ketela pohon, masalah dan solusinya sebagai … · web viewkomoditi ketela pohon merupakan komoditi...

28
1 Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia Ketahanan pangan adalah upaya memenuhi pangan bagi rumah tangga (Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Pembangunan tersebut diarahkan pada peningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian pangan. Permasalahan dan tantangan muncul, seperti bertambahnya kebutuhan pangan oleh laju pertumbuhan penduduk. Diperkuat dari data populasi penduduk Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 273,1 juta. Apabila laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Konsekuensinya menimbulkan krisis pangan, untuk itu perlu meningkatkan produksi pangan agar memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan diversifikasi pangan menjadi salah satu solusi untuk mencapai ketahanan pangan. dan merupakan suatu usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dengan jalan penganekaragaman pangan pokok. Produksi Pangan Indonesia Peringkat 20 Besar (FAO, 2010)

Upload: hatram

Post on 17-Mar-2019

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Ketahanan pangan adalah upaya memenuhi pangan bagi rumah tangga

(Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Pembangunan tersebut

diarahkan pada peningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian

pangan. Permasalahan dan tantangan muncul, seperti bertambahnya kebutuhan

pangan oleh laju pertumbuhan penduduk. Diperkuat dari data populasi penduduk

Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 273,1 juta. Apabila laju pertumbuhan

penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka pada tahun 2050 penduduk

Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Konsekuensinya menimbulkan

krisis pangan, untuk itu perlu meningkatkan produksi pangan agar memenuhi

kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan diversifikasi pangan menjadi salah

satu solusi untuk mencapai ketahanan pangan. dan merupakan suatu usaha untuk

menurunkan tingkat konsumsi beras dengan jalan penganekaragaman pangan pokok.

Produksi Pangan Indonesia Peringkat 20 Besar (FAO, 2010)

2

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Impor Pangan Indonesia (Peringkat 20 Besar) (FAO, 2010)

Komoditi ketela pohon merupakan komoditi tanaman pangan yang penting di

Indonesia setelah padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, yaitu sebagai

bahan pangan, pakan dan bahan baku industri baik hulu maupun hilir. Di samping itu

komoditi tersebut merupakan tanaman dengan daya adaptasi yang luas, mudah

disimpan, mempunyai rasa enak sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan

meningkatkan pendapatan petani beserta keluarganya. Komoditi ketela pohon selain

berperan untuk memenuhi kebutuhan sumber karbohidrat untuk substitusi beras, juga

sebagai bahan untuk diversifikasi pangan. Ketela pohon juga dapat dimanfaatkan

sebagai sumber pakan, bahan baku industri dan bahan baku bioetanol.

Upaya peningkatan produktivitas dan produksi ketela pohon pada tahun 2011

terfokus pada pengembangan melalui dem area (pengelolaan tanaman terpadu)

dengan luasan yang terbatas 550 ha di 11 Kabupaten sentra produksi, diharapkan

salah satu pemicu peningkatan produktivitas ketela pohon. Berdasarkan kebijakan

Kementerian melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan fokus kegiatan utama

adalah komoditas padi, jagung, kedelai, oleh karena itu dem area ketela pohon

dilaksanakan pada MT. 2012.

3

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional

Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia (2009-2012)

4

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Data statistik dari Deptan bahwa indonesia mengimpor singkong sebesar

166.813 (2009), 294.832 (2010), 435.419 (2011), dan 194,854 (2012 triwulan I).

Impor singkong akan sangat merugikan petani di saat harga singkong sedang

berpihak kepada petani dengan kisaran harga Rp. 1.500 untuk singkong kering

(red:gaplek) dan Rp. 700 untuk singkong basah, akan beresiko menurunkan harga

singkong dipasaran.

Persentase Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan menurut Kelompok Barang

Makanan, Indonesia, 1999, 2002-2009

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, Modul Konsumsi 1999, 2002 dan 2005

(2003, 2004 dan 2006 (2003, 2004 dan 2006 hanya mencakup panel

10.000 rumahtangga, sedangkan 2007, 2008 dan 2009 mencakup panel

68.800 rumahtangga)

Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa pengeluaran untuk makanan

kelompok padi-padian merupakan pengeluaran tertinggi bahkan persentasenya sangat

jauh dibandingkan dengan pengeluaran kelompok makanan lainnya. Umbi-umbian

berada pada persentase yang paling rendah. Palimbong (2010) mengatakan bahwa

5

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

pada dasarnya kandungan karbohidrat, protein, gizi, dan mineral kimia bermanfaat

lainnya dari ubi kayu, jagung, sukun dan ubi jalar tidak jauh berbeda dengan beras

padi, bahkan khususnya ubi kayu atau ketela pohon bukan hanya umbinya akan tetapi

daunnya juga mempunyai manfaat yang sangat baik sebagai sayuran. Oleh karena itu,

umbi-umbian sebenarnya dapat menggantikan atau mengurangi ketergantungan

masyarakat dari mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok.

Laju peningkatan produktivitas ubi kayu dari tahun 1968 sampai 2009 secara

nasional berlangsung lambat, yaitu 2.1% per tahun.

Produksi Ubikayu (Ketela Pohon)

TAHUN

LUAS

PANEN

(Ha)

PENING

KATAN

%

HASIL

(Ku/Ha)

PENING

KATAN

%

PRODUKSI

(Ton)

PENING

KATAN

%

2002 1.276.533 - 132 - 16.913.104 -

6

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

2003 1.244.543 (2,51) 149 12,88 18.523.810 9,52

2004 1.255.805 0,90 155 4,03 19.424.707 4,86

2005 1.213.460 (3,37) 159 2,58 19.321.183 (0,53)

2006 1.227.459 1,15 163 2,52 19.986.640 3,44

2007 1.200.612 (2,19) 165 1,23 19.802.508 (0,92)

Rate 1.236.402 (1,20) 154 4,65 18.995.325 3,27

Sumber : Deptan, 2012

Produksi, Ekspor dan Impor Ketela Pohon (1999-2009)

Andil Ketela Pohon Terhadap Inflasi

7

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Selama bulan Pebruari 2013, sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan

hasil-hasilnya disusun oleh komoditas beras, ketela pohon, mie kering instant. Sub

kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya memberikan andil positif terhadap

inflasi hanya komoditas mie kering instant sebesar 0,0012%, Sedangkan komoditas

beras dan komoditas ketela pohon masing-masing memberikan andil negatif terhadap

inflasi sebesar 0,0008% dan 0,0002%.

Andil Ketela Pohon Terhadap Inflasi, Pebruari 2013

Berikut ini adalah daftar wilayah sentra penanaman ketela pohon :

8

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

WILAYAH SENTRA

KOMODITI : KETELA POHON

No Kabupaten / Kota Produksi

1 Garut  Bungbulang, Pakenjeng

2 Tasikmalaya  Tamansari, Kawalu, Cibereum

3 Sumedang  Buah Dua, Jati Gede

4 Sukabumi  Jampang Kulon, Jampang Tengah, Cibadak

5 Bogor  Leuwiliang, Cibungbulang

6 Cianjur Bojong Pincung, Mande

7 Ciamis Parigi, Batu Karas,

8 Purwakarta Wana Jaya, Campaka

9 Subang Tanjung Siang, Sagala Herang

10 Kuningan Ciniru, Darma

11 Majalengka Talaga, Banjaran, Cikijing

12 Bandung Sorenang, Cikancung, Nagrek, Cipatat

 

Permasalahan Yang Terjadi : Indonesia Importir Singkong Terbesar

Jumlah singkong impor di Indonesia terus meningkat. Ini karena rendahnya

kapasitas pengolahan singkong menjadi tapioka. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS), total impor singkong yang dilakukan Indonesia dari Januari hingga

Oktober 2012 mencapai 13.300 ribu ton dengan nilai US$ 3,4 juta atau Rp 32,3

miliar. Pada Oktober lalu kembali terjadi impor singkong sebesar 6.200 ton senilai

US$ 1,6 juta atau Rp 15,2 miliar dari Thailand. Padahal hampir 3 bulan sebelumnya

tidak terdapat impor singkong ke Indonesia. Selain impor singkong dari Thailand di

Oktober, pada April dan Mei 2012, sebanyak 5.057 ton singkong asal China diimpor

9

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

dengan nilai US$ 1,3 juta. Impor ini kemudian berhenti pada Mei ini.Sementara itu,

pada Mei impor singkong dilakukan dari Vietnam. Sebanyak 1.342 ton singkong

dengan nilai US$ 340 ribu masuk ke Indonesia. Dari Juli sampai September 2012,

tidak terdapat impor singkong dari negara manapun. Di Januari-Juni 2011, Indonesia

juga tercatat mengimpor ubi kayu dengan total 4.730 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu,

sedangkan pada 2010 impor kembali melonjak hingga 290 ribu ton.

Singkong sebagai bahan pangan pokok alternatif mendukung diversifikasi

pangan nasional telah masuk ke jajaran Kadin Indonesia, menjadi salah satu

komoditas strategis pangan nasional. Dengan adanya import singkong yang semakin

meningkat sampai mencapai sekitar 2 juta ton tahun 2012, merupakan peluang emas

bagi Masyarakat Singkong Indonesia dan Pemerintah Indonesia untuk memotivasi

peningkatan produksi tepung berbahan baku singkong (Tapioca Starch, Cassava Flour

dan Mocaf) melalui pelaksanaan program GERNAS SSB 2013-2016 diseluruh

IndonesiaMenurut Bustanul, penyebab impor adalah besarnya kebutuhan sektor

industri yang menggunakan bahan baku singkong. Pemerintah, harus segera

mengambil langkah untuk memperbaiki kondisi pangan dalam negeri. Selama ini

singkong hanya dihargai rendah. Pada saat panen, harga jatuh. Ini membuat para

petani tidak bergairah menanam singkong. Melihat hal tersebut dukungan kepada

Menteri BUMN untuk mengucurkan CSR dari BUMN untuk mendukung

pelaksanaan GERNAS SSB 2013-2016 untuk memproduksi tepung singkong

sebanyak :

a. Tahun 2013 memproduksi 1,2 juta ton tepung singkong

b. Tahun 2014 memproduksi 2,4 juta ton tepung singkong

c. Tahun 2015 memproduksi 4,8 juta ton tepung singkong

d. Tahun 2016 memproduksi 9,6 juta ton tepung singkong

Sementara Direktur Budi Daya Tanaman Kacang dan Umbi Kementerian

Pertanian (Kementan) Maman Suherman, mengakui kalau selama ini pemerintah

masih mengimpor singkong untuk bahan baku industri seperti singkong kering

(chips) dan tapioka. Hal ini dikarenakan panen singkong yang tidak merata sehingga

10

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

membuat pasokan kurang di musim tertentu. "Ekspor pun kami lakukan, kalau

produksi tinggi ya ekspor, kalau produksi turun ya impor," katanya.

Berdasarkan data Kementan, ekspor singkong 2010 sebanyak 169 ribu ton

turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 181,1 ribu ton. Sementara impor 2010

tercatat naik menjadi 23,9 juta ton dari yang tadinya hanya 22 juta ton di 2009. Dalam

meningkatkan ketahanan pangan, Kementan terus berupaya menurunkan tingkat

konsumsi beras masyarakat dengan mencari pengganti pangan seperti singkong.

Namun karena dinilai sebagai pangan kelas dua, singkong kurang diminati. Menurut

Direktur Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen P2HP Kementan, Nazaruddin strategi

upaya peningkatan minat makan singkong dimulai dengan cara pengolahan singkong

untuk menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tambah dan bernilai jual tinggi.

Saat ini di beberapa daerah di Indonesia singkong sudah dijadikan sebagai

bahan pangan seperti dalam bentuk blok, chips, gaplek yang tahan disimpan. Strategi

ini tidak lepas dari strategi 4P

yaitu Product (produk), Price (harga), Promotion (promosi) dan Place (strategi

distribusi).

Suharyo menyatakan tahun lalu luas panen Singkong diperkirakan mencapai

1,2 juta hektare dengan produktivitas sebesar 19,5 ton per hektare, maka dihasilkan

sekitar 23,5 juta ton singkong basah. Walau naik1,7 persen pada 2011 luas panen

singkong cenderung turun selama 10 tahun terakhir. "Produksi singkong cenderung

naik, rata-rata 4,3 persen per tahun. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan

hasil per hektare dari 12,9 ton menjadi 19,5 ton per hektare," kata Suharyo Husen

(2013).

Contoh Strategi Pengelolaan Produksi Ketela Pohon Dinas Pertanian Jabar

Pencapaian peningkatan produksi ketela pohon tahun 2012 dilakukan

beberapa strategi sebagai berikut:

1) Peningkatan Produktivitas

Upaya peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui:

a. Perakitan dan penerapan paket teknologi tepat guna spesifik

11

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

b. Penerapan dan pengembangan teknologi

c. GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi)

d. Perlindungan tanaman dari gangguan OPT dan DPI, dan

e. Pengurangan kehilangan hasil panen

2) Perluasan Areal dan Optimasi Lahan

Perluasan areal dan optimasi lahan dilaksanakan melalui:

a. Pemberdayaan atau optimalisasi lahan kering/lahan terlantar pada daerah-

daerah transmigrasi/Perhutani/Inhutani/PTPN, dan

b. Optimasi lahan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP)

3) Pengembangan Diversifikasi Pangan

Pengembangan diversifikasi pangan dilaksanakan melalui:

a. Pengembangan lahan pekarangan,

b. Pengembangan pangan untuk orang miskin (Pangkin), dan

c. Pengembangan agroindustri aneka tepung berbahan baku lokal

4) Perbaikan Manajemen Pengembangan

a. Kebijakan Perbaikan sistem perkreditan pertanian (Penguatan sistem data)

b. Pengembangan kawasan food estate

c. Pengembangan sistem resi gudang

d. Penguatan petugas lapangan

e. Pemanfaatan pola pengadaan saprodi

f. Penataan kebijakan subsidi pertanian

Sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem daulat pasar, bukan daulat

rakyat. Pada dasarnya daulat pasar menjauhkan Indonesia dari kesejahteraan, untuk

itu perlu ditumbuhkan kembali kedaulatan yang berdasar atas rakyat. Kedaulatan

rakyat ini bisa dengan membangun suatu koperasi ditiap daerah agar tidak terjadi

pemerintahan yang terpusat (sentralisasi). Berikut ini beberapa solusi untuk

membangun perekonomian negara yang berdasar atas rakyat :

Lumbung Pangan : Sarana Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal

12

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Akses terhadap pangan yang cukup merupakan bagian penting dalam hak

asasi manusia. Hak atas pangan mencakup hak untuk bebas dari kelaparan

memperoleh air minum yang aman, akses terhadap sumberdaya, termasuk bahan

bakar untuk memasak. Hak atas pangan yang cukup berarti setiap orang, perempuan,

laki-laki, dan anak-anak secara individu dan komunitas harus memiliki akses, baik

secara fisik dan ekonomi, terhadap pangan sepanjang waktu. Pemerintah sebagai

pihak yang paling bertanggungjawab terhadap terpenuhinya hak atas pangan perlu

mengembangkan kebijakan dan berbagai program untuk memenuhi hak rakyat atas

pangan. Namun sistem pangan kita saat ini menjadi kian runyam saat proses

liberalisasi pangan kian menguat. Banjir pangan impor murah hasil dumping dari

negara-negara kaya menyebabkan harga pangan petani dalam negeri jatuh. Tekanan

berbagai institusi internasional terhadap pemerintah menyebabkan hilangnya peran

negara untuk melindungi kepentingan petani dalam negeri. Berbagai tekanan inilah

yang menyebabkan terkikisnya kedaulatan dan kemandirian negara dalam

membangun sistem pangan nasional yang kokoh dan berkelanjutan (Witoro, 2005).

Sebagai hak asasi, pangan harus ada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya

terjamin dan berkelanjutan. Oleh karenanya pangan hak atas pangan harus

dikembalikan kepada rakyat. Mengembalikan hak rakyat atas pangan dapat dilakukan

dengan melokalisasikan pangan atau memperkuat sistem pangan komunitas agar lebih

tahan atau lentur terhadap gempuran globalisasi. Pemenuhan pangan dengan

memproduksi secara lokal akan menurunkan bahkan menghilangkan pemborosan

biaya transpor dan pencemaran yang diakibatkan pengiriman pangan dari

negaranegara lain yang jaraknya ratusan ribuan kilometer. Pembaruan ini akan

memberi pilihan leluasa kepada komunitas lokal guna membuat kebijakannya sendiri

dalam mengelola produksi, penyimpanan, distribusi, dan konsumsi pangan. Sistem

pangan lokal merupakan alternatif atau bentuk perlawanan terhadap menguatnya

sistem pangan global.

Sistem pangan desa dapat terwujud jika warganya bergotong-royong

memproduksi sendiri aneka pangan yang dibutuhkan dengan memanfaatkan berbagai

sumber produksi pangan yang ada di wilayahnya. Hasil produksi diutamakan untuk

13

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

memenuhi kebutuhan seluruh warga. Sisanya disimpan di lumbung keluarga atau

komunitas sebagai cadangan pangan untuk mengantisipasi paceklik. Perdagangan

dilakukan saat kebutuhan pangan hingga musim berikut telah terjamin. Perdagangan

lokal menjadi prioritas dengan memperpendek jarak dan meningkatkan hubungan

antara produsen dan konsumen.

Lumbung pangan merupakan lembaga pangan yang sejak lama ada dan

terbukti mampu menjadi andalan petani dan warga desa lainnya dalam memenuhi

pangan sepanjang musim. Lumbung desa menujukkan bahwa pangan sungguh berada

di tangan rakyat sehingga mudah diakses sepanjang waktu. Keberadaan dan peran

lumbung desa semakin memudar seiring dengan kebijakan pengembangan cadangan

pangan nasional pada masa Orde Lama dan liberalisasi pasca 1997. Sebagai

akibatnya pangan tidak lagi ada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan para

perusahaanperusahaan.

Menghidupkan dan memperkuat lumbung desa merupakan jalan untuk

merebut kembali kedaulatan rakyat atas pangan dari kepentingan perusahaan yang

bermotoif utama mengeruk keuntungan. Membangun kembali lumbung pangan yang

selama ini terpinggirkan bukanlah persoalan sederhana, tetapi sebuah tantangan yang

besar. Diperlukan kebijakan yang sungguh-sungguh dari Pemerintah untuk

melindungi sekaligus dukungan yang kuat untuk memperkuat lumbung yang

sederhana menjadi lumbung yang berperan untuk menjamin kecukupan pangan warga

desa dan menjadi lembaga ekonomi yang tangguh dan menguntungkan seluruh warga

desa. Penguatan terhadap lumbung desa perlus dilakukan untuk memperbaiki

kelembagaan, kegiatan usaha, administrasi, manajerial dan pemantauan serta

evaluasinya. Mengingat sebagian besar petani merupakan petani kecil berlahan

sempit, maka untuk dapat bertahan dan berkembang dalam situasi perdagangan yang

adil dilakukan melalui kerjasama di antara mereka. Kerjasama ini dilakukan untuk

mengimbangi kelemahannya untuk melakukan penghematan akan sumber-sumber

dan memperoleh kemajuan skala ekonomi. Lumbung desa dapat dikelola seperti

koperasi produsen kecil untuk membangun kekuatan bersama. Kerja-sama secara

tradisional dari koperasi lumbung desa adalah melakukan pembelanjaan bahan-bahan

14

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

baku secara kolektif, produksi dan memperdagangkan hasil produksi, pengangkutan

bahan baku dan hasil produksi, penyimpanan bahan baku dan hasil produksi,

pengolahan bahan atau industri kecil pengolahan pangan, dan sebagainya.

Penguatan lebih lanjut dilakukan dengan membangun kemitraan dengan

lembaga pangan lain atau gerakan pangan lokal lainnya. Gerakan pangan lokal

mempersatukan para aktivis masyarakat, petani kecil, pecinta lingkungan, guru,

pengusaha kecil, dan konsumen pangan sehat. Gerakan ini berpotensi untuk

mewujudkan kedaulatan pangan di tingkat lokal. Sukses yang telah dicapai di

beberapa negara menunjukkan bahwa program pangan lokal dapat menjadi landasan

pembangunan di tingkat lokal atau desa, memperbaiki ketahanan pangan dan gizi,

meningkatkan solidaritas masyarakat, dan mendukung berkembangnya usaha tani

keluarga petani kecil (Schwind, 2005).

Gerakan penguatan pangan lokal atau kembali ke pangan lokal juga

merupakan bagian dari upaya menjawab degradasi atau kerusakan lingkungan dan

pengurangan angka kelaparan dan kemiskinan. Menjadi saat yang tepat bagi gerakan

untuk melakukan kampanye dan advokasi dari berbagai kisah sukses pengembangan

sistem pangan lokal di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Gerakan ini

juga dilakukan untuk melindungi dan membangun kembali sistem pangan lokal

sebagai suatu strategi kemandirian, perjuangan budaya, dan pembangunan yang

berpihak kaum miskin. Seperti platform kedaulatan yang dirumuskan Via Campesina,

“mendahulukan produksi pertanian lokal dalam rangka memenuhi betuhan pangan

rakyat,” serta mengembangkan tata perdagangan baru berdasar konsep tersebut.

Menata Ulang ”Ruang” Demi Pasar

Pilihan untuk lebih menguatkan kebijakan desentralisasi di Indonesia sejak

tahun 2000, pada awalnya, lebih merupakan bentuk akomodasi pemerintah Pusat

terhadap munculnya resistensi and isu self determination di beberapa daerah kaya

sumberdaya alam (Bertrand, 2004:45; Aspinnall & Fealy, 2003). Kecenderungan

pemerintahan rejim sebelumnya yang membangun basis stabilitas nasional di atas

kebijakan politik yang hipersentralistik ternyata menjadi bom waktu yang memicu

15

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

perlawanan daerah ketika negara mahadaya (power house state) tersebut mengalami

krisis ekonomi dan politik. Pola hubungan Pusat-daerah yang sifatnya asimetris

dengan Jakarta sebagai satu-satunya centrum kekuasaan akhirnya ditata ulang

kembali. Jakarta kemudian merelakan sebagian besar urusan atau kewenangan kepada

daerah.

Perubahan struktur politik di ranah nasional tersebut tampaknya gayung

bersambut dengan perubahan struktur ekonomi politik global yang semakin

meneguhkan gagasan-gagasan neoliberalisme. Dua dekade sebelumnya, para pemikir

neoliberal sudah rajin meneriakkan pentingnya desentralisasi. Misalnya, dengan

menggunakan “bendera” good governance, Bank Dunia dan beberapa lembaga donor

internasional lainnya sangat aktif mengadvokasi, mempromosikan dan bahkan

berusaha memastikan berlangsungnya praktek desentralisasi di negara-negara yang

ada di Benua Afrika dan Asia. Meskipun sekarang mereka mulai menuai berbagai

macam suara-suara skeptis yang mempertanyakan apakah betul desentralisasi bisa

menjadi alternatif (Devas & Delay, 2006: 679). Bank Dunia dan lembaga-lembaga

donor internasional tersebut tampaknya cukup dibuat frustasi oleh model-model

pembangunan ekonomi komando dan tata pemerintahan yang sentralistik di berbagai

belahan dunia yang hanya membuahkan ketidakefisienan, membuat korupsi dan

ekonomi biaya tinggi semakin menjamur dan tetap melanggengkan kemiskinan.

Singkatnya, mulai tahun 1980-an, bentuk-bentuk sentralisasi politik dan kebijakan

ekonomi serta peran negara sebagai satu-satunya agen pembangunan ekonomi dan

modernisasi sosial sudah digugat karena dianggap tidak bisa membuat mekanisme

pasar yang ada berjalan sempurna dan justru menimbulkan patologi sosial dan

ekonomi.

Para pemikir neoliberal dan lembaga-lembaga donor internasional yang ada

tentu saja lebih mengedepankan alasan-alasan normatif yang bernuansa ekonomi

yang diklaim lebih bersifat rasional fungsional dibandingkan alasan-alasan politik-

ideologis, yaitu alasan ”economics of size”. Bila desentralisasi pada hakekatnya

adalah urusan ”ukuran” (size), maka desentralisasi yang dibayangkan oleh lembaga-

lembaga pendukung neoliberalisme merupakan mekanisme untuk menata ulang

16

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

”ukuran ruang” agar mekanisme pasar berjalan sempurna dan proses akumulasi

modal bisa berjalan secara efektif dan efisien. Sebagaimana kita ketahui, ideologi

neoliberal sangat percaya pada kredo supremasi pasar sehingga mereka selalu

berusaha mentransformasikan masyarakat melalui kehidupan ekonomi yang

didominasi oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu agenda dasar setiap perubahan

yang didorong oleh ideologi neoliberal dipastikan untuk menjadikan seperti apa yang

disebut oleh Polanyi- masyarakat yang berjalan sebagai bagian yang menyokong

mekanisme pasar (MacEwan, 2005:172).

Bagi pemuja ideologi Kanan, desentralisasi diyakini akan mendorong efisiensi

dimana permintaan (demands) untuk pelayanan publik yang bersifat lokal bisa

terpenuhi dan penyediaan public goods secara optimal akan terpenuhi. Lebih jauh,

model pembuatan keputusan lokal ala pasar melihat desentralisasi sebagai sarana

untuk memperluas jangkauan pilihan konsumen diantara public goods yang ada.

Pilihan yang lebih bersifat lokal dan residensial akan berkontribusi terhadap realisasi

nilai individual dan kesejahteraan kolektif. Desentralisasi dikatakan akan bisa

menekan biaya (cost), memperbaiki keluaran (output) dan akan mendorong

pemanfaatan sumberdaya manusia yang lebih efektif (Smith, 1985:14).

Polisentrisme Radikal dan ”Anti Politik”

Selain mendorong proses ketatapemerintahan yang bersifat market driven,

para pemikir Kanan juga berkepentingan untuk menstimulasi adanya keragaman aktor

dalam proses politik yang ada. Demokrasi dalam nalar Kanan identik dengan

perayaan pluralitas aktor yang diharapkan bisa mematuhi mekanisme demokrasi

sebagai ‘the only one games in town’. Oleh karena itu, desentralisasi menjadi

mekanisme untuk memendarkan kekuasaan secara wilayah yang pada akhirnya

berujung pada penciptaan watak politik yang semakin plural.

Pluralitas yang dimaksud bukan hanya plural dalam arti level pemerintahan

tapi juga pluralitas aktor politik dan tata pemerintahan. Desentralisasi tidak hanya

dipahami sebagai bentuk transfer kekuasaan, otoritas, tanggungjawab dalam

pemerintahan tapi juga pembagian otoritas dan sumberdaya kepada aktoraktor negara

17

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

di dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan (Cheema & Rondinelli

2007:6). Oleh sebab itu, mereka mendorong kecenderungan polisentrisme radikal.

Yang dimaksud dengan polisentrisme radikal adalah serangkaian ide yang meyakini

bahwa entitas-entitas masyarakat sipil, pelaku pasar dan pemerintah lokal -yang tidak

terkoordinasi dan sangat terdesentralisasi- akan bersinergi dan berkelindan satu sama

lain dalam pola hubungan yang saling menguntungkan untuk menghasilkan sesuatu

yang baik untuk seluruh rakyat (Harriss, Stokke, Törnquist, 2004:8). Semangat

semangat ini kemudian banyak dibungkus dalam bentuk jargon good governance,

kemitraan publik-privat, dan sebagainya.

18

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

DAFTAR PUSTAKABertrand, Jaques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia : Cambridge.

Buletin RI. 2013. Bulanan Indikator Makro Sektor Pertanian, Pusat Data dan Sistem Pertanian. Kementrian Pertanian Republik Indonesia : Jakarta selatan.

Departemen Pertanian. 2012. Data Produktivitas Tanaman Pangan Ketela Pohon. tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/Pedlak%20Akabi%202012.pdf. [Diakses 25 Mei 2013]

Devas, Nick dan Simon Delay (2006), “Local Democracy and Challenges of Decentralising State: An International Perspective”, Local Government Studies, vol. 32 No. 5, 677-695, Nopember 2006.

Harriss, John, Kristian Stokke & Olle Törnquist, eds. 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation. Palgrave : Macmillian.

Husen, Suharyo. 2013. Impor singkong Indonesia. http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-04-18/206056 [Diekses 25 Mei 2013].

MacEwan, Arthur (2005), “Neoliberalism and Democracy: Market Power Versus Democratic Power”, dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds.), Neoliberalism: A Critical Reader : Pluto Press.

Nurjanah, Siti. 2011. Sikap dan Perilaku Konsumsi Masyarakat Terhadap Beras Padi (oryza sativa) dan Beras Singkong (manihot esculenta) Sebagai Bahan Pangan Pokok (Kasus Masyarakat Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia : Institut Pertanian Bogor.

Pasaribu, Rowland. 201. Ketahanan Pangan Nasional. http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/13-ketahanan-pangan-nasional.pdf [Diakses 25 Mei 2013]

Rini Dwiastuti, Suhartini, dan Tatiek Koerniawati. 2011. Pertanian Berlanjut : Kode pti4208, Produksi - Konsumsi Pangan dan Energi di Indonesia. Malang : Universitas Brawijaya.

19

Ketela Pohon, Masalah dan Solusinya Sebagai Pilihan Pangan Utama di Indonesia

Smith, B.C. (1985), Desentralization: The Teritorial Dimension of The State. George Allen dan Uhwin.

Suwarto. 2012. Menjadikan Ubi Kayu Sebagai Sumber Ketahanan Pangan Dan Energi Di Indonesia. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60103/PRO2012_SUW.pdf?sequence=1 [Diakses 26 Mei 2013].

VECO Indonesia. 2006. Lumbung Pangan Jalan Menuju Ketersediaan Pangan. KRKP : Kota Bogor.