ketahanan sepuluh genotipe kedelai terhadap penyakit...

35
Volume 12, Nomor 2, Maret 2016 Halaman 39–45 DOI: 10.14692/jfi.12.2.39 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Jalan Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101. Tel: 0341-801468, Faks: 0341-801496, Surel: [email protected] 39 Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karat The Resistance of Ten Soybean Genotypes to Rust Disease Sumartini dan Apri Sulistyo* Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang 65101 ABSTRAK Infeksi penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi dapat menyebabkan kehilangan hasil pada kedelai hingga 75%. Salah satu cara mengatasinya ialah dengan menanam varietas tahan. Tujuan penelitian ialah menguji ketahanan 10 genotipe kedelai terhadap penyakit karat. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Inokulasi pada tanaman berumur 3 minggu dilakukan dengan menyemprotkan suspensi spora P. pachyrhizi (kepadatan urediniospora 10 4 mL -1 ) ke permukaan daun pada 10 genotipe kedelai (MLGG 0005, MLGG 0253, MLGG 0465, MLGG 0470, var. Argomulyo, var. Tanggamus, var. Wilis, var. Burangrang, var. Grobogan, dan var. Dering 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh genotipe kedelai yang diuji tergolong agak tahan terhadap penyakit karat berdasarkan metode IWGSR. Pada kondisi terinfeksi penyakit karat, kedelai var. Wilis dan Dering 1 mampu menghasilkan biji per tanaman tertinggi, masing-masing seberat 7.15 dan 5.21 g. Kata kunci: aksesi plasma nutfah, IWGSR, Phakopsora pachyrhizi, varietas kedelai ABSTRACT Rust disease caused by Phakopsora pachyrhizi can reduce soybean yields up to 75%. One solution to overcome the rust disease is by planting resistant varieties. The aim of this study was to evaluate the resistance of 10 soybean genotypes to rust disease. The research was conducted in the greenhouse. The experiment was arranged in a randomized complete block design with three replications. Inoculation of rust pathogen on 3 weeks-old plants was done by spraying urediniospore suspension (density 10 4 mL -1 ) to the surface of the leaves on the 10 soybean genotypes (MLGG 0005, MLGG 0253, MLGG 0465, MLGG 0470, var. Argomulyo, var. Tanggamus, var. Wilis, var. Burangrang, var. Grobogan, dan var. Dering 1). The results showed that all soybean genotypes were classified as moderately resistant to rust diseases based on the method of IWGSR. Although the plants were infected by rust disease, var. Wilis and Dering 1 produced the highest seed yield per plant (7.15 and 5.21 g, respectively), due to the good appearance of the plants, and the high number of branches, reproductive nodes, and number of filled pods. Therefore, these genotypes might be used as a good germplasm accession. Key words: germplasm accession, IWGSR, Phakopsora pachyrhizi, soybean variety PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan terpenting di Indonesia. Tahu, tempe, kecap, dan susu merupakan produk olahan yang menggunakan biji kedelai. Umumnya kedelai berbiji besar berwarna kuning untuk pembuatan tempe dan susu, sedangkan biji kecil berwarna kuning untuk kecambah sayur dan tahu, dan kedelai biji kecil dan besar berwarna hitam untuk pembuatan kecap. Usaha meningkatkan produksi kedelai di Indonesia sering menemui hambatan, salah satunya adalah infeksi penyakit karat.

Upload: votruc

Post on 23-May-2019

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

Volume 12, Nomor 2, Maret 2016Halaman 39–45

DOI: 10.14692/jfi.12.2.39ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Jalan Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101.Tel: 0341-801468, Faks: 0341-801496, Surel: [email protected]

39

Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karat

The Resistance of Ten Soybean Genotypes to Rust Disease

Sumartini dan Apri Sulistyo*Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang 65101

ABSTRAK

Infeksi penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi dapat menyebabkan kehilangan hasil pada kedelai hingga 75%. Salah satu cara mengatasinya ialah dengan menanam varietas tahan. Tujuan penelitian ialah menguji ketahanan 10 genotipe kedelai terhadap penyakit karat. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Inokulasi pada tanaman berumur 3 minggu dilakukan dengan menyemprotkan suspensi spora P. pachyrhizi (kepadatan urediniospora 104 mL-1) ke permukaan daun pada 10 genotipe kedelai (MLGG 0005, MLGG 0253, MLGG 0465, MLGG 0470, var. Argomulyo, var. Tanggamus, var. Wilis, var. Burangrang, var. Grobogan, dan var. Dering 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh genotipe kedelai yang diuji tergolong agak tahan terhadap penyakit karat berdasarkan metode IWGSR. Pada kondisi terinfeksi penyakit karat, kedelai var. Wilis dan Dering 1 mampu menghasilkan biji per tanaman tertinggi, masing-masing seberat 7.15 dan 5.21 g.

Kata kunci: aksesi plasma nutfah, IWGSR, Phakopsora pachyrhizi, varietas kedelai

ABSTRACT

Rust disease caused by Phakopsora pachyrhizi can reduce soybean yields up to 75%. One solution to overcome the rust disease is by planting resistant varieties. The aim of this study was to evaluate the resistance of 10 soybean genotypes to rust disease. The research was conducted in the greenhouse. The experiment was arranged in a randomized complete block design with three replications. Inoculation of rust pathogen on 3 weeks-old plants was done by spraying urediniospore suspension (density 104 mL-1)to the surface of the leaves on the 10 soybean genotypes (MLGG 0005, MLGG 0253, MLGG 0465, MLGG 0470, var. Argomulyo, var. Tanggamus, var. Wilis, var. Burangrang, var. Grobogan, dan var. Dering 1). The results showed that all soybean genotypes were classified as moderately resistant to rust diseases based on the method of IWGSR. Although the plants were infected by rust disease, var. Wilis and Dering 1 produced the highest seed yield per plant (7.15 and 5.21 g, respectively), due to the good appearance of the plants, and the high number of branches, reproductive nodes, and number of filled pods. Therefore, these genotypes might be used as a good germplasm accession.

Key words: germplasm accession, IWGSR, Phakopsora pachyrhizi, soybean variety

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan terpenting di Indonesia. Tahu, tempe, kecap, dan susu merupakan produk olahan yang menggunakan biji kedelai. Umumnya kedelai berbiji besar berwarna kuning untuk

pembuatan tempe dan susu, sedangkan biji kecil berwarna kuning untuk kecambah sayur dan tahu, dan kedelai biji kecil dan besar berwarna hitam untuk pembuatan kecap. Usaha meningkatkan produksi kedelai di Indonesia sering menemui hambatan, salah satunya adalah infeksi penyakit karat.

Page 2: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

40

Penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi telah menyebar luas di sentra penghasil kedelai di dunia dan mengakibatkan kehilangan hasil. Laporan pertama penyakit karat dimulai dari Jepang pada tahun 1902, lalu menyebar ke India tahun 1951 dan Afrika (Kenya, Rwanda, dan Uganda) pada tahun 1996 (Miles et al. 2003). Di benua Amerika, penyakit ini terdeteksi pertama di Paraguay tahun 2001 dan di Brasil tahun 2002. Kehilangan hasil akibat cendawan karat bervariasi dari 28% di Argentina (Formento 2008) dan 75% di Brasil (Yorinori et al. 2005).

Salah satu cara pengendalian penyakit ini ialah dengan menanam varietas tahan. Ketahanan kedelai terhadap penyakit karat dikendalikan secara poligenik. Sampai saat ini, 6 gen dominan, yaitu Rpp1, Rpp2, Rpp3, Rpp4, Rpp5, dan Rpp?Hyuuga diketahui mengendalikan ketahanan kedelai terhadap penyakit karat (Tukamuhabwa dan Maphosa 2010). Garcia et al. (2008) menambahkan bahwa terdapat gen resesif yang ikut berperan dalam mengendalikan sifat ketahanan terhadap penyakit karat.

Di Indonesia, ketahanan terhadap penyakit karat merupakan salah satu syarat wajib dalam pelepasan varietas kedelai. Di antara varietas kedelai yang telah dilepas, hanya beberapa saja yang tahan terhadap penyakit karat. Varietas kedelai yang tahan terhadap penyakit karat saat ini kemungkinan akan menjadi tidak tahan di masa yang akan datang karena P. pachyrhizi dapat membentuk ras-ras baru yang lebih virulen. Oleh karena itu, pengembangan kedelai galur-galur unggul tahan penyakit karat masih dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketahanan genotipe-genotipe kedelai terhadap penyakit karat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian menggunakan 10 genotipe kedelai yang terdiri atas 4 aksesi plasma nutfah (MLGG 0005, MLGG 0253, MLGG 0465, dan MLGG 0470) dan 6 varietas (Argomulyo, Tanggamus, Wilis, Burangrang, Grobogan, dan Dering 1). Seluruh materi genetik uji

ditanam dalam pot kantong plastik berdiameter 35 cm dan tinggi 35 cm masing-masing 5 biji per pot. Sebanyak 2 tanaman yang tumbuh baik dipilih saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Medium tanam yang digunakan adalah tanah dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1. Pupuk NPK dengan dosis 5 g per pot diberikan pada saat tanam. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan.

Suspensi urediniospora P. pachyrhizi disiapkan di laboratorium sehari sebelum inokulasi. Tanaman yang terinfeksi penyakit karat secara alami di lapangan digunakan sebagai sumber inokulum. Daun yang terinfeksi diinkubasi pada kelembapan 100%. Setelah 24 jam, spora yang dihasilkan diambil menggunakan kuas lalu disuspensikan meng-gunakan air suling hingga diperoleh kepadatan urediniospora 104 mL-1. Selanjutnya, suspensispora dihomogenkan menggunakan Tween-20, 2 tetes per liter. Inokulasi dilakukan pada tanaman berumur 3 MST dengan cara menyemprotkan suspensi spora ke permukaan daun.

Pengamatan keparahan penyakit karat mengikuti metode international working group on soybean rust rating system (IWGSR) dan dilakukan 3 kali, mulai dari 1 minggu setelah inokulasi (MSI) hingga 3 MSI. Metode IWGSR menggunakan sistem skor 3 angka untuk mengelompokkan ketahanan kedelai terhadap penyakit karat (Tukamuhabwa dan Maphosa 2010). Angka pertama menunjukkan posisi teratas dari daun yang terinfeksi(1 = 1/3 bagian bawah, 2 = 1/3 bagian tengah, dan 3 = 1/3 bagian atas kanopi). Angka kedua menunjukkan kepadatan pustul karat pada daun yang paling terinfeksi (1 = tidak ada pustul, 2 = 1–8 pustul cm-2, 3 = 9–16 pustul cm-2, dan 4 = >16 pustul cm-2). Angka ketiga menunjukkan jenis infeksi (1 = tidak ada pustul, 2 = pustul tanpa ada spora, dan 3 = pustul dengan spora) (Tabel 1). Pengamatan karakter agronomi meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, dan hasil biji per tanaman. Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan perangkat

Page 3: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

41

lunak statistik PKBT-STAT 1.0, kecuali untuk keparahan penyakit.

HASIL

Masa inkubasi penyakit karat ialah 7–14 hari setelah inokulasi (HSI). Ada beda jumlah pustul yang diamati baik intergenotipe maupun antargenotipe, terutama setelah 2 dan 3 MSI (Tabel 2). Hasil pengamatan pada 2 MSI memperlihatkan bahwa jumlah pustul terendah terdapat pada varietas Burangrang (6 pustul cm-2) dan tertinggi pada aksesi MLGG 0465 (18 pustul cm-2). Sementara pengamatan pada 3 MSI, aksesi MLGG 0470 memiliki jumlah pustul terendah (8 pustul cm-2)dan MLGG 0465 memiliki jumlah pustul tertinggi (20 pustul cm-2). Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan respons dari genotipe kedelai yang diuji terhadap penyakit karat.

Walaupun terdapat perbedaan jumlah pustul antargenotipe, tetapi reaksi ketahanan genotipe-genotipe kedelai tersebut terhadap penyakit karat adalah sama berdasarkan metode IWGSR. Hasil pengamatan pada 1 dan 2 MSI memperlihatkan bahwa seluruh genotipe kedelai tergolong tahan,

tetapi pada pengamatan minggu berikutnya terjadi perubahan reaksi 10 genotipe kedelai terhadap penyakit karat. Seluruh genotipe kedelai menunjukkan reaksi agak tahan pada 3 MSI (Tabel 3). Hal ini berarti telah terjadi perkembangan dan penyebaran penyakit karat di lokasi penelitian.

Semua karakter pada 10 genotipe yang diamati menunjukkan berbeda sangat nyata (Tabel 4). Pada karakter umur berbunga, aksesi MLGG 0005 merupakan genotipe yang lambat berbunga, diikuti oleh Tanggamus, Wilis, dan Dering 1. Pada karakter hasil biji, varietas Wilis dan Dering 1 merupakan genotipe dengan bobot biji per tanaman tertinggi, dan berbeda sangat nyata dengan aksesi MLGG 0005 dan Tanggamus.

Meskipun seluruh genotipe kedelai tergolong agak tahan, namun infeksi penyakit karat yang terjadi mampu mempengaruhi hasil biji dari genotipe-genotipe yang diuji, terutama pada aksesi MLGG 0005 dan varietas Tanggamus. Kedua genotipe tersebut memiliki bobot biji per tanaman terendah, berturut-turut 2.96 dan 3.55 g. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh

Reaksi penyakit Skor IWGSRSangat tahan 111Tahan 122, 123, 132, 133, 222, 223Agak tahan 142, 143, 232, 233, 242, 243, 322, 323Agak rentan 332, 333Rentan 343

Tabel 1 Hubungan antara reaksi penyakit dan skor IWGSR pada karat kedelai

Tabel 2 Jumlah pustul karat dari 10 genotipe kedelai selama 3 kali pengamatan

GenotipeJumlah pustul karat

1 MSI 2 MSI 3 MSI1 2 3 1 2 3 1 2 3

MLGG 0005 4 3 3 14 9 9 14 9 9MLGG 0253 5 5 3 8 12 9 10 17 12MLGG 0465 3 2 3 18 10 7 20 11 9MLGG 0470 3 4 3 9 7 10 12 8 14Argomulyo 2 3 4 13 10 12 13 10 12Tanggamus 3 3 4 13 12 8 14 12 10Wilis 3 3 4 14 11 14 14 11 14Burangrang 4 3 3 14 11 6 15 11 9Grobogan 4 4 3 16 8 7 16 9 11Dering 1 3 3 4 13 8 7 13 10 10

Page 4: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

42

umur berbunga. Kedua genotipe tersebut termasuk kedelai yang lambat berbunga. MLGG 0005 berbunga pada 45 hari setelah tanam (HST), sedangkan Tanggamus berbunga pada 42 HST.

Tidak semua genotipe kedelai yang diuji terpengaruh oleh infeksi penyakit karat. Hal ini terlihat pada varietas Wilis dan Dering 1. Kedua genotipe tersebut memiliki hasil biji tertinggi, masing-masing sebesar 7.15 dan 5.21 gper tanaman (Tabel 4). Selain berproduksi tinggi, kedua varietas tersebut memiliki penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe lainnya. Kedelai varietas Wilis memiliki penampilan tertinggi (51.72 cm)dengan jumlah cabang, buku subur, dan polong isi terbanyak (berturut-turut 4.06 cabang,22.28 buku subur, dan 48.11 polong). Sementara itu, Dering 1 memiliki tinggi

49.28 cm dengan 3.56 cabang, 20.00 buku subur, dan 40.89 polong isi (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Masa inkubasi penyakit karat pada penelitian ini sedikit lebih lama jika di-bandingkan dengan hasil penelitian di Afrika. Twizeyimana et al. (2007) menemukan bahwa di Nigeria membutuhkan 5–7 HSI untuk muncul gejala penyakit karat pada permukaan daun kedelai. Sementara di Uganda, Maphosa et al. (2013) melaporkan gejala penyakit karat mulai terlihat sejak 4–5 HSI. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor lingkungan. Selama penelitian, kelembapan udara berkisar antara 56–81% dengan suhu antara 22–31 °C. Kondisi lingkungan seperti ini secara teori kurang mendukung spora cendawan karat

GenotipeUmur

berbungaTinggi

tanaman (cm)

Jumlah cabang

Jumlah buku subur

Jumlah polong isi

Bobot biji per tanaman

(g)MLGG 0005 45.00 a 57.39 a 3.17 abc 19.39 ab 38.56 ab 2.96 eMLGG 0253 38.67 cd 48.00 bc 3.50 ab 20.55 a 45.22 a 4.67 bcdMLGG 0465 33.33 ef 42.22 cde 3.39 ab 17.56 abc 39.78 ab 4.71 bcdMLGG 0470 33.00 f 35.56 e 0.61 e 8.00 e 14.83 c 3.94 cdeArgomulyo 33.00 f 37.83 de 1.83 cde 10.78 de 22.56 c 4.97 bcTanggamus 42.00 b 42.56 cde 2.28 bcd 14.94 bcd 29.11 bc 3.55 deWilis 40.33 bc 51.72 ab 4.06 a 22.28 a 48.11 a 7.15 aBurangrang 36.00 de 45.78 bcd 1.55 de 11.55 de 27.50 bc 3.75 deGrobogan 33.00 f 42.11 cde 1.83 cde 13.61 cd 27.11 bc 4.31 bcdDering 1 40.33 bc 49.28 abc 3.56 ab 20.00 ab 40.89 ab 5.21 b

Tabel 4 Hasil dan komponen hasil 10 genotipe kedelai setelah diinokulasi cendawan karat

Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5 %

Tabel 3 Skor dan kategori ketahanan 10 genotipe kedelai terhadap penyakit karat

T, tahan, AT, agak tahan

Genotipe 1 MSI 2 MSI 3 MSISkor Kategori Skor Kategori Skor Kategori

MLGG 0005 122 T 132 T 233 ATMLGG 0253 122 T 132 T 233 ATMLGG 0465 122 T 132 T 233 ATMLGG 0470 122 T 132 T 233 ATArgomulyo 122 T 132 T 233 ATTanggamus 122 T 132 T 233 ATWilis 122 T 132 T 233 ATBurangrang 122 T 132 T 233 ATGrobogan 122 T 132 T 233 ATDering 1 122 T 132 T 233 AT

Page 5: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

43

untuk berkecambah dan tumbuh optimal. Perkecambahan spora dan perkembangan penyakit karat optimal pada kelembapan udara 85% (Twizeyimana dan Hartman 2010) selama 14 jam (Nunkumar et al. 2009), dengan suhu 17–28 °C (Bonde et al. 2007; Del Ponte dan Esker 2008). Jika dibandingkan dengan kondisi optimal yang dibutuhkan penyakit karat untuk berkembang, terlihat bahwa kelembapan udara pada penelitian ini terlalu rendah dengan suhu terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan gejala penyakit karat tampak terlihat setelah 1 MSI.

Inokulasi yang dilakukan mampu me-munculkan respons yang berbeda di antara genotipe kedelai meskipun masa inkubasi penyakit karat sedikit terlambat. Perbedaan reaksi genotipe kedelai juga dilaporkan oleh Pham et al. (2009) dan Twizeyimana et al. (2008). Menurut Pham et al. (2010), genotipe-genotipe kedelai yang belum teridentifikasi gen-gen ketahanannya, dapat dimanfaatkan untuk studi ketahanan dan sebagai sumber gen ketahanan pada perakitan varietas kedelai tahan terhadap penyakit karat.

Perubahan reaksi ketahanan antara 1 dan 2 MSI dengan hasil pada 3 MSI terjadi karena spora P. pachyrhizi membutuhkan waktu untuk berkecambah dan membentuk spora baru. Marchetti et al. (1975) menyebutkan bahwa hifa membutuhkan 5–7 hari untuk memproduksi uredinium dan 10–20 hari untuk menghasilkan spora baru. Perbedaan reaksi ketahanan pada 3 kali pengamatan ini dapat dimanfaatkan oleh pemulia tanaman untuk menentukan waktu yang tepat melakukan seleksi.

Hasil biji yang rendah pada genotipe MLGG 0005 dan Tanggamus diduga berkaitan dengan interaksi antara infeksi penyakit karat dengan umur berbunga. Menurut Kumudini et al. (2008), infeksi penyakit karat yang terjadi pada fase R2 (berbunga penuh) akan menyebabkan kehilangan hasil sebesar 66–68%. Pada penelitian ini, ketika MLGG 0005dan Tanggamus memasuki fase R2, spora cendawan karat yang diinokulasikan telahmemasuki minggu ke-3. Artinya, pustul penyakit karat pada kedua genotipe tersebut

telah berkembang optimal dan menutupi sebagian besar permukaan daun sehingga mengganggu proses fotosintesis dan me-ngurangi hasil fotosintat untuk pengisian biji. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya hasil biji pada kedua genotipe tersebut. Kekecualian hubungan antara umur berbunga, infeksi penyakit karat dan hasil biji ditunjukkan oleh varietas Wilis dan Dering 1. Walaupun kedua varietas tersebut berbunga pada 40 HST, tetapi mampu menghasilkan biji yang banyak, sehingga kedua genotipe tersebut memiliki toleransi terhadap infeksi penyakit karat.

Tingginya hasil biji pada varietas Wilis dan Dering 1 didukung oleh penampilan tanaman yang baik. Kedua varietas tersebut memiliki penampilan tanaman yang tinggi dengan banyak jumlah cabang, buku subur, dan polong isi. Oz et al. (2009) menemukan bahwa jumlah polong berkorelasi dengan hasil biji dan memberikan pengaruh langsung yang positif. Valencia-Ramirez dan Ligarreto-Moreno (2012) menambahkan bahwa jumlah polong yang banyak ditentukan oleh jumlah buku yang banyak.

Penampilan tanaman yang tinggi pada varietas Wilis dan Dering 1 ikut mempengaruhi kedua genotipe tersebut terhindar dari infeksi penyakit karat yang berkelanjutan. Terdapat korelasi negatif (r = -0.118, P > 0.05) antara tinggi tanaman dengan jumlah pustul pada 3 MSI. Artinya, semakin tinggi tanaman semakin sedikit jumlah pustul. Cendawan P. pachyrhizi tidak memiliki mekanisme penyebaran spora yang aktif, sehingga angin mempunyai peranan penting untuk menyebarkan dan mengangkat spora keluar dari kanopi (Isard et al. 2005). Oleh karena itu, dibutuhkan angin yang cukup kencang untuk menyebarkan spora karat pada genotipe kedelai dengan penampilan tanaman yang tinggi.

Sepuluh genotipe kedelai yang diuji tergolong agak tahan terhadap penyakit karat, dan hanya varietas Wilis dan Dering 1yang menghasilkan biji terbanyak karena mempunyai penampilan tanaman yang tinggi dan jumlah cabang, buku subur serta polong isi yang banyak.

Page 6: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

DAFTAR PUSTAKA

Bonde MR, Berner DK, Nester SE, Frederick RD. 2007. Effects of temperature on urediniospore germination, germ tube growth, and initiation of infection in soybean by Phakopsora isolates. Phytopathology. 97(8):997–1003. DOI : h t tp : / / dx .do i .o rg /10 .1094 /PHYTO-97-8-0997.

Del Ponte EM, Esker PD. 2008. Meteorological factors and asian soybean rust epidemics–a systems approach and implications for risk assessment. Sci Agric. 65:88–97. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/S0103-90162008000700014.

Formento AN. 2008. Epidemiology of Asian soybean rust (Phakopsora pachyrhizi), range of hosts and management in the Pampa region of Argentina. Di dalam: Suenaga K, Kudo H, Oshio S, editor. Comprehensive studies on the development of sustainable soybean production technology in South America. Tsukuba (JP): JIRCAS. Hlm 6–13

Garcia A, Calvo ES, Kiihl RAS, Harada A, Hiromoto DM, Vieira GE. 2008. Molecular mapping of soybean rust (Phakopsora pachyrhizi) resistance genes: discovery of a novel locus and alleles. Theor Appl Genet. 117(4):545–553. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00122-008-0798-z.

Isard SA, Gage SH, Comtois P, Russo JM. 2005. Principles of the atmospheric pathway for invasive species applied to soybean rust. Bio Sci. 55(10):851–861. DOI: http://dx.doi.org/10.1641/0006-3568(2005)055[0851:POTAPF]2.0.CO;2.

Kumudini S, Godoy CV, Board JE, Omielan J, Tollenaar M. 2008. Mechanisms involved in soybean rust-induced yield reduction. Crop Sci. 48:2334–2342. DOI: http://dx.doi.org/10.2135/cropsci2008.01.0009.

Maphosa M, Talwan H, Tukamuhabwa P. 2013. Assessment of comparative virulence and resistance in soybean using field isolates of soybean rust. J Agric Sci. 5(5):249–257. DOI: http://dx.doi.org/10.5539/jas.v5n5p249.

Marchetti MA, Uecker FA, Bromfield KR. 1975. Uredial development of Phakopsora pachyrhizi in soybeans. Phytopatholoy. 65:822–823. DOI: http:/ /dx.doi.org/10.1094/Phyto-65-822.

Miles MR, Frederick RD, Hartman GL. 2003. Soybean rust: is the US soybean crop at risk?. http://www.apsnet.org/publications/apsnetfeatures/Pages/SoybeanRust.aspx [diakses 11 Des 2015].

Nunkumar A, Caldwell PM, Pretorius ZA. 2009. Development of Phakopsora pachyrhizi on soybean at controlled temperature, relative humidity and moisture periods. South Afr J Plant Soil. 26(4):225–230. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/02571862.2009.10639959.

Oz M, Karasu A, Goksoy AT, Turan ZM. 2009. Interrelationship of agronomical characteristic in soybean (Glycine max) grown in different environments. Int J Agric Biol. 11:85–88.

Pham TA, Hill CB, Miles MR, Nguyen BT, Vu TT, Vuong TD, VanToai TT, Nguyen HT, Hartman GL. 2010. Evaluation of soybean for resistance to soybean rust in Vietnam. Field Crop Res. 117:131–138. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.fcr.2010.02.011.

Pham TA, Miles MR, Frederick RD, Hill CB, Hartman GL. 2009. Differential responses of resistant soybean entries to isolates of Phakopsora pachyrhizi. Plant Dis. 93(3):224–228 DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-93-3-0224.

Tukamuhabwa P, Maphosa M. 2010. State of knowledge on breeding for durable reistance to soybean rust disease in the developing world. Rome (IT): FAO.

Twizeyimana M, Hartman GL. 2010. Culturing Phakopsora pachyrhizi on detached leaves and urediniospore survival at different temperatures and relative humidities. Plant Dis. 94(12):1453–1460. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-02-10-0131.

Twizeyimana M, Ojiambo PS, Ikotun T, Ladipo JL, Hartman GL, Bandyopadhyay R. 2008. Evaluation of soybean germplasm for resistance to soybean rust (Phakopsora pachyrhizi) in Nigeria. Plant

44

Page 7: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Sumartini dan Sulistyo

Dis. 92(6):947–952 DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-92-6-0947.

Twizeyimana M, Ojiambo PS, Ikotun T, Paul C, Hartman GL, Bandyopadhyay R. 2007. Comparison of field, greenhouse, and detached-leaf evaluation of soybean germplasm for resistance to Phakopsora pachyrhizi. Plant Dis. 91(9):1161–1169 DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-91-9-1161.

Valencia-Ramirez RA, Ligarreto-Moreno GA. 2012. Phenotypic correlation and path

analysis for yield in soybean (Glycine max (L.) Merril). Acta Agron. 61(4):322–332.

Yorinori JT, Paiva WM, Frederick RD, Costamilan LM, Bertagnolli PF, Hartman GE, Godoy CV, Nunes Jr J. 2005. Epidemics of soybean rust (Phakopsora pachyrhizi) in Brazil and Paraguay from 2001 to 2003. Plant Dis. 89(6):675–677 DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-89-0675.

45

Page 8: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

Volume 12, Nomor 2, Maret 2016Halaman 46–52

DOI: 10.14692/jfi.12.2.46ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Kebun Percobaan Laing Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Solok, Sumatera Barat Kotak Pos 1 Solok 27301 Tel: 0755-20034, Faks: 0755-23764, Surel: [email protected]

46

Keefektifan Formula Pseudomonas fluorescens untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri dan Meningkatkan

Pertumbuhan Tanaman Nilam

Effectiveness of Pseudomonas fluorescens Formulation to Control Bacterial Wilt Disease and to Increase Growth of Patchouli Plant

Nasrun* dan NurmansyahBalai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Solok 27301

ABSTRAK

Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) merupakan salah satu kendala produksi nilam. Pseudomonas fluorescens Pf19 dapat menginduksi ketahanan nilam terhadap R. solanacearum. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis dan waktu aplikasi formula P. fluorescens Pf19 optimal yang efektif dan efisien mengendalikan R. solanacearum dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi nilam. Hasil pengujian efektivitas dosis (75 dan 100 g L-1 ) dan waktu aplikasi (setiap 30, 60, 90, dan 120 hari) menunjukkan bahwa formula P. fluorescens Pf19 dapat mengendalikan penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman nilam di lapangan. Dosis 100 g L-1 dan waktu aplikasi formula P. fluorescens Pf19 setiap 30 dan 60 hari sekali mempunyai kemampuan paling tinggi dan efektif dalam mengendalikan penyakit layu bakteri dengan masa inkubasi penyakit 88.0–93.5 hari setelah tanam (HST) dan intensitas penyakit 16.50–24.12%. Perlakuan yang sama dapat meningkatkan pertumbuhan nilam, yaitu tinggi tanaman 59.0–68.5 cm, jumlah daun total 417.5–510.0 daunper tanaman, bobot basah daun 234.55–263.45 g per petak dan bobot kering daun 25.32–29.28 g per petak.

Kata kunci: agens hayati, dosis, waktu aplikasi, Ralstonia solanacearum.

ABSTRACT

Bacterial wilt disease (Rasltonia solanacearum) is an important constraint for patchouli plant. Formulated Pseudomonas fluorescens Pf19 could induce patchouli plant resistance against R. solanacearum. The aims of the present study were to find the optimal dose and application interval of formulated P. fluorescens Pf19 in order to control R. solanacearum effectively and efficiently, as well as promoting the growth and productivity of the patchouli plant. The results of effectivity test of doses (75 g L-1 and 100 g L-1) and application time intervals (every 30; 60; 90 and 120 days) showed that formulation of P. fluorescens Pf19 controlled bacterial wilt disease and increased patchouli plant growth and production on patchouli plant in field. Doses of 100 g L-1 and application time of every 30 and 60 days had highest activity and effectivity to control bacterial wilt diseases and increase plant growth and production of patchouli plant. Incubation period was 88.0–93.5 days after planting, and disease intensity was 16.50–24.12%. The same treatments may increase the growth of patchouli plant, i.e. plant height were 59.0–68.5 cm, total number of leaves were 417.5–510.0 leaves per plant, wet weight of leaves were 234.55–263.45 g per plot and dry weight of leaves were 25.32–29.28 g per plot.

Key word: application time, biological agents, doses, Ralstonia solanacearum

Page 9: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

47

PENDAHULUAN

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit utama pada nilam di Indonesia yang menyerang secara masal mulai dari bibit sampai tanaman dewasa. Penyakit tersebut telah berkembang dan menyebar cukup luas di Indonesia dan menyebabkan penurunan produktivitas nilam antara 60–95%(Setiawan dan Rosman 2013). Sampai saat ini penyakit layu bakteri nilam masih sulit dikendalikan karena epidemiologi patogen yang kompleks, dan keragaman galur R. solanacearum (Nasrun et al. 2007). Beberapa upaya pengendalian penyakit yang telah dilakukan ialah pemanfaatan mulsa jerami dan ampas nilam, pengendalian dengan antibiotik, pemupukan dengan abu sekam, tetapi semuanya masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (Nasrun et al. 2009).

Pseudomonas fluorescens merupakan salah satu mikroorganisme antagonis untuk pengendalian hayati (Nasrun et al. 2005) dan penginduksi ketahanan tanaman (Ardebili et al. 2011). P. fluorescens merupakan bakteri pengolonisasi akar penghasil asam salisilat dan fitoaleksin yang menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen (Van Loon dan Baker 2006). P. fluorescens isolat 148, 35Q, 16Q, dan 113 menghasilkan phenoloxisae (PO) dan phenyl ammonia lyase (PAL) yang dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman kapas dari penyakit hawar bakteri (Xanthomonas campestris pv. malvacearum) (Fallahzadeh et al. 2009). P. aeruginosa menghasilkan asam salisilat yang dapat meginduksi ketahanan kedelai terhadap soybean stunt virus (SSV) (Khalimi dan Suprapta 2011).

P. fluorescens selain sebagai bakteri antagonis, penginduksi ketahanan tanaman, dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini dikarenakan P. fluorescens sebagai plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dapat menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman, diantaranya indole acetic acid (IAA) (Rahni 2012), melarutkan fosfat dan mengikat nitrogen (Sutariati et al. 2014). Berbagai

penelitian membuktikan P. fluorescens yang diisolasi dari rizosfer dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi (Anhar et al. 2011), jagung (Rahni 2012), cabai (Soesanto et al. 2014), dan kedelai (Habazar et al. 2014). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan formula P. fluorescens Pf19 dapat menghasilkan asam salisilat dan menghambat perkembangan serangan R. solanacearum hingga 91.16% dan mengendalikan penyakit layu bakteri (Nasrun et al. 2013). Penelitian dilakukan untuk menentukan dosis dan waktu pemberian formula P. fluorescens Pf19 yang efektif dan efisien untuk menginduksi ketahanan tanaman nilam dalam mengendalikan penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi nilam.

BAHAN DAN METODE

Pembuatan Formula P. fluorescens Pf19P. fluorescens Pf19 dimurnikan dan

diperbanyak di medium King’s B pada suhu 30 °C selama 48 jam. Suspensi sel bakteri pada kerapatan populasi 109 cfu mL-1 dicampur secara homogen dengan matriks organik yang terdiri atas bahan pembawa (50 g gambut, 50 g kaolin, dan 50 g talk), bahan aditif (0.5 garginin dan 0.5 g carboxy-methyl cellulose (CMC) 1%) sebagai formula dalam bentuk tepung (Wuryandari 2003).

Pemberian Formula P. fluorescens Pf19. Pemberian formula P. fluorescens Pf19

bentuk tepung dilakukan dengan melarutkan formula tersebut ke dalam air dengan dosis 75 dan 100 g L-1 yang merupakan dosis terbaik dari penelitian terdahulu di rumah kaca. Selanjutnya bibit nilam berumur 40 hari dicelupkan ke dalam formula tersebut selama 1 jam dan ditanam di lapangan yang telah terinfeksi oleh R. solanacearum. Pemberian formula selanjutnya dilakukan dengan pe-nyiraman pada perakaran nilam dengan waktu pemberian 30, 60, 90, dan 120 hari setelah pemberian pertama.

Perlakuan disusun dalam bentuk plot pengujian dengan beberapa blok ulangan dalam rancangan split plot. Masing-masing

Page 10: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

48

perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Setiap plot percobaan terdiri atas 10 tanaman. Tanaman nilam dipelihara dengan pemberian pupuk organik 2 kg per tanaman.

PengamatanPerkembangan penyakit layu bakteri

ditentukan dengan penilaian masa inkubasi dan intensitas penyakit dengan skor sebagai berikut: Skor 0, semua daun sehat; 1, 1-10% daun layu (ringan); 2, >10-30% daun layu (sedang); 3, >30% daun layu (berat) (Arwiyanto 1998).

Intensitas penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Intensitas penyakit = ∑(n × v)

Z × N× 100%, dengan

n, jumlah tanaman bergejala penyakit dari setiap skor; v, nilai skor gejala penyakit; N, jumlah tanaman yang diamati; Z, nilai skor gejala penyakit tertinggi.

Peubah pertumbuhan tanaman yang diukur ialah tinggi tanaman, jumlah daun total, dan bobot basah dan kering daun nilam. Bobot basah dan kering daun per petak dihitung dengan menimbang hasil panen daun berserta percabangannya pada 190 hari setelah tanam (HST). Hasil pemanenan dipotong-potong menjadi 3–5 cm dan dijemur dibawah sinar matahari penuh selama 4 jam. Bahan tersebut dianginkan di tempat teduh dengan sirkulasi udara cukup selama 3–4 hari sampai diperoleh kadar air bahan 15% sebagai bobot kering

daun.

HASIL

Perkembangan Penyakit Layu BakteriP. fluorescens Pf19 yang diformulasi

dalam bentuk tepung mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri patogen. Tanaman nilam yang diberi perlakuan formula berbahan aktif P. fluorescens Pf19 dalam dosis 75 dan 100 g L-1

dengan waktu pemberian 30, 60, 90, dan 120 HST mempunyai kemampuan efektif dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam dengan menunda masa inkubasi gejala penyakit layu bakteri dari 32 HST menjadi 32.5–93.5 HST dengan penekanan intensitas penyakit dari 72.5% menjadi 16.5–53.3% (Tabel 1).

Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi antara dosis dan waktu aplikasi formulasi terhadap masa inkubasi gejala dan intensitas penyakit. Pemberian formula pada dosis 100 g L-1 dengan waktu aplikasi 30 dan 60 hari sekali menunda munculnya gejala penyakit lebih panjang, menekan perkembangan penyakit dan menunda masa inkubasi gejala penyakit dari 32 HST menjadi 88.0–93.5 HST, serta menekan intensitas penyakit dari 72.5% menjadi 16.5–24.1% (Tabel 1). Sebaliknya pemberian formula pada dosis 75 g L-1 dengan waktu aplikasi 90 dan 120 hari sekali menunjukkan masa inkubasi

Dosis formula (g L-1)

Waktu aplikasi (hari sekali)

Masa inkubasi (HST)

Intensitas penyakit (%)pada 190 HST

75 30 76.0 d 29.8 b60 70.5 cd 40.3 cd90 50.0 b 47.8 de

120 32.5 a 53.3 e100 30 93.5 e 16.5 a

60 88.0 e 24.1 ab90 64.5 d 33.0 bc

120 52.0 bc 42.4 cdTanpa formula (kontrol) 32.0 a 72.5 f

Tabel 1 Masa inkubasi dan intensitas penyakit layu bakteri pada nilam dengan perlakuan formula P. fluorescens Pf19 pada daerah endemik penyakit layu bakteri nilam di Pasaman Barat, Sumatera Barat

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.

Page 11: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

49

penyakit lebih cepat (32.5–64.5 HST) dan intensitas penyakit lebih rendah (33.0–53.3%).

Pertumbuhan Tanaman NilamAplikasi formula P. Fluorescens Pf19 dapat

meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman menjadi 21.0–68.5 cm dan jumlah daun total 138.5–510.0 per tanaman dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Aplikasi formula pada dosis 100 g L-1 dengan waktu aplikasi 30 dan 60 hari sekali menunjukkan pengaruh pertumbuhan tanaman nilam lebih tinggi dengan tinggi tanaman 59.0–68.5 cm dan jumlah daun 417.5–510.0 per tanaman, dibandingkan dengan dosis 75 g L-1 dan waktu aplikasi 90 dan 120 hari sekali dengan tinggi tanaman 21.0–22.5 cm dan jumlah daun 138.5–180.5 per tanaman (Tabel 2).

Nilam yang diberi perlakuan formula P. fluorescens Pf19 mengalami peningkatan bobot basah daun 68.70–234.55 g per petak dan bobot kering daun 8.64–25.32 g per petak dibandingkan dengan kontrol (bobot basah daun 25.40 g per petak dan bobot kering daun 3.21 g per petak). Pemberian formula pada dosis 100 g L-1 dengan waktu aplikasi 30 dan 60 hari sekali menunjukkan pengaruh peningkatan bobot basah dan kering daun tanaman nilam lebih tinggi dengan bobot basah daun 234.55–263.45 g per petak dan bobot kering daun 25.32–29.28 g per petak dibandingkan dengan dosis 75 g L-1 dan waktu aplikasi 90 dan 120 hari sekali dengan bobot basah daun 68.70–88.95 g per petak dan bobot kering daun 8.64–10.29 g per petak (Tabel 3).

Dosis formula (g L-1)

Waktu aplikasi (hari sekali)

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun per tanaman

75 30 55.0 cd 407.5 d60 47.0 bc 319.0 c90 22.5 a 180.5 b

120 21.0 a 138.5 b100 30 68.5 e 510.0 e

60 59.0 de 417.5 d90 45.0 b 304.5 c

120 38.0 b 260.5 cTanpa formula (kontrol) 25.0 a 60.0 a

Tabel 2 Pertumbuhan nilam yang diberi perlakuan formula P. fluorescens Pf19 pada 190 hari setelah tanam di daerah endemik penyakit layu bakteri nilam di Pasaman Barat, Sumatera Barat

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.

Tabel 3 Produksi daun nilam yang diberi perlakuan formula P. fluorescens Pf19 pada 190 hari setelah tanam di daerah endemik penyakit layu bakteri nilam di Pasaman Barat Sumatera Barat

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.

Perlakuan Bobot daunDosis formula

(g L-1)Waktu aplikasi

(hari sekali)Basah

(g per petak)Kering

(g per petak)75 30 194.90 de 18.79 e

60 165.90 d 15.88 d 90 88.95 bc 10.29 bc

120 68.70 b 8.64 b 100 30 263.45 f 29.28 g

60 234.55 ef 25.32 f 90 172.95 d 16.55 d

120 116.45 c 11.26 c Tanpa formula (kontrol) 25.40 a 3.21 a

Page 12: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

50

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. fluorescens Pf19 yang di formulasi dalam bentuk formula tepung mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan dan aktivitas R. solanaceraum serta mengendalikan penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan tanaman nilam. P. fluorescens merupakan rizobakteri yang hidup di rizosfer tanaman dan berinteraksi secara intensif dengan akar tanaman maupun tanah dan dapat mengendalikan penyakit serta meningkatkan pertumbuhan tanaman nilam (Khaeruni et al. 2014). P. fluorescens yang telah berdaptasi mampu mengolonisasi akar tanaman sehingga menginduksi tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder asam salisilat dan fitoaleksin yang berperan dalam ketahanan tanaman (Soesanto et al. 2014) dan menghasilkan zat pengatur tumbuh, di antaranya auksin, giberelin, sitokinin, dan IAA di dalam tanaman (Soesanto et al. 2011; Rahni 2012). P. fluorescens menghasilkan asam salisilat yang dapat menginduksi ketahanan tomat terhadap penyakit hawar daun Phytophthora infestans (Yan et al. 2002).

P. aeruginosa menghasilkan asam salisilat yang meginduksi ketahanan kedelai terhadap Soybean stunt virus (SSV) (Khalimi dan Suprapta 2011). P. fluorescens Pf19 menghasilkan asam salisilat dan fitoaleksin cukup tinggi yang dapat menginduksi ketahanan tanaman nilam terhadap penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan nilam secara efektif (Nasrun et al. 2013).

Peningkatan induksi ketahanan nilam menghambat perkembangan penyakit layu bakteri. Peningkatan pertumbuhan dan produksi nilam yang diberi formula P. fluorescens Pf19, sejalan dengan peningkatan efektivitas dosis dan waktu aplikasi formula P. fluorescens Pf19. Formula P. fluorescens Pf1 dengan dosis tinggi efektif mengendalikan penyakit bercak Cercosporidium personatum pada daun kacang tanah (Meena 2011) dan penyakit layu fusarium tomat (Manikandan et al. 2010). Formula P. fluorescens juga

efektif mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas pv. oryzae) pada padi (Jeyatakshmi et al. 2010) dan penyakit mati bibit tanaman kapas dengan perlakuan selama 15, 30, 45 dan 60 hari (Ardakani et al. 2010). Pemberian rizobakteri pada benih tomat dengan perlakuan 15 dan 30 hari sekali efektif mengendalikan layu fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici) tanaman tomat dengan penekanan sebesar 61.14% (Khaeruni et al. 2013).

Dosis dan waktu pemberian formula P. fluorescens Pf19 menunjukkan pengaruh berbeda dan terlihat ada interaksi antara dosis dan waktu aplikasi formula terhadap pengendalian penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan nilam. Semakin meningkatnya dosis dan waktu aplikasi formula P. fluorescens Pf19 yang diintroduksi ke dalam tanah, menyebabkan semakin tinggi populasi P. fluorescens Pf19 dan banyak kesempatan P. fluorescens Pf19 dalam mengendalikan penyakit layu bakteri melalui penghambatan perkembangan R. solanacearum melalui induksi ketahanan dan memacu pertumbuhan tanaman nilam (Khaeruni et al. 2013 ).

P. fluorescens Pf19 mampu beradaptasi dan menggunakan berbagai substrat sebagai sumber nutrisi dan pertumbuhannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan bakteri patogen sehingga dapat mempertahankan populasi secara optimal di akar tanaman (Khaeruni et al. 2013). Populasi P. fluorescens Pf19 meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Meena 2011), dan berpengaruh efektif sebagai rizobakteri penginduksi ketahanan dan pemacu pertumbuhan tanaman (Soesanto et al. 2014).

Semakin meningkatnya kemampuan P. fluorescens Pf19 menekan perkembangan penyakit layu bakteri dan menghasilkan zat pengatur tumbuh mengakibatkan semakin meningkatnya pertumbuhan nilam. P. fluorescens yang diisolasi dari rizosfer tomat, kacang tanah, cabai dan timun juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman tomat, kacang tanah, cabai, dan timun (Manikandan et al 2010; Meena dan

Page 13: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

51

Marimuthu 2012; Sutariati dan Safuan 2012; Khabbaz dan Abbasi 2014).

Formula berbahan aktif bakteri P. fluorescens Pf19 dapat menginduksi ketahanan tanaman nilam terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dosis formula P. fluorescens Pf19 100 g L-1

dan waktu pemberian 60 hari sekali selama 3 kali mempunyai kemampuan dan efektifitas terbaik dalam menginduksi ketahanan tanaman nilam terhadap R. solonacearum penyebab penyakit layu bakteri dan meningkatkan pertumbuhan tanaman nilam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi danPendidikan Tinggi, atas dukungan dana penelitian melalui program INSENTIF RISET SINAS No.126/M/Kp/XI/2006.

DAFTAR PUSTAKA

Anhar A, Doni F, Advinda L. 2011. Respon pertumbuhan tanaman padi (Oryza sativa L) terhadap introduksi Pseudomonas fluorescens. J Ekakta. 12(1):1–8.

Ardebili ZO, Ardebil NO, Hamdi SMM. 2011. Physiological effects of Pseudomonas f l u o re s e c e n s C H A O o n t o m a t o (Lycopersicon esculentum Mill) plants and its possible impact on Fusarium oxysporum f.sp lycopersici. Aus J Crop Sci. 5(12):1631–1638.

Ardakani SS, Heydari A, Khorasani N, Arjmandi R. 2010. Development of new bioformulations of Pseudomonas fluorescens and evaluation of these products against damping-off of cotton seedlings. J Plant Pathol. 92(1):83–88.

Arwiyanto T. 1998. Pengendalian secara hayati penyakit layu bakteri pada tembakau. Di dalam: Laporan Riset Unggulan Terpadu IV(1996-1998). Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Dewan Riset Nasional.

Fallahzadeh V, Ahmadzadeh M, Marefat A, Ghazanfary K. 2009. Application of rhizobacteria for induction of systemic resistance to bacterial blight of cotton caused by Xanthomonas campestris pv. malavacearum using fluorescent pseudomonads of rhizosphere. J Plant Protec Res. 49(4): 416–420. DOI: http://dx.doi.org/10.2478/v10045-009-0066-5.

Habazar T, Yanti Y, Ritanaga C. 2014. Formulation of indgenous rhizobacterial isolates from healthy soybean’s root, which ability to promote growth and yield of soybean. Int Adv Sci Engi Info Tech. 4(5):75–79.

Jeyatakshmi C, Madhiazhagan K, Rettinassababady C. 2010. Effect of different methods of application of Pseudomonas fluorescens against bacterial leaf blight under direct sown rice. J Biopesticides. 3(2):487–488.

Khabbaz SE, Abbasi PA. 2014. Isolation, characterization and formulations of antagonistic bacteria for the management of seedlings damping-off and root rot disease of cucumber. Can J Microbiol. 60:25–33. DOI: http://dx.doi.org/10.1139/cjm-2013-0675.

Khaeruni A, Wahab A, Taufik M, Sutariati GAK. 2013. Keefektifan waktu aplikasi formulasi rizobakteri indigenus untuk mengendalikan layu Fusarium dan meningkatkan hasil tanaman tomat di tanah ultisol. J Hort. 23(4):365–371.

Khaeruni A, Asniah, Taufik M, Sutariati GAK. 2014. Aplikasi formula campuran rizobakteri untuk pengendalian penyakit busuk akar Rhzoctonia dan peningkatan hasil kedelai di tanah ultisol. J Fitopatol Indones. 10(2):37–44. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.10.2.37.

Khalimi K, Suprapta DN. 2011. Induction of plant resistance against soybean stunt virus using some formulations of Pseudomonas aeruginosa. J ISSAAS. 17(1):98–105.

Manikandan R, Saravanakumar D, Rajendran L, Rauchander T, Samiyappan R. 2010. Standarization of liquid formulation of

Page 14: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Nasrun dan Nurmansyah

52

Pseudomonas fluorescens Pf1 for its efficacy against fusarium wilt of tomato. Bio Control. 54:83–89. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2010.04.004.

Meena B. 2011. Effect of Pseudomonas fluorescens Pf1 formulation application on rhizosphere and phyllosphere population in groundnut. Int J Plant Protec. 4(1):92–94.

Meena B, Marimuthu T. 2012. Effect of application methods of Pseudomonas fluorescens for the late leaf spot of groundnut management. J Biopest. 5(1):14–17.

Nasrun, Christanti, Arwiyanto T, Mariska I. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam menggunakan Pseudomonas fluorescens. J Littri.11(1):19–24.

Nasrun, Christanti S, Arwiyanto T, Mariska I. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. J Littri. 13(2):43–48.

Nasrun, Nurmansyah, Idris H. 2009. Evaluasi ketahanan hibrida somatik nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). J Littri. 15(3):110–115.

Nasrun, Nurmansyah, Burhanuddin. 2013. Pengujian produk kombinasi rizobakteri indigenus untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan budok nilam. Di dalam: Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Kelembagaan untuk menangkap peluang pasar minyak atsiri baru. 2013 Nov 6–8; Padang (ID): Dewan Atsiri Indonesia. hlm 976–979.

Rahni NM. 2012. Efek Fitohormon PGPR terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays). J Agribisnis Pengembangan Wilayah. 3(2):27–35.

Setiawan, Rosman R. 2013. Produktivitas nilam nasional semakin menurun (45% total areal pertanaman nilam di Indonesia

produksinya < 150 kg/ha). Warta Penelitian Pengembangan Tanaman Industri. 19(3):8–11.

Soesanto L, Mugiastuti E, Rahyuniati RF. 2011. Biochemical characteristic of Pseudomonas fluorescens P60. J Biotech Biodiver. 2:19–26.

Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2014. Aplikasi formula cair Pseudomonas fluorescens P60 untuk menekan penyakit virus cabai merah. J Fitopatol Indones. 9(6): 179–185. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.9.6.179.

Sutariati GAK, Safuan LO. 2012. Perlakuan benih dengan rizobakteri meningkatkan mutu benih dan hasil cabai (Capsicum annuum L). J Agron Indones. 40(2):125–131.

Sutariati GAK, Rahian TC, Sopacua AN, Hag LM. 2014. Kajian potensi rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman yang diisolasi dari rhizosfer padi sehat. J Agroteknos. 2:71–77.

Van Loon LC. Baker PAHM. 2006. Induced systemic resistance as a mechanism of disease suppression by rhizobacteria. Di Dalam: Siddiqui ZA, editor. PGPR: Biocontrol and Biofertilization. Netherland (NL): Springer. hlm 39–66.

Wuryandari Y. 2003. Formulasi Pseudomonas putida strain Pf20 untuk pengendalian biologi penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum pada tembakau [Disertasi].Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Yan Z, Reddy MS, Ryu CM, Melnroy JA, Wilson M, Kloepper JW. 2002. Induced systemic protection against tomato late blight elicited by plant growth promoting rhizobacteria. J Phytopathol. 92:1329–1333. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2002.92.12.1329.

Page 15: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

Volume 12, Nomor 2, Maret 2016Halaman 53–61

DOI: 10.14692/jfi.12.2.53ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362; surel: [email protected]

53

Metabolit Cendawan Endofit Tanaman Padi sebagai Alternatif Pengendalian Cendawan Patogen Terbawa Benih Padi

Metabolite of Endophytic Fungi Isolated from Rice as an Alternative to Control Seed-borne Pathogenic Fungi on Rice

Arifda Ayu Swastini Waruwu, Bonny Poernomo Wahyu Soekarno*, Abdul MunifInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Infeksi cendawan patogen terbawa benih pada tanaman padi (Oryza sativa) di Indonesia yang berpengaruh terhadap produksi padi menjadi masalah utama pada beberapa tahun terakhir. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kemampuan ekstrak kasar metabolit cendawan endofit asal tanaman padi dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen terbawa benih. Tahapan penelitian terdiri atas isolasi cendawan endofit, isolasi cendawan patogen terbawa benih padi, dan uji penghambatan ekstrak metabolit cendawan endofit terhadap cendawan patogen terbawa benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 isolat cendawan endofit, yaitu LA6, LA11, LA14 potensial sebagai agens anticendawan. Metabolit isolat LA11 20% dan LA14 20% menunjukkan penekanan tingkat infeksi cendawan patogen terbawa benih sebesar 18.33–47.28%.

Kata kunci: pengendali hayati, cendawan endofit, metabolit

ABSTRACT

Infection of seed-borne fungi on rice (Oryza sativa) may affect rice production and becomes an important problem in Indonesia recently. This study aimed to evaluate the potential of fungal endophyte metabolites isolated from rice (Oryza sativa L.) to control seed-borne pathogenic fungi. Research activities involved isolation of endophytic fungi from rice, isolation of seed-borne fungi, and inhibition test of isolated endophytic fungal metabolites on seed-borne pathogenic fungi. The results showed that 3 isolates of endophytic fungi, i.e. LA6, LA11, and LA14 were potential producing antifungal metabolite. The metabolites of LA11 and LA14 isolates was able to reduce the growth of seed-borne pathogenic fungi between 18.33 and 47.28%.

Key words: biocontrol, endophytic fungi, metabolites

PENDAHULUAN

Padi adalah komoditas utama pertanian di Indonesia. Produksi padi di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 70.83 juta ton gabah kering giling (GKG), produksi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 71.28 juta ton GKG (BPS 2015).

Ketersediaan benih bermutu menjadi faktor penentu produktivitas komoditas pertanian. Kerusakan pada benih biasanya terjadi akibat adanya serangan serangga, tungau, burung, dan mikroorganisme seperti cendawan dan bakteri. Infeksi cendawan patogen terbawa benih padi seperti Pyricularia oryzae dapat menurukan produksi padi hingga 90% (Utami et al. 2005).

Page 16: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

54

Cendawan patogen yang terbawa benih padi antara lain Fusarium solani, F. moniliforme, Alternaria padwickii, dan Pyricularia oryzae. Fusarium spp. merupakan cendawan patogen yang luas penyebarannya. Beberapa spesies cendawan tersebut dapat menghasilkan mikotoksin dalam biji-bijian yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan. Fusarium spp. juga dapat menyebabkan penyakit layu pada tanaman dan bersifat sistemik (Agarwal dan Sinclair 1997).

Cendawan endofit adalah cendawan yang semua atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam jaringan tanaman sehat dan tidak menimbulkan gejala penyakit pada tanaman. Banyak kelompok cendawan endofit mampu memproduksi senyawa antibiotik yang aktif melawan bakteri dan cendawan patogen tumbuhan. Senyawa antimikroba yang dihasilkan cendawan endofit mampu melindungi tanaman inang dari infeksi patogen.

Pengembangan teknologi baru ramah lingkungan untuk mengendalikan cendawanpatogen meggunakan metabolit cendawan endofit belum banyak dikembangkan. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan cendawan endofit potensial asal tanaman padi yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen terbawa benih padi dengan memanfaatkan metabolit yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Benih yang digunakan ialah padi var. Ciherang (nasional) dan var. Kukubalam (lokal) Sumatera Utara. Medium ekstraksi metabolit cendawan endofit ialah medium glucose yeast pepton (GYP) dengan komposisi 10 g glukosa, 5 g ekstraks khamir, 5 g pepton, 10 g gliserol, 5 g natrium klorida dalam 1 L akuades.

Isolasi Cendawan EndofitCendawan endofit diperoleh dari akar,

batang, daun, dan benih tanaman padi yang sehat dari var. Ciherang dan var. Kukubalam. Sampel dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan, lalu dipotong-potong (1 cm x 1 cm),disterilkan dengan etanol 70% selama 30 detik,

direndam dalam NaOCl 1% selama 2 menit, dan dibilas dengan akuades steril 3 kali, lalu dikeringanginkan di dalam laminar air flow. Potongan akar, batang, dan daun tersebut ditanam pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) dan diinkubasi selama 7 hari. Cendawan endofit yang tumbuh dimurnikan pada medium ADK.

Uji Patogenisitas Cendawan EndofitBenih padi var. Ciherang disterilkan

permukaannya dengan etanol 70% selama 30 detik, direndam dalam NaOCl 1% selama 2 menit, dan dibilas dengan akuades steril 3 kali, selanjutnya ditanam pada medium ADK yang telah ditumbuhi isolat murni cendawan endofit umur 7 hari. Sebanyak 20 butir benih padi ditanam di dalam cawan petri dan diinkubasi selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan pada hari ke-14 terhadap perkecambahan benih padi yang sehat dan yang menunjukkan gejala nekrosis. Biakan cendawan endofit yang tidak menginfeksi perkecambahan benih padi dikoleksi sebagai isolat cendawan endofit untuk penelitian selanjutnya.

Deteksi Cendawan Patogen Terbawa Benih Padi

Sebanyak 400 benih padi ditanam pada medium kertas saring lembap di cawan petri. Dalam setiap cawan disemai 25 butir benih. Benih tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari di bawah sinar ultraviolet 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian. Pada hari ke-2 inkubasi, cawan dipindahkan ke dalam lemari pendingin pada suhu -20 oC selama 24 jam untuk menjaga dormansi biji, selanjutnya cawan dipindahkan kembali ke dalam ruang inkubasi selama 5 hari berikutnya.Pengamatan dilakukan pada hari ke-8, cendawan patogen yang tumbuh di permukaan benih diisolasi pada medium ADK dan diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi Barnett dan Hunter (1998).

Uji Antagonis Isolat Cendawan Endofit terhadap Cendawan Patogen

Uji atagonis secara in vitro dilakukan terhadap semua cendawan endofit yang

Page 17: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

55

tidak menyebabkan nekrosis pada benih padi dari hasil uji patogenisitas. Biakan murni cendawan patogen dan masing-masing koloni isolat cendawan endofit padi ditumbuhkan masing-masing sebanyak satu pelubang gabus pada medium ADK dengan jarak 3 cm. Masing-masing uji setiap isolat cendawan endofit diulang sebanyak 10 kali. Pengamatan dilakukan pada hari ke-4 sampai hari ke-7 dan pengaruh penghambatan cendawan endofit terhadap cendawan patogen dihitung dengan rumus:

Daya hambat = R1–R2 × 100%, denganR1R1, jari-jari koloni hifa cendawan patogen yang tumbuh menjauhi koloni cendawan endofit (cm); R2, jari-jari koloni hifa cendawan patogen yang tumbuh mendekati koloni cendawan endofit (cm).

Ekstraksi Senyawa Metabolit Cendawan Endofit

Sebanyak 3 isolat cendawan endofit yang mempunyai daya hambat paling besar dari uji antagonis diekstraksi mengikuti metode Margino (2008) dengan modifikasi pada kecepatan dan lama waktu sentrifugasi. Cendawan endofit ditumbuhkan di dalam 100 mL medium cair GYP dan digoyang selama 7 hari pada kecepatan 150 rpm. Suspensi cendawan endofit disaring secara bertahap menggunakan kertas saring Whatman no.1. Selanjutnya suspensi disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit dan supernatan yang diperoleh disaring kembali. Metabolit yang sudah disaring digunakan untuk uji daya hambat pada uji in vitro. Metabolitnya dianalisis secara kualitatif dengan pyrolisis gas chromatography mass spectrometry (Py-GCMS) -QP2010 Shimadzu.

Uji Metabolit Cendawan Endofit Filtrat metabolit dari masing-masing

cendawan endofit terpilih ditambahkan pada medium ADK sehingga terbentuk medium tumbuh dengan konsentrasi filtrat metabolit 5, 10, dan 20%. Cendawan patogen ditumbuhkan pada medium ADK. Sebagai kontrol negatif medium ADK tanpa metabolit

cendawan endofit dan sebagai kontrol positif digunakan medium ADK dengan fungisida berbahan aktif Mankozeb 80%. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan patogen pada masing-masing konsentrasi metabolit dan dibandingkan dengan kontrol negatif. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari dengan mengukur diameter koloni cendawan patogen. Daya hambat dihitung menggunakan rumus:

Daya hambat = D1–D2 × 100%, denganD1D1, diameter hifa cendawan patogen sebagai kontrol negatif (cm); D2, diameter hifa cendawan patogen sebagai perlakuan (cm).

Dua metabolit cendawan endofit terpilih digunakan untuk uji in vivo pada benih. Sebanyak 100 benih padi var. Kukubalam direndam di dalam 10 mL suspensi metabolit cendawan endofit selama 24 jam, kemudian dikeringanginkan. Benih padi diperlakukan seperti pada uji deteksi cendawan patogen terbawa benih. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat infeksi cendawan patogen pada benih.

Sebanyak 25 benih padi ditanam pada medium agar-agar air, lumpur, dan substrat kertas gulung yang dibungkus plastik. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Benih yang tumbuh berkecambah dan tingkat infeksi patogen diamati pada medium agar-agar air dan lumpur, sedangkan pada substrat kertas gulung diamati benih yang tumbuh berkecambah. Tingkat infeksi dan penekanan tingkat infeksi cendawan dihitung dengan rumus:

Tingkat infeksi= × 100%, dengani1i2

i1, jumlah tanaman terinfeksi; i2, jumlah tanaman yang tumbuh.Penekanan TI = TI kontrol (-) – TI perlakuan, dengan TI, tingkat infeksi; kontrol (-), kontrol negatif.

HASIL

Isolat Cendawan Endofit Sebanyak 30 isolat cendawan endofit

berhasil diisolasi dari bagian akar, batang, daun, dan benih tanaman padi sehat var.

Page 18: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

56

Ciherang dan Kukubalam. Berdasarkan pada uji patogenisitas diperoleh 11 isolat asal tanaman padi var. Ciherang dan 10 isolat asal padi var. Kukubalam yang bersifat tidak patogen. Isolat tersebut tidak menimbulkan nekrosis pada kecambah padi sehingga digunakan untuk uji selanjutnya (Tabel 1). Batang tanaman merupakan bagian yang paling banyak perolehan cendawan endofitnya.

Cendawan Patogen Terbawa Benih PadiCendawan patogen yang terbawa benih

padi var. Kukubalam ialah Fusarium sp.1, Fusarium sp.2, Aspergillus flavus, A. niger, dan hifa steril dengan tingkat infeksi berturut-turut sebesar 22.0, 5.0, 1.5, 1.0 dan 0.5%. Cendawan patogen yang terdeteksi terbawa benih padi var. Ciherang hanya satu spesies (Tabel 2). Fusarium sp.1 merupakan cendawan patogen yang paling dominan menginfeksi kedua varietas benih padi.

Cendawan Endofit Potensial terhadap Fusarium sp.1

Uji antagonis menunjukkan seluruh isolat cendawan endofit mampu menghambat pertumbuhan koloni cendawan patogen Fusarium sp.1 antara 35.7 dan 67.0% pada hari

ke-7. Sebanyak 11 isolat cendawan endofit di antaranya mempunyai daya hambat lebih dari 50% (Tabel 3). Cendawan endofit LA6, LA11, dan LA14 dari benih padi var. Kukubalam yang diisolasi dari akar merupakan cendawan endofit yang menekan pertumbuhan Fusarium sp.1, masing-masing dengan daya hambat 67.1, 59.4, dan 64.7%.

Filtrat metabolit cendawan endofit pada medium ADK mampu menekan pertumbuhan koloni Fusarium sp.1 (Gambar 1). Metabolitcendawan endofit isolat LA11 dan LA14 pada konsentrasi 20% mampu menekan pertumbuhan koloni Fusarium sp.1 secara nyata dibandingkan dengan kontrol negatif, yaitu dengan daya hambat sebesar 24.08%. Isolat LA6 menunjukkan penekanan pertumbuhan patogen yang rendah sehingga tidak digunakan pada uji metabolit cendawan endofit. Sebanyak 5 senyawa metabolit anticendawan dihasilkan oleh isolat LA11 dan 3 senyawa metabolit oleh isolat LA14 (Tabel 5).

Filtrat metabolit LA11 dan LA14 dengan konsentrasi 20% mampu menekan tingkat infeksi cendawan patogen pada benih padi masing-masing sebesar 36 dan 27% (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa metabolit yang dihasilkan LA11 dan LA14 bersifat

Organ tanaman Varietas padi Total isolat Uji patogenisitasCiherang Kukubalam Patogen Tidak patogen

Akar 2 10 12 4 8Batang 6 2 8 0 8Daun 7 1 8 3 5Benih 1 1 2 2 0Jumlah 16 14 30 9 21

Tabel 1 Isolat cendawan endofit asal tanaman padi var. Ciherang dan var. Kukubalam dan uji patogenisitasnya

Cendawan patogen uji Infeksi (%)Var. Kukubalam Var. Ciherang

Fusarium sp. 1 22.0 12.5Fusarium sp. 2 5.0 0.0Aspergillus flavus 1.5 0.0Aspergillus niger 1.0 0.0Hifa steril 0.5 0.0

Tabel 2 Infeksi cendawan patogen terbawa benih padi var. Ciherang dan var. Kukubalam dengan menggunakan metode substrat kertas gulung

Page 19: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

57

Varietas padi

Cendawan endofit* Daya hambat (%) hari ke-4 5 6 7

Ciherang CA1 14.8 29.4 39.0 45.9 CB1 15.0 36.8 44.0 48.1 CB2 24.0 41.8 50.3 56.1 CB4 15.0 26.9 39.2 52.7 CB5 17.8 36.6 48.2 57.0 CB6 9.2 24.1 33.2 45.2 CB7 32.7 43.5 46.4 58.6 CD2 17.4 37.2 47.8 55.3 CD3 0.0 20.8 31.1 43.5 CD4 10.1 26.1 40.3 48.1 CD6 16.9 34.3 48.4 52.5Kukubalam LA2 13.1 35.5 38.1 47.3 LA3 29.4 43.8 52.7 59.3 LA6 32.1 52.6 61.5 67.1 LA7 15.9 35.5 40.8 45.3 LA9 17.0 31.1 40.9 51.2 LA11 10.6 22.8 39.3 59.4 LA14 34.1 56.6 63.9 64.7 LB1 1.3 11.9 30.8 35.7 LB3 13.8 29.9 40.6 43.9

LD1 0.0 9.0 27.8 44.0

Tabel 3 Daya hambat cendawan endofit terhadap pertumbuhan koloni cendawan patogen Fusarium sp.1 pada medium agar-agar dekstrosa kentang

*Asal cendawan endofit: CA, akar padi varietas Ciherang; CB, batang padi varietas Ciherang; CD, daun padi varietas Ciherang; LA, akar padi varietas Kukubalam; LB, batang padi varietas Kukubalam; LD, daun padi varietas Kukubalam.

Gambar 1 Pengaruh beberapa konsentrasi metabolit LA11 terhadap pertumbuhan Fusarium sp.1. a, kontrol negatif; b, konsentrasi 5%; c, konsentrasi 10%; D, konsentrasi 20% dan; e, kontrol positif pada hari ke-7 setelah isolasi.

a b c d e

anticendawan terhadap Fusarium sp.1 pada benih padi.

Aplikasi metabolit sekunder cendawan endofit tidak mempengaruhi daya kecambah benih padi (Tabel 7). Namun aplikasi metabolit sekunder tersebut mampu menekan tingkat infeksi Fusarium sp.1 pada medium agar-agar air. Isolat LA11 dan LA14 pada konsentrasi 20% mampu menekan tingkat infeksi cendawan patogen Fusarium sp.1 pada benih padi masing-masing 43.86 dan 47.28%

dan pada lumpur LA11 dan LA14 mampu menekan tingkat infeksi Fusarium sp.1 pada benih padi masing-masing 29.07 dan 18.33% (Tabel 8).

PEMBAHASAN

Keberadaan cendawan endofit ada yang bersifat spesifik, cendawan endofit dapat berada di satu bagian tanaman atau terdapat di 3 bagian tanaman, yaitu akar, batang dan

Page 20: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

58

Medium tumbuh

Diameter Fusarium sp.1 (cm) hari ke-a Daya hambatb

(%)2 3 4 5 6 7Kontrol (-)c 1.84 a 2.58 a 3.44 a 4.52 a 5.38 a 5.98 a -Kontrol (+)d 0.00 c 0.00 d 0.80 f 1.40 d 1.9 d 2.50 e 58.20LA6 20% 1.60 b 2.24 b 2.90 cde 3.90 bc 4.94 ab 5.74 ab 4.01LA6 10% 1.52 b 2.10 bc 2.84 de 3.74 bc 4.56 bc 5.18 abcd 13.38LA6 5% 1.52 b 2.16 bc 2.72 e 3.54 c 4.32 bc 4.96 bcd 17.06LA11 20% 1.52 b 2.16 bc 3.50 a 4.04 b 4.20 c 4.54 d 24.08LA11 10% 1.52 b 2.22 b 3.10 bc 3.82 bc 4.32 bc 4.82 cd 19.40LA11 5% 1.54 b 2.26 b 3.18 b 3.96 bc 4.68 bc 5.02 bcd 16.05LA14 20% 1.54 b 2.24 b 3.16 b 3.76 bc 4.22 c 4.54 d 24.08LA14 10% 1.52 b 2.20 bc 3.06 bcd 3.84 bc 4.68b c 5.46 abc 8.69LA14 5% 1.50 b 2.26 b 3.16 b 3.84 bc 4.88 abc 5.76 ab 3.68

Tabel 4 Pertumbuhan Fusarium sp.1 pada medium koloni cendawan patogen Fusarium sp.1 pada medium agar dengan tambahan metabolit cendawan endofit

a Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf α 5%b Daya hambat dihitung pada hari ke-7; c kontrol (-), kontrol negatif; d kontrol (+), kontrol posotif.

Nama senyawa Kandungan (%)

Isolat LA11Asam asetat 3.21Fenol, 2,6-Dimetoksi 2.81Asam fosfonat 3.00Asam laurat 4.98Asam palmitat 6.32

Isolat LA143-pyrrolidin-2-yl-propionic acid 2.715,10-diethoxy-2,3,7,8-tetrahydro-1h,6h-dipyrrolo[1,2-a;1',2'-d] pyrazine 3.202,5-Piperazinedione, 3,6-bis (2 methylpropyl)- 1.93

Tabel 5 Senyawa metabolit cendawan endofit isolat LA11 dan LA14 yang bersifat anticendawan pada pengujian Py-GC-MS

Perlakuan Tingkat infeksi patogen (%)

Penekanan tingkat infeksi (%)

Kontrol (-) 64 -Kontrol (+) 3 61LA11 20% 28 36LA14 20% 37 27

Tabel 6 Penekanan tingkat infeksi patogen terbawa benih padi menggunakan metode substrat kertas gulung dengan metabolit cendawan endofit

Perlakuan Daya kecambah (%)

Kertas gulung Agar-agar air LumpurKontrol (-) 96 80 86Kontrol (+) 99 90 90LA11 98 88 86LA14 100 88 84

Tabel 7 Daya kecambah benih padi dengan metode substrat kertas gulung, medium agar-agar air, dan lumpur dengan aplikasi metabolit cendawan endofit

Page 21: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

59

daun (Ginting et al. 2013). Spesies dominan cendawan endofit yang mengolonisasi bagian tanaman inang dapat berbeda dari masing-masing bagian tanaman maupun varietas tanaman. Beberapa cendawan endofit dalam simbiosisnya dapat menghasilkan senyawa antimikroba. Cendawan endofit dari tanaman gandum, yaitu Acremonium spp., A. strictum dan Neotyphodium coenophialum, bersifat antagonis terhadap F. culmorum dan F. graminearum yang merupakan patogen akar tanaman gandum. Cendawan endofit tersebut dilaporkan menghasilkan melanin yang mampu mengurangi pertumbuhan cendawan patogen akar tersebut (Tunali dan Marshall 1995).

Cendawan patogen yang sering terbawa benih padi dari lapangan antara lain A. padwickii, A. niger, Curvularia lunata, F. moniliforme, Penicillium sp, Pyricularia oryzae, dan Rhizopus oryzae, (Utobo et al. 2011). Keberadaan Fusarium spp. dapat mencapai 50% pada benih padi (Nurdin 2003).

Penghambatan pertumbuhan koloni patogen pada medium ADK yang telah mengandung metabolit cendawan endofit disebabkan adanya kandungan metabolit senyawa anticendawan. Penghambatan tersebut diduga karena adanya senyawa metabolit yang mampu merusak dinding sel patogen sehingga cendawan patogen tumbuh lambat dan tidak berkembang (Radji 2005). Metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikrob endofit yang telah berhasil dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya bersifat antibiotik. Cendawan endofit Phomopsis cassiae menghasilkan etil 2,4-dihidroksi-5,6-dimetilbenzoat dan phomopsilactone. Metabolit sekunder tersebut berperan sebagai anticendawan terhadap

patogen Cladosporium cladosporioides (Silva et al. 2006).

Metabolit dari cendawan endofit isolat LA11 mengandung asam asetat, fenol 2,6-dimetoksi, asam fosfonat, asam laurat, dan asam palmitat. Asam palmitat dan asam laurat telah diketahui berpotensi mampu menghambat cendawan patogen tumbuhan antara lain, A. niger, Cucumerinum lagenarium, F. oxysporum (Altieri et al. 2007; Liu et al. 2008). Asam asetat yang dihasilkan Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. efektif menekan pertumbuhan cendawan patogen Botryodiplodia sp. secara in vitro berturut-turut sebesar 52.5 dan 46.5% (Octaviani 2015). Asam fosfonat dengan konsentrasi 552 µg mL-1 mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen P. cinnamomi dan P. citricola hingga 100% serta R. solani dan A. alternata dengan penghambatan sebesar 38 dan 59% (Fenn dan Coffey 1984).

Jalaluldeen et al. (2015) melaporkan 5,10-diethoxy-2,3,7,8-tetrahydro-1h,6h-dipyrro lo [1 ,2-a ;1 ' ,2 ' -d]pyraz ine dan 3-pyrrolidin-2-yl-propionic acid merupakan senyawa anticendawan dengan kemampuan menekan pertumbuhan F. oxysporum hingga 70%. Senyawa ini terdapat dalam metabolit isolat LA14.

Cendawan endofit dilaporkan memicu pertumbuhan tanaman sehingga meningkatkan hasil tanaman. Metabolit yang dihasilkan merupakan senyawa hasil sintesis untuk mempertahankan eksistensinya dalam ber-interaksi dengan lingkungan. Metabolit cendawan endofit merupakan senyawa antibiotik yang mampu melindungi tanaman dari serangan mikroorganisme patogen(Wang et al. 2002). Komponen senyawa

Tabel 8 Tingkat infeksi dan penekanan tingkat infeksi cendawan patogen terbawa benih pada medium agar-agar air dan lumpur

Perlakuan Tingkat infeksi (%)

Penekanan tingkat infeksi (%)

Agar-agar air Lumpur Agar-agar air LumpurKontrol (-) 57.51 80.23 - -Kontrol (+) 1.11 35.56 56.39 44.68LA1120% 13.64 51.16 43.86 29.07LA1420% 10.23 61.90 47.28 18.33

Page 22: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

metabolit cendawan endofit yang menghambat pertumbuhan cendawan patogen dapat di-formulasi sebagai pengendali hayati cendawan patogen terbawa benih. Gunatilaka (2006) menyatakan bahwa beberapa cendawan endofit yang tumbuh di dalam medium sintetis menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen. Hal ini menegaskan bahwa cendawan endofit yang terdapat di jaringan tanaman padi dapat dimanfaatkan sebagai antimikrob.

Cendawan isolat LA11 dan LA14 merupakan cendawan endofit yang berpotensi menekan infeksi Fusarium sp.1 yang terbawa benih padi. Demikian juga metabolitnya efektif menekan infeksi cendawan patogen terbawa benih padi. Oleh karena itu, formula ekstrak metabolit cendawan endofit potensial yang efektif dan efisien perlu diteliti lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Dirjen DIKTI melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN).

DAFTAR PUSTAKA

Altieri C, Cardillo D, Bevilacqua A, Singaglia M. 2007. Inhibition of Aspergillus spp. and Penicillium spp. by fatty acids and their monoglycerides. J Food Protec. 70:1206–1212.

Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. New York (US): APS Press.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi padi tahun 2014 (angka sementara) diperkirakan turun 0.63 persen. http://www.bps.go.id [diakses: 3 Sept 2015].

Fenn ME, Coffey MD. 1984. Studies on the in vitro and in vivo antifungal activity of fosetyl-Al and phosphorous acid. Phytopathology. 74:606–611. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/Phyto-74-606.

Ginting RCB, Sukarno N, Widyastuti U, Darusman LK, Kanaya S. 2013. Diversity of endophytic fungi from red ginger (Zingiber officinale Rosc.) plant and their

inhibitory effect to Fusarium oxysporum plant pathogenic fungi. Hayati J Biosci. 20(3):127–137. DOI: http://dx.doi.org/10.4308/hjb.20.3.127.

Gunatilaka AAL. 2006. Natural products from plant-associated microorganisms: distribution, structural diversity, bioactivity, and implications of their occurrence. J Nat Prod. 69: 509–526. DOI: http://dx.doi.org/10.1021/np058128n.

Jalaluldeen AM, Sijam K, Othman R, Ahmad ZAM. 2015. Growth characteristic and production of secondary metabolites from selected streptomyces species isolated from the rhizosphere of chili plant. IJERSTE. 4(1):1–8.

Liu S, Weibin R, Jing L, Hua X, Jingan W, Yubao G, Jingguo W. 2008. Biological control of phytopathogenic fungi by fatty acids. Mycopathologia.166:93–102. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s11046-008-9124-1.

Margino S. 2008. Produksi metabolit sekunder (antibiotik) oleh isolat jamur endofit Indonesia. Majalah Farmasi Indonesia. 19(2):86–94.

Nurdin M. 2003. Inventarisasi beberapa mikroorganisme terbawa benih padi yang berasal dari Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung. J HPT Tropika. 3(2):47–50.

Octaviani EA. 2015. Potensi Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. untuk pengendalian Botryodiplodia sp. pada Jabon (Anthocephalus cadamba) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikrob endofit dalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3):113–126.

Silva GH, Teles HL, Zanardi LM, Young MCM, Eberlin MN, Hadad R, Pfenning LH, Bolzani VS, Araujo AR. 2006. Cadinane sesquiterpenoids of Phomopsis cassiae, an endophytic fungus associated with Cassia spectabilis (Leguminosae). P h y t o c h e m i s t r y. 6 7 : 1 9 6 4 – 1 9 6 9 . DOI: h t tp : / /dx .do i .o rg /10 .1016/ j .phytochem.2006.06.004.

60

Page 23: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Waruwu et al.

Tunali B, Marshall D. 1995. Antagonistic effect of endophytes against several root-rot pathogens of wheat. Ciheam-Options Mediterraneennes. 1:381–386.

Utami DW, Moeljopawiro S, Aswidinnoor H, Setiawan A, Hanarida I. 2005. Gen pengendali sifat ketahanan penyakit blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada spesies padi liar Oryza rufipogon Griff. dan padi budi daya IR64. J Agro Biogen. 1(1):1–6.

Utobo EB, Ogbod EN, Nwogbaga AC. 2011. Seedborne mycoflora associated with rice

and their influence on growth at Abakaliki, Southeast Agro-Ecology, Nigeria. Libyan Agric Res Center J Int. 2(2):79–84.

Wang SL, Yen YH, Tsiao WJ, Chang WT, Wang CL. 2002. Production of antimicrobial compounds by Monascus purpureus CCRC31499 using shrimp and crab shell powder as a carbon source. Enzyme Microb Technol. 31:337–344. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0141-0229(02)00135-7.

61

Page 24: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

Volume 12, Nomor 2, Maret 2016Halaman 62–68

DOI: 10.14692/jfi.12.2.62ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680Telp: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, surel: [email protected], [email protected]

62

Potensi Bakteri Endofit Ochrobactrum intermedium-C939A31, Klebsiella oxytoca-C939A32, Bacillus subtilis-I308A32 Asal

Tanaman Kopi untuk Mengendalikan Nematoda Luka Akar Pratylenchus coffeae

The Potential Endophytic Bacteria of Ochrobactrum intermedium-C939A31, Klebsiella oxytoca-C939A32, Bacillus subtilis-I308A32 Isolated from Coffee Plant for Controlling Root Lesion Nematode

Pratylenchus coffeae

Dwi Halimah, Abdul Munif*, GiyantoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Salah satu faktor penyebab menurunnya produksi kopi di Indonesia ialah serangan nematoda luka akar Pratylenchus coffeae. Pengendalian P. coffeae secara biologi dengan pemanfaatan agens hayati merupakan salah satu alternatif yang perlu dikembangkan karena sejalan dengan tuntutan dalam menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan. Penelitian bertujuan mengevaluasi tiga isolat bakteri endofit asal tanaman kopi untuk mengendalikan P. coffeae, yaitu Ochrobactrum intermedium-C939A31, Klebsiella oxytoca-C939A32 dan Bacillus subtilis-I308A32. Penelitian meliputi uji patogenisitas melalui reaksi hipersensitif dan hemolisis, kemampuan menekan P. coffeae secara in vitro dan di rumah kaca. Ketiga isolat bakteri endofit yang diuji tidak bersifat patogen terhadap tanaman maupun manusia. Uji in vitro menunjukkan bahwa 2 isolat bakteri endofit, yaitu K. oxytoca - C939A32 dan O. intermedium - C939A31 dapat menekan populasi P. coffeae sebesar 66.7 dan 100%. Pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa kedua isolat juga dapat menekan populasi P. coffeae.

Kata kunci: bakteri endofit, reaksi hipersensitif, uji hemolisis, uji patogenisitas

ABSTRACT

Infection of root lession nematode, Pratylenchus coffeae, becomes an important factor causing yield loss in coffee production in Indonesia. Biological control of P. coffeae needs to be developed to meet the requirement of environmentally save crop production. The research was conducted to evaluate 3 selected endophytic bacteria isolates (Ochrobactrum intermedium-C939A31, Klebsiella oxytoca-C939A32, and Bacillus subtilis-I308A32) from coffee in controlling P. coffeae. Research methods involved pathogenicity test based on hypersensitive reaction and haemolysis test, and evaluation of their ability to suppress P. coffeae in vitro and in planta. The hypersensitive and haemolysis reactions indicated that these 3 isolates showed negative result both to plant and human. In vitro assays showed that two isolates, K. oxytoca-C939A32 and O. intermedium-C939A3, could suppress P. coffeae populations by 66.7 and 100%. Those results correlated positively with in planta assay’s result.

Key words: endophityc bacteria, haemolysis test, hypersensitive reaction, pathogenicity test

Page 25: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

63

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil, namun pada beberapa tahun terakhir posisi tersebut tergeser oleh Vietnam. Hal tersebut disebabkan penurunan luas areal dan adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pada tahun 2009 luas areal pertanaman kopi di Indonesia mencapai 1 266 235 ha dengan produksi 682 591 ton. Angka tersebut menurun pada tahun 2013 menjadi 1 193 149 ha dengan produksi 669 064 ton (Ditjenbun 2014). Salah satu OPT yang memengaruhi produktivitas kopi ialah serangan nematoda, di antaranya Meloidogyne incognita, Pratylenchus coffeae, dan Radhopolus similis. Penurunan produksi akibat serangan nematoda tersebut pada kopi robusta berkisar 28.7–78.4% dan pada kopi arabika menyebabkan tanaman hanya dapat bertahan selama 2 tahun (Nursol et al. 2006).

Upaya pengendalian nematoda pada tanaman kopi dapat dilakukan dengan kultur teknis, kimiawi, varietas tahan, dan pengendalian secara biologi. Pengendalian biologi yang banyak diteliti pada saat ini ialah penggunaan bakteri endofit (Hallmann et al. 2001). Penggunaan bakteri endofit Bacillus pumilus dan B. mycoides menekan populasi dan jumlah puru nematoda M. incognita pada tanaman kopi (Mekete et al. 2009). Eksplorasi bakteri endofit dari beberapa lokasi pertanaman kopi di Jawa Barat dan Lampung dilaporkan oleh Harni dan Khaerati (2013). Tujuan penelitian ini ialah mengevaluasi potensi 3 isolat bakteri endofit terseleksi asal tanaman kopi dari Jawa Timur dan Jawa Barat untuk pengendalian nematoda luka akar P. coffeae.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Inokulum P. coffeae dan Isolat Bakteri Endofit

Inokulum P. coffeae diekstraksi dari akar tanaman kopi yang terserang nematoda parasit dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.Nematoda diekstrak dengan metode mist chamber (Viglierchio dan Schmitt 1983). Nematoda diidentifikasi sebagai nematoda P.

coffeae digunakan sebagai sumber inokulum pada uji in vitro dan di rumah kaca.

Sebanyak 3 isolat bakteri endofit digunakan, yaitu isolat C939A31, C939A32 dan I308A32. Ketiga isolat tersebut diremajakan pada medium tryptone soya agar (TSA) dan diidentifikasi berdasarkan sikuen gen 16S rRNA. Isolasi DNA total bakteri endofit mengikuti prosedur GeneJET Genomic DNA Purification Kit #K0722 (Thermo Scientific®, Lithuania). Gen 16S rRNA diamplifikasi menggunakan sepasang primer universal, yaitu 27F (5’-AGA GTT TGA TCC TGG CTC AG-3’) dan 1492R (5’-GGT TAC CTT ACG ACT T-3’) (Lane 1991). Volume total reaksi untuk PCR ialah 25 μL, terdiri atas 24 μL bahan PCR (MgCl21.5 mM, dNTPs 0.2 mM, Taq polymerase 5 unit per reaksi, 9.5 μL ddH2O, 1 μL primer 27F 20 pmol, dan 1 μL primer1492R 20 pmol) dan 1 μL cetakan DNA isolat yang diuji. Program PCR dilaksanakan dengan kondisi sebagai berikut: 1 siklus predenaturasi pada 94 °C selama 3 menit; 30 siklus yang terdiri atas denaturasi 94 °C selama 30 detik, aneling pada 57 °C selama 30 detik, ekstensi pada 72 °C selama 1.5 menit; dan 1 siklus ekstensi akhir pada 72 °C selama 5 menit, serta 4 °C penyimpanan. Produk PCR dikirim ke First BASE Sequencing Singapura untuk proses perunutan. Hasil runutan basa nukleotida gen 16S rRNA dianalisis menggunakan program basic local allignment search tool (BLAST) untuk mendapatkan kesamaan data runutan pada GenBank. Selanjutnya tingkat homologi runutan basa nukleotida isolat terpilih dengan spesies lain pada GenBank dianalisis menggunakan program Bioedit®

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa ketiga isolat bakteri endofit mirip dengan aksesi pada GenBank, yaitu Ochrobactrum intermedium DSQ5 (HM217123.1), Klebsiella oxytoca NGB FR 50 (AB749216.1), dan Bacillus subtilis AIMST (10.T18.1) berturut-turut sebesar 99.8%, 84.8%, dan 96%. Selanjutnya ketiga isolat tersebut disebutkan sesuai dengan spesies kemiripannya, yaitu O. intermedium-C939A31, K. oxytoca-C939A32, dan B. subtilis-I308A32.

Page 26: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

64

Uji Hipersensitif dan HemolisisTiga isolat bakteri endofit berumur 24 jam

dipindahkan dari medium TSA ke medium tryptone soya broth (TSB), diinkubasi dan digoyang pada kecepatan 100 rpm selama 24 jam atau hingga mencapai kerapatan 108–109 cfu mL-1. Uji hipersensitif dilakukan dengan menyuntikkan 2 mL suspensi bakteri endofit pada bagian bawah lamina daun tembakau sehat. Selanjutnya tanaman diinkubasi selama 24–48 jam dan sebagai kontrol tanaman disuntik dengan air steril. Pengamatan dilakukan terhadap terjadinya klorosis/nekrosis pada daun.

Bakteri endofit yang menunjukkan reaksi negatif pada uji hipersensitif diuji kemampuannya dalam menghidrolisis butir darah merah. Biakan bakteri umur 24 jam ditumbuhkan pada medium agar-agar darah, kemudian diinkubasi selama 24 jam dan diamati terbentuknya zona bening (Khusnan et al. 2008).

Pengaruh Bakteri Endofit terhadap Mortalitas P. coffeae secara in Vitro

Nematoda uji disiapkan mengikuti prosedur penyiapan inokulum P. coffeae. Pengujian in vitro dilakukan mengikuti metode Harni dan Khaerati (2013). Bakteri endofit dibiakkan dalam 100 mL medium TSB dan digoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam. Selanjutnya suspensi bakteri disentrifugasi pada kecepatan 6500 rpm, supernatannya disaring dengan kertas milipore dengan ukuran pori 0.2 µm.

Supernatan bakteri endofit diuji penekanan-nya terhadap P. coffeae. Sebanyak ± 50 ekor P. coffeae dimasukkan ke dalam 5 mL supernatan pada suhu ruang dan diamati persentase mortalitas setelah 24 jam. Nematoda yang diperlakukan dengan air dan medium TSB steril digunakan sebagai kontrol.

Pengujian disusun dengan rancangan acak lengkap. Tiga isolat bakteri endofit yang diuji dan sebagai kontrol ialah air dan medium TSB steril diulang sebanyak 3 kali.

Pengaruh Bakteri Endofit dalam Mengendalikan P. coffeae dan Memacu Pertumbuhan Tanaman

Pengujian dilakukan mengikuti metode Harni dan Khaerati (2013) yang dimodifikasi. Bakteri endofit sebanyak 1 ose ditumbuhkan dalam 200 mL medium TSB dan digoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 4 hari pada suhu kamar. Sebelum aplikasi, bakteri disuspensikan dalam akuades steril dan diukur kerapatan populasinya hingga mencapai 109 cfu mL-1. Tanaman kopi robusta klon BP936 umur ±5 bulan diberi perlakuan bakteri endofit dengan menyiramkan 100 mL suspensi bakteri endofit per tanaman dalam medium tanam steril (tanah:pasir, 2:1) sebanyak 1.5 kg tiap pot kantong plastik. Tanaman kopi yang diberi perlakuan akuades steril digunakan sebagai kontrol. Inokulasi nematoda dilakukan dengan menuangkan suspensi nematoda di sekeliling tanaman pada kedalaman 1 cm sebanyak 500 ekor per tanaman 2 minggu setelah perlakuan bakteri endofit. Dua bulan setelah inokulasi, tanaman dibongkar, akar dicuci, dan dikeringanginkan.

Pengamatan dilakukan dengan menghitung faktor reproduksi (pf/pi) nematoda, yaitu perbandingan antara populasi akhir dengan populasi awal nematoda. Nematoda pada akar diekstraksi dengan metode pengabutan, sedangkan nematoda dalam tanah diisolasi dengan metode sentrifugasi. Pertumbuhan tanaman diamati dengan mengukur tinggi tanaman, bobot basah serta bobot kering batang dan akar pada akhir pengamatan. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap, tiap perlakuan diulang 4 kali dan setiap ulangan terdiri atas 4 unit pengamatan.

Karakterisasi FisiologiPengujian karakter fisiologis bakteri

endofit dilakukan untuk melihat kemampuan bakteri endofit sebagai agens biokontrol, yaitu melalui pengujian aktivitas kitinolitik (Marin et al. 2013), proteolitik (Denizci et al. 2004), lipolitik menggunakan medium rhodamin-B-agar, kemampuan pelarutan fosfat (Gupta et

Page 27: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

65

al. 2012), dan fiksasi nitrogennya (Yim et al. 2009).

HASIL

Bakteri endofit yang digunakan yaitu O. intermedium (C939A31), K. oxytoca (C939A32), dan B. subtilis (I308A32) tidak bersifat patogen terhadap tanaman maupun mammalia. Ketiganya dapat menekan populasi P. coffeae hingga 66.7, 100, dan 77.9% dibandingkan dengan kontrol sebesar 0%.

Pengaruh Bakteri Endofit dalam Menekan Populasi P. coffeae dan Memacu Pertumbuhan Tanaman.

Hidrolisis protein, lipid dan kitin pada O. intermedium-C939A31, serta sifat lipolisis

pada K. Oxytoca-C939A32 mampu membantu menekan P. coffeae hingga 62 dan 69.1%. Meskipun dapat menghidrolisis kitin dan lipid, namun P. coffeae masih dapat berkembang biak pada isolat B. subtilis-I308A32 (Tabel 1 dan 2). Penekanan populasi P. coffeae didukung oleh kemampuan isolat uji dalam memacu pertumbuhan tanaman. Dari ketiga isolat uji, O. intermedium-C939A31 paling dominan dalam meningkatkan berat basah, berat kering dan tinggi tanaman, diikuti K. oxytoca-C939A32 dan B. subtilis-I308A32 (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Hasil pengujian terhadap 3 isolat bakteri terpilih menunjukkan bahwa sebagai agens

PerlakuanPengujian di rumah kaca

Populasi Awal Populasi Akhir* Pf/Pi % Penekanan Populasi

Ochrobactrum intermedium 500 458.3 0.92 62.0 aKlebsiella oxytoca 500 372.9 0.75 69.1 aBacillus subtilis 500 1036.3 2.10 14.0 bKontrol 500 1205.4 2.40 0.0 c

Tabel 1 Pengaruh 3 isolat bakteri endofit terseleksi asal tanaman kopi terhadap populasi P. coffeae secara in vitro dan di rumah kaca

*Rerata dari 4 ulanganAngka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan dengan α 5%.

Perlakuan Kitinolitik Proteolitik Lipolitik Pelarutan P Fiksasi NOchrobactrum intermedium + + + - +Klebsiella oxytoca - - + + +Bacillus subtilis + - + + +Kontrol - - - - -

Tabel 2 Karakter fisiologis 3 isolat bakteri endofit terseleksi asal tanaman kopi

+, bereaksi positif pada pengujian yang dilakukan; -, bereaksi negatif pada pengujian yang dilakukan; P: fosfat; N, nitrogen.

PerlakuanBobot basah

(g)Bobot kering

(g)Tinggi

Tanaman (cm)Batang Akar Batang Akar

Ochrobactrum intermedium 39.7 a 33.4 a 14.1 a 6.7 a 56.0 aKlebsiella oxytoca 38.9 a 31.7 ab 13.4 a 6.3 a 53.9 aBacillus subtilis 38.7 a 33.4 a 12.7 ab 6.2 a 51.3 abKontrol 32.0 b 26.61 b 10.9 b 6.4 a 47.5 b

Tabel 3 Pengaruh 3 isolat bakteri endofit asal tanaman kopi terhadap pertumbuhan tanaman kopi di rumah kaca pada minggu ke-8 setelah inokulasi P. coffeae

Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan dengan α 5%.

Page 28: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

66

biokontrol, isolat tersebut tidak bersifat patogen bagi tanaman maupun manusia, sehingga lebih aman untuk pengembangannya. Hasil pengujian in vitro menunjukkan bahwa ketiga isolat dapat menekan populasi P. coffeae. Hasil uji in vitro tersebut sejalan dengan hasil pengujian di rumah kaca, meskipun urutan penekanan terbaik tidak selaras. Penekanan populasi nematoda oleh isolat K. oxytoca-C939A32 (100%) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Harni dan Khaerati (2013) yang kemampuan penekanannya sebesar 5–80 %. Nilai faktor reproduksi yang kecil menghasilkan penekanan nematoda yang semakin besar (Harni dan Khaerati 2013).

Penurunan populasi P. coffeae pada akar kopi disebabkan bakteri endofit dapat menekan penetrasi dan reproduksi nematoda di dalam akar (Sikora et al. 2007), serta menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat nematisidal (Harni dan Khaerati 2013). Metabolit sekunder dari bakteri endofit yang dapat menekan populasi nematoda, di antaranya enzim hidrolitik (kitinase, protease, lipase). Aktivitas enzim kitinase, protease, dan lipase dapat mengendalikan nematoda melalui mekanisme antibiosis (Lobna dan Zawam 2010; Moghaddam et al. 2014). Permukaan eksternal nematoda merupakan lapisan ekstraseluler yang terdiri atas kolagen kutikula yang fleksibel, epikutikula yang diperkaya lipid dan surface-coat yang diperkaya glikoprotein (Chisholm dan Xu 2012). Bagian tersebut merupakan target enzim hidrolisis, seperti kitinase, protease, dan lipase. Enzim kitinase dilaporkan dapat menghambat penetasan telur nematoda M. incognita (Lobna dan Zawam 2010), sedangkan enzim protease dan lipase dapat mendegradasi tubuh juvenil, telur dan massa telur nematoda M. incognita (Lobna dan Zawam 2010; Mendoza et al. 2008; Tian et al. 2009), menghambat mortilitas, penetasan telur, dan membunuh M. javanica (Moghaddam et al. 2014).

Selain menunjukkan penekanan tertinggi terhadap P. coffeae, isolat K. oxytoca-C939A32 dan O. intermedium-C939A31 juga menunjukkan pemacuan pertumbuhan tanaman kopi yang terbaik. Kondisi vigor

tanaman yang lebih jagur dengan batang dan akar yang lebih banyak menjadikan tanaman lebih sehat sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen. Gupta et al. (2012) menyebutkan bahwa perlakuan bakteri endofit dapat meningkatkan bobot basah biomassa tanaman. Hal tersebut didukung dengan kemampuan isolat O. intermedium-C939A31 dalam memfiksasi nitrogen dan isolat K. oxytoca-C939A32 dalam melarutkan fosfat maupun memfiksasi nitrogen. Jha dan Kumar (2007) menyebutkan bahwa K. oxytoca-GR3 sebagai bakteri endofit diatrozof mampu melarutkan fosfat dan mefiksasi nitrogen, dan hal tersebut diidentifikasi sebagai penunjang kemampuannya dalam memacu pertumbuhan tanaman. Dalam sistem taksonomi, bakteri genus Ochrobactrum termasuk dalam ordo Rhizobiales. Bakteri dari ordo Rhizobiales banyak dilaporkan sebagai kelompok bakteri pelarut P dan penambat N (Mahal et al. 2014), misalnya O. intermedium isolat C7HL1 pada tebu (Muangthong et al. 2015) dan O. intermedium KC010521 serta KC010522 dari sorgum dan jagung. Bakteri genus Klebsiella juga dilaporkan sebagai bakteri penambat nitrogen (Chen et al. 2013). Ikeda et al. (2010) menyebutkan bahwa kemampuan memfiksasi dan memobilisasi nitrogen, serta pelarutan fosfat dapat berperan dalam memacu pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Chen M, Lin L, Zhang Y, Sun L, An Q. 2013. Genome sequence of Klebsiella oxytoca SA2, an endophytic nitrogen-fixing bacterium isolated from the pioneer grass Psammochloa villosa. Genome Announc. 1(4):e00601–13. DOI: http://dx.doi.org/10.1128/genomeA.00601-133.

Chisholm AD, Xu S. 2012. The Caenorhabditis elegans epidermis as a model skin. II: differentiation and physiological roles. WIREs Dev Biol. 1(6):879–902. DOI: http://dx.doi.org/10.1002/wdev.77.

Denizci AA, Kazan D, Abeln EC, Erarslan A. 2004. Newly isolated Bacillus clausii GMBAE 42: an alkaline protease producer

Page 29: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

67

capable to grow under higly alkaline conditions. J Appl Microbiol. 96:320–327. DOI:http://dx.doi.org/10.1046/j.1365-2672.2003.02153.x.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan Pertanian. 2014. Luas Tanam, Produksi dan Produktivitas Kopi Menurut Provinsi Tahun 2009-2013. http://www.ditjenbun.pertanian.go.id/. [diakses pada 14 Maret 2015].

Gupta M, Kiran S, Gulati A, Singh B, Tewari R. 2012. Isolation and identification of phosphate solubilizing bacteria able to enhance the growth and aloin-A biosynthesis of Aloe barbadensis. Microbiol Res. 167:358–363. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.micres.2012.02.004.

Hallmann J, Quadt-Hallmann A, Miller WG, Sikora RA, Lindow SE. 2001. Endophytic colonization of plants by the biocontrol agent Rhizobium etli G12 in relation to Meloidogyne incognita infection. Phytopathology. 91:415–422. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2001.91.4.415.

Harni R, Khaerati. 2013. Evaluasi bakteri endofit untuk pengendalian nematoda Pratylenchus coffeae pada tanaman kopi. Bull Ristri. 4(2):109–116.

Ikeda S, Okubo T, Anda M, Nakashita H, Yasuda M, Sato S, Kaneko T, Tabata S, Eda S, Momiyama A, Terasawa K, Mitsui H, Minamisawa K. 2010. Community and genome based views of plant associated bacteria: plant bacterial interactions in soybean and rice. Plant Cell Physiol. 51(9):1398–1410. DOI: http://dx.doi.org/10.1093/pcp/pcq119.

Jha PN, Kumar A. 2007. Endophytic colonization of Typha australis by a plant growth-promoting bacterium Klebsiella oxytoca strain GR-3. J Appl Microbiol. 103: 1311–1320. DOI: 10.1111/j.1365-2672.2007.03383.x

Khusnan, Salasia SIO, Soegiyono. 2008. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi fenotip bakteri Staphylococcus aureus dari limbah penyembelihan dan karkas ayam potong. J Vet. 9(1):45–51.

Lane, DJ. 1991. 16S/23S rRNA sequencing. Di dalam: Stackebrandt E, Goodfellow M, editor. Nucleic Acid Techniques in Bacterial Systematic. New York (US): Willey. Hlm 115–175.

Lobna M, Zawam H. 2010. Efficacy of some biocontrol agents on reproduction and development of Meloidogyne incognita infecting tomato. J American Sci. 6(11):495–509.

Mahal R, Schicklberger M, Chakraborty M. 2014. Isolation and classification of nitrogen fixing and phosphate solubizing bacteria. The University of California. http://www.e3s-center.org/ [diakses 2015 Des 11].

Marin M, Wong I, Mena J, Moran R, Pimentel E, Sanchez I, Basulto R, Moreira A. 2013. Zea mays L. plant-growth promotion by Tsukamurella paurometabola strain C-924. Biotecnología Aplicada. 30(2):105–110.

Mekete T, Hallmann J, Hallmann K, Sikora R. 2009. Endophytic bacteria from Ethiopian coffee plants and their potential to antagonise Meloidogyne incognita. Nematology. 11(1):117–127. DOI: http://dx.doi.org/10.1163/156854108X398462.

Mendoza AR, Kiewnick S, Sikora RA. 2008. In vitro activity of Bacillus firmus against the burrowing nematode Radopholus similis, the root-knot nematode Meloidogyne incognita and the stem nematode Ditylenchus dipsaci. Biocont Sci Tech. 18:377–389. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/09583150801952143.

Moghaddam MR, Moghaddam EM, Ravari SB, Rouhani H. 2014. The first report of Bacillus pumilus influence against Meloidogyne javanica in Iran. J Crop Prot. 3(1):105–112.

Muangthong A, Youpensuk S, Rerkasem B. 2015. Isolation and Characterisation of Endophytic Nitrogen Fixing Bacteria in Sugarcane. Tropical Life Sci Res. 26(1):41–51.

Ngoma L, Mogatlanyane K, Babalola OO. 2014. Screening of Endophytic Bacteria towards the Development of Cottage Industry: An in Vitro Study. J Hum Ecol. 47(1): 45–63.

Page 30: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Halimah et al.

68

Nursol M, Syahnen, Ida Roma TUS. 2006. Pengaruh Pemberian Kompos dan Ekstrak Daun Nimba, Pinang Muda dan Tembakau Terhadap Perkembangan Nematoda Akar Kopi. Medan (ID): Balai Pengembangan Proteksi Tanaman Perkebunan (BP2TP) Sumatera Utara, Medan.

Sikora RA, Schafer K, Dababat AA. 2007. Modes of actions associated with microbially induced in-planta suppression of plant-parasitic nematodes. Aust Plant Pathol 36:124–134. DOI: http://dx.doi.org/10.1071/AP07008.

Tian BY, Ke CR, Huang W, Zhang KQ, Huang JZ. 2009. Direct visualization bacterial infection process in nematode hosts by an

improved immunocytochemical method. World J Microbiol Biotech. 25:909–912. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s11274-008-9945-6.

Viglierchio DR, Schmith RV. 1983. On the methodology of nematode extraction from field samples:comparison of methods for soil extraction. JON. 15(3):450–454.

Yim WJ, Poonguzhali S, Madhaiyan M, Palaniappan P, Siddikee M, Sa T. 2009. Characterization of plant-growth promoting diazotrophic bacteria isolated from field grown Chinese cabbage under different fertilization conditions. J Microbiol. 47(2):147–155. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s12275-008-0201-4.

Page 31: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

Volume 12, Nomor 2, Maret 2016Halaman 69–73

DOI: 10.14692/jfi.12.2.69ISSN: 0215-7950

69

KOMUNIKASI SINGKAT

Identifikasi Molekuler Tobacco mosaic virus pada Anggrek di Sleman, Yogyakarta

Molecular Identification of Tobacco mosaic virus on Orchid Plants In Sleman, Yogyakarta

Soesamto Somowiyarjo, Sedyo Hartono*, Sri Sulandari, Sekar Utami PutriUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Tobamovirus merupakan kelompok virus yang memiliki kisaran inang luas, termasuk tanaman anggrek yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi virus dari kelompok Tobamovirus yang menginfeksi anggrek. Isolat virus diambil dari kebun anggrek petani di Sleman, Yogyakarta. Cairan perasan tanaman dari daun anggrek yang bergejala flek nekrosis diinokulasikan pada tanaman indikator Chenopodium amaranticolor. Gejala bercak lokal klorosis pada daun muncul 3 hari setelah inokulasi. Total RNA tanaman diekstraksi dari daun C. amaranticolor bergejala menggunakan kit komersial dan cDNA disintesis dari RNA total menggunakan primer oligo d(T). Amplifikasi cDNA menggunakan primer spesifik gen movement protein TMV-1F dan TMV-2R berhasil mendapatkan amplikon berukuran ± 422 pb. Runutan nukleotida amplikon tersebut memiliki homologi 98% dengan Tobacco mosaic virus isolat Yongren-2 dari Cina.

Kata kunci: Chenopodium amaranticolor , polymerase chain reaction, Tobamovirus

ABSTRACT

Tobamovirus is a group of virus with a wide host range, including orchid plant which considered as an economically important plant. This research aimed to identify Tobamovirus infecting orchids. Virus isolates were collected from orchid nursery in Sleman, Yogyakarta. Plant extract from orchid showing necrotic flex symptom was inoculated to indicator plants Chenopodium amaranticolor. Chlorotic local lesion symptoms occurred within 3 days after inoculation. RNA total from symptomatic C. amaranticolor was extracted by using a commercial kit. cDNA was synthesized using oligo d(T) primer. Amplification of cDNA using partial movement protein specific primers TMV-1F and TMV-2R was successfully amplified the amplicon with size ± 422 bp. The nucleotide sequences of this amplicon showed highest DNA homology (98%) with Tobacco mosaic virus Yongren-2 isolat from China.

Key words: Chenopodium amaranticolor , polymerase chain reaction, Tobamovirus

*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jalan Flora 1 Bulaksumur Yogyakarta 55281Tel: 0274-523926, Faks: 0274-523926, Surel: [email protected]

Page 32: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Somowiyarjo et al.

70

Anggrek adalah salah satu tanaman hias yang bernilai ekonomi tinggi, namun budi daya anggrek di Indonesia masih menemui berbagai kendala antara lain infeksi patogen seperti virus. Virus-virus seperti Orchid fleck virus, Cucumber mosaic virus, Bean yellow mosaic virus, dan kelompok Potyvirus dapat menginfeksi anggrek, namun dengan persentase relatif rendah dibandingkan dengan Cymbidium mosaic virus (CymMV) dan Odontoglossum ringspot virus (ORSV) (Khentry et al. 2006; Zheng et al. 2008; Urban dan Fajerka 2008). Gejala infeksi ganda CymMV dan ORSV pada daun anggrek dari kelompok Encyclia, Oncidium, Shomburghia, Brassia, Guarianthe, Cattleya, Epidendrum, Vanilla, Xilobium, Laelia, dan Brassocattleya berupa bercak kuning, ada garis atau semburat kuning, klorosis dan bercak hitam nekrosis telah dilaporkan terjadi di Meksiko (Valadares dan Almaraz 2012).

Pada awal tahun 2015 di pertanaman anggrek milik petani dusun Kentungan, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ditemukan adanya gejala flek nekrosis cokelat kehitaman pada daun anggrek Catleya (Cattleya sp.) dengan intensitas penyakit antara 20–80%. Gejala penyakit ini, pada mulanya oleh petani, diduga disebabkan oleh cendawan. Berdasarkan pada pengamatan perkembangan gejala di lapangan, gejala penyakit ini hampir sama dengan infeksi CymMV atau ORSV, dan Tobacco mosaic virus strain Orchid (TMV-O). Kedua

virus tersebut merupakan patogen utama pada anggrek (Muharam et al. 2013).

Gejala pada daun muda berupa bintik hitam kecil seperti nekrosis lokal (Gambar 1a) yang berkembang menjadi flek nekrosis yang merata di permukaan daun (Gambar 1b). Gejala ini mirip dengan gejala yang disebabkan oleh ORSV (TMV-O). Penelitian sebelumnya melaporkan adanya infeksi ganda penyakit anggrek yang disebabkan oleh TMV-O dan CymMV dengan intesitas penyakit berturut-turut 61.63 dan 52% (Muharam et al. 2013). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi virus penyebab gejala flek nekrosis cokelat kehitaman yang menginfeksi anggrek.

Sampel daun anggrek (Cattleya sp.)bergejala flek nekrosis diambil dan ditularkan secara mekanis ke tanaman C. amaranticolor mengikuti metode inokulasi mekanis yang dilakukan oleh Kurnianingsih dan Damayanti (2012).

Ekstraksi RNA total dilakukan dari 0.1 g sampel daun sakit menggunakan kit komersial Geneaid. RNA total selanjutnya digunakan sebagai cetakan untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA menggunakan total volume 12.5 µL dengan protokol sesuai pabrikan (AMV Promega). Tahapan sintesis cDNA dilakukan dengan komposisi pereaksi terdiri atas 1 µL RNA, 0.5 µL 10 mM primer d(T) dan 3.5 µL air bebas nuklease, dicampur hingga homogen, kemudian diinkubasikan pada suhu 70 °C selama 5 menit. Larutan tersebut didinginkan selama 5 menit, selanjutnya digoyang supaya

Gambar 1 Gejala Tobacco mosaic virus pada anggrek dan Chenopodium amaranticolor. a, Gejala nekrosis pada daun anggrek muda; b, Flek nekrosis pada daun anggrek dewasa; c, Bercak lokal klorosis pada daun C. amaranticolor. Gejala ditunjukkan dengan tanda panah merah.

Page 33: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Somowiyarjo et al.

71

larutan mengumpul di dasar. Larutan ditambahi 2.5 µL 5× bufer reaksi transkip balik, 1.25 µL 10 mM dNTP, 0.5 µL RNasin®Ribonuklease inhibitor, 2.5 µL natrium pyrophosphate, 0.75 µL AMV RT dan diinkubasi pada suhu 42 °C selama 60 menit.

RT-PCR dilakukan menggunakan KappaTaq polymerase dengan komposisi premixPCR sesuai yang dianjurkan pembuat enzim (Geneaid) menggunakan primer spesifikgen internal movement protein (MP)TMV-1F (5’-GACCTGACAAAAATGGAG AAGATCT-3’) dan TMV-2 (5’-GAAAGCGG ACAGAAACCCGCTG-3’) dengan ukuranamplikon ± 422 pb. Amplifikasi dilakukan dengan program pra-denaturasi pada suhu 94 °C selama 5 menit dilanjutkan dengan 35 siklus denaturasi pada suhu 94 °C selama 30 detik, aneling pada suhu 62 °C selama 45 detik, ekstensi pada suhu 72 °C selama 1 menit dan ekstensi akhir pada suhu 72 °C selama 5 menit dan penyelesaian pada suhu 4 °C selama 10 menit (Da Silva et al. 2008).

Pita DNA target yang diperoleh kemudian dikirimkan ke First Base Malaysia untuk perunutan nukleotidanya. Sikuen nukleotida yang didapatkan dianalisis terhadap nukleotida yang terdeposit pada GenBank menggunakan perangkat lunak Clustal W Bioedit.

Penularan secara mekanis pada tanaman indikator C. amaranticolor menunjukkan gejala bercak lokal klorosis pada hari ke-3 setelah inokulasi (Gambar 1c). Kemunculan gejala yang cepat mengindikasikan sifat virus dari kelompok Tobamovirus.

RT-PCR menggunakan primer spesifik TMV-1F/TMV-2R berhasil mengamplifikasi DNA target dengan ukuran ± 422 pb (Gambar 2). Perunutan nukleotida dari hasil PCR ini menunjukkan adanya hubungan homologi DNA tertinggi (98%) dengan TMV isolat Yongren-2 dari Cina (Tabel 1) yang menginfeksi tembakau. Sebelumnya TMV dilaporkan menyebabkan gejala yang ringan pada tembakau dan pada isolat TMV ini ditemukan 55 nt yang berbeda pada ORF 126/183-kDa dan 30-kDa (Holt et al. 1990). Namun, infeksi TMV pada anggrek Cattleya dalam penelitian ini menyebabkan

gejala flek nekrosis cokelat kehitaman. Hal ini menunjukkan virus yang sama dapat menyebabkan gejala yang berbeda pada inang yang berbeda. Perlu dirunut lebih lanjut ORF 126/183-kDa dan 30-kDa TMV pada anggrek ini yang mungkin berperan menyebabkan perbedaan gejala ini.

Tobamovirus yang menginfeksi anggrek adalah TMV-O (ORSV) dengan ukuran panjang partikel 18-300 nm (Navalinskiene et al. 2005). ORSV sebelumnya telah dilaporkan menginfeksi anggrek Dendrobium di Gunung Sindur, Bogor dengan gejala nekrosis cokelat pada bagian bawah daun (Lakani et al. 2010), dan TMV-O dilaporkan menginfeksi pada anggrek komersial di Jawa dan Bali (Muharam et al. 2013). TMV pada anggrek di Sleman ini berbeda dengan TMV-O (ORSV) dilihat dari homologi nukleotidanya hanya 75% (Tabel 1). TMV pada anggrek di Sleman ini kemungkinan masuk ke Indonesia melalui bibit anggrek impor. Deteksi dini merupakan salah satu cara mencegah masuknya bibit anggrek yang membawa virus (Zetler et al. 1990). Sanitasi disertai dengan disinfeksi alat dan tangan pekerja perlu dilakukan untuk mencegah penularan di lapangan (Khentry et al. 2006).

Gambar 2 Visualisasi fragmen DNA hasil RT-PCR TMVdari sampel daun anggrek bergejala di Sleman, Yogyakarta. 1, sampel; M, penanda DNA 100 pb (Geneaid).

422 pb

1 M

Page 34: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Somowiyarjo et al.

72

Berdasarkan hasil deteksi dan analisis runutan DNA gen movement protein, dapat disimpulkan bahwa daun anggrek yang bergejala flek nekrosis yang merata pada permukaan daun anggrek di Sleman, Yogyakarta berasosiasi dengan infeksi Tobacco mosaic virus dengan homologi tertinggi dengan TMV isolat Yongren-2 dari Cina.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini sebagian didanai oleh Proyek Hibah Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Tahun Anggaran 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Da Silva RM, de Soutol ER, Pedrosol JC, Arakava R, Almeida AMR, Barbozal AAL, Vidal JB. 2008. Detection and identification of TMV infecting tomato under protected cultivation in Parana State. Braz Arch Biol Technol. 51(5):903–909. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/S1516-89132008000500005.

Holt CA, Hodgson RA, Nelson RS. 1990. Characterization of the masked strain of tobacco mosaic virus: identification of the region responsible for symptom attenuation by analysis of an infectious cDNA clone. Mol Plant Interact. 3(6):417–423. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/MPMI-3-417.

Khentry Y, Paradornuwat A, Tantiwiwat S, Phansir, Thavecaai N. 2006. Incidence of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus in Dendrobium spp. in Thailand. Crop Prot. 25(9):926–932. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.cropro.2005.12.002.

Kurnianingsih L, Damayanti TA. 2012. Lima ekstrak tumbuhan untuk menekan infeksi Bean common mosaic virus pada tanaman kacang panjang. J Fitopatol Indones. 8(6):155–160.

Lakani I, Suastika G, Mattjik N, Damayanti TA. 2010. Identification and molecular characterization of Odontoglossum Ringspot Virus (ORSV) from Bogor, Indonesia. J Hayati BioSci. 17(2):101–104. DOI: http://dx.doi.org/10.4308/hjb.17.2.101.

Muharam A, Sulyo Y, Rahardjo IB, Diningsih E, Suryanah. 2013. Studi penyebaran Tobacco Mosaic Virus Strain Orchid dan Cymbidium Mosaic Virus dengan metode DAS ELISA pada tanaman anggrek komersial di Pulau Jawa dan Bali serta teknologi pembebasannya. J Hort. 23(1):56–64.

Navalinskiene M, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Viral diseases of flower plants: 16 identification of viruses affecting orchids (Cymbidium Sw.). Biologija. 2:29–34.

Urban TC, Fajerka EH. 2008. The morphogenetic capability and the viability

Isolat virusa Homologi1 2 3 4 5 6 7 8

1. TMV ID2. ORSV 77 ID3. ORSV 75 98 ID4. ORSV 76 98 99 ID5. ReMV 83 68 68 68 ID6. TMV 98 76 75 76 83 ID7. TMV 97 77 76 77 83 98 ID8. TMV 97 69 69 69 81 98 98 ID

Tabel 1 Homologi sikuen nukleotida TMV yang menginfeksi tanaman anggrek di Sleman, Yogyakarta dengan beberapa sikuen anggota Tobamovirus yang tersedia di GenBank

a Isolat 2, ORSV USA (NC001728); Isolat 3, ORSV AUS (KF855954); Isolat 4, ORSV USA (AF033848); Isolat 5, ReMV (Rehmannia Mosaic Virus) Jepang (AB628188); isolat 6, TMV Cina_Yongren-2 (HE818458); Isolat 7, TMV Cina_Fumeng (HE818416) dan; Isolat 8, TMV USA (AF273221).

Page 35: Ketahanan Sepuluh Genotipe Kedelai terhadap Penyakit Karatfp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.2.pdf · Inokulasi pada tanaman berumur ... Laporan pertama penyakit

J Fitopatol Indones Somowiyarjo et al.

of regenerants in micropropagated orchids hybrids infected with viral pathogens. Folia Hort. 20(2):93–102. DOI: http://dx.doi.org/10.2478/fhort-2013-0118.

Valadares AGS, Almaraz RDLT. 2012. First Report of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus in orchids in Mexico. Plant Dis. 96(3):464. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-08-11-0655.

Zetller FW, Ko Nj, Wisler GC, Elliot MS, Wong SM. 1990. Viruses of orchids and

their controls. Plant Dis. 74 (9):621–626. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-74-0621.

Zheng YX, Chen CC, Chen YK, Jan FJ. 2008. Identification and characterization of Potyvirus causing chlorotic spots on Phalaenopsis orchids. Eur J Plant Pathol. 121:87–95. DOI: 1http://dx.doi.org/10.1007/s10658-008-9281-6.

73