kesehatan jiwa

Upload: sopia-tanthree

Post on 18-Jul-2015

70 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

kesehatan jiwaSabtu, 21 Juni 2008Gangguan Jiwa pasca persalinanGANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU BERAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN MASA NIFAS PENDAHULUAN Kehamilan, persalinan dan menjadi seorang ibu merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa-peristiwa itu mempunyai makna yang berbeda-beda bagi setiap wanita maupun keluarganya. Bagi banyak wanita peristiwaperistiwa itu bermakna positf dan merupakan fase transisi yang menyenangkan ke tahap baru dalam siklus kehidupannya. Namun sebagaimana tahap transisi lain dalam fase kehidupan, peristiwa itu dapat pula menimbulkan stres sehingga respons yang terjadi dapat berupa kebahagiaan, maupun sebaliknya, seperti krisi lain dalam kehidupan, dapat juga menimbulkan kekecewaan. (1) Selama masa nifas 0,1-85 % wanita mengalami suatu tipe dari gangguan jiwa. (Tabel 1) Pada sebagian besar wanita gejala-gejala itu sementara dan relatif ringan. Namun sebagian kecil mengalami gangguan jiwa yang lebih berat dan persisten. Walaupun gangguan mood selama masa nifas adalah umum, gejala-gejala depresi yang muncul selama masa nifas biasanya terlewatkan oleh pasien dan perawatnya. (2) Yoga et al meneliti di bangsal Kebidanan RSUP dr. Sardjito Yogyakarta mendapatkan prevalensi depresi ringan 11,3%, depresi sedang 1,9% dan depresi berat 0,5%. (3) Sedangkan di Saudi Arabia insidensi psikosis pasca salin adalah 3 per 1000 kelahiran. (4) Tabel 1 Klasifikasi Gangguan Jiwa Masa Nifas Gangguan Prevalensi Onset Gejala karakteristik Postpartum blues 30-85% dalam minggu pertama labilitas mood, sering menangis, insomnia, ansietas Depresi masa nifas 10-15% biasanya tersembunyi, dalam 2-3 bulan pertama mood depresi, ansietas berat, insomnia Psikosis puerperalis 0,1-0,2% biasanya dalam 2-4 minggu pertama agitasi dan iritabilitas, mood depresi atau euforia, waham, depersonalisasi, tingkah laku aneh Gangguan afektif puerperalis menempatkan baik ibu maupun bayi pada risiko dan berhubungan dengan efek jangka panjang pada perkembangan dan tingkah laku jangka

panjang yang signifikan. Maka dari itu pengenalan dan pengobatan gangguan mood puerperalis adalah penting. SEJARAH Walaupun Hippocrates diketahui sebgai orang pertama yang mengenali gangguan jiwa masa nifas, para ahli sejarah mencatat bahwa yang Hippocrates kemukakan sebagai mania yang berhubungan dengan laktasi adalah lebih sebagai delirium yang berhubungan dengan sepsis puerperalis yang merupakan hal yang biasa pada zaman Yunani kuno. Setelah itu tidak ada gambaran dan penjelasan mengenai gangguan jiwa masa nifas sampai tahun 1700-an dan 1800-an, ketika dilaporkan adanya kegilaan masa nifas di literatur medis Jerman dan Perancis. Pada tahun 1818 Jean Esquirol adalah orang pertama yang menjelaskan hal tersebut secara rinci. Pada penelitiannya terdapat 92 kasus psikosis puerperalis yang diambil dari Salpetriere selama perang Napoleon. Di samping itu juga terdapat seorang dokter Perancis, Victor Louis Marce, yang dikenal dengan deskripsinya mengenai gangguan jiwa masa nifas. Dalam bukunya yang terkenal yang dipublikasikan pada tahun 1856, Traite de la Folie des Femmes Enceintes, ia meletakkan dasar-dasar untuk konseptualisasi modern bagi gangguan mental yang berhubungan dengan kehamilan dan masa nifas. Ia juga merupakan orang pertama yang menyatakan adanya perubahan fisiologis yang berhubungan dengan masa nifas mempengaruhi mood ibu. Walaupun psikosis puerperalis banyak dikenal klinisi pada akhir abad ke sembilan belas, hanya sedikit perhatian yang diberikan pada penyakit puerperalis yang ringan. Sampai akhirnya pada tahun 1960-an B. Pitt pertama menjelaskan tentang adanya depresi atipikal (yang kemudian disebut maternity blues) yang mengenai ibu yang baru melahirkan, sebagai kontras terhadap psikosis puerperalis, yang biasanya ringan dan berjangka waktu pendek. Konsep mengenai gangguan depresif nonpsikotik yang lebih berat (seperti depresi masa nifas) muncul pada tahun 1970-an. Pada waktu itu dilakukan studi yang besar pada populasi yang menggunakan wawancara yang terstruktur dan kriteria diagnostik yang baku untuk mengidentifikasi gangguan psikiatrik pada ibu yang baru melahirkan. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat depresi dengan tingkat yang ringan sampai sedang pada wanita selama 6 bulan pertama setelah melahirkan. Studi terakhir secara konsisten mengidentifikasi bahwa masa nifas adalah masa yang terdapat peningkatan risiko bagi berkembangnya gangguan psikiatrik pada wanita. Salah satu studi mengatakan bahwa adanya puncak yang tajam dalam terjadinya kasus psikiatrik dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Studi yang lain mengatakan bahwa wanita yang menderita gejala-gejala psikiatri yang bermakna selama periode nifas biasanya sebelumnya menderita gangguan afektif, baik gangguan depresif mayor atau gangguan bipolar. Selama periode nifas seorang wanita berada pada risiko yang lebih besar bagi berkembangnya gangguan psikiatrik dibandingkan waktu-waktu lain sepanjang hidupnya. Beberapa peneliti berpendapat bahwa gangguan mental masa nifas terdiri dari sebuah kelompok gangguan psikiatrik yang secara khusus berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran anak sehingga harus dipisahkan dalam suatu diagnosis tersendiri. Namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa gangguan afektif yang muncul selama masa nifas tidak berbeda secara bermakna dengan gangguan afektif yang timbul pada seorang wanita di saat-saat lainnya. Pada DSM-IV gangguan psikiatrik masa nifas dimasukkan sebagai bagian dari gangguan bipolar atau gangguan depresif mayor. DEFINISI Gangguan psikiatrik masa nifas biasanya dibagi menjadi 3 kategori : 1. Postpartum blues 2. Depresi masa nifas non psikotik 3. Psikosis puerperalis (lihat Tabel 1) Pembagian ini sangat membantu konsep bahwa gangguan-gangguan ini terdiri dari suatu fase

yang berkesinambungan dan makin lama makin berat. Maka dari itu mungkin terjadi tumpang tindih antara ketiga kategori. Walaupun ketiga kategori ini berbeda dari keparahan penyakitnya, tidak ada bukti nyata bahwa ketiganya adalah 3 gangguan yang berbeda sama sekali. ETIOLOGI Etiologi tersebut diduga multifaktorial dan beberapa faktor risiko diduga berperan pada terjadinya depresi pasca salin antara lain faktor sosiokultural (dalam hal ini dukungan suami dan keluarga, atau mungkin juga faktor kepercayaan, etnik) faktor obstetrik ginekologik (kondisi bayi dan kondisi fisik ibu), faktor psikososial (adanya stresor psikososial, faktor kepribadian, riwayat mengalami depresi dan problem emosional lainnya), serta faktor hormonal yang kini diduga kecil pengaruhnya terhadap depresi pasca salin. (5,6,7) Puerperium atau masa nifas adalah periode yang terdapat perubahan-perubahan fisiologis dan psikososial yang bermakna. Terjadinya perubahan hormonal yang cepat telah dipikirkan sebagai penyebab munculnya gangguan afektif. Victor Louis Marce adalah peneliti pertama yang menyebutkan adanya transisi fisiologis setelah partus yang mungkin memainkan peranan penting dalam patogenesis gangguan masa nifas, jauh sebelum munculnya teori endokrinologi modern. Peneliti lain menekankan adanya kerentanan biologis terhadap gangguan jiwa masa nifas dan menekankan adanya beberapa individu yang lebih rentan terhadap perubahan fisiologis selama masa nifas. Bagaimanapun juga dampak faktor psikososial terhadap perkembangan gangguan afektif selama masa nifas tidak dapat disepelekan. Karena begitu banyaknya faktor yang berpengaruh dan kompleksnya interaksi antar faktor-faktor ini, sulit untuk menentukan faktor-faktor risiko untuk gangguan psikiatrik masa nifas dan untuk memprediksikan secara tepat orang-orang yang akan mengalami gangguan afektif masa nifas. Variabel demografik (2,8) Banyak kelompok studi telah meneliti hubungan antara risiko untuk terjadinya postpartum blues dan depresi serta beberapa variabel demografik seperti umur, status pernikahan, paritas, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Bagaimana pun juga terdapat sedikit bukti bahwa beberapa faktor demografik menempatkan seorang wanita pada risiko terjadinya gangguan afektif puerperalis. Walaupun sebagian besar studi tidak menemukan hubungan yang kuat antara umur dan risiko terjadinya gangguan afektif puerperalis, terdapat paling sedikit satu laporan yang menunjukkan bahwa 26% depresi masa nifas terjadi pada ibu usia adolesen. Sangat sulit untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko terjadinya psikosis puerperalis karena sangat rendahnya prevalensi subtipe ini pada gangguan mental masa nifas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa primipara lebih rentan terhadap psikosis puerperalis daripada wanita multipara. Studi lain menunjukkan bahwa komplikasi obstetrik seperti partus lama, seksio sesaria, lahir mati (stillbirth) bisa meningkatkan kecenderungan terjadinya psikosis puerperalis. Faktor psikososial (2,8,9) Variabel psikososial nampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan kerentanan gangguan afektif selama masa nifas. Banyak studi yang mencari kaitan antara ciri kepribadian serta mekanisme coping tertentu namun penemuan-penemuannya masih inkonsisten. Sebaliknya beberapa kelompok studi menemukan bahwa kehidupan yang penuh tekanan selama kehamilan atau dekat pada persalinan cenderung meningkatkan kecenderungan gangguan depresif masa nifas. Salah satu penemuan yang paling konsisten adalah gangguan depresif masa nifas paling umum terdapat pada wanita-wanita yang mendapatkan ketidakpuasan dalam perkawinan atau dukungan sosial yang inadekuat. Riwayat gangguan psikiatrik (2,10) Walaupun terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi variabel demografik dan psikososial

yang spesifik yang secara konsisten dapat memprediksikan risiko gangguan psikiatrik masa nifas, terdapat asosiasi yang antara semua tipe gangguan psikiatrik masa nifas dan adanya riwayat gangguan afektif. (Tabel 2) Tabel 2 Riwayat gangguan psikiatrik dan risiko terjadinya gangguan psikiatrik masa nifas ulangan Gangguan Risiko ulangan pada kehamilan berikut Psikosis masa nifas Depresi masa nifas Gangguan bipolar I Gangguan depresif mayor 70% 50% 20-50% 30% Risiko tertinggi terdapat pada wanita dengan riwayat psikosis masa nifas. Sampai dengan 70% wanita yang pernah mengalami satu episode psikosis masa nifas akan mengalami episode yang sama pada kehamilan berikutnya. Secara bersamaan, pwanita dengan riwayat depresi masa nifas mempunyai risiko rekurensi yang tinggi secara bermakna yaitu sebesar 50%. Juga wanita yang menderita gangguan bipolar I lebih rentan pada masa nifas dengan angka kekambuhan berkisar antara 20-50%. Hubungan antara riwayat gangguan depresif mayor yang meningkatkan risiko gangguan masa nifas belum terlalu jelas. Sebagai perbandingan terhadap wanita yang hanya mengalami episode depresif nonpuerperial, wanita yang mempunyai riwayat depresi masa nifas mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan penyakit yang sama. Wanita yang mempunyai riwayat gangguan afektif ringan sampai sedang yang tetap eutimik selama kehamilan kemungkinan mempunyai risiko yang lebih kecil untuk menderita depresi masa nifas dibandingkan dengan yang mempunyai riwayat gangguan afektif berat dan rekuren. Sedangkan untuk seluruh wanita (dengan atau tanpa depresi) kemunculan gejala-gejala depresi selama kehamilan meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi masa nifas. Faktor hormonal (2,9) Masa nifas ditandai dengan pergantian lingkungan hormon secara cepat. Dalam 48 jam pertama setelah melahirkan, kadar estrogen dan progesteron turun secara dramatis dan secara bersamaan kadar kortisol menurun setelah melahirkan. Karena hormon-hormon steroid ini telah dikenal berpengaruh pada gangguan afektif nonpuerperal, banyak peneliti menduga peranan besar dari hormon-hormon ini terhadap kemunculan gangguan afektif selama masa nifas. Progesteron (2,9) Beberapa laporan telah menduga adanya keterkaitan antara gangguan afektif selama masa nifas dengan menurunnya konsentrasi progesteron dan menyarankan untuk dipakainya terapi hormon (progesteron) pengganti sebagai pengobatan gangguan afektif selama masa nifas. Namun beberapa studi lain tidak menemukan perbedaan yang konsisten pada konsentrasi progesteron masa nifas antara wanita yang depresi dan non depresi. Estrogen (2,9) Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kadar estrogen masa nifas dengan risiko terjadinya postpartum blues dan depresi dan menduga bahwa defisiensi estrogen pascasalin bisa menghasilkan gangguan afektif. Walaupun beberapa studi telah mengobservasi kadar estrogen yang rendah pada wanita yang berkembang menjadi postpartum blues dan depresi, sebagian besar studi tidak menemukan hubungan yang berarti. Kortisol (2,9)

Konsentrasi kortisol yang tinggi di akhir kehamilan mencapai puncaknya selama proses kelahiran. Konsentrasi kortisol menurun secara mendadak setelah persalinan dan kembali ke kadar semula seperti sebelum kehamilan secara bertahap selama beberapa bulan. Kekacauan dalam sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal bisa memainkan peranan penting dalam minimal beberapa kasus depresi mayor nonpuerperal. Namun beberapa studi terakhir tidak menemukan dukungan yang cukup untuk hubungan antara kadar kortisol dan psotpartum blues atau depresi. Tes supresi deksametason (Dexacidin) tidak bisa membedakan antara wanita yang depresi dan nondepresi selama masa nifas. Hormon tiroid (2,9) Konsentrasi tiroksin tinggi selama kehamilan dan turun selama periode pascasalin. Tes fungsi tiroid yang abnormal biasa terjadi selama masa nifas. Hipotiroidisme klinis terjadi pada sampai 10% wanita setelah persalinan. Walaupun disfungsi tiroid terutama hipotiroidisme bisa menghasilkan gejala-gejala psikiatrik tidak ada studi yang melaporkan secara konsisten asosiasi antara depresi pascasalin atau blues dengan disfunsi tiroid. (baik hipotiroidisme atau hipertiroidisme) DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS (2,11,12) Gangguan psikiatrik pascasalin belum didaftarkan secara terpisah dalam revisi terbaru DSM dan tidak ada kriteria spesifik untuk diagnosis gangguan psikiatrik pascasalin. Menurut DSMIV, gangguan psikiatrik pascasalin bisa diindikasikan dengan spesifikasi onset pasca salin. Spesifikasi dengan onset pasca salin bisa digunakan untuk mendeskripsikan episode depresif mayor, manik atau campuaran (pada gangguan depresif mayor atau gangguan bipolar I atau II) atau gangguan psikotik singkat, jika episodenya berlangsung dalam 4 minggu pertama pasca salin. (11) (Tabel 3) Tabel 3 Kriteria DSM-IV untuk spesifikasi onset pascasalin (masa nifas) Ditetapkan bila Dengan onset pasca salin (dapat diaplikasikan pada episode depresif mayor, manik, atau campuran pada gangguan depresif mayor, gangguan bipolar I, gangguan bipolar II atau gangguan psikotik singkat yang terakhir) Onset atau epsisode dalam 4 minggu pasca salin Sebaliknya Marce Society, sebuah organisasi keilmuan internasional yang bergerak dalam studi gangguan psikiatrik pasca salin mendefinisikan gangguan psikiatrik pasca salin adalah episode apa pun yang terjadi dalam 1 tahun pertama setelah kelahiran anak. (2) Kemunculan gangguan afektif selama masa nifas biasanya terlewatkan atau tidak diketahui baik oleh dokter maupun pasien. Beberapa studi melaporkan bahwa hanya kurang dari sepertiga wanita yang menderita gangguan psikiatrik masa nifas yang mencari bantuan profesional. Umumnya para wanita tersebut melaporkan bertahannya gejala depresi untuk beberapa bulan sebelum memulai terapi. Walaupun gejala depresi bisa sembuh secara spontan, namun banyak wanita masih menderita depresi setelah 1 tahun. Alasan keterlambatan berobat tidak begitu diketahui. Satu hal yang nyata adalah akibat tidak ditanggulanginya depresi baik pada wanita maupun anaknya. Depresi yang tidak diobati bisa berkembang menjadi gangguan afektif yang lebih kronik dan refrakter terhadap pengobatan di kemudian hari. Juga terdapat data-data yang bermakna yang menunjukkan adanya efek buruk depresi ibu terhadap perkembangan kognitif, emosional dan sosial anak. Karena risikorisiko yang sangat bermakna ini pengenalan dan pengobatan dini terhadap gangguan afektif pasca salin adalah sangat penting. (2,11,12) Postpartum Blues (2,11) Banyak wanita mendapatkan gejala-gejala depresi ringan selama minggu pertama setelah kelahiran anak, yang dikenal sebagai postpartum blues atau baby blues. Menurut kriteria yang dipakai untuk mendiagnosisnya prevalensinya berkisar antara 30-85%. Pada wanita dengan

postpartum blues terdapat beberapa gejala termasuk disforia, labilitas mood, iritabilitas, tearfullness, ansietas dan insomnia. Gejala-gejala inis secara khas memuncak pada hari keempat atau kelima setelah persalinan dan sembuh spontan pada hari kesepuluh masa nifas. Postpartum blues relatif ringan dan terbatas waktunya. Bila terjadinya postpartum blues tidak mencerminkan psikopatologi ibu, beberapa wanita dengan blues akan tetap berlanjut menjadi depresi pasca salin. Wanita dengan riwayat gangguan afektif memerlukan pemantauan ketat, karena beberapa data menunjukkan bahwa blues dapat berkembang menjadi gangguan depresif mayor pada wanita dengan riwayat gangguan afektif. Gejala-gejala blues yang bertahan melebihi minggu kedua pasca salin membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkirkan evolusi menjadi penyakit jiwa yang lebih berat. (2,11) DEPRESI PASCA SALIN (2,8,11) Gangguan depresif mayor relatif sering terjadi selama masa nifas. Baik studi retrospektif dan prospektif yang berbasis komunitas telah menghasilkan angka prevalensi depresi pasca salin mayor dan minor antara 10-15%. Angka depresi yang dilaporkan dari studi kohort masa nifas ini relatif sama dengan yang diobservasi dari populasi wanita nonpuerperal. (2) Bila beberapa wanita dilaporkan menderita gejala-gejala singkat setelah kelahiran anak, depresi berkembang lebih perlahan lebih dari 6 bulan pertama pasca salin. Gejala dan tanda depresi masa nifas biasanya tidak dapat dibedakan dengan gangguan depresif mayor nonpsikotik yang terjadi pada wanita selain pasca salin. Afek disforik, iritabilitas, anhedonia, insomnia, dan fatigue adalah gejala-gejala yang sering dilaporkan. Kadang-kadang juga didapatkan keluhan somatik. Perasaan ambivalen atau negatif terhadap bayi sering dilaporkan. Wanita dengan depresi pasca salin sering mengemukakan keraguannya terhadap kemampuannya merawat bayinya. Dalam bentuk yang paling parah, depresi pasca salin bisa menghasilkan disfungsi yang sangat berat. Ide bunuh diri sering ditemukan, namun angka bunuh diri relatif rendah pada wanita yang mengalami depresi selama masa nifas. Walaupun beberapa studi telah mengevaluasi prevalensi penyakit psikiatrik komorbid pada populasi ini, ansietas yang berat dan pikiran obsesi menonjol pada wanita dengan gangguan jiwa masa nifas. Gejala-gejala ansietas umum, gangguan panik dan gangguan obsesif kompulsif sering didapatkan pada wanita dengan depresi pasca salin. (2,11) PSIKOSIS PUERPERALIS (2,8,11,12) Psikosis puerperalis adalah bentuk yang paling berat dari gangguan jiwa masa nifas. Berbeda dengan postpartum blues atau depresi, psikosis puerperalis lebih jarang terjadi dan angka kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 wanita pasca salin. Penampilannya dramatik dan munculnya gejala psikosis dalam 48 - 72 jam pasca salin. Sebagian besar wanita yang menderita psikosis puerperalis gejalanya berkembang dalam 2-4 minggu pertama pasca salin. (2,8) Wanita dengan kelainan ini gejala psikotik dan tingkah laku yang kacau sangat menonjol sehingga menimbulkan disfungsi yang bermakna. Psikosis puerperalis menyerupai psikosis afektif yang berkembang cepat dengan gambaran manik, depresif atau tipe campuran. Tanda paling awal adalah kegelisahan yang tipikal, iritabilitas dan insomnia. Wanita dengan gangguan ini secara khas memperlihatkan pergantian yang cepat antara mood yang depresi dan elasi, disorientasi atau depersonalisasi serta tingkah laku aneh. Waham biasanya berkisar pada bayinya termasuk waham bahwa anaknya telah meninggal, anaknya mempunyai kekuatan khusus, atau menganggap anaknya sebagai jelmaan setan atau Tuhan. Halusinasi dengar yang menyuruh ibu tersebut untuk menyakiti atau membunuh dirinya sendiri atau anaknya kadang-kadang dilaporkan. Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa penyakit ini berbeda dengan gangguan afektif, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa psikosis puerperalis lebih mirip dengan kebingungan atau delirium daripada gangguan mood psikotik nonpuerperalis. (11,12) PENAPISAN (2,13)

Depresi pasca salin berat dan psikosis mudah untuk dikenali, namun bentuk yang lebih ringan atau lebih perlahan munculnya seringkali terlewatkan. Bahkan gejala depresi berat yang muncul selama masa nifas sering terlewatkan oleh pasien dan perawatnya karena dianggap normal dan sebagai bagian dari proses kehaliran bayi. Karena sulitnya memprediksikan wanita yang berada pada populasi umum yang akan berkembang menjadi psikosis puerperalis, dianjurkan untuk menapis seluruh wanita untuk gejala depresi pada masa nifas. Hambatan terbesar dalam mendiagnosis depresi pasca salin adalah pada tingkat klinisi gagal menanyakan adanya gejala-gejala fektif pada wanita masa nifas. (2) Kunjungan klinisi yang standar pada 6 minggu pertama masa nifas dan kunjungan berikutnya untuk pemeriksaan bayi adalah waktu yang tepat untuk menapis adanya gangguan depresi pasca salin. Bagaimana pun juga penapisan untuk gangguan afektif selama masa nifas lebih sulit dibandingkan waktu lainnya. Banyak tanda-tanda neurovegetatif dan gejala karakteristik depresi mayor (seperti gangguan tidur dan nafsu makan, berkurangnya libido, kelelahan) juga terdapat pada wanita non-depresi pada masa puerperium akut. Banyak skala penilaian yang dipakai untuk wanita bukan masa nifas (contohnya Beck Depression Inventory) belum divalidasi pada populasi puerperal. Sebaliknya Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) yang terdiri dari 10 pertanyaan, yang harus dijawab sendiri telah digunakan secara luas untuk deteksi depresi pasca salin dan telah dibuktikan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang memuaskan pada wanita masa nifas. Walaupun belum begitu sering digunakan EPDS dapat mudah digunakan secara bersamaan pada evaluasi rutin wanita pasca salin. Skala penilaian ini dapat menapis wanita yang butuh evaluasi psikiatrik lebih lanjut. Skala EPDS saat ini tengah dipakai pada penelitian kohort multietnik dan multisenter pada depresi pasca salin di Jakarta. (13) Tabel 4 Edinburgh Postnatal Depression Scale Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) telah dikembangkan untuk membantu profesional perawatan kesehatan primer untuk mendeteksi ibu yang menderita depresi pasca salin; sebuah distress yang lebih panjang dari blues dan tidak begitu berat dibanding psikosis puerperalis. Studi yang lampau telah menunjukkan bahwa depresi pasca salin mengenai kurang lebih 10% wanita dan masih banyak wanita yang depresi tidak mendapatkan pengobatan. Wanita ini mungkin masih bisa mengurus bayi dan pekerjaan rumah namun kesenangan hidupnya sangat terganggu dan bisa terdapat efek jangka panjang terhadap keluarganya. EPDS dikembangkan pada pusat kesehatan di Livingston dan Edinburgh. EPDS terdiri dari 10 pernyataan pendek. Pasien menggarisbawahi salah satu di antara 4 pernyataan yang paling cocok dengan dirinya selama 1 minggu terakhir. Sebagian besar pasien melengkapi pertanyaan ini tanpa kesulitan dalam waktu kurang dari 5 menit. Validasi studi menunjukkan bahwa bila ibu yang memiliki skor di atas ambang 12/13 diperkirakan menderita gangguan depresif dengan berat yang bervariasi. Namun skor EPDS tidak boleh mengesampingkan diagnosis klinik. Penilaian klinis yang teliti harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Skala ini mengindikasikan yang pasien rasakan selama 1 minggu yang lalu dan pada kasus yang meragukan penilaian bisa diulang 2 minggu kemudian. Skala ini tidak bisa mendeteksi pasien dengan neurosis ansietas, fobia atau gangguan penilaian. Petunjuk bagi pengguna : 1. Pasien diminta utnuk menggarisbawahi pernyataan yang paling cocok dengan yang dirasakannya dalam 7 hari terakhir. 2. Seluruh pernyataan harus terisi. 3. Harus dijaga agar pasien tidak mendiskusikan jawabannya dengan orang lain. 4. Pasien harus mengisi skala ini sendiri, kecuali bila terdapat kesulitan dalam berbahasa

Indonesia atau tidak dapat membaca (buta huruf) 5. EPDS bisa digunakan 6-8 minggu pasca salin untuk penapisan gangguan depresi pasca salin. Klinik kesehatan anak, pemeriksaan nifas atau kunjungan rumah bisa menyediakan skala ini untuk penapisan. EDINBURGH POSTNATAL DEPRESSION SCALE (EPDS) J.L. Cox, J.M. Holden, R. Sagovsky Bagian Psikiatri, Universitas Edinburgh Nama : Alamat : Umur bayi : Ibu baru saja melahirkan, kami ingin mengetahui bagaimana perasaan ibu. Mohon garis bawahi jawaban yang paling cocok dengan yang ibu rasakan selama 7 hari terakhir, tidak hanya yang ibu rasakan hari ini. Berikut ini contoh yang sudah dilengkapi. Saya merasa bahagia : Ya, sepanjang waktu Ya, hampir sepanjang waktu Tidak, tidak terlalu sering Tidak, sama sekali tidak Hal ini berarti saya merasa bahagia sepanjang waktu selama minggu terakhir. Mohon lengkapi pernyataan di bawah ini dengan cara yang sama. Dalam 7 hari terakhir : 1. Saya bisa tertawa dan melihat sisi yang lucu pada sesuatu. Sesering saya bisa Tidak terlalu banyak sekarang Yang pasti sekarang tidak banyak Tidak sama sekali 2. Saya mengerjakan suatu pekerjaan dengan kesenangan Sesering yang saya kerjakan Kurang dibandingkan sebelumnya Sangat kurang dibandingkan sebelumnya Tidak sama sekali 3. Saya menyalahkan diri sendiri kalau sesuatu salah Ya, hampir setiap waktu Ya, hampir agak sering Tidak terlalu sering Tidak pernah 4. Saya pernah cemas atau khawatir tanpa alasan yang jelas Tidak sama sekali Sangat jarang Ya, kadang-kadang Ya, sangat sering 5. Saya pernah merasa takut atau panik tanpa alasan yang jelas Ya, sangat sering Ya, kadang-kadang Tidak, sangat jarang Tidak sama sekali 6. Ketika masalah datang pada saya Sebagian besar saya tidak bisa mengatasinya sama sekali Kadang-kadang saya tidak bisa menanggulanginya

Sebagian besar bisa saya tanggulangi Saya bisa menanggulanginya sebaik biasanya 7. Saya merasa tidak bahagia sehingga mengalami kesulitan tidur Ya, hampir setiap waktu Ya, agak sering Tidak terlalu sering Tidak sama sekali 8. Saya merasa sedih Ya, hampir setiap waktu Ya, agak sering Tidak terlalu sering Tidak sama sekali 9. Saya merasa tidak bahagia sehingga saya menangis Ya, hampir setiap waktu Ya, agak sering Hanya pada waktu tertentu Tidak sama sekali 10. Pikiran menyakiti diri sendiri datang pada saya Ya, agak sering Ya, kadang-kadang Hampir tidak pernah Tidak sama sekali Jawaban diberi nilai 0,1,2, dan 3 menurut beratnya gejala. Skor total didapat dengan menjumlahkan seluruh skor dari seluruh pertanyaan. Pemakai bisa memperbanyak skala ini tanpa izin penulis dengan mencantumkan nama penulis, judul dan sumber pada seluruh kopi perbanyakan. DIAGNOSIS BANDING (2,8,11,12) Beberapa penyakit medis dapat menyerupai gangguan psikiatrik selama masa nifas. Hipotiroidisme relatif umum pada wanita pasca salin dan dapat menyebabkan gejala menyerupai gangguan depresif mayor. Wanita dengan gangguan psikiatrik sebelumnya dapat mengalami eksaserbasi selama masa nifas. Lebih jauh lagi gangguan psikiatrik tertentu dapat muncul untuk pertama kalinya pada masa nifas. Skizofrenia atau gangguan skizoafektif terutama bila terdapat gejala positif dapat sulit dibedakan dengan psikosis puerperalis. Gejala ansietas merupakan gejala yang umum selama masa nifas dan bisa timbul dengan atau tanpa gangguan mood. Masa nifas merupakan masa peningkatan risiko gangguan panik dan gangguan obsesif kompulsif. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS (2,8,10,14) Durasi gangguan psikiatrik masa nifas bervariasi. Episode puerperalis biasanya berlangsung relatif singkat dan biasanya lamanya tidak lebih dari 3 bulan. Banyak wanita yang menderita gangguan tersebut lebih lama dan beberapa studi menegaskan bahwa episode depresif lebih berat pada orang-orang yang mempunyai riwayat gangguan depresif mayor. (2,10,14) Secara umum wanita dengan gangguan mood pasca salin mempunyai prognosis yang baik. Pada kira-kira setengah kasus depresi pasca salin atau psikosis puerperalis merupakan onset gangguan psikiatrik yang pertama. Walaupun diperkirakan adanya subpopulasi wanita yang hanya mempunyai episode puerperal gangguan psikiatrik, mayoritas wanita dengan gangguan gangguan psikiatrik masa nifas akan berlanjut mempunyai episode gangguan psikiatrik nonpuerperal. Angka rekurensi tampaknya tinggi pada wanita dengan gangguan bipolar. (2,8,10) Gangguan psikiatrik masa nifas berhubungan dengan gangguan psikiatrik rekuren pada ibunya. Kegagalan mengobati bisa berperan dalam timbulnya gangguan psikiatrik jangka

panjang dan lebih refrakter terhadap pengobatan. Data-data ini menegaskan bahwa hasil akan lebih baik bagi wanita yang mendapat pengobatan dini. Pada kepustakaan dijelaskan mengenai efek depresi ibu terhadap perkembangan anak. Gangguan mengurus anak merupakan kesulitan yang umum terjadi pada wanita dengan depresi masa nifas atau psikosis. Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa terdapat gangguan tingkah laku pada anak yang ibunya menderita depresi masa nifas. Anak-anak ini pun memperlihatkan kekurangan pada tes kemampuan kognitif yang terstruktur dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya tidak depresi. Salah satu kejadian yang paling berbahaya adalah kekerasan pada anak. Wanita yang menderita gangguan psikiatrik lebih banyak menelantarkan anaknya dan lebih banyak terjadi child abuse. Pembunuhan anak relatif jarang terjadi dan bila terjadi lebih banyak pada wanita penderita psikosis. (2,14) PENGOBATAN (2,15,16) Seperti halnya penyakit depresif nonpuerperal, gangguan psikiatrik masa nifas merupakan suatu rangkaian kesatuan tertentu. Pasien bisa mengalami gejala ringan, sedang atau berat. Pendekatan klinisi terhadap pasien harus didasari jenis dan beratnya gejala serta derajat kemunduran fungsi. Bagaimana pun juga sebelum memulai terapi psikiatrik, penyebab medis dari gangguan mood (seperti disfungsi tiroid, sindroma Sheehan) harus disingkirkan terlebih dahulu. Evaluasi inisial harus mencakup riwayat yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium rutin. Postpartum Blues Karena postpartum blues biasanya gejalanya ringan dan sembuh secara spontan, tidak ada pengobatan spesifik yang diindikasikan kecuali dukungan (support) dan penentraman hati (reassurance). Walaupun gejala-gejala bisa membuat ibu menjadi distress namun secara khas tidak mengganggu kemampuan ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya. Konsultasi psikiatrik biasanya tidak diperlukan. Namun pasien diinstruksikan untuk menemui ahli obstetri atau penolong persalinannya bila gejala menetap lebih dari 2 minggu untuk mengidentifikasi adanya gangguan psikiatrik yang lebih serius. Wanita dengan riwayat gangguan psikiatrik, terutama depresi pasca salin, harus diawasi dengan ketat karena wanita ini mempunyai risiko lebih besar untuk menderita kembali gangguan psikiatrik pasca salin. (2,15) Depresi Pasca Salin Walaupun depresi pasca salin relatif sering terjadi, hanya sedikit studi yang membahas secara sistematis efektifitas terapi farmakologis dan non farmakologis pada gangguan ini. Bagaimanapun juga tidak ada data yang menunjukkan bahwa pengelolaan depresi pasca salin berbeda dengan gangguan depresif mayor nonpuerperal. Namun terdapat kecenderungan menganggap pengobatan wanita dengan depresi pasca salin kurang penting dibandingkan dengan yang terjadi bukan pada masa nifas, padahal pada depresi pasca salin terdapat bahaya bagi ibu dan bayi. Karena tidak adanya data, depresi pasca salin memerlukan pengobatan dengan intensitas yang sama seperti pada waktu yang lain. Makin dini depresi pasca salin diobati makin baik prognosisnya. (2,15,16) TERAPI NONFARMAKOLOGIS (2,15) Terapi nonfarmakologis biasanya dilakukan pada depresi pasca salin, walaupun data yang mendukung efektifitas jenis terapi ini sangat terbatas. Walaupun studi yang menilai kegunaan psikoterapi orientasi wawasan pada pengobatan depresi pasca salin belum ditemukan hasil yang konsisten, namun psikoterapi individual lain yang lebih terstruktur banyak menjanjikan. Terapi interpersonal terbatas waktunya dan psikoterapi berorientasi interpersonal telah berhasil pada pasien depresi nonpuerperal. Modalitas terapi ini terpusat pada hubungan interpersonal dan telah diadaptasi untuk pengobatan depresi pasca salin. Terapi interpersonal bisa berguna pada keadaan berikut ini : transisi peran

gangguan hubungan suami istri dan dukungan sosial lainnya interaksi dengan bayi Pada studi awal yang terbaru, terapi interpersonal terbukti efektif untuk pengobatan wanita dengan gangguan depresif mayor pasca salin tingkat ringan sampai sedang. (2) Terapi tingkah laku - kognitif bisa juga berguna pada keadaan ini. Pada studi pengobatan random, menggunakan kontrol pasebo, yang terbaru menunjukkan bahwa terapi tingkah laku - kognitif dalam waktu singkat seefektif pengobatan dengan fluoksetin (Prozac) pada wanita dengan depresi pasca salin. Pertemuan terstruktur terpusat pada tema spesifik pada ibu dengan depresi pasca salin yaitu ketidakmampuan menanggulangi perawatan anaknya merasa kekurangan dukungan, tidak adanya aktivitas yang menyenangkan. Reduksi yang bermakna pada gejala depresif juga diobservasi pada wanita setelah 6 sesi terapi tingkah laku - kognitif setelah periode 12 minggu. Intervensi nonfarmakologis ini bisa juga berguna pada pasien yang enggan menggunakan medikasi psikiatrik atau pasien dengan gangguan depresif tipe yang lebih ringan. Intervensi ini bisa dilakukan dalam kunjungan ke rumah oleh perawat yang atau personal yang telah terlatih. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efikasi modalitas terapi ini pada wanita yang menderita gangguan mood pasca salin yang lebih berat. TERAPI FARMAKOLOGIS (2,15,17) Beberapa studi telah mengukur efikasi medikasi antidepresan pada pengobatan gangguan mood pasca salin. Mayoritas studi ini adalah eksperimen terbuka walaupun beberapa studi terakhir menggunakan desain acak ganda. Beberapa studi telah mendemonstrasikan efikasi medikasi antidepresan. (misalnya fluoksetin, sertralin, venlafaksin) pada terapi gangguan depresif mayor pasca salin. Pada seluruh studi, dosis antidepresan standar efektif dan ditoleransi dengan baik. (2,15,17) Pilihan obat antidepresan harus dipandu dengan respon pasien terhadap antidepresan sebelumnya dan profil efek samping obat sebelumnya. Fluoksetin dan golongan SSRI lainnya obat pilihan pertama karena adanya efek ansiolitik, biasanya non sedatif, dan bisa ditoleransi dengan baik. Antidepresan trisiklik sering digunakan, karena efek sedatifnya yang kuat dan baik digunakan bagi wanita dengan gangguan tidur. Karena seringnya dijumpai gejala ansietas pada wanita dengan depresi pasca salin, maka tambahan terapi benzodiazepin (seperti klonazapam, lorazepam) bisa sangat membantu. (2,17) Wanita yang akan menyusui anaknya harus diberitahu bahwa semua medikasi psikiatrik termasuk obat antidepresan disekresikan ke dalam air susu ibu. Konsentrasi dalam air susu sangat bervariasi, namun tidak ada data yang menunjukkan bahwa antidepresan yang satu lebih aman dari pada antidepresan yang lain. Data yang ada pada penggunaan obat antidepresan trisiklik, fluoksetin, dan sertralin selama menyusui bayi menunjukkan bahwa komplikasi berat pada neonatus karena paparan air susu yang mengandung psikotropik jarang terjadi. Namun efek pemakaian jangka panjang tidak diketahui. (2,17) Perawatan rumah sakit Pada depresi pasca salin berat perawatan rumah sakit diperlukan, terutama bagi pasien yang mempunyai risiko bunuh diri. Di Inggris program rawat bersama ibu dan bayi telah menunjukkan sukses. Namun unit ibu dan bayi jarang digunakan di Amerika Serikat. Wanita dengan depresi pasca salin yang berat harus dipertimbangkan terapi elektro konvulsif karena sangat efektif dan aman. Pada pemilihan strategi pengobatan, penting untuk mempertimbangkan dampak dari perawatan rumah sakit yang lama terhadap perkembangan bayi dan kedekatan ibu dan bayi. (2,15,16,17) TERAPI HORMONAL (2,9,17) Periode pasca salin berhubungan dengan pergantian lingkungan hormonal yang cepat, terutama turunnya estrogen dan progesteron dengan drastis. Dengan meningkatnya buktibukti yang menunjukkan bahwa sistem neurotransmiter yang dimodulasi steroid gonad

terlibat dalam patogenesis gangguan mood, banyak peneliti mengusulkan manipulasi hormonal dalam pengobatan gangguan mood pasca salin. Beberapa penulis menyarankan pengobatan progesteron pada pengelolaan depresi pasca salin. A.J. Gregoire dan kawankawan meneliti pemakaian estrogen eksogen pada wanita dengan depresi pasca salin. Walaupun penelitian ini kecil dan masih terdapat kelemahan yaitu dengan dimasukkannya pasien yang sudah diterapi dengan antidepresan sebelumnya, studi tersebut merupakan yang pertama yang menunjukkan bahwa estrogen sendiri (atau bisa juga sebagai tambahan terhadap terapi antidepresan) bisa berguna sebagai terapi depresi pasca salin. (2,9) Pada titik ini belum jelas tipe pasien yang akan berespon terhadap terapi hormonal. Pada kasus depresi sedang sampai berat, pengobatan farmakologi lini pertama haruslah antidepresan. (2,17) PSIKOSIS PUERPERALIS (2,15,16,17) Psikosis puerperalis adalah keadaan emergensi psikiatrik yang memerlukan perawatan rumah sakit. Karena hubungan yang erat antara psikosis puerperalis dan gangguan bipolar, beberapa peneliti berargumen bahwa psikosis pasca salin tidak bisa dipisahkan dari psikosis manik dan harus diterapi serupa. Pengobatan jangka pendek dengan antipsikotik sudah cukup bagi penderita gangguan ini. Sebagian besar peneliti telah mencoba pengobatan litium pada psikosis puerperalis. Efikasi stabilisator mood lainnya (seperti asam valproat, karbamazepin) belum terlalu banyak diketahui. Menyusui harus dihindari pada pasien yang menggunakan litium, karena litium diekskresikan ke dalam air susu dalam jumlah tinggi dan menyebabkan toksisitas pada neonatus. ECT (biasanya bilateral) ditoleransi dengan baik dan efektif dengan cepat. (2,16) Kegagalan mengobati psikosis puerperalis menempatkan ibu dan bayinya ke dalam risiko. Infantisida yang berkaitan dengan psikosis puerperalis yang tidak diobati sebesar kurang lebih 4% dan risiko bunuh diri pada populsi ini juga sangat tinggi. Walaupun beberapa penulis menganjurkan penghentian medikasi psikotropik segera setelah gejala psikosis hilang, beberapa penulis lain menganjurkan pengobatan yang lebih lama dengan alasan wanita tersebut berada pada risiko tinggi untuk mendapat gangguan psikiatrik berat selama 1 tahun setelah kelahiran bayi. Pemakaian jangka panjang antipsikotik konvensional harus diminimalisasi karena risiko diskinesia tardif. Jika medikasi neuroleptik dihentikan harus diturunkan dosis secara bertahap dengan pengawasan ketat untuk memantau kekambuhan yang bisa terjadi. Pengobatan dengan stabilisator mood harus diteruskan sampai hilangnya gejala-gejala aktif untuk mengurangi risiko kambuh. Lamanya terapi yang adekuat dengan stabilisator mood belum ditetapkan secara baku. Pasien psikosis puerperalis harus menerima pengobatan stabilisator mood lanjutan untuk waktu yang tidak ditentukan masih merupakan kontroversi, walaupun beberapa studi menegaskan bahwa gangguan mood rekuren (terutama gangguan bipolar) acap kali terjadi setelah episode psikosis puerperalis. (2,15,17) PREVENSI Tidak mungkin untuk memprediksi wanita pada populasi umum yang akan berkembang menjadi gangguan mood pasca salin. Identifikasi wanita pada risiko tertinggi untuk menderita psikosis puerperalis meningkatkan diagnosis dan pengobatan dini dan meminimalkan risiko kesakitan pada ibu dan bayinya. Ada karakteristik tipe wanita yang lebih rentan terhadap gangguan mood pasca salin. Wanita dengan riwayat gangguan afektif mempunyai risiko memburuk penyakitnya di masa nifas. (2) Tabel 5 Faktor Risiko dan Pilihan Terapi pada Gangguan Mood Pasca Salin Diagnosis Risiko Pilihan Terapi Tidak ada riwayat gangguan psikiatrik Postpartum blues

Riwayat gangguan depresif mayor (eutimik tanpa medikasi) Riwayat depresi pasca salin

Riwayat gangguan siklotimik Riwayat gangguan depresif mayor berat rekuren (eutimik tanpa medikasi) Riwayat depresi pasca salin gangguan depresif mayor berat rekuren Riwayat gangguan depresif mayor berat rekuren (eutimik dengan medikasi selama kehamilan) Depresi selama kehamilan Riwayat gangguan bipolar I atau II Riwayat psikosis puerperalis RENDAH

SEDANG

TINGGI

TERTINGGI

Observasi Observasi dan dukungan Observasi Pertimbangkan profilaksis terapi interpersonal Observasi ketat Pertimbangkan profilaksis antidepresan Observasi ketat Pertimbangkan profilaksis litium Observasi ketat Pertimbangkan profilaksis antidepresan

Pertimbangkan profilaksis antidepresan Teruskan medikasi antidepresan

Pengobatan dengan medikasi antidepresan Profilaksis litium Profilaksis litium Karena telah ditemukannya faktor-faktor risiko untuk terjadinya gangguan mood pasca salin banyak peneliti mencari cara profilaksis. Beberapa studi telah membuktikan wanita dengan riwayat gangguan bipolar mendapatkan keuntungan dengan terapi profilaksis litium yang diberikan sebelum persalinan (pada minggu 36 kehamilan) atau tidak lebih dari dari 48 jam pasca salin. Profilaksis litium nampaknya menurunkan angka kekambuhan, menurunkan berat dan durasi gangguan nifas. (2,17) Sebuah studi pendahuluan mendeskripsikan efek profilaksis antidepresan yang diberikan pada wanita dengan riwayat depresi pasca salin. Efikasi antidepresan profilaksis pada wanita dengan depresi nonpuerperalis rekuren masih dalam penelitian. Intervensi psikososial, seperti psikoedukasional dan kelompok suportif, sering ditambahkan pada perawatan masa nifas. Intervensi ini belum diteliti lebih lanjut efektifitasnya dalam mencegah gangguan mood pasca salin. Beberapa peneliti telah meneliti kegunaan kelompok psikoedukasional selama kehamilan dan masa nifas serta telah menemukan penurunan insidensi depresi pasca salin yang bermakna pada wanita yang mendapatkan intervensi ini dibandingkan dengan kontrol yang tidak diterapi. (2,9) Terapi interpersonal telah digunakan secara berhasil pada penelitian kohort gangguan depresif mayor nonpuerperalis untuk mencegah kekambuhan. Walaupun belum pernah diteliti pada populasi wanita masa nifas, terapi interpersonal dan teknik sejenis bisa dilakukan untuk profilaksis selama masa nifas. Petugas yang biasa berpartisipasi secara rutin pada perawatan masa nifas jangka pendek (seperti perawat) secara ideal harus mampu menapis dan melakukan intervensi dini pada gangguan mood pasca salin. (2,15) Profilaksis terhadap gangguan depresif pasca salin bisa dikonseptualisasikan sebagai suatu kelanjutan di mana seorang wanita bisa berada pada risiko rendah untuk terkena gangguan mood pasca salin dan wanita lain berada pada risiko tinggi. Spektrum pasien yang berisiko untuk terjadinya gangguan mood pasca salin dan peranan profilaksis farmakologis dan non farmakologis digambarkan pada Tabel 5. Pendekatan yang kurang agresif cukup pada wanita dengan post partum blues dan wanita tanpa riwayat gangguan psikiatrik. Wanita dengan risiko tinggi terutama yang mempunyai riwayat gangguan psikiatrik memerlukan pemantauan yang lebih ketat. 11. PEMBAHASAN Pasien ini didiagnosis sebagai gangguan jiwa dan perilaku berat yang berhubungan dengan masa nifas. Klasifikasi ini hanya digunakan untuk gangguan jiwa yang berhubungan dengan masa nifas (timbul dalam 6 minggu setelah persalinan) yang tidak memenuhi kriteria gangguan lain dalam PPDGJ. (12) Spesifikasi dengan onset pasca salin bisa digunakan untuk mendeskripsikan episode depresif mayor, manik atau campuaran (pada gangguan depresif mayor atau gangguan bipolar I atau II) atau gangguan psikotik singkat, jika episodenya berlangsung dalam 4 minggu pertama pasca salin. (11) Sedangkan diagnosis banding gangguan depresif berulang episode kini berat dengan gejala psikotik dipertimbangkan bila onset gejala berlangsung sebelum persalinan. Gejala-gejala

dapat saja sama hanya onset yang membedakannya. Sedangkan diagnosis gangguan psikotik akut dan sementara lainnya masih dipertimbangkan pada waktu masuk rumah sakit bila durasi penyakit keseluruhan kurang dari 2 minggu. (12) Namun ternyata durasi keseluruhan lebih dari 2 minggu dan gangguan jiwa dan perilaku berat yang berhubungan dengan masa nifas merupakan diagnosis yang paling tepat. Etiologi tersebut diduga multifaktorial dan beberapa faktor risiko diduga berperan pada terjadinya depresi pasca salin antara lain faktor sosiokultural (dalam hal ini dukungan suami dan keluarga, atau mungkin juga faktor kepercayaan, etnik) faktor obstetrik ginekologik (kondisi bayi dan kondisi fisik ibu), faktor psikososial (adanya stresor psikososial, faktor kepribadian, riwayat mengalami depresi dan problem emosional lainnya), serta faktor hormonal yang kini diduga kecil pengaruhnya terhadap depresi pasca salin. (5,6,7) Pada kasus ini terdapat faktor predisposisi riwayat gangguan afektif sebelumnya (depresi berat dengan gejala psikotik) dan riwayat gangguan jiwa dan perilaku berat yang berhubungan dengan masa nifas pada kehamilan pertama dan terakhir faktor presipitasinya adalah kematian bayi yang dikandungnya sekarang. Pengobatan jangka pendek dengan antipsikotik sudah cukup bagi penderita gangguan ini. (2) Walaupun beberapa penulis menganjurkan penghentian medikasi psikotropik segera setelah gejala psikosis hilang, beberapa penulis lain menganjurkan pengobatan yang lebih lama dengan alasan wanita tersebut berada pada risiko tinggi untuk mendapat gangguan psikiatrik berat selama 1 tahun setelah kelahiran bayi. Pemakaian jangka panjang antipsikotik konvensional harus diminimalisasi karena risiko diskinesia tardif. Jika medikasi neuroleptik dihentikan harus diturunkan dosis secara bertahap dengan pengawasan ketat untuk memantau kekambuhan yang bisa terjadi.(2) Terbukti pada penderita ini pun pengobatan dengan Haloperidol dan Klorpromazin sudah cukup menjadikan penderita sembuh dalam waktu 3 minggu. Prognosis pada penerita ini cukup baik namun harus diperhatikan kemungkinan berulangnya penyakit ini pada waktu yang lain. (2, 8,10) DAFTAR PUSTAKA 1. Elvira ED. Depresi pasca persalinan. Indon Psychiat Quart 2000 : XXXIII . 2 : 109-10. 2. Kaplan HI, Saddock BJ. Comprehensive Text Book of Psychiatry, 7th ed. Baltimore, William & Wilkins. 2000 : 1276-83. 3. Yoga BH, Soewadi, Firngadi M. Prevalensi depresi pada wanita postpartum di bangsal Kebidanan RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Indon Psychiat Quart 2000 : XXXIII . 2 : 163-7. 4. Shoeb IH, Hassan GA. Post-partum psychosis in the Assir Region of Saudi Arabia. Br J Psychiatry 1990, 157: 427-30. 5. Buist A, Westley D, Hill C. Antenatal prevention of postnatal depression. Archieves of Womens Mental Health. Springer-Verlag 1999: 167. 6. Hagen EH. Is postpartum depression functional? An evolutionary inquiry. A paper presented at the Human Behavior and Evolution Society Annual Meeting, Northwestern University, Evanston Illinois June 1996; 1-2, 9-13. 7. Chung-Hey Chen. Etiology of postpartum depression - A review. Kaohsiung J Med Sci 1995; 11:14. 8. Agrawal P, Bhatia MS, Malik SC. Post partum psychosis: a clinical study. Int J Soc Psychiatry 1997, 43:3, 217-22. 9. Kumar R, Marks M, Wieck A, Hirst D, Campbell I, Checkley S. Neuroendocrine and psychosocial mechanism in post partum psychosis. Prog Neuropsycopharmacol Biol Psychiatry 1993, 17:4, 571-9. 10. Glaze R, Chapman G, Murray D. Recurrence of puerperal psychosis during late pregnancy. Br J Psychiatry 1991, 159: 567-9. 11. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders,

4th ed. Washington DC, American Psychiatric Association. 1994: 296-301. 12. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 1993 : 253-4. 13. Ismail RI, Elvira SD, Kusumadewi I, Wibisono S. A preliminary report on postpartum depression : a part of a multiethnic and multi-centre cohort study (centre: Jakarta). Indon Psychiat Quart 2000 : XXXIII . 2 : 169-74. 14. Videbech PB, Gouliaev GH. Prognosis of the onset of postpartum psychosis. Demographic, obstetric and psychiatric factors. Ugeskr Laeger 1996, 158:21, 2970-4. 15. Pinkofsky HB. Psychosis during pregnancy: treatment considerations. Ann Clin Psychiatry 1997, 9:3, 175-9. 16. Berle JO. Severe postpartum depression and psychosis -- when is electroconvulsive therapy the treatment of choice? Tidsskr Nor Laegeforen 1999, 119:20, 3000-3. 17. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, 1st ed. Jakarta: ---. 1998: 14-24. Diposkan oleh Kesehatan Jiwa di 02:12 0 komentar Beranda Langganan: Entri (Atom)

Arsip Blog

2008 (1) o Juni (1) Gangguan Jiwa pasca persalinan

Mengenai SayaKesehatan Jiwa Lihat profil lengkapku