kemlu kerjasama

124
KERJASAMA MULTILATERAL Organisasi Konferensi Islam (OKI) Organisasi Konperensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konperensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia. Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara- negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia.

Upload: tasya-wismila

Post on 26-Jul-2015

516 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

KERJASAMA MULTILATERAL

Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Organisasi Konperensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konperensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika.

Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.

Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia.

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015.

OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia;

meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.  

KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret dan bertemakan “The Islamic Ummah in the 21st Century” menghasilkan dokumen utama, yaitu: Piagam OKI, Final Communiqué dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat isu antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek dan sosial budaya. Sedangkan resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/ regional antara lain: Resolutions on the Cause of palestine, the City of Al-Quds Al Sharif, and the Arab-Israel Conflict, Resolutions on Political Affairs, Resolutions on Muslim Communities and Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan bagi OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerjasama yang lain dan tidak hanya terbatas pada kerjasama politik saja.

Dalam kesempatan menghadiri KTT OKI ke-14, 13-14 Maret 2008, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain (a) dukungan terhadap OIC’s Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat (b) konflik Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional. Terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008 (c) potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan dan percepatan pembangunan (d) Islam, demokrasi, dan modernitas maupun HAM adalah compatible (e) Islam adalah agama perdamaian dan toleran. Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di kalangan Barat (f) pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama.

Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di dunia internasional.

Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerjasama yang menjadi perhatian bersama seperti politik; komunitas muslim di negara bukan anggota OKI;

kemanusiaan (humanitarian affairs); hukum; masalah-masalah umum dan keorganisasian; informasi; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; da’wah; sosial budaya; dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut Menlu RI menyampaikan pokok-pokok pidato antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI, khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM termasuk hak-hak wanita, sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, disamping isu Palestina, kerjasama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara anggota, serta,sebagai Ketua PCSP-OIC, melaporkan perkembangan proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah Filipina-MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996;

Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah dalam rangka memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agreement / Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the Southern Philippines (PCSP-OIC). Adapun hasil penting terakhir adalah diadakannya Pertemuan JWGs ke-2 antara GRP dan MNLF difasilitasi PCSP-OIC pada tgl. 19-28 Agustus 2008, bertempat di KBRI-Manila. Sebagai tindaklanjutnya, Pertemuan Tripartite ke-3 antara GRP, MNLF dan PCSP-OIC direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari ataupun Februari 2009. Dengan pelaksanaan proses-proses sebagaimana dimaksud, diharapkan akan membantu tercapainya proses pencapaian penyelesaian konflik secara damai di kawasan Filipina Selatan dan memberikan situasi aman dan bebas dari konflik di kawasan dimaksud.Indonesia selaku Ketua Peace Committee for the Southern Philippines (OIC-PCSP) 2009-2011 berkunjung ke Manila pada tanggal 3-6 November 2009 guna mengadakan serangkaian konsultasi informal dengan para pihak yang terkait dalam proses Tripartite Meeting untuk Filipina Selatan. Kunjungan tersebut diperlukan untuk mendorong agar proses yang diamanatkan di dalam Communiqué 3rd Session of the Tripartite Meeting between the GRP, MNLF and OIC-PCSP di Manila pada 11-13 Maret 2009, termasuk proses Legal Panel antara Government of the Republic of the Philippines (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) yang sedang macet, dapat berjalan kembali. Selaku Ketua PCSP, Indonesia mengadakan tukar pandangan dengan wakil-wakil negara anggota OIC-PCPS yang memiliki perwakilan di Manila dalam upaya kolektif untuk mendorong kembali kelanjutan proses perdamaian GRP-MNLF. Juga dilakukan pertemuan secara terpisah dengan MNLF –baik faksi Nur Misuari maupun faksi Muslimin Sema, serta dengan GRP, yaitu dengan Under-Secretary Office of the Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP) Nabil Tan; Under-Secretary Kemlu Rafael Seguis; dan Ketua OPAPP yang baru Secretary Annabelle Tescon Abaya. Pada Akhir pertemuan konsultasi informal tersebut dicapai kesediaan kedua pihak untuk bertemu kembali di dalam Legal Panel merupakan suatu peluang yang perlu dimanfaatkan (to be seized) bagi kelanjutan proses Tripartite. Pada tanggal 17 Desember 2009, Indonesia telah menfasilitasi Pertemuan Pendahuluan Legal Panel GRP-MNLF di KBRI Manila, yang dihadiri pula oleh para wakil negara-

negara OIC-PCSP. Pertemuan diadakan untuk membahas agenda, tanggal dan tempat Pertemuan Legal Panel mendatang. Pertemuan telah menghasilkan joint statement yang intinya menyatakan bahwa Pertemuan Legal Panel berikutnya akan dilangsungkan tanggal 11-15 Januari 2010. Sedangkan mengenai tempat Pertemuan yang diusulkan di Tripoli, Libya, masih menunggu konfirmasi dari Libya.

Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council) untuk memproklamirkan Negara Palestina  pada tanggal 15 Nopember 1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah  anggota “Committee on Al Quds (Yerusalem)” yang dibentuk pada tahun 1975.

Selain itu, Isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April 2002 yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan di forum SMU PBB. Hal ini terkait dengan implementasi UN Global Counter-Terrorism Strategy dan penyelesaian draft konvensi komprehensif anti terorisme internasional di mana menyisakan outstanding issue pada definisi terorisme. Inti posisi OKI menekankan perlunya dibedakan antara kejahatan terorisme dengan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi pemberantasan the root causes of terrorism.  Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) telah dilaksanakan di Dushanbe, Tajikistan, tgl 18-20 Mei 2010.  Pertemuan merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema “Shared Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World”.   Pertemuan KTM yang pertama kali diadakan di Asia Tengah ini merupakan momentum khusus bagi kawasan tersebut, dalam rangka meningkatkan kerjasamanya dengan negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya OKI dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan saat ini dan keperluan untuk negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut antara lain melalui implementasi Charter OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA. Disampaikan pula bahwa Pemri mendukung upaya OKI bagi

realisasi pembentukan Komisi HAM OKI dan terhadap statuta Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan.  Kedepan, pembentukan kedua badan dimaksud akan semakin memperjelas posisi OKI dalam mempromosikan dan mengembangkan HAM dan isu perempuan di dunia internasional. Pemri juga menyatakan sikapnya atas upaya terciptanya dunia yang bebas dari senjata nuklir berdasarkan 3 pilar utama yaitu: nuclear disarmament, non proliferasi nuklir dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Untuk itu, Pemri menyambut baik tercapainya kesepakatan antara Iran, Turki dan Brazil dalam hal pengaturan penggunaan enerji nuklir. Hal ini diharapkan akan membantu penyelesaian isu nuklir Iran.  Disamping itu, pada kesempatan yang sama Pemri juga menyatakan dukungannya atas berdirinya negara Palestina yang merdeka dan ajakan kepada komunitas internasional untuk secara bersama memberikan bantuan yang diperlukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Palestina. Indonesia telah memberikan prioritas pada pengembangan capacity building bagi rakyat palestina pembangunan sosial, pemerintahan, ekonomi, infrastruktur dan keuangan untuk periode 2008-2013. Berkenaan dengan isu Islamophobia, Pemri menekankan mengenai perlunya untuk mengajak pihak Barat dalam proses penciptaan proses dialogis lintas agama dan kebudayaan yang konstruktif guna memperkecil timbulnya pemahaman yang keliru atas Islam, disamping memperkenalkan Islam sebagai agama yang mengedepankan toleransi dalam menjawab tantangan global saat ini. Di dalam pembahasan resolusi tentang OIC Strategy Paper on Combating Defamation of Religion, Pemri menekankan kembali perlunya untuk menjaga kesatuan sikap dan posisi Kelompok OKI terhadap isu-isu yang bersifat prinsipil dan juga menghimbau kiranya Kelompok OKI dapat lebih menunjukkan fleksibilitas melalui engagement yang lebih bersifat konstruktif kepada pihak dan kelompok lain.  KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi tersebut menggaris-bawahi mengenai beberapa isu seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan; pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran barang, jasa diantara Negara OKI; dialog antar peradaban dan Islamophibia.   Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina Selatan (OIC-PCSP – Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010.  Pertemuan dipimpin oleh Dirjen Multilateral Kemlu selaku Ketua PCSP dan dihadiri oleh  anggota Komite, yaitu Arab Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh tidak hadir dalam pertemuan tersebut. 

Dalam kesempatan tersebut, selaku Ketua Komite, Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996, khususnya pasca Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010. 

G-15 Pada KTT ke-9 Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd bulan September 1989, 15 negara berkembang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Kelompok Tingkat Tinggi untuk Konsultasi dan Kerjasama Selatan-Selatan (Summit Level Consultative Group on World Economic Crisis and Development/SLCG) yang kemudian lebih dikenal dengan nama G-15. Meskipun diumumkan pada kesempatan KTT GNB, G-15 secara organisasi bukan bagian dari GNB.G-15 bertujuan sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara berkembang yang terdiri dari Aljazair, Argentina, Brazil, Chile, Kolombia, India, Indonesia, Iran, Jamaika, Kenya, Malaysia, Mesir,  Meksiko, Nigeria, Peru, Senegal, Sri Lanka, Venezuela dan Zimbabwe.  G-15 diharapkan dapat mendayagunakan potensi kerjasama diantara negara berkembang. Melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan tersebut pada gilirannya akan menunjang kredibilitas negara-negara berkembang dalam upayanya untuk mengaktifkan kembali dialog Utara-Selatan. G-15 juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menyampaikan kepentingan negara berkembang dalam forum G-20.

Untuk mencapai tujuannya, G-15 telah  mencanangkan berbagai macam proyek pembangunan dan kerjasama teknis dalam berbagai bidang antara lain di bidang perdagangan, usaha kecil dan menengah (SME’s), energi, pertambangan, investasi, pembiayaan perbankan dan perdagangan, teknologi informasi, pertanian, pendidikan, dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia.

Pada KTT ke-3 G-15 pada tanggal 11-14 September 2006, di Havana, Cuba, telah dilakukan serah terima keketuaan G-15 dari Aljazair kepada Iran. KTT tersebut telah menyepakati sebuah Joint Communique yang memuat komitmen bersama negara-negara anggota G-15 dalam menghadapi berbagai tantangan global, meningkatkan kerjasama di berbagai bidang dan upaya revitalisasi dan konsolidasi internal sehingga kerjasama  G-15 lebih efektif dalam membantu pembangunan negara-negara anggota.

Indonesia melihat bahwa G-15 memiliki berbagai potensi dalam meningkatkan kerjasama saling menguntungkan antar negara anggotanya, antara lain karena sebagian besar negara anggota G-15 memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, dan beberapa diantaranya merupakan negara yang tingkat ekonominya relatif sudah sangat berkembang dengan beragam kemajuan di bidang industri, infrastruktur dan teknologi. Keuntungan   G-15 yang lain adalah beberapa negara anggotanya telah memiliki atau menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga negara maju seperti OECD dan G-8, maupun dengan kelompok regional lainnya yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global,

dimana hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi kepentingan organisasi umumnya dan Indonesia khususnya.    KTT G-15 ke-14 telah diselenggarakan di Tehran, Iran pada tanggal 17 Mei 2010. Konferensi ini didahului oleh pertemuan Personal Representative Meeting (PRM), dan Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) pada tanggal 14 dan 15 Mei 2010. Pada kesempatan tersebut, Delri pada PRM dipimpin oleh Watapri Jenewa, sementara pada PTM dipimpin oleh Dirjen Multilateral. Di tingkat KTT, Delri dipimpin oleh Menteri Perindustrian selaku Utusan Khusus Presiden RI. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berkesempatan untuk membuka KTT G-15 ke -17 dan menyampaikan opening remarks di hadapan delegasi dari 16 negara yaitu: Aljazair, Brazil, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Meksiko, Mesir, Nigeria, Srilanka, Senegal, dan Venezuela. Selain itu, Iran juga mengundang Turki, Belarusia dan Qatar untuk hadir. Dalam KTT kali ini salah satu negara anggota G-15, Jamaika, tidak mengirimkan delegasinya ke Tehran. Sebagai hasil akhir, KTT G-15 ke-14 berhasil menyepakati Draft Joint Communique yang mencakup 11 isu utama, yaitu: a) krisis keuangan/moneter internasional; b) fasilitasi bagi pekerja migran; c) pencapaian MDGs; d) penyelesaian Putaran Doha WTO; e) penanganan perubahan iklim; f) isu HAKI dan GRTKF; g) keamanan enegi; h) kesehatan masyarakat; i)Kerjasama Selatan-Selatan; j) situasi palestina; dan k) pembentukan High Level Task Force (HLTF) untuk mengkaji progress dan prospek G-15. Selain itu, dalam KTT ini, Presiden Iran juga telah menyerahkan jabatan keketuaan G-15 kepada Srilanka untuk periode berikutnya. 

World Trade Organization (WTO)World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995 dan berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian, yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya. Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001.Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota.

Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial  ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka.Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral. Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya, seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada.Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa.  KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.Indonesia di WTOKeterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draft modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6 Desember 2008.Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan Doha dan terbuka atas cara–cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan prinsip Single Undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDC’s. (080620120)

G20Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2007 merupakan dampak dari sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional yang tidak berimbang terutama dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Berawal dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS, lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterikatan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan, menyebabkan menjalarnya krisis negara maju ke negara berkembang lainnya. Efek domino krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya perekonomian negara-negara di dunia. Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis kali ini memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global telah menghambat proses pembangunan terutama negara Least Developed Countries serta telah menyebabkan kemunduran pencapaian MDGs. Namun, seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian oleh pemerintah masing-masing negara, perekonomian global telah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan awal 2010, walaupun proses recovery diprediksi masih berjalan lambat mengingat sistem finansial yang masih lemah. Proses pemulihan juga tidak akan merata dirasakan per kawasan. Selain itu, terdapat kecenderungan di perekonomian negara maju bahwa perbaikan di sektor finansial kurang sejalan paralel dengan perbaikan di sektor riil dengan salah satu indikator utama yang memprihatinkan adalah semakin meningkatnya angka pengangguran.Untuk mengatasi krisis tersebut, Pemerintah AS berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (G20 Summit) bagi para pemimpin/kepala negara G20 yang diadakan di Washington DC tanggal 15 November 2008. Krisis ekonomi global menyadarkan otoritas keuangan dan bank sentral berbagai negara bahwa integrasi sistem keuangan yang semakin erat membutuhkan adanya forum diskusi permanen yang intensif dalam rangka menciptakan stabilitas keuangan global melalui upaya pencegahan dan penyelesaian krisis keuangan internasional. Keanggotaan G20 terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki.Peran Indonesia dalam setiap KTT G20 senantiasa memajukan kepentingan negara berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan (antara lain: usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder). Lebih lanjut peran tersebut antara lain: a. Indonesia dapat mengedepankan pendekatan konstruktif dalam pembahasan isu di G20. b. Semangat G20 yang mendorong equlity, trust building dan berorentasi solusi menjadikan forum G20 menjadi forum yang demokratis di mana semua negara mempunyai kesempatan untuk speaking on equal footing dengan negara manapun. Indonesia perlu terus menjaga karakteristik dasar G20 tersebut dari desakan dominasi ataupun pengerasan sikap/posisi dari negara-negara anggota G20. c. Pergeseran posisi Indonesia dari negara low income countries menjadi negara middle income countries serta dari negara penerima bantuan menjadi negara penerima sekaligus negara donor, membutuhkan penyesuaian profile Indonesia di dunia luar. Untuk itu, peran aktif Indonesia di G20 menjadi penting karena G20 dapat dijadikan sebagai wadah untuk instrumen politik luar negeri RI mendukung upaya Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2025.d. Mengingat Indonesia mempunyai cukup banyak success stories dalam program pembangunan, partisipasi Indonesia dalam G20 dapat digunakan untuk mengedepankan pengalaman Indonesia sebagai kontribusi global Indonesia dalam pembahasan forum G20. Pada KTT Pittsburgh, misalnya, Indonesia menjadi contoh sukses pengalihan subsidi BBM tidak langsung menjadi subsidi langsung (program BLT). Indonesia dapat bekerjasama dengan Bank Dunia dan OECD untuk mengangkat berbagai success stories Indonesia.Selama berlangsungnya krisis ekonomi global, secara umum kawasan Asia menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Beberapa negara berkembang di kawasan ini bahkan tetap dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat yang kemudian menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu, Indonesia bersama-sama negara di kawasan Asia Pasifik, perlu terus mendorong peran penting kawasan dalam proses recovery dan pertumbuhan ekonomi global.KTT G20 terakhir diadakan di Seoul, Korea Selatan, tanggal 11-12 November 2010. Para Leaders berhasil menyepakati G20 Seoul Summit Leaders’ Declaration serta Seoul Summit Document yang berisi Seoul Action Plan serta 3 tiga annexes (Seoul Development Consensus for Shared Growth; Multi-Year Action Plan on Development; Anti-Corruption Action Plan). Sebagai dokumen pendukung juga disertakan Policy Commitments by G20 Members sebagai bagian pencapaian G20 Framework for Strong, Sustainable and Balanced GrowthKTT G20 selanjutnya akan diadakan pada tanggal 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis, dengan tiga isu utama yang meliputi: 1) international monetary reform; 2) reducing excessive volatility; 3) improving global governance (institutions and standards). Sedang prioritas yang dibangun dari keketuaan Korea Selatan pada tahun 2010: 1) Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth;

2) financial regulatory reform; 3) development. Perhatian khusus akan diberikan pada isu food security, infrastructure, private sector development, financial inclusion and inclusive growth.

World Tourism Organization (WTO (Tourism))Istilah UNWTO untuk menyebut UN World Tourism Organization baru digunakan pada tahun 2003, untuk membedakannya dari World Trade Organization. Sejarah kelahiran UNWTO sendiri telah dimulai sejak tahun 1925. Pada tahun 1925, dibentuk International Congress of Official Tourist traffic Association (ICOTT) di Den Haag, Belanda. Pada tahun 1934, ICOTT berubah nama menjadi International Union of Official Tourist Publicity Organizations (IUOTPO). Setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2, seiring dengan meningkatnya pariwisata internasional, IUOTPO berubah menjadi International Union of Official Travel Organizations (IUOTO). Sebagai organisasi internasional non-pemerintah, IUOTO bertujuan untuk memajukan pariwisata, serta memanfaatkan pariwisata sebagai komponen perdagangan internasional dan sebagai strategi pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang.Guna memperkuat peran di tataran internasional, muncul kebutuhan agar IUOTO menjadi organisasi antar-pemerintah. Pada Sidang Umum IUOTO tahun 1967, tercetuslah gagasan untuk membentuk suatu lembaga antar-pemerintah yang bekerja sama dengan badan-badan internasional lain, khususnya PBB. Akhirnya, atas rekomendasi PBB, lahirlah UNWTO pada tahun 1970.Tujuan pokok UNWTO adalah untuk meningkatkan dan membangun pariwisata sebagai kontributor bagi pembangunan ekonomi, saling pengertian internasional, perdamaian, kemakmuran universal, HAM dan kebebasan dasar untuk semua tanpa memandang perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. UNWTO telah membantu para anggotanya dalam industri pariwisata dunia, yang diyakini merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, menyediakan insentif untuk melindungi lingkungan dan warisan sejarah, serta mempromosikan perdamaian dan saling pengertian antar-negara. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, UNWTO melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, memperjuangkan kesetaraan gender, dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.   Program-program pengembangan kepariwisataan oleh UNWTO berkontribusi langsung bagi pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs) terutama MDG 1 (pemberantasan kemiskinan dan kelaparan), MDG 3 (kesetaraan gender), MDG 7 (kelestarian lingkungan), dan MDG 8 (kemitraan global untuk pembangunan).Saat ini, UNWTO sedang mempromosikan ekoturisme sebagai salah satu obyek penarik wisatawan, sekaligus sebagai program untuk melestarikan alam. Rangkaian kegiatan yang dilakukan termasuk seminar, lokakarya, dan publikasi. Mengingat Indonesia memiliki banyak obyek wisata alam, ekoturisme dapat menjadi salah satu bidang kerja sama dengan UNWTO. UNWTO juga memfokuskan diri pada pemanfaatan situs-situs budaya untuk mendukung pariwisata. Untuk itu UNWTO melakukan serangkaian kegiatan seperti penelitian di situs-situs budaya, seminar dan publikasi untuk mempromosikan situs budaya, serta penelitian lapangan untuk membantu pemerintah setempat memanfaatkan situs budayanya. Mengingat pariwisata merupakan salah satu andalan Indonesia sebagai penghasil devisa, kerja sama di forum internasional dan regional seperti UNWTO dan Pacific Asia Travel Assiociation (PATA) sangatlah penting, terutama untuk menjalin kerja sama pelatihan, penanaman modal, dan tukar-menukar pengalaman. UNWTO memiliki Business Council yang beranggotakan badan-badan pariwisata non-pemerintah. Kementerian Luar Negeri menyambut baik dukungan Executive Council UNWTO agar Masyarakat Pariwisata menjadi anggota UNWTO Business Council, mengingat pariwisata merupakan bisnis yang sangat kompleks dan memerlukan peran serta swasta dan masyarakat untuk menjamin keberhasilannya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai focal point UNWTO di Indonesia, berperan aktif dalam berbagai program yang diselenggarakan UNWTO antara lain dengan duduk sebagai anggota World Committee on Tourism Ethics (WCTE) pada periode 2003-2007 dan 2007-2013. WCTE sendiri merupakan badan independen yang terdiri dari tokoh-tokoh yang diakui kompetensinya dalam bidang pariwisata, yang bertugas untuk memberikan masukan-masukan kepada anggota UNWTO terkait dengan perlindungan pariwisata sesuai dengan kode etik kepariwisataan. Selaku anggota komite, Indonesia telah berkontribusi dan mendukung pelaksanaan kode etik dimaksud. Di samping itu, pada Sidang Umum UNWTO yang ke-19 di Gyeongju, Republik Korea, tanggal 8-14 Oktober 2011, Indonesia terpilih sebagai anggota Executive Council UNWTO untuk periode 2011-2013. Indonesia perlu untuk mengkaji dan menindaklanjuti program ekoturisme dikembangkan oleh UNWTO. Program ini sejalan dengan ide pembangunan berkelanjutan,  di mana kelestarian obyek wisata alam harus dijaga, terutama mengingat fungsinya sebagai pemelihara keseimbangan alam.  

Salah satu contoh kerja sama antara Indonesia dengan UNWTO dalam bidang pariwisata yang mendukung pembangunan berkelanjutan adalah proyek “Sustainable Tourism through Energy Efficiency with Adaptation and Mitigation Measures in Pangandaran” yang dimaksudkan untuk menjadi model langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya. (08062012)

Colombo PlanColombo Plan didirikan tahun 1951, pada awalnya bernama “Colombo Plan for Cooperative Economic Development in South and Southeast Asia”.  Kini Colombo Plan, yang semula beranggotakan 7 negara anggota Persemakmuran, telah berkembang menjadi suatu organisasi internasional dengan 25 negara anggota terdiri dari negara berkembang dan negara maju yaitu, Afghanistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Fiji, India, Indonesia, Iran, Jepang, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Myanmar, Nepal, Selandia Baru, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam.

Seiring dengan perkembangan tersebut, nama Colombo Plan juga berubah menjadi “The Colombo Plan for Cooperative Economic and Social Development in Asia and Pacific” untuk mencerminkan komposisi geografis keanggotaan dan ruang lingkup aktifitasnya yang semakin luas. Pada saat ini fokus kegiatan Colombo Plan adalah pembangunan sumber daya manusia di kawasan Asia dan Pasifik. Indonesia menjadi anggota Colombo Plan tahun 1953.

Tujuan utama Colombo Plan adalah mendukung pembangunan ekonomi dan sosial negara anggota, memajukan kerjasama teknik serta membantu alih teknologi antar negara anggota, memfasilitasi transfer dan berbagi pengalaman pembangunan antar negara anggota sekawasan dengan penekanan pada konsep kerjasama Selatan-Selatan.

Struktur Organisasi Colombo Plan terdiri dari Consultative Committee yang merupakan badan utama dan bertemu sekali dalam dua tahun, Colombo Plan Council  merupakan bandan pelaksana keputusan Consultative Committee, dan Colombo Plan Secretariat. Biaya administrasi Sekretariat Colombo Plan dan Dewan Colombo Plan ditanggung secara rata oleh semua negara anggota melalui kontribusi tahunan. Sementara biaya pelatihan dan pendidikan didanai secara sukarela oleh negara donor baik anggota maupun non-anggota Colombo Plan.         Sekretariat CP memiliki lima program yaitu:

1. Programme for Public Administration (PPA) Program ini bertujuan untuk pembangunan human capital sektor publik di negara anggota melalui program pelatihan dan Lokakarya.

2. Programme for Private Sector Development (PPSD)Program ini difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi negara anggota

melalui capacity building of small and medium enterprises yang meliputi pelatihan transfer of technology, business management, WTO Trade Policies, dan isu-isu perdagangan internasional.

3. Drug Advisory Programme (DAP)Dimulai sejak tahun 1973, program ini merupakan program pertama yang menangani drug abuse di kawasan Asia Pasifik. Program ini memberikan kontribusi signifikan kepada para negara anggota dengan peningkatan capacity building staf pemerintah dan organisasi masyarakat yang berhubungan dengan penanganan drug abuse.

4. Long-term Fellowship Programme (LFP)Program pendidikan jangka panjang baik untuk master degree atau non-degree untuk sektor pemerintah negara anggota.

5. Programme on Environment (ENV)Program ini disetujui pembentukannya pada tahun 2005 dan pemerintah Thailand telah memberikan komitmen untuk memberikan dana awal kegiatan selama 3 tahun pertama (2005-2008). Program ini akan memberikan pelatihan jangka panjang dan pendek di bidang lingkungan. 

Indonesia telah menerima banyak bantuan pendidikan dan pelatihan yang ditawarkan oleh CP. Berdasarkan data Sekretariat Colombo Plan, selama kurun waktu 1995-2007, jumlah peserta Indonesia dalam berbagai program Colombo Plan tercatat sekitar 1131 orang, yang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terbesar (setelah Afghanistan), yang menerima bantuan Colombo Plan. Dalam beberapa tahun terakhir kegiatan yang menonjol antara Indonesia dan CP adalah program pelatihan penanganan Drug Abuse  yang dikordinasikan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan beberapa pesantren di Indonesia dibawah organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU).

Pada Colombo Plan Consultative Committee Meeting ke-41 yang diselenggarakan bulan Agustus 2008 di Kuala Lumpur, telah disepakati Colombo Plan’s Strategic Vision 2025  yang dituangkan dalam suatu rencana kerja tahunan Colombo Plan. Indonesia telah menyampaikan kesediaan bekerjasama dengan Colombo Plan dalam pelatihan di bidang Economic and Social Studies, yang mencakup Local Economic Development, Poverty Reduction, Micro Finance serta Family Planning yang akan dilaksanakan pada tahun 2010.

Gerakan Non-BlokKonferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja mencapai kemerdekaannya. KAA ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada tataran hubungan internasional. KAA menyepakati ’Dasa Sila Bandung’ yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan

hubungan dan kerjasama antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara yakni Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama di antara mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’ yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.  

Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme,  neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).

Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-politik komunisme di Eropa Timur, muncul perdebatan mengenai relevansi, manfaat dan

keberadaan GNB. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa dengan berakhirnya sistem bipolar, eksistensi GNB telah tidak bermakna. Namun, sebagian besar negara mengusulkan agar GNB menyalurkan energinya untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dunia pasca Perang Dingin, di mana ketegangan Utara-Selatan kembali mengemuka dan jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang menjadi krisis dalam hubungan internasional. Perhatian GNB pada masalah-masalah terkait dengan pembangunan ekonomi negara berkembang, pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup, telah menjadi fokus perjuangan GNB di berbagai forum internasional pada dekade 90-an.   

Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain:

Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional;

Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya;

Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.

        Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama”. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam mendirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB.

Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB, sesuai mandat KTT GNB Ke-11, di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang program dan kegiatan pelatihan, kajian dan lokakarya/seminar yang diikuti negara-negara anggota GNB. Bentuk program kegiatan NAM CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, memajukan usaha kecil dan menengah, penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam masa mendatang diharapkan negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta dan organisasi internasional terdorong untuk terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerjasama

Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya mengaktifkan kembali kerjasama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi GNB antara lain untuk menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu mendatang.

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya.  Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang bagi pemeran global lainnya.     

Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan tanggal 11-16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang merupakan sikap, pandangan dan posisi GNB tentang semua isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama antara negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.

Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.

KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.

Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.

 Pada tanggal 17-18 Maret 2010 telah diselenggarakan Pertemuan Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development  di Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina, Alberto Romulo; dan Menteri Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari 105 negara anggota GNB. Secara umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat, bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi. Disamping itu banyak negara anggota GNB menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial yang dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme. Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri dalam diskursus tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global. Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun ”global resilience” untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia. Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar peradaban dan lintas agama untuk meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling percaya dan saling menghormati.  Untuk itu, GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkrit dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatkan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia.  Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir yaitu: Report of the Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and evelopment, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development.  Indonesia akan menyelenggarakan 16th Ministerial Conference and Commemorative Meeting of the Non-Aligned Movement/Konferensi Tingkat Menteri ke-16 Gerakan Non Blok (KTM ke-16 GNB) dan sekaligus Pertemuan Peringatan 50 Tahun GNB di Bali pada tanggal 23 – 27 Mei 2011. Keistimewaan KTM ke-16 GNB adalah pelaksanaannya yang bertepatan dengan 50 tahun berdirinya GNB sejak terselenggaranya pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Oleh karena itu, pelaksanaan KTM akan pula diikuti dengan Pertemuan Peringatan 50 tahun berdirinya GNB (Commemorative Meeting).

KTM ke-16 GNB yang mengangkat tema “Shared Vision on the Contribution of NAM for the Next 50 Years” merupakan pertemuan paruh waktu antar dua KTT dan agenda utamanya adalah mengulas perjalanan GNB pasca KTT di Sharm El Sheik, Mesir pada bulan Juli 2009. KTM ini akan menghasilkan dokumen akhir yang menjadi rujukan terkini bagi anggota GNB dalam pelaksanaan hubungan internasionalnya, sedangkan Commemorative Meeting akan menghasilkan Bali Commemorative Declaration (BCD) yang berisi visi GNB ke depan.

KTM ke-16 GNB kali ini mengundang partisipasi para Menteri Luar Negeri dari 118 negara anggota GNB dan 2 (dua) negara calon anggota, yaitu Fiji dan Azerbaijan yang akan dikukuhkan keanggotaannya pada acara tersebut. Selain Menteri Luar Negeri, turut diundang pula kehadiran delegasi dari 18 negara dan 10 organisasi pengamat, serta 26 negara dan 23 organisasi undangan.

 

Developing Eight (D-8)D-8 didirikan melalui Deklarasi Istanbul yang dihasilkan pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 yang ke-1 pada 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. D-8 terdiri dari 8 (delapan) negara berkembang, yaitu Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan dan Turki.  

Dasar pendirian D-8 adalah Deklarasi Istanbul yang memuat tujuan, prinsip-prinsip dasar dan bidang-bidang kerjasama D-8. Adapun prinsip-prinsip dasar   D-8 adalah peace instead of conflict, dialogue instead of confrontation, justice instead of double-standards, equality instead of discrimination, and democracy instead of oppression.

Awalnya pembentukan D-8 dimaksudkan untuk menghimpun kekuatan negara-negara Islam yang semuanya anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) guna menghadapi ketidakadilan dan sikap mendua negara-negara Barat. Namun, dalam perkembangannya, D-8 ditetapkan sebagai kelompok yang tidak bersifat eksklusif keagamaan dan ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat negara anggotanya melalui pembangunan sosial dan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kerjasama D-8 difokuskan pada peningkatan intra-trade di antara negara-negara anggotanya. Sejak tahun 1999 - 2007, nilai intra-trade antara negara D-8 telah meningkat lebih dari 200 persen dari US $ 14.5 Milyar menjadi US $ 49 Milyar. Walau cukup signifikan, namun jumlah ini belum melebihi 5 persen dari total perdagangan negara anggota D-8 dengan dunia. Maka diharapkan pada akhir dekade kedua kerjasamanya (2018), intra-trade D-8 dapat meningkat menjadi 15-20 persen dari total perdagangan negara anggotanya dengan dunia, atau mencapai US $ 100 Milyar.Tujuan kerjasama D-8 adalah sbb:

1. Untuk meningkatkan posisi negara anggotanya dalam perekonomian dunia;

2. Untuk memperluas dan menciptakan peluang-peluang baru dalam bidang perdagangan khususnya intra trade D-8;

3. Untuk memperkuat tercapainya aspirasi negara anggotanya dalam proses pembuatan keputusan pada tingkat global, dan;

4. Meningkatkan taraf hidup masyarakat negara anggota D-8.

Pada KTT D-8 ke-5 tahun 2006 di Bali, Indonesia telah menerima keketuaan D-8 dari Iran untuk periode 2006-2008. Pada kesempatan KTT tersebut, negara-negara D-8 juga telah membubuhkan tanda tangan pada 2 naskah Persetujuan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi perdagangan di antara negara anggota yaitu D-8 Preferential Trade Agreement (PTA), dan Multilateral Agreement among D-8 Member Countries on Administrative Assistance in Customs Matters (AACM).

Hingga saat ini, PTA belum berlaku efektif karena baru 2 negara yaitu Iran dan Malaysia yang menyelesaikan proses ratifikasi Persetujuan tersebut. Sementara itu, Indonesia masih menunggu pengumpulan offer list of products sebagai salah satu annexes PTA D-8 oleh seluruh negara D-8 sebelum menyelesaikan proses ratifikasi. Sedangkan untuk AACM, Persetujuan ini belum dapat berjalan karena baru Indonesia yang menyelesaikan proses ratifikasi.

Sebagai ketua D-8 periode 2006-2008, Indonesia telah berhasil dalam melakukan revitalisasi D-8 yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah kegiatan dalam kerangka D-8 secara signifikan dengan diselenggarakannya 31 kegiatan D-8 dimana 15 diantaranya diadakan oleh Indonesia. Tiga hal yang dapat dianggap sebagai pencapaian utama pada masa keketuaan Indonesia adalah upaya peningkatan status Sekretariat D-8 dari Office of Executive Director melalui interim arrangement Sekretariat D-8 dimana 3 negara anggota D-8 masing-masing mengirimkan Sekjen (Indonesia), Direktur (Iran), dan Ahli Ekonomi (Turki); Perumusan Roadmap D-8 (2008-2018) yang difasilitasi oleh Indonesia di Bangka Belitung, bulan April 2008; serta Penyelesaian pembahasan PTA D-8 beserta annexes-nya secara menyeluruh.

Pada KTT D-8 ke-6 di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 4-8 Juli 2009, Indonesia telah melakukan serah terima keketuaan D-8 kepada Malaysia. KTT tersebut menyepakati finalisasi pembentukan Sekretariat Permanen D-8 yang akan dibiayai oleh seluruh negara anggota melalui kontribusi tahunan dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang pertama dari Indonesia yakni Dr. Dipo Alam mulai              1 Januari 2009 – 31 Desember 2012. KTT tersebut juga telah mengadopsi Roadmap D-8 yang akan berfungsi sebagai guidelines kerjasama D-8 untuk dekade kedua kerjasamanya (2008-2018).  D-8 memiliki bidang-bidang kerjasama yang kesemuanya diarahkan untuk menghasilkan capaian-capaian konkrit di bidang perdagangan, industri, perhubungan udara, energi, pertambangan dan mineral, kepabeanan, pariwisata, pertanian, kelautan dan perikanan, dan kredit mikro. Dalam bidang Perhubungan Udara, pada 3rd D-8 Working Group Meeting on Civil Aviation and Directors General Meeting (WGCA ke-3) pada Juni 2008, negara-negara D-

8 telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) for the Establishment of D-8 Working Group on the Co-operation in Civil Aviation yang ditujukan untuk memfasilitasi pergerakan para pejabat pemerintah, kalangan pebisnis dan masyarakat negara-negara D-8. Pada Pertemuan tersebut, beberapa MoU dan kesepakatan lainnya secara bilateral juga telah ditandatangani oleh Indonesia dan negara-negara D-8 yakni:

a. MoU antara Garuda Airlines dan Turkish Airlines ; b. MoU on Maintenance, Repair, and Overhaul antara GMF Aero Asia and MNG

Airlines Turkey. c. Letter of Intent (LoI) antara PT Angkasa Pura II dan TAV Airports Holding Turki

dalam bidang Airport Development d. LoI di bidang perhubungan udara antara Dirjen Perhubungan Udara Indonesia

dengan Dirjen Perhubungan Udara Turki.

Di bidang kerjasama industri D-8, pada 4th D-8 Working Group Meeting on Industrial Cooperation di Bali bulan November 2008, Indonesia telah ditunjuk sebagai prime mover aktivitas industri D-8 periode 2008-2010. Pada kesempatan pertemuan tersebut, Indonesia, Iran dan Turki juga telah membubuhkan tanda tangan pada naskah “Minutes of Meeting” (MoM) yang bertujuan untuk memfasilitasi program kerjasama jangka panjang di bidang industri otomotif dan pembentukan Joint Working Group untuk mengembangkan pelaksanaan kerjasama tersebut.Selain kerjasama dalam bidang-bidang tersebut di atas, D-8 juga melakukan kerjasama dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang khususnya negara-negara D-8, melalui Pertemuan Tingkat Menteri D-8 (PTM) mengenai Ketahanan Pangan yang diselenggarakan tanggal 25-27 Pebruari 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. PTM mengupayakan pembentukan kerjasama konkrit di bidang pertanian antara negara-negara D-8, dengan meliputi pembahasan 3 isu pokok yaitu produksi dan suplai pupuk berkualitas (Fertilizer), produksi dan suplai pakan ternak (Animal Feed), dan penyediaan benih berkualitas (Seed Bank). Selain mengadopsi Kuala Lumpur Initiative to Address Food Security by D-8 Countries, PTM juga telah menyepakati penunjukan prime movers untuk mewujudkan inisiatif Kuala Lumpur sbb:

a. Seed Bank (Turki dan Iran); b. Animal Feed (Malaysia dan Indonesia); c. Fertilizer (Mesir); d. Standards and Trade Issues (Iran dan Turki); e. Marine and Fisheries (Indonesia).

Semua kesepakatan antara negara-negara D-8 yang telah dituangkan dalam bentuk Persetujuan, MoU, LoI ataupun MoM seperti disebutkan di atas berpotensi mendorong peningkatan intra-trade D-8 guna mencapai target pada akhir dekade kedua kerjasamanya. Sedangkan posisi-posisi strategis Indonesia sebagai prime mover berbagai aktivitas D-8 turut berpotensi meningkatkan kontribusi D-8 terhadap pembangunan sosial dan ekonomi negara anggotanya yang sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya.

Secara politis, keikutsertaan Indonesia pada kerjasama D-8 merupakan wujud solidaritas Indonesia terhadap negara berkembang lainnya dalam rangka memperjuangkan kepentingannya di tingkat internasional. Semua anggota D-8 juga merupakan negara anggota OKI namun secara organisatoris D-8 tidak merupakan sub-ordinasi OKI.

Sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap kerjasama Selatan-Selatan, Indonesia memandang penting forum D-8 karena keterlibatannya dalam kerjasama Kelompok D-8 dapat membuka peluang untuk memperluas dan meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara tujuan ekspor non-tradisional.

Melalui kerjasama D-8, Indonesia dapat menggalang dukungan dari negara-negara anggota D-8 bagi kepentingan Indonesia misalnya dalam pencalonan di fora kerjasama internasional lainnya.

Kelompok 77 dan ChinaKelompok 77 dan China

Kelompok 77 dibentuk pada tanggal 15 Juni 1964 melalui pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota negara berkembang pada saat berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Sampai saat ini, Kelompok 77 dan China telah beranggotakan 133 negara.

Kelompok 77 dan China merupakan forum yang memiliki tujuan utama untuk mendorong kerjasama internasional di bidang pembangunan. Pada perkembangannya Kegiatan Kelompok 77 dan China ditujukan tidak saja untuk memberikan dorongan dan arah baru bagi pelaksanaan kerjasama Utara-Selatan di berbagai bidang pembangunan internasional, akan tetapi juga dimaksudkan untuk memperluas kerjasama dalam memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengisi antara sesama negara berkembang melalui Kerjasama Selatan-Selatan.

Kegiatan-kegiatan penting Kelompok 77 dan China dalam kerangka PBB terutama untuk merundingkan berbagai isu  dan keputusan/resolusi yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan PBB, antara lain tindak-lanjut pelaksanaan Program Aksi KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, KTT Wanita di Beijing, Sidang Khusus SMU PBB mengenai obat-obat terlarang, modalitas penyelenggaraan Konperensi Internasional mengenai Pendanaan untuk Pembangunan, Pengkajian Tiga Tahunan Kegiatan Operasional PBB untuk Pembangunan, Pelaksanaan Dialog di SMU PBB mengenai Globalisasi, Pertemuan Interim Development Committee IMF/Bank Dunia, ECOSOC, dan usulan reformasi PBB di bidang ekonomi dan sosial.

Untuk menyatukan komitmen diantara pemimpin dari negara anggota Kelompok 77 dan China, Kelompok 77 dan China memiliki Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Selatan

merupakan pertemuan tertinggi di antara negara anggota Kelompok 77 dan China. KTT Selatan telah dua kali diselenggarakan yakni di Havana pada tahun 2000 dan di Doha pada tahun 2005. Hasil KTT Selatan ke-2 di Doha, Qatar pada bulan Juni 2005 adalah Doha Declaration dan Doha Plan of Action.

Deklarasi Doha secara umum memuat komitmen politik anggota Kelompok 77 dan China untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan antara lain isu dimensi pembangunan dalam agenda internasional, ruang kebijakan nasional, penguatan multilateralisme, dialog antar peradaban, ketatalaksanaan yang baik, masyarakat madani, geografi baru hubungan ekonomi internasional, transfer teknologi, reformasi PBB dan globalisasi. Atas usul Indonesia Deklarasi Doha juga mencantumkan New Asian African Strategic Partnership (NAASP) sebagai pengakuan pentingnya kerjasama regional dan inter-regional dalam mendorong Kerjasama Selatan-Selatan.

Sementara, Doha Plan of Action memuat rencana aksi sebagai tindak lanjut pelaksanaan komitmen yang tercantum dalam Havana Plan of Action (HPA) tahun 2000. Doha Plan of Action memuat empat bagian utama yakni: globalisasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kerjasama Selatan-Selatan, dan Kerjasama Utara-Selatan.

Untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada South Summit ke-2, Kelompok 77 dan China memiliki sebuah instrumen yaitu Intergovernmental Follow-up and Coordination Committee on Economic Cooperation among Developing Countries (IFCC) yang merupakan komite utama dari Kelompok 77 dan China yang menangani isu kerjasama Selatan-Selatan. Sebagai upaya untuk melakukan review terhadap perkembangan kerjasama Selatan-Selatan sejak KTT Selatan di Doha, Kelompok 77 dan China telah menyelenggarakan IFCC ke-12 pada bulan Juni tahun 2008 di Pantai Gading. Bagi Indonesia, kerjasama dalam wadah Kelompok 77 dan China merupakan sarana untuk penguatan kerjasama Selatan-Selatan secara efektif. Keberadaan Kelompok 77 dan China juga telah memberikan dukungan dalam bentuk lobbying support dari seluruh 133 negara berkembang anggotanya untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia di PBB, seperti ketika Indonesia menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

KERJASAMA REGIONAL

Brunei–Indonesia-Malaysia-PhilipinaEast Asia Growth Area (BIMP-EAGA)Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri  (PTM) ke-1 di Davao City, Filipina pada tanggal 26 Maret 1994. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Para pelaku usaha diharapkan menjadi motor penggerak kerja sama dimaksud sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator.

Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Pertemuan tertinggi BIMP-EAGA adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kemudian Pertemuan Tingkat Menteri, Pertemuan Tingkat Pejabat Senior, dan pertemuan teknis di bawah SOM. Pertemuan teknis di bawah SOM terdiri atas cluster dan task force, yaitu : (a) Cluster on Natural Resources Development, diketuai oleh Indonesia (b) Cluster on Transport, Infrastructure, and Information, Communication, and Technology Development (TIICTD), diketuai oleh Brunei Darussalam (c) Cluster on Joint Tourism Development (JTD), diketuai Malaysia (d) Cluster on Small and Medium Enterprises Development (SMED), diketuai oleh Filipina. (e) Task Force on Customs, Immigration, Quarantine, and Security, diketuai oleh Filipina.BIMP-EAGA Sub-Regional ConnectivitySalah satu isu yang menonjol dalam kerja sama ekonomi sub-regional termasuk BIMP-EAGA adalah sub-regional connectivity. Dalam hal ini, sub-regional connectivity diharapkan mendukung terwujudnya regional connectivity di wilayah ASEAN sebagaimana yang termaktub dalam ASEAN Master Plan on Connectivity. BIMP-EAGA memandang penting konektivitas sebagai salah satu instrumen kunci dalam mewujudkan visi BIMP-EAGA sebagai salah satu lumbung pangan dan pusat pariwisata alam di ASEAN dan wilayah lain di Asia. Terkait hal ini para pemimpin BIMP-EAGA dalam pertemuannya di Hua Hin, 28 Oktober 2011 telah menetapkan BIMP-EAGA Infrastructure Project Pipeline (PIP).  Sejak tahun 2007, BIMP-EAGA telah menandatangani beberapa MOU dalam bidang perhubungan. Salah satunya adalah MOU on Establishing and Promoting Efficient and Integrated Sea Linkages (EPEISL). Sebagai implementasi MOU yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut, sejak Desember 2009  telah beroperasi Roll On/Roll Off (RO-RO) Passenger Ferry antara Muara, Brunei Darussalam dan Menumbok, Malaysia. Demikian pula, jasa pelayaran antara Bitung-Tahuna, Indonesia dan Glan, Filipina mulai dilaksanakan sejak Maret 2010.  Di masa mendatang RO-RO diharapkan dapat segera melayani rute Muara, Brunei Darussalam--Labuan, Malaysia. Sementara itu, sebagai implementasi MoU on Cross Border Movement of Commercial Busses and Coaches sekitar 40, 000 orang dalam kurun waktu Januari-Desember 2009 telah menggunakan jasa bus lintas wilayah BIMP-EGA (Pontianak-Bandar Seri Begawan).Selain konektivitas dan pariwisata alam, fokus bidang kerja sama BIMP-EAGA adalah ketahanan pangan. BIMP-EAGA saat ini sedang melakukan pembahasan mengenai Food Basket Strategic Plan of Action sebagai upaya untuk mewujudkan visinya sebagai salah satu pusat lumbung pangan ASEAN dan wilayah lain di Asia. Sedangkan pihak luar BIMP-EAGA yang selama ini membantu pengembangan kerja sama dimaksud adalah Asian Development Bank (ADB) sebagai development partner dan regional adviser; Jepang dan China sebagai development partner; GTZ sebagai strategic partner. Selain itu, BIMP-EAGA juga menjalin kerja sama dengan Northern Territory, Australia.

 

ASEAN Regional Forum (ARF)Latar Belakang

ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF.

ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE).

ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait

dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional.

Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka.

Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, ARF menetapkan dua tujuan utama yang terdiri atas:

Mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, dan

Memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik.

Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri Luar Negeri menyetujui “ARF could become an effective consultative Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security cooperation in the region. In this context, ASEAN should work with its ARF partners to bring about a more predictable and constructive pattern of relations in the Asia Pacific.”

Meskipun ARF masih relatif baru, namun ia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF.

 

Metode dan Pendekatan

 

Partisipasi dan kerjasama yang aktif, penuh serta seimbang merupakan syarat mutlak bagi semua partisipan ARF, dengan ASEAN tetap merupakan penggerak utama bagi ARF.

Proses ARF berjalan dalam suatu kecapatan “at the pace comfortable to all” bagi semua peserta ARF, dengan mempertimbangkan sensitivitas terhadap berbagai isu terkait dengan peserta tertentu.

Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution.

Keputusan ARF harus diambil melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta ARF.

Semenjak pendirianya di Bangkok pada bulan Juli 1994, ARF telah mengalami suatu proses evolusi yang terdiri atas:

pemajuan peningkatan kepercayaan antar negara peserta; pengembangan diplomasi pencegahan; dan elaborasi mengenai pendekatan untuk pencegahan konflik.

Pendekatan tersebut telah memungkinkan para peserta ARF untuk menghadapi secara konstruktif berbagai isu politik dan keamanan yang dihadapi oleh kawasan, termasuk isu-isu baru yang muncul sebagai akibat globalisasi.

Sebagai suatu forum dialog, ARF memiliki peran instrumental bagi penciptaan dan pengembangan transparansi, peningkatan kepercayaan dan pengertian sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi rasa saling curiga dan salah pengertian antara negara peserta. Hal ini akan semakin meningkatkan perdamaian, keamanan dan stabilitas nasional.

Penguatan perdamaian dan keamanan kawasan akan memberikan lingkungan yang kondusif yang esensial bagi suksesnya pembangunan nasional di masing-masing negara peserta. Hal ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan masyarakat di kawasan.

Dalam fase CBM and PD saat ini, ARF dapat memainkan peran penting bagi pencegahan munculnya konflik dan meningkatnya situasi konflik. ARF juga dapat memainkan peran untuk menghindari penggunaan kekuatan dan ancaman penggunaan kekerasan. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk menjadi sarana bagi penyelesaian konflik.

Dengan demikian, ARF dapat menjadi wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan tolerasni dengan cara damai. 

 

Manfaat ARF bagi Indonesia

 

Mengembangkan profil internasionalnya melalui peran dan kepemimpinannya dalam ASEAN sebagai penggerak utama dalam ARF.

Menetapkan agenda dialog dan konsultasi ARF dengan pandangan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingan nasionalnya di berbagai isu penting politik dan keamanan.

Menggalang dukungan dari para peserta ARF bagi keutuhan dan kedaulatan teritorialnya.

Mendorong komitmen kawasan untuk mengembangkan kerjasama di berbagai isu yang menjadi perhatian bersama seperti perang melawan terorisme dan kejahatan lintas negara lainnya.

Memajukan budaya damai, toleransi, dan dialog antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Untuk informasi terkini mengenai ARF klik  http://www.aseanregionalforum.org/

INDIAN OCEAN RIM ASSOCIATION FOR REGIONAL COOPERATION (IOR-ARC)Latar belakang Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR-ARC) adalah satu-satunya organisasi regional yang menggandeng negara-negara di sepanjang wilayah Samudera Hindia. Organisasi ini digerakkan oleh tiga pilar yaitu akademisi, bisnis dan pemerintah. IOR-ARC merupakan organisasi yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara yang berbatasan dengan laut India. Organisasi ini dideklarasikan di Mauritius pada bulan Maret 1997. Indonesia menjadi anggota IOR-ARC bersama dengan 17 negara lainnya, yaitu Australia, Bangladesh, India, Iran, Kenya, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Mozambique, Oman, Singapura, Afrika Selatan, Sri Lanka, Tanzania, Thailand, Uni Emirat Arab dan Yaman. Mitra wicara IOR-ARC terdiri atas Cina, Mesir, Perancis, Jepang, dan Inggris, sedangkan Indian Ocean Tourism Organisation memiliki status peninjau.IOR-ARC bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi dalam kawasan. Kerjasama dalam kerangka ini dikembangkan dalam tiga jalur utama yaitu:

a.    Akademisi melalui forum IOR-Academic Group (IORAG),b.    Pengusaha melalui IOR-Business Forum (IOR-BF) danc.    Jalur kegiatan perdagangan dan investasi melalui Working Group on Trade and Investment

(WGTI).

 Setiap kelompok kerja itu memiliki perwakilan bisnis dan akademisi yang memastikan bahwa

berbagai titik perbedaan pandangan dan kepentingan tercermin sepenuhnya dalam program kerja organisasi IOR-ARC. Mekanisme kelembagaan kerjasama dilakukan melalui pertemuan Council of Ministers (COM) dan Committee of Senior Officials (CSO). Pertemuan COM dan CSO dilangsungkan setahun sekali.

 Peranan Indonesia dalam IOR-ARC

Indonesia merupakan anggota IORARC yang cukup aktif. Sejak pertemuan Council Of Ministers (COM) ke-8, Mei 2008 di Teheran, Indonesia terlibat secara langsung dalam beberapa proyek IOR-ARC, antara lain mengusulkan penyelenggaraan Training on Micro-Finance, penawaran Program Beasiswa Kerjasama Negara Berkembang dan Program Dharmasiswa untuk program Non-Gelar. Selain itu, Indonesia juga berkesempatan untuk melakukan sharing of knowledge terkait strategic actions Indonesia dalam menangani flu burung di tanah air.

 Selama tahun 2010 Indonesia telah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan di kerangka kerjasama IOR-ARC yaitu:-          Iran Biotech 2010, 13-15 April 2010, di Iran, Indonesia diwakili oleh Singgih Wibowo dari B2R2KP ,

Kementerian Kelautan dan Perikanan.-          Specialized Training Course for Foreign Diplomats for IOR-ARC Member States, 28 April - 11 May 2010-          Regional Experts Meeting on Herbal Medicine Processing IOR-ARC, Tehran, 19-21 Mei 2010, Indonesia

diwakili oleh wakil dari PT. Martina Berto. Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut akan dibentuk Indian Ocean Rim Traditional Medicine Network (IORTMNET) dan India telah bersedia untuk menjadi tuan rumah pertemuan yang sama pada tahun 2012.

 

Selain itu Indonesia juga terlibat aktif dalam beberapa Sub Committee yang membahas isu-isu khusus antara lain :

-          Anggota Governing Committee untuk Special  Fund  sejak tahun 2008-2010 -          Anggota Sub Committee untuk pembahasan restrukturisasi Indian Ocean Rim Academic Group

(IORAG) yang digagas oleh Oman -          Anggota Sub Committee untuk pembahasan amandemen statuta University Mobility in Indian

Ocean Region (UMIOR)  

Hasil  Pertemuan COM IOR-ARC ke-10 tahun 2010 dan perkembangan pasca COM ke-10 

 1.     Experts Meeting Maritime Transport Council IOR-ARC, Durban, 27-28 Mei 2010, telah

menghasilkan final draft proposal pembentukan MTC yang diadopsi pada pertemuan COM ke-10 di Sana’a, Agustus 2010.

 2.     Pertemuan Tingkat Menteri IOR-ARC pada tahun 2010 dilaksanakan di Sana’a, 31 Juli – 5 Agustus

2010. Dalam pertemuan tersebut telah diadopsi revisi charter IOR-ARC 1997 beserta 3 (tiga) aturan tambahan lainnya. Selain itu juga diadopsi final draft proposal pembentukan Maritime Transport Council dan Fisheries Support Unit.

 3.     Dalam Pertemuan COM ke-10 di Sana’a, 5 Agustus 2010 juga disepakati untuk membentuk 2

(dua) sub komite yang akan membahas mengenai revitalisasi program kerja IORAG serta amandemen dari statuta University Mobility in Indian Ocean Region (UMIOR), salah satu lembaga subside IOR-ARC dibawah IORAG. 

 4.     Australia telah menyelenggarakan Bi-Annual meeting of Committee of Senior Officials (CSO) yang

pertama pada tanggal 30-31 Maret 2011. Pertemuan membahas prioritas bidang kerjasama, Administratif Arranggement untuk Special fund, mengamandemen dan menyetujui rekomendasi dari pertemuan Sub Committee on Restructuring and Improving of IORAG.

 Agenda Kegiatan tahun 2011    

 1.     Dalam Bi-Annual meeting of Committee of Senior Officials di Canberra, 30-31 Maret 2011, India telah

menyampaikan waktu pelaksanaan rangkaian pertemuan IOR-ARC 2011 di New Delhi adalah 8-13 September 2011.

 2.     Regional Centre for Science and Technology Transfer (RCSTT) sebagai lembaga subsider IOR-ARC

dalam tahun 2011 menyelengarakan beberapa kegiatan antara lain :

-          Specialised Workshop on Trade in Services and Dispute Settlement Services  di Tehran, Januari 2011

-          Third Fajr Exhibition di Tehran, Maret 2011-          ICT and Community E-Centres Development For Poverty Reduction and Business Services

Promotion Among the OIC countries and IOR-ARC Region di Tehran, 14-16 Maret 2011 

 3.     Fisheries Support Unit yang berkedudukan di  Oman telah menyelenggarakan Workshop on  Biology

and Fisheries Stock Assesment pada tanggal 16-19 Januari 2011.

 4.     Rencana penyelenggaraan IOR-ARC COM ke-11 adalah di India pada bulan September 2011.

Melanesian Spearhead Group (MSG)Melanesian Spearhead Group (MSG) dibentuk berdasarkan “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia” yang ditandatangani di Port Vila pada 14 Maret 1988. MSG beranggotakan Fiji, Front de liberation nationale kanak et socialiste (FLNKS) Kaledonia Baru, Papua Nugini, Solomon Islands, dan Vanuatu.Pada tanggal 7 Juni 1996 ditandatangani sebuah dokumen yang berjudul sama yaitu “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia”, Kiriwana, Trobriand Island, yang isinya menyepakati kerja sama untuk memajukan perekonomian negara anggota. Dalam KTT ke-16 di Goroka, Papua Nugini, 19 Agustus 2005 disepakati pembentukan Sekretariat MSG yang berkedudukan di Port Vila.Keputusan untuk menjadikan MSG sebagai sebuah organisasi sub-regional ditetapkan dalam sebuah perjanjian yang berjudul “Agreement Establishing the Melanesian Spearhead Group” yang draftnya telah

diselesaikan pada bulan Maret 2007. Dalam Agreement tersebut disepakati untuk menyertakan FLNKS dari Kaledonia Baru sebagai anggota dengan reservasi terhadap pasal 10, 11, dan 12 sesuai dengan pasal 19 ayat 5 (draft) Agreement tersebut yang mengatur anggota berstatus sebagai organisasi/wilayah yang bukan negara merdeka.Pada tanggal 14-15 April 2008 diselenggarakan rangkaian pertemuan MSG yang berpuncak pada KTT ke-17 di Port Vila, Vanuatu, sekaligus peresmian Sekretariat organisasi tersebut.Pada KTT MSG ke-18 di Fiji, Indonesia untuk pertama kalinya diterima sebagai Observer. Diharapkan dengan menjadi observer dalam MSG, Indonesia akan dapat bekerja sama lebih erat dan memberikan kontribusinya kepada negara-negara anggota MSG.

Asia-Europe Meeting (ASEM)

 1. Pendahuluan Pembentukan ASEM sebagai forum inter-regional bertujuan untuk mengembangkan hubungan kerjasama antara Eropa dan Asia. Pada satu sisi, ASEM adalah ekses dari kecenderungan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik, perubahan konfigurasi peta politik dan perdagangan internasional serta meningkatnya peran Asia dalam pembangunan ekonomi kawasan, dimana hal ini merupakan faktor utama bagi para pemimpin Asia dan Eropa untuk saling bekerjasama dan mendirikan forum kerjasama ASEM. Asia-Europe Meeting (ASEM) dibentuk di Bangkok, Maret 1996, saat KTT ASEM1. ASEM merupakan proses dialog yang kini beranggotakan 48 mitra, yakni 16 negara Asia terdiri dari 10 negara ASEAN ditambah 6 negara Asia lainnya yang disebut NESA (Northeast, and South Asia), yakni Jepang, Korea Selatan, China, India, Pakistan dan Mongolia serta ASEAN Secretariat, Rusia, Australia dan Selandia Baru. Keseluruhan ASEM-Asia beranggotakan 17 mitra. Sedangkan ASEM-Eropa diwakili oleh 28 mitra, terdiri dari 27 negara anggota UE ditambah Komisi Eropa.  Gabungan dua kawasan ini memiliki potensi sangat besar untuk memajukan keseimbangan tata dunia baru, perdamaian dunia, dan meningkatkan kesejahteraan penduduk yang mencapai lebih dari 3 milyar orang, serta meningkatkan persahabatan melalui saling mengenal dan saling pengertian antara penduduk kedua kawasan dimaksud yang dikenal memiliki peradaban sangat tinggi di dunia. Hubungan “unik” ini pula yang mendorong spirit “unity in diversity” di kalangan para mitra.  Dengan potensi yang dimiliki negara-negara Asia dan Eropa dalam kerjasama ASEM, Indonesia mengharapkan pada dekade kedua ini agenda ASEM selain terus

mengedepankan proses dialog juga semakin menekankan kerjasama yang lebih konkrit (action oriented) dengan berasaskan kesetaraan dan saling menguntungkan.  

  2. Sejarah Singkat a. Latar Belakang Politik Berakhirnya perang dingin yang ditandai disintegrasi Uni Soviet pada awal dekade 1990, membawa konsekuensi besar dalam hubungan internasional. Kedekatan ideologis, seperti yang terjadi pada masa–masa sebelumnya, tidak lagi menjadi pertimbangan penting manakala negara–negara ataupun kelompok–kelompok negara memutuskan untuk menjalin maupun meningkatkan hubungannya satu sama lain. Berbagai negara dengan berbagai latar belakang ideologi dan politik selanjutnya dapat bekerjasama secara intensif guna mencapai kepentingan nasional mereka masing–masing. Pembentukan ASEM pada 1996 juga tidak memperhatikan latar belakang ideologi dan politik para anggotanya.  Pembentukan ASEM dilatarbelakangi pula oleh kesadaran akan adanya hubungan yang kurang erat antara Asia dengan Eropa apabila dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa yang telah terjalin melalui kerjasama Trans-Atlantik, dan Amerika Utara dengan Asia dalam kerangka Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Tuntutan kepentingan strategis untuk membangun kerangka kerjasama dalam berbagai bidang prioritas di tengah proses perubahan yang begitu cepat dan persaingan yang semakin ketat juga menjadi dorongan untuk pembentukan kerjasama  ASEM. Proses kerjasama dalam kerangka ASEM mencerminkan sebuah evolusi menuju suatu kemitraan yang seimbang dan sejajar.  b. Latar Belakang Ekonomi Setelah ME dan ASEAN terbentuk, baru pada 1974, kedua organisasi ini berhubungan secara resmi dengan ditandatanganinya Joint ASEAN–EC Study Group. Joint Study

Group ini mengadakan pertemuan tiap tahun dengan maksud meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan kedua belah pihak. Melalui Joint Study Group ini pula ME ikut membiayai sejumlah kegiatan ASEAN, seperti  proyek integrasi regional, promosi perdagangan ASEAN di Eropa, seminar peningkatan investasi asing, pembangunan fasilitas pelabuhan ASEAN. Empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1978, dengan maksud meningkatkan kerjasama kedua belah pihak, ME dengan ASEAN sepakat mengadakan ASEAN –EC Foreign Minister Meeting yang diadakan sekali dalam dua tahun. Pada perkembangannya, keanggotaan UE dalam ARF juga membuktikan bahwa Eropa makin memberikan perhatian semakin besar terhadap Asia. Perhatian UE terhadap negara–negara Asia (ASEAN) ini mengalami perkembangan cukup pesat sejak dekade 1980an. Ada beberapa alasan mengapa Eropa meningkatkan perhatiannya terhadap Asia. Pertama, kemajuan ekonomi Asia. Salah satu negara Asia yang berhasil mengembangkan perekonomian nasionalnya, dengan jalan melakukan industrialisasi, paska PDII adalah Jepang. Keberhasilan Jepang dengan strategi ”state–led export” nya, diikuti dengan keberhasilan negara –negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan, Singapura dan Hongkong, dalam membangun perekonomian nasionalnya. Bila mereka sering dijuluki sebagai ”the Newly Industrializing Countries”, maka ada lagi julukan ”the New Tigers of Asia” bagi Malaysia, Thailand, Indonesia, Philipina dan China. Dalam perkembangan selanjutnya, India juga mengalami perkembangan ekonomi yang serupa. Perkembangan ekonomi yang terjadi di banyak negara Asia ini telah menarik perhatian Eropa untuk meningkatkan hubungan di sektor perdagangan dan jasa dengan mereka perlu ditingkatkan. Kedua, kekhawatiran akan APEC. Pada tahun 1989, 12 negara dari kawasan Asia dan Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang disebut Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Dalam perkembangannya, Eropa (UE) merasa terancam dengan keberadaan APEC. UE mulai khawatir akan kehadirannya di Asia yang semakin tertinggal dibanding Amerika Serikat. Karena itu UE berupaya mengokohkan pijakannya di Asia. Untuk terpenuhinya tujuan ini, UE pertama kali mendekati ASEAN yang dalam pandangannya memiliki pengaruh yang cukup penting di kalangan negara–negara Asia sebagai suatu organisasi kerjasama regional. Melalui kerjasama dengan ASEAN, UE berharap bisa memperoleh pijakan yang cukup kuat untuk bekerjasama dengan negara–negara Asia lainnya. Lagi pula, dengan kerjasama itu, UE berharap dapat mencegah upaya dominasi Amerika Serikat, Jepang maupun China di benua Asia. Ketiga, penyusunan strategi baru. Pada 1994 UE menyusun strategi berjudul ”Towards a New Asia Strategy”, yang memuat  ramalan Bank Dunia bahwa separuh dari pertumbuhan ekonomi global berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara. Kemampuan ekonomi Asia yang meningkat secara signifikan tentu akan meningkatkan peranan mereka dalam masalah–masalah dunia. Oleh karena alasan itulah, maka Uni Eropa semenjak itu perlu memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada Asia dari pada masa-masa sebelumnya. c. Latar Belakang Sosial dan Budaya

 Karakter anggota ASEM yang berbeda ideologi politik, kemampuan ekonomi dan kekayaan sosial budaya merupakan keunikan tersendiri. Ke-bhineka-an itu telah diterima sebagai fakta budaya dari ikatan Asia dan Eropa. Selain itu, Asia dan Eropa mempunyai ikatan sejarah yang sangat panjang, sekalipun sebagian besar merupakan kenangan pahit di masa penjajahan.  Filipina menjadi jajahan Spanyol di abad ke 16. Indonesia menjadi jajahan Belanda pada abad ke 17. Malaysia menjadi jajahan Inggris di abad ke 18. Singapura juga koloni-dagang Inggris di awal abad ke 19, begitu pula Myanmar dan India. Cambodia, Laos, dan Vietnam merupakan bagian dari Indocina-Perancis pada abad ke 19. Perang Candu antara China dengan Inggris, dan kemudian dengan Perancis, juga di abad ke 19, merupakan konflik ekonomi yang diperparah oleh perbedaan-perbedaan budaya. Terlepas dari sisi pahit ikatan sejarah tersebut, hubungan yang panjang merupakan modal penting bagi masyarakat di Asia dan Eropa untuk saling memahami dan bekerja sama. Sebagai bukti, sejak era penjajahan, banyak orientalist Eropa yang mengembangkan ilmu tentang Asia, sementara itu pusat-pusat kajian Asia juga berkembang pesat di Eropa. Sebaliknya, masyarakat di Asia juga telah menyerap berbagai aspek budaya Eropa, termasuk dalam masalah bahasa maupun struktur sosial-politik. Misalnya, bentuk Republik merupakan pilihan favorit dari negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia. Dengan modal ikatan budaya berabad-abad itu, ASEM mempunyai peluang besar untuk membangun saling pengertian dan kerjasama multi-budaya Asia-Eropa demi tercapainya perdamaian kawasan dan perdamaian dunia.  3. Proses ASEM Apa yang dimaksud dengan proses ASEM merupakan jawaban atas pertanyaan bagaimana suatu keputusan diambil bersama para anggota ASEM. Sebagai sebuah forum dialog, proses ASEM bekerja berdasarkan konsensus dasar untuk membangun suatu kemitraan baru yang komprehensif bagi pertumbuhan yang lebih besar dalam semangat kesetaraan dan saling menguntungkan. Namun demikian, rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan bersifat tidak mengikat (non binding). Selain itu, ASEM juga berfungsi melengkapi proses kerja yang telah dilakukan dalam forum bilateral dan multilateral yang sudah ada. Sehingga terdapat keterkaitan antara rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang sudah ada sebelumnya dalam forum yang lain.  Singkatnya, ASEM bekerja berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, yakni informalitas: menekankan pada proses, bukan formalitas; multidimensional: memberikan bobot yang sama pada bidang politik, ekonomi, budaya dan bidang-bidang lainnya; kemitraan yang setara dalam menciptakan proses dialog dan kerjasama yang lebih luas; dan unity in diversity, mengakui keberagaman budaya yang ada di Asia dan Eropa sebagai aset dialog dan kerjasama.  ASEM Machinery 

Dalam konstruksi organisasinya, ASEM memiliki 3 pilar utama dalam kerjasamanya, yaitu (1) politik-keamanan, (2) ekonomi-perdagangan-investasi, dan (3) budaya serta bidang-bidang lainnya. Ketiga pilar ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan kerjasama kedua wilayah berdasarkan sikap saling menghargai dan kemitraan yang setara. Sebagai contoh, proses ASEM ini juga membahas isu-isu yang menjadi kepentingan bersama di kedua wilayah, seperti reformasi PBB, senjata pemusnah massal, terorisme, migrasi, negosiasi WTO, dan lain-lain.  Pertemuan KTT ASEM dilakukan dua tahun sekali secara bergantian di benua Asia dan benua Eropa. KTT merupakan media dialog tertinggi yang dihadiri Kepala Negara/ Pemerintahan mitra ASEM. Setelah di Bangkok (1996), KTT selanjutnya diadakan di London (1998), Seoul (2000), Copenhagen (2002), Hanoi (2004), Helsinki (2006), dan Beijing (2008). Dalam proses perkembangannya mitra ASEM terus bertambah. Pada KTT ASEM5 di Hanoi, 8-9 Oktober 2004, keanggotaan ASEM diperluas mencakup 10 negara anggota UE baru dan 3 negara ASEAN, yakni: Siprus, Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Pada KTT ASEM6 di Helsinki, Finlandia, 10-11 September 2006, anggota ASEM bertambah menjadi 45 mitra, terdiri dari 17 mitraAsia (negara-negara  anggota  ASEAN  ditambah  Jepang,  RRC, Republik Korea, India, Pakistan, Mongolia, dan ASEAN Secretariat) dan 28 mitra Eropa (UE + Komisi Eropa).  Pada peringatan 10 tahun ASEM sekaligus pelaksanaan KTT ASEM6, para pemimpin ASEM sepakat memfokuskan agenda utama kerjasama, antara lain: substantive areas of cooperation, memperkuat institutional mechanism, dan perluasan keanggotaan. Diharapkan mitra ASEM dapat mengusung inisiatif-inisiatif kerjasama ASEM ke arah yang lebih konkrit. sebagai gambaran, selama 10 tahun pertama, ASEM telah melaksanakan 107 inisiatif kerjasama, masing-masing 12 inisiatif di Pilar 1 (politik dan keamanan), 51 inisiatif di Pilar 2 (ekonomi-perdagangan), dan 44 inisiatif di Pilar 3 (sosial budaya). Pada KTT ASEM7 yang dilaksanakan di Beijing pada 24-25 Oktober 2008, para pemimpin sepakat untuk memfokuskan pada  empat agenda utama pada International Economic and Financial Situation, Global Issues (food security, disaster preparedness and management, dll), Driving Sustainable Development, dan Deepening Dialogue among Civilization. Untuk agenda pertama, yaitu International Economic and Financial Situation, menunjukkan sikap mitra ASEM yang tanggap dan concern dalam menghadapi masalah-masalah global yang mendesak. KTT ASEM7 menghasilkan 3 deklarasi, yaitu Beijing Declaration on Sustainable Development, Statement of the Seventh ASEM Summit on International Economic and Financial Situation, dan Chair’s Statement.  KTT ASEM ke-8 diselenggarakan di Brussels, 4-5 Oktober 2010. Pertemuan yang mengangkat tema “Quality of Life ditandai dengan penerimaan secara formal Rusia,

Australia dan Selandia Baru. Dengan demikian membawa jumlah negara mitra ASEM menjadi 46 ditambah ASEAN Secretariat dan Komisi Eropa. Pertemuan telah membahas sejumlah topik yang menjadi kepentingan bersama negara mitra ASEM, termasuk “global economic and financial governance”. Alokasi waktu yang cukup banyak bagi topik dimaksud menunjukan menunjukan perhatian yang tinggi yang dimiliki oleh negara mitra dan komitmen mereka untuk bekerjasama dalam menghadapi isu tersebut. ASEM8 telah menghasilkan 2 dokumen yaitu “Chair Statement of the Eight ASEM Summit” dan “Brussels Declaration on More Effective Economic Global Governance”.  Di bawah KTT, proses ASEM dilaksanakan dalam pertemuan setingkat menteri dan pertemuan para pejabat tinggi (Senior Officials Meeting, SOM), sebagai berikut: a. ASEM Foreign Ministers Meeting (FMM), dilakukan dua tahun sekali di sela-sela tahun pelaksanaan KTT. Pertemuan ini bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan proses dialog ASEM dan apa yang telah dimandatkan para pemimpin ASEM dalam KTT, khususnya pilar pertama (dialog politik dan keamanan regional serta internasional). ASEM FMM9 terakhir dilaksanakan di Hanoi, Vietnam, Mei 2009, dan yang akan datang akan dilaksanakan di Hongaria pada tahun 2011. b. ASEM Senior Officials' Meeting (SOM) dilakukan minimum dua kali setahun guna melaksanakan mandat FMM dan memberi masukan untuk ASEM FMM selanjutnya. c. Sejak beberapa tahun terakhir, kerjasama ASEM di ketiga pilar terus berkembang, khususnya penyelenggaraan pertemuan tingkat menteri yang menelurkan banyak inisiatif kerjasama, antara lain: - Pertemuan Menteri Keuangan ASEM bertemu dua tahun sekali, terakhir di Madrid, Spanyol, 17-18 April 2010. Selain itu, dilakukan pula ASEM Deputies Finance Ministers Meeting yang juga bertemu dua tahun sekali dan melaporkan hasil-hasilnya kepada FinMM.   - Pertemuan Menteri Ekonomi ASEM dilakukan dua tahun sekali dan terakhir dilakukan di Rotterdam (2005). Indonesia direncanakan untuk menjadi tuan rumah pertemuan EMM ke-7 di tahun 2007/2008, akan tetapi penyelenggaraan EMM ke-7 di Indonesia telah dibatalkan karena kurangnya partisipasi mitra ASEM dalam kegiatan ini. - Pertemuan Menteri Kebudayaan ASEM, dilaksanakan dua tahun sekali. Pertama kali diadakan di Beijing (2003), kemudian di Paris (2005), Kuala Lumpur (2008), dan terakhir telah dilaksanakan di Poznan, Polandia, 8-10 September 2010. Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan 5th ASEM CMM pada tahun 2012.  

- Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEM, dilaksanakan dua tahun sekali dan terakhir dilakukan di Kopenhagen (2007), setelah sebelumnya di Lanzarotte, Spanyol (2003) dan di Beijing (2001).  - Pertemuan Menteri Informasi dan Komunikasi ASEM, dilaksanakan dua tahun sekali dan pertama dilakukan di Hanoi (2006). Pada SOM ICT yang dilaksanakan di kantor Komisi Eropa di Brussels akhir tahun 2007 ditetapkan Laos sebagai tuan rumah berikutnya pada tahun 2008, akan tetapi pertemuan tingkat menteri ini dibatalkan oleh pihak tuan rumah. - Pertemuan Menteri Tenaga Kerja ASEM, dilaksanakan dua tahun sekali dan pertama dilakukan di Berlin (2006) kemudian di Denpasar, Bali (2008) yang mengambil tema “More and Better Jobs – Strategic Cooperation and Partnership to Promote Decent Work and Global Labour Market to our Mutual Benefit” dan telah menghasilkan Bali Declaration. Pertemuan terakhir dilaksanakan di Leiden, Belanda, 13-14 Desember 2010. - Pertemuan Menteri Pendidikan ASEM dilaksanakan setahun sekali dan pertemuan pertama dilakukan di Berlin (2008), dilanjutkan dengan pertemuan kedua pada tanggal 13 – 15 Mei 2009 di Hanoi, Vietnam, serta pertemuan ketiga yang akan diselenggarakan pada tanggal 9-10 Mei 2011 di Kopenhagen, Denmark.  - Beberapa pertemuan tingkat Menteri ASEM untuk pertama kalinya dilaksanakan adalah:

(i) Pertemuan Menteri Energi ASEM untuk pertama kalinya diadakan di Brussels, Belgia, pada tanggal 17 – 18 Juni 2009.(ii) Pertemuan Menteri Transportasi/ Perhubungan ASEM untuk pertama kalinya diadakan di Lithuania pada tanggal 18 – 20 Oktober 2009. d. Beberapa pertemuan SOM di bawah pertemuan menteri juga rutin dilaksanakan seperti SOM bidang perdagangan dan investasi (SOM Trade and Investment, SOMTI) dilakukan dua kali setahun dan melaporkan hasil-hasilnya kepada ASEM Economic Ministers’ Meeting. Pada tahun 2008 SOMTI diadakan di Maribor, Slovenia, pada tanggal 15-16 April 2008 yang membahas beberapa isu pokok dibawah pilar kerjasama ekonomi ASEM. Sebagaimana mandat KTT ASEM8, maka pertemuan berikutnya akan dilaksanakan pada awal tahun 2011 di Brussles, Belgia.  e. Asia-Europe Business Forum (AEBF) dilakukan tiap tahun mempertemukan pelaku bisnis kedua wilayah dan melaporkannya kepada KTT ASEM. f. Berbagai pertemuan ASEM lainnya berupa Conference, Seminar, Workshop, Dialog, Forum, Training, Initiative dll. (seperti : Counter Terrorism, Biometrics, HIV/Aids, Energy Security, Migration, Interfaith dll).  ASEM tidak memiliki sekretariat. Menlu dan jajaran pejabat seniornya (SOM) melakukan tugas koordinasi dibantu oleh para koordinator ASEM (saat ini Laos untuk

ASEM dan Jepang untuk ASEM-NESA, sedangkan Presidensi UE (Hongaria), dan Komisi UE merupakan koordinator Eropa). Indonesia pernah menjadi koordinator ASEM-ASEAN sejak KTT ASEM5 (2004) sampai dengan KTT ASEM6 (2006). 4. Perkembangan ASEM Proses ASEM Memasuki Dekade Kedua Sampai dengan tahun 2010, Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan berbagai program ASEM di ketiga pilarnya (politik, ekonomi, dan sosial budaya).  Di tahun 2008, dalam rangka mendorong peningkatan kerjasama konkrit ASEM, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri pada tahun 2008, yaitu Pertemuan Menteri Tenaga Kerja di Bali, 2008. Pertemuan ini menghasilkan Bali Declaration dan juga menghasilkan sejumlah tindak lanjut konkrit berupa insiatif proyek-proyek kerjasama. Pada tahun 2008, kerjasama pada pilar sosial budaya juga telah digalakan, hal ini terlihat dari berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan di bawah pilar tersebut, seperti the 4th ASEM Interfaith Dialogue di Amsterdam; the 3rd ASEM Cultural Ministers Meeting di Kuala Lumpur; the ASEM Education Ministers Meeting, di Berlin; the ASEM Tourism Forum, di Hanoi; the ASEM Seminar on Cultural Diversity di Hanoi. Dan untuk periode tahun 2009, sepertinya kegiatan dibawah pilar ini akan semakin digalakan. Selanjutnya, sebagaimana disampaikan sebelumnya, hal yang menjadi perhatian Indonesia terhadap kerjasama ASEM terkait dengan upaya peningkatan kerjasama konkrit (action-oriented) yang saling menguntungkan, khususnya dalam bidang perdagangan dan investasi. Untuk itulah kemudian Indonesia berinisiatif untuk mendorong dialog yang lebih intensif guna meningkatkan kerjasama konkrit di ASEM, diantaranya melalui pelaksanaan pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan Pertemuan Menteri Ekonomi di Indonesia pada tahun 2008. Namun sebagai akibat dari kurangnya jumlah partisipasi dari negara mitra ASEM telah dibatalkan.  Komitmen Indonesia untuk kerjasama konkrit ASEM dekade kedua antara lain juga difokuskan pada upaya untuk memperkuat UKM di kedua kawasan. Untuk itu Indonesia mendukung penuh dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan pertama tingkat menteri ASEM UKM yang berlangsung akhir Oktober 2007 di Beijing, juga mengikuti pameran produk UKM di Qingdao, China yang pelaksanaannya back to back dengan pertemuan tingkat menteri dimaksud. Selain itu Indonesia juga mengadakan Forum Dialog Pengembangan Potensi UKM Indonesia dalam kerangka ASEM di Banten pada 2007 yang lalu. Forum ini bertujuan untuk berbagi pengalaman di antara negara mitra ASEM dalam mengembangkan UKM di negaranya masing-masing.  Isu Perluasan ASEM 2008 - 2010 Isu perluasan ASEM pada tahun 2008 - 2010 telah kembali marak dengan permohonan partisipasi dari Australia dan Russia. Dalam pertemuan SOM sebelum KTT ASEM ke 7,

China menyampaikan keinginan Australia dan Rusia untuk bergabung menjadi salah satu mitra ASEM. Sehubungan dengan hai ini, dalam Chair Statement, para pemimpin ASEM meminta para Menlu untuk membahas isu perluasan mitra dalam pertemuan yang akan datang. Pertemuan Tingkat Menlu di Hanoi, 25 – 26 Mei 2009 telah menetapkan agar para SOM Leaders dapat menentukan modalites bagi penerimaan Rusia dan Australia secara formal dalam kerangka kerjasama ASEM pada KTT ASEM Ke-8, Brussels, 4 – 5 Oktober 2010 dan menentukan kriteria bagi perluasan ASEM di masa yang akan datang. Indonesia dalam hal perluasan ASEM mendukung masuknya negara Asia dan Eropa mana pun, dengan pertimbangan bahwa partisipasi negara dimaksud akan membawa nilai positif bagi perkembangan forum. Namun, Indonesia menekankan bahwa partisipasi harus berdasarkan konsensus dari negara mitra dan tidak bersifat block-to-block.   Pertemuan ASEM SOM di Madrid, 25 Januari 2010 telah menghasilkan suatu pernyataan bersama SOM ASEM mengenai modalitas bagi penerimaan secara formal Australia dan Rusia serta perluasan ASEM selanjutnya yang pokok-pokoknya adalah: a. ASEM SOM sepakat untuk membentuk “kategori ketiga” sebagai pengaturan sementara bagi penerimaan Australia dan Rusia; b. ASEM akan mempertahankan mekanisme koordinasi kawasan yang terdiri atas 4 koordinator, 2 per kawasan; c. SOM akan terus mengupayakan pemenuhan mandat FMM9, khususnya untuk menyusun kriteria, prinsip, dan prosedur bagi perluasan ASEM di masa mendatang berdasarkan Asia Europe Cooperation Framework  (AECF) 2000. Kategori ketiga sendiri merupakan usulan dari Singapura yang dimaksudkan untuk mengakomodasi negara-negara yang tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Asia maupun Eropa. Kategori ketiga tidak diberikan nama khusus, bersifat sementara dan tidak menjadi precedence bagi perluasan ASEM di masa mendatang.  Pada bulan September 2009, Selandia Baru telah menyampaikan keinginannya untuk berpartisipasi dalam forum ASEM. Lebih lanjut, mengikuti ditetapkannya mekanisme kategori ketiga sebagai modalitas masuknya Australia dan Rusia secara formal pada forum ASEM, Selandia Baru kemudian menyampaikan keinginan untuk menggunakan koridor yang sama.  Pada pertemuan ASEM SOM di Brussels, 14-15 Juli 2010, mitra ASEM menyetujui untuk menerima Selandia baru melalui kategori ketiga pada KTT ASEM8 sebagaimana Australia dan Rusia. Bangladesh pada bulan Agustus 2010 telah menyampaikan permohonan secara resmi untuk berpartisipasi dalam forum ASEM. Hal tersebut telah dibahas dalam Asian ASEM

SOM, di Phnom Penh, 26-27 Agustus 2010. Secara prinsipil negara mitra Asia menyambut baik masuknya Bangladesh dalam ASEM namun karena waktunya yang terlalu dekat dengan KTT, maka penerimaan formal Bangladesh belum dapat di proses. Negara mitra ASEAN, termasuk Indonesia berpandangan bahwa diperlukan waktu bagi proses penerimaan suatu negara. Pada pertemuan KTT ASEM ke-8 di Brussels, 4-5 Oktober 2010, Russia, Australia dan Selandia Baru telah diterima secara formal dalam forum ASEM. Masuknya ketiga negara tersebut dipandang dapat menambah bobot dan pengaruh ASEM dalam kancah dunia internasional. Namun di sisi lain hal tersebut akan menjadi tantangan bagi ASEM untuk membuktikan diri menjadi forum yang efektif dalam mengembangkan kerjasama Asia dan Eropa serta menempatkan perannya di dunia internasional. 5. ASEM dan Politik Luar Negeri RI Bagi politik luar negeri Indonesia, ASEM merupakan “jembatan” yang dibangun untuk mengurangi celah (gap) antara kedua kawasan. ASEM juga merupakan salah satu media bagi Indonesia untuk memperkuat posisi diantara negara-negara Asia dalam bekerjasama dengan Eropa (UE). Kerjasama bidang ekonomi merupakan bidang yang terus diupayakan melalui ASEM. Guna mendukung upaya ini, maka telah dibentuk Asia Europe Business Forum (AEBF) dengan anggota para pelaku bisnis dari negara-negara ASEM. Antara AEBF dan forum resmi ASEM dilakukan dialog dengan harapan dicapai suatu keharmonisan antara pengambil kebijakan dengan pelaku bisnis. ASEM antara lain juga dimanfaatkan sebagai media untuk penguatan kemampuan Indonesia dalam menghadapi peraturan/standar yang ditetapkan UE dan juga dalam menghadapi aturan-aturan WTO. Dalam kaitan inilah, Indonesia melakukan kerjasama dalam proyek yang dinamakan “Trade Related Technical Assistance” senilai kurang lebih 11 juta Euro dengan menggunakan hibah UE sebesar 10 juta Euro dan sisanya dibayar oleh kontribusi Indonesia, baik secara in kind maupun in cash.  Selain melalui forum ASEM, pelaksanaan kerjasama juga dilakukan melalui jalur bilateral sehingga terjadi kerjasama saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain. Kerjasama dengan Italia di bidang UKM, misalnya, merupakan salah satu contoh kerjasama yang dilakukan.

Sementara itu, kerjasama di bidang sosial dan budaya merupakan satu pilar kerjasama yang digunakan Indonesia, antara lain guna meningkatkan SDM dan pemahaman mengenai keragaman budaya negara-negara anggota ASEM. Program yang telah berjalan saat ini antara lain interfaith dialogue, human rights seminar, networking antara universitas, pengiriman pemuda/mahasiswa dan lain-lain. Sejalan dengan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kerjasama konkrit dalam kerangka ASEM, pada tahun 2008-2010, Indonesia telah menjadi co-sponsor dan

berpartisipasi secara aktif dalam berbagai program ASEM di ketiga pilarnya (politik, ekonomi dan sosial budaya).  Untuk periode tahun 2009, Indonesia telah menjadi tuan rumah dalam 3 (tiga) kegiatan ASEM, yakni ASEM Interfaith/ Intercultural Retreat for Religious Leaders, ASEM Seminar on Empowerment of Local Community in the use of ICT, dan ASEM Conference on Harmonization of Competency Standards.  Untuk periode tahun 2010, Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi 4 (empat) kegiatan, yakni: 1. 2nd Preparatory Senior Official Meeting for the 4th ASEM Culture Ministers Meeting, Solo, 15-17 April 2010; 2. 2nd ASEM Development Conference, Yogyakarta, 26-27 Mei 2010; 3. ASEM Forum on Information Communication Technology Research and Development Cooperation, Bandung, 20-21 Juli 2010; 4. 1st ASEM Governors and Mayors Meeting, Jakarta, 27-29 Oktober 2010 Demi perkembangan forum, Indonesia akan terus memberikan partisipasi aktif dalam tiap inisiatif kegiatan yang diadakan para mitra ASEM. Melalui partisipasi tersebut diharapkan Indonesia akan dapat membuka peluang-peluang yang ada dalam proses ASEM, terutama dalam bidang-bidang kerjasama konkrit yang akan memberikan keuntungan bagi proses pembangunan dalam negeri.

Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia (CICA)Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia (CICA) merupakan suatu organisasi antar-pemerintah mengenai keamanan internasional yang berkembang di kawasan Asia Tengah. Tujuan pendirian CICA adalah untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan stabilitas di Asia dan seluruh dunia. CICA berkomitmen pada prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB bahwa perdamaian dan keamanan di Asia dapat dicapai melalui dialog dan kerjasama yang akan mewujudkan area keamanan bersama dengan seluruh negara hidup berdampingan secara damai serta masyarakatnya hidup dalam kedamaian, kebebasan dan kemakmuran.

Pembentukan CICA digagas oleh Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev di tahun 1992 melalui pidatonya dalam Sidang Umum PBB ke-47. Semangat yang mendasari dibentuknya organisasi ini adalah terbentuknya wadah yang efisien dan dapat diterima oleh negara-negara Asia untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas. Gagasan ini merupakan respon atas absennya wadah tersebut pada masa itu. Inisiatif ini kemudian direspon secara positif oleh 16 negara pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) yang pertama tanggal 14 September 1999.

Sampai dengan saat ini, CICA telah menghasilkan beberapa dokumen kunci, yang pertama adalah Declaration on the Principles Guiding Relations among the CICA Member States yang mengatur tentang

prinsip-prinsip dalam CICA yang disepakati pada PTM yang pertama. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah menghormati kedaulatan negara anggota, integritas wilayah, tidak mencampuri urusan domestik negara anggota, penyelesaian sengketa secara damai. Dokumen kedua adalah Almaty Act yang menjadi dasar pembentukan CICA yang dihasilkan pada KTT pertama CICA tanggal 4 Juni 2002.

Anggota CICA terdiri atas: Afghanistan, Azerbaijan, Bahrain, China, India, Iran, Irak, Israel, Yordania, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mesir, Mongolia, Pakistan, Palestina, Korea Selatan, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Uzbekistan,dan Vietnam. Sembilan negara saat ini terdaftar sebagai peninjau CICA yakni: Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Qatar, Ukraina dan Amerika Serikat.

Adapun mekanisme CICA meliputi:a.     Pertemuan Tingkat Kepala Negara/Pemerintahan (Summit), 4 tahun sekali;b.     Pertemuan Tingkat Menteri (PTM), 2 tahun sekali;c.     Senior Officials Committee (SOC), 1 tahun sekali;d.     Special Working Group (SWG), diselenggarakan bila diperlukan terkait isu tertentu;e.     Specialized Meetings of Experts, diselenggarakan untuk hal-hal yang bersifat teknis serta

pembuatan konsep mengenai pelaksanaan CBM untuk dipresentasikan dalam SWG.

CICA dipimpin oleh seorang ketua selama 4 (empat) tahun dan dibantu oleh Sekretariat yang berkedudukan di Almaty, Kazakhstan. Untuk tahun 2010-2014 Ketua CICA dipegang oleh Turki.Sejak 2002 sampai sekarang, Indonesia merupakan negara peninjau dalam CICA. Saat ini Indonesia tengah mengkaji kemungkinan dan manfaat peningkatan status keikutsertaan pada CICA dari negara peninjau menjadi anggota.

 

Indonesia-Asia Cooperation Dialogue (ACD)Latar Belakang

Kerjasama Asia Cooperation Dialogue (ACD) diluncurkan oleh Perdana Menteri Thailand, Dr. Thaksin Sinawatra, di Cha Am Thailand pada tanggal 18 – 19 Juni 2002.

Saat ini ACD beranggotakan 31 negara, yaitu Bahrain, Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia, Jepang, Khazakhstan, Republik Korea, Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Thailand, Vietnam, Russia, Iran, Saudi Arabia, Oman, Sri Lanka, UAE,  Tajikistan, Uzbekistan  dan Kirgyztan yang diterima menjadi anggota pada PTM ACD ke-7 di Astana, Kazakhstan, 16 Oktober  2008.

ACD merupakan pertemuan informal para Menlu negara-negara Asia dan berfungsi sebagai forum dialog dan tukar pandangan mengenai isu-isu internasional, regional dan subregional yang menjadi kepentingan bersama. Forum ini juga digunakan sebagai wahana untuk saling meningkatkan kerjasama di berbagai sektor. ACD juga diharapkan dapat menjembatani hal-hal yang belum dicakup dalam kerjasama formal yang telah ada di kawasan Asia selama ini.

Bidang Kerja Sama ACD

  No.  Areas of Cooperation   Prime Movers and Co-Prime Movers  1.   Energy Bahrain, Indonesia, Kazakhstan, Qatar, China and the Philippines 2.  Poverty alleviation Bangladesh, Cambodia and Vietnam 3.   Agriculture China, Pakistan and Kazakhstan 

4.  Transport linkages India, Kazakhstan and Myanmar5.   Biotechnology India 6.   E-Commerce Malaysia 7.   Infrastructure fund Malaysia 8.   E-Education Malaysia 9.   Asian Institute of Standards Pakistan 10.  SMEs cooperation Singapore, Sri Lanka11.   IT development Republic of Korea 12.   Science and Technology The Philippines 13.   Tourism Thailand, Cambodia, Myanmar and Pakistan 14.   Financial Cooperation   Thailand 15.   Human resource development Vietnam, Thailand 16.   Environmental education Japan and Qatar 17.   Strengthening legal Infrastructure Japan 18.   Road   Safety Oman 19.  Natural Disaster Russia20. Cultural India and Iran

Peranan Indonesia dalam ACD

Bersama-sama dengan Bahrain, Cina, Filipina, Kazakhstan, dan Qatar, Indonesia menjadi co-prime movers bidang energi. Sebagai salah satu co-prime movers  Indonesia terlibat secara aktif dalam berbagai aktivitas di  area kerjasama tersebut, di antaranya : -       Bersama dengan Bahrain menyusun draft awal concept paper ”ACD: Concept Paper on Energy

Security” yang telah diajukan dalam Meeting of Prime Movers on Energy Security ACD di Manama pada Februari 2003;

 -       Bersama dengan Filipina menyusun draft awal ACD Plan of Action on Energy yang telah diajukan dalam

Meeting of ACD Co-Prime Movers on Energy Action Plan di Bali pada April 2007;

 -       Menjadi tuan rumah dari 1st ACD Energy Forum yang diadakan di Bali pada 26 – 28 September 2005,

yang menghasilkan Joint Declaration of the 1st ACD Energy Forum;

 -       Menjadi tuan rumah Meeting of ACD Co-Prime Movers on Energy Action Plan yang diadakan di Bali 11 –

12 April 2007, yang menghasilkan penetapan focal point masing-masing negara di bidang energi dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi di masa datang, khususnya untuk menuntaskan Energy Plan of Action secara inter-sessional; dan

 -       Berpartisipasi dalam ACD Energy Cooperation Conference; Energy and Climate Change: Challenges

and Opportunity di Bahrain, 26-27 November 2008. Delri Dalam konferensi tersebut diwakili oleh Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Indonesia mempresentasikan materi “Climate Change Issues and Its Implication on the ACD Member States” dengan fokus pada keterkaitan energi dan perubahan iklim; implikasi perubahan iklim terhadap negara ACD; dan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh negara ACD.

 Perkembangan Terakhir ACD

 1.     Pertemuan tingkat Menteri ACD diselenggarakan di Tehran pada tanggal 8-9 November 2010. 

Dalam pertemuan mengemuka ide tentang pentingnya mengidentifikasi kembali bidang-bidang yang menjadi prioritas kerja sama, serta perlunya connectivity antara ACD dengan organisasi regional lainnya di Asia seperti ASEAN, ECO, GCC dan SCO. ACD juga diharapkan dapat mendorong terbentuknya sebuah Pan Asian Community, yang memiliki daya tawar yang tinggi untuk pembahasan isu-isu global.

 2.     Pada tanggal 28 Febuari – 1 Maret 2011 telah dilaksanakan  4th Asian Cooperation Dialogue (ACD)

High Level Study Group (HLSG) yang menyepakati beberapa hal yaitu :          Untuk menyusun suatu mekanisme review atas bidang kerja sama yang telah ada saat ini.          Membentuk ACD Virtual Secretariat sesuai dengan hasil rekomendasi dari HLSG ke-3 tahun

2007.          Melibatkan partisipasi track II dalam kegiatan ACD dan direncanakan India akan

menyelenggaraka pertemuan track II pada tahun 2011.

         Membentuk  National Focal Point ACD di masing-masing negara anggota.

 Agenda kegiatan tahun 2011 -          Pakistan dalam PTM ACD tahun 2010 menyampaikan kembali komitmennya untuk menyelenggarakan

ACD Energy Forum ke-2 pada paruh pertama 2011.-          PTM ke-10 ACD direncanakan akan diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 10-11 Oktober 2011

dengan didahului Pertemuan Troika Committee dan ACD Senior Officials  Meeting (Prime and Co-Prime Movers Consultation) pada tanggal 8-9 Oktober 2011.    

-          Roundtable meeting on Asian Credit Transfer System (ACTS) di Kuala Lumpur, 27 September 2011.

Pacific Island Forum (PIF)Pacific Islands Forum (PIF) didirikan pada tahun 1971 dengan nama South Pacific Forum (SPF). Negara anggota PIF meliputi 16 negara yaitu: Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Niue, Palau, Papua Nugini, Samoa, Selandia Baru, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Vanuatu. Disamping anggota tetap, PIF memiliki 13 mitra dialog, yaitu: Amerika Serikat, China, Filipina, India, Indonesia, Inggris, Jepang, Kanada, Korea, Malaysia, Perancis, Thailand, dan Uni Eropa. Indonesia menjadi mitra wicara PIF sejak tahun 2001. Sejak tahun 1989 Post Forum Dialogue (PFD) merupakan Pertemuan rutin dari PIF dengan negara-negara mitra dialog dan organisasi-organisasi terpilih yang dilakukan setelah Pertemuan para pemimpin PIF. Sejak bergabungnya Indonesia sebagai negara mitra dialog PIF, Indonesia tidak pernah absen dalam Pertemuan PFD-PIF.Adapun arti penting Indonesia dalam PIF antara lain adalah:

Keikutsertaan Indonesia dalam PIF merupakan bagian dari upaya untuk mereposisi kebijakan luar negeri RI yang selama ini lebih memberi penekanan kepada negara-negara ASEAN dan negara Barat, menuju look east policy.

Kehadiran Indonesia dalam Pertemuan PFD-PIF, merupakan bagian dari upaya untuk mendekatkan diri dengan negara-negara di kawasan Pasifik, khususnya dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

Keikutsertaan Indonesia sebagai mitra dialog PIF dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional sekaligus dapat dimanfaatkan utuk menggalang dukungan terhadap Indonesia dalam fora internasional.

 Pertemuan terakhir PIF yaitu yang Ke-41 telah diselenggarakan pada tanggal 4 - 5 Agustus 2010 di Port Vila, Vanuatu, dihadiri oleh seluruh negara anggota PIF, kecuali Fiji yang keanggotaannya tengah dibekukan. Empat isu utama yang menjadi pembahasan dalam Pertemuan tersebut adalah Perubahan Iklim, Energy Security, Ketahanan Pangan, dan Perikanan. Pertemuan menghasilkan dokumen akhir berupa Forum Communique yang mengedepankan isu-isu yang menjadi keprihatinan dan kepentingan bersama, Adapun Pertemuan PFD Ke-22 yang mengikuti Pertemuan tersebut membahas 3 isu tematik yang menjadi perhatian negara kawasan Pasifik, yaitu: (i) Global Challenges yang memfokuskan pada krisis ekonomi dan keuangan global serta perubahan iklim (ii) Strenghtening Development Effectiveness and Coordination yang memfokuskan pada MDG Tracking Report dan efektivitas upaya pembangunan di kawasan Pasifik (iii) International Support for the Sustainable Development of Pacific Island Countries yang memfokuskan pada review pertemuan tingkat tinggi PBB pada bulan September 2010, MDG+10, dan MSI+5.Dalam Pertemuan, Indonesia membagikan bahan tertulis berupa Matrix Capacity Building Programs by Indonesia to Pacific Island Countries (2008-2012) yang berisikan informasi mengenai program-porgram yang telah, sedang dan akan diberikan kepada negara-negara PIF.

Pertemuan Tingkat Menteri PFD-PIF pada tahun 2011 akan diselenggarakan di Auckland, New Zealand,

pada bulan September 2011.

 

Asia-Middle East Dialogue (AMED)Gagasan pembentukan AMED

Gagasan pembentukan AMED berawal dari kunjungan PM Singapura Goh Chok Tong pada tahun 2003/2004 ke beberapa negara Timur Tengah. Dalam kunjungannya tersebut, dilakukan pembicaraan mengenai perlunya suatu forum yang dapat menjembatani dan mempertemukan kawasan Asia dengan Timur Tengah yang dinilainya belum berkembang dengan baik, walaupun hubungan bilateral masing-masing negara di kedua kawasan tersebut selama ini telah terjalin.

Tujuan AMED

AMED bertujuan untuk:

1.   Meningkatkan saling pengertian antara Asia dan Timur Tengah baik pada tingkat people-to-people maupun Pemerintah serta mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua kawasan

2.   Menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan negara anggota di bidang politik, ekonomi dan sosial serta menyusun berbagai konsep inisiatif yang dapat mempererat hubungan antara Asia dan Timur Tengah

3.   Menjadi suatu platform yang dapat menampung seluruh voices of moderation pada saat berbagai peristiwa yang terjadi di dunia telah menciptakan polarisasi pendapat mengenai agama. Dengan demikian, AMED diharapkan dapat mendorong toleransi, inter-faith understanding, dan dialogue among civilizations.

Prinsip dasar AMED

1.   AMED bersifat inclusive dan akan terfokus pada hasil-hasil yang positif untuk kerja sama yang lebih luas antara Asia dan Timur Tengah. AMED bersifat sukarela/voluntary, informal dan fleksibel dalam working principles-nya.

2.   AMED akan diselenggarakan berdasarkan pada prinsip-prinsip basic principles of international law, yaitu:

a.     Tidak campur tangan  terhadap masalah dalam negeri masing-masing.

b.     Menghormati perbedaan dan keunikan nilai-nilai sosial budaya masing-masing negara anggota.

PERKEMBANGAN AMED

PTM AMED III

1.   Thailand menjadi tuan rumah PTM AMED III yang berlangsung pada tanggal 14-16 Desember 2010. PTM Ketiga ini dihadiri oleh 39 dari 50 negara peserta AMED.

2.   Dalam PTM ini Indonesia mengirimkan enam orang panelis pada lima diskusi panel yang ada. Jumlah ini paling besar jika dibandingkan negara lain, termasuk tuan rumah (Thailand) yang hanya mengajukan lima orang panelis. Delegasi RI dalam pertemuan ini dipimpin langsung oleh Menlu RI dan beranggotakan unsur-unsur dari Kemlu, Kemnakertrans, Kemkokesra, Kemkeu, KADIN dan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia.

3.   Menlu RI menyampaikan keynote address pada sesi pleno bidang politik dan keamanan. Pokok yang disampaikan oleh Menlu RI adalah AMED memiliki potensi untuk ikut serta mewujudkan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan bersama di kawasan Asia dan Timur Tengah. AMED dapat memberikan nilai tambah terhadap berbagai upaya yang dilakukan pada tingkat nasional dan regional dalam mengupayakan penyelesaian terhadap masalah-masalah seperti terorisme, trafficking in persons, piracy, keamanan pangan dan energi, kesehatan, dan lingkungan. AMED dapat berperan sebagai pelengkap kerja sama yang telah ada seperti ASEAN-GCC, Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation, Asia Cooperation Dialogue, dan New Asian African Strategic Partnership, serta sebagai forum untuk berbagi pengalaman dan best practices dari kedua kawasan.

Peran Indonesia dalam AMED

1.     Indonesia sebagai salah satu anggota Steering Committee AMED berperan aktif dalam persiapan maupun pelaksanaan pertemuan-pertemuan AMED.

2.     Pada 15-16 Februari 2009 di Kairo, Mesir diselenggarakan pertemuan High Level Expert Meeting on the Global Financial Crisis. Dari Indonesia hadir Adi Cahyadi, Kasubdit Kerjasama Lembaga Bretton-Woods dan WTO, Pusat Kebijakan Kerjasama Internasional, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian

Keuangan dan Dr. Agusman, Executive Researcher, Biro Stabilitas Distribusi Keuangan Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia. Dr. Agusman menjadi panelis pada topik “Possibilities of Developing the role of international institutions through the modernization of setting, reviewing and implementing the norms of International Monitoring”.

3.     Indonesia juga menghadiri Lokakarya “Best Practices on Transparency, Integrity and Combating Corruption in the Member States of AMED” di Kairo, Mesir, 6-7 Desember 2009. Pada kesempatan tersebut Indonesia menyampaikan presentasi yang menegaskan komitmen dan ketegasan Pemri untuk memerangi korupsi. Selain itu disampaikan pula mengenai, tugas dan fungsi serta wewenang KPK sebagai salah satu lembaga utama yang berperan mengatasi korupsi di Indonesia. Pada kesempatan ini Indonesia juga menggarisbawahi capaian yang telah diraih yaitu berupa penurunan indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada tahun 2008.

4.     Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam Executive Action Plan AMED 2008/2009 pada tanggal 16-19 November 2009 di Jakarta, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Kementerian Luar Negeri, menyelenggarakan Course on Islamic Banking bagi negara-negara anggota AMED yang dihadiri 25 orang dari 8 negara yaitu: Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Turki, Aljazair. Acara serupa juga diselenggarakan pada bulan Oktober 2010 yang dihadiri oleh 25 orang dari Indonesia, Thailand dan Yordania.

Negara Peserta AMED

1. Afghanistan2. Aljazeera3. Bahrain4. Bangladesh5. Bhutan6. Brunei Darussalam7. Cambodia8. China9. Comoros10. Djibouti11. Egypt12. India13. Indonesia14. Iran15. Iraq16. Japan17. Jordan18. Kazakhstan19. Kuwait20. Kyrgyzstan21. Laos22. Lebanon23. Libya24. Malaysia25. Maldives26. Mauritania27. Morocco28. Myanmar29. Nepal30. Oman31. Pakistan32. Palestine33. Filipina34. Qatar35. Korea Selatan36. Arab Saudi37. United Arab Emirates 38. Singapore39. Somalia40. Sri Lanka41. Sudan42. Syria43. Tajikistan44. Thailand

45. Tunisia46. Turkey47. Turkmenistan48. Uzbekistan49. Vietnam50. Yemen

Coral Triangle Initiative (CTI)CTI merupakan tindak lanjut dari gagasan Presiden Susilo Bambag Yudhoyono yang disampaikan di sela-sela Convention on Biological Diversity (CBD) ke-8 di Brazil pada 2006 didasari kenyataan bahwa perairan Indonesia dan kawasan di sekitarnya merupakan habitat bagi highest level of coral diversity (setidaknya terdapat 5000 lebih jenis coral), sehingga dengan sendirinya memiliki kekayaan sumber daya hayati yang besar.

 CTI dikembangkan untuk membentuk mekanisme kerjasama antar negara-negara yang memiliki tujuan dan pandangan yang sama mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan mempertahankan kesinambungan SDA laut di kawasan Coral Triangle yang mencakup 6 negara: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Timur, PNG, dan Kepulauan Solomon.

 Berikut adalah 5 overarching goals dari CTI :1.     Designate and manage seascapes/large-scale geographies that are prioritised for investments and

action, where best practices are demonstrated and expanded.2.     Apply an ecosystem approach to manegement of fisheries and other marine resources3.     Establish and to manage Marine Protected Areas (MPAs), including ccommunity-base resource

utilization and management4.     Achieve climate change adaptation measures for marine and coastal resources5.     Improve the status of threatened species.

 Peranan Indonesia dalam CTI

 Menindaklanjuti hasil-hasil dari CTI Summit di Manado, 15 Mei 2009, telah dilaksanakan SOM 4 di Kinabalu, November 2009 dimana telah disusun Term Of  Reference (TOR)  dari struktur organisasi CTI.  MM 2 di Gizo, Solomon Island telah memutuskan Indonesia menjadi ketua dari Council of Minister CTI untuk periode 2010-2011 dan menjadi host dari Sekretariat Regional CTI.

 Selain itu Indonesia adalah Chairman dari Coordination Mechanism Working Group (CMWG) yang menerima mandat dari Council of Minister untuk menyusun struktur organisasi Sekretariat Permanen CTI serta   dokumen legal yang menyertainya dan Financial Mechanism Working Group  (FMWG)

 Perkembangan  Kerjasama Coral Triangle Initiative (CTI)

 CTI saat ini dalam proses pembentukan Permanent Secretariat Regional dan menyusun legal dokumen. Pada SOM 6 di Manado, November 2010 telah disepakati Agreement on Establishment of Permanent Secretariat Regional CTI beserta 3 (tiga) dokumen pendukung lainnya yaitu Rules of Procedure, Financial Regulation dan Staff Regulation. Keempat dokumen ini diharapkan dapat diadopsi pada Pertemuan Council of Minister ke-3 di Ambon pada tahun 2011.

 Selama masa transisi, Interim CTI Regional Secretariat mendapatkan mandat untuk menjalankan peran dan fungsinya sampai terbentuknya sekretariat permanen.  

 

Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT)Kerja sama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) berdiri pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-1 di Langkawi, Malaysia, pada 20 Juli 1993. IMT-GT ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara IMT-GT. Melalui kerja sama IMT-GT, sektor swasta terus didorong menjadi “engine of growth”. Untuk tujuan tersebut telah dibentuk suatu wadah bagi para pengusaha di kawasan IMT-GT yang disebut Joint Business Council (JBC). JBC secara aktif  ikut dilibatkan dalam rangkaian SOM/MM IMT-GT setiap tahunnya.Wilayah Indonesia yang menjadi bagian dari kerja sama IMT-GT adalah provinsi-provinsi: Aceh, Bangka-Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Sumatera BaratPerkembangan IMT-GTPada KTT IMT-GT ke-5 di Hanoi, Vietnam, tanggal 28 Oktober 2010, para pemimpin IMT-GT mengadopsi Joint Statement of the 5th IMT-GT Summit yang antara lain berisi mengenai: perkembangan proyek-proyek IMT-GT terutama yang berkaitan dengan perwujudan sub-regional connectivity dalam mendukung ASEAN Connectivity, Mid-Term Review of the IMT-GT Roadmap 2007-2011, Business Process Review yang dilakukan oleh Eminent Person Group (EPG), pentingnya peran swasta dan pemerintah daerah dalam pengembangan IMT-GT, peran ADB sebagai IMT-GT Development Partner, dan kerja sama dengan IMT-GT dengan Jepang dalam Economic Research Institute of ASEAN and East Asia (ERIA). Sampai saat ini telah diadakan 15 kali Pertemuan Pejabat Senior (SOM) dan Pertemuan Tingkat Menteri (MM) dan 5 kali KTT IMT-GT.IMT-GT Sub-Regional ConnectivityKTT ke-2 IMT-GT di Cebu, Filipina, 12 Januari 2007 telah menyepakati untuk mengembangkan IMT-GT Connectivity Corridor  menjadi pusat kegiatan ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di sub-kawasan. Implementasi konsep IMT-GT Connectivity Corridor di 5 (lima) koridor ekonomi yang dipandang paling potensial dan telah memiliki traffic yang relatif tinggi dan perlu ditingkatkan yaitu: (i) koridor ekonomi Songkhla-Penang-Medan Economic Corridor, (ii) Koridor ekonomi Selat Malaka, (iii) Koridor ekonomi Banda Aceh-Medan-Dumai-Palembang, (iv) koridor ekonomi Melaka-Dumai dan (v) koridor ekonomi Ranong-Phuket-Aceh.Pada KTT ke-4 di Hua Hin, Thailand, 28 Februari 2009 para pemimpin IMT-GT kembali menekankan mengenai pentingnya pembangunan IMT-GT Connectivity Corridors. Pengembangan connectivity corridors perlu dimasukkan dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, para pemimpin IMT-GT juga memandang perlu penguatan maritime transport links dan perdagangan melalui  Selat Malaka. Dalam hal ini telah terdapat 13 (tiga belas) pelabuhan yang tergabung dalam Joint Business Councils (JBCs) IMT-GT Coastal Network. IMT-GT telah menetapkan IMT-GT Baseline Priority Projects Connectivity (PCPs) dalam rangka meningkatkan konektivitas di wilayah IMT-GT. Diantara proyek dalam kerangka PCPs adalah Sumatera Ports Development Project, Melaka-Dumai Economic Corridor Multimodal Transport Project, Melaka Pekanbaru Power Interconnection, dan Development of Aceh Highway Facilities. Pada KTT ke-5 di Hanoi, Oktober 2010, para pemimpin IMT-GT menyatakan bahwa PCPs dapat menjadi concrete and visible building blocks bagi ASEAN Master Plan on Connectivity.

South West Pacific Dialogue (SwPD)Southwest Pacific Dialogue (SwPD) telah menjadi forum dialog bagi Australia, Filipina, Indonesia, Papua Nugini, Selandia Baru, dan Timor Leste untuk melakukan pertukaran pandangan dan informasi atas berbagai isu penting di kawasan.Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) SwPD diadakan setahun sekali dengan tuan rumah bergiliran. Pada awalnya, tempat sidang adalah antara salah satu kota di negara anggota ataupun di New York di sela-sela Sidang Umum PBB. Sejak tahun 2004, PTM SwPD selalu diselenggarakan di sela-sela Sidang ASEAN Ministerial Meeting / Post Ministerial Conference dan ASEAN Regional Forum  (AMM/PMC dan ARF).PTM SwPD telah diselenggarakan sebanyak 8 kali, yaitu: di Jogjakarta (host: Indonesia), 5 Oktober 2002; di New York (host : New Zealand), 27 September 2003; di Adelaide (host: Australia), 3 Desember 2004; di Kuala Lumpur (host: Indonesia), 26 Juli 2006; di Manila (host: Filipina), 31 Juli 2007; di Singapura (host: Timor Leste), 22 Juli 2008; di Phuket (host: PNG), 21 Juli 2009; di Hanoi (host : New Zealand), 23 Juli 2010.People-to-people contact di antara negara-negara SwPD menjadi area kerja sama utama yang difokuskan oleh Indonesia. Melalui kegiatan Cultural and Educational Cooperation dan juga Interfaith Dialogue, Indonesia mencoba untuk melakukan Confidence Building Measure  (CBM) dengan kalangan masyarakat negara-negara anggota SwPD.Beberapa kerja sama people-to-people contact yang secara rutin ditawarkan oleh Indonesia kepada negara - negara SwPD :

1. Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (the Indonesian Art and Culture Scholarship)

2. Journalist Visit Program

3. Beasiswa Dharmasiswa dan Beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (the Dharmasiswa and the

Developing Countries Partnership Scholarship)

4. Diplomatic Training Course for Diplomats

5. Kerjasama Teknik Negara Berkembang (the Indonesian Technical Cooperation among Developing

Countries Programme)

PTM terakhir SwPD, yaitu yang Ke-8 telah diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, 23 Juli 2010 di sela-sela rangkaian Pertemuan  AMM Ke-43/PMC/ARF Ke-17, dengan Selandia Baru bertindak selaku tuan rumah. PTM SwPD kali ini kembali menghasilkan outcome berupa Joint Media Statement yang mencakup pembahasan isu-isu yang penting untuk kawasan.Pertemuan tersebut membahas agenda utama Exchange of Views on Development in the Region dan SwPD Cooperation. Di bawah agenda tersebut, Pertemuan membahas: (i) Kondisi Fiji dan constructive engagement terhadap Fiji (ii) Pembatasan eksploitasi tuna di perairan kawasan dan sustainable fisheries sebagai jalan yang harus ditempuh (iii) Bali Process sebagai upaya untuk mengatasi masalah People Smuggling dan Irregular Migration di kawasan (v) Maritime Security dan (vi) Counter Terrorism.Dalam Pertemuan, Indonesia berkesempatan untuk membagikan ‘Matrix Capacity Building Programs from Indonesia for SwPD Countries (2009 – 2011) yang berisi berbagai program sebagai kontribusi Indonesia untuk negara-negara SwPD. Indonesia juga berhasil mendapat persetujuan untuk memasukkan satu paragraph di dalam Joint Media Statement tentang ‘connectivity’ yang didasari pemikiran tentang diperlukannya keterhubungan antara negara-negara SwPD sebagai pelengkap ASEAN Connectivity.Pada PTM tersebut, para Menlu juga sepakat untuk mengadakan Pertemuan Tingkat Menteri Ke-9 SwPD dengan Australia bertindak selaku tuan rumah, di sela-sela penyelenggaraan 43rd AMM/PMC dan 18th ARF yang berlangsung pada bulan Juli 2011 di Bali, Indonesia.

Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)

Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan forum kerja sama ekonomi Lingkar Pasifik yang didirikan di Canberra, Australia pada tahun 1989. APEC saat ini beranggotakan 21 Ekonomi, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Cili, China, Hong Kong-China, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Filipina, Papua New Guinea, Rusia, Singapura, Thailand, China Taipei, Amerika Serikat, dan Viet Nam.Sebagai salah satu forum kerja sama ekonomi utama di kawasan, APEC bertujuan untuk mencapai Bogor Goals, yaitu terciptanya liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik sebelum tahun 2010 untuk anggota Ekonomi Maju dan sebelum tahun 2020 untuk anggota Ekonomi Berkembang. Dalam mencapai Bogor Goals, APEC melandaskan kerjasama yang dibangun pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi bisnis, dan kerjasama ekonomi dan teknik (ECOTECH).Kerja sama di forum APEC dibangun atas dasar konsensus seluruh anggotanya dan bersifat tidak mengikat (non-legally binding). Komitmen bersama yang disepakati dalam APEC tersebut diwujudkan secara concerted unilateralism atau berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kesiapan kapasitas masing-masing anggota. Perkembangan APECPada pertemuan KTT ke-18 APEC tahun 2010 di Yokohama, Jepang, para Pemimpin APEC mendeklarasikan “Yokohama Vision –Bogor and Beyond-“. Dalam deklarasi tersebut, para Pemimpin APEC kembali menegaskan relevansi dan arti penting Bogor Goals sebagai sebuah tujuan visioner dalam mewujudkan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik. Dalam deklarasi tersebut, para Pemimpin APEC juga menyampaikan komitmen untuk mencapai perdagangan dan investasi yang lebih bebas dan terbuka dengan kualitas pertumbuhan yang lebih tinggi di dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang aman di kawasan.Tahun 2010 merupakan tahun penting yang menjadi salah satu tonggak kerja sama APEC, karena pada tahun ini dilakukan penilaian pencapaian Bogor Goals terhadap yang dilakukan terhadap 5 (lima) anggota Ekonomi Maju, yang terdiri dari Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.  13. Selain kelima Ekonomi Maju tersebut, terdapat 8 (delapan) Ekonomi Berkembang yang mengajukan diri untuk dinilai secara sukarela, yang terdiri dari Peru, Cili, Meksiko, Singapura, Hong Kong-China, Korea Selatan, Chinese Taipei, dan Malaysia. Terkait hasil penilaiantersebut, para Pemimpin APEC sepakat bahwa ketiga belas Ekonomi 2010 telah mencapai kemajuan yang signifikan bagi pencapaian Bogor Goals. Meski demikian, para Pemimpin APEC juga menggarisbawahi bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan

(more work remains to be done) guna mencapai liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik.Para Pemimpin APEC juga sepakat untuk mewujudkan strategi pertumbuhan yang bersifat seimbang, inklusif, berkelanjutan, inovatif, dan aman (balanced, inclusive, sustainable, innovative, and secure) yang tertuang dalam dokumen APEC Leaders’ Growth Strategy.Terkait wacana pembentukan Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP), para Pemimpin APEC sepakat bahwa perundingan dan pembentukan FTAAP akan dilakukan di luar kerangka APEC dengan menggunakan kerangka kerja sama (building block) yang telah ada di kawasan seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), ASEAN +3 dan ASEAN +6. Sementara itu, kerja sama APEC akan tetap bersifat sukarela, tidak mengikat dan mengedepankan kerja sama ekonomi dan teknik dan pengembangan kapasitas yang bersifat strategis dan berorientasi hasil. APEC akan berperan sebagai inkubator bagi pembahasan isu-isu perdagangan dan investasi generasi baru (next generation of trade and investment issues).Pada tahun keketuaan APEC Amerika Serikat 2011, APEC akan memprioritaskan pembahasan pada tiga bidang, yaitu isu-isu perdagangan dan investasi generasi baru, pertumbuhan hijau (green growth) dan kerja sama reformasi regulasi (regulatory reform).APEC Indonesia 2013Pada tahun 2013, Indonesia akan kembali menjadi ketua dan tuan rumah penyelenggaraan APEC. Berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 29 tahun 2010, KTT ke-21 APEC tahun 2013 akan diselenggarakan di Bali. Meski demikian, penyelenggaraan rangkaian pertemuan APEC pada tingkat pejabat tinggi. Penyelenggaraan KTT ke-21 APEC dan seluruh rangkaian pertemuan APEC di tahun 2013 perlu dimanfaatkan sebagai peluang untuk menunjukan peran aktif Indonesia di dalam memajukan arsitektur ekonomi regional, memanfaatkan integrasi ekonomi kawasan bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan investasi, dan ekspor Indonesia, serta mempromosikan potensi perdagangan, investasi, pariwisata, kebudayaan daerah dan nasional.

 

FEALACLatar Belakang Gagasan pembentukan Forum for East Asia-Latin America Cooperation (FEALAC) pertama kali disampaikan oleh PM Singapura Goh Chok Tong pada saat kunjungannya di Chile pada bulan Oktober 1998 yang menyatakan bahwa The proposed East Asia-Latin America Forum would essentially be an informal, multidimensional forum, aiming to link Asia with Latin America, much like what ASEM does for Asia and Europe. It shall be multi-tracked. It should include a political track, an economic track, and an academic track.  FEALAC secara resmi terbentuk pada pertemuan Senior Officials’ Meeting (SOM) I di Singapura pada tahun 1999. Nama FEALAC sendiri pertama kali digunakan dalam Foreign Ministers’ Meeting (FMM) FEALAC ke-1 di Santiago, Chile, pada bulan Agustus 2001.  Sejak terbentuknya, FEALAC telah menjadi sarana peningkatan kerjasama antara negara-negara di Asia Timur dan Amerika Latin. Sebagai satu-satunya organisasi antar-pemerintah yang menghubungkan negara-negara dari dua kawasan, FEALAC saat ini telah berkembang dengan keanggotaan 33 negara anggota yang berasal dari 15 negara Asia Timur (10 negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru) dan 18 negara Amerika Latin (Argentina, Bolivia, Brasil, Chile, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Guatemala, Kolombia, Kosta Rika, Kuba, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela.  Manfaat FEALAC bagi Indonesia

 Indonesia memandang penting kerjasama dalam kerangka FEALAC dalam kaitannya dengan upaya untuk memperkuat hubungan kerjasama antara negara-negara di kedua kawasan. Sejak pendirian FEALAC pada tahun 1999, negara-negara Amerika Latin telah menjadi mitra dagang Indonesia yang semakin penting.  Total angka perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara di Amerika Latin dalam tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menurut Departemen Perdagangan RI, nilai total perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra FEALAC Amerika Latin pada tahun 2006 berjumlah US$2,8 milyar, dan meningkat sebesar 17,7% pada tahun 2007 menjadi senilai US$3,3 milyar.  Angka ini terus meningkat secara signifikan menjadi US$4,7 milyar, atau sebesar 42 % pada tahun 2008. Nilai perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra FEALAC Asia juga mengalami peningkatan dari US$90,9 milyar pada tahun 2006 menjadi US$106,1 milyar pada tahun 2007, atau naik sebesar 16,7%. Pada tahun 2008, nilai total perdagangan meningkat secara signifikan sebesar 46,2% atau senilai US$155,1 milyar.  Dari nilai perdagangan yang terus meningkat ini, terutama sejak 2008, terlihat signifikasi kerjasama FEALAC bagi Indonesia untuk terus mengali potensi kerjasama dengan negara-negara mitra FEALAC, baik dari kawasan Asia yang merupakan partner tradisional, maupun dari kawasan Amerika Latin yang masih menyimpan banyak peluang bagi Indonesia. Untuk periode 2007-2009, Indonesia telah menjadi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) FEALAC bidang Politik, Kebudayaan, dan Pendidikan. Komitmen Indonesia sebagai Ketua pada Pokja tersebut terlihat dari berbagai peran Indonesia dalam meningkatkan kerjasama FEALAC dalam kerangka Pokja tersebut.  Upaya-upaya Indonesia dalam hal ini dilakukan melalui inisiatif Indonesia antara lain dalam Seminar mengenai penanganan terorisme di bulan Desember 2007, Seminar mengenai ekoturisme di Bali pada bulan Juli 2008, Outreach Program di Pekanbaru pada bulan Juni 2009, dan Journalist Familiarization Trip di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pada bulan September 2009.  Informasi selanjutnya mengenai FEALAC dan peran Indonesia di FEALAC dapat diakses di www.fealacindonesia.org

Kerjasama Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP)Latar Belakang

Pada tanggal 22-23 April 2005, negara-negara Asia dan Afrika memperbaharui solidaritas mereka yang telah berjalan lama pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika 2005 di Jakarta. KTT AA tahun 2005 tersebut telah menghasilkan beberapa kesepakatan akhir, yang terpenting adalah Declaration on the New Asian African Strategic Partnership (NAASP), Joint Ministerial Statement on the New Asian African Strategic Partnership Plan of Action; dan Joint Asian African Leaders’ Statement on Tsunami, Earthquake and other Natural Disasters. Deklarasi NAASP tersebut merupakan manifestasi dari pembentukan “jembatan” intrakawasan dengan komitmen kemitraan strategis baru antara Asia dan Afrika yang mencakup tiga pilar kerjasama, yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi dan hubungan sosial budaya, yang di dalamnya mencakup mekanisme interaksi antar pemerintah, antarorganisasi regional/subregional serta antarmasyarakat (people-to-people contact).

Sekilas NAASP

KTT AA tahun 2005 dihadiri oleh perwakilan dari 106 negara Asia dan Afrika yang terdiri dari 54 negara Asia dan 52 negara Afrika. KTT menyepakati sebuah mekanisme tindak lanjut untuk proses institusionalisasi melalui pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) setiap 4 tahun sekali yang dilaksanakan bersamaan dengan Business Summit, Pertemuan Tingkat Menteri setiap 2 tahun sekali, serta Sectoral Ministerial dan Technical Meeting lainnya apabila diperlukan.

Hasil-hasil yang dicapai

Sejak tahun 2005 Indonesia dan Afrika Selatan menjadi Ketua Bersama (Co-Chairs) NAASP. Dalam mengemban tugas sebagai Co-Chairs, Indonesia telah berperan aktif dalam upaya mengembangkan NAASP. Indonesia dalam kurun waktu 2006-2011 telah berhasil melaksanakan 26 program di bawah rerangka kerja sama NAASP, antara lain: NAASP-UNEP Workshop on Environmental Law and Policy tahun 2006; Asian African Forum on Genetic Resources, Traditional Knowledge, and Folklore pada tahun 2007, dan Apprenticeship Program for Mozambican Farmers pada tahun 2010. Indonesia juga menjadi tuan rumah bagi NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine tahun 2008 yang dihadiri oleh 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi internasional.

Komitmen bagi pengembangan NAASP juga dibagi bersama dengan negara-negara peserta NAASP yang lain. Menyebutkan beberapa diantaranya, Malaysia telah melaksanakan Training Course for Diplomats tahun 2007 dan Training Course in Disaster Management tahun 2008, serta China yang telah melaksanakan The 5th Training Program for Staff from African Chambers tahun 2009 dan China-Zambia Trade and Investment Forum tahun 2010.

Dengan pandangan untuk memberikan berbagai rekomendasi bagi KTT NAASP mendatang, NAASP Senior Officials’ Meeting (SOM) diadakan di Jakarta pada tanggal 12-13 Oktober 2009. Pertemuan ini berhasil membahas beberapa agenda penting, khususnya usulan the 8 Focus Areas of Cooperation yang dimaksudkan sebagai

mekanisme panduan untuk mengarahkan berbagai skema kerja sama di bawah rerangka NAASP yang telah dirumuskan dalam KTT AA 2005 ke dalam beberapa kegiatan yang realistis dan bersifat berorientasi pada hasil. Delapan bidang kerja sama yang telah disepakati dalam pertemuan ini yaitu: Counter Terrorism; Combating Trans-national Organized Crime; Food Security; Energy Security; Small and Medium Enterprises; Tourism; Asian African Development University Network; serta Gender Equality and Women Empowerment. Beberapa negara Asia seperti Bangladesh, China, Jepang, Filipina, dan Thailand telah menunjukkan kesediaan untuk menjadi Champion Countries dari bidang kerja sama tersebut, berdampingan dengan Champion Countries dari negara Afrika. Indonesia sendiri menjadi Champion Country dari kawasan Asia bersama dengan Aljazair dari kawasan Afrika untuk bidang kerja sama Counter-Terrorism.

Solidaritas NAASP bagi Palestina

Indonesia dan negara-negara NAASP memandang dengan prihatin fakta bahwa bangsa Palestina menjadi satu-satunya peserta KTT Asia Afrika pertama yang belum menikmati kemerdekaan penuh. Oleh karena itu, Indonesia memprakarsai dan menjadi tuan rumah  NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 14-15 Juli 2008.

Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa NAASP berkomitmen untuk memberikan bantuan program pembangunan kapasitas bagi 10.000 warga Palestina dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2013). Pada kesempatan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengambil bagian bagi perwujudan proyek tersebut dengan menyediakan pelatihan untuk 1.000 warga Palestina.

Implementasi Solidaritas dan Komitmen Pembangunan Kapasitas bagi Palestina di bawah Rerangka NAASP

Indonesia, Afrika Selatan dan Palestina selaku NAASP Capacity Building for Palestine Coordinating Unit diberikan mandat untuk memantau dan memfasilitasi berbagai upaya negara-negara NAASP yang dilakukan dalam kerangka pembanguna kapasitas bagi Palestina. Indonesia menjalankan perannya sebagai koordinator bagi Afghanistan, Azerbaijan, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, India, Iran, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Singapura, Sri Lanka, Suriah, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Hingga 2010, beberapa negara peserta NAASP telah menyampaikan laporan implementasi komitmen pembangunan kapasitas bagi Palestina, antara lain: India (102 warga Palestina), Jepang (393 warga Palestina), Korea Selatan (182 warga Palestina), Malaysia (121 warga Palestina), Singapura (16 warga Palestina). Selaku NAASP Co-Chair Asia Chapter, Indonesia juga mencatat keberhasilan Turki yang telah memberikan program pembangunan kapasitas bagi 722 warga Palestina.

NAASP Capacity Building for Palestine Coordinating Unit Meeting terakhir diadakan di Amman, Jordania, 2-3 Desember 2010 dan menghasilkan summary report yang mencakup progress report dan analytical report implementasi pembangunan kapasitas

oleh negara-negara peserta NAASP. Hasil pertemuan dimaksud akan disampaikan pada pertemuan tingkat menteri dan KTT ke-2 NAASP.

Pelaksanaan Komitmen Indonesia

Indonesia terus berupaya untuk memenuhi komitmen bagi pembangunan kapasitas bagi Palestina tersebut. Hingga tahun 2010, Indonesia telah berhasil melaksanakan 30 program pelatihan bagi 126 warga Palestina. Pada tahun 2010, sejumlah program pembangunan kapasitas bagi Palestina telah dilaksanakan oleh Indonesia, antara lain: Training Course on Fire Rescue, Training on Project Cycle, Training Course on Gender Mainstreaming for Officers of the Ministry of Women’s Affairs, dan Training Course on Coal and Mineral Resources Management.

Untuk tahun 2011, beberapa program telah ditawarkan Indonesia kepada Palestina, antara lain, yaitu: Apprenticeship Program for Palestine’s Small and Medium Enterprises (SMEs) Development, Medical First Responder, Collapse Structure Search and Rescue (CSSR), School of Environmental Conservation and Ecotourism and Management (SECEM), Training on Project Cycle (Planning, Appraisal, and Management of Infrastructure Project) for the Apparatus of Palestine, dan Capacity building in welding sector.

Kesimpulan

NAASP tetap merupakan sebuah forum yang penting dan potensial bagi kerja sama antar negara-negara di kedua benua. Dalam dunia yang berubah, tentu NAASP, seperti forum internasional lainnya, memiliki kewajiban untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada pada masa kini. Tidak diragukan lagi dalam isu Palestina, masalah kebebasan dan kemerdekaan tetap menjadi prioritas utama bagi NAASP. Bagi yang lain, isu stabilitas, sebagaimana juga kesejahteraan masyarakat Asia dan Afrika adalah merupakan tema utama bagi kerja sama yang membawa kedua benua untuk dapat bersama. Indonesia berkeyakinan bahwa dengan bekerja bersama-sama kedua benua dapat menciptakan stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Uni Eropa

 Kebijaksanaan Umum dan Politik Luar Negeri RI - Uni Eropa (UE)Perkembangan hubungan bilateral RI-UE tidak terlepas dari dinamika domestik dan regional yang berkembang di UE dan di Indonesia. Di satu pihak, perluasan UE menjadi 27 negara pada tanggal 1 Januari

2007 merupakan suatu keberhasilan yang signifikan bagi peranannya untuk turut menentukan peta tatanan global. Di lain pihak, situasi dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh kegiatan pemulihan ekonomi, perkembangan proses demokrasi dan munculnya gangguan keamanan separatisme serta ancaman terorisme, tidak dipungkiri berdampak terhadap kebijakan strategis politik luar negeri masing-masing. Berkaitan dengan perluasan anggota Uni Eropa, Indonesia berharap hal tersebut tidak akan mendorong orientasi Uni Eropa menjadi “inward-looking” dan mengurangi kerjasamanya dengan negara-negara berkembang, terutama dengan ASEAN dan lebih khusus lagi dengan Indonesia. Indonesia mengharapkan perluasan keanggotaan Uni Eropa tersebut justru dapat memberikan manfaat yang lebih besar terhadap mitra eksternalnya. Mantapnya Uni Eropa juga merupakan faktor konstruktif dalam kerjasama regional, baik dalam konteks hubungan ASEAN – Uni Eropa maupun antara Asia dan Eropa dalam format ASEM.Dalam hubungan RI-UE, terdapat beberapa tema pokok yang menjadi prioritas bagi RI, yakni: PCA (Partnership Cooperation Agreement), kasus pelarangan terbang maskapai Indonesia, CSP (Country Strategy Paper) dan kondisi perdagangan dan investasi secara bilateral RI –UE.Perkembangan Hubungan RI – UE Hubungan bilateral RI-UE dirintis sejak tahun 1967 di bawah kerangka ASEAN ketika UE masih berbentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community).Perkembangan hubungan RI – UE tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di UE dan di Indonesia. Di sisi UE, perkembangan UE yang selalu disibukkan oleh kegiatan-kegiatan perluasan UE sejak 1957 hingga tercapainya ambisi UE dalam menyatukan seluruh negara di Eropa di bawah payung UE (UE-29) dan perkembangan situasi keamanan global menjadikan UE lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan bersama Eropa.Dalam kaitannya dengan perkembangan di Indonesia, proses demokrasi di Indonesia disambut dengan baik oleh UE yang memandang Indonesia sebagai “a voice of democracy”.Pandangan UE tersebut menunjukkan apresiasi UE terhadap proses demokrasi di Indonesia. Peningkatan hubungan RI – UE secara substansi juga terlihat dalam pernyataan yang disampaikan oleh Menlu RI dan Menlu Belanda/Presidensi dalam pertemuan di Jakarta, Agustus 2004. Kedua Menlu tersebut menyatakan bahwa kedua pihak mempunyai “common agenda” yaitu demokrasi, HAM, lingkungan hidup, good governance, dan anti-terorisme.Dalam pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso di Jakarta pada bulan November 2007 juga ditegaskan bahwa hubungan Indonesia dan Uni Eropa merupakan hubungan kemitraan yang strategis dalam memainkan peran yang penting dalam penciptaan perdamaian, stabilitas dan perkembangan wilayah regional dan dunia secara keseluruhan.Hubungan RI – UE menunjukkan perkembangan penting pada tahun 2005, ditandai oleh tanggapan UE yang sangat cepat dalam memberikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana tsunami di Aceh dan Nias.UE juga mendukung proses perdamaian di Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh wakil dari Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005. Dukungan UE terhadap implementasi Nota Kesepahaman juga ditunjukkan dengan partisipasi UE dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) bersama dengan beberapa negara anggota ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam) dan terhadap program reintegrasi mantan anggota GAM.UE juga berpartisipasi dalam pemantauan Pilkada Aceh tanggal 11 Desember 2005 dengan mengirimkan EU – Election Observation Mission (EOM). Sekjen Dewan Uni Eropa menyatakan bahwa “The AMM is a new departure for the EU in more ways than one. Not only is it the first time that the European Union has deployed a mission in Asia, it is also the first time that we have worked in partnership with countries from the Association of South East Asian Nations (ASEAN). Five ASEAN countries: Brunei, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, provided monitors alongside the participating European Countries”. Sejak tahun 2000 UE telah menunjukkan keinginan untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam Komunikasi UE tahun 2000 berjudul “Developing Closer Relations between Indonesia and the European Union” yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari strateginya di Asia, yang dituangkan dalam Komunikasi EC berjudul “Europe and Asia: A Strategic Framework for Enhanced Partnership”.Indonesia menyambut baik keinginan UE tersebut sebagai pengakuan terhadap perkembangan di Indonesia. Kesepakatan kedua pihak untuk meningkatkan hubungan juga tercermin dalam “RI – EU Joint Declaration” pertemuan Menlu RI – Komisioner Hubungan Eksternal (EC) di Luxembourg tanggal 14 Juni 2000, yang menyepakati peningkatan dialog RI – UE melalui Bilateral Consultative Forum (Forum Konsultasi Bilateral/FKB).Forum tersebut memprioritaskan pembahasan pada masalah-masalah bilateral, utamanya upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan, investasi dan kerjasama pembangunan serta dialog politik. Masuknya mata acara dialog politik tersebut yang memberikan “warna” baru dalam hubungan RI – UE.UE menilai hubungannya dengan ASEAN dan Indonesia masih dapat ditingkatkan. Dalam kerangka ini, UE membuat suatu pendekatan baru yang komprehensif untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara di Asia Tenggara di berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, dan aspek kebudayaan.Keinginan UE untuk membentuk perjanjian bilateral tersebut dapat dipahami mengingat selama ini kerjasama bilateral UE dengan negara-negara di kawasan masih berdasarkan perjanjian kerjasama dalam kerangka ASEAN, yaitu “EU – Indonesia, Malaysia, the Philipinnes, Singapore, and Thailand Cooperation Agreement (ASEAN member countries)" yang ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 7 Maret 1980.

Pengukuhan kemitraan komprehensif tersebut kemudian dibahas oleh kedua pihak dalam pertemuan Menteri Luar Negeri RI dengan Menteri Luar Negeri Troika UE di Jakarta bulan Maret 2005 yang merupakan perwujudan dari Resolusi Dewan UE tersebut di atas.Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk membentuk suatu framework agreement on comprehensive partnership and cooperation (PCA) akan menjadi dasar hukum yang kokoh bagi pengembangan dan peningkatan kerjasama RI – UE masa mendatang.Sejalan dengan perkembangan kerjasama RI – UE yang telah meluas ke dialog politik, maka tepatlah jika dikatakan bahwa kemitraan diantara kedua pihak bersifat komprehensif, di berbagai sektor. Oleh karena itu, substansi perjanjian dimaksud tidak hanya mengenai bidang-bidang kerjasama di sektor teknis dan kerjasama pembangunan, tetapi juga di sektor politik seperti promosi HAM, legal cooperation, non-proliferasi senjata pemusnah massal dan keamanan khususnya penanggulangan terorisme.Perundingan PCA terakhir dilaksanakan di Hamburg, Jerman, 28 Mei 2007 dan dilanjutkan dengan pembicaraan jalur diplomatik tanggal 12 Juni 2007 yang menyepakati final version. Namun demikian, proses penandatanganan PCA RI-UE belum sesuai dengan yang diharapkan karena adanya keputusan Aviation Safety Committee UE yang mengeluarkan larangan bagi penerbangan Indonesia untuk beroperasi di wilayah negara anggota berlaku sejak tanggal 6 Juli 2007, beberapa hari menjelang jadwal pemarafan dokumen PCA yang sedianya diadakan di Jakarta tanggal 17 Juli 2007.Keputusan pelarangan tersebut efektif diberlakukan tanggal 6 Juli 2007 melalui Commission Regulation (EC) No. 787/2007 tanggal 4 Juli 2007. Setelah melalui upaya negosiasi dan usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan RI, dalam pertemuan ASC (Air Safety Committee) tanggal 30 Juni-2 Juli 2009 di Brussels telah ditetapkan rekomendasi untuk mencabut secara parsial larangan terbang di Eropa bagi 4 maskapai nasional Indonesia, yaitu Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Premiair dan Airfast Indonesia.Melalui regulasi No.619/2009 tanggal 13 Juli 2009 yang telah dipublikasikan dalam Official Journal of the European Union dan mulai berlaku tanggal 16 Juli 2009, Uni Eropa secara resmi telah mencabut pelarangan terbang terhadap 4 (empat) maskapai penerbangan Indonesia tersebut.Hasil yang menggembirakan dari rekomendasi ASC tersebut di Brussels mengakibatkan setelah tertunda selama 2 tahun, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya telah sepakat untuk melakukan pemarafan terhadap Dokumen Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership and Cooperation Agreement) pada tanggal 14 Juli 2009 dalam akhir acara Forum Konsultasi Bilateral (FKB) RI-UE ke-8 di Yogyakarta.Kemitraan Komprehensif merupakan dokumen yang berisi komitmen kedua pihak untuk meningkatkan hubungan bilateral secara lebih terancang dan terukur melalui penetapan prioritas dan modalitas kerjasama dalam upaya mencapai target yang ditetapkan bersama. Partnership and Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) akhirnya telah ditandatangani pada tanggal 9 November 2009 oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Swedia (selaku presidensi UE). Struktur perjanjian ini terdiri atas 7 Bab dan 50 Pasal yang mencakup kerjasama di berbagai bidang, antara lain bidang politik (hak asasi manusia, penanggulangan terorisme, pelarangan proliferasi senjata pemusnah massal, penanggulangan korupsi, hukum, dll.) serta kerjasama teknis (seperti ekonomi, perdagangan dan investasi, industri, kehutanan, lingkungan hidup, transportasi, kesehatan, iptek, pendidikan, pariwisata, dll.) dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan hubungan kerjasama RI-UE sebagai mitra yang komprehensif. Penandatanganan PCA adalah salah satu capaian penting dalam hubungan bilateral RI-UE, mengingat bahwa Indonesia adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki perjanjian komprehensif dengan UE ini. Saat ini, UE masih melakukan proses negosiasi antara lain dengan Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Malaysia.Pada dokumen RI-EU Joint Statement yang dikeluarkan setelah penandatanganan PCA, tercantum 4 (empat) prioritas kerjasama jangka pendek yang dimulai pada tahun 2010, yaitu :a.     perdagangan dan investasi; mengeksplorasi lebih lanjut lingkup kerjasama baru termasuk di dalamnya

proyek penelitian dan pengembangan.b.     lingkungan hidup; meningkatkan kerjasama lingkungan pada isu-isu sensitif seperti kehutanan dan

perikanan dan dalam rangka membangun komitmen bersama berbasiskan pada pertemuan UNFCCC.c.     pendidikan; memberdayakan program-program pendidikan yang sudah ada seperti Beasiswa Erasmus

Mundus dan proyek-proyek penelitiand.     hak-hak asasi manusia dan demokrasi; membahas perkembangan hak asasi manusia yang menjadi

perhatian bersama pada tingkat pejabat tinggi (SOM).Perjanjian PCA akan menjadi dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding) setelah diratifikasi bersama oleh seluruh pihak sebelum dapat diberlakukan secara penuh (entry into force), sebagaimana tercantum dalam Pasal 48. PCA RI-UE melibatkan 29 pihak dalam proses ratifikasinya, yaitu Indonesia, Parlemen Eropa dan seluruh 27 negara anggota UE.Kemitraan Komprehensif juga merefleksikan semakin mantapnya hubungan bilateral Indonesia dan Uni Eropa. Bilateral Consultative Forum (RI – EC SOM) Upaya bersama RI – UE untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang perdagangan, investasi dan kerjasama pembangunan dilakukan melalui Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi Forum Konsultasi Bilateral (FKB) Indonesia – Komisi Eropa.Indonesia memandang penting FKB sebagai sarana untuk membahas secara lebih fokus berbagai upaya untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama Indonesia – EU.Pada tanggal 7 Desember 2010 telah diselenggarakan Pertemuan ke-9 FKB RI-UE di Brussel yang membahas berbagai isu yang dicapai selama setahun sebelumnya (dari pertemuan FKB/SOM ke -8 ke FKB/SOM ke-9), pertemuan juga mengidentifikasi beberapa prioritas untuk tahun 2011, antara lain

penyelesaian Horizontal Agreement on Air Services dan penyelesaian FLEGT/VPA serta pelaksanaan MIP 2011-2013.

 Kerjasama Pembangunan RI – UEKerjasama pembangunan RI - UE merupakan salah satu pilar utama hubungan bilateral RI – UE. Perkembangan hubungan Indonesia – UE juga tercermin dalam fokus kerjasama pembangunan RI – UE yang bersifat recipient driven dan disesuaikan dengan program pembangunan nasional Indonesia. UE menggarisbawahi perlunya membangun hubungan baru yang lebih erat dengan Indonesia melalui peningkatan program kerjasama pembangunan yang mendukung proses demokrasi, good governance, pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan serta mengikis kemiskinan. Hubungan baik RI – UE ini tercermin dalam kerjasama pembangunan yang tertuang dalam Country Strategy Paper (CSP) yang memuat strategi bersama guna menunjang pembangunan nasional. CSP tahun 2002-2006 ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan good governance melalui dukungan terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. CSP 2002-2006 dituangkan dalam National Indicative Program (NIP) yang terdiri dari program kerjasama dua tahunan. Dalam NIP 2005-2006, terdapat tiga prioritas kerjasama yaitu pendidikan, penegakan hukum dan keamanan, kerjasama ekonomi khususnya manajemen pendanaan publik, dengan nilai proyek sebesar 72 juta Euro.Sebagai tindak lanjut berakhirnya program CSP perode 2002-2006, UE telah mengadopsi program CSP periode tahun 2007-2013 yang menitik beratkan pada sektor pendidikan, perdagangan dan investasi, serta penegakan hukum dan good governance. Komisoner Hubungan Luar Negeri UE, Ms. Bennita Ferrero Waldner pada tanggal 15 Mei 2007 telah mengirim surat kepada Menlu RI bahwa Komisi Eropa telah menyetujui penyusunan CSP 2007-2013 untuk Indonesia serta Multi-annual Indicative Programme 2007-2010. Dalam pernyataannya, Ferrero menyatakan bahwa Komisi Eropa akan meningkatkan bantuan finansial dalam kerjasama pembangunan ini sebesar 494 juta Euro dalam program CSP 2007-2013 serta 248 juta Euro dalam program Multi-annual Indicative Programme 2007-2010. CSP 2007-2013 telah ditandatangani pada kunjungan Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso tanggal 23 Nopember 2007 di Jakarta.Pada periode 2007-2010 disepakati tiga bidang Multiannual Indicative Programme (MIP) yang menjadi prioritas, dengan total bantuan sebesar €248 juta. Kerjasama-kerjasama tersebut antara lain adalah Basic Education (€198 juta), Economic Development (€30 juta), dan Law Enforcement and Judicial Reform (€20 juta).Sebagai hasil pertemuan Working Group on Development Cooperation (WGDC) di Brussel, tanggal 6 Desember 2010, telah ditandatangani dokumen Multiannual Indicative Programme (MIP) yang ke-II (periode 2011-2013) senilai 200 juta Euro. Kedua belah pihak menyetujui pentingnya pelaksanaan prinsip Aid Effectiveness dalam proyek-proyek kerjasama seperti yang tertuang dalam Paris Declaration dan Jakarta Commitment Multiannual Indicative Programme (MIP) ke-2 (2011-2013) memfokuskan bantuan pada sektor pendidikan (€ 144 juta), perdagangan dan investasi (€ 25 juta), penegakan hukum (€ 16 juta), dan perubahan iklim (€ 15 juta). Secara garis besar, bidang-bidang kerjasama pembangunan yang dilakukan dengan Uni Eropa mendukung setiap poin tujuan pencapaian Millenium Development Goals (government and civil society, education, health, environment and climate change, water supply and sanitation, trade and economic cooperation).

 Peran dan Kepentingan Indonesia di UEUE sebagai bentuk kerjasama regional kawasan Eropa dengan 27 negara anggota, jumlah penduduk 499 juta, GDP 16,8 trilyun euro (28% GDP dunia) telah menjadi kekuatan utama ekonomi dan politik global. Saat ini UE merupakan kekuatan dagang terbesar dunia yang menguasai 20% nilai ekspor-impor global. Negara anggota Uni Eropa terdiri dari Austria, Belgia, Rep. Ceska, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Siprus, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Inggris, Bulgaria dan Rumania.Bagi Indonesia, UE masih merupakan pasar penting dan salah satu sumber penanaman modal asing utama di Indonesia. Perdagangan bilateral kedua negara pada tahun 2010 mencapai USD 28,20 milyar dan terus menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. UE adalah pasar tujuan ekspor Indonesia yang potensial. UE merupakan pasar utama terbesar bagi Indonesia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Total perdagangan Indonesia dan UE tahun 2010 sebesar US$ 26,8 milyar (ekspor US$ 17,1 milyar dan impor US$ 9,8 milyar), atau naik sebesar 21,35% dibanding tahun 2009 sebesar US$ 22,1 milyar. Tren total perdagangan kedua negara selama 5 tahun terakhir (2005-2010) menunjukkan angka positif sebesar 10,4%.Perkembangan hubungan bilateral RI-UE tidak terlepas dari dinamika perkembang yang terjadi di Uni Eropa (UE) dan Indonesia. UE yang telah berhasill sebagai a solid regional grouping, terus melaksanakan konsolidasi melalui proses integrasi di bidang politik dan ekonomi untuk mencapai ambisinya dalam menyatukan seluruh negara di Eropa di bawah payung UE.Demikian pula Indonesia yang demokrasi, stabil dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai mitra penting di kawasan, keduanya merupakan aktor penting yang terus saling mendekat untuk memperkuat kemitraan agar dapat lebih mampu menanggapi tantangan-tantangan global.

Keterkaitan masalah dan kepentingan antara Indonesia dan UE telah menciptakan suatu common agenda yang memperkuat hubungan kerjasama bilateral yang saling menguntungkan.UE menilai Indonesia sebagai negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia, berpotensi sebagai katalisator stabilitas keamanan kawasan. UE menilai Indonesia memiliki peranan strategis bagi upaya pemeliharaan stabilitas dan keamanan di kawasan.Perhatian UE terhadap perkembangan politik di Indonesia pada umumnya menyangkut masalah demokrasi, pengelolaan pemerintahan yang baik, dan penegakan HAM. UE juga menaruh perhatian dan dukungan terhadap upaya Indonesia dalam memerangi terorisme dan memberikan dukungan terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia.Di lain pihak Indonesia melihat UE sebagai suatu kekuatan ekonomi dan politik global yang dapat menjadi mitra untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional. Peningkatan peran UE baik dalam konteks global maupun regional merupakan perwujudan dari salah satu tujuan pembentukannya, yaitu untuk menegaskan peranan Eropa di dunia.UE yang tetap mempertahankan pendekatan multilateralisme merupakan mitra penting Indonesia dalam menanggapi isu-isu global. Dalam hal hubungan eksternal dengan Asia, pada beberapa tahun terakhir UE menunjukkan ambisinya untuk meningkatkan peran politisnya di kawasan Asia Tenggara melalui upaya peningkatan kerjasama dengan ASEAN guna menciptakan “an international order based on effective multilateralism“. Indonesia dipandang sebagai negara yang mempunyai peranan strategis bagi upaya memelihara stabilitas dan keamanan di kawasan. Hubungan UE dengan Indonesia selama ini terjalin dalam kerangka kerjasama EU - ASEAN, ARF dan ASEM.Pergantian kepemimpinan yang reformis dan lebih demokratis di Indonesia disambut baik oleh UE karena lebih membuka kesempatan bagi UE untuk mengadakan dialog politik dengan Indonesia.Perhatian UE terhadap perkembangan politik di Indonesia pada umumnya menyangkut masalah demokrasi dan HAM. Selain itu, berkenaan dengan munculnya isu terorisme, pihak UE juga menaruh perhatian dan dukungan terhadap upaya Indonesia dalam memerangi terorisme.Khusus mengenai masalah keamanan dan separatisme di Aceh, Maluku dan Papua, sikap UE dan negara-negara anggotanya telah menyatakan dukungan mereka terhadap NKRI dan mendukung upaya damai melalui dialog.

ISU ISU KHUSUS

Kerjasama TeknikSenin, 04 Juni 2012

 Bagi Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, kerja sama teknik merupakan bagian integral dari kebijakan luar negeri. Kerja sama teknik adalah salah satu alat yang mendukung upaya-upaya diplomasi RI di forum bilateral, regional maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya kapasitas Indonesia, sejak tahun 1981 Indonesia bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency  (JICA) memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika, Pasifik, bahkan Amerika Latin. Bantuan teknik yang diberikan berupa pelatihan dan pengiriman tenaga ahli. Hingga saat ini ribuan peserta dari banyak negara di dunia telah berkunjung ke Indonesia untuk mengikuti berbagai pelatihan teknik. Untuk lebih mengembangkan program-program kerja sama teknik tersebut, Kemlu telah membentuk Direktorat Kerja Sama Teknik, dibawah Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, pada tahun 2006. Dalam menjalankan tugasnya, Kemlu senantiasa bekerja sama dengan instansi teknis, LSM dan nara sumber yang kompeten di dalam penyelenggaraan program-program kerja sama tekniknya. Tidak dapat dipungkiri ada pihak-pihak yang skeptis terhadap manfaat bantuan teknik bagi Indonesia, terutama mereka yang mengukur hasilnya dari sesuatu yang “tangible” dan dapat dirasakan serta

merta, padahal dampak dari kerja sama teknik bisa saja “intangible”. Pada dasarnya kerja sama teknik adalah proses panjang yang dampaknya baru dapat dirasakan di masa mendatang. I. Pembentukan Perkembangan kerja sama teknik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya PBB untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengatasi ketertinggalannya. Konferensi PBB di Argentina pada tahun 1978 dapat dikatakan bersejarah karena telah melahirkan  Buenos Aires Plan of Action (BAPA) yang menjadi tonggak bagi Kerja sama Teknik antar Negara Berkembang (KTNB). Majelis Umum PBB melalui berbagai resolusi dan keputusannya telah menegaskan arti penting dan validitas KTNB. Semua negara dan badan-badan PBB telah dihimbau untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang ada di BAPA.  KTNB yang pada dasarnya adalah kerja sama teknik Selatan-Selatan, bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan percepatan pembangunan di negara-negara berkembang. Kerja sama teknik juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemitraan antar negara. Melalui berbagai kegiatan dalam kerangka kerja sama teknik, diharapkan akan terjadi saling tukar informasi, pengalaman serta menciptakan dasar yang kuat bagi kerja sama antara Indonesia dan negara-negara peserta. Melalui kerja sama Selatan-Selatan ini negara-negara berkembang diharapkan dapat saling membantu dalam pembangunan untuk mengurangi ketergantungan kepada negara maju dan mengejar ketertinggalannya, terutama mengingat adanya kecenderungan jenuhnya bantuan negara-negara maju atau aid fatique kepada negara-negara berkembang. Indonesia telah banyak belajar dari negara-negara maju.  Seiring dengan meningkatnya kapasitas Indonesia, baik kapasitas SDM maupun kapasitas kelembagaan, sejak tahun 1981 Indonesia bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency  (JICA) mulai memberikan bantuan teknik dalam rangka program KTNB kepada negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika, Pasifik, bahkan Amerika Latin, dalam bentuk pelatihan dan pengiriman tenaga ahli. Melalui berbagai program tersebut, ribuan peserta telah berkunjung ke Indonesia untuk mengikuti berbagai pelatihan.Untuk mengembangkan program-program kerja sama teknik tersebut, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia membentuk Direktorat Kerja Sama Teknik pada tahun 2006.   Direktorat ini bertugas untuk menjalankan program-program di mana negara-negara berkembang lainnya dapat meningkatkan kapasitasnya, mengembangkan kemitraan antar negara, memahami budaya serta tradisi Indonesia dan mempromosikan kapasitas yang dimiliki Indonesia. Selain itu, Direktorat Kerja Sama Teknik juga bertujuan untuk memperkuat dan mengembangkan kerja sama teknik Indonesia dalam kerangka pembangunan dan kerja sama internasional. Direktorat ini bertugas untuk memajukan kerja sama teknik di berbagai bidang, termasuk politik, keamanan, ekonomi, keuangan, pembangunan, sosial budaya, dan iptek. 

Berdirinya Direktorat Kerja Sama Teknik telah memberikan ruang yang lebih luas bagi Indonesia untuk memberikan bantuan teknik bagi negara-negara lain, melalui program pelatihan, pengiriman ahli, lokakarya, pemagangan dan pemberian bantuan peralatan yang dibiayai oleh APBN. Berbagai pengalaman Indonesia telah dibagikan kepada negara-negara berkembang lain yang membutuhkan. Topik dan isu-isu baru yang menjadi perhatian dan kepentingan negara-negara berkembang telah pula dituangkan menjadi topik pelatihan seperti perubahan iklim, energi terbarukan, pertanian, kehutanan, penanggulangan bencana, perikanan, kredit mikro, pemberdayaan perempuan serta demokrasi dan good governance. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi menjadi Negara penerima semata, namun telah juga menjadi pemberi, atau pada tingkatan tertentu telah menjadi donor atau resource country.  Meningkatnya status Indonesia sebagai negara donor atau lebih tepatnya negara pemberi bantuan pembangunan bukan berarti Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuan teknik dari negara maju dan lembaga donor internasional baik dalam bentuk keuangan, tenaga ahli atau narasumber serta peralatan. Sebagai negara berkembang Indonesia tetap memerlukan peningkatan kapasitas untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju. Masa depan kerja sama teknik Indonesia akan sangat tergantung kepada beberapa hal seperti ketersediaan anggaran, SDM dan kelembagaan. Adanya suatu lembaga yang kuat dan berfungsi penuh sebagai pelaksana kerja sama teknik dan didukung oleh anggaran yang kuat pula, akan menjamin “sustainability” program-program kerja sama teknik Indonesia. II. Kegiatan

Bagi Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri,  kerja sama teknik merupakan bagian integral dari kebijakan luar negerinya, kerja sama teknik menjadi alat diplomasi yang akan mendukung upaya-upaya diplomasi RI di forum bilateral, regional maupun internasional. Namun demikian, Kementerian Luar Negeri tidak mengesampingkan aspek teknisnya yakni alih teknologi, pengetahuan dan pengalaman dalam setiap bantuan tekniknya. Oleh karenanya Kemlu senantiasa bekerja sama dengan instansi teknis, LSM dan nara sumber yang kompeten di dalam penyelenggaraan program-program kerja sama tekniknya. Program-program tersebut, telah memberikan manfaat bagi negara berkembang lain sesuai dengan kebutuhan negara penerima. Tidak dapat dipungkiri ada pihak-pihak yang skeptis terhadap manfaat bantuan teknik bagi Indonesia, terutama mereka yang mengukur hasilnya dari sesuatu yang “tangible” dan dapat dirasakan serta merta, padahal dampak dari kerja sama teknik bisa saja “intangible”. Pada dasarnya kerja sama teknik adalah proses panjang yang dampaknya baru dapat dirasakan di masa mendatang. Di dalam penentuan program kerja sama teknik, prioritas kebijakan luar negeri RI selalu menjadi rujukan. Selain itu, permintaan khusus dari negara lain juga menjadi dasar perumusan program sepanjang Indonesia memiliki kapasitas. Mengenai pembiayaan, Indonesia memiliki empat skema pembiayaan yaitu melalui rupiah murni (APBN), kerja sama segi tiga dengan donor, pembiayaan bersama antara Indonesia dengan negara penerima, serta  pembiayaan penuh dari negara donor atau organisasi internasional.

Dalam konteks nasional, Kemlu dan instansi teknis telah bekerja sama di dalam pembiayaan program. Kerja sama segitiga di dalam penyelenggaraan program peningkatan kapasitas sangat diperlukan dalam rangka menjaga keberlanjutannya (sustainability), karena membutuhkan biaya yang besar, sedangkan Indonesia masih menghadapi kendala anggaran. Kegiatan Direktorat Kerja sama Teknik menekankan pada program pembangunan mandiri yang berorientasi pada tindakan, pragmatis dan realistis. Sejak pembentukannya Direktorat Kerja sama Teknik bersama dengan Kementerian teknis, organisasi internasional, berbagai institusi dan LSM telah menyelenggarakan berbagai program peningkatan kapasitas untuk negara-negara berkembang di wilayah Asia Pasifik dan Afrika. Beberapa negara yang pernah mengikuti dalam berbagai pelatihan tersebut adalah: Afganistan, Aljazair, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Ethiopia,Filipina, Fiji, India, Iran, Jepang, Kamboja, Kenya, Kiribati, Laos, Madagaskar, Malaysia, Maldives, Myanmar, Mozambik, Namibia, Nepal, Nigeria, Palau, Pakistan, Papua Nugini, Samoa, Solomon Islands, South Africa, South Korea, Sri Lanka, Sudan, Tanzania, Thailand, Timor Leste, Tuvalu, Uganda, Uzbekistan, Vanuatu, Vietnam, dan Zimbabwe.  III. Kegiatan yang telah dilaksanakan Direktorat Kerja Sama Teknik  Program Pelatihan tahun 2007 - 2008 1. Technical Assistance on Bamboo Craftmanship for Republic of Fiji Island, Nausori, May 2007.2.  Training on Microfinance: Establishing and Managing Micro Finance Institution. Jakarta and Bandung, June 2007. 3. Skill Training on Wood Carving for the Lao PDR, Viantianne, November - December 2007.4. Apprenticeship Program for Fijian Farmers in Indonesia. Kuningan, Sukamandi, dan Ciawi, July – September 2007.5.  Regional Workshop on Enhancing Energy Security through Community Based Micro Hydro Technology. Jakarta, August 2007.6. International Workshop on Women Empowerment in Economic Development: Promoting Women’s Productivity,  Jakarta, Indonesia, April 2008.7. Apprenticeship for Gambian Farmers in Indonesia. Jakarta and Kuningan, Indonesia, March-June 2008.8. International Training Program on Microfinance for Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Viet Nam, Papua, New Guinea and Timor Leste, Makassar, Indonesia, April 2008.9. International Training Workshop on Development of Renewable Energy: Its Role in Rural Socio-Economic Development, Bandung dan Subang, Indonesia, May 2008.10. International Training Program on Business Incubator to Develop Small and Medium Enterprises for Palestine, Jakarta, Indonesia, July 2008.11.International Training Program on TV Documentary Program Production, Yogyakarta, Indonesia, July 2008.

12. International Workshop on Enhancing South-South Cooperation Roles on Disaster Risk Management, Jakarta dan Yogyakarta, Indonesia, October 2008.13. International Training Program on Democratization and Good Governance, Jakarta, Indonesia, October 2008.14. International Training Program on Microfinance for Asia-Africa Countries: Establishing and Managing Microfinance Institution, Jakarta and Yogyakarta, Indonesia, October 2008. Program Pelatihan tahun 2009 1. International training Workshop on Women Empowerment on Information Technology, Jakarta, Indonesia, March 20092. Apprenticeship Program for Asian and African Farmers, Sukamandi, Kuningan, Lembang, Indonesia, April-June 2009.3. International Training Workshop on Multi Disaster Risk Management : Focusing on Forest Rehabilitation for Timor Leste, Kupang,Indonesia, May 2009.4. International Training Program on Intensive Shrimp Culture for South Asian and Southeast Asian Countries, Jepara, Indonesia May 2009.5. International Training Program on Grouper Nursery for Asia and African Countries, Situbondo, Indonesia, May-June 2009.6. International Workshop on Disaster Risk Management Focusing on: Strategic Planning in South-South Cooperation, Jakarta, Indonesia, June 2009. 7. International Training Program on Renewable Energy: Micro Hydro Energy End-Use Productivity for Rural Economic Development for Asia-Pacific Countries, Bandung, Indonesia, June 2009.8. International Training Program on Fishing Technology and Navigation for Pacific Countries, Semarang, Indonesia, June-July 2009.9. International Training on Appropriate Mechanization and Water Management for Dry Land Agriculture in African Countries, Bogor, Indonesia, August 200910. Apprenticeship Program for Timor Leste in SME’s Development, Bekasi, Indonesia, November-December 2009. Program Pelatihan tahun 2010 1. Apprenticeship Program for Mozambican Farmers in Indonesia, Jakarta, West Java, Yogyakarta, Indonesia, March-may 2010.2. International Training Program on Handling Freshwater Pests and Fish Diseases for Asia and Pacific Countries, Sukabumi, Indonesia, April 2010.3. International Training Workshop on Micro Hydro Development to Empower Rural Economic in Remote Areas, Bandung, Indonesia, May 2010.4. International Training Program on Poverty Reduction, Yogyakarta, Indonesia, June 2010.5. International Training Program on Forest Rehabilitation for Timor-Leste, Yogyakarta, Indonesia, July 2010.6. International Training Program on Local Economic Development Through Business Development Services, Yogyakarta, Indonesia, June 2010.

7. International Training Program on Business Incubator to Develop Small and Medium Enterprises: Focusing on Creative Industry, Bandung, Indonesia, July 2010.8. International Training Program on TV Documentary Program Production, Yogyakarta Indonesia, July-August 2010.9. International Workshop on Democratic Leadership for Asian and Pacific Countries: Building the Nation, Reforming the State and Developing the Economy, Bali, Indonesia, October 2010. Program Pelatihan tahun 2011 1. International Training Program on Post Harvest Technology on Fruits and Vegetables, Lembang, Indonesia, April 2011.2. Apprenticeship Program for Comorian Farmers in Indonesia, Jakarta, Yogyakarta, Kuningan, Lembang, Indonesia, April-May 2011.3. Dispatch of Indonesian Agriculture Experts to Tanzania and Gambia, Mkindo Morogoro, Gambia, April-June 2011 & Jenoi, Gambia, September-November 2011.4. International Training Program on Ecotourism for Pacific Countries, Yogyakarta, Indonesia, April-May 2011. 5. International Workshop on Appropriate Waste Management Technologies, Denpasar, Indonesia, July 2011. 6. International Workshop on Multi Disaster Risk Management, Banda Aceh, October 2011.7. Training Program on Business Incubator Management in Palestine, Ramallah, Palestine, November 20118. International Training Program on Public Administrative Reform for Good Governance, Jakarta, Indonesia, September 2011. 9. International Training Program on Forestry for Timor-Leste, Kupang, Makassar, Indonesia, July, October & November 2011.10. Dispatch of Indonesia Language Teacher and Angklung Instructor to Timor-Leste, Dili, Timor-Leste, October-November 2011. Program Pelatihan yang telah dilaksanakan hingga bulan Mei 2012: 1. International Training Program on Post-Harvest Technologies on Fruits and Vegetables, Lembang, 9-18 April2. Workshop on the Strengthening of Technical Cooperation through Public-Private Partnership, Jakarta, 12 April3. Dissemination of Implementing Agencies’ Facilities to Development Partners, Yogyakarta, 23-26 April4. International Training Program on Agriculture Water Management for African Countries” di Jakarta dan Jawa Barat (Cikampek, Purwakarta, Cicalengka, Subang dan Bandung), 8-18 April 20125. International Training Program on Freshwater Aquaculture for Asian, Pasific, and African Countries, Jakarta dan Jawa Barat, 6-15 Mei 2012

Perkembangan Situasi Terkini di PapuaKamis, 06 Oktober 2011

Isu Papua, yang berkembang saat ini, adalah pencitraan negatif, yang muncul akibat pendekatan, yang dilakukan pada masa lalu. Pendekatan dalam menangani Papua, yang cenderung represif, telah merugikan Pemerintah, dengan berkembangnya opini negatif baik di dalam maupun di luar negeri. Karenanya, sejak tahun 2005, Pemerintah telah meninggalkan pendekatan tersebut, dan menyikapi masalah Papua dengan lebih menekankan pada pendekatan kesejahteraan. Namun demikian, kelompok anti “NKRI’’ masih menggunakan paradigma lama yang intinya selalu mendiskreditkan  Pemerintah, yang masih melakukan pelanggaran HAM di Papua.  

Faktanya, demokrasi dan penghormatan terhadap HAM merupakan asset utama dalam diplomasi Indonesia. Melekatnya elemen esensi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menjadikan diplomasi Indonesia semakin feasible dan mudah berkiprah di panggung politik internasional. Untuk itu, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan Papua melalui kebijakan otonomi khusus selalu dikomunikaksikan dengan baik untuk menjawab berbagai pihak yang kurang puas di luar negeri.

Meskipun pendekatan kesejahteraan sudah menjadi ketetapan Pemerintah, perlu dicatat bahwa dalam kenyataannya dari waktu ke waktu terjadi gangguan dari sekelompok kecil masyarakat yang bersenjata di daerah tertentu yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Kelompok tersebut seringkali menimbulkan keresahan diantara masyarakat melalui serangkaian serangan bersenjata seperti yang terjadi di sekitar fasilitas Freeport dan Kabupaten Puncak Jaya. Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia seperti halnya pemerintah manapun juga, memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari gangguan kelompok bersenjata dimaksud. 

Pemri berpandangan bahwa masalah Papua merupakan masalah dalam negeri yang harus diselesaikan dalam kerangka NKRI dengan perangkat Otsus dan Inpres percepatan pembangunan di Papua (The New Deal Policy for Papua). Kedudukan Papua sebagai bagian NKRI tidak terbantahkan, sesuai dengan hukum internasional dan didukung oleh dunia internasional. Untuk itu, berbagai upaya Kelompok Separatis Papua/ anti “NKRI” adalah  tidak memiliki justifikasi yang sah dalam mencapai tujuan politiknya.

Penyelesaian masalah Papua perlu mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa dengan menyadarkan kelompok pendukung “separatis” secara damai dan menghindarkan konflik horizontal serta menciptakan iklim yang kondusif bagi segenap komponen bangsa. Dalam iklim politik yang semakin kondusif dan demokratis, akan sangat bermanfaat apabila tokoh-tokoh Papua yang masih berada di luar negeri ingin kembali ke tanah air untuk secara bersama-sama memajukan Papua dan Indonesia. 

Sementara itu, untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan SDM di Papua,  Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B). Penyusunan rancangan Peraturan Presiden tentang percepatan pembangunan dan pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) pada intinya adalah merupakan pelaksanaan pembangunan yang menitikberatkan “Perlindungan, Keberpihakan dan Pemberdayaan” kepada masyarakat Papua. 

  Upaya yang telah dilakukan Pemerintah tersebut, khususnya yang terkait dengan isu Papua, Kemlu bersama Perwakilan RI di luar negeri secara aktif telah mengintensifkan pendekatan-pendekatan terhadap semua pihak yang selalu menaruh concern mengenai isu Papua di luar negeri  seperti kalangan Pemerintah,  Parlemen,  tokoh politik,  tokoh  agama,  tokoh masyarakat, akademisi, LSM dan lain-lain sebagainya. Kemlu secara aktif juga menyampaikan informasi berbagai perkembangan terkini Papua kepada semua Perwakilan RI di luar negeri agar masyarakat internasional mengetahui perkembangan Papua secara objektif.

Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI - Timor Leste

Rabu, 07 Juli 2010

Pemerintah RI dan Pemerintah Timor-Leste telah membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI – Timor-Leste pada tanggal 14 Desember 2004, guna menangani masalah akuntabilitas terkait dengan peristiwa di Timor-Timur tahun 1999. KKP adalah mekanisme bilateral yang unprecedented dan pertama di dunia dengan tujuan untuk menetapkan kebenaran akhir peristiwa di Timor-Timur tahun 1999 dan menutup kasus-kasus terkait berdasarkan prinsip rekonsiliatif dan berwawasan ke depan. Proses KKP bersifat non-prosecutorial dan dimaksudkan untuk meningkatkan persahabatan serta menjamin tidak terulangnya kembali peristiwa serupa. Berdasarkan mandat ini, KKP RI – Timor-Leste mulai bekerja pada bulan Agustus 2005.  Pada tanggal 15 Juli 2008, KKP RI – Timor-Leste telah menyelesaikan tugasnya dan telah menyerahkan Laporan Akhir kepada Kepala Negara/Pemerintahan kedua negara. Laporan Akhir tersebut berisi rekomendasi bagi kedua negara untuk melaksanakan perbaikan kolektif, perbaikan/reformasi kelembagaan dan penguatan budaya HAM, serta implementasi program-program yang berorientasi pada korban dengan tujuan ‘menyembuhkan luka’.  Pada saat penerimaan laporan KKP, Presiden RI bersama dengan Presiden dan Perdana Menteri Timor-Leste menandatangani dan menyampaikan pernyataan bersama yang berintikan penerimaan kedua negara terhadap seluruh Laporan Akhir KKP termasuk rekomendasi yang disampaikan, serta menyatakan komitmen untuk melaksanakan berbagai rekomendasi tersebut dan berbagai inisiatif lain yang diperlukan bagi pemajuan dan persahabatan dan rekonsiliasi lebih lanjut di antara warga kedua negara, melalui suatu Rencana Aksi (Plan of Action). Sebagai tindak lanjut rekomendasi tersebut, pejabat senior kedua negara telah mengadakan serangkaian pertemuan guna menyusun rancangan Rencana Aksi pada tingkat bilateral dan nasional. Secara bilateral, Pertemuan Tingkat Pejabat Senior (SOM) RI – Timor-Leste telah diselanggarakan sebanyak 4 (empat) kali. Selanjutnya, dari berbagai pertemuan yang telah diadakan, pemerintah kedua negara telah berhasil menyusun Rencana Aksi untuk dilaksanakan secara bilateral maupun secara nasional di masing-masing negara.  Sejauh ini, sejumlah Rencana Aksi bilateral telah berhasil diimplementasikan oleh kedua negara, antara lain: Pemberlakuan Visa on Arrival (VoA) kepada warga Timor-Leste dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) kepada pelajar/mahasiswa asal Timor-Leste yang dapat diterbitkan langsung untuk 2 (dua) tahun; Fasilitasi reunifikasi keluarga dan penanganan anak asal Timor-Leste pada pusat perawatan anak di Gunung Kidul, Yogyakarta; Pengembalian Tabungan Hari Tua (THT) tahap kedua PT. TASPEN dan tahap pertama PT. ASABRI kepada 8.620 orang (USD 1.592.209) penerima mantan PNS dan anggota TNI/Polri asal Timtim; Penguatan kerjasama teknis bagi Timor-Leste dalam berbagai bidang; Proses pengembalian Jaminan Hari Tua (JHT) kepada 8.227 eks pegawai swasta Indonesia eks Propinsi Timor-Timur dan proses pengembalian BAPERTARUM-PNS bagi 14.700 orang eks PNS Timor-Timur; Program Sister Hospital antara RS. Sanglah Denpasar dan RS. Sutomo Surabaya dengan RS. Guido Valadares Dili; dan Pemberlakuan Pas Lintas Batas (PLB) di titik perlintasan Batugade – Motoain, dari 9 titik perlintasan yang direncanakan berdasarkan the Arrangement between Indonesia and Timor-Leste on Traditional Border Crossings and Regulated Markets (2003). Pada tingkat nasional, pelaksanaan rencana aksi untuk implementasi rekomendasi KKP merupakan salah satu prioritas dalam masa jabatan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014). Untuk itu, Rencana Aksi pada tingkat nasional di Indonesia membutuhkan tindak lanjut dalam bentuk program nasional maupun kegiatan kerjasama antara kedua negara yang dilaksanakan oleh unsur-unsur kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, dan lembaga-lembaga terkait lainnya.  Dalam rangka mendukung implementasi rencana aksi di tingkat nasional, Rapat Paripurna Tingkat Menteri (RPTM) bidang Politik, Hukum dan Keamanan tanggal 7 Desember 2009 telah menentukan sejumlah langkah strategis yaitu: (i) Pembentukan Pokja Pemantauan Rencana Aksi Implementasi Rekomendasi KKP Indonesia dengan Timor-Leste di bawah koordinasi Kemenko Polhukam yang bertugas memantau pelaksanaan rencana aksi Kementerian/Lembaga terkait baik dalam tingkat nasional maupun bilateral (Pokja sudah mulai berjalan dari tahun 2010), dan (ii) Penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Implementasi Rekomendasi KKP RI – Timor-Leste sebagai landasan hukum pelaksanaan rencana aksi (Perpres tersebut dalam proses penyusunan).

Perubahan IklimRabu, 22 Juni 2011

Pembahasan isu perubahan iklim saat ini terfokus pada pembahasan mengenai pengaturan perubahan iklim pasca 2012, khususnya komitmen negara-negara maju untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai tindak lanjut periode komitmen pertama Protokol Kyoto. Salah satu penyebab berlarutnya negosiasi dimaksud antara lain disebabkan keengganan negara maju untuk berkomitmen menurunkan emisi GRK nasional-nya tanpa keikutsertaan negara berkembang dan alotnya pembahasan mengenai dukungan pendanaan dan teknologi dari negara maju kepada negara berkembang. Pertemuan COP-13 tahun 2007, di Bali telah menghasilkan terobosan dalam pembahasan isu perubahan iklim melalui (i) Bali Action Plan (BAP) dan Bali Roadmap; serta (ii) Operasionalisasi Adaptation Fund. Dari sisi proses, disepakati pembahasan BAP melalui Ad-hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan diselesaikan di COP-15, Kopenhagen.

Pertemuan COP-16/CMP-6 di Cancun, Meksiko, 29 November – 10 Desember 2010 berhasil menyepakati Cancun Agreements, yang diharapkan dapat mendorong tercapainya legally binding outcome pada COP-17/CMP-7 tahun 2011. Pada hakikatnya, Cancun Agreements dihasilkan secara party driven, namun dengan mengupayakan tercapainya kompromi posisi diantara Para Pihak (balanced package).Cancun Agreements merupakan kumpulan 25 keputusan yang berhasil disepakati, baik dalam kerangka COP-16 maupun CMP-6, dengan 2 (dua) dokumen utama yaitu: a.     Decision 1/CP.16, berisi teks negosiasi sebagai hasil kompromi dari proses AWG-LCA, yang memuat

building blocks BAP, yaitu shared vision, adaptasi, mitigasi, pendanaan, technology development and transfer dan capacity building.

b.     Decision 1/CMP.6 memperpanjang mandat AWG-KP untuk meneruskan pembahasan  periode komitmen kedua Protokol Kyoto, dengan memperhatikan kemajuan pembahasan yang telah dihasilkan pada pertemuan Cancun.  Keputusan ini juga mencatat komitmen (pledge) economy-wide emission reduction target Annex 1 parties dan mengamanatkan peningkatan level ambisi negara-negara dimaksud. Keputusan ini mengindikasikan emission trading dan project-based flexibility mechanism harus tetap tersedia, bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait land use, land use change forestry (LULUCF) dalam upaya penurunan emisi GRK di tingkat global.

Meskipun hasil dari Cancun belum secara komprehensif merefleksikan konsideran-konsideran utama negara berkembang, namun kesepakatan tersebut diharapkan dapat menjadi batu pijakan dalam mengupayakan tercapainya legally binding instrument pada COP-17/CMP-7 di Durban.Indonesia akan senantiasa mengedepankan pentingnya pembentukan rejim baru perubahan iklim paska tahun 2012 yang merefleksikan amanat Bali Roadmap dan Bali Action Plan (BAP) yang mencakup isu mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, pendanaan dan shared vision. Dalam berbagai kesempatan baik di pertemuan formal dan informal, Indonesia secara konsisten menyampaikan pentingnya penyelesaian mandat BAP dan menekankan pentingnya pencapaian legally binding outcome pada perundingan perubahan iklim. Indonesia juga terus mendorong negara-negara yang terlibat dalam negoisasi untuk mempertimbangkan satu hasil yang realistis dan dapat diterima semua pihak, dengan mengedepankan fleksibilitas atas posisi masing-masing negaraPenghargaan masyarakat internasional terhadap peran aktif Indonesia guna mendorong kemajuan dalam perundingan perubahan iklim juga tercermin dari undangan Perdana Menteri Norwegia kepada Presiden RI untuk secara bersama memimpin pertemuan Oslo Climate and Forest Conference pada tanggal 26-27 Mei 2010. Pertemuan ini merupakan implementasi komitmen yang telah dicantumkan dalam CA untuk mendorong implementasi pendanaan awal kegiatan REDD+ sebagai perwujudan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Oslo Climate and Forest Conference menjadi momentum peluncuran kemitraan Interim REDD+ Partnership Arrangement, yang selain diharapkan dapat mengkoordinasikan tindak lanjut aksi dan pendanaan awal bagi konservasi hutan secara efektif dan efisien, juga untuk mendukung proses perundingan menyangkut isu REDD di UNFCCC. Inisiatif ini pada waktunya akan diganti dengan mekanisme UNFCCC termasuk REDD+ sebagai hasil proses perundingan. Ke depan, diharapkan Indonesia dapat terus konsisten dengan peran yang aktif dan konstruktif dengan mendorong negara-negara pihak agar dapat lebih fleksibel dalam mengupayakan kompromi, dengan tidak mengorbankan kepentingan nasional, khususnya kepentingan negara berkembang.  Hal ini penting kiranya untuk mendorong keberhasilan mencapai legally binding outcome, seperti yang dimandatkan oleh BAP. Indonesia juga memandang penting ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan sebagai komponen yang akan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan laut dan pesisir sangat penting dalam mendukung ketahanan tersebut dalam rangka adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada laut. Dalam rangka adaptasi, diperlukan pertukaran pengalaman dan best

practices serta peningkatan penilaian kerentanan laut dan pesisir terhadap dampak perubahan iklim untuk memfasilitasi pelaksanaan aksi adaptasi. Pembahasan isu perubahan iklim juga telah memasuki tahap baru sebagai upaya mencari “terobosan” baru di luar perundingan dalam kerangka UNFCCC misalnya melalui MEFEC (Major Economies Forum on Energy and Climate), Pertemuan Tingkat Menteri OECD dan dalam forum G 20. Forum G-8 dan MEFEC merupakan forum “informal” dalam pembahasan isu perubahan iklim dengan pendekatan yang lebih luas dan realistis mengingat komposisi MEFEC yang melibatkan “aktor kunci” dalam konstelasi politik dan ekonomi saat ini.

Krisis Keuangan GlobalRabu, 22 Juni 2011

Krisis ekonomi dan keuangan global pada tahun 2007 merupakan dampak dari tidak berimbangnya sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS yang diakibatkan lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterkaitan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan, memiliki dampak yang sangat kuat sehingga krisis negara maju meluas ke sejumlah negara berkembang. Efek domino krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya perekonomian negara-negara di dunia.

Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis kali ini memiliki dampak dengan skala yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama yang lebih intens antara negara-negara di dunia. Lebih lanjut lagi, krisis ekonomi dan keuangan global telah menghambat proses pembangunan terutama negara Least Developed Countries serta menyebabkan kemunduran pencapaian target MDGs. Namun, seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian oleh pemerintah masing-masing negara, perekonomian global telah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan di awal 2010, walaupun proses pemulihan diprediksi masih berjalan lambat mengingat sistem finansial yang masih lemah. Proses pemulihan per kawasan juga tidak merata. Selain itu, perekonomian negara-negara maju menunjukkan kecenderungan ketidakparalelan antara perbaikan di sektor finansial kurang dengan perbaikan di sektor riil, hal tersebut ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran. Tahun 2011 diperkirakan perekonomian dunia akan terus menunjukkan trend positif. Revisi outlook ekonomi global yang dirilis IMF pada 25 Januari 2011 menunjukkan kenaikan perkiraan pertumbuhan ekonomi global dari semula 4,2% menjadi 4,5%. Hal ini terutama disebabkan peningkatan indeks kepercayaan konsumen di AS dan Jepang serta pertumbuhan relatif  tinggi di emerging markets. Secara umum pemulihan ekonomi global bersifat two speed recovery dengan pertumbuhan lambat di negara maju disertai masih tingginya tingkat pengangguran, sedangkan emerging markets khususnya China, India, Indonesia, dan Turki terus mengalami pertumbuhan tinggi. Namun, perkiraan pertumbuhan positif tersebut masih dibayangi akan berlanjutnya kondisi ketidakseimbangan eksternal dan internal, serta risiko pemulihan ekonomi global yang masih signifikan.Secara umum beberapa risiko yang membayangi perekonomian global adalah: a.     Tingginya tingkat utang publik di negara maju khususnya Eropa yaitu Portugal, Spanyol, Italia, dan

Belgia yang dikawatirkan dapat “melanjutkan” krisis Yunani dan Irlandia. Hal ini menimbulkan keraguan pasar keuangan mengenai kemampuan Eropa untuk menyelesaikan masalah tanpa menjalani restrukturisasi utang yang signifikan. Walaupun kondisi di Eropa diperkirakan tidak akan menular ke kawasan lain ataupun berdampak ke sektor riil dan secara umum kondisi pasar keuangan di kawasan lain cukup baik.

b.     Meningkatnya tekanan inflasi dan potensi terbentuknya penggelembungan aset di emerging markets akibat derasnya arus modal jangka pendek. Secara khusus potensi koreksi harga properti China menjadi risiko yang cukup signifikan yang dapat memicu pengaruh negatif bagi ekonomi global. Tekanan inflasi juga diperburuk oleh meningkatnya harga komoditas pangan dan energi internasional yang berpotensi mendorong instabilitas politik.

c.     Bagi emerging markets seperti Indonesia, tantangan utama adalah bagaimana mengelola volatilitas arus modal. Aliran modal ke negera berkembang pada tahun 2011 diperkirakan akan sedikit lebih rendah dibandingkan 2010 karena kekawatiran risiko overheating di negara berkembang. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah potensi keluarnya arus modal secara mendadak (sudden reversal), dampak arus modal masuk yang memberi tekanan bagi inflasi, dan penguatan nilai tukar secara berlebihan yang mengurangi daya saing.

Kondisi ketidakseimbangan ekonomi yang dapat menggangu pertumbuhan ekonomi global adalah 1) pemulihan ekonomi yang tidak seimbang di antara negara maju dan emerging markets. 2) ketidakseimbangan domestik yang ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dan melebarnya

kesenjangan pendapatan di dalam negeri. Karenanya meskipun telah terdapat perbaikan kondisi perekonomian global sejak krisis ekonomi tahun 2008, namun hal  ini tetap dianggap bukan situasi ideal karena kondisi ini menyimpan risiko yang dapat menghambat laju pemulihan ekonomi global. Pemulihan ekonomi di masa depan diharapkan tidak hanya terfokus kepada perbaikan keadaan makro ekonomi, namun juga penciptaan lapangan kerja dan perbaikan jaminan sosial. Tanpa adanya lapangan pekerjaan yang cukup dan jaminan pendapatan, maka tidak akan tercipta permintaan domestik yang akhirnya tidak terjadi proses pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Beberapa tantangan utama bagi kerjasama ekonomi internasional saat ini termasuk di G 20 adalah 1) memelihara koordinasi dan kerjasama kebijakan secara regional dan global; 2) menjaga keberlangsungan fiskal dan menekan risiko perbankan di negara maju; 3) mengantisipasi tekanan inflasi akibat dari meningkatnya harga komoditi dan overheating ekonomi di emerging markets. Secara umum krisis ekonomi dan keuangan global menyediakan kesempatan untuk dapat melakukan reformasi struktur ekonomi internasional dimana negara maju menyadari bahwa sistim ekonomi yang ada perlu direformasi dan membutuhkan partisipasi aktif negara berkembang. Momentum pembentukan kerjasama dan forum baru seperti G20 perlu dimanfaatkan Pemri sebagai salah satu alat politik luar negeri.

Pencapaian MDGsSabtu, 05 September 2009

Kepala Negara/Pemerintahan dari berbagai negara telah mengukuhkan komitmen internasional dalam memberantas kemiskinan dan kelaparan diseluruh dunia yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) pada KTT millennium PBB yang diadakan di New York pada tahun 2000 lalu.MDGs memuat sejumlah target berikut tolok ukurnya sebagai acuan internasional dalam mencapai target pemberantasan kemiskinan dan kelaparan yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015. Target

MDGs mencakup:1.    Pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem

2.     Pencapaian pendidikan dasar yang universal

3.     Promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

4.     Pengurangan tingkat mortalitas anak

5.     Peningkatan kesehatan ibu

6.     Pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya

7.     Pencapaian keberlangsungan lingkungan hidup

8.    Pengembangan kemitraan global untuk pembangunan

Krisis ekonomi global pada tahun 2008 telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia sehingga angka pengangguran dan kemiskinan di seluruh dunia bertambah. Hal ini berimbas pada pencapaian sasaran MDGs yang terancam tidak dapat terpenuhi menjelang tenggat waktu tahun 2015. Bahkan, pencapaian MDGs terancam mengalami kemunduran sehingga kemajuan yang telah diraih sebelumnya akan menjadi sia-sia. Krisis ekonomi berdampak lebih lanjut pada turunnya pendapatan riil masyarakat sehingga alokasi dana rumah tangga untuk menyekolahkan anak, memenuhi pasokan gizi yang cukup bagi keluarga, serta menjamin pelayanan dan akses kesehatan yang memadai bagi anggota keluarga yang hamil atau sakit. Pada beberapa segmen masyarakat, dampak kemiskinan juga dapat menyebabkan terhambatnya upaya penyetaraan gender, sebagai contoh, dalam beberapa segmen masyarakat dunia, orangtua cenderung lebih memilih tidak menyekolahkan anak perempuan dari anak lelaki dan memilih mengawinkan anak perempuannya untuk alasan ekonomi.Di sisi lain, dampak krisis juga telah memberikan tekanan budgeter terhadap kemampuan pemerintah untuk dapat menjamin tersedianya akses bagi penduduk atas pekerjaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Lebih jauh lagi, dampak krisis dapat mempengaruhi kelancaran pendanaan luar negeri untuk pembangunan karena umumnya negara maju masih memusatkan upayanya pada pemulihan ekonomi nasional masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan penekanan kembali komitmen, khususnya dari negara maju, untuk mendukung upaya pencapaian target-target MDGs.Pada International Conference on Financing for Development di Doha tahun 2008, sebuah kesepakatan global telah berhasil dicapai untuk tetap mengedepankan upaya global bagi pencapaian MDGs, khususnya komitmen pendanaan negara maju yaitu 0.7% dari GDP, sesuai dengan kesepakatan Monterrey Consensus.

Indonesia tercatat ‘on track’ dalam pencapaian MDGs, kecuali untuk pencapaian MDG 4 (mengurangi tingkat kematian ibu). Sementara bagi banyak negara terutama di Afrika, Asia Selatan dan Pasifik, pencapaian MDGs terutama MDG kesehatan masih tercatat ‘off-track’.  Selain dapat memberikan gambaran yang buruk bagi midterm review pencapaian MDGs tahun 2010, krisis yang berkelanjutan juga dikhawatirkan menghambat pencapaian MDGs pada tahun 2015.Beberapa tantangan utama di tahun 2010 yang dihadapi oleh kemitraan global dalam mencapai MDGs adalah sebagai berikut: (i) lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, sebagai dampak berkelanjutan dari krisis ekonomi, hal ini diprediksikan dapat mengancam keberhasilan pencapaian yang telah dicapai dan keberlangsungan pencapaian MDGs ke depan;  (ii) adanya disparity gap, dimana masih terjadi ketimpangan dalam pencapaian MDGs khususnya terkait dengan MDGs kesehatan. Kesenjangan pencapaian juga terjadi antara negara maju dan negara berkembang; (iii) masih adanya financial and capacity gap, di mana keterbatasan sumber-sumber pendanaan pembangunan publik dan kapasitas, terutama kapasitas pemerintah di level daerah, tetap menjadi masalah bersama yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Menghadapi berbagai tantangan tersebut, diplomasi pembangunan Indonesia untuk mendukung pencapaian MDGs di sepanjang tahun 2010 ditujukan untuk menjaga momentum pertumbuhan dan penciptaan perekonomian dunia yang lebih kuat, berimbang dan berkelanjutan serta membangun platform bagi mobilisasi dan realisasi berbagai komitmen pendanaan dan pengembangan kapasitas pembangunan, baik melalui kerangka internasional PBB, G-20 dan Kerjasama Selatan-Selatan maupun melalui kemitraan multilateral publik dan swasta (public private partnership). Sebagai bagian dari pengembangan kemitraan multilateral untuk menjamin keberlangsungan pendanaan pembangunan, diplomasi pembangunan juga ditujukan untuk penjajakan berbagai finance engineering atau innovative financing, termasuk wacana “debt swap for MDG Projects, dengan lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan IMF. Sejalan dengan hal tersebut, melalui proses G-20, Indonesia juga mendorong adanya general capital increase pada Bank Dunia sehingga meningkatkan kemampuan lembaga tersebut untuk memberikan pinjaman, termasuk untuk pendanan pembangunan.Selanjutnya, untuk mengamankan komitmen para Leaders terhadap pembangunan global dan memanfaatkan efektifitas serta practicality dari forum G-20, Indonesia juga telah mendorong dimasukkannya isu pembangunan dalam agenda pembahasan G-20 dan membuka jalan bagi dibentuknya Kelompok Kerja Pembangunan (Working Group on Development) pada KTT G-20 yang diselenggarakan di Toronto pada 19-20 Juli 2010 untuk mengelaborasi berbagai isu pembangunan dan menyusun agenda pembangunan serta multi-year action plan untuk diadopsi pada KTT G-20 tanggal 11-12 November 2010 di Seoul. Momentum ini menjadi sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya, yakni mendorong terjadinya pembangunan nasional itu sendiri, sebagaimana menjadi kepentingan bagi seluruh negara berkembang di dunia. Selain itu, dalam rangka merevitalisasi komitmen dan memperkuat upaya negara Asia dan Pasifik terhadap pencapaian MDGs di tahun 2015 dan way forward, Indonesia juga telah menyelenggaraan Special Ministerial Meeting for MDGs Review in Asia and the Pacific: Run Up to 2015 (SMM MDGs) pada tanggal 3-4 Agustus 2010 di Jakarta. Dalam memobilisasi kemitraan global untuk mendorong peningkatan pencapaian MDGs kesehatan, terutama dalam meningkatkan angka hidup dan kesehatan ibu hamil dan balita, sejak awal tahun 2010 Pemri berpartisipasi aktif dalam proses inisiasi The Global Strategy for Women’s and Children’s Health. Dalam rangka outreach Strategi ini demi memobilisasi dukungan, Indonesia juga memanfaatkan kerangka Network of Global Leaders for Maternal and Children Health. Outreach yang dilakukan telah mendorong lahirnya komitmen tertinggi yang pernah dicatat dunia untuk pendanaan MDG 4 dan 5 dimana pada penyelenggaraan UN High Level Plenary on MDGs di sela SMU PBB ke-65, tercatat komiten pendanaan sebesar US$ 40 milyar untuk lima tahun ke depan. Indonesia juga mendorong greater coherence and coordination antara badan PBB dan dalam pelaksanaan operasional PBB untuk pembangunan yang efektif, efisien dan transparan. Selain itu Indonesia mendukung dan melaksanakan health diplomacy karena kesehatan merupakan pondasi dasar dari pencapaian sasaran-sasaran MDGs lainnya.

Keanggotaan Indonesia dalam Peace Building Commission (PBC)Selasa, 26 Juli 2011

Dalam lima tahun operasionalnya, di bawah agenda PBC (country specific configurations) telah terdapat enam negara yang menjadi fokus perhatian yaitu Burundi, Sierra Leone, Guinea Bissau dan CAR (Central African Republic), Liberia dan Guinea (Conakry). Dilandasi pada prinsip kepemilikan nasional/national ownership (proses pembuatan strategi dan pelaksanaannya didasari oleh prakarsa pemerintah setempat), PBC telah membahas dan menyiapkan strategi untuk melibatkan aktor-aktor

internasional, termasuk masyarakat madani, dalam upaya penciptaan perdamaian di negara-negara tersebut. Indonesia telah terpilih kembali menjadi anggota PBC pada tanggal 1 Januari 2011. Keanggotaan RI di PBC merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif RI di bidang keamanan dan perdamaian dunia melalui forum multilateral.Keterlibatan RI dalam PBC juga ditujukan untuk meningkatkan peranan RI (pemerintah dan komponen masyarakat madani) dalam Post-Conflict Peacebuilding, termasuk dalam program Disarmament, Demobilization, and Reintegration (DDR), mengingat RI memiliki pengalaman dalam hal ini melalui keterlibatan RI dalam PKO (Peacekeeping Operations) di berbagai negara serta pengalaman dalam peacebuilding di dalam negeri, antara lain dengan menyelenggarakan pemilu dan penyelesaian konflik Aceh.Dalam kaitan ini, Indonesia berkomitmen untuk memainkan peran aktif dan konstruktif serta berkontribusi dalam berbagai pertemuan OC PBC, berbagai pertemuan informal yang dilakukan, dalam kerangka Working Group on Lesson Learned (WGLL) dan Country Specific Configurations (CSCs). Selain itu, Indonesia juga memainkan peranan aktif pada Kaukus PBC GNB.  Di  berbagai kesempatan pertemuan dalam kerangka persidangan PBC, Indonesia, senantiasa  berbagi praktek-praktek unggulan (best practices) dan lesson learned Indonesia dalam proses peacebuilding, khususnya terkait dengan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemri dalam mengedepankan praktek-praktek pemerintahan yang baik (good governance), penegakkan hukum (rule of law) dan pemajuan dan perlindungan atas HAM. Dapat dicatat, bahwa dalam Laporan Bank Dunia mengenai World Development’s Report 2011, yang peluncurannya di PBB dilakukan dalam kerangka Pertemuan Special Segment PBC pada tanggal 29 April 2011, sejumlah praktek unggulan dari Indonesia, khususnya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah diangkat, pada Bab IV laporan. Dalam hal ini, laporan mencatat bahwa dalam mengusung perjanjian perdamaian di Aceh, pengalaman yang terjadi di Aceh disebut memperlihatkan upaya conflict prevention and resolution yang bersifat efektif, setelah 30 tahun terjadinya konflik dan kekerasan di Propinsi tersebut. Berbagai pengalaman post-conflict peacebuilding yang dilakukan oleh Indonesia, termasuk dari NAD, kiranya telah dijadikan showcase keberhasilan pelaksanaan program-program peacebuilding, yang selayaknya dapat di-share dan ditularkan kepada Negara-negara paska konflik, khususnya Negara-negara yang berada pada CSCs PBC.

 

Ketahanan panganRabu, 13 Juni 2012

Selama empat tahun terakhir ini terjadi bencana kelaparan di berbagai pelosok dunia akibat ketidaktersediaan pasok pangan yang cukup.  Isu ancaman ketahanan pangan mengemuka dan menjadi salah satu agenda global yang mendapatkan perhatian utama dunia akibat terjadinya pertambahan penduduk dunia secara signifikan, meningkatnya harga bahan pangan, penggunaan lahan pangan sebagai sumber energi baru, penurunan produksi pertanian akibat gangguan perubahan iklim, serta menurunnya kesejahteraan sebagian masyarakat dunia, terutama di negara-negara berkembang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan langkah strategis dengan menyusun Comprehensive Framework of Action (CFA) oleh High Level Task Force (HLTF) on Food Security di bawah kendali langsung Sekjen PBB.  Langkah ini diikuti oleh berbagai inisiatif kerjasama ketahanan pangan pada pertemuan-pertemuan tingkat tinggi seperti G-20 dan ASEAN.  Puncaknya adalah penyelenggaraan World Summit on Food Security pada bulan November 2009. Pertemuan tersebut menyepakati Declaration of the World Summit on Food Security yang menitikberatkan pada pelaksanaan Five Rome Principles for Sustainable Global Food Security yang secara garis besar menetapkan komitmen dan kesepakatan aksi bersama masyarakat global. Deklarasi tersebut juga mendudukan Committee on World Food Security (CFS) FAO sebagai platform internasional yang inklusif untuk menghadapi isu ketahanan pangan dan nutrisi global, serta sebagai komponen utama dari proses menuju kemitraan global untuk pertanian, ketahanan pangan dan nutrisi.Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia memandang kebijakan pertanian baik di tingkat nasional, regional dan global perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global. Oleh karena itu di tengah diplomasi internasional yang semakin menganggap penting isu ketahanan pangan sebagai agenda sentral, Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya bersama mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.

Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ke dalam agenda pembangunan global juga masih diperjuangkan dalam perundingan putaran Doha (Doha Development Agenda) di WTO. Dalam berbagai kesempatan, Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood security sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi dari negara maju, melalui mekanisme special products dan special safeguard mechanism. Dimulai dari surat Presiden RI kepada Sekjen PBB bulan Maret 2008 sampai dengan menjadi inisiator dan fasilitator disetujuinya resolusi mengenai pembangunan pertanian dan ketahanan pangan pada SMU PBB ke-63 pada tahun 2008 (resolusi 63/235), SMU PBB ke-64 pada tahun 2009 (resolusi 64/224), dan SMU PBB ke-65 pada tahun 2010 (resolusi 65/178) merepresentasikan gambaran umum bahwa ketahanan pangan menempati posisi yang penting dalam diplomasi RI. Keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan diplomasi di bidang ketahanan pangan juga diyakini akan dapat memperkuat profil Indonesia secara umum di mata internasional sekaligus merupakan bagian dari strategi nasional. Diundangnya Indonesia pada KTT G-8 di L’Aquila bulan Juli 2009, serta partisipasi dalam perumusan serta pengesahan L’Aquila Joint Statement on Global Food Security pada KTT tersebut menunjukkan semakin kuatnya kepercayaan internasional. Selain itu, sebagai anggota G-20, Indonesia juga berperan dalam penyusunan kesepakatan yang mendorong pembentukan trust-fund di Bank Dunia untuk mendukung inisiatif baru dalam ketahanan pangan. Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya terutama dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs. Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak tahun 1980, termasuk salah satu bentuk perwujudan komitmen Indonesia untuk merealisasikan partisipasinya dalam L’Aquila Joint Statement on Global Food Security.Di samping itu, Indonesia juga terus mendesak agar negara-negara anggota FAO mengambil langkah dan inisiatif yang berarti untuk terus menjamin ketersediaan pangan global, menuju ketahanan pangan global. Diharapkan pada tahun 2050 akan cukup tersedia pangan bagi sekitar 9 miliar penduduk.Sebagai anggota G-20, Indonesia memprakarsai penyusunan Ministerial Declaration on Action Plan on Food Price Volatility and Agriculture pada Pertemuan Tingkat Menteri G-20 di bulan Juni 2011. Action Plan tersebut bertujuan untuk mencapai 4 (empat) tujuan utama yaitu: (1) meningkatkan produksi dan produktifitas pertanian, (2) melakukan transparansi terkait informasi pasar produk pangan dan pertanian, (3) memperkuat koordinasi pengambilan kebijakan di tingkat internasional, (4) membangun manajemen pertanian pada tingkat pemerintahan, pengusaha dan petani.  Sesuai dengan arahan Presiden RI pada pelantikan para Menteri dan Wakil Menteri baru pada tanggal 19 Oktober 2011, arah diplomasi Indonesia ke masa depan di bidang ketahanan pangan global difokuskan kepada antara lain: (1) pencapaian tujuan MDGs sekaligus mendukung Program Pangan Nasional bagi peningkatan investasi di bidang pertanian untuk mendukung peningkatan produktifitas pangan nasional, (2) penyediaan skema social safety net bagi masyarakat paling rentan, (3) penguatan tata kelola global antara lain melalui reformasi di tubuh FAO khususnya Committee on World Food Security (CFS), (5) masih relevannya realisasi komitmen ODA oleh negara donor, khususnya yang disepakati di L’Aquila sebesar US$20 milyar untuk 3 tahun yang akan berakhir pada tahun 2012, dan (6) mengingat keterkaitan yang erat antara ketahanan pangan dan perubahan iklim, perlu adanya jaminan bahwa upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim mendapatkan dukungan penuh semua pihak.

 Kerjasama Bilateral Kerjasama Regional Kerjasama Multilateral Organisasi Internasional Isu-Isu Khusus

Isu-Isu Khusus

Isu KosovoSabtu, 03 Oktober 2009

Pada tanggal 17 Februari 2008, Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak. Pada tanggal 28 Februari 2008, dibentuk International Steering Group for Kosovo

yang beranggotakan Inggris, Perancis, Jerman, Italia, AS, Austria, Republik Ceko, Finlandia, Swedia, Turki, Belgia, Denmark, Hongaria, Slovenia dan Swiss. Sementara, pada tanggal 4 Maret 2008, EU membentuk European Rule of Law Mission (EULEX) yang merupakan misi perdamaian dan keadilan untuk membantu pemerintah Kosovo mengawasi area dan kebijakan di Kosovo.  Deklarasi tersebut diikuti oleh pembentukan konstitusi dan pembukaan hubungan diplomatik dengan sejumlah negara. Sampai dengan Juli 2009,  62 negara anggota PBB telah secara formal mengakui kemerdekaan Kosovo.  Dengan adanya perubahan situasi di lapangan pasca UDI Kosovo, Sekjen PBB memandang perlu untuk melakukan rekonfigurasi UNMIK. Sesuai dengan resolusi 1244, keberadaan UNMIK di Kosovo tidak mempunya “end-date” sampai terdapat sebuah resolusi baru DK untuk menghentikan mandatnya. Sekjen PBB menyampaikan usulan mengenai rekonfigurasi UNMIK yang disebut dengan “Status Neutral”. Penyesuaian struktur dan profil UNMIK dilakukan dalam kerangka Resolusi DK 1244 dan memungkinkan EULEX untuk berperan lebih besar di bidang penegakan tertib hukum di Kosovo namun berada di bawah naungan PBB. Sampai saat ini, belum ada kesepakatan bersama Serbia, Kosovo dan UNMIK mengenai EULEX.  Serbia mensyaratkan bahwa dalam penempatan EULEX harus memenuhi tiga kriteria utama yaitu status netral, diputuskan dengan resolusi DK-PBB, dan tidak melaksanakan proposal Ahtisaari yang secara esensi memberikan kedaulatan kepada Kosovo meskipun tidak memuat istilah merdeka/memerdekakan. Hal ini bertentangan dengan sikap Kosovo yang menekankan bahwa Kosovo tidak memerlukan EULEX dengan status netral, melainkan yang akan melaksanakan misi Ahtisaari; serta menolak kesepakatan antara Serbia dan PBB tentang penempatan EULEX di Kosovo terkait dengan enam butir kesepakatan (six point plan) di bidang kepolisian; peradilan; manajemen perbatasan; perlindungan terhadap fasilitas keagamaan; transportasi dan infrastruktur; serta kepabeanan.  Serbia berupaya untuk menyelesaikan isu status akhir Kosovo melalui jalur politik dan hukum melalui ICJ yang dinilai sebagai badan yang dapat memberikan pandangan hukum secara objektif dan netral. Inisiatif tersebut merupakan yang pertama kali dalam sejarah Balkan dimana upaya penyelesaian isu keutuhan wilayah dilakukan diluar jalur kekerasan.  Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-63 tanggap 8 Oktober 2008, berhasil disahkan Resolusi 63/3 tentang “Request for an advisory opinion of the International Court of Justice on whether the unilateral declaration of independence of Kosovo is in accordance with international law”. Hasil pemungutan suara terhadap ranres Serbia adalah 77 negara mendukung, 74 negara abstain, 6 negara menentang. Pemerintah RI menghormati sepenuhnya prinsip kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah setiap negara anggota PBB, yang merupakan prinsip yang dikandung dalam Piagam PBB dan Hukum Internasional, sebagai prinsip penting yang harus dijunjung

tinggi oleh negara-negara, utamanya negara-negara berkembang yang masih menghadapi tantangan ‘nation building’ mereka.  Sejak semula Pemerintah RI ikut mendorong agar status akhir dari masalah Kosovo diselesaikan secara damai melalui dialog dan negosiasi, sehingga apapun kesepakatan yang dicapai dari proses itu tidak menimbulkan ketegangan apalagi konflik baru di wilayah Balkan.  Pemerintah RI menyesalkan telah terjadinya kegagalan dalam upaya menyelesaikan masalah Kosovo melalui dialog dan negosiasi tersebut, yang pada akhirnya telah mendorong pernyataan kemerdekaan secara sepihak oleh Kosovo. Pemerintah RI akan mengikuti dari dekat perkembangan di Kosovo dan belum berada pada posisi untuk memberikan pengakuan atas pernyataan kemerdekaan secara sepihak oleh Kosovo tersebut.  Pemerintah RI berharap pernyataan kemerdekaan itu tidak menimbulkan ketegangan dan konflik terbuka, khususnya dengan Serbia, apalagi mengingat telah banyak jatuh korban selama ini di wilayah Balkan. Indonesia menyambut baik upaya Serbia untuk menyelesaikan isu Status Akhir kosovo melalui jalur politik dan hukum dengan mengajukan rancangan resolusi permintaan advisory opinion kepada ICJ mengenai legalitas deklarasi kemerdekaan Kosovo. Pengesahan resolusi tersebut pada SMU ke-63 bulan Oktober 2008, merupakan upaya penyelesaian terbaik bagi penentuan status akhir Kosovo secara damai dan mengedepankan pendekatan konstruktif melalui jalur diplomasi sesuai dengan prinsip dasar Indonesia

Indonesia dan Reformasi Dewan Keamanan PBBSelasa, 26 Juli 2011

Sejak Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2005, fokus reformasi PBB tertuju pada upaya untuk menjadikan Dewan Keamanan (DK) lebih demokratis dan representatif. Indonesia memandang bahwa DK-PBB perlu direformasi karena tidak lagi mencerminkan realitas geopolitik dan tidak mencerminkan keterwakilan kawasan secara merata. Diperlukan upaya rebalancing antara kawasan dan meningkatkan keterwakilan negara berkembang di DK yang merupakan 2/3 dari seluruh negara anggota PBB. Negosiasi mengenai reformasi DK hingga saat ini masih berjalan melalui berbagai pembahasan informal plenary Majelis Umum PBB yang difasilitasi oleh Dubes Zahir Tanin (Afghanistan) dan telah menyiapkan negotiating text atas dasar proposal negara-negara yang membahas lima persoalan kunci sebagai berikut:

1.     Jenis keanggotaan (Categories of membership)2.     Persoalan hak veto (Question of veto)3.     Keterwakilan kawasan (Regional representation)4.     Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya (Size of the enlarged Security

Council and its working methods); dan5.     Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB (The relationship between the Security Council

and the General Assembly).Dalam pembahasan reformasi DK PBB, isu yang paling contentious adalah mengenai perluasan keanggotaan tetap dan hak veto. Berbagai usulan yang diajukan dalam beberapa tahun terakhir ini (a.l. dari kelompok Uniting for Consensus-UfC, G-4, Kelompok Afrika) belum berhasil menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB. Dalam mereformasi DK-PBB, Indonesia menilai bahwa segala upaya atau bentuk reformasi harus dilakukan secara komprehensif dan harus dilakukan dalam konteks reformasi PBB secara keseluruhan. Posisi

Indonesia terkait pembahasan reformasi DK-PBB di dalam Mejelis Umum (MU) PBB yang membahas lima persoalan kunci sebagaimana yang disampaikan secara tertulis kepada fasilitator negosiasi, 13 Desember 2010 adalah sebagai berikut: 1.     Jenis keanggotaan (Categories of membership)

Indonesia berprinsip bahwa perluasan keanggotaan harus diputuskan secara konsensus dan menghindari perpecahan, keanggotaan harus mewakili keseimbangan geografis dan keterwakilan berkembang serta menghindari keterwakilan berlebihan (over representation) bagi kawasan tertentu. Namun, selama konsensus masih sulit dicapai, Indonesia menilai pentingnya pendekatan “intermediate approach” dengan review mechanism setelah 15-20 tahun berlakunya sistem ini untuk dapat mengubah kursi tidak tetap tertentu menjadi kursi anggota tetap. Dalam observasi Indonesia saat ini, pendekatan inilah yang dapat menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB. Dalam kategori ini negara-negara tidak boleh berpindah-pindah ketika ingin memilih kursinya antara kursi anggota tidak tetap masa 2 tahun atau untuk kursi yang lebih lama dari 2 tahun. Dengan tidak berpindah-pindah, maka akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi negara-negara relatif kecil untuk terpilih menjadi anggota DK.

2.     Persoalan hak veto (Question of veto)Indonesia berpendirian bahwa seyogyanya hak veto dihapus. Namun, sepanjang penghapusan hak veto belum dapat dilakukan, Indonesia menilai bahwa penggunaannya harus diatur. Dalam hal ini hak veto tidak boleh digunakan terhadap isu-isu yang terkait dengan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembasmian etnis, dan kejahatan perang. Selain itu, Indonesia tidak ingin ada hak veto baru apabila disepakati penambahan pada kategori anggota tetap dan dibatasi vis-a-vis kawasan WEOG.

3.     Keterwakilan kawasan (Regional representation)Dalam mencari keseimbangan terhadap realitas geopolitik dan keterwakilan kawasan dalam perluasan keanggotaan DK, Indonesia menilai harus adanya keseimbangan representasi geografis (terutama dari kawasan Asia dan Afrika) dan peningkatan keterwakilan negara berkembang.

4.     Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya (Size of the enlarged         Security Council and its working methods)

Indonesia dapat mendukung perluasan hingga 26 anggota DK dengan catatan Asia dan Afrika masing-masing mendapatkan tambahan empat kursi. Dalam posisi ini, Indonesia belum menyebutkan dari empat kursi tambahan untuk masing-masing kawasan dimaksud, berapa yang untuk anggota tetap dan berapa untuk anggota tidak tetap. Berkaitan dengan metode kerja DK, Indonesia telah memberikan berbagai usulan diantaranya; Indonesia menilai penting negara yang terkena sanksi DK memiliki kesempatan agar pendapatnya didengar dan berpartisipasi dalam pembahasan sanksi yang ditetapkan. Selain itu, Indonesia menilai penting keterlibatan yang lebih besar bagi  negara pengirim pasukan (TCC-Troop Contributing Countries) dalam pembuatan draft resolusi DK dalam penggelaran PKO.

5.     Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB (The relationship between the Security Council and the General Assembly)Indonesia menilai penting penguatan mekanisme hubungan kerja yang substansial antara kedua organ utama PBB tersebut. Terkait dengan itu, diperlukan penegasan kembali terhadap pelaksanaan mandat masing-masing organ PBB untuk menghindari intervensi dan encroachment antar organ utama PBB. Dengan demikian DK hendaknya tidak melanggar ruang lingkup MU selaku the chief deliberative, policymaking and representative organ PBB.

Isu MyanmarSabtu, 03 Oktober 2009

Myanmar merupakan persoalan kawasan yang penting karena sorotan masyarakat internasional yang tinggi terhadap keadaan di negara tersebut. ”Demokratisasi” adalah salah satu isu utama yang sering diangkat selain isu hak asasi manusia dan transnational organized crimes yang terjadi di Myanmar. Selain itu, bencana Topan Nargis yang melanda Myanmar pada Mei 2008 juga menjadikan negara tersebut sebagai sorotan masyarakat internasional, khususnya dalam konteks bantuan kemanusiaan.  Dalam konteks multilateral, pembahasan persoalan ini dilakukan dalam  kerangka Dewan Keamanan PBB; upaya jasa-jasa baik (good offices) Sekjen PBB melalui utusan khususnya Prof. Ibrahim Gambari; Group of Friends of the Secretary-General on Myanmar; dan Focused Group on Myanmar (Focused Group).

 Dalam upaya menjembatani berbagai pandangan dalam pembahasan persoalan Myanmar yang turut melibatkan Myanmar, Indonensia telah melakukan inisiatif untuk membentuk Focused Group on Myanmar. Mekanisme ini merupakan proses informal untuk membahas perkembangan dan langkah kedepan Pemerintah Myanmar dalam menjalankan komitmennya menuju negara yang demokratis.  Focused Group merupakan proses yang bersifat informal dari negara-negara di kawasan Asia, seperti China dan Indonesia, yang secara bilateral mendorong kemajuan upaya demokratisasi di Myanmar serta mendukung upaya good offices Sekjen PBB. Proses ini merupakan satu-satunya proses internasional yang melibatkan dan diterima oleh Myanmar. Upaya bersama kedua negara melalui Focused Group ini memberikan nilai tambah bagi upaya-upaya secara nasional tersebut. Pertemuan ini dilakukan pada tingkat Dubes untuk PBB dari masing-masing negara. Selain melibatkan komunikasi secara erat dengan Prof. Gambari, proses ini memiliki kelebihan yang patut dicatat dengan adanya persetujuan dan keterlibatan langsung dari Myanmar dalam proses ini. Dari segi kualitas, dengan keterlibatan Myanmar tersebut maka proses ini memiliki koherensi dan menciptakan sense of common ownership pada pihak Myanmar. Saat ini proses Focused Group melibatkan China, Myanmar, Penasehat Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar, Prof. Ibrahim Gambari, dan sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Jepang (2009-2010) dan Vietnam (2008-2009). Posisi Indonesia Indonesia meyakini bahwa pendekatan yang tepat dalam membantu upaya demokratisasi Myanmar adalah melalui constructive engagement dan bukannya pendekatan isolation, yang mengedepankan cara-cara konfrontatif dan penerapan sanksi, hal mana justru dapat menjadi counter-productive terhadap upaya demokratisasi Myanmar.  Dalam penyelesaian persoalan Myanmar, Indonesia memandang bahwa selain demokrasi, keutuhan teritorial dan persatuan Myanmar penting juga untuk diperhatikan. Myanmar tidak dapat dibiarkan pecah karena akan menimbulkan pertumpahan darah dan bencana kemanusiaan yang akan mengancam stabilitas kawasan. Indonesia berpendapat bahwa masa depan Myanmar berada di tangan Pemerintah dan rakyat Myanmar sendiri, namun demikian tidak dapat dipungkiri adanya aspek internasional dari masalah yang dihadapi Myanmar tersebut. Indonesia mendorong demokratisasi di Myanmar, termasuk pelaksanaan 7 langkah political ”roadmap” yang dicanangkan oleh Pemerintah Myanmar sendiri. Sehubungan dengan hal itu, Indonesia menilai bahwa proses demokratisasi Myanmar akan menjadi kredibel bila melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Myanmar.  

Terkait  itu Indonesia menghargai dan mendukung upaya-upaya yang selama ini dilakukan Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar, Prof. Ibrahim

Gambari, guna mendorong proses demokratisasi di Myanmar. Indonesia berpendapat bahwa kemajuan di bidang demokratisasi, termasuk melalui kerjasama  good offices Sekjen PBB, adalah untuk kepentingan Myanmar sendiri. Oleh karena itu, Indonesia senantiasa mendorong Myanmar untuk memberikan kerjasamanya secara penuh kepada good offices Sekjen PBB agar proses demokratisasi Myanmar menjadi lebih kredibel.

Isu PalestinaSabtu, 03 Oktober 2009

Latar Belakang

Masalah Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Palestina, tetap mendapat perhatian khusus Indonesia, termasuk dalam forum multilateral. Partisipasi Indonesia dalam forum Multilateral diantaranya dilakukan melalui Sidang Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB.

Selama keanggotaan Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB periode 2007 – 2008, Indonesia dalam berbagai kesempatan tetap konsisten menyuarakan hak-hak rakyat Palestina, termasuk berdirinya negara Palestina yang merdeka, demokratik dan viable. Sejak awal keanggotaan di DK PBB, Indonesia selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan terkait masalah Palestina, termasuk dalam bentuk presidential statement (PRST) maupun resolusi, sebagai cerminan tanggung jawab DK PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Atas konsistensi dorongan Indonesia tersebut, pada tanggal 16 Desember 2008, untuk pertama kalinya sejak tahun 2004, DK PBB telah mengesahkan resolusi No. 1850 mengenai proses perdamaian di Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina, yang rancangannya disiapkan oleh delegasi AS dan Rusia.

Sehubungan dengan konflik di Jalur Gaza, pada tanggal 31 Desember 2008, Indonesia telah berpartisipasi dalam sidang darurat DK PBB guna membahas perkembangan situasi di Jalur Gaza. Sidang Darurat telah menghasilkan sebuah Resolusi yang memuat elemen-elemen yang sebelumnya telah dikonsultasikan dengan Indonesia dengan merujuk hal-hal antara lain: (1) kutukan terhadap serangan Israel; (2) desakan penghentian serangan oleh Israel; (3) seruan bagi perlindungan internasional terhadap warga sipil di Jalur Gaza; (4) desakan pembukaan akses kemanusiaan di Jalur Gaza; (5) seruan bagi bantuan internasional dalam mengatasi krisis.

Resolusi tersebut setelah melalui proses di DK PBB, kemudian diadopsi pada tanggal 8 Januari 2009 sebagai resolusi 1860. Resolusi tersebut pada intinya menyerukan bagi terciptanya gencatan senjata yang langgeng dan sepenuhnya dipatuhi sesegera mungkin

menuju penarikan pasukan Israel sepenuhnya dari Gaza, penyaluran bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza, mengutuk semua bentuk kekerasan terhadap warga sipil dan terorisme, mendorong dialog antar-Palestina, dan mendorong upaya menciptakan perdamaian yang komprehensif diantara Israel dan Palestina atas dasar visi dua Negara.

Indonesia sebagai anggota Dewan HAM juga telah mendorong dilaksanakan Special Session Dewan HAM (SSDHAM) pada tanggal 9 Januari 2009 dan dilanjutkan pada tanggal 12 Januari 2009. Sidang Dewan HAM tersebut kemudian mengesahkan ranres ”The Grave Violation of Human Rights in the Occupied Palestinian Territory, particularly due to the recent Israeli military attacks against  the Occupied Gaza Strip” melalui pemungutan suara dengan hasil: 33 mendukung (termasuk Indonesia), 1 menolak (Kanada) dan 13 abstain. Selain menegaskan kembali tuntutan yang terdapat juga dalam resolusi DK PBB 1860, resolusi Dewan HAM ini juga memutuskan untuk segera mengirimkan Tim Pencari Fakta independen yang akan ditunjuk oleh Presiden Dewan HAM dengan mandat untuk menyelidiki pelanggaran Hukum Internasional HAM dan Hukum Internasional Humaniter oleh Israel terhadap rakyat Palestina, khususnya berkaitan dengan serangan Israel akhir-akhir ini ke Jalur Gaza, serta menyerukan kepada Israel untuk memberikan kerjasama penuh kepada Tim tersebut.

Sebagai kelanjutan dari perannya di DK PBB, Indonesia (dalam kapasitasnya selaku negara anggota Majelis Umum PBB) melalui Biro koordinasi GNB di New York, telah menjadi salah satu penggagas utama dilaksanakannya Sidang Khusus Majelis Umum PBB pada tanggal 15 – 16 Januari 2009 mengenai isu Palestina. Sidang tersebut kemudian melahirkan resolusi no. A/RES/ES-10/18 yang pada intinya berisi dukungan bagi implementasi resolusi DK PBB 1860 serta seruan kepada masyarakat internasional untuk membantu krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

Indonesia pada pemungutan suara terhadap ranres mengambil posisi abstain dengan beberapa alasan sebagai berikut: (1) Resolusi tersebut gagal mengidentifikasi Israel sebagai biang keladi (main perpetrator) terhadap situasi kritis di Gaza; (2) Resolusi memberikan persepsi menyamakan korban warga sipil Palestina yang jauh berlipat ganda dengan korban sipil warga Israel; (3) Resolusi tidak memuat penegasan penarikan mundur pasukan militer Israel dari Gaza dengan segera.

Pada tanggal 8-10 Juni 2009, Indonesia telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan United Nations Asian and Pacific Meeting on the Question of Palestine dengan tema strengthening international consensus on the urgency of achieving a Two-State Solution (Pertemuan Regional) pada tanggal 8-9 Juni 2009,  yang diikuti dengan pertemuan United Nations Forum of Civil Society in Support of the Palestinian People (Forum Publik) pada tanggal 10 Mei 2009. Kedua pertemuan tersebut merupakan program dari Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestinian People (Komite Palestina) Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menjalankan mandatnya menggalang dukungan masyarakat internasional terhadap penyelesaian damai konflik Israel-Palestina.

Final Document dari pertemuan tersebut adalah Concluding Statement of the Organizer yang berisi catatan mengenai jalannya pertemuan serta berbagai pemikiran yang muncul selama pertemuan. Selain itu, dokumen tersebut juga menyebutkan mengenai penghargaan atas peran aktif Pemri selama ini sebagai anggota Komite Palestina serta berbagai bantuan capacity building yang diberikan Pemri kepada rakyat Palestina.

Pada tanggal 16 Oktober 2009, Laporan Tim Pencari Fakta Independen (Goldstone Report) berikut rekomendasinya telah disahkan di dalam Sidang Khusus Dewan HAM untuk selanjutnya dibahas di Majelis Umum PBB.

Pada tanggal 5 November 2009, Sidang Majelis Umum PBB ke-64 di bawah mata agenda mengenai Report of the Human Rights Council, telah mengesahkan resolusi No. 64/10 mengenai Follow-Up to the UN Fact-Finding Mission on Gaza Conflict (Goldstone Report). Resolusi antara lain meminta Sekjen untuk menyampaikan laporan tersebut kepada DK-PBB. Berdasarkan resolusi ini, pihak Israel dan Palestina diberi waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan investigasi secara bebas dan sesuai dengan standar internasional mengenai pelanggaran serius hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional sebagaimana dilaporkan dalam Goldstone Report. Terkait dengan hal ini, Sekjen juga diminta untuk melaporkan kepada Majelis Umum mengenai implementasi resolusi. Hal ini bertujuan agar jika diperlukan dapat dilakukan pembahasan mengenai langkah tindak lanjut oleh badan-badan PBB yang relevan, termasuk DK-PBB.

Lebih lanjut, pada Sidang Dewan HAM Sesi ke-13 tanggal 22 Maret 2010 dalam pembahasan Human rights Situation in Palestine and other occupied Arab territories, Indonesia menegaskan kembali dukungan terhadap upaya diplomasi yang dilakukan komunitas internasional untuk mencari solusi yang adil dan komprehensif bagi seluruh pihak, melalui pembentukan negara Palestina merdeka dan demokratis.

Dukungan Indonesia diwujudkan dalam mendorong dan mengambil sikap setuju dalam pemungutan suara pada pembahasan 5 (lima) resolusi Dewan HAM PBB terkait Palestina yaitu Resolusi Right of the Palestinian people to self-determination; Resolusi Human Rights in the Occupied Syrian Golan; Resolusi Israeli settlements in the OPT, including East Jerusalem and in the Occupied Syrian Golan; Resolusi The Grave human rights violations by Israel in the OPT, including East Jerusalem; dan Resolusi Follow up to the report of the UN Independent International Fact Finding Mission on the Gaza Conflict. 

Insiden penyergapan kapal relawan internasional “Mavi Marmara” oleh Israel pada tanggal 30 Mei 2010 telah mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan Presidential Statement (PRST) tanggal 31 Mei 2010. Secara umum PRST berisi kecaman terhadap aksi Israel dan permintaan agar Israel segera dapat melepas kapal dan semua rakyat sipil yang ditahan, serta memandang perlu investigasi penuh yang dilaksanakan segera, tidak memihak, kredibel, dan transparan sesuai dengan aturan internasional.

Disamping itu, dalam kapasitas sebagai salah satu Wakil Presiden Dewan HAM, Indonesia, pada pembahasan di Biro Dewan HAM, telah memperjuangkan kesepakatan

negara-negara GNB dan OKI untuk mengajukan usulan pelaksanaan satu sesi khusus pada Sidang Sesi ke-14 Dewan HAM dengan outcome berupa resolusi yang membahas masalah penyerangan angkatan bersenjata Israel terhadap Kapal Mavi Marmara. Usulan tersebut telah disepakati oleh seluruh anggota Dewan HAM dengan bentuk sesi berupa urgent debate yang diadakan pada Selasa, 1 – 2 Juni 2010 ditengah-tengah Persidangan Sesi ke-14 Dewan HAM PBB.

Sesi “urgent debate”  Sidang Dewan HAM PBB pada tanggal  2 Juni 2010, juga telah mengesahkan resolusi A/HRC/14/1 mengenai The Grave Attacks by Israeli Forces against the Humanitarian Boat Convoy. Dalam pertemuan itu, Indonesia telah menyampaikan pernyataan yang mengutuk keras serangan yang dilakukan oleh Israeli Defense Force terhadap Kapal Mavi Marmara; menyatakan terkejut atas penahanan relawan kemanusiaan, termasuk relawan WNI yang merupakan bentuk pelanggaran HAM; mendorong pembentukan misi pencari fakta independen (International Fact-Finding Mission/IFFM); menegaskan bahwa pengepungan/blokade Jalur Gaza oleh Israel merupakan pelanggaran Hukum HAM dan Humaniter Internasional; dan menyayangkan bahwa insiden terjadi di saat proses perdamaian Timur Tengah sedang berada di fase krusial dengan diluncurkannya Proximity Talks. Disamping itu, Indonesia bersama anggota Kelompok OKI dan GNB berhasil mendorong pembentukan Misi Pencari Fakta Independen Internasional (Independent International Fact Finding Mission/IIFFM) untuk melakukan investigasi terhadap serangan militer Israel tersebut. Anggota IIFM akan dipilih oleh Presiden DHAM untuk segera bekerja dan melaporkan hasil penyelidikannya dalam Sesi ke-15 Sidang DHAM pada bulan September 2010.

Sesi Urgent Debate telah menghasilkan resolusi ”Grave Attacks by Israeli Forces against Humanitarian Boat Convoy”. Resolusi disepakati melalui voting dengan hasil 32 negara mendukung, 9 negara abstain (Belgia, Burkina Faso, Prancis, Hungaria, jepang, Korea Selatan, Slovakia, Ukraina dan Inggris), dan 3 menentang (Amerika Serikat, Italia, dan Belanda). Sementara 3 negara tidak hadir (Kamerun, Zambia, dan Madagaskar). Isi resolusi antara lain:

a. Dewan HAM mengutuk sekeras-kerasnya penyerangan yang dilakukan oleh Israel kepada kapal bantuan kemanusiaan tersebut.

b. Memutuskan untuk mengirimkan Independent International Fact-Finding Mission/IIFFM untuk menyelidiki pelanggaran hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional dan hukum HAM dalam penyerangan Israel atas kapal yang membawa bantuan kemanusiaan.

c. Diminta hasil penyelidikan IIFFM di laporkan ke Sidang Dewan HAM PBB pada Bulan September 2010.

d. Meminta Israel untuk sesegera mungkin mengakhiri penguasaan atas wilayah Gaza dan wilayah Okupasi lainnya.

Posisi Indonesia

1. Indonesia prihatin dengan krisis kemanusiaan di Gaza serta mendorong masyarakat internasional untuk satu suara menuntut Israel membuka perbatasan agar bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi dapat masuk ke wilayah Gaza.

2. Indonesia menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua pembangunan pemukiman di wilayah Palestina, termasuk di wilayah Yerusalem Timur serta meminta agar Israel menggusur perumahan yang telah dibangun di daerah dimaksud. 

3. Indonesia mendukung solusi dua negara (Israel dan Palestina) yang hidup secara berdampingan secara aman dan damai.

4. Terkait dengan blokade terhadap jalur gaza dan Palestina serta kapal-kapal pembawa bantuan kemanusiaan, Indonesia menyerukan agar Israel segera membebaskan seluruh para sukarelawan yang masih ditahan dan memfasilitasi kepulangan mereka dengan selamat ke tanah air mereka masing-masing; Israel harus bertanggungjawab terhadap tindakannya. Investigasi yang independen, kredibel, imparsial dan transparan harus segera dilakukan terhadap serangan dan penyergapan yang dilakukan oleh Israel tersebut; Israel segera, tanpa ditunda lagi, mengakhiri blokadenya di jalur Gaza, wilayah Palestina yang diduduki, yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang mendalam; Israel menghentikan seluruh tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional dan seluruh resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan, termasuk yang terkait dengan pembangunan pemukiman baru yang ilegal di wilayah Palestina yang diduduki; dan memastikan adanya perkembangan yang signifikan dalam proses perdamaian yang menuju pada direalisasikan berdirinya negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel dan seluruh negara tetangganya. Secara khusus, mendukung posisi Palestina dalam proses “proximity talks” termasuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses dimaksud.

5. Indonesia memandang penting inter-Palestinian dialogue and reconciliation. Indonesia mendorong semua pihak di Palestina untuk mencapai kesatuan yang akan memperkuat posisi perundingan dengan Israel bagi  tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat Palestina.

6. Indonesia menekankan perlunya sikap berimbang (imparsial) dari masyarakat internasional, termasuk Kuartet dan negara-negara donor, dalam membantu penyelesaian masalah Palestina dan mendorong proses perdamaian. Sikap mendukung salah satu pihak dan mengucilkan pihak lain dalam krisis politik internal Palestina tidak sejalan dengan semangat untuk mencarikan solusi komprehensif bagi masalah Palestina.

7. Indonesia mengutuk keras tindakan penggunaan kekerasan oleh pasukan Israel terhadap kapal Mavi Marmara pada tanggal 30 Mei 2010 yang merupakan pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma internasional. Indonesia akan bekerjasama dengan komunitas internasional untuk memastikan agar Israel dapat mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut. 

Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT)Rabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang

Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) adalah suatu perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang bertujuan membatasi kepemilikan senjata nuklir. Terdapat 189 negara berdaulat yang menjadi negara pihak NPT dan dibagi menjadi 2 kategori yaitu negara-negara nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) dan negara-negara non-nuklir (Non-Nuclear Weapon States/NNWS). NPT pada dasarnya merupakan komitmen dari kelima negara NWS untuk

mewujudkan general and complete disarmament, dan komitmen negara-negara NNWS untuk tidak mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir. Selain itu, NPT juga menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara pihak untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai.

Sejak mulai berlaku pada tahun 1970, NPT yang memiliki 189 negara pihak ini dianggap telah berhasil menjadi cornerstone dari keamanan global.

Dalam perkembangannya, sejak NPT diperpanjang secara tidak terbatas (indefinite extension) pada tahun 1995, terdapat konsesi yang diberikan oleh negara-negara NWS kepada negara-negara NNWS yang dikenal sebagai mekanisme strengthened review process (SRP). Mekanisme ini tertuang dalam Decision 1 dari Sidang NPT Review and Extension Conference (NPTREC) tahun 1995 dan kemudian diperkuat dengan kesepakatan berjudul “Improving the Effectiveness of the Strengthened Review Process for the NPT” yang merupakan hasil Sidang Revcon NPT tahun 2000.Sesuai ketentuan di dalam Traktat, seluruh negara pihak melakukan pertemuan Review Conference setiap 5 tahun dengan tujuan untuk mengkaji implementasi berbagai ketentuan yang terdapat di dalam NPT sekaligus menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan di masa mendatang untuk memperkuat NPT.

Memasuki tahun 2009, seiring dengan perubahan administrasi di AS, telah terdapat atmosfir yang lebih mendukung pada kemajuan pembahasan isu perlucutan senjata nuklir. Perkembangan positif terlihat pada PrepCom Ketiga NPT Review Conference 2010 yang dilaksanakan bulan Mei 2009 di New York yang berhasil menyepakati agenda untuk NPT Review Conference 2010. Selanjutnya, dalam sidang UNDC pada tahun 2009 walaupun belum dihasilkan laporan substantif, namun dirasakan adanya perubahan mood dalam pembahasan yang antara lain dipengaruhi oleh joint statement Presiden Obama dan Medvedev “to achieving a nuclear free world” pada awal April 2009. Dibandingkan tahun sebelumnya, pembahasan di dalam sidang mengalami kemajuan karena setiap delegasi mulai tergerak untuk membahas substansi, khususnya dalam isu nuclear disarmament.

 Pada tahun 2010, berbagai perubahan yang terjadi sejak tahun 2009 di atas telah memberikan pengaruh positif pada diplomasi multilateral di bidang perlucutan senjata. Hal ini antara lain dapat dilihat dari keberhasilan Sidang 2010 NPT Review Conference yang telah berlangsung pada pada tanggal 3-28 Mei 2010 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, di mana seluruh Delegasi telah berhasil menyepakati Final Document terkait dengan upaya-upaya yang akan dilakukan dalam memperkuat rezim non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir di bawah NPT. Hal ini sangat berbeda dengan situasi yang terjadi pada Review Conference NPT tahun 2005, di mana para Delegasi tidak berhasil mencapai kesepakatan substantif apapun. Indonesia tetap menjalankan perannya sebagai bridge builder untuk menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dalam isu-isu perlucutan senjata dan non-proliferasi. Peran ini dapat dijalankan dengan baik karena adanya pengakuan dari negara-negara anggota PBB atas posisi Indonesia yang dipandang moderat serta komitmen Indonesia yang dianggap tinggi terhadap prinsip-prinsip multilateralisme yang berlaku. Posisi Indonesia ini disadari oleh key players yang ingin melakukan engagement dengan negara-negara berkembang lain yang sering dipandang berhaluan keras. Posisi Indonesia

Indonesia senantiasa mendukung upaya masyarakat internasional dalam upaya non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir. Dalam hal ini, Indonesia menekankan pentingnya multilateralisme sebagai “core principle” dalam perundingan non-proliferasi  dan perlucutan senjata, dan menegaskan bahwa pencapaian tujuan non-proliferasi  dan perlucutan senjata perlu ditempuh lewat cara-cara yang “lawful” berdasarkan hukum internasional yang berlaku dan di bawah kerangka PBB.Indonesia berpandangan bahwa tiga pilar NPT harus diterapkan secara seimbang, transparan dan komprehensif. Indonesia menganggap bahwa NPT telah mampu mencegah proliferasi horizontal senjata-senjata nuklir, namun belum sepenuhnya berhasil mencegah proliferasi secara vertikal. Oleh karena itu, Indonesia meminta agar seluruh negara pihak pada NPT, termasuk negara-negara nuklir, terikat pada komitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horizontal (non-proliferation in all its aspects).

Mengenai perlucutan senjata, Indonesia selalu menekankan agar negara-negara nuklir memenuhi komitmennya untuk melucuti senjata nuklir mereka sebagai bagian dari implementasi Artikel VI NPT dengan batas waktu yang jelas. Selain itu, Indonesia menginginkan agar proses perlucutan senjata nuklir dilakukan secara dapat diverifikasi (verifiable), tidak dapat dikembalikan (irreversible) dan terbuka (transparent).

Terkait dengan non-proliferasi, Indonesia menginginkan agar universalitas NPT perlu terus menjadi prioritas utama dan mendesak agar negara-negara yang belum menjadi pihak untuk segera mengaksesi NPT sebagai negara non-nuklir.Mengenai pemanfaatan energi nuklir untuk maksud damai, Indonesia menginginkan agar

hak setiap negara untuk memanfaatkan energi nuklir untuk maksud damai sebagaimana diatur dalam Artikel IV NPT tetap dihormati.

Small Arms And Light WeaponsRabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang Pengawasan atau pengaturan kepemilikan dan penggunaan Small Arms and Light Weapons (SALW) menjadi hal yang mendesak karena jumlah korban yang tewas akibat SALW sangat besar jumlahnya. Sejak berakhirnya Perang Dingin, masalah SALW menjadi isu karena meningkatnya secara dramatis jumlah, durasi, dan kehancuran pada konflik lokal dan antar negara.

Secara umum, small arms meliputi beragam jenis alat pembunuh dari senjata genggam sampai MANPADS. Meskipun belum ada kesepakatan definisi, istilah small arms dipahami sebagai senjata api portable (dapat dibawa-bawa) dan amunisinya yang didesain untuk penggunaan individual oleh militer. Termasuk dalam hal ini adalah pistol; rifle dan carbine; senjata serbu; dan senjata mesin ringan. Definisi mengenai small arms terus menjadi diskusi guna mendapatkan pemahaman yang seragam. Light weapons lebih berat dan lebih besar dari small arms dan dirancang untuk digunakan oleh sebuah tim kecil atau crew infantry. Termasuk dalam hal ini adalah man-portable firearms dan amunisinya; light artillery guns; roket; serta guided missile yang digunakan terhadap tank, pesawat atau fortification. Light weapons juga dapat meliputi senjata mesin berat (heavy machine-guns), pelontar granat (hand-held under-barrel and mounted grenade launcher), MANPADS, portable anti-tank dan rocket launcher systems, serta mortir di bawah kaliber 100 mm. Light weapons sangat banyak diproduksi, mudah disembunyikan, dan membutuhkan sedikit perawatan, atau pelatihan penggunaan. Perkembangan Berbeda dengan berbagai regime pengaturan perlucutan senjata dan non-proliferasi di bidang senjata pemusnah massal (weapons of mass-destruction/WMD – nuklir, biologi dan kimia), hingga saat ini tidak terdapat suatu pengaturan multilateral yang mengatur SALW maupun senjata konvensional lainnya secara komprehensif. Namun demikian seluruh Negara anggota PBB pada tahun 2001 telah berhasil mengesahkan suatu program aksi mengenai upaya untuk memerangi perdagangan gelap senjata ringan dan kaliber kecil (Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects/POA). Sejak pencanangan program aksi tersebut, telah dilakukan empat kali Biennial Meeting of States (BMS) yaitu tahun 2002, 2004, 2008, dan 2010 serta Review Conference pada

tahun 2006 untuk melihat implementasi dari negara-negara PBB. Pada pertemuan BMS-3 pada tahun 2008, berhasil dihasilkan suatu outcome document yang merupakan suatu kemajuan positif mengingat Review Conference tahun 2006 tidak berhasil menyetujui suatu dokumen akhir.  Isu mengemuka lain terkait SALW adalah adanya keberatan negara-negara tertentu terhadap pembatasan kepemilikan sipil atas senjata dan pelarangan transfer SALW kepada non-state actor. Sulitnya pengaturan SALW tidak terlepas dari bisnis senjata yang nilainya sangat besar dengan pengaruh lobby kepentingan bisnis senjata.   Posisi Indonesia Indonesia berkepentingan akan suatu pengaturan yang dapat mencegah perdagangan gelap SALW. Panjangnya garis pantai, letak geografis, dan situasi potensi konflik lokal di beberapa tempat di tanah air menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap kegiatan penyelundupan dan menjadi salah satu tempat tujuan dari perdagangan gelap SALW.  Sebagai contoh nyata, umumnya senjata dan sebagian amunisi yang diperoleh pihak separatis di Indonesia adalah senjata selundupan. Terkait dengan implementasi PoA, secara berkala Indonesia membuat laporan nasional berisi national point of contact, legislation and regulation, stockpile management, collection and disposal, implementation at regional level, serta challenges related to the implementation of the PoA, training and education. Dalam hal kerjasama, Indonesia mendukung upaya-upaya penggalangan kerjasama antar-negara dalam pencegahan perdagangan gelap SALW dan peningkatan bantuan dalam rangka capacity building. Lebih lanjut, Indonesia mendukung upaya kerjasama internasional dalam memberantas perdagangan gelap SALW dan mendorong pembentukan mekanisme pada tingkat regional atau sub-regional, khususnya trans-border customs, kerjasama tukar informasi diantara institusi penegak hukum, perbatasan dan bea cukai.  Indonesia memiliki beberapa undang-undang yang mengatur kepemilikan, perizinan, dan pelarangan kepemilikan senjata api secara terpisah, misalnya UU No. 8 tahun 1948; UU No. 12 tahun 1951; UU No. 20 tahun 1960; serta UU No. 2 tahun 2002. Masing-masing Angkatan Bersenjata (AL/AU/AD) dan Polri telah memiliki standar baku dalam stockpile management.  Namun demikian, belum terdapat UU yang mengatur secara komprehensif mengenai aspek-aspek registrasi, marking and tracing, transfer, maupun brokering dalam pengadaannya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu Undang-Undang mengenai SALW yang komprehensif, yang mengatur semua aspek terkait SALW seperti penyimpanan, registrasi, marking and tracing, brokering, dan transfer.

Perlucutan Senjata Dan Non-Proliferasi KimiaRabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang

Chemical Weapons Convention (Konvensi Senjata Kimia/KSK) merupakan suatu perjanjian internasional di bidang arms control yang melarang produksi, penimbunan dan penggunaan senjata kimia. KSK mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 29 April 1997 dan administrasi dari implementasi KSK dilakukan oleh Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) yang merupakan organisasi independen dan tidak berada di bawah

naungan PBB.  Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) pada tanggal 30 September 1998 melalui Undang-undang No. 6/1998 dan secara resmi menjadi pihak sejak tanggal 12 Desember 1998 setelah instrumen ratifikasi KSK diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 12 November 1998. Pemerintah RI selalu turut aktif dalam setiap upaya multilateral yang ditujukan untuk menghapus keberadaan senjata pemusnah massal, termasuk pelarangan menyeluruh senjata kimia. Disahkannya Undang-undang No. 9/2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebagai Senjata Kimia yang merupakan salah satu wujud kewajiban dan komitmen Pemri terhadap implementasi nasional KSK.  Pentingnya negara pihak KSK memiliki undang-undang implementasi sebagai upaya untuk confidence building measure, terhindar dari kecurigaan memproduksi senjata kimia, serta menjamin kebebasan untuk melakukan perdagangan bahan kimia yang diawasi KSK dan terhindar dari restriktif dalam rejim ad-hoc pengawasan ekspor.   Dalam UU Implementasi KSK, Indonesia diantaranya telah memasukan sanksi kriminalisasi terhadap penyalahgunaan bahan-bahan kimia terdaftar. UU tersebut juga telah diserahkan secara resmi kepada OPCW sebagai notifikasi Pemri. Perkembangan sejak tahun 2008 diwarnai dengan semakin besarnya gap antara negara-negara maju dengan negara berkembang, khususnya mengenai isu compliance, penghancuran senjata kimia dan isu kerjasama internasional. Negara-negara maju cenderung memajukan isu compliance sebagai isu yang perlu mendapatkan perhatian seluruh negara pihak. Di lain pihak, negara berkembang meminta agar isu penghancuran senjata kimia dan kerjasama internasional mendapatkan perhatian utama.

Per bulan Mei 2009, terdapat 188 negara yang merupakan Negara pihak dari KSK. Dari 7 negara yang belum merupakan Negara pihak, 2 negara telah menandatangani tapi belum

melakukan ratifikasi (Myanmar dan Israel), dan 5 negara belum menandatangani sama sekali (Angola, Korea Utara, Mesir, Somalia dan Suriah). Berkaitan dengan isu penghancuran senjata kimia, periode 2010-2011 akan merupakan periode yang krusial mengingat adanya batas waktu penghancuran senjata kimia pada tahun 2012. Hingga akhir tahun 2009, muncul kekhawatiran bahwa negara-negara pemilik senjata kimia tidak akan dapat memenuhi batas waktu 2012 tersebut, khususnya Amerika Serikat dan Russia. Dalam kaitan ini, isu penghancuran ini akan menjadi isu yang contentious pada periode 2010-2012 mendatang. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa KSK akan kehilangan kredibilitasnya apabila isu ini (yang merupakan pilar disarmament dari senjata kimia) tidak dapat dipenuhi.

Posisi Indonesia

Pemerintah Indonesia menganggap KSK sebagai contoh multilaterally-agreed framework  dalam perlucutan senjata pemusnah massal dan merupakan model rejim export-import control yang baik yang disetujui secara multilateral. KSK memiliki empat pilar penting yang perlu selalu berada dalam titik keseimbangan yaitu: penghancuran senjata kimia dan fasilitas produksi yang masih ada sesuai dengan timeline yang ditentukan; upaya-upaya OPCW dan negara pihak untuk selalu meningkatkan nonproliferasi senjata kimia diantaranya melalui mekanisme verifikasi; adanya bantuan dan perlindungan (cooperation and protection) dan kerjasama internasional dalam penggunaan damai ilmu pengetahuan dan teknologi kimia. Berkaitan dengan penghancuran senjata kimia, Indonesia memandang bahwa tujuan utama dari KSK adalah penghancuran total senjata kimia khususnya kepada negara-negara pemilik senjata kimia. Dalam pandangan Indonesia, penghancuran senjata kimia harus selalu menjadi prioritas utama OPCW. Pilar verifikasi, bantuan dan kerjasama internasional merupakan tiga pilar yang penting dan menjadi semakin relevan di masa depan. Indonesia tidak pernah berkeinginan untuk memiliki senjata kimia dan oleh karenanya memandang penting perlunya peningkatan kemampuan verifikasi yang dilakukan oleh OPCW bagi peningkatan confidence building measures. Selama ini Indonesia telah menerima tujuh kali verifikasi/inspeksi industri yang dilakukan oleh OPCW dengan hasil yang memuaskan.   Pilar bantuan dan kerjasama internasional adalah elemen yang penting bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana KSK memberikan jaminan kepada negara-negara pihak berkaitan dengan lalu lintas bebas perdagangan di bidang kimia, peralatan dan teknologi terkait lainnya sesuai dengan tujuan-tujuan damai dan kesejahteraan KSK. Indonesia prihatin bahwa masih terdapat pembatasan lalu lintas dimaksud dan mengharapkan terdapat usulan-usulan rencana konkrit aksi berkaitan dengan hal tersebut dari pihak Organisasi maupun Dewan Eksekutif (EC-Executive Council).

Perlucutan Senjata Dan Non-Proliferasi Biologi

Rabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang

The Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on their Destruction (Konvensi Senjata Biologi/KSB) merupakan suatu perjanjian internasional di bidang arms control yang melarang produksi, penimbunan senjata biologi. KSB mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 26 Maret 1975.

Per bulan Mei 2009, terdapat 163 negara yang merupakan Negara pihak dari, 13 negara penandatangan dan 19 negara yang belum menandatangani dan meratifikasi KSB. Konvensi ini belum dilengkapi dengan sistem verifikasi bagi pengawasan kepatuhan Negara-Negara Pihak terhadap ketentuan-ketentuan yang terkandung didalamnya. Proses negosiasi suatu protokol verifikasi yang mengikat berlangsung antara tahun 1995 sampai dengan 2001.  Protokol verifikasi KSB menghadapi ganjalan yang serius hingga kini karena Amerika Serikat telah menyampaikan posisi yang pada intinya menolak pembuatan Protokol tersebut untuk disetujuinya pembentukan rejim verifikasi internasional.Pada Review Conference ke-6 tahun 2006 negara-negara pihak menyepakati suatu dokumen akhir yang berisi antara lain : pembentukan Implementation Support Unit (ISU); inter-sessional Program 2007-2010; peningkatan partisipasi negara pihak dalam melakukan deklarasi Confidence Building Measures; dan Promotion of universalization. Review Conference ke-6 ini dipandang oleh negara-negara pihak sebagai pancapaian bersejarah karena berhasil menyepakati pembentukan ISU untuk menyediakan dukungan administratif dan yang terkait dengan CBM. Posisi Indonesia

Pemerintah RI telah meratifikasi KSB melalui Keppres 58 tahun 199 dan saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-undang tentang Implementasi KSB.Indonesia menganggap bahwa ketiga pilar (perlucutan senjata, nonproliferasi dan kerjasama internasional untuk penggunaan secara damai) KSB harus seimbang. Selama ini terdapat kecenderungan di mana para negara maju lebih menekankan aspek perlucutan senjata dan nonproliferasinya namun mengesampingkan aspek kerjasama internasional untuk penggunaan biological agents untuk tujuan damai.Indonesia berpandangan bahwa suatu mekanisme verifikasi bagi kepatuhan negara-negara pihak dalam melaksanakan kewajiban di KSB adalah suatu hal yang dibutuhkan dan seharusnya ada pada konvensi perlucutan senjata lainnya seperti NPT dan KSK.

Indonesia mendukung upaya penguatan KSB, baik dengan membuat deklarasi CBM, berpartisipasi aktif di program intersessional (pertemuan negara pihak dan pertemuan ahli), kerjasama internasional (penyelenggaraan seminar dan lokakarya terkait dengan topik program intersessional tahunan) dan universalisasi KSB.

Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji-Coba Senjata Nuklir Rabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang

Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji-Coba Senjata Nuklir (Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty/CTBT) merupakan traktat yang melarang semua jenis uji-coba nuklir yang menggunakan metode ledakan. CTBT dibuka untuk tanda tangan sejak bulan September 1996 dan hingga awal Januari 2010 telah ditandatangani oleh 182 negara serta diratifikasi oleh 151 negara.CTBT belum dapat berlaku (entry into force) mengingat masih belum diratifikasi oleh 9 negara (dari 44 negara) yang ratifikasinya diwajibkan di dalam Annex II dari Traktat CTBT.Untuk mendukung implementasi CTBT, telah dibentuk Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization/CTBTO yang bertujuan untuk : 1) melakukan persiapan-persiapan pelaksanaan CTBT secara efektif; 2) mempersiapkan sesi pertama Konferensi Negara Pihak terhadap CTBT; dan 3) menghadapi pertanyaan-pertanyaan seputar kepatuhan (compliance) terhadap CTBT. Sekretariat ini juga berfungsi sebagai forum konsultasi dan kerjasama di antara para negara pihak. Mengingat hingga saat ini CTBT belum berlaku, maka organisasinya pun bersifat Preparatory Commission (Prepcom).

Aplikasi verifikasi data dan teknologi yang dimiliki oleh CTBTO telah memasuki fase baru sejak terjadinya bencana tsunami pada Desember 2004 yang menimpa Indonesia. Aplikasi verifikasi data dan teknologi  tersebut kegunaannya dapat diperluas, tidak hanya mendeteksi adanya percobaan senjata nuklir, namun dapat digunakan pula untuk keperluan mendeteksi bencana alam.

Posisi IndonesiaPada dasarnya, Indonesia tidak memiliki niat untuk mengembangkan senjata nuklir dan melakukan uji coba nuklir. Indonesia tetap mendukung upaya masyarakat internasional untuk mencapai universalitas CTBT yang merupakan bukti keinginan masyarakat internasional dalam mengatur penggunaan senjata nuklir dan secara bertahap menghilangkan senjata nuklir secara menyeluruh (total elimination of nuclear weapons).Indonesia menilai Traktat CTBT bermanfaat untuk mencegah proliferasi senjata nuklir, baik vertikal maupun horizontal. Meskipun CTBT masih membuka celah bagi bentuk uji-coba yang dilakukan melalui teknik simulasi komputer, namun Indonesia berpandangan

bahwa Traktat ini merupakan hasil kompromi maksimal dari semua pihak terkait dan pada dasarnya tetap bermanfaat untuk memperkuat rezim non-proliferasi nuklir.

Konvensi Pelarangan Menyeluruh Ranjau Darat Anti-PersonilRabu, 07 Juli 2010

Latar BelakangKonvensi Pelarangan Penggunaan, Penyimpanan, Produksi dan Transfer Ranjau Darat Anti Personil (RDAP) serta Penghancurannya merupakan instrumen internasional yang melarang RDAP secara menyeluruh. Konvensi ini juga biasa disebut dengan nama Konvensi Ottawa atau Mine Ban Treaty.Konvensi Ottawa disetujui pada Konferensi Diplomatik mengenai Pelarangan Menyeluruh RDAP di Oslo pada tangal 18 September 1997. Sesuai dengan pasal 15, Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan di Ottawa, Kanada, bagi semua negara mulai tanggal 3 Desember 1997 sampai dengan 4 Desember 1997 dan terus terbuka sejak itu di Kantor Pusat UN di New York sampai mulai berlaku. Pada bulan Desember 1997 terdapat 122 pemerintah yang menandatangani Konvensi di Ottawa, Kanada. Dengan ratifikasi Konvensi Ottawa oleh Burkina Faso sebagai negara ke-40 pada bulan September 1998, Konvensi Ottawa ini mulai berlaku enam bulan kemudian yaitu tanggal 1 maret 1999.Sampai saat ini, sebanyak 156 negara telah menjadi negara pihak pada Konvensi Ottawa. Posisi IndonesiaMelalui Undang-Undang No 20 Tahun 2006, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production and Transfer of Anti-Personnel Mines and on Their Destruction (Konvensi Pelarangan Penggunaan, Penyimpanan, dan Produksi Ranjau Darat Anti-Personel dan Pemusnahannya) pada tanggal 29 Desember 2006.  Kewajiban-kewajiban dalam Konvensi tersebut di antaranya: melaporkan jumlah ranjau darat anti-personel yang saat ini dipunyai dalam gudang munisi (stockpile) dan jumlah/luas ladang ranjau; menyatakan jumlah ranjau yang diinginkan disimpan atau dipertahankan untuk tujuan pendidikan dan latihan; menghancurkan stockpile dan; membuat legislasi nasional untuk melarang penggunaan, penyimpanan, produksi, atau transfer ranjau darat yang dilengkapi sanksi kriminal.    Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban menyerahkan laporan pertama  berdasarkan Pasal 7 Konvensi Ottawa dalam waktu 180 hari setelah Konvensi mulai berlaku bagi Indonesia. Indonesia telah menyerahkan laporan pertama (initial report) implementasi Konvensi Ottawa Indonesia ini pada bulan Januari 2008. Berdasarkan Konvensi Ottawa, tenggat waktu Indonesia untuk penghancuran cadangan RDAP adalah 1 Agustus 2011 yakni 4 tahun sejak Konvensi mulai berlaku bagi Indonesia. Pada akhir tahun 2008, tiga tahun lebih cepat dari tenggat waktu yang diberikan, Indonesia telah

melaksanakan kewajibannya menghancurkan simpanan RDAP dalam tiga tahap sebanyak 11.603. Cadangan RDAP yang disimpan Indonesia, sebagai haknya dalam Konvensi Ottawa, direncanakan akan digunakan Indonesia sebagai bahan latihan terkait kemampuan pasukan TNI dalam mengidentifikasi, mendeteksi dan menghancurkan RDAP, khususnya latihan yang dibutuhkan pasukan Indonesia yang akan berpartisipasi pada operasi pemeliharaan perdamaian PBB.

Cluster Munitions ConventionRabu, 07 Juli 2010

Latar Belakang

Convention on Cluster Munitions (CCM) telah disepakati pada tanggal 30 Mei 2008 di Dublin, Irlandia, dan telah mulai dibuka untuk ditandatangani (open for signature) pada bulan Desember 2008. Hingga bulan Oktober 2009, CCM tercatat telah ditandatangani oleh 99 negara dan telah diratifikasi oleh 21 negara. Konvensi ini baru akan berlaku setelah diratifikasi oleh setidaknya 30 negara.Konvensi tersebut pada intinya melarang pengunaan, pembuatan, transfer dan kepemilikkan Cluster Munitions (CM) yang penggunaannya selama ini telah mengakibatkan penderitaan terhadap penduduk sipil. Selain itu, beberapa pasal di dalam CCM juga mengatur secara khusus isu-isu seperti pemberian bantuan kepada para korban, pembersihan wilayah yang terkontaminasi serta penghancuran cadangan CM (stockpiles).Konvensi mengenai Cluster Munitions ini dihasilkan melalui proses negosiasi yang dilandasi oleh kemitraan penuh antara pemerintah, organisasi internasional dan masyarakat madani yang bersama-sama memandang cluster munitions sebagai senjata yang bersifat tidak manusiawi (inhumane) dan yang tidak pandang bulu (indiscriminate), sehingga perlu segera dilarang. Posisi Indonesia

Pemerintah RI telah menandatangani CCM pada Konperensi Penandatanganan CCM di Oslo, tanggal 2-3 Desember 2008. Indonesia merupakan salah satu dari 94 negara pertama yang menandatangani CCM.

Indonesia pada prinsipnya berpandangan bahwa penggunaan CM tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan dapat menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan kepada rakyat sipil. Karena itu, Indonesia mendukung sepenuhnya proses multilateral yang melarang penggunaan CM melalui “Oslo Process”.