kebijakan pengendalian imigrasi sebagai opsi strategis...

18
1181 Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema Penuaan Populasi di Jepang Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi 071012007 Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga A BST RA K Fenomena aging population (penuaan populasi) saat ini telah menjadi isu global yang melanda negara-negara di dunia. Fenomena ini banyak terjadi di negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu pula yang banyak terkena dampaknya. Beberapa opsi telah dipikirkan oleh para ahli, salah satunya dengan melonggarkan imigrasi agar pekerja-pekerja asing dapat bekerja di negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dari sebagian besar negara maju yang menerapkan opsi tersebut, Jepang yang kasus penuaan populasinya paling mengkhawatirkan dan tidak bisa menerapkan opsi lainnya dengan lebih baik dalam hal penyusutan tenaga kerja justru tidak semakin melonggarkan kebijakan imigrasinya namun malah semakin memperketat kebijakan pengendalian imigrasi tersebut. Disini penulis ingin meneliti penyebab dari keputusan Jepang untuk tidak melonggarkan kebijakan imigrasi tersebut dengan menggunakan teori kebijakan imigrasi internasional yang melihat kebijakan pengendalian imigrasi suatu negara berdasarkan faktor sosioekonomi dan kebijakan luar negeri. Kata-kata kunci: Penuaan populasi, penyusutan tenaga kerja, kebijakan imigrasi, faktor kebijakan pengendalian imigrasi. The phenomenon of aging population has now become a global issue that hit countries in the world. This phenomenon occurs in many developed countries and of course the developed countries. Several options have been considered by the experts, one of them with a loosening of immigration so that foreign workers can work in countries that require the labor force. Of the most developed countries that apply the option, the Japanese have the most worrying cases of the aging population and could not apply better option in terms of workforce shrinkage actually not loosen their immigration policies, but even more Japan tighten their immigration control policies. Here the authors wanted to examine the causes of Japan's decision not to loosen the immigration policy by using the theory of international immigration policy which saw a country of immigration control policies based on socio-economic factors and foreign policy. Keywords: Aging Population, Workage Shrinkage, Immigration Policy, Immigration Control Policy.

Upload: hoanghanh

Post on 07-Aug-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

1181

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema Penuaan Populasi

di Jepang

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi – 071012007

Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

ABST RAK Fenomena aging population (penuaan populasi) saat ini telah menjadi isu global yang melanda negara-negara di dunia. Fenomena ini banyak terjadi di negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu pula yang

banyak terkena dampaknya. Beberapa opsi telah dipikirkan oleh para ahli, salah satunya dengan melonggarkan imigrasi agar pekerja-pekerja asing dapat bekerja di negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dari sebagian besar negara maju yang menerapkan opsi tersebut, Jepang yang kasus penuaan populasinya paling mengkhawatirkan dan tidak bisa menerapkan opsi lainnya dengan lebih baik dalam hal penyusutan tenaga kerja justru tidak semakin melonggarkan kebijakan imigrasinya namun

malah semakin memperketat kebijakan pengendalian imigrasi tersebut. Disini penulis ingin meneliti penyebab dari keputusan Jepang untuk tidak melonggarkan kebijakan imigrasi tersebut dengan menggunakan teori kebijakan imigrasi internasional yang melihat kebijakan pengendalian imigrasi suatu negara berdasarkan faktor sosioekonomi dan kebijakan luar negeri.

Kata-kata kunci: Penuaan populasi, penyusutan tenaga kerja, kebijakan imigrasi, faktor kebijakan pengendalian imigrasi. The phenomenon of aging population has now become a global issue that hit countries in the world. This phenomenon occurs in many developed countries and of course the developed countries. Several options have been considered

by the experts, one of them with a loosening of immigration so that foreign workers can work in countries that require the labor force. Of the most developed countries that apply the option, the Japanese have the most worrying cases of the aging population and could not apply better option in terms of workforce shrinkage actually not loosen their immigration policies, but even more Japan tighten their immigration control policies. Here the authors wanted to examine the causes of Japan's decision not to loosen the

immigration policy by using the theory of international immigration policy which saw a country of immigration control policies based on socio -economic factors and foreign policy. Keywords: Aging Population, Workage Shrinkage, Immigration Policy, Immigration Control Policy.

Page 2: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1182 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

Perubahan ekonomi dan sosial terkait dengan perubahan demografis telah menjadi isu global saat ini. Pada tahun 1950-an, ketika PBB menemukan bahwa penduduk dunia telah tumbuh dengan lebih cepat daripada sebelumnya, studi demografi ekonomi (economic demography) mulai muncul. Studi demografi ekonomi mengekplorasi karakteristik populasi dan dinamika-dinamika yang ada dari perspektif ekonomi.1 Studi demografi ekonomi mengeksplorasi hubungan antara penduduk dan ekonomi dalam arti luas, seperti bagaimana populasi dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan bagaimana perubahan populasi mempengaruhi perekonomian . Saat ini topik populasi besar yang sebelumnya menjadi isu pada tahun 1950-an telah bergeser pada topik baru yaitu penuaan populasi yaitu pergeseran dalam distribusi usia (struktur umur) dari populasi terhadap usia yang lebih tua yang lebih banyak dialami oleh negara-negara maju. Penuaan populasi memiliki banyak konsekuensi penting terkait sosio - ekonomi dan kesehatan, termasuk peningkatan rasio ketergantungan hari tua (old-age dependency ratio). Hal ini membawa tantangan tersendiri untuk kesehatan masyarakat yang memiliki kekhawatiran atas kemungkinan kebangkrutan medicare dan program terkait dan adanya kemungkinan kebangkrutan sistem jaminan sosial.2 Kekhawatiran lainnya terkait dengan pembangunan ekonomi yaitu adanya penyusutan tenaga kerja (shrinking workforce). Rainer Münz bahkan menyatakan

1Lund University, t.t., Master's Programme (Two years) in Economic Demography, tersedia pada situs: http://www.lunduniversity.lu.se/o.o.i.s/24725?lukas_id=EAEDE [diakses pada tanggal 26 September 2013]. 2 Leonid A. Gavrilov dan Patrick Heuveline, 2003, The Encyclopedia of Population, New York: Macmillan Reference USA.

Page 3: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1183

bahwa, “At current labour force participation rates, demographic aging translates into a shrinking labour force.”3 Para ahli demografi dan para pembuat kebijakan saat ini sedang berada dalam perdebatan sengit atas bagaimana cara mengatasi masalah ini. Imigrasi dan insentif bagi setiap kelahiran sering disarankan sebagai opsi untuk menyediakan pekerja usia muda untuk mendukung populasi bangsa yang menua.4 Integrasi wanita dalam lapangan pekerjaan secara lebih baik mungkin akan membantu mereka dalam jangka waktu pendek, namun para ahli menyatakan bahwa satu-satunya harapan untuk menstabilkan populasi adalah dengan imigrasi skala besar yang dilakukan terus menerus selama beberapa tahun. Pada era globalisasi, migrasi atau perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lainnya menjadi lebih mudah sehingga opsi ini menjadi mungkin untuk diterapkan dan dapat menjadi opsi bagi permasalahan yang dialami terutama di negara-negara industri ini.Imigrasi saat ini memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan populasi sehingga mengurangi beberapa masalah penuaan populasi di negara-negara OECD.5 Imigrasi bersih (net immigration) adalah kontributor mutlak dan relatif paling penting terhadap pertumbuhan penduduk di Austria, Jerman, Italia, Luxemburg, Swedia dan Swiss. Migrasi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Yunani, Norwegia, dan Belanda sesuai dengan kontribusi pertumbuhan penduduk pribumi. Kemudian, migrasi juga merupakan penyumbang kecil perubahan demografis di Perancis, Inggris, Belgia, Portugal, dan Spanyol.6 Jepang saat ini juga tengah menghadapi permasalahan penuaan populasi dan penurunan penduduk yang mengakibatkan penyusutan tenaga kerja karena rendahnya tingkat kelahiran dan sedikitnya imigrasi. Dari grafik di bawah terlihat bagaimana pesatnya laju penuaan Jepang melebihi negara-negara lain. Grafik I.1

3 Rainer Münz adalah Kepala Penelitian dan Perkembangan Erste Group GmbH di Vienna. Dia adalah seorang Senior Fellow di Hamburg Institute of International Economics (HWWI) dan anggota dari EU Reflection Group Horizon 2020-2030. (Rainer Münz, t.t., Demographic Change, Labour Force Development and Migration in Europe – Policy Recommendations, tersedia pada s itus: http://heimatkunde.boell.de/2013/11/18/demographic -change-labour-force-development-and-migration-europe-%E2%80%93-policy-recommendations [diakses pada 2 Mei 2014]) 4Hiroko Tabuchi, 2011, Japan Keeps a High Wall for Foreign Labor, tersedia pada situs: http://www.nytimes.com/2011/01/03/world/asia /03japan.html?pagewanted=all&_r =1&#h [], [diakses pada tanggal 19 Maret 2014]. 5Dav id Held et. al., 1999, Global Transformations: Politics, Economics and Culture,Stanford: Stanford Univ ersity Press. 6 Tabuchi, 2011, Japan Keeps a High Wall

Page 4: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1184 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

Laju Penuaan Berdasarkan PertumbuhanNegara Dalam Proporsi Penduduk Lansia Sumber: World population prospects, 2008 Revision, United Nations Jepang juga telah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut, misalnya dengan mencoba untuk mengangkat angka kelahiran, memperpanjang usia wajib pensiun dan mendorong peningkatan partisipasi wanita. Namun upaya-upaya tersebut memiliki keterbatasan dan sulit untuk mendapatkan hasil yang efektif. Laporan dari sebuah studi yang dirilis oleh Divisi Populasi PBB menunjukkan bahwa imigrasi dapat menjadi yang terbaik dan satu-satunya jawaban yang realistis. 7 Untuk mempertahankan tingkat populasi pada tahun 2005, Jepang akan membutuhkan 17 juta imigran pada tahun 2050, dimana imigran akan berjumlah sebanyak 17,7 persen dari penduduk Jepang dibandingkan dengan 1,57 persen ditahun 2005.8Para ahli lain memperkirakan bahwa Jepang membutuhkan 400 ribu imigran baru tiap tahunnya.9 Saat ini di Jepang hanya 1,7 persen dari populasi yang terdiri dari kurang lebih 2,2 juta orang adalah orang asing atau keturunan asing. Orang asing merepresentasikan irisan kecil dari hampir semua sektor ekonomi, tetapi mereka juga

7Anon, 2000. Aging Populations in Europe, Japan, Korea, Require Action, tersedia pada situs: http://www.globalaging.org/health/world/ov erall.htm [diakses pada 8 April 2014]. 8 Univers ity of Minnesota, t.t., Immigration, Demographic Change, and National Identity, tersedia pada s itus: http://globalrem.umn.edu/teachingmodules/regions/mideast.php?entry=138181 [diakses pada 8 April 2014]. 9Howard W. French, 2003, Insular Japan Needs, but Resists, Immigration, tersedia pada situs: http://www.nytimes.com/2003/07 /24/international/asia/24JAPA.html?ei=5007 &en=53c7315175389e69&ex=1374379200&partner=USERLAND&pagewanted=all&position= [diakses pada 2 Mei 2014].

Page 5: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1185

merepresentasikan satu irisan dari populasi yang memiliki kesempatan untuk tumbuh. 1 0 Meskipun menghadapi permasalahan kekurangan tenaga kerja dalam waktu dekat dengan semakin menuanya populasi, Jepang hanya sedikit melakukan tindakan untuk membuka diri melalui imigrasi. Bahkan pemerintah justru melakukan hal sebaliknya yaitu secara aktif mendorong para pekerja asing dan pelajar asing lulusan universitas dan sekolah-sekolah profesional di Jepang untuk kembali ke negaranya masing-masing. Seperti yang terjadi pada tahun 2009, dimana Jepang menawarkan insentif untuk ribuan imigran Amerika Latin yang mau meninggalkan Jepang sebanyak $3000 tiap pekerja untuk menutupi biaya perjalanan satu arah. Mereka yang menerima tawaran tersebut tidak diperbolehkan kembali dengan status residensi yang dulu dimiliki.1 1 Banyak pula didapati hambatan-hambatan untuk imigrasi ke Jepang. Undang-undang imigrasi yang ketat melarang peternakan atau lokakarya menengah untuk merekrut tenaga kerja asing sehingga mendorong beberapa untuk menyalahgunakan program-program pelatihan bagi para pekerja dari negara-negara berkembang atau menyewa imigran ilegal. Persyaratan kualifikasi yang ketat menutup profesional asing yang terampil, sementara aturan dan prosedur yang rumit membuat pengusaha enggan untuk mendirikan usahanya di Jepang. Ujian-ujian dengan tingkat sukses kurang dari 1 persen yang diberikan Jepang bagi imigran mendapatkan kritikan luas, apalagi di saat semakin meningkatnya kebutuhan untuk tenaga kerja asing terampil bagi demografi Jepang. Grafik I.2 dengan jelas menunjukkan perbandingan prosentase imigran asing dari seluruh jumlah populasi penduduk di beberapa negara OECD dan non-OECD. Terlihat bagaimana prosentase jumlah imigran di Jepang dibandingkan jumlah penduduknya sangat sedikit apabila dikomparasikan dengan negara-negara lainnya. Grafik I.2.

10 Chico Harlan, 2010, Strict immigration rules may threaten Japan's future, tersedia pada situs: http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/07 /27 /AR2010072706053.html [diakses pada 8 Mei 2014]. 11CNN, 2012, Immigration lessons for the U.S. from around the world, tersedia pada situs: http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/06/10/immigration-lessons-for-the-u-s-from -around-the-world/ [diakses pada 2 Mei 2014].

Page 6: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1186 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

Total Arus Masuk Imigran Tetap Negara OECD & Non-OECD tertentu Tahun 2007 & 2010 Sumber: OECD International Migration Database Disini penulis ingin mengetahui faktor-faktor apa yang melatarbelakangi kebijakan pengendalian imigrasi Jepang yang ketat meskipun Jepang menghadapi penuaan populasi dan tidak dapat menerapkan opsi lain yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan penyusutan tenaga kerja yang disebabkan oleh penuaan populasi secara efektif dengan menggunakan teori dari Eytan Meyers yang memberikan tinjauan dan kritik yang menjelaskan mengenai rasisme dan kebijakan pengaturan imigrasi (immigration control policy), yaitu teori kebijakan imigrasi internasional. Teori kebijakan imigrasi internasional ini merujuk pada resesi ekonomi, yang diidentifikasi dengan teori-teori kompetisi ekonomi; pada imigrasi yang berhubungan dengan teori-teori berbasis kultural; dan pada dampak dari perang, ancaman eksternal dan pertimbangan kebijakan luar negeri yang merupakan bagian dari literatur hubungan internasional. Meyers menegaskan bahwa studi ini berusaha untuk memberikan kumpulan faktor-faktor sosioekonomi dan kebijakan luar negeri yang menentukan kebijakan pengendalian imigrasi dan untuk menunjukkan kepentingan relatif dari masing-masing faktor dalam beberapa kondisi.1 2

12 Mey ers, 2004, International Immigration Policy

Page 7: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1187

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pengendalian Imigrasi

Teori kebijakan imigrasi internasional yang diberikan oleh Eytan Meyers mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menentukan kebijakan pengendalian imigrasi suatu negara. Pada bukunya, Meyers mencoba mengkombinasikan elemen ekonomi, literatur hubungan internasional dan budaya untuk mendapatkan faktor-faktor sosioekonomi dan kebijakan luar negeri yang dapat menjawab pertanyaan faktor penentu kebijakan pengendalian imigrasi di suatu negara. Di sini penulis akan mengaitkan elemen-elemen tersebut dengan data dan fakta yang ada di Jepang. Pada faktor ekonomi, Meyers memiliki hipotesis yang menyatakan bahwa pada masa resesi, negara akan cenderung menerima lebih sedikit imigran atau membatasi imigrasi, sedangkan kemakmuran ekonomi akan menyebabkan mereka untuk lebih banyak menerima imigran atau meliberalisasi kebijakan pengendalian imigrasi.1 3 Hipotesis tersebut dapat diaplikasikan pada kondisi Jepang terkait dengan kebijakan imigrasi. Ketika ekonomi Jepang mengalami perkembangan pada tahun 1920-an, terdapat arus imigrasi yang lebih besar karena adanya tuntutan untuk menambah pekerja. Status Jepang yang tumbuh sebagai pemain utama ekonomi global dan regional merupakan latar belakang dari kedatangan pendatang baru. Alasan yang ada di balik peningkatan tajam migran asing pada akhir tahun 1980-an adalah karena adanya kenaikan nilai yen, tuntutan dari pengusaha akibat adanya kekurangan tenaga kerja, dan pengembangan jaringan transnasional (termasuk kegiatan „makelar migran‟). Sejak akhir tahun 1980-an, jumlah Nikkeijin yang kembali ke Jepang terus meningkat. Ini sebagian disebabkan karena ketidakstabilan ekonomi dan politik di Amerika Latin. Hal ini juga difasilitasi oleh revisi undang-undang imigrasi Jepang pada tahun 1990 yang memungkinkan siapa saja yang memiliki orang tua atau kakek dan nenek orang Jepang untuk mengajukan permohonan visa tinggal jangka panjang. Sebaliknya pada masa resesi baru-baru ini, banyak negara mencari-cari cara kreatif untuk mengurangi kesulitan ekonomi yang dialami oleh populasi penduduk pribumi maupun imigran. Tiga negara yang bergantung pada imigran berketerampilan rendah pada masa-masa sukses yaitu Jepang, Spanyol dan Republik Ceko, baru-baru ini memperkenalkan program pengembalian sukarela yang dikenal sebagai program „pay-to-go‟ dalam upaya untuk mengurangi jumlah imigran yang tidak bermata pencaharian. Program yang didirikan pada tahun

13 Mey ers, 2004, International Immigration Policy

Page 8: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1188 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

2008-2009 ini umumnya memberikan tunjangan yang mencakup biaya tiket pesawat pulang satu arah untuk para migran legal yang tidak memiliki pekerjaan. Beberapa program juga menawarkan pembayaran tunai kepada para migran. Tetapi, mereka yang ikut serta dengan program tersebut harus menerima beberapa pembatasan tertentu terkait dengan perizinan mereka untuk masuk kembali atau tinggal di negara yang mensponsori program tersebut.1 4 Resesi yang terjadi pada tahun 2008-2009 di Jepang menyebabkan adanya pengangguran besar-besaran di antara sekitar 350 ribu Nikkeijin yang tinggal di Jepang. Antara bulan November 2008 dan Januari 2009, 9296 orang asing terdaftar sebagai pencari pekerjaan.1 5 Terkait dengan faktor budaya, dikotomi “insiders” dan “outsiders” merupakan tema yang diwujudkan dalam budaya, masyarakat dan politik Jepang. Jepang merupakan negara yang memegang teguh gagasan mengenai keunikan, homogenitas dan harmoni dari negara tersebut. Dari masa lampau, mitos homogenitas dan keunikan Jepang telah tertanam dan berkontribusi pada isolasi Jepang selama dua ratus tahun pada awal tahun 1600-an, kelahiran dari nasionalisme kultural yang sangat kuat dan identitas nasional berdasarkan ide “one language, one race”. Hal ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Jepang hingga saat ini misalnya saja pada tahun 2005, Menteri Luar Negeri Taro Aso dikutip oleh harian Yomiuri menggambarkan Jepang sebagai, "satu bangsa, satu peradaban, satu bahasa, satu budaya dan satu ras".1 6 Etnisitas, bahasa dan budaya merupakan dasar dari self-image dan identitas nasional Jepang. Model identitas nasional ini sesuai dengan pola khusus Jepang dalam menghadapi isu imigrasi, yang dapat dikatakan merupakan “outsiders”. Tidak mengherankan apabila banyak orang Jepang yang ketika dihadapkan pada prospek imigrasi skala besar di Jepang akan bereaksi dengan fundamental “ideological unwillingness to accept culturally different people of any kind”.1 7 Pada kenyataannya, Jepang adalah anomali internasional dalam hal imigrasi karena kesuksesannya pada industrialisasi dan modernisasi ekonomi pada masa

14 Kristen McCabe, Serena Yi-Ying Lin, Hiroyuki Tanaka, dan Piotr Plewa, 2009, Pay to Go: Countries Offer Cash to Immigrants Willing to Pack Their Bags , tersedia pada situs: http://www.migrationpolicy .org/article/pay -go-countries-offer-cash-immigrants-willing-pack-their-bags [diakses pada 19 Juni 2014]. 15 McCabe, Lin, Tanaka, Plewa, 2009, Pay to Go: Countries Offer Cash to Immigrants 16 Chris Burgess, 2005, “Multicultural Japan? Discourse and the „My th‟ of Homogeneity dalam The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. JapanFocus.org, http://www.japanfocus.org/products/details/2389, dalam Kendra Atkin, Immigration Policy In Japan: The Myth of Racial Homogeneity and What Cultural Diplomacy Might Mean, , tersedia pada situs: http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/case-studies/immigration-policy -in-japan.pdf, diakses pada 2 Mei 2014. 17 Sekine, 1991: 49 dalam Brody , 2005, Opening the Door

Page 9: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1189

paska perang tanpa bergantung pada tenaga kerja asing.1 8 Pada masa paska perang, ketika negara industrialisasi lainnya seperti Jerman dan Prancis beralih kepada tenaga kerja asing untuk memajukan proses industrialisasi skala besar mereka, Jepang justru bergantung pada "a large rural labor pool and the massive introduction of labor-saving technologies by large corporations".1 9 Analis kebijakan imigrasi seringkali mempertimbangkan „identitas nasional‟ sebagai determinan utama dari kebijakan imigrasi. Leitner beranggapan bahwa ras dominan dan ideologi nasional – yang menentukan siapa yang termasuk dan tidak termasuk dalam komunitas nasional – juga mempengaruhi siapa yang mendapatkan tempat disana.20 Dengan kata lain, negara-negara memiliki karakteristik yang membuat penduduk pribuminya lebih mudah atau tidak mudah dalam menerima populasi penduduk asing. Karakter atau identitas nasional telah didefinisikan dalam berbagai cara. Salah satu metodenya adalah dengan mengukur homogenitas suatu populasi, dengan asumsi bahwa semakin homogen suatu negara secara etnis, maka penduduknya akan semakin merasa terancam dengan adanya penduduk asing yang masuk. Identitas nasional Jepang sendiri dapat dilihat melalui literatur Nihonjinron yang muncul pada tahun 1970-an dan 1980-an yang

menekankan pada keunikan Jepang. Nihonjinron (日本人論) yang secara harfiah berarti teori/diskursus mengenai orang-orang Jepang merupakan suatu gaya sastra/genre yang berfokus pada identitas nasional dan kultural orang-orang Jepang dan bagaimana Jepang dan orang-orang Jepang seharusnya dimengerti. Prinsip-prinsip dasar dari Nihonjinron dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu 1) Homogenitas: Orang-orang Jepang adalah orang yang homogen dan unik (doshitsu shakai, tan'itsu minzoku, dan yuniiku na bunka); 2) Darah: „Darah‟orang-orang Jepang adalah hal yang penting bagi komunikasi timbal balik, saling pengertian dan pengertian akan budaya dan penampilan sebagai orang Jepang; 3) Kompetensi budaya: Orang asing tidak mampu untuk memahami sepenuhnya budaya Jepang atau menguasai bahasanya; dan 4) Partisipasi sosial: Teritorialitas sosiokultural Jepang harus dipertahankan dan orang asing harus ditiadakan dalam bidang perkawinan, pekerjaan, pengajaran, kepemimpinan politik dan artistik.21 Homogenitas adalah suatu pemikiran yang sangat umum dalam diskursus Nihonjinron hingga Oguma Eiji menerbitkan genealogi komprehensif dari konsep tersebut. Pada studi tersebut, Oguma

18 Mori 1997 ; Yamanaka 1993; Reubens 1982 dalam Brody , 2005, Opening the Door 19 Yamanaka 1993: 74 dalam Brody , 2005, Opening the Door 20 Leitner, 1995: 262, dalam Money , t.t., Comparative Immigration Policy 21 Kazufumi dan Befu, 1992, Japanese Cultural Identity

Page 10: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1190 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

menunjukkan bahwa Jepang memang bangsa yang homogen, yang alasan utamanya menurut Oguma adalah karena kondisi internasional dari abad-abad terdahulu yang memungkinkan Jepang untuk menghindari penjajahan dan pembagian.22 Selanjutnya, Oguma juga menyoroti premis yang menyatakan bahwa “penduduk dari kepulauan ini dari beribu tahun yang lalu adalah „orang-orang Jepang‟ dan karakter mereka tetap tidak berubah sejak itu”.23 Identitas nasional Jepang yang dibangun atas gagasan kemurnian ras dan integritas kultural berkembang sebagian karena isolasi geografis Jepang sebagai negara kepulauan dan sebagian lainnya karena adanya kesengajaan upaya politik untuk menciptakan mitologi negara dengan etnis “murni”.24 Semua narasumber dalam tesis Hansemark menyatakan bahwa Jepang memiliki semacam „island mentality‟ (mentalitas kepulauan) yang disebabkan oleh terisolasinya Jepang sebagai negara kepulauan sehingga orang Jepang merasa terpisah dari dunia luar. Berada dalam negara kepulauan juga memudahkan mereka untuk membuat „masyarakat mereka sendiri‟ dan menolak pengaruh-pengaruh dari luar.25 Kesuksesan ekonomi Jepang pada masa paska perang yang menjadikannya salah satu negara ekonomi terbesar juga mengaitkannya kepada proses globalisasi dan integrasi internasional. Efek dari globalisasi ekonomi internasional serta globalisasi norma-norma hak asasi manusia mengakibatkan adanya benturan antara konsep tradisional Jepang mengenai keanggotaan dan kewarganegaraan dengan kebijakan baru yang mendorong “internasionalisasi” di lain pihak. Sebagai respon dari desakan yang diajukan para pengusaha kepada pemerintah untuk menambah tenaga kerja, The Immigration Control and Refugee Act of 1990 diberlakukan dan untuk pertama kalinya Jepang membuka negaranya untuk tenaga kerja asing tidak terampil. Izin masuk legal kepada Nikkeijin ini merupakan akibat langsung dari usaha pemerintah untuk membatasi imigrasi ilegal, memenuhi permintaan industri untuk tenaga kerja tidak terampil dan untuk menghormati ideologi Jepang mengenai etnis dan “harmoni kultural”.

22 Oguma, 2002: 348, dalam Chase Buckle, t.t., Critically discuss the underlying premises, methods and ideologies of Nihonjinron theories (discourses of national and cultural identity), giving representative examples of Nihonjinron works, tersedia pada situs: http://www.essex.ac.uk/sociology /documents/research/publications/ug_journal/v ol9/2013sc327 _chasebuckle.pdf [diakses pada 21 Juni 2014]. 23 Oguma, 2002: 348, dalam Buckle, t.t., Critically discuss the underlying premises, methods and ideologies of Nihonjinron theories 24 Eisenstadt 1996; Hutchinson and Smith 1994; Smith 1993 dalam Brody , 2005, Opening the Door 25 Niclas Hansemark, t.t., Japanese Nationalism: A Foreign View (master tesis, Lund Univ eristy ).

Page 11: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1191

Pemerintah Jepang berpikir bahwa karena Nikkeijin memiliki darah Jepang maka mereka akan dapat berintegrasi dengan lebih baik dan lebih cepat, dan bahwa mereka akan lebih dapat diandalkan sebagai pekerja. Kebijakan imigrasi untuk Nikkeijin awalnya didasarkan pada gagasan bahwa orang-orang dengan etnis asal Jepang akan menyesuaikan diri dengan ekonomi dan masyarakat Jepang lebih baik daripada imigran potensial lainnya. Tetapi, dengan adanya jarak satu atau dua generasi, Nikkeijin tersebut telah mengalami banyak perubahan kultural dari orang-orang Jepang. Banyak Nikkeijin tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Jepang dengan baik, oleh karena itu banyak mesin ATM menawarkan bahasa Portugis. Dan karena kebiasaan sosial di Jepang sangat berbeda dengan apa yang ada di Brazil, mereka sering mengalami berbagai masalah. Pesta dengan musik Samba pada tengah malam mungkin umum di Brazil, namun di Jepang hal itu dapat mengakibatkan konflik serius dengan tetangga. Anak-anak Nikkeijin memiliki daftar kehadiran yang buruk karena mereka memiliki kelemahan dalam bahasa Jepang. Dan kenakalan remaja dan kejahatan juga meningkat. Secara keseluruhan, tidak ada upaya yang cukup pada kebijakan integrasi nasional, meskipun pemerintah lokal telah mengupayakan sesuatu. Organisasi-organisasi yang mendukung migran – yang merupakan organisasi non-pemerintah – telah secara aktif menyediakan layanan untuk para migran di tingkat lokal.26 Meskipun memiliki kesamaan etnis, Nikkeijin masih dianggap sebagai “orang asing” di Jepang karena perbedaan bahasa dan budayanya. Migrasi Nikkeijin yang “beretnis Jepang” awalnya dilihat sebagai pengecualian, opini pemerintah tampaknya telah berubah baru-baru ini. Pembuat kebijakan imigrasi Jepang awalnya hanya menyangka akan menerima sejumlah kecil pendatang Nikkeijin, mereka tidak siap menerima ledakan aliran masuk yang dihasilkan dan tidak menyangka bahwa banyak Japanese-Brazilian yang akan membawa keluarga mereka dan menetap di Jepang.27 Sebagai tambahan, Nikkeijin ternyata lebih berbudaya seperti orang Brazil daripada yang diperkirakan dan tidak dapat berasimilasi dengan lancar pada masyarakat Jepang. Hasilnya, para pejabat pemerintah tertentu terlihat menyesali keputusannya untuk menerima Nikkeijin secara terbuka. Seorang mantan pejabat Kementerian Tenaga Kerja berkata, “The Nikkeijin that the Immigration Bureau [of the Ministry of Justice] intended to accept were different. We were expecting that they would be more culturally Japanese and speak Japanese more. But those who actually came were not the type we expected. Sometimes, we look at

26 West, 2014, Japan’s Experiment in Ethnic Immigration 27 Kajita 1994: 168 dalam Gaburn, Ertl dan Tierney, 2008, Multiculturalism in the New Japan, hal. 130

Page 12: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1192 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

some of these people and say, is this really a Nikkeijin? I mean, they have no inkling about Japanese culture, and don‟t speak Japanese... If we had known so many Nikkeijin would come, we would not have allowed the to freely enter Japan.”28 Dalam hipotesisnya terkait faktor hubungan internasional, Meyers berargumen bahwa negara-negara yang telah kehilangan koloninya pada tahap awal seperti Jerman dan Jepang, atau negara yang dari awal tidak memiliki koloni seperti Swiss dan Luxembourg, cenderung memilih migrasi tenaga kerja temporer untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya. Jepang sendiri banyak merekrut pekerja migran temporer yang utamanya berasal dari negara-negara Asia dan keturunan Amerika Latin dan selalu merestriksi kebijakan imigrasi permanen. Hal ini dapat dilihat dari politisi konservatif Jepang yang sejauh ini tampak enggan untuk mempromosikan imigrasi berat (heavy immigration) dan mengambil resiko untuk mengubah masyarakat Jepang yang stabil namun agak kaku dan eksklusif. Abe berargumen bahwa Jepang seharusnya memberikan orang asing lebih banyak visa tiga sampai lima tahun daripada membiarkan sejumlah besar imigran permanen menetap di Jepang. Abe menginginkan mereka (pekerja asing) untuk bekerja dan meningkatkan pendapatan untuk jangka waktu yang terbatas kemudian kembali ke negaranya.29 Banyaknya penduduk Korea yang saat menjadi penduduk di Jepang hingga saat ini juga menunjukkan adanya faktor-faktor politik yang ikut andil karena sebagian besar dari populasi imigran adalah warga Korea yang pindah ke Jepang selama pendudukan negara mereka serta menjadi buruh wajib militer pada Perang Dunia II. Di Jepang sendiri juga terdapat istilah special permanent residents yaitu status residensi tetap diberikan kepada mereka yang dahulu merupakan migran kolonial dan keturunannya yang hingga tahun 2006 menempati persentase terbesar dari jumlah penduduk asing Jepang. 30 Hal ini juga mendukung hipotesis Meyers yang menyatakan bahwa, “Wars and external threats contribute to the encouragement of permanent immigration of similar composition.... Wars, external threats, and domestic threats linked to external sources foster a tendency to associate dissimilar immigrants with external threats and contribute to restrictions on permanent dissimilar immigration”.31

28 Gaburn, Ertl dan Tierney, 2008, Multiculturalism in the New Japan, hal. 131 29Reiji Yoshida, 2014, Success of ‘Abenomics’ hinges on immigration policy, tersedia pada situs: http://www.japantimes.co.jp/news/2014/05/18/national/success-abenomics-hinges-immigration-policy /#.U6BX4Xa2GbA [diakses pada 18 Juni 2014]. 30 Kashiwazaki dan Akaha, 2006, Japanese Immigration Policy 31 Mey ers, 2004, International Immigration Policy

Page 13: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1193

Ancaman eksternal memiliki kemungkinan besar untuk mempengaruhi kebijakan, terutama pemerintah khawatir orang-orang yang menjadi ancaman tersebut (misalnya teroris atau mata-mata) akan menerobos negara tersebut sebagai imigran ilegal. Pertumbuhan pengertian mengenai terorisme internasional mendorong Jepang untuk mengadopsi pengendalian imigrasi yang lebih ketat. Serangan teroris yang terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 dan „war on terror‟ yang mengikutinya memiliki dampak penting bagi kebijakan imigrasi Jepang. Pada bulan Desember 2004, pemerintah mengadopsi rencana aksi untuk pencegahan terorisme. Oleh karena itu, Biro Imigrasi memperketat prosedur masuk dan penerimaan daripada sebelumnya. Sementara itu, datangnya imigran juga diasosiasikan sebagai ancaman eksternal oleh Jepang karena adanya keprihatinan yang memuncak terhadap keamanan publik. Ada persepsi yang berkembang di kalangan publik bahwa para migran, khususnya mereka dengan status yang tidak sah dan dipertanyakan dalam negeri, berkontribusi terhadap meningkatnya angka kejahatan dan kerusakan umum keamanan publik. Pertimbangan kebijakan luar negeri cenderung memfasilitasi liberalisasi pengendalian imigrasi. Negara penerima cenderung menerima imigran dari negara-negara tertentu dalam rangka untuk memajukan tujuan kebijakan luar negeri, seperti meningkatkan hubungan militer dan perdagangan dengan sekutu, menunjukkan oposisi terhadap musuh, memperoleh rasa hormat atau pengakuan internasional, dan mempertahankan hubungan politik yang berkembang di masa lalu (biasanya selama era kolonial mereka). Untuk membuktikannya, disini penulis mengaitkannya dengan kebijakan mengenai pengungsi di Jepang. Kebijakan pengungsi sendiri dipengaruhi terutama oleh pertimbangan kebijakan luar negeri. Negara-negara penerima menerima pengungsi untuk (a) menunjukkan penentangan mereka terhadap rezim negara asal atau ke negara ketiga yang menempati negara asal; (b) menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap mantan sekutu; (c) menunjukkan kerjasama mereka dengan sekutu saat ini; atau (d) memperoleh rasa hormat atau pengakuan respek internasional. Dalam beberapa dekade terakhir ini di Jepang telah ada beberapa perubahan kebijakan imigrasi. Pengakuan pengungsi Indocina yang dimulai pada akhir tahun 1970 adalah hal yang signifikan karena hal itu bertentangan dengan sikap resmi sebelumnya yaitu tidak menerima orang asing untuk bermukim. Jepang meratifikasi Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi pada tahun 1981.32 Etnis Jepang yang

32 Kashiwazaki dan Akaha, 2006, Japanese Immigration Policy

Page 14: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1194 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

kembali dari Cina, dimana mereka telah dibesarkan sebagai anak yatim piatu korban perang setelah Perang Dunia II, membawa keluarga Cina mereka untuk bermukim di Jepang. Penduduk asing secara bertahap mendapat jaminan hak-hak sosial di satu sisi karena adanya aktivitas penduduk Korea dan di sisi lain karena terdapat perubahan legal setelah Jepang meratifikasi konvensi hak asasi manusia internasional pada tahun 1979.33 Meskipun begitu, Jepang terus secara relatif tertutup bagi para pencari suaka (asylum seekers). Jumlah pelamar juga sangat kecil. Dari tahun 1982 dan 2004, terdapat 3544 pelamar dan hanya 330 yang disetujui. Dari jumlah pelamar tersebut, 408 (11,5%) diajukan oleh warga Indocina (orang-orang dari Vietnam, Laos dan Kamboja), terutama sebelum tahun 1985. Warga Myanmar, Turki, Iran, Cina dan Pakistan merepresentasikan kelompok terbesar dari pelamar dalam beberapa tahun terakhir.34

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijelaskan pada sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa faktor ekonomi, budaya dan hubungan internasional memang memiliki pengaruh terhadap penerapan kebijakan imigrasi di Jepang. Kombinasi dari ketiga faktor tersebut yang menyebabkan Jepang memutuskan untuk melakukan kebijakan pengendalian imigrasi yang ketat. Dalam membahas faktor ekonomi terkait dengan kebijakan imigrasi Jepang, terlihat bahwa faktor ekonomi memainkan dua sisi yang bertolak belakang dalam mempengaruhi kebijakan imigrasi negara dimana pada masa resesi, negara akan cenderung menerima lebih sedikit imigran atau membatasi imigrasi, sedangkan kemakmuran ekonomi akan menyebabkan mereka untuk lebih banyak menerima imigran atau meliberalisasi kebijakan pengendalian imigrasi. Ini terbukti dari banyaknya migran yang masuk ke Jepang pada masa kejayaan ekonomi Jepang pada akhir tahun 1980-an. Bahkan Jepang juga memberikan visa khusus jangka panjang bagi para Nikkeijin atau warga asing keturunan Jepang pada tahun 1990. Sebaliknya, ketika keadaan ekonomi Jepang mulai memburuk pada tahun 2008, Jepang justru membuat program „pay-to-go‟ dalam upaya untuk mengurangi jumlah imigran yang tidak bermata pencaharian karena banyaknya Nikkeijin yang menjadi pengangguran setelah terjadi resesi ekonomi.

33 Kashiwazaki dan Akaha, 2006, Japanese Immigration Policy 34 Kashiwazaki dan Akaha, 2006, Japanese Immigration Policy

Page 15: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1195

Kondisi ekonomi Jepang yang hingga saat ini belum sepenuhnya pulih setelah terkena resesi pada tahun 2008 dan tiga bencana pada tahun 2011 mengakibatkan Jepang lebih cenderung ingin mengurangi jumlah imigran di dalam negeri. Terkait dengan faktor budaya, adanya globalisasi dan westernisasi yang mengancam identitas nasional terutama identitas kultural Jepang mengakibatkan adanya kebangkitan dari nasionalisme kultural yang melekat di Jepang sejak dahulu dan menghasilkan literatur Nihonjinron yang sangat menekankan beberapa prinsip dasar seperti homogenitas, „darah‟, kompetensi budaya dan partisipasi sosial. Prinsip-prinsip tersebut mendorong masyarakat serta elit politik Jepang untuk cenderung membatasi imigrasi karena ingin tetap menjadi masyarakat yang homogen serta menjaga nilai-nilai kultural yang harus dipertahankan dan tidak boleh dicampuri oleh orang asing. Letaknya secara geografis yang merupakan negara kepulauan juga menyebabkan Jepang memiliki mentalitas kepulauan yang disebabkan oleh terisolasinya Jepang dari dunia luar. Mentalitas kepulauan ini dikatakan memiliki hubungan dengan Jepang sebagai negara yang sangat homogen, introvert dan weary terhadap orang asing. Status hegemoni globalisasi dan westernisasi yang semakin meningkat dan menyebabkan literatur Nihonjinron menjadi dasar untuk penegasan kembali identitas Jepang melalui penggunaan sifat-sifat dan karakteristik secara idealistis untuk menjawab pertanyaan “what it means to be Japanese”. Kasus dengan Nikkeijin juga memperlihatkan betapa kuatnya nasionalisme kultural Jepang. Para Nikkeijin yang awalnya dianggap akan mudah berasimilasi dengan masyarakat Jepang karena sama-sama beretnis Jepang kemudian mengalami “penolakan” dari masyarakat maupun pemerintah Jepang karena mereka memiliki kultur yang berbeda dengan penduduk Jepang dan dinilai akan mengganggu tatanan publik dengan meningkatnya konflik etnis dan diskriminasi yang diakibatkan oleh keberagaman etnis. Disini terlihat bahwa meskipun Nikkeijin memiliki kesamaan secara etnis dengan penduduk Jepang, namun karena mereka memiliki budaya yang berbeda maka mereka tetap dianggap sebagai orang asing. Isolasi dan kecemasan terhadap dunia luar ini memiliki implikasi terhadap orang asing yang bekerja di Jepang. Meskipun Jepang mengalami penyusutan tenaga kerja yang disebabkan oleh penuaan masyarakatnya, namun Jepang tetap bersikap kaku terkait imigrasi. Kemudian terkait dengan faktor hubungan internasional, seperti yang dikatakan Meyers, dampak perang dari Jepang sebagai negara yang kehilangan koloninya pada tahap awal paska perang mengakibatkan pemerintahnya lebih cenderung memilih pekerja migran temporer dibandingkan imigran permanen. Ancaman eksternal juga memiliki

Page 16: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1196 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

dampak yang signifikan terhadap kebijakan pengendalian imigrasi Jepang, terutama setelah terjadinya peristiwa 9/11 yang menyebabkan biro imigrasi Jepang untuk lebih memperketat prosedur masuk dan penerimaan daripada sebelumnya. Sementara itu, pertimbangan kebijakan luar negeri yang cenderung memfasilitasi liberalisasi pengendalian imigrasi nampaknya hanya memiliki sedikit pengaruh di Jepang. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan mengenai pengungsi di Jepang. Meskipun Jepang telah meratifikasi konvensi mengenai pengungsi, namun Jepang masih secara relatif tertutup bagi para pencari suaka dan hanya menyetujui sedikit dari jumlah pengungsi yang melamar. Disini penulis menyimpulkan bahwa kombinasi dari resesi ekonomi, nasionalisme kultural dan ancaman eksternal yaitu war on terror, kecemasan terhadap masuknya warga asing serta hegemoni globalisasi dan westernisasi memiliki pengaruh terhadap penerapan kebijakan pengendalian imigrasi Jepang yang ketat. Dari faktor-faktor yang penulis berikan, penulis melihat adanya faktor yang lebih permanen atau utama, yaitu faktor budaya dimana hal ini telah ada sejak dahulu, hingga saat ini, serta pada masa yang akan datang; serta faktor yang tidak permanen yaitu faktor ekonomi dan hubungan internasional dimana tentu faktor-faktor tersebut akan selalu berjalan dengan dinamis seiring dengan perubahan zaman.

Daftar Pustaka Anon. 2000. Aging Populations in Europe, Japan, Korea, Require

Action. Tersedia pada situs: http://www.globalaging.org/health/world/overall.htm, [diakses pada 8 April 2014]

Brody, Betsy. 2002. Opening the Door: Immigration, Ethnicity, and Globalization in Japan, New York: Routledge

Buckle, Chase. T.t. Critically discuss the underlying premises, methods and ideologies of Nihonjinron theories (discourses of national and cultural identity), giving representative examples of Nihonjinron works. Tersedia pada situs: http://www.essex.ac.uk/sociology/documents/research/publications/ug_journal/vol9/2013sc327_chasebuckle.pdf [diakses pada 21 Juni 2014]

Burgess, Chris. 2005. “Multicultural Japan? Discourse and the „Myth‟ of Homogeneity dalam The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. JapanFocus.org, http://www.japanfocus.org/products/details/2389, dalam Atkin, Kendra. Immigration Policy In Japan: The Myth of Racial Homogeneity and What Cultural Diplomacy Might Mean.

Page 17: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis Terhadap Fenonema

Penuaan Populasi di Jepang

Jurnal Analisis HI, September 2014 1197

Tersedia pada situs: http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/case-studies/immigration-policy-in-japan.pdf [diakses pada 2 Mei 2014]

CNN. 2012. Immigration lessons for the U.S. from around the world. Tersedia pada situs: http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/06/10/immigration-lessons-for-the-u-s-from-around-the-world/ [diakses pada 2 Mei 2014]

French, Howard W. 2003. Insular Japan Needs, but Resists, Immigration. Tersedia pada situs: http://www.nytimes.com/2003/07/24/international/asia/24JAPA.html?ei=5007&en=53c7315175389e69&ex=1374379200&partner=USERLAND&pagewanted=all&position= [diakses pada 2 Mei 2014]

Gaburn, Nelson H.H., John Ertl, dan R. Kenji Tierney. 2008. Multiculturalism in the New Japan: Crossing the Boundaries Within. New York: Berghahn Books

Gavrilov, Leonid A. dan Patrick Heuveline. 2003. The Encyclopedia of Population, New York: Macmillan Reference USA

Hansemark, Niclas. T.t. Japanese Nationalism: A Foreign View (master tesis, Lund Univeristy)

Harlan, Chico. 2010. Strict immigration rules may threaten Japan's future, Tersedia pada situs: http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/07/27/AR2010072706053.html [diakses pada 8 Mei 2014]

Held, David, et. al. 1999. Global Transformations: Politics, Economics and Culture,Stanford: Stanford University Press

Kashiwazaki, Chikako dan Tsuneo Akaha. 2006. Japanese Immigration Policy: Responding to Conflicting Pressures. Tersedia pada situs: http://www.migrationpolicy.org/article/japanese-immigration-policy-responding-conflicting-pressures [diakses pada 10 Juni 2014]

Lund University. T.t. Master's Programme (Two years) in Economic Demography. Tersedia pada situs: http://www.lunduniversity.lu.se/o.o.i.s/24725?lukas_id=EAEDE [diakses pada tanggal 26 September 2013]

Manabe, Kazufumi dan Harumi Befu. 1992. Japanese Cultural Identity: An Empirical Investigation of Nihonjinron. Tersedia pada situs: http://www.contemporary-japan.org/back_issues/japanstudien_4_symposium/JS4_Manabe_Befu.pdf [diakses pada 21 Juni 2014]

McCabe, Kristen, Serena Yi-Ying Lin, Hiroyuki Tanaka, dan Piotr Plewa. 2009. Pay to Go: Countries Offer Cash to Immigrants Willing to Pack Their Bags. Tersedia pada situs: http://www.migrationpolicy.org/article/pay-go-countries-offer-cash-immigrants-willing-pack-their-bags [diakses pada 19 Juni 2014]

Meyers, Eytan. 2004. International Immigration Policy: A Theoretical and Comparative Analysis. New York: Palgrave Macmillan

Page 18: Kebijakan Pengendalian Imigrasi Sebagai Opsi Strategis ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi8c0341b2c4full.pdf · negara-negara maju dan tentu saja negara-negara maju itu

Hidayati Dwi Kusuma Pratiwi

1198 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3

Money. T.t. Comparative Immigration Policy Münz, Rainer. T.t. Demographic Change, Labour Force Development

and Migration in Europe – Policy Recommendations. Tersedia pada situs: http://heimatkunde.boell.de/2013/11/18/demographic-change-labour-force-development-and-migration-europe-%E2%80%93-policy-recommendations [diakses pada 2 Mei 2014]

West, John. 2014. Japan‟s Experiment in Ethnic Immigration. Tersedia pada situs: http://www.asiancenturyinstitute.com/migration/179-japan-s-experiment-in-ethnic-immigration [diakses pada 18 Juni 2014]

Yoshida, Reiji. 2014. Success of „Abenomics‟ hinges on immigration policy. Tersedia pada situs: http://www.japantimes.co.jp/news/2014/05/18/national/success-abenomics-hinges-immigration-policy/#.U6BX4Xa2GbA [diakses pada 18 Juni 2014]