kelas-kelas bakteriosin

74
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI THEO MAHISETA SYAHNIAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Upload: muhammadabdullahkamalmuktar

Post on 29-Dec-2015

148 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

bakteriosin, mikrobiologi

TRANSCRIPT

Page 1: kelas-kelas bakteriosin

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL

Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS

ANTIMIKROBANYA TERHADAP

BAKTERI PATOGEN

SKRIPSI

THEO MAHISETA SYAHNIAR

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: kelas-kelas bakteriosin

RINGKASAN

THEO MAHISETA SYAHNIAR. D14051400. Produksi dan Karakterisasi

Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas Antimikrobanya

terhadap Bakteri Patogen. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., MSi.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.

Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani bagi penduduk

Indonesia namun bersifat perishable atau mudah rusak khususnya oleh aktivitas

mikroorganisme pembusuk. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah

dengan pengolahan dan pengawetan atau preservasi. Metode preservasi yang telah

banyak diaplikasikan adalah penambahan bahan pengawet pada makanan, baik bahan

pengawet sintetis maupun yang alami. Pemilihan bahan pengawet alami, terutama

bakteriosin yang sangat dianjurkan pemakaiannya. Salah satu isolat lokal asal

daging, yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 telah mampu menunjukkan aktivitas

antimikrobanya secara invitro terhadap ketiga bakteri indikator yang merupakan

bakteri patogen.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi substrat antimikroba

bakteriosin yang dihasilkan pada media berbeda, karakterisasinya melalui sensitivitas

terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik dan penghambatannya terhadap

bakteri patogen, antara lain Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella

typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)

serta konsentrasi penghambatan minimumnya. Bakteriosin Lactobacillus plantarum

1A5 diproduksi melalui media dengan tiga inducer yang berbeda (NaCl 1%,

kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) dan dikondisikan pada pH 5 dan

pH 6. Pengujian produksi dan karakterisasi bakteriosin dilakukan melalui uji

antagonistik dengan metode difusi sumur agar terhadap ketiga bakteri indikator yang

merupakan bakteri patogen. Tiga hasil uji antagonistik terbaik dari produksi

bakteriosin tersebut dilanjutkan dengan purifikasi bakteriosin melalui presipitasi

protein dengan amonium sulfat. Hasil terbaik dari purifikasi tersebut dikarakterisasi

melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta terakhir

dilakukan penentuan persentase MIC dan MBC dengan metode kontak terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan bakteriosin

Lactobacillus plantarum 1A5 yang diproduksi pada keenam media (supernatan

antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer NaCl 1%,

kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% yang masing-

masing dikondisikan pada pH 5 dan pH 6) tidak berbeda sehingga purifikasi

bakteriosin dilakukan pada media dengan masing-masing inducer (NaCl 1%,

kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) yang dikondisikan pada pH 6 untuk

menghilangkan pengaruh antimikroba dari asam organik. Purifikasi parsial

bakteriosin yang menunjukkan aktivitas penghambatan terbesar pada uji antagonistik

adalah bakteriosin yang dihasilkan dari media dengan inducer tripton 1%.

Bakteriosin kasar 1A5 dikarakterisasi melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase

dan enzim proteolitik. Hasil karakterisasi tersebut mengindikasikan bahwa

Page 3: kelas-kelas bakteriosin

komponen aktif yang bekerja sebagai antimikroba adalah bakteriosin yang

merupakan komponen protein dan bukan hidrogen peroksida.

Aktivitas penghambatan bakteriosin kasar Lactobacillus plantarum 1A5 yang

dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% pada kondisi pH 6 juga

dilihat dari penentuan nilai konsentrasi penghambatan minimumnya baik berupa

MIC maupun MBC terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923. Nilai MIC

bakteriosin kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 menunjukkan

bahwa konsentrasi minimum bakteriosin kasar 1A5 yang dibutuhkan sebesar 70%

sedangkan pada nilai MBC-nya dibutuhkan konsentrasi bakteriosin kasar 1A5

sebesar 80%.

Kata-kata kunci: Lactobacillus plantarum, bakteriosin, uji antagonistik, MIC

dan MBC

ii

Page 4: kelas-kelas bakteriosin

ABSTRACT

Production and Characterization of Bacteriocin from Lactobacillus plantarum

1A5 and It’s Antimicrobe Activity to Patogenic Bacteria

Syahniar, T.M., I.I. Arief and R.R.A. Maheswari

The aims of this research were to study antimicrobial activity of bacteriocin

produced by lactic acid bacteria Lactobacillus plantarum 1A5 in six different media

(media with NaCl 1%, combination of NaCl 1% and YE 3%, and trypton 1%

inducers that were conditioned on pH 5 dan pH 6, respectively). Characteristic of

bacteriocin 1A5 determined by catalase and proteolytic enzymes with antagonistic

assay against pathogenic bacterias (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella

typhimurium ATCC 14028 and enteropathogenic Escherichia coli K11) and

determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum

Bactericide Concentration (MBC)’s value against Staphylococcus aureus ATCC

25923. The result showed that the inhibitory activity was produced significantly by

crude bacteriocin 1A5 from media with trypton 1% inducer and was conditioned at

pH 6. Characterization of active compound from crude bacteriocin 1A5 could be

classified as bacteriocin neither antimicrobial compounds such as hydrogen peroxide

because it was stable to catalase treatment. The other characteristic of its bacteriocin

was nature proteinaeous that showed loss it’s activity after trypsin treatment against

Staphylococcus aureus ATCC 25923 and enteropathogenic Escherichia coli K11,

neither Salmonella typhimurium ATCC 14028. Inhibition activity of crude

bacteriocin 1A5 could explained with MIC and MBC’s value, especially against

Staphylococcus aureus ATCC 25923. MIC’s and MBC’s value needed respectively

70% dan 80% concentration of crude bacteriocin.

Keywords: Lactobacillus plantarum, bacteriocin, antagonistic assay, MIC and MBC

Page 5: kelas-kelas bakteriosin

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL

Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS

ANTIMIKROBANYA TERHADAP

BAKTERI PATOGEN

THEO MAHISETA SYAHNIAR

D14051400

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 6: kelas-kelas bakteriosin

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL

Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS

ANTIMIKROBANYA TERHADAP

BAKTERI PATOGEN

Oleh:

THEO MAHISETA SYAHNIAR

D14051400

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan

Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Oktober 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Irma Isnafia Arief, S.Pt. MSi. Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA.

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

Page 7: kelas-kelas bakteriosin

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1987 di Probolinggo. Penulis adalah

anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sudarsono dan Emi Sumartini,

S.Sos. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Sukabumi 2

Probolinggo (1993-1999), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Probolinggo

(1999-2002) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Probolinggo

(2002-2005). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan dan diterima sebagai

mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB)

pada tahun 2005. Penerapan Sistem Mayor Minor yang dilakukan oleh IPB

membawa penulis pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2007-2008 serta dalam

kepanitian kegiatan-kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi asisten

praktikum pada mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Ternak tahun ajaran 2007-

2008 dan pada mata kuliah Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan tahun

ajaran 2008-2009.

Penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Produksi

dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas

Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen” guna memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Page 8: kelas-kelas bakteriosin

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

nikmat dan rahmat-Nya hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan

dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi

Muhammad SAW dan untuk keselamatan seluruh umat Islam.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

memberi dukungan, baik secara moril maupun materil hingga skripsi yang berjudul

”Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5

serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen” ini dapat

diselesaikan guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Substansi skripsi ini terkait tentang pengkajian lebih dalam mengenai substrat

antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat Lactobacilllus plantarum 1A5

berupa bakteriosin kasar. Bakteriosin kasar 1A5 mampu menunjukkan aktivitas

antimikrobanya terhadap ketiga bakteri patogen setelah melalui proses optimasi

produksi dan proses purifikasi parsial bakteriosin. Komponen aktif yang bekerja

sebagai antimikroba pada bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun

demikian, penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat

bermanfaat bagi seluruh pihak, khususnya dalam peningkatan keamanan pangan di

Indonesia melalui biopreservatif alami. Saran dan kritik yang membangun sangat

bermanfaat bagi penulis.

Bogor, Nopember 2009

Penulis

Page 9: kelas-kelas bakteriosin

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ............................................................................................ i

ABSTRACT ............................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iv

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii

PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

Latar Belakang ............................................................................... 1

Tujuan ............................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3

Mikrobiologi Daging ...................................................................... 3

Bakteri Asam Laktat ...................................................................... 4

Lactobacillus ...................................................................... 6

Lactobacillus plantarum 1A5 ............................................. 6

Antimikroba ................................................................................... 7

Asam Organik .................................................................... 8

Hidrogen Peroksida ............................................................ 9

Bakteriosin ......................................................................... 9

Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba ........................ 12

Enzim Proteolitik ........................................................................... 13

Bakteri Patogen .............................................................................. 15

Staphylococcus aureus ....................................................... 16

Salmonella typhimurium .................................................... 16

Escherichia coli .................................................................. 17

METODE ................................................................................................... 19

Lokasi dan Waktu .......................................................................... 19

Materi ............................................................................................. 19

Rancangan ...................................................................................... 19

Prosedur ........................................................................................... 20

Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan ............................. 20 Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda ............... 21

Pengukuran pH ....................................................... 21

Pengukuran Total Asam Tertitrasi ......................... 21

Persiapan Uji Antagonistik ................................................. 22

Page 10: kelas-kelas bakteriosin

Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator .... 23

Purifikasi Parsial Bakterosin .............................................. 23

Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim

Katalase .............................................................................. 24

Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim

Proteolitik ........................................................................... 25

Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan

Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin

Kasar 1A5 dengan Metode Kontak .................................... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 28

Penelitian Pendahuluan .................................................................. 28

Penelitian Utama ............................................................................ 30

Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda ................... 30

Purifikasi Parsial Bakteriosin ............................................. 37

Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim

Katalase .............................................................................. 41

Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim

Proteolitik ........................................................................... 43

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum

Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 47

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 50

Kesimpulan .................................................................................... 50

Saran .............................................................................................. 50

UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 52

LAMPIRAN ............................................................................................... 57

ix

Page 11: kelas-kelas bakteriosin

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g)

Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000 ............................................. 4

2. Kelas-Kelas Bakteriosin ................................................................ 11

3. Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik ...................... 14

4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan) ................ 24

5. Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk

Penentuan MIC dan MBC .............................................................. 26

6. Kondisi pH Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5

pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda ................ 31

7. Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap

Bakteri Indikator ............................................................................ 36

8. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap

Bakteri Indikator ............................................................................ 38

9. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan

Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator ............................... 44

Page 12: kelas-kelas bakteriosin

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lactobacillus plantarum 1A5 ........................................................ 7

2. Staphylococcus aureus ................................................................... 16

3. Salmonella typhimurium ................................................................ 17

4. Escherichia coli ............................................................................. 18

5. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5 ....................................... 28

6. Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator (A) Staphylocoocus aureus

ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028;

(C) enteropathogenic Escherichia coli K11 .................................. 29

7. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi pH

Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 ................ 32

8. Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A).

Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella typhimurium

ATCC 14028 dan (C). Enteropathogenic Escherichia coli K11

(EPEC K11) ................................................................................... 34

9. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap

Bakteri Indikator ............................................................................ 39

10. Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer

tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 .......... 40

11. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan dengan

Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri Indikator .............. 41

12. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim

Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............... 43

13. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim

Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............ 46

14. Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan

Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................... 48

Page 13: kelas-kelas bakteriosin

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................ 58

2. Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan

Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi

yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 .... 58

3. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan

Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi

yang Berbeda terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11

(EPEC K11) ................................................................................... 58

4. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ........... 59

5. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 ......... 59

6. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11

(EPEC K11) ................................................................................... 59

7. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar

1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923 ............................................ 59

8. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5

dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella

typhimurium ATCC 14028 ............................................................ 60

9. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5

dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap enteropathogenic

Escherichia coli K11 (EPEC K11) ................................................ 60

10. Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB

untuk Penentuan MIC dan MBC ................................................... 61

11. Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat ....................................... 61

12. Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm) ............................................. 61

Page 14: kelas-kelas bakteriosin

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan pangan asal ternak khususnya daging merupakan salah satu

penyumbang protein hewani bagi penduduk Indonesia. Mutu dan keamanan pangan

asal ternak tersebut perlu diperhatikan karena sifat daging yang perishable atau

mudah rusak dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme.

Mikroorganisme patogen yang terdapat secara alami di dalam daging, misalnya

Escherichia coli, Salmonella sp., dan Listeria sp. beresiko menimbulkan penyakit

bahkan kematian. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan

pengolahan dan pengawetan atau preservasi.

Metode preservasi yang telah banyak diaplikasikan adalah penambahan

bahan pengawet pada makanan, baik bahan pengawet sintetis maupun yang alami.

Penggunaan pengawet sintetis atau antibiotik dapat menyebabkan adanya

kemungkinan toksisitas akibat residu yang masih aktif dalam daging, bahaya

mikroorganisme yang resisten dan dapat menimbulkan infeksi pada konsumen.

Penggunaan beberapa pengawet kimia yang dapat diserap oleh bahan organik

mengakibatkan berkurangnya efektivitas bahan pengawet alami berupa antimikroba

yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang secara alami terdapat di dalam daging.

Oleh karena itu, bahan pengawet alami lebih berpotensi untuk diaplikasikan sebagai

pengganti pengawet sintetis khususnya pada daging karena tidak mengandung toksin,

dapat didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan dan lebih aman dikonsumsi.

Bahan pengawet alami berupa supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh

isolat-isolat bakteri asam laktat (Lactobacillus spp. 2B1, 1A1, 2B3, 2D1, 1D2, 2A2,

1D1, 1C3, 1B1, 1A5, 1A32 dan 1C6) asal daging telah menunjukkan aktivitas

antimikrobanya terhadap ketiga bakteri uji yang merupakan bakteri patogen, antara

lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Aktivitas

antimikroba tersebut menurut hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan

dominasi aktivitas dari asam organik dan Lactobacillus plantarum 1A5 menunjukkan

aktivitas penghambatan paling baik yang dibuktikan dengan pembentukan rataan

diameter zona hambat terbesar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai aktivitas antimikroba dengan spesifikasi bakteriosin, khususnya

pada Lactobacillus plantarum 1A5. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk

Page 15: kelas-kelas bakteriosin

mempelajari optimasi produksi dan karakterisasi bakteriosin bakteri asam laktat

Lactobacillus plantarum 1A5 serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri

patogen.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produktivitas antimikroba

bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5 pada media produksi yang berbeda dan

karakterisasi bakteriosin 1A5 melalui sensitivitasnya terhadap enzim katalase dan

enzim proteolitik serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, yaitu

Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Penelitian ini juga bertujuan

untuk mempelajari aktivitas antimikroba bakteriosin 1A5 melalui penentuan

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration

(MBC), khususnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923.

2

Page 16: kelas-kelas bakteriosin

TINJAUAN PUSTAKA

Mikrobiologi Daging

Mikrobiologi adalah suatu cabang ilmu tentang mikroorganisme.

Mikroorganisme berukuran sangat kecil, biasanya bersel tunggal, secara individual

tidak dapat dilihat dengan mata telanjang tetapi hanya dapat dilihat dengan

mikroskop. Mikroorganisme tersebar luas di alam dan dijumpai pula pada pangan.

Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan dapat

menentukan mutu mikrobiologi dari suatu produk pangan tersebut. Hal ini akan

menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh

mikroorganisme. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan

umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan

kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al., 1987).

Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme,

terutama mikroorganisme pada perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan oleh

mikroorganisme yang mempunyai kadar air tinggi antara 68%-75%, kaya akan zat

yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung

sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan

kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme serta mempunyai pH yang

menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme sekitar 5,3-6,5 (Soeparno, 1994).

Kebanyakan bakteri tumbuh di permukaan daging, namun tidak tertutup

kemungkinan ditemukan bakteri dalam daging. Bakteri yang dapat mencapai

jaringan dalam karkas dengan berbagai cara, diantaranya melalui mekanisme berikut:

(1) jaringan ternak sehat dapat mengandung sebuah populasi kecil bakteri namun

dinamis bila bakteri secara terus-menerus memperoleh akses ke dalam jaringan

ternak hidup dengan penetrasi membran mukosa saluran respirasi dan pencernaan

untuk mengganti yang telah dibasmi oleh mekanisme ketahanan tubuh ternak; (2)

bakteri dari usus dapat menyerang jaringan karkas, baik selama pemotongan (agonal

invasion) maupun setelah pemotongan (post mortem invasion); (3) bakteri dapat

terbawa ke jaringan oleh luka sebelum pemotongan; (4) bakteri yang

mengkontaminasi permukaan karkas dapat mempenetrasi ke lapisan jaringan otot

yang lebih dalam. Tipe bakteri yang umum dijumpai pada daging adalah strain dari

Page 17: kelas-kelas bakteriosin

Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Brochotrix thermopacta dan

beberapa genera dari famili Enterobacteriaceae (Gill, 1982).

Kualitas mikrobiologis daging dapat dilihat dari kandungan mikroorganisme

dalam daging, terutama mikroorganisme patogen. Soeparno (1994) menjelaskan

batas jumlah mikroba selama pelayuan tidak melebihi 105 cfu/cm

2 dan jenis bakteri

patogen yang tidak boleh terdapat di dalam daftar cemaran daging antara lain

Clostridium sp., Salmonella sp., Campylobacter sp. dan Listeria sp. Standar cemaran

mikroba sebagai penentu kualitas daging sapi segar ditetapkan oleh Badan

Standarisasi Nasional dengan batas maksimum cemaran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g)

Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000

No. Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba

Daging Segar/Beku Daging tanpa Tulang

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Angka Lempeng Total Bakteri

(ALTB)

Escherichia coli

Staphylococcus aureus

Clostridium sp.

Salmonella sp.

Coliform

Enterococci

Campylobacter sp.

Listeria sp.

1 x 104

5 x 101

1 x 101

0

Negatif

1 x102

1 x 102

0

0

1 x 104

1 x 101

1 x 102

0

Negatif

1 x102

1 x 102

0

0

Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram

(**) dalam satuan kualitatif

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan.

Bakteri ini secara luas terdistribusi pada susu, daging segar, sayuran serta produk-

produknya. Penggunaan bakteri asam laktat sebagai kultur starter dalam produksi

daging fermentasi, produk-produk susu serta sayuran dan buah-buahan adalah salah

satu metode pemrosesan pangan tertua yang digunakan untuk menstabilkan produk-

produk pangan tersebut hingga diperoleh cita rasa yang spesifik (Smid dan Gorris,

2007).

4

Page 18: kelas-kelas bakteriosin

Bakteri asam laktat juga disebut sebagai biopreservatif karena berkontribusi

dalam menghambat pertumbuhan bakteri lain khususnya patogen dan mampu

membawa dampak positif bagi kesehatan manusia (Smid dan Gorris, 2007). Efek

preservatif yang ditimbulkan oleh bakteri asam laktat pada pangan fermentasi

disebabkan oleh kondisi asam yang terbentuk selama pemrosesan dan selanjutnya

selama penyimpanan. Efek asam tersebut diakibatkan adanya konversi karbohidrat

menjadi asam organik (asam laktat dan asam asetat) dan menurukan pH produk

selama fermentasi. Hal tersebut merupakan karakteristik penting guna

memperpanjang masa simpan dan keamanan produk (Vuyst dan Vandamme, 1994).

Bakteri asam laktat mempunyai karakteristik morfologi, fisiologi dan

metabolit tertentu. Deskripsi secara umum dari bakteri ini adalah termasuk dalam

bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat maupun batang, dan

menghasilkan asam laktat sebagai mayoritas produk akhir selama memfermentasi

karbohidrat (Axelsson, 2004). Bakteri asam laktat terbagi menjadi 8 genus antara lain

Lactobacillus, Streptococcus, Lactococcus, Pediococcus, Enterococcus,

Leuconostoc, Bifidobacterium, dan Corinebacterium. Berdasarkan tipe

fermentasinya, bakteri asam laktat terbagi menjadi homofermentatif dan

heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat sebagai

produk utama dari fermentasi gula sedangkan kelompok heterofermentatif

menghasilkan asam laktat dan senyawa lain yaitu CO2, etanol, asetaldehid, diasetil

serta senyawa lainnya (Fardiaz, 1992).

Bakteri asam laktat memproduksi berbagai komponen bermassa molekul

rendah termasuk asam, alkohol, karbon dioksida, diasetil, hidrogen peroksida dan

metabolit lainnya. Banyak metabolit mempunyai spektrum aktivitas yang luas

melawan spesies lain dan produksi tersebut dipengaruhi secara luas oleh matriks

makanan itu sendiri (Helander et al., 1997). Satu atribut penting dari bakteri asam

laktat adalah kemampuannya memproduksi komponen antimikroba, khususnya

bakteriosin yang potensial menjadi biopreservatif menggantikan pengawet kimiawi

pada bahan makanan guna memperpanjang umur simpan produk. Kemampuan

bakteriosin dalam melakukan aktivitasnya sebagai biopresevatif dicapai oleh efek

penghambatannya terhadap mikroorganisme patogen yang berbahaya (Savadogo et

al., 2006).

5

Page 19: kelas-kelas bakteriosin

Lactobacillus

Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi

terkadang berbentuk bulat, umumnya dalam rantai-rantai pendek dan biasanya

berukuran 0,5-1,2 µm x 1,0-10,0 µm. Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif,

tidak menghasilkan spora, biasanya tidak bergerak, anaerob fakultatif, katalase

negatif, koloninya dalam media agar berukuran 2-5 mm, konfeks, opak, sedikit

transparan dan tidak berpigmen. Hampir setengah dari metabolit akhir bahkan yang

menjadi metabolit utamanya adalah laktat. Genus ini tumbuh baik pada suhu 30 oC-

40 oC dan tersebar luas di lingkungan terutama dalam produk-produk pangan asal

hewan dan sayuran. Bakteri ini menetap dalam saluran pencernaan unggas dan

mamalia (Holt et al., 1994).

Lactobacillus plantarum 1A5

Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, kelas

Bacilli, ordo Lactobacillales, family Lactobacillaceae dan genus Lactobacillus.

Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat

mikroorganisme patogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar

dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya (Jenie dan Rini, 1995).

Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan isolat bakteri asam laktat kelima dari

daging sapi yang berasal dari Pasar Anyar Bogor dengan umur 9 jam postmortem

pada suhu ruang (Arief, 2005). Isolat bakteri Lactobacillus plantarum 1A5

merupakan bakteri yang mampu bertahan hidup melalui uji invitro pada pH lambung

(pH 2), pH usus (pH 7,2) dan garam empedu (0,3 %) (Wijayanto, 2009).

Substrat antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5

dengan didominasi oleh asam organik mempunyai aktivitas penghambatan paling

besar terhadap ketiga bakteri uji (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia

coli ATCC 25922 dan Salmonella typhimurium ATCC 14028). Aktivitas

penghambatan tersebut ditunjukkan dengan diameter zona hambat terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan rataan 8,99 mm; terhadap Escherichia

coli ATCC 25922 dengan rataan 7,87 mm dan terhadap Salmonella typhimurium

ATCC 14028 dengan rataan 11,76 mm. Selain itu, nilai konsentrasi penghambatan

minimumnya terhadap ketiga bakteri uji yaitu 90% (Permanasari, 2008).

Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.

6

Page 20: kelas-kelas bakteriosin

Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 Sumber: Permanasari (2008)

Antimikroba

Senyawa antimikroba adalah senyawa kimiawi atau biologis yang dapat

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Komponen antimikroba terdapat

dalam bahan pangan melalui salah satu dari berbagai cara, yaitu terdapat secara

alamiah di dalam bahan pangan, ditambahkan secara sengaja ke dalam makanan dan

terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi

pangan (Fardiaz, 1992). Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan

produk pangan, terutama daging, harus memenuhi kriteria antara lain tidak

mengubah flavor, bau dan tekstur bahan pangan; aman bagi konsumen dan efektif

sebagai preservatif atau aman untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu;

preservatif harus mudah dikenali dan kadarnya dapat dipastikan secara pasti serta

harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan; kualitas bahan pangan tidak merugikan

konsumen; ekonomis (Soeparno, 1994); dan tidak menyebabkan timbulnya galur

resisten dan diutamakan bersifat membunuh daripada hanya menghambat

pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988).

Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),

bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba), fungisidal (membunuh kapang),

fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat

germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat

pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi zat

pengawet, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat mikroba (jenis,

konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), sifat-sifat fisik dan kimia makanan,

termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992).

7

Page 21: kelas-kelas bakteriosin

Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis dan atau kimiawi yang dapat

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Bakteri asam laktat mampu

berperan sebagai senyawa antimikroba, baik melalui penggunaannya secara langsung

di dalam makanan pada proses fermentasi maupun melalui metabolit-metabolit yang

dihasilkannya untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan kualitas produk

serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan pembusuk (Holzapfel,

1998). Metabolit-metabolit bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai senyawa

antimikroba antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), bakteriosin,

hidrogen peroksida, diasetil, CO2 dan semua metabolit yang mempunyai aktivitas

antimikroba (Vuyst dan Vandamme, 1994; Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Asam Organik

Asam organik merupakan substansi alami dari berbagai jenis makanan. Aksi

antimikroba dari asam organik berdasarkan pada kemampuannya untuk menurunkan

pH dalam pangan yang berfase air. Asam organik dalam pangan dapat berfungsi

sebagai asidulan atau pengawet, sementara garamnya atau ester dapat menjadi

antimikroba yang efektif pada pH mendekati netral. Asam laktat adalah produk

utama pada pangan hasil fermentasi. Asam asetat, propionat, malat dan asam-asam

lainnya dengan konsentrasi yang beragam juga dihasilkan tergantung jenis produk

dan mikroorganisme yang digunakan (Samelis dan Sofos, 2003).

Penghambatan pertumbuhan pada mikroba yang disebabkan oleh asam

organik diakibatkan adanya pelepasan proton ke dalam sitoplasma sehingga pH

dalam membran sel menjadi sangat asam secara mendadak. Akan tetapi hipotesis

tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa penyebab dari

penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukanlah karena adanya translasi

proton tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya

kecepatan dari sintesis makromolekul dan mempengaruhi transportasi antar membran

sel. Bakteri asam laktat dan juga bakteri lain meniadakan efek dari akumulasi anion

dengan cara mengurangi pH pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Perubahan permeabilitas membran akan menghasilkan efek ganda, yaitu

mengganggu transportasi nutrisi ke dalam sel dan menyebabkan metabolit internal

keluar dari sel.

8

Page 22: kelas-kelas bakteriosin

Hidrogen Peroksida

Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi

pertumbuhan aerob, dan karena berkurangnya katalase selular, pseudokatalase atau

peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2 tersebut sebagai alat

pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Hidrogen

peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dapat dijadikan

sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004).

Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam tergantung pH, konsentrasi, suhu,

waktu dan tipe serta jumlah mikoorganisme. Pada kondisi tertentu, spora bakteri

ditemukan paling resisten terhadap H2O2, diikuti dengan bakteri Gram positif.

Bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2 adalah bakteri Gram negatif, terutama

koliform (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti

bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan

memiliki bau yang menusuk. Kemampuan H2O2 untuk mengoksidasi menyebabkan

perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba sehingga digunakan sebagai

antimikroba. Selain itu, senyawa ini juga dapat terdekomposisi menjadi air dan

oksigen. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu mempengaruhi

kecepatan dekomposisi H2O2. Peningkatan suhu dapat meningkatkan keefisienan

dalam menghancurkan bakteri dan kecepatan terdekomposisinya juga semakin cepat

(Branen, 1993).

Bakteriosin

Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat didefinisikan

sebagai protein aktif atau kompleks protein yang menunjukkan aksi bakterisidal

melawan bakteri Gram positif dan terutama spesies yang berkerabat dekat dengan

spesies penghasil (Vuyst dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Ray, 2004; Parada

et al., 2007). Bakteriosin dikarakterisasi sebagai suatu senyawa yang bersifat letal

terhadap intraspesies telah diperjelas oleh Jack et al. (1995) meliputi beberapa

kriteria umum, antara lain mempunyai spektrum aktivitas yang relatif sempit terpusat

pada spesies yang filogenik; senyawa aktifnya berupa fraksi protein berukuran 20-60

asam amino yang disintesis di ribosom; bersifat bakterisidal dan tahan panas;

memiliki reseptor spesifik pada sel sasaran; dan gen determinan terdapat pada

9

Page 23: kelas-kelas bakteriosin

plasmid yang berperan dalam sintesis dan tidak membunuh strain penghasil. Vuyst

dan Vandamme (1994) menuliskan bahwa bakteriosin bersifat irreversible, aktif

pada konsentrasi rendah, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan dan

biasanya digunakan sebagai biopreservatif makanan.

Bakteriosin hanya menghambat spesies lain yang biasanya berkerabat dekat

dengan spesies penghasil atau mikroorganisme Gram positif lainnya. Beberapa hasil

telah dideskripsikan berpengaruh sinergis antara berbagai antimikroba, kemudian

secara potensial aplikasinya diperluas. Pengetahuan baru untuk pengendalian bakteri

Gram negatif secara efektif menggunakan agen antibakteri potensial harus

direalisasikan dengan mekanisme penelitian yang dapat melewati hambatan

permeabilitas dari membran luar (Helander et al., 1997).

Bakteriosin-bakteriosin asal bakteri asam laktat dikarakterisasi sebagai

peptida yang berasal dari ribosom. Bakteriosin berakumulasi di dalam media kultur

selama fase pertumbuhan eksponensial hingga fase pertumbuhan stasioner (Vuyst

dan Vandamme, 1994). Bakteriosin mencapai produksi tertinggi dengan aktivitas

penghambatan terbesar pada pertengahan fase pertumbuhan eksponensial hingga

awal fase stasioner dan aktivitasnya akan berkurang bahkan tidak terdeteksi lagi

selama fase pertumbuhan stasioner (Venema et al., 1997; Nowroozi et al., 2004;

Abo-Amer, 2007; Rashid et al., 2009). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe

dan level karbon, sumber nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat

(Savadogo et al., 2006).

Bakteriosin secara biologis disintesis sebagai prepeptida inaktif yang

membawa sebuah N-terminal pada peptida utama untuk ditranslasikan menjadi C-

terminal propeptida (Hoover dan Chen, 2005). Setelah proses translasi, peptida

utama yang membawa molekul propeptida ditranportasikan dari dalam sitoplasma ke

lingkungan luar melalui membran yang mempunyai ikatan pembawa ABC. Ikatan

pembawa ABC tersebut beraksi sebagai endopeptidase yang memotong peptida

utama sehingga bagian propeptidanya dapat dikeluarkan ke lingkungan sedangkan

peptida utama tetap berada di dalam sitoplasma untuk berperan kembali dalam

sintesis bakteriosin selanjutnya. Propeptida tersebut merupakan molekul-molekul

bakteriosin yang terbentuk (Ray, 2004).

10

Page 24: kelas-kelas bakteriosin

Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat dibagi menjadi 3

kelas utama antara lain kelas I adalah lantibiotik, kelas II adalah peptida berukuran

kecil dan tahan panas, dan kelas III adalah protein berukuran besar dan tidak tahan

panas. Kelas IV dari bakteriosin dengan struktur yang komplek juga telah diusulkan

tetapi belum diterima secara luas (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Keberadaan

kelas keempat tersebut terutama didukung oleh observasi bahwa beberapa aktivitas

bakteriosin dihasilkan di dalam supernatan bebas sel, contohnya aktivitas Lb.

plantarum LPCO 10 dihilangkan tidak hanya oleh perlakuan enzim proteolitik tetapi

juga oleh enzim glikolitik dan lipolitik (Jimenez-Diaz, 1993). Kelas I dan II adalah

kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi untuk digunakan di dalam

aplikasi komersial. Kelas-kelas bakteriosin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas-Kelas Bakteriosin

Kelas Subkelas Deskripsi

Kelas I

(lantibiotik)

A(1)

A(2)

B

berbentuk linier, kationik, membran aktif, sedikit yang

bermuatan + atau –

berbentuk linier, kationik, membran aktif, banyak yang

bermuatan –

berbentuk globular, berukuran kecil*, penghambatan

dengan enzim spesifik, bermuatan – atau sama sekali

tidak bermuatan*, tidak diproduksi oleh bakteri asam

laktat

Kelas II

IIa

IIb

IIc

berukuran kecil (< 10 kDa), tahan panas (suhu sedang

100oC hingga suhu tinggi 121

oC), peptida-peptida

membrane aktif yang tidak mengandung lantionin

peptida-peptida yang aktif menghambat Listeria

bakteriosin yang mengandung dua peptida

bakteriosin yang mengandung peptida lain

Kelas III berukuran besar (> 30 kDa), protein tidak tahan panas

Kelas IV bakteriosin komplek: protein dengan lipid dan atau

karbohidrat

Sumber: Ouwehand dan Vesterlund (2004)

*Hoover dan Chen (2005)

11

Page 25: kelas-kelas bakteriosin

Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba

Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba

yaitu dengan cara merusak dinding sel sehingga lisis maupun mengubah atau

menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah

permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam

sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara

menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Rheid, 1986). Beberapa cara

antimikroba dalam aksinya melawan mikroorganisme yaitu memberikan efek

bakteriostatik, bakterisidal ataupun bakterilisis. Sifat bakteriostatik akan

menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan

kematian. Sifat bakterisidal berhubungan dengan kemampuan senyawa untuk

menyebabkan kematian mikroorganisme, sedangkan sifat bakterilisis akan

menyebabkan lisis sel mikroorganisme (Gonzales et al., 1996).

Bakteriosin bakteri asam laktat bersifat bakterisidal terhadap sel sensitif dan

dapat mengalami kematian dengan sangat cepat pada konsentrasi rendah. Beberapa

bakteriosin mempunyai sifat bakterisidal melawan beberapa strain dan spesies yang

berelasi dekat tetapi beberapa dapat efektif melawan banyak strain dalam spesies dan

genera yang berbeda. Namun, sel penghasil bakteriosin akan mengalami ketahanan

terhadap bakteriosin yang dihasilkannya sendiri, disebabkan memperoleh ketahanan

protein yang spesifik. Bakteriosin ini pada umumnya sangat efektif melawan sel dari

bakteri Gram positif yang lain (Ray, 2004).

Normalnya, strain bakteri Gram positif sensitif terhadap bakteriosin dengan

spektrum yang sangat bervariasi, sedangkan strain bakteri Gram negatif resisten

terhadap bakteriosin. Namun, bakteri Gram negatif tersebut dapat menjadi sensitif

mengikuti perusakan struktur lipopolisakarida pada permukaan sel secara fisik dan

tekanan kimia. Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien dalam menghambat

bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat hidrofilik dan dapat

menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004). Bakteri Gram negatif memiliki sistem

seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida (Branen, 1993).

Penentuan aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara

molekul-molekul kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di

permukaan sel, salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan

12

Page 26: kelas-kelas bakteriosin

reseptor bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Selanjutnya,

aksi bakterisidal dari bakteriosin melawan sel yang sensitif akan dihasilkan melalui

destabilisasi fungsi dari membran sitoplasmik, berupa peningkatan permeabilitas

membran sehingga mengganggu keseimbangan barier dan dapat mengakibatkan

kematian sel (Jack et al., 1995). Mekanisme-mekanisme aksi lainnya dari bakteriosin

antara lain perubahan aktivitas enzim, penghambatan germinasi spora dan inaktivasi

pembawa anionik langsung membentuk pori-pori selektif dan non selektif (Ray,

2004).

Enzim Proteolitik

Enzim proteolitik atau yang sering disebut dengan protease merupakan

berbagai jenis enzim yang mencerna protein menjadi unit-unit yang lebih kecil

dimana enzim secara umum bertugas sebagai katalisator dengan cara menurunkan

energi aktivasi di dalam sel, bersifat khas (Murray, 2006) dan sebagai katalis pada

pemecahan molekul protein dengan cara hidrolisis (Poedjiadi, 1994). Oleh karena

yang dipecah adalah ikatan pada rantai peptida, maka enzim tersebut dinamakan

peptidase. Enzim-enzim ini meliputi protease-protease pankreas, khimotripsin dan

tripsin, bromelin, papain, fungal proteases dan Serratia peptidase (Murray, 2006).

Tripsin (EC 3.4.21.4) merupakan famili dari protease serin yang memecah

protein pada gugus karboksil dari asam amino lisin dan arginin, kecuali protein

tersebut diikuti oleh prolin. Tripsin dihasilkan oleh pankreas dalam bentuk

tripsinogen yang tidak aktif. Tripsinogen tersebut kemudian disekresikan ke usus

halus, tempat enzim enterokinase mengaktifkannya menjadi tripsin (Poedjiadi, 1994)

atau secara autokatalitik pada pH 8 (Suhartono, 1992).

Pepsin (EC 3.4.23.1) adalah suatu enzim yang berguna untuk memecah

molekul protein menjadi molekul yang lebih kecil yaitu pepton dan proteosa. Enzim

ini dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam bentuk pepsinogen, yaitu calon

enzim yang belum aktif. Pepsinogen ini kemudian diubah menjadi pepsin yang aktif

dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994). Enzim pepsin menghidrolisis ikatan peptida

protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin, triptofan, leusin, glutamat dan

glutamin (Suhartono, 1992). Spesifitas pemotongan berbagai enzim proteolitik dapat

dilihat pada Tabel 3.

13

Page 27: kelas-kelas bakteriosin

Tabel 3. Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik

Enzim Proenzim Pengaktif Letak Pemotongan

Karboksil protease

Pepsin A

Pepsinogen A

Autopengaktifan,

pepsin

R R

CO – NHCHCO – NHCHCO R = Tyr, Phe, Leu

Serin protease

Tripsin

Tripsinogen

Enteropeptida,

tripsin

R R

CO – NHCHCO – NHCHCO R = Arg, Lys

Khimotripsin

Khimotripsinogen Tripsin R R

CO – NHCHCO – NHCHCO R = Tyr, Trp, Phe, Met, Leu

Elastase

Proelastase Tripsin R R

CO – NHCHCO – NHCHCO R = Ala, Gly, Ser

Zn-Peptidase

Karboksipeptidase A

Prokarboksi-

peptidase A

Tripsin

R

CO – NHCHCO2 R = Val, Leu, Ile, Ala

Karboksipeptidase B Prokarboksi-

peptidase B

Tripsin R

CO – NHCHCO2 R = Arg, Lys

Sumber: Sani (2008)

14

Page 28: kelas-kelas bakteriosin

Sensitivitas substansi antibakteri yang diproduksi oleh bakteri asam laktat

terhadap -khimotripsin, tripsin, pronase E, fisin, pepsin, papain dan lipase

ditentukan dalam penanganan dan kondisi perbanyakan. Semua komponen secara

keseluruhan maupun sebagian diinaktivasi oleh beberapa enzim proteolitik. Hal ini

mengindikasikan bahwa komponen tersebut adalah protein alami. Komponen

penghambat diproduksi oleh strain-strain yang ada dengan sensitivitas yang berbeda.

Seluruh komponen penghambat tersebut secara lengkap diinaktivasi oleh -

khimotripsin, pronase E dan fisin. Nisin dibedakan dengan bakteriosin lactococcal

lainnya dengan fakta bahwa -khimotripsin adalah enzim proteolitik satu-satunya

yang menyebabkan nisin menjadi sensitif. Namun demikian, nisin juga dapat

diinaktifasi oleh enzim lainnya, misalnya pronase E dan fisin (Bromberg et al.,

2004).

Bakteri Patogen

Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk

yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit

pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan

dengan bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator

keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi dan infeksi.

Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri

patogen yang berkembang di dalam bahan makanan, sedangkan infeksi yaitu bakteri

yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang

diamati sebagai bakteri pembusuk dan patogen pada produk fermentasi adalah dari

famili Enterobacteriaceae, di dalamnya termasuk famili Enterobacter, Erwinia,

Citrobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Serattia, Shigella dan Yersinia

(Fardiaz, 1992).

Bakteri secara umum dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan sifat

pewarnaan Gram yaitu Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah

bakteri yang memberi respon berwarna biru keunguan jika dilakukan uji pewarnaan

Gram, sedangkan Gram negatif memberi respon warna merah (Tortora et al., 2006).

Kelompok bakteri patogen yang bersifat Gram positif diantaranya Staphylococcus

aureus, Listeria monocytogenes dan Clostridium perfringens, sedangkan bakteri

15

Page 29: kelas-kelas bakteriosin

patogen yang bersifat Gram negatif diantaranya Escherichia coli enteropatogenik

dan Salmonella typhimurium.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus temasuk famili Micrococcaceae, merupakan bakteri

Gram positif, berbentuk kokus yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan

tetrad atau berkelompok, seperti buah anggur dengan diameter berkisar 0,5-1,5 µm,

anaerob fakultatif, tidak bergerak, tidak berspora dan biasanya termasuk katalase

positif (Holt et al., 1994). Kebanyakan galur Staphylococcus aureus bersifat patogen

dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Beberapa galur, terutama yang

bersifat patogen, memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik dan -

hemolitik. Bakteri ini sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar

keringat dan saluran usus serta dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi bisul,

pneumonia, mastitis pada hewan (Fardiaz, 1992).

Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35-37 oC, suhu

minimum 6,7 oC dan suhu maksimum 45,5

oC. Bakteri dapat tumbuh pada pH 4,0-

9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya

mungkin apabila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk

pertumbuhannya (Supardi dan Sukamto, 1999). Staphylococcus aureus secara

mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Staphylococcus aureus Sumber: Gillen (2009)

Salmonella typhimurium

Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora,

berbentuk batang, dapat memfermentasi glukosa dan biasanya disertai dengan

pembentukan gas tetapi tidak memfermentasi laktosa maupun sukrosa (Frazier dan

16

Page 30: kelas-kelas bakteriosin

Westhoff, 1988). Salmonella berbentuk batang lurus, berukuran 0,7-1,5 µm x 2-5

µm, termasuk bakteri anaerob fakultatif dan biasanya dapat bergerak menggunakan

flagela peritrikus (Holt et al., 1994). Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu

antara 5 oC hingga 45-47

oC dengan suhu optimum 35-37

oC. Salmonella sp. tumbuh

pada tingkat keasaman antara 4,5-5,4 dengan pH optimumnya sekitar 7 dan aw

minimum 0,94. Nilai pH minimum bervariasi tergantung pada suhu inkubasi,

komposisi media, aw dan jumlah sel. Pada pH kurang dari 4,0 dan lebih dari 9,0

Salmonella akan mati secara perlahan (Adam dan Moss, 2007).

Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella typhimurium adalah

telur, susu, ikan, daging ayam, daging sapi serta hasil olahannya. Buckle et al. (1987)

menyatakan bahwa Salmonella dapat bergerak dengan metabolisme bersifat

fakultatif anaerob. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya,

selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat

menyebabkan demam tifus (Salmonella typhimurium) dan paratifus (Salmonella

paratyphi) (Fardiaz, 1992). Salmonella typhimurium secara mikroskopis dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Salmonella typhimurium Sumber: Fox (2000)

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang

dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2,0-6,0 µm, soliter maupun berkoloni, anaerobik

fakultatif dan katalase positif (Holt et al., 1994). Escherichia coli termasuk dalam

grup Enterobacteriaceae dan digunakan sebagai mikroba indikator terhadap

kontaminasi feses pada air dan susu, bersifat motil dengan flagela peritrikus (Buckle

et al., 1987). Escherichia coli dapat tumbuh optimum pada pH 7-7,5 dengan pH

17

Page 31: kelas-kelas bakteriosin

minimum 4 dan pH maksimum 8,5. Bakteri ini sensitif terhadap panas dan pada

makanan yang mengalami pemanasan. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah

37 oC dengan kisaran suhu 10-40

oC (Frazier dan Westhoff, 1988).

Flora normal (Escherichia coli) ini terdapat di dalam saluran pencernaan

hewan dan manusia sehingga mudah mencemari air. Kontaminasi bakteri ini pada

makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat

menimbulkan gejala infeksi Escherichia coli pada makanan berkisar antara 108

- 109

sel. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh Escherichia coli antara lain

daging sapi, daging ayam, daging babi, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur

dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta susu (Supardi dan

Sukamto, 1999). Escherichia coli secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Escherichia coli Sumber: Beavers (2005)

Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu dari

keempat kelompok bakteri patogenik indikator kontaminasi fekal dan penyebab

diare, selain ETEC (Enterotoxigenic Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif

Escherichia coli) dan VTEC (Escherichia coli penghasil verotoksin). Bakteri ini

secara normal terdapat pada saluran usus anak-anak dan orang dewasa sehat dengan

jumlah yang mencapai 109

CFU/g. Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah

diare berair yang disertai dengan muntah dan demam. EPEC umumnya dikaitkan

dengan bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun (Hartoko, 2009). Enteropathogenic

Escherichia coli melekatkan diri pada sel mukosa usus kecil dan membentuk

filamentus aktin pedestal sehingga menyebabkan diare cair (watery diarrehoae) yang

bisa sembuh dengan sendirinya atau berlanjut menjadi kronis (Arifin, 2009).

18

Page 32: kelas-kelas bakteriosin

METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar dan

Laboratorium Mikrobiologi Bagian THT Perah, Fakultas Peternakan Institut

Pertanian Bogor yang terletak di Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kegiatan penelitian

dilaksanakan selama 8 bulan dari bulan Januari hingga bulan Agustus 2009.

Materi

Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain isolat

bakteri asam laktat dari daging sapi yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 (koleksi

Arief, 2005), bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella

typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11

merupakan isolat koleksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang diisolasi dari feses

bayi yang mengalami diare)), media De Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA), De

Man Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), Nutrient Agar (NA), Buffer Water Pepton

(BPW), Mueller Hinton Agar (MHA), Yeast Extract (YE) 3%, NaCl 1%, tripton 1%,

NaOH 0,1 N, amonium sulfat, larutan Mc. Farland no. 0,5 serta aquades.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung reaksi, jarum

Öse, cawan Petri, gelas ukur, pipet volumetrik, mikro pipet, pipet Pasteur, pemanas

Bunsen, kertas saring, alat sentrifuse, membran filter Millipore (0,20 µm),

alumunium foil, kapas, tip, ependorf, pH meter, jangka sorong, inkubator, oven,

refrigerator, otoklaf, vortex dan buret.

Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)

dengan perlakuan media dan 3 ulangan untuk produksi bakterosin pada media yang

berbeda, purifikasi parsial bakteriosin dan uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim

proteolitik. Model statistika yang digunakan sebagai berikut:

Yijk = + i + ij

Page 33: kelas-kelas bakteriosin

keterangan:

Yijk = nilai respon ke-k dari kombinasi perlakuan pada taraf ke-i dan ke-j

= nilai tengah populasi

i = pengaruh perlakuan ke-i dari 6 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk

produksi bakteriosin, 3 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk purifikasi

parsial bakteriosin dan 3 taraf perlakuan enzim proteolitik untuk uji

sensitivitas bakteriosin kasar 1A5

ij = pengaruh galat dari nilai respon ke-j dari perlakuan pada taraf ke-i.

Peubah yang diamati untuk rancangan acak lengkap adalah diameter zona

hambat hasil uji antagonistik dari supernatan antimikroba hasil produksi bakterosin

dengan perlakuan media yang berbeda, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 hasil purifikasi

parsial bakteriosin dengan perlakuan media yang berbeda dan dari bakteriosin kasar

1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap masing-masing bakteri indikator

(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)). Data yang didapat dianalisis

dengan analisis ragam dan apabila hasil yang diperoleh adalah nyata akan dilanjutkan

dengan Uji Tukey (Gaspersz, 1991).

Rancangan percobaan lainnya yang digunakan adalah secara deskriptif baik

untuk produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial bakteriosin,

uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta

penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5. Pengolahan data secara

deskriptif ini perlu dilakukan guna memperjelas pembahasan terhadap hasil yang

telah diperoleh.

Prosedur

Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan

Bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan isolat BAL asal daging sedangkan bakteri indikatornya

adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028

dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Kultur bakteri asam laktat

(BAL) yang telah dipropagasi dalam media MRS broth pada suhu inkubasi 37 oC

selama 24 jam, dibiakkan kembali ke dalam tiga media, yaitu MRS broth yang

ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1% dan

20

Page 34: kelas-kelas bakteriosin

YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan dengan tripton 1%, agar didapatkan

kultur kerja dengan masa inkubasi 20 jam pada suhu 37 oC. Ketiga bakteri indikator

lainnya dibiakkan pada media Nutrient Agar (NA) selama 24 jam pada suhu 37 oC

agar diperoleh kultur kerja bakteri indikator.

Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda

Lactobacillus plantarum 1A5 ditumbuhkan pada tiga media yang berbeda

yaitu yaitu MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang

ditambahkan dengan NaCl 1% dan YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan

dengan tripton 1% (Ogunbawo et al., 2003) selama 20 jam pada suhu 37 oC.

Selanjutnya, diekstraksi menggunakan sentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm

selama 20 menit pada suhu 4 oC (Savadogo et al., 2004). Supernatan bebas sel yang

didapat, dipisahkan dari endapan kemudian diukur nilai pH dan TAT-nya.

Supernatan bebas sel yang diperoleh dikondisikan pada pH 5,0 dan 6,0 menggunakan

NaOH 0,1 N untuk menghilangkan pengaruh antimikrobial dari asam organik

(Savadogo et al., 2004). Setelah itu, seluruh supernatan bebas sel disterilisasi melalui

filtrasi menggunakan filter Millipore 0,20 m. Selanjutnya, uji antagonistik

dilakukan melalui konfrontasi supernatan antimikroba dengan ketiga bakteri

indikator menggunakan metode sumur difusi agar. Hasil dari uji antagonistik yang

dilakukan adalah berupa zona bening di sekitar lubang sumur yang kemudian nilai

diameter zona hambatnya dipersentasekan dengan rumus (Rashid et al., 2009):

Pengukuran pH. Sebelum persiapan uji antagonistik, karakterisasi supernatan

antimikroba dilakukan pengukuran nilai pH supernatan menggunakan pH meter yang

terlebih dahulu dikalibrasi dengan buffer untuk pH 7 dan pH 4. Kalibrasi dilakukan

setiap akan melakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan

elektroda ke dalam supernatan bebas sel setelah terlebih dahulu elektroda

dibersihkan dengan aquades. Skala nilai pH dibaca pada saat muncul kata ready atau

angka penunjuk telah berada posisi tetap.

Pengukuran Total Asam Tertitrasi. Supernatan dipipet sebanyak 10 ml ke dalam

labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 3 tetes larutan indiktor phenolphtalein

21

Page 35: kelas-kelas bakteriosin

(pp 1%). Supernatan bebas sel kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga

terbentuk warna merah muda (Nielsen, 2003). Perhitungan persentase asam laktat

sebagai berikut:

Total asam tertitrasi (%) =

keterangan: a = bobot/volume sampel, dinyatakan dalam ml

b = volume larutan NaOH, dinyatakan dalam ml

c = normalitas larutan NaOH, dinyatakan dalam N

eq.wt = konstanta asam laktat (90,08)

Persiapan Uji Antagonistik

Bakteri indikator yang telah ditumbuhkan dalam media NA selama 24 jam

pada suhu 37 oC distandarisasi terlebih dahulu. Standarisasi dilakukan dengan cara

menyetarakan kekeruhannya (turbiditas) sesuai standar Mc Farland no. 0,5 untuk

menghasilkan populasi bakteri setara 1,5 x 108 cfu/ml (P0). Konfrontasi pada tahap

produksi bakteriosin pada media yang berbeda dilakukan antara supernatan

antimikroba dan bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 106 cfu/ml (setara dengan

0,1 dari P0) yang diperoleh dengan mengencerkannya sebanyak 100 kali ke dalam

BPW steril. Sedangkan konfrontasi pada tahapan-tahapan selanjutnya (purifikasi

parsial bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan

enzim proteolitik) konfrontasi dilakukan antara substrat bakteriosin kasar 1A5 dan

bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 108 cfu/ml (P0) guna meratakan populasi

bakteri indikator di media Mueller Hilton Agar (MHA) dan mempermudah

pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk.

Suspensi bakteri indikator diambil dengan menggunakan pipet steril sebanyak

1 ml kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan ditambahkan media MHA

steril bersuhu 50 oC sebanyak 20 ml. Setelah itu, cawan petri diputar-putar

membentuk angka delapan di atas bidang datar agar media MHA dan suspensi

bakteri indikator menjadi homogen kemudian media konfrontasi didiamkan hingga

mengeras. Setelah mengeras, dibuat sumur berdiamater 5 mm dengan

menggunakan ujung pipet pasteur steril sebanyak 6 buah di setiap cawan dan dibuat

duplo dengan tiga ulangan untuk masing-masing supernatan antimikroba.

22

Page 36: kelas-kelas bakteriosin

Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator

Supernatan antimikroba sebanyak 50 l dimasukkan ke dalam masing-masing

lubang sumur menggunakan mikropipet. Selanjutnya, cawan dilapisi dengan kertas

saring terlebih dahulu sebelum ditutup. Seluruh cawan yang berisi bakteri indikator

(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dan supernatan antimikroba

BAL Lactobacillus plantarum 1A5 diinkubasi selama 2 jam pada suhu ± 10 oC yang

kemudian dilanjutkan untuk diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC (Savadogo et

al., 2004).

Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur pada seluruh cawan diamati dan

diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong. Diameter dari masing-

masing zona hambat diukur sebanyak tiga kali di daerah yang berbeda yang

kemudian hasilnya dirata-ratakan. Setiap pengujian diulang sebanyak tiga kali dan

pada setiap ulangan dilakukan secara duplo. Zona hambat yang positif ditunjukkan

dengan warna bening maupun warna semu dan akan negatif apabila tidak terdapat

warna bening maupun warna semu disekitar sumur. Zona bening maupun warna

semu tersebut menunjukkan bahwa bakteriosin berperan dalam membunuh maupun

menghambat aktivitas bakteri indikator.

Purifikasi Parsial Bakteriosin

Purifikasi parsial bakteriosin dilakukan pada supernatan antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari ketiga media produksi bakteriosin

(supernatan antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer

NaCl 1%, kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% ) dengan

kondisi pH 6. Serbuk amonium sulfat ditambahkan sebanyak 40% ke dalam

supernatan antimikroba yang telah disaring steril untuk manghasilkan endapan

protein, kemudian dihomogenkan secara perlahan dan didiamkan pada suhu

refrigerator selama semalam (Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Nowroozi

et al., 2004; dan Abo-Amer, 2007). Endapan protein yang terbentuk dibuat ekstrak

bakteriosin kasar dengan cara memisahkan filtrat dengan sebagian besar

supernatannya kemudian menghomogenkan filtrat tersebut dengan supernatan yang

masih tersisa sehingga dihasilkan ekstrak bakteriosin kasar sebanyak ± 20% dari

23

Page 37: kelas-kelas bakteriosin

volume awal (Venema et al., 1997). Penghitungan padatan amonium sulfat

didasarkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan)

Awal

% 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (gram)

0

10,6 13,4 16,4 19,4 22,6 25,8 29,1 32,6 36,1 39,8 43,6 47,6 51,6 55,9 60,3 65,0 69,7

5 7,9 10,8 13,7 16,6 19,7 22,9 26,2 29,6 33,1 36,8 40,5 44,4 48,4 52,6 57,0 61,5 66,2

10 5,3 8,1 10,9 13,9 16,9 20,0 23,3 26,6 30,1 33,7 37,4 41,2 45,2 49,3 53,6 58,1 62,7

15 2,6 5,4 8,2 11,2 14,1 17,2 20,4 23,7 27,1 30,6 34,3 38,1 42,0 46,0 50,3 54,7 59,2

20 0 2,7 5,5 8,3 11,3 14,3 17,5 20,7 24,1 27,6 31,2 34,9 38,7 42,7 46,9 51,2 55,7

25

0 2,7 5,6 8,4 11,5 14,6 17,9 21,1 24,5 28,0 31,7 35,5 39,5 43,6 47,8 52,2

30

0 2,8 5,6 8,6 11,7 14,8 18,1 21,4 24,9 28,5 32,3 36,2 40,2 44,5 48,8

35

0 2,9 5,7 8,7 11,8 15,1 18,4 21,8 25,8 29,6 32,9 36,9 41,0 45,3

40

0 2,9 5,8 8,9 12,0 15,3 18,7 22,2 26,3 29,6 33,5 37,6 41,8

45

0 3,0 5,9 9,0 12,3 15,6 19,0 22,6 26,3 30,2 34,2 38,3

50

0 3,0 6,0 9,2 12,5 15,9 19,4 23,5 26,8 30,8 34,8

55

0 3,1 6,1 9,3 12,7 16,1 20,1 23,5 27,3 31,2

60

0 3,1 6,2 9,5 12,9 16,8 20,1 23,9 27,9

65

0 3,2 6,3 9,7 13,2 16,8 20,5 24,4

70

0 3,2 6,5 9,9 13,4 17,1 20,9

75

0 3,3 6,6 10,1 13,7 17,4

80

0 3,4 6,7 10,3 13,9

85

0 3,4 6,8 10,5

90

0 3,4 7,0

95

0 3,5

100

0

Sumber: Simpson (2006)

Ekstrak bakteriosin kasar tersebut diuji aktivitasnya melalui uji antagonistik

terhadap ketiga bakteri indikator. Diameter zona hambat hasil uji antagonistik antara

ekstrak bakteriosin kasar dengan bakteri indikator diharapkan mempunyai nilai lebih

besar daripada diameter zona hambat hasil uji antagonistik pada tahap produksi

bakteriosin pada media yang berbeda.

Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase

Uji lanjut dari purifikasi parsial bakteriosin adalah karakterisasi bakteriosin

kasar 1A5 yang berupa uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase. Enzim

katalase (2,0 U/mg) distabilkan di dalam buffer 10 mM potasium fosfat (pH 7,0).

Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1 ml diinkubasi dengan 1 mg/ml enzim

katalase pada suhu 25 oC (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin

tersebut dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan bakteri indikator, antara

24

Page 38: kelas-kelas bakteriosin

lain Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Salmonella typhimurium ATCC

14028. Hasil positif dari zona hambat mengindikasikan bahwa komponen aktif dari

bakteriosin kasar 1A5 adalah bakteriosin dan bukan hidrogen peroksida. Namun

demikian, hasil negatif kontrol enzim katalase yang masih membentuk zona hambat

dapat diartikan bahwa komponen aktif yang bekerja dari bakteriosin kasar 1A5

dengan perlakuan enzim katalase terhadap bakteri indikator kemungkinan tidak

hanya disebabkan oleh komponen bakteriosin yang terkandung di dalamnya tetapi

juga dapat berasal dari residu katalase.

Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik

Karakterisasi bakteriosin kasar juga dilakukan melalui uji sensitivitas

bakteriosin terhadap enzim proteolitik. Enzim proteolitik yang digunakan yaitu

pepsin (3,2 U/ml) dalam 0,2 M buffer sitrat (pH 3,0) dan tripsin (15000 U/mg) dalam

0,05 M buffer Tris Hidroklorida (pH 8,0). Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1

ml dihomogenkan dengan 1 mg/ml dari masing-masing enzim proteolitik (Torkar

dan Matijasic, 2003). Setelah homogen, perlakuan enzim tripsin diinkubasi pada

suhu 25 oC sedangkan perlakuan enzim pepsin diinkubasi selama 60 menit pada suhu

37 oC, (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 tersebut

dapat dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan ketiga bakteri indikator. Hasil

negatif dari zona hambat menunjukkan bahwa bakteriosin kasar 1A5 merupakan

senyawa protein.

Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide

Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Metode Kontak

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah

senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang

telah ditentukan (Kubo, 1993) sedangkan Minimum Bactericide Concentration

(MBC) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh

sebanyak 99,9% atau 103 cfu/ml populasi bakteri indikator (Vigil et al., 2005).

Tahapan penentuan MIC dan MBC dengan metode kontak meliputi:

1. Persiapan Bakteriosin Kasar 1A5

Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 diperoleh dari media produksi dengan inducer

tripton 1% yang dikondisikan pada pH 6. Ekstrak bakteriosin kasar 1A5

tersebut diencerkan 1:1 (v/v) dengan buffer potasium fosfat steril (KH2PO4)

25

Page 39: kelas-kelas bakteriosin

yang juga telah dikondisikan pada pH 6 kemudian dihomogenkan (Rashid et

al., 2009). Setelah homogen, bakteriosin kasar 1A5 disimpan terlebih dahulu

pada suhu refrigerator selama ± 5 jam agar lebih stabil bercampur dengan

buffer untuk digunakan dalam metode kontak.

2. Persiapan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Bakteriosin Kasar 1A5,

Larutan Pengencer dan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923

Kombinasi perlakuan antara bakteriosin kasar 1A5, larutan pengencer nutrient

broth (NB) dan bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923

disiapkan dalam konsentrasi tertentu. Bakteri indikator Staphylococcus aureus

ATCC 25923 dengan jumlah ± 107 cfu/ml diinokulasikan sebanyak 0,5 ml ke

dalam masing-masing kombinasi perlakuan yang telah disiapkan kemudian

dihomogenkan. Masing-masing kombinasi perlakuan berjumlah 5 ml untuk

100% campurannya. Kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat seperti pada

Tabel 5.

Tabel 5. Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk

Penentuan MIC dan MBC

Konsentrasi

Ekstrak Bakteriosin

(% v/v)

Jumlah Ekstrak

Bakteriosin (ml)

Jumlah Pengencer

NB (ml)

Jumlah Bakteri

Indikator (ml)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

4,5

4,0

3,5

3,0

2,5

2,0

1,5

1,0

0,5

0

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

0,5

26

Page 40: kelas-kelas bakteriosin

3. Penetuan MIC dan MBC Bakteriosin Kasar Lactobacillus plantarum 1A5

Melawan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923

Semua kombinasi perlakuan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

Evaluasi dilakukan dari setiap kombinasi perlakuan pada media nutrient agar

(NA). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan pengenceran hingga beberapa seri

tertentu yang kemudian dipupukkan dengan metode tuang dan diinkubasi

kembali pada suhu 37 oC selama 24 jam. Perhitungan nilai MIC dan MBC

dilakukan menurut BAM (2001) yaitu aerobic plate count (APC) dengan

melihat bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang tumbuh

pada masing-masing kombinasi perlakuan. Formula penentuan jumlah koloni

pada setiap perlakuan dengan jumlah koloni antara 25-250 cfu/ml adalah:

Keterangan: N = nilai koloni per ml atau per gram dari masing-masing

kombinasi perlakuan

ΣC = jumlah seluruh koloni pada seluruh cawan yang dihitung

n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung

n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung

d = nilai pengencer dari pengenceran pertama yang dihitung

Nilai koloni per ml dari masing-masing kombinasi perlakuan yang didapatkan

diubah ke dalam bentuk log cfu/ml sehingga dapat ditentukan nilai MIC dan

MBC bakteriosin kasar 1A5 melawan Staphylococcus aureus ATCC 25923.

Nilai MIC ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan dengan konsentrasi

bakteriosin kasar terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri

indikator sedangkan nilai MBC ditunjukkan oleh kombinasi dengan

konsentrasi bakteriosin kasar terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh

bakteri indikator atau dapat mereduksi 3 log populasi bakteri indikator dari

populasi awal.

27

Page 41: kelas-kelas bakteriosin

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan adalah persiapan dan pemurnian

kembali kultur bakteri asam laktat (BAL) Lactobacillus plantarum 1A5 (telah

diidentifikasi menggunakan API 50 CHL test strip) (Arief, unpublished) yang

merupakan isolat asal daging sapi dan persiapan ketiga bakteri indikator, yaitu

Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Persiapan bakteri asam laktat

dan ketiga bakteri indikator tersebut dimaksudkan untuk mengetahui morfologis dan

kemurniannya melalui pewarnaan Gram dan uji katalase.

Karakteristik morfologis isolat bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum

1A5 yang telah didapat adalah berbentuk batang dengan susunan tunggal maupun

rantai pendek dan tergolong bakteri Gram positif. Uji katalase pada isolat ini bernilai

negatif yang berarti isolat Lactobacillus plantarum 1A5 tidak membebaskan molekul

oksigen setelah direaksikan dengan hidrogen peroksida (Rahman et al., 1992).

Karakteristik morfologis yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kultur

homogen dan tidak tercemar, seperti yang diperoleh pada penelitian sebelumnya

(Hidayati, 2006 dan Permanasari, 2008). Kelompok Lactobacillus plantarum

menurut Fardiaz (1992) adalah mempunyai bentuk batang yang panjang, katalase

negatif, bersifat anaerob fakultatif dan tergolong bakteri Gram positif. Morfologi

Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5

Page 42: kelas-kelas bakteriosin

Karakteristik morfologis ketiga bakteri indikator yang digunakan, antara lain

Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan enteropathogenic Escherichia coli K11

yang berbentuk batang, soliter maupun koloni dan tergolong bakteri Gram negatif

sedangkan Staphylococcus aureus ATCC 25923 mempunyai bentuk bulat atau kokus

tergolong bakteri Gram positif. Ketiga bakteri indikator tersebut bernilai positif

untuk uji katalasenya. Pemilihan ketiga bakteri indikator ini mengacu pada ketentuan

SNI 01-6366-2000 yang menyatakan bahwa kedua bakteri (Staphylocoocus aureus

ATCC 25923 dan Salmonella typhimurium ATCC 14028) perlu mendapat perhatian

khusus sebagai cemaran mikroba pada daging dan spesies Escherichia coli

merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan sehingga

digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran (Pelczar dan Chan, 2007).

Morfologi ketiga bakteri indikator secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada

Gambar 6.

(A) (B)

(C)

Gambar 6. Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator: (A) Staphylocoocus aureus

ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028; (C)

enteropathogenic Escherichia coli K11

29

Page 43: kelas-kelas bakteriosin

Penelitian Utama

Penelitian utama meliputi identifikasi supernatan antimikroba dengan

spesifikasi bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5. Identifikasi bakteriosin di

dalam supernatan antimikroba ditentukan berdasarkan hasil uji antagonistiknya

dengan ketiga bakteri indikator. Supernatan antimikroba yang diduga mengandung

bakteriosin tersebut didapatkan melalui lima tahapan yang berurutan, antara lain

dengan melakukan produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial

bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan enzim

proteolitik serta konsentrasi penghambatan minimum berupa Minimum Inhibitory

Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) dengan

metode uji kontak.

Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda

Produksi bakteriosin dilakukan dengan menggunakan tiga inducer yang

berbeda pada media pertumbuhan Lactobacillus plantarum 1A5, yaitu NaCl 1%,

kombinasi NaCl 1% dengan yeast extract (YE) 3% dan tripton 1%. Ketiga inducer

tersebut digunakan merunut hasil yang didapatkan oleh Ogunbawo et al. (2003) yang

menyatakan bahwa nilai terbesar dari bakteriosin yang disintesis, yaitu 6400 AU/ml,

didapatkan ketika media pertumbuhan kultur, berupa MRS broth, ditambahkan

suplemen atau inducer berupa yeast extract (3%) atau NaCl (1%), sedangkan

penambahan tripton (1%) dapat menghasilkan bakteriosin sebesar 3200 AU/ml.

Supernatan antimikroba yang telah dihasilkan dari media produksi dengan

masing-masing inducer berada pada kondisi asam. Kondisi asam tersebut disebabkan

oleh adanya asam-asam organik yang terbentuk sebagai metabolit primer dari bakteri

asam laktat. Branen (1993) menyatakan bahwa asam organik merupakan salah satu

supernatan antimikroba yang dihasilkan dari bakteri asam laktat, terutama asam

laktat. Asam organik tersebut mempunyai spektrum penghambatan yang luas

terhadap mikroorganisme yaitu dengan cara menyerang dinding sel, membran sel,

metabolisme enzim, sistem sintesis protein maupun secara genetik (Smid dan

Gorris, 2007).

Asam-asam organik yang terdapat di dalam supernatan antimikroba tersebut

dapat menutupi aktivitas bakteriosin yang terbentuk dalam menghambat bakteri

indikator pada uji antagonistik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penambahan buffer

30

Page 44: kelas-kelas bakteriosin

(NaOH 0,1 N) hingga supernatan antimikroba mencapai kondisi pada pH 5 dan pH 6.

Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi pengaruh asam organik dalam supernatan

antimikroba dan diharapkan dapat mengoptimalkan aktivitas bakteriosin yang

terbentuk. Bakteriosin yang terkandung di dalam supernatan bebas sel dari

Streptococcus bovis J2 40-2 yang diisolasi dari susu fermentasi tradisional Dahi

menunjukkan aktivitas antimikrobial secara penuh (100%) pada pH antara 4,0-8,0

sedangkan aktivitas antimikroba sebesar 90% terjadi pada pH 2,0-3,0 dan pH 9,0-

10,0 serta tidak menunjukkan aktivitasnya pada kondisi pH 12,0-13,0 (Rashid et al.,

2009). Selain itu, Nowroozi et al. (2004) menuliskan hasil yang serupa bahwa

produksi maksimum dari bakteriosin didapatkan pada kondisi pH 6,5 dari rentang pH

2 hingga pH 10 dan bakteriosin kehilangan aktivitasnya pada pH 12. Kondisi pH

dari supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada media MRS broth

dengan inducer yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kondisi pH Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5

pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda

Inducer pH initial pH Setelah Penetralan

NaCl 1% 3,63

3,55

5,00 ± 0,02

6,00 ± 0,08

Tripton 1% 4,04

4,05

5,00 ± 0,02

6,00 ± 0,08

YE 3% + NaCl 1% 3,80

3,80

5,00 ± 0,02

6,00 ± 0,08

Kondisi pH initial maupun setelah penetralan pada supernatan antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 berbanding terbalik dengan nilai total asam

tertitrasinya. Semakin rendah nilai pH supernatan antimikroba menunjukkan semakin

tinggi nilai total asam tertitrasinya dan demikian pula sebaliknya semakin tinggi nilai

pH supernatan antimikroba menunjukkan semakin rendah nilai total asam

tertitrasinya. Nilai total asam tertitrasi merupakan persentase besarnya total asam

yang terbentuk di dalam suatu supernatan atau komponen yang dapat dititrasi atau

dinetralisir oleh basa kuat, misalnya NaOH 0,1 N, dengan bantuan indikator

fenolptalein (pp) 1%. Hubungan kondisi pH pada berbagai media produksi

31

Page 45: kelas-kelas bakteriosin

bakteriosin dengan nilai total asam tertitrasi dari supernatan antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi pH

Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5

Kualitas nilai total asam tertitrasi dapat memprediksikan pengaruh asam lebih

baik daripada pH (Nielsen, 1998) karena pada pengukuran pH, nilai yang terukur

adalah konsentrasi ion H+ yang menunjukkan jumlah asam terdisosiasi, sedangkan

total asam tertitrasi adalah hasil pengukuran nilai asam terdisosiasi dan asam tidak

terdisosiasi (Frazier dan Westhoff, 1988). Pengaruh penghambatan dari asam organik

pada supernatan antimikroba terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak

terdisosiasi (Rini, 1995).

Nilai total asam tertitrasi pada supernatan antimikroba dengan pH initial yang

dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% dan tripton 1%

menunjukkan nilai yang sama yaitu 0,36% asam laktat meskipun masing-masing

nilai pH keduanya berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan asam tidak

terdisosiasi dari supernatan antimikroba dengan inducer tripton 1% kemungkinan

lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh inducer NaCl 1%. Semakin banyak asam

tidak terdisosiasi di dalam supernatan antimikroba menunjukkan bahwa asam yang

bekerja di dalamnya adalah asam lemah. Asam lemah adalah asam yang tidak

terionisasi (terdisosiasi) sempurna ketika dilarutkan di dalam air dan sebagian besar

asam organik termasuk ke dalam asam lemah (Clark, 2007).

Asam lemah memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar pada pH rendah

dibandingkan dengan pH netral. Molekul asam tidak terdisosiasi merupakan bentuk

toksik dari asam lemah meskipun asam yang terdisosiasi juga memiliki kemampuan

0,36

0,18

0,36

0,09

0,36

0,09

0,36

0,09

0,54

0,18

0,54

0,18

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

pH initial pH 5 pH initial pH 6

Nil

ai

TA

T (

%)

Kondisi pH Supernatan Bebas Sel

NaCl 1% Tripton 1% YE 3% + NaCl 1%

0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

3,63 4,04 3,80 3,55 4,05 3,80

pH initial pH initial

32

Page 46: kelas-kelas bakteriosin

untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini disebabkan oleh bentuk tidak

terdisosiasi dari asam organik berdifusi secara silang menembus membran sel karena

sifatnya yang larut lemak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos,

2003) dan mengganggu permeabilitas membran. Setelah berada di dalam sitoplasma,

asam akan terdisosiasi sehingga menghasilkan proton. Proton yang berlebihan

menyebabkan keseimbangan proton dalam sitoplasma terganggu. Gangguan yang

terjadi berakibat pada berkurangnya energi sel untuk pertumbuhan karena energi

yang ada digunakan untuk menyeimbangkan proton. Hal tersebut juga

mengakibatkan transpor asam amino dan gula terganggu (Russel, 2005).

Banyak peneliti menyatakan bahwa terjadinya penghambatan pertumbuhan

pada mikroba disebabkan oleh asam organik akibat adanya pelepasan proton ke

dalam sitoplasma sehingga pH dalam membran sel menjadi sangat asam secara

mendadak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos, 2003). Namun

demikian, hipotesis tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa

penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukan karena translokasi proton

tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya kecepatan

sintesis makromolekul dan mempengaruhi tranportasi membran sel. Bakteri asam

laktat dan juga bakteri lain meniadakan pengaruh dari akumulasi anion dengan cara

mengurangi pH pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Hasil uji antagonistik supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5

dari masing-masing media produksi bakteriosin terhadap masing-masing bakteri

indikator ditunjukkan dengan adanya diameter zona hambat. Diameter zona hambat

yang terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling sumur yang

menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu

yang menunjukkan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba).

Bakteriosin merupakan protein atau peptida pada bakteri yang menunjukkan aksi

bakterisidal ataupun bakteriostatik terhadap spesies yang umumnya berfilogeni dekat

namun terdapat pula beberapa jenis bakteriosin dapat menunjukkan spektrum yang

lebih luas (Jimenez-diaz, 1993).

Rataan diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 dari masing-masing media dengan pH initial dan pH sesudah

penetralan dapat dilihat pada Gambar 8. Supernatan antimikroba Lactobacillus

33

Page 47: kelas-kelas bakteriosin

plantarum 1A5 pada media dengan pH initial cenderung mempunyai aktivitas

penghambatan yang lebih besar terhadap ketiga bakteri indikator bila dibandingkan

dengan aktivitas penghambatan dari supernatan antimikroba yang telah dikondisikan

pada pH 5 dan pH 6.

Keterangan: N5 = NaCl 1% pH 5; T5 = tripton 1% pH 5; Y5 = YE 3% + NaCl 1% pH 5

N6 = NaCl 1% pH 6; T6 = tripton 1% pH 6; Y6 = YE 3% + NaCl 1% pH 6

= diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum

1A5 dengan nilai pH initial

= diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum

1A5 dengan nilai pH yang telah dikondisikan pada pH 5 dan pH 6

diameter lubang sumur (± 5 mm) termasuk ke dalam diameter zona hambat

Gambar 8. Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A).

Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella

typhimurium ATCC 14028 dan (C). Enteropathogenic

Escherichia coli K11 (EPEC K11)

Aktivitas penghambatan yang paling besar hingga paling kecil pada media

produksi dengan pH initial secara berurutan dimulai dari supernatan antimikroba

yang dihasilkan dari media dengan inducer NaCl 1% dilanjutkan dengan kombinasi

YE 3% dan NaCl 1% dan terakhir dengan tripton 1%. Semakin rendah nilai pH

0

2

4

6

8

10

N5 T5 Y5 N6 T6 Y6

Dia

met

er Z

on

a H

am

bat

(mm

)

Media Optimasi

(A)

0

2

4

6

8

10

N5 T5 Y5 N6 T6 Y6

Dia

met

er Z

on

a H

am

bat

(mm

)

Media Optimasi

(B)

0

1

2

3

4

5

6

7

N5 T5 Y5 N6 T6 Y6

Dia

met

er Z

on

a H

am

bat

(mm

)

Media Optimasi

(C)

34

Page 48: kelas-kelas bakteriosin

initial yang dihasilkan menunjukkan semakin besar aktivitas penghambatan

supernatan antimikrobanya dan begitu pula sebaliknya. Besarnya aktivitas

penghambatan diperoleh dari semakin banyaknya konsentrasi asam organik yang

terbentuk dengan ditunjukkan oleh semakin rendahnya pH initial dan juga semakin

tingginya nilai total asam tertitrasinya.

Nilai pH initial supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang

dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% maupun kombinasi YE 3%

dan NaCl 1% lebih rendah daripada nilai pH supernatan antimikroba dari media

produksi dengan inducer tripton 1% . Hal tersebut terjadi diduga karena pemanfaatan

kedua inducer lebih diarahkan sebagai nutrisi tambahan untuk perkembangbiakan

sel. Peningkatan jumlah sel diasumsikan berkorelasi positif dengan pembentukan

asam organik sebagai supernatan antimikroba. Semakin banyak jumlah sel yang

terbentuk mengakibatkan semakin banyak pula asam organik yang diproduksi

sehingga supernatan yang dihasilkan juga mempunyai tingkat keasaman yang lebih

tinggi dan dapat mengganggu pembentukan bakteriosin. Risyahadi (2009)

menuliskan hal yang sama bahwa jumlah biomassa bakteri asam laktat yang terlalu

banyak akan menghasilkan akumulasi jumlah asam laktat yang berlebihan dan akan

menurunkan nilai pH. Penurunan pH dapat mengganggu mikroba dalam biosintesis

bakteriosin.

Berbeda dengan kedua supernatan antimikroba yang mempunyai nilai pH

initial yang lebih rendah, media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai

nilai pH initial yang paling tinggi, yaitu 4,04-4,05. Tingginya nilai pH tersebut

mungkin disebabkan oleh kandungan nitrogen di dalam tripton yang lebih

dimanfaatkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 untuk pembentukan senyawa

antimikroba, terutama bakteriosin, daripada untuk perkembangbiakan sel, sehingga

asam organik yang dihasilkan juga lebih rendah.

Tripton merupakan salah satu sumber nitrogen yang dapat menghasilkan

aktivitas bakteriosin ST194BZ sebesar 12800 AU/ml dan berdasarkan beberapa hasil

yang diperoleh juga disimpulkan bahwa tingginya aktivitas bakteriosin berasal dari

penambahan tripton ke dalam media pertumbuhan dan bukan dari penambahan yeast

extract maupun meat extract. Bakteriosin ST194BZ adalah bakteriosin yang

dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum ST194BZ hasil isolasi dari Boza (Todorov

35

Page 49: kelas-kelas bakteriosin

et al., 2005). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber

nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat. Bakteriosin dapat diproduksi

dari media dengan sumber karbohidrat yang berbeda (Savadogo et al., 2006).

Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum

1A5 yang dihasilkan dari keenam media produksi terhadap ketiga bakteri indikator

juga ditunjukkan dengan persentase diameter zona hambatnya yang dapat dilihat

pada Tabel 7. Persentase zona hambat tersebut diperoleh dari persentase hasil

perbandingan antara diameter zona hambat dari masing-masing media produksi

terhadap diameter zona hambat dari masing-masing media kontrol (Rashid et al.,

2009). Media kontrol merupakan media produksi dengan nilai pH initial yang

dikondisikan pada pH 5 atau pH 6.

Tabel 7. Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap

Bakteri Indikator

Media Produksi S. aureus

ATCC 25923

S. typhimurium

ATCC 14028 EPEC K11

--------------------------------- (%) ---------------------------------

NaCl 1%

pH 5 76,00 ± 28,70 67,61 ± 7,43 86,97 ± 12,76

pH 6 64,83 ± 11,99 70,74 ± 2,89 85,50 ± 19,40

Tripton 1%

pH 5 82,00 ± 17,80 101,89 ± 0,836 99,20 ± 3,07

pH 6 73,67 ± 15,76 104,54 ± 0,423 102,8 ± 21,90

NaCl 1% + YE 3%

pH 5 78,20 ± 19,40 79,25 ± 10,30 82,60 ± 18,40

pH 6 64,46 ± 8,43 88,60 ± 20,00 102,03 ± 7,95

Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)

Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)

Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator

Hasil analisis ragam pada persentase zona hambat supernatan antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC 25923

dan EPEC K11 serta hasil uji Kruskal-Wallis terhadap Salmonella typhimurium

ATCC 14028 menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa

supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 pada

36

Page 50: kelas-kelas bakteriosin

keenam media produksi yang berbeda mempunyai aktivitas penghambatan yang

tidak berbeda terhadap ketiga bakteri indikator.

Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba pada media produksi yang

cenderung lebih rendah dari media kontrol serta tidak berbedanya persentase

penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan

dari masing-masing media produksi terhadap ketiga bakteri indikator diakibatkan

oleh berkurangnya konsentrasi asam organik, terutama jenis asam tidak terdisosiasi,

dan juga terlalu rendahnya konsentrasi bakteriosin yang terbentuk untuk melawan

bakteri indikator. Hal ini juga didukung oleh Todorov et al. (2004) yang menyatakan

bahwa rendahnya aktivitas penghambatan pada media perlakuan dapat disebabkan

oleh berkurangnya aktivitas antimikroba dari bakteriosin akibat sensitifnya peranan

asam organik. Oleh karena itu, perlu dilakukan tahap lanjutan berupa purifikasi

parsial bakteriosin.

Purifikasi Parsial Bakteriosin

Tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini menggunakan supernatan

antimikroba yang berasal dari media produksi dengan masing-masing inducer yang

dikondisikan pada pH 6. Hal ini dimaksudkan agar dapat memaksimumkan aktivitas

antimikroba dari bakteriosin yang terbentuk dan juga diharapkan dapat mengurangi

bahkan menghilangkan aktivitas antimikroba dari asam organik. Hasil yang

didapatkan pada tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini untuk selanjutnya disebut

dengan ekstrak bakteriosin kasar 1A5.

Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 menunjukkan jenis protein yang hidrofobik

karena posisi endapan protein yang terpresipitasi berada melayang di bagian atas

supernatan antimikroba. Hal ini juga didukung oleh Abo-Amer (2007) yang

menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum AA135 menghasilkan bakteriosin yang

disebut dengan plantarisin AA135 dan mempunyai karakteristik protein yang

hidrofobik. Selain itu, kebanyakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam

laktat adalah berbentuk kecil, tahan panas, termasuk peptida-peptida kationik dan

mempunyai sifat hidrofobik (Jack et al., 1995; Savadogo et al., 2006).

Bagian hidrofobik di dalam molekul bakteriosin merupakan hal yang

diperlukan untuk aktivitasnya dalam menghambat bakteri sensitif karena inaktivasi

mikroorganisme oleh bakteriosin tergantung pada interaksi hidrofobik antara sel-sel

37

Page 51: kelas-kelas bakteriosin

bakteri dengan molekul-molekul bakteriosin (Parada et al., 2007). Aktivitas

penghambatan ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari ketiga media produksi terhadap

masing-masing bakteri indikator ditunjukkan dengan rataan diameter zona hambat

yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap

Bakteri Indikator

Media Produksi S. aureus

ATCC 25923

S. typhimurium

ATCC 14028 EPEC K11

-------------------------- (mm) ------------------------

NaCl 1% (pH 6) 25,12 ± 0,72 7,19 ± 0,24 6,05 ± 0,91

Tripton 1% (pH 6) 27,10 ± 1,36 7, 99 ± 0,33 6,03 ± 0,90

NaCl 1% + YE 3% (pH 6) 22,06 ± 4,94 6,85 ± 0,51 6,55 ± 2,44

Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)

Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)

Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator

Hasil analisis ragam diameter zona haat, ketiga perlakuan ekstrak bakteriosin

kasar 1A5 tidak berbeda terhadap bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC

25923. Hasil tidak berbeda tersebut juga ditunjukkan pada hasil uji Kruskal-Wallis

terhadap bakteri indikator Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan EPEC K11.

Namun demikian, jika diartikan secara deskriptif, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 yang

dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% menghasilkan diameter

zona hambat terbesar, yaitu pada uji antagonistik melawan Staphylococcus aureus

ATCC 25923 dihasilkan diameter zona hambat sebesar (27,10 ± 1,36) mm dan pada

uji antagonistik melawan Salmonella typhimurium ATCC 14028 dihasilkan diameter

zona hambat sebesar (7,99 ± 0,33) mm. Kedua diameter zona hambat terbesar

tersebut sudah cukup dapat mewakili bahwa ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari

media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai aktivitas penghambatan

terbaik melawan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif meskipun tidak

menunjukkan aktivitas penghambatan terbaiknya melawan EPEC K11.

38

Page 52: kelas-kelas bakteriosin

Gambar 9. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar Lactobacillus

plantarum 1A5 terhadap Bakteri Indikator

Diameter zona hambat untuk ketiga media produksi terhadap bakteri

indikator Gram positif (Staphylococcus aureus ATCC 25923) adalah paling besar

seperti pada Gambar 9. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan yang menyatakan

bahwa bakteriosin asal bakteri asam laktat kebanyakan hanya dapat menghambat

spesies yang kekerabatannya dekat atau mikroorganisme Gram positif lainnya (Vuyst

dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Helander et al., 1997; Holo et al., 2001;

Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Parada et al., 2007). Sejauh ini tidak cukup bukti

bahwa bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri Gram positif dapat menghambat

bakteri Gram negatif tanpa penambahan komponen aktif membran yang lain

(Ouwehand dan Vesterlund, 2004), misalnya EDTA (Helander et al., 1997).

Aktivitas antimikroba ekstrak bakteriosin kasar 1A5 (dengan inducer tripton 1%)

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dapat dilihat pada Gambar 10.

0

5

10

15

20

25

30

S. aureus ATCC

25923

S. typhimurium

ATCC 14028

EPEC K11

Dia

met

er Z

on

a H

am

bat

(mm

)

Bakteri Indikator

NaCl 1% pH 6 Tripton 1% pH 6 YE 3% dan NaCl 1% pH 6

S. aureus

ATCC 25923

S. typhimurium

ATCC 14028

39

Page 53: kelas-kelas bakteriosin

Gambar 10. Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer

tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang juga

merupakan bakteri Gram positif mampu melewati dinding sel dan melakukan

aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri Gram positif lain karena merupakan

peptida-peptida kationik. Jack et al. (1995) menyatakan bahwa salah satu penentuan

aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara molekul-molekul

kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di permukaan sel, yang

salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan reseptor

bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Levinson (2004)

menyebutkan bahwa bakteri Gram positif mengandung lapisan tebal peptidoglikan

(15-80 nm) serta asam teikoat.

Proses kontak langsung antara molekul bakteriosin dengan membran sel

mampu mengganggu potensial membran berupa ketidakstabilan membran

sitoplasma. Ketidakstabilan tersebut mengakibatkan pembentukan lubang atau pori

pada membran sel melalui gangguan terhadap gaya gerak proton. Lubang yang

terbentuk pada membran sel menyebabkan terjadinya perubahan gradien potensial

membran dan pelepasan molekul intraseluler ataupun masuknya substansi

ekstraseluler sehingga pertumbuhan sel menjadi terhambat dan menghasilkan proses

kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin (Gonzales et al., 1996).

Berbeda dengan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif menunjukkan

sifat resistensinya terhadap kebanyakan bakteriosin asal bakteri Gram positif

(Herlander et al., 1997) karena selain mengandung lapisan tipis peptidoglikan

(± 8 nm) juga mempunyai lapisan terluar yang kompleks yaitu mengandung

40

Page 54: kelas-kelas bakteriosin

lipopolisakarida, lipoprotein dan fosfolipid (Levinson, 2004). Sifat resistensi tersebut

merupakan bentuk perlindungan dari membran luar selnya dengan mengembangkan

fungsi hambat yang efisien melawan cairan hidrofobik dan makromolekul dari

bakteriosin (Herlander et al., 1997). Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien

dalam menghambat bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat

hidrofilik dan dapat menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004).

Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase

Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 yang dilakukan adalah uji sensitivitas

terhadap enzim katalase. Pengujian tersebut dilakukan bertujuan untuk memastikan

bahwa komponen aktif yang menghambat bakteri indikator pada tahap sebelumnya

adalah komponen bakteriosin yang terkandung di dalam ekstrak bakteriosin kasar

1A5 dan bukan oleh komponen antimikroba lainnya, terutama hidrogen peroksida

(H2O2). Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi

pertumbuhan yang aerob dan karena berkurangnya produksi katalase selular,

pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2 tersebut

sebagai alat pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal.

Hidrogen peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dijadikan

sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004).

Gambar 11. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan

dengan Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri

Indikator

27,10

8,00

13,30

7,18

0

5

10

15

20

25

30

S. aureus ATCC 25923 S. typhimurium ATCC

14028

Dia

met

er Z

on

a H

am

bat

(mm

)

Bakteri Indikator

tanpa enzim katalase dengan enzim katalase

S. aureus ATCC

25923

S. typhimurium

ATCC 14028

41

Page 55: kelas-kelas bakteriosin

Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase menunjukkan

tingkat kesensitifan yang rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan masih terbentuknya

diameter zona hambat pada uji antagonistik melawan ketiga bakteri indikator melalui

aktivitas penghambatan bakteriosin kasar 1A5. Besarnya masing-masing diameter

zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan dan tanpa penambahan enzim katalase

dapat dilihat pada Gambar 11.

Diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 yang dengan penambahan

enzim katalase terlihat lebih kecil dibandingkan dengan yang tanpa penambahan

enzim katalase pada uji antagonistik, baik melawan bakteri Gram positif maupun

Gram negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan dari

bakteriosin kasar 1A5 berkurang sebesar 50,92% untuk Staphylococcus aureus

ATCC 25923 dan 10,25% untuk Salmonella typhimurium ATCC 14028. Dengan

demikian, terdapat indikasi bahwa aktivitas penghambatan tersebut dibentuk oleh

komponen aktif yang diduga sebagai bakteriosin bukan oleh hidrogen peroksida.

Hasil di atas serupa dengan hasil yang ditunjukkan oleh Rashid et al. (2009)

yaitu bakteriosin yang diproduksi oleh strain J2 40-2 hanya menghasilkan aktivitas

penghambatan sebesar 89% ketika substrat bebas selnya ditambah dengan enzim

katalase. Indikasi kurang berperannya hidrogen peroksida dalam aktivitas

penghambatan juga disampaikan oleh peneliti-peneliti lain bahwa tidak terdapat

perubahan aktivitas dari supernatan antimikroba yang mengandung bakteriosin pada

uji antagonistik melawan bakteri indikator setelah ditambah dengan enzim katalase

(Garriga et al., 1993; Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Todorov et al.,

2005; Abo-Amer, 2007).

Enzim katalase merupakan suatu hemoprotein yang mengandung 4 gugus

heme. Selain mempunyai aktivitas peroksidase, enzim katalase digunakan sebagai

penghancur H2O2 yang terbentuk oleh kerja enzim oksidase (Mayes, 1997). Enzim

katalase dapat dianggap sebagai peroksidase khusus yang mampu mengkatalisis

reaksi dekomposisi hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. Enzim katalase

mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen dan secara simultan

mereduksi molekul hidrogen peroksida yang lain menjadi air (Muchtadi et al., 1992).

Persamaan reaksi enzim katalase terhadap H2O2 sebagai berikut:

42

Page 56: kelas-kelas bakteriosin

Hasil negatif dari uji antagonistik kontrol enzim katalase terhadap bakteri

indikator menghasilkan zona hambat. Hal tersebut berarti bahwa kemungkinan enzim

katalase juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri indikator. Hal

tersebut berarti bahwa komponen aktif yang menunjukkan aktivitas antimikroba pada

uji antagonistik dari bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim katalase

kemungkinan tidak hanya komponen bakteriosin melainkan juga residu katalase yang

masih terdapat di dalamnya dan keduanya menunjukkan sifat sinergis. Sifat sinergis

keduanya ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh uji

antagonistik dari kontrol terlihat lebih kecil daripada perlakuan enzim katalase,

seperti terlihat pada Gambar 12. Oleh karena itu, seharusnya aktivitas penghambatan

dari residu katalase perlu dihilangkan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk uji

antagonistik, yaitu melalui penetralan oleh enzim reduktase.

Kontrol Enzim Katalase Bakteriosin Kasar 1A5 dengan

Penambahan Enzim Katalase

Gambar 12. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan

Enzim Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC

25923

Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik

Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 juga dilakukan melalui uji sensitivitas

terhadap enzim proteolitik. Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengindikasikan

bahwa komponen utama yang aktif secara keseluruhan maupun sebagian pada

bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein setelah diinaktivasi oleh

beberapa enzim proteolitik (Bromberg et al., 2004). Enzim proteolitik atau yang

sering disebut dengan protease merupakan berbagai jenis enzim yang mencerna

protein menjadi unit-unit yang lebih kecil dimana enzim secara umum bertugas

43

Page 57: kelas-kelas bakteriosin

sebagai katalisator dengan cara menurunkan energi aktivasi di dalam sel dan bersifat

khas (Murray, 2006).

Enzim proteolitik yang digunakan antara lain enzim pepsin dan enzim tripsin.

Penggunaan kedua enzim tersebut merujuk kepada sistem pencernaan manusia secara

kodrati bahwa enzim pepsin terdapat di dalam lambung dan enzim tripsin terdapat di

dalam pankreas. Enzim pepsin dikeluarkan oleh sel-sel peptik pada lapisan mukosa

lambung sedangkan enzim tripsin merupakan enzim utama yang terdapat di dalam

pankreas (Piliang dan Anwar, 1992). Keduanya bekerja memecah protein ke dalam

bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Peran utama protease ekstraseluler di

alam adalah menghidrolisis substrat polimer (polipeptida) berukuran besar menjadi

molekul kecil sehingga dapat diserap oleh sel (Suhartono, 1992).

Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik

menunjukkan tingkat kesensitifan yang berbeda antara enzim pepsin dan enzim

tripsin pada masing-masing bakteri indikator. Hasil uji Kruskal-Wallis diameter zona

hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan enterpathogenic Escherichia coli K11

(EPEC K11) menunjukkan hasil yang berbeda, sedangkan hasil analisis ragamnya

terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 menunjukkan hasil yang tidak

berbeda. Hal tersebut ditunjukkan oleh rataan diameter zona hambat pada uji

antagonistik terhadap masing-masing bakteri indikator dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan

Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator

Perlakuan S. aureus

ATCC 25923

S. typhimurium

ATCC 14028 EPEC K11

-------------------------- (mm) ------------------------

Enzim Pepsin 12,57a ± 1,37 9,10 ± 1,39 12,57

a ± 0,81

Enzim Tripsin 0,00b ± 0,00 6, 99 ± 0,65 0,00

b ± 0,00

Tanpa Enzim 27,10c ± 1,36 8,00 ± 0,33 6,03

c ± 0,90

Keterangan: Kolom S. typhimurium ATCC 14028 menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05)

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nyata (p-value ≤ 0,05)

Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator

Rataan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh bakteriosin kasar 1A5

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan perlakuan enzim pepsin

44

Page 58: kelas-kelas bakteriosin

sebesar (12,57 ± 1,37) mm berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak

menghasilkan zona hambat. Hasil kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda

dengan hasil perlakuan yang tanpa enzim yaitu sebesar (27,10 ± 1,36) mm. Hal

tersebut dapat mengindikasikan bahwa komponen aktif di dalam bakteriosin kasar

1A5 kemunginan adalah komponen protein karena aktivitasnya diinaktifkan secara

sempurna oleh enzim tripsin dan diinaktifkan lebih dari setengah aktivitasnya

(53,62%) oleh enzim pepsin. Hasil penelitian Garriga et al. (1993) yang

menyebutkan bahwa hanya enzim tripsin dari empat enzim yang digunakan (antara

lain enzim tripsin, pepsin, proteinase K dan nagarse) yang mampu menghilangkan

aktivitas penghambatan dari bakteriosin terhadap bakteri indikator.

Enzim tripsin diproduksi oleh pankreas dalam bentuk tripsinogen dan diubah

menjadi tripsin oleh enterokinase atau secara autokatalitik pada pH 8. Enzim tripsin

bekerja menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil lisin dan arginin

(Suhartono, 1992). Poedjiadi (1994) juga menyatakan bahwa enzim tripsin

merupakan famili dari protease serin karena mempunyai residu serin pada sisi

aktifnya (Suhartono, 1992) yang memecah protein pada gugus karboksil dari asam

amino lisin dan arginin, kecuali protein tersebut diikuti oleh prolin.

Enzim pepsin hanya dapat menginaktifkan sebagian aktivitas bakteriosin

kasar 1A5 diduga karena pengaruh pH 6 dari bakteriosin itu sendiri yang dapat

menginaktifkan kerja enzim pepsin. Enzim pepsin menjadi inaktif karena terjadinya

peningkatan pH ketika dilakukan pencampuran dengan bakteriosin kasar 1A5

meskipun sebelumnya enzim pepsin telah diaktifkan oleh buffer pengaktif enzim

yang mempunyai pH rendah sesuai dengan pH lambung, yaitu pH 3. Oleh karena itu,

seharusnya bakteriosin kasar 1A5 tidak dikondisikan pada pH 6 terlebih dahulu atau

masih berada pada kondisi pH basal ketika perlakuan enzim pepsin. Hal tersebut

dimaksudkan agar tidak mengganggu aktivitas enzim pepsin untuk menghidrolisis

komponen protein di dalam bakteriosin kasar 1A5. Setelah itu, perlu dilakukan

pengkondisian bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim pepsin pada pH netral

sebelum dilakukan uji antagonistik terhadap bakteri indikator guna menghindari

pengaruh komponen asam dari campuran keduanya. Aktivitas hambat bakteriosin

kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap bakteri indikator dapat

dilihat pada Gambar 13.

45

Page 59: kelas-kelas bakteriosin

Keterangan: T = enzim tripsin; P = enzim pepsin

Gambar 13. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim

Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Enzim pepsin merupakan famili dari protease asam, yaitu enzim yang

keaktifannya disebabkan oleh adanya 2 gugus karboksil pada sisi aktifnya

(Suhartono, 1992). Enzim pepsin dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam

bentuk pepsinogen, yaitu calon enzim yang belum aktif. Pepsinogen tersebut

kemudian diaktifkan menjadi pepsin dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994) yang

disekresi dari mukosa lambung (Piliang dan Anwar, 1992). Enzim pepsin

menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin,

triptofan, leusin, glutamat dan glutamin (Suhartono, 1992).

Rataan diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 serupa dengan terhadap EPEC K11.

Rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar (12,57 ± 0,81) mm

berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak menghasilkan zona hambat. Hasil

kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda dengan hasil perlakuan tanpa enzim

yaitu sebesar (6,03 ± 0,90) mm. Hasil analisis ragam dari diameter zona hambat

dengan perlakuan enzim terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028

menunjukkan bahwa rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar

(9,10 ± 1,39) mm tidak berbeda dengan perlakuan enzim tripsin sebesar (6,99 ± 0,65)

mm dan tidak berbeda pula dengan perlakuan tanpa enzim sebesar (8,00 ± 0,33) mm.

Rataan diameter zona hambat dengan perlakuan enzim pepsin pada bakteri

indikator Gram negatif (Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan EPEC K11) lebih

besar daripada yang tanpa enzim. Hal tersebut selain disebabkan oleh kemungkinan

masih terdapatnya pengaruh komponen asam yang terdapat di dalam buffer pengaktif

46

Page 60: kelas-kelas bakteriosin

enzim yang mempunyai pH rendah, juga didukung oleh spektrum penghambatan

bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit terhadap bakteri Gram negatif seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya.

Berbeda dengan kedua bakteri indikator lainnya, ternyata Salmonella

typhimurium ATCC 14028 juga berhasil dihambat oleh bakteriosin kasar 1A5 setelah

diberi perlakuan enzim tripsin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih

terdapatnya sisi aktif yang mampu menghambat Salmonella typhimurium ATCC

14028 meskipun ikatan peptida protein dari bakteriosin kasar 1A5 telah berhasil

dihidrolisis oleh enzim tripsin. Sisi aktif yang masih berperan tersebut menyerang

bagian sensitif tertentu pada Salmonella typhimurium ATCC 14028 yang diduga

tidak dimiliki oleh Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan enterpathogenic

Escherichia coli K11 (EPEC K11).

Hasil uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik secara

keseluruhan berbeda dengan hasil peneliti yang lain. Aktivitas antimikroba dari

bakteriosin yang dihasilkan oleh strain bakteri asam laktat asal susu fermentasi

Burkina Faso (Savadogo et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum ST13BR asal

bir Barley (Todorov et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum asal yogurt hasil

industri rumah tangga di Mesir (Abo-Amer, 2007) dan isolat Streptococcus bovis J2

40-2 asal susu fermentasi tradisional Dahi (Rashid et al., 2009) diinaktifkan secara

sempurna oleh semua enzim proteolitik yang digunakan, antara lain enzim pepsin,

tripsin, α-khimotripsin dan papain. Oleh karena itu, bakteriosin-bakteriosin tersebut

diindikasikan sebagai komponen protein dan merupakan karakterisitik bakteriosin

secara umum (Savadogo et al., 2004).

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide

Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5

Penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5 dengan metode kontak

merupakan tahap terakhir yang dilakukan untuk menentukan besarnya aktivitas

bakteriosin kasar 1A5 terhadap bakteri indikator, khususnya Staphylococcus aureus

ATCC 25923. Bakteri indikator yang digunakan pada tahap ini hanya

Staphylococcus aureus ATCC 25923 karena melihat spektrum penghambatan ekstrak

bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit pada tahap purifikasi parsial bakteriosin,

yaitu mempunyai aktivitas penghambatan yang kuat terhadap bakteri Gram positif

47

Page 61: kelas-kelas bakteriosin

dan lemah terhadap bakteri Gram negatif. Hasil antagonistik bakteriosin kasar 1A5

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 melalui metode kontak tersebut

ditunjukkan dengan nilai MIC dan MBC yang dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan

Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar

1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Konsentrasi minimum penghambatan atau nilai MIC terhadap Staphylococcus

aureus ATCC 25923 ditunjukkan oleh 70% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5.

Konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 sebesar 70% tersebut dapat menghambat

pertumbuhan bakteri indikator hingga mencapai (4,93 ± 0,9) log cfu/ml selama 24-48

jam masa inkubasi. Kubo (1993) menyatakan bahwa Minimum Inhibitory

Concentration (MIC) ditentukan dari konsentrasi terendah senyawa antimikroba

yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang telah ditentukan. Nilai

Minimum Bactericide Concentration (MBC) menurut Vigil et al. (2005) adalah

konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh sebanyak

103 cfu/ml populasi bakteri indikator. Nilai MBC bakteriosin kasar 1A5 ditunjukkan

oleh konsentrasi sebesar 80% yang dapat membunuh 3 log cfu/ml Staphylococcus

aureus ATCC 25923 hingga mencapai (3,46 ± 0,6) log cfu/ml selama 24-48 jam

masa inkubasi.

5,35 0,1

6,25 0,25,97 0,3 5,99 0,1

5,62 0,5 5,50 0,6 5,47 0,6

4,93 0,9

3,46 0,6

2,38 0,0

0

1

2

3

4

5

6

7

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Ju

mla

h K

olo

ni

yan

g T

um

bu

h

(log c

fu/m

l)

Persentase Bakteriosin Kasar 1A5 (%)

MIC

MBC

48

Page 62: kelas-kelas bakteriosin

Penurunan jumlah koloni untuk masing-masing kombinasi perlakuan pada

metode kontak mengacu pada kontrol sebesar (6,25 ± 0,2) log cfu/ml yang

merupakan jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan 10% konsentrasi

bakteriosin kasar 1A5. Penentuan kontrol tersebut disebabkan oleh paling tingginya

jumlah koloni yang tumbuh dibandingkan dengan jumlah koloni pada kombinasi

perlakuan yang lain, bahkan pada kombinasi perlakuan dengan 0% konsentrasi

bakteriosin kasar 1A5. Tingginya jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan

10% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 disebabkan oleh bakteri indikator yang masih

dapat memanfaatkan nutrisi yang masih terdapat pada sisa media pertumbuhan yang

di dalam substrat bakteriosin kasar 1A5 selain nutrient broth (NB) yang berlaku

sebagai media metode kontak sendiri.

49

Page 63: kelas-kelas bakteriosin

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Produksi bakteriosin kasar asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang

mempunyai aktivitas antimikroba paling optimal terhadap ketiga bakteri indikator

(Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dihasilkan oleh media dengan

inducer tripton 1% yang dikondisikan pada pH 6. Karakterisasi bakteriosin kasar

1A5 menunjukkan bahwa komponen aktif yang bekerja menghambat ketiga bakteri

indikator adalah komponen antimikroba berupa bakteriosin yang merupakan

komponen protein. Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum

Bactericide Concentration (MBC) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

masing-masing adalah 70% dan 80% bakteriosin kasar 1A5.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan optimasi produksi

bakteriosin yang dipengaruhi oleh faktor nutrisi, pH maupun suhu. Perlu dilakukan

penelitian untuk menemukan pengganti media pertumbuhan bakteri asam laktat yang

lebih murah dan lebih mudah didapat guna mengoptimalkan produksi bakteriosin,

serta perlu dilakukan karakterisasi bakteriosin lebih lanjut menggunakan enzim

proteolitik yang lain (misalnya α-khimotripsin dan papain) dan enzim-enzim lain

selain enzim proteolitik (misalnya lipase dan amilase). Perlu juga diperlukan metode

lain (misalnya HPLC atau kromatografi) untuk purifikasi bakteriosin.

Page 64: kelas-kelas bakteriosin

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

beserta para keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si

(selaku pembimbing skripsi yang juga sebagai pembimbing akademik) dan Ibu Dr.

Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA yang telah membimbing, mengarahkan,

meluangkan waktu serta memberi semangat kepada penulis, mulai saat penyusunan

proposal, selama penelitian berjalan dan penulisan skripsi hingga ujian akhir sarjana.

Penulis kembali mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie

Maheswari, DEA selaku dosen penguji seminar, serta terima kasih kepada Bapak

Ahmad Yani, STP., MSi. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan selaku dosen

penguji sidang atas masukan-masukannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah tersayang Sudarsono dan Ibu

tercinta Emi Sumartini yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat,

dukungan penuh secara materil dan selalu mendoakan yang terbaik untuk

keberhasilan penulis. Terima kasih kepada Vighar Choirul Iqbal yang selalu

menguatkan, serta keluarga besar di Probolinggo atas segala dukungan dan doa yang

selalu mengalir dari pertama masuk hingga penyelesaian studi di IPB. Terima kasih

kepada Aditya Prasetya atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar LaRuBa (Edit

L. A., S.Pt., Dudi F., Siti K., Triani W., Ratih P., Umar W. dan M. Tito G.) serta

mbak Ari PAU atas bantuannya selama penelitian, teman senasib dan seperjuangan

Lamria Magdalena, keluarga besar tim penelitian (Ruben P., Astiani T. W., Fitri N.,

Lianti M., Puspita C. W., Anisa T. W., Retno P. K. D. dan Tantri S.), seluruh warga

IPTP 42, sahabat yang selalu ada (Nedia S., Reriel A. S., Restu M. dan Vivin K. W.)

dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala dukungan,

keceriaan, kebersamaan, perhatian, nasehat, kritik dan saran yang selalu diberikan.

Terakhir Penulis ucapakan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas

Peternakan IPB. Semoga skripsi ini berguna bagi masa depan.

Bogor, Nopember 2009

Penulis

Page 65: kelas-kelas bakteriosin

DAFTAR PUSTAKA

Abo-Amer, A. E. 2007. Characterization of a bacteriocin-like inhibitory substance

produced by Lactobacillus plantarum isolated from Egyptian home-made

yogurt. Sci. Asia. 33: 313-319.

Adam, M. R. and M. O. Moss. 2007. Food Microbiology.

http://books.google.co.id/books?id [01 September 2009].

Arief, I. I. 2005. Karakteristik dan nilai gizi protein daging sapi dark firm dry (DFD)

hasil fermentasi Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari daging sapi.

Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Perguruan Tinggi Hibah Bersaing XIII/I.

Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Arifin, M. 2009. Escherichia coli di air minum kita.

http://inspeksisanitasi.blogspot.com/2009/05/eschericia-coli.html [01

September 2009].

Axelsson, L. 2004. Lactic acid bacteria: classification and physiology. In: Salminen,

S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors). Lactic Acid Bacteria

Microbiological and Functional Aspects. 3rd

Edition, Revisied and Expanded.

Marcel Dekker, Inc., New York.

Bacteriological Analytical Manual. 2001. Aerobic plate count.

http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-toc.html [25 Juli 2009].

Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000.

Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada daging (CFU/g). Badan

Standarisasi Nasional, Jakarta.

Beavers, G. H. 2005. Microbiology. http://www.micro.iastate.edu/ugrad/student-

micro-image.html [29 Juli 2009].

Bomberg, R., I. Moreno, C. L. Zaganini; R. R. Delboni and J. De Oliveira. 2004.

Isolations of bacteriocin-producing lactic acid bactreria from meat and meat

products and its spectrum of inhibitory activity. Brazili. J. Microbiol. 35: 137-

144.

Branen, A. L. 1993. Introduction to use of antimicrobials. In: Davidson, P.M. and A.

L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 2nd

Edition, Revisid and

Expanded. Marcell Dekker, New York.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.

Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Clark, J. 2007. Asam kuat dan asam lemah. http://www.chem-is-try.org [26 Oktober

2009].

El-Naggar, M. Y. M. 2004. Comparative study of probiotik culture to control the

growth of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella typhimurium. J.

Biotechnol. 3 (2): 173-180.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 66: kelas-kelas bakteriosin

Fox, A. 2000. Enterobacteriaceae, vibrio, campylobacter and helicobacter.

http://www.thailabonline.com/bacteria4.htm [29 Juli 2009].

Frazier, W. C. and O. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4th

Edition. McGraw-

Hill Book Co., Singapore.

Garriga, M., M. Hugas, T. Aymerich and J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic

activity of lactobacilli from fermented sausages. J. Appl. Bacteriol. 75: 142-

148.

Gaspersz,V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung.

Gill, C. O. 1982. Microbial interaction with meat. In: Brown, M. H. (editor). Meat

Microbiology. Applied Science Publishers, Ltd., London.

Gillen, A. L. 2009. The genesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus.

http://www.answersingenesis.org/articles/aid/v4/n1/genesis-of-mrsa [29 Juli

2009]

Gonzales, B. E., E. Glaasker, E. R. S. Kunji, A. J. M. Driessen, J. E. Suarez and W.

N. K. Onings. 1996. Bactericidal mode of action of Plantaricin S. Appl.

Environ. Microbiol. 62: 2701-2709.

Hartoko. 2009. Analisis bahaya pada pangan.

http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/analisis-bahaya-pada-

pangan/ [01 September 2009].

Helander, I. M., A. von Wright and T. M. Mattila-Sandholm. 1997. Potential of lactic

acid bacteria and novel antimicrobial against Gram negative bacteria. Trends

in Food Sci. and Technol. Vol. 8.

Hidayati, N. 2006. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi L. plantarum asal daging

sapi dan aplikasinya pada kondisi pembuatan sosis fermentasi. Skripsi.

Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Holo, H., Z. Jeknic, M. Daeschel, S. Stevanovic and I. F. Nes. 2001. Plantaricin W

from Lactobacillus plantarum belongs to a new family of two–peptide

lantibiotics. Microbiol. 147: 643-651.

Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. T. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994.

Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th

Edition. Lippincott

Williams and Wilkins, Philadelphia.

Holzapfel, W. H. 1998. The Gram-positive bacteria associated with meat and meat

Production. In: Davis, A. and R. Board (editors). The Microbiology of Meat

and poultry. Blackie Academic and Profesional, London.

Hoover, D. G. and H. Chen. 2005. Bacteriocins with potential for use in food. In:

Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in

Food. 3rd

Edition. Taylor and Francis Group, New York.

Hugas, M. and J. M. Monfort. 1997. Bacterial starter cultures for meat fermentation.

Food Chem. (59) 4: 547-554.

53

Page 67: kelas-kelas bakteriosin

Jack, R. W., J. R. Tagg and B. Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria.

Microbiol. Rev. 59: 1416-1429.

Jenie, S.L., dan S. E. Rini. 1995. Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies

Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Bul. Teknol.

Industri Pangan. 7(2) : 46-51.

Jimenez-Diaz, R. 1993. Plantaricin S and two new bacteriocins produced by

Lactobacillus plantarum LPC010 isolated from a green olive fermentation.

Appl. Environ. Microbiol. 59: 1416-1429.

Kubo, I. H., H. Muroi and M. Himejima. 1993. Antimicrobial activity against

Streptococcus mutan of tea flavor component. J. Agric. Food Chem. 42:107-

111.

Levinson, W. 2004. Medical Microbiology and Immunology. Examination and

Broad Review. 8th

Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill, New York.

Mayes, P. A. 1997. Oksidasi biologi. Dalam: Murray, R. K., D. K. Granner, P. A.

Mayes and V. W. Rodwell. Biokimia Harper (editor). Edisi 24. Terjemahan

A. Hartono. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta.

McKane, L. and J. Kandel. 1985. Microbiology: Essential and Application. McGraw-

Hill Book Company, New York.

Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Murray, M. T. 2006. What are proteolytic enzymes? Proteolytic enzymes in cancer

therapy. http://www.doctormurray.com/articles/pdfs/ProteolyticsInCancer.

pdf [14 Agustus 2008].

Nielsen, S. S. 1998. Food Analysis. 2nd

Edition. Aspen Publisher Inc., Gaithersburg,

Maaryland.

Nielsen, S.S. 2003. Food Analysis Laboratory Manual. Plenum Publisher, New York.

Nowroozi, J., M. Mirzaii and M. Norouzi. 2004. Study of Lactobacillus as probiotic

bacteria. Iran. J. Publ. Health. 33 (2): 1-7.

Ogunbawo, S. T., A. I. Sanni and A. A. Onilude. 2003. Influence of cultural

conditions on the production of bacteriocins by Lactobacillus brevis OG1.

Afric. J. Biotechnol. 2 (7): 179-184.

Ouwehand, A. C. and S. Vesterlund. 2004. Antimicrobial components from lactic

acid bacteria. In: Salminen, S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors).

Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. 3rd

Edition,

Revisied and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.

Parada, J. L., C. R. Caron, A. B. P. Medeiros and C. R. Soccol. 2007. Bacteriocin

from lactic acid bacteria: purification, properties and use as biopreservatives.

Bracilli. Arch. J. Biol. Technol. 50 (3): 521-542.

54

Page 68: kelas-kelas bakteriosin

Pelczar, M. J. and R. D. Rheid. 1986. Microbiology. McGraw-Hill Book Co., New

York.

Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemahan R. S.

Hadioetomo, T. Imas, S. D. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas

Indonesia Press, Jakarta.

Permanasari, R. 2008. Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil

isolasi dari daging sapi dan aktivitas antagonistiknya terhadap bakteri

patogen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Piliang, W. G. dan H. M. Anwar. 1992. Biokimia dan Fisiologi Gizi. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat

Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantari dan C.C. Nurwitri. 1992.

Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan

Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rashid, Md. Hu., K. Togo, M. Ueda and T. Miyamoto. 2009. Characterization of

bacteriocin produced by Streptococcus bovis J2 40-2 isolated from traditional

fermented milk ’Dahi’. Anim. Sci. J. 80: 70-78.

Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd

Edition. CRC Press, New York.

Rini, E.S. 1995. Aktivitas antimikroba dari Lactobacillus terhadap bakteri patogen

dan perusak ikan Rucah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Risyahadi, S. T. 2009. Optimasi formula media pertumbuhan isolat bakteri SCG

1223 penghasil bakteriosin berbasis ekstrak taoge. Skripsi. Fakultas

Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Russell, A.D. 2005. Mechanisms of action, resistance and stress adaption. In:

Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in

Food. 3rd

Edition. Taylor and Francis Group, New York.

Samelis, J. and J. N. Sofos. 2003. Organic acids. In: Roller, S. (editor). Natural

Antimicrobial for the Minimal Processing of Foods. Woodhead Publishing,

Ltd., London.

Sani, H. A. 2008. Biokomia klinikal gangguan metabolisme protein dan asid amino.

http://www.karyanet.com.my/knet/ebook/preview/p_Biokimia_Klinikal_Gan

gguan_Metabolisme_Protein_dan_Asid_Amino.pdf [26 Juli 2008].

Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore. 2004. Antimicrobial

activities of lactic acid bacteria strain isolated from Burkina Faso fermented

milk. Pakistan J. Nutr. 3 (3): 174-179.

Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore. 2006. Bacteriocins

and lactic acid bacteria – a minireview. Afric. J. Biotechnol. 5 (9): 678-683.

55

Page 69: kelas-kelas bakteriosin

Simpson, R. J. 2006. Fractional Precipitation of Proteins by Ammonium Sulfate.

http://cshprotocols.cshlp.org/cgi/content/extract/2006/16/pdb.prot4309?print=

true [16 Juni 2009].

Smid, E. J. and L. G. M. Gorris. 2007. Natural antimicrobials for food preservation.

In: Rahman, M. S. (editor). Handbook of Food Preservation. 2nd

Edition.

CRC Press, New York.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Suhartono, M. T. 1992. Protease. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan

Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan

Pangan. Alumni, Bandung.

Todorov, S. D., C. A. van Reenen and L. M. T. Dicks. 2004. Optimization of

bacteriocin production by Lactobacillus plantarum ST13BR, a strain isolated

from barley beer. J. Gen. Appl. Microbiol. 50: 149-157.

Todorov, S. D. and L. M. T. Dicks. 2005. Effect of growth medium on bacteriocin

production by Lactobacillus plantarum ST194BZ, a strain isolated from boza.

Food Technol. Biotechnol. 43 (2): 165-173.

Torkar, K. G. and B. B. Matijasic. 2003. Partial characterization of bacteriocins

produced by Bacillus cereus isolates from milk and milk products. Food

Technol. Biotechnol. 41 (2): 121-129.

Venema, K., M. L. Chikindas, J. F. M. L. Seegers, A. J. Haandrikman, K. J.

Leenhouts, G. Venema and J. Kok. 1997. Rapid and efficient purification

method for small, hydrophobic, cationic bacteriocins: purification of

lactococcin B and pediocin PA-1. Appl. Environ. Microbiol. 63 (1): 305-

309.

Vigil, A.M. L., E. Palou, M. E. Parish and P. M. Davidson. 2005. Methods for

activity assay and evaluation of results. In: Davidson, P.M., J. N. Sofos and

A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 3rd

Edition. Taylor and

Francis Group, New York.

Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme. 1994. Lactic acid bacteria and bacteriocins: their

practical importance. In: Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme (editors).

Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria. Microbiology, Genetic and Application.

Blakie Academic and Profesional, London.

Wijayanto, U. 2009. Analisis in vitro toleransi bakteri asam laktat terhadap pH

lambung dan garam empedu sebagai kandidat probiotik. Skripsi. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

56

Page 70: kelas-kelas bakteriosin

LAMPIRAN

Page 71: kelas-kelas bakteriosin

Lampiran 1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan

Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media

Produksi yang Berbeda terhadap Staphylococcus aureus

ATCC 25923

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F P

Media Produksi 5 771,9 154,4 0,47 0,794

Galat 12 3966,0 330,5

Total 17 4737,9

Lampiran 2. Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan

Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media

Produksi yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium

ATCC 14028

Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z

NaCl 1% pH 5 3 71,69 4,7 -1,72

Tripton 1% pH 5 3 102,11 13,0 1,24

YE 3% + NaCl 1% pH 5 3 79,91 7,7 -0,65

NaCl 1% pH 6 3 71,54 5,0 -1,60

Tripton 1% pH 6 3 104,73 16,0 2,31

YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 88,03 10,7 0,41

Total 18 9,5

H = 10,82 Db = 5 P = 0,055

Lampiran 3. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan

Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media

Produksi yang Berbeda terhadap enteropathogenic

Escherichia coli K11 (EPEC K11)

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F P

Media Produksi 5 1247,0 249,4 1,05 0,435

Galat 12 2861,3 238,4

Total 17 4108,3

58

Page 72: kelas-kelas bakteriosin

Lampiran 4. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F P

Lama Simpan 2 38,732 19,366 2,17 0,195

Galat 6 53,480 8,913

Total 8 92,213

Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028

Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z

NaCl 1% pH 6 3 7,200 4,2 -0,65

Tripton 1% pH 6 3 8,120 8,0 2,32

YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 6,680 2,8 -1,68

Total 9 5,0

H = 5,80 Db = 2 P = 0,055

Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin

Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11

(EPEC K11)

Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z

NaCl 1% pH 6 3 6,550 4,5 -0,39

Tripton 1% pH 6 3 6,380 4,5 -0,39

YE 3% + NaCl 1% pH 6 3 6,580 6,0 0,77

Total 9 5,0

H = 0,61 Db = 2 P = 0,739

Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar

1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap

Staphylococcus aureus ATCC 25923

Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z

Enzim Pepsin 3 12,03 5,0 0,00

Enzim Tripsin 3 0,00 2,0 -2,32

Tanpa Enzim 3 27,15 8,0 2,32

Total 9 5,0

H = 7,45 Db = 2 P = 0,024

59

Page 73: kelas-kelas bakteriosin

Uji lanjut multiple range

[Ri-Rj] [Ri-Rj] ≤ Z[K(N+1)/6]0.5

R1-R2 12,57 > 4,1*

R1-R3 14,53 > 4,1*

R2-R3 27,10 > 4,1*

Lampiran 8. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5

dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella

typhimurium ATCC 14028

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F P

Enzim 2 0,015098 0,007549 4,72 0,059

Galat 6 0,009593 0,001599

Total 8 0,024691 Keterangan: data yang digunakan adalah data yang telah ditransformasi logaritma karena data asli

yang didapat tidak memenuhi Uji Asumsi Analisis Keragaman

Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar

1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap

enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)

Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z

Enzim Pepsin 3 12,40 8,0 2,32

Enzim Tripsin 3 0,00 2,0 -2,32

Tanpa Enzim 3 6,38 5,0 0,00

Total 9 5,0

H = 7,45 Db = 2 P = 0,024

Uji lanjut multiple range

[Ri-Rj] [Ri-Rj] ≤ Z[K(N+1)/6]0.5

R1-R2 12,57 > 4,1*

R1-R3 6,54 > 4,1*

R2-R3 6,03 > 4,1*

60

Page 74: kelas-kelas bakteriosin

Lampiran 10. Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer

NB untuk Penentuan MIC dan MBC

Lampiran 11. Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus

plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat

Lampiran 12. Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm)

Presipitat

Supernatan

Antimikroba

Amonium

sulfat

61