kejang demam anak

37
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak- anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995). Hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya. Masa kanak – kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah kejang demam. ( Soetjiningsih, 2011).

Upload: albernande1993

Post on 16-Sep-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kejang Demam anak

TRANSCRIPT

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).

Hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita

BAB IPENDAHULUANA. Latar belakangAnak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya. Masa kanak kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah kejang demam. ( Soetjiningsih, 2011).

Menurut Abdoerrachman ( 2007 ) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan anak yang berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam yang semakin tinggi (suhu mencapai 38oC atau lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit. Kejang demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). Kejadian kejang demam ini sendiri tidak terlalu banyak hanya 2 - 5%. Walaupun penderita kejang demam hanya sedikit tetapi masyarakat kerap kali mengganggap remeh hal tersebut. Mereka percaya anak yang tiba-tiba kejang itu menderita epilepsi ataupun kerasukan bahkan beranggapan bahwa hal tesebut merupakan suatu hal yang wajar yang akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan pengobatan intensif dari tenaga kesehatan ( Lumbantobing, 2007 ). Prevalensi kejang demam sekitar 2 - 5 persen pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Diantaranya; usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara semua usia, bayi yang paling rentan terkena step atau kejang demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50 persen ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28 persen. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan. Namun risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50 - 100 persen. Dan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko terjadinya kejang demam berulang ( Ugart, 2011 ). Kejang dapat terjadi pada waktu demam. Dikatakan demam jika suhu mencapai 37,8 derajat celcius atau lebih yang diukur secara rektal. Kejang demam dapat dipicu karena faktor infeksi di bagian ekstrakranial (luar otak). Di antaranya karena penyakit diare, otitis media, pneumonia, faringitis. Beberapa penelitian, melaporkan kejang terjadi pada suhu 38 derajat celcius. Tapi ada juga demam suhu rendah, namun bisa membuat anak kejang (Teriosa, 2011).Komplikasi dari kejang demam ini masih kontraversi, ada beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang demam ini tidak mengakibatkan kerusakan otak yang berarti seperti hasil penelitian dari The National Collaborative Perinatal Project di Amerika yang mengikuti 1706 anak kejang demam sampai berumur usia 7 tahun dan hasilnya tidak didapatkan adanya kematian sebagai akibat dari kejang demam. IQ anak kejang demam ini juga dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan menggunakan WICS, hasilnya angka rata-rata untuk IQ pada setiap anak tidak berbeda dengan saudara kandung yang tidak menderita kejang demam, tetapi ada beberapa peneliti seperti Aicadi dan chevrie yang meneliti 402 anak yang menderita kejang demam dan didapat hasil 131 mendapatkan sekuele, yaitu : 114 penderita epilepsi, 54 retadansi mental, 37 menderita kelainan neurologi, 24 dengan hemiplegia (lumpuh sebelah). Mereka menderita skuele ini sebelum kejang demam adalah anak yang normal (Lumbantobing, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang Anak RSUD M.Yunus Bengkulu tercatat pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 789 anak dirawat, sedangkan pada tahun 2011 ditemukan sebanyak 934 anak dirawat di ruang Anak RSUD M.Yunus. Sedangkan untuk kejang demam di RSUD M. Yunus Bengkulu penyakit kejang demam termasuk 5 besar penyakit yang paling banyak diderita disana. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah kasus kejang demam pada anak yang terjadi pada tahun 2010 sebanyak 127 kasus sedangkan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 140 kasus kejang demam . dengan rincian sebagai berikut :Tabel 1Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demamdi Ruangan anak RSUD. M. Yunus tahun 2010 dan 2011NoBulanTahun

20102011

1Januari1615

2Februari149

3Maret1810

4April411

5Mei512

6Juni1412

7Juli128

8Agustus1218

9September1116

10Oktober49

11November511

12Desember129

JUMLAH127140

Sumber : Rekam medik RSUD. M. Yunus Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam untuk untuk daerah Bengkulu pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 127 meningkat menjadi 140 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan.Berdasarkan data yang diambil dari ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara penyakit kejang demam masih cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya 23 anak yang menderita kejang demam pada tahun 2010 dan 32 anak terserang kejang demam pada tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut :Tabel 2Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demamdi Ruangan Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2010 dan 2011NoBulanTahun

20102011

1Januari22

2Februari11

3Maret14

4April51

5Mei14

6Juni-2

7Juli23

8Agustus23

9September13

10Oktober-5

11November51

12Desember23

JUMLAH2332

Sumber : Register Ruang Melati RSUD Arga Makmur Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 23 meningkat menjadi 32 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui adakah Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan peneliti angkat dalam karya tulis ilmiah ini adalah :

1. Apakah ada hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.2. Apakah ada hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan UmumUntuk mengetahui hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui gambaran umur balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.

b. Untuk mengetahui gambaran suhu tubuh balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.

c. Untuk mengethaui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2011.d. Untuk mengetahui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.e. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.

f. Untuk mengetahui hubungan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.

D. Manfaat Penelitian1. Manfaat bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pelaksanakan penanganan pasien balita dengan kejang demam.

2. Untuk Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan sumber pustaka tentang kejang demam.

3. Manfaat bagi pengembangan penelitianDiharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang sangat berguna bagi penelitian lain yang ingin melanjutkan penelitian ini.E. Keaslian Penelitian 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Saras Husada Purworejo tahun 2010 oleh Prasojo Nugroho.BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Konsep Kejang Demam1. Pengertian Kejang Demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumbantobing,2007).Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh rektal diatas 38C ( Sujono Riyadi, 2009).Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial (Abdoerrachman, 2007).2. Etiologi Menurut Lumbantobing (2007) etiologi kejang demam adalah:a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih.b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.e. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan .3. Anatomi FisiologiSeperti yang dikemukakan Syaifuddin ( 1997) system saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).

Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.

Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :

a. Cerebrum (otak besar)

Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.

Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.

Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.

Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :

1) Thalamus

Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.

2) Hypothalamus

Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.

3) Formation Reticularis

Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.

b. Serebellum

Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.

System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :

1) N. I : Nervus Olfaktorius

2) N. II : Nervus Optikus

3) N. III : Nervus Okulamotorius

4) N. IV : Nervus Troklearis

5) N. V : Nervus Trigeminus

6) N. VI : Nervus Abducen

7) N. VII : Nervus Fasialis

8) N. VIII : Nervus Akustikus

9) N. IX : Nervus Glossofaringeus

10) N. X : Nervus Vagus

11) N. XI : Nervus Accesorius

12) N. XII : Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.

Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :

1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya

2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis

3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.

System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :

Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:

1) Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak

2) Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.

4. PatofisiologiUntuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis dan kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnay sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih (Abdoerrachman,2007).5. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejang demama. Faktor umurFaktor umur merupakan salah satu faktor resiko utama yang berhubungan dengan kejang demam karena hal ini erat kaitannya dengan kematangan otak, tingkat kematangan otak dalam bidang anatomi, fisiologi dan biokimiawi otak ( Lumbantobing,2007).Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi, dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram, proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-cabang akson ( dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel terprogram dan plastisitas.Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif.Sel neuron yang tidak terkena proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibtakan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam akan mengakibatkan aberran palstisity, yaitu penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebgaai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut developtmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun ( Soetomenggolo, 2007 ).Umur dapat menentukan kemungkinan terjadinya penyakit tartentu sepanjang jangka hidup. Kerentanan terhadap infeksi berubah, bayi sangat rentan terhadap infeksi, lahir dengan hanya memiliki anti body dari ibu, sistem imunimatur bayi belum mampu menghasilkan immunoglobulin yang diperlukan. Kejang demam merupakan kelainan neorologis yg paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak 6 bulan sampai 5 tahun ( Ngastiyah 2007 ). Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Buchthal didapatkan sebagian besar kejang demam yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 bulan sampai 2 tahun dan 16,5 % terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun ( Lumbantobing,2007).b. Faktor suhu tubuh. Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8C aksila atau 38C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007).Friedrichsen dan Melchior dalam penelitiannya membagi anak yang demam dalam 2 kelompok yaitu yang mempunyai suhu dibawah 39C dan yang di atasnya. Didapatkannya bahwa insiden kejang demam pada kelompok anak demam yang bersuhu dibawah 39C adalah 24% dan di atas 39C adalah 64%. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat berpengaruh terjadinya bangkitan kejang demam karena pada suhu tubuh yang tinggi dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan potensial membran di otak yang akhirnya melepaskan muatan listrik dan menyebar ke seluruh tubuh ( Lumbantobing,2007).Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam.c. Faktor riwayat keluargaTsuboi melaporkan penelitian terhadap 32 pasang anak kembar dan 673 kasus bersaudara kandung, didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot. Pewarisan multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga, dan hanya sedikti yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian tsuboi mungkin sekali terdapat suatu sub kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal dominan untuk kejang demam. Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh pada kejang demam amak perlu terlebih dahulu diketahui bebrapa sindrom yang terkait dengan kejang demam, karena masing-masing sindroma memiliki jenis mutasi gen yang berbeda.Mekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut ekstabilitas neuron dapat mencetuskan bangkitan kejang (Lumbantobing,2007). Penelitian yang dilakukan oleh lumbantobing mendapatkan hasil bahwa 20-25% penderita kejang demam mempunyai riyawat keluarga yang juga pernah menderita kejang demam.d. Faktor usia saat ibu hamilMenurut Soetomenggolo(2007), usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan, komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklampsia, sedangkan ggangguan pada persalinan adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.e. Lama demam sebelum kejang.

Makin pendek jarak antar mulainya demam dengan terjadinya kejang demam, makin besar risiko berulangnya kejang demam.

6. Manifestasi KlinisMenurut Sujono (2009) manifestasi klinis yang muncul pada penderita kejang demam adalah :a. Suhu tubuh anak lebih dari 38C.b. Timbul kejang yang bersifat tonik-klonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persyarafan.c. Terjadi penurunan kesadaran.Sedangkan menurut Arief Mansjoer ( 2008 ) umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Kejang yang lain juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.Abdoerrachman (2007) mengklasifikasikan kejang demam menjadi:a. Kejang demam sederhana ( simple febrile seizures )Merupakan kejang demam dengan karakteristik:1) Kejang demam yang berlangsung singkat, umumnya serangan akan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari 15 menit.2) Bangkitan kejang tonik atau tonik-klonik, tanpa gerakan fokal.3) Kejang akan terjadi dengan peningkatan suhu 37,8 0C sampai dengan 38 0C. 4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau hanya terjadi sekali dalam 24 jam.5) Keadaan nurologi normal dan setelah kejang juga tetap normal.6) EEG ( electro enchephalography-rekaman otak ) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal.b. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizures )Merupakan kejang demam dengan karakteristik:1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.2) Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial lebih dar 1 kali dalam 24 jam.3) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam dengan suhu dengan ambang kejang tinggi yaitu pada suhu 40 0C.7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah perifer ( tepi ) lengkap

2) Elektrolit3) Glukosa darah4) Kalsium serum

5) Urinalisis

6) Biakan darah, urin, atau feses (tinja).b. Pemeriksaan Lumbal 1) Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering tidak jelas.2) Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis.3) Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal tidak dianjurkan.c. Elektro Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Indikasi pemeriksaan CT Scan dan MRI:

1) Dijumpai kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis).

2) Ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala.3) Kemungkinan terdapat lesi struktural di otak (mirosefali, spastik).4) Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil) ( Arief Mansjoer, 2008).8. Komplikasi Komplikasi tergantung pada :

a. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita demam kejang

c. Kejang berlangsung lama atau kejang tikal

Bila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 % dibandingkan bila hanya 1 atau tidak ada sama sekali faktor tersebut. Serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. Hemiparesis biasanya terjadi pada klien yang mengalami kejang lama ( berlangsung lebih dari 30 menit) ( Ngastiyah, 2007).Dari suatu penelitian, demam kejang sederhana menyebabkan kelainan pada IQ tetapi pada klien demam kejang yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya, jika demam kejang diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar. Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.( Ngastiyah, 2007).9. PenatalaksanaanMenurut Sujono Riyadi (2009)a. Penatalaksanaan di rumah sakit.1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan dosis pemberian maksimal 5 mg pada anak yang kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama, Apabila masih kejang maka tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakel atau trakeostomi.3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium ( Na Cl ) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel sebagai berikutTabel 3Kebutuhan cairan pada anakUmurBB kgKebutuhan Cairan

Kg BB

0-3 hari3150

3-10 hari3,5125-150

3 bulan5140-160

6 bulan7135-155

9 bulan8125-145

1 tahun9120-135

2 tahun11110-120

4 tahun16100-110

6 tahun2085-100

10 tahun2870-85

14 tahun3550-60

5) Pemberian kompres air hangat untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah. Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemebrian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 kali pemberian.6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi odema otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih kurang 15 derajat.7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler.b. Penatalaksanaan di rumah.1) Saat anak mengalami kejang demam, letakkan anak di lantai atau tempat tidur. Jauhkan semua benda yang keras, tajam, yang bisa membahayakan atau dapat menimbulkan luka.2) Jangan memasukkan atau menaruh apapun ke dalam mulut anak, misalnya jari tangan, sendok ataupun yang lain.3) Jangan menguncang-guncang atau berusaha membangunkan anak .4) Bila anak sudah berhenti kejang, miringkan tubuh anak atau palingkan kepalanya ke salah satu sisi sehingga saliva atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut.5) Bila kejnag berlangsung lebih dari lima menit, penanganan gawat darurat harus dilakukan segera untuk mengehntikan kejang. Bila perlu panggil petugas medis untuk memberikan penanganan tersebut atau bawa anak ke rumah sakit ataupu pusat kesehatan masyarakat terdekat.10. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya kejang demam dan komplikasinya, dapat diberikan fenobarbital serta fenitoin dengan indikasi khusus yang dapat diberikan 2 tahun bebas kejang atau sampai usia 6 tahun. Jika anak sudah diketahui mempunyai riwayat kejang demam, hindarkan anak dari penyebab-penyebab yang memungkinkan demam, hindarkan juga anak dari anggota keluarga yang sedang demam, misalnya influenza. Memberikan imunisasi yang lengkap merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi resiko sakit. Jika anak mengalami demam, sesegera mungkin berikan obat penurun panas untuk mencegah kemungkinan terjadinya kejang ( Tejani, 2010 ).Pemeriksaan EEG dan Pemeriksaan darah saat Anak kejang.

alam menyikapi masalah kejang demam ini, biasanya bukan hanya orangtua yang cemas. Terkadang, sebagian dokter yang menangani juga terbawa arus emosi orangtua dengan melakukan intervensi yang berlebihan khususnya dalam penanganan dan pemeriksaan. rosedur penanganan yang seharusnya diminimalkan, tetapi seringkali terlalu kaku dalam menerapkan teori dan protap sehingga menimbulkan penanganan dan pemeriksaan laboratorium yang berlebihan seperti pemeriksaan gula darah, elektrolit, pemeriksaan EEG, CT Scan atau MRI. Pemeriksaan dan penegakaan diagnosis klinis kejang demam tak terlalu banyak kecuali untuk mencari penyebab kejang atau bila terdapat kejang demam kompleks atau komplikata. Dokter biasanya menanyakan riwayat kejang demam pada anggota keluarga. Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab seperti darah tepi, elektrolit dan gula darah. Bila tak ada riwayat pengeluaran cairan seperti muntah, diare, dan tanda kekurangan cairan lainnya sebenarnya pemeriksaan ini tidak perlu. Dalam praktek sehari-hari, sering dijumpai anak dengan keadaan normal, makan minum baik dan tidak ada riwayat yang berpotensi gangguan keseimbangan elektrolit dan gula darah selalu diperiksa. Pemeriksaan radiologi atau rontgen seperti X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi bila curiga meningitis (infeksi selaput otak), ensefalitis (infeksi otak) atau abses otak. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) seperti tindakan fungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas misalnya kejang demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal. Jika seorang anak yang diimunisasi lengkap sesuai jadwal bila mengalami kejang demam sederhana, dengan cukup melakukan intervensi minimal dan pemeriksaan minimal sebaiknya tidak harus dikhawatirkan. Pemeriksaan darah rutin dan pungsi lumbal rutin biasanya tidak perlu, dan risiko dari prosedur neurodiagnostik (pencitraan atau EEG), antipiretik dan antikonvulsan profilaksis jauh lebih besar daripada manfaatnya.