kejang demam

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejang Demam 2.1.1 definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung pada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oelh sebua gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%. 2.1.2 Epidemiologi

Upload: rifqizafril

Post on 20-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kejang Demam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam

2.1.1 definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh

( suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang

demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,

terutama golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang

berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939)

dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi

dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.

Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung pada umur, tinggi serta cepatnya

suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga

mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap

bangkitan kejang demam diturunkan oelh sebua gen dominan dengan penetrasi yang

tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita

mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.

2.1.2 Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan

Eropa Barat, sedangkan di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kejang demam

seringkali terjadi pada usia 6 bulan-3 tahun dengan insidensi tertinggi pada

usia 18 bulan. Sekitar 6-15% terjadi pada usia >4 tahun (Waruiru & Appleton,

2004).

2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi klinis

Kejang Demam Sederhana (Simple Febriele Seizure), dengan ciri-ciri gejala

klinis berikut :

Kejang berlangsung singkat, < 15 menit

Kejang umum tonik dan konik

Umumnya berhenti sendiri

Page 2: Kejang Demam

Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam

Kejang Demam Komplikata (Complex Febriele Seizure), dengan ciri-ciri

gejala klinis sebagai berikut :

Kejang lamanya > 15 menit

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial

Berulang atau lebih dari 1x24 jam

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh

infeksi susunan saraf pusat, misal tonsilitis, otitis media akut, bronkitis dan

lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu

demam, berlamgsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-

klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.

Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi

setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali

tanpa adaya kelainan saraf.

2.1.4 Patofisiologi

Belum diketahui secara pasti, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor

keturunan/ faktor genetik. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel

atau organ otak dperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan

baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Jadi sumber

energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2

dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam

adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal

membran sel neuron dpat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan

sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion

Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan

konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan

sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel,

maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel

neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan

energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

Page 3: Kejang Demam

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler

2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik

dari sekitarnya

3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada

kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion

Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya

lepas muatan listrik. Lepas mutan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat

meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan

bahan yang disebut dengan neurotransmiter dan terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejng yang berbeda dan tergantung dari tinggi

rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan

suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah

terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang

tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Dari kenyataan ini

dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi

pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu

diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Sehingga beberapa

hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi sebenarnya dari kejang demam,

yaitu:

Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.

Cepatnya kenaikan suhu.

Page 4: Kejang Demam

Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.

Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga

sirkulasi darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.

Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya

dengan baik susunan saraf pusat (korteks serebri).

2.1.5 Etiologi

Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam

sering disebabkan oleh :

· infeksi saluran pernafasan atas,

· otitis media,

· pneumonia,

· gastroenteritis, dan

· infeksi saluran kemih.

Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak

begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Penyebab lain kejang disertai

demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti difenhidramin,

antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan

gangguan keseimbangan air-elektrolit.

2.1.6 Faktor Resiko

Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :

1. Umur

a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.

b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun,

jarang terjadi pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.

c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian

menurun dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin

Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan

dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral

yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

Page 5: Kejang Demam

3. Suhu badan

Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi

suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang.

Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C –

41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada

seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat

tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu

meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa

berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang

kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan

Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam.

Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 – 50% anak yang mengalami kejang

demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah

mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang

demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan

demam atau pada waktu demam tinggi.7

Faktor –faktor lain diantaranya:

· riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,

· perkembangan terlambat,

· problem pada masa neonatus,

· anak dalam perawatan khusus, dan

· kadar natrium rendah.

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali

rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau

lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat

kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat

keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Page 6: Kejang Demam

Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang

rekuren.

o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:

§ Usia muda saat kejang demam pertama

§ Suhu yang rendah saat kejang pertama

§ Riwayat kejang demam dalam keluarga

§ Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang

o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan

rekuren. Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20%

kemungkinan rekuren.

2.1.7 Diagnosis

A. Anamnesis

Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang,

frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.

Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga,

epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orang tua).

Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.

B. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran

suhu tubuh

tanda rangsang meningkat

tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun,

muntah proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di

luar SSP.

Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis,

furunkulosis, dan lain-lain.

C. Pemeriksaan Nervi Kranialis

Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

Page 7: Kejang Demam

Kriteria Diagnosis

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang

disertai demam pada bayi <> 5 tahun mengalami kejang didahului demam,

pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan

terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,

kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang demam.

Kejang didahului oleh demam

Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit

Pemeriksaan punksi lumbal normal

Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur

penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan

neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang

tanpa demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa,

kalsium, magnesium, elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas)

paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi

kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak

mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal

pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi,

penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidur dan

perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat meningkatkan

hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan

anak daripada remaja atau dewasa.

Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan

pada penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif.

Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk

perekaman kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG

rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat

secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat

perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis.

Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang

epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat

Page 8: Kejang Demam

lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang

mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.

Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah

kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita

dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal

adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang

kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan

kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi),

hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning

CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk

penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang sebagian yang

lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat,

dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk

pemeriksaan pencitraan saraf.

Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan

proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji

metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan

status epileptikus.

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang

demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab

demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah

perifer, elektrolit dan gula darah.

Lumbal pungsi : Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya

meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Meningitis dapat menyertai kejang,

walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.

Page 9: Kejang Demam

Faktor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam

meliputi berikut ini:

Kunjungan ke dokter dalam 48 jam

Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit

Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-

merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi

Pemeriksaan saraf yang abnormal

Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan

diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu

pungsi lumbal dianjurkan pada :

- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

- Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

B. Pencitraan

· Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-

Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak

rutin dan hanya atas indikasi seperti :

- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

- Paresis Nervus VI

- Papiledema

· CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam

kompleks.

C. Tes lain (EEG)

· Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada

pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.

Page 10: Kejang Demam

· Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya

pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.

· EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya

akan membuktikan bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut

tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik

atau pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam

atipik meliputi kejang yang menetap selama lebih dari 15 menit, berulang

selama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak

menderita kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang

berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai

komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang

demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda

perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis abnormal.

Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding

dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada

faktor resiko.

2.1.8 Penatalaksanan

Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu

(1) pengobatan fase akut ;

(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan

(3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut

Penatalaksanaan saat kejang :

Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu

diperhatikan adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga

keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi

jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan

pemberian antipiretik.

Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan

Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2

mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.

Page 11: Kejang Demam

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah

adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam

rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan

berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5

mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat

diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila

setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke

rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5

mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal

10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50

mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,

dimulai 12 jam setelah dosis awal.

Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus

dirawat diruang intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan

pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat

menyebabkan iritasi vena. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat

selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam

sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Antipiretik :

Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini

mengurangi resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun

para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level

III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15

mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak lebih dari 5

kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam

asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom

Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam

menurunkan risiko berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan

Page 12: Kejang Demam

diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I,

rekomendasi A)

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna

untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)

Pemberian obat rumat :

Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:

· Kejang lama >15 menit

· Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental,

hidrosefalus.

· Kejang fokal

· Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:

o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam

o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan

indikasi pengobatan rumat. Kelaian neurologis tidak nyata misalkan

keterlambatan perkembangan ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang

fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus

organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam

menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti ilmiah bahwa

kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek

samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan

dalam jangka pendek (rekomendasi D).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak

adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per

hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :

Page 13: Kejang Demam

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan

secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab.

Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,

terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian

kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai

sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang

demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis

Ada 2 cara profilaksis, yaitu :

(1) profilaksis intermiten saat demam dan

(2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari

Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-

0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat

pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg)

setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah

ataksia, mengantuk dan hipotonia.

Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang

demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah

terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari

dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40

mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2

tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk

poin 1 atau 2) yaitu :

1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau

perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)

2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis

sementara atau menetap

3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.

4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang

multipel dalam satu episode demam.

Page 14: Kejang Demam

Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka

panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam

dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

2.1.9 Prognosis

Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi

Kejang demam berulang

Epilepsi

Kelainan motorik

Gangguan mental dan belajar

2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi

2.2.2 Epidemiologi