ketahanan pangan

44
ASSALAMU’ALAIKUM...

Upload: yuni-qurrota-ayun

Post on 20-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ketahanan pangan

TRANSCRIPT

ASSALAMU’ALAIKUM...

KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA DAN DI CHINA

Shelvi Putri AyuCresha Gina

FitrianyYuni Qurrota AyunMiftahul AwaluddinMuhamad Rifal

Sidiq

KONDISI KETAHANAN PANGAN INDONESIA

Kondisi ketahanan pangan di Indonesia masih lemah.

Hal ini ditunjukan oleh:

Jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi <

90% dari rekomendasi 2000 kkal/kap/hari) dan

sangat rawan pangan (tingkat konsumsi < 70% dari

rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-

masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun

2002.

Anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar,

yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002

dan 2003.

Bagi Indonesia ketahanan pangan masih sebatas konsep.

Pada praktiknya permasalahan ketahanan pangan di

Indonesia masih terus terjadi, masalah ini mencakup empat

aspek.

Aspek pertama ialah aspek produksi dan ketersediaan pangan.

Ketahanan pangan menghendaki ketersediaan pangan yang

cukup bagi seluruh penduduk dan setiap rumah tangga.

Dalam arti setiap penduduk dan rumah tangga mampu untuk mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup. Permasalahan aspek produksi diawali dengan ketidak cukupan produksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya. Permasalahan ini akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan.

Selama ini, permasalahan ini dapat diatasi dengan

import bahan pangan tersebut. Namun, hal ini akan

mengancam stabilitas ketahanan pangan di Indonesia

dan juga mengancam produk dalam negeri.

Aspek selanjutnya adalah aspek distribusi.

Permasalahan di dalam pembangunan ketahanan

pangan adalah distribusi pangan dari daerah sentral

produksi ke konsumen di suatu wilayah. Distribusi

adalah suatu proses pengangkutan bahan pangan dari

suatu tempat ke tempat lain, biasanya dari produsen

ke konsumen.

Berikut ini ada empat permasalahan pada distribusi pangan

yang dihadapi,

*pertama dukungan infrastruktur, yaitu kurangnya dukungan

akses terhadap pembangunan sarana jalan, jembatan, dan

lainnya.

*Kedua, sarana transportasi, yakni kurangnya perhatian

pemerintah dan masyarakat di dalam peeliharaan sarana

transportasi kita.

*Ketiga adalah sistem transportasi, yakni sistem transportasi

negara kita yang masih kurang efektif dan efisien. Selain itu

juga kurangnya koordinasi antara setiap moda transportasi

mengakibatkan bahan pangan yang diangkut sering

terlambat sampai ke tujuan.

*Keempat adalah masalah keamanan dan pungutan

liar, yaitu pungutan liar yang diakukan oleh preman

sepanjang jalur transportasi di Indonesia masih

sering terjadi.

Aspek selanjutnya adalah aspek konsumsi. Permasalahan dari aspek konsumsi diawali dengan suatu keadaan dimana masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi terhadap bahan pangan beras.

Berdasarkan data tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras sekitar 134 kg/kapita. Walaupun kita sadar, bahwa beras merupakan bahan pokok utama masyarakat Indonesia, keadaan ini dapat mengancam ketahanan pangan negara kita. Jika kita melihat bahwa produksi beras di Indonesia dari tahun ke tahun yang menurun tidak diimbangi dengan konsumsi masyarakat terhadap beras yang terus meningkat.

Pada dasarnya, permasalahan ketahanan

pangan di Indonesia sebenarnya tidak perlu

menjadi masalah. Hal ini dikarenakan, Indonesia

sebagai negara agraris memiliki lahan yang

sangat banyak dan subur, maka seharusnya

pangannya terbilang surplus. Namun, yang

terjadi adalah ketahanan pangan di Indonesia

saat ini menjadi masalah serius.

Ada banyak faktor, misalnya karena konversi lahan pertanian yang tinggi dan tingkat pertumbuhan penduduk yang hampir tidak terkendali. Kemajuan tingkat jumlah penduduk Indonesia yang pesat sepertinya tidak diimbangi dengan sarana dan prasaran yang membantu. Melihat pada kondisi global misalnya, banyaknya jumlah penduduk sekarang juga menjadi masalah.

Jumlah yang sangat besar ini sepertinya tidak diimbangi dengan kemampuan lahan pertanian di indoensia. Konversi besar-besaran lahan pertanian ke non pertanian menambah buruk kondisi pangan di Indonesia.

Keterbatasan jumlah lahan juga berakibat pada kinerja para penggarap lahan di mana hanya menggarap sedikit lahan dan kesejahteraannya belum tentu juga terjamin. Sedangkan tuntutan kepada pertanian untuk menghasilkan komoditi pangan sangatlah besar mengingat populasi penduduk Indonesia ynag terus meningkat. Sebagai contoh luas lahan pertanian Indonesia sama dengan Vietnam, tetapi jumlah penduduk Negara ini hampir tiga kali lipat jumlah penduduk mereka dan pada akhirnya setiap petani di Indonesia hanya bisa memiliki lahan yang luasnya terbatas.

Menurut data pengamatan, meskipun 70 persen penduduk Indonesia berprofesi petani, namun rata-rata hanya memiliki 0,3 hektar lahan untuk digarap. Sehingga meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap pesat, kekurangan pangan dan nutrisi masih sering terjadi.

Selain masalah tersebut,setidaknya ada beberapa masalah ketahanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia, antara lain:

masalah sistem yang belum terintegrasi dengan baik kesulitan untuk meningkatkan sejumlah komoditi

unggulan pertanian sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan

dan logistik nasional yang belum efisien mahalnya ongkos transportasi sering ditemuinya kasus kekurangan produksi di

sejumlah daerah Keberagaman komoditi pertanian yang menjadi

unggulan setiap daerah di Indonesia terlenyapkan demi program swasembada beras

masalah stabilitas harga.

Masalah pangan ini harus segera diatasi karena menyangkut dengan kebutuhan semua orang terutama di Indonesia. Selain itu masalah-masalah lain yang terkait dengan pangan ini juga diperlukan solusi agar nantinya dapat menunjang kelancaran dalam berkehidupan social.

Analisis SWOT sendiri merupakan sebuah metode penganalisisan dimana ditinjau dari :

*segi kekuatan (strange)* kelemahan (weakness)* kesempatan (opportunity)

* hambatan (Threat).

Dalam segi kekuatan, sesungguhnya Indonesia seharusnya memiliki peluang yang bagus untuk meningkatkan ketahanan pangannya. Hal ini dikarenakan oleh luas wilayah Indonesia sendiri yang sangat luas jika dibandingkan China. Dengan luas wilayah yang luas ini, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas panen produk pangannya, seperti beras, jagung, dan kebutuhan pokok lain. Kekuatan dari China sendiri berada pada banyaknya SDM yang berkompeten dalam bidang pengolahan dan penginovasian pangan, sehingga banyak terobosan-terobosan yang dilakukan guna meningkatkan ketahanan pangannya.

Analisis kedua yaitu kekurangan atau weakness. Di Indonesia sendiri, kelemahan berada pada kurang atau sedikitnya SDM yang berkompeten di bidang swasembada pangan. Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, Indonesia masih kekurangan SDM. Hal ini dikarenakan oleh tingkat pendidikan di Indonesia sendiri masih rendah, dengan banyaknya masyarakat yang kurang mampu yang memilih untuk berhenti bersekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Sedangkan kelemahan dari China adalah semakin berkurangnya lahan pertanian karena dialihfungsikan menjadi hunian. Dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk China, maka secara tidak langsung mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Sehingga semakin sedikitnya lahan pertanian.

Analisis berikutnya tentang kesempatan atau peluang. Kesempatan atau peluang dimiliki Negara Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas panen bahan pangan. Dilihat dari aspek lahan pertanian, iklim dan keanekaragaman bahan pangan yang bersifat lokal, sesungguhnya dapat membantu memperbaiki ketahanan pangan Indonesia. Dengan mengurangi konsumsi pangan luar dan berpindah mengkonsumsi pangan lokal maka dapat membantu kesejahteraan para petani, sehingga dapat membantu meningkatkan taraf hidupnya. Peluang yang dimiliki oleh China, kembali lagi pada jumlah SDM yang berkualitas sehingga dapat menetaskan terobosan-terobosan tentang pengolahan pangan.

Berikutnya adalah analisa mengenai hambatan yang menghalangi meningkatnya kualitas ketahanan pangan di Indonesia. Salah satu faktor penghambat adalah kurangnya SDM yang berkompetent di bidang pangan. Hambatan ini dapat di atasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia terutama di bidang pangan. Di Cina sendiri hambatan yang di hadapi adalah kurangnya lahan untuk proses penanaman. Namun dengan banyaknya SDM yang berkopentent di bidang pangan dapat membantu meningkatkan mutu pangan dengan terobosan-terobosan baru.

SOLUSI

Menghadapi tantangan ketahanan pangan yang dirasakan oleh Indonesia saat ini, diperlukan beberapa cara. Mulai dari peningkatan ketahanan pangan baik dalam ketersediaan, stabilitas, aksesabilitas, konsumsi sehingga dapat dilihat kemajuan pertumbuhan ekonomi dan suatu individu dapat memiliki daya saing individu dan bangsa.

Mungkin sulit untuk mengerem laju penduduk yang terjadi di Indonesia dan juga menambah jumlah lahan pertanian yang ada karena berbagai faktor dan konversi besar-besaran yang terjadi. Namun yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti dari kondisi pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia antara lain adalah langkah strategi penerapan dalam menyelesaikan ketahanan pangan pada total luas lahannya, upaya untuk fertilizer/pemupukan dan bibit unggulnya. Luas lahan yang merupakan konversi dari sawah harus diperhatikan masalah tata ruangnya. Sementara itu, pada sistem pemupukannya harus menggunakan bahan organik dan harus diperhatikan formulanya. Selain itu perlu diperhatikan mengenai pengelolaan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia dan teknologi untuk kemajuan pengan dan pertanian Indonesia.

Teknologi jadi bagian penting dalam pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan. Teknologi memang hanya tools atau alat tetapi perlu dipikirkan bagaimana kita dapat membantu para petani kita dapat meningkatkan kualitas produk-produk mereka. Teknologi perlu diperhatikan mengingat untuk mengimbangi  berkurangnya lahan pertanian.

Dengan melihat contoh-contoh Negara lain yang belahan sempit namun teknologinya mampu menolong masalah tersebut dapat memberikan motivasi bagi Indonesia. Kualitas para petani perlu juga perhatian untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Para petani tersebut perlu diberikan pengetahuan agar mampu memajukan jumlah komoditi pertanian. Seperti contohnya diberikan pelatihan bagi para petani agar mereka dapat memberi perlindungan lebih aman dan efektif tanaman mereka dari serangan hama, penyakit, dan lainnya.

Cara lainnya bisa dengan mengembalikan lagi atau melestarikan kebisaaan makanan pokok di tiap daerah. Seharusnya masyarakat suatu daerah dibiarkan mengkomsumsi bahan makanan yang bisa dikonsumsi secara turun temurun. Semua itu bisa terlaksana asalkan ada Goodwill dari masyarakat Indonesia ini mulai dari presiden, menteri dan seluruh rakyat untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki. Atau dengan mengganti beras dengan bahan makanan berkomposisi sama atau lebih bergizi seperti sayur-sayuran dan umbi-umbian. Dengan mengembangkan keunggulan komoditi pertanian yang dimiliki oleh daerah, Indonesia tidak perlu ekspor apalagi impor.

Jumlah penduduk 240 juta dapat menjadi pasar yang luar bisaa bagi Indonesia. Mungkin ekspor bisa menjadi tujuan pada akhirnya, tetapi memenuhi kebutuhan dalam negeri lebih utama yaitu dengan memanfaatkan keunggulan komoditi masing-masing daerah. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan Jagung, Jawa dapat membelinya ke Sulawesi atau Nusa Tenggara. Untuk memenuhi kebutuhan bawang maka Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain dapat membeli ke Jawa. Jadi harus ada kekhususan komoditi pertanian suatu daerah sebagai komoditi pertanian unggulan.

REDUKSI MAKNA ATAS PANGAN

Revolusi hijau yang menjadi panglima bagi kebijakan pertanian di Indonesia menuai buahnya pada tahun 1984, pada saat Indonesia dinyatakan telah mampu untuk melakukan swasembada beras. Namun Swasembada beras, swasembada pangan ataupun ketahanan pangan sebenarnya intinya memiliki tujuan yang sama, yakni  terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat baik dalam dimensi ketersediaan, stabilitas dan akses. Akan tetapi muncul persoalan tatkala pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat disamakan dengan swasembada beras. Pemahaman ketahanan pangan sebagai swasembada beras semata mengakibatkan pola pendekatan yang keliru atas ketahanan pangan itu sendiri. 

Perbedaan pemahaman tersebut merebak ketika pemerintah pada permulaan tahun 1970-an, mengartikan ketahanan pangan sebagai ketahanan beras atau swasembada beras yang diwujudkan dengan pencapaian produksi beras sesuai kebutuhan jumlah penduduk Indonesia. Pemerintah mengupayakan pemenuhan kebutuhan pangan seluruh penduduk Indonesia melalui penyediaan kebutuhan beras. Pemilihan beras sebagai bahan utama lebih dikarenakan beras merupakan sumber pangan pokok hampir setengah jumlah penduduk Indonesia . Selain itu, tanaman padi memiliki beberapa kelebihan seperti ; dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropics, dari dataran rendah sampai dataran tinggi;dapat dibudidayakan secara tradisional; teknologi penyimpanan; pengolahan dan prosesingnya lebih mudah; serta keanekaragaman varietasnya cukup tinggi.

Untuk mencapai ketercukupan stok beras nasional, pemerintah mengupayakan penerapan revolusi hijau di bidang pertanian melalui program BIMAS, INSUS, INMAS, SUPRA INSUS. Program-program tersebut mensyaratkan bahwa untuk meningkatkan produksi beras petani harus menerapkan masukan teknologi dari luas usaha tani seperti : bibit, pestisida, pupuk kimia, alat pertanian dan modal. Sehingga program ini mampu mengubah status Indonesia dari pengimpor beras  terbesar menjadi negara swasemebada beras pada tahun 1984. Meskipun setelah itu, Indonesia kembali melakukan import beras.

DIVERSIFIKASI PANGAN, SEBUAH ALTERNATIF

Kebijakan pemerintah di bidang pangan selama ini belum terlalu bagus. Keluhan petani akan rendahnya harga gabah serta keresahan konsumen tentang tingginya harga beras menjadi salah satu indikator kelemahan kebijakan pangan nasional. Idealnya, kebijakan pangan menguntungkan petani sebagai produsen dan konsumen sebagai pemakai. Apa pun yang akan dilakukan pemerintah di bidang pangan, kepentingan dua komponen itu tidak bisa diabaikan

Menurut Prof Dr Mansyur Ramly

Bahwa kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah kerap salah arah. Apalagi jika impor itu dilakukan di saat-saat panen raya. Seharusnya kegiatan impor beras ditekan di kala memasuki musim panen raya, karena jika beras impor masuk di saat panen raya, beras lokal pasti tidak laku. Hal ini disebabkan karena  harga beras impor lebih murah dibanding beras lokal. Sebaliknya, jika memasuki musim paceklik, pemerintah dalam hal ini Bulog harus melakukan berbagai upaya antisipasi. Salah satunya mengimpor beras untuk persedian pangan nasional.

Jika bergantung pada mekanisme pasar, harga beras di saat musim panen akan anjlok. Sementara untuk kepentingan konsumen, pemerintah juga harus menjaga standar harga terutama di musim paceklik. Tanpa keterlibatan pemerintah dalam mengatur harga, konsumen bisa mengeluh dan menjerit pada musim paceklik. Sebab, lazimnya sesuai mekanisme pasar, harga beras akan menjadi mahal di saat paceklik.

Ketika terjadi penurunan produksi padi sebesar 1,7 juta ton (atau sekitar 3,33% pada tahun 1997, masyarakat mulai resah. Pada saat yang bersamaan, anomali iklim El Nino yang telah menyebabkan turunnya produksi padi disusul oleh krisis ekonomi yang menimbulkan kenaikan harga dan kepanikan yang luar biasa.

Melihat rumitnya persoalan beras tersebut, maka upaya untuk melakukan diversifikasi pangan menjadi alternative yang sangat mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam yang ada. Sehingga anggapan masyarakat dan pemerintah yang selama ini mengklaim hanya beras satu-satunya sebagai bahan pangan dan sumber protein sudah harus diubah. Ada banyak bahan pangan lain yang juga memiliki karbohidrat di samping beras. Misalnya saja sagu, ubi jalar, sukun dan bahan pangan lainnya.

OTONOMI DAERAH, SEBUAH PELUANG DIVERSIFIKASI

Diversifikasi pangan adalah kegiatan dan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghargai keragaman budaya pangan, termasuk pola pangan, dan penghargaan atas keragaman sumber daya pangan. Dengan demikian, diversifikasi tidak hanya sekadar mengubah pola pangan dan meningkatkan kualitas konsumsi pangan, tetapi juga mencakup aspek-aspek penghargaan terhadap keragaman budaya nusantara. Diversifikasi diselenggarakan untuk memaksimalkan pemanfaatan keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal serta untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat.

Seiring bergulirnya otonomi daerah pada tahun 1999, maka angin bagi perubahan ke arah diverfisikasi pangan merupakan sebuah keniscayaan. Tentu hal ini akan memberikan harapan adanya dampak positif dari desentralisasi kebijakan sehingga menghasilkam proses kehidupan ekonomi yang lebih efisien karena adanya keunggulan komparatif local untuk komoditi yang berbeda-beda.

Selanjutnya otonomi daerah ini memberikan otoritas kepada pemerintah setempat untuk menggali kembali bahan pangan selain beras seperti sagu, jagung, ketela pohon dan umbi-umbian. Demikian pula dengan kelembagaan local yang pernah berbeperan besar dalam ketahanan pangan desa dan tumah tangga perlu digali kembali seperti lumbung desa, lumbung rumah tangga , lumbung hidup dan sebagainya.

Apa yang disebutkan  diatas, sangat mungkin dilakukan. Kebijakan tentang pangan tidak lagi tergantung pada pemerintah pusat, namun lebih kepada inisiatif daerah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks kebutuhan daerahnya. Sehingga upaya kreatif dari masing-masing daerah untuk menggali kembali potensi sumberdaya local harus dilakukan. Harapan ini tentulah tidak salah, karena politik pangan yang sentralistik  melalui tangan Bulog tidak mampu menjamin ketersediaan bahan pangan. Bahkan pada tahun 2000 Indonesia tercatat sebagai negara pengimport beras terbesar di dunia. Realitas ini tentu tidak terlepas dari adanya permintaan di dalam negeri yang semakin meningkat, sementara produksi dalam negeri mengalami penurunan akibat gagal panen dan kerusakan lingkungan.

Namun demikian, Bulog sebagai intrumen yang mengatur distribusi pangan, stabilisasi harga, pengelolaan stock dalam kasus ini ternyata tidak mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Hal ini tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi Bulog, misalnya saja persoalan korupsi, Kolusi dan Nepotime demikian juga maslaah monopoli dan ini adalah cermin dari kebijakan yang sentralistis dan intervensi negara yang terlalu jauh terhadap persoalan pangan.  

Demikian suram potret  persoalan pangan pada saat rezim sentralistis berlaku. Namun apa yang dipaparkan tersebut hanyalah gambaran umum dari apa yang sesungguhnya terjadi. Deretan persoalan spesifik pada masing-masing wilayah juga masihlah panjang, sehingga penyelesaian persoalan pangan ini tidak dapat dipaksakan secara general, namun lebih spesifik  dan terintegrasi satu sama lain.. Sehingga penanganan persoalan pangan tidak saja persoalan pendistribusian pangan, namun juga persoalan kecukupan pangan. Hingga kemudian persoalan pangan bukan sebagai bagian dari kebijakan politik negara maupun konglomerasi, namun didepolitisasikan dan diserahkan kepada rakyat. Artinya persoalan pangan dalam produksi dan distribusinya berada dalam control dan pengelolaan rakyat. Kalau pangan masih dalam kepentingan politis, maka pangan bukanlah untuk mereka yang lapar, namun untuk mereka yang sedang berkuasa.

Hingga akhirnya, dengan iklim otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah maka membuka peluang bagi penyerahan persoalan distribusi dan produksi di bawah control dan pengelolaan oleh rakyat. Penyerahan persoalan pangan kepada rakyat hanya dapat efektif dilakukan dengan adanya desentralisasi karena disparitas persoalan pada daerah dapat diselesaikan hanya pada daerah,  dan tidak lagi dilarikan ke pusat. Selanjutnya alternative diversifikasi pangan oleh daerah sangat mungkin dilakukan oleh masing – masing daerah tanpa harus melakukan penyeragaman dengan daerah lain. Namun apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan daerah dengan menggali potensi sumberdaya local menjadi kebijakan daerah tersebut.

MENGGALI POTENSI LOCAL UNTUK KETAHANAN PANGAN

Keanekaragaman hayati sebagai penopang keseimbangan ekosistem yang menjadi sumber penopang keragaman pangan telah hilang oleh system pertanian yang monokultur. Hilangnya keanekaragaman hayati di lahan pertanian lantaran hanya mengandalkan beras sebagai tumpuan ketahanan pangan sangatlah beresiko bagi kehidupan masyarakat. Dengan keberagaman tanaman, persediaan pangan dapat terjaga sehingga bila sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen masyarakat  tidak kesulitan untuk memperoleh sumber pangan pengganti. Namun sebaliknya, penerapan pola pertanian monokultur akan menyebabkan sulitnya pencarian sumber pangan pengganti bila terjadi kegagalan panen.

Potensi keanekaragaman hayati tidak  langsung begitu saja dimanfaatkan. Namun diperlukan strategi untuk mengantsipasi hilangnya keanekaragaman hayati yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena makin berkembangnya rekayasa genetika  dan bioteknologi. Salah satu kegiatan bioteknologi untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetic antara lain adalah menciptakan organisme baru melalui rekayasa genetic. Upaya inilah yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di berbagai wilayah di Indonesia.

Hilangnya keanekaragaman hayati di negeri ini memberikan insiparasi untuk melakukan pengamanan  hayati oleh sebuah komunitas. Upaya pengamanan hayati ini harus mendapat dukungan dari pemerintah  disamping usaha masyarakat untuk saling bekerjasama dalam melakukan usaha ini. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melakukan inventarisasi potensi keanekaragaman hayati wilayah tersebut. Hasil inventarisasi varietas tersebut memberikan alternative bagi didorongnya pemanfaatan varietas lain disamping apa yang selama ini dikonsumsi. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap satu sumberdaya, sehingga kesalahan monokultur yang pernah dilakukan tidak terjadi lagi.

Kedua, dalam kasus komunitas tertentu, bahkan mereka sangat tergantung pada keanekaragaman tanaman untuk mempertahankan produksi dan ketahanan pangan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko dalam penyimpanan bahan pangan. Mereka secara tradisional saling bertukar jenis tumbuhan, dengan harapan bila terjadi percampuran berbagai jenis tanaman, akan memunculkan jenis baru. Hal itu memberikan keuntungan bagi petani bagi petani dalam pengembangan keanekaragaman  dan pengadaptasian variasi-variasi baru dengan pola morfologi dan fisiologi yang khusus dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sehingga proses pengkayaan hayati dapat berlangsung secara alami tanpa rekayasa genetic yang syarat akan dampak negatifnya.

KESIMPULAN

Dari hasil analisa didapatkan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk mempu memperkuat ketahanan pangannya bila ditinjau dari beberapa aspek. Begitu pula dengan China. Mungkin China lebih maju satu langkah karena sudah mampu menghasilkan hasil panen yang cukup banyak sehingga mampu memenuhi kebutuhan akan barang pangan, sedangkan Indonesia masih dalam tahap proses untuk menuju ke situ. Tapi tidak menutup kemungkinan pula apabila program pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan Bangsa kita berhasil, kita mungkin bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional, tapi kita juga dapat mengimportnya ke Negara yang membutuhkan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa.