kawin paksa sebagai pemicu perceraian - institutional...
TRANSCRIPT
KAWIN PAKSA SEBAGAI PEMICU PERCERAIAN
( Analisis Putusan Perkara No: 0131/Pdt. G/2008/PAJS )
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
Disusun oleh:
HANINA
NIM : 105044201454
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
KAWIN PAKSA SEBAGAI PEMICU PERCERAIAN
( Analisis Putusan Perkara No: 0131/Pdt. G/2008/PAJS )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
Oleh:
HANINA
NIM : 105044201454
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing:
Drs.H.A. Basiq Djalil,SH, MA.
NJP. 19500306 197603 1 001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Kawin Paksa Sebagai Pemicu Perceraian (Studi Putusan
Perkara Nomor: 0131/Pdt.G/2008/PAJS), telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Maret
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 18 Maret 2010
Dekan;
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 19550511982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH
NIP. 197202241998031003
3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP: 195003061976031001
4. Penguji I : Dra. Azizah, MA
NIP. 196304091980022001
5. Penguji II : Drs. Abu Tamrin, M. Hum
NIP. 196509081995031001
i
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas diucapkan selain mengucapkan untaian puji dan
syukur kepada Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa
berlimpah kepada penulis, sehingga diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan
hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang senatiasa memberikan cahaya dan rahmat bagi
semua sekalian alam.
Kini tiba yang dinanti-nanti sebuah perjalanan yang penuh dengan lika-liku
kehidupan pendidikan kadang senang, kadang susah itulah hidup, tapi sebagai umat
yang taat tidak harus menyerah terus berusaha dan jangan lupa berdo’a kepada Allah
SWT. Walaupun dengan tertatih-tatih dan melelahkan akhirnya penulis mampu
menyelesaikan studi di kampus Universita Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini menyadari banyak sekali kesulitan dan hambatan yang
dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas
dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa .
Atas bimbingan dan pengasuhan yang diberikan, Penulis mengucapkan ribuan
terima kasih yaitu kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
ii
2. Ketua dan sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
dan Kamarusdiana, S.Ag, MH.
3. Pembimbing skripsi penulis Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. yang selalu
memberikan bimbingan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan beserta para stafnya, baik Perpustakaan Utama maupun
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi perpustakaan.
5. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Drs. Chotman Jauhari, MH dan Drs.
Nurhafizal, SH. MH yang telah meluangkan waktunya untuk bisa di wawancara
oleh penulis, dan panitera muda hukum Drs. Mohammad Taufik yang telah
memberikan data kepada penulis untuk di jadikan bahan skripsi.
6. Skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda tercinta (Alm) Drs. H. Abdul
Hadi Nazir, & Ibunda tercinta Hj. Siti Fatimah yang telah merawat dan mengasuh
serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang
tak terhitung nilainya.
7. Suamiku tersayang ” Didi Junaidi” yang telah memberikan nasihat, semangat, dan
dukungan serta setia menemani penulis sehingga penulis semangat dalam
menyusun skripsi ini.
8. Keluarga besar Hj. Noni dan H. Munirih Yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan, dan doa’nya setiap hari agar penulis dapat cepat selesai secara baik
dalam penyusunan skripsi ini.
iii
9. Teman-teman senasib dan seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam
angkatan 2005, sahabat-sahabatku Widya, Eva, Evni yang telah memberikan
motifasi yang sangat besar dan telah memeriahkan hari-hari waktu kuliah. Dan
buat temen-temenku yang baik-baik Ahmadi, Zul, fikri, deby yang telah
membantu banyak memberikan saran buat penulis.
Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan
tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh balasan
pahala yang berlimpah ganda (Amin). Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini
masih terdapat kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Walaupun demikian,
penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis, khususnya pembaca
pada umumnya.
Jakarta, 26 Februari 2010 M
Penulis
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini peulis menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
Jakarta, 26 Februari 2010 M
Hanina
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 4
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 5
E. Metode Penelitian.......................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 9
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian ................................................................... 11
B. Dasar Hukum Perceraian............................................................... 15
C. Sebab-sebab terjadinya Perceraian ................................................ 18
D. Perbedaan Cerai Talak, Cerai Gugat, dan prosedur Perceraian .... 36
BAB III: TINJAUAN HUKUM TENTANG KAWIN PAKSA
A. Pengertian Kawin Paksa ................................................................ 48
B. Dasar Hukum Kawin Paksa .......................................................... 50
vi
C. Alasan-alasan Kawin Paksa ......................................................... 71
BAB IV: AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN KARENA KAWIN PAKSA
A. Peta Sosio Demografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan .......... 73
B. Kronologi Putusan Perceraian Perkara
No. 0131/Pdt.G/2008/PAJS ......................................................... 84
C. Analisis Putusan ............................................................................ 91
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 96
B. Saran-saran .................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
A. Surat permohonan dosen pembimbing ............................................................
B. Surat permohonan wawancara Pengadilan Agama Jakarta Selatan ...............
C. Surat permohonan wawancara Pengadilan Agama Jakarta Selatan ...............
D. Hasil Wawancara dengan Hakim ....................................................................
E. Surat Keterangan Wawancara Pengadilan Agama Jakarta Selatan................. 109
F. Lembar Putusan Hakim Perkara No. 0131/Pdt.G/2008/PAJS.........................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-undang Perkawinan No: 1 tahun 1974, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang dibangun diatas
nilai-nilai sakral (suci), sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan
demikian perkawinan harus disertai totalitas kesiapan dan keterlibatan lahir-batin,
sebagai tanda bahwa seorang telah memasuki tahap baru dalam hidup yang akan
menentukan keberadaannya dikemudian hari, termasuk dalam kaitannya dengan
akhirat kelak, suami akan menjadi pemimpin rumah tangga dan penanggung
jawab nafkah lahir maupun batin bagi istri dan anak-anaknya, sebaliknya istri
akan menjadi ratu rumah tangga, pendamping suami, pengatur ketertiban rumah
tangga yang akan membelanjakan pemberian sang suami dengan sebaik-baiknya,
sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya1. Selain itu juga perkawinan merupakan
suatu ketentuan-ketentuan Allah didalam menjadikan dan menciptakan alam ini.
Perkawinan yang bersifat umum dan menyeluruh, itu salah satu cara yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak
1 Mudhlur, A, Zuhdi. Hukum Perkawinan, Jakarta: Al-bayan. T th, cet ke-1 h.5
2
keturunan, serta melangsungkan kehidupan manusia, itu semua tidak akan tercipta
jika pada awalnya tidak ada rasa kecocokan (terpaksa).
Berawal dari sebuah fenomena masyarakat Indonesia yang selama ini
masih sering terjadi dalam rangka melangsungkan perkawinan kehidupan ini,
dimana acapkali sebuah perkawinan adalah sepenuhnya tanggung jawab orangtua
si calon mempelai, anak dalam hal ini tidak dapat berperan serta dalam
memutuskan pasangan hidup yang akan dipilihnya, sehingga yang ada adalah
sebuah keterpaksaaan.
Dalam menjalani bahtera rumah tangga tersebut, sering kali pasangan
yang dipaksa ataupun yang terpaksa tidak terelakan bahwa rumah tangganya
selalu diliputi oleh rasa ketidakharmonisan, dimana keduanya atau salah satu
diantara mereka tidak mempunyai rasa cinta mencintai, yang disebabkan oleh rasa
keterpaksaaan yang diakibatkan oleh pihak yang menekan mereka dan kalau pun
ada yang timbul adalah perasaaan ketakutan.
Dalam menyikapi hal tersebut di atas, maka dipandang perlu adanya
ketegasan baik yang bersifat hukum ataupun yang bersifat fenomena, dalam hal
ini menjadi sorotan utama, sehingga penulis merasa perlu adanya gambaran
hukum tentang kawin paksa yang telah menjadi kasus di Pengadilan Agama yang
dijadikan suatu alasan perceraian maka penulis memberikan judul pada skripsi
ini: “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN” (Analisis
Putusan Perkara No:0131/Pdt.G/2008/PAJS)
3
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis membatasi
permasalahan hanya pada penerapan masalah alasan kawin paksa dalam
perceraian dan pengaruhnya terhadap hakim dalam memutuskan perkara
perceraian sebagai metode penetapan hukum dari awal persidangan sampai
pada pengambilan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis merumuskan masalah berikut:
Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan kitab-kitab fiqih,
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, diantaranya bahwa
antara Suami Istri tidak dapat hidup rukun, sedangkan alasan yang sah telah
diatur dalam Peraturan Perundang-undangan No. 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang No.1 tahun 1974 Pasal 9, dan Pasal 116
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan fenomena di lapangan masih terdapat
putusan perkara kawin paksa sebagai alasan perceraian, seperti tercantum
dalam putusan perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan No:
0131/Pdt.G/2008/PAJS, yang dilihat dalam Undang Undang tidak termasuk
sebagai alasan yang sah untuk melakukan perceraian. Hal ini yang penulis
ingin telusuri dalan penulisan skripsi ini.
Dari rumusan di atas penulis merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
4
1. Apa saja alasan perceraian menurut Undang Undang Perkawinan No: 1
Tahun 1974 ?
2. Apakah kawin paksa dapat dijadikan alasan perceraian ?
3. Apa saja landasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan
perkara perceraian yang diakibatkan kawin paksa ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah
penelitian ini dimaksudkan untuk:
1. Untuk mengetahui alasan-alasan Perceraian yang ada dalam Undang- Undang
Perkawinan No: 1 Tahun 1974
2. Untuk mengetahui apakah alasan perceraian yang disebabkan kawin paksa
bisa dijadikan alasan perceraian.
3. Untuk mengetahui landasan hukum yang diambil hakim dalam perkara
perceraian yang disebabkan kawin paksa.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah “penulis ingin memberikan
gambaran kepada masyarakat maupun akademis khususnya mahasiswa yang
menggeluti bidang hukum bagaimana sebenarnya penerapan hukum didalam
memutuskan perkara di pengadilan”.
5
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Perceraian Karena Perselingkuhan Studi Kasus Pada Peradilan Agama
Jakarta Selatan skripsi yang ditulis oleh Herdianto, Fakultas syariah dan hukum
tahun 2007. Dalam skripsi tersebut membahas tentang pengertian perceraian,
masalah percerain yang diakibatkan oleh perselingkuhan. faktor-faktor utama
terjadinya perselingkuhan dan bagaimana majelis Pengadilan Agama menjelaskan
prosedur perceraian karena perselingkuhan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Penyebab Perceraian Pada Pasangan Dini (Studi Kasus Pada Peradilan
Agama Jakarta Selatan) skripsi yang ditulis oleh Muhammad Lutfi dalam
skripsi tersebut membahas tentang pengertian perceraian, macam-macam
perceraian, faktor-faktor penyebab perceraian, akibat perceraian, pasangan dini,
problem pasangan dini, pernikahan ideal menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, pernikahan ideal menurut hukum Islam, gambaran wilayah, penyebab
perceraian pasangan dini, dan analisis putusan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Kawin paksa menurut hukum islam dan hukum positif ( UU No.1 tahun
1974 ). Pada Tahun 2002 oleh Yahya Bachtiar, Nim : 1974313761.Bahwa
didalam penulisan skripsi ini hanya membahas dan mendasar pada teorinya saja,
hanya mengacu pada penelitian studi pustaka dengan menganalisa persamaan dan
perbedaan pandangan hukum Islam dan hukum positif.
Pembahasan berupa skripsi tentang perceraian memang sudah banyak
dikaji. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis berusaha untuk mengangkat
6
persoalan kawin paksa sebagai alasan perceraian dengan melakukan telaah
terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik
yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan
syariah dan hukum belum pernah diteliti oleh penulis lainnya. Dalam skripsi ini
melakukan penelitian yang menggunakan studi analisis pada putusan hakim
dalam kasus kawin paksa, beda dengan skripsi sebelumnya yang hanya
mengunakan studi pustaka saja dalam penelitiannya.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode:
1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif, yaitu cara mendekati masalah yang diteliti dengan
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan
dalam penulisan skripsi ini diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu metode
yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan
berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati2.
2 Maelong J, Lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
2002.cet ke-1 h.3
7
2. Jenis penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum
kepustakaan), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penulisan skripsi ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data untuk
mendeskripsikan permasalahan yang akan di bahas dengan mengambil materi-
materi yang relevan dengan permasalahan, lalu dikomparasikan yaitu dari
sumber data primer, sekunder, dan tersier. Sumber data tersebut diklasifikasi
untuk memudahkan dalam menganalisis.3 Menurut Maelong penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas
objektif, mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk
memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan.4
3. Sumber data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu:
a) Data primer
3 Sojono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persa, 2004) cet ke-8, h.251
4 Sojono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persa, 2004), cet
ke-8, h.13
8
Data primer terdiri dari Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No:
0131/Pdt.G/2008/PAJS. dan Undang Undang Perkawinan No: 1 tahun
1974.
b) Data sekunder
Data sekunder diantaranya adalah bahan kepustakaan berupa kitab-kitab,
buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitanya dengan permasalahan
yang berkaitan tentang perkawinan dan perceraian serta kawin paksa.
4. Teknik pengumpulan data
Dalam upaya pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut:
a. Observasi adalah metode atau cara-cara yang menganalisis dan
mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan
melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung.
b. Wawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(interviewer). Dalam hal ini adalah hasil wawancara dengan hakim dari
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
c. Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, dan sebagainya.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari data dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lainnya
9
sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain.5
Dalam penelitian ini teknis analisis data yang digunakan adalah content
analisis. Content analisis adalah teknik analisis dalam menarik kesimpulan
dengan cara mengidentifikasi dari sebuah pesan secara objektif dan
sistematis.6
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman kepada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi menjadi
lima bab, perinciannya sebagai berikut :
Bab Pertama : Berisi Pendahuluan, yang mencakup Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan
Teknik Penulisan, serta Sistematika Penulisan.
5 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, ( Bandung: Alfabeta, 2004 ) h.224
6 Sojono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persa, 2004),
cet ke-8, h.51
10
Bab kedua : Berisi Tinjauan Umum Tentang Perceraian, yang berisikan
Pengertian Perceraian, Dasar Hukum Perceraian dan Alasan
Perceraian.dan Perbedaan Cerai Talak, Cerai Gugat, dan Prosedur
Perceraian.
Bab ketiga : Berisi Tinjauan Umum Tentang Kawin Paksa, yang
berisikan Pengertian Kawin Paksa, dan Dasar Hukum Kawin Paksa. Serta
Alasan-alasan Kawin Paksa.
Bab keempat : Berisi Akibat Hukum dari Perceraian Karena Kawin
Paksa, yang tediri dari Peta Sosial Demografis Pengdilan Agama Jakarta
Selatan, Kronologi Putusan Perceraian No:0131/Pdt.G/2008/PAJS, Serta
Analisis Penulis.
Bab kelima : Berisi Penutup, meliputi Kesimpulan, dan Saran-saran
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”
berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “Furqah” berarti
“bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan
istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami-isteri7. Ta’rif talak
menurut bahasa Arab mempunyai arti bercerai perempuan dari suaminya atau
melepaskan ikatan.8 Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan
perkawinan.9 Sedangkan menurut istilah, talak adalah melepaskan tali perkawinan
dan mengakhiri hubungan suami-isteri.10
Sedangkan perceraian menurut bahasa
Indonesia adalah perpisahan; prihal bercerai (antara suami-isteri); proses;
perbuatan; cara menceraikan.11
Namun penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian
dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang
7 Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
cet. Ke-2, h.156.
8 Muhamad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1989), h.239.
9 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976), cet. Ke-6, h.376.
10
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.192.
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998), cet. 1, h.164.
12
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 38 hanya menyebutkan sebab-sebab
putusnya perkawinan yaitu:
1. karena kematian.
2. karena perceraian.
3. karena atas putusan pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengikuti alur yang
digunakan oleh Undang-Undang Perkawinan, walaupun pasal-pasal yang
digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-aturan yang lebih rinci.
Kompilasi Hukum Islam memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI.
Pasal 113.12
kemudian perkawinan dapat putus disebabkan perceraian yang
terdapat pada pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, pertama
perceraian disebabkan karena talak dan kedua perceraian yang disebabkan oleh
gugatan perceraian. Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan yang dimaksud
dengan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal (129), (130), dan (131).13
Berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak.
12
Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Atas putusan pengadilan.
13 Kompilasi Hukum Islam Bagian kedua tentang Tata Cara Perceraian yang tertulis dalam Pasal
129: seorang suami akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan, baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
13
Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai
(talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan
hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat 1 yang menyatakan bahwa
seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna
penyaksian ikrar talak.14
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama juga menjelaskan dan menegaskan
bidang apa yang dapat diselesaikan tercantum dalam pasal 49 adalah Pengadilan
Pasal 130: Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap
keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
.
Pasal 131:
1. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil permohon dan isterinya untuk menerima
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah
tangga, Pengadilan agama menjatuhkan keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrar talak.
3. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrar talaknya didepan sidang
Pengadilan Agama, dihadiri isteri dan kuasanya.
4. Jika suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak
suami untuk mengikrar talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
5. Setelah sidang penyasian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak
rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami-isteri. Helai pertama beserta
surat ikrar talak dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami-
isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
14
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet
Ke-1, h.216-221.
14
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari'ah.15
Perlu kiranya penulis mengemukakan pendapat para sarjana sebagai
pegangan tentang pengertian perceraian yang dikutip oleh Zakiah Darajat
didefinisikan menurut Abu Zakaria Al-Anshari ialah:
16 Artinya:
”Melepaskan tali akad nikah dengan kata-kata talak dan yang semacamnya.”
Al-Jaziry mendefinisikan:
17 Artinya:
”Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Jadi, talak itu menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah ikatan
perkawinan hilang isteri tidak lagi halal bagi suami, dan ini terjadi dalam hal talak
ba’in,18
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah
15
Artikel diakses pada 24 juli 2009 dari http://www.Legalitas.org.
16
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid II, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.173.
17
Abdurahman Al-Jaziri, al-Fiqih’ala al-mazahib al-Arba’ah, (Mesir: Dar al-Irsyad,t.th), Jilid
ke-7, h.249.
18
Talak ba’in adalah talak yang ketiga kalinya, talak sebelum isteri dikumpuli, dan talak dengan
tebusan oleh isteri kepada suaminya. talak bain juga di bagi menjadi dua yaitu talak bain sughra (talak
ini boleh ruju lagi tetapi harus dengan akad nikah dan mahar baru) dan talak ba’in kubro (tidak
15
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah
talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan
dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu terjadi dalam talak raj’i.19
B. Dasar Hukum Perceraian
Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami-isteri adalah
tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari’at
Islam. Akad perkawinan mempunyai tujuan untuk hidup, agar suami-isteri
menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen.
dalam perlindungan rumah tangga serta keduanya dapat menciptakan iklim rumah
tangga yang memungkinkan terwujud dan terpiliharanya anak keturunan dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu maka syari’at menjadikan pertalian suami-isteri
dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimana Al-
qur’an memberikan istilah pertalian itu dengan miitsaq ghalizhan (janji yang
kukuh).20
firman Allah SWT dalam surat An-nisa’ ayat: 21
menghalalkan bekas suami rujuk lagi dengan bekas isterinya kecuali isterinya kawin dengan laki-laki
lain dan pernah disetubuhi kemudian cerai, maka bekas suami yang tertalak bain kubro boleh rujuk
tetapi harus dengan akad dan mahar baru). Lihat Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta:
Kencana, 2006), cet.Ke-2, hal.66-68.
19
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.192.
20
Ibid, h.212.
16
Artinya:
”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-
isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(Q.S. An-nisa: 21)”
Namun tidak sedikit halangan yang dihadapi oleh suami-isteri, bahkan hal
yang terburukpun dapat terjadi dalam rumah tangga bila tidak ada kata sepakat
lagi yaitu; terjadinya perceraian sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan
kedua belah pihak. Mengenai dasar hukum perceraian penulis, akan
mencantumkan ayat-ayat Al-qur’an serta Hadits yang menjadi landasan hukum
perceraian antara lain :
Surat Al-baqarah ayat 229-230:
17
Artinya:
"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf21
atau menceraikan dengan cara yang baik22
tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim.Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
Mengetahui."(Q.S. Al-baqarah: 229-230).
Dalam surat At-thalaq ayat 1:
Artinya:
"Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
21
Cara yang ma’ruf, dengan cara meminta izin dahulu kepada si istri dengan ucapan (bil qauli)
baru dengan perbuatan (bil fi’li). Agar istri merasa dihargai untuk diminta dahulu izinnya suami untuk
kembali.
22
Cara yang baik, dengan cara tidak menceraikan istri dalam keadaan haid dan tidak dalam
keadan hamil, cara yang baik yaitu ketika istri sedang dalam keadan suci.
18
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru". (Q.S.At-thalaq: 1)
Selain ayat-ayat Al-qur’an di atas ada pula hadits yang berkenaan
dengan dasar hukum perceraian. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Ibnu Majah, yang berbunyi:
: .. )
23(
Artinya:
”Dari Ibnu Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW; “Perkara halal
yang sangat dibenci oleh Allah ialah talaq” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Hakam dan dirajihkan oleh Abu Hasyim
kemursalannya”).
C. Sebab-sebab Terjadinya perceraian
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian dalam
Hukum Islam perceraian terjadi karena khulu’, zhihar, ila dan li’an berikut ini
penjelasan masing-masingnya:
1. Khulu’
Kata Khulu’ berasal dari kata khala’a, yakhla’u, khulu’an yang artinya
”mencabut”24
, khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari
23
Ibnu Hajar Al-Asqalani, diterjemahkan oleh A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram,
(Diponogoro, 1596), cet XXVII, h.476.
24
Munjid fillughati wala’lam. Cet Darul masyrik Beirut distributor Almaktabah Asyarkiyah
Sahah Annujmah 1986, Beirut; Lebanon cet- ke 34. h.192.
19
kata-kata khala’a ats-tsauba, artinya: menanggalkan pakaian karena
perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki pun pakaian bagi
perempuan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 187:
Artinya:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu ................( Q.S. Al-baqarah 1 :187)
Khulu dinamakan juga tebusan. Karena isteri menebus dirinya dari
suami dengan mengembalikan apa yang telah diterima sebagai mahar kepada
suaminya. Menurut ahli fiqih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari
suaminya dengan ganti rugi yang disebut dengan iwad. Dasar pengertian ini
ialah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas, ia berkata:
25
25
Mu'ammal Hamidy, Imron, dan Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadits-
Hadits Hukun, Jilid 5, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2001), h.2347.
20
Artinya:
Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada rasulullah SAW. Sambil
berkata: Hai Rasulullah! saya tidak mencela akhlaq dan agamanya, tetapi
aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW:
maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit,suaminya)?. Jawabnya: mau.
Maka Rasulullah SAW.bersabda: “terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaqlah
ia satu kali”(H.R Bukhari dan Nasai).
2. Zhihar
Zhihar menurut bahas Arab, berasal dari kata zhahrun yang bermakna
punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami-isteri, zhihar adalah
ucapan suami kepada isteri yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan
punggung ibunya, seperti ucapan suami kepada isteri: “Engkau bagiku adalah
seperti punggung ibuku”.26
Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar
ialah firman Allah SWT. Surat Al-mujadilah ayat 2-4:
26
21
Artinya:
"Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-
ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa
yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan
Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih. ( Q.S. Al-mujadilah: 2-4)
3. iIla’
Kata ila’ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-yakli
i’laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya sumpah.27
menurut
istilah Hukum Islam, Ila’ ialah ”sumpah suami dengan menyebut nama Allah
SWT atau sifat-Nya yang bertujuan kepada isterinya untuk tidak mendekati
isteri. baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya atau
dibatasi empat bulan atau lebih.28
Dasar hukum pengaturan ila’ ialah firman
Allah SWT surat Al-baqarah ayat 226-227:
27
Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.200.
28
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.243.
22
Artinya:
"Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui". (Q.S.Al-baqarah: 226-227).
Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang
meng ila’ isterinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun isteri.
Suami menyatakan ila’ kepada isterinya pastilah karena kebencian yang
timbul antara keduanya. Bagi suami yang meng-ila’ isterinya wajib
meninggalkannya selama empat bulan karena dalam waktu tersebut akan
timbul rasa rindu diantara keduanya dan bisa saling mengkoreksi diri untuk
melakukan perubahan-perubahan sikap dan sifat menjadi lebih baik.
Kemudian apabila ingin kembali suami wajib membayar kaffarah sumpah
karena telah menggunakan nama Allah SWT untuk keperluan dirinya.
Kaffarah yang harus dibayar adalah yang sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat Al-mai’dah ayat 89:
23
Artinya:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka
atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)". (Q.S.Al-
maidah: 89).
4. Li’an
Li’an berasal dari kata la’a. Sebab suami-isteri yang bermula’anah
pada ucapan yang kelima kalinya berkata: ”sesungguhnya padanya akan jatuh
laknat Allah SWT, jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”.29
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian
bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima
laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.30
29
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.126.
30
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.239.
24
Dasar hukum pengaturan lian bagi suami yang menuduh isterinya
berbuat zina ialah firman Allah SWT surat An-nur ayat 6-7:
Artinya:
"Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta".(Q.S. An-
nur: 6-7)
Terhadap tuduhan suami, isteri dapat menyangkal dengan kesaksian
sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya. pada
sumpah kesaksianya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia
menerima laknat Allah SWT jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-nur ayat 8-9:
Artinya:
"Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar".(Q.S. An-nuur: 8-9)
25
Dengan terjadinya sumpah lian ini maka terjadilah perceraian antara
suami-isteri tersebut dan antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan
kembali untuk selamanya.31
Dimana terdapat hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:
)32( Artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi s.a.w bersabda: ”suami-isteri yang telah
bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali selama-
lamanya”. ( H.R. Daraquthni).
5. Sebab-sebab yang lain.
a. Putusnya perkawinan sebab syiqaq.
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri
sedemikian rupa sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan
pendapat dan pertengkaran yang menjadi suami-isteri yang tidak mungkin
dipertemukan dan dipersatukan lagi.
Firman Allah SWT. Surat An-nisa ayat 35 menyatakan :
31
Ibid, h.239-240.
32
Mu'ammal Hamidy,Imron, dan Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadis-
Hadis Hukun, Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h.2383.
26
Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Menurut firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq
antara suami-isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan
penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya syiqaq dimaksud serta
berusaha mendamaikan, atau mengambil kesimpulan bahwa lebih baik
adanya perceraian dari pada perkawinan ini terus berjalan tetapi bisa
mengakibatkan kemudharatan bagi suami-isteri. Maka kesimpulan
putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.
Terhadap kasus syiqaq ini, kedua hakam bertugas menyelidiki dan
mencari hakikat permasalahannya, sebab musabab timbulnya
persengketaan, berusaha untuk mendamaikan kembali agar suami-isteri
kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika perdamaian
tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif
untuk menceraikannya. kemudian atas dasar hakam ini maka hakim
dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.33
Kedudukan cerai
sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in artinya antara bekas suami-isteri
33
Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.200.
27
hanya dapat kembali sebagai suami-isteri dengan akad dan mahar yang
baru.34
b. Putusnya perkawinan sebab pembatalan.
Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam
pelaksanaanya ternyata ada larangan perkawinan antara suami-isteri.
Sebab-sebab pembatalan karena pertalian darah, pertalian susuan,
pertalian semenda, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya rukun dan syarat, maka
perkawinan menjadi batal demi hukum dengan melalui proses pengadilan
dan hakim membatalkan perkawinan dimaksud.35
Mengenai pembatalan perkawinan ini. Berdasarkan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab IV pasal 22 sampai 28
memuat ketentuan yang isi pokoknya sebagai berikut:36
Pertama, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Kedua, Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
34
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h.243.
35
Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.205-206.
36
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
28
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Ketiga, Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4.
Keempat, Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau
tempat tinggal kedua suami-isteri.
Kelima, Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalan, oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Hak untuk membatalkan oleh
suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur
apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui
supaya sah.
Keenam, Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan berlangsung dibawah
29
ancaman yang melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Ketujuh, Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Putusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum putusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat alasan-alasan
30
pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 70 sampai
dengan 71 yang isi pokoknya sebagai berikut:37
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun
salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria
lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dari pria tersebut dan
telah habis masa iddahnya;
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974.38
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri.
37
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2005), h.25-27.
38
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 8 yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
2. Berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan.
31
Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 menyebutkan bahwa suatu
perkawinan juga dapat dibatalkan karena peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
isteri pria lain yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.39
Kompilasi Hukum Islam Pasal 73 yaitu: bahwa dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami / isteri;
39
Kompilasi Hukum Islam pasal 72 yaitu:
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
32
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang- Undang.
d. Para pihak yang berkepentingan untuk mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
Peraturan Perundang–Undangan sebagaimana tersebut dalam pasal
67.
c. Putusnya perkawinan sebab fasakh.
Hukum Islam mewajibkan suami menunaikan hak-hak isteri dan
memilihara isteri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya isteri
dan menimbulkan kemudharatan terhadapnya. Suami dilarang
menyengsarakan kehidupan isteri dan mensia-siakan haknya.40
Firman
Allah SWT surat Al-baqarah ayat 231 menyatakan:
40
Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1995), h.207.
33
Artinya:
”Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu
rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian
kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh
ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah
(As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. AL-baqarah:
231)”.
Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan
melarang saling menimbulkan kemudharatan. Menurut Qaidah Hukum
Islam, bahwa setiap kemudharatan wajib dihilangkan, sebagaimana qaidah
menyatakan:
الضرر يزال41
Artinya:
”kemudharatan harus dihilangkan”.
Berdasarkan firman Allah SWT dan qaidah tersebut para fuqaha
menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami-isteri terjadi keadaan,
sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada keadaan salah satu
pihak, maka pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa
41
Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro'uf, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih
Konseptual. Buku Satu (Surabaya: Khalista, 2006), hal.209.
34
untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas
dasar pengaduan pihak yang menderita.42
d. Putusnya perkawinan sebab meninggal dunia.
Jika salah satu dari suami-isteri meninggal dunia, atau kedua
suami-isteri itu bersama-sama meninggal dunia maka putuslah perkawinan
mereka. Yang dimaksud dengan mati sebab putusnya perkawinan dalam
hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni, memang dengan kematian itu
diketahui jenazahnya, sehingga kematian itu benar-benar biologis, maupun
kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud (hilang
tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia), lalu
melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami
tersebut.43
Mengenai putusnya perkawinan ini, menurut Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Bab VII pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya
perkawinan, yaitu: kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Dalam
pasal 39 juga menegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan antara kedua belah pihak, dan untuk
melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup sehingga dapat
42
Zakiya Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 208.
43
Ibid, hal. 209.
35
dijadikan landasan yang wajar bahwa antara suami-isteri tidak ada harapan
lagi untuk hidup bersama sebagai suami-isteri.
Alasan dimaksud dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawina ini diperinci lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang
perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam pasal
116 menyatakan bahwa sebab-sebab perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lainya sebagaimana yang sukar disebutkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampunya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pilak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
f. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
36
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan rumah tangga.44
D. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat serta Prosedur Perceraian
1. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat
Cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan atau perceraian yang
dilakukan atas kehendak suami. Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang
Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 pada pasal 66 ayat (1) Seorang suami
yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan
ikrar talak.45
Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 117 yaitu talak
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal
(129), (130) dan (131). Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami,
karena suamilah yang berhak untuk mentalak istrinya, sedangkan isteri tidak
berhak mentalak suaminya. bagi suami yang mengajukan talak maka suami
harus melengkapi persyaratan administrasi sebagai berikut :
44
Pasal 116 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
45
Artikel diakses pada 24 juli 2009 http://www.legalitas.org
37
1. Kartu tanda penduduk .
2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah.
3. Kutipan akta nikah (model NA).
4. Membayar uang muka biaya perkara.
5. Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi Pegawai Negeri Sipil atau
anggota TNI/Polri.46
Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas
kehendak isteri hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama pasal 73 ayat (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam
Kompilasi Hukum Islam cerai gugat juga diatur pada pasal 132 ayat (1) yaitu :
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali
isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.
Perkara cerai gugat, seorang isteri diberikan suatu hak gugat untuk
bercerai dari suaminya, karena dalam cerai talak haknya hanya dimiliki oleh
suami. Akan tetapi, bukan berarti cerai talak haknya mutlak milik suami
46
A.Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hal. 66.
38
karena apabila suami melanggar alasan-alasan perceraian yang tercantum
dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam dan pasal 19 Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. maka isteri berhak mengajukan gugat cerai. Dengan
demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya
menentukan perceraian.47
Hukum Islam juga tidak mengenal istilah cerai gugat karena cerai
gugat hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di
Indonesia. Akan tetapi dalam hukum Islam mengenal khulu, yang mempunyai
persamaan dengan cerai gugat dan tetap ada perbedaannya yaitu juga dalam
khulu itu ada iwadl yang harus dibayar oleh isteri, dan yang mengucapkan
kalimat perceraian (talak) adalah suami setelah adanya pembayaran iwadl
tersebut. Sedangkan cerai gugat tidak ada pembayaran iwadl serta yang
memutuskan perceraian adalah hakim.48
Selain itu dalam cerai talak apabila suami ingin mengajukan ikrar
talak, suami tidak mengajukan gugatan melainkan mengajukan permohonan
kepada isteri, karena dalam Islam isteri meminta izin untuk mengucapkan
ikrar talak di Pengadilan Agama. Karena talak itu ada ditangan suami.
Berbeda dengan cerai gugat yaitu isteri harus minta cerai dulu kepada suami,
47 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet
Ke-1, hal. 232. 48
M. Yasir Arafat, Perceraian Akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga, (skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hal. 16.
39
karena dalam Islam isteri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta
mengembalikan iwadl kepada suami. Hal inilah yang menjadi perbedaan
antara cerai talak dengan cerai gugat. Perkara cerai gugat, juga ada
persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam mengajukan gugatan
cerai sebagai berikut :
1. Kartu tanda penduduk .
2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah.
3. Kutipan akta nikah (model NA).
4. Membayar uang muka biaya perkara.
Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi Pegawai Negeri Sipil atau
anggota TNI/Polri.49
2. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama
Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai
talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang
terjadi karena talak suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud gugat
cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri melalui
gugatan.
49
A.Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h.66.
40
Tahapan-tahapan cerai talak di Pengadilan Agama menurut Pasal 66
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
(disebut Pemohon), mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan
tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman termohon (isteri), kecuali apabila termohon
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama
tanpa izin pemohon.
2. Jika termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
pemohon.
3. Jika pemohon dan termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama suami-isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
5. Permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, tempat kediaman
pemohon, dan termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai
41
talak. Permohonan tersebut diperiksa dalam sidang tertutup oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 68 Undang-
Undang Peradilan Agama).
6. Pengadilan menetapkan mengabulkan permohonan cerai jika Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa kedua belah pihak (suami-isteri) tidak dapat
didamaikan lagi dan alasan perceraian telah cukup (Pasal 70 ayat 1
Undang-Undang Peradilan Agama).
7. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh termohon (isteri) terhadap
penetapan tersebut adalah mengajukan banding (Pasal 70 ayat 2) Undang-
Undang Peradilan Agama). Jika tidak ada banding dari pihak termohon
(isteri) atau penetapan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka pengadilan akan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak
(Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Agama).
8. Ikrar talak dilakukan oleh pemohon (suami) atau wakilnya yang telah
diberi kuasa khusus berdasarkan akta otentik, dan dihadiri/disaksikan oleh
pihak termohon (isteri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat 4 Undang-Undang
Peradilan Agama).
9. Jika termohon (isteri) tidak hadir pada ikrar talak tersebut, padahal ia telah
dipanggil secara sah dan patut, maka suami atau wakilnya dapat
mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya pihak termohon (isteri) atau
kuasanya (Pasal 70 ayat 5). Jika dalam waktu 6 (enam) bulan suami tidak
42
datang untuk mengucapkan ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri
atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah
dan patut, maka penetapan atas dikabulkannya permohonan cerai menjadi
gugur, dan permohonan perceraian tidak dapat diajukan lagi dengan alasan
yang sama (Pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Peradilan Agama).
10. Perkawinan menjadi putus melalui penetapan terhitung sejak
diucapkannya ikrar talak dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan
banding atau kasasi (Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Peradilan Agama).
Tahapan-tahapan cerai gugat menurut Undang-Undang Peradilan
Agama adalah sebagai berikut :
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat
(isteri), kecuali jika penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami) (Pasal 73 ayat 1 Undang-
Undang Peradilan Agama).
2. Jika penggugat berkediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat (Pasal 73 ayat 2).
3. Jika keduanya berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
(Pasal 73 ayat 3).
43
4. Jika gugatan perceraian adalah karena salah satu pihak mendapat pidana
penjara, maka untuk dapat memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang
berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 74).
5. Jika alasan perceraian adalah karena syiqaq (perselisihan tajam dan terus
menerus antara suami dan isteri, maka putusan perceraian didapatkan
dengan terlebih dahulu mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal
dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri (Pasal 76
ayat 1).
6. Gugatan perceraian gugur jika suami atau isteri meninggal sebelum ada
putusan pengadilan (Pasal 79).
7. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup oleh
Majelis Hakim selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah berkas atau
surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (Pasal 80 ayat 1 dan
2). Putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum dan perceraian dianggap terjadi dengan
segala akibat hukumnya sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 81 ayat 1 dan 2).
8. Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, suami-isteri harus
datang secara pribadi, kecuali jika salah satu pihak berkediaman di luar
44
negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
9. Jika kedua pihak berkediaman di luar negeri, maka pada sidang pertama
penggugat harus menghadap secara pribadi. Pada saat tersebut hakim juga
harus berusaha mendamaikan kedua pihak, dan selama perkara belum
diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan (Pasal 82).
10. Jika perdamaian tercapai, maka tidak dapat diajukan lagi gugatan
perceraian yang baru dengan alasan yang ada dan telah diketahui
penggugat sebelum perdamaian tercapai (Pasal 83).
11. Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 86 ayat 1).
12. Jika pihak ketiga menuntut, maka Pengadilan Agama menunda lebih dulu
perkara harta bersama sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86
ayat 2).
13. Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon, dan biaya perkara penetapan atau putusan pengadilan yang
bukan penetapan atau putusan akhir diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir (Pasal 89 ayat 1 dan 2).
45
14. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan biaya materai yang
diperlukan untuk biaya itu; biaya para saksi, saksi ahli, penerjemah dan
biaya pengambilan sumpah yang diperlukan, biaya untuk melakukan
pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh pengadilan
dalam perkara, biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas
perintah pengadilan (Pasal 90 ayat 1).50
Mengenai prosedur perceraian lebih rinci lagi dapat dilihat pada skema
di bawah ini.
Catatan: Calon Pemohon menghadap Meja I
50
Artikel diakses pada 18 juli 2009 http:// www.pta.depok.com
46
Keterangan:
1. Meja I
a. Menerima surat permohonan.
b. Menaksir panjar biaya perkara.
c. Membuat SKUM.
2. Kasir
a. Menerima uang panjar dan membukukannya.
b. Menandatangani SKUM.
c. Memberi nomor pada SKUM.
3. Meja II
a. Mendaftar permohonan dalam register.
b. Memberi nomor perkara pada surat permohonan sesuai nomor SKUM.
c. Menyerahkan kembali kepada Pemohon satu helai surat permohonan.
d. Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada ketua Pengadilan
Agama melalui Panitera+Wakil Panitera.
4. Ketua PA
a. Mempelajari Berkas.
b. Membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH)
5. Panitera
a. Menunjuk panitera sidang.
b. Menyerahkan berkas kepada Majelis.
6. Majelis Hakim
47
a. Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).
b. Menyidangkan perkara.51
c. Memutus perkara.
7. Meja III
a. Menerima berkas yang telah diminut dari Majelis Hakim.
b. Menetapkan kekuatan hukum.
51
Cerai talak termasuk ke dalam perkara Volountair yang mana sifatnya permohonan dan di
dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga dalam proses pemeriksaan perkara Volountair di depan
persidangan dilakukan melalui tahap-tahap pemeriksaan sebagai berikut: 1) Pembacaan permohonan;
2) Pembuktian; 3) Kesimpulan; 4) Putusan hakim berupa ”PENETAPAN”. Sedangkan cerai gugat
termasuk kedalam perkara Contensius yang mana sifatnya gugatan yang dilakukan oleh isteri karena
didalamnya terdapat masalah dan untuk persidanganya sama dengan prosedur cerai talak serta putusan
hakim berupa “KEPUTUSAN”. Lihat juga A. Mukti Arto’, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan
Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 55-57.
45
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KAWIN PAKSA
A. Pengertian Kawin Paksa
Secara bahasa kawin adalah ”berkumpul, aqad”. Sedangkan secara
istilah adalah ikatan dari dua jenis yang berbeda dalam perkawinan. Paksa
secara bahasa adalah ”tidak rela”. Menurut istilah adalah perbuatan yang
dilakukan tanpa adanya kerelaan diantara pihak. Menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa kawin adalah berkumpulnya dua insan
yang diikat dengan tali perkawinan. Sedangkan terminologi dari kawin paksa
adalah ikatan perkawinan yang tidak adanya kerelaan diantara salah satu pihak.
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral yang dilakukan berdasarkan agama dan
fitrah manusia yang saling mencintai yang diikat dengan tali yang disebut
dengan perkawinan. Kawin Paksa adalah salah satu fenomena sosial yang
timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara pasangan untuk menjalankan
perkawinan, tentunya ini merupakan gejala sosial dan masalah yang timbul di
tengah-tengah masyarakat kita50
. Walaupun terkadang, kawin paksa berakhir
dengan kebahagiaan dalam rumah tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat
pada ketidakharmonisan bahkan perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan
yang tidak dilandasi cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata.
50
Artikel di akses pada tanggal 1 Juni 2009 //abdulqodirqudus.blogspot.com/2009/06/kawin-
paksa.
46
Islam mengenal bahwa suatu perkawinan harus didasari rasa kerelaan
suka sama suka dengan tidak adanya unsur pemaksaan dalam perkawinan
tersebut. Sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rohmah akan tercipta.
Dengan demikian jelas dapat dimengerti bahwa yang dinamakan kawin
paksa adalah suatu akad perjanjian (nikah) antara dua mahluk yang berlawanan
jenis dengan dilandaskan oleh pemaksaan dari pihak ketiga. Dengan kata lain
unsur cinta diabaikan, padahal satu dasar terpenting dalam membangun rumah
tangga antara sesama manusia adalah cinta atau perasaan suka yang merupakan
ikatan emosional (insyidad al-a‟thufi) kepada orang lain yang secara eksistensi
terpisah dengan kita, dan merupakan kebutuhan untuk menjalin kontak
dengannya.51
Menurut ajaran Islam, tidak ada paksaan dalam perkawinan. Karena
perkawinan adalah suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan suka dan
rela kedua bela pihak yang bakal menjadi suami istri. Wali mujbir mempunyai
hak paksa (ijbar). Keseluruhan mazhab berpandangan kebolehan berlakunya
hak paksa (ijbar) dari seorang ayah atau kakek untuk menikahkan anak
gadisnya yang berusia dibawah umur dan berada dibawah perwaliannya. Setelah
mencapai usia dewasa, gadis tersebut mempunyai hak untuk membatalkan
perkawinan (fasakh) jika ia dinikahkan oleh wali yang bukan wali mujbir.
51
Sayid Usman Husain Fadhlullah, Drs. Ali Yahya, Psi. Dunia Wanita dalam islam, (Jakarta:
Lentera Basritama, 1997), Cet. Ke. 1. h.150
47
Seorang gadis yang telah mencapai usia dewasa, menurut Imam Maliki,
Imam Syafi‟i, dan Imam Hambali, bahwa seorang wanita dewasa tetap harus
dinikahi oleh wali. Menurut Imam Hanafi, seorang wanita dewasa boleh
menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dengan syarat suami harus sekufu dalam
hal latar belakang, keluarga, agama dan taraf hidup.
Dalam hal usia untuk menikah dan persetujuan dari si gadis untuk
dinikahkan ini, Imam Syafi‟i mengklasifikasikan wanita kedalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu :
a. Gadis yang belum dewasa yaitu yang belum berusia 15 tahun atau
belum mendapat haid. Maka dalam hal ini tetap harus memberikan
keuntungan dan tidak merugikan si anak. Dan kelak jika ia dewasa,
maka ada haknya untuk memilih (khiyar).
b. Gadis dewasa adalah yang telah berusia15 tahun ataupun yang telah
mendapat haid. Dalam hal ini, ada hak berimbang antar bapak
dengan si gadis. Walaupun persetujuan yang diberikan si gadis
sifatnya lebih merupakan pilihan (ikhtiyar) bukan suatu keharusan
(fard). Dengan demikian hukumnya hanya sunnah bukan wajib. Hal
ini sesuai dengan HR yang bersumber dari Ibn‟ Abbas yang
mengkisahkan tindakan Rasulullah SAW yang memisahkan
perkawinan putri dari Usman bin Maz‟un yang dikawinkan oleh
Abdullah bin Umar (Saudara sepupu sebagai wali), setelah ibu si
48
gadis mengadukan pada Rasulullah SAW bahwa anaknya tidak
menyetujui perkawinan tersebut.
c. Janda. Dalam perkawinan seorang janda sangat diperlukan
persetujuan dari dirinya secara tegas, sehingga seorang wali yang
menikahkan janda dengan laki-laki yang tidak disetujuinya, maka
dapat dibatalkan perkawinan tersebut. Oleh sebab itu, dalam
perkawinan janda tdak ada yang berhak untuk mencegah, termasuk
oleh kakek ataupun ayah.52
Penjelasan di atas jelas bahwa tidak adanya pengertian yang baku dalam
hukum Islam mengenai kawin paksa akan tetapi yang dimaksud disitu adalah
Perkawinan yang dilakukan atas dasar tidak cinta, suka rela dari dua belah pihak
untuk menjadi pasangan suami istri. Dalam Islam tidak mengajarkan tentang
kawin paksa tersebut.
Dalam Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan
mengenai pengertian kawin paksa akan tetapi dapat dipahami dari pengertian
perkawinan dalam pasal 1 itu sendiri bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.53
52
Jurnal Asy-syir‟ah vol.43, Edisi khusus, 2009. h.189-190.
53
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat,
1993) h.87-88.
49
Dalam syarat-syarat perkawinan pasal 6 menerangkan bahwa
perkawinan harus didasarkan atau berlandaskan atas persetujuan kedua calon
mempelai.54
Dua pasal tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa perkawinan
atau kawin paksa adalah suatu ikatan pernikahan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang dilaksanakan tidak berdasarkan persetujuan kedua calon
mempelai atau salah satu dari mereka, karena adanya campur tangan pihak lain.
B. Dasar Hukum Kawin Paksa
1. Menurut Hukum Islam
Islam tidak mengajarkan mengenai adanya pemaksaan dalam
perkawinan, artinya pihak ketiga (wali) tidak ikut campur dalam
menentukan siapa yang mesti menjadi pendamping hidup calon mempelai.
Dalam suatu perkawinan memang perlu adanya wali, tetapi wali
tersebut tidak dapat menentukan atau memaksakan pasangan mereka
masing-masing, dalam pandangan Islam baik janda ataupun gadis perawan
mempunyai kebebasan mutlak dalam memilih calon suami dan menolak
pinangan seorang laki-laki. Tidak ada hak bagi orang tua untuk
memaksakan kehendak sebab dalam mengarungi hidup rumah tangga tidak
akan mungkin tegak dengan sempurna dan meraih bahagia tanpa adanya
54
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Depa, T.th), Penjelasan UU No. 1 Tahun
1974, h.113.
50
gairah, cinta kasih dan ketentraman.55
sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam al-qur‟an:
Artinya ;
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaann Allah adalah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tentram terhadapnya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. ” ( QS, Ar-Rum :21 )
Selain ayat diatas dijelaskan pula hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
yang berbunyi:
Artinya:
“ Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: telah datang
seorang gadis kepada Rasulullah SAW. Lalu ia berkata : sungguh bapakku
telah kawinkan aku dengan anak saudaranya laki-laki, agar dengan aku
terangkatlah martabatnya, kata Abdullah : lalu kata Rasulullah SAW.
Serahkan urusannya kepadanya. Dan kata gadis itu : saya izinkan
55
Ibnu Mahalli Abdullah Umar, Menyongsong Hidup baru Penuh Berkah, (Yogyakarta: Media
Insani, 2001), cet. Ke. 1, h.166. 56
Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwayany, Sunan Ibnu Majah, (Mesir, Dar al-Fikr,
1995) jilid 1. h.588
51
perbuatan bapakku itu, tetapi aku ingin mengajarkan kepada para wanita,
bahwa dalam urusan ini (kawin) bapak-bapak itu tidak ada haknya. (
HR. Ibnu Majah )”.
Dalam memilih seorang suami, seorang janda diberi kebebasan
untuk menentukan pilihannya sendiri. Bila ada lelaki yang meminang dia
diajak musyawarah dan diminta pendapatnya secara terang-terangan. Adalah
Rasulullah SAW. Apabila akan menikahkan putrinya, selalu bertanya
terlebih dahulu : “putriku, ada seorang laki-laki yang akan meminangmu.
Bila engkau tidak merasa berhasrat, maka berkatalah: Tidak. Sebab tidak
ada seorang perempuan pun yang keberatan untuk menyatakanya.”bila
putrinya tidak mengatakan: tidak, hanya berdiam saja berarti dia setuju.
Sebab sikap diam adalah isyarat bahwa dia menyetujui pinangan sang lelaki.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada orang tua (wali) untuk meminta
persetujuan anak perempuannya terlebih dahulu dalam perkawinan."
Peristiwa di atas memberikan ilustrasi, bahwa dalam ajaran islam
seorang perempuan memperoleh sesuatu yang sangat berharga berupa
kemerdekaan, kehormatan, harga diri dan kebebasan menentukan siapa yang
bakal diterima menjadi calon suami, atau ditolak pinangannya57
.
Syaikhul Islam Rohimatullah ”Asyaikh Zakaria Al-Anshori” pernah
ditanya tentang paksaan bapak terhadap anak gadisnya yang sudah dewasa
untuk menikah, apakah itu boleh atau tidak? Ia menjawab, mengenai
57
Ibnu Taimiyyah,Hukum Perkawinan. h.168-189
52
paksaan terhadap anak gadis untuk menikah ada dua pendapat yang
masyhur.
Pertama: bahwa bapak boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa
untuk menikah, demikian pendapat Mazhab Imam Maliki, Syafi‟i, yaitu
pendapat yang dipilih Al-kharqi, Al-qadhi dan sahabat-sahabatnya.
Kedua: bapak tidak boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa,
demikian menurut Mazhab Abu Hanifah dan lain-lain, yaitu pendapat yang
dipilih Abu Bakar, Abdul Aziz bin Ja‟far.
Sedang orang-orang berbeda pendapat tentang bergantungnya
paksaan, apakah terhadap anak gadis atau anak kecil?
Yang benar adalah bahwa kaitan paksaan yaitu yang masih kecil
karena yang sudah dewasa (sinni at-takhlif wa rasyid) yang dapat
mengetahui kemaslahatan mereka sendiri, tidak seorangpun bisa
memaksakannya untuk nikah, karena sesungguhnya terdapat keterangan dari
Rasulullah SAW. Bahwa beliau bersabda:
58 Artinya :
58
Shahih Bukhari, bab 41 dari kitab Nikah, bab 11 dari kitab Ihyat, bab 3 dari kitab Ikrar,
Shahih Muslim, hadis 64, 66, 67, 68 dari kitab Nikah
53
“ Dari Abu Hurairoh r.a. Rasulullah SAW. Bersabda: seorang wanita janda
tidak boleh dinikahkan tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengannya,
seorang anak gadis (perawan) tidak boleh dinikahkan hingga diminta izin
padanya, mereka bertanya : bagaimana izin anak gadis (perawan) itu?
Rasul menjawab diamnya adalah jawabannya” (HR. Bukhari)”.
Ini adalah alasan Rasulullah SAW bahwa anak gadis tidak boleh
dinikahkan hingga dimintai izin dan ini berlaku untuk bapak dan selain
bapak. Batasan yang demikian ini telah dijelaskan dalam riwayat lain yang
shahih. Bahwa bapak itu sendiri harus minta izin kepada anak gadisnya59
.
Bagi mereka yang berpendapat bolehnya paksaan merasa bimbang
apabila si gadis itu menyatakan kufu’nya, sementara bapaknya sendiri
menyatakan kufu’ yang lain, apakah berpegangan kepada ketentuan gadis itu
ataukah dengan ketentuan bapaknya?
Ada dua sudut pandang pada Mazhab Syafi‟i dan Ahmad:
pandangan yang mengakui ungkapan ini berdasarkan ketentuan anak, maka
bertentangan dengan asalnya, dan pandangan yang mengakui ungkapan
berdasarkan ketentuan bapak, maka didalam perkataannya itu terdapat
kerusakan, bahwa janda itu lebih berhak terhadap dirinya maka hal ini
menunjukan bahwa anak gadis tidak lebih berhak terhadap dirinya, tetapi
walinya yang lebih berhak, dan itu tidak lain kecuali bapak dan kakeknya.
Ini alasan mereka yang memaksa, mereka tidak mengamati nash
hadist dan zhahirnya hadist, dan mereka berpegang dengan alasan
59
Ibnu Taimiyyah,Hukum Perkawinan. h.124
54
khitabnya, tetapi mereka berpegang dengan isyarat khitabnya, dan mereka
tidak mengetahui maksud Rasulullah SAW.
Sementara mengenai anak gadis mereka tidak mengharuskan
izinnya, karena berpendapat bahwa “minta izin itu mustahab”, bahkan
sebagian mereka menolak kiasan dan mereka berkata “karena minta izin itu
mustahab maka cukup dalam izin itu dengan diam dan menyangka bahwa
sekira izinnya gadis wajib maka harus berupa ucapan”, inilah yang
dikatakan oleh sahabat Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad60
.
Mengenai dasar-dasar hukum islam tentang kawin paksa perlu
diperjelas kembali bahwa dalam ajaran islam tidak mengenal atau
mengajarkan adanya pemaksaan kehendak dalam suatu proses perkawinan,
akan tetapi pada kenyataan kini acap kali terjadi pemaksaan dalam
perkawinan. Sehingga dasar hukum yang ada sebagai berikut:
a. Dalam Al-Qur‟an
Surat Annisa: 1 yang berbunyi:
…...
Artinya:
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
60
Ibid, h.126
55
menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakan
laki-laki dan perempuan yang banyak…”(Q.S An-nisa : 1)
Ayat di atas ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah SWT
telah menciptakan manusia dimuka bumi ini saling membutuhkan antara
laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini di mana antara keduanya harus
melangsungkan sebuah perkawinan demi berlangsungnya keturunan
mereka, sehingga Allah SWT menentukan agar tip laki-laki hendaknya
menikah dengan lawan jenisnya.
Surat Ar-rum : 21 yang berbunyi:
Artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaann Allah adalah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tentram terhadapnya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” ( QS, Ar-Rum :21 )
Ayat ini menerangkan bahwa suatu perkawinan harus didasari
oleh perasaan cinta kasih, kerelaan sehingga dari dua pasangan yang
saling menyukai tersebut akan membentuk keluarga yang sakinnah.
Artinya pemaksaan dalam perkawinan menurut ayat di atas tidak
dibenarkan.
56
b. Dalam hadist
61
Artinya :
“Telah diriwayatkan kepada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah
meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun dari Yahya bin Sa’id,
ujarnya; Qasim bin Muhammad telah menceritakan bahwa Abdurahman
bin Yazid dan Majama’ bin Yazid Al-Anshari telah menceritakan
kepadanya tentang seorang laki-laki yang bersama Khidsam
menikahkan salah seorang anak perempuannya, tetapi anak perempuan
tersebut enggan untuk dinikahkan oleh ayahnya. Lalu ia datang kepada
Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut kemudian rasulullah
mengembalikan persoalan kepadanya, apakah ia menerima perkawinan
yang telah dilakukan oleh ayahnya atau tidak. Kemudian anak itu
memilih menikah dengan Abu Lubabah bin Abdil Munzir, namun
menurutnya kejadian ini bukan pada gadis, tetapi pada perempuan
janda”
61
Abi Abdullah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwayany, h.588.
57
62
Artinya :
“Dan Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata ; telah datang
seorang gadis kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata : sungguh
bapakku telah kawinkan daku dengan anak saudaranya laki-laki, agar
dengan aku terangkatlah martabatnya, kata Abdullah : lalu Rasulullah
SAW . Serahkan urusannya kepadanya. Dan kata gadis itu saya izinkan
perbuatan bapakku itu, tetapi aku ingin mengajarkan kepada para
wanita, bahwa dalam urusan ini (kawin) bapak-bapak itu tidak ada
haknya. (HR. Ibnu Majah)
Artinya: “ Telah diriwayatkan kepada kami Abu Saqar Yanya bin Yazdad Al-
Anshari, telah meriwayatkan kepada kami, Hasan bin Muhammad bin
Al-Mawarudzi, telah meriwayatkan kepadaku Jarir bin Hazi, dari
Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sesungguhnya seorang anak
gadis datang kepada Rasulullah SAW. Lalu ia menceritakan kepada
nabi bahwa bapaknya telah menikahkan dirinya secara paksa, lalu
beliau memberi hak kepada anak gadis itu untuk memilih (HR. Ahmad )
Kasus yang diuraikan tesebut ialah langkah orang tua, yakni
ayah untuk menikahkan anak gadisnya dengan lelaki yang menjadi
62
Ibid. h.588.
63
Ibid. h.588
58
pilihan ayahnya, sedangkan anak gadis tersebut tidak menyukai dengan
lelaki yang dipilih ayahnya. Peristiwa yang semacam ini diadukan
kepada Rasululllah SAW, ketika Rasulullah menerima pengaduan
beliau memberikan hak untuk memilih kepada anak gadis yang
bersangkutan apakah ia mau menerima paksaan orang tuanya atau dia
menolak.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa syariat islam tidak
membenarkan seorang ayah memaksa perkawinan kepada anaknya
dengan lelaki yang sama sekali tidak diinginkan oleh si anak gadis itu.
Jika pemaksaan itu harus dijalankan, maka perkawinannya batal.
Sedangkan pada hadits kedua anak gadis yang dipaksa untuk
menikah oleh orang tuanya dengan tujuan supaya si orang tua terbebas
dari kehinaan atau utang- piutang. Setelah mengetahui tujuan orang tua,
si anak merasa keberatan tetapi pada hakikatnya ia setuju dengan lelaki
yang menjadi suaminya itu. Setelah anak perempuan itu menghadap
Rasulullah dan beliau menyatakan adanya hak memilih pada anak gadis,
maka anak gadis tersebut mengumumkan kepada wanita bahwa dalam
urusan perkawinan orang tua tidak dapat memaksa, karena orang tua
tidak mempunyai hak menetapkan secara sepihak calon suami bagi anak
gadisnya.
Dari kasus yang terjadi dimasa Rasulullah SAW tersebut, maka
dapatlah dijadikan sebagai suatu prinsip dalam perkawinan islam,
59
bahwasanya hak untuk memilih suami tetap ada pada anak perempuan
yang bersangkutan. Begitu pula hak untuk memilih istri juga menjadi
hak anak lelaki atau anak lelaki yang mengawininya. Orang tua
menyadari ketentuan dasar semacam ini apabila mempunyai keinginan
menjodohkan anaknya maka tidak melakukan secara paksa. Orang tua
hanya mempunyai hak menganjurkan atau menasehati atau memberikan
saran mana yang terbaik bagi anaknya dalam memilih calon suami atau
istrinya.
Seorang ayah juga tidak boleh memaksa putranya menikah
dengan wanita yang tidak disukainya apakah itu karena cacat yang ada
pada wanita itu, seperti kurang beragama, kurang cantik, atau kurang
berakhlak hendaknya sang ayah mengatakan, “Kawinilah ia, karena ia
adalah putri saudara saya” atau “ Karena dia adalah dari margamu
sendiri”, dan ucapan lainnya. Anak tidak mesti harus menerima tawaran
ayah dan ayah tidak boleh memaksa kehendaknya supaya ia menikah
dengan wanita yang tidak disukainya.
Demikian pula jika si anak hendak menikah dengan wanita
sholehah, namun sang ayah melarangnya, maka ia tidak mesti mematuhi
kehendak ayahnya apabila ia menghendaki istri yang sholehah. Jika sang
ayah berkata kepadanya, “Jangan menikah dengannya”, maka sang anak
boleh menikahi wanita sholehah itu sekalipun dilarang oleh ayahnya
sendiri. Seorang anak tidak wajib taat dengan seorang ayah didalam
60
sesuatu yang tidak menimbulkan bahaya terhadapnya sedangkan bagi
anak ada manfaatnya.
Kalau kita katakan, bahwa seorang anak wajib mematuhi
ayahnya didalam segala urusan sampai pada urusan yang ada gunanya
bagi seorang anak dan tidak membahayakan sang ayah, niscaya banyak
kerusakan yang terjadi. Namun dalam masalah ini hendaknya sang anak
bersikap lemah lembut terhadap ayahnya membujuk sebisa mungkin.
Sudah sangat banyak orang yang menyesal dikemudian hari
karena telah memaksa anaknya menikah dengan wanita yang tidak
disukainya.64
Hal ini membuktikan bahwasanya hak untuk menentukan calon
istri atau suami mutlak ada di tangan masing-masing calon, hak ini tidak
boleh direnggut oleh siapapun, sekalipun ayah atau ibunya. Dan
bilamana seorang ayah atau ibu tidak menyetujui calon yang menjadi
pilihan anaknya, maka ketidaksetujuan ayah atau ibunya itu sama sekali
tidak dikategorikan sebagai tindakan anak mendurhakai orang tuanya,
dalam hal ini si anaklah yang memegang hak bukan orang tua. Hal ini
perlu diperhatikan oleh orang tua agar tidak salah paham dalam
menerapkan ketentuan agama mengenai anak berbakti pada orang tua.
Bilamana perselisihan pandangan antara anak dengan orang tua dalam
64
Ibnu Utsaimin, Fatawa, jilid 2, hal 761 / Artikel di akses pada tanggal 1 Juni 2009
www.almanhaj.or.id
61
memilih pasangan yang akan diinginkan, maka yang berhak untuk
dijalankan adalah keinginan anaknya bukan keinginan orang tua65
.
2. Menurut Hukum Positif
Dalam undang undang tentang perkawinan No.1 tahun 1974 tidak
secara jelas diterangkan mengenai dasar-dasar hukum atau landasan kawin
paksa ini, namun sekilas dapat dimengerti bahwa undang-undang tentang
perkawinan No.1 tahun 1974 tidak membenarkan adanya pemaksaan dalam
perkawinan dapat dilihat pada :
a. Pasal 6
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri memasuki
gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan
senang hati membagi tugas, hak dan kewajiban secara proposional, dengan
demikian tujuan perkawinan dapat tercapai.66
b. Pasal 27
ayat 1 : seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsumgkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum
65
Al-imam Ibnu Majah, 90 Petunjuk Nabi SAW Untuk Berkeluarga, Penerjemah Drs. M. Thalib,
(Cv. Ramdhan, Januari 1993), h. 25-28 66
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000). Cet-ke
4. h.73-74
62
ayat 2 : seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
c. Selain itu dasar hukum tentang kedudukan kawin paksa dapat dilihat pada
peraturan Menteri Agama RI NO.2 tahun 1990 bab IV (persetujuan, ijin
dan dispensasi) pasal 12 yang berbunyi : „persetujuan harus didasarkan
atas persetujuan calon mempelai‟
d. Nasehat untuk kedua mempelai, jika salah satu mengabaikan hak-hak
yang ada maka keharmonisan tidak tewujud67
.
Dari beberapa landasan hukum di atas ada hal ynag perlu diperjelas,
bahwa dalam undang-undang tentang perkawinan No.1 tahun 1974 terkandung
beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur suatu perkawinan yaitu azas
sukarela, partisipasi, poligami dibatasi secara ketat dan kematangan fisik mental
calon mempelai. Berkaitan dengan kawin paksa maka azas sukarela adalah satu
pondasi awal terciptanya rumah tangga yang tentram dan harmonis sesuai
dengan undang-undang perkawinan tersebut.
Sebagai realitas dari pada asas sukarela maka perkawinan harus
berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu setiap
perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon tersebut, tanpa adanya
paksaan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian dapat dihindarkan
67
Buku nikah, Nasehat untuk kedua mempelai,(RI, Depag. T,th), h.2
63
terjadinya kawin paksa. Untuk itu diisi surat persetujuan mempelai (model
N3)68
.
C. Alasan-alasan terjadinya kawin paksa
Nikah paksa bahkan dalam perkembangannya menjadi trend baru bentuk
eksploitasi anak. Motif eksploitasi dapat dilihat dari beberapa modus operandi,
antara lain, eksploitasi anak dalam kejahatan human trafficking (perdagangan
anak). Biasanya anak perempuan yang usianya masih belia dipaksa untuk
menikah dengan orang asing, untuk kemudian dibawa pergi ke luar negeri. Cara
seperti ini biasanya dikenal dengan pengantin pesanan69
. Kasus pengantin
pesanan ini marak terjadi di kota singkawang, kalimantan Kawin Paksa muncul
tentunya banyak motif yang melatar-belakanginya, misalnya ada perjanjian
diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga karena
faktor keluarga, atau bahkan ada karena calon mertua laki-laki kaya70
. Ada juga
beberapa alasan, pertama orangtua yang merasa memiliki anaknya sehingga
berhak memaksa menikahkan dengan siapa pun. Kedua, rendahnya pengertian
orang tua terhadap kemungkinan marabahaya yang biasa menimpa buah hatinya
sendiri. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan dalam
68
Ibid. h.13
69
http://fahmina.or.id Warkah Al-Basyar Vol.VIII Edisi 16 Mei 2009M/ 20 Jumadil Awal 1430
H. 70
Artikel di akses pada tanggal 1 Juni 2009 //abdulqodirqudus.blogspot.com/2009/06/kawin-
paksa.
64
beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. Orangtua mengambil
keuntungan finansial dengan menikahkan anaknya secara paksa dengan orang
asing. Bahkan di daerah tertentu memiliki anak perempuan merupakan aset
tersendiri71
.
71
http://fahmina.or.id Warkah Al-Basyar Vol.VIII Edisi 16 Mei 2009M/ 20 Jumadil Awal 1430
H.
73
BAB IV
AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN KARENA KAWIN PAKSA
A. Peta Sosiodemografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983;
g. Peraturan / Instruksi / Edaran Mahkamah Agung RI;
h. Instruksi Dirjen Bimas Islam / Bimbingan Islam;
i. Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
j. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.
74
2. Sejarah Singkat Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963.
Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya
terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu :
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;
c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk;
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 Tanggal 16 Desember 1976 Tentang
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama72
.
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk
Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada
dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam
perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi
Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Agama
72
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 11 November 2009, h. 2.
75
Surakarta dipindah ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada
tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan
Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta.
3. Perkembangan Pengadilan
Terbentuknya Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya
yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur.
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai
dengan banyak jumlah penduduknya dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang di wilayahnya
cukup luas. Untuk itu keadaan Kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu di
suatu gang kecil yang sampai saat ini di kenal dengan gang Pengadilan
Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan pimpinan kantor di pegang oleh H.
Polana.73
73
Ibid., h. 3
76
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada
tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerja
sama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak
Bismar Siregar, SH.
Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi
hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak. Hasan
Mughni ditahan karena Penetapan fatwa waris sehingga sejak itu fatwa
waris ditambah dengan kalimat “ Jika ada harta peninggalan”.
Pada Tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan
menempati serambi Masjid Syarif Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang
pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa
itu diangkat pula beberapa Hakim Honorer yang diantaranya adalah Bapak
H. Ichtijanto, SA, SH.74
Penunjukkan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin seiring
dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas-tugas kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi,
Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imron,
74
Ibid., h. 4
77
keadaan penempatan Kantor di serambi Masjid tersebut bertahan sampai
dengan tahun 1979.
Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke gedung Baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan
menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal
tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim BA diangkat pula
Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk,
mereka di antaranya KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib,
Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, SH. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke
jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan
dengan menempati gedung baru yang merupakan hibah dari Pemda DKI. Di
gedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor
Pemerintah setingkat Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah
penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah lebih
baik ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahan-pembenahan fisik
terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H.
Jayusman, SH.75
75
Ibid., h. 4
78
Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada
masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Ahmad Kamil, SH pada masa ini pula
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun
hanya sebatas pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. Rif’at Yusuf.
Pada masa perkembangan selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainudin Fajari, SH. Pembenahan
pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik, diadakan sistim
komputerisasi dengan on line komputer, dan ini terus di benahi sampai
sekarang, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang bersih,
disiplin dan berwibawa.76
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu ujung tombak
dari Mahkamah Agung RI. Maka sebagai Lembaga Negara pemegang
kekuasaan yudikatif, tentu mempunyai visi yang tidak jauh beda dari visi
Mahkamah Agung RI. Yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui
kekuasaan kehakiman yang :
a. Mandiri
b. Efektif dan Efisien
c. Profesional dalam memberikan layanan hukum yang berkualitas
d. Etis
76
Ibid., h. 5
79
e. Terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat
f. Mampu menjawab pelayanan panggilan publik
Untuk mencapai Visi tersebut di atas maka Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mempunyai Misi sebagai berikut :
a. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam masyarakat.
b. Mewujudkan institusi peradilan agama yang mandiri dan independent,
bebas campur tangan dari pihak lain.
c. Meningkatkan akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat
sejalan dengan penggunaan teknologi informasi Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
d. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan dengan
mendayagunakan secara maksimal sarana dan prasarana dan anggaran
yang tersedia bagi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
e. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif efisien dan bermartabat
serta dihormati dengan meningkatkan dedikasi dan integritas seluruh
sumber daya manusia yang tersedia di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.77
77
www. google. co. id.
80
4. Wilayah Hukum
Yurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta Selatan meliputi seluruh
wilayah Kotamadya Jakarta Selatan yang terdiri dari 10 (sepuluh)
Kecamatan dengan 64 (enam puluh empat) Kelurahan, yaitu :
a. Kecamatan Kebayoran Lama mewilayahi enam Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Kebayoran Lama Selatan
2) Kelurahan Kebayoran Lama Utara.
3) Kelurahan Grogol Selatan.
4) Kelurahan Grogol Utara.
5) Kelurahan Cipulir.
6) Kelurahan Pondok Pinang.
b. Kecamatan Pesanggrahan mewilayahi lima Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Pesanggrahan.
2) Kelurahan Petukangan Selatan.
3) Kelurahan Petukangan Utara.
4) Kelurahan Ulujami.
5) Kelurahan Bintaro.
c. Kecamatan Pasar Minggu mewilayahi tujuh Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Pasar Minggu.
2) Kelurahan Ragunan
3) Kelurahan Jati Padang.
4) Kelurahan Pejaten Barat.
81
5) Kelurahan Pejaten Timur.
6) Kelurahan Cilandak Timur.
7) Kelurahan Kebagusan.
d. Kecamatan Jagakarsa mewilayahi lima Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Jagakarsa.
2) Kelurahan Lenteng Agung.
3) Kelurahan Srengseng Sawah.
4) Kelurahan Ciganjur.
5) Kelurahan Tanjung Barat.
e. Kecamatan Mampang Prapatan mewilayahi lima kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Mampang Prapatan
2) Kelurahan Pela Mampang.
3) Kelurahan Tegal Parang.
4) Kelurahan Kuningan Barat.
5) Kelurahan Bangka.
f. Kecamatan Pancoran mewilayahi enam Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Pancoran
2) Kelurahan Cikokol.
3) Kelurahan Pangadegan.
4) Kelurahan Duren Tiga.
5) Kelurahan Rawajati.
6) Kelurahan Kalibata.
82
g. Kecamatan Kebayoran Baru mewilayahi sepulih Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Senayan.
2) Kelurahan Rawa Barat.
3) Kelurahan Selong.
4) Kelurahan Gunung.
5) Kelurahan Kramat Pela.
6) Kelurahan Melawai.
7) Kelurahan Petogogan.
8) Kelurahan Pulo.
9) Kelurahan Gandaria Utara.
10) Kelurahan Cipete Utara.
h. Kecamatan Setia Budi mewilayahi delapan Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Setia Budi.
2) Kelurahan Guntur.
3) Kelurahan Pasar Manggis.
4) Kelurahan Menteng Atas.
5) Kelurahan Karet.
6) Kelurahan Kuningan Timur.
7) Kelurahan Karet Kuningan.
8) Kelurahan Karet Semanggi.
83
i. Kecamatan Tebet mewilayahi tujuh Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Tebet Barat.
2) Kelurahan Tebet Timur.
3) Kelurahan Menteng Dalam.
4) Kelurahan Kebon Baru.
5) Kelurahan Bukit Duri.
6) Kelurahan Manggarai.
7) Kelurahan Selatan.
j. Kecamatan Cilandak mewilayahi lima Kelurahan, yaitu :
1) Kelurahan Cilandak Barat.
2) Kelurahan Gandaria Selatan.
3) Kelurahan Cipete Selatan.
4) Kelurahan Lebak Bulus.
5) Kelurahan Pondok Labu.78
78
Ibid., Bab II h. 4 - 6
84
5. Struktur Organisasi79
K E T U A Drs. H. Ahsin A. Hamid , SH.
WAKIL KETUA
Drs. Yasardin , SH. MH.
H A K I M
H A K I M
1. Dra. Hj. Noor Jannah A , MH.
2. Dra. Hj. Ai Zainab , SH.
3. H. Muh. Kailani , SH. MH.
4. Dra. Muhayah , SH.
5. Drs. Harum Rendeng
6. Drs. Muslim , SH. M.Si.
7. Drs. H. Saefuddin T. MH.
8. Drs. Agus Yunih , SH. M.Hi.
9. Drs. Nurhafizal , SH. MH.
PANITERA / SEKRETARIS
Dra. Hj. A m i n a h
10. Dra. Hj. Ida Nursa’adah, SH. MH.
11. Dra. Hj. Farchanah M. M. Hum.
12. Drs. Abdurrahim, MH.
13. Drs. Chotman Jauhari, MH.
14. Drs. Sohel, SH.
15. Dra. Hj. Tuti Ulwiyah,MH.
16. T a m a h, SH.
17. Shafwah, SH. MH.
18. Drs. Kamaluddin, MH.
WAKIL PANITERA
WAKIL SEKRETARIS
Hj. Ghizar Fau’ah , SH.
Dwiarti Yuliani , SH.
B. Kronologi Putusan Perceraian No.0131/Pdt.G/2008/PAJS
1. Duduk perkara
Tentang duduk perkara dalam surat gugatan tertanggal 22 januari
2008 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Selatan pada
Nomor: 131/Pdt.G/2008/PAJS telah mengajukan pokok-pokok
permasalahan sebagai berikut:
79
Arsip Computer Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Panitera Muda Hukum
Panitera Muda Gugatan
Panitera Muda Permohonan
Ka. Sub. Kepegawaian
Ka. Sub. Keuangan
Ka. Sub. Umum
85
a. Bahwa, pada tanggal 12 agustus 2005 telah dilangsungkan pernikahan
antara Penggugat dan Tergugat, di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, sesuai Kutipan Akta Nikah
Nomor: 939/59/VIII/2005, tertanggal 12 agustus 2005, dan dari
perkawinan ini belum dikaruniai anak;
b. Bahwa, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tersebut terjadi tidak
didasari karena cinta melainkan karena perjodohan yang dilakukan oleh
orang tua Penggugat dan Tergugat, sehingga ketika Penggugat harus
melaksanakan hubungan intim suami istri, Penggugat sangat merasa
tidak ikhlas;
c. Bahwa, setelah Penggugat dan Tergugat menikah, mereka tinggal di
rumah orang tua Penggugat. Selama hidup bersama, antara Penggugat
dan Tergugat sangat jarang berkomunikasi. Hal ini dikarenakan
Penggugat tidak mempunyai rasa cinta dan rasa sayang pada Tergugat;
d. Bahwa, selama tinggal serumah, Tergugat sering merendahkan
Penggugat dengan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan
perasaan Tergugat, salah satunya adalah bahwa Tergugat menuduh
Penggugat sudah tidak perawan lagi ketika menikah;
e. Bahwa, sekitar akhir bulan Mei 2006, Tergugat pergi meninggalkan
rumah Penggugat tanpa kabar berita, sehingga akhirnya pada tanggal 1
Juni 2006 Penggugat memutuskan untuk tinggal di Jakarta, dan sejak itu
Penggugat hanya bertemu dengan Tergugat hanya sebanyak dua kali,
86
dan itupun hanya diisi dengan pertengkaran. Tidak ada usaha sama
sekali dari Tergugat maupun Penggugat untuk memperbaiki keutuhan
rumah tangga;
f. Bahwa, sudah sejak tanggal 1 Juni 2006 tersebut antara Penggugat dan
Tergugat sudah tidak lagi berhubunggan suami istri dan sudah tidak
melaksanakan hak serta kewajiban lahir batin;
g. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sudah cukup bagi
Penggugat untuk mengajukan perceraian terhadap diri Tergugat,
sebagaimana diatur di dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
No.9 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
No.1 tahun 1974. didalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
tersebut dinyatakan Bahwa: Perceraian dapat terjadi karena antara suami
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
lagi harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
h. Bahwa, walaupun tidak terjadi pertengkaran seperti pada umumnya,
tetapi antara Penggugat dan Tergugat sama sekali sudah tidak ada cinta
dan lebih sering tidak berkomunikasi serta Penggugat merasa tertekan
dengan kata-kata Tergugat yang sering merendahkan Penggugat.
Dengan demikian tujuan perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak pernah
akan terwujud;
i. Bahwa, pasal 33 Undang-Undang Perkawinan No.1 1974 di sebutkan
Bahwa: Suami istri wajib mencintai, hormat menghormati, setia dan
87
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Kewajiban
suami istri sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Perkawinan
tersebut tidak pernah dilakukan sepenuhnya oleh Tergugat;
2. Para pihak
a. Penggugat adalah Salbiah binti Muksin, umur 21 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan pejaten barat 1
No:36A Rt.003/08 Kelurahan Pejaten Barat Kecamatan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.
b. Tergugat adalah Nalim bin Midi, umur 25 tahun, agama Islam,
pekerjaan karyawan, bertempat tinggal di Kampung Perigi Lama
Rt.004/06 Kelurahan Perigi Lama Pondok Aren, Tangerang.
3. Dasar Hukum Putusan Hakim
Adapun dasar pertimbangan hukum putusan adalah bahwa Majelis
Hakim telah berusaha menasehati Penggugat agar tidak bercerai dari
Tergugat setiap kali persidangan namun tidak berhasil, Tergugat tidak
pernah hadir di depan persidangan dan tidak pula mengutus orang lain
sebagai wakil atau kuasanya yang sah untuk menghadap ke depan
persidangan, meskipun Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut oleh
jurusita Pengadilan Agama Tigaraksa berdasarkan Berita Acara Surat
Panggilan terakhir Nomor: 0131/Pdt.G/2008PAJS. Tertanggal 24 Maret
88
2008 dan Tergugat yang tidak pernah hadir di depan persidangan tersebut di
atas harus dinyatakan tidak pernah hadir, dan berdasarkan pasal 125 ayat (1)
HIR gugatan Penggugat dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
Tergugat/ Verstek.
Penggugat telah beruapaya membuktikan alasan cerai gugatannya
dengan menghadapkan dua orang saksi keluarga atau dua orang dekat
dengan Penggugat, dan kedua orang saksi tersebut telah memberikan
kesaksian dibawah sumpahnya, melihat sendiri dan mendengar sendiri serta
dengan pengetahuannya sendiri kedalam rumah tangga Penggugat dan
Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan telah pisah telah
pisah tempat tinggal selama lebih kurang dua tahun lebih dan keterangan
kedua saksi tersebut yang satu sama lain saling bersesuaian menguatkan
alasan cerai gugat Penggugat. Kedua orang saksi tersebut secara formil
dapat diterima karena telah memenuhi unsur pasal 76 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989, dan secara materil dapat dipertimbangkan
karena telah mendukung alasan cerai gugat Penggugat sesuai dengan
ketentuan pasal 171-172 HIR.
Bahwa dari hasil pemeriksaan Majelis Hakim terhadap Penggugat
dan saksi-saksi di depan persidangan maka Majelis Hakim telah
menemukan fakta bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah
terjadi hal-hal sebagai berikut:
89
1. Bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai bulan Mei
2006 sampai Juni 2006 telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus
menerus.
2. Bahwa Tergugat mulai dari 1 Juni 2006 sampai sekarang telah
meninggalkan Penggugat tanpa nafkah lahir batin.
3. Bahwa perkawinan Penggugat dan tergugat dijodohkan kedua belah
pihak.
4. Bahwa Penggugat berpendirian rumah tangganya dengan Tergugat
sudah tidak mungkin lagi untuk dapat lagi dipertahankan.
5. Bahwa upaya Majelis Hakim menasehati Penggugat agar tidak bercerai
dari Tergugat setiap kali persidangan telah dilakukan.
Majelis Hakim menilai tujuan perkawinan untuk membina rumah
tangga yang sakinah bagi Penggugat dan Tergugat sebagaimana dikehendaki
oleh pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam tidak tercapai.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim
berpendapat bahwa Perkawinan Penggugat dan Tergugat sudah tidak
mungkin dapat dipertahankan. Oleh karenanya memutuskan tali perkawinan
tersebut menurut Majelis Hakim lebih baik bagi kedua belah pihak dan
keluarga masing-masing. Tergugat tidak pernah hadir didepan persidangan
maka Majelis Hakim menganggap INKLUSIF, mengakui dan membenarkan
Posita dan Petitum dalam surat gugatan Penggugat, sekaligus tidak mau
90
menggunakan hak-haknya dan atau membela kepentingannya didepan
persidangannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas alasan
cerai penggugat telah beralasan hukum sesuai ketentuan, pasal 9 huruf (F)
Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (F)
Kompilasi Hukum Islam dan telah terbukti berdasarkan pembuktian didepan
persidangan, oleh karenanya gugatan Penggugat relevan untuk
dipertimbangkan dan dikabulkan.
Berdasarkan Pasal 84 Undang-Undang 1989 jo Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 serta SEMA Nomor :
28/TUADA.AG/X/2002 tertanggal 22 Oktober 2002 Majelis Hakim,
memerintahkan panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk mengirim
satu salinan putusan ini tanpa bermaterai yang telah berkekuatan hukum
tetap kepada PPN tempat Penggugat dan Tergugat melaksanakan pernikahan
sebagai mana tercantum dalam diktum amar putusan ini dan berdasarkan
Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. maka Penggugat
dibebankan untuk membayar biaya perkara sebanyak sebagaimana
dicantumkan dalam amar putusan ini. Semua Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang terkait dengan perkara ini.
91
C. Analisis Putusan
Dari putusan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat suatu kejelasan,
bahwa alasan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menerima
gugatan Penggugat dan memutuskan hubungan pernikahan antara Penggugat
dan tergugat disebabkan adanya peselisihan dan pertengkaran yang tidak
kunjung selesai. Sebagaimana hasil temuan para Majelis Hakim, sejak tanggal 1
Juni 2006 sampai keputusan ini dikeluarkan, telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran antara kedua suami isteri tersebut.
Apa yang menjadi alasan hakim tersebut seiring dengan yang tertera
dalam Kompilasi Hukum Islam, yang disebutkan dalam Pasal 116 huruf (f),
bahwa antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.80
Keyakinan Majelis Hakim tentang tidak mungkinkan Penggugat dan
Tergugat untuk hidup kembali dalam suatu rumah tangga dikuatkan oleh
beberapa bukti, terutama dari saksi yang telah berusaha dan bermusyawarah
dengan pihak keluarga Tergugat agar Penggugat dan Tergugat dirukunkan
kembali, namun tidak berhasil.81
Di samping itu, Majelis Hakim juga telah
berupaya untuk mendamaikan keduanya, tetapi tidak bisa.
80
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
81 Keterangan Saksi Kedua, Husin bin Asmawi, yang bersaksi di depan Pengadilan dan diambil
sumpah oleh Majelis Hakim.
92
Sementara sebab terjadinya pertengkaran ini adalah yaitu karena
Pengugat dan Tergugat dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing,
sehingga sejak pernikahan dilangsungkan, keduanya juga sangat jarang
melakukan komunikasi, apalagi untuk saling mencintai ataupun menyayangi.
Bahkan, menurut keterangan salah satu saksi, yang juga sebagai Ibu kandung
Penggugat, menyebutkan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun
dalam rumah tangga hanya 3 malam saja, dan belum berhubungan intim (suami
isteri), lalu pisah rumah, Penggugat pulang ke rumah saksi.
Pembicaraan tentang pemaksaan orang tua untuk menikahkan anaknya
ini – yang dikenal dengan “kawin paksa” – cukup menarik untuk ditinjau.
Sebagaimana dalam bab sebelumnya, bahwa pernikahan yang dilangsungkan
oleh kedua mempelai, ataupun oleh wali perempuan, pada prinsipnya harus
dengan izin dan persetujuan. Dalam Islam, memang dikenal dengan pernikahan
ijbar, yaitu kekuasaan para wali untuk menikahkan anak perempuannya, baik
baligh atau masih kecil.82
Namun yang harus ditekankan di sini adalah bahwa
pernikahan ijbar berbeda dengan pernikahan paksa (ikrah) oleh wali. Kedua
kata ini juga berbeda dengan taklif.
Menurut Husein Muhammad, dengan mengutip dari Alauddin al-Kasani
salah seorang ulama Hanafiyyah, ikrah adalah suatu paksaan terhadap seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang
82
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
h. 2004-2005.
93
membahayakan jiwa atau tubuhnya, tanpa dia mampu melawannya. Sementara
bagi orang yang dipaksa, perbuatan tersebut bertentangan dengan hati
nuraninya.83
Taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan
sesuatu, akan tetapi pekerjaan itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis
belaka dari penerimaannya atas suatu keyakinan. Sementara ijbar adalah suatu
tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggungjawab, yang dikenal
dalam hukum pernikahan.84
Pembedaan ketiganya menjadi sangat penting ketika harus
menghubungkan pernikahan seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan
pilihannya. Jika menggunakan istilah ikrah, maka pernikahan tersebut memiliki
konsekuensi yang berbeda dengan pernihan biasa. Menurut Wahbah Zuhaily,
suatu akad dapat menjadi fasad/rusak ketika terdapat beberapa unsur di
dalamnya, termasuk pemaksaan (ikrah), sehingga akad tersebut dapat
dibatalkan/fasakh.85
Sementara ijbar, merupakan suatu hak yang diberikan oleh hukum Islam
kepada walinya (terutama bapak dan kakek), asalkan telah memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan dan sesuai dengan fungsi ayah sebagai penjaga dan
pelindung, yang bercita-cita dan bertujuan baik untuk kemashlahatan anaknya.
Ijbar ini pula, bukannya tanpa persetujuan dan izin dari anak yang dinikahkan,
83
Husen Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: Elkis, 2007), cet. IV, hal. 106.
84 ibid.; lihat pula, Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, hal. 228.
85 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz I, hal. 52.
94
sehingga dapat dikatakan ijbar sangat berbeda dengan pamaksaan atau “kawin
paksa”.86
Menurut Husein Muhammad, kawin paksa yang dikenal di Indonesia
dewasa ini justru berkonotasi dengan ikrah, bukan ijbar.
Dalam konteks inilah, menurut Sayyid Sabiq, bahwa Syariat Islam
melarang adanya pemaksaan dalam pernikahan, baik kepada anak yang perawan
ataupun pada janda. Menurutnya, pemaksaan dalam nikah yang tidak disetujui
oleh anak perempuan tersebut dan tanpa seizinnya menjadikan akad tersebut
tidak sah, dan bagi anak tersebut boleh mengajukan pembatalan (faskh).87
Mengenai persetujuan para calon pengantin ini, dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan pada Pasal 16.88
Kembali kepada kasus yang sedang dibahas di atas, pada prinsipnya jika
memang benar bahwa pernikahan Penggugat ini ternyata didasarkan pada
paksaan oleh orang tua, maka akadnya dianggap rusak/fasad. Dalam hal inilah,
hal-hal yang terkait dengan paksaan dalam pernikahan ini diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 72, yang berbunyi:
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
86
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, hal. 228.
87 Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), juz II, hal. 129.
88 Disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1): “Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai”
95
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.89
Apa yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam di atas juga yang
menjadi acuan dari salah satu hakim yang memutus perkara ini, yaitu Chotman
Jauhari, bahwa sebetulnya perempuan atau Pemohon berhak untuk mengajukan
permbatalan pernikahan. Namun, karena gugatan tersebut diajukan setelah lewat
masa 6 bulan, maka hak untuk membatalkan ini pun telah terhapus dan tidak
berlaku lagi.
Dengan demikian, jika seorang perempuan merasa dipaksa untuk
menikah, maka sebetulnya ia berhak untuk membatalkan pernikahannya asalkan
tidak lebih dari 6 (enam) bulan dan mengajukannya ke Pengadilan Agama. Jika
sebelum 6 bulan Penggugat mengajukan pembatalan pernikahan, maka akan
diterima oleh Pengadilan sebagai gugatan pembatalan. Karena telah melampaui
masa 6 bulan tersebut, maka wajar jika Majelis Hakim menetapkan alasan
perceraian adalah pertengkaran dan perselisihan yang sudah tidak mampu
didamaikan lagi, bukan atas dasar perjodohan yang dilakukan tanpa persetujuan
Pemohon dan Termohon.
89
Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, Putusan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dengan Nomor: 0131/Pdt. G/2008/PAJS, perihal putusnya perceraian sah, tetapi
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan seharusnya melakukan
pembatalan, sekurang-kurangnya waktu 6 bulan setelah pernikahan, jika melewati
waktu tersebut maka yang bisa dilakukan adalah melakukan perceraian, dan
semestinya hakim menanyakan dan menyebutkan adalah ancaman, dan berupa
ancaman apakah, yang menyebabkan terjadinya perceraian mereka dengan alasan
kawin paksa.
Kedua, Kawin Paksa tidak bisa dijadikan alasan perceraian, kawin paksa adalah
sebab yang mengakibatkan adanya perceraian, jika seorang menikah di bawah
paksaan atau ancaman orang lain maka bisa melakukan pembatalan. Tetapi jika
dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan
tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
hak nya gugur untuk melakukan pembatalan pernikahan,. ( Pasal 72 Kompilasi
Hukum Islam), dan harus dikaji sebab dan akibat dari kawin paksa, dalam
Undang-Undang tidak ada alasan perceraian karena kawin paksa, kawin paksa
97
tidak bisa dijadikan alasan pokok dalam perceraian, kawin paksa adalah salah satu
faktor pemicu adanya perceraian yang di sebabkan oleh kawin paksa.
Ketiga, Dasar hukum dalam perkara perceraian dengan alasan kawin paksa ialah
karena mengakibatkan perselisihan, perselisihan bisa dimaknai secara luas, semua
hakim mengacu kedekatan kepada alasan perceraian yang terdapat pada
Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf (f) itu.
Keempat, Dalam perkara ini menunjukkan bahwa pengaruh orang tua masih
menjadi hal penting dalam pemilihan jodoh. Hak untuk dimintakan persetujuan
melakukan perkawinan adalah milik laki-laki dan perempuan, bukan hanya
perempuan saja, supaya ada kerelaan untuk menjalankan perkawinan yang
bahagia, dan terciptanya rasa cinta dan kasih sayang.
Kelima, Problem ini tidak bisa dipecahkan dengan talak dan perceraian, karena ini
merupakan masalah rumit yang disertai dengan puluhan problem lainnya. Oleh
karena itu, para pemuda pemudi hendaklah berfikir kedepan, menanamkan pada
diri mereka tujuan dari pada perkawinan yang bahagia penuh kerelaan untuk
menjadikan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
B. Saran- saran
1. Dalam kondisi di Indonesia seorang laki-laki dan seorang wanita yang ingin
berumah tangga harus diawali dengan saling kenal mengenal dan saling
mengetahui diantara keduanya, idealnya dalam pemilihan jodoh untuk
berumah tangga itu harus saling mencintai, menyayangi, dan adanya kerelaan
98
sehingga tujuan perkawinan bisa terwujud, berdasarkan pandangan dan
penelitian yang jelas tanpa adanya penyimpangan dari konsep ajaran Islam,
sebab bagaimanapun motifasi berumah tangga itu harus diniatkan untuk
beribadah.
2. Orang tua untuk memberikan kebebasan kepada anaknya dalam hal pemilihan
jodoh dan terus membimbing agar tetap sesuai dengan apa yang diajarkan
agama Islam. Dengan cara mengikuti pengajian, mendengarkan khutbah dan
lain-lain agar tidak ada lagi pemaksaan terhadap anak.
3. Apabila terjadi perkawinan dengan adanya paksaan dari pihak lain, bisa
melakukan pembatalan nikah, sebelum kurang dari kurun waktu 6 bulan.
4. Kawin paksa dan akibatnya perlu dimasukkan dalam kurikulum fiqih sejak
pendidikaan tsanawiyah dan aliyah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonasia, Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, 1995
Maelong J, Lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya 2002.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Bineka Cipta 2005.
Mudhlur, A, Zuhdi. Hukum Perkawinan, Jakarta: Al-bayan. T th, cet ke-1
Soekamto, Sojono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persa,
2004), cet ke-8,
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, ( Bandung: Alfabeta, 2004 )
Zahro, Muhammad. Al-akhwalu Asy syahsiyah. Qohiroh. Dar al-fiqr 1957 cet ke-3
Buku nikah, Nasehat untuk kedua mempelai,(RI, Depag. T,th
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,
2000). Cet-ke 4
Ibnu Majah, Al-imam. 90 Petunjuk Nabi SAW Untuk Berkeluarga, Penerjemah Drs.
M. Thalib, (Cv. Ramdhan, Januari 1993)
Abi Abd Ibnu Utsaimin, Fatawa, jilid 2, hal 761 / Artikel di akses pada tanggal 1 Juni
2009 www.almanhaj.or.id
Bukhari, Shahih, bab 41 dari kitab Nikah, bab 11 dari kitab Ihyat, bab 3 dari kitab
Ikrar, Shahih Muslim, hadis 64, 66, 67, 68 dari kitab Nikah
Muhammad, Abi Abdillah, ibn Yazid al-Qazwayany, Sunan Ibnu Majah, (Mesir, Dar
al-Fikr, 1995) jilid 1
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A Abdurahman, ( Semarang : CV.
Asy syifa 1990 )
Jawad Mughniyyah, Muhammad, fiqih Lima Mazhab. A’ib. Bahasa Masykur A’ib
Alif Muhammad, Idrus Al kaff ( Jakarta: lentera 2006 )
Muktar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974)
Muhamad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1989)
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Jakarta: Kencana, 2006)
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998)
Darajat, Zakiah. Ilmu Fiqih Jilid II, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995)
Abdurahman Al-Jaziri, al-Fiqih’ala al-mazahib al-Arba’ah, (Mesir: Dar al-
Irsyad,t.th)
Ghazaly, Abd.Rahman. Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006)
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. diterjemahkan oleh A. Hassan, Terjemahan Bulughul
Maram, (Diponogoro, 1596), cet XXVII
Mu'ammal Hamidy, Imron, dan Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Himpunan
Hadits-Hadits Hukun, Jilid 5, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2001)
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005),
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI,
(Jakarta: Kencana, 2004), cet Ke-1
Sayid Usman Husain Fadhlullah, Drs. Ali Yahya, Psi. Dunia Wanita dalam islam,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1997), Cet. Ke. 1
Taimiyah, Ibnu. Hukum Perkawinan, Penerjemah Rusnan Yahya, (Jakarta: Pustaka
UI Kautsar, 1997)
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM)
Pusat, 1993)
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Depa, T.th), Penjelasan UU No.
1 Tahun 1974
Abdullah Umar, Ibnu Mahalli. Menyongsong Hidup baru Penuh Berkah,
(Yogyakarta: Media Insani, 2001), cet. Ke. 1
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2005)
Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: UI press, 1986.
Shaleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghralia Indonesia 1976.
Harahap, M.Yahya. Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV Zahir treding co
Medan 1976
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada 2004.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkwinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana 2006.
Sutarmadi, A & Mesraini, Administrasi Perkawinan & Manajemen Keluarga,
Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hadayatullah Jakarta 2006.
www.Legalitas.org.
www.pta.depok.com
abdulqodirqudus.blogspot.com.
http://fahmina.or.id Warkah Al-Basyar Vol.VIII Edisi 16 Mei 2009M/ 20 Jumadil Awal
1430 H.