ketersediaan lahan.pdf
TRANSCRIPT
9
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Landasan Teori
II.1.1 Sumberdaya Lahan
Sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah pada dasarnya adalah modal dasar
pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan
memperhatikan karakteristiknya. Lahan sebagai salah satu sumber daya alam
sebenarnya dapat ditinjau dari berbagai titik pandang yang berbeda, sehingga
memberikan makna yang berbeda. Dalam ekonomi lahan, konsep lahan
setidaknya mencakup enam konsep, yaitu (1) konsep ruang, (2) konsep alam (3)
konsep faktor produksi dan barang konsumsi, (4) Konsep situasi (5) konsep
properti, serta (6) konsep modal (Nasucha, 1995 dalam Kustiwan, 1996). Salah
satu konsep yang berkembang adalah lahan sebagai ruang atau spasial. Dengan
demikian lahan merupakan sumberdaya alam spasial yang mengacu pada unsur
keruangan (luas, posisi dan penyebarannya). Dalam kaitan ini maka pemanfaatan
sumberdaya lahan haruslah mempertimbangkan kaitan antara aspek material dan
spasial. Aspek material dari lahan menyangkut kualitas dan potensinya untuk
suatu penggunaan tertentu, sedangkan aspek spasial menyangkut letak dan posisi
dari sumberdaya lahan tersebut.
Lahan pada dasarnya merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia, karena aktivitas manusia menjadi masukan utama
yang diperlukan untuk setiap bentuk penggunaannya. Lahan merupakan suatu
sumberdaya alam yang penting bukan saja karena fungsinya sebagai faktor
produksi, tetapi juga karena implikasi fungsi sosial budaya dan politiknya
(Nasoetion, 1991).
Dalam konteks pengembangan wilayah, sumberdaya lahan telah lama dianggap
sebagai faktor utama, terutama di negara-negara berkembang dimana pertanian
menjadi sektor ekonomi terpenting. Selama dua dekade terakhir, peningkatan
jumlah penduduk dan lingkup kegiatan manusia yang bertambah pesat
10
mempengaruhi pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Dalam kaitannya dengan
jumlah penduduk agraris di negara-negara berkembang di Asia, tampak sekali
terjadinya penurunan ketersediaan lahan perkapita, semakin besarnya kesenjangan
dalam pemilikan lahan, serta meningkatkan masalah ketunakismaan (Kitamura
dan Kobayashi 1993, dalam Kustiwan, 1996).
Di Indonesia masalah yang berkaitan dengan penggunaan lahan sebagai salah satu
tantangan dalam pengelolaan sumberdaya alam, merupakan akibat dari
bertambahnya tekanan penduduk yang terus berkembang serta perubahan dalam
sifat dan intensitas kegiatan ekonomi. Pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke perkotaan, sehingga diperkirakan
dalam dua dekade terakhir, lahan yang terkonversi di Pulau Jawa ini mencapai
10% (World Bank, 1994, dalam Kustiwan, 1996).
Alih fungsi lahan pertanian menjadi perhatian utama karena didasarkan pada
upaya untuk membatasi pertumbuhan fisik dan kota dalam rangka
mempertahankan kualitas hidup, baik secara lingkungan maupun sosial (Kivell,
1993, dalam Fadjarajani, 2001). Dalam prosesnya alih fungsi lahan pertanian
senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan
sebagai wujud fisik dari proses urbanisasi. Ia menggambarkan bagaimana lahan
menjadi faktor kunci dalam kaitannya dengan pola dan proses perubahan kota.
Hal ini karena terdapat kaitan yang erat antara penggunaan lahan dan perubahan
demografis di kawasan perkotaan yang dapat ditunjukan dalam ukuran konsumsi
lahan perkotaan marjinal per peningkatan rumah tangga.
II.1.2 Penggunaan Lahan
Pembagian pengertian penggunaan lahan menurut Rind and Hudson (1980) adalah
sebagai berikut :
1. Formal Landuse adalah penggunaan lahan formal mengacu keadaan fisik
yang sebenarnya di tempat itu. (Stores, Factories, Park, Apartements,
Bungalows, Road, Vacant)
11
2. Functional Landuse adalah penggunaan fungsional sebagai aktivitas yang
sedang berlangsung menandai (adanya) fungsi yang terkait dengan kegiatan
ekonomi-sosial suatu wilayah. (Comercial, Industrial, Lesure, High density
residential, Low density residential, Transportation)
Sebagai contoh, pabrik-pabrik adalah suatu atribut kwalitatif, industri adalah suatu
fungsi ekonomi
Von Thunen’s dalam Rind and Hudson (1980) membuat zona model penggunaan
lahan pertanian yang diatur dalam lingkaran-lingkaran konsentris di sekitar pusat
kota. Dengan memperhatikan penambahan jarak dari pusat kota, pembagian zona
tersebut adalah : pertanian intensif; pertanian ekstensif; peternakan dan tempat
pembuangan.
Penggunaan lahan adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan
bentukan alami maupun buatan manusia (PP Nomor 16 Tahun 2004). Pembagian
jenis-jenis penggunaan lahan dalam penelitian ini berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997, yaitu :
1. Permukiman/perkampungan adalah areal lahan yang digunakan untuk
kelompok bangunan padat ataupun jarang tempat tinggal penduduk dan
dimukimi secara menetap.
2. Industri adalah areal lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa
proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang jadi/setengah jadi dan
atau barang setengah jadi menjadi barang jadi.
3. Pertambangan adalah areal lahan yang dieksploitasi bagi pengambilan bahan-
bahan galian yang dilakukan secara terbuka dan atau tertutup.
4. Sawah adalah areal lahan pertanian yang digenangi air secara periodik dan
atau terus menerus, ditanami padi dan atau diselingi dengan tanaman tebu,
tembakau dan atau tanaman semusim lainnya.
5. Pertanian lahan kering semusim adalah lahan pertanian yang tidak pernah
diairi dan mayoritas ditanami dengan tanaman umur pendek.
12
6. Kebun adalah areal lahan yang ditanami rupa-rupa jenis tanaman keras dan
atau tanaman keras dengan tanaman semusim dan atau kombinasi tanaman
semusim dengan tanaman buah-buahan serta tidak jelas mana yang menonjol.
7. Perkebunan adalah areal lahan yang ditanami tanaman keras dengan satu jenis
tanaman.
8. Padang rumput adalah areal lahan yang hanya ditumbuhi tanaman rendah dari
keluarga rumput dan semak rendah.
9. Hutan adalah areal lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tajuk
pohonnya dapat saling menutupi/bergesekan.
10. Perairan darat adalah areal lahan yang digenangi air secara permanen, baik
buatan maupun alami.
11. Lahan terbuka adalah areal lahan yang tidak digarap karena tidak subur dan
atau menjadi tidak subur setelah digarap serta tidak ditumbuhi tanaman.
12. Lain-lain adalah areal lahan yang digunakan bagi prasarana seperti jalan,
sungai dan bendungan serta saluran yang merupakan buatan manusia maupun
alami.
Kaiser et.al (1995) menjelaskan hal utama dalam alih fungsi lahan adalah
berupaya mengarahkan alih fungsi lahan, antara lain :
1. persiapan dan pelaksanaan kebijakan rencana-rencana penggunaan lahan yang
akan datang
2. review dan perijinan
3. rekomendasi program perbaikan
4. partisipasi pemerintah daerah dalam membuat keputusan dan pemecahan
masalah.
II.1.2 Sewa Ekonomi Lahan
Pengertian sewa ekonomi lahan (land rent) beragam, keberagaman itu hendaknya
selalu diingat, agar kita sendiri tidak rancu. Pengertian land rent dapat dituliskan
sebagai berikut: penghasilan pemilik tanah atau harga yang harus dibayar oleh
penyewa (locataire) agar dia dapat memanfaatkan kapasitas produktif tanah. Ada
dua macam aliran teori land rent, yaitu : 1) aliran klasik (Naturalis), yang
13
menyatakan bahwa masalah rente semata-mata timbul dari situasi kelangkaan
tanah, yang dinyatakan sebagai sumber daya alam; 2) aliran Neo-klasik
(Kapitalis), tanah tidak lain dari barang atau faktor produksi biasa. Dalam sudut
pandang ini tanah sama dengan barang modal lain (Simarmata 1997).
Ada pula yang mengatakan bahwa sewa ekonomi lahan (land rent) adalah
harga/nilai jasa yang dihasilkan oleh tanah selama periode tertentu, misalnya
tahun. Oleh karena itu land rent memiliki dua dimensi pengukuran yaitu waktu
dan unit. Sebagai contoh, land rent biasanya dinyatakan dalam rupiah per meter
persegi per tahun Reksohadiprodjo dan Karseno (1997).
Barlowe (1986), mengemukakan bahwa pada umumnya sewa ekonomi lahan dari
berbagai kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut : industri dan perdagangan >
permukiman > pertanian > hutan > lahan tandus. Tentu saja kondisi ini tidak
mutlak terjadi pada setiap lokasi. Dengan demikian penggunaan lahan yang
memiliki keuntungan komparatif tertinggi mempunyai kapasitas penggunaan
lahan terbesar, sehingga penggunaan lahan cenderung dialokasikan untuk kegiatan
yang memberikan nilai sewa ekonomi lahan tertinggi seperti pada Gambar II.1.
Gambar II.1 Nilai Ekonomi Lahan pada Berbagai Pemanfaatan (Barlowe, 1986)
Apabila mekanisme pasar dibiarkan berlangsung secara bebas, maka penggunaan
lahan yang mempunyai sewa ekonomi yang lebih besar relatif lebih mudah
14
menduduki lokasi utama dan akan menekan (mengubah) penggunaan lahan yang
mempunyai sewa ekonomi lahan yang lebih rendah (Sudrajat, 2005).
Alih fungsi lahan dapat terjadi disebabkan karena berubahnya nilai lahan (rent)
yang menyebabkan lahan dapat memberikan manfaat kepada manusia, Harga
lahan yang tinggi menyebabkan lahan tersebut cenderung digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang produktif dan menguntungkan, jika pada awalnya suatu
lahan digunakan untuk kegiatan yang kurang produktif, maka perubahan kegiatan
yang dilakukan di atas lahan tersebut akan mempengaruhi nilai lahan menjadi
lebih tinggi. Menurut Nasoetion (1991), pada dasarnya lahan mempunyai lima
jenis rent, yiatu :
1. rent ricardian, yatu rent yang timbul sebagai akibat adanya sifat kualitas tanah
yang berhubungan dengan penggunaan tertentu dan atau kelangkaannya
2. rent lokasi, yaitu rent yang timbul sebagai akibat dari lokasi suatu tanah relatif
terhadap lokasi lainnya secara praktik berhubungan dengan aksesibilitas tanah.
3. rent lingkungan, yaitu rent yang timbul sebagai akibat adanya fungsi ekologis
tanah di dalam suatu ekosistem.
4. rent sosial, yaitu rent yang timbul jika pemilikan-penguasaan tanah
menimbulkan sejumlah privileges (hak-hak istimewa) bagi pemilik-
penguasaannya.
5. rent politik, yaitu rent yang timbul jika pemilikan-penguasaan tanah
memberikan sejumlah kekuatan politik ataupun posisi politik yang lebih
menguntungkan kepada pemilik-penguasaannya.
Dilihat dari aspek ekonomi lahan, terjadinya alih fungsi lahan merupakan hal yang
alamiah yang tidak dapat dihindari. Pemanfaatan lahan yang mempunyai nilai
ekonomi lebih tinggi akan menekan pemanfaatan lahan yang mempunyai nilai
ekonomi lebih rendah, ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan.
Terjadinya alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga diperlukan pengendalian alih fungsi lahan.
Secara ekonomi, konversi lahan sawah memang sangat menguntungkan. Hal itu
tercermin dari nilai land rent untuk pertanian yang sangat rendah dibandingkan
15
kegiatan lain. Lahan pertanian dibanding kawasan industri atau perumahan
perbandingannya bisa mencapai 1:500 (Nasoetion & Winoto dalam Irawan 2006).
II.1.3 Alih Fungsi Lahan
Lahan sebagai komoditas mempunyai nilai atau harga tersendiri yang ditentukan
berdasarkan parameter, yaitu : 1) tingkat produktifitas lahan itu sendiri; 2) lokasi
atau letak lahan; 3) kegiatan yang berada di atasnya (Sutarto, 1993, dalam
Fadjarajani, 2001). Penentuan nilai berdasarkan parameter tersebut di atas dapat
menjadi salah satu alasan terjadinya alih fungsi lahan, sebab dengan terjadinya
tingkat produktifitas suatu kegiatan yang dilakukan di atas lahan, akan
menyebabkan kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan ke bentuk lain
agar produktifitasnya bertambah yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai
lahan tersebut. Nilai lahan dapat berubah seiring dengan perubahan-perubahan
yang terjadi pada masyarakat pengelolaannya. Hal inilah yang menyebabkan
berubahnya nilai lahan, sehingga pada akhirnya akan mendorong terjadinya alih
fungsi lahan (Fadjarajani, 2001).
Di wilayah utara Jawa Barat telah terjadi alih fungsi lahan pertanian ke bentuk
penggunaan lahan untuk kegiatan industri, perumahan, keuangan atau jasa,
disebabkan adanya suatu kebijakan pemerintah yang mengubah strategi
perekonomian Indonesia dari pembangunan sektor primer atau pertanian ke sektor
sekunder atau non pertanian (Firman, 1997).
Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat disebabkan beberapa faktor,
yaitu : (1) pertumbuhan penduduk, (2) fungsi ekonomi yang dominan, (3) ukuran
kota, (4) rata-rata nilai lahan pemukiman, (5) kepadatan penduduk, (6) wilayah
geografi, dan (7) lahan pertanian potensial (Pierce dalam Firman, 1997).
Selain itu, Setiawan dan Purwanto (1994, dalam Firman, 1997), menyatakan
bahwa pembagian secara umum faktor-faktor yang menentukan terjadinya alih
fungsi lahan adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi
urbanisasi dan kondisi sosial ekonomi, sementara faktor internal meliputi lokasi
16
dan lahan potensial (termasuk ukura lahan, keluarga dan pendapatan). Dimana
kesemua faktor tersebut saling berkaitan, membuat kompleksnya karakter proses
alih fungsi lahan.
Secara umum, alih fungsi lahan pertanian mempunyai dua konsekuensi, yaitu : (1)
dampak langsung terhadap hilangnya lahan pertanian penting yang mempengaruhi
poduksi pertanian, dimana dampak ini akan menghilangkan pekerjaan di bidang
pertanian bagi petani pemilik maupun penggarap, menghilangkan investasi pada
infrastruktur pertanian, serta berdampak negatif terhadap lingkungan seperti
kerusakan lingkungan, (2) dampak tidak langsung pada penduduk yang datang
dari pusat kota ke pinggiran kota, dimana dampak ini akan meningkatkan
pembangunan perumahan dan kesempatan pekerjaan, serta akan mengubah
struktur sosial ekonomi di pinggiran kota (Firman, 1997).
Alih fungsi lahan merupakan proses alamiah yang dipengaruhi oleh pertimbangan
keuntungan ekonomis dalam memilih lokasi. Seringkali dalam alih fungsi lahan
tidak mempertimbangkan kepentingan umum atau masyarakat yang lebih luas
atau peraturan yang berlaku. Menurut Zukaidi (1999), alih fungsi lahan mencakup
perubahan fungsi (land use), intensitas dan ketentuan masa bangunan (bulk).
Perubahan fungsi adalah perubahan jenis kegiatan, Perubahan fungsi ini
merupakan dampak yang paling besar terhadap lingkungan karena menghasilkan
kegiatan yang berbeda dengan kegiatan sebelumnya.
Greenland dalam Harini (2003) menjelaskan sebab-sebab terjadinya alih fungsi
lahan pertanian dan akibat yang ditimbulkan. Pertumbuhan penduduk, kebijakan
pemerintah dan faktor alami sebagai penyebab alih fungsi lahan. Akibat yang
ditimbulkan dari alih fungsi lahan pertanian adalah masalah produksi makanan,
ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Sehingga akan timbul kelaparan, stok
pangan berkurang, peningkatan biaya untuk pangan, polusi udara, keindahan
berkurang, sumber daya alam rusak, ketidakseimbangan penduduk dan tidak
stabilnya masyarakat di daerah pedesaan.
17
Sandy (1977), mengatakan alih fungsi lahan adalah perubahan dari penggunaan
lahan non urban menjadi penggunaan lahan urban dan sebaliknya. Penggunaan
lahan dibagi menjadi : 1) penggunaan lahan perkotaan (urban) : permukiman,
industri, lahan kosong yang diperuntukan, emplasemen; 2) penggunaan lahan
pedesaan (non urban) : sawah satu kali setahun, sawah lebih dari satu kali setahun,
kebun campuran, tegalan, perkebunan, hutan perairan, lahan kosong.
Lahan merupakan komoditas yang mempunyai nilai berharga bagi kehidupan
manusia dimana lahan merupakan wadah bagi manusia untuk melaksanakan
berbagai kegiatannya. Namun karena jumlah lahan yang relatif terbatas dan tetap,
sementara kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan manusia cenderung
meningkat, maka timbullah konflik kepentingan dalam peruntukan dan
pemanfaatannya, yang akan menimbulkan dampak akibat terjadinya alih fungsi
lahan.
Pendekatan dan metode yang diterapkan untuk mengendalikan alih fungsi lahan
pertanian tergantung pada tiga aspek secara simultan yaitu: (1) cakupan, tujuan,
dan sasaran pengendalian alih fungsi lahan pertanian itu sendiri, (2) permasalahan
empiris yang terkait dengan penyebab, pola, dan dampak alih fungsi lahan
pertanian, dan (3) sumberdaya yang dimiliki yang diperkirakan dapat
dipergunakan untuk mendukung pendekatan atau metode pengendalian yang akan
diterapkan. Pertimbangan untuk menentukan pendekatan dan metode yang akan
diterapkan harus mengacu pada azas efisiensi dan efektivitasnya (Bappenas,
2006).
Pearce and Turner (dalam Bappenas 2006) dalam kasus wetland
merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam pengendalian alih
fungsi lahan yaitu melalui regulasi, akuisisi dan manajemen serta insentif dan
charges. Pendekatan regulasi, pemerintah menetapkan aturan dalam pemanfaatan
lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu
diperlukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan
semua stakeholder yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam pendekatan
18
acquisition and management pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan
aturan jual beli lahan serta penyempurnaan land tenure yang ada, yang
mendukung ke arah upaya mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
Sedangkan melalui incentive and charges, pemberian subsidi (insentif) kepada
petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan
pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
Pola alih fungsi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku alih
fungsi, maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung
oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih
usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih
penguasaan yaitu pemilik menjual kepada pihak lain (Bappenas, 2006).
Pola alih fungsi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua: (1) sistematis, (2)
sporadis. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri,
perkotaan, kawasan permukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran,
dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis.
Lahan sawah yang beralih fungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang
cukup luas dan terkonsolidasi. Di sisi lain, alih fungsi lahan sawah yang dilakukan
sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah
yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002, Ketahanan Pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Ketersediaan pangan adalah
tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain.
19
II.1.4 Analisis Overlay dan Statistik
Analisis overlay telah diakui secara luas sebagai salah satu metode analisis peta.
Pengguna peta meletakan salah satu peta di atas peta yang lainnya untuk
mendeteksi data antar peta yang terkandung di dalamnya (Goodchild; McHarg
dalam Lo, 2002). Pengolahan data penggunaan lahan dengan melakukan overlay
untuk satu area dalam waktu yang berbeda menghasilkan penilaian terhadap
perubahan penggunaan lahan (Duker and Talcott’s dalam Rhind and Hudson,
1980). Langkah awal yang dibutuhkan dalam membandingkan data penggunaan
lahan dengan menggunakan komputer khususnya untuk menghasil suatu peta
harus dalam satu sistem koordinat, ini berarti peta penggunaan lahan yang
menggunakan sistem proyeksi yang berbeda harus dirubah ke dalam sistem
proyeksi yang sama (Rhind and Hudson, 1980).
ArcView GIS merupakan salah satu perangkat lunak desktop sistem informasi
geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI. Dengan ArcView
GIS dapat melakukan visualisasi, ekplorasi, melakukan query (basis data spasial
maupun non spasial), menganalisis data secara geografis. Secara umum dapat
dijabarkan sebagai berikut : pertukaran data, melakukan analisis statistik dan
operasi-operasi matematis, menampilkan informasi (basisdata) spasial maupun
atribut, menjawab query spasial maupun atribut, melakukan fungsi-fungsi dasar
dan fungsi-fungsi khusus sistem informasi geografis dan mebuat peta tematik
(Prahasta, 2005).
Statistik dalam praktek berhubungan dengan banyak angka, ilmu statistik telah
lama diterapkan dalam pengolahan dan analisis data. Untuk mengetahui hubungan
dua variabel digunakan teknin korelasi. Sugiyono (1997) menjelaskan bahwa
Korelasi dan regresi keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Setiap
regresi pasti korelasinya, tetapi belum tentu korelasi dilanjutkan dengan regresi.
Untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam populasi maka dilakukan
pengujian melalui data hubungan antar variabel.
20
Sitepu (1994) menjelaskan hubungan antar variabel dapat diuji dengan metode
korelasi menggunakan rumus korelasi Pearson Product Moment, dengan rumus
sebagai berikut.
� (Xi – X) (Yi – Y) rxy = ---------------------------- (II.1) √ � (Xi – X)2 (Yi – Y)2
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
Xi = data ke i variabel independen
X = rata-rata variabel independen
Yi = data ke i variabel dependen
Y = rata-rata variabel dependen
Selanjutnya dilakukan pengujian koefisien korelasi Pearson Product Moment
dengan menggunakan statisti uji-t dengan rumus sebagai berikut :
rxy √n - 2 t = ------------- (II.2) √1 - rxy
2
Keterangan :
t = nilai t yang dihitung
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
n = jumlah anggota sampel
Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka
dilakukan melalui koefisen determinasi yang merupakan kuadrat dari koefisen
korelasi besarnya prosentase perubahan pada Y yang bisa diterangkan oleh X
melalui hubungan linier Y dan X atau d = r2xy. Setelah dilakukan pengujian
hipotesis dan hasil signifikannya maka untuk menentukan keeratan hubungan
digunakan kriteria Guilford (Sitepu, 1994) yaitu :
21
- ≥ 0,00 < 0,20 : hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan
- ≥ 0,20 < 0,40 : hubungan yang kecil (tidak erat)
- ≥ 0,40 < 0,70 : hubungan yang moderat
- ≥ 0,70 < 0,90 : hubungan yang erat
- ≥ 0,90 < 1,00 : hubungan yang sangat erat
SPSS for windows merupakan salah satu perangkat lunak untuk proses analisis
data secara statistik. Dengan SPSS dapat melakukan perhitungan analisis statistik
seperti : uji perbedaan, uji asosiasi, analisis regresi, analisis multivariat, analisis
diskrimana, analisis faktor, analisis cluster dan lain sebagainya (Santoso dan
Tjiptono, 2001).
II.2 Tulisan dan Penelitian Terdahulu
Sudrajat (2005) melakukan penelitian tentang identifikasi perubahan penggunaan
lahan dan pengaruhnya terhadap limpasan air permukaan (studi kasus Kota
Bogor) dengan hasil penelitiannya antara lain adalah terjadi pergeseran
penggunaan lahan yaitu dari pertanian menjadi perumahan, industri, perdagangan
dan perkantoran. Selama kurun waktu analisis (1995-2002) di Kota Bogor telah
terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup pesat, terutama untuk jenis
penggunaan lahan perumahan/permukiman. Secara keseluruhan jenis penggunaan
lahan perumahan mengalami perluasan di setiap kecamatan.
Hasil penelitian Supriatna (1998), dalam penelitiannya evaluasi dan pemantauan
penggunaan lahan Kotamadya/Kabupaten menggunakan sistem informasi
geografis (studi kasus Kota Surabaya) kesimpulannya diantaranya adalah alih
fungsi lahan dari tahun 1982 ke tahun 1987, terbesar yaitu komplek militer,
sedangkan yang terluas perubahannya pada penggunaan lahan permukiman.
Perubahan minus (berkurang) terbesar yaitu tegalan/kebun campuran, sedangkan
terluas yaitu penggunaan lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah ke permukiman
selama tahun 1982-1997 sangat teratur.
22
Irawan (2005) menulis tentang alih fungsi lahan sawah diantaranya isinya adalah :
Salah satu dampak konversi lahan sawah yang sering menjadi sorotan masyarakat
luas adalah terganggunya ketahanan pangan. Dalam kaitan ini dampak konversi
lahan sawah terhadap masalah pangan lebih merugikan dibanding dampak faktor
lainnya seperti kekeringan, banjir, dan serangan hama/penyakit. Dampak konversi
lahan yang bersifat permanen menyebabkan masalah pangan akibat konversi lahan
selama periode tertentu (T1 ... Tn) merupakan akumulasi dampak konversi selama
periode tersebut.
Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian umumnya bersifat menular.
Konsekuensinya, sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas lahan
yang dikonversi di lokasi tersebut akan semakin luas. Pada dasarnya konversi
lahan sawah sulit dicegah selama kebijakan pembangunan ditujukan untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi masalah konversi tanah
seyogianya lebih diarahkan untuk meminimalkan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan. Implementasinya dapat ditempuh melalui tiga strategi yang
dilaksanakan secara simultan yaitu:
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi tanah dengan mengurangi intensitas
faktor yang dapat mendorong terjadinya konversi tanah.
2. Mengendalikan kegiatan konversi tanah dalam rangka menekan potensi
dampak negatif yang ditimbulkan.
3. Menanggulangi atau menetralisir dampak negatif konversi tanah.
Pasandaran (2006) menulis tentang alternatif kebijakan pengendalian konversi
lahan sawah beririgasi di Indonesia isi tulisannya antara lain konversi lahan sawah
merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena
dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan
lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi
lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru di luar Jawa
tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di Jawa,
karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan persawahan dengan
tingkat produktivitas yang tinggi. Paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri
23
maupun bersama-sama, yang merupakan determinan konversi dari lahan sawah,
yaitu kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan
peningkatan jumlah penduduk.
Sistem persawahan beririgasi merupakan suatu sistem yang bersifat multifungsi.
Ada tiga fungsi utama yang terkait satu dengan lainnya yang memerlukan
hubungan yang serasi agar sistem tersebut dapat dipertahankan eksistensinya.
Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan, kedua adalah fungsi konservasi,
ketiga adalah pewarisan nilai-nilai budaya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa alih fungsi lahan pertanian terutama sawah
cenderung tidak terkendali. Pembahasan dan penanganan alih fungsi lahan sawah
telah berlangsung sejak lama. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi
lahan sawah belum berhasil diwujudkan. Selama ini, telah banyak dibuat berbagai
kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan
sawah, akan tetapi implementasinya belum maksimal. Untuk itu perlu diteliti
mengenai alih fungsi lahan sawah yang merupakan bahan pertimbangan untuk
pengendalian alih fungsi lahan sawah dalam rangka menunjang ketahanan pangan.