kelompok 5 (hadits shahih, hasan & dhaif)
TRANSCRIPT
-
HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHAIF
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Hadits dan Ilmu Hadits
Disusun oleh :
Kelompok 5
Ahmad Samsudin (1127030003)
Annisa Nur Fitriani (1127030010)
Dini Fauziah Gufron (1127030015)
Fitri Rahayu (1127030025)
Ginanjar (1127030031)
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan terutama
disebabkan akan kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak akhirnya makalah ini, dapat terselesaikan walaupun masih terdapat
kekurangan di dalamnya.Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari
mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
snagat mengharapkan kritik dan saran yang positif supaya makalah ini menjadi lebih
baik dan bermanfaat.
Bandung, April 2013
Penulis,
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah periwayatan hadits Nabi berbeda dengan sejarah periwayatan Al-
Quran. Periwayatan Al-Quran, sejak zaman nabi sampai ke generasi-generasi
berikutnya tetap terpelihara, baik dalam bentuk tulisan maupun hafalan. Namun
periwayatan hadits nabi tidaklah sama seperti periwayatan Al-Quran.
Periwayatan hadits ditinjau dari beberapa segi. Hadits mutawatir
memberikan faedah yaqinbil-qathi (sepositif-positifnya), bahwa nabi
Muhammad saw, benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar
(persetujuan)-nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang
banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan
untuk berdusta. Oleh karena itu sumber-sumbernya sudah meyakinkan
kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam
identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah
dhanny (prasangka yang kuatakan kebenarannya), mengharuskan kepada kita
mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas
(kelakuan dan keadaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan
penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima
sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang menyebabkan
penolakan.
Melihat kenyataan, bahwa sanad hadits ada yang bersambung dan ada yang
tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang
tidak, serta kandungannya ada yang janggal dan ada yang wajar, maka ulama
hadits lalu membagi hadits dari segi kualitas sanad, perawi dan juga matannya,
pada :
1. Hadits Shahih
2. Hadits Hasan, dan
3. Hadits Dhaif
-
Makalah ini akan membahas sedikitnya lebih lanjut tentang ketiga hadits
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hadits shahih?
2. Apa saja macam-macam hadits shahih?
3. Apa itu hadits hasan?
4. Apa saja macam-macam hadits hasan?
5. Apa itu hadits dhaif?
6. Apa saja macam-macam hadits dhaif?
7. Bagaimana berhujjah dengan hadits Shahih, Hasan dan Dhaif?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang hadits shahih.
2. Mengetahui macam-macam hadits shahih.
3. Mengetahui tentang hadits hasan.
4. Mengetahui macam-macam hadits hasan.
5. Mengetahui tetang hadits dhaif
6. Mengetahui macam-macam hadits dhaif
7. Mengetahui hukum berhujjah dengan hadits shahih, hasan dan dhaif
-
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
1. Pengertian dan syarat-syarat Hadits Shahih
Menurut bahasa, shahih berarti : sehat, selamat dari aib, benar atau betul.
Menurut istilah, arti Hadist Shahih adalah Hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlabith, serta tidak terdapat di
dalamnya suatu kejanggalan dan cacat.
Sedangkan menurut muhadditsin, ialah :
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal
Berdasarkan pengertian ini, maka syarat-syarat Hadits Shahih ada lima
macam. Yakni :
1. Sanad Hadits harus bersambung (Ittishalul isnad)
Maksudnya, sanad Hadits itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada Nabi
tidak ada yang terputus.
2. Para perawi yang meriwayatkan Hadits itu, haruslah orang yang bersifat adil
(kepercayaan)
Arti adil disini ialah memiliki sifat-sifat:
a. Istiqomah dalam agamanya (Islam)
b. Akhlaknya baik
c. Tidak Fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil apalagi
dosa besar)
d. Memelihara muruahnya (memelihara kehormatan dirinya)
3. Para perawi yang meriwayatkan Hadits itu, haruslah bersifat dlabith.
Arti dlabith disini ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia
memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta
mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendakinya.
-
4. Apa yang berkenaan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada kejanggalan
kejanggalan (Syudzudz)
Yang dimaksud dengan syudzudz adalah apa yang sebenarnya berlawanan
dengan peri keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah atau bertentangan
dengan kaidah-kaidah yang telah berlaku secara umum atau bertentangan
dengan hadits yang lebih kuat.
5. Apa yang berkenaan dengan periwayatan Hadits itu, tidak sama sekali cacat.
2. Pembagian Hadits Shahih
Hadits Shahih ada dua macam. Yakni :
1. Hadits Shahih Li-dzatihi
Yaitu Hadits yang memenuhi sepenuhnya syarat-syarat Hadits Shahih
sebagaimana telah dikemukakan diatas.
Contoh :
..
) ( .
Artinya :
Rasulullah Saw bersabda : yang dimaksud dengan orang islam (Muslim)
ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan
lidahnya maupun dengan tangannya, dan yang dimaksud dengan orang yang
berhijrah (Muhajir) adalah orang yang pidah dari apa yang dilarang oleh
Allah. (Mutafakun Alaih (HR. Bukhari & Muslim)
Dilihat dari segi jumlah perawinya, hadits ini termasuk Hadits Masyhur.
Hadits ini, antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut :
a. Adam bin Iyas
b. Syubah
c. Ismail & Ibnu Safar
d. As-Syaby
e. Abdullah bin Amr bin Ash
Rawi dan sanad Bukhori ini, semuanya memenuhi lima syarat Hadits Shahih
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Karenanya maka hadits diatas termasuk
Hadits Shahih Li-dzatihi. Adapun kemasyhuran hadits tersebut tidaklah menjadi
ukuran akan keshohihannya.
-
2. Hadits Shahih Li-ghairihi
Kedlabithan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan Hadits Shahih
Li-dzatihi turun nilainya menjadi Hadits Hasan Li-dzatihi. Akan tetapi jika
kekurang sempurnaan rawi tentang kedlabithannya itu dapat ditutup, misalnya
Hadits Hasan Li-dzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dlabith,
naiklah Hadits Hasan Li-dzatihi ini menjadi Hadits Shahih Li-ghairihi. Maka
demikian secara deifinisi Hadits Shahih Li-ghairihi, ialah:
Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka
masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu
didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang
dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
Contoh :
Hadits Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu:
..
Artinya :
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:Seandainya tidak memberatkan
ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali
hendak shalat. (HR. at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah)
Salah seorang rawi dari Hadits ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr
bin Al-qamah. Dia termasuk orang yang terpercaya tetapi hafalannya oleh para
ulama diperselisihkan kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawi dari sanad tersebut
semuanya tsiqah. Maka karenanya kualitas hadits tersebut Hasan Li-dzatihi.
Kemudian ada sanad lain yang memuat hadits tersebut, maka hadits tersebut
meningkat derajatnya menjadi Hadits Shahih Li-dzatihi.
Ibnu ash-Shalah rahimahullah berkata: Maka Muhammad bin Amr bin
Alqamah adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan
-
kehormatan. Akan tetapi ia bukan termasuk orang yang matang (dalam
hafalannya, ed), sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia dhaif (lemah)
dari sisi buruknya hafalannya. Dan sebagian ulama yang lainnya mengatakan
bahwa ia tsiqah (kredibel) dikarenakan kejujurannya dan kehormatannya. Maka
haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka ketika digabungkan
kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa yang kita kita
khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan hal itu
kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan
disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah).
3. Kedudukan Hadits Shahih
Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa
melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum.. Apabila dalam syarat-syarat
yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits
itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian
kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya
tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua,
maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih li-
ghoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak
menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga
menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits
shahih li-datihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan
yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan li-datihi.
Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya
menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan
apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi
dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits
shahih lighoirihi.
Para ahli hadits sepakat bahwa hadits shahih wajib untuk diterima. Para
ulama ushul fiqh dan fiqh juga sepakat bahwa hadits shahih bisa dijadikan
landasan hukum Islam, dan tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk
meninggalkannya.
-
4. Tingkatan Hadits Shahih
Banyak ulama telah menyebutkan dan menjelaskan silsilah sanad yang
paling shahih. Kekuatan hadits shahih itu, bagaimana kedlabithan dan keadilah
rawinya. Hadits Shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadits yang bersanad
ashahhul-asanid. Yaitu :
1. Hadits yang muttafaq-alaihi atau muttafaq-ala shihhatihi
Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh dua imam hadits
Bukhary dan Muslim tentang sanadnya.
2. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri.
Yaitu hadits shahih yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhary saja,
sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin
menamai dengan ifarada bihil-bukhary.
3. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
Yaitu hadits shahih yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
sedangkan Imam Bukhori tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin
menamai dengan ifarada bihil-muslim.
4. Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhary dan
Muslim (shahihum alasyarathail-Bukhary wa Muslim), sedang kedua
imam tersebut tidak mentakhrijkannya.
Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat-syarat Bukhary dan
Muslim ialah, bahwa rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di
dalam kedua kitab shahih Bukhary dan Muslim.
5. Hadits shahih yang menurut syarat Bukhary, sedang beliau sendiri tidak
mentakhrijkannya.
Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat Bukhary ialah, bahwa
rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kitab shahih
Bukhary. Hadits demikian ini, disebut dengan shahihunala syarthil-
Bukhary.
6. Hadits shahih yang menurut syarat Muslim, sedang beliau sendiri tidak
mentakhrijkannya.
-
Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat Muslim ialah, bahwa
rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kitab shahih
Muslim. Hadits demikian ini, disebut dengan shahihunala syarthil-
Muslim.
7. Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam
Bukhary dan Muslim.
Yaitu bahwa pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau
guru-guru Bukhary dan Muslim, yang beliau sepakati bersama atau yang
masih diperselisihkan. Tetapi hadits tersebut dishahihkan oleh imam-imam
hadits yang ternama. Misalnya yang terdapat pada Shahih Ibnu Khuzaimah,
Shahih Ibnu hibban, dan Shahih Al-hakim.
B. Hadits Hasan
1. Pengertian dan syarat-syarat Hadits Hasan
Yang dimaksud dengan Hadits Hasan ialah Hadits yang sanadnya
bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit
dlabith, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat
cacat.
Sedangkan menurut muhadditsin, ialah :
ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta,
tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak
dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya
Melihat pengertian ini, maka sesungguhnya Hadits hasan itu tidak ada
perbedaannya denga hadits shohih, terkecuali dalam bidang hafalannya saja.
Untuk hadits Hasan, hafalan rawi ada yang kurang dibandingkan hadits shahih.
Adapun untuk syarat-syaratnya anatara hadits shahih dan hadits hasan, sama.
2. Pembagian Hadits Hasan
Hadits Hasan ada dua macam. Yakni :
1. Hadits Hasan Li-dzatihi
-
Yaitu Hadits yang memenuhi sepenuhnya syarat-syarat Hadits Hasan
sebagaimana telah dikemukakan diatas. Jadi kehasannya bukan karena adanya
petunjuk atau penguat lainnya tetapi karena sebab dirinya sediri.
Contoh :
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata:
Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Jafar bin
Sulaiman ad-Dlubai, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa
al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata di hadapan musuh:
Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di
bawah kilatan pedang(al-Hadits).
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali
Jafar bin Sulaiman ad-Dlubai. jadilah haditsnya hasan.
2. Hadits Hasan Li-ghairihi
Yakni, hadits yang sanadnya ada rawi yang tidak diakui keahlianya, tetapi
dia bukanlah yang terlalu banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits,
kemudian ada riwayat lain dengan sanad lain yang bersesuaian dengan
maknanya. Atau dengan kata lain Hasan Li-ghairihi ialah:
.
,
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya),
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yag
menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Contoh :
Hadits ke-1 :
.
adalah hak bagi orang-orang Muslim mandi di hari Jumat. Hendaklah
mengusap salah seorang mereka dari wangi-wangian keluarganya. Jika ia
tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.
-
: 2-ek stidaH
nad hgilab gnay gnaro paites igab bijaw uti tamuJ irah idnaM
.ada akij naignaw-ignaw iakamem nad tannus-tannus nakajregnem
-
Jika kita ambil hadits At-Tirmidzi (Nomor 1) yang bersanad Abu Yahya
Ismail bin ibrahim At-Taimy, Yazid bin Abi Ziyad Abdurahman bin Abi Laila
dan Al-Barra bin 'Azib, maka hadits tersebut adalah hadits dhaif . Karena Ismail
bin Ibrahim At-Taimi itu didhaifkan oleh para ahli hadits.
Disamping sanad sebagai mana tertera diatas, At-Tirmidzi juga
mengemukakan sanad yang lain, yakni Ahmad bin Mani Husyaim bin Yazid bin
abi Ziyad dan seterusnya seperti sanad hadits nomor 1. Imam Ahmad juga
meriwayatkan hadits tersebut dengan melalui sanad 'Abdu'sh-Shamad, Abdul
Aziz bin Muslim, Yazin bin Abi Ziyad dan seterusnya seperti sanad At-
Turmudzy. (Periksa hadits nomor III).
Hadits At-Tirmidzi yang bersanadkan Ahmad bin Mani', Husyaim dan
Yazid bin Ziyad dan hadits Ahmad yang bersanadkan Abdu'sh-Shamad, 'Abdul
Aziz dan Yazid bin Ziyad (nomor III) adalah menjadi mutabi' bagi hadits at-
Tuirmidzi yang sanad Abu Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi (nomor 1).
Imam-imam hadits yang lain, seperti Imam Bukhori, Imam Muslim dan
Imam Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits at-
Tirmidzi, tentang kesunatan memakai wangi-wangian di hari Jum'at. Misalnya
hadits Bukhori yang bersanad Ali Haramy bin Amarah, Syu'bah, Abu Bakar bin
Al-Munhadir, Amr bin Sulaim Al-Anshory, dan Abu Sa'id r.a. (nomor IV).
Dengan demikian, maka hadits At-Tirmuidzi yang bersanad Abu Yahya
Ismail bin Ibrahim yang dhaif itu naiklah nilainya menjadi hasan li-ghairihi.
Karena kedhaifannya telah di angkat muttabi' yaitu hadits yang diriwayatkan
sendiri yang melalui sanad Ahmad bin Mani (nomor II) dan hadits Ahmad yang
bersanad Abdus'sh Shamad (nomor III) dan diangkat pula oleh Syahid, yakni
hadits Bukhari atas bersanad dari sahabat Abu Sa'id r.a (nomor IV) dan hadits
imam-imam lainnya yang semakna
3. Kedudukan Hadits Hasan
Dalam konteks dalil hukum Islam, kedudukan hadits hasan seperti hadits
shahih meskipun kekuatannya di bawah hadits shahih. Oleh karena itu, para ahli
-
fiqh memakainya sebagai landasan hukum sebagaimana para ulama hadits dan
ushul, kecuali golongan yang sangat ketat dalam memakai hadits sebagai
landasan hukum Islam. Sebaliknya, golongan yang sangat berkompromi
terhadap istinbath hukm, memasukkan hadits hasan bagian dari hadits shahih. Di
antaranya adalah Hakim ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Alasan para ulama
adalah perawi hadits hasan kebanyakan telah diketahui kejujurannya. Rendahnya
tingkat kedhabitan tidak mengeluarkan mereka dari golongan perawi yang
mampu menyampaikan hadits sama ketika mereka mendapatkannya. Hal ini juga
berlaku untuk hadits hasan li-ghairihi. Menurut jumhur ulama dari kalangan ahli
hadits, hadits hasan li-ghairihi juga dapat dijadikan hujjah dan dapat diamalkan.
Karena, meskipun awalnya dhaif, namun menjadi sempurna dan lebih kuat
dengan diriwayatkannya hadits tersebut dari jalan yang lain. Di samping itu,
hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits lain. Dengan demikian,
kerendahan tingkat kedhabithan seorang rawi menjadi meaningless di sini. Dan
jika dipadukan dengan sanad yang lain, maka terlihat potensi bahwa perawi yang
kedhabithannya rendah mampu merekam dan menyampaikan hadits dengan
benar.
5. Tingkatan Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih, dalam hadits hasan juga terdapat tingkatan-
tingkatan. Menurut Dzahabi, terdapat dua tingkatan dalam hadits hasan.
1. Tingkatan yang paling tinggi adalah hadits yang sanadnya dari:
Bahzu ibnu Hakim dari ayahnya dari kakeknya.
Umar ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya.
Ibnu Ishak dari Attaimi.
2. Tingkatan yang kedua adalah hadits yang di dalamnya terdapat perselisihan
pendapat para ulama apakah ia termasuk hadits shahih atau hadits hasan.
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Harits ibnu Abdillah, dan Ashim
ibnu Dhomroh, dan Hajaj ibnu Arthoah, dan lain sebagainya.
Di kalangan ulama hadits sendiri terdapat beberapa istilah yang harus
diperhatikan. Seperti; hadits shahih al-isnad yang tentu saja berbeda dengan
hadits shahih. Yang dimaksud dengan hadits shahih al-isnad adalah hadits yang
-
memenuhi tiga persyaratan shahih (sanadnya bersambung, perawinya adil dan
dhabith), tetapi hadits tersebut belum bebas dari illah atau syadz.
C. Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadits Dhaif
Yang dimaksud dengan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memiliki salah
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
Menurut muhadditsin yaitu :
"Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
hadits shahih atau hadits hasan."
Hadits dhaif itu banyak macam ragamnya, dan mempunyai perbedaan
derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits
shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Hadits dhaif yang karena tidak
bersambung sanadnya dan tidak adil rawinya, adalah lebih dhaif dari pada hadits
dhaif yang hanya keguguran satu syarat makbul (syarat-syarat yang diterima
untuk hadits shahih dan hasan) saja, baik pada sanadnya, maupun pada rawinya.
Hadits dhaif yang keguguran tiga syarat makbul, adalah lebih dhaif dari hadits
yang keguguran dua syarat.
Al-Iraqy membagi hadits dhaif menjadi 42 bagian dan sebagian ulama lain,
membaginya menjadi 129 bagian.
2. Pembagian Hadits Dhaif
A. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan kecacatan rawinya.
1. Hadits Maudlu
Yaitu hadits yang dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu
dimaksudkan pada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik hal itu
sengaja ataupun tidak. Contoh hadits maudlu yang maknanya bertentangan
dengan Al-quran yaitu :
Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh turunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan surat Al-Anam 164 :
-
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat
dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat
dibebankan dosa orang tuanya.
2. Hadits Matruk
Yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh
orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Contoh hadits matruk yang
diriwayatkan oleh Ibnu Adyy :
, , ,
: ,
( : )
Telah bercerita kepadaku Yakub bin Sufyan bin Ashim, katanya : Telah
bercerita kepadaku Muhammad bin Imran, ujarnyya : Telah bercerita
kepadaku Isa bin Ziyad, katanya : Telah bercerita kepadaku Abdur-Rahim
bin Zaid dari ayahnya, dari Said Ibnul-Musayyab, dari Umar Ibnul-
Khathab r.a. katanya : Rasulullah saw bersabda : Andai kata (di dunia ini)
tak ada wanita, tentulah Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh.
Ibnu Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawi, yakni Abdur-Rahim dan
ayahnya (Zaid) adalah orang yang matrukul Hadits ( orang yang ditinggalkan
Haditsnya). Karena hadits yang diriwayatkan melalu sanad mereka disebut
hadits matruk.
3. Hadits Munkar dan Ma'ruf
Yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh
orang yang banyak keslahannya, banyak kelengahannya atau jelas
kefasikannya yang bukan karena dusta. Imbangan hadits munkar itu ialah
hadits maruf. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah disebut
hadits munkar, sedangkan riwayat orang yang tsiqah melawan riwayat orang
yang lemah disebut hadits maruf, Contohnya :
-
Menurut Abu Hatim, Hadits Ibnu Abi Hatim yang bersanad Hubayyid bin
Habib, Abu Ishaq, Al-Izar bin Harits, Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Muhammad
saw. (nomor 1) adalah munkar. Sebab Hubayyib bin habib salah seorang
sanadnya adalah rawi yang waham (kata Abu Zurah) lagi matruk (kata Ibnul-
Mubarak), tambahan pula hadits tersebut secara marfu. Padahal rawi-rawi
yang tsiqah meriwayatkan secara mauquf (nomor 2). Hadits nomor 2 inilah
yang maruf.
4. Hadits Mu'allal
Yaitu hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak
adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap
bersambung suatu sanad). Hadits yang Munqothi (terputus) atau memasukan
sebuah hadits pada hadits yang lain atau yang sama dengan itu. Contohnya
Hadits Yalal bin Ubaid :
Siapa yang mengerjakan sembahyang, membayar zakat, menunaikan
haji, berpuasa dan menghormati tamu, masuk surga.
-
: ..
Dari Sufyan Ats-Tsaury dari Amr bin Dinar dari Ibnu Umar, Dari Nabi
saw, Ujarnya : Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum
berpisahan.
Illat hadits ini terletak pada Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia
yang meriwayatkan, melainkan Abdullah bin Dinar. Hal itu diketahui
berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut.
Walaupun hadits tersebut berillat pada sanadnya, tapi oleh karena kedua rawi
tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matannya (pada Ilmu Ilail-Hadits)
5. Hadits Mud'raj
Yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas
perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits. Contohnya hadits Ibnu Masud
yang berisikan bahwa Rasulullah saw bersabda :
.
Siapa yang mati tidak menyertakan Allah dengan sesuatu, masuk surga, dan
siapa yang mati dengan mnyertakan Allah dengan sesuatu, masuk neraka.
Ternyata selidiki dengan membandingkannya dengan riwayat lain,
kalimat yang terakhir (Manmaata yusyriku bihi syaian, dakhalan-naar)
adalah kalimat Ibnu Masud sendiri.
6. Hadits Maqlub
Yaitu hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan
mendahulukan atau mengakhirkan. Tukar menukar ada kalanya pada matan
hadits atau sanad hadits. Contoh tukar menukar yang terjadi pada matan, ialah
hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a. :
... dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang
disembunyikannya. Hingga tangan kanannya tidak megetahui apa-apa yang
telah dibelanjakan oleh tangan kirinya
Hadits ini memutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari atau riwayat
Muslim, pada tempat lain, yang berbunyi :
-
(Hingga tangan kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan
kanannya)
Tukar menukar pada sanad, misalnya rawi Kaab bin Murrah tertukar
dengan Murrah bin Kaab. Hukum memutarbalikan rawi ini boleh, jika
dengan maksud untuk menguji kehafadhan seseorang muhaddits.
7. Hadits Mudltharrib
Yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain), terjadi dengan
pergantian pada suatu segi, yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang
dapat tarjihkan. Contoh mudltharrib pada matan :
.. :
Dar Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar
r.a. konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Al-
hamdulillahirabbilaalamiin.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr, bahwa hadits basmalah tersebut banyak,
dengan lahfadz yang berbeda-beda dan saling dapat bertahan, yakni tidak
dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain hadits yang
diriwayatkan dengan Ahmad, An-Nasaiy, Ibnu Khuzaimah yang juga
bersumber kepada Anas r.a. yaitu :
Mereka sama tidak mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim.
Disamping itu juga beberapa rawi meriwayatkan, bahwa para sahabat sama
membaca basmalah dengan keras.
Mereka sama mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim.
Dengan demikian hadits tersebut adalah hadits Mudltharrib, tidak dapat
dibuat hujjah oleh siapa pun.
8. Hadits Muharraf
Yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits riwayat orang lain),
terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetapnya
bentuk tulisannya. Contohnya :
..
-
Ubay (bin Kaab) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai
lengannya, lantar Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat.
Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby (ayahku), padahal
sesungguhnya Ubay, yakni Ubay bin Kaab. Kalau mentahrifkan Ghandar ini
diterima, berarti orang yang dihujani panah itu adalah ayah Jabir. Padahal
ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud, yang terjadi sebelum perang
Ahzab.
9. Hadits Mushahhaf
Yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang
bentuk tulisannya tidak berubah. Contohnya (fil matan) ialah hadits Abu
Ayyub Al-Anshary:
: ..
Nabi saw, bersabda : Siapa yanng berpuasa Ramadhan kemudian diikuti
dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepajang
masa
Perkataan Sittan yang artinya enam, oleh Abu As-Shauly diubah mejadi
syai-an yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya (terjadi
pada matan). Adapun yang terjadi pada sanad, misalnya nama Sanad yang
sesungguhnya Ibnul-Badzar diubah mejadi Ibnu na-Nadar atau nama
sesungguhnya murajin diubah menjadi Muzahim, maka disebut Mushahhaf
fis-sanad.
10. Hadits Mubham, majhul dan Mastur
Yaitu hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi
yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan. Contoh hadits
Mubham pada matan hadits Abdullah bin Amr bin Ash r.a. :
: : ..
) (
Bahwa Seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasullah saw. Katanya :
(perbuatan) Islam manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Ialah kamu
memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu
kenal dan yang belum yang kamu kenal.
-
Menurut penyelidikan As-Syuyuth bahwa orang laki-laki yag bertanya
kepada Rasulullah itu ialah Abu Dzarr r.a.
11. Hadits syadz dan Mahfudh
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqoh)
manyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan
kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya dari segi-segi
pentarjihan. Contoh pada sanad :
Hadits At-Tirmidzi (nomor 1) yang bersanad Ibnu Uyainah, Amr bin
Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a. adalah Hadits Mahfudh. Sebab hadits
tersebut, disamping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang
tsiqah, juga mempunyai Mutabi yaitu Ibnu Juraij dll. Hadits Ash-habus-
Sunan (nomor 2), yang bersanad Hammad bin Zaid, Amr bin Dinar dan
Ausajah, adalah Hadits Mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan Hadits tersebut
tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas r.a. padahal ia seorang tabiiy. Hammad
bin Zaid termasuk rawi yang tsiqah, karena ia tergolong rawi yang diterima
(makbul) periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad bin Zaid
itu berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih rajin, karena
. ..
.. . . : :..
-
sanadnya mustahil dan ada Mutabinya. Maka hadits At-Tirmidzi yang
melalui sanad Ibnu Uyaini lah yang rajih dan sunan (2) yang bersanad
Hammad bin Zaid adalah marjuh dan disebut dengan Hadits Syadz.
12. Hadits mukhtalith
Yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut
usia, tertimpa musibah, terbakar atau hilang kitab-kitabnya. Contohnya :
Said bin Abin Arubah. Beliau berikhtilath lebih kurang 10 tahun lamanya.
Ada yang mengataka 5 tahun, Abis-Sa-ib Atha bin Sa-ib Ats-tsaqafy. Beliau
berikhtilat di akhir umurnya.
B. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan gugurnya rawi.
1. Hadits Mu'allaq
Yaitu hadits-hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal
sanad.
Contoh yang gugur sanad pertama saja:
: ..
Nabi Muhammad saw bersabda: Allah itu lebih berhak untuk
dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia
-
2. Hadits Mursal
Yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
Maksudnya ialah perkataan tabiiy, baik tabiiy besar atau kecil atau
perkataan sahabat kecil yang meegaskan tentang apa yang telah dikatakan
atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Tanpa menerangkan dari sahabat
mana berita itu diperoleh. Misalnya seorang tabiiy atau sahabat kecil berkata:
.......... ..
3. Hadits Munqathi
Yaitu hadits yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat, di satu
tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-
turut. Contoh yang gugur rawinya (sanadnya) seorang sebelum sahabat,
seperti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dan At-Trmidzi dengan
matan dan sanad sebagai berikut :
: ..
,
Konon Rasulullah saw. Apabila masuk mesjid memanjatkan doa:
dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah
ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu rahmat untukku.
(
-
4. Hadits Mudlal
Yaitu hadits yang rawi-rawinya dua orang atau lebih, berturutturut, baik
sahabat bersama tabiiy, tabiiy bersama tabiit-tabiin, maupun dua orang
sebelum sahabat dan tabiiy. Contoh :
C. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan sifat matannya.
1. Hadits Mauquf
Yaitu Berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik
yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambug
maupun terputus. Contohnya :
: .
Konon Ibnu Umar r.a. berkata : bila kau berada di waktu sore, jangan
menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan
menunggu datangnya sore hari. Ambilah dari waktu sehatmu persediaan
untuk waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk persediaan matimu
Bagi si budak mempunyai hak makan dan pakaian.
-
2. Hadits Maqthu
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabiiy serta
dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya
ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabiiy besar :
,
Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya Azza wa Jalla, niscaya ia
mencintai-Nya dan bila mencintai-Nya Allah menerimanya.
D. Berhujjah dengan Hadits Shohih, Hasan dan Dhoif
Untuk Hadits yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat
dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lain-lainnya. Terkecuali untuk
bidang aqidah. Dalam masalah aqidah, terjadi perbedaan pendapat. Pertama,
Diantara mereka mengatakan dapat digunakan sebagai dalil untuk masalah
aqidah. Alasannya karena hadits shahih memfaedahkan ilmu, dan wajib
diamalkan, maka karena wajib diamakan antara soal aqidah dengan yang buka
aqidah tdaklah dapat dibedakan. Kedua, diantara mereka berpendapat,
walaupun memenuhi syarat, tetap tidak dapat dijadikan landasan (dalil)
penetapan aqidah. Alasannya, hadits shahih berstatus menfaidahkan dhanny.
Sedang aqidah adalah soal keyakinan maka yang yakin tak dapat disadarkan
dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan. Tetapi ada pula yang
berpendapat dapat saja dijadikan hujjah untuk masalah aqidah, sepanjang
hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits-hadits lain
yang lebih kuat, serta tidak bertentangan dengan akal.
Untuk Hadits Hasan, Imam Bukhari dan ibnul Araby, menolaknya
sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Tetapi Al-Hakim, Ibnu Hibban dan
Ibnu Khuzaimah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila
hadits hasan tersebut ternyata bertentangan dengan Hadits yang berkualitas
shahih, maka yang diambil haruslah yang berkualitas shahih.
Adapun untuk Hadits Dhaif, ada dua pendapat tentang boleh atau
tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjaj. Yakni :
1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, dan Abu Bakar Ibnul Araby
menyatakan, Hadits Dhaif sama sekali tidak boleh diamalkan atau
-
dijadikan hujjah baik masalah yang berhubungan dengan hukum maupun
untuk keutamaan amal.
2. Imam Ahmad Bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-
Asqalany menyatakan, bahwa Hadits Dhaif dapat dijadikan hujjah
(diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadlail amal), dengan
syarat :
a. Para rawi yang meriwayatkan itu tidak terlalu lemah
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok
yang ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits Shahih
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat
Yang dimaksud dengan Fadlail amal atau keutamaan amal dalam hal
ni bukanlah dalam arti untuk menetapkan suatu hukum, tetapi untuk
menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari suatu amal. Adapun yang
berhubungan dengan hukum para ulama Hadits telah sepakat tidak
membolehkan menggunakan Hadits Dhaif sebagai hujjah atau dalil.
-
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut bahasa, shahih berarti : sehat, selamat dari aib, benar atau betul.
Menurut istilah, arti Hadist Shahih adalah Hadist yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlabith, serta tidak
terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat.
2. Macam-macam hadits shahih ada dua : shahih li-dzatihi dan shahih li-
ghairihi
3. Yang dimaksud dengan Hadits Hasan ialah Hadits yang sanadnya
bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit
dlabith, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat
cacat.
4. Macam-macam hadits hasan ada dua : hasan li-dzatihi dan hasan li-ghairihi
5. Yang dimaksud dengan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memiliki salah
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
6. Macam-macam hadits dhaif terbagi tiga bagian :
Hadits dhaif berdasarkan kecacatan rawinya : Hadits Maudlu,
Matruk, Munkar & Maruf, Muallal, Mudraj, Maqlub, Mudtharrib,
Muharraf, Mushahhah, Mubham, majhul & Mastur, Syadz &
Mahfudh dan Mukhtalif
Hadits dhaif berdasarkan gugurnya rawi : Hadits Muallaq, Mursal,
Mudalas, Munqathi, dan Mudlal
Hadits dhaif berdasarkan sifat matannya : Hadits Mauquf dan
Maqthu.
7. Berhujjah terhadap hadits :
Shahih : para ulama hadits bersepakat dapat dijadikan hujjah untuk
masalah hukum dan lain-lain, terkecuali masalah aqidah (ikhtilaful
ulama)
Hasan : sebagian ada yang tidak memperbolehkan dalam menetapkan
hukum, ada pula yanng memperbolehkan dengan syarat isinya tidak
bertentangan dengan hadits berkualitas shahih
-
Dhaif : terdapat dua pendapat. Yang tidak boleh diamalkan atau
dijadikan hujjah dalam asalah hukum dll. Ada juga yag
membolehkan tetapi dengan syarat rawi tidak terlalu lemah,
mempunyai dasar pokok dalam Al-quran dan tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat
B. Saran
Berdasarkan isi makalah dan kesimpulan diharapkan kita mampu
membedakan anatara hadits Shahih, Hasan dan Dhaif, juga mampu untuk
megambil hujjah darinya secara teliti dan benar.
-
Daftar Pustaka
1. Rahman, Drs. Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yokjakarta: PT Al-
Marif.
2. Ismail, Drs.M.Syuhudi. 1987. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa
3. . . . .
4. http://fundonesia.com/makalah/hadits-shahih-dan-hadits-hasan-sebuah-telaah-
epistemologis/
5. http://hpakalbar.wordpress.com/kumpulan-makalah-hadist-shohih-dan-hasan/