kebijakan pemerintah susilo bambang yudhoyono...

86
KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Diah Nurhandayani 106083003627 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

Upload: dangkhanh

Post on 06-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA

DI MYANMAR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Diah Nurhandayani

106083003627

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013

KIi ll I.!r\ tr(A li PliN'l li R, l N'l'A l l S tJ S I t.0 ti,\Fl llANG Y U III IO YONO (S BY)DALAN'l I'liNYIit,liS.,\L\N KIil{tiltAS,\N lill'NlS l\{US[,lN'l tfoIIINGYA

DI 1\IYANI\{AII

Skripsi

Dia.1ukan untuli ltlemenuhi Persyaratan Mernperoleh

Cclar Sarjana Sosial (S.Sos)

olch:

Diah NLrrhandavani

l 06083003621

l)cmbirrr !.)

t)i Ilurvalr Ilirnbingan

------- Penrbi rnbi ng Akadernik'---' ,-//,

Madl-i]nl:lual.rvl-$=i

NII)-

f

Dr Ali unhanif

Nli): 19651 121992031004

PI{(}GRAh,I S'fT]DI II,h,I L] IIIJITTINCAN IN'TIiITNASIONAI,

IIAI{TIT,TAS II-S,{L] SOSIAI. DAN ILIVIU POI,ITII(

tJNIV[]II.SI1'AS ISl,Ah/l I\ticlill.l SYAI{I F I I I DAYA'I'ULLAII,IAI{AITl'A

20r3

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SB}}DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA DIMYANMAR

1. Merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satupersyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri rufN)Syarif Hidayatullah J akarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayahrllah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbuldi bahwa karya saya ini bukan hasil asli karyasaya atau merupakan hasil jipalakan dari karya orang lain, maka sayabersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.

J akata, 1 6 Desemb er 20 13

Diah Nurhandayani

Ptritsilf iJJLJn N PIIMBIMtJINC SKRIPSI

Dengan ini,.Pembirrrbing Skri1rsi Menyatakan bahrva nrahasislva

Narna : Diah NurhandayaniNiM : 106083003fi27Program Stlldi : Ilulrungan Int:rnasional

Telah rnenyeiesaikan penuiisan skripsi dengan judul

KEB]JAKAN PEMI-]ITINTAJI SUSILO BAMI]ANG YUDI,IOYONO (SBY)' DAI-AMI'ENYEI,ESN IN N KIKI-'ItAS]AN III'NIS MUSi,IM ITOIIINCYA DI MYANMAiT

Dan telah memenuhi persyaraian urntr,rk diu,jr.

Jakarta, l6 L)cscrnbcr 20 l3

Mengetahui,

Ketua/ Sekretaris Prosrarn Studi

/pAgus Nihnada Azrni, M.Si

NIP: I 97808042009 121002

M. Adian Firnas, M.Si

NIP-

Menyetujui,

Pernbirnbin

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

KEBIJAKAI\ PEMERINTAH SUSILO BAMBAI\G YTJDHOYONO (SBY)

DALAM PEIYYELESAIAN KEKERASAN ETNIS

MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR

Oleh

Diah Nurhandayani

106083003627

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla pada tanggal tanggal 24Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelarSarjana Sosial (S.Sos) pada Prograrn Studi Hubungan Internasional.

Ketua,

Agus Nilmada Azmi, M.SiNIP: 1 9780 80 42009121002

Sekretaris. /z---\ / ;

' /"1t'/-Agus Nilmada Azmi, M.SiMP: 1978080 42009121002

Penguji

Agus Nilmada Azmi, M.SiNIP: 1 97808042009121002

Alfajri, M.A

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Desember 2013

Ketua Program Studi Hubungan IntemasionalFISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kiky Rizky, M.SiNIP: 1973032 1200801 r002

ABSTRAK

Skripsi ini mengetengahkan permasalahan kekerasan etnis yang terjadi

pada etnis Rohingya di Myanmar. Kekerasan yang terjadi berlangsung secara

sistemik dan bermuara pada pembersihan etnis yang tidak dibenarkan oleh

Undang-undang dan peraturan Internasional manapun. Indonesia sebagai Negara

anggota ASEAN yang disegani hendaknya dapat berperan dengan asas

kemanusiaan untuk membantu penghentian konflik berkepanjangan ini . Skripsi

ini berusaha mengananlisis kebijakan SBY (susilo Bambang Yudhoyono) untuk

membantu penghentian kekerasan dan pembersihan etnis tersebut.

Kekerasan ini telah terjadi beberapa decade dan belum dapat terselesaikan.

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dengan

beberapa pengungsi rogingya. Dari studi ini menemukan bahwa Presiden SBY

menerapakan kebijakan yang tidak tegas dan tidak konsisten. Dengan bukti tidak

ditemukannya upaya-upaya kongkrit SBY untuk menyelesaikan tragedi

kemanusiaan ini baik pada level regional (ASEAN) atau internasional (PBB).

Yang terjadi justru kebijakan diam terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan,

organisasi massa, institusi keagamaan yang secara faktual mendukung bangsa

Rohingya baik secara moral ataupun material. Diamnya SBY dapat ditafsiri

sebagai sebuah kebijakan pemerintah yang taat kaidah non-interference sesama

anggota ASEAN. Jalan yang ditempuh SBY justru memperkuat kerjasama

bilateral berbasis pendekatan ekonomi, demokratisasi dan rekonsiliasi nasional.

Selain dari pada itu, SBY juga mengoptimalisasi jalur lain untuk upaya

penyelesaian konflik yang ada dengan forum Bali Process dan pertemuan-ASEAN

ASEAN demi mengusahakan status hukum untuk komunitas Muslim Rohingya.

Forum-forum internasional lain juga dimanfaatkan seperti pertemuan bersama

Organisasi Kerja sama Islam (OKI) dan lainnya untuk membantu penghentian

konflik etnis yang dapat berdampak negative bagi stabilitas regional dan

internasional. Semua yang dilakukan dapat ditengarai sebagai bentuk mewujudkan

kepentingan nasional.

Keywords: Pembersihan etnis, kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono,

Kepentingan nasional.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT , atas segala rahmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul KEBIJAKAN PEMERINTAH

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DALAM PENYELESAIAN

KEKERASAN ETNIS MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR. Sebagai

syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa

Terimakasih kepada:

1. Kepada Orang Tua Penulis Bapak Nurhadi dan Mama Siti Romlah Tercinta

yang telah memberikan yang terbaik untuk penulis, baik Kasih sayang,

Kesabaran, Perhatian, dan telah menjadi orang tua terhebat sejagad raya, serta

doa yang tentu takkan bisa penulis balas.

2. Kepada Dosen Pembimbing Penulis Bpk. M. Adian Firnas, M.Si yang telah

membimbing penulis dalam memahami permasalahan di dalam skripsi ini,

meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini. Terimakasih atas kesabaran,

arahan dan ilmu yang telah Bapak Adian berikan selama ini.

3. Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Penasehat Akademik

4. Bapak Kiki Rizky, M. Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta

5. Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan

Internasional

6. Bapak Nazaruddin Nasution, MA, Bapak Armen Daulay, Drs. M.Si, Bapak

Arisman, M.Si, Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si, Ahmad Alfajri, MA. dan juga

seluruh staf Dosen di jurusan Hubungan Internasional yang telah mengajarkan

dan membagi ilmunya kepada penulis selama masa studi di UIN.

7. Staff Program Studi Hubungan Internasional Pak Jajang, Pak Amali penulis

mengucapkan terimakasih yang sudah banyak membantu dalam proses

administrasi penulis.

8. Kepada Bapak Rofiq selaku pengungsi Etnis Rohingya yang berada di Cisarua.

Penulis ucapkan terimakasih atas kesediaan waktunya untuk diwawancarai dan

menjelaskan secara detail mengenai kondisi di Myanmar pasca terjadinya

konflik etnis Rohingya di Rakhine.

9. Untuk kedua kakak penulis Mas Agung dan Teteh Mida Nuraida terima kasih

atas segala perhatian, kasih sayang, dan motivasi serta doanya.

10. Sahabat-sahabat penulis Telor Ceplok (Dian, Desty, Crista), Astrid (acyd), Jeng

didis, Atik, Mbak Qory, Kismayeni, Irvan, Natiqoh, Rahmah, Kwe, Adnan,

Nanda, Hanifa, Susan dan Icha yang turut serta membantu penulis dalam

mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi ini.Serta teman-teman HI

lainnya Angkatan 2006 yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu, namun

tanpa mengurangi rasa hormat terimakasih kepada kalian.

11. Buat Sahabat penulis yang telah tiada (Alm. ) Izzun Nahdliyah. Terimakasih

telah menjadi sahabatku yang baik, ,yang sabar dan tidak pernah marah dan

terimakasih telah menjadi pendengar yang baik, yang dengan penuh kesabaran

mendengarkan semua cuhatan penulis. Terimaksih atas motivasi, doa dan

dukungan semangat, serta pengertian dan perhatian mu menemani hari-hari

penulis dengan penuh canda tawa. Penulis tidak akan pernah melupakanmu.

12. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

Terimakasih kepada nenek tercinta atas doa, dan Motivasi. Tidak Lupa penulis

mengucapkan terimaksih kepada Keluarga Besar Ummi hafni, Kel. Besar

Mamah Miming, Uwa Untung, Tante Umi, Tante Sari, Bekni, Agus, Mbak

Anis, Ibu Mukti, Mama Kriting (Ibu dian), dan semua sanak saudara yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan, semangat dan

Doa kalian selama ini kepada penulis.

13. Terimakasih kepada Sahabat kecil penulis Nadiyah, Lilis. Terimakasih yang

telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dengan segala

bantuan baik dalam tukar pikiran dan menyemangati.

14. Terimaksih kepada yang jauh disana entah dimana keberadaannya sekarang

(AMM). Penulis mengucapkan Terimakasih selalu memberikan motivasi dan

yang tidak pernah bosan untuk mengingatkan Penulis Untuk Menjadi Seorang

Anak yang bisa dibanggakan oleh Orang Tua, dan menjadi seorang Anak yang

bertanggung Jawab akan sudah menjadi Kewajiban nya Yakni menyelesaikan

Kuliah.

15. Semua Pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak

dapat disebutkan satu persatu, terimakasih.

Terimakasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena ittu,

kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan

demi perbaikan kedepannya.

Jakarta, 16 Desember 2013

Diah Nurhandayani

DAFTAR ISI

ABSTRAK.V

KATA PENGANTAR...................................................................VI

DAFTAR ISI.IX

DAFTAR SINGKATAN..X

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah..1

1.2 Pertanyaan Penelitian..10

1.3 Tujuan Penelitian.10

1.4 Tinjauan Pustaka.10

1.5 Kerangka Pemikiran....12

1.5.1 Teori Kepentingan Nasional....12

1.5.2 Kebijakan Luar Negeri....15

1.6 Metode Penelitian...17

1.7 Sistematika Penulisan..19

BAB II GAMBARAN UMUM KONFLIK ETNIS-SEKTARIAN DI RAKHINE

A. Sejarah Komunitas Rohingya...21

B. Akar Konflik Secara Historis...26

C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar......29

BAB III ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR

A. Kebijakan Dalam Negeri

a.1.1 Kebijakan Terhadap NGO, Lembaga Kemanusiaan dan Media Massa.32

a.1.2 Alasan Mengungsi Ke Indonesia42

a.1.3 Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya..43

B. Kebijakan Luar Negeri

b.2.1 Kebijakan Bilateral.46

b.2.2 Kebijakan Di ASEAN....50

b.2.3 Kebijakan Internasional Dalam Kaitan Penyelesaian Kasus Rohingya..51

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..52

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

ACT: AksiCepatTanggap

ASEAN: Association Of South-East Asian Nations

DD : DhompetDhuafa

DVB: Democratic Voice Of Burma

IOM: International Organization For Migration

HAM: HakAsasiManusia

HRW: Human Right watch

MDMC : Muhammadiyah Disaster Management Center

NGO: Non-Governmental Organization

OKI: OrganisasiKonferensi Islam

PBB: PerserikatanBangsa-Bangsa

PBNU : PengurusBesarNahdhatulUlama

PMI: PalangMerah Indonesia

RI: Republik Indonesia

RNDP: RakhineNationalitis Development Party

SBY: SusiloBambangYudhoyono

UN: United Nations

UUD 1945:Undang-undangDasar

UNHCR: United Nations High Commissioner for Refugess

WNI: Warga Negara Indonesia

1

KEBIJAKAN PEMERINTAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DALAM PENYELESAIAN KEKERASAN ETNIS

MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR

1.1 Latar Belakang masalah

Kekerasan (terhadap komunitas Rohingya di Myanmar) yang terjadi belakangan ini,

bukanlah hal yang luar biasa. Karena hal demikian telah terjadi terhadap kami sejak sekian

waktu yang lalu!, ucap Muhammad Rofiq (35 tahun) salah satu pengungsi Rohingya yang

tinggal di tempat penampungan sementaranya di kawasan Cisarua sejak 13 Agustus 2012

(Wawancara dengan Rofiq di kediamannya di Cisarua 25 Agustus 2012). Dan salah satu

bukti kongkritnya adalah diri dan keluarganya sendiri yang terdampar di Cisarua sejak

Desember 2011.

Rofiq dan isteri yang ditemani oleh dua orang anaknya adalah salah satu pengungsi

korban kekerasan penduduk mayoritas Rakhine wilayah arakan. Perjalanan panjang Rofiq

dari Arakan dengan satu anak menuju Bangladesh, kemudian menembus perbatasan

Thailand, lalu menyeberang Malaysia (di sini anak keduanya lahir) dan mengarungi laut

menembus perbatasan Malaysia-Indonesia dan akhirnya berlabuh di pulauTanjung Pinang,

Riau di medio pada tahun 2011 (Wawancara dengan Rofiq di kediamannya di Cisarua 25

Agustus 2012).

Hal serupa juga dikisahkan oleh Karimullah kebetulan sama bermukim sementara di

perumahan sederhana di Cisarua sejak Oktober 2011 lalu. Karimullah terpaksa lari dari

kekerasan etnis-sektarian yang mengancam hidup mereka. Bahkan dari penuturan

Karimullah ia mengalami patah tulang belakang akibat penyiksaan yang dilakukan oleh

aparat Nazaka, polisi perbatasan yang belanja di toko miliknya tanpa membayar. Saat

ditanya bayarannya, bukan uang yang ia dapat justru pemukulan dengan benda tumpul

2

kesekujur tubuhnya. Anehnya, saat hendak dirawat pihak RumahSakit menolak

kehadirannya karena beretnis Rohingya (Wawancara dengan Karimullah tanggal 25

Agustus 2012) .

Wilayah Arakan atau wilayah yang kini disebut Rakhine, bagi Rofiq dan Karimullah

bagai hidup dalam penjara raksasa dengan segala bentuk aniaya yang mengancam hidup

mereka setiap saat. Mengungsi adalah pilihan terbaik. Orang tua, anak, saudara semua

berlari sekuat tenaga melewati perbatasan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Di

Cisarua, Rofiq dan Karimullah yang merupakan saudara sekandung kembali bertemu

setelah berpisah sejak melarikan diri dari kekerasan yang terjadi di rakhine (Wawancara

dengan M.Rofiq tgl. 25 Agustus 2012).

Dua penuturan pengungsi Rohingya tentang apa yang mereka alami di atas

menggambarkan kondisi faktual tentang kekerasan dan diskriminasi terorganisir yang

menimpa etnis Rohingya. Kekerasan ini, menurut catatan sejarah telah berlangsung sejak

beberapa dekade lalu dan terus terjadi yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia

serta 140 ribu terusir dari kediaman mereka di negara bagian Rakhine, 800 ribu tidak punya

kewarganegaraan ( Patterik Wiggers 2002: 9 dan www.unhcr.org). Bahkan dalam catatan

sejarah, kekerasan ini sudah terjadi sejak 1784 yang lalu ketika Raja Burma Bodawpaya

menaklukan Arakan. Ketika itu tidak kurang dari 200 ribu rakyat Arakan terbunuh dan 2/3

penduduk Muslim Arakan eksodus ke wilayah Chittagong (Cox Bazar sekarang) atau

sekitar 400 ribu orang.

Menurut Chris Lewa, direktur pada Rohingya advocacy group (www.reuters.com),

sejak kemerdekaan Burma pada tahun 1948 etnis Rohingya secara perlahan diperlakukan

secara deskriminatif dan tidak diikutsertakan dalam proses nation-building (proses

politik)yang terjadi. Contohnya, dalam akta Kewarganegaraan 1948 yang didasari oleh

prinsip jus sanguinis yaitu undang-undang yang secara original bermakna right of blood

http://www.unhcr.org/http://www.reuters.com/article/2012/10/27/us-myanmar-violence-idUSBRE89P0VN20121027

3

atau hak darah yang dikenal tahun 1902 di mana mengatur kewarganegaraan seorang anak

yang mengikuti kewarganegaraan seorang bapak (www.merriam-webster.com) dan

identifikasi tiga kategori kewargaan yaitu warga negara penuh, asosiasi dan naturalisasi.

Kewarganegaraan penuh hanya dimiliki oleh 135 suku nasional yang mendiami

Myanmar sebelum tahun 1823 yaitu tahun kolonialisasi Inggris di Arakan. Anehnya,

Rohingya tidak masuk dalam daftar 135 suku di atas. Sementara kewargaan asosiasi

diberikan kepada mereka yang mendaftar kewarganegaraan dengan rujukan Akta 1948 atau

yang disebut dengan Union Citizenship Act 1948 (www.burmalibrary.org).

Kewarganegaraan naturalisasi dapat diberikan kepada mereka yang datang dengan bukti

kongkrit bahwa pertama, ia masuk dan mendiami Myanmar sebelum kemerdekaan (4

Januari 1948);kedua, dapat berbicara salah satu bahasa nasional; dan ketiga, punya anak

yang lahir di Myanmar (Chris Lewa: 11-12). Dengan regulasi demikian, hanya sedikit sekali

dari warga Arakan yang dapat memenuhinya.

Pada tahun 1989, kontrol unik terhadap warga negara kembali diberlakukan yaitu

dengan kartu berwarna. Kartu berwarna pink berarti warga negara penuh, warna biru berarti

warga asosiasi dan hijau warga negara naturalisasi. Di sini, Rohingya tidak mendapatkan

warna apapun (http://www.the-platform.org.uk/). Sebuah kebijakan diskriminatif seperti

kebijakan apartheid Afrika Selatan dahulu dengan alapemerintah Rangoon yang

berlangsung dengan mulus tanpa terus oleh kritikan-kritikan lembaga HAM internasional.

Hak-hak asasi eksistensial (hak asasi untuk hidup) komunitas Rohingya di Arakan

secara telanjang dilecehkan.Sebuah kondisi yang membuat mereka rentan terhadap tindakan

brutal oleh komunitas Rakhine yang diduga didukung oleh oknum pemerintah.Maka ketika

terjadi penistaan terhadap mereka, pemerintah tidak bertindak apapun, bahkan

mendukung.Ini yang ditegaskan dalam laporan Human Right Watch.org yang berjudul,The

Government Could Have Stopped This : Sectarian Violence and Ensuing Abuses in Burmas

http://www.merriam-webster.com/http://www.the-platform.org.uk/

4

Arakan State.(http://www.hrw.org/). Bahkan High Commissioner for Human Rights, Navi

Pillay dalam statemennya tanggal 27 July 2012 menyatakan bahwa komunitas Muslim di

Arakan menjadi target kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar(www.un.org).

Menurut Matthew F. Smith, kolomnis The Wall Street Journal yang berdomisili di

Bangkok (7/8/2012), aparat keamanan pemerintah membunuh dan mengepung minoritas

Muslim, menangkapi, memukuli dan menyiksa mereka secara kejam hingga mati. Tiga

puluh ribu orang Rohingya terdaftar sebagai pengungsi di kamp-kamp pengungsian di

Bangladesh, delapan puluh ribu lain terusir paska kekerasan bulan Juni 2012 lalu (The

Rohingya : a humanitarian crisis, www.aljazeera.com). Sementara pemerintah tidak

memberikan akses bagi bantuan kemanusiaan terhadap komunitas ini.Bahkan kebijakan

Rangoon terkesan membiarkan para pengungsi menderita kelaparan, tinggal di rumah tanpa

atap dan tidak ada perawatan medis.Ini merupakan kebijakan yang disebutnya sebagai

kebijakan penyiksaan yang dilakukan oleh Negara (The wall Street Journal,

www.online.wsj.com).

Seorang periset yang bekerja untuk Amnesty International, Benjamin Zawacki

Penyiksaan terhadap Rohingya benar-benar sistemik.Ini adalah bagian dari system hukum

dan social Myanmar untuk mendiskriminasi orang-orang Rohingya dengan dasar

etnisseluruh aspek kehidupan dipengaruhi oleh system yang dibuat dan menjadikan

penyiksaan dan diskriminasi menjadi sah. (www.aljazeera.com)

Ini artinya berbagai kebrutalan agresi dan pelanggaran HAM oleh penduduk Rakhine

bersenjata yang terjadi sesungguhnya di-back-up aparat pemerintah dan agamawan Budha

terhadap komunitas Muslim tidak bersenjata di Arakan (www.:islamicforumeurope.com).

Sebuah realitas ironis yang terjadi di tengah maneuver organisasi-organisasi internasional

yang kerap tampil bak pahlawan dalam memperjuangkan penegakan HAM di banyak

negara dunia (contoh kasus pembantaian di Santa Cruz di Timor Timur) abad modern.

http://www.hrw.org/http://www.aljazeera.com/http://www.online.wsj.com/http://www.aljazeera.com/http://www.:islamicforumeurope.com).%20Shttp://www.:islamicforumeurope.com).%20S

5

Reaksi dunia terhadap penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di

ibukota Dili pada 12 November 1991 silam begitu luar biasa. Hal itu terjadi ketika video

penembakan tersebut ditayangkan di ITV Britania pada Januari 1992 dalam film First

Tuesday berjudul In Cold Blood : the Massacre of East Timor (Center for International

Studies, Cornell University, seap.einaudi.cornell.edu/node/10149) Kemudian tayangan ini

disiarkan ke seluruh dunia dan melahirkan tekanan-tekanan politik yang kuat bagi Jakarta

dan embargo bagi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) waktu itu.Kita hanya

bertanya, mengapa dunia begitu responsive dan reaktif terhadap peristiwa di atas?

Tindak kekerasan dan terror terhadap minoritas Muslim di Rakhine (Arakan) pada

awal Juli 2012 ternyata berlangsung cukup lama walau jumlah korban ribu orang dan jutaan

orang dipaksa keluar dari tanah tumpah darahnya sendiri. Lembaga-lembaga internasional

(Human Rights Watch, Human Rights Without Frontier, Simon Wiesenthal Center, Human

Rights Action Center, Amnesty International), yang biasanya tampil sebagai pahlawan

HAM selama ini bungkam, bisu dan tak berkutik. Oleh karenanya, derita Rohingya ini

menurut BBC News (11/3/2006) bagai unforgotten massacre atau pembantaian yang

terlupakan (www.bbc.co.uk dan www.washingtonpost.com). Artinya, nyawa-nyawa

manusia yang kebetulan beragama Islam ini tidak ada artinya bagi para pembela-pembela

HAM tersebut di atas. Hal ini dibuktikan dengan ribuan jumlah pengungsi Rohingya berada

di Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain sebagaimana

disinggung di atas.

Ketika semua masyarakat dunia bicara soal demokrasi dan hak asasi manusia,

pelanggaran HAM bekepanjangan terus terjadi di Myanmar tanpa ada upaya efektif yang

diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika dan UniEropa. Padahal

jumlah korban demikian besar. Dan bahkan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah

Myanmar yakni mengusir semua anggota etnis Rohingya. Hal ini menurut presiden

http://www.bbc.co.uk/http://www.washingtonpost.com/

6

Myanmar Thien Sien sebagai the only solution yang disampaikan kepada komisioner

tertinggi urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa paska pembantaian Juni 2012 lalu

dengan mengatakan : "We will take responsibility of our ethnic nationals but it is impossible

to accept those Rohingyas who are not our ethnic nationals who had entered the country

illegally. The only solution is to hand those illegal Rohingyas to the UNHCR or to send

them to any third country that would accept them,"(Kami akan bertanggungjawab terhadap

etnis nasional kita tetapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang bukan

bagian dari etnis nasional yang memasuki negeri ini secara illegal. Satu-satunya solusi

adalah menyerahkan orang Rohingya kepada UNHCR atau mengirimkan mereka ke negara

ketiga yang mau menerima). Hal ini yang disampaikan Presiden Thien menyampaikan

kepada pejabat UNHCR, Antonio Guterres pada tangal 11 Juli 2012 lalu (www.unhcr.org)

Mengusir komunitas Rohingya yang menurut S.W. Cocks (a Short History of Burma :

1919 : h.146) bermukim ratusan tahun silam yang berjumlah lebih dari satu juta jiwa dapat

dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebab tidak ada alasan hukum yang dipakai

untuk membenarkan tindakan ini. Bila hal itu terus terjadi di tengah pembiaran lembaga

internasional yang seyogyanya menyelesaikan derita berkepanjangan, bukan hal mustahil

yang demikian dapat membakar sentimen komunitas seagama dengan Royingya bertindak

secara individual ataupun komunal.Apalagi kekerasan terhadap Muslim Rohingya

dikesankan Dr. Gabriele Marranci (antropologis dan direktur Study of Contemporary

Muslim Lives Research Hub di Macquarie University) sebagai religious persecution yang

dapat memicu solidaritas religi di kawasan (http://www.aljazeera.com dan marranci.com).

Potensi ini bisa saja terjadi, bila pembiaran ini terus berlarut-larut tanpa akhir yang akan

mendestabilitasi komunitas lokal, regional dan internasional yang tentu akan merugikan

kepentingan nasional.Hal ini yang diamini oleh Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan bahwa

komunitas internasional harus segera mengambil kebijakan cepat dan efektif menolong

http://www.unhcr.org/http://www.aljazeera.com/

7

penyelesaian persoalan masyarakat Rohingya.Sebab persoalan ini, menurut Surin

merupakan tantangan keamanan strategis yang dapat mendestabilisasi kawasan (www.

thejakartapost.com).

Apa yang diungkap Surin di atas boleh jadi benar. Sebab peristiwa ledakan bom

berdaya ledak rendah pada Minggu (4/8/2013) terhadap Vihara Ekayana Graha yang

berada di Jalan Mangga II, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat berjejak tulisan yang

berbunyi Kami Mendengar Jeritan Rohingya (www.http://news.detik.com). Artinya ada

indikasi pengkorelasiaan peristiwa tersebut dengan apa yang dialami oleh bangsa

Rohingya.Memang bagi beberapa orang, hal ini sulit dipahami.Peristiwa yang terjadi jauh

dari Indonesia, dapat berpengaruh terhadap sikap politik sebagian kecil orang di sini. Tetapi

ini boleh jadi tafsiran terhadap hadits yang berbunyi :Sesungguhnya Muslim itu

bersaudara dan hadits lain yang bermakna : Barangsiapa yang tidak peduli dengan

saudara mereka lainnya, maka tidaklah ia menjadi bagian dari mereka. Apapun motif

teror di balik kejadian tersebut ini tidak menjadi masalah bagi penulis. Tetapi sekecil

apapun jejak yang ditinggalkan pelaku, itu harus menjadi perhatian aparat keamanan dan

pemerintah. Sebab bila ini tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan antisipatif terkait dengan

isu Rohingya dapat memicu peristiwa serupa di masa mendatang dalam skala yang bias

lebih besar.

Oleh karenanya, kondisi iniyang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia

sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN untuk aktif berkontribusi menyelesaikan

konflik dan pertikaian etnis di Myanmar. Bila kondisi ini berlarur-larut dapat

mendestabilisasi kawasan sebagaimana diprediksi oleh Sekjen ASEAN di atas. Kondisi ini

semakin urgen ketika tidak ada satu negara anggota ASEAN pun yang all-out membantu

penyelesaian kasus ini yang bisa jadi terikat dengan komitmen pada prinsip non-

interference policy terhadap urusan masing-masing negara anggota.Singkatnya, menurut

http://news.detik.com/

8

penulis peran aktif Indonesia dalam kasus ini dapat mewujudkan stabilitas nasional dan

perdamaian regional dalam jangka panjang.

Kendati demikian, secara faktual pemerintah Jakarta atau pemerintah Susilo Bambang

Yudhoyono menampakkan kebijakan dalam menyikapi kekerasan etnis atas komunitas

muslim rohingya di Myanmar. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa pemerintah Indonesia

tidak secara eksplisit menggunakan pengaruhnya memberi tekanan terhadap pemerintah

Myanmar baik di forum ASEAN ataupun forum-forum internasional lainnya, walau banyak

statemen yang diucapkan SBY untuk berkomitmen membantu penyelesaian konflik

komunal yang terjadi (www.kemendagri.go.id). Tetapi lagi-lagi, itu tidak disinggung saat

bertemu presiden Myanmar Thien Sien dalam kunjungan presiden RI ke Rangoon pada

tanggal 23 April 2013 lalu. Kunjungan tidak lebih hanya sebagai penguatan hubungan

ekonomi dan investasi semata. Memang isu Rohingya bagi Myanmar adalah persoalan

sensitif dan eksistensial. Sebab kebijakan yang terkesan anti-Rohingya semakin tumbuh

berkembang di tengah 60 juta masyarakat Myanmaryang menganut agama Budha. Bila isu

ini diangkat oleh SBY dalam kunjungan tersebut dapat menyinggung konsensus nasional

Myanmar bahwa Rohingya harus ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima

kehadiran mereka dan memicu keretakan hubungan bilateral. Hal ini dianggap konsensus

sebab keinginan untuk mengusir bangsa Rohingya tidak hanya diusulkan oleh Presiden

Thein Sein, tetapi juga oleh Biksu Win Rathu dan ketua partai Rakhine National

Development Party Dr.Aye Maung (democratic voice of Burma, http://archive.is/RSubU).

Kendati, sikap seperti ini dianggap tidak konsisten dengan apa yang kerap diucap terkait

kasus Rohingya. Sebab tidak ada satu kebijakan luar negeri atau dalam negeri (terkait

dengan para pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia) yang mewakili sikap

pembelaanterhadap kaum Rohingya.

http://archive.is/RSubU

9

Memang saat bertemu Presiden Myanmar Thein Sein dalam sesi pertemuan bilateral

di Phnom Penh, Kamboja, (Selasa 20 November 2012), Presiden SBY menawarkan bantuan

penyelesaian konflik etnis di negara bagian Rakhine (http://www.suarapembaruan.com).

Bahkan SBY menyarankan Presiden Thein Sein untuk mengundang negara-negara

Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang selama ini dilarang oleh Thein Sein untuk

mengunjungi lokasi konflik (http://www.suarapembaruan.com).Namun demikian tidak ada

tanda-tanda dan indikasi bahwa tawaran dan himbauan politik RI atas Myanmar

membuahkan hasil yang menggembirakan dan kekerasan kerap terulang kembali. Dan pada

tingkat kebijakan Luar Negeri RI ( Republik Indonesia) pemerintah SBY telah mengutus

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tanggal 7-8 Januari 2013 untuk melakukan

diplomasi publik mencoba menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan

etnis (www//khabarsoutheastasia.com).

Sejatinya, ketika misi Menlu MartyNatalegawa dan himbauan yang ada tidak berhasil

ada upaya diplomatik dan kebijakan luar negeri lain yang lebih efektif. Apakah itu dengan

mengundang sidang darurat ASEAN, UN atau lembaga-lembaga internasional lainnya yang

dapat menghentikan konflik berkepanjangan di Rakhine di atas.

Yang ada justru memberdayakan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk terlibat

langsung dalam penanganan dan resolusi konflik di Negara itu. Misalnya, Pada tanggal 10

Agustus 2012 di bawah rombongan Jusuf Kalla (mantan wakil presiden Indonesia dan

direktur utama Palang Merah Indonesia (PMI)) mengirim bantuan kemanusiaan untuk

komunitas Rohingya berupa antara lain 500 paket kebersihan, 3.000 selimut dan 10 ribu

sarung.

http://www.suarapembaruan.com/http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2012/09/11/feature-03

10

1.2 Pertanyaan Penelitian

Di sini, peneliti melihat keterlibatan pemerintah SBY dalam penyelesaian kasus

kekerasan komunal di Rakhine adalah keniscayaan kepentingan nasional, regional dan

internasional.

Maka dalam konteks ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :

1. Bagaimana kebijakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dalam membantu

penyelesaian konflik Rohingya

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan SBY dalam membantu penyelesaian konflik

Rohingya.

2. Memberikan sumbangsih bagi para pengambil kebijakan, mahasiswa dan analis

terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik

rohingya.

1.4 TinjauanPustaka

Kajian tentang derita komunitas Muslim Rohingya tergolong sedikit. Pada level

internasional, kajian hanya sedikit. Di antaranya adalah kajian Saiful Huq Omi (documentary

photographer dan pemenang National Geographic 1996, (www.saifulhuq.com) dengan judul

Fleeing Burma yang mengkaji tentang sebab musabab diaspora komunitas Muslim

Rohingya.Menurut penulis yang mengutip data UNHCR, tidak kurang dari 29 ribu orang asli

Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh (www.worldpolicy.org ).

Mereka bertahun-tahun berada di negeri jiran ini dengan menyandang status sebagai

imigran gelap dan hidup dalam satu tempat yang sempit untuk 16-18 orang. Jumlah ini hanya

sebagian dari 167 ribu pengungsi dan sumber lain mengatakan tidak kurang dari 210 ribu

http://www.saifulhuq.com/

11

orang mengungsi ke Bangladesh (www.pi.library.yorku.ca) yang terusir akibat kekerasan

yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap komunitas Muslim ini di tahun 1970an

(www. Synergiescanada.org).

K.C. Saha, kepala Bihar Public Service Commission, India, menulis pada jurnal

Refugetema lain terkait dengan Rohingya dengan judul Learning from Rohingya Refugee

Repatriation to Myanmar bahwa repratriasi pengungsi Rohingya terjadi pada 15 Mei 1992

ketika sebuah kesepakatan ditandatangani antara Menlu Myanmar dan Menlu Bangladesh di

awal 1992 lalu. Empat butir yang dicantumkan dalam kesepakatan itu adalah soal Azan boleh

dikumandangkan di masjid-masjid daerah dengan mayoritas Muslim, bebas berpindah dari

satu daerah ke daerah lain yang sebelumnya dilarang keras, komunitas Rohingya dapat

bepergian dari tempat pengungsiannya di Bangladesh ke Arakan untuk melihat kondisi yang

disiapkan untuk mereka jika kembali dan terakhir bagi orang Rohingya yang tidak punya

kewarganegaraan dapat mendaftarkan diri jika sudah kembali ke Myanmar(www.

Synergiescanada.org). Dan banyak lagi tulisan-tulisan ringkas dan liputan media tentang

pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Rangon dan penganut Budha di Myanmar

terhadap komunitas Muslim Rohingya (Arakan Report, IHH Insani Yardim Vakfi, Istanbul

Turkey, July 2012).

Demikian juga halnya pada level nasional, tema Rohingya belum menjadi konsen

banyak civitas akademika, para analis dan pemerhati. Salah satu buktinya, tidak banyak

tulisan serius terkait dengan kekerasan yang berlangsung di salah satu negeri anggota

ASEAN tersebut. Namun, salah satu karya ilmiah yang di level terakhir tadi berjudul

Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya di Wilayah Indonesia

sesuai Konvensi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) ditulis oleh

Kadarudin, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Hasanuddin(Jurnal

Jurishdictionary, vol. VI, 1, Juni 2010).Dalam tulisan ini Kadarudin menegaskan bahwa

http://www.pi.library.yorku.ca/

12

penderitaan minoritas Rohingya bermula tahun 1978 yang berakibat ratusan ribu manusia

terusir, mengungsi ke perbatasan Myanmar-India, Myanmar-Bangladesh, dan tidak sedikit

wanita Rohingya dijual di tempat-tempat prostitusi di perbatasan Cina.

Penulis telah menelusuri banyak literatur yang terkait dengan tema Rohingya, tetapi

masih sedikit sekali yang menaruh perhatian terhadapnya apalagi secara spesifik

memperbincangkan tentang peran Indonesia dalam penyelesaian krisis kemanusiaan ini. Di

sini, penelitian penulis menjadi sangat berarti dalam mengangkat tema Kebijakan

pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam penyelesaian kekerasan etnis muslim

rohingya di Myanmar.

1.5 KerangkaPemikiran

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bebrapa teori untuk mendukung

permasalahan yang sedang diteliti. Konsep-konsep tersebut yaitu Kepentingan Nasional dan

Kebijakkan Luar Negeri

1.5.1 Teori Kepentingan Nasional

Ketika membahas tentang peran Indonesia di kancah internasional tentu tidak lepas dari

teori kepentingan nasional yang menjadi substansi fundamental hubungan internasional

sebuah negara.

Banyak pihak membahas tentang teori ini, salah satunya adalah Michael Doyle Simpson

dalam tesisnya A Concept of the National Interest, Ia menyimpulkan bahwa kepentingan

nasional adalah kepentingan-kepentingan publik yang menggerakkan sebuah bangsa guna

meraih harapan dan komitmen pada karakter dan aspirasi bangsa ( Michael Doyle 1984:

129).Teori ini jauh dari konsep kepentingan nasional yang diusung oleh Hans J. Morgenthau

dalam tulisannya Another Great Debate : the National Interest of the United States yang

lebih menegaskan bahwa kepentingan nasional erat kaitannya dengan kekuasaan, pengaruh

13

dan kekuatan atau power ( Hans Margenthau 1952: 961-988 dan Umar Saryadi Bakri 1999:

60-61).

Tentu kepentingan nasional Morgenthau di atas dapat dipersepsi sebagai konsep yang

bernuansa sempit, antagonis dan tidak universal. Bisa dibayangkan bila semua negara dunia

menjalankan kebijakan luar negerinya dengan nasional interest masing-masing yang

bersandar kuat pada pengaruh, kekuatan dan kekuasaan, maka dunia akan kembali terseret

pada lembah gesekan dan konflik tidak berkesudahan. Oleh karenanya, Frankel seperti

dikutip Umar Saryadi melihat kepentingan nasional yang berlandaskan pada moralitas,

religiusitas dan nilai-nilai humanis. Konsep ini juga diamini oleh Nicholas Spykman yang

juga menambahkan aspek kepentingan kultural sebagai bagian integral dari kepentingan

nasional (Umar Saryadi Bakri 1999: 61).

Kepentingan nasional sebuah negara menurut Charles Evans Hunges merupakan

motivasi kuat dari kebijakan luar negeri dan hubungan internasionalnya (Umar Saryadi bakri

1999: 73). Bahkan yang menjadi konsideran atau determinan utama dan motor kebijakan luar

negeri atau hubungan internasional sebuah negara adalah national interest (kepentingan

nasional) itu sendiri.

Lebih dari itu, kebijakan luar negeri sebuah negara yang berlandaskan pada kepentingan

nasional menjadi landasan mazhab realist dalam hubungan internasional. Tentu dalam

mempraktekkan teori kepentingan nasional ini tidak semudah membalikkan tangan. Sebab

negara-negara besar dapat secara arogan memaksa negara kecil dan lemah atas nama keadilan

yang sesungguhnya artifisial (tidak murni) dan lain sebagainya demi kepentingan nasional

individualnya. Dalam hal ini, konsep keseimbangan kekuatan (balance of power) menjadi

keniscayaan praktek mazhab realist.

Di sini, warga Myanmar beretnis Rohingya secara kebetulan beragama sama dengan

mayoritas agama penduduk Republik Indonesia yang juga didiami oleh kelompok minoritas

14

yang beragama sama dengan mayoritas penduduk Myanmar. Keterlibatan aktif para

agamawan atau Biksu Budha dalam demonstrasi pengusiran Muslim Rohingya berpotensi

mengusik solidaritas-religi sebagian warga Muslim Indonesia. Bila realitas tersebut berlarut-

larut, tidak mustahil dapat menyulut instabilitas di bumi pertiwi ini.

Dikutip dari Jemadu, menurut Miroslav Nincic Terdapat 3 asumsi dasar yang dalam

mendefinisikan kepentingan nasional (Aleksius 2008: 67)yakni:

Pertama, kepentingan itu bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas

utama pemerintah dan Masyarakat.

Kedua, kepentingan harus berkaitan dengan lingkungan internasional. Artinya,

pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkungan internasional.

Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat

pertikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi

kepedulian masyarakat secara keseluruhan.

Di sini, peran Indonesia dalam penanganan persoalan minoritas Rohingya di

Myanmar yang merupakan salah satu dari negara anggota ASEAN (Association of South-

East Asian Countries) tidak terlepas dari penggejawantahan salah satu dari empat elemen dan

jenis kepentingan nasional di atas yaitu kepentingan tata internasional. Di samping itu,

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) kita dengan tegas menyebutkan bahwa

sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan

di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri-keadilan

(UUD 1945 perubahan 4).Ini artinya, peran Indonesia dalam penyelesaian kasus Rohingya

tidak lain adalah implementasi dari pembukaan UUD 1945 itu sendiri.

Oleh karenanya, peneliti sepakat dengan tesis yang diungkap Frankel seperti dikutip

Umar Saryadi di atas sebagai teori yang mestinya diambil oleh Indonesia bahwa kepentingan

nasional adalah kepentingan yang meliputi kepentingan pertahanan (defense interest),

15

kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan tata internasional (world order

interest), dan kepentingan ideologi (ideological interest) yang berlandaskan pada moralitas,

religiusitas dan nilai-nilai humanis.

1.5.2 Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para

pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional

lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam

terminologi kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri yang yang dijalankan oleh

pemerintah suatu Negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional

masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu

ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri

dapat diartikan upaya suatu Negara yang melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk

mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri

menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu

Negara ( Banyu Perwita dan Yayan 2005: 49) .

Langkah pertama dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri mencakup:

1. Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan dan

sasaran yang spesifik.

2. Menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang

berkaitan dengan tujuan kebijakan luar negeri.

3. Menganalisis kapabilitas nasional untuk menjanngkau hasil yang dikehendaki.

16

4. Mengembangkan perencanaan atau strategi untuk memakai kapabilitas nasional

dalam menanggulangi variable tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

5. Melaksanakan tindakan yang diperlukan.

6. Secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah

berlangsung dalam menjangkau tujuan atau hasil yang dikehendaki.

Menurut Plano bahwa setiap kebijakan luar negeri dirancang untuk menjangkau

tujuan nasional.Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri

merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional

terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk

menjangkaunya. Tujuan dirancang, dipilih, dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan

dikendalikan untuk mengubah kebijakan ( revisionist policy ) atau mempertahankan

kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu dilingkungan internasional (Banyu

Perwita dan Yayan 2005: 51).

Konsep Kebijakan Luar Negeri menurut Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan

luar negeri sebagai explicit and implicit actions of governmental officials designed to

promote national interests beyond a countrys territorial boundaries. Dalam definisi ini ada

tiga tekanan utama yaitu tindakan atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan

nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri yang melewati batas kewilayahan suatu Negara

(Aleksius 2008: 64). Artinya bahwa kebijakan luar negeri merupakan kebijakan eksplisit dan

implisit yang dirancang pemerintah guna mengembangkan, meningkatkan dan memajukan

kepentingan dalam negeri pada level internasional.

Menurut pemikir lain, Kegley dan Wittkopf bahwa kebijakan luar negeri sebagai the

decisions governing authorities make to realize international goals(keputusan-keputusan

yang mengatur pemerintah untuk mewujudkan target-target internasional). Menurut Howard

17

Lentner pengertian kebijakan luar negeri terdapat tiga elemen dasar dari setiap kebijakan

yakni: Penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumber

daya atau instrument untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan

pelaksanaan (implementations) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan

secara aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan (Aleksius 2008: 65).

Solusi untuk penyelesaian kekerasan etnis muslim rohingya di Myanamar sudah

menjadi masalah di dunia internasioal, dengan adanya kerjasama internasional sangat

diharapkan dapat membantu dalam penyelesaian konflik etnis muslim rohingya. Demikian

konsep seperti Kepentingan nasional dan kebijakan Luar negeri yang saling

berkesinambungan kiranya relevan untuk membahas lebih lanjut mengenai Kebijakan

pemerintah Indonesia (Bambang Susilo Yudhoyono mengenai kasus kekerasan etnis muslim

rohingya di Myanmar.

1.6 Metode Penelitian

Suatu penelitian harus menggunakan metode-metode yang sistematik, dan diatur

dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan penelitian.Metode penelitian merupakan suatu

ketentuan mengenai teknik yang digunakan dalam penelitian. Setiap penelitian harus

didasarkan pada kerangka tertentu dalam berbagai proses penelitian.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

kualitatif.Metode kualitatif merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan pada

penelitian yang menggunakan kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa

tertentu.Sedangkan tipe penelitian ini bersifat deskriptif dimana suatu metode dalam

meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

18

fakta-fakta yang ada.Sedangkan menurut Whitney (1960) dalam buku mohammad nazir, ia

mengatakan bahwa penelitian deskriptif yaitu mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk

tantangan hubungan, kegiatan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-

pengaruh dari suatu fenomena.

Penelitian ini akan menggunakan metode pengumpulan data dengan studi dokumen

dan wawancara. Studi dokumen didapatkan dari :

1. Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku, jurnal, laporan penelitian, riset,

dan Koran.

2. Penelusuran melalui internet yaitu untuk mendapatkan data dan berbagai informasi

terkait dengan penelitian. Contohnya, http://Burmese.rohingyablogger.com/ sebagai

media komunitas rohingya yang berada dikawasan Rakhine dalam mengupdate

informasi yang terjadi di lapangan.

Selain itu penelitian ini juga menggunakan wawancara kepada para pengungsi korban

kekerasan di Myanmar yang berada dikawasan Puncak-Cisarua kepada Bapak Muhammad

Rofiq dan Bapak Karimullah Pada tanggal 25 Agustus 2012 untuk mendapatkan data lebih

lanjut.

19

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Tinjauan Pustaka

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Teori Kepentingan Nasional

1.5.2 Kebijakan Luar Negeri

1.6 Metode Penelitian

1.7 Sistematika Penulisan

BAB II Gambaran Umum Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine

A Sejarah Komunitas Rohingya

B. Akar Konflik Secara Historis

C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar

BAB III Analisis Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam

Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya di Myanmar

A.1 Kebijakan Dalam Negeri

a.1.1. .Kebijakan Terhadap NGO, Lembaga Kemanusiaan dan Media Mass

a.1.2. Alasan Mengungsi ke Indonesia

a.1.3. Kebijakan Terhadap Imigran Rohingya

B.2 Kebijakan Luar Negeri

20

b.2.1 Kebijakan Bilateral

b.2.2 Kebijakan di ASEAN

b.2.3 Kebijakan Internasional dalam kaitan penyelesaian kasus Rohingya

BAB IV Penutup

Kesimpulan dan Saran

Daftar Pusaka

Lampiran-lampiran

21

BAB II

Sejarah Komunitas Rohingya dan Gambaran Umum

Konflik Etnis-Sektarian di Rakhine

A. Sejarah Komunitas Rohingya

Satu versi mengatakan bahwa catatan sejarah mengatakan bahwa bangsa Arakan

(Rohingya adalah bagian darinya) berbicara dengan dialek Burma dengan pengucapan klasik

dengan konsonan R yang dilemahkan ke suara pengucapan Y seperti akhiran ang, ak, dan

lain-lain yang dilembutkan menjadi in, ek dan lain-lain. Dengan perjalanan waktu berabad-

abad lamanya, dialek penduduk Arakan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata yang

berasal dari India. Begitu juga ras yang berpadu dengan darah India melalui cara (S.W. Cocks

1919: 146-147). Menurut prof. Kei Nemoto dalam salah satu seminar yang diadakan di

Jepang sepakat dengan para ahli sejarah Rohingya bahwa komunitas ini sudah mendiami

kawasan Arakan sejak abad ke-8 A.D (Aye chan 2005:396).

Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku Kanran dari

kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi dengan ibukota dekat

Kyaukpadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad ke-2 sebelum Masehi, Chanda Suriya

diangkat menjadi raja (S.W. Cocks : 1919)Enam puluh tahun sebelum dinobatkannya raja

Chanda, para pengungsi Burma berusaha menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu

digagalkan bangsa Arakan dan mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara.

Dengan demikian, sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan

sejarah penting yang tercatat(S.W. Cocks : 1919).

Pada tahun kejatuhan Chanda, kaum Shan dari Burma menginvasi Arakan dan

berhasil menduduki kawasan ini selama 18 tahun dengan merampas seluruh kekayaan

penduduk termasuk arca-arca Budha yang dimiliki mereka. Setelah itu Anawrahta yang

22

berkuasa di Burma pun menginvasi Arakan demikian juga setelah itu dan seterusnya.Arakan

pada tahun 1389 terlibat pertempuran saat perang terjadi antara Burma dan Pegu dengan

berpihak kepada Talaings (S.W. Cocks : 1919).

Raja Burma Min Khaung menginvasi Arakan pada tahun 1404-1406 yang

menyebabkan raja Arakan meminta suaka ke Bengal selama 20 tahun. Saat kekosongan ini,

Arakan menjadi medan pertempuran antara Pegu dan Burma. Kedua raja penguasa Pegu dan

Burma silih berganti menduduki Arakan, dan Talaings merupakan raja terakhir mereka. Pada

tahun 1430, Nazir Shah raja Bengal yang beragama Muslim bergerak merestorasi Min Saw

Mun sebagai raja Arakan dengan mendirikan ibukota baru bernama Myauk-u atau disebut

dengan kota Arakan (Myohaung). Ia berkuasa dengan perlindungan dari penguasa

Bengal(S.W. Cocks : 1919).

Menurut penulis, pada periode ini penting untuk dianalisa sebab pada masa ini

pertemuan dan interaksi bangsa yang terjadi di kawasan ini dapa tmelahirkan perbauran dan

arus perpindahan penduduk antara Arakan dan Bengal yang menjadi fase penting akan

kehadiran asal muasal etnis Rohingya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab wilayah lembah dan

pegunungan yang ada sangat subur yang tentu menarik orang untuk bertani dengan baik.

Interaksi, akulturasi dan bahkan asimilasi terjadi sehingga antara penduduk asli Arakan dan

Bengal yang hampir tidak berjarak hanya dibatasi hutan dan sungai bercampur baur menyatu

menjadi ras tersendiri. Realitas ini membuat kita tidak bisa memisahkan antara penduduk

Arakan yang beragama Islam dengan Arakan yang beragama Budha.

Kondisi seperti ini tidak berhenti disini, ketika pertempuran terus terjadi antara

Burma, Arakan dan Pegu, Bengal seringkali menjadi pihak yang dimintai bantuan oleh salah

satu dari pihak yang bertikai (S.W. Cocks : 1919).Catatan sejarawan mengatakan bahwa

Muslim telah mendiami kawasan Rohang atau Arakan sejak abad ke-15 seperti itu juga

terjadi dengan Indonesia, Malaysia dan wilayah sekitar (http://www.irrawaddy.org/archive)

http://www.irrawaddy.org/archive)%20irrawaddy

23

irrawaddy merupakan majalah berita yang memuat berita sekitar Myanmar dan Asia

Tenggara), dan bahkan ada yang mengatakan komunitas ini telah berada di sana sejak abad

ke-7 A.D (http://www.rohingya.org/).

Peta Myanmar

Sumber : google.co.id

Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di sini.

Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab tetapi generasi

Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma dijajah oleh Inggris (Maug tha

Hla 2009: 20-21). Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah

komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian

tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari

Chittagong Timur Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat

perang Inggris Burma 1 berakhir (1824-1826) (Aye Chan 2005: 396-420). Ketiga, dalam

skrip Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi Tibeto-Burman

Theraveda Buddhist ke kawasan Arakan.

Dengan mengalahkan balatentara Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-

orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik

ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal

(www.rohangpress.com). Keempat, Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan

minoritas Hindu yang secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok

Arakan(Rakhine)

http://www.irrawaddy.org/archive)%20irrawaddy

24

etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah

percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turks dan Asia Tengah yang

mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam di

Arakan. Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan

melahirkan generasi masyarakat Rohingya (www.rohangpress.com) .Lebih dari itu, data

modern mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejaka dekade- 19 ketika

pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan Bengal kekawasan

Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah (www.rohangpress.com).

Terlepas dari apapun data dan informasi yang dapat penulis temukan, kesulitan

pembuktian kongkrit perihal asal muasal Muslim Rohingya tetap saja menjadi persoalan

tersendiri. Di satu sisi, literatur yang ditulis oleh intelektual Rakhine sudah hampir dapat

dipastikan punya subjektifitas yang kental sehingga muara etnis Rohingya adalah imigran

dari kawasan Bangladesh. Di sisi lain, penulis dari intelektual Rohingya sudah dapat

dipastikan defensif dengan mengatakan etnis Rohingya adalah bagian integral dari etnis asli

Arakan dahulu (Rakhine sekarang ini). Tetapi mungkin kita dapat angkat disini sebuah data

dari seorang Francis Buchanan-Hamilton (seorang ahli bedah yang berkontribusi dalam

bidang geografi, zoologi dan botani asal Skotlandia yang berkarir di India antara tahun 1803-

1814) berhasil menulis sebuah kajian yang ilmiah tentang kajian sejarah dan asal muasal

bahasa etnis di Myanmar yang dapat memperkuat posisi etnisitas kaum Rohingya yang

berdasarkan perbahasaan bahwa mereka sudah mendiami kawasan Burma (Myanmar) ini

berabad-abad lalu (Buchanan-Hamilton 1799: 219-240).

25

Data Myanmar

Negara : Myanmar (sebelumnya Burma)

Perbatasan : Bangladesh, India, China, Laos dan Thailand

Ibukota : Rangoon (Yango)

Kemerdekaan : 04 Januari 1948

Penduduk : 60 juta

Etnis : Mon 2,4%; Chine 2,2%; Kachine 1,4%; Lainnya 5,8%

Agama : Budha 89%; Kristen 5%; Muslim 4%; Hindu 0,5%

Jumlah Rohingya : 1,8 juta jiwa (Rohingya tidak diakui sebagai salah satu 135

etnis resmi oleh undang-undang Kewarganeraan 1982)

Sumber : http://in.reuters.com/article/2013/06/11/myanmar-rohingya-

Dalam konteks Arakan, peristiwa yang cukup penting untuk dicatat bahwa ia

merupakan wilayah kerajaan independen sebelum diduduki oleh raja Bodawpaya tahun 1784

di mana bencana gempa bumi tahun 1761 dan 1762 dipersepsi sebagai penyebab kejatuhan

kerajaan ini ( Aye Chan 2005: 396).Arakan dewasa ini sudah berubah nama menjadi Rakhine

dengan luas wilayah 36,762 km2 dengan ibukota Sittwe yang berbatasan langsung dengan

wilayah Chine di Utara, Magway, Bago dan Ayeyarwady di Timur, Danau Bengal di Barat

dan Chittagong Bangladesh di Barat Daya (www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm)

Populasi wilayah Rakhine adalah 3,183,330 jiwa dengan komposisi etnis yang

heterogen yaitu Rakhine, Chine, Mro, Chakma, Khami, Dainet, Maramagri dan Rohingya.

Menurut pendapat pemerintah Myanmar bahwa etnis Rakhine dengan agama Budha

merupakan etnis mayoritas di wilayah ini. Tetapi berbagai sumber survey lokal paska

kerusuhan etnis 2012 bahwa etnis Rohingya Muslim menempati 40.75% dari populasi

Rakhine dan menempati urutan etnis terbesar kedua setelah Rakhine

(www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm). Data lain mengatakan bahwa jumlah

http://www.myanmars.net/myanmar/rakhine-state.htm

26

komunitas Rohingya di Arakan sekitar 800 ribu jiwa kendati klaim organisasi pembela

Rohingya mengatakan jumlah mereka lebih kurang 2 juta jiwa di Arakan dan 1 juta lainnya

berada di diapora di berbagai Negara (www.geopoliticalmonitor.com).Walaupun demikian,

penulis kesulitan menelusuri lebih jauh literature-literatur yang tersedia guna membuktikan

mana klaim yang benar terkait dengan komposisi demografis Rakhine. Demikian juga halnya

kesulitan lain untuk mendapatkan literature terkait perkawinan silang antaretnis yang ada di

Arakan kecuali data perbauran demografis seperti yang disinggung di atas.

Namun perlu diangkat di sini bahwa secara fisik tidak dapat dipungkiri bahwa etnis

Rohingya dan Rakhine memang berbeda, Rohingya berparas wajah seperti orang-orang

Bangladesh sementara etnis Rakhine berperawakan lebih mendekati orang Melayu.Selain itu,

komunitas Rohingya beragama Islam dengan kaum wanitanya berpakaian seperti kaum Hawa

di Bangladesh sementara komunitas Rakhine beragama Budha dengan kuil-kuilnya.

Muslim Rohingya di ArakanatauRakhine dapat dibagi dalam beberapa kelompok etnis

berikutu : (1) Bengalis Chittago mendiami wilayah Mayu Frontier. (2) Muslim keturunan

masyarakat Muslim Arakan dari zaman Mrauk (1430-1784) yang mendiami kawasan Mrauk-

U dan Kyauktau. (3) Muslim keturunan pedagang yang mendiami pulau Ramree yang dikenal

dengan sebutuan Kaman. (4) Muslim dari wilayah Myedu Burma Pusat, mereka adalah

Muslim yang dibawah oleh kaum penjajah Arakan di tahun 1784 (Aye Chan 2005: 397).

B. Akar Konflik Secara Historis

Menurut laporan Human Right Wacth yang berjudulAll you can do is pray, crimes

againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslims in Burmas Arakan

State,menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat ditarik paling tidak berawal dari

Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat Rohingya tetap loyal pada penguasa kolonial Inggris

(Human Rights Watch 2013: 22). Sementara masyarakat Arakan lain berpihak pada kolonial

http://www.geopoliticalmonitor.com).walaupun/

27

Jepang. Permusuhan dan pertikaian antar kedua etnis Rohingya dan Rakhine secara historis

tidak dapat dengan mudah dihentikan. Dengan bukti, pertikaian berdarah terus berlanjut

hingga kini. Bahkan Zak Rose di situs www.geopoliticalmonitor.com menyebutkan interaksi

Rohingya dengan orang asing dan pemerintahan setempat secara historis adalah interaksi

kekerasan. Ketika Perang Dunia ke II terjadi Jepang menginvasi Myanmar menguasai negeri

dan mengusir kolonialis Inggris.

Saat peristiwa ini terjadi komunitas Rohingya ditarget secara brutal oleh kekuatan

militer Jepang yang dibantu oleh kelompok etnis Rakhine dan Burma yang menyebabkan

eksodus Rohingya dari Arakan. Ketika ada gerakan komunitas Rohingya untuk mendapatkan

hak mereka di Arakan, pemerintahan militer terus lakukan pemberangusan terhadap

komunitas ini dari tahun 1960-1970an. Kebijakan ini terus berlanjut yang diklaim sebagai

kebijakan devide-et-impera (politik pecah belah) dengan target mengeluarkan etnis minoritas

dari percatura npolitik mainstream. Devide-et-impera adalah politik pecah belah kombinasi

strategi politik,militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan

dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah

di taklukan. Hal itu dengan bukti tahun 1980an pemerintah Rangoon mengeluarkan legislasi

yang menegaskan status Rohingya sebagai komunitas tidak berkewargaannegara manapun

(stateless people). Versi lain mengatakan bahwa konflik tidak berkesudahan ini dapat

berujung pada pembersihan etnis atau ethnic cleansing (MaungThaHla : Rohingya Hoax).

Menurut sejarawan Prancis, Dr. Jacques P. Leider yang meriset sejarah Arakan sejak

dua dekade silam bahwa akar masalahnya bukan karena sikap rasis kaum Budha di Rakhine

tetapi itu lebih pada reaksi emosional mereka yang sangat kuat (http://www.irrawaddy

covering Burma and southeast Asia.org/archives/8642). Sebuah emosi reaksional yang

berangkat dari kondisi di mana desa-desa di Rakhine banyak didiami oleh Muslim dengan

pertumbuhan populasi yang masif. Menurut Jacques, permusuhan ini bukan karena hal lain

http://www.geopoliticalmonitor.com/

28

kecuali ; satu, persoalan perebutan tanah; kedua, pertumbuhan Muslim lebih cepat dari kaum

Rakhine; ketiga, xenophobia atau kebencian kaum Budha Rakhine terhadap Muslim.

Dengan arus demokratisasi yang mulai menggeliat di Myanmar dewasa ini dan

tekanan dunia internasional bagi pemerintahan Rangoon, diharapkan kebijakan anti-Rohingya

di Rakhine dapat membaik.Kendati realitasnya belum dirasakan oleh banyak pengamat.

Konflik dan pertikaian antara Muslim dan Budha Myanmar khususnya

Arakan/Rakhine sudah berusia panjang. Secara manusia normal, tidak ada seorangpun yang

menginginkan hidup dalam kebencian dan permusuhan tidak berkesudahan. Semua orang

ingin hidup damai. Namun ketika sebuah komunitas terus membenci dan memusuhi kaum,

ras atau pengikut agama lain secara turun temurun, ada faktor x yang menjadi penyebab. Oleh

karena itu, penulis meyakini bahwa ada otakataupemimpin dalam konflik ini. Tidak mungkin

pertikaian ini terjadi tanpa desain.

Menurut liputan media, seorang biksu muda bernama Win Rathu, seorang biksu

kharismatik dan terpandang di wilayah Mandalay dan dijuluki the Fighting Monk (biksu

petarung) sebagai otak konflik berdarah dan pembersihan-etnis terhadap masyarakat

Rohingya akhir-akhir ini. Asia Times menstigma agamawan Budha ini dengan sebutan

leader of a growing anti-Muslim movement (pimpinan gerakan anti-Muslim yang kian

tumbuh) (www.atimes.com).Pada tanggal 14 September 2003 lalu, ia berbicara di hadapan

sekitar tiga ribu biksu memprovokasi mereka untuk punya pandangan yang sama bahwa

Muslim adalah maling dan teroris. Wathu adalah orang pertama yang mengklaim bahwa

sanksi Amerika terhadap Myanmar bukan karena pemerintahan junta militer, tetapi karena

eksistensi teroris Muslim yang ia klaim(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).

Dalam salah satu statemen Rathu mengatakan : Kita punya sebuah masalah di

Myanmar; kita punya masalah di sini di Mandalay. Masalah itu adalah Islam. Banyak orang

Muslim baru di Mandalay dari Pakistan (dan Bangladesh). Orang-orang ini adalah maling

http://www./m-mediagroup.com/en/archives/7258

29

dan teroris. Mereka tidak menghormati agama kita dan wanita kita. Kita adalah kaum

Budha, dan kita adalah orang pecinta damai, tetapi kita harus melindungi diri

kita(www.//m-mediagroup.com/en/archives/7258).

C. Kebijakan Politik Pemerintah Myanmar

Peran seorang biksi Win Rathu sangatlah besar. Ia bisa menjadi lokomotif gerakan

mempertahankan sikap permusuhan terhadap Muslim, walau ada perlawananminorataukecil

di antara biksu-biksu. Dengan alasan, sesungguhnya ajaran Budha tidak beresensi

permusuhan dan kebencian terhadap penganut agama lain. Namun logika kita mengatakan

bahwa peran seorang Biksu itu tidak akan efektif jika tidak mendapat dukungan dari

pemerintah. Ada klaim salah seorang Biksu kepada Asia Times online bahwa Rathu

didukung oleh pemerintah. Wira Thu bekerja untuk pemerintah, tegasnya. Ia memberi

alasan bahwa ajaran Budha tidak mengajari kekerasan demikian (http://m-mediagroup.com/).

Hal ini terlihat sekali dari apa yang diucap presiden Thein Sein bahwa biksu Win

Rathu adalah son of Buddha (anak Budha) dan noble person (seorang mulia) yang komit

pada perdamaian (democratic voice of burma.com, http://archive.is/RSubU). Ucapan ini

diungkap saat gerakan 969 yang menyeru kaum Budha memboikot para pebisnis Muslim

dijuluki oleh majalah internasional Time sebagai Wajah Teror Budha (the face of Buddhist

terror) di cover majalah edisi 1 Juli 2013 sepertipadagambar di bawahini (www.time.com).

c

http://www./m-mediagroup.com/en/archives/7258

30

Apa yang diungkap salah seorang Biksu yang tidak mau disebutkan namanya kepada

Asia Times di atas punya alasan historis. Pemerintah Myanmar adalah pihak yang

bertanggungjawab mengusir paksa sekitar 100 ribu Muslim Rohingya ke Bangladesh di tahun

1978 dengan sandi Naga Min (Raja NagaatauDragon King). Demikian juga pada 1991-1992,

program serupa dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang mengusir paksa sekitar 250 ribu

masyarakat ini ke luar wilayah nenek moyang mereka sendiri di Arakan

(http://www.atimes.com). Mereka yang berhasil dikembalikan lagi ke Arakan di bawah

supervisi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) sekitar 232 ribu

pengungsi dan sekitar 21.600 orang pengungsi ditempatkan di dua kamp pengungsi di Arakan

(PatterikWiggers 2002:8).

Kebijakan pemerintah anti-Islam di atas terus dipertahankan dan berlanjut hingga kini

melingkupi seluruh kebijakan pemerintah (Steinberg 2010: 156).Pasukan militer, polisi dan

polisi perbatasan NaSaka Myanmar menerapkan kebijakan mentarget Muslim Rohingya

dengan bukti tidak bergerak untuk menghentikan pertikaian yang terjadi antar Muslim

Rohingya dan Budha Rakhine.Hal itu terlihat dari statemen presiden Myanmar Jenderal

Thein Sien kepada Komisioner Tertinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(UNHCR) paska kerusuhan dan pertikaian Juni 2012 lalu bahwa satu-satunya solusi

penyelesaian konflik di Arakan adalah mengusir seluruh etnis Rohingya ke luar

Rakhine/Arakan. Saat bertemu dengan ketua UNHCR Antonio Guterres bahwa pemerintahan

presiden Thein Sien siap menyerahkan persoalan penempatan kembali masyarakat Rohingya

kepada Antonio untuk ditempatkan ke negara ketiga (http://www.democratic voice of

burma.com)

Kebijakan presiden Thein Sien juga didukung oleh partai politik RNDP (Rakhine

National Development Party) yang diketuai oleh Dr. Aye Maung. Dalam wawancaranya

dengan media DVB (Democratic Voice of Burma) mengatakan : Seperti para pengungsi di

31

negara-negara lain, beri makan mereka dengan dukungan UNHCR dan jika ada negara

ketiga yang bersimpati kepada mereka dan siap memberi mereka kewarganegaraan di sana,

(democraticvoice of burma,http://archive.is/RSubU).

Data dan fakta di atas cukup menjelaskan betapa pertikaian yang berkepanjangan di

bumi Arakan (Rakhine) berurat berakar sangat dalam dalam kebijakan politik pemerintah

Rangoon, kebijakan para politisi dan didukung oleh agamawan sekelas Win Rathu. Sebuah

realitas yang membuat komunitas Rohingya hanya sebagai target dan sasaran empuk bagi tiga

kekuatan besar di negara Myanmar, tanpa ada lembaga internasional, negara adidaya dan

negara jiran serumpun ASEAN yang berdiri tegap membela kemanusian mereka.

32

BAB III

Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penyelesaian

Konflik Etnis Rohingya di Myanmar

A.Kebijakan Dalam Negeri

Mendiskursuskan kebijakan dalam negeri, penulis hanya mengungkap beberapa fakta

yang menggambarkan kebingungan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam

menangani kasus Rohingya. Di satu sisi, pemerintah menyatakan akan membantu

penyelesaian persoalan konflik di Rakhinepada sisi lain pemerintah tidak memperlihatkan

usaha keras dalam hal ini baik pada level nasional, regional ataupun internasional. Demikian

juga dengan kebijakan yang terkait langsung dengan para pengungsi Rohingya yang sudah

berada di bumi pertiwi Indonesia.

Banyak para pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia harus terlebih dahulu ditahan

di imigrasi sebagaimana para pendatang haram lainnya. Para pengungsi yang sudah bebas

pun tidak tahu nasib masa depan mereka. Apakah dapat diterima hidup di Indonesia atau

mereka harus mendapatkan negara ketiga. Kondisi menunggu ini bisa berjalan hingga

tahunan, seperti yang dialami oleh Karimullah. Yang mereka pikirkan adalah nasib sekolah

anak-anak mereka yang sudah tumbuh tanpa pendidikan formal. Hal itu karena status mereka

yang belum jelas.

Realitas respon pemerintah dan kondisi riil yang dialami oleh bangsa Rohingya

tersebut dapat dipersepsi sebagai sikap politis tipekal presiden SBY yang kurang tegas dalam

mengambil keputusan secara umum. Di sini lain, SBY hanya diam terhadap sepak terjang dan

maneuver lembaga-lembaga kemanusiaan (PMI, ACT, Dhompet Dhuafa dan lain-lain),

lembaga keagamaan (NU, Muhammadiyah dan lain-lain), partai politik dan institusi-institusi

33

lain bergerak dan aktif menggalang dana kemanusiaan demi membantu bangsa Rohingya

baik yang disalurkan ke Rakhine ataupun bagi para pengungsi.

Kondisi ini dapat dimaknai secara de facto sebagai kebijakan yang mendukung. Sebab

suatu pemerintah boleh saja melarang masyarakat atau lembaga apapun yang berada di

wilayahnya untuk memberikan bantuan, dukungan dan empati kepada suku dan bangsa

tertentu. Artinya pemerintah SBY bisa saja mengambil tindakan demikian, tetapi itu tidak

SBY lakukan. Ada adagium yang mengatakan silence is consent (diam berarti sepakat).

Dengan demikian, sikap SBY dapat dipersepsi sebagai sikap politiknya yang mendukung

seluruh aktifitas lembaga-lembaga kemanusiaan dan organisasi masyarakat dalam

memberikan bantuan baik material ataupun moral kepada bangsa Rohingya baik yang berada

di Rakhine ataupun para pengungsi yang berada di Indonesia.

a.1.1 Dukungan Organisasi massa, NGO dan Media massa

Dalam kebijakan SBY terhadap penyelesaian etnis muslim rohingya, SBY sangat

mendukung akan organisasi-organisasi. Pada pidato SBY (Susilo Bambang

Yudyhoyono) pada tanggal 4 Agustus 2012 mengenai permasalahan Etnis Rohingya,

Myanmar menyampaikan Saya ingin mengajak dan menyerukan kepada saudara-

saudara kita, rakyat Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen

tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan

kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang ada di Myanmar. Saya

berterima kasih dan memberikan penghargaan yang tinggi atas kepedulian dan

solidaritas itu. Dengan himbauan Presiden tersebut ternyata direspon oleh

masyarakat secara baik oleh beberapa lembaga kemanusiaan dan organisasi

masyarakat.

Di sini, ada dua hal yang harus dibedakan antara kebijakan pemerintah Indonesia di

dalam negeri dan luar negeri dengan solidaritas masyarakat Indonesia baik itu

34

direpresentasikan oleh lembaga keagamaan seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah,

Persis (Persatuan Islam), organisasi massa seperti IKADI (Ikatan Dai Indonesia), lembaga

kemanusiaan seperti PMI (Palang Merah Indonesia), ACT (Aksi Cepat Tanggap), Dhompet

Dhuafa (DD), dan lembaga-lembaga lain termasuk partai politik yang menunjukkan

solidaritas tinggi mengutuk tindakan kekerasan dan pengusiran warga Rohingya oleh

pemerintah dan tokoh agama Myanmar. Bahkan mereka mendesak pemerintah SBY untuk

bergerak cepat dan melakukan berbagai langkah diplomatis menghentikan berbagai

penindasan terhadap komunitas minoritas di negeri mayoritas Budha tersebut.

Sekali lagi, kebijakan SBY dapat dipahami oleh banyak pengamat sebagai kebijakan

yang ambigu. Di banyak kesempatan menyatakan dukungan tetapi di banyak kesempatan lain

hanya diam. Ini menunjukan sikap SBY yang tidak tegas, sebagaimana kebanyakan kebijakan

SBY pada level nasional seperti kebijakan kenaikan harga, inflasi, ketegangan dengan

Malaysia terkait Ligitan-Simpadan beberapa tahun lalu, dan yang paling mutakhir adalah

penyadapan terhadap percakapan pribadi, isteri dan beberapa elit bangsa ini oleh Australia

yang hanya disikapi dingin walau diambil keputusan memulangkan duta besar Indonesia

untuk Canbera (www.reuters.com/.../us-indonesia-australia). Oleh karenanya, peneliti

mempersepsi kebijakan SBY sebagai kebijakan yang tidak tegas dan membingungkan.

Mengapa kebijakan demikian itu terjadi, tentu ini berangkat dari kepribadian SBY

yang selalu hati-hati dalam memutuskan segala sesuatu termasuk kebijakan yang terkait

dengan kerukunan dan keharmonisan relasi intra anggota ASEAN.

35

a. Sikap Ormas

1. NU (Nahdatul Ulama)

Pidato SBY pada tanggal 24 Agustus 2012 yang mengatakan bahwa rakyat

Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki

solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita,

etnis rohingya yang ada di Myanmar. Pidato tersebut telah mendorong organisasi NU untuk

mempertimbangkan pengiriman misi kemanusiaan ke Myanmar. Sebuah misi yang

diharapkan dapat meringankan penderitaan Muslim Rohingya yang dianiaya oleh pemerintah

Myanmar. Hal itu yang ditegaskan oleh Katib Aam PBNU KH.A.Malik Madany bahwa

persoalan Rohingya tidak bisa dibiarkan begitu saja. NU merupakan ormas Islam terbesar di

Indonesia. Organisasi NU mendesak pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan upaya-

upaya diplomatis dalam penyelesaian derita berkepanjangan komunitas Muslim Rohingya.

Dan bahkan PBNU mendesak presiden SBY turun langsung membawa masalah ini ke forum

ASEAN, menolong dan membantu etnis Rohingya yang kian memperhatinkan dari

malapetaka pembersihan etnis (www.republika.co.id dan www.nu.or.id).

Ketua PBNU H.Slamet Effendy Yusuf Msi mengatakan kepada para wartawan di

Jakarta (29 Juli 2012) : Pembiaran pembantaian terhadap etnis Rohingya seperti selama ini

kita saksikan harus dihentikan. Apalagi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan puncak

perlakuan diskriminatif yang sudah lama berlangsung terhadap etnis Rohingya yang

beragama Islam. (www.nu.or.id).

2. Muhammadiyah

Muhammadiyah menjadi salah satu ormas Islam Indonesia yang menyokong secara

kongkrit para pengungsi Rohingya. Hal itu yang dilakukan oleh Muhammadiyah Disaster

Management Center (MDMC) sejak awal Januari 2013 yaitu pendampingan pengungsi

Rohingya yang ada di Sumatera Utara yang berjumlah sekitar 294 orang

http://www.republika.co.id/

36

(www.humammadiyah.or.id). Kegiatan yang dilakukan oleh MDMC termotivasi dari pidato

SBY pada tanggal 4 Agustus 2012. Isi pidato tersebut menyatakan bahwa rakyat

Indonesia, utamanya komunitas dan komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki

solidaritas yang tinggi untuk memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita,

etnis rohingya yang ada di Myanmar.

Pimpinan Muhammadiyah daerah kota Surabaya dan Lazismu (Lembaga Zakat

Nasional) mengatakan acara Aksi Keprihatinan dan Kepedulian (0/8/2012) terhadap kaum

Muslim Rohingya di Myanmar. Dalam kegiatan tersebut hadir pula tokoh-tokoh lintas agama

antara lain Drs. H. Zayyin Chudlori, M.Ag (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota

Surabaya), Andi Hariyadi, M.Pd.I (FKUB Kota Surabaya), Romo Abaya (Majelis Budhayana

Indonesia Surabaya), I Wayan Suraba,SH (PHDI Surabaya), Pdt. Eliya (Pembina PGI

Surabaya), Feri Yudi A.S (Ketua MDMC Surabaya), Arifin (Ketua PD. Pemuda

Muhammadiyah Surabaya), Najih (DPC-IMM Kota Surabaya), Aditio Yudono (LAZISMU

Surabaya), Arif An (Bamusi Surabaya) dan juga Sasmito dari Front Pembela Islam (FPI)

Jatim.

Para tokoh agama di atas membacakan pernyataan sikap berikut :

1- Mengutuk dengan keras tragedi kemanusiaan pembantaian muslim Rohingya.

2- Kami menyatakan protes terhadap PBB !! Karena tidak serius dalam menangani

masalah ini. Oleh karena itu, kami mendesak masyarakat internasional untuk

melakukan upaya lebih lanjut dalam menghentikan pembantaian umat Islam

tersebut.

3- Mengharap kepada pemerintah Indonesia, agar turut serta secara aktif

menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga warga Rohingya bisa merasakan

kedamaian dan bisa hidup berdampingan dengan warga Myanmar lainnya.

http://www.humammadiyah.or.id/

37

4- Kepada seluruh elemen masyarakat kota Surabaya untuk tetap menjaga kerukunan

dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kota Surabaya tetap

kondusif, dan zero konflik.

5- Meyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membantu

secara moril maupun materil serta mendoakan saudara-saudara kita di Rohingya,

Myanmar. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Mudah-mudahan Tuhan

Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan kepada kita semua. Aamien..

(www.muhammadiyah.or.id)

3. IKADI (Ikatan Dai Indonesia)

Sikap ormas IKADI (Ikatan Dai Indonesia) jelas mengutuk tragedi kemanusiaan di

Rakhine terhadap komunitas Rohingya. Ormas ini menyebut peristiwa kekerasan terhadap

komunitas Muslim tersebut sebagai tragedi kemanusiaan dan bukan sekedar penistaan dan

sentimen terhadap pemeluk agama tapi kezhaliman terhadap umat manusia

(http:www//ikadi.or.id).

4. PERSIS (Persatuan Islam)

Keberadaan ratusan jumlah pengungsi komunitas Muslim Rohingya di Medan telah

menarik simpati ketua pimpinan wilayah Persis Sumatera Utara Muhammad Nuh. Rasa

simpati dan pidato SBY tanggal 4 Agustus 2012 mendorong pimpinan pusat Persi dan Pusat

Zakat Umat (PZU) Bandung menyalurkan bantuan kepada para pengungsi Rohingya

(www.hariansumutpos.com).

Pengurus Daerah Persis kota Bandung membuka tiga posko donasi guna membantu

etnis Muslim Rohingya di Myanmar. Donasi dari para donatur akan disumbangkan dalam

bentuk pakaian, makanan dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan mereka

(http://news.detik.com ).

http://www.hariansumutpos.com/

38

Persis juga mengutuk keras pembantaian Muslim Rohingya yang terjadi di Myanmar.

Massa Persis juga berdatangan ke DPRD Kota Bandung (2 Agustus 2012) mengutuk

kekerasan kelompok Budha di Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Mereka juga

memprotes PBB yang hanya bungkam atas tragedi kemanusiaan ini dan menuntut pemerintah

Indonesia agar turut serta menyelesaikan krisis dan konflik berdarah di negeri ASEAN

tersebut (http://jabar.tribunnews.com). ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia)

mempertanyakan sikap Aung San Suu Kyi yang hanya diam seribu bahasa atas pembantaian

Muslim Rohingya di Rakhine. Padahal ia merupakan peraih Nobel perdamaian

(http://indonesian.irib.ir). Kecaman itu diungkap oleh ketua presidium ICMI Prof.Nanat

Fatah Natsir saat junta militer Myanmar memberi opsi pengusiran warga Rohingya dari

Myanmar sebagai solusi konflik yang terjadi di Rakhine. Ia mengatakan : Pengusiran dan

pembantaian itu melanggar hak hidup suku Rohingya dan hak-hak asasi manausi untuk

beragama(http://indonesian.irib.ir).

5. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

HTI merupakan gerakan massa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, sosial,

pendidikan dan politik ini turut meramaikan solidaritas umat Islam Indonesia terhadap derita

berkepanjangan komunitas Muslim Rohingya. Seruan Presiden SBY kepada rakyat Indonesia

melalui pidatonya 4 Agustus 2012 telah mendorong aksi longmarch HTI pada Minggu (5

Agustus 2013) lalu dengan mengerahkan tidak kurang dari 5000 orang di kawasan Tebet.

Dalam konferensi pers, juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto mengatakan bahwa

Sebagai negara Muslim yang besar, kepemimpinan di Indonesia seharusnya bisa

mempengaruhi kebijakan bilateral negara lain dengan kekuatan diplomatiknya

(www.republika.co.id).

Aksi massa ini juga dikerahkan ke arah Istana Negara guna menuntut pemerintah agar

tidak diam diri atas kesengsaraan dan derita tak berkesudahan muslim Rohingya. HTI juga

http://jabar.tribunnews.com/http://indonesian.irib.ir/http://www.republika.co.id/

39

memobilisir aktifis mereka di berbagai kota di Indonesia seperti Aceh dan Makasar. Dan

bahkan gerakan massa Islam ini siap mengirimkan kontingen kemanusiaan langsung ke

Myanmar.

6. MUI (Majelis Ulama Indonesia)

MUI selaku lembaga resmi keulamaan di Indonesia mendesak pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono dapat menolong kaum Muslim Rohingya. Melalui ketua MUI bidang

kerukunan antarumat beragama komisi luar negeri, Slamet Efendi ; mengatakan bahwa umat

Muslim Rohingya diperlakukan diskriminatif secara sistematis, terstruktur dan massif yang

berkepanjangan (www.republika.co.id). Ia bahkan mendesak SBY untuk segera bertindak

melindungi nasib Muslim Rohingya dengan mengatakan : Ini merupakan tragedi

kemanusiaan, dan SBY atas nama ASEAN harus bergerak. (Republika.co.id).

Pada kesempatan yang berbeda, ketua MUI Maruf Amin dalam konferensi persnya di

Gedung Pusat MUI Jakarta Rabu, 28 September 2013 meminta pemerintahan SBY mendesak

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melakukan tindakan kongkrit menghentikan kekerasan

dan pelanggara HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang

merupakan minoritas paling tertindas di dunia(www.republika.co.id).

7. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) : ketika banyak pihak dari tokoh-tokoh masyarakat

bersuara lantang mengecam kekerasan dan penderitaan komunitas Muslim terjadi, wakil

ketua DPR-RI, Pramono Anung juga angkat bicara (23/Juli 2012). Ia meminta pemerintah

SBY untuk memberikan nota diplomatik atau teguran yang keras terhadap aksi pembunuhan

terhadap Muslim Rohingya oleh etnis Rakhine yang beragama Budha dan didukung oleh

aparat keamanan setempat (www.republika.co.id).

8. Sikap Partai Politik (parpol) :Untuk partai politik, tidak banyak parpol yang sibuk

dengan persoalan derita Muslim Rohingya. Dari penulusuran penulis hanya Partai Keadilan

Sejahtera yang memberikan ruang peduli. Hal itu dengan aksi para aktifisnya pada Ahad (12

http://www.republika.co.id/http://www.republika.co.id/

40

Agustus 2012) lalu dengan tema Aksi peduli Stop Kejahatan Kemanusiaan di Rohingya dan

Suriah. Saat orasi berlangsung, para pembicara silih berganti mengutuk kebiadaban

sektarian di Rakhine terhadap komunitas Muslim Rohingya.(www.islamedia.web.id) .

b. Sikap Lembaga Kemanusiaan :

Sikap SBY yang mendukung seluruh aktifitas lembaga kemanusiaan dalam

memberikan bantuan bantuan baik material ataupun moral dapat terlihat dalam

pidato SBY Banyak lembaga kemanusiaan yang berpartisipasi aktif menggalang

dana dan bantuan lain untuk solidaritas umat dan masyarakat bagi komunitas

Muslim Rohingya. pada tanggal 4 Agustus 2012 mengenai permasalahan Etnis

Rohingya, Myanmar menyampaikan Saya ingin mengajak dan menyerukan

kepada saudara-saudara kita, rakyat Indonesia, utamanya komunitas dan

komponen-komponen tertentu yang merasa memiliki solidaritas yang tinggi untuk

memberikan bantuan kemanusiaan atas saudara-saudara kita, etnis rohingya yang

ada di Myanmar. Saya berterima kasih dan memberikan penghargaan yang tinggi

atas kepedulian dan solidaritas itu. Di antara lembaga tersebut adalah ACT (Aksi

Cepat Tanggap) dan Dhompet Dhuafa (DD). Dhompet Dhuafa : sebagai lembaga

kebajikan aktif menggalang bantuan dan dana untuk meringankan beban derita

komunitas Rohingya. Hal itu dapat diikuti dari aktifitas mereka seperti yang

diberitakan pada situs resminya berikut : http://www.dompetdhuafa.org/bantu-

minoritas-muslim-rohingya/ dan memberikan dana guna membantu kaum paling

teraniaya di Asia Tenggara ini.

Dalam aspek kemanusiaan, Indonesia menyerukan agar perlindungan

minoritas sungguh diberikan, dan pembangunan kampung yang rusak bisa

dilakukan. Presiden Yudhoyono menghargai dan mengapresiasi solidaritas yang

http://www.islamedia.web.id/http://www.dompetdhuafa.org/bantu-minoritas-muslim-rohingya/http://www.dompetdhuafa.org/bantu-minoritas-muslim-rohingya/

41

tumbuh di dalam negeri atas kesulitan yang dialami saudara-saudara dari etnis

Rohingya, namun Presiden menekankan bantuan yang diberikan hendaknya tepat

guna karena bis