kerjasama pemerintah indonesia -jepang dalam...
TRANSCRIPT
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA - JEPANG DALAMIMPLEMENTASI MEKANISME PROTOKOL KYOTO
SkripsiDiajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:Moch Iqbal Tanjung
106083002737
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
2013
LEMBARPERNYATAANBEBASPLAGUUUSME
Skripsi yang berjudul :
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA- JEPANG DALAM IMPLEMENTASI MEKANISME PROTOKOL KYOTO
1. Merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lai~ maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
J~2013
Moch Iqbal Tanjung 106083002737
Lembar Persetujuan Skripsi
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatrakan bahwa mahasiswa:
Nama Moch Iqbal Tanjung ~ 106083002737 Program Studi : Ilmu Hubungan Intemasional
Telah meneyelesaikan penulisan skripsi denganjudul:
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA- JEPANG DALAM IMPLEMENT AS! MEKANISME PROTOKOL KYOTO
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 2013
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Frianne Aurora)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA-JEPANG DALAM IMPLEMENT AS! MEKANISME PROTOKOL KYOTO
Oleh
Moch Iqbal Tanjung 106083002737
Telah dipertahankan dalam siding ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakmta pada tanggal 02 Desember 2013 skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S Sos) pada
Program Studi Hubungan Internasional
Ketua
9 Agus Nilmada Azmi, M.Si
NIP: 197808042009121002
Penguji I
~ Febri Dir antara Hasibuan MM
Sekretaris
Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP: 197808042009121002
Penguji II
Rahmi Fitriyanti. M.Si NIP: 197709142011012004
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat keiulusan pada tanggal 02 Desember 2013 Ketua Program Studi Hubungan Intemasional
~-~
Kiky Rizky. M.Si NIP: 192303212008011002
i
ABSTRAKSI
Protokol Kyoto merupakan perjanjian negara-negara di seluruh dunia untuk menanggulangi dampak dari pemanasan global. Pemanasan global saat ini menjadi salah satu concern dari negara-negara di seluruh dunia dikarenakan dampaknya. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme implementasi utama yaitu Joint Implementation/JI, Emision Trading/ET, Clean Development Mechanism/CDM. Indonesia sebagai negara berkembang turut mengambil peran penting dalam pelaksanaan mekanisme Protokol tersebut. CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dijalankan oleh pemerintah Indonesia sebagai Negara berkembang. Oleh karena itu pemerinta Indonesia melakukan beberapa kerjasama demi menjalankan proyek-proyek implementasi Protokol Kyoto. Jepang sebagai Negara maju memiliki kewajiban menurunkan emisi GRK, kemudian dengan asas saling membutuhkan Indonesia dan Jepang menjalin kerjasama.
Skripsi ini bertujuan untuk mengannalisis bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam isu pemanasan global terutama dalam pelaksanaan mekanisme Protokol Kyoto dan bagaimana efisiensi kerjasama Indonesia dengan Jepang dalam menjalankan proyek mekanisme Protokol Kyoto. Penurunan emisi GRK sesuai Protokol Kyoto merupakan concern utama penelitian penulis yang akan berkaitan erat dengan proses pelaksanaan, adaptasi dan pembangunan berkelanjutan bagi Pemerintah Indonesia. Kata Kunci: Protokol Kyoto, Pemanasan Global, Clean Development Mechanism (CDM)
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman kelak. Alhamdulillah, penulis dapat menyusun skripsi ini dengan judul “ Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto Periode : 2004-2009”. Penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan. Tentunya tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah memberi bantuan baik secara moril maupun materil, skripsi ini tidak akan bisa selesai.
Karena itu, pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Frianne Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi yang dengan sabar dan ikhlas membimbing saya dalam penulisan skripsi ini 2. Bpk Agus Nilmada Azmi, M.Si, selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta 3. Bpk Kiky Rizky, selaku dosen mata kuliah seminar yang telah mengawali skripsi saya di mata kuliah seminar 4. Bpk Nazaruddin Nasution selaku dosen penasehat akademik yang merupakan ayah kedua saya dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah 5. Untuk ibunda tercinta yang telah sabar menunggu sampai 7 tahun saya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Dengan segala doa dan restunya akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan untuk ayahanda tersayang yang selalu mendukung dengan saya baik secara finansial maupun doa yang tidak ada habisnya. 6. Untuk adinda dan kakanda tersayang turut juga saya sampaikan terimakasih atas dukungan dan doanya, Adinda Arman Zuhad, Mafida Ria Kartika, Husen Haikal dan Reza Pahlevi. Serta kakanda Neli kurniati dan Faisal Khadafi yang telah menjadi contoh yang baik buat hidup saya 7. Untuk kekasih tercinta Nyimas Diah Permatasari yang selalu mendukung dan mendoakan saya, serta selalu mendampingi dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih sudah setia mendampingiku selama penulisan skripsi ini. 8. Kepada semua sahabat-sahabat satu nasib suka dan duka, yang selalu ada dalam hari-hari saya. Sahabat-sahabat D’Chimrins Anduh, Dora, Ryadoh, Wahyu, Kendari. 9. Pak Jajang dan Pak Ma’ali atas bantuannya dan terima kasih atas informasinya. 10. Teman-teman mahasiswa/mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas B angkatan 2006. 11. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu.
iii
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan alhamdu lillahi rabbil 'alamin, syukur tak terhingga hanya kepada Allah SWT, kepada-Nyalah bermuara segala keberkahan. Akhirnya tiada kata lain yang lebih berarti selain sebuah doa dan harapan semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnnya. Jakarta, 30 Januari 2013 Moch Iqbal Tanjung
(106083002737)
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR……………………………………………………... ii DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iv DAFTAR TABEL……………………………………………………….. … vi DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. … vii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian…… ……………………...................... 1 B. Pertanyaan Penelitian…………………………………….............. 8 C. Kerangka Konseptual .………………..…...................................... 8 D. Metode Penelitian ……..………....................................... 17 E. Sistematika Penulisan ………………............................................. 20
BAB II Sejarah dan Mekanisme Protokol Kyoto
A. Proses terjadinya Pemanasan Global……….................................. 22 B. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto............................................ 24 C. Mekanisme Protokol Kyoto ............................................................ 26
C.1. Emision Trading/ET...................................................... 27 C.2. Joint Implementation/JI................................................... 29 C.3. Clean Development Mechanism/CDM............................ 31
D. Action Plan dan Target Protokol Kyoto ...................................... 35 BAB III Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam
Pembentukan Protokol Kyoto A. Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan
Pembuatan Protokol Kyot.……………..………................... 39 A.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme
Protokol Kyoto.............................................................. 42 A.2 Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Pemerintah Indonesia.......................................……………………. 53 B. Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan.............. 57
BAB IV Analisis Kerjasama Pemerintah Indonesia-Jepang dalam Implementasi Protokol Kyoto
A. Proses Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto................................... 63
B. Kesepakatan Kerjasama Pemerintah Indonesia-Jepang………….. 69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan dan Saran………..………………………………...…. 74
v
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. viii LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1 Perkiraan emisi karbondioksida dari sektor energi Indonesia
hingga tahun 2005............................................................................. 47
vii
DAFTAR SINGKATAN
CDM Clean Develompent Mechanism ET Emision Trading GRK Gas Rumah Kaca JI Joint Implementation UNFCCC United Nation Framework Climate Change Conference DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim CO2 Karbondioksida CH4 Metan N2O Nitrous Oksida NFCs HidroFluorokarbon PFCs PerFluorokarbon SF6 Sulfurheksafluorida BOCM Bilateral Offset Crediting Mechanism JCM Joint Creditting Mechanism
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang terkait dengan isu
lingkungan hidup. Pemanasan Global adalah isu utama yang dibahas dalam protokol
tersebut. Protokol Kyoto dibentuk untuk mengurangi dampak dari pemanasan global atau
dengan istilah lain perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan poin yang
paling penting dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme
penanganan pemanasan global terkait emisi gas rumah kaca untuk dapat mewujudkan visi
dari protokol tersebut.1 Mekanisme yang Pertama, Perdagangan emisi, yang mana negara
industri diizinkan meningkatkan emisi dengan ditutupi oleh pembelian emisi sebagai
alokasi dana bagi Protokol Kyoto. Kedua, Joint Implementation atau kerjasama antar
negara-negara di dunia untuk dapat mengurangi penggunaan emisi. Ketiga, terdapat
project kerja yang disebut Clean Development Mechanism (CDM) mengharuskan negara
industri untuk membeli kredit dari negara berkembang melalui investasi proyek-proyek
CDM yang dijalankan oleh negara berkembang dengan bekerjasama dengan negara maju.
Isu lingkungan di Indonesia merupakan salah satu isu yang diperhatikan oleh
pemerintah Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan diratifikasinya Protokol Kyoto
pada tahun 2004 dengan ditandai adanya pengesahan Rancangan Undang-undang tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the Unitied Nations Framework Convention on Climate
1 David, G. Victor. The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to Slow Global Warming,(Princeton University Press: New Jersey, 2001) halaman 04
2
Change (UNFCCC).2 RUU (Rancangan Undang-undang) tersebut disahkan oleh DPR RI
yang merupakan perwakilan dari beberapa Fraksi diantaranya Fraksi PKB, Fraksi Golkar,
Fraksi PDIP, Fraksi PPP serta Fraksi lainnya. Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Indonesia
merupakan kemajuan dari diplomasi lingkungan bagi Indonesia terkait isu Pemanasan
Global. Hal tersebut menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam ikut serta menangani
dampak dari Pemanasan Global dan kemudian turut serta mengimplementasikan poin-
poin dalam Protokol Kyoto.
Peranan negara berkembang sangat diperhitungkan dalam isu pemanasan global.
Hal ini disebabkan banyak negara berkembang yang memiliki potensi untuk mengurangi
dampak pemanasan global. Hal tersebut dilihat dari isu pemanasan global yang tidak
terlepas dari adanya hutan, yang mana hutan merupakan salah satu instrumen utama
untuk mereduksi emsisi GRK. Dalam hal ini salah satu negara berkembang yang
berperan adalah Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terbesar kedua di dunia pun turut
serta memainkan perannya dalam konferensi Internasional tentang lingkungan hidup.
Indonesia memainkan perannya sebagai wakil negara berkembang, yang masuk dalam
kelompok G77+ China. G77+ China merupakan kelompok negara-negara berkembang
yang turut serta dalam konferensi internasional terkait isu lingkungan. Pada setiap
konferensi Indonesia mendukung untuk penurunan emisi GRK, karena Indonesia
menganggap perlunya penurunan emisi GRK untuk mengurangi dampak dari pemanasan
global. Akan tetapi, Indonesia juga seringkali disalahkan karena kurangnya perhatian
pemerintah Indonesia terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Contohnya
adalah seringkalinya kebakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah karena faktor
2 www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 18 April 2011 pukul : 23: 23 WIB
3
human error. Karena itu, isu lingkungan dapat berpotensi menimbulkan konflik
antarnegara, sehingga pentingnya pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan yang baik
juga mengurangi konflik serta masalah-masalah keamanan baik dalam negeri maupun
antarnegara.3
Pemanasan global kini semakin menjadi perhatian seluruh masyarakat dunia.
Dalam peringatan Hari Bumi 22 April 2000, majalah Time telah menurunkan edisi
khusus tentang bumi yang semakin panas dan rusak. Efek dari pemanasan global
membahayakan masa depan bumi. Jika pemanasan global tak bisa diatasi, akibatnya bisa
sangat fatal. Akibat dari pemanasan global seperti lapisan es di kutub akan mencair
sehingga permukaan air laut akan naik. Di samping itu gelombang panas pun akan
mengacaukan iklim dan menimbulkan badai yang dapat merusak bangunan di berbagai
wilayah.4
Pada dasarnya prediksi akan terjadinya pemanasan global sudah diungkapkan
oleh seorang ahli dari Swedia yaitu Svante Arrhenius5, pada tahun 1896. Arrhenius
mengungkapkan bahwa sejak terjadinya revolusi industri, tingkat kadar karbon dioksida
di atmosfer semakin meningkat karena penggunaan bahan bakar fossil yang semakin
meningkat. Dengan adanya peningkatan karbon dioksida diatmosfer, maka jelas sekali
bahwa penyebab pemanasan global sudah diproduksi oleh manusia sejak revolusi
industri.
Secara ilmiah pemanasan global dikarenakan keadaan suhu bumi sangat
ditentukan oleh adanya keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dalam
bentuk radiasi dengan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke ruang angkasa
3 Thomas L. Friedman, Hot Flat and Crowded. (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009) halaman 4344 Prof.Dr. Hadi Alikodra,et al, Global Warming. (Nuansa: Bandung, 2008) halaman 215 NASA Facts, Global Warming, The Earth Science Enterprise Series. Maryland April, 1998
4
dalam bentuk radiasi infra merah. Biasanya radiasi matahari melewati atomosfer yang
kemudian sebagian besar diserap oleh permukaan bumi. Sedangkan radiasi infra merah
dari permukaan bumi sebagian diserap oleh gas rumah kaca (GRK) sebagian lagi ke
permukaan bumi dan atmosfer bawah. Masalahnya yang terjadi saat ini adalah
konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga
sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gas-
gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat ke luar angkasa dan kembali ke
permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi.6
Pemanasan global merupakan ancaman global yang harus diperhatikan oleh
seluruh masyarakat di dunia. Ancaman akan terjadinya bencana terbesar sepanjang masa
menjadikan isu ini menjadi isu yang patut dibicarakan dan diteliti lebih dalam.
Masyarakat pada umumnya harus mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan
pemanasan global. Sebab, sebagian besar masyarakat di dunia masih belum sadar akan
dampak dari aktivitas sehari-harinya sebagai faktor penyebab terjadinya pemanasan
global. Karbon dioksida, metana dan chlorofluorokarbon (CFCs), yang merupakan hasil
dari aktivitas manusia yang dihasilkan dari berbagai peralatan rumah tangga seperti
pendingin ruangan, kulkas, plastik dan lainnya.7
Oleh karena efeknya yang mengancam eksistensi dunia, maka isu pemanasan
global menjadi tanggung jawab setiap negara diseluruh dunia. Akan tetapi, tanggung
jawab terbesar dipegang oleh negara maju, karena negara maju memproduksi emisi gas
terbesar di dunia sebagai hasil dari aktifitas industri. Negara-negara maju telah lama
melakukan industrialisasi dan pembangunan sehingga merekalah yang dipandang sebagai
6 LAPAN, Landasan Ilmiah Perubahan Iklim, (Bandung, 2003)7 Ibid,
5
emitor terbesar sementara negara berkembang masih dalam proses pembangunan
sehingga masih membutuhkan banyak energi bahan bakar fosil. Jika diprosentasekan
penyumbang emisi GRK terbesar adalah Amerika Serikat sebesar 36,1%, diikuti Federasi
Rusia sebesar 17,4%, Jepang 8,5%, dll.8
Pemanasan Global telah menjadi isu yang dibangun dalam isu penting dalam
bidang lingkungan dan telah menjadi agenda politik internasional. Negara-negara di
dunia telah membahas lebih lanjut mengenai Pemanasan Global sejak berakhirnya Perang
Dunia ke-II. Pada tahun 1972 diselenggarakan Konferensi Stokholm, konferensi ini
merupakan awal dari diplomasi mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh
negara-negara anggota PBB. Deklarasi Stokholm yang disepakati pada tahun 1972
merupakan hasil dari konferensi Stokholm.9 Deklarasi ini menjadi titik awal dari
konferensi internasional lainnya yang membahas mengenai lingkungan hidup. Hasil lain
di konferensi ini adalah dibentuknya suatu badan lingkungan hidup yaitu UNEP (United
Nations Environmental Programme) pada tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai Hari
Lingkungan Hidup Sedunia.
Pasca konferensi Stokholm pada tahun 1988 masyarakat internasional kemudian
membentuk IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) yang ditujukan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut akan dampak dari pemanasan Global. IPCC kemudian
diresmikan pada tahun 1991 yang kemudian memimpin seluruh negara untuk
menandatangani perjanjian kerjasama yang diresmikan di Rio de Jenero pada 1992.10 Rio
de Jenero merupakan taempat berlangsungnya KTT Bumi yang merupakan koferensi
8 WWF presentation, 29 November 20089 Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Halaman11610 Matthiew Paterson. Global Warming and Global Politics, (Routladge: London, 1996) halaman 01
6
penting dalam isu lingkungan. Konferensi tersebut dihadiri oleh 180 negara anggota PBB
yang merupakan konferensi pertama yang dihadiri oleh keseluruhan negara anggota PBB.
Konferensi tersebut menghasilkan Konvensi kerjasama yang terkait dengan isu
pemanasan global yang kemudian di sebut dengan United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) kemudian diresmikan di Rio de jenero.
Respon masyarakat internasional terhadap isu pemanasan global menjadikan isu
tersebut semakin diperhatikan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya konferensi yang
dianggap sebagai konferensi era baru diplomasi lingkungan. Hal tersebut disebabkan
dengan semakin banyak negara yang peduli terhadap isu lingkungan. KTT Bumi 1992
merupakan KTT yang menjadi sejarah pertama kalinya pera pemimpin semua negara di
bumi berkumpul untuk membuat keputusan penting yang akan memberikan betuk masa
depan dunia.11 KTT Bumi dapat dikatakan sebagai era puncak dari diplomasi lingkungan
dan akan menentukan masa depan umat manusia menjelang berakhirnya abad ke-20.
Pasca perang dingin merupakan era baru hubungan internasional, begitu pula
kaitannya dengan lingkungan hidup. Ruang lingkup yang semakin luas, terbukti dengan
dilibatkannya aktor non negara dalam konferensi internasional yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. COP 3 (Conference of Parties) diadakan di Kyoto, Jepang pada tahun
1997. Konferensi tersebut dihadiri 10.000 delegasi, pengamat dan wartawan mengikuti
pertemuan terbesar dalam sejarah perjanjian tentang lingkungan hidup. Konferensi
tersebut kemudian menghasilkan suatu konsensus berupa keputusan untuk mengadopsi
suatu protokol yang merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990
11 Ibid, halaman 128
7
mennjelang periode 2008-2012.12 Protokol Kyoto, demikian selanjutnya protokol itu
disebut, disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu
penurunan emisi bagi negara maju.
Pada akhirnya menjadi penting bagi pemerintah Indonesia untuk dapat
bekerjasama dengan negara lain. Hal ini dikarenakan mekanisme dalam Protokol Kyoto
terdapat mekanisme yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia yaitu CDM.
Jepang merupakan salah satu negara maju merupakan salah satu tujuan utama untuk
kerjasama terkait proyek-proyek tersebut. Salah satu kerjasama yang terjalin antar dua
negara guna menurunkan emisi GRK adalah BOCM (Bilateral Offset Crediting
Mechanism) yang merupakan Proyek usulan Jepang untuk mengurangi emisi GRK antar
dua negara. Pemerintah Indonesia pun menyambut niat baik Jepang tersebut, dikarenakan
investasi yang akan ditanamkan Jepang terkait proyek tersebut dapat menguntungkan
kedua belah pihak.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Efisiensi Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang
dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto
D. Kerangka Konseptual
Kini terdapat suatu literatur tentang Teori Politik Hijau (Green Political
Theory/GPT) yang dikembangkan dengan baik yang menjadi suatu dasar yang berguna
12 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang. (PT Kompas MediaNusantara: Jakarta, 2003) halaman 04
8
sebagai gagasan Politik Hijau mengenai HI. Tiga literatur utama mengajukan gagasan
yang sedikit berbeda tentang penjelasan karakteristik Politik Hijau. Eckersley
menyatakan, karakteristik tersebut adalah erkosentrisme sebuah penolakan terhadap
pandangan hidup dunia antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia
menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan
semua makhluk hidup13. Goodin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran Politik
Hijau, yang menyatakan bahwa nilai teori hijau berada pada inti teori Politik Hijau.
Perumusannya mengenai nilai-nilai teori Politik Hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu
adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh proses alami,
bukan oleh rekayasa manusia14
Para pemikir dalam Green Thought ini berasumsi bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tindakan manusia terhadap lingkungannya dengan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup itu sendiri. Green Thought juga menawarkan suatu cara pandang
holistik yang dapat melihat betapa eratnya hubungan antara kehidupan manusia dengan
ekosistem global, pada intinya adalah menekankan tentang keharusan memelihara
lingkungan untuk kelangsungan kehidupan semua makhluk hidup. Istilah lingkungan
hidup sendiri merupakan sebuah penemuan abad ke-19, yang pertama kali muncul dalam
karya Ernst Haeckl. Karya Haeckl itu sangatlah penting karena dari sinilah kita mendapat
gambaran tentang lingkungan hidup sebagai suatu yang saling berkaitan dan tentang alam
sebagai sesuatu yang hidup. Green Thought memiliki etika seperti halnya politik. Hal
yang paling istimewa dalam Green Thought adalah sikapnya terhadap keadilan,
moralitas, dan etika, yang bagaimanapun juga ternyata memiliki hubungan yang pada
13 R. Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach, London,1992,hal 4914 R. E . Goodin,Green Political Theory, Cambridge, 1992, hal 27
9
akhirnya dapat memenuhi keseimbangan hidup. Green Thought juga menjelaskan
caranya dalam menentang persepsi mengenai pengertian dari istilah-istilah seperti konflik
dan kekerasan yang kemungkinan ditemui dalam pengaplikasian solusi dari masalah
lingkungan hidup15.
Konflik tidak hanya secara langsung mengkonotasikan kekerasan fisik, namun
konflik disini berarti perbedaan-perbedaan sudut pandang yang masing-masing
berkomitmen untuk menyelesaikan suatu perbedaan menurut caranya sendiri. Dalam hal
ini muncul suatu konflik mendasar dalam berbagai kelompok masyarakat manusia antara
pendukung masyarakat industri yang cenderung menghancurkan lingkungan (sebuah
paradigma pertumbuhan) dan mereka yang menentang cara mengatur masyarakat yang
semacam ini (suatu paradigma pembatasan pertumbuhan). Bagi Green Thought, terdapat
suatu kebutuhan untuk menentang pandangan ini dan memperjuangkan kembali
serangkaian keyakinan tentang karakteristik krisis lingkungan hidup.
Bermula dari pengetahuan (knowledge) dan kesadaran (awareness) akan sebuah
masalah. Scientific origins, dipicu oleh sains dan teknologi. Contoh kasus dalam buku
“Limits to Growth” yang ditulis oleh Club of Rome tahun 1972 bahwa para peneliti
membuat sebuah permodelan komputer untuk membuktikan temuan mereka yaitu faktor
lingkungan hidup akan menjadi penghambat pertumbuhan manusia dan atau menjadi
penyebab kehancuran. Berarti terjadi spekulasi tentang hubungan manusia dengan alam
dan munculnya hubungan yang saling ketergantungan Asumsi dasarnya adalah Greens
lebih menekankan kepada konsep global daripada internasional. Misalnya komunitas
global diperlukan untuk mengawasi sumber daya alam. Greens menganalisa praktek-
prektek kehidupan manusia yang tidak lagi sinkron dengan lingkungan sekitarnya.
15 Ibid, Hal 411
10
Menurut Greens, krisis lingkungan hidup disebabkan oleh sistem kepercayaan yang
terlalu fokus pada pemenuhan kebutuhan manusia (anthropocentric). Adapun Green
Thought memiliki lima prinsip, yakni pertama biospherical egalitarianism-in principle
yang berarti pengakuan terhadap semua organism dan makhluk hidup memilki kesamaan
martabat. Pengakuan ini menunjukkan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan
bentuk kehidupan di alam semesta. Kedua, prinsip nonantroposentrisme, yaitu prinsip
yang menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bukan diatas atau terpisah
dari alam. Manusia tidak dilahat sebagai penguasa dari alam semesta, tetapi sama dengan
status ciptaan tuhan yang lainnya. Ketiga, prinsip self realization yang menurut Naess,
manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi dirinya. Keempat,
survival of the fittest yang dipahami sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam
relasi yang erat. Kemudian yang kelima adalah prinsip live and let live, yang menyatakan
pengakuan dan penghargaan terhadap keanekargaman hidup.
Berdasarkan kelima prinsip dalam pengembangan gerakan lingkungan hidup
tersebut, yang perlu dilaksanakan sekarang ini adalah memelihara kesadaran ekologis
mengenai kesatuan tak terpisahkan dari semua bentuk kehidupan di alam ini. Oleh karena
itu menurut Naess, perlu ditinggalkan konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan
dengan konsep dan paradigma berkelanjutan ekologis. Paradigma ini menurut sikap
hormat dan perlindungan atas kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan di
bumi16. paradigma ini juga menunjukkan tuntutan dari penghentian kebijakkan ekonomi
dan politik yang memiliki tujuan utama yaitu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi serta gaya hidup yang konsumtif. Adapun dalam menanggulangi
16 Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori & Praktek, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hal. 313
11
permasalahan lingkungan hidup, diperlukan pengembangan potensi daerah disebuah
Negara.
Sebuah Negara, pembangunan wilayahnya akan sangat dipengaruhi oleh
pengelolaan lingkungan yang dilakukan dengan menata system pengelolaan tersebut
karena berkaitan pula dengan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen
lingkungan sangat mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya,
sehingga pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan sebuah pendekatan yang
disebut dengan ramah lingkungan, dimana ramah lingkungan disini dimaksudkan sebagai
tindakan yang mendukung pembangunan ekonomi. Memang , dalam mengubah sikap dan
kelakuan terhadap lingkungan hidup bukanlah pekerjaan mudah.
Pada dasarnya usaha ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan
instrument dan pengawasan, bertujuan untuk mengurangi pilihan prilaku dalam usaha
pemanfaatan lingkungan hidup, misalnya dengan zonasi, preskripsi teknologi tertentu,
dan pelanggaran kegiatan yang merusak lingkungan hidup17. Kemudian melalui
instrumen ekonomi, yang bertujuan untuk mengubah nilai untung relatif dengan
mempertimbangkan pengurangan pajak untuk produksi dan penggunaan alat yang hemat
energi, pemungutan retribusi limbah dan pemberian denda bagi pelanggar peraturan. Dan
terakhir dengan instrumen persuasif, yang bertujuan mendorong masyarakat secara
persuasif untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah
prioritas. Tujuan jangka panjang instrumen persuasif adalah agar nilai-nilai yang
diajarkan dapat diinternalkan oleh para pelaku, sehingga mengakibatkan perubahan
permanen pada kelakuan terhadap lingkungan hidup, kemudian kelakuan itu dapat
membudaya.
17 Ibid, hal 397
12
Konsep national interest merupakan konsep yang dapat dipahami dalam sebuah
praktik diplomasi dan dalam studi hubungan internasional. Konsep national interest
menjelaskan mengenai bagaimana peranan dari kepentingan nasional sebagai instrument
politik agar dapat mewakili kepentingan publik. Konsep national interest digunakan
sebagai dasar dari pengambilan kebijakan politik, yang mana national interest atau
kepentingan nasional tersebut menjadi income dari sebuah kebijakan.18
Kepentingan nasional merupakan sebuah tujuan utama dari sebuah kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Konsep kepentingan nasional merupakan salah satu
variable dalam sistem politik.19 Kepentingan nasional merupakan sebuah tujuan dari
sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tujuan dari kebijakan-kebijakan
tersebut bisa berupa kekuasaan, uang atau pun kejayaan. Sehingga dalam menentukan
sebuah kebijakan diperlukan analisis rasional yang terkait dengan kepentingan nasional.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepentingan nasional biasanya digunakan melalui dua
cara.20 Pertama, kata kepentingan berarti secara tidak langsung menyatakan sebuah
kebutuhan yang akan diraih, dengan penggunaan standar pembenaran. Status
pembenaraan ini diperlukan agar kepentingan nasional dapat diakui atas nama
kepentingan bersama. Kedua, konsep kepentingan nasional juga digunakan untuk
menggambarkan dan mendukung sebuah kebijakan. Permasalahannya adalah bagaimana
menentukkan kriteria agar kepentingan nasional menjadi hal yang diperlukan dalam
sebuah kebijakan.
18 W. David Clinton, Two Face of National Interest, (Louisiana University Press: Louisiana, 1994)Halaman 2819 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2006) halaman 4920 Martin Griffiths and Terry O’Callaghan, International Relation the Key Consept.(Routledge: New York,2002) halaman 203
13
Kepentingan nasional menjadi sulit jika digabungkan dengan solidaritas
international.21 Hal tersebut menjadi sulit ketika kepentingan nasional lebih mendominasi
daripada solidaritas internasional. Solidaritas internasional yang berarti kepentingan
bersama yang cenderung sulit untuk diwujudkan. Terkait dengan pernyataan tersebut
terbukti bahwa dalam isu lingkungan pun kepentingan nasional akan lebih mendominasi
dibandingkan dengan solidaritas internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan penolakan
beberapa negara maju terhadap Protokol Kyoto yang merupakan komitmen bersama
negara-negara di dunia dalam mengatasi dampak dari pemanasan global. Hal tersebut
membuktikan bahwa kepentingan nasional lebih penting dibandingkan solidaritas
internasional dan sulit untuk menyatukan kedua hal tersebut.
Isu lingkungan merupakan isu yang dibahas secara multirateral, hal tersebut
berarti isu lingkungan memiliki efek secara massal. Protokol Kyoto merupakan sebuah
perjanjian yang dibuat untuk mereduksi efek dari pemanasan global yang disepakati di
Kyoto, Jepang. Proses pembentukan protocol tersebut melalui sebuah konferensi
multilateral yang melibatkan hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Multilateral diplomasi merupakan landasan utama dari terbentuknya Protokol Kyoto.
Multilateral diplomasi dianggap sebagai cara terbaik dalam menentukan sebuah
keputusan dalam sebuah isu. Dalam menentukan keputusan konferensi akan lebih focus
dalam satu isu untuk kebaikan bersama serta akan mewakili seluruh kepentingan seluruh
anggota konferensi.22
Pasca perang dingin pada tahun 90-an, multilateral diplomasi merupakan pilihan
utama bagi seluruh negara dalam membuat keputusan yang memiliki lingkup missal. Hal
21 Jean-Marc Coicaud and Nicholas J. Wheeler, National Interest and International Solidarity.(UnitedNation Press: New York, 2008) Halaman 29122G. R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (Palgrave: New York, 2002) Halaman 148
14
tersebut berkaitan dengan isu lingkungan yang impactnya dapat dirasakan oleh
masyarakat seluruh dunia. Walaupun pada dasarnya seringkali ada kontradiksi dengan
keadaan dunia internasional sekarang ini yang terkadang dikuasai oleh satu negara yaitu
Amerika serikat. Hal tersebut juga dirasakan dalam proses pembentukan Protokol Kyoto,
yang mana Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi Protokol tersebut karena
dianggap merugikan bagi negara maju. Sehingga sebuah multilaretal diplomasi seakan
berjalan kurang baik jika negara maju tidak menyetujui sebuah keputusan.
Konferensi yang melibatkan banyak negara memang seringkali memiliki banyak
hambatan, karena kepentingan masing-masing negara yang berbeda. Akan tetapi jika
konferensi tersebut telah melahirkan sebuah keputusan atau perjanjian internasional,
maka setiap negara yang mengikuti konferensi tersebut diharuskan mematuhi sebuah
perjanjian internasional. Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang
hakikatnya mengikat seluruh negarayang menyepakati protocol tersebut. Terminologi
protocol digunakan untuk sebuah perjanjian yang lingkup materunya lebih sempit
dibandingkan treaty atau convention. Dari beberapa jenis protocol, Protocol based on
Framework Treaty merupakan jenis yang cocok dalam membahas isu lingkungan. Hal
tersebut dikarenakan isu yang dibahas cenderung isu yang sederhana dan bukan isu
strategi seperti keamanan dan pertahanan.Selain itu karena protocol tersebut berawal dari
sebuah framewok yaitu UNFCCC.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Metode Penelitian
15
Penelitian ini bersifat kualitatif, sehingga penulis menganalisis tema yang dibahas
dalam penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif. Definisi penelitian dengan
metode kualitaif itu sendiri adalah penelitian yang bersifat dekripstif dengan melakukan
penelitian yang mendalam terhadap sebuah gejala, fakta atau peristiwa.23 Penelitian
dengan menggunakan metode kualitatif tidak memiliki batasan dalam memahami suatu
isu yang dianalisi. Metode yang digunakan dengan metode pendekata empiris dan teoritis
agar penelitian dapat dipahami oleh pembaca dengan lebih mudah. Penelitian dengan
metode kualitatif berbeda dengan penelitian kauntitatif. Perbedaan yang paling mendasar
adalah terkait dengan pertanyaan penelitian kualitatif yang tidak mendetail seperti
penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretative yang tidak
terlepas dari pendapat pribadi dari peneliti.24 Sehingga penelitian ini lebih bersifat
subyektif karena berdasarkan pemikiran penulis dengan didasari oleh data-data yang
mendukung.
Definisi di atas menunjukan bahwa penelitian yang penulis bahas tentang
kebijakan pemerintah Indonesia dalam implementasi mekanisme Protokol Kyoto dapat
menggunakan metode kualitatif. Hal tersebut dikarenakan pembahasan yang bersifat
deskriptif dalam menjelaskan isu yang dianalisis, serta tema yang juga merupakan jenis
gejala, fakta atau peristiwa. Selain itu tema yang diambil penulis juga merupakan isu
yang dapat diteliti tanpa adanya batasan, karena isu yang diambil merupakan sebuah
fakta yang bersifat subyektif. Sehingga dalam melakukan penelitian, penulis mencoba
menyatukan pendapat dari beberapa responden dengan melalui wawancara yang
23 DR.J.R. Raco, ME., M.SC. Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya, (Grasindo:Jakarta, 2010) halaman 224 Ibid, hlm 10
16
merupakan bagian dari metode pengumpulan data dari metode kualitatif. Metode tersebut
sangat penting karena penelitian ini terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia, yang
dalam proses keputusannya meliibatkan banyak pihak, seperti DPR sebagai pembuat
Undan-undang, Presiden yang memutuskan Undang-undang serta departemen-
demartemen yang bersangkutan yang menjalankan dan mengawasi kebijakan.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data-data yang diperoleh melalui studi lapangan yaitu
wawancara langsung dengan beberapa narasumber yang berkaitan dan terjun langsung
dalam konteks pemanasan global. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adaalah metode kualitatif. Metode kualitatif yang bersifat terbuka sehingga
dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode wawancara dan studi
kepustakaan. Dua metode tersebut menjadi dasar dari metode pengumpulan data dari
penelitian, dikarenakan terbatasnya berbagai hal yang menjadikan sulitnya penulis untuk
terjun langsung dalam peristiwa yang dibahas. Kemudian Wilayah penelitian, interview
dan sebagainya dilakukan di Jakarta. Dikarenakan sulitnya penelitian lapangan secara
langsung, yang mana akan menghabiskan banyak dana dan waktu. Jakarta merupakan
alternatif pertama sebagai sumber informasi, karena jakarta merupakan pusat informasi di
Indonesia.
Seperti kita ketahui studi kepustakaan juga merupakan hal paling menungjang
dalam penelitian kualitatif. Sehingga perlu diperhatikan beberapa sumber kepustakaan
yang berkaitan dengan penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
17
Adapun sistematika pnulisan dalam metodelogi penelitian ini adalah:
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Konseptual
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Penulisan
BAB II Protokol Kyoto
A. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto
B. Mekanisme Protokol Kyoto
1 Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)
2 Implementasi Bersama (Joint Implementation/ JI)
3 Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/
CDM)
C. Action Plan dan Target Protokol Kyoto
BAB III Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam Pembentukan
Protokol Kyoto
18
A. Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan Pembuatan Protokol
Kyoto
A.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme Protokol Kyoto
A.2 Ratifikasi Protokol Kyoto oleh pemerintah Indonesia
B. Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan
BAB IV Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto oleh Pemerintah Indonesia
Bekerjasama dengan Pemerintah Jepang
A. Kebijakan dan Tujuan Pemerintah Indonesia dalam Implementasi Mekanisme
Protokol Kyoto
B. Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme
Protokol Kyoto
C. Adaptasi dan Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Isu Pemanasan Global oleh
Pemerintah Indonesia
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
19
BAB II
A. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan Negara-negara di dunia terkait dengan
isu lingkungan. Protokol Kyoto merupakan hasil dari konferensi lingkungan terkait
dengan pemanasan global yang diadakan di Kyoto Jepang. Protokol Kyoto dihasilkan
dari Conference of parties (COP) 3 yang diadakan pada bulan desember tahun 1997.25
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan seluruh negara yang mengikuti konferensi
tersebut, yang mana negara-negara tersebut merupakan negara anggota PBB.
Protokol Kyoto mencakup kesepakatan antar negara yang diaplikasikan dalam
tiga poin penting dalam Protokol Kyoto.26 Pertama, Join Implementation (JI) poin
mekanisme ini tertera pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari
negara yang menyepakati Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi
proyek yang banyak menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh
negara diharuskan bekerjasama dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan
emisi GRK. Kedua, Clean Development mechanism (CDM) poin mengharuskan Negara
industri untuk memberikan kredit terhadap Negara berkembang dalam project
impementasi dari program protokol kyoto. Ketiga, Perdagangan Emisi merupakan poin
dalam Protokol Kyoto yang menjelaskan mengenai adanya mekanisme dalam Protokol
Kyoto yang mengatur mengenai perdagangan emisi antar negara. Hal tersebut tertera
dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau negara yang
25 Michael H. Glantz, Climate Affair.(Island Press: Washington, 2003) halaman 14426 http://unfccc.int/kyoto_mechanisms diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
20
menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang dihasilkan
negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Hal
tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang
mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara maju yang
menyebabkan pemanasan Global.
Sebelum terbentuknya Protokol Kyoto, isu lingkungan telah dibahas dalam
beberapa konferensi penting terkait dengan isu lingkungan. Setelah berakhirnya perang
dunia kedua setidaknya terdapat beberapa konferensi tentang lingkungan, yang kemudian
menghasilkan Protokol Kyoto yang dianggap sebagai babak baru dari kesepakatan negara
anggota PBB dalam mengatasi dampak dari pemanasan global.27 Perjalanan panjang
diplomasi lingkungan merupakan modal utama dari terbentuknya Protokol Kyoto, yang
mana perjalanan diplomasi lingkungan tersebut dimulai dengan Konferensi Stokholm.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perubahan dalam sistem hubungan
internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan berubahnya LBB (Liga Bangsa Bangsa)
menjadi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1945. Keanggotaan PBB semakin
meningkat sejak didirikan pada tahun 1945 dari 51 anggota menjadi 132 anggota sebelum
konferensi Stokholm 1972, yang merupakan konferensi tentang isu lingkungan yang
pertama setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nation
Conference on Human Environment/ UNCHE) yang diadakan di Stockholm Swedia dari
tanggal 5-16 Juni 1972, merupakan konferensi lingkungan pertama yang diselenggarakan
oleh PBB, yang kemudian menghasilkan sebuah Deklarasi yang biasa disebut sebagai
27 Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,Halaman 111
21
Deklarasi Stockholm. Konferensi Stockholm diadakan oleh PBB merujuk pada Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2849 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971. Konferensi
Stockholm dihadiri oleh 113 negara anggota PBB dan 400 peninjau dari berbagai
kalangan. Pembukaan Konferensi Stokholm menandai sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia (World Environmental Day). Selama Konferensi berlangsung, Konferensi
Stokholm berlangsung alot, di mana terdapat beberapa negara yang menentang hampir
semua agenda yang dibahas dalam konferensi tersebut. China merupakan salah satu
negara yang menentang agenda konferensi tersebut meskipun akhirnya China menerima
keputusan konferensi. Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, antara negara maju
dan berkembang, akhirnya mengasilkan sebuah keputusan yang menjadi Deklarasi
Stokholm, Isi Deklarasi Stockholm adalah:28
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan
Deklarasi Stokholm, 1972. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asa.
2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18
rekomendasi mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.
3. Rekomendasi tentang Kelembagaan dan Keuangan untik menunjang Action
Plan yang terdiri:
Dewan Pengurus UNEP, Dewan Pengurus ini berisi 58 negara yang
dipilih setiap 4 tahun sekali. Dipimpin oleh seorang presiden
Sekertariat yang dikepalai Direktur Eksekutif, yang mana diplih oleh
Majelis Umum PBB yang dinominasian oleh Sekertariat General PBB
dan bermarkas di Nairobi, Kenya.
28 Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,Halaman 119
22
Dana Lingkungan Hidup, merupakan kesepakatan yang menjelaskan
mengenai pembentukan dana lingkungan dengan berdasarkan sistem
PBB
Badan koordinasi Lingkungan Hidup, dibentuk untuk menjamin kerja
sama semua badan-badan PBB terutama dalam mandat program-
program lingkungan hidup dunia.
4. Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia
Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 15 Desember 1972 hasil keputusan
konferensi disahkan melalui Sidang Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No.
2997. Dengan demikian tampaknya arah perkembangan isu lingkungan mulai ditata
secara global dan menjadi konsep yang jelas untuk meningkatkan kerja sama global
maupun regional di antara negera-negara maupun organisasi Internasional di bidang
lingkungan hidup.
Pasca Perang Dingin Konferensi PBB mengenai isu lingkungan kembali
dilaksanakan di Rio de Jenero, konferensi tersebut disebut United Nation Conference on
the Environment and Development (UNCED). Konferensi Rio diselenggarakan pasca
Perang Dingin yang merupakan konferensi pertama yang terbesar dibandingkan dengan
konferensi-konferensi sebelumnya yang membahas mengenai isu lingkungan.29
Konferensi Rio biasa juga disebut sebagai KTT Bumi yang dihadiri oleh seluruh anggota
PBB. Hal tersebut berbeda dengan konferensi Stokholm 1972 yang hanya dihadiri
sebagian negara anggota PBB yaitu negara-negara Barat dan sebagian negara-negara
berkembang. KTT Bumi dilaksanakan dengan dihadiri oleh 180 negara dan beberapa
aktor non negara seperti NGO, Organisasi internasional dan lainnya. Konferensi tersebut
29 Dieter Helm, Climate Change Policy. (Oxford Universirty Press: New York, 2005) halaman 253
23
mensepakati sebuah kerjasama antar negara terkait dengan isu lingkungan yang disebut
UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change).
Dalam KTT Bumi dibahas tentang perlunya kerangka aksi nyata dari seluruh
negara yang mengikuti konferensi tersebut. Penjelasan mengenai pemanasan global serta
efek dari pemanasan global menjadi perhatian utama dari konferensi tersebut. Sehingga
dalam konferensi tersebut membahas mengenai pentingnya kesadaran dari seluruh negara
untuk mengurangi emisi GRK serta perlunya peranan negara maju untuk dapat
memimpin dalam mewujudkan hal tersebut.30 Dalam KTT Bumi menyebutkan bahwa
hasil dari KTT tersebut memiliki rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang.
Rencana jangka pendek diberlakukan khususnya kepada negara maju untuk dapat segera
mengambil tindakan untuk mengembalikan emisi GRK ke level 1990 pada tahun 2000
terutama untuk gas karbondioksida yang merupakan salah satu gas yang terbanyak
diatmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut berarti negara maju harus
menurunkan kadar emisi GRK sesuai dengan kadar emisi GRK pada tahun 1990 yang
diterapkan pada tahun 2000. Rencana jangka pendek tersebut harus diupayakan agar
kadar emisi GRK diatmosfer dapat distabilisasi. Sedangkan rencana jangka panjang lebih
terkait pada stabilisasi emisi GRK di atmosfer terutama GRK agar dapat mengurangi
dampak dari pemanasan global.
Setelah melalui pertemuan dan perdebatan terkait dengan Action plan jangka
panjang dan pendek yang dibahas dalam KTT Bumi, akhirnya dapat menghasilkan
sebuah keputusan dalam beberapa dokumen penting yaitu:31
30Sir Jhon Houghton, Global Warming: Complete briefing Third Edition. (Cambridge University Press:New York, 2004) halaman 24231 Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,Halaman 132
24
1. Rio Declaration on Environmental and Development yang merupakan
kesepakatan antar negara yang mengikuti konferensi tersebut.
2. Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC)
3. Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati
4. Prinsip-prinsip kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative statementof
priciples for a global concensus on the management, Conservation and
Suitainable Development of all type of forest)
Setelah berakhirnya KTT Bumi, kemudian tercipta dasar-dasar hubungan
internasional baru dan perubahan sistem lama mengenai keamanan kolektif yang
terbentuk atas dasar ideologi, konfrontasi bersenjata dan kekhawatiran akan terjadinya
perang dunia, telah bergeser dan berubah menjadi ancaman keamanan akibat
ketidakadilan ekonomi dan kerusakan ekologi. Namun hal terpenting adalah KTT ini
telah memberikan ide, pandangan, gagasan, harapan, dan aspirasi. Setelah KTT ini
diperlukan tindakan-tindakan lanjutan dalam berbagai tingkatan, yaitu tingkat
internasional, regional maupun nasional hingga lokal. Berbagai tindakan lebih lanjut
dilaksanankan yang kemudian terbentuknya Commission on Suitable Development
(COSD), berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.47/191 tahun 199232.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan di Rio de Jenero yang
mempertemukan para pemimpin negara di dunia. Konvensi tersebut bertujuan untuk
menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak membahayakan iklim di bumi.
Negosiasi-negosiasi dilaksanakan melalui konferensi berbagai pihak atau Conference of
Parties (COP).
32 Andreas Pramudianto, Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta. (UI-Press: Jakarta, 2008) Ibid,Halaman 133
25
Conference of Parties pertama kali diselenggarakan di Berlin Jerman pada tahun
1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret s/d 7 April tersebut
membahas mengenai Germany Mandate yang merupakan sebuah konsep awal sebuah
protokol, yang kemudian diresmikan sebagai Protokol Kyoto tiga tahun kemudian.33 Pada
COP1 yang deselenggarakan di Berlin, Jerman tersebut membahas mengenai penanganan
emisi terkait dengan isu adanya ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang
dalam isu lingkungan. Isu yang dibahas kemudian adalah mengenai perlunya transfer
tekhnologi dari negara maju terhadap negara berkembang. Tehknologi yang ramah
lingkungan dianggap perlu untuk diketahui oleh seluruh negara, baik negara maju
maupun negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan, agar dapat terjadinya proyek
pembersihan lingkungan yang berkelanjutan yang diikuti oleh seluruh negara.
Conferense of Parties II diadakan di Geneva, Swiss (8-19 July 1996). COP2
membahas mengenai persiapan para delegasi untuk membuat sebuah Protokol yang
kemudian dinamakan sebagai Protokol Kyoto. Ini merupakan objek utama dalam
mengidentifikasi pengurangan emisi GRK dan melibatkan seluruh Negara. Penurunan
emisi GRK lebih difokuskan kepada negara-negara Annex 1, yaitu sebagai berikut:
Annex I
Australia Denmark Iceland Malta
Austria Estonia Irlandia Monaco**
Balarus** Uni Eropa Itali** Belanda
Belgia Finlandia Jepang Selandia Baru
Bulgaria Prancis Latvia Norwegia
33 Michael H. Glantz, Climate Affair.(Island Press: Washington, 2003) ibid, halaman 143
26
Kanada Jerman Liechtenstein Polandia
Kroasia** Yunani Lithuania Portugal
Republik Ceko** Hungaria Luxemburg Romania
Federasi Rusia** Slowakia** Slovenia** Spanyol
Swedia Swiss Turki** Ukraina
Inggris dan Irlandia
Utara
Amerika Serikat
** Negara Observer atau negara Peninjau
Protokol Kyoto dibentuk pada pelaksanaan Conference of Parties (COP III) di
Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, sebagai tindak lanjut dari implementasi
tujuan konvensi kerangka kerja tentang perubahan iklim (UNFCCC)34. Tujuan utamanya
dari Konvensi adalah untuk mencapai stabilisasi dari konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer pada tingkat yang berbahaya anthropogenic akan mencegah gangguan pada
sistem iklim. Tingkat tersebut harus dicapai dalam waktu yang cukup untuk
membolehkan ekosistem alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, untuk
memastikan bahwa produksi makanan tidak terancam dan untuk mengaktifkan untuk
melanjutkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
Di dalam konferensi para pihak ketiga (COP III) di Kyoto, Jepang, disepakati
adanya sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang dikenal dengan Protokol Kyoto
(Kyoto Protocol). Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi
34 Mark Maslin, Global warming: Very Short Introduction. (Oxford University Press: New York, 2004)halaman 118
27
Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) . Negara-negara yang
meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK antropogenik yang
meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 atau bekerjasama dalam perdagangan
emisi jika mereka menjaga atau menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global.
Di dalam Protokol Kyoto telah disepakati jadwal dan target penurunusan emisi
GRK oleh negara maju, negara maju diminta untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5
persen dari tingkat emisi 1990 pada tahun 2008-2012. Kelompok negara maju dalam
Protokol Kyoto disebut dengan annex 1 harus menurunkun emisi GRK yang telah
diproduksinya. Penurunan emisi GRK harus sesuai dengan mekanisme fleksibel yang
tertera dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme yang kemudian
harus diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Protokol tersebut35. Join
implementation, Emision Trading, dan Clean Development Mechanisme merupakan
kegiatan dalam mekanisme Kyoto yang harus dilaksanakan oleh seluruh negara yang
meratifikasi Protokol Kyoto.
B. Mekanisme Protokol Kyoto
Awal bulan Desember 1997 merupakan sejarah baru bagi diplomasi lingkungan.
Lebih dari 100 negara di dunia menghadiri COP3 yang diselenggarakan di Kyoto,
Jepang. Konferensi negara anggota PBB yang membahas tentang isu lingkungan
terutama isu pemanasan global, yang menjadi tema utama dalam konferensi tersebut.
Penurunan emisi GRK merupakan poiin penting yang dibahas, yang kemudian disepakati
35 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang. (PT Kompas MediaNusantara: Jakarta, 2003) ibid, halaman 01
28
dalam bentuk protokol yang disebut Protokol Kyoto. Dalam Protokol Kyoto terdapat tiga
mekanisme penting dalam rangka mewujudkan tujuan dari Protokol Kyoto. Tiga
mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emision Trading dan Clean
Development Mechanisme. Tiga mekanisme tersebut yang menjadi pilar utama dari
negosiasi-negosiasi antar negara terkait isu lingkungan.
B.1 Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)
Perdagangan emisi merupakan salah satu dari tiga poin mekanisme Protokol
Kyoto. Perdagangan emisi tertera pada pasal 17 dari Protokol Kyoto36. Dalam pasal
tersebut dijelaskan mengenai perdagangan emisi antar negara yang tergabung dalam
annex B. Pasal tersebut menjaelaskan bahwa antar negara annex B yang tertera dalam
Protokol Kyoto dapat saling menjual atau membeli emisi guna menstabilkan kadar emisi
GRK di dalam atmosfer. Annex B beranggotakan negara-negara Eropa Tengah dan
sebagian Eropa Timur serta bebereapa negara pecahan Uni Soviet. Perdagangan Emisi
bukan merupakan sebuah mekanisme yang memiliki landasan proyek seperti mekanisme
lainnya, yaitu Join Implementation atau Clean Development Mechanisme.
Perdagangan emisi tertera pada artikel ke-3 paragraf 10 dan 11 dalam Protokol
Kyoto.37 Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa berapa emisi yang dikurangi atau
berapa bagian jumlah emisi yang dihasilkan. Berarti dalam mekanisme ini terdapat aturan
dalam penjualan emisi yang mengharuskan keseimbangan dalam emisi antar penjual
emisi dan pembelinya. Hal tersebut berarti dalam perdagangan emisi harus ada stabilisasi
antar penjual dan pembeli emisi agar kadar emisi GRK dalam atmosfer tetap stabil.
36 http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/et/items/ diakses pada hari Rabu, 25 Mei 201137 Koh Kheng Lian, Lye Lin Heng, Jolene Lin,, Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto ProtocolAsia and The World .(World Scientific Publishing: London, 2010) halaman 241
29
Pada awalnya perdagangan emisi merupakan mekanisme yang alot dibahas saat
pembentukkan Protokol Kyoto. Negara-negara Eropa merupakan kelompok yang
mengajukan ide mengenai perdagangan emisi guna mengurangi emisi GRK dalam
atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Perdagangan emisi banyak menimbulkan
pertanyaan yang menyebabkan deadlocknya pembahasan mengenai mekanisme tersebut.
Kendala yang dihadapi dalam pembentukan perdagangan emisi adalah perdagangan emisi
kurang signifikan dalam usaha untuk mengurangi emisi serta dianggap belum tentu dapat
mengurangi emisi GRK.38 Akan tetapi, pada tahun 2001 Uni Eropa sebagai penggagas
ide perdagangan emisi tetap meresmikan mekanisme tersebut diwilayah Eropa yang
meliputi anggota Annex B.
Perdagangan emisi dalam implementasinya harus memperhatikan stok emisi
negara yang membeli atau menjual emisi. Hal tersebut diperlukan karena dikhawatirkan
terdapat pihak yang terlalu banyak menjual emisi untuk kepentingan nasionalnya,
sehingga kadar emisi di negaranya tidak diperhatikan.39 Jadi solusi yang kemudian
dikeluarkan adalah setiap negara yang menjual emisi harus memiliki cadangan emisi
sekitar 90 persen dari keseluruhan emisi yang dimilikinya. Hal tersebut dilakukan untuk
mengontrol ketidakstabilan kadar emisi dalam atmosfer, yang mana tujuan utama dari
perdagangan emisi tersebut adalah untuk menstabilkan emisi GRK atau mangurangi
kadar emisi GRK dalam atmosfer yang dapat menyebabkan pemanasan global.
B.2 Implementasi Bersama (Join Implementation/ JI)
Dalam beberapa pertemuan Komite Negoisasi Antar Pemerintah
(Intergovermental Negotiating Commite, INC) menjelang COP 1 pada tahun 1995, telah
38 Richard B, Stewart dan Jonathan B, Wiener, Reconstructing Climate Policy: Beyond Kyoto. (AEI Press:Washington, 2003) halaman 0939 Ibid,
30
dibicarakan mengenai mekanisme Joint Implementation (JI). JI merupakan usulan dari
Norwegia, yang mana dimaksudkan agar seluruh negara turut serta dalam mengatasi
pemanasan global.40 Perundingan mengenai Joint Implementation tidak begitu lancar,
dikarenakan adanya penolakan dari beberapa negara. Negara anggota OPEC menolak
adanya mekanisme Joint Implementation, karena mekanisme tersebut dianggap tidak
akan efektif dan dapat menyebabkan negara-negara maju menolak menandatangani
Protokol Kyoto. Selain negara anggota OPEC, China dan India juga menolak mekanisme
tersebut dan berharap kelompok G77+China akan kompak untuk bersama-sama menolak
mekanisme Joint Implementation, sebagai mekanisme yang harus diikuti oleh negara-
negara berkembang. G77+China merupakan sebutan bagi kelompok negara berkembang
yang mengikuti konferensi pembentukan Protokol Kyoto.
Joint Implementation (JI) merupakan proyek dari Protokol Kyoto terkait
penurunan emisi GRK. Proyek tersebut tertera pada artikel ke-6 dalam Protokol Kyoto,
bahwa kelompok Annex 1 dapat mengimplementasikan proyek ERUs (Emission
Reduction Units) dengan kelompok Annex 1 lainnya.41 Melalui Proyek Joint
Implementation negara-negara Annex 1 dapat mengurangi masing-masing 1 Ton CO2,
yang merupakan salah satu target dari Protokol Kyoto. Proyek JI harus memberikan
pengurangan yang signifikan dari sumber atau emitor. Sehingga proyek tersebut dapat
dilaksanakan mulai tahun 2000 jika telah sesuai dengan prosedur yang ada. Akan tetapi
pada dasarnya proyek ERUs mulai efektif dilaksanakan pada tahun 2008.
40 Daniel Mudiyarso, Mekanisme Pembangunan Bersih. (PT Gramedia: Jakarta, 2003 ) halaman 0141 Koh Kheng Lian, Lye Lin Heng, Jolene Lin,, Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto ProtocolAsia and The World .(World Scientific Publishing: London, 2010) ibid, halaman 247
31
Dalam implementasi proyek Joint Implementation, terdapat dua prosedur yang
dapat dilakukan yaitu Track One atau Track Two.42 Prosedur pertama atau Track One
menyebutkan bahwa, jika host parties dari proyek Joint Implementation (JI) telah
memenuhi semua persyaratan untuk mentransfer atau menerima proyek Emision
Reduction Units (ERUs) diharuskan untuk memverivikasi proyek tersebut atau
meningkatkan pembersihan sesuai dengan proyek JI. Hal tersebut dimaksudkan sebagai
tambahan jika proyek tersebut berjalan sebaliknya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar
adanya penyesuaian proyek Join Implementation dengan peraturan nasional dari negara
yang memverivikasi proyek JI, yang kemudian menseleksi setiap proyek agar sesuai
dengan target ERUs. Prosedur kedua atau Track Two, jika terjadinya kekurangan dalam
melengkapi persyaratan dari proyek Join Implementation (JI). Maka, proyek tersebut
harus diverifikasi dibawah aturan dari Komite Pengawas dari proyek Joint
Implementation (Joint Implementation Supervisory Commite, JISC). Dalam prosedure
kedua ini JISC bertugas untuk menentukan relevansi dari persyaratan yang telah dipenuhi
oleh negara yang akan mentransfer dan menerima proyek ERUs. Sehingga sebelum
dilaksanakannya proyek ERUs komite pengawas atau JISC telah memverifikasi bahwa
negara tersebut telah siap untuk melaksanakan proyek ERUs.
Proyek ERUs yang terdapat dalam mekanisme JI pada dasarnya tidak dapat
diterima sepenuhnya oleh negara berkembang. Karena proyek tersebut hanya antar
negara maju, sedangkan negara berkembang kurang berperan dalam proyek tersebut. Hal
tersebut dibuktikan dengan proyek tersebut cenderung ditujukan kepada negara-negara
eropa timur yang notebene merupakan negara yang sedang dalam masa transisi dari
negara berkembang menuju negara maju. Sedangkan di wilayah Asia hanya sedikit
42 http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/ji/items/1674.php diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
32
memperpoleh jatah proyek ERUs, sehingga mekanisme JI sedikit terhambat oleh faktor-
faktor tersebut.
B.3 Clean Development Mechanism (CDM)
CDM adalah sebuah usulan mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang muncul
secara tiba-tiba ketika pertemuan yang membahas Protokol Kyoto hendak ditutup pada
tanggal 11 Desember 1997 atau sehari setelah mengalami pengunduran dari waktu
penutupan yang direncanakan. CDM muncul kepermukaan diawali oleh proposal yang
diajukan oleh delegasi dari negara Brazil. Proposal tersebut terkait dengan dana yang
dapat digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh negera-negara
berkembang. Dana tersebut dikenal Clean Development Fund, yang mana dana tersebut
diperoleh dari denda dari Negara-negara Annex 1 yang tidak taan dalam memenuhi
komitmennya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca43. Besarnya dana yang
dikeluarkan berdasarkan nilai tertentu per ton emisi yang dihasilkan yang melebihi jatah
yang seharusnya. Sehingga semakin seringnya terjadi kelebihan batas emisi, maka
semakin besar juga dana yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi perubahan
iklim.
Proposal tersebut mendapat dukungan dari Negara-negara berkembang seperti
China, India dan Negara-negara kepulauan kecil. Akan tetapi hal tersebut berbanding
terbalik dengan sikap Negara Annex 1 yang merupakan kelompok dari Negara-negara
maju. Penolakan tersebut dikarenakan Negara maju merasa seperti dihakimi oleh
kesalahan-kesalahannya dan diharuskan membayar denda jika melakukan kesalahan.
43 ibid, halaman 05
33
Pada dasarnya Negara Annex 1 tidak menolak sepenuhnya proposal tersebut, seperti
Amerika serikat yang kemudian tertarik untuk menggodok konsep tersebut. Sampai pada
akhirnya China mengusulkan sebuah mekanisme berkelanjutan yang dapat secara nyata
mengurangi emisi GRK. Pada saat itulah ide tantang Clean Development Mechanism
muncul dan diterima oleh seluruh Negara, karena CDM dianggap lebih fleksibel dalam
aplikasi dari konsep mekanisme tersebut. CDM juga merupakan satu-satunya mekanisme
dalam Protokol Kyoto yang dapat diikuti oleh seluruh Negara, baik Negara maju maupun
Negara berkembang.
Mekanisme CDM tertera pada artikel ke-12 dalam Protokol Kyoto. Clean
Development Mechanism merupakan mekanisme yang dapat diiikuti oleh semua negara.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari mekanisme CDM.44 Terdapat tiga tujuan utama
dari terbentuknya CDM, pertama memberikan kesempatan kepada negara non Annex 1
dalam mencapai perkembangan dalam konteks perubahan iklim. Kedua, untuk
mengkontribusi objek-objek penting yang terdapat dalam UNFCCC. Ketiga, memberikan
tanggung jawab kepada seluruh negara termasuk negara-negara Annex 1 dalam
berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK, serta berkomitmen sesuai dengan
peraturan yang tertera pada Protokol Kyoto.
CDM merupakan mekanisme yang paling efektif yang dapat diterima
dibandingkan dua mekanisme lainnya, yaitu Emision Trading dan Joint Implementation.
Hal tersebut dikarenakan konsepnya yang lebih fleksibel dan kompetitif. Alasan tersebut
berkaitan dengan faktor ekonomi negara-negara yang memmverifikasi Protokol Kyoto,
terutama bagi negara maju dalam Annex 1. Bagi negara maju mekanisme dianggap lebih
44 Koh Kheng Lian, Lye Lin Heng, Jolene Lin,, Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto ProtocolAsia and The World .(World Scientific Publishing: London, 2010) ibid, halaman 248
34
kompetitif dan murah dibandingkan konsep Join Implementation yang hanya melibatkan
negara Annext 1. Anggaran yang tidak begitu mahal terkait penurunan emisi GRK
membuat negara maju menerima mekanisme tersebut. Selain itu dalam mekanisme
tersebut negara berkembang juga dapat turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK.45
Hal tersebut dikarenakan negara berkembang akan memperoleh suntikan dana yang
cukup besar untuk dapat menjalankan proyek mengurangi emisi GRK. Dana tersebut
diperoleh dari investasi negara maju untuk mengimplementasikan proyek pengurangan
emisi, yang kemudian negara berkembang juga memperoleh keuntungan dengan adanya
transfer tekhnologi dari negara maju ke negara berkembang yang terkait dengan
teknologi dalam menanggulangi perubahan iklim.
CDM yang merupakan mekanisme yang dapat diikuti oleh negara berkembang
dan negara maju. Akan tetap, pada dasarnya terdapat beberapa persyaratan bagi negara
maju dan berkembang untuk dapat memenuhi kriteria negara yang dapat menjalankan
mekanisme tersebut.46 Persyaratan bagi negara berkembang adalah sebagai berikut:
Memiliki otoritas nasional yang ditunjuk untuk mengimplementasikan proyek
CDM
Menjadi anggota atau pihak Protokol Kyoto dengan cara meratifikasi Protokol
tersebut.
Sedangkan persyaratan bagi negara maju adalah sebagai berikut:
45 www.econ.cam.ac.uk/rstaff/grubb/publications/J36.pdf , M. (July–September 2003). "The Economics ofthe Kyoto Protocol" . World Economics 4 (3): 143–189 diakses pada hari jumat, 27 Mei 201146Daniel Mudiyarso, Mekanisme Pembangunan Bersih. (PT Gramedia: Jakarta, 2003 ) ibid,halaman 07
35
Jatah emisinya telah dihitung dan dicatat sesuai dengan modalitas perhitungan
yang berlaku (pasal 3.7 dan 3.8)
Memiliki sistem nasional tentang pendugaan emisioleh sumber dan penyerapan
oleh rosot (pasal 5.1)
Memiliki pencatatan nasional (pasal 7.4)
Menyampaikan inventarisasi tahunan tantang emisi GRK antropogenik oleh
sumber dan penyerapan rosot (pasal 5.2 dan 7.1)
Tetap bertanggung jawab dalam melakukan kewajibannya meskipun
menyerahkan kegiatannya kepada publik atau pihak swasta
Bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, keabsahan dalam
mengimplementasikan proyek CDM ditangguhkan dan diumumkan oleh sekertariat
UNFCCC. Sebaliknya jika negara tau peserta proyek CDM telah memenuhi
persyaratan, maka negara tersebut dapat menunjuk pengembang atau peserta proyek
yang mewakili kedua belah pihak. Proyek yang dijalankan harus pada sektor yang
merupakan sumber dari penghasil emisi GRK, seperti industri, transportasi,
pengelolaan limbah organik, pertanian dan sektor lainnya yang merupakan sumber
penghasil emisi GRK.
C. Action Plan dan Target Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan rezim baru dalam dunia internasional yang terkait
dengan isu lingkungan, terutama dalam hal mengontrol emisi GRK. Protokol Kyoto pada
dasarnya dibuat untuk membatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan oleh
36
Negara-negara annex 1. Negara-negara Annex 1 merupakan kelompok dari Organization
for Economic Coorporation and Development (OECD), yang mana beranggotakan dari
Negara-negara maju ditambah dengan beberapa Negara Eropa Timur dan Negara-negara
pecahan Uni Soviet. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa Negara yang termasuk
dalam Annex 1 secara individu atau bersama-sama harus mengurangi emisi GRK sebesar
5 persen dari standarisasi level emisi pada tahun 199047. Protokol Kyoto memiliki target
pengurangan emisi secara berkala dimulai tahun 2008 sampai masa habisnya Protokol
Kyoto pada tahun 2012. Dalam memenuhi target tersebut Protokol Kyoto memiliki
beberapa Action Plan yang harus diikuti oleh seluruh Negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto.
Program aksi dari Protokol Kyoto berdasarkan mekanisme yang telah disepakati
dalam isi dari Protokol Kyoto. Join Implementation, Emision Trading dan Clean
Development Mechanism merupakan tiga mekanisme yang tertera dalam Protokol Kyoto.
Program Aksi dari mekanisme Protokol Kyoto tersebut dimulai tahun 2005 dan dapat
berjalan efektif pada tahun 200848. Hal tersebut dikarenakan, terdapat beberapa negara
yang baru meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga memerlukan persiapan untuk
menjalankan Proyek mekanisme Protokol Kyoto antara tahun meratifikasinya seperti
Indonesia tahun 2004 kemudian dapat mempersiapkan proyek yang dilaksanakan pada
tahun 2008. Akan tetapi bagi negara yang memang sudah siap untuk menjalankan proyek
tersebut dapat memulai proyek dari tahun 2005. Proyek-proyek penurunan emisi GRK
merupakan program aksi yang utama dalam Protokol Kyoto. Hal tersebut terlihat dari
47William Nordhaus, Question of Balance: Weighing the Option on Global Warming Policies. (YaleUniversity Press: London, 2008) halaman 7348 http://greendecade.org/energy_kyoto. diakses pada tanggal 17 agustus 2011
37
ketiga mekanisme Protokol Kyoto yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mereduksi
emisi GRK yang menyebabkan pemanasan Global. Pada tahun 2002 Protokol Kyoto
memiliki Program aksi, yang mana dalam program aksi tersebut dijalankan untuk
mengkalkulasi kadar karbon dioksida CO2 dalam setiap rumah. Hal tersebut
dimaksudkan agar dalam penghitungan kadar emisi GRK dapat lebih mendetail dan lebih
jelas. Sehingga dapat memberikan kesadaran kepada seluruh masyarakat internasional
untuk dapat mengurangi emisi GRK dari rumah masing-masing atau dari gaya hidup
yang telah dijalani.
Dalam Program Aksi dari Protokol Kyoto fokus kepada pengurangan emisi GRK.
Beberapa jenis gas yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai berikut:
Methane (CH4)
Nitrous oxide (N2O)
Hydrofluorocarbons (HFCs)
Carbon dioxide (CO2)
Perfluorocarbons (PFCs)
Perfluorokarbon (PFC)
Sulphur hexafluoride (SF6)
Target penurunan emisi GRK tersebut merupakan tujuan dari program aksi
Protokol Kyoto. Program aksi yang diterapkan dalam proyek mekanisme Protokol Kyoto,
yang mana proyek tersebut meliputi alih tekhnologi, pengurangan emisi GRK serta riset
terkait perkembangan perubahan iklim yang menjadi program utama dari Protokol Kyoto.
38
Dari program aksi tersebut dapat dilihat peranan dari Negara-negara di dunia dalam
mengurangi dampak dari pemanasan Global. Hal tersebut juga menjadi menarik ketika
Indonesia sebagai Negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, berperan
aktif dalam beberapa konferensi lingkungan terutama Protokol Kyoto.
39
BAB III
Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam Pembentukan Protokol
Kyoto
A. Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan Pembuatan Protokol
Kyoto
Pemanasan global menjadi isu global yang menjadi agenda utama Negara-negara
di dunia terkait penanganan dampak dari pemanasan global. Pada tahun 1997, merupakan
babak baru dari diplomasi lingkungan terkait dengan isu lingkungan. Negosiasi terus
dilakukan oleh seluruh Negara di dunia, hingga tercapainya suatu konvensi yang
dituangkan dalam sebuah Protokol, yang disebut Protokol Kyoto. Protokol Kyoto
merupakan kesepakatan antar Negara di dunia untuk mereduksi kadar CO2 dalam
atmosfer hingga mencapai 6% dalam level tahun 1990 yang diterapkan pada tahun
201049. Negara yang berpartisipasi dalam mereduksi emisi GRK tersebut merupakan
Negara-negara yang masuk dalam kelompok Negara industry dan Negara maju. Protokol
Kyoto meminta kepada Negara-negara industri dan Negara maju untuk dapat membatasi
emisi GRK. Sehingga target dari Protokol Kyoto dapat dipenuhi, yang mana target
tersebut dijalankan melalui mekanisme yang terdapat dalam Protokol Kyoto. Kemudian
yang menarik adalah dalam mekanisme tersebut, Protokol Kyoto memperbolehkan
adanya perdagangan emisi Gas Rumah Kaca antar negara maupun secara internasional.50
Secara keseluruhan dari mekanisme yang terdapat dalam Protokol Kyoto, hanya satu
49 David, Archer, Global Warming: Understanding the forecast, (Blackwell Publishing: Victoria, 2007) hal17450 Paul G. Haris, Global Warming and East Asia: The domestic and International politic of climate change,(Routledge: London, 2003) halaman 221
40
yang dapat dilaksanakan oleh Negara maju dan melibatkan Negara berkembang, yaitu
Clean Development Mechanism. CDM merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang
bertujuan untuk mereduksi emisis GRK. Akan tetapi, CDM berbeda dengan mekanisme
Protokol Kyoto lainnya, karena CDM melibatkan Negara berkembang dalam proyek
pengembangan reduksi emisis GRK. Indonesia yang merupakan salah satu dari Negara
berkembang memiliki daya tawar yang tinggi terkait dengan mekanisme tersebut.
Indonesia merupakan merupakan negara yang memiliki peran penting dalam
diplomasi lingkungan dan Protokol Kyoto, yang mana terkait dengan program
pengurangan emisi. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terbesar
kedua didunia. Selain itu Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai
terpanjang di dunia, yang membuat Indonesia dapat merasakan dampak yang signifikan
dari perubahan iklim, yaitu dengan naiknya permukaan air laut karena mencairnya
gunung es di kutub.51 Sehingga Indonesia patut memiliki peranan dalam isu lingkungan
yang menjadi agenda penting dalam pemerintahan Indonesia.
Peranan penting Indonesia dalam diplomasi lingkungan, dimulai sejak
pemerintahan presiden Soeharto. Pada masa pemerintahan Soehato, Indonesia telah
menegaskan perannya dalam diplomasi lingkungan seperti pengiriman delegasi pada
konferensi Stokholm, Swedia tahun 1972. Kemudian Indonesia kembali mengirimkan
delagasinya pada konfrensi Naerobi dan KTT Bumi. Pada KTT bumi Indonesia semakin
memantapkan perannya dalam diplomasi lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan
ditandatanganinya pembentukan UNFCCC oleh Indonesia, yang kemudian diratifikasi
51 Ibid, hal 175
41
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1994 dengan persetujuan DPR.52 Pada tahun 1997,
Indonesia juga mengirimkan delegasi ke Tokyo, Jepang dalalm pertemuan yang
membahas pembentukan Protokol Kyoto.
Perjalanan panjang yang terjadi dalam pembentukan Protocol Kyoto, Indonesia
memainkan perannya sebagai Negara berkembang. Pada dasarnya Negara berkembang
tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi GRK. Hal tersebut jika dilihat dari
dua mekanisme Protokol Kyoto, yaitu Emision Trading dan Join Implementation. Akan
tetapi, pada saat konferesi akan berakhir terdapat mekanisme yang mengikutsertakan
Negara berkembang dalam menanggulangi pemanasan global. Yusron Ihza sebagai salah
satu delegasi Indonesia menyampaikan bahwa dalam konferensi tersebut terbentuk
sebuah teori, yang mana menjustifikasi Negara maju sebagai penanggungjawab dari
terjadinya pemanasan global.53 Hal tersebut dibutika dengan adanya penelitian yang
menyebutkan pemanasan global terjadi pasca revolusi industri. Akan tetapi, jika Negara
maju telah siap menjalankan kontribusinya dalam mereduksi gas GRK, maka kenapa
Negara berkembang tidak ikut dilibatkan dalam proyek tersebut. Kemudian, dengan
terbentuknya CDM, maka Negara-negara berkembang dapat ikut serta menanggulangi
pemanasan global.
A.2 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme Protokol Kyoto
Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2004.
Ratifikasi tersebut berarti, Indonesia telah memiliki komitmen untuk ikut serta dalam
menanggulangi pemanasan global agar dapat dikurangi dampak dari pemanasan global.
Setiap Konvensi yang diratifikasi oleh suatu Negara termasuk Konvensi Perubahan Iklim
52 Velma I. Gover, Climate change-five year after Kyoto, (Science Publisher: New Hampshire, 2004)halaman 34353 Yusron Ihza, Jurnal diplomat Indonesia (La Tofi: Jakarta,2009) halaman 09
42
harus dipahami bahwa konvensi atau perjanjian tersebut adalah hasil pemikiran dan
komitmen global yang selanjutnya diimplementasikan dalam tingkat nasional.54
Pengertian nasional disini berarti memiliki dasar hokum yang mengikat seluruh lapisan
pemerintahan dan masyarakat secara umum. Serta perlunya diimplementasikan secara
bersama-sama dengan melibatkan beberapa kelompok dalam lapisan masyarakat yang
terkait. Implementasi konvensi bukan komitmen suatu lembaga pemerintah atau
departemen. Walaupun pada dasarnya pemerintah memiliki peran utama sebagai
penanggungjawab dari implementasi tersebut. Akan tetapi implementasi konvensi
merupakan tugas masyarakat secara umum untuk bersama-sama melaksanakann program
yang telah disepakati.
Keikutsertaan Indonesia dalam mekanisme Protokol Kyoto disebabkan oleh
adanya berbagai pertimbangan. Selain terkait dengan letak Indonesia yang rentan
terhadap banjir yang disebabkan oleh naiknya air laut karena kutub mencair disebabkan
oleh pemanasan global. Indonesia juga bisa memperoleh keuntungkan dari Protokol
Kyoto terkait dengan mekanisme yang dijalankan oleh Negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme fleksibel dalam
Protokol Kyoto yang memungkinkan Negara maju dan Negara berkembang bersama-
sama dalam menjalankan proyek pengurangan emisis GRK55. Mekanisme ini merupakan
mekkanisme dalam Protokol Kyoto yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam
mekanisme pembangunan bersih, selain membantu Negara maju untuk mengurangi emisi
GRK, Negara berkembang juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk finasial, transfer
tekhnologi dan pembangunan berkelanjutan dari Negara maju ke Negara berkembang.
54 Daniel mudiarso, International Review for Enviromental Strategies: Implication of The Kyoto IndonesianPerspektive, (IGES, 2004)55 Strategi nasional pada CDM
43
Adapun tujuan dari terbentuknya mekanisme pembangunan bersih (Protokol Kyoto
Artikel 12) adalah sebagai berikut:56
1. Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu Negara
berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk
berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target
penurunan emisi negaranya.
Jadi Clean Development Mechanism (CDM) akan member kesempatan kepada
Negara maju untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan fleksibel dan dengan
biaya yang tidak terlalu mahal. Hal tersebut menguntungkan Negara berkembang, karena
dengan adanya mekanisme tersebut maka akan adanya proyek CDM yang
menguntungkan bagi negara berkembang.
Mekasnime Pembangunan Bersih memiliki metode khusus dalam mengurangi
emisi Gas Rumah Kaca. Metode dengan memberikan sertifikat kredit kepada negara maju
dalam mereduksi emisi GRK. Sertifikat tersebut berarti merupakan komitmen dari
Negara maju untuk mengurangi emisi GRK yang selama ini telah dihasilkan oleh negara
maju melalui perkembangan industri yang telah dilakukannya. CER (Certified Emission
Reduction) merupakan sertifikat yang memberikan kredit kepada Negara maju apabila
proyek yang dilaksanakan di Negara berkembang terbukti dapat mengurangi emisi Gas
Rumah Kaca. Kredit tersebut kemudian dihitung dengan emisi yang berhasil direduksi
56 www.unfccc.int/kyoto_protocol/mechanism/clean_development_mechanism/items/2718.php
44
sesuai dengan target dari Protokol Kyoto. Kredit tersebut kemudian digunakan Negara
maju untuk memenuhi pengurangan emisi GRK yang dimulai pada tahun 2008-201257.
Kredit tersebut dapat diperoleh antara tahun 2000-2007, yang berarti Negara maju
memiliki waktu yang cukup lama untuk dapat mereduksi emisi GRK sesuai dengan target
dari Protokol Kyoto.
Dalam proyek CDM terdapat kebijakan anggaran yang menguntungkan sekaligus
juga bisa merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Adaptation Fund merupakan
dana adaptasi yang dibutuhkan negara berkembang dalam proyek adaptasi dari
tekhnologi yang dikembangkan dalam proyek CDM. Adaptasi yang secara spontan
maupun terencana akan membutuhkan dana yang besar, sehingga perlunya perencanaan
anggaran adaptasi agar dana yag digunakan lebih bermanfaat secara langsung. Pendanaan
adaptasi dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk sumber domestik maupun
internasional. Sebagai negara berkembang dan rentan dengan perubahan iklim, Indonesia
berhak menggunakan Adaptation Fund di bawah Protokol Kyoto58. Akan tetapi Indonesia
bukan negara satu-satunya yang dapat memperoleh dana tersebut, sehingga terdapat
kompetisi yang ketat dalam mendapatkan dana tersebut. Sehingga diperlukan
perencanaan yang baik dan perhitungan yang baik. Dana Adaptation Fund berasal dari
2% dana yang dikeluarkan oleh negara yang memperoleh CERs yang dihasilkan dari
proyek mekanisme CDM. Karenanya dana tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan
proyek CDM. Akan tetapi, dengan adanya persaingan ketat dalam memperoleh dana
tersebut, akan menjadi anacaman bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam
menyediakan anggaran tersebut. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan Indonesia tidak
57 www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2747 diakses pada tanggal 24 Desember 201158 Iwan J. Aziz, Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Konstribusi Emil Salim. (KPG: Jakarta, 2010)halaman 466
45
hanya soal lingkungan, tapi terdapat juga permasalahan lain seperti kemiskinan,
pendidikan dan lainnya.
Potensi Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari mekanisme pembangunan
bersih Protokol Kyoto pernah dihitung, misalnya yang dilakukan oleh Kementrian
Lingkungan Hidup dalam National Strategy Study on Clean Development Mechanism in
Indonesia (NSS, 2001, dibiayai oleh Bank Dunia).59 Studi tersebut melakukan analisis, di
antaranya terhadap pertumbuhan konsumsi energi Indonesia, pangsa Indonesia dalam
pasar karbon dunia, serta potensi Indonesia dalam melakukan proyek-proyek mekanisme
pembangunan bersih. Upaya-upaya untuk melakukan perhitungan potensi memperoleh
manfaat dari penerapan proyek-proyek CDM tentu saja masih terbuka lebar untuk
dilakukan.
NSS, dengan meminjam model perencanaan energi MARKAL (Market
Allocation), memproyeksikan komposisi pemakaian energi primer (primary energy mix)
di Indonesia hingga tahun 2025. Diperlihatkan pangsa konsumsi minyak bumi, gas bumi,
batubara, tenaga air (hydropower) dan biomass. Kecenderungan pertumbuhan konsumsi
energi primer yang menonjol tampak pada, khususnya batubara. Berdasarkan proyeksi
konsumsi energi primer tersebut, kemudian diperkirakan besaran emisi karbondioksida
(CO2 ) yang dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan energi (Tabel 1).60
59 Ibid Bappenas60 Ibid bappenas
46
Tabel 1. Perkiraan emisi karbondioksida dari sektor energi Indonesia hingga tahun 2025
Total emisi CO2 (juta TON) PertumbuhanRata-rata
Sektor 2000 2005 2010 2015 2020 2025 (% per tahun)
Industri 58 66 73 91 109 141 2.4
Rumah Tangga 21 22 23 23 22 25 0.4
Transportasi 55 61 76 99 128 168 3.4
Pbk. Tenaga Listrik 54 66 90 152 220 275 5.1
Industri Energi 40 30 35 27 48 63 1.9
TOTAL 228 246 298 392 526 672 3.3
Sumber: NSS on CDM in Indonesia, 2001.
Berdasarkan skenario standar, NSS menghitung bahwa volume total CDM yang
dapat dihasilkan di Indonesia hingga 2012 nanti adalah sekitar 125 MT CO2. Penjualan
sejumlah rata-rata 25 MT CO2 per tahun selama periode komitmen (2008-2012) akan
menghasilkan pendapatan sekitar $ 228 juta. Sejumlah $ 4,6 juta dari penjualan ini perlu
dibayarkan untuk “biaya adaptasi” (adaption fund).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang sangat diperhitungkan
dalam isu lingkungan. Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki hutan tropis yang
terbesar kedua setelah Amazon, Brazil. Hutan tropis merupakan sumber daya alam yang
luar biasa bagi Indonesia. Dengan harga kayu-kayu hutan tropis yang semakin tinggi,
Indonesia juga memiliki posisi tawar yang tinggi dalam isu lingkungan. Hutan tropis
dianggap sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat mengurangi dampak dari
pemanasan global. Sehingga menindak lanjuti dari mekanisme Protocol Kyoto,
terbentuklah sebuah program yang disebut dengan REDD (Reducing emission from
47
Deforestation and Forest Degradation) yang diresmikan pada konferensi yang diadakan
di Nusa dua, Bali pada tahun 200761. Konferensi UNFCCC di Nusa dua, Bali, telah
menyepakati program tersebut yang kemudian melibatkan negara-negara di dunia yang
memiliki hutan tropis, termasuk Indonesia. Program tersebut merupakan program yang
akan memaksimalkan hutan tropis sebagai alat untuk mereduksi emisi GRK. Sehingga
dari segi ekonomi Indonesia beserta negara hutan tropis akan mendapatkan suntikan dana
yang besar, yang kemudian dapat diinvestasikan di dalam anggaran negaranya. Dana
yuntuk program tersebut diperkirakan mencapai 10 Milliar dolar yang diperoleh dari
negara maju untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagai negara berkembang yang memiliki peranan penting dalam isu
lingkungan, Indonesia dapat mengambil beberapa keuntungan dari berbagai proyek yang
dilaksanakan oleh negara-negara maju sebagai komitmen pelaksanaan mekanisme
Protokol Kyoto. Indonesia dapat mengambil bagian dalam proyek CDM (Clean
Developmet Mechanism), yang mana Indonesia berperan sebagai negara yang menerima
dan melaksanakann proyek tersebut. Sedangkan negara maju yang berinvestasi untuk
Indonesia dalam pelaksanaan proyek CDM. Dalam pelaksanaan proyek CDM Indonesia
menggandeng NSS (National Strategy Study) untuk dapat mengembangkan strategi
investasi dan pelaksanaan proyek CDM.62 NSS merupakan lembaga yang melakukan
penelitian terkait dengan pelaksanaan proyek CDM, serta memperhitungan seberapa
besar potensi dari sebuah proyek CDM dapat mereduksi GRK.
NSS merupakan lembaga penting dalam pelaksanaan CDM. NSS sendiri di
pimpin oleh mentri lingkungan hidup dan bekerjasama dengan GTZ (German Agency for
61 MS Kaban, Jurnal diplomat Indonesia (La Tofi: Jakarta,2009) halaman 37
62 Ibid, hal 344
48
Technical Coorperation). Tugas NSS sebagai lembaga peneliti pelaksanaan CDM di
Indonesia, telah menganalisis scenario yang akan diterapkan di Indonesia63. Scenario
proyek CDM yang dilterapkan di Indonesia berdasarkan MARKAL (Market Allocation)
dalam hal menganalisis potensi secara teknik dan anggaran dalam penurunan emisi GRK.
Berdasarkan standar scenario pre-Bonn market, Indonesia memiliki total volume proyek
CDM sebesar 125 Mt CO2 sampai tahun 2012. Jika dihitung secara financial dengan nilai
per ton CO2 1.83$, maka dari proyek tersebut akan menghasilkan sekitar $228 juta. Akan
tetapi jika Amerika Serikat tidak turut serta dalam proyek CDM, maka financial yang
dapat dihasilkan hanya berkisar $56 juta. NSS kemudian memperhitungkan bahwa
Indonesia dengan proyek CDM nya akan mereduksi gas buang diestimasikan sampai
pada 1.5% dan 3.5%.64
Proyek CDM yang dianggap sebagai salah satu proyek untuk mereduksi emisi
GRK memiliki beberapa proyek utama yang dianggap oleh NSS sebagai prioritas utama.
Pengembangan gas uap, gas turbin, utilisasi gas suar, pengembagan gas hydropower serta
penggabungan perputaran gas merupakan beberapa proyek yang menjadi prioritas
utama65. Selain itu NSS juga menganggap perlunya dibentuk badan CDM dalam skala
nasional di masing-masing negara. Perkembangan tekhnologi ramah lingkungan juga
merupakan proyek utama dari NSS yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian secara
berkala agar penanggulangan emisi GRK yang memiliki hutan yang berpotensi
mengurangi emisi GRK. Jika dua sector tersebut dilaksanakan maka Indonesia akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dikarenakan Indonesia berpotensi
melaksanakan dua sector tersebut sekaligus yang disebut dengan double sink.
63 www.pelangi.or.id?article-5.html diakses pada 24 oktober 2011 pukul 03:00 WIB64 Ibid,65 Ibid, hlm 345
49
Dalam kerangka konseptual yang dijelaskan dibab I skripsi ini, terbukti bahwa
konsep national interest merupakan dasar utama dari kebijakan pemerintah Indonesia
meratifikasi Protokol Kyoto. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kepentingan nasional
yang dapat diaplikasikan dalam mekanisme Protokol Kyoto. Sebagai negara dengan
kepemilikan hutan tropis terbesar kedua di dunia membuat Indonesia memiliki posisi
tawar yang kuat dalam isu lingkungan. CDM yang merupakan mekanisme yang dapat
dilaksanakan Indonesia terdapat proyek-proyek yang menguntungkan Indonesia, baik
secara financial maupun alih teknologi. Berikut ini beberapa kepentingan dan manfaat
pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto66.
Kepentingan:
1. Menekankan kembali komitmen pemerintah terkait prinsip kebersamaan tetapi
berbeda tanggung jawab (common but differentiated responsibility) untuk
mencapai kestabilan kadar GRK di atmosfir serta mencegah gangguan perbuatan
manusia yang menyebabkan perubahan iklim
2. Turut serta dalam menekan negara Industri untuk melaksanakan kewajibannya
menurunkan emisi GRK dan melakukan pembangunan berkelanjutan. Hal
tersebut patut diperhatikan karena negara berkembang seperti Indonesia menjadi
korban dari adanya perubahan iklim yang sebagian disebabkan oleh emisi GRK
negara-negara industri.
3. Membuka peluang investasi dari proyek-proyek CDM yang dilaksanakan negara-
negara Industri untuk menurunkan emisi GRK. Proyek-proyek CDM yang
66 Protokolo Kyoto atas konvensi kerangka kerja pbbtentang perubahan iklim
50
dilaksanakan oleh negara-negara Annex 1 bekerjasama dengan negara
berkembang untuk dapat sertifikat kredit atau CERs. Maka perlunya retifikasi
Protokol Kyoto oleh pemerintah Indonesia agar peluang investasi tersebut dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia sebelum diraih negara lain yang lebih
siap terlebih dahulu.
Manfaat:
1. Bidang Ekonomi
a. Mekanisme CDM pada dasarnya bukan merupakan bantuan yang dikucurkan
negara industri kepada negara berkembang. Akan tetapi dana segara yang
dikeluarkan oleh negara maju bersifat dana bebas hutang yang berarti negara
berkembang hanya perlu memanfaatkan dana tersebut untuk proyek-proyek
CDM tanpa timbal balik berupa financial.
b. Partisipasi Proyek CDM bersifat sukarela yang berarti negara yang
melaksanakan proyek CDM dapat menentukan proyek yang dilaksanakan
sesuai dengan kepentingan nasional dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan.
c. Pembagian hasil dari proyek CDM digunakan untuk biaya administrasi serta
sebagai dana untuk membantu negara berkembang yang rentan terhadap
dampak dari perubahan iklim atau kebijakan yang disusun untuk mengurangi
dampak tersebut.
2. Bidang Sosial Kemasyarakatan
51
Proyek CDM dapat berguna bagi seluruh lapisan masyarakat dan swasta dalam
pelaksanaan proyek CDM. Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat memberikan
manfaat secara langsung terhadap masyarakat dan menunjang pembangunan
berkelanjutan. Misalnya proyek energy yang efisien serta ramah lingkungan dan
terbarukan.
3. Bidang teknis dan non-teknis
Melalui ratifikasi Protokol Kyoto Indonesia mendapatkan bentuan terkait
pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, pengembangan
peraturan nasional dan alih teknologi yang ramah lingkungan.
A.2 Ratifikasi Protokol Kyoto oleh pemerintah Indonesia
Isu lingkungan telah menjadi concern bagi negara-negara di dunia dalam
kaitannya dengan pemanasan global. Indonesia salah satu negara berkembang yang turut
serta memerankan peran penting dalam isu tersebut. Indonesia mengikuti beberapa
konferensi internasional terkait dengan isu lingkungan. Indonesia berperan penting dalam
terbentuknya Protokol Kyoto yang merupakan salah satu perjanjian internasional yang
membahas tentang isu lingkungan. Mekanisme CDM dalam Protokol Kyoto merupakan
mekanisme strategis bagi Indonesia, karena dari tiga mekanisme yang ditwarkan oleh
Protokol Kyoto, hanya CDM yang dapat diikuti oleh Indonesia sebagai negara
berkembang. Kemudian Indonesia menyetujui adanya Protokol tersebut pada tahun 1998,
akan tetapi membutuhkan waktu enam tahun sampai Insonesia meratifikasi Protokol
52
tersebut67. Pertimbangan keuntungan investasi proyek CDM serta pemeliharaan sumber
daya alam Indonesia menjadikan Indonesia cukup lama untuk meratifikasi Protokol
Kyoto. Ratifikasi Protokol Kyoto di bahas dalam sidang parlemen Indonesia yang
kemudian diputuskan oleh presiden.
Keputusan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto membuat Indonesia
harus dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Protokol Kyoto.
Implikasi yang akan dirasakan Indonesia adalah meningkatnya investasi dari negara-
negara Industri untuk dapat menurunkan emisi GRK. Dengan terbukanya peluang
investasi terkait proyek CDM, Indonesia dapat memanfaatkan proyek tersebut selain
untuk keuntungan financial, Indonesia juga akan dapat menikmati transfer tekhnologi
dari negara maju terhadap negara berkembang. Sektor-sektor yang menjadi proyek CDM
adalah sektor Industri, kehutanan, energi, pertanian dan limbah domestik.68 Proyek-
proyek tersebut merupakan keuntungan tersendiri bagi Indonesia, karena keuntungan
finasial yang akan didapatkan akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan nasional.
Setelah ratifikasi Protokol Kyoto bukan berarti Indonesia hanya akan
mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek CDM. Akan tetapi dengan meratifikasi
Protokol Kyoto, Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah yang berat. Pekerjaan rumah
yang terkait dengan penjagaan sumber daya alam Indonesia dari alih lahan atau bahkan
illegal loging. Menurut penelitian PELANGI sebagai lembaga NSS Indonesia yang
disponsori oleh World Bank dan Department of international development Inggris,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan emisi gas buang yang besar
67 A Report of the CSIS, Green Dragon: The politic climate change in Asia, (CSIS: Jakarta, 2010) halaman6668 http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1759 diakses pada tanggal 7 oktober 2011
53
dari seluruh negara di dunia69. Dari sekitar 3.014 Mt/CO2 yang teremisikan, 2.563
Mt/CO2 atau sekitar 85% emisi yang dikeluarkan oleh Indonesia disebabkan karena
deforestasi. Alih lahan hutan serta kebakaran hutan yang seringkali terjadi di Indonesia
menyebabkan Indonesia menjadi negara emitor ke-3 terbesar di dunia. Hutan Indonesia
menjadi keuntungan sekaligus pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh Indonesia.
Deforestasi merupakan pekerjaan rumah Indonesia agar dapat diselesaikan, karena ini
juga menjadi tolak ukur posisi tawar Indonesia dalam isu lingkungan.
Kerusakan hutan di Indonesia menjadi isu utama yang diperhatikan oleh dunia
internasional terkait penerapan proyek CDM di Indonesia. Proyek-proyek CDM
diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan di Indonesia yang disebabkan oleh
deforestasi dan kebakaran hutan. Laju deforestasi hutan Indonesia dalam kurun waktu
beberapa tahun ini memang menurun. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu angka
kerusakan hutan di Indonesia cenderung besar. Pada tahun 1980an angka deforestasi di
Indonesia mencapai 900.000 hektar/ tahun. Kemudian semakin meningkat ke angka 1.7
juta sampai 2 juta hektar pada tahun 1990an70. Pada tahun 1997-2000 defortasi hutan di
Indonesia mencapai angka 2.85 jyta hektar/ tahun. Kebanyakan defortasi hutan di
Indonesia disebabkan oleh adanya kebakaran hutan. Penurunan angka deforestasi di
Indonesia terjadi pada tahun 2000 ke atas yakni 1.95 juta hektar/ tahun71. Walaupun
angka defortasi hutan Indonesia sekarang sudah menurun, akan tetapi kerusakan hutan
yang terjadi pada tahun 1980an yang bisa mencapai 5 juta hektar/ tahun menjadikan
Indonesia kehilangan sebagian besar hutan yang merupakan sumber daya alam yang
69 http//www.menlh.go.idslhisuplemen_slhi_2007.pdf70ibid71 Kementrian Negara Lingkugan Hidup, Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim, (KNLH,2007)
54
dapat mereduksi emisi GRK. Menurut data yang disusun oleh walhi Indonesia mengalami
defortasi hutan yang cukup parah sejak tahun 1980. Tabel berikut akan lebih menjelaskan
perbandingan angka defortasi hutan dari tahun ke tahun:
Tabel 4:72
Deforestasi periode 1950-2007
Tahun Luas Lahan Tingkat Deforestasi
1950-1985 165 Ha 32.9 juta Ha atau 942.857 juta Ha/ Tahun
1985-1993 143 Ha 45.6 Juta Ha atau 5.7 Juta Ha/ Tahun
1993-1997 120 Ha 22 Juta Ha atau 1.7 juta Ha/ Tahun
1998-2002 100 Ha 13.6 juta Ha atau 3.9 juta Ha/ Tahun
2002-2007 96 Ha 2.72 juta Ha/ Tahun
Kerusakan hutan di Indonesia sudah mengakar sejak masa orde baru. Sehingga
pemerintah saat ini dengan meratifikasi Protokol Kyoto memiliki beban moral agar
deforetasi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Proyek CDM yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia akan sangat membantu penanggulangan
deforestasi, karena peranan hutan dalam proyek-proyek CDM sangat dibutuhkan.
Sehingga akan ada kesadaran dari pemerintah atau bahkan masyarakat Indonesia akan
pentingnya menjaga hutan sebagai aset bangsa.
B. Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan
Protokol Kyoto seperti yang telah diterngkan pada bab-bab sebelumnya telah
menyepakati pengurangan emisi GRK. Jepang sendiri yg merupakan salah satu dari
72 www.walhi.or.id diakses pada hari sabtu 22 Oktober 2011
55
Negara maju berkewajiban untuk mengurangi emisi GRK dibawah 6 persen dibawah
tahun 1990, suatu target yang harus dicapai oleh Negara-negara maju seperti jepang yg
telah meratifikasi Protokol Kyoto. Oleh karena itu jepang melalui beberapa mekanisme
Protokol Kyoto yang telah disepakati dapat mengurangi emisi GRK sesuai target
Protokol Kyoto.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Jepang sebagai tuan rumah pembentukan
Protokol Kyoto, Jepang memiliki kepentingan agar proses pembuatan Protokol Kyoto
dapat sukses. Pada saat itu dunia juga berharap komitmen dan kepemimpinan Jepang
akan menarik para negara-negara maju agar dapat ikut bersama dalam perumdingan
untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Peranan Jepang sudah dimulai bahkan
sebelum CoP3 berjalan, yang mana dalam proses diplomasinya jepang yang
menggunakan adat ketimuran yang sangat menjunjung tinggi keseimbangan di antara
semua pihak dapat memuluskan jalan ke Kyoto. Hal tersebut kemudian menjadi awal
baru dari sebuah kesepakatan bersama yang mengikat semua negara yang meratifikasi
kesepakatan tersebut.
Jepang memang memiliki komitmen dan keseriusan untuk menanggulangi efek
dari pemanasan global. Sehingga sebelum adanya pertemuan di negaranya, Jepang telah
lebih dulu melakukan beberapa pertemuan dengan berbagai negara untuk dapat
mensukseskan pertemuan di Kyoto, Jepang. Jepang berusaha keras untuk
mengakomodasikan kepentingan Arab Saudi secara hati-hati. Jepang juga mengundang
beberapa delegasi penting untuk tiga pertemuan informal selama tahun 1997. Dua
pertemuan pertama difokuskan pada komitmen negara-negara industri. Pertemuan
tersebut dihadiri berlangsung pada bulan April dan September 1997 di Tokyo. Petemuan
56
ini bertujuan untuk bertukar informasi dan pandangan secara informal. Akan tetapi dua
pertemuan trersebut tidak memiliki kemajuan sama sekali sehingga diadakan kembali
pertemuan ketiga yang dihadiri oleh beberapa negara dan pertemuan ini merupakan
pertemuan tingkat mentri yang diselenggarakan dibulan November 1997.
Pada pertemuan ketiga pemerintah Jepang mengundang pra menteri dari Amerika
Serikat, Kanada, Selandia Baru, Imggris, Jerman, Belanda, Luksemburg, Norwegia,
Perancis, Italia, Rusia, EC, Korea Selatan, Meksiko, Cina, India, Indonesia, Brasil,
Argentina, Tanzania, Samoa, Arab Saudi dan Duta besar Estrada. Pertemuan ketiga ini
dianggap lebih berhasil dibandingkan dengan dua pertemuan sebelumnya, akan tetapi
pertemuan ini dianggap kurang karena banyak negara berkembang yang hanya
mengirimkan pejabat senior. Sedangkan negara maju dihadiri oleh para menteri.
Walaupun ketiga pertemuan ini merupakan pertemuan informal akan tetapi dari
pertemuan tersebut menghasilkan dasar dari proses diplomasi Jepang dalam pembuatan
Protokol Kyoto.
Dalam proses pembuatan Protokol Kyoto Jepang merupakan salah satu Negara
yang mendorong terbentuknya Protokol Kyoto. Dorongan tersebut muncul karena
kombinasi berbagai factor. Beberapa factor tersebut adalah dorongan publik, pengambil
kebijakan, dan NGO yang kuat akan komitmen lingkungan yang muncul sebagai
aktualisasi peran internasional Jepang dan keinginan terhadap kontribusi Jepang bagi
masyarakat internasional. Kebijakan Jepang untuk terlibat secara mendalam dalam isu
perubahan iklim muncul pada saat Jepang memasuki periode ekonomi yang mapan di
dekade 80an. Kuatnya nilai tukar yen dan dampak dari bubble economy yang melanda
57
Jepang membuat menguatnya kebutuhan Jepang untuk menunjukkan kapasitasnya
sebagai negara besar.
Tidak adanya peran militer dan tingginya performa ekonomi Jepang
menghadapkan negara pada pilihan yan g minim dalam aktualisasi peran internasional
dan kebutuhan untuk turut berkontribusi pada masyarakat internasional. Dua hal tersebut
menemukan tempatnya dalam pembicaraan masalah lingkungan yang kemudian membuat
Jepang menjadi salah satu Negara pendorong (leading state) dalam pembahasan isu
lingkungan. Seiring dengan penurunan perekonomian Jepang dan tekanan yang dihadapi
oleh industri Jepang sebagai dampak kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca, muncul
dorongan untuk melakukan peninjauan kembali peran Jepang dalam isu lingkungan.
Upaya tersebut yang terutama didorong oleh kalangan bisnis/industri berbenturan dengan
suara positif yang diserukan sebagian besar publik dan NGO yang di tunggangi oleh para
politisi tertentu dan bertabrakan dengan masih besarn ya kebutuhan akan peran
internasional dan kontribusi Jepang bagi masyarakat internasional. Selain
memperlihatkan benturan yang cukup tegas antara kepentingan ekonomi dan lingkungan,
hal lain yang lebih terlihat adalah adanya pertimbangan nonlingkungan, dalam hal ini
image internasional , dalam kebijakan lingkunganyang diambil Jepang. Hal ini
memperlihatkan bagaimana perdebatan antara kepentingan ekonomi dan citra independen
dalam keputusan untuk meratifikasi protokol Kyoto tahun 2002.
Tahun 2002 merupakan tahun dratifikasinya Proyokol Kyoto oleh pemerintah
Jepang. Kabinet Perdana Menteri Junichiro Koizumi hari ini memberikan persetujuan
terakhir terhadap perjanjian itu73. Dalam sebuah pernyataan, Perdana Menteri Koizumi
menyatakan harapan negara-negara lain juga akan meratifikasi perjanjian itu secepat-
73 http://www.voaindonesia.com/content/a-32-a-2002-06-04-9-1-85326297/57860.html
58
cepatnya. Perjanjian tentang pemanasan suhu bumi ditandatangani 5 tahun lalu di kota
kuno Jepang, Kyoto. Perjanjian tersebut mengharuskan negara-negara industri
mengurangi gas rumah-kaca mereka sebesar 5,2 % dari tingkatnya pada tahun 199O
untuk tahun-tahun antara 2OO8 dan 2O12. Amerika Serikat, pencemar terbesar di dunia,
meno-lak perjanjian tadi dengan mengatakan perjanjian itu merugikan perekonomian
Amerika.
Dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan hidup dipengaruhi 2 faktor
internal mau pun eksternal. Peran politik domestik, NGO lingkungan, kelompok
epistemik serta sektor industri memberi dinamika dalam proses pembentukan kebijakan
lingkungan, NGO lingkungan di Jepang tidak lepas dari isu lingkungan itu sendiri,
dekade 1970 dan 1980 merupakan masa di mana Jepang sangat rentan dengan isu
lingkungan, hal ini berkaitan dengan perkembangan industri, terutama konstruksi. Jepang
mengalami masa di mana konsumsi perkapita beton dan baja yang paling tinggi di
bandingkan dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran untuk pembangunan
melebihi produk domestik bruto Amerika Serikat dan Inggris.74 Lebih lanjut, kesadaran
masyarakat cukup rendah terhadap lingkungan. Namun di sisi lain, Jepang memiliki
efisiensi energi yang tinggi serta emisi karbon yang baik di bandingkan negara OECD
(The Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya.
Memasuki dekade 1990an, terjadi perubahan drastis dalam posisi pemerintah
Jepang terhadap isu lingkungan. Melalui United Nation Conference on Environment And
Development tahun 1992, pemerintah Jepang seperti berusaha menangkal persepsi negatif
74 Robert J.Mason. Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect atNation Level. Pacific Affairs. Vol 72.
59
mengenai buruknya kinerja pemerintah dalam isu lingkungan.75 Usaha pemerintah Jepang
terlihat melalui sikap proaktif Jepang dalam mengambil kepemimpinan dalam United
Nations Framework convention on climate change (UNFCCC) COP di Kyoto. Hal ini lah
yang kemudian menjadi isu utama yang pada akhirnya jepang meratifikasi Protokol
Kyoto.
Keseriusan pemerintah jepang dalam isu lingkungan merupakan hal yang patut
dicontoh oleh banyak Negara di dunia ini. Hal tersebut dibuktikan dengan sebuah
kebijakan, kebijakn tersebut adalah kebijakan hijau. Kebijakan hijau yang berarti jepang
berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK dalam kadar rendah dan dapat menjadi
contoh bagi Negara lain.76 Hal ini disampaikan secara langsung oleh PM Yasuo Fukuda
berencana menunjuk 10 kota percontohan lingkungan, yang akan bekerja keras untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca. Dia mengeluarkan pernyataan ini dalam pidato
kebijakan kepada parlemen di Tokyo. Karena pada awalnya Pemerintahan yang dipimpin
oleh Fukuda dikritik karena bersekutu dengan Amerika Serikat, menolak sasaran ketat
pengurangan emisi gas rumah kaca. Tetapi dalam pidatonya di depan parlemen Jepang,
Fukuda berusaha menegaskan dirinya dapat membawa perubahan. Dia mengatakan,
Jepang akan mengembangkan teknologi baru yang dapat membantu mengurangi
pengaruh pemanasan global. Sejumlah kota dipilih sebagai tempat uji coba metode baru
pengurangan emisi karbon. Dia menjanjikan bantuan keuangan untuk membantu negara
negara berkembang guna mengatasi kerusakan akibat pemanasan bumi. Tetapi Fukuda
tidak mengungkapkan rencana baru untuk membantu Jepang memenuhi sasaran
pengurangan emisi berdasarkan protokol Kyoto dalam beberapa tahun ke depan. Sampai
75 Ibid, hal 7376 http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/01/080118_greenjapan.shtml
60
sejauh ini usaha pemerintah sepertinya tidak berhasil. Dia mengakui ada masalah lain
yang dihadapinya. Pihak oposisi menguasai Majelis Tinggi sehingga sulit baginya untuk
menciptakan perubahan yang memerlukan lolosnya undang undang baru. Tetapi, Fukuda
tetap meminta anggota parlemen pihak oposisi untuk bekerja sama memperbaiki
kehidupan rakyat Jepang.
61
BAB IV
Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto oleh Pemerintah Indonesia
tahun 2004-2008
A. Kebijakan dan Tujuan Pemerintah Indonesia dalam Implementasi
Mekanisme Protokol Kyoto
Protokol Kyoto ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1997 dan
kemudian dalam rentang waktu hampir 7 tahun, Indonesia akhirnya meratifikasi Protokol
tersebut. Undang-undang RI nomer: 17 tahun 2004 merupakan undang-undang yang
menandakan diratifikasinya Protokol Kyoto oleh Parlemen Indonesia. Ratifikasi tersebut
harus ditandatangani oleh Presiden RI, sebagai tanda berlakunya undang-undang tersebut.
Dengan diratifikasinya Protokol Kyoto oleh Pemerintah RI, berarti Pemerintah Indonesia
dapat memanfaatkan mekanisme yang telah disepakati dalam Protokol Kyoto. Beberapa
mekanisme yang telah disepakati dalam Protokol Kyoto adalah JI (Joint Implementation),
Emission Trading dan CDM (Clean Development Mechanism).
Mekanisme Protokol Kyoto yang notabene sebagai proyek untuk menurunkan
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia terutama
dalam sektor investasi. CDM merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto
yang melibatkan negara berkembang dalam penerapannya. Dalam hal ini Indonesia
dengan kondisi negara yang strategis dapat memanfaatkan proyek tersebut demi
kepentingan nasional negara di sektor lingkungan maupun ekonomi. Proyek CDM dapat
dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memanaskan peluang investasi. Hal ini
62
berkaitan dengan sistem CERs yang terdapat dalam mekanisme CDM. CERs pada
dasarnya layaknya sertifikat kredit yang harus dimiliki negara Annex 1 untuk memenuhi
kewajibannya dalam merunkan emisi GRK. CERs tersebut dapat diperoleh melalui
proyek CDM yang dilaksanakan di Indonesia, yang kemudian dijual kepada negara
maju77. Pembelian CERs menggunakan mata uang dolar atau euro, sehingga hal tersebut
menarik bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk dapat keuntungan secara
ekonomi maupun keuntungan lokal yang terkait dengan perkembangan proyek-proyek
ramah lingkungan. Jual-beli CERs juga menguntungkan bagi negara maju karena jika
dibandingankan kerugian yang akan diterima negara maju dalam hal penurunan emisi
GRK, pembelian CERs lebih efisien dan dapat memenuhi target dari negara Annex 1
dalam komitmennya di Protokol Kyoto tanpa mengeluarkan banyak biaya.
Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait mekanisme Protokol Kyoto tertera dalam
penjelasan dari UU no: 17/ 2004. Berbagai pertimbangan telah lebih dahulu dibahas
sebelum kemudian Pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol tersebut. Dalam undang-
undang tersebut dijelaskan perlunya Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto sebagai
tindak lanjut dari UU no: 16/ 1994 yang dikeluarkan sebagai aplikasi dari pengesahan
UNFCCC oleh Pemerintah Indonesia. Dengan meratifikasi Protokol tersebut berarti
Indonesia telah mengadopsi hukum Internasional dalam hukum nasional yang kemudian
diterapkan oleh lembaga Pemerintah Indonesia78.
77 Kementrian Lingkungan Hidup. Panduan Kegiatan MPB di Indonesia (KLHRI: Jakarta, 2006) Hlm 7778 Kementrian Lingkungan Hidup. Undang-undang RI, No: 17 tahun 2004. Tentang Pengesahan ProtokolKyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim. (KLHRI:Jakarta, 2004) Hlm 06
63
Ratifikasi Protokol Kyoto ditimbang dari beberapa manfaat bagi Pemerintah
Indonesia dengan meratifikasi Protokol tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa manfaat
yang kemudian dijelaskan dalam penjelasan undang-undang no :17/ 2004 pemerintah
Indonesia sebagai berikut79:
a. Mempertegas komitmen pada konvensi perubahan iklim berdasarkan prinsip
tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated
responsibilities principles)
b. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khusunya untuk menjaga kestabilan
konsentrasi GRK sehingga tidak membahayakan iklim bumi.
c. Membuka peluang investasi baru dari negara Industri ke Indonesia melalui MPB
(Mekanisme Pembangunan Bersih)
d. Mendorong kerjasama dengan negara industri melalui MPB guna memperbaiki
dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan dan alih tekhnologi penurunan
GRK.
e. Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi
rendah melalui pemanfaatan energi bersih dan efisien serta pemanfaatan
tekhnologi terbarukan.
f. Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan menyerap GRK.
Penjelasan undang-undang yang meratifikasi Protokol Kyoto lebih lanjut
menyertakan beberapa undang-undang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Hal ini yang
menjadi undang-undang pendukung pelaksanaan Protokol Kyoto yang kemudian
79 Ibid
64
diterapkan dalam Undang-undang nasional. Beberapa undang-undang nasional yang
terkait dengan Protokol Kyoto sebagai berikut:
1. Undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertambangan
2. Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya
3. Undang-undang nomor 24 tahun 1992 tentang penentuan ruang
4. Undang-undang nomor 6 tahun 1994 tentang pengesahan UNFCCC (United
Nation Framework Convention on Climate Change)
5. Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tengtang pengelolaan lingkungan hidup
6. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Peraturan perundang-undangan yang telah diresmikan oleh parlemen Indonesia
yang kemudian diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyona pada saat itu dan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah. Lembaga tersebut
kemudian diawasi oleh pemerintah sebagai penanggung jawab dari lembaga tersebut.
UNFCCC juga memiliki lembaga terkait CDM yang bertugas mengawasi kinerja dari
proyek-proyek CDM yang dijalankan oleh setiap negara. Lembaga-lembaga yang terkait
65
mekanisme CDM baik secara nasional dan internasional akan dijelaskan sebagai
berikut80:
A. Dewan Eksekutif CDM (Executive CDM Board)
Dewan Eksekutif CDM (DE) bertugas sebagai pengawas dari pelaksanaan
proyek-proyek diseluruh dunia. Dewan tersebut juga yang dapat mengatur sebuah proyek
CDM yang kemudian bertanggung jawab pada COP/MOP yang merupakan konferensi
tahunan antar negara yang meratifikasi Protokol Kyoto. Tugas utama dari DE adalah
menerima pengajuan proyek CDM oleh negara yang meratifikasi Protokol Kyoto serta
menerbitkan CER yang merupakan sertifikat kredit yang dihasilkan dari proyek CDM.
Dewan Eksekutif CDM beranggotakan 10 orang yang merupakan perwakilan dari
beberapa negara sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Kelompok Regional PBB
diwakili oleh 5 delegasi, kelompok Annex 1 diwakili oleh 2 delegasi, Kelompok non
Annex 1 yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diwakili oleh 2 delegasi dan terakhir
kelompok negara kepulauan kecil diwakili satu delegasi. Keanggotaan DE CDM berlaku
selama dua tahun yang kemudian dapat diperpanjang maksimal 2 periode. Prinsip utama
dari DE adalah transparansi dalam berbagai aspek. Hal tersebut dibuktikan dengan
pertemuan-pertemuan Dewan Eksekutif yang bersifat terbuka dan setiap keputusan akan
langsung disampaikan kepada publik agar prinsip transparansi tetap terjaga. Prinsip
tersebut yang kemudian diharapkan dapat diterapkan di lembaga CDM nasional setiap
negara yang meratifikasi Protokol Kyoto.
80 Chandra, PW. Moekti HS, DKK, Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan Indonesia (Pelangi: Jakarta,2003) hlm 24
66
B. Otoritas Nasional (Designated National Authority/ DNA)
Keputusan pertama dari sebuah proyek CDM ditentukan dalam tingkat nasional.
Hal tersebut dikarenakan proyek CDM harus dicocokkan terlebih dulu dengan kriteria
proyek CDM yang berkelanjutan dalam skala nasional. Kriteria tersebut menjadi patokan
dari proyek CDM| yang layak yang kemudian diajukan dilembaga CDM internasional.
DNA layaknya lembaga yang memilah sebuah proyek agar sesuai dengan kepentingan
nasional sehingga DNA ini dianggotai oleh perwakilan badan-badan pemerintah. Pada
umumnya lembaga DNA terbagi menjadi dua lembaga yaitu Dewan CDM Nasional dan
CDM clearinghouse. Dewan CDM Nasional terdiri dari perwakilan pemerintah secara
sektoral. Sedangkan CDM Clearinghouse bertugas membantu Dewan CDM Nasional
dalam pelaksanaan proyek CDM secara professional.
Pasca ratifikasi Protokol Kyoto Indonesia mulai mematangkan perannya dalam
proyek CDM dengan membentuk lembaga DNA yang disebut KomNas MPB (Komisi
Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih)81. Otoritas Nasional tersebut bertugas
berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 206 tahun 2005 adalah sebagai
berikut:
Memberikan persetujuan atas proyek-proyek CDM yang diajukan dan telah
berdasarkan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan, pendapat para ahli
serta masukan dari para pakar.
Melakukan penelusuran dokumen proyek yang telah disetujui KomNas MPB di
Badan Eksekutif MPB
81 Ibid , hlm 51
67
Monitoring dan evaluasi proyek yang dijalankan
Menyampaikan laporan tahunan kinerja proyek CDM kepada sekertariat
UNFCCC
Di dalam KomNas MPB yang merupakan lembaga DNA di Indonesia terdapat
Badan Eksekutif yang pada prinsip dan fungsinya memiliki peran dan tugas sebagai
berikut:
Melakukan persetujuan awal dan final
Bertindak sebagai focal point pada Kementerian Lingkungan Hidup untuk
perubahan iklim dan UNFCCC
Bertindak sebagai penghubung antara KomNas MPB dan UNFCCC
Melihat kebijakan dan petunjuk implementasi untuk Sekertariat KomNas MPB
Dengan telah terbentuknya sebuah lembaga resmi pemerintah Indonesia terkait
mekanisme CDM. Pekerjaan rumah bagi Indonesia berikutnya adalah bagaimana
mentransformasi pemikiran global kepada pemikiran nasional. Sebuah keputusan
meratifikasi Protokol Kyoto berarti Indonesia telah mensepakati sebuah konvensi
internasional yang tentunya bersifat global yang kemudian harus diterapkan dalam skala
nasional. Penerapan tersebut berkaitan dengan komitmen global yang diimplementasikan
secara nasional82. Pengertian nasional di sini berarti memiliki implikasi hukum yang
lintas sektoral dan multistakeholder, artinya kesepakatan harus dilaksanakan secara
82 Daniel, Mudiarsyo. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, (PT KompasMedia Nusantara: Jakarta, 2003) hlm 06
68
bersama-sama melibatkan pemerintah pusat serta pemerintah daerah serta lembaga-
lembaga pendukungnya. Implementasi konvensi tidak selalu merupakan komitmen
lembaga pemerintah pusat. Perlunya dukungan dari lembaga-lembaga swasta serta
dukungan dari masyarakat pada umumnya. Karena seringkali keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan nasional ditentukan oleh peran pihak swasta maupun pihak masyarakat
madani (Civil Society).
Indonesia telah mengalami transformasi sistem pemerintahan dari orde baru
menjadi reformasi, yang kemudian diterapkan dalam sistem pemerintahan yang
sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah. Era otonomi daerah
berarti sebuah sistem yang bersifat sektoral, yang menjadikan pentingnya peran
pemerintah daerah dalam melaksanakan atau membuat sebuah kebijakan. Terkait dengan
konvensi internasional, perlunya tindakan lokal dari setiap pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan konvensi tersebut83. Walaupun pada dasarnya kesiapan dari
pemerintah daerah yang cenderung berbeda-beda yang ditentukan dengan kemapanan
sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerahnya masing-masing. Sehingga
perlunya setiap pemerintah daerah bersifat terbuka dan mau belajar dari pemerintah
pusat. Pemerintah daerah juga perlu sadar bahwa dalam kancah internasional, pemerintah
pusatlah yang bertanggung jawab. Sehingga diperlukan koordinasi aktif antara daerah
dan pusat agar menjadi sinergi dan saling percaya. Oleh karena itu, pemerintah daerah
diharapkan dapat mengembangkan sumber daya manusia dan komitmen lembaga di
daerah yang merupakan kunci dari keberhasilan implementasi sebuah kebijakan secara
menyeluruh.
83 Ibid, hlm 07
69
Perubahan yang mendasar yang terjadi dengan adanya otonomi daerah adalah
terkait dengan pengembangan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah daerah
masing-masing. Undang-undang No: 34/ 2004 memberikan ruang bagi pemerintah daerah
untuk dapat mengembangkan kesejahteraan sumber daya alamnya secara mandiri. Hal
tersebut dalam rangka percepatan pencapaian kesejahteraan masyarakat dan daya sainng
tiap daerah dalam azas persamaan, keadilan dan hak asasi manusia.84 Undang-undang ini
kemudian yang memberikan kesempatan setiap daerah di Indonesia untuk turut
mengimplementasi kebijakan lingkungan hidup pemerintah Indonesia terkait mekanisme
Protokol Kyoto.
Sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia menuntut setiap pemerintah
daerah dapat lebih mandiri dan membantu jalannya sebuah kebijakan secara baik dan
merata. Terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia tentang Protokol Kyoto, terdapat
beberapa kewajiban bagi daerah di Indonesia untuk dapat mendukung kebijakan tersebut.
Kewajiban setiap daerah pasca ratifikasi Protokol Kyoto sebagai berikut85.
Memperbaiki mutu emisi di daerah
Pemerintah daerah turut serta aktif dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan
nasional dengan merumuska, melaksanakan dan menerbitkan program-program
yang terkait dengan kebijakan nasional, seperti:
1. Mendorong tindakan mitigasi perubahan iklim
84 Kementrian Lingkungan Hidup. Ibid, hlm 1185 Kementrian Lingkungan Hidup. Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahaniklim (KLHRI: Jakarta, 2003) hal 09
70
2. Melakukan tindakan untuk memfasilitasi program adaptasi terhadap
perubahan iklim
Program-program tersebut meliputi sektor energi, perhubungan, pertanian dan
pengelolaan limbah. Sehingga pemerintah daerah juga dapat mempelajari alih tekhnologi
serta metode adaptasi terkait dengan perubahan iklim. Hal tersebut dikarenakan dengan
menjalankan kebijakan nasional pemerintah juga dapat memanfaatkan keuntungan
sebagai berikut:
Memanfaatkan peluang akses terhadap alih tekhnologi yang difasilitasi
oleh kerjasama antar negara anggota
Memanfaatkan kerjasama riset ilmiah dan teknik
Memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pendidikan dibidang
perubahan iklim
Dalam implementasi sebuah kebijakan yang bersifat nasional yang berskala
internasional, memiliki kecenderungan kurang berjalan dengan baik. Hal tersebut jika
implementasi kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara umum. Sehingga
DNA sebagai lembaga otoritas yang menjalankan proyek kebijakan mekanisme CDM
harus mengambil inisiatif untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti
luas86. Masalah utama yang dihadapi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat luas
adalah kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat terkait kebijakan tersebut.
Sehingga perlunya melakukan pembelajaran terhadap masyarakat secara umum terkait
86 Danil, Mudiyarso. Ibid, hlm 135
71
dengan pembangunan berkelanjutan dari kebijakan tersebut. Kemudian memberi
gambaran yang kongkret bahwa pembangunan berkelanjutan adalah investasi untuk
generasi mendatang yang memerlukan kebijakan yang jelas dan diterima oleh
masyarakat.
Dalam proses peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebijakan
mekanisme CDM. DNA mempersiapkan beberapa dokumen agar dapat menarik
masyarakat untuk sadar lingkungan serta dapat menjadi pengembang dari proyek CDM.
Pengembang proyek CDM merupakan kelompok masyarakat atau lembaga swasta yang
menjadi kolega DNA untuk melaksanakan proyek CDM. Beberapa dokumen yang perlu
disiapkan DNA untuk menarik kesadaran masyarakat adalah sebagai berikut87:
1. Siklus Proyek: Merupakan uraian singkat mengenai tahapan-tahapan yang harus
dilalui pengembang termasuk tata waktu penyelesaian proyeknya. Hal ini
diperlukan agar pengembang tidak dipenuhi harapan berlebihan bahwa proyeknya
dapat diterima DNA
2. Pengembangan Proyek: Petunjuk singkat terkait dengan dokumen yang harus
disiapkan oleh pengembang, seperti PIN (Project Information Note), PCN
(Project Concept Note), PDD (Project Design Document). Hal ini diperlukan
karena setiap dokumen memiliki ciri dan kegunaan masing-masing.
3. Sistem Penyaringan Proyek: PDD yang lolos saringan merupakan dokumen
unggulan. Pengembang harus dapat memahami prosedur penyaringannya,
sehingga mereka pun akan menyiapkan dokumen secara baik agar dapat lolos.
87 Ibid, hal 136-137
72
Kemudian proyek tersebut dapat disahkan oleh DNA yang berarti telah memenuhi
kriteria nasional.
4. Pemantauann Proyek: Dokumen ini merupakan petunjuk singkat yang teknis
terkait kegiatan dan metode pemantauan proyek. Pengembang perlu memahami
pemantauan proyek yang mereka lakukan, hasilnya akan diverifikasi dan hasil
verifikasinya akan tersedia untuk publik.
5. Keberatan Publik: Dengan terbukanya dokumen verifikasi bagi publik, maka
DNA perlu menginformasikann bahwa jika terdapat keberatan atau semacamnya
terkait proyek yang telah diverifikasi diperlukan prosedur yang tertib. Keberatan
tersebut umumnya terkait dampak proyek terhadap lingkungan dan social akibat
implementasi proyek.
6. Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan: Merupakan informasi ringkas
terkait alat untuk menyaring dan memantau proyek. Komponen utama, kriteria
serta indikator yang telah dikonsultasikan secara luas perlu dijadikan pengetahuan
umum dan dikemas secara menarik dan sederhana.
Jika semua informasi tersebut dapat disampaikan kepada masyarakat secara
langsung dan dengan kemasan yang menarik. Maka tugas DNA sebagai lembaga otoritas
nasional proyek CDM sedikit berkurang. Akan tetapi yang akan jadi masalah utama
dalam kampanye tersebut adalah daya nalar masyarakat yang cenderung berbeda-beda
setiap lapisannya. Sehingga diperlukan penyampaian dengan bahasa-bahasa sederhana
disertai kampanye verbal dari satu kelompok ke kelompok lain pada setiap lokasi di mana
proyek CDM dikembangkan.
73
B. Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme
Protokol Kyoto
DNPI sebagai otoritas lembaga yang menjalankan proyek-proyek implementasi
Protokol Kyoto, membentuk sebuah lembaga khusus dalam bidang perdagangan karbon
antar Negara. Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara atau
TKPPKA yang dibentuk berdasarkan SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
nomor No. 50/05/2012, telah melakukan kegiatannya sejak ditandatanganinya SK tim
tersebut. Tim ini terbentuk antara lain sebagai perimbangan terhadap proposal negara
sahabat, khususnya pemerintah Jepang dan juga beberapa negara lain termasuk Australia,
untuk melakukan perdagangan karbon antar Negara88.
Karena luasnya cakupan peluang perdagangan karbon antar negara, tim ini
kemudian dibentuk dengan susunan Ketua Tim Pengarahnya adalah Menko
Perekonomian dan sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah adalah Menteri Perdagangan
dengan anggota 4 orang pejabat setingkat menteri. Sedang untuk Tim Pelaksananya
diketuai oleh Deputi Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional
Kemenko Perekonomian dan ketua alternate Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan
Iklim dengan 8 (delapan) orang anggota tim setingkat eselon 1 dari berbagai kementerian
terkait. TKPPKA selama masa tugasnya, yang dimulai sejak penandatanganan SK pada
tanggal 16 Mei 2012 - 31 Desember 2012, telah melakukan berbagai pertemuan dan
koordinasi dengan pihak negara Jepang maupun koordinasi internal antar kementerian
88 Laporan Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara.DNPI, Hal 1
74
terkait. Sesuai dengan SK yang telah dikeluarkan, maka tugas Tim Pelaksana TKPPKA
adalah sebagai berikut.89
1. Melakukan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon dengan pihak negara partner
yang berminat untuk melakukan kerjasama dengan Indonesia.
2. Mengambil langkah-langkah penyelesaian terhadap permasalahan dan hambatan dalam
perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara.
3. Menyusun dan menyampaikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam
pelaksanaan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara kepada Tim
Pengarah.
4. Melaksanakan tugas terkait lainnya yang diberikan oleh Tim Pengarah.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, TKPPKA kemudian juga dibantu oleh Tim Sekertariat
yang dalam hal ini ditugaskan kepada Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon di DNPI.
Dalam perkembangan kerjasama antar Negara Indonesia dengan Jepang,
Pemerintah Jepang telah menyelesaikan 32 (tiga puluh dua) kegiatan studi
kelayakan/Feasibility Study atau FS, sejak dimulainya kegiatan pada tahun 2010 sampai
dengan sekarang. Pada periode tahun 2012, masih sedang dilakukan 25 (dua puluh lima)
FS, yang akan selesai pada periode Maret 2013. Sampai dengan bulan Maret 2013 nanti,
Pemerintah Jepang diperhitungkan akan sudah menyelesaikan 57 (lima puluh tujuh)
89 Ibid, hal 2
75
kegiatan FS, yang terdiri dari kegiatan di energi terbarukan (hydro, geothermal, surya,
dan angin), efisiensi energi (di pembangkit listrik dan industri), REDD+, carbon
captured and storage (CCS), transportasi, pertanian, dan penggantian bahan bakar.
Perundingan dengan Pemerintah Jepang sendiri sampai dengan saat ini sebenarnya telah
dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebelum TKPPKA dibentuk dan setelah TKPPKA
dibentuk. Sebelum TKPPKA dibentuk, perundingan dimotori oleh DNPI selaku
pemegang mandat pengembangan pasar karbon nasional sesuai dengan Peraturan
Presiden nomor 46 tahun 2008. Setelah dibentuknya TKPPKA, maka perundingan
dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian dan dibantu oleh DNPI.
Pada beberapa perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Jepang seringkali terdapat beberapa hambatan. Yang kemudian masih belum menemukan
kesepahaman antara keduabelah pihak adalah masalah bentuk dari perjanjian antara
kedua negara, dimana Indonesia menghendaki adanya “internationally binding
agreement” sedang pihak Pemerintah Jepang menganggap bahwa bentuk “non binding
agreement” sudah mencukupi sebagai dasar dan landasan kerjasama. Bagi Pemerintah
Jepang, internationally binding agreement berarti harus melewati proses yang panjang
karena harus ada persetujuan dengan parlemen, sementara pada pertengahan tahun 2013
akan ada pemilihan umum baru dan pergantian kabinet. Sementara bagi pemerintah
Indonesia, bentuk perjanjian dengan internationally binding agreement adalah suatu
kelaziman untuk kerjasama seluas perdagangan karbon antar negara yang diusulkan oleh
pemerintah Jepang.
Terkait dengan pelaksanaan proyek dalam mengimplementasikan Protokol Kyoto
Jepang memiliki usulan mengenai kerjasama bilateral antar Negara. Hal tersebut
76
dikarenakan Jepang menginginkan efisiensi jalannya proyek untuk mengurangi emisi
GRK. Usulan tersebut dinamakan Billateral Offset Crediting Mechanism (BOCM).
Pemerintah Jepang menawarkan kerjasama dalam bentuk bilateral dengan beberapa
negara berkembang lain untuk melakukan suatu perdagangan karbon model baru,
termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang telah mendeklarasikan target penurunan
emisi sebesar 25% berdasarkam dari tahun 2020. Biaya pengurangan emisi di Jepang saat
ini sangat tinggi, karena terutama terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat
efisiensi yang sangat tinggi sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir
seperti biaya untuk mengembangkan teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan
biaya pengurangan emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton CO2 dan untuk sektor
energi berkisar 40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon
domestik di Jepang. Ketidakpastian pasar karbon paska 2012 menyebabkan Jepang juga
mempunyai kesempatan untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh
komitmennya yang kuat untuk pengurangan emisi secara nasional.90
Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk
melakukan investasi, baik investasi modal maupun investasi teknologi. Dalam hal ini
BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM bahkan akan
menggabungkan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan investasi,
menggairahkan sektor swasta Jepang, mengurangi beban pengurangan emisi secara
domestik, dan lebih jauh mengamankan posisi Jepang sebagai investor untuk negara
berkembang.
Kondisi-kondisi di atas yang menyebabkan Jepang membuat proposal BOCM dan
menyampaikannya ke Indonesia dan beberapa negara berkembang yang lain. BOCM ini
90 Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Credit Mechanism (BOCM) DNPI, 31 Januari 2012
77
juga bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta terbesar Jepang untuk melakukan
feasibility study (FS), seperti Mitshubishi, Kanematsu, Shimitzu, Tokyo Gas, Arab Oil
Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain Indonesia, negara lain yang
menjadi objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia, Thailand, Maldives, South Africa,
Mexico, Thailand, Kenya, Cambodia, Bangladesh, Turkey, Poland, Russia, dan beberapa
negara lain (total 18 negara). Pada tahun 2010, Jepang telah melakukan 50 FS di 18
negara, dengan 9 di antaranya ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi
target utama dari kegiatan ini dengan total jumlah FS yang dilakukan sebanyak 23
proyek. Kegiatan FS yang akan dilaksanakan oleh Jepang akan dipresentasikan ke
Pemerintah Indonesia.
BOCM ini pada dasarnya merupakan proyek tindak lanjut dari implementasi
mekanisme Protokol Kyoto layaknya CDM. Sehingga dalam pelaksanaanya pun memiliki
tujuan yang sama yaitu mengurangi emisi GRK dan memnuhi credit Cers yang telah
ditentukan pada saat UNFCCC. Dalam beberapa perundingan antara pemerintah
Indonesia dan Jepang, terdapat beberapa hambatan terkait dengan mekanisme dari proyek
yang akan dijalankan. Pada dsaranya kerjasama ini bersifat bilateral, akan tetapi pihak
Indonesia cenderung berharap kerjasama ini tidak hanya terbatas pada dua Negara saja.
Sehingga pemerintah Indonesia menginginkan adanya perubahan Bilateral menjadi Joint
Crediting Mechanism, karena pemerintah Indonesia beranggapan bahwa pada saatnya
nanti akan ada Negara lain yang dapat bergabung dengan proyek tersebut.91
Rencana kerjasama Indonesia-Jepang ini, pada tahun pertama sertifikat penurunan
emisi tidak dicatat dalam penjualan di pasar, akan tetapi di catat sebagai komitmen
91 Laporan pertemuan tim TKPPKA terkait pembahasan dokumen Proposal Joint Crediting Mechanism(JCM) DNPI, 14 September 2012
78
masing-masing negara dalam penurunan emisi sehingga disebut sebagai non-tradeble.
Dengan adanya mekanisme kerjasama ini, maka Joint Committee harus membuat aturan
prosedurnya, seperti konsistensi pencatatan sesuai dengan penurunan emisi masing-
masing negara. Selain itu, diperlukan juga transparansi bagi negara lain untuk mengakses
data emisi yang diturunkan. Kemudian Proyek yang akan dikembangkan memiliki tipe
yang berbeda-beda. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia dalam hal ini tetap melihat
lifetime serta investasi dari proyek yang diusulkan. Sehingga sama seperti CDM,
pemerintah Indonesia harus mencermati periode kredit yang bisa saja 7 atau 10 tahun.
Kerjasama BOCM/JCM antara Jepang dan Indonesia pada akhirnya mencapai
tingkat keseriusan dari kedua belah pihak. Sehingga dibentuklah sebuah payung hukum
yang melandasi kerjasama tersebut. Low Carbon Growth Partnership(LCGP) merupakan
landasan hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak. Akan tetapi dalam prosesnya
pemerintah Jepang meminta bahwa LCGP tidak bersifat mengikat secara hukum. Hal ini
karena prosedur pemerintah Jepang untuk pembuatan dokumen perjanjian atau
persetujuan yang mengikat secara hukum sangat memakan waktu dan tenaga, diantaranya
perlu persetujuan parlemen. Hal tersebut yang akhirnya membuat sedikit masalah dalam
mencapai kesepakatan dalam pembuatan landasan hukum. Karena pemerintah Indonesia
pada saat itu menginginkan sebuah peraturan yang lagal walaupun tidak mengikat secara
hukum semacam Memorandum of Understanding (MOU). Hal tersebut menjadi penting
karena berkaitan dengan aspek adaptasi bagi Indonesia terkait isu pemanasan Global.
C. Adaptasi Perubahan Iklim oleh Pemerintah Indonesia
79
Seperti kita ketahui bahwa perubahan iklim merupakan kasus yang berskala
global yang membutuhkan aksi-aksi lokal yang berawal dari diri kita sendiri. Dibutuhkan
kearifan local untuk menjaga lingkungan dari dampak perubahan iklim. Pemerintah
Indonesia telah berperan aktif dalam penanggulangan perubahan iklim, dapat dilihat
dengan terbentuknya lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan dengan isu perubahan
iklim seperti DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). Langkah ini dimaksudkan dalam
antisipasi dan adaptasi dari perubahan iklim. Pada dasarnya terdapat dua program pokok
dalam mengurangi dan mengantisipasi perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi merupakan program pemerintah yang berkaitan dengan peengurangan emisi
GRK. Sedangkan program adaptasi merupakan upaya antisipasi dan adaptasi dari proyek
mitigasi dan perubahan iklim.92 Sehingga pentingnya peran masyarakat secara langsung
untuk mendukung program adaptasi perubahan iklim, yaitu dengan merubah pola hidup
secara mendasar seperti pola hidup hemat energy, air dan penggunaan bahan bakar fosil
yang merupakan penyebab utama dari perubahan iklim.
Agenda adaptasi pada dasarnya telah diatur oleh UNFCCC agar setiap negara
dapat mengimplementasikannya, terutama negara-negara berkembang yang rentan akan
dampak dari perubahan iklim. Komitmen agenda adaptasi ini harus dimiliki seluruh
negara yang merupakan anggota UNFCCC, yang mana seluruh negara diharuskan
mengambil langkah konkret terkait adaptasi yang meliputi pendanaan adaptasi dan
transfer teknologi. Dalam hal ini negara maju diminta agar membantu negara
berkembang terkait dengan pendanaan adaptasi.93Lebih lanjut UNFCCC kemudian
92 Ristek, Sains & Teknologi: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan dan Kebutuhan (PT Gramedia:Jakarta, 2009) halaman 486-48993 www.unfccc.int/adaptation/implementing_adaptation/items/2535.php diakses pada tanggal 1 februari2012
80
menekankan agenda adaptasi yang dibahas pada COP-13 yang diadakan di Nusa Dua,
Bali. Kesepakatan tentang adaptasi disebut dengan Bali Action Plan.
COP-13 yang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali merupakan pertemuan seluruh
negara di dunia dalam membahas kelanjutan dari penanggulangan perubahan iklim. COP-
13 juga merupakan pertemuan yang membahas mengenai komitmen negara-negara di
dunia tentang perubahan iklim untuk menggantian Protokol Kyoto yang akan habis masa
berlakunya pada tahun2012. Bali Road Map, merupakan kesepakatan yang dicapai dalam
pertemuan tersebut, yang mana terdapat kesepakatan penting yang disebut Bali Action
Plan.94 Bali Action Plan merupakan kesepakatan terpenting yang berkaitan dengan
rencana jangka panjang untuk menangani perubahan iklim. Bali Action Plan merupakan
kesepakatan perundingan tentang implementasi dari mitigasi, adaptasi, alih teknologi dan
pendanaan serta pembentukan lembaga tambahan di bawah konvensi bernama Ad Hoc
Working Group on Long-Term Cooperative Action. Lembaga tersebut bertugas dalam
kurun waktu sampai 2009 dan hasil kerjanya harus dipaparkan pada konferensi
Copenhagen. Bali Action Plan mengidentifikasi bahwa adaptasi adalah salah satu kunci
untuk dapat menguatkan persiapan setiap negara untuk menghadapi tantangan perubahan
iklim di masa yang akan datang. Kesepakatan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan
secara benar, efektif dan diimplementasikan dalam jangka panjang.95
Pemerintah dari negera-negara berkembang termasuk Indonesia membutuhkan
langkah konkret dari agenda adaptasi. Karena negara berkembang merupakan kelompok
yang dirugikan dengan adanya perubahan iklim. Akan tetapi, yang menjadi menarik
adalah agenda adaptasi ini tidak dapat berjalan jika tanpa bantuan dari negara maju. Hal
94 UNDP, The Bali Action Plan: Key Issues in The Climate Negotiation. (UNDP, 2008) hlm 395 www.unfccc.int/adaptation/items/4159.php diakses pada tanggal 1 februari 2012
81
tersebut dikarenakan faktor yang mendukung dari agenda adaptasi meliputi transfer
teknologi, pengetahuan dan juga pendanaan yang merupakan hambatan utama dari
implementasi agenda adaptasi.96 Sehingga diperlukan peran negara maju dalam
mendukung agenda tersebut. Sebelum langkah implementasi agenda adaptasi, perlunya
pemahaman mengenai adaptasi itu sendiri yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Dalam memahami adaptasi terdapat beberapa poin utama yang menjelaskan mengenai
adaptasi, yaitu:
Adaptasi bukan isu yang berdiri sendiri karena isu ini perlu disinergikan dengan
isu penting lainnya seperti isu perkembangan ekonomi, kemiskinan dan strategi
penanganan bencana. Sehingga perlunya keseimbangan dalam mengembangkan
agenda adaptasi agar sinergi dengan isu lainnya
Adaptasi harus diintegrasikan dalam semua perencanaan pembangunan yang
meliputi sektor nasional dan internasional. Agenda adaptasi dapat mencapai
kesuksesan jika dimasukan dalam rencana jangka panjang dengan
mempertimbangkan resiko perubahan iklim di setiap wilayah, yakni regional,
nasional, sub-nasional dan level lokal
Adaptasi membutuhkan dua rencana dalam skala waktu yang berbeda, yaitu
jangka panjang dan jangka pendek.
Adaptasi membutuhkan pendanaan, yang mana hal ini seringkali menjadi masalah
utama dari implementasi agenda adaptasi.
96 Dr. E. Lisa F. Schippers, Adaptation to Climate Change: The new Challenge for Development in TheDeveloping World. (UNDP, 2008) halaman 10
82
Adaptasi merupakan agenda penting bagi pemerintah Indonesia dalam
menanggulangi perubahan iklim akibat meningkatnya GRK. Pada Bab-bab sebelumnya
dalam skripsi ini penulis telah menjelaskan mengenai letak ggeografis Indonesia yang
rentan akan bencana alam akibat perubahan Iklim. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
bencana tsunami di Aceh dua bulan setelah Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto.
Sehingga diperlukan agenda adaptasi dengan tujuan jangka panjang yang diintregasikan
dalam rencana pembangunan nasional.97 Oleh karena itu diperlukan keseimbangan dalam
impelementasi rencana pembangunan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh aspek,
seperti eekonomi, sosial dan ekologi. Hal tersebut dikarenakan jika rencana
pembangunan hanya mementingkan aspek ekonomi saja seringkali kurang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan
bertambahnya kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim.
Agenda adaptasi terhadap perubahan iklim tidaklah selalu berjalan sesuai dengan
rencana pembangunan nasional. Sehingga diperlukan pendekatan pendekatan dalam
upaya adaptasi:98
1. Perlunya upaya intergarasi agenda adaptasi perubahan iklim dalam rencana
pembangunan nasional dengan membagi setiap kegiatan adaptassi berdasarkan
jangka waktu yang diperkirakan, sepeerti pembangunan jangka menengah dan
pembangunan jangka panjang
2. Agenda adaptasi diharapkan dapat ditinjau kembali dan disesuaiakan agar
program tersebut dapat bertahan terhadap perubahan iklim.
97 Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.(KNLH, 2007) halaman 2798 Ibid, hlm 27-28
83
3. Dibentuknya lembaga yang bergerak dalam pemanfaatan informasi iklim
sehingga resiko perubahan iklim dapat dikelola
4. Menyertakan pemerintah daerah agar dapat turut serta mengagendakan adaptasi
perubahan iklim dalam rencana pembangunan daerah
5. Pengembangan informasi dan pengetahuan tentang perubahan iklim agar daapat
mengurangi resiko perubahan iklim sekarang dan masa yang akan dating
6. Memanfaatkan secara maksimal pendanaann agenda adaptasi perubahan yang
berasal dari dalam negeri maupun internasional
7. Perlunya prinsip no-regret (tanpa penyesalan) dalam pelaksanaan agenda adaptasi
walaupun semisalnya perubahan iklim tidak terjadi. Karena walau bagaimanapun
dengan agenda adaptasi yang dijalankan maka aka nada hasiln positif yang akan
didapatkan, dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kerentanan Indonesia
terhadap perubahan iklim.
8. Mendorong terbentuknya dialog nasional, sehingga dapat mempercepat proses
implementasi agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Adaptasi merupakan hal penting dalam isu perubahan iklim, karena adaptasi merupakan
salah satu cara untuk menghadapi perubahan iklim. Adaptasi juga memberikan peluang
untuk mensinergikan kegiatan ekonomi pada sector-sektor yang rentan terhadap
perubahan iklim sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini
agenda adaptasi pemerintah Indonesia difokuskan pada area-area yang rentan terhadap
perubahan iklim. Seperti area pantai, pertanian, kesehatan manusia dan infrastruktur.
84
Berikut merupakan beberapa kegiatan adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia99:
Area Dampak Perubahan Iklim Kegiatan Adaptasi
Daerah pantai Kenaikan permukaan air laut Pembangunan tanggul-
tanggul disekitar bibir
pantai
Penetapan daerah
sempadan pantai
Membangun
perlindungan bagi
infrastruktur disekitar
pantai yang rentan
terhadap kenaikan air
laut seperti pelabuhan,
bangunan dan lainnya
Sosialisasi mengenai
konservasi air untuk
mencagah kontaminasi
oleh air laut
Pengembangan teknologi
air bersih
99 Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. (KNLH,2007) halaman 73
85
Merubah pola
panangkapan ikan oleh
para nelayan
Pertanian Gangguan pada sistem pertanian
Erosi pada dataran tinggi
Konservasi tanah
Konservasi air
Aforestasi melalui
agroforesty dengan
tanaman pengikat
nitrogen
Penyesuaian waktu
cocok tanam oleh petani
Penanaman jenis
tanaman yang lebih
tahan terhadap
perubahan iklim
Kesehatan
manusia
Peningkatan kasus-kasus akibat
perubahan iklim
Malaria
Demam Berdarah
Diare
Pemusnahan tempat-
tempat
perkembangbiakan
nyamuk
Pencegahan deforestasi
dengan menekan laju
transmigrasi dan
penebangan liar
86
Peningkatan
pengetahuan masyarakat
terhadap lokasi-lokasi
perkembangbiakan
nyamuk
Peningkatan akses
terhadap air bersih
Peningkatan imunisasi
Sosialisasi ASI
Peningkatan sanitasi air
bersih
Peningkatan sistem
drainase
Peningkatan pengelolaan
banjir
87
BAB V
A. Kesimpulan dan Saran
Isu Lingkungan merupakan isu global yang mulai diperhatikann oleh
seluruh masyarakat atau negara di dunia. Isu lingkungan ini berkaitan dengan
dampak dari terjadinya efek rumah kaca yang mulai ditemukan pada abad ke-18.
Penumpukan Co2 pada lapisan atmosfer pada saat itu menjadi concern utama para
peneliti untuk mengetahui pengaruhnya terhadap bumi. Kemudian pasca revolusi
industry dampak dari pengumpulan Co2 pada atmosfer semakin terlihat,
dikarenakan gas emisi yang menyebabkan efek rumah kaca semakin meningkat
kemudian berdampak pada perubahan iklim Bumi.
Konferensi-konferensi tingkat tinggi kemudian diadakan oleh negara-
negara di dunia guna membahas mmengenai perubahan iklim serta dampaknya
terhadap kehidupan manusia. Salah satu yang terbesar dari beberapa konferensi
yang pernah diselenggarakan adalah Earth Summit di Rio de Jenero. Konferensi
tersebut dihadiri oleh 10.000 peserta yang mewakili negara anggota PBB, pers,
akademisi serta NGO lingkungan dari seluruh dunia. Earth Summit merupakan
langkah awal dari terbentuknya sebuah peraturan yang mengikat bagi seluruh
negara yang meratifikasinya yaitu sebuah Protokol. Protokol tersebut kemudian
dibentuk pada pertemun COP 3 (Conference of Parties) yang diselenggarakan di
Tokyo, Jepang.
Protokol Kyoto yang merupakan sebuah perjanjian internasional pada isu
lingkungan bersifat mengikat dan berlaku sampai 2012. Dalam Protokol terdapat
tiga mekanisme penting yang kemudian dilaksanakan oleh negara yang
88
meratifikasinya, yaitu Joint Implementation, Clean Development Mechanism dan
Pasar Karbon. Dari ketiga mekanisme tersebut hanya satu mekanisme yang
kemudian dapat dilaksanakan oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pelaksanaan mekanisme
Protokol Kyoto. Hal tersebut dikarenakan sumber daya alam Indonesia yang kaya
akan sumber dari gas CDM. Gas CDM ini yang kemudian dapat diperdagangkan
kepada negara maju yang berinvestasi dalam pengembangannya. Kewajiban
negara maju untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) dapat dipenuhi dengan
berinvestasi pada negara berkembang untuk menjalankan CDM. CERs merupakan
kredit yang dijadikan syarat pengurangan emisi, CERs inilah yang kemudian
dapat dijual oleh Indonesia kepada negara maju. Sehingga menjadi penting bagi
Indonesia agar meratifikasi Protokol Kyoto, agar Indonesia juga dapat
menghasilkan devisa bagi negara dari investasi negara maju dalam proyek CDM.
Indonesia akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto pada tahu 2004, yang
disetujui olegh DPR dan Presiden Republik Indonesia. Ratifikasi Protokol Kyoto
oleh pemeritah Indonesia bukan tanpa pertimbangan yang matang. Akan tetapi,
pemerintah Indonesia terlebih dahulu melakukan studi terkait keuntungan dan
kerugian yang akan didapatkan oleh Indonesia. Sebagai negara dengan hutan
tropis terbesar di dunia serta negara kepulauan, Indonesia memiliki posisi tawar
yang tingga dalam isu lingkungan. Sehingga dengan diratifikasinya Protokol
Kyoto Indonesia dapat memerankan perannya sebagai negara berkembang yang
diperhitungkan di dunia Internasional.
89
Ratifikasi protocol Kyoto oleh pemerintah Indonesia ditetapkan dengan
dikeluar Undang-undang nomor 17 tahun 2004. Kebijakan ini juga dipengaruhi
oleh situasi di dunia Internasional, karena dalam mengeluarkan sebuah kebijakan
terlebih dahulu pemerintah mempertimbangkan beberapa faktor salah satunya
faktor eksternal. Butuh waktu sekitar 6 tahun bagi pemerintah Indonesia untul
meratifikasi protocol Kyoto. Hal tersebut disebabkan tekanan dari faktor eksternal
yang menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia. Selain itu terdapat beberapa
isu lain yang kemudian mengalihkann concern Pemerintah Indonesia terhadap isu
lingkungan, seperti isu terorisme.
Pasca ratifikasi Protokol Kyoto Indonesia mulai mengembangkan potensi-
potensi proyek-proyek CDM. Hal tersebut dilakukan agar banyak negara maju
yang berinvestasi di Indonesia untuk melaksanakan proyek mekanisme CDM.
Dalam kebijakan terkait CDM, Indonesia melibatkan masyarakat secara langsung
untuk melaksanakan proyek CDM. Hal tersebut dilakukan dengan terbukanya
pendaftaran proposal proyek CDM bagi masyarakat. Walaupun pada akhirnya
proposal tersebut disaring terlebih dahulu oleh pihak pemerintah.
Dalam pelaksanaan proyek-proyek yang terkait dengan implementasi
mekanisme Protokol Kyoto, Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Jepang.
Meskipun memiliki perbedaan nama dari CDM menjadi BOCM pada dasarnya
dua hal tersebut merupakan satu proyek. Efisiensi dari kerjasama tersebut terlihat
bahwa Jepang sangat tertarik dengan proyek pengurangan emisi GRK dan
Indonesia menjadi tujuan utama dari pihak Jepang. Hal tersebut jelas akan
menguntungkan kedua belah pihak selain dari gairah investasi dari pihak swasta,
90
Pemerintah Jepang juga akan dapat memenuhi target emisi sebesar 6 persen dari
emisi tahun 1990. Sehingga terdapat keuntungan bersama dalam pelaksanaan
proyek tersebut
Pelaksanaan proyek CDM oleh Indonesia bukan berarti tidak mendapat masalah
karena sumber daya alam Indonesia yang besar. Akan tetapi pada pelaksanaan
terkadang tidak sesuai dengan tujuan pemerintah dalam menghasilkan keuntungan
dari proyek CDM. Hal tersebut terkait dengan prinsip adaptasi dan pembangunan
berkelanjutan berkelanjutan yang merupakan prinsip utama dari proyek CDM.
Pemerintah Indonesia selalu memperhitungkan dua hal tersebut dikarenakan
proyek CDM yang tidak bersifat permanen dan berkelanjutan. Sehingga perlunya
studi lebih lanjut dari pemerintah agar Indonesia dapat beradaptasi terhadap
perubahan iklim serta proyek CDM dapat berkelanjutan.
viii
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Victor, David G. “The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to
Slow Global Warming.” Princeton University. Press: New Jersey. 2001 Friedman, Thomas L. ”Hot Flat and Crowded.” PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009 Alikodra, Prof.Dr. Hadi, et al, “Global Warming.” Nuansa: Bandung, 2008 NASA Facts. “Global Warming, The Earth Science Enterprise Series.” Maryland April, 1998 LAPAN. “Landasan Ilmiah Perubahan Iklim.” Bandung, 2003 Pramudianto, Andreas. “Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.” UI-Press: Jakarta, 2008 Paterson, Matthiew. “Global Warming and Global Politics.” Routladge: London, 1996 Murdiyarso, Daniel. “Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang.” PT Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2003 Holsti, Kalevi J. “International Politics: A Framework for analysis.” Prentice hall International: New Jersey, 1997 Mintz, Alex & Derouen, Karl. “Foreign Policy Decision Making.” Cambridge University Press: New York, 2010 Clinton, W. David. ”Two Face of National Interest” Louisiana University Press: Louisiana, 1994 Budiardjo, Miriam. “Dasar-dasar Ilmu Politik.” PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2006 Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. “International Relation the Key Concept.” Routledge: New York, 2002 Coicaud, Jean-Marc & Wheeler, Nicholas J. “National Interest and International Solidarity.” United Nation Press: New York, 2008 Berridge, G. R. “Diplomacy: Theory and Practice” Palgrave: New York, 2002 Raco, DR.J.R. ME. M.SC. “Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya.” Grasindo: Jakarta, 2010 Glantz, Michael H. “Climate Affair.” Island Press: Washington, 2003 Helm, Dieter. “Climate Change Policy.” Oxford Universirty Press: New York, 2005 Houghton, Sir Jhon. “Global Warming: Complete briefing Third Edition.” Cambridge University Press: New York, 2004 Maslin, Mark. “Global warming: Very Short Introduction.” Oxford University Press: New York, 2004 Lian, Koh Kheng, et al. “Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto Protocol Asia and The World.” World Scientific Publishing: London, 2010 Stewart, Richard B. & Wiener, Jonathan B. “Reconstructing Climate Policy: Beyond Kyoto.” AEI Press: Washington, 2003 Mudiyarso, Daniel. “Mekanisme Pembangunan Bersih.” PT Gramedia: Jakarta, 2003
ix
Nordhaus, William. “Question of Balance: Weighing the Option on Global Warming Policies.” Yale University Press: London, 2008 Archer, David. “Global Warming: Understanding the forecast.” Blackwell Publishing: Victoria, 2007 Haris Paul G., “Global Warming and East Asia: The domestic and International politic of climate change” Routledge: London, 2003 Gover, Velma I. ”Climate change-five year after Kyoto.” Science Publisher: New Hampshire, 2004 Mudiyarso, Daniel. “International Review for Enviromental Strategies: Implication of The Kyoto Indonesian Perspektive” IGES, 2004 Aziz, Iwan J. “Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Konstribusi Emil Salim.” KPG: Jakarta, 2010 Jotzo, Frank. & Sari, Agus P. “Indonesia sustainable in desentralization era: The Implementation of emission offset regime on Indonesia and other developing countries.” IRSA: Jakarta, 2002 Ismanto, Ign. “Pemilihan Presiden secara langsung 2004: Dokumentasi, Analisis dan Kritik.” Galang Yogjakarta. 2004 Prof. Ir. Sukkandarrumidi, M.sc., Ph.d. “Bencana Alam dan Bencana Anthropogene.” Kanisus: Yogyakarta, 2010 Huntington, Samuel P. “Amerika dan Dunia: Memperdebatkan bentuk baru Politik Internasional.” Yayasan Obor Indonesia, 2005 Schippers, Dr. E. Lisa F. “Adaptation to Climate Change: The new Challenge for Development in The Developing World.” UNDP, 2008 Ristek. “Sains & Teknologi: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan dan Kebutuhan.” PT Gramedia: Jakarta, 2009 Kementrian Negara Lingkungan Hidup. “Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.” KNLH, 2007 Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. KNLH, 2007 Kementrian Lingkungan Hidup. Panduan Kegiatan MPB di Indonesia KLHRI: Jakarta, 2006 Kementrian Lingkungan Hidup. Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim KLHIRI: Jakarta, 2003
PW, Chandra. Moekti HS, DKK, Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan Indonesia Pelangi: Jakarta, 2003 JURNAL dan ARTIKEL
Laporan Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara, DNPI 2012
Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Credit Mechanism (BOCM) DNPI, 31 Januari 2012 Laporan pertemuan tim TKPPKA terkait pembahasan dokumen Proposal Joint Crediting Mechanism (JCM) DNPI, 14 September 2012
x
WWF presentation. Riau, 29 November 2008 Ihza, Yusron. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
A Report of the CSIS. “Green Dragon: The politic climate change in Asia.” CSIS: Jakarta, 2010 Kaban, MS. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
UNDP. “ The Bali Action Plan: Key Issues in The Climate Negotiation.” UNDP, 2008
Kementrian Negara Lingkugan Hidup. “Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim.” KNLH, 2007 Kementrian Lingkungan Hidup. Undang-undang RI, No: 17 tahun 2004.
Tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim. KLHRI: Jakarta, 2004 INTERNET www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 18 April 2011 pukul : 23: 23 WIB http://unfccc.int/kyoto_mechanisms diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011 http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/et/items/ diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011 http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/ji/items/1674.php diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011 www.econ.cam.ac.uk/rstaff/grubb/publications/J36.pdf"The Economics of the Kyoto Protocol" diakses pada hari jumat, 27 Mei 2011 http://greendecade.org/energy_kyoto. diakses pada tanggal HYPERLINK http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://greendecade.org/energy_kyoto.html&ei=xCryTeOZOI7JrAf6h4X6Bw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=5&ved=0CEMQ7gEwBA&prev=/search%3Fq%3Dkyoto%2Baction%2Bplan%26hl%3Did%26biw%3D922%26bih%3D374%26prmd% 17 agustus 2011 www.unfccc.int/kyoto_protocol/mechanism/clean_development_mechanism/items/2718.php www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2747 diakses pada tanggal 24 Desember 2011 www.pelangi.or.id?article-5.html diakses pada 24 oktober 2011 pukul 03:00 WIB www.kemenlu.go.id/Pages/iissueDisplay.aspx?IDP=25&l=id diakses pada hari kamis 12 Januari 2012 http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1759 diakses pada tanggal 7 oktober 2011 http://www.conservation.or.id/site/modules diakses tanggal 15 April 2011 http//www.menlh.go.idslhisuplemen_slhi_2007.pdf www.unfccc.int/adaptation/items/4159.php diakses pada tanggal 1 februari 2012 www.unfccc.int/adaptation/implementing_adaptation/items/2535.php diakses pada tanggal 1 februari 2012 www.walhi.or.id diakses pada hari sabtu 22 Oktober 2011
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE
UNITED NATIONS
1998
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE
The Parties to this Protocol,
Being Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change, hereinafter referred to as “the Convention”,
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,
Recalling the provisions of the Convention,
Being guided by Article 3 of the Convention,
Pursuant to the Berlin Mandate adopted by decision 1/CP.1 of the Conference of the Parties to the Convention at its first session,
Have agreed as follows:
Article 1
For the purposes of this Protocol, the definitions contained in Article 1 of the Convention shall apply. In addition:
1. “Conference of the Parties” means the Conference of the Parties to the Convention.
2. “Convention” means the United Nations Framework Convention on Climate Change, adopted in New York on 9 May 1992.
3. “Intergovernmental Panel on Climate Change” means the Intergovernmental Panel on Climate Change established in 1988 jointly by the World Meteorological Organization and the United Nations Environment Programme.
4. “Montreal Protocol” means the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, adopted in Montreal on 16 September 1987 and as subsequently adjusted and amended.
5. “Parties present and voting” means Parties present and casting an affirmative or negative vote.
6. “Party” means, unless the context otherwise indicates, a Party to this Protocol.
7. “Party included in Annex I” means a Party included in Annex I to the Convention, as may be amended, or a Party which has made a notification under Article 4, paragraph 2 (g), of the Convention.
Article 2
1. Each Party included in Annex I, in achieving its quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3, in order to promote sustainable development, shall:
- 2 -
(a) Implement and/or further elaborate policies and measures in accordance with its national circumstances, such as:
(i) Enhancement of energy efficiency in relevant sectors of the national economy;
(ii) Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest management practices, afforestation and reforestation;
(iii) Promotion of sustainable forms of agriculture in light of climate change considerations;
(iv) Research on, and promotion, development and increased use of, new and renewable forms of energy, of carbon dioxide sequestration technologies and of advanced and innovative environmentally sound technologies;
(v) Progressive reduction or phasing out of market imperfections, fiscal incentives, tax and duty exemptions and subsidies in all greenhouse gas emitting sectors that run counter to the objective of the Convention and application of market instruments;
(vi) Encouragement of appropriate reforms in relevant sectors aimed at promoting policies and measures which limit or reduce emissions of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol;
(vii) Measures to limit and/or reduce emissions of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol in the transport sector;
(viii) Limitation and/or reduction of methane emissions through recovery and use in waste management, as well as in the production, transport and distribution of energy;
(b) Cooperate with other such Parties to enhance the individual and combined effectiveness of their policies and measures adopted under this Article, pursuant to Article 4, paragraph 2 (e) (i), of the Convention. To this end, these Parties shall take steps to share their experience and exchange information on such policies and measures, including developing ways of improving their comparability, transparency and effectiveness. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, at its first session or as soon as practicable thereafter, consider ways to facilitate such cooperation, taking into account all relevant information.
2. The Parties included in Annex I shall pursue limitation or reduction of emissions of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol from aviation and marine bunker fuels, working through the International Civil Aviation Organization and the International Maritime Organization, respectively.
- 3 -
3. The Parties included in Annex I shall strive to implement policies and measures under this Article in such a way as to minimize adverse effects, including the adverse effects of climate change, effects on international trade, and social, environmental and economic impacts on other Parties, especially developing country Parties and in particular those identified in Article 4, paragraphs 8 and 9, of the Convention, taking into account Article 3 of the Convention. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol may take further action, as appropriate, to promote the implementation of the provisions of this paragraph.
4. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, if it decides that it would be beneficial to coordinate any of the policies and measures in paragraph 1 (a) above, taking into account different national circumstances and potential effects, shall consider ways and means to elaborate the coordination of such policies and measures.
Article 3
1. The Parties included in Annex I shall, individually or jointly, ensure that their aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts, calculated pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provisions of this Article, with a view to reducing their overall emissions of such gases by at least 5 per cent below 1990 levels in the commitment period 2008 to 2012.
2. Each Party included in Annex I shall, by 2005, have made demonstrable progress in achieving its commitments under this Protocol.
3. The net changes in greenhouse gas emissions by sources and removals by sinks resulting from direct human-induced land-use change and forestry activities, limited to afforestation, reforestation and deforestation since 1990, measured as verifiable changes in carbon stocks in each commitment period, shall be used to meet the commitments under this Article of each Party included in Annex I. The greenhouse gas emissions by sources and removals by sinks associated with those activities shall be reported in a transparent and verifiable manner and reviewed in accordance with Articles 7 and 8.
4. Prior to the first session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, each Party included in Annex I shall provide, for consideration by the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice, data to establish its level of carbon stocks in 1990 and to enable an estimate to be made of its changes in carbon stocks in subsequent years. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, at its first session or as soon as practicable thereafter, decide upon modalities, rules and guidelines as to how, and which, additional human-induced activities related to changes in greenhouse gas emissions by sources and removals by sinks in the agricultural soils and the land-use change and forestry categories shall be added to, or subtracted from, the assigned amounts for Parties included in Annex I, taking into account uncertainties, transparency in reporting, verifiability, the methodological work of the Intergovernmental Panel on Climate Change, the advice provided by the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice in accordance with Article 5 and the decisions of the Conference of the Parties. Such a decision shall apply in the second and subsequent commitment periods. A Party may choose to apply such a decision on these additional human-induced activities for its first commitment period, provided that these activities have taken place since 1990.
- 4 -
5. The Parties included in Annex I undergoing the process of transition to a market economy whose base year or period was established pursuant to decision 9/CP.2 of the Conference of the Parties at its second session shall use that base year or period for the implementation of their commitments under this Article. Any other Party included in Annex I undergoing the process of transition to a market economy which has not yet submitted its first national communication under Article 12 of the Convention may also notify the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol that it intends to use an historical base year or period other than 1990 for the implementation of its commitments under this Article. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall decide on the acceptance of such notification.
6. Taking into account Article 4, paragraph 6, of the Convention, in the implementation of their commitments under this Protocol other than those under this Article, a certain degree of flexibility shall be allowed by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol to the Parties included in Annex I undergoing the process of transition to a market economy.
7. In the first quantified emission limitation and reduction commitment period, from 2008 to 2012, the assigned amount for each Party included in Annex I shall be equal to the percentage inscribed for it in Annex B of its aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A in 1990, or the base year or period determined in accordance with paragraph 5 above, multiplied by five. Those Parties included in Annex I for whom land-use change and forestry constituted a net source of greenhouse gas emissions in 1990 shall include in their 1990 emissions base year or period the aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions by sources minus removals by sinks in 1990 from land-use change for the purposes of calculating their assigned amount.
8. Any Party included in Annex I may use 1995 as its base year for hydrofluorocarbons, perfluorocarbons and sulphur hexafluoride, for the purposes of the calculation referred to in paragraph 7 above.
9. Commitments for subsequent periods for Parties included in Annex I shall be established in amendments to Annex B to this Protocol, which shall be adopted in accordance with the provisions of Article 21, paragraph 7. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall initiate the consideration of such commitments at least seven years before the end of the first commitment period referred to in paragraph 1 above.
10. Any emission reduction units, or any part of an assigned amount, which a Party acquires from another Party in accordance with the provisions of Article 6 or of Article 17 shall be added to the assigned amount for the acquiring Party.
11. Any emission reduction units, or any part of an assigned amount, which a Party transfers to another Party in accordance with the provisions of Article 6 or of Article 17 shall be subtracted from the assigned amount for the transferring Party.
12. Any certified emission reductions which a Party acquires from another Party in accordance with the provisions of Article 12 shall be added to the assigned amount for the acquiring Party.
- 5 -
13. If the emissions of a Party included in Annex I in a commitment period are less than its assigned amount under this Article, this difference shall, on request of that Party, be added to the assigned amount for that Party for subsequent commitment periods.
14. Each Party included in Annex I shall strive to implement the commitments mentioned in paragraph 1 above in such a way as to minimize adverse social, environmental and economic impacts on developing country Parties, particularly those identified in Article 4, paragraphs 8 and 9, of the Convention. In line with relevant decisions of the Conference of the Parties on the implementation of those paragraphs, the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, at its first session, consider what actions are necessary to minimize the adverse effects of climate change and/or the impacts of response measures on Parties referred to in those paragraphs. Among the issues to be considered shall be the establishment of funding, insurance and transfer of technology.
Article 4
1. Any Parties included in Annex I that have reached an agreement to fulfil their commitments under Article 3 jointly, shall be deemed to have met those commitments provided that their total combined aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts calculated pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provisions of Article 3. The respective emission level allocated to each of the Parties to the agreement shall be set out in that agreement.
2. The Parties to any such agreement shall notify the secretariat of the terms of the agreement on the date of deposit of their instruments of ratification, acceptance or approval of this Protocol, or accession thereto. The secretariat shall in turn inform the Parties and signatories to the Convention of the terms of the agreement.
3. Any such agreement shall remain in operation for the duration of the commitment period specified in Article 3, paragraph 7.
4. If Parties acting jointly do so in the framework of, and together with, a regional economic integration organization, any alteration in the composition of the organization after adoption of this Protocol shall not affect existing commitments under this Protocol. Any alteration in the composition of the organization shall only apply for the purposes of those commitments under Article 3 that are adopted subsequent to that alteration.
5. In the event of failure by the Parties to such an agreement to achieve their total combined level of emission reductions, each Party to that agreement shall be responsible for its own level of emissions set out in the agreement.
6. If Parties acting jointly do so in the framework of, and together with, a regional economic integration organization which is itself a Party to this Protocol, each member State of that regional economic integration organization individually, and together with the regional economic integration organization acting in accordance with Article 24, shall, in the event of failure to achieve the total combined level of emission reductions, be responsible for its level of emissions as notified in accordance with this Article.
- 6 -
Article 5
1. Each Party included in Annex I shall have in place, no later than one year prior to the start of the first commitment period, a national system for the estimation of anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol. Guidelines for such national systems, which shall incorporate the methodologies specified in paragraph 2 below, shall be decided upon by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol at its first session.
2. Methodologies for estimating anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol shall be those accepted by the Intergovernmental Panel on Climate Change and agreed upon by the Conference of the Parties at its third session. Where such methodologies are not used, appropriate adjustments shall be applied according to methodologies agreed upon by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol at its first session. Based on the work of, inter alia, the Intergovernmental Panel on Climate Change and advice provided by the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice, the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall regularly review and, as appropriate, revise such methodologies and adjustments, taking fully into account any relevant decisions by the Conference of the Parties. Any revision to methodologies or adjustments shall be used only for the purposes of ascertaining compliance with commitments under Article 3 in respect of any commitment period adopted subsequent to that revision.
3. The global warming potentials used to calculate the carbon dioxide equivalence of anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases listed in Annex A shall be those accepted by the Intergovernmental Panel on Climate Change and agreed upon by the Conference of the Parties at its third session. Based on the work of, inter alia, the Intergovernmental Panel on Climate Change and advice provided by the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice, the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall regularly review and, as appropriate, revise the global warming potential of each such greenhouse gas, taking fully into account any relevant decisions by the Conference of the Parties. Any revision to a global warming potential shall apply only to commitments under Article 3 in respect of any commitment period adopted subsequent to that revision.
Article 6
1. For the purpose of meeting its commitments under Article 3, any Party included in Annex I may transfer to, or acquire from, any other such Party emission reduction units resulting from projects aimed at reducing anthropogenic emissions by sources or enhancing anthropogenic removals by sinks of greenhouse gases in any sector of the economy, provided that:
(a) Any such project has the approval of the Parties involved;
(b) Any such project provides a reduction in emissions by sources, or an enhancement of removals by sinks, that is additional to any that would otherwise occur;
- 7 -
(c) It does not acquire any emission reduction units if it is not in compliance with its obligations under Articles 5 and 7; and
(d) The acquisition of emission reduction units shall be supplemental to domestic actions for the purposes of meeting commitments under Article 3.
2. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol may, at its first session or as soon as practicable thereafter, further elaborate guidelines for the implementation of this Article, including for verification and reporting.
3. A Party included in Annex I may authorize legal entities to participate, under its responsibility, in actions leading to the generation, transfer or acquisition under this Article of emission reduction units.
4. If a question of implementation by a Party included in Annex I of the requirements referred to in this Article is identified in accordance with the relevant provisions of Article 8, transfers and acquisitions of emission reduction units may continue to be made after the question has been identified, provided that any such units may not be used by a Party to meet its commitments under Article 3 until any issue of compliance is resolved.
Article 7
1. Each Party included in Annex I shall incorporate in its annual inventory of anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, submitted in accordance with the relevant decisions of the Conference of the Parties, the necessary supplementary information for the purposes of ensuring compliance with Article 3, to be determined in accordance with paragraph 4 below.
2. Each Party included in Annex I shall incorporate in its national communication, submitted under Article 12 of the Convention, the supplementary information necessary to demonstrate compliance with its commitments under this Protocol, to be determined in accordance with paragraph 4 below.
3. Each Party included in Annex I shall submit the information required under paragraph 1 above annually, beginning with the first inventory due under the Convention for the first year of the commitment period after this Protocol has entered into force for that Party. Each such Party shall submit the information required under paragraph 2 above as part of the first national communication due under the Convention after this Protocol has entered into force for it and after the adoption of guidelines as provided for in paragraph 4 below. The frequency of subsequent submission of information required under this Article shall be determined by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, taking into account any timetable for the submission of national communications decided upon by the Conference of the Parties.
4. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall adopt at its first session, and review periodically thereafter, guidelines for the preparation of the information required under this Article, taking into account guidelines for the preparation of
- 8 -
national communications by Parties included in Annex I adopted by the Conference of the Parties. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall also, prior to the first commitment period, decide upon modalities for the accounting of assigned amounts.
Article 8
1. The information submitted under Article 7 by each Party included in Annex I shall be reviewed by expert review teams pursuant to the relevant decisions of the Conference of the Parties and in accordance with guidelines adopted for this purpose by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol under paragraph 4 below. The information submitted under Article 7, paragraph 1, by each Party included in Annex I shall be reviewed as part of the annual compilation and accounting of emissions inventories and assigned amounts. Additionally, the information submitted under Article 7, paragraph 2, by each Party included in Annex I shall be reviewed as part of the review of communications.
2. Expert review teams shall be coordinated by the secretariat and shall be composed of experts selected from those nominated by Parties to the Convention and, as appropriate, by intergovernmental organizations, in accordance with guidance provided for this purpose by the Conference of the Parties.
3. The review process shall provide a thorough and comprehensive technical assessment of all aspects of the implementation by a Party of this Protocol. The expert review teams shall prepare a report to the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, assessing the implementation of the commitments of the Party and identifying any potential problems in, and factors influencing, the fulfilment of commitments. Such reports shall be circulated by the secretariat to all Parties to the Convention. The secretariat shall list those questions of implementation indicated in such reports for further consideration by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol.
4. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall adopt at its first session, and review periodically thereafter, guidelines for the review of implementation of this Protocol by expert review teams taking into account the relevant decisions of the Conference of the Parties.
5. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, with the assistance of the Subsidiary Body for Implementation and, as appropriate, the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice, consider:
(a) The information submitted by Parties under Article 7 and the reports of the expert reviews thereon conducted under this Article; and
(b) Those questions of implementation listed by the secretariat under paragraph 3 above, as well as any questions raised by Parties.
6. Pursuant to its consideration of the information referred to in paragraph 5 above, the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall take decisions on any matter required for the implementation of this Protocol.
- 9 -
Article 9
1. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall periodically review this Protocol in the light of the best available scientific information and assessments on climate change and its impacts, as well as relevant technical, social and economic information. Such reviews shall be coordinated with pertinent reviews under the Convention, in particular those required by Article 4, paragraph 2 (d), and Article 7, paragraph 2 (a), of the Convention. Based on these reviews, the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall take appropriate action.
2. The first review shall take place at the second session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol. Further reviews shall take place at regular intervals and in a timely manner.
Article 10
All Parties, taking into account their common but differentiated responsibilities and their specific national and regional development priorities, objectives and circumstances, without introducing any new commitments for Parties not included in Annex I, but reaffirming existing commitments under Article 4, paragraph 1, of the Convention, and continuing to advance the implementation of these commitments in order to achieve sustainable development, taking into account Article 4, paragraphs 3, 5 and 7, of the Convention, shall:
(a) Formulate, where relevant and to the extent possible, cost-effective national and, where appropriate, regional programmes to improve the quality of local emission factors, activity data and/or models which reflect the socio-economic conditions of each Party for the preparation and periodic updating of national inventories of anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, using comparable methodologies to be agreed upon by the Conference of the Parties, and consistent with the guidelines for the preparation of national communications adopted by the Conference of the Parties;
(b) Formulate, implement, publish and regularly update national and, where appropriate, regional programmes containing measures to mitigate climate change and measures to facilitate adequate adaptation to climate change:
(i) Such programmes would, inter alia, concern the energy, transport and industry sectors as well as agriculture, forestry and waste management. Furthermore, adaptation technologies and methods for improving spatial planning would improve adaptation to climate change; and
(ii) Parties included in Annex I shall submit information on action under this Protocol, including national programmes, in accordance with Article 7; and other Parties shall seek to include in their national communications, as appropriate, information on programmes which contain measures that the Party believes contribute to addressing climate change and its adverse impacts, including the abatement of increases in greenhouse gas emissions, and enhancement of and removals by sinks, capacity building and adaptation measures;
- 10 -
(c) Cooperate in the promotion of effective modalities for the development, application and diffusion of, and take all practicable steps to promote, facilitate and finance, as appropriate, the transfer of, or access to, environmentally sound technologies, know-how, practices and processes pertinent to climate change, in particular to developing countries, including the formulation of policies and programmes for the effective transfer of environmentally sound technologies that are publicly owned or in the public domain and the creation of an enabling environment for the private sector, to promote and enhance the transfer of, and access to, environmentally sound technologies;
(d) Cooperate in scientific and technical research and promote the maintenance and the development of systematic observation systems and development of data archives to reduce uncertainties related to the climate system, the adverse impacts of climate change and the economic and social consequences of various response strategies, and promote the development and strengthening of endogenous capacities and capabilities to participate in international and intergovernmental efforts, programmes and networks on research and systematic observation, taking into account Article 5 of the Convention;
(e) Cooperate in and promote at the international level, and, where appropriate, using existing bodies, the development and implementation of education and training programmes, including the strengthening of national capacity building, in particular human and institutional capacities and the exchange or secondment of personnel to train experts in this field, in particular for developing countries, and facilitate at the national level public awareness of, and public access to information on, climate change. Suitable modalities should be developed to implement these activities through the relevant bodies of the Convention, taking into account Article 6 of the Convention;
(f) Include in their national communications information on programmes and activities undertaken pursuant to this Article in accordance with relevant decisions of the Conference of the Parties; and
(g) Give full consideration, in implementing the commitments under this Article, to Article 4, paragraph 8, of the Convention.
Article 11
1. In the implementation of Article 10, Parties shall take into account the provisions of Article 4, paragraphs 4, 5, 7, 8 and 9, of the Convention.
2. In the context of the implementation of Article 4, paragraph 1, of the Convention, in accordance with the provisions of Article 4, paragraph 3, and Article 11 of the Convention, and through the entity or entities entrusted with the operation of the financial mechanism of the Convention, the developed country Parties and other developed Parties included in Annex II to the Convention shall:
(a) Provide new and additional financial resources to meet the agreed full costs incurred by developing country Parties in advancing the implementation of existing commitments under Article 4, paragraph 1 (a), of the Convention that are covered in Article 10, subparagraph (a); and
- 11 -
(b) Also provide such financial resources, including for the transfer of technology, needed by the developing country Parties to meet the agreed full incremental costs of advancing the implementation of existing commitments under Article 4, paragraph 1, of the Convention that are covered by Article 10 and that are agreed between a developing country Party and the international entity or entities referred to in Article 11 of the Convention, in accordance with that Article.
The implementation of these existing commitments shall take into account the need for adequacy and predictability in the flow of funds and the importance of appropriate burden sharing among developed country Parties. The guidance to the entity or entities entrusted with the operation of the financial mechanism of the Convention in relevant decisions of the Conference of the Parties, including those agreed before the adoption of this Protocol, shall apply mutatis mutandis to the provisions of this paragraph.
3. The developed country Parties and other developed Parties in Annex II to the Convention may also provide, and developing country Parties avail themselves of, financial resources for the implementation of Article 10, through bilateral, regional and other multilateral channels.
Article 12
1. A clean development mechanism is hereby defined.
2. The purpose of the clean development mechanism shall be to assist Parties not included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the ultimate objective of the Convention, and to assist Parties included in Annex I in achieving compliance with their quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3.
3. Under the clean development mechanism:
(a) Parties not included in Annex I will benefit from project activities resulting in certified emission reductions; and
(b) Parties included in Annex I may use the certified emission reductions accruing from such project activities to contribute to compliance with part of their quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3, as determined by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol.
4. The clean development mechanism shall be subject to the authority and guidance of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol and be supervised by an executive board of the clean development mechanism.
5. Emission reductions resulting from each project activity shall be certified by operational entities to be designated by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, on the basis of:
(a) Voluntary participation approved by each Party involved;
- 12 -
(b) Real, measurable, and long-term benefits related to the mitigation of climate change; and
(c) Reductions in emissions that are additional to any that would occur in the absence of the certified project activity.
6. The clean development mechanism shall assist in arranging funding of certified project activities as necessary.
7. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, at its first session, elaborate modalities and procedures with the objective of ensuring transparency, efficiency and accountability through independent auditing and verification of project activities.
8. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall ensure that a share of the proceeds from certified project activities is used to cover administrative expenses as well as to assist developing country Parties that are particularly vulnerable to the adverse effects of climate change to meet the costs of adaptation.
9. Participation under the clean development mechanism, including in activities mentioned in paragraph 3 (a) above and in the acquisition of certified emission reductions, may involve private and/or public entities, and is to be subject to whatever guidance may be provided by the executive board of the clean development mechanism.
10. Certified emission reductions obtained during the period from the year 2000 up to the beginning of the first commitment period can be used to assist in achieving compliance in the first commitment period.
Article 13
1. The Conference of the Parties, the supreme body of the Convention, shall serve as the meeting of the Parties to this Protocol.
2. Parties to the Convention that are not Parties to this Protocol may participate as observers in the proceedings of any session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol. When the Conference of the Parties serves as the meeting of the Parties to this Protocol, decisions under this Protocol shall be taken only by those that are Parties to this Protocol.
3. When the Conference of the Parties serves as the meeting of the Parties to this Protocol, any member of the Bureau of the Conference of the Parties representing a Party to the Convention but, at that time, not a Party to this Protocol, shall be replaced by an additional member to be elected by and from amongst the Parties to this Protocol.
4. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall keep under regular review the implementation of this Protocol and shall make, within its mandate, the decisions necessary to promote its effective implementation. It shall perform the functions assigned to it by this Protocol and shall:
- 13 -
(a) Assess, on the basis of all information made available to it in accordance with the provisions of this Protocol, the implementation of this Protocol by the Parties, the overall effects of the measures taken pursuant to this Protocol, in particular environmental, economic and social effects as well as their cumulative impacts and the extent to which progress towards the objective of the Convention is being achieved;
(b) Periodically examine the obligations of the Parties under this Protocol, giving due consideration to any reviews required by Article 4, paragraph 2 (d), and Article 7, paragraph 2, of the Convention, in the light of the objective of the Convention, the experience gained in its implementation and the evolution of scientific and technological knowledge, and in this respect consider and adopt regular reports on the implementation of this Protocol;
(c) Promote and facilitate the exchange of information on measures adopted by the Parties to address climate change and its effects, taking into account the differing circumstances, responsibilities and capabilities of the Parties and their respective commitments under this Protocol;
(d) Facilitate, at the request of two or more Parties, the coordination of measures adopted by them to address climate change and its effects, taking into account the differing circumstances, responsibilities and capabilities of the Parties and their respective commitments under this Protocol;
(e) Promote and guide, in accordance with the objective of the Convention and the provisions of this Protocol, and taking fully into account the relevant decisions by the Conference of the Parties, the development and periodic refinement of comparable methodologies for the effective implementation of this Protocol, to be agreed on by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol;
(f) Make recommendations on any matters necessary for the implementation of this Protocol;
(g) Seek to mobilize additional financial resources in accordance with Article 11, paragraph 2;
(h) Establish such subsidiary bodies as are deemed necessary for the implementation of this Protocol;
(i) Seek and utilize, where appropriate, the services and cooperation of, and information provided by, competent international organizations and intergovernmental and non-governmental bodies; and
(j) Exercise such other functions as may be required for the implementation of this Protocol, and consider any assignment resulting from a decision by the Conference of the Parties.
5. The rules of procedure of the Conference of the Parties and financial procedures applied under the Convention shall be applied mutatis mutandis under this Protocol, except as may be otherwise decided by consensus by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol.
- 14 -
6. The first session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall be convened by the secretariat in conjunction with the first session of the Conference of the Parties that is scheduled after the date of the entry into force of this Protocol. Subsequent ordinary sessions of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall be held every year and in conjunction with ordinary sessions of the Conference of the Parties, unless otherwise decided by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol.
7. Extraordinary sessions of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall be held at such other times as may be deemed necessary by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, or at the written request of any Party, provided that, within six months of the request being communicated to the Parties by the secretariat, it is supported by at least one third of the Parties.
8. The United Nations, its specialized agencies and the International Atomic Energy Agency, as well as any State member thereof or observers thereto not party to the Convention, may be represented at sessions of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol as observers. Any body or agency, whether national or international, governmental or non-governmental, which is qualified in matters covered by this Protocol and which has informed the secretariat of its wish to be represented at a session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol as an observer, may be so admitted unless at least one third of the Parties present object. The admission and participation of observers shall be subject to the rules of procedure, as referred to in paragraph 5 above.
Article 14
1. The secretariat established by Article 8 of the Convention shall serve as the secretariat of this Protocol.
2. Article 8, paragraph 2, of the Convention on the functions of the secretariat, and Article 8, paragraph 3, of the Convention on arrangements made for the functioning of the secretariat, shall apply mutatis mutandis to this Protocol. The secretariat shall, in addition, exercise the functions assigned to it under this Protocol.
Article 15
1. The Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice and the Subsidiary Body for Implementation established by Articles 9 and 10 of the Convention shall serve as, respectively, the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice and the Subsidiary Body for Implementation of this Protocol. The provisions relating to the functioning of these two bodies under the Convention shall apply mutatis mutandis to this Protocol. Sessions of the meetings of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice and the Subsidiary Body for Implementation of this Protocol shall be held in conjunction with the meetings of, respectively, the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice and the Subsidiary Body for Implementation of the Convention.
- 15 -
2. Parties to the Convention that are not Parties to this Protocol may participate as observers in the proceedings of any session of the subsidiary bodies. When the subsidiary bodies serve as the subsidiary bodies of this Protocol, decisions under this Protocol shall be taken only by those that are Parties to this Protocol.
3. When the subsidiary bodies established by Articles 9 and 10 of the Convention exercise their functions with regard to matters concerning this Protocol, any member of the Bureaux of those subsidiary bodies representing a Party to the Convention but, at that time, not a party to this Protocol, shall be replaced by an additional member to be elected by and from amongst the Parties to this Protocol.
Article 16
The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, as soon as practicable, consider the application to this Protocol of, and modify as appropriate, the multilateral consultative process referred to in Article 13 of the Convention, in the light of any relevant decisions that may be taken by the Conference of the Parties. Any multilateral consultative process that may be applied to this Protocol shall operate without prejudice to the procedures and mechanisms established in accordance with Article 18.
Article 17
The Conference of the Parties shall define the relevant principles, modalities, rules and guidelines, in particular for verification, reporting and accountability for emissions trading. The Parties included in Annex B may participate in emissions trading for the purposes of fulfilling their commitments under Article 3. Any such trading shall be supplemental to domestic actions for the purpose of meeting quantified emission limitation and reduction commitments under that Article.
Article 18
The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol shall, at its first session, approve appropriate and effective procedures and mechanisms to determine and to address cases of non-compliance with the provisions of this Protocol, including through the development of an indicative list of consequences, taking into account the cause, type, degree and frequency of non-compliance. Any procedures and mechanisms under this Article entailing binding consequences shall be adopted by means of an amendment to this Protocol.
Article 19
The provisions of Article 14 of the Convention on settlement of disputes shall apply mutatis mutandis to this Protocol.
Article 20
1. Any Party may propose amendments to this Protocol.
2. Amendments to this Protocol shall be adopted at an ordinary session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol. The text of any proposed amendment to this Protocol shall be communicated to the Parties by the secretariat at least
- 16 -
six months before the meeting at which it is proposed for adoption. The secretariat shall also communicate the text of any proposed amendments to the Parties and signatories to the Convention and, for information, to the Depositary.
3. The Parties shall make every effort to reach agreement on any proposed amendment to this Protocol by consensus. If all efforts at consensus have been exhausted, and no agreement reached, the amendment shall as a last resort be adopted by a three-fourths majority vote of the Parties present and voting at the meeting. The adopted amendment shall be communicated by the secretariat to the Depositary, who shall circulate it to all Parties for their acceptance.
4. Instruments of acceptance in respect of an amendment shall be deposited with the Depositary. An amendment adopted in accordance with paragraph 3 above shall enter into force for those Parties having accepted it on the ninetieth day after the date of receipt by the Depositary of an instrument of acceptance by at least three fourths of the Parties to this Protocol.
5. The amendment shall enter into force for any other Party on the ninetieth day after the date on which that Party deposits with the Depositary its instrument of acceptance of the said amendment.
Article 21
1. Annexes to this Protocol shall form an integral part thereof and, unless otherwise expressly provided, a reference to this Protocol constitutes at the same time a reference to any annexes thereto. Any annexes adopted after the entry into force of this Protocol shall be restricted to lists, forms and any other material of a descriptive nature that is of a scientific, technical, procedural or administrative character.
2. Any Party may make proposals for an annex to this Protocol and may propose amendments to annexes to this Protocol.
3. Annexes to this Protocol and amendments to annexes to this Protocol shall be adopted at an ordinary session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol. The text of any proposed annex or amendment to an annex shall be communicated to the Parties by the secretariat at least six months before the meeting at which it is proposed for adoption. The secretariat shall also communicate the text of any proposed annex or amendment to an annex to the Parties and signatories to the Convention and, for information, to the Depositary.
4. The Parties shall make every effort to reach agreement on any proposed annex or amendment to an annex by consensus. If all efforts at consensus have been exhausted, and no agreement reached, the annex or amendment to an annex shall as a last resort be adopted by a three-fourths majority vote of the Parties present and voting at the meeting. The adopted annex or amendment to an annex shall be communicated by the secretariat to the Depositary, who shall circulate it to all Parties for their acceptance.
5. An annex, or amendment to an annex other than Annex A or B, that has been adopted in accordance with paragraphs 3 and 4 above shall enter into force for all Parties to this Protocol six months after the date of the communication by the Depositary to such Parties of the adoption of the annex or adoption of the amendment to the annex, except for those Parties that have
- 17 -
notified the Depositary, in writing, within that period of their non-acceptance of the annex or amendment to the annex. The annex or amendment to an annex shall enter into force for Parties which withdraw their notification of non-acceptance on the ninetieth day after the date on which withdrawal of such notification has been received by the Depositary.
6. If the adoption of an annex or an amendment to an annex involves an amendment to this Protocol, that annex or amendment to an annex shall not enter into force until such time as the amendment to this Protocol enters into force.
7. Amendments to Annexes A and B to this Protocol shall be adopted and enter into force in accordance with the procedure set out in Article 20, provided that any amendment to Annex B shall be adopted only with the written consent of the Party concerned.
Article 22
1. Each Party shall have one vote, except as provided for in paragraph 2 below.
2. Regional economic integration organizations, in matters within their competence, shall exercise their right to vote with a number of votes equal to the number of their member States that are Parties to this Protocol. Such an organization shall not exercise its right to vote if any of its member States exercises its right, and vice versa.
Article 23
The Secretary-General of the United Nations shall be the Depositary of this Protocol.
Article 24
1. This Protocol shall be open for signature and subject to ratification, acceptance or approval by States and regional economic integration organizations which are Parties to the Convention. It shall be open for signature at United Nations Headquarters in New York from 16 March 1998 to 15 March 1999. This Protocol shall be open for accession from the day after the date on which it is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary.
2. Any regional economic integration organization which becomes a Party to this Protocol without any of its member States being a Party shall be bound by all the obligations under this Protocol. In the case of such organizations, one or more of whose member States is a Party to this Protocol, the organization and its member States shall decide on their respective responsibilities for the performance of their obligations under this Protocol. In such cases, the organization and the member States shall not be entitled to exercise rights under this Protocol concurrently.
3. In their instruments of ratification, acceptance, approval or accession, regional economic integration organizations shall declare the extent of their competence with respect to the matters governed by this Protocol. These organizations shall also inform the Depositary, who shall in turn inform the Parties, of any substantial modification in the extent of their competence.
- 18 -
Article 25
1. This Protocol shall enter into force on the ninetieth day after the date on which not less than 55 Parties to the Convention, incorporating Parties included in Annex I which accounted in total for at least 55 per cent of the total carbon dioxide emissions for 1990 of the Parties included in Annex I, have deposited their instruments of ratification, acceptance, approval or accession.
2. For the purposes of this Article, “the total carbon dioxide emissions for 1990 of the Parties included in Annex I” means the amount communicated on or before the date of adoption of this Protocol by the Parties included in Annex I in their first national communications submitted in accordance with Article 12 of the Convention.
3. For each State or regional economic integration organization that ratifies, accepts or approves this Protocol or accedes thereto after the conditions set out in paragraph 1 above for entry into force have been fulfilled, this Protocol shall enter into force on the ninetieth day following the date of deposit of its instrument of ratification, acceptance, approval or accession.
4. For the purposes of this Article, any instrument deposited by a regional economic integration organization shall not be counted as additional to those deposited by States members of the organization.
Article 26
No reservations may be made to this Protocol.
Article 27
1. At any time after three years from the date on which this Protocol has entered into force for a Party, that Party may withdraw from this Protocol by giving written notification to the Depositary.
2. Any such withdrawal shall take effect upon expiry of one year from the date of receipt by the Depositary of the notification of withdrawal, or on such later date as may be specified in the notification of withdrawal.
3. Any Party that withdraws from the Convention shall be considered as also having withdrawn from this Protocol.
Article 28
The original of this Protocol, of which the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
DONE at Kyoto this eleventh day of December one thousand nine hundred and ninety-seven.
IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorized to that effect, have affixed their signatures to this Protocol on the dates indicated.
- 19 -
Annex A
Greenhouse gases
Carbon dioxide (C02) Methane (CH4) Nitrous oxide (N20) Hydrofluorocarbons (HFCs) Perfluorocarbons (PFCs) Sulphur hexafluoride (SF6)
Sectors/source categories
Energy
Fuel combustion Energy industries Manufacturing industries and construction Transport Other sectors Other Fugitive emissions from fuels Solid fuels Oil and natural gas Other
Industrial processes
Mineral products Chemical industry Metal production Other production Production of halocarbons and sulphur hexafluoride Consumption of halocarbons and sulphur hexafluoride Other
Solvent and other product use
Agriculture Enteric fermentation Manure management Rice cultivation Agricultural soils Prescribed burning of savannas Field burning of agricultural residues Other
Waste Solid waste disposal on land Wastewater handling Waste incineration Other
2012
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS DNPI DALAM
KESEKRETARIATAN TIM KOORDINASI PERUNDINGAN
PERDAGANGAN KARBON ANTARNEGARA (TKPPKA)
DIVISI MEKANISME PERDAGANGAN KARBON
DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
2
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS DNPI DALAM
KESEKRETARIATAN TIM KOORDINASI PERUNDINGAN
PERDAGANGAN KARBON ANTARNEGARA (TKPPKA)
1. Pembentukan TKPPKA
Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara atau TKPPKA yang dibentuk berdasarkan SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor No. 50/05/2012, telah melakukan kegiatannya sejak ditandatanganinya SK tim tersebut. Tim ini terbentuk antara lain sebagai imbangan terhadap proposal negara sahabat, khususnya pemerintah Jepang dan juga beberapa negara lain termasuk Australia, untuk melakukan perdagangan karbon antar negara, khususnya paska tahun 2012.
Karena luasnya cakupan peluang perdagangan karbon antar negara, tim ini kemudian dibentuk dengan susunan Ketua Tim Pengarahnya adalah Menko Perekonomian dan sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah adalah Menteri Perdagangan dengan anggota 4 orang pejabat setingkat menteri. Sedang untuk Tim Pelaksananya diketuai oleh Deputi Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional Kemenko Perekonomian dan ketua alternate Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dengan 8 (delapan) orang anggota tim setingkat eselon 1 dari berbagai kementerian terkait.
TKPPKA selama masa tugasnya, yang dimulai sejak penandatanganan SK pada tanggal 16 Mei 2012 - 31 Desember 2012, telah melakukan berbagai pertemuan dan koordinasi dengan pihak negara Jepang maupun koordinasi internal antar kementerian terkait. Sesuai dengan SK yang telah dikeluarkan, maka tugas Tim Pelaksana TKPPKA adalah sebagai berikut.
1. Melakukan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon dengan pihak negara partner yang berminat untuk melakukan kerjasama dengan Indonesia.
2. Mengambil langkah-langkah penyelesaian terhadap permasalahan dan hambatan dalam perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara.
3. Menyusun dan menyampaikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam pelaksanaan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara kepada Tim Pengarah.
4. Melaksanakan tugas terkait lainnya yang diberikan oleh Tim Pengarah.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, TKPPKA kemudian juga dibantu oleh Tim Sekertariat yang dalam hal ini ditugaskan kepada Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon di DNPI.
2. Status Perkembangan dan Perundingan Terakhir
Pemerintah Jepang telah menyelesaikan 32 (tiga puluh dua) kegiatan studi kelayakan/Feasibility Study atau FS, sejak dimulainya kegiatan pada tahun 2010 sampai dengan sekarang. Pada periode tahun 2012, masih sedang dilakukan 25 (dua puluh lima) FS, yang akan selesai pada periode Maret 2013. Sampai dengan bulan Maret 2013 nanti, Pemerintah Jepang diperhitungkan akan sudah menyelesaikan 57 (lima puluh tujuh) kegiatan FS, yang terdiri dari kegiatan di energi terbarukan (hydro, geothermal, surya, dan angin), efisiensi energi (di pembangkit listrik dan industri), REDD+, carbon captured and storage (CCS), transportasi, pertanian, dan penggantian bahan bakar.
3
Perundingan dengan Pemerintah Jepang sendiri sampai dengan saat ini sebenarnya telah dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebelum TKPPKA dibentuk dan setelah TKPPKA dibentuk. Sebelum TKPPKA dibentuk, perundingan dimotori oleh DNPI selaku pemegang mandat pengembangan pasar karbon nasional sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2008. Setelah dibentuknya TKPPKA, maka perundingan dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian dan dibantu oleh DNPI.
Selama kurun waktu 2011-2012, sudah dilakukan beberapa perundingan terkait perdagangan karbon antar negara ini, khususnya dengan Pemerintah Jepang. Perundingan dan diskusi tersebut adalah seperti di bawah ini.
Selain pertemuan-pertemuan di atas, telah dilakukan juga pertemuan antara wakil Pemerintah
Indonesia dengan wakil Pemerintah Jepang, yang masing-masing dilakukan di luar Indonesia, dengan
perincian sebagai berikut.
1. Pertemuan informal dengan Pemerintah Jepang yang diwakili oleh METI, MoE, dan MOFA
dengan pemerintah Indonesia yang diwakili personil Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon di
Sydney, pada tanggal 22 Oktober 2012. Pertemuan ini membahas masalah pertanyaan dari
Pemerintah Jepang terhadap bentuk perjanjian apa yang paling tepat sebagai landasan
operasionalisasi Joint Credit Mechanism (JCM).
2. Pertemuan bilateral antara delegasi perundingan RI (DELRI) dengan delegasi perundingan
Pemerintah Jepang tanggal 29 Nopember 2012 disela-sela COP 18 di Doha. DELRI diwakili oleh
personil dari DNPI, Kemenlu, dan Bappenas. Di dalam pertemuan ini masih dibahas tentang
bentuk perjanjian internasional yang paling sesuai sebagai landasan kerjasama kedua belah
pihak.
No Hari/Tanggal Perihal Pertemuan Peserta Hasil
1 Rabu, 9 Februari 2011Paparan dan pembahasan usulan
Bilateral Offset Mechanism JepangKementerian di Indonesia Lampiran I
2 Rabu, 27 Juli 2011
Pertemuan terkait penjelasan rencana kerjasama
bilateral
Pemerintah Jepang dalam perubahan iklim
Delegasi Jepang &
Pemerintah IndonesiaLampiran II
3 Selasa, 31 Januari 2012Diskusi tindak lanjut Bilateral Offset
Crediting Mechanism (BOCM)Kementerian di Indonesia Lampiran III
4 Senin, 20 Februari 2012Pemaparan studi kelayakan program BOCM Tahun
2011
Delegasi Jepang &
Pemerintah IndonesiaLampiran IV dan IVa
5 Selasa, 21 Februari 2012 Diskusi pembahasan framework BOCMDelegasi Jepang &
Pemerintah IndonesiaLampiran V
6 Selasa, 10 Juli 2012Pertemuan pembahasan mengenai rencana terakhir
Pemerintah Jepang Kementerian di Indonesia Lampiran VI
7 Rabu, 18 Juli 2012Pertemuan Bilateral Tim TKPPKA dan Delegasi
Pemerintah JepangKementerian di Indonesia Lampiran VII
8 Jumat, 14 September 2012Pertemuan Tim TKPPKA terkait Pembahasan Dokumen
Proposal Joint Crediting Mechanism (JCM)Kementerian di Indonesia Lampiran VIII
9 Senin, 24 September 2012 Pertemuan internal DNPI - Kemenko EkonDNPI dan Kementerian
PerekonomianLampiran IX
10 Senin, 1 Oktober 2012Pertemuan internal persiapan negosiasi
dengan Pemerintah JepangKementerian di Indonesia Lampiran X
11 Rabu, 3 Oktober 2012Pertemuan Tim TKPPKA dengan Delegasi
Pemerintah Jepang
Delegasi Jepang &
Pemerintah IndonesiaLampiran XI
Sebelum TKPPKA dibentuk
Setelah TKPPKA dibentuk
4
Pertemuan dan perundingan yang telah dilakukan tersebut, terutama membahas masalah landasan
kerjasama perdagangan karbon dan skema dasar dari operasionalisasi sistem perdagangan karbon yang
akan dibangun bersama oleh kedua negara. Saat ini, dokumen yang telah dibahas oleh kedua belah
pihak, yaitu “Low Carbon Growth Partnership between the Government of Japan and the Government
of the Republic of Indonesia” dan “Rules of implementation for The Joint Crediting Mechanism (JCM)”
telah hampir tuntas dibahas dan hanya menyisakan beberapa kalimat yang masih belum menemukan
kesepahaman (lampiran XII dan lampiran XIII).
Yang kemudian masih belum menemukan kesepahaman antara keduabelah pihak adalah masalah
bentuk dari perjanjian antara kedua negara, dimana Indonesia menghendaki adanya “internationally
binding agreement” sedang pihak Pemerintah Jepang menganggap bahwa bentuk “non binding
agreement” sudah mencukupi sebagai dasar dan landasan kerjasama.
Bagi Pemerintah Jepang, internationally binding agreement berarti harus melewati proses yang panjang
karena harus ada persetujuan dengan parlemen, sementara pada pertengahan tahun 2013 akan ada
pemilihan umum baru dan pergantian kabinet. Sementara bagi pemerintah Indonesia, bentuk
perjanjian dengan internationally binding agreement adalah suatu kelaziman untuk kerjasama seluas
perdagangan karbon antar negara yang diusulkan oleh pemerintah Jepang.
3. Langkah Selanjutnya
Di dalam pertemuan terakhir dengan Pemerintah Jepang, telah disampaikan bahwa salah satu bentuk kerjasama yang bisa dicontoh adalah kerjasama antara Indonesia dengan Norway dalam hal penyelamatan hutan dalam skema REDD+. Telah disampaikan juga kepada Pemerintah Jepang, selanjutnya Indonesia akan menunggu alternatif kesepakatan kerjasama yang akan disampaikan oleh Pemerintah Jepang.
Untuk itu, diperlukan beberapa kali pertemuan lagi dengan Pemerintah Jepang untuk mematangkan dan kemudian memutuskan bentuk kerjasama dan perjanjian yang terbaik guna implementasi Skema Perdagangan Karbon Antar Negara ini. Dengan berakhirnya masa penugasan TKPPKA pada tanggal 31 Desember 2012, sedangkan masalah yang dibahas belum diputuskan secara tuntas, maka diharapkan akan adanya perpanjangan penugasan untuk TKPPKA ini sampai dengan kesepakatan tercapai.
Jakarta, 27 Desember 2012
Sekertariat Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara
5
Lampiran I RISALAH RAPAT
DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
Hari / Tanggal / Jam : Rabu / 9 Februari 2011 / 14.00-16.00 WIB Tempat : Ruang Rapat Utama DNPI Pimpinan Rapat : Prof. Ir. Rachmat Witoelar selaku Ketua Harian DNPI dan Utusan Khusus
Presiden RI untuk Perubahan Iklim Peserta Rapat : (daftar hadir terlampir) Agenda : Paparan dan pembahasan usulan Bilateral Offset Mechanism Jepang
Pembukaan
1. Rapat dibuka dan dipimpin oleh Ketua Harian DNPI/ Utusan Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, Bpk. Prof. Ir. Rachmat Witoelar, dengan menyampaikan syukur kepada Tuhan YME dan terimakasih atas kehadiran peserta rapat.
2. Pimpinan rapat menyampaikan agenda rapat yaitu paparan dan pembahasan mengenai usulan Bilateral Offset Mechanism dari pemerintah Jepang.
3. Rapat ini diadakan dalam rangka pelaksanaan tugas DNPI sebagai focal point perubahan iklim di Indonesia, sekaligus sebagai lembaga negara yang mempunyai tugas untuk melakukan koordinasi dan pengembangan pasar karbon di Indonesia berdasar Perpres no. 46 tahun 2008.
Paparan mengenai usulan Bilateral Offset Mechanism (BOM) dari pemerintah Jepang
4. Bpk. Dicky Edwin Hindarto, sebagai Koordinator Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon DNPI, menyampaikan paparan mengenai usulan BOM dari pemerintah Jepang dengan poin-poin sebagai berikut:
a. Pemerintah Jepang melalui Kementerian Energi, Perdagangan dan Industri (METI) serta Kementerian Lingkungan (MoE) aktif mempromosikan inisiatif Jepang untuk melakukan penurunan emisi melalui mekanisme bilateral offset dengan negara berkembang, diantaranya Indonesia;
b. Untuk mengkaji kemungkinan bilateral offset dengan Indonesia di berbagai sektor, Pemerintah Jepang melalui anggaran METI dan MoE telah membiayai 9 (sembilan) kegiatan Feasibility Study di Indonesia dengan total dana lebih dari USD 2.500.000,- (daftar terlampir);
c. Pada tahun anggaran 2011, Pemerintah Jepang akan mengalokasikan dana sebesar USD 78.000.000,- untuk melakukan Feasibility Study lanjutan dalam rangka pembentukan BOM ini dengan perkiraan 30 (tiga puluh) proyek lanjutan akan dilakukan di Indonesia;
d. Mengingat baru berbentuk usulan Pemerintah Jepang yang belum ada bentuk konkritnya maka dalam pembahasan lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal terkait payung hukum BOM
6
dalam kerangka UNFCCC, kemungkinan dampaknya terhadap perundingan perubahan iklim internasional, besaran potensi pasar karbon dari mekanisme ini, dampaknya terhadap pemenuhan komitmen 26% Indonesia serta keselarasannya dengan prinsip Common but Differentiated Responsibilities;
e. Dalam hal teknis pelaksanaan Feasibility Study, perlu diperhatikan keperluan Indonesia untuk mendapatkan hasilnya secara utuh demi kesamaan informasi kedua negara dalam pengkajian lebih lanjut mekanisme ini.
5. Bpk. Tazwin Hanif, selaku Ketua Kelompok Kerja Negosiasi Internasional DNPI sekaligus wakil dari Kementrian Luar Negeri, menyampaikan paparan mengenai usulan Bilateral Offset Mechanism dari pemerintah Jepang dengan poin-poin sebagai berikut:
a. RI dan Jepang masih belum mempunyai perjanjian apa pun terkait BOM.
b. Para pemangku kebijakan perlu terlebih dahulu menetapkan elemen-elemen apa saja yang menjadi kepentingan Indonesia yang harus terakomodasi dalam wadah kerjasama BOM, sebelum memulai negosiasi perjanjian kedua negara.
c. Dokumen perjanjian yang nantinya dibuat oleh kedua negara, apapun bentuknya, seyogianya cukup sampai pada tingkat Menteri (tidak perlu pada tingkat kepala pemerintahan) dan harus sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia.
d. Sebaiknya pendekatan dalam membicarakan wadah kerjasama bilateral ini dengan pihak Jepang dilakukan atas pendekatan top-down, artinya diselesaikan dulu pembicaraan pada G-to-G, baru diturunkan ke B-to-B (jangan dibalik).
Pembahasan usulan Bilateral Offset Mechanism dari pemerintah Jepang
6. Kementerian Pertanian menyampaikan perlunya koordinasi untuk perundingan dan diskusi terkait BOM yang akan dilakukan pemerintah Jepang, dan harus ada kesepakatan G to G sebelumnya.
7. Kementerian ESDM menyampaikan bahwa
a. Usulan BOM ini mempunyai aspek teknis dan politis terkait diplomasi dan perjanjian internasional sehingga diperlukan klarifikasi aspek-aspek tersebut satu persatu.
b. Mendukung DNPI untuk melakukan koordinasi dalam isu BOM ini sehingga tidak terjadi tumpang tindih informasi dan koordinasi.
8. Kementerian Kehutanan menyampaikan bahwa:
a. Secara substansi, usulan BOM ini menarik untuk ditindaklanjuti sebagai skema alternatif untuk pelaksanaan kegiatan penurunan emisi.
b. Usulan BOM ini dapat digunakan sebagai momentum untuk secepat mungkin membangun sistem dan regulasi yang diperlukan untuk memungkinkan kegiatan-kegiatan penurunan emisi, khususnya dari sektor kehutanan.
c. Mendukung DNPI untuk menjadi koordinator dalam isu ini dan menyarankan agar melakukan koordinasi intensif dengan instansi terkait (a.l. Bappenas, Satgas REDD dan Menko Perekonomian) untuk memastikan kelayakan usulan skema semacam ini dengan prasyarat skema tersebut tidak menghalangi pembangunan dan dapat menurunkan emisi Indonesia.
7
9. Kementerian Dalam Negeri menyampaikan bahwa bila usulan BOM ini tidak melanggar norma perjanjian internasional maka dapat dikaji lebih lanjut.
10. Kementerian Koordinator Perekonomian akan melakukan koordinasi secara internal terkait isu BOM.
11. Bappenas menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Perlu klarifikasi untuk memastikan sumber anggaran Jepang akan masuk dalam skema pembiayaan yang mana, dan menghindari terjadinya pemakaian anggaran yang menjadi komitmen Jepang ke Indonesia sebelumnya seperti fast track.
b. Perlunya konsolidasi antar sektor, dan DNPI diharapkan menjadi koordinator.
c. Perlunya fairness dan transparansi pelaksanaan, mulai dari tingkat rencana pelaksanaan sampai pelaksanaan proyek, termasuk data.
d. Sangat perlu untuk dianalisis skema BOM akan mempengaruhi NAMAs Indonesia atau tidak.
12. DNPI menyampaikan klarifikasi sebagai berikut:
a. Perlu diperhatikan apa saja kemungkinan implikasi dari usulan skema BOM, baik teknis di lapangan maupun terkait posisi Indonesia di negoisasi internasional.
b. Pemerintah Jepang memilih entry point keproyekan dalam mengembangkan skema ini sehingga kerangkanya sangat bersifat teknis.
c. Diperlukan pedoman dan kriteria-kriteria yang jelas untuk menilai kelayakan skema BOM, misalnya dari aspek besaran potensi, dampaknya terhadap perundingan internasional dan pemenuhan komitmen 26%, dan lain-lain.
d. Prinsip kehati-hatian sangat disarankan dalam menyikapi usulan skema BOM terutama mengingat kaitannya yang erat dengan norma perjanjian internasional.
e. Selama menunggu pengembangan pedoman, kriteria, sistem maupun regulasi yang diperlukan, kegiatan FS yang sedang/akan berjalan dapat dilakukan selama tidak dikaitkan secara mengikat dengan skema apapun yang sifatnya belum baku.
f. Untuk konsultasi lebih lanjut, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia dapat dilibatkan sebagai gerbang utama untuk meminimalisir kesimpangsiuran informasi.
Kesimpulan rapat
13. Skema BOM ini belum mempunyai payung kesepakatan bilateral Indonesia-Jepang bahkan Pemerintah Jepang sendiri belum mempunyai rumusan bentuk dan mekanismenya secara konkrit dan detil, untuk itu prinsip kehati-hatian harus diterapkan agar Indonesia mendapat manfaat optimal tanpa merugikan kepentingan nasional.
14. Sektor diharapkan tidak melakukan ikatan apapun dengan pihak Jepang terkait skema BOM.
15. Terkait dengan FS yang sedang, sudah, dan akan dilaksanakan, sektor diharapkan tidak mengikatkan diri dengan perjanjian secara resmi dalam bentuk apa pun dengan pemerintah Jepang.
16. FS yang akan berjalan diharapkan atas persetujuan sektor masing-masing berdasar usulan Jepang, dan apabila dilakukan maka harus dapat memberi manfaat yang optimal bagi Indonesia.
8
17. DNPI akan melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk mengkonsultasikan lebih lanjut usulan BOM Pemerintah Jepang.
18. Pembicaraan dan diskusi lebih lanjut dengan pihak Jepang selanjutnya akan dilakukan oleh DNPI selaku focal point perubahan iklim dan Kementrian Luar Negeri di pihak Indonesia, sedang dari pihak Jepang diharapkan diwakili oleh Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Penutup
19. Rapat ditutup oleh Bpk. Dicky Edwin Hindarto dengan menyampaikan syukur kepada Tuhan YME dan terimakasih atas kehadiran dan sumbang saran peserta rapat.
9
Feasibility Studies in Indonesia Approx. 200,000,000 Yen
No Project Name Organization
Name Field Outline
Amount of fund
provided for FS
1 Introduction of
Supercritical Coal Power
Plant
The Institute
of Energy
Economics,
Japan (IEEJ)
Coal Power
Plant
General research on the possibility to
introduce highly efficient coal power plants,
possible CO2 emissions reductions,
institutional challenges, and costs for project
implementation.
25,000,000 Yen
2 New Construction and
Rehabilitation of
Geothermal Power Plant
Mitsubishi
Co.
Renewable
Energy
Study on potential demand for new
construction of geothermal power plants and
possible CO2 emissions reductions, as well as
analysis on case studies for rehabilitation of
existing geothermal power plants.
30,000,000 Yen
3 Energy Consumption
Optimization at Facilities
using IT
Yamatake
Co.
Energy
Efficiency (EE)
of Facilities
Apply “operation optimization system for
utilities” at a refinery of Pertamina, and
identify MRV (Measurable, Reportable and
Verifiable) methodology.
25,000,000 Yen
4 REDD (Reduced
Emissions from
Deforestation and forest
Degradation) +
Marubeni
Co.
Forestry (Rimba
Makmur Utama
(Kaltim) and
Restorasi
Gambut Lestari
(Riau))
Choose at most three locations and conduct
analysis on current status (policies and
potentials), develop program and scheme for
REDD+ projects, conduct economic analysis
and consider MRV methodologies.
45,000,000 Yen
5 Carbon Capture and
Storage
Arabian Oil
Company,
Ltd.
CCS
(Pertamina)
Study feasibility of introducing a CCS/EOR
system, design possible ground installations,
and identify MRV methodology.
37,741,000 Yen
6 Energy Efficiency
Improvement in the Use
of Low Grade Coal
Sojitz Co. Coal Power
Plant
Examine feasibility of introducing “steam tube
dryer (equipment to dry low-grade coal fuel)”
to coal power plants in Indonesia, and
evaluate its contribution to emissions
reduction using a simulation model.
10,000,000 Yen
7 Heat Recovery and Waste
Gasification in Cement
Plant
Kawasaki
Plant
Systems,
Ltd.
Cement
(Indocement)
Examine feasibility to introduce heat recovery
and waste gasification systems to existing
cement plants.
5,233,000 Yen
8 N2O reduction from
Agricultural Sector using
Coating Fertilizer
JCAM Agri
Co. Ltd.
Chemical (Astra
Agro)
Study emissions reduction potential from the
agricultural sector by using coating fertilizer,
and identify MRV methodology.
25,000.000 Yen
9. From MoE budget, study on peatland management by Shimizu Corp.
10
Daftar Hadir
No Nama Instansi Telepon Email
1 Rachmat Witoelar DNPI 021-3511400 [email protected]
2 Bambang Sumarsono MIGAS
3 Emilia Harahap Kementan 62811922322 [email protected]
4 Cipti PT Indonesia Power 62816968692 [email protected]
5 Harris DJEBTKE 6281584159606 [email protected]
6 E. Siagian Bangda Kemdagri 021-7942637 [email protected]
7 Gita Lestari DJEBTKE ESDM
8 Trois Dilisusendi DJK ESDM
9 Anggraeni DJEBTKE
10 Roby Kurniawan DJEEBTKI
11 Mekkadinah PT Indonesia Power 6281315326174 [email protected]
12 Farhan Helmy DNPI 62817813314 [email protected]
13 Kusnandar MIGAS 6281398400446 [email protected]
14 S. Lubis MINERBA 628129263458 [email protected]
15 Yurika AP Kementan 62817146330 [email protected]
16 Doddy Sukadri DNPI 021-3511400 [email protected]
17 Martha Relitha EBTKE
18 Rizky EBTKE
19 Yuana RA Menko Ekon 628121070690 [email protected]
20 Kamia Handayani PLN 021-7251234 (ext 1397) [email protected]
21 Agus Justianto Kemenhut
22 Ilham Ditjen Ketenagalistrikan KESDM 6281586670700 [email protected]
23 Luluk Sumiarso DJEBTKE 628161917770 [email protected]
24 Citara Nayla Bappenas 021-3900412 [email protected]
25 Ismid Hadad DNPI 021-3511400 [email protected]
26 Amanda Katili Niode DNPI 021-3511400 [email protected]
27 Dicky Edwin Hindarto DNPI 021-3511400 [email protected]
28 Tazwin Hanif Kementerian Luar Negeri
29 Suzanty Sitorus DNPI 021-3511400 [email protected]
30 Eka Melisa DNPI 021-3511400 [email protected]
31 Armi Susandi DNPI
32 Murni Titi Panjaitan DNPI
33 Agus Supangat DNPI
34 Widiatmini DNPI
35 Andi Samyanugraha DNPI 021-3511400 [email protected]
36 Ardiyanto Aryoseno DNPI 021-3511400 [email protected]
37 Debi Nathalia DNPI 021-3511400 [email protected]
11
Lampiran II
RISALAH RAPAT
KERJASAMA INDONESIA – JEPANG BIDANG PERUBAHAN IKLIM
(USULAN MENGENAI BILATERAL OFFSET CREDITING MECHANISM)
Hari/Tanggal/Jam : Rabu/27 Juli 2011/10.00-12.30 WIB
Tempat : Ruang Rapat Utama DNPI
Pimpinan Rapat : Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian DNPI)
Peserta Rapat : (daftar hadir terlampir)
Agenda : 1. Paparan mengenai usulan mekanisme Bilateral Offset Crediting oleh MoFA-J
2. Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh METI-J, MoE-J, dan MAFF-J di Indonesia
3. Diskusi
Pembukaan
20. Rapat dibuka oleh Ketua Harian DNPI, Bpk. Prof. Ir. Rachmat Witoelar, dengan menyampaikan
syukur kepada Tuhan YME dan terimakasih atas kehadiran peserta rapat.
21. Selanjutnya delegasi Jepang dan peserta rapat saling memperkenalkan diri dengan menyebut nama
dan instansi asalnya masing-masing.
Paparan mengenai usulan mekanisme Bilateral Offset Crediting oleh MoFA-J
22. Mr. Takehiro Kano, Direktur Divisi Perubahan Iklim, Kementerian Luar Negeri Jepang (MoFA-J)
menyampaikan presentasi mengenai Bilateral Offset Crediting Mechanism (BOCM) yang bertujuan
untuk menyampaikan gambaran yang komprehensif mengenai usulan kerjasama BOCM tersebut
mencakup konsep kerangka kerja dan sektor kerjasama. Mr. Kano mengharapkan dalam
pertemuan ini dapat dilakukan tukar pandangan dan disetujui jadwal diskusi lebih lanjut.
23. Mr. Kano menyampaikan bahwa BOCM tidak dimaksudkan untuk menafikan mekanisme UNFCCC,
misalnya Clean Development Mechanism (CDM), namun akan saling melengkapi. Jepang
berkomitmen untuk terus terlibat dalam negosiasi perubahan iklim internasional dan berpendapat
bahwa mekanisme Protokol Kyoto akan tetap berlanjut pasca 2012 walaupun tanpa periode
komitmen kedua. Jepang juga akan merintis berbagai kerjasama perubahan iklim dalam skala
global, regional maupun bilateral.
24. BOCM direncanakan lebih fleksibel, mudah dan dapat mengakomodir kebutuhan khusus tiap
negara, yang mana saat ini tidak dapat dilakukan oleh mekanisme CDM. BOCM juga harus dapat
12
dipertanggungjawabkan kepada dunia internasional dan diakui sebagai salah satu mekanisme pasar
baru dalam forum PBB/UNFCCC.
25. Menanggapi paparan Mr. Kano, Bpk. Rachmat Witoelar menyatakan menyambut baik dan
berterimakasih atas paparan yang jelas mengenai BOCM dan niat Jepang untuk melakukan
kerjasama BOCM dengan Indonesia yang dapat membantu menyikapi perubahan iklim secara
khusus di Indonesia.
26. Selanjutnya Mr. Kano menegaskan bahwa BOCM akan lebih sederhana dibanding CDM. Suatu
komite bersama kedua negara akan bertanggungjawab untuk mengelola mekanisme agar
akuntabel dan mudah dimengerti oleh dunia internasional. Pemerintah masing-masing negara juga
berwenang untuk melakukan sertifikasi dan menerbitkan karbon kredit dalam skema BOCM ini.
Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh METI-J di Indonesia
27. Mr. Keisuke Murakami, Direktur Urusan Lingkungan Global, Kementerian Ekonomi Perdagangan
dan Industri Jepang (METI-J), menyampaikan paparan mengenai BOCM dari sudut pandang industri
dan alih teknologi. Mr. Murakami menyampaikan bahwa CDM sulit dilakukan karena harus
memenuhi persyaratan additionality dan menentukan baseline. Untuk beberapa sektor, terutama
yang memerlukan investasi besar, menghitung additionality secara finansial sulit dilakukan karena
porsi kredit karbon terhadap investasi relatif kecil. Demikian juga untuk menentukan baseline, di
beberapa sektor sulit dilakukan secara akurat.
28. Selanjutnya Mr. Murakami menyampaikan bahwa METI-J telah melakukan Feasibility Study (FS)
untuk BOCM di beberapa sektor di Indonesia, misalnya pemakaian teknologi IT untuk optimasi
operasi kilang, teknologi efisiensi pembangkit berbahan bakar batubara kalori rendah, dan lain-lain.
Selanjutnya METI-J bermaksud untuk mengusulkan dan berdiskusi lebih lanjut dengan pemangku
kepentingan terkait mengenai kerangka kerja dan sistem MRV (measure, report, verify).
Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh MoE-J di Indonesia
29. Mr. Yuji Mizuno, Senior Planning Officer Kementerian Lingkungan Hidup Jepang (MoE-J),
menyampaikan bahwa MoE telah melakukan satu FS di bidang kehutanan pada tahun 2010 dan
berencana melakukan 5 FS lagi di tahun anggaran 2011. Selain itu, MoE-J juga melakukan kegiatan
peningkatan kapasitas contohnya workshop mengenai skema perdagangan emisi Jepang yang
diadakan IGES beberapa waktu lalu di Jakarta.
30. MoE-J juga akan memberikan dukungan untuk pengembangan registry di Indonesia sebagaimana
yang sedang dikembangkan Jepang saat ini.
Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh MAFF-J di Indonesia
13
31. Mr. Satoshi Akahori, Direktur Strategi Penyimpanan Karbon Hutan, Kementerian Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan Jepang (MAFF-J), menyampaikan pandangan Pemerintah Jepang di
sektor kehutanan sebagai penyimpan gas rumah kaca dan inisiatif serta kegiatan Pemerintah
Jepang dalam mendukung pengembangan REDD+ di Indonesia. Kegiatan-kegiatan ini akan
diimplementasikan mulai tahun anggaran 2011.
Diskusi
32. Dalam sesi diskusi, peserta rapat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan, saran maupun
pertanyaan terhadap paparan Delegasi Jepang.
33. Ibu Suzanty Sitorus dan Bpk. Dicky Edwin Hindarto dari DNPI menyampaikan pertanyaan dan
tanggapan sebagai berikut:
Bagaimanakah jadwal (timeline) dari usulan kerjasama BOCM ini?
Terkait kerangka kerja kelembagaan, apakah usulan BOCM memungkinkan penggunaan
lembaga/infrastruktur yang sudah, misalnya Designated National Authority CDM/Komisi
Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih.
Bila diperlukan menggunakan verifikator pihak ketiga, siapa yang menanggung biayanya?
Dalam tindak lanjut ini, sangat penting adanya distribusi informasi yang sama untuk kedua belah
pihak dan mengingat DNPI, berdasarkan Perpres 46 tahun 2008, mempunyai tugas pokok dan
fungsi terkait pengembangan mekanisme pasar karbon di Indonesia maka diharapkan
perkembangan usulan ini selalu dikoordinasikan dengan DNPI.
34. Mr. Kano menanggapi bahwa pihak Jepang mengharapkan kesepakatan bilateral sudah dapat
tercapai dan efektif pada Januari 2013 namun diharapkan sudah ada beberapa perkembangan yang
dapat disampaikan di East Asia Summit dan COP 17 mendatang. Selain itu akan terus dilakukan
konsultasi untuk mengembangkan panduan pengembangan, maupun detil lain yang dianggap
perlu. Terkait biaya verifikasi dan penggunaan struktur CDM yang telah ada, hal itu dapat
dibicarakan lebih lanjut.
35. Bpk. Dr. Doddy Sukadri dan Ibu Widiatmini dari DNPI menyampaikan pertanyaan sebagai berikut:
Ada 3 area kerjasama yang potensial di sektor kehutanan yakni HTI REDD, Agriculture REDD dan
Hutan Masyarakat, khususnya di Jawa. Apakah area tersebut akan dipertimbangkan dalam
usulan BOCM?
Bagaimanakah rencana alih teknologi dalam usulan BOCM? Sebagai contoh, apakah telah
dipertimbangkan kadar komponen dalam negeri dalam skema ini?
36. Delegasi Jepang menanggapi bahwa detil-detil semacam itu masih terbuka karena masih dalam
proses konsultasi antar pemangku kepentingan dalam negeri Jepang sendiri. Masukan-masukan
yang didapat dalam rapat ini akan diintegrasikan dalam perumusan BOCM lebih lanjut, antara lain
14
mengenai alih teknologi. Namun Delegasi Jepang lebih lanjut menyatakan bahwa dalam rapat ini
diharapkan dapat disetujui proposal ini dan proses tindak lanjutnya.
37. Bpk. Rachmat Witoelar menyampaikan bahwa walaupun DNPI mempunyai tugas pokok dan fungsi
yang sesuai untuk menyikapi isu-isu semacam ini, pihak Jepang dipersilahkan untuk berkomunikasi
dengan kementerian/lembaga lain tentang usulan BOCM karena pada akhirnya Presiden, yang juga
Ketua DNPI, yang akan mengambil keputusan mengenai usulan kerjasama ini. Bpk. Rachmat
Witoelar selanjutnya menyatakan bahwa melanjutkan diskusi adalah sangat penting karena usulan
BOCM saat ini masih sangat bersifat permulaan dan Indonesia perlu untuk mengetahui detilnya
sehingga usulan kerjasama ini dapat disosialisasikan dan dicerna oleh pemangku kepentingan.
Dalam kerangka itulah, pertanyaan dan tanggapan peserta rapat dilontarkan.
38. Bpk. Rachmat Witoelar menyampaikan bahwa Liason Officer yang ditunjuk dari Dewan Nasional
Perubahan Iklim untuk berkomunikasi dan berdiskusi lebih lanjut dengan pihak Jepang mengenai
perkembangan usulan BOCM adalah Bpk. Dicky Hindarto dan Ibu Suzanty Sitorus.
39. Bpk. Farhan Helmy (DNPI), Bpk. Ridwan Budi (Ditjen Kelistrikan-ESDM), Ibu Gita Lestari (Ditjen
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi-ESDM) menyampaikan pertanyaan dan saran
sebagai berikut:
Apakah ada peningkatan kapasitas di bidang MRV dalam kerangka usulan BOCM ini?
Bagaimana hubungan registry dalam BOCM dengan registry dalam Protokol Kyoto?
Apakah ada proyek pembangunan infrastruktur kelistrikan dalam usulan BOCM ini?
Sebaiknya BOCM ini berfokus ke beberapa area saja tidak luas seperti area FS saat ini.
40. Delegasi Jepang menanggapi bahwa peningkatan kapasitas bidang MRV telah dilakukan melalui
kegiatan FS dan kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan MoE-J bekerjasama dengan IGES.
Mengenai registry dalam BOCM adalah crediting registry sehingga tidak akan menimbulkan
kebingungan dengan registry dalam Protokol Kyoto yang lebih mirip registry NAMAs. Saat ini
Jepang memang masih mencari potensi proyek infrastruktur kelistrikan yang berpotensi diikutkan
skema BOCM dan secara umum dalam BOCM ini Jepang berfokus kepada energi terbarukan dan
efisiensi energi.
Penutup
41. Dengan dipersilahkan oleh Pimpinan Rapat, Bpk. Rachmat Witoelar, Delegasi Jepang
menyampaikan kata penutup dengan poin-poin sebagai berikut:
Kontak poin dengan Indonesia dalam tindak lanjut usulan BOCM ini adalah Kedutaan Besar
Jepang di Indonesia;
Kementerian Luar Negeri Jepang (MoFA-J) bertanggungjawab atas keseluruhan dialog terkait
usulan ini;
15
Kementerian Jepang yang terkait akan berkomunikasi langsung dengan Kementerian Indonesia
yang terkait untuk merumuskan detil teknis usulan ini;
MoFA-J akan menuliskan dan mendistribusikan risalah rapat ini sebagai point of discussions.
42. Rapat ditutup oleh Bpk. Rachmat Witoelar dengan menyampaikan syukur kepada Tuhan YME dan
terimakasih atas kehadiran dan sumbang saran peserta rapat.
Daftar Hadir
No Name
Institution
1. Rachmat Witoelar Executive Chair of National Council on Climate Change / President's Special Envoy for Climate Change
2. Agus Purnomo Head of Secretariat National Council on Climate Change / Special Assisstant to the President on Climate Change Issues
3. Daishu Hara Chief representative of NEDO Jakarta Office
4. Toru Maeda Minister for Economic Affairs and Development, Embassy of Japan in Indonesia
5. Yusuke Hibino Secretary for Forestry, Fishery and Nature Conservation, Embassy of Japan in Indonesia
6. Toshiaki Nagata Deputy Director, Kyoto Mechanism Office, Industrial Technology and Environment Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry
7. Takehiro Kano Director Climate Change Divison, International Cooperation Bureau, Ministry of Foreign Affairs
8. Yasuharu Ueda Director Office of Market Mechanisms, Climate Change Policy Division, Global Environment Bureau, Ministry of the Environment
9. Satoshi Akahori Director Forest Carbon Sink Strategy Office, Forest Agency, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries
10. Yuji Mizuno Senior Planning Officer, Office of Market Mechnisms, Climate Change Policy Division, Global Environment Bureau, Ministry of the Environment
11. Ryutaro Nishimori Researcher, Climate Change Division, International Cooperation Bureau, Ministry of Foreign Affairs
12. Yoshihiro Mizutani Director, Project Division, Global Environment Centre Foundation
13. Koki Okawa Deputy Director, International Forestry Cooperation Office, Forestry Agency, Ministry of Agriculturre, Forestry and Fisheries
14. Keisuke Murakami Director Global Environmental Affairs Office, Industrial Technology and Environment Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry
16
15. Kazushige Nobutani Global Environmental Affairs Office, Industrial Technology and Environment Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry
16. Dicky Edwin Hindarto Coordinator of Carbon Trading Mechanism Divison, National Council on Climate Change of Indonesia
17. Murni Titi Resdiana Coordinator of General Administration and Finance Division, National Council on Climate Change of Indonesia
18. Doddy Sukadri Chair on LULUCF Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
19. Farhan Helmy Secretary on Mitigation Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
20. Suzanty Sitorus Secretary on Finance Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
21. Widiatmini Sih Winanti Secretary on Transfer Technology Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
22. Eka Melisa Member of Mitigation Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
23. Andi Samyanugraha Senior staff on Carbon Trading Mechanism Divison, National Council on Climate Change of Indonesia
24. Ardiyanto Aryoseno Staff on Carbon Trading Mechanism Divison, National Council on Climate Change of Indonesia
25. Debi Nathalia Staff on Carbon Trading Mechanism Divison, National Council on Climate Change of Indonesia
26. M. Akbar Ministry of Foreign Affairs
27. Gita Lestari Ministry Energy and Minerakl Resources
28. Ridwan Budi Santoso Ministry Energy and Minerakl Resources
29. Anom B. Laksono Member of Mitigation Working Group National Council on Climate Change of Indonesia
17
Lampiran III Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Crediting Mechanism (BOCM)
Dewan Nasional Perubahan Iklim
31 Januari 2012
A. LATAR BELAKANG
Pemerintah Jepang menawarkan kerjasama dalam bentuk bilateral dengan beberapa negara berkembang lain
untuk melakukan suatu perdagangan karbon model baru, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang telah
mendeklarasikan target penurunan emisi sebesar 25% berdaasr dari tahun 2020. Biaya pengurangan emisi di
Jepang saat ini sangat tinggi, karena terutama terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat efisiensi yang
sangat tinggi sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir seperti biaya untuk mengembangkan
teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan biaya pengurangan emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton
CO2 dan untuk sektor energi berkisar 40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon
domestik di Jepang. Ketidakpastian pasar karbon paska 2012 menyebabkan Jepang juga mempunyai kesempatan
untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh komitmennya yang kuat untuk pengurangan emisi secara
nasional.
Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk melakukan investasi, baik investasi
modal maupun investasi teknologi. Dalam hal ini BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM
bahkan akan menggabungkan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan investasi,
menggairahkan sektor swasta Jepang, mengurangi beban pengurangan emisi secara domestik, dan lebih jauh
mengamankan posisi Jepang sebagai investor untuk negara berkembang.
Kondisi-kondisi di atas yang menyebabkan Jepang membuat proposal BOCM dan menyampaikannya ke
Indonesia dan beberapa negara berkembang yang lain. BOCM ini juga bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan
swasta terbesar Jepang untuk melakukan feasibility study (FS), seperti Mitshubishi, Kanematsu, Shimitzu, Tokyo
Gas, Arab Oil Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain Indonesia, negara lain yang menjadi
objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia, Thailand, Maldives, South Africa, Mexico, Thailand, Kenya, Cambodia,
Bangladesh, Turkey, Poland, Russia, dan beberapa negara lain (total 18 negara). Pada tahun 2010, Jepang telah
melakukan 50 FS di 18 negara, dengan 9 di antaranya ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi
target utama dari kegiatan ini dengan total jumlah FS yang dilakukan sebanyak 23 proyek.
Kegiatan FS yang akan dilaksanakan oleh Jepang akan dipresentasikan ke Pemerintah Indonesia pada tanggal
20 Januari 2012, sehingga dibutuhkan tim negosiator dan tim teknis terkait pemaparan dari pihak Jepang. Pada
pertemuan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi mengenai kegiatan BOCM serta membentuk tim negosiator
untuk persiapan pemaparan oleh pihak Jepang.
18
B. DISKUSI
Tanya-jawab Sesi 1:
Doddy Sukadri, DNPI
Rambu-rambu dalam BOCM harus sesuai UNFCCC. Bagaimana akunting BOCM dalam hal ini?
Untuk sektor kehutanan, perlu ada kriteria untuk BOCM dalam REDD, supporting NAMAs, dll.
Agar diusahakan bahwa area hutan konservasi dapat masuk dalam BOCM.
Harya, PPPI-BKF
Perlu dipertimbangkan aspek kerjasama internasional, ekonomi makro dan pengurangan emisi.
Hasil FS BOCM apa bisa divalidasi? Sebaiknya dikomparasi dengan hasil penelitian pihak lain.
Posisi tawar Indonesia dan payung hukum BOCM perlu dikembangkan.
Di Jepang, siapa yang menjadi leading unit?
Suzanty, DNPI
Perlu dirumuskan strategi menghadapi BOCM, diskusi teknis dan penelaahan aspek bisnisnya.
Gunardi, KLH
Acuan BOCM adalah UNFCCC karena itu tujuan konvensi, selain penurunan emisi, perlu diakomodir juga
dalam skema ini.
Apakah additional fresh fund digunakan dalam BOCM?
Usulan tim untuk menanggapi BOCM agar diminta dari pimpinan puncak saja.
Negara yang berinvestasi harus memiliki National Trust Fund sehingga dana tersebut dapat diketahui
sumbernya secara jelas.
Penurunan emisi yang dilakukan dapat dihitung secara measurerable, accountable dan transparent.
Ina, Kemhub
Berdasarkan dokumen RAN-GRK yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia, didalamnya terdapat Sistem
MRT, apakah hal ini dpaat terjadi jika sistem MRT berada di RAN-GRK dan BOCM?
Harya, BKF
Agar diperiksa jumlah penurunan emisi di RAN-GRK dibandingkan dengan dalam BOCM.
Negosiator investasi luar negeri agar memahami manfaat sampingan proyek berupa kredit karbon.
Yuana, Kementerian Perekonomian
DNPI agar mengadakan audisi dengan Menkoperek terkait BOCM dan kedudukan Kementerian
Perekonomian dalam kegiatan ini.
19
Tanya-jawab Sesi 2
Harya, PPPI-BKF
Di Kementerian Keuangan, unit terkait BOCM adalah Pusat Kerjasama Regional dan Bilateral dan Pusat
Pembiayaan Perubahan Iklim, sehingga selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan unit ini.
Puji Lestari, Kemlu
Fungsi Kementerian Luar Negeri adalah dalam negosiasi dan kesepakatan antar pemerintah, bukan dalam
substansinya.
Unit yang terkait adalah Direktorat Asia Timur dan Pasifik; Direktorat Perekonomian dan Lingkungan
Hidup serta Direktorat Perjanjian Internasional.
Melibatkan Bappenas dalam rencana kegiatan ini.
Kementerian Kehutanan
Sebaiknya acara presentasi FS BOCM tanggal 20 Februari 2012 dibuat dalam sesi paralel saja.
Proyek kehutanan dalam FS tadinya sudah diketahui sebagai loan, kenapa dimasukkan disini sebagai
BOCM? Bila proyek-proyek ini dijadikan semacam credited NAMAs, Kemhut akan keberatan.
Hasil FS BOCM agar disebarluaskan sebelum acara tanggal 20 Februari 2012.
PPI-BKF
DNPI sebaiknya membuat position paper tentang BOCM serta membuat joint statement yang menjelaskan
tentang posisi Indonesia dalam kegiatan ini.
Puji Lestari, Kementerian Luar Negeri
Langkah menanggapi BOCM antara lain dengan membentuk Joint Consultative Committee untuk
merumuskan program kerja berdasarkan MoU.
Muhamad Farid, DNPI
Terkait pertemuan yang akan diadakan pada tanggal 20 Februari 2012, sebaiknya dibuatkan abstrak dari
masing-masing FS, sehingga masing-masing anggota tim dapat mempelajarinya sebelum pemaparan dari
pihak pemapar.
Farhan Helmy, DNPI
Untuk masing-masing isu sebaiknya melibatkan sektor Kementerian/lembaga terkait, karena dalam FS ini
terdapat MRV yang berbeda-beda satu sama lain.
Suzanty, DNPI
Perlu dibuatkan beberapa pertanyaan kunci yang akan ditanyakan pada setiap pemaparan FS.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pertemuan hari ini, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai tindak lanjut dari kegiatan yang akan
dilaksanakan. Beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dibutuhkan masukan dari Kementerian/Lembaga terkait;
Pada pertemuan tanggal 20 Februari 2012 (paparan FS) akan dilaksanakan dalam bentuk parallel yang terdiri
dari 2 (dua) sesi.
20
Perlu dilaksanakan pertemuan tindak lanjut sebelum tanggal 20 Februari 2012, terkait pembentukan Tim
Teknis.
Merancang pertanyaan kunci yang akan ditanyakan pada saat pemaparan masing-masing FS.
21
Lampiran IV
Presentasi Studi Kelayakan dalam Skema Bilateral Offset Crediting
Mechanism (BOCM) Jepang
Jakarta, 20 Februari 2012
Struktur Penulisan Laporan:
1. Rangkuman Studi Kelayakan/FS 2. Asesmen 3. Kesimpulan/Rekomendasi
Sumber Data:
1. Laporan FS tiap proyek 2. Presentasi FS dalam workshop tanggal 20 Februari 2012 3. Tanggapan peserta dalam workshop
Untuk setiap Studi Kelayakan/FS dilakukan rangkuman mengenai:
1. Latar belakang/dasar pemikiran 2. Deskripsi proyek 3. Pemangku kepentingan inti (counterpart) yang diidentifikasi 4. Tingkat keterlibatan counterpart dalam pelaksanaan FS 5. Hasil FS yang meliputi:
a. Deskripsi dan pemilihan teknologi (supplier, status pengembangan teknologi, studi kasus penerapan teknologi sejenis, dll)
b. Metodologi penentuan baseline, perhitungan emisi proyek dan monitoring (pengembang metodologi, tingkat pengakuan terhadap keabsahan metodologi, dll)
c. Potensi pengurangan emisi d. Skema pendanaan proyek yang diusulkan disamping penjualan kredit BOCM
6. Isu-isu yang diangkat oleh peserta workshop dan tanggapan pemapar
Asesmen dan Kesimpulan/Rekomendasi
1. Asesmen dibuat secara naratif dan kualitatif atas item-item yang dirangkum. Asesmen kemudian dituangkan dalam bentuk matriks seperti format terlampir.
2. Kesimpulan atas temuan-temuan dalam asesmen, isu-isu yang diangkat oleh peserta rapat dan rekomendasi untuk langkah ke depan ditulis dalam bentuk narasi.
22
Matriks Asesmen FS BOCM
N
o
Nama
Proyek FS
Counte
rpart
Potens
i
Penuru
nan
Emisi
per
Tahun
Tingkat
Keterlibata
n
Counterpa
rt
Kematang
an
Teknologi
Tingkat
Keabsahan
Metodolog
i
Skema
Pendanaan
yang
diusulkan
Keterangan
(kapasitas/l
uas
lahan/dll)
1
.
Highly
Efficient
Distribution
Transforme
r (Hitachi
Metals)
PT PLN
21,000
Each
year
increas
es
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
Skema bisnis
masih belum
jelas. Tanpa
investasi
pihak PLN
nampaknya
tidak akan
bias
menerima
begitu saja
2
.
Updating
Plant
Operating
Systems
through
Packaged
Software
(Yokogawa
Co.)
PERTA
MINA
141.00
0
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
3
.
Applying
Coordinate
d Control
Technologi
es in Utility
Providing
Facilitates
through
Packaged
Soft Ware
(Yamatake
Co.)
Pulp,
paper,
textile
compa
ny
300.00
0
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
4
Low Rank
Coal
Power/Syst
em Tuber
Drying
System
(Tsukishima
Pemba
ngkit
Listrik
67.000 Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
23
Kikai Sojitz
Co.)
5
High
Moisture
Fuel Waste
Heat Drying
Project in
Cement
Plants (Ube
Industries)
Pabrik
semen 28.800
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
6
Newly-
constructe
d
Geotherma
l Power
Generation
Project
(Marubeni
Coorporati
on, MRI)
1.130.
000
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang investasi
Proyek
sedang
dalam
pelaksanaa
n
7
Newly-
constructe
d
Geotherma
l Power
Generation
Project
(Sumitomo
Co)
PT PLN,
IPP
PLTP
45.000
.000
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
Terdapat
kesalahan
estimasi
bahwa di
Kalimantan
ada potensi
PLTP. Hasil
perhitungan
pengurangan
CO2 menjadi
tidak tepat
8
Hydro
Power
Plant
Renovation
(Recycle
One &
Toshiba Co)
PT PLN 113.76
7
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
Hanya
cocok untuk
PLTA skala
besar.
9
Small
Hydro
Power
Project
with
Japanese
Technology
PT PLN,
IPP
Hydro
Power
33.000 Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
Skema
pendanaan
sangat
menarik
untuk
PLTMH
skala 10
24
(Industrial
Decisions)
MW ke
bawah
1
0
Disseminati
on of High
Efficiency
Solar Cells
in Un-
Electrified
Areas ( E&E
Solutions)
- Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Tidak jelas
Teknologi
sudah
cukup,
hanya
seperti
yang
sudah2,
after
service
sangat
dibutuhkan
1
1
Substitute
Natural Gas
(SNG)
Project
(MHI)
ESDM 6.000.
000
Baik/Cukup/
Kurang Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Investasi
Dalam
tahap pilot
project
1
2
CCS (EOR)
Project
(Arabian Oil
Company,
Marubeni
Co, & MRI)
Pertami
na
12.000
.000
Baik/Cukup/
Kurang Baik/Cukup/
Kurang
Baik/Cukup/
Kurang Investasi
Belum ada
skala
komersial
25
Lampiran IVa
BOCM Consultative Meeting
Jakarta, 20 Februari 2012
Writer 1: Andi Samyanugraha
Beberapa poin yang dapat disimpulkan sampai saat ini dari 11 presentasi di Room 1:
1. Dari sisi metodologi, belum ada konsistensi mengenai standar/criteria mana yang akan
menjadi acuan. Beberapa proyek menggunakan campuran CDM dan VCS, ada yang
menggunakan metodologi dari asosiasi industry, ada yang mengembangkan sendiri. Dari
metodologi penentuan baseline dan monitoring pun demikian, kecuali ada satu proyek yang
ingin mengacu pada ISO 14064 dan 14065.
2. Dari sisi batasan (boundary) proyek pun belum ada criteria yang jelas. Sebagian besar proyek
mungkin tidak punya isu ini namun ada proyek yang mengembangkan REDD+ di hutan darat
dan hutan bakau sekaligus. Apakah pendekatan semacam ini dapat diterima atau tidak,
perlu diklarifikasi lebih lanjut dengan pakar terkait. Selain itu beberapa proyek REDD+
merencanakan kegiatannya dalam kawasan hutan lindung, ini pun perlu diklarifikasi apakah
tidak melanggar peraturan yang berlaku. Contoh lain adalah proyek peat land di Jambi yang
menghubungkan langsung peatland manajemen dengan produktifitas lahan persawahan dan
meningkatnya produksi listrik dari biomass sekam padi. Karena proyek tsb tidak punya
control langsung pada pertanian padi dan pembangkitan listrik dari biomass sekam padi, hal
ini layak untuk dipertanyakan.
3. Dari sisi teknologi yang diusulkan, umumnya bukan teknologi yang sudah dikenal umum.
Teknologi tersebut masih dalam tahap awal difusi. Tanpa bermaksud pesimistis, mengadopsi
teknologi dalam tahap awal pengembangannya menambah resiko bagi pengguna dan
langkah-langkah untuk memitigasi resiko tersebut perlu dielaborasi sejak dini.
4. Dari sisi pendanaan, tidak dijelaskan dengan gamblang skema pendanaan untuk underlying
project. Bagi proyek-proyek kehutanan yang dikembangkan MoE Japan nampaknya kredit
karbon adalah sumber pendapatan utama namun untuk proyek-proyek yang lain tampaknya
adalah penjualan teknologi.
5. Dari sisi komunikasi dengan pemangku kepentingan, masih banyak ketidaksampaian
informasi. Pemangku kepentingan di pusat umumnya lebih well informed tapi yang di
daerah, khususnya di level implementor kurang mendapat informasi. Sebaiknya ada
mekanisme atau wahana sehingga informasi pelaksanaan FS dan diskusi BOCM dapat sampai
dengan cepat dan tepat pada seluruh pemangku kepentingan.
6. Dari sisi bisnis makro, ada indikasi bahwa kredit BOCM akan menjadi subsidi dari Pemerintah
Jepang bagi pengusahanya yang ingin berbisnis di Indonesia. Perlu diantisipasi hal-hal
sebagai berikut:
26
a. Kredit BOCM akan mengakibatkan distorsi harga barang dan jasa yang dibawa
bersama proyek BOCM. Besarnya distorsi harga akan ditentukan oleh berapakah
harga kredit karbon BOCM sehingga saat ini masih sulit untuk menentukan seberapa
signifikan distorsi yang diberikan.
b. Penurunan harga teknologi akibat kredit BOCM yang ‘ditempelkan’ dapat membuat
calon pengguna teknologi misleading dan tidak secara fair membandingkan opsi-opsi
yang ada. Contohnya dalam proyek N2O yang diusulkan, dipelajari berapa emisi
yang dapat diturunkan dengan mengaplikasikan pupuk ‘coated urea’ di kebun sawit
Indonesia. Bila FS menunjukkan hasil positif, kredit karbon BOCM akan menurunkan
harga pupuk coated urea tersebut sehingga dapat bersaing dengan pupuk
konvensional. Bila memang harganya menjadi lebih murah dari pupuk konvensional,
besar kemungkinan pengusaha kebun sawit akan berpindah ke pupuk ini.
c. Dapat terjadi opportunity lost bagi industry nasional dan lebih jauh, ada
kemungkinan implikasi hukum berupa tuntutan dari negara lain karena ini dapat
diartikan sebagai pelanggaran terhadap norma perdagangan dalam WTO. Isu
persaingan yang disubsidi negara ini perlu dipertimbangkan untuk mendesain skema
BOCM yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
27
Lampiran VI
Laporan Kegiatan
BOCM Consultative Meeting
Ruang Rapat Utama-DNPI, 21 Februari 2012
Peserta Rapat:
Indonesia Jepang
DNPI; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Koordinator Perekonomian; Bappenas; Kementerian Kehutanan; Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral; Kementerian Perindustrian
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia; Ministry of Foreign Affairs; Ministry of Economic, Trade and Industry; Ministry of Environment; Ministry of Forestry; GEC; NEDO
Pembukaan dan Pemaparan
1. Rapat dibuka oleh Kepala Sekretariat DNPI, Agus Purnomo.
2. Delegasi Jepang memberikan pemaparan yang dilakukan oleh Mr. Kano, Director of Climate Change, MoFA Japan, dengan penekanan pada poin-poin di bawah ini:
Kerjasama global, regional dan bilateral Indonesia-Jepang telah dilakukan dan harus terus ditingkatkan;
Agenda pertemuan hari akan berfokus pada ide peta jalan pengembangan BOCM dan langkah konkrit ke depannya;
Jepang akan memilih sejumlah proyek sebagai MRV-model project untuk mengembangkan metodologi yang akan diadopsi. Setelah itu, proyek akan berevolusi menjadi BOCM-model project;
Proses pemilihan MRV-model project akan dimulai bulan Maret 2012 dan Indonesia diharapkan segera memberikan sektor yang menjadi prioritas;
Pengembangan metodologi MRV BOCM akan tetap dengan prinsip transparan dan akuntabel;
Pengembangan BOCM termasuk memberikan pengembangan kapasitas bagi Indonesia dalam bentuk bantuan tenaga ahli, pelatihan, seminar, dll;
Peta jalan pengembangan BOCM menargetkan kesepahaman formal telah tercapai pada April 2013 dan BOCM langsung beroperasi sesudahnya; dan
BOCM adalah pendekatan praktis sehingga langkah pengembangannya tidak perlu menunggu keputusan UNFCCC.
Diskusi
3. Terkait keinginan Jepang agar Indonesia memberikan sektor yang menjadi prioritas dalam pemilihan MRV-model project, Kasek DNPI memberikan tanggapan bahwa waktu yang tersedia sudah sempit sehingga perlu dipikirkan alternatifnya. Selanjutnya Kasek DNPI mempersilahkan peserta rapat memberikan komentar dan pertanyaan atas tema MRV- dan BOCM-model project.
4. Pertanyaan dan tanggapan dalam sesi diskusi mencakup isu-isu sebagai berikut:
28
Apakah BOCM digolongkan sebagai market- atau non-market-based approach;
Standar apakah yang akan menjadi acuan MRV proyek kehutanan dalam BOCM;
Apakah bentuk kesepahaman resmi yang direncanakan pemerintah Jepang;
Alasan mendahulukan pengembangan MRV dibanding perumusan kerangka kelembagaan BOCM;
Bentuk basic financing system yang akan diterapkan dalam BOCM;
Pendekatan yang akan ditempuh dalam akunting penurunan emisi dari BOCM terkait ketidaksertaan Jepang dalam periode-2 Protokol Kyoto;
Mekanisme untuk memungkinkan pengembangan metodologi bersama-sama oleh kedua pihak;
Apakah area MRV yang akan dikembangkan dan apakah berdasarkan hasil FS atau tidak;
Apa yang dimaksudkan dengan implementasi BOCM secara informal; dan
Perlunya linkage antara BOCM dengan berbagai inisiatif yang sehingga antar inisiatif tersebut dapat kompatibel dan diterima dunia internasional.
5. Delegasi Jepang memberikan tanggapan sebagai berikut:
Bentuk dokumen kesepahaman yang bersifat legal formal masih didiskusikan secara internal. Nampaknya pemerintah Jepang memerlukan pengaturan internal terlebih dahulu sehingga pertanyaan ini belum bisa dijawab sekarang namun pembentukan Joint Committee dan tanggung jawab tiap negara harus dinyatakan dalam dokumen tersebut;
Apakah ini bentuk pendekatan market atau non-market belum bisa ditentukan dengan jelas namun karena BOCM masih dalam proses pengembangan maka penentuan penggolongan ini bisa dilakukan paralel dengan proses tersebut;
MRV-model project akan menjadi BOCM-model project dan MRV didahulukan karena berdasarkan pengalaman CDM dimana beberapa metodologi yang dikembangkan secara desk study ternyata sulit diterapkan di lapangan. Oleh karena itu, diambil pendekatan pengembangan metodologi langsung dari lapangan melalui MRV-model project;
Financing akan menjadi bagian integral dalam proses BOCM namun untuk mendefinisikannya terlebih dahulu diperlukan persetujuan formal terhadap BOCM;
Jepang tetap berkomitmen untuk menurunkan emisi walaupun tidak ikut serta periode-2 Protokol Kyoto dan akan dilakukan baik secara domestik maupun bilateral/multilateral, antara lain dengan membeli CER. Walaupun Jepang tidak ikut periode-2 tapi tetap merupakan pihak dalam Protokol Kyoto dan masih akan membeli CER walau bukan karena kebutuhan untuk pemenuhan kewajiban dalam Protokol Kyoto. Terkait akunting penurunan emisi, Jepang lebih menyukai sistem yang terdesentralisasi karena lebih fleksibel dan praktis;
Dalam usulan skema BOCM, pengadopsian metodologi nantinya akan diputuskan oleh Joint Committee yang dibentuk oleh kedua negara. Walaupun demikian, pengembangan metodologinya sendiri bisa dilakukan oleh masing-masing negara;
Yang dimaksud implementasi informal adalah melanjutkan proses pengembangan BOCM, khususnya melalui BOCM-model project, walaupun bila setelah April 2013 belum tercapai kesepahaman formal mengenai BOCM. Pemerintah Jepang telah menggunakan uang rakyatnya untuk langkah-langkah pengembangan BOCM sehingga proses pengembangan harus berjalan terus (learning by doing) walaupun bentuknya bisa disesuaikan dengan tingkat kesepahaman bilateral yang telah tercapai;
29
MRV BOCM akan dibangun berdasarkan hasil FS dan direncanakan akan menjadi seperti Standardized Baseline dalam skema CDM namun demikian MRV BOCM tidak berarti harus serupa dengan konsep MRV dalam negosiasi UNFCCC;
Kesimpulan dan Penutup
6. Sebagai kesimpulan dari Indonesia, Kasek DNPI menekankan bahwa pengembangan BOCM sebaiknya menempuh dua jalur secara paralel yaitu pengembangan framework di level institusi dan pengembangan di level proyek. Dalam hal pengembangan MRV-model project, Indonesia akan sesegera mungkin memberikan masukan-masukan mengenai prioritas sektor dan/atau kegiatan yang diinginkan serta metodologi MRV yang dikembangkan. Metodologi MRV sebaiknya ringkas namun tetap selaras dengan standar internasional. Indonesia juga akan memberikan masukan mengenai kegiatan mana saja yang akan ditekankan untuk pemenuhan komitmen unilateral 26% mengingat BOCM sebaiknya berfokus pada kegiatan yang bersifat non low-hanging-fruit.
7. Sebagai kesimpulan dari Jepang, Pemimpin Delegasi menyampaikan bahwa kegiatan selanjutnya dalam pengembangan BOCM adalah penyelesaian FS dan tindak lanjutnya dimana inisiatif apapun dari Indonesia sangat diharapkan. Disampaikan pula bahwa pelaksanaan MRV-model project sangat penting bagi Jepang untuk mengamankan dukungan dari internal negaranya dan usulan desain lebih lanjut akan mereka susun untuk bahan pertemuan berikutnya. Jepang menekankan pentingnya untuk melangkah terus dengan memanfaatkan segala kesempatan yang ada.
8. Untuk jadwal pertemuan konsultasi selanjutnya, Pemimpin Delegasi Jepang menyampaikan beberapa kemungkinan yaitu sebagai side-event dalam rangkaian East Asia Low Carbon Growth di Jepang, April 2012 nanti atau di Indonesia, di sela-sela kunjungan Menlu Jepang bulan Maret nanti. Kepastian tentang jadwal ini akan diinformasikan ke DNPI secepatnya.
9. Kepala Sekretariat DNPI menutup rapat dengan ucapan terimakasih atas partisipasi para peserta.
30
Lampiran VII
Laporan Kegiatan
Pertemuan Bilateral Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan
Karbon Antarnegara (TKPPKA) dan Delegasi Jepang
Ruang Rapat Menko - Kantor Kemenko Perekonomian, 18 Juli 2012
Pembukaan
Agenda rapat bilateral ini adalah:
a) Pemaparan tentang draft dokumen Low Carbon Growth Partnership serta Rules of Implementation BOCM/JOCM
b) Diskusi dan negosiasi terkait kedua dokumen tersebut c) Diskusi tentang langkah selanjutnya
1. Rapat dibuka dengan kata sambutan dari Ketua Tim Pelaksana TKPPKA, Rizal Affandi Lukman, sekaligus memaparkan tentang TKPPKA dan anggota-anggotanya yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana dibantu oleh Sekretariat. Dilanjutkan dengan kata sambutan dari Ketua Alternate Tim Pelaksana, Agus Purnomo, sekaligus memperkenalkan peserta pertemuan dari sisi Indonesia.
2. Ketua Delegasi Jepang, Takehiro Kano, memperkenalkan anggota delegasi Jepang dan menyampaikan fokus delegasi Jepang adalah menjelaskan kedua draft dokumen Low Carbon Growth Partnership dan Rules of Implementation BOCM/JOCM yang akan menjadi dokumen teknis utama bagi pelaksanaan BOCM/JOCM kelak. Ia juga menyampaikan bahwa delegasi Jepang mengharapkan rapat dapat menyetujui peta jalan untuk implementasi BOCM/JOCM ke depan dan kemungkinannya untuk diselaraskan dengan beberapa event penting yang akan datang di tahun ini yaitu Pertemuan AWG LCA di Bangkok (Agustus), East Asian Summit (October/November) dan COP 18 Qatar (November).
Pemaparan Low Carbon Growth Partnership
3. Ketua Delegasi Jepang kemudian melanjutkan dengan pemaparan tentang draft dokumen Low Carbon Growth Partnership (LCGP) yang akan menjadi payung hukum penerapan BOCM/JOCM. Dijelaskan bahwa menurut prosedur birokrasi Jepang, dokumen semacam ini bisa ditandatangani tanpa persetujuan parlemen karena sifatnya adalah koordinasi kebijakan namun demikian siapa yang akan menandatanganinya dari pihak Jepang belum dapat dipastikan dan cara formalisasi dokumen ini dapat dibicarakan kemudian.
4. Draft dokumen LCGP ini dirancang secara umum sehingga diharapkan tidak mengganggu posisi masing-masing pihak dalam negosiasi UNFCCC. Delegasi Jepang juga menghargai tanggapan Indonesia atas draft dokumen ini yang telah disampaikan kepada delegasi sebelum pertemuan berlangsung.
5. Tanggapan delegasi Jepang atas revisi Indonesia terhadap draft dokumen LCGP adalah sebagai berikut:
Secara umum dapat memahami dan setuju dengan revisi tersebut;
31
Setuju untuk menggunakan nama Joint Offset Crediting Mechanism (JOCM) karena lebih terbuka dan menekankan kemungkinan pemakaian mekanisme ini untuk pemenuhan komitmen mitigasi masing-masing negara namun kepastiannya harus mereka konsultasikan dulu secara internal Pemerintah Jepang;
Meminta klarifikasi lebih lanjut tentang revisi Indonesia dalam Para. 9 tentang jenis JOCM sebagai offset atau credit;
Para. 10 tentang dukungan pada upaya adaptasi adalah bila JOCM telah menjadi jenis credit dan diambil sebagian kreditnya seperti share of proceed dalam CDM; dan
Meminta klarifikasi lebih lanjut tentang revisi Indonesia dalam Para. 11 tentang waktu berakhirnya kerjasama bilateral JOCM.
Diskusi tentang Draft Dokumen LCGP
6. Ketua Tim Pelaksana mengucapkan terimakasih atas penjelasan Delegasi Jepang dan menyatakan posisi Indonesia terkait Para. 3 adalah sama dan memilih menggunakan nama JOCM, terkait Para. 4 adalah memilih kata 'decides' daripada 'formulates' mengingat fungsi Joint Committee adalah secara teknis menetapkan aturan-aturan main dalam JOCM, dan terkait Para. 9 - 11 terbuka untuk penjelasan dan diskusi lebih lanjut. Ketua Delegasi Jepang menyatakan menerima pemakaian kata 'decides' namun kepastiannya perlu mereka konsultasikan ke pakar hukum di Pemerintah Jepang.
7. Ketua Alternate Tim Pelaksana dan Delegasi Indonesia memberikan penjelasan bahwa jenis credit lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas daripada offset. Dalam offset banyak aspek yang belum jelas misalnya pembagiannya, kemungkinan perdagangannya, periodenya, dan lain-lain. Selain itu sulit dipastikan kapan jenis credit dapat dimulai bila JOCM diawali sebagai jenis offset.
8. Delegasi Jepang menjelaskan bahwa sesuai dokumen draft Rules of Implementation, skema offset menghasilkan penurunan emisi yang tidak dapat diperdagangkan, sebaliknya dengan skema credit. Pengembangan dua tahap dipilih karena skema credit lebih rumit dikembangkan karena terkait dengan isu kepastian investasi dan kualitas kredit karbon sedangkan JOCM ingin dimulai sesegera mungkin. Selain itu, skema JOCM akan jadi perhatian dunia. Dengan mengembangkannya sebagai skema offset di tahap pertama diharapkan JOCM dapat dimulai dengan lebih mulus dan diskusi tentang perubahannya menjadi skema credit dapat dimulai segera setelah JOCM beroperasi.
9. Ketua Alternate Tim Pelaksana menyatakan bahwa kekhawatiran tentang isu perdagangan penurunan emisi dapat diatasi dengan menetapkan bahwa kredit JOCM hanya dapat diperdagangkan antara Indonesia dan Jepang. JOCM dapat dimulai sebagai skema credit karena ini lebih mudah dicerna oleh semua pihak. Menjelaskan tentang revisi dalam Para. 11, Indonesia menganggap bahwa pembatasan kerjasama JOCM sampai dengan tahun 2020 dapat menghambat minat investasi dalam proyek JOCM karena banyak proyek penurunan emisi akan berjangka hidup lebih dari 10 tahun.
10. Ketua Delegasi Jepang menyatakan dapat memahami penjelasan Indonesia dan akan menkonsultasikan perubahan-perubahan ini secara internal Pemerintah Jepang terlebih dahulu.
Pemaparan dan Diskusi tentang Rules of Implementation JOCM
11. Delegasi Jepang kemudian memaparkan draft dokumen Rules of Implementation (RoI) yang akan menjadi aturan main sekaligus dokumen teknis utama dalam JOCM.
32
12. Menanggapi beberapa tanggapan dan permintaan klarifikasi dari pihak Indonesia, Delegasi Jepang menyampaikan bahwa:
Dokumen ini memang dimaksudkan sebagai dokumen teknis sehingga menghindari terminologi yang dapat berdampak politis;
Kriteria anggota Joint Committee (JC) akan dijelaskan di lain kesempatan tetapi Delegasi Jepang beranggapan bahwa anggotanya haruslah personil teknis. Ketua Delegasi Jepang menyatakan kemungkinan kandidat anggota JC dari pihak Jepang adalah anggota delegasi saat ini;
Kriteria badan validasi/verifikasi juga akan jadi kewenangan untuk diatur oleh JC; dan
Jepang akan meneliti kembali dokumen ini dan memastikannya konsisten dan tidak bertentangan dengan dokumen LCGP.
Diskusi Langkah Selanjutnya
13. Ketua Delegasi Jepang menyampaikan usulan untuk langkah selanjutnya, yaitu:
Pihak Jepang di bulan Agustus akan menyampaikan kedua draft dokumen yang telah direvisi sesuai hasil pertemuan ini dan usulan moda formalisasi dokumen LCGP.
Penandatanganan LCGP direncanakan akhir tahun 2012.
Bulan Januari - Maret 2013, direncanakan JC dapat dibentuk dan menghasilkan beberapa panduan/aturan yang diperlukan untuk JOCM.
April 2013, diharapkan JOCM sudah dapat berjalan.
14. Ketua Tim Pelaksana TKPPKA menyatakan menyambut baik komitmen untuk melangkah lebih lanjut dan setuju dengan kerangka waktu yang diusulkan. Namun demikian perlu diperhatikan untuk mengakomodir komentar-komentar atas draft dokumen RoI, penjelasan lebih lanjut tentang kriteria anggota JC, dan mengingat tidak akan banyak delegasi Indonesia yang pergi ke AWG-LCA Bangkok maka perlu dipikirkan jadwal alternatifnya.
15. Delegasi Jepang menyambut baik masukan pihak Indonesia dan akan memberikan usulan jadwal langkah selanjutnya dalam bentuk usulan tertulis yang akan disampaikan satu minggu setelah pertemuan ini.
Penutup
16. Rapat ditutup oleh Ketua Tim Pelaksana TKPPKA dengan mengucapkan terimakasih pada peserta rapat.
33
Lampiran VIII
Laporan Kegiatan
Pertemuan Tim TKPPKA terkait Pembahasan Dokumen Proposal
Joint Crediting Mechanism (JCM)
Ruang Rapat Utama - DNPI, 14 September 2012
PENDAHULUAN
Agenda pertemuan ini adalah:
Persiapan untuk pertemuan dengan Pemerintah Jepang pada tanggal 3 Oktober 2012.
Pembahasan draf dokumen kesepakatan “Low Carbon Growth Partnership between the
Government of Japan and the Government of the Republic of Indonesia”.
Pembahasan draf dokumen “Rules of Implementation for the JCM”.
Review dua dokumen yaitu bersifat partnership dan rules. Untuk dokumen pertama telah dibahas
sebelumnya dengan Pemerintah Jepang dan telah dikomentari oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
adanya kesepakatan partnership, maka dapat diarahkan pada operasional. Maka, dibutuhkan saran
dan masukan kebutuhan lainnya untuk melengkapi dokumen tersebut.
DISKUSI
1. Dari sisi legal aspek, perlu diperhatikan status dokumen tersebut, diharapkan masukan dari
Kemenlu untuk menentukan level dalam penandatanganan. Menurut Direktorat Astimpas,
Kemenlu, dokumen partnership ini sudah sesuai dengan kaidah yang ada. Dalam
penandatanganannya, akan tergantung pada dokumen ini yang bersifat bilateral atau terbuka
terhadap negara yang akan bergabung.
2. Kerjasama ini, sebelumnya hanya bersifat bilateral sehingga disebut sebagai Bilateral Offset
Crediting Mechanism (BOCM). Akan tetapi, kerjasama ini diharapkan tidak hanya terbatas pada 2
negara saja. Pada prakteknya saat ini yang tertarik pada kerjasama ini hanya negara Jepang.
Potensi yang mungkin dapat bergabung adalah Australia dan New Zealand. Sehingga
kerjasamanya saat ini disebut sebagai Joint.
3. Secara substansi telah disiapkan, akan tetapi sangat dibutuhkan masukan dari Kemenlu
khususnya Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional terkait bentuk perjanjian kerjasama
yang akan dibuat.
34
4. Rencana kerjasama Indonesia-Jepang ini, pada tahun pertama sertifikat penurunan emisi tidak
dicatat dalam penjualan di pasar, akan tetapi di catat sebagai komitmen masing-masing negara
dalam penurunan emisi sehingga disebut sebagai non-tradeble. Dengan adanya mekanisme
kerjasama ini, maka Joint Committee harus membuat aturan prosedurnya, seperti konsistensi
pencatatan sesuai dengan penurunan emisi masing-masing negara. Selain itu, diperlukan juga
transparansi bagi negara lain untuk mengakses data emisi yang diturunkan. Jika pada saat
pertemuan UNFCCC selanjutnya memutuskan adanya Protokol Kyoto II, maka partnership ini
akan menyesuaikan. Berdasarkan hasil perundingan di Bangkok, pembahasan mengarah pada
new market mechanism. Sedangkan untuk JCM sendiri belum ada gambaran yang jelas. Jika
kerjasama JCM ini berhasil, maka akan diarahkan ke UNFCCC.
5. Untuk materi dapat disampaikan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada
Kementerian Luar Negeri, khususnya Diretorat Hukum dan Perjanjian Internasional, secara
formal.
6. Proyek yang akan dikembangkan memiliki tipe yang berbeda-beda. Akan tetapi, Pemerintah
Indonesia tetap harus melihat lifetime serta investasi dari proyek yang diusulkan. Sehingga sama
seperti CDM, kita harus cermati periode kredit yang bisa saja 7 atau 10 tahun. Dari beberapa
sektor bahkan telah membentuk yang disebut sebagai “tim imbangan”. Berdasarkan hal
tersebut, maka dari tim teknis JCM pun harus mencermati lebih dalam terhadap kerjasama yang
diusulkan.
7. Joint Committee (JC) memiliki tugas untuk masing-masing proposal. Sedangkan proposal-
proposal tersebut bersifat lebih substansi, sehingga di dalam anggota JC dibutuhkan tim teknis.
Untuk JC, seharusnya memiliki jumlah yang tidak banyak dan memiliki tanggung jawab terhadap
kerjasama JCM ini. JC ini juga memiliki otoritas dalam memutuskan suatu keputusan.
Usulan I, sektor yang menjadi anggota JC sebagai berikut:
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, DNPI, Bappenas,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, Kementerian Keuangan.
Berdasarkan usulan anggota JC, maka akan ditentukan ketua dari JC itu sendiri dan esensial tim.
Usulan II, sektor yang dijadikan sebagai esensial tim sebagai berikut:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Luar Negeri, Bappenas, DNPI.
Anggota JC dari pihak Jepang adalah level/eselon II, begitu juga dengan pihak Pemerintah
Indonesia juga akan mengusulkan anggota JC akan berada pada level II.
35
8. Untuk pertemuan bilateral Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang akan dilaksanakan
pada tanggal 3 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB – selesai. Pertemuan ini akan di laksanakan di
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
PENUTUP
10. Terkait dengan dua dokumen ini, diharapkan juga tim yang hadir dapat memberikan masukan
sebelum dokumen tersebut disampaikan ke Pemerintah Jepang.
11. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengirimkan surat resmi ke Kementerian
Luar Negeri terkait pembahasan dokumen kerjasama yang diusulkan oleh Jepang, dan
selanjutnya akan diadakan pertemuan lanjut untuk membahas dokumen kerjasama secara
khusus.
12. Pertemuan bilateral Pemerintah Indonesia – Jepang akan dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober
2012 di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
13. Rapat ditutup oleh Bapak Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI, dengan mengucapkan
terimakasih pada peserta rapat.
36
Lampiran IX
Laporan Kegiatan
Internal DNPI – Kemenko Ekonomi
Ruang Rapat Kecil - DNPI, 24 September 2012
Pengantar
Pertemuan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Kecil DNPI yang dihadiri oleh perwakilan dari Kemenko
Ekon dan staf DNPI. Pertemuan ini sejenis capacity building yang bertujuan untuk menjelaskan
mengenai pasar karbon dan bagaimana menyikapi perkembangan terakhir perdagangan karbon dan
pasar karbon internasional, khususnya untuk proposal Pemerintah Jepang. Serta mempersiapkan
pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Jepang yang akan dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober
2012.
Paparan
1. Karbondioksida merupakan GRK dengan potensi pemanasan global terendah akan tetapi memiliki jumlah yang paling banyak sehingga dapat dijadikan sebagai referensi. Dalam mekanisme perdagangan penurunan emisi GRK dalam satuan setara ton karbondioksida (ton CO2eq).
2. Carbon Market ≠ Carbon Trading, tapi pada prakteknya perdagangan karbon tidak dapat terlaksana tanpa pasar karbon.
3. Manfaat pasar karbon sebagai berikut:
Memberikan insentif bagi upaya pengurangan emisi;
Menurunkan biaya pengurangan emisi secara agregat;
Membuka peluang ekonomi (green business, green jobs, dll);
Manfaat ikutan (co-benefit) untuk pembangunan berkelanjutan. 4. Beberapa perdagangan karbon yang telah berkembang, yaitu:
NSW Green house gas reduction scheme (2003, pasar wajib yang pertama);
European Union Emission Trading System (2005, saat ini adalah pasar karbon terbesar di dunia);
Kyoto Protocol Flexible Mechanism (efektif 2005, CDM termasuk di dalamnya);
Chicago Climate Exchange (2003, pasar karbon sukarela yang pertama). 5. Pasar karbon relative tumbuh terus. Dari volume perdagangan 1,7 milyar TCO2eq, dan nilai
perdagangan USD 31 milyar di tahun 2006 menjadi 10,2 milyar TCO2eq, dan USD 176 milyar di tahun 2011.
6. Jenis-jenis pasar karbon berdasarkan pembentukannya terdiri dari dua yaitu, pasar wajib dan pasar sukarela. Pasar wajib terbentuk karena adanya kewajiban penurunan emisi yang diberikan oleh Pemerintah kepada emiter (capping). Hukuman atas incompliance biasanya berupa denda yang tinggi sehingga opsi perdagangan lebih dipilih oleh emiter. Sedangkan pasar karbon sukarela terbentuk karena adanya keinginan sukarela untuk menurunkan emisi. Selain motivasi idealistik tersebut, ada juga motivasi karena tuntutan pasar ataupun sebagai langkah persiapan mengantisipasi kewajiban penurunan emisi di kemudian hari.
37
7. Berdasarkan mekanismenya, digolongkan menjadi dua bagian, yaitu crediting dan trading. Crediting umumnya berbasis proyek dan Kredit Karbon adalah selisih antara emisi sebelum dan sesudah adanya proyek (ex-post), contohnya: CDM. Sedangkan trading memperdagangkan selisih antara batas emisi yang diberikan (ex-ante) dengan emisi aktual yang dilepaskan, contohnya: EU-ETS.
8. Saat ini, volume pasar karbon di dunia didominasi oleh Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU-ETS). EU ETS merupakan penyerap kredit karbon CDM terbesar. Namun, mulai 2013, EU ETS hanya akan membeli kredit CDM dari negara Least Developed Countries (LDCs), sehingga kredit CDM dari Indonesia akan kehilangan pasar dan pengembang berlomba-lomba untuk dapat mendaftarkan proyeknya di PBB sebelum 2012 berakhir.
9. Pasar karbon sukarela hanya sebagian sangat kecil dari total pasar tetapi cenderung tumbuh dari tahun ke tahun. Untuk itu, banyak negara yang mengembangkan dan/atau merencanakan pasar karbon domestic antara lain Jepang, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, beberapa negara bagian AS dan lain-lain.
10. Selain itu, pasar karbon bilateral maupun regional mulai banyak dibicarakan. Jepang adalah negara yang paling aktif dengan usulan pasar karbon bilateral, salah satu usulannya adalah Bilateral Offset Crediting Mechanism (BOCM).
11. BOCM akan dilakukan atas proyek-proyek kerjasama Indonesia-Jepang yang telah disepakati dan diperkirakan akan menghasilkan pengurangan emisi. Kredit pengurangan emisi tersebut diserahkan kepada Jepang dengan “imbalan” adanya alih teknologi yang diberikan Jepang kepada negara berkembang yang bersangkutan.
Diskusi dan Hasil
1. Di Indonesia, 2% dari hasil penjualan CER akan dialihkan untuk dana adaptasi perubahan iklim; 2. Dalam penentuan cap pada mekanisme trading terdapat dua cara, yaitu absolute capping dan
intensity based. Absolute mapping merupakan ketentuan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan sektor yang didalamnya terdapat beberapa unit yang memiliki cap berbeda. Sedangkan intensity based merupakan ketentuan yang diberikan oleh pemerintah pada sektor-sektor yang berbeda. Berdasarkan cara penentuan cap ini, tipe absolute lebih banyak digunakan, karena penurunan emisinya lebih jelas dan terukur.
3. Beberapa pasar karbon di dunia, yaitu:
NZ-ETS, kreditnya dari land use dan tidak berlaku cap;
Jepang, pasar karbon yang dikembangkan adalah voluntary;
China, pasar karbon yanh dikembangkan adalah voluntary yaitu K-VER;
Australia, pasar karbon akan dikembangkan pada tahun 2015;
RGGI, pasar karbon yang dikembangkan di negara bagian Amerika Utara dan pesertanya adalah pembangkit listrik >25MW.
4. Saat ini, Indonesia sedang mengembangkan 3 jenis pasar yaitu:
Pasar Multilateral, yaitu Partnership for Market Readiness. Jenis kerjasama ini bertujuan untuk mengembangkan instrument pasar yang bersifat teknis dan registry;
Pasar Bilateral, yaitu kerjasama dengan Pemerintah Jepang yang disebut sebagai Joint Crediting Mechanism (JCM);
Pasar Domestik, yaitu pasar yang dikembangkan adalah Skema Karbon Nusantara (SKN). 5. Pertemuan dengan Pemerintah Jepang terkait rencana kerjasama Joint Crediting Mechanism
(JCM) akan dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2012. Tujuan pertemuan tersebut sebagai berikut:
Pembahasan mengenai format perjanjian atau bentuk kesepakatan yang akan dibuat;
Pembahasan mengenai keanggotaan dari Joint Committee yang akan dibentuk, termasuk kriterianya dan tingkatannya dalam organisasi kepemerintahannya;
38
Hal-hal lain yang kemudian dianggap perlu untuk didiskusikan secara bilateral dengan pemerintah Jepang terkait proposal JCM.
6. Sebelum pertemuan pada tanggal 3 Oktober 2012, maka akan diadakan pertemuan internal dengan Kementerian Luar Negeri untuk pembahasan bentuk dokumen perjanjian dan sebagainya.
Penutup
Untuk hasil rapat akan ditindaklanjuti dengan diadakannya pertemuan internal DNPI-Kemenko Ekon
dan Kementerian Luar Negeri. Rencana pertemuan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 1
Oktober 2012. Pertemuan ini ditutup oleh Bapak Dicky Edwin Hindarto selaku Koordinator Divisi
Mekanisme Perdagangan Karbon.
39
Lampiran X
LAPORAN KEGIATAN
Pertemuan Internal DNPI – Kemenko Ekon – Kemenlu
Terkait Proposal Pemerintah Jepang dalam Joint Crediting
Mechanism (JCM)
Dewan Nasional Perubahan Iklim, 1 Oktober 2012
Latar Belakang
Pertemuan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Utama DNPI dengan dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Luar Negeri serta DNPI. Dalam pertemuan ini, perwakilan dari Kementerian Luar Negeri adalah Direktorat Asia Timur dan Pasifik, Direktorat Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup dan Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya.
Dalam pertemuan ini, yang menjadi pokok bahasan adalah (dua) dokumen proposal pemerintah Jepang untuk skema JCM, yaitu:
1. Dokumen 1, Low Carbon Growth Partnership between the Government of Japan and the Government of the Republic of Indonesia, yang merupakan kerangka mekanisme kegiatan; dan,
2. Dokumen 2, Rules of Implementation of The Joint Crediting Mechanism (JCM).
Rapat internal ini adalah sebagai persiapan untuk pertemuan dengan Pemerintah Jepang tanggal 3 Oktober 2012. Selain itu, tujuan pertemuan ini adalah untuk mendiskusikan bentuk bentuk dan prosedur perjanjian apa yang paling sesuai dengan proposal kerja sama tersebut, berdasar hukum Indonesia.
Diskusi
1. Dari segi substansi, kegiatan ini telah berkembang dengan adanya beberapa pertemuan serta ruang lingkupnya pun semakin jelas. Bentuk dokumen pertama telah mengarah pada dokumen payung untuk kesepakatan antara dua negara.
2. Disarankan nanti oleh Kemenlu, tidak perlu sampai kepala negara yang menandatangai perjanjian, tetapi cukup menteri luar negeri atau menteri terkait, dengan persetujuan menteri luar negeri.
3. Elemen substansi yang telah dibahas dan dsiepakati kedua belah pihak, terutama untuk dokumen pertama, akan bisa diadopsi dalam perjanjian bilateral yang akan dibuat.
4. Untuk dokumen 2, terdapat kerancuan dalam peran antara Pemerintah dan Joint Committee (JC), dalam hal ini seolah-olah peran Pemerintah melemah dengan adanya JC. Usulan Kemenlu adalah memperbesar peran pemerintah dengan membentuk lembaga Joint Communication Forum (JCF) yang akan lebih bersifat sebagai pemberi arahan strategis dan politis kepada JC, sehingga JC bisa lebih bersifat operasional.
40
5. JCF ini diusulkan oleh Kemenlu dengan berdasar pada pengalaman-pengalaman sebelumnya kerja sama antar negara yang telah dilakukan.
6. Diusulkan juga oleh Kemenlu agar dokumen ini dibatasi jangka waktunya, yaitu 5 tahun, yang dapat diperpanjang dan dapat diubah sewaktu-waktu, dan bukan berdasar pada international framework yang akan dibanguin kemudian.
7. Pada dokumen 1, sangat perlu ditambahkan pasal baru untuk area of cooperation, yang antara lain adalah:
Joint Emission Reduction Project;
Joint Carbon Credit Development;
Technology Transfer R&D;
Facilitating of Investment;
Environmental Integrity; dan
Capacity Building.
8. Dokumen dan perjanjian ini diharapkan tidak hanya untuk bilateral Jepang saja, tapi juga dengan pemerintah negara lain misalnya Australia. Akan tetapi, hal ini tidak dapat disatukan karena secara perjanjian internasional, perjanjian akan berlaku hanya pada negara yang ikut tanda tangan saja. Solusinya, dokumen antara Indonesia – Jepang dapat dijadikan review atau acuan untuk kerjasama lainnya.
Kesimpulan
1. Hasil dari rapat internal ini akan dijadikan bahan masukan untuk TKPPKA.
2. Pada saat pertemuan dengan Pemerintah Jepang tanggal 3 Oktober 2012, Kemenlu yang akan
diwakili oleh Direktorat Perjanjian Internasional, akan menyampaikan pandangannya sejalan
dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia untuk perjanjian internasional.
3. Dokumen yang paling mendesak untuk disepakati adalah dokumen pertama, untuk itu Kemenlu
menyarankan sedikit revisi pada dokumen tersebut dan adanya tambahan area of cooperation.
41
Lampiran XI
Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antarnegara
Catatan Pertemuan Bilateral TKPPKA dan Delegasi Jepang
Ruang Rapat Menko - Kantor Kemenko Perekonomian, 3 Oktober 2012
Pembukaan
Agenda rapat bilateral ini adalah:
Pemaparan tentang draft revisi dokumen Low Carbon Growth Partnership serta Rules of Implementation skema Joint Crediting Mechanism (JCM)
Diskusi dan negosiasi terkait kedua dokumen tersebut
Diskusi tentang langkah selanjutnya
1. Rapat dibuka dengan kata sambutan dari delegasi Indonesia, oleh Ketua Tim Pelaksana TKPPKA, Rizal Affandi Lukman, dan Wakil Ketua, Agus Purnomo. Delegasi Indonesia menyambut kedatangan delegasi Jepang dan mengharapkan rapat dapat menghasilkan hasil signifikan untuk dilaporkan kepada tim pengarah sekaligus sebagai masukan bahan pertemuan tingkat menteri Indonesia-Jepang di Tokyo.
2. Ketua Delegasi Jepang, Masami Tamura, menyampaikan fokus delegasi Jepang adalah menyampaikan tanggapan atas revisi draft kedua dokumen dan harapan agar persetujuan pelaksanaan JCM dapat dicapai kedua negara dalam tahun ini.
Paparan dan diskusi atas revisi draft dokumen Low Carbon Growth Partnership
3. Ketua Delegasi Jepang memaparkan tanggapan atas revisi draft dokumen Low Carbon Growth Partnership (LCGP) yang akan menjadi payung hukum penerapan JCM. Delegasi Jepang telah merevisi draft versi 3 yang diterima dari pihak Indonesia dengan substansi perubahan sebagai berikut:
a) Jepang setuju dengan substansi keseluruhan dokumen draft versi 3.
b) Jepang melakukan usulan revisi yang menegaskan pendapat delegasi Jepang bahwa dokumen LCGP nantinya tidak bersifat mengikat secara hukum. Hal ini karena prosedur pemerintah Jepang untuk pembuatan dokumen perjanjian atau persetujuan yang mengikat secara hukum sangat memakan waktu dan tenaga, diantaranya perlu persetujuan parlemen, sehingga sulit untuk selesai dalam tahun ini.
c) Jepang mengusulkan penandatangan dokumen LCGP dari pihak mereka adalah Duta Besar Jepang untuk Indonesia.
4. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa keinginan Jepang agar dokumen LCGP tidak bersifat mengikat secara hukum (not legally binding) agak mengagetkan dan menyampaikan tanggapan dan saran untuk perumusan dokumen LCGP sebagai berikut:
a) Perlu diperhatikan implikasi dokumen LCGP yang tidak mengikat secara hukum terhadap pembentukan Joint Committee dan kekuatan keputusan-keputusannya dalam mengoperasikan JCM kelak.
42
b) Walaupun dokument LCGP tidak bersifat mengikat secara hukum, perlu diperjelas apa jenis dokumen tersebut (mis. MoU, LoI, Joint Statement, dll) karena akan menentukan siapa penandatangan dari pihak Indonesia. Bila penandatangan dari pihak Jepang adalah Duta Besar maka penandatangan dari pihak Indonesia kemungkinan adalah pejabat setingkat eselon I.
c) Berdasarkan kelaziman di Indonesia, Kementerian Luar Negeri berpendapat perlunya revisi lebih lanjut atas draft dokumen LCGP dengan memberikan konsistensi antara judul dengan badan dokumen, menyatakan area kerjasama yang akan dilakukan, membentuk kelompok pengarah untuk Joint Committee (terutama bila anggota JC adalah dari eselon 2/working level), dan mengusulkan dokumen tersebut dibuat ringkas dengan detil-detil dipindahkan ke Rules of Implementation. Kementerian Luar Negeri juga menekankan perlunya menggunakan terminologi untuk para pihak yang jelas mencerminkan perjanjian/persetujuan tersebut apakah antar pemerintah (government) atau negara (state) dan LCGP dapat dibuat sebagai suatu dokumen hukum yang tidak bersifat mengikat (less legally binding) misalnya dalam bentuk Memorandum of Understanding atau Letter of Interest.
5. Delegasi Jepang memberikan tanggapan bahwa pembentukan dan kekuatan putusan-putusan Joint Committee akan berdasarkan kepercayaan terhadap niat kedua belah pihak melakukan kerjasama JCM. Selain itu dokumen hukum yang tidak bersifat mengikat tidak umum dikenal di Jepang sehingga jenis dokumen apa yang cocok untuk LCGP perlu dibicarakan lebih lanjut di internal Jepang.
Kesimpulan rapat
6. Berdasarkan usulan Indonesia, kedua belah pihak sepakat untuk memfinalisasi dokumen LCGP sebagai semacam Joint Statement. Hal-hal dalam paragraf 1-3 draft dokumen LCGP dapat menjadi isi Joint Statement ini sedangkan hal-hal lainnya dapat diatur dalam dokumen turunannya, misalnya Memorandum of Understanding, yang akan didraft oleh Kementerian Luar Negeri. Joint Statement ini, bila memungkinkan, dapat menjadi salah satu output pertemuan tingkat menteri Indonesia-Jepang yang akan diadakan di Tokyo, Oktober 2012.
7. Kedua belah pihak sepakat untuk memikirkan lebih lanjut cara implementasi JCM dalam koridor tatanan hukum yang berlaku di masing-masing negara.
Penutup
8. Rapat ditutup oleh Ketua Tim Pelaksana TKPPKA dengan mengucapkan terimakasih pada peserta rapat.
43
Lampiran XII
Low Carbon Growth Partnership
between the Government of Japan and the Government of the Republic of Indonesia
(Draft ver. 3)
1. The Government of Japan and the Government of the Republic of Indonesia (hereinafter
referred to as “both sides”), in pursuit of the ultimate objective of the United Nations
Framework Convention on Climate Change (hereinafter referred to as the “Convention”) as
stated in its Article 2 and of achieving sustainable development, and in order to continue to
address climate change in cooperation beyond 2012, promote the Low Carbon Growth
Partnership as follows.
2. Both sides hold close policy consultations at various levels for cooperation toward low carbon
growth under the UN, at the regional and bilateral frameworks, including the East Asia Low
Carbon Growth Partnership.
3. Both sides, in order to promote investment and deployment of low carbon technologies, products, systems, services and infrastructure to achieve low carbon growth in Indonesia, establish a Joint Crediting Mechanism (hereinafter referred to as the “JCM”) and implement it in accordance with the relevant domestic laws and regulations in force in respective countries.
4. Both sides establish the Joint Committee to operate the JCM. The Joint Committee will
develop the Rules of Implementation for JCM.
5. The Joint Committee consists of representatives from both sides. Rules of procedures of the
Joint Committee, including its membership, are formulated through consultations between
both sides.
6. Both sides mutually recognize that verified reductions or removals from the mitigation
projects under the JCM will be used as a part of their own internationally pledged greenhouse
gases mitigation efforts.
7. Both sides ensure the robust methodologies, transparency and the environmental integrity of
the JCM and maintain the JCM simple and practical, to promote concrete actions for global
greenhouse gases emissions reductions or removals.
8. Both sides will ensures the avoidance of double counting on greenhouse gases emission
reductions or removals from mitigation projects registered under the JCM for the purpose of
other international climate mitigation mechanisms.
9. Both sides work in close cooperation to facilitate financial, technological and capacity building
support necessary for the implementation of the JCM.
44
10. The JCM starts its operation as the non-tradable credit type mechanism. Both sides continue
consultation for the transition to the tradable credit type mechanism and reach a conclusion
of such consultation at the earliest possible timing.
11. Both sides aim for concrete contributions to assisting adaptation efforts of developing
countries through the JCM upon the operationalization of its tradable credit type mechanism.
12. This partnership covers the period from the signing of this partnership document until a new
international framework under the Convention has entered into force. Both sides consider
possible extension of this partnership and reach a conclusion before its expiration, taking into
account, inter alia, the progress made in the UNFCCC.
13. Any content of this document may be amended upon mutual consent of both sides made in
writing.
45
Lampiran XIII
Rules of implementation for
The Joint Crediting Mechanism (JCM) (Draft Ver. 3)
Joint Committee of the JCM hereby establishes the Rules of implementation for the JCM
(hereinafter referred to as “Rules of implementation”) as follows:
A. Purpose of the JCM
1. The JCM has the following purposes: (a) To facilitate diffusion of leading low carbon technologies, products, systems,
services, and infrastructure as well as implementation of mitigation actions, and contributing to sustainable development of developing countries;
(b) To appropriately evaluate contributions to greenhouse gases (hereinafter referred to as “GHG”) emission reductions or removals from developed countries in a quantitative manner, through mitigation actions implemented in developing countries and use those emission reductions or removals to achieve emission reduction targets of the countries involved;
(c) To contribute to the ultimate objective of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) by facilitating global actions for emission reductions or removals.
B. Definitions
2. GHG are those gases of carbon dioxide (CO2), methane (CH4), nitrous oxide (N2O), hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), sulphur hexafluoride (SF6) and nitrogen trifluoride (NF3).
3. Credits are issued based on quantified amount of GHG emission reductions or removals achieved by the contribution of project participants in the implementation of GHG emission reductions or removals project activities under the JCM (hereinafter referred to as “JCM projects”).
4. The JCM starts its operation as the non-tradable credit type mechanism. Both sides
46
continue consultation for the transition to the tradable credit type mechanism and reach a conclusion of such consultation at the earliest possible timing.
C. Joint Committee
5. The Joint Committee convenes meetings on regular basis to evaluate the implementation of the JCM.
6. The Joint Committee approves the list of potential projects to be developed under the JCM.
7. The Joint Committee may develop or revise the Rules of Implementation and other rules and guidelines necessary for the implementation of the JCM, including, but not limited to:
(a) rules of procedures of the Joint Committee; (b) guidelines for the development of methodologies; (c) methodologies; (d) requirements for the accreditation of third-party entities; (e) guidelines for the validation; (f) monitoring guidelines; (g) guidelines for the verification of GHG emission reductions or removals; (h) common specifications for registries; (i) formats for project design document (hereinafter referred to as “PDD”),
request for registration of JCM projects, monitoring report, request for verification of emission reductions or removals, etc.
(j) other matters relating to the implementation and administration of the JCM as necessary.
8. The Joint Committee designates third-party entities to operate as JCM validation/verification body.
9. On the basis of a request for registration of JCM projects submitted by project participants, the Joint Committee registers JCM projects which were validated by the third-party validation entities.
10. On the basis of a request for credit issuance submitted by project participants, the Joint Committee notifies each Government to issue the credits which were verified by the third-party verification entities.
47
11. The Joint Committee develops reports on the status of the implementation of the JCM submitted to both Governments and, where necessary, discusses issues related to the operation and management of the JCM. In conjunction with meetings of the Joint Committee, both Governments conduct policy consultations about the relevant policy measures of the JCM, where necessary.
12. The Joint Committee establishes its secretariat for the implementation of the JCM.
D. Each Government
13. Each Government, based on the rules and guidelines as developed by the Joint Committee and/or in accordance with relevant domestic laws and regulations in respective countries for the implementation of the JCM:
(a) Accredits third-party entities which validate JCM projects and verify GHG emission reductions or removals achieved by the JCM projects;
(b) Prepares draft methodologies and submits them to the Joint Committee, when necessary;
(c) Establishes and maintains a registry in accordance with the common specifications for credit registries, as developed by the Joint Committee;
(d) On the basis of notification for credit issuance by the Joint Committee (including for allocation of credits among participants), records to its registry the amount of credits accrued.
14. Each Government informs the Joint Committee on the accreditation of the third-party entities and records of the JCM credits issued.
15. Each Government takes necessary measures to ensure transparency in the implementation of the JCM.
16. Both Governments will ensures the avoidance of double counting on greenhouse gases emission reductions or removals from mitigation projects registered under the JCM for the purpose of other international climate mitigation mechanisms.
E. Third-party Validation/Verification Body
17. A third-party validation/verification body that is approved by the Joint Committee: (a) On the basis of requests from project participants, validates the project as
described in a PDD prepared by the project participants, in accordance with the guidelines for the validation as developed by the Joint Committee, and informs the validation result to the project participants;
48
(b) On the basis of requests from project participants, verifies GHG emission reductions or removals achieved by the JCM project as described in the monitoring report prepared by the project participants, in accordance with the guidelines for the verification of GHG emission reductions or removals as developed by the Joint Committee, and records the result in a verification report.
F. Project participants
18. Project participants: (a) Prepare a draft methodology and submit the draft to the Joint Committee for
its approval, when necessary; (b) Prepare a draft PDD and submit the draft to a third-party validation body; (c) Submit the PDD that was validated by the third-party validation body to the
Joint Committee for its registration of the project; (d) Implement the JCM project and undertake monitoring in accordance with the
PDD; (e) Prepare a monitoring report and send the report to a third-party verification
body; (f) Submit a verification report prepared by the third-party verification body to
the Joint Committee, and request for issuance of credits under the JCM.
G. Development of methodologies
19. Beside the methodologies developed by the Joint Committtee, each Government or project participant may prepare a draft methodology and submits it to the Joint Committee. The submitted draft methodology, after its completeness being checked, goes through public comments process.
20. The Joint Committee determines either to approve or reject the draft methodology, taking account of, among other things, comments received and notifies the result to the Government or project participant, as applicable. The Joint Committee makes publicly available the relevant information on the approved
methodology, including through a website.
H. Approval procedure of third-party validation/verification body
21. Upon receiving an application for accreditation of a third-party
49
validation/verification body submitted by a candidate, each Government determines either to accredit the entity as a third-party validation/verification body or reject the application in accordance with the requirements for the accreditation of third-party entities as developed by the Joint Committee.
22. Each Government notifies the result of accreditation assessment to the candidate and makes the result publicly available.
23. Each Government sends information on the accredited third-party validation/verification body to the Joint Committee for its designation to operate as JCM validation/verification body.
24. The Joint Committee designates the third-party validation/verification body which was accredited by each Government, and makes publicly available the relevant information on the designated third-party validation/verification body through a website.
25. The Joint Committee may suspend or withdraw the designation of a third-party validation/verification body if it has found fraud, malfeasance or incompetence of the entity.
I. Validation
26. Validation is the process of independent evaluation of a proposed JCM project, on the basis of the PDD, by a third-party validation body against the validation guidelines as developed by the Joint Committee.
27. Project participants develop a PDD by filling in the format and request a third-party validation body to validate the proposed JCM project.
28. The third-party validation body validates the proposed JCM project and notifies the result to the project participants.
J. Registration
29. Registration is the formal acceptance by the Joint Committee of a validated project as a JCM project.
50
30. Project participants submit the PDD, which was validated by the third-party validation body, to the Joint Committee and request for registration.
31. Upon receiving the request for registration from project participants, the Joint Committee registers the project, notifies each Government of the registration and makes publicly available the relevant information on the JCM project through a website.
K. Monitoring
32. Project participants implement a JCM project and monitor GHG emission reductions or removals by the JCM project based on the monitoring plan.
L. Verification
33. Verification is the periodic independent review and ex post determination by a third-party verification body of the monitored GHG emissions reductions or removals as a result of a registered JCM project during the verification period.
34. Project participants prepare a monitoring report and request a third-party verification body for verification.
35. The third-party verification body, in accordance with the guidelines for the verification of GHG emission reductions or removals as developed by the Joint Committee, verifies the amount of GHG emission reductions or removals on the basis of the monitoring report submitted by the project participants, prepares a verification report and sends the report to the project participants which requested verification.
51
M. Issuance and use of credits
36. Project participants of a JCM project consult among themselves and determine the allocation of credits.
37. Project participants request the Joint Committee to notify each Government to issue the credits to its respective account in the registry on the basis of the verification report with the determined allocation of the credits among the project participants.
38. The Joint Committee conducts a completeness check on the request, including for allocation of the credits among the project participants, notifies the result of the each Government and makes the result publicly available.
39. The Joint Committee makes publicly available the relevant information on the issuance of credits through a website.
40. Based on the Joint Committee notification, each Government records the issuance of the credits in their own registry.
41. Credits issued by each Government can be used to achieve emission reduction targets of each Government.
N. Others
42. This Rules of Implementation for JCM is valid until a new revision is developed by the Joint Committee or the Low Carbon Growth Partnership between Indonesia – Japan expired.
- 20 -
Annex B
Party Quantified emission limitation or reduction commitment (percentage of base year or period)
Australia 108 Austria 92 Belgium 92 Bulgaria* 92 Canada 94 Croatia* 95 Czech Republic* 92 Denmark 92 Estonia* 92 European Community 92 Finland 92 France 92 Germany 92 Greece 92 Hungary* 94 Iceland 110 Ireland 92 Italy 92 Japan 94 Latvia* 92 Liechtenstein 92 Lithuania* 92 Luxembourg 92 Monaco 92 Netherlands 92 New Zealand 100 Norway 101 Poland* 94 Portugal 92 Romania* 92 Russian Federation* 100 Slovakia* 92 Slovenia* 92 Spain 92 Sweden 92 Switzerland 92 Ukraine* 100 United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland
92
United States of America 93
* Countries that are undergoing the process of transition to a market economy. -----