kebijakan gubernur basuki tjahaja purnama dalam reklamasi

14
105 Penelitian ini menjelaskan latar belakang lahirnya kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama, perubahan desain reklamasi dan pengaruh kelompok kepentingan dalam Reklamasi Jakarta. Kawasan Pantai Utara Jakarta ditetapkan menjadi kawasan andalan dalam Repelita VI yang kemudian melahirkan Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres ini merupakan dasar hukum pelaksanaan reklamasi Jakarta termasuk pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama. Terdapat perubahan desain reklamasi menjadi 17 pulau-pulau yang dinamakan Pulau A sampai Q, yang dipengaruhi oleh Belanda lewat program JCDS yang berubah menjadi NCICD, Belanda memiliki kepentingan untuk meningkatkan ekspor negaranya dalam bidang pengelolaan air. Keterlibatan Belanda diantaranya dalam reklamasi Jakarta karena ada empat perusahaan Belanda memegang peran sebagai konsultan dan kontraktor yang dikontrak pengembang untuk menjalankan proyek reklamasi. Dalam pelaksanaan reklamasi ada upaya dari pengembang untuk menekan biaya kontribusi yang diusulkan naik menjadi 15% oleh Basuki Tjahaja Purnama. Sejak awal kebijakan reklamasi dijalankan untuk kepentingan bisnis, sebab daratan reklamasi diperuntukkan unuk membangun kawasan pemukiman kelas menengah- atas dan kawasan bisnis. Pemerintah DKI Jakarta jauh sebelum Basuki Tjahaja Purnama sudah mendukung jalannya reklamasi karena reklamasi akan mendatangkan pemasukan yang besar bagi pemerintah DKI Jakarta, meskipun kebijakan tersebut kerap mengabaikan kepentingan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat pesisir. Kebijakan Reklamasi merupakan kebijakan yang membawa pemasukan besar bagi pemerintah maupun pelaku bisnis, sehingga dalam perumusan kebijakannya terjadi tarik-menarik kepentingan berbagai pihak. This study explains the background of the birth of the Jakarta North Coast reclamation policy during the reign of Basuki Tjahaja Purnama, changes in reclamation design, and the influence of interest groups in the Jakarta Reclamation. The Jakarta North Coast region was determined to be a mainstay during Repelita VI which later produced the Presidential Decree, commonly dubbed Keppres, No. 52 of 1995 concerning the Reclamation of the North Coast of Jakarta. This Kep- pres is the legal basis for the implementation of Jakarta reclamation, including during the reign of Basuki Tjahaja Purnama. There was a change in the reclamation design to 17 islands called Islands A to Q, which were influenced by the Netherlands through the JCDS program which was renamed to NCICD, the Netherlands has an interest in increasing its exports in water management. Among other things, the Dutch are involved in Jakarta reclamation because there are four Dutch companies holding roles as consultants and contractors employed by developers to carry out rec- Aprelia Amanda 1 , indiana Ngenget 2 , Musthopa 2 1, 2, & 3 Alamat: IISIP Jakarta, Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 021-7806223/24 Abstrak Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi Pantai Utara Tahun 2014-2017 1, 2, & 3 FISIP, IISIP Jakarta

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 105

Penelitian ini menjelaskan latar belakang lahirnya kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama, perubahan desain reklamasi dan pengaruh kelompok kepentingan dalam Reklamasi Jakarta. Kawasan Pantai Utara Jakarta ditetapkan menjadi kawasan andalan dalam Repelita VI yang kemudian melahirkan Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres ini merupakan dasar hukum pelaksanaan reklamasi Jakarta termasuk pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama. Terdapat perubahan desain reklamasi menjadi 17 pulau-pulau yang dinamakan Pulau A sampai Q, yang dipengaruhi oleh Belanda lewat program JCDS yang berubah menjadi NCICD, Belanda memiliki kepentingan untuk meningkatkan ekspor negaranya dalam bidang pengelolaan air. Keterlibatan Belanda diantaranya dalam reklamasi Jakarta karena ada empat perusahaan Belanda memegang peran sebagai konsultan dan kontraktor yang dikontrak pengembang untuk menjalankan proyek reklamasi. Dalam pelaksanaan reklamasi ada upaya dari pengembang untuk menekan biaya kontribusi yang diusulkan naik menjadi 15% oleh Basuki Tjahaja Purnama. Sejak awal kebijakan reklamasi dijalankan untuk kepentingan bisnis, sebab daratan reklamasi diperuntukkan unuk membangun kawasan pemukiman kelas menengah-atas dan kawasan bisnis. Pemerintah DKI Jakarta jauh sebelum Basuki Tjahaja Purnama sudah mendukung jalannya reklamasi karena reklamasi akan mendatangkan pemasukan yang besar bagi pemerintah DKI Jakarta, meskipun kebijakan tersebut kerap mengabaikan kepentingan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat pesisir. Kebijakan Reklamasi merupakan kebijakan yang membawa pemasukan besar bagi pemerintah maupun pelaku bisnis, sehingga dalam perumusan kebijakannya terjadi tarik-menarik kepentingan berbagai pihak.

This study explains the background of the birth of the Jakarta North Coast reclamation policy during the reign of Basuki Tjahaja Purnama, changes in reclamation design, and the influence of interest groups in the Jakarta Reclamation. The Jakarta North Coast region was determined to be a mainstay during Repelita VI which later produced the Presidential Decree, commonly dubbed Keppres, No. 52 of 1995 concerning the Reclamation of the North Coast of Jakarta. This Kep-pres is the legal basis for the implementation of Jakarta reclamation, including during the reign of Basuki Tjahaja Purnama. There was a change in the reclamation design to 17 islands called Islands A to Q, which were influenced by the Netherlands through the JCDS program which was renamed to NCICD, the Netherlands has an interest in increasing its exports in water management. Among other things, the Dutch are involved in Jakarta reclamation because there are four Dutch companies holding roles as consultants and contractors employed by developers to carry out rec-

Aprelia Amanda1, indiana Ngenget2, Musthopa2

1, 2, & 3 Alamat: IISIP Jakarta, Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 021-7806223/24

Abstrak

Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi Pantai Utara Tahun 2014-2017

1, 2, & 3 FISIP, IISIP Jakarta

Page 2: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa106

A. PENDAHULUANPembangunan bukan sesuatu yang terlahir

secara alamiah, pembangunan adalah hasil dari proses politik yang didalamnya terdapat intrik, kepentingan hingga perjuangan-perjuangan yang memberikan implikasi politik. Tidak mengherankan jika kemudian banyak studi pembangunan menempatkan pemerintah sebagai subjek utama pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek (penerima) pembangunan atau partisipan pembangunan. Secara normatif pembangunan memiliki makna yang positif dengan jargon, “untuk membangun dan demi perbaikan”, namun pembangunan juga mengandung berbagai kepentingan tentang bagaimana orang, kelompok, dan campur tangan internasional yang ingin mencapai tujuannya dalam pembangunan agar kepentingan-kepentingannya dapat diakomodasi (Ruslin, 2017).

Salah satu kebijakan pembangunan di Jakarta adalah reklamasi pantai utara Jakarta. Reklamasi hanya bisa dilakukan apabila pemanfaatan ekonomi dan sosial lebih besar dari biaya ekonomi dan biaya sosial. Pelaksanaan reklamasi juga harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti, keberlanjutan dan penghidupan masyarakat; keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian pesisir; pemenuhan

persyaratan teknis pengambilan, pengerukan dan penimbunan material. Gagasan reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah ada sejak masa kolonial. Saat itu Belanda ingin menjadikan Batavia seperti Amsterdam, namun baru pada tahun 1995 reklamasi Pantai Utara Jakarta dimulai dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta merupakan tindak lanjut dari Keppres No.17 tentang Repelita VI yang menjadikan kawasan Pantai Utara Jakarta masuk dalam kategori Kawasan Andalan yaitu kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota. Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No.121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta terjadi perubahan bentuk reklamasi. Jika dalam Keppres No.52 tahun 1995 reklamasi berbentuk perluasan daratan di pesisir utara Jakarta, dalam Pergub No.121 Tahun 2012 mengenai Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, reklamasi berbentuk pulau-pulau kecil yang terpisah dengan daratan sejumlah 17 pulau.

Sebelum terbitnya Pergub No.121 Tahun 2012 mengenai Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Presiden Susilo

Key Words: North coast reclamation, Basuki Tjahaja Purnama Reclamation Policy, Interest Groups, Business Actors

lamation projects. In the implementation of the reclamation there was an effort from the developers to reduce the cost of the proposed increase of contribution to 15% by Basuki Tjahaja Purnama. Since the beginning the reclamation policy has been carried out for business purposes, because it has been intended for the development of middle-upper class residential areas and business areas. The DKI Jakarta Government long before Basuki Tjahaja Purnama had supported the reclamation process because reclamation would bring in a large income for the DKI Jakarta government, even though the policy often ignored environmental interests and social justice for coastal communities. Reclamation policy is a policy that brings a large income for the government and business people, so that in the formulation of the policy there are confliting interests of various parties.a

1

1Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan lahan atau drainase. Lihat UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Page 3: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 107

Bambang Yudhoyono lebih dulu menerbitkan Peraturan Presiden No.54 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur. Pada Pasal 70 dinyatakan bahwa Keppres No.52 tahun 1995 masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dibawah Peraturan Presiden No.54 tahun 2008, namun pasal 72 menyatakan Keppres No.52 tahun 1995 sepanjang berkaitan dengan aspek tata ruang tidak lagi berlaku.

Pasal 70 dan 72 dalam Peraturan Presiden No.54 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur menjadi sumber perdebatan terkait dasar hukum utama yang digunakan dalam kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Selama ini berbagai pihak memiliki landasan regulasi yang berbeda-beda tetapi tetap mengacu pada dua peraturan tersebut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan Keppres No.52 tahun 1995 sebagai acuan, terutama Pasal 4 yang menyebutkan bahwa wewenang reklamasi Pantai Utara Jakarta ada pada Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan menurut Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Muhammad Isnur, Keppres No.52 tahun 1995 tidak berlaku setelah adanya Perpres No.54 tahun 2008 karena reklamasi terkait penataan ruang (Rudi, 2016).

Dengan menggunakan dasar Keppres No.52 tahun 1995 maka Gubernur DKI Jakarta memiliki wewenang dalam menerbitkan izin reklamasi Pantai Utara Jakarta. Berdasarkan Pergub No.121 Tahun 2012 mengenai Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diterbitkan pada masa pemerintahan Fauzi Bowo, akan ada 17 pulau yang dibangun di kawasan Pantai Utara Jakarta dengan total wilayah 5.155 hektar dan diproyeksikan akan menampung 750.000 penduduk. Pulau-pulau kecil yang dinamai dengan abjad A sampai Q itu dibangun oleh sembilan pengembang yaitu, PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda, PT Pelindo II, PT Mandala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah, PT Muara Wisesa, PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jakarta Propertindo.

Pada tahun 2007 Jakarta Utara mengalami

banjir rob yang sangat tinggi, rob ini biasa terjadi dalam siklus 18 tahun. Fauzi Bowo sebagai gubernur saat itu meminta anggaran kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk melakukan kajian mengenai banjir Jakarta, namun tidak disetujui. Kemudian Fauzi Bowo menghubungi Walikota Rotterdam untuk meminta bantuan, setelah itu lahirlah skema Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS). Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2009 pemerintahan Belanda mendatangi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk merancang sistem pertahanan laut yang dilakukan dari tahun 2009 sampai 2012, dikenal dengan sebutan Giant Sea Wall atau Great Garuda. Dalam Master Plan Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS) yang kemudian pada tahun 2013 berganti nama menjadi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), Fauzi Bowo memasukkan rencana reklamasi 17 pulau ke dalam NCICD, alasannya untuk kemitraan antara pemerintah dengan pengembang dimana pengembang diminta sumbangannya untuk pembangunan NCICD.

NCICD adalah proyek raksasa dengan tujuan melindungi Jakarta dari banjir rob dan memfasilitasi perkembangan sosio-ekonomi. NCICD dibagi memjadi tiga fase pembangunanan, fase A, B dan C. Fase A meliputi perlindungan banjir, perbaikan drainase perkotaan dan memperlambat penurunan muka tanah (land subsidence), 17 pulau reklamasi masuk dalam fase ini. Fase B meliputi pembangunan tanggul besar (Great Sea Wall) di lepas pantai yang dinamakan proyek Garuda karena membentuk pulau reklamasi seperti garuda, juga membuat danau resapan air di dalam Great Sea Wall. Fase C, pembangunan danau resapan air di sebelah timur teluk Jakarta dan terhubung dengan proyek garuda. Namun proyek yang memiliki anggaran sekitar 21,5 miliar dollar AS dan direncanakan selesai pada tahun 2080 belum memiliki payung hukum yang jelas (Sopaheluwakan, 2017).

Secara umum masyarakat mengira bahwa reklamasi membutuhkan biaya yang besar. Berdasarkan data proyek reklamasi di beberapa negara tetangga kita, biaya reklamasi ternyata

Page 4: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa108

sangat murah. Salah satunya Malaysia yang pernah melakukan reklamasi , di Melaka biaya reklamasi rata-rata hanya Rp.989.090/m2. Reklamasi di Tanjung Pinang, Tanjung Tokong pada tahun 2003 hanya menghabiskan 328 juta ringgit Malaysia (RM) untuk reklamasi seluas 973.793 m2, artinya biaya reklamasi per m2 hanya RM 336,83 atau Rp. 1.023.952. Reklamasi Marina, Bandar Tanjung Bungah pada tahun 2007 menghabiskan biaya RM 26.527.743 untuk reklamasi seluas 48.562 m2, artinya biaya reklamasi per m2 menjadi RM 546.26 atau Rp. 1.660.636 (Johan, 2017). Tinggi rendahnya biaya reklamasi per m2 tergantung luas wilayah yang direklamasi. Semakin luas wilayah reklamasi maka akan lebih efisien sehingga biaya per meter lebih murah dan semakin sempit wilayah reklamasi maka biaya per meter semakin mahal.

Berdasarkan analisis dari Anthony Budiawan, Managing Director di Political Economy and Policy Studies (PEPS), proyek reklamasi akan menghasilkan keuntungan sampai ratusan triliyun. 13 pulau reklamasi (A-M) dengan luas 3.565 ha terletak di kawasan hunian mewah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), Pantai Mutiara, Pluit, dan Ancol diberikan kepada tujuh pengembang yang harga tanah di kawasan hunian elite tersebut berkisar Rp. 20.000.000 – Rp. 50.000.000 /m2 (Kanedi, 2017).

Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia didiami oleh beragam manusia dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini membuat proses pembangunan juga terikat dengan keragaman latar belakang masyarakat yang ada di dalamnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sering kali beberapa kebijakan pembangunan yang ada di kota, yang mestinya dipandang sebagai suatu harapan bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik justru mendapat kritikan bahkan perlawanan dari masyrakat kota itu sendiri

(Ruslin, 2017). Koalisi Nelayan Tradisional Indonesi (KNTI) sebagai organisasi perhimpunan nelayan bersama Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan (KIARA) dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggugat Pemda DKI Jakarta dan PT. Muara Wisesa Samudera lewat Pengadilan Tata Usaha Negara karena telah menerbitkan izin Pulau G yang diperuntukan untuk pembangunan Pluit City oleh PT. Muara Wisesa Samudra. KNTI menyatakan bahwa reklamasi telah mengancam wilayah tempat mencari makan mereka sehingga mereka harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan.

Akhirnya tahun 2016 PTUN Jakarta memenangkan gugatan KNTI . Hakim menyatakan bahwa izin reklamasi melanggar hukum karena tidak menjadikan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No.1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 sebagai dasar; tidak adanya rencana zonasi; proses penyusunan Amdal tidak partisipatif; reklamasi tidak sesuai dengan prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum; hanya menguntungan kepentingan bisnis; mengganggu objek vital; menimbulkan dampak fisik, biologis, sosial ekonomi, dan infrastruktur; dan reklamasi membawa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian bagi nelayan.

Cukup tingginya jumlah masyarakat yang menolak kebijakan reklamasi membuat masalah ini menjadi salah satu poin yang disorot dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Gubernur yang saat itu menjabat, Basuki Tjahaja Purnama yang sangat mendukung jalannya reklamasi Pantai Utara Jakarta meskipun banyak menuai penolakan karena dianggap merusak lingkungan dan memarjinalkan nelayan. Basuki tetap bersikeras menjalankan reklamasi dengan dalih Jakarta

2

3

Data diperoleh dari A Study on Land Reclamatio Costs yang ditulis oleh Zuraidar Husain, Siti Noraziah Ahmad dan Mohd Ibni Izzan Adnan pada tahun 2009. Kemudian data dikonversi ke rupiah oleh Daniel Johan dengan menggunakan kurs Rp 3.042 per 1 RM.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait gugatan yang dilayangkan oleh nelayan, Perkumpulan Koalisi Rakyar Untuk Keadilan (KIARA), dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada Gubernur DKI Jakarta dan PT. Muara Wisesa Samudra.

2

3

Page 5: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 109

butuh ruang untuk menampung penduduk yang semakin banyak dan Pemprov DKI Jakarta akan memperoleh pemasukan yang besar apabila kebijakan reklamasi ini berhasil dijalankan. Pemasukan dari hasil reklamasi bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan lain di Jakarta. Sedangkan lawannya, Anies Baswedan menggunakan narasi untuk menolak reklamasi Jakarta dan melakukan upaya perbaikan lingkungan pesisir yang tercemar.

Segala bentuk penolakan baik dari masyarakat maupun dari instansi pemerintahan rupanya tidak mampu menghentikan proyek reklamasi walaupun telah dinyatakan bahwa kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menjalankan kebijakan tersebut. Dalih kepentingan ekonomi-bisnis yang akan membawa pemasukan besar bagi pemda DKI Jakarta dan Pusat selalu digunakan sebagai alasan utama untuk menjustifikasi kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Keadaan ini menjadi menarik untuk diteliti karena kebijakan yang lahir dengan tujuan awalnya untuk menata wilayah pesisir pantai utara Jakarta, ternyata mengalami berbagai perubahan menjadi mega proyek pencegahan banjir, pusat bisnis berskala internasional sampai hunian masyarakat menengah-atas. Dari uraian latar di atas ada beberapa indikator yang dapat menjadi rumusan masalah dari penelitian ini yaitu: 1. Lahirnya kebijakan Pemerintah DKI Jakarta

tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014-2017;

2. Perubahan desain reklamasi dari Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta ke Pergub No.121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta;

3. Pengaruh kelompok kepentingan (ekonomi-bisnis) dalam lahirnya Pergub No.121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah menjelaskan latar belakang lahirnya kebijakan

reklamasi Pantai Utara Jakarta pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014-2017, alasan perubahan desain reklamasi dari Keppres No.52 tahun 1995 ke Pergub No.121 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan menganalisis sejauh mana kepentingan ekonomi-bisnis dalam lahirnya Pergub No.121 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

A. TINJAUAN PUSTAKAKebijakan Publik

Teori kebijakan publik digunakan untuk menganalisis kebijakan Pemerintah DKI Jakarta tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta. Teori ini digunakan sebagai instrumen analisis untuk melihat tahap demi tahap pembuatan kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Metode analisis kebijakan publik menggabungkan lima prosedur umum yang lazim digunakan dalam pemecahan masalah manusia yaitu definisi, forecasting, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Perumusan Masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menghasilakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Forecasting menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menghasikan informasi tentang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang masalah. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah (Dunn, 1998).

Kelompok KepentinganTeori Kelompok Kepentingan dari Gabriel

Almond digunakan untuk membantu membedah peranan suatu kelompok yang mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Teori ini akan melengkapi Teori Kebijakan yang digunakan, karena teori ini akan mencoba melihat kepentingan

Page 6: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa110

kelompok dalam perubahan kebijakan, sehingga kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak sekedar dilihat sebagai proses pembuatan, perubahan maupun respon dari masyarakat terhadap kebijakan namun juga mencoba melihat kepentingan kelompok didalamnya. Almond membagi kelompok kepentingan menjadi empat jenis, Kelompok Anomik, Kelompok Non-Assosiasional, Kelompok Institusional dan Kelompok Assosiasional (Mas’oed dan MacAndrews, 2009).

Berdasarkan teori kelompok kepentingan maka kelompok bisnis yang mempengaruhi dalam kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta termasuk dalam jenis kelompok institusional. Dengan menggunakan teori ini maka dapat dijelaskan kelompok bisnis mana yang mempengaruhi kebijakan, motifnya, dan keuntungan yang didapat dalam kebijakan reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Konsep Reklamasi Menurut Wisnu Suharto, Reklamasi

adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Pada dasarnya reklamasi merupakan kegiatan merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan (Maskur, 2008). Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi, Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.40 tahun 2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai, Reklamasi Pantai adalah kegiatan di tepi pantai yang dilakukan oleh orang dalam

rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan lahan atau drainase

Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Peraturan tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta pertama kali tertuang dalam Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres tersebut merupakan kelanjutan dari Keppres No.17 tahun 1994 tentang Repelita VI yang memasukkan kawasan Pantai Utara Jakarta masuk ke dalam kategori kawasan andalan. Kawasan andalan adalah kawasan yang dinilai mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota. Untuk mewujudkan kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai Kawasan Andalan maka diperlukan penataan dan pengembangan kawasan Pantai Utara Jakarta melalui reklamasi pantai utara dan penataan ulang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa wilayah yang akan dilakukan reklamasi meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis Pantai Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sampai garis yang menghubungkan titik-titik terluar menunjukkan kedalaman delapan meter.

Pergub No.121 tahun 2012 tentang Rencana Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Pergub No.121 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam Pasal 2 dijelaskan, kawasan reklamasi mencakup kawasan perairan laut Teluk Jakarta yang diukur dari garis Pantai Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sampai garis menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman delapan meter dan didalamnya terdapat kawasan pengembangan lahan baru melalui pembangunan pulau-pulau hasil kegiatan reklamasi. Pembangunan pulau-pulau dipisahkan oleh kanal lateral dengan Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja dan Kecamatan Cilincing.

Page 7: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 111

Dalam Bab III tentang Arahan Pengembangan Kawasan Reklamasi, dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa kawasan reklamasi dibagi menjadi tiga sub kawasan yaitu Sub-Kawasan Barat yang terdiri dari Pulai A sampai Pulau H, Sub-Kawasan Tengah terdiri dari Pulau I sampai Pulau M, dan Sub-Kawasan Timur terdiri dari Pulau N sampai Pulau Q. Kawasan Reklamasi diarahkan untuk memenuhi 750.000 jiwa penduduk yang tersebar sebanyak 250.000 di Sub-Kawasan Barat, 400.000 di Sub-Kawasan Tengah dan 100.000 di Sub-Kawasan Timur.

Kerangka PemikiranPeraturan mengenai reklamasi pertama

kali muncul pada pemerintahan Suharto dengan terbitnya Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Pasca jatuhnya Suharto reklamasi sempat mandek karena mengalami perkara hukum. Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Menteri No.14 tahun 2003 yang menyatakan bahwa reklamasi akan meningkatkan resiko banjir, merusak ekosistem laut, dan mengakibatkan penghasilan nelayan menurun. Reklamasi juga akan mengganggu PLTU Muara Karang di

Jakarta Utara. Dengan terbitnya Pergub No.121 tahun 2012

tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang mengubah desain reklamasi dan masuknya reklamasi ke dalam mega proyek NCICD, menghidupkan kembali rencana reklamasi yang selama ini mati suri. Sedari awal reklamasi Pantai Utara Jakarta telah menuai pro dan kontra dalam masyarakat, puncak dari konflik itu mengemuka pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purna. Hal itu karena reklamasi menjadi isu yang digunakan dalam kampaye pemilihan gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2018 antara Basuki Tjahaja Purnama (petahana) melawan Anies Baswedan. Narasi yang dibangun adalah Basuki Tjahaja Purnama merupakan calon yang pro reklamasi sedangkan Anies Baswedan yang kontra reklamasi. Berdasarkan permasalahan dan kerangka teori yang telah dijabarkan maka dapat disusun kerangka pemikiran yang dapat dilihat pada Gambar 1.

A. METODE

Desain penelitian ini dimulai dengan tahap pengumpulan data mengenai latar belakang

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Page 8: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa112

terjadinya kebijakan pemerintah DKI Jakarta pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014-2017 dalam kasus reklamasi Pantai Utara yang mengakibatkan terjadinya pro kontra di masyarakat. Mengindentifikasi perubahan desain reklamasi dari Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta ke Pergub No.121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dan menganalisis pengaruh kelompok kepentingan (ekonomi-bisnis) dalam lahirnya Pergub No.121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Pendekatan yang digunakan dalam peneliti-an ini adalah kualitatif, dimana penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berupaya menganalisis kehidupan sosial dengan cara menggambarkan dunia sosial dari sudut pandang atau interpretasi individu (informan) dalam latar alamiah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif explanatory yang merupakan kombinasi antara penelitian deskriptif dan penelitian explanatory. Dalam penelitian ini, unit analisisnya adalah Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam reklamasi Pantai Utara tahun 2014-2017. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara (deep interview) dan studi pustaka (library Research), berbagai literatur tertulis digunakan sebagai data dalam memperkuat hasil wawancara, seperti berbagai buku/literatur, jurnal dan pemberitaan media massa yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.

Kemudian teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk-bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Setelah data dianalisa dan informasi yang lebih sederhana diperoleh, hasil-hasil harus diintepretasikan untuk mencari makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil-hasil penelitian (Singarimbun, 1989). Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung sepanjang

proses penelitian, yaitu dari sebelum memasuki lapangan penelitian sampai selesai.

B. HASIL PENELITIAN & PEMBAHASANReklamasi Pantai utara Jakarta mempunyai

sejarah panjang yang bermuara pada Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, merupakan tindak lanjut dari Keppres No.17 dalam Repelita VI (Orde Baru) yang menjadikan kawasan Pantai Utara Jakarta masuk dalam kategori kawasan andalan yaitu kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Kawasan Pantai Utara Jakarta masuk dalam sepuluh wilayah andalan karena masih satu-kesatuan dengan Pantura Jawa Barat dan Pantura Jawa Tengah. Kawasan Andalan menjadi wilayah pembangunan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI yang diputuskan melalui Keppres No.17 tahun 1994 tentang Repelita VI yang kemudian menjadi landasan lahirnya Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama tentang Reklamasi

Dengan masih berlandaskan pada Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta maka Basuki Tjahaja Purnama memiliki wewenang untuk menerbitkan izin reklamasi. Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan perpanjangan izin prinsip untuk pulau F, G, I, dan K. Enam bulan kemudian, ia mengularkan izin pelaksanaan Pulau G untuk anak perusahaan Agung Podomoro Land, yaitu PT. Muara Wisesa Samudra Pada 2015 Basuki Tjahaja Purnama juga menerbitkan izin pelakksanaan untuk Pulau F, H, I, dan K. Izin pelaksanaan Pulau F kepada PT. Jakarta Propertindo , Pulau H kepada PT. Taman Harapan Indah , Pulau I kepada PT. Jaladri Kartika Pakci bermitra dengan PT. Pembangunan Jaya Ancol (PJA), dan Pulau K untuk PT.

4

5

PT. Jakarta Propertindo merupakan anak perusahaan Intiland Tbk yang juga menjadi pengembang di kawasan Pantai Mutiara.

PT. Taman Harapan Indah merupakan anak perusahaan tak langsung Agung Podomoro.

45

Page 9: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 113

Pembangunan Jaya Ancol (Sopaheluwakan, 2017).

Berdasarkan Keppres No.52 tahun 1995 Pemprov DKI hanya memperoleh 5% dari luas total lahan pulau yang bisa dijual sedangkan Basuki menginginkan 70% untuk pemprov, menurutnya aturan reklamasi tidak fair. Karena tidak bisa menghentikan reklamasi, ia meminta kewajiban tambahan kepada pengembang untuk berkontribusi dalam pencegahan banjir seperti memasang pompa, membersihkan sungai, membuat bendungan dan waduk. Intinya para pengembang harus dipaksa berkontribusi lebih besar untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta (Hermawan, Muda, & Arimdya, 2015).

Dasar kegiatan pengembang membuat bangunan di atas pulau reklamasi berdasarkan pada Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara. Pada November 2015 Pemprov DKI Jakarta mengirimkan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ke DPRD DKI Jakarta. Dua Raperda tersebut tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Dalam pembahasannya dua raperda tersebut, Basuki ingin meningkatkan biaya kontribusi dari 5% menjadi 15%, namun

upaya ini tidak disetujui oleh DPRD dan terungkap adanya kasus suap terhadap DPRD oleh pengembang untuk salah satunya menekan biaya kontribusi guna meningkatkan keuntungan yang diperoleh pengembang atas proyek reklamasi.

Pengaruh Kelompok Bisnis dalam Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Setelah kemerdekaan Indonesia kebijakan melakukan reklamasi di Pesisir Pantai Utara memang selalu diperuntukkan untuk kepentingan bisnis dan pemasukan lewat pajak untuk Pemerintah DKI Jakarta. Pada masa Soekarno dilakukan untuk industri pariwisata Bina Ria Ancol, pada masa Suharto reklamasi dilakukan untuk pembangunan pemukiman mewah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Pantai Mutiara. Setelah banjir besar di Jakarta tahun 2007, kebijakan Pemerintah DKI Jakarta mengenai reklamasi memiliki fungsi ganda sebagai pengembangan kota kelas menegah atas dan pengendali banjir. Meskipun sering disebut alasan utama reklamasi Jakarta sebagai upaya mengatasi banjir dan mencegah Jakarta tenggelam pada tahun 2030, namun tidak bisa dipungkiri dibaliknya selalu ada alasan kepentingan bisnis dan ekonomi yang menyertai kebijakan reklamasi Jakarta.

Perusahaan Pengembang Pulau StatusPT Kapuk Naga Indah A, B, C, D, E C dan D dalam proses

reklamasi; A, B, dan E Izin Prinsip

PT Jakarta Propertindo F Izin Pelaksanaan PT Muara Wisesa Samudra G Izin Pelaksanaan PT Taman Harapan Indah H Izin Pelaksanaan PT Jaladri Kartika Eka Paksi I Izin Pelaksnaan PT Pembangunan Jaya Ancol J dan K J izin Prinsip; K Izin

PelaksanaanPT Manggala Krida Yudha L dan M Izin PrinsipPT Pelindo II N Proses ReklamasiPemprov DKI Jakarta O, P, dan Q Izin Prinsip

Tabel.1 Daftar Perusahaan Pemegang Izin Proyek Reklamasi

Sumber: Wacana, Jurnal Transformasi Sosial

Page 10: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa114

Sejak ditetapkan menjadi kawasan andalan artinya wilayah pantai utara akan berubah fungsi menjadi wilayah yang menguntungkan secara ekonomi. Peluang ini membawa masuk kepentingan bisnis ke dalam kebijakan reklamasi Jakarta. Meskipun tanpa ditetapkan menjadi kawasan andalan, wilayah pantai Pantai Utara Jakarta sudah lebih dulu perlahan mengalami perubahan menjadi kawasan hunian kelas atas seperti Pantai Indah Kapuk dan Pantai Mutiara yang merupakan wilayah reklamasi. Adanya penetapan ini beserta peraturan-peraturan yang menyertainya hanya memberikan landasan untuk melanggengkan kelompok bisnis untuk melakukan reklamasi, sebab sebelum adanya peraturan spesifik yang mengatur reklamasi, reklamasi Jakarta sudah dilakukan dan selalu diperuntukkan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah DKI Jakarta dan keuntungan bagi pengembang (kelompok bisnis).

Berdasarkan analisis dari Anthony Budiawan, Managing Director di Political Economy and Policy Studies (PEPS), proyek reklamasi akan menghasilkan keuntungan sampai ratusan triliyun. 13 pulau reklamasi (A-M) dengan luas 3.565 ha terletak di kawasan hunian mewah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), Pantai Mutiara, Pluit, dan Ancol diberikan kepada tujuh pengembang yang harga tanah di kawasan hunian elite tersebut berkisar Rp. 20.000.000 – Rp. 50.000.000 /m2. Dari 13 pulau tersebut anggap saja 45% untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, sisanya sekitar 1.960,75 hektar dikomersilkan. Jika seandainya dijual rata-rata 25 juta per meter maka akan menghasilkan Rp.490,2 triliun. Sedangkan untuk biaya melakukan reklamasi asumsi biaya diperkirakan dari reklamasi yang dilakukan Malaysia dengan menggunakan biaya tertinggi dibulatkan menjadi 2 juta per meter maka akan didapat angka 71,3 triliun biaya yang dikeluarkan untuk membangun pulau reklamasi. Keutungan yang didapat dari penjualan tanah reklamasi jadi sekitar 418,9 triliun (Kanedi, 2017).

Hitungan tersebut masih bersifat prediksi karena tidak ada data yang dikeluarkan pengembang reklamasi yang menunjukan biaya

dan keuntungan yang didapat dari dibuatnya pulau-pulau reklamasi di Jakarta. Tetapi jika menengok reklamasi yang dilakukan Malaysia, biaya yang dikeluarkan pengembang untuk melakukan reklamasi terhitung tidak besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat. Dalam A Study on Land Reclamation Costs (2009) dijelaskan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan reklamasi di Malaysia. Biaya rata-rata per meter reklamasi di Melaka sebesar Rp. 989.090/m2. Bandar Tanjung Pinang pada 2003 menghabiskan biaya 328 juta Ringgit Malaysia (RM) untuk lahan seluas 973.793 meter persegi, artinya biaya per meternya hanya RM 336,83 atau Rp. 1.023.952. Reklamasi Marina, Bandar Tanjung Bungah pada 2007 menghabiskan biaya RM 26.527.742 untuk lahan seluas 48.562 meter persegi, artinya biaya reklamasi per meter persegi menjadi RM 546.26, atau Rp. 1.660.636 (Johan, 2017).

Selain keuntungan besar bagi pengembang, reklamasi juga membawa pemasukan yang besar bagi Pemprov DKI Jakarta. Menurut Bestari Barus, Komisi D DPRD DKI Jakarta, Pemprov akan mendapat pemasukan sekitar 120 triliun dari Reklamasi Jakarta yang setara dengan 2 kali APBD DKI Jakarta. Dalam pembahasan Raperda reklamasi juga diusulkan agar harga tanah di area reklamasi setara dengan harga tanah tertinggi di Jakarta, mengikuti wilayah Sudirman-Thamrin yaitu sekitar 60 juta-70 juta per meter. Dengan demikian maka pajak yang diperoleh Pemprov akan semakin tinggi. (catatan 6)

Berbeda dengan pendapat dari DPRD, dalam Master Plan NCICD penyediaan tanah di wilayah pesisir dengan harga terjangkau yang mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena dapat menarik investor domestik maupun asing, mengingat tanah di pusat-pusat perbisnisan Jakarta yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan telah meroket (Issantyarni, 2017).

Saat ini terdapat 17 pulau reklamasi yang akan dibangun oleh sembilan pengembang (Tabel 2).

Belanda dalam Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Page 11: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 115

Pada tahun 2001 Pemerintah Belanda menandatangani Nota Kesepahaman dengan Indonesia tentang pengelolaan air yang disebut Parner of Water. Partner of Water menyediakan dana tambahan untuk proyek internasional yang diinisiasi oleh sektor perairan Belanda. Belanda menyediakan dana untuk membantu wilayah delta perkotaan di luar negeri untuk menghadapi ancaman banjir, menurunnya permukaan tanah, sanitasi, dan pasokan air bersih. Prasyarat untuk pembiayaan dari pemerintah Belanda adalah proyek yang diajukan juga harus menawarkan prospek untuk perdagangan, investasi, dan kerjasama. Proyek di sektor ini sering kali melalui tender dari pemerintah nasional atau pemerintah lokal, bukan oleh swasta. Untuk mendapatkan akses kepada pengambilan keputuasan dalam birokrasi asing, saluran diplomatik dapat membuka jalan ini. Sehingga bisnis akan bergantung pada administrasinya sendiri (Bakker, 2017).

Setelah banjir besar di Jakarta tahun 2007,

Pemerintah DKI Jakarta meminta bantuan Belanda untuk dibuatkan kajian untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta. Sejak saat itu hubungan pada sektor perairan Indonesia-Belanda semakin intensif. Pemerintah Belanda menyetujui dan lahirlah skema Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS) yang pada 2013 berganti nama menjadi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dan memasukkan 17 pulau reklamasi ke dalam proyek NCICD. Pembuatan Master Plan NCICD sepenuhnya dibiayai oleh Belanda.

Misi Master Plan NCICD adalah untuk memadukan solusi-solusi keamanan banjir dengan pengembangan perkotaan yang dengan demikian akan menyelesaikan masalah perkotaan dan pada waktu yang sama akan menghasilkan pendapatan untuk membiayai perlindungan banjir. Dengan demikian Master Plan ini lebih dari sekedar rencana manajemen banjir. Rencana Induknya ditunjukan untuk katalisator dalam pengembangan wilayah pesisir. Kebutuhan

Pulau PengembangA

PT Kapuk Naga IndahBCDEF PT. Jakarta PropertindoG PT. Muara Wisesa Samudra H PT. Taman Harapan Indah I PT. Jaladri Kartika Paksi dan PT. Pembangunan Jaya Ancol J PT. Pembangunan Jaya AncolK PT. Pembangunan Jaya Ancol L PT Mandala Krida Yudha dan PT. Pembangunan Jaya AncolM PT Mandala Krida Yudha dan Pelindo IIN PT. Pelindo II O PT Jakarta PropertindoP

PT. KEK MarundaQ

(Sumber: Sopaheluwakan, 2017)

Tabel .2. Pengembang Pulau-Pulau Reklamasi

Page 12: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa116

mendesak akan tanggul laut untuk perlindungan banjir menjadi tumpuan untuk rencana terpadu ini.

Belanda juga memainkan perannya sebagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan reklamasi lewat JCDS dan NCICD. Dalam hal ini Belanda memainkan dua peran, yang pertama Belanda sebagai negara dan yang kedua Belanda sebagai korporasi. Belanda sebagai negara berhubungan dengan Indonesia lewat penandatanganan nota kesepahaman tentang pengelolaan air yang disebut Partner of Water. Program ini menawarkan bantuan kepada negara lain untuk menghasapi banjir, menurunnya permukaan tanah, sanitasi, dan pasokan air bersih yang dibiayai oleh Belanda dengan syarat proyek yang diajukan juga harus menawarkan prospek untuk perdagangan, investasi, dan kerjasama, bisnis Belanda bergantung pada proses ini.

Belanda dalam reklamasi pantai utara juga berperan sebagai kelompok kepentingan. Kepentingan yang ingin dicapai Belanda adalah untuk mempromosikan sektor perairan Belanda. Pengetahuan Belanda yang maju dalam sektor perairan digunakan untuk mempromosikan bisnisnya ke luar negeri yang akhirnya meningkatkan ekspor Belanda. Kuatnya pengaruh Belanda dapat dilihat dari proyes penyusunan JCDS dan NCICD yang sepenuhnya dibuat dan dibiayai oleh Belanda. Tidak ada keterlibatan ilmuan Indonesia yang dalam penyusunannya namun JCDS lansung diadopsi kedalam Peraturan Derah (Perda) No.1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) tahun 2010-2030.

Kebijakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta juga sempat menjadi sorotan masyarakat ketika KPK menangkap Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi lewat operasi tangkap tangan. Dalam pengangkapan itu KPK berhasil menyita uang tunai sebesar 1,1 miliar. Uang suap tersebut merupakan pemberian dari Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan

Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Setelah kasus penangkapan M. Sanusi oleh KPK, Menko Maritim Rizal Ramli mengeluarkan moratorium untuk menghentikan reklamasi sementara. Setelah reshuffle kabinet kerja, posisi Rizal Ramli digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan dan ia menyatakan reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak bermasalah dan bisa dilanjutkan. Dilanjutkannya reklamasi Pantai Utara Jakarta menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Secara akademis, kajian mengenai dampak reklamasi perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Pemenuhan izin reklamasi harus dilakukan secara ketat. Amdal lingkungan harus menjadi acuan layak tidaknya melakukan reklamasi bukan sebatas syarat. Kebijakan Reklamasi jika tetap dilanjutkan harus menyelaraskan Keppres No.52 tahun 1995 tentang reklamasi Jakarta dengan peraturan-peraturan yang ada.

Kebijakan Reklamasi juga harus lebih memperhatikan dampak dari kebijakan ini terhadap lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat,karena hal inilah yang selalu menimbulkan arus penolakan dari masyarakat. Dalam penyusunan kebijakan Reklamasi, pembuat kebijakan harus mulai melibatkan partisispasi masyarakat Jakarta sebab kebijakan reklamasi yang ada selama ini belum merepresentasikan keinginan masyarakat.

E. KESIMPULANKepentingan bisnis selalu menjadi

faktor untama untuk melakukan reklamasi di Jakarta. Lahirnya Keppres No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang menjadi dasar hukum utama rekalamsi Jakarta sebenarnya hanya untuk melanggengkan jalannya reklamasi, sebab reklamasi sudah berjalan lama sebelum adanya peraturan tersebut. Kelompok kepentingan selalu mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan reklmasi. Terdapat dua kelompok kepentingan bisnis dalam reklamasi, yaitu Belanda dan Pengembang. Lewat reklamasi Jakarta, empat

Page 13: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi 117

korporasi Belanda yaitu Boskalis, Van Oord, Witteveen+Boss dan Royal HaskoningDHV teribat dalam proyek reklamasi Jakarta. Sedangkan pengembang memiliki kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan lewat penekanan kenaikan biaya kontribusi menjadi 15% dalam masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama.

Seiring jalannya keijakan Reklamasi, kebijakan ini menuai penolakan dari masyarakat khususnya nelayan, LSM, dan lembaga pemerintah itu sendiri. Hal ini ditenggarai karena reklamasi mengabaikan aspek lingkungan dan kesejahteraan sosial dalam pembuatan kebijakan. Reklamasi dijadikan proyek untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tapi mengabaikan dampak-dampak yang akan ditimbulkan. Konflik antara kelompok yang mendukung dan menolak reklamasi menjadi sorotan ketika pada masa Basuki Tjahaja Purnama. Hal ini terjadi karena reklamasi dijadikan komoditas politik menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

DAFTAR PUSTAKADunn, N. William. (1998). Pengantar Analisis

Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Mas’oed, Mohtar dan Colin MacAndrews. (2009). Perandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Bakker, Martin, Satoko Kishimoto, dan Chrisna Nooy. (2017). Keadilan Sosial di Pesisir: Peran Belanda dalam Proyek Pertahanan Pesisir. Belanda: Center for Research on Multinational Corporation (SOMO). Both ENDS, dan Transnational Institute (TNI)

Hermawan, Erwan, Husein Abri Yusuf Muda, dan Yolanda Ryan Armidya, . (2015). Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama: Saya Senang Jika Bisa Membatalkan Reklamasi. Majalah Tempo Edisi 1-7 Juni 2015

Husain, Zuraidar, Siti Norazizah Ahmad dan Mohd Ibni Izzan Adnan. (2009). A Study on Land Reclamatio Costs. Jabatan Penilaian Perkhidmatan Harta (JPPH), Kementerian Kewangan Malaysia

Issantyarni, Elisabeth Agustina. (2017). Tanggula Laut Raksasa Jakarta dan Perampasan Kedaulatan Nelayan di Negeri Bahari. Jurnal Transformasi Sosial No.35.

Maskur, Ali. (2008). Tesis, “Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai di Kota Semarang”. Universitas Diponegoro

Ruslin, Ismah Tita. (2017). Subaltern dan Kebijakan Pembangunan Reklamasi Pantai di Kota Makasar. Jurnal Politik Profentik, Vol.5 No.2

Savirani, Amalinda. (2017). Pertempuran Makna “Publik” dalam Wacana Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Jurnal Prisma, Vol.36 No.1

Sopaheluwakan, Jan, dkk. (2017). Makalah Kebijakan Selamatkan Teluk Jakarta. Rujak Center fot Studies

Publikasi ElektronikHermawan, Erwan, Mawardah Hanifiyani, dan

Putri Adityowati. (2016). Siasat Dibalik Suap Reklamasi: Ada Empat Siasat DPRD Mengakali Aturan-Aturan Reklamasi yang Saling Tabrak dan Keliru. 10 Desember 2018.

https://investigasi.tempo.co/reklamasi/ Johan, Daniel. (2017). Harta dibalik Reklamasi

Teluk Jakarta. 9 Oktober 2018. https://news.detik.com/kolom/3432904/harta-di-balik-reklamasi-teluk-jakarta

Kenedi. (2017). Proyek Mimpi atau Elegi?. 9 Oktober 2018. https://www.watyutink.com/topik/ekonomika/Reklamasi-Proyek-Mimpi-atau-Elegi

Rudi, Alsadad. (2016). Peraturan Mana yang Kini Jadi Acuan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta?

ht tps: / /megapoli tan.kompas.com/read/2016/04/19/10044601/peraturan.mana.yang.kinijadi.acuan.proyek.reklamasi.teluk.jakarta

Lain-lainKeppres No.52 Tahun 1995 tentang Reklamasi

Pantai Utara Jakarta Pergub DKI Jakarta No.121 Tahun 2012 tentang

Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Page 14: Kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam Reklamasi

Juli 2017 JURNAL ISIP Aprelia Amanda, Indiana Ngenget, & Musthopa118

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT

UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil