kebijakan insentif fiskal

Upload: muhammad-arief-dwi-utama

Post on 10-Feb-2018

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    1/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Pertama tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada

    Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini

    terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan

    ini.

    Laporan penelitian ini yang berjudul Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam

    Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan diselesaikan dalam rangka

    kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan KerjasamaInternasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies,

    PT. PLN (Persero).

    Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal hal sebagai

    berikut :

    1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untukmenggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untukpemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi

    dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya

    kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat

    terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku

    ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik.

    2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangikebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan

    kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah

    permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup

    apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan

    listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan

    prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.

    i.1

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    2/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    3. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah langkah untuk (i)menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah

    terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun

    mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup

    kesejangan (gap) energi listrik tersebut.

    4. Untuk mensukseskan langkah - langkah tersebut maka dibutuhkanketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini,

    kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum

    memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri

    maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut.

    5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalamproyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang

    diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah.

    Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif

    dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform

    ratekhusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastianusaha listrik, dan (ii)biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain

    di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain.

    6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasanainvestasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah

    satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar

    harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk

    mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain :

    a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor

    kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di

    semua tahapan proses produksi listrik.

    7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomiyang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i)

    penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar

    i.2

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    3/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang tindih kebijakan Pemerintah Pusat

    & Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan peraturan yang kurang

    mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan

    penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah masalah investasi secara

    tepat dan akurat.

    8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapatmeningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i)

    di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh 60% dari

    pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif

    SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas

    pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh 10%

    selama 5 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN

    BEBAS dengan pajak final 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3%

    Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan,

    dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR 30% selama 5 tahun untuk

    mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a)

    usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas

    penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa

    mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat

    strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan

    PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan: a) menggunakan mekanisme PP Nomor

    42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan

    Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh PemerintahPusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK

    47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke

    dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d)

    memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e)

    menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan

    memasukan harmonisasi tarif.

    i.3

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    4/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    9. Usulan bentuk bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energiterbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c)

    penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d)

    memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari

    sumber daya tidak terbarukan.

    Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak

    luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu

    terbuka dan tulus ikhlas menerima saran saran maupun kritikan yang bersifat

    kontrukstif guna perbaikan laporan ini.

    Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan

    penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini

    dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita

    cintai bersama.

    Jakarta, Oktober 2005

    Ketua Tim Penelitian danPenulisan Laporan

    Purwiyanto

    i.4

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    5/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR i.1DAFTAR ISI i

    DAFTAR TABEL vi

    DAFTAR GAMBAR vii

    DAFTAR LAMPIRAN viii

    BAB I PENDAHULUAN 1.1

    1.1 Latar Belakang Masalah 1.1

    1.2 Tujuan Studi 1.6

    1.3 Metodologi Penelitian 1.6

    1.4 Output 1.7

    BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA

    PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR

    2.1

    2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka

    Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan

    2.3

    2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.4

    2.2.1 Efek Subsidi Pemerintah 2.7

    2.3 Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha

    Ketenagalistrikan

    2.8

    2.3.1 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) 2.9

    2.3.2 Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan

    Biaya Produksi

    2.12

    BAB III GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI

    INDONESIA

    3.1

    3.1 Profil Ketenagalistrikan 3.1

    3.2 Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3

    3.3 Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.4

    3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik 3.6

    i

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    6/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.7

    3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.11

    3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.12

    3.4 Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan 3.12

    BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE

    DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI

    INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN

    4.1

    4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk

    Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman

    (Subsidiary Loan Agreement)

    4.1

    4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai

    dengan Tahun 2000

    4.4

    4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan

    oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan

    Tahun 2000

    4.9

    4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk

    Investasi di Sektor Kelistrikan

    4.10

    4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan

    (PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan

    Setelah Tahun 2001

    4.14

    4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu

    dan atau di Daerah-Daerah Tertentu

    4.15

    4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga

    Khusus yang dibentuk Pemerintah

    4.17

    4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET) 4.18

    4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh

    DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri

    4.20

    4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.23

    4.5.6 Restukturisasi Perusahaan 4.25

    4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya 4.27

    ii

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    7/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan

    Perusahaan

    4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih

    Penilaian Kembali Aktiva Tetap

    4.28

    4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal

    22 Impor

    4.29

    4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka

    Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan

    4.3.2

    4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah

    Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001

    4.3.3

    4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah

    Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan

    Sekarang

    4.3.4

    4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah

    yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman

    Luar Negeri

    4.3.5

    4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka

    Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan

    4.3.6

    BAB V KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES

    BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA-NEGARA

    ASEAN

    5.1

    5.1 Kebijakan Insentif Fiskal di Beberapa Negara 5.1

    5.2 Kebijakan Insentif Fiskal di Malaysia 5.1

    5.2.1 Kebijakan Insentif Regional 5.1

    5.2.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.2

    5.2.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan

    Bebas

    5.3

    5.2.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.3

    5.3 Kebijakan Insentif Fiskal di Filipina 5.4

    5.3.1 Kebijakan Insentif Regional 5.4

    iii

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    8/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.5

    5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan

    Bebas

    5.5

    5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.65.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.6

    5.4.1 Insentif Sektoral 5.6

    5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.8

    5.4.3 Insentif Lainnya 5.8

    5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.9

    5.5.1 Insentif Regional 5.9

    5.5.2 Insentif Sektoral 5.11

    5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.11

    5.5.4 Insentif Lainnya 5.12

    5.6 Kebijakan Perlistrikan di Thailand 5.12

    5.7 Kebijakan Perlistrikan di Vietnam 5.13

    5.8 Kebijakan Perlistrikan di Malaysia 5.14

    5.9 Kebijakan Perlistrikan di Filipina 5.15

    5.10 Kebijakan Perlistrikan di India 5.17

    5.11 Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.28

    5.11.1 Pendahuluan 5.28

    5.11.2 Kondisi Indonesia 5.29

    5.11.3 Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda

    Ekonomi

    5.31

    BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR

    KETENAGALISTRIKAN

    6.1

    6.1 Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013

    6.1.1 Rencana Pengembangan Pembangkit di Jawa,

    Madura dan Bali

    6.1

    6.1.2 Rencana Pengembangan Pembangkit di Luar Jawa,

    Madura dan Bali

    6.1

    iv

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    9/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa,

    Madura dan Bali

    6.1

    6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa,

    Madura dan Bali

    6.2

    6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura

    dan Bali

    6.2

    6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa,

    Madura dan Bali

    6.3

    6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.3

    6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.3

    6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura

    dan Bali

    6.4

    6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri

    Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan

    6.4

    6.3.1 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini 6.5

    6.4 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 6.14

    6.5 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.15

    6.5.1 Potential LossTerhadap Penerimaan Negara 6.15

    6.5.2 Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) 6.16

    6.5.3 Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat 6.16

    BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1

    7.1 Kesimpulan 7.1

    7.2 Saran dan Rekomendasi 7.6

    7.2.1 Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastuktur

    Ketenagalistrikan

    7.6

    7.2.2 Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi

    Terbarukan

    7.7

    v

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    10/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1 Proyeksi Penawaran Energi Listrik yang Disesuaikandengan Capacity Factor1990-2010 (Juta Gigajoules) 1.2

    Tabel 3.1 Angka ROR Tahun 2000-2007 3.13

    Tabel 3.2 Pelanggan PT. PLN Tahun 2000-2004 3.16

    Tabel 4.1 Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap 4.5

    Tabel 5.1 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

    Negara-Negara ASEAN 5.18

    Tabel 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

    Negara-Negara ASEAN 5.20

    Tabel 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

    Negara-Negara ASEAN 5.21

    Tabel 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

    Negara-Negara ASEAN 5.23

    Tabel 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

    Negara-Negara ASEAN 5.24

    Tabel 5.6 Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity 5.31

    Tabel 6.1 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003-2007

    (Fixed Asset-US$ Juta) 6.15

    Tabel 6.2 Potential LossSektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah

    Selama Lima Tahun 6.15

    Tabel 7.1 Usulan Bentuk-Bentuk Insentif Fiskal Untuk PemanfaatanSumber Daya Terbarukan 7.10

    vi

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    11/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Subsidi dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik 2.5

    Gambar 2.2 Kasus Permintaan Elastis 2.9

    Gambar 2.3 Kasus Permintaan Tidak Elastis 2.10

    Gambar 2.4 Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik 2.14

    Gambar 3.1 Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001-2013 3.1

    Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004-2010 3.2

    Gambar 3.3 Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3

    Gambar 3.4 Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik 3.5

    Gambar 4.1 Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di Beberapa Negara

    Pada Berbagai Tingkat Pendapatan 4.5

    vii

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    12/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Tambahan Kapasitas Pembangkit IPP / Pemda

    Lampiran 2 Tambahan Kapasitas Pembangkit Proyek PLN

    Lampiran 3 Parameter Kandidat Pembangkit

    Lampiran 4 Asumsi Harga Bahan Bakar

    Lampiran 5 PLN & Private Projects Committed

    Lampiran 6 On Going Projects: Proyek Pembangkit PLN / IPP / Pemda

    Lampiran 7 Kapasitas TerpasangLampiran 8 Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar

    Lampiran 9 Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer

    Lampiran 10 Regional Balance Tahun 2008

    Lampiran 11 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran

    Dan Distribusi

    Lampiran 12 Rencana Penambahan Kapasitas

    Lampiran 13 Pokok pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan

    UU Perpajakan

    Lampiran 14 Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPh

    Lampiran 15 Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM

    Lampiran 16 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang

    Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan

    Energi hijau)

    Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang

    Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil

    Tersebar

    Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan,

    Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah

    Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN

    vii

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    13/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    BAB IPENDAHULUAN

    I.1. Latar Belakang Permasalahan

    Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi

    jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan

    kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun

    bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan

    tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya

    kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang

    menggunakan listrik.

    Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara

    pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas

    ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya.

    Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus

    menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha

    ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau

    kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar

    dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya

    aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan

    ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun.

    Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat

    disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik,

    karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik.

    Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak

    pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari

    penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik

    merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan

    perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i)

    menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah

    1.1

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    14/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat

    Tabel 1.1).

    Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan

    penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt

    tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN

    untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan

    peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri.

    Tabel 1.1 :Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan

    Dengan Capacity Factor 1990 2010 (Juta Gwh)

    TahunNo Uraian

    1995 2000 2005 2010*

    1 Diesel 11,12 12,91 14,88 15,292 Uap 56,53 65,61 75,63 77,703 Air 18,02 20,91 24,10 24,764 Gas turbin 2,63 3,05 3,52 3,625 Panas Bumi 4,19 4,87 5,61 5,766 Gas Uap 20,98 24,34 28,06 28,837 Total Supply 114,04 132,34 152,56 156,72**8 Energy Demand 249,40 289,42 333,63 382,71**9 Perkiraan Kesenjangan 135,36 157,08 181,07 225,99

    Sumber : Ismalina, 1997, diolah.* RUPTL Tahun 2004 2013 Jawa, Madura, Bali.** PLTU + Captive

    Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek

    pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang

    diharapkan (expected rate of return)dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya

    keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar

    listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang

    menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang

    kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara

    lain.

    Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan

    suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan.

    Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi

    1.2

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    15/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah

    kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus

    terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang

    kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biayaproduksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik.

    Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa

    mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan

    listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang

    murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi

    produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam

    rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak

    awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan

    persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL

    per kelompok pelanggan.

    Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku

    sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif.

    Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif

    rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata

    yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan

    moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata

    uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot

    menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000

    dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh.

    Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP),

    yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor

    ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada

    dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor

    ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang

    menguntungkan tersebut.

    1.3

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    16/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya

    recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya

    sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam

    pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaianpada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban

    puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak,

    biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi

    dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab

    itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor

    kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan.

    Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses

    produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk

    kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat

    menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal,

    investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna

    mendukung kegiatan investasi tersebut1.

    Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik

    yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif

    harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai

    pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang

    untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting

    yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah

    pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan,

    serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana

    investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan

    adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung

    pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World

    Bank).

    1Hasil studi BAF CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisitmenyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.

    1.4

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    17/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan

    lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha

    ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil

    studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yangmenyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi

    apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian

    competitiveness mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan

    dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha

    dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat

    faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja

    perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi

    infrastruktur3.

    Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah

    untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan

    insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang

    mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui

    berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektorriil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan

    tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi

    belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di

    sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu

    panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih

    efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan

    dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa

    kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan

    penyertaan modal negara pada sisi belanja negara.

    Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah :

    a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuktenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,

    2Institute for Management Development, 2003.3Idem.

    1.5

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    18/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    b. Benefit cost analysiskebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik,c. Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan,d. Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi

    ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya

    I.2. Tujuan Studi

    Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di

    sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk :

    (1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnyainvestasi di sektor ketenagalistrikan;

    (2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untukmendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan

    (3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendoronginvestasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber

    daya (minimal dead weight loss).

    I.3. Metodologi Penelitian

    Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif-

    deskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif.

    Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan

    kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan

    undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya,

    kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan

    tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak

    kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro

    dari kebijakan fiskal tersebut.

    Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif,

    sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain.

    Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal

    standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan

    perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan

    1.6

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    19/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan

    undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya.

    Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak

    kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang

    ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun data-

    data dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan,

    maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak

    kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif

    kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang

    optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan

    kepentingan masyarakat secara umum.

    Tahap analisis yang akan dilakukan adalah:

    1) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan,2) Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan

    sebagaimana yang diharapkan,

    3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biayatersebut, dan

    4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku,atau insentif baru seperti di negara lain.

    I.4. Output

    Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk:

    a. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan?b. Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor

    tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis

    c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorongmendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal

    dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal

    negara (government investment), dan (iii) privatisasi.

    1.7

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    20/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    BAB IILANDASAN TEORI :

    KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAANDENGAN PERMINTAAN LISTRIK

    Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer

    bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang

    dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena

    itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin

    tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

    Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional,

    mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

    Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada

    penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri

    transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994),

    terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi

    energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yangdicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu,

    Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003)

    menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun

    dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik

    sebesar 9% per tahun.

    Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang)

    energi listrik dan pertumbuhannya belum mampu memenuhi kebutuhan

    (permintaan) masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan (gap) antara

    penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang.

    Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal

    Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa Bali mengalami krisis listrik

    karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal

    seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.

    2.1

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    21/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan

    tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah

    kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang

    salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurutinformasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor

    ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan :

    1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan ListrikNegara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti

    usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha usaha penunjang

    tenaga listrik); dan

    2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikankarena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi

    tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN

    belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang

    diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan

    sistem uniform rateuntuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif

    dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari

    sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang

    kompetitif (high cost economy).

    Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini

    adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif

    fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan

    pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di

    sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor impor, kebijakan disektor moneter

    seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui

    instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain

    saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin

    Penerimaan (Revenue Guaranteed).

    2.2

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    22/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha

    Ketenagalistrikan

    Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua

    asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifatrasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar

    bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

    Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi

    terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar

    dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya

    kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain :

    1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitasbarang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk

    mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya;

    2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalampenyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai

    pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha

    ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satu-satunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok

    tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu

    mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL).

    3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good,sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya

    tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan

    tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang

    mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya.

    4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untukmenyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka

    intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat

    memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang

    investasi penyediaan listrik.

    2.3

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    23/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi

    posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive

    yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik

    sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atasperilakunya.

    Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected

    incetivesyang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material,

    sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan

    insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu

    memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku

    masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan.

    Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat

    akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik

    sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui

    net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir

    melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik.

    2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik

    Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan

    dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan

    salah satu barang yang termasuk dalam kategori administered price, yaitu barang

    yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya.

    Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biayaproduksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta

    mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah

    mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi

    merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen

    maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual

    barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya

    produksinya.

    2.4

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    24/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan

    konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh

    pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva

    permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikutihukum permintaan dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika

    harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal.

    Gambar 2.1.Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik

    0 Q2 QPasar QSubsidi

    ESubsidi

    EPasarSubsidi

    S1

    S0

    S0

    D

    D

    TDL

    PPasar

    P2 S1

    Qt

    Keterangan :P0 = Harga keseimbangan pasarTDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalahmenetapkan TDL P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1

    Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk

    menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari

    kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut

    maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual

    barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk

    meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan

    peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan

    atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan

    dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan

    2.5

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    25/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang

    ditawarkan meningkat.

    Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva

    permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada

    titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0,

    dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga

    dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah

    mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar

    adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai

    tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang

    ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan

    maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah

    lagi.

    Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh

    Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen

    menghasilkan output sebesar Q2lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen

    Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand

    shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi

    (ceiling price) pada P1.Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh

    masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah

    menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari

    kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup

    produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya

    subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN)

    diharapkan mampu menambah suplai dari Q2menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian

    subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0ke S1dan keseimbangan terjadi

    pada titik E1.

    Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah

    berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal

    maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi

    2.6

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    26/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan

    listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh

    terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat

    pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik.Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (s

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    27/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat

    ditawarkan oleh produsen.

    Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada

    kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati

    oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat

    ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik

    mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    28/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN)

    Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan

    dibayar pada waktu terjadi transaksi jual beli barang atau jasa kena pajak. Pada

    umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil

    penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan.

    Pungutan PPN ini akan menyebabkan konsumen harus membayar lebih

    tinggi untuk dapat mengkonsumsi/memperoleh barang/jasa tersebut. Namun

    dalam kenyataan, beban pembayaran PPN tersebut tidak seluruhnya harus dibayar

    atau ditanggung konsumen, akan tetapi sebagian beban PPN juga ditanggung oleh

    produsen. Pembagian beban pajak diantara konsumen dan produsen biasanyadinamakan dengan insiden pajak (tax incidence). Untuk menganalisis insiden pajak

    perlu dilihat proporsi beban pajak di antara konsumen dengan produsen masing-

    masing tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran yang berbeda atas

    beban pajak.

    P S1 S0 D0

    E1 TaxP1

    P0 E0 Gambar 2.2.Kasus Permintaan Elastis

    P2

    0 Q1 Q0 Qt

    Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva

    permintaan dan penawaran adalah D0dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada

    titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0dan keseimbangan jumlah

    barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen

    sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang

    yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1.Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0menjadi

    2.9

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    29/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen

    dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga

    keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang

    ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1sebagai akibat pengenaanPPN sebesar T%.

    Apabila dibandingkan antara harga sebelum dengan sesudah PPN, terlihat

    bahwa beban pajak yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar P0P1 dan

    sebaliknya (T - P0P1) atau P0P2yang harus ditanggung oleh produsen (PT. PLN).

    P S1 S0 E1

    P1 Tax

    P0 E0 Gambar 2.3.Kasus Permintaan Tidak Elastis

    P2

    D0

    0 Q1 Q0 Qt

    Gambar 2.3 menunjukkan pemerintah mengenakan PPN dalam kasus

    permintaan in elastis. Sebelum pemerintah memungut pajak (PPN) sebesar T%,

    kurva penawaran barang adalah S0 dan kurva permintaan konsumen adalah D0.

    Pertemuan penawaran dan permintaan menghasilkan keseimbangan pasar pada titik

    E0dengan tingkat harga P0dan tingkat kuantitas Q0.

    Setelah pemerintah memungut PPN sebesar T% yang membawa dampak

    bergesernya kurva penawaran barang ke atas dari S0 menjadi S1, artinya produsen

    mengurangi jumlah produksi barang sebagai akibat adanya pemungutan PPN

    tersebut. Dengan kurva pemintaan barang yang sama, maka keseimbangan pasar

    terjadi pergeseran dari titik E0 menjadi titik E1 dengan jumlah barang sebesar Q1.

    Pemungutan PPN tersebut menyebabkan kenaikan harga barang yang harus dibayar

    2.10

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    30/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang

    di pasar.

    Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau

    dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2.

    Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak

    yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus

    ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1> P0P2.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar energi listrik di Indonesia

    mempunyai bentuk kurva permintaan yang in elastis yang mempunyai arti bahwa

    ketergantungan konsumen terhadap energi listrik sangat tinggi dan tidakmempunyai alternatif energi selain listrik sehingga pada tingkat harga berapapun

    yang terjadi konsumen harus membayar (mampu atau tidak mampu) besarannya

    energi listrik yang dikonsumsinya. Karena kurva permintaan energi listrik yang in

    elastis tersebut, adanya pemungutan PPN tidak banyak menurunkan jumlah barang

    yang ditunjukkan oleh Q0Q1.

    Di sisi lain, pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva

    penawaran barang yang elastis, artinya produsen energi listrik sangat peka terhadap

    gangguan produksi (seperti : kebijakan pemerintah, inflasi, depresiasi nilai tukar, dll)

    sehingga jumlah penurunan produksi barang akan seiring dengan besarnya

    gangguan produksi tersebut. Dengan kurva penawaran yang elastis tersebut,

    produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban gangguan

    produksi tersebut kepada konsumen, misalnya pengenaan PPN terhadap

    penggunaan energi listrik maka konsumen harus memikul beban pajak tersebutyang lebih besar dari beban yang ditanggung produsen.

    Dengan kata lain, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk

    menggeser beban PPN kepada konsumen sehingga konsumen yang mendapat

    kerugian ganda, yaitu harga menjadi lebih mahal namun jumlah barang ditawarkan

    di pasar lebih sedikit. Berdasarkan gambar 2.4. menunjukan bahwa bentuk pasar

    energi listrik mempunyai kurva permintaan yang in elastis dan kurva penawaran

    yang elastis, sehingga untuk menciptakan harga yang dapat dijangkau seluruh

    2.11

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    31/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi

    kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong

    investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan.

    2.3.2. Dampak Insentif Pemerintah Terhadap Penurunan Biaya ProduksiGambar 2.4. berikut ini menunjukkan proses penetapan harga jual

    berdasarkan biaya produksi. Pada gambar tersebut menunjukkan total biaya

    produksi listrik sebelum mendapat insentif dari Pemerintah, yang diperlihatkan oleh

    kurva TC0dan kurva TC1merupakan kurva total biaya produksi listrik yang sudah

    mendapat insentif dari Pemerintah, sedangkan kurva TR menggambarkan

    penerimaan total perusahaan listrik.

    Selain itu, gambar 2.4. tersebut juga menunjukkan kondisi perusahaan

    sebelum dan sesudah diberikan insentif oleh Pemerintah. Pertama, kondisi sebelum

    mendapat insentif, dimana diperlihatkan oleh kurva TC0menunjukkan tiga kondisi

    perusahaan, yaitu : a) Tahap I dimana perusahaan mengalami kerugian karena total

    biaya produksi lebih tinggi dari total penerimaan (TC > TR), b) Tahap II dimana

    perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besardari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami

    break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR =

    TC).

    Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan

    menderita rugi (karena AC0> AR1 = MR1) karena harga jual outputyang rendah (0P1)

    dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1tersebut terjadi dua hal,

    yaitu : a) produsen hanya menawarkan outputsebesar 0Q2 dengan kurva penawaran

    adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1(karena berlaku hukum

    permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi

    kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang

    ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar

    Q1Q2.

    2.12

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    32/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0

    yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi

    karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik)

    dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenancecost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam

    perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin

    berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas

    (break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0.

    Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan

    mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk

    mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur

    tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan

    menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah

    memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0

    dengan TC1) kepada perusahaan.

    Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total

    biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC

    dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan

    meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0

    menjadi S1.Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik

    E0menjadi E1dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1serta diikuti

    dengan penambahan outputdari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per

    unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang

    diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama

    Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga

    jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan

    masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka

    panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya

    dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir

    golongan tertentu saja.

    2.13

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    33/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    2.14

    TingkatHargaPasar

    0

    P

    TDL

    Qt

    AC0

    QSubsidiQPasarQ2

    TR, TC

    0 Qt

    QSubsidiQPasarQ2

    S0

    EPasar

    D

    S1Subsidi

    ESubsidi

    TDL

    MR1

    MC0

    MC1AC1

    P, MR, AC,MC

    0 Q2

    AVC

    QPasar QSubsidi Qt

    EPasarTingkatHargaPasar

    TRTC0TC1

    0

    1

    Gambar 2.4.Biaya Produksi dan Pasar

    Energi Listrik

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    34/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    BAB IIIGambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia

    3.1. Profil Ketenagalistrikan

    Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas

    perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan

    menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini

    menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi

    maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan

    tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai

    99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional

    meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%.

    Gambar 3.1.Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013

    0

    20.000

    40.000

    60.000

    80.000

    100.000

    120.000

    140.000

    160.000180.000

    200.000

    2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

    Indonesia Jawa-Bali Wilayah Lain

    Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat

    di Jawa Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik

    nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia,

    sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa Bali. Jumlah

    3.1

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    35/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi

    listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari

    total pelanggan.

    Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Irian

    Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun

    2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa Bali mencapai 79,7 TWh dan

    tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi

    listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat

    16,3 TWh (lihat Gambar 3.2).

    Gambar 3.2Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 2010

    79,7

    11,63,2 3,1 1,3

    125,9

    16,3

    4,5 4,4 5,3

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    Jawa - Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya

    Tahun 2004 Tahun 2010

    Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total

    penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio

    maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan

    energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya.

    Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai

    54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka

    electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%,

    disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnyamencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio

    3.2

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    36/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia

    yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam

    menunjang aktivitasnya.

    Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratiodi

    Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai

    Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai

    100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka

    panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam

    mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi.

    3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik

    Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru

    mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya

    oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratiomenjadi 70%

    tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW.

    Gambar 3.3.Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik

    0

    20000

    40000

    60000

    80000

    100000

    120000

    140000

    160000

    180000

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    GWh

    10%4%

    34%

    46%

    5,7%

    5% 9,6%

    30%

    49%

    5,9%

    Oil

    Hydro

    Gas

    Geo

    Coal

    5%

    18%

    9,7%

    24%

    43%

    3.3

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    37/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010,

    menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004

    diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari

    gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik

    berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien.

    3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik

    Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan

    pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga

    listrik membawa outcomepositif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

    Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak

    yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial,

    maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat.

    Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri

    ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan

    ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan

    tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan

    harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di

    wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan

    di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik.

    Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya

    tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah

    Jawa Bali cukup dan terus ditambah.

    Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa Bali

    adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit

    terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang

    pembangkit di sistem Jawa Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2

    Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali terjadi pada

    tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005

    sebesar 14.575 MW... (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.

    3.4

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    38/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian

    wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam,

    kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan

    adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai

    pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan

    tersebut?

    Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    2003 2004 2005 2006 2007 2008

    Tahun

    Jumlah Tenaga

    Listrik (MW)

    Permintaan

    Penawaran

    Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini

    akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan

    pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat

    ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut

    menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan

    masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat

    permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat

    dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi

    pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat(Gambar 3.4).

    Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi,

    termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna

    memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi

    ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor

    ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya padabagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif

    3.5

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    39/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan

    keandalan tenaga listrik.

    3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik

    Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa Bali

    yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat

    dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN,

    beban puncak di wilayah Jawa Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW,

    dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW.

    Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut,

    yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan

    listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat

    menggunakan listrik secara boros.

    a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan EkonomiJumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata

    sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3

    persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi

    tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas

    dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase

    awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat

    mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk

    struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effectdari pertumbuhan ekonomi

    menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan

    efisien.

    b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLNPeningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan

    banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan

    menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebihmurah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga

    3.6

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    40/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April

    2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali yaitu

    sebesar 14.821 MW.

    c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara BorosPerilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan

    rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang

    masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal.

    Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan

    pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut

    akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,

    masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan

    oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut

    penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian,

    Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di

    malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui

    Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari

    posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575

    MW pada tanggal 2 Juni 2005.

    3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1Sebagaimana tercantum dalam BlueprintPengelolaan Energi Nasional 2005

    2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13

    persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen diKalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem

    ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa Bali. Bagi kontraktor listrik

    swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya

    besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.

    1 Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah

    penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni;pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik.2 Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul Interkoneksi untuk Atasi Listrik.

    3.7

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    41/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di

    atas, kesenjangan antara wilayah Jawa Bali dengan wilayah lainnya semakin besar,

    padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung

    salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola

    KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor

    ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa

    perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa Bali.

    Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat

    dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat

    elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanyasekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3.Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan-

    persoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik.

    a. Pembangkitan Tenaga ListrikDari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya

    pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya

    terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkittenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah

    pembangkit tenaga listrik baru.

    b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing.

    Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan

    (gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu

    antara lain disebabkan oleh:

    i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknisperalatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating),

    apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal

    mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.

    3 Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di

    Daerah Perbatasan Kalimantan.

    3.8

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    42/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedangdalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing

    pembangkit.

    iii.Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit ListrikTenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya

    tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh

    pembangkit jenis ini banyak berkurang.

    iv. Sebanyak 4 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasionalpembangkit.

    v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekundertergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang

    terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik

    membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT.

    PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga

    jumlah pasokan listrik berkurang.

    Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya

    seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas

    (PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan

    gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum

    Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi

    nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan

    dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35

    miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan

    sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang

    tidak dapat beroperasi secara optimal.

    c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru.

    Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi

    oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang

    4 Kompas, 22 Juli 2005, Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.

    3.9

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    43/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak

    mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang

    mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain:

    Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkansudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU

    Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan

    dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen

    diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga

    pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya.

    Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemdauntuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan

    berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk

    pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan

    keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang

    penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak

    kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara.

    Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakankebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak

    adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua

    resiko kegagalan proyek.

    Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal olehkebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus

    dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar

    batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer.

    Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton

    carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu

    sendiri6. Sementara itu di Bedugul Bali yang merupakan daerah resapan air,

    rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang

    5 Kompas, 30 Juli 2005, Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan.6 Kompas, 18 Agustus 2005, Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan

    3.10

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    44/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan

    lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat

    akan menyebabkan krisis air.

    Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhanpembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi

    nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang

    cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan,

    sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan

    mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan

    Pemerintah7.

    Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan.Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan

    diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar

    dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan

    pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh

    sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi

    tersebut perlu mengimpor.

    Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagimemadai.

    3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa Bali.

    Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa

    yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa

    Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa

    Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan

    transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun

    1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,

    pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan

    pembebasan lahan.

    7 Kompas, 20 Agustus 2005, Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?

    3.11

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    45/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa

    diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi

    mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa Bali saat ini.

    Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum

    terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa Bali dapat beroperasi dengan baik jika

    didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus

    mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di

    wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri

    untuk berpindah ke sana8.

    3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa Bali.

    Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi),

    terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah.

    Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung.

    Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.

    memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa Bali

    yang sistem pendukungnya sudah tersedia.

    3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan

    Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi

    mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang

    hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000

    MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh

    PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan

    listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan

    listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan

    transmission line.

    8Kompas, 29 Agustus 2005, Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat: Dipisahkan antaraOperasional Pasar dan Kebijakan Sosial.

    3.12

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    46/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

    Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi 9

    masih kurang dari 60%, b) harga jual beli yang disetujui antara PT. PLN dengan

    IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih

    relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan

    panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d)

    rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum

    berjalannya jaringan interkoneksi jawa sumatera melalui kabel laut. Dengan

    demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan

    (investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit,

    distribusi dan transmission line.

    Tabel 3.1.Angka ROR Tahun 2000 2007

    No TahunAngka ROR Aktual

    (%)

    Angka ROR MenurutCofenantBank Dunia

    (%)

    1 2000 - 7,70 8,002 2001 - 5,20 8,00

    3 2002 - 5,76 8,004 2003 - 1,10 8,005 2004 2,80 8,006 2005 8,00 8,007 2006 8,00 8,008 2007 8,00 8,00

    Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 2007.

    Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka

    diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh

    wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 2007 (constant disbursement)

    sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat

    ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN.

    Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang

    dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 2007) sehingga

    9

    Merupakan proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah(yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejarketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.

    3.13

  • 7/22/2019 kebijakan insentif Fiskal

    47/144

    Kajian Kebijakan Insentif FiskalUntuk Mendorong Pert