kemandirian keuangan dki jakarta dan pertumbuhan ekonominya tahun 2009 s/d 2012

Upload: arief-firmansyah

Post on 10-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kemandirian Keuangan DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya

TRANSCRIPT

Kemandirian Keuangan DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya

Tahun 2009 s/d 2012Arief Firmansyah

Mahasiswa Magister Akuntansi Program STAR-BPKP

Universitas Airlangga [email protected]

Otonomi daerah membawa perubahan paradigma sistem pemerintahan di Indonesia dengan Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa angin segar bagi daerah daerah otonom untuk mengelola dan menentukan arah pembangunan daerahnya termasuk dari sisi keuangannya. Pemerintah Pusat dalam undang undang tersebut juga masih mempunyai peran penting dalam mendukung keuangan pemerintah daerah melalui berbagai insentif yang diberikan mulai dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Penyesuaian, Hibah dan berbagai bentuk program pemerintah pusat lainnya yang berupa Dana Dekontrasi dan Tugas Pembantuan. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberi kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan penerimaannya yang berasal dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga dengan meningkatnya PAD ini diharapkan kemandirian keuangan daerah dapat tercapai, selain itu pertumbuhan ekonomi juga mempengaruhi PAD suatu daerah. Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah dapat dihitung dengan besarnya Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung setiap tahunnya oleh BPS.Kata Kunci : PAD, DAU, DAK, DBH, PDRB1. Pendahuluan1.1. Latar Belakang

Undang Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2004, terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang pada awalnya paradigma adalah sistem pemerintahan yang sentralisasi berubah menjadi sistem pemerintah yang bersifat desentralisasi. Dengan adanya paradigma pemerintah daerah yang bersifat desentralisasi tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengeksplorasi, merencanakan, mengelola, mengkontrol dan mengembangkan potensi daerahnya, guna meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Desentralisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan dalam bernegara, yaitu untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratisSidiq (2002).

Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan terjadi pelimpahan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke daerah baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten / kota. Untuk melakukan kewenangan pemungutan pajak dan retribusi daerah, serta pembelanjaan / pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah mempunyai dampak yang positif terhadap meningkatnya peran pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah sesuai karakteristik daerah. Selain dampak positif, otonomi daerah juga mempunyai dampak yang negatif, yaitu munculnya kerajaan-kerajaan kecil di daerah, baik itu di tingkat kabupaten / kota maupun setingkat provinsi.

Pembangunan daerah, yang merupakan salah satu impementasi konsep pemerataan dan keadilan sosial, dalam pemerintahan desentralistik diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat di daerah tersebut (bottom up), dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang tersedia di mana dalam hal ini daerahlah yang lebih mengetahui informasinya ketimbang pemerintah pusat. Dengan dimilikinya informasi tentang segala sesuatu yang ada di daerahnya, pemerintah daerah akan mampu menekan biaya-biaya yang mengiringi proses pembangunan sehingga tercipta efisiensi dan mencegah ekonomi biaya tinggi.

Aktivitas pembangunan dan pemerintahan di daerah tentu tak dapat dipisahkan dengan kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Kewenangan fiskal yang besar di era desentralisasi sangat menentukan struktur anggaran yang disusun oleh pemerintah daerah (APBD). Dari substansi sebuah APBD dapat dilihat upaya atau keseriusan suatu pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah, seberapa besar potensi penerimaan yang akan digali, ke arah mana belanja daerah itu difokuskan, atau dari mana defiist anggaran akan dibiayai. Dari struktur dan porsi belanja daerah dapat diketahui kecenderungan belanja daerah, apakah cenderung pada penyelenggaraan pemerintahan dan aparatur pemerintahan atau cenderung pada penyelenggaraan pembangunan daerah.Kuncoro (2004) menyebutkan bahwa PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Kemandirian pemerintah daerah belum sepenuhnya terlaksana karena banyak pemerintah daerah yang masih menggantungkan penerimaannya dari dana transfer atau perimbangan pusat, yang dapat berupa dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Daerah dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya adalah dengan memberi porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sektor produktif (Adi, 2005: 2).

Halim (2001:125) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi,yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.

Indikator kemandirian keuangan suatu daerah adalah rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Dana Perimbangan dan pinjaman, dengan demikian PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah suatu daerah. Pelaksanaan pembangunan menghadapi beberapa kendala diantaranya keterbatasan sumber daya alam dan sumber dana pembangunan. Sumberdaya alam yang bisa digali untuk meningkatkan pendapatan asli daerah suatu daerah sangat membantu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Akibatnya banyak daerah yang tidak memiliki kemampuan perekonomian yang kuat karena keterbatasan sumberdaya alam yang ada. Sementara itu keterbatasan sumber dana pembangunan membuat ketimpangan antar masing-masing daerah. Daerah yang memiliki sumber dana pembangunan yang tinggi dapat membiayai sebagian besar pengeluan pemerintah daerahnya, sementara daerah yang memiliki sumber dana yang rendah memiliki ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai karakteristik keistimewaaan dalam pengelolaan keuangannya. Dimana dengan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah DKI Jakarta mempunyai kewenangan pemungutan dan pengelolaan dua jenis pajak yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten / kota. Dengan adanya keistimewaan untuk mengelola 2 jenis penerimaan dari undang undang tersebut, pemerintah DKI Jakarta mempunyai penerimaan pendapatan asli daerah yang cukup besar, dengan penerimaan yang besar dari pendapatan asli daerah ini pemerintah DKI Jakarta mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi dalam pembiayaan pengeluaraannya. Kemandirian daerah yang tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.Berdasarkan uraian diatas tentang kemandirian daerah dan pertumbuhan ekonomi, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : Kemandirian DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya Tahun 2009 s/d 20121.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kemandirian pemerintah DKI Jakarta selama tahun 2009 s/d 2012.

2. Bagaimana laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta selama tahun 2009 s/d 2012. 3. Bagaimana efektifitas anggaran dan realisasi target pendapatan asli daerah DKI Jakarta selama tahun 2009 s/d 2012

1.3. Tujuan Penelitian Dengan adanya Undang Undang Otonomi Daerah, Kabupaten dan Kota di Indonesia harus mempunyai kemampuan untuk mengelola keuangannya sendiri sehingga tercapai kesejahteraan daerahnya. Untuk mendukung kemandirian daerah, pemerintah melalui Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dana Retribusi Daerah memberikan kesempatan kepada DKI Jakarta untuk mendapatkan penerimaan yang besar dari pendapatan asli daerah dimana dalam undang undang tersebut pemerintah DKI Jakarta diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan dan pengelolaan pajak dan retribusi tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Melalui penelitian ini peneliti ingin :a) Mengetahui gambaran struktur pendapatan asli daerah DKI Jakarta pada tahun 2009 s/d 2012.b) Mengetahui tingkat kemandirian DKI Jakarta pada tahun 2009 s/d 2012.

c) Mengetahui laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada tahun 2009 s/d 2012.d) Mengetahui efektifitas anggaran dan realisasi target pendapatan asli daerah DKI Jakarta selama tahun 2009 s/d 2012

1.4. Manfaat Penelitian

Didalam penelitian yang berjudul Tingkat Kemandirian DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya Tahun 2009 s/d 2012. Peneliti mengharapkan memperoleh manfaat sebagai berikut :a) Peneliti dapat memberikan informasi kepada pemerintah DKI Jakarta tentang gambaran struktur keuangan selama tahun 2009 s/d 2012.

b) Peneliti dapat memberikan informasi kepada pemerintah DKI Jakarta tentang tingkat kemandirian keuangannya selama tahun 2009 s/d 2012.

c) Peneliti dapat memberikan informasi kepada pemerintah DKI Jakarta tentang efektifitas anggaran dan realisasi target pendapatan asli daerah selama tahun 2009 s/d 2012

d) Peneliti dapat memberikan masukan dalam khasanah ilmu akuntansi sektor publik di Indonesia tentang pengaruh antara tingkat kemandirian dan laju pertumbuhan ekonomi studi kasus pada DKI Jakarta selama tahun 2009 s/d 20122. Kerangka Teoritis dan Hipotesis2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Arsyad (1999) menyebutkan bahwa Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang, serta pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting yaitu (1) Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus menerus; (2) usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dan ; (3) kenaikan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dengan pertumbuhan angka-angka pendapatan

nasional atau Produk Domestik Bruto suatu negara. untuk suatu wilayah pengukuran pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan PDRB Produk Domestik Regional Bruto. Menurut Badam Pusat Statistik (2009) pengukuran PDRB dapat menggunakan beberapa standart yaitu (1) PDRB menurut pendekatan produksi, (2) PDRB menurut pendekatan pendapatan, (3) PDRB menurut pendekatan pengeluaran.

PDRB menurut pendekatan produksi adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5) Konstruksi, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan, (9) Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). PDRB menurut pendekatan pengeluaran merupakan jumlah balas pengeluaran yang dilakukan oleh entitas-entitas di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Faktor yang mempengaruhi adalah (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) pengeluaran konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto. Penulis lebih cenderung menggunakan data PDRB menurut pendekatan produksi, hal ini sejalan dengan teori Neo-klasik, model ini dipelopori oleh Bort (1960) sebagaiman dikutip oleh Sjafrizal, 2008() . Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah dalam meningkatkan kegiatan produksinya. Kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah.2.2. Teori Kemandirian Keuangan Daerah

Desentralisasi Fiskal bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, juga untuk menciptakan sistem pembiayaan yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab, serta untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah Riyanto and Siregar (2005). Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah Halim (2004).

Kemandirian Keuangan Daerah ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dalam PAD. Hersey dan Blanchard dalam Halim (2004) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu: (1) Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial); (2) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pembe r ian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah; (3) Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat; (4) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar. Untuk mengukur kemandirian keuangan daerah dalam sektor publik terdapat beberapa rasio dalam pengukurannya, hal ini berkaitan dengan komponen komponen penerimaan dan belanja dalam struktur APBN ataupun APBD. analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah tetap harus dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel. Beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah di antaranya:

Rasio Kemandirian Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, dengan formulasi sebagai berikut:

Rasio Ketergantungan

Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Semakin besar nilai rasio ini maka semakin besar pula tingkat ketergantungan daerah. Rasio ketergantungan dapat dihitung dengan formulasi

Rasio Efektivitas PAD Rasio efektivitas PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang diencanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil derah. Formulasinya adalah sebagai berikut Halim, 2012() :

Pendapatan Asli Daerah

Berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (13), Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan asli daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang dikelola dan dipungut oleh pemerintah daerah sendiri berdasarkan potensi, jenis dan tarif pungutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam Undang - Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 3, pendapatan asli daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah, Pemerintah Daerah dilarang

1. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan

2. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor/impor.

Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari sumber-sumber penerimaan murni daerah. Pendapatan asli daerah dipergunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk itu, Pendapatan asli daerah harus diusahakan selalu meningkat seiring dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pajak daerah dan retribusi daerah telah menjadi sumber penerimaan yang dapat diandalkan bagi daerah. Akan tetapi, secara umum untuk kabupaten/kota, besarnya kontribusi dari pajak daerah dan retribusi daerah terhadap APBN sangat bervariatif sesuai potensi yang dimiliki daerah masing masing.

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan penerimaan asli daerah dari sektor pajak daerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Didalam undang undang tersebut daerah mendapatkan penerimaan yang cukup besar dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkotaan dan pedesaan, dimana sebelum keluarnya undang undang tersebut kedua pajak tersebut ditarik oleh Pemerintah Pusat.Dana Alokasi Umum Dana alokasi umum menurut Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah dana yang bersumber dari APBN dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum (DAU) diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan pendapatan asli daerahnya. Dana alokasi umum bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana alokasi umum terdiri dari:

1. Dana alokasi umum untuk Pemerintah Daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi

2. Dana alokasi umum untuk Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Kabupaten / Kota.

Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi dana alokasi umum bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi Dana Alokasi Umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi Dana alokasi Umum relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja operasi Halim, 2012().

Berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004 pengalokasian DAU dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi (IKK), produk domestik regional bruto (PDRB), dan indeks pembangunan manusia (IPM). Kapasitas fiskal diukur berdasarkan pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil. Alokasi dasarnya dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.

Ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan tersebut, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. Selain itu untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penugasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dana Alokasi Umum akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah (Halim, 2009).Dana Alokasi Khusus

Berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004, dana alokasi khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pendadaan sarana fisik penunjang , dan tidak termasuk penyertaan modal. Dengan adanya pengalokasi DAK diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik. Tujuan DAK adalah

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata- rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar kepada masyarakat yang telah merupakan urusan pemerintah daerah ontonom

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau - pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal / terpencil daerah rawan banjir / longsor, serta termasuk daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di daerah pedesaan melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan serta infrastruktur

4. Meningkatkan askses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui keigatan khusus dibidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan hidup dan mengurangi resiko bencana melalui kegiatan khusus dibidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan keandalan pelayanan prasarana dan saran dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupatan / kota dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian / Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.

Dana Bagi Hasil

Berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004, dana bagi hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN dan APBD Provinsi yang di alokasikan kepada pemerintah daerah kabupaten / kota berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil didasarkan atas prinsip by origin dan penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan. Dana bagi hasil dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, terdiri dari :Tabel 2.1

Sumber Dana Bagi Hasil

NoSumber DBHObjek DBH

Pajak

1Pajak APBN1. Pajak Penghasilan (PPh)

2. Pajak Bumi Bangunan *

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)*

*(setelah berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jenis pajak ini kewenangan pemupungutannya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota

2Pajak APBD (Pemerintah Provinsi)1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),

2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB),

3. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB),

4. Pajak Air Permukaan dan

5. Pajak Rokok

Hasil Sumber Daya Alam (Dipungut Pemerintah Pusat)

3Perusahaan Kehutanan1. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH),

2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan

3. Dana Reboisasi (DR)

4Perusahaan Pertambangan Umum1. Iuran Tetap (Landrendt),

2. Iuran Eksplorasi dan

3. Iuran Eksploitasi (Royalty)

5Perusahaan Perikanan Pungutan Hasil Perikanan

Pinjaman Daerah

Berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman daerah untuk membiayai pembangunannya, adapun ketentuan dalam melakukan pinjaman daerah sebagai berikut :1. Pemerintah menetapkan batas maksimal pinjaman pemerintah dan pemerintah daerah dengan memperhatikan keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional.

2. Batas maksimal kumulatif pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan

3. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.

4. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran Dana Perimbangan oleh Menteri Keuangan

5. Pinjaman daerah bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat.

6. Jenis pinjaman dapat berupa pinjaman jangka pendek yang berjangka waktu kurang dari 1 tahun, pinjaman jangka menengah yang berjangka waktu lebih dari 1 tahun sampai dengan batas masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan, pinjaman jangka panjang yang mempunyai jangka waktu lebih dari satu tahun dan lebih dari masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.

Belanja OperasionalMenurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), pengertian belanja operasi adalah pengeluaran pemerintah untuk membiayai kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial. Dengan adanya belanja operasi ini kegiatan operasional pemerintah sehari hari dapat berlangsung, yang meliputi pelayanan di bidang keamanan, kesehatan, pendidikan, administrasi dan lain lain pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat.

Belanja Modal

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Dalam SAP, belanja modal dapat diaktegorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu: (1) belanja modal tanah; (2) belanja modal peralatan dan mesin; (3) belanja modal gedung dan bangunan; (4) belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan; dan (5) belanja modal fisik lainnya.Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi erat kaitanyan dengan pembangunan ekonomi, pembangunan ekonomi adalah suatu proses terjadinya perubahan secara berkelanjutan, yang menggambarkan adanya keberhasilan dalam meningkatkan pendapatan perkapita dalam jangka waktu yang panjang. Berdasarakan teori Trickle Down Effect menyebutkan bahwa aliran menetas kebawah dari kelompok kaya ke kelompok miskin melalui fungsi fungsi ekonomi. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal dan tidak produktif akan menjadi produktif yang pada akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri Perry et al. (2006).

Pertumbuhan ekonomi wilayah di deskripsikan dari produk domestik regional bruto (PDRB) masing masing daerah otonomi pemerintah kabupaten / kota di Indonesia. Ukuran tersebut dihitung oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia berdasarkan 3 pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran.2.3. Kerangka HipotesisSalah satu tujuan instrumen fiskal dari perimbangan yaitu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui belanja pembangunan dan investasi swasta. Kontribusi belaja pembangunan akan menarik investor untuk dapat berinvestasi di daerah sehingga akan memperluas basis ekonomi di berbagai sektor dan secara khusus memperluas lapangan usaha dan berdampak pada menurunnya tingkat pengangguran masyarakat. Selain itu belanja operasi dan belanja barang jasa pemerintah daerah juga diharapkan untuk memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat dan para investor. Birokarasi yang berbelit dan rumit yang mengakibatkan biaya tinggi diharapkan dapat dipangkas dengan adanya belanja operasi dan belanja barang jasa di pemerintah daerah, sehingga di harapkan secara tidak langsung dapat menarik investor untuk berinvestasi di daerah.

Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerahnya sendiri (PAD). Berkaitan dengan hal itu strategi alokasi belanja daerah memainkan peranan untuk meningkatkan penerimaan daerah yang berujung pada pertumbuhan ekonomi dan kemandirian daerah. Dalam struktur APBD pemerintah kabupaten / kota mempunyai komposisi penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, pinjaman daerah diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan kemandirian daerah. Sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui tingkat kemandirian DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pertumbuhan ekonominya tahun 2009 s/d 2013 , dan membuat judul penelitian sebagai berikut :

Kemandirian DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya Tahun 2009 s/d 20123. Metode Penelitian3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2009 s/d 2012. Data yang diambil tersebut merupakan data time series yang meliput informasi tentang strukutur Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum DAU, Dana Penyesuaian, Pinjaman, Belanja Operasi, Belanja Modal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia serta data dari Pemerintah DKI Jakarta melalui situs resminya.3.3. Metode Analisis

Penelitian ini bersikap deskriptif dengan menampilkan hitungan dan rasio rasio keuangan daerah serta analisis terhadap pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta untuk tahun 2009 s/d 2012. 3.3.1. Rasio Kemandirian DaerahRasio kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya, pembangunannya dan pelayanan kepada masyarakat dapat diformulasikan sebagai berikut Halim (2012),

3.3.2. Analisis Pertumbuhan EkonomiPertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto yang telah dihitung oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan dinilai berdasarkan dalam satuan nilai absolut dan relatif (persentase). Pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolut dinyatakan dalam rupiah, sedangkan pertumbuhan dalam nilai ekonomi dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

4. Hasil Penelitian4.1. Gambaran Umum DKI JakartaDasar hukum DKI Jakarta adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu kota negara Kesatua Republik Indonesia. Undang undang ini menggantikan Undang-Undang nomor 34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta serta Undang Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta yang dimana kedua undang undang tersebut sudah tidak berlaku lagi.

DKI Jakarta atau dengan nama lain Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta adalah ibukota negara Indonesia. DKI Jakarta adalah satu satunya pemerintahan kota setingkat pemerintah provinsi, sehingga DKI Jakarta selain dipimpin oleh seorang gubernur, wilayah-wilayahnya terbagi atas kota dan kabupaten, yang meliputi kota Jakarta Administrasi Selatan, Kota Administrasi Jakarta Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat, Kota Administrasi Jakarta Timur dan Kota Administrasi Jakarta Pusat serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km2 dan berjumlah penduduk sebesar 10.187.595 jiwa. Jakarta sebagai pusat bisnis, politik dan kebudaayaan, Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan. Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta. Perekonomian jakarta terutama ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif dan keuangan. Pada tahun 2012 pendapatan perkapita masyarakat Jakarta sebesar Rp. 110.460.000 pertahun, sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan 240.620.000 pertahun. Penghasilan yang cukup besar tersebut disebabkan oleh kenaikan harga properti mewah yang tertinggi didunia yang mencapai 38%, selain hunian mewah, pertumbuhan properti jakarta juga ditopang oleh penjualan dan penyewaan ruang ruang kantor. Pada periode 2009 2012, pembangunan gedung gedung pencakar langit (diatas 150 meter) di Jakarta mencapai 87,5%. Hal ini menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah pencakar langit di Jakarta akan mencapai 250 unit, dan pada saat itu Jakarta telah memiliki gedung tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian mencapai 638 meter (signature tower).

4.2. Kondisi Keuangan DKI Jakarta.4.2.1. Gambaran Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran DKI Jakarta Tabel 4.1

Realisasi Penerimaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

KETERANGAN2009201020112012

Pendapatan

Pendapatan Asli Daerah 10.60112.89217.82622.041

Dana Bagi Hasil Pajak8.5809.3998.74810.985

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam71139192295

Dana Alokasi Umum 00210275

Dana Alokasi Khusus0000

Pendapatan Hibah 11084

Pendapatan Pinjaman 0000

Dana Otonomi Khusus0000

Dana Penyesuaian05961.3131.780

Lain-lain Pendapatan yang Sah 0000

Total Pendapatan 19.26323.02628.29735.379

(sumber LRA pemprov DKI Jakarta, data diolah, satuan milyard)

Kondisi keuangan dalam realisasi APBD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2019 s/d tahun 2012, dapat diuraikan sebagai berikut :

Pendapatan Asli Daerah 1. Penerimaan pendapatan asli daerah dari tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar peningkatannya mencapai 22% dibanding tahun 2009, hal ini disebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberlakukan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana dalam undang undang tersebut kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkotaan dan Pedesaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diberikan kepada Pemerintah Daerah, sehingga dengan kewenangan yang cukup besar tersebut diharapkan kemandirian daerah dapat tercapai.2. Penerimaan pendapatan asli daerah pada tahun 2011 juga mengalami peningkatan yang cukup besar, peningkatan pendapatan asli daerah ini sebesar 38% dibanding realisasi pendapatan asli daerah tahun 2010. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan terobosan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor PBB dan BPHTB, terobosan yang dilakukan ini adalah dengan merekrut pegawai Direktorat Jenderal Pajak seksi PBB dan BPHTB untuk menjadi PNSD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terobosan ini cukup berhasil dimana penerimaan dari sekotr PBB dan BPHTB mengalami peningkatan yang cukup besar.3. Penerimaan pendapatan asli daerah ditahun 2012 masih mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu peningkatan sebesar 24% dibanding realiasi penerimaan tahun 2011. Hal ini disebabkan kelanjutan terobosan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimana meningkatkan harga jual / harga perolehan NJOP untuk perhitungan PBB dan BPHTB.

Dana Alokasi Umum 1. Pada tahun 2009 dan 2010 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mendapat bagian dalam Dana Alokasi Umum (DAU), tetapi pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapat kucuran Dana Alokasi Khusus. Pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapat Dana Alokasi Umum sebesar 210 Milyard.

2. Pada tahun 2012 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapat kucuran Dana Alokasi Umum sebesar 275 Milyard, terdapat kenaikan 31 % dibanding Dana Alokasi Khusus pada tahun 2011.Dana Alokasi Khusus

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mendapatkan Dana Alokasi Khusus dari Pemerintah Pusat, hal ini dikarenakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tergolong Provinsi yang maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta kemandirian daerah yang bagus, sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mendapatkan alokasi dana ini. Dana Alokasi Khusus diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II atau Tingkat I yang tergolong tertinggal untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur daerah yang tergolong tertinggal tersebut.

Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil digolongkan menjadi 2 yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi hasil Sumber Daya Alam. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan pembagian Dana Bagi Hasil dari sektor Pajak yang besar apabila dibandingkan Dana Bagi Hasil dari sektor Sumber Daua Alam hal ini dikarenakan penduduk Jakarta yang padat, serta banyaknya perusahaan besar yang berdomisili di wilayah DKI jakarta, sehingga DKI Jakarta merupakan penyumbang terbesar penerimaan negara dari sektor pajak. Adapun perkembangan Dana Bagi Hasil Pajak sebagai berikut :

1. Dana Bagi Hasil dari Sektor Pajak tahun 2009 sebesar 8.580 Milyard, dan 9.399 Milyard pada tahun 2010, atau terjadi kenaikan 10% dibanding tahun 2009. Sedangkan Dana Bagi Hasil dari Sektor Sumber Daya Alam hanya sebesar 71 Milyard pada tahun 2009 dan 139 Milyard pada tahun 2010. Penyumbang terbesar DBH dari sektor pajak adalah dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Bea Masuk dan PBB dan BPHTB (sebelum dilakukan pengalihan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta).2. Dana Bagi Hasil dari sektor Pajak pada tahun 2011 sebesar 8.748 Milyard, mengalami penurunan sebesar 7% dibanding tahun 2010, hal ini disebabkan sudah terjadi pengalihan pemungutan PBB pedesaan dan perkotaan serta BPHTB dari sebelumnya dipungut oleh Pemerintah Pusat dan kemudian dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sehingga terjadi kenaikan yang cukup besar dari sektor penerimaan Pendapatan Asli Daerah, tetapi terjadi penurunan yang cukup besar juga dari penerimaan Dana Bagi Hasil dari sektor pajak ini, selain itu penurunan ini juga disebabkan karena keterlambatan penerimaan DBH sektor Pajak dari Pemerintah Pusat. Untuk Dana Bagi Hasil dari sektor Sumber Daya Alam pada tahun 2011 yang diterima Pemerintah Provinsi DKI jakarta sebesar 192 Milyard atau terjadi kenaikan sebesar 38% dari tahun 2010.

3. Dana Bagi Hasil sektor Pajak pada tahun 2012 mengalami kenaikan, sebesar 26% dari tahun 2011, hal ini disebabkan alokasi Dana Bagi Hasil sektor Pajak tahun 2011 baru dibayarkan pada tahun 2012 ini (cash basis). Untuk Dana Bagi Hasil sektor Sumber Daya Alam, pada tahun 2012 ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerima alokasi sebesar 295 Milyard, hal ini senada dengan Dana Bagi Hasil sektor Pajak dimana ada bagian dari tahun 2011 yang baru dapat diberikan pada tahun 2012 ini.Dana Penyesuaian

Dana penyesuaian adalah dana dari Pemerintah Pusat yang digunakan untuk tambahan penghasilan Guru PNSD, tunjangan profesi guru, dana bos SD dan SMP negeri dan swasta dan pembangunan infrastruktur daerah untuk pembangunan gedung sekolah. Penerimaan Dana Penyesuaian oleh Pemerintah Provinsi DKI jakarta adalah sebagai berikut:

1. Tahun 2009 belum dialokasikan Dana Penyesuaian, sebagaimana amanah Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana dalam undang undang tersebut dinyatakan anggaran untuk pendidikan nasional adalah 20% dari total APBN, sehingga pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalokasikan anggaran untuk pendidikan ini melalui Danan Penyesuaian dan baru diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan II di seluruh Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah-daerah. pada tahun 2010 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerima Dana Penyesuaian ini sebesar 596 Milyar.

2. Pada tahun 2011 mendapatkan alokasi Dana Penyesuaian sebesar 1.313 Milyar, atau terjadi kenaikan 120% dari dana yang diterima tahun 2010. Hal ini dikarenakan pertambahan jumlah guru PNSD maupun non-PNS yang telah mendapat tunjangan ini, serta para guru yang telah memperolah sertifikasi sebagai pendidik, selain itu penambahan ini juga dikarenakan adanya kenaikan anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana amanah dari Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Pada tahun 2012 Dana Penyesuian yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar 1.780 Milyard atau mengalami kenaikan sebesar 36% dari penerimaan tahun 2011.Pinjaman Daerah

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama tahun anggaran 2009 s/d 2012 tidak melakukan pinjaman daerah (hutang), tetapi dalam tahun tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembayaran bunga dan pokok pinjmana tahun sebelumnya. Pendapatan Hibah

Hibah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Lainnya dan terutana dari sektor swasta. Perkembangan hibah ini tidak dapat dijadikan patokan khusus dalam penerimaannya, pemberian hibah berasal dari keikhlasan pemberi hibah, sehingga dalam realisasinya dapat tidak sesuai dengan anggaran penerimaan hibah yang telah di susun dalam APBD.Tabel 4.2 Realisasi Pengeluaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta(satuan milyard)

KETERANGAN2009201020112012

Rp%Rp%Rp%Rp%

Belanja Operasional 14.694 75%16.310 76%19.107 72%22.772 72%

Belanja Pegawai7.547 39%8.538 40%9.896 37%11.086 35%

Belanja Barang6.773 35%7.312 34%8.342 32%9.703 31%

Belanja Bunga10 0%7 0%4 0%3 0%

Belanja Subsidi0 0%0 0%0 0%0 0%

Belanja Hibah305 2%423 2%826 3%1.933 6%

Belanja Bantuan Sosial58 0%28 0%39 0%16 0%

Belanja Bantuan Keuangan1 0%1 0%1 0%30 0%

Belanja Modal4.817 25%5.243 24%7.316 28%8.784 28%

Belanja Tanah1.575 8%790 4%837 3%494 2%

Belanja Peralatan dan Mesin1.152 6%1.815 8%2.231 8%3.263 10%

Belanja Gedung dan Bangunan1.406 7%1.273 6%2.179 8%2.528 8%

Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan565 3%1.162 5%1.661 6%1.962 6%

Belanja Aset Tetap Lainnya118 1%204 1%409 2%538 2%

Total Belanja 19.511 100%21.553 100%26.424 100%31.556 100%

(sumber LRA pemprov DKI Jakarta, data diolah)Belanja Operasional

Belanja Operasional digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehari hari, adapun struktur belanja tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :1. Belanja Pegawai pada tahun 2009 mencapai 7.547 Milyard, atau sebesar 39% dari total belanja tahun 2009, dan mengalami kenaikan pada tahun 2010 sebessar 8.538 Milyard atau 40% dari total belanja tahun 2010. Pada tahun 2011 mencapai 9.896 Milyard atau sebesar 37% dari total belanja tahun 2011 dan sebesar 11.086 Milyard atau sebesar 35% dari total belanja tahun 2012. Pengeluaran yang besar untuk belanja pegawai diharapkan oleh Gubernur dan DPRD DKI Jakarta, adalah agar Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Honorer dilingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan pelayanan prima bagi warga masyarakat DKI Jakarta.

2. Belanja Barang Jasa pada tahun 2009 mencapai 6.773 Milyard, atau sebesar 35% dari total belanja tahun 2009, dan mengalami kenaikan pada tahun 2010 sebessar 7.312 Milyard atau 34% dari total belanja tahun 2010. Pada tahun 2011 mencapai 8.342 Milyard atau sebesar 32% dari total belanja tahun 2011 dan sebesar 9.703 Milyard atau sebesar 31% dari total belanja tahun 2012. Pengeluaran yang besar untuk belanja barang dan jasa ini diharapkan oleh Gubernur dan DPRD DKI Jakarta, adalah kebutuhan kebutuhan yang diperlukan para aparatur pemerintah dilingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan pelayanan prima bagi warga masyarakat DKI Jakarta. Pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melaksanakan eProcurement sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah3. Belanja bunga pinjaman pada tahun 2009 sebesar 10 Milyard, tahun 2010 sebesar 7 Milyard, tahun 2011 sebesar 4 Milyard dan tahun 2012 sebesar 3 Milyard, bunga pinjaman ini berasal dari pinjaman tahun sebelumnya untuk pembayaran proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada pihak swasta dan kepada Pemerintah Pusat.

4. Belanja Subsidi selama tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 tidak ada pengeluaran untuk jenis belanja ini.

5. Belanja hibah pada tahun 2009 mencapai 305 Milyard, atau sebesar 2% dari total belanja tahun 2009, dan mengalami kenaikan pada tahun 2010 menjadi sebesar 423 Milyard atau 2% dari total belanja tahun 2010. Pada tahun 2011 mencapai 826 Milyard atau sebesar 3% dari total belanja tahun 2011 dan sebesar 1.933 Milyard atau sebesar 31% dari total belanja tahun 2012. Besarnya belanja hibah tersebut merupakan program program dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merelokasi warga yang ada di sekitaran waduk, sungai dan lain-lain ke tempat yang lebih layak atau rumah susun.6. Belanja bantuan sosial pada tahun 2009 mencapai 58 Milyard, tahun 2010 sebesar 28 Milyard, tahun 2011 sebesar 39 Milyard, dan 16 Milyard pada tahun 2012. Belanja ini dapat berupa bantuan untuk korban banjir yang setiap tahun melanda DKI Jakarta, kebakaran dan lain-lainnya untuk kepentingan sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

7. Belanja bantuan keuangan pada tahun 2009 sebesar 1 Milyard, tahun 2010 sebesar 1 Milyard, tahun 2011 sebesar 1 Milyard, dan 30 Milyard pada tahun 2012.Belanja Modal

Belanja modal adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun sarana dan prasarana keperluan masyarakat, perbaikan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta. Belanja modal meliputi pembelian untuk tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan serta belanja aset tetap lainnya.

1. Belanja tanah pada tahun 2009 sebesar 1.575 Milyard atau 8% dari total belanja tahun 2009, tahun 2010 sebesar 790 Milyard atau 4% dari total belanja tahun 2010, tahun 2011 sebesar 837 Milyard atau 3% dari total belanja tahun 2011, dan 494 Milyard pada tahun 2012 atau 2% dari total belanja tahun 2012.

2. Belanja peralatan dan mesin pada tahun 2009 sebesar 1.152 Milyard atau 6% dari total belanja tahun 2009, tahun 2010 sebesar 1.815 Milyard atau 8% dari total belanja tahun 2010, tahun 2011 sebesar 2.231 Milyard atau 8% dari total belanja tahun 2011, dan 3.263 Milyard pada tahun 2012 atau 10% dari total belanja tahun 2012. Belanja ini antara lain pembelian pompa penyedot air, alat-alat kesehatan untuk rumah sakit Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan alat-alat lain untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 3. Belanja gedung dan bangunan pada tahun 2009 sebesar 1.406 Milyard atau 7% dari total belanja tahun 2009, tahun 2010 sebesar 1.273 Milyard atau 6% dari total belanja tahun 2010, tahun 2011 sebesar 2.179 Milyard atau 8% dari total belanja tahun 2011, dan 2.528 Milyard pada tahun 2012 atau 8% dari total belanja tahun 2012. Belanja ini untuk pembangunan rumah susun, pembangunan gedung-gedung milik pemerintah dan lain-lain sebagainya. 4. Belanja jalan, irigasi, dan jaringan pada tahun 2009 sebesar 565 Milyard atau 3% dari total belanja tahun 2009, tahun 2010 sebesar 1.162 Milyard atau 5% dari total belanja tahun 2010, tahun 2011 sebesar 1.661 Milyard atau 6% dari total belanja tahun 2011, dan 1.962 Milyard pada tahun 2012 atau 6% dari total belanja tahun 2012.5. Belanja aset tetap lainnya pada tahun 2009 sebesar 118 Milyard atau 1% dari total belanja tahun 2009, tahun 2010 sebesar 204 Milyard atau 1% dari total belanja tahun 2010, tahun 2011 sebesar 409 Milyard atau 2% dari total belanja tahun 2011, dan 534 Milyard pada tahun 2012 atau 2% dari total belanja tahun 2012

4.2.2. Rasio Keuangan DKI Jakarta

Tabel 4.3

Rasio Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

TahunRasio

KemandirianEfektifitasKetergantunganKemampuan

Daerah PAD TransferKeuangan

200955%102%45%72%

201056%105%44%79%

201163%109%37%93%

201262%107%38%97%

(sumber LRA pemprov DKI Jakarta, data diolah)Rasio Kemandirian Daerah

Rasio ini menunjukkkan tingkat kemampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan masyarakat di wilayahnya menggunakan dananya sendiri (PAD). Halim (2012) mengelompokkan pola hubungan kemandirian dan kemampuan daerah dengan klasifikasi sebagai berikut:

KlasifikasiRasio Kemandirian (%)Pola Hubungan

Rendah Sekali0-25Instruktif

Rendah25-50Konsultatif

Sedang50-75Partisipatif

Tinggi75-100Delegatif

Berdasarkan pengelompokan dari Halim (2012) tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dikategorikan pada kemampuan keuangan yang sedang, karena selama tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 rasio kemandiriannya berturut-turut 55%, 56%, 63% dan 62%. Hal ini menunjukkan pola hubungan partisipatif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Efektifitas PAD Rasio ini menggambarkan kemampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengumpulkan seluruh sumber pendapatan asli daerahnya sesuai dengan jumlah PAD yang telah ditargetkan. Menurut Mahsun (2006) rasio ini dapat diklasifikasikan sebagai berikutEfektivitas Keuangan DaerahRasio Efektifitas

Efektif>100%

Efekif Berimbang=100%

Tidak Efektif50,01

Berdasarkan pengklasifikasian oleh Munir rasio kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dikatakan sangat baik, hal ini dikarenakan selama tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 rasio kemampuan keuangannya sebesar 72%, 79%, 93% dan 97%. Semakin tahun kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semakin baik, sehingga dapat dikatakan Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu pemerintah daerah yang mandiri dan mampu untuk membiayai kebutuhan rutinnya sendiri, tidak tergantung pada besar kecilnya alokasi dana transfer.4.2.3. Rasio Pertumbuhan Penerimaan dan Pengeluaran DKI JakartaTabel 4.4Penerimaan dan Pengeluran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

KETERANGAN20092010% kenaikan2011% kenaikan2012% kenaikan

201020112012

Pendapatan

Pendapatan Asli Daerah 10.60112.89222%17.82638%22.04124%

Dana Bagi Hasil Pajak8.5809.39910%8.748-7%10.98526%

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam7113997%19238%29553%

Dana Alokasi Umum 000%210100%27531%

Dana Alokasi Khusus000%00%00%

Pendapatan Hibah 1100%8100%4-56%

Pendapatan Pinjaman 000%00%00%

Dana Otonomi Khusus000%00%00%

Dana Penyesuaian0596100%1.313120%1.78036%

Lain-lain Pendapatan yang Sah 000%00%00%

Total Pendapatan 19.26323.02620%28.29723%35.37925%

Belanja

Belanja Operasional 14.69416.31011%19.10717%22.77219%

Belanja Pegawai7.547 8.538 13%9.896 16%11.086 12%

Belanja Barang6.773 7.312 8%8.342 14%9.703 16%

Belanja Bunga10 7 -25%4 -41%3 -27%

Belanja Subsidi0 0 0 0 0 0 0

Belanja Hibah305 423 39%826 95%1.933 134%

Belanja Bantuan Sosial58 28 -53%39 40%16 -59%

Belanja Bantuan Keuangan1 1 124%1 0%30 2155%

Belanja Modal4.8175.2439%7.31640%8.78420%

Belanja Tanah1.575 790 -50%837 6%494 -41%

Belanja Peralatan dan Mesin1.152 1.815 58%2.231 23%3.263 46%

Belanja Gedung dan Bangunan1.406 1.273 -9%2.179 71%2.528 16%

Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan565 1.162 106%1.661 43%1.962 18%

Belanja Aset Tetap Lainnya118 204 72%409 101%538 32%

(sumber LRA pemprov DKI Jakarta, data diolah, dalam satuan milyard)

Rasio pertumbuhan penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pertumbuhan penerimaan total Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun 2009 ke tahun tahun 2010 terjadi pertumbuhan penerimaan sebesar 20% dibanding penerimaan tahun 2009, dan pertumbuhan penerimaan tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 23% dibanding penerimaan tahun 2010, serta pertumbuhan penerimaan tahun 2012 mengalamai kenaikan sebesar 25% dibanding penerimaan tahun 2011. Kenaikan penerimaan dari tahun ke tahun disebabkan kenaikan komponen dalam penerimaan terutama dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Dana Penyesuaian.

2. Pertumbuhan belanja operasional Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun 2009 ke tahun tahun 2010 terjadi pertumbuhan belanja operasional 11% dibanding belanja operasional tahun 2009, dan pertumbuhan belanja operasional tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 17% dibanding belanja operasional tahun 2010, serta pertumbuhan belanja operasional tahun 2012 mengalamai kenaikan sebesar 25% dibanding belanja operasional tahun 2011.

3. Pertumbuhan belanja modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun 2009 ke tahun tahun 2010 terjadi pertumbuhan belanja modal 9% dibanding belanja modal tahun 2009, dan pertumbuhan belanja modal tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 40% dibanding belanja modal tahun 2010, serta pertumbuhan belanja modal tahun 2012 mengalamai kenaikan sebesar 20% dibanding belanja modal tahun 2011.

Secara umum pertumbuhan penerimaan dari sektor pendapatan asli daerah (PAD) lebih cepat daripada belanja daerah (belanja operasional dan belanja modal), hal ini merupakan komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperkuat kemandirian dalam APBD, selain itu peningkatan pertumbuhan belanja modal pada 2010, 2011 dan 2012 leibh tinggi daripada belanja pegawai, hal ini merupakan salah satu komitmen juga untuk meningkatkan kualitas belanja sehingga mendukung iklim investasi di DKI Jakarta. 4.2.4. Pencapaian Anggaran dan Realisasi Keuangan Tabel 4.5Efektifitas Pencapaian Anggaran dan Realisasi Keuangan

(sumber LRA DKI Jakarta, data diolah, dalam satuan milyard)Rasio efektifitas ini menggambarkan kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam memenuhi atau melebihi target yang ditetapkan dari sisi penerimaan dan mampu memenuhi atau dapat kurang dari anggaran yang telah ditetapkan dari sisi pengeluaran. Pencapaian target dari sisi penerimaan sudah digambarkan dari penjelasan efektifitas PAD, sedangkan efisiensi dari sisi belanja dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Belanja pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rata-rata mampu melakukan penghematan sebesar 10% tiap tahunnya, gambaran ini dapat diuraikan sebagai berikut pada tahun 2009 belanja pegawai terealisasi sebesar 90% dari pagu belanja pegawai tahun 2009, tahun 2010 belanja pegawai terealisasi sebesar 90% dari pagu belanja pegawai tahun 2010, tahun 2011 belanja pegawai terealisasi sebesar 94% dari pagu belanja pegawai tahun 2011, tahun 2012 belanja pegawai terealisasi sebesar 93% dari pagu belanja pegawai tahun 2012.2. Belanja barang jasa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rata-rata mampu melakukan penghematan sebesar 15% tiap tahunnya, gambaran ini dapat diuraikan sebagai berikut pada tahun 2009 belanja barang jasa terealisasi sebesar 84% dari pagu belanja barang jasa tahun 2009, tahun 2010 belanja barang jasa terealisasi sebesar 86% dari pagu belanja barang jasa tahun 2010, tahun 2011 belanja barang jasa terealisasi sebesar 86% dari pagu belanja barang jasa tahun 2011, tahun 2012 belanja barang jasa terealisasi sebesar 85% dari pagu belanja barang jasa tahun 2012.

3. Belanja hibah pada tahun 2009 terealisasi sebesar 90%, tahun 2010 terealisasi sebesar 98%, tahun 2011 terealisasi sebesar 94%, tahun 2012 terealisasi sebesar 93%.4. Belanja Bantuan Sosial pada tahun 2009 terealisasi sebesar 82%, tahun 2010 terealisasi sebesar 59%, tahun 2011 terealisasi sebesar 66%, tahun 2012 terealisasi sebesar 54%.

5. Belanja modal pada tahun 2009 terealisasi sebesar 72%, tahun 2010 terealisasi sebesar 69%, tahun 2011 terealisasi sebesar 75%, tahun 2012 terealisasi sebesar 69%. Rendahnya realisasi belanja modal ini menyebabkan banyak program-program pemerintah untuk investasi tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Rendahnya realisasi ini disebabkan pertumbuhan ekonomi di Jakarta terlalu cepat sehingga banyak program kerja tidak dapat dijalankan karena perubahan harga yang cukup tinggi dan adanya faktor faktor penghambat lainnya, belanja tanah merupakan belanja yang tingkat realisasinya sangat rendah setiap tahun tingkat realisasinya kurang dari 50% dari anggaran yang ditetapkan.

4.3. Kondisi Perekonomian DKI Jakarta

Tabel 4.6Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Provinsi DKI JakartaTahun PDRB% Kenaikan

2008 Rp 677.045 0%

2009 Rp 757.697 12%

2010 Rp 861.992 14%

2011 Rp 982.521 14%

2012 Rp 1.103.738 12%

(sumber BPS, data diolah, dalam satuan milyard)

Pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya, kenaikan tersebut cukup tinggi dibandingkan PDRB wilayah-wilayah lain di pulau Jawa, hal ini menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di wilayah DKI Jakarta. Kontribusi terbesar berasal dari sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif dan keuangan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat ini yang memberikan dampak terhadap pendapatan asli daerah DKI Jakarta selalu tercapai, setiap tahun target yang diberikan oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta selalu terlampaui. Dengan pendapatan asli daerah yang cukup tinggi ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu pemerintah daerah yang paling maju dalam hal pengelolaan keuangan daerah serta aspek- aspek fasilitas publik lainnya. 5. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang Kemandirian DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonominya Tahun 2009 s/d 2012 adalah sebagai berikut :1. Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta dari tahun 2009 s/d 2012 mengalami kenaikan yang cukup besar kenaikan ini akibat dari potensi fiskal DKI Jakarta yang cukup besar serta dengan adanya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan besarnya pajak dan memungut pajak tersebut guna membiayai seluruh pengeluarannya. Pendapatan Asli Daerah yang cukup besar memberikan tingkat kemandirian yang tinggi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membiayai pengeluarannya untuk memberikan pelayanan terbaik warga DKI Jakarta.

2. Belanja operasional Pemerintah DKI Jakarta rata-rata 74% darit total pengeluaran setiap tahunnya, belanja pegawai dan belanja barang jasa merupakan penyumbang terbesar dari pengeluran ini. Dengan belanja pegawai dan belanja barang jasa yang besar diharapkan aparat sipil daerah (PNSD) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan pelayanan terbaik bagi warganya, mengurangi korupsi, kolusi, pungutan liar serta birokrasi yang rumit.

3. Belanja modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyumbang sekitar 25% dari total pengeluaran setiap tahunnya, belanja tanah merupakan belanja yang paling rendah tingkat realisasinya, hal tersebut kenaikan harga tanah di wilayah DKI Jakarta kenaikannya cukup besar, bahkan harga tanah di DKI Jakarta selama tahun 2007 2012 merupakan wilayah di dunia yang kenaikan harga tanahnya cukup fantastis. Kenaikan harga tanah tersebut mengakibatkan beberapa program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak dapat terlaksana, dengan tidak terlaksananya program pembelian tanah tersebut juga mempengaruhi realisasi belanja gedung dan bangunan. 4. Berdasarkan data BPS pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta merupakan wilayah yang mempunyai tingkat PDRB tertinggi di Indonesia. Penyumbang terbesar PDRB DKI Jakarta adalah dari sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif dan keuangan. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan ibukota negara, pemerintahan serta perekonomian Republik Indonesia.DAFTAR PUSTAKAArsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan STIE YKPN Yogyakarta.

Badam Pusat Statistik. 2009. Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008. Jakarta-Indonesia.

Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Halim, Abdul. 2012. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Revisi. Jakarta: -Salemba Empat

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Reformasi, Perekonomian, Strategi dan Peluang. Jakarta : Salemba Empat.

Perry, GE, OS, Arias, JH, Lopez, WF, Maloney, & L, Serven. 2006. Poverty Reduction and Growth : Virtuous and Vicious Circles (New York : World Bank).

Riyanto, & Siregar, Hermanto. 2005. Dampak Dana Perimbangan Terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar Wilayah. Jurnal Kebijakan Ekonomi.

Sidiq, Mahfud. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi (Badouse Media, Padang - Sumatera Barat).

Rasio Kemandirian :

PAD

Total Pendapatan Daerah

Transfer

Rasio Ketergantungan :

Total Pendapatan Daerah

Realisasi PAD

Rasio Efektivitas PAD :

Target PAD yg ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah

Rasio Kemandirian :

PAD

Total Pendapatan Daerah

X 100%

PDRBT PDRBT-1

Pertumbuhan Ekonomi :

PDRBT-1

2