kebijakan deradikalisasi di perguruan tinggi: studi

28
M. Zaki Mubarak, dkk 1 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 1 KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI TENTANG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PERGURUAN TINGGI DALAM MENCEGAH PERKEMBANGAN PAHAM KEAGAMAAN RADIKAL DI KALANGAN MAHASISWA (STUDI KASUS UI, UGM DAN UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG) M. Zaki Mubarak, Zulkifli dan Iim Halimatussa’diyah Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penelitian tentang kebijakan deradikalisas ini kami anggap sangat penting, sebab hingga saat ini belum terlihat adanya desain yang jelas, baik yang disusun oleh Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun pihak universitas terkait program pencegahan dan deradikalisasi dikalangan mahasiswa. Sebagian program perguruan tinggi yang kami teliti ada yang kurang efektiif, sebagian lagi cukup efektif. Tentunya, bila temuan dalam penelitian ini dapat memberi kontribusi terutama pada penyusunan kebijakan deradikalisasi mahasiswa oleh Kementerian Agama maupun universitas. Penelitian ini dapat memberi masukan-masukan bagi program deradikalisasi dan dis-engagement yang dilakukan oleh pemerintah, terutama kementerian agama dan pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia. Penelitian ini menggunaakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam (indept interview). Sedangkan informannya didasarkan pada metode purpose sampling, yakni para pejabat yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pencegahan radikalisme di empat perguruan tinggi yang diteliti.

Upload: others

Post on 24-May-2022

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

1 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

1

KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI:

STUDI TENTANG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PERGURUAN TINGGI

DALAM MENCEGAH PERKEMBANGAN PAHAM KEAGAMAAN

RADIKAL DI KALANGAN MAHASISWA (STUDI KASUS

UI, UGM DAN UIN MAULANA MALIK

IBRAHIM MALANG)

M. Zaki Mubarak, Zulkifli dan Iim Halimatussa’diyah

Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penelitian tentang kebijakan deradikalisas ini kami anggap

sangat penting, sebab hingga saat ini belum terlihat adanya

desain yang jelas, baik yang disusun oleh Kementerian Agama,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun pihak

universitas terkait program pencegahan dan deradikalisasi

dikalangan mahasiswa. Sebagian program perguruan tinggi

yang kami teliti ada yang kurang efektiif, sebagian lagi cukup

efektif. Tentunya, bila temuan dalam penelitian ini dapat

memberi kontribusi terutama pada penyusunan kebijakan

deradikalisasi mahasiswa oleh Kementerian Agama maupun

universitas. Penelitian ini dapat memberi masukan-masukan

bagi program deradikalisasi dan dis-engagement yang

dilakukan oleh pemerintah, terutama kementerian agama dan

pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia. Penelitian ini

menggunaakan metode kualitatif melalui wawancara

mendalam (indept interview). Sedangkan informannya

didasarkan pada metode purpose sampling, yakni para pejabat

yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan

pencegahan radikalisme di empat perguruan tinggi yang

diteliti.

Page 2: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

2 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Pendahuluan

Sejak 2009 hingga 2012 kasus radikalisme agama dan

terorisme telah menyeret sejumlah belasan mahasiswa dari

berbagai universitas, tidak terkecuali dari Perguruan Tinggi

Agama Islam. Pada 2009 misalnya, tiga mahasiswa UIN Jakarta

ditangkap oleh Densus 88 karena tindak terorisme dan pada

September 2010 dijatuhi hukuman 4,5 tahun. Kemudian, pada

pertengahan Mei 2010 pasukan anti teroris Densus 88 juga

menangkap dua bersaudara, Abdul Rochim dan Abdul

Rachman, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)

dengan sangkaan terlibat dalam penyebaran kegiatan-kegiatan

teroris di Aceh. Kini, salah seorang di antaranya tengah dalam

proses peradilan. Terorisme, yang dimodifikasi pemahaman

keagamaan ekstrim, juga menyasar ke banyak intelektual

lulusan perguruan tinggi. Misalnya pada Agustus 2010, Densus

88 menangkap seorang tersangka teroris bernama Kurnia yang

kemudian diketahui sebagai alumnus Jurusan Teknik Kimia

Institute Teknologi Bandung (ITB). Pada 2011 lalu masyarakat

juga dikejutkan oleh peristiwa teror ‚Bom Buku‛ yang sempat

menghebohkan tanah air beberapa waktu lalu, telah

memunculkan sosok bernama Peppi Fernando sebagai aktor

penting. Bersamaan dengan Peppi, sebanyak 17 orang telah

ditangkap karena diduga terlibat dalam serangkaian aksi itu.

Diketahui, empat dari 17 tersangka (termasuk Peppi)

adalah alumni atau pernah menempuh kuliah di UIN Jakarta

(dulu, IAIN). Mereka adalah Pepi Fernando, M. Fadil. Hendi

Suhartono alias Jokaw, dan Muhammad Maulani Sani. Selain

bom buku yang dikirimkan kepada beberapa orang: Ulil

Abshar, Ahmad Dahani, Yapto Soerjoseomarno, dan Gorris

Mere. Pepi dan jaringannya tengah mempersiapkan

pengeboman sebuah greja.1 Perkembangan lain yang

1 Laporan rinci soal bom buku dan jaringan Pepi dibaca dalam,

‚Generasi Baru Teroris‛ Majalah Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011. Untuk profil 17

Page 3: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

3 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

menyedihkan, pemahaman keagamaan radikal kini juga mulai

masuk di kalangan pelajar. Bahkan, beberapa pelajar telah

terindikasi dimanfaatkan oleh jaringan teroris. Pada awal 2011

sebanyak 5 pelajar SMK di Sukohardjo di tangkap dengan

telibat dalam jaringan terorisme.

Kelompok radikal keagamaan terkait Negara Islam

Indonesia (NII) juga aktif mencari pengikut di kalangan pelajar

dan mahasiswa. Seperti dicatat oleh Umar Abduh, mantan NII,

beberapa perguruan tinggi yang telah disusupi NII ini antara

lain: Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung

(ITB), Institut Pertanian Bodor (IPB), Universitas Gunadarma,

dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Abduh, 2000).

Di beberapa perguruan tinggi sendiri telah dibentuk

lembaga yang khusus menangani persoalan bahaya radikalisme

di lingkungan mahasiswa. Di Universitas Gajah Mada (UGM)

dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalknya telah dibentuk

NII Crisis Centre. Lembaga ini dimaksudkan untuk

menginformasikan kepada mahasiswa bahaya ajaran NII, dan

melakukan penyadaran atau terapi bagi para korban NII.

Metode ini dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI), ceramah

dan kuliah umum tentang bahaya NII dan paham keagamaan

radikal lain diselenggarakan setiap tahun ajaran baru. Biasanya

menghadirkan mantan aktivis NII yang sudah sadar2. Di Institut

Teknologi Bandung (ITB) sosialisasi bahaya NII dan program

deradikalisasi dilakukan oleh Divisi Pelayanan dan Dakwah

Masjid Salman. Tiap tahun ajaran baru, masjid salman ITB

bekerjasama dengan NII Crisis Center mengadakan ceramah

umum bahaya paham keagamaan ekstrim. Termasuk tentang

penyuluhan bagi para mahasiswa untuk tahu strategi dan

tersangka jaringan Pepi, lihat: “Tuduhan kepada 17 tersangka bom buku dan

Sepong‛, Okezone, Rabu, 27 April 2011.

2 Lihat:

http://www.detiknews.com/read/2011/04/29/101430/1628335/10/ui-akan-

beberkan-bahaya-nii-kw-9-pada-mahasiswa-baru

Page 4: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

4 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

modus kelompok radikal ini mencari pengikut. Model ini untuk

menyelamatkan mahasiswa dari pengaruh paham keagamaan

radikal, dan NII, adalah pengasramaan bagi mahasiswa baru3.

Di IPB, UIN Malang, dan Fakultas Kedokteran UIN Jakarta, bagi

mahasiswa baru wajib untuk tinggal di asrama selama setahun.

Setiap asrama ini dibimbing para ustadz dan ustadzah yang

memberi bekal dasar-dasar keagamaan yang mencukupi bagi

para mahasiswa baru, sekaligus memproteksi mereka dari

aliran-aliran radikal keagamaan yang umumnya mencari

mangsa dikalangan mahasiswa baru.

Dari uraian ringkas tersebut, sangat penting kiranya untuk

meneliti lebih mendalam pengalaman-pengalaman dan cara

kerja berbagai universitas dalam membendung pengaruh

paham keagamaan radikal di kalangan mahasiswa. Universitas

Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) dengan

model pendekatan yang agak berbeda menegaskan dalam dua

tahun terakhir keberhasilan mereka dalam melindungi

mahasiswa dari bahaya radikalisme ini. Berbagai metode dan

pendekatan untuk deradikalisasi ini menjadi sangat penting

sebagai masukan lebih luas bagi perguruan tinggi-perguruan

tinggi lainnya dalam mencegah makin berkembangnya paham

keagamaan radikal di kampus-kampus. Karena itulah penelitian

tentang segi-segi keberhasilan dan kekurangan program

mencegah radikalisme keagamaan para mahasiswa ini menjadi

sangat penting untuk dilakukan.

Radikalisme dan Deradikalisasi Berbagai Perpsektif

Banyaknya teror dan tindak kekerasan atas nama Islam

yang terjadi dalam kurang lebih satu dasawarsa terakhir telah

menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah penting dalam

studi-studi terorisme dan radikalisme keagamaan. Merujuk

3 Lihat ‚Upaya PT Mencegah NII di Kampus‛ dalam

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/04/110427_niiunive

rsityrecruitment.shtml

Page 5: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

5 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

kepada Global Terorisme Database (2007), dari total 421 tindak

terorisme di Indonesia yang tercatat sejak 1970 hingga 2007,

lebih 90% tindak terorisme terjadi pada kurun tahun-tahun

mendekati Suharto lengser hingga memasuki era demokrasi.

Selain itu, jenis terorisme yang bersifat fatal attacks juga

mengalami kenaikan serius pada kurun waktu tersebut.

Termasuk penggunaan metode baru dalam melakukan teror,

yakni aksi bom bunuh diri (suicide attacks) yang sebelumnya

hampir tidak pernah terjadi. Sejak peristiwa teror Bom Bali I

yang menewaskan 202 orang hingga 2013, sekurangnya telah

berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan

radikal yang dikenal sebagai Jamaah Islamiyah (JI) dan

jaringannya dianggap sebagai pihak yang paling

bertanggungjawab atas sebagian besar gelombang teror di

Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi teror

tersebut, hingga juni 2013 pemerintah telah menahan lebih

kurang 900 orang yang didakwah terlibat tindak pidana teroris

dan sekitar 70 terduga teroris ditembak mati.

Keterlibatan kelompok Islam radikal dalam aksi teror sama

sekali bukan merupakan fenomena baru dalam sejarah politik di

tanah air. Menengok sejarah dapat dicatat antaranya:

pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu kekerasan oleh

gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an

hingga awal 1960-an). Lalu, masa orde baru muncul juga

serangkaian kekerasan dan pengeboman yang dikaitan dengan

gerakan komando Jihad, pembajakan pesawat terbang Woyla

oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad

Zein tahun 1981, peledakan Candi Borobudur oleh kelompok

Syiah yang dipimpin Hussein al-Habsy tahun 1985, dan

sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan

berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi

demokrasi hingga saat ini.

Banyak studi yang mencoba memahami akar-akar

terorisme dan radikalisme dalam berbagai perspektif, baik itu

segi ekonomi, budaya, politik, psikologi, dan keagamaan (A.P.

Page 6: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

6 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Schmidt, 2011 dan John Horgan, 2012). Para ahli sepakat bahwa

akar terorisme bersifat komplek. Ada beberapa segi terorisme

keagamaan di Indonesia yang membedakan dengan fenomena

serupa di negara-negara Barat maupun negara muslim lainnya

seperti Malaysia, yakni unsur kesejarahan. Akar terorisme di

Indonesia saat ini yang melibatkan banyak kelompok Islam

berpandangan radikal akan dapat diketahui dengan baik

dengan melihat keterhubungannya dengan gerakan-gerakan

Islam saat ini merupakan ‚turunan‛ dari radikalisme Islam

yang diawali sebelumnya oleh Kartosuwirjo dengan Darul

Islamnya sejak 1950-an dan gerakan Komando Jihad atau Komji

yang muncul akhir 1970-an (Lihat: Zaki Mubarak, 2008).

Hubungan ini nyata terlihat tidak hanya pada segi kesamaan

ideologi, tapi bahkan juga segi biologis. Beberapa nama terduga

teroris, baik yang ditangkap hidup-hidup atau tertembak mati,

tercatat telah memiliki sejarah panjang tersangkut paut dengan

gerakan teror keagamaan sebelumnya.

Dengan membagi aksi teror dan radikalisme agama pasca

kemerdekaan ke dalam beberapa fase, menurut penulis,

fenomena terorisme di era reformasi merupakan fase ketiga

yang merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase pertama,

telah disebut sebelumnya, ditandai dengan munculnya DI/TII

Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh Kahar Muzakkar dan

Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan komando Jihad

1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah

mantan anggota DI/TII era Kartowoewijo. Nama Abdullah

Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, yang kemudian dikenal luas

sebagai amir Jamaah Islamiyah (JI), telah muncul pada fase itu.

Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang terjadi

saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.

Selain akar kesejarahan, geneologi pemikiran/ ideologi yang

menginspirasi berkembangnya radikalisme keagamaan juga

penting untuk ditelusuri. Perkembangan gagasan Islam radikal

di tanah air, yang beberapa ekspresi politiknya dilakukan

melalui aksi teror, banyak dipengaruhi oleh pandangan

Page 7: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

7 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

keislaman ulama klasik Ibnu Taimiyah dan juga Sayid Qutb-

Pemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir yang

akhirnya dihukum gantung-. Pemikiran Quthb-melalui mu’alim

fi at-tharieq- banyak menginspirasi radikalisme keagamaan di

kalangan muda pada 1980-an. Terutama, pandangannya soal

jahiliyah modern dan definisi kafir yang meluas. Lalu, gagasan

ini diperkukuh oleh Syaikh Abdullah Azzam, dengan konsep

jihadnya, yang kemudian berhasil mempengaruhi para aktifis

muslim Indonesia pergi berjihad ke Afganistan. Alu Osama bin

Laden, menjadi tokoh terpenting dalam mempengaruhi arah

dan perkembangan gerakan neo-fundamentalisme kontemporer

(Oliver Roy, 2005). Justrifikasi jihad dan dalil keagamaan yang

banyak keluar dari aktivis radikal saat ini kenyataannya tidak

lebih sebagai “copy paste” ungkapan-ungkapan yang sering

dilontarkan Bin Laden sebelumnya. Kuatnya pengaruh para

tokoh di atas juga dapat dibaca dengan jelas dalam berbagai

buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi oleh

kelompok-kelompok radikal di tanah air.

Selain faktor kesejarahan dan idiologi, faktor kebijakan

negara yang sangat represif terhadap kelompok Islam juga

dianggap berperan penting yang mendorong kelompok Islam

melancarkan aksi teror. Mihammed Hafez (2004) menegaskan

hal ini dengan menyimpulkan, dalam kasus terorisme

kelompok Islam di Al-Azhar, bahwa represi yang brutal oleh

rezim menjadi faktor terpenting yang melahirkan aksi-aksi teror

dari kelompok Islam yang ditindas dengan kejam. Dalam

sebuah momen di mana seluruh ruang untuk berpartisipasi

tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, malahan

yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya

yang paling ekstrim: terorisme.

Karakteristik Radikalisme

Terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik sikap

dan perilaku keberagamaan radikal di kalangan pemerhati

Page 8: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

8 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

gerakan sosial keagamaan. komaruddin Hidayat (2010) dan

Sarlito Wirawan (2012) menyebut sekurangnya 8 karakteristik

individu atau kelompok yang terpengaruh oleh ideologi radikal,

yakni: Pertama, benci kepada pemerintah R.I, karena tidak

menjalankan syariat Islam (thaghut). Kedua, menolak

menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan hormat

bendera merah putih. Ketiga, ikatan emosional mereka kepada

kelompok lebih kuat daripada kepada

lingkungan/keluarga/kampus. Keempat, pengajian dan

kaderisasi yang bersifat tertutup atau isolasi. Kelima,

menyetorkan sejumlah dana untuk organisasi dengan alasan

untuk penghapusan dosa. Keenam, berpakaian khas (dengan

alasan sesuai syariat Islam). Ketujuh, Umat Islam di luar

kelompoknya dianggap sebagai fasik atau kafir, sebelum

berhijrah. Kedelapan, enggan atau tidak mau mendengarkan

ceramah agama, selain berasal dari kelompoknya.

Radikalisme dapat dibagi sekurangnya dalam dua aspek:

pemikiran dan tindakan. Dengan menggunakan dua aspek

tersebut, kita dapat memilih gerakan Islam radikal dalam tiga

kategori. Pertama, kelompok yang dalam pemikiran sangat

radikal, tetapi dalam tindakan mengedepankan cara damai atau

persuasip. Misalnya: Hizbu Tahrir Indonesia (HTI). Dianggap

radikal dalam pemikiran atau gagasan karena mengajukan

konsep yang berbeda secara ekstrim dengan yang sudah mapan,

misalnya konsep kekhalifahan. Dalam tindakan dianggap tidak

radikal, karena menggunakan cara-cara persuasif. Kedua,

mereka yang dari segi pemikiran tidak radikal atau konservatif,

tetapi pada aspek tindakan bersifat radikal (mengedepankan

kekerasan), misalnya organisasi Front Pembela Islam (FPI).

Ketiga, mereka yang pemikiran dan tindakan bersifat radikal.

Selain menghendaki negara Islam dan pemberlakuan syariah,

mereka menafsirkan jihad melalui tindakan kekerasan.

Kelompok yang berkaitan dengan Jamaah Islamiyah (JI)

merupakan bagian kategori ketiga ini, termasuk juga kelompok

Negara Islam Indonesia (NII).

Page 9: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

9 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Lalu bagaimana hubungan radikalisme dengan terorisme?

Kelompok yang dikenal di Indonesia dengan sebutan Jamaah

Islamiyah (JI) telah dinyatakan oleh PBB sebagai perkumpulan

teroris. JI dianggap terkait dengan al-Qaedah. Belakangan,

Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), sempalan dari Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI), oleh Pemrintahan Amerika Serikat

juga masuk dalam daftar organisasi teroris. Seperti diketahui,

mereka yang teridentifikasi sebagai teroris ini juga masuk

dalam daftar organisasi teroris. Seperti diketahui, mereka yang

teridentifikasi sebagai teroris ini juga dikenal luas sebagai

perkumpulan keagamaan Islam yang radikal. Tetapi, tidak

semua kelompok yang dicap radikal dinyatakan sebagai teroris.

Bisa disebut dalam kategori ini, antara lain Front Pembela Islam

(FPI), dan sejumlah organisasi lokal seperti Gerakan Reformasi

Islam (Garis) di Cianjur, FPIS di Surakarta, dan sejenisnya. Beda

dengan radikalisme yang lebih bersifat sosiologis, definisi

terorisme lebih mengacu kepada dimensi legal.

Kajian tentang terorisme dewasa ini masih memunculkan

berbagai problematika, selain terkait faktor-faktor yang

dianggap berperan penting bagi munculnya terorisme yang kini

menjadi penyelidikan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, juga

tidak kalah pentingnya adalah definisi terorisme itu sendiri.

Perdebatan tentang definisi terorisme masih sulit untuk

mencapai kata sepakat, padahal definisi tersebut penting bagi

penyaring jenis tindakan dan kelompok tertentu untuk dapat

dimasukan atau tidaknya dalam kategori terorisme. Alex P.

Schmid dalam The Routledge Handbook of Terrorisme Research

(2011) mencatat beberapa hal yang menyebabkan kesulitan

mendefinisikan terorisme, antara lain:

Pertama, terorisme merupakan konsep yang saling bersaing

di mana dalam perpsektif politik, ilmu sosial, hukum, dan

pandangan masyarakat umum, bersifat menyebar.

Kedua,rumusan dalam definisi terorisme itu sendiri terkait

dengan soal (de-) legitimasi atau kriminalisasi. Ketiga, terdapat

Page 10: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

10 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

banyak terorisme dengan bentuk dan manifestasi yang sangat

variatif.

Keempat, term terorisme itu sendiri telah melewati berbagai

perubahan/perkembangan makna sejak lebih 200 tahun term itu

dipakai. Kelima, oganisasi teroris yang sering bersifat semi

klendestain dan dipenuhi berbagai kerahasiaan menjadikannya

sulit untuk dianalisis secara obyektif. Keenam, tindakan yang

dianggap sebagai terorisme berhimpitan atau bahkan satu

rumpun dengan jenis-jenis lain kekerasan politik, sehingga

mengaburkan dan menjadikannya tidak jelas (seperti;

pembunuhan, perang gerilya, kriminal, dan lain sebagainya).

Ketujuh, negara dengan monopoli kekerasan dan kewenangan

hukumnya, melalui pendefinisian terorisme tersebut, dapat

mengeksekusi (menyingkirkan) berbagai kelompok tertentu,

termasuk dengan cara represif.

Masih ada faktor lain yang menyulitkan adanya definisi

tunggal terorisme. Ahli filsafat bahasa, Noam Chomsky, selalu

mengingatkan bahwa faktor power (kekuasaan) berperan

penting dalam memberikan konstruksi politik, termasuk soal

terorisme. Apakah Kristoforus Kolumbus si ‚Penemu Benua

Amerika‛ adalah seorang jenis bajingan bajak laut atau

penguasa besar yang sah (sehingga pendaratnnya di benua

Amerika selalu dirayakan besar-besaran setiap tahunnya)?

Chosky dengan tegas menuding Amerika dengan segala tindak

tanduknya justru sebagai teroris terbesar di dunia. Persis seperti

pandangan Imam Samudra (dalam Bom Bali I) yang justru

menunjuk Amerika dan Israel sebagai teroris yang dia musuhi

seperti judul bukunya ‚Aku Melawan Teroris‛.

Pemerintah Indonesia sendiri mendefinisikan teroris

sebagai; setiap orang yang dengan sengaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror

atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda

Page 11: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

11 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran

obyek-obyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas

publik atau fasilitas internasional (UU No 15/2003). Definisi

dalam UU No. 1 tahun 2003 ini yang menjadi pijakan hukum

bagi tindakan pemberantasan di tanah air.

Radikalisme di Kampus UI

Kampus UI merupakan ruang yang terbuka bagi berbagai

pemikiran, termasuk berbagai pemikiran Islam yang beragam.

Namun demikian, radikalisme di Kampus UI dapat dianggap

memiliki potensi yang kecil untuk berkembang dan berdampak

luas di kalangan mahasiswa UI, walaupun ragam kelompok

keislaman di kampus UI semakin beragam. Berbagai kelompok

keislaman memiliki peluang untuk masuk dan mengembangkan

ajaran ataupun pemikiran mereka di lingkungan kampus UI,

terlebih pasca Orde Baru.

Minat mahasiswa UI terhadap bentuk kegiatan keislaman

di lingkungan kampus UI semakin terfasilitasi dengan

kelompok-kelompok atau organisasi keislaman yang semakin

beragam. Mahasiswa yang berminat terhadap kegiatan

keislaman yang resmi dan diakui oleh pihak rektorat atau dekan

dapat bergabung dengan kelompok Tarbiyah yang secara

formal lebih dikenal dengan SALAM UI sebagai LDK (Lembaga

Dakwah Kampus) di tingkat universitas atau LDK di fakultas

masing-masing. Adapun mahasiswa yang berminat terhadap

Islam khususnya dari aspek ritual ibadah yang dianggap paling

murni sesuai ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, mereka dapat

bergabung dengan kelompok mahasiwa Salafy. Sementara

mahasiswa yang berminat terhadap Islam dari aspek politik

dalam konteks global, terutama aspek sistem pemerintahan

yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya,

mereka dapat bergabung dengan kelompok mahasiswa HT

melalui FRM UI. Dengan keterbukaan ruang interaksi antara

mahasiswa UI dan berbagai kelompok keislaman, berbagai

Page 12: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

12 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

paham radikal dapat saja masuk dan mencoba mempengaruhi

mahasiswa UI.

Selain ketiga organisasi atau kelompok di atas yang relatif

menonjol dan cukup dikenal di kalangan mahasiswa UI,

kelompok NII KW-9 juga sejak tahun 1993 diperkirakan sudah

mencoba masuk dan merekrut mahasiswa UI agar menjadi

anggota mereka. kelompok NII KW-9 merekrut mahasiswa UI

dengan menawarkan pemikiran mengenai penerapan konsep

aqidah Islam, pergerakan Islam, penerapan konsep jihad,

hingga konsep negara Islam, yang pada intinya menekankan

pergerakan dan tujuan NII. Mereka menyasar mahasiswa yang

memiliki ketertarikan untuk mengetahui ajaran Islam secara

mendalam. Akan tetapi berbeda dengan ketiga organisasi atau

kelompokk keislaman yang telah dijelaskan sebelumnya,

metode perekrutan yang dilakukan NII KW-9 sangat tertutup

dan cukup selektif. Oleh sebab itu, mereka tidak melakukan

rekrutmen melalui berbagai bentuk media promosi apapun.

Perekrutan dilakukan melalui pertemanan, perkenalan

secara tidak sengaja, atau masuk ke dalam kampus secara

terselubung melalui kegiatan seminar terbatas, dan sebagainya.

Umumnya, proses perekrutan tersebut dilakukan secara

bertahap, dimulai dengan screening (penyaringan) melalui

diskusi berkelompok yang terencana, indoktrinasi pemikiran

NII ke dalam pikiran calon, setidaknya ada dua kriteria dalam

memilih calon anggota NII, yaitu kondisi finansial keluarga

yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban infaq angggota

setiap bulan dan latar belakang profesi orang tua yang bukan

anggota militer atau kepolisian, agar jaringan mereka tidak

terbongkar. Jika sesuai dengan kriteria tersebut, maka proses

rekrutmen biasanya dilanjutkan ke tahap diskusi berkelompok

terencana. Kelompok tersebut dirancang dengan komposisi

terdiri dari seorang pemateri, seorang anggota NII yang

berpura-pura sebagai orang yang baru mengikuti diskusi dan

mengenal pemateri, dan calon anggota bersama orang lain atau

Page 13: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

13 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

teman yang mengajaknya. Hal ini pernah terjadi pada

mahasiswa FISIP UI dan FIB UI4.

Strategi UI dalam Pencegahan dan Penanggulangan

Radikalisme

Hingga sekarang ini, cara pencegahan dan penanggulangan

gerakan radikal yang dilakukan rektorat UI ditujukan terhadap

kegiatan perekrutan mahasiswa UI menjadi anggota NII.

Namun karena kegiatan tersebut dianggap bukan masalah yang

serius dan signifikan di kampus UI, maka upaya pencegahan

dan penanggulangan gerakan NII pun tidak terlalu serius atau

tingkat kesiagaan yang ditetapkan dapat dikatakan cenderung

biasa. Baik upaya pencegahan maupun upaya penanggulangan

gerakan NII tidak dilembagakan, baik melalui penetapan SK

(Surat Keputusan) rektor UI yang menyatakan bahwa

pelarangan gerakan NII maupun melalui pembentukan lembaga

atau badan pencegahan dan penanggulangan yang memiliki

posisi dan fungsi tersendiri, semisal NII Center5.

Bentuk pencegahan lainnya dilakukan oleh Dekan Fakultas

Teknik UI bekerjasama dengan FUSI (Forum Ukhuwah dan

Studi Islam) FT UI yakni membentuk posko pengaduan

mahasiswa yang bermasalah secara akademis, namun tidak

secara spesifik untuk kasus NII, untuk mengidentifikasi latar

belakang utama yang menyebabkan mahasiswa FT terancam

drop out. Diperkirakan 20% di antaranya terindikasi menjadi

NII setelah dilakukan penelusuran dan pendekatan terhadap

mahasiswa yang bersangkutan oleh pihak dekan, keluarga, dan

teman-temannya. Namun demikian, posko tersebut tidak

bersifat permanen. Sementara di fakultas kedoteran, upaya

pencegahan dilakukan oleh pihak dekan FK dengan

4 Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalnagan Mahasiswa: Studi Kasus

di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Skripsi,

FIB UI, 2007.

5 Wawancara dengan Dr. Kamaruddin, 27 Januari 2015.

Page 14: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

14 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

mewajibkan mahasiswa baru untuk mengikuti kajian keislaman

selama satu bulan pertama yang diadakan oleh FSI (Forum

Studi Islam) FK UI6.

Di tingkat fakultas, BKM UI dibantu oleh para konselor,

namun baru FISIP dan FE yang memiliki konselor tetap yang

berasal dari dosen fakultas setempat. Adapun di fakultas

Psikologi dilakukan melalui Pusat Pelayanan dan Kajian

Psikologi Sosial. Hingga saat ini BKM UI maupun para konselor

ditingkat fakultas tidak pernah menangani mahasiswa yang

terlibat sebagai anggota NII atau kasus radikalisme lainnya. Hal

ini karena BKM UI sendiri bersifat pasif dalam memberikan

konsultasi tersebut, di mana konsultasi akan diberikan jika

mahasiswa UI sendiri yang membutuhkan dan mendatangi

BKM UI7. Maka kasus keterlibatan mahasiswa UI sebagai

anggota NII yang bersifat tertutup tidak mampu terjangkau oleh

BKM UI. Lembaga lain yang berpotensi untuk terlibat dalam

pencegahan, yakni Abdurrahman Wahid Center (AWC) UI yang

berupaya menawarkan dan menyebarkan gagasan Islam dan

multikulturalisme, hingga saat ini belum secara spesifik

ditujukan bagi pencegahan radikalisme atau sebagai bentuk

counter radicalism di Kampus UI, karena masih fokus pada riset

dengan topik keberagaman dan politik lokal, revitalisasi

kultural lokal dalam menciptakan inklusivisme8.

Dengan demikian, radikaisme di Kampus UI, khususnya

oleh pihak rektorat dipahami sebatas paham atau pemikiran

yang menggunakan cara kekerasan atau perusakan, sehingga

situasi kampus UI cenderung dianggap kondusif dari paham

radikalisme tersebut. Adapun kelompok NII yang masuk ke

dalam lingkungan kampus UI dan merekrut mahasiswa UI

6 Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalnagan Mahasiswa: Studi Kasus

di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Skripsi,

FIB UI, 2007.

7 Wawancara dengan Ika Malik, 26 Januari 2015.

8 Wawancara dengan Suaedy, 29 Januari 2015.

Page 15: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

15 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

menjadi anggotanya tidak semata dipahami sebagai bentuk

gerakan radikal, tetapi lebih pada gangguan terhadap kegiatan

mahasiswa UI dianggap tidak signifikan, maka strategi

pencegahan dan penanggulangannya pun cenderung bersifat

koordinatif dengan lembaga internal kampus, khususnya

lembaga kemahasiswaan, dibanding membentuk lembaga

formal dan bersifat permanen.

Kebijakan UGM dalam Mencegah dan Menanggulangi

Bahaya Radikalisme

Selain dikenal sebagai kampus yang di dalamnya memuat

banyak potensi radikalisme, tetapi kampus tersebut dikenal

sebagai salah satu kampus yang paling berhasil dan memiliki

success story dalam mencegah, menanggulangi bahkan

menggerus potensi-potensi radikalisme di kalangan

mahasiswanya secara sistematis dan terstruktur. Beragam

kebijakan, pendekatan, maupun pola yang dilakukan oleh pihak

pengelola kampus khususnya, umumnya oleh segenap civitas

akademika perlu sebuah perhatian khusus untuk dijadikan

sebuah studi. Harapannya melalui studi ini akan ditemukan

sebuah role model untuk mengatasi ataupun menanggulangi

potensi-potensi radikalisme di berbagai kampus yang lain. Oleh

sebab itu, hasil laporan ini akan membidik khusus tentang

bagaimana kebijakan, strategi, pola pendekatan yang dilakukan

oleh pihak UGM dan lembaga-lembaga internalnya dalam

mencegah maupun menanggulangi potensi radikalisme di

kalangan mahasiswa.

Pertama, Jamaah Shalahudin (JS) memiliki cerita sendiri

tentang bagaimana memoderasi radikalisme di kalangan takmir

maupun jamaah. Beberapa aspek yang berhasil mereka

moderatkan yaitu masalah khilafah, struktutr kepengurusan JS,

model pemilihan ketua JS, tema-tema kajian, struktur para

pengisi kajian, struktur divisi, cara berbahasa sehari-hari,

konsep pengajian akbar, konsep lay out publikasi kegiatan.

Page 16: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

16 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Berikut beragam pendekatan maupun strategi yang dilakukan

oleh takmir JS dalam memoderasi kelompok mahasiswa yang

cenderung radikal dalam tubuh internal JS.

1. Sebelum reformasi 1998 masalah khilafiah (perbedaan

pandangan) tidak menjadi masalah serius dikalangan

pengurus JS, tetapi pasca reformasi menjadi menonjol dan

membuat konflik yang cukup serius dalam tubuh internal

JS. Kalau sebelum 1998, pengurus JS sangat plural

komposisi backround idiologinya, bahkan lebih dikuasai

oleh kalangan mahasiswa Islam non Tarbiyah seperti HMI,

IMM, dan Kalangan NU. Tetapi pasca 1998, kelompok

mahasiswa tarbiyah mendominasi struktur kepengurusan

JS proses menjadikan urusan khilafiyah sebagai masalah

prinsipil.

2. Struktur kepengurusan JS pasca reformasi 1998 didominasi

kelompok mahasiswa Tarbiyah. Mereka hampir

menduduki posisi-posisi strategis secara politis dalam

kepengurusan JS, sehingga mulai dari proses perencanaan

kegiatan maupun pewarnaan idiologi dan tradisi dalam

tubuh JS mereka yang akan mewarnainya. Sebenarnya

proses rekruitmen untuk struktur kepengurusan JS sangat

terbuka untuk beragam jenis mahasiswa baik backround-nya

dari yang kalangan santri maupun non santri, baik yang

mahasiswa dari aliran liberal sampai radikal, maupun dari

beragam mahasiswa dari background organisasi

kemasyarakatan berbasis agama di luar kelompok

mahasiswa tarbiyah, seperti dari HTI, Salafy, HMI,

Muhammadiyah, maupun NU9.

Kedua, CRCS UGM: Moderasi Melalui Riset, Kuliah dan

Publikasi CRCS (Center for Religion and Cultureal Studies)

UGM adalah lembaga internal kampus yang memiliki banyak

9 Disarikan berdasar pada wawancara dengan Nico, tokoh senior

Jamaah Shalahudin dan Takmir Masjid Kampus (MASKAM) UGM

Yogyakarta.

Page 17: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

17 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

pengalaman dalam hal penelitian maupun produksi

pengetahuan utamanya yang berkaitan dengan persoalan-

persoalan seperti pluralisme, radikalisme, maupun

multikulturalisme. Ada tiga program utama yang dikelola oleh

lembaga ini, yaitu: penelitian (termasuk publikasinya),

perkuliahan, dan networking. Ketiga program tersebut

mengandung misi utama, yaitu hendak membendung

radikalisme di ruang atau lingkungan kampus maupun ruang

publik umumnya. Secara lebih jelas tentang misi dan peran

CRCS terkait dalam membendung derasnya penyebaran

fundamentalisme dan radikalisme keagamaan di lingkungan

kampus UGM Khususnya. Dari ketiga hal tersebut kemudian

pihak CRCS menurunkannya lagi ke dalam beberapa strategi

implementatif yang langsung menargetkan atau memfokuskan

pada langkah konkrit dalam hal menanggulangi dan mencegah

penyebaran radikalisme dan ekstimisme keagamaan di kampus

UGM khususnya dan umumnya pada masyarakat luas10.

Berikut di bawah ini adalah langkah yang dilakukan lembaga

tersebut, yaitu: Memutus Radikalisme sejak di SMA, Advance

Study of Religion: Strategi Deradikalisasi dalam Kelas, Kampanye

Pluralisme: Memutus Radikalisme di Kampus11, Jaringan civitas

Akademik: Strategi Sistemik Jerat Radikalisme Kampus12.

10 Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS UGM.

11 Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS UGM.

12 Asisten Agama Islam (AAI) yaitu asisten pembelajaran dalam

kegiatan pendampingan mahasiswa oleh mahasiswa kakak angkatan

dalam proses pembelajaran mata kuliah, praktikum, dan atau tutorial

agam Islam di lingkungan UGM. Asisten bertujuan untuk membantu

mahasiswa untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran, agar

terwujud capaian pembelajaran yang lebih baik dan komprehensif. Lihat

lebih lanjut: http://dirmawa.ugm.ac.id/ (iunduh 6 Januari 2015).

Page 18: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

18 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Peran Rektorat dan Dirmawa UGM

Pratikno (Rektor UGM sebelumnya) memiliki terobosan

yang cukup luar biasa atas penanggulangan radikalisme di

kampus UGM. Tidak hanya terobosan, tetapi ini sebuah respon

yang cukup intelek dan melek pengetahuan atas fenomena

radikalisme. Salah satu kebijakan yang cukup spektakuler

selama hampir satu dekade lebih ini adalah kebijakan

pencabutan mata kuliah AAI yang secara resmi berlaku sejak 27

Juni 2014 yang isinya mencabut segala ketentuan tentang AAI.

Produk kebijakan rektorat dalam mencabut AAI tersebut adalah

Peraturan Rektor No. 422/P/SK/HT/2014 tentang asistensi dalam

perkuliahan MPK Pendidikan Agama Islam I di Lingkungan

UGM dan Keputusan Rektor No. 214/P/SK/HT/2014 tentang

asistensi dalam perkuliahan MPK Pendidikan Agama di

Lingkungan UGM serta segala ketentuan yang mengatur atau

menetapkan Dosen Pengampu dan/atau Asisten dinyatakan

dicabut dan tidak berlaku.

Upaya UGM mencegah paham radikal yang peneliti lihat

adalah kurikulum mata kuliah agama Islam. Sejak tahun 2000-

an UGM memberlakukan asistensi bagi mahasiswa yang

menjadi bagian dari pendidikan agama Islam. Mata kuliah

pendidikan agama Islam dengan bobot 2 SKS, asistensi berbobot

1 SKS. Sejalan yang dilakukan Dirmawa untuk

mengkonsolidasikan setiap bidang kerohanian dalam kampus

UGM. Melalui kebijakan tersebut menjembatani mahasiswa

untuk memiliki pengetahuan agama yang cukup untuk tidak

masuk dalam jaringan radikal.

Pimpinan UGM telah menyiapkan pencegahan dan

menanggulangi paham radikal, semua civitas akademika

diharapkan mampu membentengi diri dan bersama mencegah

meluasnya paham radikal tersebut. Terkait dengan tugas dan

kegiatan dari satu tim yang dibentuk oleh UGM, yaitu Tim NII

Crisis Ceneter di antaranya adalah: (1). Memberikan

pemahaman kepada para mahasiswa baru saat proses Ospek

Page 19: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

19 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

tentang bahaya aliran atau paham-paham sesat, radikal dan

sebagainya; (2). Memberikan informasi-informasi tersebut

dalam beragam media baik online (web, radio swaragama)

maupun offline (leaflet, booklet, dan sebagainya). Berikut

pernyataan Haryanto:

‚..... kita (Tim NII Crisis Cenetr dan Dirmawa) memberikan

kalau pas penerimaan mahasiswa baru, yah kemudian kita

memberikan ceramah lah, materi terkait dengan masalah-

masalah seperti itu. Karena ini kan sangat halus sekali, pintu

masuknya bahkan ke macam-macam, kalau dulu itu di

mushalla itu, kalau sekarang itu bahkan di Mall. Nah, jadi

kemudian dulu itu perempuan pakai jilbab, sekarang tidak

harus. Jadi paham-paham itu mereka masuk, itu yang pertama.

Kemudian yang kedua itu adalah tadi membuat informasi-

informasi, leaflet, kemudian kadang-kadang diundang ini di

radio swaragama untuk bicara tentang masalah itu. Kemudian

mendampingi mereka-mereka yang terindikasi memang sudah

masuk di situ..‛13

Pihak UGM, dalam hal ini, sering menyampaikan di dalam

berbagai kesempatan bahwa perlunya semua pihak (stakeholders)

khususnya pimpinan kampus UGM mewaspadai gerak-gerik

kelompok NII. Oleh karena itu, kampus ini juga memasukkan

materi anti NII di booklet mahasiswa baru. Hal itu sebagai upaya

terkait mpmpk dari aktivitas NII yang semakin meluas dan

menyasar mahasiswa baru.

Dengan demikian, dalam kaitannya pengaruh radikalisme

dan ekstrimisme yang muncul, perguruan tinggi mempunyai

tanggungjawab besar dalam menangkal dampak negatif dari

keberadaan jaringan radikal. Sebagai garda depan dalam

memantau perkembangan mahasiswa dari berbagai aspek,

perguruan tinggi diharapkan mempunyai orientasi yang jelas

dan tepat dalam menanamkan nilai-nilai yang benar dan tepat

13 Wawancara dengan Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan

UGM, periode 2007-2012.

Page 20: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

20 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

kepada mahasiswanya untuk menghindari dan membentengi

diri dari keberadaan paham-paham radikal. Dari hasil dan

temuan-temuan di atas, ada beberapa medium yang melahirkan

atau menciptakan radikalisme. Pertama, proses radikalisme

mahasiswa memang sudah terjadi sejak jaman mereka SMA,

yaitu dalam lembaga kerohanian, dan berdasarkan dari hasil

penelitian CRCS UGM radikalisme dan sikap intoleran tersebut

lahir justru sejak mereka SMA bukan saat kuliah. Kedua,

medium mata kuliah. AAI di kampus UGM menjadi salah satu

mata kuliah yang dinilai memuat benih dan kepentingan dari

kelompok-kelompok radikalisme mengajarkan dan menjalarkan

ajarannya. Ketiga, ruang publik kampus yang kosong akan nilai

multikulturalisme. Adapun strategi deradikalisasi yang

ditawarkan CRCS dan pihak seperti Dirmawa serta Tim NII

Crisis Center patut dipertahankan dan dilanjutkan terus untuk

menjaga dan mengikis pengaruh-pengaruh paham radikal

keagamaan yang sudah marak menyebar ke semua lini dan

komponen masyarakat.

Dinamika Keislaman UIN Malang

Saat ini, di lingkungan UIN Malang latar belakang

mahasiswanya sangat beragam, mulai dari negara, etnis,

budaya, sampai pada tradisi keagamaannya, sebagaimana

dikatakan oleh Isroqunnajah, direktur Ma’had Sunan Ampel Al-

Ali UIN Malang berikut ini:

‚… Kita punya mahasiswa di sini itu lima madzhab.

Mereka ada dari Negara Eropa Timur itu semua Hanafi,

termasuk Afghanistan. Yang Maliki itu dari benua Afrika:

Sudan, Somalia, Libia. Yang syafi’i dari Indonesia kebanyakan.

Lalu yang Hambali itu Shofwan al-Hambali. Kemudian Syi’i

(Syiah) itu dari Afghanistan, tapi kelahiran Iran. Kita suruh

semua praktek. Sehingga kita tahu ceritanya. Jadi sejak awal kita

berikan materi yang secara tidak langsung mereka bisa

Page 21: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

21 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

memahami perbedaan pendapat. Sepanjang itu ada

referensinya.‛14

Bagi pengasuh Ma’had ini, berbagai perbedaan yang ada

dijaga dan dihargai selama mahasiswa/i mampu mencari

sumber atau dalilnya. Inilah komitmen civitas akademika UIN

Malang sebagai langkah untuk membuka diri dan cakrawala

pemikiran mahasiswa/i. Komitmen menjadikan mahasiswa/i

sebagai generasi masa depan yang terbuka, toleran, dan bijak

dalam menyikapi dan mengapresiasi berbagai keragaman

sudah ditanamkan sejak kampus tersebut lahir. Sebagaimana

dikatakan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi UIN

Malang, bahwa pluralisme bukan lagi menjadi wacana, tapi

sudah dipraktekkan di kampus. Tidak hanya dalam konteks

perbedaan di dalam internal agama (Islam), tapi juga perbedaan

dengan agama lain:

‚…... karena sejak awal kelahiran kampus melibatkan

pesantren, maka ini keagamaan mengarah pada Islam toleran,

Islam damai, Islam kultural. Maka pak Imam (baca; Prof. Dr. H.

Imam Suprayogo) saat menjabat sebagai rektor bilang dengan

kelakarnya: ‚kalau orang lain sedang membicarakan konsep

pluralisme, kita di sini sudah melakukan pluralisme sejak dini.

Kita sudah mengundang orang Hindu Bali untuk berdiskusi di

sini, lalu kita juga diundang ke sana untuk berbicara tentang

toleransi‛. Jaid pluralisme itu bukan suatu yang sedang

dibicarakan di kampus ini, tapi justru dipraktekkan‛.15

Maka menjadi maklum ketika berbagai jenis organisasi

kemahasiswaan ekstra kampus (OMEK) berkembang di sini.

Mulai dari PMII, HMI, IMM, GMNI, dan KAMMI. Bahkan HTI

dan Jamaah Tabligh yang notabene bukan organisasi

kemahasiswaan dan disinyalir sebagai organisasi berhaluan

radikal pun ada di kampus ini meskipun eksistensi keduanya

14 Wawancara dengan Isroqunnajah, 19 Januari 2015.

15 Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi

UIN Malang, 19 Januari 2015.

Page 22: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

22 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

tidak se-vulgar organisasi kemahasiswaan. Keberadaan

mahasiswa dan dosen yang tergabung dalam HTI tetap

diakomodasi oleh pihak kampus selama tidak mengganggu

aktifitas akademis. Keberagaman yang terdapat di UIN Malang

adalah realitas yang tidak dipungkiri, dan sekaligus sebagai

komitmen pluralisme yang dibangun oleh pihak kampus16.

Kebijakan Mencegah dan Menanggulangi Radikalisme di

UIN Malang

Kebijakan yang diambil oleh UIN Malang dalam mencegah

dan menanggulangi radikalisme di kalangan mahasiswa bisa

dikategorikan menjadi tiga bagian. Pertama, kewajiban bagi

setiap mahasiswa/i baru untuk tinggal dan mengikuti semua

kegiatan yang ada di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly selama

setahun pertama sejak dinyatakan diterima di UIN Malang.

Kedua, memberikan pemahaman bahwa pluralitas sebagai

sebuah realitas hidup sehari-hari yang harus dihormati dan

dijaga, baik melalui Ma’had maupun dalam berbagai kegiatan

akademik lainnya. Ketiga, melakukan pembinaan sekaligus

pengawasan terhadap mahasiswa/i melalui berbagai kegiatan

akademik dengan melibatkan seluruh civitas akademika UIN

Malang. Di bawah ini merupakan penjelasan lebih rinci tentang

berbagai kebijakan tersebut, sekaligus implementasinya:

1. Ma’had Al-‘Aly: Benteng Pencegah Radikalisme dan

Penyemai Islam Moderat

Kegelisahan akan kondisi generasi penerus bangsa,

terutama kaum muda terkait minimnya pemahaman

tentang kebangsaan, rendahnya penguasaan bahasa (Arab

dan Inggris) sebagai media komunikasi internasional, serta

kurang komprehensifnya penguasaan ilmu pengetahuan

sebagai bekal bagi mereka untuk menerima tampuk

16 Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi

UIN Malang, 19 Januari 2015.

Page 23: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

23 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

kepemimpinan dengan kualitas dan moralitas tinggi, maka

niat mengintegrasikan perguruan tinggi dan pesantren

itulah yang menjadi pertimbangan historis berdirinya

Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly UIN Malang17.

2. Bahasa: Media Komunikasi Untuk Memahami Agama

Secara Komprehensif

Selain program rutinitas ibadah serta lainnya, Ma’had

Al-‘Aly UIN Malang ini juga mengembangkan wajib

penguasaan bahasa Arab dan Inggris bagi setiap

mahasantri. Program ini diharapkan bisa menjadi media

bagi mahasantri untuk memahami agama secara

komprehensif, sehingga mereka mampu menerima segala

perbedaan lengkap dengan dalil atau referensinya. Jadi

bukan asal beda, atau mengecam perbedaan. Menurut

Isroqunnajah, setiap pagi habis sholat subuh berjamaah ada

program Shabah al-Lughah atau English Morning. Kegiatan

ini lebih diarahkan pada praktek dan bacaan yang

disesuaikan dengan kemampuan setiap mahasiswa/I mulai

dari pemberian materi grammer, tugas, praktek speaking dan

listening bersama dosen asing. Selain itu, ada juga English

Fun seperti menyanyi, mengubah lagu dari Arab ke Inggris,

atau dari Indonesia ke Inggris18.

Kemampuan penguasaan bahasa secara baik dan benar

inilah yang dianggap mampu menjadi titik temu atas

beragam pandangan keagamaan. Maka tidak heran jika

banyak sekali istilah Arab yang digunakan di lingkungan

UIN Malang. Sebagaimana diakui Abdul Barizi, ‚untuk

menetralisir perbedaan digunakan istilah tasawuf, supaya

mudah diterima dan dianggap nyaman oleh berbagai

17 Wawancara dengan Isroqunnajah, 19 Januari 2015.

18 Wawancara dengan Isroqunnajah, Direktur Ma’had Sunan Ampel

Al-‘Aly, UIN Malang, 19 Januari 2015

Page 24: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

24 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

kelompok. Misalnya, istighasah diganti dengan riyadhah. Jadi

istilah tasawuflah yang digunakan‛19.

3. Pengawasan dan Pembinaan oleh Civitas Akademika

Dalam rangka mengimpelementasikan kebijakan

deradikalisasi di lingkungan civitas akademik UIN Malang

secara efektif, selain melalui Ma’had juga ada semacam

pembinaan dan pengawasan terkait berbagai kegiatan di

lingkungan kampus dengan melibatkan seluruh civitas

akademiknya. Mulai dari rektorat, dekanat, sampai pada

dosen. Bahkan menurut Agus Maimun, pengawasan dan

pembinaan ini sampai menekankan pada koordinasi

dengan aparat keamanan di Wilayah Kota Malang, dirinya

juga sangat selektif dalam pemberian ijin terhadap berbagai

kegiatan kemahasiswaan. UIN Malang membolehkan

semua ormas untuk masuk ke kampus, dengan catatan

tidak menyuarakan hal-hal yang bersifat radikal. Tetapi

semua itu disertai dengan pengawasan yang ketat dari

pihak kampus20.

Berbagai kebijakan de-radikalisasi yang

diimplementasikan oleh UIN Maulana Malik Ibrahim

Malang, mulai dari pemondokan mahasiswa/i pada tahun

pertama kuliah, penanaman pemahaman dan praktek

pluralisme dalam kehidupan sehari-hari, sampai pada

pengawasan yang melibatkan seluruh civitas akademika,

tiada lain merupakan bagian dari implementasi visi dan

misi UIN Malang. Namun demikian, implementasi

kebijakan tersebut bukan berarti tanpa kendala. Direktur

Ma’had UIN Malang, Isroqunnah mengakui bahwa

keberadaan Ma’had ‘Aly yang dipimpinnya memang sudah

19Wancara dengan Abdul Barizi, Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang, 20 Januari

2015

20 Wawancara dengan Agus Maimun, Wakil RektorBidang

Kemahasiswaan UIN Malang, 20 Januari 2015

Page 25: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

25 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

resmi. Tetapi dirinya merasa bahwa Kementerian Agama

belum mampu memahaminya, dan UIN yang lain juga

mempraktekan yang sama dengan UIN Malang. Umi

Sumbulah (Pemerhati masalah sosial keagamaan di

Malang)21, memberikan catatan kepada pihak pengambil

kebijakan terhadap pentingnya memperketat peraturan

dalam menyaring penerimaan mahasiswa dan dosen.

Menurutnya, UIN yang mempromosikan kampus Rahmatan

lil’alamin harusnya memiliki sistem agar Islam kanan tidak

masuk.

Kesimpulan

Melihat dari beberapa poin penting di atas, program

deradikalisasi terhadap pemikiran dan perilaku keagamaan

ekstrim harus mempertimbangkan beberapa hal: Pertama, level

keterlibatan. Apakah program ditujukan untuk mencegah para

mahasiswa terlibat dari kelompok atau organisasi radikal

(disengagement), atau menyadarkan mereka yang tengah aktif

dalam gerakan tersebut (deradikalisasi), atau tindakan berisifat

rehabilitasi mantan korban (mereka yang pernah menjadi

korban atau mereka yang keluar dari organisasi radikal)? Kedua,

jenis keterlibatan. Segi ini terkait dengan model perkumpulan

radikal yang bagaimana mahasiswa terlibat, apakah dalam jenis

I (pemikiran radikal, tindakan konservatif), jenis II (pemikiran

konservatif, tindakan radikal) atau jenis III (pemikiran radikal

dan tindakan radikal)? Pengidentifikasian semacam ini

tampaknya belum banyak dilakukan perguruan tinggi,

termasuk di UI, UGM dan UIN Malang, dalam hal kebijakan

penanggulangan atau rehabilitasi. Padahal, identifikasi dua

aspek di atas menurut penulis akan sangat menentukan dalam

merumuskan program atau kebijakan deradikalisasi di

lingkungan perguruan tinggi.

21 Wawancara dengan Dosen Fakultas Syariah UIN Malang, 20

Januari 2015.

Page 26: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

26 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Pada umumnya di perguran tinggi kebijakan untuk

merespon radikalisme lebih bersifat preventif, pencegahan

kelompok mahasiswa dari organisasi/perkumpulan radikal.

Maka, disengagement merupakan prioritas. Jenis keterlibatan

dengan organisasi atau perkumpulan radikal di lingkungan

perguruan tinggi bersifat variatif. Di sebagian besar kampus di

Jawa, dua organisai radikal yang aktif merekrut mahasiswa

adalah Hizbut Tahrir (pemikiran radikal dan tindakan damai

dengan mengedepankan persuasi), dan NII/Negara Islam

Indonesia (pemikiran radikal dan tindakan radikal menjurus

kriminal).

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku, Jurnal, dan Majalah

Dewi, Alia Prima, Fenomena NII di Kalangan Mahasiswa: Studi

Kasus di Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia. Skripsi, FIB UI, 2007.

Laporan rinci soal bom buku dan jaringan Pepi dibaca dalam,

‚Generasi Baru Teroris‛ Majalah Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011.

Wawancara Tokoh

Wawancara dengan Dr. Kamaruddin, 27 Januari 2015.

Wawancara dengan Ika Malik, 26 Januari 2015.

Wawancara Suaedy, 29 Januari 2015.

Wawancara dengan Nico, tokoh senior Jamaah Shalahudin dan

Takmir Masjid Kampus (MASKAM) UGM Yogyakarta.

Wawancara dengan Budi Asyari, Manager Program CRCS

UGM.

Wawancara dengan Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan

UGM periode 2007-2012.

Wawancara dengan M. Luthfi Mustofa, Dekan Fakulta Psikologi

UIN Malang, 19 Januari 2015.

Page 27: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

M. Zaki Mubarak, dkk

27 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Wawancara dengan Isroqunnajah, Direktur Ma’had Sunan

Ampel Al-‘Aly, UIN Malang, 19 Januari 2015.

Wawancara dengan Abdul Barizi, Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang,

20 Januari 2015.

Wancara dengan Agus Maimun, Wakil RektorBidang

Kemahasiswaan UIN Malang, 20 Januari 2015.

Umi Sumbulah, Dosen Fakultas Syariah UIN Malang, 20 Januari

2015.

Media Online

Untuk Profil 17 Tersangka Jaringan Pepi, ‚Tuduhan kepada 17

Tersangka Bom Buku dan Sepong‛, Okezone, Rabu, 27 April

2011.

http://www.detiknews.com/read/2011/04/29/101430/1628335/10/

ui-akan-beberkan-bahaya-nii-kw-9-pada-mahasiswa-baru

(diunduh 6 Januari 2015).

‚Upaya PT Mencegah NII di Kampus‛ dalam

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/04/1

10427_niiuniversityrecruitment.shtml (diunduh 6 Januari

2015).

http://dirmawa.ugm.ac.id/ (diunduh 6 Januari 2015).

Page 28: KEBIJAKAN DERADIKALISASI DI PERGURUAN TINGGI: STUDI

Kebijakan Deradikalisasi di Perguruan Tinggi: Studi tentang Efektifitas Kebijakan...,

28 I ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018