(dalamribuan)

permohonanyangdisetujui

PosisiKredit

( milyar rupiah ) ( milyar rupiah )

1973/74 5 6 4 3 4 31978/79 57 113 68 438 188 931 9 7 9 72 163 99 644 305 1541979/80 79 190 118 664 349 1811 9 8 0 115 314 210 890 569 3211980/81 125 366 249 953 656 3841 9 8 1 167 528 353 1.242 1.062 6351981/82 176 571 374 1.298 1.178 7041 9 8 2 200 685 405 1.423 1.454 7911982/83 213 723 414 1.486 1.542 8151 9 8 3 225 799 393 1.592 1.798 8581983/84 228 825 387 1.621 1.861 867

Juni 218 749 409 1.531 1.627 845September 222 778 411 1.553 1.697 872Desember 225 799 393 1.592 1.798 858Maret 228 825 387 1.621 1.861 867

1 9 8 4 241 898 557 1.749 2.136 8711984/85 243 922 349 1.848 2.284 890

April 229 835 385 1.627 1.888 858M e i 230 847 383 1.647 1.938 869J u n i 231 882 380 1.658 1.961 865J u 1 i 232 895 380 1.671 1.998 891Agustus 233 860 378 1.701 2.022 883September 238 872 376 1.718 2.073 886Oktober 236 877 371 1.719 2.081 873Nopember 244 902 368 1.755 2.159 884Desember 241 898 357 1.749 2.136 871Januari 240 900 356 1.746 2.201 881Februari 241 911 353 1.771 2.242 880M a r e t 243 922 349 1.848 2.284 890

IV/85

Page 87: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV – 15

PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA DAN KREDIT MINI 1973/74 – 1984/85

IV/86

Page 88: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 23PERKEMBANGAN KREDIT MINI,1)

1974/75 - 1984/85

00

IV/87

Page 89: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV – 24

PERKEMBANGAN KREDIT MIDI,1)1980/81 - 1984/85

AkhirTahun/Triwulan/

Sulam

Baki Debet Nasabah(dalam ribuan)(dalam milyar rupiah)

Investasi Eksploitasi Jumlah Investasi Eksploitasi Jumlah

1980/81 1,1 7,0 8,1 2,8 18,0 20,8

1 9 8 1 3,4 21,2 24,6 9,2 65,2 74,4

1981/82 3,6 24,3 27,9 10,2 77,6 87,8

1982/83 5,0 36,8 41,8 16,9 128,6 145,5

J u n i 3,9 27,3 31,2 11,8 91,3 103,1

September 4,5 29,4 33,9 14,7 102,3 117,0

Desember 4;6 32,0 36,6 15,0 114,8 129,8

M a r e t 5,0 36,8 41,8 16,9 128,6 145,5

1983/84 4,3 29,7 34,0 21,3 125,3 146,6

J u n i 4,9 39,4 44,3 16,4 140,8 157,2

September 4,9 38,4 43,3 16,2 141,1 157,3

Desember 4,9 38,3 43,2 16,8 143,9 160,7

M a r e t 4,3 29,7 34,0 21,3 125,3 146,6

1984/85 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2

April 4,0 27,4 31,4 14,9 116,3 131,2

M e i 3,8 25,2 29,0 13,6 108,9 122,5

J u n i 3,6 23,5 27,1 13,4 104,1 117,5

J u 1 i 3,4 21,6 25,0 12,8 99,5 112,3

Agustus 3,3 19,5 22,8 12,4 92,9 105,7

September 3,1 17,9 21,0 12,2 86,8 99,0

Oktober 3,0 16,1 19,1 11,9 78,1 90,0

Nopember 2,8 14,7 17,5 11,4 74,2 85,6

Desember 2,7 13,2 15,9 11,2 67,4 78,6

Januari 2,5 12,2 14,7 10,3 63,6 73,9

Februari 2,4 11,2 13,6 10,1 58,8 68,9

M a r e t 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2

1) Kredit Midi diberikan mulai bulan Juli 1980

IV/88

Page 90: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 25KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES)1)

(dalam milyar rupiah)

Investasi Eksploitasi Jumlah

1984 :

Januari 0,3 2,6 2,9

Februari 0,6 11,6 12,2

Maret 0,6 30,1 30,7

April 1,5 43,9 45,4

M e i 1,2 57,4 58,6

J u it i 1,7 66,4 68,1

J u 1 i 2,2 73,1 75,3

Agustus 2,9 79,8 82,7

September 4,0 84,6 88,6

Oktober 5,0 88,2 93,2

Nopember 6,4 97,1 103,5

December 6,2 104,5 110,7

1985 :

Januari 6,4 111,9 118,3

Februari 6,8 121,6 128,4

Maret 7,2 135,4 142,6

1) Kredit Umum Pedesaan diberikan mulai Januari 1984

IV/89

Page 91: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Pemberian KPR yang disalurkan melalui BTN maupun melalui PT Papan Sejahtera mengalami kenaikan yang cukup menggembira-kan. Jumlah KPR-BTN selama tahun 1978/79 - 1984/85 meningkat dari Rp.6 milyar menjadi Rp.600 milyar, dengan nasabah 196.000. Kenaikan tersebut dikarenakan semakin banyaknya pem-bangunan perumahan di seluruh Indonesia. Demikian pula KPR-PT Papan Sejahtera yang dananya berasal dari perbankan mengalami kenaikan baik nilai maupun jumlah nasabahnya sehingga menca-pai Rp.19 milyar dengan 1.478 nasabah pada tahun 1984/85.

Pemberian kredit untuk pembangunan dan pemugaran pasar (Pasar Inpres) masih senantiasa mengalami peningkatan. Kredit tersebut pada akhir 1984/85 mencapai Rp.100 milyar.

5 . Suku bunga

Sejalan dengan tingginya tingkat inflasi pada tahun-tahun pertama Repelita I, suku bunga kredit yang berlaku pada saat itu relatif tinggi, tercermin pada suku bunga kredit jangka pendek bank-bank pemerintah yang berkisar antara 36% - 72% setahun. Tingkat suku bunga tersebut kemudian menurun hingga mencapai 12% - 36% setahun pada akhir Repelita I. Sejalan de-ngan usaha Pemerintah untuk mendorong investasi diberbagai sektor ekonomi, pada 7 Maret 1969 perbankan menyediakan kre-dit investasi dengan suku bunga yang relatif cukup rendah. Tingkat suku bunga kredit investasi tersebut dalam pelaksana-annya dari tahun ke tahun selalu diselaraskan dengan perkem-bangan moneter dan prioritas bidang-bidang ekonomi yang dite-tapkan oleh Pemerintah.

Selama Repelita II sampai tahun ke 4 Repelita III suku bunga kredit bank-bank pemerintah tidak banyak mengalami per-ubahan, antara lain karena bantuan kredit likuiditas Bank In-donesia yang cukup besar. Suku bunga kredit modal kerja bank pemerintah berkisar antara 9% - 24% dan suku bunga kredit in-vestasi berkisar antara 12% - 15% setahun dalam Repelita II. Dalam Repelita III, suku bunga kredit mengalami penurunan menjadi antara 6% - 21% setahun bagi kredit modal kerja dan antara 10,5% - 13,5% setahun untuk kredit investasi.

Pada bulan-bulan .pertama tahun terakhir Repelita III, perkembangan kredit bank-bank pemerintah jauh menurun diban-dingkan dengan bank-bank swasta nasional dan bank asing. Me-nurunnya pengerahan dana masyarakat dan bantuan kredit likui-ditas Bank Indonesia kepada bank-bank umum pemerintah telah mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lebih

IV/90

Page 92: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

lanjut dengan memberikan kewenangan kepada bank-bank umum pe-merintah dalam penentuan suku bunga deposito dan kredit. De-ngan demikian bank-bank pemerintah dapat lebih didorong untuk mengembangkan pemberian kreditnya sesuai dengan dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Bila pada bulan Maret 1983 suku bunga kredit bank-bank umum pemerintah berkisar antara 6% - 21% setahun dan suku bunga kredit bank swasta nasional berkisar antara 6% - 36%, maka pada akhir Maret 1985 tingkat suku bunganya sedikit meningkat menjadi 15% - 24% bagi kredit bank-bank umum pemerintah, sedangkan kredit bank-bank swasta nasional menjadi sekitar 21% - 43,2% setahun. Suku bunga kre-dit investasi yang semula berkisar antara 10,5% - 13,5% se-tahun pada bulan Maret 1983 ikut pula mengalami perubahan menjadi sekitar 15% - 24% pada akhir Maret 1985. Namun demi-kian untuk kredit yang berprioritas tinggi atau kredit pro-gram Pemerintah seperti kredit ekspor, KIK, KMKP dan kredit untuk golongan ekonomi lemah lainnya ditetapkan suku bunga antara 9% - 12% setahun.

Dalam pada itu sejalan dengan perkembangan ekonomi dan untuk lebih mengikutsertakan peranan golongan ekonomi lemah dalam dunia usaha, pada tanggal 30 Mei 1984 disediakan kredit untuk modal kerja dalam rangka Keppres No. 29/1984 dengan suku bunga 15% setahun. Perkembangan suku bunga dan golongan suku bunga pinjaman menurut sektor ekonomi dalam periods 1972 - 1983 dapat diikuti pada Tabel IV-26.

Dalam usaha mendorong bank-bank umum pemerintah dalam pemberian kredit investasi, serta guna mengatasi kesulitan dana sehari-hari, Bank Indonesia dalam bulan Februari 1984 menyediakan fasilitas diskonto yang dimaksudkan sebagai upaya terakhir bagi bank-bank dalam usahanya memperoleh tambahan dana dari bank sentral sebagai lembaga kreditor terakhir. Apabila pada bulan Februari 1984 suku bunga fasilitas diskon-to berkisar antara 17,5% dan 19,5%, maka pada akhir Maret 1985 suku bunga fasilitas diskonto mengalami perubahan yakni berkisar antara 21% dan 23%.

Suku bunga deposito berjangka bank pemerintah telah ditu-runkan berkali-kali. Penurunan suku bunga tersebut disesuaikan dengan turunnya laju inflasi serta dengan memperhatikan pula keuntungan dan biaya bank di dalam mengelola deposito tersebut. Adapun penetapan suku bunga deposito berjangka ter-sebut dimulai tanggal 1 Oktober 1968 yaitu untuk deposito berjangka kurang dari 3 bulan 18%, 3 bulan 48%, 6 bulan 60% dan 1 tahun 72%. Deposito berjangka tersebut dijamin oleh Pe-

IV/91

Page 93: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL iv – 26PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DAN GOLONGAN SUKU BUNGA PINJAMAN

MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)

1972 - 1983

Page 94: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

IV/92

Page 95: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

(Lanjutan Tabel IV - 26)

Janis Kredit / Pinjaman 31 Mei 1972 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978 31 Mar 1983 1 Juni SetelahNo. Dan 1983 1 Juni 1983

Janie PenggunaannyaG4) S4) G4) 54) G4) S4) G4) S4) G4) 54) S4) 54)

4. Pabrik terigu IIIB 24 IA 12 IA 12 II 12 II 125. Ekspor dan produsen/eksportir IIB/IIIA/ 14/21/24 IIA/ 18/21 IA 12 II 12 97)

a. Sebelum pengapalan I1IS IIB- Ekspor barang-barang kuat II 9- Ekspor barang-barang lainnya

b. Sesudah pengapalan (untuk semuaII 6

jenis barang ekspor)6. Produksi, impor dan penyaluran

II 6

pupuk dan obat hama7. Kredit Perkebunan Swasta Nasional

(PSM)

I 12 IA 12 IA 12 II 12 II 12 128)

8. Kredit kepada koperasi untuk anggota-nya dan untuk pengadaan barang-barang

12

yang berprioritas tinggi 129. Impor dan penyaluran barang-barang

bantuan luar negeri (kecuali pangan) I 12 IA/IIA 12/18 IA/IIA 12/18 II 12 II 1210. Pengumpulan dan penyaluran hasil

pertanian, peternakan dan perikananoleh BUUD/KUD dan koperasi IB '15 1B 15 II 12 II 12

11. Pertanian rakyat dan kerajinan rakyat IIIB 24 IIA 18 IB/IIA 15/18 II 12 II 1212. Peternakan, unggas dan perikanan II/A/IIIB 15/24 IB/

IIA/15/18/ lB/IIA 15/18 II 12 II 12

rakyat I1B 2113. Industri dan jasa-jasa

I1IB 24 IIA 18 IB 15 III 13,5 III 13,5a. Penggilingan padi/hullerb. Gula II1B 24 IIA 18 IB 15 III 13,5 III 13,5c. Minyak kelapa IIIB 24 IIB 21 ILA 18 III 13,5 III 13,5d. Tekstil II12 24 IIA 18 IN 15 III 13,5 III 13,5e. Alat-alat pertanian IIIB 24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5

IV/93

Page 96: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

1 Juni SetelahJanis Kredit / Pinjaman 31 Mei 1972 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978 31 Mar 1983 1983 1 Juni 1983

No. danJanie Penggunaannya

G4) S4) G4) S4) G4) S4) G4) S4) G4) S4) S4) S4)

f. Kertas IIIB 24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5g. Semen IIIB 24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5h. Pengangkutan umum IIIB 24 IIA 15 IB 15 III 13,5 III 13,5i. Percetakan dan penerbitan IIIB 24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5J. Pariwisata IV 24,36 III 24 III 24 III 13,5 III 13,5

14. Produksi lainnya IIB/IIIB 15/24 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5

15. Impor dan penyaluran barang-barangyang diawasi IV 24-36 IIA 18 IIA 18 III 13,5 III 13,5

16. Pembayaran persediaan gula IIIB 24 IIA 18 IIA 18 III 13,5 III 13,5

17. Perdagangan dalam negeri IV 24-36 IIB 21 IIA 18 III 13,5 III 13,5

18. Kontraktor proyek DIP dan Inpres IV 24-36 III 24 IIB 21 III 13,5 III 13,5 15

19. Kontraktor proyek lainnya IV 24-36 III 24 IIB 21 IV 15 IV 15 911)

20. Impor dan penyaluran barang-barangimpor lainnya IV 24-36 III 24 III 24 V 18 V 18

21. Lainnya yang belum termasuk diatas IV 24-36 III 24 III 24 IV 21 IV 21

IV/94

(Lanjutan label IV - 26)

Page 97: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

1) Dalam suku bunga tersebut sudah termasuk provisi yang diperhitungkan dari plafond pinjaman dan dipungut hanya satu ka l i pada waktu penanda tangan akad pinjaman den pada tiap-tiap perpanjangan waktu pinjaman. Besarnya provisi adalah 1%, kecuali untuk pinjaman impor pangan yang dibiayai dengan PL 480 hanya 0,5%

2) Suku bung. pinjaman likuiditas untuk ekspor den produksi barang ekspor diturunkan dari 10% setahun menjadi 5% setahun

3) Pinjaman investasi Golongan I dan KIK dikenakan suku bunga pinjaman likuiditas BI kepada bank-bank pemerintah sebesar 3% setahun, untuk Golongan I I s/d IV dan KMKP dikenakan suku bunga 4% .setahun. Untuk pinjaman modal kerja, suku bunga pinjaman likuiditas untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut :

Golongan I : 3% setahunGolongan I I : 4% setahun (kecuali suku bunga BIMAS/INMAS: 3% setahun )Golongan I I I s/d IV : 6% setahun

Pinjaman modal kerja yang akadnya ditanda tangani sebelum 1 Januari 1978 dikenakan ketentuan suku bunga lama berlaku s/d 31 Maret 1978

4) S - Suku bunga per tahun. Mulai 1 Juni 1983 suku bunga kredit likuiditas adalah 3% setahun G - Golongan suku bunga pinjaman

5) Sebelum 1 Januari 1978 jumlah kredit investasi untuk tiap-tiap Golongan adalah sebagai berikut : - - Golongan I : s/d Rp. 25,- juta- Golongan I I : di atas Rp. 25,- juta s/d Rp.100,- juta- Golongan I I I : di atas Rp. 100,- juta s/d Rp.300,- juta- Golongan IV : di atas Rp. 300,- jutaSejak 1 Januari 1978 kredit investasi golongan IV di atas Rp. 1.500,- Juta hanya dapat diberikan oleh BAPIND0Mulai Juni 1980 b a t a s maksimum golongan IV diubah menjad i Rp.2.500,- juta. Kredit investasi diatas Rp.2.500,- Juta hanya diberikan oleh BAPIND0

6) Tidal, termasuk Inmas7) Sepanjang yang telah direalisir8) Khusus untuk Bimas9) Kupedes modal kerja 1% setahun dan bila terjadi tunggakan suku bunga investasi menjadi 10% setahun

dan modal kerja 24% setahun10) Pemerintah menyediakan subsidi 1½ %, setahun11) Pinjam untuk kontraktor nasional dengan tender internasional.

Jenis Kredit / Pinjaman Jenis Penggunaannya

V. Kredit lainnya1. Kredit Pemilikan Rumah (KPH)2. Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI)3. Kredit Asrama Mahasiswa

1 Jan. Setelah31 Mar 1983 ...__3983- -

1 1 9 8 3G4) 34) S4) 34)

5 - 965

31 Mel 1972 9 Apr 1974 1 Apr 1976 1 Jan. 1978

G4) s4) 04) b.4) G4) 84) 04) s4)

Page 98: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

merintah. Selain itu, dalam penyelenggaraan deposito berjang-ka bank umum pemerintah dan Bapindo memperoleh subsidi sebe-sar 1/3 dari jumlah bunga yang dibayarkan untuk deposito ber-jangka 6 bulan dan 12 bulan.

Dalam Repelita I suku bunga deposito berjangka telah be-berapa kali diturunkan sehingga pada tanggal 12 April 1973 suku bunga deposito berjangka berkisar antara 6% - 15% seta-hun untuk deposito kurang dari 3 bulan sampai 12 bulan. Wa-laupun suku bunga diturunkan, posisi deposito berjangka tetap meningkat, hal ini mencerminkan semakin meningkatnya keperca-yaan masyarakat terhadap rupiah. Dalam pada itu subsidi bunga juga diturunkan dari 1/3 menjadi 1/5 dari bunga yang dibayar-kan dan hanya diberikan bagi deposito berjangka waktu 12 bulan.

Suku bunga Tabanas yang semula ditetapkan 1$% setahun, pada 12 April 1973 diubah menjadi 15% untuk saldo tabungan Rp. 100 ribu yang pertama, sedangkan saldo di atas Rp. 100 ri-bu diturunkan dari 12% menjadi 9% setahun. Adapun suku bunga Taska yang ditetapkan sejak 20 Agustus 1971 tidak mengalami perubahan yaitu tetap 15% setahun.

Dalam Repelita II juga telah diadakan beberapa kali per-ubahan terhadap macam maupun suku bunga deposito berjangka. Pada tanggal 9 April 1974 telah diciptakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan dan telah diadakan perubahan suku bunga, menjadi sebagai berikut: untuk deposito kurang dari 3 bulan 6%, 3 bulan 9%, 6 bulan 12%, 12 bulan 18%, 18 bulan 24% dan 24 bulan 30% setahun. Untuk deposito dengan jangka waktu 18 bulan dan 24 bulan telah ditetapkan subsidi atas bunga, masing-masing sebesar 8% dan 15% setahun. Dalam pada itu bank-bank pemerintah dilarang menerima deposito berjangka In-pres yang dananya berasal dari luar negeri. Dalam hal dana deposito tersebut ternyata berasal dari luar negeri, maka akan dibayarkan subsidi bunga setinggi-tingginya 6% setahun.

Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1974 suku bunga de-posito berjangka waktu 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan ditu-runkan masing-masing dari 18% menjadi 15%, 24% menjadi 21% dan 30% menjadi 24%. Sejalan dengan perubahan tersebut maka subsidi atas bunga untuk deposito 18 dan 24 bulan diturunkan pula masing-masing menjadi 6% dan 9%. Kemudian pada tanggal 13 Januari 1977 suku bunga deposito berjangka diturunkan lagi dan untuk deposito berjangka 18 bulan ditiadakan. Dengan de-mikian deposito kurang dari 3 bulan menjadi 3%, 3 bulan 6%, 6 bulan 9%, 12 bulan 12% dan 24 bulan 24%. Subsidi bunga untuk

IV/96

Page 99: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

deposito 24 bulan diturunkan lagi menjadi 6%. Sejak 1 Januari 1978 deposito berjangka waktu kurang dari 3 bulan dan 3 bulan suku bunganya dapat ditetapkan oleh masing-masing bank. Untuk deposito yang berjangka waktu 6 bulan dan 12 bulan masing-ma-sing diturunkan bunganya dari 9% menjadi 6% setahun dan dari 12% menjadi 9% setahun. Dalam hal suku bunga deposito ber-jangka waktu 24 bulan ditentukan bahwa untuk jumlah sampai dengan Rp 2,5 juta bunganya 15% setahun dan untuk bagian de-posito yang melebihi Rp 2,5 juta bunganya 12% setahun. Besar-nya subsidi adalah 4,5% untuk yang bersuku bunga 15% dan 1,5% bagi yang bersuku bunga 12%. Untuk suku bunga Taska yang se-mula ditetapkan 15%, sejak 13 Januari 1977 diturunkan menjadi 9 % setahun.

Dalam Repelita III, kembali diadakan perubahan suku bunga deposito berjangka dengan maksud untuk lebih mendorong pe-ningkatan pengerahan dana dari masyarakat. Pada tanggal 1 Mei 1983 ditetapkan bahwa suku bunga deposito berjangka 6 bulan ke bawah dapat ditentukan sendiri oleh bank pemerintah yang bersangkutan. Selanjutnya mulai 1 Juni 1983 dikeluarkan kebi-jaksanaan dimana kepada bank-bank pelaksana diberikan kebe-basan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito, kecuali untuk deposito yang berjangka waktu 24 bulan, dimana suku bunganya masih ditetapkan sekurang-kurangnya 12% setahun. Adapun suku bunga Tabanas sejak 1 Juni 1983 telah diubah menjadi 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp 1 juta dan 12% untuk saldo tabungan di atas Rp 1 juta. Suku bunga Taska, besarnya tetap 9% setahun untuk Taska yang di-angsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. Perkembangan suku bunga deposito berjangka Inpres, Tabanas dan Taska dapat diikuti pada Tabel IV - 27.

Dalam tahun pertama Repelita IV suku bunga deposito ber-jangka rupiah, baik yang berlaku pada bank Pemerintah maupun pada bank swasta nasional dari akhir Maret 1984 sampai dengan akhir Maret 1985 telah mengalami kenaikan. Suku bunga bank Pemerintah yang berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan masing-masing naik dari 16,5% menjadi 17% setahun, 17,5% menjadi 19% setahun dan 18% menjadi 20% setahun. Adapun suku bunga yang berlaku di bank swasta nasional rata-rata naik dari 18% menjadi 20% setahun untuk deposito berjangka 1 bulan, 19,5% menjadi 21% setahun untuk deposito 3 bulan, 20% menjadi 22% untuk deposito 6 bulan, 20% menjadi 24% untuk deposito 12 bulan dan 20% menjadi 23% setahun untuk deposito 24 bulan.

IV/97

Page 100: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 27PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DEPOSITO BERJANGKA

INPRES DAN TABANAS/TASKA,1968 – 1983

(dalam persen per tahun)

JanieS u p s . ; .

Berlaku mulai

1 Okt. 17 Maret 1 Mei 10 Juli 15 Sept. 1 Januari 20 Agust. 31 Mei 12 April 9 April. 28 Des. 13 Jan. 1 Jan 31 Maret 1 Mei 1 Juni1968 1969 1969 1969 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1974 1977 1978 1983 1983 1983

Deposito berjangka:6 6 3

1)

_1) _ 1) _ 1 )Kurang dari 3 bulan 18 18 12 12 12 12 - 9

9 9 61) _1) _ 1) _ 1)

- 3 bulan 48 36 24 18 18 18 - 1212 12 9 6 6 _ 1) _ 1)

- 6 bulan 60 48 36 30 24 21 15 1218 15 12 9 9 9 - l)

- 12 bulan 72 60 48 36 30 24 - 18 1524 21

_2) - _ - -- 18 bulan - - - -

24 bulan 30 24 18 15/123) 15/123) 15/123) 128)

T A B A N A S 18 18/124) 15/9 3)18/9 6) 18/96) 15/66) 15/67) 15/67) 15/67) 15/129)

T A S K A 15 15 15 15 15 15 9 9 9

1) Besarnya suku bunga ditetapkan oleh masing-masing bank2) Sejak 13 Januari 1977 deposito berjangka 18 bulan ditiadakan.3) 15% setahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 2,5 juta,

jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun4) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000,-

jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun5) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000.-

jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun6) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000,-

jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun 7) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000.-

jumlah selebihnya bunganya adalah 6% per tahun 8) Dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 ditetapkan

sekurang-kurangnya 12% per tahun9) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 1.000.000,-

jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun

Page 101: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

6. Perkembangan Harga

Kebijaksanaan dalam bidang harga mengusahakan agar harga kebutuhan pokok masyarakat senantiasa berada dalam jangkauan dayabelinya. Melalui pengadaan dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok yang cukup ke segenap pelosok tanah air di-harapkan agar kegoncangan harga dapat dihindarkan. Dari per-kembangan laju inflasi selama periode Repelita I s/d Repelita IV (tahun 1984/85) dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun telah berhasil dipertahankan kestabilan ekonomi.

Laju inflasi rata-rata selama Repelita I adalah 17,48% yang mengingat akan adanya hyperinflasi pada periode sebelum-nya, merupakan hasil stabilisasi moneter yang cukup menggem-birakan. Perlu dicatat bahwa pada tahun ke tiga Repelita I (1971/72) inflasi hanya mencapai 0,9% yaitu titik terendah dari inflasi yang terjadi selama itu. Rendahnya inflasi pada tahun tersebut disebabkan turunnya harga beras karena panen yang baik dan persediaan yang cukup. Sebaliknya pada tahun terakhir Repelita I (1973/74) terjadi kenaikan harga-harga sebesar 47,3% yang antara lain disebabkan oleh pertambahan uang beredar sebagai akibat naiknya kredit perbankan dan pe-ngaruh keadaan moneter di luar negeri yang kurang menguntung-kan.

Selama Repelita II laju inflasi rata-rata per tahun ada-lah 14,77% dan dalam empat tahun pertama Repelita II inflasi terus menerus menurun dari 21,0% pada tahun pertama (1974/75) menjadi 10,1% pada tahun ke empat (1977/78). Menurunnya laju inflasi tersebut disebabkan adanya beberapa kebijaksanaan an-tara lain menyangkut penetapan batas tertinggi untuk kredit perbankan, penurunan tarip pajak dan cukai beberapa barang, pemberian subsidi untuk beras dan pupuk serta lancarnya pe-nyediaan bahan kebutuhan pokok. Pada tahun ke lima Repelita I I (1978/79) inflasi kembali meningkat menjadi 11,8% antara lain disebabkan oleh pengaruh kebijaksanaan devaluasi Rupiah pada tanggal 15 Nopember 1978.

Dalam Repelita III rata-rata laju inflasi adalah 13,16% setahun. Berbagai kebijaksanaan Pemerintah dalam periode ter-sebut adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak yang dilak-sanakan beberapa kali, serta peningkatan harga dasar pembeli-angabah dan beras. Selain itu untuk meningkatkan daya saing barang-barang ekspor di pasar internasional maka pada tanggal 30 Maret 1983 diadakan devaluasi uang Rupiah terhadap mata uang dollar Amerika. Pengaruh dari kebijaksanaan tersebut terhadap harga ternyata tidak menggoncangkan, terlihat pada

IV/99

Page 102: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

perkembangan laju inflasi yang relatip rendah dalam tahun 1982/83 dan 1983/84, masing-masing hanya 8,4% dan 12,6%.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perkembangan harga yang cukup baik telah terjadi dalam tahun 1984/85 dimana laju inflasi dalam masa tersebut hanya meningkat sebesar 3,6%. Ke-naikan tersebut terdiri dari indeks sektor makanan 1,8%, in-deks sektor perumahan 3,6%, indeks sektor sandang 2,7% dan indeks aneka barang dan jasa 7,8%. Peningkatan indeks pada sektor aneka barang dan jasa sebesar 7,8% adalah disebabkan oleh naiknya indeks sub sektor kesehatan (6,9%), indeks biaya pendidikan (9,6%) dan indeks biaya transpor (10,6%). Pening-katan biaya transpor yang cukup tinggi erat kaitannya dengan disesuaikannya tarip angkutan dalam bulan April 1984. Pening-katan biaya kesehatan disebabkan oleh naiknya tarip dokter dan obat tanpa resep. Sedangkan permintaan yang cukup besar pada alat-alat tulis dan buku tulis karena tahun ajaran baru, yaitu bulan Juli 1984, telah menyebabkan meningkatnnya biaya sub sektor pendidikan sebesar 9,6 %.

Dalam sektor makanan, kenaikan sebesar 1,8% terjadi pada indeks harga daging dan hasil-hasilnya sebesar 8,0%, indeks harga ikan segar sebesar 8,0%, indeks harga minuman yang tak beralkohol 6,9%, dan indeks harga kacang-kacangan 6,0%. Dalam periode tersebut telah terjadi penurunan_ pada indeks harga ubi-ubian, padi-padian dan hasil-hasilnya serta indeks harga lemak dan minyak masing-masing 4,0% dan 8,7%. Pada sektor pe-rumahan, kenaikan sub sektor tempat tinggal dan penyelengga-raan rumah tangga merupakan faktor utama meningkatnya sektor tersebut sebesar 3,6%. Dalam hal sektor sandang, telah ter-jadi peningkatan yang relatif kecil yaitu terjadi pada indeks harga sub sektor sandang laki-laki dan anak-anak, masing-masing sebesar 3,3% dan 4,0%.

Perkembangan indeks harga Sembilan bahan pokok di 17 kota dalam tahun 1978/79 telah menunjukkan peningkatan secara rata-rata sebesar 16,3% sebulan. Dalam tahun 1982/83 dan ta-hun 1983/84 kenaikan rata-rata bahan pokok tersebut menjadi 15,0% dan 14,8% sebulan. Dalam tahun 1984/85 atau tahun per-tams Repelita IV, harga sembilan bahan pokok mengalami penu-runan di 11 kota dari 17 kota Propinsi di Indonesia. Pening-katan yang cukup besar telah terjadi di kota Jayapura dan Me-dan masing-masing sebesar 5,7% dan 5,0% sedang penurunan yang relatif kecil terjadi di kota Palembang, Kupang dan Semarang masing-masing 4,9%, 4,8% dan 3,3%.

IV/100

Page 103: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Pada akhir Repelita III atau tahun 1983/84 laju inflasi di 5 dari 17 kota propinsi telah mengalami kenaikan pada tingkat yang lebih rendah dari laju inflasi nasional sebesar 12,63%. Laju inflasi yang tertinggi telah terjadi di kota Ambon yaitu sebesar 19,9% sedang laju inflasi terendah terja-d i d i kota Kupang yaitu sebesar 4,3%.

Dalam tahun 1984/85 laju inflasi tertinggi diantara 17 kota tersebut terjadi di kota Denpasar sebesar 6% sedang un-tuk kota-kota lainnya laju inflasi kurang dari 6,0% bahkan di kota Ambon selama tahun anggaran 1984/ 85 telah terjadi penu-runan harga atau deflasi sebesar 0,9%.

Perkembangan harga-harga di Indonesia selama periode 1968-1984/85 yang diukur menurut IBH sampai dengan Maret 1979 dan menurut IHK sejak April 1979, dapat dilihat pada Tabel IV-28, Grafik IV-16 dan perinciannya menurut, kelompok barang dapat diikuti pada Tabel IV-29, Grafik IV-17 sedang perinci-annya menurut 17 Ibu kota propinsi dalam periode 1982/83-1984/85, dapat dilihat pada Tabel IV-30. Perkembangan indeks harga 9 macam bahan pokok di 17 Ibu kota propinsi dapat dili-hat pada Tabel IV-31.

D. PERKEMBANGAN LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA

Setelah masa Orde Baru, Pemerintah berusaha untuk mengem-balikan citra perbankan khususnya dan lembaga keuangan pada umumnya, mengingat dalam waktu sebelumnya sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Kebijaksanaan Peme-rintah selanjutnya senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan sistem lembaga keuangan yang sehat dan berhasil guna sebagai sarana pembangunan nasional. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi lembaga keuangan yang ada, di samping mendorong pembentukan lembaga-lembaga keuangan yang baru.

Dalam periode sejak kebijaksanaan stabilisasi Oktober 1966 sampai tahun pertama Repelita I telah dikeluarkan 2 per-aturan perbankan yang penting, ialah Undang-undang No. 14 ta-hun 1967 tentang pokok-pokok perbankan dan Undang-undang RI No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Kedua peraturan ini merupakan landasan/dasar dari undang-undang perbankan yang bertujuan untuk mengatur keseluruhan sistem perbankan serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan perbankan di Indonesia, serta memobilisir dan mengembangkan seluruh poten-si yang ada di sektor perbankan.

IV/101

Page 104: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 28

PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA,1968 - 1984/85

Tahun % Kenaikan Tahun % Kenaikan

1968 85,1 1968/69 22,81969 9,9 1969/70 10,61970 8,8 1970/71 7,81971 2,5 1971/72 0,91972 25,7 1972/73 20,71973 27,4 1973/74 47,41974 33,3 1974/75 20,11975 19,7 1975/76 19,81976 14,2 1976/77 12,11977 11,8 1977/78 10,11978 6,7 1978/79 11,81979 21,8 1979/80 19,11980 16,0 1980/81 15,91981 7,1 1981/82 9,81982 9,7 1982/83 8,41983 11,5 1983/84 12,61984 8,8 1984/85 3,6

IV/102

Page 105: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 16PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA

1968 - 1984/85

IV/103

Page 106: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABLE IV - 29PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP (D1 JAKARTA),1) DAN INDEKS

HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI),2)

MENURUT KELOMPOK BARANG,1968 - 1984/85

Tahun/Bulan Makanan Perumahan PakaianAnekaBarang

dan Jasa

IndeksUmum

Kenaikan Indeks Umum %

Tahun/Triwulan Bu1an

1968 23,83 23,05 35,88 29,29 25,73 +85,1

1969/70 26,96 33,96 38,93 ' 36,63 30,21 +10,6

1973/74(Akhir Repelita I)

58,02 52,79 64,25 59,81 58,42 +47,4

1978/79(Akhir Repents II) 114,71 107,27 118,44 123,17 115,95 +11,8

1979/80 144,82 146,70 173,82 139,58 147,14 +19,11980/81 172,60 171,80 192,80 161,88 167,14 +15,9

1981/82 183,38 200,12 200,27 183,90 189,63 + 9,81982/83 189,70 228,76 204,60 210,57 205,99 + 8,4

1983/84(Akhir Repelita III)

220,54 263,88 215,14 229,77 233,42 +12,6

Juni 205,23 234,86 210,18 217,18 216,19 + 4,9

September 210,48 236,45 212,96 219,51 219,61 + 1,6

Desember 212,70 238,08 214,04 221,54 221,53 + 0,9

Maret 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42 + 5,3

1984/85 224,34 273,47 221,08 248,07 242,07 + 3,6April 221,16 265,64 215,72 240,34 236,48 + 1,3

M e i 224,27 265,80 216,03 240,87 238,02 + 0,6

Juni 225,29 266,14 217,50 240,93 238,69 + 2,2 + 0,3

Juli 225,93 267,34 218,77 241,68 239,58 + 0,4

Agustus 223,20 267,94 219,68 244,14 239,22 - 0,2

September 222,45 267,95 219,77 244,57 238,98 + 0,1 - 0,1Oktober 221,52 268,53 220,34 246,03 239,06 + 0,03Nopember 220,90 269,46 220,46 246,35 239,14 + 0,03December 226,35 269,99 220,58 246,54 241,63 + 1,1 + 1,04

Januari 227,07 272,37 220,83 247,17 242,75 + 0,5

Pebruari 223,88 272,89 220,91 247,37 241,54 - 0,5

Maret 224,34 273,47 221,08 248,07 242,07 + 0,2 + 0,2

1). Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan digunakan hingga bulan Maret 1979. 21. Dengan tahun dasar April 1977 - Maret 1978 - 100 dan mulai digunakan April 1979.

IV/104

Page 107: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

GRAFIK IV - 17

PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA, DAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI),

1968 - 1984/85(angka indeks)

(angka Indeks)

IV/105

Page 108: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 30PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA

(April 1977 – Maret 1978 = 100),1979/80 - 1984/85

IV/106

Page 109: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

TABEL IV - 31PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA PROPINSI,

1978/79 – 1984/851979/80 - 1984/85

IV/107

Page 110: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Jumlah bank pada tahun 1969 adalah 179 buah yang terdiri dari 7 bank pemerintah, 138 bank swasta nasional, 23 bank pembangunan daerah dan 11 bank asing. Sedangkan aktivitas perbankan tercermin pada keadaan neraca, pengumpulan dana dan pemberian kredit, di mana posisi masing-masing pada akhir 1969 adalah Rp. 290,7 milyar, Rp. 185,2 milyar dan Rp. 158,2 milyar.

Dalam Repelita I telah dikeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan bagi bank swasta nasional untuk bisa menjadi bank devisa, serta pendi-rian bank umum koperasi, bank tabungan koperasi dan bank pem-bangunan koperasi. Untuk mengembangkan operasi bank-bank pe-merintah, dikeluarkan ketentuan tentang syarat-syarat dan prosedur pendirian kantor cabang, cabang pembantu dan kantor perwakilan bank-bank pemerintah, termasuk bank pembangunan pemerintah dan bank tabungan pemerintah. Di bidang bank se-kunder, dalam tahun 1970 telah diadakan penyesuaian persya-ratan pendirian bank desa.

Untuk dapat menciptakan iklim yang lebih baik di bidang perbankan, khususnya bagi bank swasta nasional, pada bulan Nopember 1969 Bank Indonesia menggariskan kebijaksanaan baru yang menganjurkan bank-bank untuk melakukan penggabungan (merger), serta memberikan bantuan teknis dan keuangan kepada bank-bank. Dengan melakukan merger diharapkan bank-bank ter-sebut dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan mereka. Do-rongan tersebut dilakukan dengan memberikan keringanan-ke-ringanan pajak bagi mereka yang bergabung.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bank asing tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha bank di luar DKI Ja-karta. Namun dalam rangka pemberian kesempatan kepada bank-bank swasta nasional dan bank-bank asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerah, Bank Indonesia telah mene-tapkan ketentuan mengenai kerjasama antara bank-bank tersebut dalam memberikan jasa-jasa di luar Jakarta, antara lain dalam bentuk pembiayaan bersama dalam pemberian pinjaman, pelaksa-naan ekspor-impor dan pengeluaran garansi bank.

Kegiatan bank serta volume aktivitasnya selama Repelita I meningkat dengan pesat. Pada akhir Repelita I, jumlah bank adalah 162 dengan jumlah aktiva, dana dan kredit pada akhir Repelita I tercatat masing-masing sebesar Rp. 1.722 milyar, Rp. 1.002 milyar dan Rp. 1.080 milyar.

Dalam usaha membantu pengusaha golongan ekonomi lemah

IV/108

Page 111: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

serta koperasi telah didirikan PT Asuransi Kredit Indonesia (PT Askrindo), PT Bahana dan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK)/Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK). PT Askrin-do bertugas membantu pengamanan kredit melalui penutupan asu-ransi; PT Bahana bertugas memberikan penyertaan modal dan bantuan manajemen kepada perusahaan kecil yang belum berkem-bang; sedangkan LJKK/Perum PKK bertugas memberikan jaminan kepada koperasi atas kredit yang diberikan bank atau badan-badan lainnya.

Guna menunjang pengembangan pasar uang dan modal serta membantu permodalan perusahaan-perusahaan, sejak tahun 1972 diberikan ijin bagi pendirian lembaga keuangan bukan bank (LKBB). LKBB tersebut terdiri dari jenis pembiayaan pembangu-nan dan jenis investasi. Usaha pokok jenis pembiayaan pem-bangunan adalah memberikan kredit jangka menengah/panjang serta melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan. LKBB jenis investasi terutama melakukan usaha sebagai peran-tara dalam penerbitan surat-surat berharga dan menjamin serta menanggung terjualnya surat-surat berharga (underwriter). Sampai dengan akhir Repelita I LKBB yang didirikan telah ber-jumlah 10, yang terdiri atas 2 LKBB jenis pembiayaan pemba-ngunan dan 8 LKBB jenis investasi.

Suatu kebijaksanaan penting yang menyangkut bank-bank umum selama Repelita II adalah diturunkannya kewajiban likui-ditas minimum dari 30% menjadi 15%. Tindakan tersebut dilaku-kan untuk lebih mendorong kegiatan ekonomi dan untuk menurun-kan biaya dana perbankan. Selain itu ditentukan bahwa simpan-an wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah yang semula ditetapkan 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang dapat dibayar; simpanan wajib minimum dalam valuta asing yang semula 10% diturunkan menjadi 5% dari kewajiban yang dapat dibayar kepada penduduk dan dari 30% menjadi 15% dari kewaji-ban yang dapat dibayar kepada bukan penduduk.

Selain dari pada itu Bank Indonesia telah pula mengadakan penyesuaian mengenai ketentuan pemberian bunga atas saldo giro rupiah dan giro valuta asing bank-bank pada Bank Indone-sia. Adapun penyesuaian menurut ketentuan baru itu meliputi peningkatan jumlah maksimum simpanan yang dapat dibayar bunga dari 10% menjadi 15% atas jumlah kewajiban yang dapat segera dibayar, sedangkan suku bunganya diturunkan dari 10% menjadi 6% setahun. Yang dimaksudkan dengan simpanan yang dapat dibe-rikan bunga hanya meliputi jumlah kelebihan di atas jumlah simpanan wajib pada Bank Indonesia.

IV/109

Page 112: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Seperti telah disebutkan dimuka bahwa LKBB merupakan sa-rana penting bagi pengembangan pasar uang dan modal di Indo-nesia. Melalui lembaga keuangan tersebut, perdagangan surat-surat berharga baik jangka pendek maupun jangka panjang diha-rapkan akan semakin berkembang, sehingga penyaluran dana da-lam masyarakat dapat dilakukan secara lebih berdayaguna. Guna membantu LKBB dalam usaha meningkatkan perdagangan surat-su-rat berharga, sejak bulan April 1 9 7 8 , Bank Indonesia telah memberikan fasilitas diskonto ulang sampai jumlah maksimum Rp. 500 juta setahun untuk setiap LKBB. Melalui fasilitas ini LKBB dapat mendiskonto ulangkan wesel dagang, aksep dan pro-mes atas nama yang dimilikinya, kepada Bank Indonesia.

Dalam Repelita III, Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan baru yaitu Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983. Dengan Kebijak-sanaan tersebut kepada bank-bank pemerintah diberikan kebeba-san untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito dan kredit untuk sektor-sektor yang tidak berprioritas tinggi. Selain itu pagu kredit perbankan yang berlaku sejak tahun 1974 diha-puskan. Untuk membantu bank-bank serta untuk menjaga agar bank-bank tidak memanfaatkan kelebihan likuiditasnya untuk kegiatan yang non produktif telah diadakan penyesuaian-penye-suaian suku bunga atas saldo giro bank-bank pada Bank Indone-sia, baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pada tahap per-tama setelah dikeluarkannya Kebijaksanaan 1 Juni 1 9 8 3 pemu-pukan dana yang dilakukan oleh bank-bank lebih pesat daripada pemberian kreditnya sehingga sebagian bank-bank mengalami ke-lebihan likuiditas. Agar biaya dana yang ditanggung bank-bank tidak terlalu tinggi, maka jasa giro simpanan rupiah bank-bank pada Bank Indonesia dinaikkan dari 10% menjadi 13% seta-hun. Selanjutnya dengan diterbitkannya Sertifikat Bank Indo-nesia (SBI) sebagai sarana penanaman dana sementara, maka jasa giro tersebut diturunkan dari 13% menjadi 7% setahun dan batas maksimum giro yang memperoleh bunga adalah 1% dari jumlah seluruh kewajiban yang segera dapat dibayar sepanjang bank-bank tersebut mempunyai kelebihan likuiditas. Dalam pada itu, jasa atas kelebihan saldo giro valuta asing bank-bank pada Bank Indonesia sejak tanggal 1 Februari 1984 dihapuskan.

Dalam tahun 1 9 8 2 / 8 3 sebagai kelanjutan dari langkah pe-nertiban perizinan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah diben-tuk satuan tugas guna membahas tentang BPR dengan maksud un-tuk meningkatkannya menjadi badan hukum koperasi. Dalam rang-ka tujuan tersebut, BRI dipersiapkan untuk menjadi bank induk dari bank-bank perkreditan rakyat tersebut.

Kebijaksanaan lainnya dalam Repelita III adalah melanjut-

IV/110

Page 113: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

kan langkah langkah antara lain mendorong merger antar bank swasta nasional, meningkatkan efisiensi bank-bank pemerintah, membina bank pembangunan daerah melalui program bantuan teknis dan pendidikan serta memperluas jaringan kliring lokal di tempat-tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia. Keringanan pajak sebagai akibat merger hanya diberikan sepan-jang permohonannya dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni 1981.

Pada akhir Repelita III, jumlah bank adalah 117, yang terdiri dari 7 bank pemerintah, 72 bank swasta nasional, 27 bank pembangunan daerah dan 11 bank asing/campuran, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berjumlah 5.823. Jumlah aktiva bank secara keseluruhan, dana yang terkumpul dan jumlah kredit yang diberikan masing-masing adalah Rp. 22.118 milyar, Rp. 10.097 milyar dan Rp. 13.827 milyar.

Mobilisasi tabungan masyarakat tetap merupakan sasaran utama sektor perbankan dalam Repelita IV. Dengan program ini tetap diusahakan untuk mengikutsertakan seluruh lapisan ma-syarakat dalam aktivitas penabungan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan/investasi. Untuk mencapai maksud itu kesiapan lembaga-lembaga keuangan dalam melaksanakan kebijak-sanaan tersebut sangat penting artinya. Seterusnya pembenahan dan peningkatan sistem organisasi, managemen bank dan lemba-ga-lembaga keuangan bukan bank perlu mendapatkan perhatian yang utama.

Dalam Repelita I kegiatan pasar modal berada pada tahap penyesuaian awal. Dengan membaiknya keadaan moneter dan iklim perekonomian pada umumnya, Pemerintah berusaha untuk mening-katkan kegiatan pasar modal, sebagai sarana penting dalam pengerahan dana serta pemerataan kesempatan penanaman modal. Berbagai langkah kebijaksanaan telah dilakukan, yaitu pemben-tukan Team Pasar Uang dan Pasar Modal (tahun 1971); pemben-tukan Badan Pembina Pasar Uang dan Modal (1972); dikeluarkan-nya ketentuan tentang penawaran efek dan perdagangannya (1974); dan pada tahun 1976 dibentuknya Badan Pembina Pasar Modal, Badan Pelaksana Pasar Modal serta PT Danareksa. Tugas Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) adalah mengendalikan serta melaksanakan bursa saham dan surat-surat berharga lain-nya. Sedangkan tugas PT Danareksa adalah membeli saham-saham perusahaan yang akan dijual di pasar modal dan selanjutnya memecahnya ke dalam bentuk sertifikat saham dengan nominal yang kecil, untuk memungkinkan masyarakat yang daya belinya terbatas membeli sertifikat saham. Dalam tahun 1977 PT Semen

IV/111

Page 114: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Cibinong merupakan perusahaan pertama yang memasyarakatkan sahamnya (go public).

Sejak diaktifkannya pasar modal tahun 1977 sampai tahun 1982, kegiatan pasar modal menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Namun dengan adanya kebijaksanaan mone-ter 1 Juni 1983 serta kebijaksanaan devaluasi Maret 1983 maka perdagangan efek di bursa menurun. Hal ini disebabkan karena masyarakat penabung pada periode ini, lebih banyak memilih untuk menanamkan dananya dalam deposito yang memberikan ting-kat bunga yang relatif tinggi terhadap tingkat rentabilitas saham.

Sampai dengan akhir tahun 1984/85 jumlah perusahaan yang go public sebanyak 24 perusahaan dengan jumlah saham yang di-tawarkan sebesar 57.448.184 lembar dan nilai seluruhnya menu-rut harga pasar perdana Rp.130,8 milyar. Selain daripada emi-si saham, pada tahun 1984/85 terdapat pula emisi obligasi oleh 3 (tiga) badan usaha dengan nilai emisi sebesar Rp. 224.7 milyar. Dengan demikian jumlah dana yang dapat di-serap dari masyarakat melalui pasar modal sampai akhir tahun 1984/85 mencapai Rp. 355,5 milyar.

Sejalan dengan tujuan Pasar Modal yang antara lain untuk pemerataan pendapatan masyarakat maka saham perusahaan yang go public, oleh PT Danareksa dijadikan sertifikat jenis “back to back” dan sertifikat jenis mutual fund (sertifikat dana PT Danareksa) untuk dijual ke seluruh pelosok tanah air. Sampai dengan akhir 1984/85 telah diterbitkan sertifikat PT Danarek-sa sebanyak 7.420.300 lembar dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp. 73,8 milyar, yang terdiri dari 1.420.300 lembar sertifikat back to back dengan nilai Rp. 13,8 milyar dan Rp. 60,0 milyar sertifikat dana PT Danareksa Unit Umum Seri A,B,C, dan D.

Dalam Repelita IV, langkah-langkah pengembangan kegiatan Pasar Modal dalam rangka usaha untuk menambah jumlah perusa-haan-perusahaan yang go public dan mengarahkan emisi obligasi oleh badan-badan usaha, juga menyangkut langkah-langkah untuk menata kembali sejumlah peraturan-peraturan di bidang pasar modal, sehingga diharapkan aktivitas pasar modal dapat lebih ditingkatkan pada waktu-waktu yang akan datang. Rencananya akan diproyeksikan sekitar 90 emisi saham dan obligasi, de-ngan nilai emisi secara keseluruhan diperkirakan Rp. 2 trili-yun. Selain itu sedang dipersiapkan pengembangan pasar modal pra bursa (bursa seksi kedua) Serta penyusunan Rancangan Un-dang-Undang (RUU) Pasar Modal.

IV/112

Page 115: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Kegiatan perasuransian selama Repelita I masih belum mem-berikan hasil sebagaimana yang kita harapkan. Namun sejak Re-pelita II sejalan dengan kemantapan dalam kehidupan perekono-mian dan lajunya pembangunan nasional, usaha perasuransian mengalami perkembangan yang menggembirakan. Perusahaan-peru-sahaan asuransi memegang peranan yang semakin penting dalam menghimpun dana masyarakat yang dapat digunakan untuk pembia-yaan pembangunan.

Kebijaksanaan perasuransian selama periode 1982/83 - 1984/85 diarahkan terutama untuk meningkatkan kepercayaan ma-syarakat dalam usaha asuransi serta mengembangkan obyek-obyek asuransi baru. Usaha-usaha Pemerintah selama ini adalah me-lakukan pembinaan dan pengawasan di bidang permodalan, orga-nisasi dan managemen serta tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan asuransi.

Usaha-usaha di sektor asuransi kerugian meliputi kegiatan perusahaan asuransi kerugian berikut kantor-kantor cabangnya, perusahaan reasuransi, perusahaan adjuster, broker, agen dan kantor perwakilan. Hingga akhir Maret 1985 jumlah perusahaan asuransi kerugian meliputi 65 buah, perusahaan reasuransi 3 buah, perusahaan adjuster 8 buah, broker 29 buah, agen 130 buah dan kantor perwakilan perusahaan asuransi kerugian asing 6 buah.

Dalam usaha meningkatkan pembinaan dan pengawasan terha-dap perusahaan asuransi kerugian serta agar dapat melindungi kepentingan masyarakat, selain pengawasan tidak langsung te-lah pula dilakukan pemeriksaan secara langsung terhadap per-usahaan-perusahaan asuransi kerugian. Selain itu juga turut ditangani masalah-masalah tentang jaminan kredit ekspor, asu-ransi ekspor serta komputerisasi data asuransi kerugian. Hasil dari perkembangan kegiatan asuransi kerugian tercermin dari semakin meningkatnya dana investasi perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi yang dalam tahun 1969 sebesar Rp. 1,1 milyar telah meningkat menjadi Rp. 159,8 milyar dalam ta-hun 1983.

Perkembangan kegiatan asuransi jiwa juga menunjukkan ke-majuan yang cukup menggembirakan, tercermin dari peningkatan dana investasi perusahaan asuransi jiwa yang pada tahun 1969 berjumlah Rp. 30 juta telah berkembang menjadi Rp. 29,1 mil-yar tahun 1978 dan Rp. 570,4 milyar tahun 1983. Selanjutnya perlu dicatat bahwa dalam tahun 1983 jumlah pemegang polis dibandingkan penduduk telah meningkat menjadi 1,7%.

IV/113

Page 116: KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN … · Web viewPrinsip ini didasarkan atas pengalaman sebelum tahun 1966, ketika anggaran yang tidak berimbang secara tak terkendali, telah menjadi sumber

Berbagai kebijaksanaan yang menyangkut asuransi jiwa an-tara lain adalah ketentuan mengenai deposito wajib, persya-ratan modal, penanaman dana dalam jenis-jenis investasi menu-rut peraturan yang berlaku serta ketentuan tentang perusahaan asuransi jiwa patungan. Dalam kebijaksanaan pada 1 Januari 1983 telah dikeluarkan 2 macam polis asuransi jiwa, yaitu po-lis rupiah tanpa indeks dan polis rupiah dengan indeks. Dalam hal polis rupiah dengan indeks besarnya klaim tebusan dan uang pertanggungan diperhitungkan terhadap indeks asuransi jiwa.

Bidang asuransi sosial terutama menangani kesejahteraan sosial pegawai negeri, kecelakaan lalu-lintas, masalah tenaga kerja perusahaan dan lain-lain. Jumlah perusahaan asuransi sosial hingga tahun 1984/85 tetap yaitu sebanyak 5 buah per-usahaan, terdiri dari PT (Persero) Taspen, PT (Persero) Asu-ransi Kerugian Jasa Raharja, Perum Asabri, Perum Astek dan Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan Pusat (Askes). Sebagai hasil dari pembinaan-pembinaan yang dilakukan terha-dap perusahaan asuransi sosial selama ini, maka besarnya dana investasi di bidang asuransi sosial terus berkembang dari Rp. 1,6 milyar tahun 1969 menjadi Rp. 570,4 milyar dalam tahun 1983.

Secara keseluruhan dana investasi perusahaan-perusahaan asuransi telah mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari Rp. 3,0 milyar dalam tahun 1969 menjadi Rp. 900,1 milyar dalam tahun 1983. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor asuransi didalam pengerahan dana dari masyarakat tidak kecil artinya.

Dalam Repelita IV sedang disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang usaha perasuransian yang akan mengatur tata cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan di bidang asuransi.

IV/114