kelompok 2
DESCRIPTION
kfa 2TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
KIMIA FARMASI ANALISIS II
PENETAPAN KADAR AMOKSISILIN DENGAN METODE IODIMETRI
TIDAK LANGSUNG (METODE RESIDUAL)
Kelas : Farmasi 3-A
Kelompok 2
Disusun Oleh:
Dita Fitriani 31112015
Erna Nur’aini Siti R. 31112017
Sita Zahara 31112046
PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BAKTI TUNAS HUSADA
KOTA TASIKMALAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis Kimis Farmasi Kuantitatif merupakan penganalisaan prosedur
kimia analisis kuantitatif terhadap bahan-bahan yang digunakan dalam bidang
farmasi terutama dalam menentukan kadar dan mutu obat-obatan dan senyawa
kimia.
Iodimetri merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan
untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau
dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodin dititrasi kembali
dengan larutan tiosulfat.
Iodimetri merupakan titrasi redoks yang melibatkan titrasi langsung
I2 dengan suatu agen pereduksi. I2 merupakan oksidator yang bersifat moderat,
maka jumlah zat yang dapat ditentukan secara iodimetri sangat terbatas, beberapa
contoh zat yang sering ditentukan secara iodimetri adalah H2S, ion sulfite,
Sn2+, As3+ atau N2H4. Akan tetapi karena sifatnya yang moderat ini maka titrasi
dengan I2 bersifat lebih selektif dibandingkan dengan titrasi yang menggunakan
titrant oksidator kuat.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kadar antibitik golongan
penisilin dan turunannya dengan metode tertentu.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Mengetahui cara isolasi penarikan analit amoksisilin dalam sampel dan
menetapkan kadarnya dengan menggunakan metode titrasi iodimetri tidak
langsung (metode residual).
1
1.3 Prinsip Percobaan
Iodimetri tidak langsung dilakukan dimana bahan pereduksi dioksidasi
dengan larutan baku iodium dalam jumlah berlebih, dan kelebihan iod akan
dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Titrasi tidak langsung digunakan
karena reaksi antara analit dan pentiter lambat dan konsentrasi dari analit kecil.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum
2.1.1 Pengertian Iodimetri
Iodimetri merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk
zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan
penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodin dititrasi kembali dengan
larutan tiosulfat.
Iodimetri merupakan titrasi redoks yang melibatkan titrasi langsung I2 dengan
suatu agen pereduksi. I2 merupakan oksidator yang bersifat moderat, maka jumlah
zat yang dapat ditentukan secara iodimetri sangat terbatas, beberapa contoh zat
yang sering ditentukan secara iodimetri adalah H2S, ion sulfite, Sn2+, As3+ atau
N2H4. Akan tetapi karena sifatnya yang moderat ini maka titrasi dengan I2 bersifat
lebih selektif dibandingkan dengan titrasi yang menggunakan titrant oksidator
kuat.
Iodimetri adalah oksidasi kuantitatif dari senyawa pereduksi dengan
menggunakan iodium. Iodimetri ini terdiri dari 2, yaitu ;
1. Iodimetri metode langsung, bahan pereduksi langsung dioksidasi dengan
larutan baku Iodium. Contohnya pada penetapan kadar Asam Askorbat.
2. Iodimetri metode residual ( titrasi balik), bahan pereduksi dioksidasi dengan
larutan baku iodium dalam jumlah berlebih, dan kelebihan iod akan dititrasi
dengan larutan baku natrium tiosulfat. Contohnya pada penetapan kadar
Natrium Bisulfit.
2.1.2 Larutan titran
Larutan pada titran menggunakan iodium. Iodium merupakan zat padat
yang sukar larut dalam air (0,00134 mol/L) pada 25◦C , namun sangat larut dalam
larutan yang mengandung ion iodida . iod membentuk kompleks triiodida dengan
iodida :
I2 + I- → I3-
3
Larutan iodium standar dapat dibuat dengan menimbang langsung iodium
murni dan pengenceran dalam botol volumetrik. Iodium, dimurnikan dengan
sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI pekat, yang ditimbang dengan
teliti sebelum dan sesudah penembahan iodium. Akan tetapi biasanya larutan
distandarisasikan terhadap suatu standar primer, As2O3 yang paling biasa
digunakan.
Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat
bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau
merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida
atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir
titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji,
karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat
peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam
daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida.
2.1.3 Larutan baku sekunder
Pada umumnya larutan I2 distandarisasi dengan menggunakan standar
primer As2O3. Arsen (III) oksida merupakan standar primer yang baik dan paling
sering dipergunakan. Senyawa ini stabil, nonhigroskopis dan tersedia dengan
tingkat kemurnian yang tinggi. As2O3 dilarutkan dalam natrium hidroksida dan
kemudian dinetralkan dengan penambahan asam. Disebabkan kelarutan iodine
dalam air nilainya kecil maka larutan I2 dibuat dengan melarutkan I2 dalam larutan
KI, dengan demikian dalam keadaan sebenarnya yang dipakai untuk titrasi adalah
larutan I3-.
Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat
bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau
merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida
atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir
titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji,
karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat
4
peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam
daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida.
I2 + I- à I3-
2.1.4 Suasana titrasi
Titrasi iodimetri dilakukan dalam keadaan netral atau dalam kisaran asam
lemah sampai basa lemah. Pada pH tinggi (basa kuat) maka iodine dapat
mengalami reaksi disproporsionasi menjadi hipoiodat.
I2 + 2OH- à IO3- + I- + H2O
Sedangkan pada keadaan asam kuat maka amilum yang dipakai sebagai
indicator akan terhidrolisis, selain itu pada keadaan ini iodide (I-) yang dihasilkan
dapat diubah menjadi I2 dengan adanya O2 dari udara bebas, reaksi ini melibatkan
H+ dari asam.
4I- + O2 + 4H+ -> 2I2 + 2H2O
2.1.4 Indikator
Titrasi dilakukan dengan menggunakan amilum sebagai indicator dimana
titik akhir titrasi diketahui dengan terjadinya kompleks amilum-I2 yang berwarna
biru tua. Beberapa reaksi penentuan dengan iodimetri ditulis dalam reaksi berikut:
H2S + I2 -> S + 2I- + 2H+
SO32- + I2 + H2O -> SO4
2- + 2I- + 2H+
Sn2+ + I2 -> Sn4+ + 2I-
H2AsO3 + I2 + H2O -> HAsO42- + 2I- + 3H+
2.2 Uraian bahan
1. Amoksisilin (FI IV)
Pemerian : warna putih, rasa tidak berasa, bau praktis tidak berbau,
bentuk serbuk hablur
Kelarutan : sukar larut dalam air dan metanol, tidak larut dalam
benzen, dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform.
pH larutan : 3,5 dan 6,0
Polimorfisme : Kristal amorf
5
2. NaOH (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Natrii hydroxydum
Berat molekul : 40,00 g/mol
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau
keping,kering, rapuh dan mudah meleleh basah.
Sangat alkalis dan korosif. Segera menyerap CO2
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kandungan : Mengandung tidak kurang dari 97,5% alkali
jumlah dihitung sebagai NaOH dan tidak lebih dari
2,5% Na2CO3
Kegunaan : Sebagai zat tambahan
3. Asam asetat (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Acidum aceticum
Berat molekul : 60,05 g/mol
Rumus molekul : C2H4O2
Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna, bau menusuk, rasa
asam, tajam
Kelarutan : dapat campur dengan air, dengan etanol (95%),
dan dengan gliserol.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
Khasiat : zat tambahan
4. Asam sulfat (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Acidum sulfuricum
Berat molekul : 98,07 g/mol
Pemerian : cairan kental seperti minyak, korosif, tidak
berwarna; jika ditambahkan ke dalam air
menimbulkan panas.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
Khasiat : zat tambahan
6
5. Natrium asetat
Nama resmi : Natrii aceticum
Pemerian : Serbuk atau massa puith keabuan, higroskopik
Kelarutan : Larut baik dalam air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Khasiat : Sebagai zat tambahan
7
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Buret, erlenmeyer, pipet volume, neraca digital, pipet tetes, gelas kimia,
labu ukur.
3.1.2 Bahan
Sampel (amoksisisilin), aqua dest, etanol, H2SO4 0,1 N, NaOH 0,1 N, Buffer
asetat dan Indikator PP, KI, Iodium, K2Cr2O7, Na2S2O3
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Isolasi
Di dekantasi
Ditambahkan NaOH
8
Sampel suspensi
Filtrat Sentrat
Larut
Ditambahkna H2SO4 untuk tes kualitatif, terbentuknya warna kuning positif ada
amoksisilin
3.2.2 Penentuan kadar
3.2.3 Prosedur yang dilakukan antara lain sebagai berikut.
1. Pembakuan iodium dengan Na tiosulfat (Na2S2O3)
2. Pembakuan Na tiosulfat (Na2S2O3) dengan K2Cr2O7
3. Buat optimasi iodium
4. Titrasi sampel dengan Na tiosulfat (Na2S2O3)
9
Analit hasil isolasi
Di add NaOH sampai 50 mL
Penentuan kadar dengan cara titrasi iodimetri
BAB IV
DATA DAN HASIL PENGAMATAN
4.1 Tabel Pengamatan
Sampel : 1C
Berat isolasi : 8 mL di add 50 mL
4.1.1 Pembakuan Na tiosulfat (Na2S2O3)
Berat K2Cr2O7 Volume Na2S2O3
50 mg 29
50 mg 31
50 mg 30
Rata-rata 30
N Na2SO3 =
=
= 0,034 N
4.1.2 Pembakuan Iodium (I2)
Volume I2 Volume Na2S2O3
10 ml 25
10 ml 27
10 ml 27
Rata-rata 26
10
N I2 x Vol I2 = N Na2S2O3 x vol Na2S2O3
N I2 =
= 0,088 N
4.1.3 Perhitungan Kadar SampelVol I2 Berlebih V sampel V Na2S2O3
20 ml 10 ml 10,7
20 ml 10 ml 10,6
20 ml 10 ml 10,4
Rata-rata 10,56
a. Volum I2 yang bereaksi dengan Na2S2O3
N I2 x Vol I2 = N Na2S2O3 x vol Na2S2O3
Vol I2 =
=
= 4,08 mL
b. Volum I2 yang bereaksi dengan analit
V I2 = V I2 berlebih – V I2 yang bereaksi dengan Na2S2O3
= 20 ml – 4,08 ml
= 15,92 ml
c. N analit
N I2 x Vol I2 = V analit x N analit
N analit =
11
=
= 0,14 N
d. Gram analit
Gram = N analit x Be analit x V analit
= 0,14 N x 436,16 x 0,05 L
= 3,05 gram
e. Konversi gram analit
Gram = x 3,05 gram = 2,93 gram
f. Kadar sampel
% kadar = x 100%
= x 100% = 58,6%
12
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam praktikum ini dilakukan percobaan penetapan kadar amoksisilin
dalam bentuk sediaan suspnesi. Oleh karena itu dilakukan serangkaian percobaan
untuk mendapatkan kadar amoksisilin dalam sampel tersebut antara lain dengan
melakukan uji identifikasi struktur amoksisilin yang meliputi sifat fisiko
kimianya, isolasi amoksisilin dari matriksnya. Adapun penentuan kadar amoksilin
dengan metode iodimetri secara tidak langsung.
Dibawah ini adalah struktur kimia dari amoksisilin.
.
Berdasarkan struktur kimianya amoksisilin memiliki karakteristik sebagai
berikut.
1. Gugus karboksilat menyebabkan senyawa bersifat asam. Adanya gugus fenolik
pada amoksisilin mengurangi sifat kebasaan dari N heterosiklik
2. Gugus betalaktam mudah dihidrolisis. Jika dihidrolisis keasaman akan
meningkat. Jika dihidrolisis dengan basa akan menghasilkan gugus karboksil
yang mudah untuk dioksidasi. Gugus betalaktam juga yang mengakibatkan
sifat antiinfeksi.
13
3. Gugus tiazolidin bersifat netral dan dapat dioksidasi.
4. Pada penisilin terdapat gugus R, dimana pada amoksisilin gugus R nya
mengikat gugus amin dan fenol. Gugus R ini akan mempengaruhi
kelarutannya, penyerapan, stabilitas terhadap asam. Pada amoksisilin terdapat
gugus benzen yang menyebabkan kepolaran menurun.
Setelah mengidentifikasi struktur maka dilakukan isolasi yang bertujuan
untuk memisahkan analit dengan matriks. Karena sampel berbentuk suspensi
maka terdapat dua fase yaitu zat aktif dan matriksnya. Zat aktif tidak larut dalam
matriks sehingga dilakukan dekantasi untuk memisahkan analit dari matriksnya.
Berdasarkan sifatnya maka partikel pada suspensi dapat mengendap pada wadah
jika didiamkan, maka tidak perlu dilakukan sentrifuge untuk memisahkan analit
dari matriksnya.
Zat aktif diambil 5 ml kemudian dilarutkan dengan NaOH. Penambahan
NaOH bertujuan untuk melarutkan dan menghidrolisis cincin β-laktam menjadi
asam penisiloat. Asam penisiloat ini mudah untuk dioksidasi dan dapat
meningkatkan keasaman dari amoksisilin, sehingga amoksisilin dapat ditentukan
kadarnya dengan metode iodimetri secara tidak langsung. Titrasi tidak langsung
digunakan karena reaksi antara analit dan pentiter lambat dan konsentrasi dari
analit kecil. Dibawah ini adalah proses reaksi hidrolisis amoksisilin.
Analit harus direaksikan dengan I2 berlebih karena I2 akan mengoksidasi
analit sehingga jika analit habis bereaksi dengan I2 maka kelebihan dari I2 akan
direduksi oleh pentiter (Na2S2O3).
Titrasi iodimetri harus dilakukan dalam keadaan netral atau asam lemah.
Karena analit dilarutkan dalam NaOH maka pH-nya meningkat sehingga
menyebabkan analit menjadi bersifat basa. Oleh karena itu perlu ditambahkan
asam agar pH menjadi netral, asam yang ditambahkan yaitu H2SO4 bukan HCl
14
karena jika menggunakan HCl maka HCl tersebut akan bereaksi dengan I2
sehingga susah untuk menentukan titik akhir titrasi. Selain itu perlu ditambahkan
bufer asetat agar pH stabil karena yang direaksikan merupakan hasil dari hidrolisis
yang tidak stabil.
Berdasarkan hasil praktikum maka didapatkan kadar amoksisilin sebesar
58,6%.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Konsentrasi Na2S2O3 adalah 0,034 N
2. Konsentrasi Iod adalah 0,088 N
3. Volume I2 yang bereaksi dengan Na2S2O3 adalah 4,08 mL
4. Volume I2 yang bereaksi dengan analit adalah 15,92 mL
5. Persen kadar amoksisilin adalah 58,6%
6.2 Saran
Kami berharap laboratorium yang dipakai bisa dilengkapi dengan sarana
dan prasarana yang lebih lengkap agar mahasiswa dapat melakukan praktikum
dengan lancar.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.1978. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
Fessenden and Fessenden.1986. Kimia Organik (edisi ketiga) jilid 1.Jakarta:
Erlangga
Gandjar Ibnu Ghalib dan Rohman Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Donald Chairn. 2004. Essentials of Pharmaceutical Chemistry, 2nd Ed. Jakarta:
EGC
Sudjadi dan Rohman Abdul. 2007. Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons
Florey Analytical Profiles of Drug Substances
16