kejadian patah tulang atau fraktur

Upload: mohhuxen

Post on 15-Oct-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

    (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.

    ( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 )

    Kejadian patah tulang atau fraktur dapat menimpa setiap orang kapan saja dan dimana

    saja. Fraktur yang terjadi dapat mengenai orang dewasa maupun anak-anak. Presentasi

    keseluruhan dari anak anak 0-16 tahun yang mengalami (sedikitnya 1) fraktur, lebih tinggi anak

    laki-laki(42%) daripada anak perempuan (27%). Tetapi kejadian fraktur tiga tahun lebih awal

    terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Meningkatnya fraktur selama masa

    prapubertas terjadi karena ketidaksesuaian antara tinggi badan dan mineralisasi tulang. 77%

    kasus fraktur disebabkan karena trauma low-energy (terutama karena jatuh) yang lebih sering

    terjadi pada anak laki-laki usia sekolah dan remaja. (Jurnal Pattern of fractures across

    pediatric age groups: analysis of individual and lifestyle factors). Fraktur yang mengenai

    lengan bawah pada anak sekitar 82% pada daerah metafisis tulang radius distal,dan

    ulna distal sedangkan fraktur pada daerah diafisis yang terjadi sering s e ba g a i f a k t u r t y p e

    g r ee n - s t i c k . D ae r a h me t a f i s i s pa d a a n ak r e l a t i f ma s i h l e ma h

    sehingga fraktur banyak terjadi pada daerah ini, selebihnya dapat mengenai suprakondiler

    humeri (transkondiler humeri) diafisis femur dan klavikula, sedangkan yang lainnya jarang.

    Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses

    penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat

    baik, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi

    tulang anak yang berbeda dengan tulang orang dewasa. Selain itu proses penyembuhan

    ini juga dipengaruhi oleh faktor mekanis dan faktor biologis. Ada perbedaan yang

    mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa, perbedaan

    tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anak-anak antara

    epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah

    pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, s eh i n g ga

    e p i f i s i s da n me t a f i s i s i n i a ka n me n y a t u . P ad a s a a t i t u l ah p e r t u mb u h a n

    memanjang tulang akan berhenti. Tulang panjang terdiri atas epifisis, metafisis dan diafisis.

    Epifisis merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan

    bagian yang lebih lebar d a r i u j u n g t u l a ng p a n j a ng y a n g b e r d e k a t a n de n g a n

    d i s k us e p i f i s i a l i s , s e d a ng k an diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk

  • dari pusat osifikasi primer. S e l u r uh t u l a n g d i l i p u t i o l e h l ap i s a n f i b r o sa y a ng

    d i s e b u t p e r i o s t e u m, y an g mengandung sel-

    sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal

    tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan

    keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan b e r h a s i l a t au t i d a k n y a

    p r o se s p en y e mb u h a n su a t u t u l a ng ya ng p a t a h . P a d a a n ak , terdapat lempeng

    epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum s a n g a t t e b a l d an

    k u a t d i ma n a pa d a p r o se s bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan

    lebih besar daripada orang dewasa.

    1.2 Rumusan Masalah

    1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan fraktur?

    1.2.2 Apa sajakah klasifikasi fraktur?

    1.2.3 Apa sajakah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur?

    1.2.4 Tanda, gejala, dan manifestasi klinis apa sajakah yang biasanya muncul pada fraktur?

    1.2.5 Bagaimanakah penatalaksanaan yang baik dalam mengatasi fraktur pada anak?

    1.2.6 Bagaimanakah asuhan keperawatan yang tepat untuk menangani permasalahan tersebut?(pada

    kasus ini kelompok kami akan membahas lebih lanjut mengenai askep fraktur)

    1.3 Tujuan

    1.3.1 Mengerti dan memahami mengenai definisi dari fraktur.

    1.3.2 Mengetahui dan mengerti tentang berbagai macam klasifikasi fraktur.

    1.3.3 Mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur.

    1.3.4 Mengetahui tanda, gejala, dan manifestasi klinis yang biasanya muncul pada fraktur.

    1.3.5 Mengerti mengenai bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat yang harus dilakukan dalam

    menangani fraktur pada anak.

    1.3.6 Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang tepat untuk menangani permasalahan

    fraktur pada anak.

    1.4 Manfaat

    1.4.1 Menambah pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan fraktur.

    1.4.2 Dapat mengetahui tentang berbagai macam faktor penyebab dan akibat apasajakah yang

    mungkin muncul sebagai dampak dari fraktur khususnya fraktur pada anak.

    1.4.3 Dapat mengetahui mengenai penatalaksanaan yang tepat yang harus dilakukan dalam

    menangani permasalahan fraktur pada anak.

    1.4.4 Mengetahui mengenai asuhan keperawatan yang tepat dalam menangani fraktur pada anak.

  • BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1 Definisi Fraktur

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,

    fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.

    (Smelter&Bare,2002)

    2.2 Klasifikasi Fraktur

    a. Komplit - tidak komplit

    - Fraktur komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks

    tulang seperti terlihat pada foto.

    - Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

    1. Hairline fracture

    Tulang terpecah selurunya tetapi masih tetap ditempat,biasa terjadi pada tulang pipih

    2. Buckle fracture atau torus fracture

    Terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya

    3. Greenstick fracture

    Fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok)

    b. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma

    - garis patah melintang

    - garis patah oblique

    - garis patah spiral

    - fraktur kompresi

    - fraktur avulsi

    c. Jumlah garis patah

    - fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan

    - fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah

    disebut pula fraktur bifokal.

  • - fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya.

    d. Bergeser - tidak bergeser (displaced-undisplaced)

    - fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.

    Periosteumnya masih utuh.

    - Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut

    dislokasi fragmen.

    1. dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping)

    2. dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)

    3. dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).

    e. Terbuka - tertutup

    - Fraktur tertutup : bila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau

    permukaan kulit.

    - Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar

    atau permukaan kulit.

    Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan

    berat ringannya patah tulang.

    Grade I

    Luka biasanya kecil < 1 cm, luka tusuk yang bersih pada tempat tulang menonjol keluar.

    Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan lunak, tanpa penghancuran dan fraktur tidak

    kominutif.

    Grade II

    Luka > 1 cm, tetapi tidak ada penutup kulit. Tidak banyak terdapat kerusakan jaringan lunak,

    dan tidak lebih dari kehancuran atau kominusi fraktur tingkat sedang.

    Grade III

    Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovaskuler, disertai

    banyak kontaminasi luka.

    III A : Tulang yang mengalami fraktur mungkin dapat ditutupi secara

    memadai oleh jaringan lunak.

    III B : Terdapat pelepasan periosteum dan fraktur kominutif yang berat.

    III C : Terdapat cedera arteri yang perlu diperbaiki, tidak peduli berapa

    banyak kerusakan jaringan lunak yang lain.

    2.3 Etiologi

  • Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya

    melebihi kekuatan tulang.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur :

    o Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta

    kekuatan tulang.

    o Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas

    serta kekuatan tulang.

    Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

    Trauma Langsung : Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur

    di tempat itu

    Trauma tidak langsung : bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian

    (Jatuh dari ketinggian dengan berdiri atau duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang)

    Proses penyakit (osteoporosis yang menyebabkan fraktur yang patologis)

    2.4 Patofisiologi

    2.5 Tanda dan gejala

    Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau mendengar bunyi krek (krepitasi)

    Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat,atau mengalami angulasi abnormal

    Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera

    Posisi ekstremitas yang abnormal, memar, bengkak, perubahan bentuk

    Nyeri gerak aktif dan pasif

    Nyeri sumbu

    Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketikamenggerakkan ekstremitas yang mengalami

    cedera (Krepitasi)

    Fungsiolesa

    Perdarahan bisa ada atau tidak

    Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasicedera

    Kram otot di sekitar lokasi cedera

    Jika mengalami keraguan apakah terjadi fraktur atautidak, maka perlakukanlah pasien seperti

    orang yang mengalami fraktur.

  • 2.6 Manifestasi klinik

    Manifestasi kliniis fraktur antara lain adalah didapatkan riwayat trauma, hilangnya

    fungsi, tanda-tanda inflamasi yang berupa nyeri akut dan berat, pembengkakan lokal, merah

    akibat perubahan warna, dan panas pada daerah tulang yang patah. Selain itu ditandai juga

    deformitas, dapat berupa angulasi, rotasi, ataupemendekan, serta krepitasi. Apabila fraktur

    terjadi pada ekstremitas atau persendian, maka akan ditemui keterbatasan LGS (lingkup gerak

    sendi). Pseudoartrosis dan gerak abnormal.

    Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapatpada setiap fraktur, shingga perlu

    dilakukan pemeriksaan penuunjang. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

    adalah pemeriksaan X-foto, yang harus dilakukan dengan proyeksi yaitu anterior-posterior dan

    lateral. Dengan pemeriksaan X-foto ini dapat dilihat adatidaknya patah tulang, luas, dan

    keadaan fragmen tulang. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengikuti proses penyembuhan

    tulang. Diagnosis fraktur sendiri bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x

    pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. Bila

    berdasarkan pengamatan Klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah sebagaimana fraktur

    sampai terbukti lain..

    2.7 Penatalaksanaan

    Pemeriksaan Fisik :

    1. Inspeksi (look)

    Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen

    tulang (pada fraktur terbuka).

    2. Palpasi (feel)

    Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di

    bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian distal cedera

    meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test.

    3. Gerakan (moving)

    Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur.

    Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:

    1. Mengurangi rasa nyeri,

    Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai

    menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta

    dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.

  • 2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

    Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun

    gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja.

    3. Membuat tulang kembali menyatu

    Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan

    sempurna dalam waktu 6 bulan.

    4. Mengembalikan fungsi seperti semula

    Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada

    sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.

    Proses Penyembuhan Tulang :

    Proses penyembuhan pada tulang terdiri atas lima fase, yaitu:

    a. Fase Hematoma

    Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati

    kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan

    membentuk hematoma di antara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh

    periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan

    hematoma sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.

    Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan

    kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang

    mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

    b. Radang dan proliferasi seluler

    Dalam delapan jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah

    periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh

    jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan

    diabsorpsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke daerah itu.

    c. Fase pembentukan kalus

    Sel yang berkembang biak memiliki potensi krondrogenik dan osteogenik. Apabila diberikan

    keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan juga

    kartilago. Populasi sel sekarang juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan pembuluh

    darah baru) yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-

    pulau tulang yang immatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan

    periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang immature (atau anyaman tulang)

    menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang dan pada empat minggu

    setelah cedera, fraktur menyatu.

  • d. Fase konsolidasi

    Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang

    lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui

    reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat dibelakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang

    tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin

    perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.

    e. Fase remodeling

    Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan, atau

    bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan

    pembentukan tulang yang terus menerus.lamela yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang

    tekanannya tinggi, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk.

    Akhirnya, dan terutama pada anak-anak tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk

    normalnya.

    Pada Jurnal Kadar Vitamn K Pada Penderita Fraktur Tertutup Baru dan Lama yang Dirawat

    Di Bangsal ORTOPEDI RSU DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG oleh Muzzakie

    disebutkan bahwa salah satu proses penyembuhan fraktur dipengaruhi oleh vitamin K. Vitamin

    K ini terkenal karena efeknya terhadap pembekuan darah, namun pada penelitian terakhir

    menunjukan vitamin K berperanan penting dalam proses pembentukan, remodeling dan

    penyembuhan fraktur. Vitamin K berperanan dalam pembentukan osteocalcin yaitu protein

    unik dalam jumlah besar yang terdapat pada tulang. Osteocalcin merupakan matrik terjadinya

    kristalisasi kalsium. Struktur osteocalcin merupakan protein non kolagen yang mengandung

    asam gamma karboksi glutamat tersusun atas tiga residu asam glutamat yang mengalami

    karboksilasi akibat dari modifikasi post translasi tergantung vitamin K. Penelitian terhadap

    binatang percobaan menunjukan pemberian suplemen vitamin K mempercepat proses

    penyembuhan fraktur. Penelitian yang dilakukan Lucille Bitensky,et all,bahwa kadar vitamin

    K 1 dalam sirkulasi penderita fraktur lebih rendah daripada individu normal. Hasil ini

    mendukung teori bahwa vitamin K 1 berperanan sebagai hydrogen donor dalam reaksi

    biokimia yang mengkonversi glutamic acid residu (glu) menjadi gamma carboxy glutamic acid

    (gla). Dua kelompok residu ini dapat berikatan dengan kalsium.

    Pada penelitian muzakkie mengenai kadar vitamin K pada penderita fraktur tertutup baru

    dan lama diperoleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna kadar vitamin K penderita fraktur

    tertutup baru dan lama.

  • Pemeriksaan Penunjang :

    1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan

    role of two, yang terdiri dari :

    Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.

    Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.

    Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena

    cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)

    Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

    2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

    Merupakan prosedur diagnosa yang menggunakan kombinasi dari magnet-magnet yang besar,

    frekuensi radio, dan komputer untuk menghasilkan gambar secara detail dari organ dan strukur

    tubuh. Test ini dilakukan untuk mengetahui hubungan abnormalitas dari medula spinal dan

    saraf.

    3. Computed Tomography Scan (Also called a CT or CAT scan.)

    Prosedur diagnosa yang menggunakan kombinasi antar sinar X dan teknologi komputer untuk

    menghasilkan gambar yang melintang dan bersekat, keduanya mendatar dan tegak lurus dari

    tubuh. CT scan menunjukkan gambar yang detail dari bagian-bagian tubuh termasuk tulang,

    otot, lemak, dan organ. CT scans lebih detail dibandingkan sinar X

    4. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:

    Darah rutin,

    Faktor pembekuan darah,

    Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),

    Urinalisa,

    Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).

    5. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur

    tersebut.

    2.8 Fraktur Pada Anak

    Fraktur yang terjadi dapat mengenai orang dewasa maupun anak-anak, Fraktur yang

    mengenai lengan bawah pada anak sekitar 82% pada daerah metafisis tulang radius distal,dan

    ulna distal sedangkan fraktur pada daerah diafisis yang terjadi sering sebagai faktur type green-

    stick. Daerah metafisis pada anak relatif masih lemah sehingga fraktur banyak terjadi pada

  • daerah ini, selebihnya dapat mengenai suprakondiler humeri (transkondiler humeri) diafisis

    femur dan klavikula, sedangkan yang lainnya jarang.

    Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses

    penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik,hal ini

    disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang anak yang

    berbeda dengan tulang orang dewasa. Selain itu proses penyembuhan ini juga dipengaruhi oleh

    faktor mekanis dan faktor biologis.

    A. Anatomi dan Fisiologi

    Gambar 1. Bagian-bagain dari tulang immatur

    Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa,

    perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anak-anak antara

    epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan kongenital.

    Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan

    menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.

    Tulang panjang terdiri dari :

    Epifisis : merupakan bagian paling atas dari tulang panjang

    Metafisis : merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan

    dengan diskus epifisialis

    Diafisis : merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer

    Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel

    yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang.

    Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh

    darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang

    patah.

    Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum

    sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat

    dan lebih besar daripada orang dewasa.

    Perbedaan di atas menjelaskan perbedaan biomekanik tulang anak-anak dibandingkan orang

    dewasa, yaitu :

    Biomekanik tulang

    Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah dipotong oleh

    karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor ini menyebabkan tulang

  • anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap deformasi tulang dibandingkan orang

    dewasa. Tulang orang dewasa sangat kompak dan mudah mengalami tegangan dan tekanan

    sehingga tidak dapat menahan kompresi.

    Biomekanik lempeng pertumbuhan

    Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat pada metafisis yang bagian

    luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh procesus mamilaris. Untuk

    memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng

    epifisis mempunyai konsistensi seperti karet yang besar.

    Biomekanik periosteum

    Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami robekan

    dibandingkan orang dewasa.

    Pada anak-anak, pertumbuhan merupakan dasar terjadinya remodelling yang lebih besar

    dibandingkan pada orang dewasa, sehingga tulang pada anak-anak mempunyai perbedaan

    fisiologi, yaitu :

    Pertumbuhan berlebihan (over growth)

    Pertumbuhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada pertumbuhan panjang,

    karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi pada waktu penyambungan.

    Deformitas yang progresif

    Kerusakan permanen pada lempeng epifisis akan terjadi pemendekan atau angulasi.

    Fraktur total

    Pada anak-anak fraktur total jarang bersifat komunitif karena tulangnya sangat fleksibel

    dibandingkan orang dewasa.

    B. Etiologi

    1. Trauma

    Trauma dapat dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung

    berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, sedangkan trauma tidak

    langsung bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian.

    2. Non Trauma

    Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma

    ini bisa karena kelainan metabolik atau infeksi.

    3. Stress

    Fraktur stress terjadi karena trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.

  • Menurut Jurnal Associations of Birth Weight and Length, Childhood Size, and Smoking

    with Bone

    Fractures during Growth: Evidence from a Birth Cohort Study

    Fraktur pada lengan bawah bagian distal berhubungan dengan rendahnya

    kepadatan/densitas tulang tubuh, lengan bawah, pinggul, dan lumbar pada anak laki-laki dan

    perempuan. Berkurangnya densitas mineral pada tulang merupakan factor risiko untuk fraktur

    pada masa pertumbuhan Rendahnya densitas mineral pada tulang dapat memprediksi fraktur

    baru pada anak perempuan diatas umur 4 tahun. Seorang anak yang pernah mengalami paling

    sedikit 1 kali patah tulang merupakan factor risiko untuk mengalami fraktur tulang lagi di

    waktu mendatang, sama dengan orang dewasa. Tingginya berat badan pada masa pertumbuhan

    berhubungan dengan meningkatnya risiko fraktur pada lengan bawah bagian distal. Selain itu

    risiko fraktor juga terjadi pada anak yang sering berolahraga(risiko cidera), rendahnya intake

    ASI, menggunanakan obat steroid, rendahnya konsumsi kalsium, dan konsumsi minuman kola.

    Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari setengah anak anak pernah mengalami

    fraktur paling sedikit satu fraktur sebelum usia 18 tahun. Tingginya berat badan dan tinggi

    badan merupakan factor risiko fraktur, khususnya selama masa prapubertas. Merokok pada

    masa remaja juga merupakan factor risiko fraktur pada masa remaja

    Menurut Jurnal Pattern of fractures across pediatric age groups: analysis of individual and

    lifestyle factors

    Pada penelitian dalam jurnal ini didapatkan bahwa anak laki-laki mempunyai risiko fraktur

    lebih tinggi daripada anak perempuan. Dengan bertambahnya umur rasio anak laki-

    laki/perempuan partisipasi dalam berolahraga meningkat, sedangkan intake kalsium dan waktu

    untuk bermalas-malasan berkurang. Presentasi keseluruhan dari anak anak 0-16 tahun yang

    mengalami (sedikitnya 1) fraktur, lebih tinggi anak laki-laki(42%) daripada anak perempuan

    (27%). Tetapi kejadian fraktur tiga tahun lebih awal terjadi pada anak perempuan daripada

    anak laki-laki. Meningkatnya fraktur selama masa prapubertas terjadi karena ketidaksesuaian

    antara tinggi badan dan mineralisasi tulang. 77% kasus fraktur disebabkan karena trauma low-

    energy (terutama karena jatuh) yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki usia sekolah dan

    remaja. Meningkatnya pasrtisipasi dalam olahraga menyebabkan tingginya insiden fraktur

    pada remaja. Rendahnya intake kalsium dihubungkan dengan penurunan densitas tulang dan

    risiko fraktur pada anak. Anak-anak yang mengalami fraktur berulang memiliki massa dan

    ukuran lumbar tulang belakang yang lebih rendah dari kelompok control, konsumsi susu yang

    rendah, aktivitas fisik yang rendah, BMI yang tinggi, dan konsumsi minuman berkarbon yang

    tinggi. Partisipasi dalam olahraga dapat meningkatkan massa tulang tapi tidak melindungi

  • tulang dari risiko injuri. Oleh karena itu sejalan dengan meningkatnya kemampuan motorik,

    keikutsertaan dalam aktivitas fisik meningkat dan risiko terkena injuri pun juga meningkat,

    terutama pada anak laki-laki. Perbedaan yang signifikan (jenis kelamin) ditemukan hanya pada

    masa remaja dimana anak laki-laki mengalami patah tulang di arena bermain/jalan dan anak

    perempuan mengalami fraktur di rumah

    C. Klasifikasi

    Fraktur khusus pada anak

    Fraktur akibat trauma kelahiran

    Fraktur yang terjadi pada saat proses kelahiran sering terjadi pada saat melahirkan bahu bayi,

    (pada persalinan sungsang). Fraktur yang terjadi biasanya disebabkan karena tarikan yang

    terlalu kuat yang tidak disadari oleh penolong.

    Fraktur salter-Haris

    Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia dibagi

    menjadi lima tipe :

    Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh.

    Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari

    metafisis.

    Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

    Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis

    Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari

    sebagian cakram tersebut.

    E. Manifestasi Klinis

    Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan

    atau perpanjangan)

    Bengkak atau kebiruan.

    Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)

    Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.

    Krepitasi.

    Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.

    Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.

  • F. Penatalaksanaan

    1. Terapi Konservatif

    a. Proteksi

    Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan baik.

    b. Immobilisasi tanpa reposisi

    Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan

    baik.

    c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips

    Misalnya fraktur supracondylair, fraktur colles, fraktur smith. Reposisi dapat dengan anestesi

    umum atau anestesi lokal dengan menyuntikkan obat anestesi dalam hematoma fraktur.

    Fragmen distal dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen proksimal dan

    dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips. Misalnya fraktur distal radius,

    immobilisasi dalam pronasi penuh dan fleksi pergelangan.

    d. Traksi

    Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips

    setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi Hamilton Russel/traksi

    Bryant).

    Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg, untuk anak-anak waktu dan beban

    tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan

    dengan immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa

    balanced traction.

    2. Terapi Operatif

    a. Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis

    Reposisi tertutup-Fiksasi eksterna

    Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat fiksasi

    eksterna.

    Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna

    Misalnya : reposisi fraktur tertutup supra condylair pada anak diikuti dengan pemasangan

    paralel pins. Reposisi tertutup fraktur collumum pada anak diikuti pinning dan immobilisasi

    gips.

    Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi close nailing pada fraktur femur dan tibia,

    yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.

    b. Terapi operatif dengan membuka frakturnya :

  • Reposisi terbuka dan fiksasi interna

    ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)

    Keuntungan cara ini adalah :

    - Reposisi anatomis.

    - Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

    Indikasi ORIF :

    a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya :

    - Fraktur talus.

    - Fraktur collum femur.

    b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya :

    - Fraktur avulsi.

    - Fraktur dislokasi.

    c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya :

    - Fraktur Monteggia.

    - Fraktur Galeazzi.

    - Fraktur antebrachii.

    - Fraktur pergelangan kaki.

    d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi,

    misalnya : fraktur femur.

    2. Excisional Arthroplasty

    Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya :

    - Fraktur caput radii pada orang dewasa.

    - Fraktur collum femur yang dilakukan operasi Girdlestone.

    3. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis

    Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau yang lainnya. Sesuai

    tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal sudah harus

    diperhatikan latihan-latihan untuk mencegah disuse atropi otot dan kekakuan sendi, disertai

    mobilisasi dini. Pada anak jarang dilakukan operasi karena proses penyembuhannya yang cepat

    dan nyaris tanpa komplikasi yang berarti.

    Treatment yang dilakukan pada Kasus Supracondylar Fracture of Humerus dalam beberapa

    jurnal :

    1. Treatment of Pink Pulseless Hand Following Supracondylar Fractures of the Humerus

    in Children

  • A. V. Korompilias & M. G. Lykissas & G. I. Mitsionis &

    V. A. Kontogeorgakos & G. Manoudis & A. E. Beris

    Penelitian dilakukan pada 66 pasien anak-anak dengan fraktur supracondilar di humerus.

    Pada salah satu pasien, denyut nadi radial dikembalikan setelah penutupan area fraktur

    terbukanya.

    Meskipun begitu, pada 4 pasien, terjadi kegagalan denyut nadi redialnya. Sebagai

    konsekuensinya, mereka mengalami eksplorasi vaskuler. 3 pasien mengalami keadaan

    kemacetan nadi karena trombus formasi. Trombektomi telah dilakukan, untuk mendorong

    restorasi nadi radial.

    Semua anak pada fraktur tersebut dilakukan pembedahan pada area fraktur untuk

    mencegah terjadinya kemacetan nadi.

    Kesimpulannya :

    Ketidakadanya denyut nadi dari radial mestinya tidak selalu dihubungkan dengan suatu

    kekejangan vaskuler yang diatasi secara spontan. Metode pengarang yang disukai adalah

    eksplorasi pembedahan untuk pengembalian jalan nadi brakhial, meskipun pada keadaan

    fraktur tangan pada anak.

    2. Operative Management of Type III Extension Supracondylar Fractures in Children

    Cemal Kazimoglu & Murat etin & Muhittin ener &

    Haluk Agu & nder Kalanderer

    Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan antara perawatan terbuka dan tertutup pada

    pasca operative dari fraktur suprakondilar ektension tipe III pada anak.

    Dan juga hasil dari teknik yang berbeda pada perawatan terbuka yang dievaluasi dengan

    retrospektive. Menurut kriteria Flynn, outcome dari reduksi terbuka dan tertutup tidak ada

    statistik yang signifikan ( P > 0,05 ). Meskipun begitu outcome dari reduksi tertutup tidak

    menunjukkan keunggulan apapun dari reduksi terbuka, itu harus menjadi pilihan pertama dari

    perawatan berkaitan dengan rendahnya morbiditas dan pendeknya rawat inap di rumah sakit.

    Kesimpulan :

    Dapat disimpulkan bahwa reduksi terbuka dan fiksasi internal adalah sebuah protokol

    perawatan sekunder yang efektif untuk fraktur suprakondilar tipe III dengan hasil yang

    diperbandingkan dengan reduksi tertutup dan digantung. Jika reduksi tertutup gagal, reduksi

  • terbuka atau traksi skeletal dan penundaan fiksasi perkutanious dapat lebih disukai menurut

    pengalaman pembedahan.

    3. Treatment of Supracondylar Fractures of The Humerus in Children Through an

    Anterior Approach is a Safe and Effective Method

    Onder Ersan & Emel Gonen & Ahmet Arik &

    Uygar Dasar & Yalim Ates

    Jurnal ini membahas tentang efektifitas dan keamanan dengan menggunakan sebuah

    pendekatan anterior untuk fraktur humerus suprakondilar pada anak-anak. Penelitian dilakukan

    dengan 46 anak-anak yang memiliki fraktur humerus suprakondilar. Semua pasien telah

    terkelompokkan fraktur ektensi tipe III Gartland yang tidak dapat direduksi dengan reduksi

    tertutup. Dengan reduksi terbuka pun juga dilakukan dengan dimasukkan 2 kawat untuk

    memperbaiki tulang yang patah tersebut. Lalu pasien difollow-up dan dievaluasi menggunakan

    radiologi Flynn dan kriteria klinik. Kehilangan ektensi dan fleksi dikaji denagn pengkajian

    klinik dan diukur mengguanakan radiogram. Difollow-up setelah 24 jam postoperasi yang

    menunjukkan pasien dalam kondisi bagus dan kriteria yang bagus menurut Flynn.

    Kesimpulan :

    Perawatan fraktur suprakondilar pada anak-anak melalui area anterior sangat bagus karena

    hasil dari penyembuhan fraktur tersebut sangat bagus dibuktikan dengan 31 excelent ( 67 % )

    dan 15 hasil yang bagus ( 33 % ) dan tidak terdapat kegagalan atau kesalahan, serta luka dan

    penyembuhan relatif cepat.

    4. Recurrent Supracondylar Humerus Fracture Following Prior Malunion

    Kenneth J. Noonan, M.D.*

    Jedediah W. Jones, M.D.

    Jurnal ini menjelaskan tentang kejadian fraktur pada anak-anak yang berulang akibat dari

    fraktur sebelumnya. Dilakukan penelitian dengan 2 anak, 5 dan 6 tahun.keduanya mengalami

    fraktur pada humerus suprakondilernya. Lalu, dilakukan pengobatan yang berbeda, yang 1

  • dengan cara reduksi terbuka atau pembedahan langsung dan yang lainnya dengan cara

    pembalutan / reduksi tertutup. Keduanya dilakukan dengan penyembuhan dengan level

    standard. 2 tahun kemudian, mereka terjadi fraktur kembali pada daerah yang sama dan

    keduanya dilakukan reduksi tertutup dengan penyematan perkutaneous.

    Menurut peneliti, ektensi malunion ( penyatuan yang tidak sempurna ) menyebabkan

    resiko tinggi pada anak untuk mengalami fraktur kembali pada daerah yang sama.

    5. Results of treatment of displaced supracondylar humeral fractures in children by

    percutaneous lateral cross-wiring technique

    Wael A. El-Adl Mohammed A. El-Said

    George W. Boghdady Al-Sayed M. Ali

    70 anak dengan fraktur humerus suprakondiler tipe II dan III di-treatment dengan teknik

    kawat-silang lateral perkutaneous dari januari 2006 sampai januari 2007. Ada 54 laki-laki dan

    16 perempuan dengan umur berkisar 6,1 3, 07 tahun. Semua pasien dioperasi dalam waktu

    24 jam setelah trauma menggunakan teknik kawat-silang lateral perkutaneous Dorgans. Pasien

    di-followup selama 6,1 2,6 bulan dan pengkajian dengan radiologi untuk penyatuannya,

    fungsionalnya dan penyusunannya dengan kriteria Flynn. Hasilnya semua pasien mendapat

    kepuasan, 91,4 % pasien puas dan 8,6 % tidak puas. Komplikasi yang terjadi adalah serangan

    infeksi sematan minor pada 6 pasien, infeksi dalam pada 2 pasien, dan 32 pasien menderita

    butiran-butiran pembentukan jaringan yang berlebihan sekitar balutan. Tidak ada kerusakan

    persarafan untuk saraf ulnar atau saraf radial. Diperoleh hasil sedikit komplikasi yang

    dilaporkan secara signifikan dengan teknik ini pada kasus fraktur suprakondiler pada anak.

    Kesimpulan :

    Teknik cross-wiring Dorgans baik untuk treatment pada anak dengan fraktur humerus

    suprakondiler karena memberikan stabilitas fraktur yang baik, penyatuan tulang yang baik, dan

    resiko atau komplikasi yang ditimbulkan sangat sedikit

    Pengobatan Fraktur Terbuka

    Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera.

  • Tindakan sudah harus dimulai dari fase pra-rumah sakit :

    -Pembidaian

    -Menghentikan perdarahan dengan perban tekan

    -Menghentikan perdarahan besar dengan klem

    Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh oleh karena 40% dari fraktur

    terbuka merupakan polytrauma.

    Tindakan life-saving harus selalu didahulukan dalam kerangka kerja terpadu (team work).

  • BAB III

    ANALISIS KASUS

    3.1Kasus Keperawatan

    Pasien datang post jatuh waktu bermain bola di sekolah, posisi jatuh tangan ekstensi

    menahan beban tubuh. Waktu kejadian sadar, keluhan lengan kiri sakit saat digerakkan, bentuk

    lengan bengkok. Diagnosa Medis adalah Fraktur Supra Condiler sinistra dan dilakukan

    Pembedahan Orif Plate. Setelah dilakukan Pembedahan keadaan umum pasien adalah Pusing

    (-),Mual (-), Muntah (-), BAB (+), Flatus (+), Nyeri jika lengan kiri digerakkan (+), baal (-),

    Kesemutan (-)

    3.2 Proses Keperawatan

    1. Pengkajian Keperawatan

    a. Identitas pasien

    Nama : An. R

    Usia : 9 tahun

    Jenis Kelamin : Laki Laki

    b. Riwayat Penyakit Sekarang :

    keluhan lengan kiri sakit saat digerakkan, bentuk lengan bengkok

    c. Riwayat Alergi obat : -

    d. Pemeriksaan

    Pemeriksaan Lokalisasi : Nyeri pada lengan kiri, deformitas

    Pemeriksaan Penunjang : elbow AP dan lateral : frkatur suprakondiler sinistra.

    Diagnosis :Fraktur Supra Condiler sinistra

    Planning : Pembedahan; Orif Plate

    e. Riwayat Post Op Orif Plate

    i. Pemeriksaan Fisik

    Inspeksi : bengkak pada tangan kiri (+), Pucat (-)

    Palpasi : Akral distal hangat (+), Pulsasi (+), Rabaan (+)

    Movement : Fleksi jari-jari (+), dorso fleksi pergengan tangan (+) tapi sedikit nyeri, palmar fleksi (+)

    sedikit nyeri,fleksi dan ekstensi siku (-) Karen sangat nyeri, tahanan otot (-)

    Kekuatan Otot Lengan Kiri :2

  • 2. Diagnosa Keperawatan

    a. Peripheral neurovascular dysfunction, risk for. (Risiko untuk disfungsi Peripheral

    neurovascular)

    b. Impaired Physical Mobility (Gangguan mobilitas Fisik).

    c. Risk for infection (Resiko Infeksi)

    d. Acut Pain (nyeri Akut)

    3. Perencanaan (Nursing Outcomes) dan Implementasi (Nursing Intervention)

    a. Risiko untuk disfungsi Peripheral neurovascular

    Definisi: keadaan individu yang berisiko mengalami gangguan sirkulasi, sensasi, atau gerakan

    pada ekstremitas

    Faktor yang berhubungan: Patah tulang, imobilisasi, obstruksi vaskuler, bedah ortopedi

    Outcome:

    Penyembuhan fraktur

    Status neurologi

    Keparahan resiko cidera

    Intervention

    Kardiak care

    Monitor neurologi

    Posisioning

    Pengawasan daerah pembedahan

    Aktivitas Keperawatan

    Ajarkan pasien tentang perawatan pasca operasi

    Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala gangguan pasca operasi dan komplikasi

    Ajarkan pasien tentang pentingnya pelatihan mobilisasi

    b. Impaired Physical Mobility (Gangguan Mobilitas Fisik)

    Definisi: Keterbatasam mobilitas tubuh pada satu atau lebih ekstrimitas

    Faktor yang berhubungan:

    Penurunan kekuatan otot

    Kontraktur

    Penurunan Muskuluskeletal

  • Outcomes

    Penampilan Body mekanik

    Status fungsi sensory

    Ambulasi

    Penyebaran energi

    Intervensi

    Menejemen energi

    Terapi aktivitas

    Menejemen lingkungan.uab

    Aktivitas Keperawatan

    Kaji movilitas sendi dan kekuatan otot

    Kaji kemampuan kognitif

    Kaji kebutuhan pasien untuk mobilisasi

    Ajarkan pasien untuk meningkatkan kekuatan ekstrimitas

    c. Risk for infection (Resiko Infeksi)

    Definisi: keadaan peningkatan resiko terkena organisme patogen

    Faktor resiko:

    Penyakit kronis

    Prosedur invasive

    Pertahnan sekunder tidak adekuat

    Outcomes

    Status imun:keadekuatan almi yg didapat secara tepat ditujukan untuk menahan antigen antigen

    internal maupun external

    Pengetahuan: pengendalian energy : tingkat pemahamn mengenai pencegahan dan

    pengendalian infeksi

    Pengendalian resiko: tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman kesehatan

    actual,pribadi,serta dapat dimodifikasi

    Intevention dan Aktivitas Keperawatan

    Pengendalian infeksi: meminimalkan penularan agen infeksius:

  • Ajarkan pada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruangan

    pasien

    Ajarken pasien teknik mencici tangan yang benar

    Ajarkan pasien dan keluarganya tanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya

    Tarapkan kewaspadaan universal

    Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan

    Berikan terapi antibiotic bila diperlukan

    Perlindungan terhadap infeksi: mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang

    beresiko:

    pantau tanda/gejala infeksi(misalnya suhu tubuh,denyut jantung, penampilan urine,keletihan).

    Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi(misalnya malnutrisi)

    Pantau hasil lab(misalnya albumin,protein serum)

    d. Acut Pain (nyeri Akut)

    Definisi : Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari

    kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal ini dapat

    timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat. Dengan prediksi waktu

    kesembuhan kira-kira kurang dari 6 bulan.

    Batasan karakteristik :

    Laporan verbal dan nonverbal

    Laporan pengamatan

    Posisi pasien berhati-hati untuk menghindari nyeri

    Respon otonomi (diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi

    pupil).

    Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang, berkeluh

    kesah)

    Faktor yang Berhubungan

    Beberapa tindakan bedah

    Kecemasan atau stress

    Outcomes

    Level kenyamanan

    Kontrol nyeri

    Menejemen level stress

    Intevention

  • Pemberian analgetika

    Menejemen pengobatan

    Menejemen lingkungan

    .

    BAB IV

    PENUTUP

    4.1 Implikasi Keperawatan

    Perawat dapat memberikan informasi, pengertian dan pendidikan tentang fraktur, tindakan yang

    perlu dilakukan untuk menangani frakur.

    Perawat memberikan pelayanan yang penuh terhadap pasien yang mengalami fraktur.

    Perawat sebagai peneliti, hendaknya dapat meneliti lebih lanjut mengenai komplikasi dan

    kelainan yang mungkin terjadi pada fraktur sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat

    bagi pasien.

    4.2 Kesimpulan

    Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses

    penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik,hal ini

    disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang anak yang

    berbeda dengan tulang orang dewasa.. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat

    lempeng epifisis sebagai daerah

    pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga

  • epifisis dan metafisi ini akan menyatu.Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang

    merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan k ua t d i ma n a

    p a d a p r os e s bo n e h e l d i n g ak a n menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar

    daripada orang dewasa.

    Dari kasus anak R didapat diagnosa :

    a. Peripheral neurovascular dysfunction, risk for. (Risiko untuk disfungsi Peripheral

    neurovascular)

    b. Impaired Physical Mobility (Gangguan mobilitas Fisik).uab

    c. Risk for infection (Resiko Infeksi)

    d. Acut Pain (nyeri Akut)uab

    4.3 Saran

    Untuk keluarga :

    -Sebaiknya mendampingi anak pada saat bermain supaya tidak mengalami

    -Apabila anak mengalami fraktur segera berikan pengobatan yang tepat agar tidak

    mengganggu tahap tumbuh kembang yang selanjutnya.

    Untuk Perawat :

    -Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak yang mengalami fraktur

    -Mengajarkan penanganan fraktur apabila anak sudah keluar dari rumah sakit.

    Untuk Mahasiswa:

    -Mempelajari tentang anatomi tulang serta penanganan fraktur.

    -Mengupdate pengetahuan yang baru dengan melakukan penelitian tentang fraktur yang

    terjadi pada anak.

  • DAFTAR PUSTAKA

    A. V. Korompilias & M. G. Lykissas & G. I. Mitsionis & V. A. Kontogeorgakos & G. Manoudis & A. E.

    Beris. Treatment of Pink Pulseless Hand Following Supracondylar Fractures of the Humerus

    in Children. International Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:237241

    Armis.1994. TRAUMA SISTEM MUSKULOSKELETAL. Yogyakarta : FK UGM

    Bitensky,Lucille., et all. Circulating Vitamin K level in patients with fractures in the Journal Of Bone and

    JoindSurgery. British volume 7-B, 1988, p.663-p.664

    Closkey JC & Bulechek. 2008. Nursing Intervention Classification. 4th ed. Mosby Year Book.

    Giuliana Valerio, Francesca Gall, Caterina Mancusi, Valeria Di Onofrio, Marianna Colapietro, Pasquale

    Guida,Giorgio Liguori. Pattern of fractures across pediatric age groups: analysis of

    individual and lifestyle factors. Valerio et al. BMC Public Health 2010, 10:656

    Ianthe E.Jones,Sheila M.Williams,Ailsa Goulding.2003. Associations of Birth Weight and Length,

    Childhood Size, and Smoking with Bone Fractures during Growth: Evidence from a Birth

    Cohort Study.American Journal of Epidemiologi:Vol.159,No.4.

    Johnson M, dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC). 3rd edition. Mosby.

    Kenneth J. Noonan, M.D.*&Jedediah W. Jones, M.D. Recurrent Supracondylar Humerus Fracture

    Following Prior Malunion.

  • Muzakkie. Kadar Vitamn K Pada Penderita Fraktur Tertutup Baru dan Lama yang Dirawat Di Bangsal

    ORTOPEDI RSU DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG. JKK ,Th 36, No 2,April 2004.

    NANDA, 2001, Nursing Diagnosis: Definition & Classification 2001-2002, Philadelphia, North American

    Nursing Diagnosis Association

    Onder Ersan & Emel Gonen & Ahmet Arik & Uygar Dasar & Yalim Ates. Treatment of Supracondylar

    Fractures of The Humerus in Children Through an Anterior Approach is a Safe and Effective

    Method .International Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:13711375.

    Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

    Wael A. El-Adl Mohammed A. El-Said , George W. Boghdady Al-Sayed M. Ali. Results of

    treatment of displaced supracondylar humeral fractures in children by percutaneous lateral

    cross-wiring technique. Strat Traum Limb Recon (2008) 3:17

    Wael A. El-Adl Mohammed A. El-Said ,George W. Boghdady Al-Sayed M. Ali. Operative

    Management of Type III Extension Supracondylar Fractures in Children International

    Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:10891094