ketidakefektivan implementasi protokol kyoto di …repository.upnyk.ac.id/1497/1/skripsi.pdf ·...

96
KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA (TINJAUAN DARI SEKTOR KEHUTANAN) SKRIPSI Disusun oleh: NURITA EFRI DIANA (151070183) JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2011

Upload: buitram

Post on 06-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI

PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

(TINJAUAN DARI SEKTOR KEHUTANAN)

SKRIPSI

Disusun oleh:

NURITA EFRI DIANA

(151070183)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2011

Page 2: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

NAMA MAHASISWA : NURITA EFRI DIANA

N.I.M : 151070183

JUDUL SKRIPSI : KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI

PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

(TINJAUAN DARI SEKTOR KEHUTANAN)

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di depan Tim Penguji

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Pada Hari : Rabu

Tanggal : 05 Oktober 2011

Jam : 10.00 WIB

Tempat : Ruang Ujian Skripsi

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Pembimbing I

(Agussalim, SIP, M.Si)

Pembimbing II

(Hikmatul Akbar, SIP, M.Si)

Page 3: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

NAMA MAHASISWA : NURITA EFRI DIANA

N.I.M : 151070183

JUDUL SKRIPSI : KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI

PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

(TINJAUAN DARI SEKTOR KEHUTANAN)

Skripsi ini telah diujikan dan dipertahankan di depan Tim Penguji

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Pada Hari : Rabu

Tanggal : 05 Oktober 2011

Jam : 10.00 WIB

Tempat : Ruang Ujian Skripsi

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

TIM PENGUJI

Pembimbing I

(Agussalim, SIP, M.Si)

Ketua

Penguji I

(Asep Saepudin, SIP, M.Si)

Anggota

Penguji II

(DR. Machya Astuti D., M.Si)

Anggota

Pembimbing II

(Hikmatul Akbar, SIP, M.Si)

Anggota

Page 4: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tulisan ini adalah benar-benar hasil karya

saya sendiri. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan

kecurangan/penjiplakan/plagiat, maka saya siap menerima sanksi akademik,

sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Yogyakarta, 06 Oktober 2011

NURITA EFRI DIANA

Page 5: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul .............................................................. 1

B. Latar Belakang Masalah ............................................................ 2

C. Rumusan Masalah ...................................................................... 14

D. Kerangka Pemikiran ................................................................... 14

E. Hipotesis .................................................................................... 22

F. Metode Penelitian ...................................................................... 22

G. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 23

1. Manfaat Teoritis ................................................................... 23

2. Manfaat Praktis .................................................................... 23

H. Batasan penelitian ...................................................................... 23

I. Rencana Sistematika Penelitian ................................................. 24

BAB II PROTOKOL KYOTO DAN IMPLEMENTASINYA DI

INDONESIA PADA SEKTOR KEHUTANAN

A. Protokol Kyoto .......................................................................... 25

1. Definisi ................................................................................ 27

2. Kebijakan dan Tata Cara ..................................................... 28

3. Target Penurunan Emisi ...................................................... 28

4. Implementasi Bersama ........................................................ 29

5. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan ........................ 29

6. Mekanisme Pembangunan Bersih ....................................... 29

Page 6: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

7. Kelembagaan ....................................................................... 30

8. Perdagangan Emisi .............................................................. 30

9. Prosedur Penataan dan Penyelesaian Sengketa ................... 31

B. Implementasi Protokol Kyoto Di Indonesia (Dilihat Dari Sector

Kehutanan)................................................................................. 31

BAB III DIRUGIKANNYA INDONESIA DARI SISI KEPENTINGAN

NASIONAL

A. Ketidakjelasan Alokasi Dana dari ODA (Official Development

Assistace) dan WB (World Bank) ............................................ 46

B. Masyarakat Adat dan Pribumi dirugikan ................................... 55

C. Rusaknya Lingkungan Hutan di Indonesia ................................ 63

BAB IV BELUM ADANYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MENGENAI IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI

INDONESIA (SEKTOR KEHUTANAN)

A. Identifikasi Mengenai Peraturan PerUndang-Undangan disektor

Kehutanan .................................................................................. 68

1. Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang

Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan

Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

(REDD) ............................................................................... 69

Page 7: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

2. Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

(REDD) ............................................................................... 69

3. Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara

Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau

Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan

Lindung ................................................................................ 70

B. Komitmen Protokol Kyoto Mengenai Kehutanan di Indonesia 71

C. Peraturan Yang Ada Tidak Diindikasikan untuk Implementasi

Protokol Kyoto .......................................................................... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................ 81

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Dewasa ini perubahan iklim dan pemansasan global tengah menjadi

perbincangan hangat dikalangan dunia internasional. Tidak hanya Negara maju

yang terkena dampak dari pemanasan global namun dirasakan juga oleh Negara

yang tengah berkembang. Berbagai macam kebijkan tengah diterapkan, namun

hingga saat ini belum ada penyelesaian masalah tersebut yang merupakan

tanggung jawab bersama di dunia Internasional. Salah satu kebijakan yang

diterpakan yaitu adanya pembentukan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah

sebuah amandemen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan

Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan Internasional mengenai pemanasan global.

Indonesia sebagai negara berkembang juga merupakan salah satu negara anggota

yang andil dalam pembentukan protokol Kyoto.

Alasan saya memilih judul “ketidakefektifan Implementasi Protokol Kyoto

di Indonesia”, dikarenakan Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto pada

tanggal 28 Juni 2004. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki

hutan dan lautan yang luas yang sangat berpotensi sebagai Carbondioxide sink

yang berfungsi untuk menjerat karbon dari atmosfer bumi. Namun hal ini tidak

lantas mampu mengatasi adanya perubahan iklim. Indonesia juga telah

melaksanakan berbagai implementasi untuk mendukung Protokol Kyoto.

Implementasi tersebut antara lain dengan adanya upaya mitigasi dan adaptasi.

Page 9: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

2

Mitigasi (Mitigation) adalah tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah

kaca dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi

perubahan iklim. Sedangkan adaptasi (Adaptation)) adalah tindakan penyesuaian

oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap

dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Kedua implemetasi tersebut

merupakan cara yang dianjurkan oleh protocol Kyoto setelah diratifikasi. Namun

dalam pelaksanaanya mitigasi maupun adaptasi belum mampu meyelesaikan

permasalahan perubahan iklim. Hal ini dapat kita lihat masih banyaknya

kebakaran hutan, degradasi huatan, ilegal logging, diamana semuanya telah

dicanangkan dalam upaya adaptasi ataupun mitigasi.

Untuk itu saya tertarik untuk mengkaji mengapa implementasi Protokol

Kyoto di Indonesia cenderung tidak efektif, karena kebijakan seperti mitigasi

ataupun adaptasi telah diterapkan di Indonesia, namun implementasi tersebut

hasilnya kurang signifikan.

B. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini isu perubahan iklim dan pemanasan global menjadi

perbincangan hangat dikalangan masyarakat dunia. Perubahan Iklim merupakan

tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Masalah lingkungan

hidup yang disebabkan perubahan iklim akhir-akhir ini juga makin menjadi isu

global. Kompleksitas berbagai masalah kesehatan sebagai akibat pengaruh dari

perubahan iklim sudah cukup lama diteliti serta menjadi salah satu topik utama

dunia sejak kegiatan First Assessment Report of the Intergovernmental Panel

Page 10: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

3

Climate Change (IPCC) dalam Konferensi PBB untuk Lingkungan dan

Pembangunan di Rio de Janeiro (1992).1

Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian sah di mana negara-negara

perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif

sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.

Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca -

karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang

dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target

nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk

Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk

Australia dan 10% untuk Islandia.2

Protokol Kyoto adalah sebuah instrument hukum (legal instrument) yang

dirancang untuk mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang bertujuan

untuk menstabilkan kosentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim bumi

dan merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas

rumah kaca. Protokol Kyoto disususn disususn untuk mengatur target kuantitatif

penurunan emisi dan target waktu penurunan bagi negara maju. Sementara Negara

berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan

emisinya.3 Protokol Kyoto juga bertujuan untuk membantu negara-negara

berkembang dalam proyek-proyek yang berhubungan untuk memperbaiki keadaan

iklim bumi.

1 Endang Agustiar, “Perubahan Iklim dan Kesehatan”, dalam www.suara merdeka.com , diakses

Pada 10 Februari 2010 2 “Rilis Pers dalam Program Lingkungan PBB”, dalam htpp://www.un.org, diakses Pada 13

Januari 2010 3 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasi bagi Negara Berkembang, Kompas, Bogor, 2003

hal 9.

Page 11: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

4

Protokol Kyoto adalah hasil dari Conference of Parties (CoP) ke-3 yang

diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto

menghasilkan keputusan utama berupa komitmen dari negara-negara untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebesar rata-rata 5 % di

bawah level emisi tahun 1990 pada periode 2008 – 2012. Protokol ini juga

mencakup instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal

sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara-negara

untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi melalui investasi

dalam proyek-proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim. 4

Adapun prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu:5

1. Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan

global yang dilindungi PBB.

2. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:

a) Negara-negara Annex I.

Yaitu negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas

sejak revolusi industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas

menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya

tiap tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di

Eropa, Amerika Utara, Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara

Asia yang masuk dalam kategori ini.

4Andreas Pramudianto, “Perubahan Iklim dan Lingkungan (Teori dan Fakta)”, dalam

htpp://eartsummit.com, diakses Pada 13 Januari 2010 5 Aeng Anwar Sanusi , “Pemanasan Global dan Protokol kyoto”, dalam

http://cdm.unfccc.int/methodologies/SSCmethodologies/approved.html , diakses Pada 21 Januari

2010

Page 12: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

5

b) Negara-negara Non Annex I.

Yaitu Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban

menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui

CDM.

3. Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara

kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990.

4. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca dihitung sebagai rata-rata

selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari

pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk

Jepang, 0% untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk

Australia dan 10% untuk Islandia.

5. Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada tahun 2013, dan akan dibuat

target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak

mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012

negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam

Annex I.

6. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara

Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan

emisi” dari Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau

berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari

Negara non-Annex I melalui mekanisme CDM. Dapat juga melalui pengerjaan

proyek di sesame Annex I melalui program joint implementation (JI) atau

membeli langsung dari Negara Annex I yang sudah berada di bawah target.

Page 13: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

6

7. Sebuah proyek baru dapat dijual dalam perdagangan emisi karbon apabila

sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di

Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi

certified emission reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat

diperjualbelikan.

8. Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan

emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang

dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual

pada Negara Annex I.

Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun

1994. Ratifikasi Protokol Kyoto disetujui oleh DPR Tanggal 28 Juni 2004 dan

melalui UU No. 17 Tahun 2004 Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto, dan

disampaikan ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim Tanggal 3 Desember 2004

melalui Departemen Luar Negeri.

Indonesia sebagai Negara berkembang tentunya juga ikut melaksanakan

prinsip dan implementasi yang telah disepakati dalam Protokol Kyoto. Dalam

mendukung implementasi Protokol Kyoto, Pemerintah Indonesia telah membuat

berbagai kebijakan yang berkaitan dan mendukung proses pelaksanaan Protokol

Kyoto.

Page 14: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

7

Adapun kebijakan tersebut antara lain:

a) Upaya Mitigasi

Upaya mitigasi merupakan cara yang dianjurkan Protokol Kyoto, yang

telah diratifikasi November 2004.6 Mitigation (mitigasi) adalah tindakan untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk meningkatkan penyimpanan

karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim.7

Mitigasi merupakan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak

perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan

antisipasi dampaknya ke depan. Upaya mitigasi ditujukan terhadap sektor-

sektor yang selama ini mengemisikan Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer.

Berdasarkan Ratifikasi Protokol Kyoto UU No.17/2004, upaya mitigasi

ditujukan untuk berbagai program antara lain:8 Program Menuju Indonesia

Hijau (MIH) dan Master Plan berupa pengendalian kebakaran hutan dan

illegal logging.

Berdasarkan kebijakan program diatas, dapat kita lihat kenyataan

pelaksanaan dari mitigasi bahwasannya :

1. Target untuk menghijaukan kembali melalui pengembangan hutan

tanaman dan rehabilitasi hutan dan lahan, pemberantasan penebangan liar

(illegal logging).

6 Fachruddin Mangunjaya, Bertahan di Bumi (Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim ), Edisi

Pertama , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hal 66. 7 Chris Lang, “Strategi REDD di Indonesia”, dalam www.redd-monitor.org/2009/08/31/

indonesia-sinar-resmi-declaration-on-climate-change, diakses Pada 22 Februari 2011 8 Masnellyarti Hilman, “Butir-Butir Penting RAN PI”, dalam [email protected], diakses Pada

23 Februari 2011

Page 15: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

8

Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah

kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah

atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Rusaknya hutan akibat

illegal loging memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup manusia

khususnya di indonesia. Dampak tersebut diantaranya yaitu kurangnya

persediaan air tanah, terjadinya tanah longsor dan banjir, punahnya

beberapa hewan, dan pendangkalan sungai. Oleh karena itu, perlu

dilakukan upaya dalam memulihkan hutan kritis sehingga bencana tersebut

dapat dihindarkan. Dampak kongkrit yang dapet dirasakan oleh Indonesia

dan masyarakat dunia adalah global warming yang muncul akibat efek

rumah kaca yang semakin terasa akibat dari semakin gundulnya hutan-

hutan yang dapat menangkis efek rumah kaca tersebut.9

Terdapat dua peraturan perundangan yang menyebut illegal logging

sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang

Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan peredaran

hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional

tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di

Seluruh Wilayah Republik Indonesia. 10

9 Riva Fauziah, “Penebangan Liar Sebuah Bencana Bagi Dunia Kehutanan”, dalam

htpp://www.eartsummit.com, diakses Pada 15 Mei 2011 10

Fadli Moh.Noh ,”Permasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan di Kaltim”,

Penegakan Hukum dan Kehutanan, Berita Resmi Statistik No.14 VII./, Jakarta, 2004 hal 78.

Page 16: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

9

Pada kenyataanya masyarakat awam sebenarnya cukup paham

terhadap fenomena deforestasi yang menimpa kehutanan Indonesia yang

menyebabkan kinerja pertumbuhan sektor ini tidak terlalu baik, selain

persoalan laju deforestasi yang besar, sektor kehutanan juga menderita

kesenjangan pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu bulat. Jumlah

pasokan kayu bulat saat ini diperkirakan mencapai 25-30 juta meter kubik,

sementara kebutuhan bahan baku kayu bulat mencapai 50-60 juta meter

kubik. Artinya, terdapat kesenjangan keseimbangan bahan baku kayu bulat

sektiar 25-30 juta meter kubik, yang disinyalir menjadi salah satu

penyebab terjadinya pembalakan liar (illegal logging). Tidak mustahil

hutan alamlah yang menjadi sasaran pembalakan liar tersebut, walaupun

terdapat dimensi sosial-ekonomi-kemasyarakatan-penegakan hukum yang

memang cukup kompleks. 11

2. Pencegahan kebakaran hutan:

Kebakaran lahan dan hutan merupakan permasalahan yang rutin

terjadi di Indonesia setiap musim kemarau. Sebagian besar (70%)

kebakaran lahan terjadi di luar kawasan hutan, dan hanya sebagian kecil

saja (30%) yang terjadi di dalam kawasan hutan. Di masyarakat masih

timbul persepsi bahwa timbulnya asap di berbagai wilayah di Indonesia

seluruhnya disebabkan oleh kebakaran hutan. Padahal penyebab utamanya

adalah pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar,

perladangan, dan hanya sebagian kecil saja terjadi di Hutan Tanaman

11

Bustanul Arifin, “REDD dan Masa Depan Ekonomi Hutan”, dalam www.metro news.com,

diakses Pada 10 Februari 2011

Page 17: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

10

Industri. Bencana yang diakibatkan oleh praktik pembakaran lahan dan

hutan adalah timbulnya polusi asap yang mengganggu berbagai aspek

kehidupan sosial masyarakat, baik nasional maupun global, serta

menyebabkan kerusakan lingkungan.

Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut

terjadi pada lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut

asap. Tingkat kenaikan/penurunan jumlah hot spot tahun 2005/2006 di 8

provinsi yang terjadi kebakaran lahan dan hutan dapat dilihat dalam tabel

berikut :

Tabel 1.1 Kebakaran Lahan dan Hutan

No. Provinsi

Jumlah Hot Spot

Th. 2005 Th. 2006 %

1 Sumatera Utara 3830 3581 -6,50

2 Riau 22.630 35.426 56,54

3 Jambi 1208 6948 475,17

4 Sumatera Selatan 1182 21.734 1738,75

5 Kalimantan Barat 3022 29.266 864,43

6 Kalimantan Tengah 3147 40.897 1199,56

7 Kalimantan Selatan 758 6469 753,43

8 Sulawesi Selatan 133 1201 803,01

Sumber: Departemen Kehutanan, “Kebakaran Lahan dan Hutan”2011.

Page 18: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

11

Sementara itu, berdasarkan data pada 2004/2007, sekitar 247 ribu ha

kawasan hutan di Kotabaru dalam kondisi kritis. Hutan kritis paling tinggi

terjadi di kawasan hutan produksi (HP) sekitar 184 ribu ha, hutan produksi

terbatas (HPT) sekitar 38,6 ribu ha, hutan lindung (HL) sekitar 18 ribu ha,

dan kawasan hutan alam/suaka alam (SA) sekitar 5,5 ribu.12

Berdasarkan table dan uraian diatas, maka kita dapat menyimpulkan

bahwa terdapat kenaikan secara signifikan presentasi jumlah kebakaran

hutan di Indonesia. Permasalahan utama dalam pengendalian kebakaran

lahan dan hutan adalah pembukaan lahan dengan cara membakar biasa

dilakukan oleh masyarakat karena biayanya murah, dan cepat.

Saat ini belum dikembangkan alternatif teknologi lain yang lebih

efisien dan efektif. Selain itu kepedulian para pihak dalam penanggulangan

masih kurang, bahkan para pelaku pembakaran seringkali mengancam dan

menentang. Oleh karena itu perlu dilakukan penertiban dan penegakan

hukum yang optimal sehingga memberikan efek jera, serta peningkatan

sarana dan prasarana yang saat ini masih terbatas.

Departemen Kehutanan telah mengambil langkah-langkah antisipatif,

yaitu pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan

(Brigdalkar) di provinsi rawan kebakaran hutan sebanyak 1.560 personil,

150 di antaranya adalah Satuan Manggala Agni Reaksi Cepat (SMART).

Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang telah melatih 4500

orang di 150 desa rawan kebakaran lahan dan hutan. Di samping itu

12

Imam Hanafi, “Revitalisasi Hutan Cegah Kebakaran dan Perambahan “, dalam

http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/html, diakses Pada 18 Mei 2011

Page 19: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

12

melakukan kerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation

Agency) dalam pengembangan deteksi dini (early warning system); dengan

Uni Eropa dalam pengembangan MPA, dan dengan Jerman dalam

pembangunan pusat pengendalian kebakaran di Kalimantan Timur.

Berbagai langkah konkret telah diterapkan namun hingga saat ini data

presentasi kebakaran hutan masih sangat tinggi.

b). Upaya Adaptasi

Adalah program kelanjutan dari upaya mitigasi. Adaptation (adaptasi)

adalah tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya

mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan

iklim.13

Adaptasi perubahan iklim merupakan suatu upaya yang ditujukan

untuk menciptakan sistem pembangunan yang tahan (resilience) terhadap

dampak perubahan iklim dan gangguan variabilitas iklim (anomali iklim) yang

terjadi saat ini serta melaksanakan pola pembangunan ekonomi yang ramah

lingkungan sehingga dapat menghambat laju kerusakan lingkungan sehingga

dapat menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem

sosial-ekonomi bumi.14

Program kelanjutan adaptasi mencakup antara lain:15

Sistem Peringatan

Dini Bencana (Early Warning System) berupa sektor kehutanan. Kebakaran

hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan dan sangat merugikan dalam

13

“Strategi REDD di Indonesia”, dalam http://www.wwf.or.id/climate, diakses Pada 23 Februari

2011 14

WALHI, “Rencana Aksi Nasional Untuk Perubahan Iklim “, dalam htpp://www.unfcc.int,

diakses Pada 23 Februari 2011 15

Masnellyarti Hilman, Op. Cit.

Page 20: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

13

berbagai hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun secara ekologi. Dampak

yang segera terasa adalah asap, sampai negara tetangga juga merasakannya,

apalagi yang dekat dengan sumbernya. Belum lagi dampak yang harus diterima

setelah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi, yang dengan sendiri

akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan secara

langsung, dan seluruh masyarakat secara tidak langsung.

Salah satu pelaksanan dari adaptasi mengenai kehutanan yaitu

pemerintah telah melakukan himbauan kepada masyarakat untuk tidak

melakukan pembakaran hutan dan lahan, namun kenyataaanya sasaran

penyuluhan tentang kebakaran hutan dan lahan ditujukkan kepada masyarakat

yang memang mengolah lahannya sendiri, dengan kemampuan yang terbatas

dan luasan lahan dengan ukuran tenaga manusia, tentu pengetahuan lokal

(local knowledge) sudah cukup sebagai antisipasi dan tindakan preventif untuk

mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Seharusnya penyuluhan yang intensif dan tindakan represif sebenarnya

perlu dilakukan kepada segelintir “masyarakat yang kuasa” dengan luasan

lahan yang sangat luas dengan bantuan teknologi modern, tapi masih

menggunakan “teknologi api” dalam pembersihan lahannya. Karena kerusakan

hutan yang begitu luas lebih banyak disebabkan oleh manusia dengan

kemampuan teknologi modern, yang berbendera investasi untuk kemajuan

daerah, namun lebih menyengsarakan masyarakat.16

16

Benyamine, “Kebakaran Hutan atau Bencana Terencana”, dalam [email protected], diakses

Pada 15 Mei 2011

Page 21: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

14

Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan

penebangan liar telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum

(undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan

hasil yang optimal. Misalnya Perda di Kalimantan Tengah mengenai Zero

Burning belum sepenuhnya bisa terlaksana, mengingat kurang gencarnya

kampanye yang dilakukan pemda. Perda tersebut hanya efektif pada 3 – 4 tahun

pertama dan kini cenderung menurun penegakan hukumnya. Masih ada kesan

saling menyalahkan antar instansi pemerintah. 17

Implementasi tersebut ditujukan sebagai lanjutan dari adanya kebijakan

Indonesia dalam meratifikasi adanya Protokol Kyoto, namun kenyatannya

implementasi Protokol Kyoto belum mampu menyelesaikan permasalahan

perubahan iklim global di Indonesia.

C. Rumusan Masalah

Mengapa implementasi Protokol Kyoto di Indonesia tidak efektif ditinjau

dari sektor kehutanan?

D. Kerangka Pemikiran

Pada tingkatan yang paling sederhana teori dapat diartikan sebagai

penjelasan umum mengenai suatu fenomena tertentu yang diungkapkan kepada

seseorang yang mengenal karateristik-karateristik realitas yang sedang

dipelajarinya. Sesuai dengan permasalahan diatas, maka saya mencoba

17

“Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan”, dalam [email protected], diakses Pada 18 Mei

2011

Page 22: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

15

menggunakan konsep perjanjian internasional untuk menjelaskan implementasi

dari Protokol Kyoto.

Perjanjian internasional atau “treaty” adalah sarana utama yang dipunyai

Negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional. Perjanjian

internasional merupakan bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam

masyarakat internasional. Perjanjian Internasional merupakan sarana untuk

menetapkan kewajiban kepada pihak dalam perjanjian itu.18

Istilah perjanjian merujuk pada interaksi antarnegara dalam menyelesaikan

berbagai masalah atau konflik kepentingan di berbagai bidang, seperti bidang

politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan (militer). Sebuah

perjanjian harus dapat memberikan manfaat bagi negara-negara yang bergabung

dalam suatu perjanjian. Terdapat beberapa pengertian perjanjian yang

dikemukakan oleh para ahli hubungan internasional, antara lain:19

a) Mochtar Kusumaatmadja

Perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat

hukum tertentu.

18

Sugeng Istanto , Hukum Internasional, Edisis Pertama Universitas Atmajaya , Yogyakarta,

1994 hal 65. 19

Damos Dumali ,” Refleksi Dinamika Hukum”, 2008, dalam, http://untreaty.un.org/, diakses

Pada 25 Februari 2011

Page 23: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

16

b) Konferensi Wina 1969

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau

lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu yang

harus dipatuhi oleh setiap negara berdasarkan hukum internasional yang

berlaku.

c) Oppenheimer

Dalam bukunya yang berjudul International Law, Oppenheimes

mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “international treaties are

states, creating legal rights and obligations between the parties” atau perjanjian

internasional melibatkan negara-negara yang menciptakan hak dan kewajiban

di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.

d) K.J. Holsti

Perjanjian internasional merupakan hasil interaksi antarnegara yang diwakili

pemerintah bersepakat untuk merundingkan, menyelesaikan, dan membahas

masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian, dan

mengakhiri perundingan dengan perjanjian yang memuaskan kedua belah

pihak.

Dewasa ini dalam hukum internasional terdapat kecenderungan untuk

mengatur hukum nasioanal dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara

ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek

internasional lainnya, yang telah berkembang dengan sangat pesat. Hal ini

disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional,

Page 24: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

17

termasuk organisasi internasional dan negara-negara. Artinya untuk

mengimplementasikan suatu perjanjian internasional, maka dibutukan suatu

hukum internasional yang nantinya akan dituangkan dalam hukum nasional suatu

Negara. Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna

Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. 20

Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional

dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai

dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan

presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian

internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya

menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional

tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-

undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu

teori dualisme dan teori monisme. Maka dalam ini penulis akan menggunakan

aliran teori dualisme.

Indonesia sebagai Negara yang menganut paham Dualisme, hal ini terlihat

dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)

dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

20

Boer Mauna, “Vienna Convention on the Law of Treaties”, dalam htpp://deplu.go.id, diakses

Pada 14 Maret 2011

Page 25: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

18

Aliran Dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional

bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional

merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.21

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan

hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum

internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional

bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber

pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum

internasional;

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam

hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional

adalah negara;

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada

realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam

hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak

dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan

hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara

efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.22

21

I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed, Butterworths, USA, 1984, hal 64. 22

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal 57-56.

Page 26: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

19

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari

perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada

perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada

hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat

hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi

juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Akibat lain adalah tidak mungkin

adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin

adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum

nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

Suatu Negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian internasional dan juga

telah mengudangkan ke dalam hukum nasionalnya, serta dalam beberapa hal juga

telah mentranformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, dalam

pelaksanaanya di dalam wilayahnya, juga akan berhadapan dengan hukum atau

peraturan perudang-undangan nasional yang lain.23

Dalam hal ini perjanjian

dikatakan berjalan dengan baik apabila:

a) Substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan

hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang lain.

b) Harus ada pengkajian yang mendalam atas substansi perjanjian internasional

oleh suatu Negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional, karena

ditakutkan nantinya ada beberapa isi atau ketentuan yang ternyata

bertentangan dengan hukum atau perundang-undangan nasional.

23

I Wayan Pratihana, Perjanjian Internasional, Cetakan Pertama, Mandar Maju, Bandung , 2005

hal 275.

Page 27: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

20

c) Dalam perjanjian internasional harus ada transformasi hukum, yaitu hukum

nasional guna mengimplementasikan adanya suatu perjanjian internasional.

d) Adanya sanksi atau hukuman bagi Negara yang telah meratifikasi jika

melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan perjanjian internasional.

e) Suatu perjanjian internasional harus memberikan dampak positif bagi

National Interst (kepentingan nasional) suatu negara.

Hal lain juga terdapat pada hukum nasional yang ditansformasikan dari

perjanjian internasional, kenyatannya Indonesia telah meratifikasi kedua

kesepakatan iklim melalui Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan

United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka

Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang

No 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi

Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Salah satu

dokumen kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional yang dimiliki oleh

Indonesia adalah Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim

(RAN MAPI) yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup

(KNLH) pada November 2007.24

Di tingkat daerah, salah satu contoh kebijakan

untuk mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim sudah diterapkan oleh

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya kebijakan yang dilakukan

Pemerintahan NTB adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa

24

Bonn, Impact of Climate Changes, Yayasan Pelangi Indonesia, Jakarta , 2007, hal 44.

Page 28: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

21

Tenggara Barat Nomor 219 Tahun 2007 tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk

Pengarusutamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tahun Anggaran 2007 (SK GUB. NTB No. 219/2007).

Namun faktanya kebijakan RAN MAPI tidak mengikat secara hukum.

Meskipun kebijakan RAN MAPI telah dibentuk oleh lembaga negara yang

berwenang dalam mengelola lingkungan hidup, yakni KNLH, akan tetapi

kebijakan ini tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga tidak

mengikat secara hukum. 25

Pada faktanya, RAN MAPI tidak berbentuk Keputusan

atau Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, namun hanya berupa dokumen

hasil penelitian saja. Apabila RAN MAPI tersebut tidak mempunyai kekuatan

yang mengikat, maka kebijakan tersebut akan lebih bersifat kebijakan umum dari

pemerintah yang tidak mempunyai implikasi hukum kepada warga negaranya.

Dengan demikian, tidak tidak ada unsur imperatif untuk melakukan integrasi

adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan di Indonesia.26

Dari sisi kepentingan nasional, kenyataannya Indonesia tidak diuntungkan,

walau dari awal sudah ada komitmen dari Negara maju untuk membantu proses

pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang, nyatanya jumlah pemberian

dana ODA semakin menurun sejak awal tahun 1990-an, yang kemungkinan

dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global Environment

Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi Perubahan

Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi

Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai

25

Diah Sulistiowati, Menutup Akses Menuai Bencana, ICEL, Jakarta, 2008, hal 3. 26

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Kelima Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta,

2003, hal 32.

Page 29: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

22

komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah

menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang

dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk

„ODA funding„. Sedangkan penggunaan „ODA funding„ untuk membiayai CDM

oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul oleh

negara berkembang.27

E. Hipotesis

Berangkat dari pemikiran dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat saya

tarik hipotesis sementara, bahwa ketidakefektifan implementasi Protokol Kyoto di

Indonesia dari sektor kehutanan dikarenakan beberapa hal yaitu:

a. Dirugikannya Indonesia dari sisi kepentingan nasional.

b. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung implementasi

Protokol Kyoto di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini saya mencoba menggunakan metode penelitian bersifat

eksplanasi. Karena nantinya akan menjelaskan secara mendetail dan menerangkan

hubungan sebab akibat. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode

library research yaitu dengan menggunakan data skunder melalui pustaka dan

dokument. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi penulis akan

menggunakan buku, majalah, jurnal, catatan penting atapun research data terbaru

melalui via internet.

27 ADB, Climate Change in Asia: Indonesia Country Report on Socioeconomic Impacts of Climate

Change and National Response Strategy, Gramedia, Jakarta, 1994 hal 134.

Page 30: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

23

G. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui bagaiamana implementasi Protokol Kyoto di Indonesia.

b) Untuk mengetahui penyebab ketidakefektifan Protokol Kyoto di Indonesia.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat menambah dan mengembangkan wawasan dan ilmu

pengetahuan , khusunya dalam bidang ilmu sosial dan politik.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi penulis: sebagai salah satu syarat untuk kelulusan mahasiswa.

2. Dapat mengembangkan dan melatih untuk membuat suatu karya penelitian

skripsi.

3. Mendapatkan pengetahuan yang lebih lengkap dan terstruktur mengenai

pokok permasalahan yang sedang diteliti.

H. Batasan Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai ketidakefektifan implementasi Protokol

Kyoto di Indonesia dari sektor kehutanan. Periode penelitian ini dimulai tahun

2004 dan diakhiri tahun 2009. Alasan saya memilih tahun 2004, dikarenakan

indonesia telah resmi meratifikasi Protokol Kyoto dan penelitian akan diakhiri

hingga tahun 2009, dikarenakan implementasi upaya mitigasi maupun adaptasi

Undang-Undang dari sektor kehutanan resmi diratifikasi Pada Tahun 2009 oleh

Page 31: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

24

Pemerintah Indonesia. Untuk membatasi Penelitian ini difokuskan pada

ketidakefektifan implementasi Protokol Kyoto di Indonesia, namun tidak menutup

adanya kemungkinan pembahasan hal lain yang memiliki hubungan erat dengan

ketidakefektifan implementasi Protokol Kyoto tersebut.

I. Rencana Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang diterapkan penulis dalam penulisan

skripsi ini meliputi:

BAB I

: Membahas mengenai Protokol Kyoto dan implementasi di

Indonesia (dari sektor kehutanan).

BAB II : Memaparkan mengenai alasan ketidakefektifan dari

implementasi Protokol Kyoto dari sudut dirugikannya

Indonesia dari sisi kepentingan nasional.

BAB III

BAB IV

:

:

Memaparkan mengenai alasan ketidakefektifan dari

implementasi Protokol Kyoto dari sudut dirugikannya

Indonesia dari sisi kepentingan nasional.

Memaparkan mengenai alasan ketidakefektifan dari

implementasi Protokol Kyoto dari sudut belum adanya

peraturan perundang-undangan yang mendukung

implementasi Protokol Kyoto di Indonesia.

BAB IV : Berisi kesimpulan dan saran.

Page 32: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

25

BAB II

PROTOKOL KYOTO DAN IMPLEMENTASI DI INDONESIA

PADA SEKTOR KEHUTANAN

A. Protokol Kyoto

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi

Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Protokol Kyoto dinegosiasikan di

Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998

dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari

2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.11

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB

tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal sebagai UNFCCC. UNFCCC ini

diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Jenerio pada 1992. Semua pihak dalam

UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara

pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga

Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.

Target penurunan emisi dikenal dengan nama quantified emission limitation

and reducation commitment (QELROs) merupakan pokok permasalahan dalam

seluruh urusan Protokol Kyoto dengan memiliki implikasi serta mengikat secara

hukum, adanya periode komitmen, digunakannya rosot (sink) untuk mencapai

target, adanya jatah emisi setiap pihak di Annex I, dan dimasukannya enam jenis

1 Rustam Hakim, Prinsip Dasar Kebijakan bagi Protokol Kyoto, Edisi Pertama Bumi Aksara,

Jakarta, 2007, hal 33.

Page 33: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

26

Gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 (basket of

gases) dan disertakan dengan CO2. Protokol juga mengatur tata cara penurunan

emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan

tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang

emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi

dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.22

Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian sah di mana negara-negara

perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif

sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.

Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca -

karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang

dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target

nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk

Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk

Australia dan 10% untuk Islandia.33

Protokol Kyoto adalah sebuah instrument hukum (legal instrument) yang

dirancang untuk mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang bertujuan

untuk menstabilkan kosentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim bumi

dan merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas

rumah kaca. Protokol Kyoto disususn disususn untuk mengatur target kuantitatif

penurunan emisi dan target waktu penurunan bagi negara maju. Sementara Negara

berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan

2Global Warming”, dalam htpp://mcardmand.blogspot.com, diakses Pada 07 Juni 2011

3 Rilis Pers, Op. Cit.

Page 34: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

27

emisinya.4 4Protokol Kyoto juga bertujuan untuk membantu negara-negara

berkembang dalam proyek-proyek yang berhubungan untuk memperbaiki keadaan

iklim bumi. Pada protokol Kyoto juga diberlakukan sistem jual beli emisi. Setiap

negara-negara industri yang setuju dengan Protokol Kyoto dapat melakukan jual

beli emisi untuk menjual atau membeli batas emisi sesuai Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto disusun berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang

dibedakan,sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh Deklarasi Rio, yang

berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan

melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan

kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing.

Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex :

a) Annex A : Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber.

b) Annex B : Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para

Pihak.

Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal

berikut:55

1. Definisi

Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan

Protokol, diantaranya Conference of the Parties (COP) dan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beserta fungsinya dalam

pelaksanaan Konvensi dan Protokol. Ditetapkan juga bahwa Para Pihak pada

4Daniel Murdiyarso, Op Cit hal 9.

5 Silver Hutabarat, “Kajian UNFCC”, dalam htpp://www.unfcc.go.id/ informasi/intang.cdm.htm,

diakses Pada 08 Juni 2011

Page 35: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

28

Annex I Konvensi (negara industri, termasuk Rusia dan negara Eropa Timur

lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju pasar bebas) wajib

menurunkan emisi sesuai dengan Annex B.

2. Kebijakan dan Tata Cara

Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai

komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta

kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu,

Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan

mengambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari

perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang.

3. Target Penurunan Emisi

Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission

Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal

3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto. Emisi

GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxide (CO2),

Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC),

Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6) Target penurunan

emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B

Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara

pada Annex I.

Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama.

Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara

yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan

Page 36: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

29

karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban

kelompok negara yang emisinya tinggi.

4. Implementasi Bersama

Implementasi Bersama adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat

dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6 Protokol

Kyoto. Implementasi Bersama itu mengutamakan cara-cara yang paling

murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama

tersebut akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction

Units (ERU).

5. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan

Kewajiban bersama antara negara industri yang termasuk pada Annex I

dengan Negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab

bersama yang dibedakan. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 10 dan 11 Protokol

Kyoto. Pasal 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa

komitmen baru bagi Para Pihak, baik negara industry maupun negara

berkembang seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi Perubahan

Iklim. Pasal 11 menekankan kewajiban negara industri yang menjadi Pihak

dalam Protokol Kyoto serta terrnasuk pada Annex II Konvensi untuk

menyediakan dana baru dan dana tambahan, termasuk alih teknologi untuk

melaksanakan komitmen Pasal 10 Protokol Kyoto.

6. Mekanisme Pembangunan Bersih

Mekanisme Pembangunan Bersih yang diuraikan dalam Pasal 12 Protokol

Kyoto merupakan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama

Page 37: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

30

negara industry dengan negara berkembang. Negara industri melakukan

investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya.

Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan

utama Konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penurunan

emisi melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk

oleh Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties

(COP/MOP).

7. Kelembagaan

Lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan Protokol Kyoto adalah

.COP/MOP sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan Protokol (Pasal

13); Sekretariat Protokol juga berfungsi sebagai Sekretariat Konvensi

melakukan tugas-tugas administrasi Protokol (Pasal 14); dan Subsidiary Body

for Scientific and Technological Advice (SBSTA), sebagai Badan Pendukung

yang memberi masukan ilmiah kepada COP/MOP untuk membuat keputusan

(Pasal 15)

8. Perdagangan Emisi

Perdagangan Emisi sebagaimana diatur dalam pasal 17 merupakan

mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara

industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri

yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat memperdagangkan

kelebihan jatah emisinya dengan negara industry lain yang tidak dapat

memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan

dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.

Page 38: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

31

9. Prosedur Penataan dan Penyelesaian Sengketa

Ketidaktaatan (non compliance) atas kewajiban yang ditentukan dalam

Protokol diselesaikan sesuai dengan prosedur dan mekanisme penaatan yang

ada dalam ketentuan Pasal 18 Protokol Kyoto. Sesuai dengan Pasal 19

Protokol .Kyoto, apabila terjadi perselisihan di antara Para Pihak, proses

penyelesaian sengketa (dispute settlement) mengacu Pasal 14 Konvensi.

B. Implementasi Protokol Kyoto di Indonesia Pada Sektor Kehutanan

Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia.

Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mengikuti aturan keempat

fungsi/kategori hutan. Pertama, hutan konservasi, dikelola untuk mengkonservasi

keanekaragaman biologi, sumber daya genetik yang diperlukan untuk bahan

pangan, tanaman obat, domestikasi jenis kayu hutan dan non kayu. Kedua, hutan

lindung, penting untuk memelihara fungsi hidrologi, perlindungan DAS dan

konservasi tanah. Ketiga, hutan produksi, menyediakan produksi kayu dan non

kayu, dan dikelola melalui sistem tebang pilih untuk hutan alam dan tebang habis

untuk hutan tanaman. Keempat adalah hutan konversi, suatu kawasan hutan yang

dapat dikonversi menjadi area penggunaan lahan lainnya.

Dari sekitar 48 juta orang yang hidup di dalam dan sekitar hutan Indonesia,

sebanyak 6 juta orang diantaranya menggantungkan hidupnya langsung dari

hutan. Pemerintah telah mengupayakan seekstensif mungkin untuk

mengakomodasi hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui peraturan-

peraturan dan kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan.

Page 39: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

32

Hasil kayu merupakan salah satu produk hutan yang berkontribusi signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, lapangan kerja, dan ekspor, terutama

antara tahun 1980–1990. Perolehan devisa negara luar negeri dari ekspor

hasil hutan diperkirakan mencapai US$ 1,2 trilyun pada tahun 1985. Sejak saat itu

komposisi hasil hutan yang diekspor berubah dari kayu bulat menjadi kayu olahan

seperti kayu gergajian, kayu lapis, panel, furnitur, pulp dan kertas. Pada tahun

2005, dilaporkan bahwa tingkat ekspor komoditas hasil hutan meningkat menjadi

US $ 5 trilyun. 66

Deforestasi telah menyebabkan Indonesia kehilangan hutan sekitar 1,7 juta

ha per tahun, selama periode 1985–1997. Tingkat kehilangan areal hutan tertinggi

terjadi selama periode 1997 – 2000, yang mencapai jumlah sekitar 2,8 juta

ha/tahun. Kelestarian sumber daya hutan menjadi hal yang penting untuk

keberlanjutan pembangunan nasional. Pengelolaan sumber daya hutan secara

lestari adalah salah satu bentuk kegiatan mitigasi dan adaptasi, merupakan isu

yang terus dipertahankan di Indonesia. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan

tingginya ketergantungan terhadap sector berbasis lahan pertanian (pertanian,

kehutanan, perikanan, peternakan), menjadikan Indonesia rentan terhadap

perubahan iklim tidak hanya dari aspek lingkungan tetapi juga dari aspek ekonomi

dan sosial.77

6“Strategi REDD Readiness Indonesia”, dalam www.dephut.com, diakses Pada 30 Juni2011

7 Ibid.

Page 40: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

33

Berbagai kebijakan tengah diterapkan dalam mendukung proses

implementasi Protokol Kyoto di Indonesia. Adapun kebijakan tersebut berupa

upaya mitigasi dan adaptasi sesuai dengan anjuran pemerintah yang telah

meratifikasi adanya Protokol Kyoto. Dalam hal ini, implementasi difokuskan pada

sektor kehutanan di Indonesia. Adapun upaya tersebut mengenai illegal loging

ataupun kebakaran hutan di Indonesia.

Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat

yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain

sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Indonesia

merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan yang sangat luas.

Pembalakan liar atau penebangan liar yang dikenal dengan istilah asing

(illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu

yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Sebuah studi

kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan

bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai

mencapai 365 juta dolar AS.8 8

Studi yang lebih baru membandingkan penebangan

sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa

88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar.

Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.9

8 World Bank, “Indonesia-UK TropicaForestry Management Programme”, Illegal Logging in

Indonesia, ITFMP No. EC//99, Jakarta, 2003 hal 104.

9 Greenpeace, “Partners in Crime”, dalam htpp://www.blogspot.com, diakses Pada 07 juni 2011

Page 41: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

34

Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas

tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan

hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di

Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya

hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik

serta keuntungan pribadi.

Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak

dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta ha dari 120,35 juta ha

kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir

mencapai 2,83 juta ha per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana

Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi

dan Papua akan mengalami hal yang sama.109

Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan

kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai

harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5

milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1,4 milyar setiap

tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman

hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.

Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia

mencapai angka 3,8 juta ha pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh

aktivitas illegal logging atau penebangan liar. Sedangkan data Badan Penelitian

Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai

kerugian finansial akibat penebangan liar.

10

Enviromental Investigation Agency”, dalam [email protected], diakses Pada 07 Juni 2011

Page 42: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

35

Dalam mengimplemetasikan adanya Protokol Kyoto baik dari segi mitigasi

ataupun adaptasi dari sector kehutanan, maka pemerintah membuat Inpres Nomor

4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan

Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan

landasan koordinasi penanggulangan Illegal Logging, dengan fokus upaya

Percepatan pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di kawasan

Hutan, melalui penindakan terhadap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

menebang/memanen/memungut hasil hutan kayu dari kawasan hutan tanpa

hak/ijin dari pejabat yang berwenang, menerima/memberi/menjual/menyimpan

hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil secara tidak sah,

mengangkut/menguasai/memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi surat

keterangan sahnya hasil hutan kayu tersebut, membawa alat-alat berat/ alat-alat

lainnya yang lazim/patut diduga digunkan untuk mengangkut hasil hutan kayu di

dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang, Menindak tegas dan

memberikan sanksi terhadap oknum petugas yang terllibat, Melakukan koordinasi

dan kerja sama, Memanfaatkan informasi masyarakat, Melakukan penanganan

sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan

kayu secara illegal, untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.1110

Inpres ini menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan

percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan

peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan

terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

11

“Illegal Logging”, dalam www.menlh.go.id, diakses Pada 08 Juni 2011

Page 43: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

36

a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal

dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui

atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut

secara tidak sah.

c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.

d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut

diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan

tanpa izin pejabat yang berwenang.

e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau

membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Namun pada kenyataannya Kendala-kendala dalam upaya penanggulangan:

Rasio luas wilayah yang harus diawasi dengan kemampuan pengawasan.

(Keterbatasan SDM, Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung), Masih

adanya pemanfaatan masyarakat di sekitar hutan untuk melakukan penebangan

hutan secara illegal oleh pemilik modal, Belum terintegrasinya Online Data Base

Intergovernmental Agency, sehingga pertukaran informasi di bidang tindak pidana

kehutanan masih lemah, Kecenderungan tidak konsistennya masyarakat dunia,

berkaitan dengan kepentingan perdagangan kayu dunia dan isu pelestarian hutan.

Page 44: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

37

Catatan kasus-kasus Illegal Logging 2 ( dua ) Tahun terakhir dan beberapa

kasus besar : Tahun 2006 Bareskrim Polri mencatat Jumlah tindak pidana illegal

logging yang ditangani 3.711 kasus, dengan tersangka 5.217 orang dan

diselesaikan 2.407 kasus dengan barang bukti : Kayu Olahan = 494.810.53 M3,

Kayu log/Bulat = 690.637 batang, Tugboat = 8 Unit, Tongkang = 7 Unit, Ponton

= 2 Unit, Klotok = 111 Unit, Kapal = 451 Unit, Truk/mobil = 1.255 Unit, Alat

Berat = 187 Unit, Alat ringan = 314 Unit, Sepeda motor = 39 Unit, Buldoser = 2

Unit, Chainsaw = 41 Unit.

Tahun 2007 Bareskrim Mabes Polri mencatat jumlah tindak pidana illegal

logging yang ditangani 1.749 kasus, dengan jumlah tersangka 1.717 orang dan

diselesaikan 1.260 kasus dengan barang bukti sebagai berikut : Kayu = 503.471

M3 + 405.828 Batang, Ponton/Tb/Tk = 17 Unit, Klotok = 69 Unit, Kapal = 59

Unit, Truk = 1.232 Unit, Kontainer = 272 Unit, Alat Berat = 205 Unit, Alat

Ringan = 832 Unit, Sepeda Motor = 68 Unit.12

Kasus Illegal Logging di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang Provinsi

Kalbar ( dikenal sebagai Kasus Tenda Biru). Ditemukan kayu berupa rakit pada

Januari 2008 sebanyak 19 rakit atau sebanyak 22.124 batang (10 rakit berada di

Kab. Kapuas Hulu dan 9 rakit berada di Kabupaten Sintang) Provinsi Kalimantan

Barat dengan diikuti oleh 285 orang penduduk –masyarakat setempat. Wakil

Bupati Kapuas Hulu dan Gubernur Provinsi kalbar melaporkan ke Menko

Polhukam dan Menhut. Pada tanggal 6 Maret 2008 diselenggarakan rapat

koordinasi untuk penyelesaian masalah dengan memperhatikan aspek: penegakan

hukum, politik, dan aspek kemanusiaan serta pembangunan masyarakat di wilayah

Page 45: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

38

perbatasan. Kayu temuan tersebut sebagian dalam proses lelang pada tanggal 18

Maret 2008 dan sebagiannya dalam proses pengukuran. Terhadap masyarakat

yang menyertai rakit kayu tersebut telah difasilitasi oleh Pemda Kabupaten

Kapuas Hulu dan Pemda Provinsi Kalbar untuk dikembalikan ke desanya masing-

masing.

Kasus Illegal Logging di Provinsi Riau, operasi yang dilakukan aparat Polri

dalam pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau merupakan implementasi

Inpres Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara

Illegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik

Indonesia. Dari operasi ini, telah dilakukan proses penyidikan, antara lain 14

perusahaan HTI, serta penyitaan sejumlah besar kayu, sejumlah alat angkut dan

alat berat. Di dalam perkembangannya, timbul dampak yang berkaitan dengan

dengan aspek penegakan hukum dan aspek sosial ekonomi. Pada aspek penegakan

hukum, terdapat perbedaan perpsepsi antara jajaran Departemen Kehutanan dan

Jajaran Polda Riau, tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Tanaman Industri.

Pada aspek sosial-ekonomi, timbul keluhan dunia usaha, berkait dengan

penurunan produksi karena berhentinya pasokan bahan baku, yang kemudian

disimpulkan mengakibatkan penurunan nilai ekspor, pengangguran dan hambatan

instansi. Masalah tersebut mengemukakan di berbagai media massa baik cetak dan

elektronik yang lebih mengeksploitasi perbedaan persepsi tersebut, sebagai

pertentangan yang tajam antar institusi. Untuk penyelesaian masalah ini, telah

dibentuk Tim Penyelesaian Masalah Illegal Logging di Provinsi Riau (TPM) yang

Page 46: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

39

terdiri dari Tim Pengarah (Ketua Menko Polhukam, Wakil Ketua Menko

Perekonomian) dan Tim Pelaksana ( Ketua Deputi V / Kemenko Polhukam,

Wakil Ketua Deputi III / Kemenko Perekonomian ). Namun berdasarkan data di

atas kasus Illegal logging masih belum terselesaikan dengan baik walupun

pemerintah telah mensosialisasikan inpres no 4 Tahun 2005.

Selain permasalahan diatas kebakaran hutan di Indonesia juga menjadi

permasalahan utama yang menjadi agenda dari implementasi Protokol Kyoto di

Indonesia.

Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah

kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah

dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan

manusia, dan pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan

dan sangat merugikan dalam berbagai hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun

secara ekologi. Dampak yang segera terasa adalah asap, sampai negara tetangga

juga merasakannya, apalagi yang dekat dengan sumbernya. Belum lagi dampak

yang harus diterima setelah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi,

yang dengan sendiri akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di

dalam hutan secara langsung, dan seluruh masyarakat secara tidak langsung.

Penyebab terjadinya kerusakan hutan yang maha dahsyat ini adalah kegiatan

penebangan hutan skala besar oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),

pembukaan areal hutan tanaman industri (HTI) untuk industri kertas dan

perkebunan besar kelapa sawit, kebakaran hutan karena pembukaan lahan serta

praktik-praktik illegal logging oleh para mafia kayu yang telah merugikan negara

Page 47: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

40

sebesar 41 triliun rupiah setiap tahunnya. Serangkaian bencana alam yang terjadi

beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan,

erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan rusaknya hutan kita.

Sementara kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah

menobatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar

ketiga di dunia.

Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi hal yang biasa. Secara histori

kebakaran hutan di Indonesia telah tercatat sejak tahun 1877. Secara teori dan

aplikasi kebakaran hutan terjadi akibat terpenuhinya interaksi antara bahan bakar,

udara atau adanya oksigen dan sumber penyulutun. Tanpa ada interaksi dari ketiga

komponen tersebut mustahil kebakaran hutan dan lahan terjadi. Dari hasil

penelitian Paine dalamEnvironmental summary: harvesting and use of peat as an

energy, tentang interaksi ketiga komponen bisa ditarik kesimpulan bahwa

kebakaran hutan sangat mustahil terjadi dengan sendiri.

Kenyataan ini sangat beralasan terjadi di Indonesia. Di beberapa penuturan,

ahli kebakaran hutan dan lahan Profesor Bambang Hero Saharjo menyatakan

bahwa penyebab terjadinya kebakaran 99,9 % terjadi akibat ulah manusia, baik

disengaja ataupun tidak. Pernyataan ini diperkuat dengan kondisi alam Indonesia

yang tidak memungkinkan kebakaran hutan terjadi dengan sendirinya, atau faktor

alam seperti percikan api akibat kilat atau gesekan ion negative dan positif di

awan. Ketika terjadi kilat dan petir, sudah bisa dipastikan akan diikuti dengan

hujan.11

11

“Lahan dan Hutan”, dalam www.presidenri.go.id/index.php/uu/instruksi, diakses Pada 08 Juni

2011

Page 48: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

41

Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada

lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut asap. Tingkat

kenaikan/penurunan jumlah hot spot tahun 2005/2006 di 8 provinsi yang terjadi

kebakaran lahan dan hutan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1.2. Kebakaran Lahan dan Hutan

No. Provinsi

Jumlah Hot Spot

Th. 2005 Th. 2006 %

1 Sumatera Utara 3830 3581 -6,50

2 Riau 22.630 35.426 56,54

3 Jambi 1208 6948 475,17

4 Sumatera Selatan 1182 21.734 1738,75

5 Kalimantan Barat 3022 29.266 864,43

6 Kalimantan Tengah 3147 40.897 1199,56

7 Kalimantan Selatan 758 6469 753,43

8 Sulawesi Selatan 133 1201 803,01

Sumber: Departemen Kehutanan,”Kebakaran Lahan dan Hutan”, 2011.

Sementara itu, berdasarkan data pada 2004/2007, sekitar 247 ribu ha

kawasan hutan di Kotabaru dalam kondisi kritis. Hutan kritis paling tinggi terjadi

di kawasan hutan produksi (HP) sekitar 184 ribu ha, hutan produksi terbatas

(HPT) sekitar 38,6 ribu ha, hutan lindung (HL) sekitar 18 ribu ha, dan kawasan

hutan alam/suaka alam (SA) sekitar 5,5 ribu.12

12

Imam Hanafi, “Revitalisasi Hutan Cegah Kebakaran dan Perambahan “ dalam

http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/html, diakses Pada 18 Mei 2011

Page 49: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

42

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu

penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif.

Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan

oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu

terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi

pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan

lain-lain.

Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha,

tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau

mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang

bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini,

penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang

disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang

sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif

ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.

Upaya Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan Menurut UU No 45 Tahun

2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat

pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan

bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab

di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi fungsi berikut ini :13

13

Adi Dzikrullah Bakri, “Tindakan Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan”, dalam

www.republika.com, diakses Pda 08 Juni 2011

Page 50: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

43

1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya

masing-masing.

2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.Hal ini bisa

dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early

warning system) di setiap tingkat.

3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada

masyarakat. Penyuluhan dimaksudkan agar

menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah

mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia

yang seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan.

Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada

masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan

terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.

4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating

Procedure) untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan

program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas

dalam penanganan kebakaran hutan.

5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang

berkaitan langsung dengan hutan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir

adanya kebakaran hutan dan Illegal Logging di Indonesia, namun berdasasarkan

data diatas masih bayaknya kebakaran hutan dan Illegal Logging yang terjadi,

padahal upaya adaptasi ataupun mitigasi telah diterapkan seiring dengan

implementasi dari adanya Protokol Kyoto.

Page 51: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

44

BAB III

DIRUGIKANNYA INDONESIA DARI

SISI KEPENTINGAN NASIONAL

Setiap bangsa di dunia ini pastilah mempunyai cita-cita Nasional dan

Tujuan. Nasional masing-masing. Namun karena di dunia ini terdapat lebih dari

200 negara, maka akan terjadi interaksi baik positif maupun negatif satu sama lain

yang memunculkan adanya kepentingan nasional sesuai tahapan waktu dan

perkembangan lingkungan strategis global, regional maupun nasional. Bangsa

Indonesia yang menegara dalam wadah Negara Kesatuan RI juga mempunyai

cita-cita Nasional dan tujuan Nasional sesuai tang tertera pada alenia ke 4

Pembukaan UUD 1945 yang dapat pula disebut sebagai Kepentingan Nasional

yang abadi.

Menurut H.J.Morgenthau kepentingan nasional sama dengan usaha negara

untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang bisa

mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain.

Morgenthau juga mengatakan bahwa konsep kepentingan nasional serupa dengan

„konsep umum‟ konstitusi Amerika Serikat dalam dua hal yaitu kesejahteraan

umum (general welfare) dan hak perlindungan hukum. Konsep tersebut memuat

arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri, tetapi diluar arti minimum

konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai macam hal yang secara logis

berpadanan dengannya sesuai dengan tradisi politik dan konteks kultural

keseluruhan dimana suatu negara memutuskan politik luar negerinya. Arti

Page 52: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

45

minimum yang inheren di dalam konsep kepentingan nasional sebuah negara

adalah melindungi identitas fisik, politik, dan kulturalnya dari gangguan negara-

bangsa lain. Dengan kata lain hakekat kepentingan nasional menurut Morgenthau

adalah power (pengaruh, kekuasaan, dan kekuatan).1

Namun menurut Joseph Frankel, kepentingan nasional tidak bisa

didefinisikan secara sempit dengan cara mengabaikan kepentingan-kepentingan

moral, religi, dan kepentingan kemanusiaan yang lain seperti yang dibuat oleh

Morgenthau. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Nicholas Spykman

bahwa kepentingan nasional juga mencakup kepentingan moral, religi,

kebudayaan, dan sebagainya. Tetapi dia menambahkan bahwa untuk mengejar

kepentingan-kepentingan itu tetap diperlukan power yang mencukupi.

Paul Seabury mendefinisikan konsep kepentingan nasional secara normatif dan

deskriptif. Secara normatif konsep kepentingan nasional berkaitan dengan

kumpulan cita-cita suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan

dengan negara lain. Namun tidak sekedar cita-cita mengejar power saja melainkan

ada juga cita-cita lainnya. Sedangkan secara deskriptif, kepentingan nasional

dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui

kepemimpinan pemerintah.

Dalam perkembangan lingkungan yang strategis global, regional maupun

nasional termasuk interaksi antar negara, maka muncullah kepentingan Nasional

Indonesia yang dinamis yang pada dasarnya terdiri dari tiga serangkai kata yaitu

kepentingan Keamanan Nasional, kesejahteraan nasional dan ekonomi nasional.

1 “Definisi Kepentingan Nasional”, dalam www.wilayahpertahanan.com, diakses Pada 13 Juni

2011

Page 53: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

46

Sesuai analisa lingkungan strategis, maka pepentingan nasional Indonesia hingga

tahun 2009 prioritasnya sebagai berikut:2

Survival. Berupa integritas territorial, Keaulatan nasional dan keselamatan

segenap bangsa Indonesia.

Vital. Berupa stabilitas regional, stabilitas politik, pembangunan ekonomi

dan penegakan hukum.Penting. Berupa keharmonisan SRA, HAM dan lingkungan

hidup.

Marjinal. Berupa perdamaian dunia dan ketertiban meluas Indonesia.

Selanjutnya sejalan dengan kepentingan Nasional Indonesia, maka prioritas

kebijakan Nasional Indonesia adalah: Menjaga integritas territorial dan

menegakan kedaulatan nasional Indonesia serta membangkitkan ekonomi nasional

Indonesia yang didukung oleh politik luar negeri Indonesia dalam mewujudkan

stabilitas regional.

A. Ketidakjelasan Alokasi Dana dari ODA (Official Development

Assistance) dan WB (World Bank)

Permasalahan dan issue deforestasi dan forest degradasi yang menyebabkan

penurunan emisi dan mengakibatkan perubahan iklim semakin meluas seiring

dengan meningkatnya kegiatan destruktif logging, pertambangan, perkebunan dan

proyek pembangunan infrastruktur lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam.

Kondisi ini telah mengakibatkan perubahan iklim global dan bencana

kemanusiaan, menurunnya kualitas hidup manusia dan lingkungan alamnya.

2 “Kepentingan Nasional Indonesia”, dalam www.wilayahpertahanan.com, diakses Pada 20 Juni

2011

Page 54: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

47

Untuk mencegah kerusakan hutan dan mengurangi dampak perubahan iklim,

pemerintah di negara maju, korporasi dan lembaga keuangan international,

seperti: World Bank (Bank Dunia), merencanakan adanya pendanaan disebut

Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk mencegah pengrusakan hutan

dan pasar carbon untuk perlindungan hutan. Departemen Kehutanan sedang

merancang aturan kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan REDD

(Reduction Emition from Deforestation and Forest Degradation). 3

Sahat Saragih dari JASOIL menyatakan bahwa dari pengamatannya

selama ini, sudah ada banyak perusahaan carbon, NGO dan agen-agen

international, yang sudah melakukan pendekatan kepada masyarakat dan

pemerintah daerah (Pemda). Kita lihat saja Pemda Papua dan Aceh telah

menyelesaikan proposal untuk kegiatan yang berhubungan dengan Avoided

Deforestation dan REDD. Lembaga keuangan, seperti: Merrill Lynch dan VERs

(perusahaan carbon conservasi) dari Australia, New Forest Asset Management

(NFAM) dan pemerintah Australia, sudah menandatangani Nota Kesepakatan

dengan pemerintah Papua dan Aceh. Bagaimanapun program-program eksploitasi

sumberdaya hutan, konservasi, mencegah pengrusakan hutan dan pengembangan

pasar carbon dari usaha pemulihan kawasan hutan, masih menjadi ancaman dan

permasalahan bagi masyarakat dan lingkungan. Misalnya issu peraturan hukum

yang belum secara tegas mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat atas tanah

dan sumberdaya alam lainnya, sehingga kebijakan dan praktik konservasi dan

carbon trade dikhawatirkan akan menyingkirkan masyarakat.4

3 “Pendanaan REDD di Indonesia”, dalam www.antaranews.com/berita/.../indonesia-penerima-

dana-redd, diakses Pada 20 Juni 2011 4 Ibid.

Page 55: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

48

Pertemuan-pertemuan dan dan diskusi-diskusi yang dilaksanakan ini

merupakan upaya advokasi hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya

hutan. Tujuannya adalah untuk memperkuat hak-hak masyarakat atas tanah dan

sumberdaya alam di Indonesia, guna mendapatkan pengakuan kebijakan dan

hukum di semua tingkatan international, nasional dan local, dalam kegiatan

pembangunan, konservasi, perubahan iklim dan pengelolaan sumberdaya

alam.Hasilnya diharapkan dapat mendukung masyarakat di kawasan hutan di

Indonesia.

Indonesia merupakan suatu Negara yang telah berupaya menyiapkan

Perangkat REDD, mulai dari Aspek regulasi, institusi sampai aspek teknis

metodelogis, Di mana dalam Perkiraanya pemerintah Indonesia akan

mendapatkan „keuntungan‟ US$ 3,75 (Rp 33,75 Trilyun per tahun) Dengan

Skema REDD yang ada, Penerapan Skema REDD tentunya akan melibatkan

pemerintah termasuk Pemerintah Daerah (Provinsi sampai pada kabupaten). Baru-

baru ini dilakukan pertemuan Climate Investment Fund (CIF) di Manila, selain

mendapatkan dana untuk pengembangan proyek geothermal melalui Clean

Technology Fund (CTF), di pertemuan juga diputuskan bahwa Indonesia yang

paling tinggi dalam kriteria kesiapan untuk mendapatkan Forest Investment Fund

(FIP) disisi lain Bank Dunia juga mengembangkan program Forest Carbon

Partnership Facility (FCPF) salah satu program dibawah Climate Investment

Finance (CIF).5

5 Bustanul Djamil, “Peluang dan Tantangan REDD”, dalam www.hariansumutpos.com/.../redd-

peluang-dan-tantangan-dalam-alternatif-perubahan-iklim-.html , diakses Pada 20 Juni 2011

Page 56: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

49

Pada kenyataannya dana dari ODA (Official Development Assistance),

dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global Environment

Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi Perubahan

Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi

Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai

komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah

menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang

dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk

„ODA funding„. Sedangkan penggunaan ‘ODA funding‘ untuk membiayai CDM

oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul oleh

negara berkembang.

Di mana dalam Perkiraanya pemerintah Indonesia akan mendapatkan

„keuntungan‟ US$ 3,75 (Rp 33,75 Trilyun per tahun) Dengan Skema REDD yang

ada, Penerapan Skema REDD tentunya akan melibatkan pemerintah termasuk

Pemerintah Daerah (Provinsi sampai pada kabupaten). Baru-baru ini dilakukan

pertemuan Climate Investment Fund (CIF) di Manila, selain mendapatkan dana

untuk pengembangan proyek geothermal melalui Clean Technology Fund (CTF),

di pertemuan juga diputuskan bahwa Indonesia yang paling tinggi dalam kriteria

kesiapan untuk mendapatkan Forest Investment Fund (FIP) disisi lain Bank Dunia

juga mengembangkan program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) salah

satu program dibawah Climate Investment Finance (CIF).6

6 Ibid.

Page 57: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

50

Dalam kasus Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana pemerintah

sedang berencana untuk mengalokasikan 37,5 juta ha hutan yang tersebar di Pulau

Sumatera, Kalimantan dan Papua, tentu akan menjadi ancaman serius bagi mereka

yang tinggal disekitar kawasan hutan tersebut. Tentunya ancaman tidak hanya

merugikan dalam aspek finansial semata, namun juga pada aspek ketersediaan dan

kedaulatan rakyat Indonesia atas suatu wilayah hutan tertentu.

Proposal REDD justru membuka kesempatan kepada pengusaha kehutanan

untuk turut mendapat insentif dari mekanisme yang ditawarkan yakni berlandas

kepada kekuatan legal formal yang dimiliki atas suatu konsesi kawasan hutan

tertentu (seperti HPH, HTI dan perkebunan) melalui itikad pengurangan atau

penghentian pemanfaatan kawasan konsesi hutan yang dimiliki oleh setiap

pengusaha. Dengan begini, bukan masyarakat disekitar hutan yang mendapat

keuntungan dari REDD, tapi justru mereka para pengusaha yang mendapatkan

keistimewaan dari REDD dalam hal finansial, dan sekaligus terbebas dari

tanggung-jawab mutlak terhadap kerusakan hutan dan lahan yang telah dilakukan

sebelumnya.

Pendanaan yang akan dan sudah tersedia untuk kegiatan REDD berasal dari

pihak pemerintah dan swasta. Kebutuhan yang berbeda harus disesuaikan dengan

sumber yang berbeda. Misalnya, Organisation for Economic Co-operation and

Development (OECD) tidak mengklasifikasikan pembelian kredit karbon sebagai

bantuan pembangunan luar negeri atau Official Development Assistance (ODA).

Hal ini karena biaya kredit tersebut akan dikurangi dari dana ODA, oleh sebab itu,

kegiatan yang menghasilkan kredit karbon harus didanai oleh sektor swasta dan

Page 58: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

51

penjualan kredit REDD kepada negara anggota Aneks I untuk menurunkan net

emisi gas rumah kaca mereka. Pendanaan swasta dan pemerintah sesuai untuk

jenis hutan yang berbeda.

Pendanaan di muka dari pemerintah diperlukan supaya REDD dapat

membawa hasil, terutama kalau tata kepemerintahan lemah. Pendanaan ODA

menjadi sangat penting jika digunakan untuk membiayai pembangunan kapasitas.

Tidak banyak negara berkembang mampu dan mempunyai keinginan politik untuk

mendanai aspek REDD ini. Bahkan jika REDD dimasukkan ke dalam pasar

karbon global, pendanaan US$ 11-19 miliar per tahun masih diperlukan untuk

memaruh emisi sebelum tahun 2020. Uang ini perlu dicari dari sumber dana

lain—kemungkinan besar ODA. Meningkatnya donor yang tertarik oleh REDD

melambungkan dana ODA yang tersedia untuk karbon di sektor kehutanan.

Dukungan untuk program atau anggaran akan membantu memperkuat lembaga-

lembaga pemerintahan dan meningkatkan rasa kepemilikan atas sistem REDD.7

Cara lain untuk mengumpulkan dana adalah melalui pelelangan izin emisi,

dan mengalokasikan sebagian untuk dana REDD global. Rancangan Undang-

Undang Warner-Lieberman (Amerika Serikat), dan EU Climate and Energy

Package mungkin akan mengalihkan sebagian pendapatan dari pelelangan

tersebut untuk mendukung REDD. Komisi Eropa sedang mempertimbangkan

untuk menyisihkan 5% dari perolehan pelelangan Skema Perdagangan Emisi Uni

Eropa pasca 2012 untuk mendukung upaya global untuk memerangi deforestasi.

Hasilnya bias mencapai US$ 2,0-2,7 dalam setahun sebelum 2020 (EC 2008).

7 Andrasko, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change,University Cambridge, USA,

2007 hal 73.

Page 59: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

52

Jerman telah mengikrarkan untuk menanamkan seluruh uang perolehan dari

lelang izin emisi Uni Eropa untuk mendanai kegiatan iklim internasional dan

domestik serta untuk melakukan intervensi kebijakan. Lelang seperti ini dapat

mengumpulkan dana yang cukup besar. Di Jerman saja, lelang izin emisi

menghasilkan lebih dari 1 miliar EURO per tahun. Pelelangan izin emisi untuk

industri penerbangan dan kelautan diperkirakan dapat mengumpulkan dana

sebesar US$ 40 miliar dolar AS. Lelang emisi seluruh Negara industri bisa

mengumpulkan paling sedikit 100 miliar EUR per tahun, Namun belum pasti

berapa banyak dari pendapatan tersebut yang akan disalurkan untuk REDD,

karena akan bersaing dengan permintaan dari sektor dan mekanisme, seperti

transfer teknologi dan adaptasi.8

Dalam pertemuan-pertemuan internasional, Kementerian Keuangan terus

memberikan dukungan dan advokasi mekanisme REDD untuk pendanaan karbon

kehutanan dalam rangka mitigasi, serta mekanisme pasar dan perdagangan karbon

yang lebih ramping dan komprehensif. Pendekatan-pendekatan tersebut akan

mendorong dan memberikan insentif kepada sektor swasta untuk melakukan

investasi yang diperlukan dalam rangka mitigasi iklim jangka panjang. Dalam

jangka pendek sampai menengah, Indonesia juga mendukung pandangan bahwa

pembiayaan iklim sektor publik akan memainkan peranan penting sebagai

katalisator dan sumber pembiayaan di muka. Dalam proses perundingan

internasional, Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa pembiayaan iklim

hendaknya bersifat tambahan bagi pembiayaan ODA dan multilateral yang ada

8 Ibid hal 74

Page 60: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

53

dan bahwa pinjaman negara berkembang untuk aksi-aksi perubahan iklim (dengan

manfaat pembangunan) harus didasarkan pada syarat-syarat konsesional.9

Selain itu, pinjaman multilateral untuk proyek bisa dinegosiasikan sesuai

dengan kebutuhan, sehingga bisa terhindar dari masalah gejolak perekonomian.

Hal ini berbeda dengan pinjaman yang dilakukan melalui pasar terbuka, seperti

halnya bank maupun pasar finansial.

Indonesia masuk ke dalam posisi keenam negara-negara peminjam terbesar

ke World Bank senilai total US$ 2,98 miliar. Namun jika dibandingkan dengan

peringkat pertama dan kedua, satu negara peminjam dengan jumlah yang besar

dan masuk ke dalam posisi pertama dan kedua, jumlah yang dicatat Indonesia

cukup jauh. Bank Dunia segera meluncurkan “pencegahan deforestasi” proyek

percontohan yang akan membayar Negara-negara tropis mencegah hutan mereka

(laporan dari the wall street jurnal). Dana US$ 250.000.000 akan pahala

Indonesia, brazil, kongo dan Negara hutan tropis lainnya untuk mengimbangi

emisi pemanasan global.10

Pada kenyataanya World Bank juga mempunyai alasan tersendiri dalam

membantu Negara berkembang termasuk Indonesia dalam menaggulangi ikim

karbon. Alasan terkuat yakni Tentunya bahwa keterlibatan Bank Dunia dalam

REDD ini bukan tanpa motif atau kepentingan Bank Dunia terhadap kesuksesan

REDD ini. Untuk lebih memahami apa yang menyebabkan Bank Dunia aktif

9 Pietsau Amafnini, Op Cit.

10 Bambang Jatmiko, “World Bank akan Emisi Gas Rupiah”, dalam

web.worldbank.org/.../0,,menuPK:4125909~pagePK:64168427~piPK:64168435~theSitePK:41258

53,00.html, diakses Pada 27 Juni 2011

Page 61: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

54

berperan dalam REDD ini maka perlu di kemukakan apa yg menjadi

kepentingannya. Berikut temuan motif kepentingan Bank Dunia Dalam REDD: 11

1. Kepentingan yang paling utama adalah mengembalikan posisi Bank Dunia

sebagai pemain utama ekonomi global yang selama ini semenjak terjadinya

krisis keuangan global, Bank Dunia semakin ditinggalkan maka oleh karena

itu Bank Dunia aktif mendorong mekanisme REDD ini melalui Pasar bebas

sehingga Bank Dunia berharap bisa menjadi Broker dalam perdagangan

karbon. Melalui FCPF dan FIP ini Bank Dunia mendorong agar skema REDD

ini di jalankan melalui proses pasar atau dengan kata lain Bank Dunia

medorong nanti program REDD ini bisa menjadi suatu program liberalisasi

perdagangan karbon. Liberalisasi REDD direncanakan akan menempatan

REDD sebagi Makelar/Broker perdagangan kabon sehingga setiap aliran uang

yang dipergunakan untuk membeli kabon REDD oleh negara-negara yang

gagal menurunkan tingkat emisi nasionalnya harus melewati Bank Dunia

terlebih dahulu sebelum ke negara pemilik hutan. penting untuk melihat bukti

bahwa Bank Dunia memiliki kecenderungan melakukan pendekatan

berdasarkan pasar. Walaupun hal ini tidak disebutkan secara jelas dalam

FCPF, tetapi ini jelas merupakan tujuan kunci FCPF. Universitas Sumatera

Utara.

11

“Pendanaan Bank Dunia”, dalam http://www.RTD1- Bank_Dunia_ClimateChange_Summary,

diakses Pada 27 Juni 2011

Page 62: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

55

2. Ada kecurigaan bahwa Bank Dunia aktif dalam REDD ini adalah untuk

menutupi dosanya terhadap kerusakan hutan atau dengan kata lain Bank Dunia

memainkan Politik Cuci Tangan. Kecurigaan ini berdasarkan pada catatan

sejarah mengenai kebijakan-kebijakan Bank Dunia yang membawa dampak

kerusakan hutan di berbagai negara. Salah satu yang dicatat adalah bagaimana

Bank Dunia pada tahun 1982-1985 di Brazil Bank Dunia memberikan

dukungan kepada proyek pemindahan penduduk besar-besaran atas nama

pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang lebih dikenal

sebagai proyek Polonoroeste. Dukungan keuangan pada proyek ini telah

menghasilkan sebuah bencana ekologi yang dahsyat, bahkan Bank Dunia juga

mengakui hal itu

Hal ini menyiratkan bahwa bank dunia hanya ingin mengembalikan citra

baik dimata dunia, yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas masalah emisi

yang tidak semestinya dipikul oleh Negara berkembang seperti Indonesia.

B. Masyarakat Adat dan Pribumi dirugikan

Degradasi kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup (ecological

losses) secara empiris juga berarti: (1) Menghilangkan sebagian sumber-sumber

kehidupan dan mata pencaharian masyarakat (economic resources losses); (2)

Mengerosi kearifan lokal melalui perusakan sistem pengetahuan, teknologi,

institusi, religi, dan tradisi masyarakat lokal (social and cultural losses); dan (3)

Mengabaikan hak-hak masyarakat dan kemajemukan hukum dalam masyarakat

(the political of legal pluralism ignorance).12

12

Pietsau Amafnini, “Antara Kebijakan Politik dan Masyarakat Adat”, dalam

sancapapuana.blogspot.com/.../redd-antara-kebijakan-politik-dan.html, diakses Pada 20 Juni 2011

Page 63: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

56

Menyadari fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan manusia,

masalah deforestasi ini telah menjadi perhatian dunia. Masyarakat global pun

mulai meyadari bahwa masalah deforestasi bukanlah tanggung jawab Indonesia

semata, melainkan tanggung jawab global. Pemeliharaan hutan kerap kali

berkonflik dengan kepentingan ekonomi negara dan masyarakatnya. Oleh karena

itu dibutuhkan sistem pendanaan di mana masyarakat global bisa menyediakan

pendanaan untuk Indonesia dan negara-negara hutan tropis lainnya menjaga

kelestarian hutan. Hal ini sangatlah masuk akal mengingat hutan memiliki peran

penting dalam penyerapan karbon yang dapat membantu memitigasi emisi karbon

penyebab perubahan iklim, yang merugikan seluruh masyarakat global.13

Tidak adanya status yang jelas bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal

dalam mengelola hutan negara akan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan

mekanisme REDD di Indonesia. Implikasi REDD bagi masyarakat adat dan

masyarakat petani Indonesia sedang diperdebatkan. Pendukung mengklaim bahwa

REDD dapat menguntungkan bagi kelompok masyarakat adat yang mencegah

aktivitas kerusakan lingkungan di lahan mereka. Ini adalah klaim bahwa program

bersifat “pro-kemiskinan” dan bahwa keluarga pedesaan yang berpendapatan

rendah di Indonesia akan mengalami peningkatan pendapatan dan kebutuhan

sosial terlihat setelahnya, jika mereka dapat memelihara atau beralih ke kehidupan

berbasis hutan. Di lain pihak, sangat sedikit pendukung atau bahkan mengkritik

proposal REDD yang terlihat berusaha untuk menantang nilai budaya yang memb

ayar masyarakat hanya karena tidak mengeksploitasi sumber daya.14

13

Melani Tedja, “Menyogsong mekanisme Pendanaan Hutan”, dalam www.ford-mof.org, diakses

Pada Juni 2011 14

Ibid

Page 64: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

57

Namun dalam kenyatannya dapat kita lihat di tingkat nasional kegiatan ini

dapat dihitungkan sebagai suatu keuntungan yaitu dalam bentuk penerimaan biaya

untuk pembangunan, terpeliharanya sumber daya hutan maupun keuntungan

politik lainnya. Namun ditingkat lokal tidak memberikan manfaat yang optimal

dimana keuntungan ini tidak seratus persen akan dinikmati oleh pelaksana lokal

utamannya adalah masyarakat adat dimana pada penyelengaraan REDD ini akan

menemui permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat

adat yang sebagian besar tergantung hidupnya dengan kawasan dan fungsi hutan

maupun yang berada langsung didalam hutan.15

Menurut survei AMAN, populasi masyarakat adat di Indonesia mencapai

50-70 juta orang, atau 23-32 % dari populasi. Sementara yang menjadi suku

terasing mencapai 1,7 %. Sistem HPH sebetulnya kita mengadopsi sistem konsesi

yang diterapkan oleh VOC dahulu. Dengan praktek HPH, masyarakat adat di

Indonesia saat ini ibarat mati di lumbung padi, manfaat hasil alam dieksploitasi

oleh orang kota (Jakarta). Bila masyarakat adat protes, dianggap melawan, dan

dikriminalisasi. Masyarakat adat yang tadinya pemilik tanah, kemudian menjadi

buruh di tanahnya sendiri. 16

Hal terpenting adalah baik pemerintah maupun pengembang dan penggagas

(proponent) proyek-proyek pembangunan dan proyek REDD yang mendapatkan

dana dari organisasi pembangunan international maupun dana publik wajib

melaksanakan FPIC, yakni: melakukan perundingan dan meminta persetujuan

15

“Perubahan Iklim, Hutan, dan REDD”, dalam www.redd-indonesia.org, diakses Pada 20 Juni

2011 16

Rony Christianto, “Masyarakat Adat antara Berkah dan Bencana, dalam

http://www.vhrmedia.com/vhr-REDD/bingkai.html, diakses Pada 27 Juni 2011

Page 65: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

58

secara bebas dari masyarakat sebelum proyek dilaksanakan. dan lingkungan untuk

pelaksanaan REDD.

Beberapa hal yang diberi catatan negative oleh WALHI adalah mekanisme

pasar yang akan diberlakukan dalam skema REDD, dengan mengacu pada skema

pasar bebas maka menurut pandangan mereka hanya akan merugikan negara-

negara pemilik hutan saja, mereka beralasan mekanisme pasar bebas dalam REDD

akan sama nasibnya dengan komoditas lain yang diperdagangkan bebas yang pada

akhirnya akan dimonopoli oleh negara-negara maju saja, sebab yang menjadi

konsumennya hanya negara maju saja yang jumlahnya sedikit dibandingkan

negara yang akan ikut dalam program REDD hal ini bisa membuat mereka akan

mudah mengontrol harga karbon yang diperjual belikan.

Hal lain yang menjadi kekhawatiran WALHI adalah bahwa dalam

pelaksanaannya hanya akan menguntungkan broker-broker perusahaan karbon

dikarenakan tidak adanya mekanisme yang jelas dalam melindungi masyarakat

pemilik hutan dari negoisasi pembagian hasil pemjualan karbon dan bukan tidak

mungkin masyarakat hutan adat akan dikelabuhi oleh para ahli-ahli dari perusahan

broker tersebut. 17

Selain itu juga adanya kekhawatiran dari WALHI bahwa REDD bisa

menyebabkan hilangnya akses kontrol masyarakat komunitas lokal dari sumber-

sumber kehidupannya karena selama ini memang dalam setiap perundingan

mengenai REDD masyarakat hutan adat sangat jarang diikut sertakan. Beberapa

kemudahan yang ditawarkan World Bank kepada negara peminjam adalah waktu

17

“Penurunan Emisi Gas”, dalam http://antaranews.com/berita/1259426853/redd-antara-

penurunan-emisi-dan-pemberdayaan-masyarakat, diakses Pada 27 Juni 2011

Page 66: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

59

pengembalian yang lebih lama mengajukan pinjaman dengan pengembalian yang

jauh lebih lama, dengan grace period hingga beberapa tahun.

Peraturan REDD ini memungkinkan adanya kontrol dan pengawasan

yang terpusat mengenai proyek REDD di Indonesia. Peraturan ini juga melarang

partisipasi masyarakat adat, baik secara hukum maupun finansial.18

Memang

skema REDD ini sangat menyilaukan mata karena dengan dijanjikan kempensasi

dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju

dan diharapkan mampu menyelesaikan masalah kerusakan hutan, lewat program

proyek REDD tersebut.

Dalam pernyataannya CERD juga dengan keras mengecam Indonesia karena

gagal memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihargai dalam pembangunan

perkebunan kelapa sawit. Indonesia memiliki program perluasan minyak sawit

besar-besaran dengan tujuan utama untuk memenuhi pasar ekspor, termasuk pasar

bahan bakar agro, yang menghancurkan hutan, menggusur masyarakat lokal dan

melanggar hak masyarakat adat atas pemberian persetujuan berdasarkan informasi

awal tanpa tekanan.19

Terdapat kekhawatiran besar bahwa skema REDD Indonesia pada akhirnya

akan memberikan ganjaran bagi perusahaan besar yang menghancurkan hutan

(seperti perusahaan bubur kayu dan minyak sawit), ketimbang masyarakat yang

tahu bagaimana memanfaatkannya secara berkelanjutan. Hal ini dapat

memberikan dampak negatif karena sistem pengelolaan sumber tradisional yang

18

Freedman, Enviromental Reviews, Gramedia, Yogyakarta, 2009 hal 17. 19

Juliano, “Perkembangan Perubahan Iklim Indonesia”, dalam

www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/early_warning/Indonesia130309.pdf, diakses Pada 02

Juli 2011

Page 67: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

60

melindungi hutan digantikan dengan skema REDD yang digerakkan oleh pasar

yang belum terbukti, yang motivasi utamanya adalah keuntungan, dan bukannya

keberlanjutan, penghidupan yang aman dan perlindungan hutan.

Keprihatinan tentang dampak potensial REDD terhadap masyarakat lokal

telah mendorong Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)

untuk mengeluarkan petisi 'Hutan untuk Rakyat' bagi COP14 UNFCCC di

Poznan. Mereka berargumentasi bahwa rencana-rencana REDD mengabaikan

kepentingan lebih dari 80 juta penduduk Indonesia yang bergantung pada hutan

dan sumber daya hutan. Petisi ini, yang ditandatangani oleh 22 kelompok -

sebagian besar merupakan masyarakat lokal - mendukung hak-hak lokal atas

hutan, manfaat bagi masyarakat lokal dari inisiatif mitigasi perubahan iklim

internasional dan pengurangan konsumsi oleh warga di negara industri akan

barang-barang yang terbuat dari bahan yang berasal dari hutan dan lahan hutan di

Indonesia.20

Pemberian sebuah nilai pasar pada hutan memungkinkan peran penting

untuk peningkatan kontrol korporat dan keadaan hutan. Karena sedikitnya

pengakuan nasional dan global terhadap hak wilayah dan hak adat pada saat ini

dapat membuat masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan

rentan kehilangan tanah mereka. Memasukkan uang melalui saluran yang sama

yang saat ini bertanggungjawab atas deforestasi ilegal dapat meningkatkan

korupsi. Sebuah kelemahan dari proposal REDD adalah bahwa kecuali hak-hak

masyarakat adat dilindungi, masyarakat hutan akan menderita dengan skema

20

“Antara Masyarakat Lokal dan REDD”, dalam

www.kpshk.org/index.php?option=com_content&task=view&id=123&Itemid=2, diakses Pada 02

Juli 2011

Page 68: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

61

tersebut. Jika disetujui dalam rezim perdagangan karbon global, REDD dapat

dibilang membantu mengurangi kemiskinan di masyarakat. Namun, kondisinya

adalah bahwa persyaratan hukum untuk penebangan hutan diberlakukan dengan

ketat.21

Sementara itu, draft PP Hutan Adat dikecam oleh AMAN. Draft ini

didasarkan pada undang-undang kehutanan tahun 1999 yang menempatkan hutan

adat dalam penguasaan negara. Dalam suratnya ke Presiden, Sekretaris Jenderal

AMAN Abdon Nababan juga mengecam draft peraturan itu karena melarang

masyarakat adat memperdagangkan hasil hutan dan menutup kesempatan

diakuinya hutan adat. Surat itu mengatakan bahwa draft peraturan tak

menawarkan solusi bagi konflik mengenai hutan, tetapi malahan mengesahkan

pengambilalihan hutan adat, dengan risiko konflik yang berlarut-larut. Surat itu

diakhiri dengan mengatakan bahwa PP Hutan Adat jauh di bawah standar nasional

dan internasional seperti yang tertuang dalam konstitusi Indonesia dan yang telah

dikonfirmasikan oleh UNDRIP.22

Setidaknya ada beberapa masalah dalam skema REDD yang dapat

dipersoalkan, antara lain: 23

pertama berlangsungnya program REDD di Indonesia

hanya akan membuat adanya broker karbon ditengah-tengah pemerintah daerah

pemilik hutan apalagi dengan adanya otonomi daerah yang mana hak pemerintah

daerah untuk mengelola hutan. Beberapa hasil kajian, sejumlah calo atau broker

21

“Masyarakat Adat”, dalam forestclimatecenter.org/guidance.php?cnt=International, diakses

Pada 27 Juni 2011 22

AMAN, “REDD dan Pemerintah Indonesia”, dalam www.forestpeoples.org, diakses Pada 02

Juli 2011 23

Muhamad Yat, “Skema REDD dan Climate Justice” dalam

www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5364, diakses Pada 02 Juli 2011

Page 69: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

62

karbon sudah menembus taraf gubernur terkait proses REDD. Selain itu belum

adanya mekanisme dan proses sertifikasi yang jelas akan menjadi celah yang bisa

dimanfaatkan para broker tersebut untuk mendapatkan keuntungan.

Kedua, mengutip dari M. Riza Damanik, mekanisme REDD ini menawarkan

kepada negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga dan mengunci

hutannya dengan imbalan imbalan uang. Resiko yang akan muncul dana-dana

REDD ini akan dipakai oleh negara untuk melengkapi lembaga perlindungan

hutan dengan sejumlah mobil jeep, walky talky, persenjataan, helikopter dan GPS

dengan pendekatan ”senjata dan penjaga” dengan cara ini mengukuhkan kontrol

negara dan swasta atas hutan. Kalo melihat tawaran ini tentunya sangat banyak

yang dirugikan karena hal ini akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat

lokal terhadap hutan, belum lagi mayarakat yang tinggal diskitar hutan dan

penghidupannya mengandalkan dari hasil hutan, bila akses terhadap hutan mereka

dibatasi maka akan dikemanakan mereka.

REDD tidak dapat menolong masyarakat pribumi dan masyarakat hutan.

Pada kenyataannya mereka melukai komunitas ini dan membawa pergi akses dan

hak untuk hutan, wilayah tradisional, dan obat-obatan. Eksekutif Walhi Riza

Damanik kepada detikcom mengatakan, REDD akan merugikan masyarakat adat.

Ia menjelaskan, pengurangan emisi melalui REDD akan mengubah fungsi hutan

hanya menjadi penyerap karbon."Hutan kita sangat luas dan memiliki fungsi

sosial, ekonomi dan ekologi. Kalau REDD dilaksanakan maka masyarakat adat

tidak akan mendapatkan manfaat dari fungsi hutan,"katanya.Walhi mendesak agar

pemerintah tidak menandatangi perjanjian REDD.

Page 70: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

63

Program dana kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi

hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD)

merupakan program pemerintah. Namun, Menteri Kehutanan MS Kaban

menyatakan, komitmen terbesar justru akan dinikmati daerah."Prinsipnya,

pemerintah adalah yang membuat regulasi namun semuanya mendapat kontribusi.

Kita berharap pemerintah daerah yang mendapatkan yang terbesar," kata Kaban

dalam jumpa pers usai launching REDD di Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Kamis

(6/12/2007). Kaban menambahkan, daerah berhak mendapat bagian terbesar

karena di sanalah hutan itu berada. Masyarakat lokal yang menjaga hutan, melalui

pemerintah daerah, tentu yang paling berhak mendapat keuntungan dari REDD.

Pemerintah akan memperjuangkan hak Indonesia untuk setiap ton karbon yang

dijaga melalui pelestarian hutan. Sejauh ini, beberapa negara seperti Inggris,

Australia, Jerman dan Bank Dunia sudah menyepakati program ini."Tapi saat ini

kita belum menerima komitmen dari negara-negara yang tergolong annex 1,"

imbuh Kaban. Program REDD ini diharapkan akan menghasilkan kesepakatan

antara 5-10 triliun dolar Amerika Serikat.24

C. Rusaknya Lingkungan Hutan di Indonesia

Selain hal diatas Indonesia menjadi berbeda dengan negara-negara lain

dalam pelaksanaan REDD karena di Indonesia ada mega biodiversity dan mega

cultural diversity. Bicara tentang masyarakat adat, kita tidak bicara tentang

kesukuan; namun 3 hal: tanah, darah, adat. Suku bangsa tertentu belum tentu

24

“REDD Tidak Dapat Menolong Masyarakat Adat”, dalam

www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/carbobrief/carbobrief0503.pdf, diakses Pada 23 Juli

2011

Page 71: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

64

masih menjadi masyarakat adatnya karena mungkin sudah meninggalkan sistem

adatnya.

Berbagai aktifitas manusia masih sering dijumpai didalam kawasan yang

dilindungi seperti di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata

alam , dan taman hutan raya sehinga dapat mendorong peningkatan laju kerusakan

di kawasan-kawasan konservasi tersebut, selain kerusakan yang juga terjadi

dikawasan hutan produksi.

Indonesia memiliki hutan dalam luasan yang luar biasa dengan kean

ekaragaman hayati yang fantastis. Namun sejak adanya undang-undang

penanaman modal diberlakukan pada akhir tahun 60-an, hutan Indonesia telah

mengalami perubahan yang drastis. Sumber daya alam merupakan faktor utama

yang sangat menentukan keinginan investor untuk menanamkan modalnya pada

suatu Negara. Salah satu sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah

SDA berupa hutan. UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing tetap

mengacu pada kepentingan nasional suatu Negara. Adapun syaratnya antara

lain:25

a. Adanya kepentingan lebih suatu Negara.

b. Negara tuan rumah harus memeberikan perlakuan yang sama terhadap

kepentingan Negara sendiri maupun kepentingan Negara lain.

c. Kepentingan tersebut terletak dan termasuk yuridiksi suatu Negara.

d. Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan tuan rumah atau

merugikan kepentingan Negara lain.

25

Erman Radjaguguk, Modul Investasi di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal

19.

Page 72: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

65

Adanya peraturan sebagaimana diatas mencerminkan bahwa Indonesia

secara tidak langsung dirugikan karna adanya UU penanaman modal. Dalam

situasi ini, Indonesia yang mempunyai kewenangan penuh atas lahan dan hutan,

namun pembagian keuntungan tidak boleh merugikan pihak asing, padahal

Indonesia seharusnya menerima sedikit lebih banyak atas pembagian keuntungan.

Selain hal tersebut belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai

kehutanan khususnya dalam hal implemetasi Protokol Kyoto membuat pihak

dalam atau luar ikut serta menanamkan modalnya pada hutan yang seharusnya

menjadi tanggung jawab penuh Negara Indonesia. Pada akhirnya Kerugian yang

paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak

terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan,

berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta

hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan

dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan

tegakan(pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga

dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya

menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya

penebangan liar.26

Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai karbon sink

(penyerap karbon), carbon storange (penyimpanan karbon), maupun carbon

source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi akan meningkatkan emisi

karbon, sedangkan afoestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya

26

BAPPENAS, Biodiversity Action Plan For Indonesia, BAPPENAS, Jakarta, 1993, hal 91.

Page 73: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

66

meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon. Lebih lanjut dalam RANPI

(2007) dikemukakan bahwa fenomena EI Nino, berupa kondisi cuaca yang sangat

kering, merupkan factor pendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan di

Indonesia.

. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada

terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok

sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga

kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi

kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang

sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak

berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan sumber daya hutan

akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan dapat

mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi

tidak mungkin lagi (irreversible).27

PERMENHUT yang mengatur sektor kehutanan baik Illegal Loging.

Degradasi atau deforestasi nyatanya tidak cukup untuk mengembalikan

lingkungan Hutan yang rusak. Tidak tersedianya dana dan aturan yang pasti

untuk menjaga kelestarian hutan menjadi salah satu pemicu rusaknya lingkungan

Hutan di Indonesia.

27

“Dampak Penebangan Hutan”, dalam www.anakunhas.com/.../dampak-dan-kerugian-

penebangan-hutan, diakses Pada 17 Juli 2011

Page 74: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

67

BAB IV

BELUM ADANYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MENGENAI IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

PADA SEKTOR KEHUTANAN

Upaya Mitigasi Maupun Adaptasi yang Dimaksud Disni Adalah Mengenai

Sector Kehutanan Di Indonesia. Sampai saat ini, belum ada peraturan pemerintah

yang secara khusus mengatur tentang proses adaptasi masyarakat terhadap

perubahan iklim. Oleh sebab itu, hal yang mendesak adalah perlu dikeluarkannya

peraturan pemerintah terkait adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim.

Persoalan mendasar kehutanan di Indonesia sangat terpaut dengan persoalan

hak penguasaan dan pengelolaan, kemiskinan, deforestasi dan degradasi. Sektor

kehutanan dan gambut merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar

pada tingkat emisi gas rumah kaca, sebesar 61% dari total emisi Indonesia. Sektor

ini juga sekaligus menjadi sektor yang dapat melakukan mitigasi dengan tingkat

biaya yang efisien. Penurunan emisi dilakukan dengan cara peningkatan

penyerapan karbon melalui penanaman, rehabilitasi dan konservasi, juga

dilakukan penurunan tingkat deforestasi, illegal logging dan luas kebakaran, yang

didukung dengan pengembangan kesatuan pengelola hutan (KPH).1

Beban dunia kehutanan memang sangat besar, mengingat emisi yang

disumbangkan oleh perubahan pemanfaatan lahan dan hutan. Kegiatan ini

berkontribusi 17 % atau sekitar 5,8 gigatons (juta ton) CO2 terhadap emisi karbon

1 “Peluncuran Indonesia dalam Climate Change”, dalam www.doe-

bd.org/4_Initial_National_Communication_under_the_UNFCC.pdf, diakses Pada 15 Junni 2011

Page 75: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

68

global. Indonesia adalah emiter ketiga terbesar di dunia yang disebabkan emisi

dari perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan. Menurut peneliti dari

PEACE, Agus P Sari Indonesia menyumbang sekitar 2 miliar ton, atau sepertiga

dari emisi dari sektor kehutanan, per tahun. Upaya Mitigasi (mengikat dan

mempertahankan daya simpan karbon) dan adaptasi (meningkatkan daya tahan

lingkungan) di sektor kehutanan, harus terus ditingkatkan.2

A. Identifikasi Peraturan Perundang-Undangan Pada Sektor Kehutanan

Indonesia

Untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak dua tahun lalu

Kementerian Kehutanan sudah mengambil ancang-ancang. Selain peraturan

nomor P.36, telah ada aturan menteri nomor P.30 tahun 2009 tentang mekanisme

dan persyaratan untuk REDD serta nomor P.68 tahun 2008 tentang implementasi

dari demonstration activities REDD. Tiga peraturan Menteri Kehutanan itu

bukanlah undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum.3Peraturan tersebut

diantaranya:

2Muhammad Ridwan, “Kehutanan Masyarakat dan Perubahan Iklim”, dalam

www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6036, diakses Pada 15 Juni 2011 3 Untung Widyanto, “Skema Palsu Dari Bisnis Karbon di Hutan”, dalam

www.bappenas.go.id/peluncuran-indonesia-climate-change-sectoral-roadmap-iccsr, diakses Pada

15 Juni 2011

Page 76: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

69

1. Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan

Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi

dan Degradasi Hutan (REDD).

Peraturan ini menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan

kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan

kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah

bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang

sesungguhnya di masa yang akan datang.

2. Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan

Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

Peraturan ini mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk

persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta

hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat ini ketentuan mengenai

penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan.

Berdasarkan Permenhut No 30 th 2009 REDD adalah semua upaya

pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan

penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui

berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang

berkelanjutan.

Page 77: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

70

3. Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan

Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada

Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Peraturan ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan

danpenyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata

cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara

dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan

penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha. Dengan adanya

peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan.

Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang

pelaksanaan REDD.

Dengan telah terbentuknya 3 (tiga) produk hukum: Permenhut No. P.

68/Menhut-II/2008, Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 dan Permenhut No.

P. 36/Menhut-II/2009 maka pada dasarnya REDD di tingkat kabupaten,

provinsi dan nasional, seharusnya sudah dapat dilaksanakan. Namun pada

kenyatannya Tiga peraturan Menteri Kehutanan itu bukanlah undang-undang

dan tidak memiliki kekuatan hukum.4

Selain itu Pemerintah juga berkomitmen menjaga hutan agar dapat

berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan karbon (REDD). Walaupun

telah berkomitmen melalui berbagai persiapan regulasi dan keembagaan,

Indonesia juga dalam keadaan darurat Protokol Kyoto. Lingkaran perseteruan

berbagai kepentingan terjadi, misalnya antar institusi pemerintahan.

4 “Indonesia Luncurkan REDD”, dalam www.redd-indonesia.org/pdf/AnnRepUN-

REDDFinalindo.pdf, diakses Pada 20 Juni 2011

Page 78: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

71

Peningkatan perekonomian berhadapan dengan kepentingan pelestarian fungsi

lingkungan.

Perseteruan ini setidaknya melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup

dengan Kementerian ESDM, Kehutanan, Perkebunan dan Badan Koordinasi

Penanaman Modal.

B. Komitmen Protokol Kyoto Mengenai Kehutanan di Indonesia

Secara konseptual, peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim sangatlah

sederhana yaitu melalui pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas serapan

Gas Rumah Kaca. Namun untuk operasionalisasinya, memerlukan penguasaan

dari aspek metodologi sampai aspek-aspek sosial, ekonomi dan kebijakan

nasional. Untuk itulah telah ada konsensus antar negara dalam sidang COP

tentang perlunya REDD-plus dilaksanakan secara bertahap dimulai dengan

readiness sampai pada akhirnya memasuki fase implementasi penuh.5

Indonesia mempunyai Luas mencapai hampir 60% luas daratan Indonesia,

menjadi kewenangan Departemen Kehutanan. Meningkatnya kebutuhan lahan

akibat peningkatan jumlah penduduk, desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan

kepentingan pembangunan sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perumahan,

pekerjaan umum, dll, telah menekan kualitas sumber daya hutan dan luasan

kawasan hutan tersebut. Kondisi di atas sering kali berbenturan dengan upaya

mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan (REDD). Oleh karenanya, koordinasi, komunikasi dan sinergi

5 Bustanul Djamil, “Buku Strategi REDD di Indonesia”, dalam www.redd-indonesia.org, diakses

Pada 18 Juni 2011

Page 79: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

72

dalam berbagai aspek menyangkut kegiatan pembangunan dan mitigasi perubahan

iklim sektor kehutanan di level nasional dan sub nasional (provinsi dan

kabupaten) harus terus menerus dilaksanakan.

Hal lain yang juga mengemuka adalah tuntutan pengelolaan hutan tingkat

lokal yang lebih baik dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan, serta

memberikan akses terhadap sumber daya hutan yang lebih besar kepada

masyarakat. Kebijakan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat,

social forestry, dll yang telah diterbitkan dan diimplementasikan, menunjukkan

bahwa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk mengakomodasi

berbagai kepentingan terkait pembangunan kehutanan. Deforestasi dan Degradasi

hutan di Indonesia UNFCCC dalam keputusannya no 11/CP.7 menyebutkan,

deforestasi didefinisikan sebagai akibat langsung dari adanya pengaruh manusia

melalui konversi lahan berhutan menjadi lahan yang tidak berhutan.

Indonesia merupakan contoh kasus dimana deforestasi terjadi baik secara

terencana maupun tidak direncanakan. Lahan hutan konversi dan Areal

Penggunaan Lain (APL) dapat diubah menjadi penggunaan lahan yang lain, dalam

hal ini deforestasi yang dikategorikan sebagai yang direncanakan. Pembangunan

kelapa sawit di masa lalu dapat dikategorikan sebagai deforestasi/kehilangan

hutan yang direncanakan. Menipisnya kayu yang berasal dari hutan alam,

didorong oleh kebijakan Pemerintah untuk memacu pembangunan hutan tanaman

industri (HTI), sejumlah industri perkayuan terutama industri bubur kertas (pulp)

membangun hutan tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh untuk menjamin

pasokan bahan baku dari sumbernya. Namun demikian, kecepatan pembangunan

hutan tanaman tersebut masih belum mampu mengurangi tekanan terhadap hutan

Page 80: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

73

alam. Kebijakan untuk mengurangi deforestasi yang tidak direncanakan dilakukan

melalui alokasi lahan ter-degradasi dan lahan yang secara komersial tidak

produktif untuk membangun silvikultur intensif. Penerapan tata ruang yang

efektif, termasuk penegakan hukum merupakan salah satu upaya untuk

mengurangi konversi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya

untuk menghindari terjadinya deforestasi yang direncanakan, Departemen

Kehutanan telah menghentikan pemberian ijin untuk penggunaan hutan produksi

konversi bagi pembangunan.

Sebenarnya Masalah utama di sektor kehutanan adalah deforestasi yang

sangat besar yang menyebabkan kinerjanya tidak terlalu baik. Total laju

deforestasi mencapai 87 juta hektar atau 46% dari total luas tutupan hutan di

Indonesia, suatu angka yang sangat tinggi dari pemilik hutan seluas 180 juta ha.

Masalah kedua adalah kesenjangan pasokan dan kebutuhan kayu bulat.

Pasokan diperkirakan hanya 25-30 juta ha sedang kebutuhan 50-60 juta ha. Hal ini

berarti terdapat kesenjangan sampai 25-30 juta meter kubik. Inilah yang diduga

menyebabkan pembalakan liar di hutan alam meskipun dalam kasus ini terdapat

dimensi sosial-ekonomi-kemasyarakatan-penegakan hukum yang kompleks.

Melalui skema REDD sektor kehutanan diharapkan mampu menurunkan emisi

karbon 14%. Masalahnya target kualitatif ini yang dijadikan basis kebijakan tidak

disertai perhitungan yang akurat serta landasan ilmiah yang solid sehingga masa

depan ekonomi kehutanan menjadi tidak jelas.6

6 “REDD Jangan Korbankan Ekonomi Kehutan Indonesia”, dalam

www.forestpeoples.org/documents/forest_issues/bases/forest_issues.shtml , diakses Pada 02 Juli

2011

Page 81: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

74

Dalam pembangunan sumber daya kehutanan, hingga tahun 2004, kebijakan

diprioritaskan pada pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran

hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya

hutan, dan penguatan desentralisasi kehutanan. Kegiatan-kegiatan yang telah

dilakukan antara lain meliputi pemberantasan penebangan liar bekerjasama

dengan Mabes Polri, TNI AL, Departemen Hukum dan HAM, pemerintah daerah,

negara sahabat dan LSM baik lokal maupun internasional; penerapan kebijakan

soft landing yaitu penurunan jatah produksi kayu dari hutan alam secara bertahap

dan penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi oleh lembaga penilai

independen; rehabilitasi dan pemulihan sumber daya alam yang diprioritaskan

pada 282 DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas I dan II; meningkatkan realisasi

pelaksanaan reboisasi dengan melaksanakan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan

Lahan yang mencapai 252 ribu Ha meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dengan

melibatkan 169 pengusaha HPH di luar Jawa, Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani di Jawa, dan Hutan Kemasyarakatan

(HKM) di beberapa daerah. 7

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan kehutanan, pada

tahun 2005 dilaksanakan program pembangunan yang meliputi pembinaan

produksi kehutanan; perlindungan dan konservasi sumber daya alam;

pembangunan dan pembinaan kehutanan; rehabilitasi dan pemulihan cadangan

sumber daya alam; dan peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya

7 Laras Pratiwi, “Pemanasan Global”, dalam beritaiklim.com, diakses Pada 03 Agustus 2011

Page 82: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

75

alam. Untuk itu, saat ini telah dibentuk Pusat Pengendalian Pembangunan

Kehutanan Regional di 4 wilayah agar sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan

program-program pembangunan kehutanan dapat ditingkatkan.

Posisi Indonesia yang bukan negara annex.1 dan memiliki luasan hutan

terbesar ke 2 di dunia setelah Brazil, tapi justru di tingkat internasional menjadi

penyumbang emisi terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat, Cina dan Uni Eropa,

adalah fenomena yang patut dicermati dengan seksama. Kementrian kehutanan

sebagai lembaga pemerintah yang memiliki otoritas resmi untuk mengelola hutan

di Indonesia, suka ataupun tidak, perlu melihat kembali strategi dan

pendekatannya, mengingat tingkat emisi nasional terbesar berasal dari sektor ini.

Berdasarkan catatan dari Kementrian Kehutanan sendiri, tingkat emisi di sektor

kehutanan mencapai kurang lebih 60% dari total emisi nasional – tapi kalau versi

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tingkat emisi itu sebesar 75%. Karena

itu tidak berlebihan kalau upaya penurunan emisi nasional yang oleh presiden

SBY ditargetkan 26% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan

internasional, difokuskan pada sektor kehutanan.8

Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi 26% dengan usaha sendiri

dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020, memberikan peran dan

tantangan Indonesia dalam mengurangi dampak isu perubahan iklim dunia.

“Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan, walau setiap negara

memiliki kewajiban yang tidak sama. Jika dilihat dari penghasil emisi di dunia,

8 “Indonesia Ingin Optimal Hadapi Perybahan Iklim”, dalam

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/14/226132/89/14/Indonesia-Ingin-Berperan-

Optimal-Hadapi-Perubahan-Iklim, diakses Pada 03 Agustus 2011

Page 83: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

76

kita tidak punya agenda wajib di dalam traktat global protokol kyoto. Tetapi, tentu

kita punya kesadaran untuk mempertahankan kelangsungan cucu-anak kita di

masa depan,” kata Sekjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan Hadi

Daryanto pada workshop National Symposium on Climate Change and

Enviromental yang diselenggarakan HMI di Jakarta.9

Dilihat dari sektor kehutanan, kehutanan nasional mulai memasuki era

baru di tengah kencangnya isu perubahan iklim. Pembangunan kehutanan nasional

kini lebih mengarah pada kebijakan yang memelihara dan menanam serta tidak

lagi mengedepankan kebijakan ekstraktif yang menguras sumber daya alam. Hadi

mengungkapkan, konsep ekonomi hijau yang muncul pada tahun 2009 lalu juga

diusung oleh sektor kehutanan. Tujuannya adalah mengusung pembangunan

rendah karbon setelah traktat global Protokol Kyoto tentang perubahan iklim

makin sulit direalisasikan. Kini, upaya mengatasi perubahan iklim pun lebih

banyak dalam kerangka bilateral, termasuk program REDD plus. “Kebijakan yang

dilakukan Kementerian kehutanan, pertama, kita membangun hutan dengan tidak

boleh membakar. Kedua, kita melakukan konservasi hutan. Ketiga, kalau orang

yang menggunakan kawasan hutan, seperti perkebunan kelapa sawit akan

menggunakan kawasan hutan.

9 Heri Santoso, “Isu-Isu Teknis”, dalam www.peat-portal.net/view_file.cfm?fileid=316, diakses

Pada 03 Agustus 2011

Page 84: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

77

C. Peraturan Yang Ada Tidak Diindikasikan Untuk Implementasi Protokol

Kyoto

Permasalahan yang dipaparkan diatas hanyalah sekedar menggambarkan

bahwa dalam proses pengundangan peraturan kita ada ketidaksinkronan antara

satu dengan lainnya. Walaupun dilahirkan pada era reformasi (tahun 2007) namun

ditemukan masih saja ditemukan perlunya koordinasi dan sinkronisasi yang baik

diatara para pemangku kepentingan di negara kita. Sehingga dengan logika seperti

itu, penulis berani mengambil generalisasi bahwa UU lainnya pasti akan banyak

ditemukan permasalahan serupa, mengingat isu perubahan iklim baru hangat

dibicarakan masyarakat luas terutama oleh para pengambil keputusan baru akhir-

akhir ini.10

Selain itu, pembahasan Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang

Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari

Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009

Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

(REDD), Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan

Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan

Produksi dan Hutan Lindung, pada satu sisi Indonesia memiliki regulasi yang

berkaitan dengan MPB, seperti diberlakukan UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengutamakan

kesimbangan dalam aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Namun di sisi lain,

berbagai regulasi memacu peningkatan investasi (PMA dan PMDN setinggi-

10

Dadang Hilman, “Revatalisasi Peraturan Perundang-undangan Sebagai penanganan Dampak

Perubahan Iklim”, dalam www.djpp.depkumham.go.id/.../701-revitalisasi-peraturan-perundangan,

diakses Pada 03 Agustus 2011

Page 85: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

78

tingginya) justru mengabaikan pertimbangan pelestarian lingkungan, misalnya

bidang pertambangan. Target investasi bidang ini terus ditingkatkan dengan cara

peningkatan target produksi dan penerimaan Negara. Demikian juga dengan

investasi bidang perkebunan (utamanya kelapa sawit) dengan cara konversi

kawasan hutan jutaan hektar, termasuk lahan gambut.11

Peraturan-peraturan pemerintah tentang REDD. Ketiga Permenhut tersebut

mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait. Hal ini menjadi

masalah ketika menyinergikan ketiga peraturan REDD itu dengan peraturan

lainnya yang terkait dengan REDD, termasuk penegakan peraturan selama

program REDD berjalan. Karena banyaknya peratururan PERMENHUT yang

akhirnya berdampak pada ketidakefektifan dari pelakasanna REDD karena

terganjal dengan peraturan yang ada yang tentunya tidak sesuai dengan hukum.

Bagian utama rencana pelaksanaan REDD dalah mengenai Deforestasi dan

Degradasi. Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan

menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Degradasi hutan

adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu

yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang selanjutnya

disebut REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan

dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang

dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional

yang berkelanjutan.

11

Helmi, “Darurat Protokol Kyoto”, dalam www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5046, diakses

Pada 02 Juli 2011

Page 86: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

79

Selain devinisi di atas, disebutkan pula dalam Kerangka Perubahan Iklim

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Framework on Climate Change

Convention atau UNFCC) di dalam keputusannya no 11/CP.7, deforestasi

didefinisikan sebagai akibat langsung, dari adanya pengaruh manusia yang

dilakukan melalui konversi lahan berhutan menjadi lahan yang tidak berhutan.

Definisi ini menunjuk pada terjadinya pengurangan penutupan tajuk hutan yang

awalnya berada di atas ambang batas dari definisi hutan menjadi di bawah

ambang batas tersebut. Degradasi didefinisikan sebagai akibat langsung dari

adanya pengaruh manusia yang mengakibatkan hilangnya secara terus menerus

(bertahan selama X tahun atau lebih) atau paling tidak Y% dari stok karbon (dan

nilai hutan) semenjak tahun ke T, dan kehilangan tersebut tidak termasuk ke

dalam deforestasi. Degradasi mencerminkan adanya penurunan stok karbon yang

sifatnya terukur dan lestari sebagai akibat dari adanya pengaruh manusia dan

menyisakan tutupan hutan yang dapat diukur di atas ambang batas minimum dari

yang dipersyaratkan dalam definisi hutan.

Pada kenyataannya Kebijakan yang dilakukan Kementerian kehutanan,

pertama, kita membangun hutan dengan tidak boleh membakar. Kedua, kita

melakukan konservasi hutan. Ketiga, kalau orang yang menggunakan kawasan

hutan, seperti perkebunan kelapa sawit akan menggunakan kawasan hutan. Hal ini

sangat bertolak belakang terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur

kehutanan di Indonesia seperti yang dijelaskan diatas.

Page 87: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

80

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan yang terkait mengenai

sektor kehutanan di Indonesia tidak sesuai dengan komitmen ratifikasi Protokol

Kyoto. Peraturan yang ada hanyalah Peraturan menteri Kehutanan sebelum

Indonesia resmi meratifikasi adanya Protokol Kyoto. Peraturan yang ada tidak

terkait dan tidak diindikasikan untuk mendukung adanya Protokol Kyoto, dan

Peraturan yang ada hanya bersifat umum untuk mengatur kehutanan yang ada di

Indonesia.

Page 88: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

81

BAB V

KESIMPULAN

Dari hasil Penilitian ini, maka kesimpulan yang dapat ditarik mengenai

Ketidakefektifan Implementasi protokol Kyoto di Indonesia yaitu dirugikannya

Indonesia dari sisi kepentingan nasional dan belum adanya peraturan perundang-

undangan mengenai implementasi Protokol Kyoto di Indonesia.

Indonesia sebagai Negara berkembang tentunya juga mendapatkan

pendanaan dari adanya implementasi Protokol Kyoto khususnya dari sector

kehuatanan. Namun dibandingkan dana tersebut, tidaklah sebanding dengan apa

yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam menjaga keutuhan hutan di Indonesia.

Dalam kenyataannya masyarakat adat yang seharusnya mendapatkan imbalan

dalam rangka menjaga keseimbangan hutan justru malah dirugikan dengan adanya

kerangka REDD yang justru tidak memberikan manfaat yang optimal dimana

keuntungan ini tidak seratus persen akan dinikmati oleh pelaksana lokal,

utamannya adalah masyarakat adat dimana pada penyelengaraan REDD ini akan

menemui permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat

adat yang sebagian besar tergantung hidupnya dengan kawasan dan fungsi hutan

maupun yang berada langsung didalam hutan. Tidak jelasnya pendanaan hutan

dan rusaknya hutan di Indonesia juga merupakan kerugian terbesar Indonesia

sebagai negara yang telah meratifikasi adanya Protokol Kyoto di Indonesia.

Page 89: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

82

Selain hal diatas, Pada kenyatannya Indonesia telah meratifikasi kedua

kesepakatan iklim melalui Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan

United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka

Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang

No 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi

Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Namun pada

kenyataanya apa yang menjadi komitemen dari Protokol Kyoto mengenai

kehutanan tidak sesuai dengan peraturan yang ada di kehutanan Indonesia.

Adapun kebijakan yang dilakukan Kementerian kehutanan, pertama, kita

membangun hutan dengan tidak boleh membakar. Kedua, kita melakukan

konservasi hutan. Ketiga, kalau orang yang menggunakan kawasan hutan, seperti

perkebunan kelapa sawit akan menggunakan kawasan hutan. Hal ini sangat

bertolak belakang terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur

kehutanan di Indonesia seperti UU mengenai kehutanan, PP mengenai

penyusunan dan rencana pengelolaan hutan, PP mengenai dana reboisasi, dan PP

mengenai hutan kota.

Peraturan yang ada untuk mengatur kehutanan, pada kenyataanya hanyalah

peraturan yang dibuat oleh permenhut yang bersifat umum dan tidak diindikasikan

untuk implemetasi Protokol Kyoto. Jadi hingga saat ini belum terdapat Peraturan

mengenai implementasi Protokol Kyoto di sektor kehutanan.

Page 90: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

ADB., Climate Change in Asia:Indonesia Country Report on Socioeconomic

Impacts of Climate Change and National Response Starategy, Gramedia,

Jakarta, 1994.

Andrasko., Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change,University

Cambridge, USA, 2007.

Beck, Peggy V., The Impact of Climate Changes, universityof Coloardo, Jakarta,

2007.

Bonn., Impact of Climate Changes, Yayasan Pelangi Indonesia, Jakarta, 2007.

Bonn., Invesment and Financial Flows to Adress Climate Change, Gramedia,

Jakarta, 2007.

Freedman., Enviromental Reviews, Gramedia, Yogyakarta, 2009.

Hakim, Rustam., Prinsip Dasar Kebijakan bagi Protokol Kyoto, Bumi Aksara

Jakarta, 2007.

Istanto, Sugeng., Hukum Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1998.

IPCC., Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University

Press, Cambridge, 2005.

IPPC, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Jakarta,

IPPC, 2007.

Kansil, CST., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup., Rencana Aksi Nasional Dalam Rangka

Menghadapi Perubahan Iklim, KNLH, Jakarta, 2007.

Kusumaatmadja, Mochtar., Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,

2003.

Mangujaya, Fachruddin., Bertahan di Bumi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

2008.

Page 91: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum, Edisi Kelima Cetakan Pertama,

Liberty, Yogyakarta, 2003.

Murdiyarso, Daniel., Protokol Kyoto Implikasi bagi Negara Berkembang,

Kompas, Bandung, 2003.

Pratihana, I Wayan., Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2005.

Sulistiowati, Diah., Menutup Akses Menuai Bencana, ICEL, Jakarta, 2008.

Surya Sumantri, Jujun., Filsafat Ilmu, Cendikia, Jakarta, 1995.

Sutinah, Bagong Suyatno., Metode Penelitian Social:Berbagai Alternatife

Pendekatan, Kencana Media Group, Jakarta, 2005.

Shearer., Strake’s International Law, Butter Worths, USA, 1984.

JURNAL

Fadli Moh.Noh ,”Permasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan di

Kaltim”, Penegakan Hukum dan Kehutanan, Berita Resmi Statistik No.14

VII./, Jakarta, 2004 hal 78.

Kementrian Lingkungan Hidup, JICA, Pelangi, “Bumi Makin Panas”, Ancaman

Perubahan Iklim di Indonesia, vol 9 no 96, Jakarta, 2004, hal 54.

World Bank, “Indonesia-UK TropicaForestry Management Programme”, Illegal

Logging in Indonesia, ITFMP No. EC//99, Jakarta, 2003 hal 104.

WEBSITE

Aeng Anwar Sanusi, “Pemanasan Global dan Protokol Kyoto” dalam

http://cdm.unfccc.int/methodologies/SSCmethodologies/approved.html,

diakses Pada 21 Januari 2010

Adi Dzikrullah Bakri, “Tindakan Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan”, dalam

www.republika.com, diakses Pda 08 Juni 2011

Agung Wardana, “Hutan Kita Bukan „Toilet Karbon‟ Negara Maju”. dalam

http://www.climnet.org, diakses Pada 14 Maret 2011

AMAN, “REDD dan Pemerintah Indonesia”, dalam www.forestpeoples.org,

diakses Pada 02 Juli 2011

Page 92: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

Andreas Pramudianto, “Perubahan Iklim dan Lingkungan (Teori dan Fakta)”

dalam htpp://eartsummit.com, diakses Pada 13 Januari 2010

“Antara Masyarakat Lokal dan REDD”, dalam

www.kpshk.org/index.php?option=com_content&task=view&id=123&Ite

mid=2diakses Pada 02 Juli 2011

Azan Orlando, “Bumi dan Hutan Kita” dalam www. republika.com, diakses Pada

10 Februari 2010

Bambang Jatmiko, “World Bank akan Emisi Gas Rupiah”, dalam

web.worldbank.org/.../0,,menuPK:4125909~pagePK:64168427~piPK:641

68435~theSitePK:4125853,00.html, diakses Pada 27 Juni 2011

Benyamine, “Kebakaran Hutan atau Bencana Terencana” dalam

[email protected], diakses Pada 15 Mei 2011

Boer Mauna, “Vienna Convention on The Law of Treaties” dalam

htpp://deplu.go.id, diakses Pada 14 Maret 2011

Bustanul Arifin, “REDD dan Masa Depan Ekonomi Hutan” dalam

www.metronews.com, diakses Pada 10 Februari 2011

Bustanul Djamil, “Buku Strategi REDD di Indonesia”, dalam

www.redd-indonesia.org, diakses Pada 18 Juni 2011

Bustanul Djamil, “Peluang dan Tantangan REDD”, dalam

www.hariansumutpos.com/.../redd-peluang-dan-tantangan-dalam-

alternatif-perubahan-iklim-.html, diakses Pada 20 Juni 2011

Dadang Hilman, “Revatalisasi Peraturan Perundang-undangan Sebagai

penanganan Dampak Perubahan Iklim”, dalam

www.djpp.depkumham.go.id/.../701-revitalisasi-peraturan-perundangan,

diakses Pada 03 Agustus 2011

Damos Dumali, “Refleksi Dinamika Hukum”, 2008

dalamhttp://untreaty.un.org/, diakses Pada 25 Februari 2011

“Dana Reboisasi”, dalamwww.cifor.cgiar.org/acm/download/pub/wk/warta14.pdf,

diakses Pada 03 Agustus 2011

“Data dan Informasi Kehutanan”, dalam www.docstoc.com, diakses Pada 08 Juni

2011

Departemen Kehutanan, “Kebakaran Lahan dan Hutan”, dalam

htpp://www. dephut.go.id, diakses Pada 15 Mei 2011

Page 93: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

Endang Agustinar, “Perubahan Iklim dan Kesehatan” dalam

www.suaramerdeka.com, diakses Pada 10 Februari 2010

Endes Dahlan, “Peraturan Perudangan dibidang Pengembangan Hutan Kota”,

dalamwww.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BAngelsen0102.p

df,diakses Pada 03 Agustus 2011

Enviromental Investigation Agency”, dalam [email protected], diakses Pada 07

Juni 2011

“Global Warming”, dalam htpp://mcardmand.blogspot.com, diakses Pada 07 Juni

2011

Greenpeace, “Partners in Crime”, dalam htpp://www.blogspot.com, diakses Pada

07 juni 2011

Gun Mardiatmoko, “Sosialisasi Pelaksanaan REDD di tingkat Provonsi dan

Kabupaten”, dalam www.cifor.cigiar.org, diakses Pada 20 Juni 2011

Heri Santoso, “Isu-Isu Teknis”, dalam www.peat-

portal.net/view_file.cfm?fileid=316, diakses Pada 03 Agustus 2011

“Illegal Logging”, dalam www.menlh.go.id, diakses Pada 08 Juni 2011

Imam Hanafi, “Revitalisasi Hutan Cegah Kebakaran dan Perambahan“ dalam

http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/html,

diakses Pada 18 Mei 2011

“Indonesia Ingin Optimal Hadapi Perubahan Iklim”, dalam

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/14/226132/89/14/Indonesia

-Ingin Berperan-Optimal-Hadapi-Perubahan-Iklim, diakses Pada 03

Agustus 2011

“Indonesia Luncurkan REDD”, dalam

www.redd-indonesia.org/pdf/AnnRepUN-REDDFinalindo.pdf, diakses

Pada 20 Juni 2011

Juliano, “Perkembangan Perubahan Iklim Indonesia”, dalam

www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/early_warning/Indonesia13030

9.pdf, diakses Pada 02 Juli 2011

Juni Suburi, “Konsep Wilayah Tanah Usaha Sebagai Dasar Penataan Suatu

Wilayah” dalam www.penataanruang.net/taru/nspm/6.pdf , diakses Pada

25 Februari 2011

Page 94: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

“Kelompok Kerja Kebijakan Fisikal Untuk Pendanaan Iklim”, dalam

www.iklimkarbon.com, diakses Pada 27 Juni 2011

“Kepentingan Nasional Indonesia”, dalam www.wilayahpertahanan.com, diakses

Pada 20 Juni 2011

Komisi Kepolisian Indonesia”, dalam www.kepolisianindonesia.com/main,

diakses Pada 08 Juni 2011

“Lahan dan Hutan”, dalam www.presidenri.go.id/index.php/uu/instruksi, diakses

Pada 08 Juni 2011

Laras Pratiwi, “Pemanasan Global”, dalam beritaiklim.com, diakses Pada 03

Agustus 2011

Masnellyarti Hilman, “Butir-Butir Penting RAN PI”, dalam [email protected],

diakses Pada 23 Februari 2011

“Masyarakat Adat”, dalam

forestclimatecenter.org/guidance.php?cnt=International, diakses Pada 27

Juni 2011

Muhammad Ridwan, “Kehutanan Masyarakat dan Perubahan Iklim”, dalam

www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6036, diakses Pada 15 Juni 2011

Muhamad Yat, “Skema REDD dan Climate Justice” dalam

www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5364, diakses Pada 02 Juli 2011

Melani Tedja, “Menyogsong mekanisme Pendanaan Hutan”, dalam

www.ford-mof.org, diakses Pada Juni 2011

“Pengaturan Tata Hutan”, dalam http://m.suaramerdeka.com, diakses Pada 03

Agustus 2011

“Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan”, dalam [email protected], diakses

Pada 18 Mei 2011

“Peluncuran Indonesia dalam Climate Change”, dalam

www.doed.org/4_Initial_National_Communication_under_the_UNFCC.p

df, diakses Pada 15 Junni 2011

“Pendanaan Bank Dunia”, dalam

http://www.RTD1- Bank_Dunia_ClimateChange_Summary, diakses Pada

27 Juni 2011

Page 95: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

“Pendanaan REDD di Indonesia”, dalam

www.antaranews.com/berita/.../indonesia-penerima-dana-redd, diakses

Pada 20 Juni 2011

Peluncuran Indonesia dalam Climate Change”, dalam www.doe-

bd.org/4_Initial_National_Communication_under_the_UNFCC.pdf,

diakses Pada 15 Juni 2011

“Penurunan Emisi Gas”, dalam

http://antaranews.com/berita/1259426853/redd-antara-penurunan-emisi-

dan-pemberdayaan-masyarakat, diakses Pada 27 Juni 2011

“Perubahan Iklim, Hutan, dan REDD”, dalam

www.redd-indonesia.org, diakses Pada 20 Juni 2011

“Protokol Kyoto”, dalam,

http://pelangi.or.id/publikasi/2009/PRjan2009Pelangi.pdf,

diakses Pada 13 Januari 2010

“Rilis Pers dalam Program Lingkungan PBB” dalam htpp://www.un.org, diakses

Pada 13 Januari 2010

Riva Fauziah, “Penebangan Liar Sebuah Bencana Bagi Dunia Kehutanan” dalam

htpp://www.eartsummit.com, diakses Pada 15 Mei 2011

Rony Christianto, “Masyarakat Adat antara Berkah dan Bencana, dalam

http://www.vhrmedia.com/vhr-REDD/bingkai.html, dikases Pada 27 Juni

2011

“Strategi REDD di Indonesia”, 2009 dalam http://www.wwf.or.id/climate, diakses

Pada 23 Februari 2011

Silver Hutabarat, “Kajian UNFCC”, dalam

htpp://www.unfcc.go.id/ informasi/intang.cdm.htm, 08 Juni 2011

“Strategi REDD Readiness Indonesia”, dalam www.dephut.com, diakses Pada 30

Juni 2011

“Tantangan yang dihadapi REDD”, dalam www.liputan6.com, diakses Pada 20

Juni 2011

WALHI, “Memahami Peraturan Internasional dalam Perubahan Iklim” dalam

http://unfccc.int/ kyoto protocol, diakses Pada 14 Maret 2011

WALHI, “Rencana Aksi Nasional Untuk Perubahan Iklim” dalam

htpp://www.unfcc.int, diakses Pada 23 Februari 2011

Page 96: KETIDAKEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI …repository.upnyk.ac.id/1497/1/SKRIPSI.pdf · Tempat : Ruang Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Hubungan

WALHI, “Starategi Pembangunana Nasional dalam Rangka Antisipasi Perubahan

Iklim”dalam http://pelangi.or.id, diakses Pada 05 Februari 2011

“Warta Kebijakan”, dalam

www.cifor.cgiar.org/acm/download/pub/wk/warta13.pdf, diakses Pada 03

Agustus 2011