kegelisahan pecinan menghadapi geger dipanagara

57
Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara Kisah Kapitan Cina di Semarang yang menolak binasa akibat politik segregasi pada awal kecamuk Perang Jawa. Klenteng Tay Kak Si di kawasan Gang Lombok, pecinan lama Semarang, didirikan pada 1746 dan merupakan klenteng tertua di kota itu. Ketika pembantaian orang-orang Cina merebak pada awal Perang Jawa, klenteng ini digunakan sebagai tempat mengungsi untuk perempuan dan anak-anak. (Hafidz Novalsyah/NGI) Perang Jawa pecah di Yogyakarta pada pertengahan 1825. Namun, kasak-kusuk yang tersiar hingga pantai utara Jawa masih berseliweran. Kabar yang terwartakan pun beragam: seorang raja tengah memberontak, musuh dari luar negeri yang tengah berperang dengan serdadu Belanda, hingga aksi gerombolan pengacau. Di Semarang, kabar tersebut sungguh menggelisahkan warga. Politik segregasi telah menjadi karakter Perang Jawa. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang. Sejak mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825, Dipanagara menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Tampaknya Sang Pangeran selalu melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa, dan pendapat ini berlaku sampai akhir perang.

Upload: bobbygunarso

Post on 14-Feb-2016

67 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

diponegoro and java war a little sketch

TRANSCRIPT

Page 1: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger DipanagaraKisah Kapitan Cina di Semarang yang menolak binasa akibat politik segregasi pada awal kecamuk Perang Jawa.

Klenteng Tay Kak Si di kawasan Gang Lombok, pecinan lama Semarang, didirikan pada 1746 dan merupakan klenteng tertua di kota itu. Ketika pembantaian orang-orang Cina merebak pada awal Perang Jawa, klenteng ini digunakan sebagai tempat mengungsi untuk perempuan dan anak-anak. (Hafidz Novalsyah/NGI)

Perang Jawa pecah di Yogyakarta pada pertengahan 1825. Namun, kasak-kusuk yang tersiar hingga pantai utara Jawa masih berseliweran. Kabar yang terwartakan pun beragam: seorang raja tengah memberontak, musuh dari luar negeri yang tengah berperang dengan serdadu Belanda, hingga aksi gerombolan pengacau. Di Semarang, kabar tersebut sungguh menggelisahkan warga.  

Politik segregasi telah menjadi karakter Perang Jawa. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang. Sejak mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825, Dipanagara menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Tampaknya Sang Pangeran selalu melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa, dan pendapat ini berlaku sampai akhir perang.

Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang.

Baru pada bulan-bulan berikutnya, warga pecinan Semarang mengetahui peristiwa yang sesungguhnya. Para serdadu Belanda kerap singgah di Semarang, sebelum mereka melanjutkan penumpasan

Page 2: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

pemberontakan ke Grobogan. Warga menjuluki masa-masa itu sebagai Geger Dipanagara.

Sekitar seabad setelah kecamuk Perang Jawa, Liem Thian Joe (1895-1963) menulis tentang kegelisahan warga pecinan Semarang ketika marak pembantaian orang-orang Cina yang tampaknya dilakukan oleh laskar Dipanagara. Liem merupakan seorang jurnalis kawakan asal Parakan, namun besar di Semarang.  

Demi keamanan kawasan Pecinan Semarang, Liem berkisah, Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda. Permintaan Sang Kapitan untuk membuat pintu gerbang di empat penjuru pecinan pun dikabulkan.

Gerbang Pecinan di Semarang. Gerbang berlokasi di pertigaan Gang Warung, Jalan Beteng, dan Jalan K.H. Wahid Hasyim. Pecinan ini pernah dilengkapi pintu gerbang berlapis tembok di empat penjuru untuk pertahanan, seiring maraknya pembantaian orang Cina pada awal Perang Jawa. (Tantyo Bangun)

Page 3: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Satu gerbang dibangun di ujung Jalan Sebandaran, di jalan yang membelok ke Jagalan. Kemudian gerbang lainnya di mulut Jalan Cap-kauw-king (kini Jalan Wotgandul Barat) kawasan Petak Sembilanbelas di Beteng. Gerbang di Gang Warung (kini pintu utama pecinan) sekitar ujung barat Pecinan Lor. Kemudian, gerbang di seberang Jembatan Pekojan (kini Jalan Pekojan). Liem berkisah bahwa keempat gerbang itu dibangun lewat dana yang dikumpulkan dari penghuni Pecinan Semarang.

Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak. Dalam satu gerbang dibuat pintu besar dan pintu kecil yang dibuat di daun pintu besar. Gerbang itu dijaga bergiliran oleh warga pecinan yang sudah dewasa pada setiap malam.

“Pintu itu ditutup setiap hari jika cuaca mulai gelap,” ungkap Liem, “hanya mereka yang punya keperluan penting saja yang diperkenankan keluar, dan mereka harus lewat pintu kecil yang sengaja dibuat di daun pintu itu, sekedar cukup buat satu orang keluar atau masuk.”

Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak.

Salah satu pembantaian sadis dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, anak perempuan dari Sultan Kedua. Dia merupakan komandan pembantaian warga Cina di Ngawi pada September 1826. Akhir tahun berikutnya, Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, ipar Dipanagara, membantai warga pecinan di Lasem dan menjamahi perempuan Cina secara paksa—pemerkosaan.

Tampaknya kabar pembantaian di kawasan di pesisir utara Jawa itu sampai juga ke telinga Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing. Dia telah mengambil keputusan kritis: Jika warganya kalah dalam pertempuran ini, Klenteng Tay Kak Si berikut perempuan dan anak-anak yang

Page 4: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

mengungsi di dalamnya akan dibakar supaya mereka tidak mengalami penganiayaan. Sang Kapitan pun membuat pertahanan berupa tumpukan kayu-kayu bakar di sekeliling klenteng.

Page 5: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Salah satu gerbang Pecinan Semarang yang dibangun di empat penjuru. Gerbang ini diduga dibangun pada awal Perang Jawa. Kini, bangunan bersejarah ini telah lenyap. (Foto dalam Liem Thian Joe, "Riwayat Semarang" yang diterbitkan pertama kali oleh

Page 6: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Boekhandel Ho Kim Joe-Semarang-Bataviapada 1933. Penerbit Hasta Wahana Jakarta menerbitkan kembali pada 2004. )

Liem berkisah, suatu hari pada 1826 warga pecinan segera menutup warung mereka dan bersiap menghadapi perlawanan para “berandal”—demikian Liem menyebut gerombolan pengacau yang kerap  menyerang pecinan. Kekuatan dipusatkan di gerbang Pekojan karena mereka beranggapan “berandal” yang menyerang pecinan pasti melewati gerbang tersebut.

“Orang telah memilih klenteng besar sebagai tempat pengorbanan,” ungkap Liem, “tidak ada tempat yang lebih suci daripada klenteng [...] hingga jika mereka dibakar di situ, niscaya roh mereka akan mendapat perlindungan.”

Keresahan itu tak hanya melanda warga Pecinan Semarang, tetapi juga tetangga mereka: Warga Pekojan—kampung muslim keturunan Koja asal Gujarat, India barat. Liem mengisahkan kedua kampung itu pada akhirnya bekerja sama menghalau para pengacau yang kerap membantai orang-orang Cina pada tahun-tahun awal Perang Jawa. Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Mereka bergerak ke Gedangan, sisi timur kota. Orang-orang Koja berada di barisan depan, sementara orang-orang Cina berada di barisan belakang. “Kalau mereka berpapasan dengan berandal,” kisah Liem, “grup orang Koja akan memberi tanda dengan satu letusan mercon besar, dan grup Tionghoa harus datang membantu.”

Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Awalnya kisah tentang kehidupan sosial dan budaya orang-orang Tionghoa di Semarang diungkap Liem dalam seri catatannya yang terbit di majalah Djawa Tengah Review pada Maret 1931 hingga Juli 1933.

Page 7: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Selanjutnya pada paruh kedua 1933, untaian tulisan Liem dalam majalah itu disatukan dalam buku berjudulRiwajat Semarang : dari djamannja Sam Poo sampe terhapoesnja Kongkoan. Lalu, sekitar satu dekade silam buku tersebut diterbitkan ulang.

Meskipun tampaknya Pecinan Semarang selamat dari aksi penjarahan dan pembantaian, peristiwa kecamuk Perang Jawa telah menjadi suatu tengara masa bagi warga setempat. “Banyak anak-anak Tionghoa atau orang pribumi yang lahir pada zaman itu diberi nama Geger,” ungkap Liem, “untuk peringatan bahwa anak itu telah lahir saat zaman gegeran.”

Sejarah mencatat, Tan Tiang Tjhing diangkat sebagai letnan tituler pada 1809 dan menjadi mayor Cina pertama di Semarang pada 1829. Setahun sebelum menjabat sebagai mayor, jabatan kapitan diwariskan kepada putranya, Tan Hong Yan. Nama ayah dan anak ini sohor karena turut menguasai bisnis madat di Jawa pada awal abad ke-19.

Apakah kita masih bisa menemui empat pintu gerbang pecinan yang dibangun atas prakarsa Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing?

“Sayangnya keempat gerbang tadi sudah tidak ada bekasnya lagi,” ujar Yogi Fajri, pegiat dan ketua komunitas pemerhati sejarah Lopen Semarang. Menurut pengamatannya, banyak bangunan asli khas arsitektur Tionghoa telah lenyap dan sulit ditemui lagi di jalan-jalan utama kawasan pecinan. “Kebanyakan udah dirombak pada masa Orde Baru,” imbuh Yogi, "dan itu berlanjut hingga sekarang."

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Page 8: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Tongkat pusaka Sang Pangeran dipulangkan dari Belanda ke Indonesia.

Tongkat Pangeran Diponegoro (A Lost Pusaka Returned/Peter Carey/Infografik: Andriansyah/Kompas)

Ada kejutan pada malam pembukaan pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (5/2). Tongkat pusaka Sang Pangeran dipulangkan dari Belanda ke Indonesia.

Pengembalian tongkat itu mengejutkan karena benda tersebut sudah 181 tahun disimpan salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud (1833-1834). "Saya juga tidak diberi tahu sebelumnya kalau ada penyerahan pusaka tongkat Pangeran Diponegoro pada acara pembukaan ini," kata Kepala Galeri Nasional Tubagus "Andre" Sukmana.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meresmikan pembukaan pameran yang dijadwalkan berlangsung hingga 8 Maret 2015 itu. Terkait pengembalian tongkat, Anies mengucapkan terima kasih. "Atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia, kami berterima kasih kepada keluarga Baud yang telah menyimpan dengan baik dan

Page 9: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

memulangkan pusaka tongkat Diponegoro ini kembali ke Pulau Jawa," katanya.

Pengembalian tongkat Diponegoro (1785-1855) juga disambut meriah para seniman, budayawan, dan pemerhati sejarah yang hadir di Galeri Nasional. Benda itu selanjutnya disimpan di Museum Nasional sebagai artefak penting milik negara dan rakyat Indonesia.

Sejarah tongkat

Bagaimana sebenarnya kisah tongkat itu? Menurut ahli sejarah Diponegoro asal Inggris, Peter Carey, tongkat tersebut diperoleh Pangeran dari warga pada sekitar tahun 1815. Tongkat itu lantas digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta. Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.

"Penyerahan (tongkat itu ke Indonesia) dirahasiakan sesuai permintaan keluarga yang menyimpan pusaka tongkat Diponegoro tersebut di Belanda," kata Peter, yang juga menjadi salah satu kurator pameran, selain Werner Kraus (Jerman) dan Jim Supangkat (Indonesia).

Page 10: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara di Wisma Residen Kedu di Magelang. Sussane Erhards, ahli restorasi karya seni dari GRUPPE Koln Jerman, bersama timnya telah merampungkan proses restorasi dan preservasi karya ini pada 2013. Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. (Goethe Institut)

Michiel Baud mewakili keluarga besar keturunan JC Baud menyerahkan pusaka tongkat ziarah Diponegoro kepada Anies Baswedan.

JC Baud menerima tongkat ziarah Diponegoro, yang juga disebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo. Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.

Notoprojo dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda. Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dipersembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834. Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati

Page 11: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

penguasa kolonial Hindia Belanda. Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro itu sampai Kamis malam lalu dipulangkan kembali ke Tanah Air.

Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Diponegoro, terutama dari simbol cakra di ujung atas tongkat sepanjang 153 sentimeter itu. Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.

"Sesuai mitologi Jawa, tongkat tersebut dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau Erucakra," kata Peter.

Uang Kertas Diponegoro 1952, koleksi Museum Bank Indonesia. (Goethe Institut)

Diponegoro kemudian menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa. Perang juga dianggap sebagai pemulihan keseimbangan masyarakat.

"Panji pertempuran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang," kata Peter.

Page 12: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Kurator dari Rijks Museum Belanda, Harm Stevens, juga meneliti tongkat itu selama beberapa bulan terakhir. "Saya telah mencocokkan dengan petunjuk-petunjuk yang ada. Benar kalau tongkat itu milik Pangeran Diponegoro," katanya.

Tombak, pelana, jubah

Selain tongkat ziarah, pameran juga menghadirkan benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain. Sebut saja tombak Rondhan dan pelana kuda, yang sebelumnya juga berada di Belanda. Artefak-artefak itu diperoleh ketika pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang dipimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.

Lukisan berjudul (Goethe Institut)

Diponegoro berhasil meloloskan diri. Namun, tombak Rondhan, peti pakaian, kuda, dan barang berharga lain tidak dibawa serta. Pasukan penjajah merampas dan menyerahkan artefak berharga tersebut kepada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta tahun 1813-1840). Pada tahun 1978, Ratu Belanda Juliana mengembalikan tombak Rondhan dan pelana kuda itu ke Indonesia.

Page 13: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Pelana kuda itu menyimpan kisah Diponegoro sebagai penunggang kuda hebat. Dia memiliki istal luas di kediamannya di Tegalrejo. Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dianggap sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.

Pelana kuda, tinggalan Dipanagara yang kini menjadi koleksi Museum Nasional. Sang pangeran itu meninggalkan beberapa kuda, senjata, dan busana perang sabilnya ketika serdadu sekutu Belanda di bawah komando Mayor Andreas Victor Michiels nyaris menangkapnya. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)

Sebenarnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil. Sayangnya, jubah berbahan sutra shantung dan cinde berukuran 200 X 100 sentimeter tersebut tidak ikut dipamerkan. Benda tersebut tetap berada di Museum Bakorwil II Magelang.

Kisah di balik jubah itu juga menarik. Jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829. Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Selama lebih seabad keluarga Diponegoro

Page 14: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.

Penangkapan Diponegoro

Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini adalah lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro". Karya ini dipamerkan bersama karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.

Kurator Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada 1856-1857 berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada tahun 1978, Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.

Halaman gedung karesidenan di Magelang yang menjadi saksi tipu daya Belanda terhadap Pangeran Dipanagara di gedung itu pada 1830. Simak kisah Dipanagara dan Perang Jawa di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014. (Budi ND Dharmawan)

Page 15: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Sebenarnya lukisan itu mengandung kritik tersembunyi. Raden Saleh mencela siasat tak etis pada penangkapan Diponegoro dan kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama tahun 1835. Dari yang sekarang terungkap dari lukisan itu, kita juga mengetahui bahwa berita penangkapan Diponegoro tersebar ke Eropa.

Selain lukisan penangkapan, ditampilkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yaitu "Harimau Minum" (1863), dan "Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu" (1871). Lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" dan "Harimau Minum" adalah koleksi Istana Negara, sedangkan "Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu" koleksi pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Ketiga karya itu direstorasi ahli dari Jerman pada tahun 2013 atas prakarsa Yayasan Arsari Djojohadikusumo.

Semua benda dalam pameran "Aku Diponegoro" berhasil menghidupkan kembali kenangan akan sosok pahlawan itu. Memasuki ruang pameran, lingkaran sejarah serasa berulang.

Anies Baswedan mengapresiasi pergelaran ini sebagai usaha untuk membangkitkan kesadaran terhadap sejarah, figur, dan peran Diponegoro dalam melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan masyarakat saat itu. Narasi perjuangan itu diharapkan terus hidup dan menular kepada generasi muda Indonesia dari masa ke masa.

(Susy Ivvaty dan Nawa Tunggal/Kompas)

Page 16: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

10 Fakta Tersembunyi Di Balik Kecamuk Perang JawaMenyingkap sisik melik sebuah perang modern yang nyaris melenyapkan Keraton Yogyakarta.

Kain batik dari akhir abad ke-19 yang mengisahkan pasukan gerak cepat serdadu Hindia Belanda Timur dalam Perang Jawa (1825-1830). Koleksi H. Santosa Doellah, Museum Batik Danar Hadi, Surakarta. Simak "Kecamuk Perang Jawa" di edisi Agustus 2014. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Perang Jawa itu sudah disiapkan selama 12 tahun,”  ujar Saleh As’ad Djamhari, sejarawan dan pemerhati militer. “Dipanagara telah melakukan konspirasi dalam senyap dengan sabar, tertutup, dan rahasia.” Sang pangeran itu membentuk jaringan dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun kekuatan. Lewat dana sokongan dari para bangsawan dan perampasan konvoi logistik Belanda, dia menyiapkan pabrik mesiu di pinggiran Yogyakarta dan membeli bedil locok berpicu—mungkin buatan Prusia.

Page 17: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Peter Brian Ramsay Carey, salah satu sejarawan sohor asal Inggris Raya, mengatakan bahwa tahun-tahun awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Laskar Dipanagara menyerukan kebencian kepada orang-orang Cina, bahkan membantai mereka. Namun, akhirnya orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti balik ke semula,” ujar Carey. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!

Perang Jawa menjadi sejarah besar bukan sekadar biaya dan korbannya yang berjumlah fantastis, melainkan juga aspek politik-militer yang melingkupinya: Problema kedaulatan, keinginan Dipanagara membentuk negara Islam, dan organisasi militer modern yang digunakan kedua pihak yang berseteru.

Page 18: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Peta penyerbuan ke Pleret pada 9 Juni 1826 oleh pasukan Belanda dan pasukan pembantu asal pribumi di bawah komando Kolonel Frans David Cochius. Peta ini merupakan bagian dari "Memoires sur la guerre de l'ile de Java, de 1825-1830" karya F.V.A. de Stuers.(Foto seizin KITLV)

Inilah perang lima tahun (20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830) yang membuat Belanda nyaris membinasakan dan melenyapkan Keraton Yogyakarta. Simak sepuluh fakta berikut—yang mungkin sudah dilupakan orang—di balik kecamuk sengit Perang Jawa:

1.  Dipanagara Bukan Nama Orang

 “Dipanagara” merupakan gelar kebangsawanan yang digunakan di keraton Jawa tengah bagian selatan.  Sebelum sang penggelora Perang Jawa yang bernama Dipanagara, tercatat dua orang yang menggunakan gelar tersebut. Ratu Bendara, seorang putri Sultan Mangkubumi, pernah

Page 19: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

menikah dengan seorang bangsawan Surakarta bernama Pangeran Dipanagara. Pangeran ini wafat pada 1787 dan dikebumikan di Kuncen, Yogyakarta. Jauh sebelumnya, pada awal abad ke-18, seorang dari putra Pakubuwana I turut memberontak pada Perang Suksesi Jawa Kedua. Nama bangsawan pemberontak itu adalah Dipanagara, dan dalam Babad Tanah Jawi mengambil gelar “Erucakra” juga. Dia dilaporkan “menghilang” di Lumajang pada 1723.

Namun demikian, sesudah Perang Jawa, gelar Dipanagara tidak digunakan lagi di kalangan keraton, baik Yogyakarta atau Surakarta. Tampaknya, Dipanagara adalah suatu nama yang membawa sial.

"Alfoeres, auxiliaires des Mollucques". Litografi berdasar sketsa François Vincent Henri Antoine de Stuers, 1833. De Stuers merupakan mayor-ajudan dan menantu De Kock. Prajurit asal Arafuru di bawah komando A.V. Michiels pernah nyaris menyergap Dipanagara pada 11 November 1829. (Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV)

2. Nyaris Tewas di Ulang Tahunnya

Page 20: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Inilah kado sial untuk Sang Pangeran, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-44. Andreas Victor Michiels nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Serdadu Belanda dan Arafura melakukan pengejaran di bawah komando Michiels. Namun, Sang Pangeran berhasil melompat ke jurang dan bersembunyi di rerimbunan gelagah. Andai Dipanagara tewas dalam pengejaran itu, kisah Perang Jawa tak akan seheroik ini—kita tidak akan pernah menjumpai kisah babadnya.

3.  Laskar Dipanagara yang Pemadat

Candu secara luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk menyembuhkan aneka penyakit. Ketika perasaan anti-Cina pada bulan-bulan awal peperangan sedikit mereda, orang Cina mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis belakang. Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Dipanagara jatuh sakit karena ketagihan madat. Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Dipanagara dan dibawa ke Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa. Dia mengungkapkan, “Para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara mereka menjadi budak madat.”

4. Sisi Feminim Sang Pangeran

Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya. Dipanagara mengungkapkan hal tersebut kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira asal Jerman yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado. Bisa jadi sisi psikologis ini dipengaruhi oleh banyak wanita yang pernah mengasuh dan membesarkannya.

Page 21: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Ki Roni Sodewo, seorang keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara dari anak yang bernama Raden Mas Alip atau Ki Sadewa, sedang membersihkan makam tak terawat milik Kapten Hermanus Volkers van Ingen. Sang Kapten, anjing irish-red-setter kesayangannya, dan anak buahnya tewas dibantai laskar kakek moyang Ki Roni. Anjingnya dimakamkan bersebalahan makam kapten malang itu."Seharusnya, meskipun milik musuh kita harus merawatnya. Makam ini merupakan bagian sejarah," ujar Ki Roni prihatin. (Mahandis Y. Thamrin)

5. Makam Sang Kapten dan Anjing Kesayangannya

Jelang perayaan tahun baru 1829 di Nanggulan, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton serdadu Hindia Belanda Timur. Dalam pertempuran tidak seimbang itu Kapten Hermanus Volkers van Ingen dan anjing irish-red-setter kesayangannya tewas di tangan Laskar Dipanagara. Kini, makam keduanya masih di jumpai di Nanggulan, barat Sungai Progo. Prasasti yang menerangkan keduanya sudah sulit terbaca, sehingga warga sekitar menganggap bahwa makam di samping sang kapten itu adalah kuda tungganggannya.

Page 22: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

6.  Sistem Stelsel Benteng

Sejak Mei 1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya: Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara. Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 dibangun 258 benteng—area padat ada di Mataram. Dalam strategi ini disusun pula delapan pasukan gerak cepat berdasar area; jelang akhir perang menjadi empat belas. Arsitek benteng medan adalah Kolonel Frans David Cochius. Pasca perang, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah.

 

Litografi berdasar sketsa François Vincent Henri Antoine ridder de Stuers, seorang mayor-ajudan dan menantu lelaki Letnan-Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Berkisah mengenai suasana ketika Dipanagara sampai di pesanggrahan daruratnya di Metesih, tepian Kali Progo, Magelang pada 8 Maret 1830. Di tempat ini, De Kock pernah

Page 23: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

menyambanginya satu kali dengan membingkiskan kuda kepada Sang Pangeran dan sejumlah uang. Lokasinya sekitar satu kilometer dari wisma residen Magelang. (Koleksi KITLV)

7. Organisasi Militer ala Turki versus Belanda

Laskar Dipanagara, dengan organisasi ala Turki-Usmani: Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang. Hierarki kepangkatan juga beraksen Turki: alibasah setara komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kalinya dalam militer Jawa dikenal kepangkatan. Seperti Dipanagara, para laskarnya juga berserban dan mencukur habis rambutnya—gundul.

Serdadu Hindia Timur, dengan organisasi ala Eropa. Serdadu Hindia Timur bukanlah orang Belanda asli. Pasukan tentara reguler—infanteri, kavaleri, artileri, dan pionir—terdiri atas orang Eropa dan pribumi. Diperkuat Hulptroepen yang merupakan kesatuan tentara pribumi dari Legiun Mangkunagara, barisan Mangkudiningrat, barisan Natapraja, Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, dan Kepulauan Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda yang direkrut dari setiap karesidenan. Lainnya: spion, petugas rohani Islam, kuli, pelayan, koki, dan tukang cuci.

8. Kejujuran Sang Jenderal

Setelah Dipanagara dijebak di Wisma Residen di Magelang, De Kock mengakui kelicikannya dalam catatan hariannya. “Saya memahami sepenuhnya, tindakan saya yang demikian itu tidak terpuji, tidak kesatria dan licik karena Dipanagara telah datang ke Magelang dengan keyakinan dan kejujuran saya untuk mengadakan perundingan dengan saya. Lagipula, ia sendiri tidak mungkin mempunyai rencana-rencana yang bermusuhan...” Kemudian De Kock melanjutkan, “Jika saya

Page 24: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

menangkap Dipanagara, [...] maka perbuatan itu tentulah akan menimbulkan kesan yang tidak menguntungkan.”

9. Nasib Wangsa Dipanagaran

Setelah perang, keturunan Dipanagara yang berada di pengasingan mereka di luar Jawa tetap dianjurkan oleh Belanda menggunakan gelar kepangeranan. Tujuannya supaya lebih mudah mengawasi. Sementara, keturunan Dipanagara yang berada di Jawa terus dicari dan disingkirkan dalam kerabat keraton—hingga dibunuh. Mereka memilih untuk menghuni lereng-lereng pegunungan di sekitar Yogyakarta. Seorang cicit Dipanagara pernah mendirikan Jajasan Pendidikan Diponegoro pada 1954 di Yogyakarta. Tujuannya, supaya wangsa Dipanagaran yang di pelosok Gunung Kidul dan Bagelen bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Yogyakarta. Walau tersedia uang dan dukungan, tak satu pun orang yang bersedia mengaku keturunan Dipanagara.

10.  Perang Jawa Tampaknya Sudah Diramalkan Belanda

Pemerintah Belanda mendapat pemasukan dari bandar-bandar tol yang dikelola oleh orang-orang Cina yang baru tiba dari Fujian. Beberapa tahun jelang Perang Jawa, bandar-bandar gerbang tol kian meresahkan rakyat. Mereka memungut pajak secara membabi buta dan kerap tidak sopan kala penggeledahan terhadap para perempuan. Kemudian, Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta membuat semacam tim audit yang menyingkap sepak terjang gerbang-gerbang tol. Tim audit ini mengusulkan kepada gubernur jenderal untuk menghapus gerbang-gerbang tol di kedua kerajaan itu. “Bahwa kalau gerbang-gerbang tol tersebut tetap diizinkan terus melakukan kegiatannya, maka waktunya tidak lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan bangkit dengan cara yang mengerikan.”

Page 25: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Wayang Dipanagara karya Ledjar Subroto yang dipentaskan di Galeri Nasional Jakarta , Juni 2012. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Page 26: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun DipanagaraDipanagara nyaris terbunuh tepat di hari ulang tahunnya, sebuah kado tak lucu untuk Sang Pangeran yang kesepian di akhir perang.

"Alfoeres, auxiliaires des Mollucques". Litografi berdasar sketsa François Vincent Henri Antoine de Stuers, 1833. De Stuers merupakan mayor-ajudan dan menantu De Kock. Prajurit asal Arafuru di bawah komando A.V. Michiels pernah nyaris menyergap Dipanagara pada 11 November 1829. (Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV)

Saya termangu di hadapan nisan mungil putih yang tertancap di bekas Kerkhof Kebonjahe, Jakarta Pusat. Makam dengan hiasan vas bunga di atasnya itu bertuliskan “General Majoor A.V. Michiels” disusul baris di bawahnya “Balie 23 Mei 1849”.  

Pada akhir Perang Jawa, Mayor Andreas Victor Michiels merupakan komandan pasukan gerak cepat ke-11 yang melakukan operasi militer untuk membasmi Dipanagara di Jawa tengah bagian selatan. Lelaki asal

Page 27: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Maastrich itu mengawali karir militernya kala remaja pada Pertempuran Waterloo. Kemudian berjejak di Jawa pada 1817.

Pasukan Michiel pernah disergap oleh laskar Dipanagara yang bersembunyi di balik rerimbunan alang-alang di Kedu Selatan pada Mei 1827. Kala itu Michiels merupakan komandan pasukan gerak cepat ke-7 yang bermarkas di Wonosobo. Dalam catatan perwira semasa, laskar Dipanagara kerap menyerang dari balik rerimbunan alang-alang di tepian jalan. Kemudian mereka membentuk formasi bulan sabit yang memotong jalan sembari menembaki pasukan tentara Hindia Belanda.

Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels

(1797-1849). Sketsa karya W.R van Hoevell. Komandan Pasukan Gerak Cepat Ke-11 pada akhir Perang Jawa. (Tijdschrift voor Nederlands Indie/Wikimedia Commons)

Michiels inilah yang nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Sebuah peristiwa yang terjadi tepat pada hari lahir Dipanagara—kado sial untuk Sang Pangeran di hari ulang tahunnya yang ke-44. Serdadu Belanda dan Arafura melakukan pengejaran di bawah komando Michiels.

Page 28: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Sang Pangeran pun berlari meninggalkan beberapa kudanya, tombak pusaka Kiai Rondan yang diyakininya memberi sinyal apabila ada bahaya, dan sekotak peti yang berisi busana perang suci. Kemudian, dia meloncat ke jurang dan bersembunyi di balik rerimbunan gelagah.

Sejak kejadian nahas itu Dipanagara berjalan kaki sepanjang hutan-hutan Bagelen, hidup terlunta-lunta, dan terserang malaria parah. Dia melakoni hidup sebagai pelarian perang bersama dua abdinya, Bantengwareng dan Roto. Mereka terdesak hingga ke Remo pada pertengahan Februari 1830, sebuah desa antara Bagelen dan Banyumas.

Sebelum peristiwa sial itu, laskar Dipanagara mengahadapi pertempuran terakhir dan salah satu yang tersengit di Siluk, kawasan karst di barat daya Yogyakarta, pada 17 September 1829.

Pangeran Dipanagara (1785-1855) yang

pasca pecahnya Perang Jawa pada 1825 memilih dipanggil dengan Sultan Ngabdul Khamid Erucakra. (Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV

Pertempuran sengit itu membuat Dipanagara dan laskarnya tercerai berai. Sejak saat itu pula Sang Pangeran mundur ke barat,

Page 29: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

menyeberang Kali Progo dan tak pernah lagi menjejakkan kakinya di Tanah Mataram.

Kisah kesialan Sang Pangeran itu dicatat dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855 mahakarya Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan asal Inggris. Buku tersebut terbit pertama kali pada 2007, kemudian disusul oleh edisi dalam bahasa Indonesia yang terbit pada 2012

Stelsel Benteng Jenderal De Kock memang menyulitkan gerak Dipanagara. Namun, sejatinya  kekuatan koalisi laskar pangeran itu telah pecah.

Pada hari yang sama, di belahan rimba yang lain, ceceran laskar Dipanagara banyak yang putus asa dan memilih untuk menyerah. Basah Kerta Pengalasan—komandan brigade laskar Dipanagara yang gemar memadat—bersama tiga tumenggung dan sebelas perwira telah menyerah di Kedungkebo, kawasan yang kini dikenal sebagai Purworejo.

Bulan sebelumnya, sekitar pertengahan Oktober 1829, Senthot menyerah karena sudah tidak ada lagi dukungan rakyat. Lesunya dukungan rakyat itu lantaran Senthot diizinkan Dipanagara untuk memungut pajak. Ketika santri dan rakyat berkurang dukungannya, perang gerilya menjadi sulit. Sang Pangeran pun menjadi kesepian dalam pengembaraan perang.

Page 30: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Michiels Monument di Waterlooplein West. Bangunan di sisi kanan belakang adalah Roomsekerk, kini Gereja Katedral. Foto oleh Isidore van Kinsbergen sekitar 1870. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Setahun sebelumnya, pada November 1828, Kiai Maja memutuskan untuk menyerah kepada Belanda di lereng Merapi karena tidak sependapat dengan Dipanagara soal pendirian keraton dan keluhuran agama Islam.

Dipanagara pun kesepian ditinggalkan para pengikutnya di akhir perang lima tahun yang melelahkan. Kelak, setelah Sang Pangeran dijebak dalam sebuah pengkhianatan di Wisma Residen Magelang, dia harus menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang di pengasingan. Dia tak pernah kembali ke Jawa.

“Dia punya badan sangat kuat, tetapi kecil dan agak pendek,” ujar Carey. Sebenarnya situasi militer sudah tak ada harapan, demikian kata Carey, tetapi Dipanagara masih bertahan untuk lolos. “Saya tidak

Page 31: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

mengerti dia bisa empat bulan hanya jalan kaki. Ketika malam dia tidur didalam gua atau di bawah pohon. Bahkan, dia sering tidak bisa makan.”

Page 32: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara
Page 33: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Batu Nisan Andreas Victor Michiels yang abadi di bekas Kerkhof Kebonjahe, kini Museum Taman Prasasti. Pada akhir Perang Jawa, Michiels bertugas sebagai komandan tentara Hindia Belanda untuk pasukan gerak cepat ke-11 dan bermarkas di kawasan Wonosobo. Michiels dan pasukannya melakukan operasi pengejaran di Ledok dan Gowong. Michiels tewas dalam ekspedisi militer di Pantai Kusamba, Klungkung, Bali. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Perang Jawa telah meminta tumbal nyawa yang mengerikan. Taksirannya, sekitar 200.000 orang Jawa binasa sehingga penduduk Yogyakarta tinggal separuh. Sementara itu sekitar dua juta orang lainnya hidup sengsara. Ternak habis dan pertanian rusak berat. Sekitar 15.000 serdadu Hindia Belanda hilang dan tewas. Hampir separuhnya serdadu pribumi. Belanda pun nyaris bangkrut!

Pasca-Perang Jawa, Michiels bertugas dalam Perang Padri. Sekitar empat tahun setelah Dipanagara menempati pengasingan barunya di Makassar, Michiels menjabat sebagai Gubernur Pantai Barat Sumatra. Pangkat mayor jenderal mulai menghias dada kirinya sejak 1843. Karena kegemilangan prestasinya, dia menjabat sebagai komisaris pemerintahan urusan Bali dan komandan KNIL dalam sebuah ekspedisi militer di Bali pada awal 1849.

Pada suatu malam, Michiels terbunuh dalam sebuah serangan laskar Bali di perkemahan militer Hindia Belanda dekat Pantai Kusamba, Klungkung. Nasibnya berakhir tragis, lima hari sebelum dia menerima kado ulang tahunnya yang ke-52.

Page 34: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Ketika Dipanagara Bermalam di Fort OntmoetingKisah sebuah benteng kecil yang pernah menjadi tempat bermalam Sang Pangeran sebagai tawanan pasca berakhirnya Perang Jawa.

Rumah Komandan dalam kompleks Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang yang berlokasi di Ungaran, tepian jalan raya Semarang-Ambarawa, Jawa Tengah. Pangeran Dipanagara, sebagai tawanan, pernah diinapkan dan bersantap malam bersama perwira Hindia Belanda di benteng empat bastion ini pada 28 Maret 1830. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Hujan deras dengan kilat menyambar-nyambar. Kami berlari menerobos dera hujan dari barak garnisun melewati tepian langkan Fort Ontmoeting. Lalu, menyelamatkan diri menuju sebuah rumah dengan jendela-jendela lebar dalam kompleks benteng tersebut.

“Itu Gunung Sewakul, Gunung Kalong, terus hutan pinus, dan itu Gunung Tegalepek yang dibelah jalan tol,” ujar M.A. Soetikno di teras balkon kayu bekas rumah komandan benteng. Dia menunjuk satu per satu bentang alam di sisi timur benteng kecil tersebut. Syahdan, dia

Page 35: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

berbalik arah dan berkata, “Kalau itu Gunung Ungaran, ada kebun cengkeh dan pala di sana.”

Soetikno merupakan seorang perupa dan budayawan asal Ungaran, yang juga KetuaLembaga Pelestarian Cagar Budaya Nusantara Ratu Shima. Bersama warga kota, dia berupaya melestarikan tinggalan bersejarah yang tersebar di Ungaran dan sekitarnya.

Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang merupakan benteng kecil bercat putih dengan empat bastion. Berlokasi di Ungaran, tepian jalan raya Semarang-Ambarawa, tak jauh dari pecinan kota itu. Pintu Gerbang utama benteng ini berhias sepasang pilaster bergaya doric yang mengangkang kokoh. Di atasnya terpampang angka Romawi “MDCCLXXXVI” atau 1786.

Bekas rumah komandan itu berada di kompleks benteng. Bertembok tebal dan bergaya indis dengan atap genting, sebuah perpaduan Eropa dan tropis. Lantai atasnya, terbuat dari lembaran-lembaran kayu jati yang tak rapuh karena usia, berhias pilar-pilar bergaya tuskan.

Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang, dibangun pascapertemuan antara Gubernur

Page 36: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Jenderal Baron von Imhoff dan Susuhunan Pakubuwana II. Menurut arsip VOC di ANRI, benteng ini direnovasi besar-besaran pada 1784-1786. Foto menunjukkan tampak pintu gerbang sisi timur dengan anjungan rumah komandan pada 1933. Dipanagara pernah singgah di benteng ini ketika mengawali perjalanannya sebagai tawanan perang, 28 Maret 1830. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Ada dua tangga batu yang berpadu untuk mengantar siapa saja yang hendak ke lantai dua. Tampaknya tangga inilah yang pernah dijejaki Pangeran Dipanagara pada sore 28 Maret 1830 tatkala menghabiskan malam pertamanya sebagai tawanan perang.

Setelah Perang Jawa berakhir dengan cara yang memalukan di Wisma Residen Magelang, Dipanagara menjadi tawanan perang pemerintah Hindia Belanda. Sang Pangeran itu sejatinya tidak pernah tertangkap, melainkan terperangkap.

Dalam demam malaria, Sang Pangeran melakukan perjalanan panjang sebagai tawanan ke Semarang. Dari Magelang, dia dan rombongannya meniti perjalanan menggunakan kereta kuda yang dikawal pasukan kavaleri menuju tepian Bedono, daerah dalam Karesidenan Semarang.

Lantaran jalanan yang berliku dengan medan perbukitan yang tidak ramah, Sang Pangeran dipindahkan dalam tandu. Iring-iringan itu meniti jalanan terjal menuju Jambu dengan jalan kaki. Perjalanan menuju Semarang pun berlanjut dengan kereta kuda lagi yang telah disiapkan sebelumnya. Rombongan singgah ke Fort Ontmoeting untuk bermalam, beberapa kilometer jelang Semarang.

Kini, perjalanan Magelang-Ungaran hanya ditempuh sekitar dua jam. Namun, lebih dari 180 tahun silam, perjalanan membutuhkan waktu setengah hari untuk sampai Ungaran. Dipanagara dan rombongannya tiba di benteng itu kala matahari terbenam.

Page 37: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Sketsa Penangkapan Dipanagara di Wisma Residen Magelang karya Raden Saleh yang jarang diketahui publik. Sketsa ini disempurnakan Raden Saleh untuk lukisan adikarya. Dalam perjalanannya ke tempat pengasingan,  Dipanagara singgah di Ungaran, Semarang, Batavia kemudian berlayar menuju Manado. Namun,lantaran keadaan politik, Sang Pangeran dipindahkan dari Manado ke Makassar. (Koleksi Atlas van Solk, Rotterdam, Belanda; atas jasa baik Werner Kraus)

“Dipanagara diperbolehkan untuk salat di suatu tingkat benteng kecil Belanda, salat magrib pertama baginya sebagai seorang pengasingan,” ungkap Peter B.R. Carey dalamThe Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Buku tersebut terbit pertama kali pada 2007, kemudian disusul oleh edisi dalam bahasa Indonesia yang terbit pada 2012—sebuah mahakarya atas penelitian yang dilakukan Carey sekitar 40 tahun terakhir.

Dua perwira, Mayor François Vincent Henri Antoine ridder de Stuers (1792-1881) danKapten Johan Jacob Roeps (1805-1840), menjadi pengawal yang selalu mengawasi Sang Pangeran sejak dari Magelang. De Stuers merupakan ajudan dan sekaligus anak menantu

Page 38: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

De Kock. Sementara Roeps merupakan perwira Belanda yang fasih berbahasa Jawa. Selama satu jam, Dipanagara makan malam bersama komandan benteng dan dua perwira tersebut.

Selama santap malam bersama itu Dipanagara berkisah tentang panglima perangnya yang masih muda, Ali Basah Mertanegara, yang juga merupakan menantunya. Menurut catatan De Stuers, seperti yang dikutip Carey dalam buku mahakaryanya, di meja makan itu tampaknya Dipanagara paham sekali dengan tata krama Eropa. “Baru kali itu saya melihat seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta duduk dan makan di meja dengan begitu wajarnya,” ungkap De Stuers.

Di bastion barat laut benteng itu terdapat penjara, namun Dipanagara tidak pernah ditempatkan dalam penjara—bahkan selama pengasingannya di Batavia, Manado dan Makassar. Meskipun Hindia Belanda menjulukinya sebagai pemberontak, Sang Pangeran diperlakukan sebagai tawanan terhormat. 

Pasukan kavaleri yang mengangkut Dipanagara dan rombongannya melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di Semarang pada Senin malam, 29 Maret 1830. Selama seminggu Sang Pangeran menginap di Wisma Residen di Bojong—kini rumah dinas Gubernur Jawa Tengah.

Page 39: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Penampang melintang denah Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang pada 1825, dalam orientasi arah ke selatan. Tanda kuning menunjukkan rumah komandan benteng, tempat Dipanagara menunaikan salat magrib yang pertamanya sebagai tawanan, tampaknya juga tempat Sang Pangeran bersantap malam bersama perwira Belanda ("Plan en profil van het fort Oenarang." 6 December 1825 Vervaardiging: "Weltevreden den 6 December 1825, getekend door H. Martens." Verwerving: Aanwinsten 1876, Verzameling Schneither,Nationaal Archief Leiden; atas jasa baik Rick van den Dolder)

Page 40: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Denah Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang pada 1825, orientasi arah ke utara. Legenda: A: Rumah komandan (tanda kuning), B: Barak, C: Ruang Penjaga, D: Provost, E: Latrine (toilet) untuk serdadu biasa, FG: Ruang tahanan, HH: Bangunan luar dari rumah komandan, I: Gudang Mesiu, K: Latrine (toilet) untuk komandan.("Plan en profil van het fort Oenarang." 6 December 1825 Vervaardiging: "Weltevreden den 6 December 1825, getekend door H. Martens." Verwerving: Aanwinsten 1876, Verzameling Schneither, Nationaal Archief Leiden; atas jasa baik Rick van den Dolder)

Benteng tempat Sang Pangeran dan rombongannya bermalam itu merupakan tinggalan VOC. Semasa Dipanagara lahir, Fort Ontmoeting direnovasi secara besar-besaran pada 1784-86, sehingga menemukan bentuknya seperti saat ini.

Page 41: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Nama benteng itu mengabadikan warisan sejarah untuk Vorstenlanden, tanah raja-raja Jawa. Pada 1746, Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron von Imhoff—asal Jerman—melakukan kunjungan inspeksi ke Jawa untuk mengetahui keadaaan pesisir Jawa. Bersama Susuhunan Pakubuwono II, Sang Gubernur melakukan pembicaraan serius tentang kemungkinan hadiah tanah yang dijanjikan Susuhunan di Pantai Utara. Hadiah tersebut sebagai konsekuensi Perjanjian Ponorogo 1743 karena jasa baik VOC dalam memadamkan “Geger Pacinan”, pemberontakan orang-orang Cina yang meluas hingga ke Jawa.

Pertemuan tersebut terjadi pada 11 Mei 1746 atau sekitar seminggu sebelum berkobarnya Suksesi Perang Jawa III. Perebutan kekuasaan di Jawa tersebut berakhir dengan terbelahnya Mataram menjadi dua bagian pada 1755: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Meskipun belum lahir, Dipanagara tampaknya tahu soal peristiwa gemuruh suksesi di Jawa Tengah bagian selatan ini.

Pertemuan dua petinggi berbeda kebangsaan itulah yang menginspirasi nama benteng tersebut menjadi “Ontmoeting” yang bermakna “Benteng Pertemuan”.

Kini, Fort Ontmoeting telah “berdandan” dan digunakan sebagai Balai Pertemuan Polisi dan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah—mungkin masih menyimpan semangat dari nama sejatinya. Sayangnya, masyarakat umum sulit mendapatkan akses masuk ke bangunan bersejarah ini.

Page 42: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

M.A. Soetikno, seorang perupa dan pegiat budaya pada Lembaga Pelestarian Cagar Budaya Nusantara Ratu Shima di Ungaran. Di lantai dua rumah komandan Fort Ontmoenting, sekitar tempat Soetikno berdiri, Dipanagara menunaikan salat magrib pertamanya sebagai seorang tawanan perang. Tampaknya di bagian rumah ini pula Dipanagara bermalam, bukan di bilik penjara benteng. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

“Namun sekarang kondisinya sudah berubah,” ujar Soetikno dengan masam. “Itu sudah menjadi pro-kontra.” Kemudian dia memberikan alasan dari pernyataannya, renovasi benteng beberapa tahun lalu telah mengubah keasliannya. Kulit dinding yang awalnya dari campuran kapur dan batu bata halus telah dikupas semua dan berganti plester semen, demikian ungkap Soetikno. “Padahal menurut aturan harus dikembalikan sesuai bahan-bahan aslinya.”

Dari jendela lantai atas rumah komandan, Soetikno menunjuk halaman tengah benteng. “Granit-granit orisinal dan terakota sudah habis diganti keramik,” ujarnya. “Kusen dan daun pintu diganti tanpa memperhatikan benda cagar budaya semestinya.”

Page 43: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

“Apapun yang terjadi kita tetap berupaya, bagaimana bangunan itu bisa difungsikan sebagai museum—syukur bisa dikembalikan seperti semula,” ujar Soetikno. “Kita melihat sisi jalan ke arah sana.”

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Batik Perang Jawa

Kain batik dari akhir abad ke-19 yang mengisahkan pasukan gerak cepat serdadu Hindia Belanda Timur dalam Perang Jawa (1825-1830). Koleksi H. Santosa Doellah, Museum Batik Danar Hadi, Surakarta. Simak "Kecamuk Perang Jawa" di edisi Agustus 2014.

Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar DipanagaraJelang perayaan tahun baru 1829, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton

Page 44: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

serdadu Hindia Belanda Timurâ€"termasuk Kapten dan anjing kesayangannya.

Ki Roni Sodewo, seorang keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara dari anak yang bernama Raden Mas Alip atau Ki Sadewa, sedang membersihkan makam tak terawat milik Kapten Hermanus Volkers van Ingen. Sang Kapten—dan anjing Irish red setter kesayangannya—bersama anak buahnya tewas dibantai laskar kakek moyang Ki Roni. Anjingnya dimakamkan bersebalahan makam kapten malang itu. “Seharusnya, meskipun milik musuh kita harus merawatnya. Makam ini merupakan bagian sejarah,” ujar Ki Roni prihatin. (Mahandis Y. Thamrin)

Di suatu siang pada akhir April, mobil kami melintasi Nanggulan, Kulonprogo, sisi barat Yogyakarta. Desa ini memiliki persawahan bak hamparan permadani dan jalan-jalan desa yang beraspal rapi. Kami tengah mencari satu-satunya makam seradu Belanda yang masih tersisa di Nanggulan. Serdadu itu tewas pada salah satu pertempuran Perang Jawa (1825-1830).

Kawasan barat Kali Progo—termasuk Nanggulan—merupakan basis kekuatan Dipanagara, sekaligus medan kecamuk Perang Jawa. Tatkala musim hujan pada 1828, kawasan ini lepas dari kekuatan laskar

Page 45: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Dipanagara. Di Nanggulan, Belanda pernah mendirikan benteng medan-tempur darurat yang berukuran besar, kapasitasnya sekitar 220 serdadu. Pertahanan Nanggulan diperkuat dengan 400 serdadu infantri dan 40 pasukan kavaleri ringan. 

Makam serdadu malang itu berdiri tegak di sudut permakaman desa. Keadaannya terselubung semak. Batu bata dan batu nisannya pun melapuk dirambahi lumut. Kami membersihkan rerumputan dan tanah yang menggerayangi prasasti dengan sabit kecil. Sayangnya, untaian huruf dalam prasasti itu memang sulit terbaca. Nama serdadu yang malang itu adalah Kapten Hermanus Volkers van Ingen.

Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti menemukan catatan harianKapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir di pasar loak tepian Seine, Prancis. Kini, buku harian yang sarat gambaran sejarah itu tersimpan di perpustakaan Ecole Française d'Extrême-Orient, Paris, Prancis.

Errembault merupakan seorang serdadu pasukan gerak cepat Belanda yang bertempur selama Perang Jawa. Buku hariannya telah mengungkap prahara yang menimpa Ingen. Dalam catatan harian itu dia mengisahkan Kapten Van Ingen berangkat bersama seratus serdadu infanteri untuk menghadang laskar Dipanagara di sekitar Nanggulan. 

“Saya tidak tahu bagaimana dia [Van Ingen] memerankan dirinya sebagai komandan detasemen,” tulis Errembault dalam catatan hariannya. “Tetapi, dalam laporan [pejabat militer], dia dikatakan menjadi penyebab kemalangan sendiri.” 

 “Kapten Van Ingen dan 32 serdadu Eropa tewas dalam pertempuran,” tulis Errembault. Lalu dia melanjutkan, “juga seorang pangeran Yogyakarta yang telah meninggalkan para pemberontak dan telah mengabdi pada pihak kami selama setahun terakhir—bersama 12

Page 46: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

prajuritnya. Sejumlah empat belas orang turut terluka. Kedua meriam milik detasemen berhasil jatuh ke tangan musuh, namun hal itu tidak berlangsung lama.”  

Demikianlah kisah akhir nan tragis Van Ingen pada 28 Desember 1828.

Bagaimana dengan nasib janda yang ditinggalkannya? Kala tengah malam dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Magelang, Errembault berjumpa dengan janda Van Ingen yang tampak masih bersedih. “Sejatinya, ratapannya telah melelehkan air mata saya,” tulisnya. “Saya menghiburnya sebisa mungkin, mengatakan bahwa ini adalah nasib setiap wanita yang memiliki suami militer.”

“Nyonya Van Ingen pergi ke Salatiga untuk tinggal dengan salah satu teman sampai dia memutuskan untuk tinggal di suatu tempat,” lanjut Errembault. “Mungkin dia akan menjadi seperti banyak janda lainnya di Hindia, segera melupakan almarhum suaminya dan mendapatkan suami lain.” 

Dalam kesempatan lain, saya bertanya kepada Peter Brian Ramsay Carey mengenai pertempuran tak seimbang dan makam Van Ingen. Carey merupakan salah satu sejarawan Inggris terkemuka yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Pangeran Dipanagara. Pernah mengajar di University of Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris Raya. Kini dia menjadi Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Page 47: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Sampul majalah National Geographic Indonesia edisi

Agustus 2014 (terbit 20 Juli). Berkisah tentang suratan tragis Dipanagara dan kecamuk Perang Jawa 1825-1830. Dalam edisi ini pula ditampilkan rupa tulisan tangan Sang Pangeran dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Tanah Mataram.

“Peristiwa itu merupakan operasi militer yang bodoh sehingga menyebabkan dia tertangkap di hutan dekat Nanggulan dan dibantai dengan seluruh peleton infanterinya,” ungkapnya. Berdasar isi prasasti di makam Van Ingen, Carey memaparkan, “Dia pergi ke pertempuran bersama anjing Irish red setter-nya yang turut dikuburkan di samping makamnya.”

Kendati demikian, budaya lisan warga Nanggulan meyakini gundukan tanah di samping makam sang kapten itu merupakan makam kuda tunggangannya. Tampaknya, catatan harian  Errembault dan penjelasan Carey telah menyingkap misteri makam Kapten Van Ingen: Meluruskan anggapan bahwa Sang Kapten itu dikebumikan bersebelahan dengan anjing kesayangannya—bukan kuda .

Simak “Kisah Tragis Sang Pangeran dan Gelora Perang Jawa” dalam majalah National Geographicedisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan

Page 48: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

peta pergerakan terakhir laskarnya di Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.

(Mahandis Y. Thamrin)

Perang Jawa dalam Catatan Harian Serdadu Semasa

Sebuah repihan catatan harian ditemukan di pasar loak tepian Seine, Prancis. Kejutannya, catatan usang itu berkisah tentang salah satu pertempuran terburuk dalam Perang Jawa.

“Plerette (Plérèd) adalah apa yang kita sebut di sini sebagai kraton atau kediaman sultan, tetapi sudah tak dihuni dalam waktu yang lama,” tulis Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir dalam catatan hariannya. “Kawasan itu dikelilingi oleh dinding setinggi sekitar tujuh meter, berbentuk persegi dengan sisi panjangnya 1,5 kilometer dan lebar sekitar separuhnya.”

Errembault merupakan serdadu Hindia Belanda Timur yang lahir pada 1789. Dia pernah sebagai perwira infanteri Belgia yang turut bertempur dalam Perang Napoleon di Spanyol dan Rusia pada 1807-1812. Lelaki itu tiba di Jawa dan langsung turut ambil bagian dalam serangan ke Plérèd pada 9 Juni 1826. Selama penugasan di Jawa itulah dia menceritakan pengalamannya kala membasmi laskar Dipanagara dalam catatan harian yang ditulisnya sejak 22 Oktober 1825 hingga 25 Mei 1830.

“Kami mulai pagi ini pukul lima,” tulis Errembault dalam catatan hariannya pada 9 Juni 1826. Perjalanan dengan jalan kaki ditempuh selama tiga jam dari pusat Kota Yogyakarta. Pasukan tersebut terdiri atas 4.200 serdadu bersenjata bedil locok berpicu dan tombak, yang sebagian besar merupakan Hulptroepen—tentara pribumi. Mereka setidaknya butuh dua barel mesiu untuk meledakkan dinding bekas keraton itu. Namun, jikalau gagal pun mereka telah bersiap dengan tangga-tangga untuk menggapai penyerang. “Dikatakan bahwa para pemberontak yang berada di Plerette berjumlah 2.000.”

“Sekitar setengah sepuluh, howitzer dan serdadu kami mulai menembaki mereka,” tulisnya. Pasukan Erembault mengahadapi pertempuran sengit dengan laskar Dipanagara yang berlindung di dinding bekas Keraton Pleret dan telah membangun perancah sebagai jebakan.

Errembault berkisah, setengah jam berikutnya satu pleton infantri ditugaskan untuk merobohkan tembok dengan dua barel bubuk mesiu. Sumbu telah disulut, namun beberapa menit berlalu tanpa ledakan.

Page 49: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

Setelah diulangi lagi, ledakan hebat pun terjadi. “Tetapi, tidak menghasilkan dampak yang diinginkan.”

Namun, berangsur pasukan Hindia Belanda Timur berhasil bergerak memasuki pintu barikade dan merebut meriam kecil. Mereka menjumpai sekitar 1.500 laskar Dipanagara masih berada di dalam pertahanan kuno itu. “Tiga ratus gerilyawan melarikan diri melalui sebuah pintu kecil, tetapi banyak yang tewas oleh kavaleri kami yang berada di luar,” tulis Errembault.

“Kemudian mulailah pembantaian mengerikan,” tulisnya. “Semua tewas dengan bayonet dan tombak. Pembantaian berakhir sekitar tiga jam.” Mayat-mayat bergelimpangan di sawah dan semak. Errembault tidak mewartakan jumlah serdadu di pihak Belanda yang tewas, namun setidaknya tujuh orang dalam barisannya turut tewas. 

“Sekitar pukul empat sore kami bergerak kembali ke Djocjokarta (Yogyakarta).” Sebagian pasukan tetap di Plérèd bersama Legiun Mangkunagara. Mereka membawa sejumlah besar kuda hasil pampasan perang. “Beberapa perwira dan prajurit juga mengambil belati, yang di sini disebut dengan kris, sebagian bersarung emas dan lainnya bersarung perak.”

“Bagi saya, cukuplah membawa seekor kuda bagus. Saya juga melaporkan sebilah pedang kavaleri dan sebuah cincin emas berbentuk ular dengan enam berlian kecil di atasnya. Kami tiba sekitar pukul tujuh malam. Hari yang sangat melelahkan bagi kami.”

Reruntuhan Keraton Plérèd yang berlokasi di tenggara Kota Yogyakarta merupakan bekas istana Amangkurat Pertama. Sisa tembok yang mengelilingi keraton itu telah menjadi benteng batu terakhir bagi laskar Dipanagara. Pada Juli 1826, sebulan setelah Pertempuran Plérèd, operasi pengejaran diteruskan untuk menyerbu Dekso, sebuah desa yang menjadi markas besar Dipanagara di sisi barat Kali Progo. Namun, pasukan Belanda hanya menjumpai desa itu telah ditinggalkan penghuninya.

Seorang janda Van Ingen, perwira Belanda yang tewas di Nanggulan, pernah menyanjung Errembault yang beruntung bisa selamat dalam kecamuk perang di Eropa dan Jawa. Namun, Sang Kapten itu hanya menimpalinya, “Sejatinya, waktuku belumlah datang.” Pada akhirnya, selepas enam bulan dari Perang Jawa, Errembault meninggal dengan kepangkatan mayor di Antwerpen, Belanda, pada September 1830.

Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti di Ecole Française d'Extrême-Orient (EFEO) menemukan kembali catatan harian Errembault di sebuah pasar loak tepian Seine, Prancis. Sang peneliti itu adalah Henri Chambert-Loir, yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Prancis dan pernah menjabat sebagai Kepala EFEO

Page 50: Kegelisahan Pecinan Menghadapi Geger Dipanagara

di Jakarta. Kini, buku harian yang sarat gambaran sejarah itu tersimpan di perpustakaan EFEO di 22 Avenue du President Wilson, Paris, Prancis.

“Saya sangat senang kalau buku harian ini menarik bagi Anda,” kata Peter Brian Ramsay Carey kepada National Geographic. Dia merupakan salah satu sejarawan Inggris dari University of Oxford yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Dipanagara. Menurutnya, Errembault juga membuat catatan harian dalam Perang Peninsula di Spanyol dan Portugal selama 1807-1811, tetapi dia kemudian turut dalam Perang Napoleon di Rusia di mana buku harian itu hilang pada Pertempuran Borodino pada Agustus 1812. “Jadi kita sangat beruntung karena catatan harian yang istimewa ini selamat—dan ajaibnya justru ditemukan di pasar loak di Seine.”

Inilah satu-satunya buku harian Errembault yang selamat. Pada saat ini Carey dan Mark Loderichs—sejarawan militer Belanda dan peneliti dari Museum Bronbeek—sedang berupaya menerbitkan catatan harian Errembault de Dudzeele et d’Orroir. “Ini bukan satu-satunya catatan harian dari periode ini. Namun, inilah catatan yang paling menarik dengan sudut pandang kemanusian dan sejarah sosial,” ujar Carey.

(Mahandis Y. Thamrin)