kembali ke masjid

10
1 KEMBALI KE MASJID: Orientasi Pendidikan Islam Klasik Oleh : H. Mukhlisin Muzarie Seminar sehari “Pendidikan Keaksaraan Berbasis Masjid” Sumber, 15 Februari 2005 ==================================================== “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-Allaq, 96 : 1-6) 1. Pendahuluan Petunjuk (hudan) yang pertama diturunkan untuk memecahkan problem sosial yang kompleks (jahiliyah dalam segala aspek kehidupan) adalah pendidikan keaksaraan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sumber keterbelakangan adalah buta aksara. Lima ayat dari surat al-Allaq yang diturunkan di guwa Hira pada saat Nabi bertahannus mengisyaratkan adanya masyarakat yang buta aksara (ummie) yang perlu segera dibebaskan melalui program pendidikan keaksaraan. Program ini menjadi program prioritas sebelum menyentuh sektor-sektor yang lain karena IPM (Indek Pembangunan Manusia) harus berangkat dari sini. Namun target yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam bukanlah sekedar mentransfer nilai-nilai budaya (values), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills), tetapi menjangkau pembentukan kepribadian yang utuh (al-akhlaq al-karimah) yang seluruh aspeknya berhubungan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa (bi ismi Rabbik). Untuk melaksanakan program tersebut Rasulullah secara bertahap menyiapkan tenaga pengajar yang dirintis di rumah Arqam (Dar al-Arqam) di Mekkah, kemudian menyiapkan sarana, yaitu masjid, yang baru terlaksana setelah beliau hijrah ke Madinah. Pertama membangun masjid Quba, yaitu ketika Nabi baru sampai di luar kota Madinah (dahulu namanya Yatsrib) 1 . Kemudian beliau membangun sebuah masjid yang dilengkapi dengan bangunan tempat tinggal beliau dan ruangan khusus (shuffah) tempat penampungan orang-orang Muhajirin di kota Madinah 2 . Masjid ini 1 HMH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, (Distributor: Ahmad Hadi, Jakarta, 1989), hal. 473 2 Ibid, hal. 485-486

Upload: wongpagatan

Post on 26-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kembali Ke Masjid

1

KEMBALI KE MASJID: Orientasi Pendidikan Islam Klasik

Oleh : H. Mukhlisin Muzarie

Seminar sehari “Pendidikan Keaksaraan Berbasis Masjid”

Sumber, 15 Februari 2005

==================================================== “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-Allaq, 96 : 1-6)

1. Pendahuluan

Petunjuk (hudan) yang pertama diturunkan untuk memecahkan problem

sosial yang kompleks (jahiliyah dalam segala aspek kehidupan) adalah

pendidikan keaksaraan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sumber

keterbelakangan adalah buta aksara. Lima ayat dari surat al-Allaq yang

diturunkan di guwa Hira pada saat Nabi bertahannus mengisyaratkan

adanya masyarakat yang buta aksara (ummie) yang perlu segera

dibebaskan melalui program pendidikan keaksaraan. Program ini menjadi

program prioritas sebelum menyentuh sektor-sektor yang lain karena IPM

(Indek Pembangunan Manusia) harus berangkat dari sini. Namun target

yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam bukanlah sekedar mentransfer

nilai-nilai budaya (values), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan

(skills), tetapi menjangkau pembentukan kepribadian yang utuh (al-akhlaq

al-karimah) yang seluruh aspeknya berhubungan dengan Ketuhanan Yang

Maha Esa (bi ismi Rabbik).

Untuk melaksanakan program tersebut Rasulullah secara bertahap

menyiapkan tenaga pengajar yang dirintis di rumah Arqam (Dar al-Arqam)

di Mekkah, kemudian menyiapkan sarana, yaitu masjid, yang baru

terlaksana setelah beliau hijrah ke Madinah. Pertama membangun masjid

Quba, yaitu ketika Nabi baru sampai di luar kota Madinah (dahulu namanya

Yatsrib)1. Kemudian beliau membangun sebuah masjid yang dilengkapi

dengan bangunan tempat tinggal beliau dan ruangan khusus (shuffah)

tempat penampungan orang-orang Muhajirin di kota Madinah2. Masjid ini

1 HMH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, (Distributor: Ahmad

Hadi, Jakarta, 1989), hal. 473 2 Ibid, hal. 485-486

Page 2: Kembali Ke Masjid

2

dijadikan pusat kegiatan pendidikan Islam, mulai dari belajar membaca

sampai pada pokok-pokok agama yang harus difahami, diresapi dan

diamalkan oleh masyarakat.

Sarana tatap muka dilakukan secara bertahap, mulai dari shalat jum’at

yang diwajibkan satu minggu satu kali dan mulai dirintis di rumah As’ad bin

Dzurarah di suatu desa lebih kurang satu mil di luar kota Madinah3 lalu

dipindahkan ke mesjid Nabawi. Kemudian lebih intensip ketika shalat

berjamaah disyari’atkan dan alat untuk mengumpulkan peserta (adzan)

diberlakukan. Melalui tatap muka yang awalnya hanya satu minggu satu kali

kemudian lebih intensip setiap hari sampai lima kali inilah umat Islam

dibangun dan sekaligus menghasilkan tokoh-tokoh seperti Abu Bakar,

Umar, Utsman, Ali dan lain-lainnya.

2. Kegagalan Pendidikan

Ketika terjadi kekacauan : kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di

kalangan birokrat, arogansi di kalangan wakil-wakil rakyat, tawuran dan

penjarahan di kalangan rakyat, konflik internal di kalangan mahasiswa dan

pelajar, dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan, seperti

pembunuhan, pemerkosaan, pemerasaan dan penipuan, maka lembaga

pendidikan kita, terutama lembaga-lembaga pendidikan Islam

dipertanyakan, mengapa hal itu terjadi? Belum lagi ketika IPM (Indek

Pembangunan Manusia) Indonesia berdasarkan laporan UNDP (United

Nation Depelopment Program) menduduki urutan ke 112 dari 175 negara di

dunia, atau menduduki urutan ke 6 dari 9 negara Asean, di bawah

Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Indonesia hanya

mengungguli Kamboja, Myanmar dan Laos4. Ini menggambarkan

keprihatinan yang mendalam bagi pendidikan kita, dan lebih

memprihatinkan lagi ketika terjadi pengiriman TKW besar-besaran ke luar

negeri, ke negara-negara petro dolar dan pengusiran lebih dari tiga ratus

ribu TKI ilegal dari negara tetangga “Malaysia” yang dahulu berguru ke

Indonesia dalam berbagai bidang ilmu, kini mereka sudah menjadi “tuan”

sementara kita menjadi “budak”. Ini jelas menggambarkan IPM yang

rendah.

Untuk memberi jawaban yang singkat dari pertanyaan pertama

tentunya mudah saja, yaitu karena mereka tidak punya rasa takut, tidak

punya rasa malu dan tidak punya rasa kasih sayang. Memang kenyataannya

mereka tidak takut sanksi, tidak takut jeratan hukum, apa lagi takut dosa

yang saksinya nanti di akhirat. Semuanya itu berkaitan erat dengan sistem

3 Sayid Al-Barkawie bin Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathie, I’anat al-Thalibin, ( Dar al-Fikr,

Bairut, 1993)), juz II, hal. 62-63 4 H.A. Koeswaya Al Itsyam, dkk. dalam Media Pembinaan, (Kanwil Depag Prop Jabar, No.

02/XXXI, Mei 2004), hal. 3 dan 19

Page 3: Kembali Ke Masjid

3

hukum dan sistem pendidikan yang dilaksanakan selama ini. Materi hukum

yang baik, apabila tidak ada upaya penegakan hukum (law enforcement)

sama saja dengan tida ada hukum. Demikian pula apabila ada upaya

penegakan hukum, akan tetapi materi hukumnya jelek, tidak diberi muatan

moral, maka sama saja artinya dengan tidak ada penegakan hukum.

Meminjem istilah St. Agustine : “An unjust law is no law at all”. Sedangkan pertanyaan kedua, jawabannya, kita jujur saja mengakui,

bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dan makin merosot.

Kita dapat melihat ketika kita meminta NEM dari 5-6 mata pelajaran yang

di Ebtanas-kan di SD, SLTP dan SLTA hasilnya sangat sedikit yang

mendapat nilai rata-rata enam. Dan sekarang hanya diminta 3,01 pada

tahun 2003 dan 4,01 pada tahun 2004 dari tiga mata pelajaran yang di

UAN-kan masih banyak sekolah yang kedodoran. Demikian pula jenjang

pendidikan tinggi di Indonesia masih memprihatinkan, belum mampu

bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi di luar negeri. Menurut Ketua

Kopertais Wilayah II Jawa Barat dan Banten, Perguruan Tinggi Negeri

terkemuka di Indonesia ini masih menduduki ranking di atas seratus

dibandingkan dengan perguruan tinggi di luar negeri (Pidato Wisuda

Sarjana STAI Cirebon tahun 2004)

3. Sebab-Sebab Kegagalan

Dari berbagai kasus krisis multidimensional, timbul anggapan bahwa

penyebab utama dari semua itu adalah karena salahnya sistem pendidikan,

termasuk di dalamnya adalah pendidikan agama. Seorang ahli pendidikan

HAR Tilaar yang dilansir oleh Qadri Azizy menyebutkan ada tiga

kelemahan pendidikan di Indonesia, yaitu :

One. Sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Penulisnya

mengkritik uniformitas sampai pada baju seragam. Memang

sentralisasi pendidikan pernah dipraktekan meliputi segala bidang.

Pada aspek kurikulum hampir tidak ada ruang bagi sekolah sebagai

garda terdepan dalam penyelengaraan pendidikan itu boleh

menambah, apalagi mendesain kurikulum yang diajarkan pada anak-

anak.

Two. Sistem pendidikan tidak mempertimbangkan kenyataan yang ada

di masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dianggap sebagai obyek

pendidikan yang tidak mampu untuk ikut menentukan jenis

pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Masyarakat tidak

diberdayakan, tetapi hanya sebagai obyek yang harus menerima

paket dan instruksi dari penguasa.

Three. Kedua sistem tersebut (sentralistik dan tidak ada

pemberdayaan masyarakat) ditunjang oleh sistem birokrasi yang

Page 4: Kembali Ke Masjid

4

kaku yang tidak jarang dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat

politik penguasa. Birokrasi model ini menjadi lahan subur untuk

tumbuhnya budaya KKN dan lemahnya budaya prestasi dan

profesionalisme.

Qadri menambahkan tiga penyebab lainya, yaitu :

Four. Terbelenggunya guru, karena dijadikan sebagai bagian dari alat

birokrasi. Dalam sistem birokrasi pendidikan, guru diletakan

sebagai “bawahan”. Kebijakan ini membelenggu profesionalisme

guru yang seharusnya kreatif dan inovatif.

Five. Sistem pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan

kepribadian (akhlak), tetapi lebih pada proses pengisian otak

(kognitif). Itulah sebabnya maka etika, budi pekerti atau akhlak

al-karimah tidak menjadi perhatian (tidak menjadi tolok ukur)

dalam kehidupan, baik di luar maupun di lingkungan sekolah.

Six. Anak didik tidak dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan

inovatif pada keinginan untuk tahu (curiousity). Kurangnya aspek

ini menyebabkan anak hanya dipaksa untuk menghafal dan

menerima apa yang sudah dipaket oleh guru. Dengan demikian anak

tidak akan menemukan sesuatu yang baru (discovery).

Sebagai akibat dari kelemahan sistem pendidikan tersebut, kata

Qadri, penekanannya hanya pada tujuan bahwa setiap anak didik harus

menjadi warga negara yang baik dan bermanfaat bagi bangsa dan

negaranya, termasuk bermanfaat bagi dirinya sendiri, menjadi tidak

tercapai. Malah sebaliknya, justru menghasilkan sistem sosial yang

akhirnya melahirkan krisis multidimensional5

4. Dambaan Reformasi Pendidikan

Mengubah sistem pendidikan yang negatif seperti dikemukakan atas

agar menjadi positif, yakni : tidak kaku dan tidak uniformitas, menghargai

pluralitas kedaerahan dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat,

bebas KKN, menempatkan guru sebagai pendidik, bukan sebagai alat

birokrasi politik sehingga guru harus profesional, menekankan pembiasaan

agar anak menjadi anak yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa serta menjadi warga negara yang baik, menekankan pada sikap

kritis, kreatif dan inovatif bagi anak didik, Qadri menawarkan beberapa

model pendidikan untuk mencari jalan keluar dari keenam kelemahan

pendidikan yang telah dikemukakannya. Ia menyarankan bahwa jalan keluar

yang harus diambil dalam reformasi pendidikan adalah tekad untuk

melaksnakan desentralisasi pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh

UU No. 22 tahun 1999 (jo UU No. 32 tahun 2004) dimana pendidikan

5 Qadri Aizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Aneka Ilmu, Jakarta, 2002), hal. 8-

13

Page 5: Kembali Ke Masjid

5

termasuk yang didesentralisasikan. Dalam hal ini Qadri mengemukakan tiga

model desentralisasi pendidikan. Yaitu :

One. Manajemen berbasis lokasi

Two. Pengurangan administrasi pusat

Three. Inovasi kurikulum6

Ketiga model tersebut sebenarnya saling berkaitan, karena jika suatu

sekolah menganut manajemen berbasis lokasi, konsekwensinya tidak ada

intervensi birokrasi dari pusat dan secara otomatis kurikulumnya menjadi

wewenang sekolah yang bersangkutan karena akan memudahkan untuk

mengadakan evaluasi dan mengadakan inovasi. Sekarang sedang

dikembangkan pendidikan berbasis lingkungan (community-based education) yang ciri utamanya adalah keterlibatan orang tua murid dan

masyarakat terhadap kebijakan dan pengelolaan sekolah. Dengan demikian

ada hubungan yang erat antara pengguna jasa sekolah (orang tua,

masyarakat dan pemerintah) dengan penyedia jasa (guru, lembaga

pendidikan negeri dan swasta). Pola ini memang akan menimbulkan

perbedaan antara sekolah di suatu daerah dengan sekolah di daerah lain,

akan tetapi utamanya adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di

lingkungan sekolah masing-masing sehingga lapangan pekerjaan bagi alumni

sekolah telah tersedia (KBK/Kurikulum Berbasis Kompentensi).

5. Pendidikan Berbasis Masjid

Pendidikan dalam pengertian yang sederhana adalah “ suatu proses

melatih dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, pikiran, perilaku,

dan lain-lain, terutama oleh sekolah-sekolah formal” (the process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc., especially by formal schooling). Namun dalam prakteknya sering dilakukan

dengan pengajaran yang sifatnya verbalistik sehingga anak didik hanya

didikte, disuruh menghafal dan semacamnya. Dengan demikian anak baru

mampu menerima informasi saja, belum menunjukan kemampuan untuk

menghayati nilai-nilai yang diajarkan apalagi mengamalkannya.

Mengenai pendidikan agama seharusnya bukan hanya mentransfer

ilmu dengan menghafal beberapa dalil atau syarat-rukun dan praktek

ibadah, tetapi harus diupayakan agar murid memahami nilai yang diajarkan

dan mau mengamalkannya. Aspek menghafal dan memahami atau

mengetahui ajaran hanyalah tujuan antara, karena tujuan akhirnya adalah

agar anak didik dapat melaksanakan ajaran agama dengan penuh tanggung

jawab dan ikhlas. Firman Allah :

6 Ibid, hal. 15

Page 6: Kembali Ke Masjid

6

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51 : 56)

Ada tiga hal pokok yang ditransfer melalui pendidikan, yaitu :

One. Nilai (values)

Two. Pengetahuan (knowledge)

Three. Ketrampilan (skills)

Dengan demikian tujuan pendidikan sangat beragam sesuai dengan

filsafat masyarakat dan bangsa suatu daerah atau suatu negara masing-

masing. Tujuan pendidikan dalam UU SPN No. 2tahun 1989 (UU

SISDIKNAS No. 20 tahun 2004 belum dilacak) berbunyi : “Pendidikan

nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangka

manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa

terhadap Tuha Yang Maha Esa dan berbudipekerti luhur, memiliki

pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian

yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan”7. Rumusan ini cukup ideal, tetapi pelaksanaannya masih jauh

sehingga pendidikan digugat oleh masyarakat dan perlu direformasi.

Sebenarnya yang menjadi permasalahan di sini bukanlah mengenai

rumusan pendidikan dan tujuannya, tetapi bagaimana strategi pendidikan

yang tepat untuk menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan yang

sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut, artinya sesuai dengan budaya

masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, ramah-

tamah dan agamis. Para pakar mempunyai pendapat yang berbeda-beda

sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Ketika seminar dakwah digelar

di Pusda’i Bandung8, Djawad Dahlan seorang pakar pendidikan mengklaim

bahwa pendidikan dan dakwah yang sangat strategis adalah di lingkungan

keluarga, alasannya karena keluarga adalah lembaga inti dan solid. Menurut

Dawam Rahardjo dakwah (pendidikan orang dewasa) yang strategis adalah

masyarakat kalangan menengah, alasannya karena bisa ke atas dan ke

bawah. Sedangkan menurut salah seorang guru besar IAIN Bandung bahwa

dakwah (pendidikan orang dewasa) yang strategis adalah di lingkungan

birakrat, alasannya karena akan selalu diulang-ulang ke bawah. Menurut

hemat saya (kalau boleh berpendapat) pendidikan dan dakwah yang

setrategis adalah “Pendidikan yang Berbasis Masjid”. Alasannya antara

lain:

One. Dalam surat “jum’ah” diisyaratkan adanya pendidikan keaksaraan

sebagai titik tolak pemberdayaan masyarakat melalui IPTEK dan

IMTAK sekaligus. Yaitu firman Allah :

7 Undang-Undang SISDIKNAS, (Sinar Grafika, Jakarta, 1994), hal. 4

8 Seminar Dakwah dan Pemberdayaan Umat di Pusda’I Bandung tahun 1999? Ketika itu penulis

menjadi peserta.

Page 7: Kembali Ke Masjid

7

Artinya :“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang

Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sungguh mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan” (QS. Al-

Jum’ah, 62 : 2)

Two. Secara leteral kata masjid berarti “tempat sujud”, dan

sujud adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan (al-khudhu’ wa al-inqiyad). Firman Allah :

– Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang

bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang terhadap sesama mereka, kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”

(QS. Al-Fath, 48 : 29)

Three. Masjid secara keseluruhan membentuk insan yang

beriman dan bertakwa. Firman Allah :

– Artinya : “Sesungghuhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa

(masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang inging membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At-Taubah, 9 : 108)

Four. Sistem pembentukan iman dan takwa (IMTAK) melalui

berbagai aktifitas keagamaan. Firman Allah :

– Artinya : “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-

orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah, 9 :

18)

Page 8: Kembali Ke Masjid

8

Five. Mesjid secara historis semenjak masa Rasul sampai pada masa

khulafa al-Rasyidin, Bani Umayah, Abbasiyah dan seterusnya

menjadi pusat ibadah dan pusat kebudayaan Islam9. Bahkan masjid

kecil (surau) yang dibangun oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan dan

dipandang sebagai tempat ibadah yang pertama di Minangkabau

dijadikan sebagi pusat pendidikan Islam10.

Di masjid Mula-mula diajarkan membaca dengan menggunakan

metode “alif, ba, ta,” yang kemudian dikenal dengan metode Baghdadiyah.

Atau dengan cara menuntun untuk mengucapkan kalimat demi kalimat

seperti yang dilakukan dalam mengajarkan bacaan shalat (fatihah dan

tahiyat). Metode ini mungkin berasal dari metode pengajaran di guwa Hira,

ketika mala’ikat Jibril datang untuk mengajar membaca kepada Nabi;

“Iqra’ : bacalah”. Nabi menjawab : ma ana bi qari’ : saya tidak pandai

membaca. Kemudian jibril merangkul Nabi, menunjukan kedekatannya

sebagai seorang guru kepada muridnya. Pengajaran itu diulang-ulang

sampai tiga kali sehingga akhirnya Nabi bisa membaca sampai selesai lima

ayat, yaitu ayat 1-5 dari surat al-Allaq tersebut di atas11. Pengajaran

berikutnya ialah mengenai pokok-pokok agama yang menyangkut keimanan

dan akhlak, dan selanjutnya sampai pada pengetahuan yang lebih luas.

6. Masyarakat Sadar Hukum Dibangun di Masjid

Sistem hukum yang dibangun oleh Islam sarat dengan muatan moral

dan disosialisasikan di masjid. Sekurang-kurangnya satu kali dalam satu

minggu masyarakat kumpul di masjid untuk melaksanakan shalat dan

mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan oleh Khatib dengan

penekanan agar masyarakat dapat mematuhi perintah dan larangan Allah

(bertakwa). Kalimat ini selalu diulang-ulang dan seluruh peserta harus

mendengarkan dengan seksama, karena termasuk rukun khutbah.

Hukum Islam berupa rumusan-rumusan normatif dan mengatur

tingkah laku manusia, secara teologis bersifat memaksa (al-wujub) dan

memberikan sanksi tegas (al-iqab) kepada barang siapa yang melanggarnya.

Hukum Islam, baik yang mengatur hubungan langsung dengan Allah

(ibadah) maupun yang mengatur hubungan sesama manusia (mu’amalah) dan

atau mengatur ketertiban umum (jinayah) semuanya sarat dengan muatan

moral. Dan pendidikan Islam bertujuan agar masyarakat tunduk dan patuh

kepada hukum-hukum Allah tersebut. Atau dengan kata lain pendidikan

Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Kata “takwa” mengandung pengertian yang luas, yaitu :

9 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994), hal.

126-127 10

H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Mutiara, Jakarta, 1979), hal. 18 11

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghie, (Dar al-Fikr, Bairut, t.t.) Jilid 10, juz 30, hal. 197

Page 9: Kembali Ke Masjid

9

Artinya : “yaitu aktivitas manusia untuk menghindarkan diri dari murka

Tuhan atau dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri atau dari perbuatan yang akan merugikan orang lain”

Menurut ahli tafsir12 kata takwa mencakup dua hal, yaitu pertama

melaksanakan perintah (imtitsal al-awamir) dan kedua meninggalkan

larangan (ijtinab al-nawahi). Konsep pendidikan ini menjamin terciptanya

masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Sebaliknya, jika konsep

pendidikan ini gagal, maka masyarakat akan menjadi amburadul dan timbul

berbagai kedzaliman yang sulit disembuhkan yang akhirnya timbul krisis

multidimensional yang sulit diatasi seperti sekarang ini. Perhatikan firman

Allah :

- Artinya : “Jika sekiranya penduduk negeriberiman dan bertakwa, pastilah

Kami akan melimpahka kepada mereka keberkahan darilangit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabka karenaperbuata mereka sendiri” (QS. 7 : 96)

Islam menekankan agar pendidikan bukan hanya mencerdaskan

kehidupan bangsa, tetapi disamping itu harus mengarah pada pembentukan

karakter masyarakat yang sadar hukum demi terciptanya ketertiban dan

kedamaian bersama. Secara operasional para pemimpin ditekan

(diwajibkan) agar berbuat adil kepada rakyat, baik dalam menyampaikan

hak maupun dalam menetapkan keputusan hukum. Firman Allah :

- Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahka agar kamu sekalian agar

menyampaikan amanatkepada yang berhak menerimanya, dan apabilamenetapkan hukum di antara manusia, maka hendaklah membuat keputusan yang adil” (QS. 4 : 58)

Dan kepada rakyat ditekankan agar tunduk dan patuh terhadap

perintah Allah, perintah Rasul-Nya dan perintah para pemimpinnya. Allah

berfirman :

12

Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Bairut, t.t.), juz IV, hal. 27

Page 10: Kembali Ke Masjid

10

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah

kepada Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu sekalian” (QS. 4 :

59)

7. Penutup

Menurut hemat saya masih ada lagi penyebab kekacauan di

masyarakat yang mengakibatkan krisis multidimensional sebagaimana

dikemukakan di atas, yaitu karena masyarakat telah meninggalkan masjid.

Betapa banyak masjid di tanah air yang belum dimanfaatkan secara

optimal. Sebagian masjid yang sudah ditata mengenai idarah dan

imarahnya, tetapi belum direspon oleh masyarakat lingkungannya. Dengan

demikian transfer ilmu dan kebudayaan Islam yang berpusat di masjid

tidak tercapai. Perlu ditegaskan di sini bahwa transformasi ilmu dan

kebudayaan Islam melalui masjid, melalui madrasah dan majelis-majelis

ta’lim, tetapi masyarakat yang mengikutinya baru sebagian kecil.

Sedangkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat, umumnya dilakukan

oleh person-person yang tidak berorientasi kepada masjid.

Oleh karena itu saya mengajak, marilah kita kembali ke masjid, al-ruju’ ila al-masajid. Mari kita bangun masjid dan mari kita berdayakan

umat melalui masjid. Masjid adalah tempat sujud, masjid adalah sentra

pendidikan, dan masjid adalah pusat transformasi kebudayaan Islam.

“Allhumma ij’alna min al-saajidien wa ij’alnaa min ibadika al-shalihien.. Amien ya robbal alamien”.