kejang demam
DESCRIPTION
kejang demamTRANSCRIPT
Nama Peserta : dr. Nurhalimah Nasution
Nama Wahana : RSUD Kecamatan Mandau
Topik : Kejang Demam Komplek
Tanggal (Kasus) : 10 May 2016
Nama Pasien : An. MM No. RM : 08.95.06
Tanggal Persentasi : 1 Juni 2016 Nama Pendamping : dr. Henny Susiana
Tempat Persentasi : RSUD Kecamatan Mandau
Obyektif Persentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
N Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Seorang anak laki- laki usia 2 tahun 5 bulan dibawa oleh orang tuanya ke IGD dengan keluhan kejang 6 jam SMRS sebanyak 2
kali, lama kejang pertama 15 menit . tangan dan kaki kelonjotan, mata mendelik keatas. Setelah kejang anak tidak sadar .2 jam
1
kemudian anak kejang kedua dengan pola yang sama .Lama kejang kedua 15 menit. Sebelumnya pasien dibawa ke praktek bidan ,
diperiksa suhu 390C, dan mendapatkan dumin supp 125 mg, stesolit -, Kemudian pasien di rujuk ke RSUD Kec Mandau. Selama di
perjalanan pasien masih kejang. Demam 1 hari ini. Muntah-, batuk -, pilek -, BAB normal. BAK terakhir 5 jam SMRS. Riwayat
kejang sebelumnya + saat umur 7 bulan .
,,
Tinjauan Pustaka
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Persentasi dan diskusi Email Pos
Data Pasien : Nama : An. MM No. Registrasi : 08.95.06
Nama Klinik : RSUD Kecamatan Mandau Telp : - Terdaftar Sejak : -
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
1. Demam
2. Kejang Berulang
2. Riwayat Pengobatan : Dumin supp 125 mg
2
3. Riwayat kesehatan/penyakit : riwayat kejang demam saat umur 7 bulan.
4. Riwayat Keluarga : -
5. Riwayat pekerjaan : -
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik : pasien tinggal dipermukiman yang cukup ramai, rumah permanen, ventilasi cukup, penerangan
cukup
7. Lain – lain : ( diberi contoh : Pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, sesuai dengan fasilitas wahana )
Pemeriksaan Fisik :
KU : tampak sakit berat Kesadaran : Somnolen BB: 11 kg
TTV : N : 150x/menit, pulse cepat, regular, isian cukup S : 38,0 0c RR :28 x/menit
Kepala : dalam batas normal
Mata : konjungtiva anemis : -/- Sklera ikterik : -/-, pupil isokor+/+
Hidung : napas cuping hidung (-/-)
Leher : kaku kuduk -
Thorak : gerakan dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), retraksi substernal (-)
Jantung : BJ I dan II regular, tunggal, gallop (-), murmur (-)
Paru : suara nafas vesikuler, ronkhi(-/-), Wheezing (-/-) pada kedua lapangan paru
Abd : tampak datar, supel
Ekst : Akral hangat, CRT < 2”, brudzinki I dan II -
3
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium:
1. Hb : 9 gr/dl, leukosit: 18.100/ul, Ht 28%, trombosit : 317.000/ul
Daftar Pustaka
1. Talsim. S. Soetomenggolo, Sofyan Ismail. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta.
2. Pusponegoro, Hardiono. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. IDAI. Jakarta.
3. Hirz, DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997; 18:5-9
4. AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics 1996; 97:769-74
5. Waldo. E., Neelson, MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of Pediatri). Edisi 15. Jakarta. EGC.
6. Febrile Seizures. Cited Mei 2003.
http://www.emedicine.com/emerg/topic376.htm.
7. Masnsjoer, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
8. ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 1993;34; 592-B
9. http://adc.bmjjournals.com/cgi/content/full/89/8/751 . Febrile Seizures : An Update. Cited February 28th 2004.
10. C M Verity. 1999. Risk of epilepsy after febrile convulsions: a national cohort study. BMJ Volume 303: 1373 -1376
11. Sunartini. 2003. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003.
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada Yogyakarta.
4
12. Anonim. 2005. Kejang Demam. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
13. Rudolf. M. 2002. Rudolf’s Pediatrics 21th Edition. USA. The McGraw-Hill Companies, Inc
14. Carol S. Camfield. 2006. Febrile Seizure.
15. http://www.prodigy.nhs.uk/ProdigyKnowledge/PatientInformation/Content/pils/PL63.htm . Febrile Convulsion. Cited November 2005.
16. Craig R. Warden. 2003. Evaluation and Management of Febrile Seizures in the Out-of-Hospital and Emergency. [Ann Emerg Med.
2003;41:215-222
17. Tonia Jones. 2007. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications. Int. J. Med. Sci. 2007, 4
18. Komite Medik RSUP DR. Sardjito. Standar Pelayanan Medis RSUP.DR. Sardjito. 1999. Medika Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjahmada Yogjakarta.
19. Lumbantobing. 1999. Kejang Demam (Febrile Convulsion). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
20. Wong V dkk,. 2002. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J Paediatr (new series) 2002;7:143-151
21. Mark A. Klebanoff. 2009. The Collaborative Perinatal Project: A 50-Year Retrospective. Epidemiology Branch, Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development, National Institutes of Health, Department of Health and Human Services
22. National Institutes of Health. Consensus Development Conference Statement May 19-21, 1980
23. Talsim. S. Soetomenggolo,dkk. 2005. Konsesus Penanganan Kejang Demam. IDAI . Jakarta.
Subjektif
Seorang anak laki- laki usia 2 tahun 5 bulan dibawa oleh orang tuanya ke IGD dengan keluhan kejang 6 jam SMRS sebanyak 2 kali,
lama kejang pertama 15 menit . tangan dan kaki kelonjotan, mata mendelik keatas. Setelah kejang anak tidak sadar .2 jam kemudian
anak kejang kedua dengan pola yang sama .Lama kejang kedua 15 menit. Sebelumnya pasien dibawa ke praktek bidan , diperiksa
suhu 390C, dan mendapatkan dumin supp 125 mg, stesolit -, Kemudian pasien di rujuk ke RSUD Kec Mandau selama di perjalanan
5
pasien masih kejang. Demam 1 hari ini. Muntah-, batuk -, pilek -, BAB normal. BAK terakhir 5 jam SMRS. Riwayat kejang
sebelumnya + saat umur 7 bulan .
Objektif
Pemeriksaan Fisik :
KU : tampak sakit berat Kesadaran : Somnolen BB: 11 kg
TTV : N : 150x/menit, pulse cepat, regular, isian cukup S : 38,0 0c RR :28 x/menit
Kepala : dalam batas normal
Mata : konjungtiva anemis : -/- Sklera ikterik : -/-, pupil isokor+/+
Hidung : napas cuping hidung (-/-)
Leher : kaku kuduk -
Thorak : gerakan dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), retraksi substernal (-)
Jantung : BJ I dan II regular, tunggal, gallop (-), murmur (-)
Paru : suara nafas vesikuler, ronkhi(-/-), Wheezing (-/-) pada kedua lapangan paru
Abd : tampak datar, supel
Ekst : Akral hangat, CRT < 2”, brudzinki I dan II -
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium:
2. Hb : 9 gr/dl, leukosit: 18.100/ul, Ht 28%, trombosit : 317.000/ul
Assesment6
Kejang Demam Kompleks
Planning
- O2 1 L/menit
- Stesolit 10 mg ( di berikan dua kali dengan selang waktu 5 menit)
- IVFD RL 10 gtt mak/i
KOnsul dr Spesialis Anak
- IVFD RL ¼ NS 8 gtt mak/i
- Inj ceftriaxone 1 gr/ 24 jam
- Inj dexametason 2,5 mg/ 8 jam
- Paracetamol syr 3 x cth 1 ½ jika demam > 37,5
- Dumin Supp 125 mg , jika demam> 38,5
-
7
KEJANG DEMAM1. Defenisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38,5 0 celcius) yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium. Nilai ambang kejang antara suhu (38,8 - 41,4)0C. Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan
sampai dengan 5 tahun.1,4
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi
antara umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab
tertentu. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang
pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf
pusat.5,6,7
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan
epilepsy yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif
epidemiologi membuktikan bahwa resiko berkembangnya epilepsy atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang
diperkirakan.5 Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung
kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1
kali kejang dalam 24 jam).6,7
2. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.5
8
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat
yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis,
ISPA, furunkulosis, meningitis, post imunisasi dan lain-lain.1
3. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan
baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan melalui
fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi CO2 dan
air.11
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal, membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan
di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh
adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.11, 14
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan
salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering
penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada
keadaan demam, kenaikan suhu 10 celsius akan mengakibatkan kenaikan metabolism basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. 1
9
Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter
dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya, seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu
380C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400 C atau lebih. Berdasarkan hal
ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang.11
Sedangkan terjadinya demam berasal dari adanya bahan-bahan pirogen. Eksogenous pirogen berasal dari luar tubuh, contohnya
bakteri, virus, jamur dan toksin. Eksogenous pirogen ini bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pembentukkan leukosit maupun
sel phagosit (monosit, neutrofil, limfosit, sel glial endothelium, sel mesangium mesenchymal) untuk memproduksi bahan-bahan
endogenous pirogen seperti IL-1, TNF. Endogenous pirogen diproduksi diluar CNS (sirkulasi sistemik) akan membentuk
prostaglandin E2, dimana prostaglandin E2 ini akan menganggu fungsi thermoregulasi di hipothalamus. Akibatnya akan terjadi
peningkatan titik pusat suhu di hipothalamus dan bagian perifer tubuh ikut merespon terjadinya peningkatan suhu tubuh.13
10
Gambar 2.1. Patofisiologi Demam (Atlas of Pathofisiology)
11
4. Klasifikasi
Kejang demam menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam IDAI 2006 memiliki 2 bentuk yakni kejang demam
kejang demam sederhana dan kejang demam komplek. 80% dari kasus kejang demam merupakan kejang demam sederhana sedangkan
20% kasus adalah kejang demam komplek.
4.1. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) memiliki beberapa kriteria, yakni:
1. Kejang berlangsung singkat < 15 menit.
2. Kejang berhenti sendiri tanpa pengobatan.
3. Kejang bersifat umum tonik atau klonik tanpa gerakan umum.
4. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
4.2. Kejang Demam Komplek
Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri – ciri gejala klinis sebagai berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului oleh suatu kejang parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Menurut Livingstone, kejang demam komplek digolongkan sebagai epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang tipe ini
mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan factor pencetus saja.7
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada
kejang yang berlangsung lama, lebih dari 15 menit, biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi 12
untuk kontraksi otot skelet yang pada akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan oleh
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah penyebab
rusaknya neuron otak selama berlangsung kejang yang lama. Faktor terpentiang adalah terjadinya gangguan peredaran darah yang
menyebabkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi
”matang” sehingga dapat terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan antomis di otak hingga terjadi epilepsi.7
5. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat
yang disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dan dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.7
6 Diagnosis
6.1. Anamnesis
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien (autoanamnesis) atau
kepada orang tua atau sumber lain (aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar. Dalam anamnesa khususnya pada penyakit anak
dapat digali data – data yang berhubungan dengan kejang demam meliputi:
13
a. Identitas.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan
suku bangsa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6
bulan sampai dengan 5 tahun.6
b. Riwayat Penyakit.
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau
gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan penyakit disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien mendapat pengobatan
sebelumnya, perlu ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat yang sudah diberikan, hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat
adanya reaksi alergi terhadap obat.6
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu
ditanyakan berapa lama demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten, intermitten, kontinou, apakah
terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang menyertai demam juga perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang, kesadaran
menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas, adanya manifestasi perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit
infeksi dan non infeksi. Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan terhadap penyebab demam itu sendiri.6
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak
antara demam dengan onset kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya atau sudah pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa
kali (frekuensi per tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang pertama); apakah terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa
lama waktu sekali kejang. Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan, kesadaran pada saat kejang dan setelah kejang. Gejala
lain yang menyertai juga penting termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran, dan apakah ada kemunduran
14
kepandaian anak. Pada kejang demam juga perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana atau kejang suatu epilepsi yang
dibangkitkan serangannya oleh demam (berdasarkan kriteria Livingstone).6
c. Riwayat Kehamilan Ibu.
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi
penyakit. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman keras, konsumsi makanan ibu selama hamil.6
d. Riwayat Persalinan.
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah
lahir, berat badan dan panjang badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah lahir. Perlu juga ditanyakan masa kehamilan apakah
cukup bulan atau kurang bulan atau lewat bulan. Dengan mengetahui informasi yang lengkap tentang keadaan ibu saat hamil dan
riwayat persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb
yang mungkin berhubungan dengan riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang demam.6
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan
terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari KMS atau kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Status perkembangan pasien perlu
ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, sosial-personal, dan bahasa.6
f. Riwayat Imunisasi.
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya
kejadian ikutan pasca imunisasi.6
g. Riwayat Makanan.
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.6
15
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah
mengalami penyakit saraf sebelumnya
6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien
antara lain meliputi kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda – tanda vital pasien (kesadaran pasien,
nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat badan, lingkar
kepala, lingkar dada).6
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke
suatu diagnosis. Pada pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan dengan terjadinya kejang dan
demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab bias
infeksi maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila
maupun rektal. Perlu dicari adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada infeksi baik virus, bakteri
maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non infeksi seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai
dengan dengan pucat, panas, atau perdarahan.6
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah kejang disebabkan oleh proses ekstra atau
intrakranial. Jika kita mendapatkan pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau
fokal. Amati pula kesadaran pasien pada saat dan setelah kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi;
rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya paresis, paralisa; adanya spastisitas; pemeriksaan reflek
patologis dan fisiologis.6
6.3. Pemeriksaan Penunjang
16
Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi/ mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan
gula darah).20
b. pemeriksaan radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
c. pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- bayi < 12 bulan : diharuskan
- bayi antara 12-6 bulan : dianjurkan
- bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak
tampaknya tanda meningeal pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun infeksi intrakranial
lain tanpa dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal pungsi.4
d. pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam, oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang
demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).4
17
Pemeriksaan EEG yang dibuat 8-10 hari setelah panas tidak menunjukkan kelainan. Dan hanya sebanyak 5% dari anak normal
memiliki gambaran EEG yang abnormal. EEG abnormal juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
di kemudian hari.1,4
7. Diagnosis Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang
berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga
dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.1
8. Penatalaksaan
Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab,
pengobatan profilaksis.
8.1 Pengobatan fase akut
Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien
dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Penghisapan lendir dilakukan
secara teratur, diberikan oksigen, kalau perlu intubasi. Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan
fungsi jantung.1
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke tempat pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti.
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
18
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2 menit dengan dosis
maksimal 20 mg.11
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke rumah sakit. Dan disini
dapat dimulai pemberian diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan
fenithoin secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti, selanjutnya diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading dose). Bila kejang belum
berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.16
Pemakaian antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya
kejang (1/3 s.d 2/3 kasus). Begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.16
19
Diagram 1. Algoritme Penanganan Kejang Demam
20
Menurunkan Demam
Pada dasarnya demam tidak mengakibatkan kerusakan otak jika suhu berada di bawah 41,70C. Untungnya, otak tetap menjaga
keseimbangan suhu didalamnya dari demam yang tidak teratasi sampai batas suhu 41,10C. Meskipun setiap anak mempunyai
kemungkinan untuk demam, namun hanya 4% yang berkembang menjadi kejang demam.
Untuk anak dengan kejang demam, demam dengan delirium ataupun peningkatan suhu diatas 41,10C, terindikasi untuk
dilakukan kompres dengan air biasa (lukewarm = hangat kuku), dan tidak dengan alkohol., ataupun air es.
Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam.
Obat-obat penurun panas yang dapat digunakan adalah :
Asetaminophen / parasetamol
Asetaminofen diindikasikan untuk anak yang berumur diatas 2 bulan, jika suhu tubuh diatas 390C atau jika anak terlihat tidak
nyaman. Namun beberapa referensi menyatakan bahwa seringkali suhu saat panas tidak diketahui secara pasti, sehingga penggunaan
obat antipiretik bisa digunakan dengan melihat kondisi anak (merasakan suhu anak dengan perabaan). Dosis yang digunakan adalah
10-15 mg/kgbb/kali.10,12 Dapat diberikan tiap 4-6 jam dan akan menurunkan suhu 1-20C dalam waktu 2 jam.18 Pemberian
asetaminofen sebaiknya dilakukan 30 menit sebelum dikompres, karena apabila kompres dilakukan sebelum munculnya efek dari
asetaminofen, akan berdampak terhadap peningkatan suhu tubuh yang lebih tinggi lagi dan anak akan menggigil.20
Ibuprofen Sirup
Ibuprofen sama halnya dengan asetaminofen, memiliki kesamaan dalam keaamanan dan kemampuannya mengatasi demam.
Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, diberikan tiap 6-8 jam sekali.20
Metampiron (Novalgin, Xylomidon)
Keamanan obat golongan ini masih diragukan. Sebaiknya obat golongan ini hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik-
antipiretik suntikan atau bila pasien tidak tahan dengan antipiretik yang lebih aman. Novalgin terdapat dalam sediaan berupa tablet 21
(500 mg/tab), sirup (250 mg/5 ml), dan injeksi (500 mg/ml). Pada dewasa dosis diberikan 0,3-1 gram sehari, sementara untuk dosis
anak belum ada referensi yang menyatakan mengenai dosis yang diperkenankan. Efek samping obat ini adalah dapat terjadi
agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.31
Sementara obat jenis lain seperti aspirin pernah menjadi antipiretik yang populer di masyarakat, tetapi penggunaannya sebagai
antipiretik untuk pediatri saat ini dilarang, karena dapat mengakibatkan Reye’s syndrome.16
8.2 Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan rutin seperti elektrolit serum, glukosa, kalsium, dapat dilakukan untuk menyingkirkan adanya gangguan elektrolit
dan metabolisme. Angka leukosit diatas 20.000/ul atau Shift to the left yang extreme menandakan adanya bakteremia. Sodium serum
terkadang menunjukkan angka di bawah normal, tetapi tidak cukup rendah hingga membutuhkan terapi ataupun dapat menyebabkan
kejang. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang
demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami
meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien yang berumur kurang dari 6 bulan. Untuk
usia diatas 6 bulan, lumbal pungsi tidak dianjurkan lagi kecuali bila ditemukan gejala klinis meningitis, infeksi intrakranial yang lain
atau status konvulsivus. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.1,16,20
8.3 Pengobatan profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan
otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
22
1) Profilaksis intermittent
Pengobatan profilaksis intermittent disertai edukasi pada orangtua penderita sangat bermanfaat untuk mencegah kejang demam
berulang.1 Anti konvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orang tua pasien atau pengasuh
mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan harus cepat masuk ke
otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital
intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 Kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 10 Kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam dapat juga diberikan secara oral dengan
dosis 0,5 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam.1
2) Profilaksis terus menerus (jangka panjang) dengan antikonvulsan tiap hari
Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam sederhana, tetapi diberikan pada kejang demam yang dengan
pengobatan profilaksis intermittent masih sering terjadi kejang berulang. Obat-obat yang dapat digunakan untuk profilaksis
jangka panjang adalah :
a. Fenobarbital.
Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya
membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat
antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah dan kadar stabil tercapai dalam 14-21
hari. 1 Pemberian fenobarbital 4-8 mg/KgBB/hari dengan kadar darah sebesar 16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil
yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Namun beberapa sumber mengatakan bahwa fenobarbital
tidak lagi dianjurkan sebagai pengobatan jangka panjang karena efek sampingnya yang tidak menyenangkan (perubahan
watak berupa iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif).1 Efek samping tersebut ditemukan pada 30-50% pasien. Efek
samping dapat diturunkan dengan menurunkan dosis fenobarbital.1,20
23
b. Asam Valproat
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat. Kadar stabil tercapai dalam 4-7
hari. Dosis yang digunakan adalah 15-40 mg/kgbb/hari diberikan selama 1 tahun. Valproat telah terbukti keefektifannya
terhadap epilepsi umum, tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksisitasnya terhadap hati. Gangguan pada hati
berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60
kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini. Kerugiannya adalah bahwasanya obat ini lebih mahal dan
lebih sulit didapat bila dibandingkan dengan fenobarbital. 1, 20
Fenitoin dan karbamazepin tidak dianjurkan karena tidak mempunyai efek mencegah terjadinya kejang demam berulang.4
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan
otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari.1,20
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai untuk pemberian pengobatan profilaksis
terus-menerus pada saat ini adalah :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan perkembangan neurologi (Cerebral Palsy,
retardasi mental, mikrosefali).
2. Ada riwayat tanpa demam pada orang tua saudara kandung.
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti oleh kelainan neurologis sementara atau menetap.
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
24
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak
nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organic.16, 20
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.1
Selain ketiga hal tersebut diatas, dalam penatalaksaan kejang demam juga diperlukan penanganan suportif, edukasi pada orang
tua pasien, dan penggunaan vaksinasi pada pasien kejang demam.
Penanganan Supportif lainnya
Meliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan
tekanan darah.20
Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan
bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya ”benign”
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsy.20
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher25
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
Walaupun kemungkinan lidah tergigit jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan diberikan jika kejang
telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau Lebih.20
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah
demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak
demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga
3 hari kemudian.6
9. Komplikasi
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kejang demam terhadap terjadinya kerusakan
otak. Ada penelitian yang membuktikan bahwa kejang demam tidak dapat berakibat buruk maupun sebaliknya. Pada penelitian yang
dilakukan oleh The National Collaborative Perinatal Project di Amerika Serikat, dimana penelitian dilakukan terhadap 1706 anak
paska kejang demam, dan diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun, hasilnya tidak didapatkan kematian sebagai akibat dari
kejang demam. Sementara The National Child Development Study di Inggris, menyatakan bahwa anak yang pernah mengalami kejang
demam, kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Menurut Verity dkk, yang mengikuti
26
303 anak dengan kejang demam sampai usia 5 tahun, dengan hasil tidak ada perbedaan dalam dalam bidang intelegensia, ukuran
kepala maupun tingkah laku pada anak dengan kejang demam maupun pada anak tanpa kejang demam.
Ada pula penelitian yang mendapatkan hasil akhir yakni kejang demam dapat berakibat buruk, misalnya penelitian yang
dilakukan oleh Aicardi dan Chevrie. Mereka meneliti 402 anak dengan kejang demam, sebanyak 131 anak mendapatkan 1/lebih
sekuele, yaitu 141 menderita epilepsi, 54 retardasi mental, 37 anak menderita kelainan neurologis lain (misal hemiplegia).20
12. Prognosis
Sampai saat ini belum tuntas masalah apakah kejang demam sendiri dapat merusak otak atau tidak. Didapat kesan bahwa
kejang demam yang singkat umumnya benigna dan kejang demam yang lama mungkin dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.
Mortalitas pada kejang demam sangat rendah yakni sebesar 0,64-0,74%.1
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
a. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko terjadinya kejang demam berulang adalah:
- riwayat kejang demam dalam keluarga
- usia kurang dari 15 bulan
- temperatur yang rendah saat kejang
- cepatnya kejang saat demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10% - 15%
kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang adalah pada tahun pertama.10
b. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah:
- kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
27
- kejang demam kompleks
- riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.10
c. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. 22
28