keratitis punctata 1 tp edit
DESCRIPTION
keratitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mata bagian luar adalah bagian krusial dalam tubuh yang terpapar dengan
dunia luar. Struktur dan fungsi yang normal dari mata yang sehat terkait dengan
homeostasis dari keseleruhan tubuh sebagai proteksi terhadap lingkungan yang
dapat merugikan. Segmen anterior dari bola mata memberikan jalur masuk yang
jernih dan terlindungi sehingga cahaya dapat diproses melalui jalur visual menuju
susunan saraf pusat.1
Radang kornea (Keratitis) biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea
yaitu terkena seperti keratitis superfisial dan intertisial atau propunda. Keratitis
dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat,
reaksi alergi terhadap yang diberikan topical dan reaksi terhadap konjungtivitis
menahun. Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa
kelilipan.2,3
Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrate halus
pada permukaan kornea. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak secara
langsung pada inspeksi, akan tetapi dapat dilihat dengan mudah dengan
menggunakan slit lamp atau loup. Lesi epithelial yang terdapat keratitis pungtata
superfisial berupa kumpulan opasitas granular, abu – abu atau cromblike (seperti
remah roti) yang berbentuk bulat atau oval.3
Sekitar 25.000 dari penduduk Amerika Serikat mendapatkan keratitis
infeksi. Insiden dari keratitis microbial dihubungkan dengan penggunaan lensa
kontak rata-rata sebanyak 2 sampai 4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak
dan sebanyak 10 sampai 20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan
penggunaan yang berkepanjangan.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.2,5
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
disebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea. Rata – rata
ketebalan kornea pada orang dewasa adalah sekitar 0,52 mm di sentral dan 0,65
mm di perifer. Diameter horizontal kornea rata – rata orang dewasa adalah 11,75
mm dan diameter vertikalnya rata – rata 10,66 mm.
Pada bagian anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling
berhubungan yaitu lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel
dikonjungtiva bulba), membrana bowman, stroma, membrana descement dan
endotel. Pembagiannya adalah sebagai berikut:3,5
a) Epitel, terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih,
1 lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan
erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui
dermosom dan makula ekluden, ikatan ini menghampat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan
membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren.
2
b) Membrane Bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c) Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susuna kolagen yang sejajar 1
dengan lainnya, pada permukaan terlihat ayaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang – kadang sampai 15 bulan.
Stroma ini adalah merupakan sekitar 90% dari ketebalan kornea.
d) Membrane Descement, merupakan membran aseluler dan merupakan batas
belakang stroma kornea yang dihasilkan dari sel endotel dan merupakan
membran basalnya. Membrane ini bersifat sangat elastic dan berkembang
terus seumur hidup.
e) Endotel, terdiri atas 1 lapisan sel dengan bentuk hexagonal, besarnya sampai
40 – 60 mm. endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Gambar 1. Lapisan Kornea Normal
Suplai darah kornea berasal dari pembuluh – pembuluh darah konjungtiva,
episklera dan sklera yang berakhir di sekitar limbus korneosklera. Kornea itu
sendiri bersifat avaskuler.7
Fungsi kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah “jendela”
yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea dimungkinkan
oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang sifat
deturgescence-nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special
dari komponen – komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing –
masing fibril kolagen berbeda dai substansi infibrilar, diameter yang kecil (300A)
dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300A) mengakibatkan pemisahan
3
dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan
dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa
bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barbier dari epitel dan endotel. Kornea di
jaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan kada air sebanyak 78%.7,8
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%
dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi fisus
seseorang.9
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat lah sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui
membrana bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta
tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral
kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.7
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.10
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu:10
a) Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya
b) Difusi dari humor aquous
c) Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
4
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.5
2.2 Etiologi dan patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea,
penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan
penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen-
patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea. Ketika
pathogen telah mengibvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial, beberapa
rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu: 3,4,8,10
a) Lesi pada kornea
b) Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
c) Antibodi akan mneginfiltrasi lokasi invasi pathogen
d) Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea
e) Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
f) Pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
5
g) Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana
descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang
dimana hanya membarana descement yang intak.
h) Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement
terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea
perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien
akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan
menjadi lunak.
Penyakit ini dapat mengikuti suatu penyakit mata lainnya maupun
penyakit sistemik, seperti:2
i. Kelainan local seperti pada inspeksi adenovirus, herpes, moluskum,
alergi, keracunan obat miotika, penyakit new castle dan dapat
ditemukan bersama - sama dengan folikel.
ii. Kelainan sistemik yang menyertai infeksi saluran pernafasan bagian
atas seperti yang disebabkan herpes simpleks dan adenovirus, artritis,
penyakit saluran kemih, penyakit saluran pencernaan seperti pemfigoid.
2.3 Klasifikasi
Keratitis dapat dibagi berdasarkan lesi korneanya, dan organisme
penyebabnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
2.3.1 Berdasarkan lesi kornea:
a) Keratitis epithelial5
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis,
dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang
terlibat (misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada
epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-
kecil, pembuntukan filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi
itu juga bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai
makna diagnostic yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan
dan tanpa pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap
pemeriksaan mata bagian luar.
6
b) Keratitis Stroma5
Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul sebagai
penebalan kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan,
yang dapat berakibat perforasi; dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang
spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter
sering harus mengandalkan informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium
untuk menetapkan penyebabnya.5
c) Keratitis Endotelial5
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula –
mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel
kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih
mungkin dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel –
sel radang pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak
selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga
merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak
mneyertai keratitis stroma.
2.3.2 Berdasarkan organisme penyebabnya:
a) Keratitis Bakterial7
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri.
Sejumlah bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus
epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis,
pseudomonas dan haemophilus. Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi
kornea sepanjang epitel kornea masih intak. Hanya bakteri gonococci dan
difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang intak. Gejala – gejalanya
antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan sekret
purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan, keratitis
virus mempunyak sekret yang berair. Terapi konservatif pada keratitis
bakteri adalah antibiotik topikal (ofloxacin dan polymixin) yang
berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negative
sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui. Immobilisasi badan
7
siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada iritasi intraocular.
Keratitis bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes mata ataupun
salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan jika
terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.
b) Keratitis Viral7
i. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam berbagai
bentuk seperti: keratitis pungtata superfilis, keratitis dendritic,
keratitis profunda. Keratitis dendritic yang disebakan oleh virus
akan memberikan gambaran spesifik berupa infiltrate pada kornea
dengan bentuk seperti ranting pohon yang bercabang-cabang
dengan memberikan uji fluorescein positif nyata pada tempat
percabangan. Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan
karena ujung saraf ikut terkena infeksi virus herpes simpleks.
Infeksi ini biasanya bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer
berjalan tanpa gejala klinis atau sub klinis. Virus pada infeksi
primer masuk melalui akson saraf menuju ganglion dan menetap
menjadi laten. Bila penderita mengalamin penurunan daya tahan
tubuh seperti demam maka akan terjadi rekurensi.
Gejala keratitis virus herpes simpleks sangat nyeri, fotopobia,
lakrimasi dan edema palpebral. Bentuk keratitis virus herpes
simpleks dibedakan berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea.
Keratitis dendritic mempunyai khas lesi epitel yang bercabang,
sensitifitas kornea menurun dan dapat berkembang menjadi
keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel yang
intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea
disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena
virus herpes simpleks terdapat pada humor aquos yang
menyebabkan pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis
retinal akut mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada
pasien imunokompromis (AIDS).
Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin
8
dan asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat
berbahaya, karena gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses
berjalan trus karena daya tahan tubuh yang berkurang.
ii. Keratitis Herpes Zoster
Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes
zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak
hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila
terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan
keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes zoster
akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata
akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia
dolorosa). Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian
analgetika, vitamin dan antibiotik topical atau umum untuk
mencegah infeksi sekunder.
iii. Keratitis Jamur
Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida
albicans. Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan -
bahan organic yang mengandung jamur seperti ranting pohon.
Pasien pada umumnya mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada
inspeksi didapatkan mata merah, ulkus yang berbatas tegas dan
dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous. Pada
pemeriksaan slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang berwarna
putih keabuan, khusuhnya jika penyebabnya adalah candida
albicans. Lesi – lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi
yang besar membentuk lesi satelit. Indentifikasi mikrobiologi
jamur sulit dan memakan waktu. Pengobatan konservatif berupa
anti nikotik topikal seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B,
sedangkan tindakan pembedahan berupa keratoplasti jika dengan
pengobatan konservatif gagal dan keadaan makin memburuk dalam
perawatan.
iv. Keratitis Akantamoeba
Gejalanya berupa pasien mengeluh nyeri, fotopobia dan lakrimasi.
9
Pasien sering mempunyai riwayat beberapa minggu atau bulan
tidak berhasil dengan pengobatan antibiotik. Dari inspeksi
menunjukkan mata merah unilateral biasanya tidak mempunyai
secret. Infeksi dapat membentuk infiltrate pada sub epitel,
opasasifikasi disiformis intrasstromal pada kornea atau abses
kornea yang membentuk cincin.
Amoeba air tawar ini menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi ini
menjadi lebih sering terjadi seiring dengan peningkatan
penggunaan lensa kontak lunak. Terjadi keratitis yang nyeri
dengan tonjolan saraf kornea. Amoeba dapat diisolasi dari kornea
(dan dari lensa kontak) dengan kerokan dan dikultur dalam media
khusus yang dipenuhi dengan Escherichia coli.
v.
2.4 Manifestasi klinis dan diagnosis
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia,
penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan
blefarosspasma.5
Oleh karena korea memiliki banyak serat – serat saraf, kebanyakan lesi
kornea baik supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan
fotofobia. Nyeri pada keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral
(umunnya palpebral superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga
terjadi penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan
merefraksikan cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi
kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian central.8
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi
epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan
bintik – bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi
di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi
10
secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi
flouresent.2
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi
tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi
reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.3
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial terkait.7
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi
hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis
stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang
bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke
epitel kornea.8
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan
flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat
terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial
dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya
refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh
kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat. Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata
epithelial atau Thygenson’s desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau
peradangan pada kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa
pungtata yang terlihat seperti titik – titik meskipun dapat juga berupa dendritic
11
dengan gambaran linier dan bercabang. Karateristik dengan tidak adanya jaringan
parut sisa dan jarang menyisakan penglihatan.8 Keadaan yang meyebabkan
penyakit ini dapat berupa infeksi mata (virus, bakteri) maupun noninfeksi seperti:
a) Abnormalitas air mata
b) Reaksi imun
c) Denervasi
d) Distrofi
e) Trauma kimia ringan
f) Lensa kontak
g) Reaksi terhadap pengobatan sistemik, dll
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan
air mata yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi
biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik
abu – abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini, tergantung
factor penyebabnya. Pengguna kortikosteroid topikal terbukti dapat mengurangi
gejala.8
Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan
menggunakan slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat
menggunakan loup. Hal tersebut dapat memberikan gambaran defek epithelial.
Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai informasi yang berguna
dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis pungtata superfisial.10
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble
yang tersedia dalam beberapa sediaan: dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun
dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens
akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk
makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi
yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens yang
terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma
kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.1
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan selama terjadi inflamasi
12
aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak
begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis
pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit
lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat
dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis
maupun penanganan penyakit.10
2.5 Penatalaksaan / Terapi
Terdapat beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis
pungtata superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata
artifisial seringkali adekuat pada kasus – kasus yang ringan. Air mata artifisial
dapat mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata.
Mereka tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih,
pembilas dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel
superfisial untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin
dari air mata.11
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien,air mata artifisial dengan
viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada
pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat
pemaparan (exposure keratitis), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi
digunakan karena waktu retensinya yang panjang.8
Lensa kontak terapeutik yang lunak dapat digunakan sebagai lubrikasi
alternative pada beberapa kasus yang berat, walau komplikasi potensial (seperti
keratitis microbial) dapat terjadi. Lensa kontak memperbaiki gejala dengan
menutupi lesi kornea dan saraf yang secara konstan mengalami fraksi dengan
konjungtiva selama berkedip.10
Sekitar 90% dari inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu
epitel yang tidak intsk dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea.
Penanganan diawali dengan antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum
terhadap kebanyakan organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil
kultur dan tes sensitifitas diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk
aminoglycoside dengan cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit.
13
Seringkali digunakan ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata –
rata penyembuhan dan penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.8
Penggunaan kortikosteroid topikal masih kontroversial dikarenakan
penggunaannya pada infeksi virus dan jamur dikontraindikasikan. Akan tetapi
kortikosteroid sistemik dapat mencegah perforasi kornea dan pembentukan
jaringan parut pada kornea.3 Antibiotik sistematik digunakan apabila terdapat
ekstensi ke sklera akibat infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada
pasien. Levofloxacin maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus
yang baik dengan pemberian oral. Tidak perlu untuk menangani pasien hingga
seluruh lesi di kornea hilang. Akan tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga
pasien dapat mencapai titik kenyamanan.5
2.5 Prognosis
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika
tidak terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan
metode penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien
dengan keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat
timbul pada kasus – kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung
lama.1
14
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama : DAP
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. P.Aru, Denpasar
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Suku : Lombok
Tanggal Pemeriksaan : 13 Oktober 2015
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Mata merah
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dengan keluhan mata merah
sejak seminggu yang lalu. Mata merah dirasakan pada mata kanan. Mata merah
dirasakan secara mendadak, saat selesai mengendarai sepeda motor. Keluhan ini
diperburuk semenjak pasien memakai lensa kontak kemarin sore. Pasien juga
mengeluh munculnya bercak putih pada mata kanan pasien dikatakan sejak 5 hari
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan rasa silau, terkadang nyeri, sering
mengeluarkan air mata dan sering terdapat kotoran mata dan sedikit gatal. Pasien
mengatakan keluhan mata merah ini sudah sering dialami pasien, terutama saat
pasien selesai berkendara sepeda motor. Pasien mengatakan saat berkendara
sepeda motor pasien tidak menggunakan pelindung mata. Keluhan lain seperti
pusing, sakit kepala, rasa mual dan muntah serta pandangan kabur disangkal oleh
pasien. Riwayat alergi makanan atau obat-obatan juga disangkal oleh pasien.
15
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan yang sama. Terakhir kali pasien
mengalami keluhan yang sama kurang lebih sekitar 2 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan dulu sering pergi ke mantra, lalu ketika tidak sembuh dengan obat
mantra pasien pergi ke dokter spesialis mata. Dokter spesialis mata memberikan
obat tetes mata, namun pasien lupa dengan nama obatnya. Pasien juga
mengatakan seminggu yang lalu sempat terkena flu, dan dikatakan sudah
membaik krang lebih 3 hari yang lalu. Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi, diabetes militus, asma, dan jantung disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan pada keluarganya tidak ada yang pernah mengalami keluhan
yang sama.. Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes militus, asma,
dan jantung disangkal oleh pasien.
Riwayat sosial
Pasien adalah seorang mahasiswa di STIKI Bali. Pasien baru menetap selama 2
bulan di Bali. Pasien tinggal bersama dengan kakak pasien. Pasien mengatakan
pada lingkungan pasien tidak ada yang memiliki keluhan mata merah yang sama
dengan pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 kali / menit
Temperatur aksila : 36,5 °C
16
Pemeriksaan Fisik Khusus (Lokal pada Mata)
Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra (OS)
Visus
Refraksi/Pin Hole
6/6 6/6
Supra cilia
Madarosis
Sikatriks
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Palpebra superior
Edema
Hiperemi
Enteropion
Ekteropion
Benjolan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Palpebra inferior
Edema
Hiperemi
Enteropion
Ekteropion
Benjolan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Pungtum lakrimalis
Pungsi
Benjolan
Tidak dilakukan
Tidak ada
Tidak dilakukan
Tidak ada
Konjungtiva palpebra superior
Hiperemi
Folikel
Sikatriks
Benjolan
Sekret
Papil
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior
Hipermi Tidak ada Tidak ada
17
Folikel
Sikatriks
Benjolan
Sekret
Papil
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Konjungtiva bulbi
Kemosis
Hiperemi
- Konjungtiva
- Silier
Perdarahan di bawah
konjungtiva
Pterigium
Pingueculae
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Sklera
Warna
Pigmentasi
Putih
Tidak ada
Putih
Tidak ada
Limbus
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Kornea
Odem
Infiltrat
Ulkus
Sikatriks
Keratik presipitat
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kamera okuli anterior
Kejernihan
Kedalaman
Jernih
Normal
Jernih
Normal
Iris
Warna
Koloboma
Coklat
Tidak ada
Coklat
Tidak ada
18
Sinekia anterior
Sinekia posterior
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Pupil
Bentuk
Regularitas
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya konsensual
RAPD
Bulat
Reguler
Ada
Ada
Negatif
Bulat
Reguler
Ada
Ada
Negatif
Lensa
Kejernihan
Dislokasi/subluksasi
Jernih
Tidak ada
Jernih
Tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
Tes flouresin : OD : (-) OS(+)
Pemeriksaan OD OS
Pergerakan bola mata
Lapang Pandang
NCT 15.7 mmHg 17.3 mmHg
3.4 Resume
19
N N N
N N N
N N N
Perempuan, 17 tahun, datang ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dengan
keluhan mata kiri merah sejak seminggu yang lalu Keluhan ini diperburuk
semenjak pasien memakai lensa kontak kemarin sore. Pasien juga mengeluh
munculnya bercak putih pada mata kiri pasien dikatakan sejak 5 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan rasa silau, terkadang nyeri, sering mengeluarkan air
mata dan sering terdapat kotoran mata dan sedikit gatal. Pasien mengatakan
pernah mengalami keluhan yang sama. Terakhir kali pasien mengalami keluhan
yang sama kurang lebih sekitar 2 tahun yang lalu.Pasien sempat berobat ke mantra
dan dokter spesialis mata dan diberikan obat tetes mata, namun pasien lupa
dengan nama obatnya. Pasien juga mengatakan seminggu yang lalu sempat
terkena flu, dan dikatakan sudah membaik krang lebih 3 hari yang lalu. Pasien
adalah seorang mahasiswa di STIKI Bali. Pasien baru menetap selama 2 bulan di
Bali, dan pasien tinggal bersama dengan kakak pasien
Pemeriksaan lokalis
OD Pemeriksaan OS
6/6 Visus 6/6
Normal Palpebra Normal
Tenang Konjungtiva CVI(+) PCVI(+)
Jernih Kornea Infiltrat(+)
Normal Bilik Mata Depan Normal
Bulat, reguler, sentral Iris/Pupil Bulat,regular,sentral
Positif Refleks Pupil Positif
Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreus Jernih
15,7 NCT 17.3
3.5 Diagnosis Banding
20
1. OS Keratitis
2. OS Uveitis
3. OS Konjungtivitis
3.6 Diagnosis Kerja
OS Keratitis ec. Susp. Viral dd Bakteri
3.7 Terapi
Antibiotik tetes mata poligran 6x1 tetes OS
Cendo lytters 6x1 tetes OS
Vit C 500mg tab 1x1
3.8 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad sationam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
21
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
1. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eye
dan Cornea. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal
Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore:
American Academy of Ophthalmology; 2007. p.5-14
2. Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 2009 [cited 2015
October]; [1 screen]. Available from
URL:http://bjo.bmj.com/cgi/pdf_extract
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam: Ilyas
S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010.
H 147-78
4. Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis [online]. 2010 [cited
2015 October] ; [4 screen]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/798100
5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2010. p. 1-13
6. Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In: Vaughan
D,Asbury T, Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15th edition.
Connecticut; Appleton & lange; 1999. p. 1-26
7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D.
Manual of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia;
Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 67-129
8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut; Appleton & Lange; 1999. p.
119-41
9. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related
Disorders of the External Eye. In: Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic
22
and Cliniccal Science Cources: External Disease dan Cornea 2008-2009.
Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2007. p.205-41
10. Lang GK. Cornea. In: Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. 2nd edition. Stuttgart; thieme; 2007. p. 115-60
11. Duszak RS. Thygeson Superficial Punctata Keratitis [online]. 2011 [cited
2015 October]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/1197335
23