kebijakan deradikalisasi di perguruan tinggi: studi
TRANSCRIPT
M. Zaki Mubarak, dkk
1 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
1
KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI:
STUDI TENTANG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PERGURUAN TINGGI
DALAM MENCEGAH PERKEMBANGAN PAHAM KEAGAMAAN
RADIKAL DI KALANGAN MAHASISWA (STUDI KASUS
UI, UGM DAN UIN MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG)
M. Zaki Mubarak, Zulkifli dan Iim Halimatussa’diyah
Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian tentang kebijakan deradikalisas ini kami anggap
sangat penting, sebab hingga saat ini belum terlihat adanya
desain yang jelas, baik yang disusun oleh Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun pihak
universitas terkait program pencegahan dan deradikalisasi
dikalangan mahasiswa. Sebagian program perguruan tinggi
yang kami teliti ada yang kurang efektiif, sebagian lagi cukup
efektif. Tentunya, bila temuan dalam penelitian ini dapat
memberi kontribusi terutama pada penyusunan kebijakan
deradikalisasi mahasiswa oleh Kementerian Agama maupun
universitas. Penelitian ini dapat memberi masukan-masukan
bagi program deradikalisasi dan dis-engagement yang
dilakukan oleh pemerintah, terutama kementerian agama dan
pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia. Penelitian ini
menggunaakan metode kualitatif melalui wawancara
mendalam (indept interview). Sedangkan informannya
didasarkan pada metode purpose sampling, yakni para pejabat
yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
pencegahan radikalisme di empat perguruan tinggi yang
diteliti.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
2 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Pendahuluan
Sejak 2009 hingga 2012 kasus radikalisme agama dan
terorisme telah menyeret sejumlah belasan mahasiswa dari
berbagai universitas, tidak terkecuali dari Perguruan Tinggi
Agama Islam. Pada 2009 misalnya, tiga mahasiswa UIN Jakarta
ditangkap oleh Densus 88 karena tindak terorisme dan pada
September 2010 dijatuhi hukuman 4,5 tahun. Kemudian, pada
pertengahan Mei 2010 pasukan anti teroris Densus 88 juga
menangkap dua bersaudara, Abdul Rochim dan Abdul
Rachman, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)
dengan sangkaan terlibat dalam penyebaran kegiatan-kegiatan
teroris di Aceh. Kini, salah seorang di antaranya tengah dalam
proses peradilan. Terorisme, yang dimodifikasi pemahaman
keagamaan ekstrim, juga menyasar ke banyak intelektual
lulusan perguruan tinggi. Misalnya pada Agustus 2010, Densus
88 menangkap seorang tersangka teroris bernama Kurnia yang
kemudian diketahui sebagai alumnus Jurusan Teknik Kimia
Institute Teknologi Bandung (ITB). Pada 2011 lalu masyarakat
juga dikejutkan oleh peristiwa teror ‚Bom Buku‛ yang sempat
menghebohkan tanah air beberapa waktu lalu, telah
memunculkan sosok bernama Peppi Fernando sebagai aktor
penting. Bersamaan dengan Peppi, sebanyak 17 orang telah
ditangkap karena diduga terlibat dalam serangkaian aksi itu.
Diketahui, empat dari 17 tersangka (termasuk Peppi)
adalah alumni atau pernah menempuh kuliah di UIN Jakarta
(dulu, IAIN). Mereka adalah Pepi Fernando, M. Fadil. Hendi
Suhartono alias Jokaw, dan Muhammad Maulani Sani. Selain
bom buku yang dikirimkan kepada beberapa orang: Ulil
Abshar, Ahmad Dahani, Yapto Soerjoseomarno, dan Gorris
Mere. Pepi dan jaringannya tengah mempersiapkan
pengeboman sebuah greja.1 Perkembangan lain yang
1 Laporan rinci soal bom buku dan jaringan Pepi dibaca dalam,
‚Generasi Baru Teroris‛ Majalah Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011. Untuk profil 17
M. Zaki Mubarak, dkk
3 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
menyedihkan, pemahaman keagamaan radikal kini juga mulai
masuk di kalangan pelajar. Bahkan, beberapa pelajar telah
terindikasi dimanfaatkan oleh jaringan teroris. Pada awal 2011
sebanyak 5 pelajar SMK di Sukohardjo di tangkap dengan
telibat dalam jaringan terorisme.
Kelompok radikal keagamaan terkait Negara Islam
Indonesia (NII) juga aktif mencari pengikut di kalangan pelajar
dan mahasiswa. Seperti dicatat oleh Umar Abduh, mantan NII,
beberapa perguruan tinggi yang telah disusupi NII ini antara
lain: Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Institut Pertanian Bodor (IPB), Universitas Gunadarma,
dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Abduh, 2000).
Di beberapa perguruan tinggi sendiri telah dibentuk
lembaga yang khusus menangani persoalan bahaya radikalisme
di lingkungan mahasiswa. Di Universitas Gajah Mada (UGM)
dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalknya telah dibentuk
NII Crisis Centre. Lembaga ini dimaksudkan untuk
menginformasikan kepada mahasiswa bahaya ajaran NII, dan
melakukan penyadaran atau terapi bagi para korban NII.
Metode ini dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI), ceramah
dan kuliah umum tentang bahaya NII dan paham keagamaan
radikal lain diselenggarakan setiap tahun ajaran baru. Biasanya
menghadirkan mantan aktivis NII yang sudah sadar2. Di Institut
Teknologi Bandung (ITB) sosialisasi bahaya NII dan program
deradikalisasi dilakukan oleh Divisi Pelayanan dan Dakwah
Masjid Salman. Tiap tahun ajaran baru, masjid salman ITB
bekerjasama dengan NII Crisis Center mengadakan ceramah
umum bahaya paham keagamaan ekstrim. Termasuk tentang
penyuluhan bagi para mahasiswa untuk tahu strategi dan
tersangka jaringan Pepi, lihat: “Tuduhan kepada 17 tersangka bom buku dan
Sepong‛, Okezone, Rabu, 27 April 2011.
2 Lihat:
http://www.detiknews.com/read/2011/04/29/101430/1628335/10/ui-akan-
beberkan-bahaya-nii-kw-9-pada-mahasiswa-baru
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
4 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
modus kelompok radikal ini mencari pengikut. Model ini untuk
menyelamatkan mahasiswa dari pengaruh paham keagamaan
radikal, dan NII, adalah pengasramaan bagi mahasiswa baru3.
Di IPB, UIN Malang, dan Fakultas Kedokteran UIN Jakarta, bagi
mahasiswa baru wajib untuk tinggal di asrama selama setahun.
Setiap asrama ini dibimbing para ustadz dan ustadzah yang
memberi bekal dasar-dasar keagamaan yang mencukupi bagi
para mahasiswa baru, sekaligus memproteksi mereka dari
aliran-aliran radikal keagamaan yang umumnya mencari
mangsa dikalangan mahasiswa baru.
Dari uraian ringkas tersebut, sangat penting kiranya untuk
meneliti lebih mendalam pengalaman-pengalaman dan cara
kerja berbagai universitas dalam membendung pengaruh
paham keagamaan radikal di kalangan mahasiswa. Universitas
Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) dengan
model pendekatan yang agak berbeda menegaskan dalam dua
tahun terakhir keberhasilan mereka dalam melindungi
mahasiswa dari bahaya radikalisme ini. Berbagai metode dan
pendekatan untuk deradikalisasi ini menjadi sangat penting
sebagai masukan lebih luas bagi perguruan tinggi-perguruan
tinggi lainnya dalam mencegah makin berkembangnya paham
keagamaan radikal di kampus-kampus. Karena itulah penelitian
tentang segi-segi keberhasilan dan kekurangan program
mencegah radikalisme keagamaan para mahasiswa ini menjadi
sangat penting untuk dilakukan.
Radikalisme dan Deradikalisasi Berbagai Perpsektif
Banyaknya teror dan tindak kekerasan atas nama Islam
yang terjadi dalam kurang lebih satu dasawarsa terakhir telah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah penting dalam
studi-studi terorisme dan radikalisme keagamaan. Merujuk
3 Lihat ‚Upaya PT Mencegah NII di Kampus‛ dalam
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/04/110427_niiunive
rsityrecruitment.shtml
M. Zaki Mubarak, dkk
5 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
kepada Global Terorisme Database (2007), dari total 421 tindak
terorisme di Indonesia yang tercatat sejak 1970 hingga 2007,
lebih 90% tindak terorisme terjadi pada kurun tahun-tahun
mendekati Suharto lengser hingga memasuki era demokrasi.
Selain itu, jenis terorisme yang bersifat fatal attacks juga
mengalami kenaikan serius pada kurun waktu tersebut.
Termasuk penggunaan metode baru dalam melakukan teror,
yakni aksi bom bunuh diri (suicide attacks) yang sebelumnya
hampir tidak pernah terjadi. Sejak peristiwa teror Bom Bali I
yang menewaskan 202 orang hingga 2013, sekurangnya telah
berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan
radikal yang dikenal sebagai Jamaah Islamiyah (JI) dan
jaringannya dianggap sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab atas sebagian besar gelombang teror di
Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi teror
tersebut, hingga juni 2013 pemerintah telah menahan lebih
kurang 900 orang yang didakwah terlibat tindak pidana teroris
dan sekitar 70 terduga teroris ditembak mati.
Keterlibatan kelompok Islam radikal dalam aksi teror sama
sekali bukan merupakan fenomena baru dalam sejarah politik di
tanah air. Menengok sejarah dapat dicatat antaranya:
pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu kekerasan oleh
gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an
hingga awal 1960-an). Lalu, masa orde baru muncul juga
serangkaian kekerasan dan pengeboman yang dikaitan dengan
gerakan komando Jihad, pembajakan pesawat terbang Woyla
oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad
Zein tahun 1981, peledakan Candi Borobudur oleh kelompok
Syiah yang dipimpin Hussein al-Habsy tahun 1985, dan
sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan
berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi
demokrasi hingga saat ini.
Banyak studi yang mencoba memahami akar-akar
terorisme dan radikalisme dalam berbagai perspektif, baik itu
segi ekonomi, budaya, politik, psikologi, dan keagamaan (A.P.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
6 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Schmidt, 2011 dan John Horgan, 2012). Para ahli sepakat bahwa
akar terorisme bersifat komplek. Ada beberapa segi terorisme
keagamaan di Indonesia yang membedakan dengan fenomena
serupa di negara-negara Barat maupun negara muslim lainnya
seperti Malaysia, yakni unsur kesejarahan. Akar terorisme di
Indonesia saat ini yang melibatkan banyak kelompok Islam
berpandangan radikal akan dapat diketahui dengan baik
dengan melihat keterhubungannya dengan gerakan-gerakan
Islam saat ini merupakan ‚turunan‛ dari radikalisme Islam
yang diawali sebelumnya oleh Kartosuwirjo dengan Darul
Islamnya sejak 1950-an dan gerakan Komando Jihad atau Komji
yang muncul akhir 1970-an (Lihat: Zaki Mubarak, 2008).
Hubungan ini nyata terlihat tidak hanya pada segi kesamaan
ideologi, tapi bahkan juga segi biologis. Beberapa nama terduga
teroris, baik yang ditangkap hidup-hidup atau tertembak mati,
tercatat telah memiliki sejarah panjang tersangkut paut dengan
gerakan teror keagamaan sebelumnya.
Dengan membagi aksi teror dan radikalisme agama pasca
kemerdekaan ke dalam beberapa fase, menurut penulis,
fenomena terorisme di era reformasi merupakan fase ketiga
yang merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase pertama,
telah disebut sebelumnya, ditandai dengan munculnya DI/TII
Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh Kahar Muzakkar dan
Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan komando Jihad
1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah
mantan anggota DI/TII era Kartowoewijo. Nama Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, yang kemudian dikenal luas
sebagai amir Jamaah Islamiyah (JI), telah muncul pada fase itu.
Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang terjadi
saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.
Selain akar kesejarahan, geneologi pemikiran/ ideologi yang
menginspirasi berkembangnya radikalisme keagamaan juga
penting untuk ditelusuri. Perkembangan gagasan Islam radikal
di tanah air, yang beberapa ekspresi politiknya dilakukan
melalui aksi teror, banyak dipengaruhi oleh pandangan
M. Zaki Mubarak, dkk
7 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
keislaman ulama klasik Ibnu Taimiyah dan juga Sayid Qutb-
Pemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir yang
akhirnya dihukum gantung-. Pemikiran Quthb-melalui mu’alim
fi at-tharieq- banyak menginspirasi radikalisme keagamaan di
kalangan muda pada 1980-an. Terutama, pandangannya soal
jahiliyah modern dan definisi kafir yang meluas. Lalu, gagasan
ini diperkukuh oleh Syaikh Abdullah Azzam, dengan konsep
jihadnya, yang kemudian berhasil mempengaruhi para aktifis
muslim Indonesia pergi berjihad ke Afganistan. Alu Osama bin
Laden, menjadi tokoh terpenting dalam mempengaruhi arah
dan perkembangan gerakan neo-fundamentalisme kontemporer
(Oliver Roy, 2005). Justrifikasi jihad dan dalil keagamaan yang
banyak keluar dari aktivis radikal saat ini kenyataannya tidak
lebih sebagai “copy paste” ungkapan-ungkapan yang sering
dilontarkan Bin Laden sebelumnya. Kuatnya pengaruh para
tokoh di atas juga dapat dibaca dengan jelas dalam berbagai
buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi oleh
kelompok-kelompok radikal di tanah air.
Selain faktor kesejarahan dan idiologi, faktor kebijakan
negara yang sangat represif terhadap kelompok Islam juga
dianggap berperan penting yang mendorong kelompok Islam
melancarkan aksi teror. Mihammed Hafez (2004) menegaskan
hal ini dengan menyimpulkan, dalam kasus terorisme
kelompok Islam di Al-Azhar, bahwa represi yang brutal oleh
rezim menjadi faktor terpenting yang melahirkan aksi-aksi teror
dari kelompok Islam yang ditindas dengan kejam. Dalam
sebuah momen di mana seluruh ruang untuk berpartisipasi
tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, malahan
yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya
yang paling ekstrim: terorisme.
Karakteristik Radikalisme
Terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik sikap
dan perilaku keberagamaan radikal di kalangan pemerhati
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
8 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
gerakan sosial keagamaan. komaruddin Hidayat (2010) dan
Sarlito Wirawan (2012) menyebut sekurangnya 8 karakteristik
individu atau kelompok yang terpengaruh oleh ideologi radikal,
yakni: Pertama, benci kepada pemerintah R.I, karena tidak
menjalankan syariat Islam (thaghut). Kedua, menolak
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan hormat
bendera merah putih. Ketiga, ikatan emosional mereka kepada
kelompok lebih kuat daripada kepada
lingkungan/keluarga/kampus. Keempat, pengajian dan
kaderisasi yang bersifat tertutup atau isolasi. Kelima,
menyetorkan sejumlah dana untuk organisasi dengan alasan
untuk penghapusan dosa. Keenam, berpakaian khas (dengan
alasan sesuai syariat Islam). Ketujuh, Umat Islam di luar
kelompoknya dianggap sebagai fasik atau kafir, sebelum
berhijrah. Kedelapan, enggan atau tidak mau mendengarkan
ceramah agama, selain berasal dari kelompoknya.
Radikalisme dapat dibagi sekurangnya dalam dua aspek:
pemikiran dan tindakan. Dengan menggunakan dua aspek
tersebut, kita dapat memilih gerakan Islam radikal dalam tiga
kategori. Pertama, kelompok yang dalam pemikiran sangat
radikal, tetapi dalam tindakan mengedepankan cara damai atau
persuasip. Misalnya: Hizbu Tahrir Indonesia (HTI). Dianggap
radikal dalam pemikiran atau gagasan karena mengajukan
konsep yang berbeda secara ekstrim dengan yang sudah mapan,
misalnya konsep kekhalifahan. Dalam tindakan dianggap tidak
radikal, karena menggunakan cara-cara persuasif. Kedua,
mereka yang dari segi pemikiran tidak radikal atau konservatif,
tetapi pada aspek tindakan bersifat radikal (mengedepankan
kekerasan), misalnya organisasi Front Pembela Islam (FPI).
Ketiga, mereka yang pemikiran dan tindakan bersifat radikal.
Selain menghendaki negara Islam dan pemberlakuan syariah,
mereka menafsirkan jihad melalui tindakan kekerasan.
Kelompok yang berkaitan dengan Jamaah Islamiyah (JI)
merupakan bagian kategori ketiga ini, termasuk juga kelompok
Negara Islam Indonesia (NII).
M. Zaki Mubarak, dkk
9 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Lalu bagaimana hubungan radikalisme dengan terorisme?
Kelompok yang dikenal di Indonesia dengan sebutan Jamaah
Islamiyah (JI) telah dinyatakan oleh PBB sebagai perkumpulan
teroris. JI dianggap terkait dengan al-Qaedah. Belakangan,
Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), sempalan dari Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), oleh Pemrintahan Amerika Serikat
juga masuk dalam daftar organisasi teroris. Seperti diketahui,
mereka yang teridentifikasi sebagai teroris ini juga masuk
dalam daftar organisasi teroris. Seperti diketahui, mereka yang
teridentifikasi sebagai teroris ini juga dikenal luas sebagai
perkumpulan keagamaan Islam yang radikal. Tetapi, tidak
semua kelompok yang dicap radikal dinyatakan sebagai teroris.
Bisa disebut dalam kategori ini, antara lain Front Pembela Islam
(FPI), dan sejumlah organisasi lokal seperti Gerakan Reformasi
Islam (Garis) di Cianjur, FPIS di Surakarta, dan sejenisnya. Beda
dengan radikalisme yang lebih bersifat sosiologis, definisi
terorisme lebih mengacu kepada dimensi legal.
Kajian tentang terorisme dewasa ini masih memunculkan
berbagai problematika, selain terkait faktor-faktor yang
dianggap berperan penting bagi munculnya terorisme yang kini
menjadi penyelidikan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, juga
tidak kalah pentingnya adalah definisi terorisme itu sendiri.
Perdebatan tentang definisi terorisme masih sulit untuk
mencapai kata sepakat, padahal definisi tersebut penting bagi
penyaring jenis tindakan dan kelompok tertentu untuk dapat
dimasukan atau tidaknya dalam kategori terorisme. Alex P.
Schmid dalam The Routledge Handbook of Terrorisme Research
(2011) mencatat beberapa hal yang menyebabkan kesulitan
mendefinisikan terorisme, antara lain:
Pertama, terorisme merupakan konsep yang saling bersaing
di mana dalam perpsektif politik, ilmu sosial, hukum, dan
pandangan masyarakat umum, bersifat menyebar.
Kedua,rumusan dalam definisi terorisme itu sendiri terkait
dengan soal (de-) legitimasi atau kriminalisasi. Ketiga, terdapat
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
10 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
banyak terorisme dengan bentuk dan manifestasi yang sangat
variatif.
Keempat, term terorisme itu sendiri telah melewati berbagai
perubahan/perkembangan makna sejak lebih 200 tahun term itu
dipakai. Kelima, oganisasi teroris yang sering bersifat semi
klendestain dan dipenuhi berbagai kerahasiaan menjadikannya
sulit untuk dianalisis secara obyektif. Keenam, tindakan yang
dianggap sebagai terorisme berhimpitan atau bahkan satu
rumpun dengan jenis-jenis lain kekerasan politik, sehingga
mengaburkan dan menjadikannya tidak jelas (seperti;
pembunuhan, perang gerilya, kriminal, dan lain sebagainya).
Ketujuh, negara dengan monopoli kekerasan dan kewenangan
hukumnya, melalui pendefinisian terorisme tersebut, dapat
mengeksekusi (menyingkirkan) berbagai kelompok tertentu,
termasuk dengan cara represif.
Masih ada faktor lain yang menyulitkan adanya definisi
tunggal terorisme. Ahli filsafat bahasa, Noam Chomsky, selalu
mengingatkan bahwa faktor power (kekuasaan) berperan
penting dalam memberikan konstruksi politik, termasuk soal
terorisme. Apakah Kristoforus Kolumbus si ‚Penemu Benua
Amerika‛ adalah seorang jenis bajingan bajak laut atau
penguasa besar yang sah (sehingga pendaratnnya di benua
Amerika selalu dirayakan besar-besaran setiap tahunnya)?
Chosky dengan tegas menuding Amerika dengan segala tindak
tanduknya justru sebagai teroris terbesar di dunia. Persis seperti
pandangan Imam Samudra (dalam Bom Bali I) yang justru
menunjuk Amerika dan Israel sebagai teroris yang dia musuhi
seperti judul bukunya ‚Aku Melawan Teroris‛.
Pemerintah Indonesia sendiri mendefinisikan teroris
sebagai; setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
M. Zaki Mubarak, dkk
11 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
obyek-obyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional (UU No 15/2003). Definisi
dalam UU No. 1 tahun 2003 ini yang menjadi pijakan hukum
bagi tindakan pemberantasan di tanah air.
Radikalisme di Kampus UI
Kampus UI merupakan ruang yang terbuka bagi berbagai
pemikiran, termasuk berbagai pemikiran Islam yang beragam.
Namun demikian, radikalisme di Kampus UI dapat dianggap
memiliki potensi yang kecil untuk berkembang dan berdampak
luas di kalangan mahasiswa UI, walaupun ragam kelompok
keislaman di kampus UI semakin beragam. Berbagai kelompok
keislaman memiliki peluang untuk masuk dan mengembangkan
ajaran ataupun pemikiran mereka di lingkungan kampus UI,
terlebih pasca Orde Baru.
Minat mahasiswa UI terhadap bentuk kegiatan keislaman
di lingkungan kampus UI semakin terfasilitasi dengan
kelompok-kelompok atau organisasi keislaman yang semakin
beragam. Mahasiswa yang berminat terhadap kegiatan
keislaman yang resmi dan diakui oleh pihak rektorat atau dekan
dapat bergabung dengan kelompok Tarbiyah yang secara
formal lebih dikenal dengan SALAM UI sebagai LDK (Lembaga
Dakwah Kampus) di tingkat universitas atau LDK di fakultas
masing-masing. Adapun mahasiswa yang berminat terhadap
Islam khususnya dari aspek ritual ibadah yang dianggap paling
murni sesuai ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, mereka dapat
bergabung dengan kelompok mahasiwa Salafy. Sementara
mahasiswa yang berminat terhadap Islam dari aspek politik
dalam konteks global, terutama aspek sistem pemerintahan
yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya,
mereka dapat bergabung dengan kelompok mahasiswa HT
melalui FRM UI. Dengan keterbukaan ruang interaksi antara
mahasiswa UI dan berbagai kelompok keislaman, berbagai
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
12 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
paham radikal dapat saja masuk dan mencoba mempengaruhi
mahasiswa UI.
Selain ketiga organisasi atau kelompok di atas yang relatif
menonjol dan cukup dikenal di kalangan mahasiswa UI,
kelompok NII KW-9 juga sejak tahun 1993 diperkirakan sudah
mencoba masuk dan merekrut mahasiswa UI agar menjadi
anggota mereka. kelompok NII KW-9 merekrut mahasiswa UI
dengan menawarkan pemikiran mengenai penerapan konsep
aqidah Islam, pergerakan Islam, penerapan konsep jihad,
hingga konsep negara Islam, yang pada intinya menekankan
pergerakan dan tujuan NII. Mereka menyasar mahasiswa yang
memiliki ketertarikan untuk mengetahui ajaran Islam secara
mendalam. Akan tetapi berbeda dengan ketiga organisasi atau
kelompokk keislaman yang telah dijelaskan sebelumnya,
metode perekrutan yang dilakukan NII KW-9 sangat tertutup
dan cukup selektif. Oleh sebab itu, mereka tidak melakukan
rekrutmen melalui berbagai bentuk media promosi apapun.
Perekrutan dilakukan melalui pertemanan, perkenalan
secara tidak sengaja, atau masuk ke dalam kampus secara
terselubung melalui kegiatan seminar terbatas, dan sebagainya.
Umumnya, proses perekrutan tersebut dilakukan secara
bertahap, dimulai dengan screening (penyaringan) melalui
diskusi berkelompok yang terencana, indoktrinasi pemikiran
NII ke dalam pikiran calon, setidaknya ada dua kriteria dalam
memilih calon anggota NII, yaitu kondisi finansial keluarga
yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban infaq angggota
setiap bulan dan latar belakang profesi orang tua yang bukan
anggota militer atau kepolisian, agar jaringan mereka tidak
terbongkar. Jika sesuai dengan kriteria tersebut, maka proses
rekrutmen biasanya dilanjutkan ke tahap diskusi berkelompok
terencana. Kelompok tersebut dirancang dengan komposisi
terdiri dari seorang pemateri, seorang anggota NII yang
berpura-pura sebagai orang yang baru mengikuti diskusi dan
mengenal pemateri, dan calon anggota bersama orang lain atau
M. Zaki Mubarak, dkk
13 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
teman yang mengajaknya. Hal ini pernah terjadi pada
mahasiswa FISIP UI dan FIB UI4.
Strategi UI dalam Pencegahan dan Penanggulangan
Radikalisme
Hingga sekarang ini, cara pencegahan dan penanggulangan
gerakan radikal yang dilakukan rektorat UI ditujukan terhadap
kegiatan perekrutan mahasiswa UI menjadi anggota NII.
Namun karena kegiatan tersebut dianggap bukan masalah yang
serius dan signifikan di kampus UI, maka upaya pencegahan
dan penanggulangan gerakan NII pun tidak terlalu serius atau
tingkat kesiagaan yang ditetapkan dapat dikatakan cenderung
biasa. Baik upaya pencegahan maupun upaya penanggulangan
gerakan NII tidak dilembagakan, baik melalui penetapan SK
(Surat Keputusan) rektor UI yang menyatakan bahwa
pelarangan gerakan NII maupun melalui pembentukan lembaga
atau badan pencegahan dan penanggulangan yang memiliki
posisi dan fungsi tersendiri, semisal NII Center5.
Bentuk pencegahan lainnya dilakukan oleh Dekan Fakultas
Teknik UI bekerjasama dengan FUSI (Forum Ukhuwah dan
Studi Islam) FT UI yakni membentuk posko pengaduan
mahasiswa yang bermasalah secara akademis, namun tidak
secara spesifik untuk kasus NII, untuk mengidentifikasi latar
belakang utama yang menyebabkan mahasiswa FT terancam
drop out. Diperkirakan 20% di antaranya terindikasi menjadi
NII setelah dilakukan penelusuran dan pendekatan terhadap
mahasiswa yang bersangkutan oleh pihak dekan, keluarga, dan
teman-temannya. Namun demikian, posko tersebut tidak
bersifat permanen. Sementara di fakultas kedoteran, upaya
pencegahan dilakukan oleh pihak dekan FK dengan
4 Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalnagan Mahasiswa: Studi Kasus
di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Skripsi,
FIB UI, 2007.
5 Wawancara dengan Dr. Kamaruddin, 27 Januari 2015.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
14 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
mewajibkan mahasiswa baru untuk mengikuti kajian keislaman
selama satu bulan pertama yang diadakan oleh FSI (Forum
Studi Islam) FK UI6.
Di tingkat fakultas, BKM UI dibantu oleh para konselor,
namun baru FISIP dan FE yang memiliki konselor tetap yang
berasal dari dosen fakultas setempat. Adapun di fakultas
Psikologi dilakukan melalui Pusat Pelayanan dan Kajian
Psikologi Sosial. Hingga saat ini BKM UI maupun para konselor
ditingkat fakultas tidak pernah menangani mahasiswa yang
terlibat sebagai anggota NII atau kasus radikalisme lainnya. Hal
ini karena BKM UI sendiri bersifat pasif dalam memberikan
konsultasi tersebut, di mana konsultasi akan diberikan jika
mahasiswa UI sendiri yang membutuhkan dan mendatangi
BKM UI7. Maka kasus keterlibatan mahasiswa UI sebagai
anggota NII yang bersifat tertutup tidak mampu terjangkau oleh
BKM UI. Lembaga lain yang berpotensi untuk terlibat dalam
pencegahan, yakni Abdurrahman Wahid Center (AWC) UI yang
berupaya menawarkan dan menyebarkan gagasan Islam dan
multikulturalisme, hingga saat ini belum secara spesifik
ditujukan bagi pencegahan radikalisme atau sebagai bentuk
counter radicalism di Kampus UI, karena masih fokus pada riset
dengan topik keberagaman dan politik lokal, revitalisasi
kultural lokal dalam menciptakan inklusivisme8.
Dengan demikian, radikaisme di Kampus UI, khususnya
oleh pihak rektorat dipahami sebatas paham atau pemikiran
yang menggunakan cara kekerasan atau perusakan, sehingga
situasi kampus UI cenderung dianggap kondusif dari paham
radikalisme tersebut. Adapun kelompok NII yang masuk ke
dalam lingkungan kampus UI dan merekrut mahasiswa UI
6 Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalnagan Mahasiswa: Studi Kasus
di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Skripsi,
FIB UI, 2007.
7 Wawancara dengan Ika Malik, 26 Januari 2015.
8 Wawancara dengan Suaedy, 29 Januari 2015.
M. Zaki Mubarak, dkk
15 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
menjadi anggotanya tidak semata dipahami sebagai bentuk
gerakan radikal, tetapi lebih pada gangguan terhadap kegiatan
mahasiswa UI dianggap tidak signifikan, maka strategi
pencegahan dan penanggulangannya pun cenderung bersifat
koordinatif dengan lembaga internal kampus, khususnya
lembaga kemahasiswaan, dibanding membentuk lembaga
formal dan bersifat permanen.
Kebijakan UGM dalam Mencegah dan Menanggulangi
Bahaya Radikalisme
Selain dikenal sebagai kampus yang di dalamnya memuat
banyak potensi radikalisme, tetapi kampus tersebut dikenal
sebagai salah satu kampus yang paling berhasil dan memiliki
success story dalam mencegah, menanggulangi bahkan
menggerus potensi-potensi radikalisme di kalangan
mahasiswanya secara sistematis dan terstruktur. Beragam
kebijakan, pendekatan, maupun pola yang dilakukan oleh pihak
pengelola kampus khususnya, umumnya oleh segenap civitas
akademika perlu sebuah perhatian khusus untuk dijadikan
sebuah studi. Harapannya melalui studi ini akan ditemukan
sebuah role model untuk mengatasi ataupun menanggulangi
potensi-potensi radikalisme di berbagai kampus yang lain. Oleh
sebab itu, hasil laporan ini akan membidik khusus tentang
bagaimana kebijakan, strategi, pola pendekatan yang dilakukan
oleh pihak UGM dan lembaga-lembaga internalnya dalam
mencegah maupun menanggulangi potensi radikalisme di
kalangan mahasiswa.
Pertama, Jamaah Shalahudin (JS) memiliki cerita sendiri
tentang bagaimana memoderasi radikalisme di kalangan takmir
maupun jamaah. Beberapa aspek yang berhasil mereka
moderatkan yaitu masalah khilafah, struktutr kepengurusan JS,
model pemilihan ketua JS, tema-tema kajian, struktur para
pengisi kajian, struktur divisi, cara berbahasa sehari-hari,
konsep pengajian akbar, konsep lay out publikasi kegiatan.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
16 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Berikut beragam pendekatan maupun strategi yang dilakukan
oleh takmir JS dalam memoderasi kelompok mahasiswa yang
cenderung radikal dalam tubuh internal JS.
1. Sebelum reformasi 1998 masalah khilafiah (perbedaan
pandangan) tidak menjadi masalah serius dikalangan
pengurus JS, tetapi pasca reformasi menjadi menonjol dan
membuat konflik yang cukup serius dalam tubuh internal
JS. Kalau sebelum 1998, pengurus JS sangat plural
komposisi backround idiologinya, bahkan lebih dikuasai
oleh kalangan mahasiswa Islam non Tarbiyah seperti HMI,
IMM, dan Kalangan NU. Tetapi pasca 1998, kelompok
mahasiswa tarbiyah mendominasi struktur kepengurusan
JS proses menjadikan urusan khilafiyah sebagai masalah
prinsipil.
2. Struktur kepengurusan JS pasca reformasi 1998 didominasi
kelompok mahasiswa Tarbiyah. Mereka hampir
menduduki posisi-posisi strategis secara politis dalam
kepengurusan JS, sehingga mulai dari proses perencanaan
kegiatan maupun pewarnaan idiologi dan tradisi dalam
tubuh JS mereka yang akan mewarnainya. Sebenarnya
proses rekruitmen untuk struktur kepengurusan JS sangat
terbuka untuk beragam jenis mahasiswa baik backround-nya
dari yang kalangan santri maupun non santri, baik yang
mahasiswa dari aliran liberal sampai radikal, maupun dari
beragam mahasiswa dari background organisasi
kemasyarakatan berbasis agama di luar kelompok
mahasiswa tarbiyah, seperti dari HTI, Salafy, HMI,
Muhammadiyah, maupun NU9.
Kedua, CRCS UGM: Moderasi Melalui Riset, Kuliah dan
Publikasi CRCS (Center for Religion and Cultureal Studies)
UGM adalah lembaga internal kampus yang memiliki banyak
9 Disarikan berdasar pada wawancara dengan Nico, tokoh senior
Jamaah Shalahudin dan Takmir Masjid Kampus (MASKAM) UGM
Yogyakarta.
M. Zaki Mubarak, dkk
17 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
pengalaman dalam hal penelitian maupun produksi
pengetahuan utamanya yang berkaitan dengan persoalan-
persoalan seperti pluralisme, radikalisme, maupun
multikulturalisme. Ada tiga program utama yang dikelola oleh
lembaga ini, yaitu: penelitian (termasuk publikasinya),
perkuliahan, dan networking. Ketiga program tersebut
mengandung misi utama, yaitu hendak membendung
radikalisme di ruang atau lingkungan kampus maupun ruang
publik umumnya. Secara lebih jelas tentang misi dan peran
CRCS terkait dalam membendung derasnya penyebaran
fundamentalisme dan radikalisme keagamaan di lingkungan
kampus UGM Khususnya. Dari ketiga hal tersebut kemudian
pihak CRCS menurunkannya lagi ke dalam beberapa strategi
implementatif yang langsung menargetkan atau memfokuskan
pada langkah konkrit dalam hal menanggulangi dan mencegah
penyebaran radikalisme dan ekstimisme keagamaan di kampus
UGM khususnya dan umumnya pada masyarakat luas10.
Berikut di bawah ini adalah langkah yang dilakukan lembaga
tersebut, yaitu: Memutus Radikalisme sejak di SMA, Advance
Study of Religion: Strategi Deradikalisasi dalam Kelas, Kampanye
Pluralisme: Memutus Radikalisme di Kampus11, Jaringan civitas
Akademik: Strategi Sistemik Jerat Radikalisme Kampus12.
10 Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS UGM.
11 Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS UGM.
12 Asisten Agama Islam (AAI) yaitu asisten pembelajaran dalam
kegiatan pendampingan mahasiswa oleh mahasiswa kakak angkatan
dalam proses pembelajaran mata kuliah, praktikum, dan atau tutorial
agam Islam di lingkungan UGM. Asisten bertujuan untuk membantu
mahasiswa untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran, agar
terwujud capaian pembelajaran yang lebih baik dan komprehensif. Lihat
lebih lanjut: http://dirmawa.ugm.ac.id/ (iunduh 6 Januari 2015).
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
18 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Peran Rektorat dan Dirmawa UGM
Pratikno (Rektor UGM sebelumnya) memiliki terobosan
yang cukup luar biasa atas penanggulangan radikalisme di
kampus UGM. Tidak hanya terobosan, tetapi ini sebuah respon
yang cukup intelek dan melek pengetahuan atas fenomena
radikalisme. Salah satu kebijakan yang cukup spektakuler
selama hampir satu dekade lebih ini adalah kebijakan
pencabutan mata kuliah AAI yang secara resmi berlaku sejak 27
Juni 2014 yang isinya mencabut segala ketentuan tentang AAI.
Produk kebijakan rektorat dalam mencabut AAI tersebut adalah
Peraturan Rektor No. 422/P/SK/HT/2014 tentang asistensi dalam
perkuliahan MPK Pendidikan Agama Islam I di Lingkungan
UGM dan Keputusan Rektor No. 214/P/SK/HT/2014 tentang
asistensi dalam perkuliahan MPK Pendidikan Agama di
Lingkungan UGM serta segala ketentuan yang mengatur atau
menetapkan Dosen Pengampu dan/atau Asisten dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku.
Upaya UGM mencegah paham radikal yang peneliti lihat
adalah kurikulum mata kuliah agama Islam. Sejak tahun 2000-
an UGM memberlakukan asistensi bagi mahasiswa yang
menjadi bagian dari pendidikan agama Islam. Mata kuliah
pendidikan agama Islam dengan bobot 2 SKS, asistensi berbobot
1 SKS. Sejalan yang dilakukan Dirmawa untuk
mengkonsolidasikan setiap bidang kerohanian dalam kampus
UGM. Melalui kebijakan tersebut menjembatani mahasiswa
untuk memiliki pengetahuan agama yang cukup untuk tidak
masuk dalam jaringan radikal.
Pimpinan UGM telah menyiapkan pencegahan dan
menanggulangi paham radikal, semua civitas akademika
diharapkan mampu membentengi diri dan bersama mencegah
meluasnya paham radikal tersebut. Terkait dengan tugas dan
kegiatan dari satu tim yang dibentuk oleh UGM, yaitu Tim NII
Crisis Ceneter di antaranya adalah: (1). Memberikan
pemahaman kepada para mahasiswa baru saat proses Ospek
M. Zaki Mubarak, dkk
19 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
tentang bahaya aliran atau paham-paham sesat, radikal dan
sebagainya; (2). Memberikan informasi-informasi tersebut
dalam beragam media baik online (web, radio swaragama)
maupun offline (leaflet, booklet, dan sebagainya). Berikut
pernyataan Haryanto:
‚..... kita (Tim NII Crisis Cenetr dan Dirmawa) memberikan
kalau pas penerimaan mahasiswa baru, yah kemudian kita
memberikan ceramah lah, materi terkait dengan masalah-
masalah seperti itu. Karena ini kan sangat halus sekali, pintu
masuknya bahkan ke macam-macam, kalau dulu itu di
mushalla itu, kalau sekarang itu bahkan di Mall. Nah, jadi
kemudian dulu itu perempuan pakai jilbab, sekarang tidak
harus. Jadi paham-paham itu mereka masuk, itu yang pertama.
Kemudian yang kedua itu adalah tadi membuat informasi-
informasi, leaflet, kemudian kadang-kadang diundang ini di
radio swaragama untuk bicara tentang masalah itu. Kemudian
mendampingi mereka-mereka yang terindikasi memang sudah
masuk di situ..‛13
Pihak UGM, dalam hal ini, sering menyampaikan di dalam
berbagai kesempatan bahwa perlunya semua pihak (stakeholders)
khususnya pimpinan kampus UGM mewaspadai gerak-gerik
kelompok NII. Oleh karena itu, kampus ini juga memasukkan
materi anti NII di booklet mahasiswa baru. Hal itu sebagai upaya
terkait mpmpk dari aktivitas NII yang semakin meluas dan
menyasar mahasiswa baru.
Dengan demikian, dalam kaitannya pengaruh radikalisme
dan ekstrimisme yang muncul, perguruan tinggi mempunyai
tanggungjawab besar dalam menangkal dampak negatif dari
keberadaan jaringan radikal. Sebagai garda depan dalam
memantau perkembangan mahasiswa dari berbagai aspek,
perguruan tinggi diharapkan mempunyai orientasi yang jelas
dan tepat dalam menanamkan nilai-nilai yang benar dan tepat
13 Wawancara dengan Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan
UGM, periode 2007-2012.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
20 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
kepada mahasiswanya untuk menghindari dan membentengi
diri dari keberadaan paham-paham radikal. Dari hasil dan
temuan-temuan di atas, ada beberapa medium yang melahirkan
atau menciptakan radikalisme. Pertama, proses radikalisme
mahasiswa memang sudah terjadi sejak jaman mereka SMA,
yaitu dalam lembaga kerohanian, dan berdasarkan dari hasil
penelitian CRCS UGM radikalisme dan sikap intoleran tersebut
lahir justru sejak mereka SMA bukan saat kuliah. Kedua,
medium mata kuliah. AAI di kampus UGM menjadi salah satu
mata kuliah yang dinilai memuat benih dan kepentingan dari
kelompok-kelompok radikalisme mengajarkan dan menjalarkan
ajarannya. Ketiga, ruang publik kampus yang kosong akan nilai
multikulturalisme. Adapun strategi deradikalisasi yang
ditawarkan CRCS dan pihak seperti Dirmawa serta Tim NII
Crisis Center patut dipertahankan dan dilanjutkan terus untuk
menjaga dan mengikis pengaruh-pengaruh paham radikal
keagamaan yang sudah marak menyebar ke semua lini dan
komponen masyarakat.
Dinamika Keislaman UIN Malang
Saat ini, di lingkungan UIN Malang latar belakang
mahasiswanya sangat beragam, mulai dari negara, etnis,
budaya, sampai pada tradisi keagamaannya, sebagaimana
dikatakan oleh Isroqunnajah, direktur Ma’had Sunan Ampel Al-
Ali UIN Malang berikut ini:
‚… Kita punya mahasiswa di sini itu lima madzhab.
Mereka ada dari Negara Eropa Timur itu semua Hanafi,
termasuk Afghanistan. Yang Maliki itu dari benua Afrika:
Sudan, Somalia, Libia. Yang syafi’i dari Indonesia kebanyakan.
Lalu yang Hambali itu Shofwan al-Hambali. Kemudian Syi’i
(Syiah) itu dari Afghanistan, tapi kelahiran Iran. Kita suruh
semua praktek. Sehingga kita tahu ceritanya. Jadi sejak awal kita
berikan materi yang secara tidak langsung mereka bisa
M. Zaki Mubarak, dkk
21 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
memahami perbedaan pendapat. Sepanjang itu ada
referensinya.‛14
Bagi pengasuh Ma’had ini, berbagai perbedaan yang ada
dijaga dan dihargai selama mahasiswa/i mampu mencari
sumber atau dalilnya. Inilah komitmen civitas akademika UIN
Malang sebagai langkah untuk membuka diri dan cakrawala
pemikiran mahasiswa/i. Komitmen menjadikan mahasiswa/i
sebagai generasi masa depan yang terbuka, toleran, dan bijak
dalam menyikapi dan mengapresiasi berbagai keragaman
sudah ditanamkan sejak kampus tersebut lahir. Sebagaimana
dikatakan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi UIN
Malang, bahwa pluralisme bukan lagi menjadi wacana, tapi
sudah dipraktekkan di kampus. Tidak hanya dalam konteks
perbedaan di dalam internal agama (Islam), tapi juga perbedaan
dengan agama lain:
‚…... karena sejak awal kelahiran kampus melibatkan
pesantren, maka ini keagamaan mengarah pada Islam toleran,
Islam damai, Islam kultural. Maka pak Imam (baca; Prof. Dr. H.
Imam Suprayogo) saat menjabat sebagai rektor bilang dengan
kelakarnya: ‚kalau orang lain sedang membicarakan konsep
pluralisme, kita di sini sudah melakukan pluralisme sejak dini.
Kita sudah mengundang orang Hindu Bali untuk berdiskusi di
sini, lalu kita juga diundang ke sana untuk berbicara tentang
toleransi‛. Jaid pluralisme itu bukan suatu yang sedang
dibicarakan di kampus ini, tapi justru dipraktekkan‛.15
Maka menjadi maklum ketika berbagai jenis organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus (OMEK) berkembang di sini.
Mulai dari PMII, HMI, IMM, GMNI, dan KAMMI. Bahkan HTI
dan Jamaah Tabligh yang notabene bukan organisasi
kemahasiswaan dan disinyalir sebagai organisasi berhaluan
radikal pun ada di kampus ini meskipun eksistensi keduanya
14 Wawancara dengan Isroqunnajah, 19 Januari 2015.
15 Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi
UIN Malang, 19 Januari 2015.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
22 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
tidak se-vulgar organisasi kemahasiswaan. Keberadaan
mahasiswa dan dosen yang tergabung dalam HTI tetap
diakomodasi oleh pihak kampus selama tidak mengganggu
aktifitas akademis. Keberagaman yang terdapat di UIN Malang
adalah realitas yang tidak dipungkiri, dan sekaligus sebagai
komitmen pluralisme yang dibangun oleh pihak kampus16.
Kebijakan Mencegah dan Menanggulangi Radikalisme di
UIN Malang
Kebijakan yang diambil oleh UIN Malang dalam mencegah
dan menanggulangi radikalisme di kalangan mahasiswa bisa
dikategorikan menjadi tiga bagian. Pertama, kewajiban bagi
setiap mahasiswa/i baru untuk tinggal dan mengikuti semua
kegiatan yang ada di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly selama
setahun pertama sejak dinyatakan diterima di UIN Malang.
Kedua, memberikan pemahaman bahwa pluralitas sebagai
sebuah realitas hidup sehari-hari yang harus dihormati dan
dijaga, baik melalui Ma’had maupun dalam berbagai kegiatan
akademik lainnya. Ketiga, melakukan pembinaan sekaligus
pengawasan terhadap mahasiswa/i melalui berbagai kegiatan
akademik dengan melibatkan seluruh civitas akademika UIN
Malang. Di bawah ini merupakan penjelasan lebih rinci tentang
berbagai kebijakan tersebut, sekaligus implementasinya:
1. Ma’had Al-‘Aly: Benteng Pencegah Radikalisme dan
Penyemai Islam Moderat
Kegelisahan akan kondisi generasi penerus bangsa,
terutama kaum muda terkait minimnya pemahaman
tentang kebangsaan, rendahnya penguasaan bahasa (Arab
dan Inggris) sebagai media komunikasi internasional, serta
kurang komprehensifnya penguasaan ilmu pengetahuan
sebagai bekal bagi mereka untuk menerima tampuk
16 Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi
UIN Malang, 19 Januari 2015.
M. Zaki Mubarak, dkk
23 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
kepemimpinan dengan kualitas dan moralitas tinggi, maka
niat mengintegrasikan perguruan tinggi dan pesantren
itulah yang menjadi pertimbangan historis berdirinya
Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly UIN Malang17.
2. Bahasa: Media Komunikasi Untuk Memahami Agama
Secara Komprehensif
Selain program rutinitas ibadah serta lainnya, Ma’had
Al-‘Aly UIN Malang ini juga mengembangkan wajib
penguasaan bahasa Arab dan Inggris bagi setiap
mahasantri. Program ini diharapkan bisa menjadi media
bagi mahasantri untuk memahami agama secara
komprehensif, sehingga mereka mampu menerima segala
perbedaan lengkap dengan dalil atau referensinya. Jadi
bukan asal beda, atau mengecam perbedaan. Menurut
Isroqunnajah, setiap pagi habis sholat subuh berjamaah ada
program Shabah al-Lughah atau English Morning. Kegiatan
ini lebih diarahkan pada praktek dan bacaan yang
disesuaikan dengan kemampuan setiap mahasiswa/I mulai
dari pemberian materi grammer, tugas, praktek speaking dan
listening bersama dosen asing. Selain itu, ada juga English
Fun seperti menyanyi, mengubah lagu dari Arab ke Inggris,
atau dari Indonesia ke Inggris18.
Kemampuan penguasaan bahasa secara baik dan benar
inilah yang dianggap mampu menjadi titik temu atas
beragam pandangan keagamaan. Maka tidak heran jika
banyak sekali istilah Arab yang digunakan di lingkungan
UIN Malang. Sebagaimana diakui Abdul Barizi, ‚untuk
menetralisir perbedaan digunakan istilah tasawuf, supaya
mudah diterima dan dianggap nyaman oleh berbagai
17 Wawancara dengan Isroqunnajah, 19 Januari 2015.
18 Wawancara dengan Isroqunnajah, Direktur Ma’had Sunan Ampel
Al-‘Aly, UIN Malang, 19 Januari 2015
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
24 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
kelompok. Misalnya, istighasah diganti dengan riyadhah. Jadi
istilah tasawuflah yang digunakan‛19.
3. Pengawasan dan Pembinaan oleh Civitas Akademika
Dalam rangka mengimpelementasikan kebijakan
deradikalisasi di lingkungan civitas akademik UIN Malang
secara efektif, selain melalui Ma’had juga ada semacam
pembinaan dan pengawasan terkait berbagai kegiatan di
lingkungan kampus dengan melibatkan seluruh civitas
akademiknya. Mulai dari rektorat, dekanat, sampai pada
dosen. Bahkan menurut Agus Maimun, pengawasan dan
pembinaan ini sampai menekankan pada koordinasi
dengan aparat keamanan di Wilayah Kota Malang, dirinya
juga sangat selektif dalam pemberian ijin terhadap berbagai
kegiatan kemahasiswaan. UIN Malang membolehkan
semua ormas untuk masuk ke kampus, dengan catatan
tidak menyuarakan hal-hal yang bersifat radikal. Tetapi
semua itu disertai dengan pengawasan yang ketat dari
pihak kampus20.
Berbagai kebijakan de-radikalisasi yang
diimplementasikan oleh UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, mulai dari pemondokan mahasiswa/i pada tahun
pertama kuliah, penanaman pemahaman dan praktek
pluralisme dalam kehidupan sehari-hari, sampai pada
pengawasan yang melibatkan seluruh civitas akademika,
tiada lain merupakan bagian dari implementasi visi dan
misi UIN Malang. Namun demikian, implementasi
kebijakan tersebut bukan berarti tanpa kendala. Direktur
Ma’had UIN Malang, Isroqunnah mengakui bahwa
keberadaan Ma’had ‘Aly yang dipimpinnya memang sudah
19Wancara dengan Abdul Barizi, Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang, 20 Januari
2015
20 Wawancara dengan Agus Maimun, Wakil RektorBidang
Kemahasiswaan UIN Malang, 20 Januari 2015
M. Zaki Mubarak, dkk
25 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
resmi. Tetapi dirinya merasa bahwa Kementerian Agama
belum mampu memahaminya, dan UIN yang lain juga
mempraktekan yang sama dengan UIN Malang. Umi
Sumbulah (Pemerhati masalah sosial keagamaan di
Malang)21, memberikan catatan kepada pihak pengambil
kebijakan terhadap pentingnya memperketat peraturan
dalam menyaring penerimaan mahasiswa dan dosen.
Menurutnya, UIN yang mempromosikan kampus Rahmatan
lil’alamin harusnya memiliki sistem agar Islam kanan tidak
masuk.
Kesimpulan
Melihat dari beberapa poin penting di atas, program
deradikalisasi terhadap pemikiran dan perilaku keagamaan
ekstrim harus mempertimbangkan beberapa hal: Pertama, level
keterlibatan. Apakah program ditujukan untuk mencegah para
mahasiswa terlibat dari kelompok atau organisasi radikal
(disengagement), atau menyadarkan mereka yang tengah aktif
dalam gerakan tersebut (deradikalisasi), atau tindakan berisifat
rehabilitasi mantan korban (mereka yang pernah menjadi
korban atau mereka yang keluar dari organisasi radikal)? Kedua,
jenis keterlibatan. Segi ini terkait dengan model perkumpulan
radikal yang bagaimana mahasiswa terlibat, apakah dalam jenis
I (pemikiran radikal, tindakan konservatif), jenis II (pemikiran
konservatif, tindakan radikal) atau jenis III (pemikiran radikal
dan tindakan radikal)? Pengidentifikasian semacam ini
tampaknya belum banyak dilakukan perguruan tinggi,
termasuk di UI, UGM dan UIN Malang, dalam hal kebijakan
penanggulangan atau rehabilitasi. Padahal, identifikasi dua
aspek di atas menurut penulis akan sangat menentukan dalam
merumuskan program atau kebijakan deradikalisasi di
lingkungan perguruan tinggi.
21 Wawancara dengan Dosen Fakultas Syariah UIN Malang, 20
Januari 2015.
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
26 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Pada umumnya di perguran tinggi kebijakan untuk
merespon radikalisme lebih bersifat preventif, pencegahan
kelompok mahasiswa dari organisasi/perkumpulan radikal.
Maka, disengagement merupakan prioritas. Jenis keterlibatan
dengan organisasi atau perkumpulan radikal di lingkungan
perguruan tinggi bersifat variatif. Di sebagian besar kampus di
Jawa, dua organisai radikal yang aktif merekrut mahasiswa
adalah Hizbut Tahrir (pemikiran radikal dan tindakan damai
dengan mengedepankan persuasi), dan NII/Negara Islam
Indonesia (pemikiran radikal dan tindakan radikal menjurus
kriminal).
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku, Jurnal, dan Majalah
Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalangan Mahasiswa: Studi
Kasus di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Skripsi, FIB UI, 2007.
Laporan rinci soal bom buku dan jaringan Pepi dibaca dalam,
‚Generasi Baru Teroris‛ Majalah Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011.
Wawancara Tokoh
Wawancara dengan Dr. Kamaruddin, 27 Januari 2015.
Wawancara dengan Ika Malik, 26 Januari 2015.
Wawancara Suaedy, 29 Januari 2015.
Wawancara dengan Nico, tokoh senior Jamaah Shalahudin dan
Takmir Masjid Kampus (MASKAM) UGM Yogyakarta.
Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS
UGM.
Wawancara dengan Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan
UGM periode 2007-2012.
Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi
UIN Malang, 19 Januari 2015.
M. Zaki Mubarak, dkk
27 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Wawancara dengan Isroqunnajah, Direktur Ma’had Sunan
Ampel Al-‘Aly, UIN Malang, 19 Januari 2015.
Wawancara dengan Abdul Barizi, Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang,
20 Januari 2015.
Wancara dengan Agus Maimun, Wakil RektorBidang
Kemahasiswaan UIN Malang, 20 Januari 2015.
Umi Sumbulah, Dosen Fakultas Syariah UIN Malang, 20 Januari
2015.
Media Online
Untuk Profil 17 Tersangka Jaringan Pepi, ‚Tuduhan kepada 17
Tersangka Bom Buku dan Sepong‛, Okezone, Rabu, 27 April
2011.
http://www.detiknews.com/read/2011/04/29/101430/1628335/10/
ui-akan-beberkan-bahaya-nii-kw-9-pada-mahasiswa-baru
(diunduh 6 Januari 2015).
‚Upaya PT Mencegah NII di Kampus‛ dalam
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/04/1
10427_niiuniversityrecruitment.shtml (diunduh 6 Januari
2015).
http://dirmawa.ugm.ac.id/ (diunduh 6 Januari 2015).
Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,
28 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018