kementerian keuangan republik indonesia · penganggaran. terkait dengan hal tersebut, secara...

73
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

Upload: lamthuy

Post on 09-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan

kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat sehingga diharapkan

mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta

pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan

melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana

transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan

publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas

diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat.

Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu

terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang tercermin dari banyaknya kebutuhan

yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu,

prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala

penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis

tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam

memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.

Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan melihat

beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space), serta rasio kemandirian

daerah. Rasio pajak mencerminkan hubungan pajak daerah dengan pendapatan domestic

regional bruto (PDRB) daerah. Secara kewilayahan, daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali

menunjukkan rasio pajak yang tertinggi, namun untuk perbandingan antar-pemerintah provinsi,

Provinsi Maluku menduduki posisi tertinggi. Ada tiga kemungkinan penyebab tingginya rasio

tersebut, yaitu tingginya penerimaan pajak daerah, rendahnya PDRB, atau gabungan

keduanya. Tingginya rasio pajak di Jawa-Bali disebabkan oleh faktor pertama yang mana

potensi pajak daerah (yang memang bias kekotaan) di Jawa-Bali memang lebih besar,

sedangkan untuk Pemerintah Maluku, faktor kedua membuat nilai rasio pajaknya tinggi.

Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang masih

bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya.

Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan

pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) dan belanja wajib seperti

belanja pegawai dan bunga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ruang fiskal tertinggi baik untuk

total pemda perprovinsi, kabupaten/kota perprovinsi, pemerintah provinsi, maupun per wilayah

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI iv

adalah di wilayah Kalimantan, utamanya di Kalimantan Timur. Posisi terendah untuk

kabupaten/kota adalah daerah-daerah di provinsi Jawa Tengah, sementara untuk pemerintah

provinsi yang terendah adalah Aceh, serta untuk per wilayah adalah wilayah Sulawesi. Tinggi

rendah angka tersebut dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu: tinggi-rendahnya

pendapatan umum, tinggi-rendahnya pendapatan yang bersifat terikat, tinggi-rendahnya belanja

wajib, serta gabungan beberapa faktor di atas.

Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total

pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat

berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya

untuk rasio transfer. Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara

nasional, Provinsi Bali untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah

provinsi dan Jawa-Bali untuk kewilayahan. Sementara itu, yang terendah secara nasional,

kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Papua Barat,

sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua. Posisi tertinggi dan

terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada

rasio PAD. Artinya, provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk

rasio transfer dan demikian pula sebaliknya.

Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio

belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja,

rasio belanja per jumlah penduduk, serta rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua

rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah

cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan

ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur,

seperti belanja pegawai tidak langsung.

Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi DIY memiliki rasio

tertinggi untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu, rasio

belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah provinsi adalah

Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per provinsi yang terendah

adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi untuk rasio belanja pegawai tidak

langsung. Hal ini wajar, karena secara rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap

total belanja pegawai total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut

diduga, kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. DIY memiliki rasio terendah

untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi. Untuk rasio

belanja per kapita, Papua Barat dan Jawa Barat merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan

terendah dalam agregat per provinsi. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di

Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa-Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang

terendah.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI v

Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan yang meliputi

analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran (SiLPA), penerimaan

pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan primer. Dari analisis di sisi bellow the

line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya

beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak

mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang

mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan

demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang

berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus

penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan).

Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka.

Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola

pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan

budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya

dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh

ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI vi

KATA PENGANTAR

Penyelenggaraan pemerintahan, baik oleh Pusat maupun Daerah mempunyai fungsi

untuk mendorong dan memfasilitasi Pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang

memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan fungsi dan peran

sebagai motivator dan fasilitator pembangunan tersebut, pemerintah telah mengambil suatu

pilihan kebijakan untuk lebih mengedepankan peran pemerintah daerah sebagai penggerak

pembangunan. Melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan agar

pemerintahan di level yang paling dekat dengan masyarakat mampu menyerap aspirasi dan

partisipasi masyarakat lokal sehingga arah pembangunan akan sesuai dengan kebutuhan riil

masyarakat setempat.

Guna mendukung peran dan fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan,

Pemerintah telah dan akan terus mendukung pendanaan melalui mekanisme transfer ataupun

pola pendanaan lainnya. Dukungan pendanaan tersebut telah dibuktikan dengan besarnya

dana APBN yang disalurkan ke daerah, baik melalui skema desentralisasi maupun skema

lainnya, seperti dekonsentrasi, tugas pembantuan, subsidi, maupun bantuan langsung ke

masyarakat.

Dana yang besar yang telah dan akan digulirkan melalui skema desentralisasi serta

dana yang memang bersumber dari daerah sendiri (seperti pajak daerah dan retribusi daerah),

selanjutnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam APBD dan

pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di daerah. Pada dasarnya tidak ada lagi

mekanisme pertanggungjawaban APBD kepada Pemerintah Pusat, namun hanya berupa

penyampaian data APBD kepada Pusat untuk keperluan Sistem Informasi Keuangan Daerah

(SIKD).

Dari data yang disampaikan melalui SIKD inilah kemudian disusun informasi dan

analisis atas APBD seluruh Indonesia. Analisis APBD yang kami sampaikan dengan

mempergunakan rasio-rasio dari komponen APBD ini diharapkan akan dapat berguna untuk

memberikan gambaran yang menyeluruh namun ringkas mengenai situasi dan kondisi

keuangan daerah saat ini. Potret APBD yang informatif dan akurat selanjutnya dapat digunakan

oleh pihak yang berkepentingan, baik di pusat maupun di daerah, sebagai bahan masukan

dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI vii

Kami mengharapkan agar buku ”Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2011” ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Besar harapan kami, agar buku ini dapat

memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan cita-

cita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat terwujud. Jakarta, Juni 2011 DirekturJenderal Perimbangan Keuangan, Dr. Marwanto Harjowiryono, MA

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI viii

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................ iiii

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL......................................................................................................................... xi

DAFTAR GRAFIK ...................................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1

B. Gambaran Umum APBD 2011 .................................................................................. 2

1. Pendapatan Daerah ........................................................................................... 5

2. Belanja Daerah .................................................................................................. 7

3. Surplus, Defisit dan Pembiayaan Daerah ........................................................... 8

BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH .............................................................................. 9

A. Rasio Pajak (Tax Ratio) ............................................................................................ 9

1. Nasional........................................................................................................... 10

2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 11

3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 12

4. Per Wilayah ..................................................................................................... 13

B. Ruang Fiskal (Fiscal Space) .................................................................................. 13

1. Definisi .............................................................................................................. 13

2. Nasional ............................................................................................................ 14

3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 15

4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 16

5. Per Wilayah ....................................................................................................... 17

C. Rasio Kemandirian Daerah .................................................................................... 18

1. Pendahuluan ..................................................................................................... 18

2. Nasional ............................................................................................................ 18

3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 19

4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 20

5. Per Wilayah ....................................................................................................... 20

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI ix

BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH ..................................................................................... 23

A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah ......................................... 23

1. Nasional ............................................................................................................ 23

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 24

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 25

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 25

B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah ............... 26

1. Nasional........................................................................................................... 26

2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 27

3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 28

4. Per Wilayah ..................................................................................................... 28

C. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah .............................................. 29

1. Nasional........................................................................................................... 29

2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 30

3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 31

4. Per Wilayah ..................................................................................................... 31

D. Rasio Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk ................................................. 32

1. Nasional ............................................................................................................ 32

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 33

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 34

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 35

E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk ................................................... 35

1. Nasional ............................................................................................................ 35

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 36

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 37

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 38

BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH ...................................................... 39

A. Defisit ...................................................................................................................... 39

1. Nasional ............................................................................................................ 39

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 40

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 41

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 41

5. Daerah dengan defisit yang belum ter cover oleh pembiayaan.......................... 43

B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran .......................................................................... 44

1. Nasional ............................................................................................................ 44

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI x

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 45

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 45

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 46

C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman ............................................ 46

1. Nasional ............................................................................................................ 46

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 47

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 47

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 48

5. Daerah yang melampaui batas maksimal defisit yang dibiayai pinjaman ........... 49

6. Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD surplus ........................ 50

D. Rasio Keseimbangan Primer ................................................................................... 51

1. Nasional ............................................................................................................ 52

2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 53

3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 54

4. Per Wilayah ....................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 56

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................ 57

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI xi

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) ........................................................................ 3

Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Nasional (%) ....................... 11

Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Nasional (%) ...................... 15

Tabel 4.1 Daerah dengan APBD minus ............................................................................... 43

Tabel 4.2 Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan yag ditetapkan di PMK ................. 49

Tabel 4.3 Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD Surplus .......................... 51

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI xii

DAFTAR GRAFIK

Hal

Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah .............................................................................. 2

Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah ..................................................................................... 2

Grafik 1.3 Trend APBD (dalam juta rupiah) ............................................................................ 3

Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 – 2011(%) .................................... 4

Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah ............................................................................................ 5

Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah per Wilayah ................................................................. 6

Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah per Wilayah ......................................................................... 7

Grafik 1.8 Pembiayaan per Wilayah ....................................................................................... 8

Grafik 2.1 Rasio Pajak Nasional ........................................................................................... 10

Grafik 2.2 Rasio Pajak Kabupaten/Kota ............................................................................... 12

Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi ......................................................................... 12

Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah ...................................................................................... 13

Grafik 2.5 Ruang Fiskal Nasional ......................................................................................... 14

Grafik 2.6 Ruang Fiskal Kabupaten/Kota .............................................................................. 15

Grafik 2.7 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi ....................................................................... 16

Grafik 2.8 Ruang Fiskal per Wilayah .................................................................................... 17

Grafik 2.9 Rasio Kemandirian Nasional ................................................................................ 18

Grafik 2.10 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota ..................................................................... 19

Grafik 2.11 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi .............................................................. 19

Grafik 2.12 Rasio Kemandirian per Wilayah ........................................................................... 20

Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Nasional ......................... 21

Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota ............. 24

Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi ....... 24

Grafik 3.4 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah .................... 25

Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Nasional27

Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah

Kabupaten/Kota ................................................................................................... 27

Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah

Pemerintah Provinsi ............................................................................................. 28

Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah

per Wilayah .......................................................................................................... 29

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI xiii

Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Nasional ..................................... 30

Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota .......................... 30

Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi .................... 31

Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah per Wilayah ................................ 32

Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah per Kapita Nasional ........................................................... 33

Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah per Kapita Kabupaten/Kota ............................................... 34

Grafik 3.15 Rasio Belanja Daerah per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................ 34

Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah per Kapita per Wilayah ...................................................... 35

Grafik 3.17 Rasio Belanja Modal per Kapita Nasional ............................................................ 36

Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal per Kapita Kabupaten/Kota ................................................. 37

Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................... 37

Grafik 3.20 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ........................................................ 38

Grafik 4.1 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Nasional .......................................... 39

Grafik 4.2 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Kab/Kota ........................................ 40

Grafik 4.3 Kab/Kota berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) .............. 40

Grafik 4.4 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Provinsi ............................................ 41

Grafik 4.5 Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah .................................................................. 42

Grafik 4.6 Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah ............................................. 42

Grafik 4.7 Rasio SiLPA terhadap Belanja Nasional .............................................................. 44

Grafik 4.8 Rasio SiLPA terhadap Belanja Kabupaten/Kota ................................................... 45

Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Provinsi ............................................. 45

Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah .......................................................... 46

Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Nasional .................................................. 46

Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Kabupaten/Kota ....................................... 47

Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi ................................ 48

Grafik 4.14 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah .............................................................. 48

Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ......................................... 49

Grafik 4.16 Rasio Primary Balance Nasional .......................................................................... 52

Grafik 4.17 Rasio Primary Balance Kabupaten/Kota .............................................................. 53

Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi ........................................................ 54

Grafik 4.19 Rasio Primary Balance per wilayah ...................................................................... 54

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh

Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan

melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana

keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang

disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-

sumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan

dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan

pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan

dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah

dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan

layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang

berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik,

selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan

selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu,

prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala

penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis

tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam

memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.

Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang analisis rasio keuangan

APBD 2011. Berdasarkan rasio keuangan APBD tersebut maka dapat disimpulkan tentang

kualitas dan tingkat kesehatan APBD. Analisis ini didasarkan pada data sekunder berupa data

ringkasan APBD 2011 sebanyak 524 daerah. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan

yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten

dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa

Tenggara-Maluku-Papua).

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 2

B. Gambaran Umum APBD 2011

Berdasarkan data APBD yang telah dikumpulkan oleh Direktorat EPIKD yang terdiri dari

33 Provinsi 398 Kabupaten dan 93 Kota, maka bisa kita lakukan analisis untuk mengetahui

kondisi keuangan daerah yang tercermin dari beberapa komponen dalam APBD Tahun

Anggaran 2011. Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan

untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account.

Grafik 1.1

Komposisi Pendapatan Daerah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2011 secara nasional dapat dibagi

dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang

sah. Grafik 1.1, menunjukkan dana perimbangan merupakan komposisi yang paling

mendominasi yaitu sebesar 68,0% atau Rp327,361 triliun dalam komposisi pendapatan daerah,

sedangkan PAD hanya sebesar 19,0% atau sebesar Rp90,393 triliun dan Lain-lain Pendapatan

yang sah sebesar 13,0% atau sebesar Rp61,343 triliun.

Grafik 1.2

Komposisi Belanja Daerah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

19,0%

68,0%

13,0%

PAD

Dana Perimbangan

Lain-lain pend yang sah

45% 20%

22%

13%

Belanja Pegawai

Belanja Barang dan jasa

Belanja Modal

Lain-lain

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 3

Belanja daerah secara nasional pada TA 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja

pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 45,0% atau sebesar Rp229,077 triliun.

Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau sebesar 22,0%. Belanja Barang dan Jasa

mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0%. Tabel 1.1

Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) Pembiayaan 36.090.622 Penerimaan Pembiayaan 44.497.235 Pengeluaran Pembiayaan 8.406.574

Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun. Total pembiayaan

daerah secara nasional mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA,

Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar

Rp8,406 triliun.

Trend APBD (2007 – 2011)

Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007 – 2009 dan APBD 2010 hingga 2011

yang telah dikonsolidasikan maka diperoleh gambaran sebagai berikut: Grafik 1.3

Trend APBD

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

-100,000

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

2007 2008 2009 2010 2011

Pendapatan 310,173 363,211 379,862 386,338 459,857

Belanja 304,034 353,739 390,077 426,857 495,226

Surplus/Defisit 6,138 9,472 -10,215 -40,519 -35,369

Pembiayaan 55,152 59,184 63,883 40,818 36,119

Mili

ar R

up

iah

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 4

Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui secara nasional bahwa setiap tahun sejak

2007 hingga 2011 terjadi peningkatan pendapatan daerah rata-rata sebesar 11,4% dan yang

tertinggi peningkatannya adalah pada tahun 2011 sebesar 18%, dimana pendapatan daerah

pada tahun 2011 sebesar Rp459,856 triliun dan pada tahun 2010 hanya sebesar Rp386,338

triliun.

Secara nasional trend belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2007

hingga 2011 sebesar 11,8%. Pada tahun 2011 belanja daerah dianggarkan sebesar Rp495,225

triliun atau meningkat 17% dari tahun 2010 yang hanya dianggarkan sebesar Rp426,857 triliun.

Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, tapi sejak tahun 2009 terus

mengalami penurunan. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya

sebesar -0,4%. Defisit daerah secara nasional yang tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu

sebesar sebesar Rp40,519 triliun atau 3,6%. Sedangkan pada tahun 2011 defisit daerah secara

nasional adalah sebesar Rp35,369 triliun atau sebesar 1,1%.

Pembiayaan daerah netto juga menunjukkan trend yang fluktuatif selaras dengan trend

defisit daerah. Walau rata-rata trend pembiayaan daerah netto dari tahun 2007 hingga 2011

sebesar 0,2%, dan cenderung mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2010 dan 2011.

Pembiayaan daerah netto pada tahun 2011 sebesar Rp36,118 triliun bila dibandingkan dengan

tahun 2010 yang menganggarkan pembiayaan netto sebesar Rp40,818 triliun.

Grafik 1.4

Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 – 2011

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2007 2008 2009 2010 2011

PAD 16.82 17.83 17.79 18.6 19.66

DAPER 78.62 76.02 74.4 75.65 71.18

Lain2 Pend yg Sah 4.57 6.16 7.82 5.75 9.16

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 5

Secara nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana

perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan

setiap tahunnya tetapi pada tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66%. Sedangkan trend

dana perimbangan setiap tahun mengalami penurunan hingga mencapai 71,18% pada tahun

2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011

menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9,16%.

Grafik 1.5

Trend Belanja Daerah TA 2007 – 2011

Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)

Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011

maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan bila dibandingkan dengan

jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada

tahun 2010 yaitu sebesar 46,5% tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 46,2%.

Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0% pada tahun 2011.

Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada

tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1%. Sedangkan

belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 9,78% pada tahun 2011.

1. Pendapatan Daerah

Komposisi APBD Tahun Anggaran 2011 pada kabupaten, kota, dan provinsi secara

aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut:

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

2007 2008 2009 2010 2011

B_Pegawai 39.91 41.98 43.11 46.52 46.25

B_Barang&Jasa 18.9 18.82 19.32 19.21 21.04

B_Modal 29.98 27.67 26.28 22.53 22.92

B_Lain-lain 11.2 11.53 11.28 11.74 9.78

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 6

Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah.

Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan

Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua

yang hanya sebesar 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah

yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer

ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan Bali hanya

memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing

sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap

dana perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap

total pendapatannya mencapai 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah

terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menjadi wilayah

yang tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari adanya

pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila

dibandingkan dengan wilayah lainnya.

00

20

40

60

80

100

PAD /Tot Daper/Tot Transf/ Tot

NT Maluku Papua 6.310 76.870 92.370

Sulawesi 12.470 80.210 86.710

Sumatera 14.350 75.330 83.980

Kalimantan 14.680 80.860 83.620

Jawa Bali 32.940 59.240 65.610

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 7

2. Belanja Daerah

Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah Per Wilayah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar

wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang

harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja

barang dan jasa.

Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan

belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai

terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38% di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio

pegawai di wilayah Kalimantan (1,26%) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total

penduduk di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6%.

Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total

penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total

belanja juga besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang

terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%.

Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah

sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja

modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk

memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja

pegawai per total belanjanya.

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

BP/Total BM/Tot BBJ/Tot

50

.6

18

.25

22

.02

52

.51

22

.24

18

.06

45

.53

24

.18

21

.07

38

.39

26

.62

21

.47

37

.52

32

.28

21

.12

%

Jawa Bali Sulawesi Sumatera NT Maluku Papua Kalimantan

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 8

Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling

signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3% dan belanja

barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%.

3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah

Grafik 1.8 Pembiayaan Per Wilayah

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang

mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah

Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan

belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah

sebesar 12,4%. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang

dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman

yang rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan.

Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA sebesar

3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6% menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak

terlalu yakin akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana

transfer ke daerah. Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal

yang harus ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai

melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi

menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai

lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi

-15.00 -10.00 -5.00 .00 5.00 10.00 15.00

Kalimantan

NT Maluku Papua

Sumatera

Jawa Bali

Sulawesi

Kalimantan NT Maluku Papua Sumatera Jawa Bali Sulawesi

Defisit/Pend -12.190 -3.430 -7.350 -8.280 -3.420

SiLPA /Bel 12.400 4.800 8.360 8.570 3.780

Pinj /pend 1.00 .260 .500 .340 1.630

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 9

dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup

defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 10

BAB II

ANALISIS PENDAPATAN DAERAH

A. Rasio Pajak (Tax Ratio)

Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy), selanjutnya

dalam analisis ini disebut rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandingan antara jumlah

penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian. Dalam konteks keuangan negara,

rasio pajak merupakan perbandingan antara pajak suatu negara dengan Pendapatan Domestik

Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah

wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB.

PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan. Di sisi

produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat

digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang

diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran,

PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi

yang ada di suatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi

rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah

(konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa /transfer non payment), serta sektor luar

negeri (ekspor dan impor). Sementara itu, di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah

pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan

sejenisnya, sewa modal, bunga dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha.

Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan

penyesuaian dan koreksi).

Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang

dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika

berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah

tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia

akan membantu kita dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah

wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta

sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya

dengan daerah lain.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 11

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 33

Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa Provinsi yang mempunyai rasio

pajak tertinggi adalah provinsi Bali yaitu sebesar 8,8%. Tingginya rasio pajak ini karena pajak

daerah Provinsi Bali sangat tinggi. Pajak daerah ini terutama berasal dari pajak yang

disumbangkan oleh sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak

paling rendah adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 1,2%. Hal ini dapat mengindikasikan

bahwa pajak daerah Provinsi Papua Barat sangat rendah.

Grafik 2.1

Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terkait dengan perekonomian daerah, daerah yang memiliki rasio pajak yang tinggi akan

memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

yang dicerminkan oleh berkembangnya sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan

ekonomi di daerah tersebut telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan

kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat menentukan.

Sebagai contoh adalah Provinsi Bali. Selain mempunyai potensi pajak daerah yang sangat

tinggi dari sektor pariwisata, provinsi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah

daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Provinsi

Papua Barat yang merupakan provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua. Potensi Sumber Daya

Alam yang melimpah, seperti pemandangan alam yang sangat indah yang dapat dikembangkan

pada sektor pariwisata (contoh: pemandangan bawah laut di Raja Ampat), air bawah tanah, dan

bahan galian golongan C yang dapat menjadi sumber penerimaan pajak daerah belum bisa

1.2

1.4

1.5

1.9

2.1

2.2

2.3

2.3

2.4

2.4

2.5

2.5

2.5

2.6

2.6

2.7

2.8

2.9

2.9

3.1

3.3

3.3

3.3

3.5

3.6

3.8

3.9

4.1

4.4

4.4

4.6

5.2

8.8

2.9

.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

Pap

bar

Pap

ua

Riau

Sulte

ng

Sulb

ar

Kaltim

NTT

Aceh

Jateng

Sultra

Kalb

ar

Jabar

Kep

ri

Sum

sel

Jatim

Lamp

un

g

Sum

bar

Kalte

ng

Malu

t

Sulu

t

Bab

el

Jamb

i

Sum

ut

DK

I

NTB

Ban

ten

Sulse

l

DIY

Ben

gkulu

Kalse

l

Goronta…

Malu

ku

Bali

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 12

dioptimalkan untuk menunjang pendapatan pajak Daerah. Kekayaan alam lain seperti hasil

hutan, hasil tambang selain bahan galian golongan C dan minyak bumi merupakan sumber

pendapatan nasional yang selanjutnya dikembalikan ke provinsi tersebut berupa pendapatan

bagi hasil yang tidak dimasukkan dalam analisis ini.

Dari data rasio pajak 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak

(daerah) secara nasional adalah sebesar 3,1%, serta terdapat 13 provinsi yang memiliki rasio

pajak diatas rata-rata nasional yaitu:

Tabel 2.1

Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk

masing-masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemkab dan pemkot se-Provinsi Bali

menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 4,9%. Penyebab tingginya rasio tersebut

adalah tingginya pajak daerah pemkab dan pemkot se-provinsi tersebut yang berasal dari

sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten

dan kota se-Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,3%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh

rendahnya potensi penerimaan pajak daerah. Potensi penerimaan pajak yang tinggi di Riau

adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang

selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang

dalam rasio ini tidak dihitung.

No Nama Daerah Rasio No Nama Daerah Rasio

1 Provinsi Bali 8,8 8 Provinsi Banten 3,8

2 Provinsi Maluku 5,2 9 Provinsi Nusa Tenggara Barat 3,6

3 Provinsi Gorontalo 4,6 10 Provinsi DKI Jakarta 3,5

4 Provinsi Bengkulu 4,4 11 Provinsi Sumatera Utara 3,3

5 Provinsi DI Yogyakarta 4,1 12 Provinsi Jambi 3,3

6 Provinsi Kalimantan Selatan 3,9 13 Provinsi Bangka Belitung 3,3

7 Provinsi Sulawesi Selatan 3,9

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 13

Grafik 2.2 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi

Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi, rasio pajak

tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Maluku, yaitu sebesar 4%. Tingginya angka tersebut

disebabkan angka pembaginya, yaitu PDRB-nya rendah. Sementara itu, rasio pajak terendah

dari ke-33 pemprov di Indonesia adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,9%). Rendahnya rasio

tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah.

Grafik 2.3

Rasio Pajak Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

0.3

0.3

0.4

0.4

0.4

0.4

0.4

0.4

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.6

0.6

0.6

0.6

0.6

0.6

0.7

0.8

0.8

0.9

0.9

0.9

0.9

0.9

1.2

1.2

1.2

1.4

4.9

0.6 .00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Riau

Pap

bar

Sulb

ar

Kaltim

Lamp

un

g

Sum

sel

Kalte

ng

Sulte

ng

Pap

ua

Sum

bar

Aceh

Jateng

NTT

Jamb

i

Kalse

l

Kalb

ar

Bab

el

Ben

gkulu

Sultra

Jabar

Sulu

t

Jatim

Sulse

l

Malu

t

Sum

ut

NTB

Go

ron

talo

Ban

ten

DIY

Malu

ku

Kep

ri

Bali

%

0.9

0.9

1.2

1.2

1.5

1.8

1.8

1.8

1.8

1.8

1.8

1.8

1.9

1.9

2.1

2.2

2.3

2.3

2.3

2.4

2.5

2.6

2.7

2.7

2.7

2.9

3.0

3.5

3.7

3.8

3.8

3.9

4.0

2.3

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

4.00

4.500

Pap

ua

Pap

bar

Kep

ri

Riau

Sulte

ng

Sulb

ar

NTT

Jatim

Sultra

Aceh

Jabar

Jateng

Kaltim

Kalb

ar

Malu

t

Sum

sel

Sum

bar

Lamp

un

g

Sulu

t

Sum

ut

Kalte

ng

Ban

ten

Bab

el

NTB

Jamb

i

DIY

Sulse

l

DK

I

Goront…

Ben

gkulu

Kalse

l

Bali

Malu

ku%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 14

4. Per Wilayah

Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah yang terdiri atas

Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali, rasio pajak untuk

wilayah Jawa-Bali merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya. Bali

yang menempati peringkat pertama berdasarkan agregat pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi, setelah digabungkan dengan seluruh daerah di Pulau Jawa tetap berada pada

peringkat 1 berdasarkan pembagian wilayah ini.

B. Tax perkapita

Tax perkapita adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan

suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Tax perkapita menunjukkan kontribusi setiap

penduduk pada Pendapatan suatu daerah (PAD).

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Tax perkapita secara aggregate yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa

Prov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita tertinggi, yaitu sebesar

Rp5.201.223 yang berarti setiap penduduk yang ada di Prov. DKI Jakarta memiliki kontribusi

sebesar Rp5.201.223 dalam membentuk penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Pada grafik

ini juga dapat dilihat ketimpangan tax perkapita yg sangat signifikan antara Prov. DKI Jakarta

dengan provinsi yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kegiatan perekonomian di

DKI Jakarta sangat besar sehingga menimbulkan basis pajak yang sangat besar. Provinsi lain

2.7 2.3

2.6

3.4 3.2

3.1

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

4.00

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 15

yang memiliki tax perkapita tertinggi adalah Prov. Kalimantan Timur sebesar Rp1.058.038 dan

Prov. Bali sebesar Rp632.155.

Grafik 2.5

Rasio Tax perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Tax perkapita pada kabupaten kota yang ada di setiap Provinsi, dapat dilihat pada

Grafik 2.6. Pada grafik tersebut Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan, dapat dilihat bahwa

ketimpangan tax perkapita pada daerah kabupaten dan kota dalam setiap provinsi juga terjadi

tetapi tidak sebesar ketimpangan yang terjadi pada daerah agregat provinsi, kabupaten dan

kota. Tiga daerah yang memiliki tax perkapita yang tertinggi adalah Bali (Rp348.952),

Kepulauan Riau (Rp335.478) dan Kalimantan Timur (Rp180.515). Daerah Kabupaten kota

memiliki tax perkapita yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh karena basis pajak dan

potensi pajak yang rendah diwilayah kabupaten kota.

-

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

Sula

wes

i Ten

gah

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

Mal

uku

Uta

ra

Sula

wes

i Bar

at

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Pap

ua

Go

ron

talo

Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

Jaw

a Te

nga

h

Mal

uku

Pap

ua

Bar

at

Lam

pu

ng

Kal

iman

tan

Bar

at

Ace

h

Jaw

a B

arat

Jam

bi

Ben

gku

lu

Sula

wes

i Uta

ra

Sum

ater

a Se

lata

n

Sum

ater

a B

arat

Jaw

a Ti

mu

r

DI Y

ogy

akar

ta

Kal

iman

tan

Ten

gah

Sula

wes

i Sel

atan

Ria

u

Ban

ten

Ban

gka

Be

litu

ng

Sum

ater

a U

tara

Kal

iman

tan

Se

lata

n

Kep

ula

uan

Ria

u

Bal

i

Kal

iman

tan

Tim

ur

DK

I Jak

arta

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 16

Grafik 2.6 Rasio Tax perkapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi

Tax perkapita pada seluruh pemerintah provinsi dapat dilihat bahwa Pemprov. DKI

Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita terbesar dengan jumlah sama dengan

tax perkapita pada aggregat provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan sebaran berdasarkan

pemerintah provinsi terdapat perbedaan dimana 3 Provinsi terbesar yaitu DKI Jakarta

(Rp5.201.223), Kalimantan Timur (Rp877.523) dan Kalimantan Selatan (Rp331.597)

Grafik 2.7

Rasio Tax perkapita Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

Sula

wes

i Ten

gah

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

Sula

wes

i Bar

at

Lam

pu

ng

Mal

uku

Uta

ra

Go

ron

talo

Ben

gku

lu

Jaw

a Te

nga

h

Jam

bi

Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Mal

uku

Sum

ater

a Se

lata

n

Kal

iman

tan

Ten

gah

Pap

ua

Bar

at

Ace

h

Kal

iman

tan

Bar

at

Sum

ater

a B

arat

Pap

ua

Kal

iman

tan

Se

lata

n

Ria

u

Jaw

a B

arat

Sula

wes

i Uta

ra

Ban

gka

Be

litu

ng

Sula

wes

i Sel

atan

Jaw

a Ti

mu

r

DI Y

ogy

akar

ta

Sum

ater

a U

tara

Ban

ten

Kal

iman

tan

Tim

ur

Kep

ula

uan

Ria

u

Bal

i

-

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

Sula

wes

i Ten

gah

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

Mal

uku

Uta

ra

Sula

wes

i Bar

at

Pap

ua

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

Pap

ua

Bar

at

Jaw

a Te

nga

h

Go

ron

talo

Mal

uku

Lam

pu

ng

Kal

iman

tan

Bar

at

Jaw

a B

arat

Ace

h

Sula

wes

i Uta

ra

Jam

bi

Jaw

a Ti

mu

r

Ben

gku

lu

DI Y

ogy

akar

ta

Sum

ater

a Se

lata

n

Sum

ater

a B

arat

Ban

ten

Sula

wes

i Sel

atan

Kal

iman

tan

Ten

gah

Ria

u

Sum

ater

a U

tara

Ban

gka

Be

litu

ng

Kep

ula

uan

Ria

u

Bal

i

Kal

iman

tan

Se

lata

n

Kal

iman

tan

Tim

ur

DK

I Jak

arta

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 17

4. Per Wilayah Tax perkapita per wilayah dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara-

Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali. Dapat dilihat pada grafik dibawah

ini ketimpangan tax perkapita terlihat lebih rendah. Secara wilayah tax perkapita terbesar ada di

wilayah Jawa Bali, hal ini dapat disebabkan oleh karena tingkat perekonomian di wilayah

tersebut lebih besar dibandingkan daerah yang lainnya.

Grafik 2.8

Rasio Tax perkapita Per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)

Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006)

dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan

pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF

Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan sebagai

ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya

tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi

keuangan pemerintah. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurang

pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya

mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga.

Ruang fiskal bisa juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan

penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu

daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam

pembangunan suatu daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan

dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan

memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan

ekonomi.

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

Nusa Tenggara,Maluku, Papua

Sulawesi Sumatera Kalimantan Jawa Bali

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 18

Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif

sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan

menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari

pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu

diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya

seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi

perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas

makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk

mentransfer keuntungan.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 2.9 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Ruang fiskal per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda pada suatu

provinsi. Caranya adalah dengan mengurangi pendapatan dengan pendapatan hibah dan

belanja wajib yang berasal dari akumulasi APBD 2011 seluruh pemda di suatu provinsi dan

dibagi dengan total pendapatannya. Dari perhitungan tersebut, sebagaimana digambarkan

pada Grafik 2.9, terlihat besaran 33 ruang fiskal per Provinsi tahun 2011. Dari keseluruhan

provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Papua Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu

mencapai 76,7%. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat

yang terutama diperoleh dari dana transfer. Oleh karena itu, Provinsi Papua Barat mempunyai

38

.1

40

.6

41

.1

43

.4

46

.5

48

.2

48

.6

49

.1

49

.6

49

.8

50

.4

50

.4

50

.7

51

.7

52

.0

52

.0

52

.6

53

.7

54

.9

56

.4

56

.6

58

.0

59

.7

59

.8

60

.7

62

.6

62

.8

64

.6

65

.0

67

.8 73

.0

74

.7

76

.7

55.2

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

Bal

i

DIY

Jate

ng

Sum

bar

NTB

Lam

pu

ng

Jati

m

Suls

el

Jab

ar

Sulu

t

Sult

en

g

Go

ron

talo

Ben

gku

lu

NTT

Sult

ra

Sum

ut

Kal

sel

Jam

bi

Sulb

ar

Mal

uku

Ban

ten

Kal

bar

Kal

ten

g

Bab

el

Ace

h

Sum

sel

Mal

ut

Ria

u

DK

I

Kep

ri

Kal

tim

Pap

ua

Pap

bar

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 19

ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Bali merupakan daerah yang memiliki ruang

fiskal terendah yaitu sebesar 38,1%. Dengan demikian, Provinsi Bali harus pandai memilih

belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi.

Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah

sebesar 55,2%. Terdapat 14 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional dengan rincian

sebagai berikut:

Tabel 2.2

Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)

Provinsi Papua Barat 76.70 Provinsi Sumatera Selatan 62.59

Provinsi Papua 74.72 Provinsi Aceh 60.67

Provinsi Kalimantan Timur 72.97 Provinsi Bangka Belitung 59.76

Provinsi Kepulauan Riau 67.75 Provinsi Kalimantan Tengah 59.65

Provinsi DKI Jakarta 65.03 Provinsi Kalimantan Barat 58.01

Provinsi Riau 64.62 Provinsi Banten 56.55

Provinsi Maluku Utara 62.76 Provinsi Maluku 56.36

2. Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi

Grafik 2.10 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

34

.3

35

.2

38

.0

39

.5

42

.3

42

.9

45

.3

45

.5

46

.3

46

.9

46

.9

47

.0

47

.5

47

.6

47

.9

48

.1

48

.6

49

.3

50

.5

51

.0

51

.0

54

.1

55

.9

56

.1

56

.1

58

.4

60

.6

60

.9

62

.4 67

.8

70

.8

70

.9

50.1

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

Bal

i

DIY

Jate

ng

Sum

bar

NTB

Jati

m

Lam

pu

ng

Ace

h

Suls

el

Jab

ar

Go

ron

talo

Sum

ut

Sult

en

g

Sulu

t

Ben

gku

lu

Sulb

ar

Kal

sel

Sult

ra

NTT

Jam

bi

Ban

ten

Mal

uku

Bab

el

Kal

bar

Kal

ten

g

Sum

sel

Ria

u

Mal

ut

Kep

ri

Pap

bar

Pap

ua

Kal

tim

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 20

Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot pada suatu provinsi dapat digambarkan pada

grafik 2.10. Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di

Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 70,9%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh

pendapatan yang tidak dibatasi penggunaanya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan

migas serta sektor kehutanan. Ada pun ruang fiskal terendah terdapat pada kabupaten dan

kota yang berada di Provinsi Bali, yaitu sebesar 34,3%. Rendahnya angka ini disebabkan

tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai.

3. Pemerintah Provinsi

Ruang lingkup analisis ini adalah ruang fiskal pada masing-masing Pemrov.

Sebagaimana berdasarkan aggregate provinsi, kabupaten dan kota , Pemprov. Papua Barat

juga memiliki ruang fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 93,7% hal ini dapat disebabkan dana

transfer yang besar yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Pemprov. NTT

mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu sebesar 64,4%. Hal ini dapat disebabkan karena

pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk

belanja pegawai. Gambaran selengkapnya tentang ruang fiskal masing-masing Pemerintah

provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 2.11.

Grafik 2.11

Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

64

.4

64

.9

65

.0

65

.2

66

.6

68

.0

68

.4

68

.9

69

.0

70

.0

70

.9

71

.5

72

.4

72

.8

74

.2

75

.9

76

.4

78

.1

78

.9

79

.5

79

.9

80

.4

80

.7

82

.7

84

.5

84

.6

85

.0

87

.1

87

.8

87

.9

88

.0

88

.6

93

.7

77.5

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

NTT

Bal

i

DK

I

Ben

gku

lu

Sulu

t

Go

ron

talo

DIY

Mal

uku

Sult

ra

Sult

en

g

NTB

Sum

bar

Lam

pu

ng

Jam

bi

Mal

ut

Kal

bar

Kal

sel

Suls

el

Bab

el

Jab

ar

Jate

ng

Kal

ten

g

Sulb

ar

Ria

u

Sum

sel

Jati

m

Sum

ut

Ace

h

Kal

tim

Kep

ri

Ban

ten

Pap

ua

Pap

bar

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 21

4. Per Wilayah

Untuk menghitung ruang fiskal berdasarkan pada pembagian 5 wilayah, maka wilayah

Indonesia dibagi menjadi 5 yang terdiri atas Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi,

Kalimantan, Sumatera, serta Jawa-Bali. Selanjutnya, seluruh pendapatan dikurangi pendapatan

hibah yang sudah ditentukan penggunaannya serta belanja wajib dari APBD seluruh pemda

suatu wilayah dan kemudian dibagi total pendapatan dimaksud. Dari penghitungan tersebut,

secara berurutan dari ruang fiskal yang paling besar adalah Nusa Tenggara-Maluku- Papua,

Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, serta Jawa-Bali sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.12.

Besarnya ruang fiskal pada wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua, yaitu sebesar 65,0%,

disebabkan oleh pendapatan transfer yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar daerah di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua mempunyai ruang fiskal yang cukup

melakukan belanja pemerintah (government spending) untuk pembangunan di daerahnya.

Kebutuhan dasar daerah untuk belanja pegawai/gaji PNSD telah terpenuhi dan masih tersisa

cukup memadai untuk mendanai pembangunan di daerah. Ruang Fiskal yang tinggi sangat

menunjang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula dengan semakin

meningkatnya percepatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, wilayah

yang memiliki ruang fiskal terendah adalah Jawa Bali yaitu sebesar 49,5%. Hal ini disebabkan

oleh sumber pendapatan dari dana tranfer pusat relatif kecil dibandingkan dengan 4 wilayah

yang lainnya.

Grafik 2.12

Ruang Fiskal Per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

49.5 50.5

56.6

64.0 65.0

55.9

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Jawa Bali Sulawesi Sumatera Kalimantan NT Maluku Papua

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 22

D. Rasio Kemandirian Daerah Rasio kemandirian ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio

transfer ke daerah (termasuk di dalamnya dana perimbangan) terhadap total pendapatan. Dua

rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan kemandirian daerah, namun memiliki

makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap totalnya memiliki makna

yang berkebalikan dengan rasio transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka

rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio

transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah.

Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang

memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Ruang lingkup analisis ini adalah rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu

provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu

provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang

sama juga berlaku untuk rasio transfer. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD

dan Transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi

sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 2.13. Dari grafik tersebut juga terlihat bahwa DKI

Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,4%, sekaligus rasio transfer

terendah yaitu sebesar 36,3%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah

serta rasio transfer tertinggi yang masing-masing menunjukkan angka 3,5% dan 95,8%. Hal ini

menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan

provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat

kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut

disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi

daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh

rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut. Tingkat kemandirian daerah

seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh Grafik 2.13 berikut ini.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 23

Grafik 2.13 Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 2.14 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

7.9

21

.3

15

.2

13

.8

11

.5

13

.8

10

.9

12

.3

61

.4

26

.6

20

.2

24

.3

27

.7

11

.3

11

.0

18

.2

16

.0

9.9

8.4

17

.6

11

.6

35

.7

15

.5

8.0

6.5

3.5

7.7

32

.4

14

.6

8.7

18

.9

2.7

6.3

91

.0

77

.3

83

.1

85

.4

87

.8

84

.3

84

.9

84

.0

36

.3

73

.1

78

.8

75

.0

71

.8

86

.9

87

.8

77

.0

83

.5

89

.3

91

.2

81

.8

86

.4

59

.6

81

.7 9

1.8

89

.8

95

.8

91

.5

65

.0

84

.1

90

.8

79

.6

95

.8

93

.4

19.6

79.0

.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Aceh

Sum

ut

Sum

bar

Riau

Jamb

i

Sum

sel

Ben

gkulu

Lamp

un

g

DK

I

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Kalb

ar

Kalte

ng

Kalse

l

Kaltim

Sulu

t

Sulte

ng

Sulse

l

Sultra

Bali

NTB

NTT

Malu

ku

Pap

ua

Malu

t

Ban

ten

Bab

el

Go

ron

talo

Kep

ri

Pap

bar

Sulb

ar%

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

5.6

9.2

6.8

7.0

5.0

5.4

4.0

3.7

12

.8

9.9

14

.2

13

.4

4.8

4.6

6.1

6.3

4.4

4.5

7.8

6.7

26

.1

8.2

5.3

3.6

2.8

7.0

16

.5

7.9

5.9

14

.9

2.6

3.5

90

.3

84

.6

88

.3

88

.2

91

.3

89

.0

89

.5

88

.5

78

.3

82

.5

78

.3

79

.3 89

.4

91

.7

82

.7

83

.0

92

.3

93

.1

85

.6

89

.3

63

.5

85

.6

93

.6

91

.0

95

.5

91

.4

69

.9 8

6.3

91

.8

79

.0 9

4.6

95

.1

8.6

85.0

.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Aceh

Sum

ut

Sum

bar

Riau

Jamb

i

Sum

sel

Ben

gkulu

Lamp

un

g

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Kalb

ar

Kalte

ng

Kalse

l

Kaltim

Sulu

t

Sulte

ng

Sulse

l

Sultra

Bali

NTB

NTT

Malu

ku

Pap

ua

Malu

t

Ban

ten

Bab

el

Go

ron

talo

Kep

ri

Pap

bar

Sulb

ar

%

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 24

Pada Grafik 2.14 nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi terdapat pada seluruh

pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu sebesar 26,1 % sedangkan yang terendah adalah di

pemkab dan pemkot di Provinsi Papua Barat sebesar 2,6%. Sedangkan rasio dana transfer

terhadap total pendapatan tertinggi adalah pemkab dan pemkot di Provinsi Sulawesi Barat

sebesar 95,1% dan terendah di pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu 63,5%.

3. Pemerintah Provinsi

PAD tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa timur sebesar 76,9 % dan terendah dimiliki oleh

pemda provinsi papua barat 2,9%. Sebaliknya, transfer tertinggi terhadap total pendapatan

adalah provinsi papua barat sebesar 97,5 % dan terendah adalah provinsi Jawa Timur sebesar

22,9%. Data tersebut ditunjukkan pada grafik 2.15.

Grafik 2.15

Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah Analisis rasio kemandirian daerah yang terbagi menjadi lima wilayah yaitu Sumatera,

Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua-Maluku-Nusatenggara.dimaksudkan untuk

menunjukkan seberapa besar kemandirian daerah pada lima kelompok wilayah yang berbeda.

Berikut analisis terkait rasio kemandirian daerah untuk ke-5 wilayah dimaksud sebagaimana

nampak pada Grafik 2.16.

11

.3

71

.0

54

.7

35

.1 40

.8

45

.5

36

.8

50

.2 6

1.4

7

5.0

7

1.2

4

9.3

76

.9

42

.2

39

.0

56

.8

41

.0

35

.9

27

.9

62

.0

34

.5

58

.3

44

.4

28

.5

20

.1

5.7

11

.1

71

.1

32

.8

19

.3 2

8.7

2

.9

15

.9 24

.6

28

.4

45

.0

62

.8

59

.2

54

.1

60

.6

45

.7

34

.2

24

.9

28

.8

50

.3

22

.9

57

.6

60

.0

41

.4

58

.9

55

.9

71

.8

38

.0

65

.5

32

.9

54

.9

71

.5

74

.0

29

.2

88

.6

28

.8

62

.1

80

.7

71

.3

39

.4

74

.0

50.1

49.0

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Aceh

Sum

ut

Sum

bar

Riau

Jamb

iSu

msel

Ben

gkulu

Lamp

un

gD

KI

Jabar

Jateng

DIY

JatimK

albar

Kalte

ng

Kalse

lK

altimSu

lut

Sulte

ng

Sulse

lSu

ltraB

aliN

TBN

TTM

aluku

Pap

ua

Malu

tB

ante

nB

abel

Go

ron

taloK

epri

Pap

bar

Sulb

ar%

PAD /Pend Transf/ Pend Avg PAD/pend Avg Transf/pend

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 25

Grafik 2.16 Rasio Kemandirian Per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan

Berdasarkan pembagian 5 wilayah, Ratio PAD terhadap total pendapatan wilayah Jawa-

Bali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar

32,9%. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali

terhadap Dana Perimbangan dan Dana Transfer lainnya relatif tidak terlalu tinggi. Daerah-

daerah di Jawa-Bali relatif lebih mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

untuk menutup belanjanya. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua

yang mana rationya sangat rendah yaitu sebesar 6,3%. Namun demikian, secara umum ke-5

wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan di bawah 50% yang

artinya masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat atau memiliki rasio

kemandirian daerah yang rendah.

Rasio Transfer terhadap Total Pendapatan

Makna rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana

perimbangan, yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian

daerah. Sebaliknya, semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian

daerah atau semakin rendah tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat.

Berdasarkan rasio ini, sebagaimana ditunjukkan Grafik 2.16, wilayah Jawa-Bali memiliki angka

yang paling rendah yaitu 65,6%, sama dengan rasio dana perimbangan. Dengan demikian,

berdasarkan kedua rasio tersebut, wilayah Jawa-Bali memiliki tingkat kemandirian yang paling

tinggi atau tingkat ketergantungan dengan dana pusat yang paling rendah.

14.7

6.3

14.4

32.9

12.5

83.6

92.4

84.0

65.6

86.7

19.0

79.6

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 26

Perbedaan terjadi antara wilayah yang memiliki rasio dana perimbangan per total pendapatan

dengan rasio transfer ke daerah per total pendapatan. Rasio dana perimbangan tertinggi

terdapat di wilayah Sulawesi, sedangkan rasio transfer tertinggi adalah wilayah Nusa Tenggara-

Maluku-Papua (92,4%). Dalam hal ini, daerah yang memiliki rasio kemandirian daerah terendah

adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dan bukan Sulawesi. Perbedaan utamanya adalah

komponen dana transfer dari pusat selain dana perimbangan yang diterima wilayah Nusa

Tenggara-Maluku-Papua lebih besar dibandingkan Sulawesi. Mengingat dana otonomi khusus

yang diterima Papua dan Papua Barat relatif signifikan serta adanya dana penyesuaian lain

yang juga diterima oleh seluruh pemda di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua menunjukkan

adanya kesenjangan infrastuktur di wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain di negara ini.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 27

BAB III

ANALISIS BELANJA DAERAH A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah

Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin

tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja

pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil

pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang

dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap

total belanja daerah adalah 46,2%. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan

kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 13 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata

nasional, sedangkan 20 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas

rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov. Papua

Barat, yaitu sebesar 26,8%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar

adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan rasio sebesar 61.0%.

Selain itu, Grafik 3.1 menunjukkan bahwa terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio

belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja

daerahnya masih didominasi oleh belanja pegawai. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian,

karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-

nya untuk jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan

keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai,

khususnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 28

Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Grafik 3.2 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja

pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi di atas 30,0%, dengan rata-rata sebesar 51,1%.

Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi mengalokasikan lebih

dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-

rata tersebut, sebanyak 14 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dan 18

provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan kota se-

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar yaitu

sebesar 66,9%, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah

terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan Timur dengan rasio

sebesar 31,9%.

26

.8

29

.8

30

.1 34

.9

35

.0

38

.1

39

.7

41

.5

41

.8

41

.8

43

.5

44

.7

45

.7

46

.2

46

.4

48

.0

48

.7

48

.9

49

.4

50

.2

50

.4

52

.0

52

.2

52

.7

52

.7

52

.9

53

.8

54

.3

54

.4

54

.6

54

.6

58

.9

61

.0

46.2

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Pap

bar

Kaltim

Pap

ua

DK

I

Kep

ri

Riau

Malu

t

Sum

sel

Kalte

ng

Aceh

Bab

el

Kalb

ar

Ban

ten

Malu

ku

Kalse

l

Jamb

i

Sulb

ar

NTT

Sultra

Jabar

Sum

ut

Jatim

Ben

gkulu

Go

ron

talo

Sulu

t

Sulte

ng

Lamp

un

g

Sulse

l

NTB

Sum

bar

Bali

Jateng

DIY

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 29

Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah

Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi

Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata

sebesar 24,7%. Sebanyak 13 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah

dibandingkan rata-rata rasio tersebut dan sedangkan 20 provinsi lainnya di atas rata-rata.

Grafik 3.3 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai

terbesar adalah Pemprov Nusa Tenggara Timur dengan rasio sebesar 38,2%, sedangkan

pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemprov Papua Barat

yang sebesar 9,1%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah

provinsi relatif lebih rendah daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-

provinsi.

31

.9

33

.8

36

.5

38

.7

41

.2

41

.4

44

.2

45

.8

46

.7

47

.9

48

.0

49

.4

49

.8

50

.6

52

.7

53

.2

53

.8

54

.3

54

.7

54

.9

55

.4

55

.7

56

.2

56

.3

56

.7

56

.8

57

.7

58

.7

58

.7

59

.9

61

.5

66

.9

51.1

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

Kaltim

Pap

ua

Pap

bar

Kep

ri

Riau

Malu

t

Kalte

ng

Sum

sel

Kalb

ar

Malu

ku

Bab

el

Kalse

l

NTT

Jamb

i

Ban

ten

Sultra

Jabar

Sulb

ar

Sulu

t

Ben

gkulu

Sum

ut

Sulte

ng

Go

ron

talo

Jatim

Lamp

un

g

Sulse

l

Sum

bar

Aceh

NTB

Bali

Jateng

DIY

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 30

Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.4 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja

daerahnya. Terlihat bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu

sebesar 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka

sebesar 37,5%. Selain wilayah Sulawesi, wilayah Jawa-Bali juga memiliki angka rasio di atas

50,0%, yaitu tepatnya 50,6%, sedangkan wilayah lainnya di bawah angka tersebut. Dengan

demikian, Jawa-Bali dan Sulawesi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya

untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat

digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.

Grafik 3.4

Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

9.1

13

.7

14

.8

14

.9

15

.9

17

.4

18

.7

19

.3

20

.8

21

.5

21

.9

22

.4

22

.9

25

.0

25

.9

26

.3

26

.5

27

.1

27

.2

28

.6

29

.4

29

.8

29

.8

29

.8

30

.7

33

.5

33

.8

34

.9

34

.9

35

.7

36

.7

37

.6

38

.2

24.7

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

Pap

bar

Ban

ten

Aceh

Kaltim

Pap

ua

Sum

ut

Kep

ri

Sum

sel

Jabar

Riau

Jatim

Bab

el

Jateng

Kalte

ng

Sulse

l

Kalse

l

Kalb

ar

Sulb

ar

Bali

Malu

t

Lamp

un

g

NTB

Sultra

Jamb

i

Sum

bar

DIY

Sulte

ng

DK

I

Go

ron

talo

Malu

ku

Sulu

t

Ben

gkulu

NTT

%

37.5 38.4

45.5

50.6 52.5

45.8

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 31

B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah

Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan

porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka

semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan

sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang

dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Secara Agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk

membayar gaji pegawai daerah adalah 41,0%. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki

angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota ada 13 provinsi dan

selebihnya angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Ini

menandakan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia anggaran belanja daerahnya banyak

yang terkuras untuk membayar gaji pegawai daerah. Sama halnya dengan rasio belanja

pegawai terhadap total belanja daerah, maka rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap

total belanja daerah yang terkecil juga terdapat pada Prov. Papua Barat dengan nilai sebesar

22,2%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total

belanja daerah terbesar adalah Prov. Jawa Tengah, yaitu sebesar 55,1%.

Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

22

.2

22

.5

24

.5

25

.8 30

.6

30

.8

34

.2

36

.2

36

.4

37

.0

37

.5

38

.7

39

.9

41

.1

41

.4

42

.6

43

.6

44

.2

45

.2

45

.3

45

.3

46

.3

46

.9

46

.9

47

.8

48

.3

48

.8

49

.1

50

.4

51

.0

52

.5

54

.7

55

.1

41.0

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00P

apb

ar

Kaltim

Pap

ua

Kep

ri

DK

I

Riau

Malu

t

Bab

el

Aceh

Sum

sel

Kalte

ng

Ban

ten

Kalb

ar

Kalse

l

Malu

ku

Jamb

i

Sulb

ar

NTT

Jabar

Sum

ut

Sultra

Ben

gkulu

Jatim

Go

ron

talo

Sulu

t

Sulte

ng

Sulse

l

Lamp

un

g

Sum

bar

NTB

Bali

DIY

Jateng

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 32

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi

terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai

tidak langsung adalah 46,0% dari belanja daerah. Sebanyak 15 provinsi memiliki rasio belanja

pegawai tidak langsung yang lebih kecil dari rata-rata dan 17 provinsi memiliki rasio yang lebih

besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. DI

Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60,7%,

sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terendah

dengan angka sebesar 24,2%. Grafik tersebut juga memperlihatkan sebanyak 25 provinsi

memiliki rasio di atas 40,0%, dan sisanya sebanyak 7 provinsi di bawah angka tersebut. Kondisi

ini perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas daerah membelanjakan lebih dari

40,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis

belanja lainnya.

Grafik 3.6

Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi

memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 20,2%

belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung tersebut,

sebanyak 15 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari angka tersebut, dan 18 provinsi

memiliki rasio yang lebih besar. Selanjutnya, Grafik 3.7 memperlihatkan bahwa Pemprov

24

.2

27

.8

29

.6

31

.1

33

.6

35

.5

39

.8

40

.3

41

.6

41

.9

43

.3

44

.2

45

.1

45

.2

45

.4

48

.8

48

.9

49

.0

49

.8

50

.1

50

.1

50

.2

51

.5

51

.5

52

.1

52

.2

52

.5

53

.7

55

.2

57

.7

57

.9

60

.7

46.0

.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Kaltim

Pap

ua

Kep

ri

Pap

bar

Riau

Malu

t

Bab

el

Kalte

ng

Sum

sel

Kalb

ar

Malu

ku

Kalse

l

Jamb

i

Ban

ten

NTT

Jabar

Sultra

Ben

gkulu

Sulu

t

Sum

ut

Sulb

ar

Go

ron

talo

Sulse

l

Sulte

ng

Jatim

Aceh

Lamp

un

g

Sum

bar

NTB

Bali

Jateng

DIY

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 33

Sulawesi Utara memiliki rasio tertinggi sebesar 32,4%, sedangkan yang terendah, adalah

Pemprov Papua Barat, memiliki rasio sebesar 6,0%.

Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah Grafik 3.8 memperlihatkan rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja

daerah per wilayah di Indonesia. Sebagaimana rasio belanja pegawai terhadap total belanja,

wilayah Sulawesi masih memiliki rasio tertinggi (46,2%) diikuti oleh Jawa-Bali (43,6%),

sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja tidak langsung terendah adalah Kalimantan

(30,0%).

Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

6.0

9.9

10

.7

10

.7

11

.4

11

.8

13

.8

14

.1

14

.6

16

.6

17

.5

18

.9

19

.2

19

.5

19

.5

21

.1

21

.6

22

.3

23

.3

25

.3

25

.4

26

.0

26

.7

26

.9

27

.3

27

.9

28

.1

30

.4

30

.5

30

.6

32

.0

32

.3

32

.4

20.2

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

Pap

bar

Ban

ten

Kaltim

Kep

ri

Aceh

Pap

ua

Sum

ut

Jatim

Sum

sel

Riau

Jabar

Sulb

ar

Bab

el

Kalte

ng

Jateng

Sulse

l

Kalse

l

Kalb

ar

Lamp

un

g

Malu

t

Jamb

i

Bali

Sum

bar

Sultra

NTB

DIY

Sulte

ng

Go

ron

talo

Malu

ku

DK

I

Ben

gkulu

NTT

Sulu

t%

30.0 33.2

38.8

43.6 46.2

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

Kalimantan NT Maluku Papua Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 34

C. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah

yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang dan

jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena

itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan

ekonomi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 3.9 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat

provinsi, kabupaten dan kota. Persentase rasio seluruh provinsi masih di bawah 40,0% dan

rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 22,9%. Dari jumlah tersebut, sebanyak

19 provinsi masih memiliki rasio dibawah rata-rata, sedangkan 14 provinsi berada di atas rata-

rata. Selain itu, Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan

angka sebesar 11,1% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu

sebesar 38,0%. Kondisi di atas menunjukkan sebagian besar provinsi di Indonesia masih

menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 24,0%. Itu berarti

bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk mendorong

pertumbuhan ekonominya.

Grafik 3.9

Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

11

.1

12

.2

14

.1

16

.2

16

.4

18

.5

20

.0

20

.2

20

.2

21

.1

21

.4

21

.7

22

.3

23

.0

23

.3

23

.3

23

.4

23

.6

23

.7

25

.5

25

.6

25

.6

26

.3

26

.8

27

.5

28

.2

28

.9

29

.0

29

.3

29

.4

30

.9 34

.1

38

.0

22.9

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

DIY

Bali

Jateng

Jabar

Jatim

Aceh

Sum

bar

Sulse

l

Lamp

un

g

Sulte

ng

Ben

gkulu

NTB

NTT

Ban

ten

Kep

ri

Sulb

ar

Sum

ut

Go

ron

talo

Sulu

t

Kalb

ar

Malu

ku

Sultra

Pap

bar

Kalse

l

Jamb

i

Sum

sel

DK

I

Bab

el

Pap

ua

Kalte

ng

Riau

Malu

t

Kaltim

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 35

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan oleh grafik 3.10

memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional rasio belanja modal terhadap belanja daerah

adalah 22,5%. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata,

sedangkan 16 provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap belanja pegawai yang lebih kecil

dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio belanja

modal yang terbesar yaitu sebesar 38,0%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di

Prov.DI Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 11,00%.

Grafik 3.10

Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat

dilihat pada Grafik 3.11. Grafik tersebut memperlihatkan kisaran rasio antara 7,1% hingga

39.8% dengan rasio tertinggi terdapat di Pemprov. Aceh dan terendah di Pemprov. Jawa

Tengah. Rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah adalah

20,7% dengan 19 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal lebih kecil dari rata-rata,

dan 14 provinsi lebih besar dari rata-rata.

11

.0

12

.0

14

.5

16

.9

17

.1

17

.4

18

.8

19

.3

20

.5

20

.5

21

.2

21

.3

22

.0

22

.1

22

.3

23

.1

24

.0

24

.3

24

.4

24

.7

24

.9

25

.8

26

.0

26

.4

26

.7

27

.0

29

.7

29

.8

31

.6

32

.1

33

.5

38

.0

22.5

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

DIY

Bali

Jateng

Aceh

Jabar

Jatim

Lamp

un

g

Sum

bar

Sulse

l

NTB

Sum

ut

Ben

gkulu

Sulb

ar

Sulte

ng

Ban

ten

NTT

Bab

el

Sultra

Sulu

t

Kep

ri

Go

ron

talo

Kalb

ar

Kalse

l

Malu

ku

Jamb

i

Sum

sel

Riau

Kalte

ng

Pap

bar

Pap

ua

Malu

t

Kaltim

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 36

Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah

yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Papua. Grafik

tersebut memperlihatkan rata-rata rasio 5 wilayah sebesar 23,51%. Dari grafik dapat dilihat

bahwa belanja modal di 3 wilayah (Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Papua) lebih

besar dibandingkan dengan rata-rata rasio. Sedangkan untuk wilayah Jawa Bali dan Sulawesi

memiliki rasio lebih besar daripada rasio rata-rata. Belanja modal yang tertinggi terdapat di

wilayah Kalimantan yaitu 32,3% dan yang terkecil terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu 18,3%.

Grafik 3.12

Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

7.1

7.7

8.5

9.4

10

.2

13

.0

14

.2

14

.8

16

.1

16

.7

16

.8

17

.2

18

.4

18

.8

19

.6

19

.9

20

.2

20

.5

21

.2

22

.9

24

.1

24

.3

24

.6

27

.2

27

.5

27

.9

28

.3

28

.9

29

.3

29

.3

31

.6 3

6.7

39

.8

20.7

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

Jateng

Jabar

Jatim

DIY

Bali

Sulse

l

Sulte

ng

NTT

Kep

ri

Pap

bar

Go

ron

talo

Sulu

t

Pap

ua

Ban

ten

Kalb

ar

Ben

gkulu

Aceh

Malu

ku

Sum

bar

Lamp

un

g

NTB

Kalte

ng

Kalse

l

Sulb

ar

Kaltim

Jamb

i

Sum

ut

DK

I

Sum

sel

Sultra

Riau

Malu

t

Bab

el%

32.3

26.6 24.2

18.3

22.2 23.5

.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 37

D. Rasio Belanja Daerah Terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita)

menunjukkan seberapa besar belanja yang digunakan untuk menyejahterakan per penduduk di

suatu daerah. Semakin besar nilainya, semakin besar besar belanja yang dikeluarkan untuk

menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan

tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan

pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini sebaiknya juga dirinci

lagi menjadi per jenis belanja perkapita sehingga akan lebih memperlihatkan kontribusi dari

setiap jenis belanja sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Terkait rasio ini, berdasarkan grafik 3.13, terlihat bahwa daerah-daerah di wilayah timur

Indonesia memiliki rasio yang relatif tinggi, sedangkan daerah-daerah di Pulau Jawa memiliki

rasio yang terendah. Hal ini disebabkan oleh karena daerah-daerah di wilayah timur Indonesia

jumlah penduduknya masih sedikit sedangkan belanja yang dialokasikan adalah tinggi.

Sebaliknya provinsi yang berada di pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dengan

alokasi belanja yang tidak berbeda jauh dengan wilayah Indonesia Timur.

Berdasarkan data agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata belanja daerah

perkapita adalah 2,1 juta rupiah. Artinya, rata-rata pemda di Indonesia membelanjakan

sebanyak Rp2,1 juta per penduduknya. Dari jumlah itu, sebanyak 10 Provinsi memiliki rasio

belanja daerah perkapita di atas jumlah tersebut, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja daerah

perkapita dibawahnya. Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi

adalah Prov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp12,9 juta sedangkan yang memiliki rasio terendah

adalah Prov. Jawa Barat dengan nilai sebesar Rp1,0 juta.

Grafik 3.13

Rasio Belanja Daerah perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

1.0

1.2

1.2

1.3

1.7

1.8

1.9

1.9

2.1

2.3

2.4

2.4

2.5

2.6

2.7

2.7

2.8

3.2

3.2

3.3

3.3

3.4

3.5

3.8

4.1

4.5

4.6

4.7

4.9

8.1

8.3

10

.6 12

.9

2.1

.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

Jabar

Ban

ten

Jateng

Jatim

DIY

Lamp

un

g

NTB

Sum

ut

Sulse

l

Sum

sel

NTT

Kalb

ar

Bali

Sum

bar

Sulte

ng

Jamb

i

Sulb

ar

Kalse

l

Go

ron

talo

Sultra

Ben

gkulu

Sulu

t

Bab

el

Riau

Malu

ku

Kalte

ng

Aceh

Malu

t

Kep

ri

Kaltim

Pap

ua

DK

I

Pap

bar

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 38

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Grafik 3.14 yang menunjukkan rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja

daerah perkapita) memperlihatkan bahwa kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia

memiliki rasio tertinggi, sedangkan kabupaten dan kota di Pulau Jawa memiliki rasio yang

terendah. Hal ini disebabkan oleh karena kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia jumlah

penduduknya masih sedikit sedangkan pendapatan daerah baik dari PAD maupun dana

perimbangan sangat tinggi. Sebaliknya kabupaten dan kota yang berada di pulau Jawa memiliki

jumlah penduduk yang besar dan pendapatan daerah yang terbatas. Rata-rata belanja daerah

kabupaten dan kota se-provinsi perkapita adalah Rp1,6 juta. Sebanyak 12 Provinsi memiliki

rasio belanja daerah perkapita di atas rata-rata, dan 21 provinsi memiliki rasio dibawah rata-rata

tersebut. Kabupaten dan kota yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi berada

di Prov. Papua Barat dengan Rp8,3 juta. Sedangkan kabupaten dan kota yang memiliki rasio

belanja perkapita terendah adalah Prov. Jawa Barat yaitu sebesar Rp0,9 juta.

Grafik 3.14

Rasio Belanja Daerah Perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita) ditunjukkan

pada grafik 3.15. Dari grafik tersebut terlihat bahwa secara rata-rata belanja daerah pemerintah

provinsi perkapita adalah Rp0,5 juta. Sebanyak 26 pemprov. memiliki rasio belanja daerah

perkapita di atas rata-rata, dan hanya 7 pemprov. yang memiliki rasio belanja daerah perkapita

dibawah rata-rata. Pemerintah Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita

tertinggi adalah di Pemprov. DKI Jakarta yaitu sebesar Rp10,6 juta, sedangkan pemerintah

0.9

0.9

1.1

1.1

1.3

1.5

1.6

1.6

1.8

1.9

2.0

2.1

2.2

2.2

2.3

2.3

2.3

2.6

2.6

2.7

2.7

2.7

2.8

2.9

3.1

3.4

3.8

3.9

4.1

6.6

6.6

8.3

1.6

.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

Jabar

Ban

ten

Jateng

Jatim

DIY

Lamp

un

g

NTB

Sum

ut

Sum

sel

Sulse

l

Bali

Kalb

ar

NTT

Sulb

ar

Sum

bar

Sulte

ng

Jamb

i

Go

ron

talo

Kalse

l

Ben

gkulu

Sultra

Bab

el

Aceh

Sulu

t

Riau

Malu

ku

Kalte

ng

Kep

ri

Malu

t

Pap

ua

Kaltim

Pap

bar

Juta

Ru

pia

h

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 39

provinsi yang memiliki rasio belanja perkapita terendah adalah Pemprov. Jawa Tengah dengan

rasio sebesar Rp0,2 juta.

Grafik 3.15

Rasio Belanja Daerah perkapita Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah

Grafik 3.16 menunjukkan rasio belanja daerah perkapita per wilayah. Terlihat bahwa

belanja daerah perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan yaitu Rp4,4 juta diikuti oleh

wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dengan rasio belanja perkapita Rp4,2 juta. Sementara

itu, rasio belanja daerah perkapita yang terkecil berada di wilayah Jawa-Bali yaitu sebesar

Rp1,1 juta. Grafik 3.16

Rasio Belanja Daerah perkapita per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

0.2

0.2

0.3

0.3

0.3

0.3

0.4

0.4

0.4

0.4

0.4

0.5

0.5

0.5

0.5

0.6

0.6

0.6

0.6

0.6

0.7

0.7

0.7

0.7

0.8

0.8

0.9

1.2

1.8

1.8

2.0

4.6

10

.6

0.5 .00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

Jateng

Jabar

NTT

Jatim

Lamp

un

g

Ban

ten

Sum

ut

NTB

Sulse

l

Kalb

ar

Sum

bar

DIY

Sulte

ng

Sum

sel

Jamb

i

Sulu

t

Sulb

ar

Sultra

Bali

Go

ron

talo

Ben

gkulu

Malu

t

Kalse

l

Malu

ku

Kalte

ng

Riau

Bab

el

Kep

ri

Pap

ua

Aceh

Kaltim

Pap

bar

DK

I

Juta

Ru

pia

h

4.4 4.2

2.7

1.1

2.6

2.0

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

4.00

4.500

5.00

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

Juta

Ru

pia

h

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 40

E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan

pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja modal

perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena belanja modal

merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan

ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan

perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 3.17 yang menunjukkan rasio belanja modal perkapita seluruh provinsi (agregat

provinsi, kabupaten dan kota) memperlihatkan bahwa rata-rata rasio belanja modal perkapita

adalah Rp0,5 juta. Hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih besar

dari rata-rata nasional, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari

rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal

perkapita tertinggi adalah Prov. Papua Barat yaitu sebesar Rp3,4 juta, sedangkan yang

terendah adalah Prov. Jawa Tengah sebesar Rp0,2 juta.

Grafik 3.17

Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Rasio belanja modal perkapita pemkab dan pemkot se-Provinsi mencerminkan besaran

belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota di

setiap provinsi. Dari data APBD terlihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD

untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata adalah provinsi yang memiliki potensi

0.2

0.2

0.2

0.2

0.3

0.3

0.4

0.4

0.4

0.4

0.5

0.5

0.6

0.6

0.6

0.7

0.7

0.7

0.8

0.8

0.8

0.8

0.9

1.0

1.1

1.1

1.2

1.3

1.6

2.4

3.1

3.1

3.4

0.5

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

4.00

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Ban

ten

Bali

Lamp

un

g

NTB

Sulse

l

Sum

ut

Sum

bar

NTT

Sulte

ng

Kalb

ar

Sum

sel

Sulb

ar

Ben

gkulu

Jamb

i

Go

ron

talo

Sulu

t

Aceh

Sultra

Kalse

l

Bab

el

Malu

ku

Kep

ri

Riau

Kalte

ng

Malu

t

Pap

ua

DK

I

Kaltim

Pap

bar

Juta

Ru

pia

h

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 41

SDA yang besar dan atau memperoleh dana perimbangan yang besar dari pusat terutama DBH

SDA dan dana Otonomi Khusus.

Grafik 3.18 menunjukkan rasio belanja modal perkapita pemerintah kabupaten dan kota

se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota se-provinsi

adalah Rp0,4 juta. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio belanja modal

perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang dibawah rata-rata

sebanyak 9 provinsi. Pemkab dan Pemkot se-Prov. Papua Barat memiliki rasio belanja modal

perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terendah adalah Pemkab dan

Pemkot se-Prov. DI Yogyakarta dengan rasio Rp0,1 juta.

Grafik 3.18

Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi Rasio Belanja Modal perkapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Grafik 3.19. Rasio

belanja modal perkapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar Rp0,1 juta.

Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di

bawah rata-rata nasional yaitu 25 provinsi dan hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-

rata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah

Pemprov. DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp3,06 juta sedangkan yang terendah adalah

Pemprov.Jawa Tengah Rp0,01 juta.

0.1

0.2

0.2

0.2

0.2

0.2

0.3

0.3

0.3

0.4

0.4

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.5

0.6

0.6

0.7

0.7

0.7

0.7

0.7

0.9

0.9

1.0

1.1

1.4

2.1

2.5

2.6

0.4

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

DIY

Jabar

Jateng

Jatim

Ban

ten

Bali

Lamp

un

g

NTB

Sum

ut

Sulse

l

Sum

bar

Aceh

Sulb

ar

Sum

sel

NTT

Sulte

ng

Kalb

ar

Ben

gkulu

Jamb

i

Go

ron

talo

Bab

el

Sultra

Kalse

l

Sulu

t

Malu

ku

Riau

Kep

ri

Kalte

ng

Malu

t

Pap

ua

Kaltim

Pap

bar

Juta

Ru

pia

h

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 42

Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.20

memperlihatkan bahwa belanja modal perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan sebesar

Rp1,4 juta. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan lebih tinggi

di bandingkan dengan daerah lain. Selanjutnya rasio belanja modal perkapita terendah adalah

di wilayah Jawa yang hanya Rp0,2 juta.

Grafik 3.20

Rasio Belanja Modal perkapita per Wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.2

0.2

0.2

0.2

0.2

0.2

0.3

0.3

0.3

0.3

0.4

0.6

0.8

3.1

0.1 .00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

Jateng

Jabar

Jatim

NTT

DIY

Sulse

l

Ban

ten

Bali

Sulte

ng

Lamp

un

g

Kalb

ar

NTB

Sum

bar

Sulu

t

Sum

ut

Go

ron

talo

Ben

gkulu

Jamb

i

Sum

sel

Malu

ku

Sulb

ar

Kalse

l

Sultra

Kalte

ng

Kep

ri

Riau

Malu

t

Pap

ua

Bab

el

Aceh

Kaltim

Pap

bar

DK

I

Juta

Ru

pia

h

1.4

1.1

0.7

0.2

0.6

0.5

.00

.200

.400

.600

.800

1.00

1.200

1.400

1.600

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

Juta

Ru

pia

h

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 43

BAB IV

ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH

A. Defisit Keseimbangan umum atau Surplus/Defisit APBD adalah selisih Lebih/kurang antara

pendapatan daerah dan belanja daerah dalam tahun anggaran yang sama. Dari 491 Kab/Kota

dan 33 Provinsi pada tahun 2011 sebanyak 438 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-

nya, sedangkan yang menganggarkan surplus sebanyak 80 daerah dan sisanya sebanyak 6

daerah mempunyai anggaran pendapatan dan belanja yang bernilai sama (berimbang).

Besaran defisit menunjukkan tingkat belanja yang tidak dapat dipenuhi oleh pendapatan

daerah, atau dengan kata lain belanja lebih besar dari pendapatan. Berikut disajikan rasio

defisit terhadap Pendapatan, dimana semakin besar rasio tersebut berarti semakin besar pula

dana diluar pendapatan daerah (Pembiayaan) yang diperlukan guna mendanai belanja.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Rata-rata rasio defisit secara nasional(agregat kab/kota dengan Provinsi) adalah 7,6%

dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisi tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi

penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Kepulauan Riau merupakan daerah dengan

-0.3

-0.7

-1.6

-1.6

-1.7

-2.3

-2.8

-2.8

-2.9

-4.1

-4.4

-4.7

-4.8

-4.9

-5.7

-6.1

-6.2

-6.2

-6.6

-6.9

-7.1

-8.1

-9.0

-9.2

-10

.1

-10

.3

-11

.1

-11

.1

-11

.9

-12

.1

-14

.7

-18

.5

-22

.0

-7.6

-25.00

-20.00

-15.00

-10.00

-5.00

.00

Sum

sel

Pap

bar

Sulte

ng

Pap

ua

Lamp

un

g

Malu

ku

Ben

gkulu

Sulb

ar

Sulse

l

NTB

Sultra

Sulu

t

Kalb

ar

Sum

ut

Go

ron

talo

Malu

t

Jateng

Kalte

ng

Aceh

DK

I

Jamb

i

DIY

NTT

Jatim

Kalse

l

Sum

bar

Jabar

Bab

el

Ban

ten

Bali

Riau

Kaltim

Kep

ri%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 44

rasio defisit terbesar dimana faktor utama penyebab hal tersebut berasal dari kab/kota. Rasio

Wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan bernilai negatif walaupun rasio agregat kab/kota

yang bernilai surplus, hal tersebut dikarenakan defisit pemerintah provinsi wilayah tersebut lebih

besar dibanding dengan surplus agregat kab/kota.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Rasio Suplus/defisit dengan total Pendapatan Pemkab dan pemkot dalam satu provinsi

dapat dilihat dalam grafik 4.2 berikut. Rasio tersebut menunjukkan nilai total surplus/defisit

seluruh pemkab dan pemkot dalam satu provinsi dibagi dengan total pendapatannya.

Grafik 4.2

Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan

mempunyai rasio yang benilai positif (surplus). Nilai tersebut menunjukkan total pendapatan

APBD Papua Barat dan Sumsel lebih besar dibanding dengan pendapatan di wilayah tersebut.

Namun tidak berarti semua daerah di Papua Barat dan Sumsel menganggarkan Surplus.

Dalam grafik 4.2 terlihat bahwa pemkab dan Pemkot se-provinsi yang mempunyai nilai

rasio diatas 10,0% yaitu di Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Riau. Semakin besar rasio

tersebut mengindikasikan semakin besar pula rasio pembiayaan yang dibutuhkan guna

menutupi kekurangan pendanaan, dimana sebagian besar penerimaan pembiayaan didominasi

oleh SiLPA dan Penerimaan Pinjaman.

0.7

0.1

-0.3

-0.5

-0.8

-0.9

-1.0

-1.0

-1.0

-1.0

-1.1

-1.1

-1.3

-1.3

-1.6

-1.6

-1.7

-2.1

-2.1

-2.5

-2.5

-2.6

-2.6

-3.0

-3.0

-3.1

-3.1

-3.1

-3.4

-5.0

-6.7

-9.5

-1.2

-10.00

-8.00

-6.00

-4.00

-2.00

.00

2.00

Pap

bar

Sum

sel

Sulte

ng

Lamp

un

g

Sulse

l

Sum

ut

Jabar

Ban

ten

Jatim

Aceh

Sultra

Jateng

DIY

Kalb

ar

Sulb

ar

NTB

Sulu

t

Ben

gkulu

Pap

ua

Bali

Riau

Jamb

i

Sum

bar

Malu

ku

Bab

el

Kalte

ng

Kalse

l

Kep

ri

Kaltim

Go

ron

talo

NTT

Malu

t%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 45

Grafik 4.3 Pemerintah Kab/Kota se-Provinsi

berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) *)

Wilayah

R D

ef/P

end

Kepri

KaltimRi

auKa

lsel

Babe

lSu

mbar

Bali

JatimNT

TJa

bar

Bante

nKa

lteng

Malut

Jamb

iJa

teng

DIY

Goron

talo

Sumu

tSu

lutKa

lbar

NTB

Papu

aBe

ngku

luAc

ehSu

lbar

sulse

lMa

luku

Sultra

Lamp

ung

Sulte

ngSu

lsel

Papb

ar30

20

10

0

-10

-20

-30

-40

-50

-60

-7.87

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rentang penyebaran kab/Kota dan daerah-daerah ekstrem per provinsi disajikan dalam

grafik 4.3. Dalam grafik tersebut Jatim mempunyai dua daerah ekstrem yang berbeda dari rata-

rata daerah-daerah di provinsi Jatim, yaitu kab. Lumajang yang mempunyai rasio surplus dan

kota Surabaya yang mempunyai rasio Defisit terbesar di Jatim. Pemerintah kab/kota yang

mempunyai rasio defisit diatas rata-rata nasional antara lain kab/kota di Provinsi Papua Barat,

Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

3. Pemerintah Provinsi

Sama halnya dengan pemerintah kab/Kota, sebagian besar pemerintah provinsi juga

menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Pemerintah provinsi yang menganggarkan surplus

hanya Pemprov. Papua, namun pembiayaan APBDnya bernilai negatif.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 46

Grafik 4.4 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Aceh merupakan pemerintah provinsi yang mempunyai rasio pinjaman paling besar

yaitu sebesar 22,3%. Dari 31 pemerintah provinsi yang menganggarkan defisit, 28 pemerintah

provinsi menutup defisit tersebut dengan menggunakan SiLPA, sedangkan tiga pemerintah

provinsi lainnya menutupnya dengan SiLPA ditambah dengan penerimaan Pinjaman.

4. Per Wilayah Rasio defisit per wilayah dapat dilihat dalam Grafik 4.5 grafik tersebut menunjukkan

bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang mempunyai rasio defisit terhadap pendapatan

paling besar (-12,2%). Dan yang terendah adalah wilayah Sulawesi (-3,4%). Semakin besar

nilai minus rasio berarti semakin besar belanja yang tidak dapat ditutup dari pendapatan

daerah, sehingga daerah harus mencari penerimaan lain yang berasal dari pembiayaan.

Grafik 4.5 Rasio Defisit/Pendapatan Per Wilayah*)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

0.7

-0.1

-0.1

-0.1

-0.1

-0.2

-0.2

-0.2

-0.2

-0.2

-0.2

-0.2

-0.3

-0.3

-0.3

-0.4

-0.4

-0.4

-0.5

-0.5

-0.5

-0.6

-0.6

-0.7

-0.8

-0.8

-0.8

-0.9

-1.2

-1.2

-1.5

-1.6

-2.6

-0.4

-3.00

-2.500

-2.00

-1.500

-1.00

-.500

.00

.500

1.00

Pap

ua

Lamp

un

g

Kalte

ng

Jateng

Ben

gkulu

Sum

ut

Sulse

l

Riau

Sum

sel

Jatim

Sulu

t

Malu

t

Sum

bar

NTB

Sulb

ar

Kalb

ar

Sulte

ng

Kalse

l

DK

I

Jabar

Malu

ku

Jamb

i

Kep

ri

Ban

ten

Kaltim

NTT

DIY

Bab

el

Go

ron

talo

Bali

Pap

bar

Sultra

Aceh

%

-3.4 -3.4

-7.4 -8.3

-12.2

-7.3

-14.00

-12.00

-10.00

-8.00

-6.00

-4.00

-2.00

.00

Sulawesi NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Kalimantan

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 47

Grafik 4.6 Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah *)

Wilayah

R D

ef/P

end

SumateraSulawesiNT Maluku PapuaKalimantanJawa Bali

30

20

10

0

-10

-20

-30

-40

-50

-60

-7.87

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Jika dilihat dari penyebaran kabupaten, kota dan provinsi per wilayah dapat dilihat dalam

grafik 4.6. Dalam grafik tersebut dapat dilihat daerah-daerah yang mempunyai nilai rasio

ekstrim (outlier), wilayah Jawa - Bali mempunyai satu daerah yang jauh diatas rata-rata atau

bernilai surplus dan dua daerah ekstrim (defisit). Untuk wilayah Kalimantan terdapat enam

daerah yang mempunyai rasio defisit cukup besar dibanding daerah lain dalam wilayah

tersebut.

5. Daerah dengan Defisit yang belum ter-cover oleh pembiayaan Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran

defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah

pembiayaan masih bernilai minus. Karena sumber lain penerimaan selain pendapatan adalah

berasal dari pembiayaan maka hal tersebut mengundang tanya “Dari mana Pemda memperoleh dana untuk menutup defisit”. Beberapa daerah tersebut dapat dilihat dalam

tabel 4.1.

Tabel 4.1 Daerah dengan Defisit Belum Ter-cover oleh Pembiayaan

NO Nama Daerah Surplus/Defisit

(Rp)

Pembiayaan

(Rp) Surplus/Defisit + Pembiayaan

1 Kota Gorontalo -29,779,841,647 6,362,331,500 -23,417,510,147

2 Kab. Halmahera Utara 18,710,229,713 -42,000,000,000 -23,289,770,287

3 Kab. Lebong -22,068,387,866 4,495,391,448 -17,572,996,419

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 48

4 Kab. Jayawijaya -11,607,748,671 -5,000,000,000 -16,607,748,671

5 Kab. Mamuju Utara -19,187,064,000 3,527,204,478 -15,659,859,522

6 Kab. Nduga -49,332,739,152 35,926,104,078 13,406,635,074

7 Prov. Sulawesi Barat -16,023,664,312 6,000,000,000 -10,023,664,312

8 Kab. Fakfak -9,719,307,106 0 -9,719,307,106

9 Kab. Sinjai 7,634,516,950 -17,044,126,360 -9,409,609,410

10 Kab. Halmahera Tengah -93,199,089,250 85,247,299,000 -7,951,790,250

11 Kab. Labuhanbatu Selatan -69,197,140,449 64,297,140,449 -4,900,000,000

11 Kab. Malang -193,012,992,133 189,088,504,533 -3,924,487,600

12 Kab. Seram Bagian Barat 53,501,000,000 -56,500,000,000 -2,999,000,000

13 Kab. Lanny Jaya -65,145,607,759 62,863,895,376 -2,281,712,383

14 Kota Ambon 22,414,241,834 -24,561,122,126 -2,146,880,292

15 Kab. Lingga -152,325,010,000 150,325,000,000 -2,000,010,000

16 Kab. Ngada -55,866,826,000 53,866,826,000 -2,000,000,000

17 Prov. Jawa Barat -1,464,301,200,000 1,462,301,200,000 -2,000,000,000

18 Kota Ternate -22,543,844,264 21,285,104,264 -1,258,740,000

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Dalam tabel diatas dapat dilihat bahwa Kota Gorontalo merupakan daerah dengan nilai

Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar 23,4 miliar rupiah

dan terendah adalah Kota Ternate sebesar 1,3 miliar rupiah.

B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih

realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dengan

demikian dalam APBD 2011 SiLPA yang dimasukkan adalah sisa realisasi APBD di tahun

2010. Berikut disajikan Rasio SiLPA terhadap belanja, rasio tersebut menunjukkan persentase

dana yang penggunaannya tertunda atau tidak terserap pada tahun sebelumnya:

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 49

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.7 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

SiLPA adalah sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya. Rasio SiLPA terhadap

pendapatan selain menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada

tahun sebelumnya juga menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran

sebelumnya lebih besar dari proyeksinya. Rata-rata rasio SiLPA terhadap belanja daerah

secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 8,2% dengan rasio tertingginya adalah

Kepulauan Riau. Sebanyak 12 provinsi mempunyai rasio diatas rata-rata dan 21 provinsi di

bawah rata-rata.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Grafik 4.8 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

1.8

2.4

3.1

3.1

3.3

3.4

3.4

3.7

4.3

4.9

5.3

5.3

5.5

6.0

6.2

6.4

6.4

7.5

7.7

7.7

8.1

8.3

8.7

9.6

9.6

10

.3

10

.6

10

.6

11

.1

11

.4

15

.0 17

.0

17

.7

8.2

.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

20.00

Sulb

ar

Pap

bar

Lamp

un

g

Sulte

ng

Sultra

Sum

sel

Pap

ua

Sulse

l

Ben

gkulu

NTB

Sulu

t

Goront…

Kalb

ar

Jateng

Malu

t

Malu

ku

Sum

ut

Aceh

Kalte

ng

Jamb

i

NTT

DIY

DK

I

Sum

bar

Jatim

Jabar

Ban

ten

Bab

el

Bali

Kalse

l

Riau

Kaltim

Kep

ri%

1.2

2.0

2.5

3.0

3.4

3.4

3.5

4.4

4.4

4.8

4.8

4.9

5.3

5.6

5.7

5.7

6.6

6.8

7.2

7.4

7.5

7.8

7.9

8.3

9.3

9.5

9.5

10

.4

11

.7

16

.7

16

.9

18

.6

7.8

.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

20.00

Pap

bar

Sulb

ar

Sulte

ng

Sum

sel

Lamp

un

g

Sulse

l

Sultra

Pap

ua

NTB

Kalb

ar

Ben

gkulu

Aceh

Go

ron

talo

Sulu

t

Sum

ut

Jateng

DIY

Malu

t

Malu

ku

NTT

Ban

ten

Jamb

i

Kalte

ng

Jabar

Sum

bar

Jatim

Bali

Bab

el

Kalse

l

Kaltim

Riau

Kep

ri%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 50

Pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kepulauan Riau, Riau dan Kalimantan Timur

merupakan daerah-daerah yang terlihat beda dibanding pemkab dan pemkot di provinsi lain,

karena pemkab dan Pemkot di ketiga provinsi tersebut mempunyai rasio SiLPA terhadap

belanja diatas 15,0% dan diatas rata-rata yang sebesar 7,8%. Sedangkan Kab/kota di Papua

barat mempunyai rasio paing rendah (1,2%)

3. Pemerintah Provinsi

Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terdapat perbedaan pada urutan rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah pada

Pemerintah Provinsi dengan pemkab dan Pemkot se-provinsi. Dalam rasio SiLPA terhadap

belanja daerah pemprov.Aceh merupakan provinsi yang mempunyai urutan tertinggi (18,3%),

urutan kedua adalah Prov. Banten(16,4%), sedangkan provinsi yang mempunyai rasio terendah

adalah papua sebesar 0% atau Prov. Papua tidak mempunyai SiLPA. Hal ini menjadi sangat

menarik untuk dikaji lebih lanjut mengapa pemerintah kabupaten kota se-provinsi Papua bisa

tidak memiliki SiLPA, karena mengingat pada tahun 2010 terdapat beberapa jenis dana transfer

ke daerah yang relatif lambat masuk dalam kas daerah dan diperkirakan tidak bisa terserap

pada akhir tahun tersebut.

4. Per Wilayah Rasio SiLPA terhadap belanja daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan(11,8%), rata-

rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 8,3%, semakin besar rasio menunjukkan semakin

besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2010. sedangkan rasio terendah

SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi. Untuk wilayah lain dapat dilihat dalam

grafik dibawah ini.

0.0

0.9

1.1

2.0

2.2

2.3

2.6

3.1

3.8

4.2

4.5

5.1

5.2

5.3

5.8

5.9

6.5

6.7

7.8

7.8

8.1

8.3

8.7

9.4

10

.0

11

.1

11

.6

12

.7

12

.8

13

.2

13

.7

15

.2

16

.4

8.4

.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

Pap

ua

Sulb

ar

Lamp

un

g

Ben

gkulu

Sultra

Malu

ku

Malu

t

Sulu

t

Sulse

l

Sum

sel

Pap

bar

Go

ron

talo

Jateng

Kalte

ng

Sulte

ng

Riau

NTB

Jamb

i

Kalse

l

Jatim

Kalb

ar

Sum

ut

DK

I

Bab

el

Sum

bar

Aceh

DIY

Kep

ri

NTT

Kaltim

Bali

Jabar

Ban

ten

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 51

Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang

mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang dari pihak lain (termasuk obligasi) sehingga

daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Oleh karena itu pinjaman yang

dianggarkan dalam APBD dibatasi oleh peraturan Menteri Keuangan tiap tahunnya. Berikut

rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, pemerintah

kabupaten dan kota se-provinsi, serta pemerintah provinsi.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

0.3 0.3

0.5

1.0

1.6

0.6

.00

.200

.400

.600

.800

1.00

1.200

1.400

1.600

1.800

Kalimantan NT MalukuPapua

Sumatera Jawa Bali Sulawesi

%

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.1

0.1

0.1

0.2

0.2

0.2

0.3

0.3

0.3

0.3

0.3

0.5

0.7

0.7

0.9

0.9

1.3

1.3

1.6

1.7

2.1

4.0

4.2

0.6

.00

.500

1.00

1.500

2.00

2.500

3.00

3.500

4.00

4.500

Riau

Ben

gkulu

DK

I

Sulu

t

Malu

ku

Ban

ten

Bab

el

Kalte

ng

DIY

NTT

Bali

Pap

ua

NTB

Kalse

l

Sum

sel

Pap

bar

Jatim

Lamp

un

g

Sulte

ng

Jabar

Go

ron

talo

Jamb

i

Sum

ut

Sum

bar

Kep

ri

Jateng

Aceh

Kalb

ar

Kaltim

Sulse

l

Malu

t

Sultra

Sulb

ar%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 52

Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara adalah 0,6%. Nilai tersebut masih

jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.

149/PMK.07/Tahun 2010, yaitu 3,5% total pendapatan. Terlihat bahwa dua provinsi melampaui

batas yang ditentukan yaitu provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara yaitu 4,2% dan 4,0%.

Dari kedua provinsi tersebut, seluruh pemda di Provinsi Sulawesi Barat belum ada yang

mengajukan persetujuan pelampauan batas maksimal defisit kepada Menteri Keuangan.

Dari grafik diatas dapat dilihat berdasarkan 33 wilayah provinsi terdapat enam provinsi yang

tidak menganggarkan penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah pemkab dan pemkot se-Provinsi Sulawesi

Barat adalah yang tertinggi (5,3%). Penyumbang tertinggi adalah Kab. Mamasa yang

mempunyai rasio pinjaman 24%. Pemkab dan pemkot se-Provinsi Sultra, Bengkulu, Sulut,

Maluku, Banten, Bangka Belitung dan Riau tidak menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya.

Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara Nasional adalah 0,6%, bila dibandingkan

dengan angka rasio tersebut maka terdapat 10 provinsi yang pemkab dan pemkotnya

mempunyai rasio lebih tinggi.

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.1

0.1

0.2

0.2

0.2

0.2

0.2

0.3

0.3

0.4

0.4

0.4

0.5

0.8

0.8

0.8

1.1

1.5

1.9

2.0

2.0

2.5

5.3

0.6

.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Riau

Ben

gkulu

Sulu

t

Sultra

Malu

ku

Ban

ten

Bab

el

Kalte

ng

NTT

DIY

Bali

Pap

ua

NTB

Kalse

l

Sum

sel

Jatim

Lamp

un

g

Sulte

ng

Jabar

Pap

bar

Go

ron

talo

Jamb

i

Sum

ut

Sum

bar

Jateng

Kep

ri

Kalb

ar

Sulse

l

Kaltim

Aceh

Malu

t

Sulb

ar%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 53

3. Pemerintah Provinsi Terdapat tiga pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman, hal tersebut dapat

dilihat dalam grafik 4.13. Tiga pemerintah provinsi tersebut adalah Sulawesi Barat, Maluku

Utara dan Aceh. Rasio terekstrem adalah Sulawesi Barat yang mempunyai rasio sebesar

23,0% jauh lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar 4,5%.

Grafik 4.13

Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

4. Per Wilayah Sulawesi merupakan wilayah yang mempunyai rasio pinjaman tertinggi dibanding

daerah lainnya, yaitu 1,6 % dibanding pendapatan. Sedangkan yang terendah adalah wilayah

Nusa Tenggara-Maluku-Papua (0,3%).Jika dilihat penyebaran per daerah dalam rasio pinjaman

terbesar berada di wilayah Kalimantan (Penajam Paser Utara). Rasio tertinggi lainnya berada di

wilayah Sulawesi, yaitu provinsi Sulawesi Utara dan Kab.Mamasa yang mempunyai rasio diatas

20,0%. Rasio perwilayah dan penyebarannya dapat dilihat dalam grafik 4.14 dan 4.15 berikut :

Grafik 4.14

Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

*) Tidak termasuk DKI Jakarta

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.3

1.2

22

.9

0.3 .00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Aceh

Sum

ut

Sum

bar

Riau

Jamb

i

Sum

sel

Ben

gkulu

Lamp

un

g

DK

I

Jabar

DIY

Kalb

ar

Kalte

ng

Kalse

l

Kaltim

Sulu

t

Sulte

ng

Sulse

l

Bali

NTB

NTT

Malu

ku

Pap

ua

Malu

t

Ban

ten

Bab

el

Goront…

Kep

ri

Pap

bar

Sulb

ar

Jatim

Jateng

Sultra

%

0.3

0.3

0.5

1.0

1.6

0.6

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

NT MalukuPapua

Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 54

Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)

wilayah.

R P

inja

man

SulawesiKalimantanSumateraJawa BaliNT maluku papua

35

30

25

20

15

10

5

0 0.56

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 149/PMK.07/2010 bahwa maksimum defisit

yang dibiayai oleh pinjaman adalah sebesar 4,5% dari total pendapatan dan bagi yang

melampaui batas yang ditentukan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q.

Dirjen Perimbangan Keuangan. Daerah yang melampau batas tersebut dapat dilihat dalam

tabel dibawah ini.

Tabel 4.2. Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan di PMK No. 149/PMK.07/2010

No Daerah Total Pendapatan

(Juta Rupiah)

Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

(Juta Rupiah) % Pinjaman

1 Kab. Penajam Paser Utara 947,704 324,645 34.26

2 Kab. Mamasa 397,357 95,216 23.96

3 Prov. Sulawesi Tenggara 1,220,581 280,000 22.94

4 Kab. Samosir 394,227 60,000 15.22

5 Kab. Kepulauan Sula 527,793 73,284 13.89

6 Kab. Simeulue 373,865 47,898 12.81

7 Kab. Barru 481,975 47,383 9.83

8 Kab. Jeneponto 533,862 50,561 9.47

9 Kota Palopo 472,300 44,121 9.34

10 Kota Langsa 411,013 32,980 8.02

11 Kab. Sambas 768,406 51,510 6.70

12 Kota Semarang 1,713,581 103,416 6.04

13 Kota Pare-Pare 530,065 31,903 6.02

14 Kab. Agam 655,528 35,761 5.46

15 Kab. Maros 583,510 30,000 5.14

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 55

Lanjutan Tabel 4.2 16 Kab. Sidenreng Rappang 677,852 34,817 5.14

17 Kota Bogor 964,699 49,262 5.11

18 Kab. Tapanuli Selatan 599,384 30,000 5.01

19 Kab. Tanjung Jabung Timur 602,510 30,000 4.98

20 Kota Sawahlunto 371,261 17,500 4.71

21 Kab. Biak Numfor 574,134 26,936 4.69 Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Terdapat 20 daerah yang melampaui batas yang ditentukan, daerah yang mempunyai

persentase tertinggi adalah Kab. Penajam Paser Utara (34,3%). Dari 20 daerah tersebut baru

daerah yang mengajukan pelampauan defisit yang dibiayai oleh pinjaman ke Menteri Keuangan

c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan.

Jika dilihat secara nasional jumlah pinjaman APBD adalah 2,65 triliun rupiah atau setara

dengan 0,04% dibanding dengan perkiraan PDB tahun 2011. Persentase pinjaman tersebut

masih dibawah batas pinjaman APBD secara Nasional yang ditetapkan oleh PMK No.

149/PMK.07/2010, yaitu 0,3% dari PDB sehingga secara nasional pinjaman APBD 2011 masih

dapat disetujui.

6. Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus Sebagian besar APBD dianggarkan defisit, dimana defisit tersebut dapat ditutup dengan

penerimaan pembiayaan. Namun terdapat daerah yang menganggarkan pinjaman walaupun

surplus/defisit ditambah pembiayaan masih bernilai positif. Beberapa daerah tersebut dapat

dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.3. Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus

No Daerah SURPLUS/ (DEFISIT)

Pembiayaan Netto

Penerimaan Pinjaman Daerah

dan Obligasi Daerah

Surplus/Defisit + Pembiyaan Netto (SiLPA

th Berkenaan)

1 Kab. Aceh Utara (116,369) 336,369 41,600 220,000

2 Kota Dumai 5,137 19,345 778 24,482

3 Kab. Nias (58,553) 72,689 3,970 14,135

4 Kab. Sijunjung (80,376) 87,214 1,900 6,837 Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Kab. Aceh Utara merupakan daerah yang mengganggarkan SiLPA tahun berkenaan

paling besar yaitu 220 miliar rupiah, dimana SiLPA tersebut lebih besar dari pinjaman yang

dianggarkan yaitu sebesar 41,6 miliar Rupiah. Hal tersebut menunjukkan dengan tidak

menganggarkan pinjaman di APBD, daerah masih mempunyai kelebihan dana yang dapat

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 56

digunakan dalam belanja daerah. Kejadian tersebut juga terjadi di Kab. Nias dan Kab.

Sijunjung, sedangkan untuk daerah lainnya pinjaman yang dilakukan lebih besar dibanding

dengan kebutuhan, sehingga terdapat sisa dana di akhir tahun berkenaan atau dapat dikatakan

terjadi ketidakefisiensian dana APBD. Sisa dana tersebut sekiranya dapat juga dianggarkan

dalam belanja melihat dana tersebut masih cukup besar.

D. Rasio Keseimbangan Primer Dalam Format APBD yang berstruktur I-Account, pendapatan dan belanja dipisah

dengan pembiayaan dan ditunjukkan adanya surplus/defisit pendapatan atas belanja,

Keseimbangan Primer (Primary Balance) atau Surplus/Defisit Primer merupakan selisih

pendapatan daerah dengan belanja daerah setelah belanja dikurangi dengan belanja bunga.

Penghitungan tersebut berbeda dibandingkan saat digunakan APBD berbentuk T-Account

dimana Surplus/Defisit Primer diperoleh dari selisih seluruh penerimaan daerah terhadap

pengeluaran daerah setelah pengeluaran daerah dikurangi pembayaran pokok pinjaman dan

belanja bunga. Sejak pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara beserta

turunannya, Indonesia menggunakan konsep Keseimbangan Primer yang pertama.

Keseimbangan Primer menunjukkan kemampuan belanja daerah dalam rangka menjalankan

program dan kegiatannya setelah dihilangkan belanja yang tidak terkait seperti belanja bunga.

Keseimbangan primer dapat berupa defisit primer jika bernilai negatif atau surplus primer jika

bernilai positif. Nilai tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan belanja, juga

dipengaruhi oleh besarnya bunga. Semakin besar bunga, semakin besar perbedaan nilainya

dengan keseimbangan umum (pendapatan dikurangi belanja).

Keseimbangan primer juga mampu menunjukkan kondisi likuiditas pemda dalam

melaksanakan program dan kegiatannya, yaitu dengan menggunakan rasio keseimbangan

primer terhadap PDRB yang merupakanjumlah keseimbangan primer dibagi dengan PDRB.

Semakin besar rasio surplus keseimbangan primer, maka semakin likuid APBD dalam

membayar kewajiban jangka pendeknya. Sebaliknya, semakin rendah rasio surplus primer

semakin rendah kemampuannya. Bahkan, jika rasio menunjukkan rasio negatif (defisit primer),

itu berarti keuangan pemda dalam kondisi ilikuid, atau pemda bukan hanya tidak memiliki

kemampuan yang cukup untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya, namun bahkan untuk

membelanjai program kegiatan pokoknya. Hal ini mengakibatkan semakin besar belanja yang

harus dibiayai dari penerimaan pembiayaan, terutama utang. Jika hal ini terjadi dalam jangka

panjang, dikhawatirkan daerah tersebut akan mengalami kondisi yang biasa disebut jebakan

utang (debt trap), sebagaimana pernah disampaikan oleh Irving Fisher tahun 1933 dengan

konsepnya yang terkenal, Fisher Paradox.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 57

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.16

Rasio Primary Balance Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Primary Balance pemkab dan Pemkot setiap provinsi dapat dilihat dalam grafik 3.13.

Pemkab dan Pemkot se-Provinsi Papua Barat dan Sumatera Selatan primary balance-nya

bernilai positif. Nilai tersebut bernilai positif karena kedua wilayah tersebut menganggarkan

surplus pada APBD-nya.

Grafik 4.17

Rasio Primary Balance Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta

-0.1

-0.5

-0.5

-0.7

-0.8

-1.0

-1.0

-1.3

-1.3

-1.4

-1.4

-1.6

-1.7

-1.9

-1.9

-2.0

-2.1

-2.2

-2.7

-2.7

-3.0

-3.1

-3.2

-3.5

-3.5

-3.6

-3.7

-3.7

-3.9

-4.2

-6.2

-7.6

-9.7

-1.6

-12.0

-10.0

-8.0

-6.0

-4.0

-2.0

0.0

Sum

sel

DK

I

Lamp

un

g

Sulte

ng

Pap

bar

Sum

ut

Sulse

l

Jateng

Jatim

Jabar

Pap

ua

Kalb

ar

Ban

ten

Sulu

t

Sulb

ar

NTB

DIY

Ben

gkulu

Sultra

Riau

Sum

bar

Kalte

ng

Jamb

i

Malu

ku

Kalse

l

Aceh

Kep

ri

Bali

Bab

el

Kaltim

Go

ron

talo

NTT

Malu

t%

0.7

0.1

-0.3

-0.5

-0.8

-0.9

-1.0

-1.0

-1.0

-1.0

-1.1

-1.1

-1.3

-1.3

-1.6

-1.6

-1.7

-2.1

-2.1

-2.5

-2.5

-2.6

-2.6

-3.0

-3.0

-3.1

-3.1

-3.1

-3.4

-5.0

-6.7

-9.5

-1.2

-10.0

-8.0

-6.0

-4.0

-2.0

0.0

2.0

Pap

bar

Sum

sel

Sulte

ng

Lamp

un

g

Sulse

l

Sum

ut

Jabar

Ban

ten

Jatim

Aceh

Sultra

Jateng

DIY

Kalb

ar

Sulb

ar

NTB

Sulu

t

Ben

gkulu

Pap

ua

Bali

Riau

Jamb

i

Sum

bar

Malu

ku

Bab

el

Kalte

ng

Kalse

l

Kep

ri

Kaltim

Go

ron

talo

NTT

Malu

t%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 58

Primary Balance yang paling rendah terdapat pada pemkab dan pemkot se-provinsi

Maluku Utara (9,5%). Nusa Tenggara Timur (6,7%), Gorontalo (5,0%), sedangkan wilyah

lainnya dibawah 5,0%.

3. Pemerintah Provinsi

Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2011 (Diolah)

Pemerintah Provinsi Papua mempunyai Primary Balance yang bernilai positif,

sedangkan provinsi lainnya bernilai negatif. Namun untuk provinsi lain yang bernilai negatif

APBD masih dapat seimbang jika dimasukkan SiLPA yang berasal dari APBD tahun

sebelumnya atau dengan kata lain APBD tersebut masih dapat mendanai belanja dari

penerimaan sendiri.

4. Per Wilayah

Grafik 4.19 Rasio Primary Balance Per wilayah *)

Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) tidak termasuk DKI Jakarta

0.7

-0

.1

-0.1

-0

.1

-0.1

-0

.2

-0.2

-0

.2

-0.2

-0

.2

-0.2

-0

.2

-0.3

-0

.3

-0.3

-0

.4

-0.4

-0

.4

-0.5

-0

.5

-0.5

-0

.6

-0.6

-0

.7

-0.8

-0

.8

-0.8

-0

.9

-1.2

-1

.2

-1.5

-1

.6

-2.6

-0.4

-3.0

-2.5

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

Pap

ua

Lamp

un

gK

alten

gJaten

gB

engku

luSu

mu

tSu

lsel

Riau

Sum

selJatimSu

lut

Malu

tSu

mb

arN

TBSu

lbar

Kalb

arSu

lten

gK

alsel

DK

IJab

arM

aluku

Jamb

iK

epri

Ban

ten

Kaltim

NTT

DIY

Bab

elG

oro

ntalo

Bali

Pap

bar

Sultra

Aceh

%

-1.1

-1.4

-1.9

-2.9

-3.5

-1.68

-4.0

-3.5

-3.0

-2.5

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

Jawa Bali Sulawesi Sumatera NT MalukuPapua

Kalimantan

%

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 59

Primary Balance APBD per wilayah dapat dilihat dalam grafik 4.19. Primary Balance

yang bernilai negatif menunjukkan bahwa APBD tidak Liquid atau APBD tidak dapat membayar

Bunga Pinjaman dari penerimaan sendiri. Namun, hal tersebut belum termasuk penerimaan

pembiayaan yang berasal dari SiLPA karena sebagian besar defisit APBD ditutup dengan

menggunakan SiLPA. Kalimantan adalah wilayah yang mempunyai Primary Balance yang

paling kecil (3,51%) menunjukkan dibanding wilayah lain Kalimantan merupakan daerah

dengan APBD tidak likuid.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 60

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149 Tahun 2010 tentang Batas

Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas

Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah.

_______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

_______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah.

_______________ , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah.

_______________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

_______________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

_______________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

_______________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Heller, Stephen. S., “Policy Discussion Paper”, IMF, 2005.

Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011

DJPK – KEMENKEU RI 61

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2011” tidak akan terselesaikan tanpa

kontribusi dari seluruh pihak yang berperan sehingga apresiasi yang setinggi-tingginya

dimanifestasikan dalam ucapan terima kasih berikut ini:

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR.

Marwanto Harjowiryono – dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan

Daerah – Drs. Yusrizal Ilyas, MPA – yang telah memberikan arahan dan bimbingan

hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah

Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah

menyediakan data Ringkasan APBD 2011 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.

Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi

dan Perekonomian Daerah (Putut Hari Satyaka, SE, MPP; Krisnandar, SE; Nasrullah,

SE; Aris Sudjatmiko, S.Sos, MM; Wahyu Widjayanto, SE, MM; Arif Zainuddin Fansyuri,

Ak, ME; Dhani Kurniawan, SE; Nanag Garendra Timur, S.Si; Mauliate H. Silitonga, SE;

Dastam Wijaya, SIP; Shinta Theresia; Femmy Ferdiansyah, SH; Rizki Anggunani S.Si;

dan Virgin Marthalia yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus menyusun

buku, melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima

kasih atas kerja kerasnya.