kebijakan moneter

45
BAB I TEORI KEBIJAKAN MONETER A. Kerangka umum kebijakan moneter Kerangka yang umum dipergunakan dalam membahas kebijakan moneter meliputi target, indikator, dan instrumen kebijakan moneter. 1. Target akhir (ultimate target) kebijakan moneter Pada dasarnya kebijakan moneter adalah bagian tak terpisahkan dari kebijakan makro ekonomi suatu Negara, dimana bersama-sama dengan kebijakan fiskal diarahkan untuk mencapai target akhir yaitu stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Target akhir kebijakan moneter ini merupakan variabel- variabel yang ingin dicapai oleh otoritas moneter sebagai sarana pendukung untuk tercapainya sasaran akhir dari kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat. Idealnya, semua target kebijakan moneter tersebut dapat dicapai secara serempak dan optimal. Namun berhubung sasaran- sasaran tersebut satu sama lain mengandung unsur-unsur yang bersifat kontradiktif, maka bias dikatakan untuk mencapai semua sasaran secara optimal dan serempak adalah tidak mungkin. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, tindakan tersebut mempunyai dampak yang tidak menguntungkan terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Ekspansi moneter yang 1

Upload: mulyadi-yusuf

Post on 03-Dec-2014

1.134 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Moneter

BAB I

TEORI KEBIJAKAN MONETER

A. Kerangka umum kebijakan moneter

Kerangka yang umum dipergunakan dalam membahas kebijakan moneter meliputi

target, indikator, dan instrumen kebijakan moneter.

1. Target akhir (ultimate target) kebijakan moneter

Pada dasarnya kebijakan moneter adalah bagian tak terpisahkan dari kebijakan

makro ekonomi suatu Negara, dimana bersama-sama dengan kebijakan fiskal diarahkan

untuk mencapai target akhir yaitu stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan

kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran.

Target akhir kebijakan moneter ini merupakan variabel-variabel yang ingin dicapai

oleh otoritas moneter sebagai sarana pendukung untuk tercapainya sasaran akhir dari

kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat.

Idealnya, semua target kebijakan moneter tersebut dapat dicapai secara serempak dan

optimal. Namun berhubung sasaran-sasaran tersebut satu sama lain mengandung unsur-unsur

yang bersifat kontradiktif, maka bias dikatakan untuk mencapai semua sasaran secara optimal

dan serempak adalah tidak mungkin.

Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong

tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, tindakan tersebut

mempunyai dampak yang tidak menguntungkan terhadap kestabilan harga dan keseimbangan

neraca pembayaran. Ekspansi moneter yang berlebihan cenderung mendorong laju inflasi,

yang pada gilirannya akan memengaruhi kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya, kebijakan

moneter yang ketat dapat menunjang tercapainya kestabilan harga dan keseimbangan neraca

pembayaran. Namun, kebijakan tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang pada

gilirannya akan menghambat investasi dan produksi, yang akan mengakibatkan rendahnya

pertumbuhan ekonomi dan meluasnya tingkat pengangguran. Dalam teori ekonomi dikenal

adanya “trade-off” antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan moneter, bank sentral dihadapkan

kepada dua pilihan. Pilihan pertama, bank sentral dapat memilih salah satu sasaran untuk

dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Misalnya, memilih tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi. Pilihan kedua, bank

sentral memilih pencapaian semua sasaran secara serempak, tetapi tidak ada satu pun yang

1

Page 2: Kebijakan Moneter

dicapai dengan optimal. Misalnya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak begitu

tinggi demi tetap terpeliharanya tingkat inflasi yang masih dapat ditoleransi.

2. Indikator kebijakan moneter

Indikator kebijakan moneter adalah variabel-variabel yang ingin dikontrol oleh bank

sentral agar target akhir dapat dicapai. Indikator juga disebut sebagai target menengah atau

intermediate target dalam usaha mencapai target akhir dari kebijakan moneter.

Indikator penting sekali peranannya karena berfungsi sebagai indikasi apakah arah

suatu kebijakan moneter tetap tertuju kepada sasaran yang ingin dicapai atau tidak, sekaligus

sebagai pengukur sejauh mana pencapaian hasil dari kebijakan moneter. lbarat sebuah

kompas, indikator merupakan pembimbing kebijakan moneter menuju pencapaian sasaran

yang diinginkan.

Indikator atau intermediate target tersebut merupakan variabel-variabel ekonomi

yang memengaruhi keseimbangan pasar uang. Karena indikator sering bergejolak sesuai

dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan-kekuatan yang bergerak di pasar

uang, yaitu permintaan dan penawaran uang, indikator yang dipilih harus dapat dikendalikan

dengan baik untuk kemudian diarahkan agar perkembangannya menunjang usaha pencapaian

target yang telah ditetapkan.

Terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga

(interest rate) dan jumlah uang beredar (monetary aggregate).

a. Pilihan suku bunga

Untuk memperjelas bagaimana tingkat suku bunga dapat berfungsi sebagai indikator,

berikut ini diberikan suatu ilustrasi. Misalnya, bank sentral menetapkan bahwa suku bunga

sebesar x% per tahun adalah tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan

investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu.

Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang

cukup panjang. Apabila dalam perjalanan waktu ternyata suku bunga menunjukkan kenaikan

sehingga melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi

moneter dengan harapan suku bunga turun sampai pada tingkat tersebut. Sebaliknya, apabila

suku bunga menurun, bank sentral akan melakukan kontraksi moneter.

Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa dengan kebijakan moneter, suku bunga akan

dipengaruhi sedemikian rupa sehingga tetap stabil, sementara itu, jumlah uang beredar

(monetary aggregate) akan bergejolak naik dan turun demi mempertahankan suku bunga tetap

2

Page 3: Kebijakan Moneter

pada tingkat yang diinginkan. Bergejolaknya monetary aggregate ini dapat mengakibatkan

terganggunya kestabilan harga.

b. Pilihan Uang Beredar

Lain halnya dengan suku bunga, jumlah uang beredar sebagai indikator akan

memberikan dampak positif, yaitu tingkat harga yang stabil karena apabila jumlah uang

beredar bergejolak, bank sentral akan melakukan tindakan kontraksi atau ekspansi moneter

sehingga jumlah uang beredar akan relatif konstan pada suatu jumlah yang ditetapkan. Namun

demikian, kebijakan ini akan mengakibatkan suku bunga bergejolak karena gejolak

permintaan akan uang tidak diimbangi oleh penawaran akan uang.

3. Instrumen kebijakan moneter

Sementara itu instrumen kebijakan moneter, sesuai dengan istilahnya, adalah

seperangkat variabel yang dimiliki dan sepenuhnya dapat digunakan oleh bank sentral untuk

mengontrol indikator sedemikian rupa sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai.

Untuk dapat mengontrol indikator, baik tingkat suku bunga maupun uang beredar,

bank sentral perlu melakukan intervensi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang

dimiliki. Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian,

yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.

a. Instrumen langsung

Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara langsung

menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan. Berikut ini merupakan instrument

langsung yang dapat digunakan oleh bank sentral.

1) Penetapan suku bunga

Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral

dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga,

baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Dengan penetapan tingkat suku

bunga ini, bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan.

Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin

hari makin tidak efektif.

2) Pagu kredit

Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar

dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang lazim

disebut sebagai pagu kredit (credit ceilings). Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya

3

Page 4: Kebijakan Moneter

diatur oleh otoritas moneter. Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat

dikendalikan. Pagu kredit inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan.

3) Rasio likuiditas

Kadang untuk keperluan tertentu bank sentral dapat mewajibkan bank-bank untuk,

selain memelihara cadangan tertentu, juga memelihara surat berharga tertentu atau valuta

asing tertentu dengan proporsi yang ditetapkan. Biasanya langkah ini dilakukan untuk

membiayai anggaran pemerintah melalui surat berharga. Dengan rasio likuiditas tersebut

secara otomatis bank-bank wajib menyimpan surat berharga sebagai cadangan.

4) Kredit langsung

Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana

Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan prioritas tertentu. Misalnya terkait

dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Kredit

langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank

sentral. Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak

efektif dan sangat mahal.

5) Kuota penjualan kembali surat berharga

Bank sentral dapat menetapkan kuota untuk penjualan kembali surat berharga yang

belum jatuh tempo. Biasanya ditransaksikan dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga

pasar uang antar bank. Sebenarnya, instrumen langsung ini tidak ubahnya pemberian kredit

oleh bank sentral secara langsung, hanya saja dijamin dengan surat berharga pasar uang.

Kuota biasanya diberikan sebagai insentif kepada sektor tertentu.

b. Instrumen tidak langsung

Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen ini tidak secara langsung

memengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya jumlah uang

beredar dapat dikendalikan. Seperti juga instrumen langsung, terdapat banyak jenis instrumen

tidak langsung yang pada umumnya terdiri dari cadangan wajib minimun, fasilitas diskonto

dan rediskonto, operasi pasar terbuka, fasilitas simpanan bank sentral, intervensi valuta asing,

fasilitas overdraft, simpanan sektor pemerintah, lelang kredit, moral suasion, serta berbagai

instrumen dengan pola syariah.

4

Page 5: Kebijakan Moneter

1) Cadangan wajib minimun

Cadangan wajib minimum atau reserve requirement adalah ketentuan bank sentral

yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar

persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar

kemampuan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah

yang lebih besar. Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank

untuk memberikan pinjaman.

Cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk rekening giro di bank

sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk, yakni cadangan primer dan

cadangan sekunder.

2) Fasilitas diskonto

Fasilitas diskonto atau discount rate policy adalah kebijakan moneter dalam

memengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank

sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi,

bank-bank yang pada gilirannya mengurangi permintaan kredit dari bank sentral akan

mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar

menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank

akan meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa

pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.

3) Operasi pasar terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan instrumen yang paling banyak digunakan

oleh otoritas moneter dalam melaksanakan kebijakan moneter mengingat instrumen ini lebih

berorientasi pasar, keterlibatan peserta tidak mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap

pekan pasar, dan tidak membebankan pajak pada bank.

Operasi pasar terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat

berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumIah uang beredar atau suku bunga jangka

pendek. Apabila bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral akan

menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga

kemampuan bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi

moneter.

Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-

surat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga

jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan surat-surat berharga tersebut dapat

5

Page 6: Kebijakan Moneter

pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat

menambah/mengurangi jumlah uang beredar. Sama halnya dengan reserve requirement,

kontraksi moneter sebagai akibat operasi pasar terbuka akan meningkatkan suku bunga, dan

sebaliknya ekspansi moneter akan menurunkan suku bunga.

4) Fasilitas simpanan bank sentral

Simpanan bank sentral merupakan simpanan bank-bank pada bank sentral untuk

jangka waktu yang sangat pendek. Simpanan ini bersifat sangat pendek, misaInya satu hari,

untuk menampung kelebihan likuiditas pada hari itu. Atas simpanan itu, bank menerima

bunga yang biasanya di bawah tingkat bunga pasar. Bank Indonesia telah menggunakan

fasilitas ini sejak krisis tahun 1997/98, yang dinamakan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia

(FASBI).

5) Intervensi valuta asing

Intervensi valuta asing memiliki pola hampir sama dengan operasi pasar terbuka.

Bank sentral melakukan jual beli valuta asing dengan mata uang sendiri. Cara ini ditempuh

untuk memengaruhi jumlah uang beredar. Dalam praktiknya, intervensi valuta asing ini

banyak dilakukan untuk upaya stabilisasi atau smoothing pergerakan nilai tukar mata uang

sendiri. Dalam sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system), intervensi jual

valuta asing dimaksudkan untuk memperkuat mata uang sendiri, sementara intervensi beli

valuta asing adalah untuk mengurangi kecenderungan menguatnya mata uang sendiri.

6) Fasilitas overdraft

Bank sentral juga dapat memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank-bank

yang mengalami kesulitan likuiditas jangka sangat pendek dalam bentuk fasilitas overdraft.

Kesulitan likuiditas jangka pendek terjadi karena pada saat kliring bank akan terjadi

"menang" atau "kalah". Menang berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada

bank-bank, sedangkan kalah berarti kewajibannya lebih besar daripada tagihannya. Dalam

kondisi kalah, bank harus menyediakan likuiditas untuk menutupi kewajibannya itu. Dalam

kondisi inilah bank dapat meminjam melalui fasilitas overdraft. Pinjaman ini memiliki

tingkat bunga di atas bunga pasar.

7) Simpanan sektor pemerintah

Simpanan sektor pemerintah dapat menjadi instrumen tidak langsung yang kerap

digunakan di banyak negara. Simpanan sektor pemerintah dapat dipindahkan, misalnya dari

bank umum ke bank sentral atau sebaliknya. Langkah itu secara tidak langsung akan

berdampak kepada uang beredar. Ketika uang beredar terlalu banyak, akan dilakukan

6

Page 7: Kebijakan Moneter

realokasi simpanan pemerintah dari bank umum ke bank sentral. Demikian sebaliknya.

Apabila terjadi kondisi uang beredar yang sangat kurang, simpanan pemerintah dari bank

sentral dapat direalokasi ke bank umum atau bank pelaksana.

8) Lelang kredit

Dalam kondisi pasar keuangan belum berkembang dan suku bunga patokan antar

bank belum terbentuk, bank sentral memerlukan instrumen sementara untuk mengubah sistem

pemberian kredit langsung ke alokasi pasar. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah

melakukan lelang kredit.

9) Moral suasion

Moral suasion atau imbauan juga dapat menjadi instrumen tidak langsung dalam

kebijakan moneter. Bank sentral atau otoritas moneter memberi imbauan kepada perbankan

untuk melakukan langkah tertentu yang dibutuhkan. Namun, efektivitas imbauan ini sangat

tergantung pada kredibilitas bank sentral.

c. Instrumen Lain

Dalam sejarah perkembangan moneter di berbagai negara termasuk di Indonesia,

tercatat pernah ditempuh kebijakan moneter yang dilakukan dengan cara pengguntingan uang.

Cara ini ditempuh untuk mengurangi uang beredar. Indonesia pernah melakukannya pada

tahun 1950 yang dikenal dengan nama "Gunting Sjafruddin". Dengan langkah ini, uang

beredar akan berkurang langsung sebesar persentase tertentu, sedangkan sisanya diganti

dengan surat berharga.

Instrumen lain yang juga pernah dikenal adalah pembersihan uang. Agak sedikit

berbeda dengan pengguntingan uang, nilai uang diturunkan dengan persentase tertentu tanpa

ada penggantian untuk jumlah yang diturunkan. Indonesia tercatat pernah menggunakan

instrumen ini empat kali, yakni pada tahun 1959 (penurunan menjadi 10%), 1946 (penurunan

menjadi 3% di mana satu rupiah Jepang menjadi satu tiga sen uang NICA), 1949 (penurunan

menjadi 1%, di mana 100 rupiah Jepang menjadi satu rupiah ORI), dan 1965 (penurunan

menjadi 0,1% di mana 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah). Dengan Jangkah ini diharapkan

terjadi penurunan jumlah uang beredar.

Instrumen langsung lain yang dikenal adalah penetapan uang muka impor. Melalui

kebijakan ini, importir yang akan melakukan transaksi pembelian dari luar negeri diwajibkan

menyetor sejumlah persentasi tertentu sebagai uang muka untuk pembelian valuta asing.

Dengan cara ini uang beredar dapat dikendalikan.

7

Page 8: Kebijakan Moneter

B. Strategi kebijakan moneter

Berikut ini akan dikemukakan tentang hal-hal yang biasanya menjadi bahan

pertimbangan bank sentral dalam menentukan strategi kebijakan moneter untuk menghadapi

gejolak perekonomian.

Secara siklikal, perekonomian mengalami periode di mana kegiatan ekonomi

menurun sampai titik balik terendah untuk kemudian diikuti oleh periode di mana kegiatan

ekonomi meningkat sampai titik balik tertinggi. Titik balik terendah disebut sebagai masa

resesi dan titik balik tertinggi disebut masa boom. Siklus masa resesi dan masa boom terjadi

bergantian dan berlangsung dari waktu ke waktu sehingga dikenal dengan istilah bussiness

cycle.

Perekonomian yang sedang dilanda resesi terutama ditandai oleh tingkat

pengangguran yang tinggi yang disebabkan oleh lesunya kegiatan ekonomi, sebaliknya pada

masa boom akan ditandai oleh inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos-ongkos produksi

sebagai akibat kegiatan ekonomi yang meningkat. Dilihat dari kacamata moneter, kegiatan

ekonomi yang lesu akan mengakibatkan demand for money untuk keperluan transaksi

menurun dan sebaliknya pada masa boom, demand for money untuk keperluan transaksi

meningkat.

Dalam menghadapi gejolak perekonomian seperti tersebut di atas, terdapat dua

pendapat yang berbeda di kalangan ahli-ahli moneter mengenai strategi kebijakan moneter

yang dapat ditempuh oleh bank sentral.

1. Countercyclical monetary policy.

Pihak pertama berpendapat bahwa bank sentral perlu secara aktif melakukan

tindakan moneter untuk memperlunak konjungtur sedemikian rupa, sehingga gelombang

siklus menjadi tidak terlalu tajam (gambar: dari C ke C1)

8

C

waktu

C1

Output

Page 9: Kebijakan Moneter

Menurut kelompok pendukung countercyclical monetary policy, pada saat

perekonomian akan mengalami resesi, bank sentral harus menempuh kebijakan moneter yang

bersifat ekspansif, yaitu meningkatkan supply of money sehingga ekspansi moneter tersebut

diharapkan dapat meningkatkan hasrat masyarakat berkonsumsi dan berproduksi. Selanjutnya

kenaikan konsumsi dan produksi/investasi tersebut akan meningkatkan kegiatan

perekonomian yang pada akhirnya dapat menghindarkan perekonomian darl cengkeraman

resesi. Sebaliknya, dalam menghadapi masa boom, bank sentral harus melakukan kontraksi

moneter yaitu dengan harapan dapat memperlambat kegiatan perekonomian sehingga

perekonomian akan terhindar dari tekanan inflasi.

2. Accomodative monetary policy.

Pihak kedua berpendapat seyogianya bank sentral melakukan kebijakan moneter

secara pasif. Usaha-usaha untuk melunakkan fluktuasi perekonomian hendaknya dihindari

dan kebijakan moneter diarahkan agar siklus bisnis berjalan secara wajar.

Kelompok yang menganut accomodative monetary policy berpendapat bahwa

expectation effect dari kebijakan moneter adalah lebih dominan daripada substitution effect,

interest rate effect, dan wealth effect. Dengan kata lain, tindakan ekspansi moneter dalam

menghadapi resesi tidak akan mendorong konsumsi dan produksi/investasi, melainkan hanya

meningkatkan harga karena masyarakat terlebih dahulu telah mengantisipasi tindakan moneter

yang akan dilakukan oleh bank sentral.

Selain itu, pengaruh tindakan moneter terhadap perekonomian tidak dapat terjadi,

dengan segera, tetapi membutuhkan tenggat waktu (time lag). Dengan demikian, ekspansi

moneter untuk menghadapi resesi ekonomi dampaknya tidak terjadi pada saat berlangsungnya

resesi, tetapi pada saat perekonomian menghadapi boom yang justru pada saat itu diperlukan

tindakan kontraksi moneter.

Sebaliknya, dampak kontraksi moneter untuk menghadapi boom tidak terjadi pada

saat berlangsungnya boom, tetapi pada saat ekonomi sedang menghadapi resesi yang justru

diperlukan tindakan ekspansi moneter. Kebijakan moneter yang bersifat aktif tersebut justru

akan mengakibatkan fluktuasi bussiness cycle menjadi lebih tajam (gambar: dari A ke A1).

9

Page 10: Kebijakan Moneter

Dengan kedua alasan tersebut, kelompok pendukung accomodative monetary policy

berpendapat bahwa sebaiknya kebijakan moneter diarahkan untuk mengatur uang beredar

yang jumlahnya konsisten dengan pertumbuhan ekonomi dan membiarkan bussiness cycle

berjalan secara wajar atau alamiah. Dengan kata lain, baik pada saat perekonomian berada

dalam resesi maupun boom, pertambahan uang beredar hendaknya dipertahankan pada tingkat

tertentu yang dapat menunjang sasaran jangka panjang, yaitu pertumbuhan ekonomi. Setiap

tindakan moneter untuk melunakkan fluktuasi tidak akan berhasil, bahkan akan memperburuk

situasi.

Pendapat kelompok pendukung accomodative monetary policy ahir-akhir ini

mendapatkan perhatian yang cukup besar, baik di negara-negara industri maupun negara-

negara yang sedang berkembang. Dalam memformulasikan kebijakan ini, terdapat dua hal

yang menjadi perhatian. Pertama menentukan monetary aggregate mana yang akan dipilih.

Apakah memilih base money/reserve money, narrow money, atau broad money. Yang kedua,

menentukan besarnya monetary aggregate dengan mempertimbangkan berbagai variable

seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, dan tingkat bunga dimasa mendatang.

10

Output

Waktu

A1A

Page 11: Kebijakan Moneter

BAB II

PERAN DAN MEKANISME KEBIJAKAN MONETER

A. Peran Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan

ekonomi suatu negara dan merupakan faktor yang dapat dikontrol oleh otoritas moneter

sehingga dengan demikian dapat dipakai untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi.

Ketika kondisi perekonomian suatu negara tidak berkembang sesuai dengan yang

diharapkan atau direncanakan, maka serangkaian kebijakan ekonomi dapat diambil oleh

pemerintah untuk mengarahkan kembali jalannya aktivitas.

Implementasi kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kebijakan

ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiskal, kebijakan sektoral, dan kebijakan lainnya.

Semuanya mengarah pada pencapaian tujuan akhir yaitu kesejahteraan sosial masyarakat.

Secara keseluruhan, kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter mempengaruhi

sisi permintaan (demand side) dalam perekonomian, sementara di sisi lain kebijakan sektoral

seperti perdagangan, perindustrian, pertambangan, pertanian, dan lain-lain, mempengaruhi sisi

penawaran (supply side) dari perekonomian.

Kebijakan moneter dijalankan sebagai suatu usaha dalam mengendalikan keadaan

ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah

uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan

harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.

B. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Pada dasarnya transmisi kebijakan moneter merupakan interaksi antara otoritas

moneter dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pelaku ekonomi di sektor riil.

Pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya

dalam berbagai transaksi keuangan yang terjadi di pasar keuangan. Kedua, interaksi yang

berkaitan dengan fungsi intermediasi, yaitu interaksi antara perbankan dan lembaga keuangan

lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas di sektor ekonomi riil.

Selanjutnya mengenai saluran atau channels mekanisme transmisi kebijakan moneter akan

dijelaskan berikut ini.

1. Saluran Langsung

Transmisi kebijakan moneter melalui saluran langsung atau saluran uang ( money

channel) mengacu pada teori klasik mengenai peranan uang dalam perekonomian. Pada

11

Page 12: Kebijakan Moneter

dasarnya teori ini menggambarkan kerangka yang jelas mengenai analisis hubungan

langsung antara uang beredar dan harga. Mekanisme transmisi moneter melalui saluran

uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam

perekonomian, yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, bank sentral melakukan

operasi moneter untuk pengendalian uang beredar di masyarakat. Tahap kedua, bank-

bank mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan yang dapat dipergunakan

sewaktu-waktu sebagai muara kegiatan utama bank di bidang perkreditan dan

pengerahan dana.

2. Saluran Suku Bunga

Saluran suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan

terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sector riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter

yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku

bunga di sector keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pad atingkat inflasi dan

output riil. Bagaimana mekanismenya? Tahap pertama, operasi moneter bank sentral

akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek (SBI, suku bunga antar bank).

Selanjutnya perubahan ini akan mempengaruhi suku bunga deposito yang ditawarkan

bank pada masyarakat penabung dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada

para debiturnya. Pada tahap berikutnya, transmisi suku bunga dari sector keuangan ke

sector riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan

investasi.

3. Saluran Kredit

Selain factor suku bunga, perilaku penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh

persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi internal perbankan sendiri.

Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya

oleh kondisi dan prospek keuangan debitur yang dinilai tidak layak, antara lain karena

tingginya rasio utang terhadap modal, risiko kredit macet, dan sebagainya. Adanya

informasi yang tidak simetris (asymmetric information) antara bank dan debitur dapat

menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan. Pendekatan

mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi

bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang disalurkan oleh perbankan

ke masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan kata lain, fungsi intermediasi perbankan

tidak selalu berjalan sempurna, dalam arti bahwa kenaikan simpanan masyarakat tidak

12

Page 13: Kebijakan Moneter

selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional kredit yang disalurkan ke

masyarakat.

4. Saluran Nilai Tukar

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melaui saluran nilai tukar,

menekankan pentingnya aspek perubahan harga aset financial terhadap berbagai

aktivitas ekonomi. Dalam kaitan ini, pentingnya saluran nilai tukar dalam transmisi

kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset financial dalam valuta asing yang berasal

dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Selanjutnya,

perubahan nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan mempengaruhi

kegiatan ekonomi riil di negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian

suatu Negara yang disertai dengan system nilai tukar mengambang dan system devisa

bebas, semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap

perekonomian dalam negeri.

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi

dalam proses pertukaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, operasi

moneter oleh bank sentral akanmempengeruhi, baik secara langsung maupun tidak

langsung terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi sehubungan

dengan operasi melaui intervensi, jual beli valas dalam rangka stabilisasi nilai tukar.

Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan

bank sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar uang dalam negeri dan

suku bunga luar negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya aliran dana dari

dan ke luar negeri.

Tahap berikutnya, perubahan nilai tukar berpengaruh, baik langsung maupun tidak

langsung terhadap perkembangan harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh

langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga

oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadapa barang

impor. Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar

mempengaruhi nilai ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output

dan perkembangan harga barang dan jasa.

5. Saluran Harga Aset

Perubahan harga aset, baik aset financial seperti obligasi dan saham maupun aset fisik

seperti property dan emas banyak dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan moneter.

Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio

13

Page 14: Kebijakan Moneter

investasinya yang pada umumnya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrument

lain di pasar uang, tetapi juga dalam bentuk obligasi dan saham, serta aset fisik.

Perubahan suku bunga dan nilai tukar akan berpengaruh pada volume transaksi obligasi,

saham, dan aset fisik. Selanjutnya perubahan harga aset pada gilirannya akan

berdampak pada berbagai aktivitas di sector riil.

Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sector riil juga terjadi pada permintaan

investasi oleh dunia usaha. Hal ini berkaitan dengan perubahan harga aset tersebut yang

memberikan dampak terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam berproduksi

dan berinvestasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan agregat, output,

dan inflasi.

6. Saluran Ekspektasi

Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam perekonomian, saluran ekspektasi

semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sector riil. Para

pelaku ekonomi, dalam mengambil langkah bisnisnya ke depan, akan mendasarkan pada

prospek ekonomi ke depan. Ekspektasi para pelaku ekonomi dimaksud pada umumnya

dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai perkembangan indicator ekonomi dan

keuangn serta antisipasinya terhadap langkah-langkah kebijakan ekonomi dan moneter

yang ditempuh pemerintah dan bank sentral.

Dalam konteks kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah ekspektasi inflasi

oleh masyarakat. Teori ekspektasi berpendapat bahwa apabila masyarakat cukup

rasional, mereka akan mengambil tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya inflasi. Tindakan tersebut berupa pengurangan jumlah uang yang mereka

pegang dengan membelanjakannya ke dalam bentuk barang riil sehingga risiko kerugian

memegang uang karena inflasi dapat dihindari.

Ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga pada gilirannya akan mendorong

kenaikan suku bunga. Apabila suku bunga meningkat lebih kecil dibandingkan dengan

kenaikan harga, secara riil rate of return atas aset financial menurun dan penurunan

tersebut akan mendorong orang mengalihkan kekayaannya dari bentuk aset financial ke

bentuk aset riil.

Jadi, apabila masyarakat, khususnya perusahaan-perusahaan besar, dapat memanfaatkan

statistic atau data moneter dengan baik untuk memperkirakan tingkat inflasi yang akan

terjadi, perusahaan-perusahaan akan menaikkan harga barang-barang yang diproduksi

dan masyarakat akan meminta upah yang lebih tinggi mendahului kemungkinan inflasi

14

Page 15: Kebijakan Moneter

yang mereka perkirakan terjadi. Mereka tidak perlu harus menunggu melakukan

tindakan penyesuaian harga dan upah sampai setelah terjadi inflasi. Apabila tindakan

tersebut dilakukan oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, akan

membawa dua implikasi moneter. Pertama, kebijakan moneter tidak efektif karena

kebijakan moneter tidak dapat mengubah sector riil, yaitu konsumsi, produksi, investasi,

dan kesempatan kerja, tetapi yang terjadi hanyalah perubahan tingkat harga. Kedua,

ekspektasi masyarakat terhadap inflasi akan mengakibatkan inflasi, yang semula hanya

dugaan, justru menjadi kenyataan.

Bagaimana ekspektasi inflasi terbentuk? Ekspektasi inflasi dipengaruhi selain oleh

perkembangan inflasi yang telah terjadi (inertia) juga oleh kebijakan moneter yang

ditempuh oleh bank sentral yang tercermin pada perkembangan suku bunga dan nilai

tukar. Semakin kredibel kebijakan moneter, yang antara lain ditunjukkan pada

kemampuan bank sentral dalam mengendalikan suku bunga dan nilai tukar, semakin

kuat pula dampaknya terhadap pembentukan ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Dalam

kondisi demikian, ekspektasi inflasi masyarakat akan cenderung mendekati sasaran

inflasi yang ditetapkan bank sentral dalam kebijakan moneternya. Dengan perkataan

lain, semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah deviasi ekspektasi

masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral. Oleh karena itu, semakin

kecil pula distorsi yang dimbulkannya terhadap perkembangan output dan pencapaian

sasaran inflasi.

15

Page 16: Kebijakan Moneter

BAB III

OPERASI MONETER BANK INDONESIA

A. Proses Pengambilan Keputusan dalam Penetapan Kebijakan Moneter

Proses pembahasan dan perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara berjenjang di

tingkat direktorat di Bank Indonesia, dan dilanjutkan pada pembahasan dalam forum Komite

Evaluasi Kebijakan Moneter yang melibatkan satuan kerja di sektor moneter dan perbankan di

Bank Indonesia.  Asesmen tentang kondisi terkini dan prakiraan ekonomi tersebut selanjutkan

disampaikan ke Dewan Gubernur dalam forum Komite Kebijakan Moneter (KKM). Forum

tersebut merupakan forum diskusi antara anggota Dewan Gubernur dengan pimpinan satuan

kerja di Bank Indonesia, yang ditujukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang

perekonomian. Forum ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan RDG dan tidak melibatkan

pengambilan keputusan terkait stance kebijakan moneter.  Proses pengambilan keputusan baru

dilaksanakan pada RDG.

Proses selanjutnya adalah Rapat Pra-Rapat Dewan Gubernur (Pra RDG). Di forum

Pra-RG ini Dewan Gubernur dan pimpinan Direktur di bidang Moneter dan Perbankan

membahas mengenai asesmen Bank Indonesia terhadap perekonomian makro dan sektor

keuangan. Setelah Pra RDG, Rapat Dewan Gubernur  (RDG) dilaksanakan.  Dalam RDG,

masing-masing anggota Dewan Gubernur memberikan pandangannya terhadap kondisi

perekonomian makro dan sektor keuangan dan membahas pilihan-pilihan kebijakan yang

akan diambil. RDG mengambil keputusan kebijakan moneter dalam bentuk penentuan BI rate

melalui konsensus.  Sesuai dengan UU Bank Indonesia, Gubernur Bank Indonesia memiliki

hak veto dalam Rapat tersebut.

[A.] Proses Operasi Moneter yang Dilakukan Bank Indonesia

1. Kerangka Operasi Moneter

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia

menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku

bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI

Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka

pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI

menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight (o/n) sebagai sasaran

operasional kebijakan moneter.

Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI

16

Page 17: Kebijakan Moneter

Rate), Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas

perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui

pelaksanaan operasi moneter (OM).

Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam

rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi

Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang

yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas

suku bunga PUAB o/n.  Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana

rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah 

(deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga

di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities

dilakukan atas inisiatif bank.

2. Proses Operasi Moneter

a. Instrumen Operasi Moneter

Operasi Moneter dilakukan dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing

Facilities (SF) .

1) Operasi Moneter: Operasi Pasar Terbuka

Kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) meliputi:

i. Absorpsi Likuiditas:

Penerbitan SBI

Term Deposit

Reverse Repo

Penerbitan SBIS

ii. Injeksi Likuiditas:

Transaksi Repo

Berikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta

karakteristiknya :

17

Page 18: Kebijakan Moneter

Keterangan:

o VRT (Variable Rate Tender)

o FRT (Fixed Rate Tender)

o FX (foreign exchange)

o SBI (Sertifikat Bank Indonesia)

o SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)

o SUN (Surat Utang Negara)

2) Operasi Moneter : Standing Facilities

Standing facilities meliputi:

Penyediaan dana rupiah (lending facility) - Dilakukan dengan mekanisme repurchase

agreement (repo) surat berharga

Penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia (deposit facility) - Dilakukan

dengan menempatkan dana rupiah oleh bank secara berjangka di Bank Indonesia

Berikut adalah tabel jenis instrumen standing facilities dan dampaknya terhadap likuiditas

serta karakteristiknya:

18

Page 19: Kebijakan Moneter

Keterangan : FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah)

3) Operasi Moneter : Syariah 

Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam

rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing

facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari Operasi Moneter Syariah adalah:

i. Mencapai target operasional pengendalian operasi moneter syariah d.r. mendukung

pencapaian akhir kebijakan moneter BI;

ii. Target operasional berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain

yang ditetapkan BI.

Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS)

Dilakukan dalam bentuk antara lain:

OPT Syariah; dan

Standing Facilities Syariah.

Sesuai dengan Pasal 26 UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 dan PBI tentang OMS

Pasal 4 No.10/36/PBI/2008 : kegiatan-kegiatan tersebut harus memenuhi prinsip syariah yang

dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa (MUI -

DSN) yang berwenang.

b. Proyeksi Likuiditas

Untuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun

disediakan (injeksi) dalam rangka menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank

Indonesia melakukan estimasi kebutuhan likuiditas perbankan sehingga dapat ditetapkan

target operasi moneter setiap harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan

19

Page 20: Kebijakan Moneter

mempertimbangkan faktor-faktor otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan

Pemerintah dan mutasi uang kartal.  

Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi

yang handal dan sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama

untuk mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak

Oktober 2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada

pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank

Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi

likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan

likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.

Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:

i. Proyeksi Total Likuiditas Tersedia

Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan

merupakan hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam

menambah/mengurangi ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah

antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem

perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia, net instrumen

Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank

Indonesia.

ii. Proyeksi Excess Reserve

Proyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank

Indonesia dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM).

3. Penyempurnaan Operasi Moneter

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter dan mendorong

perkembangan pasar uang domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan operasi

moneter yang mulai dilakukan sejak Maret 2010. Penyempurnaan operasi moneter tersebut

dilakukan melalui upaya penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan

penggunaan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) tenor yang lebih panjang. 

a. Perpanjangan Profil Jatuh Waktu Sertifikat Bank Indonesia

Dalam rangka menyempurnakan operasi moneter, Bank Indonesia memperpanjang

profil jatuh waktu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Perubahan tersebut dilakukan melalui

perubahan pelaksanaan lelang SBI dari mingguan menjadi bulanan, dan melakukan

penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan kepada SBI. dengan tenor

20

Page 21: Kebijakan Moneter

yang lebih panjang.

b. Paket Kebijakan Penguatan Manajemen Moneter dan Pengembangan Pasar

Keuangan

Paket kebijakan yang diambil secara umum berupa kebijakan untuk memperkuat

operasi moneter dan menyempurnakan aspek prudential perbankan, terdiri dari penambahan

instrumen dan penyempurnaan beberapa ketentuan baik di pasar uang rupiah maupun valas,

yang terdiri dari:

Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N; diimplementasikan mulai 17 Juni 2010.

Penerapan minimum one month holding period Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

diimplementasikan mulai 7 Juli 2010.

Penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit; berlaku mulai

7 Juli 2010.

Penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN); berlaku mulai 1 Juli

2010.

Penerbitan SBI berjangka waktu 9 dan 12 bulan; yang diimplementasikan pada minggu

ke-II Agustus 2010 (SBI 9 Bulan)

Penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN);

Sebagai tindak lanjut dari beberapa penyempurnaan Operasi Moneter dimaksud,

Bank Indonesia juga telah menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ketentuan

pelaksanaanya (Surat Edaran Bank Indonesia), yaitu PBI No. 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli

2010 tentang Operasi Moneter dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 12/16/DPM

tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga

Perantara dalam Operasi Moneter, SE BI No. 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Koridor

Suku Bunga (Standing Facilities) dan SE BI No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal

Operasi Pasar Terbuka.

4. Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai

rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.  Untuk

mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai

instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan

tujuan akhir pencapaian inflasi.  Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai

dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time

lag).

21

Page 22: Kebijakan Moneter

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut

sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter.  Mekanisme ini

menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter

dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum

akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi

antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate

mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur

nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan

suku bunga kredit perbankan.  Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank

Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku

bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.  Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku

bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan

meningkat.  Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan

untuk melakukan investasi.  Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi

sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.  Sebaliknya, apabila tekanan inflasi

mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk

mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.   

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.  Mekanisme ini

sering disebut jalur nilai tukar.  Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan

selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri.  Dengan melebarnya

selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam

instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan

22

Page 23: Kebijakan Moneter

tingkat  pengembalian yang lebih tinggi.  Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan

mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor

lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif

sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.  Turunnya net ekspor ini akan

berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui

perubahan harga aset.  Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan

obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya

mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan

investasi. 

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi

ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi).  Penurunan suku bunga yang diperkirakan

akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk

mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi.  Upah ini pada

akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). 

Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain.  Jalur nilai tukar biasanya

bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat

cepat.  Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan

tarnsmisi kebijakan moneter.   Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi,

respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat.  Juga,

apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan

suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan

menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan

juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila

prospek perekonomian sedang lesu.  Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan,

dan kondisi  sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses

transmisi kebijakan moneter.

23

Page 24: Kebijakan Moneter

B. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

permintaan (demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian

sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, diperlukan kerja sama dan koordinasi antara

pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Sehubungan dengan

hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin

menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain,

Bank Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI

untuk memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait

dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan

dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) yang dibahas bersama di DPR. Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan

Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan Utang Negara.

Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan

membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI)

di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen

teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang

Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan,

Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI

diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan

akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat

terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan dan berkelanjutan.

24

Page 25: Kebijakan Moneter

C. Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam buku The Indonesian Economy Entering New Era, Ascarya menulis sebuah

artikel berjudul the dynamics of monetary policy yang menguraikan kebijakan moneter yang

diambil oleh Bank Indonesia untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang ada dari periode

1953 hingga 2009. Uraian kondisi ekonomi dan kebijakan moneter yang diungkapkan oleh

Ascarya terdapat pada tabel berikut :

No Kondisi Ekonomi Kebijakan Moneter

I. Periode 1953-1968 ( Tahun tahun awal dibentuknya Bank Indonesia) Program Revitalisasi dan Stabilisasi- Banyaknya mata uang yang

berbeda beda yang dicetak dan diedarkan di berbagai daerah

- Peredaran uang yang sangat banyak

- Hiperinflasi hingga 653,3%- Jumlah simpanan merosot

- Ditetapkanya rupiah sebagai mata uang resmi Republik Indonesia

- Reevaluasi mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp.1 (Sanering)

- Kebijakan uang ketat; meningkatkan bunga deposit hingga 72%

- Meningkatkan kredit langsung untuk aktivitas ekonomi

- Menerbitkan UU Perbankan Nomor 14 tahun 1967

II. Periode 1968-1973- Inflasi mengalami penurunan- Simpanan masyarakat meningkat- Kebijakan moneter dan fiscal

yang terkoordinasi namun kurang terdapat prinsip prudensial dan mekanisme cek and balance atas kebijakan ekonomi

- Fokus kepada menstabilkan harga

- Meningkatkan koodinasi fiscal-moneter

- Mengontrol peredaran uang- Menciptakan gerakan

menabung nasional- Menurunkan bunga tabungan

secara gradual- Bunga pinjaman investasi

yang rendahIII. Periode 1974- 1978

- Krisis moneter internasional- Invlasi mengalami peningkatan

drastic pada 1974- Meningkatnya peredaran uang

dari keuntungan perdagangan minyak dan kredit likuiditas dari Bank Indonesia

- Kebijakan moneter terbuka sejak 1974; batas kredit; batas bunga dan kredit yang lebih selektif

- Kebijakan uang terbuka- Menurunkan persyaratan

cadangan pada 1978- Kredit langsung kepada Bulog- Kredit likuiditas untuk KIK dan

KMKP

25

Page 26: Kebijakan Moneter

IV. Periode 1979-1983- Resesi global sejak 1979- Inflasi lebih tinggi dibandingkan

dengan Negara rekan perdagangan

- Harga komoditas yang tidak kompetitif

- Peredaran uang yang berlebih

- Mengontrol peredaran uang- Fasilitas kredit ekspor bagi

sektor non migas

V. Periode 1983-1988- Resesi global masih berlanjut- Harga minyak dunia mengalami

penurunan dari US$ 35 menjdadi US$ 10 per barel

- Perlambatan ekonomi- KElemahan structural- Peredaran mata uang kembali

berlebih sejak 1987

- Menghilangkan batas kredit dan bunga

- Kebijakan Operasi Pasar Terbuka

- Kredit likuiditas ditujukan kepada sektor yang menjadi prioritas utama

VI Periode 1988-1997

- Berkembangnya berbagai instrument keuangan

- Meningkatnya permintaan kredit diiringi kenaikan tingkat bunga pinjaman

- Pemisahan sektor riil dan keuangan

- Peredaran uang berlbeih pada tahun 1990 dan 1994

- Tingkat bunga rendah pada tahun 1994

- Kebijakan uang ketat- Meningkatkan cadangan wajib

dari 2% menjadi 3%

VII Periode 1997-1999

- Ekonomi mengalami overheating- Kelemahan structural- Hutang luar negeri yang tidak

dilindung nilai- Krisis moneter yang diawali dari

Thailand- Perbankan mengalami kejatuhan;

kredit macet meningkat; ROA dan CAR minus

- Kebijakan uang ketat- Melikuidasi 16 bank pada 16

November 1997- Menandatangani Letter of

Intent dengan International Monetary Fund yang mempersyaratkan adanya kebijakan blanket guarantee dan bailout atas perbankan lain yang mengalami kesulitan modal

- Menerbitkan UU Perbankan pada tahun 1998 dan UU Bank Sentral pada tahun 1999

VIII Periode 2000-2004

26

Page 27: Kebijakan Moneter

- Recovery- Bank sentral yang lebih

independen- Tekanan inflasi dan tingkat

bunga yang tinggi- Restrukturisasi perbankan

dengan BLBI

- Kebijakan uang ketat melalui Operasi Pasar terbuka dengan menerbitkan SBI serta melalui intervensi terhadap nilai tukar mata uang rupiah

- Kebijakan moneter yang lebih akomodatif pada tahun 2003

- Kembali menerapkan kebijakan uang ketat pada tahun 2004

IX Periode 2005-2007

- Pemulihan perekonomian makin cerah

- Terdapat tekanan dari eksternal berupa ketidakseimbangan global

- Kenaikan harga minyak dan suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat)

- Inflasi tinggi mencapai 17,1% pada tahun 2005

- Kebijakan Uang ketat dengan meningkatkan BI Rate menjadi 12,75% pada Desember 2005 dan Meningkatkan cadangan wajib

- Kebijakan moneter akomodatif pada 2006-2007

X Periode 2007-2009

- Krisis keuangan global sejak Juli 2007

- IHSG mengalami penurunan sejak maret 2008 ; Harga minyak naik sangat drastic hingga sempat menyentuh angka $ 147/barell

- Sistem perbankan mengalami mengalami pelemahan

- Tekanan inflasi berkuran- Banyak bank sentral menurunkan

kebijakan tingkat bunganya

- Meningkatkan suku bunga BI sejak mei 2008

- Menurunkan cadangan wajib dan Rasio Kecukupan Modal

- Bailout kepada bank century- Kebijakan moneter akomodatif

secara agresif sejak bulan 2008 hingga awal 2010

D. Full Fledged Inflation Targeting (FFIT)

Pada tahun 2005, Bank Indonesia mulai mengenalkan suatu framework dalam

mengambil kebijakan moneter yang dikenal dengan Full Fledged Iflation Targeting(FFIT).

Dengan FFIT, kerangka kerja kebijakan moneter dilakukan secara transparan dan konsisten

dalam rangka mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang ditetapkan dan

diumumkan secara eksplisit. Guna mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi

tersebut, Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI-Rate) yang diumumkan secara periodik

27

Page 28: Kebijakan Moneter

kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu. Perubahan BI-

Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap perkembangan kondisi makroekonomi.

Pelaksanaan FFIT di Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa FFIT adalah framework,

bukan rule. Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak dilaksanakan secara kaku.

Pelaksanaan kebijakan moneter juga mempertimbangkan sasaran-sasaran pembangunan yang

lebih luas antara lain pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan prinsip full discretionary, FFIT

menuntut agar discretionary policy dalam pelaksanaan kebijakan moneter bersifat terbatas.

Konsep FFIT merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan

pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa

periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan

tujuan utama dari kebijakan moneter. Jadi, konsep FFIT adalah:

- Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan

analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan

inflasi.

- Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar

Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi

di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral

(moral suassion).

- Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada

pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan

efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan

moneter yang ditempuh Bank Indonesia

Dengan konsep dasar tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter

dengan elemen-elemen pokok sebagai berikut:

- Pertama, suku bunga (BI-rate) digunakan sebagai sasaran operasional moneter

menggantikan uang beredar. Perubahan sasaran operasional moneter ini didasarkan

pada pertimbangan makin lemahnya hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi.

- Kedua, kebijakan moneter diperkuat dengan strategi yang bersifat pre-emptive atau

forward looking. Elemen dasar ini sekaligus merupakan tantangan besar bagi Bank

Indonesia mengingat inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi

inflasi yang bersifat adaptif (inertia). Bank Indonesia menyebutkan, misalnya sekitar

74% inflasi pada tahun 2001 dan sekitar 89% inflasi pada tahun 2004 terutama

28

Page 29: Kebijakan Moneter

disumbang oleh ekspektasi yang bersifat adaptif. Kebijakan moneter perlu konsisten

terhadap sasaran akhir yang akan dicapai atau menghindari time-inconsistency policy.

Tanpa konsistensi yang kuat, kebijakan ke depan kurang mendapat perhatian dari

masyarakat.

- Ketiga, terkait dengan unsur kedua, pelaksanaan FFIT membutuhkan komunikasi

yangefektif dan transparan kepada masyarakat luas. Ini diperlukan agar langkah-

langkah kebijakan yang akan ditempuh ke depan benar-benar dipahami secara utuh

oleh masyarakat.

- Keempat, peningkatan koordinasi yang lebih kuat dengan Pemerintah. Elemen ini

sangat

penting dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan mengingat faktor-

faktor

pendorong inflasi tidak sepenuhnya berada dalam lingkup kewenangan Bank

Indonesia.

Meskipun kinerja dan manfaat dapat berbeda tergantung pada kondisi spesifik Negara

yang bersangkutan dan rezim yang dipraktekkan, pada umumnya negara yang menerapkan

FFIT memperoleh sejumlah keuntungan, yaitu:

- Sukses dalam membantu negara menurunkan inflasi,

- Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus,

- Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat,

- Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik

dalam mengatasi kejutan inflasi,

- Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah,

- Teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan,

- Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer

yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, dan

Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat.

Kisah sukses FFTI di sejumlah Negara maju didukung oleh terdapatnya prasyarat dan

pra kondisi yang diperlukan di Negara yang bersangkutan, sementara di Negara berkembang,

pra syarat tersebut tidak sepenuhnya dipenuhi. Calvo dan Mishkin (2003) mengidentifikasi

lima perbedaan antara Negara maju dengan Negara sedang berkembang yaitu: (a) lemahnya

disiplin fiscal (fiscal dominance); (b) lemahnya kelembagaan keuangan termasuk pengaturan

dan pengawasan prudential (financial dominance); (c) rendahnya kredibilitas dari

29

Page 30: Kebijakan Moneter

kelembagaan moneter; (d) dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap

terhentinya aliran modal secara tiba-tiba (external dominance).

Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat berubah

sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang dihadapi. Masih

kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock terbukti mengganggu

pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di dalam negeri dinaikkan secara

signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen pencapaian target inflasi tidak dapat

dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan

mengingat pencapaian target inflasi sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank

Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan FFIT bukan

hanya menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga komitmen

pemerintah selaku otoritas fiscal.

Perubahan kerangka kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh perkembangan pasar

keuangan dan infrastruktur pendukungnya seperti perubahan system pembayaran yang cukup

pesat yang didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi. Dengan

perkembangan system pembayaran yang sedemikian pesat, transaksi crossborder menjadi sulit

dimonitor sehingga aliran modal masuk dan keluar semakin tidak mungkin dikontrol. Ketika

teknologi membuat pola transaksi berubah, kebijakan moneter pun akan berubah. Ketika

sistem perdagangan berubah dengan dunia berubah, kebijakan moneter yang dibutuhkan pun

berubah.

30