kepemimpinan nasional berbasis kearifan lokal menuju masyarakat yang tatatentrem kertaraharja

75
KEPEMIMPINAN NASIONAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENUJU MASYARAKAT TATA TENTREM KERTARAHARJA Makalah ini disampaikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Perguruan Tinggi Puangrimaggalatung Wajo Sulawesi Selatan Oleh: Dr. H. Anton Charliyan, Drs. MPKN. 0

Upload: antoncharlian1825

Post on 27-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

KEPEMIMPINAN NASIONALBERBASIS KEARIFAN LOKAL

MENUJU MASYARAKATTATA TENTREM KERTARAHARJA

Makalah ini disampaikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana

Perguruan Tinggi PuangrimaggalatungWajo Sulawesi Selatan

Oleh:Dr. H. Anton Charliyan, Drs. MPKN.

JAKARTA2013

KEPEMIMPINAN NASIONAL

0

Page 2: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENUJU MASYARAKATTATA TENTREM KERTARAHARJA

ABSTRAK

Tulisan ini sekadar mengungkap sebagian kearifan lokal kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan/menyadarkan/eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, yakni Naskah Sanghyang Hayu (SH), Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), dan Amanat Galunggung(AG), serta kepemimpinan Ala Gadjah Mada, khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya, agar berhasil dan dicintai baik oleh rakyat maupun oleh komunitasnya. Berbicara istilah arti harafiah parigeuing yang berarti mengingatkan, menyadarkan/eling, selaras dengan salah satu filosofi masyarakat Bugis yaitu Sipaka Inga, Sipaka Tahu, Sipaka Lebi (saling memngingatkan, saling memberi tahu, dan saling menghargai).

Seorang pemimpin menurut naskah SSK, adalah bahwa seorang pemimpin harus menjiwai konsep ‘tiga rahasia’ sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau yang lebih dikenal sebagai konsep Tri Tangtu dibuana yaitu yang dikemas dalam konsep“trigeuing” (3 peringatan) yakni : sebagai Prabu, Hulun, Palanka(Pemimpin, Abdi, Negara) atau yang lebih spesifik yaitu; parigeuing, geuing, upageuing (Pemimpin, Sandang, Pangan). Adapun yang tertulis dalam naskah Sanghyang Hayu, ketiga rahasia tadi dibagi menjadi lima bagian, sehingga jumlahnya menjadi lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin, yaitu

1. Budi(bijak)-Guna (arif)-Pradana (saleh/utama/mulya)2. Kaya (sehat)-Wak(bersabda)-Cita (hati)3. Pratiwi(membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)4. Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga(pendengaran)5. Bayu(ucapan/angin)-Sabda(itikad/perbuatan)Hedap(kalbu/pikiran).

Disamping itu seorang pemimpin dalam naskah ini harus juga berpegang teguh kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yakni: Animan (lemah lembut, santun),Ahiman (tegas), Mahiman (cerdas, berwawasan luas), Lagiman (terampil & cekatan), Prapti (tepat sasaran), Prakamya (ulet & tekun), Isitwa (jujur, benar), dan Wasitwa (terbuka).

Salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, sebelum seseorang menjadi pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (Satya dikahulunan) yakni harus mempunyai sifat-sifat : tidak pernah mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit diperintah, tidak pernah iri

1

Page 3: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

dengki, tidak pernah goyah kesetiaanya, tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong dipiwarang, Mulah nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu sebagai seorang abdi harus juga memiliki pribadi sebagai berikut yang lebih dikenal sebagai empat larangan (opat larangan) yakni : Tidak mudah tersinggung, tidak mudah merajuk, tidak mudah menggerutu, dan tidak mudah menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, nulah kukulutus, mulah humandeur

Pemimpin yang legendaris atau yang namanya harum mewangi menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki sifat Dasa prasanta, yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu menenangkan hati, yakni: Guna (bermanfaat), Ramah (santun), Hook (kharismatik), Pésok (panutan & dapat dipercaya), Asih (berjiwa sosial), Karunya (berhati nurani), Mupreruk (melindungi), Ngulas (teliti & menerangkan dengan jelas), Nyecep (menyejukkan), Ngala angen (mengambil hati). Berdasar SSK, seorang pemimpin digelari sebagai tokoh, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor, yakni Emét (Tidak serakah), Imeut (teliti), Rajeun (rajin), Leukeun (tekun), Paka Pradana (tulus jiwa sosial), Morogol-rogol (semangat), Purusa ning Sa (berani, jujur, tanggung jawab),Widagda (adil,bijak), Gapitan (yakin & rela berkorban), Karawaléya (berjiwa sosial),Cangcingan (cekatan),dan Langsitan(cerdas).

Seorang pemimpin yang baik disamping harus memiliki sikap positif, harus mampu pula berpantang/menjauhi kesalahan–kesalahan yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga pada akhirnya akan mampu mewujudkan pemimpin sebagai “Master” yang melegenda maka dari itu harus menjauhi .Kemudian agara pemimpin sebagai ‘master’, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia,yang disebut Catur Buta, yaitu Burangkak, Mariris, Maréndé, Wirang (kasar, menjijikan, sadis, dan licik

Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, dan AG, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan teacher. Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal, sehingga apabila seseorang sudah mampu memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan menjelma sebagai Master Leadership atau sebagai “tokoh” yang legendaris, yang harum mewangi namanya, sebagaimana gelar raja-raja di Sunda-Galuh dan Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi” yaitu seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani

2

Page 4: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

masyarakatnya karena mengedepankan prinsip pakeun hebeul jaya dibuana pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro, sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali Astana gede Ciamis yang artinya kalau kita ingin jaya didunia pegang teguh kebenaran karena itulah yang akan membawa kepada kesejahteraan dan keadilan, bangun kekuatan dengan kedamaian, bangun kekuatan dengan kerendahan hati, saling mengasihi antar sesama, dan jangan serakah karena akan membuat diri jadi sengsara serta yang paling utama adalah mampu memberdayakan dan mensejahterakan orang banyak (Ngertakeun Jalma rea) dengan konsep Tata Tentrem Kerta Raharja.

3

Page 5: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

I. Pendahuluan

Seandainya di era globalisasi dan canggih saat ini masih terbersit

hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa lampau, hal itu

merupakan sikap yang cukup bijaksana, karena jika kita cermati secara

seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil

kreativitas dan warisan karuhun (warisan leluhur) terdahulu yang bisa kita

gali dan kita ungkapkan dimasa kini. Salah satu sumber informasi budaya

masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat dipandang

sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide,

pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari sebuah

bangsa atau kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat

tertentu.Sebagai sumber informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah

buhun(kuno) termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan

kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya,

yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan,

dan lain-lain.

Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan

peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat,

terutama tentang keadaan sosial dan budaya, yang meliputi: sistem

religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata pencaharian

hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan, bahasa,

dan seni (Koentjaraningrat, 1987; Suryani NS., 2010: 48)..

Memang benar pengaruh globalisasi tidak bisa kita hindari, namun

sebagai generasi muda kita dituntut agar pandai memilih dan memilah serta

mencerna budaya asing yang masuk, mana yang baik dan mana yang tidak

baik untuk diterima. Di era globalisasi saat ini ada kecenderungan bahwa

masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya

“pituin”(asli)kita sendiri, meskipun ‘unsur luar’ itu berasal dari

peninggalan “karuhun” (leluhur) kita. Selayaknya kita mau bercermin

4

Page 6: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri. Untuk itu, sungguh arif andaikan

kita mau mencerna kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya

peninggalan nenek moyang, khususnya yang tercermin dalam naskah,

yangberhubungan dengan masalah kepemimpinan.

Karya tulis ini mengacu kepada beberapa teori yang berkaitan

dengan masalah kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan Glenn (1992)

Stogdill (1974) Locke (1997), Gardner (1986 & 1988), Ekadjati (2006),

Charliyan (2009 & 2012), (Suryalaga, 2009), Thoha (2009), dan Suryani

NS (2009 & 2012).

Tulisan ini sekadar mengungkap konsep kepemimpinan global

berbasis kearifan lokal, yang dikenal dengan istilah

“parigeuing”(mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang

dalam naskah Sunda buhun(kuno) abad 16 Masehi (1518 M), khususnya

yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang

pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil

dan dicintai, baik oleh rakyat maupun oleh bawahannya, yang di dalamnya

tentu saja berkaitan dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin

dengan yang dipimpinnya serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat

masa kini.

Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda abad ke-16

Masehi inisebagaimana terungkap dalam naskah Sanghyang Siksakandang

Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat

Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (AG).Naskah-naskah tersebut

berupa daunlontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno), yang

mungkin saja sudah tidak dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian

masyarakat dimasa kini.

5

Page 7: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

2. Kepemimpinan

2.1 Definisi

Definisi kepemimpinan sangatlah beragam. Glenn (1992)

menyebutkan bahwa sedikitnya ada kurang lebih 350 definisi mengenai

kepemimpinan. Dari sekian banyak definisi dimaksud, Stogdill (dalam

Handbook of Leadership, 1974) menegaskan, bahwa hanya ada tiga

golongan kepemimpinan, yakni :

a. golongan pertama adalah kepemimpinan sebagai pusat proses gerakan

kelompok;

b. kedua kepemimpinan sebagai seni memengaruhi; dan

c. ketiga kepemimpinan sebagai pembedaan kekuasaan, deferensiasi

peranan, dan inisiasi struktur.

Tidak ada sebuah definisi kepemimpinan yang dapat dirumuskan

secara lengkap untuk mengabstraksikan perilaku sosial atau perilaku

interaktif manusia di dalam organisasi yang memiliki regulasi dan struktur

tertentu, serta misi yang menyeluruh.Meskipun demikian, ada satu definisi

yang mampu mewakili dan dapat dijadikan rujukan berkenaan dengan

kepemimpinan. Locke (1997) menjelaskan bahwa:“kepemimpinanadalah

merupakan suatu proses menggerakkan (inducing) orang lain menuju

sasaran bersama”.

Definisi sebagaimana dikemukan Locke dimaksud merupakansuatu

Relational conceptyakni:“Kepemimpinan itu hanya ada dalam proses

relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka

tidak ada yang disebut pemimpin”.Tersirat dalam definisi ini sebuah

premis, bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana

membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.

Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar mampu memimpin,

seorang pemimpin harus melakukan sesuatu.Gardner (1986 & 1988)

melalui observasinya menegaskan bahwa kepemimpinan tidak lebih

6

Page 8: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

darisekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang

diformalkan, yang mungkin akan sangat mendukung proses

kepemimpinan, namun jika hanya sekedar menduduki posisi tersebut itu

tidak otomatis menjadikan seseorang layak disebut sebagai seorang

pemimpin. Secara singkat bisa dirumuskan bahwa leader by action but

leader not by position yang artinya bahwa kepemimpinan itu tidak harus

terikat pada suatu posisi, jabatan atau kedudukan belaka tapi yang paling

penting sikap dan perbuatan mampu menunjukan bahwa ia seorang

pemimpin sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing yang

mampu membawa anggota atau masyarakatnya untuk mencapai tujuan

bersama.

2.2 Definisi Menurut Naskah Sunda

Kemudian apabila kita gali dari SSK III bahwa pemimpin di

istilahkan sebagai parigeuing yang berarti mengingatkan, secara lebih jauh

mengandung pengertian bahwa seorang pemimpin itu harus selalu eling

mengingatkan para anggotanya untuk mencapai tujuan melalui jalan yang

benar. Hal ini sejalan dengan intisari surat : Wall asri : Marilah kita saling

mengingatkan tentang kebenaran dengan penuh kesabaran (Wattawwa

saubillhaq wattawwa saubilsobr). Kepemimpinan juga harus mengacu pada

konsep Tri Tangtu Dibuana (Tiga Ketentuan untuk Keseimbangan Dunia)

yakni sebagai Prabu yang melambangkan jagat keamanan, Rama sebagai

jagat kemakmuran, Resi sebagai jagat kesejahteraan dan keadilan. Konsep

selanjutnya adalah pemipin sebagai Hulun (abdi), Ratu (Pemimpin) dan

Palanka (Negarawan) yang artinya bahwa sifat utama sebagai pemimpin

itu harus mampu sebagai abdi dulu, sebagai pelayan dari masyarakatnya

jangan sekali-kali bermimpi menjadi pemimpin kalau belum mampu

menjadi seorang abdi/ pelayan dari masyarakatnya (satya Ha Prabu.)

setelah itu baru sesorang berhak sebagi pemimpin yang harus mempunyai

sifat utama yakni bawalaksana (konsekuen, konsisten, komitmen) sacidu

7

Page 9: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

metu seucap nyata, satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan dimana

kesemuanya itu semata-mata hanya untuk Palanka sebagai pemimpin yang

negarawan yang senantiasa mengutamakan kepentingan orang banyak

daripada kepentingan pribadinya serta yang mampu ngalambakeun jalma

rea (mensejahterakan masyarakat banyak) disertai dengan sifat yang rendah

hati dan tidak serakah sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali

pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kreta bener pake gawe kreta

raharja, ulah botoh bisi kokoro. Dan yang terakhir dalam membawa

masyarakatnya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan sangat halus

sehingga masyarakat tersebut tidak terasa dibawa ke arah tujuan tersebut

seperti air sungai yang mengalir (Ilmu wujud patan jala), bahkan siapapun

yang dititahkan mendapat tugas untuk mencapai tujuan tersebut merasa

senang dan bangga karena sebagai tugas bangsa dan negara.

Oleh sebab itu Kepemimpinan harus mampu mengajak atau

membujuk orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin harus mampu

membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan

otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan),

penetapan sasaran bersama, mampu memberi penghargaan (reward) dan

hukuman (punishment), restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan

visi.

Seseorang disebut pemimpin, jika sudah mampu memiliki dan

menyelaraskan konsep (idea, pemikiran), norma (aturan), dan mewujudkan

aktualisasi kepemimpinanya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari

kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu

dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati

bersama. Gaya kepemimpinan dapat berorientasi kepada hubungan yang

harus dibina dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi

kepada hasil yang ingin dicapainya (concern for production). Semua ini

perlu dikaji secara menyeluruh, yang mencakup tataran IQ (Intelectual

8

Page 10: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ

(Actional Quotient) sebagai sinergi pragmatiknya (Suryalaga, 2009: 129-

130).

2.3 Gaya Kepemimpinan

Gaya atau style kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan

seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau

bawahannya. Istilahgaya secara mendasar sama dengan ‘cara’ yang

digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut

atau bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan normaperilaku yang

digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi

perilaku orang lain seperti yang Ia lihat (Thoha, 2009: 49).

Ada sebuah pertanyaan yang secara refleks mungkin bisa dan tidak

bisa dijawab oleh hadirin di sini.Apa pentingnya sebuah ‘naskah kuno’ bagi

peradaban dan perkembangan budaya masa kini, dan mengapa naskah

sangat penting bagi kehidupan masyarakat masa kini? Naskah sebagai

dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun sebenarnyamasih

sangat menarik kita gali, ungkap, bahkan dapat kita jadikan sekadar

tuntunan moral dalam kehidupan kita saat ini. Penggalian teks naskah-

naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, Batak dan lain-laintersebutdapat

membantu kita mengungkap kearifan lokal budaya Bangsa kitadimasa

silam yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”,

justru dengan mengacu pada kearifan bangsa kita sendiri pasti akan lebih

membumi, karena sudah jadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar

dan teruji ratusan bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan

karakter masyarakat itu sendiri.Yang mana saat ini kita terlalu sering

berorientasi pada konsep kepemimpinan model Eropa/Barat yang tentu saja

belum tentu sesuai dengan tradisi akar budaya ketimuran yang akhirnya

menjadikan kita sebagai : Tuan asing dirumah sendiri sehingga bisa jadi

9

Page 11: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

“salah asuh” dari awal, karena terbius oleh konsep-konsep yang belum

tentu sesuai dengan budaya kita. Dalam hal ini bukanya Penulis anti

dengan konsep Barat, konsep-konsep Barat yang baik tetap akan kita

jadikan referensi, namun kita harus lebih mengutamakan dan menggali

konsep-konsep kearifan lokal kita yang sudah teruji, adapun konsep Barat

bisa berperan sebagai pendukung dari konsep kearifan lokal kita sendiri,

sehingga dengan demikian konsep-konsep, ilmu-ilmu, dan filosofi lokal,

bisa menjadiTuan dirumah kita sendiri.

2.3 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal

2.3.1 Naskah Sanghyang Hayu

Istilah “Parigeuing”atau kepemimpinan ala Sunda yang terungkap

dalam naskah SSK,yang ditulis pada abad ke-16 Masehi, merupakan

naskah kuno yang terbuat dari kulit nipah. Secara umum isinya

mengisahkan tuntunan atau tatacara dalam upaya mencapai kebaikan hidup.

Kemudian konsep kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Hayu

pun mendasari konsep tiga rahasia, atau yang lebih dikenaldengan

konseptri tangtu di buanadalam SSKK yang dikenal sebagai Tri geuing

yaitu : geuing (sandang), upa geuing (pangan), dan parigeuing

(memimpin), dimana dalam Naskah Sanghyang Hayu konsep Tri Tangtu

tersebut dibagi dalam 5 bagian yakni:

1. Budi (bijak) – guna (arif) – pradana (saleh)

2. Kaya (sehat/kuat) – wak (wadah/badan) – cita (punya tujuan)

3. Pratiwi (bumi) – akasa (angkasa) – antara (antara)

4. Mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran)

5. Bayu (angin) – sabda (amanah) – hedap (tekad).

Konsep Tri Tangtu di buana ini merupakan sebuah konsep

Kesisteman dalam pola berperilaku suku bangsa Sunda/Nusantara pada

10

Page 12: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

umumnya baik perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

yang mengisyaratkan tiga ketentuan sebagai satu kesatuan, berbeda-beda

tetapi tetap satu atau yang sekarang kita kenal sebagai Bhineka Tunggal

Ika.

Kelima belas karakter seperti tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu

harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, dan untuk bisa

menjadifigur seorang pemimpin ideal harus berpegang teguh kepada prinsip

astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras,

baik, dan harmonis. Kedelapan kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan

Darsa (1998) adalah sebagai berikut:

a. Animan (lemah lembut), seorang pemimpin harus memiliki sifat

yang lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar, agar orang

yang dipimpinnya merasa diperhatikan.

b. Ahiman (tegas), seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam

pengertian tidak plin plan (panceg hate)

c. Mahiman (berwawasan luas), seorang pemimpin tentu saja harus

memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar

tidak kalah dari bawahannya.

d. Lagiman (gesit/cekatan/trampil), seorang pemimpin pun dituntut

agar Dia trampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau

melakukan suatu pekerjaan

e. Prapti (tepat sasaran), seorang pemimpin harus memiliki ketajaman

berpikir serta tepat sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi hal

itu akan menghambat suatu pekerjaan.

f. Prakamya (ulet/tekun), seorang pemimpin juga tentu saja harus

memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Pemimpin tidak

boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik

dan berhasil guna.

11

Page 13: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

g. Isitwa (jujur), seorang pemimpin dituntut memiliki kejujuran, baik

dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya oleh

orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun

bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis.

h. Wasitwa (terbuka untuk dikritik), seorang pemimpin harus memiliki

sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan

terbuka untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau

menyimpang dari aturan yang ditetapkan.

Kepemimpinan Astaguna ini sejalan dengan teori “kepemimpinan

berdasarkan sifat” sebagaimana dikemukakan LL. Barnard (1426),

Kilbourne (1927) page (1935) dan Locke & Patrick (1991) yang menitik

beratkan bahwa sebagai seorang pimpinan harus memiliki sifat – sifat yang

unggul sebagai sebuah ciri khas yang membedakan ia sebagai pemimpin

dengan manusia-manusia lainya, atau sejalan dengan teori “Role

Leadership" dari Homan (1950), Kahn (1970), Hunt (1976), Mintzberg

(1978) yang menitik beratkan pada karakter pemimpin yang harus punya

peran khusus dalam kelompoknya yang sesuai dengan situasi dan kondisi

yang diperlukan pada saat tersebut.

2.3.2 Sanghyang Siksakandang Karesian

Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) mengulas dan

mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan

yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam

rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan

sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang

mampu menenangkan hati sebagai berikut:

12

Page 14: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

a. Guna ‘bijaksana/ kebajikan, perintah yang diberikan oleh seorang

pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya,

sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

b. Ramah ‘bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari’,

keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman

dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan

mengesankan adanya keramah tamahan akan menjadi ‘habitat’ yang

sangat baik dan menyenangkan.

c. Hook‘sayang atau kagum’, perintah seorang pemimpin dianggap

sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang

diperintahnya.

d. Pésok‘memikat hati atau reueus/bangga’,seorang pemimpin harus

mampu memikat hati bawahannya serta merupakan ‘kareueus’

kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh

seorang pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan

kebanggaan bagi yang diperintah. Hal demikian akan mampu

mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah.

e. Asih ‘kasih, sayang, cinta kasih, iba’, perintah pemimpin harus

dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.

f. Karunya‘ iba/sayang/belas kasih’, sebenarnya hampir sama dengan

asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai

suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya

g. Mupreruk‘membujuk dan menentramkan hati’, seorang pemimpin

seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang

dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya.

h. Ngulas‘memuji di samping mengulas, mengoreksi’. Seorang

pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan

yang dipimpinnya sebagai penghargaan dan pendorong ke arah yang

lebih baik.

13

Page 15: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

i. Nyecep‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin

yang menyejukkan hati’, bisa juga diartikan memberi perhatian baik

berupa moril maupun materiil, walau hanya berupa ucapa terima

kasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati. Demikian

juga dikala bawahanya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam

suatu pekerjaan. Jangan dicela atau dijatuhkan tapi tetap diberi

dorongan moril agar lebih semangat lagi.

j. Ngala angen‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati

bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan

silaturahim yang kental dan harmonis.

Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati secara saksama,

kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia,

tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses

komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih

asuh

Karena Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan

kualitas hubungan antar manusia (human relationship) namun tidak dalam

kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Dimana dalam

proses komunikasinya menggunakan silih asih, silih asah, dan silih asuh.

Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa

Prasanta apabila kualitas dirinya telah “mumpuni”. Dalam arti, seorang

pemimpin harus “kharismatik”, mempunyai “pamor” atau “tuah”yang

terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam ciri

kepemimpinannya. Konsep dasa prasanta merupakan intisari dari‘ilmu

human relation dalam manajemen’, meskipun secara tersirat dikatakan

bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya

melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau

pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor).

14

Page 16: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Dasa Prasanta ini bila kita analisis berdasarkan konsep-konsep

kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori “Kepemimpinan

Humanistik” sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake &

Mourton (1964), atau Likert (1967) yang menitik beratkan pada

“pengembangan motivasi”, atau juga bisa sejalan dengan teori

“Kepemimpinan Managerial Strategis” sebagaimana dikemukakan

Buckingham & Coffmant (1999), Drucker (1999), atau Kotter (1998) yang

juga menitik beratkan pada penyelarasan visi, memberikan inspirasi serta

memotivasi dan memberi semangat para pengikutnya. Dasa prasanta inipun

juga sejalan dengan teori “Transformasional nilai” sebagaimana

dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns (1978) atau De Pree (1995) yang

menitik beratkan pada penyelarasan, penciptaan, dan pemberdayaan

sehingga pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling

mengangkat satu sama lain ke tingkat moralitas & motivasi yang lebih

tinggi.

Ada dua belas unsure pangimbuhning twah yang harus menjadi ciri-

ciri karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitik

beratkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang

pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan

dikembangkan sebagaimana tertuang dalam naskah SSK (bandingkan

Suryalaga 2009:141), yang meliputi :

a. Emét artinya ‘tidak konsumtif’. Seorang pemimpin yang terbiasa

untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya.

Pemimpin demikian akan terhindar dari perilaku korup yang tentu

saja harus dihindari oleh seorang pemimpin.

b. Imeut‘teliti, cermat’. Jika seorang pemimpin ceroboh dan kurang

teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang

untuk memperbaiki kekeliruannya karena ketidakcermatan yang

telah diperbuatnya.

15

Page 17: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

c. Rajeun‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya, pemimpin yang

demikian mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan

yang ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang

terbuang secara percuma.

d. Leukeun‘tekun’.Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-

citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran.

e. Paka Pradana ‘berani tampil/berbusana sopan, beretika’. Seorang

pemimpin yang tanpa berbekal etika dalam pergaulan, perasaan

simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan.

f. Morogol-rogol‘bersemangat, beretos kerja tinggi’. Keinginannya

untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong

kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang

pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.

g. Purusa ning sa‘ berjiwa pahlawan, jujur, berani’. Kreasi dan inovasi

serta pembaharuan yang berkualitas prima hanya terlahir dari

pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang berani

menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan

jarum kompas penunjuk arah yang benar.

h. Widagda‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’.

Kesombongan rasio yang kadang-kadang sangat mendominasi

pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan.

i. Gapitan‘berani berkorban untuk keyakinan dirinya’. Keyakinan

merupakan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang

pemimpin.

j. Karawaléya‘dermawan’.Hidup adalah kebersamaan dengan orang

lain. Kepedulian sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin.

k. Cangcingan‘terampil, cekatan’. Hanya pemimpin yang cekatan yang

mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan

tidak datang dua kali.

16

Page 18: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

l. Langsitan‘rapekan’, segala bisa, multi talenta dan pro aktif.

Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses.

Konsep, pola, figur, dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah

Sanghyang Siksa Kandang Karesian sesuai tugasnya, bahwa seorang

Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat

batu 'berwatak teguh' serta harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam

arti bahwa seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan

dan memberdayakan semesta dunia kehidupan. Kita paham benar bahwa

dunia kehidupan tersebut meliputi semesta alam dan mencakup

kesejahteraan lahir batin. Dengan demikian, tugas pemimpin adalah

mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermatabat

dan penuh dengan rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha

Pengasih serta Maha Penyayang. Itulah yang dimaksud dengan tujuan akhir

berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang Tata

Tentrem Kertaraharja membangun kekuatan dalam damai untuk

mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Pangimbuhan Twah inipun bila kita kaji sejalan dengan teori

“Kepemimpinan Kharismatik” sebagaimana dikemukakan Maxwell

(1999), Arthur (1993), atau Weber yang meneliti sejak tahun 1947 yang

menitik beratkan pada kekuatan pengaruh, tradisi atau kualitas unggul yang

dimiliki seseorang, atau juga sejalan dengan teori “kepemimpinan yang

Aspiratif & Visioner” sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzes & Posner

(1998), Peter Walkman (1990), atau Richard Engle (1986), yang menitik

beratkan pada segi untuk menggerakkan sehingga pimpinan berperan

sebagai kompas, pemandu, sehingga orang lain bersedia berjuang untuk

tujuan bersama, kemudian pangimbuhan Twah inipun juga sejalan dengan

teori “Kepemimpinan Spiritual” model Green Lest (1996), Spears & Frick

(1992), Fairhom (1993) atau Maxwell (1993) yang menitik beratkan pada

17

Page 19: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

besarnya pengaruh dari seorang pimpinan yang punya komitmen terhadap

spiritual , adat, budaya, nilai, dan tradisi masyarakat/lingkungan/tradisi

organisasi.

2.3.3 Fragment Carita Parahiyangan (FCP)

Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah Fragmént

Carita Parahiyangan (FCP). Pola kepemimpinan yang tersirat dalam FCP,

adalah bahwa Tarusbawa sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan

pusat) membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas

kesepakatan bersama dengan pihak rama 'tokoh masyarakat wakil rakyat'

dan pihak’ resi 'penentu kebijakan hukum'. Sistem pembagian kekuasaan

seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur

penentu kehidupan di dunia', terdiri atas prebu, rama dan resi. sebagai:

a. Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat

ini dipegang oleh pemerintah) yang harus ngagurat batu

'berwatak teguh'.

b. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat

(legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat

lemah “berwatak menentukan hal yang mesti dipijak”.

c. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum

agama dan darigama ”negara” (yudikatif atau saat ini dipegang

oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai 'berwatak

menyejukkan serperti air, sesuai takaranya dan selalu mengalir

kebawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan'.

Andai kita simak lebih saksama, sistem politik Sunda masa silam

sebagaimana terungkap dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan yang

dikenal dengan tri tangtu di buana, selama ini dikenal seolah-olah berasal

dari “trias politica”nya Montesque yang mulai membumi pada abad XVIII

Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun,

18

Page 20: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

mungkin hal itu dianggapnya benar, namun bagi filolog yang menguasai

naskah, akan merasa aneh. Justru pembagian sistem pemerintahan dan

politik tersebut sebenarnya sudah diejawantahkan dalam pemerintah Sunda

sejak abad ke-VIII M).hal ini membuktikan bahwa leluhur kita masa

lampau itu merupakan orang-orang yang bijak dan cerdas yang ternyata

sudah mampu melaksanakan teori trias politica dari Perancis. Sepuluh

abad sebelum teori itu sendiri lahir, sehingga disini peran Prabu sebagai

raja tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter dengan kekuasaan tanpa batas. Tapi

ada penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan Resi. bahkan seorang raja

tidak akan bisa bertahta sebagai raja tanpa adanya restu dari Rama dan

Resi, sehingga ada sebuah filosofi yang dikenal dengan : Galunggung

ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora yang artinya seorang

tumenggung atau raja baru bisa dikatakan resmi sebagai raja bila sudah ada

restu dari Galunggung sebagai pusat Rama dan Resi. hal ini dibuktikan dari

beberapa kejadian literatur sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran

antara lain : naiknya Prabu Permana Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke

VIII) atau di angkatnya Jaya Dewata/Sri Baduga Maharaja sebagai raja di

Pajajaran (abad XV) sebagai akibat dileburnya dua kerajaan Sunda dan

Galuh.

2.3.4 Pantangan-Pantangan dalam Kepemimpinan

Naskah Amanat Galunggung (AG) menjelaskan ada empat larangan

bagi seorang pemimpin dalam cara memerintash, yakni :

a. mulah kwanta (jangan berteriak)

b. mulah majar laksana (jangan menyindir)

c. mulah madahkeun pada janma;(jangan menjelekkan orang lain)

d. mulah sabda ngapus (jangan berbohong).

19

Page 21: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

AG Verso VI mengungkap pantangan-pantangan sebagai pimpinan

dalam ilmu wujud air “patanjala”, bahwa seorang pemimpin:

a. jangan mudah terpengaruh

b. jangan peduli terhadap godaan

c. jangan dengarkan ucapan yang buruk

d. Pemimpin harus visioner berpusat kepada tujuan dan cita-cita,

sebagaimana dikemukakan Seth Kahan (2002).

Kepemimpinan ini bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang

visioner sejalan dengan teori “Kepemimpinan model jalur dan tujuan”

sebagaimana dikemukakan M.G Evans (1970) House dan Dessler (1974)

yang menitik beratkan pada perbuatan kinerja anggota yang harus sesuai

dengan norma, aturan, atau protap dan standar kerja. Kemudian juga

sejalan dengan model “kepemimpinan berdasarkan output”

sebagaimana dikemukakan Clitton dan Ulrich (2001) bahwa titik berat

kepemimpinan adalah keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan

melalui proses yang benar pula.

2.3.5 Pemimpin Sebagai Abdi

SSK VI mengungkap “sikap pemimpin sebagai abdi”, yakni

memberikan sebuah pesan bahwa prasyarat sebelum jadi pimpinan harus

mampu dulu bersikap sebagai abdi artinya jangan bermimpi bisa menjadi

pemimpin yang baik sebelum mampu lulus dan berperan sebagai abdi,

sehingga konsep kepemimpinan tersebut terbagi dalam 3 konsepsi yakni :

a. sebagai Hulun (abdi)

b. sebagai Palanka (wadah/pemerintah)

c. sebagai Prebu (pimpinan)

karena pada hakekatnya seorang pemimpin itu hanyalah seorang abdi

utama, sebagai pelayan; bahkan dalam “8 habbits” dikatakan pemimpin

tertinggi tk. 5 (lima) adalah;“seorang pemimpin yang mampu

mengabdikan dirinya tanpa batas/melayani tanpa batas dengan

20

Page 22: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

disertai sikap kerendahan hati serta konsisten untuk tetap

mengingatkan tentang kebenaran tak terhingga”. Adapun sifat-sifat

pemimpin sebagai abdi antara lain:

a. Mulah luhya (‘jangan mengeluh’)

b. Mulah kuciwa (‘jangan kecewa’)

c. Mulah ngontong dipiwarang (‘jangan sulit diperintah)

d. Mulah hiri ‘jangan iri’, dan mulah dengki (‘jangan dengki’).

e. Mulah Nyey Nyot Tineung urang (tidak pernah goyah)

f. Mulah Kukulutus (tidak pernah menggerutu)

g. Haywa Pamali (tidak pernah melanggar pantangan)

h. Deung deungan sakahulunan (tidak mencelakakan sesama)

Hal inipun sejalan dengan teori “Kepemimpinan sebagai Pelayan”

dari Farhom (1994), Benge (1950), atau Schein (1992) menyiratkan bahwa

pada hakekatnya pemimpin itu adalah melayani orang lain, melayani

masyarakat dan melayani kepentingan organisasi sehingga seorang

pimpinan harus bersikap empati, tanggung jawab, persuasif, pendengar

yang baik, komitmen, konsisten dan konsekuen.

Sikap-sikap pemimpin sebagai abdi yang lain yang tercatat dalam

naskah SSK adalah sebagai 4 pantangan yang harus dihindari antara lain:

a. Mulah Babarian (jangan mudah tersinggung)

b. Mulah pundungan (jangan mudah merajuk)

c. Mulah humandeuar (jangan mudah berkeluh kesah)

d. Mulah kukulutus (jangan menggerutu).

Adapun sikap seorang pemimpin sebagai abdi yang terakhir sesuai

dengan SSK-IV bahwa, pengabdian itu pada hakekatnya adalah

ibadah, bekerja menanam budi (ini karma ning hulun, saka jalan

urang hulun, karmo ma) maka sebagai seorang pimpinan

a. Hendaknya takut (maka takut)

21

Page 23: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

b. Hendaknya segan (malah jarot)

c. Hendaknya hormati (maka atong)

d. Hendaknya sungguh-sungguh (maka teuing).

Berkaitan dengan larangan, SSK mengungkap bahwa pemimpin

harus mampu menjaga dasa kreta sebagai perwujudan dasa indra, yakni

harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki,

badan, dan aurat sejalan dengan dengan QS Al Araaf 179.

Naskah SSK selain mengupas sifat baik dan buruk seorang

pemimpin, juga tertuang watak manusia yang membuat kerusakan di dunia

yang disebut Catur Buta, yaitu empat watak manusia yang berkarakter

raksara perusak kehidupan, yakni:

a. Burangkak (mengerikan), dikenal sebagai mahluk maha gila yang

sangat mengerikan, tidak ramah, sering membentak. Burangkak

berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering

melanggar aturan. Merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain.

b. Mariris (tega/menjijikan), orang yang menjijikan lebih dari bangkai

binatang yang membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang

lain, korup, menipu, berdusta.

c. Maréndé (menakutkan), dalamSSK adalah sebangsa raksasa bermuka

api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin tersebut

berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup

damai dan tentram, namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah

membawa panas dan menimbulkan bencana di masyarakat.

d. Wirang (memalukan, licik), dalam SSK ditampilkan sebagai binatang

yang menakutkan, yaitu orang yang tidak mau jujur, tidak mau

mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang, `serta selalu

menyalahkan orang lain.

22

Page 24: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Salah satu prasyarat utama sebagai seorang abdi adalah: kesetiaan

(Satya dikahulunan) yang diwujudkan dalam bentuk bakti, kemudian

kepada siapa saja wujud bakti dan kesetiaan itu harus diberikan, yakni:

a. Bakti dan kesetiaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

b. Bakti dan kesetiaan kepada Orang tua

c. Bakti dan kesetiaan kepada Negara

d. Bakti dan kesetiaan kepada Tujuan mulia

e. Bakti dan kesetiaan kepada masyarakat

f. Bakti dan kesetiaan kepadaPemimpin

g. Bakti dan kesetiaan kepada Diri sendiri

Adapunmenurut naskah SSK-Idikenal dengan istilah Dasa perbakti

yakni:

a. Anak berbakti kepada Orang tua : (Anak bakti dibapak)

b. Istri berbakti kepada Suami :(Ewe dibakti dilaki)

c. Hamba berbakti kepada majikan : (Hulun bakti dipacandaan)

d. Siswa berbakti kepada guru : (Siswa bakti diguru)

e. Petani berbakti kepada Mandor : (Wang tani bakti diwado)

f. Mandor berbakti kepada Mantri : (Wado bakti dimantri)

g. Mantri berbakti kepada Mangkubumi :(Mantribakti dimangkubumi)

h. Mangkubumi berbakti kepada Raja :(Mangkubumi bakti diRatu)

i. Raja berbakti kepada Dewa :(Ratu bakti diDewata)

j. Dewa berbakti kepada Tuhan : (Dewata bakti diHyang)

Jika kita lihat konsep bakti dalam naskah SSK ini berawal dari:

a. Konsep bakti dilingkungan keluarga (anak, bapak, suami, istri)

b. Konsep bakti dilingkungan pendidikan (siswa dan guru)

c. Konsep bakti dilingkungan masyarakat (hamba, majikan, petani,

mandor)

23

Page 25: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

d. Konsep bakti dilingkungan pemerintahan (mantri, mangkubumi,

raja)

e. Konsep bakti dilingkungan moral spiritual ketuhanan (dewa dan

hyang)

Konsep kesetiaan sebagai abdi inipun tersurat dalam Filosofi dan

pengertian dari huruf Jawa kuno yaitu : Hanacaraka, Datasawala,

padajayanya, Magabatanga yang artinya ada prajurit sebagai duta/utusan

yang membawa berita namun karena kesetiaanya terhadap perintah raja

akhirnya membawa kesetiaanya sampai mati. Dalam hal ini tersurat bahwa

kesetiaan itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Kemudian apabila kita tinjau konsep pengabdian ini dari sisi agama

sebagaimana tersirat dalam Al Quran (Al Dzariat 51:56) dikatakan : “tidak

aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” dan lebih

jauh dikatakan dalam surat Al Fatihah yang berbunyi : “ iyyaa kana’

budu wa’iyaa kanas ta’in” (hanya kepadamu kami mengabdi dan

hanya kepadamu kami memohon pertolongan) jadi artinya tugas manusia

didunia ini sesungguhnya hanya semata-mata untuk mengabdidan

diingatkan kepada manusia jangan meminta pertolongan dulu sebelum bisa

mengabdi dengan sempurna, karena kebiasaan yang terjadi manusia selalu

meminta pertolongan tapi tidak ingat bahkan tidak pernah mengabdi baik

kepada sesama apalagi kepada yang maha kuasa.

2.3.6 Kepemimpinan Sebagai Negarawan (Prabu ing Palanka)

Sebuah bangsa bisa banyak melahirkan para pemimpin yang

qualified, tetapi belum tentu mampu melahirkan sosok-sosok Negarawan

yang unggul. Karena seorang pemimpin baru bisa dikatakan sebagai

pemimpin yang hebat, mumpuni, bila ia sudah mampu bersikap sebagai

seorang Negarawan dalam arti kata, seorang Negarawan pasti seorang

24

Page 26: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

pemimpin, tetapi seorang pemimpin belum tentu mampu bersikap sebagai

seorang Negarawan. Adapun sikap-sikap yang harus dipunyai oleh seorang

Negarawan seperti yang tersurat dalam Amanat Galuggung Rekto 1:

a. Jangan bentrok : Mulah Pabuang

b. Jangan berselisih paham : Mulah Pasalahan paksa

c. Jangan saling bersikeras : Mulah Pakeudeu-keudeu

d. Jangan mempertentangkan : Mungku urang miprangkeun

Tentang kebenaran dibener

e. Jangan saling curiga : Mulah nenget sama hulun

f. Jangan berebut kedudukan : Haywa pa ala-ala palungguhan

g. Jangan berebut pekerjaan : Haywa pa ala-ala pamonang

h. Jangan berebut jasa : Haywa pa ala-ala demakan

i. Jangan merampas milik orang: Mulah ngarampas tanpa dwasa

lain

j. Jangan menyakiti orang lain : Mulah midukaan tanpa dwasa

k. Hendaknya hidup rukun : Masing Rampes

l. Jangan sampai tanah leluhur : Jaga dapetna pretapa, dapetna

Dikuasai orang lain pegengeun sakti Beunangna

(Cinta tanah air) ku asing

Itulah sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan sebagai

Negarawan, bahkan ada amanat khusus yang menitik beratkan pada arti

penting Cinta tanah air, arti penting agar para ksatria para generasi muda

kader-kader penerus bangsa mampu mempertahankan tanah leluhurnya

(kabuyutan), mampu mempertahankan tanah airnya jangan sampai

terkuasai oleh orang asing atau oleh para kapitalis. Bahkan karena dianggap

sangat penting sikap untuk mempertahankan tanah air ini sampai-sampai

ada sumpah atau amanat khusus dari seorang raja Galuh Prabu Darma

Siksa (abad XII) bagi para penerusnya bila tidak mampu

25

Page 27: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

mempertahankanya. Maka ia diakatakan lebih hina dari sampah yang

paling busuk yang ada di jarian yakni:

- Jaga direbutnya /dikuasainya tanah laluhur oleh orang lain(Jaga

beunangna kabuyutan ku sakalih).

- Akan banyak para pedagang yang ingin merebut tanah leluhur

(Banyaga nu dek ngarebut kabuyutan).

- Yakni orang-orang Asing yang ingin memrebut tanah leluhur

(Asing iya nu meunangkeun kabuyutan).

- Lebih berharga kulit musang ditempat sampah daripada

Rajaputra tidak mampu mempertahankan tanah leluhur yang

direbut orang lain (Mulyana kulit lasun di jaryan, modalna

rajaputra antukna beunang ku sakalih).

Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam SSK-Rekto III sikap

pemimpin sebagai Negarawan “hendaknya berbuat kemulyaan yang

menitik beratkan pada satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan” (maka

pada mulya, ku ambeg, ku sabda, ku hidep) atau sikap

“Bawalaksana”(Komitmen, konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab)

sebagaimana diungkapkan dalam buku Sabda Pandhita Ratu, sebagai

sikap utama yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Sehingga

pimpinan sebagai Negarawan (Pandhita Ratu). Berbuat tidak untuk

mengejar kedudukan (kalungguhan), tidak mengejar jabatan /pekerjaan

(pamonangan) atau mengejar jasa dan rejeki (demakan), mengajar sebuah

posisi (position) atau status. Tapi lebih menitik beratkan pada role

(peranan) atau perbuatan (action). Yakni sebagai : “Leader by action is

not leader by position” atau “leadership by role but not leadership by

status”. Untuk mengejar kemulyaan Bangsa dan Negara yang dilaksanakan

dengan sikap “Bawalaksana” tadi, dengan sepenuh tanggung jawab

berikut segala resikonya. Hal ini sejalan pula dengan hadist dan Al-Quran

“tidak aku jadikan engkau khalifah dimuka bumi melainkan nanti akan aku

26

Page 28: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

minta pertanggung jawabanya”, sehingga sebagai seorang pemimpin harus

mampu bertanggung jawab baik lahir maupun bathin, baik dunia maupun

akhirat. Makanya golongan pertama manusia yang akan masuk Surga

adalah : “seorang pemimpin yang adil”.

2.3.7 Delapan Karakter Kepemimpinan Sunda

Kita sering mendengar istilah cageur (sehat), bageur (baik

perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), tur singer

(terampil), yang dianggap sebagai sifat dan karakter yang harus dimiliki

orang Sunda. Kelima istilah tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan

karakter ‘pemimpin’ sebagaimana diungkapkan naskah Sanghyang

Siksakandang Karesian (SKK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP),

Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH).

Naskah Sunda mengisyaratkan delapan sikep ‘karakter’ yang harus

dimiliki oleh seorang pemimpin. Di samping cageur (sehat), bageur (baik

perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), singer (terampil),

dikenal pula istilah teger (ulet), tajeur (tangguh), dan wanter (berani),

yang bisa dibandingkan dengan 6 (enam) Prinsip Leadership Modern

Model FBI 2012, tanpa tajeur dan wanter.

Beragam kamus bahasa Sunda yang disusun R. Satjadibrata, R. A.

Danadibrata, atau LBSS hanya menjelaskan arti secara leksikal.

a. Cageur diartikan tidak sedang terkena penyakit, sehat atau sudah/baru

sembuh. Pemimpin Sunda harus memiliki badan kaya (sehat/kuat)–wak

(bersabda/enerjik)–cita (senantiasa memelihara hati). Seorang

pemimpin harus sehat, kuat, enerjik, dan senantiasa bertindak dengan

hati, yang berkaitan dengan AQdan PQ (Phisical Ability).

b. Bageur adalahorang yang suka memberi, baik perilakunya, dan tidak

nakal. Seorang pemimpin harus memiliki sikap animan (lemah

lembut), dalam arti tidak berperilaku kasar. Bageur lebih mengarah

27

Page 29: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

kepada perilaku budi (bijak)–guna (arif)–pradana (saleh), dan ramah

(bestari). Pemimpin harus berperilaku arif bijaksana dan saleh, di

samping bijak dalam memandang segala hal serta ramah,

karawaléya‘dermawan’. Kesalehan sosial sangat diperlukan dari

seorang pemimpin, berhubungan dengan Emotionaility Ability/EQ.

c. Bener‘benar’, tidak salah, sungguh-sungguh. Seorang pemimpin harus

lurus dan menjunjung tinggi kebenaran, memiliki sifat jujur atau isitwa,

baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya

oleh orang lain, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis. Adanya

kesepahaman antara pikiran, perasaan, dan tindakan (saciduh metu

saucap nyata). Dalam Sanghyang Hayu dikatakan adanya keselarasan

antara mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran),

apa yang dilihat, dan didengar harus sesuai dengan apa yang diucapkan,

selaras dengan Moral Ability atau SQ.

d. Pinter‘pintar’/pandai, berpengetahuan, mampu bekerja, mudah

mengerti. Pemimpin harus mahiman (berwawasan luas dan cerdas),

memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi.

Seorang pemimpin selain pinter‘cerdas’ juga harus memiliki

keseimbangan rasa dalam bertindak, selaras dengan Intelectual Ability

(IQ).

e. Singer ‘trampil, gesit, cekatan’, yang disebut dengan lagiman atau

cangcingan. Langsitan ‘rapekan’ , segala bisa, multi talenta dan pro

aktif Rajeun ‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya. Morogol-rogol

‘bersemangat, beretos kerja tinggi’. Keinginannya untuk berkarya

dengan kualitas unggul dan terbaik, berkenaan dengan Personal

Abality (PQ).

f. Wanter “berani tampil dalam kondisi apapun namun luwes”. Wanter

harus purusa ning sa “berjiwa pahlawan, jujur, berani”. Kreatif dan

inovatif. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan

28

Page 30: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

pemikiran manusia. Widagda “bijaksana, rasional dan memiliki

keseimbangan rasa”. Paka Pradana ‘berani tampil sopan, beretika’.

Gapitan “berani berkorban untuk keyakinan dirinya”, ini selaras

dengan Sosoial Ability (SCQ)

g. Teger ‘tidak takut dan tidak khawatir sedikit pun’. Panceg hatḗ ‘tidak

plin plan’, kalem dan berpendirian. Seorang pemimpin harus ahiman

‘tegas’, prakamya dan leukeun ‘ulet/tekun’. Ketekunan dalam

mencapai tujuan yang dicita-citakan dengan penuh kesabaran.

Pemimpin tidak boleh putus asa dalam menghadapi segala

kondisi.Teger berkaitan dengan wasitwa ‘terbuka untuk dikritik’,

‘legowo’ dan bijaksana serta terbuka untuk dikritik, selaras dengan

Reliciance Ability (RQ).

h. Tajeur/tanjeur ‘mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri’. Pemimpin

harus prapti ‘tepat sasaran’; memiliki ketajaman berpikir, karena jika

keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan,

selaras dengan Exelent Ability (ExQ).

Kedelapan karakter orang Sunda dimaksud melekat pada seorang

pimpinan maka akan melahirkan manusia unggul (maung) yang ulet

dan tangguh, sehingga melahirkan konsepsi ketahanan

pribadi/nasional. 8 (delapan) kemampuan sebagai pemimpin ini sejalan

dengan New Leadership dari FBI USA tahun 2012, sebagaimana

disampaikan Prof. Dr. Hermawan Kertajaya pada saat rapim TNI dan

Polri tahun 2013 di Auditorium PTIK Jakarta.

Dalam amanat Galunggung (AG) Verso III dirumuskan sosok

pemimpin yang ‘mulya’, yang antara lain harus mempunyai sifat-sifat:

a. siniti‘bijak’

b. sinityagata‘benar’

c. siaum‘adil dan takwa

d. sihooh ‘serius’

29

Page 31: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

e. sikarungrungan ‘simpatik’

f. semuguyu ‘ramah’

g. téjah ambek ‘rendah hati/sabar

h. guru basa ‘mantap bicara’.

Hal ini sejalan dengan Filder (1997), yakni kepemimpinan pada

dasarnya merupakan pola hubungan antarindividu yang menggunakan

wewenang dan pengaruh terhadap kelompok agar bekerja sama untuk

mencapai tujuan.

Pemimpin yang berkarakter menurut AG adalah adanya keberhasilan

kaderisasi sebagaimana tersurat sebagai berikut:hana nguni hana mangké

tanhana nguni tanhana mangké(tidak ada dahulu kalau tidak ada

sekarang, dan tidak ada diri kita hari ini jika tidak ada para leluhur kita

terdahulu) sehingga dengan demikian yang lebih tua harus menjadi guru

dan tauladan bagi yang lebih muda, sebaliknya yang muda wajib

menghormati dan mau belajar dari yang lebih tua. Dengan demikian terjadi

siklus pengkaderan secara sistimatik dari para pendahulu kepada generasi

penerusnyamaka dari itu, leadership Sunda harus diaktualisasikan secara

komitmen, konsisten, konsekuen, conection(adanya pola hubungan yang

berkelanjutan), dan adanya komunikasi yang selaras serta harmonis antara

pemimpin dengan yang dipimpin antara para pendahulu dan penerusnya.

Karena salah satu kriteria seorang pemimpin yang baik adalah yang

mampu menyiapkan kader-kader penggantinya.

Konsep atau pola kepemimpinan yang tersirat dalam naskah

Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita

Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, maupun naskah lainnya seperti

Amanat Galunggung, dan Carita Ratu Pakuan bila ditarik benang

merahnya setidaknya harus mampu berperan sebagai :

30

Page 32: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

a. Leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan, dan

satu perbuatan dengan benar, menhgajarkan tentang kebenaran dengan

pola ketauladanan)

b. Manajer (memiliki kemampuan dalam hal manajerialdan yang

mengajarkan tentang sesuatu yang baik, misal aturan yang baik,

perencanaan yang baik, dan lain-lain).

c. Entertainer (ada kaitannya dengan masalah human relations. Seorang

pemimpin harus dapat membina hubungan baik dengan sesama

manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun, di samping dapat

membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan lingkungan

sekitarnya)

d. Entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan. Seorang pemimpin

memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta keuletan yang

tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak

tersisihkan)

e. Commander (mampu memberi perintah sekaligus menjadi pendorong

(maker) atau pemberi motivasi bagi bawahannya, mampu memutuskan

masalah dengan cepat dan tepat, mampu menegur dan sebagai

penanggung jawab utama dalam organisasi).

f. Designer (mampu berperan sebagai perancang di berbagai bidang bagi

kemajuan yang dipimpinnya)

g. Father (bertindak kebapakan, layaknya seorang ayah terhadap anak-

anaknya dengan penuh kasih)

h. Servicer (harus mampu menjadi pelayan yang baik, karena pada

dasarnya seorang pemimpin adalah seorang ‘pelayan’ yang

bertanggung jawab kepada masyarakatnya)

i. Teacher (mampu menjadi guru, pendidik, dan pengajar yang baik serta

menjadi ‘tauladan’ bagi masyarakat/bawahannya).

31

Page 33: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Sehingga apabila ke-9 (sembilan) karakter tersebut sudah melekat

sebagai sikap pada diri seorang pemimpin, ia akan menjadi seorang

“Tokoh”atau “Master” yang dicintai, dikagumi, disegani dan melegenda,

harum mewangi namanyadimata masyarakat, serta mampu

mensejahterakan masyarakatnya. Maka pemimpin/raja yang demikianlah

yang berhak mendapat gelar sebagai Master Leadership(bandingkan,

Charliyan, 2009). Pada zaman bihari(dahulu) sebagaimana terungkap

dalam naskah-naskah buhunlewat fakta filologis, fakta arkeologis, fakta

sosial, maupunfakta mental dan fakta sastra, seorang figur pemimpin

idealyang namanyatetap melegenda dihati masyarakat maka digelari

sebagai Prabu Silihwangi(raja yang harum namanya). Sebagai Master

yang telah mumpuni, makanya raja-raja besar diwaktu itu dibelakang

namanya sering digelari :Maharaja, Raja Resi, Ratu haji dan lain-lain.

2.3.8 Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja

Arti harafiah dari konsep Tata Tentrem Kerta Raharja ini adalah

sebuah konsep untuk membangun bangsa dan negara yang diawali dengan :

a. Menata dulu aturan-aturan, tujuan, visi, misi yang jelas, situasi dan

kondisi suatu wilayah termasuk sumber dayanya (tata = mengatur).

b. Bila sudah tertata sesuai dengan aturan yang disepakati bersama dan

dijiwai dengan semangat kebersamaan, maka akan tercipta situasi

dan kondisi yang aman (tentram = aman tertib).

c. Kemudian bila sudah tercipta suasana yang tata tentrem maka

suasana dan gairah kerjapun akan terbangun dengan sendirinya

(kerta=kerja).

d. Pada akhirnya apabila gairah kerja sudah terbangun dengan

maksimal, maka secara otomatis kesejahteraan pun akan segera

terwujud dengan pasti.

32

Page 34: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja ini bila kita telusuri lebih jauh

berawal dari konsep Prabu Wastu Kencanasebagai raja sunda-Galuh

(1382) atau juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi ke-2, dalam prasastinya

yang ditemukan di Astana Gede kawali Ciamis-Jabar yang intinya berisi:

“bila ingin jaya dalam bernegara, harus mampu membangun

kekuatan dalam kedamaian, membangun kekuatan dengan

kerendahan hati dan siapapun yang tinggal diwilayah ini jangan

serakah karena hanya akan mengakibatkan celaka” (pakeun heubeul

jaya dibuana, pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, nutinggal

dibumi atis ulah botoh bisi koboro)

Pengertian secara umum dari prasati Kawali tersebut menyiratkan

bahwa prasyarat untuk mencapai kejayaan itu, yang pertama-tama adalah

harus mampu menciptakan kondisi yang damai, karena dalam kedamaian

itu akan tumbuh sebuah kekuatan, baik kekuatan lahir maupun bathin.

Makanya para orang tua kita dulu yang ingin menyempurnakan hidupnya

mencari tempat yang sepi, hening, dan damai untuk bertapa. Para Nabi pun

ketika mendapatkan wahyu sebagai Firman Tuhan didapat didalam suasana

yang hening dan damai, dan dalam situasi damailah kita akan mampu

membangun suasana kerja yang benar, membangun kebenaran yang

sebenar-benarnya(kreta bener), maka selanjutnya akan menjadi jembatan

emas kearah terwujudnya masyarakat yang adil makmur kerta raharja

(kreta raharja),dimana didalam fragmen carita parahyangan kerta raharja

ini lebih dikenal dengan istilah: Ngertakeun jalmarea(kesejahteraan sosial

bagi seluruh rakyat) atau Ngertakeunbumi lamba(tanah air yang subur

makmur) yang selanjutnya lebih dikenal dengan konsep “Tata Tentrem

Kerta Raharja”. Sebuah konsepsi ideal sesuai Pancasila Sila ke-5 yaitu

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau juga dalam konsep Islam

dikenal sebagai Negara yang Baldathun Thoyibatun Warabun Ghaffur.

33

Page 35: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Kemudian apabila kita telaah arti dari membangun kekuatan

dengan kerendahan hati menyiratkan bahwa sebagai seorang pemimpin

yang mumpuni dalam menggerakkan masyarakatnya harus bersifat rendah

hati tidak mengedepankan arogansi, kesombongan, dan kekuasaanya,

karena seseorang dipercaya sebagai pemimpin pada hakekatnya merupakan

sebuah amanah yang diberikan oleh masyarakat/bawahan kepada kita

sehingga apabila kita lupa diri dan bersifat sombong dengan kekuasaan

yang kita miliki maka akan hilang dan musnah (ulah batengah bisi

kateker) sebagaimana filosofi kampung Naga atau juga sebagaimana

tersurat dalam naskah Amanat Galunggung yang dikenal sebagai ilmu Pare

(ilmu padi) yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Diri kita akan

sempurna bila sudah mengamalkan “Ilmu Padi” dimana pada saat

bertunas sebesar jarum, keluar tiga daun, saat disiangi, kemudian

tumbuh dewasa, keluar kuncup seperti bulu hidung mekar berbuah

dan menunjuk kelangit “Kasep Nangwa” gagah menengadah namanya,

setelah tiba saatnya berisi mulai merunduk, makin masak menguning

ya makin merunduk karena merasa diri telah berisi. Bila diri kita

telah berbuat demikian, maka diharapkan kehidupan semua orang

bisa seperti perilaku padi, karena bila saatnya berisi tetap tengadah,

saat menguning tetap tengadah, saat masak pun tetap tengadah, itu

adalah tandanya “padi yang hapa”, padi yang kosong dan hampa

namanya.(Elmu Pare (AG Rekto V)) :

( Na twah rampes dina urang agamaning pare, mangsana jumarum, telu

daun, mangsana di oywas, gede pare, mangsana bulu irung, beukah, tak

karah nunjuk kalangit, tanggah tak karah kasep nangwa tu iya

ngaranya, umeusi tak karah lagu tungkul, harayhay asak, tak karah can

dukur, ngarasah maneh ka eusi, aya si nu hayang, daek tu make hurip

nu urang reya, agamaning pare pun, lamun umeusi tanggah, harayhay

tanggah, pare hapa ngarana).

34

Page 36: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

hal inipun sejalan dengan konsepsi agama Islam yang mengajarkan

agar setiap manusia bersikap “Tawadhu”sebagaimana dikatakan dalam

Hadist dan Al Quran “Dan rendah hatilah engkau terhadap orang-orang

yang mengikutimu....” (Al Syu’ara 26:215), “wahai manusia jangan lah

engkau sekali-kali berjalan dimuka bumi ini dengan sombong (Al Lukman

31:18/Al Israj 17:37), maka siapapun yang berjalan dimuka bumi dengan

sombong akan terputus dari Rahmatku, dan barang siapa yang didalam

hatinya terbesit rasa sombong walau sebesar debu, maka dia tidak akan

mencium bau surga”(HR. Buchari Muslim ).Disamping itu jangan pula

sekali-kali bersifat serakahyang hanya mementingkan kepentingan

duniawi baik dalam mencari kedudukan maupun dalam mencari rejeki

karena barang siapa yang serakah maka dia akan celaka (ulah botoh bisi

kokoro), sebagaimana dikatakan juga dalam surat Ali Imron 3:185

“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang

memperdayakan”.Sebagai penutup kita akan kita kutip prasasti Tembaga

dari Bekasi (417 M) yang cukup berkaitan dengan pembahasan di atas yaitu

:

- Orang nista itu ialah orang yang serakah (wong papa ma nu

bobotoh)

- Orang yang berdosa ialah orang yang tidak beriman (Wong kalesa

ma na dosa)

- Bersama-sama wajib bekerja keras (Simanareng ma calagra)

- Berbagi jangan sampai ada yang kurang (Simanareka ma na ka

urang) sehingga semua sejahtera.

2.4 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa

Kepemimpinan berbasis kearifan budaya Jawa mungkin dapat diwakili

oleh panglima perang ternama Gajah Mada, sebagaimana diungkapkan

Purwadi (2007: 205), yang meliputi:

35

Page 37: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

Abikamika: pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi kebawah dan

mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan

pribadi atau golongan.

Prajna : pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta menguasai ilmu

pengetahuan teknologi, agama, juga dapat dijadikan panutan bagi

rakyatnya.

Usaha : Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor

pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk

kesejahteraan rakyat.

Atma Sampad : pemimpin mempunyai kepribadian: berintegritas tinggi,

moral yang luhur serta objektif dan memiliki wawasan yang jauh

ke masa depan demi kemajuan bangsanya.

Sakya Samanta :pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi

bawahan (efektif, efisien, dan ekonomis) serta berani menindak

secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih dan tegas.

Aksudra Pari Sakta :Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan

perbedaan dengan permusyawaratan serta pandai berdiplomasi,

menyerap aspirasi bawahan serta rakyatnya.

Agar lebih luas pandangan kita berkaitan dengan soal

kepemimpinan, dalam tulisan ini pun disertakan prinsip catur darmaning

nerpati yang merupakan empat sifat utama bagi seorang pemimpin

sebagaimana dikemukakan Gajah Mada sebagai panglima militer (Purwadi,

2007: 206), yakni:

a. Jana Wisesa Suda, yakni seorang panglima/pemimpin hendaknya

menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik teknologi,

kemiliteran maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara teori

maupun praktek.

36

Page 38: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

b. Kaprahitaning Praja, seorang panglima/pemimpin harus mempunyai

perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha mengadakan

perbaikan kondisi.

c. Kawiryan,seorang panglima/pemimpin harus memiliki keberanian

untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani

karena benar dan takut karena salah.

d. Kawibawaan, seorang panglima/pemimpin harus memiliki

kewibawaan terhadap bawahan/rakyat, sehingga setiap perintahnya

dapat dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi

dengan baik.

Gajah Mada yang dikenal dengan “Sumpah Palapanya” sebagai

tekad pribadi yang sangat kuat dari seorang panglima militer Majapahit.

Bila kita lihat dari Teori “Kepemimpinan Transaksional” sebagaimana

dikatakan oleh Downtown (1973) yang menitik beratkan pada kekuatan

cita-cita pribadi pemimpin (Sumpah Palapa) yang kemudian mampu

memotivasi para pengikutnya untuk bersama-sama mewujudkan cita-

citanya. Hal ini tercermin dari konsep kepemimpinan tersebut antara lain:

a. Usaha : Sebagai sikap kerja keras yang proaktif dan tak

kenal lelah.

b. Satya Sumanta : Sebagai sikap kontrol pengawasan yang ketat dan

tegas

c. Sawirian : Sebagai sikap tekad dan keberanian yang kuat.

d. Kawibawaan : Harus punya pengaruh yang kuat/Kharismatik

Kemudian karena keyakinan akan cita-citanya yang kuat dan benar

tersebut akhirnya para pengikutnya pun menjadi sadar dan termotivasi

bahwa cita-cita Gajah Mada sesungguhnya merupakan cita-cita mulia

37

Page 39: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

yang harus menjadi cita-cita bersama sebagaimana dikatakan dalam teori

kepemimpinan “Transformasional” oleh Burns (1978) yang justru menitik

beratkan pada tingginya motivasi para pengikut organisasi atas dasar

kesadaran sendiri yang ingin segera mewujudkan cita-cita

organisasi/negara yang berawal dari cita-cita pribadi pemimpinya, sehingga

kepemimpinan Gajah Mada dikategorikan sebagai kepemimpinan

“Transformasional Transaksional”.

(Buku Visi Baru Manajemen Sekolah, Prof. Dr. Sudarmandanin, 223-

2006)

2.5 Karakteristik kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan Nasional adalah elit suatu bangsa yang secara

struktural menduduki segenap strata kehidupan nasional, bidang,

sektor/profesi, pimpinan formal dan pimpinan informal yang memiliki

kemampuan dan kewenangan untuk menggerakkan bangsa dalam rangka

pencapaian tujuan nasional.

Esensi kepemimpinan bagi pemimpin tinkat nasional adalah adanya

suatu komitmen yang kuat dalam rangka mencapai tujuan nasional

sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni adalah

adanya kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku dan

kepentingan pribadi dengan kebutuhan prioritas yang mampu

mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi atau

golongan, komitmen yang kuat tidak hanya sekedar sebagai pemimpin

yang biasa, tapi dibutuhkan seorang pemimpin Negarawan yang

mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan a great man antara lain

sebagai berikut: a) bijak, b) rela berkorban, c) Jujur, d) Ulet, e) pantang

menyerah, f) mempunyai integritas dan lain-lain.

Kepemimpinan yang berkualitas menjadi harapan setiap organisasi,

tidak hanya kualitas yang bersifat fisik atau intelektual semata, tetapi juga

kualitas moral (rohani), emosi, spirit, sosial, personal, keuletan dan

38

Page 40: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

keunggulan karena akumulasi dari kedelapan aspek tersebut akan

memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap kualitas kepemimpinan

sebagaimana halnya di Indonesia, kualitas kepemimpinan tersebut harus

sesuai dengan Indonesian National Leadership Index (INLI), yaitu a)

moralitas dan akuntabiitas yang besifat individual, b) Moralitas dan

akuntabilitas yang bersifat kemasyaraktan, c) moralitas dan akuntabilitas

yang bersifat institusional, d) moralitas dan akuntabilitas yang bersifat

global. Kemudian untuk mencari model karakteristik model kepemimpinan

Indonesia yang bagaimanakah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia yang mampu menjawab tantangan jaman dari masa ke masa?.......

jika demikian maka kepemimpinan nasional yang paling cocok adalah yang

berdasarkan 4 konsensus dasar nilai-nilai luhur bangsa yaitu Pancasila,

UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Yang sudah disaripatikan

menjadi nilai-nilai:

1) Nilai ketaqwaan kepada Tuhan YME

2) Nilai Kemanusiaan

3) Nilai Keadilan

4) Nilai Persatuan

5) Nilai Sosial

6) Nilai Demokratis

7) Nilai Multikultural

8) Nilai Patriotisme

Sehingga nilai-nilai inilah yang harus menjadi dasar dan pedoman

dalam kepemimpinan nasional Indonesia diseluruh tingkatan dari pusat

sampai ke daerah baik formal, non formal maupun informal. Maka dari itu

nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan yang bisa dilaksanakan dalam

rangka membangun karakteristik kepemimpinan nasional harus sesuai

dengan 8 (delapan) nilai inti dari 4 (empat) konsensus dasar nasional.

Dimana sikap dan karakter seorang pemimpin dalam situasi dan kondisi

39

Page 41: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

yang sangat kompleks, dituntut untuk tetap tenang dan bijak tidak sekedar

hanya reaktif tapi juga antisipatif dan proaktif.

2.6 Reaktualisaisi kepemimpinan berbasis kearifan lokal

Apabila kita kaji lebih jauh sampai saat ini bangsa Indonesia belum

mempunyai konsep yang jelas dan tegas yang mampu dijadikan acuan

dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal oleh seluruh masyarakat dan

bangsa, apalagi bangsa Indonesia dengan sifat kemajemukanya yang terdiri

lebih dari..... suku bangsa sehingga akan sangat rentan bila tidak punya

pedoman tentang karakter kepemimpinan nasional. Sehingga dengan

demikian harus segera dirumuskan konsep kepemimpinan nasional yang

berbasis kearifan lokal mulai dari : definisi, azas, filosofi, jenis, sistem,

tipe, karakter nilai, kompetensi, syarat-syarat sampai dengan pantangan-

pantangan yang harus dijauhi. Untuk itu dibawah ini kami sajikan

konsepsi-konspesi tersebut:

Pengertian kepemmpinan : Parigeuing (mengingatkan) atau eling, jadi

seorang pemimpin harus senantiasa eling mengingatkan bawahanya kearah

jalan yang benar (Wattawa saubilhaq wattawa saubil sobr) dengan

mengedepankan keteladanan sehingga yang dipimpin tidak sadar dibawa

kearah tujuan bersama.

1. Azas kepemimpinan :

a. Asih, asah, asuh,

b.Ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, Tutwuri Handayani

c. Sipaka Inga, sipaka tau, sipaka lebih

2. Filosofi Kepemimpinan :

a. Pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kerta bener, pake gawe

kerta rahayu

b. Tata tentrem kerta raharja

c. Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke

d. Elmu pare

3. Prinsip-prinsip Kepemimpinan :

a. Ulah botoh bisi kokoro

40

Page 42: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

b. Ulah batengah bisi kateker

c. Wayah wilayah lampah

d. Galih, galeuh, galuh

e. Leader by action but not leader by position

f. ..................

4. Syarat-syarat Kepemimpinan :

a. Cageur : Phisical ability AQ

b. Bageur : Emotional ability EQ

c. Bener : Spritual ability SQ

d. Pinter : Intelectual Ability IQ

e. Wanter : Sosial ability ScQ

f. Singer : Personal Ability PQ

g. Teger : Resiliance ability RQ

h. Nanjeur : Exelent ability ExQ

5. Sifat-sifat Kepemimpinan :

a. Seabgai leader

b. Sebagai manajer

c. Sebagai komander

d. Sebagai teacher

e. Sebagai father

f. Sebagai entertainer

g. Sebagai enterpreuter

h. Seabagi desaigner

i. Sebgai servicer

6. Tipe Kepemimpinan :

a. Nasional

b. Visioner

c. Negarawan

d. Sebagai abdi

e. Sebagai prabu

f. Sebagai palangka

7. Jenis Kepempinan :

a. Dasa prasanta (10 Penenang Hati)

b. Catur Gya (empat hal terpuji)

41

Page 43: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

c. Pangimbuhan Twah (Pemimpin yang kharismatik

d. Asta guna (8 kerarifan)

e. Dasa kreta (10 Pantangan)

f. Pada Mulya (Pemimipn yang mulya)

8. Sistem Kepemimpinan

a. Tri tangtu dibuana ; Prabu, Rama, Resi

9. Standar pengukuran kepemimpinan

a. Standar moral d. Standar Intelektual

b. Standar mental e. Standar ......

c. Standar fisik

A. Nilai-nilai Karakter Kepemimpinan berdasarkan Pancasila:

1. Taqwa 14. Suka berbagi

2. Setia 15. Gotong royong

3. Rendah hati 16. Tidak individualis

4. Manusiawi / menjunjung HAM 17. Amanah

5. Adil 18. Bermusyawarah

6. Etis, santun dan beradab 19. Amanah

7. Menghargai perbedaan 20. Demokratis

8. Mengutamakan kebersamaan 21. peduli

9. Memperjuangkan hak orang banyak 22. Jujur

10. Menerima pendapat orang lain 23. Terbuka/transparan

11. Bijak 24. Tanggung jawab

12. Bekerjasama 25. Melayani

13. Welas asih

Nilai-nilai kebangsaan berdasarkan 4 konsensus dasar Nasional :

1) Nilai ketaqwaan kepada Tuhan YME

2) Nilai Kemanusiaan

3) Nilai Keadilan

4) Nilai Persatuan

5) Nilai Sosial

6) Nilai Demokratis

7) Nilai Multikultural

42

Page 44: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

8) Nilai Patriotisme

B. Kompetensi

1. Cekatan = Cangcingan

2. Terampil = Langsitan

3. Tulus hati = Paka

4. Rajin = Rajeun

5. Tekun/ulet = Leukeun

6. Sabar Tawaqal = Mwa Surahan

7. Tangkas = Prenya

8. Semangat/Pantang menyerah = Merogol-rogol

9. Tanggung jawab, berani, satria = Purusa

10. Cermat = Emet

11. Teliti = Imeut

12. Penuh keutamaan/profesional, = Parakadana

Proporsional, perfeksionis

C. Pantangan-pantangan dalam Kepemimpinan

1. Obat Paharaman

a) Mudah Tersinggung = Mulah Babarian

b) Mudah Merajuk = Mulah pundungan

c) Berkeluh Kesah = Mulah Humandeuar

d) Menggerutu = Mulah Kukulutus

2. Sikap Pimpinan Sebagai Abdi (SSK VI)

a) Jangan Mengeluh = Mulah Luhya

b) Jangan Kecewa = Mulah Kuciwa

c) Jangan Sulit Diperintah = Mulah Ngontong Dipiwarang

d) Jangan iri = Mulah Hiri

e) Jangan Dengki = Mulah Dengki

3. Ilmu Wujud Air Sungai (Patanjala) - AG Verso VI

a) Jangan Mudah Terpengaruh

b) Jangan Peduli terhadap Godaan

c) Jangan Dengarkan Ucapan yang Buruk

d) Pusatkan pada cita-cita/ Tujuan

43

Page 45: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

4. Empat larangan Dalam Cara Berbicara (AG Verso III)

a) Jangan Berteriak = Mulah Kwanta

b) Jangan Menyindir = Mulah Majar Laksana

c) Jangan Menjelekkan = Mulah Mudahkeun Pada Janma

d) Jangan Berbohong = Mulah Sabda Ngapus

3. Kesimpulan

Nilai-nilai Kearifan lokal yang dilaksanakan dalam rangka

membangun kepemimpinan nasional harus sesuai dengan 4 (empat)

konsensus dasar nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yakni Nilai ketaqwaan

kepada Tuhan YME, Nilai Kemanusiaan, Nilai Keadilan, Nilai Persatuan,

Nilai Sosial, Nilai Demokratis, Nilai multikulturalis, Nilai Patriotisme

Masalah kepemimpinan, berkaitan erat dengan unsur silih asih, silih

asah, dan silih asuh, yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

universal. Silih asih, silih asah, dan silih asuh, selayaknya dijawantahkan

oleh seorang pemimpin sebagai master dalam kepemimpinannya

sebagaimana yang dilakukan oleh raja Sunda yang bergelar “Prabu

Siliwangi”, raja yang legendaris, dicintai serta dicintai masyarakatnya,

karena mereka telah berhasil memerdayakan serta mensejahterakan

rakyatnya.

Sikap dan perilaku orang Sunda yang tentu saja harus dimiliki oleh

seorang pemimpin sebagaimana terungkap dalam naskah Sunda buhun,

adalah cageur, bageur, pinter, bener, singer, teger, wanter, dan tajeur.

Pola kepemimpinanyang terungkap dalam Naskah Sunda Buhun

abad XVI Masehi, berkelindan erat dengan ‘Pemimpin sebagai master’,

yakni pemimpin yang sudah ngarajaresi/legendaris’yang mampu berperan

sebagaileader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer,

servicer, teacher, serta father, yang menurut SSKK adalah pemimpin yang

44

Page 46: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

dalam kepemimpinannya memiliki sifat Dasa prasanta,yaitu sepuluh

penenang atau cara memberi perintah yang baik agar yang diperintah atau

bawahan merasa senang serta pemimpin yang dalam pribadinya sudah

melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau

pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.

Di samping itu, pemimpin sebagai tokoh/masteryang melegenda,

adalah pemimpin yang menjauhi empat karakter yang negatif agar

kepemimpinannya berkharisma, yang dikenal dengan sebutan“opat

paharaman” atau empat hal yang diharamkan. Pemimpin sebagai ‘master’

pun, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia

yang disebut Catur Buta.

Berdasar naskah Sanghyang Hayu, seorang pemimpin legendaris,

adalah pemimpin yang menjiwai ‘tiga rahasia’ yang terdiri dari lima

bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri

seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin legendaris harus berpegang

teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga

kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis.

Perlu dirumuskannya konsep dasar tentang kepemimpinan nasional

berbasis kearifan lokal mulai dari definisi, azas, filosofi, jenis, sistem, tipe,

karakter nilai, kompetensi, syarat-syarat sampai dengan pantangan-

pantangan yang harus dijauhi.

45

Page 47: Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

DAFTAR PUSTAKA

Atja & Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda ng Karesian (Naskah Sunda Kuno. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseumam Jawa Barat.

Charliyan, Anton& Elis Suryani NS.2009. Parigeuing Kepemimpinan Ala Sunda. Garut: Polwil Priangan.

Charliyan, Anton. 2012. Master Leadership. Jakarta: Solusi Publishing.Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian,

Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi

Darsa, Undang A. 1998.Sanghyang Hayu. Naskah Jawa Kuno di Sunda. Bandung: Program Pascasarjana Unpad (Tesis)

Purwadi. 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.

Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize.Suryalaga, Hidayat RH. 2009. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Yayasan Nur

HidayatSuryani NS, Elis. 2008. Merumat Warisan Karuhun Orang Sunda yang Terpendam

dalam Naskah dan Prasasti. Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.

Suryani NS, Elis & Anton Charliyan.. 2010. Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung: CV Dananjaya.

Suryani NS, Elis. 2010. Kearifan Budaya Sunda. Tasikmalaya: Dinas Pariwisata Budaya Kota Tasikmalaya & Kabupaten Ciamis

Suryani NS, Elis. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia.Suryani NS, Elis. 2012.Filologi.Bogor: Ghalia Indonesia.Suryani NS, Elis. 2012. “Saciduh Metu Saucap Nyata”. Opini Pikiran Rakyat. Rabu, 28

November 2012.Suryani NS, Elis.2012. Konsep Pemimpin dan Kepemimpinan yang terungkap dalam

Naskah Buhun.Yogyakarta: Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.

Suryani NS, Elis. 2012. Kamus Seni Budaya Sunda Buhun. Garut: Pasulukan Loka Gandasasmita.

Suryani NS, Elis. 2012. Mantra dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan Inovasi. (Disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Suryani, NS., Elis. 2013. “Delapan Karakter Pemimpinan Sunda”. Bandung: Artikel Pikiran Rakyat, 28 Pebruari 2013.

Suryani NS, Elis. 2013. “Kujang dalam Perspektif Filologis”. Bandung: Tim Ahli Pengusung Kujang untuk Unesco. Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat.

Suryani NS, Elis. 2013. “Menggali Kesejarahan yang Terkuak dalam Naskah Kuno”. (Makalah) Bandung: Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, Hotel Savoy Homann, 26-27 Maret 2013.

Suryani NS, Elis. 2013. “Parigeuing Ala Sunda”. (Makalah). Bandung: Forum Peduli Budaya Sunda Tasikmalaya, 30 Maret 2013, Pendopo Tasikmalaya.

Thoha, Miftah. 2009. Kepemimpinan Dalam Manajemen.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.R. Covey. “8 Habbits”. Jakarta, Gramedia, 2010Renald KH. “Recode cing DNA”, Jakarta, Gramedia, 2006

46