keabsahan akad nikah via telepon pendekatan …eprints.unpam.ac.id/1312/1/jurnal pkn, vol.3 maret...

22
89 KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON PENDEKATAN MASLAHAH AL-MURSALAH DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : TAUFIK KURROHMAN ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang/UNPAM) ABSTRAK Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bagian dari transformasi hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Dimana di dalamnya terdapat berbagai aspek dalam konteks keilmuan hukum Islam (Fikih) mengenai perkawinan diakomodir oleh undang-undang tersebut. Salah satu yang substansial dari depinisi nikah yang dikemukan oleh fuqoha bahwa pernikahan secara aksiologi suatu jalan yang dilegalkan oleh syar‟i guna menghantarkan tabiat syahwat kemanusiaan diletakan pada tempat yang mulia dan bernilai ibadah. Suatu hal yang harus dijawab dari waktu-kewaktu oleh fikih kontemporer dalam hal ini adalah problematika pernikahan yang akan terus berkembang dan dinamis sejalan dengan perkembangan teknologi seperti saDat ini pernikahan via telepon yang dilakukan oleh pasangan Ario Sutarto Bin Drs. Suroso Darmoatmojo dengan Nurdiani Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap serta pasangan Abudurrahman wahid (Gusdur) dengan Sinta Nuriah Wahid. Pernikahan via telepon tersebut menimbulkan problematika di dalam masyarakat pada aspek keabsahan baik dalam konteks fikih kontemporer dan pada aspek undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian dalam paper ini dilakukan dengan cara kualitatif, penulusuran literature kepustakaan dan hasil dari penelitian ini Maslahah mursalah kiranya penting sebagai bagian metode ijtihad menjawab tantangan dan penomena hukum yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi. Pernikahan via telepon bisa saja dilakukan dan sah secara hukum ijab dan kabul meskipun tidak dalam satu majelis, jika memenuhi syarat-syarat dan tidak bertentangan dengan maqashid assyariah, Kata kunci : Nikah Via Telepon, Maslahah Al-mursalah dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Upload: others

Post on 17-Feb-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

89

KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON PENDEKATAN MASLAHAH AL-MURSALAH DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN

1974 TENTANG PERKAWINAN

Oleh : TAUFIK KURROHMAN ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang/UNPAM)

ABSTRAK

Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bagian dari transformasi

hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Dimana di

dalamnya terdapat berbagai aspek dalam konteks keilmuan hukum Islam

(Fikih) mengenai perkawinan diakomodir oleh undang-undang tersebut.

Salah satu yang substansial dari depinisi nikah yang dikemukan oleh

fuqoha bahwa pernikahan secara aksiologi suatu jalan yang dilegalkan

oleh syar‟i guna menghantarkan tabiat syahwat kemanusiaan diletakan

pada tempat yang mulia dan bernilai ibadah. Suatu hal yang harus

dijawab dari waktu-kewaktu oleh fikih kontemporer dalam hal ini adalah

problematika pernikahan yang akan terus berkembang dan dinamis

sejalan dengan perkembangan teknologi seperti saDat ini pernikahan via

telepon yang dilakukan oleh pasangan Ario Sutarto Bin Drs. Suroso

Darmoatmojo dengan Nurdiani Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap serta

pasangan Abudurrahman wahid (Gusdur) dengan Sinta Nuriah Wahid.

Pernikahan via telepon tersebut menimbulkan problematika di dalam

masyarakat pada aspek keabsahan baik dalam konteks fikih kontemporer

dan pada aspek undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Penelitian dalam paper ini dilakukan dengan cara kualitatif, penulusuran

literature kepustakaan dan hasil dari penelitian ini Maslahah mursalah

kiranya penting sebagai bagian metode ijtihad menjawab tantangan dan

penomena hukum yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan

teknologi. Pernikahan via telepon bisa saja dilakukan dan sah secara

hukum ijab dan kabul meskipun tidak dalam satu majelis, jika memenuhi

syarat-syarat dan tidak bertentangan dengan maqashid assyariah,

Kata kunci : Nikah Via Telepon, Maslahah Al-mursalah dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

90

A. Latar Belakang Masalah

Setiap masyarakat memiliki

budaya yang menjadi ciri khas

individu-individu anggotanya

secara kolektif. salah satu di

antaranya adalah budaya hukum,

maksudnya adalah bagaimana

masyarakat memandang dan

menghayati hal-hal yang

berhubungan dengan hukum

secara umum. Hukum dalam

pandangan budaya muslim

bukanlah pengkajian berdiri sendiri

atau emperis, akan tetapi ia adalah

aspek praktis doktrin sosial dan

keagamaan yang di ajarkan oleh

nabi Muhammad SAW.

Masyarakat berkembang

merupakan masyarakat yang

berada dalam tahap menuju

masyarkat modern. Masyarakat

berkembang disatu pihak masih

mempunya ciri-ciri tradisional,

namun dilain pihak sudah mulai

menyerap ciri-ciri modern.

masyarakat modern mempunyai

ciri-ciri tertentu yakni antara lain,

mempunyai ilmu dan teknologi

yang relatif tinggi, manusianya

bersikap terbuka dan rasional,

hukum positif tertulis lebih

berperan daripada hukum adat

atau kebiasaan.1

Di Indonesia sendiri ketentuan

hukum positif yang berkenaan

dengan perkawinan telah di atur

dalam perundang-undangan

Negara yang khusus berlaku bagi

warga Indonesia. Aturan yang

dimaksud adalah dalam bentuk

undang-undang yaitu Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dan peraturan

pelaksanaanya dalam bentuk

peraturan pemerintah No.9 Tahun

1975. UU ini merupakan hukum

materiil dari perkawinan,

sedangkan hukum formalnya

ditetapkan dalam Undang-Undang

No.7 Tahun 1989 jo Undang-

undang No.3 Tahun 2006 Tentang

Peradilan Agama.

Sebagian fuqoha dalam

mengemukakan hakikat

perkawinan hanya menonjokan

aspek lahiriah yang bersifat

1 Soerjono Soekanto, Pengantar

Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 2014.

91

normatif. Seolah-olah akibat dari

sahnya sebuah perkawinan hanya

terbatas pada timbulnya kebolehan

terhadap sesuatu yang

sebelumnya sangat dilarang, yakni

berhubungan badan antara

seorang laki-laki dengan

perempuan. Diskursus di atas

didapatkan dari terminologi fiqih

yang mereka susun, seperti halnya

empat madzhab fiqih (Syafi’i,

Maliki, hanafi, dan Hambali)

secara comment sense

mendefisikan nikah sebagai „aqd

yang membawa kebolehan

seorang laki-laki (suami) untuk

berhubungan badan dengan

seorang perempuan (isteri).2 Salah

satu yang substansial dari depinisi

nikah yang dikemukan oleh fuqoha

bahwa pernikahan secara

aksiologi suatu jalan yang

dilegalkan oleh syar’i guna

menghantarkan tabiat syahwat

kemanusiaan diletakan pada

tempat yang mulia dan bernilai

ibadah. Sehingga melalui institusi

2 Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh

‘Ala Mazahib Al-‘Arba’ah, jilid VI, Beirut:

Dar Al-Fikr, 1986, hlm.2

nikah yang sebelumnya

mengandung larangan menjadi

suatu kebolehan, sebagaimana

dalam firman Allah. SWT QS :2

:187

“Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” Hukum islam menggambarkan

sifat luhur bagi ikatan yang dijalin

oleh dua orang berbeda jenis yakni

ikatan perkawinan. Ikatan

perkawinan dalam hukum islam

dinamakan dengan mitsaqon

gholidjo, yaitu suatu ikatan janji

yang kokoh. Oleh karenanya suatu

ikatan perkawinan tidak begitu saja

dapat terjadi melalui beberapa

ketentuan.3 Perjanjian yang

dimaksud bukanlah transaksi yang

secara umum kita pahami namun,

pemaknaan perjanjian dalam

konteks pernikahan lebih sakral

karena bertalian dengan keturunan

3 Dalam KHI pasal 2 dan 3

disebutkan sebagai akad yang sangat kuat atau

mitsaqon ghaliidhan “ikatan lahir bathin”

artinya bahwa perkawinan disamping

mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak

juga mempunyai aspek ubudiyah kepada

Allah dengan tujuan untuk mencapai keluarga

yang sakinah mawahdah warahmah. Lihat

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hlm. 18.

92

dan regenerasi penerus kedua

insan tersebut.

Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Perjanjian dalam Perkawinan

telah diatur dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dalam pasal 29

sedangkan dalam KHI terdapat

dalam pasal 47,48,49,50,51,dan

52. Akan halnya mengenai

perjanjian perkawinan, apabila

telah disepakati oleh kedua

mempelai, maka masing-masing

wajib memenuhinya, sepanjang

perjanjian tersebut tidak memaksa

dan tidak bertentangan dengan

syari’at. Sejalan dengan hadits

nabi riwayat al-Bukhori

5

4 Lihat pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974

dan penjelasan Umum UU No.1 Tahun 1974

angka 4 huruf a.

5Al-Bukhari,Sahih al-Bukhari,juz

3,Beirut:Dar al-Fikr,hlm.185

Barang siapa kepada dirinya sendiri untuk maksud taat kepada Allah dan Rosul-Nya, dalam keadaan tidak terpaksa,maka ia wajib memenuhinya (Riwayat al-Bukhari) Kaitannya antara syarat

dalam perkawinan dengan

perjanjian dalam perkawinan

adalah karena perjanjian itu berisi

syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh pihak yang melakukan

perjanjian dalam arti pihak-pihak

yang berjanji untuk memenuhi

syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh pihak yang melakukan

perjanjian untuk memenuhi syarat

yang ditentukan.6

Masyarakat Indonesia

sebagian besar beragama Islam.

Dalam tata cara peribadatan

mereka berpedoman pada

berbagai sumber yang kita kenal

dengan madzhab yang berbeda.

Namun yang banyak dipahami dan

banyak pengikutnya dari berbagai

6Amir Syaripuddin,Hukum

Perkawinan Indonesia “Antara fiqih

Munakahat Dan Undang-Undang

Perkawinan,Jakarta,Prenada Media,Cet

kesatu,2006,hlm.145

93

belahan dunia yaitu ada empat

madzhab :7

1. Madzhab Hanafi, yaitu

madzhab pengikut-pengikut

imam abu hanifah (70 H-

150 H)

2. Madzhab Maliki, Yakni

madzhab pengikut-pengikut

Imam Maliki ibn Anas (93 H-

179 H)

3. Madzhab Syafi’i, yakni

mazhab pengikut-pengikut

Imam Mohammad Idris Al

Syafi’e (150 H-204 H)

4. Mazhab Hambali, yakni

madzhab pengikut-pengikut

Imam Ahmad ibn Hambal

(164 H-241 H)

Dari apa yang telah

dikemukakan di atas secara

singkat dapatlah ditegaskan

bahwasanya menurut ajaran Islam,

7 Berdasarkan surat edaran Biro

peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958

No.B/1/735 hukum materil yang dijadikan

pedoman dalam bidang hukum Islam di

Indonesia tersebut bersumber pada 13 kitab

yang seluruhnya adalah mazhab Imam Syafi’i,

melalui isnstruksi presiden No.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam inilah direceptio berbagai sumber aturan atau

madzhab hukum yang berlaku bagi orang

yang beragama Islam. Titik Triwulan Tutik,

Hukum Perdata dalam Sistem Hukum

Nasional, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2014.hlm. 23.

tujuan perkawinan adalah agar

manusia dapat menyalurkan tabiat

kemanusiaanya secara teratur dan

bertanggung jawab. Dalam sejarah

peradaban ummat manusia

adanya lembaga perkawinan

disadari atau tidak, merupakan

faktor dominan di dalam

membentuk keteraturan ummat

manusia sebagai mahluk sosial.8

Pasangan suami istri yang

taat dan serasi akan

mendatangkan kebahagiaan

individu dan keluarga, sehingga

melahirkan keluarga yang penuh

dengan kasih sayang, dan dari

keluarga yang baik itulah akan

lahir masyakarat yang baik pula

serta dari masyarakat yang baik itu

pulalah kepemimpinan dibebankan

kepada mereka sebagai khalifah

manusia di bumi. Menurut

pendapat penulis bahwa tujuan

yang substansial dari pernikahan

itu adalah rahmah untuk semesta

alam. Artinya bagaimana aturan

Allah ditaati untuk kemaslahatan

8 Chuzaimah T.Yanggo dan

HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum

Islam Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka

Firdaus, 2008. hlm. 106.

94

dan keteraturan sebagaimana

landasan maqashid assyariah

yang diantaranya adalah menjaga

keturunan.

Perkembangan teknologi

sains modern9 telah merubah

pemahaman mengenai

kemudahan yang melahirkan

diskursus bernilai keabsahan atau

tidaknya dalam konteks fiqih

seperti halnya dalam tatanan

praktis ijab kabul pernikahan yang

dilakukan dengan menggunakan

via telepon ataupun teknologi

canggih lainnya yang sejenis.

Seperti beberapa kasus yang

dialami pada pernikahan pasangan

9 Pemahaman sains netral sebenarnya

telah melawan atau menyimpang dari maksud

penciptaan sains itu sendiri, tadinya sains

dibuat untuk membantu manusia dalam

menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini

sebenarnya telah bermakna bahwa sains itu

tidak netral atau tidak bebas nilai, sains

memihak pada kegunaan membantu manusia

menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh

manusia. Sementara itu pahan sains netral

akan memberikan tambahan kesulitan bagi

manusia, kata kuncinya terletak pada tataran aksiologi sains, yaitu ketika peneliti akan

membuat suatu teori sebenarnya ia sudah

berniat untuk menyelesaikan suatu masalah

dalam kehidupan manusia. Namun dalam

penciptaannya bisa menimbulkan masalah

karena ia menganut sains netral. Lihat Ahmad

Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi,

Epistimologi dan Aksiologi pengetahuan, Cet

ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.

hlm. 48.

Ario Sutarto Bin Drs. Suroso

Darmoatmojo dengan Nurdiani

Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap

serta pasangan Abudurrahman

wahid (Gusdur) dengan Sinta

Nuriah Wahid.

Fakta-fakta pernikahan di atas

merupakan diskursus yang terjadi

di kalangan masyarakat mengenai

sah atau tidaknya pernikahan (ijab

dan qabul)10 melalui telepon atau

media elektronik lainnya yang

sejenis seperti vidio call misalnya ?

Makalah singkat ini bermaksud

menjawab diskursus tersebut

dengan pemahaman-pemahaman

ulama fiqih klasik dan kotemporer

dengan pendekatan maslahah

mursalah dan Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Tentang

perkawinan. Oleh karena itu

pendahuluan ini penting menurut

penulis sebagai kerangka umum

untuk mengelaborasi pendapat-

10 Salah satu rukun akad perkawinan

yang telah disepakati adalah ijab dan qabul.

Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami.

Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan qabul

ini, atas pengaruh dari perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan

sahkah atau tidaknya ijab qabul yang

dilakukan melalui telepon. Chuzaimah

T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ,

Problematika Hukum Islam

Kotemporer,Op.Cit, hlm. 107.

95

pendapat yang pro maupun yang

kontra terhadap perkawinan via

telepon ini. Untuk itu penulis hanya

akan membatasi pembahasan

terkait dengan ijab dan qabul saja

dalam pernikahan via telepon atau

media elektronik sejenisnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar

belakang masalah di atas,

penulis mengidentifikasi

beberapa permasalahan yang

akan dibahas dalam paper ini,

yaitu :

1. Bagaimanakah keabsahan

ijab kabul nikah via telepon

dari sudut pandang Maslahah

Al-mursalah (Fiqih

Kontemporer) dan undang-

undang No.1 Tahun 1974

Tentang perkawinan?

2. Bagaimana deskonstruksi

epistimologi dan aksiologi

sains modern dengan

pendekatan Maslahah A-

lmursalah dan konsep

kebolehan serta

pengkompromian nilai dalam

Fiqih kotemporer ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Untuk memahami maslahah

mursalah secara baik, terlebih

dahulu perlu diketahui makna

maslahah dalam kajian ushul fiqh.

Kata maslahah semakna dengan

kata manfaat, yaitu bentuk masdar

yang berarti baik dan mengandung

manfaat. Maslahah merupakan

bentuk mufrod (tunggal) yang

jama’nya (plural) mashsaalih. Dari

makna kebahasaan ini dipahami

bahwa maslahah meliputi segala

yang mendatangkan manfaat, baik

melalui cara mengambil dan

melakukan suatu tindakan maupun

dengan menolak dan

menghindarkan segala bentuk

96

yang menimbulkan kemudharatan

dan kesulitan.11

Said Ramadhan al-Buthi

mendepinisikan Maslahah

mursalah adalah:12

Artinya:“Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar‟i

untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan hartamereka

sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”

Sedangkan Abu Zahrah

mendepinisikan maslahah

mursalah sebagai berikut :

13

Artinya: “Maslahah mursalah

adalah kemaslahatan yang

11 Said, Ramadhan al-Buthi,

Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-

Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,

1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.

12 Ibid., hlm. 2. 13 Ibid., hlm. 2.

sejalan dengan maksud syar‟i

tetapi tidak ada nash secara

khusus yang memerintahkan

dan melarangnya.”

Dari depinisi tersebut, tampak

yang menjadi tolak ukur maslahah

adalah tujuan syara’ atau

berdasarkan ketetapan syar’i. Inti

kemaslahatan yang ditetapkan

syar’i adalah pemeliharaan lima

hal pokok (Kulliyat al-Khams).

Semua bentuk tindakan seseorang

yang mendukung pemeliharaan

kelima aspek ini adalah maslahah.

Begitu pula segala upaya yang

berbentuk tindakan menolak

kemudharatan terhadap kelima hal

ini juga disebut maslahah.14 Oleh

karena itu, al- Ghazali

mendepinisikan maslahah sebagai

mengambil manfaat dan menolak

kemadharatan dalam rangka

memelihara tujuan syara’ (Kulliat

al- Khams).15

14 Firdaus, Ushûl Fiqh Metode

Mengkaji dan Memahami Hukum Islam

Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta:

Zikrul Hakim, 2004), hlm. 81.

15 Abu Hamid al-Ghazali, al-

Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar al-

Kutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, hlm. 286.

97

Sejalan dengan prinsip

maslahah sebelumnya, Syatibi

menjelaskan bahwa kemaslahatan

tidak dibedakan antara

kemaslahatan dunia maupun

kemaslahatan akhirat, karena

kedua bentuk kemaslahatan ini

selama bertujuan memelihara

Kulliat al-khams, maka termasuk

dalam ruang lingkup maslahah.16

Sifat dasar dari maqasid al-

syari‟ah adalah pasti, dan

kepastian di sini merujuk pada

otoritas maqasid al-syari‟ah itu

sendiri. Dengan demikian

eksistensi maqasid al-syari‟ah

pada setiap ketentuan hukum

syari’at menjadi hal yang tidak

terbantahkan baik yang bersifat

perintah wajib ataupun larangan.17

Al-Ghazali mengajukan teori

maqasid al-syari‟ah ini dengan

membatasi pemeliharaan syari’ah

pada lima unsur utama yaitu

Agama, jiwa, akal, kehormatan,

16 Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn

Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl

al-Syarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet.

Pertama, jilid 2, hlm. 17-18.

17 Hasbi Umar, Nalar Fiqih

Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung

Persada Pers, 2007), h. 129.

dan harta benda.18Konsep

pemeliharaan tersebut dapat

diimplementasikan dalam dua

metode: pertama, metode

konstruktif (bersifat membangun)

dan kedua, metode preventif

(bersifat mencegah). Dalam

metode konstruktif, kewajiban-

kewajiban Agama dan berbagai

aktivitas sunat yang baik dilakukan

dapat dijadikan contoh dalam

metode ini. Sedangkan berbagai

larangan pada semua perbuatan

bisa dijadikan sebagai contoh

preventif kedua metode tersebut

bertujuan mengukuhkan elemen

maqasid al- syari‟ah sebagai jalan

menuju kemaslahatan.19 Menurut

pendapat penulis sebagai salah

satu pendekatan fiqih maslahah

almursalah terkait erat dengan

maqashid assyariah, dalam hal ini

pernikahan adalah salah satu

tujuan dari maqhasid assyariah

yang di antaranya adalah menjaga

keturunan (Hifzunnasl) sehingga

pendekatan ini menurut penulis

adalah pendekatan yang

deskonstruktif baik secara

18 Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî

al-ushûl , hlm. 286. 19 Ibid., hlm. 238.

98

epistimologi mapun aksiologis

yang sesuai dengan

perkembangan dan tantangan

zaman.

B. Terminologi Ijab dan Kabul serta

Keabsahannya Dalam Pernikahan

Suatu Pendekatan Maslahah

Almursalah.

Al-jazairi menyimpulkan

bahwa rukun nikah ada dua.

Pertama, al-ijab yaitu lafaj yang

muncul dari wali atau orang lain

yang menempati kedudukan wali.

Kedua al-qabul yaitu shigat/lafaz

yang muncul dari atau suami atau

orang lain yang menempati

kedudukannya. Dengan ini,

dapatlah diketahui bahwa esensi

akad nikah terdiri dari tiga faktor

yaitu al ijab, al-qabul dan ikatan

yang timbul atas akibat

terlaksananya al-ijab dan al-qabul

tersebut.20

20 Al-Jazairi tidak hanya

memaparkan rukun nikah yang dua tersebut

namun ia juga mengelaborasi beberapa

pendapat para mujtahid tentang rukun-rukun

nikah. Fuqoha dari kalangan Malikiyah

misalnya, menyebutkan bahwa rukun nikah

ada lima yaitu wali, mas kawin, calon suami,

calon istri, dan shigat. Al-Syafi’iyyah

Fuqoha telah bersepakat

bahwa al-ijab dan al-qabul adalah

rukun dari nikah namun secara

teknis pelafalannya harus

bersambung. Yang dimaksud

dengan bersambung di sini ada

beberapa pendapat mujtahid yang

berbeda pendapat misalnya

bersambung di sini maksudnya

tanpa jeda atau satu majelis.

Menurut pemahaman penulis al-

ijab dan al-qabul di sini tidak harus

bersambung namun memberikan

makna ikatan yang pasti dari

keduanya ketika al-ijab dan al-

qabul tersebut dilafalkan selagi

tidak diselingi oleh tindakan yang

lain baik secara sengaja maupun

tidak disengaja. Oleh karena itu

akan menjadi masalah keabsahan

ketika pernikahan itu dilakukan

dengan via telepon jika ada

berpendapat kurang lebih sama dengan

malikiyah dengan satu poin pembeda rukun nikah terdiri dari lima yaitu calon istri, calon

suami, wali, dua orang saksi dan shighat.

Namun Al-Jazairi meringkas dari kedua

pendapat mujtahid tersebut dengan

berpendapat rukun nikah hanya dua saja yaitu

Ijab dan kabul dengan interpretasi bahwa

rukun-rukun yang lainnya secara tersirat

sudah ada dalam rukun ijab dan qabul.

Misalnya calon suami sudah ada dalam qabul

sedangkan ijab sudah ada pada wali atau yang

mewakilkannya sedangkan syahadah masuk

dalam syarat nikah. Lihat Aljazairi, hlm. 12.

99

keharusan antara al-ijab yang

diucapkan oleh wali calon istri atau

yang mewakilinya dengan calon

suami karena tidak dalam satu

majelis.

Dalam tataran epistimologi

dan aksiologi21 pengetahuan kita

bisa memahami bahwa penemuan

telepon adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari kebutuhan

manusia yang bisa memudahkan

untuk berinteraksi satu sama lain

tanpa menghilangkan hal yang

substansial dalam komunikasi

tersebut. Salah satu manfaat yang

bisa didapatkan dari telepon

tersebut adalah pengucapan ijab

dan kabul pernikahan jarak jauh.

Tujuan yang ingin dicapai oleh

pembuat hukum islam sehingga

menetapkan suatu hukum kepada

manusia, dapat diketahui melalui

petunjuk suatu ayat hukum dan

juga dapat diketahui melalui

21 Landasan epistimologi metode

ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif

dan logika induktif dengan pengajuan

hipotesis atau yang disebut dengan logico-

hypotetico-verifikasi dan landasan aksiologi

kemaslahatan manusia artinya segenap wujud

ketahuan itu secara moral ditujukan untuk

kebaikan manusia. lihat Jujun S.

Suriasumantri,Filsafat ilmu Sebuah Pengantar

populer, Cet ke-17, Jakarta: 2003.hlm. 294.

penelitian sejumlah kebijaksanaan

tasyrik dari Allah SWT atau melalui

petunjuk ayat atau hadis

ahkam,22melalui metode kajian

dengan ijtihad istinbathi atau ijtihad

tatbiqi.23 Dalam hal ijab dan qabul

via telepon ini misalnya penulis

berpendapat bahwa titik beratnya

pada keyakinan para pihak dalam

hal ini wali dan calon suami tidak

meragukan suara calon suami

ataupun sebaliknya, oleh karena

itu syarat yang paling

dikedepankan adalah pertama

antara wali dan calon suami sudah

sama-sama mengenal satu sama

lainnya sehingga kharakter suara

akan terlihat dalam komunikasi

telepon tersebut. Kedua, jika mau

diuji apakah calon suami yang

tidak pada satu tempat tersebut

memberikan jawaban secara

langsung atau komunikatif

22 Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum,

Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset,

2014.hlm. 70.

23 Ijtihad istinbathi dilakukan untuk

mengetahui secara teliti inti masalah yang

dikandung oleh wahyu. Inti dari permasalahan

tersebut aken menjadi tolak ukur bila hukum

dikaitkan pada suatu masalah dan ijtihad

tatbiqi yaitu suatu penelitian terhadap suatu

masalah yang akan diterapkan hukum padanya

yang sumbernya adalah Al-qur’an. Lihat

.Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Ibid.,hlm.71.

100

tidaknya bisa memberikan

keyakinan ketiga, jika dibutuhkan

bisa menggunakan teknologi visual

yang kita kenal dengan vidio call

atau skyp dan teknologi sejenis

lainnya. Dari komunikasi yang

bersifat visual tersebut meskipun

tidak dalam satu majlis akan tetapi

satu sama lain bisa saling melihat

dan mempertegas dengan

pertanyaan-pertanyaan

komunikatif yang sesuai dengan

kebutuhan dan pernikahan

tersebut,maka oleh sebab itu

penulis mempunyai kesimpulan

bahwa pernikahan via telepon

walapun tidak dalam satu majlis

namun tidak akan menghilangkan

esensi dari tujuan ijab qabul,

karena pada substansinya moral

hazard para pihak yang menjadi

landasan utama dari pernikahan

yang dilakukan via telepon

tersebut.

Saksi dua orang laki-laki

24dalam pernikahan merupakan

24 Fungsi saksi bukan hanya sekedar

untuk menyiarkan bahwa telah terjadi

pernikahan antara para pihak, akan tetapi juga

berfungsi sebagai alat bukti dalam hal terjadi

pengingkaran, apapun interpretasi fungsi

saksi, tidak akan merubah keabsahan

pernikahan via telepon, meskipun tidak

suatu syarat menurut pendapat

sebagian besar ulama meskipun

bersifat i‟lan atau menyiarkan.

Fuqoha dalam menerapkan

persyaratan saksi dalam

pernikahan menggunakan jalan

istidlal25 bukan berdasarkan pada

nash. Peranan saksi yang

berkurang dalam prosesi

pernikahan via telepon oleh karena

tidak bisa menyaksikan tidak

dalam satu majelis menurut

penulis bisa diselesaikan dengan

penambahan jumlah saksi pada

meninggalkan masalah karena berkurangnya

fungsi saksi disebabkan terpecahnya majlis

pernikahan menjadi dua majlis yaitu majlis al-

ijab pihak wali dan majelis al-qabul pihak

mempelai laki-laki (jauz) yang menjadi

pertanyaan apakah terpisahnya tempat wali dengan jauz tersebut akan sekaligus

membatalkan persyaratan dalam satu majelis

sebagaimana pendapat fuqoha. Lihat 24

Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary

AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,

Cet ke-5, Loc.,Cit, hlm.112.

25 Jalan istidlal adalah kaidah

fiqhiyyah yang maksudnya keberadaan saksi

tersebut untuk tercapainya ikatan perkawinan

dari pelaksanaan akad nikah diperlukan pengakuan semua pihak yang terlibat dalam

akad tersebut tentang sahnya akad, yang salah

satunya adalah peranan saksi dalam hal

menyaksikan bahwa telah terjadi ijab dan

qabul antara wali dan jauz serta iapun

membenarkan keabsahan dari ijab dan qabul

tersebut meskipun itu tidak dilakukan dalam

satu majelis. Akan tetapi esensi dari fungsi

saksi tersebut tidak hilang dengan adanya dua

majelis nikah.Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan

HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum

Islam Kotemporer,Ibid.,hlm.113.

101

masing-masing majelis akad. Pada

majelis wali (ijab) dua orang saksi

dan pada majelis jauz (qabul) dua

orang saksi, sehingga peranan

saksi tidak kurang secara esensial

dengan adanya dua majelis.

Menurut pemahaman penulis

jika dilihat dari pendekatan

maslahah bahwa pernikahan via

telepon adalah bukan pernikahan

yang dijadikan sebagai kelajiman,

namun nikah tersebut bisa saja

dilakukan sebagai jalan dharurat

dengan mengedepankan moral

hazard maksud dan tujuan

dilakukannya pernikahan tersebut

asalkan memenuhi ketentuan

syara dan tidak bertentangan

dengan kaidah fiqih dan maqasid

assyariah. Maksud dan tujuan

pernikahan via telepon tersebut

secara substansial sejalan dengan

maslahah Al-mursalah yang pada

esensinya menjalankan sunnah

dan menjaga keturunan. Meskipun

pernikahan dilakukan secara tidak

lajim yaitu dengan ijab dan qabul

tidak dalam satu majelis namun

perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi memungkinkan

untuk dilakukan pernikahan

dengan tidak dalam satu majelis.

Mengenai pendapat mujtahid

dalam menetapkan ijab dan qabul

harus dalam satu majelis bahwa

ilmu pengetahuan dan teknologi

pada saat itu belum bisa

menjawab pernikahan bisa

dilakukan tidak dalam satu majelis.

Tantangan para mujtahid dalam

berijtihad menjawab kenyataan

ilmu pengetahuan dan teknologi

dan dibutuhkannya pleksibilitas

fiqih, yang secara umum kita

pahami sebagai problematika fiqih

kotemporer. Dengan tetap

berpedoman pada Al-qur’an dan

sunnah serta kaidah-kaidah

usulliyyah sebagai pijakan dalam

menetapkan suatu hukum.

Oleh karena itu berdasarkan

maslahah almursalah penulis

berkesimpulan pada konteks

keabsahan pernikahan via telepon

tidak menghilangkan esensi

keabsahan pernikahan tersebut,

karena tujuan dari dilakukannya

pernikahan tersebut adalah

kemaslahatan bagi yang

melakukannya. Kemaslahatan

yang dimaksud adalah mencegah

102

segala sesuatu perbuatan buruk

dari menundanya pernikahan,

mempercepat pernikahan adalah

bagian yang dianjurkan oleh

agama.

C. Pernikahan Via Telepon Persfektif

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

Di dalam menganalis

pernikahan via telepon ini penulis

memfokuskan pada hal yang

bersifat administratif yaitu

pencatatan pernikahan26 sebagai

26 Analisis mengenai pencatatan

perkawinan tidak diberikan perhatian secara

khusus oleh fiqih maupun Al-quran

diantaranya pertama, larangan untuk menulis

sesuatu selain Al-Qur;an akibatnya kultur tulis

tidak begitu berkembang dari kultur hafalan,

kedua, pada saat itu kebiasaan menghafal

adalah sebagai kultur yang dapat diandalkan,

sehingga mengingat pernikahan bukanlah

menjadi suatu masalah ketiga, tradisi

walimatul uru’syi walaupun dengan seekor

kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i dalam sebuah perkawinan keempat, ada

kesan perkawinan yang berlangsung pada

masa-masa awal Islam belum terjadi antar

wilayah yang berbeda, di mana perkawinan

pada saat itu berlangsung dimana calon suami

dan calon istri berada dalam suatu wilayah

yang sama. Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari

Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di

Indonesia Studi kritis perkembangan Hukum

Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI,

Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,

2014, hlm. 121.

bagian prasyarat ketika akan

dilakukan pernikahan.

Sebagaimana berdasarkan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang perkawinan pasal 2 ayat

2, yaitu :

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”27 Pencatatan pernikahan hanya

satu ayat yang terdapat dalam

UUP dan tidak dapat ditafsirkan,

meskipun demikian namun

peranan pencatatan tidak dapat

dikesampingkan bahkan menjadi

hal yang pokok sehingga para

ulama fiqih saat ini

menggolongkan pernikahan dalam

syarat administratif yang

menjadikan sah atau tidaknya

pernikahan.

Dalam pernikahan via telepon

penulis berpandangan bahwa

27 Ini adalah satu-satunya ayat yang

mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di

dalam penjelasannya tidak ada uraian yang

lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP

No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1

yang di dalam penjelasannya dikatakan (i)

tidak ada perkawinan di luar hukum agama

dan (ii) maksud hukum agama termasuk

ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Ibid.,hlm.122.

103

prasayarat administratif juga

merupakan yang harus dipenuhi

oleh pihak wali (ijab) dan beserta

dua orang yang menyaksikannya

dan di pihak jauz (suami) beserta

dua orang yang menyaksikannya

dengan tidak mengabaikan

ketentuan yang ada pada masing-

masing majelis akad dimana jauz

berdomisili. Karena pencatatan

perkawinan adalah suatu

kepatuhan dan kepatutan dalam

perkawinan sebagai konsekuensi

logis ikatan pertanggungjawaban

sebab akibat dari terjadinya ijab

dan qabul. Adapun persyaratan

nikah via telepon yang dijadikan

dasar pernikahan itu dapat

dilangsungkan tentu ada alasan-

alasan syar‟i yang menungkinkan

itu bisa dilakukan di antaranya

pihak calon suami dan istri

mengharuskan mereka untuk

berbeda negara dalam kurun

waktu tertentu karena ada

kewajiban yang berkaitan dengan

hajat yang bersifat primer. Di saat

yang sama mereka khawatir jika

tidak dilangsungkan pernikahan

dengan cepat akan membawa

mereka pada keburukan sikap,

sehingga hal itu yang menjadi

dasar dilakukannya pernikahan via

telepon. Permasalahan yang

berkaitan dengan administratif

tentu suatu hal yang harus

dikomunikasikan dengan baik oleh

pihak berwenang dengan pihak

yang mempunyai kepentingan

nikah, karena tidak semua

lembaga pencatat nikah akan

memberikan begitu mudah

pernikahan via telepon tersebut

jika prasyarat yang pokok dalam

pernikahan tidak dipenuhi oleh

pihak yang berkepentingan.

Oleh karena itu jika kondisi

mempelai tidak dalam keadaan

yang mengharuskan mereka tidak

dalam satu wilayah akan tetapi

tidak mengenai hajat pokok, maka

menurut hemat penulis pernikahan

via telepon tersebut seyogyanya

tidak bisa dilakukan. Karena

pernikahan sesuatu hal yang

bersifat sakral dan diperlukan

kesungguhan untuk

melakukannya, maka penerapan

satu majlis dalam konteks fiqih

yang menjadi kesepakatan para

ulama adalah suatu keharusan,

jika hal tersebut dilakukan dengan

104

menikah via telepon padahal

sesungguhnya tidak ada hajat

yang pokok bagi mereka maka

penulis menilai ijab dan qabul

tersebut tidak sah.

Dalam tatanan praktisnya

hukum islam memberikan suatu

kebolehan jika mewakilkan28

dalam suatu pernikahan. Penulis

berpendapat bahwa muwakil atau

mewakilkan dalam pernikahan

secara teknis dianalogikan sama

dengan pernikahan via telepon,

namun dalam konteks pernikahan

via telepon jauz sendiri yang

mengucapkan qabul yang secara

fisik tidak terlihat langsung oleh

28 Ada kesamaan dalam tataran teknis

pernikahan ketika Nabi Muhammad SAW

menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, di

mana nabi mewakilkan Umar bin Umayyah

Al-Dlamiriy untuk menerima nikahnya,

meskipun belum diperoleh keterangan lebih

lanjut tentang mengapa Nabi mewakilkan

pelaksanaan akad nikah tersebut. Maka para

ulama berpendapat pertama, kalaupun

diwakilkan karena nabi berhalangan maka

pengahalang itu karena sesuatu yang baik kedua, Al-Dlamiriy yang mendapat

kepercayaan nabi pastilah orang yang layak

dipercaya mengemban amanah ketiga, suatu

hal yang tidak mungkin nabi melaksanakan

pernikahan tersebut karena khawatir

terjerumus melakukan perbuatan keji oleh

karenanya pelaksanaan nikah tidak bisa

ditunda walaupun dengan mewakilkan kepada

orang lain. Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan

HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum

Islam Kotemporer,Op.,Cit.,hlm.116.

yang menyaksikan sedangkan

pernikahan dengan cara

mewakilkan fihak jauz mewakilkan

kepada orang lain untuk menjawab

qabulnya yang secara substansial

keberadaan jauz tidak dalam satu

majlis.

Dengan demikian penulis

menitik beratkan pada analisis

pernikahan via telepon persfektif

undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan pada aspek

prasyarat administratif yang

mengharuskan pencatatan dalam

pernikahan. Karena sesungguhnya

pintu keabsahan dan pengakuan

pernikahan tersebut pintunya

adalah dengan jalan cara

mencatatkan pernikahan tersebut

pada lembaga yang diberikan

kewenangan.

D. Deskonstruksi Epistimologi dan

Aksiologi Sains Modern Dengan

Pendekatan Maslahah A-lmursalah

dan Konsep Kebolehan serta

Pengkompromian Nilai dalam Fiqih

kotemporer

Sumber utama penemuan

hukum adalah peraturan

105

perundang-undangan, kemudian

hukum kebiasaan, yurisprudensi,

perjanjian internasional dan yang

terkahir doktrin. Jadi terdapat

hierarki dalam sumber hukum,

oleh karena itu kalau terjadi konflik

dua sumber, sumber hukum yang

tertinggi akan melumpuhkan

sumber hukum yang lebih

rendah.29 Demikian juga halnya

dengan konsep hukum islam ada

tingkatan-tingkatan sumber hukum

dan sumber hukum yang paling

tertinggi adalah Al-qur’an. Konsep

maslahah almursalah merupakan

ijtihad yang maknanya, yaitu :

“Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syar‟i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.”30

29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan

Hukum sebuah pengantar, Cet ke Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. hlm, 63. Said,

Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî

al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-

Risalah, 1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.

30 Said, Ramadhan al-Buthi,

Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-

Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,

1977), Cet. Ke-3,Log.,Cit,hlm. 2.

Dalam era ilmu pengetahunan

dan teknologi31, ilmu sebagai hasil

aktivitas manusia yang mengkaji

berbagai hal, baik diri manusia itu

sendiri maupun realitas di luar

dirinya, sepanjang sejarah

perkembangannnya sampai saat

ini selalu mengalami keterangan

dengan berbagai aspek lain dari

kehidupan manusia. Pada tataran

praktis-operasional selalu

diperbincangkan kembali

hubungan timbal balik antara ilmu

dan teknologi.32perkembangan

teknologi telah merubah tatanan

fiqh33 yang ada pada saat ini,

31 Teknologi adalah penerapan dari

pengetahun ilmiah (natural science)

pengertian ini adalah pengertian teknologi

yang paling banyak dilakukan berbagai

lingkup kehidupan, bunge menyatakan bahwa

teknologi adalah ilmu terapan yang dipilahnya

menjadi empat cabang, yakni teknologi fisik

(misal teknik mesin dan teknik sipil),

teknologi biologis (farmakologi), teknologi

sosial (riset operasi), teknologi pikir (ilmu

komputer), Feibleman memandang teknologi

sebagai pertengahan antara ilmu murni dan ilmu terapan, atau merujuk pada makna

teknologi sebagai keahlian. Lihat Ridjaluddin,

Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung

Persada Press, 2013.hlm,105.

32 Ibid.,.hlm,105.

33 Fiqh itu bermakna paham dan

ilmu. Akan tetapi urf ulama telah menjadikan

suatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum

syara’tertentu bagi perbuatan-perbuatan para

mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunah,

106

sehingga problematikan hukum

yang berkaitan dengan hukum fiqih

kotemporer sebagai bagian

tantangan para mujtahid saat ini

untuk berijtihad menetapkan suatu

hukum yang berkaitan dengan

teknologi.

Pernikahan via telepon adalah

penomena baru dalam konteks

fiqih, karena peristiwa tersebut ada

seiring dengan kemajuan ilmu dan

teknologi, yang menungkinkan ijab

dan qabul bisa dilakukan tidak

dalam satu majelis dan berbeda

negara. Sehingga dengan adanya

penomena baru maka harus ada

jawaban dengan melalui suatu

pendekatan ijtihad seperti masalah

almursalah misalnya, sehingga

pemahaman fiqih akan selalu ada

menjawab tantangan zaman yang

selaras dengan maqashid

assyariah.

Dalam tataran epistimologi34

ilmu pengetahuan bahwa

makruh, sahih, fasid, batil, qhada dan ada yang sepertinya. Abd. Shomad,Hukum Islam

Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum

Indonesia, Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra

Utama, 2012.hlm.,26.

ditemukannya suatu ilmu

pengetahuan pada dasarnya

sebagai jalan untuk memudahkan

manusia menghadapi kesulitan-

kesulitan yang ada, sehingga pada

dasarnya tujuan dari pada

ditemukannya teknologi tersebut

bukannya bermaksud memberikan

kesulitan atau bahkan sampai

menghancurkan tatanan

kehidupan manusia. Oleh sebab

itu penulis memandang bahwa

deskontruksi epististimologi dalam

pengetahuan sains modern

dengan pendekatan agama

merupakan suatu keniscayaan

guna menjawab tantangan zaman

dan tujuan dari penemuan atau

epistimologi ilmu dan teknologi

tersebut tidak bertentangan pada

aspek aksiologi pengetahuan.

34

Istilah epistimologi pertama kali

digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854

untuk membedakannya dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology, secara kebahasaan

istilah epistimologi berasal dari yunani yakni

epistime dan logos. Jika kata yang pertama

disebutkan berarti pengetahuan (knowledge),

maka yang belakangan disebutkan berarti ilmu

atau teori (theory). Jadi, jika melihat dari

silsilah kebahasaan tersebut, epistimologi

dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan

(theory of knowledge). Ahkyar Yusuf Lubis,

Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet

ke-1, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.,hlm.31.

107

Penomena pernikahan via

telepon adalah bagian

perkembangan ilmu dan teknologi,

kalau kita lihat pada aspek

aksiologi maka secara epistimologi

telepon sebagai produk riset ilmiah

telah memberikan kemudahan

yaitu dengan pernikahan via

telepon namun tidak lepas dari

pertentangan mengenai

keabsahan. Maka deskonstruksi

aspek epistimologi sains dalam

konteks pernikahan via telepon

adalah pendekatan maslahah

almursalah dalam tataran aksiologi

sudah bermanfaat, yang

menghantarkan pemahaman

bahwa pernikahan tersebut tidak

hilang esensi keabsahannya.

Oleh karena itu penulis

berkesimpulan bahwa konsep

kebolehan dan pengkompromian

nilai dalam fiqh merupakan suatu

keniscayaan, diantaranya dengan

pendekatan maslahah almursalah.

Adapun mengenai deskonstruksi

sains modern perlu pendekatan

agama jika bersentuhan dengan

hal-hal yang bertentangan dengan

tujuan epistimologi ilmu dan

teknologi itu sendiri. Misalnya

adalah kloning, atau penciptaan

senjata nuklir dll.

BAB III

KESIMPULAN

1. Maslahah mursalah kiranya

penting sebagai bagian

metode ijtihad menjawab

tantangan dan penomena

hukum dari waktu ke waktu.

Pernikahan via telepon bisa

saja dilakukan dan sah secara

hukum ijab dan qabul

meskipun tidak dalam satu

majelis, jika memenuhi syarat-

syarat dan tidak bertentangan

dengan maqashid assyariah,

diantara yang prasyarat

terpenting dalam pernikahan

tersebut adalah aspek

pencatatan, yang mana hal

tersebut adalah kepatuhan dan

kepatutan sebagai kosekuensi

logis lahirnya hak dan

kewajiban dari sebab akibat

ijab dan qabul tersebut.

2. Pendekatan maslahah

almursalah menurut penulis

adalah bagian dari

108

pengkompromian nilai dan

konsep kebolehan dalam

proses menetapkan hukum,

deskonstruksi epistimologi ilmu

dan teknologi melalui

pendekatan agama

merupakan suatu

keniscayaan, jika secara

aksiologi bertentangan dengan

konsep maqashid assyariah

dan konsep epistimologi dari

keberadaan ilmu dan sains

modern itu sendiri. Jika secara

aksiologi sains modern itu

bermanfaat namun disisi lain

harus bertentangan dengan

aspek hukum islam (fiqh)

misalnya atau nilai-nilai

hukum, maka harus ditemukan

jalan sebagai upaya

pengkompromian nilai dan

konsep kebolehan. Sehingga

fiqh dalam hal ini bisa memberi

jalan meskipun perubahan

ilmu sains modern

berkembang dengan pesat

dari waktu ke waktu

3. .

109

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta, Prenada Media, 2007.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia

Studi kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI, Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2014

Ahkyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet ke-1, Jakarta :

Rajawali Pers, 2014 Antonius Cahyadi dan E.Fernando M.Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum,

Cet ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi

pengetahuan, Cet ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.

Abd. Shomad,Hukum Islam Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum Indonesia,

Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra Utama, 2012. Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid II, Istanbul : al maktabah “al Islami”. Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, jilid VI, Beirut: Dar

Al-Fikr, 1986.

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, Jilid ke-1,Beirut: Dar al-

Kutub al- Ilmiyyah, 1983.

Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al-Syarî‟ah, Cet ke-1,Dar ibn Affan,Jilid 2, 1997. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo,

1997

Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam

110

Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara

Komprehensif, Cet. Ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar populer, Cet ke-17,

Jakarta: 2003. Ridjaluddin, Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung Persada Press, 2013. Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1,Jakarta: Gaung Persada Pers,

2007.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Undang-undang Pokok

Perkawinan.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 2014. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cet ke-Yogyakarta:

Cahaya Atma Pustaka, 2014.

Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al- maslahah fi al syari‟ah al Islamiyah, Cet.

Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet ke-4,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014.