kerangka pemikiran reformasi perencanaan dan … · beberapa panduan yaitu: modul 1. kerangka...

49
Modul 1 KERANGKA PEMIKIRAN REFORMASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Upload: dotu

Post on 25-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Modul 1

KERANGKA PEMIKIRAN REFORMASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

 

 

 

i

Kata Pengantar

Dalam rangka penyusunan RPJMN 2010-2014 dan Renstra KL

2010-2014, diharapkan sudah mengimplementasikan pokok-pokok

reformasi perencanaan dan penganggaran seperti dituangkan dalam

UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

(SPPN) dan paket perundang-undangan di bidang Keuangan

Negara, terutama UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pokok-

pokok reformasi tersebut antara lain berkenaan dengan pelaksanaan

perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja dengan

perspektif jangka menengah.

Sebagai langkah awal pelaksanaan amanat undang-undang tersebut

di atas, diperlukan upaya penyempurnaan struktur Program dan

Kegiatan Kementerian/Lembaga. Sebagai langkah teknis

pelaksanaannya, diperlukan kegiatan pelatihan dan sosialisasi bagi

seluruh Kementerian/Lembaga dalam rangka upaya

penyempurnaan struktur Program dan Kegiatan tersebut. Sejauh ini

telah disusun pedoman Restukturisasi Program dan Kegiatan,

namun untuk menunjang pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan

Restrukturisasi Program dan Kegiatan kepada seluruh

Kementerian/Lembaga, masih dirasakan perlu untuk menyusun

beberapa panduan yaitu: Modul 1. Kerangka Pemikiran Reformasi

Perencanaan dan Penganggaran, Modul 2. Langkah Teknis

Penyusunan Program dan Kegiatan, serta Modul 3. Tutorial

Software Penyusunan Program dan Kegiatan.

Modul 1. Kerangka Pemikiran Reformasi Perencanaan dan

Penganggaran ini disusun untuk memberikan pembekalan mengenai

konsep perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja dan

berjangka menengah dalam rangka pelaksanaan reformasi

perencanaan dan penganggaran sebagaimana telah diamanatkan

oleh undang-undang.

ii

Walaupun penjelasan dalam modul ini telah dirasa memadai,

apabila masih terdapat hal-hal yang perlu untuk didiskusikan,

kiranya dapat menghubungi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Direktorat Alokasi Pendanaan Pembangunan Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta 10301 Telepon (021) 3910201 Ext. 308, 568, 569, 570, 571 dan 472 Fax (021) 3148553

iii

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................ i DaftarIsi .................................................................. iii

A. Reformasi Perencanaan Dan Penganggaran ...... 1 B. Konsep Kerangka Pendanaan (Public

Expenditure Management) ................................... 3 a)  Aggregate Fiscal Discipline .............................. 3 b)  Allocative Efficiency .......................................... 4 c)  Operational Efficiency ...................................... 8 

C.  Tujuan, sasaran dan tantangan penerapan Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja ............................ 11 

D.  Prasyarat dan Syarat Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja dan Berjangka Menengah ............................................................... 14 

E.  penerapan Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah .............................................. 17 

F.  penerapan Perencanaan dan Penganggaran berbasis kinerja ....................................................... 21 

G.  Pencapaian dan Permasalahan yang Dihadapi Saat Ini .................................................................... 27 a)  Aggregate Fiscal Discipline .............................. 27 b)  Allocative Efficiency .......................................... 28 c)  Operational Efficiency ...................................... 30 

H.  Permasalahan Desain Program ............................... 30 I.  Pendekatan Penyempurnaan Desain Program dan

Kegiatan Kementerian/Lembaga (Restrukturisasi program dan kegiatan) ............................................ 34 a)  Prinsip Restrukturisai Program dan Kegiatan ... 34 b)  Desain Arsitektur Program ................................ 35 c)  Pendekatan Penyusunan Kinerja ....................... 38 

 

 

 

1

A. REFORMASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Reformasi perencanaan dan penganggaran diawali dengan

diterbitkannya peraturan perundang-undangan seperti Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional. Peraturan perundang-

undangan tersebut telah dilengkapi dengan PP Nomor 20/2004

tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PP Nomor 21/2004

tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga

(RKA-K/L), PP Nomor 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian

dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP Nomor

40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan

Nasional yang menekankan pada perencanaan dan penganggaran

yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting1), berjangka

menengah (Medium Term Expenditure Framework2) dan sistem

penganggaran terpadu (Unified Budgeting3).

Perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja, berjangka

menengah serta penganggaran terpadu merupakan perwujudan dari

pelaksanaan tiga prinsip pengelolaan keuangan publik (Public

1   Mekanisme dalam meningkatkan manfaat sumber daya yang dianggarkan ke sektor

publik terhadap pencapaian hasil (outcome) dan keluaran (output) melalui key performance indicators (KPI) yang terkait dengan 3 (tiga) hal yaitu (i) Pengukuran kinerja, (ii) Pengukuran biaya untuk menghasilkan penggunaan informasi kinerja outcome dan output, serta (iii) Penilaian keefektifan dan efisiensi belanja dengan berbagai alat analisis

2 Pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju

3 Penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana

2

Financial Management), yaitu; (i) Kerangka Kebijakan Fiskal Jangka

Menengah (Medium Term Fiscal Framework4) yang dilaksanakan

secara konsisten (aggregate fiscal disciplin); (ii) Alokasi pada prioritas

untuk mencapai manfaat yang terbesar dari dana yang terbatas

(allocative efficiency) yaitu melalui penerapan Kerangka Pengeluaran

Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) yang terdiri

dari penerapan Prakiraan Maju (Forward Estimates5), Anggaran

Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), dan Anggaran

Terpadu (Unified Budget); dan (iii) Efisiensi dalam pelaksanaan

dengan meminimalkan biaya untuk mencapai sasaran yang telah

ditetapkan (technical and operational efficiency).

Agar penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM),

Anggaran Berbasis Kinerja, dan Anggaran Terpadu dapat

dioptimalkan, diperlukan suatu upaya untuk menata kembali

struktur program dan kegiatan Kementerian/Lembaga

(restrukturisasi program dan kegiatan). Restrukturisasi program dan

kegiatan tersebut bertujuan mewujudkan perencanaan yang

berorientasi kepada hasil (outcome) dan keluaran (output) sebagai

dasar; (i) Penerapan akuntabilitas Kabinet, dan (ii) Penerapan

akuntabilitas kinerja Kementerian/Lembaga. Hasil dari

restrukturisasi program dan kegiatan tersebut akan

diimplementasikan dalam penyusunan RPJMN 2010-2014 dan

Renstra K/L 2010-2014.

4 Pendekatan penyusunan prakiraan resource envelope (ketersediaan anggaran) dalam jangka menengah

yang sesuai dengan tujuan kebijakan fiskal jangka menengah (menjaga kesinambungan fiskal/fiscal sustainability)

5 Perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya

3

B. KONSEP KERANGKA PENDANAAN (PUBLIC EXPENDITURE MANAGEMENT)

Diagram Pendekatan Reformasi Perencanaan Dan Penganggaran

a) Aggregate Fiscal Discipline (Disiplin Fiskal Agregat)  

Dalam rangka mewujudkan anggaran yang sehat dan

berkesinambungan perlu diterapkan konsep aggregate fiscal discipline.

Prinsip ini merupakan sebuah guideline dalam melakukan

penganggaran terutama dalam menentukan besaran pengeluaran

pemerintah.

Penerapan konsep aggregate fiscal discipline terkait dengan tahapan

penyusunan kerangka ekonomi makro yang berkesinambungan dan

sehat terhadap anggaran negara (Kerangka Kebijakan Fiskal Jangka

Menengah/Medium Term Fiscal Framework). Kerangka makro ini

harus dapat memadukan proyeksi yang bersifat “politis” yang

menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi (ekspansif) dan

proyeksi yang mempertimbangkan kesinambungan fiskal.

4

Dalam penerapan konsep aggregate fiscal discipline diperlukan setting

institusi yang menitikberatkan pada peran central agencies. Central

agencies berperan dalam menentukan sasaran fiskal. Central agencies

harus dapat menyediakan perkiraan resources envelope agregat

sehingga disiplin fiskal dapat direncanakan dengan baik melalui

pertimbangan yang netral, menyeluruh dan lintas sektoral.

Schick6 menyebutkan bahwa aturan main untuk memastikan adanya

kontrol terhadap pengeluaran fiskal agregat sebaiknya ditetapkan

melalui proses pengambilan keputusan yang ter-sentralisasi atau top-

down, dan harus dipatuhi oleh kementerian dan lembaga

pemerintahan lainnya.

Central agencies berwenang untuk menentukan besaran yang bersifat

agregat. Detail pengeluaran dan penggunaan akan dilimpahkan

kepada pengguna anggaran maupun ke dalam unit-unit lainnya yang

bersifat operasional. Untuk itu kerjasama dan komitmen yang baik

antar lembaga merupakan faktor penting dalam menentukan

keberhasilan konsep ini. Konsep ini sebaiknya juga dapat disusun

secara independen dari tekanan-tekanan sektoral maupun politis.

Jika tidak bisa lepas dari tekanan-tekanan tersebut maka anggaran

negara cenderung akan bersifat akomodatif.

b) Allocative Efficiency (Efisiensi Alokasi)  Konsep allocative efficiency me ngacu kepada kapasitas pemerintah

untuk mendistribusikan sumber daya yang ada kepada program

maupun kegiatan yang lebih efektif dalam mencapai sasaran

pembangunan nasional (strategic objective).

Dalam pelaksanaannya, pemerintah dituntut untuk dapat melakukan

prioritasi terhadap anggaran guna mencapai sasaran pembangunan

yang diwujudkan dengan mempertegas keterkaitan yang erat antara

prioritas, program dan kegiatan pokok dengan penganggarannya.

6 Schick, A., A Contemporary Approach to Public Expenditure Management, pp.47-88. 

5

Penentuan prioritas memuat fokus dan kegiatan-kegiatan prioritas

yang jelas dan terukur (serta dilengkapi dengan perhitungan biaya

yang jelas) sehingga dapat lebih mencerminkan pemecahan masalah

terhadap sasaran pembangunan nasional yang ditetapkan.

Penerapan konsep Allocative Efficiency dilaksanakan melalui:

1. Unified Budget (anggaran terpadu) memperlihatkan keterpaduan

(konsolidasi) antara anggaran operasional dengan anggaran

investasi. Hal ini akan memberikan gambaran pelaksanaan

efisiensi alokasi oleh satuan kerja/unit organisasi tertentu.

2. Forward Estimates yang memperhitungkan konsekuensi putusan

terhadap anggaran pada tahun berikutnya dalam bentuk rolling

plan. Penerapan forward estimates dalam perspektif jangka

menengah menciptakan kepastian pendanaan bagi

kementerian/lembaga. Kepastian tersebut memberikan

kesempatan pada kementerian/lembaga dalam merencanakan

pengeluaran/belanja pada tahun-tahun berikutnya secara efisien

sesuai dengan prinsip allocative efficiency.

3. Performances Based Budgeting (anggaran berbasis kinerja), dengan

prasyarat berupa fleksibilitas pada pengguna anggaran serta fokus

terhadap outcomes.

a) Penganggaran berbasis kinerja menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran dari program/kegiatan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari penggunaan sumber daya yang terbatas.

b) Anggaran berbasis kinerja dalam konsep allocative efficiency mengarah pada peningkatan efektivitas pengeluaran melalui alokasi sumber daya pada prioritas tertinggi agar hasil yang diharapkan dapat tercapai.

6

Berkaitan dengan 3 (tiga) poin di atas, dalam rangka penerapan

konsep allocative efficiency dalam sistem perencanaan dan

penganggaran, ada beberapa hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu

yaitu :

1. Adanya kerangka sasaran jangka menengah (terkait disiplin

fiskal).

2. Adanya prioritas yang terdesain dengan baik dalam mencapai

sasaran pembangunan baik yang bersifat nasional maupun

sektoral.

3. Adanya kewenangan pengeluaran, perubahan maupun

penghematan alokasi pada pengguna anggaran.

4. Pemerintah mendorong realokasi untuk meningkatkan efektivitas

program. Pengguna anggaran berkewajiban untuk mengevaluasi

kegiatan dan melaporkan kinerja dan outcome yang dihasilkan.

5. Adanya cabinet review yang memfokuskan pada perubahan

kebijakan yang ada atau kebijakan baru.

Pada tahap pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

(KPJM), konsep allocative efficiency diterapkan pada saat spending

ministry merencanakan kegiatannya (proposal kegiatan) setelah

menerima pagu dari central agencies, dengan kewenangan

penyusunan kegiatan dilakukan sepenuhnya oleh spending ministry.

Proposal tersebut harus mencakup penjelasan masing-masing

kebijakan yang direncanakan, perubahan kebijakan yang dilakukan,

keputusan alokasi yang signifikan, sasaran baru dengan mengacu

kepada prioritas nasional saat itu.

Proposal tersebut, sebaiknya juga telah didahului oleh review yang

dilakukan oleh spending ministry terhadap program dan kegiatan

berjalan. Review bertujuan untuk melihat efisiensi dan efektivitas

masing-masing kegiatan sehingga dapat dipertimbangkan dalam

usulan alokasi. Review ini diharapkan juga dapat menghasilkan

sasaran, kegiatan, indikator kinerja dan kebutuhan alokasinya.

7

Proses hearing atas proposal yang dilakukan oleh central agencies

bersama spending ministry pengusul juga dapat digunakan sebagai

forum untuk mengimplementasikan prinsip allocative efficiency

sehingga keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran menjadi

lebih kuat.

Selain itu, konsep allocative efficiency dapat diwujudkan dengan

adanya kapasitas untuk melakukan realokasi anggaran. Realokasi

tersebut dapat digunakan untuk mempertajam alokasi pada prioritas

serta merencanakan efisiensi suatu kegiatan.

Realokasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dilakukan

secara terpusat atau diserahkan pada masing-masing pengguna

anggaran. Jika dilakukan secara terpusat, maka keuntungan yang

didapat yaitu :

1. Realokasi yang bersifat lintas sektoral.

2. Pertimbangan secara nasional terhadap prioritas dan sasaran

pembangunan.

3. Kriteria untuk memiliki kegiatan yang direalokasi dapat

diterapkan misalnya, kriteria tingkat penyerapan. Hal ini akan

mempermudah proses realokasi di berbagai kegiatan.

4. Mempermudah pelaksanaan disiplin fiskal.

5. Adanya kecenderungan pengguna anggaran enggan melakukan

realokasi.

6. Mendorong langkah pengguna anggaran untuk lebih

mengefisienkan anggarannya.

Adapun kondisi penerapan konsep allocative efficiency (efisiensi

alokasi) dalam konteks perencanaan dan penganggaran berbasis

kinerja dan berjangka menengah dibagi menjadi 3 tahapan

penerapan yaitu :

1. Presentational, yang diarahkan untuk meningkatkan akuntabilitas

kinerja dengan cara pencantuman performance targets dan/atau

performance results. Meskipun belum ada keterkaitan antara

8

kinerja dan alokasi anggaran, langkah ini sudah akan membuat

kementerian/lembaga lebih concern terhadap proposal anggaran

yang diajukan.

2. Performance  informed  budgeting,  yang  diarahkan  untuk memperkuat  perencanaan dan/atau  akuntabilitas  kinerja.  Pada tahap ini terdapat sedikit keterkaitan (loose/indirect link) antara kinerja dan alokasi anggaran. 

3. Direct/  formula  performance  budgeting,  yang  ditujukan  untuk alokasi anggaran dan akuntabilitas kinerja. Fokus  terletak pada performance  results  sehingga  sudah  terdapat  tight/direct  link antara kinerja dan alokasi anggaran. Pada penerapan  tahap  ini, setelah  terpenuhinya  direct  link  antara  kinerja  dan  alokasi anggaran maka dilakukan monitoring dan  evaluasi  pada  results kinerja dan realisasi anggaran. 

Kategori Tahapan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (OECD)

Tipe

Hubungan Antara Informasi Kinerja

Dengan Pendanaan

Rencana Atau Kinerja Aktual

Tujuan Utama Dalam Proses Penganggaran

Presentational Tidak ada hubungan

Target/ Hasil Kinerja

Akuntabilitas

Performance informed budgeting

Hubungan secara tidak langsung

Target/ Hasil Kinerja

Perencanaan dan/atau akuntabilitas

Direct/formula performance budgeting

Hubungan erat/ langsung

Hasil kinerja

Alokasi sumber daya dan akuntabilitas

Sumber : diambil dari presentasi Leslie Fischer, National Treasury, Government of South Africa.

c) Operational Efficiency (Operasional Efisiensi) 

Konsep operational efficiency menekankan pada efisiensi dari sumber

daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan

output yang dihasilkan oleh pengguna anggaran tersebut. Penerapan

konsep tersebut melalui pelaksanaan kegiatan (service delivery) dengan

9

biaya yang sehemat mungkin (mengupayakan unit cost yang

minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah

ditetapkan.

Pada tahap pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

(KPJM), konsep ini diterapkan ketika spending ministry menyusun

proposal alokasi mereka. Mereka diberi kewenangan untuk

menyusun usulan mereka didalam pagu alokasi yang diberikan oleh

central agencies.

Dengan kewenangan menyusun alokasi didalam pagu anggaran

serta adanya kepastian pendanaan, maka spending ministry dapat

menerapkan aspek efisiensi sebagai pertimbangan memilih kegiatan

untuk mencapai sasaran pembangunan yang ditetapkan. Aspek

efisiensi kegiatan akan semakin kuat saat prinsip anggaran berbasis

kinerja telah berjalan, dimana indikator kinerja kegiatan dapat

digunakan sebagai alat evaluasi untuk menunjukkan tingkat efisiensi

pelaksanaan kegiatan tersebut.

Hearing yang dilakukan oleh central agencies bersama spending ministry

sebagai pengusul kegiatan dapat dijadikan wadah untuk

mengusulkan penerapan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan.

Dalam konsep operational efficiency, konteks Kerangka Pengeluaran

Jangka Menengah diarahkan pada meningkatkan efisiensi

pengeluaran melalui satuan biaya outcomes terendah sehingga secara

tidak langsung akan mewujudkan aspek produktivitas dalam

pelaksanaan kegiatan.

Secara garis besar terdapat tiga tahapan didalam penerapan konsep

operational efficiency, yaitu dalam proses pemberian kewenangan

kepada spending minstry untuk menyusun alokasi pendanaannya:

1. Kontrol eksternal, merupakan sistem dimana kontrol terhadap

penggunaan anggaran sepenuhnya dilakukan oleh badan diluar

pengguna anggaran.

10

2. Kontrol internal, merupakan tranformasi dari sistem kontrol

eksternal. Dalam sistem ini, kewenangan mulai diberikan kepada

pengguna anggaran.

3. Akuntabilitas manajemen (management accountability),

menitikberatkan pada kontrol terhadap output. Dalam sistem ini

manajer pengguna anggaran memperoleh kewenangan penuh/

fleksibilitas dalam merencanakan dan mengelola anggaran

mereka.

Hubungan Fleksibilitas Kewenangan Anggaran dan Akuntabilitas dalam Konsep Efisiensi Operasional (Operational Efficiency)

Sistem Pelaksana

Kewenangan Kontrol Mekanisme

Akuntabilitas

Kontrol Eksternal

Central Agencies

Kontrol dilakukan terhadap input (item dalam pengeluaran)

Kesesuaian dengan aturan pemerintah serta aturan mengenai penganggaran. Pre audit of transaction

Kontrol Internal

Spending Ministry

Kontrol dilakukan terhadap input namun sudah tidak berupa item tapi lebih pada jenis kelompok pengeluarannya (classes of expenditure))

Sistem yang di terapkan di K/L sesuai dengan standar pemerintah. Post audits of transactions

Akuntabilitas Manajerial

Spending Manager

Kontrol dilakukan terhadap Output dan biaya operasional (running cost)

Akuntabilitas pada output. Ex ante: penyusunan indikator kinerja. Ex post: audit dari output dan pelaksanaan.

Sumber : Allen Schick. A Contemporary Approach of Public Expenditure Management, IBRD. 1997.

11

C. TUJUAN, SASARAN DAN TANTANGAN PENERAPAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN BERJANGKA MENENGAH DAN BERBASIS KINERJA

Perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan berbasis

kinerja menggambarkan pencapaian sasaran atau tujuan instansi

pemerintah dalam rangka pelaksanaan visi, misi dan strategi instansi

pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan pelaksanaan

kegiatan sesuai program yang telah ditetapkan dalam multi-tahunan.

(1) Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja 

Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis

Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana

yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output,

melalui formal performance information yang terkait dengan tiga hal

yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan

output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi

pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.7

Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis

Kinerja disusun berdasarkan sasaran tertentu yang hendak dicapai

dalam beberapa tahun mendatang. Sedangkan program dan kegiatan

disusun serta kebutuhan alokasi pendanaanya disusun berdasarkan

rencana strategis spending ministry yang telah dikonsultasikan dengan

central agency.

Adapun tujuan penerapan perencanaan dan penganggaran berjangka

menengah berbasis kinerja adalah:

7 Robinson, M., & Brumby. J. Does Performance Budgeting Work? An Analytical Review of The Empirical Literature. IMF Working Paper. 2005:210 

12

1. Meningkatkan allocative efficiency dan productive efficiency dalam

pengeluaran publik, sehingga dapat memanfaatkan anggaran

secara efektif dan efisien.

a) Allocative efficiency (Efisiensi Alokasi); yaitu (i). Alokasi sumber daya sesuai dengan prioritas, dan (ii). Memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari alokasi sumber daya yang terbatas.

b) Productive efficiency (Efisiensi Produktif). Tingkat keberhasilan dalam menghasilkan output yang ditargetkan dengan biaya minimum (kualitas konstan).

Peningkatan penggunaan anggaran secara efektif dan efisien

dapat didukung dengan adanya sistem insentif bagi spending

ministry.

2. Meningkatkan akuntabilitas spending ministry dengan cara antara

lain:

a) Menjelaskan visi, misi, tujuan, evaluasi dan penggunaan informasi kinerja dalam pengambilan keputusan perencanaan dan penganggaran,

b) Memperjelas indikator kinerja dalam mendukung perbaikan efisiensi dan keefektifan dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam jangka menengah,

c) Memperbaiki koordinasi, mengeliminasi program ganda dan membuktikan informasi yang benar bagi pembuat kebijakan,

3. Meningkatkan fleksibilitas anggaran spending ministry dengan

fokus pada proses persetujuan legislatif yang lebih dititk beratkan

kepada outcomes bukan input.

4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses

pemerintahan, dengan asumsi masyarakat akan turut serta dalam

proses kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang lebih

mengarah pada pendekatan hasil bukan proses. (Masyarakat

lebih tertarik kepada hasil dibandingkan proses).

13

Adrienne Shall (2008) berdasarkan lesson learned di negara Afrika

Selatan, mendefinisikan tujuan perencanaan dan penganggaran

berjangka menengah dan berbasis kinerja yaitu :

1. Menentukan alokasi yang mencerminkan prioritas,

2. Merencanakan service delivery dari pelaksanaan suatu kegiatan,

3. Memantau efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya

pada setiap program,

4. Mengidentifikasi pada hal apa dimana penghematan perlu

dilakukan serta dimana pendanaan lebih dibutuhkan.

(2) Sasaran Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja 

Sasaran penerapan perencanaan dan penganggaran berjangka

menengah dan berbasis kinerja adalah untuk meningkatkan

akuntabilitas manajemen yang terkait dengan kejelasan dalam tujuan

pelaksanaan atau tanggung jawab anggaran serta sistem pengelolaan

anggaran.

Selain itu, sasaran perencanaan dan penganggaran berjangka

menengah dan berbasis kinerja didefinisikan oleh Robinson, M., dan

Brumby. J. (2005) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya efisiensi alokasi dan efisiensi operasional dalam

pembelanjaan publik.

2. Meningkatnya keterkaitan yang kuat antara tujuan tingkat makro

(prioritas) dengan pembelanjaan agregat dan kestabilan fiskal.

3. Meningkatnya upaya penghematan terhadap agregat belanja,

dengan cara:

a) Efisiensi alokasi

b) Konsolidasi fiskal

c) Penyempurnaan prioritas pembelanjaan (memastikan lebih banyak sumberdaya yang diberikan langsung pada front line services)

14

(3) Tantangan Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja 

Tantangan yang dihadapi dalam penerapan perencanaan dan

penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja adalah

bagaimana desain program dapat menampilkan informasi kinerja

yang dibutuhkan yang berhubungan dengan kejelasan pertanggung

jawaban terhadap pengalokasian anggaran dan pelaksanaan

program.

Menurut Yuwono, S., Indrajaya, T.A., dan Hariyadi (2005)

tantangan tersebut diantaranya :

1. Kesulitan membedakan dampak penerapan perencanaan dan

penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja dengan

dampak perubahan strategis lainnya, hal tersebut dikarenakan

perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan

berbasis kinerja merupakan bagian dari perubahan manajemen

anggaran.

2. Keberhasilan penerapan perencanaan dan penganggaran

berjangka menengah dan berbasis kinerja tidak hanya tergantung

pada desain teknis strategis, ada faktor kontekstual lainnya

(misal: sistem politik, budaya politis, kondisi fiskal - dampak

yang sulit terukur).

D. PRASYARAT DAN SYARAT PENERAPAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DAN BERJANGKA MENENGAH

Dalam penerapan perencanaan dan penganggaran berjangka

menengah dan berbasis kinerja dibutuhkan suatu prasyarat dan

syarat yang harus dipenuhi sebelum menentukan tahapan

pelaksanaan.

15

Prasyarat penerapan perencanaan dan penganggaran berjangka

menengah dan berbasis kinerja menurut Allen Schick (1997), yaitu :

1. Sebelum perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja

diterapkan sebaiknya telah tercipta sebuah lingkungan atau

kondisi yang mendukung dan telah berorientasi pada kinerja.

2. Sebelum melakukan perubahan kepada kontrol terhadap output

sebaiknya telah terbentuk sistem kontrol terhadap input yang

kuat.

3. Sebelum merubah sistem akuntansi menjadi sistem akrual,

sebaiknya telah berjalan sistem account for cash yang baik.

4. Sebelum merubah mekanisme kontrol menjadi sistem kontrol

internal sebaiknya telah terbentuk sistem kontrol eksternal yang

baik dan untuk bergeser menjadi mekanisme akuntabilitas

manajerial (managerial accountability) diperlukan sistem kontrol

internal yang baik.

5. Telah beroperasinya sistem akuntansi yang handal sebelum

diterapkannya sistem keuangan yang terintegrasi (intregated

financial management system).

6. Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian yang

berorientasi pada output sebelum difokuskan pada outcome.

7. Telah berjalannya mekanisme kontrak (formal contract) dengan

baik di pasar (perekonomian) sebelum diterapkannya mekanisme

kontrak kinerja (performance contracts).

8. Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum

audit kinerja (performance audit) dilakukan.

9. Adanya budget negara yang realistis dan predictable sebelum

menuntut para manajer untuk bertindak efisien dan efektif dalam

menggunakan anggarannya.

Sedangkan syarat penerapan perencanaan dan penganggaran

berjangka menengah dan berbasis kinerja terkait dengan :

1. Adanya Prioritasi (Robinson, M., & Brumby. J. 2005), yang

dicirikan dengan:

16

a) Aliran uang dapat tetap terjaga setiap tahun terhadap program yang efektif dalam pencapaian sasaran strategis.

b) Mekanisme langsung alokasi sumber daya.

c) Program disesuaikan dengan struktur organisasi.

d) Adanya akuntabilitas manajemen bagi output suatu program.

e) Melakukan perankingan dalam pilihan program guna menentukan prioritas, dan

f) Dasar kebutuhan penganggaran harus diubah dari berdasarkan input ke output. (McGill.  OECD  Journal  on Budgeting.2001)

2. Fokus pada Hasil/ Results (Molander, P. 2006), yang dicirikan

dengan:

a) Transparansi

Prinsip  transparansi  dalam  sistem  perencanaan  dan penganggaran  didefinisikan  sebagai  keterbukaan  yang tercermin  dalam  mekanisme  yang  jelas  mengenai pelaporan keuangan. 

Dalam  konteks  kinerja,  dokumen  anggaran  tersebut harus  memenuhi  prinsip  transparansi  berupa keterbukaan dalam hal pelaporan keuangan.  

Prinsip transparansi  terletak pada tahap pelaporan hasil perhitungan (accounting system) alokasi sumber daya. 

3. Koordinasi cross-organisational

4. Dukungan terhadap proses desentralisasi (principal/agen)

meliputi :

a) Reward dan sanksi

b) Kejelasan tugas dan tanggung jawab

c) Kombinasi mekanisme pengawasan yang mencakup pengawasan oleh Pemerintah daerah (state agency monitoring), Local electorate, Media massa (mass media) serta pilihan pengguna (user choice).

5. Membuat iklim perbandingan dan pembelajaran (ukuran

kompetisi)

17

E. PENERAPAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN BERJANGKA MENENGAH

Perencanaan dan penganggaran dalam perspektif jangka menengah

berupa mekanisme pengambilan keputusan untuk menyeimbangkan

penetapan anggaran secara agregat dengan kebijakan prioritas.

Proses penetapan anggaran tersebut, terkait dengan proses prakiraan

anggaran yang diusulkan (bottom-up) dengan penyesuaian prakiraan

anggaran tersebut dengan sumber daya yang tersedia (top-down) yang

dilakukan dalam perspektif jangka menengah.

Penyesuaian anggaran dilakukan dalam proses penyusunan

anggaran tahunan dengan menerapkan mekanisme rolling plan.

Penyesuaian ini dapat diakibatkan adanya perubahan kebijakan

yang merupakan konsekuensi dari perubahan kondisi ekonomi

makro dan perubahan strategi pemerintah. Pada dasarnya ada

beberapa kondisi yang dapat merubah anggaran, yaitu antara lain:

1. Penggunaan hasil penghematan dari pelaksanaan dari program.

Penghematan dari pelaksanaan program dihasilkan dari

pencapaian output yang sama dengan biaya yang lebih rendah.

Penghematan tersebut digunakan pada anggaran periode

berikutnya;

2. Pemanfaatan cadangan (contingency reserve);

3. Penggunaan perubahan penerimaan/ketersediaan anggaran.

Penerimaan anggaran yang lebih besar dapat digunakan untuk

menambah resource envelope agar menyesuaikan dengan

perubahan makroekonomi;

4. Perubahan makroekonomi, misalnya inflasi, nilai tukar Rupiah,

tingkat SBI-3 bulan;

5. Perubahan keluaran yang bukan karena perubahan kebijakan.

Contohnya adalah Program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan

Masyarakat) bagi penduduk miskin. Jika terjadi peningkatan

jumlah penduduk miskin dari yang diperkirakan sebelumnya,

maka baseline mengalami peningkatan dari baseline awal; dan

18

6. Pemanfaatan untuk kegiatan baru (new initiative). Perubahan

baseline juga dapat digunakan untuk mendanai kegiatan baru

sepanjang pagu anggaran mencukupi. Jika salah satu kegiatan

telah selesai pelaksanaanya pada tahun sebelumnya, maka

dimungkinkan mengusulkan kegiatan baru. Pemanfaatan ini

tidak selalu diperuntukkan bagi kegiatan baru, tetapi dapat

berupa penguatan pendanaan terhadap kegiatan yang telah ada

sebelumnya dan terus berlanjut

Menurut Bill Dorotinsky, IMF (2004), perencanaan dan

penganggaran dalam perspektif jangka menengah akan mendorong

adanya :

1. Kepastian alokasi sumber daya program, terkait dengan

pencapaian kinerja yaitu perencanaan yang telah disusun dapat

dilaksanakan serta perencanaan yang baik dapat meningkatkan

kinerja program.

2. Hard budget constraints, meliputi realokasi terhadap program baru

atau prioritas dalam perspektif jangka menengah serta rencana

penghematan kementerian dengan memeriksa kembali seluruh

dokumen perencanaan penganggarannya.

Penerapan perencanaan dan penganggaran berjangka menengah

dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term

Expenditure Framework/KPJM), membutuhkan kondisi lingkungan

dengan karakteristik:

1. Kebijakan, Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaksanaan yang

saling terkait.

2. Proses pengambilan keputusan yang terkendali, melalui : (i).

Penentuan prioritas program dalam batas ketersediaan anggaran;

(ii). Penyusunan kegiatan yang mengacu pada pencapaian

sasaran program; (iii). Pembiayaan disesuaikan dengan kegiatan

yang diharapkan; (iv). Ketersediaan informasi atas hasil

monitoring dan evaluasi.

19

3. Tersedianya media kompetisi bagi kebijakan, program, dan

kegiatan yang diambil.

4. Meningkatnya kapasitas dan kesediaan untuk melakukan

penyesuaian prioritas program dan kegiatan sesuai alokasi

sumber daya yang disetujui legislatif.

Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) akan

mendorong upaya pemerintah untuk mendisiplinkan kebijakan

pengeluarannya, menjamin keberlangsungan kebijakan fiskal (fiscal

sustainability), meningkatkan transparansi kebijakan pengeluaran,

akuntabilitas kebijakan dan prediksi kebutuhan pendanaan beberapa

tahun kedepan. Disamping itu, KPJM akan membantu pemerintah

dalam merumuskan kebijakan prioritasnya untuk jangka waktu

implementasi yang relatif lebih panjang.

Perencanaan dan penganggaran disusun dalam perspektif jangka menengah dengan sudah mempertimbangkan ketersediaan anggaran agregat (resource envelope jangka menengah)

Dalam pelaksanaannya, central agency harus dapat menghitung dan

memperkiran ketersediaan anggaran pemerintah (resource envelope

20

jangka menengah) untuk membiayai kebijakan-kebijakan prioritas

pemerintah (baseline) dalam kerangka jangka menengah serta dapat

melaksanakannya secara konsisten (aggregate fiscal discipline).

Baseline tersebut merupakan jumlah total biaya yang ditimbulkan

untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah pada saat tahun

anggaran berjalan dan tahun-tahun anggaran berikutnya (dalam

kerangka jangka menengah) sesuai dengan target waktu

penyelesaian kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Penentuan resource envelope jangka menengah ini harus

mempertimbangkan aspek contingency planning jangka memengah

dalam rangka mengamankan pelaksanaan kebijakan-kebijakan

prioritas pemerintah.

Sedangkan dalam pelaksanaannya, penyesuaian anggaran dapat

dilakukan secara tahunan melalui mekanisme rolling plan terhadap

RKP (rencana kerja pemerintah). Penyesuaian ini dapat diakibatkan

karena adanya 6 (enam) faktor yang telah disebutkan sebelumnya.

21

Penyesuaian anggaran dilakukan dalam proses penyusunan anggaran tahunan dengan menerapkan mekanisme rolling plan 3 tahunan.

F. PENERAPAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja merupakan metode

penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan

yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil

yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari

keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam

target kinerja pada setiap unit kerja yang disertai dengan alokasi

pendanaannya.

Adapun prinsip-prinsip dalam penerapan perencanaan dan

penganggaran berbasis kinerja adalah sebagai berikut:

1. Alokasi Anggaran Berorientasi pada Kinerja (output and outcome

oriented)

22

Alokasi anggaran yang disusun dalam dokumen rencana kerja

dan anggaran dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang

sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang

terbatas. Dalam hal ini, program dan kegiatan harus diarahkan

untuk mencapai hasil dan keluran yang telah ditetapkan dalam

renana.

2. Fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan

tetap menjaga prinsip akuntabilitas (let the manager manages)

Prinsip tersebut menggambarkan keleluasaan manager unit kerja

dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai keluaran sesuai

rencana. Keleluasaan tersebut meliputi penentuan cara dan

tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasilnya

pada saat pelaksanaan kegiatan, yang memungkinkan berbeda

dengan rencana kegiatan. Cara dan tahapan kegiatan beserta

alokasi anggaran pada saat perencanaan merupakan prakiraan

atau asumsi yang dapat dibayangkan dalam pelaksanaan

kegiatan.

3. Money Follow Function, Function Followed by Structure

Money follow function merupakan prinsip yang mengambarkan

bahwa pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan

didasarkan pada tugas dan fungsi dari masing-masing unit kerja

sesuai maksud pendiriannya (biasanya dinyatakan dalam

peraturan perundangan yang berlaku).

Selanjutnya prinsip tersebut dikaitkan dengan prinsip Function

Followed by Structure, yaitu suatu prinsip yang melekatkan tugas-

fungsi unit kerja pada struktur organisasi yang ada. Tugas dan

fungsi sustu orgnisasi dibagi habis dalam unit-unit kerja yang ada

dalam struktur organisasi dimaksud, sehingga dapat dipastikan

tidak terjadi duplikasi tugas-fungsi.

23

Penerapan prinsip yang terakhir ini (prinsip ketiga) berkaitan

erat dengan kinerja yang menjadi tolok ukur efektivitas

pengalokasian anggaran.

Penetapan kinerja dimaksudkan untuk mengetahui sasaran dari

pelaksanaan program dan kegiatan serta kebijakan yang telah

ditetapkan pemerintah pada setiap tingkatannya. Penetapan

kinerja harus mempertimbangkan beberapa faktor sebagai

berikut:

a) Memiliki dasar penetapan yang selanjutnya akan digunakan sebagai alat justifikasi penganggaran terkait dengan pelaksanaan prioritasi.

b) Kelanjutan setiap program.

c) Tingkat inflasi dan tingkat efisiensi.

d) Ketersediaan sumber daya dalam kegiatan, misal: dana, Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi dsb.

e) Ketersediaan informasi yang dapat diandalkan dan konsisten atas pengkuruan pencapaian kinerja

f) Kendala yang mungkin dihadapi pada masa mendatang.

Kerangka penyusunan kinerja dimulai dari “apa yang ingin

diubah” (impact) yang memerlukan indikator “apa yang akan

dicapai” (outcome) guna mewujudkan perubahan yang diinginkan.

Selanjutnya, untuk mencapai outcome diperlukan informasi

tentang “apa yang dihasilkan” (output). Untuk menghasilkan output

tersebut diperlukan “apa yang akan digunakan”.

24

Bagan Informasi Kinerja

Hasil pembangunan yang diperoleh dari pencapaian outcome

Apa yang ingin diubahDAMPAK (IMPACT)

Manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah untuk beneficieries tertentu

sebagai hasil dari outputApa yang ingin dicapai

HASIL (OUTCOME)

Produk/barang/jasa akhir yang dihasilkanApa yang dihasilkan (barang)

atau dilayani (jasa)KELUARAN (OUTPUT)

Proses/kegiatan menggunakan input menghasilkan output yang diinginkan

Apa yang dikerjakanKEGIATAN

Sumberdaya yang memberikan kontribusi dalam menghasilkan output

Apa yang digunakan dalam bekerjaINPUT

Berdasarkan tingkat pelaksananya, struktur kinerja dibagi

menjadi kinerja pada tingkat Kabinet dan kinerja pada tingkat

Kementerian/Lembaga. Pada tingkat Kabinet/Pemerintah

(tingkat perencanaan kebijakan), kinerja terdiri dari: (i) Impact

(sasaran pokok); (ii) Outcome (kinerja fokus prioritas), dan (iii)

Output (kinerja kegiatan prioritas), dimana pencapaian Sasaran

Pokok Prioritas (impact) dipengaruhi oleh pencapaian kinerja

fokus prioritas (outcome) yang juga dipengaruhi oleh pencapaian

dari kinerja kegiatan-kegiatan prioritasnya (output). Pada tingkat

Kabinet/Pemerintah, kinerja fokus prioritas (Outcome)

merupakan kinerja hasil yang harus dicapai oleh satu atau

beberapa K/L yang terkait dengan pencapaian kinerja prioritas.

Pada tingkat Kementerian/Lembaga, kinerja terdiri dari: (i)

Impact (misi/sasaran K/L); (ii) Outcome (kinerja program); dan

(iii) Output (kinerja kegiatan). Pencapaian misi/sasaran K/L

(impact) dipengaruhi oleh pencapaian kinerja program-program

(outcome) yang ada di dalam K/L, dan pencapaian kinerja

program (outcome) dipengaruhi oleh pencapaian dari kinerja

kegiatan-kegiatannya (output).

25

Dalam penerapannya, perencanaan dan penganggaran berbasis

kinerja memerlukan tiga komponen untuk masing-masing program

dan jenis kegiatan, yaitu:

1. Indikator Kinerja

Indikator Kinerja merupakan alat ukur keberhasilan suatu

program atau kegiatan. Selanjutnya indikator kinerja dijabarkan

berdasarkan tingkat pelaksananya, yaitu:

a) Indikator Kinerja pada Tingkat Kabinet/Pemerintah (Perencanaan Kebijakan), terdiri dari:

Indikator  impact  /  Indikator  kinerja  prioritas,  Indikator impact  pada  tingkat  Perencanaan  Kebijakan merupakan indikator  dampak  (impact)  yang  terkait  dengan pencapaian kinerja prioritas.  

Indikator  outcome/Indikator  kinerja  fokus  prioritas, Indikator  outcome  pada  tingkat  Perencanaan  Kebijakan merupakan  indikator  hasil  yang  terkait  dengan pencapaian kinerja fokus prioritas. 

Indikator  output/Indikator  kinerja  kegiatan  prioritas, Indikator  output  pada  tingkat  Perencanaan  Kebijakan merupakan  indikator  keluaran  yang  terkait  dengan pencapaian  kinerja  kegiatan  prioritas  dalam  rangka mencapai kinerja hasil (outcome) dari fokus prioritas. 

b) Indikator Kinerja pada Tingkat Kabinet/Pemerintah (Perencanaan Kebijakan), terdiri dari:

Indikator  impact/Indikator  kinerja  K/L  (misi/sasaran K/L),  Indikator  impact  pada  tingkat  K/L  merupakan indikator  dampak  (impact)  yang  terkait  dengan pencapaian visi, misi dan sasaran strategis K/L. Indikator kinerja  ini  merupakan  alat  ukur  kinerja  K/L  dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. 

Indikator  outcome/Indikator  kinerja  program,  Indikator outcome  pada  tingkat  K/L  merupakan  indikator  hasil yang terkait dengan pencapaian kinerja program. 

26

Indikator  output/Indikator  kinerja  kegiatan,  Indikator output  pada  tingkat  K/L  merupakan  indikator  keluaran yang  terkait  dengan  pencapaian  kinerja  kegiatan  dalam rangka mencapai kinerja hasil (outcome) dari program. 

2. Standar Biaya

Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya

masukan pada awal tahap perencanaan dan penganggaran

berbasis kinerja, dan nantinya menjadi standar biaya keluaran.

Pengertian tersebut diterjemahkan berupa berupa Standar Biaya

Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK). SBU digunakan

lintas kementerian negara/lembaga dan/atau lintas wilayah,

sedangkan SBK digunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga

tertentu dan/atau di wilayah tertentu.

K/L diharuskan untuk merumuskan keluaran kegiatan beserta

alokasi anggarannya. Alokasi anggaran tersebut dalam proses

penyusunan anggaran mendasarkan pada prakiraan cara

pelaksanaanya (asumsi). Pada saat pelaksanaan kegiatan, cara

pelaksanaannya dapat saja berbeda sesuai dengan kondisi yang

ada, sepanjang keluaran kegiatan sebagai acuannya. Sudut

pandang pemikiran tersebut sejalan dengan prinsip let the manager

manage.

Butir-butir pemikiran mengenai pengembangan standar biaya

dalam rangka mendukung penerapan PBK dapat dikemukakan

sebagai berikut:

a) Standar biaya merupakan alat untuk penyusunan anggaran;

b) Standar biaya tidak bersifat penetapan pada suatu jumlah tertentu tanpa ada kemungkinan perubahan (naik/turun). Perubahan jumlah/angka standar biaya dimungkinkan karena adanya perubahan parameter yang dijadikan acuan. Parameter tersebut dapat berupa angka inflasi, keadaan kondisi darurat (force majeur), atau hal lain yang ditetapkan sebagai parameter;

27

c) Standar biaya dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan oleh K/L (Standar Pelayanan Minimal).

3. Evaluasi Kinerja

Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan

masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik

bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi dan

efektivitas dari suatu program/kegiatan. Cara pelaksanaan

evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil

terhadap target (dari sisi efektivitas) dan realisasi terhadap

rencana pemanfaatan sumber daya (dilihat dari sisi efisiensi).

Hasil evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back) bagi

suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.

G. PENCAPAIAN DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SAAT INI

a) Agregat Fiscal Disciplines Telah diperkenalkan adanya MTFF, dimana sudah terdapat

upaya dalam menjaga kebersinabungan fiscal (fiscal sustanability)

melalui kontrol terhadap nila rasio pajak/PDB, rasio

Defisit/PDB dan rasio utang/PDB.

Penetapan alokasi pagu indikatif kepada K/L sebagai batasan

penyusunan program dan kegiatan sudah dilakukan sejak 2005,

serta penyatuan informasi tentang subsidi non-energi seperti

Raskin, pupuk, bibit, kredit, dll ke dalam program dan anggaran

K/L sudah juga dilakukan sejak 2008.

Kelemahan yang masih ada adalah belum dikaitkannya dengan

Ketersediaan Anggaran (Resources Envelope) yang bersifat

jangka menengah (dalam RPJMN 2005-2009), hal ini dapat

terlihat antara lain:

28

a) Departemen Perhubungan dalam Renstra 2005-2009 mengajukan kebutuhan pendanaan sebesar Rp. 112 T, sedangkan realisasi ataupun kemampuan pemerintah dalam mendanai hanya sebesar Rp. 58,1 T (52% dari kebutuhan).

b) Departemen Pertahanan mengajukan minimum essential force sebesar Rp. 100 T/Tahun, sedangkan kemampuan pemerintah dalam mendanai hanya sebesar Rp. 35 T di 2009 (35% dari kebutuhan).

b) Allocative Efficiency a) Penerapan Anggaran Terpadu (Unified Budget)

Dari segi penerapan unified budget, penyusunan dan

pelaksanaan anggaran pemerintah tidak lagi memisahkan

anggaran belanja rutin (current expenditures) dengan anggaran

belanja pembangunan (development expenditures). Namun,

penyusunan anggaran dilakukan secara terintegrasi

antarprogram/antarkegiatan dan jenis belanja pada kementerian

negara/lembaga beserta seluruh satuan kerja yang

bertanggungjawab terhadap aset dan kewajiban yang

dimilikinya. Dengan pendekatan sistem pengganggaran terpadu

seperti ini, satuan kerja ditempatkan sebagai business unit yang

menjadi titik sentral dari seluruh proses dari siklus anggaran

(budget cycle), mulai dari tahap perencanaan dan penganggaran

hingga tahap pelaksanaan dan pelaporan APBN dilaksanakan.

b) Penerpan Anggaran Berbasis Kinerja

Dari segi penerapan anggaran berbasis kinerja, pemerintah telah

menetapkan prioritas strategis yang dilengkapi dengan indikator

dan target kinerja (untuk meningkatkan hubungan antara kinerja

dan pendanaan) dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan

nasional, yang kemudian dilaksanakan dalam bentuk intervensi

regulasi serta intervensi anggaran. Selain itu, telah diupayakan

keterkaitan antara dokumen perencanaan (RKP, Renja K/L) dan

penganggaran (RKA-KL dan DIPA) khususnya bagi kegiatan

29

prioritas dengan menjaga nomenklatur kegiatannya sehingga

dapat secara langsung dimonitor dan evaluasi pelaksanaanya.

Penerapan konsep allocative efficiency saat ini masih berada

tahapan presentaional dimana antara kinerja dengan pendanaan

masih tidak dapat ditarik sebuah hubungan, hal ini dikarenakan

antara lain masih terdapat program digunakan oleh beberapa

K/L tanpa pembagian kerja dan indikator yang jelas sehingga

tidak dapat diukur pencapaian dan akuntabilitas kinerja

programnya, masih terdapat program yang disusun berdasarkan

line-item (rincian belanja) dan bukan dalam bentuk kegiatan yang

berorientasi pada keluaran (output), sehingga kurang terlihat

keterkaitan dengan hasil (outcome) yang diharapkan serta masih

terdapat program yang memiliki tingkatan kinerja yang sama

atau lebih rendah dibandingkan dnegan kegiatan.

Berdasarkan hal ini, tantangan kedepan adalah melakukan

standardisasi kegiatan yang berorientasi pada kinerja yang secara

bertahap bergerak dari tahapan Presentational menuju tahapan

Performance-Informed Budgeting dan terakhir Direct/Formula

Budgeting.

c) Penerapan Prakiraan Maju

Dari segi penerapan forward estimates, telah disediakan template

prakiraan maju untuk 2 tahun kedepan dalam dokumen RKP

dan Renja K/L.

Namun dalam pelaksanaanya masih bersifat “on-paper”, atau

belum dipergunakan sesuai dengan konsep KPJM dimana

penerapanya masih tidak konsisten dilaksanakan, sedangkan

berdasarkan konsep KPJM perubahan terhadap hasil prakiraan

maju hanya dapat terjadi jika terdapat: (i) perubahan inflasi, (ii)

parameter di luar jangkauan pemerintah untuk mengatasinya,

(iii) perubahan kebijakan pemerintah.

30

c) Operational Efficiency 

Telah diperkenalkan Satuan Biaya Umum (SBU) dan Satuan

Biaya Khusus (SBK) yang mengakomodasi kekhasan (kebutuhan

khusus) masing-masing lembaga. Satuan Biaya diupdate setiap

tahun untuk mencerminkan perubahan harga (inflasi)

Kelemahan yang dihadapi adalah disatu sisi baru 40%

Kementerian/Lembaga yang telah mneyusun SBK, sedangkan

disisi lain SBK yang ada/telah disusun belum dapat digunakan

sebagai instrumen pengukuran efisiensi dan efektivitas

pelaksanaan program dan kegiatan.

H. PERMASALAHAN DESAIN PROGRAM

Berdasarkan konsep yang dianut, penerapan perencanaan dan

penganggaran yang berbasis kinerja dan berjangka menengah

memerlukan struktur program dan kegiatan yang berorientasi

kinerja, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk menata

kembali struktur program dan kegiatan saat ini. Hal ini dikarenakan

struktur program dan kegiatan yang ada saat ini masih belum dapat

sepenuhnya digunakan sebagai alat ukur efektifitas pencapaian

sasaran pembangunan, efisiensi belanja, dan akuntabilitas kinerja.

Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan struktur program dan

kegiatan dalam proses perencanaan dan penganggaran antara lain

sebagai berikut:

1. Program disusun dengan pendekatan input based.

Program seringkali disusun berdasarkan line-item (rincian belanja)

dan bukan dalam bentuk kegiatan yang berorientasi pada

keluaran (output), sehingga kurang terlihat keterkaitan dengan

hasil (outcome) yang diharapkan.

31

Program/Kegiatan Pokok

RPJM

Program/ Kegiatan

Sasaran Program Keluaran Kegiatan

Program Peningkatan Ketahanan Pangan

Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian

Bantuan benih/ bibit kepada petani dalam mendukung ketahanan pangan

1. Pengadaan padi non-hibrida 1,2 juta ton, jagung hibrida 300 ribu ha, kedelai 200 ribu ha, sukun 100 ribu benih, pisang 100 ribu pohon, kentang 20 ribu kg.

2. Termanfaatkannya benih unggul bermutu untuk petani miskin

3. Teknologi perakitan varietas mendukung pengembangan benih sumber BS/FS/SS (3 paket teknologi), dan 10 model pengembangan shuttle breeding, demplot VUB dan PTT di 16 provinsi.

4. 2000 ton benih untuk pengembangan 40 ribu ha padi gogo di lahan perkebunan.

1. Jumlah pengadaan benih 2. Terealisasinya bantuan

benih kepada petani untuk meningkatkan produksi dan provitas.

3. Meningkatnya produksi hortikultura dalam mendukung ketahanan pangan.

4. Meningkatnya produksi hortikultura

5. Tersedianya bantuan benih pisang seluas 10.000 batang.

6. Tersedianya benih tanaman buah-buah.

7. Meningkatnya pengembangan tanaman hias melalui bantuan benih.

8. Terealisasinya bantuan benih kepada petani dengan baik dan lancar.

2. Program digunakan oleh beberapa Kementerian/Lembaga

(K/L).

Program yang digunakan oleh beberapa K/L tanpa pembagian

kerja dan indikator yang jelas sehingga tidak dapat diukur

pencapaian dan akuntabilitas kinerjanya.

Nama Program Nama K/L Unit Organisasi Program Penelitian dan Pengembangan IPTEK

BAKOSURTANAL Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional

BAPETEN Badan Pengawas Tenaga Nuklir BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi BATAN Badan Tenaga Nulkir Nasional Kemeneg.Ristek Menteri Negara Riset dan Teknologi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa

32

Nama Program Nama K/L Unit Organisasi Nasional

Program Pemulihan Wilayah Pasca Konflik

Departemen Dalam Negeri

Ditjen Bina Pembangunan Daerah Ditjen Pemerintahan Umum Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik

3. Program memiliki tingkatan yang sama atau lebih rendah

dibanding kegiatan.

Pendefinisian program terlalu sempit sehingga kinerja program

(outcomes) sama dengan atau lebih rendah dari kinerja kegiatan

(output).

Nama Program Nama Kegiatan Program Upaya Kesehatan Masyarakat

Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin Kelas III Rumah Sakit Percepatan Peningkatan Pelayanan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi

4. Program memiliki tingkat kinerja yang terlalu luas

Pendefinisian tingkat kinerja program terlalu luas yang tidak

dalam tataran hasil (outcome) namun lebih pada tataran dampak

(impact), tidak dapat dijelaskan oleh pencapaian kinerja kegiatan

(output).

Nama Program Nama Kegiatan Program Peningkatan Ketahanan Pangan

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (Opt), Penyakit Hewan, Karantina dan Peningkatan Keamanan Pangan Perlindungan Varietas Tanaman Mekanisasi Kegiatan Produksi Pertanian Primer Pengembangan Pembibitan Sapi/Kerbau Penguatan Kelembagaan Perbenihan Dalam Mendukung Pertahanan Pangan Pengembangan Perbenihan/Perbibitan Dst…

5. Program tidak terkait secara langsung dengan kegiatan-

kegiatanya.

Masih ditemui adanya beberapa keluaran dari kegiatan-kegiatan

yang tidak berkaitan dengan pencapaian sasaran program. Pada

33

hakekatnya, kegiatan merupakan wujud dari pelaksanaan suatu

program, sehingga keluaran dari kegiatan tersebut seharusnya

berkontribusi secara langsung terhadap pencapaian sasaran

program.

Nama Program Nama Kegiatan Program Peningkatan Kesejahteraan Petani

Penerapan dan pemantapan prinsip good governance, penyelesaian daerah konflik, bencana alam, daerah tertinggal, pulau terluar dan perbatasan (TP)

6. Program untuk menampung biaya pengelolaan administrasi K/L

(overhead cost) masih beragam

Biaya pengelolaan administrasi (overhead cost) seringkali masih

berada pada program-program yang beragam sehingga sulit

untuk mengukur besaran biaya pengelolaan administrasi dari

suatu K/L.

Program-program pengelolaan administrasi seharusnya berada

pada satu program yang seragam.

7. Program-program generik seperti Program Peningkatan Sarana

dan Prasarana Aparatur dan Program Penerapan

Kepemerintahan yang Baik masih digunakan untuk menampung

biaya-biaya pengelolaan administrasi dari kebijakan teknis.

Program-program yang bersifat generik yang seharusnya hanya

digunakan oleh unit yang memberikan pelayanan internal

pemerintah, seringkali juga digunakan oleh unit teknis yang

melakukan pelayanan eksternal kepada masyarakat. Hal ini

menyebabkan sulitnya mengukur efektivitas pendanaan bagi

pelaksanaan program-program yang bersifat pelayanan langsung

(eksternal) dikarenakan biaya pengelolaan administrasi dipisah

dengan biaya untuk menghasilkan barang dan jasa.

34

I. PENDEKATAN PENYEMPURNAAN DESAIN PROGRAM DAN KEGIATAN K/L (RESTRUKTURISASI PROGRAM DAN KEGIATAN)

Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, dibutuhkan suatu desain

program yang dapat mendukung pelaksanaan koordinasi kebijakan

(policy planning) agar tercapai sasaran pembangunan secara efisien

dan efektif, meningkatkan akuntabilitas kinerja organisasi serta

mendukung transparansi penyusunan perencanaan dan

penganggaran yang terkait dengan pencapaian kinerja.

Penyempurnaan desain program dimaksudkan untuk meningkatkan

keterkaitan antara seluruh pendanaan program dan kegiatan dengan

kinerja program dan kegiatan, serta capaian kinerja dengan

akuntabilitas organisasi.

a) Prinsip Restrukturisasi Program dan Kegiatan 

Pendekatan dasar dalam proses penyempurnaan program dan

kegiatan/restrukturisasi program dan kegaitan, yaitu.

1. Prinsip Akuntabilitas Kinerja Kabinet (Perencanaan

Kebijakan/Policy Planning)

Terdapat keterkaitan yang jelas antara program dan kegiatan

dengan upaya pencapaian Sasaran Pembangunan Nasional

sesuai dengan platform (Agenda) Kabinet/Pemerintah.

Penyusunannya akan dilakukan melalui Proses Teknokratis

(dipersiapkan oleh jajaran birokrasi pemerintahan) yang

kemudian disesuaikan dengan Proses Politis (menerjemahkan

platform Presiden terpilih).

35

2. Prinsip Akuntabilitas Kinerja Organisasi (Struktur Organisasi

dan Struktur Anggaran)

Terdapat keterkaitan yang jelas antara Tupoksi Organisasi

(Struktur Organisasi) dengan struktur program dan kegiatan

(Struktur Anggaran).

Kedua prinsip ini ditujukan untuk meningkatkan keterkaitan

antara pendanaan dengan akuntabilitas kinerja, baik di Tingkat

Kabinet/Pemerintah (Prinsip Akuntabilitas Kinerja Kabinet)

maupun di Tingkat K/L (Prinsip Akuntabilitas Kinerja

Organisasi).

b) Desain Arsitektur Program Konsep pendekatan tersebut di atas dapat disusun dalam wujud

kerangka arsitektur program dan kegiatan berikut ini.

Bagan Arsitektur Program

36

Kerangka Arsitektur Program dibangun dari 4 (empat) struktur

utama, yaitu:

1. Struktur Organisasi

Organisasi pemerintahan terdiri dari 4 (empat) karakteristik K/L,

yaitu: (i) Lembaga Tinggi Negara; (ii) Departemen; (iii)

Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator; dan (iv)

Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) dan Lembaga

Non-Struktural.

Secara struktural masing-masing organisasi tersebut terdiri dari

pejabat Eselon 1, 2, 3, dan 4. Berkaitan dengan kegiatan

restrukturisasi program, secara umum tingkat Eselon 1A akan

bertanggung jawab pada pelaksanaan program dan tingkat

Eselon 2 akan bertanggung jawab pada pelaksanaan kegiatan.

2. Struktur Anggaran

Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, struktur anggaran belanja negara dirinci menurut: (i)

Fungsi (Sub-fungsi); (ii) Organisasi; (iii) Program; (iv) Kegiatan;

dan (v) Jenis Belanja. Selain itu, dalam undang-undang tersebut

juga diamanatkan adanya transparansi dan akuntabilitas

keuangan negara yang diwujudkan melalui penjabaran prestasi

kerja dari setiap K/L. Laporan Realisasi Anggaran masing-

masing K/L selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja,

juga menjelaskan prestasi kerja K/L.

Implikasi dari pelaksanaan UU Nomor 17 tahun 2003 dalam

restrukturisasi program dan kegiatan adalah perlunya

disyaratkan pengelolaan dan pelaksanaan anggaran yang berbasis

kinerja.

Dalam restrukturisasi program dan kegiatan, seluruh program

dan kegiatan dilengkapi dengan indikator kinerja beserta

anggarannya, untuk digunakan sebagai alat ukur pencapaian

37

tujuan pembangunan yang efektif dan efisien secara teknis

operasional serta dalam pengalokasian sumber dayanya.

3. Struktur Perencanaan Kebijakan (Policy Planning)

Struktur Perencanaan Kebijakan (policy planning) terdiri dari; (i)

Prioritas; (ii) Fokus prioritas; dan (iii) Kegiatan prioritas.

Prioritas merupakan arah kebijakan untuk memecahkan

permasalahan yang penting dan mendesak untuk segera

dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu serta memiliki dampak

yang besar terhadap pencapaian sasaran pembangunan.

Sasaran pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari visi

dan misi Presiden terpilih.

Fokus prioritas8 merupakan bagian dari prioritas untuk mencapai

sasaran strategis yang dapat bersifat lintas K/L.

Kegiatan prioritas merupakan kegiatan pokok (kegiatan yang

mutlak harus ada) untuk mendapatkan keluaran (output) dalam

rangka mencapai hasil (outcome) dari fokus prioritas.

Pendekatan Perencanaan Kebijakan merupakan alat dalam

menerjemahkan visi dan misi (platform) Presiden terpilih. Dalam

restrukturisasi program dan kegiatan, perencanaan kebijakan

(tingkat Kabinet) akan diterjemahkan dalam bentuk prioritas,

fokus prioritas dan kegiatan prioritas yang kemudian

dilaksanakan oleh masing-masing K/L.

Jika dikaitkan dengan Struktur Manajemen Kinerja, maka

prioritas akan terkait dengan pencapaian sasaran pokok (impact),

fokus prioritas terkait dengan pencapaian outcome dan kegiatan

prioritas terkait dengan pencapaian output.

8  Setingkat dengan program namun dapat bersifat lintas K/L dan/atau lintas K/L ‐ SKPD 

38

Pada tingkat K/L, prioritas dan fokus prioritas diterjemahkan

melalui program dan kegiatan. Program dalam struktur policy

planning berfungsi untuk memberikan rumah bagi kegiatan

prioritas pada tingkat K/L, dalam artian setiap kegiatan prioritas

selain akan mendukung pencapaian prioritas dan fokus prioritas

tertentu juga sekaligus akan mendukung pencapaian sasaran

program dalam K/L.

Pencapaian fokus prioritas dilaksanakan melalui kegiatan-

kegiatan prioritas, dengan masing-masing kegiatan prioritas

dalam rangka pencapaian fokus prioritas tersebut dapat berada

dalam beberapa program-program yang berbeda di tingkat K/L.

Dengan demikian, keberadaan fokus prioritas sekaligus berperan

sebagai instrumen koordinasi antara K/L.

4. Struktur Manajemen Kinerja

Dalam restrukturisasi program dan kegiatan, pendekatan

manajemen kinerja yang akan diterapkan terbagi menjadi dua

bagian utama, yaitu: (i) Kinerja pada tingkat Kabinet dan (ii)

Kinerja pada tingkat K/L.

Terkait dengan struktur informasi kinerja, tingkat kinerja yang

akan disusun terdiri dari impact, outcome, dan output.

c) Pendekatan Penyusunan Kinerja  

(1) Definisi Kinerja 

Kinerja dalam Arsitektur Program merupakan struktur yang

menghubungkan antara sumberdaya dengan hasil atau sasaran

perencanaan, serta merupakan instrumen untuk merancang,

memonitor dan melaporkan pelaksanaan anggaran.

Kerangka penyusunannya dimulai dari “apa yang ingin diubah”

(impact) yang memerlukan indikator “apa yang akan dicapai” (outcome)

guna mewujudkan perubahan yang diinginkan. Selanjutnya, untuk

39

mencapai outcome diperlukan informasi tentang “apa yang dihasilkan”

(output). Untuk menghasilkan output tersebut diperlukan “apa yang

akan digunakan”.

Secara konseptual, bagan informasi kinerja dapat dilihat pada

Diagram II-2.

Diagram Error! No text of specified style in document.-1 Bagan Informasi Kinerja

Hasil pembangunan yang diperoleh dari pencapaian outcome

Apa yang ingin diubahDAMPAK (IMPACT)

Manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah untuk beneficieries tertentu

sebagai hasil dari outputApa yang ingin dicapai

HASIL (OUTCOME)

Produk/barang/jasa akhir yang dihasilkanApa yang dihasilkan (barang)

atau dilayani (jasa)KELUARAN (OUTPUT)

Proses/kegiatan menggunakan input menghasilkan output yang diinginkan

Apa yang dikerjakanKEGIATAN

Sumberdaya yang memberikan kontribusi dalam menghasilkan output

Apa yang digunakan dalam bekerjaINPUT

Dalam restrukturisasi program dan kegiatan, pendekatan

manajemen kinerja yang akan diterapkan terbagi menjadi dua bagian

utama, yaitu: (i) Kinerja pada tingkat Kabinet dan (ii) Kinerja pada

tingkat K/L. Terkait dengan struktur informasi kinerja, tingkat

kinerja yang akan disusun terdiri dari impact, outcome, dan output.

Berdasarkan hal tersebut, Struktur Manajemen Kinerja akan terdiri

atas:

1. Akuntabilitas pada tingkat perencanaan kebijakan (tingkat

Kabinet/Pemerintah), memuat informasi kinerja yaitu: (i) Impact

(sasaran pokok); (ii) Outcome (kinerja fokus prioritas), dan (iii)

Output (kinerja kegiatan prioritas).

40

Sasaran pokok (impact) merupakan kinerja dari prioritas, outcome

fokus prioritas merupakan kinerja dari fokus prioritas dan output

kegiatan prioritas merupakan kinerja dari kegiatan prioritas.

Outcome fokus prioritas merupakan kinerja hasil yang harus

dicapai oleh satu atau beberapa K/L yang terkait dengan

pencapaian kinerja prioritas.

2. Akuntabilitas pada tingkat organisasi K/L, memuat informasi

kinerja yaitu: (i) Impact (misi/sasaran K/L); (ii) Outcome (kinerja

program); dan (iii) Output (kinerja kegiatan).

Misi/sasaran K/L merupakan kinerja yang ingin dicapai K/L,

outcome program merupakan kinerja program yang secara

akuntabilitas berkaitan dengan unit organisasi K/L setingkat

Eselon 1A, dan output kegiatan merupakan kinerja kegiatan yang

secara akuntabilitas berkaitan dengan unit organisasi K/L

setingkat Eselon 2.

Pencapaian misi/sasaran K/L (impact) dipengaruhi oleh

pencapaian kinerja program-program (outcome) yang ada di

dalam K/L, dan pencapaian kinerja program (outcome)

dipengaruhi oleh pencapaian dari kinerja kegiatan-kegiatannya

(output).

(2) Pengukuran Kinerja 

Indikator merupakan alat untuk mengukur pencapaian kinerja

(impact, outcome, dan output). Pengukuran kinerja memerlukan

penetapan indikator-indikator yang sesuai dan terkait dengan

informasi kinerja (impact, outcome, dan output).

Dalam penyusunanannya, indikator kinerja perlu untuk

mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:

a) Relevant: indikator terkait secara logis dan langsung dengan tugas institusi, serta realisasi tujuan dan sasaran strategis institusi;

41

b) Well-defined: definisi indikator jelas dan tidak bermakna ganda sehingga mudah untuk dimengerti dan digunakan;

c) Measurable : indikator yang digunakan diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati, dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas atau harga.

Indikator Kuantitas diukur dengan satuan angka dan unit  

Contoh Indikator Kuantitas : Jumlah penumpang

internasional yang masuk melalui pelabuhan udara dan

pelabuhan laut.

Indikator Kualitas menggambarkan kondisi atau keadaan tertentu  yang  ingin  dicapai  (melalui  penambahan informasi  tentang  skala/tingkat  pelayanan  yang dihasilkan) 

Contoh Indikator Kualitas : Proporsi kedatangan penumpang

internasional yang diproses melalui imigrasi dalam waktu 30

menit.

Indikator  Harga  mencerminkan  kelayakan  biaya  yang diperlukan untuk mencapai sasaran kinerja. 

Contoh Indikator Harga: Biaya pemrosesan imigrasi per

penumpang.

d) Appropriate: pemilihan indikator yang sesuai dengan upaya peningkatan pelayanan/kinerja

e) Reliable: indikator yang digunakan akurat dan dapat mengikuti perubahan tingkatan kinerja;

f) Verifiable: memungkinkan proses validasi dalam sistem yang digunakan untuk menghasilkan indikator;

g) Cost-effective: kegunaan indikator sebanding dengan biaya pengumpulan data.

(3) Target Indikator Kinerja 

Target indikator kinerja disusun setelah indikator kinerja

ditetapkan. Target indikator kinerja menunjukkan sasaran kinerja

42

spesifik yang akan dicapai oleh K/L, program, dan kegiatan dalam

periode waktu yang telah ditetapkan.

Dalam menetapkan target indikator kinerja perlu diperhatikan

standar kinerja yang dapat diterima (benchmarking). Salah satu cara

menentukan standar kinerja adalah dengan mengacu kepada tingkat

kinerja institusi/negara lain yang sejenis sebagai perwujudan best

practices.

Standar kinerja dan target indikator kinerja dinyatakan dengan jelas

pada awal siklus perencanaan (dapat dilakukan pada tahap

perencanaan strategis atau awal tahun anggaran). Hal ini untuk

menjamin aspek akuntabilitas pencapaian kinerja.

Kriteria dalam menentukan target indikator kinerja menggunakan

pendekatan “SMART”, yaitu:

1. Specific: sifat dan tingkat kinerja dapat diidentifikasi dengan jelas;

2. Measurable: target kinerja dinyatakan dengan jelas dan terukur

baik bagi indikator yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas,

kualitas dan biaya;

3. Achievable: target kinerja dapat dicapai terkait dengan kapasitas

dan sumber daya yang ada;

4. Relevant: mencerminkan keterkaitan (relevansi) antara target

output dalam rangka mencapai target outcome yang ditetapkan;

serta antara target outcome dalam rangka mencapai target impact

yang ditetapkan; dan

5. Time Bond: waktu/periode pencapaian kinerja ditetapkan.

(4) Informasi Indikator Kinerja 

Informasi indikator kinerja disusun dengan maksud untuk

memberikan deskripsi yang komprehensif mengenai indikator

kinerja yang disusun, antara lain berkenaan dengan tujuan indikator,

metode penghitungan serta time frame pelaporannya.

43

Adapun informasi indikator kinerja yang dapat disyaratkan untuk

disusun adalah:

1. Nama indikator: mengidentifikasi nama dan kategori indikator

(indikator outcome, output atau mainstreaming);

2. Tujuan/kepentingan: menjelaskan apa yang ingin dicerminkan

dari sebuah indikator dan mengapa itu penting;

3. Metode penghitungan: menggambarkan cara penghitungan

indikator (jika indikator yang digunakan merupakan hasil

perhitungan dari data/informasi yang dikumpulkan);

4. Tipe penghitungan: mengidentifikasi sifat indikator kinerja

(bersifat kumulatif atau non-kumulatif);

5. Indikator baru: mengidentifikasi indikator baru atau indikator

lama yang berubah sasaran kinerjanya dibanding tahun

sebelumnya;

6. Kinerja yang diharapkan: mengidentifikasikan tingkat dan arah

kinerja yang diharapkan;

7. Standar indikator: mengidentifikasi standar kinerja yang dapat

diterima (benchmark);

8. Penanggungjawab indikator: mengidentifikasi unit organisasi

penanggungjawab dalam pendefinisian, analisis data, interpretasi

dan pelaporan indikator;

9. Pengelola data indikator: mengidentifikasi unit organisasi

penanggungjawab dalam memastikan data indikator telah

terkumpul dan tersedia sesuai jadwal;

10. Waktu pelaksanaan pengumpulan data indikator: tanggal yang

ditetapkan untuk memulai pengumpulan data indikator;

11. Jadwal pelaporan: mengidentifikasi jadwal pelaporan indikator

(apakah dilaporkan pertigabulan, persemester atau pertahun);

12. Sumber pengumpulan data: menggambarkan darimana

data/informasi didapat dan bagaimana pengumpulannya; dan

13. Hambatan pengumpulan data: mengidentifikasi hambatan

pengumpulan data/informasi terkait pengukuran kinerja.