kertas kajian kedudukan hukum pemilih dalam · pdf filekedudukan hukum pemilih dalam sengketa...

12
1 | Page KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, 11 Oktober 2015 KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KoDe) INISIATIF Jl. M. Kahfi I No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620 Telp/Fax: +62 21 78847507 www.kodeinisiatif.org

Upload: phungnhu

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

1 | P a g e

KERTAS KAJIAN

KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA

HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Jakarta, 11 Oktober 2015

KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KoDe) INISIATIF

Jl. M. Kahfi I No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620 Telp/Fax: +62 21 78847507

www.kodeinisiatif.org

Page 2: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

2 | P a g e

KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI

MAHKAMAH KONSTITUSI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal

telah memberikan jawaban atas kebuntuan soal keberadaan calon tunggal. Melalui putusan ini,

pilkada yang hanya diikuti oleh 1 (satu) pasangan calon baik pada saat pendaftaran,

perpanjangan pendaftaran maupun berhalangan tetap sebelum dan sesudah masa kampanye tetap

bisa dilaksanakan. Namun persoalannya, bagaimana pengaruhnya terhadap kedudukan hukum

pemohon (legal standing) dalam sengketa hasil pilkada khususnya pemilihan yang hanya diikuti

oleh satu pasangan calon?

Misal, pasangan calon tunggal terpilih dengan suara terbanyak, namun ditemukan dugaan

kecurangan yang begitu massif, maka siapakah yang berhak mengajukan permohonan sengketa

ke MK? Mengingat hanya ada satu pasangan calon saja. Sebab dalam Peraturan MK Nomor 1

Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala daerah, telah membatasi pihak (pemohon) yang berhak mengajukan

permohonan sengketa pilkada. Pihak yang berhak mengajukan permohonan hanya pasangan

calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta pasangan calon walikota dan

wakil walikota.

Oleh karena itu, perangkat hukum yang disiapkan MK belum menjawab perkembangan itu.

Jika aturan ini tetap dipedomani, maka tidak ada pihak yang bisa mengajukan mengingat hanya

ada satu pasangan calon.

Bawaslu tentu tidak memiliki ruang untuk mengajukan gugatan, karena posisinya sebagai

lembaga penyelenggara yang mandiri. Kalaupun dilibatkan, tentu sebatas memberikan

keterangan atas laporan dugaan pelanggaran yang pernah terjadi. Begitu juga partai politik yang

tidak mengajukan calon sehingga mengakibatkan munculnya satu pasangan calon. Sejak itu,

partai kehilangan hak gugatnya, karena dalam kontestasi pilkada ini tidak sama sekali

memperoleh mandat rakyat melalui pemungutan suara. Oleh karena itu memberikan hak kepada

partai untuk menggungat jelas tidak berdasar.

Memang muncul pemikiran untuk memberikan hak gugat itu kepada pemantau pemilu,

karena dianggap bagian dari pemilih. Namun pada prinsipnya pemantau pemilu merupakan

kelembagaan independen, bukan bagian dari tim pemenangan pemilu. Pemantau mesti

menempatkan pada posisi tengah untuk mengawal agar penyelenggaraan pilkada berjalan jujur

dan adil.

Mengingat perkembangan itu, hendaknya kedepan perseorangan warga negara yang

memiliki hak pilih (didaerah itu) diberikan hak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil

pilkada di MK. Sebab pemilih/rakyat merupakan subjek utama dalam mekanisme demokrasi

KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF

Jl. M. Kahfi I No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620

Telp/Fax: +62 21 78847507

www.kodeinisiatif.org

Page 3: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

3 | P a g e

procedural (Pilkada). Mekanisme pemilihan ini tidak hanya menjalankan ketentuan Pasal 18B

UUD 1945 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Namun prosedur pemilihan ini

sesungguhnya menjalankan perintah konstitusi dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, bahwa

kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang.

Posisi pemilih dalam proses sengketa, bisa secara langsung menjadi pihak yang merasa

dirugikan akibat proses pemilih yang tidak berlangsung jujur dan adil. Pemilih diberikan hak

gugat seperti halnya konsep citizen law suit. Melalui mekanisme ini, pemilih secara sendiri-

sendiri bisa mengajukan permohonan. Atau melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok

(class action), dimana pemilih bisa mengajukan gugatan secara berkelompok yang diwakilkan

kepada wakil kelompok yang merasa dirugikan atas pelaksanaan pemilu yang tidak jujur dan

adil.

Namun terhadap mekansime tersebut, perlu adanya penyesuaian dengan mekanisme

sengketa hasil di MK. Perseorangan yang akan menggugat sebaiknya warga negara yang

memiliki hak pilih di satu daerah itu saja (tidak lintas daerah). Begitu juga soal waktu, mestinya

pemilih yang akan mengajukan gugatan diberikan waktu lebih longgar sehingga memiliki

kesempatan untuk mengonsolidasikan diri. Waktu 3 hari setelah penetapan hasil pilkada tentu

terlalu singkat, bahkan oleh pasangan calon yang telah terorganisir sekalipun. Apalagi untuk

pemilih yang tidak secara langsung memiliki akses terhadap dokumen seperti halnya pasangan

calon dan saksinya. Bahkan dalam proses pembuktian, MK bisa memerintahkan kepada KPU

untuk menghadirkan dokumen yang diduga termanipulasi. Begitu juga dengan Bawaslu sebagai

pengawas untuk dimintakan keterangan terhadap proses yang berjalan

Pada prinsipnya, mekanisme gugatan perseorangan bisa diberikan ruang untuk

membuktikan bukti awal terjadinya kecurangan terhadap mekanisme dan proses pemilihan

secara massif, sistematis dan terstruktur. Tentu kesemuanya harus mempengaruhi hasil pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan hal itu, maka disampaikan beberapa

rekomendasi sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi hendaknya merevisi Peraturan MK Nomor 1,2 dan 3 Tahun

2015 terkait prosedur dan tata cara pengajuan gugatan perselisihan hasil pilkada dengan

memasukkan pemilih baik sendiri maupun berkelompok sebagai pihak yang memiliki

hak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada di MK.

2. Memberikan waktu yang lebih leluasa kepada pemilih untuk mengajukan permohonan.

3. Membuat desain hukum acara yang lebih memudahkan bagi pemilih untuk dapat

mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi

Jakarta, 15 Oktober 2015

Cp. Veri Junaidi (Ketua KoDe): 085263006929

Arie M Haikal (Peneliti KoDe): 085265331945

Page 4: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

4 | P a g e

A. PUTUSAN CALON TUNGGAL DAN PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang

Pengujian Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 (2), Pasal 52 (2),

Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah memberikan jawaban atas kebuntuan soal

keberadaan calon tunggal. Melalui putusan ini, pilkada yang hanya diikuti oleh 1 (satu)

pasangan calon baik pada saat pendaftaran, perpanjangan pendaftaran maupun berhalangan

tetap sebelum dan sesudah masa kampanye tetap bisa dilaksanakan.

Putusan ini sudah tepat karena mampu menjawab perdebatan apakah calon tunggal

dimungkinkan atau tidak dalam pilkada. Namun sisi lainnya, putusan ini juga menimbulkan

pertanyaan dalam implementasinya, khususnya penerapan dilapangan baik tahapan

pilkadanya maupun mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkada di MK. Selain itu juga

mekanisme pengaturannya, apakah tindaklanjutnya bisa langsung menggunakan peraturan

Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau langsung dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi

(PMK).

Pertama soal kebuntuan dalam mengakomodir calon tunggal. Putusan MK telah

memberikan jawaban soal mekanismenya, pemilih tinggal mencoblos pilihan Setuju atau

Tidak Setuju terhadap pasangan calon tunggal tersebut. Jika pilihan Setuju lebih banyak

daripada Tidak Setuju, maka pasangan calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah dan

wakil kepala daerah terpilih. Namun jika Tidak Setuju, maka pilkada ditunda pada masa

pemilihan berikutnya dan konsekuensinya terjadi kekosongan kepala daerah yang akan diisi

oleh pejabat gubernur, bupati atau walikota.

Kedua soal permasalahan tindak lanjutnya, mengingat mekanisme ini baru diputuskan

pada masa kampanye sudah tentu menghilangkan jatah kampanye pasangan calon. Persoalan

sosialisasi, kesiapan penyelenggara (KPU daerah dan tingkat lapangan, anggaran dan tender

pengadaan alat peraga kampanye dan bentuk fasilitasi KPU lainnya, serta pendaftaran

pemilih harus dikebut dalam waktu dekat, mengingat tahapan pilkada hanya tinggal 2 bulan

lagi.

Selain persoalan tersebut, yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah dampak

putusan MK soal calon tunggal terhadap kedudukan hukum pemohon (legal standing) dalam

sengketa hasil pilkada khususnya pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Misalnya, berdasarkan mekanisme calon tunggal, pasangan calon tunggal terpilih dengan

suara terbanyak, namun ditemukan dugaan kecurangan yang begitu massif, maka siapakah

yang berhak mengajukan permohonan sengketa ke MK? Mengingat hanya ada satu

pasangan calon saja. Siapakah yang diberikan hak konstitusional untuk mengajukan

permohonan ke MK?

Mengingat Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, telah membatasi pihak (pemohon) yang

berhak mengajukan permohonan sengketa pilkada. Pihak yang berhak mengajukan

Page 5: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

5 | P a g e

permohonan hanya pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati

serta pasangan calon walikota dan wakil walikota.

Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji lebih lanjut dengan judul “ Kedudukan

Hukum Pemilih Dalam Sengketa Hasil Pilkada Di Mahkamah Konstitusi Khususnya

Pemilihan Kepala Daerah Yang Diikuti Oleh Calon Tunggal”

B. HAK PILIH, KEDAULATAN RAKYAT DAN HAK ASAS MANUSIA

Kekuasaan atau kedaulatan suatu negara sesungguhnya berasal dari rakyat, begitu juga

dengan pelaksanaannya. Pada hakikatnya rakyatlah yang akan menjalankan kedaulatan itu

untuk mencapai kesejahteraannya. Berkenaan dengan itu, maka demokrasi menawarkan

suatu sistem dimana hak pilih setiap warga negara adalah sangat bermakna. Namun

demikian, wacana mengenai hak pilih warga negara tidak mesti dilihat dari sudut pandang

nilai-nilai demokrasi saja. Wacana tentang hak pilih warga negara erat kaitannya dengan isu

pemenuhan akan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada hubungan antara HAMdan konsep

negara1, yaitu hak yang muncul dalam pemikiran awal tentang negara.

Misalnya dalam Politea, yang ditulis Plato sebagai respon atas keprihatinan terhadap

negara yang dipimpin oleh orang-orang berorientasi harta, haus kekuasaan, dan kehormatan.

Alhasil, kesewenang-wenangan semacam itu mengakibatkan penderitaan bagi rakyat. Atas

kondisi demikian, Plato manawarkan pandangan mengenai eksistensi negara yang ideal, yang

sesuai dengan cita-cita negara yang menjunjung tinggi keadilan dan terbebas dari pemimpin

rakus dan lalim.Pemikiran Plato mengenai negara ideal ini terus berkembang hingga akhirnya

memengaruhi pemikiran Aristoteles.

Dalam bukunya The Politics (yang ditulis sekitar 335 dan 323 SM), Aristoteles

memberikan deskripsi tentang bagaimana konsep dan wujud dari demokrasi

kuno.2Menurutnya, negara ideal harus dijalankan sesuai dengan tatanan hukum dan prinsip

1 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm. 70.

2 Aristoteles dalam gagasan demokrasi klasik, menguraikan bahwa suatu negara dikatakan sebagai negara demokrasi, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)pemilihan atas suatu jabatan oleh semua dari semua; (2) semua memerintah tiap orang dan tiap orang memerintah semua secara bergiliran; (3) jabatan yang diisi oleh orang banyak, baik semuanya atau pokoknya mereka yang tidak membutuhkan pengalaman atau keterampilan; (4) tidak ada suatu masa jabatan yang tergantung pada kualifikasi kepemilikan atau properti, atau hanya pada yang paling rendah yang mungkin; (5) orang yang sama tidak boleh memegang jabatan yang sama dua kali atau boleh tapi jarang atau hanya sedikit jabatan selain yang berhubungan dengan peperangan; (6) jangka waktu yang pendek untuk semua jabatan atau sebanyak mungkin jabatan; (7) semua akan bertindak sebagai juri di pengadilan, yang dipilih dari semua dan yang dipilih dari semua dan menghakimi semua atau sebagian besar masalah, yaitu yang tertinggi dan paling penting, semisal masalah yang mempengaruhi konstitusi, pengawasan dan kontrak antarindividu; (8) majelis sebagai otoritas tertinggi dalam segala hal atau setidaknya dalam masalah-masalah yang paling penting, sedangkan para pejabat tidak memiliki kekuasaan lebih tinggi dari siapapun atau kalaupun punya maka sangat sedikit; (9) pembayaran atas pelayanan, dalam majelis, dalam ruang pengadilan dan di kantor-kantor, dikenakan biaya yang sama untuk semua; (10) karena kelahiran, kekayaan dan pendidikan adalah tanda-tanda menentukan dalam oligarkhi, jadi kebalikannya, yaitu kelahiran yang hina, kemiskinan dan pendidikan yang rendah dianggap umum dalam demokrasi; dan (11) tidak ada pejabat yang

Page 6: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

6 | P a g e

demokrasi. Satu prinsip dasar dari konstitusi demokratis adalah kebebasan, sebab demokrasi

ditujukan untuk kebebasan itu sendiri.3 Dengan demikian, dari pemikiran ini demokrasi telah

memberikan porsi kekuasaanlebih besar pada rakyat dalam menjalankan kekuasaan negara.

Berangkat dari beberapa pemikiran di atas, maka disadari bahwa rakyat dibayangkan

ada sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Rakyatlah yang berhak untuk memilih,

menentukan, dan menjalankan kekuasaan negara.4 Kekuasaan tersebut hendaknya dijalankan

rakyat dengan berlandaskan pada kebebasan yang dijamin hak-haknya.5

Kebebasan

dimaksudkan untuk menjamin penggunaan hak pilih merupakan kehendak bebas, tanpa

tekanan, intimidasi, dan manipulasi. Meskipun demikian, kebebasan itu sendiri memerlukan

kesadaran akan kesetaraan politik yang kuat di kalangan rakyat. Kesadaran akan kesetaraan

politik ini tecermin pada pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih secara

bebas dan juga hak untuk dipilih. Dengan demikian, kesetaraan politik semacam ini

mendudukkan rakyat pada posisi dan kesempatan „yang seimbang‟.

Lebih lanjut, kebebasan menggunakan hak pilih sejalan dengan apa yang dijelaskan

John Rawls tentang konsep kebebasan. Menurut Rawls, orang mempunyai kemerdekaan

untuk melakukan sesuatu ketika mereka bebas dari batasan-batasan tertentu, baik untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dapat atau tidak dilakukan. Kebebasan ini,

kata Rawl, dilindungi dari campur tangan orang lain.6Meskipun konsep ini sangat ideal,

kekuasaan yang diberikan kepada negara rawan menjadi tirani. Untuk mengantisipasinya,

Aristoteles memberikan petunjuk dalam menjalankan kekuasaan yang lahir dari mekanisme

demokratis dengan tujuan menghindari tirani kekuasaan. Kekuasaan yang dilahirkan dari

penerapan demokrasi harus dijalankan secara bergantian, dan di situ kunci pokoknya adalah

adanya mekanisme rotasi kekuasaan. Tidak dibenarkan monopoli kekuasaan hingga waktu

yang cukup lama, karena gagasan keadilan demokrasi adalah kesetaraan numerik, bukan

kesetaraan berdasarkan jasa.7

memiliki masa jabatan tanpa batas dan bila jabatan itu lowong sebelum waktunya, maka orang banyak memilih penggantinya dari sekian banyak kandidat.

3 David Held,Models of Democracy, (Jakarta: Akbar Tandjung Institute. 2007), hlm. 10.

4 Pengertian demikian sejalan dengan pemikiran tentang kedaulatan rakyat, bahwa rakyat merupakan tempat melahirkan kekuasaan tertinggi. Lihat, Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain(Malahng: Nusa Media, 2007),hlm 28., dalam Khairul Fahmi,Pemilu dan Kedaulatan Rakyat(Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011), hlm. 19.

5 Hak pilih memiliki posisi penting dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis.Mengingat hal tersebut International IDEA meletakkan hak untuk memilih dan dipilih sebagai salah satu aspek pemilu demokratis.Hak untuk memilih dan dipilih mesti terpenuhi dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis.Hak untuk memilih dan dipilih merupakan salah satu standar yang menjadi tolak ukur demokratis atau tidaknya suatu pemilihan umum. International IDEA, “Standar-standar Internasional Pemilihan Umumum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu“ (Jakarta: International IDEA, 2004).

6 John Rawls,Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 254.

7 David Held, Op.Cit, hlm. 9.

Page 7: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

7 | P a g e

Gagasan tersebut menghendaki adanya rotasi tampuk kekuasaan secara berkala

berdasarkan masa tugas tertentu. Sebagian dari rakyat yang terpilih untuk menduduki jabatan

politikakan digantikan dengan anggota rakyat yang lain sebagai penguasa baru dalam jangka

waktu yang disepakati. Rotasi kekuasaan mutlak dilakukan dan menjadi basis jalannya

negara demokrasi. Namun demikian, rotasi kekuasaan harus dijalankan sesuai dengan

semangat demokrasi, bukan sekedar prosedur demokratisasi semata. Kebanyakan negara

dengan basis demokrasi menggunakan pemilu sebagai satu jalan untuk menegakkan prinsip-

prinsip demokrasi.

Sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, bahwa proses pemilihan jabatan politik

dalam mekanisme pemilihan umum merupakan prasyarat awal mewujudkan negara yang

demokratis. Namun, hal ini bukan berarti pemilu identik dengan demokrasi. Menurut

Aristoteles, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam demokrasi: adanya kebebasan

dan kesetaraan dalam menjalankan hak untuk dipilih dan memilih.8 Hak dipilih dijalankan

sesuai dengan kehendaknya, tanpa ada tekanan dan pembatasan yang menghambat dalam

mengekspresikan diri mengambil simpati rakyat. Penyampaian visi, misi, dan program

merupakan pilihan bebas agar rakyat (pemilih) dapat mengakses informasi itu dengan

leluasa. Kebebasan itu harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. Dan tentu saja, bahwa

kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal dan dikenal rakyat yang akan

memilihnya.Rakyat harus memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.9 Partai politik

dan kandidat harus memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih dan menilai sang calon

tanpa dihalang-halangi.

C. LEGAL STANDING PEMILIH DALAM PERSELISIHAN HASIL PILKADA

Berdasarkan argumentasi di atas, terlihat bahwa pemilih/rakyat merupakan subjek

utama dalam mekanisme demokrasi procedural yakni konteks sekarang pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme pemilihan ini tidak hanya menjalankan

ketentuan Pasal 18B UUD 1945 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Namun

prosedur pemilihan ini sesungguhnya menjalankan perintah konstitusi dalam Pasal 1 Ayat 2

UUD 1945, bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan

undang-undang.

Konteks kehadiran calon tunggal, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah berhadap-hadapan secara langsung dengan pemilih. Calon tunggal berada di kolom

“setuju” berhadapan dengan pemilih yang berada di kolom “tidak setuju.” Ketika kolom

“tidak setuju” menang berarti pemilih secara langsung tidak berkehendak terhadap

8 David Held, Ibid, hlm. 10.

9 Kebebasan dipastikan adalah nilai dasar yang secara luas diyakini oleh semua pelaku politik. Locke menyebutnya dengan kebebasan alami manusia yakni terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada kemauan atau kekuasaan seseorang manusia (raja), melainkan sepenuhnya mengikuti aturan alami sebagai landasan hak-hak nya.Tobias Gombert dkk., Buku Bacaan Sosial Demokrasi 1: Landasan Sosial Demokrasi. Friedrich Ebert Stiftung, Bon-Jerman.Diterjemahkan oleh Ivan A Hadar.hlm. 11.

Page 8: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

8 | P a g e

kepemimpinan Pasangan Calon Tunggal. Begitu sebaliknya, ketika kolom “Setuju”

memperoleh suara terbanyak maka pemilih telah menghendaki pasangan calon tunggal

sehingga bisa dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Namun jika ditemukan manipulasi, kecurangan dan pelanggaran terhadap kehendak

rakyat melalui pelanggaran yang disebut sistematis, terstruktur dan massif, mestinya pemilih

juga diberikan ruang untuk melakukan koreksi terhadap hasil pemilu. Jika kolom “Tidak

Setuju” yang tidak menghendaki keterpilihan pasangan calon tunggal menang, dan

ditemukan manipulasi suara secara massif oleh kelompok tertentu atau bahkan

penyelenggara, tentu pemilih berhak mengajukan gugatan yang diwakilkan oleh pasangan

calon tunggal. Posisi pemilih telah memandatkan melalui mekanisme pemilu untuk

mewakili dalam mengajukan sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Namun sebaliknya, jika kolom “Setuju” memperoleh suara terbanyak sehingga

mengantarkan pada keterpilihan pasangan calon tunggal akan memunculkan pertanyaan,

siapa yang mewakili pemilih dalam persidangan sengketa di MK? Jika sebelumnya pemilih

diwakili pasangan calon tunggal, konteks kasus ini pemilih bisa secara langsung hadir

mewakili dirinya sendiri. Sebab dalam mekanisme calon tunggal, tidak ada yang berhak

mewakili kedudukan hukum pemilih, begitu juga dengan partai politik yang tidak

mengajukan pasangan calon. Partai hanya akan memperoleh mandate dan bisa mewakili

ketika dalam pemilihan hadir dan memperoleh suara. Namun ketika tidak sama sekali turut

dalam pilkada, maka tidak ada hak partai untuk turut mengajukan gugatan.

Posisi pemilih dalam proses sengketa, bisa secara langsung menjadi pihak yang merasa

dirugikan akibat proses pemilih yang tidak berlangsung jujur dan adil. adapun teknis

pengajuannya, dalam waktu yang telah ditentukan bisa langsung mengajukan gugatan

dengan tetap mengikuti prosedur yang berlaku. Adapun syarat pengajuannya tentu harus

dibuktikan bahwa pemohon benar-benar pemilih yang terdaftar di Pilkada daerah tersebut.

Mekanisme gugatan oleh perseorangan warga negara bukanlah prosedur yang asing.

Indonesia telah mengenal mekanisme Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) ataupun

gugatan perwakilan yang dikenal Hak Gugat Perwakilan Kelompok (Class Action).

1. Penerapan Doktrin Citizen Law Suit (Hak Gugat Warga Negara)

Prinsip Citizen Law Suit yang dalam bahasa lainnya dikenal sebagai hak gugat

warga Negara dapat digunakan sebagai legal standing (kedudukan hukum) bagi

rakyat sebagai pemilik “kolom tidak setuju” menggugat kolom “setuju” dalam

perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.

Page 9: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

9 | P a g e

Hak Gugat Warga Negara atau yang disebut Citizen Law Suit praktiknya telah

berkembang di berbagai Negara khususnya dalam sistem hukum Amerika, India, dan

Australia.10

“Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) hakekatnya adalah akses

orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan

warga negara atau kepentigan publik termasuk kepentingan

lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar

pemerintahmelakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya

atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.”11

“Michael D. Axline memberikan penegasan bahwa Citizen Law Suit

juga memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat

pihak tertentu (private) yang melanggar undang-undang selain

kekuatan kepada warga Negara dan lembaga-lembaga (federal) yang

melakukan pelanggaran undang-undang atau yang gagal dalam

memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-

undang.”12

Citizen Law suit pertama kali muncul dalam praktek di Indonesia adalah

melalui peradilan umum dalam ranah peradilan perdata melalui Gugatan yang

diajukan oleh Tim Advokasi Tragedi Nunukan pada kasus deportasi buruh migrant

Indonesia oleh pemerintah Malaysia. Gugatan ini dinyatakan diterima dan diakui

oleh Prngadilan Negeri Jakarta Pusat.

Walaupun pada awal masuknya gugatan ini tiadanya aturan hukum yang

mengatur mekanisme gugatan citizen law suit. Sandaran atauran hukum bagi gugatan

ini adalahUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakimanyang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

1999 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Selanjutnya dalam Undang-Undang yang sama pada pasal 17 menyatakan:

10

YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan

Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, 2007. hal. 382 11

Ibid, hal. 382. 12

Ibid, hal. 382

Page 10: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

10 | P a g e

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat”.

Pengadilan sebagai sarana tuntutan hak melalui perantaraan hakim sangat

berperanan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya Gugatan Citizen Law

Suit.

Mekanisme Citizen Law Suit(CLS)tersebut, dapat diadopsi prinsipnya dalam

pengajuan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah

Konstitusi.Prinsip CLS/Hak Gugat Warga Negara dapat diterapkan oleh rakyat dalam

hal ini pemilih sebagai pemilik kedalautan. Karena seperti yang telah diuraikan di

atas CLS/Hak Gugat Warga Negara pada hakikatnya adalah akses perorangan warga

Negara mewakili kepentingan keseluruhan warga Negara/ kepentingan publik yang

lebih luas.

2. Penerapan Doktrin Class Action (Hak Gugat Perwakilan Kelompok)

Class Action atau dikenal dengan Hak Gugat Perwakilan Kelompok

merupakan mekanisme gugatan yang relatif baru dalam hukum Indonesia. Dalam

sistem Hukum Indonesia Class Action/Hak Gugat Perwakilan Kelompok ditemukan

pengaturannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan diantaranya :

1. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 37 ayat (1) beserta

penjelasannya.

2. UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat (1) huruf (b)

beserta penjelasannya.

3. UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 38 ayat (1) beserta penjelasannya

4. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 71 ayat (1)

5. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok

Secara umum, praktek Gugatan Perwakilan Kelompok berada dalam ranah

peradilan umum, mengenai prosedur dan tata caranya Gugatan Perwakilan Kelompok

diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok. Adapun pengertian gugatan perwakilan kelompok adalah sebagai

berikut:13

Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), dirumuskan sebagai

“suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih mewakili

kelompok orang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus

mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan

fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok

yang dimaksud”.

13

YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan…. Op.Cit, hal. 374

Page 11: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

11 | P a g e

Adapun wakil kelompok, yang dimaksud dalam gugatan perwakilan adalah satu

orang atau lebih (banyak orang) yang menderita kerugian yang mengajukan

gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang banyak jumlahnya.

Pengertian anggota kelompok disini adalah sekelompok orang dalam jumlah

banyak yang menderita kerugian yang kepentingannnya diwakili oleh wakil

kelompok di pengadilan.

Sub kelompok, adalah pengelompokkan anggota kelompok ke dalam kelompok

yang lebih kecil dalam satu gugatan berdasarkan perbedaan tingkat penderitaan

dan/atau jenis kerugian.

Dari uraian diatas, maka mekanisme gugatan perwakilan kelompok yang

selama ini dipraktikkan dalam ranah peradilan umum dan telah diatur prosedur

beracaranya dalam Perma No. 1 Tahun 2002 dan tersebar dalam berbagai Undang-

Undang, dapat diadopsi prinsipnya dalam praktek pengajuan gugatan oleh kolom “

tidak setuju” terhadap kolom “setuju” dalam perkara perselisihan hasi pemilihan

kepala daerah di Mahkamah Kosnstitusi.

Tenntunya, dua prinsip di atas, baik prinsip gugatan warga Negara (citizen law

suit) dan gugatan perwakilan kelompok (class action), yang prinsipnya dapat

diadopsi dalam mekanisme pengajuan gugatan terhadap kolom “setuju” oleh pemilik

kolom “tidak setuju” dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah

Konstitusi patut digunakan sebagai sebuah terobosan hukum untuk mengantisipasi

kekosongan hukum pascaPutusan MK yang menyatakan konstitusional hadirnya

calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Tabel Mekanisme Sengketa untuk Calon Tunggal

No Jenis Penyesuaian Alat Verifikasi Keterangan

1. Usulan Legal Satnding Pemohon

Pemohon :

1. Perseorangan yang terdaftar

sebagai pemilih di daerah dimana

dilangsungkan pemilihan kepala

daerah dengan calon Tunggal.

2. Sekelompok orang yang

mewakili dirinya sendiri dan

sekaligus sekelompok orang yang

jumlahnya banyak, yang

memiliki kesamaan fakta atau

Pemohon :

1. KTP di daerah

pemilihan

pasangan

calon tunggal

2. Bukti terdaftar

dalam DPT

(Daftar

Pemilih Tetap)

Page 12: KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM  · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,

12 | P a g e

dasar hukum antara wakil

kelompok dan anggota kelompok

2. Usulan Waktu Pengajuan

Permohonan

Permohonan diajukan oleh Pemohon

(Pemilih) perseorang/kelompok dalam

waktu 7x24 jam (tujuh kali dua puluh

empat jam) sejak penetapan hasil

pemilihan

Pertimbangan waktu

diberikan kepada

pemilih untuk

mengorganisir diri

dan menyiapkan

kelengkapan

permohonan.

3. Usulan Tambahan Mekanisme

Pembuktian

1.Mahkamah Konstitusi dapat

memerintahkan Termohon (KPU/KIP

Propinsi/Kabupaten/Kota untuk

menghadirkan dokumen yang diduga

termanipulasi.

2.Mahkamah dapat memerintahkan

Bawaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/

Kota untuk memberikan keterangan

mengenai proses pemilihan.

Mekanisme

pembuktian

dibutuhkan peran

Mahkamah Konstitusi

untuk memberikan

affirmasi kepada

pemilih yang

memenuhi kualifikasi

sebagai pemohon agar

mendapatkan

kedudukan yang

seimbang dengan

Termohon dan pihak

terkait.