kebijakan penanggulangan terorisme file · web viewmanusia dalam menjalani kehidupan di dunia...

53
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan di dunia bersama keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar mendambakan kecukupan baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu setiap manusia membutuhkan kedamaian dan kemakmuran, namun seringkali yang diperoleh sebaliknya yaitu peperangan/kekerasan, kekurangan dan kemiskinan. Hal ini merupakan masalah fundamental yang dihadapi oleh tiap-tiap negara, khususnya negara miskin dan sedang berkembang yang tinggal di sebagian belahan bumi selatan. Terjadi ketidak-seimbangan antara negara maju dan kaya yang tinggal di belahan bumi bagian utara dengan negara miskin dan sedang berkembangnya atau yang tinggal di belahan bumi bagian selatan menimbulkan titik kecemburuan. Negara-negara yang 1

Upload: nguyenthuan

Post on 20-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam menjalani kehidupan di dunia bersama keluarga,

tetangga dan masyarakat sekitar mendambakan kecukupan baik kebutuhan

primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu setiap manusia membutuhkan

kedamaian dan kemakmuran, namun seringkali yang diperoleh sebaliknya

yaitu peperangan/kekerasan, kekurangan dan kemiskinan. Hal ini merupakan

masalah fundamental yang dihadapi oleh tiap-tiap negara, khususnya negara

miskin dan sedang berkembang yang tinggal di sebagian belahan bumi selatan.

Terjadi ketidak-seimbangan antara negara maju dan kaya yang tinggal

di belahan bumi bagian utara dengan negara miskin dan sedang

berkembangnya atau yang tinggal di belahan bumi bagian selatan

menimbulkan titik kecemburuan. Negara-negara yang tinggal di wilayah

belahan bumi bagian selatan yang mayoritas adalah negara miskin,

terbelakang dan sedang berkembang sering menghadapi tekanan yang

bertubi-tubi dari negara-negara maju dan kaya. Adanya arus globalisasi dan

pasar bebas adalah contoh tidak imbangnya sebuah persaingan.

Ketidakseimbangan inilah yang melahirkan kekecewaan, yang akhirnya

mencapai puncak tingkatan yang paling ekstrim dan radikal1.

Ekstrimisme atau radikalisme yang dilakukan oleh kelompok kelas

menengah ke bawah, didorong oleh faktor ketidakadilan dan kekecewaan 1 Ali Masyhar, 2003, Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Tesis,

hal. 2

1

akibat tata sosio ekonomi dan politis yang sifatnya diskualifikatif, dislokatif

dan deprivatif. Diskualifikatif di identifikasikan dengan sulitnya mendapatkan

akses ke dunia kerja akibat ketidakmampuan bersaing karena rendahnya

ketrampilan dan pendidikan. Proses dislokasi sosio ekonomis dapat dijumpai

dalam bentuk penyingkiran kaum miskin dari sumber-sumber daya ekonomi,

sosial dan kultural.

Sedangkan proses deprivasi sosio politis dapat berupa proses pemis-

kinan masyarakat kelas bawah akibat dominasi kekuatan-kekuatan bisnis yang

lebih besar melalui lembaga-lembaga ekonomi yang sifatnya mono- polistik,

adanya konglomerasi dan masuknya kapital asing berkolusi dengan elit

penguasa lokal atas penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politis.

Semua itu berujung pada radikalisasi individual maupun kelompok atas

nama “ideologi perubahan atau keyakinan teokratis” dengan “tafsir sempit,

miopik dan sepihak”’ yang secara radikal dan brutal justru disalah gunakan

untuk melakukan perbuatan-perbuatan radikal dan ekstrim2.

Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhir-akhir ini dinamakan

teror/terorisme.Gejolak terorisme semakin berlanjut akibat tatanan dunia yang

unipolar pasca perang dingin. Dunia hanya berpusat pada satu sumbu dominasi

Amerika Serikat (AS). Kebijakan ekonomi global yang diintroduksi oleh

lembaga-lembaga multilateral seperti organisasi WTO, IMF, Bank Dunia dan

institusi-institusi lain dengan sponsor negara-negara maju (AS) justru semakin

memperburuk kondisi negara berkembang menjadi semakin miskin dan

terbelakang.22 Herdi Sahrasad, Teror Bom, Ketidakadilan dan Kekerasan, Republika, 5

Oktober 2002, h. 5.

2

Langkanya praktek-praktek ekonomi yang adil dan lebih dominannya

praktek ekonomi yang eksploitatif (kapitalisme) dalam sebuah negara dan

dalam struktur ekonomi kawasan dan global, memiliki hubungan positif

dengan semakin rentannya sebuah negara, kawasan dan dunia dari munculnya

gerakan dan aksi-ksi terorisme3. Contoh kasus yang baik yaitu kawasan

Amerika Latin dan Asia yang diwarnai kesenjangan sosial yang tinggi sebagai

warisan ekonomi kolonial dan dampak perkembangan ekonomi kapitalisme

yang kuat.

Sementara itu, perasaan termarginalkan secara lebih hebat lagi akibat

sistem ekonomi dunia yang semakin tidak jelas, telah menyediakan tempat

yang subur bagi munculnya kelompok-kelompok radikal dan ekstrim di

kawasan Asia. Sasaran antara mereka adalah untuk mengacaukan keamanan

internasional.

Keamanan internasional yang dikomandoi negara Amerika Serikat

menjadi sasaran dari gerakan dan aksi-aksi terorisme internasional disebabkan

oleh karena tata dunia yang ada, dinilai berada dalam pengaruh kekuasaan

yang dominan dari satu negara yaitu Amerika Serikat (AS), yang muncul

sebagai negara adidaya tunggal (the sole superpower) dalam periode pasca

perang dingin. Pemahaman yang ada pada kelompok radikal tersebut adalah,

jika sebuah kekuatan atau kelompok ingin menggugat dan menggantinya

dengan alternatif yang ideal sesuai dengan pandangan kekuatan atau kelompok

yang melakukan penolakan atau resistensi tersebut maka aksi-aksi terorisme

berskala internasional harus dilakukan. 33 Poltak Partogi Nainggolan (ed), Terorisme dan tata Dunia Baru, Pusat

Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2002, h.15

3

Padahal, alternatif yang dilakukan selama ini dengan jalan-jalan

kompromis seperti negosiasi dan diplomasi ataupun kerja sama, tidak

memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Lebih jauh lagi, oleh

kekeuatan atau kelompok yang melakukan resistensi, mekanisme atau jalur-

jalur reguler yang ditempuh selama ini, dinilai telah memberikan hasil yang

sangat tidak memuaskan, karena terlalu banyak toleransi dan kompromistik,

yang justru sangat merugikan mereka4.

Teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun peristiwa 11 September

2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Peristiwa yang

sampai disiarkan langsung oleh stasiun Metro TV, merelay siaran langsung

dari CNN itu sangat mencengangkan. Gambar yang muncul di televisi begitu

dramatis, Gedung WTC (World Trade Centre) yang begitu perkasa, runtuh

perlahan, hancur lebur menjadi debu. Kepanikan dan ketakutan mewarnai

Amerika Serikat. Presiden George W. Bush segera mengumumkan kepada

dunia, bahwa Amerika diserang teroris biadab.

Teroris tersebut adalah Osama bin Laden dan jaringannnya, Al

Qaeda.Teroris itu adalah Islam, Arab5. Sejak itu, kata “terorisme” menjadi kata

yang paling populer dan tidak ada habis-habisnya disebut masyarakat dalam

obrolan sehari-hari.Osama bin Laden, dengan Al Qaeda-nya dikejar-kejar,

karena dianggap sebagai biang peledakan. Tidak hanya Osama tetapi

Afghanistan yang saat itu diperintah rezim Thaliban-pun harus dibombardir

4 4 Ibid., h.75 5 Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers,

2001, h..ix

4

Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden,

Thalibanpun hancur.

Rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut pautnya dengan

peledakan WTC mulai terhentak atas pernyataan Menteri Senior Singapura

yang dikutip The Straits Times yang lancang menyatakan bahwa Singapura

tidak akan pernah aman bertetangga dengan Indonesia yang menjadi sarang

teroris. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kedubes Amerika Serikat di

Indonesia, bahwa di Indonesia ada jaringan teroris. Nampaknya hal tersebut

terkait dengan pernyataan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang menyatakan

bahwa Poso sebagai tempat latihan orang-orang yang terkait dengan jaringan

Al Qaeda dan Afghanistan. Kata “Terorisme” pun semakin akrab di telinga

masyarakat Indonesia, dan seolah menjadi bahan perbincangan yang “paling

mengasyikkan”.

Kejadian pemboman Paddy’s Pub dan Sari Club di Legian, Kuta Bali

pada tanggal 12 Oktober 2002 persis satu tahun setelah Tragedi WTC–semakin

mengejutkan bangsa Indonesia, hal itu disebabkan jumlah korban yang begitu

besar dan bersifat massal, bahkan mereka (korban) adalah orang-orang yang

tidak tahu menahu dan tidak ambil peduli terhadap kebijakan politik negara

yang menjadi sasaran utama para teroris. Para korban hanya diposisikan

sebagai sasaran antara dari tujuan utama yang hendak dicapai para teroris.

Korban yang bersifat massal dan acak inilah yang mengancam

keamanan dan perdamaian umat manusia (human security). Keamanan seolah

menjadi barang mahal yang sangat sulit diperoleh. Akhir-akhir ini ancaman

terhadap human security semakin meningkat. Senjata-senjata yang

5

dipergunakan para teroris adalah senjata pemusnah dan perusak massal

(weapon of massive destruction), bahkan teroris senantiasa melakukan gerakan

terorisme internasional dengan modus operandi baru, seperti penggunaan bom

surat, dirty bomb, gas sianida dan apa yang diidentifikasi sebagai bom beracun

yang mengandung zat radioaktif.

Korban yang bersifat massal ditambah dengan modus operandi yang

melampaui dari kejahatan-kejahatan konvensional ini, kemudian orang

mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai “extra ordinary crime”. Dan

terorisme dianggap sebagai “ hostes humanis generis” musuh umat manusia6,

sehingga diperlukan tindakan / langkah yang bersifat luar biasa juga (extra

ordinary measures).

Aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 juga telah

mengejutkan pemerintah tidak hanya masyarakat Indonesia, lebih-lebih kala

itu Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur pem-

berantasan tindak pidana terorisme. Namun sejak peristiwa tersebut, pada

tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah serta merta mengundangkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu ini sekarang telah

ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003, dan untuk selanjutnya disebut Undang-undang Terorisme). Perpu

Nomor 1 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 ini

dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pember- lakukan 66 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam

Kerangka Hak Azasi Manusia, Makalah disampaikan pada kuliah Umum S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

7. Ibid.

6

Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 20027.

Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, membutuhkan

extra ordinary measures. Sehingga kelahiran Undang-undang terorisme ini

tidak lepas dari munculnya pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi karena

adanya perbedaan titik tolak dalam memandang Terorisme dengan dike-

luarkannya Undang-undang Terorisme. Di satu sisi kelompok kontra

didasarkan pandangan pada perlindungan Hak Asasi Manusia pelaku (offender

oriented), sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro dida- sarkan pada

pendekatan perlindungan Hak Asasi Manusia korban (victim oriented).

Alasan yang disampaikan oleh kelompok kontra dengan

dikeluarkannya Undang-undang Terorisme antara lain :

1. Undang-undang Terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena

dapat berlaku surut (retro aktif), sedangkan pemberlakuan surutnya sampai

kapan tidak dirumuskan secara tegas8

2. Undang-undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan,

sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu, bukan

kehendak dan kebutuhan murni masyarakat.

3. Undang-undang Terorisme merupakan “reinkarnasi” dari Undang-undang

Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Kekhawatiran ini didasarkan pada adanya kewenangan yang luar biasa

7

8 Pasal 46 UU No.15 Tahun 2003 “ Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hokum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

7

kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai bukti permulaan yang

cukup). Meskipun ada lembaga “hearing” untuk dapat atau tidaknya

diproses lebih lanjut yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun

hal ini masih meragukan, karena laporan intelijen adalah sedemikian rumit

mungkin saja tidak mampu dipahami seorang Ketua Pengadilan Negeri.

4. Aksi terorisme sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan menggunakan

hukum pidana umum (KUHP), misalnya masalah pembunuhan,

pembakaran, peledakan bom dan sebagainya.

Bagi kelompok yang pro terhadap dikeluarkannya Undang-undang

Terorisme, berdasar pada argumentasi bahwa peraturan perundang-undangan

yang telah ada (terutama KUHP) tidak dapat diterapkan kepada actor

intelectualis dari pelaku teroro ini, dalam arti bahwa dipidana lebih berat dari

actor physicus nya. Hal ini karena justru actor intelectualis dalam aksi

terorisme mempunyai peran sangat penting dibanding dengan actor physicusr

nya. Di samping itu, penanganan terorisme harus segera mungkin, dan hal ini

tidak bisa terlaksana apabila diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena

itu perlu pengaturan khusus, termasuk hukum acaranya.

Kelompok pro memang didasarkan pada perlindungan korban

(memandang dari sisi korabn terorisme), di mana teror merupakan ancaman

bagi hak-hak individu seperti hak untuk hidup (right to life), bebas dari rasa

takut (freedom from fear), maupun hak-hak kolektif seperti rasa takut yang

bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan demokrasi, integritas teritorial,

keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan sosial

8

ekonomi, ketentraman masyarakat madani yang pluralistic, harmoni dalam

perdamaian inetrnasional dan sebagainya 9 .

Teror biasanya dilakukan secara acak (random) dan tidak terseleksi

(indiscriminate) sehingga sering mengorbankan orang-orang yang tidak

bersalah termasuk wanita dan anak-anak dan sering dilakukan secara

terorganisisr dan bersifat transnasional (transnational organized crime).

Alasan-alasan tersebut semakin mendasari kebutuhan akan adanya pengaturan

terorisme secara tersendiri dan khusus.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat tanggal 29

November 2005 telah mengajukan RUU Tentang Pengesahan Konvensi

Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris dan merujuk pada

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR prioritas 2006 tentang Konvensi

Pemberantasan Pendanaan Teroris. Yang menarik perhatian adalah pidana mati

yang telah dijatuhkan pengadilan kepada beberapa pelaku tindak pidana

terorisme yang terjadi di Indonesia

Panduan ini untuk melindungi terpidana dari penerapan pidana mati

karena retroaktif (to protect persons from retrospective applications) dan

kemungkinan diterapkan tindak pidana yang lebih ringan. Pedoman ini juga

mengatur jaminan-jaminan untuk naik banding dan mendapatkan grasi serta

jika ada perubahan dalam pemidanaan, menjamin tidak ada eksekusi hukuman

mati dilakukan sampai semua prosedur telah dilakukan secara sempurna.

Apabila pidana mati dijatuhkan, harus dilaksanakan dengan kebijakan

penderitaan paling minimum. Meringankan, tentang asas Non-Retroactive 9 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam

Kerangka Hak Azasi Manusia, op.cit., h. 1-2.

9

Enforcement sebagai mana diatur dalam Article 6 (2) ICCPR, the United

Nations Safeguard Nomor 2 menentukan apabila setelah terjadinya kejahatan,

terjadi peru- bahan yang memperingan suatu pemidanaan, terhadap pelaku

harus diterapkan pidana yang menguntungkan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 (2)

mencantumkan hal ini, yaitu apabila terjadi perubahan perundang-undangan

setelah terjadinya kejahatan itu, yang diambil adalah yang paling

menguntungkan. Misalnya rumusan kejahatan terhadap negara dan ketertiban

umum, yaitu berbagai tindak pidana politik, makar, perbuatan kontra revolusi,

sabotase, terorisme, tindak pidana militer dan lain-lain.

Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk

mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran

yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah

merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini

diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu

(kejahatan berat) dengan pidana mati.

Seiring waktu yang terus berjalan, di berbagai negara terjadi

perubahan dan perkembangan baru. Di mana sejarah hukum pidana pada masa

lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati

merupakan obat paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun

kejahatan-kejahatan lain. Dan masa sekarang pidana mati diharapkan mampu

sebagai obat mujarab untuk membasmi kejahatan.

Bangsa Indonesia saat ini sedang melakukan pembaharuan di bidang

hukum pidana, salah satunya pidana mati. Pihak pendukung dan penentang

10

pidana mati mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu

saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu kitab Undang-undang

Hukum Pidana Indonesia yang baru, hasil pikiran bangsa sendiri, yang telah

lama dicita-citakan.

Masalah pemidanaan sangat berkaitan dengan kehidupan seseorang

di masyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang

paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan

atau kebebasan.

Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana kadang kala

dihadapkan dan mempertimbangkan suatu pendapat yang dipaparkan oleh

Hazewinkel-Suringa, yaitu “pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan

individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap

dihormati.

Tapi kadang–kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan

hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut

oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.

Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi

manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pihak lain, pemerintah

negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori tujuan pemidanaan,

antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan

teori gabungan. Teori absolut (pembalasan menyatakan bahwa kejahatan

sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana mati yang

membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya

11

dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan

si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan

sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada

pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan

adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum.

Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus.

Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai

adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai, kepada semua

orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban

masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan

pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau

menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah

direncanakannya.

Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendak

didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban

masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada

salah satu unsurnya tanpa meghilangkan unsur yang lain maupun pada semua

unsur yang ada10.

Menurut Muladi, dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus

tercakup dua hal yaitu pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi

masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar

tingkat kesalahan si pelaku; kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa 10 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia,USU

Digital Library, h.2

12

memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk

memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.

Dalam RUU KUHP 2006 dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan

sebagai berikut :

1. sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang

bertujuan purposive system dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk

mencapai tujuan;

2. “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub sistem) dari

keselu- ruhan sistem pemidanaan di samping sub sistem lainnya, yaitu sub

sistem tindak pidana “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)” dan

“pidana”;

3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai

pengendali/kontrol/ pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan

filosofis, rasiona- litas, motivasi dan justifikasi pemidanaan;

4. dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan

merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan

legislatif),

tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi”

(kebijakan administratif/eksekutif)11.

Tujuan pemidanaan (The Aim of Punishment) yang bertolak dari

pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang

bertujuan (purposive system atau teleological system) dan pidana hanya

merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka RUU KUHP 2006 11 Barda Nawawi Arief, 2007, RUU KUHP Baru Sebuah

Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, h.36-37

13

merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran

pokok yaitu “perlindungan masyarakat” (general prevention) dan perlindungan

/pembinaan individu (special prevention). Di samping itu tujuan pemidanaan

adalah penyelesaian konflik, konsep keadilan restoratif yang juga

mementingkan kepentingan korban kejahatan (victim of crime) dan

memperlakukan lebih manusiawi pelaku kejahatan12

Menurut RUU KUHP 2006 Jenis Pidana diatur dalam pasal 65 – 68.

Pasal 65 memuat tentang : (1) Pidana pokok terdiri atas pidana penjara; pidana

tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Pidana

mati diatur dalam pasal 66, dalam RUU KUHP 2006 dinyatakan bahwa Pidana

mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan

secara alternatif.

Pasal 67 memuat tentang Pidana tambahan terdiri atas; pencabutan hak

tertentu; perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; pengumuman putusan

hakim; pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat

dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana

pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-

sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa

pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan

walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

12 Muladi, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Materiil, Makalah dalam Seminar dan Kongres ASPEHUPIKI tanggal 16 – 18 Maret 2008, Bandung, h. 10-11

14

Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama

dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Sedangkan Pasal 68

berbunyi ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimak

sud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur undang-undang tersendiri.

Penjelasan RUU KUHP 2006 Pasal 66 adalah :

“Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun”.

Pidana mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam

terulang lagi. Pidana mati sebaiknya hanya dijatuhkan untuk tindak pidana

yang jelas membahayakan masyarakat, diterapkan secara selektif dan bukan

sebagai “legalisasi” atas pembalasan dendam13.

Dalam praktiknya, ancaman pidana mati menimbulkan pro dan

kontra dari masyarakat, khususnya pemerhati dan lembaga hak asasi manusia

yang menentang diberlakukannya hukuman mati terhadap pelaku

terorisme sebagai tindak pidana. Mereka yang menentang penerapan hukuman

mati berpendapat bahwa cara pemidanaan seperti itu melanggar hak asasi

manusia (HAM), mereka beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan

dengan konstitusi dan UU No. 39 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia

serta instrumen internasional hak asasi manusia yang sudah diratifikasi

Indonesia.

13 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, h. 9

15

Menurut Andi Hamzah, juga menyatakan bahwa sebagaimana pidana

mati, pidana penjara juga menuai kelompok pro dan kontra, terutama berkaitan

dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara merupakan salah satu

bentuk nestapa berupa penghilangan kemerdekaan. Apabila dihubungkan

dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi

anggota masyarakat yang berguna, maka pidana penjara seumur hidup tidak

lagi sesuai dan dapat diterima14.

Apapun alasannya, tindakan teror, merusak dan membunuh / melukai

adalah perbuatan jahat yang patut dicela. Namun demikian, pengaturan /

penanggulangan suatu tindak pidana tidak seharusnya dilaku- kan dengan

sembarangan dan tergesa-gesa. Perlu adanya kajian mendalam tindak pidana

terorisme di Indonesia dalam perspektif Hukum Islam. Apalagi motif yang

melandasi dilakukannya tindak pidana terorisme di Indonesia sangat berbeda

dengan motif tindak pidana konvensional lainnya.

Untuk itulah, kajian tentang putusan pengadilan terhadap pelaku

terorisme di Indonesia dan pandangan Islam terhadap pidana mati tindak

pidana terorisme di Indonesia menarik perhatian penulis.

B. RUMUSAN MASALAH

Bertumpu dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang

diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

14 14 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia: dari retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, h.28.

16

1. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap pelaku Terorisme di

Indonesia?

2. Bagaimana pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana

Terorisme di Indonesia ?

Untuk menfokuskan arah penelitian, diperlukan adanya perincian yang

bersifat membatasi permasalahan tersebut, yaitu :

1. Untuk permasalahan pertama, penelitian difokuskan pada putusan

pengadilan terhadap pelaku Terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, uraian

terhadap pelaku kasus-kasus Terorisme di Indonesia dan undang undang

yang mengatur terorisme, merupakan suatu keniscayaan guna

mempertajam pembahasan.

2. Permasalahan kedua, difokuskan pada pandangan Islam terhadap pidana

mati tindak pidana Terorisme di Indonesia

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui putusan pengadilan terhadap pelaku

tindak pidana terorisme di Indonesia.

2. Untuk memahami pandangan islam terhadap pidana mati

tindak pidana Terorisme di Indonesia.

D. KERANGKA TEORITIS

1. Tindak Pidana dalam Hukum Adat

Penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana, masing-masing daerah dan

atau suku di Indonesia memiliki cara-cara tersendiri misalnya dengan Pidana

mati. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai

17

macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan

pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan,

dijemur di bawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan

lain-lain.

Di Aceh, seorang istri yang berzina dibunuh. Di Batak, jika pembunuh

tidak membayar denda dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk

pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Kalau di Minangkabau

menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum

membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan

di Cirebon penculik atau perampok wanita, baik penduduk asli atau bukan yang

menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat

dipidana mati. Di Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dipidana mati

dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap

pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka

ia boleh dibunuh oleh setiap orang.

Di Sulawesi Tengah, seorang wanita yang berhubungan dengan

seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di

Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat

membayar denda ia dipidana mati.

Di Pulau Bone dan Terate, pencuri dipidana mati dengan jalan tidak

diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah

matahari hingga mati. Di Nias, bila dalam tempo tiga hari belum memberikan

uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan.

18

Di Pulau Timor, tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus

dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di

Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu

pembunuhan, delik slah putih (zina antara bapak dan ibu dengan anaknya atau

mertua dengan menantunya dsb) dan berzina dengan istri orang lain15.

2. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Indonesia

Roeslan Saleh dalam Andi Hamzah menyatakan bahwa KUHP

Indonesia membatasi kemungkingan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa

kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan yang berat

itu adalah :

a. Pasal 104 yaitu makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

b. Pasal 111 ayat 2 yaitu membujuk negara asing untuk bermusuhan

atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang

c. Pasal 124 ayat 3 yaitu membantu musuh waktu perang

d. Pasal 140 ayat 3 yaitu makar terhadap raja atau kepala negara-

negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut

e. Pasal 340 yaitu pembunuhan berencana

f. Pasal 365 ayat 4 yaitu pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan luka berat atau mati

g. Pasal 368 ayat 2 yaitu pemerasan dengan kekerasan yang

mengakibatkan luka berat atau mati

15 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, USU Digital Library.

19

h. Pasal 444 yaitu pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang

mengakibatkan kematian

Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati

bagi pelanggarnya, antara lain:

a. Undang-undang No. 4 tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan

Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

b. Pasal 59 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika

c. Pasal 36 ayat 4 Sub b Undang-undang No. 9 tahun 1976 Tentang Narkotika,

j.o UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

d. Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3) Undang-undang No. 26 tahun 2000 Tentang

Pengadilan HAM

e. Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme16.

Tindak Pidana Terorisme merupakan salah satu tindak kriminal.

Sudarto mendefinisikan kriminal dalam tiga arti. Dalam arti sempit adalah

keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana; dalam arti luas adalah keseluruhan

fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari

pengadilan dan polisi; sedang dalam arti paling luas adalah keseluruhan

kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,

yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat17.

16 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas penggunaan Pidana mati di Indonesia, www.docu-track.com.

17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 113-114.

20

Secara singkat beliau memberikan definisi kebijakan kriminal (politik

kriminil) adalah suatu usaha yang rasionil dari masyarakat dalam menanggulangi

kajahatan18. Senada dengan Sudarto, G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa

criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime19.

Hoefnagels menyatakan bahwa criminal policy as science of policy is

part of larger policy: the law enforcement policy. Jadi kebijakan kriminal

bukanlah sebuah kebijakan yang berdiri sendiri, terlepas dengan kebijakan-

kebijakan lain, tetapi ia harus dilihat pula dalam hubungannya dengan

keseluruhan kebiajkan sosial. Sebagai suatu kebijakan penegakan hukum, upaya

ini termasuk di dalam bidang kebijakan sosial. Oleh karena itu, kebijakan

kriminal adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial.

Kebijakan-kebijakan tersebut bertumpu pada tujuan yang hendak

dicapai oleh hukum pidana, yaitu adanya kepentingan–kepentingan sosial yang

mengandung nilai-nilai yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial

tersebut menurut Bassiouni, sebagaimana dikutip Barda Nawawi adalah:

1. pemeliharaan tertib masyarakat;

2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-

bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

3. memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

18 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 38. lihat pula Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat: kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung. 1983, h. 26

19 G. Peter Hoefnagels, The Other Side Of Criminology, Kluwer-Deventer Hollan, 1969, h.57.

21

4. memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan

dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan

individu20.

Kebijakan kriminal ini dapat diaplikasikan melalui dua jalur penal dan

non penal21. Sementara kebijakan penal (kebijakan hukum pidana)

dioperasionalkan melalui tiga tahap yaitu :

1. Tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum

pidana oleh pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan

hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang;

2. Tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat

penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan; dan

3. Tahap kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat

pelaksana / eksekusi pidana.

Adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor

Undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan

kebudayaan22.

Apabila dilihat dari keseluruhan proses tahap penegakan hukum

pidana, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting atau

tahap peling strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasi-

onalisasikan sanksi pidana23.

20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 35 – 36.

21 Dalam konteks membahas tentang kriminologi, G.P. Hoefnagels menegaskan criminal policy terdiri dari : (1) influencing views of society on crime and punishment, (2) criminal law application dan (3) prevention without punishment.

22 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajawali, Jakarta, h. 5.

23 Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, op.cit., h. 75.

22

Hal ini karena, pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas

yang menjadi garis besar dan dasar rencana di dalam penegakan hukum24,

sekaligus merupakan lanndasan dan pondasi bagi dua tahap berikutnya. Suatu

perumusan hukum pidana yang kurang baik, akan berdampak pada kurang

baiknya dua tahap berikutnya.

Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum

Pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan: perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan sanksi apa yang sebaiknya

digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar25.

Jadi, dalam kebijakan kriminal dengan jalur penal (penal policy), orang

akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang ling- kup

perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, maupun

sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun tindakan.

Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai justru

menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimun remedium (ultima

ratio principle), dan menjadi boomerang dalam kehidupan sosial berupa

kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) yang justru mengurangi

wibawa hukum26.

24 Penegakan hukum tidak hanya menyangkut pelaksanaan hukum (law enforcement), tetapi juga meliputi langkah preventif dalam arti pembuatan undang-undang, lihat Nyoman Serikat Putrajaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 49.

25 Barda Nawawi Arief, op.cit., h. 29.26 Muladi, Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime, Makalah pada Seminar

Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan dalam Bidang Telematika, diselenggarakan oleh Universitas Semarang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang, 23 Juli 2002. h. 1.

23

Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai kriteria suatu

perbuatan dapat diberi ancaman pidana atau tidak. Hal-hal tersebut adalah 27:

1. Penggunaan hukum pidana harus berusaha mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan

Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum Pidana

bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan sekaligus sebagai pengugeran

terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri.

2. Perbuatan yang hendak ditanggulangi adalah perbuatan-

perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan-perbuatan yang

mendatangkan kerugian baik bagi masyarakat maupun bagi diri sendiri

pelakunya.

3. Usaha mencegah suatu perbuatan dengan mempergunakan

sarana hukum pidana, perlu disertai dengan perhitungan akan biaya yang

harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost and benefit

principle).

4. Pembuatan peraturan hukum pidana perlu memperhatikan

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (dalam arti luas).

Perlu dijaga, jangan sampai ada kelampauan beban tugas , yang justru akan

mengakibatkan efek dari suatu peraturan itu menjadi berkurang.

Dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan terorisme dengan

hukum pidana, pembuat undang-undang harus menjaga keseimbangan antara

27 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit., h. 144 - 148

24

empat kepentingan yaitu perlindungan korban, keamanan nasional, “due process

of law”, dan “ international peace and security”28.

Terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the Organization of

the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999)

sebagaimana dikutip Muladi merupakan tindakan kekerasan atau ancaman

tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan

rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang

lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam kehidupan,

kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi

lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau

menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau

fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan

politis atau kedaulatan negara-negara merdeka29.

Terorisme merupakan kejahatan transnasional / internasional yang

terorganisir (transnasional organized crime). Oleh karena itu dalam

penanggulangannya membutuhkan kerjasama internasional. Menurut Konvensi

Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai transnasional

organized crime, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. dilakukan di lebih dari satu negara;

b. dilakukan di satu negara, tetapi persiapan, perencanaan dan

pengendaliannya mengambil tempat di negara lain;

28 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Aasasi Manusia,Op.cit., h. 6.

29 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, h. 173.

25

c. dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok

kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara;

atau

d. dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya

mengimbas sampai ke negara lain30.

Terorisme dewasa ini dikategorikan sebagai transnasional organized

crime dan sekaligus hostes humanis generis, oleh karena itu, masyarakat

internasionalpun telah mulai bereaksi dengan menyelenggarakan berbagai

konferensi dengan hasil berbagai konvensi yang berkaitan dengan terorisme.

Konvensi-konvensi tersebut antara lain : States of the South Asian

Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on

Suppression of Terrorism, The Arab Convention on the Suppression of

Terrorism (1998), Treaty on Cooperation among the States Members of the

Commonwealth of independent States in Combating Terorism (1999),

Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating

International Terrorism (1999), dan lain-lain.

Konvensi-konvensi Internasional di atas menegaskan bahwa tindak

pidana terorisme ini tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik. Oleh

karena bahwa perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi, kolonialisme

dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan hak sendiri

sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan

terorisme.

30 Ibid., h. 168 - 169

26

Mengenai kualifikasi tindak pidana terorisme, umumnya konvensi-

konvensi tersebut, di samping menegaskan secara tersendiri mengenai terorisme,

juga menunjuk tindak pidana lain yang terdapat dalam konvensi internasional

sebelumnya, sebagai tindak pidana terorisme. Konvensi internasional yang

ditunjuk antara lain :

a. Konvensi tentang kejahatan dan tindakan lain yang dilakukan

di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 1963);

b. Konvensi tentang pembasmian perampasan pesawat terbang

yang menyalahi hukum (The Hague, 1970);

c. Konvensi tentang pembasmian tindakan menyalahi hukum

terhadap keselamatan penerbangan sipil (Montreal, 1971) beserta

protokolnya (Montreal, 1984);

d. Konvensi tentang pencegahan dan hukuman tindak kejahatan

terhadap orang-orang yang memiliki imunitas internasional termasuk agen

diplomatik (New York, 1973);

e. Konvensi internasional terhadap penyanderaan (New York,

1979);

f. Konvensi hukum laut PBB dan pasal-pasalnya yang

berkaitan dengan pembajakan di laut;

g. Konvensi tentang perlindungan fisik bahan nuklir (Vienna,

1979);

h. Protokol untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum

terhadap keselamatan platform tetap tentang dasar kontinental (Roma, 1988);

27

i. Konvensi untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum

terhadap keselamatan navigasi maritim (Roma, 1987);

j. Konvensi tentang plastic exsplosive untuk tujuan deteksi

(Montreal, 1991);

Dengan mengacu dan melakukan studi komparasi baik pada konvensi-

konvensi internasional maupun aturan antiterorisme di negara lain, akan lebih

memperkaya studi tentang tindak pidana terorisme di Indonesia baik dari sisi ius

constitutum maupun ius constituendumnya.

E. METODE PENELITIAN

1. Spesifikasi Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini

termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji tindak pidana

Terorisme di Indonesia dalam persepektif hukum Islam, menggambarkan

secara rinci tindak pidana terorisme yang ada di Indonesia dan tinjauan dari

perspektif hukum Islam.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah

untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-

gejala lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar

dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam

kerangka menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk

melukiskan atau memberikan gambaran tentang sesuatu31. Menurut

Mohammad Nazir penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan

31 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, h. 10

28

untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang diselidiki32.

Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format

deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,

berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang

menjadi obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu

ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu33.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif yaitu digunakan untuk mengkaji/menganalisis data yang

berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan primer dan bahan-bahan

sekunder34.

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini,

maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa kata-kata,

gambar, dan bukan angka-angka35. Sedangkan menurut Ronny Hanitijo

Soemitro metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

menggunakan data primer dan sekunder, sehingga diperoleh data yang

berkaitan dengan masalah penelitian. Data primer merupakan data yang

diperoleh dari hasil wawancara secara langsung yang dilakukan oleh peneliti 32 Mohamamad Nazir, 1983, Metode Penelitian, Darussalam: Ghalia Indonesia, h.63.33 Burhan Bungin, 2002, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan

Kualitatif, Airlangga University, h.48.34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Semarang: Ghalia Indonesia, h. 11-12.35 Lexy J. Moleong, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya,

h.6.

29

terhadap informan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yaitu

berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan bahan hukum

sekunder yaitu berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, hasil

penelitian dank kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukumdan

ensiklopedia36. Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan:

a. Studi Kepustakaan dan Dokumen

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder di bidang

hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi37

:

1) Bahan Hukum Primer, yang meliputi :

a) Norma dasar pancasila;

b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945;

c) Peraturan Perundang-undangan;

d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;

e) Yurisprudensi; putusan hakim yang memutus pidana terorisme di

Indonesia ;

f) Traktat.

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi :

a) Rancangan peraturan perundang-undangan;

b) Hasil karya ilmiah para sarjana;

c) Hasil-hasil penelitian

36 Ronny Hanitijo Soemitri, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang, Ghalia Indonesia, h. 11-12.

37 ? Ibid, h.13

30

Dari sekian banyak data sekunder di bidang hukum, yang digunakan

dalam penelitian ini adalah norma dasar Pancasila, Peraturan Perundang-

undangan yang terkait, Traktat, Rancangan Peraturan Perundang-

undangan, Hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian. Di

samping itu juga digunakan dokumen-dokumen dan artikel media massa,

serta data lapangan putusan hakim.

b. Observasi

Observasi dilakukan untuk menemukan kasus yang telah diputus akibat

tindak pidana Terorisme di Indonesia oleh Hakim dilihat dalam perspektif

hukum Islam guna mengetahui dan menggali pidana mati terhadap tindak

pidana terorisme di Indonesia.

4. Penyajian dan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu

metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis

dengan logika, dengan induksi, analogi/interpretasi, komparasi dan sejenis itu.

Metode berfikir dipergunakan adalah metode induktif, yaitu dari data/fakta

menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, termasuk juga melakukan

sintesis dan mengembangkan teori (bila diperlukan dan datanya menunjang)38.

Sedangkan analisis data merupakan proses yang tidak pernah selesai.

Proses analisis data sebaiknya dilakukan segera setelah peneliti meninggalkan

lapangan sebagai proses untuk menemukan tema-tema dengan cara

menggabungkan sumber-sumber data yang ada39. Dari penyajian dan analisis

38 Sanapiah Faisal, 1990, PenelitianKualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang, h. 39.39 Burhan Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, h. 66.

31

tersebut kemudian ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang

ada.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan ini tersusun secara sistematis dengan diawali Bab I yang

mengetengahkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kerangka teori dan metode penelitian yang digunakan, dan sistematika

penulisan

Bab II berisi Tinjauan Pustaka, yang diarahkan pada hal-hal yang

relevan dengan judul, yaitu pembahasan mengenai gambaran umum tindak

pidana terorisme yang meliputi pengertian dan ruang lingkup terorisme,

sejarah asal usul terorisme, tipologi terorisme dan motif dilakukannya

terorisme di Indonesia. Di samping itu kajian mengenai putusan-putusan

pengadilan tindak pidana Terorisme di Indonesia, dan pandangan Islam

mengenai Pidana Mati.

Bab III berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan penelitian

yang meliputi: Pertama : putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tindak

pidana Terorisme yang ada di Indonesia; termasuk yang dipidana mati. Kedua

: pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia.

Bab IV penutup, berisi kesimpulan dan saran berdasarkan

permasalahan yang dibahas, disimpulkan berdasarkan pada hasil penelitian dan

pembahasan serta saran yang ditarik dari kesimpulan.

32

33