kembali ke masjid
TRANSCRIPT
1
KEMBALI KE MASJID: Orientasi Pendidikan Islam Klasik
Oleh : H. Mukhlisin Muzarie
Seminar sehari “Pendidikan Keaksaraan Berbasis Masjid”
Sumber, 15 Februari 2005
==================================================== “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-Allaq, 96 : 1-6)
1. Pendahuluan
Petunjuk (hudan) yang pertama diturunkan untuk memecahkan problem
sosial yang kompleks (jahiliyah dalam segala aspek kehidupan) adalah
pendidikan keaksaraan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sumber
keterbelakangan adalah buta aksara. Lima ayat dari surat al-Allaq yang
diturunkan di guwa Hira pada saat Nabi bertahannus mengisyaratkan
adanya masyarakat yang buta aksara (ummie) yang perlu segera
dibebaskan melalui program pendidikan keaksaraan. Program ini menjadi
program prioritas sebelum menyentuh sektor-sektor yang lain karena IPM
(Indek Pembangunan Manusia) harus berangkat dari sini. Namun target
yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam bukanlah sekedar mentransfer
nilai-nilai budaya (values), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan
(skills), tetapi menjangkau pembentukan kepribadian yang utuh (al-akhlaq
al-karimah) yang seluruh aspeknya berhubungan dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa (bi ismi Rabbik).
Untuk melaksanakan program tersebut Rasulullah secara bertahap
menyiapkan tenaga pengajar yang dirintis di rumah Arqam (Dar al-Arqam)
di Mekkah, kemudian menyiapkan sarana, yaitu masjid, yang baru
terlaksana setelah beliau hijrah ke Madinah. Pertama membangun masjid
Quba, yaitu ketika Nabi baru sampai di luar kota Madinah (dahulu namanya
Yatsrib)1. Kemudian beliau membangun sebuah masjid yang dilengkapi
dengan bangunan tempat tinggal beliau dan ruangan khusus (shuffah)
tempat penampungan orang-orang Muhajirin di kota Madinah2. Masjid ini
1 HMH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, (Distributor: Ahmad
Hadi, Jakarta, 1989), hal. 473 2 Ibid, hal. 485-486
2
dijadikan pusat kegiatan pendidikan Islam, mulai dari belajar membaca
sampai pada pokok-pokok agama yang harus difahami, diresapi dan
diamalkan oleh masyarakat.
Sarana tatap muka dilakukan secara bertahap, mulai dari shalat jum’at
yang diwajibkan satu minggu satu kali dan mulai dirintis di rumah As’ad bin
Dzurarah di suatu desa lebih kurang satu mil di luar kota Madinah3 lalu
dipindahkan ke mesjid Nabawi. Kemudian lebih intensip ketika shalat
berjamaah disyari’atkan dan alat untuk mengumpulkan peserta (adzan)
diberlakukan. Melalui tatap muka yang awalnya hanya satu minggu satu kali
kemudian lebih intensip setiap hari sampai lima kali inilah umat Islam
dibangun dan sekaligus menghasilkan tokoh-tokoh seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali dan lain-lainnya.
2. Kegagalan Pendidikan
Ketika terjadi kekacauan : kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di
kalangan birokrat, arogansi di kalangan wakil-wakil rakyat, tawuran dan
penjarahan di kalangan rakyat, konflik internal di kalangan mahasiswa dan
pelajar, dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan, seperti
pembunuhan, pemerkosaan, pemerasaan dan penipuan, maka lembaga
pendidikan kita, terutama lembaga-lembaga pendidikan Islam
dipertanyakan, mengapa hal itu terjadi? Belum lagi ketika IPM (Indek
Pembangunan Manusia) Indonesia berdasarkan laporan UNDP (United
Nation Depelopment Program) menduduki urutan ke 112 dari 175 negara di
dunia, atau menduduki urutan ke 6 dari 9 negara Asean, di bawah
Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Indonesia hanya
mengungguli Kamboja, Myanmar dan Laos4. Ini menggambarkan
keprihatinan yang mendalam bagi pendidikan kita, dan lebih
memprihatinkan lagi ketika terjadi pengiriman TKW besar-besaran ke luar
negeri, ke negara-negara petro dolar dan pengusiran lebih dari tiga ratus
ribu TKI ilegal dari negara tetangga “Malaysia” yang dahulu berguru ke
Indonesia dalam berbagai bidang ilmu, kini mereka sudah menjadi “tuan”
sementara kita menjadi “budak”. Ini jelas menggambarkan IPM yang
rendah.
Untuk memberi jawaban yang singkat dari pertanyaan pertama
tentunya mudah saja, yaitu karena mereka tidak punya rasa takut, tidak
punya rasa malu dan tidak punya rasa kasih sayang. Memang kenyataannya
mereka tidak takut sanksi, tidak takut jeratan hukum, apa lagi takut dosa
yang saksinya nanti di akhirat. Semuanya itu berkaitan erat dengan sistem
3 Sayid Al-Barkawie bin Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathie, I’anat al-Thalibin, ( Dar al-Fikr,
Bairut, 1993)), juz II, hal. 62-63 4 H.A. Koeswaya Al Itsyam, dkk. dalam Media Pembinaan, (Kanwil Depag Prop Jabar, No.
02/XXXI, Mei 2004), hal. 3 dan 19
3
hukum dan sistem pendidikan yang dilaksanakan selama ini. Materi hukum
yang baik, apabila tidak ada upaya penegakan hukum (law enforcement)
sama saja dengan tida ada hukum. Demikian pula apabila ada upaya
penegakan hukum, akan tetapi materi hukumnya jelek, tidak diberi muatan
moral, maka sama saja artinya dengan tidak ada penegakan hukum.
Meminjem istilah St. Agustine : “An unjust law is no law at all”. Sedangkan pertanyaan kedua, jawabannya, kita jujur saja mengakui,
bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dan makin merosot.
Kita dapat melihat ketika kita meminta NEM dari 5-6 mata pelajaran yang
di Ebtanas-kan di SD, SLTP dan SLTA hasilnya sangat sedikit yang
mendapat nilai rata-rata enam. Dan sekarang hanya diminta 3,01 pada
tahun 2003 dan 4,01 pada tahun 2004 dari tiga mata pelajaran yang di
UAN-kan masih banyak sekolah yang kedodoran. Demikian pula jenjang
pendidikan tinggi di Indonesia masih memprihatinkan, belum mampu
bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi di luar negeri. Menurut Ketua
Kopertais Wilayah II Jawa Barat dan Banten, Perguruan Tinggi Negeri
terkemuka di Indonesia ini masih menduduki ranking di atas seratus
dibandingkan dengan perguruan tinggi di luar negeri (Pidato Wisuda
Sarjana STAI Cirebon tahun 2004)
3. Sebab-Sebab Kegagalan
Dari berbagai kasus krisis multidimensional, timbul anggapan bahwa
penyebab utama dari semua itu adalah karena salahnya sistem pendidikan,
termasuk di dalamnya adalah pendidikan agama. Seorang ahli pendidikan
HAR Tilaar yang dilansir oleh Qadri Azizy menyebutkan ada tiga
kelemahan pendidikan di Indonesia, yaitu :
One. Sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Penulisnya
mengkritik uniformitas sampai pada baju seragam. Memang
sentralisasi pendidikan pernah dipraktekan meliputi segala bidang.
Pada aspek kurikulum hampir tidak ada ruang bagi sekolah sebagai
garda terdepan dalam penyelengaraan pendidikan itu boleh
menambah, apalagi mendesain kurikulum yang diajarkan pada anak-
anak.
Two. Sistem pendidikan tidak mempertimbangkan kenyataan yang ada
di masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dianggap sebagai obyek
pendidikan yang tidak mampu untuk ikut menentukan jenis
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Masyarakat tidak
diberdayakan, tetapi hanya sebagai obyek yang harus menerima
paket dan instruksi dari penguasa.
Three. Kedua sistem tersebut (sentralistik dan tidak ada
pemberdayaan masyarakat) ditunjang oleh sistem birokrasi yang
4
kaku yang tidak jarang dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat
politik penguasa. Birokrasi model ini menjadi lahan subur untuk
tumbuhnya budaya KKN dan lemahnya budaya prestasi dan
profesionalisme.
Qadri menambahkan tiga penyebab lainya, yaitu :
Four. Terbelenggunya guru, karena dijadikan sebagai bagian dari alat
birokrasi. Dalam sistem birokrasi pendidikan, guru diletakan
sebagai “bawahan”. Kebijakan ini membelenggu profesionalisme
guru yang seharusnya kreatif dan inovatif.
Five. Sistem pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan
kepribadian (akhlak), tetapi lebih pada proses pengisian otak
(kognitif). Itulah sebabnya maka etika, budi pekerti atau akhlak
al-karimah tidak menjadi perhatian (tidak menjadi tolok ukur)
dalam kehidupan, baik di luar maupun di lingkungan sekolah.
Six. Anak didik tidak dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan
inovatif pada keinginan untuk tahu (curiousity). Kurangnya aspek
ini menyebabkan anak hanya dipaksa untuk menghafal dan
menerima apa yang sudah dipaket oleh guru. Dengan demikian anak
tidak akan menemukan sesuatu yang baru (discovery).
Sebagai akibat dari kelemahan sistem pendidikan tersebut, kata
Qadri, penekanannya hanya pada tujuan bahwa setiap anak didik harus
menjadi warga negara yang baik dan bermanfaat bagi bangsa dan
negaranya, termasuk bermanfaat bagi dirinya sendiri, menjadi tidak
tercapai. Malah sebaliknya, justru menghasilkan sistem sosial yang
akhirnya melahirkan krisis multidimensional5
4. Dambaan Reformasi Pendidikan
Mengubah sistem pendidikan yang negatif seperti dikemukakan atas
agar menjadi positif, yakni : tidak kaku dan tidak uniformitas, menghargai
pluralitas kedaerahan dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat,
bebas KKN, menempatkan guru sebagai pendidik, bukan sebagai alat
birokrasi politik sehingga guru harus profesional, menekankan pembiasaan
agar anak menjadi anak yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta menjadi warga negara yang baik, menekankan pada sikap
kritis, kreatif dan inovatif bagi anak didik, Qadri menawarkan beberapa
model pendidikan untuk mencari jalan keluar dari keenam kelemahan
pendidikan yang telah dikemukakannya. Ia menyarankan bahwa jalan keluar
yang harus diambil dalam reformasi pendidikan adalah tekad untuk
melaksnakan desentralisasi pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh
UU No. 22 tahun 1999 (jo UU No. 32 tahun 2004) dimana pendidikan
5 Qadri Aizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Aneka Ilmu, Jakarta, 2002), hal. 8-
13
5
termasuk yang didesentralisasikan. Dalam hal ini Qadri mengemukakan tiga
model desentralisasi pendidikan. Yaitu :
One. Manajemen berbasis lokasi
Two. Pengurangan administrasi pusat
Three. Inovasi kurikulum6
Ketiga model tersebut sebenarnya saling berkaitan, karena jika suatu
sekolah menganut manajemen berbasis lokasi, konsekwensinya tidak ada
intervensi birokrasi dari pusat dan secara otomatis kurikulumnya menjadi
wewenang sekolah yang bersangkutan karena akan memudahkan untuk
mengadakan evaluasi dan mengadakan inovasi. Sekarang sedang
dikembangkan pendidikan berbasis lingkungan (community-based education) yang ciri utamanya adalah keterlibatan orang tua murid dan
masyarakat terhadap kebijakan dan pengelolaan sekolah. Dengan demikian
ada hubungan yang erat antara pengguna jasa sekolah (orang tua,
masyarakat dan pemerintah) dengan penyedia jasa (guru, lembaga
pendidikan negeri dan swasta). Pola ini memang akan menimbulkan
perbedaan antara sekolah di suatu daerah dengan sekolah di daerah lain,
akan tetapi utamanya adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
lingkungan sekolah masing-masing sehingga lapangan pekerjaan bagi alumni
sekolah telah tersedia (KBK/Kurikulum Berbasis Kompentensi).
5. Pendidikan Berbasis Masjid
Pendidikan dalam pengertian yang sederhana adalah “ suatu proses
melatih dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, pikiran, perilaku,
dan lain-lain, terutama oleh sekolah-sekolah formal” (the process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc., especially by formal schooling). Namun dalam prakteknya sering dilakukan
dengan pengajaran yang sifatnya verbalistik sehingga anak didik hanya
didikte, disuruh menghafal dan semacamnya. Dengan demikian anak baru
mampu menerima informasi saja, belum menunjukan kemampuan untuk
menghayati nilai-nilai yang diajarkan apalagi mengamalkannya.
Mengenai pendidikan agama seharusnya bukan hanya mentransfer
ilmu dengan menghafal beberapa dalil atau syarat-rukun dan praktek
ibadah, tetapi harus diupayakan agar murid memahami nilai yang diajarkan
dan mau mengamalkannya. Aspek menghafal dan memahami atau
mengetahui ajaran hanyalah tujuan antara, karena tujuan akhirnya adalah
agar anak didik dapat melaksanakan ajaran agama dengan penuh tanggung
jawab dan ikhlas. Firman Allah :
–
6 Ibid, hal. 15
6
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51 : 56)
Ada tiga hal pokok yang ditransfer melalui pendidikan, yaitu :
One. Nilai (values)
Two. Pengetahuan (knowledge)
Three. Ketrampilan (skills)
Dengan demikian tujuan pendidikan sangat beragam sesuai dengan
filsafat masyarakat dan bangsa suatu daerah atau suatu negara masing-
masing. Tujuan pendidikan dalam UU SPN No. 2tahun 1989 (UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2004 belum dilacak) berbunyi : “Pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangka
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuha Yang Maha Esa dan berbudipekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan”7. Rumusan ini cukup ideal, tetapi pelaksanaannya masih jauh
sehingga pendidikan digugat oleh masyarakat dan perlu direformasi.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan di sini bukanlah mengenai
rumusan pendidikan dan tujuannya, tetapi bagaimana strategi pendidikan
yang tepat untuk menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut, artinya sesuai dengan budaya
masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, ramah-
tamah dan agamis. Para pakar mempunyai pendapat yang berbeda-beda
sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Ketika seminar dakwah digelar
di Pusda’i Bandung8, Djawad Dahlan seorang pakar pendidikan mengklaim
bahwa pendidikan dan dakwah yang sangat strategis adalah di lingkungan
keluarga, alasannya karena keluarga adalah lembaga inti dan solid. Menurut
Dawam Rahardjo dakwah (pendidikan orang dewasa) yang strategis adalah
masyarakat kalangan menengah, alasannya karena bisa ke atas dan ke
bawah. Sedangkan menurut salah seorang guru besar IAIN Bandung bahwa
dakwah (pendidikan orang dewasa) yang strategis adalah di lingkungan
birakrat, alasannya karena akan selalu diulang-ulang ke bawah. Menurut
hemat saya (kalau boleh berpendapat) pendidikan dan dakwah yang
setrategis adalah “Pendidikan yang Berbasis Masjid”. Alasannya antara
lain:
One. Dalam surat “jum’ah” diisyaratkan adanya pendidikan keaksaraan
sebagai titik tolak pemberdayaan masyarakat melalui IPTEK dan
IMTAK sekaligus. Yaitu firman Allah :
7 Undang-Undang SISDIKNAS, (Sinar Grafika, Jakarta, 1994), hal. 4
8 Seminar Dakwah dan Pemberdayaan Umat di Pusda’I Bandung tahun 1999? Ketika itu penulis
menjadi peserta.
7
–
Artinya :“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sungguh mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan” (QS. Al-
Jum’ah, 62 : 2)
Two. Secara leteral kata masjid berarti “tempat sujud”, dan
sujud adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan (al-khudhu’ wa al-inqiyad). Firman Allah :
– Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang terhadap sesama mereka, kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
(QS. Al-Fath, 48 : 29)
Three. Masjid secara keseluruhan membentuk insan yang
beriman dan bertakwa. Firman Allah :
– Artinya : “Sesungghuhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa
(masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang inging membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At-Taubah, 9 : 108)
Four. Sistem pembentukan iman dan takwa (IMTAK) melalui
berbagai aktifitas keagamaan. Firman Allah :
– Artinya : “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah, 9 :
18)
8
Five. Mesjid secara historis semenjak masa Rasul sampai pada masa
khulafa al-Rasyidin, Bani Umayah, Abbasiyah dan seterusnya
menjadi pusat ibadah dan pusat kebudayaan Islam9. Bahkan masjid
kecil (surau) yang dibangun oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan dan
dipandang sebagai tempat ibadah yang pertama di Minangkabau
dijadikan sebagi pusat pendidikan Islam10.
Di masjid Mula-mula diajarkan membaca dengan menggunakan
metode “alif, ba, ta,” yang kemudian dikenal dengan metode Baghdadiyah.
Atau dengan cara menuntun untuk mengucapkan kalimat demi kalimat
seperti yang dilakukan dalam mengajarkan bacaan shalat (fatihah dan
tahiyat). Metode ini mungkin berasal dari metode pengajaran di guwa Hira,
ketika mala’ikat Jibril datang untuk mengajar membaca kepada Nabi;
“Iqra’ : bacalah”. Nabi menjawab : ma ana bi qari’ : saya tidak pandai
membaca. Kemudian jibril merangkul Nabi, menunjukan kedekatannya
sebagai seorang guru kepada muridnya. Pengajaran itu diulang-ulang
sampai tiga kali sehingga akhirnya Nabi bisa membaca sampai selesai lima
ayat, yaitu ayat 1-5 dari surat al-Allaq tersebut di atas11. Pengajaran
berikutnya ialah mengenai pokok-pokok agama yang menyangkut keimanan
dan akhlak, dan selanjutnya sampai pada pengetahuan yang lebih luas.
6. Masyarakat Sadar Hukum Dibangun di Masjid
Sistem hukum yang dibangun oleh Islam sarat dengan muatan moral
dan disosialisasikan di masjid. Sekurang-kurangnya satu kali dalam satu
minggu masyarakat kumpul di masjid untuk melaksanakan shalat dan
mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan oleh Khatib dengan
penekanan agar masyarakat dapat mematuhi perintah dan larangan Allah
(bertakwa). Kalimat ini selalu diulang-ulang dan seluruh peserta harus
mendengarkan dengan seksama, karena termasuk rukun khutbah.
Hukum Islam berupa rumusan-rumusan normatif dan mengatur
tingkah laku manusia, secara teologis bersifat memaksa (al-wujub) dan
memberikan sanksi tegas (al-iqab) kepada barang siapa yang melanggarnya.
Hukum Islam, baik yang mengatur hubungan langsung dengan Allah
(ibadah) maupun yang mengatur hubungan sesama manusia (mu’amalah) dan
atau mengatur ketertiban umum (jinayah) semuanya sarat dengan muatan
moral. Dan pendidikan Islam bertujuan agar masyarakat tunduk dan patuh
kepada hukum-hukum Allah tersebut. Atau dengan kata lain pendidikan
Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Kata “takwa” mengandung pengertian yang luas, yaitu :
9 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994), hal.
126-127 10
H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Mutiara, Jakarta, 1979), hal. 18 11
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghie, (Dar al-Fikr, Bairut, t.t.) Jilid 10, juz 30, hal. 197
9
Artinya : “yaitu aktivitas manusia untuk menghindarkan diri dari murka
Tuhan atau dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri atau dari perbuatan yang akan merugikan orang lain”
Menurut ahli tafsir12 kata takwa mencakup dua hal, yaitu pertama
melaksanakan perintah (imtitsal al-awamir) dan kedua meninggalkan
larangan (ijtinab al-nawahi). Konsep pendidikan ini menjamin terciptanya
masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Sebaliknya, jika konsep
pendidikan ini gagal, maka masyarakat akan menjadi amburadul dan timbul
berbagai kedzaliman yang sulit disembuhkan yang akhirnya timbul krisis
multidimensional yang sulit diatasi seperti sekarang ini. Perhatikan firman
Allah :
- Artinya : “Jika sekiranya penduduk negeriberiman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahka kepada mereka keberkahan darilangit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabka karenaperbuata mereka sendiri” (QS. 7 : 96)
Islam menekankan agar pendidikan bukan hanya mencerdaskan
kehidupan bangsa, tetapi disamping itu harus mengarah pada pembentukan
karakter masyarakat yang sadar hukum demi terciptanya ketertiban dan
kedamaian bersama. Secara operasional para pemimpin ditekan
(diwajibkan) agar berbuat adil kepada rakyat, baik dalam menyampaikan
hak maupun dalam menetapkan keputusan hukum. Firman Allah :
- Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahka agar kamu sekalian agar
menyampaikan amanatkepada yang berhak menerimanya, dan apabilamenetapkan hukum di antara manusia, maka hendaklah membuat keputusan yang adil” (QS. 4 : 58)
Dan kepada rakyat ditekankan agar tunduk dan patuh terhadap
perintah Allah, perintah Rasul-Nya dan perintah para pemimpinnya. Allah
berfirman :
12
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Bairut, t.t.), juz IV, hal. 27
10
–
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu sekalian” (QS. 4 :
59)
7. Penutup
Menurut hemat saya masih ada lagi penyebab kekacauan di
masyarakat yang mengakibatkan krisis multidimensional sebagaimana
dikemukakan di atas, yaitu karena masyarakat telah meninggalkan masjid.
Betapa banyak masjid di tanah air yang belum dimanfaatkan secara
optimal. Sebagian masjid yang sudah ditata mengenai idarah dan
imarahnya, tetapi belum direspon oleh masyarakat lingkungannya. Dengan
demikian transfer ilmu dan kebudayaan Islam yang berpusat di masjid
tidak tercapai. Perlu ditegaskan di sini bahwa transformasi ilmu dan
kebudayaan Islam melalui masjid, melalui madrasah dan majelis-majelis
ta’lim, tetapi masyarakat yang mengikutinya baru sebagian kecil.
Sedangkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat, umumnya dilakukan
oleh person-person yang tidak berorientasi kepada masjid.
Oleh karena itu saya mengajak, marilah kita kembali ke masjid, al-ruju’ ila al-masajid. Mari kita bangun masjid dan mari kita berdayakan
umat melalui masjid. Masjid adalah tempat sujud, masjid adalah sentra
pendidikan, dan masjid adalah pusat transformasi kebudayaan Islam.
“Allhumma ij’alna min al-saajidien wa ij’alnaa min ibadika al-shalihien.. Amien ya robbal alamien”.