kesepian lansia yang tinggal bersama anggota...
TRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Menurut Hurlock (1980), istilah menua adalah perubahan-
perubahan yang sesuai dengan hukum kodrat manusia yang
memengaruhi struktur baik fisik maupun mentalnya dan
keberfungsiannya juga. Ada banyak batasan umur lansia yang ditentukan
para ahli. Lansia adalah masa dewasa akhir dimulai dari usia 60 tahun
sampai 120 tahunan, serta memiliki rentang kehidupan yang paling
panjang dalam periode kehidupan manusia (Santrock, 2002). Tempo dan
bentuk akhir proses penuaan berbeda-beda pada orang yang satu dengan
orang yang lain.
Tidak dapat disangkal lagi satu diantara penyesuaian yang utama
yang harus dilakukan oleh orang usia lanjut adalah penyesuaian yang
harus dilakukan karena kehilangan pasangan hidup. Penyesuaian
terhadap kematian pasangan atau terhadap perceraian sangat sulit bagi
pria maupun wanita pada masa usia lanjut, karena pada masa ini semua
penyesuaian semakin sulit dilakukan (Hurlock 1980). Hubungan suami
istri yang lebih lama menjadi tidak tergantikan dan menimbulkan rasa
kehilangan yang mendalam (Indriana, 2012).
Ada kecenderungan bahwa sebagian besar usia lanjut tidak suka
tinggal di panti werdha (jompo). Demikian juga, anak cenderung tidak
setuju bila orang tuanya tinggal di panti. Menurutnya merawat orang tua
merupakan kewajiban anak sebagai tanda bakti kepada orang tua.
Menurut Suardiman, (dalam Suardiman, 2011), bagi usia lanjut yang
tinggal bersama anak cucu lebih merasakan adanya kehangatan, hidup
lebih bergairah dan terbebas dari kesepian.
2
Salah satu solusi yang ditawarkan agar anak dapat merawat orang
tua lanjut usia adalah orang tua tersebut harus ikut tinggal bersama di
rumah anaknya. Namun, tidak dapat dipastikan bahwa jika seseorang
lanjut usia yang tinggal bersama anak dan cucunya akan terbebas dari
kesepian. Kegiatan yang dimiliki anak dan cucu akan membuat mereka
sibuk dan mungkin hampir tidak memiliki waktu untuk memperhatikan
orang tua lanjut usia tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Marini dan Hayati (2002), bahwa lansia yang tinggal
dengan anggota keluarga atau yang tidak tinggal di panti jompo juga
sering merasakan kesepian.
Saat para usia lanjut harus ikut tinggal di rumah anaknya, mereka
harus pindah ke lingkungan baru dan harus melakukan adaptasi. Mereka
harus melakukan adaptasi dengan lingkungan baru seperti dengan rumah
yang ditinggali beserta penghuninya, tetangga dan komunitas baru
dimana mereka tinggal. Pemutusan sosial yang menyertai kehidupan
menjanda atau menduda memberikan implikasi bahwa perasaan kesepian
dapat menjadi masalah yang penting (Indriana, 2012).
Masalah psikologis yang sering dialami oleh lansia adalah
kesepian.Kesepian merupakan kondisi yang sering mengancam
kehidupan para orang tua, khususnya manula, ketika anggota keluarga,
misalkan anak-anak, hidup terpisah dari mereka. Kesepian tidak semata-
mata muncul akibat kesendirian fisik atau akibat ketidakberadaan orang
lain di sekeliling hidup seseorang, tetapi juga akibat perasaan
ditinggalkan, khususnya oleh mereka yang tadinya memiliki hubungan
emosional yang dekat (Gunarsa, 2009). Dapat dikatakan bahwa akar
permasalahan psikologis bagi usia lanjut adalah kesepian, yang kemudian
3
memunculkan perasaan terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan,
kurang percaya diri, perasaan tidak berguna, ketergantungan,
keterlantaran terutama bagi usia lanjut yang miskin, post power
syndrome, dan sebagainya (Suardiman, 2011). Menurut penelitian Iswara
(2005), lanjut usia yang tinggal bersama keluarga merasakan kesepian
kognitif disebabkan karena ketidakadaan figur pengganti mendiang
pasangan hidupnya setelah pasangan hidup meninggal, dikarenakan para
lanjut usia tidak dapat berbagi dengan anak dan cucunya, karena
kesibukan masing-masing dan juga disebabkan oleh perasaan dari lanjut
usia untuk tidak ingin merepotkan dan mengganggu anak-anak dengan
persoalan-persoalan.
de Jong Gierveld (1998) menyatakan kesepian adalah situasi yang
dialami oleh seorang individu yang tidak menyenangkan atau tidak dapat
diterima karena kurangnya (kualitas) hubungan. Weiss, (dalam Sears,
Peplau & Taylor, 2009) telah mengidentifikasikan dua tipe kesepian.
Emotional loneliness (kesepian emosional) berasal dari hilangnya sosok
yang intim, seperti orang tua atau pasangan kekasih hati. Social
loneliness (kesepian sosial) terjadi ketika seseorang merasa kurang dalam
berintegrasi secara sosial atau kurang terlibat dalam komunitas
pertemanan atau di tempat kerja. Selain itu, waktu juga digunakan
sebagai dasar pengklasifikasian kesepian. Kesepian dapat dilihat sebagai
pernyataan sementara yang kemungkinan terkait dengan peristiwa
tertentu seperti pindah ke komunitas yang baru, atau juga dapat dilihat
sebagai sifat yang kronis (Lake,1986).
Secara umum, penyebab kesepian dapat dikelompokkan ke dalam
dua hal yaitu keadaan yang bisa dipersalahkan sebagai penyebab
4
kesepian dan kesepian itu berkaitan dengan kepribadian (Lake, 1986).
Menurut penelitian Lestari dan Fakhrurrozi (2008), faktor–faktor yang
memengaruhi kesepian diantaranya adalah jenis kelamin, status marital,
usia, dan situasi pekerjaan.
Kesepian disertai dengan afek negatif, termasuk perasaan depresi,
kecemasan, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan yang diasosiasikan
dengan pesimisme, self-blame, dan rasa malu. Individu yang kesepian
dipersepsikan sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri oleh
orang-orang yang mengenal mereka (Baron & Byrne, 2003). Menurut
Burns (1988) orang yang kesepian akan merasa takut dan putus asa,
percaya bahwa hidup sendiri itu mengerikan, dan merasa cemas sebab
bertambah tua tanpa keluarga atau seseorang yang dicintainya.
Membutuhkan pengatasan yang berguna dalam mengatasi
kesepian yang sedang dirasakan. Menurut penelitian Hikmawati dan
Purnama (2008), para lansia mengaku bahwa dengan memiliki banyak
aktivitas dirinya merasa puas dalam menjalani hidup. Dengan demikian,
meskipun tidak mempunyai saudara yang masih peduli terhadap
kehidupan dirinya, tetapi karena mereka melakukan kegiatan, yang
ternyata dapat mengurangi kesepian yang dialami. Menurut Hanum
(2006) beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain merasa bahagia
dalam kesepian, berhubungan dengan ciptaan lain, berhubungan dengan
Sang Pencipta dan menjalin hubungan dengan sesama. Selain itu,
Perlman dan Peplau (1982) menyatakan beberapa cara untuk mengatasi
kesepian yaitu mengubah hubungan sosial saat ini, mengubah kebutuhan
dan keinginan sosial, dan mengurangi pentingnya kekurangan hubungan
sosial yang dirasakan.
5
METODE
Partisipan
Adapun partisipan penelitian ini memiliki karakterisitik antara
lain: (a) lansia pria dan wanita yang berumur 60 tahun ke atas, (b) tinggal
bersama anggota keluarga, (c) sudah ditinggal pasangan (meninggal) dan
(d) jauh dari komunitasnya terdahulu. Partisipan penelitian ini berjumlah
dua orang yaitu satu orang pria dan satu orang wanita.
Prosedur Sampling
Peneliti menggunakan teknik purposive sampling atau sampel
bertujuan dengan menetapkan subjek penelitian yang memiliki ciri-ciri
sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Pengukuran
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan observasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan.
Pengujian keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber yaitu
dengan mewawancarai orang terdekat partisipan penelitian yang tinggal
bersama dengan partisipan.
Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif. Sebelum pengambilan data, peneliti
menjalin rapport dengan partisipan terlebih dahulu.Dalam rapport ini,
peneliti juga memastikan kesesuaian karakteristik partisipan penelitian.
Trianggulasi teknik digunakan untuk menguji kredibilitas data yang
6
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan
teknik yang berbeda (Sugiyono, 2013). Selain melakukan wawancara dan
observasi terhadap partisipan sebagai trianggulasi teknik, dalam
penelitian ini juga melakukan observasi dan wawancara terhadap orang
terdekat dari partisipan. Hal itu dilakukan sebagai kriteria keabsahan data
dengan menggunakan trianggulasi sumber. Trianggulasi sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif (Moleong, 2010). Selanjutnya terhadap data
wawancara yang telah terkumpul dilakukan analisis data yang meliputi
reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data,
dan kesimpulan.
HASIL
TEMA P1 P2
Peristiwa kematian
pasangan hidup
1. P1 merasa kaget dan
kesedihan yang
sangat mendalam.
2. P1 masih sering
mengingat
pasangannya jika
kesepian.
1. P2 merasa kaget
dan kesedihan
yang sangat
mendalam.
2. P2 mencoba untuk
tidak terus
menerus
mengingat
pasangannya.
3. P2 selalu
mengunjungi
makam suaminya
jika merasa rindu.
Namun, sekarang
P2 sudah tidak
pernah lagi
mengunjungi
makam suaminya
karena jauh dan
7
tidak ada yang
mengantar.
Pindah ke
lingkungan baru
dan tinggal bersama
anggota keluarga
1. P1 sudah pindah ke
lingkungan yang baru
sebelum pasangan
meninggal.
2. P1 sudah tinggal
bersama anaknya
sebelum pasangan
meninggal.
3. Tetangga P1 di
lingkungan yang baru
menerima kehadiran
P1 dengan baik.
4. Hubungan P1 dan
tetangga sekitar
tergolong baik.
5. Hubungan P1 dengan
anak dan cucunya
juga baik.
1. P2 dipaksa untuk
tinggal bersama
anaknya setelah
pasangan
meninggal dan P2
mengalami sakit.
2. P2 sebenarnya
menolak untuk ikut
pindah ke rumah
anaknya.
3. P2 ikut pindah ke
rumah anaknya
namun
memberikan
syarat.
4. Tetangga P2 di
lingkungan yang
menerima
kehadiran P2
dengan baik.
5. Hubungan P2
dengan tetangga
sekitar tergolong
baik.
6. P2 cenderung
untuk mengatur
kehidupan rumah
tangga anaknya.
7. P2 menilai bahwa
hubungannya
dengan anak,
menantu dan
cucunya tergolong
baik. Namun, anak
P2 mengaku
bahwa
hubungannya
dengan P2 kurang
8
baik.
Pengalaman
kesepian
1. Kesepian bersifat
emosional karena
tiadanya figur kasih
sayang yang intim
2. Kesepian bersifat
sementara, pada
situasi dan kondisi
tertentu.
3. Saat merasa kesepian
cenderung diam.
4. Merasa kesepian jika
tidak memiliki teman
untuk berbagi dan
bercerita.
1. Kesepian bersifat
emosional karena
tiadanya figur
kasih sayang yang
intim
2. Kesepian bersifat
sementara, pada
situasi dan kondisi
tertentu
3. Anak P2 sering
melihat P2
melamun.
4. Menganggap
kesepian
merupakan hal
yang wajar.
5. Merasa kesepian
jika tidak memiliki
teman untuk
berbagi dan
bercerita.
Ciri kesepian 1. Perasaan sedih,
timbul rasa bosan,
tidak memiliki
sahabat, enggan
untuk membuka diri,
tidak dapat berbagi
kekhawatiran
pribadinya, tidak
memiliki harapan,
merasa kurang puas
dengan keadaan
ekonomi anaknya,
merasa ditinggalkan
dan tidak berguna.
1. Timbul rasa bosan,
merasa tidak
berdaya, ingin
berada di tempat
yang lain, tidak
memiliki harapan,
merasa wajar
dengan kesepian,
selalu sendiri dan
perasaan malu.
Perasaan yang
muncul saat
kesepian
1. Sering memikirkan
kematian dan
mengharapkan agar
1. Sering
memikirkan
kematian dan
9
anaknya mengunjungi
dan memberi kabar.
2. Perasaan tidak
berguna, merindukan
kehadiran orang yang
disayangi terutama
pasangan hidup yang
sudah tiada dan
merindukan kenangan
masa lalu.
mengharapkan
agar anaknya
mengunjungi dan
memberi kabar.
2. Perasaan tidak
berguna,
merindukan
kehadiran orang
yang disayangi
terutama pasangan
hidup yang sudah
tiada dan
merindukan
kenangan masa
lalu.
Mengatasi kesepian 1. Menonton televisi,
mendengarkan radio,
berkebun dan berdoa.
1. Mendengarkan
radio dan
melakukan
aktivitas
PEMBAHASAN
Hubungan suami istri yang lebih lama menjadi tidak tergantikan
dan menimbulkan rasa kehilangan yang dalam. Kedua partisipan sama-
sama ditinggal oleh pasangannya setelah mereka memasuki usia lanjut
(60 tahun ke atas). Menurut Indriana (2012), pernikahan merupakan
sentral dari hubungan sosial manusia karena selain adanya kepentingan
intrinsik, ikatan tersebut mendukung untuk dilakukannya aktivitas sosial
dan hubungan sosial. Hal tersebut tampak mengalami kehancuran saat
seseorang kehilangan pasangannya dan menyebabkan terjadinya
perubahan dalam kehidupan sehari-hari dan peran sosialnya yang
diperlukan. Mereka kehilangan perasaan menjadi “bagian dari pasangan”,
dan perubahan ini mempunyai dampak jangka panjang bagi gaya hidup
seseorang.
10
Kematian pasangan hidup ini membuat perasaan kedua partisipan
mengalami kesedihan yang mendalam. Perasaan kehilangan yang
mendalam sangat dirasakan oleh partisipan pertama karena sudah
membina rumah tangga berpuluh-puluh tahun. Terlihat dari P1 yang
sering merasa rindu dengan almarhum istrinya. P1 juga sering mengingat
dan ingin sekali bertemu dengan istrinya. Meskipun merasa sedih, P1
sudah ikhlas dengan ketentuan Tuhan. Perbedaan yang dirasakan oleh P1
sangat terasa.P1 tidak lagi memiliki teman berbagi cerita dan
pengalaman.
Perasaan kehilangan dan kesedihan yang mendalam juga dialami
oleh partisipan kedua. Saat ditinggal oleh suaminya, P2 masih belum bisa
sadarkan diri sepenuhnya hingga menjelang seratus hari. Setelah itu, P2
baru bisa menerima kenyataan dan menjalani kehidupan seperti biasa.
Dahulu sebelum P2 pindah ke rumah anaknya, P2 selalu datang dan
membersihkan makam suaminya jika ia merasa rindu. Setelah kematian
suaminya, P2 merasakan perbedaan yang cukup terlihat. Dahulu saat
suaminya masih hidup P2 tinggal berdua bersama suaminya, kini ia harus
tinggal di rumahnya sendirian.
Perubahan struktur keluarga dari extended family ke nucleus
family cenderung akan mengurangi dukungan keluarga kepada usia
lanjut. Pada umumnya, keluarga atau tepatnya anak perempuan yang
cenderung merawat orang tuanya. Bertempat tinggal di rumah anak
sebenarnya juga hal yang menyenangkan, karena mendapatkan
kehangatan, hidup di tengah-tengah anak cucu yang selalu didambakan
(Suardiman, 2011).
Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara partisipan pertama dan
partisipan kedua. Partisipan pertama sudah hidup bersama anak
11
perempuannya, menantu dan cucunya sejak dahulu sebelum istrinya
meninggal. Setelah menikah dan memiliki anak, anak P1 tetap tinggal
bersama kedua orang tuanya sehingga P1 sudah terbiasa dan akrab
dengan keluarga anaknya yang tinggal bersamanya sekarang. Anak,
menantu dan cucunya selalu berusaha untuk menuruti semua
keinginannya.
Meskipun banyak usia lanjut ingin tetap tinggal di rumahnya
sendiri, namun keinginan mandiri, tetap tinggal di rumah sendiri ini tidak
selamanya bisa dipertahankan (Suardiman 2011). Pada P2, ia terpaksa
ikut tinggal bersama anaknya setelah mengalami sakit yang cukup parah.
Meskipun sebenarnya P2 enggan dan sudah menolak, ia terpaksa ikut
karena mengingat tidak ada yang merawatnya jika sakit.
Kesepian dapat diakibatkan karena bepindah tempat ke tempat
yang baru setelah selesai bekerja (pensiun), tak jarang para lansia pulang
ke daerah asal atau pindah ke kota yang menjadi tempat yang telah
mereka rencanakan untuk menetap di hari tua, sehingga lingkungan yang
baru membuat mereka asing dan sulit menyesuaikan diri (Hanum, 2006).
Pada P1, ia mengaku memiliki hubungan yang baik dengan tetangga
sekitar di lingkungan yang baru. Di lingkungan yang baru P1 tidak
memiliki teman dekat. P1 juga tidak pernah berkunjung ke rumah
tetangganya kecuali ada sesuatu yang penting seperti melawat tetangga
yang sakit atau meninggal. P1 hanya sebatas mengenal dan tahu namun
tidak terlalu akrab dengan tetangga-tetangganya. Tetangganya pun tidak
pernah berkunjung ke rumah P1 jika memang tidak memiliki keperluan.
P1 juga tidak pernah berkumpul dengan warga masyarakat di lingkungan
sekitarnya. P1 sudah diingatkan untuk tidak lagi ikut kumpulan di
lingkungannya dan disarankan untuk beristirahat.
12
Lain halnya dengan P1, P2 mengenal baik tetangga di sekitarnya
terutama kaum ibu. Hal ini dikarenakan setiap hari ibu-ibu di kompleks
lingkungannya selalu berkunjung ke rumahnya. Rumahnya tidak pernah
sepi, karena hampir setiap saat selalu ada tetangga yang berkunjung.
Meskipun demikian, sama halnya dengan P1, meskipun sudah tiga tahun
pindah ke lingkungan yang baru, P2 belum pernah berkunjung ke rumah
tetangganya.
Bila lingkungan dan norma nilai yang ada di lingkungan baru
berbeda, hal ini akan membuat lansia menyesuaikan diri lagi, padahal
kemampuan mereka untuk hal tersebut relatif sudah terbatas. Bila ini
terjadi tak jarang lansia menarik diri dari pergaulan yang dianggapnya
kurang cocok dengan kebiasaan-kebiasaannya (Hanum, 2006). Hal
serupa juga dialami oleh P2. Di lingkungannya yang baru terdapat suatu
kegiatan yang dikhususkan untuk lansia. Kegiatan ini selain bertujuan
untuk memeriksa kesehatan lansia juga menjadi ajang berkumpulnya
sesama lansia. P2 menolak untuk ikut dalam kegiatan ini. Menurut P2,
kegiatan seperti itu hanya mempertontonkan dirinya yang sudah tua.
Weiss (dalam Perlman & Peplau, 1982) menyatakan bahwa
kesepian tidak disebabkan oleh kesendirian tetapi disebabkan karena
tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan atau rangkaian hubungan
yang pasti, atau karena tidak tersedianya hubungan yang dibutuhkan oleh
individu tersebut. Dengan kata lain, kesendirian bukan penyebab
kesepian.
Menurut P1 dan orang terdekat, P1 tidak mengalami kesepian
sosial.Hal ini dikarenakan meskipun termasuk orang baru di
lingkungannya saat ini, P1 memiliki hubungan yang cukup baik dengan
tetangga sekitarnya. Selain itu, meskipun sudah pindah ke lingkungan
13
yang baru, P1 tetap rajin datang beribadah ke gerejanya dan masih sering
mengikuti kegiatan rohani seperti Pendalaman Alkitab.
P1 merasakan kesepian emosi karena ketiadaan figur kasih sayang
dari pasangannya. Setelah kematian istrinya, banyak perbedaan yang
dirasakan oleh P1. Menurut orang terdekatnya, P1 berubah menjadi orang
yang lebih pendiam, penurut, tidak pernah membantah dan lebih sabar
setelah istrinya meninggal. Namun begitu, orang terdekat P1 mengaku
bahwa P1 tidak pernah terlihat melamun. P1 sudah mengikhlaskan
istrinya untuk dipanggil Tuhan.
Berbeda dengan P1, P2 ditinggal suaminya saat P1 masih berada
di rumahnya tanpa ada satu orang anaknya pun yang tinggal bersama P2.
Menurut P2 dan orang terdekatnya, P2 mengalami kesepian emosional
disebabkan ketiadaan figur kasih sayang yang intim dari pasangannya.
Hal ini membuat P2 merasa sedih dan kehilangan yang mendalam pada
awalnya saja namun sekarang tidak.
Tawaran pindah ke rumah anaknya tidak begitu saja P2 terima.
Sebelum pindah, P2 mengajukan syarat yang harus disanggupi oleh
anaknya. Di lingkungannya yang baru P2 tidak mengalami kesepian
sosial meskipun dirinya adalah orang baru. Hal ini dikarenakan tetangga
sekitarnya selalu berkunjung.
Menurut Rubinstein, Shaver & Peplau (1979), kesepian dirasakan
dengan keputusasaan (desperation), dengan indikator putus asa, panik,
tidak berdaya, takut, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan dan
mudah mendapat kecaman dari orang lain. P1 dan P2 sudah tidak
memiliki harapan apapun. P1 dan P2 menganggap bahwa semua
14
harapannya sudah terpenuhi. P1 juga kerap merasa ditinggalkan jika anak
dan cucunya sibuk.
Ada tiga dimensi kesepian (Gierveld, 1998) yaitu bentuk
keterpisahan sosial, perspektif waktu, dan emosi. Dalam dimensi bentuk
keterpisahan sosial, berfokus pada perasaan yang terhubung pada
ketiadaan kelekatan intim, perasaan akan kekosongan atau ditinggalkan.
Pada P1 tampak ketiadaan kelekatan intim setelah pasangan meninggal.
P1 tidak memiliki sahabat ataupun teman untuk berbagi cerita dan
pengalaman. P1 juga kerap merasa ditinggalkan jika anak dan cucunya
sibuk. Sama halnya dengan P1, P2 juga adanya ketiadaan kelekatan intim
setelah pasangannya meninggal. P2 juga tidak memiliki teman atau
sahabat untuk berbagi cerita dan pengalaman.
Dimensi perspektif waktu merujuk bagaimana individu memaknai
situasi kesepian mereka sebagai sesuatu yang tanpa harapan, atau sesuatu
yang dapat diubah atau dapat diperbaiki (treatable). P1 dan P2 memaknai
situasi kesepian mereka sebagai sesuatu yang tanpa harapan. Di usianya
yang sudah senja, P1 dan P2 sudah tidak lagi memiliki harapan apapun.
Dimensi emosi melibatkan berbagai bentuk aspek emosional yang
biasanya berupa hilangnya perasaan positif serta munculnya perasaan
negatif seperti perasaan menderita, kesedihan, perasaan malu, rasa
bersalah, frustasi dan keputusasaan. P1 merasa sedih dan kehilangan
yang mendalam setelah kematian pasangannya. P1 juga sering merasa
tidak berdaya dikarenakan usianya. Pada P2, perasaan sedih juga
dirasakan P2 di saat awal kematian pasangannya. P2 juga tidak mau
mengikuti kegiatan lansia yang ada di lingkungannya yang baru. P2
merasa malu dan berpikir tidak ada gunanya menunjukkan dirinya yang
sudah tua kepada orang banyak.
15
Perasaan kesepian yang dialami oleh P1 dan P2 bersifat
sementara dan terjadi pada saat situasi dan kondisi tertentu. Perasaan
kesepian ini ditandai dengan perasaan bosan, canggung dan ingin berada
di tempat yang lain. P1 dan P2 merasa bosan jika mereka tidak memiliki
aktivitas.Mereka selalu berusaha untuk mencari kesibukan. Mereka
mengaku senang jika dapat melakukan aktivitas. P2 terkadang juga
memiliki keinginan untuk berada di rumahnya yang dahulu.
Selain itu perasaan kesepian juga disertai dengan pencelaan diri
dan depresi. Hal ini ditunjukkan dengan kemarahan terhadap diri sendiri,
seperti menganggap diri tidak menarik dan bodoh, merasa malu, serta
merasa layak untuk menjadi kesepian dan selalu sendiri. Selain itu juga
ditandai dengan kesedihan mendalam, perasaan bersalah, sedih, tertekan,
terisolasi, menyesali diri serta mengasingkan diri. Pada P1 perasaan
menganggap diri bodoh kerap kali terjadi. Hal ini dikarenakan P1 tidak
pernah bersekolah dan tidak mengenal huruf. Kesedihan mendalam juga
dirasakan oleh P1 karena meninggalnya pasangan hidup. Pada P2,
sebenarnya di lingkungan yang baru terdapat kegiatan yang dikhususkan
untuk lansia. P2 memilih untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut. P2
lebih memilih mengasingkan diri dari parasesama lansia. Selain itu P2
juga merasa malu dan tidak ada gunanya mempertontonkan dirinya yang
sudah tua kepada orang banyak.
Beberapa keadaan yang berkaitan dengan kesepian adalah isolasi,
alienasi, penolakan, merasa disalah mengerti, merasa tidak dicintai,
depresi, tidak mempunyai sahabat, malas membuka diri (tertutup) atau
bungkam, bosan, dan gelisah (Bruno, 2000). P1 dan P2 tidak memiliki
sahabat. Meskipun tidak memiliki sahabat, P1 dan P2 enggan untuk
membuka diri dan tidak memiliki keinginan untuk mencari sahabat.
16
Menurut orang terdekat dari P1 dan P2, mereka tidak pernah
mencurahkan segala perasaannya baik suka maupun duka.Seseorang
yang menyatakan dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai
orang yang tidak berharga, tidak diperhatikan dan tidak dicintai
(Suardiman, 2011). P1 dan P2 mengaku bahwa merasa sudah tua dan
tidak bisa apa-apa lagi. Myers (2012) mengatakan merasakan kesepian
adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh
sekeliling Anda, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,
berbeda, dan terpisah dari mereka yang ada di sekitar Anda. Menurut
orang terdekat dari P1 maupun P2, P1 dan P2 tidak pernah bercerita
ataupun berbagi kekhawatiran yang mereka alami. P1 dan P2 hanya
bercerita tentang hal seadanya dengan orang-orang terdekat mereka.
Mereka juga lebih sering memilih untuk menyendiri dan melakukan
aktivitas sendirian.
Selain itu, gambaran orang yang mengalami kesepian yaitu
pendiam, dan menghindari hubungan sosial, bekerja terlalu keras, dan
menjadi introspektif (Perlman & Peplau, 1998). Semenjak ditinggal oleh
istrinya, P1 menjadi orang yang pendiam dan penurut. P1 hanya menurut
apapun yang orang terdekatnya katakan. Pada P2, ia menghindari
hubungan sosial seperti tidak mau mengikuti kegiatan lansia di
lingkungan rumah anaknya.
Orang-orang yang merasa kesepian cenderung menghabiskan
waktu senggang mereka pada aktivitas sendirian dan hanya memiliki
teman biasa atau kenalan (Baron & Byrne, 2003). Jika ada waktu
senggang, P1 menghabiskan waktunya untuk di kebun, menonton televisi
atau beristirahat di kamar. Pada P2, waktu senggang digunakan untuk
17
menjemur nasi. Jika tidak, P2 memilih untuk mendengarkan radio sambil
melakukan kegiatan rumah yang dapat ia kerjakan.
P1 dan P2 sering berharap agar anak-anaknya yang jauh sering
mengunjungi mereka. P1 dan P2 juga menginginkan agar anak-anaknya
yang jauh selalu memberi kabar. Hal tentang kematian sering dipikirkan
oleh P1 dan P2. P1 mengaku bahwa sudah ikhlas jika dirinya dipanggil
oleh Tuhan. Begitu juga dengan P2, P2 sudah berpesan kepada anak yang
tinggal bersamanya jika ia meninggal.
P1 merasa kesepian saat tidak memiliki aktivitas atau kegiatan
yang ia kerjakan. Jika tidak memiliki aktivitas, P1 kerap memikirkan dan
mengingat almarhum istrinya. Dari situlah P1 merasa rindu dan ingin
bertemu. Meskipun P1 tinggal bersama anak, menantu dan cucunya, ia
merasakan perbedaan jika bersama dengan istrinya. P1 merasa tidak
dapat berbagi cerita kepada anak dan menantunya seperti dengan istrinya
dahulu. Sama halnya dengan P1, meskipun P2 mengaku tidak pernah
merasa kesepian, orang terdekat P2 mengatakan jika P2 tidak pernah
berbagi cerita dengan anak dan cucunya. Orang terdekat P2 juga kerap
melihat P2 melamun. Kesepian yang dialami oleh P1 dan P2 merupakan
kesepian emosional.
Hal ini selaras dengan pendapat Perlman dan Peplau, (dalam
Sears dkk., 2009), kesepian (loneliness) adalah ketidaknyamanan
psikologis yang kita rasakan saat kita merasa hubungan sosial kita kurang
memadai. Dari kedua partisipan dapat diambil kesimpulan jika kesepian
tidak selalu dirasakan oleh mereka dan bersifat sementara. Ada waktu
dan kondisi tertentu yang membuat mereka merasa kesepian.
Dalam penelitian ini ditemukan hal yang menyebabkan kesepian
yaitu keadaan. Menurut Lake (1986), salah satu penyebab kesepian
18
kesepian adalah hilangnya kontak dengan orang-orang yang dicintai
karena bermacam alasan. Salah satunya adalah kehilangan karena
kematian orang yang dikasihi. Penderitaan ini akan semakin menyiksa
karena orang merasa tidak mempunyai kawan untuk berbagi rasa dan
merasa terisolasi dari kehidupan bermasyarakat. Kehilangan pasangan
hidup membuat P1 merasa kesepian dan merasakan perubahan. Perasaan
kehilangan yang mendalam sangat dirasakan oleh P1 karena sudah
membina rumah tangga berpuluh-puluh tahun. P1 mengaku setelah
kematian istrinya ia tidak lagi memiliki teman untuk berbagi cerita.
Selain itu, P1 juga tidak diijinkan lagi untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan yang ada di lingkungannya. Perasaan kesepian P1 mulai
terasadan merindukan kehadiran istrinya saat akan menjelang tidur. Tak
jarang P1 juga terbangun di tengah malam dan merasakan kesepian.
Pada P2, kesepian tidak begitu dirasakannya. Rasa kesepian
muncul saat tetangganya belum datang ke rumahnya dan anak serta
cucunya sedang beraktivitas di luar rumah.Namun, P2 menganggap
kesepian hal biasa dan tidak mempermasalahkannya karena P2 sudah
terbiasa hidup sendiri dan rumahnya tidak pernah sepi karena
tetangganya selalu datang.
Dari penelitian ini dapat dilihat ada tiga cara mengatasi kesepian
yaitu mengubah hubungan sosial saat ini, mengubah kebutuhan dan
keinginan dan keinginan sosial (Perlman & Peplau, 1982), dan
berhubungan dengan Sang Pencipta. Mengatasi kesepian dengan cara
mengubah hubungan sosial saat ini dapat dilakukan dengan menjalin
relasi yang baru, dengan menggunakan jaringan sosial yang ada atau
dengan menciptakan relasi “pengganti” dengan hewan peliharaan, radio
yang berisi talk show atau sejenisnya. P1 mengatasi kesepian dengan
19
menonton televisi dan mendengarkan radio jika tidak memiliki kegiatan.
Berbeda dengan P1, P2 lebih senang mendengarkan radio. Jika
mendengarkan radio, P2 dapat mendengarkan sambil melakukan aktivitas
lainnya dan tidak perlu mengganti. P2 juga dimudahkan dalam membina
hubungan dengan tetangga sekitarnya karena tetangga sekitarnya selalu
datang ke rumahnya. Hal ini membuat P2 mengenal hampir semua
tetangga sekitar kompleks rumahnya. P2 juga sering berkomunikasi
melalui handphone dengan anak-anaknya yang jauh.
Cara mengatasi kesepian yang kedua adalah dengan mengubah
kebutuhan dan keinginan sosial. Hal ini dapat dicapai dengan memilih
aktivitas yang dapat dinikmati dengan melakukannya sendiri. P1 memilih
untuk menyibukkan diri di kebun. Sama halnya dengan P1, P2 juga
menyibukkan dirinya dengan menjemur nasi aking yang sengaja dibawa
oleh anaknya dari pabrik. Selain itu, P2 juga mengelola usaha penyewaan
playstation.
Selain itu menurut Hanum (2006), kesepian juga dapat diatasi
dengan berhubungan dengan Sang Pencipta. Telah banyak orang yang
dapat mengisi kesepiannya dengan menyerahkan diri secara ikhlas dan
total kepada Sang Pencipta. Begitu juga yang dilakukan P1. Dari dulu, P1
memang sudah rajin berdoa. Jika kesepian muncul dan tidak ada kegiatan
yang dapat dilakukan, P1 selalu mengatasinya dengan berdoa. P1 merasa
lebih tenang setelah ia berdoa.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
kehilangan pasangan hidup menimbulkan rasa sedih yang mendalam,
perasaan kaget dan dukacita dalam diri kedua partisipan. Kepergian
pasangan hidup menimbulkan beberapa perubahan dalam kehidupan
partisipan baik secara emosional dan kesendirian dalam menjalani
20
aktivitas. Dukungan dan perhatian dari keluarga sangat membantu
partisipan dalam menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi yang mereka
alami
Pindah ke lingkungan yang baru tidak menimbulkan masalah
besar bagi kedua partisipan. Kehadiran partisipan cukup diterima oleh
tetangga di lingkungan sekitar. Partisipan juga memiliki hubungan yang
cukup baik dan mengenal para tetangganya. Di lingkungan yang baru,
partisipan pertama tidak mengikuti kegiatan yang ada di lingkungan
karena disarankan untuk beristirahat di rumah. Partisipan kedua menolak
untuk mengikuti kegiatan lansia yang ada di lingkungannya.
Tinggal bersama keluarga yaitu anak, menantu dan cucu cukup
membuat partisipan tidak merasa sendirian. Hubungan partisipan dengan
keluarganya cukup baik. Anak, menantu dan cucu yang tinggal bersama
partisipan cukup memerhatikan keadaan dan keinginan partisipan.
Meskipun begitu, pada partisipan pertama kehadiran anak, menantu dan
cucunya tidak dapat menggantikan sosok pasangan hidup yang sudah
tiada.
Kesepian yang dialami oleh partisipan pertama memiliki ciri-ciri
diantaranya adalah perasaan sedih, timbul rasa bosan, tidak memiliki
sahabat, enggan untuk membuka diri, tidak dapat berbagi kekhawatiran
pribadinya, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan, dan tidak
berguna. Pada partisipan kedua ciri-ciri kesepian yang dialami adalah
timbul rasa bosan, merasa tidak berdaya, inngin berada di tempat yang
lain, tidak memiliki harapan, merasa wajar dengan kesepian selalu sendiri
dan perasaan malu.
Ciri-ciri kesepian lain yang juga terjadi pada kedua partisipan
yaitu sering memikirkan hal negatif seperti kematian dan mengharapkan
21
agar anaknya mengunjungi dan memberi kabar. Kesepian yang dialami
oleh para partisipan bukanlah perasaan yang menetap, namun dinilai
sebagai perasaan yang sementara. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
perasaan kesepian yang dirasakan oleh para partisipan cenderung
mengarah pada kesepian emosional yaitu kesepian yang timbul karena
hilangnya figur kasih sayang yang intim.
Dalam penelitian ini ditemukan hal yang menyebabkan kesepian
yaitu keadaan. Penyebab partisipan mengalami kesepian adalah tidak
adanya kehadiran pasangan hidup yaitu figur kasih sayang yang intim.
Selain itu perasaan kesepian muncul saat partisipan kedua tidak memiliki
teman untuk berbagi cerita. Selain adanya penyebab kesepian, ditemukan
juga hal-hal lain yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian
berlarut-larut, yaitu memiliki pekerjaan dan hobi yang terus aktif,
kehadiran teman dan keluarga, serta kondisi lingkungan sekitar yang
mendukung dan menerima kehadiran partisipan.
Saat mengalami kesepian, perasaan yang muncul dalam diri
partisipan adalah perasaan tidak berguna, merindukan kehadiran orang
yang disayangi terutama pasangan hidup yang sudah tiada, munculnya
kenangan masa lalu dan pemikiran tentang kematian.
Saat rasa kesepian muncul, partisipan melakukan strategi untuk
mengatasi rasa kesepian. Cara untuk mengatasi kesepian tersebut adalah
dengan mengubah hubungan sosial saat ini, mengubah kebutuhan dan
keinginan sosial dan berhubungan dengan Sang Pencipta. Mengubah
hubungan sosial saat ini dapat dilakukan dengan menjalin relasi yang
baru, dengan menggunakan jaringan sosial yang ada atau dengan
menciptakan relasi “pengganti” dengan menonton televisi atau
mendengarkan radio daripada menonton televisi. Pada partisipan pertama
22
menonton televisi dan mendengarkan radio dapat mengatasi kesepian.
Pada partisipan kedua cara untuk mengatasi kesepian adalah dengan
mendengarkan radio. Selain itu juga dengan membina hubungan baik
dengan tetangga di lingkungan sekitarnya. Pada partisipan kedua
komunikasi dengan kerabat yang jauh juga dapat mengatasi kesepian
Mengubah kebutuhan dan keinginan sosial dapat dicapai dengan
memilih aktivitas yang dapat dinikmati dengan melakukannya sendiri.
Menyibukkan diri dengan hobi dan aktivitas juga dapat mengatasi rasa
kesepian yang muncul. Selain sebagai kesenangan hal tersebut juga
merupakan kegiatan yang produktif. Hal ini membuat partisipan merasa
terhibur dan merasa berguna.
Selain itu, kesepian juga dapat diatasi dengan berhubungan
dengan Sang Pencipta. Saat rasa kesepian muncul, partisipan pertama
selalu berdoa. Hal ini membuat partisipan merasa lebih tenang. Kesepian
dapat membuat partisipan pertama lebih dekat dengan Penciptanya dan
dapat membuat seseorang menginstropeksi diri menjadi lebih baik.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat meneliti lebih
mendalam hubungan antara kepribadian dan kesepian yang dialami oleh
seseorang. Selain itu, dalam penelitian ini masih kurang diperhatikan
berapa lama individu sudah ditinggal oleh pasangan hidupnya dan jangka
waktu individu tinggal bersama anggota keluarga lainnya. Bagi peneliti
selanjutnya dapat lebih memperhatikan dan memberi rentang waktu yang
lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A., & Byrne, D. (2003). Psikologi sosial, jilid 2, edisi
kesepuluh. Jakarta. Erlangga.
23
Bruno, F.J. (2000). Conquer loneliness: Menaklukkan kesepian. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Burns, D.D. (1988). Mengapa kesepian: Program baru yang telah diuji
klinis untuk mengatasi kesepian. Jakarta: Erlangga.
de Jong Gierveld, J. (1998). A review of loneliness: Concept and
definition, determinants and consequences. Reviews in Clinical
Gerontology, 8, 73-80.
Gunarsa, S.D. (2009). Dari anak sampai usia lanjut. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.
Hanum, F. (2006). Lansia kreatif merubah kesepian menjadi kesempatan.
Prati Sabda Lansia, 1, 6-15.
Hikmawati, E., & Purnama, A. (2008). Kondisi kepuasan hidup lanjut
usia. Jurnal PKS, VII,79-93. Diunduh pada 10 Februari 2013, dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=5613
3&idc=41.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Indriana, Y. (2012). Gerontologi & progeria. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Iswara, Tirta. (2005). Kesepian pada lanjut usia yang tinggal di panti
werdha dan yang tinggal bersama keluarga. Skripsi (tidak
diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya
Wacana.
Lake, T. (1986). Kesepian, alih bahasa: FX Budiyanto. Jakarta: Arcan.
Lestari, D.D., & Fakhrurrozi, M. (2008). Kesepian lansia pria dan wanita
yang bekerja dan tidak bekerja. Jurnal Penelitian Psikologi, 13, 186-
194. Diunduh pada 28 Januari 2013, dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/200
8/Artikel_10503 036.pdf.
24
Marini, L., & Hayati, S. (2002). Pengaruh dukungan sosial terhadap
kesepian pada lansia di perkumpulan lansia habibi dan habibah.
Medan:Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Diunduh pada
10 Februari 2013, dari http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wp-
content/uploads/2012/06/Jurnal-Liza-Sari-2.pdf.
Moleong, L.J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Perlman, D., & Peplau, L.A. (1982). Loneliness: A sourcebook of current
theory, research and therapy. New York: A Willey-Interscience
Publication.
Perlman, D., & Peplau, L.A. (1998). Loneliness.Encyclopedia of Mental
Health. Copyright by Academic Press.
Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L.A. (1979). Loneliness. Human
Nature, 2, 58-65.
Santrock, J.W. (2002). Life span development. Jakarta: Erlangga.
Sears, D.O., Peplau, L.A., & Taylor, S.E. (2009). Psikologi sosial, edisi
kedua belas. penerjemah: Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana.
Suardiman, S.P. (2011). Psikologi usia lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sugiyono. (2013). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: CV.
Alfabeta.