kejang demam
DESCRIPTION
kejang demam pada anakTRANSCRIPT
KEJANG DEMAM SEDERHANA
DONALD A. MANUAIN / 10-2009-191
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
Email: [email protected]
Abstrak : Kejang demam sederhana merupakan gangguan kejang yang paling lazim
ditemukan pada anak. Kejang demam merupakan suatu bangkitan kejang yang terjadi akibat
adanya demam tinggi pada anak yang umumnya disebabkan adanya infeksi, misalnya infeksi
saluran pernapasan dan pendengaran. Umumnya kejang demam terjadi antara periode 9 bulan
hingga 5 tahun. Ada kecenderungan genetik yang dijumpai pada kejang demam. Pemeriksaan
yang fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda vital, tingkat kesadaran dan
rangsang meningeal. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak terlalu spesifik. Umumnya
serangan kejang ini akan berhenti dengan sendirinya, meskipun perlu bantuan obat-obatan
seperti fenobarbital dan natrium valproat untuk mencegah rekurensi kejang. Prognosis kejang
demam sederhana umumnya baik.
Kata kunci: kejang, demam, anak, infeksi, tingkat kesadaran.
A. Anamnesis
Anak yang mengalami kejang demam akan didahului dengan serangan demam baik suhu
tinggi maupun suhu yang tidak terlalu tinggi yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Pastikan tidak adanya infeksi sistem saraf pusat untuk mengeliminasi kemungkinan
kejang oleh penyebab lain.1 Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan untuk
menganamnesis anak dengan kejang demam:
Usia anak berkisar 9-15 bulan
Adanya riwayat infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis maupun infeksi saluran kemih.
Tidak ada infeksi sistem saraf pusat.
Adanya demam sebelum timbulnya kejang
1
Umumnya serangan kejang berlangsung 24 jam pertama sewaktu demam.
Kemungkinan adanya pengaruh genetik, riwayat anggota keluarga yang juga pernah
mengalami kejang demam.
B. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam. Umumnya dapat
dilakukan pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan,
denyut nadi serta tekanan darah pada penderita. Yang menonjol disini biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh.2
Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk memperhatikan apakah ada
defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan kesadaran yang digunakan dapat
berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif pasien
terbagi atas:
Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan.
Delirium : gaduh gelisah, kacau, disorientasi
Somnolen : mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri
Stupor: dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian kesadaran turun lagi
Koma : tanpa gerakan sama sekali
Secara kuantitatif dapat digunakan Glasgow Coma Scale, tabel berikut akan menjelaskan
tentang Glasgow Coma Scale.
2
Tabel 1: Glasgow Coma Scale, diunduh dari http://misslittlenurse.blogspot.com/2010/04/glasgow-coma-
scale.html
Skor terendah ialah 3 yang berarti pasien dalam keadaan koma dalam dan yang tertinggi
15 berarti pasien dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Pemeriksaan tanda rangsang meningial dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya
meningitis. Bentuk pemeriksaan tanda rangsang meningeal meliputi kaku kuduk, tanda
Kernig, tanda Laseque dan tanda Brudzinsky.2
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kadar elektrolit,
glukosa serum, pemeriksaan CSS serta pemeriksaan radiologik yang sesuai. Adanya
pemeriksaan ini bukan hanya untuk menegakkan diagnosis kejang demam namun juga
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi sistem saraf pusat yang
membangkitkan serangan kejang.3
Pemeriksaan elektrolit menunjukkan adanya hipokalsemia, hipomagnesia dan
hiperfosfatemia. Selain itu didapati penurunan kadar glukosa darah / hipoglikemia.
Analisa cairan serebrospinal tidak selalu dilakukan pada kejang demam. Pemeriksaan ini
dilakukan bila ada kecurigaan adanya meningitis pada bayi dan anak.
Pemeriksaan EEG tidak diindikasikan pasca kejang demam sederhana karena umumnya
gambarannya hanya akan membuktikan bentuk normal dan tidak akan mengubah
manajemen. EEG hanya diindikasikan pada kejang demam atipik maupun anak yang
3
beresiko berkembang menjadi epilepsi. Kelainan EEG berupa perlambatan yang
mencolok sering dialami pada anak dengan kejang afebris rekuren dibandingkan anak
normal. EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan anak mana yang akan
mengalami kejang demam berulang atau yang mengalami epilepsi.
D. Diagnosis Kerja
Kejang demam sederhana merupakan suatu gambaran kejang yang berlangsung kurang
dari 15 menit, tidak menunjukkan adanya gambaran fokal yang signifikan, tidak
berlangsung dalam suatu rangkaian yang memiliki durasi total lebih dari 30 menit serta
serangan hanya terjadi satu kali dalam sehari.2,3 Modifikasi kriteria Livingstone dapat
digunakan untuk menegakkan kejang demam sederhana, yaitu:
Umur ketika kejang antara 6 bulan – 4 tahun.
Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit.
Kejang bersifat umum.
Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
Pemeriksaan EEG yang dibaut sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan adanya kelainan.
Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kendala yang ditemukan dalam penggunaan kriteria Livingstone yaitu sulitnya
menganamnesis berapa lama demam sudah berlangsung sebelum pasien mengalami
kejang.
E. Diagnosis Banding
Berikut ini beberapa jenis penyakit yang dapat dibandingkan dengan kejang demam
sederhana:
1. Kejang Demam Kompleks / Atipikal
Merupakan kejang pada demam dengan manifestasi klinis yang lebih lama (lebih dari
15 menit) yang disertai dengan tanda fokal. Serangan kejang yang kompleks dapat
terjadi lebih dari satu kali dalam satu hari. Adanya kejang demam kompleks harus
diwaspadai karena dapat merupakan pertanda infeksi akut yang serius serta dapat
menyebabkan komplikasi berupa timbulnya epilepsi. Dua hal yang perlu diperhatikan
untuk membedakan kejang demam kompleks dan sederhana ialah lama
berlangsungnya kejang serta jumlah serangan kejang yang terjadi.4
4
2. Meningitis
Merupakan infeksi pada meningen, yaitu selaput pembungkus otak. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh bakteri seperti Stereptococcus pneumonia, Eschericia coli, dan
Haemophilus influenzae maupun virus seperti virus herpes zoster dan herpes simplex.
Ada triad klasik dari meningitis, yaitu berupa kaku kuduk, demam tinggi dan
perubahan status mental. Selain itu dapat dijumpai adanya fotofobia dan fonofobia.
Jika tidak ada gejala klasik ini, maka sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis
pada seseorang. Pada anak biasanya terlihat irritabel dan kurang sehat. Pada bayi
berusia hingga 6 bulan biasanya didapai penonjolan fontanella.
Adanya pemeriksaan analisa cairan serebrospinal dapat digunakan untuk menegakkan
adanya meningitis.
3. Ensefalitis
Merupakan merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang umumnya disebabkan
oleh virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri. Mikroorganisme ini dapat
masuk melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna. Gejala yang dialami biasanya
berupa demam tinggi, pusing kepala, kebingungan dan terkadang kejang. Pada pasien
anak umumnya dijumpai demam, tidak nafsu makan dan irritabilitas. Adanya
ensefalitis juga dapat diikuti dengan adanya meningitis. Analisa cairan otak dapat
menunjukkan peningkatan kadar protein dan sel darah putih, sedangkan kadar glukosa
darah normal. Pada beberapa pasien tidak dijumpai perubahan berarti pada analisa
cairan serebrospinal.4
4. Abses Otak
Abses otak jarang terjadi pada bayi berusia dibawah 1 tahun, namun insidensinya
akan meningkat setelah masa itu dan hampir sepertiga dari semua kasus abses otak
terjadi pada kelompok usia pediatrik. Abses otak umumnya timbul sekunder dari
infeksi tubuh di tempat lain atau melalui luka tembus. Penyebabnya antara lain oleh
karena absen hematogen atau metastatic pada anak dengan kelainan jantung bawaan,
oleh penetrasi otak oleh benda asing atau pembedahan maupun akibat infeksi kulit
kepala.
Gejala yang dijumpai berupa letargi, anoreksia dan muntah. Anak yang usianya lebih
tua dapat mengeluhkan adanya nyeri kepala. Dapat dijumpai kejang yang bersifat
5
fokal maupun umum yang disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi. Adanya
abses biasanya akan disertai dengan timbulnya defisit neurologis seperti hemiparesis,
gangguan sensorik dan kelainan lapang pandang. Adanya abses pada fossa posterior
akan menyebabkan ataksia, dismetria, serta kelumpuhan saraf kranialis. Defisit
neurologis ini tidak dijumpai pada kejang demam sederhana.
Pemeriksaan CSS umumnya tidak memberikan hasil bermakna. Sedangkan CT Scan
dapat digunakan menegakkan diagnosis dan evaluasi pengobatan penyakit ini.
F. Etiologi
Pencetus terjadinya kejang ialah adanya demam yang disebabkan oleh adanya infeksi
pada bayi dan anak. Bentuk infeksi yang mungkin ditemukan adalah infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Perlu
diperhatikan untuk menyingkirkan infeksi sistem saraf pusat sebagai penyebab kejang,
baru memikirkan kemungkinan adanya kejang demam.
Pada banyak pasien kejang demam sering ditemukan riwayat kejang demam pada
keluarganya, oleh karena itu dicurigai adanya kecenderungan genetik pada penyakit ini
meskipun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.1,4
G. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kinerja otak diperlukan adanya energi yang didapatkan dari hasil
metabolisme. Bahan yang dibutuhkan mutlak disini adalah glukosa. Proses metabolisme
ini juga membutuhkan oksigen yang dihantar oleh paru-paru ke jantung kemudian ke
otak. Sel syaraf, seperti sel lainnya dikelilingi oleh suatu membrane yang permukaan
dalamnya lipoid sedangkan permukaan luarnya ionik. Dalam keadaan normal
permeabilitas sel terhadap ion kalium lebih tinggi dari ion natrium, sehingga kadar kalium
dalam sel tinggi sedangkan kadar natrium dalam sel rendah. Hal yang sebaliknya berlaku
di luar sel saraf. Untuk menjaga homeostasis ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-
K-ATPase.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat diubah oleh adanya perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstrasel, rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya dan adanya perubahan patofisiologi dari membran
sendiri karena adanya penyakit atau pengaruh keturunan.3
6
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1o C menyebabkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat hingga 20%. Pada seorang anak
yang berusia 3 tahun sirkulasi darah ke otak mencapai 65%, bandingkan dengan orang
dewasa yang hanya mencapai 30%. Jadi adanya kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi ion natrium dan kalium sehingga kesimbangannya tidak terjadi lagi.
Lepas muatan ini akan meluas ke seluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan
bantuan neurotransmitter. Tidak semua jenis neurotransmitter dapat menyebabkan
terjadinya perpindahan ini. Hanya neurotransmitter yang bersifat eksitasi seperti glutamat
dan asam aspartat yang dapat menyebabkan peningkatan penyaluran impuls saraf.
Adanya daerah neuron yang mati (misalnya oleh karena adanya glioma tumbuh lambat,
hematoma, gliosis dan malformasi arterivenosus) juga dapat meningkatkan
perkembangan sinaps hipereksitasi yang baru. Eksitasi berlebih ini yang akan disalurkan
menuju motor end plate sehingga menyebabkan kontraksi secara tiba-tiba dari otot-otot
rangka.4
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda. Pada anak dengan ambang
kejang rendah, dapat timbul kejang pada suhu 38o C. Sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, dapat timbul kejang pada suhu 40o C atau lebih. Oleh karena
itu perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang demam yang berlangsung lama biasanya
disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat akibat peningkatan aktivitas otot dan
selanjutnya diikuti peningkatan metabolisme. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan pada neuron otak setelah berlangsungnya kejang pada waktu yang cukup lama.
Edema otak juga dapat terjadi karena adanya gangguan peredaran darah yang
menyebabkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler.5
H. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak usia dibawah 6 tahun. Puncaknya biasanya terjadi
pada usia 14-18 bulan. Sangat jarang ditemukan adanya kejang demam pada anak berusia
diatas 6 tahun. Pada saudara kandung insidensinya berkisar 9–17%. Angka kejadian pada
7
kembar monozigot lebih besar daripada kembar dizigot. Adanya epilepsi pada saudara
kandung juga meningkatkan resiko kejang demam begitu pula sebaliknya. Insidensi
komplikasi berupa epilepsi berkisar 9% pada anak yang memiliki faktor resiko berupa
riwayat keluarga epilepsi positif dibandingkan dengan faktor resiko negatif yaitu sekitar
1%.2
I. Manifestasi Klinis
Kejang biasanya terkait dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh mencapai 39o C atau lebih. Serangan kejang biasanya
berlangsung dalam 24 jam pertama setelah demam dan bentuk kejang dapat berupa tonik-
klonik, tonik, klonik, fokal maupun akinetik. Bentuk yang paling sering dijumpai ialah
tonik-klonik yang berlangsung dalam waktu singkat dari beberapa detik hingga 10 menit
yang diikuti dengan periode mengantuk pasca kejang. Kejang demam yang menetap lama
lebih dari 15 menit menunjukkan adanya penyebab organik seperti proses infeksi atau
toksik dan memerlukan perawatan yang menyeluruh.
Sebagian besar penderita kejang demam akan mengalami kejang demam sederhana.
Hanya 20% dari kejang demam pertama yang bersifat kompleks. Anak dengan kejang
demam kompleks umumnya memiliki riwayat disfungsi neurologis maupun gangguan
perkembangan serta cenderung berusia kurang dari 18 bulan.5
Sekali lagi diingatkan bahwa sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak baru memikirkan
kemungkinan adanya kejang demam.
J. Penatalaksanaan
1. Non medika mentosa
Seringkali kejang yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya. Penting untuk
menjaga jalan napas agar tetap lancar pada pasien yang mengalami serangan
kejang demam.5
Jika anak mengalami kejang, posisikan anak miring (semiposisi) dengan leher
yang diekstensikan sehingga sekresi dapat keluar secara lancar melalui mulut.
Jika pernasapan sulit: buka saluran napas dengan ekstensi leher secara hati-
hati, angkat rahang ke depan. Jangan letakkan apapun ke dalam mulut.
Berikan O2 jika tersedia.
8
Tetap perhatikan keadaan vital pasien seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernapasan dan fungsi jantung. Penting untuk mengetahui pada suhu berapa
anak mengalami kejang sehingga kita dapat mengetahui ambang kejang anak
tersebut.
Jangan letakkan apapun (sendok, jari) di mulut pasien.
Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan kompres air dingin dan
pemberian antipiretik. Antipiretik yang dapat digunakan pada anak adalah
Paracetamol. Jangan gunakan asam salisilat sebagai antipiretik karena dapat
menyebabkan sindrom Reye.
Setelah kejang berhenti, periksa kadar glukosa dan elektrolit darah. Pada kejang
demam biasanya didapati peningkatan kadar fosfor, penurunan kadar magnesium
dan kalsium serta penurunan kadar glukosa darah.6
Hal yang perlu diperlukan adalah untuk menyingkirkan penyebab kejang akibat
infeksi pada sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak. Oleh
karena itu dapat dilakukan pungsi lumbal pada L4 – L5 untuk mengambil cairan
serebrospinal. Cairan ini kemudian dianalisa untuk mengetahui kemungkinan
adanya infeksi pada sistem saraf pusat.5,6 Namun, analisa cairan serebrospinal ini
tidak dilakukan pada semua kasus kejang demam melainkan hanya dilakukan
pada:
Kejang dengan usia pasien dibawah 1 tahun.
Kejang yang berulang.
Adanya gejala-gejala gangguan sistem saraf pusat seperti adanya defisit
neurologis pasca kejang.
2. Medika Mentosa
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya pada pada
pasien. Tujuan pemberian adalah mencegah timbulnya kejang pada keadaan
demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Berdasarkan penelitian dapat digunakan Diazepam intrarektal tiap 8 jam
sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, apabila suhu pasien
9
menunjukkan suhu ≥ 38,5o C. Efek samping yang mungkin timbul adalah
ataksia, mengantuk, depresi pusat pernapasan, laringospasme dan hipotonia.4
Untuk mengurangi rekurensi kejang demam dapat digunakan fenobarbital
dengan dosis sebagai berikut:
Neonatus : 30 mg intramuskular
1 bulan – 1 tahun : 50 mg intramuskular
> 1 tahun : 75 mg intramuskular
Namun penggunaan fenobarbital harus diwaspadai karena efek samping yang
mungkin timbul berupa hiperaktivitas, irritabilitas, letargi dan ruam. Selain itu
dicurigai bahwa fenobarbital memiliki efek samping pada intelegensia. Sebuah
penelitian menunjukan kelompok anak yang pernah diberi fenobarbital
memiliki IQ rerata 5,2 poin lebih rendah daripada kelompok kontrol 6 bulan
setelah terapi dihentikan. Pemakaian hanya sewaktu demam tidak efektif
karena konsentrasi terapeutik obat tidak akan dicapai dalam waktu singkat
kecuali bila diberikan dalam dosis yang sangat besar (15-20 mg/kg), namun
dosis besar ini juga berarti efek samping yang lebih besar.4
Diazepam oral 0,33 mg/Kg setiap 8 jam selama demam efektif dalam
mengurangi insiden kejang demam rekuren sama seperti penggunaan kontinu
fenobarbital. Fenitoin dan karbamazepin yang diberikan kontinu tidak efektif
dalam mencegah kejang demam rekuren. Natrium valproat mungkin
menguntungkan, namun efek samping serius secara potensial disebabkan oleh
penggunaan agen ini tidak menjamin penggunaannya. Sehingga pilihan terapi
pencegahan rekuren terbaik ialah diazepam secara oral.
K. Komplikasi
1. Epilepsi
Anak yang menderita kejang demam beresiko lebih besar mengalami epilepsi
dibandingkan dengan yang tidak. Besarnya resiko ini dipengaruhi banyak faktor,
namun yang terpenting adalah kelainan status neurologik sebelum dan sesudah
kejang, timbulnya kejang demam yang kompleks dan riwayat kejang afebris pada
keluarga. Seorang anak normal yang mengalami kejang demam memiliki resiko 2x
lipat lebih besar dibandingkan populasi kontrol.2
10
Apabila kejang pertamanya kompleks, atau bila anaknya abnormal, resiko dapat
meningkat hingga 5 kali lipat. Bila kedua faktor ada maka resikonya menjadi 18 kali
lipat dan insidensi epilepsi dapat mencapai 10% dalam kelompok ini. Anak dengan
serangan kejang demam fokal, berkepanjangan, dan berulang dengan penyakit yang
sama memiliki 50% kemungkinan menderita epilepsi saat ia berusia 25 tahun.
2. Retardasi mental
Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, defisit koordinasi dan motorik dan
status epileptikus pernah dilaporkan sebagai gejala sisa kejang demam. Kejang yang
berkepanjangan tampaknya merupakan faktor pemicu timbulnya sekuele.2
L. Pencegahan
Pencegahan terutama dari kejang demam adalah mencegah agar suhu tubuh anak tidak
terlalu tinggi sehingga tidak menjadi faktor pemicu timbulnya kejang.3 Hal yang dapat
dilakukan ialah:
Memberi kompres air dingin pada anak yang demam.
Tidak mengenakan baju yang tebal dan tertutup pada anak.
Menggunakan obat penurun suhu tubuh, yaitu Paracetamol.
Pencegahan sekunder berupa mencegah rekurensi demam telah dibahas di bagian
penatalaksanaan, yaitu dengan pemberian diazepam oral 0,33 mg/kg setiap 8 jam.
M. Prognosis
Umumnya baik. Angka mortalitas sangat rendah, yaitu berkisar dari 0,64 – 0,74 %.4
KESIMPULAN
Kejang demam sederhana merupakan kejang akibat peningkatan suhu tubuh yang umumnya
terjadi bayi dan anak berusia 9 bulan – 5 tahun, dalam kurun waktu yang singkat (kurang dari
15 menit) dan hanya terjadi satu kali dalam waktu 24 jam. Kejang ini memiliki faktor genetik
dan akan berhenti sendiri meskipun dibutuhkan pengobatan untuk mencegah rekurensi.
Keadaan kejang ini dapat dicegah dengan mengusahakan agar suhu tubuh anak tidak terlalu
tinggi. Umumnya kasus ini berprognosis baik dengan angka mortalitas yang sangat rendah.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Ilmu kesehatan anak nelson. Volume 3. Jakarta:
EGC; 2004.h.2059-60.
2. Abraham MR, Julien IE, Colin DR. Buku ajar pediatric Rudolph. Volume 3. Edisi 20.
Jakarta: EGC; 2007.h.2160-1.
3. Joyce LK. Pedoman pemeriksaan laboratorium & diagnostik. Jakarta: EGC; 2008.h.116-
20.
4. Annegers JF, Hauser WA, Shirts SB, et al. Factor prognostic of unprovoked seizures
after febrile convulsions. N Eng J Med 316: p.493.
5. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Volume 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.h.1190-2.
6. Ellenberg JH, Nelson KB. Febrile seizures and later intellectual performance. Arch
Neurol 35: p. 1978.
7. Taslim SS, Sofyan I. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;
2001.h.244-51.
8. Roy M, Simon JN. Pediatrika. Edisi 7. Jakarta: Erlangga: 2005.h.112-4.
12