kejang demam
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
PALSI SEREBRAL
Penyusun:
Dr. Andika Dwiputra Djaja
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pembimbing:
Dr. Ratih Dwi Ari
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INONESIA
RS. KARTIKA HUSADA
KUBU RAYA
JUNI 2012
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. R
Usia : 4 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Rekam medik : 04-26-35
Alamat : Sanggau
Masuk IGD RSUT tanggal 28-5-12 pk. 16.15
Identitas orangtua
Ayah
Nama : Tn. S
Usia : 32 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : swasta (sawit)
Penghasilan : ± Rp.1.000.000,-/bulan
Ibu
Nama : Ny. M
Usia : 26 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Pembayaran : Ditanggung perusahaan
I.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien pada tanggal 29 Mei 2012.
Keluhan utama
Kejang sejak ± 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit).
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 minggu SMRS, pasien menderita demam naik turun disertai batuk berdahak
putih yang sulit dikeluarkan dan pilek. Demam timbul mendadak, menetap sepanjang hari,
dan suhu tidak diukur. BAB cair 2-3 kali/hari ampas (+), volume ± setengah gelas Aqua (100
mL), warna kuning kehijauan, lendir (-), darah (-). Pasien hanya diberikan obat penurun
panas, panas turun tetapi naik kembali. Menurut ibu pasien, sejak sakit pasien sulit makan
dan minum.
1
1 jam SMRS, pasien kejang ( menurut informasi orang tua: mata tidak mendelik ke
atas, tangan dan kaki kelojotan). Kejang berlangsung selama kurang dari 5 menit dan berhenti
tanpa diberikan pengobatan apapun. Ketika kejang, pasien langsung dibawa ke rumah sakit.
Kejang berhenti dalam perjalanan menuju RS, setelah kejang berhenti, anak sadar dan
menangis. Riwayat trauma kepala (-).
Saat masuk rumah sakit, pasien sudah dalam kondisi tidak kejang, sadar, suhu saat
diukur 38,5*C. Di IGD, pasien mendapatkan stesolid 3 mg iv jika kejang, dan Sanmol syrup
3x120 mg, Cefotaxim injeksi.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kejang sebelumnya (+)
o Pasien mengalami kejang disertai demam berulang pada usia 7 bulan, 1 tahun dan
1,5 tahun. Pasien sempat dirawat dan dirujuk ke Jawa Timur untuk berobat,
dikatakan pasen mengalami “gangguan saraf pusat”. Pasien diberikan obat
pencegah kejang dan suplemen saraf yg diminum rutin. Sejak usia 2,5 tahun obat
berhenti diminum karena sudah tidak ada kejang
Alergi makanan atau obat (-).
Riwayat sakit paru atau sakit jantung (-).
Riwayat penyakit keluarga/lingkungan sekitar
Tidak terdapat riwayat batuk pilek atau diare pada anggota keluarga serumah ataupun
masyarakat sekitar lingkungan rumah dalam beberapa minggu terakhir. Riwayat kejang pada
keluarga (+), yaitu ibu pasien pernah mengalami kejang yang didahului demam pada usia 1
tahun ketika sedang diare. Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal.
Riwayat kehamilan
Pasien merupakan anak tunggal. Selama kehamilan ibu sehat. Kontrol teratur di bidan setiap
bulan, dikatakan janin normal. Ibu pasien pernah di-USG satu kali, dikatakan normal.
Riwayat kelahiran
Pasien lahir spontan, cukup bulan (masa gestasi 38 minggu), ditolong bidan. Berat lahir tidak
ingat, panjang lahir tidak ingat, langsung menangis, biru (-), kuning (-), pucat (-), kejang (-).
Apgar score tidak ingat.
2
Riwayat perkembangan
Pasien mulai dapat berbaring pada perutnya usia 6 bulan. Hingga saat ini pasien belum dapat
duduk tanpa dibantu. Pasien dapat menyebutkan 2-3 suku kata tanpa arti.
Riwayat nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Setalah itu, pasien mendapatkan ASI,
susu Nutrilon, dan bubur saring hingga usia 1 tahun. Kemudian bubur saring diganti dengan
nasi tim hingga usia 1,5 tahun. Setelah itu, pasien sudah mulai makan nasi lembek dengan
lauk seperti makanan keluarga.
Riwayat imunisasi
Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal. (terakhir campak 9 bulan)
I.3 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 29 Mei 2012
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesan sakit : tampak sakit sedang, lemas, sesak (-), paresis (-)
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital
Nadi : 94 kali/menit, regular, isi cukup, equal
Suhu : 36,3° C, aksila
Napas : 23 kali/menit, regular, dalam, abdominotorakal
Data antropometrik (menggunakan kurva pertumbuhan CDC)
Usia : 4 tahun 6 bulan
Berat badan : 22 kg
Tinggi badan : 113 cm
BB/U : 22 kg/ 17 kg = 127%
TB/U : 113 cm/ 105 cm = 107%
BB/TB : 22 kg/ 20 kg = 110%
Kesan : gizi baik
3
Status generalis
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), pucat (-), turgor baik, skar BCG (-), makula
hiperpigmentasi (+) di abdomen
Kepala : normosefali, deformitas (-), dismorfisme (-)
Rambut : rambut hitam, lebat, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : kelopak mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya konsensual (+/+), pupil isokor diameter
3 mm/ 3 mm, gerakan bola mata baik
Telinga : normotia, membran timpani intak, refleks cahaya (+/+), sekret (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), pendengaran sulit dinilai
Hidung : napas cuping hidung (-), deformitas (-), septum deviasi (-), sekret (+), nyeri
tekan sinus paranasal (-)
Gigi : karies dentis (+)
Mulut : mukosa lembab (+), lidah di tengah
Tenggorok : arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1, dinding faring posterior
hiperemis (+), post nasal drip (-)
Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Paru : simetris pada kondisi statis dan dinamis, retraksi (-), vesikuler (+/+), ronki
(-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Punggung : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba, timpani, bising usus
(+) normal
Genital : -
Anus : -
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 3s, hipotrofi, spastisitas (+) pada semua ekstremitas
kecuali ekstremitas atas kanan, rigiditas (+)
Pemeriksaan neurologi
Kaku kuduk (-)
spastisitas (+), rigiditas (+)
4
Refleks patologis (+) babinsky
I.4 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium (10 April
2011)
I.5 Diagnosis kerja
1. Riwayat kejang akut dd/ kejang demam
pada Palsi Sereberal
2. Palsi Serebral
3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
4. Anemia normositik normokrom ec
penyakit kronis
I.6 Penatalaksanaan
RDx/: GDS, elektrolit, EEG, foto toraks, UL
IVFD KAEN 3B 1500cc/hari
Ceftriaxon 2 x 500mg
Diazepam supp 10 mg k/p
Parasetamol 3xCth 2
Piracetam 3 x 125 mg IV
Diphenhidramine 2 x cth 1/2
1.7 Follow-up (30/5/2012)
S: kesadaran baik, kejang (-)
O: KU, TSS, CM
FN 100 x/menit FP 22 x/menit S 36,4oC
Status generalis stq
A: meningoensefalitis, susp. pneumonia aspirasi
P: sesuai penatalaksanaan
5
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Darah perifer rutin
Hemoglobin 9,3 ↓ 10,5-12,9 g/dl
Hematokrit 37,6 35-43 %
Leukosit 4,2 ↓ 5,5-18 ribu/µL
Trombosit 320 150-440 ribu/µL
Eritrosit 3,1↓ 3,6-5,2 juta/µL
MCV 88 74-106 fL
MCH 29,7 21-33 pg
MCHC 33,2 26-34 g/dL
RDW-CV 14,3 11,5-14,5 %
Diff Count
Monosit ( 6%) Lym (42 %) Neutrofil
(52%)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kejang
Kejang adalah perubahan tiba-tiba dan sementara pada aktivitas motorik, sensorik,
dan/atau perilaku akibat adanya aktivitas listrik abnormal pada otak. Serangan kejang terjadi
pada 10% anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan setiap tahunnya terdapat 25.000-40.000
anak mengalami kejang.
Kebanyakan kejang terjadi karena kelainan somatik yang berasal dari luar otak
(misalnya demam tinggi, infeksi, sinkop, trauma kepala, hipoksia, toksin, aritmia jantung).
Breath-holding spell (berhentinya pernapasan secara involunter, biasanya disertai penurunan
kesadaran) dan refluks gastroesofageal (sindroma Sandifer) dapat menunjukkan gejala yang
menyerupai kejang. Kejang juga dapat berasal dari gangguan psikiatri (kejang psikogenik),
gangguan perilaku (jitteriness, stereotipi), migraine, gangguan pergerakan (tic, diskinesia),
dan gangguan tidur. Kurang dari sepertiga kejang pada anak disebabkan oleh epilepsi.
Seorang anak dikatakan epilepsi bila mengalami 2/lebih episode kejang tanpa penyebab
(unprovoked seizure). Kejang dapat menandakan adanya kelainan sistemik atau sistem saraf
pusat (SSP) yang serius.
Kejang simptomatik (provoked) memiliki beberapa kemungkinan etiologi, antara lain
infeksi (meningitis, ensefalitis), gangguan metabolik (gula darah, elektrolit, toksin), trauma
kepala, dan abnormalitas struktural (malformasi serebral kongenital, stroke, tumor).
Dalam menilai pasien anak dengan kejang, pertama-tama harus dinilai apakah jalan
napas, ventilasi, dan fungsi jantung adekuat (penilaian ABC). Setelah itu dapat diperiksa
temperatur, tekanan darah, dan parameter metabolik lain.
Dalam evaluasi kejang pertama, harus dicari kemungkinan penyebab kejang yang
mengancam jiwa seperti meningitis, sepsis, trauma kepala, dan konsumsi obat atau toksin.
Anamnesis harus mendeteksi ada tidaknya faktor yang mungkin memicu kejang, deskripsi
kejang dan kondisi postiktal (termasuk tidur, sakit kepala), serta aura dan perubahan perilaku
anak sebelum kejang. Aura paling umum pada anak adalah ketidaknyamanan atau nyeri
epigastrium dan perasaan takut. Anamnesis juga harus dapat mendeteksi adanya kondisi
medis kronik (diabetes), pengobatan, perubahan perilaku atau asupan makanan, riwayat
trauma atau infeksi SSP, serta riwayat keluarga.
Dari evaluasi dapat ditentukan apakah kejang bersifat fokal atau umum. Kejang fokal
dapat berupa pergerakan kepala atau mata ke satu sisi, gerakan klonik unilateral pada wajah
6
atau ekstremitas, atau gangguan sensoris (parestesia, nyeri) yang terlokalisasi. Kejang
motorik bisa bersifat tonik (peningkatan tonus otot atau rigiditas), klonik (kontraksi dan
relaksasi otot secara ritmik), tonik-klonik, mioklonik (kontraksi otot seperti terkejut), atau
atonik (lunglai). Perlu diperhatikan pula durasi kejang, kesadaran anak selama kejang, postur
anak, sianosis, vokalisasi, adanya kehilangan kontrol atas sfingter (terutama kontrol
berkemih).
Penilaian anak dengan kejang harus diarahkan pada pencarian adanya penyebab
organik. Lingkar kepala, tinggi/panjang badan, dan berat badan perlu dimasukkan ke dalam
kurva pertumbuhan dan dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan neurologis menyeluruh. Pemeriksaan mata dilakukan untuk mencari adanya
papiledema, perdarahan retina, korioretinitis, koloboma (lubang pada struktur mata),
perubahan makula, dan phakoma retina (plak abu atau kuning pada retina, disebabkan oleh
tuberous sclerosis). Adanya hepatomegali dapat menandakan adanya penyakit metabolik
yang mendasari kejang. Perlu juga dicari adanya demam, tanda trauma, dan dismorfik.
Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis dengan hiperrefleks dan tanda Babinski
dapat menandakan lesi struktural pada hemisfer kontralateral (misalnya glioma lobus
temporal). Berhentinya pertumbuhan kuku, tangan, atau ekstremitas pada anak dengan kejang
fokal dapat berarti adanya kondisi kronik seperti kista porensefalik, malformasi
arteriovenous, atau atrofi korteks pada hemisfer kontralateral.
CT scan dilakukan bila terdapat riwayat trauma kepala, perubahan status mental, nyeri
kepala signifikan, papiledema atau penonjolan ubun-ubun, atau abnormalitas pada
pemeriksaan neurologis. Pungsi lumbal dipertimbangkan bila pasien menderita demam
disertai kaku leher atau penurunan kesadaran. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian antibiotika. EEG berguna untuk menentukan risiko timbulnya kejang rekuren.
7
Gambar 1: Algoritma penatalaksanaan kejang akut pada anak.
2. Cerebral Palsy
Palsi sereberal adalah sekelompok kelainan motorik non-progresif dengan gambaran klinis
dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dapat timbul sekunder akibat lesi atau
8
anomali otak yang terjadi pada thap awal perkembangan otak. Prevalensi palsi sereberal
sebesar 2-3 per 1000 kelahiran hidup dan prevalens ini cenderung meningkat. Palsi sereberal
diklasifikasikan berdasarkan gangguan motorik yang dominan, bagian tubuh yang terkena
dan derajat keparahan penyakit sesuai dengan klasifikasi The Gross Motor Function
Classification System (GMFCS).
Gambar 2 : The Gross Motor Function Classification System (GMFCS).
Berdasarkan klasifikasi The Gross Motor Function Classification System (GMFCS), derajat
keparahan palsi sereberal dibagi menjadi:
Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar yang
lebih rumit.
Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah dan di
lingkungan masyarakat.
Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar
rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan alat bantu gerak yang
cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah menggunakan
alat bantu yang canggih
Faktor risiko palsi sereberal meliputi fator prenatal, antenatal dan neonatal.
9
Tanda awal palsi sereberal timbul sebelum usia 3 tahun. Bayi mengalami keterlambatan
perkembangan motorik kasar seperti tengkurap, duduk, merangkak atau berjalan. Anak palsi
cereberal memiliki tonus yang abormal, terlihat lemas / flaksid atau kaku / spastis. Pada
beberapa kasus mula-mula bayi hipotoni kemudian menjadi hipertoni setelah 2-3 bulan
pertama kehidupan. Postur tubuhnya juga abnormal. Biasanya juga disertai dengan gejala lain
seperti iritabilitas berlebihan, kesulitan makan (kesulitan menghisap, menelan dan
mengunyah), sekresi air liur berlebihan, kaget berlebihan, dominasi tangan yang nyata pada
12 bulan pertama kehidupan. Pada pasien palsi sereberal juga dapat ditemukan epilepsi,
kelainan mata dan retardasi mental. Pada anamnesis juga perlu digali berbagai kemungkinan
faktor risiko terjadinya palsi sereberal pada pasien.
Diagnosis palsi sereberal ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Langkah
selanjutnya adalah dengan menyingkirkan kelainan-kelainan lain yang juga dapat
menyebabkan kelainan perkembangan. Dalam hal ini yang paling penting adalah untuk
memastikan bahwa kelainan tersebut tidak menjadi progresif meskipin gejalanyadapat
berubah seiring dengan waktu, karena salah satu karakteristik dari palsi serebral ini adalah
kelainan ini tidak bersifat progresif.
Palsi sereberal tidak dapat disembuhkan, namun dengan penanganan yang tepat dapat
memperbaiki fungsi dan kualitas hidup penderitanya. Pasien palsi sereberal menjadi tanggung
jawab seluruh keluarga, sehingga penangananya melibatkan seluruh anggota keluarga, sesuai
dengan kebutuhan, nilai dan kemampuan keluarga. Tata laksana anak dengan palsi sereberal
perlu dilakukan secara komprehensif antara berbagai bidang antara lain dokter anak, saraf
anak, rehabilitasi medik, ahli terapi okupasi, ahli fisioterapi, pekeja sosial dan berbagai
bidang yang berkaitan dengan gangguan lain yang menyertainya.
Adanya kurva prediksi rata-rata perkembangan anak pasi ereber berdasarkan GMFCS
memungkinkan orang tua an klinisi merencanakan intervensi yang sesuai dan menilai
perkembangannya dari waktu ke waktu.
10
Gambar 3 : faktor risiko terjadinya palsi sereberal
Pengenalan terhadap gejala klinis, faktor risiko, modalitas yang membantu deteksi dini palsi
sereberal, prognosis berdasarkan GMFCS dan terapi yang dapat diberikan, dapat menjadi
dasar pelaksanaan berbagai tingkat dapat diberikan, dapat menjadi dasar pelaksanaan
berbagai tingkat pencegahan terhadap palsi sereberal, baik pencegahan primer, sekunder,
maupun tersier.
Gambar 4. Pencegahan terhadap palsi sereberal
BAB III
PEMBAHASAN
11
Pasien, anak laki-laki berusia 4 tahun 6 bulan, datang ke IGD dengan keluhan kejang
saat 1 jam SMRS. Berdasarkan deskripsi dari orang tua pasien tersebut, tipe kejang yang
dialami pasien adalah menyerupai kejang umum. Kejang pada pasien didahului demam
ringan yang naik turun sejak 1 hari SMRS, riwayat trauma disangkal, dan pada pemeriksaan
fisik di IGD didapatkan suhu 38,2oC sehingga dipikirkan diagnosis ke arah kejang demam.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien langsung tersadar dan tidak terlihat kelainan
apapun. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin pasien tidak mengalami defisit neurologis.
Namun pada saat dilakukan pemeriksaan fisik saat pasien telah stabil dan masuk di ruangan,
ditemukan adanya defisit neurologis yaitu spastisitas dan rigiditas pada 3 ekstremitas serta
adanya refleks patologis babisky yang positif. Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya
gangguan pada lesi upper motor neuron. Diagnosis kejang demam belum dapat ditegakkan
secara pasti pada awal pasien diterima saat di IGD karena harus dipastikan apakah pasien
tidak mempunyai infeksi SSP, gangguan elektrolit akut, atau riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium
darah lengkap beserta elektrolit hingga Pungsi lumbal dan EEG untuk menyingkirkan adanya
infeksi SSP, gangguan elektrolit, dan Epilepsi.
Saat pasien datang ke IGD pasien diberikan diazepam supp 5 mg. Hal ini sudah sesuai
guidelines penatalaksaan kejang akut pada anak (IDAI). Pemberian obat antipiretik juga telah
diberikan di IGD yaitu sanmol sirup.
Sejak 1 minggu sebelum masuk RS pasien mempunyai keluhan batuk dan pilek yang
disertai demam. Dipikirkan gejala ini merupakan suatu manifestasi dari Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Hal ini didukung dengan ditemukan dinding faring posterior hiperemis pada
pasien. Pada pemeriksaan laboratorium leukosit cenderung menurun (leukopenia) hal ini
dapat merupakan manifestasi suatu infeksi virus, dimana salah satu dari ISPA yaitu common
cold sering disebabkan oleh Rhinovirus.
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan neurologis berupa spastistas, rigiditas,
dan refleks patologis babinski positif. Pada pasiem ini tidak ditemukan adanya faktor risiko
selama kehamilan seperti BBLR, bayi kurang bulan, malformasi sistem saraf, kelahiran
multipel, ibu hipertiroidisme atau mendapat hormon tiroid dan estrogen selama hamil,
perdarahan antepartum atau proteinuria pada akhir kehamilan. Faktor risiko prenatal dan
neonatal juga tidak dapat ditemukan. Namun pada saat pasien berusia 1 tahun terdapat
riwayat kejang berulang yang dapat dicurigai adanya suatu infeksi sistem saraf pusat yang
menyebabkan kerusakan atau lesi dari otak. Palsi sereberal dapat terjadi pada masa awal anak
12
dimana terjadi akibat dari perdarahan otal, trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat, infeksi
rubella, dan ikterus berat.
Menurut kurva MFCS pasien ini merupakan Triplegia Spastik dengan derajat keparahan
derajat V, dimana pasien kemampuan bergerak masih sangat terbatas meskipun sudah
memakai alat bantu.
Tataksana palsi serebral pada pasien ini meliputi perbaikan kualitas hidup pasien melalui
edukasi kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang diderita. Tatalaksana secara
komprehensif dari berbagai bidang juga diperlukan sehingga pelatihan fisioterapi untuk
memaksimalkan perkembangan fungsi.
Terapi medikamentosa kelainan dan penyerta telah dilakukan pada pasien ini selama di
ruangan dan sesuai dengan permasalahan yang ada. Pemberian piracetam yang merupakan
derivat GABA ditujukan untuk perbaikan fungsi kognitif pada pasien akibat kerusakan SSP.
Pemeriksaan penunjang seperti elektrolit, EEG, pungsi lumbal diperlukan untuk
menepis kemungkinan kejang disebabkan oleh hal lain seperti epilepsi, gangguan elektrolit
atau infeksi SSP. Pemeriksaan UL disarankan untuk mengetahui apakah ISK merupakan
salah satu penyebab dari demam pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman ME, Kliegman RM, Jenson HB,
editor. Nelson textbook of pediatrics [E-book]. Ed 17. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2004.
2. Freeman JM. The evaluation of a child with a first seizure. Dalam: Singer HS, Kossoff
RH, Hartman AL, Crawford TO, editor. Treatment of pediatric neurologic disorders [E-
13
book]. Boston: Taylor & Francis; 2005.
3. Chu-Shore CJ, Kao A. First seizure, pediatric perspective [Online]. 14 Januari 2010.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1179097-overview#showall
(Diakses tanggal 8 April 2011)
4. Sastroasmoro S. panduan pelayanan medis departemen ilmu kesehatan anak. Jakarta:
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo; 2007.
5. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis. Dalam: Kliegman RL, Marcdante KJ, Jenson
HB, Behrman RE, editor. Nelson’s essentials of pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2007, h.1272.
6. Johnston MV. Encephalopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;
2011: chap 591.
7. Ashwal S. et al. Practice parameter: diagnostic assessment of the child with cerebral
palsy: report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. Neurology.
2004;62:851-863.
14