kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/buku kausalitas al-ghazali.pdf · 2020. 6. 14. ·...

371

Upload: others

Post on 01-Jan-2021

136 views

Category:

Documents


55 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018
Page 2: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

i

Kausalitas:Hukum Alam atau Tuhan?

Membaca Pikiran Religio-Saintifik al-GhazÉlÊ

Page 3: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

ii

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara oto-matis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Page 4: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

iii

Hamid Fahmy Zarkasyi

Kausalitas:Hukum Alam atau Tuhan?

Membaca Pikiran Religio-Saintifik al-GhazÉlÊ

Page 5: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

iv

Kausalitas:Hukum Alam atau Tuhan?

Membaca Pikiran Religio-Saintifik al-GhazÉlÊ

Edisi terjemah Al-GhazÉlÊ’s Concept of Causality; with Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge

(IIUM Press, 2010)

Karya: Hamid Fahmy Zarkasyi

Penerjemah: Burhan Ali & Yulianingsih Riswan

Penyunting: Yusuf Maulana

Penata Letak: Aryamuslim

Perwajahan Sampul: R. Hanafi Abu Aslam

Sumber foto sampul dari koleksi Muslim Heritage.

Cetakan I, Jumadil Awal 1439 H / Januari 2018 M

Hak Cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved.

Zarkasyi, Hamid FahmyKausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

356 +xiv hlm. ; 16 cm x 23 cmISBN: 978-602-50106-7-5

Diterbitkan oleh UNIDA Gontor Press

Kampus Pusat Universitas Darussalam GontorJl. Raya Siman Km. 06, Demangan, Siman, Ponorogo,

Jawa Timur, 63471 - Telp. (+62352) 483762, Fax. (+62352) 488182

Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)Jl Kalibata Utara II No 84 Jakarta Selatan 12740 Telp./Fax. (021) 7940381 - http://www.insists.id

Page 6: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

v

Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

b Ï

t Ð

th ‘

j gh

Í f

kh q

d k

dh l

r m

z n

s w

sh h

Î ’

Ì y

Vokal panjang (mad) ditulis dengan:

É = a panjang, semua harakat fatÍah ditulis dengan /a/

Ê = i panjang

Ë = u panjang

Page 7: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

vi

Page 8: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

vii

SEGALA PUJI BAGI ALLAH, Pemberi Cahaya, Pembuka Mata, Penyingkap Misteri, dan Pengangkat Tabir. Segala puji bagi Allah, yang puji-pujian terhadap-Nya seharusnya mendahului setiap tu-lisan dan perbincangan. Segala puji bagi Allah yang Mahakua-sa karena memungkinkan saya untuk menyelesaikan kontribusi sederhana ini di jalan untuk mempromosikan sebab kebenaran. Semoga Allah menunjukkan kepada kita kebenaran sebagai kebe-naran dan membimbing kita untuk mencapainya.

Buku ini berasal dari disertasi doktoral saya di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Interna-tional Islamic University Malaysia (IIUM). Subjek kajian dalam buku ini tidak semata hasil penelitian independen saya, namun juga hasil proses studi yang panjang saya di ISTAC. ISTAC adalah sebuah institut yang menawarkan program master dan doktor dengan konsentrasi Pemikiran Islam, Peradaban Islam dan Sains Islam. Pengajarnya adalah profesor dalam tiga bidang ilmu Islam di atas yang direkrut dari berbagai negara. Secara keilmuan, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pemegang otoritas keilmuan Islam, dan secara kelembagaan ia adalah pendiri dan

Prakata

Page 9: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

viii

direktur ISTAC. Selain hierarki keilmuannya yang tertata rapi, framework kajian keilmuan di ISTAC begitu jelas.

Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang menuntun saya ke gerbang-gerbang penge-tahuan. Terima kasih yang tak terhingga saya haturkan kepada Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang perkuliahannya mengilhami saya memahami berbagai masalah pemikiran dan peradaban Islam berikut solusi-solusinya. Saran dan bimbingan Prof. al-Attas kepada saya—semisal dalam menemukan masa-lah dan menentukan kerangka untuk membahas pemikiran al-GhazÉlÊ—sangatlah berharga bagi penyelesaian karya ini. Tidak jarang selama bimbingan beliau menelepon saya untuk sekadar memberitahukan adanya makalah yang berguna untuk bahan ka-jian ini. Selama mengoreksi proposal saya, beliau menunjukkan sebuah kearifan bagaimana bersikap adil dalam memperlakukan sumber literatur dari penulis yang otoritatif dan yang tidak oto-ritatif dalam bidangnya. Demikian pula memperlakukan literatur dari penulis-penulis orientalis dengan menggunakan worldview Islam.

Tak lupa pula rasa terima kasih saya untuk Prof. Dr. Cemil Akdoğan—yang menggantikan Prof. Dr. Muhammad Naquib al-Attas—selama bimbingannya bersikap sangat tawadhu’. Ko-mentar, kritik, dan dorongannya sangat berperan dalam penye-lesaian akhir karya ini. Saya juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Umar Jah—sebagai pembimbing kedua—atas dorongan dan saran-sarannya yang rendah hati. Demikian pula pengganti Prof. Dr. Umar Jah, yaitu Dr. Ssekamanya Siraje Abdallah, untuk saran-sarannya tentang strategi menulis.

Rasa terima kasih khusus saya sampaikan kepada Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang telah memberi kemudahan na-sihat dan dorongan selama studi saya di ISTAC dari sejak awal pendaftaran hingga selesainya disertasi. Demikian pula kuliahnya tentang Islamisasi telah menjelaskan banyak tentang pemikiran Prof. Dr. al-Attas. Selanjutnya, rasa terima kasih saya yang men-dalam untuk Prof. Dr. Alparslan Açikgenç, atas kuliahnya tentang

Page 10: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

ix

Filsafat Islam yang telah mencerahkan saya memahami kerang-ka konseptual worldview Islam. Juga kuliahnya tentang Filsafat Barat yang telah memperluas wawasan saya tentang pentingnya framework dalam kajian apa pun.

Dari perjalanan studi saya di ISTAC, saya mendapat banyak ilmu baru yang memperluas wawasan saya dari para profesor di sana. Untuk itu, terima kasih kepada Prof. Dr. Hans Daiber (Jer-man) selaku dosen Sejarah pemikiran Islam dan Barat; Prof. Dr. Paul Lettink (Belanda) selaku dosen Logika dan Fisika Ibn Sina; Prof. Dr. Bilal Kuşpınar (Turki) selaku dosen Sejarah Teologi Is-lam, Prof. Dr. Mudaththir Abdurrahim (Sudan) selaku dosen Ilmu Politik Islam; Prof. Dr. Malik Badri (Sudan) selaku dosen Psiko-logi Islam; Prof. Dr. Ferid Muhić (Bosnia) selaku dosen Filologi dan Postmodernisme. Nama-nama ini, menurut saya, sosok-so-sok tepat yang menyuguhkan kepingan-kepingan gambar dari se-buah bangunan pemikiran dan peradaban Islam yang disusun oleh pendiri dan direktur ISTAC, yaitu Prof. Dr. Muhammad Naquib al-Attas, yang memiliki kepemimpinan akademis, kewibawaan intelektualitas, dan otoritas keilmuan Islam.

Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada istri saya, Emira Iffat, dan anak-anak saya—Nazia Dinia, Isma Amelia, Himma Hameesha, dan Zin-da Danisha—atas kesabaran, pengertian, dan dukungan mereka yang tak putus-putusnya. Begitu banyak akhir pekan dan malam-malam yang panjang terenggut dari mereka, tatkala mereka kehi-langan perhatian dan kasih sayang saya. Semoga Allah member-kati mereka semua.

Terakhir tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Sauda-ra Burhan Ali dan Saudari Yulianingsih Riswan yang telah mem-bantu mengindonesiakan buku saya ini, dan juga kepada Saudara Yusuf Maulana yang telah menyunting hasil terjemahan itu de-ngan mencari padanan kata dan kalimat bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa Indonesia yang tepat. Semoga segala bantuannya mendapatkan pahala ilmu dari Allah Ta’ala.

Page 11: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

x

Page 12: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

xi

Prakata ................................................................................. Pendahuluan ........................................................................

Masalah ............................................................................ Framework kajian ............................................................ Kajian Pustaka .................................................................. Sistematika .......................................................................

1. Kausalitas dalam Tradisi Intelektual Islam: Periode Sebelum al-GhazÉlÊ ........................................................ Gagasan al-Quran tentang Kausalitas ..............................

Terminologi dan Definisi Kausalitas ........................... Kausalitas dan Worldview al-Quran .......................... Kausalitas di Alam ......................................................

Kausalitas dalam Tradisi Kalam ....................................... Sumber Teori ................................................................ Teori Jawhar dan ‘ArÌ ................................................ Aksiden dan Sebab Ilahi ............................................. Teori Atom dan Kausalitas ..........................................

Daftar Isi

Page 13: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

xii

Kausalitas dalam Tradisi Falsafah .................................... Al-Kindi ....................................................................... Al-FÉrÉbÊ ..................................................................... Ibn SÊnÉ ........................................................................

Kesimpulan2. Interpretasi al-GhazÉlÊ atas Realitas ............................

Definisi Klasik ................................................................. Definisi al-GhazÉlÊ ........................................................... Unsur-unsur Utama Kenyataan ........................................

Konsep tentang Tuhan ................................................. Konsep Kosmologi ....................................................... Sistem Kosmos ............................................................. Ontologi Penciptaan Makhluk .....................................

Kesimpulan3. Konsep Pengetahuan al-GhazÉlÊ ...................................

Definisi Pengetahuan ....................................................... Makna Pengetahuan ......................................................... Pengetahuan dan Kenyataan ............................................ Hakikat Pengetahuan ........................................................

Pengetahuan agama .................................................... Pengetahuan Rasional .................................................

Integrasi ............................................................................ Pencapaian Pengetahuan ..................................................

Pengetahuan tentang Tuhan ........................................ Pengetahuan tentang Realitas Eksternal .....................

Pengetahuan dan KepastianKesimpulan

4. Kausalitas dan Kenyataan ............................................. Pandangan tentang Kalam ................................................ Pandangan tentang Filsafat .............................................. Makna Sebab: ‘Illah dan Sabab ....................................... Kausalitas dan Realitas Mutlak ........................................

Cara Perbuatan Tuhan ................................................

Page 14: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

xiii

Kehendak Tuhan dan Kausalitas ................................. Kausalitas dan Ontologi Makhluk .................................... Kausalitas dalam Manusia ................................................ Kesimpulan ......................................................................

5. Kausalitas dan Pengetahuan ......................................... Perdebatan dengan Ibn Rushd ..........................................

Negasi Pengetahuan .................................................... Penyangkalan terhadap Sifat Alamiah Sesuatu ........... Pola Sesuatu yang Pasti .............................................. Penolakan Total terhadap Kausalitas .........................

Penalaran Kausalitas dan Ilmu Demonstratif ................... Substansi Silogisme ......................................................... Kausalitas dan Kepastian .................................................

Kepastian Ilmu Demonstratif ...................................... Kepastian Peristiwa Kausalitas ..................................

Kesimpulan ...................................................................... 6. Kesimpulan .....................................................................

Bibliografi ............................................................................ Indeks ...................................................................................

Page 15: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

xiv

Page 16: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

1

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

AL-GHAZÓLÔ (1058-1111 M) merupakan pengikut mazhab Ash‘arÊyah yang terkenal bersikap kritis terhadap pemikiran ka-langan falÉsifah. Sejatinya ia tidak menentang filsafat dan filsuf seperti yang dipersepsikan banyak orang. Ia hanya kritis terhadap gagasan-gagasan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Is-lam. Kritiknya yang terkandung dalam karyanya yang terkenal, TahÉfut FalÉsifah, terutama berkenaan dengan konsep Tuhan dan isu-isu terkait lainnya, seperti penciptaan alam semesta, pengeta-huan, ilmu fisika dan sejenisnya. Salah satu poin paling penting dalam bantahan al-GhazÉlÊ terhadap pandangan falÉsifah adalah teori kausalitas, yang merupakan landasan pokok filsafat alam (fisika) Aristoteles. Poin yang dirujuk kebanyakan penulis adalah gagasan al-GhazÉlÊ di dalam TahÉfut FalÉsifah, yakni “hubung-an antara apa yang diyakini sebagai sebab dan akibat itu tidak pasti”.1 Hubungan sebab-akibat dalam dunia fenomenal hanyalah urutan kejadian yang bersifat kebiasaan. Di hadapan kita, hal-hal

1 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah edisi ke-7, diedit dengan pendahuluan oleh SulaymÉn DunyÉ, (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, 1972), hlm. 239. Selanjut-nya ditulis TahÉfut, S. DunyÉ (ed.).

Pendahuluan

Page 17: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

2

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

yang terjadi itu mungkin tampak melalui sebab-akibat, namun sebenarnya semua itu tidak terjadi karena sebab-akibat. Benda-benda mati tidak mempunyai tindakan sebab-akibat; dan tindak-an sebab-akibat berada secara eksklusif di tangan Tuhan, yang selalu bertindak berdasarkan kehendak-Nya. Dengan demikian, menurut doktrin ini, semua peristiwa merupakan ciptaan Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantaraan malaikat-Nya.

Yang dikritik al-GhazÉlÊ terutama teori-teori al-FÉrÉbÊ dan Ibn SÊnÉ. Keduanya tidak hanya dipandang sebagai sosok pen-dukung utama dan terbaik filsafat Aristoteles, tetapi juga sebagai Neo-Platonisme Muslim yang membenarkan dan merumuskan kembali teori skema emanasi.2 Teori mereka berkaitan tidak ha-nya dengan kausalitas dalam dunia fenomena (seperti diuraikan oleh al-GhazÉlÊ), tetapi juga pada wilayah metafisika, yaitu tem-pat di mana sifat kausalitas Ilahi dibahas. Teori Ibn SÊnÉ tentang kausalitas Ilahi didasarkan pada konsep tentang Tuhan sebagai Wujud Yang Wajib (Necessary Existence), sebagai sebab utama keberadaan dunia. Akan tetapi, sebab-akibat atau kausalitas di sini hanya dapat dipahami dengan benar dalam konteks skema emanasi Neo-Platonisme. Model kausalitas ini terdiri dari Tuhan sebagai sebab efisien (sebab pelaku), dan akal pertama sebagai akibat yang secara langsung beremanasi dari-Nya. Oleh karena itu, Tuhan adalah sebab terdekat hanya terhadap akal pertama ini, sisanya seluruh ada disebabkan oleh-Nya melalui mediasi. Cara Tuhan menyebabkan wujud dunia bukanlah tindakan pen-ciptaan, melainkan sebuah perhubungan sebab-akibat yang pasti. Logikanya begini: Wujud Tuhan secara eksklusif dianggap lebih utama dibandingkan dunia, ini dikarenakan oleh kelebih-utamaan wujud-Nya itu.3 Kelebih-utamaan Wujud Tuhan itu karena kepas-tian wujud-Nya yang menjadi sebab yang pasti bagi wujud dunia

2 Menurut al-FÉrÉbÊ, Intelek Aktif dan benda-benda langit adalah yang menyebabkan dunia kita. Lihat al-FÉrÉbÊ, KitÉb al-SiyÉsah al-Madani-yyah, Fauzi M. Najjar (ed.), (Beirut: Dar El-Mashreq Publisher, 1964), hlm. 54-55 dan 72-73.

3 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-IlÉhiyÉt, 2 jilid, G.C. Anawati, S. Dunya, M.Y. Musa, dan S. Zayid (ed.), (Kairo: WazÉrat al-ThaqÉfah wa al-IrshÉd al-QawmÊ, 1960), Jilid 1, hlm. 164-169; Jilid 2, hlm. 264-275.

Page 18: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

3

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sehingga wujud dunia ini pun menjadi pasti pula. Wujud dunia ini dianggap pasti karena diberi sifat wajib oleh Sebab Utama, yaitu Tuhan, dan karena Tuhan itu bersifat abadi maka akibat yang di-timbulkan darinya pun bersifat abadi pula. Konsekuensi dari cara pandang ini maka Tuhan sebagai Sebab Yang Utama (essential cause) itu berada bersamaan dengan akibatnya. Ini mungkin bisa kita katakan sebagai prinsip kausalitas Ilahi. Bagi al-GhazÉlÊ, yang menjadi masalah di sini adalah kesan bahwa Tuhan itu ber-buat karena kewajiban hakikat-Nya dan bukan karena kehendak-Nya. Dengan kata lain, Tuhan bukan pelaku yang berkehendak.

Masalah berikutnya adalah bahwa prinsip kausalitas Ilahi tersebut telah mempengaruhi Ibn SÊnÉ dalam memahami prinsip kausalitas di alam semesta ini. Sehingga kausalitas di dalam rea-litas alam semesta ini sama dengan kausalitas Ilahi tersebut, yaitu bersifat pasti. Menurut teori prioritas ontologis Ibn SÊnÉ, sebab efisien yang esensial itu ada lebih dahulu sebelum adanya akibat yang pasti jika: a) keduanya ada bersamaan dalam waktu, dan b) keberadaan yang satu dapat disimpulkan dari keberadaan yang lain.4 Oleh karena itu, dalam teori ini, sebab terdekat yang esen-sial dalam alam dunia ini membuat akibat menjadi pasti adanya, dan bahkan sebab itu ada bersamaan dengan akibat. Contoh yang diberikan oleh Ibn SÊnÉ adalah: gerakan tangan yang memutar kunci menimbulkan gerakan kunci, dan keduanya ada secara ber-samaan.5

Untuk menolak doktrin falÉsifah tentang hubungan kausalitas yang pasti dalam dunia fisik, al-GhazÉlÊ menggunakan pendekat-an metafisika dan epistemologi. Metode yang digunakan adalah demonstratif yang sama dengan yang digunakan oleh kalangan falÉsifah serta metode dialektika yang digunakan oleh para teo-log. Secara ekstensif al-GhazÉlÊ membahas masalah keabadian dunia, sifat keabadian waktu dan gerak, dan secara linguistik menganalisis istilah ‘pelaku’ (fa’il) dan ‘pembuat’ (ÎÉni‘), ‘ke-kuasaan’ (qudrah), ‘tindakan’ (fi‘il), ‘sebab’ (sabab), dan ‘aki-

4 Ibid.5 Ibid, hlm.165.

Page 19: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

4

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bat’ (musabbab),6 dan implikasi konseptual di balik istilah-istilah ini. Oleh karena itu, ia mempertanyakan dan memberi analisisnya yang tajam tentang struktur masalah sebab-akibat tidak hanya di dunia alamiah, tetapi juga di alam supranatural. Al-GhazÉlÊ tam-paknya ingin mengatakan bahwa kita tidak bisa membicarakan kausalitas alami sebelum kita memiliki fondasi yang kuat dan memadai tentang kausalitas Ilahi. Jadi, masalahnya bersumber dari masalah fisika (tabi‘iyyat), sedangkan kesimpulan akhirnya terletak pada metafisika.

Metode teologis yang digunakan oleh al-GhazÉlÊ untuk me-negaskan pendiriannya dapat dirujuk dari karyanya, al-IqtiÎÉd fÊ al-I‘tiqÉd. Dalam karya ini al-GhazÉlÊ menguatkan doktrin kausalitas Ash‘arÊyah dan mendiskusikan dengan panjang lebar perihal sebab-akibat. Dalam karyanya ini kita tidak menemukan penyebutan sebab sekunder kecuali ketika ia menolak doktrin Mu‘tazilah tentang tawallud (tindakan yang dihasilkan), karena ia menganggap teori sebab-akibat Mu‘tazilah yang pasti diam-bil dari para filsuf. Di sini kita dapat memahami motif teologis di balik penyangkalannya atas sebab-sebab alamiah, dan upaya-nya dalam menghubungkan semua kejadian sebab-akibat pada tindakan Ilahi. Selain itu, sebagai landasan logis bagi pemaham-an kritiknya, ia menulis Mi‘yÉr ‘Ilmi. Namun, penelitian menye-luruh atas karyanya yang lain seperti IÍyÉ’ ‘UlËm al-dÊn, al-‘Ilm LadunÊ, al-MaqÎad akan mengungkapkan keluasan konsepnya tentang kausalitas.

Perdebatan antara al-GhazÉlÊ, di satu sisi, dan kalangan falÉ-sifah, di sisi lain, menjadi isu yang hangat ketika Ibn Rushd, da-lam TahÉfut al-TahÉfut, menolak TahÉfut al-GhazÉlÊ. Ia menuduh al-GhazÉlÊ menghancurkan seluruh bangunan filsafat, terutama bangunan ilmu pengetahuan. Tentang masalah kausalitas, Ibn Rushd menolak perspektif epistemologis al-GhazÉlÊ, dengan mengatakan bahwa penolakan al-GhazÉlÊ atas gagasan hubungan sebab-akibat yang pasti ada (necessary causal nexus) di dunia

6 Dalam problem I, II, III, IV, V, dan X, al-GhazÉlÊ mengungkapkan kri-tiknya pada bangunan konseptual dan juga terminologi kausalitas.

Page 20: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

5

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

nyata menyiratkan penolakan bahwa ilmu itu dapat diperoleh,7 sebab pengetahuan itu didasarkan pada kausalitas alamiah. Ibn Rushd setuju dengan pandangan bahwa hubungan antara sebab dan akibat itu bersifat pasti. Pandangannya mengenai kehendak Tuhan berkaitan dengan konsepnya tentang realitas, peristiwa alam dan pengetahuan, yang menandakan struktur sesuatu yang deterministik di alam ini, seolah-olah Tuhan tidak memiliki hu-bungan langsung dengan pengoperasian peristiwa alam. Oleh karena itu, bagi Ibn Rushd, mengakui konsep kehendak Tuhan berimplikasi pada ketidakmungkinan diperolehnya pengetahuan, sebab tidak ada standar kehendak Tuhan yang dapat dirujuk, se-dangkan pengetahuan yang sejati hanya mungkin melalui standar atau kebiasaan umum yang konsisten dan dapat diketahui.8

Argumen yang digunakan oleh Ibn Rushd dalam sanggahan-nya adalah bahwa seseorang hanya dianggap memiliki pengeta-huan jika pengetahuan itu memiliki hubungan langsung dengan sebab alami yang diketahui. Ia bahkan menganggap bahwa Tuhan menciptakan pengetahuan dalam diri seseorang dan orang terse-but dikatakan mengetahui hanya jika pengetahuan itu merupakan “sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi atau realitas, sebab kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diyakini seseorang dengan apa yang ada dalam realitas itu.”9 Dengan kata lain, jika Tuhan menciptakan pengetahuan di dalam diri kita, pengetahuan tersebut dianggap benar sebagai pengetahuan hanya jika itu se-suai dengan kenyataan yang ada (real existent).

Untuk memberikan argumen epistemik bagi perlunya hu-bungan kausalitas, Ibn Rushd juga membedakan antara fakta dan pengetahuan tentang fakta yang dinalar. Fakta merupakan dasar

7 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut edisi ke-3, Jilid 1, (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, tanpa tahun), hlm. 785, selanjutnya ditulis TahÉfut al-TahÉfut; terjema-han bahasa Inggris dengan pendahuluan, Incoherence of the Incoherence oleh Simon Van Den Bergh, E.J.W. Gibb Memorial Series vol. 1, (Lon-don: Luzac), hlm. 317, selanjutnya ditulis Incoherence, terjemahan oleh Bergh.

8 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, hlm. 325.9 Ibn Rushd, Incoherence, terjemahan oleh Bergh, hlm. 325.

Page 21: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

6

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bukti untuk menyatakan bahwa sesuatu itu yang benar, sedangkan pengetahuan tentang fakta yang dinalar merupakan penjelasan mengapa sesuatu itu seperti itu apa adanya dan terjadi seperti apa yang terjadi. Fakta adalah dasar empiris untuk mengetahui yang berikutnya, dan yang berikutnya menjelaskan yang sebelumnya. Kapas yang terbakar, misalnya, adalah dasar empiris untuk menga-takan bahwa api membakar; kerlip bintang-bintang adalah dasar empiris untuk mengatakan bahwa mereka cukup jauh dari Bumi. Bukti-bukti empiris ini sesuai dengan penafsiran hubungan antara kapas dan api atau kerlipan bintang dan jarak langit. Oleh karena itu, Ibn Rushd menganggap hubungan tersebut bukan sebagai se-suatu yang mungkin, melainkan sebagai sesuatu yang pasti.

Ibn Rushd tampaknya keliru mengartikan pandangan al-GhazÉlÊ. Sejatinya al-GhazÉlÊ tidak menyangkal prinsip bahwa pengetahuan diperoleh melalui kausalitas, dan bahwa pengeta-huan tentang alam nyata disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan kita dalam mengetahui (yaitu dengan pengalaman). Pengetahuan yang sedemikian itu bukanlah pengetahuan yang pasti. Pasalnya, menurut al-GhazÉlÊ, dalam menghasilkan akibat, sebab-sebab itu selalu bergantung pada kehendak Tuhan; artinya, Tuhan merupa-kan sumber sejati kepastian dalam hubungan kausalitas bahkan Dia tak lain dari sumber sejati pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tentang alam seharusnya tidak mengesampingkan sebab-sebab supranatural. Atas dasar ini, akan masuk akal jika kita mengatakan bahwa wahyu—menurut al-GhazÉlÊ—merupa-kan bentuk paradigmatik pengetahuan bagi manusia di mana akal dan persepsi indrawi dilekatkan.

Al-GhazÉlÊ juga menyatakan bahwa fakta dan pengetahuan tentang fakta itu saling terkait. Apa yang disebut fakta oleh ka-langan falÉsifah adalah sesuatu yang kontingen atau mungkin (mumkin), yang bisa terjadi atau bisa tidak terjadi, dan dengan demikian tidak pasti. Akibatnya, pengetahuan tentang peristiwa alam, yang diklaim oleh kalangan falÉsifah sebagai sesuatu yang pasti, hanyalah sesuatu yang mungkin, karena ia merupakan peng-alaman yang terjadi terus-menerus sehingga menjadi suatu kebia-

Page 22: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

7

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

saan (‘Édah) yang tetap bersifat mungkin.10 Di sini, al-GhazÉlÊ secara implisit menyampaikan bahwa proposisi sebab-akibat itu mungkin terjadi (kontingen), dan apa pun yang mungkin itu se-cara definitif adalah tidak pasti. Ini menunjukkan bahwa argumen metafisika dan epistemik saling melengkapi. Argumen epistemik ini juga dikuatkan dalam karya al-GhazÉlÊ, al-Munqidh, di mana ia mengatakan bahwa “ilmu pengetahuan tentang hakikat sesua-tu” (al-ÑIlm bi ÍaqÉ‘iq al-umËr) mengharuskan pencarian tentang hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya (ÍaqÊqat al-ÑIlm).11 Jadi, ilmu bagi al-GhazÉlÊ berkaitan dengan hakikat sesuatu.

Kritikan Ibn Rushd tersebut menebarkan pandangan nega-tif terhadap al-GhazÉlÊ di kalangan sarjana Muslim dan Barat hingga saat ini. Mereka memandang konsep kausalitas al-GhazÉlÊ itu telah menghancurkan dasar ilmu pengetahuan rasional, yang mengakibatkan stagnasi pemikiran Islam, mandeknya kemajuan intelektual dan filsafat Islam.12 Tapi anehnya, konsep kausalitas ini diambil oleh kalangan Kristen Eropa Abad Pertengahan. Tan-pa bukti ataupun alasan cukup kuat, mereka kemudian mengklaim bahwa al-GhazÉlÊ meniru atau mengambil dari ajaran Kristen! Pa-dahal sebenarnya para sarjana Barat—seperti Malebranche dan David Hume—justru mengambil gagasan al-GhazÉlÊ, lalu dengan sengaja memformatnya hingga berbeda sama sekali dari rumusan aslinya.13 “David Hume, yang skeptis,” menurut Cemil Akdoğan,

10 Al-GhazÉlÊ, Incoherence, terjemahan oleh Kamali, hlm. 190.11 Al-GhazÉlÊ, Al-Munqidh Min al-ÖalÉl, diedit dan dianotasi oleh JamÊl

ØalÊban dan KÉmil ‘IyÉd, (Beirut: DÉr al-Andalus, 1980), hlm. 9 dan 11. 12 Terdapat sejumlah pandangan semacam itu, dan sebuah contoh miskon-

sepsi yang paling nyata dapat ditemukan dalam M.T. Ansari, “Al-GhazÉlÊ’s Repudiation of Causality, The Destruction of Philosophical Enquiry in Is-lam”, dalam M.T. Ansari, (ed.), Secularism, Islam and Modernity, Selected Essays of Alam Khudmiri, (New Delhi/London: Sage Publication, 2001), hlm. 119. Juga dalam J.F. Naify, Arabic and European Occasionalism: A Comparison of al-GhazÉlÊ ’s Occasionalism and Its Critique by Averroes with Malebranche’s Occasionalism and Its Critique in the Cartesian Tra-dition, Ph.D. Diss., (San Diego: University of California, 1975), hlm. 7, selanjutnya disebut Arabic.

13 Bahkan terbukti bahwa al-GhazÉlÊ telah mempengaruhi Malebranche, sosok yang memberi pengaruh besar pada pemikiran Hume. Lihat: Leo Groarke dan Graham Solomon, “Some Sources for Hume’s Account of

Page 23: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

8

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

“mengevaluasi konsep hubungan sebab-akibat al-GhazÉlÊ, tapi ia melakukan itu dengan cara pandang sekuler.”14

Yang terjadi di Barat tidak cukup sampai di situ. Teori kau-salitas al-GhazÉlÊ rupanya didistorsi sehingga dipahami seakan akan Tuhan sesekali mengintervensi kejadian alam. Hal ini jelas terbaca dalam konsep yang tersembunyi dalam istilah “okasiona-lisme Islam” (Islamic occasionalism). Seolah-olah Tuhan terletak di suatu tempat di luar dunia dan sesekali campur tangan dalam proses kejadian alam. Ini benar-benar bertentangan dengan kon-sep Tuhan dalam al-Quran, yang tindakan-Nya menciptakan ber-sifat langsung dan berkesinambungan. Istilah “okasionalisme” itu sendiri bukan berasal dari Islam. Dengan demikian, mengguna-kan istilah “okasionalisme Islam”—seperti yang dilakukan oleh Majid Fakhry15—sungguh tidak tepat. Sebab, tindakan semacam itu menyiratkan makna bahwa Tuhan tidak memiliki hubungan langsung dengan dunia fenomenal; hubungan itu hanyalah sekali-kali, dan tidak terus-menerus.

Perbedaan antara al-GhazÉlÊ dan kalangan falÉsifah, dan juga antara al-GhazÉlÊ dan para pengkaji Barat modern mencerminkan perbedaan sistem pemikiran. Al-GhazÉlÊ mengembangkan struk-tur konseptual kalangan mutakallimËn, sedangkan kalangan fa-lÉsifah mendasarkan konsep mereka pada Aristoteles dan sistem pemikiran Neo-Platonisme. Demikian pula GhazÉlÊ berangkat dari teologi Islam sementara para pengkaji Barat menggunakan cara pandang teologi Kristen atau sekuler.

Perbedaan itu bisa dilacak dengan mudah dari konsep menge-nai Tuhan dan cara-Nya dalam menjadikan sebab-akibat (mode

Cause”, Journal of the History of Ideas, No. 52, 1991, hlm. 660-661; lihat juga: Thomas Lennon, “Veritas Filia Temporis: Hume on Time and Causa-tion” dalam History of Philosophy Quarterly, 2 (1985), hlm. 287.

14 Cemil Akdoğan, “GhazÉlÊ, Descartes, and Hume: The Geneology of Some Philosophical Ideas”, Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003, Number 3, hlm. 498.

15 Lihat Majid Fakhry, Islamic Occasionalism, and Its Critique by Averroes and Aquinas, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1958), selanjutnya disebut Occasionalism; lihat juga J.F. Naify, Arabic.

Page 24: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

9

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

of causal agency) dalam dunia fisik yang riil. Sebab, setiap kon-sepsi tentang Tuhan membawa konsekuensi konseptual dalam kausalitas fenomena alam. Bagi Ibn SÊnÉ, Tuhan sebagai pela-ku itu pasti terikat untuk melakukannya; artinya, Tuhan adalah Sebab Yang Memastikan akan wujud dunia ini.16 Pendirian Ibn SÊnÉ yang menyimpulkan bahwa kaitan antara sebab dan akibat adalah hubungan yang pasti itu dipengaruhi oleh konsepnya ten-tang Tuhan sebagai sebab (‘illah) emanasi alam semesta (‘illat fayaÌÉn al-kull) atau sebagai pelaku yang harus menghasilkan akibat. Alasannya, ketika kekuatan penyebab itu bersifat alami dan objek dari tin dakan penyebab itu hadir, maka tidak bisa tidak akibat pasti hadir. Contohnya adalah gerakan manusia yang men-dahului (namun bersamaan dengan) gerakan bayangannya.17 Ibn Rushd juga ter masuk yang berpendapat bahwa hubungan yang bisa diamati yang ada antara sebab dan akibat adalah hubungan “kebersamaan yang pasti” (iqtirÉn talÉzum bi al-ÌarËrah).18

Bagi al-GhazÉlÊ, Tuhan adalah agen atau pelaku yang selalu berkehendak (murÊd) dan mengetahui (‘Élim) atas apa yang Dia kehendaki. Sesuai dengan penegasannya tentang status Tuhan se-bagai pelaku yang berkehendak dan sebagai sebab wujud alam semesta, al-GhazÉlÊ menyimpulkan bahwa satu-satunya sebab efisien (pelaku sebab) dalam kenyataan adalah Tuhan. Adapun kejadian yang dianggap alami sejatinya tidak memiliki pelaku penyebab (causal agency); mereka bisa disebut pelaku hanya dalam makna metaforis.19 Dari aspek metafisika, ia menafsirkan bahwa hubungan sebab-akibat (causal nexus) ada karena keten-tuan awal dari Tuhan yang menciptakan mereka berdampingan, dan bukan karena pasti dalam dirinya sendiri.20 Ia juga menafikan

16 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ IlÉhiyÉt Jilid 1, hlm. 164; Jilid 2, hlm. 264.17 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-BurhÉn, A.E. ‘AfÊfÊ (ed.) direvisi oleh I. MadhkËr,

hlm. 298; lihat juga al-GhazÉlÊ, TahÉfut, Marmura, problem IV. 18 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, hlm. 512.19 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, problem III.20 Al-GhazÉlÊ., TahÉfut, S. DunyÉ (ed.), hlm. 136. Bandingkan dengan edi-

si terjemahan bahasa Inggris, Incoherence of the Philosophers, oleh S.A. Kamali, (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, Second Impression, 1963), hlm. 185, selanjutnya disebut Incoherence, terjemah Kamali.

Page 25: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

10

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bahwa kepastian hubungan sebab-akibat di alam dapat dibukti-kan melalui pengamatan atau observasi, dan sebagai gantinya ia berpegang pada kemungkinan memahami korelasi atau koneksi antara kejadian sebelumnya (anteseden) dan yang sesudahnya (konsekuen).

MASALAH

Pembahasan tentang perbedaan di atas menunjukkan bahwa konsep kausalitas telah dilihat dari perbedaan sistem metafisika. Bisa dikatakan bahwa al-GhazÉlÊ mendasarkan sistem metafisika pada wahyu (sehingga konsekuensinya menganut doktrin pen-ciptaan), sedangkan kalangan falÉsifah kurang lebih berorientasi pada metafisika Yunani sehingga konsekuensinya mengadopsi doktrin emanasi.

Untuk mengkaji al-GhazÉlÊ, kita perlu melakukan pergeseran dari sistem metafisika kalangan falÉsifah kepada sistem metafi-sika yang dimiliki al-GhazÉlÊ. Untuk itu pertama-tama kita perlu menelaah TahÉfut. Dalam karyanya ini, paradigma metafisika dan epistemologi al-GhazÉlÊ diterangkan secara gamblang. Pada ba-gian pertama TahÉfut, terutama dalam tiga Diskusi pertama, ia mengkritik pandangan bahwa perbuatan Tuhan itu keluar dari zat-Nya dan hakikat-Nya dengan pasti. Sebaliknya, ia berpandangan bahwa tindakan Ilahi itu berdasarkan kehendak dan pada tingkat makhluk pun sama, yaitu hanya makhluk yang hidup, mengeta-hui, dan berkehendak yang bisa menjadi pelaku kausalitas, se-mentara benda-benda mati tidak memiliki tindakan.21 Jadi, semua perubahan di alam semesta ini merupakan serangkaian ciptaan yang dilakukan langsung oleh Tuhan dengan kehendak-Nya.

Bila bagian pertama TahÉfut berkaitan dengan isu-isu me-tafisika kausalitas, bagian kedua (Diskusi-17) menyangkut kau-salitas dunia fisik. Ini berarti bahwa enam belas Diskusi di ba-gian pertama TahÉfut membicarakan isu-isu ilmu ketuhanan (al-‘ulËm al-ilÉhiyyah)—termasuk masalah sebab Ilahi—sedangkan

21 Al-GhazÉlÊ., TahÉfut, S. DunyÉ (ed.), hlm. 136.

Page 26: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

11

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sisanya, atau bagian kedua, membahas ilmu-ilmu alam (al-‘ulËm al-Ïabi‘iyyÉt), tempat dasar epistemologis kausalitas dibahas. Dengan demikian, bagian pertama TahÉfut merupakan fondasi metafisika bagi bagian kedua, dan melengkapi argumen episte-mologis Diskusi 17.

Itu semua membawa kita pada kesimpulan bahwa suatu sis-tem metafisika seseorang itu berkaitan erat dengan sistem fisika. Dari perspektif worldview, pandangan tentang kausalitas di wi-layah supra-duniawi berhubungan erat secara konseptual dengan kausalitas di ranah dunia fisik atau alam. Dengan kata lain, rea-litas fisik (tabi‘iyyat) dapat dilihat dari perspektif metafisika di mana konsep tentang Tuhan, ciptaan-Nya, dan sifat-Nya menem-pati tempat yang sentral.

Di sini masalah yang akan diuji adalah hubungan tersebut, yaitu apakah sistem metafisika al-GhazÉlÊ benar-benar koheren dengan teorinya tentang dunia nyata atau fisika, khususnya dalam teori tentang kausalitas. Dengan kata lain, apakah kausalitas Ilahi koheren dengan kausalitas duniawi? Jika hubungan itu koheren, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah doktrin kausalitas Ilahi dan kausalitas duniawi al-GhazÉlÊ itu didukung oleh prinsip-prinsip epistemologis yang kuat?

FRAMEWORK KAJIAN

Di satu sisi, kalangan falÉsifah menggunakan sistem metafi-sika tertentu. Di sisi berbeda, al-GhazÉlÊ menerapkan sistem me-tafisikanya sendiri. Oleh karena itu, framework kajian yang adil terhadap konsep kausalitas al-GhazÉlÊ adalah kajian yang sistemik atau paradigmatik. Untuk itu, paradigma yang sesuai dalam hal ini adalah pendekatan worldview. Menurut Muhammad Naquib al-Attas, setiap sistem metafisika dan worldview yang diproyek-sikan oleh sistem itu berbeda antara satu peradaban dengan per-adaban lainnya, dan memiliki interpretasi berbeda pula tentang apa yang dianggap paling benar dan riil.22 Tidak hanya berbeda,

22 S.M.N. al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition

Page 27: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

12

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

worldview Islam tidak hanya terbatas pada pandangan pikiran tentang dunia fisik. Dalam hal ini, al-Attas menegaskan bahwa:

…visi tentang realitas dan kebenaran, yang merupakan survei metafisika tentang dunia yang terlihat serta yang tak terlihat, termasuk pandangan tentang kehidupan sebagai ke-seluruhan; bukan worldview yang terbentuk hanya dengan mengumpulkan berbagai objek budaya, nilai dan fenomena ke dalam suatu (karya) artifisial yang koheren.23

Jadi, teori al-GhazÉlÊ tentang hubungan sebab-akibat di du-nia fenomenal itu berbasis suatu worldview, yaitu merupakan bagian dari pemahamannya tentang realitas (al-ÍaqÊqah) yang berhubungan lebih luas dengan konsep ciptaan Tuhan dan isu-isu terkait lainnya. Jika demikian, maka pemahaman yang tepat akan konsep al-GhazÉlÊ tentang kausalitas memerlukan survei metafisika yang melibatkan kedua fenomena alam (al-ÍaqÊqah) dan kebenaran (al-Íaqq). Oleh karena itu, kajian ini bermaksud menjelaskan konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dari worldview yang berbeda, dan karena itu di sini kita memerlukan apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai “pergeseran paradigma” (paradigm shift).

Perspektif worldview merupakan pendekatan teoretis yang berfungsi sebagai framework yang memungkinkan kita mema-hami cara pandang seseorang terhadap realitas dalam pengertian yang luas. Bagi Thomas F. Wall, worldview adalah sistem keper-cayaan asasi yang integral tentang hakikat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi.24 Dalam penjelasannya Wall mengum-pamakan sistem kepercayaan seperti roda sepeda; ada poros peng-hubung, jari-jari (yang salah satu ujungnya terhubung dengan po-ros), dan logam melingkar (tempat ujung jari-jari yang lain terhu-bung). Keyakinan dibagi menjadi keyakinan dasar dan keyakinan

of the Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), lihat Prakata, hlm. ix; selanjutnya disebut Prolegomena.

23 Ibid, hlm. 1-2.24 Aslinya: An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself,

reality, and the meaning of existence. Lihat Thomas F. Wall, Thinking Crit-ically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, (Australia: Wadsworth Thomson Learning, 2001), hlm. 532.

Page 28: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

13

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sekunder.25 Jari-jari sebagai keyakinan dasar, dan sekelilingnya merupakan keyakinan sekunder. Penghubungnya adalah keya-kinan pusat dan inti yang dimiliki oleh masing-masing worldview, yang mendefinisikan orientasinya secara khusus dan unik. Seperti peng hubung roda, keyakinan pusat ini menjaga setiap kepercaya-an lain untuk bersama-sama membentuk sistem keyakinan yang saling terkait. Penggambaran seperti itu menunjukkan bahwa su-atu konsep tertentu dalam pemikiran manusia dapat dilacak dari keyakinan dasar atau keyakinan pusatnya.

Dalam worldview teistik, konsep Tuhan sangat sentral dan menjadi tumpuan konseptual konsep lainnya. Dalam konteks ini, pernyataan yang layak disebut adalah bahwa:

(Keyakinan pada Tuhan) sangat penting, mungkin ele-men yang paling penting dalam setiap worldview. Pertama, jika kita percaya bahwa Tuhan ada, maka kita lebih cenderung untuk percaya bahwa ada rencana dan makna hidup, ... jika kita konsisten, kita akan juga percaya bahwa sumber nilai moral bukan hanya kesepakatan manusia melainkan juga ke-hendak Tuhan dan bahwa Tuhan adalah nilai tertinggi. Selain itu, kita harus percaya bahwa pengetahuan bisa lebih dari apa yang diamati dan bahwa ada realitas yang lebih tinggi—alam supranatural. ... jika di sisi lain, kita percaya bahwa tidak ada Tuhan dan bahwa hanya ada satu dunia ini, maka apa kira-kira yang bisa kita percaya tentang makna kehidupan, hakikat diri kita sendiri, dan kehidupan setelah mati, asal mula stan-dar moral, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.26

Petikan di atas tidak hanya membantu kita lebih mudah me-mahami hakikat worldview, namun juga menunjukkan bahwa se-tiap worldview memiliki unsur-unsur pokok. Ada pandangan ber-beda-beda terkait jumlah elemen dalam worldview. Wall menyu-sun enam elemen dasar worldview, yaitu konsep tentang Tuhan, pengetahuan, realitas, diri, etika, dan masyarakat. Smart setuju dengan Wall hanya dalam etika dan masyarakat.27 Ia mengganti

25 Ibid, hlm. 506. 26 Ibid, hlm. 60.27 Ibid, hlm. 16.

Page 29: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

14

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

konsep Tuhan dengan doktrin dan mitologi, dan mengusulkan dua elemen tambahan lagi, yakni ritual dan pengalaman.28 Smart tidak menempatkan konsep realitas dan pengetahuan dalam daf-tarnya, kemungkinan besar karena konsep pengetahuan dalam kaitannya dengan pemahaman realitas bukanlah elemen umum bagi semua agama. Dalam studi agama modern, unsur worldview adalah gambaran umum yang cukup berperan untuk melakukan studi perbandingan.

Sementara itu, Açikgenç mengajukan lima unsur konstitutif dasar worldview menurut cara pikiran manusia memahaminya. Kelima elemen tersebut adalah struktur kehidupan, struktur dunia, struktur manusia, struktur nilai, dan akhirnya struktur pengeta-huan.29 Kelima struktur atau konsep tersebut seluruhnya menjadi konsepsi terpadu dan berfungsi tidak hanya sebagai skema umum untuk memandang segala sesuatu (termasuk diri kita sendiri), te-tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dan seperti ter-lihat pada lahirnya ilmu pengetahuan dalam masyarakat, struktur pengetahuan menjadi dasar utama. Konsekuensinya, setiap teori atau konsep yang muncul dari seseorang dengan worldview ter-tentu akan dengan sendirinya mencerminkan struktur pengeta-huan.

Dalam konteks Islam, worldview merupakan proyeksi berba-gai konsep seminal (seminal concept) yang berasal dari wahyu dan yang terdiri dari elemen-elemen mendasar yang memiliki gambaran dan karakter yang unik. Sebagai worldview teistik, in-tinya adalah keyakinan bahwa Tuhan ada dan menciptakan alam semesta, Dia membuat manusia menjadi pusat dari penciptaan ini. Dari konsep Tuhanlah konsep-konsep lain berasal. Oleh ka-rena itu, dengan mengacu pada worldview Islam, masuk akal bila al-Attas menempatkan konsep hakikat Tuhan di tempat pertama

28 Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons, tanpa tahun), hlm. 8-9.

29 Alparslan Açikgenç, Islamic Science, Towards definition, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization – ISTAC, 1996), hlm. 20-26.

Page 30: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

15

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sebelum konsep-konsep lain. Dari konsep hakikat Tuhan ini, konsep-konsep wahyu, penciptaan, diri manusia, pengetahuan, agama, kebebasan, nilai dan moralitas, kebahagiaan, dan lain-lain dengan sendirinya mengikuti.30 Hal ini menunjukkan bahwa kon-sep Tuhan merupakan dasar bagi konsep-konsep lainnya.

Paparan struktur konseptual di dalam konsep worldview sen-diri memerlukan definisi akurat sehingga memungkinkan kita me-lihat kesalingterkaitan antara inti keyakinan dan konsep-konsep lainnya. Açikgenç dengan jelas mendefinisikan worldview dalam kaitan dengan perilaku manusia. Worldview adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, yang sebagai suatu kesatuan mental arsi-tektonis, bertindak sebagai dasar yang tak bisa diamati dari se-mua perilaku manusia, termasuk kegiatan ilmiah dan teknologi.”31 Definisi ini berlaku untuk semua worldview. Definisi lain tentang worldview Islam yang bisa digunakan dapat ditemukan dalam kar-ya al-Attas, yang mendefinisikan worldview Islam sebagai “visi tentang realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata hati kita yang mengungkapkan hakikat wujud; karena yang dipro-yeksikan Islam itu sesungguhnya adalah totalitas alam wujud.”32 Maka dari itu istilah yang tepat untuk worldview Islam, menurut al-Attas, adalah ru‘yat al-islÉm li al-wujËd (Pandangan Islam ten-tang Wujud). Definisi ini merupakan sebuah sistem yang aktif yang beroperasi seperti cara kita memandang dunia eksistensi.

Berdasarkan teori worldview yang dijelaskan di atas itulah teori kausalitas al-GhazÉlÊ akan diuraikan. Kausalitas dalam worldview teistik ditempatkan sebagai bagian dari ciptaan Tuhan

30 S.M.N. al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah S. al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur August, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 29. Untuk perbincangan lain tentang worldview Islam, lihat Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idu-lujiyyat al-InsÉn, (Beirut: DÉr al-KitÉb al-LubnÉnÊ, 1989), hlm. 13; juga lihat Sayyid Qutb, KhaÎÉ’iÎ al-TaÎawwur al-IslÉmÊ wa MuqÉwamÉtuhË, (Kairo: al-BÉbÊ al-HalabÊ, 1962), hlm. 45.

31 Alparslan, Islamic Science, hlm. 29.32 Al-Attas, Prolegomena, hlm. 2.

Page 31: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

16

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

atau realitas dunia ciptaan. Jika seseorang secara konsisten men-junjung tinggi worldview teistik, maka memahami bagian reali-tas ini tentu harus mendasarkan pada dasar dan inti kepercayaan dalam worldview dirinya, yaitu konsep Tuhan sebagai Realitas Mutlak. Dalam pendekatan ini, makna realitas dan pengetahuan tentang realitas membentuk dasar penafsiran konsep kausalitas al-GhazÉlÊ. Selain itu, realitas dan pengetahuan merupakan dua elemen mendasar dalam worldview Islam yang terkait secara fun-damental dengan konsep-konsep lain.

Arti penting penelitian yang terkandung dalam buku ini adalah upaya memperkenalkan worldview sebagai kerangka teori yang dengan ini penelitian ilmiah dan agama dapat diintegrasi-kan. Dalam kerangka baru ini, metafisika yang di dalamnya ter-dapat teologi dibahas dan menjadi tumpuan konseptual. Dengan kata lain, Tuhan dan dunia fenomenal, atau teologi dan epistemo-logi, atau metafisika dan fisika, bisa secara konseptual dikaitkan. Pendekatan baru ini, terutama pada studi tentang al-GhazÉlÊ, bisa menawarkan solusi bagi problematika paradigma sekuler modern yang memisahkan fisika dari prinsip-prinsip metafisika.

KAJIAN PUSTAKA

Banyak diskusi yang membincangkan konsep kausalitas al-GhazÉlÊ. Umumnya referensi diskusi berasal dari TahÉfut, me-skipun ada juga beberapa studi lain yang merujuk ke karya lain al-GhazÉlÊ. Diskusi biasanya berpusat pada penolakan al-GhazÉlÊ terhadap hubungan kausalitas yang pasti dalam peristiwa alam, masalah adat atau kebiasaan, konsep mukjizat, tindakan manusia dan Tuhan, dan sejenisnya. Ragam diskursus yang lain, yang bia-sanya menarik perhatian khusus dari sejumlah sarjana, adalah po-lemik al-GhazÉlÊ dan Ibn Rushd. Masalah yang muncul dari dis-kursus ini biasanya masalah pengetahuan. Secara luas memang diketahui bahwa kritik terpenting Ibn Rushd terhadap al-GhazÉlÊ adalah masalah kausalitas dan pengetahuan.

Ada juga beberapa pendekatan lain atas studi tentang konsep kausalitas al-GhazÉlÊ, namun kebanyakan bersifat parsial, dalam

Page 32: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

17

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

arti bahwa konsep tersebut dikaji dari satu perspektif. Selain itu, studi tentang konsep kausalitas al-GhazÉlÊ tidak selalu dalam ben-tuk buku yang diterbitkan. Sebagian masih dalam bentuk disertasi yang tidak dipublikasikan, sebagian lainnya terdiri dari artikel da-lam jurnal atau sekadar sebagai subbahasan buku.

Ada kecenderungan di kalangan peneliti Barat untuk selalu mengaitkan konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dengan lingkungan intelektual Yunani, Barat, atau Kristen. Karya Majid Fakhry, Is-lamic Occasionalism, salah satu contohnya. Sang penulis meng-klaim karyanya itu sebagai karya pertama yang membahas kon-sep kausalitas al-GhazÉlÊ dari perspektif Kristen. Karya ini awal-nya merupakan tesis doktoral di Departemen Filsafat Universitas Edinburgh pada 1949. Analisisnya dimulai dengan masalah me-tafisika Yunani, dan dalam banyak tempat membandingkannya dengan ajaran Kristen. Dalam karya tersebut Fakhry berasumsi bahwa konsep kausalitas Islam pada umumnya sejajar dengan se-jarah filsafat. Ia bahkan meyakinkan bahwa kausalitas dalam Islam itu “sepenuhnya terinspirasi motif Agustinus”. Kausalitas dalam Islam, menurutnya, berkenaan dengan pembenaran kemahakua-saan dan kedaulatan Tuhan yang mutlak dan ketidakberdayaan makhluk tanpa-Nya. Fakhry membuktikan asumsi tersebut di Bab Pertama dengan menunjukkan bahwa diskusi teologis—termasuk masalah kausalitas dalam Islam—dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang ditransmisikan ke Islam melalui perantara Kristen. Namun, seluruh pembahasan Fakhry dalam Bab Pertama banyak mengacu pada karya MËsa ibn MaymËn (Moses Maimonides), DalÉlat al-×É‘irÊn. Eksposisi konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dalam Bab Kedua dilanjutkan dengan mendiskusikan gagasan Ibn Rushd dan kritik Moses Maimonides. Di bab terakhir Fakhry tiba pada kesimpulan bahwa “determinisme deistik Ibn Rushd maupun okasionalisme teistik al-GhazÉlÊ dan kaum Ash‘arÊyah tidak bisa sepenuhnya adil terhadap pertanyaan radikal tentang kausalitas Ilahi versus kausalitas alam.”33

33 Majid Fakhry, Islamic Occasionalism, hlm. 139.

Page 33: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

18

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Di halaman lain, Fakhry secara implisit memuji Thomas Aquinas karena mampu mengintegrasikan pendekatan determi-nistik Ibn Rushd dan kecenderungan okasionalistik al-GhazÉlÊ dan Ash‘arÊyah. Aquinas, menurut Fakhry, mengajukan konsep Tuhan yang mencakup segala sesuatu sehingga tidak ada di alam semesta terjadi di luar tatanan perlindungan ini atau bertentang-an dengannya, termasuk peristiwa-peristiwa yang khusus dan kontingen di dunia. Diskusi tentang konsep kausalitas Aquinas memenuhi bab terakhir. Dalam kesimpulannya, Fakhry menyen-tuh masalah hubungan antara Pencipta dan ciptaan. Di sini ia menyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ telah menghancurkan karakter kausalitas, baik sebagai kualitas ontologis positif maupun seba-gai neksus logis yang mesti. Kesalahan al-GhazÉlÊ, kata Fakhry, adalah kegagalannya melihat hubungan-hubungan antara validi-tas hubungan logis yang pasti di dalam tatanan pemikiran dan validitas hubungan-hubungan ini dalam susunan alam semesta.

Temuan Fakhry atas pemikiran al-GhazÉlÊ tampaknya tidak konklusif, karena ia bergantung banyak pada argumen al-Gha-zÉlÊ di TahÉfut, dan bukan pada karya-karya al-GhazÉlÊ tentang logika. Karya al-GhazÉlÊ seperti al-MankhËl, Mi‘yÉr, FÉtiÍat al-‘UlËm absen dari daftar pustakanya. Pembahasannya tentang konsep kausalitas al-GhazÉlÊ, seperti ia akui, terbatas hanya pada satu aspek dari masalah tersebut, yaitu kausalitas dalam hubung-annya dengan kekuasaan Tuhan.34 Jelaslah di sini, Fakhry tidak membahas secara rinci masalah epistemologis kausalitas.

Kajian perbandingan antara konsep kausalitas Islam dan Barat pernah dilakukan oleh salah satu mahasiswa Fakhry, yakni James Fredrick Naify. Karya berupa disertasi doktoral ini diberi judul Arabic and European Occasionalism.35 Naify memotret masalah kausalitas dalam tradisi Islam dengan mengekspos sanggahan al-

34 Ibid, hlm. 5835 J.F. Naify, “Arabic and European Occasionalism: A Comparison of al-

GhazÉlÊ’s Occasionalism and Its Critique by Averroes with Malebranche’s Occasionalism and Its Critique in the Cartesian Tradition”, Ph.D. Disserta-tion, (San Diego: University of California, 1975).

Page 34: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

19

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

GhazÉlÊ terhadap para filsuf, dan sanggahan balik Ibn Rushd. Ia hanya merujuk kepada TahÉfut al-FalÉsifah karya al-GhazÉlÊ dan TahÉfut al-TahÉfut karya Ibn Rushd. Mengomentari konsep al-GhazÉlÊ, dengan mengikuti Fakhry dan menggemakan Ibn Rushd, Naify menegaskan bahwa okasionalisme teistik al-GhazÉlÊ itu ti-dak kondusif untuk pemahaman ilmiah alam semesta sehingga berakibat menghilangkan kemungkinan pengetahuan ilmiah.

Dalam prakatanya, Naify mengakui bahwa karyanya itu ti-dak ditujukan untuk mengeksplorasi keseluruhan konsep kausali-tas dalam Islam. Ia membatasi hanya untuk karya-karya polemik yang terjadi antara al-GhazÉlÊ dan Ibn Rushd, yang merupakan diskursus awal dan mulai menemukan pengaruhnya dalam oka-sionalisme Eropa. Karyanya membuktikan pengaruh historis langsung filsafat Islam terhadap filsafat Cartesian awal yang memunculkan okasionalisme ala Malebranche. Hal ini dibuk-tikan dengan beberapa kemiripan antara kausalitas al-GhazÉlÊ dengan kausalitas Malebranche. Saat membuktikan asumsi ini, Naify mengajukan beberapa argumen, salah satunya adalah bah-wa Malebranche mengetahui konsep kausalitas al-GhazÉlÊ mela-lui sanggahan Ibn Rushd lewat tulisan-tulisan Fonseca, Ruvio, dan Suarez. Studi Naify yang masih kekurangan bukti sejarah ini berakhir dengan kesimpulan: baik Barat maupun doktrin oka-sionalisme al-GhazÉlÊ, keduanya tidak bisa memenuhi tuntutan sains dan agama sekaligus.36 Seperti halnya Fakhry, karena belum membaca buku-buku al-GhazÉlÊ, kesimpulan Naify sudah tentu tidak bisa dipertahankan.

Studi lain yang membandingkan konsep kausalitas al-Gha-zÉlÊ dengan Ibn Rushd ditulis oleh AbË Ya‘arib al-MarzuqÊ. Kar-ya berjudul MafhËm al-Sababiyyah ‘inda al-GhazÉlÊ (Konsep Kausalitas al-GhazÉlÊ) 37 tersebut mendiskusikan pula sanggahan Ibn Rushd sehingga judul implisitnya adalah wa Naqd Ibn Rushd LahË (dan Kritik Ibn Rushd kepada-Nya). Karya ini dimulai seca-

36 Ibid, hlm. 196-198. 37 AbË Ya‘arib al-MarzuqÊ, MafhËm al-Sababiyyah ‘inda al-GhazÉlÊ , (Kai-

ro: DÉr BËslÉmah li-ÙibÉ‘ah wa al-Nashr, edisi pertama, tanpa tahun).

Page 35: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

20

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ra tak lazim dengan transkrip dialog sang penulis bersama rekan-nya, ØÉliÍ al-QarmÉdÊ, mempertanyakan apakah al-GhazÉlÊ itu aktor revolusi epistemologis. Berikutnya al-MarzuqÊ mengelabo-rasi kritik al-GhazÉlÊ tentang konsep kausalitas kalangan falÉsi-fah, dan sanggahan Ibn Rushd atas kritik al-GhazÉlÊ. Di satu sisi, penulis menyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ—sebagaimana tuduhan Ibn Rushd—menolak kemungkinan akal manusia memahami dengan baik realitas fisik maupun metafisika. Di sisi lain, simpul penulis, al-GhazÉlÊ membangun teori baru pengetahuan yang da-pat disusun menjadi tiga poin penting: (1) sistem kepastian logis; (2) sistem pengalaman untuk proses yang berkesinambungan dan harmonis dalam alam fisik dan moralitas; (3) sistem tinggi, yaitu susunan wujud yang terutama berdasarkan pada kehendak.

Al-MarzuqÊ menyebut gagasan al-GhazÉlÊ itu revolusioner. Pasalnya, konsep al-GhazÉlÊ mampu mengganti konsep rasional (al-taÎawwur al-‘aqlÉnÊ) yang menempatkan akal sebagai prinsip tentang wujud dengan konsep kehendak,38 sekaligus mengubah konsep pengetahuan empiris dengan konsep pengalaman. Al-GhazÉlÊ menempatkan dua konsep pertama (yakni akal dan ke-hendak) sebagai prasyarat bagi dua konsep kedua: pengetahuan empiris dan pengalaman. Di sini akal memainkan peran sekunder setelah kehendak karena ia mempunyai keterbatasan dalam men-capai pengetahuan. Jadi, konsep ada/menjadi (being) merupakan dasar diskursus epistemologis; dengan kata lain, konsep realitas adalah dasar dari epistemologi.

Setelah membentangkan landasan teoretis dari konsep reali-tas, al-MarzuqÊ beralih membahas konsep kausalitas al-GhazÉlÊ. Bahasan konsep ini bersumberkan pada pemahaman al-GhazÉlÊ atas pemikiran para filsuf, kritik Ibn Rushd terhadap al-GhazÉlÊ, serta pemikiran dan sanggahan al-GhazÉlÊ yang dikemas dalam tiga karyanya—TahÉfut, MustaÎfÉ dan al-IqtiÎÉd fi al-I‘tiqÉd. Dari pembahasan kausalitas ini, al-MarzuqÊ menyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ mengganti struktur akal dengan struktur kehendak (on-tologis), penalaran deduktif dengan penalaran induktif (logika),

38 Ibid, hlm. 71.

Page 36: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

21

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

akal dengan imajinasi. Implikasi pergantian tersebut membawa empat perubahan baru dalam epistemologi, yaitu pergeseran dari ketergantungan kepada akal menjadi kepada kehendak, perubahan dari yang pasti kepada kebiasaan, kecenderungan ke arah pen-dekatan psikologis ketimbang logis, transformasi sebab menjadi hukum alam.39 Singkat kata, diskusi menjadi produktif karena pe-nulis melihat konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dari perspektif episte-mologis sehingga pokok permasalahannya tidak hanya berkaitan dengan penolakan atau afirmasi kausalitas, namun juga berkaitan dengan konsep epistemologis dan ontologis yang berbeda.

Hampir serupa karya al-MarzuqÊ, Gerard Gihamy menulis karya berjudul MafÍËm al-Sababiyyah Bayn al-MutakallimËm wa al-FalÉsifah (Bayn al-GhazÉlÊ wa Ibn Rushd).40 Karya ini bu-kan catatan khusus tentang konsep kausalitas al-GhazÉlÊ, karena pembahasannya menekankan jaringan konsep di sekitar problem kausalitas. Pendekatan Gihamy terhadap permasalahan ini umum-nya tematik. Dalam Bab Pertama ia mendiskusikan Kausalitas Penggerak (al-Sababiyyah al-MuÍarrikah) yang mencakup pem-bahasan tentang sebab Ilahi langsung, makna kontingen (mung-kin), kontingensi (kemungkinan) dan potensi, kontingensi dan non-eksistensi (ketiadaan), hakikat hubungan Tuhan-dunia, serta makna esensi dan aksidensi. Bab Kedua berkaitan dengan Kau-salitas Efisien (al-Sababiyyah al-FÉ‘ilah)—pelaku kausalitas—yang mencakup masalah esensi tindakan Tuhan, penciptaan dan non-eksistensi, wajibnya tindakan Tuhan yang terus-menerus. Bab Ketiga berkaitan dengan elaborasi Kausalitas Mengetahui (al-Sababiyyah al-‘Ólimah) yang membahas hakikat pengetahuan Ilahi, sebab akhir, dan sistem kosmos. Karya pendek ini berakhir dengan kesimpulan berjudul “Kausalitas dan Posisi Akal”.

Karya Gihamy tersebut cenderung memberikan porsi le-bih besar pada diskusi konsep Ibn Rushd dibandingkan konsep

39 Ibid, hlm. 226.40 Gerard Gihamy, MafÍËm al-Sababiyyah bayn al-MutakallimËn wa al-

FalÉsifah (Bayn al-GhazÉlÊ wa Ibn Rushd), (Beirut: al-Maktabah al-Fal-safiyyah, DÉr al-Mashriq, 1992).

Page 37: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

22

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

al-GhazÉlÊ. Bisa dikatakan buku tersebut ringkasan pemikiran Ibn Rushd yang tersebar dalam TahÉfut al-TahÉfut, FaÎl al-MaqÉl, ManÉhij, TafsÊr mÉ BaÑda al-ÙabÊÑah, dan TalkhiÎ ManÏiq ArisÏË. Dalam analisis akhir, Gihamy menyatakan bahwa ada dua jalur berlawanan dalam menanggapi masalah agama dan filsafat. Yang satu adalah al-GhazÉlÊ dan kaum Ash‘arÊyah, dan yang lain Ibn Rushd dan tradisi peripatetik. Namun, manakala referensi pada pemikiran al-GhazÉlÊ terbilang sangat kurang, Gihamy keliru pula menyimpulkan bahwa akal hanya berguna untuk mengeta-hui pengetahuan agama semata. Kesimpulan ini tidaklah adil da-lam menilai al-GhazÉlÊ, mengingat penelitian ekstensif terhadap karya-karyanya justru tidak menunjukkan seperti itu.

Karya yang secara spesifik membahas konsep kausalitas al-GhazÉlÊ berjudul The Concept of Causality in AbË ×Émid al-GhazÉlÊ’s TahÉfut al-FalÉsifah, yang ditulis oleh Carol Lu-cille Bargeron. Pembahasan di dalam karya doktoral di Gra-duate School of University of Wisconsin-Madison pada 1978 ini cukup lengkap. Dimulai dengan paparan masalah dari latar belakang pengalaman al-GhazÉlÊ yang mengacu pada diskursus Mu‘tazilah dan kaum Ash‘arÊyah, beralih ke pembahasan kon-sep Ibn SÊnÉ sekitar masalah kausalitas. Pemikiran al-GhazÉlÊ dianalisis dari konsepnya tentang pelaku, tindakan dan sebab pelaku, serta prinsip kausalitas alam. Bahasan mendetail dilaku-kan terhadap dasar epistemologi kausalitas, lalu berakhir dengan bab tentang kepastian (necessity and certitude) dalam kausalitas al-GhazÉlÊ.

Penelitian Bargeron tersebut, sejauh amatan saya, merupakan salah satu karya paling komprehensif mengenai konsep kausalitas al-GhazÉlÊ. Namun, tema pembahasan penelitian saya dalam buku ini berbeda dari tema pembahasan Bargeron, sebab Bargeron ti-dak secara eksplisit membahas dan menyatakan bahwa peneliti-annya ditujukan untuk mengeksplorasi konsep kausalitas al-Gha-zÉlÊ berdasarkan pada interpretasi atas realitas dan pengetahuan. Selain itu, bab-bab di dalam karya Bargeron tidak terorganisasi dengan baik sehingga pembaca tidak dapat mengorelasikan satu

Page 38: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

23

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

konsep dengan konsep yang lain agar mudah menangkap seluruh struktur pandangannya.

Sebuah karya yang tidak secara langsung membahas kausa-litas tetapi memberi proporsi khusus bagi pembahasan kausali-tas adalah Philosophy of KalÉm yang ditulis oleh Harry Wolfson. Karya ini membahas masalah kausalitas dalam satu bab tersendiri sepanjang hampir 100 halaman. Dimulai bahasan latar belakang Kalam, Wolfson menyoroti gagasan-gagasan al-GhazÉlÊ. Wolfson tidak membahas konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dalam fenomena alam, tetapi hanya dalam kaitannya dengan tindakan manusia, dan perbandingan ide al-GhazÉlÊ dengan ide mutakallimËn. Hal terpenting yang dibahas di karya Wolfson adalah bahwa Tuhan menciptakan di lubuk hati manusia dua motif (khatÊrÉni), yak-ni motif malaikat dan motif setan, yang menyebabkan adanya kebaikan dan kejahatan. Sayangnya, bahasan di dalamnya tidak menyinggung konsep al-GhazÉlÊ terkait kemampuan manusia dan proses-prosesnya yang memunculkan pengetahuan manusia.

Selain karya-karya di atas, ada juga artikel-artikel rele-van yang membahas doktrin kausalitas al-GhazÉlÊ. Artikel L.E. Goodman, “Did al-GhazÉlÊ Deny Causality?” merupakan usaha yang lebih baik dalam memahami konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dibandingkan karya Fakhry dan Naify.41 Al-GhazÉlÊ, menurut-nya, mengakui bahwa ada beberapa hubungan antara sebab dan akibat; ia “tidak memberangus hubungan itu”, tapi membantah kepastiannya. Kepastian ini memiliki makna hanya dalam arti logis. Selain itu, berbeda dengan Fakhry yang mengaitkan argu-men al-GhazÉlÊ pada Kalam, Goodman secara pasti menyangkal, “Atomisme Kalam, atau okasionalisme Kalam tidak merujuk ke-pada sumber mana pun”, karena menerima keberadaan hubungan kausal pada alam itu asing bagi Kalam. Al-GhazÉlÊ menggunakan aksioma Aristoteles42 untuk mengembangkan argumennya, tetapi

41 L.E. Goodman, “Did al-GhazÉlÊ Deny Causality?”, Stvdia Islamica No. 47 (1978), hlm. 111.

42 Merujuk pada Metaphysics Aristoteles, Lambda 6, 1071b29; Physic VII 1, bahwa semua materi—dengan sifat intrinsiknya—tidak bernyawa, dan

Page 39: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

24

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dalam “terminologi yang diislamkan”. Secara keseluruhan, arti-kel Goodman memuat bahasan menarik dan menyoroti hal baru berkenaan dengan kausalitas menurut al-GhazÉlÊ. Artikel R.E.A. Shanab, “GhazÉlÊ and Aquinas in Causation”, tampaknya mendu-kung analisis Goodman.43

Artikel lain yang patut dicatat adalah “Al-GhazÉlÊ on Cau-sality” oleh Ilai Alon. Berbeda dengan Goodman, Alon tidak menyangkal keterkaitan al-GhazÉlÊ dengan Kalam. Alon bahkan memperkenalkan rekonsiliasi antara teori para filsuf dan teori mu-takallimËn. Di sini, ia tidak langsung menampik temuan Fakhry dengan menegaskan bahwa afirmasi al-GhazÉlÊ atas kausalitas dibenarkan dari pengakuannya: Tuhan bertindak melalui sarana fisik; tidak hanya dalam domain logis tetapi juga ontologis.44

Artikel yang baik oleh Benyamin Abrahamov berjudul “Al-GhazÉlÊ’s Theory of Causality” layak pula disebutkan di sini. Ti-dak hanya mendukung deskripsi Alon mengenai upaya al-GhazÉlÊ “mendamaikan” filsafat dan teologi,45 Abrahamov mencatat ben-tuk lain rekonsiliasi yang ada, yakni al-GhazÉlÊ menggabungkan kausalitas Tuhan dengan kausalitas sekunder, dengan catatan bah-wa sebab sekunder juga memiliki sifat inheren yang diciptakan dan dipelihara Tuhan. Keempat poin yang al-GhazÉlÊ kompromi-kan antara Islam ortodoks dan filsafat adalah:

1. Tuhan adalah Mahakuasa dan Satu, karena Dia sendiri, de-ngan kehendak-Nya telah menciptakan dan terus-menerus untuk mempertahankan rantai sebab-akibat;

2. Tuhan bertindak dengan kebijaksanaan dan tidak semena-mena;

3. Memperoleh pengetahuan tentang dunia adalah mungkin, karena setiap peristiwa atau sesuatu memiliki sebab, dan se-

karena itu tidak mampu memulai proses apa pun, hlm. 90. 43 R.E.A. Shanab, “GhazÉlÊ and Aquinas On Causation”, The Monist, vol. 58,

1974, hlm. 146-148. 44 Ilai Alon, “Al-GhazÉlÊ On Causality”, JAOS, vol. 100 (1981), hlm. 401. 45 Benyamin Abrahamov, “al-GhazÉlÊ ’s Theory of Causality”, Stvdia Islam-

ica No. 57 (1988), hlm. 75-98.

Page 40: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

25

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

suatu terjadi atau berubah dalam skema yang tetap;

4. Manusia wajib memilih tindakannya, tapi pilihannya benar-benar wajib pula.

Sampai batas tertentu, pendekatan penelitian Abrahamov ini tergolong tepat, kendati tidak cukup komprehensif.

Penggambaran tepat lainnya dari doktrin kausalitas al-GhazÉlÊ adalah artikel William J. Courtenay yang berjudul “The Critique on Natural Causality in The Mutakallimun and Nominalism”.46 Poin terpenting dari artikel tersebut adalah komentar Courtenay bahwa al-GhazÉlÊ belum secara benar dievaluasi, karena sebagian besar penulis menjelaskan teori al-GhazÉlÊ hanya dalam konteks penyangkalannya atas para filosof Muslim, alih-alih menimbang aspek positif pemikiran al-GhazÉlÊ. Di sini ia menguraikan dua teori perhubungan kausal al-GhazÉlÊ: okasionalistik dan rasio-nalistik, yang maksudnya adalah untuk mempertahankan sifat mungkin (contingency) tatanan alam ini dan ketergantungannya kepada Tuhan.

Kajian literatur yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dari perspektif worldview belum pernah sekali pun dilakukan oleh para peneliti tentang al-Gha-zÉlÊ, baik kalangan cendekiawan Muslim maupun orientalis. Jadi, sejauh ini belum ada penjelasan sistematis yang menguraikan kausalitas al-GhazÉlÊ dengan mengacu pada konsep realitas dan pengetahuan.

SISTEMATIKA

Sejalan dengan framework di atas, sistematika pembahasan buku diatur sesuai dengan bangunan worldview. Langkah per-tama yang saya lakukan dalam kajian ini adalah mengelaborasi gagasan kausalitas dalam al-Quran dan konseptualisasinya yang ada pada tradisi intelektual Islam terutama dalam Kalam dan

46 J.W. Courtenay, “The Critique On Natural Causality in The Mutakallimun and Nominalism”, The Harvard Theological Review, 66, 1 (January 1973), hlm. 93-94.

Page 41: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

26

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

filsafat. Ini penting dilakukan untuk mengetahui posisi al-GhazÉlÊ dari sumber pemikirannya, yakni al-Quran, yang juga mempro-yeksikan worldview Islam. Adapun kausalitas dalam tradisi Islam dikaji untuk mengetahui peta tradisi intelektual Islam dan posisi al-GhazÉlÊ di dalamnya.

Selanjutnya, elaborasi konsep kausalitas al-GhazÉlÊ didahu-lui oleh penjelasan atas penafsiran al-GhazÉlÊ tentang realitas. Unsur realitas ini terdiri dari konsep Tuhan, kosmologi, dan on-tologi makhluk. Ketiga konsep ini adalah aspek terpenting da-lam worldview al-GhazÉlÊ. Sesungguhnya realitas adalah objek ilmu pengetahuan. Setelah menafsirkan realitas, berikutnya saya menjelaskan konsepsi pengetahuan tentang realitas tersebut, yang meliputi makna pengetahuan, klasifikasi pengetahuan, pencapai-an pengetahuan tentang Tuhan dan realitas eksternal.

Setelah menguraikan interpretasi al-GhazÉlÊ tentang realitas dan pengetahuan, barulah saya mengelaborasi konsep kausalitas dalam konteks sistem metafisika dan worldview di atas. Untuk itu, kausalitas dibahas dalam dua bab. Pertama, tentang konsep kau-salitas dalam konteks realitas, yang terdiri dari kausalitas beserta tindakan dan kehendak Tuhan, kausalitas dan ontologi makh luk yang diciptakan, dan kausalitas dalam diri manusia. Kedua, ten-tang konsep kausalitas dalam kaitannya dengan pengetahuan, yang terdiri dari kausalitas dalam pertaliannya dengan kepastian dan ilmu pengetahuan demonstratif.

Page 42: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

27

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

TEMA KAUSALITAS tidak sepenuhnya baru dalam khazanah pemikiran Islam. Sebelum al-GhazÉlÊ, kausalitas pernah diper-bincangkan di kalangan intelektual Muslim. Dalam rangka untuk lebih menghargai pentingnya konsep al-GhazÉlÊ, kita akan me-nelusuri kembali wacana-wacana tersebut. Guna mendapatkan gambaran yang jelas tentang sumber masalah dan perkembangan konseptualnya, sangat penting bagi kita untuk memulainya dari al-Quran, yaitu dari terminologinya, dalam kaitannya dengan pe-ristiwa alam dan manusia. Setelah itu, barulah kita mendiskusi-kan pemahaman masalah tersebut oleh umat Islam.

Wacana sistematis yang ada dalam tradisi intelektual Islam dapat ditemukan di antara para teolog (mutakallimËn), terutama di kalangan para pengikut Mu‘tazilah dan Ash‘arÊyah. Penekanan khusus akan diberikan kepada pemikiran Ash‘arÊyah mengingat al-GhazÉlÊ merupakan pendukung dan pengguna gagasan mazhab ini. Topik ini meliputi kausalitas pada kejadian alam, teori atom dan aksiden, serta kausalitas pada manusia. Diskursus penting lainnya terjadi di antara kalangan falāsifah, terutama pendukung pemikiran Aristoteles, namun buku ini hanya akan menyoroti

B A B S A T U

Kausalitas dalam Tradisi Intelektual Islam:

Periode Sebelum al-Ghazālī

Page 43: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

28

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

gagasan-gagasan ketiga tokohnya, yaitu al-KindÊ, al-FÉrÉbÊ, dan Ibn SÊnÉ.

GAGASAN AL-QURAN TENTANG KAUSALITAS

Gagasan Quran tentang kausalitas dapat dipahami dalam ja-ring konseptual yang menjadi worldview Islam. Bagaimanapun juga kausalitas bukanlah konsep yang dapat dibahas secara terpi-sah sama sekali, tanpa mengaitkannya dengan konsep-konsep lain. Melacak konsep ini dari al-Quran dan Sunnah boleh jadi diang-gap cukup rumit. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan kerangka yang ditetapkan dalam Pendahuluan, langkah ini akan membantu untuk menentukan akar konsep, sekaligus untuk menunjukkan posisinya dalam keseluruhan struktur worldview Islam. Dengan cara ini, dapat dibuat satu jawaban: apakah konsep realitas benar-benar berasal dari Islam ataukah hanya hasil “pinjam meminjam” dari elemen peradaban atau tradisi keagamaan lain.

Dengan demikian, al-Quran bisa ditempatkan sebagai sumber asli konsep atau pemikiran apa pun dalam tradisi intelektual Islam. Selain itu, pendekatan semacam ini sangat penting dalam pemba-hasan kita, karena al-GhazÉlÊ—yang dianggap sebagai ×ujjat al-IslÉm dan pembela wahyu—sepenuh hati membenarkan gagasan kausalitas di dalamnya. Gagasan al-GhazÉlÊ tentu dilahirkan dari pemahamannya tentang wahyu atau dari tradisi intelektual Islam yang berkembang dalam koridor wahyu. Pendekatan seperti ini akan memungkinkan kita untuk menilai sejauh mana konsistensi al-GhazÉlÊ dalam mengikuti dan menjaga wahyu.

Terminologi dan Definisi Kausalitas

Istilah al-Quran yang mewakili makna kausalitas adalah sa-bab. Al-Quran menyebutkan sabab dan asbab sebanyak sembilan kali.1 Istilah ‘illah yang digunakan dalam wacana teologis dan

1 Untuk sabab lihat al-Quran surat al-×ajj (22) ayat 15; al-Kahfi (18) ayat 84, 85, 89, 92; untuk asbab lihat surat al-Mu’min (40) ayat 36-37; al-

Page 44: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

29

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

filosofis, tidak disebutkan secara harfiah dalam al-Quran. ‘illah mulai digunakan secara eksklusif sejak akhir abad ke-3 Hijriah. 2 Oleh karena itu, dalam diskusi-diskusi Kalam awal, makna istilah sabab dibedakan dari ‘illah. 3

Para ahli tafsir menafsirkan istilah sabab secara etimologi se-bagai tali (Íabl), cara, sarana, hubungan, atau rute melalui daratan (ÏarÊq).4 Istilah yang secara harfiah berarti “tali” (Íabl) tercermin dalam al-Quran: “Jika ada yang berpikir bahwa Tuhan tidak akan membantu dia (Rasul-Nya) di dunia ini dan di akhirat, maka bi-arkan dia mengulurkan tali ke langit-langit.” 5 Istilah sabab yang menunjuk ke arti “sarana” atau “cara” tampaknya mengacu pada kata-kata Firaun: لعلى أبلغ الأسباب yang bermakna “Bahwa aku bisa mencapai cara dan sarana”, dan سباب أ cara dan sarana“ السماوات yang membawa ke langit” atau “cara menuju surga”.6 Sabab da-

Baqarah (2) ayat 166; ØÉd (38) ayat 10. Seluruh terjemahan di bagian selanjutnya menggunakan The Meaning of The Holy Qur’an, terjemahan oleh Abdullah Yusuf Ali, (Beltsville, Maryland, USA: Amana Publica-tions, edisi ke-7, 1989).

2 William L Craig, The KalÉm Cosmological Argument, (Broadway, U.S.: Wipf and Stock Publisher, Eugene, 2000), hlm. 11.

3 Dari informasi yang disediakan oleh al-AshÑarÊ, Mu’tazilah menggunakan makna kausalitas dalam dua pengertian: 1) yang secara pasti menemani akibatnya; 2) yang bebas dan mendahului akibatnya. Makna pertama lebih dekat pada makna ‘illah, sementara yang kedua lebih dekat dengan makna sabab. Pembedaan ini jelas dinyatakan oleh al-ØËyËÏÊ, yang memastikan disebut ‘illah dan yang membolehkan disebut sabab. Namun, pembedaan ini tampaknya tidak dimiliki para filosof karena baik al-FÉrÉbÊ maupun Ibn SÊnÉ menggunakan sabab sebagai sinonim dari ‘illah. Perbedaan antara dua makna kausalitas ini cukup besar karena kemudian ia menjadi masalah perdebatan antara ahli ilmu Kalam dan kalangan falāsifah. Lihat The Encyclopaedia of Islam, H. Fleisch dan L. Gardet (ed.), (1971), lema ‘illa.

4 Ibn Qutaybah, TafsÊr al-GharÊb al-Qur’Én, al-Sayyid Ahmad Shaqr (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978), hlm. 270; Ibn KathÊr, al-MiÎbÉÍ al-MunÊr fÊ TafsÊr Ibn KathÊr Jilid 6, diperpendek oleh sekelompok sarjana di bawah bimbingan Shaykh Safiur Rahman al-Mubarakfuri, (Riyadh, Houston, New York, Lahore: Darussalam, 2000), hlm. 204-205. Juga al-TahÉnawÊ, MuÍammad ‘AlÊ bin ‘AlÊ ibn MuÍammad, KashshÉf IsÏilÉÍÉt al-FunËn Jilid 2 (dari 4 jilid), AÍmad Bisaj (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 315.

5 Al-Quran, surat al-×ajj (22) ayat 15.6 Al-Quran, surat GhÉfir (40) ayat 36-37.

Page 45: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

30

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

lam arti “hubungan” atau “koneksi” dapat ditemukan di surat al-Baqarah ayat 166:... dan ketika hubungan antara mereka rusak Ibn KathÊr menafsirkan asbab di sini sebagai .وتقطعت بهم الاسباب sarana atau cara keselamatan; bahwa ketika mereka melihat sik-saan Tuhan, cara keselamatan mereka semua diputus dan mere ka tidak memiliki cara apa pun untuk memperbaiki kesalahan, mereka tidak juga akan menemukan jalan keluar dari api neraka. 7 Ibn Ab-bas membacanya sebagai “hubungan yang hangat” (mawaddah).8 Sejauh ini, istilah tersebut tidak mencerminkan secara eksplisit makna sebab; ia hanya menunjukkan makna hubung an atau se-suatu yang berhubungan dengan hal-hal lain. Mungkin hanya al- ØËyËÏÊ yang menafsirkan asbab di sini sebagai sebab, yang artinya sebab tindakan atau asbab al-a‘mal.9

Istilah sabab yang menunjukkan makna sebab-akibat yang mudah dipahami dapat ditemukan dalam surat al-Kahfi yang menceritakan tentang kisah DhË al-Qarnayn: “Sesungguhnya Kami mendirikan kekuasaannya di Bumi, dan Kami telah mem-berikan kepadanya (pengetahuan tentang) sebab (sabab) dari segala sesuatu.”10 Sebagian besar ulama tafsir sepakat untuk menafsirkan istilah sabab dalam ayat ini sebagai pengetahuan (‘ilm),11 tetapi mereka memiliki interpretasi yang berbeda tentang jenis pengetahuannya. Menurut Ibn Abbas, sabab adalah penge-tahuan tentang cara dan tempat (ma‘rifat al-ÏarÊq wa al-manÉzil).12

7 Ibn KathÊr, al-MiÎbÉÍ, hlm. 463.8 Fairuzzabadi, al-Shafi‘i, TanwÊr al-MiqbÉs min TafsÊr Ibn ‘AbbÉs, (Beirut:

DÉr al-IshrÉq, 1988), hlm. 291. 9 Al-SuyËÏÊ, al-‘AllÉmah al-Shaykh JalÉla al-DÊn ‘Abd al-RaÍmÉn, al-Du-

rr al-ManthËr fÊ TafsÊr al-Ma’thËr Jilid 3, (Qum: ManshËrÉt Maktabah AyatullÉh al-‘UÐmÉ al-Mar‘ashÊ al-NajafÊ, tanpa tahun), hlm. 248.

10 Al-Quran, surat al-Kahfi (18) ayat 84.11 Ibn KathÊr, TafsÊr al-Qur’Én al-‘AÐÊm, M. IbrÉhÊm al-BannÉ, et al. (ed.),

(Damaskus: DÉr al-Khayr, 1991), 113. Di sini Ibn KathÊr mengacu pada Ibn ‘AbbÉs’, MujÉhid, Sa’Êd ibn Jubayr, ‘Ikrimah, QatÉdah, al-ÖaÍÍÉk dan lain-lain; lihat juga al-BaghdÉdÊ, al-‘AllÉmah al-AlËsÊ, RËÍ al-Ma‘ÉnÊ, fÊ TafsÊr al-Qur’Én al-‘AÐÊm wa al-Sab’ al-MathÉnÊ Jilid 15-16 (dari 29 jilid), (Beirut: DÉr IÍyÉ’ al-TurÉth, 1985), hlm. 31; lihat juga FairuzzabadÊ, Tan-wÊr, hlm. 303.

12 FairuzzabadÊ, TanwÊr, hlm. 303.

Page 46: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

31

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Mengacu pada penafsiran sahabat Nabi, Ibn KathÊr menegaskan bahwa sabab adalah pengetahuan tentang tempat-tempat di Bumi (mengutip QatÉdah). Sabab juga bermakna pengetahuan tentang bahasa, karena bahasa adalah sebab yang memungkinkan penak-lukan setiap suku atau tanah (mengutip ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam), atau pengetahuan tentang sarana atau media yang memungkinkan seseorang untuk mengambil alih kendali atas se-tiap tanah, negara, negara bagian, atau untuk mengalahkan raja atau musuh dan sejenisnya (mengutip Ka‘b). Bagaimanapun juga, semua makna tersebut menegaskan pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan kepada DhË al-Qarnayn untuk memerintah Timur dan Barat.13

Makna yang tersirat adalah Tuhan memberikan DhË al-Qar-nayn pengetahuan tentang sebab, yakni ia bisa memenuhi niat-nya (maqsad). Semua interpretasi ini bisa dipahami melalui dua cara. Pertama, Tuhan menciptakan dalam pikiran DhË al-Qarnayn pengetahuan atau sebab tentang bagaimana mendapatkan kekua-saan atas Timur dan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah sebab langsung pengetahuan DhË al-Qarnayn. Kedua, Tu-han memberikan pengetahuan tentang sebab segala sesuatu ke-pada DhË al-Qarnayn, terutama yang memungkinkannya menda-patkan kekuasaan atau hal yang diinginkannya, seperti alat, cara, bahasa dan sejenisnya. Maknanya, dengan diberikannya penge-tahuan oleh Tuhan, ada prinsip-prinsip kausalitas di dunia yang harus diikuti DhË al-Qarnayn yang membuatnya berkemungkin-an menguasai Timur dan Barat.

Atas dasar pemahaman terhadap ayat-ayat di atas, para cendekiawan Muslim, terutama kalangan ahli tafsir (mufassirËn), mendefinisikan sabab dalam berbagai cara. Al-BayÌÉwÊ mende-finisikannya sebagai “sebuah rantai yang terkait dengan sesuatu dan rantai tersebut bisa jadi pengetahuan, kekuasaan, atau alat.”14

13 Ibn KathÊr, TafsÊr, hlm. 113. 14 Al-QÉÌÊ ShihÉb al-DÊn AÍmad ibn AÍmad ibn MuÍammad ibn ‘Umar al-

KhafanjÊ, ×ashiyÉh al-ShihÉb Jilid 6, yang dinamai “InÉyah al-QÉÌÊ wa KifÉyah al-RÉÌÊ ‘alÉ TafsÊr al-BaiÌÉwÊ”, Shaykh ‘Abd al-RÉziq al-MahdÊ

Page 47: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

32

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Al-BaghdÉdÊ mendefinisikan sabab sebagai “cara (baik dalam bentuk pengetahuan, kekuasaan, ataupun alat-alat) yang mem-bawa seseorang pada objek yang dituju (al-maqÎËd); makna im-plisitnya adalah sebab dari segala sesuatu (asbab kulli shay‘).”15 Menurut Umar al-KhÉfanji, yang menulis komentar (sharh) TafsÊr al-BayÌÉwÊ, sabab (atau asbÉb) adalah “sebab dari segala se suatu yang dianugerahkan Tuhan melalui keputusan (taqdÊr) dan ke-hendak-Nya, jadi merupakan keputusan Tuhan bahwa segala se-suatu memiliki banyak sebab (asbÉb) dan bukan hanya satu atau dua sebab.”16 Ibn ManÐËr mendefinisikan sabab sebagai “sesuatu yang dengannya segala sesuatu terhubung dengan hal-hal lain (kulla shay‘ yatawaÎÎal bihi ilÉ ghayrih), tetapi Tuhan adalah se-bab dari sebab-sebab (musabbib al-asbÉb).17

Definisi di atas menyiratkan bahwa sabab adalah “segala sesuatu yang membawa pada—atau terkait dengan—akibat (al-maqÎËd), dan sebab-akibat ini ditetapkan melalui kehendak Tu-han karena Tuhan adalah Sebab dari sebab-sebab.”

Kausalitas dan Worldview al-Quran

Dengan mengacu pada jaringan konseptual dalam al-Quran, gagasan kausalitas menyatu dalam struktur worldview Islam yang diproyeksikan oleh al-Quran. Penjelasan di atas menunjuk-kan bah wa sabab mempunyai makna “sebab”, tapi saya melihat bahwa ia dapat didefinisikan secara jelas sebagai “sebab” ha-nya dengan mengacu pada surat-surat Madinah,18 tidak kepada surat-surat Mekah, seperti yang tercermin dalam al-Quran, (su-rat ØÉd [38] ayat 10) dan (al-Mu’min [40] ayat 36-37). Namun, itu tidak berarti bahwa selama periode Mekah gagasan tentang sebab-akibat Ilahi belum dipahami, karena konsep kausalitas da-

(ed.), (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), hlm. 226-227.15 Al-BaghdÉdÊ, RËÍ al-Ma‘ÉnÊ, hlm. 35.16 Al-KhafanjÊ, ×ashiyah, hlm. 226-227.17 Ibn ManÐËr, LisÉn al-‘Arab al-MuÍÊÏ Jilid 3, (Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr

LisÉn al-‘Arab, 1988), hlm. 78-79.18 Lihat al-Quran, surat al-Kahfi (18) ayat 84, 85, 89, 92; al-Baqarah (2) ayat

166.

Page 48: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

33

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

lam al-Quran tidak selalu dinyatakan dalam istilah sabab atau as-bÉb. Ada sejumlah ayat al-Quran yang menunjukkan sebab Ilahi dalam kaitannya dengan kausalitas Tuhan-manusia dan Tuhan-alam, di mana Tuhan digambarkan memiliki keagungan dan ke-kuasaan tak terbatas dan memerintahkan manusia untuk percaya kepada-Nya. Gagasan kausalitas terkandung di dalam ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan beserta alam ciptaan-Nya (al-ÉyÉt al-kawniyyah). Dalam hal ini, ayat-ayat yang sebagian besar ditu-runkan selama periode Mekah tersebut menjadi elemen funda-mental worldview Islam.

Dari perspektif pembentukan worldview 19, kita dapat me-nyimpulkan bahwa istilah sabab digunakan untuk merujuk pada makna sebab-akibat di periode Madinah, setelah jelasnya konsep kausalitas dalam periode Mekah. Hal ini sesuai dengan teori Al-parslan Açikgenç tentang munculnya worldview Islam bahwa pe-riode Mekah pada umumnya menekankan pembentukan struktur dunia, sedangkan surat-surat Madinah menekankan pada struktur manusia dan struktur etis.20 Faktanya, surat-surat Mekah sebagian besar terdiri dari paparan tentang alam dan perintah kepada manu-sia untuk mengamati, berefleksi, berpikir dan memahami semua ciptaan Tuhan dengan menggunakan indra mereka.21 Hikmahnya, agar manusia mengganti dari kekaguman mereka kepada alam menjadi kepada Tuhan; dari makhluk kepada Sang Pencipta; dan dari yang disebabkan kepada Sang Penyebab.22

Meskipun surat-surat Mekah menekankan struktur dunia, ada beberapa ayat yang mengabarkan konsep sebab Ilahi da-

19 Tentang pembentukan worldview secara lebih rinci, lihat Alparslan Açik-genç, Islamic Science: Towards Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC 1996), hlm. 70-71.

20 Istilah “struktur dunia”, “struktur manusia” dan “struktur etis” mengi-syaratkan struktur-struktur konseptual dalam al-Quran yang menentukan worldview Islam.

21 ’Abd AllÉh ShaÍÉtah mencatat bahwa ayat-ayat terkait dengan alam (al-ÉyÉt al-kawniyyah) sebanyak 750, kebanyakan diturunkan selama periode Mekah. Lihat ‘Abd AllÉh ShaÍÉtah, TafsÊr al-ÓyÉt al-Kawniyyah, (Kairo: DÉr al-I’tiÎÉm, 1980), hlm. 53.

22 Ibid, hlm. 30

Page 49: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

34

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

lam hubungannya dengan keberadaan dan tindakan manusia. Keberadaan ayat-ayat semacam ini harus dianggap sebagai be-nih pembentukan struktur manusia dan struktur etis, yang kelak terbentuk dalam proporsi lebih besar selama periode Madinah. Dalam surat Mekahlah Tuhan digambarkan sebagai Sebab ek-sistensi manusia bersamaan dengan perbuatan manusia. “Dia menciptakan manusia dari tanah liat, dengan terlebih dahulu menghiasinya dan meniupkan ruh ke dalamnya.”23 Kemudian Dia menjadikan manusia pewaris Bumi24, memberinya bimbing-an ke arah kebenaran25, menyediakan bagi mereka rezeki, lalu membuat mereka mati dan membangkitkannya kembali menjadi hidup.26 Ini kemudian diulang dalam surat Madinah dalam pesan yang lebih kuat bahwa Tuhan menciptakan manusia dan memu-tuskan nasib mereka.27 Tidak seperti surat Mekah yang tidak mengandung perintah dalam pengertian legislasi, surat Madinah terdiri dari beberapa peraturan yang mengharuskan pembentuk-an masyarakat Muslim baru yang merupakan struktur manusia dan struktur etis.28 Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa konsep sebab-akibat dalam al-Quran berkaitan erat dengan worldview Islam.

Terkait worldview, sangat penting untuk dicatat bahwa kon-sep kausalitas dalam al-Quran dapat ditelusuri pada konsep se-bab Ilahi. Dalam konsep ini terkandung gagasan penciptaan yang diungkapkan dalam berbagai istilah, seperti khalq, khÉliq, bÉrÊ, faÏara, fÉÏir, dan badÊ’. Istilah-istilah penciptaan ini memiliki acuan kepada tatanan adikodrati wujud dan Tuhan, Sang Pencip-ta, yang mengatur keseluruhan worldview Islam. Dari perspektif

23 Al-Quran, surat ØÉd (38) ayat 71-72.24 Al-Quran, surat FÉÏir (35) ayat 39.25 Al-Quran, surat YËnus (10) ayat 35; al-DhÉriyÉt (51) ayat 20-21.26 Al-Quran, surat al-RËm (30) ayat 40.27 Al-Quran, surat al-Baqarah (2) ayat 28-30; al-Tawbah (9) ayat 51; al-ÙalÉq

(65) ayat 3.28 Ayat-ayat yang berkenaan dengan kaum munafik, yang termasuk dalam

struktur etis, misalnya hanya ada dalam surat Madinah (al-NisÉ’ [4] ayat 144; lihat seluruh surat al-MunÉfiqËn [63]).

Page 50: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

35

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

inilah worldview al-Quran, termasuk konsep kausalitasnya, berbeda secara diametral dengan worldview jahiliyah (jÉhilÊ weltanschauung),29 pandangan Yunani tentang kosmos, ataupun worldview Barat modern sekuler.

Dalam worldview al-Quran, dunia dengan seluruh sebab ala-minya sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, tempat siapa pun berutang wujud, ketertiban, dan harmoni. Dunia meru-pakan isyarat yang menunjuk kepada sesuatu yang “melampaui” dirinya sendiri, yang tanpanya dunia menjadi tidak masuk akal. Sedangkan bagi worldview yang lain, dunia adalah realitas abso-lut, entitas-yang-menghidupi-dirinya-sendiri dan bisa dipahami menurut dirinya sendiri. Masalah yang jelas bagi worldview yang lain itu adalah tidak dilihatnya alam semesta yang teratur sebagai tanda atau mukjizat yang menunjuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri. Worldview yang lain hanya melihat proses alam sebagai sesuatu yang memiliki sebab-sebab mandiri dan sebagai realitas tertinggi; serupa tidak pedulinya dengan isyarat yang menunjuk pada sesuatu yang di luar dunia ini. Perhatian mereka hampir se-cara eksklusif berpusat pada rentang kehidupan di Bumi, di dunia yang sekarang, dengan penekanan utama pada akhir kehidupan. Apa yang akan datang setelah masa hidup ini bukanlah urusan mereka.

Bergeser dari perspektif pembentukan worldview, kita akan mengelaborasi konsep sebab-akibat dalam al-Quran dari dua tema fokus: sebab-akibat dalam peristiwa alam dan tindakan ma-nusia. Yang pertama memiliki sejumlah landasan pada masalah penciptaan dan masalah makhluk (ÑÉlam) yang membawa kon-sep realitas (al-ÍaqÊqah), sedangkan yang kedua berkaitan erat dengan gagasan kompleks tentang hakikat manusia, takdirnya, kebebasannya, dan—yang lebih penting—kemampuannya dalam

29 Menurut Izutsu, worldview jÉhili tidak mengandung sesuatu yang sangat penting bagi bidang semantik tentang makhluk supranatural, yang berarti bahwa ide tentang Allah sebagai sumber utama eksistensi manusia sangat kecil artinya bagi pikiran orang Arab pra-Islam. Izutsu, T.. God and Man in the Kur’an: Semantics of the Koranic Weltanschauung, (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964), hlm. 130.

Page 51: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

36

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

menangkap realitas dan kebenaran (al-Íaqq). Jadi, inti masalah-nya adalah konsep alam dan manusia, namun yang paling utama dan mendasar adalah konsep Tuhan.

Kausalitas di Alam

Paparan konsep al-Quran tentang sebab-akibat dalam peris-tiwa alam mensyaratkan pemahaman konsep penciptaan menurut al-Quran dikarenakan sebab-akibat berada di dalam struktur alam semesta yang diciptakan. Sesungguhnya al-Quran mengandung sedikit acuan tentang kosmogoni,30 tetapi ayat-ayat yang berbi-cara tentang penciptaan segala sesuatu, termasuk manusia, langit dan Bumi, dan makhluk lainnya, bertebaran di banyak lembaran halaman al-Quran, yang darinya kita dapat memahami kan dungan konsep kausalitas.

Ada istilah-istilah yang berbeda yang digunakan oleh al-Quran untuk mengekspresikan gagasan penciptaan, seperti kha-laqa, faÏara, bada’a, sakhkhara, dan ansha’a. Khalaqa adalah istilah paling umum yang digunakan untuk menunjukkan pen-ciptaan segala sesuatu termasuk manusia, hewan, tumbuhan, ma-tahari, bulan, bintang, Bumi dan langit, ruh dan malaikat. Kata faÏara31 (dalam bentuk kata kerja) lebih banyak digunakan dalam hubungannya dengan manusia.32 Bentuk kata kerja bara’a tidak

30 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Minneapolis: Bobliotheca Islamica, 1994), hlm. 65-66; selanjutnya ditulis Major. Juga M. Abdul Haq Ansari, “The Creation of the Heaven and The Earth in the Bible and the Qur’an”, dalam Khurshid Ahmad & Zafar Ishaq Ansari (ed.), Islamic Per-spective, Studies in Honour of Sayyid Abul A’la al-Mawdudi, (Leicester-Jeddah: Islamic Foundation, 1979), hlm. 77-78.

31 FaÏara berarti penciptaan materi awal (primeval) yang kemudian men-jalani proses berikutnya. Lihat Lane, E. W. An Arabic-English Lexicon, edisi litografi, (London: Williams and Norgate, 1863); dicetak ulang da-lam 2 jilid, (Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), lema faÏara.

32 Al-Quran, surat al-‘AnkabËt (30) ayat 30; HËd (11) ayat 51; YÉsÊn (36) ayat 22; al-Zukhruf (43) ayat 27; al-IsrÉ’(17) ayat 51; ÙÉhÉ (20) ayat 72, dan dalam bentuk partisipatif aktif (fÉtir) telah digunakan dalam konteks langit dan bumi—lihat: al-An‘Ém (6) ayat 14, 79; YËsuf (12) ayat 101; al-IbrÉhÊm (14) ayat 10; FÉÏir (35) ayat 1; al-Zumar (39) ayat 46; al-ShËrÉ (42) ayat 11.

Page 52: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

37

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pernah digunakan untuk menunjukkan arti penciptaan dalam al-Quran, meskipun al-Bāri (yang berarti “Pemula”) merupakan sa-lah satu sifat Tuhan.33 Hal yang sama berlaku pada bentuk kata kerja bada’a, yang juga berarti “Pemula”, selama ini digunakan hanya dalam konteks langit dan Bumi.34

Tema utama yang dapat dipahami dari ayat-ayat ciptaan Tu-han adalah bahwa Tuhan adalah Pencipta segala sesuatu, tidak ada pencipta selain Dia. Makhluk-Nya bukan hanya yang bisa di-lihat dengan mata, tetapi juga yang tak terlihat, semisal jiwa, ma-laikat, jin, dan setan. Cara Tuhan menciptakan semua makhluk, pada umumnya, digambarkan dengan perintah-Nya, “Jadi, maka jadilah.”35 Dia menciptakan (khalaqa, faÏara, bada’a, ansha’a) langit dan Bumi dan segala yang ada di antara mereka.36 Dia (Tu-han) menciptakan (khalaqa) segala sesuatu37 dan memberikan kepada masing-masing ukurannya.38 Salah satu perhatian yang dapat diturunkan dari tema ini adalah status keterciptaan alam semesta, dengan tatanan, stabilitas, dan keteraturan yang harmo-nis. Ketika Tuhan menciptakan sesuatu, Dia juga menciptakan di dalamnya kapasitas atau batas-batas perilaku, yang disebut dalam al-Quran sebagai qadar atau “ukuran”. Ayat-ayat berikut adalah beberapa contoh yang menggambarkan baik qadar atau ukuran berlaku dalam setiap makhluk:

Segala sesuatu berfungsi menurut kadarnya.39 Sungguh, Kami telah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran (bi

33 Bahkan kata al-BÉrÊ hanya digunakan dua kali dalam al-Quran, yakni su-rat al-Hashr (59) ayat 24 dan al-Baqarah (2) ayat 54.

34 Al-Quran, surat al-Baqarah (2) ayat 17; al-An‘Ém (6) ayat 101.35 Al-Quran, surat al-Baqarah (2) ayat 111; Ali Imran (3) ayat 47, 59; al-

An‘Ém (6) ayat 73; al-NaÍl (16) ayat 40; al-Maryam (19) ayat 35; YÉsÊn (36) ayat 35, 82; al-Mu’min (40) ayat 68.

36 Al-Quran, surat al-Hijr (15) ayat 85; ØÉd (38) ayat 27; al-Baqarah (2) ayat 116-117; al-An‘Ém (6) ayat 14; al-‘AnkabËt (29) ayat 20.

37 Al-Quran, surat al-Ra‘d (13) ayat 16; al-Zumar (39) ayat 62; al-Mu’min (40) ayat 62.

38 Al-Quran, surat al-Qamar (54) ayat 49; al-FurqÉn (25) ayat 2; al-A‘lÉ (87) ayat 2-3.

39 Al-Quran, surat al-Ra‘d (13) ayat 17.

Page 53: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

38

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

qadar).40 Sesungguhnya Allah telah memberikan ukuran (sesuai proporsi) (qadr) untuk semua hal.41 Hujan diturunkan dari langit sesuai dengan ukuran dan Tuhan membuatnya tersimpan di da-lam tanah.42

Qadar atau ukuran dalam ayat-ayat di atas harus dipahami sebagai pola, disposisi/kecenderungan, tren atau dalam penger-tian umum sebagai “determinisme holistik”. Pemahaman tersebut berlaku tidak hanya dalam hal peristiwa dan tindakan tertentu, tetapi juga dalam kaitannya dengan teori takdir. Hal ini juga dapat dilihat dari perbedaan mendasar antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Tuhan tak terbatas dan mutlak, sedangkan ciptaan-Nya terbatas dan bergantung pada-Nya. Dengan demikian, “diukur” dalam hal ini paling baik dipahami sebagai “terbatas”.43 Selain itu, ukuran dalam sesuatu yang diciptakan sama sekali bukan berarti kemer-dekaan mereka; sebaliknya, ia menunjukkan ketergantungan ke-pada Tuhan. Ketika Tuhan menciptakan sesuatu dengan ukuran-nya, pada saat yang sama Dia memberikan bimbingan atau perin-tah-Nya secara berkelanjutan. Al-Quran surat al-A‘lÉ (87) ayat 2-3 menyatakan, “Dia yang menciptakan [sesuatu] dan memberi perintah dan proporsi, dan yang mengukur [mereka] (qaddara) dan karenanya memberi bimbingan.” Juga dalam al-Quran surat ÙÉhÉ (20) ayat 50 disebutkan, “Dia memberikan segalanya ben-tuk dan kemudian memandu[nya].” Ayat-ayat berikut ini harus dipahami dalam kejelasan makna serupa:

Dialah yang menurunkan air dari awan untuk menumbuh-kan berbagai jenis tanaman. Dia mengeluarkan buah-buahan segar dari bermacam tumbuhan dan berbagai jenis biji-bijian. Dari pucuk pohon kurma, Dia mengeluarkan pelepah kering, mengandung buah yang bisa dipetik. Dengan air itu Dia me-

40 Al-Quran, surat al-Qamar (54) ayat 49.41 Al-Quran, surat al-ÙalÉq (65) ayat 3.42 Al-Quran, surat al-Mu’minËn (23) ayat 18; al-Zukhruf (43) ayat 11.43 Fazlur Rahman, Major, 67. A. Yusuf Ali juga menafsirkan kadar sebagai

batasan; artinya, segala sesuatu memiliki waktu, tempat, dan kesempatan yang ditentukan. Tidak ada yang terjadi kecuali menurut hukum dan ren-cana Tuhan, lihat Abdullah Yusuf Ali, The Meaning, hlm. 1394.

Page 54: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

39

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

numbuhkan berbagai macam kebun: anggur, zaitun dan deli-ma.44

Kami telah mencurahkan hujan dari langit sederas-derasnya, Kami telah menjadikan Bumi merekah dengan tumbuh-tumbuhan. Kami tumbuhkan biji-bijian dari Bumi, yang sebagian dimakan dan sebagian disimpan. Anggur dan tumbuhan yang dimakan dalam keadaan segar. Buah zaitun yang berkualitas baik dan pohon kurma yang produktif dan menghasilkan buah.45

Ukuran dapat diartikan pula sebagai hukum yang ditahbiskan,46 dan karena itu seluruh alam tampak seperti sebuah struktur yang kokoh dan terangkai dengan baik tanpa celah, retakan dan dis-lokasi.47 Alam semesta diciptakan sedemikian rupa sehingga ia memiliki sistem yang tertata dan terpadu, yang bekerja dengan hukum-hukumnya sendiri, serta dengan stabilitas dan keteraturan alam yang telah tertanam di dalamnya. Apa pun yang dihasilkan dari ciptaan-ciptaan-Nya ini sudah diatur dalam keseimbangan.48 Alam semesta laksana mesin raksasa: bekerja dalam hukum-hukum yang ditahbiskan dengan keteraturan dan proses kausal, bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena kehendak Sang Penciptanya.

Oleh karena itu, proses kausal di alam dirancang dari awal penciptaan, dan berlanjut seterusnya, dengan Tuhan memutuskan aturan kausalitas dalam segala hal.49 Dengan demikian, tidak ada penolakan kausalitas jika dipahami dengan baik. Jika kita mena-bur benih dan memelihara, kita dapat berharap untuk menuai panen; sebaliknya jika tak menabur, tentu tidak ada panen. Jika kita membangun sebuah kapal dan menempatkannya di laut, dan

44 Al-Quran, surat al-An‘Ém (6) ayat 99.45 Al-Quran, surat ‘Abasa (80) ayat 25-29.46 Lihat contohnya A. Yusuf Ali, The Meaning, hlm. 1636, lihat catatan no-

mor 6082. 47 Al-Quran, surat al-Mulk (67) ayat 3-4.48 Al-Quran, surat al-Hijr (15) ayat 19.49 Al-Quran, surat al-A‘rÉf (7) ayat 54; al-Qamar (54) ayat 49; al-Hijr (15)

ayat 21.

Page 55: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

40

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

anginnya menguntungkan, kita dapat mengantisipasi perniagaan yang menguntungkan; sebaliknya tidak. Keputusan adanya aturan kausalitas dalam segala sesuatu (yang merupakan sistem tertata) dapat dipahami sebagai otonom; maknanya, kausalitas bekerja dengan hukum-hukum bawaan sendiri.

Akan tetapi, tidak bisa diasumsikan bahwa setelah mencip-takan segala sesuatu bersama dengan hukum sebab-akibatnya, Tuhan beristirahat di singgasana-Nya tanpa aktivitas penciptaan lagi. Tidak juga berarti bahwa Tuhan bertindak sebagai tambahan dari kerja manusia dan alam. Tentang alam ini Fazlur Rahman mengekspresikan dengan kata-kata “(alam) ini otonom tetapi ti-dak otokratis (mengatur diri sendiri), karena dari keberadaannya alam ini tidak mengandung sesuatu yang final”.50 Dengan kata lain, alam semesta tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri, tidak memiliki justifikasi bagi keberadaannya sendiri, dan bukan yang paling utama dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, selain se-bab-akibat alam ini, ada sebab-akibat lain yang lebih tinggi, yang dari-Nya seluruh proses alam berasal, yaitu sebab-akibat Ilahi.

Selain itu, sistem alam semesta yang teratur dan sempurna51 (biasanya disebut “tanda alam”) pada dirinya sendiri merupakan keajaiban dan berfungsi sebagai pertanda Tuhan bagi manusia. Karena sebagian orang meremehkan dan mengabaikan tanda-tan-da itu,52 Tuhan menunjukkan kuasa dan kemampuan-Nya untuk mengalihkan, menahan, atau menangguhkan sementara efektivi-tas sebab-sebab alamiah. “Jika Kami ingin, Kami dapat menye-babkan Bumi menelan mereka, atau membuat sepotong langit jatuh menimpa mereka....”53 Kasus api yang menjadi dingin dan aman bagi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke dalamnya untuk dibakar, dan juga dengan tongkat Musa yang berubah menjadi ular, keduanya bukti kekuasaan Tuhan menangguhkan efektivi-

50 Fazlur Rahman, Major, hlm. 66. 51 Al-Quran, surat QÉf (50) ayat 6-7; al-DhÉriyÉt (51) ayat 47-48.52 Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia

saja, kita hidup dan mati, dan hanya (proses alami) masa yang membina-sakan kita.” Al-Quran, surat al-JÉthiyah (45) ayat 24.

53 Al-Quran, surat Saba’ (34) ayat 9.

Page 56: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

41

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

tas sebab-sebab alamiah. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa “keajaiban supranatural” itu diwujudkan di tangan Rasul Tuhan untuk mendukung kebenaran pesan yang ia bawa, dan tentu saja, hal ini tidak akan pernah terjadi tanpa izin-Nya. 54 Namun, tanda supranatural ini tidak boleh dirancukan dengan sihir atau sulap, yang merupakan suatu ilusi, tidak nyata, dan mendistorsi realitas. Al-Quran mendorong manusia untuk memahami tanda alam me-lalui akal mereka. Namun, khusus untuk memahami “keajaiban supranatural”, manusia membutuhkan kemampuan iman.

Selain masalah sebab-akibat alamiah, al-Quran juga meng-andung gagasan sebab-akibat pada manusia. Karena keterbatasan halaman dalam buku ini, saya sengaja tidak menjabarkannya se-cara rinci.

KAUSALITAS DALAM TRADISI KALAM

Bahasan utama Kalam adalah konsep tentang ketuhanan se-hingga Kalam lazim dianggap sebagai ilmu yang berkaitan de-ngan Tuhan atau teologi. Subjek Kalam sebenarnya tidak hanya terbatas pada topik tentang Tuhan (dalam arti teologis), tetapi juga mencakup topik lain yang beragam, seperti logika, epistemologi, kosmologi, psikologi, dan lain-lain yang termasuk dalam domain filsafat dalam pengertian klasik. 55 Penelusuran umum terhadap karya-karya ahli ilmu Kalam (mutakallimËn), baik di masa-masa awal maupun akhir, menunjukkan bahwa diskusi mereka men-cakup isu-isu teologis maupun filosofis. 56 Jadi, karena pokok

54 Al-Quran, surat al-Mu’min (40) ayat 78.55 M.M. Sharif memasukkan Kalam (kalÉm) di bawah judul “Theologico-

Philosophical Movements”, Lihat M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrasowitz, 1963), hlm. 199. Lihat juga Alnoor Dhanani, The Physical Theory of KalÉm: Atom, Space and Void in Basrian Mu‘tazilite Cosmology, (Leiden: E.J. Brill, 1994), hlm. 2-3.

56 Dalam MaqÉlÉt al-IslÉmiyyÊn, al-‘Ash‘arÊ (324/935) menggabungkan pembahasan masalah-masalah teologis dengan topik-topik kosmologi, ontologi, dan psikologi. Lihat AbË al-×asan al-Ash‘arÊ, MaqÉlat al-Is-lÉmiyyÊn wa IkhtilÉf al-MuÎsallÊn, 2 jilid, MuÍammad MuhyÊ al-DÊn ‘Abd al-×amÊd (ed.), (Kairo: Maktaba al-NahÌah al-MiÎriyyah, 1954); ‘AÌu al-DÊn al-ÔjÊ (756/1355) dalam MawÉqif mengabdikan dua bagian untuk

Page 57: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

42

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bahasan yang hampir sama dengan falsafah, Kalam seharusnya tidak diklasifikasikan sebagai teologi semata; Kalam serupa de-ngan filsafat, atau bagian dari filsafat, atau malah filsafat tersen-diri. 57 Dengan diposisikan sebagai teologi di satu sisi, dan seba-gai filsafat di sisi lain, Kalam dapat dipandang sebagai “filsafat Islam” yang murni. Tentu saja filsafat di sini berbeda dari falsa-fah yang mengacu pada filsafat Neo-Platonisme dan peripatetik Muslim. 58 Pokok bahasan Kalam dan falsafah masih berada da-lam batasan filsafat Islam, walaupun keduanya harus diuraikan secara terpisah.

Catatan penyederhanaan ini memberi kita petunjuk bahwa masalah kausalitas, yang dibahas dalam buku ini, terletak dalam ranah disiplin seperti itu, dengan titik awalnya doktrin teologis dan kendaraannya berupa argumen filosofis. Dalam bab ini, pem-bahasan akan dibatasi hanya untuk tradisi Kalam sebelum masa al-GhazÉlÊ.

Sumber Teori

Kajian komprehensif menunjukkan bahwa isi al-Quran ter-diri dari struktur konseptual yang menentukan worldview Islam. 59 Bahasan sebelumnya dengan jelas memperlihatkan bahwa kausa-litas merupakan salah satu konsep kunci dalam worldview Islam. Karena konsep ini terletak dalam struktur konseptual Qurani, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan konsep-konsep lain dalam struktur tersebut, seperti konsep dunia, manusia, etika, pengetahuan, dan terutama Tuhan. Dari sumber dasar inilah para pemikir Muslim awal, termasuk mutakallimËn, menemukan se-

memperbincangkan epistemologi, ontologi, aksiden, dan hal (bodies), daripada semata untuk teologi.

57 Richard M. Frank, “The Science of KalÉm”, Arabic Sciences and Philoso-phy, vol. 2, no. 1 (March, 1992), hlm. 16; Craig mendefinisikan Kalam sebagai “teologi natural atau teisme filosofis”, lihat William Lane Craig, The KalÉm Cosmological Argument, hlm. 4.

58 Tentang konsep filsafat Islam murni, lihat Alparslan Açikgenç, “A Con-cept of Philosophy in The Qur’anic Context, The American Journal of Islamic Social Science, vol. 11, no. 22, (1995), hlm. 155-182.

59 Açikgenç, Islamic Science, hlm. 20-26.

Page 58: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

43

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

jumlah konsep kunci dan menjelaskannya dalam kesesuaiannya dengan konsep-konsep Islam lainnya, ketimbang kebersesuaian dengan filsafat Yunani sebagaimana diasumsikan oleh sebagian sarjana. 60

Sejalan dengan struktur konseptual itu, mutakallimËn berse-pakat bahwa Tuhan ada dan merupakan sebab dari semua keber-adaan. Dengan kehendak dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, Tuhan menciptakan dunia; semuanya sendiri tanpa perantara. Dia juga mengatur dunia semuanya seorang diri tanpa perantara.

61 Kalangan mutakallimËn menolak konsepsi Tuhan yang tak ber-kehendak (non-volitional) dan Sebab Yang Jauh, serta menolak konsepsi tentang sesuatu yang memiliki kekuatan sebab-akibat.

Meskipun minimal, dasar dari prinsip ini dapat dilacak dari kosmogoni al-Quran, terutama dari ucapan Tuhan: “Jadilah” (Kun). Penjelasan mutakallimËn tentang gagasan sederhana ini melibatkan bukti rasional bagaimana sesuatu dijadikan ada dan terus menjadi ada, dan—setelah beberapa waktu—berhenti men-jadi ada. Indikasi ini menjelaskan bahwa metafisika Kalam di-mulai dari dan didasarkan pada konsep Tuhan dan penciptaan62; berbeda secara diametral dari metafisika Aristoteles yang menja-dikan alam fisik sebagai titik tolaknya.63 Oleh karena itu, konsep

60 Lihat misalnya Majid Fakhry, Islamic Occasonalism, and Its Critique by Averroes and Aquinas, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1958), hlm. 22.

61 AbË al-×asan Ash‘arÊ, MaqÉlat, hlm. 181, 1, dan 3.62 Dalam diskusi tentang atom dan aksiden, Ibn Mattawayh menganggap Tu-

han sebagai objek pengetahuan, tetapi menjadi objek pengetahuan Tuhan dibahas secara terpisah dari atom dan aksiden karena Dia tidak memi-liki momen permulaan keberadaan. Ibn Mattawayh, al-Tadhkira fÊ AÍkÉm al-JawÉhir wa al-A‘rÉÌ, S.Lutf dan F.‘Awn (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1975), hlm. 33-34. Lihat juga Alnoor Dhanani, The Physical Theory of KalÉm, Atom, Space and Void in Basrian Mu‘tazilÊ Cosmology, (Leiden: E.J. Brill, 1994), hlm. 16-17. Buku al-Ash’ari, MaqÉlÉt, telah mendoku-mentasikan dengan baik perselisihan di antara para ahli ilmu Kalam ten-tang berbagai hal. Di buku ini konsep Tuhan banyak muncul dalam diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang rumit (daqÊq) seperti konsep tubuh, atom, aksiden, dan semacamnya. Lihat al-Ash’ari, MaqÉlÉt, vol. II, hlm. 4-16.

63 Lihat Majid Fakhry, “The Subject-Matter of Metaphysics: Aristotle and

Page 59: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

44

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kausalitas yang diyakini kalangan mutakallimËn adalah sebab-akibat Ilahi dan terkait erat dengan konsep penciptaan dibanding-kan konsep emanasi.

Kalangan mutakallimËn menyadari, dalam kosmogoni al-Quran, konsep Tuhan yang Mahakuasa menunjukkan bahwa Tuhan adalah sebab langsung dan sebab satu-satunya semua makhluk. Karena pemikiran-pemikiran tentang Tuhan tersebut masih berupa konsep-konsep awal, kalangan mutakallimËn harus mengembangkan teori tentang sesuatu dan raga dalam hubung-annya dengan Tuhan. Teori yang paling dominan adalah bahwa jasad merupakan gabungan dari atom dan aksiden yang melekat. Ini berarti bahwa dunia yang diciptakan terdiri dari atom dan ak-siden yang tak berjasad, yang melekat pada atom. 64 Tuhan telah menyusun (allafa) seluruh badan dari bagian-bagian (ajzÉ’), dan memiliki kekuasaan untuk membatalkan komposisi jasad atau membaginya lagi menjadi bagian-bagian. Jika kekuasaan Tuhan atas semua proses ini ditolak, maka dengan sendirinya menyang-kal kemahakuasaan Tuhan. Sebaliknya, mengakui kekuasaan Tu-han berarti mengakui bahwa Dia memiliki kekuasaan untuk me-nyusun atau membatalkan bagian-bagian tersebut ke dalam jasad. Bagian-bagian itu dinamakan jawhar atau atom.65 Argumen ini kemudian dikembangkan sebagai naÐariyyat al-jawhar.

Ibn SÊnÉ (Avicenna)”, dalam Michael E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani, (Albany: State University of New York Press, 1984), hlm. 140.

64 Teori-teori yang lain adalah: a) Hal-hal atau jasad berasal dari aksiden-aksiden, artinya dunia yang diciptakan terdiri dari aksiden-aksiden semata. Oleh karena itu, objek-objek dunia muncul dari sekumpulan aksiden yang mendefinisikan sifat dan perangkat mereka. b) Hal-hal atau jasad meru-pakan gabungan dari jasad fisik yang saling mempenetrasi, yang mengi-syaratkan bahwa dunia yang diciptakan hanya terdiri dari jasad semata dan karena itu objeknya berasal dari sekumpulan jasad fisik yang saling berpenetrasi. Lihat: Alnoor Dhanani, The Physical Theory, hlm. 4.

65 AbË MuÍammad ‘AlÊ ibn AÍmad Ibn Hazm, KitÉb al-FiÎal fÊ al-Milal wa al-AhwÉ’ wa al-Nihal Jilid 5 (dari 5 jilid), (Kairo: MaÏba‘ah al-MawsË‘at, 1317-1321 H.), hlm. 94. Untuk penjelasan terperinci tentang argumen bagi eksistensi atom, lihat Alnoor Dhanani, Physical Theory, hlm. 148-166.

Page 60: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

45

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Orang mungkin beranggapan bahwa istilah jawhar merupa-kan istilah tak jelas, yang dapat diartikan sebagai “atom” dalam pengertian Yunani. Sejak awal teori jawhar ditegakkan oleh bebe-rapa kalangan Mu‘tazilah 66 dan kian mapan dengan kemunculan Ash‘arÊyah. Pengembangan hingga mapan teori jawhar di tangan Ash‘arÊyah bukanlah semata-mata karena keberadaan Mu‘tazilah. Ketika Ash‘arÊyah mengandaikan dunia ini terdiri dari atom dan aksiden, misalnya, mereka mengacu pada pernyataan al-Quran bahwa Tuhan “menghitung jumlah setiap sesuatu” (wa aÍÎÉ kulla shay’ ‘adadan).67 Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan ga-gasan tentang atom dan aksiden, ayat ini mengindikasikan deng-an jelas bahwa sumber teori mereka adalah wahyu. Selain itu, kalangan mutakallimËn membangun teori secara hati-hati sehing-ga penggunaan istilah tersebut menjadi berbeda secara diametral dengan penggunaan oleh kalangan Yunani, Kristen, dan kalangan falāsifah. Orang-orang Kristen, misalnya, percaya bahwa jawhar berdiri dengan zatnya sendiri (al-qÉ’im bi dhÉtihÊ). Segala sesua-tu yang berdiri dengan zatnya sendiri, karenanya jawhar. Dalam hal ini, Tuhan adalah Jawhar tunggal yang memiliki tiga perwu-judan. 68 Bagi kalangan Kristen, atom diterapkan pada Tuhan Pen-

66 Hanya beberapa dari mereka karena al-NaÐÐÉm dan Mu‘ammar tidak percaya terhadap hukum alam dan sebab-sebab sekunder dibandingkan terhadap sebab langsung oleh Tuhan. Ibn Hazm dalam karyanya, KitÉb al-FiÎal, bahkan melaporkan bahwa teori atomisme dalam kalÉm awalnya dikembangkan untuk melawan pandangan pendukung Mu‘tazilah, khusus-nya al-NaÐÐÉm. Al-NaÐÐÉm, penentang atomisme di kalangan Mu’tazilah, dikenal memiliki gagasan bahwa eksistensi aktual mempunyai jumlah par-tikel (bagian) yang tak terbatas atau bahwa partikel-partikel tersebut bisa dibagi secara tak terbatas (bi lÉ nihÉya), yang berlawanan dengan gagasan tentang partikel yang tak terbagi (al-juz’ alladhÊ lÉ yatajazza’). Sangat mungkin ini pandangan AbË al-Hudhayl dan al-JubbÉ’Ê beserta pengikut mereka, yang percaya pada prinsip penciptaan abadi dan dengan demikian membenarkan konsep omnipotensi Tuhan yang Memiliki sebab-akibat langsung terhadap makhluk. MaqÉlÉt, hlm. 19-21, (vol. II, hlm. 10-13); Ibn Hazm, KitÉb al-FiÎal, hlm. 94.

67 Al-Quran, surat al-Jinn (72) ayat 28.68 Menurut ‘Abd al-JabbÉr, tiga sekte Kristen (yakni Jacobites, Nestorian,

dan Melkites), sepakat bahwa sang Pencipta, Tuhan adalah Jawhar tung-gal yang mempunyai tiga hipostasis (aqÉnÊm)—Bapa, Anak, dan Roh Ku-dus. Anak adalah Dunia, Roh adalah Kehidupan, sedangkan Bapa adalah yang Abadi dan yang Hidup. Tiga hipostasis ini sama dengan yang terjadi

Page 61: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

46

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

cipta; karena itulah Dia adalah Jawhar tunggal. Adapun bagi ka-langan mutakallimËn, atom ditujukan semata-mata bagi makhluk. Sifat khas teori ahli Kalam tentang atom juga diakui oleh Moses Maimonides (1135-1204) ketika ia menegaskan bahwa gagasan atomisme di mazhab Ash‘arÊyah tidak ditemukan “di antara se-sama kita kaum agama”, maksudnya teman-temannya kalangan Yahudi. 69 Dalam filsafat Yunani, atom dianggap sebagai benda jasad yang memiliki kualitas primer, sedangkan sebagian besar mutakallimËn berpendapat bahwa atom-atom (jawÉhir) bukanlah jasad.

Teori Jawhar dan ‘ArÌ

Dalam diskursus Kalam awal, ada makna yang berbeda-beda bagi istilah jawhar (atom). Makna yang paling umum adalah al-juz ‘alladhÊ lÉ yatajazza’ atau partikel yang tak terbagi. Ia meru-pakan substrata yang mendasari aksiden-aksiden dan bagian dari dunia yang tidak memiliki eksistensi independen. Ia bersandar hanya pada kuasa Tuhan yang terus-menerus menciptakan dan menciptakan kembali dunia atom-Nya. 70 Di sini teori jawhar ti-dak terlepas dari teori ‘arÌ (aksiden) yang secara historis dapat ditelusuri kembali ke mazhab Basrah, terutama AbË Ali al-JubbÉ‘Ê (wafat 303 H/915 M) dan para pengikutnya. Dia percaya bahwa jawhar adalah pembawa (ÍÉmil) aksiden. Ia mengklaim bahwa jawÉhir (jamak dari jawhar) adalah jawÉhir dalam dirinya sendiri (bi anfusihÉ) dan jawÉhir bisa diketahui sebelum menjadi ada. 71

pada jawhar, tetapi berbeda dalam hal hipostasisnya. Lihat ‘Abd al-JabbÉr al-×amdÉnÊ, al-MughnÊ fÊ AbwÉb al-TawhÊd wa al-‘adl Jilid 5 (dari 16 jilid), (Kairo: tanpa penerbit, 1960-1965), hlm. 81.

69 Lihat Moses Maimonides, The Guide of The Perplexed Jilid 1, terjemah-an bahasa Inggris dengan pendahuluan dan catatan oleh Shlomo Pines, (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1963), hlm. 177; bandingkan Encyclopedia of Islam, lihat “djawhar”, hlm. 494.

70 Encyclopaedia of Islam Jilid 2: “djawhar” hlm. 493-494; “Djuz”, 607-608.

71 Kelompok ini tampaknya merujuk pada doktrin Mu’tazilah dari Hasan Basri: objek-objek yang eksistensinya berpotensi sebagai objek-objek pengetahuan sebelum menjadi objek eksisten. Lihat Alnor Dhanani, Physical Theory, hlm. 27, 34, dan 56.

Page 62: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

47

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Posisi lain dapat ditemukan dalam gagasan al-ØÉlihÊ yang dengan nada serupa al-JubbÉ‘Ê percaya bahwa jawhar adalah apa yang mengandung (iÍtamala) aksiden. Dalam pandangannya, jawhar bisa eksis meskipun Tuhan mungkin tidak menciptakan aksiden di dalamnya. Ini bukan substrata (maÍall) dari aksiden, melain-kan pengandung (muÍtamil) bagi mereka. 72

Berbeda dengan gagasan sarjana Yunani tentang atom seba-gai benda jasad yang memiliki kualitas-kualitas primer, kalangan mutakallimËn berbeda-beda pendapat mengenai jawhar—apakah jasad ataukah bukan. Ada tiga pandangan mutakallimËn tentang masalah jawhar. Abu al-Hudhail (w. 226 H/841 M), Mu‘ammar (w. 215 H/830 M), dan HishÉm al-FuwÉtÊ (wafat paruh pertama abad ketiga) menyatakan bahwa semua atom (jawÉhir) bukan-lah jasad, karena dimensi jasad tidak bersesuaian dengan atom. 73 Pandangan ini kemudian diadopsi oleh AbË ‘AlÊ al-JubbÉ’Ê. Pan-dangan kedua, yang dikaitkan dengan al-ØÉliÍÊ, meyakini bah-wa semua atom adalah jasad. Pandangan ketiga dianut kalangan mutakallimËn periode berikutnya, seperti al-BÉqillÉni (w. 403 H/1013 M), yang menekankan perbedaan antara jawÉhir dan aj-sÉm (badan). 74 Ibn ×azm (w. 456 H/1064 M) pada masa yang lebih belakangan menegaskan kembali posisi al-ØÉliÍÊ bahwa jawhar memiliki pengertian yang sama dengan jism. 75 Banding-kan dengan pandangan kalangan falāsifah tentang adanya dua jenis zat (jawÉhir), yakni senyawa dan unsur; bila senyawa itu bukanlah jasad, unsur merupakan jasad. 76

Jelas bahwa sebagian besar mutakallimËn, kecuali al-ØÉliÍÊ dan Ibn ×azm, berpegang bahwa jawhar tidak memiliki dimensi sebagaimana jasad. Hal ini berlawanan dengan gagasan Demo-kritus, yakni atom memiliki kualitas dasar atau “kualitas primer”

72 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt, hlm. 8.73 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlat Jilid 2, hlm. 5.74 Al-BÉqillÉnÊ, KitÉb al-TamhÊd, Richard J. McCarthy (ed.), (Beirut: al-

Maktabah al-Sharqiyyah, 1957): paragraf 27-28.75 Ibn ×azm, KitÉb al-FiÎal Jilid 5, hlm. 210.76 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlat Jilid 2, hlm. 8.

Page 63: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

48

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

tertentu. Jawhar, menurut kalangan mutakallimËn, dilucuti dari semua kualitas atau properti primer atau sifat-sifat fisikal. Selain itu, jawhar bukan substansi, karena substansi digunakan untuk menggambarkan setiap entitas atau wujud dalam terminologi Kalam (seperti shay’, dhÉt, nafs,‘ayn), dan tidak satu pun jenis entitas primer.77 Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bah-wa jawhar bukanlah jasad. Jasad atau jasmani yang kita pahami adalah entitas gabungan, yang tersusun dari “atom” (jawÉhir) dan aksiden.

Walau memiliki pandangan berbeda-beda tentang atom, ka-langan mutakallimËn lebih banyak mengulas seputar teori ‘arÌ (aksiden) bila dikaitkan dengan problem kausalitas. Al-Ash‘arÊ menulis lebih banyak pasal (sekitar 20 pasal) perihal perbedaan pendapat tentang ‘arÌ (aksiden) dibanding perihal kontroversi keberadaan atom. Ini dapat diambil sebagai contoh pembahasan di kalangan mutakallimËn bahwa keberadaan atom tidak begitu banyak diperdebatkan dibandingkan tentang aksiden.

Berbeda dengan jawhar, istilah ‘arÌ (aksiden) secara eksplisit mengacu pada istilah teknis dalam al-Quran. Al-Ash‘arÊ menya-takan bahwa Abu al-Hudhail dan al-NaÐÐÉm berargumen bahwa ‘arÌ atau aksiden disebut demikian karena ia hadir (ta’tariÌ) di jasad dan hidup di dalamnya. Al-BÉqillÉnÊ menyatakan bahwa a‘rÉÌ disebut demikian hanya karena tidak memiliki daya tahan. Seperti pengikut Ash‘arÊyah lainnya, al- BÉqillÉnÊ juga berpenda-pat dengan mengacu pada ayat al-Quran, qÉlË hÉdhÉ ‘ÉriÌun mumÏirunÉ (Quran surat al-AíqÉf ayat 24). Awan disebut ‘ÉriÌ karena tidak bertahan. Juga ayat turÊdËna ‘araÌa al-dunyÉ (surat al-AnfÉl ayat 67), (kamu mencari kepentingan-kepentingan du-niawi), diartikan sebagai hal-hal yang berlalu dan menghilang. Oleh karena itu, barang-barang material atau kekayaan (al-mÉl) disebut ‘arÌ. Ini adalah bukti lain bahwa, sama seperti teori atom,

77 Untuk penjelasan mendetail, lihat Alnoor Dhanani, Physical Theory, hlm. 59; juga Richard Frank “Bodies and Atoms: The Asha’arite Analysis” da-lam Michael E. Marmura, (ed.), Islamic Thought and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani, (Albany: State University of New York Press, 1984), hlm. 290-291, catatan 19.

Page 64: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

49

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

teori aksiden berasal dari sumber yang sama: al-Quran. Diskusi etimologis ini menunjukkan bahwa ‘arÌ adalah istilah teknis yang jauh sebelumnya telah mapan dalam tradisi Kalam, dan itu dipe-ngaruhi oleh penggunaan istilah dari al-Quran. 78 Ini menunjuk-kan bukti lebih lanjut bahwa al-Quran amat berperan dalam me-mahami dunia dan dalam membentuk worldview Islam.

Berkenaan dengan teori aksiden dalam Kalam, kita akan membahas beberapa prinsip penting yang cukup mendasar dan diterima secara luas di seluruh Kalam atomistik. 79 Tapi, sekali lagi, ini akan terbatas pada teori-teori yang berkaitan langsung dengan masalah kausalitas yang kita diskusikan saat ini. Tiga prinsip aksiden adalah sebagai berikut:

1. Aksiden (a‘rÉÌ) adalah kualitas-kualitas yang ditambahkan pada tom.

Tidak ada jasad yang tidak memilikinya, satu atau lebih. Ak-siden-aksiden ini selalu dalam pasangan yang berlawanan, seper-ti hidup-mati, gerak-diam, pengetahuan-kebodohan, sedangkan atom harus memiliki salah satu dari pasangan tersebut. Jika tidak ada aksiden kehidupan yang bertahan dalam sebuah atom, maka aksiden kematian yang akan hadir, karena penerima tidak dapat menerima dua aksiden yang bertentangan pada satu waktu. Jika aksiden kehidupan bertahan, aksiden-aksiden lain seperti penge-tahuan atau ketidaktahuan, kekuasaan atau ketidakberdayaan dan sejenisnya, akan ada secara tak terelakkan.80 Poin ini, seperti yang akan kita lihat, dipakai oleh al-GhazÉlÊ dalam mendukung kon-sepnya tentang kausalitas.

78 Shlomo Pines, Studies in Islamic Atomism, terjemahan bahasa Inggris oleh Michael Schwarz, diedit oleh Tzvi Langermann, (Jerusalem: The Magnes Press, The Hebrew University, tanpa tahun), hlm. 21.

79 Maksudnya adalah kajian para ulama Kalam yang mendukung prinsip jawhar atau atom dalam membahas masalah suatu ciptaan. Untuk tujuan ini akan dirujuk catatan al-Ash‘arÊ dalam MaqÉlÉt dan Moses Maimonides dalam buku The Guide.

80 Moses Maimonides, The Guide, hlm. 200.

Page 65: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

50

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

2. Aksiden mungkin tidak mengandung aksiden lain.

Aksiden memiliki atom sebagai substratanya (tempatnya), dan substrata dengan aksiden yang dapat melampirkan dirinya sendiri ini harus stabil dan bertahan selama beberapa waktu ter-tentu. Karena tidak bisa bertahan dalam dua satuan waktu, sebuah aksiden tidak dapat berfungsi sebagai tempat bagi aksiden lain selain dirinya.81

3. Aksiden adalah fana.

Semua mode keberadaan (being) seperti penciptaan (khalq), daya tahan (baqÉ’), kepunahan (fanÉ’) adalah a‘rÉÌ, dan a‘rÉÌ tidak dapat bertahan dalam dua satuan waktu. Andaikata aksiden dianggap ada secara terus-menerus, maka keberadaan mereka mestinya di dalam dan dengan diri mereka sendiri, atau dengan cara “bertahan” (baqÉ’) yang inheren dalam diri mereka. Akan tetapi, aksiden tidaklah bisa eksis di dalam dan dengan dirinya sendiri, dikarenakan yang demikian itu berarti mereka terus eksis di saat mereka terjadi—dan ini bertentangan dengan dirinya sen-diri. Aksiden juga tidak bisa terus eksis melalui sifat “bertahan” (baqÉ’) yang terdapat dalam (Íadatha) dalam diri mereka, dika-renakan yang demikian itu melanggar aturan bahwa a‘rÉÌ tidak bisa menanggung a‘rÉÌ lainnya. Dengan demikian, a‘rÉÌ tidak-lah bertahan, namun hanya memiliki eksistensi sesaat. 82

Teori-teori aksiden di atas sejalan dengan teori atom yang di-konsepsikan al-ØÉlihÊ dan al-JubbÉ‘Ê, yakni jawhar mengandung (iÍtamala) aksiden. Teori-teori tersebut juga menunjukkan bahwa aksiden-aksiden tertentu dapat berlaku satu dengan yang lain, se-lagi tidak dengan yang berlawanan. Aksiden tidak bisa eksis da-lam aksiden yang lain, karena sesuatu yang tidak stabil tidak da-pat menjadi tempat bagi sesuatu yang tidak memiliki daya tahan. Teori ini tidak menyangkal bahwa atom bisa saja memiliki lebih

81 Ibid, hlm. 205; al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 44; Ibn ×azm, KitÉb al-FiÎal Jilid 5, hlm. 106.

82 Argumen kesementaraan a‘rÉÌ dianggap berasal dari al-ShaÏawÊ, AbË al-QÉsim al-BalkhÊ ‘Abd AllÉh al-IÎbahÉnÊ; lihat al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 44.

Page 66: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

51

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dari satu aksiden. Yang paling mendasar adalah aksiden bersifat temporal dalam jasad.

Berdasarkan temporalitas aksiden, para pengikut Ash‘arÊyah menafsirkan bahwa atom bersifat temporal. 83 Temporalitas atom, menurut Ash‘arÊyah, diterima ketika bukti temporalitas aksiden mapan, karena aksiden adalah kualitas yang terdapat di dalam atom. Aksiden ini, menurut mereka, aksiden gerak, diam, rasa, bau, panas, dingin, kelembapan, kekeringan, dan semua aksiden lainnya. Ketika aksiden terjadi di dua keadaan berbeda, mereka membutuhkan durasi untuk setiap keadaan, yang karena itulah semua aksiden untuk sementara harus ada dalam atom. 84 Teori atom dan aksiden tampaknya teori yang tepat guna membukti-kan temporalitas dunia. Alasannya, jika ditetapkan bahwa atom dan aksiden itu temporal, maka artinya dunia—yang terdiri dari atom dan aksiden—juga temporal. Selain itu, dikarenakan aksi-den merupakan sifat yang diperoleh jasad atau ditiadakan dari ja-sad, dan aksiden juga saling menggantikan satu sama lain, maka keadaan jasad (ÍÉl) berubah.

Dengan demikian, temporalitas dunia memastikan temporali-tas atom dan aksiden, yang atas dasar itu penyebab transformasi di dunia dapat terjadi. Dari teori inilah kalangan mutakallimËn membela konsep Kemahakuasaan Tuhan yang memiliki kekua-saan mutlak atas ciptaan-Nya, khususnya dalam menciptakan dan menghancurkan makhluk.

Aksiden dan Sebab Ilahi

Sekarang kita akan menerapkan teori atom dan aksiden un-tuk memecahkan masalah penciptaan dan peniadaan oleh Tuhan, dengan menunjukkan proses transformasi di dunia melalui teori atom dan aksiden. Menurut teori ini, aksiden diciptakan Tuhan pada saat tertentu ketika Dia ingin menciptakan jasad. Berkenaan dengan alasan mengapa aksiden tertentu ditemukan di dalam ja-

83 AbË ManÎËr al-BaghdÉdÊ, UÎËl al-DÊn, (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), edisi ke-3, hlm. 33.

84 Ibid, hlm. 56.

Page 67: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

52

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

sad pada saat tertentu, kalangan mutakallimËn mendasarkan ar-gumen mereka pada prioritas (awlawiyyah), yang berarti bahwa salah satu dari dua aksiden yang berlawanan memiliki prioritas eksistensi dalam jasad atas eksistensi yang lain. Misalnya, “ge-rakan” dan “diam” adalah dua aksiden yang berlawanan yang sa-ma-sama “layak” dan juga “berhak” (istiÍqÉq) diwujudkan dalam jasad. Prioritas aksiden tertentu untuk eksis dalam jasad adalah karena sesuatu yang disebut ma‘nÉ atau entitas. Gerak lebih pen-ting dari diam dan ada dalam jasad tertentu, karena ada ma‘nÉ al-Íarakiyyah dalam jasad itu. Gagasan ini dapat ditelusuri kem-bali ke pandangan Mu‘ammar bahwa gerak berbeda dari diam bukan karena keunggulan esensinya melainkan karena keung-gulan entitasnya (ma‘nÉ) yang mewajibkan perbedaan. Ke-lain-an (mughÉyarah) antara sesuatu dan kemiripan (mumÉthalah) di antara mereka serta kontradiksi (taÌÉdd) antara dua hal yang bertentangan semuanya adalah karena entitas. 85 Oleh karena itu, al-Ash‘arÊ menyimpulkan bahwa sebagian besar mutakallimËn setuju dengan kesepakatan bahwa aksiden (a‘rÉÌ) adalah enti-tas-entitas (ma‘ÉnÊ) yang terdapat di dalam jasad.86 Selanjutnya, mazhab Ash‘arÊyah mengembangkan gagasan ini menjadi kaidah umum: “Setiap perubahan sifat (waÎf) dalam wujud disebabkan oleh entitas (ma‘nÉ) yang mengambil tempat di dalamnya.” 87

Selain itu, proses Tuhan menghancurkan jasad juga dapat di-pahami dari teori aksiden. Menurut al-BaghdÉdÊ, Tuhan meng-hancurkan jasad dengan tidak menciptakan di dalamnya masa atau durasi keberadaan jasad tersebut.88 Namun, al-BÉqillÉnÊ me-nyangkal bila masa atau durasi itu menambah ma‘nÉ pada wujud esensi sesuatu yang bertahan atau hidup. Penghancuran jasad, ba-ginya, bukan dikarenakan terputusnya (qaÏ‘) masa atau durasi se-

85 Al-ShahrastÉnÊ, al-Milal, hlm. 46, 11, dan 17-18; 1, 19. Bandingkan, Wolf-son, H.A, The Philosophy of KalÉm, hlm. 153 dan halaman-halaman se-lanjutnya.

86 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 53; bandingkan dengan al-BÉqillÉnÊ, Ki-tÉb al-TamhÊd, hlm. 18.

87 Al-BaghdÉdÊ, UÎËl, hlm. 55.88 Ibid, hal. 230, hlm. 13-14.

Page 68: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

53

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

suatu itu, melainkan lebih dikarenakan terputusnya keadaan wu-jud (al-akwÉn) sesuatu itu. Artinya, ketika Tuhan tidak mencip-takan keadaan wujud dalam suatu zat, zat tersebut berhenti ada. 89 Abu al-Hudhayl percaya bahwa masa atau durasi adalah perintah Tuhan atas sesuatu— “bertahanlah” (ibqah)—dan kehancuran adalah perintah Tuhan atas sesuatu—“binasalah”.90 Kaum Syiah Qaramitah, yang percaya pada konsep penciptaan dan kehancuran yang sama, menyatakan bahwa ketika Tuhan menciptakan jasad atau aksiden, maka durasi otomatis termasuk dalam penciptaan itu, namun itu hanya terbatas hingga Dia menginginkan kemus-nahannya dan berfirman kepada ciptaan itu, “Binasalah”. 91 Agak berbeda dengan kedua gagasan tersebut, Bishr bin al-Mu‘tamir menyatakan bahwa aksiden bukan diciptakan oleh Tuhan, me-lainkan tindakan jasad, baik secara pilihan (dalam kasus makh-luk hidup) ataupun secara kodrati (dalam kasus makhluk non-hidup). Artinya, beberapa aksiden merupakan tindakan Tuhan; beberapa lagi tindakan manusia. 92 Pendapat ini dikembangkan oleh kalangan Mu‘tazilah dan Qaramitah, tapi tidak di kalangan Ash‘arÊyah.

Penalaran tersebut bisa dipertanyakan demikian: jika ma‘nÉ menjelaskan adanya aksiden saat dirinya ada, lalu apa sebab un-tuk eksistensinya? Jika ma‘nÉ harus diakui ada oleh sebab dirinya sendiri, maka hasilnya akan menjadi mata rantai penyebab yang tak berujung. Padahal, kalangan mutakallimËn sendiri menilai, mata rantai sebab-akibat yang tak terbatas itu sesuatu yang ab-surd. Untuk mengatasi kontradiksi ini, kita dapat mengasumsikan ma‘nÉ sebagai aksiden atom yang memiliki fungsi berbeda.

Pada bagian di atas disinggung pijakan kalangan mutakal-limËn, yakni keyakinan atas dunia yang mengada langsung oleh tindak penciptaan oleh Tuhan. Teori atom dan aksiden membuk-

89 Yang dimaksud dengan istilah akwÉn “moda eksistensi” bagi al-BÉqillÉnÊ adalah gerak, diam, kesatuan dan pemisahan, yang ia gambarkan merupa-kan milik genus aksiden. Al-BaghdÉdÊ, UÎËl, 90, hlm. 5-7.

90 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 44.91 Al-BaghdÉdÊ, UÎËl, 50, hlm. l dan 14. 92 Ibid, hlm. 135, ll., hlm. 4-6 dan 8-10.

Page 69: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

54

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

tikan keyakinan itu, yang berarti bahwa Tuhan merupakan aktor penciptaan segala sesuatu. Moses Maimonides dalam karyanya, The Guide for the Perplexed, dengan jelas meringkas teori terse-but sebagai berikut:

Ketika Tuhan menciptakan materi atom, pada saat yang sama, Dia menciptakan di dalamnya aksiden-aksiden yang Dia kehendaki, dan tidak ada alasan untuk mensifatkan-Nya dengan kekuasaan menciptakan atom materi tanpa ak-siden. Hal ini karena materi, seperti yang kita amati, selalu terhubung dengan aksiden dan karena itu pula materi tidak terpisahkan dari aksiden. Aksiden tidak bisa ada dalam dua momen waktu; ia selamanya berubah, karena jasad bergerak, lalu diam kemudian bergerak lagi. Ketika suatu aksiden di-ciptakan, ia lenyap sekaligus, kemudian Tuhan menciptakan aksiden lain dari jenis yang sama. Demikian seterusnya se-lama Tuhan menghendaki kelanjutan jenis aksiden tersebut. Lalu jika Dia menghendaki untuk menciptakan aksiden jenis lain dalam materi atom tersebut, maka Dia melakukannya; tetapi jika Dia menahan diri dari menciptakan tak satu pun aksiden dalam atom materi itu, maka atom materi itu lenyap. Yang menjadi fokus di sini adalah aksiden harus secara esen-sial tak-abadi (lÉ yabqÉ), dan Tuhan menciptakan aksiden pada suatu masa tanpa intermediasi apa pun. Ini berarti Tu-han memproduksi, memproduksi, dan memproduksi; jika Dia berhenti memproduksi, maka non-eksistensi dengan sendiri-nya hadir. 93

Jadi, penciptaan merupakan proses berkesinambungan, diper-baharui setiap saat, dan jika Tuhan berhenti memproduksi maka alam semesta pun lenyap.94 Inti pemikiran ini jelas, yakni kaum mutakallimËn mempertahankan gagasan tidak adanya yang dise-but “bawaan” sesuatu, yang mampu berubah secara independen dari Pelaku adikodrati alias Sang Pencipta. Oleh karena itu, hal yang biasanya dipahami sebagai “proses alami” di alam semesta ini tidak lebih dari tindakan terus-menerus penciptaan oleh Tu-

93 Moses Maimonides, The Guide, hlm. 198-203. Bandingkan dengan D.B. MacDonald, “Continuous Re-creation and Atomic Time in Muslim Scho-lastic Theology”, ISIS, IX (1927), hlm. 330-333.

94 Bandingkan dengan al-BaghdÉdÊ, UÎËl, 230, ll, hlm. 13-14.

Page 70: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

55

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

han. Dengan kata lain, peristiwa yang berubah di dunia terjadi ka-rena keputusan Tuhan Yang Mahakuasa. Implikasi pandangan ini adalah ditolaknya setiap hubungan kausal antara kejadian demi kejadian di dunia. Barangkali itulah alasan mengapa pendukung atomis di antara kalangan mutakallimËn selalu dikaitkan dengan mereka yang menolak kausalitas, walau tidak selalu demikian faktanya. 95

Meskipun sebagian tokoh di tiap-tiap kelompok meno-laknya, teori atom dan aksiden diterima oleh mayoritas pemikir Mu‘tazilah dan Ash‘arÊyah, hingga menjadi doktrin utama dalam khazanah intelektual Islam pada abad ke-9 masehi, khususnya di bidang Kalam. Memang teori tersebut berlawanan dengan dok-trin kosmologi Neo-Platonisme dan filsuf peripatetik serta sar-jana Islam yang menganut keduanya. Secara diametral teori atom dan aksiden juga bertentangan dengan konsep aksiden kalangan falāsifah dan Aristotelian. 96 Meskipun sampai batas tertentu pa-ralel de ngan doktrin atomis, teori atom dan aksiden tidak berasal dari atau terkait atomisme Yunani. Tidak ada bukti berupa kon-tak apa pun antara kalangan mutakallimËn dan pendukung atomis Yunani, semisal lewat terjemahan-terjemahan naskah berbahasa Arab.97 Tiadanya bukti persentuhan tersebut menandakan uniknya posisi mutakallimËn, dan justru mendukung orisinalitas teori me-reka yang dapat ditelusuri kembali pada worldview Islam.

95 Meski seorang atomis, MuÑammar masih percaya pada kausalitas. Bagi-nya, Tuhan tidak menciptakan apa pun kecuali jasad (bodies). Mengenai aksiden, ini merupakan produk (ikhtirÉ‘Ét) dari jasad, baik secara alamiah (sebagaimana membakar dihasilkan oleh api, panas oleh matahari, me-warnai oleh bulan) ataupun berdasarkan pilihan (sebagaimana gerak dan diam dan kumpulan dan pemisahan dihasilkan oleh makhluk hidup). Lihat al-ShahrastÉnÊ, al-Milal Jilid 1, hlm. 46, dan Jilid 2, hlm. 3-6.

96 Lihat Shlomo Pines. Studies, hlm. 28.97 Alnoor Dhanani, The Physical Theory, hlm. 6. Shlomo Pines hampir tidak

bisa membuktikan bahwa asal mula atomisme Islam dari Yunani atau atom isme India, lihat Shlomo Pines, Studies in Islamic Atomism, khusus-nya bab tiga “The Source of Kalam Atomism”, hlm. 108-141. T.J. De Boer juga menyatakan bahwa asal mula teori atom di antara pemikir Muslim diliputi ketidakjelasan. Lihat T.J. De Boer, “Atomic Theory (Muham-madan)”, dalam Hasting (ed.), Encyclopedia of Religions and Ethics, hlm. 202.

Page 71: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

56

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Teori Atom dan Kausalitas

Tentang masalah atom dan kausalitas di dunia material, ada tiga pandangan di antara kalangan mutakallimËn. Pertama, pan-dangan yang menegaskan bahwa Tuhan adalah sebab langsung dari setiap peristiwa di dunia, dengan demikian tidak ada hu-bungan kausal di antara peristiwa di dunia. Pandangan ini dipe-gang oleh sebagian besar mutakallimËn, baik Mu‘tazilah maupun Ash‘arÊyah. Kedua, pandangan bahwa dunia diatur oleh hukum kausalitas, yang ditanamkan di dalamnya oleh Tuhan pada saat penciptaan, kemudian beroperasi di bawah pengawasan Tuhan dan tunduk kepada kehendak-Nya. Ini adalah pandangan al-NaÐÐÉm. Ketiga, pandangan bahwa dunia diatur oleh hukum kau-salitas yang—meskipun ditanamkan di dalamnya oleh Tuhan saat penciptaan—beroperasi secara independen tanpa pengawasan Tuhan dan tanpa tunduk kepada kehendak-Nya. Ini adalah pan-dangan MuÑammar. Kami akan menjelaskan lebih lanjut argumen yang dikemukakan ketiga pandangan ini.

Bagi kalangan Ash‘arÊyah, peristiwa yang bisa diamati silih berganti (biasa kita anggap sebagai sebab dan akibat) merupa-kan sesuatu yang simultan dalam waktu. Akan tetapi, mereka menyangkal bahwa hal itu sebagai sebab dan akibat yang nyata. Mereka mengakui adanya sebab dapat disimpulkan dari adanya akibat. Namun, saat yang sama, mereka menyatakan bahwa se-mua wujud selain Tuhan itu temporal dan memerlukan pemula. Al-BÉqillÉnÊ menyatakan bahwa semua tindakan kausal berasal dari sifat-sifat kehendak dan kekuasaan Sesuatu yang hidup dan mengetahui. Sesungguhnya, semua tindakan kausal ada di dalam tindakan Tuhan yang kreatif, dengan kehendak, dan langsung. Peristiwa-peristiwa yang bisa diamati, yang tampak sebagai se-bab dan akibat, hanyalah peristiwa-peristiwa yang secara alamiah mengiringi; semuanya langsung diciptakan oleh Tuhan. Jadi, du-nia diciptakan pada suatu momen temporal yang terbatas pada masa lalu, yang ditetapkan selamanya oleh kehendak Ilahi, se-hingga tindakannya “tertunda” (‘alÉ al-tarÉkhÊ). 98 Argumen ini

98 Al-BÉqillÉnÊ, KitÉb al-TamhÊd, Richard J. McCarthy (ed.), (Beirut: tanpa

Page 72: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

57

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

menunjukkan Tuhan merupakan satu-satunya sebab dari seluruh akibat di alam ini, dan dengan demikian gagasan yang menghu-bungkan kausal antara peristiwa-peristiwa alam hanyalah kiasan. Cara Tuhan menjadi sebab langsung dari peristiwa-peristiwa da-pat dijelaskan melalui teori atom dan aksiden.

Pandangan kedua, yang diyakini al-NaÐÐÉm, berbeda meli-hatnya. Ia menegaskan konsep kausalitas dalam peristiwa-peris-tiwa di dunia dengan tetap mempertahankan atomisme. Posisi ini sepintas seperti bertolak belakang. Di satu sisi, al-NaÐÐÉm ber-pendapat bahwa jasad diciptakan pada setiap saat (anna al-jisma fÊ kulli waqtin yukhlaq), yang berarti mempercayai penciptaan terus-menerus. Dengan posisi ini, al-NaÐÐÉm seolah-olah me-nyangkal kausalitas. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa apa yang terjadi di luar jangkauan manusia—sebagaimana kemestian sifat benda—merupakan tindakan Tuhan. Ilustrasinya seperti gerakan batu yang maju ketika dilemparkan ke depan, turun ketika dijatuh-kan ke bawah, atau naik ketika dilemparkan ke atas. Gagasan ini, sebenarnya, menunjukkan penegasan kausalitas.99 Al-NaÐÐÉm tampaknya membedakan penghubungan kausal yang terjadi pada makhluk bernyawa dan tak bernyawa. Beberapa bagian dari pan-dangan al-NaÐÐÉm juga diyakini pandangan Mu‘ammar.

Pandangan ketiga, yang dipegang Mu‘ammar, menggunakan argumen konsep atom dan aksiden. Menurut Mu‘ammar, Tuhan bukan menciptakan aksiden, melainkan jasad. Tuhan tidak di-sifatkan pula sebagai yang berkuasa dalam hal jasad. Dia tidak menciptakan hidup ataupun mati, kesehatan ataupun penyakit, kekuatan ataupun kelemahan, warna, rasa, ataupun bau; semua ini menjadi tindakan jasad secara alamiah (bi Ïab‘ihÊ). 100 Al-ShahrastÉnÊ menyebutkan, Mu‘ammar percaya bahwa aksiden merupakan produk (ikhtirÉ‘Ét) jasad itu sendiri, baik secara ala-

penerbit, 1957), hlm. 36, baris 7. Istilah tersebut juga digunakan oleh Ibn Rushd, lihat TahÉfut al-TahÉfut Jilid 1, edisi ke-3, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tanpa tahun), hlm. 7-9.

99 Al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt, II, hlm. 80-81.100 Ibid, II, hlm. 82-83. Bandingkan dengan al-BaghdÉdÊ, UÎËl, 135, baris

4-8.

Page 73: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

58

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

miah (misalnya pembakaran dihasilkan oleh api, panas oleh mata-hari, atau yang sejenis) ataupun melalui pilihan (seperti gerak dan diam, penggabungan dan pemisahan). Gagasan serupa diterapkan pada tindakan manusia dan hewan sebagai makhluk hidup. 101 Ini berarti bahwa dunia beroperasi dengan hukum kausalitas, hanya saja tanpa pengawasan Tuhan.

Jelas di sini, baik al-NaÐÐÉm maupun Mu‘ammar mendukung konsepsi kausalitas. Mereka sepakat bahwa ada yang alami di se-tiap jasad, dan jasad ini menghasilkan aksiden yang membawa perubahan dalam kejadian-kejadian di dunia. Oleh karena itu, mereka percaya adanya proses alami. Mereka menyangkal pan-dangan bahwa Tuhan tidak menciptakan aksiden. Akan tetapi, mereka menyetujui pandangan bahwa Tuhan menanamkan ke-cenderungan-kecenderungan alamiah dalam jasad. Di sini, Tuhan tetap diposisikan sebagai pencipta peristiwa alam.

Prinsip kausalitas Mu‘ammar tersebut dibantah oleh al-Shah-rastÉnÊ, yang lebih mendukung pandangan yang menolak kausa-litas. Al-ShahrastÉnÊ berpendapat, “Jika Tuhan tidak menciptakan aksiden, maka Dia tidak menciptakan jasad, selaku pembawa ak-siden, padahal penciptaan merupakan aksiden; sehingga akibat-nya adalah (seakan-akan) tidak ada tindakan apa pun yang berasal dari Tuhan.”102

Kritik lain datang dari Ibn Hazm, yang berpendapat bahwa semua aksiden itu akibat dari tindakan alam (jasad). Ini karena alam, entah jasad ataukah aksiden, hanya berarti potensi sesuatu tanpa memiliki nalar memilih dan menyengaja. Jika ada yang menganggap tindakan, yang tampaknya berasal dari dirinya sen-diri, maka “ia berada di puncak kebodohan”. Oleh karena itu, perlu menganggap tindakan-tindakan tersebut sebagai akibat dari sesuatu yang di luarnya, dan itu adalah Tuhan.103 Ibn ×azm tam-

101 Al-ShahrastÉnÊ, al-Milal, Badran (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1370 H/1951 M), hlm. 46, baris 3-6.

102 Ibid, hlm. 7-9, 46, ll. 103 Ibn ×azm, FiÎal Jilid 3, hlm. 58 baris 24; hlm. 59 baris 6; lihat juga Wolf-

son, The Philosophy of KalÉm, hlm. 577.

Page 74: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

59

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

paknya termasuk yang berpendapat adanya kecenderungan alami-ah di dunia, karena ia tidak setuju dengan apa yang dipahaminya dari posisi Ash‘arÊyah, ihwal dalam api tidak ada panas, dalam salju tidak ada dingin, dan seterusnya. 104 Hanya saja, sejauh ini, Ibn ×azm tidak menawarkan penjelasan lebih lanjut.

Seperti Ibn ×azm, al-BaghdÉdÊ mengkritik gagasan tentang jasad bebas dari aksiden, dan aksiden terjadi di dalam jasad itu sendiri, sebagaimana dikembangkan mazhab materialis (aÎÍÉb al-huyËlÉ). Al-BaghdÉdÊ mempertanyakan cara-cara terjadinya sesuatu dengan sendirinya. Menurut al-BaghdÉdÊ, jika aksiden di-anggap terjadi karena potensialitas dalam jasad, ini bertentangan dengan prinsip mereka sendiri bahwa jasad bebas dari aksiden. Jika mereka menganggap Tuhan menyebabkan aksiden ada di ja-sad, maka itu tentu melalui perubahan aksiden, karena sifat-sifat sesuatu berubah dengan berubahnya aksiden tanpa melipatganda-kan jasad.105

Gagasan tentang potensialitas sesuatu terlihat begitu ganjil di antara para mutakallimËn, hingga oleh sebagian orang dikesan-kan sama persis dengan konsep Aristoteles tentang sesuatu. Pada-hal, sejauh ini tidak ada bukti bahwa kalangan mutakallimËn per-nah berinteraksi dengan konsep Aristoteles. Aristoteles dan filsuf Yunani percaya bahwa penciptaan sesuatu dapat dilacak terutama dari prinsip yang melekat dalam sesuatu itu, seperti materi dan bentuk. Sebaliknya, perhatian utama kaum mutakallimËn bukan-lah kepada prinsip yang melekat pada sesuatu yang kemudian menjadi sesuatu yang lain, melainkan kepada pengkajian struktur ontologis dan metafisika dari ciptaan material (sebagai sesuatu yang diciptakan).

Sesuatu—atau wujud material—hampir tidak dapat dikata-kan mengandung prinsip menjadi (becoming) apa pun di dalam diri mereka. Segala sesuatu yang ada tak lebih dari sesuatu itu sebagaimana adanya dan keberadaannya. Dalam tatanan dunia

104 Ibn ×azm, FiÎal Jilid 5, hlm. 14 baris 23, hlm. 15 baris 4. Lihat juga Wolf-son, The Philosophy of KalÉm, 576.

105 Untuk rincian lebih jauh lihat al-BaghdÉdÊ, UsËl, hlm. 57-58.

Page 75: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

60

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

yang konkret, materi sepenuhnya ditentukan oleh aksiden-aksi-den (a‘rÉÌ). Tidak ada makhluk yang memiliki “potensi” untuk berubah (yang melekat di dalam dirinya sendiri), kecuali oleh agen atau pelaku (fÉ‘il) yang mengetahui, yang berkehendak, dan yang berniat. Dengan kata lain, setiap perubahan atau perubahan bentuk hanya ada di dalam niat pelaku, yang mampu mengha-silkan perubahan melalui kekuasaan kausalitasnya sendiri. Jika itu terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa kausalitas dalam hal materi secara langsung bergantung pada tindakan kreatif Tuhan yang terus-menerus.

KAUSALITAS DALAM TRADISI FALSAFAH

Falsafah biasanya mengacu pada kegiatan orang-orang Islam yang tertarik terutama pada filsafat dan ilmu pengetahuan yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani.106 Namun, aktivitas intelektual kelompok ini bukan satu-satunya representasi pemi-kiran filosofis dalam Islam. Hal ini karena Kalam juga memiliki semacam pemikiran filosofis sehingga layak dianggap sebagai filsafat. Bahkan, materi yang dibahas dalam Kalam adalah meta-fisika filosofis,107 setara dengan apa yang saat ini disebut filsafat. 108 Oleh karena itu, materi Kalam dan falsafah hampir memiliki batas-batas yang sama, mengingat berbagai konsep semisal Tu-han, alam semesta, manusia, dan moralitas dibahas di dalam Ka-lam ataupun falsafah. 109

106 M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy Jilid 1, hlm. 421.107 Richard Frank, “The Science of KalÉm” in Arabic Science and Philoso-

phy, vol. 2 Number 1 1992, hlm. 36. 108 Oliver Leaman menegaskan bahwa filsafat tumbuh dalam teologi Islam,

tanpa kontak langsung dengan filsafat (Yunani), tetapi melalui perkem-bangan aturan-aturan dalam penalaran hukum. Leaman, Oliver, An Intro-duction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge Uni-versity Press, 1985), hlm. 5. Nasr juga mengklaim bahwa dalam konteks peradaban Islam, istilah Inggris “philosophy” memiliki nama-nama lain, khususnya Kalam, maÑrifah, uÎËl al-fiqh, belum termasuk subjek seperti tata bahasa dan sejarah. Lihat Seyyed Hossein Nasr, “The Meaning and Concept of Philosophy in Islam”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman History of Islamic Philosphy, Part I, vol. I, (London-New York: Routledge, 1996), hlm. 21.

109 Richard Frank, “The Science of Kalam”, hlm. 13.

Page 76: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

61

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Dari perspektif kesarjanaan Barat, Kalam dianggap sebagai teologi, yang harus dibedakan dari filsafat. 110 Memasukkan Ka-lam sebagai bagian dari pemikiran filosofis bisa menyebabkan masalah nomenklatur. Dalam perspektif worldview Islam, no-menklatur filsafat Islam mengacu pada fakta tak terbantahkan bahwa dalam Islam, ilmu dan kegiatan ilmiah muncul dari dalam lingkungan struktur konsep keilmuan Islam. Dengan kata lain, kegiatan ilmiah—termasuk pemikiran filosofis—berevolusi dari worldview Islam. Karena itu, tindakan apropriasi pemikiran Yuna-ni hanyalah satu bagian dari kegiatan filosofis Muslim. Tentangan dari sebagian cendekiawan Muslim lainnya atas kegiatan tersebut menunjukkan bahwa telah ada kegiatan yang sama dalam tradisi Islam. Oleh karena itu, dalam kerangka ini, 111 filsafat peripate-tik Muslim harus dianggap sebagai tren, dan bukan keseluruhan ataupun representasi pemikiran filosofis dalam Islam. Dengan de-mikian, umat Islam lazim menyebutnya sebagai falsafah; bukan dalam arti lebih luas: filsafat Islam. 112

Dengan membatasi makna falsafah pada tradisi peripatetik Islam, kita bisa fokuskan pembahasan kita pada kausalitas. Tidak seperti bahasan sebelumnya seputar ahli Kalam (yang menekan-kan diskusi topikal), diskusi kita tentang falsafah didasarkan pada pemikiran tiga tokoh terkemuka, yaitu al-Kindi, al-FÉrÉbÊ dan Ibn SÊnÉ.

Al-Kindi

Karena aktivitas utamanya ingin mendamaikan pemikiran Yunani dan Islam, konsep kausalitas kalangan falāsifah tak ter-elakkan merupakan hasil aktivitas tersebut. Penyebaran pertama

110 Lihat misalnya Bochenski, J., The Logic of Religion, (New York, tanpa penerbit, 1965), hlm. 14.

111 Untuk penjelasan rinci tentang kerangka ini, lihat Alparslan Açikgenç, “The Framework For A History of Islamic Philosophy”, al-Shajarah, vol. I, no.1 & 2, 1996, hlm. 1-19.

112 Tentang konsep filsafat Islam murni lihat Alparslan Açikgenç, “A Concept of Philosophy in The Qur’anic Context”, The American Journal of Islamic Social Science, 11:22, hlm. 155-182.

Page 77: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

62

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

konsep kausalitas peripatetik kepada para filsuf Muslim dapat di-temukan dalam pemikiran al-Kindi (185-256 H/805-873 M). Ia sarjana Muslim pertama yang peduli terhadap upaya untuk me-nyebarkan pemikiran Yunani ke dalam tradisi intelektual Islam. Gagasan kausalitas dapat ditemukan di bagian pembukaan risa-lahnya yang terkenal, FÊ al-Falsafah al-ÕlÉ. Al-Kindi menyata-kan:

Kita tidak menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebabnya; Penyebab wujud dan keberlangsung-an segala sesuatu adalah Yang Benar-benar Satu (al-WÉÍid al-×aqq), artinya setiap sesuatu yang memiliki wujud itu memiliki kebenaran. Yang Benar-benar Satu pasti ada, dan karena itu ia berada. Bagian termulia dan tertinggi pering-katnya dalam filsafat adalah Filsafat Pertama, yaitu pengeta-huan tentang Kebenaran Pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran. ... pengetahuan tentang sebab lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat, sebab kita bisa memi-liki pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bisa diketahui hanya ketika kita memperoleh pengetahuan penuh atas sebabnya.113

Fokus utama dari kutipan di atas adalah gagasan tentang Tuhan sebagai sebab. Poin ini inti filsafat dan titik awal konsep kausalitas menurut al-Kindi. Karena sebagian besar konsepnya tentang kausalitas merupakan sebab Ilahi, kita akan membahas konsep kausalitas al-Kindi dari konsepnya tentang Tuhan.

Upaya al-Kindi untuk mendamaikan konsep Tuhan dalam Is-lam dan konsep Aristoteles terlihat tatkala ia lebih memilih untuk menggunakan istilah al-WÉÍid al-×aqq (Yang Satu Sejati) se-bagai salah satu dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Al-Haqq adalah istilah al-Quran untuk menunjuk nama Tuhan (lihat: su-rat ÙÉhÉ [20] ayat 114, dan al-Kahfi [18] ayat 44), tetapi istilah “Yang Satu Sejati” (The True One) juga identik dengan istilah yang digunakan oleh Aristoteles dalam karyanya, Metaphysics

113 Alfred L. Ivry, al-Kindi’s Metaphysics, terjemahan bahasa Inggris dari buku Ya‘cËb ibn IsÍÉq al-Kindi, Fi al-Falsafah al-ÕlÉ, (Albany: State University of New York Press, 1974), hlm. 55-56.

Page 78: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

63

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

(993b, 27-30).114 Pada bagian akhir al-Falsafah al-ÕlÉ, al-Kindi jelas menggabungkan konsep al-Haqq dengan “Yang Pertama, Sang Pencipta, dan Pemelihara semua yang Dia ciptakan.”115 Le-bih jelas lagi uraian dalam al-ØinÉ‘at al-UÐmÉ; meski menggan-tikan konsep Aristoteles tentang Penggerak yang tak tergerakkan (Unmoved Mover) dengan al-×aqq, ia tetap berpendapat bahwa Tuhan “tidak bergerak, tetapi sejatinya menyebabkan gerakan tanpa menggerakkan Diri-Nya sendiri.”116

Upaya al-Kindi untuk membawa konsepnya tentang Tuhan dalam pengertian sebab Ilahi tergambar dalam risalahnya yang lain. 117 Al-Kindi mengidentikkan Tuhan al-Quran dengan ung-kapan Yunani seperti Penggerak Pertama (The First Mover) dan Sebab Pertama (The First Cause). Ia juga menggambarkan Tuhan sebagai satu yang hidup, yang sama sekali tidak ganda, sebagai sebab pertama yang tidak memiliki sebab, sebagai Pelaku yang tidak Memiliki Pelaku, Penyempurna yang Tidak memiliki pe-nyempurna, Pencipta eksistensi (al-mu‘ayyis) bagi segala sesuatu dari ketiadaan, dan yang membuat sesuatu sebab bagi yang lain.

114 Walaupun istilah “kebenaran” dipakai oleh al-Kindi maupun Aristoteles, tidak berarti itu menunjukkan konsep yang sama. Kebenaran, menurut Aristoteles, jika ia mengacu pada Tuhan; bukanlah Tuhan yang mencipta-kan dunia. Ia berpandangan bahwa materi tidaklah disebabkan dan abadi, dan karenanya dunia itu tidak diciptakan. Konsep “Tuhan sebagai Peng-gerak yang Tidak Digerakkan” dan “sebab final” merupakan Tuhan yang pasif, dalam arti bahwa dengan menjadi sebab yang demikian, (Tuhan) bu-kanlah pelaku yang menggerakkan segalanya di alam semesta. Untuk me-mahami sifat Penggerak Yang Tidak Digerakkan (dalam arti sebab-aki bat itu sulit dipahami), sama sulitnya membayangkan Tuhan sebagai Sebab Pertama melalui persentuhan langsung dengan alam semesta. Hubung-an Tuhan-dunia tidak bisa dianggap sebagai sebuah aktivitas karena ia semacam pengaruh yang dimiliki seseorang secara tidak sadar terhadap orang lain. Lihat Aristoteles, De Caelo, 301b31, 279b12ff.

115 Alfred, al-Kindi’s Metaphysics, hlm. 114.116 Alfred, al-ØinÉ‘Ét al-UÐmÉ, seperti yang dikutip Rosenthal, dalam “Al-

Kindi and Ptolemy” (Rome: Studi Orientalistici, vol. II, 1956), hlm. 455. Risalah tersebut belum diedit, Rosenthal menyunting beberapa bagian dan menganalisisnya.

117 Al-Kindi, FÊ al-IbÉnah ‘an al-‘Illat al-FÉÑÉlah al-QarÊbah li al-Kawn wa al-FasÉd (Explanation on the Proximate Efficient Cause of Generation and Corruption) Jilid 1 (dari 2 jilid), M.A.H. Abu Rida (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1950-1951), hlm. 215 baris 4-8.

Page 79: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

64

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Argumennya untuk kausalitas Ilahi dimulai dengan pernyataan bahwa segala sesuatu yang akan mengada harus memiliki sebab bagi keberadaannya. Rangkaian sebab-sebab itu terbatas, dan ka-renanya ada sebab utama, sebab yang sebenarnya, yakni Tuhan.

Dengan mengakui empat sebab yang disebut oleh Aristote-les—yakni sebab material (material cause), sebab formal (formal cause), penyebab utama (efficient cause), dan sebab akhir (final cause)—al-Kindi mengemukakan bahwa Tuhan adalah Penyebab Utama. 118 Namun, menurutnya, ada dua macam penyebab utama. Yang pertama adalah penyebab utama yang sejati dan melakukan penciptaan dari ketiadaan (ibdÉ‘). Yang kedua adalah penyebab utama yang bukan yang sejati, karena hanya merupakan sebab perantara (intermediate cause), yaitu yang dihasilkan oleh sebab-sebab lain, dan ia sendiri merupakan sebab bagi akibat-akibat lainnya. Sebab semacam ini disebut sebab hanya secara metafo-ris. Sebab, hanya Tuhan yang merupakan Penyebab Utama yang sejati.

Dalam karyanya, FÊ al-IbÉnah, al-Kindi menggunakan istilah “penyebab utama yang jauh” (ba‘idah) untuk Penyebab Utama yang sebenarnya, dan “penyebab utama yang dekat” (qarib) un-tuk penyebab perantara (intermediate). Istilah-istilah ini menda-pat penekanan khusus agar kita dapat dengan mudah membahas masalah sebab yang berasal dari gerak penciptaan dan perusakan. Penyebab utama yang dekat (qarÊbah) itu seperti panah, sedang-kan sebab efisien yang jauh itu seperti pemanah. Penyebab uta-ma yang jauh dari terjadinya penciptaan dan kerusakan sesuatu yang bisa diindra dan yang bisa dinalar disebut Penyebab Per-tama, yak ni Tuhan. Penyebab utama yang dekat, yang merupakan pelaksana pengaturan (tadbÊr) Tuhan, adalah tata surya beserta isinya, yakni benda-benda langit.

Penyebab kejadian kita yang terdekat, menurut al-Kindi, adalah pergerakan matahari dan planet-planet. Susunan benda-benda langit dalam hubungannya satu dengan yang lain berikut

118 Al-Kindi, al-Kindi’s Metaphysics, hlm. 56, teks Arab hlm. 98.

Page 80: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

65

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

proporsi jaraknya, gerakan-gerakannya beserta jauh-dekat jarak dari pusatnya, semua ini menunjukkan bahwa benda-benda langit itu penyebab dari kewujudan dan kerusakan benda-benda seba-gaimana ditakdirkan Pencipta mereka. 119 Tuhan, Pencipta dari benda-benda langit dan pengaturan mereka, digambarkan sebagai Sutradara Pertama (mudabbir awwal) atau sutradara dari setiap sutradara, Pelaku dari setiap pelaku, Pembentuk (mukawwin) dari setiap pembentuk, Yang Pertama dari setiap yang pertama, dan Penyebab dari segala sebab. 120

Selain menempatkan Tuhan sebagai Penyebab Utama (Effi-cient Cause) yang jauh dan sejati, al-Kindi dalam karyanya, al-Falsafah al-ÕlÉ, menerapkan empat jenis sebab Aristoteles pada ontologinya. Ia menyatakan bahwa setiap benda jasad (jism) meru-pakan sebab bagi sesuatu yang menghasilkan akibat, yang sudah ada baik di dalam dirinya sendiri (seperti panas di dalam dan dari api) maupun tidak di dalam dirinya sendiri (seperti ke-tembok-an [wall-ness] bukanlah yang membangun tembok—builder of a wall). Dalam hal ini, al-Kindi juga menggunakan prinsip-prinsip Aristotelian bahwa sesuatu itu selalu dalam salah satu dari kon-disi ini: selalu dalam aktualitas, selalu dalam potensialitas, atau beralih dari potensialitas ke aktualitas. Ungkapan “selalu dalam aktualitas” berarti bahwa jasad terluar yang esensinya bersifat ak-tual dan bergerak selamanya, menyebabkan sesuatu di bawahnya untuk beralih dari potensi ke aktualisasi.

Meskipun menggunakan prinsip kausalitas Aristoteles, al-Kindi berbeda dengannya dalam beberapa hal. Di satu sisi, Aristo-teles mengesampingkan pembahasan Sebab Pertama yang masuk dalam Filsafat Pertama, agar beralih ke sebab material kedua, dan kemudian ke sebab langit yang bergerak. 121 Di sisi lain, al-Kindi menempatkan Sebab Pertama pada titik sentral. Ia menempatkan Tuhan dalam peran yang paling aktif dan paling utama di dunia

119 Al-Kindi, FÊ al-IbÉnah Jilid 1, hlm. 226, 122-27.5; lihat juga hlm. 215, 10-13.

120 Al-Kindi, FÊ al-IbÉnah Jilid 1, hlm. 214 dan 10-11.121 Aristotle, The Generation and Corruption. I, 3.318a 6f.

Page 81: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

66

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dan dalam sistem planet, dengan memberinya julukan khusus: mudabbir. Jadi, konsep sentralnya adalah tadbÊr Tuhan; memper-tahankan keesaan Tuhan, kebesaran kekuasaan-Nya, kesempur-naan perintah-Nya. Ini berarti al-Kindi tidak mengikuti argumen fisika Aristoteles, namun lebih memilih argumen kosmologis, yakni menetapkan benda-benda langit sebagai penyebab utama yang dekat dari kejadian (generation) dan kerusakan (corruption) benda-benda itu.

Dalam metafisika Aristoteles, Penggerak Pertama mengatur alam dengan gerakan, tetapi dalam tradisi Hellenisme waktu dan gerak itu saling terkait secara intrinsik. Materi yang ada dalam gerak ada selamanya, sebab ia ada sebelum gerak (sehingga ia ada sebelum waktu). Waktu, dalam sistem ini, didefinisikan se-bagai perpanjangan dari serangkaian gerakan dan, dengan de-mikian, waktu bermula dengan gerakan. Dalam sistem al-Kindi, materi, waktu, dan gerakan semua terbatas, dengan sebuah per-mulaan dan suatu titik akhir pada masa depan. Al-Kindi terang-terangan menyatakan dalam karyanya, RisÉla fi al-FÉ‘il al-×aqq al-Awwal, semua sebab selain Tuhan “disebut penyebab secara metaforis belaka.”122

Kasus yang sama berlaku untuk Neo-Platonisme. Meskipun mengasimilasi ide-ide filosofis yang ada dalam Neo-Platonisme, al-Kindi mengembangkan filsafatnya sendiri, yang dalam bebe-rapa hal berbeda dari doktrin Neo-Platonisme, bahkan berbeda dari tradisi filsafat Hellenisme, terutama dalam mendukung ke-percayaan bahwa dunia ini diciptakan dari ketiadaan (ex nihilo). Dengan berpegang pada ide penciptaan dunia ini tentu berten-tangan secara diametris dengan doktrin emanasi Neo-Platonisme. Hanya saja, pada titik ini, al-Kindi tampak tidak konsisten, karena dalam karyanya, al-ØinÉ‘at al-UÐmÉ, ia masih mempertahankan pendapat bahwa Tuhan tidak bergerak, Dia menyebabkan gerak tanpa menggerakkan diri-Nya sendiri.

122 Al-Kindi, RasÉ’il Jilid 1 (dari 2 jilid), M. AbË RiÌÉ (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1369 H/1950 M).

Page 82: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

67

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Ringkasnya, konsep al-Kindi tentang kausalitas utamanya adalah kausalitas Ilahi, artinya Tuhan adalah sebab dari segala sesuatu dan keberlangsungannya, serta sebab dari realitas dan ke-benaran. Dengan memosisikan hubungan antara realitas (being) dan kebenaran, al-Kindi percaya bahwa wujud semua makhluk bergantung kepada yang Pasti Ada dari Yang Benar-benar Satu (The True One). Memang untuk ukuran tertentu al-Kindi boleh dikatakan berhasil mempertahankan konsep Tuhan sebagai Pen-cipta dunia, tetapi tatkala mendeskripsikan Tuhan sebagai Peng-gerak Yang Tak Bergerak (Unmoved Mover), ia bertentangan dengan pendapatnya sendiri bahwa Tuhan merupakan Pencipta dari ketiadaan (ex nihilo).

Al-FÉrÉbÊ

Tokoh terkemuka dari kalangan filsuf peripatetik Muslim setelah al-Kindi adalah al-FÉrÉbÊ (259-339 H/870-950 M). Ka-rena ia terkenal dengan penguasaan logika, 123 Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M) menjuluki al-FÉrÉbÊ dengan “Guru Kedua” (al-Mu‘allim al-ThÉnÊ), setelah Aristoteles. Al-FÉrÉbÊ sejatinya tidak sepenuhnya mengikuti filsafat Aristoteles, ia bahkan meli-hat kurangnya aspek teologis dalam metafisika Aristoteles. 124 Ia sekadar mengadopsi doktrin emanasi untuk mengisi celah yang ditinggalkan Aristoteles, yakni diabaikannya penjelasan bagian

123 Untuk elaborasi sumbangannya pada logika Aristotelian, lihat Majid Fakhry, “Al-FÉrÉbÊ’s Contribution to the Development of Aristotelian Logic”, dalam Majid Fakhry, Philosophy, Dogma and The Impact of Greek Thought in Islam Jilid 3, (Great Britain: Variorum, 1994), hlm. 1-15.

124 Karya paling berpengaruh dari Aristoteles tentang metafisika yang dike-nal oleh Muslim adalah kumpulan 14 artikelnya yang disebut KitÉb al-×urËf (The Book of Letters). MadhkËr dan RahmÉn mengatakan bahwa Aristoteles tidak pernah menggunakan istilah “metaphysic”; istilah yang digunakannya adalah “Filsafat Pertama” atau theologikè (teologi). Menu-rut MadhkËr—dengan mengutip karya Ross, Aristotle’s Metaphysics, t, I,XXXII—orang pertama yang menggunakan istilah “metafisika” adalah Nicolas al-DimashqÊ, yang mengambilnya dari Andronicus. Lihat Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’: IlÉhiyyÉt diedit oleh IbrÉhÊm MadhkËr, lihat pendahuluan pe nyunting halaman 11; lihat juga M.A. Rahman Marhaban, Min al-Fal-safah al-YËnÉniyyah ilÉ al-Falsafah al-IslÉmiyyah, (Beirut: ManshËrÉt ‘Uwaydah, 1975), hlm. 178.

Page 83: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

68

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

metafisika. Dari teologi atau ilmu Ilahi inilah al-FÉrÉbÊ ingin me-netapkan hubungan kausalitas antara Tuhan dan alam semesta. 125 Oleh karena itu, dalam pembukaan FÊ AghrÉd al-×akÊm fÊ KitÉb al-×urËf, al-FÉrÉbÊ mencatat bahwa teks metafisika Aristoteles yang sering digambarkan sebagai “ilmu Ilahi” itu sebenarnya di-dedikasikan untuk studi tentang sesuatu yang ada (being), prin-sip-prinsip dan sifat-sifatnya; bukan untuk studi tentang Tuhan sebagai substansi yang terpisah. Ia bahkan mengamati bahwa hal itu membingungkan banyak pembaca, yang mengira seluruh teks akan berbicara tentang Tuhan, jiwa/ruh dan intelek, tapi ternyata topik-topik ini tidak ada, kecuali di Book Lambda. 126

Untuk mengatasi perbedaan metafisika ini, al-FÉrÉbÊ mem-buat beberapa perubahan yang hasil akhirnya sejenis filsafat yang sepenuhnya teosentris. Tuhan ditempatkan di pusat meta-fisika. Walhasil, teologi menjadi bagian penting metafisika yang berbeda dari Aristoteles. Dengan demikian, kontribusi al-FÉrÉbÊ tidak hanya dalam membawa elemen-elemen teologi ke dalam metafisika, tetapi juga dalam menjalin hubungan antara ilmu teo-logi, metafisika, dan fisika, yang tidak begitu jelas digambarkan Aristoteles. 127

Di antara unsur teologis yang dibawa al-FÉrÉbÊ ke dalam me-tafisika adalah pendekatannya yang menjelaskan hakikat Tuhan. Ia memperkenalkan dua cara. Pertama, dengan eksklusi, yakni menghilangkan sifat-sifat apa pun yang menyiratkan kecacatan, keterbatasan, dan ketergantungan Tuhan. Kedua, dengan pre-emi-nensi atau ke-maha-lebih-an Tuhan, yakni menetapkan sifat tak terbatas dari semua kesempurnaan Tuhan. 128 Prinsip pertama, yang

125 Druart, Th. A. “Al-FÉrÉbÊ’s Emanationism” dalam John F. Wippel (ed.), Studies in Medieval Philosophy, (Washington DC: tanpa penerbit, 1987), hlm. 23-43.

126 Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, (Leiden: E.J. Brill, 1988), hlm. 238-242.

127 Nasr, S.H. dan Oliver Leaman (ed.), History, vol. I, hlm. 189.128 Al-FÉrÉbÊ, “The Knowledge of God”, seperti yang dikutip oleh Robert

Hammond dalam The Philosophy of al-FÉrÉbÊ and Its Influence on Me-dieval Thought, (New York: The Hobson Book Press, 1947), hlm. 23.

Page 84: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

69

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

tampaknya seperti teologi negatif al-Kindi, diuraikan lebih lanjut dalam karya-karya al-FÉrÉbÊ yang lain, tempat ia mendeskripsi-kan Tuhan yang simpel, bebas dari segala jenis komposisi yang bersifat fisik maupun metafisika. 129 Tuhan adalah satu karena Dia bebas dari semua pembagian kuantitatif, dan substansinya yang tak terbagi sehingga esensinya adalah satu. 130

Dari konsepsi tentang Tuhan tersebut, kita dapat mencatat bah wa konsep keesaan Tuhan menjadi titik awal untuk mema-parkan hubungan Tuhan dan dunia, di samping juga untuk me-mecahkan masalah bagaimana dari Yang Satu menjadi banyak (from One to many). Hanya saja, konsep kesatuan tersebut masih didasarkan pada filsafat Yunani. Tidak mengherankan jika untuk konsep Keesaan Tuhan itu al-FÉrÉbÊ mengadopsi doktrin ema-nasi, yakni ketika ia menjelaskan proses bagaimana dari yang Satu menjadi banyak dan terciptanya alam semesta dari Tuhan. Ia berpendapat bahwa emanasi berasal dari kontemplasi diri atau Pikiran Tuhan. Di sini Tuhan sebagai Wujud Pertama digambar-kan memiliki dua jenis pikiran; pikiran sebagai Sebab Pertama dan Pikiran tentang esensi-Nya sendiri. Karena Pikiran-Nya yang

129 Komposisi fisik bisa berupa substansial atau aksidental. Substansial jika substansi gabungan terdiri dari tubuh dan jiwa, materi dan bentuk. Kini wujud yang tak terbatas tersebut tidak bisa sebagaimana gabungan sub-stansial materi dan bentuk karena ini berarti bahwa Tuhan dihasilkan dari bersatunya bagian-bagian yang terbatas yang telah ada sebelum Dia dalam waktu, dan karena itu menjadi sebab keberadaan-Nya. Bukan pula gabung-an aksidental disifatkan pada yang tak terbatas karena ini mengisyaratkan sebuah kapasitas, yang tidak dipunyai gagasan tentang yang tak terbatas. Komposisi metafisika ini dimaksudkan sebagai komposisi yang dihasilkan dari persatuan dua konsep yang berbeda. Jika sebuah gabungan metafisi-ka esensi dan eksistensi bisa diterapkan pada wujud yang kontingen atau dibentuk dan diabstraksikan dari eksistensi aktual, komposisi seperti itu tidak bisa diterapkan pada wujud yang mengada karena dirinya sendiri atau wujud yang tak terbatas dengan bersatunya esensi dan eksistensi. Oleh karena itu, tidak ada komposisi esensi dan eksistensi di dalam Tuhan. Lihat al-FÉrÉbÊ, “al-SiyÉsah al-Madaniyyah”, dalam RasÉ’il al-FÉrÉbÊ, (Hyderabad, Deccan: Majlis DÉ’irat al-Ma’Érif al-UthmÉniyyah, 1346 H), nomor 6, hlm. 115-125.

130 Al-FÉrÉbÊ, al-SiyÉsah al-Madaniyyah, hlm. 7-8; bandingkan pula dengan al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat al-FÉÌilah, diedit dan diterjemahkan oleh R.Walzers, al-FÉrÉbÊ on the Perfect State, (Oxford: Clarendon Press, 1985), hlm. 5-10.

Page 85: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

70

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pertama, wujud Akal Pertama yang disebut Sebab Pertama itu secara pasti menjadi ada; dan karena Pikiran-Nya yang kedua, wujud ruang pertama pun secara pasti menjadi ada. Akal Pertama, yang memikirkan Wujud Pertama, mengemanasi akal kedua dan ruang kedua. Dari akal kedua berlanjut ke akal ketiga dan ruang ketiga. Proses ini terus berlanjut silih berganti secara pasti sampai pada ruang terendah, yaitu bulan, yang merupakan ruang kesem-bilan. Dari bulan mengalir akal murni, yang disebut “intelek ak-tif” (active intellect). 131 Dari Akal kesepuluh mengalirlah materi fisik dan dari akal yang sama berbagai bentuk yang berbeda pun mengalir, yang menyatu dengan materi fisik untuk menghasilkan jasad. 132 Jadi, dalam teori ini jumlah akal adalah sepuluh, yang terdiri dari Akal Pertama dan diikuti oleh sembilan akal dan ru-ang. Kesepuluh intelek ini mengatur hal-hal duniawi.

Karena yang paling akhir dalam urutan tersebut adalah Bumi dan dunia materi atau dunia terestrial, yang hanya merupakan se-rangkaian jenis bentuk yang berbeda yang bersatu atau terpisah dari materi, maka kejadian sesuatu (generation) merupakan hasil dari kesatuan bentuk dan materi, sedangkan kerusakan (corrup-tion) merupakan hasil dari pemisahannya. Dengan cara ini, fisika menyatu dengan kosmologi; dunia terestrial dengan dunia langit.

133 Di sini jelas bahwa doktrin emanasi yang diadaptasi oleh al-FÉrÉbÊ bertujuan untuk menjelaskan perbuatan Tuhan terkait ma-teri, dengan akal yang sepuluh itu ditempatkan di antara Tuhan dan dunia. Teori tentang intelek yang terpisah seperti yang diajar-kan oleh Al-FÉrÉbÊ adalah campuran dari teori Aristoteles tentang gerakan pada langit (Aristoteles, Metaphysics, XII, Bab 7-8) dan dari doktrin emanasi Neo-Platonisme.

131 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat al-FÉÌilah, diedit dan diterjemahkan oleh R.Walzers, hlm. 100-105.

132 Ada enam jenis tubuh menurut al-FÉrÉbÊ: langit (celestial), binatang yang rasional (rational animal), binatang yang tidak rasional (irrational ani-mal), yang tumbuh (the vegetal), mineral (the mineral), dan empat elemen (udara, air, api, tanah). Lihat al-FÉrÉbÊ, “al-SiyÉsah al-Madaniyyah”, da-lam RasÉ’il, nomor 6, hlm. 67-75.

133 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat, terjemahan oleh Walzers, Bab XVII dan XVIII.

Page 86: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

71

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Selain itu, al-FÉrÉbÊ menggambarkan mekanisme emanasi dengan enam kaidah tentang Yang Ada (Being). Yang pertama adalah Tuhan, yaitu Sebab Pertama (al-Sabab al-Awwal); yang kedua adalah sebab-sebab sekunder (al-asbÉb al-thawÉnÊ), yaitu sepuluh intelek, bersama dengan sembilan ruang; yang ketiga adalah Intelek Aktif, yaitu jembatan antara langit dan Bumi; yang keempat adalah jiwa; yang kelima adalah bentuk, dan keenam adalah materi. 134 Tiga prinsip pertama, yakni Tuhan, sepuluh intelek dan Intelek Aktif, adalah ruh semata; sementara tiga yang terakhir, yaitu jiwa, bentuk dan materi bukanlah suatu jasad me-lainkan hanya disatukan dengan jasad. Hanya tiga prinsip yang pertama sajalah yang menggambarkan kesatuan, sementara yang lain merepresentasikan pluralitas dalam dunia material.

Adapun hubungan antara metafisika dan realitas fisik, atau hubungan Tuhan dan dunia, dalam hal kausalitas juga dapat di-temukan dalam argumen kosmologi al-FÉrÉbÊ, yakni upayanya membuktikan wujud Tuhan. Dari argumen-argumen kosmologis-nya tersebut, al-FÉrÉbÊ setidaknya mengeluarkan tiga deskripsi penting tentang Tuhan. Pertama, Tuhan adalah penggerak yang tidak dapat digerakkan atau Penggerak yang Tak Bergerak. 135 Ke-dua, Tuhan adalah Pelaku Utama Yang Tak Bersebab.136 Dan ter-akhir, Tuhan adalah Sebab Pertama. 137

Setelah menjelaskan Tuhan sebagai Sebab Pertama, al-FÉrÉbÊ berupaya untuk menghubungkan antara Sebab Pertama—yang merupakan kesempurnaan tertinggi, tanpa kecacatan apa pun (dan karena itu bukanlah materi)—dengan dunia material yang penuh ketidaksempurnaan. Langkah yang diambil untuk menghubung-kan keduanya adalah dengan menunjuk akal murni yang teren-dah, yaitu Intelek Aktif dan benda-benda langit, sebagai penyebab

134 Al-FÉrÉbÊ, “al-SiyÉsah al-Madaniyyah”, dalam RasÉ’il al-FÉrÉbÊ, (Hey-derabad, Deccan: Majlis DÉ’irat al-Ma’Érif al-UthmÉniyyah, 1346 H), no-mor 6, hlm. 1.

135 Ibid, nomor 13, hlm. 70-71.136 Ibid, RasÉ’il, hlm. 115-125.137 Ibid, RasÉ’il, nomor 3, hlm. 66.

Page 87: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

72

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

adanya dunia kita. 138 Namun, al-FÉrÉbÊ memiliki pandangan yang berbeda tentang proses Intelek Aktif menyebabkan adanya dunia material. Dalam ÓrÉ’ dan SiyÉsah, al-FÉrÉbÊ hanya berbicara ten-tang pengaruh Intelek Aktif pada pikiran manusia, sedangkan di buku RisÉlah fi al-‘Aql Intelek Aktif dikatakan hanya memberi bentuk bagi materi utama dan materi tertentu. 139 Mengenai per-bedaan ini, saya lebih mengutamakan rujukan yang ada dalam karya asli al-FÉrÉbÊ, ÓrÉ’ dan SiyÉsah, ketimbang RisÉlah, yang tampaknya penafsirannya tentang De Anima Aristoteles. Sebab, dalam karya aslinya tersebut ia berpegang pada pendapat bahwa benda-benda langit memberikan bentuk sekaligus materi, 140 se-dangkan Intelek Aktif mempengaruhi pikiran dan tindakan ma-nusia.

Mengenai materi fisik, al-FÉrÉbÊ menegaskan bahwa asal usulnya berasal dari gerak yang umum di semua benda-benda langit, yaitu gerak melingkar yang paling sempurna dari mereka, yaitu langit pertama. Interaksi antara gerakan-gerakan khusus tiap benda langit (dengan kecepatannya masing-masing) meng-hasilkan bentuk-bentuk dan pergantian yang berbeda-beda. Al-FÉrÉbÊ mengaitkan perubahan yang terus-menerus terjadi di dunia melalui pergantian bentuk-bentuk yang berbeda itu dengan ge-rak benda-benda langit beserta keterkaitannya antara satu dengan yang lain, terbit dan tenggelam mereka dan lain-lain. 141 Pendekat-an metafisika ini menunjukkan bahwa sebab-akibat benda-benda langit itu merupakan komposisi hilomorfis, yakni gabungan an-tara bentuk dan materi-trans.

138 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat, terjemahan oleh Walzer, Bab XVII dan XVIII, hlm. 27-30.

139 Al-FÉrÉbÊ, RisÉlah fÊ al-‘Aql, diedit oleh M. Bouyges, (Beirut: tanpa pener-bit, 1938), hlm. 29-31, terjemahan bahasa Inggris oleh A. Hyman dan J.J. Walsh, berjudul “The Letter Concerning the Intellect”, dalam Philosophy in the Middle Ages, The Christian, Islamic and Jewish Tradition, (New York: tanpa penerbit, 1973), hlm. 215-221.

140 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat, terjemahan oleh Walzers, Bab. XVII, hlm. 27-28; Al-FÉrÉbÊ, SiyÉsah, hlm. 55-56.

141 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat, Bab XVI dan XVII, hlm. 26-28.

Page 88: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

73

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Pada bagian kedua dari SiyÉsah, al-FÉrÉbÊ memberikan pen-jelasan rinci bahwa benda-benda langit itu sebab pertama dari dunia yang lebih rendah, termasuk perbedaan di antara bangsa-bangsa, lokasi geografis, perbedaan flora, fauna, dan makanan manusia.142 Adapun mekanisme benda-benda langit mempenga-ruhi dunia yang lebih rendah melalui cahaya, dijelaskan dalam buku Nukat. 143 Model sebab-akibat fisik benda-benda langit ti-dak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang bergantung pada jiwa karena benda-benda langit hanya terkait dengan bentuk dan materi. Kegiatan jiwa manusia berada di bawah bimbingan Intelek Aktif, 144 yaitu tempat bergantung akal dan imajinasi manusia.

Mekanisme sebab-akibat pada benda-benda langit dan dari Intelek Aktif adalah dua sebab yang berbeda yang mungkin ber-tentangan satu sama lain. Karena pengaruh benda-benda langit tidak selalu kondusif untuk kebaikan sejati manusia, konfliknya dengan Intelek Aktif akan menghambat pencapaian kebahagiaan manusia, yang merupakan gabungan dari Intelek Aktif dan intelek manusia.

Diskusi di atas menggambarkan sistem sebab-akibat al-FÉrÉ-bÊ tentang benda-benda langit dan Intelek Aktif. Sistem ini secara filosofis memecahkan masalah bagaimana dari yang Satu men-jadi banyak (One to many), tapi karena konsepnya tentang Tuhan merupakan campuran dari Tuhan Islam dan dewa-dewa Aristote-les, kesimpulannya menjadi tidak bisa dipertahankan, terutama pada penggambaran kekuasaan Tuhan atas makhluk-Nya. Dalam FuÎËl MabÉdi’ ’ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnat al-FÉÌilah ia menggam-barkan Tuhan sebagai Sebab Pertama, yang merupakan penye-bab pertama dari segala sesuatu sebagai aktor utama mereka. 145

142 Al-FÉrÉbÊ, SiyÉsah, hlm. 70-71.143 Al-FÉrÉbÊ, Nukat fÊ MÉ lÉ YaÎiÍÍu min AhkÉm al-NujËm, penyunting F. Di-

eterici, dalam al-FÉrÉbÊ, Philosophische Abhandlungen, (Leiden, 1890), hlm. 104-114.

144 Al-FÉrÉbÊ, al-MadÊnat, Bab XX-XXI, hlm. 34-37.145 Al-FÉrÉbÊ, FuÎËl al-MadanÊ, diedit oleh Muhsin Mahdi, Journal of Near

Eastern Studies, (Chicago) XXIII (1964), hlm. 140-143.

Page 89: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

74

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Dengan kata lain, Tuhan adalah prinsip pertama atau penyebab utama adanya dunia ini.

Akan tetapi, dalam SiyÉsah ia berpendapat bahwa sebab per-tama adanya alam yang lebih rendah adalah benda-benda langit dan Intelek Aktif. Namun, cara Wujud Pertama menyebabkan adanya semua makhluk dibatasi oleh konsep Tuhan yang sema-cam itu, yang tidak dapat secara langsung menjadi penyebab ada-nya dunia material. Tuhan hanya sebab pertama dari gerak yang terjadi di alam semesta ini. Asumsi bahwa pluralitas jiwa manu-sia itu hasil emanasi intelek kesepuluh menyiratkan bahwa Tuhan bukan merupakan Penyebab utama atau Yang menjadikan mereka ada. Untuk menghindari pernyataan bahwa Tuhan itu disebabkan, kalangan falāsifah menempatkan Tuhan dalam rangkaian sebab-akibat. 146 Konsep Tuhan tersebut secara mentah-mentah ditolak oleh kalangan mutakallimËn. Pasalnya, Tuhan seolah-olah tidak memiliki kekuasaan untuk menghasilkan kemajemukan materi di Bumi sehingga sebagai penentu segala sesuatu Dia tidak memi-liki kekuasaan.

Mendukung prinsip filsafat Yunani, al-FÉrÉbÊ juga mengakui bahwa alam semesta bersifat abadi. Karena, menurutnya, untuk menciptakan dunia, Tuhan pasti punya bahan untuk dikerjakan. Oleh karena itu, sebuah materi yang belum diciptakan dan abadi, pasti merupakan sebab materi dari alam semesta. Katanya:

Ketika orang-orang mengatakan bahwa Tuhan mencip-takan dunia, mereka hanya bermaksud mengatakan bahwa Tuhan membuat dunia dari materi dengan menutupinya le-wat bentuk tertentu. Tentu dunia ini merupakan karya Tuhan,

146 Dengan menempatkan Tuhan sebagai sebab efisien dunia, al-FÉrÉbÊ ber-pandangan bahwa dunia ini tersusun dari wujud-wujud yang memiliki se-bab, dan sebab ini menjadi sebab bagi yang lain. Rangkaian sebab-sebab efisien ini tidak berlangsung terus hingga tak terbatas. Karena jika A meru-pakan sebab dari B, B dari C, C dari D, dan seterusnya, di sini A akan men-jadi sebab dari dirinya sendiri, yang itu tidak mungkin. Oleh karena itu, di luar serangkaian sebab efisien, tentu ada sebuah sebab efisien yang tidak disebabkan, dan itu Tuhan. Lihat al-FÉrÉbÊ, The Source of Questions, se-perti dikutip oleh Robert Hammond, dalam The Philosophy of al-FÉrÉbÊ, hlm. 20.

Page 90: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

75

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dan meskipun ia muncul sesudah-Nya dalam suatu bentuk-dunia, tapi ia sama dengan-Nya dalam waktu dan ini berarti ia kekal, sebab Dia tidak bisa mulai mengerjakannya dalam waktu. Alasannya, kedudukan Tuhan terhadap dunia seperti kedudukan sebab terhadap akibatnya. Dalam kasus ini, sebab tidak terlepas dari akibat; ini berarti bahwa Dia tidak bisa mu-lai menciptakannya dalam suatu momen tertentu. Sebab, jika Dia bisa, itu akan hanya berarti ketidaksempurnaan-Nya. Ini, tentu saja, tidak sesuai dengan kesempurnaan absolut yang dimiliki Tuhan. 147

Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa al-FÉrÉbÊ menga-kui doktrin keabadian dunia. Doktrin keabadian dunia dan materi didasarkan pada prinsip bahwa sebab dan akibat di dunia ini tidak terpisah dan berlangsung pasti. Singkatnya, upaya al-FÉrÉbÊ ma-sih belum dapat memasukkan prinsip-prinsip filsafat Yunani ke bawah naungan worldview Islam, di mana konsep-konsep Yunani diterapkan tanpa satu pun keganjilan. Meskipun masih banyak tugas yang harus diselesaikan, al-FÉrÉbÊ berhasil membuka ja-lan bagi Ibn SÊnÉ untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mengapropriasi filsafat Yunani (ke dalam Islam).

Ibn SÊnÉ

Tokoh penting pendukung falsafah setelah al-FÉrÉbÊ adalah Ibn SÊnÉ (370-428/980-1037). Ia sosok paling menonjol di antara filosof Muslim peripatetik yang membangun suatu filsafat yang detail dan sistematis. Seperti al-FÉrÉbÊ, sistem filsafat Ibn SÊnÉ hampir tidak dapat dipisahkan dari Aristoteles, meskipun ini bu-kan berarti Ibn SÊnÉ hanyalah mengutip Aristoteles. Filsafatnya menunjukkan perbedaan penekanan sehingga beberapa pemikir modern mengakui bahwa Ibn SÊnÉ meninggalkan pemikiran Aris-toteles. Namun, ada beberapa prinsip mendasar yang dibiarkan tanpa apropriasi sehingga al-GhazÉlÊ dan beberapa cendekiawan Muslim lainnya terpanggil untuk menolak Ibn SÊnÉ. Sesung-guhnya konsep kausalitas Ibn SÊnÉ menyatu dengan konsepnya

147 Ibid, hlm. 32.

Page 91: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

76

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

tentang Tuhan. 148 Namun, konsepnya tentang Tuhan merupakan hasil rekonsiliasi konsep Tuhan al-Quran dengan prinsip-prinsip filsafat Yunani. Dalam konsep kausalitasnya, Ibn SÊnÉ menga-dopsi konsep Sebab Pertama dari prinsip-prinsip filsafat Yunani, dan memperkenalkan konsepnya sendiri yang asli ke dalam alam pemikiran Islam, yaitu konsep al-WÉjib al-WujËd (Yang Wajib Ada). 149

Ibn SÊnÉ mencoba mempertahankan doktrin Tawhid dalam Islam, dan menerapkan konsep Keesaan dan ketunggalan Tuhan dalam filsafat Yunani. Namun, konsep ini tampak asing dalam keyakinan Muslim karena keesaan itu diartikan sebagai kesatuan wujud dan zat Tuhan dalam segala hal. 150 Artinya, wujud Tuhan di sini dipahami identik dengan zat-Nya. Alasannya, jika ada se-suatu yang zatnya itu berbeda atau berlainan dari eksistensinya, maka itu bukan al-WÉjib al-WujËd. Prinsip ini dibangun untuk menghindari adanya kausalitas dalam zat Tuhan yang mungkin

148 Netton, dengan mengutip De Boer, menyatakan bahwa konsep Tuhan versi Ibn SÊnÉ merupakan sebuah pernyataan yang keliru tentang pemikiran Yu-nani. Ian Richard Netton, Allah Transcendent, (London: Routledge, 1989), hlm. 149. Davidson mengatakan bahwa konsep Ibn SÊnÉ tersebut awal-nya milik ia sendiri dan berkembang melampaui milik Aristoteles. Lihat Herbert A. Davidson, “Avicenna’s Proof of the Existence of God as Ne-cessarily Existent Being”, dalam Parviz Morewedge, Islamic Philosophy and Theology, (Albany: SUNY Press, 1979), hlm. 180. Goichon secara tepat menganggap Ibn SÊnÉ “meletakkan cahaya di atas teks Aristoteles dan mengembangkan pemikiran Aristoteles”, lihat A.M. Goichon, “The Philosopher of Being” dalam Avicenna Commemoration Volume, (Calcut-ta: Iran Society, 1956), hlm. 109. Joseph Owen terang-terangan mengakui bahwa “pandangan segar Avicenna pada gagasan wujud Aristoteles meru-pakan bagian dari motivasi Islam atau pendekatan Islam”, lihat C.S.R. Jo-seph Owens, “The Relevance of Avicennian Neoplatonism”, dalam Parviz Morewedge (ed.), Neoplatonism and Islamic Thought, (Albany: SUNY Press, 1979), hlm. 43.

149 Davidson menganggap Ibn SÊnÉ sebagai filsuf pertama yang mengguna-kan konsep eksistensi wajib untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Lihat Herbert A. Davidson, “Avicennas’s Proof of the Existence of God as a Ne-cessarily Existent Being”, dalam Islamic Philosophical Theology, Parviz Morewedge (ed.), (Albany: SUNY Press, 1979), hlm. 169.

150 Ibn SÊnÉ, al-NajÉt, edisi ke-2, MuÍy al-DÊn Øabri al-Kurdi (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1936), hlm. 264-265. Ibn SÊnÉ, Al-IshÉrÉt wa al-TanbÊhÉt Jilid 3 (dari 4 jilid), SulaymÉn DunyÉ (ed.), (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, 1958), hlm. 42-43.

Page 92: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

77

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

mengorbankan prinsip keesaan. Oleh karena itu, keberadaan al-WÉjib al-WujËd itu tidak memiliki kuiditas (mÉhiyah) yang ber-beda dari anniya-nya. 151 Jika memiliki mÉhiyah, maka Tuhan menjadi bagian sebuah genus dan akan memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan genus lain atau menjadi bagian dari sesuatu itu. Kesederhanaan berarti esensi Tuhan tidak tersusun atau ter-diri dari beberapa unsur. 152 Tuhan tidak bisa terdiri dari apa pun, dan juga tidak bisa dibagi menjadi apa pun. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pluralitas dalam esensi Tuhan karena pluralitas akan mengakibatkan adanya kausalitas dalam esensi Tuhan, yang itu tidak mungkin. Jika wujud Tuhan itu pasti dise-babkan (oleh sesuatu yang lain), maka jelas itu tidak dapat dikait-kan dengan sebab apa pun. Di sisi lain, jika wujud-Nya tidak pasti (apakah memiliki sebab atau tidak), maka Dia jelas tidak bisa di-anggap sebagai al-WÉjib al-WujËd. Untuk mendukung doktrin ini Ibn SÊnÉ mendeskripsikan Tuhan dengan konsep menegasikan, seperti Tuhan tidak memiliki sebab, tidak relatif, tidak berubah, tidak jamak, dan tidak ada sekutu bagi wujud-Nya, tidak ada wu-jud kecuali diri-Nya. 153

Konsep Tuhan Ibn SÊnÉ tersebut berpengaruh terhadap kon-sep kausalitas di dunia nyata. Dalam argumennya untuk mem-buktikan Keberadaan Tuhan, ia memperkenalkan konsepnya yang kelak dipandang istimewa: WÉjib al-WujËd. Doktrin inilah yang dikaitkan dengan penjelasan tentang hubungan Tuhan dan dunia dalam konteks sebab-akibat. Doktrin WÉjib al-WujËd Ibn SÊnÉ dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut: Kebera-daan wujud (being) adalah wajib ada dengan sendirinya, dan hal ini ditentukan berdasarkan dua prinsip: pertama, mata rantai wu-jud yang mungkin (mumkin al-wujËd) tidak bisa tanpa batas, dan kedua, mata rantai ini tidak wajib karena terdiri dari unsur-unsur yang serba mungkin (kontingen). Mata rantai ini memerlukan

151 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-LÉhiyÉt Jilid 2 (dari 2 jilid), Muhammad YËsuf MËsa, et al. (ed.), (Kairo: U.A.R. WazÉrat al-ThaqÉfah wa al-IrshÉd al-QuwmÊ, 1960), hlm. 344.

152 Ibid, hlm. 347.153 Ibid, Jilid 1, hlm. 37; bandingkan dengan Al-IshÉrÉt Jilid 3, hlm. 44-45.

Page 93: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

78

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

penyebab yang pasti di luar dirinya, dan penyebab ini adalah Wu-jud Wajib (WÉjib al-WujËd), yaitu Tuhan.154 Wujud Wajib yang ada secara abadi sebelum kewujudan segala sesuatu dan sumber dari wujud segala sesuatu, disebut Sebab Pertama. 155 Ada keter-gantungan kausal antara Sebab Pertama dan sebab-sebab berikut-nya, yang berarti bahwa yang kontingen (mungkin) bergantung pada atau ada karena sesuatu selain dirinya sendiri. Rangkaian ketergantungan ini berujung pada Yang Wajib Ada, Yang Satu. 156

Pembagian ada (being) di atas menjadi ada yang wajib dan ada yang mungkin dilakukan untuk mengonstruksi tatanan dunia alamiah dengan cara emanasi. Ini berasal dari salah satu prinsip ada (being) dengan model derivasi yang logis. Wajib Ada adalah Yang Satu, yang darinya wujud yang mungkin itu beremanasi. Oleh karena itu, wujud yang mungkin menjadi wajib disebabkan oleh wujud yang lain, dan kepastian interaksi sebab-akibat men-jadi hampir sama dengan kepastian logika. Dengan prinsip ini, seluruh alam semesta terkait secara pasti dalam mata rantai deng-an Sebab Pertama. Untuk menghindari kesamaan antara yang Wajib Ada dan yang mungkin ada, Ibn SÊnÉ berpendapat bahwa prinsip rangkaian sebab-akibat itu berbeda tajam dari rangkaian itu sendiri. Artinya, apa yang ditemukan dalam hasil akhir itu sebab segala sesuatu yang dirinya sendiri tidak memiliki sebab. Ini berarti bahwa ada dua jenis hubungan antara ada (being) dan wujud. “Setiap ada (being) karena dirinya sendiri (dhÉt), terle-pas dari segala sesuatu yang lain, memiliki wujud dalam dirinya sendiri secara pasti atau tidak memilikinya. Jika memilikinya, ia tentu benar menurut dirinya sendiri (haqq bi dhāti-hī) dan wajib ada dengan sendirinya: Inilah Wujud yang selalu ada.” 157

154 Ibn SÊnÉ, al-NajÉt, hlm. 97-101; lihat juga al-IshÉrÉt wa al-TanbÊhÉt, diterjemahkan Sham Inati, Remark and Admonition, Bagian 1, (Toronto: Pontifical Institute of Medieval Studies, 1984), hlm. 118-128.

155 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ Jilid 2, hlm. 242-243.156 Ibn SÊnÉ, DÉnish NÉma, terjemahan dengan komentar kritis oleh Parviz

Morewedge, dalam The Metaphysics of Avicena (Ibn SÊnÉ), Bab 28, (Lon-don: Routledge & Kegan Paul, 1973), hlm. 59-60.

157 Ibn SÊnÉ, Al-IshÉrÉt, Bagian 3, hlm. 447.

Page 94: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

79

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Ibn SÊnÉ berpegang pula pada pendapat bahwa Tuhan itu Pelaku sekaligus Penyebab Terakhir di alam metafisika. Penyebab Utama, menurut Ibn SÊnÉ, merupakan sebuah sebab yang meng-anugerahkan wujud yang berbeda dari dirinya sendiri.158 Prinsip penyebab utama dalam kaitan dengan wujud dirinya sendiri (bi al-hasb wujËd binafsihi) adalah bahwa sesuatu yang merupakan penyebab wujud sesuatu yang berbeda dari dirinya sendiri adalah sebab utama. 159 Prinsip ini menunjukkan bukan saja penekanan pada pembedaan sebab dari akibat, melainkan juga pemisahan antara penyebab utama dan penyebab akhir.

Dalam masalah Tuhan dan yang terkait dengan alam, istilah Pelaku (al-fÉ‘il) bukanlah berdasarkan prinsip gerak (sebagaima-na yang dipercaya Aristoteles dan filsuf materialis lainnya), me-lainkan berdasarkan pemberi wujud. Jadi, Tuhan adalah Penye-bab Utama yang melimpahkan wujud kepada semua makhluk ter-masuk alam. Tuhan juga merupakan Sebab Terakhir, yaitu sebab dari keberadaan sebab-sebab yang lain, dan dalam hal kewujudan ia adalah Sebab dari segala sebab (‘illat al-‘ilal).160 Dalam defi-nisi ini, Ibn SÊnÉ memperkenalkan sebab-sebab lain, yang meru-pakan sebab dari sebab-sebab yang berakhir pada sebab terakhir. Dalam teori kausalitas Aristoteles, yang dimaksud sebab merujuk kepada materi dan bentuk, yang merupakan asal dari seluruh ben-da materi.

Prinsip Ibn SÊnÉ tentang sebab-akibat yang lain diambil dari argumen metafisika yang terdapat dalam al-ShifÉ’: bahwa semua wujud selain Tuhan hanya bersifat mungkin pada dirinya sendiri, artinya diri mereka bisa ada atau bisa juga tidak ada. Namun, ka-rena yang mungkin pada kenyataannya ada, harus ada sesuatu di luar mereka yang harus memberi mereka wujud dan bukan mem-beri ketiadaan, dan inilah sebab mereka. 161 Oleh karena itu, yang

158 Ibid, hlm. 257.159 Lihat Michael E. Marmura, “The Metaphysics of Efficient Causality in

Avicenna”, dalam Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy, (Albany: SUNY, 1984), hlm. 174.

160 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-LÉhiyÉt Jilid 1, hlm. 293-294.161 Ibid, hlm. 37-39.

Page 95: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

80

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bersifat mungkin ada itu telah diberikan wujud dengan pasti me-lalui sebab-sebab mereka sehingga wujud mereka menjadi wa-jib dikarenakan sebab-sebab mereka. Argumen ini menunjukkan bahwa setiap akibat yang bersifat mungkin pastilah memiliki se-buah sebab. Mengingat wujud yang bersifat mungkin itu ada atau mung kin tidak ada, wujudnya menjadi pasti melalui sebabnya, yang berarti bahwa ia dijadikan pasti oleh sebabnya. Dalam prin-sip ini “ada yang bersifat mungkin”, setelah “terikat” (muta‘alliq) dengan sebabnya, menjadi “wajib’ (wÉjib; juga wÉjib al-wujËd atau “Wajib Ada”). Karena kepastiannya itu memiliki sumber eksternal dan tidak berasal dari esensinya, ia adalah “wujud -yang-wajib-ada-oleh-yang-lain” (al-wÉjib wujËd li-ghayrihi). Implikasinya, selama sebab itu ada maka akibatnya pasti ada, bah kan akibatnya tidak dapat ditunda setelah mewujudnya sebab. Jadi, sebab dan akibat itu wujud secara bersamaan dalam waktu.

Oleh Ibn SÊnÉ, argumen itu dimasukkan ke prinsip ontologis. Padahal, prinsip ontologis mengisyaratkan bahwa dua hal dapat saling menunjukkan keberadaan yang lain, yang satu menjadi se-bab bagi yang lain dan dengan demikian secara ontologis wujud terlebih dahulu. Di sinilah letak masalahnya. Meskipun kebera-daan sebab dan akibat secara simultan merupakan teori kausalitas Aristoteles (lihat: Metaphysics, 1014a 20f), perhatian utama Ibn SÊnÉ tertuju pada Penyebab Utama yang esensial, yaitu bahwa sebab esensial tidak mendahului akibat di dalam waktu seperti se-bab-sebab yang terjadi secara kebetulan, dan bahwa keberadaan yang satu dapat disimpulkan dari keberadaan yang lain.162

Isu utama yang menjadi titik perdebatan di antara para filsuf Muslim adalah konsekuensi-konsekuensi dari teori sebab-akibat alamiah bahwa terjadinya sebab itu merupakan konsekuensi yang pasti dari sesuatu, kejadian alami atau esensi dari sesuatu itu. Jika Pelaku yang abadi itu secara pasti menghasilkan alam dari esensi dirinya yang abadi, maka akibatnya—yaitu alam dunia ini—ha-rus juga abadi. Jadi, penerapan koeksistensi sebab dan akibat ini meng hasilkan doktrin keabadian alam. Berdasarkan prinsip kau-

162 Ibid, Jilid 1, hlm. 163-169.

Page 96: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

81

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

salitas yang esensial itulah Ibn SÊnÉ menegaskan bahwa keter-aturan di dunia fenomenal bukanlah karena kecelakaan atau ke-betulan, melainkan karena sebab alami yang melekat pada segala sesuatu. 163

Seperti disinggung di alinea sebelumnya, meski mengikuti Aristoteles, Ibn SÊnÉ membangun doktrinnya sendiri. Sementara Aristoteles membungkus filsafatnya dengan dasar teori fisika,

164 Ibn SÊnÉ membangun filsafatnya—termasuk konsepnya ten-tang Tuhan—berdasarkan prinsip-prinsip metafisika serta fisika. Dalam filsafat fisik atau filsafat alam, misalnya, sebab dianggap sebagai pelaku utama atau penggerak pertama dalam teori gerak, dan wujud Tuhan dibuktikan sebagai Penggerak Pertama dari alam semesta. Penggerak Pertama adalah satu-satunya pangkal dari serangkaian sebab; bukan sebab sempurnanya segala sesu-atu.

Dalam filsafat metafisika Ibn SÊnÉ, sebab tidak dianggap se-bagai pangkal gerak, tetapi sumber dari wujud. Namun, Yang Wajib Ada (WÉjib al-WujËd), yaitu Penggerak Pertama, diang-gap sebagai sebab kesempurnaan, baik sebagai sebab utama yang jauh maupun yang dekat. Meskipun paparannya tentang empat sebab dalam karyanya, DÉnish Nāma, menyerupai Physics (194b 24 - 295b 35) dan Metaphysics karya Aristoteles (1013a 24-1014b 15), ia berbeda dalam masalah sebab dari suatu wujud. Bagi Aristoteles, sebab suatu wujud atau sebab dari suatu ma-teri (substansi material) adalah bentuk (form) atau sebab terdekat (proximate cause), sedangkan bagi Ibn SÊnÉ sebab setiap wujud adalah Yang Wajib Ada (WÉjib al-WujËd) yang wajib mutlak dan asal setiap wujud. Poin yang membuat pendapat Ibn SÊnÉ berbeda dari Aristoteles adalah keyakinannya bahwa pengkajian tentang wujud Tuhan dan hakikat-Nya sama sekali berada di luar

163 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-BurhÉn, AE. Afifi (ed.), edisi revisi oleh I. MadhkËr, (Kairo: OGIG, 1956), hlm. 95.

164 Dalam catatan seputar empat sebab, misalnya, Ibn SÊnÉ menganut gagasan Aristoteles tentang kausalitas sebagaimana yang dibahas dalam karyanya, Physics 194 b 16 –195 b 35 dan Metaphysics 1013 a 24-1014 b 15.

Page 97: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

82

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ruang lingkup fisika dan harus dikembangkan dalam framework metafisika.165

Sejalan dengan konsepnya tentang Tuhan, konsep kausalitas Ilahi Ibn SÊnÉ merupakan penerapan doktrin emanasi Neo-Pla-tonisme. Dalam karyanya yang tebal, al-ShifÉ, ia menguraikan sistem emanasi dan ontologi yang melengkapi dan saling menje-laskan satu sama lain. Sistem emanasi berbunyi sebagai berikut: Dari Tuhan, Yang Wajib Ada, mengalir, melalui proses emanasi, akal/intelek pertama saja. Karena dari sebuah entitas mutlak se-derhana yang tunggal, satu hanya bisa mengemanasi satu (al-wÉÍid lÉ yaÎduru ‘anhu illa wÉÍid). Namun, hakikat intelek per-tama tidak lagi benar-benar sederhana karena ia hanya mungkin, dan kemungkinannya telah diaktualisasikan oleh Tuhan. Intelek kemudian menimbulkan dua entitas: 1) intelek kedua berdasar-kan aspek yang lebih tinggi eksistensinya, aktualitas, dan 2) ru-ang pertama dan tertinggi berdasarkan aspek yang lebih rendah dari eksistensinya selaku kemungkinan alamiahnya. Proses ganda emanasi ini terus berlangsung sampai mencapai intelek yang le-bih rendah dan kesepuluh yang mengatur dunia Bumi (disebut Intelek Aktif), yang diidentifikasikan oleh orang Islam sebagai Malaikat Jibril.

Teori kausalitas tersebut berhubungan dengan ajarannya ten-tang intelek, yang dengan itu langit dihasilkan oleh serangkaian pemikiran (intellection), dan setiap intelek sebenarnya memberi eksistensi atas apa yang dihasilkannya. Rangkaian proses ini—yang direpresentasikan oleh hierarki wujud (being) di seluruh proses kosmos—berakhir di Wujud Murni (Pure Being) tempat segala sesuatu berasal.

Namun, tidak boleh luput dari perhatian kita, selain berurusan dengan kausalitas di dunia fenomenal atau alam, Ibn SÊnÉ juga membahas kausalitas dalam tindakan manusia, yakni manusia bertindak “dengan pilihan” atau secara bebas. Menurut Ibn SÊnÉ, prinsip sebab-akibat dalam peristiwa alam maupun perbuatan ma-

165 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’, al-LÉhiyÉt Jilid 2, hlm. 257.

Page 98: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

83

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

nusia adalah sebagai berikut: ketika sebab dan penerima tindakan dalam peristiwa alam itu ada, akibat harus mengikuti. Dalam hal perbuatan manusia yang melibatkan kekuatan-kekuatan teknis, kehendak, atau selera, kekuatan-kekuatan ini ada bersama dengan penerima tindakan tapi akibatnya tidak mengikuti. 166 Ilustrasi un-tuk penjelasan ini adalah tangan yang menggerakkan kunci. Jika seseorang mengatakan, “Zayd menggerakkan tangannya, maka kuncinya bergerak”, pikiran kita bakal menerimanya. Lain halnya ketika seseorang mengatakan, “Ketika kuncinya bergerak, tangan Zayd bergerak”, pikiran kita akan menolaknya, meskipun paham bahwa gerakan tersebut disebabkan gerakan tangan Zayd. Hal ini menunjukkan bahwa ketika dua gerakan terjadi bersamaan dalam waktu, pikiran memberikan suatu a priori bagi yang satu dan a posteriori bagi yang lain. Pikiran akan memberi tahu kita bahwa keberadaan yang pertama adalah sebab keberadaan kedua. Ini disebut prioritas ontologis. 167 Ilustrasi ini menunjukkan bahwa sebab dan akibat terjadi bersamaan dalam waktu sehingga tidak adanya akibat mengesankan tidak adanya sebab. Dalam keadaan demikian, sebab mendahului akibat secara logis atau “berdasar-kan esensi” (taqaddum bi al-dhÉt). Kelebih-utamaan logika juga terjadi di ranah prinsip metafisika tentang ada yang tidak tunduk pada perubahan temporal. Dengan demikian, konsep “keterdahu-luan” (taqaddum) dan “keberakhiran” (ta’akhkhur) merupakan inti ajaran kausalitas linier yang ketat.

Model kausalitas Ibn SÊnÉ tidak bisa dengan mudah diimpor ke ranah pemikiran Islam, khususnya yang memegang keyakinan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta secara bebas dengan iradat-Nya. Susunan yang dijelaskan melalui skema emanasi Ibn SÊnÉ bertentangan dengan konsep Tuhan seperti dijelaskan al-Quran, yang memiliki kekuasaan luas. Dalam hal ini Ibn SÊnÉ benar-benar ditantang oleh al-GhazÉlÊ dan Fakhr al-Din al-RÉzi.

166 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-BurhÉn, hlm. 298.167 Ibn SÊnÉ juga mendiskusikan topik ini dalam karyanya DÉnish NÉma, Bab

15, hlm. 41. Untuk diskusi lebih jauh, lihat Michael E. Marmura, “Avi-cenna on Causal Priority”, dalam Parviz Morewidge, Islamic Philosophy and Mysticism, (New York, Delmar: Caravan Books, 1981), hlm. 65-83.

Page 99: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

84

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

KESIMPULAN

Akar konsep kausalitas dalam tradisi intelektual Islam, seba-gaimana dijelaskan panjang lebar dalam bab ini, adalah al-Quran. Bentangan konsep tersebut meliputi konsep tentang Tuhan, ma-nusia, dan alam. Oleh karena itu, kausalitas dalam al-Quran ter-diri dari kausalitas Ilahi, kausalitas terkait manusia, dan kausali-tas terkait peristiwa alam. Konsep kausalitas dalam hubungannya dengan konsep-konsep tersebut menentukan struktur konseptual dalam worldview Islam, dengan pusatnya ada pada konsep Tu-han. Tuhan dalam al-Quran, sebagaimana ditafsirkan oleh para mufasir, adalah Sebab dari sebab-sebab (musabib al-asbab) dan karena itulah kausalitas Ilahi berkedudukan sebagai pusat seluruh gagasan kausalitas dalam al-Quran. Hanya saja, karena modus sebab-akibat dalam al-Quran bersifat langsung sekaligus tidak langsung, maka para sarjana Muslim tergoda untuk membangun beragam teori kausalitas.

Dalam teori atom (jawhar) Kalam, terdapat tiga teori kau-salitas dalam peristiwa alam. Pertama, bahwa sebab-akibat itu peristiwa bersamaan yang secara langsung diciptakan Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya kekuatan sebab-akibat pada makhluk, tidak ada sebab sekunder, horizontal ataupun langsungnya. Ke-dua, dunia diatur oleh hukum kausalitas yang ditanamkan Tuhan pada saat penciptaan, kemudian berjalan di bawah bimbingan dan pengawasan serta tunduk pada kehendak-Nya. Ketiga, mirip dengan teori yang kedua, kecuali pada kejadian setelah pencip-taan, yakni dunia berjalan secara independen tanpa pengawasan Tuhan dan tidak tunduk pada kehendak-Nya.

Teori kausalitas pada manusia berlaku dengan pola yang hampir sama dengan peristiwa alam. Ada tiga pandangan yang menonjol: pandangan deterministik, kehendak bebas, dan jalan tengah.

Sebenarnya, teori atom para ahli Kalam di atas sebenarnya muncul didorong oleh keinginan untuk mempertahankan argu-men kemahakuasaan Tuhan dan kedaulatan-Nya sebagai satu-

Page 100: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

85

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

satunya pelaku, Sang Pencipta dan Pembuat. Namun, titik radi-kal teori-teori tersebut menekankan kemahakuasaan Tuhan dan kemustahilan ekstrem makhluk untuk bertindak efektif. Impli-kasinya, muncul penolakan terhadap kausalitas dan kontinuitas waktu, materi dan ruang, dan tentu saja terhadap pandangan ten-tang adanya hukum, kebiasaan atau adat istiadat yang mengatur kejadian-kejadian alam.

Untuk menjustifikasi konsep Tuhan, kalangan falāsifah menggunakan teori Ada yang berasal dari para filsuf Yunani. Pada awalnya, apropriasi ini mengakibatkan ketidaksesuaian konseptual dan bisa melawan penafsiran klasik atas al-Quran. Al-Kindi, Al-FÉrÉbÊ, dan Ibn SÊnÉ tidak dapat menghindari peng-gunaan istilah Yunani untuk konsep Tuhan dalam Islam, seperti Penggerak Yang Tak Digerakkan, Sebab Pertama, Sebab Efi-sien Tak Bersebab, untuk memberi sifat pada Tuhan. Al-Kindi, misalnya, memadukan konsep al-×aqq dengan Penggerak Yang Tak Digerakkan dari Aristoteles. Al-×aqq “tidak bergerak, tetapi sebenarnya menyebabkan gerakan tanpa ia sendiri bergerak.” Seraya mempertahankan posisi kalangan mutakallimËn seperti al-BÉqillÉnÊ (bahwa kausalitas dalam peristiwa alam merupakan metafora belaka; Tuhanlah sebab efisien yang sejati), al-Kindi juga mengakui doktrin kausalitas Aristoteles: setiap jasad memi-liki potensi untuk meng hasilkan sebuah akibat. Padahal, doktrin tersebut menyiratkan peran Tuhan sebagai sebab efisien ditolak atau setidaknya dikurangi.

Al-FÉrÉbÊ melakukan proses apropriasi yang sama dan me-mapankan teorinya tentang sebab Ilahi dari konsep kesatuan Tu-han dan doktrin emanasi para filsuf. Dalam teori ini Tuhan di-gambarkan sebagai Sebab Pertama (al-sabab al-Awwal), sedang-kan sebab sekunder adalah sepuluh intelek bersama-sama dengan sembilan ruang. Jembatan antara langit dan Bumi adalah Intelek Aktif. Dari konsep ini ia membangun teorinya tentang pembang-kitan alam semesta oleh Tuhan. Doktrin emanasi adalah doktrin tentang rantai kausalitas vertikal yang bermula dari sebab-sebab fisik dan pada akhirnya berujung pada Ada Yang Wajib, Sebab

Page 101: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

86

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Mutlak, Tuhan. Jadi, dalam hierarki ini sebab pertama dunia yang lebih rendah adalah benda-benda langit dan Intelek Aktif, dan bu-kan Tuhan. Tuhan tidak memiliki tindakan kreatif yang langsung karena jika Tuhan memiliki sifat tindakan tersebut, maka itu akan berisiko pada kesatuan mutlak-Nya.

Dengan konsep Tuhan dan doktrin emanasi yang sama, Ibn SÊnÉ mengembangkan teori kausalitas Ilahi. Di sini ia tidak meng-gunakan istilah sabab, tapi ‘illah dan Tuhan adalah ‘illat al-‘ilal (Sebab dari sebab-sebab). Dari konsep tentang Tuhan sebagai Ada Yang Wajib, Ibn SÊnÉ mengembangkan teori dari pendahulu-nya. Setiap “ada” yang mungkin menjadi “wajib” melalui sebab-nya atau dihasilkan oleh sebabnya. Maka Ibn SÊnÉ dalam kaitan-nya dengan prinsip menyebut “mungkin” sebagai “wajib” yaitu “wajib-adanya-karena-yang-lain” (al-wÉjib wujËd li-ghayri-hi). Selama sebabnya ada maka akibatnya juga harus ada, dan bahkan akibatnya tidak dapat ditunda setelah adanya sebabnya. Sebab dan akibat terjadi bersamaan dalam waktu. Argumen ini menim-bulkan sebuah prinsip ontologis bahwa dua hal bisa sama-sama menyiratkan keberadaan yang lain, namun yang satu menjadi se-bab bagi yang lain dan karena itu lebih dahulu secara ontologis.

Keberadaan sebab dan akibat secara simultan seperti yang digambarkan di atas berasal teori kausal Aristoteles. Penyebab yang esensial tidak mendahului akibat dalam waktu; dan bahwa eksistensi yang satu dapat disimpulkan dari eksistensi yang lain. Konsekuensi teori ini adalah bahwa tindakan kausal lahir sebagai konsekuensi yang pasti dari sesuatu, hakikat pelaku, atau esensi pelaku. Penerapan koeksistensi sebab dan akibat membawa dok-trin keabadian dunia. Sebab jika Pelaku yang Kekal menghasil-kan dunia karena kepastian esensinya yang abadi, maka akibat atau dunia juga harus abadi. Berdasarkan prinsip kausalitas yang esensial, Ibn SÊnÉ menegaskan bahwa keteraturan di dunia feno-menal bukanlah karena aksiden atau kebetulan, melainkan karena hakikat kausal yang melekat dalam sesuatu.

Jadi, diskusi kausalitas sebelum al-GhazÉlÊ bertumpu pada doktrin: 1) penegasan Quran tentang kekuasaan dan kedaulatan

Page 102: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

87

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Tuhan sebagai pencipta; 2) kerja sama perantara-perantara se-kunder dalam memproduksi sesuatu menurut skema yang “mem-batasi” peran Tuhan pada semata penggerak pertama (dalam pengertian Aristotelian). Doktrin pertama tampak bertentangan dengan realitas faktual. Adapun doktrin kedua sepintas bisa di-terima secara logika, namun gagasan sebab Ilahi dalam arti ema-nasi menyiratkan gagasan tentang Tuhan yang pasif dan imper-sonal. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Tuhan dalam al-Quran sebagaimana yang dipahami mayoritas sarjana Muslim. Dalam tradisi intelektual Islam, kedua doktrin kausalitas tersebut merupakan masalah yang diwarisi al-GhazÉlÊ dan di sini tawaran jalan tengahnya akan dielaborasi secara komprehensif berbasis worldview Islam.

Page 103: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

88

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Page 104: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

89

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

DALAM BAB INI, penjelasan mengenai penafsiran al-GhazÉlÊ tentang realitas dimaksudkan untuk menunjukkan landasan yang digunakannya dalam membangun konsep kausalitas. Pemahaman makna realitas dan kebenaran (dalam arti yang lebih luas, dan hu-bungannya dengan fakta) mempunyai pengaruh yang mendalam untuk memahami makna pengetahuan dan proses epistemologis-nya dan di sinilah ranah masalah kausalitas berada.

Bab ini menjelaskan definisi al-GhazÉlÊ tentang realitas dan elemen-elemen utamanya. Adapun penafsirannya tentang makna pengetahuan akan dibahas dalam bab berikutnya. Untuk menge-tahui posisi al-GhazÉlÊ dalam khazanah pemikiran Islam, serta se-bagai persiapan untuk membahas gagasan-gagasannya, kita akan memaparkan secara singkat beberapa makna realitas yang pen-ting yang berkembang di kalangan para sarjana Muslim sebelum al-GhazÉlÊ.

B A B D U A

Interpretasi al-Ghazālī atas Realitas

Page 105: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

90

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

DEFINISI KLASIK

Hal mendasar yang pertama kali harus dianalisis adalah makna harfiah istilah realitas. Istilah-istilah yang mengacu pada makna realitas dalam tradisi intelektual Islam adalah al-Íaqq dan al-ÍaqÊqah. Menurut al-ÙahÉnawÊ, istilah al-Íaqq secara harfiah menunjuk pada makna kebenaran, realitas, benar, kepastian, ke-jujuran, dan keabadian, serta mengacu pada sesuatu yang tak ber-ubah, solid, abadi, selamanya, dan tidak mungkin menolak atas-nya.1 Masing-masing makna ini memiliki penggunaan berbeda. Al-Íaqq menandakan kejujuran (sidq), misalnya, ketika berkena-an dengan kesesuaian antara pernyataan atau kata yang diucap-kan dengan kenyataan; kebalikannya adalah kebohongan (kidhb). Kebenaran itu mengacu pada kesesuaian antara penilaian dengan kenyataan; kebalikannya adalah kesalahan (bÉÏil). Namun, dalam pengertian yang lebih luas, tidak hanya mengacu pada ucapan, namun juga pada perbuatan, keyakinan, serta hal dan kejadian dalam keberadaan.2

Di dalam wacana kalangan falāsifah, penggunaan istilah al-Íaqq juga mengacu pada realitas, kebenaran, dan wujud dalam pengertian umum, hanya saja sering kali mengacu pada Tuhan. Al-Kindi, misalnya, menganggap Tuhan sebagai al-Íaqq al-aw-wal, yang merupakan penyebab dari segala sesuatu (‘illat wujËd kulli shay’) atau sebab seluruh kebenaran.3 Kemudian ia meng-

1 Al-‘AllÉmah Muhammad ‘AlÊ al-ÙahÉnawÊ, KashshÉf IÎÏilÉÍÉt al-FunËn wa al-‘UlËm Jilid 1 (dari 4 jilid), R.‘Ajam (ed.), (Beirut: Maktabah Lub-nÉn, 1998), hlm. 682.

2 ‘AlÊ ibn Muhammad al-JurjÉnÊ, al-Ta‘rÊfÉt, M. ‘Abd al-×akÊm al-QÉÌÊ (ed.), (Mesir dan Beirut: DÉr al-Kitab, 1991), hlm. 103. Al-ÙahÉnÉwÊ men-jelaskan lebih lanjut bahwa istilah al-Íaqq and al-bÉÏil banyak dipakai oleh para sarjana Muslim awal untuk mengacu pada masalah-masalah teo logi (al-muÑtaqadÉt), sedangkan istilah al-khaÏa’ dan al-ÎawÉb dipakai untuk menyebut masalah-masalah hukum (al-mujtahadÉt). Al-TahanawÊ, KashshÉf, hlm. 683. Untuk pembedaan lebih jauh antara al-Íaqq dan al-Îidq, lihat Earl Edgar Elder (penerjemah) A Commentary on the Creed of Islam, Sa‘d al-DÊn al-TaftÉzÉnÊ on The Creed of Najm al-DÊn al-NasafÊ, (New York: Columbia University Press, 1950), hlm. 10-11.

3 Al-KindÊ, KhitÉb al-KindÊ ilÉ al-Mu‘taÎim BillÉh fi al-Falsafah al-ÕlÉ, AÍmad Fu’Éd al-AhwÉnÊ (ed.), (Kairo: tanpa penerbit, 1948), hlm. 98.

Page 106: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

91

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

gunakan al-Íaqq bagi semua wujud yang sumbernya tak lain adalah al-Íaqq al-awwal, kepada-Nya semua makhluk berutang wujud.

Pandangan ini kemudian diikuti oleh al-FÉrÉbÊ, yang dengan agak berbeda menekankan kemaha-kecukupan Yang Satu Se-jati; artinya Dia tidak memerlukan wujud-Nya dari wujud lain, dan bahkan Dia justru menyebabkan adanya realitas pada entitas yang lain.4 Seperti al-Kindi yang menggunakan al-Íaqq bagi semua wujud, al-FÉrÉbÊ menghubungkan al-Íaqq dengan eksis-tensi (al-Íaqq tusÉwiq al-wujËd), dan menegaskan bahwa realitas (ÍaqÊqah) sesuatu hal merupakan eksistensinya, yang menjadi-kannya spesial.5 Al-FÉrÉbÊ juga menempatkan Tuhan sebagai Eksistensi Sejati, dalam arti tidak mungkin Dia palsu, dan seba-gai Kebenaran sehubungan dengan pengabaran-Nya (al-mukhbar ‘anhu).6

Bagi Ibn SÊnÉ, al-Íaqq berarti wujud setiap individual, eksis-tensi abadi dan kepemilikan sebuah pernyataan atau keyakinan yang menunjukkan keterhubungannya dengan realitas eksternal. Namun, al-Íaqq, dalam arti eksistensi yang abadi, menunjuk ke-pada Tuhan, Wujud Yang Niscaya (WÉjib al-WujËd) dan Kebenar-an Murni (×aqq MahÌ) Yang senantiasa Benar menurut Zat-Nya (al-×aqq bidhÉthÊ dÉ’iman).7

IkhwÉn al-ØafÉ kemudian berulang kali menekankan bahwa hubungan antara al-Íaqq, Tuhan, dan realitas sesuatu bisa diungkap dari penjelasan tentang sebab-sebab eksistensi (al-mawjËdÉt) dan makhluk; lihat IkhwÉn al-ØafÉ, RasÉ’il IkwÉn al-ØafÉ wa KhullÉn al-WafÉ’ Jilid 3, ‘Arif Témir (ed.), (Beirut: ManshËrÉt ‘Uwaydah, 1995), hlm. 311-352.

4 Annahu huwa al-Haqq al-awwal alladhÊ yufÊd ghayruhu al-ÍaqÊqah wa yaktafibiÍaqÊqatihi ‘an an yastafÊda al-ÍaqÊqah ‘an ghayrihi. Al-FÉrÉbÊ, FuÎËl Muntaza‘ah, FawzÊ M NajjÉr (ed.), (Beirut: Dar El-Mashreq Pub-lisher, 1971), hlm. 53. Lihat juga Majid Fakhry, “The Ontological Argu-ment in The Arabic Tradition: The Case of al-FÉrÉbÊ”, dalam Majid Fakhry, Philosophy, Dogma and the Impact of Greek Thought in Islam, (Variorum IX, 1994), hlm. 5-17.

5 Al-FÉrÉbÊ, Kitab ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnah al-FÉÌilah, hlm. 18 dan 31.6 Al-FÉrÉbÊ, FuÎËÎ, hlm. 18 dan 21; bandingkan dengan Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’

al-IlÉhiyÉt, hlm. 10 dan 48; lihat juga al-ÙaÍÉnawÊ, KashshÉf, hlm. 682.7 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’: al-IlÉhiyÉt, hlm. 48, 5; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ,

Kitab al-NajÉt, hlm. 15 dan 229.

Page 107: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

92

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Dari keterangan di atas, jelas bahwa al-Íaqq digunakan terutama untuk mengacu pada Tuhan dan sesuatu selain Tuhan, meskipun tidak mengindikasikan kesamaan Tuhan dan makhluk-Nya. Secara umum, hal ini berarti suatu keadaan eksistensi yang meliputi realitas sekaligus kebenaran. Dengan demikian, al-Íaqq mengacu pada sesuatu yang nyata dan benar. Yang pertama mengacu pada tatanan ontologis eksistensi yang berarti realitas, moda-moda, dan aspek-aspek eksistensi (seperti peristiwa-peris-tiwa dan proses-proses), sedangkan yang kedua pada tatanan lo-gis eksistensi yang berarti hubungan antara penilaian dan realitas lahiriah.

Masalah yang diangkat dalam wacana kalangan falāsifah mengenai makna al- Íaqq jelasnya terdiri dari dua aspek utama: yang satu berkaitan dengan realitas yang mengacu pada makna wujud secara keseluruhan, dan yang lain berkaitan dengan kebe-naran yang mempersoalkan hubungan pengetahuan dan realitas lahiriah.

Sekarang mari kita beralih pada penjelasan kata lain yang menunjukkan makna realitas, yaitu al-ÍaqÊqah yang berarti reali-tas sesuatu, kebenaran, makna yang benar. Al-ÍaqÊqah, yang me-nandakan realitas sesuatu, didefinisikan sebagai “apa yang mem-buat sesuatu menjadi sesuatu” (mÉ bihÊ al-shay’ huwa huwa). Disebut juga kuiditas (al-mÉhiyah), ke-itu-an (huwiyya), esensi sesuatu (dhÉt).8 Penjelasan yang mudah dipahami tentang ini dapat ditemukan dalam tafsiran al-TaftÉzÉnÊ tentang al-Nasafi, yakni bahwa ketika al-ÍaqÊqah dinilai dari keadaannya yang te-lah terealisasi (yaitu memiliki realitas eksternal), maka itu berarti realitas (ÍaqÊqah). Ketika dinilai dari keadaan individualnya, ia disebut “kedirian” atau ipseity (huwiyyah). Dan jika ia dinilai secara independen (tanpa mempertimbangkan apakah keadaan-nya terealisasi dan terindividualisasi, ia bermakna hakikat atau

8 Al-JurjÉnÊ, al-Ta‘rÊfÉt, hlm. 103. Penjelasan rinci tentang definisi ini lihat S.M.N. al-Attas, On Quiddity and Essence, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1990), hlm. 13-17.

Page 108: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

93

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kuiditas (mÉhiyah). Selain itu, ia menegaskan bahwa sesuatu (al-shay’) adalah ada atau eksisten (al-mawjËd), dan istilah subsis-tensi (al-thubËt), realisasi (al-taÍaqquq), dan eksistensi (wujËd) memiliki makna yang sama dan dapat dipahami secara a priori (badÊhÊ al-taÎawwur).9

Jadi, al-ÍaqÊqah adalah esensi dari hal-hal yang ada dalam realitas, atau yang menentukan identitas suatu hal, dan dapat diukur secara logis atau ontologis. Jika kita ingin membuktikan secara logis identitas manusia, misalnya, maka kita akan mem-pertimbangkannya sehubungan dengan kuiditas atau hakikatnya, yang terdiri dari genusnya (jins) yaitu ‘binatang’ dan pembedanya (faṣl), yakni ‘rasionalitas’-nya. Identitas manusia atau spesiesnya (naw‘) adalah “binatang yang rasional”. Demikian pula jika kita ingin mengetahui identitas manusia dari perspektif ontologis (se-hubungan dengan realitas lahiriah atau wujud individual), maka penentuannya harus dipertimbangkan dari materi (mÉddah) dan bentuk (ÎËrah), ranah kita menemukan identitasnya adalah sub-stansinya, yakni tubuh (jism).

Para sufi mengklasifikasikan al-ÍaqÉ’iq (bentuk jamak dari al-ÍaqÊqah) dalam pengertian realitas menjadi tiga. Pertama, Realitas Mutlak (×aqÊqah MuÏlaqah), yang aktif, yang satu, yang Mahatinggi (‘Óliyah), yang niscaya ada menurut Zat-Nya. Ini adalah Realitas Tuhan Yang Mahakuasa. Kedua, realitas yang terbatas (ÍaqÊqah muqayyadah) yang diakibatkan (munfa‘ilah), yang rendah/sederhana (sÉfilah), yang dipengaruhi oleh kebera-daan realitas yang niscaya (al-ÍaqÊqah al-wÉjibah) dengan cara aliran dan manifestasi diri dari wujud yang mutlak, dan inilah realitas alam semesta. Ketiga, kesatuan realitas (ÍaqÊqah aÍadi-yyah) yang merupakan kombinasi kemutlakan dan keterbatasan. Ia yang bertindak dan yang merupakan hasil dari tindakan; ialah sebab dan akibatnya. Ia mutlak di satu hal, dan terbatas pada hal yang lain. Kenyataan ini merupakan kombinasi dari dua realitas,

9 Sa‘d al-DÊn al-TaftÉzÉnÊ, SharÍ al-‘AqÉ’id, (Kairo: DÉr al-Kutub al-‘Arabiyyah al-KubrÉ, 1335 H), hlm. 16-17; terjemahan bahasa Inggris oleh Earl Edgar Elder, A Commentary, hlm. 11.

Page 109: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

94

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

yaitu realitas aktif yang mutlak (al-ÍaqÊqah al-fa‘ ‘Élah) yang bertemu dengan realitas yang terbatas dan yang pasif (al-ÍaqÊqah al-munfa‘ilah). Aspek eksternal realitas ini disebut hakikat uni-versal (al-ÏabÊ‘ah al-kulliyyah), yang bertindak sekaligus yang merupakan hasil tindakan. Realitas ini merupakan manifestasi Tuhan dalam aspek-aspek material.10

Namun, dalam tradisi sufi, al-ÍaqÊqah memiliki makna se-dikit berbeda dari al-Íaqq. Bila al-ÍaqÊqah mengacu pada sifat-sifat Tuhan, maka al-Íaqq mengungkapkan esensi Tuhan.11 Per-bedaan ini mengingatkan kita pada keyakinan di kalangan sufi bahwa semua realitas di dunia ini manifestasi sifat-sifat Tuhan.

Di lain pihak, ada jenis eksistensi berbeda yang dikenal teru-tama melalui informasi dan intuisi yang benar berdasarkan oto-ritas al-Quran dan hadis (ÍadÊth), namun juga diketahui melalui nalar dan pengalaman. Eksistensi jenis ini bukan eksistensi men-tal melainkan nyata karena sesuai dengan gagasan konseptual yang murni dan gagasan tentang sesuatu dan hakikatnya. Eksis-tensi ini dinamakan realitas eksistensi yang meliputi Realitas dan Kebenaran (al-Íaqq) yang berkaitan dengan tingkat eksistensi. Ia mengacu pada salah satu nama Tuhan12 yang menyiratkan realitas tentang Eksistensi Yang Mutlak.13 Singkatnya, hakikat sesuatu ini merupakan titik tolak dari deskripsi tentang realitas, dan karena itu Tuhan dimasukkan dalam pengertian ini, meskipun berbeda dalam segala hal dari segala sesuatu yang lain.

Sampai batas tertentu, paparan makna realitas yang diseder-hanakan ini menegaskan bahwa realitas dalam pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada realitas yang bisa diindra, yang lahiriah dan yang berubah, yang dapat dirasakan hanya dengan persepsi indrawi, tetapi juga Realitas Mutlak, yang transenden dan abadi.

10 Al-TahÉnÉwÊ, KashshÉf, hlm. 687. 11 Ibid.12 Anna AllÉh huwa al-haqq al-Mubin, al-Quran, surat al-Nur (24) ayat 25. 13 Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, An Exposition of the

Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: Inter-national Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), hlm. 127.

Page 110: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

95

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

DEFINISI AL-GHAZÓLÔ

Sekarang, kita kembali kepada penjelasan al-GhazÉlÊ ten-tang makna realitas yang dinyatakan dalam istilah al-Íaqq dan al-ÍaqÊqah. Secara umum, definisi al-GhazÉlÊ tentang realitas ti-dak jauh berbeda dari para pendahulunya. Al-GhazÉlÊ tidak mem-bedakan secara tajam antara al-Íaqq dan al-ÍaqÊqah. Baginya, al-ÍaqÊqah bisa bermakna al-Íaqq, yakni apa yang dengannya sesuatu menjadi sesuatu menurut dirinya sendiri (mÉ bihÊ al-shay’ huwa fÊ nafsihÊ). Ia merupakan esensi dari sesuatu, realitas dan hakikatnya, dan kebalikannya adalah metafora (al-majÉz) atau batil.14 Dalam al-MaqÎad al-AsnÉ,15 saat menjelaskan nama-nama Tuhan, al-GhazÉlÊ menghubungkan al-Íaqq dengan tingkat eksistensi. Di sini, ia menerapkan al-Íaqq pada klasifikasi eksis-tensi, yaitu wajib, mungkin, dan mustahil. Eksistensi wajib, itu yang sungguh-sungguh benar menurut dirinya sendiri (al-Íaqq al-muÏlaq); eksistensi mungkin oleh menurut dirinya sendiri dan wajib oleh karena yang lain adalah benar dalam satu aspek dan salah dalam aspek yang lain (Íaqq min wajh wa bÉÏil min wajh); adapun eksistensi mustahil dalam dirinya sendiri benar-benar pal-su (bÉÏil muÏlaqan). Jadi, kebenaran mutlak (al-Íaqq al-muÏlaq) merupakan satu-satunya yang benar-benar ada berdasarkan diri-nya sendiri, dan asal realitas sejati dari segala sesuatu yang ada. Tuhan adalah satu-satunya Wujud yang Nyata (al-MawjËd al-×aqÊqÊ), dan bahwa sesuatu selain-Nya tidak layak disebut wu-jud. Hal ini karena “semuanya binasa kecuali wajah-Nya” (al-Quran surat QaÎaÎ [28] ayat 88). Al-GhazÉlÊ membandingkan antara “wujud yang niscaya ada menurut esensinya” (wÉjib al-wujËd bi dhÉtihÊ) dengan semua makhluk lain yang dalam diri-nya sendiri hampa (bÉÏil bi dhÉtihÊ) karena yang disebut terakhir

14 Al-GhazÉlÊ, AsÉs al-QiyÉs, diedit dengan komentar oleh Fahd ibn Muham-mad al-SarÍÉn, (RiyÉÌ: Maktabah al-‘AbikÉn, 1993), hlm. 34.

15 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad al-AsnÉ min AsmÉ’ AllÉh al-×usnÉ, MaÍmËd al-NawÉwÊ (ed.), (Kairo: Maktabah al-KulliyÉt al-Azhariyyah and Maktabah al-Fajr al-JadÊd, tanpa tahun), hlm. 90-91; terjemahan bahasa Inggris oleh David Burrell dan Nazih Daher, Al-Ghazālī The Ninety-Nine Beautiful Names of God, (Cambridge: Islamic Text Society, 1992), hlm. 124-126.

Page 111: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

96

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ini tidak layak keberadaannya, tapi kemudian ada karena berkat (kuasa) yang disebut pertama, yaitu Tuhan. Seperti dijelaskan se-belumnya, al-GhazÉlÊ menggunakan bahasa dan konsep Ibn Sīnā, seperti yang telah dijelaskan di atas, dan kemudian menerapkan konsep al-×aqq ke dalamnya.16

Pada poin ini, Muhammad Naquib al-Attas, seorang penga-nut mazhab GhazÉlÊ, menginterpretasi dengan baik eksistensi dan kuiditas (hakikat) secara logis atau ontologis. Menurut al-Attas, eksistensi dan hakikat merupakan dua entitas berbeda namun mengacu pada wujud aktual yang satu. Dalam perspektif ini, rea-litas (ÍaqÊqah) sesuatu menentukan individualitas (huwiyyah), hakikat (mÉhiyah), dan diri (nafs), yang juga dapat dianggap se-bagai esensi dari sesuatu atau wujud yang mengada (mawjËd).17 “Selain itu, realitas sesuatu atau al-ÍaqÊqah dalam arti wujud yang mengada (al-mawjËd) dapat dipahami dalam dua penger-tian yang berbeda: (1) lahir, yaitu dunia indrawi dan pengalaman indrawi yang eksternal atau dunia benda empiris, dan (2) batin, yaitu prinsip dinamis dari lahir, yang permanen dan transenden, memiliki dua aspek: sebagai tindakan dan sebagai modus, yang mengarah pada suatu sumber metafisika yang dikenal sebagai al-×aqq, Realitas, dan Kebenaran.18 Di sini kita juga menemukan bahwa al-ÍaqÊqah atau realitas seperti al-Íaqq dapat dipahami dalam dua pengertian yang berbeda: yang satu mengacu pada ek-sistensi eksternal dan yang lain pada Eksistensi Mutlak.

Dari perspektif tersebut, dapat dipahami kalau al-GhazÉlÊ menghubungkan konsep al-Íaqq dengan eksistensi Tuhan, dan karena itu bisa diterjemahkan sebagai “Nyata” atau “Benar”.19

16 Al-GhazÉlÊ, JawÉhir al-Qur’Én wa Duraruhu, diedit oleh Lajnah Ihya’ al-TurÉth al-‘ArabÊ, (ManshËrÉt DÉr al-Afaq al-JadÊdah, 1983), hlm. 77. Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, diterjemahkan dengan teks berdampingan Inggris-Arab oleh Michael E. Marmura, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 19.

17 Al-Attas, On Quiddity and Essence, hlm. 18 dan 22. 18 Ibid, hlm. 24. 19 Meskipun demikian, al-GhazÉlÊ menggunakan juga istilah al-Íaqq untuk

menyebut kebenaran penilaian dalam pengetahuan empiris dan kebenaran pernyataan, dengan yang paling benar adalah pernyataan tentang eksis-

Page 112: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

97

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Keberadaan yang nyata hanya mengacu pada Wajah Tuhan; se-lain Tuhan tidak ada wujud yang nyata. Dalam MishkÉt, dengan pendirian yang sama, al-GhazÉlÊ menggunakan simbol cahaya; Tuhan adalah Cahaya Yang Nyata, sementara cahaya lainnya adalah metafora belaka.20 Dengan kata lain, Tuhan adalah Ek-sistensi yang Nyata (al-MawjËd al-×aqq), sementara yang lain mendasarkan (musta‘Êr) wujud mereka dari-Nya, karena mereka murni non-wujud (‘adam maÍÌ) dan hanya ada berdasarkan hu-bungan mereka dengan yang lain sehingga bukan eksistensi se-sungguhnya. Di sini al-GhazÉlÊ mengulangi penjelasannya ten-tang ayat al-Quran (surat QaÎaÎ [28] ayat 88). Karena itulah, ti-dak ada yang eksis kecuali Tuhan dan wajah-Nya. Segala sesuatu yang ada merupakan cermin yang memantulkan Eksistensi Yang Nyata dan Kreatif. Yang termanifestasi dalam Realitas adalah Tu-han, dan segala sesuatu yang lain merupakan tanda manifestasi-Nya dan bukti cahaya-Nya.21

Akan tetapi, harus diingat bahwa meskipun mengikuti jalan para filsuf dalam menggambarkan modus eksistensi ini, al-Gha-zÉlÊ tetap mempertahankan modalitas-modalitas wujud sebagai penilaian intelektual belaka, yang berarti hanya sebagai kategori logis, bukan ontologis. Meski demikian, penilaian ini menunjuk-kan kebenaran (al-Íaqq), dan kebenaran mengacu pada situasi ontologis, tatanan atau sistem, sedangkan al-ÍaqÊqah—yang menunjuk pada realitas—mengacu pada struktur ontologis. Ini berarti realitas sesuatu tidak mengacu pada esensi atau realitas in-

tensi Tuhan (kalimah tawhÊd). Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 91. 20 Pernyataan lengkapnya sebagai berikut: “Ketika esensi segala sesuatu se-

lain Dia dipertimbangkan menurut esensinya sendiri, maka itu tak lebih dari non-eksistensi (‘adam maÍÌ). Tetapi ketika ia dipandang sebagai ‘wajah’ dengan eksistensi mengalir dari yang Pertama, maka ia diang-gap mengada bukan dalam dirinya sendiri melainkan melalui wajah yang dekat dengan Penciptanya. Dengan demikian, satu-satunya eksisten ada-lah Wajah Tuhan”. Al-GhazÉlÊ, MishkÉt al-AnwÉr, diterjemahkan, diberi pendahuluan, dan dianotasi dengan teks berdampingan Arab-Inggris oleh David Buchman, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 1998), hlm. 16.

21 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt al-AnwÉr, AbË al-‘AlÉ al-‘AfÊfÊ (ed.), (Kairo, 1964), hlm. 55-56.

Page 113: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

98

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dividu mereka sendiri, tetapi pada realitas atau esensi dari segala sesuatu yang diwujudkan dalam dunia fenomenal bersama-sama semua komponennya.22

Fokus perhatian di sini adalah al-Íaqq itu “sebuah keadaan eksistensi dan meliputi segala sesuatu.” Artinya, al-Íaqq merupa-kan konsep yang tidak hanya berkaitan dengan kenyataan dan ke-benaran tunggal, tetapi juga berkaitan dengan konsep eksistensi dalam arti lebih luas, yang melibatkan eksistensi sebagai konsep abstrak dan Eksistensi Mutlak.

Dengan demikian, secara epistemologis, eksistensi atau wu-jud yang merujuk kepada realitas “sesuatu” (a thing) adalah “se-buah konsep tunggal, umum, dan abstrak yang sama bagi semua wujud.”23 Konsep abstrak ini adalah predikat atau sifat dari se-suatu, yang dianggap sebagai milik mereka atau sebagai sesuatu yang dalam pikiran kita seakan-akan ditambahkan pada sesuatu itu atau aksidental (sifat yang melekat) pada sesuatu dan bersifat eksternal dari esensi sesuatu itu. Karena jenis wujud ini merupa-kan abstraksi dari sesuatu dalam dunia eksternal yang berkaitan dengan hakikat sesuatu, jenis wujud ini dianggap sebagai entitas mental belaka. Pengetahuan tentang sifat eksistensi ini, dan hu-bungannya dengan realitas yang beragam, yang disebut “sesuatu” (things), dicapai dengan cara pencerapan indra dan akal.

Jadi, realitas (al-Íaqq atau al-ÍaqÊqah) meliputi Realitas Mut-lak dan realitas eksternal sesuatu dalam dunia fenomenal. Modus eksistensi masing-masing realitas ini berbeda. Wujud yang sejati (al-MawjËd al-×aqq) adalah yang di sana dengan sendirinya. Yang tidak di sana, dengan sendirinya, tidak wujud dengan sen-dirinya; ia bergantung pada sesuatu yang lain, dan karena itulah wujud berdasarkan yang lain. Sebaliknya, jika yang tidak di sana dengan sendirinya dianggap dirinya sendiri, dan tidak dianggap oleh apa pun yang lain, maka ia tidak ada. Selain itu, yang di sana

22 Al-Attas, Commentary on the ×ujjat al-ØiddÊq of NËr al-DÊn al-RÉnirÊ, (Kuala Lumpur: Ministry of Education Malaysia, 1986), hlm. 153. Ban-dingkan dengan al-Attas, Prolegomena, hlm. 131.

23 Al-Attas, On Quiddity and Essence, hlm. 1.

Page 114: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

99

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dengan sendirinya akan selamanya ada di sana, bahkan jika yang lain tidak ada.24

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa al-GhazÉlÊ membeda-kan antara realitas Tuhan dan makhluk-Nya; yang pertama nyata, sedangkan yang kedua tidak. Yang nyata dan yang Benar-benar Nyata, yang ada karena dirinya sendiri, adalah Tuhan. Sedang-kan yang tidak nyata, dan yang benar-benar tidak nyata, adalah segala sesuatu selain Tuhan. Yang tidak nyata—sejauh tidak ada karena dirinya sendiri—tetap nyata melalui Tuhan. Karena dunia tidak ada menurut dirinya sendiri, dunia tidak nyata. Jadi, dunia tidak nyata sekaligus nyata; tidak nyata karena dirinya sendiri, dan nyata karena Tuhan.

Jelaslah sudah bahwa realitas (al-ÍaqÊqah) meliputi seluruh keberadaan (wujud), terutama wujud Tuhan, yakni asal dari wujud realitas-realitas lain. Poin ini menuntun al-GhazÉlÊ dalam mem-pertahankan pendiriannya bahwa realitas makhluk itu tergantung (kontingen); bertentangan dengan pendirian kalangan falāsifah yang menganggapnya niscaya.

Untuk menghubungkan realitas ketuhanan dengan reali-tas bendawi dalam dunia fenomenal, al-GhazÉlÊ memperkenal-kan empat tingkatan wujud. Pertama, realitas-realitas yang ada di LauÍ al-MaÍfËÐ dalam bentuk yang bukan materi (imateri). Realitas ini merupakan realitas sebelum diberikannya eksistensi yang nyata. Realitas yang ada di dunia fenomenal berasal dari realitas ini. Kedua, realitas sejati (al-wujËd al-ÍaqÊqÊ), yakni rea-litas imateri yang berubah menjadi bentuk fisik. Ketiga, wujud imajinatif (al-wujËd al-khayÉlÊ). Ia tidak lebih dari realitas fisik yang dirasakan oleh imajinasi manusia. Keempat, wujud mental (al-wujËd al-‘aqlÊ), yakni wujud yang dirasakan oleh pikiran ma-nusia. Jadi, empat tingkat eksistensi alam semesta adalah: 1) ek-sistensi di LauÍ al-MaÍfËÐ, yang mendahului eksistensi materi; 2)

24 Al-GhazÉlÊ, Ihya’‘UlËm al-DÊn Jilid 4 (dari 4 jilid), A.A. SirwÉn (ed.), (Beirut: DÉr al-Qalam, tanpa tahun), hlm. 250. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad fi al-I‘tiqÉd, al-Shaykh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 74.

Page 115: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

100

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

eksistensi nyata dan materi; 3) eksistensi imajinatif; 4) eksistensi mental atau bentuk eksistensi yang terjadi dalam pikiran.25 Em-pat tingkat eksistensi ini secara rinci akan dijelaskan dalam pem-bahasan sistem kosmos al-GhazÉlÊ.

Seperti disinggung sebelumnya, ada pembagian eksistensi lain yang dikenal terutama melalui informasi yang benar atau wah yu. Dalam hal ini, al-GhazÉlÊ menghubungkan kenyataan dan kebenaran dengan eksistensi yang secara eksplisit mengacu pada sabda Nabi.26 Rantai yang mengikat korelasi antara kenyataan, kebenaran, dan eksistensi terletak pada istilah taÎdÊq (penegasan), yaitu penegasan proposisi (khabar) yang dibawa Nabi. Namun, penegasan tersebut tidak hanya terbatas pada proposisi tetapi juga pada objeknya (al-mukhbar). Apa yang dimaksud dengan al-mukhbar dapat dipahami dari definisi taÎdÊq. TaÎdÊq adalah menerima wujud sesuatu yang dilaporkan oleh Nabi (al-i‘tirÉf bi wujËh kulla mÉ akhbar al-rasËl ‘an wujËdihÊ).27 Dengan kata lain, pengakuan bahwa objek-objek dari proposisi-proposisi Nabi benar-benar ada.

Dalam masalah ini, yaitu wujud dalam kaitannya dengan be-rita yang benar, al-GhazÉlÊ menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud eksistensi, dengan menggambarkan kategori-ka-tegorinya. Ia membaginya menjadi lima tingkatan eksistensi (ma-rÉtib): 1) eksistensi yang nyata (al-wujËd al-dhÉtÊ) 2) eksistensi indrawi (al-wujËd al-Íissi) 3) eksistensi imajinatif (al-wujËd al-khayÉlÊ) 4) eksistensi intelektual (al-wujËd al-‘aqlÊ) 5) eksistensi metaforis (al-wujËd al-shibÊ).28 Kategori yang kedua, ketiga dan

25 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 23. 26 Gagasan bahwa afirmasi (taÎdÊq) hanya bisa diterapkan pada proposisi al-

GhazÉlÊ, diambil dari tulisan Ibn SÊnÉ; lihat Frank Griffel, “The Introduc-tion of Avicenna Psychology Into the Muslim Theological Discourse”, da-lam Transcendent Philosophy, vol. 3 no. 4 (December, 2002), hlm. 362.

27 Al-GhazÉlÊ, “FayÎal al-Tafriqah”, dalam MajmË‘ah al-RasÉ’il li al-ImÉm al-Ghazālī , (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), vol. 3, hlm. 79.

28 Al-wujËd al-dhÉtÊ merupakan eksistensi Bumi, tujuh lapis langit adalah eksistensi yang nyata dan abadi, yang merupakan eksistensi ekstra-mental dan ekstra-indrawi. Al-wujËd al-ÍissÊ merupakan eksistensi yang terbatas pada kemampuan indra dan pengalaman indrawi dan disebut eksistensi

Page 116: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

101

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

keempat sama dengan tiga pembagian Ibn SÊnÉ tentang dunia (Élam al-Íissi, khayÉlÊ, dan ‘aqlÊ) yang dipaparkan dalam risalah-nya, FÊ IthbÉt al-Nubuwwat.29 Adapun tingkatan yang pertama dan yang kelima merupakan kreasi al-GhazÉlÊ sendiri.

Yang perlu diperhatikan dari pembagian di atas adalah bahwa kategori tersebut merujuk pada persepsi manusia terhadap objek-objek yang berbeda yang mengarah pada kebenaran rasional. Kategori pertama, al-wujËd al-dhÉtÊ atau al-wujËd al-muÏlaq al-ÍaqÊqÊ, jelas mengacu pada realitas objektif di dunia luar. Definisi yang lebih jelas dari kategori ini adalah sebagai berikut:

Eksistensi yang nyata adalah eksistensi yang sejati dan yang tetap (al-wujËd al-ÍaqÊqÊ al-thÉbit) yang juga di luar persepsi indrawi dan intelek. Tapi, persepsi indrawi dan intelek mengambil gambar atau bentuk (ÎËrah) darinya, dan ini disebut persepsi. Ini seperti eksistensi langit atau Bumi, hewan, tumbuhan yang semuanya bersifat lahiriah (ÐÉhir).30

Pembagian yang sama dapat ditemukan di Mi‘yÉr; al-Gha-zÉlÊ membagi eksistensi dengan mengacu pada kognisi manusia (bi i‘tibÉr madÉrikunÉ), pada makna-makna dan realitas-realitas yang relatif (bi i‘tibÉr nisbat al-ma‘ÉnÊ wa al-ÍaqÉ’iq), dan pada

indrawi (kita dulu menyebutnya “realitas subjektif”). Al-wujËd al-khayÉlÊ adalah eksistensi objek-objek dari eksistensi indrawi dalam imajinasi ke-tika mereka absen dari persepsi manusia, dan disebut eksistensi imajinatif. Al-wujËd al-‘aqlÊ adalah semacam eksistensi yang berasal dari realitas dan makna, tetapi setelah diabstraksi oleh akal ia menjadi sebuah konsep ab-strak dalam pikiran manusia, dan disebut eksistensi intelektual. Contoh yang diberikan al-GhazÉlÊ adalah hadis Nabi bahwa “yang pertama dicip-takan Tuhan adakah akal (‘aql)”, yang eksistensinya bisa dilihat oleh akal, dan bukan dengan indra atau imajinasi.

Al-wujËd al-shibhÊ merupakan eksistensi yang tidak ada dalam empat ting-kat yang sudah disebut, tetapi ada sebagai sesuatu yang lain yang menyeru- pai sesuatu dalam hal tertentu. Contohnya adalah eksistensi kema rahan dan cinta yang disifatkan pada Tuhan. Ini disebut eksistensi metaforis. Lihat:ibid, hlm. 79-80.

29 Bandingkan dengan Ibn SÊnÉ, FÊ IthbÉt al-Nubuwwah, Michael E. Mar-mura (ed.), (Beirut: DÉr al-NahÉr, 1991), hlm. 58.

30 Al-GhazÉlÊ, “FayÎal al-Tafriqah”, hlm. 80.

Page 117: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

102

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

faktor determinan (bi i‘tibÉral-ta‘ayyun).31 Poin yang perlu di-catat di sini adalah al-GhazÉlÊ menyadari tingkat-tingkat pema-haman makna wahyu. Perbedaan ini terutama dikarenakan level pengalaman dan kognisi manusia, serta kapasitas manusia mema-hami makna. Untuk memahami makna setiap tingkat eksistensi, seseorang perlu mengetahui aturan ta’wÊl.

Pembagian eksistensi di atas bukan untuk membingungkan pembaca dengan bahasan sebelumnya mengenai eksistensi di mana Tuhan digambarkan sebagai Wujud Yang Sejati atau al-MawjËd al-×aqÊqÊ, persis sama dengan kategori di atas, yaitu al-wujËd al-ÍaqÊqÊ). Meskipun istilah yang digunakan hampir mi-rip, konsep keduanya sama sekali berbeda. Al-MawjËd al-×aqÊqÊ mengacu pada gagasan yang murni konseptual tentang eksistensi yang merujuk kepada wujud nyata dan bukan hanya dalam pikir-an. Adapun al-wujËd al-ÍaqÊqÊ merujuk pada eksistensi dengan acuan pada persepsi manusia, dan tentu tidak nyata dalam pe-ngertian yang pertama, tapi nyata dalam pengertian yang kedua. Sebenarnya, ada eksistensi lain yang lebih tinggi dibandingkan kelimanya dan berada di atas tingkat kebenaran rasional. Eksis-tensi itu eksistensi tingkat supra-rasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan wali Tuhan serta manusia-manusia yang arif, yang secara mendalam berakar pada pengetahuan (Ëlu al-albÉb). Ini adalah tingkat eksistensi suci.32

Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa realitas dalam konsepsi al-GhazÉlÊ berhubungan terutamanya dengan gagasan konseptual yang murni tentang eksistensi yang nyata, dan juga berhubungan dengan tingkat eksistensi yang rasional dan persep-sional. Namun, secara keseluruhan, konsep al-GhazÉlÊ tentang realitas—dengan perspektifnya yang berbeda—dapat dirasakan melalui persepsi dan observasi pancaindra dan kesimpulan logis;

31 Eksistensi menurut kognisi manusia dibagi menjadi: yang bisa diindra dan yang bisa dinalar; menurut makna dan realitasnya yang relatif, dibagi menjadi: yang umum dan yang khusus; menurut faktor determinan, dibagi menjadi: yang partikular dan yang universal. Lihat al-GhazÉlÊ, Mi’yar al-‘Ilm, SulaymÉn DunyÉ (ed.), (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, 1960), hlm. 69-93.

32 Al-Attas, Prolegomena, hlm. 125.

Page 118: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

103

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

suatu penalaran yang benar dengan didasarkan pada otoritas dan intuisi.

Secara umum, sebagaimana akan kita lihat, prinsip al-Gha-zÉlÊ tidak banyak berbeda dengan prinsip al-Kindi, al-FÉrÉbÊ, dan Ibn SÊnÉ. Namun, dalam persoalan bagaimana “eksistensi sesuatu mengalir dari Sang Pemberi” dan “eksistensi sesuatu menjadi ada bersatu dengan eksistensi Tuhan”, al-GhazÉlÊ memiliki pendirian berbeda. Bedanya, seperti akan kita lihat, berkaitan erat dengan konsep Tuhan, yakni bertentangannya konsep emanasi dan kon-sep penciptaan. Struktur realitas dalam doktrin penciptaan al-GhazÉlÊ disusun sedemikian rupa sehingga tidak ada satu satuan benda pun yang dapat dipahami tanpa melalui prakondisi menjadi dalam proses penciptaan oleh Tuhan. Eksistensi yang kontingen (mungkin) tidak dapat disifati sebagai kepastian. Kepastian hanya milik Yang Mutlak Nyata (al-×aqq al-MuÏlaq) dan Maha Pem-beri eksistensi (MufÊd al-wujËd).

Dalam rangka memahami dengan baik konsep realitas yang lebih luas, berikut ini akan dibahas konsepsi al-GhazÉlÊ tentang Tuhan, Realitas Mutlak, dan realitas dunia fenomenal.

UNSUR-UNSUR UTAMA KENYATAAN

Uraian singkat tentang realitas dalam tradisi intelektual Islam yang digambarkan di atas dan juga posisi al-GhazÉlÊ di dalam-nya, cukup menunjukkan makna dasar dan ruang lingkup realitas. Ini menjadi tahap awal menjelaskan lebih lanjut konsep realitas. Dalam mendeskripsikan konsep realitas al-GhazÉlÊ, kita akan ter-fokus pada konsepnya tentang Tuhan, kosmologi, dan ontologi makhluk.33

33 Elemen-elemen realitas yang dibuat oleh Sulayman DunyÉ relatif sama. Elemen yang ia sebut jawhar al-ÍaqÊqah terdiri dari penjelasan tentang Tuhan (eksistensi, esensi, pengetahuan, kehendak, kekuatan-Nya, dan semacamnya), tentang alam semesta (kawniyyÉt) termasuk teori kau-salitas, tentang kemanusiaan (insÉniyyÉt), dan tentang kenabian. Tetapi, sejauh ini, ia tidak mengelaborasi apa definisi GhazÉlÊ tentang realitas (al-ÍaqÊqah). Lihat Sulayman DunyÉ, al-×aqÊqah FÊ NaÐari al-Ghazālī , (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, tanpa tahun), hlm. 149-408.

Page 119: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

104

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Konsep tentang Tuhan

Dijelaskan di atas bahwa makna realitas dalam pemikiran al-GhazÉlÊ berangkat dari pemahaman tentang Realitas Mutlak, yaitu Tuhan. Pemahaman tentang sifat Tuhan ini sangat penting bagi sistem-sistem konseptual tertentu, yang pastinya memer-lukan konsepsi sebuah sistem yang super. Secara umum, dalam khazanah pemikiran Islam, penjelasan sifat Tuhan yang dike-mukakan oleh kalangan ahli Kalam berbeda dengan penjelasan kalangan falÉsifah. Namun, kedua kalangan sama-sama menem-patkan konsep Tuhan sebagai basis metafisika yang jauh lebih tinggi dari konsep-konsep lain, termasuk konsep dunia dan asal mulanya, manusia, pengetahuan dan sejenisnya. Setelah pema-haman konseptual Tuhan dimapankan, konsep lainnya barulah mengikuti. Memang, dalam struktur konseptual worldview Islam, konsep Tuhan merupakan landasan setiap konsep-konsep kunci, seperti konsep dunia, hidup, etika, dan pengetahuan.

Pada bagian berikut akan dijelaskan secara rinci konsep al-GhazÉlÊ tentang sifat Tuhan; konsep yang menekankan kesatu-an Tuhan dan sifat-sifat-Nya, yang cukup sentral bagi konsep-konsepnya yang lain. Oleh karena itu, akan dijelaskan lebih dulu konsep al-GhazÉlÊ tentang Tuhan dan perbandingannya dengan konsep kalangan falÉsifah. Sentralitas konsep Tuhan dalam pe-mikiran al-GhazÉlÊ bisa diketahui dari perhatiannya yang sung-guh-sungguh dalam menunjukkan inkoherensi konsep kalangan falÉsifah. Perhatiannya bukan pada prinsip umumnya, melain-kan pada rincian penjelasannya. Di awal TahÉfut ia menegaskan bahwa:

.... kalangan falÉsifah beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya tetapi mereka telah jatuh ke dalam kebingungan dalam penjelasan rinci tentang prinsip-prinsip ini (wa annahum ikhtabatË fÊ tafÉÎÊl hÉdhihi al-uÎËl) .... kami akan menunjukkan bagaimana mereka tergelincir ke dalam kesalahan dan kepalsuan.34

34 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 3.

Page 120: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

105

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Yang dimaksud al-GhazÉlÊ dengan “penjelasan rinci tentang prinsip-prinsip ini” adalah teori-teori atau argumen-argumen ten-tang konsep Tuhan (para falÉsifah) yang ditentangnya dengan ke-ras. Tentang prinsip pengetahuan milik Tuhan, misalnya, kalangan falÉsifah menolak kemungkinan Wujud Tunggal yang mengeta-hui seluruh semesta sedang pengetahuannya itu tidak memben-tuk pluralitas pada zat-Nya. Al-GhazÉlÊ cepat-cepat menukas dan berkata, “Itu teorimu tentang Tuhan”,35 yang menyiratkan bahwa teori mereka tentang pengetahuan Tuhan mencampuradukkan si-fat ketuhanan al-Quran dengan filsafat Yunani.

Contoh lain adalah masalah hubungan Tuhan dan dunia, yang berakar dari penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan. Sejalan dengan “dilucutinya” sifat hidup, kekuasaan, dan pengetahuan Tuhan, ka-langan falÉsifah percaya pada konsep bahwa segala wujud yang lain beremanasi sebagai konsekuensi wajib dari esensi Tuhan. Jadi, Tuhan menciptakan dunia karena kewajiban, seperti makh-luk tidak bernyawa. Konsep ini, menurut al-GhazÉlÊ, bertentangan dengan konsep al-Quran tentang penciptaan. Penolakan kalangan falÉsifah terhadap sifat-sifat Tuhan jelas berujung pada konsep emanasi, serta tentu saja berpengaruh pada konsep-konsep lain seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan Tuhan dengan dunia. Ini mengisyaratkan bahwa penjelasan rinci konsep Tuhan memiliki konsekuensi-konsekuensi konseptual.

Perhatian al-GhazÉlÊ pada konsep Tuhan juga dapat dilihat dari fakta bahwa enam belas perdebatan pada bagian pertama TahÉfut semuanya terhubung dengan persoalan-persoalan ilmu-ilmu ketuhanan (al-‘ulËm al-IlÉhiyyah), sedangkan bagian kedua atau setelahnya masuk dalam lingkup ilmu pengetahuan alam (al-‘ulËm al-Ïabi‘iyyÉt). Simon Van Den Bergh secara keliru memahami masalah ini. Ia menganggap al-GhazÉlÊ tak sistema-tis lantaran kritikannya terhadap konsep Tuhan para filsuf tidak mendasar.36 Al-GhazÉlÊ sebenarnya mendedikasikan di banyak

35 Ibid, hlm. 18; bandingkan dengan Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, hlm. 7.36 Simon Van Den Bergh menyatakan, “Karya al-Ghazālī disusun secara bu-

ruk, tidak sistematis dan mengulang-ulang. Jika Ghazālī melakukannya

Page 121: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

106

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

tempat sanggahan atas persoalan-persoalan yang berkaitan de-ngan ilmu-ilmu ketuhanan, dikarenakan ia menganggap kalangan falÉsifah “menyerang hal paling dasar dari agama kita”,37 yang dampaknya pada keyakinan lebih berbahaya dibandingkan pada ilmu-ilmu alam.

TahÉfut bukanlah satu-satunya petunjuk besarnya perhatian al-GhazÉlÊ pada urgensi memegang konsep otentik ketuhanan. TahÉfut hanya mewakili penolakannya terhadap kalangan falÉsi-fah, yang tidak mengungkapkan dukungannya atas konsep yang dianggap sebagai suara kebenaran. Untuk menolak, ia mengikuti metode demonstratif yang digunakan para filsuf, sedangkan un-tuk mendukung ia menggunakan metode dialektika para teolog. Metode ini, bagaimanapun juga, hanyalah perhentian sementara dalam penjelajahan intelektualnya dalam mengantisipasi stasiun-stasiun lain dari pendekatan esoteris para sufi.

Selain itu, al-GhazÉlÊ menekankan aspek transenden Tu-han—melampaui batas ruang dan waktu—dan juga aspek imanen dalam tatanan ruang-waktu ini. Kehendak abadi-Nya bertindak di seluruh alam semesta.38 Untuk menonjolkan transendensi Tu-han, al-GhazÉlÊ tidak menyebut-Nya substansi (jawhar) karena substansi biasanya mengacu pada objek-objek dunia.39 Tuhan adalah realitas non-material yang melampaui ruang dan waktu. Pandangan al-Quran tentang tangan, mata, wajah Tuhan, naik dan turun-Nya dari takhta harus ditafsirkan dalam arti kiasan (majÉz).40

secara sistematis, ia tentu akan menyerang terlebih dahulu basis filosofis dari sistem para filsuf, yakni bukti eksistensi Tuhan, karena dari Tuhan, Prinsip Tertinggi, segala sesuatu diturunkan. Tetapi, problem pertama yang disebut Ghazālī adalah bukti para filsuf tentang keabadian dunia.” Van Den Bergh, Averroes’s TahÉfut al-TahÉfut, lihat pendahuluan penerje-mah, hlm. xv.

37 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 8.38 Al-Quran, surat Ali ‘ImrÉn (3) ayat 190. Lihat juga al-GhazÉlÊ, al-×ikmah

fÊ MakhlËqÉt AllÉh, dalam al-QuÎËr AwÉlÊ min RassÉ’il al-Ghazālī Jilid 3, M. MusÏafÉ Abu al-‘AlÉ (ed.), (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1972), hlm. 11-52.

39 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 41; juga al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 69-70.

40 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 56-58.

Page 122: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

107

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Prinsip tanzÊh ini dinyatakan lagi dalam al-Arba‘Ên FÊ UÎËl al-DÊn, karyanya yang berisikan penegasan bahwa “esensi Tuhan itu unik, tunggal, tanpa pendamping, tidak ada yang seperti-Nya... Dia kekal abadi dalam esensi-Nya.”41 Al-GhazÉlÊ kemudian men-deskripsikan realitas konkret Tuhan sebagai berikut:

Dia bukan tubuh dengan bentuk, atau substansi yang pasti dan terukur. Tidak ada yang seperti-Nya, baik dalam hal keterukurannya ataupun dalam hal dapat dibaginya da-lam bagian-bagian. Tuhan bukan substansi dan substansi pun juga tidak dapat mendefinisikan-Nya. Dia bukan aksiden dan aksiden pun tidak dapat mendefinisikan-Nya. Tidak ada hal yang mewujud yang terlihat seperti-Nya, dan tidak ada yang bisa dibandingkan dengan-Nya (al-Quran, surat al-ShËrÉ [42] ayat 11). Tuhan tidak seperti hal-hal ini. Kuantitas tidak dapat membatasi-Nya. Tidak ada wilayah yang dapat melingkupi-Nya. Tidak ada sisi dapat mengelilingi-Nya. 42

Yang patut dikemukakan di sini, al-GhazÉlÊ menyangkal kon-sep kalangan falÉsifah dengan menggunakan argumen Ash‘arÊyah, namun mengembangkan doktrin Ash‘arÊyah menjadi metode yang lebih sufistik. Ia dapat dianggap berhasil dalam penggunaan me-tode Kalam sebagai peranti menyibak realitas spiritual. Dengan demikian, pemikiran al-GhazÉlÊ merupakan kombinasi Kalam, falsafah dan tasawuf, yang mendahului teologi filosofis Fakhr al-DÊn al-RÉzi.

Setelah dengan ringkas dijelaskan pendekatan-pendekatan atau tahapan-tahapan al-GhazÉlÊ memahami sifat Tuhan, berikut ini akan diuraikan konsep-konsep yang terperinci. Terkait per-soalan kausalitas, diskusi dibatasi hanya pada konsep kesatuan dan sifat-sifat Tuhan.

41 Al-GhazÉlÊ, al-Arba’in, al-Shaykh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 13.

42 Al-GhazÉlÊ, al-Arba’in, hlm. 13; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, KitÉb QawÉ‘id al-‘AqÉ’id, RiÌwÉn al-Sayyid (ed.), (Beirut: DÉr Iqra’, 1986), hlm. 12.

Page 123: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

108

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Keesaan Tuhan

Tentang prinsip umum keesaan Tuhan, al-GhazÉlÊ sesung-guhnya memiliki persamaan gagasan dengan kalangan falÉsifah. Namun, dalam rincian penjelasan prinsip tersebut, pandangannya amat bertentangan. Sekarang kita lihat sejauh mana al-GhazÉlÊ dan para ahli falsafah bersepakat dan bertolak belakang.

Menurut al-FÉrÉbÊ, keesaan Tuhan berarti bahwa: Pertama, Dia tanpa cacat apa pun, tidak tergantung dalam eksistensi-Nya, tidak memiliki kebalikan (Ìid). 43 Kedua, dalam esensi-Nya, Tu-han tidak bisa dibagi seperti halnya dalam definisi. 44

Menurut Ibn SÊnÉ, keesaan Tuhan berarti tidak boleh ada keragaman dalam Wujud yang Niscaya. Tidak bisa menjadi Wu-jud yang Niscaya melalui yang lain. Tidak bisa memiliki sifat yang sama dengan bagian-bagian dari kualitas (ajzÉ’ al-kammi-yah), atau bagian-bagian dari definisi (ajzÉ’ al-Íadd). Dia non-material, bukan materi jasad, bukan bentuk tubuh, bukan materi intelektual bagi materi intelektual, dan Dia bukan juga sebuah bentuk intelektual dalam materi intelektual. 45

Ada dua poin al-GhazÉlÊ sepakat dengan kalangan falÉsifah tersebut. Pertama, “Tuhan itu satu yang berarti negasi terhadap apa pun selain Dia, dan penegasan esensi-Nya.” Kedua, istilah ‘esa’ berarti penolakan pluralitas dalam arti bahwa “Dia tidak menerima keterbagian”, yaitu Dia tidak memiliki kuantitas, juga bagian ataupun ukuran (lÉ kammiyah wala juz’ wala miqdÉr). Dia tiada banding dalam peringkat, dan sama sekali tidak ada ban-

43 Al-FÉrÉbÊ, KitÉb al-SiyÉsah al-Madaniyyah, F.M. Najjar (ed.), (Beirut: Dar El-Mashreq Publisher, 1964), hlm. 42; al-FÉrÉbÊ, ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnat al-FÉÌilah, edisi ke-2, al-Kurdi (ed.), (Kairo, 1948), hlm. 42-43; al-FÉrÉbÊ, ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnah, hlm. 4-5.

44 Al-FÉrÉbÊ, al-SiyÉsah al-Madaniyyah, hlm. 44; al-FÉrÉbÊ, ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnah, hlm. 8.

45 Ibn SÊnÉ, Kitab al-NajÉt, fi al-×ikmah al-ManÏiqiyyah wal al-ÙabÊ‘iyyah wa al-IlÉhiyyah, diedit oleh Majid Fakhry, (Beirut: ManshËrÉt DÉr al-ÓfÉq al-JadÊdah, 1405 H/1985 M), hlm. 263-265; bandingkan dengan Ibn SÊnÉ, al-IshÉrÉt wa al-TanbÊhÉt: al-ManÏiq Jilid 4, SulaymÉn DunyÉ (ed.), (Kai-ro: DÉr al-Ma‘Érif, 1958), hlm. 78.

Page 124: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

109

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dingannya dengan apa pun. Dia tidak memiliki pasangan ataupun tandingan. Tuhan lebih sempurna dan tidak ada bandingannya dalam zat ataupun sifatnya. 46 Sikap al-GhazÉlÊ tentang keesaan Tuhan sejalan dengan pandangan al-FÉrÉbÊ dan Ibn SÊnÉ hanya dalam hal ketidak-terbagian-Nya, tidak memiliki kuantitas, tidak ada bagian, tidak ada besarnya, tidak ada dualitas, dan tidak ada keragaman. Sikapnya ini bukan inkonsistensi al-GhazÉlÊ, melain-kan metode argumentasinya. 47 Menggunakan gagasan-gagasan lawan menjadi salah satu siasat al-GhazÉlÊ yang paling mencolok dan penting, yang diekspresikan Watt dengan kata-kata “perha-tian pada keberatan-keberatan dari perspektif Neo-Platonisme.”48

Meskipun al-GhazÉlÊ mengambil manfaat dari gagasan lawan-lawannya, ia tidak mengambilnya secara keseluruhan. Ia berbeda dengan kalangan falÉsifah dalam dua hal penting.

Pertama, tentang bukti keesaan Wujud Yang Niscaya. Al-GhazÉlÊ mengkritik kalangan falÉsifah terkait bukti mereka yang didasarkan pada premis bahwa Wujud Yang Niscaya ada karena kehendak-Nya sendiri atau karena sebuah sebab. Menurut al-Gha-zÉlÊ, premis ini cacat karena hanya sesuai untuk menggambarkan wujud yang mungkin dan bukan wujud yang niscaya. Istilah Wu-jud Yang Niscaya, menurut al-GhazÉlÊ, sudah mencakup makna

46 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 69.47 Sumber metodenya terdiri dari enam poin: 1) data indrawi (al-ÍissiyÉt),

2) intuisi langsung (al-‘aql al-maÍÌ), 3) kabar universal (tawÉtur), 4) kesimpulan yang diambil dari poin 1-3, 5) data wahyu (al-sam‘iyyÉt), dan 6) proposisi yang diambil dari atau diakui oleh penentangnya; lihat al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, 26-27; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilm, SulaymÉn DunyÉ (ed.), 91-92; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ min ‘Ilm al-UÎËl, 2 jilid. M. SulaymÉn al-Ashqar (ed.), (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1997), hlm. 94-95.

48 Watt, W. M., Muslim Intellectual, A Study of Al-GhazÉlÊ, (Edinburgh: The University Press, 1963), hlm. 123. Abrahamov juga mencoba untuk membuktikan pengaruh Ibn SÊnÉ pada al-GhazÉlÊ (termasuk pada TahÉ-fut), tetapi kurang bukti tentang konsep pokok tentang Tuhan. B. Abra-hamov, “Ibn SÊnÉ’s Influence on al-GhazÉlÊ’s Non-Philosophical Woks”, Abr Nahrain, vol. xxix, (1991), hlm. 1-17; kasus yang sama dengan Jules Janseens, “Al-GhazÉlÊ’s TahÉfut: Is It Really A Rejection of Ibn SÊnÉ’s Philosophy?”, Journal of Islamic Studies, Oxford Centre for Islamic Stu-dies, (2001), vol. 12 No. 1, hlm. 1-17.

Page 125: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

110

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

“eksistensi tanpa sebab”, dan untuk membuktikan apakah Tuhan itu ada dengan sendiri-Nya atau karena sebuah sebab merupakan pengulangan yang tidak perlu. 49

Poin kedua yang al-GhazÉlÊ sepenuhnya berbeda dari ka-langan falÉsifah adalah penjelasan keesaan Tuhan melalui kriteria pluralitas. 50 Al-GhazÉlÊ menyadari bahwa sumber dari argumen ini berasal dari gagasan al-FÉrÉbÊ tentang Tuhan, yang tidak dapat dibagi, kekal dan tak dapat diubah, 51 yang dapat dilacak dari ide Plato tentang kesederhanaan mutlak Tuhan.52 Kesimpulan yang mengakibatkan penolakan sifat Tuhan adalah karena perubahan yang dilakukan Ibn SÊnÉ terhadap gagasan Aristoteles tentang ke-samaan pemikiran dan objek pemikiran.53 Bagi al-GhazÉlÊ, sifat Tuhan berbeda dan tidak identik dengan Zat-Nya, sifat-sifat itu adalah konsep-konsep yang ditambahkan pada esensi. 54

Penolakan al-GhazÉlÊ terhadap argumen kalangan falÉsifah dapat dimengerti karena penjelasannya diturunkan dari Kalam, yang merupakan turunan dari wahyu. 55 Oleh karena itu, ia pun ti-

49 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 85 dan 87.

50 Lima kriteria pluralitas menurut para ahli falsafah adalah: 1) daya tanggap (reseptif) terhadap pembagian secara aktual maupun secara konseptual; 2) pembagian intelektual sesuatu menjadi dua konsep berbeda dan tidak secara kuantitatif, seperti pembagian tubuh ke dalam materi dan bentuk; 3) pluralitas melalui sifat menurut pengandaian pengetahuan, kekuatan dan kehendak (jika wujud sifat-sifat ini diperlukan, maka keberadaannya menjadi lazim bagi esensi dan sifat-sifat Tuhan, dan dengan demikian me-niadakan kesatuan); 4) pluralitas intelektual yang dihasilkan dari kompo-sisi genus dan diferensia; 5) pluralitas esensi dan eksistensi. Ibid, hlm. 87-88.

51 Al-FÉrÉbÊ, Kitab al-Jam‘ Bayn Ra’yay al-×akÊmayn, A. Nadir (ed.), (Bei-rut: 1960), hlm. 105-109; juga Aristoteles, Physics, VIII, 10, 267b, hlm. 25-26; Aristoteles, De Caelo, 19, 279a, hlm. 19-21.

52 Plato, “Phaedo”, The Dialogue of Plato, vol. 1, diterjemahkan oleh B. Jowett, (Oxford: Clarendon Press, 1953), hlm. 432-478; Plato, The Repub-lic, terjemahan oleh Francis MacDonald Cornford, (Oxford-New York: Oxford University Press, 1965), hlm. 369-507.

53 Aristoteles, Metaphysic, terjemahan oleh Hippocrates G. Apostle. (Indi-ana, Bloomington: Indiana University Press, 1966), 1016b, hlm. 22.

54 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 76.55 Contohnya bisa ditemukan dalam karyanya, al-MaÌnËn, saat ia menarik

Page 126: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

111

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dak berani beranjak lebih jauh untuk mengetahui kebenaran esen-si Tuhan lantaran itu “bukan sesuatu yang dapat ditangkap oleh kemampuan manusia.”56 Ia kemudian kembali ke ajaran Islam yang dasar dan pokok dengan mengutip hadis Nabi: “Renungkan ciptaan Tuhan, dan jangan memikirkan esensi Tuhan.”57 Ia lalu menjelaskan esensi dan sifat-sifat Tuhan, tetapi hanya sejauh se-suai dengan ajaran Islam atau merupakan pembenaran terhadap doktrin sejati yang dianutnya. Ia menyadari, seperti tertuang da-lam al-MaqÎad, pengetahuan tentang Tuhan, yang diderivasikan dari sifatnya-Nya, tidak bisa masuk ke dalam realitas esensi dan hakikat-Nya. 58 Bagi al-GhazÉlÊ, cara yang paling dapat diandal-kan untuk mengenal Tuhan—selain dengan mengetahui sifat-Nya dan melalui pembuktian rasional—adalah dengan cara pengalam-an. Ini tingkat tertinggi dari mengetahui (knowing) yang ia sebut “gnosis kognitif” (‘irfÉn al-‘ilmÊ). 59

prinsip keesaan Tuhan dari Quran (surat al-IkhlÉÎ ayat 1) yang memun-culkan konsep aÍadiyyah, yang artinya tanpa partner. Sama halnya ke-esaan Tuhan yang mengungkapkan makna keesaan (waÍÊdiyyah) merupa-kan hasil dari penafsirannya terhadap Quran (surat al-Baqarah ayat 163), yang artinya tidak mempunyai komposisi ataupun bagian dalam hal apa pun. Penyelidikan lebih jauh pada dua karya pentingnya—TahÉfut al-FalÉsifah dan al-IqtiÎÉd—akan menunjukkan bahwa dengan mengambil manfaat dari argumen kalangan falÉsifah dan menjaga latar belakang se-bagai Ash‘ariyah, ia muncul dengan suatu konsep yang mendamaikan ke-esaan Tuhan dan keanekaragaman sifat. Al-GhazÉlÊ, “al-MaÌnËn bihi ‘AlÉ Ghayri AhlihÊ”, dalam al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-Ghazālī Jilid 2, MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ (ed.), (Kairo: Maktabah al-JundÊ, 1980), hlm. 130.

56 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 77.57 Terdapat setidaknya tiga ungkapan hadis ini dalam buku Syaikh al-AlbÉnÊ,

Silsilah al-AÍÉdith al-ØaÍÊÍah (vol. 4, No. 1788) yang tertulis: tafakkarË fi ÉlÉ’ Allah, wa lÉ tafakkarË fidhÉtihi fa tuhlikË; dalam Kasyf al-KhafÉ’ tertulis: tafakkarË fi khalq AllÉh, wa lÉ tafakkarË fi AllÉh, fa innahË lÉ tuÍÊÏ bihÊ al-afkÉr. Lihat MuÍammad al-AjlËnÊ, Kasyf al-KhafÉ‘ Jilid 1, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1405 H), hlm. 371; bandingkan dengan al-ManÉwÊ, FayÌ al-QÉdÊr Jilid 3, (Kairo: Maktabah TijÉriyah KubrÉ, 1356 H), hlm. 263; dalam al-Firdaus bi Ma’thËr ungkapannya sebagai berikut: tafakkarË fi khalq Allah, wa lÉ tafakkarË fi Allah, fa innakum lÉ tuqaddirË qadrah, lihat AbË SujÉ‘, al-Firdaus bi Ma’thËr al-KhiÏÉb Jilid 2, (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), hlm. 56.

58 Al-GhazÉlÊ, Al-MaqÎad al-AsnÉ, MaÍmËd al-NawÉwÊ (ed.), hlm. 29-30; terjemahan bahasa Inggris, The Ninety-Nine, hlm. 37.

59 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, hlm. 57.

Page 127: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

112

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Setelah membahas persamaan dan perbedaan pandangan al-GhazÉlÊ dengan pandangan kalangan falÉsifah, sekarang kita akan mengkaji konsep al-GhazÉlÊ tentang keesaan Tuhan. Dari telaah pelbagai karya al-GhazÉlÊ, dapat dilihat setidaknya ada tiga teori keesaan Tuhan.

Pertama, teori keunikan Tuhan. Dalam MaqÎad, al-GhazÉlÊ mendefinisikan keesaan Tuhan (al-wÉÍid) sebagai:

yang tidak dapat dibagi atau persis ditiru. Ia tak-terbagi sebagaimana substansi yang satu yang tidak dapat dibagi. Ia dikatakan satu dalam arti bahwa tidak ada bagian darinya yang merupakan substansi dalam dirinya sendiri, sebagai-mana titik tidak memiliki bagian. Tuhan yang Mahatinggi itu esa dalam arti bahwa tidak mungkin bagi Zat-Nya dipecah menjadi beberapa bagian. Ketidakbisaannya untuk ditiru se-cara persis mencerminkan kenyataan bahwa ia tidak memi-liki bandingan. 60

Secara lebih eksplisit, keesaan Tuhan dinyatakan sebagai ti-dak menyerupai apa pun, “Dia tidak menyerupai apa pun dan juga tidak ada yang menyerupai Dia.” 61 Ini berarti “sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk sebagaimana zat-Nya tidak seperti zat se-mua makhluk yang diciptakan” dan “pengetahuan Tuhan sama sekali berbeda dari pengetahuan makhluk-Nya.”62

Cara lain al-GhazÉlÊ mengungkapkan kekhasan Tuhan yang mutlak dan tunggal adalah dengan mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi Tuhan untuk bisa digolongkan karena dikhawatir-kan Tuhan bakal dipandang seolah salah satu jenis, bukan satu-satunya. Dalam Ma‘Érij, ia menegaskan bahwa “Dia terbebas (munazzahun‘an) dari memiliki genus (jins) dan diferensia (faÎl) karena apa yang tidak memiliki genus bersama yang lain tidak akan memiliki diferensia yang bisa memisahkan dari apa pun.”63

60 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, terjemahan bahasa Inggris. The Ninety-Nine, hlm. 130-131.

61 Ibid, hlm. 34.62 Al-GhazÉlÊ, Arba‘Ên, hlm. 18 dan 23.63 Al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij al-Quds fi MadÉrij Ma‘rifat al-Nafs. A. Shams al-DÊn

(ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 193; bandingkan

Page 128: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

113

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Deskripsi keunikan (aÍadiyyah) dan keesaan (wÉhidiyyah) Tu-han yang demikian itu cukup umum di antara kalangan ahli ilmu Kalam. Jadi, karakterisasi Tuhan tidak bisa seperti apa pun yang diketahui manusia. Namun, menyatakan bahwa Tuhan dalam pe-mikiran al-GhazÉlÊ sama sekali tidak bisa diketahui, benar-benar tidak dapat diterima,64 karena mengenal Tuhan tidak sama de-ngan mengetahui ciptaan-Nya.

Teori kedua keesaan Tuhan berasal dari perspektif pengalam-an individu, yang didasarkan pada pengakuan bahwa “Tidak ada tuhan selain Tuhan”. Al-GhazÉlÊ mengklasifikasikan pengalaman untuk mengekspresikan keesaan Tuhan ini dalam empat cara. Pertama, tingkat pernyataan kata-kata namun menolak kebenar-annya dalam hati, ini merupakan tauhid orang-orang munafik. Kedua, tingkat penerimaan kebenaran pernyataan tersebut. Ini merupakan tauhid Muslim kebanyakan; tauhid yang berusaha di-pertahankan para teolog dari bid’ah dan takhayul, seperti yang dilakukan al-GhazÉlÊ sendiri dalam IqtiÎÉd. Tauhid para teolog tidak berbeda dari mayoritas Muslim. Bedanya, para teolog tahu bagaimana membela iman mereka, sedangkan Muslim awam ti-dak. Ketiga, tingkat ketika pencari merasakan keanekaragaman hal yang dihasilkan oleh yang Satu, Yang Mahakuasa. Bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh Tuhan, dan apa pun yang dilakukan oleh siapa pun sebenarnya dilakukan oleh Tuhan. Dialah satu-satunya pelaku dan tidak ada pelaku selain Tuhan. Ini adalah tahap tauhid fi‘li (kepercayaan pada Satu Pelaku) 65 dan

dengan al-GhazÉlÊ, IÍyÉ Jilid 1, hlm. 2.64 Sebuah karya yang mendiskusikan pendirian al-GhazÉlÊ tentang hal ini

ditulis oleh Fadlou Shehadi. Lihat Fadlou Shehadi, Al-GhazÉlÊ’s Unique Unknowable God; A Philosophical Critical Analysis of Some of the Prob-lem Raised by GhazÉlÊ’s View of God as Utterly Unique and Unknowable, (Leiden: I.J. Brill 1964), khususnya Bab I, hlm. 13-21, dan Bab VI, hlm. 92-100.

65 Al-GhazÉlÊ menjelaskan bahwa TawÍÊd fi‘li berarti bahwa engkau menya-dari bahwa tidak ada pelaku (fÉ‘il) lain kecuali Tuhan, dan segala sesuatu yang ada di sana diciptakan semata-mata dan sepenuhnya oleh Tuhan tanpa campur tangan siapa pun. Jika benar-benar menyadari hal ini, engkau tidak akan terpukau oleh yang lain, tidak takut pada siapa pun, tidak meletakkan keyakinan dan harapanmu pada siapa pun, dan tidak menyandarkan diri

Page 129: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

114

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

hanya dicapai oleh orang-orang yang didekatkan Tuhan kepa-da-Nya (al-muqarrabËn). (Di sini muncul pertanyaan: apakah tindakan Tuhan tersebut disifatkan pada manusia ataukah justru sebaliknya? Dalam soalan ini kita akan membahasnya di bagian masalah penciptaan). Keempat, tingkat ketika pencari tidak me-lihat apa pun dalam wujud kecuali Yang Satu. Ini adalah tingkat ÎiddÊqËn, yang biasa disebut para sufi sebagai “peleburan ke da-lam keesaan” (al-fanÉ’ fÊ al-TawÍÊd). Tingkat ini mencerminkan keadaan tidak sadar ketika memandang dirinya sendiri dan apa pun yang diciptakan sebagai hasil kepemilikan penuh Realitas Mutlak, Tuhan. 66

Tingkat keesaan Tuhan di atas selaras dengan konsep al-Gha-zÉlÊ tentang al-Íaqq dan al-ÍaqÊqah atau kebenaran dan realitas wujud, yang dibahas pada awal Bab ini. Dua tingkat yang perta-ma merepresentasikan makna kebenaran, sedangkan dua terakhir berkaitan dengan makna realitas.

Teori ketiga, yang masih terkait dengan yang kedua, mengacu pada hubungan Tuhan dan dunia dalam dua bahasa berbeda yang bisa disebut bahasa perbuatan dan bahasa keberadaan (wujud).67

Bahasa perbuatan artinya keesaan pelaku atau pencipta atau pengatur. Di sini al-GhazÉlÊ menggambarkan keesaan Tuhan yang dimanifestasikan dalam gagasan bahwa tidak ada pelaku (fÉ‘il) dalam realitas alam (al-ÍaqÊqah) kecuali Tuhan. Dengan kata lain, kita tidak akan melihat lebih dari Satu Pelaku yang sejati (fÉ‘il) dalam segala wujud. Dia sendiri, tanpa partner, menghia-si dan menciptakan segala sesuatu. Penjelasan al-GhazÉlÊ dapat dilihat di berbagai tempat dalam IÍyÉ’ dan al-MaqÎad al-AsnÉ

pada siapa pun kecuali pada Tuhan. Karena Dialah yang esa dan satu-satunya pelaku (fÉ‘il) dan segalanya yang lain dikontrol secara mutlak. Tidak ada yang memiliki kekuatan pada dirinya untuk menggerakkan satu partikel pun di langit dan di Bumi. Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 232.

66 Ibid, hlm. 230.67 Abdul Haq Ansari, “The Doctrine of Divine Command: A Study in the

Development of GhazÉlÊ’s View on Reality”, Islamic Studies, No. 3, vol. XXI, (autumn 1982), hlm. 19-20.

Page 130: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

115

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dengan menggambarkan hubungan Tuhan dan dunia dalam arti pelaku dan perbuatannya, pengarang dan karangannya, pencipta dan yang diciptakannya. Dalam IÍyÉ’, misalnya, al-GhazÉlÊ me-nyatakan bahwa “Keberadaan adalah tentang Tuhan sendiri yang dari pada-Nya seluruh tindakan berasal. Sesuatu yang kondisi-nya demikian tidak melihat perbuatan apa pun, kecuali melihat ke dalamnya sebagai Pelaku dan melupakan perbuatan. Dia me-lihat langit, Bumi, hewan, pohon, dan lain-lain lebih sebagai kar-ya (Îun’) Sang Mahanyata.” 68 Dalam al-MaqÎad ia menyatakan bahwa “tidak ada dalam eksistensi kecuali Tuhan dan perbuatan-Nya; ini berarti, ketika seseorang melihat perbuatan Tuhan, me-reka tidaklah sebagai langit dan Bumi serta pohon, melainkan sebagai karya-Nya (Îun‘atuhË).”69

Jadi, bahasa perbuatan dasarnya adalah bahasa penciptaan yang ditafsirkan dengan cara yang khusus. Hal ini terkait dengan derajat ketiga teori kedua tentang keesaan Tuhan, yang hasilnya berupa dampak spiritual pada kesadaran individu, seperti tidak menyandarkan diri pada apa pun selain Tuhan; begitu pun dalam ketakutan, harapan, dan keyakinan (hanya pada-Nya).70 Al-Gha-zÉlÊ sebenarnya menggabungkan konsep ini dalam pembahasan-nya tentang pengetahuan, cinta, taubat, syukur, dan latihan spiri-tual lainnya. Ia menjadikan sifat Tuhan, terutama keesaan Tuhan, sebagai tujuan akhir yang harus mengatur seluruh proses perja-lanan menuju pemenuhan yang lengkap.

Mengenai bahasa wujud, al-GhazÉlÊ menjelaskan bahwa se-seorang akan memahami keesaan wujud ketika seseorang tidak melihat keseluruhan sebagai keanekaragaman tetapi memahami-nya sebagai suatu kesatuan. Cara kita melihat penampakan ke-anekaragaman sebagai satu kesatuan menurut al-GhazÉlÊ:

… Bergantung pada bagaimana engkau melihat hal itu. Jika engkau melihat sesuatu dari satu sudut, itu satu. Misal-

68 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 310.69 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 45.70 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 10.

Page 131: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

116

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

nya, jika melihat berbagai bagian manusia, berupa tubuh, jiwa, arteri, tulang dan lain-lain, engkau pun melihatnya ba-nyak. Tapi jika melihat ia sebagai seorang manusia, engkau melihat ia satu. Demikian pula ada banyak cara untuk melihat apa yang ada dalam eksistensi Pencipta dan objek yang di-ciptakannya. Jika engkau melihat eksistensi dari satu sudut, maka ia satu, dan jika melihatnya dari sudut yang lain, maka ia banyak, dan dalam beberapa cara melihat, keanekaragaman jauh lebih menonjol dibandingkan dalam cara yang lain. 71

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa tahap akhir dari tauhid bukanlah untuk mengidentikkan wujud manusia dengan wujud Tuhan. Kesatuan dalam konsep al-GhazÉlÊ hanyalah ma-salah ru’yat (persepsi), atau kesatuan shuhËd, yakni bahwa se-gala sesuatu tidak tampak mengada secara terpisah dari Tuhan namun membentuk satu kesatuan dengan-Nya, dan yang melihat (the seer) begitu tenggelam dalam persepsi kesatuan tersebut se-hingga tidak lagi sadar terhadap objek dunia atau bahkan wujud dirinya sendiri.

Menggambarkan keesaan Tuhan dengan bahasa wujud berarti keesaan Tuhan tidak dilihat dari keanekaragaman dalam dunia, tetapi dipahami dari perspektif kesatuan eksistensi yang kompre-hensif. Teori ini sejajar dengan tingkat keempat dalam teori kedua keesaan Tuhan yang disebutkan di atas: tahap manusia merasakan hanya Wujud Nyata Yang Satu (al-WÉÍid al-×aqq). Dalam IÍyÉ’ al-GhazÉlÊ menekankan makna keesaan Tuhan (tauhid) dalam wujud-Nya sebagai satu-satunya sumber segala kehidupan yang kepada-Nya semua akan kembali. Tidak ada yang berada kecuali Tuhan. Ia kemudian mengutip ayat al-Quran, “setiap hal binasa kecuali wajah-Nya (wajhahË)”, yang diartikannya sebagai segala sesuatu yang ada berdasarkan yang lain maka tidak dapat dianggap sebagai yang Wujud Yang Nyata (al-MawjËd al-×aqq).72 Dalam al-MaqÎad al-GhazÉlÊ menekankan makna keesaan Tuhan bukan hanya dalam wujud-Nya yang tak terbagi, tak bisa persis ditiru,

71 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 231.72 Ibid, hlm. 83-84.

Page 132: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

117

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dan tidak memiliki bandingan,73 melainkan juga dalam wujud-Nya yang Mutlak Nyata (al-×aqq al-MuÏlaq). Nyata dalam hal ini menyiratkan bahwa Dia Niscaya dalam diri-Nya sendiri (al-wÉjib bi dhÉtihÊ). Ini sangat berbeda dari yang “mungkin” dalam dirinya sendiri tetapi niscaya karena yang lain; yang nyata dalam satu hal dan tidak nyata dalam hal yang lain. Al-GhazÉlÊ menyitir lagi ayat al-Quran: “segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya”, yang diartikannya bahwa segala sesuatu selain Tuhan akan hilang wujudnya dan hanya ada karena berkat wujud-Nya. 74

Dalam MishkÉt al-GhazÉlÊ menegaskan kembali pernyataan-nya di al-MaqÎad, yakni Tuhan adalah Wujud Yang Nyata (al-MawjËd al-×aqq) karena Dia ada disebabkan diri-Nya sendiri, sedangkan selain diri-Nya bukan wujud yang nyata, yang wujud-nya dipinjam (musta‘Êr) dari-Nya. Dalam tingkatan gnostik (al-‘ÉrifËn) yang lebih tinggi, tidak ada yang tampak dalam wujud, kecuali Yang Satu, Yang Nyata (al-WÉÍid al-×aqq). Dalam tra-disi sufi, keadaan berhubungan dengan Yang memiliki ini disebut fana (fanÉ’), dan ketika sang pemilik keadaan ini mengalami fana dari dirinya sendiri atau dari fana itu sendiri, maka ia disebut fana dalam fana (fanÉ’ al-fanÉ’). Tahap ini berhubungan dengan yang tenggelam di dalamnya, disebut “unifikasi” (ittÍÉd), dalam arti kiasan, sedangkan dalam bahasa realitas disebut tauhid (tawhid).75 Ayat “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya” ditafsirkan dengan cara yang berbeda dari al-MaqÎad, yakni segala sesuatu itu memiliki dua wajah: satu berpaling ke esensinya sendiri, dan yang lain kepada Tuhannya. Yang berpaling kepada wajah dirinya sendiri (wajh nafsihÊ) itu dianggap tidak ada, dan yang hanya ber-paling kepada wajah Tuhan (wajh AllÉh) ia dianggap ada. Oleh karena itu, tidak ada yang wujud kecuali Tuhan dan wajah-Nya, sementara segala sesuatu pasti binasa selamanya.

Mengacu pada prinsip terakhir keesaan Tuhan dalam baha-sa wujud, pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran kita

73 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 95-96.74 Ibid, hlm. 90-91.75 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, terjemahan oleh D. Buchman, hlm. 17-18.

Page 133: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

118

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

adalah bagaimana wujud segala sesuatu berhubungan dengan wu-jud Tuhan? Pada titik ini sebagian orang mungkin menganggap al-GhazÉlÊ percaya pada doktrin panteisme atau kesatuan wujud. Sebab, ia menegaskan bahwa sesuatu itu wujud karena wujud Tu-han. Demikian juga pernyataannya di MishkÉt bahwa “setiap kali engkau menunjuk sesuatu, kamu sesungguhnya sedang menunjuk kepada-Nya, mungkin engkau tidak menyadarinya, karena keti-daktahuanmu terhadap Realitas Mutlak (ÍaqÊqat al-ÍaqÉ’iq).”76 Dari beberapa bukti di atas orang dapat menyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ sangat dekat dengan doktrin waÍdat al-wujËd.77

Akan tetapi, kesimpulan tersebut tidak bisa diterima karena pernyataan al-GhazÉlÊ itu tidak dapat diartikan bahwa wujud se-gala sesuatu itu sama dengan wujud Tuhan. Faktanya memang antara waÍdat al-wujËd dan pandangan al-GhazÉlÊ berbeda secara mendasar. Salah satu perbedaan tersebut adalah bahwa al-GhazÉlÊ tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan (al-×aqq) adalah dunia. Ia hanya mengatakan, dalam arti sebenarnya, bahwa tidak ada yang wujud, kecuali Tuhan; dunia tidak memiliki wujud, kecuali sebagai pantulan dari wujud Tuhan di dalamnya, seperti pantulan bulan di berbagai cermin.

Pernyataan paling definitif yang membebaskan al-GhazÉlÊ dari keyakinan waÍdat al-wujËd justru ditemukan dalam Mish-kÉt ketika ia menjelaskan bahwa “Tuhan bersama dengan semua makhluk seperti cahaya dengan benda” (inna Allah ma‘a kulli shay’ ka al-nËr ma‘a al-ashyÉ’). 78 Ini berarti Tuhan ada sebe-lum segala sesuatu, dan ada di atas segala sesuatu, dan penyebab segala sesuatu. Mengatakan bahwa Tuhan ada sebelum segala sesuatu, menurut al-GhazÉlÊ, adalah sama dengan menyatakan bahwa Tuhan kekal; mengatakan bahwa Dia di atas segala se-suatu bermakna menegaskan transendensi-Nya, dan keyakinan akan transendensi (Tuhan) dalam pengertian agama yang benar itu tidak sesuai dengan doktrin waÍdat al-wujËd. Memang benar

76 Ibid, hlm. 20.77 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, Abu’l-‘AlÉ ‘AfÊfÊ (ed.), hlm. 55-56.78 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, terjemahan oleh David Buchman, hlm. 24.

Page 134: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

119

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bahwa al-GhazÉlÊ menyatakan bahwa segala sesuatu merupakan cahaya-Nya, atau lebih tepatnya bahwa Dia adalah semua, namun itu tidak berarti bahwa al-GhazÉlÊ percaya pada kesamaan wujud dunia dan wujud Tuhan. Keesaan yang diyakini oleh al-GhazÉlÊ paling tepat dipahami dari tulisannya di IÍyÉ’ bahwa hal itu ha-nya masalah ru’yat (persepsi) atau shuhËd. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ meyakini gagasan waÍdat al-shu-hËd, bukan waÍdat al-wujËd. Dalam pengertian ini segala sesuatu tidak tampak berada terpisah dari Tuhan, namun membentuk satu kesatuan dengan-Nya, dan yang melihat (seer) begitu terlibat da-lam memahami keesaan itu sehingga ia tidak lagi sadar akan ob-jek dunia atau bahkan wujudnya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kita dapat menyatakan bahwa argumen al-GhazÉlÊ tentang keesaan Tuhan itu relevan dengan konsep yang dinyatakan dalam al-Quran. Keberatannya terhadap konsep kalangan falāsifah (bahwa esensi dan eksistensi tuhan, atau zat dan sifat-Nya, itu sama) hanya untuk membuka jalan bagi pro-yeknya untuk membela pluralitas sifat Tuhan dalam keesaan-Nya. Keesaan dalam bahasa perbuatan merupakan makna sebenarnya dari keesaan Tuhan dalam pengertian yang luas di mana Tuhan itu satu-satunya Pengarang yang mengawasi dan mengatur segala sesuatu. Demikian juga keesaan dalam bahasa wujud merupakan penegasan dari pernyataan al-Quran bahwa Tuhan itu sumber dari realitas dan eksistensi. Sebagai ringkasan, dikutip di sini komen-tar David Buchman tentang MishkÉt bahwa karya al-GhazÉlÊ ini “berperan bagi pembaca kontemporer untuk memahami keda-laman dan keindahan tafsirnya tentang keesaan Tuhan dan dalam menjelaskan secara umum worldview Islam yang-berpusat-pada-tauhid.”79

Sifat Tuhan

Pertanyaan tentang sifat Tuhan dalam pemikiran Islam mulai ada setelah wacana teologis muncul. Pertanyaan tersebut menjadi

79 Ibid. Lihat pendahuluan penerjemah, halaman xviii.

Page 135: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

120

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

fokus perdebatan sengit ketika umat Islam bertemu dengan pe-mikiran Islam peripatetik yang diwakili oleh kalangan falāsifah. Dengan demikian, dalil-dalil al-GhazÉlÊ yang menjunjung ga-gasan sifat Tuhan didominasi oleh sanggahan terhadap prinsip ka-langan falāsifah: esensi Tuhan sama dengan eksistensi-Nya, oleh karena itu Tuhan tidak memiliki Sifat. Namun, dalam penjelasan yang mendukung sifat Tuhan, al-GhazÉlÊ tampak tak berminat memaparkan analisis rinci masalah esensi dan eksistensi Tuhan.80 Al-GhazÉlÊ sekadar menegaskan bahwa Tuhan merupakan wujud yang tidak terbagi, yang unik status-Nya dan memiliki sejumlah sifat penting. Sifat-sifat tersebut berbeda dari esensi-Nya. Mereka abadi dan subsisten dalam esensi-Nya. Mereka adalah konsep-konsep yang ditambahkan lagi pada esensi. Baginya, keanekara-gaman sifat tidak berarti menghilangkan keesaan Tuhan.

Sebagai tanggapan terhadap kalangan falāsifah, al-GhazÉlÊ kelihatan yakin bahwa menyetujui prinsip Tuhan-mempunyai-si-fat tidak akan menimbulkan anggapan bahwa sifat akan mengaki-batkan zat atau sebaliknya, dan anggapan bahwa Tuhan itu terdiri dari atau merupakan komposisi dari zat dan sifat. Alih-alih mem-berikan penekanan pada esensi atau zat Tuhan, ia menekankan pada eksistensi atau wujud Tuhan yang secara mudah menegaskan sifat Tuhan. Oleh karena itu, di IqtiÎÉd ia menegaskan bahwa:

Sang Pencipta adalah eksistensi (mawjËd) sekaligus esen-si (dhÉt), dan Dia memiliki keabadian dan realitas (thubËt wa ÍaqÊqah). Dia berbeda dari semua makhluk lain dalam arti mus-tahil bagi-Nya menjadi wujud yang bergantung, atau memiliki apa yang mengisyaratkan kebergantungan, atau apa yang tidak sesuai dengan kualitas pengetahuan dan kekuasaan Tuhan serta sejenisnya. 81

80 Al-GhazÉlÊ percaya bahwa pengetahuan tentang realitas esensi Tuhan, sifat-Nya yang sempurna, Perbuatan dan Kebijaksanaan-Nya, tidak bisa dicapai dari Kalam tetapi melalui‘ilm al-mukÉshafah. Lihat al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 1, A. A. SirwÉn (ed.), hlm. 25.

81 Al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad, hlm. 60.

Page 136: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

121

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Keyakinan al-GhazÉlÊ tentang Tuhan sebagai pencipta yang memiliki kualitas pengetahuan ditujukan tidak hanya untuk mem-bela gagasan al-Quran bahwa Tuhan memiliki sifat, tetapi juga untuk menggambarkan Tuhan sebagai Ada yang hidup. Oleh karena itu, al-GhazÉlÊ memberi prioritas untuk mendeskripsi-kan Tuhan melalui sifat-Nya, yang dikenal sebagai tujuh sifat esensial (al-ÎifÉt al-dhÉtiyah). Tujuh sifat tersebut adalah Hidup, Berpengetahuan, Berkehendak, Berkuasa, Mendengar, Melihat dan Berbicara, yang disebut ÎifÉt al-ma‘nÉ. 82 Sifat-sifat Tuhan merupakan kualitas nyata yang hidup selamanya dalam esensi Tuhan namun tidak disamakan sebagai esensi. Semua itu ber-beda, dan ditambahkan (zÉ’id ‘alÉ) pada esensi-Nya. 83 Namun, mereka juga tidak bisa dipisahkan dari esensi Tuhan karena Tu-han tidak dapat dipahami tanpa semua sifat-Nya. Konsekuensi logis menempatkan Tuhan sebagai Ada yang hidup dan memiliki beberapa sifat adalah mendeskripsikan Tuhan terutama sebagai berkehendak, yang merupakan sebab penciptaan. “Prinsip Per-tama,” kata al-GhazÉlÊ, “adalah perantara yang mengetahui, ber-kuasa, dan berkehendak. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki, dan menetapkan apa yang Dia suka.”84 Langit dan Bumi adalah karya langsung Tuhan, yang diciptakan hanya melalui perintah-Nya, “Jadilah!”85 Tuhan telah menciptakan alam semesta dengan kehendak-Nya, memeliharanya dengan kehendak-Nya, dan suatu saat akan membiarkannya mati dengan kehendak-Nya.

Pembenaran al-GhazÉlÊ terhadap sifat-sifat Tuhan didasarkan pada pemahamannya tentang kepercayaan tradisional. Hal yang dijunjung tinggi al-GhazÉlÊ adalah semua sifat yang ia tegaskan

82 Al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad, M.AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 29. Dalam al-Risalah al-Qudsiyyah, al-GhazÉlÊ memecah tujuh sifat esensial tersebut menjadi sepuluh prinsip yang menjadi pilar keyakinan. Al-GhazÉlÊ, “al-Risalah al-Qudsiyyah”, dalam Al-GhazÉlÊ, al-Qawa’id al’Aqa’id, RiÌwÉn al-Sayyid (ed.), hlm. 65-75.

83 Al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad, hlm. 114.84 Al-mabda’ al-awwal ‘alimun, qadirun muridun yaf‘al ma yasha’ wa yaÍ-

kum ma yurid, Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Mar-mura, hlm. 76.

85 Al-Quran, surat al-Baqarah (2) ayat 117, an-NaÍl (16) ayat 40.

Page 137: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

122

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

merupakan nama-nama yang Tuhan sandangkan pada diri-Nya sendiri (al-asÉmÊ allatÊ tusamma biha AllÉh). 86 Dalam al-IqtiÎÉd ia menggunakan empat argumen untuk mendukung pendirian-nya. Pertama, sifat tidak boleh disamakan dengan esensi kare-na menyebut Tuhan bukanlah menyebut, misalnya, mengetahui atau berkuasa. Kedua, semua sifat Tuhan ada karena esensi-Nya dan tidak bisa ada tanpa esensi-Nya. Ketiga, semua sifat Tuhan adalah kekal. Keempat, semua kualitas esensial Tuhan (al-ÎifÉt al-ma‘nÉwiyya)—seperti Berkuasa, Mengetahui, Berkehendak, Hidup, Mendengar, Melihat, dan Berfirman—itu kekal (azalan) dan abadi (abadan) melekat pada diri-Nya. 87

Dengan empat argumen tersebut al-GhazÉlÊ ingin memperta-hankan setidaknya dua poin. Pertama, sifat Tuhan memiliki keke-kalan yang sama dengan esensi Tuhan. Kedua, sifat-sifat tersebut berbeda dari esensi Tuhan dan bahkan berbeda satu sama lain.

Poin pertama ditujukan untuk menyelesaikan masalah yang muncul dari prinsip keabadian sifat dengan sifat perbuatan yang melibatkan perubahan, atau perbuatan penciptaan yang melibat-kan makhluk. Penjelasan ini cukup mendasar karena berkaitan dengan hubungan antara Realitas Mutlak dan realitas dunia yang bisa diindra. Al-GhazÉlÊ menganalisis bahwa Tuhan adalah Pen-cipta dari keabadian dalam arti potensial saja (yang berarti Dia memiliki semua kekuatan yang diperlukan untuk penciptaan dari keabadian) meskipun aksi perbuatan penciptaan itu saling ber-gantung. Ilustrasi sederhananya seperti kita menyatakan ketajam-an pedang ketika berada dalam sarungnya dan ketika dipakai un-tuk memotong. Ketika berada dalam sarung berarti pedang dalam potensialitas atau in potentia (bi al-quwwah), sedangkan ketika dipakai berarti pedang dalam aktualitas atau in actu (bi al-fi’li). Oleh karena itu, tidak melekatkan sifat perbuatan Tuhan sebagai kekal memang benar jika dipahami dalam makna in actu, yaitu dalam proses yang terus-menerus berubah. Melekatkan sifat per-buatan itu sebagai sifat yang kekal juga benar jika dimaksudkan

86 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 135. 87 Ibid, hlm. 114, 121, dan 123.

Page 138: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

123

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pada makna in potential, yaitu kekuasaan untuk berbuat yang belum diaktualisasikan-Nya. Dengan kata lain, semua sifat pen-ciptaan dalam potensialitas itu kekal, kecuali ketika potensialitas ini diaktualisasikan dalam makhluk-Nya, mereka menjadi mung-kin (kontingen). Maka dari, sifat perbuatan tersebut tidak dapat berlangsung dalam esensi-Nya atau Zat-Nya, karena jika dalam zat-Nya maka sifat-sifat itu akan menjadi abadi bersama dengan Zat-Nya; padahal sifat-sifat itu ia merupakan sifat-sifat yang di-tambahkan kepada esensi-Nya. 88

Jadi, dunia dan perubahan-perubahan selanjutnya diciptakan oleh pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan abadi Tuhan. Akan tetapi, tidak berarti setiap perubahan pada sifat Tuhan itu sesuai dengan perubahan dalam dunia empiris. Karena dunia adalah ha-sil dari perbuatan kreatif Tuhan, ia bersifat mungkin dan tidak abadi. Singkatnya, sifat-sifat Tuhan memiliki keabadian yang sama dengan esensi Tuhan, dan ketika sifat perbuatan tersebut diaktualisasikan kepada makhluk-Nya maka menjadi temporal.

Poin penting kedua adalah tentang perbedaan satu sifat dari sifat yang lain, seperti “Tuhan Mahatahu” itu tidak sama de-ngan “Tuhan Mahakuasa”. Kedua proposisi ini berbeda sehingga “mengetahui” dan “berkuasa” tentu merupakan dua kualitas yang berbeda. Al-GhazÉlÊ sadar bahwa argumen ini memunculkan per-tanyaan serius. Jika dikemukakan bahwa pengetahuan Tuhan ten-tang satu hal itu berbeda dari pengetahuan-Nya tentang yang lain, atau kita mengatakan bahwa “Tuhan tahu A karena itu Dia tahu B”, itu akan mengisyaratkan keragaman pengetahuan dalam Tu-han. Di sini persoalannya.

Para filsuf dan kalangan Mu‘tazilah menawarkan dua pe-mecahan ekstrem. Para filsuf, di satu sisi, mempertahankan bah wa hanya esensi-Nya yang dapat mereduksi seluruh ragam makna (mengetahui) pada fungsinya. Di sini para filsuf bukan menyebutnya sifat, melainkan makna. Sebab, mereka memang tidak mengakui bahwa Tuhan itu mempunyai sifat; dengan de-

88 Ibid, hlm. 87 dan 135.

Page 139: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

124

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

mikian, esensinya itulah yang berperan sebagai sifat. Di sisi lain, Mu‘tazilah dan Qaramitah, tidak mengutamakan esensi-Nya, tapi memberi sifat berbeda-beda untuk setiap makna seperti mengetahui, berkehendak, dan berfirman. Al-GhazÉlÊ mengiku-ti Ash‘arÊyah, yakni mengambil jalan tengah. Pertama, dengan menegaskan bahwa Tuhan itu bersifat, dan menegaskan adanya sifat yang berbeda-beda ketika terdapat perbedaan besar antara dua sifat perbuatan, seperti mengetahui dan berkehendak. Kedua, dengan menghindarkan dari memperbanyak sifat ketika perbe-daannya tidak mendasar, seperti dalam kasus mengetahui A dan mengetahui B. Dengan kata lain, keragaman objek yang diketa-hui tidak berarti mengharuskan banyaknya pengetahuan pada sisi Tuhan. Pandangan Ash‘arÊyah tentang persoalan ini adalah Tuhan mengetahui segala sesuatu pada masa lalu atau pada masa seka-rang dengan satu pengetahuan yang abadi. 89 Dia menghendaki segala sesuatu dengan satu kehendak abadi, melakukan segala se-suatu dengan satu kekuasaan abadi, dan seterusnya. Sikap yang sama juga dapat ditemukan dalam IÍyÉ’, al-GhazÉlÊ menegaskan sifat Tuhan sebagai realitas positif:

Tuhan Yang Mahatinggi tahu ilmu, menjalani hidup, sangat kuat melalui kekuatan, berkehendak dengan iradah, berbicara dengan kata-kata, mendengar dengan kapasitas mendengar, melihat dengan kemampuan melihat. Dia memi-liki kualifikasi ini karena sifat-sifat yang abadi. Jika seseo-rang (Mu‘tazilah) mengatakan Tuhan yang tahu tanpa ilmu, sama juga dengan mengatakan bisa saja menjadi kaya tanpa kekayaan atau bahwa ada ilmu tanpa ilmuwan atau mengeta-hui tanpa objek pengetahuan. 90

Pembedaan al-GhazÉlÊ antara kehendak Tuhan dengan pe-ngetahuan dan kekuasaan-Nya juga dilakukannya dalam TahÉfut,

89 Al-GhazÉlÊ memberikan ilustrasi berikut: kita diberi tahu kedatangan Zayd pada saat matahari terbit. Pengetahuan awal ini ada sampai terbitlah matahari. Datangnya Zayd saat matahari terbit telah kita ketahui melalui pengetahuan awal tersebut tanpa perlu adanya pembaruan. Beginilah cara sifat abadi pengetahuan Tuhan harus dipahami. Al-GhazÉlÊ, QawÉ’d al-‘AqÉ’id, hlm. 81.

90 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 102-103.

Page 140: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

125

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

di mana ia menekankan peran penting kehendak Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Ini bertentangan dengan tesis Ibn SÊnÉ dan kalangan falāsifah yang berpandangan bahwa pengetahuan dan kehendak Tuhan itu sama dengan zat-Nya atau esensi-Nya. Argumen al-GhazÉlÊ dalam masalah ini dapat dirumuskan dalam dua cara. Pertama, karena dunia ini tidak mungkin ada secara kekal, maka sifat-sifat Tuhan yang berfungsi untuk menciptakan mestinya berbeda dari zat-Nya. Kedua, karena perbedaan antara makna dunia yang mungkin ada dan eksistensi dunia yang se-cara aktual benar-benar ada, maka kehendak Tuhan dalam hal ini harus dapat dibedakan dari pengetahuan-Nya.91 Bagi al-GhazÉlÊ, argumen ini penting karena dengan membedakan kekuasaan, pengetahuan, dan kehendak, akan diperbaiki dasar bagi penolak -an terhadap tesis Ibn SÊnÉ dan kalangan falāsifah bahwa pencip-taan mengalir secara pasti dari Zat Tuhan.

Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa konsep al-GhazÉlÊ tentang keesaan dan sifat-sifat Tuhan memiliki pengaruh yang mendalam pada konsepnya tentang realitas dan eksistensi. Kon-sep al-GhazÉlÊ tentang keesaan Tuhan berhubungan erat dengan konsepnya tentang Tuhan sebagai Wujud yang Sejati (al-MawjËd al-×aqq) yang merupakan satu-satunya sumber eksistensi, dan bahwa Tuhan adalah satu-satunya pencipta alam semesta, yang darinya segala sesuatu berasal melalui perbuatan-Nya. Setelah konsep dan penjelasan rinci tentang keesaan Tuhan diakui, kon-sep Tuhan sebagai Ada yang hidup yang memiliki beraneka ra-gam sifat akan mengikuti. Konsep mengenai sifat Tuhan, dengan demikian, menjadi tumpuan konseptual yang memainkan peran penting dalam perincian lebih lanjut Realitas Mutlak (dalam kait-an dengan) realitas yang diciptakan. Berikutnya kita beralih ke konsep al-GhazÉlÊ tentang realitas dari perspektif kosmologis.

91 Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-GhazÉlÊ & Avi-cenna, (Heidelberg; Abhandlungen der Heidelberger Akademie der Wis-senschaften, 1992), hlm. 51.

Page 141: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

126

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Konsep Kosmologi

Setelah membahas konsep al-GhazÉlÊ tentang Tuhan sebagai Realitas Tertinggi dan Absolut Yang memiliki keragaman sifat, sekarang kita beralih ke kosmologi. Kosmologi umumnya dike-nal sebagai studi asal-usul dan struktur alam semesta.92 Dalam pemikiran al-GhazÉlÊ, kosmologi didasarkan pada konsep pen-ciptaan, dengan Tuhan sebagai satu-satunya Pencipta yang daya kreatif-Nya menyeluruh dan langsung.

Kita dapat mengenali pemikiran tersebut melalui cara al-GhazÉlÊ memandang alam semesta. Seperti dikatakannya dalam al-IqtiÎÉd, ia tidak “menganggap alam semesta (al-‘Élam) seba-gai alam semesta, fisik, langit dan Bumi tetapi justru sebaliknya, yakni sebagai buatan Tuhan (Îun‘ullah).” 93 Pernyataannya ini menyiratkan bahwa pertanyaan tentang kosmologi dan berlang-sungnya sebab-sebab sekunder dalam tatanan alam semesta harus-lah pula dipandang sebagai entitas dan peristiwa yang diciptakan oleh Tuhan, atau sebagai realitas yang merupakan bagian Realitas Mutlak. Di sini kita sudah dapat membaca hubungan konsep rea-litas dengan kausalitas al-GhazÉlÊ.

Kekuasaan Tuhan yang kreatif dan menyeluruh dapat dilihat dari berbagai karya-Nya, yakni Dia mengurusi ketertiban dan ke-sempurnaan alam semesta atau susunan wujud yang tertata dan pertaliannya dengan pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan aba-di Tuhan. Dalam MaqÎad, al-GhazÉlÊ mensifatkan hampir seluruh nama-nama Tuhan yang Terindah pada perbuatan-Nya dan hu-bungan-Nya dengan makhluk-Nya. Al-GhazÉlÊ tampak memper-lihatkan minat mendalam pada kosmologi teoretis dibandingkan para pendahulunya. Tidak mengherankan bila al-GhazÉlÊ menarik hubungan antara kosmologi dan psikologi karena keduanya me-miliki status yang sama sebagai makhluk yang diciptakan. Ka-rena kosmologi dalam pemikiran al-GhazÉlÊ ini didasarkan pada

92 Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press, 1996), hlm. 85, “cosmology”.

93 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 10.

Page 142: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

127

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

doktrin penciptaan, dalam buku ini akan diuraikan argumennya tentang penciptaan dan argumennya menentang doktrin emanasi. Konsepnya tentang penciptaan dalam kaitan dengan makhluk hidup juga akan dijelaskan. Setelah itu, dibahas konsep al-Gha-zÉlÊ tentang sistem kosmos dan kesejajarannya dengan psikologi sifat manusia.

Doktrin Penciptaan

Disebutkan pada bagian sebelumnya, sama seperti konsep-nya tentang Tuhan yang memiliki sentralitas konsep, konsep al-GhazÉlÊ tentang Tuhan Yang Mahakuasa memiliki pengaruh kuat terhadap konsepnya tentang penciptaan dan teori sebab-akibat yang ia anut. Tuhan digambarkan sebagai Pencipta Transenden-tal dunia; Dia ada dengan diri-Nya dan kekal abadi. Sentralitas konsep Tuhan dalam pemikiran al-GhazÉlÊ dapat dilihat dari du-kungan dan pembenaran konsep sifat Tuhan, dengan unsur utama dalam konsep penciptaan berupa kekuasaan dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, dunia yang berarti “segala sesuatu selain Tuhan”94 diwujudkan dari ketiadaan oleh-Nya melalui proses penciptaan.

Titik tolak doktrin penciptaan al-GhazÉlÊ adalah alam se-mesta memiliki sebuah permulaan dalam waktu. Dalam IqtiÎÉd ia mengemas argumennya dalam bentuk silogisme yang kuat yang berfungsi pula sebagai argumen bagi wujud Tuhan:

“Setiap makhluk memiliki sebuah sebab pada awalnya. Dunia adalah makhluk. Karena itu, ia harus memiliki sebab awal” (kullu ÍÉdithin faliÍudËthihÊ sabab, wa al-‘Élam ÍÉdit-hun fayalzam minhu anna lahu sababan). 95

Dalam RisÉlah, al-GhazÉlÊ mengulang argumen yang sama: “dunia dimulai dalam waktu, dan mereka tahu dengan kepasti-an rasional bahwa tidak ada yang berasal dari waktu itu berasal dengan sendirinya sehingga perlu seorang pencipta.”96 Ia bahkan

94 Ibid, hlm. 29.95 Ibid.96 Buku tersebut merupakan bagian dari “Kitab QawÉ’id al-’Aqa’id,” IÍyÉ’

Page 143: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

128

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

menyebutnya aksioma pikiran, yakni segala sesuatu yang dimulai harus dimulai dalam waktu yang tertentu dan pasti. Keterbatas-an dalam waktu, perbedaan dari yang mendahului, dan apa yang menggantikan dalam eksistensi, secara alamiah akan memerlukan penentu untuk memilih waktu bagi kemunculannya.

Dalam TahÉfut, argumen al-GhazÉlÊ itu dapat direduksi men-jadi tiga premis dan satu kesimpulan sebagai berikut: (1) Ada peristiwa-peristiwa temporal dalam dunia; (2) Peristiwa tempo-ral memiliki sebab; (3) Rangkaian peristiwa temporal tidak bisa mundur secara tak terbatas. 97 Oleh karena itu, rangkaian tersebut harus berhenti pada yang abadi.

Premis (1) jelas karena kita mengalami dalam dunia indrawi; di sekitar kita hal-hal muncul menjadi sesuatu dan hilang. Premis (2) ini agak ganjil karena sepintas al-GhazÉlÊ mengakui adanya sebab sekunder, yang sebenarnya ia menolak mengakui. Tetapi jika melihat sasaran argumennya (yaitu para filsuf yang percaya akan adanya sebab nyata di dunia), kita memahami premis (2) sebagai bentuk respons terhadap mereka. Dengan kata lain, al-GhazÉlÊ berpendapat—demi lawan-lawannya itu—bahwa ada fe-nomena temporal di dunia, dan fenomena tersebut diawali feno-mena temporal lainnya, dan seterusnya. Premis (2) tidak percaya bahwa sebab-akibat di dunia itu terbebas dari Tuhan. Adapun premis (3) merupakan inti argumen yang secara langsung ber-tentangan dengan dalil keabadian dunia. Inti di balik premis ini dapat dilihat dari penjelajahannya pada perspektif lawan tentang kemunduran yang tak terbatas dari fenomena temporal.

Jadi, jelaslah premis al-GhazÉlÊ bahwa dunia bermula dalam waktu karena waktu itu sendiri memiliki awal dan diciptakan. 98 Al-GhazÉlÊ tidak mencela definisi Aristoteles tentang waktu se-

Jilid 1, terjemahan dengan catatan oleh Nabih Amin Faris, “Al-GhazÉlÊ, The Foundation of the Article of Faith”, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), hlm. 59-60.

97 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 27; ter-jemahan diambil dari Marmura dengan beberapa modifikasi.

98 Ibid, hlm. 36.

Page 144: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

129

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bagai ukuran gerak, juga tidak mempertanyakan keabsahan ke-simpulan tentang keabadian gerak dari keabadian waktu. 99 Mes-kipun demikian, ia menjunjung argumen bahwa jika fenomena temporal atau perubahan dalam waktu memiliki asal, maka waktu (sebagai ukuran perubahan tersebut) pasti juga memiliki asal.

Doktrin penciptaan di atas kemudian diterapkan pada prin-sip kausalitas untuk eksistensi semua makhluk yang diciptakan. Posisi al-GhazÉlÊ jelas, yakni tidak ada hal yang diciptakan ter-jadi melalui yang lain (ciptaan). Semua peristiwa temporal terjadi melalui kuasa Tuhan, Yang Mahatinggi. 100 Al-GhazÉlÊ mengubah istilah sebab dalam pengertian kalangan falāsifah dengan istilah “pelaku” atau perantara. Argumen untuk membuktikan kekuasaan Tuhan sebagai pelaku ditulis sebagai berikut:

Setiap perbuatan yang dirancang dengan baik berasal dari pelaku yang kuat. Dunia adalah perbuatan yang diran-cang dan tertata dengan baik, oleh karena itu dunia berasal dari pelaku yang kuat. 101

Argumen di atas valid secara logis namun tidak menjelaskan premis pertama tentang desain dunia. Al-GhazÉlÊ tampaknya ti-dak merasa perlu menjelaskan lebih lanjut disebabkan keyakin-annya bahwa premis semacam itu “bisa dipahami dengan akal (Íiss) dan dengan pengamatan (mushÉhadah) dan karenanya tidak mungkin disangkal”102, dan ia menganggap jenis pengeta-huan ini terbukti sendiri (ÌarËrat al-‘aql). Al-GhazÉlÊ lebih suka menganggap Tuhan sebagai pelaku yang kuat ketimbang sebagai Sebab Pertama dalam pengertian falāsifah karena yang mereka maksudkan de ngan Tuhan-sebagai-sebab adalah perbuatan-Nya terjadi berdasarkan esensi-Nya. Jika demikian halnya, maka per-buatan tersebut akan sama-sama abadi dengan esensi; atau jika

99 Michael E. Marmura mempunyai kesimpulan yang sama; lihat Marmura, “The Logical Role of The Argument from Time in the Tahafut’s Second Proof for the World’s Pre-eternity”, Muslim World, 49 (1959), hlm. 306.

100 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 90.101 Ibid, hlm. 75. 102 Ibid.

Page 145: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

130

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Tuhan berbuat melalui esensi-Nya, maka esensi-Nya meniscaya-kan perbuatan-Nya, yang tidak mungkin tidak terjadi. Dia, de-ngan demikian, seakan terpaksa berbuat; Dia tidak punya pilihan dan tidak memiliki kehendak ataupun kekuasaan. Padahal, yang benar—menurut al-GhazÉlÊ—perbuatan-Nya terjadi dari sebuah makna tambahan pada esensi, yang disebut sifat kekuasaan (qud-rah). 103

Argumen al-GhazÉlÊ tersebut berangkat dari pandangan Ash‘arÊyah. Bagi Ash‘arÊyah, Tuhan merupakan pelaku dan bukan sebab. Pelaku adalah istilah yang bisa diterapkan untuk Ada (being) yang hidup, berkehendak, dan mengetahui. Ini bu-kan Pelaku yang berbuat atau mencipta karena kewajiban, bu-kan karena “hakikat zat-Nya” (bi al-Ïab‘). 104 Konsep “pelaku” yang merupakan dasar dari pembuktian Ash‘arÊyah bagi wujud Tuhan105 ini dapat ditemukan dalam buku al-BÉqillÉnÊ, TamhÊd: dunia tentu tidak langgeng dan memiliki pencipta; pencipta ter-sebut tentu pelaku hidup, berkehendak, dan mengetahui. Lewat argumen yang panjang, dengan antusias al-BÉqillÉnÊ menegaskan bahwa Tuhan tidak berbuat karena kewajiban dalam sifat-Nya. 106 Al-GhazÉlÊ, dalam QawÉ‘d al-‘AqÉid, menggunakan bukti serupa tentang penciptaan ex nihilo (dari ketiadaan) dan tentang wujud Tuhan. 107

Dalam Tahafut, al-GhazÉlÊ menyediakan lebih banyak tempat untuk membahas masalah itu sekaligus mempertahankan penda-pat bahwa istilah “Pelaku” (al-fÉ‘il) mengharuskan adanya ga-gasan tentang kehendak dan pengetahuan tentang sesuatu yang

103 Ibid, hlm. 76.104 Perspektif ini bukan hanya diarahkan menentang kalangan falāsifah, me-

lainkan juga Mu’tazilah. Lihat Ibn ×azm, Kitab al-FiÎal Jilid 3 (dari 5 jilid), hlm. 55 dan 58.

105 Al-Ash’arÊ, Kitab al-Luma’, diterjemahkan dan diedit oleh Richard J. Mc-Carthy (Beirut: Imprimerie Catholique, 1953), teks Arab, hlm. 6-7; terje-mahan bahasa Inggris hlm. 6-8.

106 Al-BÉqillÉnÊ, KitÉb TamhÊd al-AwÉ’il wa TalkhÊÎ al-DalÉil, ‘ImÉd al-DÊn AÍmad ×aydar (ed.), (Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-ThaqÉfiyyah, 1407 H/1987 M), hlm. 44, 47-48, dan 52-56.

107 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 181-182.

Page 146: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

131

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dihendaki. Contoh sederhana yang diberikan al-GhazÉlÊ adalah jika seseorang melemparkan orang lain ke dalam api dan kemu-dian meninggal, maka dikatakan bahwa yang pertama (orang itu) adalah sebab pelaku dari pembunuhan tersebut, dan bukan api, karena yang pertama memiliki kehendak dan pengetahuan adalah orang. Oleh karena itu, istilah “pelaku” hanya berlaku bagi makh-luk bernyawa. Dalam hal ini, Tuhan tidak dapat dideskripsikan serupa dengan makhluk yang tak bernyawa mengingat Dia selalu berbuat dengan kehendak.

Dengan menempatkan Tuhan sebagai pelaku penciptaan, al-GhazÉlÊ tidak memiliki masalah dalam membuktikan adanya dunia di suatu waktu tertentu. Hal ini karena kekuasaan dan Tu-han akan memainkan peran penting dalam proses penciptaan. Al-GhazÉlÊ berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan melekat pada kehendak Tuhan. Baginya, setiap objek kekuasaan pada saat yang sama merupakan objek kehendak (nurÉd) sehingga segala sesuatu yang ada dalam waktu adalah objek kehendak (kullu hÉdith mu-rÉd). Tampaknya al-GhazÉlÊ membedakan kekuasaan Tuhan dan kehendak Tuhan namun keduanya berjalan bersama ketika berada di perhubungan hal-hal yang ada dalam waktu (ÍawÉdith).

Akan tetapi, pandangan al-GhazÉlÊ tersebut ditolak Ayn al-QuÌÉÍ al-HamdÉnÊ, yang berpendapat bahwa tidak ada perbe-daan antara qudrah dan irÉdah. 108 Sebenarnya al-GhazÉlÊ tidak sepenuhnya salah karena jika merujuk pada al-Quran surat YÉsÊn (36) ayat 82 (“Sesungguhnya ketika Dia menghendaki sesuatu, perintah-Nya adalah Jadilah maka jadilah”). Di sini kita melihat bahwa kehendak mendahului kekuasaan. Bagi al-GhazÉlÊ, ayat ini menyampaikan gagasan tentang kekuasaan tertinggi. Dalam konsep al-GhazÉlÊ, keberadaan dunia dalam waktu tertentu dapat dibuktikan atas dasar seperti kemelekatan kekuasaan-kehendak; artinya, kekuasaan Tuhan tidak terbedakan dari kehendak Tuhan

108 Untuk pernyataan ‘Ayn al-QuÌÉÍ, lihat Omar Jah, Zubdah al-×aqÉ’iq, ter-jemahan dengan anotasi dari teks Arab ke Inggris (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000), hlm. 13; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, QawÉ‘id al-‘AqÉid, terje-mahan bahasa Inggris, hlm. 45.

Page 147: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

132

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

namun melekat padanya, dan semua peristiwa temporal terjadi karena kuasa Tuhan, sedangkan waktu terjadinya dipilih dan dite-tapkan oleh kehendak Tuhan.

Selain itu, al-GhazÉlÊ menegaskan, sifat khusus Tuhan (khuÎËÎ al-ÎifÉt) memiliki akibat tertentu yang terwujud dalam dunia dalam bentuk ukuran-ukuran khusus (miqdÉr makhÎËÎ) dan situasi-situasi tertentu. Dunia, seperti yang kita alami ini, pada kenyataannya “ditentukan”, oleh karena itu tentu ada sesuatu yang menentukan eksistensi dan non-eksistensinya, dan penentu tersebut adalah apa yang disebut kehendak. Prinsip yang ditawar-kan oleh al-GhazÉlÊ terkait poin ini adalah kehendak berada da-lam perhubungan dengan semua peristiwa temporal, dan setiap peristiwa temporal (ÍÉdithÉt) diciptakan oleh kuasa Tuhan (kullu ÍÉdith fa mukhtara‘ bi qudratihi), serta segala sesuatu yang di-ciptakan oleh kekuasaan Tuhan membutuhkan kehendak Tuhan (kullu mukhtara‘ bi al-Qudrah muÍtÉj ilÉ irÉdatin).

Dalam konteks terjadinya dunia, al-GhazÉlÊ menjelaskan sebagai berikut: Dunia muncul pada waktu kehendak-abadi ter-hubung dengan kemunculannya itu waktu itu, dan ketika dunia itu muncul tidak ada satu kehendak baru atau perubahan dalam kehendak-abadi. Prinsip ini didasarkan pada konsep tujuh sifat penting dengan Tuhan tidak berkehendak dalam esensi-Nya, namun berkehendak berdasarkan sebuah iradat-Nya. Jadi, ke-hendak Tuhan itu sendiri penentu karena ia menandainya dengan sebuah kalimat “apa yang Dia kehendaki terjadilah dan apa tidak Dia kehendaki tidak terjadi.”109

Akan tetapi, karena kehendak Tuhan melekat pada kekuasa-an, maka kehendak-Nya juga terkait dengan pengetahuan. Dalam QawÉ‘id al-‘AqÉ’id, al-GhazÉlÊ menggambarkan Tuhan sebagai Wujud yang menciptakan, mengatur, dan mengetahui segala se-suatu. Segala sesuatu diciptakan dengan ukuran. Alam semesta dibuat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Penulis Tunggal dalam skema tunggal. Jadi, segala sesuatu berjalan bersama-sama

109 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 108.

Page 148: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

133

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sesuai dengan ukuran, dan memiliki tempat dan tingkat penting-nya sebagaimana yang ditentukan Tuhan. Dia mengawasi semua, dan Dia lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya. Tu-han memberi ganjaran setiap orang sesuai bagiannya. Meskipun kuasa Tuhan tidak terbatas dan mutlak, Dia tidak akan pernah melanggar apa pun dalam skema pergerakan alam semesta. 110 Penggambaran ini tidak menyimpang terlalu jauh dari konsep kausalitas dalam al-Quran yang telah diuraikan dalam Bab Satu, dan akan dibuktikan secara terperinci dalam Bab Empat, terutama dalam konsep tentang partikularisasi (takhÎÊs).

Jadi, jelaslah dari argumen di atas bahwa argumen al-GhazÉlÊ tentang penciptaan menguatkan konsep Tuhan yang memiliki ke-kuasaan mencipta dan satu-satunya pencipta dunia. Karena kata ciptaan menyiratkan perbuatan mencipta, maka konsep Tuhan yang hidup tidak dapat digambarkan sebagai pelaku semata, te-tapi sebagai pelaku yang berkuasa. Tentu saja seluruh argumen tentang penciptaan ini secara diametral bertentangan dengan ar-gumen para filsuf pendukung konsep emanasi. 111 Konsep mereka tentang emanasi, yang diadopsi dari teori Plotinus, menganggap dunia sebagai pancaran niscaya dari wujud Tuhan (seperti cahaya matahari) sehingga tidak memiliki kehendak, kekuasaan, dan pengetahuan. Oleh karena itu, — menurut al-GhazÉlÊ— bukan kebetulan bila teori emanasi itu paralel dengan penolakan mereka terhadap sifat Tuhan. Penolakan terhadap sifat Tuhan muncul ka-rena penekanan mereka yang berlebihan pada keesaan Tuhan yang abstrak dan kesempurnaan-Nya yang absolut. Dengan demikian, dalil al-GhazÉlÊ itu jelas membenarkan keunggulan kehendak Tu-han dalam seluruh proses asal mula dunia, sedangkan kalangan falāsifah membela kesatuan esensi Tuhan secara mutlak hingga mereka melarang gagasan apa pun yang dapat dimaknai sebagai

110 Al-GhazÉlÊ, “Qawa’id al-’Aqa’id fi al-TawhÊd”, dalam al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-GhazÉlÊ Jilid 4, (Kairo: MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ, Maktabah al-JundÊ, 1972), hlm. 149-150.

111 Untuk diskusi yang baik tentang perbedaan ini, lihat M. Saeed Sheikh, “Al-GhazÉlÊ Metaphysics” dalam M.M. Sharif, History of Muslim Phi-losophy, hlm. 601-608.

Page 149: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

134

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

perbuatan penciptaan. Mereka membenarkan “necessitarianism” Aristoteles dan doktrin emanasi Plotinus dan karenanya memper-tahankan doktrin keabadian dunia. Sebaliknya, al-GhazÉlÊ mem-pertahankan konsep kekuasaan penciptaan Tuhan yang menjadi tumpuan bagi konsep penciptaan dunia. Jadi, teori kausalitas al-GhazÉlÊ yang terkenal itu pada dasarnya adalah konsekuensi yang niscaya dari konsep ini, yang sudah barang tentu bertentangan dengan doktrin kepastian sebab-akibat kalangan falāsifah.

Sistem Kosmos

Diskusi kosmologis al-GhazÉlÊ yang pertama tampaknya ter-dapat dalam IÍyÉ’, namun penjelasan yang rinci, eksplisit dan mudah dipahami dapat ditemukan dalam MishkÉt al-AnwÉr dan MaqÎad al-AsnÉ. Dibandingkan pendahulunya, kosmologi al-GhazÉlÊ lebih teoretis dan berkenaan dengan mata rantai wujud (beings) yang tersusun dan dihubungkan dengan pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan abadi Tuhan. Dalam MaqÎad, misal-nya, ia menyematkan hampir semua Asmā’ al-Ḥusnā kepada perbuatan-Nya dan hubungan-Nya dengan makhluk-Nya. Se-cara umum, kosmologinya menunjukkan integrasi kosmologi Is-lam dan psikologi yang menunjukkan kewajiban manusia untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan dengan penyempurnaan diri melalui pengamalan Islam yang tulus. Di sini kita akan membe-dah penjelasan al-GhazÉlÊ tentang tiga dunia yang berbeda dalam sistem kosmosnya.

Kajian pendahuluan tentang kosmologi al-GhazÉlÊ telah dila-kukan beberapa penulis modern,112 tetapi upaya mereka tampak sekali meragukan keaslian ide al-GhazÉlÊ. 113 Penggambaran kos-

112 Hava Lazarus Yafeh, Studies in al-Ghazālī , (Jerussalem: The Magnes Press, The Hebrew University, 1975); Wensinck, “Al-GhazÉlÊ’s MishkÉt al-AnwÉr”, dalam Semietische Studien: Uit de Nalatenschap, (Leiden: A.W. Sjthoff’s Uitgeversmaatschappij N.V., 1941); Kojiro Nakamura, “Al-GhazÉlÊ’s Cosmology Reconsiderd”, Studia Islamica No. 80 (1994).

113 Hava Lazarus Yafeh mengaitkan hubungan antara dua dunia dalam kos-mologi GhazÉlÊ dengan dunia Plato, Studies, hlm. 504; Wensinck mem-bandingkan bagian-bagian dari Mishkat dengan bagian-bagian dari En-neads Plotinus dan karya-karya pemikir Yunani, Kristen, Yahudi lainnya

Page 150: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

135

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

mologi dalam hubungannya dengan psikologi atau kecerdasan manusia telah dilakukan oleh al-FÉrÉbÊ, Ibn SÊnÉ, dan Ibn Rushd (1126-1198 M), tatkala mereka berusaha mengintegrasikan intelek aktif dan potensi intelektual manusia ke dalam skema kosmos yang lebih besar. 114 Perbedaan mencolok mereka dari kosmologi al-GhazÉlÊ terletak pada prinsip keesaan Tuhan (tauhid). Dalam pengantarnya untuk MishkÉt David Buchman menyimpulkan:

“Al-GhazÉlÊ menyampaikan sebuah worldview—cara memaknai realitas dengan menyajikan suatu kosmologi dan psikologi yang saling terkait—yang seorang Muslim bijak-sana bisa menjelaskan apa itu alam semesta dan apa artinya menjadi manusia dalam suatu cara pandang yang selaras dengan al-Quran dan hadis.”115

Kalimat “selaras dengan al-Quran dan hadis” dapat dipahami bahwa al-GhazÉlÊ tidak menganut teori emanasi, gagasan Neo-Platonisme terkait prinsip tauhid. Sistem kosmos dalam kosmo-logi al-GhazÉlÊ merujuk pada pemaparannya tentang tiga dunia yang menentukan “kosmos”. Mereka direpresentasikan oleh tiga rangkaian alam semesta Islam: alam yang tampak (‘Élam al-mulk), alam kedaulatan (‘Élam al-malakËt), dan alam kekuasaan (‘Élam al-jabarËt). Dalam upaya menggabungkan struktur kos-mologi alam semesta dengan aspek psikologi manusia al-GhazÉlÊ mencoba untuk mengartikan mirip dengan alam pikiran manu-sia. Yang pertama diartikan sebagai alam yang lahiriah bagian yang bisa diindra; yang kedua dipahami sebagai alam batin dalam intelek (al-bÉÏin fÊ al-‘uqËl) seperti spirit (rËÍ), kekuasaan (qud-rah), kehendak (iradah), dan sejenisnya; ketiga, dipandang seba-

seperti Philo, Stephen bar Sudaile, Issac of Nineveh, Bar Hebraeus, dan Goethe dari perspektif kesamaan pemahaman mereka terhadap pemikiran Neo-Platonisme. Lihat Wensinck, “Al-GhazÉlÊ’s MishkÉt al-AnwÉr”, 192-212; Nakamura juga berasumsi bahwa dunia malakËt dalam kosmologi al-GhazÉlÊ sangat dekat dengan dunia idea Plato. Lihat, Nakamura, “GhazÉ-lÊ’s Cosmology”, hlm. 34.

114 Lihat Herbert A. Davidson, Al-FÉrÉbÊ, Avicenna and Averroes, On Intel-lect, Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect and Theories of Human Intellect, (Oxford: Oxford University Press, 1992).

115 Al-GhazÉlÊ, The Niche of the Light; Mishkat al-Anwar, terjemahan oleh D. Buchman; lihat pendahuluan penerjemah, hlm. xxxiv-xxxv.

Page 151: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

136

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

gai alam antara yang sebagian dimiliki keduanya, sama dengan persepsi (idrÉkÉt) yang dihasilkan oleh indra dan kemampuan-kemampuan organ tubuh. 116

Dasar dari hal ini adalah sabda Nabi: “Tuhan menciptakan Adam menurut citra-Nya” (inna AllÉh khalaqa Ódam ‘alÉ ÎËra-tihÊ). Ini berarti, seperti penafsiran al-GhazÉlÊ, Adam diciptakan menyerupai bentuk makrokosmos (al-‘Élam al-akbar) yang ber-wujud minor.117 Dengan kata lain, manusia adalah mikrokosmos yang merepresentasikan makrokosmos atau alam semesta. Ba-rangkali inilah alasan jelas mengapa penggambaran al-GhazÉlÊ tentang sistem kosmos berhubungan dengan psikologi manusia.

Berikutnya akan digambarkan definisi dan makna dari tiga tingkat kosmos: al-mulk, malakËt dan al-jabarËt, serta hubungan ketiganya.

Dunia yang pertama adalah alam al-mulk, yang terendah di antara ketiganya. Kadang-kadang disebut ‘Élam al-khalq (dunia yang diciptakan) atau ‘Élam al-Íiss (dunia indrawi). Bagi al-GhazÉlÊ, al-mulk merupakan dunia material yang terlihat mata fisik (baÎar) dan biasanya disebut ‘Élam al-mulk wa al-shahÉdah (dunia kekuasaan persepsi), yang menunjukkan dunia fenomena yang dapat dipahami indra, terus berubah dan berakhir tanpa ba-tas, serta tidak memiliki eksistensi nyata.

Dunia kedua yang sejajar dengan dunia mulk adalah dunia misteri atau dunia ruh dan malaikat yang suci yang disebut ‘Élam al-malakËt. Karena hanya diketahui oleh mata batin dan ruhani (baÎÊrah), ia juga disebut ‘Élam al-ghayb wa al-malakËt (alam gaib dan kedaulatan), dan juga ‘Élam al-’amr (al-’amr di sini bukan berarti perintah sebagaimana biasa dipahami). Ini adalah dunia ruh keabadian yang luhur yang tidak pernah berubah dan memiliki eksistensi sejati.

116 Al-GhazÉlÊ, al-ImlÉ’ ‘an IshkÉlÉt al-Ihya’, dalam IÍyÉ Jilid 5, A.A. Sir-wÉn (ed.), hlm. 41-42; istilah jabarËt tidak ditemukan dalam al-Quran, meskipun derivasi bentuknya al-jabbÉr muncul dalam al-Quran surat al-×ashr (59) ayat 23.

117 Al-GhazÉlÊ, al-ImlÉ’, hlm. 41-42.

Page 152: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

137

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Perbedaan antara ‘Élam al-khalq dan ‘Élam al-’amr bukanlah bermakna yang pertama merepresentasikan dunia yang fisik dan terlihat, sedangkan yang kedua merupakan dunia spiritual dan tak terlihat karena masing-masing merepresentasikan dimensi berbe-da. Yang pertama adalah dunia kuantitas (kammiyah) dan ukuran (miqdÉr), yang merupakan objek estimasi (taqdÊr); adapun yang kedua, dunia yang melampaui kuantitas dan ukuran. 118 Perbedaan ini berasal dari ayat-ayat al-Quran:

يسألونك عن الروح قل الروح من أمر ر 119ألا الخلق و الأمر 120

Berbeda dengan arti penafsiran yang biasa bahwa ia adalah sesuatu (shay’) atau perintah yang merupakan kebalikan dari la-rangan (nahy), kata-kata ’amr dalam ayat di atas ditafsirkan oleh al-GhazÉlÊ sebagai sesuatu yang diciptakan, meski non-jasmani dan tidak berubah. Demikian pula kata khalq tidak diartikan se-bagai “penciptaan”, tapi sebagai estimasi (taqdÊr). 121 Dengan kata lain, dunia khalq adalah dunia ukuran (misÉÍaÍ), objek estimasi (miqdÉr), dan modalitas (kayfiyyah), sedangkan dunia ’amr ti-dak memiliki batas atau estimasi, dan tak terbagi (lÉ yaqbal al-qismah). 122 Jelaslah bahwa al-GhazÉlÊ menyamakan dunia ’amr dengan dunia malakËt.

Untuk memperoleh pemahaman jelas tentang dunia ini (yaitu ‘Élam al-’amr atau Élam al-malakËt), al-GhazÉlÊ mengungkap-kan bahwa ranah ini termasuk alam al-lawÍ al-maÍfËÐ yang men-catat semua takdir Tuhan dari awal dunia hingga akhirat—yang

118 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 370-371.119 Al-Quran, surat al-IsrÉ’ (17) ayat 85.120 Al-Quran, surat al-A‘rÉf (7) ayat 54.121 Bandingan dengan al-GhazÉlÊ, Arba‘Ên, hlm. 53-54; lihat juga al-GhazÉlÊ,

Kimya’ al-Sa’adah, dalam MajmË‘at al-RasÉ’il al-ImÉm Al-GhazÉlÊ, AÍ-mad Shams al-DÊn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1988), hlm. 135; bandingkan dengan D.B. MacDonald, “The Development of the Idea of Spirit in Islam”, Acta Orientalia, IX (1931), hlm. 307-351.

122 Al-GhazÉlÊ, Kimya’ al-Sa’adah, Shams al-DÊn (ed.), hlm. 126.

Page 153: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

138

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

juga disebut imÉm mubÊn (catatan yang jelas)—sebagaimana di-gunakan al-GhazÉlÊ. Termasuk juga mencakup dunia kenabian (nubuwwah) dan wahyu (waÍy) yang melampaui akal (‘aql) dan imajinasi (khayÉl). 123 Dalam pengertian ‘aql, ‘Élam al-malakËt masuk pada dunia “supra-rasional” yang melampaui kognisi ma-nusia rasional, seperti esensi dan sifat Tuhan. Pengertian khayÉl semacam fenomena supra-alamiah, yang artinya setelah diketa-hui dan terungkap ia menjadi alami, tetapi asal-usulnya supra-alamiah dan di luar jangkauan akal.

Dalam al-Munqidh, al-GhazÉlÊ jelas menyatakan bahwa me-reka yang tetap tinggal di tahap nalar tidak akan percaya pada wujud ‘Élam al-malakËt. 124 Posisi dunia ini seperti tahap nalar dari persepsi indra. Bila tahap nalar melampaui persepsi indra, maka tahap ‘Élam al-malakËt melampaui tahap nalar. Namun, dalam MishkÉt, dengan ungkapan berbeda, al-GhazÉlÊ menyebut dua dunia itu sebagai pasangan. Dua dunia itu dibedakan antara tubuh dan spiritual, indrawi dan rasional, superior dan inferior (‘ulwÊ dan suflÊ), atau alam kekuasaan dan persepsi indra (‘Élam al-mulk wa al-shahÉdah) serta alam gaib dan kedaulatan (‘Élam al-ghayb wa al-malakËt)”.125 Dalam IÍyÉ’, ia menyatakan bahwa perbedaan antara mulk dan malakËt adalah seperti perbandingan antara tangan, wajah, dan mata manusia dengan milik Tuhan. Di

123 Ada poin menarik yang layak dicatat di sini bahwa korespondensi alam al-mulk dan al-malakËt bisa berkembang menjadi sebuah pendekatan kos-mologis pada teks suci al-Quran, yang merupakan sebuah kitab linguistik. Dalam pendekatan ini yang metaforis harus berkorespondensi dengan cara alegoris dan dengan beragam hal yang bisa dinalar dalam alam malakËt. Namun, ini tidak berarti bahwa makna harfiah al-Quran bisa diabaikan se-bagai semata-mata metafora atau pernyataan simbolis, yang tidak mempu-nyai kekuatan atau otoritas. Al-GhazÉlÊ konsisten dalam memegang penda-pat tentang integrasi makna harfiah dengan makna esoteris, batin. Seperti halnya ibadah, pelaksanaan hal-hal yang wajib atau bentuk ibadah lahir tidak bisa dihilangkan demi dimensi batin, esoterisnya. Dalam JawÉhir ia bahkan menghubungkan pencarian makna sejati al-Quran (al-ta’wÊl) de-ngan pengungkapan makna sejatinya (al-ta’bÊr). Lihat al-GhazÉlÊ, JawÉhir al-Qur’Én, (BeirËt: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 31-44. Lazarus Yafeh juga mencatat poin ini (lihat Lazarus Yafeh, Studies, hlm. 508).

124 Al-GhazÉlÊ, al-Munqidh, hlm. 140, 145-146.125 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, terjemahan David Buchman, hlm. 25-26.

Page 154: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

139

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kitab yang sama, al-GhazÉlÊ memperkenalkan perbedaan paling jelas: mulk merepresentasikan dunya, sedangkan malakËt me-lambangkan akhirah. Ia kemudian mendeskripsikan mulk se-perti halnya kita sedang berada dalam keadaan tidur dan sesuatu yang dilihat sama dengan mimpi. Ia mendasarkan ini pada sabda Nabi: “Orang-orang tidur (dalam kehidupan ini) dan terbangun ketika mereka mati.”126 Tentunya ini bukan berarti bahwa realitas malakËt tidak dapat diketahui selama hidup di dunia. Untuk itu-lah al-GhazÉlÊ menggambarkan dunia mulk sebagai simbol alam malakËt.

Al-GhazÉlÊ menjelaskan pula bahwa dunia mulk laksana cer-min tempat alam malakËt dipantulkan. Karena cermin itu pan-tulan dari objek nyata, maka alam mulk adalah tiruan dari alam malakËt. Pada tataran wujud (being), dunia mulk (sebagai objek dalam cermin) memantul atau menjadi akibat dari objek yang nya-ta, yakni dunia malakËt. Akan tetapi, pada tataran empiris ketika seseorang ingin melihatnya, dunia mulk tampak terlebih dahulu atau sebelum dunia malakËt. Dari sini manusia harus mengam-bil pelajaran (‘ibrah) dari dunia mulk dan melangkah ke dunia malakËt.127 Hal ini karena semua peristiwa di dunia ini adalah simbol (mithÉl) dunia malakËt.128 Bahkan tidak ada satu pun di dunia ini yang bukan simbol sesuatu di dunia lain. Bisa jadi satu hal dalam dunia malakËt menjadi sebuah simbol untuk banyak hal. Satu hal dunia malakËt memiliki banyak simbol dalam dunia shahÉdah. 129 Dengan nada yang hampir sama, al-GhazÉlÊ dalam al-JawÉhir al-Qur’Én menyatakan pula:

Dalam alam al-mulk wa al-shahÉdah tidak ada satu pun yang bukan simbol (mithÉl) dari sesuatu yang spiritual dalam alam al-malakËt, seolah-olah ia adalah seperti spirit dan mak-na. Bentuknya (ÎËratihÊ) dan cetakannya (qÉlibihÊ) bukanlah sesuatu itu sendiri, karena simbol yang bersifat fisik dari du-

126 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 245.127 Ibid, hlm. 99-100.128 Al-GhazÉlÊ, JawÉhir, hlm. 38-39.129 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, hlm. 26.

Page 155: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

140

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

nia persepsi panca indra (al-shahÉdah) merupakan perwujud-an makna spiritual dari dunia yang lain.130

Oleh karena itu, setiap hal dalam dunia penciptaan dan ke-rusakan terdapat sejenis hubungan atau kemiripan dengan sesuatu yang berada di alam malakËt, dan ini melalui metafora, kesamaan atau implikasi. Jadi, pada tataran materi, alam mulk adalah sejenis gambar materi yang meniru tataran spiritual, di mana substantif sesuatu itu benar-benar berada. Di sini kita dapat memahami se-cara jelas bahwa al-GhazÉlÊ melihat hubungan antara realitas di alam indrawi (sensible world) dengan kenyataan di alam ‘aqli (intelligible world). Dalam MishkÉt, ia bahkan menganggap alam mulk sebagai tangga menuju alam malakËt agar manusia dapat melintasi jalan naik secara bertahap menuju tingkat rasional.131

Karena ini adalah simbol dunia malakËt, maka al-GhazÉlÊ menganggap dunia mulk atau “dunia nyata”—baik dalam struk-tur ada ataupun eksistensi—tidak memiliki eksistensi yang nyata (wujËd ÍaqÊqÊ), dan bahkan dianggap sebagai “ketiadaan murni” (‘adam maÍÌ).132 Ia menganggapnya seperti bayangan tubuh.133 Dari perspektif epistemologis, mereka yang menganggap dunia mulk sebagai realitas akhir dan mutlak sebenarnya tertipu oleh bentuk dan sosok lahiriah. Al-GhazÉlÊ menyebutnya dunia pal-su dan khayalan (‘Élam al-zËr wa al-ghurËr) atau dunia tipuan (‘Élam al-talbÊs). 134 Sebagai mathal atau metafora yang memberi makna pada bentuk lahiriah, dunia mulk itu menipu bila dilihat dalam bentuk lahiriah namun benar bila dilihat dalam makna ba-tiniah. 135

Dunia ketiga, ‘Élam al-jabarËt (dunia kekuasaan Tuhan) merupakan dunia pertengahan ‘Élam al-khalq dan ‘Élam malakËt.

130 Al-GhazÉlÊ, JawÉhir, hlm. 34.131 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, terjemahan David Buchman, hlm. 26.132 Ibid, hlm. 58. 133 Al-GhazÉlÊ, al-Arba‘Ên, hlm. 53-54. 134 Ibid, hlm. 56 dan 74; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, A.A.

SirwÉn (ed.), hlm. 39. 135 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 23-24.

Page 156: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

141

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Istilah jabarËt tidak disebutkan dalam al-Quran, namun sebagian ulama biasanya menggunakannya berdampingan dengan istilah al-malakËt. Adalah AbË ÙÉlib al-MakkÊ yang menggunakannya menyatu dengan istilah al-malakËt. 136 Pemakaian yang sama isti-lah tersebut muncul dalam tulisan para filsuf, terutama al-FÉrÉbÊ, Ibn SÊnÉ, dan IkhwÉn al-ØafÉ. Sangat mungkin al-GhazÉlÊ belajar menggunakan istilah ini dari AbË ÙÉlib al-MakkÊ, meskipun al-MakkÊ menggunakannya dengan cara yang berbeda dari al-Gha-zÉlÊ. Nyaris tak masuk akal andaikata al-GhazÉlÊ mengambil ide-nya dari para filsuf. Sebab, seperti disimpulkan oleh Wensinck, para filsuf menggunakan istilah malakËt atau jabarËt dalam pengertian “Intelek Aktif” (al-‘aql al-fa‘‘Él) dalam skema ema-nasi Neo-Platonisme137 yang justru ditentang keras al-GhazÉlÊ.

Penjelasan al-GhazÉlÊ tentang alam al-jabarËt tidaklah seru-mit penjelasannya tentang dunia mulk dan malakËt. Penjelasan-nya tentang dunia al-jabarËt lebih mengacu pada psikologi ma-nusia ketimbang realitas di luar dirinya. Berkenaan dengan reali-tas yang dapat dirasakan, kita memahami bahwa alam al-jabarËt itu alam perantara alam al-mulk dan alam al-malakËt. Al-GhazÉlÊ mendefinisikan dunia al-jabarËt setidaknya dalam tiga cara yang berbeda:

“....al-jabarËt ada di antara dua dunia (mulk dan malakËt). Ia secara lahiriah masuk dalam dunia mulk, tetapi ia tergabung dalam dunia malakËt dengan kekuasaan abadi (Tuhan).” 138

“Dunia jabarËt adalah dunia antara yang sebagiannya dimiliki masing-masing (al-mulk dan al-malakËt). Jadi, ma-nusia terbagi dalam pembagian yang sama: Serupa dengan dunia mulk adalah bagian-bagian yang indrawi, yang su-

136 AbË ÙÉlib al-MakkÊ mendefinisikannya sebagai dunia sublimitas (al-Élam al-‘aÌamah), artinya dunia nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dikutip oleh al-JurjÉnÊ, al-Ta‘rÊfÉt, hlm. 88.

137 Lihat A.J. Wensick, “On the Relation between Al-GhazÉlÊ’s Cosmology and His Mysticism”, Mededeelingen der Koninkiljke Akademie van Weten-schappen, Afdeeling Letterkunde, Ser, A, LXXXV (1933), hlm. 183-209.

138 Al-GhazÉlÊ, al-ImlÉ’, hlm. 41; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), “Kitab al-TawÍÊd wa al-Tawakkul”, hlm. 234.

Page 157: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

142

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dah engkau ketahui. Serupa dengan dunia malakËt adalah bagian-bagian seperti spirit (rËÍ), intelek (‘aql), kekuasaan (qudrah), kehendak (iradah) dan sejenisnya. Adapun dunia jabarËt serupa dengan persepsi (idrÉkÉt) yang dihasilkan oleh indra dan kemampuan-kemampuan (quwÉ) dalam or-gan tubuh.”139

“Ia (dunia jabarËt) merupakan bagian dari kekuasaan (qudrah), yang dihasilkan untuk intelek (‘aql) dan pengeta-huan (‘ilm) dalam diri manusia, dan yang ada di dalam ke-mampuan estimasi (al-quwwah al-wahmiyyah) yang merasa-kan yang satu (the one) yang wujudnya tidak memerlukan tubuh, meskipun bisa jadi ia ada dalam tubuh, sebagaimana anak domba merasakan permusuhan serigala dan cinta kasih sang induk domba sehingga ia tertarik pada cinta dan men-jauhi permusuhan.” 140

Ketiga kutipan tersebut cukup menjelaskan makna dasar du-nia jabarËt. Poin yang jelas bisa dipahami adalah bahwa lokus dunia jabarËt berada di tengah-tengah dunia mulk dan malakËt. Ia tampak sebagai alam mulk, tetapi terkait dengan alam malakËt kekuasaan Tuhan.

Sekarang mari kita kaji definisi di atas dalam kaitannya de-ngan konsep kekuasaan Tuhan. Untuk tujuan ini kita akan meng-hubungkan tiga bagian kalimat di atas dengan bagian dalam IÍyÉ’ yang menggambarkan empat tahapan kendali Tuhan atas perilaku manusia. Al-GhazÉlÊ menggunakan perumpamaan seekor semut yang bertanya mengenai sebab di balik kertas yang menghitam, yang akhirnya sampai pada Penguasa Agung dan Perkasa (al-Malik al-JabbÉr al-wÉÍid al-QÉhir).141 Dalam bagian ini, sebab suatu peristiwa dijelaskan dalam rangkaian yang berkelanjutan dan berakhir pada Tuhan. Seluruh rangkaian ini dapat diringkas menjadi empat tahap: (1) aspek yang terlihat dari perilaku manu-sia; (2) aspek yang tak terlihat dalam perilaku manusia; (3) aspek

139 Al-GhazÉlÊ, al-ImlÉ’, hlm. 42.140 Ibid, hlm. 40. 141 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 243-246; al-GhazÉlÊ,

Arba‘Ên, hlm. 241-242.

Page 158: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

143

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

yang tak terlihat di luar perilaku manusia; (4) aspek yang terlihat dari Tuhan. 142

Jika kita melihat wacana kalangan kaum sufi sebelum dan sesudah al-GhazÉlÊ, jabarËt dipahami dalam pengertian berbeda-beda. Al-NasafÊ menempatkan jabarËt—yang merupakan wilayah tak tertaklukkan dan dunia in potentia (‘Élam al-quwwah)—di atas mulk dan malakËt. Ia juga mengutip Ibn ‘Arabi yang menyebut-nya “arketipe abadi” (a‘yÉn thÉbitah), dan Sa‘d al-DÊn HammËya yang menyebutnya “hal-hal yang tak berubah”, “esensi” (mÉhiy-yah), “hal yang mungkin” (mumkinÉt) dan universal (kulliyÉt).143 Kaum sufi yang belakangan mendeskripsikan tidak hanya dunia jabarËt tetapi juga wilayah di luar tataran itu. ManÎËr al-HallÉj (w. 309 H), misalnya, mengacu dunia jabarËt sebagai Íaqq (ke-benaran) dan di luar tataran itu sebagai ÍaqÊqah (realitas).144 Be-berapa pengikut Ibn ‘Arabi (w. 638 H) menggambarkan dunia jabarËt sebagai “Kesatuan Inklusif” (wÉÍidiyah) dan di luar tatar-an itu sebagai “Kesatuan Eksklusif” (aÍadiyyah).145 DÉwËd ibn MaÍmËd al-QayÎarÊ (w. 1350 M), sosok murid spiritual langsung Ibn ‘Arabi, menyebut al-jabarËt sebagai alam pertama dari ek-sistensi eksternal, dunia intelek, dan jiwa non-materi, yang meru-pakan dunia realitas spiritual. Ini muncul dalam wujud sebelum dunia malakËt dan mulk. Namun, ia percaya bahwa tiga dunia tersebut termasuk dalam arketipe abadi (al-a‘yÉn al-thÉbitah) pengetahuan Tuhan.146

142 Kojiro Nakamura, “ImÉm Al-GhazÉlÊ’s Cosmology, hlm. 40.143 ‘Abd al-‘AzÊz al-NasafÊ, “ManÉzil al-SÉ’irÊn”, sebagaimana dikutip Llyoy

Ridgeon, dalam Persian Metaphysics and Mysticism, Selected Treatise of ‘AzÊz NasafÊ, (United Kingdom: Curzon Press, 2002), hlm. 32.

144 Lihat L. Massignon, HallÉj: Mystic and Martyr, terjemahan H. Mason (Princeton: Princeton University Press, 1994), hlm. 113.

145 Perbincangan yang bagus tentang penafsiran yang diberikan oleh pengikut Ibn ‘ArabÊ pada tingkat ontologis yang berbeda, lihat Chittick, “The Five Divine Presence,” Muslim World, 72 (1982), hlm. 107-128.

146 QayÎarÊ, “al-TawÍÊd wa al-Nubuwwah wa al-WilÉyah”, seperti dikutip Akiro Matsumoto, “Unity of Ontology and Epistemology in QayÎarÊ’s Philosophy, dalam S. JalÉl al-DÊn al-AstiyÉnÊ, et.al. (ed.), Consciousness and Reality, Studies in Memory of Toshihiko Izutsu, (Tokyo: Iwanami Sho-ten Publisher, 1998), hlm. 377.

Page 159: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

144

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Dunia jabarËt juga ditafsirkan sebagai dunia nama dan si-fat Tuhan (‘Élam al-asmÉ’ wa al-ÎifÉt), 147 dan juga sebagai du-nia antara (al-barzakh) yang dikelilingi oleh berbagai perintah.148 Dalam skema ontologis al-Attas, sebuah Nama Tuhan dapat me-mainkan perannya sebagai perantara antara dua limpahan Ada Yang Absolut atau limpahan dari dunia arketipe abadi (‘Élam al-a‘yÉn thÉbitah) atau Dunia Ide Ilahi, yakni dunia ruh (‘Élam al-arwÉh) bersama dunia indra dan pengalaman indrawi (‘Élam al-shahÉdaÍ). 149

Telah disebutkan sebelumnya bahwa dunia LauÍ al-MaÍfËÐ, semua takdir Tuhan, wahyu, dunia kenabian, dan yang sejenisnya yang menyiratkan arketipe abadi, masuk dalam ‘Élam al-malakËt. Sebagai sumber wujud eksternal ‘Élam al-mulk, ‘Élam al-malakËt bisa juga disebut ‘Élam al-’amr, yang menyiratkan tempat dunia perantara.

Singkatnya, kita dapat menyimpulkan bahwa jabarËt yang merupakan perantara antara mulk dan malakËt adalah dunia ter-jadinya proses pemenuhan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan dalam mewujudkan semua kemungkinan eksistensi yang ada in potentia dalam kesadaran Tuhan, dari puncak tataran ontologis turun ke tingkat ada (being) dan eksistensi terendah, dari univer-sal ke partikular. Medium aktualisasi ini adalah apa yang disebut muÏÉ‘ atau Inteligensi. 150

147 KamÉl al-DÊn ‘Abd al-RazzÉq al-QÉshÉnÊ, IÎÏilÉÍÉt al-ØËfiyyah, M. Ka-mÉl IbrÉhÊm Ja‘far (ed.), (Kairo: al-Hay’ah al-MiÎriyyah al-‘Ómmah li al-Kitab, 1981), hlm. 1 dan 106.

148 Al-JurjÉnÊ, al-Ta‘rÊfÉt, al-×akÊm al-QÉÌÊ (ed.), hlm. 88.149 Untuk rincian lebih jauh tentang ungkapan ini, lihat al-Attas, “Schema

of the Ontological Descent of Absolute Being,” Prolegomena, hlm. 260-262.

150 MuÏÉ‘ (yang dipatuhi) adalah perintah Ilahi yang berperan sebagai peran-tara antara Tuhan dan dunia melalui sifat-sifat kehendak Tuhan atau meng hubungkan cahaya di atas cahaya (nËr al-anwÉr) dengan keseluruh-an eksistensi. Al-GhazÉlÊ tidak mengelaborasi lebih lanjut tentang sifat dan hubungannya dengan Tuhan. Ini bukanlah Tuhan, malaikat, ataupun Intelek Pertama sebagaimana yang dianggap oleh para filsuf Neo-Pla-tonisme. Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, David Buchman (ed.), hlm. 51.

Page 160: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

145

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Jadi, dalam konsep al-GhazÉlÊ, agar mengada secara aktual, alam mulk harus melewati beberapa tahapan eksistensi. Tahap pertama adalah kemunculannya pada “tataran spiritual” sebagai ungkapan kehendak Tuhan. Kemudian melewati tataran yang le-bih rendah, dan bentuknya muncul dalam LauÍ al-MaÍfËÐ atau Lembaran Takdir. Kemudian melalui perantaraan malaikat yang dapat diidentifikasi sebagai Inteligensi atau muÏÉ‘, ia mulai me-miliki “aktualitas”. Dengan demikian, alam mulk yang ada dalam jangkauan indra kita di Bumi dalam bentuk tanaman, pohon, bina-tang dan sejenisnya, adalah ekspresi dari pemikiran dan kehendak Tuhan atau pengetahuan dan sifat Tuhan.151 Semua yang ada atau akan menjadi ada dan semua yang terjadi di alam semesta mun-cul pertama kali di LauÍ al-MaÍfËÐ. Catatan ini seperti cetak biru sebuah rumah dari seorang arsitek. Wujud aktualnya merupakan salinan dari ide dalam cetak biru tersebut. Aktualitas yang ada dalam LauÍ al-MaÍfËÐ dari perspektif manusia dapat berupa fisik (jismÉnÊ) dan karenanya terlihat ataupun spiritual (rËÍÉnÊ) dan karenanya tak terlihat, yang keduanya dapat dirasakan baik oleh intelek atau ruh. Al-GhazÉlÊ menjelaskan hal ini demikian:

Esensi hal-hal (ÍaqÉ’iq al-AshyÉ’) ditulis dalam LauÍ al-MaÍfËÐ, atau dalam hati para malaikat yang didekatkan (ke-pada Tuhan) (al-muqarrabËn). Sebagaimana arsitek meng-gambar pola rumah di kertas, dan membangun rumah sesuai rancangan tersebut, Sang Pencipta langit dan Bumi meng-gambar pola (ÎËrah) di LauÍ al-MaÍfËÐ dan menciptakan du-nia yang sesuai. Dengan demikian, dunia diciptakan sesuai dengan pola (ÎËrah). Dari dunia ini gambar-gambar tampak pada indra (Íiss) dan imajinasi (khayÉl). Jadi, ketika seseorang melihat langit dan Bumi dan menutup mata, gambarnya ada dalam imajinasi seolah-olah ia melihat benda nyata meskipun mereka menghilang. Kemudian gambar tersebut membawa kesan pada hati kemudian esensi hal-hal (ÍaqÉ’iq al-AshyÉ’) yang masuk melalui persepsi pancaindra dan gambar tiba di lubuk hati. Apa yang terjadi di hati sesuai dengan apa yang terjadi dalam imajinasi. Apa yang terjadi dalam imajinasi bersesuaian dengan yang ada di dunia permukaan di luar hati.

151 Al-GhazÉlÊ, KimyÉ’ al-Sa‘Édah, hlm. 34-35.

Page 161: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

146

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Dengan demikian, dunia yang ada disamakan dengan rencana (nuskhah) yang ditulis dalam LauÍ al-MaÍfËÐ. 152

Dari perspektif tersebut, al-GhazÉlÊ memperkenalkan derajat eksistensi (marÉtib al-wujËd) yang dilihat melalui berbagai ke-mampuan persepsi:

1. Eksistensi dalam LauÍ al-MaÍfËÐ, yang disebut “eksistensi yang sejati” (al-wujËd al-ÍaqÊqÊ). LauÍ al-MaÍfËÐ berada dalam dunia malakËt, yang juga merupakan dunia esensi (penentuan atau permaknaan) dan dunia esensi Ilahi (sifat, dan perbuatan Tuhan). Ia juga merupakan dunia pola dan pa-radigma. Eksistensi yang sejati ini merupakan lokus pengeta-huan sejati.

2. Eksistensi pada tingkat realitas fisik atau dapat disebut “ek-sistensi material” (al-wujËd al-jismanÊ). Ini jelas karena ia berasal dari aktualisasi yang ada di dunia malakËt ke dalam dunia mulk.

3. Eksistensi di tingkat imajinasi atau disebut juga “eksisten-si imajinatif” (al-wujËd al-khayÉlÊ). Eksistensi yang sejati, pengetahuan sejati di dunia malakËt, berada di luar jangkauan akal manusia. Manusia merasakan apa yang ditransmisikan dari dunia malakËt ke dunia mulk hanya melalui bahasa dan gambar (khayal) dari dunia mulk. Gambar-gambar (khayal) dari dunia mulk, atau gambar yang bisa diindra dari setiap objek dalam wujud fisik atau dunia fenomena, adalah dunia eksistensi imajinatif.

4. Eksistensi dari keseluruhan wujud di tingkat intelektual dan spiritual, yang disebut “eksistensi akal” (al-wujËd al-‘aqlÊ). 153 Ketika manusia menyerap konsep universal, atau makna dari gambar-gambar indrawi, ia tiba pada eksistensi akal. Proses ini berlangsung dalam hati atau pikiran manusia, dan dengan

152 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 23.153 Ibid, tentang klasifikasi eksistensi (wujud) al-GhazÉlÊ, lihat Al-GhazÉlÊ,

FayÎal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zanadiqah, SulaimÉn DunyÉ (ed.), (Beirut: DÉr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1381 H/1961 M), hlm. 175.

Page 162: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

147

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

melakukannya ia akan menjadi realitas yang sama seperti yang tertulis di LauÍ al-MaÍfËÐ, tempat dunia makna yang sejati berada.

Ringkas kata, poin pokok penjelasan al-GhazÉlÊ tentang kos-mologi adalah hal-hal aktual bisa berupa ruhani ataupun jasma-ni. Ini menyiratkan bahwa aktualitas atau realitas memiliki dua aspek: yang terlihat dan yang tak terlihat. Keduanya berasal dari muasal yang sama, dan karenanya mengandung kemiripan dan hubungan yang dekat satu sama lain. Oleh karena itu, setiap objek yang terlihat mengungkapkan “aspek spiritual aktualitas—yang menyiratkan bahwa alam mulk wa al-shahÉdah (sebagai dunia observasi)—mencerminkan suatu aspek dunia ruh. Dari cara me-lihat realitas ini kita dapat menyimpulkan bahwa realitas ekster-nal dari dunia indrawi tidaklah terlepas dari realitas spiritual yang lebih tinggi. Posisinya yang terkait dengan dunia-dunia lain dalam sistem kosmos merupakan satu kesatuan eksistensi utuh. Hubungan yang kompleks antara dunia indrawi dan dunia spiri-tual dalam sistem makrokosmos tersebut diciptakan sama dengan hubungan antara tubuh dan jiwa manusia, yang memiliki suatu sistem mikrokosmos psikologis.

Ontologi Penciptaan Makhluk

Sejauh ini telah dibahas unsur realitas dan eksistensi dalam pemikiran al-GhazÉlÊ. Satu poin terakhir yang belum dibahas adalah sifat realitas sesuatu di dunia dan sifat manusia. Ini sangat penting karena kedua hal ini paling berdekatan dengan masalah kausalitas yang akan kita dalami. Dalam Bab Satu telah dibahas masalah kausalitas yang ada di antara para teolog dan filsuf seba-gai latar belakang penelitian buku ini. Pada bagian ini akan diba-has sifat realitas hal-hal yang digambarkan dari doktrin atomisme dan sifat manusia dalam hubungannya dengan realitas Tuhan.

Realitas Sesuatu

Sesungguhnya ada tiga cara yang berbeda untuk melihat asal usul dunia yang tampak (visible world) di kalangan umat Islam:

Page 163: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

148

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Pertama, pandangan murni yang diambil dari al-Quran bah-wa Tuhan adalah pencipta langit dan Bumi dan segala sesuatu yang ada di antara mereka. Dia peduli kepada mereka dan men-junjung tinggi mereka. Pandangan ini tidak memiliki penjelasan lebih lanjut dan dianggap sebagai sistem kosmogoni dan teologi yang dogmatis.

Kedua, pandangan bahwa dunia diwujudkan dengan cara emanasi (ÎudËr) dari Tuhan, bukan dengan cara penciptaan atau dengan perintah dari kehendak yang mutlak. Eksponen pandangan ini adalah kalangan falāsifah atau Muslim peripatetik yang me-modifikasi sistem kosmos Neo-Platonisme dan Aristoteles.

Ketiga, pandangan seperti yang pertama tetapi pandangan ini diperluas dengan penjelasan metafisika, yang menunjukkan tidak hanya teori penciptaan tetapi juga teori penciptaan alam dengan berulang-ulang dan terus-menerus.154

Pandangan pertama dan ketiga berasal dari perspektif yang hampir sama, tapi yang ketiga dikembangkan menjadi sebuah teori, yang kemudian dikenal sebagai “teori atom” (naÐariyyat al-jawhar), sedangkan pandangan kedua bertentangan secara dia-metris dengan teori penciptaan yang diyakini oleh pandangan per-tama dan ketiga. Teori atom, yang dianuti Ash‘arÊyah dan mayo-ritas kalangan Mu‘tazilah, 155 ditawarkan untuk membela konsep Tuhan sebagai Pencipta dunia, Yang Memiliki kekuasaan pencip-taan absolut. Tidak mengherankan bila teori atom dalam tradisi Kalam, seperti yang diulang oleh Moses Maimonides,156 dipenuhi

154 D.B. MacDonald, “Continuous Re-creation and Atomic Time in Muslim Scholastic Theology”, ISIS, IX (1927), hlm. 326-328.

155 Dengan perkecualian DirÉr ibn ‘Amr dan al-NaÐÐÉm karena mereka meno-lak gagasan atom (jawhar). DirÉr ibn ‘Amr mereduksi jasad (jism) sebagai agregat aksiden yang sekaligus menjadi substrata aksiden yang lain. Se-dangkan al-NaÐÐÉm menolak eksistensi substansi dan berpegang bahwa tidak ada aksiden kecuali aksiden gerakan. Ia mereduksi seluruh aksiden pada aksiden tunggal ini. Lihat al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 307; dan al-BaghdÉdÊ, Kitab UÎËl al-DÊn, hlm. 47.

156 Moses Maimonides, Guide of the Perplexed, diterjemahkan dengan penda-huluan dan catatan oleh Shlomo Pines, dengan sebuah esai pengantar oleh Leo Strauss, Jilid 1, (Chicaco: The University of Chicago Press, 1963),

Page 164: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

149

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dengan tujuan-tujuan teologis.157 Melalui teori inilah al-GhazÉlÊ menjelaskan asal usul dunia yang terlihat dan menguraikan onto-logi penciptaan makhluk.

Penjelasan teori atom yang mencerminkan ontologi dasar makhluk biasanya dimulai dengan definisi tentang dunia (al-‘ālam). Al-GhazÉlÊ mendefinisikan dunia sebagai “segala sesuatu yang ada (kullu mawjËd) selain Tuhan.” 158 Definisi yang tipikal Ash‘arÊyah ini memiliki dua implikasi. Pertama, dunia “seluruh-nya adalah tubuh (ajsÉm) dan aksidennya.” Kedua, dunia “hanya tubuh (ajsÉm) dan atom (jawÉhir).”159 Kedua pernyataan ini tam-pak bermasalah karena dalam definisi yang pertama tubuh dise-but bersama dengan aksiden, tetapi dalam definisi kedua tubuh berpasangan dengan atom. Agar kita memiliki gambaran jelas tentang definisi ini, berikut elaborasi pemahaman al-GhazÉlÊ ten-tang makhluk. Al-GhazÉlÊ mengatakan:

Setiap yang ada [eksisten] bisa menempati ruang (mu-taÍayyiz) atau bisa tidak. Kita menyebut sesuatu yang me-nempati ruang sebagai atom tunggal (jawhar fard) ketika se-suatu itu tidak mengandung komposisi (i’tilÉf) dengan atom-atom (jawÉhir) lainnya. Ketika bergabung dengan [atom] yang lain, kita menyebutnya “tubuh”. Jika [eksisten] tidak menempati ruang, keberadaannya bisa memerlukan tubuh tempat ia bisa hidup, dan kita sebut [eksisten semacam itu]

hlm. 195-214. D.B. McDonald menulis sebuah artikel yang meringkas karya Maimonides dalam sebuah artikel “Continuous Re-Creation”, hlm. 326-344.

157 Penelitian Frank membuktikan kesimpulan yang sama, Frank, Al-Ghazālī and the Ash’arite school, (Durham and London: Duke University Press, 1994), hlm. 48.

158 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 29; al-BaghdÉdÊ, Kitab UÎËl al-DÊn, hlm. 33; al-JuwaynÊ’, Kitab al-IrshÉd ilÉ QawÉÏi‘ al-Adil-lah fi UÎËl al-I‘tiqÉd, ZakariyyÉ ‘AmÊrÉt (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H/1995 M), hlm. 17.

159 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 29. Dalam karyanya yang lain, alih-alih mengatakan “segala sesuatu selain Tuhan”, al-GhazÉlÊ me-nyatakan “eksistensi (al-mawjËd) dibagi menjadi substansi (jawhar) dan aksiden.” Lihat: al-GhazÉlÊ, Mi‘yar al-‘IlmÊ, hlm. 313. Pernyataan yang sama lihat: al-BaghdÉdÊ, Kitab UÎËl al-DÊn, hlm. 33. Bandingkan dengan al-BÉqillÉnÊ, KitÉb TamhÊd, Bab 22, hlm. 4-5, atau al-JuwaynÊ’, al-IrshÉd, hlm. 12-13.

Page 165: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

150

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

“aksiden” (a‘rÉÌ), atau [keberadaannya] bisa tidak memer-lukan [tubuh], dan [ini] adalah Tuhan—baginya segala puji dan keagungan. 160

Kutipan di atas menunjukkan bahwa eksistensi dikategori-kan menjadi tubuh, atom, dan aksiden. Hal ini ditegaskan al-Gha-zÉlÊ dalam QawÉ‘id tapi tidak dalam karyanya yang lain seperti Ma‘Érij, misalnya, yang di dalamnya eksistensi hanya dibagi men-jadi atom dan aksiden.161 Sesungguhnya menghilangkan tubuh dari kategori tersebut juga cukup umum di kalangan Ash‘arÊyah.162 Dalam teori atom yang diringkas Moses Maimonides dalam 12 proposisi pokok, kita tidak mendapati diskusi tertentu tentang tu-buh. Demikian juga, al-GhazÉlÊ dalam teori atomnya tidak mem-bahas sifat tubuh secara terpisah dari atom. Tubuh dan aksiden, bagi al-GhazÉlÊ, merupakan sesuatu yang bisa dirasakan oleh pan-caindra.163 Sesungguhnya tubuh dianggap tidak lebih dari atom dalam modalitas tertentu, yang menunjukkan adanya hubungan atau penggabungan. Ini indikasi yang jelas bahwa sifat sesuatu dalam tradisi intelektual Islam tidak hanya dijelaskan dalam arti materialitas tetapi juga dalam struktur metafisiknya. Oleh karena itu, al-GhazÉlÊ dan penganut Ash‘arÊyah lainnya menganggap du-nia yang diciptakan terdiri dari atom, tubuh, dan aksiden secara bersama-sama.164

160 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 29. 161 Al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij, hlm. 3 dan 313. 162 Al-BaghdÉdÊ (w. 429 H/1037 M) dan al-Qushary (w. 465 H/1072 M) tidak

menyebut “jasad” dalam kategori mereka tentang makhluk, sedangkan al-BÉqillÉnÊ (w. 403 H/1013 M) menyebutnya secara eksplisit. Al-JuwaynÊ’ (w. 478 H/1085 M) dalam IrshÉd menyebut hanya atom dan aksiden seba-gai komponen dunia (al-‘Élam), tetapi kemudian ia mendefinisikan jasad sebagai sesuatu yang terdiri dari dua atom (jawharayn). Namun, dalam karyanya yang lain, al-‘AqÊdah al-NiÐÉmiyyah, ia menyatakan bahwa du-nia terdiri dari jasad dan aksiden. Muridnya, AbË al-QÉsim al-AnÎÉrÊ (w. 512 H/1118 M) dalam Ghunyah menyebut bahwa atom, aksiden, dan jasad merupakan tiga kategori wujud yang mungkin yang disebut dunia. Untuk penjelasan tentang pernyataan mereka, lihat Richard M. Frank “Bodies and Atom: The Ash‘arite Analysis”, dalam Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani, (Al-bany: SUNY Press, 1984), hlm. 39-41.

163 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 29-30. 164 Tentang hubungan antara al-GhazÉlÊ dan mazhab Ash‘arÊyah, lihat Richard

Page 166: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

151

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Dalam penjelasan di atas kita sudah masuk ke wacana teori atom (jawhar). Agar kita dapat memahami lebih baik wacana ini, kita akan masuk lebih jauh pada detailnya. Alasan mengapa mem-bahas sifat jawhar itu penting adalah bahwa atom mengacu pada esensi segala sesuatu atau segala eksistensi tapi sifatnya mandiri (qÉ’im binafsihi).165 Mandiri artinya keberadaannya tidak dalam sebuah substrata atau tempat (wujËduhË laysa fÊ mawÌË‘), 166 se-dangkan substrata ada dengan sendirinya. Supaya eksis, jawhar tidak perlu berhubungan dengan esensi atau eksistensi dari se-suatu yang lain. Eksistensi jawhar tidak seperti eksistensi warna pada manusia atau tubuh karena kuiditas/hakikat (mÉhiyah) ma-nusia atau tubuh tidak bergantung pada warna; warna hanyalah aksiden yang melekat pada tubuh tempat kuiditas ada secara man-diri (self-subsistence). Ini yang oleh al-GhazÉlÊ dimaksud mandiri (self-subsisting). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan tempat atau substrata ia membagi jawhar menjadi dua jenis: individual (al-jawhar al-shakhÎ) dan universal (al-kajawhar al-kulliyyah).167 Yang pertama (individual) tidak dalam subjek dan tidak bisa menjadi substrata (maÍmËl), seperti Zayd dan Umar. Yang kedua (universal) tidak dalam subjek dan dapat dilekatkan pada sub-jek, seperti laki-laki, tubuh, dan hewan. Jadi, dalam pembagian ini kita dapat menempatkan jawhar universal (seperti manusia, hewan, dan lain-lain) pada jawhar individual atau subjek seperti Zayd. Maka ekspresinya akan menjadi seperti ini: “Zayd adalah seorang pria”, “Zayd adalah binatang”, “Zayd adalah tubuh”, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, jawhar individual mengandung jawhar universal. Namun, jawhar universal ini tidak sama dengan aksiden karena jawhar universal itu bukan di luar esensi jawhar individual, sedangkan aksiden di luar esensi jawhar individual.

M. Frank, Al-GhazÉlÊ. Untuk perspektif lain tentang hubungan ini, lihat artikel tinjauan buku ini oleh Tobias Meyer, artikel ulasan atas karya Rich-ard Frank, “Al-GhazÉlÊ and the Ash’arite School”, (Durham and London: 1994) dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 1 (1999), hlm. 170-182.

165 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 300 dan 355.166 Ibid, hlm. 303-305. 167 Ibid.

Page 167: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

152

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Terkait dengan prinsip di atas, teori tersebut kemudian mem-bahas sifat tubuh. Dunia secara keseluruhan atau setiap tubuh di dalamnya terdiri dari partikel kecil (ajzÉ’) yang tidak dapat dibagi-bagi. Partikel ini dikenal sebagai atom atau jawhar. Ke-tika atom-atom ini berkumpul atau bergabung, mereka menjadi tubuh. Oleh karena itu, setiap tubuh tersusun dari setidaknya dua atom dan keduanya menempati ruang (mutaÍayyizayn), dan tidak mung kin ada tubuh dalam situasi apa pun kecuali di dalamnya terdiri dari atom-atom itu. 168

Ide tentang tubuh yang terikat oleh komposisi dan spasiali-tas itu sama dengan pandangan Ash‘arÊyah tradisional. Konsep spasialitas atom sangat mendasar bukan hanya untuk menggam-barkan ontologi makhluk, melainkan juga untuk membedakannya dari Sang Pencipta. Bagi al-GhazÉlÊ, komposisi tubuh dan spasia-litas atom berikut batasnya merupakan karakteristik makhluk, dan ini tidak dapat diterapkan pada Tuhan. 169 Pasalnya, menganggap Tuhan sebagai tubuh akan mengarah pada keyakinan bahwa Tu-han bisa termasuk matahari dan bulan atau sesuatu dari kategori tubuh. 170 Pandangan ini bertentangan sepenuhnya prinsip Aristo-teles bahwa Tuhan merupakan Substansi Sejati.

Akan tetapi, berkaitan dengan prinsip komposisi atom itu agak rumit dengan adanya ketidaksepakatan yang tajam di antara para teolog awal, terutama mengenai jumlah minimum yang di-perlukan atom untuk membentuk tubuh tiga dimensi. Dalam hal ini al-GhazÉlÊ mengikuti gurunya, al-JuwaynÊ’, yang memperta-hankan bahwa “tubuh” merupakan kombinasi dari setidaknya dua jawhar, 171 jika tidak maka tidak bisa disebut tubuh. Terlepas dari gagasan yang beragam tentang jumlah atom yang diperlukan un-tuk membentuk tubuh, al-GhazÉlÊ masih menjunjung tinggi prin-sip klasik bahwa tubuh terbentuk dari jawhar. Ini artinya ia setuju

168 Ibid. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 42; dan al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 2, 23, 96, dan 128.

169 Al-GhazÉlÊ, QawÉ‘id, hlm. 139.170 Ibid, hlm. 139-140; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 23 dan 127.171 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 42.

Page 168: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

153

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dengan sebagian besar teolog Ash‘arÊyah dan Mu‘tazilah (dengan pengecualian ÖirÉr bin ‘Amr dan al-NaÐÐÉm). 172

Apa yang perlu dipahami dalam prinsip komposisi di atas adalah bahwa berkumpulnya atom menunjukkan adanya pen-ciptaan (generation) dan pemisahannya menyiratkan kerusakan (corruption). Bagi al-GhazÉlÊ, prinsip komposisi tersebut sangat penting untuk membuktikan temporalitas suatu ciptaan. Ia ke-mudian menjelaskan bahwa “Tidak mungkin bagi jawhar bebas dari pemisahan [satu sama lain], perkumpulan (ijtimÉ‘), gerak (Íarakah), diam (sukËn), bentuk (hay’ah), dan ukuran (miqdÉr), dan masing-masing dari hal ini disebut kejadian yang diciptakan (ÍudËth).”173

Temporalitas sesuatu yang ingin disampaikan al-GhazÉlÊ melekat dalam prinsip bahwa jawhar tidak terpisahkan dari ak-siden karena aksiden merupakan kualitas yang terdapat dalam jawhar dan bersifat temporal. Selain itu, jawÉhir tidak pernah terisolasi satu sama lain karena mereka selalu dalam proses menggabungkan diri dengan sesamanya dan memisahkan diri satu sama lain. Posisi ini sesuai dengan doktrin penciptaan dan penciptaan kembali yang terus-menerus. Tuhan, dalam teori ini, menciptakan jawhar terus-menerus setiap kali Dia mengingin-kannya. Ketika Tuhan ingin memusnahkan jawhar tersebut, Dia berhenti mencipta gerakan dan diam. Artinya, kondisi wujudnya dihilangkan sehingga keberadaannya (baqÉ’) menjadi tak ada lagi.

Sekarang kita akan beralih ke sifat aksiden. Seperti jawhar, aksiden adalah nama homonim (ism mushtarak) dan dapat dilekat-kan pada semua eksistensi (mawjËd). Eksistensinya membutuh-

172 Sebagaimana dilaporkan, Ash’ari ÖirÉr mereduksi jasad ke dalam agre-gat aksiden yang sekaligus menjadi substrata aksiden-aksiden yang lain. Adapun al-NaÐÐÉm menolak eksistensi substansi dan berpegang bahwa tidak ada aksiden kecuali aksiden gerak. Ia mereduksi seluruh aksiden ke dalam aksiden tunggal; al-Ash‘arÊ, MaqÉlÉt Jilid 2, hlm. 305. Bandingkan dengan al-BaghdÉdÊ, Kitab UÎËl al-DÊn, hlm. 47.

173 Al-GhazÉlÊ, QawÉ‘id, hlm. 139-40; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 23 dan 127.

Page 169: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

154

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kan sesuatu yang mandiri (self-subsisting) dan itulah jawhar. 174 Artinya, aksiden itu berwujud pada atom, tapi dalam Mi‘yÉr, al-GhazÉlÊ mengatakan bahwa aksiden berwujud pada substrata (fÊ maÍall) atau dalam subjek (fÊ mawÌË‘). 175 Hanya saja, ia membe-dakan hubungan substrata-aksiden dan hubungan jawhar-ruang. Yang pertama bersifat saling terkait, sedangkan yang kedua hu-bungannya bersifat esensial (dhatiyah). Berarti wujud aksiden itu ditandai oleh adanya substrata namun substrata itu tidak berada di luar esensi aksiden (zÉ’id ‘alÉ al-dhÉt al-a‘rÉÌ). Sedangkan ruang berada di luar jawhar sehingga menafikan perpindahan (in-tiqÉl) aksiden.176Namun, cara aksiden berada dalam sebuah subjek ada dua, yakni dengan cara melekat (bi ÏarÊq al-Íaml) dan tidak melekat. Yang pertama disebut aksiden universal, berada dalam subjek, dan dapat mengandung aksiden yang lain seperti warna mengandung ke-putih-an, ke-hitaman, dan sejenisnya. Yang ke-dua, yang disebut aksiden individual, tidak bisa mengandung apa pun, seperti tulisan Zayd, putihnya seseorang, dan lain-lain. 177

Dari prinsip-prinsip tentang aksiden di atas, dapat dipahami prinsip berikutnya, yaitu aksiden tidak memiliki kekekalan (lÉ yataÎawwaru al-baqÉ’). Penjelasan prinsip ini berasal dari teori Ash‘arÊyah bahwa aksiden tidak terjadi dalam dua unit waktu. Karena jawhar tidak terpisah dari aksiden, prinsip-prinsip tentang jawhar dalam kaitannya dengan konsep penciptaan berkaitan

174 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 33.175 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 301.176 Concomitance tidak mesti berarti sesuatu yang esensial bagi sesuatu (dhÉ-

tÊ li al-ashyÉ’), yang berarti eksistensi yang satu diikuti oleh eksistensi lain. Daerah tertentu bagi jasad Zayd, misalnya, tidak esensial bagi Zayd. Kerusakan atau perubahan ruang tersebut tidak mesti diikuti oleh jasad Zayd. Jadi, ruang dalam hal ini hadir bersama Zayd tapi tidak esensial. Namun, tidak demikian halnya dengan panjang Zayd, karena ia merupa-kan aksiden Zayd yang kita tidak bisa memahaminya tanpa Zayd. Oleh karena itu, kita katakan sifat “panjang” dalam Zayd merupakan sesuatu yang esensial bagi nya; tidak ada tambahan makna untuk itu. Jika sifat itu dihapus, esensinya pun akan terhapus. Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 33-35.

177 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 301; bandingkan dengan Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, Premis ke-5, hlm. 199-200.

Page 170: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

155

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dengan prinsip aksiden. Kaitan itu adalah bahwa Tuhan mencip-takan atom, dan pada saat yang sama menciptakan aksiden yang ada dalam atom tersebut menurut kehendak-Nya. Jika Tuhan me-nahan diri dari perbuatan mencipta dan tidak menciptakan aksi-den, maka atom tersebut menjadi tidak ada. Al-GhazÉlÊ meng-gunakan prinsip ini untuk aksiden gerak. Ia mengatakan bahwa:

Keberadaan sesuatu (modes of being) yang terus-mene-rus pada suatu tempat, di dalam waktu yang terus-menerus, tidak dapat disifati sebagai gerak kecuali disertai dengan ge-rak yang keberlanjutan berdasarkan cara penciptaan kembali dan pemusnahan yang terus-menerus. Jika diasumsikan bah-wa aksiden itu kekal, maka ia tentu berada dalam keadaan diam dan tidak dalam keadaan gerak.178

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan aksiden gerak dan diam bagi setiap atom namun aksiden dalam prinsip itu tidak memiliki eksistensi abadi. Ia selalu diciptakan baru. Prinsip temporalitas aksiden yang dipegang oleh Ash‘arÊyah dan sebagian Mu‘tazilah ini bertentangan dengan teori laten (kumËn) dan penampakan (ÐuhËr) yang diyakini al-NaÐÐÉm.179 Al-Baghdadi menolak teori laten tersebut sebab, menurutnya, bertentangan dalam dirinya sendiri dan akan membawa pada dok-trin keabadian dunia.180 Al-NaÐÐÉm sendiri pada prinsipnya se-pakat bahwa dunia itu temporal. Al-Baghdadi—yang tampaknya diikuti al-GhazÉlÊ—menyatakan bahwa aksiden menurut dirinya sendiri tidak mungkin dipengaruhi oleh komposisi, kontak, atau perpindahan (intiqÉl) apa pun karena ia semata karakteristik tu-

178 Fi’inna al-akwÉn al-muta‘Éqibah fiaÍyÉnin mutawÉÎilah lÉ tËÎafu bi ‘an-nahÉ ÍarakÉt illa bitalÉÍuqihÉ ‘alÉ dawÉm al-tajaddud wa dawÉm al-in‘idÉm. Fa’in furiÌa baqÉ’uhÉ kÉnat sukËnan lÉ Íarakat wa lÉ ta’qil dhÉt al-Íarakah…. Al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 40.

179 Teori laten (kumËn) mengisyaratkan bahwa aksiden itu abadi di dalam jasad karena ia mengklaim bahwa penciptaan merupakan satu-satunya perbuatan Tuhan, yang berarti bahwa segala sesuatu diwujudkan secara simultan dan dibuat dalam keadaan tersembunyi (laten). Dari pandangan ini berarti tidak ada yang disebut kelahiran, melainkan hanya penampakan (ÐuhËr). Lihat al-ShaharastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal Jilid 1, hlm. 77.

180 Al-BaghdÉdÊ, Kitab UÎËl a-DÊn, hlm. 55-56.

Page 171: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

156

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

buh. Yang pasti, seperti dikatakan oleh beberapa teolog, aksiden sama dengan atom, yaitu tidak mampu memiliki komposisi, kon-tak, atau gerak an apa pun dengan sendirinya.

Al-GhazÉlÊ juga menyatakan bahwa “atom-atom itu serupa dan modus keberadaan mereka pada suatu tempat menjadi ciri khas mereka.”181 Fitur lain yang mencolok dari atom dalam teori al-GhazÉlÊ adalah spasialitasnya (jawhar al-mutaÍayyiz), yakni “setiap jawhar menempati ruang, dan hal itu ditandai dengan ba-tas ruang (biÍayzihi).”182 Namun, prinsip al-GhazÉlÊ bahwa atom menempati ruang tidak begitu tegas, sebab ia tidak menyangkal secara implisit bahwa jawhar juga mungkin masuk dalam kelas-kelas eksisten yang tidak menempati ruang, seperti kelas ma-laikat, jin, setan, dan sejenisnya. Indikasinya bisa dibaca dalam IqtiÎÉd saat ia menegaskan bahwa “intelek mengetahui jawhar dengan sendirinya dan tidak melalui keberadaannya dalam me-nempati ruang.”183

Demikian pula prinsip keberadaan jawÉhir yang berdiri sen-diri mungkin menunjukkan eksisten yang tidak menempati ruang. Dalam keadaan ini kita dapat mengasumsikan bahwa al-GhazÉlÊ ingin mengakomodasi setidaknya dua kelas atau modalitas ja-wÉhir agar dapat memasukkan jawhar material dan non-material. Jika ini yang terjadi, maka kita dapat mendamaikan kecenderung-an materialitas yang dikaitkan dengan jawhar dengan kecen-derungan non-materialitasnya. Konsistensi al-GhazÉlÊ atas pen-dirian ini dapat dilihat jika kita membandingkan pernyataannya bahwa alam semesta yang diciptakan ini terdiri dari “tubuh dan jawÉhir”, dengan pembagiannya tentang alam semesta menjadi duniawi (yakni jasmani di alam) dan surgawi (yakni non-jasmani atau spiritual).

181 Al-GhazÉlÊ, al-Iqtisad, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 77.182 Al-GhazÉlÊ, Qawa’id al-’Aqa’id, hlm. 139; al-GhazÉlÊ, MiÍakk al-NaÐar,

hlm. 24; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, Ihya’ Jilid 1, (Beirut: DÉr al-Ku-tub al-‘Ilmiyyah, 1413 H), hlm. 23 dan 127.

183 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 35.

Page 172: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

157

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Jika al-GhazÉlÊ mengakui dua modalitas jawÉhir, yaitu bersi-fat material dan imaterial, maka kita dapat mengaitkan imaterial atom ini dengan jiwa. Sebab, dalam al-RisÉlah al-Laduniyyah, al-GhazÉlÊ secara jelas menyatakan bahwa jiwa adalah jawhar. Ia bahkan menganggap jiwa rasional (al-nafs al-nÉÏiqah) kalangan falāsifah sebagai “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muÏma’innah) atau “ruh perintah Ilahi” (al-rËÍ al-‘amrÊ) dalam al-Quran, dan “hati” dalam nomenklatur sufi, adalah nama yang berbeda tapi merujuk pada sesuatu yang sama. Ia juga menganggap hati (ka-dang-kadang disebut juga jiwa mutlak) dan ruh, jiwa yang tenang (yang dikenal dalam pengertian klasik sebagai jiwa rasional), dan jiwa rasional itu adalah jawhar yang hidup, berbuat, dan menge-tahui. 184

Singkatnya, keseluruhan teori atomisme menunjukkan bahwa atom itu secara radikal bersifat kontingen (mungkin) dan harus terus diciptakan kembali oleh Tuhan setiap saat secara berturut-turut. 185 Secara teologis ini dimaksudkan untuk membuktikan se-tidaknya dua poin penting: pertama, Tuhan itu adalah pencipta dunia; kedua, Tuhan merupakan penyebab wujud yang terus-menerus, yang bertentangan dengan teori Aristoteles tentang perubahan.186 Dalam teori atom, perubahan terjadi hanya ketika Tuhan menciptakan kembali atom dalam wujudnya yang baru di setiap waktu yang silih berganti. Tuhan menciptakan atom ber-samaan dengan aksiden yang diperlukan untuk memenuhi modus eksistensi yang pasti (akwÉn), seperti gerak, diam, berkumpul, dan berpisah dari aksiden-aksiden lainnya. Oleh karena itu, atom-atom individual itu setiap saat memiliki sejumlah besar aksiden, sedangkan aksiden tidak dapat terjadi lebih dari satu saat, dan

184 Al-GhazÉlÊ, “al-RisÉlah al-Laduniyyah”, dalam MajmË‘ah al-RasÉil, hlm. 60.

185 Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, (New York & London: Co-lumbia University Press, 1970), hlm. 56-81.

186 Dalam pemikiran Aristoteles, gagasan perubahan berakar dari pembedaan potensialitas dan aktualitas, yang berarti bahwa ketika suatu wujud aktual mengaktualisasikan suatu potensi, ia akan menghasilkan proses perubahan dalam dunia yang dikenal dengan sebab-akibat. W.D. Ross, Aristoteles, edisi ke-5, (New York: Barnes & Noble, 1964), hlm. 177.

Page 173: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

158

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ukuran persistensinya juga menyusut pada satu momen waktu. Artinya, karena berkumpulnya aksiden-aksiden tersebut di dalam atom hanya pada satu momen tertentu dan hanya dapat memper-tahankan dirinya sesaat pula, maka ini membuktikan bahwa dunia ini selalu diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan baru. Dengan de-mikian, tidak dapat dielakkan lagi bahwa doktrin atom dan aksi-den dalam ontologi makhluk mengarah pada penolakan terhadap adanya kausalitas sekunder di dunia. Tidak ada yang namanya hukum alam atau hubungan sebab-akibat kecuali perbuatan Pen-cipta Yang Mahakuasa dengan Kehendak-Nya.187

Teori atom ini, sedikit banyak, menyerupai teori monad (entitas tunggal organis) yang dicetuskan oleh Leibniz. Seperti juga jawhar atau atom, monad adalah satu unit tunggal yang ti-dak bisa dipecah-pecah menjadi bagian-bagian. Ini persis seperti pengertian jawhar, namun keduanya berbeda dalam beberapa poin. Pertama, setiap monad itu “tanpa jendela (windowless)”. Artinya, monad itu tidak bisa diubah karena tidak mempunyai pintu masuk atau keluar (windowless) untuk sesuatu yang lain, seperti aksiden yang ditambahkan pada atom. Tapi, monad itu mempunyai kualitas tertentu yang membedakannya dari monad yang lain. Kedua, monad itu tanpa ruang (extentionless), bersifat mandiri, dan berkembang tanpa hubungan dengan yang lain ka-rena menurut Leibniz setiap predikat telah terkandung dalam sub-jeknya.188 Jadi, dalam teori monadologi Leibniz, semuanya ber-jalan menurut harmoni yang sudah ditetapkan sebelumnya yang tertanam pada setiap monad, dan monad-monad yang independen tersebut membentuk satu dunia yang teratur. Sementara itu, da-lam atomisme al-GhazÉlÊ, Tuhan merupakan satu-satunya sebab dan senantiasa hadir bagi segala sesuatu yang terjadi. Selain itu, ketergantungan monad Leibniz pada Tuhan tidak jelas dituliskan

187 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, terjemahan S. A. Kamali, The Inco-herence of the Philosophers, (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1963), hlm. 185-196.

188 G.W. Leibniz, Theodicy, (La Salle, Illinois: Open Court Classic, 1985), Bagian 10; lihat juga Nicholas Rescher, G.W. Leibniz Monadology, (Lon-don: Routledge, 1991), hlm. 58.

Page 174: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

159

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dalam suatu rumusan; ia hanya menyatakan bahwa hubungan Tu-han-dunia bersifat kontinu dan harmonis. Tidak demikian dengan teori atom al-GhazÉlÊ dan Ash‘arÊyah, yang merupakan hubungan terus-menerus dengan Tuhan, karena Tuhan adalah yang paling penting dalam ontologinya, dan kehendak Tuhan menjadi dasar kejadian segala sesuatu.

Teori atom al-GhazÉlÊ dan Ash‘arÊyah ini tidak hanya berlaku pada jalannya alam tetapi juga pada tindakan manusia. Ilustrasi klasiknya berupa orang yang tengah menulis. Tuhan menciptakan dalam diri orang itu—atau menciptakan sesuatu yang baru setiap saat—pertama kehendak, kemudian kemampuan menulis, selan-jutnya gerakan tangan, dan akhirnya gerakan pena. Setiap faktor dalam proses penulisan ini independen dari faktor lainnya, dan semuanya berasal dari Tuhan dalam tahapan yang berurutan.

Jelas, bagi al-GhazÉlÊ, teori atom dan aksiden adalah cara yang mudah untuk memperkuat prinsip teologis, terutama ke-mahakuasaan dan kedaulatan Tuhan di dunia. Teori itu untuk menjaga independensi Tuhan yang mutlak dari syarat-syarat atau batasan, baik secara alamiah atau sebaliknya. Al-Attas menyim-pulkan bahwa teori Ash‘arÊ tentang atom “pada dasarnya anti-Aristoteles, dan bersifat Islami.”189 Dalam nada yang sama, L.E. Goodman menyatakan bahwa perdebatan tentang atom dan ak-siden yang ada di antara para teolog selama beberapa generasi itu “tanpa bantuan logika formal Aristoteles, yang menggunakan penyimpulan disjungtif dan hipotetis, argumen dari analogi dan pengurangan absurditas.”190

Realitas Manusia

Seperti makhluk lainnya, realitas manusia dalam pemikiran al-GhazÉlÊ tak terpisahkan dari Realitas Mutlak, yaitu Tuhan. Namun, hubungan Tuhan dan manusia tidak memiliki kesamaan dengan hubungan Tuhan dan makhluk lain lantaran manusia di-

189 Al-Attas, Commenntary, hlm. 210.190 L.E. Goodman, Avicenna, (London & New York: Routledge, 1992), hlm.

53.

Page 175: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

160

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

anugerahi sifat-sifat spiritual dan intelektual. Al-GhazÉlÊ melihat manusia dengan penekanan lebih besar pada aspek ilahi-Nya di-bandingkan aspek hewani. Oleh karena itu, pada bagian ini rea-litas manusia yang akan dijelaskan meliputi aspek spiritual dan psikologis, termasuk di dalamnya persoalan perbuatan manusia.

Aspek spiritual manusia digambarkan oleh al-GhazÉlÊ dalam sebuah esai singkat, al-MaÌËn al-ØaghÊr,191 yang menguraikan teori penciptaan individu manusia dengan mengutip ayat al-Quran: “Dan ketika Aku menciptakannya (individu manusia) Aku tiupkan ke dalam dirinya sebagian ruh-Ku.”192 Kata “Ruh-Ku”, menurutnya, tidak berarti jiwa manusia itu bagian dari ruh Tuhan. Penggunaan ini bersifat metafora yang menunjukkan hubungan kausal antara derasnya arus kemurahan Tuhan dan manusia se-bagai objek, tanpa substansi yang ditransfer dari Tuhan sendiri kepada manusia.

Dengan mengacu pada kosmologi al-GhazÉlÊ yang diuraikan sebelumnya, kemurahan hati Tuhan yang mengalir kepada manu-sia dalam bentuk spirit termasuk dalam dunia amr, sebagaimana ruh masuk dalam dunia perintah dan tujuan. Ketika kepribadian manusia diwujudkan dalam bentuk ruh dan tubuh, ia termasuk dalam dua dunia, yaitu amr dan khalq. Alasan utama bagi pen-ciptaan ruh dalam tubuh berhubungan dengan pencapaian penge-tahuan, “di sini (di dunia ini) manusia memperoleh suatu penge-tahuan tentang karya-karya Tuhan dengan menggunakan indra tubuhnya.”193 Dengan kata lain, untuk mendapatkan pengetahuan sebagai entitas ruhani, manusia membutuhkan indra tubuhnya. Al-GhazÉlÊ pun mengutip ayat lain bahwa setiap manusia dilahir-kan dengan kecenderungan kepada Islam karena terikat oleh per-janjian primordial (mÊthÉq).194 Ketika ruh diturunkan ke dunia ini melawan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan

191 Al-GhazÉlÊ, al-MaÌnËn al-SaghÊr, diedit dengan pendahuluan oleh RiyÉd MusÏafÉ, (Damaskus: ManshËrÉt DÉr al-×ikmah, tanpa tahun), hlm. 18.

192 Al-Quran, surat al-Hijr (15) ayat 29; al-QaÎaÎ (38) ayat 72.193 Al-GhazÉlÊ, KimyÉ’ al-Sa‘Édah, terjemahan bahasa Inggris, Alchemy of Hap-

piness, oleh Claude Field, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1983), hlm. 48. 194 Al-GhazÉlÊ, KimyÉ’, 26; al-Quran, surat al-A‘rÉf (7) ayat 172.

Page 176: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

161

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pengalaman, Tuhan berkata: “Pergilah kalian semua, akan datang kepada kalian instruksi dari-Ku.” 195

Para intelektual Muslim mensifati manusia umumnya seba-gai “hewan yang rasional”. Al-GhazÉlÊ menggambarkan sifat ma-nusia sebagai makhluk yang dianugerahi berbagai kemampuan untuk mencapai pengetahuan. Dalam MishkÉt, ia menguraikan lima sifat yang berbeda dari kemampuan manusia:

1. Ruh sensorik, adalah yang dimiliki oleh binatang terendah dan bayi terkecil.

2. Ruh imajinatif, adalah perekam informasi yang disampaikan oleh indra, yang tidak dimiliki oleh binatang dan bayi.

3. Ruh inteligen, adalah kemampuan khusus manusia dalam memahami gagasan.

4. Ruh diskursif atau rasiosinatif, adalah kemampuan mengam-bil data dari akal murni kemudian menggabungkannya dan mengaturnya ke dalam premis-premis, dan sesudah itu mengambil pengetahuan informatif darinya.

5. Ruh kenabian transendental, adalah meliputi ruh yang me-lampaui ruh inteligen dan diskursif. 196

Dengan mengacu pada aspek psikologis dari kosmologinya yang digambarkan di atas, bagian dari perilaku manusia (jabarËt) yang tampak jelas adalah bahwa daya atau kemampuan manusia itu disetir oleh intelek dan juga pengetahuan yang berfungsi se-bagai sarana memahami gagasan abstrak. Semua aspek internal dan tak terlihat dari perilaku manusia ini didominasi oleh kekua-saan dan ketetapan Tuhan yang merupakan bagian dari malakËt.

195 Al-GhazÉlÊ, KimyÉ’, 54; al-Quran, surat al-Baqarah (2) ayat 36.196 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt al-AnwÉr, terjemahan bahasa Inggris dengan pen-

dahuluan oleh W.H.T. Gairdner, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1952), hlm. 144-146; untuk diskusi lebih lanjut tentang sifat manusia lihat “SharÍ ‘AjÉ’ib al-Qalb,” dalam IÍyÉ’ Jilid 3, hlm. 7. Dalam Alchemy, ia menya-takan bahwa perjalanan manusia melalui dunia dibagi menjadi empat tahapan: indrawi, eksperimental, instingtif, dan rasional, hlm. 68. Ban-dingkan dengan al-GhazÉlÊ, MÊzÉn al-‘Amal, (Kairo: MaÏba‘ah al-Kurdis-tan al-‘Ilmiyyah, 1328 H/1910 M), hlm. 26-27.

Page 177: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

162

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Al-GhazÉlÊ berpendapat bahwa “keadilan Tuhan diwujudkan baik melalui sesuatu di atas dirimu atau melalui dirimu, karena engkau sendiri juga berasal dari perbuatan-Nya.”197 Ini berarti bahwa se-bab perilaku manusia (seperti keinginan, pengetahuan, dan seba-gainya) memiliki dua aspek: satu adalah manusia, dan yang lain adalah aspek Tuhan. Kekuatan spiritual manusia ini merupakan bagian dari proses kenaikan manusia menuju Tuhan. Kekuatan ini dapat dimanfaatkan untuk melewati dunia mulk dan shahÉdah. Jadi, realitas manusia itu terdiri dari: (1) aspek perilaku manusia yang terlihat; (2) aspek yang tak terlihat dalam perilaku manusia; (3) aspek yang tak terlihat di luar perilaku manusia; (4) aspek yang tak terlihat dari Tuhan. 198

Untuk menggali lebih dalam aspek-aspek yang terlihat dan yang tak terlihat dari perilaku manusia ini, perlu digambarkan konsep al-GhazÉlÊ tentang sifat perbuatan manusia. Dalam IhyÉ’ dan KitÉb al-TawhÊd, 199 ia membagi perbuatan manusia menjadi tiga jenis. Pertama, tindakan alamiah (fi‘l ÏabÊ‘Ê), seperti mere-sapnya air ke tubuh yang jatuh ke dalamnya. Kedua, tindakan su-karela (fi‘l irÉdÊ), seperti tindakan bernapas atau menutup mata untuk mengantisipasi benda yang masuk. Ketiga, tindakan pilihan atau elektif (fi‘l ikhtiyari), seperti tindakan menulis atau tindakan berbicara. Tindakan ketiga ini tindakan seseorang bisa bersedia atau tidak bersedia melakukannya. Pada jenis ketiga inilah al-GhazÉlÊ menyusun urutan keadaan psikologis yang mendahului suatu perbuatan.

Kondisi indrawi dan kognisi berperan secara tetap sebagai motivasi (dawÉ‘Ê), yang dengan itu menyebabkan munculnya kehendak yang kemudian akan mengaktifkan kekuatan tindakan (qudrah) berdasarkan kehendak itu dan akhirnya terhasilkanlah suatu perbuatan. Namun, ada faktor lain yang memainkan peran penting bagi munculnya tindakan manusia, yaitu pengetahuan.

197 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 9.198 Kojiro Nakamura, “ImÉm Al-GhazÉlÊ’s Cosmology”, hlm. 40.199 Al-GhazÉlÊ, “Kitab al-TawhÊd,” IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 230-

238.

Page 178: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

163

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Pengetahuan yang muncul setelah pemikiran dan refleksi ini akan menentukan yang mana dari keduanya melakukan sebuah tindak-an atau menahan diri, yang sebenarnya akan lebih bermanfaat atau mengundang bahaya. Dalam keadaan semacam ini manusia tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihan. Tuhan adalah aspek lain yang tak terlihat yang berperan dalam menentukan tindakan manusia, tapi kita akan membincangkan ini dalam masalah kau-salitas dan tindakan manusia di Bab Empat.

Berikut ini urutan lain terjadinya tindakan elektif manusia yang ditawarkan oleh al-GhazÉlÊ. Dalam pembahasannya tentang niyyah pada IÍyÉ’ Jilid 4 Bagian 7,200 ia menyatakan bahwa tin-dakan elektif terjadi sebagai konsekuensi dari tiga keadaan. Per-tama, pengetahuan, yaitu ‘ilm, termasuk ma‘rifah (pengetahuan), Ðann (dugaan), i‘tiqÉd (keyakinan), dan Íukm al-i‘tiqÉd (hukum-hukum dalam keyakinan). Kedua, keinginan (raghbah), termasuk shahwah (syahwat), mayl (kecenderungan), irÉdah (keinginan), niyyah (niat) dan qaṣd (tujuan). Ketiga, kekuatan atau kemam-puan (qudrah) yang ditunjukkan oleh organ tubuh.

Al-GhazÉlÊ menyebut yang pertama (yakni pengetahuan) se-bagai motif untuk bertindak (bÉ‘ith). Prosesnya berjalan seperti ini: begitu motif tindakan ada, keadaan-keadaan lain mengikuti dan tindakan akan terjadi. Namun, ketika ada motif tandingan yang mengganggu atau mencegah tindakan itu terjadi, manusia akan memilih hanya satu tindakan sejauh motifnya cukup dalam dirinya sendiri untuk menggerakkan terjadinya tindakan. Con-toh yang diberikan al-GhazÉlÊ adalah seseorang termotivasi un-tuk berzakat kepada keluarganya, karena si calon penerima zakat adalah anggota keluarganya sekaligus karena ia miskin. Di sini bisa jadi terdapat motif pilihan lain yang boleh jadi mengganggu pilihan pertama, yaitu memberi zakat kepada keluarganya yang cukup kaya, atau orang asing yang bukan keluarga tapi miskin. Dari motif-motif tersebut seseorang sudah bisa menentukan suatu tindakan.

200 Al-GhazÉlÊ, Ihya’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 312-313.

Page 179: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

164

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Lebih detail lagi tentang peran motif dalam menghasil-kan tindakan manusia dapat ditemukan dalam Jilid 3 Bagian 1 kitab IÍyÉ’, 201 yang membahas keadaan-keadaan hati (aÍwÉl al-qalb). Al-GhazÉlÊ menyebutkan empat keadaan hati yang di-perlukan untuk menghasilkan suatu tindakan. Pertama, gagasan atau pemikiran (khÉÏir) atau kadang-kadang dalam bentuk perka-taan jiwa (ÍadÊth al-nafs). Kedua, gairah, keinginan atau kecen-derungan (raghbah, Íarakat shahwah atau mayl). Ketiga, keya-kinan atau penilaian hati (i‘tiqÉd Íukm al-qalb). Untuk penerap-annya, al-GhazÉlÊ memberi permisalan seseorang yang sedang berjalan menyusuri jalan dan seorang perempuan yang berada di belakangnya. Jika orang itu berbalik, ia akan melihat perempuan itu (keadaan pertama), lalu muncul hasratnya untuk melihat pe-rempuan itu (keadaan kedua). Jika hati menilai dan menentukan untuk melihat perempuan itu (keadaan ketiga), maka muncullah tindakan. Jika ada motif tandingan hadir sebelum dihasilkan per-buatan, maka penentuan kehendak atau niat berbuat akan menjadi keadaan keempat: tindakan tetap dilakukan ataukah justru mena-han diri.

Dalam urutan tindakan manusia di atas, al-GhazÉlÊ mengung-kapkan tanggung jawab atau akuntabilitas manusia untuk masing-masing dari empat keadaan tersebut. Menurutnya, seseorang tidak bertanggung jawab atas keadaan yang pertama dan kedua (khÉÏir dan Íarakat al-shahwah) karena tak satu pun dari keduanya yang dipilih. Untuk keadaan ketiga, yaitu penilaian hati, tindakan se-seorang kadang-kadang dipilih tapi di lain waktu ia terpaksa. Al-GhazÉlÊ tidak menjelaskan lebih lanjut mana yang wajib dan mana yang dipilih. Seseorang bertanggung jawab untuk keadaan yang ketiga sejauh ia dipilih. Keadaan keempat adalah keadaan saat seseorang menentukan kehendaknya, dan akibatnya ia ber-tanggung jawab untuk itu.

Berkaitan dengan gagasan (khÉÏir), al-GhazÉlÊ menganggap-nya sebagai pemikiran yang baru saja dipahami (afkÉr) atau se-bagai sesuatu yang diingat (adhkÉr). Suatu gagasan mendorong

201 Al-GhazÉlÊ, Ihya’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 36-37.

Page 180: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

165

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pada keinginan (raghbah), dan keinginan menimbulkan keputus-an (‘azm), yang pada gilirannya ini akan menimbulkan niat (niy-yah), lalu niat menyebabkan gerakan anggota badan dan organ tubuh. Masalahnya, jika seseorang tidak bertanggung jawab atas terjadinya gagasan (khÉÏir), yang juga dapat dikategorikan seba-gai motif (bÉ‘ith), lalu bagaimana keadaannya di hati manusia? Al-GhazÉlÊ membawa masalah ini ke perbincangan tentang per-timbangan moral. Pertimbangan moral terjadi ketika ada konflik antara motif terpuji dan motif tercela. Konflik ini, menurutnya, terjadi antara akal (‘aql) dan nafsu (hawÉ); akal didukung oleh malaikat, sedangkan nafsu oleh iblis. 202 Tentang bagaimana ma-laikat mendukung motif manusia, ini perlu dibahas lebih lan jut. Perhatian penuh al-GhazÉlÊ bisa didapati dalam karyanya, MÊ-zÉn, ketika membahas masalah kebajikan pertolongan Tuhan, yang menurutnya ada empat: bimbingan Allah (hidÉyat AllÉh), petunjuk Allah (rushd AllÉh), arahan Allah (tasdÊd AllÉh), dan dukungan Tuhan (ta’yid AllÉh).203 Semua kebajikan ini terkait dengan tindakan eksternal dan jasmani.

Berkenaan bimbingan Ilahi, al-GhazÉlÊ memperkenalkan tiga tahap bimbingan. Tahap pertama, berkaitan dengan soal mengeta-hui bagaimana membedakan antara yang baik dan jahat. Mengu-tip ayat al-Quran surat al-Balad (90) ayat 10, ia menyatakan bahwa jenis bimbingan ini diberikan oleh Tuhan kepada semua manusia, “sebagian melalui akal (bi al-‘aql) dan sebagian melalui wahyu kepada Nabi.” 204 Al-GhazÉlÊ memandang bahwa akal dan wahyu merupakan pedoman umum (al-hidÉyah al-‘Émmah) yang tersedia untuk semua manusia, baik secara langsung maupun ti-dak langsung.205 Tahap kedua, Tuhan terus-menerus membantu di

202 Ibid, hlm. 41.203 Al-GhazÉlÊ, MÊzÉn, hlm. 110; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.),

hlm. 2 dan 249.204 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 2.205 Tentang persoalan bimbingan umum, al-GhazÉlÊ tampaknya mirip dengan

gagasan Mu‘tazilah tentang petunjuk secara umum, walau sebenarnya berbeda. Baginya, Tuhan memberi petunjuk manusia pada apa yang baik dan apa yang buruk, yang identik dengan doktrin Ash‘arÊyah, bertentangan dengan Mu’tazilah yang menolak mengakui bahwa Tuhan membimbing

Page 181: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

166

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

setiap keadaan secara proporsional bagi kemajuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan perbaikan amal. Artinya, manusia telah menerima pedoman umum sebagaimana dimaksud dalam ayat al-Quran surat Muhammad (47) ayat 17.206 Tahap ketiga, disama-kan dengan cahaya (nËr) yang menerangi kondisi nabi-nabi dan orang-orang suci (wali). Melalui cahaya ini manusia dapat men-capai apa yang tidak bisa dicapai dengan cara akal.

Selanjutnya arahan Tuhan, yang mengacu salah satu sifat Tu-han al-Rashid (Yang Memberi Petunjuk), yang bermakna Tuhan memberikan petunjuk kepada semua orang secara proporsional untuk membimbing mereka. 207 Petunjuk ini akan memperkuat manusia untuk memilih apa-apa yang baik dan melemahkan ke-cenderungannya pada apa-apa yang buruk. Keutamaan bimbing-an Tuhan yang berikutnya adalah arahan (tasdÊd). Pertolongan ini hadir ketika kehendak dan tindakan manusia menuju pada tujuan yang benar. Pertolongan ini memfasilitasi tindakan manusia agar dapat mencapai tujuan dalam waktu singkat. Sementara petunjuk hanya menginspirasi manusia untuk bergerak maju, bimbingan Ilahi berperan dalam menggerakkan manusia menuju tujuan-nya.208 Pertolongan berikutnya adalah dukungan (ta’yÊd). Perto-longan ini bersifat internal, yakni memberi manusia wawasan; saat yang sama juga bersifat eksternal, yakni memperkuat dirinya dan memberikan kondisi yang cocok untuk mencapai apa yang diinginkan.

Hal menarik untuk dicatat dalam kaitan dengan bimbingan Ilahi adalah Tuhan merupakan sumber pokok kebaikan dan keja-hatan karena Dialah sebab dari segala sesuatu. Pandangan ini—yang terkait dengan kajian kita tentang kausalitas—mengindika-

manusia pada kesesatan. Lihat al-Ash’arÊ, MaqÉlÉt Jilid 1, hlm. 259-262. 206 Ayatnya berbunyi, “Tetapi bagi mereka yang menerima petunjuk, Ia me-

ningkatkan petunjuknya dan menganugerahi mereka dengan ketakwaan (taqwÉhum).” Al-GhazÉlÊ, MÊzÉn, hlm. 115; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 2.

207 Al-GhazÉlÊÉ, MaqÎad, hlm. 97; al-GhazÉlÊ The Ninety-Nine, hlm. 148.208 Al-GhazÉlÊ, MÊzÉn, hlm. 115; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.),

hlm. 2.

Page 182: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

167

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sikan Tuhan hanyalah satu-satunya sebab yang mencukupi bagi segala sesuatu. Ini mengisyaratkan pula bahwa realitas Tuhan merupakan satu-satunya Pelaku (fÉ‘il). 209 Meskipun demikian, al-GhazÉlÊ tetap berbicara tentang tindakan yang berdasarkan kehendak dan tanggung jawab manusia terhadap sesuatu.210 Pan-dangan al-GhazÉlÊ yang kukuh untuk menyelesaikan masalah yang tampak ini adalah merujuk pada doktrin teologi Ash‘arÊyah. Ia mengatakan: “api membakar, ia membakar karena takdir murni. Perbuatan Tuhan adalah kebebasan memilih yang murni. Posisi manusia ada di tengah-tengah keduanya: pilihan yang ditakdirkan (jabr ‘alÉ al-ikhtiyÉr).” 211

Diskusi pada bab ini hanyalah satu bagian dari realitas ma-nusia. Ada banyak aspek manusia yang sebenarnya telah didis-kusikan secara mendalam oleh al-GhazÉlÊ. Di sini hanya dibahas poin yang penting dalam mendeskripsikan hubungan Tuhan dan manusia, khususnya dalam hubungan dengan kausalitas.

KESIMPULAN

Dari bahasan bab ini, kita dapat menafsirkan bahwa al-GhazÉlÊ menghubungkan realitas dengan eksistensi. Al-GhazÉlÊ menafsirkan eksistensi sebagai keseluruhan dari Eksisten Sejati (al-MawjËd al-×aqÊqÊ), Yang paling nyata dan mutlak (al-Íaqq al-mutlaq). Selain diri-Nya, segala sesuatu memperoleh realitas mereka yang sejati dari-Nya. Titik pokok di sini adalah konsep Eksisten Sejati, yaitu Tuhan. Teori al-GhazÉlÊ yang umum tentang konsep Tuhan, sampai batas tertentu, sama dengan teori kalangan falāsifah namun berbeda secara diametral dalam penjelasan rinci. Perbedaan itu dapat dilihat dari konsep keesaan dan sifat-sifat Tuhan, dua poin penting yang memainkan peran penting dalam konsep berikutnya.

209 Al-GhazÉlÊ, MaqÎad, hlm. 91; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 5.

210 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 2, 1442; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 5.

211 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 5.

Page 183: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

168

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Dari konsep keesaan Tuhan, al-GhazÉlÊ menyusun dua pan-dangan yang berbeda tentang hubungan Tuhan-dunia: keesaan pelaku atau pencipta atau penyusun dunia, dan kesatuan dari ke-anekaragaman hal-hal di dunia. Konsekuensinya, sebagai pelaku atau pembuat atau pencipta dunia, Tuhan digambarkan memi-liki sejumlah sifat yang dikenal dengan tujuh sifat pokok, yaitu Hidup, Mengetahui, Berkehendak, Berkuasa, Mendengar, Meli-hat, dan Berbicara. Dengan sifat-sifat ini al-GhazÉlÊ bisa menje-laskan tanpa kesulitan hubungan antara Realitas Mutlak dengan realitas ciptaan dalam dunia indrawi.

Dalam konteks realitas, konsep tentang keesaan Tuhan ber-kaitan dengan gagasan tentang Tuhan sebagai Realitas Mutlak. Dalam gagasan ini al-GhazÉlÊ membedakan eksistensi yang nyata dari eksistensi yang tidak nyata. Yang ada dengan sendirinya dan benar-benar nyata adalah Tuhan. Yang tidak ada, dan tidak bisa ada dengan sendirinya, ini berarti benar-benar tidak nyata. Yang tidak ada dengan sendirinya namun ada karena sesuatu yang lain, maka itu tidak nyata dalam dirinya sendiri namun nyata mela-lui cara tempatnya mengada. Dunia tidak ada dengan sendirinya sehingga dunia tidak nyata. Namun, dunia ada karena Tuhan sehingga dunia nyata. Singkatnya, ia sekaligus nyata dan tidak nyata (tidak nyata dalam dirinya sendiri dan nyata karena Tuhan), yang menjadi nyata hanya dalam pengertian metaforis.

Dalam hal eksistensi, objek-objek dunia tidak memiliki ek-sistensinya sendiri, dan hanya ada melalui Tuhan, karena tidak ada yang benar-benar ada kecuali Tuhan. Al-GhazÉlÊ tampaknya menganggap esensi sesuatu itu berbeda dari eksistensinya. Ditin-jau dari esensinya, setiap sesuatu itu tanpa eksistensi, atau tidak ada sama sekali (‘adam maÍÌ) dan tidak nyata (bÉÏil). Ia ada ka-rena eksistensinya bermula dari eksistensi Tuhan dan hanya nyata dalam kaitan dengan eksistensi tersebut.

Konsep al-GhazÉlÊ tentang Tuhan memiliki pengaruh menda-lam terhadap ajarannya tentang kosmologi dan ontologi. Dengan menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya Pencipta yang daya kreatif-Nya begitu luas dan langsung, al-GhazÉlÊ memandang

Page 184: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

169

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dunia sebagai ciptaan Tuhan yang sedang berlangsung. Oleh ka-rena itu, al-GhazÉlÊ mengganti istilah “Sebab” untuk Tuhan da-lam pengertian para filsuf dengan “Pelaku” agar dapat memper-tahankan konsep Tuhan yang hidup. Mensifatkan Tuhan sebagai “Pelaku”, bersama dengan sifat-sifat-Nya, akan mengisyaratkan doktrin penciptaan, sedangkan memberi karakter Tuhan seba-gai “Sebab” tanpa sifat akan menegaskan doktrin emanasi. Se-hubungan dengan sifat Tuhan yang kekuasaan-Nya begitu luas dan meliputi segala sesuatu, ciptaan (sebagai akibat) menjadi kebenaran niscaya yang mengungkap prinsip proses penciptaan langsung dan penciptaan kembali terus-menerus, yakni bergan-tung pada Tuhan. Penciptaan secara langsung dijelaskan dari teori atom. Segala sesuatu di dunia dilihat secara atomistik, dan hanya Tuhanlah pelaku bagi muncul dan rusaknya segala sesuatu.

Keluasan kekuasaan Tuhan sebagai pelaku menimbulkan pula kesatuan realitas. Artinya, dalam tatanan alam semesta, kosmolo-gi dan berjalannya sebab sekunder yang pasti bisa dilihat sebagai realitas bagian dari Realitas Mutlak. Bahkan, sebagai konsekuen-sinya, konsep realitas dan eksistensi al-GhazÉlÊ mendukung ke-satuan dalam sistem konseptualnya. Dari perspektif metafisika, misalnya, aspek eksistensi “yang terlihat” dan “yang tak terlihat” dipahami dalam satu kesatuan pandangan. Dari perspektif episte-mologis, kesatuan akan berkorelasi dengan berbagai tingkat dan bidang pengetahuan dan pengalaman dalam satu kesatuan yang utuh. Uraian tentang hal ini akan dijelaskan secara terpisah. Dari perspektif psikologi, ia mengarahkan pengalaman emosional ma-nusia menuju pemenuhan yang utuh dan tertinggi mereka.

Dalam kaitannya dengan pembahasan berikutnya tentang konsep pengetahuan, penting dicatat bahwa hampir di setiap konteks penjelasan sifat eksistensi, al-GhazÉlÊ secara simultan membahas rahasia mengetahui beserta kesatuan pengetahuan dan pengalaman pada manusia seutuhnya. Kepada insan penelisik, realitas mengungkapkan dirinya sendiri dalam tingkatan-tingkat-an tatkala insan penelisik mengembangkan pemahaman sifatnya, dan sifatnya berkembang secara simultan menuju pemenuhan

Page 185: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

170

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

diri karena menghimpun pengetahuan dan pengalaman eksisten. Jadi, pengetahuan tentang keberadaan, rahasia mengetahui, dan disiplin diri merupakan proses yang tak terbagi di dalam diri in-san penelisik. Oleh karena itu, kita melihat di bagian atas bahwa al-GhazÉlÊ menarik kesejajaran antara kosmologi dan psikologi sifat manusia.

Page 186: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

171

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

KONSEP AL-GHAZÓLÔ tentang pengetahuan yang dianalisis di sini sangat terkait dengan konsepnya tentang realitas, yang telah diuraikan pada Bab Dua. Realitas dalam pemikiran al-GhazÉlÊ merupakan sesuatu yang tidak terbatas pada realitas indrawi, yang eksternal dan berubah, tetapi juga Realitas Mutlak, yang perma-nen dan transendental. Dengan demikian, realitas-realitas tidak hanya memerlukan persepsi indrawi, observasi, praduga logis, namun juga intuisi dan dalil yang benar berdasarkan pada otori-tas. Masalah ini mencakup arti pengetahuan, klasifikasi, subjek atau yang mengetahui (the knower) dan objeknya, proses bagai-mana yang mengetahui (the knower) memahami objeknya, sejauh mana yang mengetahui (the knower) memperoleh pengetahuan dengan pasti dan seterusnya.

Dalam bab ini, masalah tersebut tidak semuanya diuraikan; saya hanya akan fokus pada penafsiran al-GhazÉlÊ tentang makna pengetahuan, klasifikasi dan integrasinya, hubungannya dengan kenyataan, proses perolehannya, dan akhirnya makna kepastian-nya. Semua itu masih relevan dengan posisi al-GhazÉlÊ dalam isu hukum kausalitas.

B A B T I G A

Konsep Pengetahuan al-Ghazālī

Page 187: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

172

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

DEFINISI PENGETAHUAN

Sebelum membicarakan pandangan al-GhazÉlÊ tentang penge-tahuan, harus diingat bahwa perjalanan intelektual al-GhazÉlÊ dalam mencari “pengetahuan tentang hakikat sesuatu ” (al-‘ilm bi-haqā’iq al-umr), menurutnya, memerlukan penyelidikan ten-tang makna “hakikat pengetahuan” (haqīqat al-‘ilm) itu sendiri. Penyelidikan ini berakhir pada gagasan bahwa realitas pengeta-huan itu jelas dan pasti (al-‘ilm al-yaqÊnÊ), dengan objek yang diketahui tampak begitu jelas sehingga tidak ada lagi yang perlu diragukan atau disalahkan.1 Ini berarti al-GhazÉlÊ mengutama-kan makna pengetahuan atau realitas pengetahuan ketimbang re-alitas sesuatu.

Sekarang kita akan membahas posisi al-GhazÉlÊ tentang de-finisi pengetahuan. Dalam tradisi intelektual Islam, setiap upaya untuk mendefinisikan pengetahuan sangatlah dihargai. Berbagai bidang ilmu—seperti teologi, sufisme, filsafat, dan sastra—meng-hasilkan beragam definisi pengetahuan. Namun, dalam teologi spekulatiflah definisi pengetahuan (al-‘ilm) dicari dengan penuh semangat. Tidak ada karya teologi spekulatif yang bisa menghin-dar dari pembahasan definisi al-‘ilm.2 Istilah al-‘ilm berasal dari al-Quran, dan ini merupakan kekuatan pendorong kaum Muslim untuk mencari definisi dan struktur atau polanya,3 serta me-

1 Ungkapan aslinya: “InnamÉ maÏlËbÊ al-‘ilm biÍaqÉ’iq al-umËr, falÉbudda min Ïalab ÍaqÊqat al-‘ilmi mÉ hiya.” Lihat “al-Munqidh al-ÖalÉl”, dalam MajmË‘ah al-RasÉ’il al-ImÉm al-Ghazālī , Ahmad Syams al-DÊn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1988), hlm. 26; Deliverance From Er-ror, terjemahan bahasa Inggris oleh Richard J. McCarthy, (Louisville: SJ. Fons Vitae, 1980), hlm. 55; W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazālī , (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1981), hlm. 21.

2 Franz Rosenthal, Knowledge the Triumphant, (Leiden: E.J. Brill, 1970), hlm. 46-47.

3 Alparslan Açikgenç, Islamic Science Towards Definition, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1996), hlm. 21-23; dan S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Address”, dalam Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity; Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity, (Kuala Lumpur: Historical and Contemporary Context, August, 1-5, 1994), hlm. 29.

Page 188: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

173

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

ngembangkannya dalam berbagai cabang, yang pada gilirannya memperlihatkan worldview Islam. Bahkan, kaum Muslim beru-paya menjelaskan “apakah arti sebenarnya dari pengetahuan” dan mengetahui sebuah definisi yang bisa diterima karena ini bagian dari usaha memahami pengetahuan tentang Tuhan dalam hubung-annya dengan dunia, kehidupan, manusia, iman, akal, etika, dan seterusnya. Selain itu, alasan utama mendefinisikan pengetahuan adalah karena langkah licik yang dilakukan oleh orang-orang anti-agama, biasanya dikenal sebagai kalangan Sofis (sufasÏÉ’iyyah), yang bertujuan untuk membuat bingung terhadap hal-hal yang sudah jelas dalam benak kaum Muslim.4

Walhasil, berbagai definisi yang dihasilkan dari upaya terse-but menunjukkan pelbagai cara pandang. Franz Rosenthal men-catat lebih dari seratus definisi al-‘ilm dalam tradisi intelektual Islam dan mengklasifikasikannya ke dalam dua belas kategori.5

Terlepas dari berbagai definisi yang disampaikan para ulama, ternyata terdapat pemikir Muslim yang masih masih ragu akan bisa tidaknya pengetahuan didefinisikan. Al-ÙaÍÉnÉwÊ, misalnya, memperkenalkan tiga pandangan. Pertama, mereka yang perca-ya bahwa pengetahuan tentang pengetahuan itu bersifat intuitif (badÊhÊ) dan pasti (ÌarËrÊ) serta hakikatnya bisa dipahami se-bagai keseluruhan sehingga tidak dapat didefinisikan. Pandang-an ini dipegang oleh Fakhr ad-Dīn al-Razī (w. 543 H/1209 M). Kedua, mereka yang mengakui bahwa pengetahuan itu spekulatif

4 Pernyataan terkenal Najm al-DÊn al-Nasafi terkait dengan realitas hal-hal merujuk pada kalangan Sofis: “realitas hal-hal adalah permanen dan pengetahuan tentangnya bisa diverifikasi, bertentangan dengan kalangan Sofis” (×aqÉ’iq al-umËr thÉbitah wa al-‘ilmu bihÉ mutaÍaqqiq khilÉfan li SufasÏÉ’iyyah). Sa‘d al-DÊn al-TaftÉzÉnÊ, SharÍ al-‘AqÉ’id, (Kairo: DÉr al-Kutub al-‘Arabiyah al-KubrÉ, 1335 H), hlm. 16-17; terjemahan bahasa Inggris oleh Earl Edgar Elder, A Commentary on the Creed of Islam Sa‘d al-DÊn al-TaftÉzÉnÊ on the Creed of Najm al-DÊn al-Nasafi, (New Work: Columbia University Press, 1950), hlm. 5. Dalam al-MankhËl, al-GhazÉlÊ juga mempersembahkan satu bab untuk mendiskusikan problem pengeta-huan dengan melemparkan kritik kepada kalangan Sofis. Lihat al-GhazÉlÊ, al-MankhËl min Ta‘lÊqÉt al-UÎËl, MuÍammad ×asan Hitu (ed.), (Dam-askus: DÉr al-Fikr, 1970), hlm. 34-35.

5 Rosenthal, Knowledge, hlm. 52-69.

Page 189: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

174

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

(naÐarÊ) dan sulit untuk didefinisikan kecuali melalui pembagian (qismah) dan permisalan (mithÉl). Para pendukung pandangan ini adalah al-GhazÉlÊ dan gurunya, Imam al-×aramayn al-JuwaynÊ (w. 478 H/1083 M) dan al-ÓmidÊ (w. 631 H/1233 M). Kebanyak-an pemikir Muslim merupakan penganut pandangan ini, seperti al-BaqillÉnÊ, al-Ash‘arÊ, Ibn FËrak (w. 406 H), dan beberapa teo-log (mutakallimËn) dan kalangan falÉsifah. Ketiga, mereka yang mengakui bahwa pengetahuan adalah spekulatif namun tidak su-lit untuk didefinisikan.6

Kontroversi masalah definisi pengetahuan juga tercermin da-lam karya awal al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, yang mana ia membuat bab khusus membahas hakikat pengetahuan (al-KalÉm fÊ ×aqÉ’iq al-‘UlËm), sebuah masalah yang kemudian dibahasnya lagi dalam Munqidh mina al-Dhalāl. Tujuan utama pada karyanya itu adalah membuktikan bahwa definisi pengetahuan dalam Islam itu mung-kin; berlawanan dengan kalangan Sofis yang menyangkal “ke-mungkinan mengetahui sesuatu seperti apa adanya.” Ia mencatat enam definisi dari para sarjana terkemuka lalu mengkritiknya dan setelah itu menyatakan sikapnya bahwa “pengetahuan tidak dapat didefinisikan” (inna al-‘ilma lÉ Íadda lah).7

Sementara di al-MankhËl al-GhazÉlÊ menyangkal bahwa pengetahuan itu bisa didefinisikan, dalam MiÍakk dan MustaÎfÉ ia percaya bahwa mendefinisikan pengetahuan dalam arti sebe-narnya (‘alÉ wajh al-ÍaqÊqÊ) dalam ekspresi tertulis—dengan jenis (genus) dan pembeda (differencia) yang digabungkan—merupakan pekerjaan sulit dan melelahkan. Pasalnya, kebanyak-an objek yang diindra (al-mudrakÉt) sulit untuk didefinisikan, apalagi untuk menentukan persepsi indrawi (al-idrÉkÉt). Alasan lain adalah pengetahuan merupakan istilah homonim (lafÐ al-mushtarak) yang kadang dapat didefinisikan sebagai pandangan (al-ibÎÉr) dan pengindraan (iÍsÉs), dan kadang menunjukkan

6 Al-‘AllÉmah MuÍammad ‘Ali al-ÙaÍÉnÉwÊ, KashshÉf IÎÏilÉhÉt al-FunËn wa al-‘UlËm, R. ‘Ajam (ed.), (Beirut: Maktabah Lubnan), hlm. 342.

7 Al-GhazÉlÊ, al-MankhËl min Ta’liqÉt al-UÎËl, MuÍammad ×asan Hitu (ed.), (Damaskus: DÉr al-Fikr, 1970), hlm. 92 dan 97.

Page 190: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

175

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

imajinasi (al-takhayyul) dan juga terkait asumsi (al-ÐannÊ). Kare-na sifatnya yang homonim, istilah al-‘ilm pun hampir tidak da-pat dijelaskan oleh aturan definisi. Objek yang didefinisikan itu homonim antara genus dan pembeda (differencia), seperti defi-nisi bahwa “pengetahuan adalah apa yang diketahui (al-‘ilm mÉ yu‘lamu bihi).”8 Kadang ia juga menunjukkan dalam makna lain “pengetahuan tentang Tuhan” yang lebih tinggi dan lebih mulia; bukan dalam pengertian umum, melainkan dalam esensi dan re-alitas-Nya. Pengetahuan juga menandakan kognisi rasional, dan itu berarti penjelasan dengan definisi masing-masing. Dengan de-mikian, sulit untuk menemukan definisi yang konklusif tentang pengetahuan. Meskipun seseorang tidak mungkin dapat menentu-kan pengetahuan, kata al-GhazÉlÊ, tidak berarti ia tidak tahu sifat-nya. Seseorang mungkin tidak bisa mendefinisikan bau parfum, tapi bisa mengenali dan mengidentifikasinya, katanya.9

MAKNA PENGETAHUAN

Meskipun menyangkal pengetahuan bisa didefinisikan, al-GhazÉlÊ tidak secara mentah-mentah menolak bila pengetahuan dapat diidentifikasi dan dijelaskan. Dua metode utama untuk menjelaskan (sharÍ) pengetahuan yang diperkenalkan oleh al-GhazÉlÊ adalah disjungsi (qismah) dan permisalan (mithÉl).10 Disjungsi (qismah) adalah metode menunjukkan perbedaan an-tara pengetahuan dan konsep-konsep terkait lainnya, seperti kera-guan, dugaan, keyakinan, kehendak, kekuasaan, dan sifat manu-sia lainnya. Ketika pengetahuan dipahami sebagai keyakinan, misalnya, ia harus dibedakan dari keraguan dan dugaan karena semuanya ini bertentangan. Pengetahuan mengungkapkan sesua-tu yang menentukan, yang tidak dapat dicampur dengan ketidak-pastian (taraddud). Ia juga tidak bisa mengabaikan perbedaannya dengan kebodohan (jahil), sifat yang berhubungan dengan hal-hal

8 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ min ‘Ilm al-UÎËl Jilid 1 (dari 2 jilid), M. Sulay-mÉn al-Ashqar (ed.), (Beirut: Muassasah al-RisÉlah, 1997), hlm. 56-57.

9 Al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, hlm. 92 dan 97. 10 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ Jilid 1, hlm. 67-68.

Page 191: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

176

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

yang tidak diketahui (majhËl), karena pengetahuan berhubungan dengan objek yang diketahui (al-ma’lËm).11 Titik fokus metode ini adalah menemukan perbedaan antara pengetahuan dan istilah-istilahnya yang ambigu. Menurut al-GhazÉlÊ, bila metode ini dila-kukan, makna dan realitas pengetahuan bisa terpatri dalam jiwa tanpa definisi.

Metode kemiripan (al-mithÉl) berarti kognisi pandangan batin (al-baÎÊrah al-bÉÏinah) yang dipahami melalui analogi pandangan lahir (al-baÎÊrah al-ÐÉhirah). Pandangan lahir tidak lain adalah kesan terhadap bentuk objek pandangan dalam pikiran manusia, seperti kesan terhadap gambar di cermin. Demikian juga, intelek itu seperti cermin dengan citra hal-hal yang bisa dimengerti ter-patri dalam pikiran sebagaimana mestinya. Pengetahuan, dalam hal ini, berarti pencapaian bentuk (ÎËrah), cara (hay’ah), dan ke-san (inÏibÉ) tentang yang bisa dipahami oleh intelek seperti kesan tentang gambar di cermin.12

Singkatnya, pengetahuan adalah hadirnya bentuk (ÎËrah) da-lam cermin intelek yang merupakan citra benda itu. Watak manu-sia yang siap menerima citra ini adalah intelek. Adapun jiwa—sebagai esensi manusia yang secara khusus memiliki kekuatan ini, dan siap menerima realitas sesuatu yang bisa dipahami—adalah seperti cermin. Jadi, metode disjungsi (qismah) memisah-kan pengetahuan dari sesuatu yang dianggap memiliki kemiripan dengannya atau menganalisis jenis satu pengetahuan dari jenis pengetahuan yang lain; sedangkan metode kemiripan (mithÉl) memahami realitas pengetahuan dengan melihat (menguji) kemi-ripan realitas sesuatu yang dinalar itu dengan pengetahuan atau terpatri dalam jiwa yang rasional.

11 Dari teori tentang definisi inilah al-GhazÉlÊ mengkritik definisi Mu’tazilah bahwa “pengetahuan merupakan kepercayaan atas sesuatu sebagaimana adanya.” Definisi ini menurutnya salah dalam dua poin. Pertama, dalam hal penspesifikasian objek pengetahuan pada “hal” (thing), karena penge-tahuan bukan hanya terkait dengan sesuatu, melainkan juga dengan non-eksistensi (al-ma‘dËm) yang tidak dianggap sebagai sesuatu. Kedua, keya-kinan dapat dicapai melalui peniruan (taqlÊd) yang mungkin bertentangan dengan fakta dan tidak melalui bukti yang independen. Ibid.

12 Ibid.

Page 192: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

177

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Sesuai dengan apa yang disampaikan dalam karyanya al-MiÍakk dan al-MustaÎfÉ, al-GhazÉlÊ menegaskan kembali dalam Mi‘yÉr bahwa “tidak ada makna pengetahuan kecuali ia adalah citra (mithÉl) yang hadir dalam jiwa, sesuai dengan citra yang dipersepsi oleh indra, yakni objek yang diketahui.” Ia adalah “bentuk yang sesuai dengan objek yang diketahui, seperti gambar (ÎËrah) atau pahatan (naqash), yang merupakan citra sesuatu.”13 Oleh karena itu, citra objek yang diketahui, yang hadir dalam cermin atau dalam hati, selalu sesuai dengan realitas.14 Dalam sebuah penjelasan yang ringkas, ia menegaskan bahwa pengeta-huan adalah “kognisi (ma‘rifah) sesuatu hal seperti apa adanya” (‘alÉ mÉ huwa bihÊ).15 Yang ia maksudkan dengan “sesuatu hal seperti apa adanya” tampaknya merujuk kepada esensi sesuatu, sedangkan subjek kognisi adalah jiwa rasional. Dalam al-RisÉlah al-Laduniyyah ia menegaskan bahwa:

Pengetahuan (al-‘ilm) adalah kehadiran makna sejati dari benda-benda, bentuk lahir mereka—ketika dilepaskan dari materi—moda mereka, kuantitas mereka, substansi dan esensi mereka, oleh jiwa yang tenang dan rasional (al-nafs al-nÉÏiqah al-muÏma’innah). Jadi, yang mengetahui (al-‘Élim) adalah ia yang memahami dan mengindra dan mengetahui, dan yang diketahui (al-ma‘lËm) adalah esensi sesuatu yang pengetahuannya yang terukir dalam jiwa.16

13 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilm fi al-ManÏiq, Ahmad Syams al-DÊn (ed.), (Bei-rut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), hlm. 312 dan 323; bandingkan de-ngan al-GhazÉlÊ, MaqÉÎid al-FalÉsifah, SulaymÉn DunyÉ (ed.), (Kairo: DÉr al-Ma’Érif bi MiÎr, 1961), hlm. 1 dan 7.

14 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), (Beirut: DÉr al-Qalam), hlm. 44; dan al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ Jilid 1, hlm. 67.

15 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 33; lihat juga edisi bahasa Inggris, The Book of Knowledge, oleh N.A. Faris, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf), hlm. 73. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ Jilid 1, hlm. 66; al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilm, hlm. 275. Bandingkan pula dengan AbË ManÎËr al-BaqillÉnÊ, KitÉb TamhÊd al AwÉ‘il wa TalkhiÎ al-DalÉil, M.M. KhudayrÊ dan A.A. AbË RÊdah (ed.), (DÉr al-Fikr al-‘ArabÊ, 1947), hlm. 6.

16 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah al-Laduniyyah, dalam MajmË‘at RasÉ’il Jilid 3, hlm. 58; terjemahan bahasa Inggris oleh Margaret Smith, The Journal of the Royal Asiatic Society, 1938, Bagian II-April, hlm. 191.

Page 193: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

178

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Oleh karena itu, objek pengetahuan menjadi pengetahuan se-telah makna nyatanya, mode, kuantitas, substansi, dan esensi dari semua realitas yang bisa dipahami hadir dalam jiwa rasional lagi tenang. Dalam ekspresi pendek, al-GhazÉlÊ mengatakan, “ketika realitas-realitas yang bisa dipahami terukir dalam jiwa rasional, mereka menjadi pengetahuan.”17

Ketika menganggap subjek atau substrata pengetahuan seba-gai esensi, al-GhazÉlÊ mendefinisikan pengetahuan sebagai sesu-atu yang “dengan itu esensinya itu ia mengetahui” (mā takānu al-dzat biha ‘alimātan).18 Dalam hal ini, pengetahuan menjadi sifat dari esensi jiwa.19 Oleh karena ilmu itu sifat jiwa, ia memungkin-kan seseorang yang memiliki sifat tersebut untuk bertindak dalam cara yang teratur.20 Karena ilmu itu berkaitan dengan tindakan, mencari pengetahuan itu serupa ibadah.

Singkatnya, penjelasan makna pengetahuan yang diuraikan di atas menandakan pencarian al-GhazÉlÊ tentang “pengetahuan yang sebenarnya” telah berakhir dalam pengertian paling khas bahwa pengetahuan merupakan realitas mental yang terakumu-lasi dari abstraksi realitas-realitas lahiriah dan yang bisa dipahami (intelligible) melalui berbagai metode atau proses. Jadi, dapat le-bih dipahami dalam kaitan dengan proses mental atau substrata-nya ketimbang dengan objeknya. Sekarang kita dapat menggam-barkan hubungan antara realitas batin dan realitas lahir.

17 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, hlm. 69.18 Ibid, hlm. 66; al-GhazÉlÊ, Mi’yÉr, hlm. 280. 19 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, Gerard Gihamy (ed.), (Beirut: DÉr al-

Fikr, 1993), hlm. 15 dan 199. 20 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, vol. I, 66. Di sini ia menyentuh ajaran Islam yang

pokok bahwa amal memerlukan pengetahuan. Dari titik ini mudah untuk dipahami pernyataannya dalam IhyÉ’ bahwa “pengetahuan adalah tentang cara untuk menemukan jalan kepada Tuhan, dan tentang apa yang mem-buat seseorang dekat ataukah jauh dari Tuhan.” Lihat al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, hlm. 18 dan 433.

Page 194: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

179

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

PENGETAHUAN DAN KENYATAAN

Hubungan antara pengetahuan dan realitas dalam pemikiran al-GhazÉlÊ bisa dilihat dari gagasannya bahwa jiwa manusia meru-pakan substrata atau subjek pengetahuan. Sebagai substrata, jiwa manusia menerima bentuk objek dan memahami realitas wujud (ḥaqāiq al-mawjūd). Realitas tidak hanya terkait secara konsep-tual dengan gagasan eksistensi murni, tetapi secara ontologis juga berstatus eksisten. Oleh karena itu, realitas eksistensi itu (sebagai objek pengetahuan) seluas realitas fisik dan metafisika. Dalam hal ini, al-GhazÉlÊ secara jelas menyatakan, “lingkup pengetahuan itu seluas wujud (al-‘ilm ḥukmuhu ḥukmu al-wujūd).”21 Ketika jiwa manusia memahami pengetahuan tentang realitas-realitas yang berbeda, realitas fisik jalin-menjalin dengan realitas metafisik.

Dalam konsep ini, jiwa manusia merasakan realitas fisik atau lahir yang bisa diindra dengan mata biasa, dan memahami reali-tas metafisika atau realitas batin dengan mata intelek.22 Realitas atau objek pengetahuan yang dipahami oleh intelek manusia me-nentukan ketinggian pengetahuan. Dengan mengacu pada konsep realitas, kepemilikan pengetahuan Realitas Mutlak menentukan peringkat pengetahuan. Artinya, sifat realitas itu berkorespon-densi atau berkaitan dengan hakikat pengetahuan.

Gagasan korespondensi itu terlihat dari konsep Al-GhazÉlÊ tentang realitas sesuatu (ÍaqÉ’iq al-ashyÉ’)23 yang awal mu-lanya ditulis dalam LauÍ al-MaÍfËÐ. Alam semesta yang mewu-

21 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 59; terjemahan bahasa Inggris. JRAS, Bagian II-April, 192; Dalam MishkÉt al-GhazÉlÊ bahkan menyatakan bahwa ke-seluruhan eksistensi merupakan domain intelek (majÉl al-‘aql). Lihat Al-GhazÉlÊ, “MishkÉt al-AnwÉr”, dalam al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ vol. II, 9; ter-jemahan bahasa Inggris oleh W.H.T. Gairdner, (Sh. Muhammad Ashraf, 1952), 87.

22 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, 44; terjemahan bahasa Inggris oleh Margaret Smith, The Journal of the Royal Asiatic Society, hlm. 198; Book Of Know-ledge, hlm. 141; al-GhazÉlÊ, al-Arba‘Ên fi UÎËl al-DÊn, al-Shaykh MusÏafÉ Abu al-A’lÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ), hlm. 196-197, 200, dan 212.

23 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ Jilid 3, hlm. 23; lihat Bab Dua, sub-subbahasan “Sistem Kosmos”.

Page 195: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

180

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

jud dari LauÍ al-MaÍfËÐ itu seperti pola seorang arsitek di kertas putih yang kemudian menjadi kenyataan sesuai rancangan pola itu. Pola adalah bentuk asli, sedangkan eksistensi materialnya merupakan realisasi dari pola tersebut. Ketika kita memahami atau mengindra realitas alam semesta melalui indra dan imajinasi kita, realitas itu tampak dalam bentuk yang berbeda dari aslinya. Persepsi semacam itu seperti seseorang yang mengamati langit dan Bumi lalu menutup matanya. Ia akan melihat bentuk langit dan Bumi dalam imajinasinya seolah-olah ia mengamati secara nyata. Meskipun langit dan Bumi tidak hadir, gambarnya tetap ada dalam imajinasi. Selanjutnya, imajinasi yang dibawa oleh persepsi indrawi itu muncul ke dalam pikiran yang merepresen-tasikan realitas benda-benda. Jadi, terdapat korespondensi antara dunia yang dipahami oleh pikiran, dunia imajinasi, dan realitas dunia selain dari apa yang dipersepsikan, sementara dunia yang ada berhubungan dengan tulisan (nuskhah) di LauÍ al-MaÍfËÐ. Paparan eksistensi tersebut menunjukkan korelasi antara reali-tas Ilahi, realitas makhluk, dan antara realitas lahir dan pengeta-huan.

Korespondensi yang lebih jelas antara eksistensi material dan mental—atau realitas fisik dan pengetahuan—dapat ditemukan dalam karya al-GhazÉlÊ, MiÍakk. Korelasi tersebut disusun dalam bahasa proses pemahaman realitas. Realitas sesuatu itu, menurut-nya, terdiri dari empat derajat. Ia mulai dari realitas dalam benda itu sendiri, diikuti oleh menetapnya (thubËt) citra realitas dalam pikiran (yang disebut pengetahuan), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan citra ke dalam abjad (sebagai ekspresi citra dalam diri) dan penyusunan angka yang diketahui melalui pancaindra, yang menunjukkan bahasa. Sebaliknya, jika realitas itu berproses sehingga menjadi tulisan, maka sebaliknya dari teori korespon-densi dari tulisan itu dapat diketahui makna realitas sesuatu. Tu-lisan mengikuti bahasa dan bahasa sesuai dengan pengetahuan dan pengetahuan mengikuti objeknya (al-ma‘lËm) bahkan me-nyesuaikan diri dan bersesuaian dengannya.24 Al-GhazÉlÊ tidak

24 Al-GhazÉlÊ, MiÍakk al-NaÐar, di bagian akhir buku Ibn ×azm al-AndalusÊ,

Page 196: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

181

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

hanya menarik derajat eksistensi realitas benda-benda menjadi kenyataan mental tetapi juga menjadi citra dan realitas linguistik dalam bentuk tertulis. Pembagian realitas atau eksistensi tersebut jelas dibuat dengan mengacu pada modus persepsi realitas dalam kaitannya dengan pengetahuan.

Bagi al-GhazÉlÊ, perbedaan derajat eksisten material, ima-jinatif, dan mental tidak selalu menafikan korespondensi antara mereka. Penjelasan ini sesuai dengan sebagian besar definisi, baik yang dicatat oleh Rosenthal maupun al-ÙaÍÉnÉwÊ, bahwa penge-tahuan merupakan proses mental subjektif dalam kaitan dengan realitas objektif atau data konkret.25 Definisi al-GhazÉlÊ—bahwa pengetahuan merupakan realitas-realitas yang bisa dipahami yang terukir dalam jiwa rasional—sejajar dengan definisi al-Jurjānī yang dirangkum dari tradisi intelektual Islam. Pengetahuan bagi Jurjani adalah “hadirnya jiwa pada makna benda-benda dan ha-dirnya makna pada jiwa.”26 Benda itu sendiri, citra, tulisan, dan angka bersesuaian (mutawÉfiqah), berkorespondensi (mutaÏÉ-biqah), dan berseimbangan (mutawÉzinah) satu sama lain.

HAKIKAT PENGETAHUAN

Dari paparan sebelumnya tentang makna pengetahuan, je-las bahwa pengetahuan itu adalah realitas pikiran yang dihasil-kan dari realitas yang ditangkap oleh pikiran itu. Realitas dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada realitas diamati dalam fenomena alam tetapi juga termasuk realitas yang tak terlihat dari alam supranatural. Sejalan dengan prinsip “lingkup pengetahuan adalah seluas lingkup wujud”, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sifat dan struktur pengetahuan mengikuti secara otoma-tis realitas wujud termasuk realitas Ilahi dan realitas ciptaan ilahi dan keduanya merupakan objek pengetahuan. Sifat pengetahuan

al-TaqrÊb li Íadd al-ManÏiq, AÍmad FarÊd al-MazÊdÊ (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 265.

25 Rosenthal, Knowledge, hlm. 56-58. 26 ‘Ali ibn MuÍammad al-JurjÉnÊ, al-Ta‘rÊfÉt, M. ‘Abd al-×akÊm al-QÉÌÊ

(ed.), (Mesir dan Beirut: DÉr al-KitÉb, 1991), hlm. 168.

Page 197: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

182

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

juga ditentukan oleh metode pencapaiannya, namun terlepas dari metode pencapaian dan objek yang berbeda-beda, tempat untuk proses konseptualisasi tetaplah satu. Di sini prinsip kesatuan visi (waÍdat al-shuhËd) relevan untuk melihat realitas yang berbeda-beda itu.

Proses pemahaman yang unik tentang makna pengetahuan dalam Islam ini berbeda dari teori-teori Barat yang membedakan begitu tajam antara studi tentang Tuhan dan studi tentang feno-mena alam sehingga satu sama lain tidak saling berhubungan. Di Barat studi tentang objek dan fenomena alam ditempatkan dalam ilmu-ilmu alam atau ilmu rasional, sedangkan studi tentang Tuhan lebih tepat dimasukkan dalam filsafat atau teologi. Mereka ber-anggapan bahwa objek sains dan teologi berbeda dan tidak bisa dikaitkan karena alam tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Akibat-nya, sains dan teologi menjadi dua jenis pengetahuan yang tidak dapat diintegrasikan. Namun, dalam konsep al-GhazÉlÊ, pengeta-huan dilihat tidak dalam arti dikotomi namun kesatuan. Terkait dengan konsep realitas yang digambarkan dalam Bab Dua, duali-tas atau bahkan keragaman objek dilihat al-GhazÉlÊ sebagai satu kesatuan pandangan. Pengetahuan itu satu tetapi karena objeknya beragam maka derajat kebenarannya bisa lebih dari satu.

Pengetahuan Agama

Struktur pengetahuan agama dilihat setidaknya dari tiga di-mensi: tingkat eksistensi, modus dan tujuan pencapaian, serta sumber pencapaian tersebut. Dengan mengacu pada tingkat ek-sistensi, pengetahuan tentang Tuhan, Wujud Yang Mutlak, adalah peringkat tertinggi dalam struktur pengetahuan dan moralitas yang akan membawa kepada kebahagiaan. Semakin dalam penge-tahuan yang dimiliki seseorang, semakin besar kebahagiaan yang bisa dicapainya.27 Pernyataannya tentang hal ini jelas:

27 Al-GhazÉlÊ, MÊzÉn al-‘Amal, (Kairo: Maktabah Kurdistan, 1342 H), hlm. 15. Dalam KimyÉ’, al-GhazÉlÊ menyebut empat penentu kebahagiaan ma-nusia, yakni: a) pengetahuan tentang diri, b) pengetahuan tentang Tuhan, c) pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya, dan d) pengeta-huan tentang dunia selanjutnya sebagaimana adanya. Lihat The Alchemy

Page 198: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

183

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Tidak ada keraguan bahwa yang paling baik dari hal-hal yang diketahui (al- ma‘lËmÉt), dan yang paling mulia, dan tertinggi dari mereka, dan yang paling terhormat, adalah Tu-han Sang Pembuat, Sang Pencipta, Yang benar, Yang Satu. Sebab pengetahuan tentang-Nya merupakan pengetahuan tentang Keesaan, yang merupakan cabang pengetahuan yang paling baik, paling mulia, paling sempurna dan pengetahuan ini pasti.... Dari pengetahuan tentang tauhid inilah cabang pengetahuan lainnya berasal....28

Pernyataan utama dari kutipan di atas yang menjelaskan struktur pengetahuan adalah “Dari pengetahuan tentang tauhid ini lah cabang pengetahuan lainnya berasal.” Ini menunjukkan bah wa pengetahuan tentang Tuhan harus menjadi dasar untuk se-mua cabang pengetahuan, di samping pula menunjukkan bah wa realitas Ilahi dan realitas makhluk secara struktural saling terkait. Dalam al-MankhËl,29 al-GhazÉlÊ membedakan bahwa pengeta-huan Tuhan disebut abadi (qadÊm), dan pengetahuan manusia di-namakan sementara (hÉdith). Yang pertama adalah penge tahuan yang Tuhan miliki adalah yang tidak mempunyai awal dan men-cakup seluruh informasi. Pengetahuan ini tidak dapat disebut se-bagai pengetahuan yang diusahakan atau wajib dimiliki (lÉ yËÎaf bikawnihÊ kasbiyyah walÉ ÌarËriyyan). Yang terakhir adalah pengetahuan yang dimiliki manusia; ini bukan berarti bah wa pengetahuan Tuhan itu tidak bisa dicapai manusia.

Dalam Ihyā, al-GhazÉlÊ mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam pengetahuan tentang pengungkapan langsung (‘ilm al-mu-kÉshafah) dan ilmu agama praktis (‘ilm al-mu‘Émalah).30 Yang

of Happiness, diterjemahkan oleh Claud Field, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1983), hlm. 18.

28 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 58-59; terjemahan bahasa Inggris JRAS, hlm. 192.

29 Al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, hlm. 100-101. 30 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. al-SirwÉn (ed.), lihat pendahuluan, hlm.

11; The Book of Knowledge, lihat pendahuluan penerjemah, hlm. 6; ban-dingkan al-GhazÉlÊ, “al-Kashf wa al-TabyÊn fÊ GhurËr al-Khalq Ajma‘Ên”, dalam MajmË‘ah al-RasÉ’il Jilid 5, hlm. 157. Juga al-GhazÉlÊ, FÉtihat al-‘UlËm, M. AmÊn al-Khanji (ed.), (Mesir: al-MaÏba‘ah al-×usainiyyah, 1322 H), hlm. 24 dan 43.

Page 199: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

184

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pertama adalah pengetahuan tentang Realitas Mutlak, yang dica-pai melalui jalur pengalaman “pandangan mata” dan “pandangan keimanan”, sedangkan yang kedua diperoleh melalui tingkat pe-mahaman biasa, termasuk “demonstrasi yang menentukan dan bukti yang jelas”. Oleh karena itu, dalam FÉtiÍat al-‘UlËm, ia menyatakan bahwa subjek dan premis (muqaddimÉt) dari ‘ilm al-mu‘Émalah adalah untuk kepentingan ‘ilm al-mukÉshafah, dan yang kedua berada di belakang yang pertama.31 ‘Ilm al-mukÉs-hafah secara khusus dicari untuk mengungkapkan objek penge-tahuan namun bersifat pribadi dan tidak dapat dikomunikasikan. Ini adalah pengetahuan antara seseorang dengan Tuhan. Karena ketidakmampuan pemahaman masyarakat untuk mengungkap objek, pengetahuan ini tidak pernah dibicarakan, kecuali mela-lui simbol-simbol (ramz) dan isyarat melalui contoh.32 ‘Ilm al-mu‘Émalah diperoleh melalui perbuatan (al-‘amal). Pengetahuan ini dapat dikomunikasikan, dan merupakan kesatuan gagasan yang disistematisasi yang dapat disusun dalam bahasa serta dapat dikomunikasikan kepada orang lain dari susunan yang sama.33

Meskipun strukturnya tampak sangat teoretis dan praktis, pembagian selanjutnya tidak membuktikan demikian. Ini ter-lihat ketika al-GhazÉlÊ membagi ilmu agama praktis (‘ilm al-mu‘Émalah) ke dalam ilmu eksoteris (ÐÉhir) dan esoteris (bÉÏin).34 Ilmu eksoteris menyangkut tindakan yang tampak dari anggota tubuh atau perilaku, sedangkan ilmu esoteris berkaitan dengan

31 Al-GhazÉlÊ, FÉtihat al-‘UlËm, hlm. 43. 32 Pandangan serupa dinyatakan dalam MaqÎad bahwa ilm al-mukÉshafah

tidak bisa dicapai melalui akal karena ia merupakan pengetahuan transen-dental, pengetahuan tentang Tuhan, dan realitas sifat-sifatnya, lihat al-MaqÎad al-AsnÉ min AsmÉ’ Tuhan al-×usnÉ, MusÏafÉ AbË al-‘AlÉ (ed.), (Kairo: Maktabah al-Jundi), hlm. 5-6. Perhatiannya pada pengetahuan ini dapat ditemui juga dalam JawÉhir al-Qur’Én, BidÉyat al-HidÉyah, dan al-RisÉlah al-Laduniyyah.

33 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, lihat pendahuluan, hlm. 11; The Book of Know-ledge, pendahuluan, hlm. 6.

34 Dalam FÉtiÍat al-‘UlËm al-GhazÉlÊ membagi pengetahuan agama praktis (‘ilm al-mu‘Émalah) dengan mengacu pada kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan menjadi: keyakinan (i‘tiqÉd), perbuatan (fi‘l) dan hal yang dihindari (tark). Lihat al-GhazÉlÊ, FÉtiÍat al-‘UlËm, hlm. 36.

Page 200: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

185

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kehidupan dan aktivitas hati (rËh). Eksoteris kemudian dibagi lagi menjadi ibadah (‘ibadat), etika sosial (Édah), dan hal-hal yang merusak (muhlikÉt). Esoteris merupakan bagian dunia yang bersifat gaib, spiritual (al-Élam al-malakËt)), yang bisa terpuji atau tercela. Esoteris termasuk dalam ‘ilm al-mukÉshafah tapi merupakan bagian dari ‘ilm al-mu‘Émalah.

Struktur dan sifat lain pengetahuan adalah ditulis dengan mengacu pada sumber-sumbernya, yang mencakup realitas Ilahi dan realitas makhluk. Di sini pengetahuan tentang realitas Ilahi atau tentang Tuhan tampak dalam bentuk ajaran agama yang dise-but ilmu agama (sharÑÊ), sedangkan pengetahuan tentang makhluk yang diperoleh melalui penyelidikan rasional dinamakan pengeta-huan intelektual (‘aqlÊ).35 Yang pertama adalah pengetahuan yang objeknya terwujud dalam al-Quran dan Sunnah, sedangkan yang kedua adalah pengetahuan yang objeknya dipastikan melalui ke-mampuan intelek. Struktur ini menyerupai klasifikasi ilmu agama dan ilmu sekuler. Seolah-olah ilmu agama tidak rasional, sedang-kan jenis pengetahuan lainnya rasional. Tapi, bagi al-GhazÉlÊ, tidaklah demikian mengingat penyelidikan spekulatif di bidang ilmu-ilmu agama pokok (uÎËl) itu dibenarkan. Dengan berpegang pada ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Nabi yang diriwayatkan se-cara lisan, diterapkanlah penyelidikan spekulatif yang mengan-dalkan bukti-bukti intelektual (mengambil dasar-dasar silogisme umum maupun dialektika) dengan seluruh rupa eksponen logika filosofis. Al-GhazÉlÊ juga mengakui bahwa ilmu Kalam, ilmu taf-sir, dan ilmu bahasa Arab36 merupakan ilmu paling mendasar da-

35 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 63; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, hlm. 23. Dengan cara yang sama, al-GhazÉlÊ dalam KitÉb SharÍ ‘AjÉ’ib al-Qalb, membagi pengetahuan menjadi tiga: pengetahuan ten-tang hal-hal duniawi, agama, dan realitas intelektual (al-‘ilm bi al-’umËr al-dunyÉwiyyah wa al-ukhrÉwiyyah wa al-ÍaqÉ’iq al-‘aqliyyah), lihat al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, hlm. 10. Pembagian yang sama ada dalam IÍyÉ’, KitÉb al-‘Ilm, dalam istilah yang sedikit berbeda dan terkait dengan kewa-jiban, yakni pengetahuan agama (shar‘iyyah) dan pengetahuan non-agama (ghayr shar‘iyyah). Lihat al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 1, hlm. 22; dan Faris, The Book of Knowledge, hlm. 36.

36 Di sini al-GhazÉlÊ menekankan bahwa agar penafsirannya mendekati ke-benaran, sang penafsir harus melihat ke dalam al-Quran dari perspektif

Page 201: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

186

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

lam pembagian ilmu agama. Apa yang jelas terbaca dari struktur ini adalah ilmu-ilmu agama, nalar, dan argumen rasional dapat memainkan peran penting. Singkat kata, asumsi dasar al-GhazÉlÊ dalam hal ini adalah bahwa “sebagian besar pengetahuan religius itu bersifat intelektual, dan sebagian besar pengetahuan intelek-tual bersifat religius.”37

Pengetahuan Rasional

Pengetahuan rasional (‘ulËm al-‘aqliyyah) ditempatkan di bawah ilmu-ilmu agama dan karenanya dinamakan ‘ulËm ghayr shar‘iyyah (ilmu non-agama). Ilmu-ilmu ini, menurut al-GhazÉ-lÊ, tidak hanya dipastikan oleh kemampuan intelek tetapi juga dibenarkan oleh ilmu-ilmu agama, atau setidaknya agama tidak memperselisihkannya, kecuali dalam beberapa poin. Sikap ini ia nyatakan secara eksplisit dalam TahÉfut al-Falāsifah yang men-catat empat poin, di mana ia memposisikan ilmu-ilmu alam ber-hadap-hadapan dengan ilmu-ilmu agama (al-shar‘). Tapi yang kontroversial dalam pembahasan itu adalah tentang asumsi bah-wa hubungan antara sebab dan akibat itu pasti.38

Ilmu-ilmu rasional dibagi ke dalam prinsip pokok (uÎËl) dan cabang (furË‘). Prinsip pokok mengacu pada materi bahasan (sub-ject matter), sedangkan cabang mengacu pada disiplin. Kategori ini dapat ditemukan dalam TahÉfut al-Falāsifah, Ihyā’ Ulūm ud-Din dan al-Risālah al-Laduniyyah tapi kategori yang paling bisa dipahami dan langsung membahas masalah epistemologi sebab-akibat ada dalam al-Risālah al-Laduniyyah.

Ilmu-ilmu intelektual dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama, matematika dan logika, (matematika termasuk aritmetika, astro-

bahasa (al-lughah). Juga dari perspektif metafora (al-isti‘Érah), komposisi kata-kata (tarakkub al-lafÐ), tata bahasa dan pemakaian bahasa Arab, ma-teri bahasan kaum filsuf, serta doktrin kaum sufi.

37 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 63; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, Juli, hlm. 353.

38 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, SulaymÉn DunyÉ (ed.), (Kairo: DÉr al-Ma’Érif, 1963), hlm. 235-236; terjemahan S.A. Kamali, The Incoherence of The Philosophers, (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1963), hlm. 181.

Page 202: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

187

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

nomi, geometri, astrologi dan seni musik; logika termasuk seni definisi, analogi, dan silogisme). Kedua, ilmu-ilmu alam (obser-vasi dan eksperimen). Ilmu-ilmu ini berkaitan dengan alam se-mesta dan komposisi dunia, substansi-eksisten, gerak dan diam, apa yang di langit, dan aksi-reaksi. Ilmu-ilmu ini mendorong munculnya penyelidikan terhadap keadaan kelas-kelas eksistensi yang berbeda-beda dan bagaimana mereka dipersepsi oleh akal. Kedokteran, meteorologi, mineralogi, alkemi adalah disiplin ilmu yang termasuk dalam kategori ini. Ketiga, ilmu penyelidik-an eksistensi dan pembagiannya ke dalam wajib dan kontingen, pengetahuan tentang kenabian (nubuwwat), soal mukjizat, dan lain-lain.39

Yang perlu diperhatikan dari klasifikasi di atas adalah tingkat ketiga dari ilmu-ilmu rasional sebagai tingkat pengetahuan ter-tinggi. Ini konsisten dengan keyakinan al-GhazÉlÊ yang disebut sebelumnya bahwa tingkat kemuliaan pengetahuan bergantung pada objeknya. Semua masalah di tingkat ketiga, yang berkaitan dengan masalah teologi atau masalah agama, menurut al-GhazÉ-lÊ, tidak hanya terdiri dari hal-hal doktrinal semata namun juga dari wilayah lain yang biasanya dipikirkan oleh para filsuf dan teolog secara rasional. Penjelasan ini tidak hanya menunjukkan pembagian pengetahuan namun juga kecenderungan al-GhazÉlÊ untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan non-agama atau intelektual.

Selain mendeskripsikan pengetahuan rasional dalam hal disiplin dan metode pencapaiannya, al-GhazÉlÊ membedakan pengetahuan terkait dengan kejelasannya dalam pikiran, yang ditentukan oleh sumber-sumbernya, kepastian dan intuisinya. Yang paling dekat dengan kepastian dan intuisi merupakan yang paling jelas sehingga menempati peringkat pertama. Kategori ini dapat ditemukan dalam al-MankhËl dan al-MusÏastfÉ. Pada bagian sebelumnya, telah disinggung bahwa dalam al-MankhËl, al-GhazÉlÊ membagi pengetahuan ke kekal (qadīm) dan tempo-

39 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 66; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, hlm. 358-359.

Page 203: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

188

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

rer (ÍadÊth). Kemudian yang temporer dibagi menjadi pengeta-huan langsung (ÍajmÊ) atau pengetahuan a priori, yang diketa-hui tanpa penalaran atau investigasi, dan pengetahuan diskursif (naÐarÊ) atau pengetahuan a posteriori,40 yang diperoleh melalui penalaran atau bukti. Pengetahuan tentang keberadaan seseorang, kebenaran matematika yang jelas (seperti “dua lebih besar dari satu”), dan pengetahuan tentang persepsi akal termasuk dalam kategori pertama (ÍajmÊ), sedangkan pengetahuan bahwa alam semesta itu temporal memerlukan bukti argumen termasuk dalam kategori kedua, yaitu naÐarÊ.41

Dalam al-MustaÎfÉ, al-GhazÉlÊ memberi alternatif ÍajmÊ de-ngan istilah aulÉ seperti ilmu yang pasti (ÌarËriyyÉt), sedangkan naÐarÊ (penglihatan) dengan istilah maÏlËb (diperoleh) seperti spekulasi (naÐariyyÉt).42 Baik ÍajmÊ maupun aulÉ, yang dalam pemahaman klasik dan modern disebut pengetahuan a priori, merupakan pengetahuan asal dan langsung serta tidak diketahui terjadinya dalam pikiran namun ada bersama kita sejak kita dicip-takan.

Dalam al-MankhËl, klasifikasi pengetahuan langsung dan dis-kursif tersebut dibagi dalam klasifikasi pengetahuan khusus yang relevan dengan diskusi kausalitas. Pertama, pengetahuan tentang keberadaan diri merupakan pengetahuan tentang kesadaran ek-sistensi diri, seperti rasa sakit dan kesenangan. Kedua, penge-tahuan tentang ketidakmungkinan bersatunya hal yang saling bertentang an. Kedua jenis pengetahuan ini, menurut al-GhazÉlÊ, adalah bawaan dalam jiwa manusia. Ketiga, pengetahuan tentang yang masuk akal (maÍsËsÉt), yaitu pengetahuan yang berasal dari realitas yang masuk akal yang langsung ditangkap pancaindra.43

40 Istilah ÍajmÊ tidak umum digunakan, dan al-GhazÉlÊ mendefinisikannya sebagai “pengetahuan yang harus diketahui seseorang dengan permulaan akal”, dalam pengertian modern, itu tentu pengetahuan apriori, dan naÐarÊ merupakan pengetahuan a posteriori.

41 Al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, hlm. 100-101. 42 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ Jilid 1, hlm. 1 dan 12.43 Kelas-kelas pengetahuan yang lain terkait dengan beberapa disiplin

pengetahuan agama, yakni sebagai berikut: 1) Pengetahuan yang dihasil-

Page 204: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

189

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Peringkat ketiga diistilahkan dengan pengetahuan yang “di-cari” (muktasab), sebutan yang hampir mendekati “pengetahuan diskursif” atau ‘ilm naÐarÊ. Pengetahuan diskursif melibatkan tiga proses, yang paling umum digunakan adalah silogisme deduktif.44 Pengetahuan yang diusahakan atau diskursif ini secara fundamen-tal bergantung pada suatu gabungan bentuk dan materinya yang disebut argumen. Topik argumen merupakan premis atau propo-sisi yang diketahui melalui pernyataan. Menurut al-GhazÉlÊ, ber-anekaragam pengetahuan dapat dicapai melalui berbagai bentuk proposisi. Al-GhazÉlÊ memperkenalkan klasifikasi premis-premis ini karena kegelisahannya terhadap filsafat, seperti yang tampak dalam MaqÉÎid al-FalÉsifah. Namun, klasifikasi itu ia revisi ke-tika menulis kitab Mi‘yÉr.45 Struktur ini terdiri dari:

kan oleh lebih dari satu sumber yang melaporkan berita yang sama (akh-bÉr al-tawÉtur). Pengetahuan ini merupakan hasil dari sebuah kepastian logis dan kesepakatan konvensional. Kepastian logis muncul dari gagasan bahwa tidaklah mungkin bagi sejumlah besar perawi yang independen un-tuk berbohong tentang berita yang sama. Ini terkenal dalam ilmu hadis (ÍadÊth). Dalam bahasa ahli hadis, gagasan di atas disebut “ketidakmung-kinan melakukan konspirasi untuk berbohong” (istiÍÉlat al-tawÉtu’ ‘alÉ al-khÉdhib). 2) Pengetahuan dari memahami sebuah pesan (khitÉb) adalah sejenis pengetahuan karya analitis yang dihasilkan dari teks tertulis. 3) Pengetahuan tentang kerajinan dan industri. 4) Pengetahuan tentang teori (naÐariyyah) merupakan pengetahuan praktis dan teoretis secara berurut-an. 5) Pengetahuan tentang misi Rasul Tuhan. 6) Pengetahuan tentang mukjizat. 7) Pengetahuan yang dihasilkan dari cerita (sam‘yyÉt) adalah sama dengan tiruan (taqlÊd). Dalam al-Munqidh min al-ÖalÉl, dua gagasan pertama tidak disebut. Se-bagai gantinya, yang indrawi ditempatkan pada tingkat pertama. Karena al-MakhËl merupakan salah satu karyanya yang paling awal, kita bisa me-nyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ memperbaiki sumber pengetahuannya dan mengembangkan teori pengetahuannya. Lihat: al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, hlm. 46-48; al-GhazÉlÊ, al-Munqidh, AÍmad Shams al-DÊn DÉr (ed.), (Bei-rut: al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 9 dan 144.

44 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd fi al-I‘tiqÉd, al-Sheykh AbË al-A‘lÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 23. Sebenarnya dalam IqtiÎÉd ia menyebut enam sumber premis penalaran spekulatif, tetapi yang paling penting di sini ada tiga: 1) pengetahuan indra; 2) akal atau intelek yang bertindak dengan induksi dan deduksi, dan 3) pengetahuan dari beragam riwayat (tawÉtur), ibid, hlm. 25-27.

45 Dalam Mi‘yÉr ia memberi tambahan pada daftar, yakni al-ÍadsiyÉt, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi. Ia bisa terjadi dalam pikiran, dan tidak bisa dibuktikan ataupun diragukan, serta tidak bisa dibagi dengan

Page 205: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

190

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

1. Al-awwaliyyÉt (kepastian logis), seperti mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada bagian.

2. Al-maÍsËsÉt (yang hadir secara langsung melalui indra), mi-salnya cahaya bulan yang naik turun.

3. Al-mujarrabÉt atau tajrÊbiyyÉt (percobaan), seperti penge-tahuan yang dihasilkan dari indra dan nalar (misalnya api membakar).

4. Al-mutawÉtirÉt (pengetahuan yang terkait dengan sekelom-pok perawi), seperti pengetahuan kita tentang adanya Mesir dan Mekah tanpa melihat kedua tempat ini.

5. Al-qadÉyÉ al-latÊ ‘urifat lÉ binafsihÉ, yakni kasus yang me-masukkan bukti-buktinya ke dalam premis-premis yang di-perlakukan sebagai kepastian logis.

6. Al-wahmiyÉt (hipotetis), seperti premis “tidak mungkin sesu-atu ada apabila seseorang tidak dapat menunjukkannya, dan tidak bisa digambarkan di dalam maupun di luar dunia ini.”

7. Al-mashhËrÉt (pengetahuan yang sudah banyak dikenal umum).

8. Al-maqbËlÉt (diterima), yakni premis-premis yang diterima karena posisi orang yang mengemukakannya seperti ulama.

9. Al-musallamÉt (disepakati), yakni premis-premis yang dise-pakati antara dua pihak.

10. Al-mushabbihÉt (keserupaan), yakni premis-premis yang tampak seperti berkaitan dengan al-awwaliyÉt, al-tajrÊbiyyÉt, dan al-mashhËrÉt tetapi dalam kenyataannya bukan.

11. Al-mashhËrÉt fÊ al-ÐÉhir (yang tampak seperti sesuatu yang terkenal), yakni premis-premis yang dianggap benar pada saat mendengar mereka, tetapi berubah palsu setelah di-renungkan.

yang lain.

Page 206: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

191

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

12. Al-maÌnËnÉt (kemungkinan), yakni premis-premis yang se-mula dianggap benar namun—setelah direnungkan—sebe-narnya palsu.

13. Al-mukhayalāt (imajinatif), yakni premis-premis yang dike-tahui palsu namun secara psikologis begitu meyakinkan.46

Di antara klasifikasi di atas, premis paling akurat yang bisa diterapkan dalam demonstrasi hanya empat: al-awwaliyÉt, al-maÍsËsÉt, al-mujarrabÉt, al-qadÉyÉ al-latÊ ‘urifat lÉ binafsihÉ. Premis yang tidak akurat untuk demonstrasi (barÉhÊn) tetapi bisa diterapkan untuk masalah hukum (fiqhiyyÉt) ada lima, yakni al-mashhËrÉt, al-maqbËlÉt, al-maÌnËnÉt, al-mushabbihÉt, al-mukhayalÉt. Semua klasifikasi tersebut adalah proposisi-propo-sisi yang sangat mendasar untuk memajukan proses argumentasi dialektis. Kita akan membahas proses penggunaan argumen da-lam pengetahuan diskursif pada bagian berikutnya saat memba-has proses logis pencapaian pengetahuan.

Dari kategori pengetahuan rasional di atas, al-GhazÉlÊ seca-ra eksplisit berpandangan bahwa proposisi yang diperlukan ada-lah proposisi kategori pertama, yaitu pengetahuan yang diambil dari prinsip-prinsip yang terbukti jelas. Contoh paling jelas yang diberikan adalah pengetahuan manusia tentang keberadaannya sendiri; pandangan bahwa sesuatu itu tidak dapat dianggap kekal sekaligus terus-menerus diciptakan. Contoh berikutnya proposisi matematika: dua lebih besar dari satu; tiga ditambah tiga sama dengan enam.47 Proses pikiran dalam merakit dan menghubung-kan satu konsep tunggal yang konkret dengan konsep lainnya adalah termasuk kategori konsep utama yang penting (necessary primaray notion). Ilustrasi yang diberikan al-GhazÉlÊ sebagai be-rikut: jika seseorang mengatakan yang kekal merupakan entitas yang mewujud, maka nalar akan menolaknya kendati memper-

46 Al-GhazÉlÊ, MaqÉÎid, hlm. 102-109; al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 178-191. Terjemahan dan ringkasan oleh MusÏafÉ AbË Sway, dalam al-Ghazālī yy, A Study in Islamic Epistemology, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pus-taka, 1996), hlm. 48-49.

47 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 190.

Page 207: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

192

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

cayai penilaian “yang abadi bukanlah sebuah entitas dari yang tidak ada menjadi ada.” Ini merupakan aksioma dan pengetahuan konseptual yang segera dapat dipahami.

Pengetahuan yang berasal dari persepsi langsung indra (al-maÍsËsÉt) juga dianggap memiliki status pasti (ÌarËrÊ). Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh dari kontak langsung de-ngan objek pengetahuan atau dengan pengalaman internal ten-tang sebuah fakta langsung dari kesadaran, dapat dipandang pasti dari perspektif ini. Namun, penting untuk dicatat bahwa kepastian dalam perspektif ini dilihat tidak dalam pengertian objek yang di-ketahui dalam dirinya sendiri, melainkan lebih dalam hal hubung-annya dengan orang yang mengetahuinya. Latar belakang episte-mologis ini menyebabkan al-GhazÉlÊ menolak untuk mengakui kepastian objektif hubungan sebab-akibat.

INTEGRASI

Proyek al-GhazÉlÊ untuk mengintegrasikan ilmu agama dan non-agama bukan dengan menjadikan dua kelas ilmu yang ber-beda ini menjadi satu, melainkan dengan menyatakan bahwa ilmu yang satu melekat dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari putusannya menempatkan teologi sebagai subdivisi dari penge-tahuan spekulatif, yang merupakan divisi dari pengetahuan in-telektual, dan di sisi lain menyebutnya sebagai bagian dari ilmu agama yang pokok. Artinya, teologi merupakan titik temu ilmu intelektual dan ilmu agama. Adapun ilmu-ilmu lain dan berbagai cabangnya berfungsi sebagai pembuka jalan untuk teologi.48

“Ilmu Yang diperoleh” atau pengetahuan teoretis, misalnya, tidak hanya terbatas pada pengetahuan intelektual tetapi juga ter-masuk ilmu agama atau pengetahuan apa pun yang bisa dipel-ajari. Sebaliknya, pengetahuan agama tidak berasal dari taqlid dan tidak juga hanya dengan mempelajari al-Quran dan Sunnah. Memahami al-Quran melibatkan pengetahuan intelektual maupun

48 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 65; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, hlm. 357.

Page 208: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

193

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pengetahuan agama. Dengan kata lain, ilmu agama yang awalnya diterima lewat otoritas nabi juga bisa diperoleh dengan cara-cara dan ketentuan lainnya. Demikian pula agar seseorang dekat de-ngan Tuhan, ia tidak bisa mengandalkan semata pada pengeta-huan yang pasti atau langsung meski kecenderungan awal atau fitrah manusia memungkinkannya. Untuk mencapai kede katan dengan Tuhan, menurut al-GhazÉlÊ, seseorang membutuhkan pengetahuan wahyu maupun pengetahuan rasional,49 atau wahyu dan akal. Di sini pengetahuan rasional tentang realitas eksternal berfungsi sebagai tangga untuk dekat dengan Tuhan, terutama ke-tika ia dianggap sebagai “tulisan” Tuhan, tempat kebenaran Ilahi ditulis dan diwujudkan.

Integrasi dua jenis pengetahuan yang berbeda secara gam-blang ditunjukkan melalui usahanya untuk mengorelasikan pe-ngetahuan intelektual dan pengetahuan wahyu atau agama. Hal ini disampaikan oleh al-GhazÉlÊ dalam Ihyā’ sebagai berikut:

... Intelek tidak bisa membuang pengetahuan wahyu, se-bagaimana halnya pengetahuan wahyu tidak bisa membuang akal ... oleh karena itu, seseorang yang menganjurkan taqlīd belaka tanpa menggunakan ilmu-ilmu intelektual adalah bo-doh, sementara dia yang merasa puas dengan ilmu-ilmu ini saja tanpa cahaya Quran dan Sunnah adalah sombong.50

Ada simbiosis mutualisme antara intelek sebagai instrumen pengetahuan, dan pengetahuan wahyu sebagai sumber pedoman untuk kebenaran. Selain itu, berbagai disiplin ilmu agama tidak dapat membuang akal dikarenakan kebenaran bisa disimpulkan atau dideduksikan dari kebenaran wahyu yang fundamental. Disip lin-disiplin lain merupakan hasil penalaran analogis berda-sarkan pada keyakinan dan pandangan mapan yang sama. Hasil dari simbiosis ini, menurut al-GhazÉlÊ, adalah kearifan (hikmah). Namun, al-GhazÉlÊ menyadari bahwa menggabungkan pengeta-huan intelektual dan pengetahuan agama dalam satu diri sese-

49 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 4, (Kairo: Lajnah al-ThaqÉfah al-IslÉmiyyah, 1356 H), hlm. 1372.

50 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 4, hlm. 250.

Page 209: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

194

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

orang bukanlah tugas yang mudah dan jauh dari sempurna. Da-lam hal ini, ia menegaskan:

... seseorang yang mencurahkan seluruh usahanya untuk memahami misteri salah satu (dari jenis pengetahuan itu), kebanyakannya dangkal dalam menguasai pengetahuan yang lainnya. Kombinasi wawasan yang sempurna atas masalah dunia (domain intelektual) dan masalah agama hampir tidak mungkin, kecuali orang-orang yang Tuhan telah menetapkan di dalam diri mereka pengetahuan, sehingga mereka dapat memandu umat manusia dalam kehidupan dan takdir mereka. Mereka adalah para nabi, yang didukung oleh malaikat.51

Dengan pernyataan di atas, tidak berarti al-GhazÉlÊ mengen-durkan semangat orang untuk membawa pengetahuan intelektual dan pengetahuan agama bersama-sama dalam satu kesatuan. De-ngan gamblang al-GhazÉlÊ mengatakan, “sebagian besar pengeta-huan agama adalah bersifat rasional, dan sebagian besar pengeta-huan rasional adalah religius.”52 Mungkin ia ingin menyampai-kan peringatan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim memiliki wawasan yang sempurna di kedua pengetahuan, atau mungkin ia bermaksud untuk membedakan antara ketidaksempurnaan penge-tahuan dari orang biasa dan kesempurnaan pengetahuan seorang nabi.

Dari perspektif teori worldview, integrasi adalah kembali ke tesis—yang telah dibahas dalam Bab Pendahuluan—bahwa ke-percayaan pada wujud Tuhan merupakan elemen dasar world-view teistik, dan elemen ini secara koheren akan masuk pada konsep-konsep lainnya, termasuk pengetahuan.53 Oleh karena itu, jelas dapat dibenarkan untuk berkesimpulan bahwa world-view al-GhazÉlÊ yang teistik merupakan dasar epistemologinya. Keyakinannya pada Tuhan yang satu, dan konsep yang mengikuti keyakinan tersebut, mempengaruhi konsep pengetahuannya.

51 Ibid, hlm. 275-276.52 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 63; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian

III, Juli, hlm. 23.53 Thomas F. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problems, (Aus-

tralia: Thomson Learning, Wadsworth, 2001), hlm. 16.

Page 210: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

195

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

PENCAPAIAN PENGETAHUAN

Pengetahuan manusia, secara umum, menurut al-GhazÉlÊ, di-capai melalui dua cara, yakni pengajaran manusia (al-ta‘lÊm al-in-sÉnÊ) dan pengajaran Ilahi (al-ta‘lÊm al-rabbÉnÊ).54 Cara al-ta‘līm al-insāni mengacu pada metode mencapai ‘ilm al-mu’āmalah. Metode ini dialami oleh semua manusia sebagai jalan menge-tahui lewat pengamatan dan persepsi indra dengan mengikuti langkah-langkah tertentu. Metode kedua berkaitan dengan aspek spiritual dalam proses mengetahui. Al-GhazÉlÊ memperkenalkan dua media pengajaran Ilahi, yaitu wahyu Ilahi (al-waÍy) untuk nabi, dan inspirasi (ilhÉm) untuk manusia biasa. Media penga-jaran ini menunjukkan metode pembelajaran yang di luar kebia-saan. Pengajaran ini tidak diketahui oleh setiap orang, dan dapat terjadi dari luar maupun dari dalam (without and within), yaitu dari sebuah proses instruksi maupun dari refleksi atau kontem-plasi (al-ishtighāl bi al-tafakkur). Untuk penjelasan rinci tentang hal ini, al-GhazÉlÊ menulis:

Kontemplasi batin menempati posisi yang sama seba-gaimana pembelajaran dalam dunia fenomena (fÊ al-ÐÉhir) karena belajar [dari luar] adalah upaya individu untuk mengambil manfaat dari individu tertentu [guru], sedangkan kontem plasi adalah upaya jiwa individu mengambil manfaat dari jiwa universal. Jiwa universal dampaknya lebih ber-pengaruh dan lebih kuat dalam mendidik daripada semua orang terpelajar dan intelektual. [Bentuk] pengetahuan (al-‘ulËm) tertanam dalam tatanan jiwa melalui potensialitas (bi al-quwwah), seperti benih di dalam tanah dan permata di kedalaman laut atau di jantung tambang, dan belajar adalah mencari munculnya sesuatu itu dari potensialitas ke aktuali-tas. Mengajar di sisi lain adalah menggali dari potensialitas itu menuju aktuali tas (min al-quwwah al-fillāh). .... Penge-tahuan yang ada di dalam potensia adalah seperti benih, sedangkan penge tahuan dalam aktualitasnya adalah seperti tanaman. Jadi, jika jiwa peserta didik menjadi sempurna,

54 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 67-68; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, Juli, hlm. 360-361.

Page 211: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

196

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

menjadi seperti pohon berbuah atau seperti permata (yang telah) diangkat dari kedalaman laut.55

Dengan percaya bahwa realitas sesuatu telah ditulis Tuhan dalam LauÍ al-MaÍfËÐ, al-GhazÉlÊ menyatakan bahwa segala se-suatu dan peristiwa yang terjadi di dunia fisik yang bisa diindra merupakan bagian dari rencana-Nya seperti yang telah ditentu-kan dalam LauÍ al-MaÍfËÐ. Namun, bagaimana medium atau alat mengajar yang digunakan Jiwa Universal dalam LauÍ al-MaÍfËÐ untuk menulis dalam lembaran-lembaran jiwa manusia, perlu penjelasan lebih lanjut. Setidaknya ada dua media, satu langsung dan lainnya tidak langsung. Yang pertama adalah cara otentik yang dilakukan oleh pengalaman yang membawa kepada reali-tas pengetahuan, sedangkan yang kedua disebut sebagai deskripsi yang pada akhirnya membawa pada kesimpulan yang meliputi perbandingan, imajinasi, dan kemampuan rasional lainnya.56

Sebelum mendapat pengajaran Tuhan, al-GhazÉlÊ berpenda-pat, manusia secara alamiah cenderung mengabaikan eksistensi (al-mawjud) atau beragam eksistensi di sekelilingnya. Seiring berjalannya waktu, persepsi berkembang dan mampu menang-kap berbagai kenyataan dikarenakan Tuhan menganugerahi ma-nusia dua kekuatan perseptif yang saling bergantung: indra lahir (al-ÍawÉs) dan indra batin (quwÉ mudrikah min bÉÏin).57 Yang pertama mengacu pada lima indra yang kebanyakan dimiliki ma-nusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan persentuhan. Yang terakhir, indra batin, terdiri dari tiga ke-

55 Ibid. Terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, Juli, hlm. 361. Gagasan yang sama tentang gerakan intelek dari potensialitas menuju aktualitas da-pat ditemukan dalam al-GhazÉlÊ, MishkÉt al-AnwÉr, ‘Abd al ‘AzÊz ‘Izzu al-DÊn al-SirwÉn (ed.), (Beirut: ‘Ólam al-Kutub, 1986), hlm. 129-131.

56 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 30; terjemahan bahasa Inggris oleh David Burrell dan Nazih Daher, Al-GhazÉlÊ The Ninety-Nine Beautiful Names of God, (Cambridge: Islamic Text Society, 1992), hlm. 38.

57 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, hlm. 6-7; al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij al-Quds fi Ma-dÉrij Ma‘rifat al-Nafs, A. Shams al-DÊn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 37-48; al-GhazÉlÊ, MÊzÉn al-‘Amal, A. Shams al-DÊn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), hlm. 26; al-GhazÉlÊ, KimyÉ’, hlm. 18-19.

Page 212: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

197

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

mampuan. Pertama, kehendak (irādah). Ini memacu kemampuan untuk mencapai hal yang bermanfaat maupun untuk mengusir ba-haya, biasanya dianggap sebagai naluri atau keinginan. Kedua, kekuatan (al-qudrah). Ini adalah kemampuan untuk mengge-rakkan kemampuan lain, dengan tujuan untuk memperoleh atau menghindari sesuatu yang ditentukan oleh kemampuan kehendak. Ketiga, pengetahuan dan kekuatan persepsi (al-‘ilm wa al-idrÉk). Kemampuan ketiga ini berfungsi sebagai alat untuk mengetahui dan mengungkapkan sesuatu.

Indra batin jiwa manusia terdiri dari lima daya atau kemam-puan, yaitu akal sehat (al-Íiss al-mushtarak), daya representasi (al-quwwah al-khayāliyyah), daya estimasi (al-quwwah al-wah-miyyah), daya untuk dapat menyimpan atau daya ingatan (al-quw-wah al-ÍāfiÌah wa al-dhākirah), dan daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah atau al-quwwah al-mufakkirah).58

Sebagai tambahan bagi persepsi indra adalah daya penilaian atau membuat perbedaan (tamyyīz), yang dengan itu akan bisa mengenali yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil. Di luar daya nalar, ada daya lain untuk melihat realitas yang gaib (al-ghayb) dan kejadian masa depan. Ini adalah daya persepsi kena-bian. Dari empat derajat persepsi, persepsi indrawi adalah yang terendah, sedangkan persepsi kenabian adalah yang tertinggi.59 Sebagaimana tingkat persepsi kenabian yang merupakan media kognisi tertinggi, pengetahuan tentang Tuhan merupakan ke-

58 Al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij, hlm. 44-45; Daya-daya perseptif dari indra batin ini dalam al-GhazÉlÊ, IÍya’, KitÉb SharÍ ‘AjÉ’ib al-Qalb, disederhanakan menjadi akal sehat (al-Íiss al-musytarak), imajinasi (takhayyul), tafakkur, merenungkan (tadhakkur) dan mengingat (Íifz). Lihat IhyÉ’ Jilid 3, hlm. 7; ada juga susunan yang sedikit berbeda dalam KimyÉ’ al-Sa‘Édah dan “Mi‘rÉj al-SÉlikÊn”, namun secara umum hampir sama. Lihat al-GhazÉlÊ, KimyÉ’, 18-19, dan al-GhazÉlÊ, “Mi‘rÉj al-SÉlikÊn”, dalam al-QusËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-ImÉm al-GhazÉlÊ, dikompilasi oleh MuÍammad MuÎÏafa AbË al-‘AlÉ, (Kairo: Maktabat al-JundÊ, 1972), hlm. 114-115.

59 Al-GhazÉlÊ, “al-Munqidh”, dalam MajmË‘at al-RasÉ’il Jilid 7, hlm. 66-67; bandingkan dengan ×asan al-SÉ‘ÉtÊ, “al-Manhaj al-WaÌ‘Ê ‘Inda al-ImÉm al-GhazÉlÊ”, dalam AbË ×Émid al-Ghazālī , fÊ DhikrÉ al-Mi’awiyyah al-TÉsi‘ah li MÊlÉdihi, (Kairo: al-Majlis al-A‘lÉ li Ri‘Éyat al-FunËn wa al-ÉdÉb wa al-‘UlËm al-IjtimÉ‘iyyah, 28-31 Maret 1961), hlm. 439.

Page 213: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

198

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

las tertinggi pengetahuan. Dalam al-Risālah al-Laduniyyah dan Mīzān al-‘Amal, al-Ghazālī bahkan menganggap pengetahuan ini sebagai yang paling mulia karena kemuliaan objek yang diketa-hui maupun buah di dalamnya.60 Di sini dapat dipahami bahwa al-Ghazālī tidak hanya mengaitkan pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang ciptaan-Nya, tapi juga membuat hierarki yang meletakkan pengetahuan tentang Tuhan itu sebagai penge-tahuan yang tertinggi. Dari perspektif worldview bisa dipahami bahwa konsep Tuhan itu sangat fundamental dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan ciptaan Tuhan.

Selanjutnya, karena objek pengetahuan yang berbeda itu memerlukan cara persepsi yang berbeda pula, kita akan memba-has secara terpisah pencapaian pengetahuan tentang Tuhan dan penge tahuan tentang realitas lahir.

Pengetahuan tentang Tuhan

Dalam tradisi intelektual Islam, wacana bagaimana manu-sia dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan61 menjadi topik diskusi yang tak henti-hentinya. Salah satu poin yang paling di-perdebatkan di kalangan para ulama adalah penggunaan istilah ma‘rifah dan ‘ilm dalam kaitannya dengan pengetahuan manu-sia tentang Tuhan. Istilah ma‘rifah digunakan untuk pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan ‘ilm bukan.62 Bagi Rāghib al-Isfahānī misalnya, ma‘rifah adalah pengetahuan yang dihasilkan dari

60 Al-GhazÉlÊ, al-RisÉlah, hlm. 58; terjemahan bahasa Inggris JRAS, Bagian III, hlm. 191; al-GhazÉlÊ, MÊzÉn al-‘Amal, AÍmad Shams al-DÊn (ed.), hlm. 136.

61 Rosenthal mengidentifikasi bahwa dalam bahasa Inggris frasa “penge-tahuan (tentang) Tuhan (knowledge of God)” itu ambigu dengan frasa “pengetahuan (milik) Tuhan (God’s knowledge)”. Hal ini karena frasa yang pertama Tuhan bisa dianggap sebagai objek (dengan subjek yang mengetahui), sedangkan frasa yang kedua pengetahuan jelas dimiliki oleh Tuhan. Dalam bahasa Arab pembedaan ini bisa dideskripsikan dengan mu-dah. Yang pertama al-‘ilm billah, sedangkan yang kedua ‘ilm Allah. Frasa yang pertamalah yang dipakai dalam diskusi kita kali ini. Lihat Rosenthal, Knowledge, hlm. 9.

62 Untuk diskusi rinci tentang masalah ini, lihat al-ÙaÍÉnÉwÊ, KashshÉf, pada kata al-ma‘rifah.

Page 214: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

199

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

refleksi tentang hal-hal yang dapat diamati dari karya-Nya, dan bukan persepsi tentang esensi-Nya. Adapun ‘ilm adalah pengeta-huan yang mengindikasikan kepastian.63 Mengutip gagasan al-Baqillānī, al-GhazÉlÊ menegaskan bahwa ma‘rifah dan ‘ilm tidak berlawanan, keduanya merupakan istilah dengan satu makna.64 Hanya saja, sayangnya, al-GhazÉlÊ tidak menjelaskan keterangan ini lebih lanjut.

Posisi al-GhazÉlÊ juga tercermin dalam karya-karyanya yang lain saat ia menggunakan istilah ma‘rifah dan ‘ilm secara bergan-tian dalam kaitan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Ia mende-finisikan ma‘rifah, misalnya, sebagai “pengetahuan (‘ilm) tentang individu sesuatu yang dicapai melalui definisi”;65 ‘ilm sebagai kognisi (ma‘rifah) sesuatu seperti apa adanya.66 Demikian pula, ‘ilm al-mukÉshafah, ‘ilm al-IlÉhÊ, ‘ilm al-ladunÊ adalah istilah yang pada dasarnya merujuk pada ma‘rifah yang digunakan da-lam tradisi intelektual Islam.

Meskipun secara tidak ketat membedakan antara ‘ilm dan ma‘rifah dalam penggunaannya yang umum, al-GhazÉlÊ meng-gunakan dua istilah tersebut dalam makna berbeda. Mengikuti kaum filolog, ia menyatakan bahwa ma‘rifah hanya memiliki satu objek, sedangkan ‘ilm memiliki dua objek atau lebih. Mengenal Tuhan melalui ma‘rifah, baginya, juga tidak sama dengan menge-tahui-Nya melalui ‘ilm. Ungkapan yang bisa membedakan adalah “Saya mempunyai ma‘rifah tentang Allah, tanpa mempunyai il-mu-Nya (‘araftu Allah dËna ‘alimtuhu).67 Perbedaannya dapat juga dilihat dari pernyataannya yang disepakati oleh mayoritas ulama bahwa “pengetahuan tentang Tuhan (ma‘rifat AllÉh) adalah akhir dari setiap kognisi (ma‘rifah) dan merupakan buah setiap

63 Seperti dikutip oleh Rosenthal dalam Knowledge, hlm. 134. 64 Al-GhazÉlÊ, al-MankhËl, hlm. 96-97.65 Al-GhazÉlÊ, MiÍakk al-NaÐar, hlm. 256. 66 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 33; lihat juga terjemahan bahasa Inggris,

The Book of Knowledge, hlm. 73. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ Jilid 1, hlm. 66; al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 275; bandingkan pula dengan al-BaqillÉnÊ, TamhÊd, R. J. McCarthy (ed.), hlm. 6.

67 Al-ÙaÍÉnÉwÊ, KashshÉf, pada kata ma‘rifah.

Page 215: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

200

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pengetahuan (‘ilm).”68 Jadi, mengenal Tuhan melalui ma‘rifah tidak seperti mengenal Tuhan melalui ‘ilm. Perbedaan ini jelas dinyatakan dalam MaqÎad:

Ada dua cara untuk mengenal Tuhan, yang satu tidak me-madai (qÉÎir), yang lain tertutup (masdËd). Adapun cara yang tidak memadai adalah dengan menyebutkan Nama dan Si-fat (Tuhan) dan selanjutnya membandingkannya dengan apa yang telah kita ketahui dalam diri kita sendiri .... Cara kedua yang tertutup adalah karena hamba Tuhan harus menunggu sampai ia mencapai sifat-sifat keilahian (ÎifÉt al-rubËbiyyah) hingga ia mencapainya... tapi jalan ini tertutup karena tidak mungkin realitas (al-ÍaqÊqah) ini bisa dicapai oleh siapa pun kecuali Tuhan. Tidak ada cara lain (untuk sampai pada) pengetahuan otentik (al-ma‘rifah al-muÍaqqaqah) selain ini, namun ia benar-benar tertutup kecuali bagi Tuhan .... Oleh karena itu, mustahil bagi siapa pun untuk mengetahui Tuhan dengan sesungguhnya kecuali Tuhan.69

Yang dimaksud cara mengenal Tuhan yang tidak memadai itu adalah jalan ma’rifah, sebab cara yang disebut di situ adalah “dengan menyebut nama dan sifat Tuhan dan membandingkan-nya dengan apa yang telah kita ketahui dalam diri kita”. Ini tidak lain adalah cara-cara para sufi dalam mencapai ma’rifah, yaitu melalui intuisi mistis. Dalam MiskhÉt, al-GhazÉlÊ membanding-kan intuisi mistis tersebut dengan penyair, yang ia sebut dhawq, dan digambarkan “semacam kemampuan perseptif”. Hal ini sama dengan istilah kashf atau mukÉshafah (sebagian besar digunakan dalam IÍyÉ’), yang biasanya dikontraskan dengan mu‘Émalah. Dhawq dan kashf keduanya memiliki objek intuisi yang serupa, yang bukan perasaan dan bukan juga pikiran. Dianggap tidak me-madai karena pencapaian tertinggi dari ma’rifah hanyalah ‘Ārif billāh, sifat yang hanya dimiliki oleh seorang sālik, yaitu manu-sia. Mengenal Tuhan melalui ma‘rifah melibatkan unsur afektif,

68 Al-GhazÉlÊ, MÊzÉn al-‘Amal, A. Shams al-DÊn (ed.), hlm. 135; bandingkan dengan Rosenthal, Knowledge, hlm. 142.

69 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 30-32; terjemahan bahasa Inggris, The Nine-ty-Nine, hlm. 39-41.

Page 216: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

201

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

seperti mengetahui sesuatu segera dan secara langsung melalui pengalaman pribadi.

Sedangkan yang dimaksud dengan cara yang tertutup ada-lah jalan ‘ilm. Dianggap tertutup karena pengetahuan ini dica-pai dengan melalui pancaindra manusia yang terbatas. Maka dari itu pengetahuan mengenai hakikat Tuhan dengan jalan ‘ilm itu tidak mungkin dicapai oleh manusia dengan jalan pengindraan yang terbatas. Tapi seseorang yang mencapai pengetahuan Tuhan melalui jalan ‘ilm mempunyai sifat ‘Ālim yang mirip sifat Tuhan yaitu al-‘Alīm. Mengenal Tuhan melalui ‘ilm merupakan aktivitas intelektual untuk memperoleh pengetahuan realitas lahiriah. Ini bukan dihasilkan dari kontak langsung dengan atau dari peng-alaman akan objek di luar pikiran (extramental). Penilaian yang diperoleh dari ‘ilm berasal dari dua sumber, yaitu akal dan peng-alaman. Menurut standar yaqin al-GhazÉlÊ, pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui ‘ilm bersifat inferensial atau dapat disimpulkan dan tidak langsung serta tidak dapat diberi label pas-ti dan wajib. Kebenaran penilaian-penilaian tersebut tetap terbuka untuk dipertanyakan, dan pembuktian atas kesalahan didasarkan pada premis-premis rasional yang identik dengan premis-premis yang penilaian kebenarannya telah terbukti.

Berkenaan dengan cara mengenal Tuhan yang tidak memadai, kita dapat merujuk pada gambaran al-GhazÉlÊ tentang Tuhan da-lam Bab Kedua. Ia menyatakan bahwa Tuhan memiliki tujuh sifat atau al-ÎifÉt al-dhÉtiyah (Hidup, Mengetahui, Berkuasa, Berke-hendak, Mendengar, Melihat, dan Berbicara), dan Perbuatan. Per-buatan-Nya jelas terkait dengan sifat-Nya. Jadi, percaya bahwa Tuhan adalah Pencipta, Pemberi, Pemandu, dan seterusnya juga berarti mengakui bahwa Tuhan memiliki aktivitas, yang meng-hasilkan sesuatu dan peristiwa, seperti aktivitas mencipta, mem-beri, membimbing dan seterusnya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang hasil aktivitas Tuhan, menurut al-GhazÉlÊ, adalah penge-tahuan tentang Tuhan itu sendiri. Hal ini karena realitas Zat-Nya tidak dapat diketahui, tetapi hanya manifestasi dari wujud-Nya di dunia. Ketika ia menyatakan bahwa “Yang paling nyata dan pa-

Page 217: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

202

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ling berbeda dari semua wujud adalah Tuhan Yang Mahatinggi,”70 itu bisa berarti bahwa di antara semua objek pengetahuan, yang paling mudah untuk dipahami adalah pengetahuan tentang Tuhan, yang dapat diperoleh melalui realisasi eksistensi-Nya di dunia.

Untuk memperjelas cara mengetahui Tuhan, al-GhazÉlÊ meng-gambarkannya dengan pengetahuan seseorang. Ketika mengamati seseorang menulis, kita segera tahu bahwa orang tersebut memiliki kehidupan, kekuatan, kehendak, dan pengetahuan untuk menulis, dan semua itu tidak bisa menjadi objek persepsi indra. Satu-satu-nya bukti yang kita butuhkan untuk sampai pada pengetahuan ini adalah gerakan orang tersebut saat menulis. Dalam ilustrasi ini, bagi kita yang melihatnya, sifat-sifat yang ditemukan pada orang tersebut lebih nyata dibandingkan kualitas-kualitas lain yang dimilikinya, termasuk kualitas lahiriah yang sekalipun dirasakan langsung oleh indra kita. Kita tidak mampu mengetahui beberapa kualitas lahiriahnya dengan pengamatan gerakan saja. Kita juga tidak pasti tentang kualitas-kualitas lainnya, seperti tingginya atau corak yang berbeda dari warna kulitnya. Apa yang dapat kita ke-tahui dengan pasti adalah hidupnya, kekuasaannya, kehendaknya, kemampuannya menulis, dan segi kemanusiaannya. Semua sifat tersebut manifes (ÐÉhir) dan khas (jaliy) bagi kita meskipun pan-dangan kita tidak bisa melihat lebih dari gerakannya (yang tidak ada hubungannya dengan sifat ini). Kembali kepada kasus per-buatan Tuhan, apa yang bisa indra kita lihat hanyalah gerakan atau—menurut ilustrasi tadi—“perbuatan menulis”.

Sekarang, melalui pengetahuan tentang diri kita sendiri, kita dapat menyimpulkan bahwa mestinya ada Wujud yang memiliki beberapa sifat tertentu dan mampu membuat apa yang kita amati menjadi mungkin. Dengan kata lain, di sini harus ada “penulis” alam semesta. Ketika kita melihat gerakan “penulis”, konsekuen-sinya kita tahu sifat-sifat-Nya dan fakta bahwa Dia ada. Setelah menyajikan ilustrasi mengenai pengetahuan tentang diri kita sen-diri, al-GhazÉlÊ menyatakan dalam Ihyā’:

70 “Anna AÐhar al-mawjËdÉt wa ajlÉhÉ huwa Allah ta‘ÉlÉ”, al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 4, hlm. 296-297.

Page 218: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

203

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

.... wujud Tuhan dan kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, dan semua sifat-Nya yang lain disaksikan dengan pasti (bi al-ÌarËrah) melalui segala sesuatu yang kita saksikan dengan persepsi indra lahir dan batin.... Bahkan petunjuk pertama wujud-Nya adalah diri kita sendiri, tubuh kita, sifat kita, per-ubahan pada keadaan-keadaan kita, transformasi dalam hati kita, dan seluruh tahapan dalam semua gerak dan diam kita. Yang paling berbeda dalam pengetahuan kita adalah diri kita sendiri, kemudian objek-objek pancaindra kita, dan kemudi-an objek persepsi intelek kita dan “wawasan” (baÎÊrah) kita. Setiap objek ini memiliki satu instrumen persepsi ... dan satu petunjuk (dalīl) ... pada wujud Sang Pencipta.71

Kutipan di atas menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ mengakui adanya cara alamiah serta supra-alamiah untuk mencapai penge-tahuan tentang Tuhan. Hal ini bisa didapat melalui realisasi diri kita sendiri. Al-GhazÉlÊ cukup yakin dengan konsep itu para pencari kebenaran akan “memahami keberadaan bukan dari perspektif keanekaragaman, melainkan dari perspektif kesatuan yang komprehensif”, dan karena itu “tidak akan melihat lebih dari Satu Pelaku Sejati (FÉ‘il) dalam semua wujud.”72 Hal ini karena keesaan Tuhan—sebagai objek utama pengetahuan dan pengalaman—tidak bisa dipahami secara langsung kecuali me-lalui implikasi dari eksistensi itu. Keesaan Tuhan juga tidak bisa dicari melalui daya intelek saja karena memahaminya mensyarat-kan pembinaan diri individual secara total. Oleh karena itu, tidak mengherankan tatkala al-GhazÉlÊ menyebut mereka yang memili-ki pengetahuan tentang Tuhan, tanda-tanda-Nya, serta perbuatan-Nya kepada makhluk sebagai “Alim tentang Realitas” (al-‘Élim ‘alÉ al-ÍaqÊqah).73 Hal ini terbukti dengan konsistensinya dalam menghubungkan pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang ciptaan-Nya, atau dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu rasional.

71 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 4, hlm. 297. 72 Ibid, hlm. 229. 73 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ ‘UlËm al-DÊn Jilid 1, (DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413

H), hlm. 4, 5, 29, dan 33.

Page 219: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

204

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Pengkajian secara menyeluruh atas karya-karya al-GhazÉlÊ menunjukkan bahwa berbagai tingkat dan bidang pengetahuan dan pengalaman terkait dalam suatu kesatuan. Sekarang kita alih-kan perhatian kita pada posisi al-GhazÉlÊ tentang pencapaian pe-ngetahuan tentang realitas eksternal atau lahiriah.

Pengetahuan tentang Realitas Eksternal

Pencapaian pengetahuan realitas lahiriah mengandaikan pro-ses yang berbeda dari proses memahami realitas Ilahi atau penge-tahuan tentang Tuhan. Al-GhazÉlÊ menegaskan bahwa penge-tahuan tentang Tuhan adalah yang paling nyata di antara jenis pengetahuan lain, baik sifat, proses mengetahui, maupun tingkat kepastiannya yang khas. Untuk menggambarkan proses penca-paian pengetahuan realitas lahiriah, kita akan membahas secara berurutan proses psikologis dan proses logis.

Proses Psikologis

Proses mencapai pengetahuan realitas lahiriah bergantung pada kapasitas jiwa manusia. Ketika persepsi indra membayang-kan hal-hal yang bisa diindra (al-maÍsËsÉt) dari dunia lahiriah fisik, ia hanya bisa menjadi dalīl atau petunjuk pada orang yang mengindra. Ini bisa diistilahkan sebagai tindakan pengetahuan diri. Realitas di balik bukti yang diamati, berada di luar jangkau-an indra. Data ini akan melewati semua tahapan persepsi manusia yang disebut di atas, yang akhirnya sampai pada tingkat abstraksi intelektual.

Selama proses abstraksi pra-intelek, persepsi indra menghu-bungkan pandangan penerima dengan beberapa aspek dari objek yang ditangkap. Namun, objek yang ditangkap hanyalah bagian dari totalitas karena keterbatasan masing-masing kemampuan persepsi akal. Selain itu, al-GhazÉlÊ menekankan, bukan objek itu sendiri yang ditangkap, melainkan hanya bentuk atau repre-sentasinya. Persepsi indra hanya memiliki kapasitas untuk meng-abstraksikan materi, bukan sifat materi yang menempel padanya. Pencapaian pengetahuan tentang realitas lahiriah tidak hanya me-

Page 220: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

205

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

libatkan realitas fisik sebagaimana ditegaskan al-GhazÉlÊ bahwa pengetahuan adalah “memahami sesuatu sebagaimana adanya”. “Sesuatu sebagaimana adanya”74 tidak hanya bersifat fisik, tapi juga merupakan realitas sesuatu (ÍaqÊqah) yang mencakup inti-sari (māhiyah), esensi (dhÉt), makna universal (ma‘nÉ al-kullÊ) atau ruh (rËÍ).75 Maka dari itu, objek pengetahuan tidak tampak secara eksplisit dalam pengertian fisik, dan kadang-kadang dike-nal sebagai “yang diketahui” (al-ma’lËm).

Setelah melihat bentuk (ÎËrah) dan gambar (mithÉl) dari ob-jek, indra lahiriah mentransfer data indrawi pada akal sehat untuk proses abstraksi. Fungsi kemampuan ini mengombinasikan antara kesamaan dan ketidaksamaan data yang dikirim oleh persepsi in-dra. Setelah menggabungkan data individu, akal sehat mengubah data menjadi representasi untuk melestarikan bentuk khusus objek dan untuk proses abstraksi lebih lanjut.76 Bila bentuk dan gambar objek telah disimpan, kehadiran objek fisik tidak lagi diperlukan. Objek material sudah menjadi gambar dan bisa dimengerti, yang sudah terukir pada jiwa. Ketika intelek perlu mengabstraksikan objek yang bisa dimengerti, ia akan membebaskannya dari se-mua kualitas aksiden dan sifat-sifat lain yang asing (al-lawÉÍiq al-dhÉtiyah).

Kemampuan estimasi hanya memahami sesuatu non-indrawi atau makna tertentu dari bentuk atau gambar seperti permusuhan tertentu (‘adÉwah) antara serigala dan domba, dan bukan permu-suhan yang universal (‘adÉwah kulliyah). Makna yang ditangkap oleh kemampuan estimasi ini kemudian disimpan dengan daya retentif (daya menghafal) yang mampu menghadirkan kembali ingatan demi proses selanjutnya. Kemampuan imajinatif—yang merupakan kekuatan tertinggi dari jiwa sensitif—memunculkan

74 Al-GhazÉlÊ, “al-Munqidh min al-ÖalÉl”, hlm. 26; Deliverance from Error, hlm. 55; W.M. Watt, The Faith and Practice, hlm. 21; The Book of know-ledge, hlm. 73.

75 Al-GhazÉlÊ, FayÎal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-ZanÉdiqah, RiyÉd MusÏafÉ (ed.), (Damaskus: DÉr al-×ikmah, 1986), hlm. 52-53; The Ninety-Nine, hlm. 6-7, 19, dan 37.

76 Al-GhazÉlÊ, MishkÉt, hlm. 76; al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij, hlm. 45-46.

Page 221: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

206

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

atau mencari apa yang telah tersimpan dalam representasi dan daya hafal. Representasi adalah penyimpan bentuk, sedangkan daya penghafal untuk dimunculkan kembali adalah penyimpan makna tertentu. Karena kemampuan imajinatif juga berfungsi sebagai instrumen kemampuan berpikir atau intelek, ia juga di-namakan kogitatif (mufakkirah). Perannya untuk mengorelasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, baik dengan membandingkan dan membedakan, atau dengan mengasosiasikan aksiden (sifat) yang terdapat dalam representasi. Ini berfungsi untuk mengaso-siasikan bentuk dengan yang sejenisnya, dan ini dapat ditemukan dalam proses penilaian ketika term tengah (middle term) dikait-kan dengan kesimpulan. Oleh karena itu, imajinasi memiliki ka-pasitas untuk mengasosiasikan dan memisahkan data yang di-terima dari tingkat abstraksi sebelumnya. Hasil dari peran daya imajinatif dalam mengasosiasikan bentuk-bentuk tertentu disebut sintesis, sedangkan hasil dari mengasosiasikan makna tertentu dengan bantuan estimasi—yang dilestarikan dengan kemampuan retentif—disebut ingatan.77

Proses mempersepsi realitas sesuatu seperti tersebut di atas, yang tidak hanya meliputi realitas fisik, dapat diringkas ke da-lam apa yang kita sebut tingkat pemahaman dalam membentuk abstraksi. Prosesnya dapat disusun dalam empat urutan, dimulai yang paling bawah: pertama, pemahaman indra lahiriah, yang melakukan sejenis abstraksi, yaitu menangkap objek indrawi saja. Kedua, pemahaman melalui abstraksi imajinasi retentif (idrÉk al-khayÉl). Ini sedikit lebih lengkap; tidak perlu melihat objek namun bisa memahami objek itu meskipun objek itu ab-sen dari indra. Ketiga, pemahaman estimasi (idrīk al-wahm). Ini lebih lengkap dan sempurna daripada yang sebelumnya karena memahami ide ini terpisah dari sifatnya yang menempel dan kualitas-kualitas tubuh yang melekat (seperti permusuhan dan cinta, oposisi dan kesepakatan). Keempat, pemahaman melalui akal (idrÉk al-‘aql), yaitu tindakan mengabstraksi yang sempurna dari seluruh kualitas tubuh yang melekat. Tingkat keempat ini

77 Al-GhazÉlÊ, Ma‘Érij, hlm. 47.

Page 222: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

207

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dapat memahami ide universal, yang tidak berbeda dari contoh-contoh individual.78

Dengan pemahaman seperti ini, maka pengetahuan itu tidak dapat dibedakan dari realitas sesuatu yang dipersepsi. Ini meru-pakan representasi yang bersesuaian (mithÉl al-muÏÉbiq) dengan objek, atau sinonim dengan sesuatu yang dinalar (al-ma‘qËlah), dan menempati bentuk eksistensi yang khas. Al-GhazÉlÊ mengi-dentifikasi jenis pengetahuan ini sebagai eksistensi mental (al-wujËd al-dhihnÊ), atau bentuk wujud kognitif (al-wujËd al-‘ilmi al-ÎËrÊ). Ini adalah hubungan antara bentuk kognitif dan bentuk eksistensial atau bentuk yang ada dalam individu sesuatu (al-Îu-war fÊ al-a‘yÉn) yang menjamin kepastian pengetahuan.79

Proses logis

Dalam deskripsi sebelumnya tentang sifat pengetahuan ra-sional disebutkan bahwa pengetahuan temporer (ÍÉdith) atau pengetahuan manusia dibagi menjadi: pertama, pengetahuan langsung atau a priori (ÍajmÊ), yaitu yang diketahui tanpa pe-nalaran; kedua, pengetahuan diskursif atau a posteriori (naÐarÊ), yang dicapai melalui bukti atau argumen.

Argumentasi, menurut al-GhazÉlÊ, adalah apa yang me-nyebabkan konfirmasi atau negasi dari sebuah pernyataan. Ada tiga macam argumen: deduksi, induksi, dan analogi. Deduksi ter-diri dari silogisme kategoris, konjungtif, disjungtif, dan reduksi. Argumen deduktif adalah “sebuah wacana yang tersusun ketika premis-premis tertentu diterima, dan pernyataan lain secara pasti

78 Ibid, hlm. 75-76; bandingkan dengan Shammas Yusuf Easa, “al-GhazÉlÊ’s The Ascend to The Divine Through the Path of Self-Knowledge (Ma‘Érij al-Quds fÊ MadÉrij Ma‘rifat al-Nafs), Being A Psychological Approach to Theology”, (disertasi Ph.D. di Hartford Seminary Foundation, 1958), 102-104.

79 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 78; al-GhazÉlÊs, JawÉhir al-Qur’an wa Du-raruhu, diedit oleh Lajnah IíyÉ’ al-TurÉth al-‘ArabÊ, (Kairo: ManshËrÉt DÉr al-Afaq al-JadÊdah, 1983), hlm. 26; al-GhazÉlÊ, al-MaÌnËn bihÊ ‘alÉ ghayr Ahlihi, RiyÉd MuÎÏafÉ (ed.), (Kairo: ManshËrÉt DÉr al-Hikmah, 1986), hlm. 46.

Page 223: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

208

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

disimpulkan.”80 Induksi dibuat dengan mengambil kesimpulan yang universal dari sesuatu yang khusus, sementara analogi dibuat dengan mentransfer penilaian tentang hal tertentu pada hal terten-tu lainnya.81 Jadi, perbedaan mendasar antara argumen silogisme deduktif dan argumen analogis adalah bahwa argumen deduksi terdiri dari tiga proposisi, sedangkan argumen analogi terdiri dari dua proposisi saja. Tiga model argumen tersebut (deduksi, induk-si, dan analogi) dinamakan bentuk argumen, sedangkan premis-premis atau proposisi-proposisi yang diperlukan untuk perumus-an argumen dinamakan materi (mÉddah). Dari bentuk-bentuk ini, al-GhazÉlÊ lebih memilih menggunakan silogisme dibandingkan analogi. Ia mendukung argumen demonstratif dibandingkan di-alektika.

Dalam argumen demonstratif, materi demonstrasi (mÉddah al-burhÉn) sangat penting. Kebenaran dan kepastian dan ke-masuk-akalan argumen demonstratif bergantung pada keakuratan proposisi-proposisinya. Pada bahasan sebelumnya telah disebut-kan tentang sifat pengetahuan, yakni adanya beragam proposisi (sekitar 13 jenis proposisi). Menurut al-GhazÉlÊ, proposisi pa ling akurat yang bisa diterapkan pada demonstrasi hanya empat: al-awwaliyyÉt (kepastian logis atau proposisi primer), al-maÍsË-sÉt (proposisi-proposisi perseptual dan indrawi), al-mujarrabÉt (proposisi eksperimental), al-qadÉyÉ al-latÊ ‘urifat lÉ binafsihÉ (kasus yang memasukkan bukti-bukti dalam premis-premis yang diperlakukan sebagai kepastian logis). Proposisi yang tidak aku-rat untuk demonstrasi (barÉhÊn) tetapi bisa berlaku untuk masalah hukum (fiqhiyyÉt) ada tujuh: al-mashhËrÉt (yang terkenal), al-maqbËlÉt (yang diterima), al-maÌnËnÉt (yang mungkin), al-wah-miyÉt al- Îarfah (yang merupakan hipotetis murni), mÉ yushbih al-maÌnËnÉt (yang menyerupai kemungkinan), al-mushabbihÉt (yang mirip), dan al-mukhayalāt (imajinatif).82

80 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 32 dan 77. 81 Ibid, hlm. 91 dan 94; al-GhazÉlÊ, MiÍakk, hlm. 72. 82 Al-GhazÉlÊ, MaqÉÎid, hlm. 102-109; al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 178-191.

Terjemahan dan ringkasan oleh MusÏafÉ AbË Sway, dalam al-Ghazālī yy, A Study in Islamic Epistemology, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pus-

Page 224: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

209

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Argumen demonstratif dibentuk berdasarkan kombinasi dua proposisi yang darinya proposisi ketiga disimpulkan. Di sini, ak-tivitas mental seperti daya ingatan (quwwah dhÉkirah) dan daya berpikir (quwwah mufakkirah)—sebagaimana dijelaskan pada bahasan proses psikologis pencapaian pengetahuan—memainkan peran penting dalam membawa dua proposisi secara bersama-sama dalam pikiran untuk menghasilkan proposisi ketiga. Jika hasil dari aktivitas mental ini berupa pengetahuan baru, maka disebut kesimpulan/inferensi. Namun, jika tidak ada pengetahuan baru disimpulkan, maka hanya dihasilkan ingatan. Bila ingatan menetapkan hubungan antara konsep dan pikiran, maka berpikir memunculkan pengetahuan baru.

Kelebihan argumen demonstratif, menurut al-GhazÉlÊ, ada-lah jelas. Dalam penalaran atau investigasi rasional, kognisi ma-nusia memiliki batas alami yang membuat tidak mungkin untuk mempelajari semua universalitas dan semua partikularitas. Na-mun, dengan penalaran, berpikir, dan intuisi, manusia mampu mengatasi batas-batas ini. Pengetahuan dihasilkan tidak semata dari akumulasi informasi tetapi juga hasil dari pemikiran ten-tang pengetahuan yang telah diperoleh. Cara untuk mencapai pengetahuan seperti memperoleh keuntungan dari modal utama melalui manajemen yang baik. Banyak orang memiliki konsep yang banyak tetapi tidak mampu mengelolanya. Tampaknya apa yang al-GhazÉlÊ maksud dengan manajemen pengetahuan adalah mengatur bentuk argumen yang dipertahankannya dan itu adalah metode demonstratif. Kita akan membahas metode ini lebih jelas dalam diskusi berikutnya tentang kausalitas dan epistemologi.

Metode lain pencapaian pengetahuan berkaitan dengan esensi sesuatu, yang disebut taÎawwur (konsep), dan hubungan antara esensi-esensi (positif ataupun negatif) yang dinamakan taÎdÊq (penilaian).83 Metode untuk mencapai taÎawwur adalah mela-lui definisi (Íadd), dan taÎdÊq dicapai melalui argumen (Íujjah). Perhatian al-GhazÉlÊ pada definisi juga ditunjukkan di bagian

taka, 1996), hlm. 48-49.83 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 265.

Page 225: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

210

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kedua MiÍakk al-NaÐar dan pendahuluan al-MustaÎfÉ. Jika da-lam Mi‘yÉr dikatakan bahwa definisi merupakan instrumen pem-bentuk konsep, dalam MiÍakk dan al-MustaÎfÉ definisi dianggap berguna untuk mengetahui yang sederhana (al-mufradāt) sebe-lum mengetahui yang kompleks (murakkabāt).84 Yang seder-hana dapat diperoleh dalam dua cara. Pertama, awwalÊ (konsep pri mer), yang bermakna “tidak dicari tapi terukir dalam pikiran tanpa usaha”, seperti kata eksistensi (wujūd), sesuatu (al- shay’), dan hal lain yang bisa diindra. Kedua, al-maÏlËb (diperoleh), yang tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan definisi. Dalam Mi‘yÉr, pe-nyampaian al-GhazÉlÊ lebih lengkap dibandingkan di MiÍakk dan al-MustaÎfÉ.

Dalam rangka membangun definisi atau makna sesuatu, al-GhazÉlÊ membagi wujud menjadi empat tingkat. Pertama, re-alitas sesuatu dalam dirinya sendiri. Kedua, kebertahanan citra realitas tersebut di dalam pikiran, yang disebut “pengetahuan”. Ketiga, komposisi citra tersebut dalam bentuk bunyi atau lisan yang menunjukkan citra dalam pikiran. Keempat, komposisi teks yang dapat diamati dan menunjukkan bahasa, yaitu menulis.85

Keempat tingkatan wujud yang diusulkannya itu berkaitan dengan realitas tekstual yang juga berasal dari pikiran kita. Se-bab, menurutnya, tingkat kata-kata itu sebenarnya muncul dari tingkat eksistensi. Ketika empat derajat eksistensi tersebut diuji, korespondensi mereka akan muncul dan eksklusivitas akan mu-dah ditemukan. Eksklusivitas (mÉni‘) inilah yang ditemukan da-lam empat tingkat wujud yang membentuk definisi. Begitu kon-sep realitas sesuatu hal ditetapkan secara eksklusif, citra, ekspre-si-ekspresi, dan tulisan akan mengikuti. Hanya saja, al-GhazÉlÊ menyadari bahwa mungkin ada kesenjangan antara realitas sesua-tu dan bahasa (lafÐ) sehingga banyak istilah yang homonim dan membutuhkan lebih dari satu definisi.86

84 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, M.S. al-AshqarÊ (ed.), hlm. 48. 85 Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 75.86 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, M.S. al-AshqarÊ (ed.), hlm. 62; juga al-GhazÉlÊ,

MiÍakk al-NaÐar, hlm. 265.

Page 226: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

211

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Letak pentingnya definisi adalah pada fungsinya sebagai atur an dan sebagai seni yang menguji definisi sesuai dengan atur-an tersebut.87 Kemudian al-GhazÉlÊ menjelaskan enam aturan untuk membuat definisi, tapi aturan yang paling penting ada em-pat. Pertama: sebuah definisi harus menjadi jawaban untuk per-tanyaan dalam perbincangan seperti apakah (hal/هل) dan apa (mā/ -untuk menyelidiki makna, dan untuk mempertanyakan esen (ماsi sesuatu hal dengan mengapa (lima/ لما) dan yang mana (ayyi/ Kedua, pikiran harus menyadari adanya perbedaan antara 88.(أيsifat yang esensial, sifat yang melekat, atau sifat yang aksiden-tal dari sesuatu. Ketiga, bagian sebuah definisi harus terdiri dari genus dan spesies, semua sifat yang esensial,89 dan itu semua harus menjadi penjaga dari istilah-istilah yang tidak umum, asing, metaforis atau homonim. Keempat, sebuah definisi tidak dicapai melalui demonstrasi sehingga validitasnya diketahui dari sifat ekstensifnya (Ïard) dan sifat eksklusifnya (‘aks).90 Ketika khamr

87 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, M.S. al-AshqarÊ (ed.), hlm. 48-61.88 Termasuk dalam bentuk interogatif hal adalah bagaimana (kayfa), di mana

(ayna), kapan (matÉ), dan pertanyaan-pertanyaan lain yang memberi gam-baran tentang eksistensi (wujËd).

89 Jika genus dekat (al-jins al-qarÊb) ditemukan, genus menengah (al-jins al-ba‘Êd) harus tidak disebut bersamanya dan karenanya akan menghasilkan ulangan. Ketimbang mendefinisikan khamr “yang memabukkan tubuh, yang diambil dari anggur,” misalnya, adalah lebih baik mendefinisikan-nya sebagai “minuman yang memabukkan.”

90 Co-extensiveness (Ïard) adalah persamaan persis antara definiens dan definiendum; ketika definiens ada maka definiendum harus ada. Jadi, Ïard tidak didapat ketika definiens dibentuk bersama tiadanya definiendum. Ia tidak juga didapat ketika definiens tidak koeksklusif (ghayr mÉni‘) ter-hadap sifat yang bukan di antara sifat yang ditemukan dalam definiendum, seperti mendefinisikan manusia sebagai binatang, karena tidak semua bi-natang itu manusia. ‘Aks, di sisi lain, mendikte/menentukannya yang ke-tika definiens absen definiendum tentu absen pula karena yang pertama seharusnya meliputi (jÉmi’) seluruh sifat yang esensial yang ditemukan dalam definiendum. Seandainya definiens tidak meliputi keseluruhan, ia akan berhenti mengada, dan hanya sebagian dari definiendum yang akan tetap ada. Misalnya, jika ‘manusia’ didefinisikan sebagai ‘Indonesia’, definisi tersebut tidak koeksklusif karena ‘manusia’ tetap akan ada setelah semua orang Indonesia dikeluarkan. Definisi yang kuat harus koeksklusif (mÉni‘). Lihat ÙaÍÉnÉwÊ, KashshÉf, hlm. 905-906. Bandingkan dengan Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alÉ al-ManÏiqiyÊn, diedit oleh ‘Abd al-Øamad, (Bombay: Sharaf al-DÊn al KutubÊ wa AwlÉduh, 1949), hlm. 11-12.

Page 227: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

212

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

didefinisikan sebagai minuman memabukkan, misalnya, itu tidak bisa dibuktikan dengan pembuktian demonstrasi, sebab ia perlu diletakkan dalam bentuk premis. Premis-premis tersebut memer-lukan term tengah (middle term) dan bahkan jika telah diketahui dan tidak diperlukan term tengah, maka ini berarti tidak memer-lukan demonstrasi.

Dalam hal ini al-GhazÉlÊ membuat catatan bahwa seni yang berfungsi untuk menguji definisi sesuai aturan itu bergantung pada suatu prinsip bahwa “Setiap orang yang mencari makna dari istilah (alfÉÐ) akan selamanya tersesat... dan siapa pun yang menetapkan terlebih dahulu makna dalam pikirannya lalu me-letakkan makna sesuai dengan istilah (alfÉÐ) tersebut, maka ia akan terbimbing.”91 “Makna” (al-ma‘ÉnÊ) yang dimaksud di sini menga cu pada realitas tekstual dalam konsepnya tentang empat derajat eksistensi.

PENGETAHUAN DAN KEPASTIAN

Sejauh ini kita telah membahas penafsiran al-GhazÉlÊ tentang makna, sifat, klasifikasi, dan metode mencapai pengetahuan. Dua masalah penting yang muncul dari pembahasan tentang pengeta-huan adalah cara pengetahuan diperoleh dan metode pembuktian kebenaran pengetahuan itu.92 Yang pertama adalah apa yang te-lah kita uraikan, sedangkan yang kedua terkait dengan masalah kepastian. Masalah ini akan diuraikan juga dalam bab berikutnya dalam kaitan dengan kausalitas.

Agar memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsep kepastian, wajib bagi kita menganalisis jalan pencarian al-GhazÉlÊ selama krisis epistemologis yang dialaminya. Dalam Bab Penda-huluan kita telah menyinggung apa yang dicari al-GhazÉlÊ seba-

91 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ, M.S. al-AshqarÊ (ed.), hlm. 62; juga al-GhazÉlÊ, MiÍakk al-NaÐar, hlm. 265.

92 Sami M. Najam, “The Place and Function of Doubt in the Philosophies of Descartes and al-GhazÉlÊ”, Philosophy East and West, Quarterly Jour-nal of Oriental & Comparative Thought, (Honolulu: University of Hawai Press), vol. XVI, No. 3-4, July-October, 1966, hlm. 133-141.

Page 228: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

213

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

gai “pengetahuan tentang realitas sesuatu” (al-‘ilm bi ÍaqÉ’iq al-umËr).93 Sebelum bisa mencapainya, ia harus mempertanyakan terlebih dahulu apa arti sebenarnya dari “pengetahuan” (ÍaqÉ’iq al-‘ilm). Ketika mencari hakikat pengetahuan seperti apa adanya (ÍaqÉ’iq al-‘ilm), ia tidak pernah mempertanyakan wujud atau kemungkinan pencapaian realitas sesuatu itu seperti apa adanya (ÍaqÉ’iq al-umËr).94 Masalah dihadapi al-GhazÉlÊ, yakni goyah-nya keseimbangan pikiran akibat perjalanan intelektualnya mela-lui studi pelbagai ilmu. Selama pencariannya pada pengetahuan yang istimewa dan sempurna, ia merasa skeptis terhadap persepsi indrawi dan kebenaran intelektual, karena keduanya dianggap dasar yang lemah bagi pengetahuan manusia. Dalam situasi se-perti inilah al-GhazÉlÊ mengalami keraguan epistemologis.

Akan tetapi, harus diingat bahwa keraguan dalam perjalanan intelektual dan spiritual itu bukanlah metode sentral dalam epis-temologi dan sistem pemikiran al-GhazÉlÊ. Kajian menyeluruh terhadap al-Munqidh tidak menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ telah menerapkan “keraguan sistematis” sebagai kerangka kerja atau in-strumen dalam menyelidiki kebenaran.95 Sebuah kesalahpa haman mencolok apabila membandingkan al-GhazÉlÊ dengan Descartes96 dalam menerapkan sikap ragu-ragu terhadap segala sesuatu ter-masuk kebenaran agama. Memang benar bahwa Descartes dan al-GhazÉlÊ memiliki pengertian yang sama bahwa pengetahuan melalui persepsi indra tidak dapat diandalkan. Namun, bagi al-GhazÉlÊ, keraguan tersebut hanya pemberhentian sejenak dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya untuk sampai pada tingkat

93 Al-GhazÉlÊ, al-Munqidh Min al-ÖalÉl, diedit dan dianotasi oleh JamÊl ØalÊban dan KÉmil ‘IyÉd, (Beirut: DÉr al-Andalus, 1980), hlm. 9 dan 11.

94 Al-GhazÉlÊ, al-Munqidh, hlm. 26; Deliverance from Error, hlm. 55.95 Untuk diskusi yang baik tentang pencarian al-GhazÉlÊ atas pengetahuan

yang pasti dan tak bisa salah, lihat Osman Bakar, “The Place of Doubt in Islamic Epistemology: al-GhazÉlÊ’s Philosophical Experience”, Bab Tawhid and Science, (Penang: Secretariat for Islamic Philosophy and Science, and Nurin Enterprise, 1991), hlm. 39-60.

96 Menurut Descartes, “perlu sekali dalam hidup seseorang untuk meragukan segalanya, sejauh itu mungkin.” Lihat Rene Descartes, “Principle”, dalam The Philosophical Works of Descartes, terjemahan oleh E.S. Haldane dan G.R.T. Ross, (New York, 1955), poin 1, hlm. 1.

Page 229: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

214

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pencerahan yang lebih tinggi, sedangkan bagi Descartes keraguan merupakan metode yang definitif dalam pengembaraan intelek-tual. Descartes telah menegakkan seluruh bangunan epistemolo-ginya di atas kelangsungan pengetahuan melalui akal murni, dan tiba pada proposisinya yang terkenal: “Aku berpikir, maka aku ada.”97 Diktum ini bermasalah mengingat fakta bahwa ia sendiri tidak bisa menyangsikan bahwa dirinya berpikir. Cemil Akdoğan menyimpulkan bahwa Descartes menekankan akal manusia, atau filsafat daripada teologi, dan tidak memberikan ruang bagi Tu-han dalam epistemologinya.98 Bahkan, ketika Descartes berbicara tentang intuisi, ia tak lebih dari sebuah aktivitas intelektual biasa dan bukan pengalaman spiritual. Adapun bagi al-GhazÉlÊ, intuisi merupakan stasiun berikutnya setelah akal teoretis murni. Akal saja, menurutnya, tidak dapat diandalkan untuk tiba di stasiun akhir kepastian, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan wahyu. Oleh karena itu, selama pencariannya terhadap pe ngetahuan yang pasti dan tak bisa salah, ia sudah punya iman yang pasti kepa-da Tuhan, nabi, dan wahyu. Ini berarti intuisi—dalam pemikiran al-GhazÉlÊ—melibatkan kepercayaan kepada Tuhan. Dalam al-Munqidh, ia menyatakan:

Dari ilmu yang telah saya terapkan, dan metode yang te-lah saya ikuti dalam menyelidiki dua jenis pengetahuan, yak-ni pengetahuan wahyu dan rasional, saya telah memperoleh keyakinan yang pasti akan Tuhan Yang Mahatinggi—melalui perantara wahyu Nabi dan Hari akhir. Ketiga dasar iman ini menjadi berakar dalam jiwa saya bukan karena bukti-bukti tertentu yang telah dirumuskan secara teliti, melainkan ka-rena alasan-alasan dan keadaan-keadaan serta pengalaman-pengalaman serta banyak lagi untuk ditulis secara terperin-ci.99

97 Rene Descartes, Principles of Philosophy, terjemahan oleh Valentine Rod-ger Miller dan Reese P. Miller, (Reidel: Dordrecht, 1983), artikel 7, Bagian 1, halaman 5.

98 Cemil Akdoğan, “GhazÉlÊ, Descartes, and Hume: The Genealogy of Some Philosophical Ideas”, (Islamic Studies, vol. 2, Autumn 2003, Number: 3), hlm. 493-494.

99 Al-GhazÉlÊ, Deliverance from Error, hlm. 78.

Page 230: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

215

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Kutipan di atas bukti yang cukup bahwa skeptisisme al-GhazÉlÊ tidak bisa disamakan dengan pemikir Barat mana pun. Selama proses keraguan, ia memegang teguh tiga hal fundamen-tal dalam Islam, yakni kepercayaan pada Tuhan, Nabi dan wahyu, dan Hari Akhir. Orang bisa saja bertanya: jika ia mempertahan-kan imannya dan percaya pada wahyu selama keraguannya, lalu kepastian apa yang dicarinya? Karena paparan masalah epistemo-logis tentang kepastian dan kemutlakan dalam kitab al-Munqidh hanya memberi kita petunjuk yang sedikit mengenai posisi al-GhazÉlÊ, jawaban atas pertanyaan tersebut harus mengacu pada keyakinan itu, yakni Nabi dan wahyu. Oleh karena itu, tak lain dan tak bukan, al-GhazÉlÊ diperkirakan pasti telah merujuk pada kepastian (yaqīn) yang ditemukan dalam al-Quran. Jika benar de-mikian, maka ada tiga jalan bagi pengetahuan serta derajat ke-pastian yang diartikulasikan oleh al-Quran. Pertama, kepastian dengan persepsi indrawi atau pengetahuan yang diderivasi secara empiris (‘ayn al-yaqÊn). Kedua, kepastian kognitif atau kepastian pikiran yang dicapai melalui pengetahuan lewat akal murni (‘ilm al-yaqÊn). Ketiga, kepastian yang dialami secara mutlak atau pe-ngetahuan melalui intuisi (Íaqq yaqÊn).100

Hasil dari goyahnya keseimbangan intelektual al-GhazÉlÊ ini bukanlah penolakan terhadap segala macam pengetahuan. Sikap skeptis al-GhazÉlÊ terhadap akal dan persepsi indra selama fase krisis itu kelak berubah menjadi sikap afirmatif. Ia menerima seka-li lagi keandalan data rasional dan bahkan menempatkannya pada tingkat yang sama dengan ÌarËrÊyyÉt (hal-hal yang pasti) kendati tidak lagi sebagai sikap dominan dalam epistemologinya.

Agar mempunyai makna kepastian yang nyata, saya mem-bedah berbagai karyanya, seperti MukÉshafat al-QulËb, Mi‘yÉr al-‘Ilm, al-Munqidh dan IÍyÉ’. Dalam karya pertama, misalnya, al-GhazÉlÊ mengacu pada pengetahuan yang dimiliki para nabi dan malaikat yang umumnya mencakup pengetahuan dunia gaib. Dalam karya ini, ia menyebut ‘ilm al-yaqÊn dibandingkan de ngan

100 Al-Quran surat al-TakÉthur (102) ayat 5 dan 7, surat al-×Éqqah (69) ayat 51.

Page 231: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

216

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

‘ayn al-yaqÊn.101 Dalam karya kedua, ia menyebutnya al-‘ilm al-yaqÊnÊ, dan mendefinisikannya sebagai “mengetahui sesuatu de ngan semacam sifat secara pasti bahwa tidak mungkin untuk tidak berada di sifat tersebut.”102 Definisi yang paling jelas ada di karya ketiga, yang merupakan formulasi dari temuan pencari-annya, yakni sebagai berikut:

Jelas bagi saya, pengetahuan yang meyakinkan dan pasti itu adalah pengetahuan yang objeknya diungkapkan sede-mikian rupa sehingga tidak ada lagi keraguan di dalamnya, tidak ada lagi kemungkinan salah atau disertai ilusi.... Penge-tahuan yang pasti tentu terjaga dari kesalahan; dan terjaganya atau amannya dari kesalahan itu sedemikian rupa sehingga upaya untuk menunjukkan kekeliruan pengetahuan tersebut yang tidak dapat menimbulkan keraguan atau penolakan.103

Penjelasan rinci tentang makna kepastian dapat ditemukan dalam karyanya yang keempat, IÍyÉ’. Al-GhazÉlÊ menegaskan bahwa kata yaqīn adalah “istilah homonim yang diterapkan oleh dua kelas manusia pada dua makna yang berbeda.”104 Makna yang pertama adalah pengetahuan yang dihasilkan dari spekulasi rasional dan persepsi indrawi, atau pengetahuan yang ditetapkan dari bukti-bukti, yang mengindikasikan pudarnya keraguan ali-as tidak memberi tempat pada kemungkinan adanya keraguan. Pengetahuan ini milik para filsuf (nuÐÐÉr) dan ahli ilmu Kalam.105 Makna yang kedua menyiratkan adanya kecenderungan jiwa un-tuk menerima apa-apa yang menyelimuti hati, dan sebagai hasil-nya menjadi penguasa jiwa yang mendesaknya untuk bertindak atau melarangnya melakukan sesuatu. Sebagai suatu pengalaman pribadi, kepastian menandakan kesesuaian kepastian itu dengan

101 Al-GhazÉlÊ, MukÉshafah al-QulËb al-Muqarrab ilÉ Ólam al-GhuyËb, diedit dan dianotasi oleh ‘Abd Allah al-KhÉlidÊ, (Beirut: DÉr al-Qalam, 1994), hlm. 8 dan 198.

102 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 6 dan 246.103 Al-GhazÉlÊ, Al-Munqidh, J. ØalÊban dan K. ‘IyÉd (ed.), hlm. 9 dan 11.104 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 1, hlm. 64; terjemahan bahasa Inggris oleh N.A.

Faris, hlm. 196-198.105 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 1, hlm. 60; terjemahan bahasa Inggris oleh N.A.

Faris, hlm. 193-194.

Page 232: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

217

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

keyakinan pribadi di dalam hati seseorang yang memiliki ke-benaran. Makna kedua ini, menurut al-GhazÉlÊ, digunakan para fuqahā’, sufi, dan mayoritas orang-orang terpelajar atau ulama.

Perbedaan makna kepastian di atas sejajar dengan pembagian al-GhazÉlÊ tentang pengetahuan. Di sini al-GhazÉlÊ membedakan antara pengetahuan dengan jalan spekulasi rasional dari penge-tahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau penga-laman religius. Dari perspektif konsepnya tentang realitas, yang pertama mengacu pada kepastian pengetahuan tentang makhluk, sedangkan yang kedua adalah kepastian dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang realitas Ilahi. Karena yang kedua lebih mu-lia daripada yang pertama, yang kedua berfungsi sebagai dasar epistemologis bagi yang pertama; tanpa yang kedua, yang perta-ma pasti akan kekurangan substansi dan nilai epistemis. Dengan kata lain, kepastian pengetahuan rasional atau kepastian filosofis tidak ada nilainya jika tidak disertai dengan penyerahan diri pada kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan realitas Ilahi. Dilihat dengan cara ini, pengetahuan inferensial yang diperoleh dengan akal dan hati tidak akan bertentangan dengan wahyu dan otoritas Nabi. Di sini al-GhazÉlÊ secara konsisten mempertahankan per-nyataan sebelumnya bahwa sebagian besar pengetahuan rasional adalah religius. Pengetahuan rasional dari kepastian tipe pertama dalam IÍyÉ’ termasuk dalam ‘ayn al-yaqÊn dan ‘ilm al-yaqÊn me-nurut terminologi al-Quran.

Di tingkat ketiga, al-GhazÉlÊ menunjukkan kemungkinan se-macam pemahaman yang lebih tinggi dari pemahaman rasional, yaitu pemahaman sebagaimana pengalaman mistis atau wahyu kenabian. Ragam pengetahuan ini disebutnya intuisi, yang hanya mungkin melalui bantuan Ilahi. Dalam hal ini, pengetahuan yang pasti tidak lain kecuali pengetahuan tingkat yang lebih tinggi atau tingkat kepastian gnostik. Hanya saja, ketika al-GhazÉlÊ meng-anggap intuisi sebagai satu-satunya cara yang eksklusif untuk mendapatkan mencapai realitas dan kepastian tertinggi, ia mele-paskan akal murni, dan ini tampaknya bermasalah. Menurut Mu-hammad Iqbal, pikiran dan intuisi terkait secara organik. Ia tidak

Page 233: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

218

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

setuju dengan gagasan bahwa “pikiran pada dasarnya terbatas se-hingga tidak dapat menangkap yang Tak Terbatas.” Ide ini, kata Iqbal, didasarkan pada gagasan keliru tentang gerakan pikiran.106

Satu sisi, Iqbal mungkin benar karena al-GhazÉlÊ dalam al-Munqidh tidak percaya bahwa akal dapat mencapai realitas ter-tinggi. Namun, dalam IÍyÉ’, seperti disebutkan di atas, ia me-nyatakan bahwa pengetahuan akan wujud Tuhan dapat dicapai melalui akal atau mata hati. Ini mengisyaratkan bahwa akal seka-lipun mampu membawa manusia pada pengetahuan tentang Tu-han. Masalahnya, al-GhazÉlÊ tidak secara jelas menggambarkan makna cahaya sebagai intuisi dan sebagai visi mistis.107 Pertanya-an yang muncul adalah bagaimana ia menjelaskan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan dunia melalui cara non-sen-sorik dan supra-intelektual? Dalam permasalahan ini, kita akan merujuk pada posisi yang dipegang oleh Naquib al-Attas, seorang pengikut mazhab GhazÉlÊ. Al-Attas menyatakan:

Ia (akal) merupakan salah satu aspek intelek dan ber-fungsi sejalan dengannya (akal), tidak bertentangan dengan-nya; dan intelek merupakan substansi spiritual yang melekat dalam organ spiritual dari kognisi, yang kita sebut hati, yang merupakan tempat dari intuisi. Dengan cara ini, melalui me-diasi intelek, kita menghubungkan akal dan intuisi.108

Selanjutnya al-GhazÉlÊ berpandangan bahwa intuisi berkaitan bukan hanya dengan “pengalaman langsung dan dengan eksis-tensi Tuhan, serta realitas wujud”, melainkan juga “pemahaman langsung terhadap diri sendiri, terhadap dunia lahiriah, nilai-nilai universal, dan kebenaran rasional.”109 Di sini al-Attas mengang-gap tingkat pemahaman fisik (materi) dan spiritual (metafisik)

106 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (La-hore: Institute of Islamic Culture, 1986), hlm. 5.

107 Sami M. Najm, The Place of and Function, hlm. 136.108 S.M.N. al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, An Exposition

of The Fundamental Elements of The Woldview of Islam, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought an Civilization, 1995), hlm. 119-120.

109 Ibid.

Page 234: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

219

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

penting bagi intuisi. Intuisi spiritual itu penting sebab ia dapat mengalami realitas tertinggi secara langsung dan spontan, dan mengungkapkan kebenaran sehingga ia dapat terbukti dengan sendirinya dengan sangat jelas. Ini mungkin penjelasan yang te-pat tentang pandangan al-GhazÉlÊ dengan mengacu pada beragam karyanya.

KESIMPULAN

Dari diskusi yang lalu, kita dapat melihat bahwa bagi al-GhazÉlÊ sifat pengetahuan dapat diidentifikasi dari sesuatu yang dianggap memiliki kemiripan (qismah) dan dari proses tempat jiwa rasional memandang realitas (mithÉl). Pengetahuan dalam perspektif ini dipahami sebagai realitas pikiran yang dirasakan dari abstraksi realitas lahiriah dan realitas yang bisa dinalar mela-lui berbagai metode dan proses. Dalam konsep ini, pengetahuan bersesuaian dengan realitas; dengan kata lain, ia merupakan rea-litas yang bisa dinalar dan terukir di dalam jiwa rasional. Teori al-GhazÉlÊ sepaham dengan teori pendahulunya bahwa pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna dan sampainya makna dalam jiwa.

Namun, karena realitas tidak hanya terbatas pada realitas fisik atau lahiriah dari dunia saja, tapi juga mencakup realitas supra-duniawi atau realitas yang tertulis dalam Lembaran Takdir atau LauÍ al-MaÍfËÐ, maka al-GhazÉlÊ mengklasifikasikan ilmu pe-ngetahuan yang berkaitan dengan agama (shar‘iyyah) dan penge-tahuan yang berkaitan dengan intelek (‘aqliyyah). Dalam hal ini al-GhazÉlÊ sama sekali tidaklah bermaksud menerapkan dikotomi (shar‘iyyah versus ‘aqliyyah) karena perbedaan ini hanya dida-sarkan pada sifat sumber-sumbernya. Teorinya yang didasarkan pada pengetahuan agama berteraskan pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan (tauhid), yang dari sini dapat ditarik cabang-cabang lain pengetahuan rasional. Jadi, prinsip keesaan mendasari dan mengarahkan seluruh sistem epistemologi al-GhazÉlÊ. Secara me-tafisika, prinsip keesaan terdiri dari aspek-aspek eksisten yang tampak dan yang tak tampak. Secara epistemologis, prinsip ke-

Page 235: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

220

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

esaanlah yang akhirnya mengintegrasikan berbagai tingkat dan jangkauan pengetahuan dan pengalaman dalam satu kesatuan tunggal yang menyeluruh. Artinya, pengetahuan agama merupa-kan dasar pengetahuan rasional sejauh ia dapat dipahami melalui pencarian spekulatif yang didasarkan pada bukti-bukti rasional, pemaparan silogisme atau logika filsafat. Sebaliknya, ilmu pe-ngetahuan rasional pun tidak terlepas dari ilmu pengetahuan aga-ma karena salah satu divisi pengetahuan rasional adalah sains, yang berkaitan dengan penyelidikan tentang wujud Tuhan, pe-ngetahuan tentang para nabi dan mukjizat. Al-GhazÉlÊ dalam hal ini mengintegrasikan dua jenis pengetahuan dengan menempat-kan karakter religiusitas dan rasionalitas bagi keduanya; sebagian besar pengetahuan agama itu rasional dan sebagian besar penge-tahuan rasional itu religius. Integrasi bukan dengan membuat dua jenis pengetahuan menjadi satu, melainkan dengan memandang bahwa ilmu yang satu berada melekat kepada ilmu yang lain.

Mengenai metode pencapaian pengetahuan, baik pengeta-huan agama atau rasional, al-GhazÉlÊ percaya pada dua metode: pengajaran Ilahi melalui wahyu kepada nabi dan melalui inspi-rasi (ilhām) dan proses belajar-mengajar secara umum bagi ma-nusia biasa. Untuk wahyu Ilahi dan ilhām, al-GhazÉlÊ memiliki penjelasan sendiri dengan mendasarkan pada pengalaman sufi, yaitu melalui cara-cara rasional dan supra-rasional. Untuk me-tode yang berkaitan dengan pengetahuan rasional, ada berbagai tingkat pemahaman di dalamnya, yakni proses abstraksi berurut-an dari berbagai kemampuan berpikir manusia, yang melibatkan pemahaman objek-objek yang bisa diindra, abstraksi dari ima-jinasi retentif, pemahaman estimasi, dan akhirnya pemahaman ide-ide universal melalui intelek. Metode lain dari pencapaian pe-ngetahuan rasional adalah dengan proses logika, deduksi, induksi, dan analogi argumen-argumen demonstratif—metode sama yang dipergunakan para filsuf. Demikian pula metode konsep (taÎaw-wur) dan penilaian (taÎdÊq).

Akhirnya, poin yang perlu dicatat tentang konsep pengeta-huan al-GhazÉlÊ adalah teori kepastian. Bahasan ini cukup penting

Page 236: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

221

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dalam pemikiran al-GhazÉlÊ karena dalam perjalanan intelektual-nya ia pernah mengalami sikap skeptis terhadap pengetahuan ra-sional. Lepas dari skeptisisme, ia pun mengakui bahwa kepastian dicapai melalui dua cara. Pertama, melalui pengetahuan rasional; kedua, melalui pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Yang pertama adalah pengetahuan tentang makhluk, sedangkan yang kedua adalah pengetahuan tentang realitas Ilahi. Namun, pola pikirnya yang integratif secara eksplisit tampak ketika ia mene-gaskan bahwa kepastian pengetahuan rasional tidak ada nilainya jika tidak disertai dengan kepastian yang diperoleh dari pengeta-huan realitas Ilahi. Jadi, tidak ada alasan untuk mempertentang-kan pengetahuan inferensial yang diperoleh melalui akal dengan wahyu dan otoritas nabi.

Page 237: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

222

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Page 238: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

223

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

SETELAH MEMBAHAS konsep al-GhazÉlÊ tentang realitas da-lam Bab Satu, pada bab ini saya akan menerapkan konsep-kon-sep tersebut pada bahasan kausalitas. Di awal bab ini saya akan mengkaji posisi al-GhazÉlÊ di antara kalangan mutakallimūn dan falāsifah. Ini penting mengingat al-GhazÉlÊ mendasarkan konsep-nya pada ajaran atomistik para teolog dengan sedikit perubahan, sekaligus menyangkal asumsi-asumsi dan konsep-konsep utama para falāsifah. Penjelasan ini memungkinkan kita untuk bisa menggambarkan keseluruhan posisi al-GhazÉlÊ dalam masalah yang sedang didiskusikan. Selanjutnya kita beralih pada pemba-hasan mengenai penerapan konsep realitasnya dalam kausalitas, yang melibatkan masalah sebab Ilahi, khususnya masalah per-buatan dan kehendak Tuhan, dan akhirnya kausalitas pada ciptaan dan manusia. Pertama-tama kita akan membahas secara singkat istilah ‘illah dan sabāb.

Persoalan kausalitas dalam tradisi intelektual Islam, yang dijelaskan dalam Bab Satu, berasal dari al-Quran. Buktinya da-pat ditemukan dalam berbagai ungkapan al-Quran yang merujuk pada sebab-akibat Ilahi atau sebab-akibat pada makhluk, baik

B A B E M P A T

Kausalitas dan Kenyataan

Page 239: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

224

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bernyawa maupun tidak. Namun, ketika persoalan itu dijelaskan secara rinci, sejumlah konsep tampak muncul. Setidaknya ada dua pandang an berlawanan tentang kausalitas sebelum hadirnya al-GhazÉlÊ, yaitu pandangan para ahli ilmu Kalam (mutakallimūn) dan kalangan falāsifah. Yang pertama (mutakallimūn), seraya membenarkan prinsip kemahakuasaan dan keesaan Tuhan yang dinyatakan dalam al-Quran, percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya pencipta segala sesuatu. Teori yang dikembangkan untuk prinsip ini adalah atomisme (jawhar) dan sebagai hasilnya me-reka menolak adanya pelaku kausalitas alami (natural efficient causality). Yang kedua (falāsifah), dengan berpegang teguh pada keesaan Tuhan dan meminjam skema emanasi Neo-Platonisme dan tesis Aristoteles tentang keabadian dan kelestarian alam, ber-pendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta melalui se-rangkaian emanasi alamiah yang pasti, dan dengan demikian me-neguhkan hubungan sebab-akibat yang pasti. Yang pertama per-caya bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan yang langsung, sedangkan yang kedua mendasarkan pada fakta persepsi indra bahwa sesuatu selalu terjadi secara seragam dan terjadi dengan kepastian.1 Al-GhazÉlÊ, seperti akan kita lihat, tidak serta-merta mengikuti para pendahulu Ash‘arÊyah atau menolak sama sekali sistem pemikiran kalangan falāsifah.

Konsep al-GhazÉlÊ tentang kausalitas dalam dunia fenome-na telah banyak didiskusikan di kalangan sarjana.2 Pendapat

1 Aristotle, The Physics Jilid 2 (dari 2 jilid), terjemahan oleh Wicksteed dan F Cornford, London: The Loeb Classical Library-W.Heinemann, dan Cambridge: Harvard University Press, 1957-1960), hlm. 5, 196b, 10-12. Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut Jilid 2, M. Bouyges (ed.), (Beirut: Biblio-theca Arabica Scholasticorum, 1930), hlm. 519-521, terjemahan oleh Van Den Bergh, The Incoherence of the Incoherence Jilid 1, E.J.W. Gibb Me-morial Series (London: Luzac, 1954), hlm. 318. Maimonides, The Guide of the Perplexed Jilid 1, Maimonides, Guide of the Perplexed, diterjemah-kan dengan pengantar dan catatan oleh Shlomo Pines, dengan sebuah Esai Pengantar oleh Leo Strauss, (Chicago: The University of Chicago Press 1963), Bab 73, proposisi 10.

2 Beberapa artikel terkini yang mendiskusikan secara eksplisit konsep kau-salitas al-GhazÉlÊ adalah Karen Harding, “Causality Then and Now: al-GhazÉlÊ and Quantum Theory”, the American Journal of Islamic Social Sciences, (1993), Vol. 10 No. 2, hlm. 165-177; Ilai Alon, “al-GhazÉlÊ on

Page 240: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

225

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

yang paling banyak dipegang (biasanya merujuk pada Tahāfut) adalah bahwa al-GhazÉlÊ menyangkal gagasan hubungan sebab-akibat yang pasti di dunia fenomena.3 Namun, penelitian yang luas terhadap karya-karyanya yang lain justru tidak mendukung pendapat itu. Rincian tentang pandangan yang unik ini akan men-jadi jelas setelah kita kaji secara mendalam penafsirannya pada makna realitas. Dalam Bab Satu, telah dibuat gambaran konsep-nya tentang Tuhan, Sang Realitas Mutlak, kosmologinya bersa-ma dengan pemikirannya tentang penciptaan makhluk bernyawa dan tak bernyawa, sistem kosmos dan ontologi makhluk, terma-suk teori atom dan aksiden. Dalam bagian berikut ini kita akan menerapkan konsepnya tentang realitas pada konsepnya tentang kausalitas. Pertama, kita meneliti sikapnya tentang Kalam dan falsafah.

PANDANGAN TENTANG KALAM

Al-GhazÉlÊ merupakan pengikut mazhab Ash‘arÊyah dan me-makai argumen teologis Ash‘arÊyah dalam isu-isu tertentu.4 Ia meyakini tidak adanya perbedaan antara ketaatan pada sunnah dan kajian teologi rasional. Ia juga menegaskan tidak adanya konflik antara wahyu dan kebenaran yang diberikan kepada akal (al-shar‘u-l-manqËl wa al-Íaqq al-ma‘qËl). Ia bahkan mengang-gap mereka yang menolak hal ini sebagai memiliki pikiran yang lemah dan kurang wawasan intelektual (min Ìu‘ fÊ al-‘uqËl wa qillat al-baÎÉ’ir). Walaupun demikian, ia menyalahkan pemikir-

Causality”, Journal of The American Oriental Society, vol. 100, 1981, hlm. 397-405; Benyamin Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory of Causality”, Stvdia Islamica No. 57 (1988), hlm. 75-98; R.E.A. Shanab, “GhazÉlÊ and Aquinas on Causation”, The Monist, vol. 58, 1974, hlm. 140-150.

3 L.E. Goodman, dengan artikelnya “Did al-GhazÉlÊ Deny Causality?” me-rupakan perkecualian. Lihat Goodman, L.E. “Did al-GhazÉlÊ Deny Cau-sality?” Stvdia Islamica No. 47 (1978), hlm. 83-120.

4 R. Frank menyimpulkan bahwa dalam karya-karya teologisnya pemikiran al-GhazÉlÊ masih dalam kerangka mazhab Ash‘arÊyah, meskipun kadang-kadang ia berusaha membawa teologi mazhab tradisional sesuai dengan pemikirannya sendiri. Lihat Richard Frank, al-GhazÉlÊ and the Ash‘arite School, (Durham and London: Duke University Press, 1994), hlm. 71-75.

Page 241: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

226

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

an ekstrem di kalangan falāsifah dan Mu‘tazilah yang menyalah-gunakan akal mereka.5

Dalam hal ilmu Kalam, kecenderungan al-GhazÉlÊ pada Ash‘arÊyah sangat tampak. Dalam MustaÎfÉ, ia mengatakan bah-wa di antara ilmu-ilmu agama, Kalam adalah ilmu yang universal (al-‘ilm al-kullÊ min al-‘ulËm al-dÊniyyah).6 Ilmu ini memulai penyelidikan tentang masalah yang paling mendasar, seperti wu-jud (being) dan perbedaan antara yang abadi dan yang temporal. Untuk membuktikan wujud dan kemahakuasaan Tuhan, makhluk yang temporal dipahami melalui teori jawhar dan aksiden untuk menunjukkan pada saat yang sama atas kebenaran dasar wahyu.

Al-GhazÉlÊ sedikit berbeda dari para pendahulunya ketika ia berpendapat bahwa karena Kalam merupakan ilmu tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya, tindakan-Nya dan makhluk ciptaan-Nya, Kalam bersesuaian dengan metafisika kalangan falāsifah, dengan logika sebagai elemen dan perangkatnya.7 Logika adalah ukuran bagi pengetahuan segala sesuatu.8 Melalui logika atau penalaran teo-retislah seseorang mengetahui kebenaran wahyu.9 Hanya saja, ia menyadari bahwa argumentasi logis saja tidak mampu mencapai kebenaran sehingga diperlukanlah bimbingan wahyu. Seseorang membutuhkan akal dan wahyu bersama-sama; yang satu tidak bisa melakukan tanpa yang lain.10 Posisi ini menunjukkan bahwa

5 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd fÊ al-I‘tiqÉd, al-Shaykh MuÎÏafÉ Abu al-‘AlÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 7.

6 Al-GhazÉlÊ, al-MustaÎfÉ min ‘Ilm al-UÎËl, 2 jilid, M. SulaymÉn al-Ashqar (ed.), (Beirut: Mu’assasah al-RisÉlah, 1997), hlm. 5 dan 9.

7 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ ‘UlËm al-DÊn, al-Shaykh ‘Abd al-‘Aziz SirwÉn (ed.), (Beirut: DÉr al-Qalam, tanpa tahun), hlm. 23; al-GhazÉlÊ, JawÉhir al-Qur’Én wa Duraruhu, diedit oleh Lajnah IÍyÉ’ al-TurÉth al-‘ArabÊ, (Kairo [1986]-Afaq al-JadÊdah [1983]), hlm. 21.

8 Al-GhazÉlÊ, QisÏÉs al-MustaqÊm, diedit dengan pendahuluan oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ ‘Abd Allah, (Damaskus: DÉr al-×ikmah, 1986), hlm. 68.

9 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd fÊ al-I‘tiqÉd, al-Shaykh MuÎÏafÉ Abu al-‘AlÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 8-9.

10 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 8; al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, hlm. 16; al-GhazÉ-lÊ, QisÏÉs, hlm. 56; al-GhazÉlÊ, MishkÉt al-AnwÉr, terjemahan bahasa Ing-gris dengan pengantar, anotasi, dan teks Inggris-Arab oleh David Buch-man, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 1998), hlm. 49; Ibn

Page 242: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

227

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

al-GhazÉlÊ mengikuti Ash‘arÊyah dalam mengambil jalan tengah antara penerimaan terhadap pendirian teologis al-Quran-Sunnah yang kaku dan rasionalisme ekstrem falāsifah.

Dalam karyanya yang lain tentang Kalam, al-GhazÉlÊ jelas-jelas mempertahankan teori jawhar, yang menunjukkan dirinya memegang teguh gagasan kelangsungan dan kelestarian ciptaan Tuhan11 sehingga menolak prinsip kausalitas pada peristiwa alam. Namun, dengan berada di jalan tengah, seperti akan kita lihat, ia pun bisa dianggap bermula dari Ash‘arÊyah kemudian bergantung pada pandangan kalangan falāsifah. Ini dapat diteliti dari kon-sep kausalitasnya yang tersebar dalam berbagai karyanya, seperti Mi‘yÉr, MiÍakk, dan MustaÎfÉ. Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ mengakui pengalaman hubungan sekuensial yang konsisten antara entitas dan peristiwa, yang bisa dikata-kan merupakan dasar valid bagi premis-premis yang dibenarkan silogisme demonstratif. Ia juga mengakui bahwa ada beberapa jenis pengetahuan yang dapat diperoleh dari pengalaman. Da-lam MiÍakk, misalnya, ia mencatat sejumlah akibat kausal yang mungkin diperoleh melalui pengalaman, seperti api menyebab-kan pembakaran, naik itu ke atas, makan menyebabkan kenyang, efek memabukkan anggur, dan daya tarik magnet terhadap besi.12 Pengetahuan tentang semua ini dapat ditemukan dalam penga-laman karena pembenarannya bersifat umum dan apa yang diha-dirkan pada indra hanyalah contoh khusus sebuah peristiwa.

Rushd, TahÉfut al-TahÉfut Jilid 2. M. Bouyges (ed.), (Beirut: Bibliotheca Arabica Scholasticorum, 1930), hlm.12.

11 Lihat Bab Dua, uraian “Realitas Sesuatu” dalam sub-subbahasan “Ontolo-gi Penciptaan Makhluk”.

12 Al-GhazÉlÊ, MiÍakk al-NaÐar. Di bagian akhir Ibn Hazm al-AndalusÊ, al-TaqrÊb li ×add al-ManÏiq, AÍmad FarÊd al-MazÊdÊ (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 232-233. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 17; al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilm fÊ al-ManÏiq, Ahmad Syams al-DÊn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), hlm. 179; al-GhazÉlÊ, IljÉm al-‘AwwÉm ‘an ‘Ilm al-Kalām, diedit dengan pengantar oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ ‘Abd AllÉh, (Damaskus: DÉr al-×ikmah, 1986), hlm. 6-7 dan 87.

Page 243: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

228

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Demikian pula di IÍyÉ’, al-GhazÉlÊ berbicara tentang ra-malan dokter tentang sebab penyakit berdasarkan diagnosis ge-jala sang pasien. Kesimpulan ini didasarkan dari sebab (asbāb) yang ber akar pada pengetahuan tentang jalannya sunnah Tuhan yang umum (majÉrÊ sunnati-l-Lahi wa ‘Édatihi) namun kasus ini berbeda.13 Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa sebab dan akibat (‘illah dan ma‘lËl, sabab dan musabbab) ada dalam waktu bersa-maan (yatalÉzamÉn). Di sini ia tidak menyebutnya pasti (ÌarËrÊ). Akan tetapi, di Mi‘yÉr menyebut demikian.14Sebagai tanggapan terhadap penolakan mutakallimËn tentang subjek penentu kau-salitas (seperti kepala yang terpenggal dan kematian, makan dan kenyang, api dan pembakaran), ia menyebutnya hanya sebagai “kebersamaan yang pasti yang tidak mungkin berubah” (luzËm ÌarËrÊ laysa fÊ al-imkÉn taghayyuruhu).

Karena “pasti” (necessary) adalah kata yang umumnya di-gunakan oleh kalangan falāsifah, al-GhazÉlÊ rupanya mengikuti pendirian mereka. Pada titik ini, ia dapat dianggap berpisah dari pandangan para mutakallimËn, bahkan berlawanan dengan ide keabadian ciptaan Tuhan yang ia pegang dalam Kalam. Akan tetapi, faktanya, ia tidaklah menafsirkan kata “pasti” sebagaimana kalangan falāsifah. Pasti hanya berlaku pada konsistensi hubung-an (wajh al-iqtirÉn) antara dua peristiwa, dan bukan pada cara mereka terhubung (nafs al-iqtirān). Konsistensi hubungan terse-but tidak tunduk pada pergantian dan perubahan (lÉ taÍtamilu al-tabdÊl wa al-taghyÊr) lantaran mengikuti jalannya sunnah Tuhan yang normal melalui perwujudan kehendak-Nya yang abadi. Un-tuk mempertahankan tesisnya, dalam IljÉm ia mengutip secara verbatim ayat al-Quran surat Fāthir ayat 43: “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Tuhan.” Se-sungguhnya posisi al-GhazÉlÊ berbeda dengan kalangan falāsifah karena ia masih mempertahankan bahwa proses ini tunduk pada kehendak Tuhan yang abadi; ide yang sebenarnya tidak bisa di-

13 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 1, hlm. 30; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, MuÎ-tasfÉ Jilid 1, hlm. 52.

14 Al-GhazÉlÊ, Mi’yar, hlm. 180-181.

Page 244: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

229

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

terima kalangan falāsifah. Catatan yang lebih rinci tentang posi-sinya akan diuraikan dalam pembahasan kita selanjutnya tentang konsep kausalitas.

Ada pandangan yang berbeda mengenai posisi al-GhazÉlÊ terhadap kalangan mutakallimËn. Ketika mempertahankan posisi mutakallimËn, terutama dalam karya-karyanya selain Tahāfut, ia tampaknya mendukung mereka.15 Ketika memakai argumen ka-langan falāsifah, ia dinilai bertentangan dengan mutakallimËn.16 Kesimpulan yang paling masuk akal adalah al-GhazÉlÊ mengam-bil posisi tengah antara Kalam dan filsafat demi mengompromi-kan gagasan mutakallimËn dengan gagasan kalangan falāsifah.17 Sekarang kita akan beralih pada pembahasan tentang sikapnya yang sebenarnya terhadap kalangan falāsifah.

PANDANGAN TENTANG FILSAFAT

Dasar pandangan kalangan falāsifah yang diwakili oleh Ibn SÊnÉ adalah doktrin metafisika ‘ada’, yang mana ‘ada’, dalam diri mereka sendiri, dianggap pasti, mungkin, atau mustahil. Argu-mennya secara singkat dapat dikelompokkan sebagai berikut: jika wujud dalam dirinya sendiri itu pasti, maka ‘ada’ semacam itu tidak dapat disebabkan, dan dengan demikian pasti independen dari sebab apa pun. Namun, jika sesuatu itu mungkin (konti ngen), maka ia harus disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya. Karena se-gala sesuatu yang kontingen, yang ada karena oleh sesuatu sebab, tentu harus disebabkan, yang berarti wujudnya dijadikan pasti. Dengan kata lain, jika sebabnya ada dan semua kondisi lain yang dibutuhkan terpenuhi, maka dengan sendirinya akibatnya pasti ada. Oleh karena itu, dalam pandangan Ibn SÊnÉ, hubungan yang

15 Lihat, misalnya, Benyamin Abrahamov, “Al-GhazÉlÊ’s Theory of Causal-ity,” Stvdia Islamica No. 57 (1988), hlm. 75-98.

16 Lihat L.E. Goodman, “Did al-Ghazālī Deny Causality?,” hlm. 83-120.17 Ilai Alon, “Al-GhazÉlÊ on Causality,” American Oriental Society Journal,

(vol. 100, 1980), hlm. 397-405. Pembahasan yang lain dapat ditemukan dalam Stephen Riker, “Al-Ghazālī on Necessary Causality,” The Monist 79 (1996), hlm. 315-324.

Page 245: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

230

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ada antara sebuah sebab (efisien) dan akibatnya itu niscaya.18 Ga-gasan tentang keniscayaan dalam dunia metafisika menimbulkan hubungan sebab-akibat yang niscaya dalam dunia fisik.

Ibn SÊnÉ dalam hal ini tampaknya mengubah empat jenis se-bab Aristoteles (sebab formal, material, efisien, dan final) menjadi “sebab esensial” (‘illah dhÉtiyah) dan “sebab ontologis” (‘illat al-wujūd). Yang pertama (sebab formal dan material) menentukan esensi suatu hal, sedangkan yang kedua (sebab efisien dan final) menyebabkan sesuatu menjadi ada secara aktual.19

Sebab efisien yang meniscayakan akibatnya, yang dibahas di sini, mengacu pada sebab esensial dan terdekat (‘ilal dhÉtiyah wa qarÊbah), yang merupakan “sebab sejati” (‘illah ÍaqÊqiyyah), bertentangan dengan sebab aksiden (ilal bi al-‘araÌ) atau sebab tambahan (auxiliary) dan persiapan (ilal mu‘Ênah wa mu‘iddah). Oleh karena itu, hanya sebab efisien esensial yang selalu lebih dahulu dari akibatnya secara ontologis dan tidak secara temporal karena keduanya bisa terjadi dalam waktu bersamaan dan terus-menerus.20 Pernyataan eksplisit Ibn SÊnÉ bahwa sebab menis-cayakan akibat dan sebaliknya, dapat ditemukan dalam karyanya, al-ShifÉ’:

Jadi, keberadaan setiap akibat itu dalam hubungannya dengan keberadaan sebabnya adalah pasti, sedangkan keber-adaan sebabnya meniscayakan akan adanya akibat darinya. (wujËd kulli ma‘lËl wÉjib ma‘a wujËdi ‘illatihi, wa wujËd ‘il-latihi wÉjib ‘anhu wujËd al-ma’lËl).21

18 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-IlÉhiyÉt Jilid 2 (dari 2 jilid), diedit Muhammad Yusuf Musa, et.al., (Kairo: U.A.R. WazÉrat al-ThaqÉfah wa al-IrshÉd al-QuwmÊ, 1960), hlm. 39 baris 6-16.

19 Ibid, hlm. 258, baris 1-8. 20 Untuk penjelasan lebih detail, lihat Michael E. Marmura, “Ibn SÊnÉ on

Causal Priority”, dalam Parviz Morewedge (ed.), Islamic Philosophy and Mysticism, (Delmar, New York: Caravan Book, 1982), hlm. 65-83, khususnya hlm. 66-67.

21 Ibn SÊnÉ, al-ShifÉ’ al-IlÉhiyÉt, hlm. 167, baris 1-2.

Page 246: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

231

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Gambaran singkat tentang pemikiran kalangan falāsifah di atas bukanlah untuk menyederhanakan masalah, melainkan untuk mengungkapkan bahwa keniscayaan dalam bidang metafisika me-nimbulkan keniscayaan dalam ontologi ada (being). Al-GhazÉlÊ berseberangan dengan doktrin kalangan falāsifah tersebut, ter-utama dengan prinsip metafisika mereka. Ia menyadari adanya korelasi konseptual antara prinsip metafisika kalangan falāsifah dan ontologi mereka. Prinsip-prinsip tersebut bisa membawa konsekuensi konseptual yang tidak sesuai dengan worldview Is-lam. Namun, ia tidak keberatan terhadap prinsip-prinsip tersebut asalkan tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip dasar agama.22 Sikap teguhnya diperlihatkan tatkala mengakui beberapa istilah filosofis namun menyesuaikannya dengan konsep realitas mi-liknya.23 Tentang hal ini kita akan membahasnya nanti.

Perhatian al-GhazÉlÊ pada prinsip-prinsip metafisika kalang-an falāsifah dan konsekuensi konseptualnya bisa dilihat dari sis-tematika Tahāfut. Ia membaginya dua bagian. Bagian pertama, permasalahan ke-1 sampai ke-16, dipergunakan untuk meng-kritisi fondasi metafisika kalangan falāsifah, khususnya konsep tentang Tuhan. Bagian kedua, permasalahan ke-17 sampai ke-20, digunakan bagi ilmu-ilmu kealaman.

Dalam pembahasan pertama pada bagian pertama, di mana al-GhazÉlÊ mempertanyakan teori keabadian dunia kalangan falāsifah, ia membahas konsep Tuhan yang intinya adalah hakikat kausalitas Ilahi. Kalangan falāsifah berpandangan bahwa karena dunia merupakan akibat yang diniscayakan oleh sebab yang aba-

22 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, diterjemahkan dengan teks Inggris- Arab The Incoherence of the Philosophers oleh Michael E. Marmura, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 5.

23 B. Abrahamov, yang mengasumsikan pengaruh Ibn SÊnÉ pada al-GhazÉlÊ, menyimpulkan bahwa “apa yang Ibn SÊnÉ definisikan dalam istilah filo-sofis mungkin muncul dalam al-GhazÉlÊ dalam istilah sufi atau keagamaan karena keinginannya untuk mengadaptasi gagasan dan metode argumenta-si filosofis pada weltanschauung (worldview) keagamaannya tanpa mem-buat posisinya terbuka pada tuduhan non-ortodoksi.” Benyamin Abraha-mov, “Ibn SÊnÉ’s Influence on al-GhazÉlÊ’s Non-Philosophical Work”, Abr Nahrain, vol XXIX, (1991), hlm. 4.

Page 247: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

232

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

di yang meniscayakan maka dunia pun abadi. Inti permasalahan-nya: apakah Tuhan berbuat karena keniscayaan sifat-Nya ataukah kehendak-Nya?24Bagi al-GhazÉlÊ, pengakuan pada yang pertama (Tuhan berbuat karena keniscayaan sifat-Nya) berarti penolakan terhadap sifat Iradah (Kehendak) Tuhan; konsekuensinya, Tuhan sebagai sebab dianggap impersonal yang dapat mengakibatkan keberadaan dunia karena suatu keniscayaan dan bukan karena kehendak-Nya. Di sisi lain, landasan teori kausalitas al-GhazÉlÊ adalah konsep tentang Tuhan yang personal yang memiliki keku-asaan, pengetahuan, dan sifat kehendak. Sama seperti para filsuf yang menjunjung doktrin pra-keabadian dunia dalam konsepsi mereka yang lain tentang dunia fenomena, al-GhazÉlÊ secara kon-sisten mempertahankan konsepsinya sendiri ketika menyanggah ajaran mereka dan menjelaskan teorinya.

Bagian pertama berakhir pada diskusi ke-16 tentang perso-alan kekuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan kausalitas. Sementara pada bagian pertama dari diskusi ke-16 berfokus pada metafisika (al-‘ulËm al-ilÉhiyah),25pada bagian kedua Tahāfut al-GhazÉlÊ membahas konsekuensi konseptualnya dalam ilmu alam. Pembahasan ilmu-ilmu alam ini kemudian diikuti penolakannya terhadap ajaran kausalitas kalangan falāsifah (terdapat pada dis-kusi ke-17).

Konsekuensi konseptual dari prinsip metafisika tersebut ada-lah ajaran tentang skema deterministik segala sesuatu. Menurut skema emanasi, para malaikat surgawi adalah jiwa-jiwa langit (nufËs al-samÉwÉt) dan akal (intelek) yang terpisah (al-‘uqËl al-mujarradah). Intelek yang terpisah tersebut menggerakkan la-ngit dan benda-benda fisik dalam dunia di bawah orbit matahari (sublunary world) melalui perantaraan jiwa-jiwa langit (celestial soul), yang pada gilirannya mempengaruhi gerakan tertentu pada semesta melalui pengetahuan khusus mereka dan kehendak khu-sus dari gerakan-gerakan ini. Ini berbeda dari pengetahuan univer-

24 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, lihat masalah pertama “On Refuting Their Doctrine of the World’s Pre eternity”.

25 Ibid, hlm. 160.

Page 248: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

233

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sal yang diberikan kepada mereka oleh “Intelek yang terpisah”. Artinya, setiap akibat memiliki sebab kontingen dan bermuara pada sebab akhir, yaitu “gerakan langit yang abadi”, meskipun melalui serangkaian sebab perantara.26 Konsekuensi logis dok-trin ini adalah setiap peristiwa memiliki sebab kontingen, satu ba-gian menjadi sebab bagi yang lain dalam bentuk rangkaian sebab dan akibat, dan berakhir pada “gerakan langit yang abadi”.27

Al-GhazÉlÊ paham bahwa ajaran al-FÉrÉbÊ dan Ibn SÊnÉ ber-asal dari Aristoteles dan filsafat Neo-Platonisme, yang menanda-kan infiltrasi konsep lain ke dalam worldview Islam. Menurutnya, dengan struktur sesuatu yang deterministik tersebut, Tuhan se-bagai faktor penentu ditolak dan diganti dengan kausalitas alam. Ini berarti sesuatu yang tidak bernyawa memiliki perbuatan yang disengaja, yakni hubungan sebab-akibat dalam dunia fenomena terjadi tanpa Tuhan sebagai pelaku sebab yang langsung. Konse-kuensi lain dari ajaran konseptual itu adalah bahwa kenabian dan mimpi dianggap sebagai cara alamiah bagi keinginan jiwa untuk mengungkap rahasia-rahasia gerakan alam gaib. Oleh karena itu, mereka pun menganggap kekuatan mukjizat kenabian dapat dica-pai orang kebanyakan, dan dengan demikian menolak mukjizat Tuhan. Selanjutnya, menurut al-GhazÉlÊ, kalangan falāsifah tidak menyangkal bahwa kenabian dan mimpi merupakan hasil dari wahyu Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantaraan malaikat.

Posisi al-GhazÉlÊ terhadap kalangan falāsifah sangat jelas. Pendiriannya dapat dilihat dari keberatannya yang konsisten ter-hadap konsep kalangan falāsifah tentang ketuhanan, penciptaan dunia hingga berjalannya alam. Artinya, dalam persoalan kau-

26 Lihat al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 157-159. Untuk tesis Ibn SÊnÉ, lihat KitÉb al-NajÉt, fi al-×ikmah al-ManÏiqiyyah wal al-al-ÙabÊ‘iyyah wa al-IlÉhiyyah, diedit oleh Majid Fakhry, (Beirut: ManshËrÉt DÉr al-ÓfÉq al-JadiÊdah, 1405 H/1985 M), hlm. 175-178.

27 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, Marmura, hlm. 153-155; Tahāfut, S.A. Kamali, The Incoherence of the Philosophers, (Lahore: Pakistan Philosophical Cong-gress, 1963), hlm. 174. Ibn SÊnÉ, al-NajÉt, hlm. 138-139.

Page 249: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

234

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

salitas ini, al-GhazÉlÊ menyelesaikan masalah metafisika terle-bih dahulu sebelum beralih pada masalah-masalah ontologis dan epistemologis. Pembacaan sepintas terhadap diskusi ke-17 akan menunjukkan betapa al-GhazÉlÊ bermaksud menempatkan ilmu-ilmu alam di jalur metafisika yang tepat.

Jadi, jelas sekarang posisi al-GhazÉlÊ dalam isu kausalitas: tidak sejalan dengan tradisi mazhab Ash‘arÊyah, dan tidak pula sesuai dengan doktrin filsafat. Pengetahuan filsafatnya yang me-madai memungkinkannya untuk terlibat dalam polemik dengan kalangan falāsifah. Penguasaan al-GhazÉlÊ atas pemikiran filo-sofis memungkinkannya untuk menggunakan argumen filosofis lewat cara—meminjam kalimat L.E. Goodman—“meletakkan beban bukti yang jauh lebih sulit bagi para ahli falsafah diban-dingkan bagi dirinya sendiri.”28 Sebenarnya al-GhazÉlÊ malah bisa dianggap sebagai sosok yang mampu menyerang salah satu asumsi-asumsi pokok Aristotelianisme untuk membela pendirian klasik dengan argumen-argumen baru. Namun, pada saat yang sama, ia juga penganut mazhab Ash‘arÊyah dalam makna lebih luas, yang menyerang kalangan falāsifah dengan memanfaatkan senjata logikanya. Oleh karena itu, ia bisa disebut Ash‘arÊyah le-vel tinggi.29

MAKNA SEBAB: ‘ILLAH DAN SABAB

Dalam masalah kausalitas, telah dijelaskan bagaimana tang-gapan al-GhazÉlÊ terhadap kalangan mutakallimËn dan falāsifah. Perbedaan pendapat yang terjadi berkisar pada arti esensial yang

28 L.E. Goodman, “Did al-GhazÉlÊ Deny Causality?”, hlm. 84.29 Diskusi yang bagus tentang masalah ini lihat Richard Frank, al-Ghazālī ,

and the Ash’arite School, hlm. 44-45. Ulasan Tobias Meyer tentang buku Frank layak diperhatikan; lihat “al-GhazÉlÊ and the Ash’arite school,” (Durham and London, 1994) dalam Journal of Qur’anic Studies, (1999), vol. 1, issue 1, hlm. 170-82. Karya Frank cenderung melihat inkonsis-tensi al-GhazÉlÊ dengan ajaran Ash‘arÊyah dan membawanya dekat pada kalangan falāsifah bahkan lebih dekat lagi pada Neo-Platonisme. Adapun Meyer menganggap al-GhazÉlÊ sebagai sosok filosofis yang memperda-lam Ash‘arÊyah, bahkan amat bercorak Ash‘arÊyah atau pembawa supre-masi Ash‘arÊyah.

Page 250: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

235

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

diberikan pada kata “penciptaan” (khalq), dalam kaitan dengan sebab-akibat. Perbedaan antara dua sistem pemikiran tersebut, al-GhazÉlÊ dan para filsuf, dapat dijelaskan dengan baik dengan menguji secara singkat terminologi yang digunakan kedua belah pihak dalam makna “sebab”. Karena kausalitas melibatkan pen-ciptaan, kita tidak hanya meneliti bagaimana cara kausalitas Ilahi dijelaskan, tetapi juga—sebagai tambahan—membangun sebuah model yang mudah-mudahan akan memperjelas analisis GhazÉlÊ terhadap hubungan sebab-akibat, baik di wilayah supra-duniawi maupun di wilayah fenomena alam dunia fisik.

Dua kata yang digunakan untuk menunjuk arti “sebab” ada-lah ‘illah dan sabab. Keduanya, berhubungan dengan pengertian yang berbeda-beda dari kata “sebab” itu sendiri, meskipun per-bedaan substantif ini jarang mendapat penerimaan terminologis yang kuat dan absolut. Pada Bab Satu telah ditunjukkan bahwa gagasan kausalitas (sabab-musabbab) berasal dari al-Quran. Is-tilah yang digunakan untuk sebab dalam al-Quran adalah sabab. Ketika kalangan falāsifah menemukan filsafat Aristoteles dan tradisi peripatetik, mereka memakai kata ‘illah, sedangkan al-GhazÉlÊ menggunakan kata sabab untuk menolak gagasan kau-salitas mereka.

Kata “sabab” tampaknya paling tepat merujuk pada penger-tian sebab di mana akibatnya (musabbab) adalah peristiwa di alam. Dalam konteks ini, sabab menunjukkan sarana yang de-ngan itu sesuatu lain dihasilkan atau dikerjakan. Arti eksplisit sabab sebagai sebab sekunder atau syarat (sharÏ) yang memung-kinkan adanya kontingen diperjelas oleh pernyataan para filsuf dalam Problem I di Tahāfut. Dalam argumen melawan gagasan partikularisasi (takhÎÊÎ), sebagai penjelasan penciptaan dunia pada suatu momen tertentu, para filsuf tegas membatasi makna sabab pada keadaan yang tidak meniscayakan (non-necessitating circumstances) dari ada temporal (temporal being). Pernyataan mereka dikutip al-GhazÉlÊ:

Page 251: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

236

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Kami tidak menganggap timbulnya peristiwa temporal, peristiwa apa pun itu, dari sesuatu yang abadi (eternal) itu mustahil. Kami lebih menganggap mustahil timbulnya sesu-atu yang abadi dari suatu kejadian yang merupakan kejadian pertama. Karena kondisi sesuatu pada waktu kemunculannya itu tidak berbeda dari apa yang mendahuluinya, dalam hal mengarahkan wujud sesuatu itu, baik dalam hal kehadiran-nya pada momen tertentu, bagiannya, kondisinya hakikatnya, tujuannya, ataupun sebab lainnya.30

Penggunaan ini tampaknya sangat dekat dengan makna sabab dalam arti kondisi, penalaran logis atau sarana, saluran perantara atau jalan yang darinya tercapai atau terpenuhi. Penafsiran ini hampir sejajar dengan yang disampaikan Ibn KathÊr tentang mak-na sabab dalam al-Quran seperti yang telah dijelaskan dalam Bab Satu.31 Hanya saja, dalam bagian-bagian tertentu Tahāfut, al-GhazÉlÊ membandingkan penjelasan kata sabab dan ‘illah. Sabab kadang-kadang terjadi secara kompleks tapi masih membedakan jenis khusus sebab-akibat: suatu hubungan di mana sebab betul-betul menyebabkan (real efficacy) terjadinya akibat secara aktual. Al-GhazÉlÊ bahkan menggunakan ungkapan sabab al-mujīb un-tuk menekankan sifat sebab yang efisien.

Di sisi lain, berbicara mengenai Tuhan sebagai “pencipta” dan “pelaku terwujudnya” alam semesta, para filsuf menggam-barkan-Nya sebagai “prinsip alam semesta dan sebab atau ‘illah dari emanasi alam semesta.”32 Konsekuensi konsep ini, prioritas sebab dalam waktu (temporal priority)—yang diperlukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan akibat di dunia fisik—dinafikan; dalam artian bahwa Tuhan bukan sebab yang datang lebih dahulu dalam waktu karena alam dan Tuhan ada secara bersamaan. Se-bab dan akibat, bagi para filosof, terjadi secara simultan. Meski Tuhan diasumsikan ada sebelum dunia, sama halnya seperti se-

30 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, S. DunyÉ (ed.), problem I, hlm. 108; terjemahan ba-hasa Inggris oleh Marmura, hlm. 28.

31 Lihat Bab Satu, sub-subbahasan “Terminologi dan Definisi Kausalitas.”32 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, S. DunyÉ (ed.), problem V, hlm. 166; terjemahan ba-

hasa Inggris oleh Marmura, hlm. 91.

Page 252: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

237

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bab (‘illah) mendahului akibat (ma‘lËl), namun ibaratnya seperti gerak manusia yang mendahului gerak bayangannya (namun juga bersamaan dengannya).33 Oleh karena itu, istilah untuk sebab-akibat tidak memiliki presisi yang mutlak.

Singkatnya, al-GhazÉlÊ mendekati masalah dengan cara menganalogikan antara hubungan sebab-akibat dan hubungan pelaku dengan perilakunya. Atas dasar ini, setiap upaya men-teorikan hubungan sebab-akibat antara dua entitas yang terpisah haruslah mengacu pada kekuatan aktif dari sebab yang ditentu-kan untuk akibat yang diandaikan. Maksud “kekuatan aktif da-lam ada” sebenarnya tidak lebih dari sekadar gagasan bahwa ada (a being) dapat melakukan hal-hal tertentu jika berkehendak.

Tidak ada pertentangan mendasar antara teologi dan filsafat mengenai kemampuan Tuhan dalam menggapai tujuan-Nya. Yang membedakan sikap al-GhazÉlÊ dan para filsuf adalah apakah se-bab pelaku yang esensial itu pasti atau karena kehendak. Bagi al-GhazÉlÊ, untuk mewujudkan suatu akibat suatu sebab (dalam hal ini adalah Tuhan) pasti mempunyai suatu kehendak, kemampuan, pengetahuan maupun kekuasaan yang tak terbatas dan tanpa sya-rat. Sebaliknya, teori filsafat secara tegas menyamakan terjadinya sebab dengan tercapainya akibat. Dalam kaitannya dengan Tuhan, wujud-Nya dianggap telah memastikan wujud alam semesta, dan bukan karena kehendak-Nya dan perbuatan-Nya dunia ini menja-di ada. Ringkasnya, konsep tentang Tuhan mewarnai penjelasan dan interpretasi para filsuf terhadap makna sebab dan akibat.

KAUSALITAS DAN REALITAS MUTLAK

Penjelasan terdahulu mengenai istilah “sebab” tidak hanya memiliki makna beragam tetapi juga merupakan asas konseptual yang akhirnya kembali pada konsep Tuhan, Sang Realitas Mut-lak. Konsep Tuhan adalah salah satu unsur paling mendasar da-lam worldview teistik mana pun. Inilah juga yang berlaku pada sistem pemikiran al-Ghazālī, yang menjadikan Tuhan (sebagai

33 Ibid.

Page 253: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

238

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Realitas Mutlak) dalam posisi sentral. Al-GhazÉlÊ percaya bahwa semua realitas dan eksistensi lain menderivasikan realitas se-jati mereka dari-Nya dan terus-menerus bergantung pada-Nya.34 Akibatnya, dalam konsep ini (hubungan sebab-akibat di dunia fenomena) Tuhan menjadi faktor penentu. Kausalitas dipandang sebagai bagian dari perbuatan Ilahi terus-menerus (dawÉm al-tajaddud wa dawÉm al-in‘idÉm) dalam penciptaan dan pemus-nahan.35 Dunia fenomena berkorelasi erat dengan dunia metafisi-ka dalam hubungan yang terus-menerus. Hal ini sejalan dengan prinsip worldview teistik, yang disebutkan dalam Bab Pendahu-luan, yakni realitas yang bisa diamati terhubung dengan realitas yang lebih tinggi.36

Ketika membicarakan masalah kausalitas dalam Tahāfut, al-GhazÉlÊ menyebutkan, “hubungan yang diamati pada wujud” (al-iqtirÉn al-mushÉhad fÊ al-wujËd).37 Apa yang dimaksud dengan al-wujūd sini adalah realitas sejati (al-wujËd al-ÍaqÊqÊ), yaitu re-alitas non-materi dari LauÍ al-MaÍfËÐ yang mewujud dalam ben-tuk fisik, yaitu realitas eksternal dalam dunia fenomena.38 Ke-beradaan ini terkait dengan—sekaligus pula berbeda dari—Eksis-tensi Mutlak (al-wujËd al-MuÏlaq). Dalam konsep kosmologinya, perbedaan ini menyerupai Élam al-mulk dan Élam al-malakËt.39 Bagaimana modus hubungan antara dua tingkat eksistensi ini, perlu penafsiran lebih lanjut. Satu postulat kunci yang menda-sari konseptualisasi masalah kausalitas al-GhazÉlÊ melekat dalam gagasan “kehendak”, “perbuatan” dan “pelaku”, yang semuanya menunjukkan proses penciptaan dunia.

34 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad al-AsnÉ min AsmÉ’ Allah al-×usnÉ. MusÏafÉ Abu al-‘AlÉ (ed.), (Kairo: Maktabah al-Jundi), hlm. 90-91; terjemahan bahasa Inggris oleh David Burrell dan Nazih Daher; al-GhazÉlÊ, The Ninety-Nine Beautiful Names of God, (Cambridge: Islamic Text Society, 1992), hlm. 124-126.

35 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 40.36 Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problems, (Aus-

tralia: Wadsworth, Thomson Learning, 2001), hlm. 60.37 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 181.38 Lihat Bab Dua, subbahasan “Definisi Al-GhazÉlÊ”.39 Lihat Bab Dua, subbahasan “Definisi Al-GhazÉlÊ”.

Page 254: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

239

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Cara Perbuatan Tuhan

Poin pertentangan yang paling krusial antara al-Ghazālī dan kalangan falāsifah adalah dalam masalah kausalitas, berkisar, da-lam berbagai bentuk, pada makna esensial yang diberikan kepada kata “sebab” dan “pelaku”.40 Dalam kaitan dengan Tuhan, masa-lah tersebut berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan tentang mo-dus yang digunakan Tuhan untuk mewujudkan sesuatu, yang dari sini muncul dua doktrin: penciptaan dan emanasi. Kedua doktrin ini sebenarnya mewakili dua worldview berbeda, dengan konsep Tuhan tetap menempati posisi terpenting. Pendekatan berbeda mengenai masalah kausalitas antara al-GhazÉlÊ dan kalangan falāsifah tidak lebih dari konsekuensi perbedaan worldview dan konsep yang dipegang masing-masing pihak. Dalam konteks ini-lah pentingnya membahas gagasan al-GhazÉlÊ tentang perbuatan Tuhan dalam kaitan dengan kausalitas. Hanya saja, perbuatan Tu-han tidak dapat dibahas secara terpisah dari sifat-sifat-Nya yang lain yang merepresentasikan keseluruhan konsep Tuhan.

Pandangan pertama dan terpenting yang dipegang kuat oleh al-GhazÉlÊ dalam masalah ini adalah sifat pelaku (al-fÉ‘il) dan perbuatan (fi‘l), dan hubungan umum yang ada di antara ke-duanya. Dalam diskusi ke-3 Tahāfut, al-GhazÉlÊ mengemuka-kan tiga kriteria untuk mengidentifikasi “perbuatan yang nyata”. Pertama, pelaku perbuatan yang nyata harus memiliki kehendak untuk bertindak. Kedua, pelaku harus memiliki pilihan bebas. Ke-tiga, pelaku harus memiliki pengetahuan tentang apa yang dike-hendakinya.41

40 Dalam Bab Dua pada uraian “Doktrin Penciptaan” (sub-subbahasan “Kon-sep Kosmologi), telah dijelaskan bahwa al-GhazÉlÊ tidak setuju istilah “sebab” untuk Tuhan, tetapi lebih memilih menggunakan istilah “agen/pelaku”.

41 Ia secara jelas menyatakan bahwa tesis mereka, yakni dunia merupakan karya Tuhan (sun‘u Allah), itu tak terbayangkan dari tiga perspektif: da-lam pandangan pelaku, dalam pandangan perbuatan dan dalam pandang-an hubungan yang umum antara perbuatan dan pelaku. Lihat Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, problem III, hlm. 1 dan 95-96.

Page 255: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

240

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Kriteria lain yang dinyatakan dalam MaqÎad adalah keku-asaan. Di sini al-GhazÉlÊ menafsirkan istilah al-Qādir dan al-Muqtadir (Mahakuasa) dalam kaitannya dengan kemauan dan pengetahuan sehingga menandakan Maha Penentu (All Determi-ner). Oleh karena itu, kekuasaan (qudrah) didefinisikan sebagai “ekspresi suatu sifat yang menjadikan sesuatu itu ada dengan cara tertentu melalui kehendak dan pengetahuan, dan hal itu terjadi se-suai keduanya.”42 Dalam IÍyÉ’, kekuasaan diasosiasikan dengan tindakan penciptaan dan kehendak, “Dia menciptakan (aÍdatha) makhluk untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, yang didahului dengan kehendak-Nya dan (untuk membuktikan) kebenaran aba-di kata-kata-Nya.”43 Jadi, asas perbuatan penciptaan awal oleh Tuhan (khalq) adalah pengetahuan dan kehendak-Nya, yang keduanya menentukan taqdīr dan pengaturan (tadbīr). Kriteria ini merupakan penjelasan utama tentang konsep Tuhan.

Sejalan dengan kriteria ini, sebuah pertanyaan yang wa-jar disampaikan adalah bagaimana cara mewujudkannya dalam bentuk materi di dunia fenomenal yang nisbi dan temporal. Se-tidaknya ada tiga istilah yang digunakan al-GhazÉlÊ dalam hal ini. Ketiga istilah yang merujuk pada nama-nama Tuhan (asmÉ’ al-ÍusnÉ) menunjukkan perbuatan dan pelaku dari perbuatan ter-sebut, yakni al-Khāliq (Pencipta), al-Bāri (Yang Menghidupkan) dan al-MuÎawwir (Yang Membentuk). Bahkan, ada beberapa isti-lah teknis lainnya untuk proses penciptaan, seperti faÏara (fÉÏir), bada‘a (badÊ‘), sakhkhara, dan seterusnya, namun al-GhazÉlÊ ti-dak memberikan penjelasan untuk istilah-istilah ini. Urutan lo-gis bagaimana sesuatu diwujudkan adalah bahwa sesuatu yang muncul dari tiada menjadi ada itu perlu direncanakan, kemudian diwujudkan sesuai dengan rencana itu dan kemudian dibentuk se-telah ia tercipta.

Ketika skema tiga proses tersebut dikaitkan dengan kriteria tindakan di atas, ini akan menunjukkan susunan wujud sesuatu

42 Al-GhazÉlÊ, MaqÎad, hlm. 145; al-GhazÉlÊ, Ninety Nine, hlm. 131; terje-mahan oleh R. Frank, hlm. 49.

43 Al-GhazÉlÊ, Ihya’ Jilid 1, hlm. 11.

Page 256: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

241

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

tersebut. Sebagai Pencipta (KhÉliq), Dialah perencana yang me-nentukan segala sesuatu sesuai tatanan dan ketentuan (qadar), yang terkait dengan Pengetahuan dan Kehendak-Nya, dan juga hukum (Íukm) dan kebijaksanaan (al-Íikmah)-Nya. Ini juga ber-kaitan dengan kuasa pengelolaan (tadbīr) dan perintah (‘amr)-Nya. Sebagai Pencipta (al-Bāri), Dia menyebabkan wujud atau mewujudkan hal-hal menurut Pengetahuan dan Kehendak-Nya. Ini diidentikkan dengan pemeliharaan dan ketetapan-Nya (qaÌa’), yang berarti penetapan sebab dan akibat itu universal dan berla-ku sesuai dengan Ketetapan awal-Nya. Sebagai Pemberi Bentuk (muÎawwir), Tuhan digambarkan sebagai yang mengatur bentuk segala sesuatu dalam urutan terbaik (aÍsan al-tartÊb) dan mem-bentuk mereka dalam cara terbaik (aÍsan al-taÎwÊr).44 Jadi, dalam skema tiga proses itu, segala sesuatu—dalam dunia jasmani yang fana dan di dunia spiritual yang kekal—terjadi sesuai Ketetapan awal Tuhan (qaÌÉ’) dan Ketentuan (qadar), Hukum (Íukm), Ilmu (‘ilm), dan Kehendak (mashÊ’a). Mekanisme kerjanya dapat dije-laskan sebagai berikut:

Tahap pertama, Tuhan dengan hukum-Nya yang bijaksana (Íukm) menetapkan bahwa sebab (asbāb) yang diarahkan kepa-da akibat (musabbabāt).45 Hukum Tuhan menunjukkan adanya sebuah desain utama yang mutlak (al-tadbÊr al-awwal al-kullÊ) sekaligus perintah abadi (amr azalī) yang hadir seketika itu juga.46 Struktur ini menentukan hakikat sebab-akibat di dunia dengan Tuhan pelaksana kehendak dan perbuatan-Nya.

Pada tahap kedua, Tuhan menetapkan sebab-sebab mutlak, mendasar, tetap dan stabil (al-asbÉb al-kulliyah al-aÎliyyah al-thÉbitah al-mushtarikah) yang tidak hilang ataupun berubah hingga akhir zaman. Di sini al-GhazÉlÊ mengacu pada ayat al-Quran surat FuÎÎilat (41) ayat 12: “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mengilhamkan pada tiap-tiap

44 Al-GhazÉlÊ, MaqÎad, hlm. 81; Ninety Nine, hlm. 69.45 Al-GhazÉlÊ, al-Arba’in fi UÎËl al-DÊn, al-Shaykh MuÎÏafÉ Abu al-‘AlÉ

(ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ), hlm. 12. 46 Ibid, hlm. 11-12.

Page 257: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

242

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

langit urusan masing-masing.” Al-GhazÉlÊ menyebut tahap ini se-bagai “penetapan universal bagi sebab-sebab universal yang aba-di” (al-wad‘ al-kullÊ li al-asbÉb al-kulliyah al-dÉ’imah).47 Yang dimaksudkannya dengan ad-dā’imah itu adalah “hanya yang tidak berubah”.48

Tahap ketiga disebut qadar (ketentuan). Ini termasuk meli-batkan arahan Tuhan (tawjīh) atas sebab yang disebutkan di atas lewat proporsi mereka, mengukur gerakan hingga akibatnya, yang diwujudkan dari gerakan-gerakan tersebut, waktu demi waktu (laÍÐah ba‘da laÍÐah) menurut ukuran tertentu (al-qadar al-ma‘lËm) yang tidak bertambah ataupun berkurang. Pada tahap ini, al-GhazÉlÊ menggunakan istilah Íadatha, bukan dalam arti kejadian yang biasanya dipahami melalui peristiwa alam, me-lainkan dalam arti perbuatan Tuhan mewujudkan sesuatu men-jadi ada. Tujuannya jelas: ia ingin secara konsisten mengatribusi-kan kekuasaan sebab efisien kepada sebab absolut, yaitu Tuhan. Dalam penjelasan terakhirnya, ia pun membawa pembaca pada kesimpulan bahwa semua itu menjadi alasan mengapa tidak ada yang eksis di luar keputusan dan takdir Tuhan. Penjelasan ini juga terdapat pada IÍyÉ’ dan QawÉ‘id al-‘AqÉ’id.49

Penjelasan tentang sebab-sebab itu tampaknya menunjukkan jejak-jejak ajaran Aristoteles50 dan Ibn SÊnÉ51 tentang kekekal-an pergerakan ruang angkasa dan Penggerak Utama yang “tidak bergerak” (Unmoved Prime Mover). Namun, seperti yang akan kita lihat, analisis terakhirnya berbeda. Al-GhazÉlÊ mendeskripsi-

47 Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 98 dan 100; terjemahan bahasa Inggris Ninety Nine, 86; terjemahan istilah tersebut merujuk pada Benyamin Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory of Causality”, Stvdia Islami-ca No. 57, hlm. 75-98, khususnya hlm. 80-84.

48 Al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 12. 49 Al-GhazÉlÊ, Ihya’ Jilid 4, hlm. 120 dan 150-151.50 Lihat Aristotle, The Metaphysic, 2 jilid, terjemahan oleh H. Trendennick,

(London: W. Heinmann, dan Cambridge: Harvard University Press, 1961-1962). Metaphysic, terjemahan oleh Hippocrates G. Apostle, (Blooming-ton: Indiana University Press, 1966), hlm. XIII dan 8.

51 Ibn SÊnÉ, Kitab al-NajÉt, Majid Fakhry (ed.), (Beirut: ManshËrÉt DÉr al-ÓfÉq al-JadiÊdah, 1985), hlm. 175-177.

Page 258: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

243

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kannya dengan perumpamaan jam air, sebuah peranti bejana berongga yang mengapung di air dalam silinder berongga dengan lubang kecil di bagian bawahnya. Jika air mengalir keluar dari lubang ini sedikit demi sedikit, bejana berongga yang mengapung di atasnya akan tenggelam dan menarik tali yang terkait pada bola sedemikian rupa sehingga bola jatuh ke dalam mangkuk tiap jam lalu berdentang.52

Jam air tidak dapat beroperasi kecuali tiga kondisi terpenuhi. Pertama, jam itu alat-alatnya direncanakan, di mana ditentukan (Íukm) sebab-akibatnya dan gerakan yang dibutuhkan untuk mem-buatnya berdentang. Kedua, alat-alat ini diwujudkan (qaÌÉ’). Ke-tiga, ditetapkan adanya sebab yang menyebabkan gerakan yang teratur, yaitu lubang yang dilubangi di bagian bawah silinder, yang membuat air turun dan kejadian-kejadian lainnya yang ter-jadi berturut-turut.53 Semua gerakan ini, kata al-GhazÉlÊ, “sesuai dengan ketetapan yang terukur” (bi al-qadar al-ma‘lËm).54

Perumpamaan tentang jam air itu memberi contoh interaksi antara kausalitas Ilahi dan kausalitas alam. Perumpamaan terse-but menunjukkan bahwa bagian dalam jam air bergerak dengan keniscayaan, dan gerakan mereka harus teratur, lalu sebagai ha-silnya segala sesuatu yang mereka hasilkan teratur. Sistem yang sama berlaku untuk peristiwa-peristiwa di alam semesta (ÍawÉ-dith). Segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, seperti jam bergerak sesuai dengan kehendak pembuatnya.55

Al-GhazÉlÊ memberikan penjelasan bahwa setiap sebab pe-nengah mengambil sesuatu dari yang lain “dengan cara yang

52 Al-GhazÉlÊ, al-MaqÎad, hlm. 99; Ninety Nine, D. Burrel, hlm. 86-87; al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 14.

53 Al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 13-24; Ninety Nine, hlm. 87; Hans Dai-ber, “Rationalism in Islam and the Rise of Scientific Thought: The Back-ground of al-GhazÉlÊ’s Concept of Causality”, makalah yang dipresentasi-kan dalam International Conference on al-GhazÉlÊ’s Legacy: Its Contem-porary Relevance, hlm. 24-27.

54 KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 24-25.55 Ibid, hlm. 14, 11, 4-22.

Page 259: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

244

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

sama sebagaimana sesuatu yang dikondisikan (mashrËt) meng-ambil sesuatu dari kondisi.”56 Di sini ia mengingatkan pemba-ca bahwa untuk menghubungkan Tuhan (sebagai sebab utama) dengan sebab-akibat yang terjadi pada rangkaian peristiwa yang teratur maka seseorang harus memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat sebab-akibat. Prinsipnya, tidak ada sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang benar adalah bahwa anteseden (yang mendahului) mempunyai konsekuen (yang didahului). Tuhan sen-diri adalah sebab pelaku (sebab efisien). Jika ada dua peristiwa terjadi seperti hubungan sebab-akibat, itu harus dilihat sebagai hubungan antara kondisi dan sesuatu yang dikondisikan. Orang biasa dapat dengan mudah mengetahui kondisi tertentu namun ada pula kondisi yang hanya dimengerti oleh mereka yang meli-hat melalui cahaya intuisi. Ada tujuan Ilahi yang menghubungkan anteseden pada konsekuen yang kemudian merealisasikan dirinya dalam wujud rangkaian peristiwa yang berganti secara teratur, tanpa sedikit pun jeda atau ketidakteraturan. Dengan mengutip ayat al-Quran surat al-DukhÉn (44) ayat 38-39: “dan Kami tidak menciptakan langit dan Bumi dan apa yang ada antara kedu-anya dengan bermain-main,” al-GhazÉlÊ menyimpulkan bahwa ada seperangkat tujuan yang melingkupi alam semesta. Pergan-tian rangkaian peristiwa bukanlah tidak disengaja. Tidak ada hal yang kebetulan.57 Jadi, rangkaian sebab atau kondisi merupa-kan aturan atau hukum yang disebut sunnah atau ‘Édah. Namun, aturan hukum ini—termasuk pengondisian hubungan antara se-bab dan akibat—bisa dilanggar dalam kasus mukjizat. Artinya, tidak semua sebab akan membawa pada akibat, seperti api tidak

56 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 334-339. Abrahamov menerjemahkan mashrËt sebagai “determined thing” atau “sesuatu yang ditetapkan”, (Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory of Causality”, hlm. 90). Hans Dai-ber menyebutnya sebagai “conditioned thing” atau “sesuatu yang dikon-disikan”, (Hans Daiber, Rationalism in Islam and the Rise of Scientific Thought: The Background of al-GhazÉlÊ’s Concept of Causality, makalah yang dipresentasikan dalam International Conference on al-GhazÉlÊ’s Legacy: Its Contemporary Relevance, 24-27 Oktober, 2001, catatan 20.

57 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 238. Bandingkan dengan ekstraknya oleh Syed Nawab Ali dalam Some Moral and religious Teaching of al-GhazÉlÊ, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), hlm. 48-52.

Page 260: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

245

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

membakar Nabi Ibrahim; atau tidak semua akibat terjadi karena sebab, seperti kelahiran Nabi Isa yang tanpa sebab seorang ayah.

Penjelasan di atas mungkin akan mengesankan bagi sebagian orang bahwa al-GhazÉlÊ sedang mengajukan teori kausalitas ganda: kausalitas Ilahi dan kausalitas alam atau mengakui ke-beradaan kausalitas sekunder. Kesan tersebut mungkin benar na-mun dalam kasus ini tidak ada implikasi adanya dualitas pelaku lantaran wujud selain Tuhan tidak dapat dianggap memiliki pe-ngaruh sebab-akibat yang nyata.58 Baginya, Tuhan adalah Pelaku segala sesuatu yang terjadi di dunia, Pelaku yang bertindak dari kehendak-Nya yang spontan secara tidak langsung melalui kenis-cayaan yang menyatu dalam esensi makhluk ciptaan-Nya. Dalam IqtiÎÉd, al-GhazÉlÊ secara gamblang menjelaskan bahwa setelah menciptakan rantai sebab-akibat, Tuhan menjaganya agar terus beroperasi59 seperti perumpamaan jam air.

Pandangan al-GhazÉlÊ di atas tampaknya bertentangan de-ngan prinsipnya tentang proses penciptaan langsung dan pen-ciptaan kembali yang berkesinambungan dalam teorinya tentang atom bahwa Tuhan adalah pelaku dari terciptanya dan rusaknya segala sesuatu. Hanya saja, dalam KitÉb al-Arba‘Ên serta MaqÎad, ia menyadari bahwa perumpamaan tersebut bisa menyesatkan se-hingga memperingatkan pembaca agar meninggalkannya dan me-waspadai tujuan mendiskusikannya serta berhati-hati membuat penyerupaan dan antropomorfisme.60 Tujuannya untuk menun-jukkan terjadinya segala sesuatu itu menurut kehendak Tuhan.

Sekarang kita beralih ke pembahasan prinsipnya tentang ke-hendak Tuhan sehubungan dengan doktrin penciptaan.

58 Ini tampak jelas dalam tesis Richard M. Frank, dalam tulisannya Creation and the Cosmic System: al-GhazÉlÊ and Avicenna, (Heidelberg: Abhand-lungen der Heidelberger Akademie der Wissenschaften, Philsophisch-hi-sorische Klasse, Jg., 1992), yang dikritisi secara meyakinkan oleh Marmu-ra dalam artikelnya “GhazÉlÊan Causes and Intermediaries” dalam Journal of the American Oriental Society, 1995, hlm. 89-100 dan 115.

59 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 40; bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 157.

60 Al-GhazÉlÊ, Ninety Nine, hlm. 90; al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 15.

Page 261: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

246

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Kehendak Tuhan dan Kausalitas

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, sekarang kita akan mengeksplorasi bagaimana kehendak Tuhan bekerja sehubungan dengan doktrin penciptaan. Konsep ini menjadi titik sengketa antara kalangan ahli ilmu Kalam (mutakallimËn) dan falāsifah. Berpegang pada doktrin kekekalan esensi Tuhan61—bahwa Dia tidak mempunyai sifat seperti kehendak—kalangan falāsifah berkeberatan mengandaikan Tuhan memiliki kehendak meng ingat bakal adanya kesulitan dalam menentukan momen penciptaan sekaligus pula menyiratkan kesementaraan. Bahkan jika Tuhan memiliki kehendak, mereka percaya bahwa itu telah ditetapkan abadi. Di sisi lain, mutakallimËn menjunjung tinggi pendapat bahwa dunia diciptakan pada suatu momen temporal yang terba-tas pada masa lalu yang ditetapkan secara abadi oleh kehendak Tuhan. Akan tetapi, perbuatan tersebut ditunda (‘alÉ al-tarÉkhÊ).62 Prinsip al-GhazÉlÊ yang dituliskan dalam KitÉb al-Arba‘Ên adalah Tuhan telah berkehendak atas segalanya. Segala sesuatu di dunia jasmani (ālam al-mulk) yang fana ini serta di dunia ruhani yang kekal (ālam al-malakūt) terjadi sesuai dengan qaÌÉ’ dan qadar, serta Íukm, dan akhirnya kehendak (mashÊ’ah) Tuhan.63

Terhadap prinsip al-GhazÉlÊ tersebut, satu pertanyaan akan muncul. Jika Tuhan melaksanakan kehendak-Nya, yakni mam-pu memilih sekehendak-Nya, maka faktor apa yang menentu-kan kehendak Tuhan? Sebagai contoh dalam kasus waktu pen-ciptaan dunia, mengapa Tuhan memilih menciptakan dunia pada momen tertentu dan tidak pada momen yang lain? Padahal, se-mua momen waktu, menurut kalangan falāsifah, adalah sama dan tidak ada yang bisa dibedakan kecuali melalui alat pengkhususan (mukhaÎÎaÎ). Jika tidak ada alat pengkhususan itu untuk mem-

61 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 93.62 Al-BÉqillÉnÊ, Kitab al-TamhÊd, diedit oleh ‘ImÉd al-DÊn AÍmad ×aydar,

(Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-ThaqÉfiyyah, 1987), hlm. 36, baris 7. Isti-lah tersebut juga digunakan oleh Ibn Rushd dalam TahÉfut al-TahÉfut, M. Bouyges (ed.), (Beirut: tanpa penerbit, 1930), hlm. 7-9.

63 Al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên, hlm. 5-7.

Page 262: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

247

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bedakan dua hal (yakni dua momen waktu), maka kemungkinan wujud dunia dan kemungkinan tidak-wujudnya dunia (‘adam) ini tidak bisa dipilih, sebab keduanya memiliki kemungkinan yang sama. Dalam konteks ini, tidak ada yang bisa menentukan pilihan Tuhan—pada satu momen waktu tertentu dan bukan yang lain—bagi ciptaan-Nya.64 Ini berarti dalam menciptakan dunia ini Tu-han tidak dengan kehendak.

Menanggapi pertanyaan kalangan falāsifah tersebut, al-GhazÉlÊ mengacu pada fungsi kehendak. Kehendak adalah sifat (Îifah) yang karakternya membedakan satu hal dari hal lain yang serupa. Jika dua hal itu jelas berbeda, tentu tidak perlu dibedakan. Menanyakan mengapa memilih dua hal yang serupa ditentukan oleh kehendak, bagi al-GhazÉlÊ, sama saja dengan menanyakan mengapa kehendak menjalankan fungsinya, yakni membedakan satu hal dari hal yang sama.65 Tanggapan ini tampaknya kurang meyakinkan. Sebab, kalangan falāsifah menyangkal bahwa untuk membedakan satu hal dari hal lain yang persis sama (pilihan di antara dua hal yang sama) tidak dapat dikembalikan pada kehen-dak, tapi oleh suatu alasan. Argumentasi kalangan falāsifah diru-muskan oleh al-Ghazālī dalam kutipan berikut ini:

Jika di depan seorang pria yang tengah kehausan ada dua cangkir air yang sama dalam segala seginya, maka ti-dak mungkin baginya mengambil salah satunya. Tentu ia bisa mengambil salah satu cangkir yang dipikirnya lebih bagus, lebih mencolok, ataupun lebih dekat ke sisinya... atau me-miliki salah satu dari alasan-alasan ini, baik alasan yang ter-sembunyi ataupun yang jelas. Tanpa alasan-alasan seperti itu, perbedaan (tamyīz) satu hal dari hal lain yang sama itu tidak bisa dibayangkan...66

Kutipan di atas memperlihatkan prinsip di kalangan falāsifah bahwa tindakan memilih bergantung pada hal-hal yang diten-tukan secara ekstrinsik, dan bukan bergantung pada kehendak,

64 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, problem I, S.A. Kamali (ed.), hlm. 26.65 Ibid, hlm. 38; al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 92-93. 66 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, problem I, S.A. Kamali (ed.), hlm. 25-26.

Page 263: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

248

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

sehingga kehendak tidak memiliki tempat dalam konteks ini. Namun, prinsip ini menurut al-GhazÉlÊ adalah salah karena me-nyamakan Kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Padahal, Pengetahuan Tuhan dan pengetahuan manusia merupakan dua entitas yang berbeda. Bahkan, dalam contoh kehendak manusia, kemungkinan untuk membedakan antara dua hal yang sama tetap ada karena salah satu fungsi kehendak adalah membedakan se-suatu yang sama.

Tanpa bermaksud menganalogikan Kehendak Tuhan dan ke-hendak manusia, al-GhazÉlÊ memaknai kehendak menjadi “tu-juan”. Menurut al-GhazÉlÊ, inti dari konsep Kehendak Tuhan ada-lah prinsip partikularisasi (takhÎÊÎ). Konsep partikularisasi, yang ditawarkan oleh al-GhazÉlÊ, berasal dari wacana dalam Kalam,67 bahkan menduduki tempat penting dalam tradisi intelektual ilmu Kalam.

Gagasan partikularisasi (takhÎÊÎ) ini berguna sebagai asas un-tuk menganalisis masalah sebab dari perspektif Realitas Mutlak, di mana kemahakuasaan Tuhan diberi penekanan khusus. Prin-sip ini tidak hanya berfungsi dalam menjelaskan cara berlakunya kehendak Ilahi tapi juga dapat dianggap sentral dalam teori al-GhazÉlÊ yang menjelaskan tentang pelaku dan tindakan yang ber-kaitan dengan jalannya sebab-akibat. Al-GhazÉlÊ kemudian me-nyatakan: “Konsekuensinya, bagi setiap orang yang berspekulasi untuk menetapkan (pilihan) sesuatu secara tepat (tahqīq) berda-sarkan kehendak (al-fiÑl al-ikhtiyÉrÊ) perlu menerima atau mene-gaskan akan adanya sifat yang hakikatnya adalah partikularisasi

67 Lihat misalnya al-ShahrastÉnÊ, NihÉyat al-IqdÉm fÊ ‘Ilmal-KalÉm, diter-jemahkan dan diedit oleh Alfred Guillaume, (London: Oxford University Press, 1934), hlm. 12-14. Outline ringkas ajaran al-JuwaynÊ’ didapati dari karyanya, IrshÉd, sedangkan gagasan AbË Bakr al-BÉqillÉnÊ tentang pelaku yang mempartikularisasi (a particularizing agent) muncul dalam TamhÊd. Bahkan, sebelum al-JuwaynÊ’, dalam bentuk embrionya konsep tersebut digunakan terutama sebagai argumen tambahan untuk mendukung bukti utama yang ditawarkan oleh Kalam mengenai penciptaan dunia. Jadi, tidak layak untuk mengasumsikan bahwa al-GhazÉlÊ meminjam teori dife-rensiasi dari gurunya, al-JuwaynÊ’. Lihat Harry Wolfson, The Philosophy of Kalam, (Cambridge: Harvard University Press, 1976), hlm. 443-448.

Page 264: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

249

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

(takhÎÊÎ) satu hal dari hal lain yang sama.”68 Teori ini berasal dari argumen bahwa ketika objek memiliki karakteristik tertentu na-mun bisa diasumsikan memiliki satu hal berbeda, maka di situ ter-dapat sesuatu yang berfungsi mengkhususkan (mukhaÎÎiÎ) objek tersebut, yaitu kualitas khusus dari sekian kualitas yang mungkin ada dan dimiliki oleh objek itu. Intinya terletak kehendak pelaku yang mempartikularisasi (mukhaÎÎiÎ) atau prinsip yang menguta-makan atau melebihkan satu hal dari hal lain (murajjiÍ).69 Prin-sip penentu (murajjiÍ) ini menunjukkan suatu faktor yang secara definitif dapat disebut murÊd (yang berkehendak), yang—ketika memilih salah satu dari dua objek serupa—menetapkan perbe-daan di antara keduanya dengan pilihan ini.70

Argumen dalam Tahāfut akan menjadi lebih jelas ketika kita melihat IqtiÎÉd. Dalam IqtiÎÉd, ia mengurai kehendak Tuhan da-lam kaitan dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Ketika ada dua pilihan dari sesuatu benda yang harus dipilih, pengetahuan menjadi alat penentu. Al-GhazÉlÊ berkata:

Tuhan Yang Mahaagung mengetahui bahwa keberadaan alam semesta pada saat keberadaannya bersifat mungkin, dan keberadaannya memiliki kemungkinan yang sama, baik sebe-lum atau setelah itu. Karena semua kemungkinan itu adalah sama, maka pengetahuan itu layak dilekatkan pada kehendak (fa Íaqqu al-‘ilm an yata‘allaq bihā).71

Kutipan di atas menjelaskan bahwa terjadinya kehendak dalam momen waktu tertentu membutuhkan pengetahuan, tapi sebab (‘illah) penentunya adalah kehendak untuk menentukan (al-irÉdah li al-ta‘yÊn) dan bukan pengetahuan itu. Pengetahuan hanya ikut dalam kehendak itu dan tidak mempunyai efek sama

68 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, problem I, S.A. Kamali (ed.), hlm. 41.69 MurajjiÍ secara harfiah berarti “apa yang menyebabkan untuk con-

dong pada pentingnya sesuatu”. Al-GhazÉlÊ sering menggunakan istilah mukhaÎÎiÎ dan murajjiÍ secara sinonim, keduanya memainkan peran fung-si diferensiasi, dan tampaknya mengisyaratkan adanya perbedaan antara dua hal yang sama melalui pilihan salah satu dari keduanya.

70 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 91-92.71 Ibid, hlm. 92.

Page 265: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

250

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

sekali. Maka, tidak mungkin pula pengetahuan itu wujud tanpa keinginan dan kekuatan. Hanya saja, al-GhazÉlÊ menghindari diri menyebut koneksi itu memiliki hubungan kausal. Bahkan, dalam kasus manusia, menyatakan bahwa kognisi menghasilkan kemau-an dan kemauan menghasilkan daya dan daya yang menghasilkan gerak, sama saja dengan mengatakan bahwa sesuatu yang ada itu bukanlah dari kuasa Tuhan.72

Sehubungan dengan cara Tuhan menciptakan dunia pada saat tertentu dari momen-momen lain, al-GhazÉlÊ menawarkan kon-sep takhÎÊÎ. Al-GhazÉlÊ memulai dengan pengamatan empiris ter-hadap dua titik sumbu kutub. Pemilihan titik-titik tertentu sebagai kutub tempat langit berputar itu tidak dirujuk dari peristiwa-peris-tiwa lain dalam alam semesta, tetapi diidentifikasi melalui fungsi partikularisasi dari kehendak. Dengan menerima pandangan bah-wa dunia diciptakan Tuhan, penalaran al-GhazÉlÊ dapat disajikan sebagai berikut:

• Titik lingkup luar ‘A’, ‘B’, ‘C’, dan ‘D’ adalah setara (Premis Mayor).

• Sumbu dunia adalah titik ‘A’ dan ‘B’ (Premis Minor).

• Sesuatu ada yang membedakan pasangan setara ‘A’ dan ‘B’ dan ‘C’ dan ‘D’, dan inilah kehendak (Kesimpulan).

Argumentasi tersebut bersandar pada pengamatan empiris dan dirancang untuk menemukan tesis bahwa pilihan merupakan komponen integral dari perbuatan dengan kehendak. Perbuatan dengan kehendak, dengan kata lain, bergantung pada keberadaan kehendak yang fungsinya mencakup diferensiasi dua alternatif yang identik dalam setiap aspek.

Konsep al-GhazÉlÊ tentang kehendak Ilahi menjadi topik penting dalam masalah kausalitas ketika dihubungkan dengan ter-jadinya mukjizat. Titik pentingnya pada hal berikut: di satu sisi, al-GhazÉlÊ percaya adanya aturan atau hukum yang disebut sun-nah atau ‘Édah (yang tampak tidak bertentangan dengan kalang-

72 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 249.

Page 266: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

251

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

an falāsifah); di sisi lain, ia berpendapat bahwa hukum itu bisa dilanggar oleh mukjizat Tuhan (pendapat ini ditentang kalangan falāsifah). Sebagai solusi, al-GhazÉlÊ menawarkan dua pendekat-an (maslak) yang bisa disebut pendekatan agama.73 Dalam buku ini hanya dibahas satu pendekatan saja karena adanya kaitan amat erat dengan masalah kehendak Tuhan. Di sini al-GhazÉlÊ tetap berpendapat bahwa pelaku sebab-akibat adalah Tuhan yang bertindak dengan kehendak-Nya. Argumennya, jika Pelaku bisa menciptakan pembakaran api melalui kehendak-Nya, maka masuk akal jika dinyatakan pula bahwa Pelaku berhenti atau tidak menciptakan pembakaran api saat terjadinya kontak (antara api dan benda) kapan pun yang Dia inginkan.

Akan tetapi, diasumsikan bahwa mendeskripsikan Tuhan se-bagai Pelaku yang berkehendak mengesankan adanya sifat “ke-sewenang-wenangan” Tuhan, dan menyiratkan bahwa di dunia ini tidak ada yang dapat diprediksi, diharapkan, atau diketahui.74 Al-GhazÉlÊ sepertinya tidak menyetujui gagasan bahwa segala se-suatu di dunia harus selalu bisa diprediksi. Karena Tuhan bertin-dak dengan pilihan (bi al-ikhtiyār), ada beberapa hal di luar yang biasanya dialami manusia. Ketika dilaksanakan, kehendak Tu-han hanya akan melanggar jalannya peristiwa yang biasa namun tidak merusak indikasi adanya pengetahuan sang pelaku tentang tindakan yang terencana dengan baik (dalÉlat aÍkÉm al-fi‘l ‘alÉ ‘ilm al-fÉ‘il). Selain itu, bagi al-GhazÉlÊ, kehendak tidak memiliki jalan khusus yang telah ditentukan dan yang dapat menyebabkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi yang aneh.

Meskipun ada kejadian yang tak dapat diduga di dunia ini, al-GhazÉlÊ percaya bahwa Tuhan adalah pelaku dari tindakan tersebut, yang dirancang dengan baik dan yang mengetahuinya, dan tidak akan melakukan hal mustahil. Peristiwa-peristiwa di dunia ini bisa terjadi dan bisa juga tidak, peristiwa-peristiwa itu bisa mungkin dan tidak pasti terjadi. Kejadian sesuatu yang bia-sa dianggap “sebab” dan “akibat”, di mata al-GhazÉlÊ, hanyalah

73 Lihat Ilai Alon, “Al-GhazÉlÊ On Causality”, hlm. 400.74 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, hlm. 325.

Page 267: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

252

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kebiasaan (‘adah) yang terkesan dalam pikiran yang merupakan hasil pengulangan peristiwa-peristiwa berkali-kali, yang darinya tidak mungkin disimpulkan adanya kepastian sebab-akibat.75 Di sini, ia tampak meragukan validitas kebenaran ontologis yang di-peroleh melalui penelitian empiris, sebagaimana dijelaskan da-lam diskusi berikutnya tentang kausalitas dan pengetahuan.

Pada bahasan sebelumnya disebutkan bahwa al-GhazÉlÊ me-nolak teori hubungan sebab dan akibat yang pasti pada peristiwa mukjizat. Dalam subbahasan ini, al-GhazÉlÊ membuktikan dari arah sebaliknya bahwa terjadinya mukjizat merupakan bukti hu-bungan sebab dan akibat itu tidak pasti. Jadi, tuduhan orang bah-wa teori kausalitas al-GhazÉlÊ itu hanyalah untuk menjustifikasi mukjizat adalah salah.

KAUSALITAS DAN ONTOLOGI MAKHLUK

Pada konsep ontologi makhluk yang dijabarkan dalam Bab Satu, al-GhazÉlÊ sepaham dengan doktrin mazhab Ash‘arÊyah ten-tang jawhar. Konsep jawhar sangat penting bagi al-GhazÉlÊ untuk membela teori penciptaan sekaligus menyangkal teori keabadian dunia. Dalam konsep jawhar tersebut terdapat prinsip temporali-tas sesuatu. Tuhan menciptakan jawhar tersebut terus-menerus setiap kali Dia inginkan; kapan pun Dia ingin memusnahkannya, Dia berhenti menciptakan gerak dan diam.76 Doktrin tersebut me-nyebabkan ditolaknya pula keberadaan kausalitas sekunder apa pun di dunia. Tidak ada yang disebut hukum alam atau hubungan sebab-akibat. Tidak ada hal yang lain kecuali perbuatan mutlak dari Sang Pencipta yang Mahakuasa.77

Berkenaan dengan penolakan keberadaan hubungan sebab-akibat, al-GhazÉlÊ sedikit banyak berbeda dari para pendahulu-nya. Ia sependapat tentang adanya hubungan sebab-akibat namun membantah kepastiannya. Ia kemudian menguji sesuatu yang me-

75 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, S.A. Kamali (ed.), hlm. 189.76 Lihat Bab Dua, sub-subhahasan “Ontologi Penciptaan Makhluk”. 77 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, S.A. Kamali (ed.), hlm. 185-196.

Page 268: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

253

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

lekat dalam gagasan tentang kepastian—dalam hubungannya de-ngan—bidang-bidang logis dan ontologis. Oleh karena itu, untuk membuktikan kontingensi sekaligus ketergantungan tata alam, ia menawarkan dua teori hubungan sebab-akibat, yaitu sebab-akibat Ilahi dan sebab-akibat rasionalistik.

Ketika memulai pertanyaan tentang kepastian dan dapat ti-daknya prinsip kausalitas didemonstrasikan dalam diskusi ke-17 di Tahāfut, al-GhazÉlÊ berbicara atas nama seluruh umat Islam dengan menggunakan orang pertama jamak sebagai berikut:

Hubungan antara apa yang biasanya diyakini menjadi se-bab dan apa yang biasanya diyakini sebagai akibat tidaklah pasti, menurut kami. Tapi, [dalam] dua hal apa pun, manakala “ini” bukan “itu” dan “itu” bukan “ini”, serta afirmasi sesuatu hal tidak menyebabkan afirmasi terhadap hal yang lain dan negasi sesuatu hal tidak menyebabkan negasi terhadap yang lain, maka keberadaan yang satu tidaklah memastikan bahwa sesuatu yang lain juga harus ada, dan juga ketiadaan sesuatu berarti kepastian ketiadaan yang lain—misalnya, pemenuhan rasa haus dan minum, kenyang dan makan, pembakaran dan kontak dengan api, cahaya dan munculnya matahari, kema-tian dan pemenggalan kepala, kesembuhan dan minum obat, bersihnya perut dan bekerjanya pencahar, dan seterusnya [termasuk] semua hal [yang] bisa diamati di antara hal-hal yang berkaitan dalam kedokteran, astronomi, seni, dan kriya. Hubungan di antara semua ini semata karena ketentuan sebe-lumnya dari Tuhan, yang menciptakan mereka berdamping-an, yang tidak bisa berpisah; bukan karena kepastian dalam dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam genggaman kekuasaan [Tuhan]-lah penciptaan rasa kenyang tanpa makan, kematian tanpa pemenggalan kepala, kelanjutan hidup setelah terpeng-galnya kepala, dan seterusnya terhadap segala sesuatu yang berkaitan. Para filsuf membantah kemungkinan [hal ini] dan menyatakannya mustahil.78

Kutipan di atas dapat dibedah menjadi tiga gagasan utama. Pertama, setiap dua hal itu terpisah. Kedua, secara ontologis, afirmasi atau negasi salah satu dari kedua hal tidak mengisyarat-

78 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, S.A. Kamali (ed.), hlm. 170.

Page 269: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

254

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kan afirmasi ataupun negasi terhadap yang lain. Ketiga, secara ontologis juga, keberadaan atau ketiadaan salah satu hal tidak berarti keberadaan atau ketiadaan yang lain. Gagasan ini tampak-nya berlawanan dengan definisi universal kausalitas bahwa tidak ada yang terjadi tanpa sesuatu sebab,79 yakni adanya sesuatu me-nyiratkan adanya yang lain. Di bahasan-bahasan terdahulu, saya telah menyinggung hal ini, yakni alih-alih menyangkal kausali-tas yang dipahaminya dengan baik, al-GhazÉlÊ justru mengakui definisi universal tersebut. Al-GhazÉlÊ lebih berniat menyoroti perbedaan antara pendekatan filosofis dan pendekatan Kalam ke-timbang melenyapkan salah satu dari keduanya.

Oleh karena itu, setelah menyampaikan pernyataan awal ma-salah kausalitas, al-GhazÉlÊ pun mendefinisikan tiga pandangan filosofis (yang disebut maqÉmÉt) sekaligus mengajukan kritikan-nya. Selanjutnya, al-GhazÉlÊ mengusulkan dua pendekatan (yang disebut maslak) untuk memenuhi tujuannya menjaga konsep ke-mahakuasaan Tuhan. Agar terfokus, diskusi di subbahasan ini hanya menguraikan ihwal tiga pandangan (maqāmāt).

Pandangan pertama, prinsip bahwa pelaku merupakan sebab alami langsung. Pelaku pembakaran adalah hasil alami langsung dari api yang mengenai kapas dan karena itu api bertindak secara alamiah. Terhadap prinsip ini, al-GhazÉlÊ secara hati-hati mem-bantahnya dalam argumen berikut:

Penafsiran terhadap realitas material ini didasarkan pada bukti persepsi indrawi semata, yang secara akumulatif men-jadi pengalaman. “Penyebab terjadinya pembakaran” adalah Tuhan, bukan api. Api tidak bisa menjadi pelaku karena ia benda mati, karena itulah tidak mampu memiliki perbuatan apa pun. Tidak ada alasan, apa pun itu, untuk menyebut sega-la sesuatu sebagai pelaku.” 80

79 Lihat misalnya R. Taylor, “Causation” dalam Edwards, Encyclopedia of Philosophy (New York and London, 1967), vol. II, hlm. 57-58.

80 Ibn Rushd, TahÉfut, Bouyges (ed.), problem III, paragraf 2, hlm. 96, baris 1-2: “amma alladhi fÊ al-fÉ‘il fa-huwa innahu lÉ budda wa an yakËna murÊdan mukhtÉran ‘Éliman bi mÉ yurÊduhu.”

Page 270: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

255

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Pelaku (fÉ‘il) menurut al-GhazÉlÊ, seperti yang dibahas se-belumnya memiliki tiga kriteria: ia harus “bersifat sukarela (mukhtār), berkehendak (murÊd), dan mengetahui (‘Élim) apa yang ia kehendaki agar menjadi pelaku dari apa yang ia kehen-daki.

Dari perspektif empiris, al-GhazÉlÊ percaya bahwa hubungan antara sebab dan akibat bukanlah hubungan yang pasti. Baginya, prinsip “akibat berasal dari sesuatu di dalam sebab” tidak bisa didemonstrasikan secara rasional. Kita akan membahas masalah ini dalam uraian kausalitas dan pengetahuan pada Bab Lima di subbahasan “Penalaran Kausalitas dan Ilmu Demonstratif”. Ber-dasarkan hal ini, observasi tidak membuktikan kausalitas, tetapi hanya membuktikan kebersamaan atau koeksistensi sebab-akibat. Jika pengetahuan seseorang berasal dari hidupnya dan kehendak-nya berasal dari pengetahuannya, maka tentu asumsi tiadanya ke-hidupan membawa pada tiadanya pengetahuan dan asumsi negasi pengetahuan membawa pada tiadanya kehendak. Semua hubung-an ini bukan kausalitas, melainkan hanya kondisi yang satu atas yang lain.

Jadi, menjadikan benda mati sebagai pelaku, bagi al-GhazÉlÊ, tidaklah dapat diterima. Pasalnya, benda-benda mati itu hanyalah fenomena yang diamati bahwa sesuatu ada “bersama” dengan se-suatu yang lain, dan tidak berarti sesuatu ada “oleh karena” se-suatu yang lain (‘indahu lÉ bihÊ). Dengan kata lain, gabungan se-suatu dengan sesuatu yang lain tidaklah sama dengan arti sesuatu ada menyebabkan adanya yang lain. Seperti ia katakan:

Mereka (kalangan falāsifah) tidak memiliki bukti selain pengamatan (observasi) terjadinya pembakaran ketika ada kontak dengan api. Tetapi, pengamatan hanya menunjukkan kejadian [pembakaran] pada [saat kontak dengan api] (occur-rence at), tetapi tidak menunjukkan kejadian [pembakaran] oleh [api] (occurrence by) dan [fakta] bahwa tidak ada sebab lainnya untuk itu.81

81 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 171; Majid Fakhry, Islamic Occasionalism, and Its Critique by Averroes and

Page 271: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

256

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Secara eksplisit pernyataan di atas menunjukkan pendekatan empiris al-GhazÉlÊ pada prinsip kausalitas, yaitu ketika dua hal selalu mengikuti satu sama lain, tidak ada yang bisa membukti-kan atau menunjukkan bahwa yang satu adalah sebab dari yang lain. Dengan kata lain, hubungan sebab-akibat yang pasti tidak dibuktikan secara logis ataupun empiris. Ilustrasi nyata yang di-berikan al-GhazÉlÊ adalah kapas terbakar bilamana ada kontak dengan api. Akan tetapi, kontak mungkin saja terjadi tanpa meng-akibatkan pembakaran, ataupun kapas dapat saja berubah menja-di abu tanpa terjadi kontak dengan api.

Untuk memperjelas poin ini, al-GhazÉlÊ memberikan lagi satu ilustrasi. Seorang pria kehilangan penglihatan sepanjang hidup-nya. Suatu saat ia diberi kemampuan baru untuk melihat. Pada hari pertama, pria itu percaya bahwa kemampuan penglihatannya menjadikan sesuatu terlihat. Ketika malam tiba, ia akhirnya me-nyadari bahwa penglihatannya berasal dari pencahayaan mataha-ri. Lewat ilustrasi ini, al-GhazÉlÊ ingin menunjukkan bahwa untuk menentukan sebab peristiwa alam bukanlah tugas yang mudah karena melibatkan begitu banyak faktor yang berada di luar apa yang kita amati, dan pada akhirnya harus dialamatkan kepada Tu-han.82

Al-GhazÉlÊ tampaknya mencoba mengeksploitasi prinsip para filsuf untuk menjustifikasi prinsipnya sendiri ketika ia menegas-kan bahwa di antara para filsuf ada kelompok yang disebut “fil-suf sejati” (muÍaqqiqËhum). Kelompok ini menyatakan bahwa peristiwa alam beremanasi dari Sang Pemberi Bentuk (wÉhib al-Îuwar) dan adalah malaikat atau sejumlah malaikat, yang menye-diakan penentuan substrata untuk memunculkan hasilnya, yang tampaknya sebagai kosekuensi dari sebab-sebab fisik.83 Motif-

Aquinas, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1958), hlm. 61 dan 63-64; Wolfson, The Philosophy of Kalam, (Cambridge: Harvard University Press, 1976), hlm. 543.

82 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 167; al-GhazÉlÊ, TahÉfut, Sabih A. Akamali, hlm. 186; Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, diterjemahkan oleh Van Den Bergh, hlm. 317.

83 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 168;

Page 272: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

257

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

nya jelas, yakni al-GhazÉlÊ ingin menyangkal pendapat ekstrem bahwa pelaku suatu peristiwa hanyalah “sebab alami-”nya.

Pandangan kedua, yang dikritik al-Ghazālī adalah keyakin an bahwa peristiwa-peristiwa temporal (ÍawÉdith) beremanasi dari “prinsip-prinsip peristiwa” (mabÉdi’ al-ÍawÉdith), seperti pan-caran cahaya dari matahari dan dengan demikian segala se suatu keluar darinya secara pasti dan alamiah. Menurut doktrin ini, modus-modus emanasi dibedakan satu sama lain oleh kapasitas yang berbeda-beda. Klaim dasarnya adalah sebuah objek memili-ki sifat-sifat (udara memungkinkan sinar matahari melewatinya, sedangkan batu tidak), yang membuat objek tersebut cenderung menghasilkan sesuatu yang dapat berinteraksi dengan objek-ob-jek lainnya. Dengan demikian, hubungannya pun pasti dan tidak ada pelaku berkehendak yang terlibat dalam jalannya peristiwa-peristiwa temporer tersebut. Prinsip ini mengingkari kemungkin-an akan adanya mukjizat.

Al-GhazÉlÊ menyampaikan keberatan atas pandangan kedua ini. Ia membantahnya dengan mengacu pada contoh al-Quran tentang masuknya Ibrahim dalam api tanpa terbakar. Ia ber-pendapat bahwa mungkin sifat tertentu dari api (atau Ibrahim) telah berubah. Al-GhazÉlÊ berpendapat bahwa terbakarnya kapas, bila terkena api, disebabkan oleh Pelaku yang berkehendak, yang menyiratkan bahwa boleh jadi Tuhan juga tidak menciptakan pembakaran dalam kesempatan yang lain. Dasar sanggahan al-GhazÉlÊ tampaknya adalah teorinya tentang atom (jawhar), yakni hanya Tuhan yang merupakan sebab efisien langsung. Namun, ini tampak bertentangan dengan prinsip al-GhazÉlÊ sendiri tentang tindak an Ilahi yang dicontohkan dalam perumpamaan jam air, yakni sesuatu merupakan kondisi bagi yang lain dan kausalitas tidak terlihat berjalan berdasarkan pada kualitas inheren apa pun yang ditetapkan oleh Tuhan.

al-GhazÉlÊ, TahÉfut, Sabih A. Akamali, hlm. 187; Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, diterjemahkan oleh Van Den Bergh, hlm. 318.

Page 273: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

258

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Demikian pula, dua ungkapan berikut ini tampak berten-tangan. Pada awal pembahasannya, al-GhazÉlÊ mengatakan bahwa terdapat kualitas membakar yang melekat pada api, tapi bisa jadi tidak membakar pada waktu-waktu tertentu. Kualitas ini diciptakan baik oleh Tuhan ataupun para malaikat.84 Ia kemudian menyatakan bahwa Tuhanlah satu-satunya pelaku dari pemba-karan. Kontradiksi ini merupakan hasil upayanya mendamaikan pandangan filsafat dan teologi untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya mukjizat tanpa membuang kausalitas.

Kontradiksi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama-tama al-GhazÉlÊ tidaklah menyangkal kausalitas, sebab ini adalah konsekuensi dari pengakuan adanya kualitas yang melekat dalam segala sesuatu, yang merupakan bagian dari rencana Tuhan. Ia juga mengafirmasi perbuatan Tuhan melalui sarana fisik untuk mence-gah terjadinya sesuatu pada fisik tersebut, atau dalam pengertian lain untuk menghindarkan terjadi kausalitas pada fisik tersebut. Ini menunjukkan bahwa ia mengakui berlakunya hukum-hukum fisika tapi kemudian mendamaikannya dengan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan tersebut, dalam kasus Ibrahim, dilaksanakan dengan mengubah kualitas api atau melalui perubahan kualitas sang Nabi. Jadi, di sini kausalitas dihubungkan dengan kemahakuasaan Tu-han sebagai Pelaku yang berkehendak. Mukjizat hanya terjadi dari Tuhan, yang diperlukan adanya dan dipastikan kebaikannya ketika seorang Nabi memerlukan peneguhan kenabiannya untuk menebarkan kebaikan.85 Adapun hukum fisika tetaplah ada tetapi hanya keistimewaan dan kekuasaan Tuhan yang bisa melanggar hukum itu.

Dalam teori ontologis ini, hubungan sebab-akibat harus di-pahami sebagai hadirnya kondisi-kondisi tertentu di mana Tuhan atau malaikat-Nya secara langsung akan mengintervensi tatanan

84 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 171. Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, diterjemahkan oleh Van Den Bergh, hlm. 326.

85 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 172; Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, diterjemahkan oleh Van Den Bergh, hlm. 327.

Page 274: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

259

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

alam untuk menghasilkan akibat tertentu. Isunya berkisar antara kondisi-kondisi dan sesuatu yang wujudnya bersifat kondisional. Jadi, dalam jenis kausalitas ini sebab dianggap sebagai alasan atau sine qua non bagi akibatnya. Hal ini oleh Courtenay diekspresi-kan dengan kata-kata normally present but directly active (hadir secara biasa tetapi aktif secara langsung),”86 dan tidak pasti.

Keinginan al-GhazÉlÊ yang bisa dipahami di sini adalah bah-wa dia tidak ingin menyamakan kepastian sebab-akibat Ilahi de-ngan kepastian kausalitas dalam dunia fenomenal. Jadi, kepas-tian, menurut pendapatnya, mengacu pada realitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Skema ini agak mirip dengan skema kalangan falÉsifah, namun konsepnya tentang Tuhan—seperti dibahas pada Bab Satu—benar-benar berbeda dari konsep kalangan falÉsifah. Tuhan, dalam pemikiran al-GhazÉlÊ, memiliki kekuasaan dan ke-hendak penciptaan langsung, sementara dalam skema kalangan falÉsifah itu Tuhan digambarkan memiliki peran tidak langsung dalam bekerjanya kausalitas alam dan konsekuensinya menun-jukkan kepastian hubungan sebab-akibat dalam hukum berkem-bang dan kehancuran alam. Karena alasan yang sama, al-GhazÉlÊ menganggap astronomi sebagai ilmu berbahaya bagi iman.87

Pandangan ketiga tidak disebutkan secara eksplisit seperti dua pandangan sebelumnya. Itu pun juga tidak jelas apakah itu klaim para filsuf ataukah imajinasi al-GhazÉlÊ sendiri tentang pan-dangan lawan pemikirannya. Pandangan ini ditempatkan—agak kurang sistematis—setelah penjelasan mengenai dua pendekatan yang mendukung kemungkinan mukjizat. Ia muncul dalam ben-tuk pertanyaan: Apa definisi Anda tentang yang mustahil? Da-patkah Tuhan mengubah substansi menjadi aksiden, pengetahuan menjadi kekuasaan, hitam menjadi putih, dan seterusnya? Jika

86 Bandingkan dengan William J. Courtenay, “The Critique on Natural Cau-sality in the Mutakallimun and Nominalism”, dalam Covenant and Cau-sality in Medieval Thought, Studies in Philosophy, Theology and Econom-ic Practice, (London: Variorum Reprints, 1984), hlm. 85.

87 Dalam IhyÉ’ Jilid 1, hlm. 26, al-GhazÉlÊ menjelaskan bagaimana astronomi bisa berbahaya bagi keimanan lantaran menempatkan sebab segala sesuatu kepada selain Tuhan.

Page 275: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

260

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

yang dimaksud mustahil adalah merupakan afirmasi dan negasi sesuatu secara bersamaan, maka jawaban sederhana al-GhazÉlÊ atas pertanyaan di atas jelas: “Tidak”. Baginya, mustahil itu bera-da di luar kekuasaan, atau dengan kata lain tidak ada yang memi-liki kekuasaan atas hal yang mustahil.

Lalu al-GhazÉlÊ menyajikan tiga kriteria tentang arti musta-hil. Pertama, mengafirmasi sesuatu sekaligus menyangkalnya: X adalah Y, dan X bukan Y. Kedua, mengafirmasi yang partikular sekaligus menyangkal yang universal; sebagian X adalah Y, dan tidak ada X yang Y. Ketiga, mengafirmasi dua hal sekaligus me-nyangkal yang satu; X adalah Y sekaligus Z, dan X bukan Y (atau Z). Contoh kriteria ketiga dapat diilustrasikan oleh ketidakmung-kinan logis dari batu yang sangat berat bagi Tuhan untuk meng-angkatnya. Masalahnya sebenarnya bisa diperdebatkan karena (X) tidak bisa terlalu berat bagi Tuhan mengangkatnya (Y) dan secara teoretis bisa diangkat (Z). Karena Y dan Z saling bertentangan, maka X tidak dapat memiliki kedua sifat tersebut sekaligus. Yang tidak berada dalam tiga kategori ini bukanlah mustahil.

Singkatnya, dilihat dari keseluruhan argumennya, pendirian al-GhazÉlÊ adalah unik. Dari kajian struktural, kontekstual, dan semantik terhadap argumennya yang ditulis pada Bab 17 Tahāfut, kita dapat menyimpulkan bahwa al-GhazÉlÊ berusaha mendamai-kan dua pandangan (yaitu falÉsifah dan mutakallimËn) tentang kausalitas yang saling berlawanan. Perspektif yang didamaikan adalah sebagai berikut: satu-satunya pelaku yang sejati adalah Tuhan. Menyetujui pandangan kalangan falÉsifah, ia mengakui adanya faktor menengah (intermediate factor). Namun, tidak se-perti kalangan falÉsifah, faktor tersebut bukanlah inteligensi, me-lainkan faktor Tuhan sehingga Tuhan sebagai pelaku tidak bertin-dak secara alami atau karena terpaksa, bahkan bisa menahan diri dari melakukan perbuatan-Nya dengan sesuka-Nya.88 De ngan kata lain, Tuhan memberi suatu sifat pada setiap sebab, dan se-tiap sebab dapat menghasilkan akibatnya. Tuhan bisa mengubah

88 Lihat Ilai Alon, “Al-GhazÉlÊ on Causality”, hlm. 397-405.

Page 276: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

261

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

hubungan antara sebab dan akibat dengan memberi sifat-sifat tambahan pada sesuatu. Oleh karena itu, perubahan juga terjadi melalui sifat yang ditanamkan di dalam suatu yang tidak secara langsung melalui Tuhan.89

Mengomentari pandangan yang didamaikan tersebut, Good-man menyatakan bahwa sebenarnya al-GhazÉlÊ menggunakan aksioma Aristoteles tetapi mengungkapkannya dalam “termino-logi Islam”.90 Van Den Bergh menyatakan bahwa al-GhazÉlÊ menyimpang dari kalangan mutakallimËn, yaitu tidak menging-kari adanya kausalitas, tetapi “kembali pada supranaturalisme rasionalistik para filsuf Muslim”.91 Mereka yang menganggap al-GhazÉlÊ menolak kausalitas berpendapat bahwa al-GhazÉlÊ ti-dak menyetujui kepastian kausalitas ontologis, tapi tidak meno-lak kausalitas logis.92 Interpretasi yang paling gamblang adalah bahwa al-GhazÉlÊ menyangkal kepastian hubungan sebab-akibat, tetapi masih mengakui adanya kausalitas yang dipandangnya se-bagai hasil ketetapan Tuhan. Argumen al-GhazÉlÊ murni filosofis namun pendekatan dan motifnya teologis.93

89 W.J. Courtenay, “The Critique on Natural Causality in the Mutakallimun and Nominalism”, hlm. 84-86.

90 L.E. Goodman, “Did al-GhazÉlÊ Deny Causality?”, hlm. 83-120.91 Bergh merujuk pada pernyataan dalam TahÉfut al-GhazÉlÊ bahwa: “Jawa-

ban yang kedua... adalah menyetujui bahwa dalam api ada sifat ciptaan yang membakar potongan-potongan katun yang sama yang dibuat ber-hubungan dengannya dan tidak membedakan antara mereka ketika mereka serupa dalam segala hal.” Lihat Averroes; TahÉfut al-TahÉfut Jilid 2, (The Incoherence of the Incoherence), terjemahan oleh S. Van Den Bergh, hlm. 182, catatan ke-7. Bandingkan dengan al-GhazÉlÊ, TahÉfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 171.

92 Lihat Majid Fakhry, Islamic Occasionalism, hlm. 56-82, 60; bandingkan dengan Wolfson, Philosophy of Kalam, hlm. 548-551; bandingkan dengan K. Gyekye, “Al-GhazÉlÊ on Causation” Second Order 2 (1973), hlm. 31-39; Marmura, “GhazÉlÊ and Demonstrative Science”, dalam Journal of the History of Philosophy, 3 (1965), hlm. 185.

93 Beberapa usaha untuk mengkaji pandangan kausalitas al-GhazÉlÊ dari karya-karya non-filosofis yang patut disebut di sini adalah B. Abrahamov, Al-GhazÉlÊ’s Theory of Causality, hlm. 67 dan 75-98; Michael E. Marmu-ra, “GhazÉlÊan Causes and Intermediaries”; artikel ulasan “Creation and the Cosmic System: Al-GhazÉlÊ and Avicenna”, oleh Richard M. Frank, Journal of American Oriental Society, vol. 115, No.1, January-March 1995, hlm. 89-100.

Page 277: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

262

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

KAUSALITAS DALAM MANUSIA

Skema kausalitas Ilahi dan kausalitas sekunder juga valid un-tuk menggambarkan perbuatan manusia. Setelah membuat perum-pamaan jam air dalam kitabnya al-MaqÎad, al-GhazÉlÊ menjelas-kan posisi manusia dalam skema kausalitas ini. Prinsipnya tetap sama, yaitu segala sesuatu ada berdasarkan ketetapan yang kekal (al-qaÌÉ’ al-azalÊ), dan bukan karena sesuatu itu sendiri. Sebuah prinsip umum yang ada pada tesis Ash’arī, seperti dibahas dalam Bab Satu, adalah tidak ada pelaku kecuali Tuhan. Setiap peris-tiwa merupakan kejadian tersendiri yang diciptakan oleh Tuhan seketika itu, dan tidak ada prinsip kausalitas yang alami atau pen-ciptaan langsung dari sebab sekunder atau “hukum”, “kebiasaan” atau “adat” yang mengatur alam.94 Meskipun tidak menunjukkan keberatan pada prinsip-prinsip umum ini, penjelasan al-GhazÉlÊ berbeda. Ia memahami prinsip “tidak ada pelaku kecuali Tuhan” sedikit berbeda dari pemahaman para pendahulunya di kalangan Ash’arīah. Ia mencanangkan “sebab menengah” sebagai cara un-tuk menjelaskan soal manusia sebagai pelaku khususnya. Dalam hal ini, al-GhazÉlÊ menjernihkan gagasan mengenai ikhtiyār dan doktrin tentang kasb.95

Upaya al-GhazÉlÊ untuk menyelesaikan permasalahan yang dapat dirumuskan lewat pertanyaan berikut: Jika Tuhan adalah sebab pelaku (sebab efisien), bagaimana Anda menjelaskan tin-dakan yang dikaitkan dengan manusia sebagaimana ditetapkan dalam Kitab Suci? Apakah kita harus percaya bahwa ada dua se-bab untuk satu akibat?

Menanggapi pertanyaan itu, al-GhazÉlÊ menyatakan bahwa kata sebab di sini dipahami secara kabur. Ini dapat digunakan da-lam dua pengertian berbeda. Sebagaimana ilustrasi berikut:

94 Lihat Bab Satu, subbahasan “Kausalitas dalam Tradisi Kalam”. 95 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, al-Shaykh ‘Abd al-‘Aziz SirwÉn (ed.), (Beirut:

Dar al-Qalam, tanpa tahun), hlm. 238. Bandingkan dengan kutipan oleh Syed Nawab Ali dalam Some Moral and religious Teaching of al-GhazÉlÊ, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), hlm. 48-52.

Page 278: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

263

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

(1) Kematian A disebabkan oleh B, sang algojo;

(2) Kematian A disebabkan oleh C, perintah raja.

Kedua pernyataan (1) dan (2) adalah benar. Dengan cara yang sama, kita dapat menjelaskan perbuatan manusia. Tuhan meru-pakan sebab perbuatan manusia karena Dia yang memiliki ke-kuatan dan efisiensi penciptaan. Tapi, manusia juga merupakan sebab tindakan itu terjadi, karena ia adalah sumber dari manifes-tasi pergantian rangkaian peristiwa yang sama. Sementara pada yang pertama hubungan sebab-akibatnya nyata, pada yang kedua sifat hubungan antara anteseden dan konsekuen lewat hubungan kondisi dan yang dikondisikan.96

Ada bagian-bagian dalam al-Quran yang kata sebab digu-nakan dalam pengertian berbeda,97 dan menandakan kekuatan mencipta yang berlaku hanya bagi Tuhan. Ini karena kekuasaan manusia merupakan citra kekuasaan Tuhan, maka kata “sebab” diterapkan kepadanya sebagai kiasan. Sama seperti matinya pen-jahat dikatakan disebabkan karena dibunuh algojo dan bukan karena perintah raja, sedangkan algojo sendiri tidak akan bisa membunuh kecuali diperintahkan oleh sang raja. Oleh karena itu, pembunuh yang sebenarnya dalam hal ini adalah raja. Oleh kare-na itu, menganggap “sebab” berasal dari manusia bertentangan dengan kenyataan. Tuhan adalah satu-satunya sebab efisien, dan kata sebab harus diterapkan bagi-Nya.

Contoh di atas menunjukkan bahwa orang dapat saja menje-laskan peristiwa-peristiwa dengan merujuknya pada sebuah sebab khusus atau sebab langsung. Akan tetapi, mereka sendiri mungkin saja tidak dapat melihat semua kondisi yang harus ada untuk ter-jadinya suatu peristiwa. Apa yang tampak pada individu sebagai “kekuatan” dan “sebab” pada kenyataannya hanyalah sebagian kondisi menengah (intermediary) dan syarat yang penting bagi proses menjadinya sesuatu yang spesifik dalam keseluruhan gerak

96 Ibid. 97 Lihat al-Quran surat as-Sajdah (32) ayat 11; az-Zumar (39) ayat 42; al-

WÉqi‘ah (56) ayat 63; ‘Abasa (80) ayat 25-27; at-Tawbah (9) ayat 14; al-AnfÉl (8) ayat 17.

Page 279: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

264

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

wujud. Pandangan yang komprehensif, menurut al-GhazÉlÊ, mes-tinya adalah bahwa tidak ada sesuatu yang bisa dipisahkan dari seluruh eksistensi lainnya mengingat semua eksistensi di alam semesta bergerak di bawah kekuasaan Tuhan, Eksistensi Mutlak. Semuanya merupakan wilayah perbuatan dan kehendak Tuhan. Dalam hal ini, al-GhazÉlÊ menyadari adanya ketergan tungan se-gala sesuatu pada sesuatu yang lain, namun pada akhirnya semua bergantung pada Tuhan. Dalam hal ini, posisi al-GhazÉlÊ berten-tangan dengan posisi Mu‘tazilah, terutama dalam teori perbuatan yang diciptakan (tawallud)98 dan determinisme.99

Prinsip yang dipegang al-GhazÉlÊ tentang makhluk mati dan hidup adalah bahwa kekuatan dalam semua makhluk hidup dicip-takan langsung oleh Tuhan dan diciptakan bersamanya pula objek kekuasaan yang biasanya (tapi secara keliru) dianggap sebagai akibatnya. Mengikuti prinsip sebab-akibat pada makhluk hidup, al-Ghazālī menyatakan bahwa hubungan antara kekuasaan ma-nusia dan objek kekuasaan yang diciptakan Tuhan bersamanya bukanlah hubungan sebab-akibat.

Masalah penting di sini adalah hubungan kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia. Mu‘tazilah mengakui keberlanjutan aksiden (‘arad) pada perbuatan manusia, dan menyatakan bah-wa manusia sendiri menghasilkan perbuatan mereka. Dengan doktrin ini mereka ingin membenarkan tanggung jawab manusia dan melindungi keadilan Tuhan. Sebaliknya, mengasumsikan se-mua kejadian di dunia dan perbuatan manusia disebabkan oleh

98 Salah satu makna tawallud yang dinyatakan oleh Bishr al-Mu‘tamir, yang diriwayatkan oleh AshÑarÊ, adalah apa yang dihasilkan dari tindakan kita… adalah tindakan kita, yang berasal dari sebab-sebab yang berlangsung dari kita sebagai wakil tindakan sadar. Sama halnya Abu al-Hudhayl mengata-kan bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dari tindakan seseorang, yang berada dalam pengetahuannya adalah tindakannya sendiri. Lihat Ash‘ari, MaqÉlÉt al-IslamiyyÊn Jilid 2, M. Muhyi al-Din ‘Abd al-×amÊd (ed.), hlm. 87.

99 Dalam isu ini al-GhazÉlÊ secara umum memiliki pandangan yang sama dengan penolakan Ash‘ariyah terhadap argumen-argumen determinis. Li-hat al-Ash‘arÊ, KitÉb al-Luma‘, Richard J. McCarthy (ed.), (Beirut: S.J. Impremerie, Catholique, 1953), teks Arab hlm. 139, terjemahan bahasa Inggris hlm. 59-60.

Page 280: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

265

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan Tuhan, al-GhazÉlÊ sen-diri mengakui dua kekuatan dalam perbuatan manusia, yaitu ku-asa Tuhan dan kekuatan manusia. Kekuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, dan begitu juga perbuatan manusia. Bahkan, Tuhan menciptakan kekuasaan pada manusia pada saat yang sama Dia menciptakan perbuatan manusia. Perbuatan manusia, oleh karena itu, tidak terpengaruh oleh kekuatan manusia namun beriringan (ma‘a) dengannya. Apa yang dimaksudkan al-GhazÉlÊ dengan frasa “perbuatan manusia” adalah kekuatan manusia dan tindak-an manusia, dan untuk itu ia pun menggunakan istilah tertentu yang digunakan dalam al-Quran, yaitu kasb (usaha), yang ber-beda dari fi’il (perbuatan). Perbuatan adalah apa yang kita per-oleh dan bukan yang kita lakukan, karena pelaku sejati (fÉ‘il) adalah Tuhan.100 Manusia hanya berusaha memperoleh (kasab) perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, gagasan bahwa “Tuhan adalah Mahakuasa” dalam pandangan al-GhazÉlÊ berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya kekuatan yang mempengaruhi apa pun yang ada (apakah itu substansi ataupun aksiden) dan apa pun yang ter-jadi (peristiwa ataupun perbuatan, termasuk perbuatan manusia). Manusia tidak mempengaruhi apa-apa dengan kekuatannya, Tu-hanlah yang membuat akibat. Di sini al-GhazÉlÊ mencoba untuk menyelaraskan kemahakuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia terhadap perbuatannya.

Doktrin al-GhazÉlÊ tentang kasb (usaha) berada pada posi-si pertengahan antara dua ekstrem, Mu‘tazilah dan determinis.101 Posisinya tercermin dalam pernyataannya di bawah ini:

100 Al-GhazÉlÊ lebih suka menggunakan istilah dalam al-Quran, yakni KhÉ-liq (Pencipta) atau Mukhtari‘ (Pemula) perbuatan manusia daripada fÉ‘il (pelaku).

101 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 5; al-Ash’arÊ, Al-IbÉnah ‘An UÎËl al-Di-yÉnah, terjemahan bahasa Inggris oleh W.C. Klein, The Elucidation of Is-lam’s Foundation, (New York: Kraus Reprint Corporation, 1967), hlm. 63; al-Ash’ari, al-Luma‘, hlm. 37-60; al-BÉqillÉnÊ, KitÉb TamhÊd al-AwÉ’il wa TalkhÊÎ al-DalÉil, M.M. KhuÌayrÊ dan A.A. AbË RÊdah (ed.), (Kairo: DÉr al-Fikr al-‘ArabÊ, 1947), hlm. 31-41.

Page 281: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

266

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Berpegang pada [doktrin] determinisme adalah mustahil dan salah, dan berpegang pada [doktrin] tentang kemampuan [manusia] mencipta (ikhtiyār) adalah keterpurukan [ke dalam kesalahan] yang menakutkan. Yang benar adalah mengafir-masi dua kekuatan ada pada satu tindakan. Berpegang pada [doktrin] bahwa satu objek kekuasaan (al-maqdËr) terkait dengan dua pemilik kekuasaan menyiratkan ketidakmung-kinan ... adalah tidak mungkin jika terdapat dua kekuatan ter-ikat pada satu perilaku (‘alā wajh wāhid). Namun, jika dua kekuatan tersebut berbeda dan perilaku keterikatan mereka juga berbeda, maka terikatnya dua kekuatan pada satu objek itu bukan tidak mungkin...102

Dalam argumen di atas al-GhazÉlÊ bukan menjelaskan ha-kikat kekuasaan Tuhan, tapi objek kekuasaan. Objek kekuasaan terkait dengan dua pemilik kekuasaan tetapi hubungan kedua kekuatan tersebut pada objek kekuasaan tidak bisa dengan cara yang sama. Penjelasan sederhana untuk ini dapat ditemukan da-lam KitÉb QawÉ‘id 103 dengan menyatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta kekuatan sekaligus pemilik kekuasaan manusia, dan ka-rena itulah Dia tidak menghalangi manusia melakukan tindakan dengan kehendaknya dengan cara berusaha (kasb). Meskipun kekuatan itu adalah ciptaan Tuhan, namun ini adalah merupa-kan sifat manusia dan dengan demikian bukanlah sesuatu yang diperoleh. Gerak juga merupakan ciptaan Tuhan dan juga sifat manusia, yakni objek kekuasaan, karena manusia diciptakan ber-sama dengan sifat-sifatnya. Tapi, gerak dikaitkan dengan kekuat-an manusia atau hasil dari kekuatan tersebut, sedangkan gerak itu bukan merupakan ciptaan manusia. Sekarang jelas bahwa pandangan ini ditawarkan untuk menanggapi dua posisi ekstrem yang disebutkan di atas. Jadi, posisi tengah yang diambil oleh al-GhazÉlÊ adalah perbuatan manusia bersifat bebas tetapi mereka ditentukan melalui kuasa Tuhan dengan penciptaan (maqdËrÉt

102 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 82-83.103 Al-GhazÉlÊ, KitÉb QawÉ‘id al-‘AqÉ’id, Ridwan al-Sayyid (ed.), (Beirut:

Dar Iqra’, 1986), hlm. 84. Bandingkan dengan IÍyÉ’ Jilid 1, A. Aziz Sir-wÉn (ed.), hlm. 103; terjemahan bahasa Inggris oleh Fazlul Karim, Buku 1, hlm. 123-124.

Page 282: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

267

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bi qudrat AllÉh ikhtirÉ‘an) dan melalui kekuatan manusia dalam berusaha (bi al-iktikÉsb).

Terkait masalah ini, muncul pertanyaan tentang pilihan (ikhtiyār) dalam tindakan manusia. Penjelasan al-GhazÉlÊ dapat ditemukan di IhyÉ’, Bab KitÉb al-TawhÊd.104 Pada Bab Satu te-lah diuraikan tentang perbuatan manusia yang terbagi menjadi perbuatan alamiah (fi‘l ÏabÊ‘Ê), perbuatan bebas (fi‘l irÉdÊ), dan perbuatan pilihan (fi‘l ikhtiyÉrÊ). Perbuatan pilihan (fi‘l ikhtiyÉrÊ) adalah perbuatan yang dikatakan seseorang itu mau atau tidak mau melakukannya.

Ketiga jenis tindakan tersebut pada dasarnya sama dari per-spektif kepastian sesuai dengan aturan atau hukum yang diberi-kan Tuhan. Akibat perbuatan manusia yang disebutkan itu adalah merupakan hasil pengondisian, seperti misalnya seseorang bisa tenggelam ke dalam air karena terkondisikan oleh berat badan ma-nusia; orang bernapas dengan paru-paru dikondisikan oleh naluri manusia. Sama halnya dengan perbuatan manusia karena pilihan, namun kondisinya agak rumit. Ia dikondisikan oleh penilaian dan pengetahuan, motivasi dan kekuatannya untuk bertindak. Akhir-nya, semua kondisi bagi perbuatan manusia dikondisikan oleh wujud manusia sebagai makhluk hidup. Al-GhazÉlÊ menyatakan:

Beberapa objek kekuasaan (Tuhan) diatur (mutarattibun ‘alÉ) bersama dengan yang lain dalam proses kemenjadian mereka, sebagaimana suatu yang dikondisikan diatur bersa-ma dengan kondisinya. Tidak ada kehendak yang keluar dari Kekuasaan Abadi kecuali setelah (adanya sifat) ilmu, dan ti-dak ada (sifat) ilmu kecuali setelah ada (sifat) hidup, dan ti-dak ada (sifat) hidup kecuali setelah ada tempat (untuk sifat) hidup.105

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kehendak bisa terjadi karena beberapa faktor yang mengondisikan terjadinya kehendak tersebut. Dalam hal ini perbuatan manusia terikat dengan per-

104 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4; KitÉb al-TawhÊd, A. Aziz SirwÉn (ed.), hlm. 230-238.

105 Ibid, hlm. 249.

Page 283: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

268

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

buatan Tuhan, dan karena itu manusia tidak memiliki pilihan be-bas. Tidak seorang pun memiliki kontrol atas kondisi perbuatan-nya yang naluriah dan alami seperti bernapas dan tenggelam ke dalam air. Demikian pula dalam perbuatan pilihan, manusia bisa berasumsi bahwa ia memiliki kontrol atas kehendaknya hingga seakan-akan begitu ia ingin maka ia terus bertindak, dan jika ia tidak ingin maka ia tidak bertindak (in shÉ’a fa‘ala wa in shÉ’a lam yaf‘al). Namun, asumsi ini, menurut al-GhazÉlÊ, adalah keti-daktahuan tentang makna pilihan (ikhtiyÉr), sebab ada beberapa proses yang mengiringi seseorang kepada perbuatan berdasarkan kemauan (fi‘il irÉdÊ) dan pada perbuatan berdasarkan pilihan (fi‘il ikhtiyÉrÊ). Kedua jenis perbuatan tersebut terkait dengan penge-tahuan yang mengarahkan manusia untuk menentukan apakah suatu perbuatan diinginkan atau tidak. Pengetahuan ini hasil dari pertimbangan dan penilaian rasional yang kadang-kadang datang setelah keraguan. Prosesnya dapat digambarkan dengan baik se-bagaimana berikut: keinginan (‘irÉdah) manusia disebabkan oleh pengetahuannya (‘ilm) atau kognisinya (idrāk), dan kekuatannya (qudrah) disebabkan oleh keinginannya, dan akhirnya terjadilah perbuatan itu.106

Makna ikhtiyÉr yang lebih jelas dan kompleks adalah dalam kasus ketika ada hal-hal yang manusia tidak segera mengetahui apakah mereka cocok untuknya atau tidak. Dalam situasi seperti itu, manusia perlu mempertimbangkan dan merenungkan sampai ia tahu apakah suatu tindakan positif perlu diambil atau penolakan terhadapnya lebih baik. Dalam Ihyā’ Jilid 3 Bagian Pertama di-sebutkan bahwa proses mempertimbangkan dan merenung—yang menentukan kehendak atau niat (niyyah) manusia untuk melak-sanakan perbuatan tersebut—melibatkan faktor-faktor psikologis tertentu. Faktor-faktor itu berupa gagasan atau pikiran (khÉÏir), termasuk pemikiran yang baru dipahami (afkār) atau hal-hal yang diingat (adhkÉr), bisikan jiwa (ÍadÊth al-nafs), kecenderungan (Íarakat shahwah atau mayl), dan penilaian hati (i‘tiqÉd Íukm

106 Al-GhazÉlÊ, “KitÉb Sharh ‘AjÉ’ib al-Qalb”, IhyÉ’ Jilid 3, hlm. 8-9; ban-dingkan dengan Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory”, hlm. 87-88.

Page 284: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

269

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

al-qalb).107Proses ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang realitas manusia pada Bab Satu. Jika setelah pertimbangan dan ref-leksi tersebut ia sungguh-sungguh mencapai pengetahuan, maka pengetahuan itulah yang menimbulkan keinginannya dengan cara yang sama seperti perbuatan dengan kehendak (fi‘il irÉdÊ). Karena keinginan semacam ini disebabkan oleh satu perbuatan yang dianggap baik oleh akal (khayr), al-GhazÉlÊ menyebutnya ikhtiyār.108 Jadi, prosesnya bermula dari kerja keras pikiran untuk menentukan pilihan antara dua alternatif turun ke stimulus dan kemudian ke perbuatan fisik yang berujung pada kehendak.

Oleh karena itu, ikhtiyār atau kebebasan berbuat merupakan ungkapan untuk jenis “kehendak” tertentu yang ada sebagai hasil dari proses pengetahuan dan psikologi dalam “hati”. Kehendak tidak bisa eksis, kecuali melalui penilaian hati yang terkait de-ngan pancaindra dan imajinasi. Dengan demikian, kebebasan da-lam perbuatan tidaklah bersifat fisik tetapi proses pengambilan keputusan di dalam hati. Pertanyaannya, apakah “hati” memutus-kan secara bebas atau tidak?

Menurut al-GhazÉlÊ, jawabannya bisa positif dan negatif, yang berarti perbuatan manusia itu ditentukan dan sekaligus be-bas pada saat yang sama. Ia ditentukan atas dasar bahwa pada satu momen manusia itu hanya sebuah tempat yang dibutuhkan untuk suatu tindakan. Semua hal yang terjadi di dalam dirinya berasal dari orang lain, dan bukan dari dirinya sendiri. Di sisi lain, perbuatan manusia bisa dianggap bebas dalam arti bahwa manu-sia adalah tempat kehendak yang lahir secara pasti dari dalam dirinya. Yang demikian itu terjadi setelah akal membuat penilaian atas perbuatan yang baik dan sesuai untuknya. Meski demikian, keputusan dalam situasi ini timbul melalui paksaan, yang berarti bahwa manusia dipaksa untuk memilih (majbËr ‘alÉ al-ikhtiyÉr).109 Ini menguatkan konsepnya tentang jabarËt yang dibahas dalam

107 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 3, hlm. 36-37.108 Al-GhazÉlÊ, IhyÉ’ Jilid 4, hlm. 247. Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory”,

hlm. 86-89.109 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 248.

Page 285: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

270

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Bab Dua bahwa aspek internal dari perilaku manusia yang terli-hat itu sepenuhnya dikuasai oleh Kekuasaan dan Ketetapan Ilahi yang ada di alam malakūt.110 Karena sisi internal manusia dikua-sai oleh Kekuatan Ilahi, ia dipaksa untuk memilih, tapi karena ia juga substrata (tempat) kehendak, maka pada saat yang sama ia juga bebas. Meminjam istilah Mu‘tazilah, al-GhazÉlÊ mengang-gap perbuatan manusia sebagai sebuah posisi antara.111

Al-GhazÉlÊ lebih lanjut menambahkan bahwa manusia dalam hal ini juga merupakan sebab perbuatan karena ia sumber mani-festasi perbuatannya. Namun, Tuhanlah Yang Memiliki kekuat-an penciptaan dan sebab yang sejati, sedangkan manusia yang merupakan sumber manifestasi perbuatan hanyalah sebab meta-foris. Al-GhazÉlÊ mengklaim pemahamannya ini mengacu pada bebe rapa ayat al-Quran, seperti dalam al-Sajdah (32) ayat 11, al-Zumar (39) ayat 42, al-WÉqi‘ah (56) ayat 63, ‘Abasa (80) ayat 25-27, dan al-AnfÉl (8) ayat 75. Selain itu, ia memberi ilustrasi tentang seseorang yang menerima hukuman mati akibat perintah raja. Sebab langsung dan sumber manifestasi kematiannya ada-lah algojo, namun sebab kematian dilakukan karena perintah raja. Penjelasan ini memunculkan pertanyaan lanjutan: bagaimana pa-hala dan dosa dikaitkan dengan perbuatan manusia?

Dalam masalah ini al-GhazÉlÊ menjelaskan bahwa perbuatan manusia membuat kesan pada pikiran. Perbuatan baik selalu di-ikuti oleh kenikmatan, dan perbuatan buruk oleh rasa sakit. Se-perti racun dan obat-obatan, masing-masing memiliki kandungan yang bisa membawa pada kematian atau kesembuhan. Kandung-an perbuatan seperti itu telah ditemukan oleh para nabi, wali, dan dokter hati.112 Jika manusia tidak peduli tentang kandungan per-buatan tersebut, maka ia harus siap untuk menanggung akibatnya. Petikan berikut ini memperjelas pernyataan al-GhazÉlÊ:

110 Lihat Bab Dua, sub-subbahasan “Konsep Kosmologi”.111 Ibid, Abrahamov, “al-GhazÉlÊ’s Theory”, hlm. 89.112 Al-GhazÉlÊ, “Al-×ikmah fi MakhlËqÉt Allah”, dalam QuÎËr AwÉlÊ min

RassÉ’il al-GhazÉlÊ Jilid 3, M. MusÏafÉ Abu al-‘AlÉ (ed.), (Mesir: Makta-bah al-Jundi, tanpa tahun), hlm. 55.

Page 286: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

271

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Dalam satu pengertian hamba berbuat, dan dalam pe-ngertian lain Tuhan (Mahaperkasa, Mahaagung) yang ber-buat. Tuhan sebagai pelaku artinya Dia yang menciptakan dan mewujudkan (mukhtari‘ al-wujËd). Hamba berbuat ar-tinya ia adalah lokus (maÍall) di mana (Tuhan) menciptakan kekuatan untuk berbuat setelah Dia menciptakan kemauan berikut tindakan kognitif di dalamnya. Karena itu, kekuatan bertindak terkait dengan kemauan, dan gerak terkait dengan kekuatan untuk bertindak, sebagaimana apa yang dikondisi-kan terkait dengan kondisi. Namun, kekuatan ini terkait de-ngan kuasa Tuhan, sebagaimana akibat terkait dengan sebab-nya (irÏibÉÏ al-ma‘lËl bi al-‘illah), dan sebagaimana makhluk terkait dengan Penciptanya.113

Kutipan di atas sesuai dengan yang dikemukakan al-GhazÉlÊ dalam IqtiÎÉd, “Ketika Tuhan menciptakan (khalaqa) gerak dan bersama dengan itu menciptakan pula kemampuan (manusia) un-tuk melakukannya, maka Dialah yang secara mandiri mencipta-kan (yastabiddu bi al-IkhtirÉ’) kekuatan dan juga tempat kekuat-an itu sebagai objeknya.”114 Namun, pemakaian kata-kata “men-ciptakan” dan “penciptaan”, oleh al-GhazÉlÊ, tampaknya terbatas pada kekuasaan Tuhan sebagai penentu dan mengesampingkan sebab-sebab sekunder. Asumsi ini sejalan dengan definisi qud-rah (kekuatan untuk bertindak) yang telah dijelaskan sebelum-nya, yaitu bahwa karena qudrah (Tuhan) maka potensi kekuatan manusia sebagai maqdīr (objek kekuatan Tuhan) diaktualisasikan menjadi perbuatan. Tentu ini setelah disadari akan adanya kehen-dak dan kesediaan menerima kekuatan itu (mÉ yaÍÎulu bihÉ-l-maqdËr ‘inda taÍaqquqi al-irÉdati wa qabËli-l-maÍall).115

Al-GhazÉlÊ menolak tesis Mu‘tazilah bahwa tindakan manu-sia yang sukarela itu benar-benar otonom dan tidak disebabkan secara terbatas oleh keadaan-keadaan pelaku sebelumnya. Ia bah-kan menyangkal segala asumsi bahwa kemampuan manusia lebih

113 IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 250; terjemahan oleh Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: al-Ghazālī and Avicenna, hlm. 25.

114 Al-GhazÉlÊ, al-IqtiÎÉd, hlm. 83.115 Ibid.

Page 287: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

272

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

kuat dari kuasa Tuhan hanya dalam kaitannya dengan satu gerak perbuatan. Alasannya, seseorang tidak bisa berspekulasi hanya berdasarkan pada hubungan antara satu kemampuan dengan satu gerakan, karena kemampuan manusia secara keseluruhan itu di-anugerahkan oleh Tuhan. “Meskipun kekuatan itu ada pada ma-nusia, tapi kekuatan itu bukan melalui kekuasaannya.”116 Inilah alasan mengapa manusia bukan dinamakan sebagai pencipta ataupun penemu (khÉliq dan mukhtari‘), melainkan sebagai pen-cari (muktasibi). Artinya, sebab-sebab perilaku manusia—seperti keinginan, pengetahuan, dan seterusnya—memiliki dua aspek: manusia dan Tuhan.

Dengan demikian, sejauh ini teori perbuatan manusia al-GhazÉlÊ masih konsisten dengan perumpamaan jam air beserta implikasinya. Sebuah rantai sebab-akibat menggiring kepada perbuatan manusia, tapi Tuhanlah yang memastikan mata rantai tersebut. Motif-motif psikologis yang terjadi dalam hati manu-sia menyerupai pergantian rangkaian kejadian di dunia nyata dan masih dalam garis determinisme. Akan tetapi, pilihan manusia adalah miliknya sendiri sehingga manusia tidak bertanggung ja-wab untuk hal-hal yang berada di luar pilihannya. Manusia hanya bertanggung jawab ketika tindakannya ditentukan oleh kehen-daknya.

KESIMPULAN

Konsep kausalitas al-GhazÉlÊ yang merujuk pada interpreta-sinya terhadap realitas tampak jelas dalam penolakannya terhadap pemikiran kalangan falÉsifah tentang kepastian hubungan sebab-akibat. Titik tolak penolakannya adalah Kalam Ash‘arÊyah yang diperkuat oleh beberapa prinsip dasar Kalam. Ketika ia menam-pik konsep Tuhan kalangan falÉsifah sebagai Realitas Mutlak, ia secara jelas membenarkan konsep Tuhan yang dipahami sebagi-an besar mutakallimËn, yakni sebagai Wujud Yang Hidup, yang

116 Ibid, hlm. 84. Dalam IÍyÉ’ al-GhazÉlÊ juga menyatakan, “Keadilan Tuhan bisa diwujudkan melalui sesuatu di atas dirimu, atau melalui dirimu ka-rena kamu sendiri juga merupakan Perbuatan-Nya.” IÍyÉ’ Jilid 4, hlm. 9.

Page 288: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

273

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

memiliki perbuatan mencipta berdasarkan kehendak-Nya, dan karena itu pula disifati sebagai Pelaku dan bukan Sebab. Maka, penjelasan al-GhazÉlÊ tentang bagaimana fenomena material dan temporal dunia ini diciptakan oleh Tuhan, nyata-nyata merupakan penerapan konsep Tuhan semacam itu. Selain itu, konsep kausa-litasnya tampak konsisten pula dengan ajaran atomisme Kalam, karena al-GhazÉlÊ percaya pada gagasan tentang keberlangsungan dan ketidakterbatasan ciptaan Tuhan, dan dengan demikian me-nyiratkan penolakan kemampuan kausal pada makhluk.

Meskipun demikian, al-GhazÉlÊ juga setuju dengan pandang-an kedua mutakallimËn bahwa dunia diatur oleh hukum kausa-litas, yang telah ditanamkan di dalamnya oleh Tuhan pada saat penciptaan, yang berjalan di bawah pengawasan Tuhan dan tun-duk pada kehendak-Nya. Ia percaya pada hubungan sekuensial antara entitas dan peristiwa, dan mengakui adanya sebab-akibat pada peristiwa alam. Ia juga berbicara tentang mata rantai sebab yang mengarah pada Sebab Tertinggi, Tuhan. Rantai ini yang di-sebutnya “sebab-sebab universal, fundamental, permanen, dan sta-bil” (al-asbÉb al-kulliyah al-aÎliyyah al-thÉbitah al-musta qirrah) bersifat konstan dan tidak berubah, seperti Bumi dan tujuh lapis langit, bintang-bintang, dan semesta. Memang al-GhazÉlÊ terka-dang menggunakan ungkapan ala Ibn SÊnÉ atau Aristoteles.

Dua posisi al-GhazÉlÊ tersebut sepintas bertentangan, atau menunjukkan adanya inkonsistensi. Namun, kajian secara saksa-ma terhadap seluruh teorinya membuktikan bahwa sebenarnya al-GhazÉlÊ ingin mendamaikan dua posisi yang berlawanan. Setelah menciptakan mata rantai sebab dan akibat, ujar al-GhazÉlÊ, Tuhan menjaganya agar terus berjalan. Mekanismenya bisa diumpama-kan seperti jam air; sebagaimana jam bergerak sesuai kehendak si pembuatnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pun terja-di sesuai kehendak Tuhan. Al-GhazÉlÊ berpendapat bahwa sebab mirip dengan kondisi. Ia menganalisis hal ini tidak hanya dari kenyataan tunggal seperti api yang menyentuh kapas akan mem-bakar, tetapi juga faktor lain yang terlibat dalam pembakaran. De-mikian pula sebab kematian penjahat bukan semata-mata karena

Page 289: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

274

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

algojo, tetapi bisa juga karena perintah raja. Hal ini menunjukkan bahwa realitas sebab-akibat harus dilihat dalam konteks pengerti-an realitas yang lebih luas. Orang kebanyakan mampu mengeta-hui kondisi-kondisi tertentu dengan mudah, namun ada beberapa kondisi yang tidak dapat dipahami kecuali oleh mereka yang me-lihat melalui cahaya intuisi.

Pandangan al-GhazÉlÊ tentang rantai sebab-akibat tidak-lah sama dengan prinsip kalangan falÉsifah. Apa yang disebut al-GhazÉlÊ sebagai “sebab universal, fundamental, permanen, dan stabil” tidak dimaksudkan bahwa sebab dan akibat itu pas-ti (ÌarËrÊ) terhubung. Sebab dan akibat itu hanya terjadi secara bersamaan, atau yang satu memerlukan yang lain (yatalÉzamÉn). Pernyataan al-Quran (surat FÉÏir ayat 43) bahwa hubungan se-bab-akibat tersebut tidak mengalami pergantian dan perubahan (la taḥtamil al-tabdīl wa al-taghyīr) maksudnya adalah adanya konsistensi hubungan sebab-akibat (fÊ nafs ul-iqtirÉn), dan bukan moda hubungan (fÊ wajh al-iqtirān). Di sana selalu ada peristiwa-peristiwa sebelumnya (anteseden) dan sesudahnya (konsekuen). Sebab-sebab yang biasa terjadi dan akibat-akibatnya yang juga biasa terjadi mengikuti keteraturan yang telah ditetapkan Tuhan secara ketat sebelumnya. Hanya saja, keteraturan yang ketat terse-but bisa pula diinterupsi, yang juga telah Tuhan tetapkan sebelum-nya. Interupsi tersebut tidak lain adalah mukjizat atau keajaib an, dan menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat ha nyalah peris-tiwa kebiasaan dan dengan demikian tidak pasti. Yang dimaksud dengan keajaiban di sini merujuk pada al-Quran, bukan pada teori para filsuf.

Konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dalam tindakan manusia meng-ikuti ajaran mutakallimËn tentang usaha (kasb). Al-GhazÉlÊ berada di titik tengah antara dua ekstrem, Mu‘tazilah dan kalangan de-terminis. Ia memegang teguh doktrin bahwa Tuhan menciptakan kekuatan dan objeknya. Kekuatan yang diciptakan Tuhan menja-di sifat individu (manusia) namun tindakannya sendiri dilakukan manusia. Meskipun al-GhazÉlÊ mempertahankan gagasan bahwa Tuhanlah yang menciptakan (ikhtara‘a) perbuatan manusia, ini

Page 290: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

275

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

tidak berarti perbuatan manusia tidak tunduk pada kemampuan manusia untuk berbuat (iktisāb). Di sini perbuatan manusia di-bagi menjadi perbuatan alami (ÏabÊ‘Ê), sukarela (irÉdÊ), dan tin-dakan pilihan (ikhtiyÉrÊ). Perbuatan sukarela dan pilihan adalah per buatan yang diinginkan seseorang ataukah tidak di inginkan. Manusia hanya dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang ditentukan oleh kehendaknya. Posisi tengah yang diambil al-GhazÉlÊ adalah perbuatan manusia itu bersifat sukarela/bebas tetapi ditentukan melalui kekuasaan Tuhan dengan penciptaan (ikhtirÉ‘an) dan melalui kemampuan manusia mengusahakannya (iktisÉban).

Page 291: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

276

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Page 292: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

277

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

PADA BAB TIGA telah dibahas konsepsi al-GhazÉlÊ tentang pengetahuan (‘ilm). Pengetahuan tersebut berhubungan dengan objek yang diketahui (al-ma‘lËm), dalam bentuk citra, substansi, esensi, moda, kuantitas dan realitas eksistensi (ÍaqÉ’iq al-mawjË-dÉt). Selain itu, pengetahuan sebagai realitas mental selalu ber-sesuaian (mutawÉfiqah), berkorespondensi (mutaÏÉbiqah), dan seimbang (mutawÉzinah) dengan realitas sesuatu itu sendiri da-lam fenomena yang diamati.1 Dari perspektif kosmologis-epis-temologis, realitas fisik berada di antara Lembaran Takdir (LauÍ al-MaÍfËÐ) dan realitas mental.2 Hal ini karena tingkatan rea-litas sesuatu, menurut pemikiran al-GhazÉlÊ, terdiri dari realitas yang ada di LauÍ al-MaÍfËÐ: realitas fisik, realitas imajinatif, dan realitas mental. Di sini penafsirannya tentang makna realitas dan pengetahuan, seperti yang telah diuraikan dalam Bab Dua dan Bab Tiga, merupakan jaringan konseptual yang di satu sisi memproyeksikan worldview teistik, dan di sisi lain merupakan sebuah framework epistemologis.

1 Lihat Bab Tiga.2 Lihat Bab Dua.

B A B L I M A

Kausalitas dan Pengetahuan

Page 293: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

278

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Framework al-GhazÉlÊ tersebut telah mengakibatkan per-debatan sengit karena ia telah mengguncang asumsi dasar teori kausalitas Aristoteles. Titik perdebatannya adalah apakah penge-tahuan rasional yang diambil dari data yang diobservasi dalam dunia fenomenal itu valid? Apakah postulasi sebab-akibat yang niscaya dalam dunia alamiah dapat dibenarkan secara logis dan empiris? Wilayah diskusi ini adalah logika sehingga harus dita-ngani dalam hubungan dengan ilmu pengetahuan demonstratif dan silogisme. Selain itu, hal ini juga erat terkait dengan masalah kepastian ilmu.

Dalam permasalahan yang dibahas di bab ini, kerangka epis-temologis al-GhazÉlÊ mendapat serangan serius dari Ibn Rushd. Untuk itulah kerangka al-GhazÉlÊ wajib dipahami terlebih dahulu dari perspektif serangan tersebut. Bab ini pertama membahas ma-salah pengetahuan, yang dilihat dari perspektif perdebatan antara al-GhazÉlÊ dan Ibn Rushd. Selanjutnya akan dibahas konsep kau-salitas al-GhazÉlÊ dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan demonstratif, lalu penerapannya dalam konteks silogisme. Dan akhirnya, karena pengingkaran hubungan sebab-akibat yang pasti dianggap sebagai penolakan pengetahuan, sangatlah penting bab ini membedah pemikiran al-GhazÉlÊ tentang kepastian pengeta-huan yang didapatkan dari konsep kausalitas.

PERDEBATAN DENGAN IBN RUSHD

Ada pelbagai pertanyaan yang diajukan Ibn Rushd dalam me-nanggapi sanggahan al-GhazÉlÊ terhadap hubungan sebab-akibat yang pasti (termasuk di dalamnya pembahasan tentang mukjizat). Dalam uraian di bab ini, poin-poin perdebatan dikemas dengan mengacu pada tuduhan-tuduhan Ibn Rushd. Yang paling relevan untuk diskusi kita sekarang adalah negasi pengetahuan, sangkalan terhadap hakikat sesuatu, pola sesuatu yang pasti, dan penolakan terhadap kausalitas.

Page 294: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

279

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Negasi Pengetahuan

Poin pertama dan paling penting dari tuduhan Ibn Rushd pada penolakan al-GhazÉlÊ terhadap hubungan kausalitas yang pasti adalah bahwa al-GhazÉlÊ itu dianggap telah menafikan pengeta-huan manusia. Ibn Rushd menyimpulkan pandangan yang domi-nan tentang peran sebab-akibat dalam proses pengetahuan dalam kutipan berikut:

Akal tidak lebih dari persepsi (idrÉk) sesuatu lewat se-bab-sebabnya dan karenanya siapa saja yang menyangkal se-bab harus menyangkal akal. Karena ilmu logika menganggap sebagai aksioma bahwa ada sebab dan akibat dan pengeta-huan tentang akibat itu mustahil tanpa pengetahuan tentang sebabnya. Pengingkaran terhadap hal-hal ini menyiratkan pe-nolakan pengetahuan... dan itu artinya tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa benar-benar diketahui dengan pasti, se-lain hanya terkaan. Demikian juga, demonstrasi dan definisi tidaklah mungkin karena problematika yang penting dalam demonstrasi dinafikan.3

Tuduhan Ibn Rushd tersebut terdiri dari dua tesis. Kedua te-sis tersebut adalah: pertama, realitas sebab-akibat adalah datum dari pengalaman-indrawi; kedua, pengetahuan dan kausalitas bersamaan secara pasti.4 Pengetahuan itu terikat oleh kausa-litas, yang didasarkan pada pandangan tentang struktur sesuatu yang deterministik atau sifat sesuatu yang tetap. Dari tesis ini, Ibn Rushd menganggap semua proses alam memiliki status ke-pastian.

Akan tetapi, tuduhan itu tidak mengacu pada keseluruhan pandangan al-GhazÉlÊ. Al-GhazÉlÊ mengakui pentingnya hakikat dan status logika. Ia menyatakan bahwa logika adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki metode pembuktian, jenis premis,

3 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut Jilid 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1954), hlm. 785; The Incoherence of Tthe Incoherence, terjemahan oleh Van Den Bergh, (London: E.J.W. Gibb Memorial Series Jilid 1), hlm. 317.

4 Majid Fakhry, Islamic Occasionalisme and Its Critique by Averroes and Aquinas, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1958), hlm. 84.

Page 295: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

280

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dan bentuk argumen silogisme.5 Hubungan logika dan pembuk-tian rasional itu bagaikan hubungan materi untuk puisi dan hu-bungan tata bahasa dengan bahasa.6 Dengan logika, orang dapat membedakan pengetahuan yang benar dan pasti dari keyakinan dan dugaan, bukti-bukti yang benar dari kekeliruan-kekeliruan.7 Namun, al-GhazÉlÊ tidak membatasi logika hanya pada logika Aristoteles. Ada juga logika dalam teologi Islam dengan nama-nama yang berbeda, seperti fann al-kalÉm (ilmu wacana), naÐÉr (nalar diskursif), jadal (dialektika), madÉrik al-‘uqËl (sumber-sumber rasional)8 meskipun ia mengakui bahwa logika kalang-an falāsifah lebih komprehensif dan klasifikasinya lebih tepat dibandingkan logika para teolog.9 Hanya saja, al-GhazÉlÊ tidak setuju dengan kalangan falāsifah terkait gagasan bahwa pernya-taan empiris itu benar dan pasti berdasarkan teori sebab-akibat yang pasti dan sebab efisien di alam. Soal ini akan dibahas dalam bagian berikutnya tentang hubungan sebab-akibat dan ilmu-ilmu demonstratif.

Ibn Rushd tampaknya terlalu terburu-buru menyimpulkan penolakan al-GhazÉlÊ pada hubungan kausal yang pasti itu adalah juga penolakan terhadap pengetahuan. Seperti dijabarkan pada Bab Tiga, al-GhazÉlÊ menafsirkan makna pengetahuan sebagai gambar yang sesuai dengan objek yang dikenal atau dengan rea-litas sebagai realitas itu sendiri (‘alÉ mÉ huwa bihÊ).10 Namun, pengamatan tentang simultanitas atau koeksistensi peristiwa-pe-ristiwa tidaklah membuktikan bahwa sebab-akibat itu pasti terja-

5 Al-Imam Abu Hamid al-GhazÉlÊ, MaqÉÎid al-FalÉsifah, Sulayman Dunya (ed.), (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif bi MiÎr, 1961), hlm. 6.

6 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilm fÊ al-ManÏiq, Ahmad Syams al-DÊn (ed.), (Bei-rut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 26.

7 Al-GhazÉlÊ, MaqÉÎid, hlm. 6. Ungkapan yang digunakan secara benar dan pasti adalah yaqÊn.

8 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, diedit dengan pengantar oleh Sulayman Dunya, (Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, 1963), lihat “Muqaddimah”, hlm. 4; The Incoherence of the Philosophers oleh Michael E. Marmura, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 8.

9 Al-GhazÉlÊ, al-Munqidh Min al-ÖalÉl, diedit dan dianotasi oleh JamÊl ØalÊban dan KÉmil ‘IyÉd, (Beirut: DÉr al-Andalus, 1980), hlm. 22.

10 Lihat Bab Tiga, subbahasan “Makna Pengetahuan”.

Page 296: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

281

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

di. Argumen ini enam abad kemudian diadopsi oleh David Hume (1711-1776) yang menyatakan bahwa observasi terhadap kejadian yang simultan atau ada bersamaan (co-existence), tidak membuk-tikan bahwa kausalitas itu terjadi secara pasti. 11 Penafian terha-dap setiap proposisi “A adalah sebab B” selalu bisa dipahami atau setidaknya tidak menyiratkan kontradiksi, namun bukti empiris dari hubungan sebab-akibat itu kurang. Keniscayaan hubungan kausal bukanlah sejenis objek yang dapat diketahui secara em-piris atau dengan kepastian. Artinya, kemungkinan hubungan di antara sesuatu itu memang dapat diakui adanya namun kepasti-an hubungan tersebut tidak dapat diketahui seperti yang terjadi sesungguhnya. Pengetahuan kita terbatas hanya pada terjadinya suatu hubungan, sementara kepastiannya tersembunyi atau tidak terlihat. Karena keterbatasan persepsi kita pada data empiris, al-GhazÉlÊ memasukkan prinsip metafisika sebagai hasil dari kete-tapan Tuhan.

Penyangkalan terhadap Sifat Alamiah Sesuatu

Ibn Rushd juga mendakwa al-GhazÉlÊ menafikan setiap hal itu memiliki sifat alamiah (nature) yang khusus, yang menentu-kan fungsi khususnya, seperti membakar sebagai sifat alamiah api. Dengan kata lain, al-GhazÉlÊ dianggap membedakan antara fungsi dan sifat alamiah dari sesuatu dalam artian bahwa ia meng-hapus keberadaan sesuatu secara menyeluruh. Tentang hal ini Ibn Rushd menulis:

... ini terbukti dengan sendirinya bahwa sesuatu itu me-miliki esensi dan sifat yang menentukan fungsi khusus se-tiap sesuatu dan dengan itu esensi dan nama-nama sesuatu itu dibedakan. Jika sesuatu tidak memiliki sifat alamiah yang spesifik, ia tidak akan memiliki nama atau definisi khusus, dan segala sesuatu akan menjadi satu, bahkan tidak satu pun.... [karena] jika ia tidak memiliki satu pun perbuatan yang khusus, sesuatu tidak akan menjadi sesuatu. Bahkan, jika hakikat yang satu itu ditolak, maka hakikat wujud juga

11 David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, Anthony Flew (ed.), (La Salle, Illinois: Open Court, 1988), hlm. 114.

Page 297: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

282

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ditolak, dan konsekuensi dari penolakan terhadap wujud ada-lah ketiadaan.12

Dasar keberatan Ibn Rushd adalah penekanannya pada defini-si Aristoteles bahwa pengetahuan adalah persepsi yang bersesuai-an dengan alam, dan bahwa yang supra-alamiah adalah subjek yang tidak dapat dipahami ataupun dibahas secara rasional. De-ngan kata lain, pengetahuan seperti itu berkaitan dengan alam se-hingga menepikan sebab dan peristiwa supra-alamiah. Ia tampak-nya ingin mengatakan bahwa “sebab” dan “pengetahuan” hanya istilah yang tidak diterapkan pada hal-hal yang supra-alamiah.

Justifikasi Ibn Rushd yang lebih rumit bertumpu pada pan-dangannya tentang pentingnya Tuhan bagi sebab-sebab alamiah. Keteraturan dan prediktabilitas sebab-sebab alamiah, menurut Ibn Rushd, adalah bukti dari kebijaksanaan Tuhan. Ibn Rushd me-legitimasi pandangannya ini berdasarkan ayat al-Quran: “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan penggantian bagi sun-nah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyim-pangan bagi sunnah Allah itu.”13

Keberatan Ibn Rushd tersebut berdasarkan asumsi bahwa al-Ghazālī menolak ide bahwa sesuatu itu memiliki sifat alamiah yang merupakan prinsip dasar pengetahuan demonstratif dan kau-salitas. Namun, seperti yang diuraikan di atas, al-GhazÉlÊ sebenar-nya tidak benar-benar menolaknya. Ia berpandangan bahwa suatu ciptaan itu memiliki sifat alamiah ciptaan yang menyebabkan ter-jadinya akibat yang sesuai; namun karena terjadinya sebab-akibat ini tidak dapat dianggap pasti, sifat alamiah dan sebab-akibat ini selalu bergantung pada kehendak Tuhan. Pada poin ini, pandang-an al-GhazÉlÊ mengacu pada pendekatan teologis atomistiknya dan pada sikap epistemologisnya yang cenderung positivistik. Adapun tentang konsep realitas, dalam kaitannya dengan Realitas

12 Ibn Rushd, TahÉfut al-TahÉfut, terjemahan oleh Van Den Burgh, hlm. 318-319.

13 Al-Qurān surat FāÏir (35) ayat 43. Dikutip dalam Tahāfut al-Tahāfut, hlm. 292, terjemahan bahasa Inggris oleh Van Den Bergh, hlm. 320. Lihat juga Tahāfut, hlm. 302, terjemahan bahasa Inggris, hlm. 333.

Page 298: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

283

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Mutlak, realitas makhluk ciptaan tidak dapat disifati sebagai nya-ta ataupun pasti.14 Pasalnya, sesuatu atau lebih umumnya dunia ini diciptakan baru oleh Tuhan pada setiap saat. Dari perspektif doktrin atom dan aksiden, adanya kausalitas sekunder apa pun di dunia ini ditolak. Tidak ada hukum alam atau hubungan sebab-akibat, kecuali perbuatan bebas Pencipta yang Mahakuasa.15

Dari aspek epistemologi, al-GhazÉlÊ berpandangan bahwa proposisi dari persepsi indrawi itu tidaklah mudah untuk dibukti-kan, karena kesaksian indra tidak selalu valid sehingga tidak dapat diterima meskipun itu bukti rasional. Pengamatan persepsi indra membuktikan bahwa masing-masing dari yang disebut sebab dan akibat menegaskan individualitasnya sendiri dan bukan kepastian yang menghubungkan satu dengan yang lain sebagaimana diyaki-ni para filsuf. Oleh karena itu, menurut al-GhazÉlÊ, menilai setiap hubungan sebab-akibat dari pengamatan yang masuk akal seba-gai suatu kepastian tidaklah relevan. Pasalnya, hubungan sebab-akibat itu sendiri—entah itu pasti ataukah tidak—merupakan hal yang tak ada hubungannya dengan unsur empiris yang diamati dalam fenomena tersebut, dan akan salah bila menyamakan atau menganggap kausalitas empiris sebagai kausalitas logis. Di sini interpretasi al-GhazÉlÊ tentang realitas dan pengetahuan saling melengkapi satu sama lain.

Selain itu, al-GhazÉlÊ tidaklah menyangkal bahwa segala se-suatu itu memiliki fungsi dan sifat, akan tetapi fungsi dan sifat tersebut tidak bisa melebihi statusnya sebagai benda mati. Api, misalnya, adalah benda mati yang tidak memiliki perbuatan, dan tidak dapat memiliki sifat pelaku. Argumen ini tidak saja sesuai dengan pendekatan positivistik16 namun juga didasarkan pada aksioma Aristoteles yang ketat (sebagaimana tertulis dalam Meta-

14 Lihat Bab Tiga, subbahasan “Makna Pengetahuan”. 15 Al-GhazÉlÊ, TahÉfut al-FalÉsifah, terjemahan oleh S.A. Kamali, hlm. 185-

196. Lihat Bab Dua, uraian “Realitas Sesuatu” pada sub-subbahasan “On-tologi Penciptaan Makhluk”.

16 Edward H. Madden, “Averroes and the Case of The Fiery Furnace”, dalam Parviz Morewedge, Islamic Philosophy and Mysticism, (New York: Cara-van Book, 1997), hlm. 138-139.

Page 299: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

284

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

physics) bahwa semua materi—dengan sifat alamiahnya yang in-trinsik—adalah benda mati dan karena itu tidak mampu memulai proses apa pun.17 Tampaknya al-GhazÉlÊ ingin menyatakan pos-tulat para filsuf bahwa sesuatu yang memiliki potensi sebab yang dapat menghasilkan akibat itu bertentangan dengan aksioma me-reka sendiri. Di satu sisi, mereka percaya api tidak memiliki per-buatan dan tidak dapat memulai proses apa pun. Namun, di sisi lain, mereka menyatakan api mungkin berbuat dan menyebabkan pembakaran pada kapas. Bagi al-GhazÉlÊ, ini tidak meyakinkan. Berpandangan bahwa api adalah benda mati (jamÉd) dan tidak memiliki perbuatan sebenarnya akan membawa pada kesimpul-an bahwa pengamatan terhadap sehelai kapas yang bersentuhan dengan api tidak membuktikan apa pun selain simultanitas atau koeksistensi api dan kapas yang menyala, dan bukan sebab-akibat yang pasti.

Pola Sesuatu yang Pasti

Keberatan lain Ibn Rushd terhadap pandangan al-GhazÉlÊ adalah jika alam ini hanya tampak menimbulkan akibat dan tidak pasti, maka pengetahuan kita tentang alam itu juga tidak pasti, tapi hanya mungkin. Padahal, alam harus tetap selalu sama jika ia menjadi objek pengetahuan ilmiah yang demonstratif. Ibn Rushd menyinggung persyaratan ini ketika menyebutkan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada sifat alamiah sesuatu harus-lah “tetap” (fixed); dengan kata lain, sifat alamiah sesuatu harus selalu menyebabkan atau membawa akibat yang sepadan, sesuai dengan definisi “sifat alamiah” sendiri.18 Ibn Rushd juga meng-

17 Aristotle The Metaphysic, 2 jilid, terjemahan oleh H. Tredennick. (London: W. Heinmann, dan Cambridge: Harvard University Press), Book Lambda 6, 1071b29; Aristotle, Physic, 2 jilid, terjemahan oleh P. Wicksteed dan F. Conford, (London: The Loeb Classical Library-W.Heinemann, dan Cam-bridge: Harvard University Press, 1957-1960), hlm. VII-1.

18 Menurutnya, ini tidak menafikan bahwa sesuatu yang lain mungkin meng-halangi sebab untuk menimbulkan akibatnya, sebagaimana dalam kasus sesuatu yang tersentuh api tapi tidak terbakar, karena mungkin tertu tupi oleh bedak. Ibn Rushd menanggapi masalah ini dengan mengatakan bah-wa sebab-akibat bisa jadi terhalangi (dan dalam hal ini tidak niscaya).

Page 300: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

285

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kritik pandangan al-GhazÉlÊ yang menghubungkan setiap peris-tiwa dan perbuatan kepada kehendak Sang Pencipta. Menurut Ibn Rushd, kehendak Tuhan itu tidak mempunyai pola yang pasti dan ini akan menganggap segala sesuatu sama-sama mungkin. Aki-batnya, tidak adanya pola yang pasti dalam proses alam ini mem-buat pengetahuan menjadi tidak mungkin. Ibn Rushd menulis:

... Tidak ada standar yang tetap bagi kehendak-Nya yang membuat sesuatu itu terjadi, baik dalam bentuk kejadian yang terus-menerus ataupun pada kebanyakan kejadian, .... Karena pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dalam kenyataan.19

Argumen Ibn Rushd tampaknya didasarkan atas anggapan bahwa Tuhan berbuat karena keharusan, bukan dengan kehendak-Nya. Dari uraian tentang sifat Tuhan dalam Bab Dua, pandangan al-GhazÉlÊ dalam masalah ini adalah bahwa dunia tidak abadi; Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia ini dari kekuasaan, kehendak, dan pengetahuan-Nya.20 Prinsip yang ditawarkan al-GhazÉlÊ mengenai hal ini ada tiga, yakni: (1) kehendak berhu-bungan dengan peristiwa-peristiwa temporal; (2) setiap peristiwa temporal (ÍÉdithÉt) diciptakan dengan kekuasaan Tuhan (kullu ÍÉdith fa mukhtara‘ bi qudratihi); (3) segala sesuatu yang dicip-takan dengan kekuasaan Tuhan membutuhkan kehendak Tuhan (kullu mukhtara‘ bi al-Qudrah muÍtÉj ilÉ irÉdatin).21 Kehendak Tuhan bukannya tanpa pola yang pasti. Polanya adalah ketetap-an (qaÌÉ’), ketentuan (qadar), hukum (Íukm), dan kehendak (mashi’ah) Tuhan.22 Pola ini berlawanan dengan tesis Ibn SÊnÉ dan kalangan falāsifah, termasuk Ibn Rushd, yakni penciptaan itu

Akan tetapi, baginya, ini tidak berarti api telah kehilangan “reputasi dan takdir (hadd)”-nya, yakni sifat yang menjadikannya sebab pembakaran. Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, hlm. 291; terjemahan bahasa Inggris oleh Van Den Bergh, hlm. 319.

19 Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, Van Den Bergh, hlm. 324-325.20 Lihat Bab Dua. 21 Lihat Bab Dua. 22 Al-GhazÉlÊ, KitÉb al-Arba‘Ên fÊ UÎËl al-DÊn, al-Shaykh MuÎÏafÉ AbË al-

‘AlÉ (ed.), (Mesir: Maktaba al-JundÊ, tanpa tahun), hlm. 5-7.

Page 301: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

286

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

mengalir (dengan cara emanasi) secara niscaya dari esensi Tu-han.

Berkenaan dengan pandangan Ibn Rushd bahwa pengetahu-an yang didasarkan pada alam itu harus “pasti”, al-GhazÉlÊ tidak memiliki penjelasan ilmiah untuk mempertahankan posisinya. Namun, dari perspektif sains modern, pandangan Ibn Rushd di-persoalkan. Edward H. Madden23, misalnya menemukan banyak keberatan terhadap teori di balik pandangan Ibn Rushd itu. Me-nurutnya, menyangkal kemampuan sesuatu untuk menyebabkan sesuatu yang lain tidak berarti menyangkal pola sesuatu itu. Hal ini karena ada sesuatu yang kehilangan kemampuan tertentu un-tuk menyebabkan sesuatu yang lain namun masih mempertahan-kan sifat alamiahnya. Sebuah obat mungkin kehilangan efektivi-tasnya setelah periode waktu tertentu tetapi ini tidak lantas berarti hilangnya pola atau spesifikasi khasnya. Dalam biologi, spesies yang terjadi secara alamiah tidak menunjukkan sesuatu yang kon-stan dan pasti. Para ahli biologi mengklaim tidak adanya jenis alamiah yang tidak berubah namun ini bukan penafian terhadap adanya jenis alamiah sama sekali. Pandangan ini mirip dengan pandangan al-Ghazālī yang menyatakan bahwa alam dan sebab-akibat selalu tunduk pada kehendak Tuhan. Namun, ini tidak berarti alam atau sifat sesuatu di alam tidak ada. Suatu ciptaan memiliki sifat alamiah ciptaan yang menyebabkan akibat yang sepadan, namun ini bukan berarti bahwa sesuatu itu terhubung dengan sesuatu yang lain dengan pasti.

Secara ilmiah, ini adalah suatu kesalahpahaman bila meng-anggap sesuatu memiliki sifat alamiah yang tetap konstan sepan-jang waktu. Dalam Teori Quantum dikemukakan bahwa benda-benda memiliki sifat yang sangat berbeda dari yang orang ha-rapkan. Aspek paling penting dari teori ini adalah probabilitas-nya, yang artinya ada batas matematis dari yang dapat diketahui tentang suatu objek.24 Prinsip probabilitas dalam teori quantum

23 Edward H. Madden, “Averroes and the Case of The Fiery Furnace”, hlm. 144.

24 Karen Harding, “Causality Then and Now: Al-GhazÉlÊ and Quantum

Page 302: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

287

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

mungkin relevan bagi gagasan GhazÉlÊ bahwa realitas ciptaan itu kontingen dan tidak niscaya.

Ibn Rushd memang berpendapat dari perspektif berbeda, yak ni pengetahuan Tuhan tentang sesuatu merupakan sebab dari wujud sesuatu itu. Maka, pengetahuan Tuhan tentang alam ha-rus sama dengan objek pengetahuan kita, meskipun dalam kasus Tuhan hubungannya bersifat kausal sekaligus epistemik. Ia me-nyatakan: “Jika kita memiliki pengetahuan tentang yang mungkin (the possibles) ini, maka terdapat suatu kondisi (Íāl) pada eksis-ten yang mungkin itu yang terkait dengan pengetahuan kita... dan inilah yang dikatakan para filsuf sebagai alam (nature). Demikian juga, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan seperti eksistensi itu meskipun [pengetahuan Tuhan] merupakan sebabnya... dan oleh karena itu eksisten mewujud sesuai dengan pengetahuan-Nya secara pasti.”25

Jawaban al-GhazÉlÊ terbuka jelas: Ibn Rushd secara efektif menaikkan pengetahuan saintifik ke tingkat pengetahuan Tuhan, yang memang keduanya identik. Dengan demikian, jelaslah bah-wa paradigma ilmu yang dimaksud Ibn Rushd adalah paradigma ilmu alam (saintifik). Namun, persoalan ini tetap menimbulkan pertanyaan lantaran, alih-alih membuktikan, Ibn Rushd justru menganggap bahwa kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan akan tidak sesuai dengan perubahan jalannya alam. Sedangkan al-GhazÉlÊ bersikukuh bahwa perubahan semacam itu mungkin saja terjadi.

Poin terpenting yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa sikap al-GhazÉlÊ tidak bertentangan dengan penge-tahuan ilmiah. Hanya saja, paradigma yang ditawarkannya agak berbeda. Pada saat ia menerima pandangan para filsuf bahwa di alam raya ada hukum sebab-akibat (misalnya pengetahuan bah-wa api itu membakar), sebenarnya ia membuka ruang bagi di-

Theory”, The American Journal of Islamic Social Sciences, 10:2, hlm. 172-173.

25 Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, hlm. 296; terjemahan bahasa Inggris oleh Van Den Bergh, hlm. 325.

Page 303: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

288

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

mungkinkannya pengetahuan saintifik dari alam ini. Jadi, yang disangkal al-GhazÉlÊ adalah pandangan bahwa pengetahuan itu adalah pengetahuan yang pasti. Ia tampaknya hendak mengata-kan bahwa wacana saintifik itu bersifat parsial karena tidak dapat menentukan apakah suatu sebab alamiah akan digantikan oleh intervensi supra-alamiah. Dunia ilmiah tidak mempunyai teori di mana suatu sebab tidak menghasilkan akibat karena intervensi Tuhan. Dengan demikian, al-GhazÉlÊ tidak menolak sama sekali pengetahuan saintifik atau filosofis; sebaliknya, ia justru berniat untuk mempertemukan keduanya, ilmu pengetahuan saintifik dan filsafat, dalam lingkup pengetahuan yang diwahyukan. Paradig-ma al-Ghazālī tentang pengetahuan saintifik bukan merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Tuhan, karena menerima hu-kum sebab-akibat, akan tetapi ia hanya ingin agar paradigma itu memungkinkan adanya aspek ketetapan (qaḍā’), ketentuan (qa-dar), hukum (ḥukm), dan kehendak (mashī’ah) Tuhan berdasar-kan kebijaksanaan-Nya.

Penolakan Total terhadap Kausalitas

Poin penting lainnya dalam masalah ini adalah bahwa Ibn Rushd tidak hanya menuduh al-GhazÉlÊ telah menyangkal kepas-tian hubungan sebab-akibat, namun juga kausalitas seluruhnya. Begini yang Ibn Rushd katakan:

Menyangkal adanya sebab efisien yang diamati pada se-suatu yang dapat diindra adalah sofis... karena siapa yang me-nyangkalnya tidak bisa lagi mengakui bahwa setiap perbuat-an pasti memiliki pelaku... dan jika para teolog meragukan adanya sebab efisien yang dipersepsi saling menyebabkan satu sama lain, tidaklah logis. Sesuatu yang sebabnya tidak bisa dipersepsi itu artinya masih belum diketahui dan harus diselidiki...26

Kritikan Ibn Rushd tersebut secara tersirat bergantung pada dua prinsip Aristotelianisme. Pertama, apa yang bisa disebut op-

26 Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, hlm. 291; terjemahan bahasa Inggris oleh Van Den Bergh, hlm. 318.

Page 304: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

289

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

timisme epistemik adalah bahwa manusia itu memiliki pengeta-huan sehingga jika teori sebab-akibat tidak sesuai dengan sesuatu yang kita ketahui sebagaimana adanya, maka itu sanggahan yang cukup bagi teori itu. Kedua, adalah prinsip dasar epistemologi abad pertengahan bahwa sesuatu hanya diketahui secara demon-stratif melalui sebabnya. Menurut Ibn Rushd, kedua prinsip ini adalah pedoman yang dengan ini teori kausalitas dikembangkan.

Tuduhan Ibn Rushd di atas tampaknya keliru dalam mema-hami pandangan al-GhazÉlÊ. Di Tahāfut, al-GhazÉlÊ jelas menya-takan:

Kami mengakui bahwa api diciptakan sedemikian rupa (khuliqat khalqatan) hingga ketika dua potong kapas yang serupa mengenainya maka keduanya akan terbakar; sama se-kali tidak ada perbedaan antara keduanya jika keduanya sama dalam segala hal. Meskipun demikian, kami tetap berpegang pada kemungkinan adanya seorang nabi yang tersentuh api dan tidak terbakar, baik karena perubahan di dalam karakter api ataupun karena perubahan di dalam karakter nabi. Mung-kin muncul dari Tuhan ataupun dari malaikat berupa sebuah sifat dalam nyala api, yang akan membatasi panas dalam diri api sendiri, mencegahnya supaya tidak terjadi pembakaran. Jadi, ia akan menahan panasnya, sedangkan api itu masih me-miliki bentuk dan esensinya sebagai api, akan tetapi panas api dan efeknya tidak akan membawa akibat pada sesuatu di luar dirinya. Kemungkinan lain, di dalam tubuh nabi itu timbul suatu sifat yang melindunginya darinya dari api, tapi hal itu tidak mengubah dirinya yang berupa tulang dan daging.27

Pernyataan al-GhazÉlÊ tersebut menunjukkan bahwa ia meng-akui adanya sifat alamiah api sebagai ciptaan, demikian pula ciptaan yang lain tentu memiliki sifat alamiah tertentu (khalqah) yang bereaksi terhadap faktor-faktor luar. Ini yang diistilahkan oleh para filsuf sebagai “alam” (tabÊ‘ah, nature), tetapi bagi me-reka ini adalah eksistensi yang tidak diciptakan dan tidak menun-jukkan hubungan melekat dengan suatu pencipta atau sumber asal mula. Di sini, al-GhazÉlÊ secara berhati-hati memilih istilah

27 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 171.

Page 305: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

290

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

khalqah untuk mempertahankan pandangannya yang berbeda dari para filsuf. Pada dasarnya ia tidak hanya mengakui prinsip kausalitas yang tidak pasti, tetapi juga menerima in toto kon-sep umum kausalitas bahwa sebab tertentu akan memiliki akibat tertentu, yaitu api akan membakar kapas dan tidak akan mem-bedakan antara dua potongan kecil kapas yang serupa. Dua hal yang sama akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap suatu faktor luar ketika dilakukan kontak. Ini adalah cara lain untuk menyatakan bahwa sebab tertentu akan memiliki akibat tertentu yang sama ketika dihadapkan pada dua hal yang serupa dalam semua aspek (mutamaththilun min kulli wajh). Al-Ghazālī secara jelas menyetujui asumsi dasar semua penyelidikan saintifik, yang diterima oleh para filsuf sendiri, tetapi disalahpahami oleh Ibn Rushd. Letak perbedaannya adalah sebagai berikut: sementara Ibn Rushd percaya sebab langsung atau terdekat (‘illah qarÊbah) yang pasti itu melekat pada sifat objek yang diamati, al-GhazÉlÊ justru meyakininya (sifat sesuatu sebagai sebab langsung itu) se-bagai perbuatan Tuhan terhadap alam dan di dalam alam ini se-cara umum, dan itu tergantung pada kesan pengamat sendiri.

Seperti disinggung pada Bab Tiga,28 al-GhazÉlÊ mengakui bahwa pengetahuan yang berasal dari persepsi indra langsung (al-maÍsËsÉt) juga dianggap memiliki status kepastian (ÌarËrÊ). Na-mun, kepastian menurut perspektif ini tidak dilihat dari arti objek yang diketahui itu sendiri, melainkan dalam makna hubungan-nya dengan subjek yang mengetahuinya. Maksudnya, al-GhazÉlÊ percaya bahwa kepastian ini hanya ada di dalam pikiran yang mengamati, bukan pada hakikat objek yang diamati. Hal yang sama berlaku pada hubungan sebab-akibat yang dianggap pasti. Kesan tentang kepastian ini diperoleh secara tidak sadar melalui “jalannya kebiasaan”. Hanya dengan jenis kepastian ini, menurut al-GhazÉlÊ, mukjizat itu mungkin. Terkait masalah mukjizat, saya tidak akan membahasnya di sini.

28 Lihat Bab Tiga, sub-subbahasan “Pengetahuan Rasional”.

Page 306: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

291

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Dengan demikian, perselisihan mendasar al-GhazÉlÊ dan Ibn Rushd berada pada pertanyaan epistemik: apa syarat-syarat bagi pengetahuan yang pasti? Bagi al-GhazÉlÊ, kebiasaan mengetahui yang diakibatkan oleh pengalaman bukanlah pengetahuan tentang yang pasti. Hanya pengetahuan yang dihasilkan oleh Tuhanlah yang niscaya dan pasti. Bagi Ibn Rushd, posisinya justru dibalik: jika Tuhan menciptakan pengetahuan di dalam diri kita, pengeta-huan itu dirancang dengan baik sebagai pengetahuan yang hanya ia sesuai dengan alam nyata.

Untuk memperjelas pandangan al-GhazÉlÊ dalam perdebat-an ini, kita harus mengacu pada konsepnya tentang realitas dan pengetahuan tentang realitas. Tidak seperti Ibn Rushd, konsep al-GhazÉlÊ tentang realitas tidak hanya terbatas pada sesuatu di dunia fenomenal sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri, te-tapi juga terkait dan tergantung pada Realitas Mutlak. Demikian pula pengetahuan tentang realitas tersebut merujuk pada sesua-tu di luar dirinya sendiri. Berdasarkan interpretasi realitas inilah konsep pengetahuan al-GhazÉlÊ ditegakkan. Jadi, pandangannya tentang pengetahuan sepenuhnya konsisten dengan pandangan-nya tentang kausalitas dan sebaliknya.

Al-GhazÉlÊ mengakui bahwa kita sesungguhnya tahu bahwa sesuatu tertentu akan terjadi atau tidak. Hanya saja, jika untuk menghasilkan akibatnya sebab-sebab itu selalu bergantung pada kehendak Tuhan, maka pengetahuan yang pasti itu hanya dapat diperoleh dari sumber kepastian dalam hubungan sebab-akibat yang sesungguhnya, yakni Tuhan. Dengan demikian, al-GhazÉlÊ sejalan dengan prinsip kedua Aristoteles bahwa pengetahuan se-lalu melalui sebab-sebabnya. Bedanya, bagi al-GhazÉlÊ, karena kausalitas hanya melalui Tuhan, maka pengetahuan yang pasti dan tentu itu selalu melalui Tuhan. Al-GhazÉlÊ ingin mendamai-kan hukum fisika dan kemahakuasaan Tuhan. Dari pernyataannya di Tahāfut, ia jelas-jelas tidak menolak ilmu-ilmu alam. Ia mem-benarkan beberapa ilmu alam (al-Ïabi‘iyyÉt) itu dapat diterima oleh agama, tapi prinsip-prinsip yang dipegang oleh para filsuf

Page 307: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

292

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

bertentangan dengan hukum yang diwahyukan.29 Bukti peneri-maan al-GhazÉlÊ terhadap ilmu-ilmu demonstratif berikut penam-pikannya terhadap prinsip-prinsip di balik ilmu-ilmu alam, bisa kita saksamai lewat karya-karyanya di Mi‘yÉr, MiÍakk, dan Mus-taÎfÉ. Dalam karya-karyanya itu, kritik al-GhazÉlÊ terbentang dari alasan teologis hingga epistemologis.

Di sini masalahnya menyangkut paradigma-paradigma yang berbeda tentang pengetahuan manusia. Bisa dikatakan seperti ini: sementara paradigma Ibn Rushd adalah ilmu pengetahuan de-monstratif (filsafat), paradigma al-GhazÉlÊ adalah wahyu (teolo-gi). Paradigma Ibn Rushd berdasarkan pada model Yunani yang didasarkan menurut akal dan skema deterministik alam dan finali-tas. Di lain pihak, paradigma al-GhazÉlÊ tidak didasarkan menurut skema deterministik alam, namun didasarkan menurut kehendak bebas Sang Pencipta secara mutlak dan tanpa batas.30

Struktur paradigma al-GhazÉlÊ yang implisit itu bisa dili-hat dari pendekatan yang dipakainya di dalam Tahāfut. Bagian Pertama dikhususkan tentang metafisika; yang pada bagian ini al-GhazÉlÊ mengkritik keras pemikiran tentang hukum kausali-tas Tuhan yang pasti dengan berpijak pada teologi Islam. Bagian Kedua, dari Diskusi ke-17 sampai ke-20, didedikasikan untuk il-mu-ilmu alam dan epistemologi. Struktur ini menunjukkan bah-wa teologi (yang didasarkan pada wahyu) merupakan dasar dari paradigma epistemologi al-GhazÉlÊ. Jadi, masuk akal untuk me-ngatakan bahwa, bagi al-GhazÉlÊ, wahyu atau kenabian merupa-kan bentuk paradigmatik pengetahuan bagi manusia.

29 Prinsip-prinsip tersebut ada empat: 1) hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat (iqtirÉn al-AsbÉb wa al-musabbabÉt bi al-ÌarËrah); 2) inde-pendensi jiwa dari tubuh (al-nufËs laysat munÏabi‘ah fÊ al-jism); 3) keaba-dian jiwa (istihÉlat al-‘adam ‘ala al-nufËs); 4) kebangkitan jasmani (radd al-nufËs ilÉ al-ajsÉd). Al-GhazÉlÊ The Incoherence, Michael E. Marmura (ed.), hlm. 163.

30 AbË Yaarib al-MarzuqÊ, MafhËm al-Sababiyyah ‘inda al-GhazÉlÊ, (Kairo: DÉr BËslÉmah li-ÙibÉ‘ah wa al-Nashr, tanpa tahun), hlm. 71-72.

Page 308: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

293

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

PENALARAN KAUSALITAS DAN ILMU DEMONSTRATIF

Dari perdebatan al-GhazÉlÊ dengan Ibn Rushd yang dipapar-kan di atas, kita mengetahui dengan jelas pandangan al-GhazÉlÊ mengenai kemungkinan pengetahuan tentang objek yang beru-bah. Ia memang tidak menempatkan pengetahuan itu dalam ting-katan pengetahuan yang pasti ataupun memandangnya sebagai paradigma tertinggi dari pengetahuan manusia. Pandangan ini bisa dipahami dengan baik dari sikapnya tentang kategori penge-tahuan manusia, yakni dibedakannya pengetahuan rasional yang diambil dari konsep-konsep universal dari pengetahuan yang diperoleh melalui hubungan langsung dengan hal-hal konkret dan partikular. Dari framework ini, saya meneliti konsep kausalitas al-GhazÉlÊ dengan mengacu pada metodenya untuk mencapai pengetahuan melalui ilmu pengetahuan demonstratif yang dipa-parkannya.

Titik perbedaannya lebih kepada hubungan subjek-objek, dan dalam hal ini saya menaruh perhatian pada kategori pengetahuan kedua yang di dalamnya terdapat masalah kausalitas. Dalam ka-tegori ini, prosesnya bermula dari hubungan manusia dengan hal-hal yang partikular yang selanjutnya menghasilkan makna objek-tif dalam pikiran subjek yang mengetahui. Setelah beberapa saat, makna-makna objektif yang merepresentasikan realitas di luar pikiran (extramental) ini berakumulasi dan menjadi sekumpul-an konsep yang tersusun. Penyelarasan representasi makna dari entitas yang konkret dengan realitas extramental disokong oleh pengaturan dan asosiasi logis. Dalam konteks proses pikiran, ini merupakan pergeseran dari pemahaman induktif dari sifat sesuatu yang universal menuju kepada pengamatan sesuatu yang partiku-lar lagi konkret. Bisa juga ia merupakan pergerakan pikiran dari sesuatu yang indrawi dan individual menuju pemahaman esensi dan hukum yang berlaku bagi objek atau entitas partikular khusus yang diamati.

Page 309: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

294

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Tampaknya, karena keyakinannya pada kemampuan indi-vidu untuk memahami esensi dan hukum tentang entitas dan ob-jek yang khusus, al-GhazÉlÊ mengakui bahwa manusia memang memiliki pengetahuan tentang kausalitas. Oleh karena itu, ia me-nyepakati dan tidak menyangkal kebenaran bahwa api memang memiliki kualitas tertentu yang memungkinkannya membakar kapas pada setiap kejadian normal ketika dua hal (api dan ka-pas) saling berhubungan. Secara naluriah dan kasatmata, manu-sia mengintuisikan kepastian objek pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan berdasarkan pengalaman memungkinkan kita untuk mempostulasikan hubungan sebab-akibat di antara dua entitas atau peristiwa yang terpisah.

Hipotesis Al-GhazÉlÊ mengenai mekanisme alam bisa dibagi menjadi dua: al-mujarrabÉt (premis-premis yang secara empiris dapat diverifikasi), dan al-ÍadsiyyÉt (premis-premis argumen yang dipahami). Yang termasuk al-mujarrabÉt adalah premis-premis yang didasarkan pada pengalaman langsung. Di sini hal-hal yang terlihat atau yang tampak (al-mushÉhadÉt) adalah materi (al-māddah) dari silogisme.31 Al-GhazÉlÊ mengakui bahwa kita bisa saja menyimpulkan dari pengetahuan pengalaman itu secara langsung seperti hubungan antara dua objek: api yang membakar kapas atau api yang menyebabkan kapas terbakar, pemenggalan kepala mengakibatkan kematian dan seterusnya. Terkait ilustrasi ini, ia bahkan menekankan kepastian pengetahuan kita.32 Keya-kinannya bahwa pengetahuan dari pengalaman dapat memberi-kan jaminan kepastian didasarkan pada pemahamannya bahwa peristiwa yang berulang-ulang, yang terjadi terus-menerus, bisa membentuk subjek dan predikat dalam silogisme. Persepsi indra kita melihat peristiwa tersebut secara terus-menerus dalam jum-lah yang tidak terbatas sehingga pikiran akan cenderung mem-bentuk kesan yang tetap.

Dari perspektif ontologis, al-GhazÉlÊ mengaitkan sifat efisien dari sebab fisik dengan kemahakuasaan Tuhan. Seperti disebut-

31 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 173-183.32 Ibid.

Page 310: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

295

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kan di atas, Tuhan menciptakan sifat alamiah khusus (khilqah) di dalam segala sesuatu di alam ini yang berkat itu sebab-sebab itu memproduksi akibatnya secara konsisten. Al-GhazÉlÊ men-derivasikan gagasan ini dari hukum atau ukuran yang ditetapkan (qadar) dari al-Quran, seperti dibahas di Bab Satu.33 Ia mengakui api diciptakan dengan kecenderungan bawaannya, yaitu ketika bersentuhan dengan dua potong kapas yang sama, api memba-kar kedua kapas tanpa membedakan keduanya karena keduanya sama dalam segala hal.34 Artinya, api tidak mempunyai pilihan dan karena itu api akan berproses dengan cara yang sama, kecuali bila prosesnya itu dihalangi. Namun, sebab-akibat ini tidak ber-implikasi kepastian jika dikaitkan dengan hubungan sebab-akibat yang ditetapkan Tuhan, karena Tuhan mungkin masih menginter-vensi dengan cara mengubah keadaan sehingga rangkaian se-bab-akibat normal itu diinterupsi. Di sini, sekali lagi, al-GhazÉlÊ meng acu pada gagasan mukjizat dalam al-Quran.35 Pertanyaan logis yang mungkin diajukan adalah apakah “B” mengikuti “A” karena adanya kualitas intrinsik dalam “A” atau karena Tuhan sudah menetapkan urutan ini? Al-GhazÉlÊ mengantisipasi perta-nyaan ini, dan baginya pertanyaan ini sebenarnya untuk “menda-lami moda koneksi, bukan koneksi itu sendiri” (fa huwa naÐar fÊ wajh al-iqtirÉn lÉ fÊ nafs al-iqtirÉn).36

Pernyataan al-GhazÉlÊ tentang “mendahulukan penyelidikan tentang moda hubungan antara peristiwa-peristiwa yang terkait ketimbang penyelidikan mengenai hubungan itu sendiri” meru-pakan aspek penting tentang kemungkinan didemonstrasikannya premis-premis sebab-akibat. Dalam hal ini, al-GhazÉlÊ menda-maikan pembedaan Aristoteles antara pengetahuan tentang fakta yang dinalar (knowledge of reasoned fact) dan pengetahuan ten-tang fakta (knowledge of the fact), dengan metode ahli hukum (Islam) “tradisional”. Yang pertama adalah qiyÉs al-‘illah atau

33 Lihat Bab Satu. 34 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 171.35 Lihat al-Quran surat Saba’ (34) ayat 9. Lihat Bab I. 36 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 180.

Page 311: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

296

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

menurut istilah logika disebut burhÉn lima (demonstrasi menga-pa). Ini adalah silogisme dengan term tengah berupa sebab dari term mayor. Yang kedua adalah qiyÉs al-dilÉlah atau menurut pengertian logika disebut burhÉn inna (demonstrasi “bahwa”). Ini adalah satu jenis demonstrasi yang term tengahnya bukan se-bab dari term mayor, tapi memberi kita fakta dan bukan penalaran dari fakta itu.37

Al-GhazÉlÊ mengusulkan agar menggunakan burhān lima karena ini berhubungan dengan argumennya tentang kepastian kelas premis yang diuji secara empiris (al-mujarrabÉt). Sebab, ia menunjukkan dengan jelas bahwa pertanyaan tentang mengapa ini melibatkan penyelidikan terhadap sifat sebab fisik yang terjadi dalam sebuah pola yang tidak berubah pada kebanyakan waktu. Al-GhazÉlÊ membedakan dua jenis utama burhān lima:

Pertama, term tengahnya “sebab dari kesimpulan, dan bukan sebab dari keberadaan term mayor itu sendiri.” Berikut contoh dari al-GhazÉlÊ:

Setiap manusia adalah binatang.Setiap binatang adalah tubuh.Oleh karena itu, setiap manusia adalah tubuh.

“Dalam kasus di atas,” kata al-GhazÉlÊ, “manusia bertubuh karena eksistensi binatangnya, kemudian binatang adalah sebab dari penyebutan tubuh pada manusia, bukan karena keberadaan tubuh.”38 Al-GhazÉlÊ menambahkan, “Ia bukan sebab bagi ke-beradaan esensi (dhÉt) predikat (al-maÍmËl) dari kesimpulan (natÊjah),”39yakni tubuh.

37 Ibid, hlm. 232.38 Ibid, hlm. 233: “fa idhan al-ÍayawÉn ‘illah li-Íaml al-jism ‘alÉ al-insÉn lÉ

li-wujËd al-jismiyyah.” 39 Ibid, hlm. 234: “wa yakËnu al-jins ‘illa fÊ hamlihÊ ‘alÉ al-naw‘ lÉ fÊ wujËd

dhÉt al-maÍmËl a‘nÊ al-maÍmËl al-natÊjah.”

Page 312: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

297

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Kedua, term tengahnya “sebab dari term mayor, dan sebab kesimpulan.” Berikut contohnya:

Potongan kayu ini terbakar karena tersentuh oleh api.

Orang itu kenyang karena ia telah makan.

Sebenarnya jenis qiyÉs al-‘illah yang kedua ini merupakan is-tilah yang tepat untuk disebut burhān lima. Jika kita mengaturnya dalam pola silogisme utuh, maka akan menjadi seperti berikut:

P > Q Setiap kali api menyentuh kayu, kayu terbakar.

Q Potongan kayu ini tersentuh api.

Q Potongan kayu ini terbakar.

Silogisme tersebut valid dari sisi bentuknya. Namun, al-Gha-zÉlÊ meninggalkan sedikit keraguan bahwa kita sekarang menye-tujui dan mendemonstrasikan efektivitas sebab alami sekunder. Akan tetapi, secara eksplisit ia mengakui dirinya sedang memba-has silogisme kausal, yang premis-premisnya ditarik dari persepsi indrawi (qiyÉs al-‘illah min al-maÍsËsÉt).

Kesimpulan tepatnya berasal dari struktur logis dari premis-premis itu sendiri, tanpa memperhatikan konten premis-premis yang khusus. Al-GhazÉlÊ tampaknya mengakui efektivitas logis dari sebab-sebab alamiah itu, tapi membantah kausalitas onto-logis. Hanya saja, jika melihatnya dari kedua sisi, kita temukan bahwa al-GhazÉlÊ mendekati masalah verifikasi pernyataan dan kesimpulan kausalitas itu yang dideduksi dengan cara proposi-si kausal dari dua perspektif yang berbeda tapi saling berkaitan. Perspektif pertama, penetapan fakta dua hal saling berhubungan dengan cara yang sama. Perspektif kedua, presisi dari sifat, cara, atau bentuk hubungannya. Pada jenis kedua burhān lima ini, ada kesulitan besar yang menghalangi proses penyimpulan sebab ke-beradaan premis mayor. Suatu objek atau terjadinya suatu peristi-wa mungkin memiliki sebab yang beragam (‘illah mutaÑaddidah), yang tidak mungkin menetapkan salah satu secara mutlak sebagai sebab premis mayornya. Peristiwa atau fakta yang direpresenta-sikan oleh term tengah dan predikat dari kesimpulan tidak terkait

Page 313: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

298

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

langsung sebagai sebab-akibat, karena term tengah menjadi sebab hanya pada momen khusus dalam ruang dan waktu.40

Tipe silogisme yang kedua adalah qiyÉs al-dilÉlah atau burhÉn inna (demonstrasi ”bahwa”) yang memberi kita fakta dan bukan penalaran tentang fakta itu. Seperti burhān lima, ada dua jenis burhÉn inna. Al-GhazÉlÊ memberi tahu kita bahwa kesim-pulan silogisme ini ditarik dari bukti (al-muntij), dan bukan dari sebab fakta.41 Yang pertama melibatkan penyimpulan sebab dari akibat. Contohnya demikian:

Setiap kali kayu terbakar, kayu telah tersentuh api.Ini adalah kayu yang terbakar.Oleh karena itu, ia telah tersentuh oleh api.

Contoh lainnya sebagai berikut:

Setiap orang yang menulis secara sistematis memiliki pengetahuan dalam menulis.[Orang] ini menulis secara sistematis.Oleh karena itu, ia memiliki pengetahuan dalam menulis.

Penarikan (istidlÉl) kesimpulan dari bukti (muntij) hanya membuktikan adanya fakta, bukan sebab fakta. Pada kedua kasus di atas kita menyimpulkan bahwa kayu telah tersentuh oleh api dari fakta bahwa ia terbakar dan pengetahuan penulis dari adanya tulisan yang sistematis. Di sini kayu terbakar dan menulis seca-ra sistematis adalah term tengah, sementara api dan pengetahuan merupakan term mayor.42

Jenis burhān inna yang kedua tidak menggunakan penyim-pulan semacam itu. Sesungguhnya sama sekali tidak ada hubung-an kausal langsung antara fakta yang dimaksud dengan term te ngah dan mayor. Fakta-fakta ini yang terkait satu sama lain sekadar beriringan, yang keterkaitannya terus-menerus memung-

40 Ibid.41 Al-istidlÉl bi al-natÊjah ‘alÉ al-muntij yadulllu ‘alÉ wujËdihi faqaÏ, lÉ ‘alÉ

illatihi. Ibid, hlm. 233.42 Ibid.

Page 314: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

299

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kinkan kita untuk bisa menyimpulkan keberadaan yang satu dari yang lain karena adanya satu sebab tunggal dan sebab langsung lain yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, ini merupakan aki-bat simultan dari sebuah sebab yang telah ditetapkan, meskipun tidak disebutkan dalam jenis demonstrasi ini. Misalnya ia menu-lis, “kita menarik kesimpulan tentang wujudnya Sang Pencipta dari penciptaan dunia.” Di sini kita menalar keberadaan sebab dari akibatnya.

Kedua jenis silogisme yang disampaikan di atas diambil dari karya al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr. Pembacaan sepintas terhadap karya ter-sebut akan membawa pada kesimpulan bahwa al-GhazÉlÊ meng-anut teori sebab-akibat yang hubungan sebab-akibatnya bersifat timbal-balik. Orang pun bisa saja menyimpulkan bahwa sifat tim-bal balik tersebut bertentangan dengan penolakan al-GhazÉlÊ ter-hadap kemungkinan sebab-akibat di alam, sebagaimana disam-paikan dalam Tahāfut. Sebenarnya asumsi sifat timbal balik itu belum menjadi kesimpulan konklusif. Pasalnya, ada kemungkin-an Mi‘yÉr disusun sebagai tulisan penjelasan bagi sesama ahli ilmu Kalam sejawat al-GhazÉlÊ, sebagaimana MaqÉÎid ditulisnya untuk menjelaskan pandangan kalangan falāsifah. Dalam Mi‘yÉr dan Pendahuluan Tahāfut, al-GhazÉlÊ mengatakan kepada pemba-ca bahwa ia ingin para ahli ilmu Kalam sejawatnya itu memiliki pemahaman lebih baik tentang argumentasi Tahāfut.43 Pada kar-ya yang sama ia membahas masalah definisi, yang secara ekspli-sit sekadar menjelaskan tentang definisi dan tidak menyatakan definisi tersebut benar. Namun, hasil kajian lebih lanjut terhadap Mi‘yÉr menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ tidak sekadar menjelas-kan teori yang tidak dipercayainya. Ia menyebut tujuan penyajian Mi‘yÉr tak lain untuk meletakkan aturan penalaran yang benar.44 Selain itu, ia menyatakan secara eksplisit bahwa demonstrasi atau pembuktian memberi kita pengetahuan yang pasti.45 Bah-kan, pandangannya yang membela demonstrasi di Tahāfut tidak

43 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, terjemahan oleh Marmura, hlm. 9.44 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 26.45 Ibid, hlm. 235.

Page 315: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

300

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

diubah di Mi‘yÉr. Tiga bukti terakhir ini menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ benar-benar berpijak pada teori pembuktian yang dibica-rakannya.

Dilema yang sangat tampak adalah bahwa di satu sisi al-GhazÉlÊ mengakui syarat-syarat formal pembuktian yang dica-nangkan oleh Aristoteles dan para pengikutnya meskipun tidak menyetujui landasan metafisikanya; di sisi lain, al-GhazÉlÊ me-nyangkal efektivitas hubungan sebab-akibat di alam. Supaya ber-sikap adil terhadap al-GhazÉlÊ, saya akan meneliti sejauh mana ia menerima ataupun menafikan metode pembuktian Aristoteles. Mengikuti bentuk pembuktian silogisme, secara implisit argumen al-GhazÉlÊ dapat ditulis sebagai berikut:

Proposisi kausal hanya diketahui benar secara empiris.Proposisi apa pun yang hanya diketahui benar secara empiris adalah kontingen. Karena itu, proposisi kausal adalah kontingen.Dan apa pun yang kontingen tidak niscaya.Oleh karena itu, proposisi kausal tidak niscaya.46

Penafsiran ini terlihat jelas dalam teks Tahāfut dan Mi‘yÉr; al-GhazÉlÊ cukup sadar akan perbedaan yang tampak antara pe-nolakannya terhadap hubungan sebab-akibat yang niscaya dan dukungannya terhadap klaim ilmu demonstratif. Bahkan, ada indikasi yang jelas ia menafsirkan rentetan sebab-akibat seba-gai kausalitas yang kontingen. Pandangannya tentang tatanan dunia sebenarnya adalah elemen dasar dari teori kausalitasnya.47 Dalam Mi‘yÉr, al-GhazÉlÊ memegang teguh keharusan pastinya premis-premis demonstrasi dan validnya kesimpulan. Namun, di beberapa tempat ia menolak penjelasan Aristoteles dalam me-narik kepastian premis-premis kemudian menggantinya dengan penjelasan lain yang sesuai dengan worldview al-Quran. Artinya, al-GhazÉlÊ memodifikasi ilmu demonstrasi agar sesuai dengan konsep kausalitasnya tanpa mempengaruhi kondisi formal yang

46 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 166; terjemahan oleh S.A. Kamali, hlm. 185.

47 Lihat Bab Dua, sub-subbahasan “Ontologi Penciptaan Makhluk”.

Page 316: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

301

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dibutuhkan oleh sains ini (beserta klaimnya) untuk mencapai ke-tetapan.48

SUBSTANSI SILOGISME

Harus diakui, seperti halnya Ibn SÊnÉ, al-GhazÉlÊ juga meng-gunakan metode demonstrasi sekaligus mematuhi syarat formal yang diperlukannya. Hanya saja, dalam soal pembenaran filosofis bagi induksi, ia berbeda secara signifikan dari Ibn SÊnÉ. Perbedaan yang sangat besar dengan Ibn SÊnÉ terjadi juga dalam hal menarik kesimpulan metafisika. Fakta ini menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ hendak membuktikan teori kausalitasnya sejalan dengan ilmu pengetahuan demonstratif. Akan tetapi, sekali lagi, ia membuat perubahan penting agar teori itu sesuai dengan worldview yang diyakininya. Titik perbedaannya dengan Ibn SÊnÉ tampaknya ada pada penjelasannya tentang substansi atau materi silogisme, mÉ-dat al-qiyÉs.49

Substansi silogisme adalah ilmu pembenaran (al-‘ilm al-taÎdÊqÊ), dan bukan ilmu konseptual (al-‘ilm al-taÎawwurÊ).50 Berkenaan dengan definisi ilmu pembenaran, al-GhazÉlÊ memi-liki pandangan yang agak mirip dengan Ibn SÊnÉ dan Ibn Rushd,51 namun dalam penerapannya menggunakan konsepnya sendiri.

48 Lihat Michael E. Marmura, “GhazÉlÊ and Demonstrative Science”, Jour-nal of the History of Philosophy, October, 1965, vol. III, hlm. 192-193.

49 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 173.50 Al-‘ilm al-taÎqwwirÊ adalah pengetahuan tentang esensi sesuatu, seperti

pengetahuan tentang manusia, pohon, langit, semut, dan semacamnya. Al-‘ilm al-taÎdÊqÊ adalah pengetahuan tentang relasi hal-hal tersebut, da-lam relasi yang positif ataupun negatif, seperti pengetahuan bahwa manu-sia adalah hewan (positif), manusia bukan batu (negatif). Yang pertama mengisyaratkan makna deskripsi, sedangkan yang kedua menunjukkan makna definisi. Lihat al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr al-‘Ilmi, hlm. 35 dan 173.

51 Al-‘ilm al-taÎdÊqÊ bagi Ibn Rushd merupakan pengetahuan yang dengan-nya sesuatu diketahui ada atau tidak ada, sedangkan bagi Ibn SÊnÉ taÎdÊq diperoleh dengan silogisme atau sesuatu yang serupa dengan itu. Lihat Ibn Rushd, TalkhÊÎ ManÏiq AristË, (Beirut: Manshurat al-Jami‘ah al-Lubnani-yyah, 1982), 369; Ibn SÊnÉ, al-Najat, (Misra: Matba‘ah al-Sa‘adah, 1928), hlm. 9.

Page 317: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

302

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Sekarang kita periksa kembali bagaimana al-GhazÉlÊ meng-gunakan ilmu pembenaran itu sebagai substansi silogisme. Menu-rutnya, substansi silogisme bukan premis-premis karena premis merupakan ekspresi pembicaraan yang diartikulasikan dan me-rupakan gabungan dari subjek (mauÌË’) dan predikat (maÍmËl). Silogisme merupakan ilmu yang tetap di dalam pikiran (al-‘ulËm al-thÉbitah). Akan tetapi, karena ilmu di dalam pikiran berkaitan dengan eksistensi eksternal, ia tidak dapat disampaikan kecuali melalui struktur bahasa (nuÐum al-al‘fÉÐ); sebaliknya, pengeta-huan tidak dapat diperoleh kecuali melalui kemampuan struktur linguistik.

Al-GhazÉlÊ membagi realitas dan substansi silogisme menja-di empat lapisan realitas:

1. Eksistensi harfiah/literal (al-ÎËrah al-marqËmah bi al-kitÉ-bah);

2. Eksistensi lisan (al-nuÏq);

3. Eksistensi mental struktur kata-kata lisan dan tertulis (al-wu-jËd al-ÐihnÊ li al-tarkÊbÉt);

4. Eksistensi mental sesuatu yang diketahui (al-wujËd al-ÐihnÊ li al-ashyÉ’ atau al-lubāb).

Lapisan terakhir tersebut merupakan ilmu tentang realitas di luar pikiran (extramental), yang direpresentasikan ke dalam pikir-an, sehingga makna dalam pikiran menandakan eksistensi ekster-nal. Al-GhazÉlÊ menyebut ilmu ini “ilmu pembenaran sejati” (al-ulËm al-ÍaqÊqiyyah al-taÎdÊqiyyah). Ketika ilmu ini dihadirkan dalam pikiran melalui urutan tertentu, jiwa bersiap memperoleh pengetahuan ini kemudian pikiran menerima kesimpulan dari Tuhan Yang Mahatinggi. Pada titik ini, al-GhazÉlÊ menekankan bahwa “meskipun kita mengatakan bahwa substansi silogisme adalah premis-premis yang pasti, ia tidak bisa dipahami kecua-li dengan cara yang telah kita sebut.”52 Al-GhazÉlÊ tidak begitu saja menerima bahwa prinsip rasional dan pengetahuan empiris

52 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 174.

Page 318: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

303

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dapat memberikan kepastian itu terbebas dari Tuhan. Jadi, dalam konteks ini, ia mempertahankan konsepnya bahwa Tuhan adalah sebab atau Pencipta segala sesuatu, termasuk kesimpulan-kesim-pulan silogisme.

Akan tetapi, pada bagian Mi‘yÉr berikutnya, ia menjelas-kan empat jenis premis53 yang bisa pasti (al-muqaddimÉt al-yaqÊniyyah),54 yang cocok untuk pembuktian demonstratif. Dari empat premis, dua yang pertama adalah premis rasional, semen-tara dua lainnya empiris. Premis rasional, yang dapat memberi-kan kepastian dan cocok untuk demonstrasi, adalah al-awwaliyÉt al-‘aqliyyah al-maÍÌah dan al-qaÌÉyÉ allatÊ ‘urifat lÉ binafsihÉ bal bi waÎaÏ. Yang pertama (al-awwaliyāt) merupakan kebenaran logis yang terbukti sendiri (self-evident).55 Ini adalah premis-premis yang ada pada manusia berkat kekuatan akal murni (quw-wah al-‘aqliyyah al-mujarradah). Dalam IqtiÎÉd, al-GhazÉlÊ menyebutnya dengan al-‘aql al-mahÌ (akal murni). Yang kedua (al-qaÌÉyÉ) merupakan kesimpulan-kesimpulan yang melibat-kan hadirnya term tengah yang diambil dari premis-premis yang diketahui kepastiannya.56 Ini bisa termasuk kesimpulan sebuah demonstrasi yang dapat digunakan sebagai premis bagi yang lain. Artinya, kesimpulan silogisme berada di dalam premis-premis rasional ini. Pernyataan “kesimpulan dari sebuah demonstrasi itu diciptakan” menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ sesungguhnya

53 Dalam al-IqtiÎÉd, yang disusun setelah Mi‘yÉr, al-GhazÉlÊ mengemukakan enam sumber premis. Selain al-maÍsËsÉt (indrawi) dan al-awwaliyÉt (akal murni), ia mengusulkan tawÉtur, premis-premis yang menyusun premis-premis yang bergantung pada tiga yang disebut sebelumnya, al-sam‘iyyÉt dan premis-premis yang berasal dari keyakinan oponennya. Lihat al-IqtiÎÉd, M.M. AbË al-‘AlÉ (ed.), hlm. 24-28.

54 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 186-192; lihat juga Bab Tiga, uraian tentang “Proses Logis” pada sub-subbahasan “Pengetahuan tentang Realitas Ek-sternal”.

55 Seperti mengatakan dua lebih dari satu. Dua hal tidak bisa sekaligus abadi dan temporal.

56 Contohnya sebagai berikut: dua itu sepertiga dari enam. Ini diketahui dari term tengah (middle term) bahwa setiap jumlah yang dibagi menjadi tiga secara sama, salah satu pembagiannya pasti tiga. Ketika enam dibagi dua hasilnya tiga bagian yang sama, maka dua itu sepertiga dari enam.

Page 319: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

304

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

mempercayai semua pengetahuan rasional sebagai pengetahuan yang diciptakan. Hanya saja, al-GhazÉlÊ tidak menjelaskan secara eksplisit pada kita apakah dua premis rasional tersebut diciptakan oleh Tuhan.

Premis-premis empiris yang juga dianggap sebagai pasti dan cocok bagi demonstrasi adalah al-maÍsËsÉt dan al-mujarrabÉt. Al-maÍsËsÉt adalah premis-premis dengan kebenaran mun-cul seketika melalui indra. Al-GhazÉlÊ menyamakannya dengan pengetahuan kita bahwa bulan berbentuk bulat dan bintang itu banyak. Di sini ia menekankan bahwa akal murni tanpa persepsi indra tidak dapat dilanjutkan pada pembenaran mengingat per-sepsi indra merupakan sumber pembenaran. Oleh karena itu, pre-mis empiris tidak berdiri sendiri tanpa bantuan akal; sebaliknya, peran akal untuk sampai pada premis-premis empiris itu tidak dapat disangkal. Pada bagian berikutnya, al-GhazÉlÊ tidak mem-bahas lebih lanjut kolaborasi akal murni dengan persepsi indra dalam menghasilkan pengetahuan, dan tidak juga menyinggung pertanyaan sebab-akibat. Sekarang kita akan mengujinya dari premis-premis empiris.

Jenis kedua premis empiris adalah al-mujarrabÉt. Al-GhazÉlÊ membaginya lagi menjadi dua jenis; yang pertama adalah al-mujarrabāt, premis-premis yang diuji secara empiris, sedangkan yang kedua adalah al-ÍadsiyyÉt, premis-premis yang diintuisikan atau dipahami. Dalam dua pembagian premis ini pengetahuan kita tentang kejadian yang teratur pada masa lampau bisa membe-ri kita kepastian bahwa keteraturan itu akan berlanjut pada masa akan datang. Dalam kasus al-mujarrabÉt, peristiwa-peristiwa yang terhubung satu sama lain secara teratur itu kita alami secara langsung. Sebagai contoh, api dihubungkan dengan pembakaran, minum air dengan pemenuhan dahaga, dan seterusnya. Dalam kasus al-ÍadsiyyÉt, hubungan terus-menerus dua peristiwa yang membentuk dasar dari hipotesis itu tidak kita alami secara lang-sung. Dalam kasus-kasus ini, kata al-GhazÉlÊ, hipotesis manusia didasarkan pada intuisi (Íads). Sebagai contoh pengetahuan kita bahwa cahaya bulan berasal dari matahari. Dalam contoh ini, kita

Page 320: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

305

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

tidak mengalaminya langsung. Apa yang kita alami berupa peri-laku matahari dan bulan yang teratur. Kesimpulan yang didasar-kan pada pengalaman bahwa cahaya bulan berasal dari matahari sepenuhnya intuitif.

Pada kedua kasus di atas, poin yang sangat penting adalah pengalaman tentang keteraturan pada masa lalu merupakan pra-syarat memperoleh kepastian tentang keteraturan yang berkelan-jutan pada masa akan datang. Meskipun demikian, al-GhazÉlÊ mengingatkan bahwa sumber kepastian bukan hanya dari peng-ulangan hubungan antara dua objek yang membuat kesan kuat dalam ingatan kita maupun berdasarkan pengalaman atau keya-kinan psikologis. Dengan kata lain, kepastian tidak dicapai de-ngan pengamatan semata atau dengan hanya menyatakan sebuah hubungan sebab-akibat. Untuk mencapai kepastian diperlukan pengujian yang meyakinkan dan dapat diterapkan, dan itu me-rupakan metode silogisme. Ia menganggap metode ini memiliki “kekuatan rahasia” (quwwah qiyÉsiyyah khafiyyah), dan menja-di bukti awal ketika digabungkan dengan persepsi kita tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang tampak.57

Persepsi indra memperoleh pembenaran dari pengalaman rasa sakit ketika digigit. Namun, ia menjadi pasti ketika didukung oleh kekuatan silogisme bahwa gigitan itu menyakitkan bagi tu-buh. Berkenaan dengan hubungan antara kekuatan silogisme de-ngan pengamatan keteraturan alam, al-GhazÉlÊ jelas menyatakan bahwa jika proses alam yang teratur itu merupakan sesuatu yang “kebetulan atau tak disengaja, ia tentu tidak akan terus-menerus atau kebanyakan terjadi tanpa ada penyimpangan.”58 Sejauh ini, al-GhazÉlÊ tidak menyelisihi Ibn SÊnÉ dan sumber asalnya, yakni Aristoteles.59 Akan tetapi, ia berbeda dari keduanya saat penarik-an kesimpulan. Ibn SÊnÉ menganggap bahwa keseragaman alam

57 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 143.58 Ibid, hlm. 180.59 Lihat Aristoteles, The Physics, 2 jilid, terjemahan oleh P. Wicksteed and F.

Cornford, (London: The Loeb Classical Library-W.Heinemann, dan Cam-bridge: Harvard University Press, 1957-1960), hlm. ii, 5, 196b, 10-16.

Page 321: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

306

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

adalah karena sifat alamiah yang melekat pada segala sesuatu dan peristiwa, dan bahwa dalam segala sesuatu ada sifat pokok yang menghubungkan satu sama lain sebagai sebab-akibat yang pasti. Pemikiran inilah yang disangkal mentah-mentah oleh al-GhazÉlÊ. Al-GhazÉlÊ mengakui bahwa peristiwa selalu berlanjut dengan peristiwa lain dengan cara yang sama, dan fakta inilah yang me-mungkinkan kita untuk menghasilkan premis-premis empiris. Na-mun, keseragaman ini bukan karena adanya sifat permanen yang melekat dalam sesuatu, dan juga bukan karena hubungan kausal yang pasti antara segala sesuatu, melainkan karena sesuatu yang lain. Mengenai hal ini, ia berpendapat:

Dan jika dikatakan: “Bagaimana Anda benar-benar yakin ini pasti, sedangkan kaum mutakallimËn telah meragukannya dan mengatakan: terpotongnya [leher] bukanlah sebab kema-tian, dan [memakan] makanan bukan sebab kenyang, dan api bukanlah sebab pembakaran, tetapi Tuhan Yang Mahatinggi, yang menciptakan pembakaran, kematian dan kenyang pada saat (‘inda) terjadinya dua peristiwa yang berurutan, bukan karenanya (lÉ bihÉ)?”

Kami jawab: “Kami telah menunjukkan kedalaman dan hakikat (ÍaqÊqah) pertanyaan ini dalam TahÉfut al-FalÉsifah. Selain itu, orang tidak perlu keluar dari lingkup pembahasan sekarang. Ketika seorang teolog (mutakallim) ditunjukkan fakta bahwa leher anaknya telah terputus, ia tidak ragu akan kematiannya. Tidak ada manusia rasional yang meragukan-nya. Ia mengakui terjadinya kematian tapi mempertanyakan bagaimana bentuk hubungannya.

Adapun penyelidikan mengenai apakah ini merupakan konsekuensi yang pasti (luzËm ÌarËrÊ) dari sesuatu itu sen-diri yang tidak mungkin diubah atau apakah ini sesuai de-ngan jalannya ketetapan (sunnah) Tuhan Yang tinggi, karena perbuatan-Nya yang tidak mengalami pergantian ataupun perubahan, ini adalah penyelidikan mengenai cara koneksi, bukan pada koneksi itu sendiri (fa huwa naÐar fÊ wajh al-iqti-rÉn lÉ fÊ nafs al-iqtirÉn). Mari dipahami dan diketahui bahwa meragukan (al-tashakkuk) kematian seseorang yang lehernya telah putus tidak lain hanyalah bujukan [setan], dan bahwa

Page 322: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

307

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

keyakinan (i‘tiqÉd) akan kematian orang tersebut tidak bisa diragukan.”60

Kutipan di atas menunjukkan bahwa al-GhazÉlÊ membeda-kan antara moda hubungan (fÊ wajh al-iqtirÉn) dan hubungan itu sendiri (fÊ nafs al-iqtirÉn). Orang mungkin bertanya: mengapa mutakallimËn menyangkal kepastian hubungan sebab-akibat dan tidak bisa mencurigai sebab terjadinya kematian seseorang meskipun ia melihat leher orang itu terputus dari tubuhnya? Al-GhazÉlÊ sepertinya bakal menjawab seperti ini: karena pengamat-an empiris terhadap urutan peristiwa yang teratur dan seragam di alam, serta pergantian dan kebersamaan yang terus-menerus di antara dua peristiwa tertentu, pikiran kita cenderung mengang-gap hubungan antara dua elemen tersebut sebagai “pasangan se-bab-akibat”. Akal itu sendiri menjernihkan persepsi manusia dan mengaturnya sedemikian rupa hingga dalam pandangan pertama pun tahu bahwa sesuatu harus disebut “sebab” dan yang lain di-sebut “akibat”.

Selain itu, setiap kali kita melihat objek-objek atau kejadian-kejadian yang berhubungan atau rentetan yang berlanjut, nalar memungkinkan postulasi sebab-akibat. Oleh karena itu, menurut al-GhazÉlÊ, sumber kepastian kita mengenai keseragaman gerak yang berurutan di alam adalah pengulangan pola dari waktu ke waktu yang secara subjektif kita anggap ada di dunia fisik. Ia lalu menegaskan, “keberlangsungan kebiasaan (‘Édah) dari waktu ke waktu betul-betul menetapkan jalannya sesuatu sesuai kesan yang tetap dari kebiasaan masa lalu di dalam pikiran kita.”61 Meski-pun al-GhazÉlÊ mempercayai kepastian premis sebab-akibat itu diterima melalui pengamatan (terhadap keseragaman alam) dan melalui akal, premis-premis tersebut tidaklah pasti. Bahkan, ia membedakan kepastian (certainty) dan keniscayaan (necessity). Apa yang ia maksud sebagai niscaya (necessary) adalah nisca-

60 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 180-181.61 Wa istimrÉr al-‘Édah bihÉ marratan ba‘da Ékhar yarsukhu fÊ adhhÉninÉ

jarayÉnuha ‘alÉ wafq al-‘Édah al-mÉÌiyah. Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, Marmu-ra, hlm. 170.

Page 323: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

308

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

ya dalam kaitan dengan prinsip wujud (being/wujūd). Dalam Tahāfut, ia menegaskan:

Kami tidak mengklaim bahwa sesuatu ini pasti, melain-kan hanya mungkin. Bisa dibayangkan mereka mungkin ter-jadi, dan bisa dibayangkan pula bahwa mereka mungkin ti-dak terjadi. 62

Terlepas penjelasannya yang singkat, perspektif al-GhazÉlÊ jelas, yakni alam bergerak secara teratur, sehingga memungkin-kan kita memperoleh pengetahuan tertentu tentangnya. Namun, keseragaman alam bukan disebabkan oleh kualitas sebab-akibat yang melekat pada sesuatu pada alam, melainkan karena takdir Tuhan yang tidak berganti ataupun berubah.

Al-GhazÉlÊ tidak mengabaikan sama sekali pembagian Ibn SÊnÉ tentang wajib, mungkin, dan tidak mungkin. Namun, ia me-nampik postulasi yang terakhir bahwa ketika Eksistensi Yang Wa-jib menganugerahkan wujud pada yang mungkin, yang mungkin menjadi wajib dalam arti tertentu. Ia tetap dalam pandangannya bahwa apa yang diamati dalam fenomena dunia fisik itu tidaklah pasti (not necessary) namun mungkin, meski niscaya (certain). Ini menyiratkan bahwa semua pengetahuan yang pasti (necessary) itu niscaya (certain), tetapi tidak sebaliknya bahwa semua pengeta-huan yang pasti itu niscaya (certain). Al-GhazÉlÊ mengakui postu-lasi hipotesis-hipotesis terkait moda sesuatu yang pasti beroperasi di dunia. Akan tetapi, ia menyangkal hipotesis ini mencerminkan hubungan yang wajib di alam. Ia juga membantah adanya kausali-tas dalam wilayah material, yaitu tempat sebab-sebab sekunder, sekadar menunjukkan bagi perbuatan Tuhan pada sesekali waktu (occasion). Oleh karena itu, memberi julukan “okasionalis” pada al-GhazÉlÊ sesungguhnya tidaklah tepat. Tuhan tidak sesekali mencampuri bekerjanya alam semesta tapi Dia menciptakan kon-disi atau keadaan yang menyertai munculnya objek dan entitas baru di wilayah yang mungkin. Al-GhazÉlÊ mengatakan, “Darah menjadi sperma. Sperma menyuburkan rahim lalu menjadi suatu

62 Ibid, hlm. 170.

Page 324: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

309

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

makhluk hidup. Rangkaian ini sesuai dengan kebiasaan peristiwa yang berlangsung sepanjang lama waktu.”63 Sekarang kita bera-lih membahas gagasan al-GhazÉlÊ tentang kepastian.

KAUSALITAS DAN KEPASTIAN

Telah diuraikan dengan rinci di Bab Empat bahwa kepas-tian ada dua tingkat. Yang pertama, hasil spekulasi rasional dan persepsi indra, atau pengetahuan yang ditetapkan dari pembuk-tian, yang menandakan hilangnya keraguan. Yang kedua, peng-alaman pribadi yang sejalan dengan keyakinan kuat dalam hati bahwa ia memiliki kebenaran.64 Berkenaan dengan gagasan ke-pastian yang pertamalah perbincangan kita kali ini.

Pada gagasan yang pertama, al-GhazÉlÊ menanggapi secara langsung kemampuan akal untuk mendekati kepastian. Pertanya-an yang diajukan menyangkut masalah kemampuan psikologis manusia untuk memiliki pengetahuan yang pasti yang diderivasi dari persepsi indrawi dan dari kebenaran intelektual yang terbukti sendiri (self-evident). Al-GhazÉlÊ merumuskan bahwa standar rasional yang dengan itu pelbagai objek dan kategori pengeta-huan tentang sesuatu dalam pengalaman manusia itu dapat dinilai kepastiannya. Oleh karena itu, keyakinan (yaqīn) dan pengetahuan yang pasti (ma‘rifah yaqÊniyyah) dalam pembagian pengetahuan rasional ditempatkan di dalam lingkup batas akal manusia.

Gagasan al-GhazÉlÊ tentang kepastian dalam ilmu-ilmu ra-sional terlihat dari anggapannya bahwa tidak ada kontradiksi antara ilmu alam dan ilmu agama, dan bahwa ilmu demonstratif dapat memberikan kepastian dan validitas yang niscaya. Di sini akan dipaparkan pandangannya tentang kepastian ilmu de-monstratif dan kausalitas peristiwa alam tersebut.

63 Ibid, hlm. 172.64 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), (Beirut: DÉr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 196-198.

Page 325: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

310

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Kepastian Ilmu Demonstratif

Kepastian ilmu-ilmu demonstratif dicontohkan dalam kasus prediksi gerhana bulan sebagaimana dituliskan di Tahāfut:

Contoh dari hal ini adalah pernyataan para filsuf: “Ger-hana bulan terjadi ketika cahaya bulan menghilang karena penempatan Bumi, yang cahayanya berasal dari matahari, Bumi sebagai bola dikelilingi langit pada semua sisi. Jadi, ketika bulan berada dalam bayangan Bumi, cahaya matahari terputus darinya.” Contoh lain adalah pernyataan mereka: “Gerhana matahari berarti kehadiran bulatan bulan di antara pengamat dan matahari. Ini terjadi ketika matahari dan bulan keduanya ada di posisi sejajar.”

Kita juga harus menahan diri dari upaya menyangkal teo-ri semacam itu karena tidak ada gunanya. Siapa pun yang berpikir berargumen untuk menolak teori semacam itu seba-gai kewajiban agama, [akan] merusak agama dan melemah-kannya. Karena bertumpu pada demonstrasi, geometri dan aritmetika, ia tidak menyisakan ruang untuk keraguan. Jadi, ketika seseorang mempelajari demonstrasi itu, dan memasti-kan bukti-buktinya (sehingga memperoleh informasi tentang waktu dua gerhana berikut jangkauan dan durasinya), lantas menyebut hasilnya menyalahi agama, alih-alih meragukan sains tersebut, orang tersebut justru mencurigai agama.65

Kutipan di atas membuktikan bahwa demonstrasi yang meng-hasilkan penjelasan universal tentang gerhana tidaklah berten-tangan dengan agama mengingat kepastian premis-premisnya. Disebutkan di Mi‘yÉr, premis-premis itu termasuk premis kausal yang berkaitan dengan benda-benda astronomis. Meskipun ti-dak melihat adanya kontradiksi antara ilmu alam dan agama, al-GhazÉlÊ menyangkal beberapa postulat yang niscaya bagi ilmu-ilmu itu. Ia tidak menerima secara mentah-mentah ilmu alam sebelum menguji pengandaian-pengandaiannya. Salah satu peng-andaian ilmu alam yang ditolak oleh al-GhazÉlÊ adalah teori ke-pastian hubungan sebab-akibat.

65 Ibid, hlm. 6.

Page 326: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

311

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Sekarang kita lihat konsep al-GhazÉlÊ tentang kepastian da-lam ilmu demonstratif. Dalam salah satu bagian Mi‘yÉr yang ber-judul FÊ BayÉn al-YaqÊn (Tentang Penjelasan mengenai Kepasti-an) ia menyatakan:

Demonstrasi sejati (al-burhÉn al-ÍaqÊqÊ) adalah [de-monstrasi] yang memberikan informasi mengenai suatu hal (shay‘) yang perubahannya tidak bisa diperkirakan. Hal ini sesuai dengan premis-premis (muqaddimÉt) dari demonstra-si (burhÉn) karena mereka pasti (yaqÊnÊ), abadi (abadÊ), dan tidak pernah berubah. Dengan ini saya maksudkan bahwa sesuatu tidak berubah bahkan ketika orang tidak menyada-rinya, seperti misalnya ungkapan, “keseluruhan lebih besar daripada bagian”, “sesuatu yang sama dengan satu hal adalah sama”, dan pernyataan-pernyataan serupa lainnya. Kesimpul-an (al-natÊjah) premis-premis semacam itu juga pasti.

Pengetahuan yang pasti (al-‘ilm al-yaqÊnÊ) merupakan pengetahuan bahwa sesuatu memiliki sifat seperti terhubung dengan penilaian yang benar (taÎdÊq), yang tidak mungkin baginya tidak menjadi seperti itu. Jadi, jika Anda mencoba menyenangkan pikiran tentang adanya kemungkinan kesa-lahan, ataupun melihat sebaliknya, Anda pada awalnya tidak mampu melakukannya. Sebab, jika potensi kesalahan diakui melekat padanya, maka ia [pengetahuan] tidak pasti.66

Pada bagian berikutnya, dengan substansi sama, al-GhazÉlÊ mendorong kita untuk “mengetahui bahwa demonstrasi yang benar adalah yang memberikan keyakinan (al-yaqÊn) yang ke-pastian (ÌarËrÊ), yang permanen (dÉ’im) dan abadi, yang per-ubahannya tidak mungkin.”67 Dengan kata lain, satu-satunya pengetahuan yang kepastiannya tidak diragukan lagi adalah yang berasal dari kebenaran abadi yang terbukti benar dengan sendiri (self-evident). Pengetahuan ini berada dalam domain pengetahuan rasional, yang objeknya tidak rentan terhadap per-ubahan dan segera diketahui oleh intelek sebagai kebenaran niscaya yang tak terelakkan. Pengetahuan ini ada dalam diri

66 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 235.67 Ibid, hlm. 243 dan 252.

Page 327: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

312

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

manusia tanpa manusia “mengetahui sumber atau bagaimana bisa memilikinya” saat sadar.68 Pengetahuan yang berada dalam kategori “niscaya kebenarannya” (badÊhÊ) adalah satu-satunya pengetahuan, yang diakui al-GhazÉlÊ untuk mengonstruksi pre-mis-premis yang benar dan dapat dipercaya dalam silogisme yang benar. Contohnya: dunia bersifat sementara/temporal (hÉ-dith), dan ia memiliki Pencipta. Premis pada contoh ini tidak pernah berubah selamanya.

Al-GhazÉlÊ juga mengingatkan bahwa meskipun sama-sama valid, metode spekulasi bisa menghasilkan kesimpulan yang bertentangan. Jadi, suatu bukti korespondensi bukanlah jaminan menjadi barometer kepastian pengetahuan manusia. Al-GhazÉlÊ menyatakan:

Dan jika pernyataan dibuat: Jika premis-premisnya pasti dan benar (ÎÉdiq) berdasarkan implikasi akal, dan jika susun an logis yang Anda buat dalam bentuk silogisme (fÊ ÎËrat al-qiyÉs) ini jelas (wÉÌiÍ), maka dari [sumber] apakah pengingkaran (inkÉr) kaum Sofis terhadap prinsip tersebut? Dan berasal dari [sumber] manakah pernyataan adanya ko-respondensi timbal-balik (takÉfu’ al-adillah)? Mengapa mun-cul perbedaan di antara orang-orang mengenai objek intelek (ma‘qËlÉt)?69

Kutipan di atas menunjukkan bahwa kemampuan penalaran manusia untuk menjamin kepastian pengetahuan manusia itu terbatas. Meskipun lingkup pengetahuan manusia sama luas-nya dengan wujud, kepastian yang dihasilkan oleh akal manusia (naÐar) semata tidaklah menjangkau wilayah Realitas Eksistensi Yang Mutlak. Spekulasi intelektual dengan metode pembuktian dan argumentasinya ada pada dunia yang relatif, indrawi, dan partikular. Bahkan, data langsung (immediate data) yang ber-fungsi sebagai premis-premis penyimpulan informasi baru hanya memiliki tingkat kepastian tertentu. Hal ini karena data persepsi indra yang langsung (immediate) tidak memberi apa pun kecuali

68 Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 14. 69 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 210.

Page 328: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

313

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

kepastian yang relatif, kemungkinan kebenaran, atau dugaan ke-benaran (Ðann).

Sekarang kita lihat makna kepastian yang kedua, dan hubung-annya dengan makna yang pertama. Pada makna kedua, tidak ada kaitannya dengan hilangnya keraguan namun lebih sebagai ke-kuatan moral yang dengan itu intelek diperintah oleh suatu ke-yakinan khusus. Al-GhazÉlÊ menyatakan, “Setiap kali jiwa cen-derung pada penilaian kebenaran (taÎdÊq) tentang sesuatu yang menguasai hati dan mendominasinya—sehingga (kecenderung-an) jiwa itu menjadi wasit dan pengatur jiwa dalam hal penilaian kebenaran itu—maka ia disebut yaqÊn.” 70

Dari petunjuk ini, kepastian dapat diakui sebagai harmoni an-tara kekuatan (quwwah) atau kelemahan (Ìu‘f) yang dengannya keyakinan diletakkan atas hati. Menariknya, al-GhazÉlÊ meng-usulkan cara lain untuk menilai yaqīn, yaitu dengan mengukur kelebihan (kathrah), kekurangan (qillah), dan kejernihan (jalÉ’) atau kekurangjelasan (khafÉ’) bukti keyakinan atau kesimpulan tertentu. Pengukuran ini kemudian harus diterapkan pada kesim-pulan deduktif. Sebagai tolok ukur kejelasan, ia mengilustrasikan bahwa “engkau bisa memahami perbedaan penilaianmu tentang keberadaan Mekah dengan kepercayaanmu mengenai keberadaan Fadak.”71 Karena penilaian didasarkan pada informasi yang diri-wayatkan (tawÉtur), maka penilaian pertama itu lebih jelas (ajlÉ) dan lebih banyak buktinya (awÌaÍ) bagi hati ketimbang yang kedua, karena kekaburan informasi. “Kejelasan sesuatu yang tim-bul dari bukti tunggal,” menurut al-GhazÉlÊ, “tidak seperti keje-lasan yang muncul dari beberapa bukti.” Pandangan ini menun-jukkan dua definisi kepastian: pertama, kepercayaan (belief) yang mampu menundukkan intelek; kedua, penilaian (judgment) yang mendasarkan pada pengetahuan yang terverifikasi.

Kepastian pada definisi kedua (penilaian) bukan sekadar tiadanya keraguan tentang kebenaran, ataupun kesalahan dari

70 Al-GhazÉlÊ., IÍyÉ’ Jilid 1, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 65.71 Ibid. Fadak adalah sebuah desa di utara Madinah.

Page 329: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

314

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pernyataan-pernyataan tertentu, melainkan juga pengetahuan ter-verifikasi yang dalam bentuknya tertinggi—melalui demonstrasi rasional—bisa melampaui filsafat spekulatif dan logika. Bagi al-GhazÉlÊ, kepastian tingkat tertinggi terdapat pada wilayah penge-tahuan yang diperoleh melalui bagian ilmu yang lebih tinggi pula, yaitu ‘ilm al-mukÉshafah. Tingkat kepastiannya pasti berbeda di-karenakan perbedaan objek dan metode pencapaian. Yang per-tama, objek yang dicari berupa realitas Tuhan dan metode yang digunakan untuk itu adalah tingkat intelektual yang lebih tinggi, yakni iluminasi mistis (kashf). Yang kedua, objeknya berupa se-suatu yang kontingen dan relatif yang tidak memiliki jaminan sta-bilitas abadi. Selain itu metode pencapaiannya juga dibatasi oleh kemampuan rasional manusia, yang mengetahui sesuatu dalam keadaan sesaat, tak lengkap, sementara, dan tak sempurna.72

Dari uraian makna kepastian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep kepastian al-GhazÉlÊ merujuk pada kepercayaan (i‘tiqÉd) dan pengetahuan yang terverifikasi (ma‘rifah yaqÊniyy-ah). Yang pertama termasuk bagian hati (qalb), sedangkan yang kedua bagian akal (‘aql), namun kedua istilah ini dalam penger-tian epistemologis adalah sinonim.

Kepastian Peristiwa Kausalitas

Setelah menguraikan makna kepastian dalam ilmu demon-stratif, sekarang kita akan menguji konsep kepastian yang nyata dalam kaitannya dengan hubungan sebab-akibat pada peristiwa empiris dan temporal. Di bagian atas, kita telah membahas sum-ber kepastian dari premis-premis rasional dan empiris dengan premis-premis tambahan dari persepsi indra dan pengalaman.73

72 Lihat Bab Tiga, sub-subbahasan “Pengetahuan Rasional”. Contoh yang diberikan al-GhazÉlÊ untuk menggambarkan tesis ini adalah pengetahuan seseorang tentang kehadiran Zayd di rumahnya. Pengetahuan ini didasar-kan pada sebuah fakta konkret, yang pada saat Zayd benar-benar ada di ru-mah maka pengetahuan ini benar dan sempurna. “Tetapi bisa terjadi Zayd telah meninggalkan rumahnya, tapi orang terus percaya bahwa ia masih di rumah. Pengetahuan pun menjadi ketidaktahuan.” Al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ Jilid 3, A.A. SirwÉn (ed.), hlm. 8 dan 244.

73 Lihat bahasan “Substansi Silogisme” pada bab ini di bagian sebelumnya.

Page 330: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

315

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Titik penting dalam menganalisis hubungan sebab-akibat di antara fenomena-fenomena adalah perbedaan antara kepastian objektif dan kepastian subjektif. Sebab, dalam konsep kausalitas al-GhazÉlÊ di dunia materi, pembedaan antara kepastian logis dan kepastian faktual itu sangat penting.

Dengan mengacu pada konsepnya tentang realitas dan ke-setiaannya pada ajaran penciptaan serta penolakannya terhadap teori emanasi, al-GhazÉlÊ memiliki landasan penyangkalan ter-hadap hubungan kausalitas yang pasti dalam realitas objektif. Na-mun, ia mengakui kepastiannya itu secara logis bisa dibuktikan. Dengan kesediaannya mengakui kepastian logis dalam susunan sebab-akibat di alam, al-GhazÉlÊ masih bisa mengizinkan, misal-nya, dilakukannya postulasi hipotesis tentang cara bagaimana se-suatu yang pasti itu berjalan di dunia ini, tanpa mengakui bahwa hipotesis itu mencerminkan kebenaran tentang kepastian hubung-an itu dalam alam realita. Pandangan ini bisa diterapkan untuk ilmu-ilmu yang prinsipnya tidak dapat sepenuhnya dijadikan aksioma, misalnya geometri yang seluruh generalisasinya pasti benar. Kepastian logis hubungan sebab-akibat di dunia fisik ber-fungsi sebagai perangkat pragmatis untuk mengklasifikasi apa-apa yang terjadi di alam dengan menggunakan persepsi kita. 74

Tesis di atas tak semata-mata membenarkan kemahakuasaan Tuhan mengingat al-GhazÉlÊ dalam hal ini tidak mempercayai hubungan sebab-akibat di dunia material, yang dianggap seba-gai perbuatan Tuhan yang terjadi hanya sesekali saja (occasion). Padahal, sebab-sebab sekunder hanyalah kondisi bagi munculnya objek-objek baru di wilayah realitas yang kontingen.

Dari sini tentu akan muncul pertanyaan: jika kita memper-cayai peristiwa-peristiwa yang berulang itu terus terjadi dan menjadi premis yang menghasilkan suatu jaminan kepastian, yang membentuk subjek dan predikat silogisme, maka apakah al-

74 Carol Lucille Bargeron, The Concept of Causality in AbË HÉmid MuÍam-mad al-Ghazālī ’s TahÉfut al-FalÉsifah, (disertasi Ph.D. pada the Graduate School of the University of Wisconsin-Madison, 1978), hlm. 277.

Page 331: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

316

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

GhazÉlÊ menentang pandangannya sendiri di Tahāfut? Al-GhazÉlÊ rupanya mengantisipasi pertanyaan ini. Di Mi‘yÉr, ia mengajukan pertanyaan balik: jika sesuatu terjadi secara bersamaan (ittifÉqÊ) atau kebetulan tanpa disengaja (‘araÌÊ), sedangkan kebetulan ataupun ketidaksengajaan tersebut bukan sifat melekat pada se-suatu (ghayr lÉzim), mengapa ia terus berlanjut dalam berbagai kejadian tanpa ada variasi?75 Jawabannya atas pertanyaan retoris ini adalah apa yang terjadi tersebut pada umumnya merupakan premis mayor, dan premis ini mendasarkan pada frekuensi. Jika kejadian yang sering itu dialihkan ke premis tengah, ia menjadi pengetahuan sekaligus dugaan umum. Pengetahuan berdasarkan dugaan umum ini dikenal sebagai “hukum kebiasaan Tuhan” (sunnat AllÉh), contohnya seorang pria yang menikahi wanita akan memiliki anak setelah proses pembuahan. Namun, hal demi-kian tidak selalu terjadi sehingga keberadaan si anak juga dugaan (maÌnËn).

Al-GhazÉlÊ menjamin kepastian keseragaman yang terulang di alam sebagai sumber pengetahuan tentang hubungan kausal di alam namun kepastiannya itu tidak memiliki finalitas. Pembuk-tian hubungan yang diamati dan perkembangan berurutan antara “B” dari “A” hanya dapat memberikan bukti yang mungkin, dan bahkan bukti hubungan kausal antara “A” dan “B” tidak konklu-sif. Landasan al-GhazÉlÊ dalam menetapkan postulat ini adalah keyakinannya bahwa seluruh objek pengetahuan manusia tentang segala ciptaan itu bersifat tidak kekal, tidak stabil, dan berlang-sung sebentar; dengan demikian, pengklasifikasian pengetahuan pun mesti seperti sifat-sifat itu. Contoh yang diberikan untuk me-mudahkan pemahaman atas tesis ini adalah sebagai berikut:

Seseorang mengetahui keberadaan Zayd di rumah milik Zayd. Pengetahuan orang ini didasarkan pada fakta konkret dan pada momen Zayd benar-benar berada di rumahnya. Pengetahuannya ini benar dan sempurna. Namun, suatu waktu bisa saja Zayd pergi keluar, meninggalkan rumah. Jika seseorang terus percaya bahwa

75 Al-GhazÉlÊ, Mi‘yÉr, hlm. 244-245.

Page 332: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

317

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Zayd masih di dalam rumah, pengetahuannya ini menjadi kebo-dohan.76

Dalam contoh di atas, al-GhazÉlÊ tidak melihat fakta tunggal sebagai realitas independen. Sebuah realitas merupakan sebuah kondisi atau dikondisikan oleh realitas yang lain, yang pada akhir-nya tunduk pada kehendak Realitas Mutlak. Di sini ia melihat pengetahuan dan realitas secara holistik. Landasan kepastian da-lam realitas objektif hanyalah Tuhan, yang berarti kepastian yang diperoleh dari sumber pengetahuan ini tunduk pada kehendak Tu-han. Prinsip sebab-akibat yang seragam pada akhirnya bergantung pada kehendak Tuhan. Tuhan bisa saja menyela keseragaman ini. Walaupun demikian, manusia-manusia istimewa yang diberkahi dengan wahyu khusus (seperti para nabi) dianugerahi ilmu bahwa Dia tidak akan serta-merta melakukan segala yang mungkin bagi-Nya. Al-GhazÉlÊ menyatakan:

Mereka [para nabi] mengetahui kemungkinan suatu pe-ristiwa tetapi mereka tahu bahwa kemungkinan tersebut ti-dak terjadi. Dan jika Tuhan “melanggar” jalannya kebiasaan (al-‘Édah) dengan menjadikannya terjadi, maka pengetahuan tentang kebiasaan itu akan dihapus dari kalbu pada saat “ter-langgarnya” kebiasaan tersebut, dan Dia tidak lagi mewujud-kannya. 77

Dua poin penting yang layak dipertimbangkan terkait dengan sumber kepastian adalah (1) keseragaman di alam, dan (2) ke-mungkinan terlanggarnya atau terhalangnya peristiwa alam oleh kehendak Tuhan.

Teori di balik poin pertama dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, manusia bisa mengetahui, dengan kepastian relatif yang ada pada entitas-entitas temporal dan sebuah hubungan bahwa akibat tertentu akan terjadi jika faktor tertentu (yang disebut se-bab) terjadi. Kedua, manusia dapat yakin pada terjadinya rentetan peristiwa yang berlanjut yang diungkapkan dengan proposisi “jika

76 Ibid, hlm. 244.77 Al-GhazÉlÊ, Tahāfut, diterjemahkan dan diedit oleh Marmura, hlm. 163.

Page 333: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

318

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

A maka B, A oleh karena itu B.” Ketiga, manusia dapat mempre-diksi keseragaman aliran dari sebab ke akibat berdasarkan peng-amatan kumulatif pada masa lalu tentang terjadinya aliran itu.78 Teori ini didasarkan atas suatu sistem perbuatan Tuhan, yakni aki-bat menggantikan sebab melalui takdir awal Tuhan. Jadi, teori ini memberi kita sumber kepastian, khususnya bila didukung dengan premis-premis yang pasti dan cocok untuk demonstrasi.

Poin kedua bertentangan dengan poin pertama. Mengandai-kan ketika terjadinya mukjizat itu Tuhan menghapus pengetahuan kita tentang pengamatan masa lalu, hal ini seakan-akan mengha-pus prinsip ketiga dan mengacaukan teori pengetahuan manusia di atas. Pengetahuan tentang sifat yang tepat pada peristiwa bia-sa (al-‘Édah) diperoleh dari pengamatan terhadap apa yang telah terjadi sebelumnya. Satu-satunya alat untuk menguji terjadinya mukjizat adalah penilaian supra-logis dari wahyu dan iluminasi.

Sejauh ini, al-GhazÉlÊ belum menjelaskan perbedaan antara dua moda tindakan Tuhan: yang biasa dan yang luar biasa. De-ngan kata lain, ia tidak memiliki penjelasan tentang perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh dari kebiasaan dan pengeta-huan luar biasa (mukjizat). Sebenarnya, dalam pemikiran yang sederhana, garis batas dua jenis pengetahuan ini termanifestasi di dalam “jalannya peristiwa biasa yang membentang sepanjang waktu yang lama.” Namun, pembedaan sederhana semacam itu harus dikembangkan menjadi sebuah teori pengetahuan lanjut yang memungkinkan kita untuk membedakan derajat kepastian yang berbeda. Argumen yang dipegang oleh al-GhazÉlÊ adalah “setiap kali api menyentuh kapas, kapas biasanya akan terbakar” namun “api dapat menyentuh kapas dan kapas bisa tidak terba-kar.” Dalam proposisi yang kedua inilah terdapat ketentuan al-GhazÉlÊ tentang mukjizat. Mukjizat adalah bukti tidak pastinya hubungan antara dua benda dan ini di dukung oleh postulat yang menolak adanya potensi-intrinsik dalam sebab yang bisa meng-hasilkan akibat.

78 Carol Lucille Bargeron, The Concept of Causality, hlm. 315-316.

Page 334: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

319

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Akan tetapi, dihapusnya pengetahuan atau hilangnya penge-tahuan tentang peristiwa masa lalu ketika mukjizat itu terjadi, bukanlah premis yang memadai untuk menentukan kebenaran suatu proposisi. Dalam pembahasan sebelumnya tentang penge-tahuan, kita telah melihat bahwa, bagi al-GhazÉlÊ, hal-hal utama yang harus dieksplorasi seseorang saat membahas kebenaran dan kepastian pengetahuan apa pun adalah hal-hal yang terkait ukuran kesadaran subjektif.

KESIMPULAN

Akar konsep kausalitas al-GhazÉlÊ yang mengacu pada teori pengetahuannya adalah penyangkalan terhadap hubungan kausa-litas yang niscaya dalam fenomena alam. Masalah yang timbul dari perspektif ini adalah bagaimana memahami sifat dan pola sesuatu, makna pengetahuan, kausalitas dan ilmu-ilmu demon-stratif, terutama substansi silogisme, dan terakhir adalah tentang masalah kepastian pengetahuan yang diperoleh dari pemahaman kausalitas tersebut.

Konsep al-GhazÉlÊ tentang pengetahuan dan alam serta pola sesuatu yang pasti, dapat dijelaskan dengan menguraikan pandangannya ketika menanggapi kritikan Ibn Rushd. Dengan mengingkari hubungan sebab-akibat yang pasti, al-GhazÉlÊ ti-dak serta-merta memungkiri pengetahuan. Ia hanya membantah bukti empiris hubungan sebab-akibat, sebab sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak bisa memadai untuk men-jadi sumber ilmu. Pengamatan indrawi terhadap kausalitas em-piris tidak menjamin pengetahuan yang pasti. Dengan cara yang sama, al-GhazÉlÊ tidak menyangkal bahwa sesuatu memiliki sifat yang dapat menghasilkan akibat; ia hanya tidak setuju dengan pandangan tentang sesuatu yang deterministik, dengan alasan bah wa dalam kaitannya dengan Realitas Mutlak realitas makhluk itu tidaklah nyata dan tidak pasti, semua tunduk pada kehendak Tuhan. Akan tetapi, al-GhazÉlÊ tidak mengingkari pola sesuatu karena al-GhazÉlÊ berpendapat bahwa sesuatu yang diciptakan memiliki sifat alamiahnya dari ketentuan (qaÌÉ’), ukuran (qa-

Page 335: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

320

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

dar), hukum (Íukm), dan dengan kehendak (mashi’ah) Tuhan. Ibn Rushd tampaknya terlalu terburu-buru melemparkan tuduhan terhadap al-GhazÉlÊ.

Bagi al-GhazÉlÊ, objek investigasi empiris adalah moda hu-bungan antara peristiwa-peristiwa yang terkait; bukan hubungan itu sendiri. Karena hanya mengakui moda hubungan, ia mencoba untuk mendamaikan antara pengetahuan tentang fakta yang di-nalar dan pengetahuan tentang fakta, dan menerapkan metode hukum (Islam) tradisional. Pada pengetahuan tentang fakta yang dinalar, ia menerapkan demonstration of why atau demonstrasi “mengapa” (qiyÉs al-‘illah atau burhÉn lima) dalam istilah lo-gika, dengan term tengah merupakan sebab dari term mayor. Pada pengetahuan tentang fakta, ia menerapkan demonstration of “that” atau demonstrasi “bahwa” (qiyÉs al-dilÉlah atau burhÉn inna), dengan term tengah bukan sebab dari term mayor, tetapi memberi kita fakta, bukan penalaran tentangnya. Yang pertama (demonstration of why) merupakan cara al-GhazÉlÊ menunjukkan kebenaran logis dari kausalitas alam, dan bukan kausalitas onto-logis. Adapun yang kedua (demonstration of “that”) merupakan metode menyimpulkan sebuah kesimpulan dari bukti, bukan dari sebab. Dalam kasus ini, sebenarnya al-GhazÉlÊ menerima logika formal Aristoteles namun menolak logika materialnya.

Apakah pengetahuan yang diperoleh dari jenis kausalitas seperti itu bersifat pasti? Dalam hal ini al-GhazÉlÊ menegaskan bahwa data persepsi indra tidak memberi apa-apa selain kepas-tian yang relatif. Namun, kepastian pada tingkat yang lebih ting-gi dapat dicapai dengan penalaran spekulatif filosofis dan logis melalui demonstrasi rasional. Akhirnya, dengan mengacu pada tingkatan realitas dan eksistensi, pengetahuan yang diperoleh dari metode ilmiah memiliki derajat kepastian yang berbeda diban-dingkan metode iluminasi. Jadi, penolakan al-GhazÉlÊ terhadap hubungan kausal yang niscaya bukan sekadar berakar kuat se-cara metafisika, melainkan juga bisa dipertahankan secara episte-mologis. Ebrahim Moosa menyimpulkan hal ini dengan kalimat: “ontologi al-GhazÉlÊ bersifat teistik tanpa menjadi apologetik;

Page 336: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

321

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

sesungguhnya ia merupakan ontologi yang berpusat pada kemu-rahan hati Tuhan. Epistemologinya memiliki landasan metafisika dan agaknya bercampur dengan pengandaian teistik.”79 Pernya-taan ini menyiratkan bahwa dalam pemikiran epistemologisnya, al-GhazÉlÊ secara konsisten menjunjung tinggi—dengan membe-narkan pemahaman klasik—pandangan kalangan MutakallimËn dibandingkan interpretasi logis kalangan falāsifah yang mungkin bertentangan dengan wahyu.

79 Ebrahim Moosa, GhazÉlÊ & Poetics of Imagination, (Chapel Hill and Lon-don: The University of North Carolina, 2005), hlm. 178.

Page 337: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

322

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Page 338: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

323

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

TESIS DASAR STUDI INI adalah bahwa al-GhazÉlÊ tidak me-nyangkal kausalitas. Oleh karena itu, secara teoretis dibenarkan untuk mempelajari konsep kausalitasnya. Mengakui kausalitas, bagi al-GhazÉlÊ, tidak selalu berarti mengikuti mentah-mentah bangunan konseptual kalangan ahli Kalam maupun falāsifah. Ia membangun konsepnya sendiri berdasarkan pemahamannya ten-tang konsep-konsep fundamental dalam worldview Islam, tanpa meninggalkan konsep yang benar dan diterima dari pendahulu-nya serta penentangnya. Ia sependapat dengan doktrin atomisme dalam tradisi Kalam, yang dibangun untuk membuktikan hu-bungan langsung Tuhan-dunia sebagai penjelasan dari konsep kemahakuasaan Tuhan. Akan tetapi, ia secara kreatif menafsirkan doktrin tersebut agar sesuai dengan prinsip umum yang ditetap-kan dalam al-Quran. Ia juga setuju dengan pemikiran kalangan falāsifah, yak ni tentang adanya keseragaman di alam; satu peris-tiwa berasal dari peristiwa lain; ada hukum sebab-akibat dalam peristiwa alam. Hanya saja, al-GhazÉlÊ menolak rumusan mereka bahwa sebab-akibat tersebut merupakan suatu kebersamaan yang niscaya.

B A B E N A M

Kesimpulan

Page 339: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

324

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Pandangan al-GhazÉlÊ bisa kita anggap eklektik. Maksudnya, ia mengumpulkan pandangan dari pelbagai mazhab pemikiran tanpa menjadikan pemikiran tersebut dianuti seluruhnya. De-mikianlah yang terjadi dalam teori kausalitasnya. Ia memang menyangkal hubungan sebab-akibat yang pasti dalam fenomena alam namun ia juga memiliki beberapa konsep dasar yang bera-sal dari struktur konseptual worldview Islam. Dua konsep penting dalam worldview Islam terkait dengan masalah kausalitas secara fundamental dan langsung adalah realitas dan pengetahuan. Se-cara teoretis, sebuah konsep tunggal dalam worldview apa pun saling terkait dalam super-sistem (yang menjadikannya sebu-ah jaringan konseptual) sehingga seseorang tidak bisa menjadi eklektik dan saat yang sama menganut ketat worldview tertentu. Tak heran apabila al-GhazÉlÊ tetap konsisten mempertahankan ja-ringan konseptual worldview yang diyakininya meskipun ia tam-pak berpandangan eklektik. Upaya ini dapat dilihat dari caranya membangun, menyesuaikan diri, atau bahkan menolak pelbagai konsep. Oleh karena itu, ketika al-GhazÉlÊ menerima konsep-konsep yang sesuai dengan worldview dirinya dan menampik konsep-konsep yang tidak sesuai, ia sama sekali tidak eklektik. Inilah yang dinamakan jaringan konseptual yang secara alamiah bekerja dalam worldview apa pun.

Dilihat dengan acuan pada konsep worldview, konsep realitas al-GhazÉlÊ adalah konsep struktural, dan konsepnya tentang Tu-han menjadi konsep dasar bagi konsep-konsep yang lain. Setelah menegaskan konsep bahwa Tuhan adalah Zat yang hidup yang memiliki sifat seperti Kehendak, Kekuasaan, dan Pengetahuan, ia memberi penjelasan konseptual untuk itu. Dalam konsepnya tentang realitas, kausalitas dipandang hanya sebagai bagian dari realitas makhluk dan tunduk pada kehendak Realitas Mutlak, yang memiliki berbagai macam kekuasaan. Menurut al-GhazÉlÊ, konsep Tuhan dalam kaitan dengan penciptaan ini adalah Tuhan yang mampu melakukan segala sesuatu selain yang dikecualikan oleh prinsip kontradiksi. Kehendak-Nya yang dipandang sebagai kekuatan menentukan dengan kebebasan kekuasaan-Nya, dan da-

Page 340: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

325

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

lam kaitannya dengan tindakan sukarela-Nya Dia dapat memilih secara sekehendak-Nya antara dua hal yang benar-benar identik. Tuhan dapat melaksanakan kehendak-Nya tanpa mengacu pada faktor-faktor lain. Kecenderungan kehendak-Nya untuk memilih hal-hal tertentu disebabkan oleh Pengetahuan dan Kebijaksana-an-Nya.

Begitu konsep tentang Tuhan seperti itu diterima, maka kon-sekuensi konseptualnya yang wajar adalah memberi sifat Tuhan sebagai pelaku, Sebab Efisien, dan Yang Berkehendak terhadap peristiwa-peristiwa temporal, termasuk proses sebab-akibat yang alami. Demikian pula membela konsep Tuhan yang sekadar logis saja dengan konsep keesaan-Nya yang menafikan sifat-sifat yang pasti seperti Kehendak (irādah), Kekuasaan (qudrah), Pengeta-huan (‘ilm), dan Perbuatan (fi‘il) akan membawa konsekuensi yang sama, yakni menolak hubungan langsung Tuhan-dunia. Ini juga akan menggiring timbulnya kaidah bahwa sesuatu yang en-titas yang bergantung (pada Tuhan) bisa secara intrinsik memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk tanpa keputusan Tuhan. Meski-pun secara logis bisa diterima, konsep dan postulat tersebut tidak dapat diterima oleh worldview Islam.

Al-GhazÉlÊ menolak konsep-konsep rasional semacam itu ka-rena secara konseptual tidak sesuai dengan worldview al-Quran, dan secara praktis merendahkan kekuasaan Tuhan. Penjelasan tentang hubungan Tuhan-dunia dalam filsafat al-GhazÉlÊ menga-cu pada tahapan yang ditetapkan dalam al-Quran.

Tahap pertama, Tuhan dengan hukum-Nya yang bijaksana (Íukm) menetapkan bahwa sebab akan mengarah pada akibat. Ta-hap kedua, Tuhan menetapkan sebab yang mutlak, mendasar, te-tap dan stabil yang tidak hilang atau berubah sampai akhir zaman. Di sini al-GhazÉlÊ mengacu pada ayat al-Quran surat FuÎÎilat (41) ayat 12 yang menyatakan: “Maka Dia menjadikannya (qaÌÉhun-na) tujuh langit dalam dua masa dan mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya....” Al-GhazÉlÊ menyebut tahap ini “penetapan mutlak sebab abadi yang mutlak” (the absolute establishment of the absolute perpetual causes). Tahap ketiga, disebut penentuan

Page 341: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

326

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

(qadar), melibatkan pengarahan Tuhan (tawjÊh) atas sebab-sebab pada dua tahap sebelumnya melalui proporsi mereka, mengukur gerak sampai akibatnya, yang timbul dari gerak tersebut, momen demi momen (laÍÐah ba‘da laÍÐah), menurut ukuran yang diketa-hui (al-qadar al-ma‘lËm), yang tidak bertambah atau berkurang. Dengan demikian, tidak ada yang eksis di luar qaÌÉ’ dan qadar Tuhan.

Al-GhazÉlÊ menggambarkan interaksi Tuhan dan kausalitas alam dengan perumpamaan jam air. Segala sesuatu yang terja-di di dunia itu sesuai dengan kehendak Tuhan, seperti jam yang bergerak sesuai kehendak sang pembuat. Sebab-akibat ini juga dijelaskan dengan cara yang sama seperti sesuatu yang dikondi-sikan (mashrËt) yang diderivasikan dari suatu kondisi, anteseden memiliki konsekuen. Prinsip al-GhazÉlÊ bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyebabkan sesuatu harusnya bisa diterima secara fi-losofis mengingat Aristoteles juga menyebut materi-materi tidak punya kuasa, tidak memiliki daya sebab-akibat. Bagi al-GhazÉlÊ, Tuhanlah satu-satunya sebab efisien (pelaku sebab). Rangkaian sebab atau kondisi merupakan aturan yang disebut sunnah atau ‘Édah. Akan tetapi, aturan atau hukum ini (termasuk hubungan akibat dengan sebab yang mengondisikan) bisa dilanggar dalam kasus mukjizat.

Dengan demikian, menurut saya, al-GhazÉlÊ tidaklah mengembangkan teori yang mempostulasikan kebergantungan makhluk secara mutlak pada Sang Pencipta sehingga prinsip kau-salitas tertolak mentah-mentah. Akan tetapi, ia berpegang teguh bahwa semua makhluk—bersama dengan hukum sebab-akibat—diciptakan oleh Tuhan, dan karena itulah tidak bisa sepenuhnya independen dari-Nya. Jadi, status makhluk, meminjam kalimat Fazlur Rahman adalah “otonom tapi tidak otokratis”.

Selain itu, al-GhazÉlÊ tidak menyangkal kemungkinan per-pindahan dari satu susunan realitas (sebab) ke susunan yang lain (akibat). Ia hanya menolak kesimpulan adanya hubungan sebab-akibat dari sesuatu yang temporal. Hal ini karena alam semesta tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri, tidak memiliki jaminan

Page 342: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

327

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

bagi keberadaannya sendiri, dan dirinya bukan sesuatu yang final (ultimate). Atas alasan ini, ia menggolongkan sebab-akibat alam di bawah sebab lain, yaitu Yang Tertinggi, yang dari-Nya seluruh proses alam berasal, yakni di bawah kausalitas yang dilakukan Tuhan. Jadi, hubungan sebab-akibat alam dipandang sebagai ekspresi kosmos yang mencakup segala sesuatu atau kausalitas Ilahi.

Dengan formasi teori kausalitas tersebut, al-GhazÉlÊ memas-tikan bahwa pengetahuan kita tentang urutan sebab-akibat di-bangun secara empiris. Menyangkal hubungan kausal yang pasti, tidak serta-merta menyangkal pengetahuan. Dengan pandangan ini, ia mengakui penggunaan silogisme Aristotelian sebagai alat memahami peristiwa alam. Di sini validitas premis silogisme me-nentukan kepastian pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan yang berasal dari persepsi indra langsung (al-maÍsËsÉt), misal-nya, dianggap memiliki status keniscayaan (ÌarËrÊ). Oleh karena itu, ia tidak menemukan kontradiksi dalam ilmu-ilmu alam, ke-cuali beberapa praanggapan atau presuposisi tertentu.

Akan tetapi, kepastian dalam perspektif tersebut dilihat bukan dalam hal objek yang diketahui dalam dirinya sendiri, melainkan dalam hal hubungannya dengan orang yang mengetahuinya. Hal yang sama berlaku dalam masalah hubungan sebab-akibat yang niscaya, dalam hal ini al-GhazÉlÊ percaya bahwa keniscayaan hanya ada dalam pikiran yang mengamati, bukan dalam hakikat sesuatu yang diamati; atau menurut ungkapannya, dalam “moda hubungan” (fÊ wajh al-iqtirÉn), dan bukan “hubungan itu sendiri” (fÊ nafs al-iqtirÉn). Di sinilah bukti empiris mengenai hubungan itu kurang, sekaligus pula salah satu petunjuk bahwa pengetahuan manusia terbatas.

Dilihat dari struktur konseptual worldview Islam, konsep pengetahuan berkorespondensi dengan konsep realitas. Seba-gaimana membedakan status ontologis Realitas Mutlak dengan realitas makhluk, al-GhazÉlÊ membedakan pula antara pengeta-huan tentang realitas Tuhan dengan pengetahuan tentang realitas eksternal makhluk. Kemuliaan pengetahuan, menurutnya, bergan-

Page 343: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

328

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

tung pada kemuliaan objek yang dikenal. Metode pencapaian dua objek pengetahuan yang berbeda tidak sepenuhnya sama meski-pun keduanya saling terkait. Spekulasi intelektual beserta metode validasi dan argumentasi untuk pengetahuan realitas eksternal makhluk, bisa diterapkan pada dunia yang relatif, indrawi, dan partikular. Oleh karena itu, data langsung yang berfungsi sebagai premis deduksi informasi baru hanya memiliki tingkat kepastian dan keniscayaan tertentu. Ia tidak lebih dari kepastian relatif, ke-benaran yang mungkin, atau dugaan atas kebenaran (Ðann). Ke-pastian yang diusahakan semata-mata oleh nalar manusia (naÐar) tidak menjangkau domain Realitas Eksistensi Mutlak.

Implikasi dari konsep itu adalah validitas pengetahuan ma-nusia tidak boleh dibatasi hanya pada keselarasannya dengan realitas eksternal tetapi juga pada hubungannya dengan realitas secara keseluruhan, yang melibatkan Realitas Mutlak. Sejalan dengan prinsip al-GhazÉlÊ bahwa “lingkup pengetahuan adalah seluas bidang wujud” (wa al-‘ilm Íukmuhu Íukmu al-wujËd), maka penge tahuan manusia mengikuti tingkatan realitas wujud atau eksistensi. Implikasinya, pengetahuan tentang setiap ting-katan realitas eksistensi mestinya memiliki tingkatan kepastian yang berbeda. Namun, tingkatan realitas eksistensi yang berbeda tidak dapat dilihat secara terpisah di mana satu tingkatan dilihat secara terpisah dari yang lain lantaran pengetahuan itu satu, yakni pengetahuan tentang realitas fisik jalin-menjalin dengan pengeta-huan tentang realitas metafisika. Dengan demikian, pengetahuan manusia harus merupakan hasil dari dari persepsi realitas fisik dan juga metafisik. Jenis epistemologi teistik ini tetap relevan un-tuk menghadapi krisis pengetahuan di dunia Islam dewasa ini.

Dalam konteks Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau integrasi konsep ilmu pengetahuan, kausalitas al-GhazÉlÊ ini diharapkan bisa menjadi kaca perbandingan bagaimana mengin-tegrasikan pendekatan teologis dengan filosofis dalam membica-rakan sains. Wacana ini telah direkam dengan baik oleh John F. Haught dalam bukunya Science and Religion: From Conflict to Conversation. Dalam buku ini ia hanya menemukan empat pen-

Page 344: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

329

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

dekatan, yaitu konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. Hanya pendekatan kontak dan konfirmasi yang tampak bisa menerima konsep kausalitas al-GhazÉlÊ ini. Namun, gambaran konsep kau-salitas al-GhazÉlÊ yang mengintegrasikan teologi dan filsafat be-lum terakomodasi sepenuhnya dalam diskursus Haught. Haught sendiri tampak ragu-ragu memperkenalkan pendekatan baru yang mengintegrasikan sains dan agama dalam suatu worldview yang teistik. Dalam pendekatan kontak, misalnya, Haught menggam-barkan adanya kemungkinan interaksi, dialog, dan saling mem-pengaruhi namun—sayangnya—ia mencegah terjadinya pelebur-an. Ini berarti ia tidak mempercayai bahwa agama bisa berbicara tentang sains dari tingkat asumsi dasar hingga ke tingkat tekno-logi sekalipun.

Agak lebih detail dan menukik ada dalam karya Ian G. Barbour yang berjudul When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? Dalam buku ini Barbour berhasil menggambarkan wacana-wacana tentang agama dan sains. Khusus mengenai teo-logi, ia juga berhasil menyimpulkan diskursus masalah kausalitas di kalangan para teolog di dunia Kristen Eropa Abad Pertengahan. Sudah tentu Barbour tidak menyentuh diskursus di kalangan para teolog dan filsuf Muslim, apalagi al-GhazÉlÊ. Walau demikian, ulasan Barbour lebih detail dan menantang dibandingkan ulasan Haught.

Terakhir, kajian para ulama di zaman keemasan Islam yang cerdas tapi tetap bernuansa teologis perlu dikembangkan. Proyek integrasi Islam dan sains atau Islamisasi ilmu pengetahuan kon-temporer yang dicanangkan beberapa universitas Islam akan kehi-langan relevansinya jika tidak dibarengi dengan kajian khazanah klasik dalam tradisi intelektual Islam, khususnya dalam bidang sains alam. Yang menarik dicermati adalah kajian para ulama pada waktu itu ada pada situasi ketika konsep-konsep penting dalam Islam sedang marak-maraknya dikembangkan oleh komunitas ulama (Muslim scientific community), dan pada saat yang sama konsep-konsep dari peradaban asing—seperti Yunani, Romawi, Mesir, Persia, dan India—juga masif ditransformasikan ke dunia

Page 345: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

330

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Islam. Pelajaran yang perlu diambil dari para ulama itu adalah ke-mampuan mereka dalam mengadopsi konsep-konsep asing untuk dimasukkan ke dalam jaringan konsep worldview Islam.

Page 346: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

331

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

‘Abd al-Jabbar al-×amdÉnÊ (QÉÌÊ al-QuÌÉt AbË al-×asan • bin AÍmad bin ‘Abd AllÉh al-Asad AbÉdÊ). (1960-1965). Al-MughnÊ fÊ AbwÉb al-TawhÊd wa al-‘Adl. Diedit oleh ‘Abd Qa-nawati. Kairo: MaÏba‘ah MiÎrÊ.

AbË SujÉ‘. (1986). • Al-Firdaus bi Ma’thËr al-KhiÏÉb, Jilid 2. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

AbË Sway, MusÏafÉ. (1996). • Al-GhazÉlÊ, A Study in Islamic Epistemology. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Abrahamov, Benyamin. (1988). “Al-GhazÉlÊ’s Theory of • Causality”, dalam Stvdia Islamica No. 57, halaman 75-98.

—————————. (1991). “Ibn Sina’s Influence on • al-GhazÉlÊ’s Non-Philosophical Woks.” Abr Nahrain. vol. XXIX, 1-17.

Açikgenç, Alparslan. (1995). “A Concept of Philosophy in • the Qur’anic Context.” The American Journal of Islamic So-cial Science, 11:22: 155-182.

—————————. (1996). “The Framework for a His-• tory of Islamic Philosophy.” Al-Shajarah, vol. I. no. 1 & 2.

Bibliografi

Page 347: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

332

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

—————————. (1996). • Islamic Science: Towards Definition. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Akdo• ğan, Cemil. (2003) “GhazÉlÊ, Descartes, and Hume: “The Genealogy of Some Philosophical Ideas.” Islamic Stu-dies, vol. 2, Autumn, Number: 3.

Ali, Abdullah Yusuf. (1989). • The Meaning of the Holy Qur’an, edisi ke-7. Beltsville, Maryland: Amana Publications.

Al-AjlËnÊ, MuÍammad. (1405 H). • Kasyf al-khafÉ‘. Beirut: Mu’assasah al-RisÉlah.

Al-Ajm, Rafiq. (2000). • MausË‘ah MusÏalaÍÉt al-ImÉm al-GhazÉlÊ. Beirut: Maktabah Lubnan NashirËn.

Al-AlbÉnÊ, NÉÎir al-DÊn. (1985). • Silsilah al-AÍÉdÊth al-SaÍÊÍah. Beirut: Maktabah al-IslÉmÊ.

Al-Ash‘arÊ, AbË al-×asan. (1953). • KitÉb al-Luma‘. Diedit oleh Richard J. McCarthy. Beirut: S.J. Impremerie, Catho-lique.

—————————. (1954). • MaqÉlat al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉf al-MuÎsallÊn. Diedit oleh MuÍammad MuhyÊ al-DÊn ‘Abd al-×amÊd. Kairo: Maktaba al-NahÌah al-MiÎriyyah. Saya juga mengacu dari al-Ash‘arÊ. (1346 H/1928 M). MaqÉ-lÉt al-IslÉmiyyÊn, ed. Helmut Ritter. Tanpa penerbit, 2 jilid.

—————————. (1967). • Al-IbÉnah ‘an UÎËl al-DiyÉ-nah. Terjemahan Inggris oleh W.C. Klein, The Elucidation of Islam’s Foundation. New York: dicetak ulang oleh Kraus Reprint Corporation.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1986). • Commentary on the ×ujjat al-ØiddÊq of NËr al-DÊn al-RénirÊ. Kuala Lumpur: Ministry of Education Malaysia.

—————————. (1995). • Prolegomena to the Meta-physics of Islam, An Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: International In-stitute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Page 348: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

333

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

—————————. (1996). “The Worldview of Islam, • an Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas (ed.) Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Mo-dernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lum-pur August, 1-5, 1994. Kuala Lumpur: ISTAC.

—————————. (1990). • On Quiddity and Essence. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-BaghdÉdÊ, AbË ManÎËr. (1346 H/1928 M). • KitÉb UÎËl al-DÊn, edisi ke-1. Istanbul: Matba‘ah al-Dawlah. Saya juga mengacu dari al-BaghdÉdÊ. (1980). KitÉb UÎËl al- DÊn, edisi ke-3. Beirut: DÉr al-Kutub al-Ôlmiyyah.

Al-BaghdÉdi, al-AllÉmah al-AlËsÊ. (1985). • RËÍ al-Ma‘ÉnÊ, fÊ TafsÊr al-Qur’Én al-‘AÌÊm wa al-Sab‘ al-MathÉni, Jilid 15-16 (dari 29 Jilid). BeirËt: DÉr IhyÉ’ al-TurÉth.

Al-BÉqillÉnÊ, AbË ManÎËr. (1947). • KitÉb TamhÊd al-AwÉ’il wa TalkhÊÎ al-DalÉil. Diedit oleh M.M. KhuÌayrÊ dan A.A. AbË RÊdah. Kairo: DÉr al-Fikr al-‘ArabÊ. Saya juga mengacu dari al-BÉqillÉnÊ. (1407 H/1987 M). KitÉb TamhÊd al-AwÉ’il wa TalkhÊÎ al-DalÉil. Diedit oleh ‘ImÉd al-DÊn AÍmad ×ay-dar. Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-ThaqÉfiyyah.

Al-FÉrÉbÊ. (1971). • FuÎËl Muntaza‘ah. Diedit oleh FawzÊ M NajjÉr. Beirut: Dar El-Mashreq Publisher

—————————. (1964). • FuÎËl al-MadanÊ. Diedit oleh Muhsin Mahdi, Journal of Near Eastern Studies, (Chicago), XXIII: 140-143.

—————————. (1346 H). “Al-SiyÉsah al-Madaniyy-• ah”, dalam RasÉ’il al-FÉrÉbÊ. Heyderabad, Deccan: Majlis DÉ’irat al-Ma’Érif al-UthmÉniyyah.

—————————.• (1948). ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnat al-FÉÌi-lah. Diterjemahkan dan diedit oleh R.Walzers, Al-Farabi on the Perfect State, Oxford: Clarendon Press.

—————————. (1938). • RisÉlah fÊ al-‘Aql. Diedit oleh M. Bouyges. Beirut: Biblioteca Arabica Scholasticorum, se-

Page 349: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

334

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

rie Arabe, t VIII. Terjemahan Inggris oleh A. Hyman. (1973). Pada judul “The Letter Concerning the Intellect”, dalam Phi-losophy in the Middle Ages, The Christian, Islamic and Je-wish Tradition. Diedit oleh A. Hyman dan J.J. Walsh. New York: Harper & Row.

—————————. (1964).• KitÉb al-SiyÉsah al-Mada-niyyah. Diedit oleh F.M. Najjar. Beirut: Dar El-Mashreq Publisher Beirut.

—————————. (1968).• “FuÎËl MabÉdi’ ÓrÉ’ Ahl al-MadÊnat al-FÉÌilah.” Diedit oleh Muhsin Mahdi dalam Al-Farabi’s Book of Religion and Related Text. Beirut: tanpa penerbit.

Al-GhazÉlÊ, al-ImÉm AbË ×Émid. (1972) “Mi‘rÉj al-SÉlikÊn”, • dalam Al-QusËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-ImÉm al-GhazÉlÊ. Dihimpun oleh MuÍammad MuÎÏafa AbË al-‘AlÉ. Kairo: Maktabat al-JundÊ.

—————————.• (1986). IljÉm al-‘AwwÉm ‘an ‘Ilm al-KalÉm. Diedit dan diberi pendahuluan oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ ‘Abd AllÉh. Damascus: DÉr al-×ikmah.

—————————. (1986) • QisÏÉs al-MustaqÊm. Diedit dan diberi pendahuluan oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ ‘Abd AllÉh. Da-mascus: DÉr al-×ikmah.

—————————. (1988). • Ma‘Érij al-Quds fÊ MadÉrij Ma‘rifat al-Nafs. Diedit oleh A. Shams al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

—————————. (1302 H/1903 M). • Al-×ikmah fi Mak-hlËqÉt AllÉh. Kairo: Maktab al-Jundi. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (tanpa tahun). “Al-×ikmah fi MakhlËqÉt AllÉh”, dalam QuÎËr AwÉlÊ min RassÉ’il al-GhazÉli, Jilid 3. Diedit oleh M. MusÏafÉ Abu al-‘AlÉ. Mesir: Maktabah al-Jundi.

—————————. (tanpa tahun). • Al-MustaÎfÉ min ‘Ilm al-UÎËl, 2 jilid. Beirut: DÉr al-Øédir.

—————————. (1322 H). • FÉtihah al-‘UlËm. Diedit oleh M. AmÊn al-Khanji. Mesir: Al-MaÏba‘ah al-×usainiyyah.

Page 350: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

335

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

—————————. (1961). • MaqÉÎid al-FalÉsifah. Diedit oleh Sulayman Dunya. Kairo: DÉr al-Ma‘Érif bi MiÎr.

—————————. (1970). • Al-MankhËl min Ta‘lÊqÉt al-UÎËl. Diedit oleh MuÍammad ×asan Hitu. Damascus: DÉr al-Fikr.

—————————. (1972). • TahÉfut al-FalÉsifah, edisi ke-7. Diedit dan diberi pendahuluan oleh Sulayman Dunya. Kairo: DÉr al-Ma‘Érif. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1993). TahÉfut al-FalÉsifah. Diedit oleh Gerard Gihamy. Beirut: DÉr al-Fikr al-LubnÉnÊ. Juga dari terjemahan berdam-pingan teks Inggris-Arab The Incoherence of the Philosoph-ers oleh Michael E. Marmura (2000). Provo, Utah: Brigham Young University Press. Dan juga dari S.A. Kamali (1963). The Incoherence of the Philosophers. Lahore: Pakistan Phi-losophical Conggress.

—————————. (1983). • JawÉhir al-Qur’Én wa Du-raruhu. Diedit oleh Lajnah IÍyÉ’ al-TurÉth al-‘ArabÊ. Kairo: ManshËrÉt DÉr al-Afaq al-JadÊdah.

—————————. (1983). • KimyÉ’ al-Sa‘Édah. Terjemah Inggris: Alchemy of Happiness, oleh Claude Field, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

—————————. (1986). • Al-MaÌnËn bihÊ ‘AlÉ Ghayr AhlihÊ. Diedit oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ. Beirut: DÉr al-Hikmah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1980). “Al-MaÌnËn bihi ‘AlÉ Ghayri AhlihÊ”, dalam Al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-GhazÉlÊ, Jilid 2. Diedit oleh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ. Kairo: Maktabah al-Jundi

—————————. (1986). • KitÉb QawÉ‘id al-‘AqÉ’id. Diedit oleh RiÌwÉn al-Sayyid. Beirut: DÉr Iqra’. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1974). “QawÉ‘id al-‘AqÉ’id fÊ al-TawhÊd” dalam Al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ min RasÉ’il al-GhazÉlÊ, Jilid 4. Diedit oleh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ. Kairo: Maktabah al-JundÊ. Juga dari terjemah tak lengkap dalam bahasa Inggris oleh Nabih Amin Faris. Al-GhazÉlÊ, The Foundation of the Article of Faith. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Page 351: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

336

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

—————————. (1986). • MishkÉt al-AnwÉr. Diedit oleh ‘Abd al ‘AzÊz ‘Izzu al-DÊn al-Sirwan. Beirut: ‘Ólam al-Kutub. Saya juga mengacu pada Al-GhazÉlÊ. (1980). “Mish-kÉt al-AnwÉr”, dalam al-QuÎËr al-‘AwÉlÊ, Jilid 2. Diedit oleh M. MuÎÏfÉ AbË al-‘AlÉ. Kairo: Maktabah al-JundÊ. Juga dari Al-GhazÉlÊ (1964). MishkÉt al-AnwÉr. Diedit oleh Abu’l-‘AlÉ ‘AfÊfÊ. Kairo: DÉr al-Qawmiyyah. Juga dari terjemahan Ing-gris dengan pendahuluan, anotasi, dan teks berdampingan Inggris-Arab oleh David Buchman. 1998. Provo, Utah: Brig-ham Young University Press. Dan juga dari W.H.T. Gairdner, MishkÉt al-AnwÉr, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

—————————. (1987). Terjemahan Inggris, dengan • pendahuluan, analisis dan ringkasan oleh Shammas Yusuf Easa. “Al-GhazÉlÊ’s the Ascend to the Divine through the Path of Self-Knowledge.” Ph.D. Diss. The Hartford Seminary Foundation. Michigan U.M.I.

—————————. (1988).• “Al-Munqidh al-ÖalÉl”, da-lam MajmË‘ah al-RasÉ’il al-ImÉm al-GhazÉlÊ. Diedit oleh AÍmad Shams al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1980). Al-Munqidh Min al-ÖalÉl. Diedit dan diberi anotasi oleh JamÊl ØalÊban dan KÉmil ‘IyÉd. Beirut: DÉr al-Andalus. Juga dari al-GhazÉlÊ. (1980). Terjemahan Inggris oleh Richard J. McCarthy, Deli-verance From Error. Louisville: SJ. Fons Vitae.

—————————. (1988). • JawÉhir al-Qur’Én. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

—————————. (1989). • MÊzÉn al-‘Amal. Diedit oleh AÍmad Shams al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1342 H). MÊzÉn al-‘Amal. Kairo: Maktabah Kurdistan.

—————————. (1990).• Mi‘yÉr al-‘Ilm fÊ al-ManÏiq. Diedit oleh Ahmad Syams al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1976). Mi‘yÉr al-‘Ilm fÊ al-ManÏiq. Diedit oleh SulaymÉn DunyÉ. Mesir: DÉr al-Ma‘Érif.

Page 352: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

337

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

—————————. (1993). “Al-Kashf wa al-TabyÊn fÊ • GhurËr al-Khalq Ajma‘Ên”, dalam Majm‘at al-RasÉ’il, Jilid 5.

—————————. (1993). “Al-RisÉlah al-Laduniyyah• ”, dalam MajmË‘at al-RasÉil li al-ImÉm al-GhazÉlÊ, Jilid 3. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1938). Terjemahan Inggris oleh Margaret Smith. The Journal of the Royal Asiatic Society. Great Britain and Ireland, Part II: 177-200, Part III: 353-74.

—————————. (1993). • AsÉs al-QiyÉs. Diedit dengan komentar oleh Fahd ibn Muhammad al-SarÍÉn. RiyÉÌ: Mak-tabah al-‘AbikÉn.

—————————. (1994). “FayÎal al-Tafriqah”, da-• lam MajmË‘ah al-RasÉ’il li al-ImÉm al-GhazÉlÊ, Jilid 3. Diedit oleh AÍmad Shams al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

—————————. (1994). • MukÉshafah al-QulËb al-Muqarrab ilÉ Ólam al-GhuyËb. Diedit dan diberi anotasi oleh ‘Abd Allah al-KhÉlidÊ. Beirut: DÉr al-Qalam.

—————————. (1997). • Al-MustaÎfÉ min ‘Ilm al-UÎËl, 2 jilid. Diedit oleh M. SulaymÉn al-Ashqar. Beirut: Mu’assasah al-RisÉlah.

—————————. (2003). “MiÍakk al-NaÐar• ”, dalam bagian akhir Ibn ×azm al-AndalusÊ. Al-TaqrÊb li ×add al-ManÏiq. Diedit oleh AÍmad FarÊd al-MazÊdÊ. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

—————————. (tanpa tahun). • Al-Arba‘Ên fÊ UÎËl al-DÊn. Diedit oleh al-Shaykh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ. Mesir: Maktaba al-JundÊ.

—————————. (tanpa tahun). “Al-ImlÉ’ ‘an IshkÉ-• lÉt al-IÍyÉ’”, dalam IÍyÉ ‘UlËm al-DÊn, Jilid 5. Diedit oleh al-shaykh ‘Abd al-‘AzÊz SirwÉn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Page 353: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

338

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

—————————. (tanpa tahun). “Al-RisÉlah al-Qudsi-• yyah”, dalam al-QawÉ‘id al-‘AqÉ’id. Diedit RiÌwÉn al-Say-yid. Kairo: Maktabah al-Jundi.

—————————. (tanpa tahun). • Al-IqtiÎÉd fÊ al-I‘tiqÉd. Diedit oleh al-Shaykh MuÎÏafÉ AbË al-‘AlÉ. Mesir: Maktaba al-JundÊ.

—————————. (tanpa tahun). • Al-MaÌnËn al-SaghÊr. Diedit dan diberi pendahuluan oleh RiyÉÌ MuÎÏafÉ. Damas-cus: ManshËrÉt DÉr al-×ikmah.

—————————. (tanpa tahun). • Al-MaqÎad al-AsnÉ min AsmÉ’ Allah al-×usnÉ. Diedit oleh MusÏafÉ AbË al-‘AlÉ. Kairo: Maktatabah al-Jundi. Terjemahan Inggris oleh David Burrell dan Nazih Daher. (1992). Al-GhazÉlÊ The Ninety-Nine Beautiful Names of God. Cambridge: Islamic Text Society.

—————————. (tanpa tahun). • IÍyÉ’ ‘UlËm al-DÊn. Diedit oleh al-Shaykh ‘Abd al-‘AzÊz SirwÉn. Beirut: DÉr al-Qalam. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ. (1413 H). IÍyÉ’ ‘UlËm al-DÊn. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Juga dari al-GhazÉlÊ (1356 H). IhyÉ’ ‘UlËm al-DÊn. Kairo: Lajnah al-ThaqÉfah al-IslÉmiyyah.

—————————. (tanpa tahun).• Kitab al-‘Ilm. Terjema-han Inggris oleh N.A. Faris. The Book of Knowledge. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

—————————. (1986). • FayÎal al-Tafriqah bayn al-IslÉm wa al-ZanÉdiqah. Diedit oleh RiyÉÌ MusÏafÉ. Da-mascus: DÉr al-×ikmah. Saya juga mengacu dari al-GhazÉlÊ (1381 H/1961 M). FayÎal al-Tafriqah bayn al-IslÉm wa al-ZanÉdiqah. Diedit oleh SulaimÉn DunyÉ. Tanpa kota: DÉr IÍyÉ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Al-HamdÉnÊ, ‘Ayn al-QuÌÉÍ. (2000).• Zubdat al- ×aqÉ’iq. Terjemahan bahasa Inggris beranotasi dari bahasa Arab oleh Omar Jah. Kuala Lumpur: ISTAC.

Ali, Syed Nawab. (1974). • Some Moral and Religious Teach-ing of al-GhazÉlÊ. Lahore: Sh Muhammad Ashraf.

Page 354: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

339

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Al-JurjÉnÊ, ‘AlÊ ibn Muhammad. (1991).• Al-Ta‘rÊfÉt. Diedit oleh M. ‘Abd al-×akÊm al-QÉÌÊ. Mesir dan Beirut: DÉr al-KitÉb.

Al-JuwaynÊ. (1416 H/1995 M). • KitÉb al-IrshÉd ilÉ QawÉÏi‘ al-Adillah fÊ UÎËl al-I‘tiqÉd. Diedit oleh ZakariyyÉ ‘AmÊrÉt. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Khafanji, Muhammad bin Umar. (1997).• Hashiyat al-Shihab, InÉyat al-Qadi, wa Kifayat al-Radhi ‘alÉ Tafsir al-BaidhÉwi. Diedit oleh Shaykh Abd al-Raziq al-Mahdi. Bei-rut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-KindÊ. (1948.) • KhitÉb al-KindÊ ilÉ al-Mu‘taÎim BillÉh fÊ al-Falsafah al-ÕlÉ. Diedit oleh AÍmad Fu’Éd al-AhwÉnÊ. Kairo: tanpa penerbit.

—————————. (1950-1951). • FÊ al-IbÉna ‘an al-‘Ilah al-FÉ’Élah al-QarÊbah li al-Kawn wa al-FasÉd. (Explanation on the Proximate Efficient Cause of Generation and Cor-ruption). Diedit oleh M.A.H. Abu Rida, 2 jilid. Kairo: tanpa penerbit.

Al-ManÉwÊ. (1356 H)• , FayÌ al-QÉdÊr, Jilid 3. Kairo: Makta-bah TijÉriyah KubrÉ.

Al-MarzuqÊ, AbË Yaarib. (tanpa tahun). • MafhËm al-Saba-biyyah ‘Inda al-GhazÉlÊ, edisi ke-1. Kairo: DÉr BËslÉmah li-ÙibÉ‘ah wa al-Nashr.

Al-NawawÊ. (1960)• . RiyÉÌ al-SÉliÍÊn. Kairo: al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah.

Alon, Ilai. (1981). “Al-GhazÉlÊ on Causality.” • Journal of The American Oriental Society, vol.100, 397-405.

Al-QÉshÉnÊ, KamÉl al-DÊn ‘Abd al-RazzÉq. (1981).• IÎÏilÉÍÉt al-ØËfiyyah. Diedit oleh M. KamÉl IbrÉhÊm Ja‘far. Kairo: Al-Hay’ah al-MiÎriyyah al-‘Ómmah li al-KitÉb.

Al-SÉ‘ÉtÊ, ×asan. (1961). • AbË ×Émid al-GhazÉlÊ, fÊ DhikrÉ al-Mi’awiyyah al-TÉsi‘ah li MêlÉdihi. Kairo: al-Majlis al-A‘lÉ li Ri‘Éyat al-FunËn wa al-ÉdÉb wa al-‘UlËm al-IjtimÉ‘iyyah, 28-31 March.

Page 355: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

340

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

—————————. (1961). “Al-Manhaj al-WaÌ‘Ê ‘inda • al-ImÉm al-GhazÉlÊ”, dalam AbË ×Émid al-GhazÉlÊ, fÊ DhikrÉ al-Mi’awiyyah al-TÉsi‘ah li MÊlÉdihi. Kairo: Al-Majlis al-A‘lÉ li Ri‘Éyat al-FunËn wa al-ÉdÉb wa al-‘UlËm al-IjtimÉ‘iyyah. Halaman 439-448.

Al-SËyËÏÊ, JalÉl al-DÊn ‘Abd al-RahmÉn bin Abi Bakr. (2000). • Al-Dur al-ManthËr fÊ TafsÊr al-Ma’thËr, Jilid 4. Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-ShahrastÉnÊ. (1370 H/1951 M). • Al-Milal wa al-NiÍal. Diedit oleh Badran. Kairo: tanpa penerbit.

—————————. (1934). • NihÉyat al-IqdÉm fÊ ‘Ilm al-KalÉm. Diterjemahkan dan diedit oleh Alfred Guillaume. London: Oxford University Press.

Al-SuyËÏÊ, al-‘Allamah al-Shaykh Jala al-Din ‘Abd al-Rah-• man. (tanpa tahun). Al-Durr al-ManthËr fÊ TafsÊr al-Ma’thËr. Qum: ManshËrat Maktabah AyatullÉh al-‘Uzma al-Mar’ashi al-Najafi.

Al-TaftÉzÉnÊ, Sa‘d al-DÊn. (1335 H).• SharÍ al-‘AqÉ’id. Kairo: DÉr al-Kutub al-‘Arabiyyah al-KubrÉ. Terjemahan Ing-gris dengan pendahuluan dan catatan oleh Elder Earl Edgar. (1950). A Commentary on the Creed of Islam; Sa‘d al-DÊn al-TaftÉzÉnÊ on the Creed of Najm al-DÊn al-NasafÊ. New York: Columbia University Press.

Al-ÙahÉnawÊ, Al-‘AllÉmah Muhammad ‘AlÊ. (tanpa tahun). • KashshÉf IÎÏilÉÍÉt al-FunËn wa al-‘UlËm. Diedit oleh R. ‘Ajam. Beirut: Maktabah Lubnan.

Al-Zayn, Shaykh ÓÏif. (1989). • Al-IslÉm wa IdËlËjiyyah al-InsÉn. Beirut: DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ.

Amin, Ahmad. (1980). • Fajr al-Islam, edisi ke-14. Kairo: Maktabat al-Nahda al-Misriyyah.

Ansari, Abdul Haq. (1982). “The Doctrine of Divine Com-• mand: a Study in the Development of GhazÉlÊ’s View on Reality.” Islamic Studies, No. 3, vol. XXI, Autumn. Halaman 1-47.

Page 356: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

341

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

—————————. 1979. “The Creation of the Heaven • and the Earth in the Bible and the Qur’an”, dalam Khurshid Ahmad dan Zafar Ishaq Ansari (eds.). Islamic Perspective, Studies in Honour of Sayyid Abul A’la al-Mawdudi. Leices-ter-Jeddah: Islamic Foundation. Halaman 77-78.

Ansari, M.T. (ed.). (2001). • Secularism, Islam and Modernity, Selected Essays of Alam Khudmiri. New Delhi/London: Sage Publication.

Aristotle. (1957-1960). • The Physics, 2 jilid. Diterjemahkan oleh P. Wicksteed dan F. Cornford. London: The Loeb Clas-sical Library-W.Heinemann, dan Cambridge: Harvard Uni-versity Press.

—————————. (1961-1962). • The Metaphysic, 2 jilid. Diterjemahkan oleh H. Tredennick. London: W. Heinmann, dan Cambridge: Harvard University Press. Saya juga meng-acu dari Aristotle. (1966). Metaphysic. Diterjemahkan oleh Hippocrates G. Apostle. Bloomington: Indiana University Press.

Barbour, Ian G. (2000). • When Science Meets Religion: Ene-mies, Strangers or Partners?. New York: HarperCollins Pu-blishers.

Bargeron, Carol Lucille.• (1978). “The Concept of Causality in AbË HÉmid MuÍammad al-GhazÉlÊ’s TahÉfut al-FalÉsi-fah.” Ph.D. Thesis submitted to the Graduate School of the University of Wisconsin-Madison.

Bakar, Osman. (1991). • Tawhid and Science; Essay on the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur-Penang: Secretariat for Islamic Philosophy and Science.

Blackburn, Simon. (1996). • Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Bukhari. (tanpa tahun). • SaÍÊh al-BukhÉrÊ, 4 jilid. Kairo: DÉr al- Sha’bÊ.

Chittick, William. (1982). “The Five Divine Presence.” • Mus-lim World 72, 107-28.

Page 357: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

342

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Courtenay, William J. (1973). “The Critique on Natural Cau-• sality in the Mutakallimun and Nominalism.” Harvard Theo-logical Review 66, 77-94.

Craig, William L. (2000). • The KalÉm Cosmological Argu-ment. Broadway: Wipf and Stock Publishers.

Daiber, Hans (2001). “Islamic Philosophy: Innovation and • Mediation between Greek and Medieval European Thought”, Modul Kuliah ISTAC Semester I, August-October. Tidak di-terbitkan.

—————————. 2001. “Rationalism in Islam and the • Rise of Scientific Thought: the Background of al-GhazÉlÊ’s Concept of Causality.” Makalah yang disampaikan dalam In-ternational Conference on al-GhazÉlÊ’s Legacy: Its Contem-porary Relevance. Halaman 24-27.

Davidson, Herbert A. (1979). “Avicenna’s Proof of the Ex-• istence of God as Necessarily Existent Being”, dalam Parviz Morewedge (ed.). Islamic Philosophy and Theology. Albany: State University of New York Press.

—————————. (1992), • Alfarabi, Avicenna and Aver-roes, On intellect, Their Cosmologies; Theories of the Active Intellect and Theories of Human Intellect. Oxford: Oxford University Press.

De Boer, T.J. (1910). “Atomic Theory (Muhammadan)”, • dalam Hasting, James. (ed.) Encyclopedia of Religions and Ethics. Halaman 202.

Descartes, Rene. (1983). • Principles of Philosophy. Diterje-mahkan oleh Valentine Rodger Miller dan Reese P. Miller. Reidel: Dordrecht.

Dhanani, Alnoor. (1994). • The Physical Theory of KalÉm, Atom, Space and Void in Basrian Mu‘tazilite Cosmology. Leiden: E.J. Brill.

Druart, Th. A. (1987). “Al-Farabi’s Emanationism”, dalam John • F. Wippel (ed.). Studies in Medieval Philosophy. Washington DCL: Catholic University of America Press. Halaman 23-43.

Page 358: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

343

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

DunyÉ, Sulayman. (tanpa tahun)• . Al-×aqÊqah fÊ NaÐari al-GhazÉlÊ. Kairo: DÉr al-Ma‘Érif.

FairuzzabadÊ, al-ShÉfi‘Ê. (1988). • TanwÊr al-MiqbÉs min TafsÊr Ibn ‘AbbÉs. Beirut: DÉru al-IshrÉq.

Fakhry, Majid. (1994). “Philosophy, Dogma and the Impact • of Greek Thought in Islam.” Artikel variorum, IX.

—————————. (1958). • Islamic Occasionalism, and Its Critique by Averroes and Aquinas. London: George Allen & Unwin Ltd.

—————————. (1970). • History of Islamic Philoso-phy. New York & London: Columbia University Press.

—————————. (1984), “The Subject-Matter of Me-• taphysics: Aristotle and Ibn Sina (Avicenna)”, dalam Michael E. Marmura (ed.). Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani. Albany: State University of New York Press. Halaman 137-147.

—————————. (1994). “Mu‘tazilite View of Free • Will”, dalam Majid Fakhry (ed.). Philosophy, Dogma and the impact of greek thought in islam. Artikel variorum, XIV.

—————————. (1994). “The Ontological Argument • in the Arabic Tradition: the Case of al-Farabi”, dalam Majid Fakhry (ed.). Philosophy, Dogma and the Impact of Greek Thought in Islam. Artikel variorum, IX, halaman 5-17.

—————————.(1994). “Al-Farabi’s Contribution to • the Development of Aristotelian Logic”, dalam Majid Fakhry (ed.) Philosophy, Dogma and The Impact of Greek Thought in Islam. Great Britain: artikel variorum, III, halaman 1-15.

Fleisch, H. dan L. Gardet• . (1971). Encyclopaedia of Islam.

Frank, Richard M. (1966). • The Metaphysics of Created Being According to AbË al-Hudhayl al-AllÉf. Istanbul, Nederlands: Historisch-Archaeologisch Instituut.

—————————. (1984). “Bodies and atom: the • Ash‘arite analysis”, dalam Michael E. Marmura (ed.). Islamic

Page 359: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

344

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani. Albany: State University of New York Press.

—————————. (1992). “The Science of KalÉm.” • Arabic Sciences and Philosophy, vol. 2, number 1 March.

—————————. (1992). • Creation and the Cosmic Sys-tem: al-GhazÉlÊ and Avicenna. Heidelberg: Abhandlungen der Heidelberger Akademie der Wissenschaften, Philsoph-isch-hisorische Klasse, Jg.

—————————. (1994).• Al-GhazÉlÊ and the AshÑarite School. Durham and London: Duke University Press.

Gairdner, W. (1910). • The Reproach of Islam. London: So-ciety for the Propagation of the Gospel.

Gianotti, Timothy J. (2001). • Al-GhazÉlÊ’s Unspeakable Doc-trine of the Soul. Leided-Boston-Koln: Brill.

Gihamy, Gerard. (1992). • MafÍËm al-Sababiyyah bayn al-Mu-takallimËn wa al-FalÉsifah (Bayn al-GhazÉlÊ wa Ibn Rushd). Beirut: al-Maktabah al-Falsafiyyah, DÉr al-Mashriq.

Goichon, A.M. (1956). “The Philosopher of Being.” • Avicen-na Commemoration Volume. Calcutta: Iran Society.

Goodman, L.E. (1978). “Did GhazÉlÊ• Deny Causality?” Stv-dia Islamica No. 47, halaman 83-120.

—————————. (1992), • Avicenna, London & New York: Routledge.

Griffel, Frank. (2002). “The Introduction of Avicenna Psy-• chology into the Muslim Theological Discourse.” Transcen-dent Philosophy. vol. 3. No. 4.

Groarke, Leo dan Graham Solomon. (1991). “Some Sour-• ces for Hume’s Account of Cause.” Journal of the History of Ideas. No. 52.

Gutas, Dimitri. (1988). • Avicenna and the Aristotelian Tradi-tion. Leiden: E.J. Brill.

Gyekye, K. (1973). “Al-GhazÉlÊ on Causation.” • Second Or-der 2, halaman 31-39.

Page 360: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

345

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Hammond, Robert. (1947). The Philosophy of al-FÉrÉbÊ and • Its Influence on Medieval Thought. New York: The Hobson Book Press.

Harding, Karen. (1993). “Causality Then and Now: al-Gha-• zÉlÊ and Quantum Theory.” The American Journal of Islamic Social Sciences. Halaman 10, 12, 165-177.

Haught, John F. (1995). • Science and Religion: From Conflict to Conversation. New Jersey: �Paulist Press.�

Hume, David. (1988). • An Enquiry Concerning Human Un-derstanding. Diedit oleh Anthony Flew. La Salle, Illinois: Open Court.

Ibn ×azm. (1317 H). • KitÉb al-FiÎal, 5 jilid. Kairo: al-MaÏba‘ah al-Adabiyyah.

Ibn Kathir. (1991). • TafsÊr al-Qur’Én al-AÐÊm. Diedit oleh M. IbrÉhÊm al-BannÉ, et al. Damascus: DÉr al-Khayr.

—————————. (2000). • Al-MiÎbÉh al-MunÊr fÊ TafsÊr Ibn KathÊr. Diringkas oleh sekumpulan ulama di bawah su-pervisi Shaykh Safiur Rahman al-Mubarakfuri. Riyadh, Houston, New York, Lahore.

Ibn ManÐËr. (1988). • LisÉn al-‘Arab al-MuÍÊÏ, Jilid 3. Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr LisÉn al-‘Arab.

Ibn Mattawayh. (1975). • Al-Tadhkira fÊ AÍkÉm al-JawÉhir wa al-A‘rÉÌ. Diedit oleh S. LuÏf dan F.‘Awn. Kairo: tanpa penerbit.

Ibn Qutaybah. (1978). • TafsÊr al-Gharib al-Qur’Én. Diedit oleh al-Sayyid AÍmad Shaqr. Beirut: DÉr al Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Rushd. (1930). • TahÉfut al-TahÉfut. Diedit oleh M. Bouy-ges. Beirut: Bibliotheca Arabica Scholasticorum, Jilid 2. Saya juga mengacu dari Ibn Rushd. (1954). TahÉfut al-TahÉfut. Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, Jilid 1 edisi ke-3. Juga dari Ibn Rushd. (1954). The Incoherence of the Incoherence. Terjemahan Ing-gris oleh Simon Van Den Bergh. E.J.W. Gibb Memorial Se-ries vol. 1. London: Luzac.

Page 361: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

346

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

—————————. (1982). • TalkhÊÎ ManÏiq AristË. Bei-rut: ManshËrÉt al-JÉmi‘ah al-LubnÉniyyah.

Ibn• SÊnÉ. (1958). Al-IshÉrÉt wa al-TanbÊhÉt. Diedit oleh SulaymÉn DunyÉ. Kairo: DÉr al-Ma‘Érif, 4 jilid. Saya juga mengacu dari Ibn SÊnÉ. (1984). Remark and Admonition, Ba-gian 1. Terjemahan Inggris oleh Sham Inati. Toronto: Pontifi-cal Institute of Medieval Studies.

—————————. (1960). • Al-ShifÉ’ al-IlÉhiyÉt, Jilid 2 (dari 2 jilid). Diedit oleh Muhammad YËsuf MËsa, et al. Kai-ro: U.A.R. WazÉrat al-ThaqÉfah wa al-IrshÉd al-QawmÊ.

—————————. (1973). • DÉnish NÉma. Diterjemah-kan dengan ulasan kritis oleh Parviz Morewedge, dalam The Metaphysics of Avicena (Ibn Sina). London: Routledge & Ke-gan Paul. Bab 28, halaman 59-60.

—————————. (1405 H/1985 M). • KitÉb al-NajÉt, fi al- ×ikmah al-ManÏiqiyyah wal al-TabÊ‘iyyah wa al-IlÉ-hiyyah. Diedit oleh Majid Fakhry. Beirut: ManshËrÉt DÉr al-ÓfÉq al-JadiÊdah. Saya juga mengacu dari Ibn SÊnÉ. (1936). Al-NajÉt, edisi ke-2. Diedit oleh MuÍy al-DÊn Øabri al-Kurdi. Kairo: MaÏba‘ah al-Sa‘Édah.

—————————. (1991). • FÊ IthbÉt al-Nubuwwah. Di-edit oleh Michael E. Marmura. Beirut: DÉr al-NahÉr.

Ibn Taymiyyah. (1949). • al-Radd ‘alÉ al-ManÏiqiyÊn. Diedit oleh ‘Abd al-Øamad. Bombay: Sharaf al-DÊn al KutubÊ wa AwlÉduh.

IkhwÉn al-ØafÉ. (1995). • RasÉ’il IkwÉn al-SafÉ wa KhullÉn al-WafÉ’. Diedit oleh ‘Arif Témir. Beirut: ManshËrÉt ‘Uway-dah.

Iqbal, Muhammad. (1986). • The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Ivry, Alfred L. (1974). • Al-Kindi’s Metaphysics. Terjemahan Y’acËb ibn IsÍÉq untuk Risalah al-Kindi Fi al-Falsafah al-ÕlÉ (On First Philosophy). Albany: State University of New York Press.

Page 362: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

347

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Izutsu, Toshihiko. (1964). • God and Man in the Koran: Se-mantics of the Koranic Weltanschauung. Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Janseens, Jules. (2001). “Al-GhazÉlÊ’s TahÉfut: Is it Really • a Rejection of Ibn Sina’s Philosophy?” Journal of Islamic Studies. Oxford Centre for Islamic Studies, vol. 12 No. 1, halaman 1-17.

Khalifa, Muhammad. (1983). • The Sublime Qur’an and Orien-talism. London and New York: Longman.

Lane, E. W. (1984). • An Arabic-English Lexicon. A Litho-graphed eEdition. London: Williams and Norgate (1863). Di-cetak ulang dalam 2 jilid. Cambridge: Islamic Texts Society.

Leaman, Oliver. (1985). • An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Leibniz, Gottfried Wilhem. 1985. • Theodicy. La Salle, Illinois: Open Court.

Lennon, Thomas. (1985). “• Veritas filia temporis: Hume on Time and Causation.” History of Philosophy Quarterly, No. 2, halaman 45-55.

Levy, Reuben. (1962). • The Social Structure of Islam. Cam-bridge: Cambridge University Press.

MacDonald, D.B. (1927). “Continuous Re-creation and Ato-• mic Time in Muslim Scholastic Theology.” ISIS, IX, halaman 326-344.

—————————. “The Development of the Idea of Spi-• rit in Islam.” Acta Orientalia, IX (1931), halaman 307-351.

Madden, Edward H. (1984). “Averroes and the Case of the • Fiery Furnace.” Parviz Morewedge (ed.). Islamic Philosophy and Mysticism. Delmar, New York: Caravan Book. Halaman 133-150.

Maimonides, Moses. (1963). • Guide of the Perplexed. Diterje-mahkan dengan pendahuluan dan catatan oleh Shlomo Pines, disertai esai pembuka oleh Leo Strauss, Jilid I. Chicago: The University of Chicago Press.

Page 363: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

348

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Marhaban, M.A. Rahman. (1975). • Min al-Falsafah al-YËnÉniyyah ilÉ al-Falsafah al-IslÉmiyyah. Beirut: ManshËrÉt ‘Uwaydah.

Marmura, Michael E. (1959). “The Logical Role of the Argu-• ment from Time in the TahÉfut’s Second Proof for the World’s Pre-eternity”. Muslim World, 49, halaman 306.

—————————. (1965). “GhazÉlÊ and Demonstrative • Science.” Journal of the History of Philosophy, vol III, Oc-tober.

—————————. (1984). “Avicenna on Causal Priority”, • dalam Parviz Morewidge (ed.). Islamic Philosophy and Mys-ticism. Delmar, Now York: Caravan Books. Halaman 65-83.

—————————. (1984). “The Metaphysics of Efficient • Causality in Avicenna”, dalam Michael E. Marmura (ed.). Is-lamic Theology and Philosophy. Albany: State University of New York Press. Halaman 172-187.

—————————. (1995). “GhazÉlian Causes and Inter-• mediaries.” Artikel ulasan “Creation and the Cosmic System: Al-GhazÉlÊ and Avicenna” oleh Richard Frank. Journal of American Oriental Society, vol. 115, No.1, January-March: 89-100.

Massignon, Louis. (1994). • HallÉj: Mystic and Martyr. Ter-jemahan oleh H. Mason. Princeton: Princeton University Press.

Matsumoto, Akiro. (1998). “Unity of Ontology and Episte-• mology in QayÎarÊ’s Philosophy”, dalam S. JalÉl al-DÊn al-AstiyÉnÊ, et.al. (ed.). Consciousness and Reality, Studies in Memory of Toshihiko Izutsu. Tokyo: Iwanami Shoten Pub-lisher. Halaman 367-395.

Meyer, Tobias. (1999). Artikel ulasan atas karya Richard • Frank “al-GhazÉlÊ and the Ash’arite School” (Durham and London, 1994). Journal of Qur’anic Studies, vol.1, issue 1, halaman 170-82.

Page 364: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

349

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Mohamed, Yasien. (1996). • Fitrah, The Islamic Concept of Human Nature. London: Ta-Ha Publisher Ltd.

Moosa, Ebrahim. (2005). • GhazÉlÊ & Poetics of Imagination. Chapel Hill and London: The University of North Carolina.

Muslim. (tanpa tahun) • Mukhtasar ØaÍÊh Muslim. Diedit oleh Muhammad NÉÎir al-Din al-BÉnÊ.

Naify, J.F. (1975). “Arabic and European Occasionalism: a • Comparison of al-GhazÉlÊ’s Occasionalism and Its Critique by Averroes with Malebranche’s Occasionalism and Its Criti-que in the Cartesian Tradition.” Ph.D. Diss., San Diego: Uni-versity of California.

Najm, Sami M. (1966). “The Place of and Function of Doubt • in the Philosophies of Descartes and al-GhazÉlÊ”, Philosophy of East and West, Quarterly; Journal of Oriental and Compa-rative Thought. Honolulu, Hawai, USA: University of Hawai Press. Vol. XVI, No. 3-4, July-October. Halaman 133-141.

Nakamura, Kojiro. (1994). “ImÉm GhazÉlÊ’s Cosmology • Reconsidered with Special Reference to the Concept of Ja-barËt.” Stvdia Islamica No. 80, halaman 29-46.

Netton, Ian Richard. (1989). • Allah Transcendent. London: Routledge.

Owens, C.S.R. Joseph. (1992). “The Relevance of Avicenni-• an Neoplatonism”, dalam Parviz Morewedge (ed.). Neopla-tonism and Islamic Thought. New York: State University of New York Press. Halaman 41-50.

Pines, Shlomo. (1997). • Studies in Islamic Atomism. Diterje-mahkan oleh Michael Schwarz, diedit oleh Tzvi Langermann. Jerusalem: The Magnes Press, The Hebrew University.

Plato. (1953). “Phaedo”, dalam • The Dialogue of Plato, Jilid 1. Diterjemahkan oleh B. Jowett. Oxford: Clarendon Press.

—————————. (1965). • The Republic. Diterjemahkan oleh Francis MacDonald Cornford. Oxford-New York: Uni-versity Press.

Page 365: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

350

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Qutb, M. Sayyid. (tanpa tahun). • MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslamÊ. Kairo: DÉr al-ShurËq.

—————————. (1962). • KhaÎÉ’iÎ al-TaÎawwur al-Is-lÉmÊ wa MuqÉwamÉtuhË. Kairo: al-BÉbÊ al-HalabÊ.

Rahman, Fazlur. (1994). • Major Themes of the Qur’an. Min-neapolis: Bobliotheca Islamica.

Rescher, Nicholas. (1991). • G.W. Leibniz’s Monadology. Lon-don: Routledge.

Ridgeon, Llyoy. (2002). Persian Metaphysics and Mysticism; • Selected Treatise of ‘AzÊz NasafÊ. United Kingdom: Curzon Press.

Riker, Stephen. (1996). “Al-GhazÉlÊ on Necessary Causality.” • The Monist vol. 79, halaman 315-324.

Ritter, H. (1933). “Studien zur Geschichte der Islamichen • Frmmigkeit, dalam Der Islam”, 67ff; bandingkan dengan ter-jemahan Inggris oleh M. Schwarz, “The Letter of al-×asan al-BaÎrÊ”, Oriens, XX, halaman 15-30.

Rosenthal, Franz. (1970• ). Knowledge the Triumphant. Lei-den: E.J. Brill.

Ross, William David. (1964). • Aristotle, edisi ke-5. London: Methuen & Co.; New York: Barnes & Noble.

Shahatah, Abd Allah. (1980). • Tafsir al-Ayat al-Kawniyyah. Kairo: Dar al-I’tisam.

Shanab, R.E.A. (1974). “GhazÉlÊ and Aquinas on Causation.” • The Monist, vol. 58, halaman 140-150.

Sharif, M.M. (1963). • History of Muslim philosophy, Jilid 1. Wiesbaden: Otto Harrazzowitz.

Shehadi, Fadlou. (1964). GhazÉlÊ’s Unique Unknowable • God; A Philosphical Critical Analysis of Some of the Prob-lem Raised by GhazÉlÊ’s View of God as Utterly Unique and Unknowable. Leiden: I.J. Brill.

Page 366: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

351

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

Sheikh, M. Saeed. (1963). “Al-GhazÉlÊ Metaphysics”, dalam • M.M. Sharif (ed.). History of Muslim Philosophy, Jilid 1. Wiesbaden: Otto Harrazzowitz. Halaman 601-608.

Smart, Ninian. (tanpa tahun). • Worldview, Crosscultural Ex-plorations of Human Belief. New York: Charles Sribner’s sons.

Taylor, R. (1967). “Causation”, dalam Paul Edwards (ed.). • Encyclopedia of Philosophy, Jilid II. New York and London: Macmillan. Halaman 56-66.

Wall, Thomas F. (2001). • Thinking Critically about Philosophi-cal Problems. Australia: Wadsworth Thomson Learning.

Watt, William Montgomery. (1948). • Free Will and Predesti-nation in Early Islam. London: Luzac & Company Ltd.

—————————. (1963). • Muslim Intellectual; A Study of al-GhazÉlÊ. Edinburgh: The University Press.

—————————. (1981). • The Faith and Practice of al-GhazÉlÊ. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Wensick, Arent Jan. (1933). “On the Relation between • GhazÉlÊ’s Cosmology and His Mysticism.” Mededeelingen de Akademie van Wetenschappen. Afdeeling Letterkunde, Ser, A, LXXXV, 183-209.

—————————. (1941). “Al-GhazÉlÊ’s MishkÉt al-• AnwÉr.” Semietische Studien: Uit de Nalatenschap. Leiden: A.W. Sjthoff’s Uitgeversmaatschappij N.V.

—————————. (1966). • The Muslim Creed. New York: Barnes and Noble.

Wolfson, Harry Austryn. (1976). • The Philosophy of KalÉm. Cambridge: Harvard University Press.

Yafeh, Hava Lazarus. (1975).• Studies in al-GhazÉlÊ. Jerus-salem: The Magnes Press, Hebrew University.

Page 367: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

352

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Page 368: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

353

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

‘ayn al-yaqÊn 215, 216, 217‘Élam al-jabarËt (dunia al-jabarËt)

135, 136, 140-144, 161, 269 ‘Élam al-malakËt (dunia al-malakËt)

135-144, 146, 162, 185, 238 ‘illah 9, 28-29, 86, 223, 228, 230,

234-237, 249‘ilm al-yaqÊn 172, 215, 217, 311abstraksi imajinasi retentif 206, 220 Akal Pertama 2, 70aksiden 27, 42-55, 57-60, 69, 86, 107,

148-156, 158,159, 205, 206, 211, 225-226, 230, 259, 264, 265, 283; agregat aksiden 148; temporalitas aksiden 51, 155

al-FÉrÉbÊ 2, 28, 29, 61, 67-75, 85, 91, 103, 108-110, 135, 141, 233

al-GhazÉlÊ: akal dan wahyu 166, 226; eksistensi 95-97, 99-103, 110, 115, 116, 119, 120, 125, 128, 129, 132, 136, 140, 144-147, 149-151, 153-155, 158, 167-170, 179-182, 187, 196, 203, 207, 210, 212, 238, 264, 277, 287, 289, 296, 302, 320, 328; in-

tegrasi ilmu 187, 192, 193, 203, 220, 328-329; kausalitas 2-4, 6, 7, 11, 12, 15-28, 49, 107, 126, 134, 147, 167, 171, 188, 223-225, 227, 229, 232, 234, 235, 238, 239, 250, 252, 254-262, 272, 274, 290, 291, 294, 297, 300, 301, 309, 315, 319, 320, 323, 324, 326-329; konsep kos-mologi 26, 103, 125, 126, 129, 134, 135, 160, 169, 170, 225, 238; konsep pengetahuan 6, 7, 20, 26, 89, 96, 105, 112, 115, 120, 121, 124, 129, 131, 132, 163, 171-189, 191-207, 209, 210, 212-221, 249-252, 255, 293-295; konsep tentang Tuhan 104, 231, 232, 237, 325; teori atom al-GhazÉlÊ 149-159, 169, 245, 257, 273, 282

al-JuwaynÊ’ 150, 152, 248al-Kindi 62-67, 69, 85, 90, 91, 103 Aristoteles: Aksioma 23, 261, 283;

Metafisika 43, 66-68; Pembuk-tian 300; teori kausalitas 65, 79, 80, 85, 278

Indeks

Page 369: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

354

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

Aristotelian: Logika ~ 67; prinsip ~ 65, 234, 288; silogisme ~ 327

Ash‘arÊyah 1, 4, 17, 18, 22, 27, 45-48, 51-53, 55, 56, 59, 107, 124, 130, 148-153, 155, 159, 166, 167, 224-227, 234, 252, 272

Atom (lihat: jawÉhir; atom) 44-51, 54-57, 150-159, 245, 257, 283; temporalitas atom 51; doktrin atomisme 147, 323; teori atom 27, 45, 46, 48-51, 53-57, 84, 148-152, 157-159, 169, 225

determinisme holistik 38dialektika 3, 106, 185, 208, 280doktrin metafisika 229 dunia empiris 123dunia fenomenal 1, 8, 16, 81, 82, 98,

99, 103, 240, 259, 278, 291 dunia kenabian 138, 144dunia material 56, 71, 72, 74, 136,

315dunia metafisika 230, 238dunia spiritual 137, 241dunia terestrial 70eksistensi aktual 45, 69 eksistensi dunia 125eksistensi eksternal 302eksistensi imajinatif 100, 101, 146eksistensi material 180eksistensi mental 100, 207, 302Eksistensi Mutlak 96, 98, 264, 328emanasi (lihat juga: Neo-Platonisme)

2, 9, 10, 44, 66, 67, 69-71, 74, 78, 82, 83, 85, 86, 103, 105, 127, 133-135, 148, 169, 224, 232, 236, 239, 256, 257, 286, 315

esensi manusia 176esensi segala sesuatu 97, 151esensi tindakan Tuhan 21esensi Tuhan (esensi Ilahi) 77, 105,

107, 111, 120-123, 133, 146 Fakhr al-Din al-RÉzi 83, 107

falÉsifah 27, 29, 45, 47, 55, 61, 74, 85, 90, 92, 99, 119, 120, 125, 129, 130, 133, 134, 148, 157, 168, 223, 224, 226-229, 231-235, 239, 246, 247, 251, 255, 280, 285, 299, 321, 323

filsafat Islam 19, 42, 61 filsafat peripatetik 22, 42, 55, 61, 62,

67, 75, 120, 148, 235filsafat Yunani 17, 43, 46, 69, 74-76,

105 framework metafisika 82gnosis kognitif 111hukum alam 21, 45, 158, 252, 283Ibn ‘Arabi 143Ibn ×azm 47, 58, 59 Ibn Rushd 4-7, 9, 16-22, 135, 278-

282, 284-293, 301, 319, 320 Ibn SÊnÉ 2, 3, 9, 22, 28, 29, 44, 61,

75-83, 85, 86, 91, 101, 103, 108-110, 125, 135, 141, 229-231, 233, 242, 273, 285, 301, 305, 308

IkhwÉn al-ØafÉ 91, 141iluminasi mistis 314imajinasi 21, 73, 99, 101, 138, 145,

146, 175, 180, 196, 197, 206, 220, 269

intervensi supra-alamiah 288intervensi Tuhan 8, 258, 288intuisi mistis 200intuisi spiritual 219jaringan konseptual 32, 277, 324jawÉhir (lihat: jawhar; atom) 46-48,

138, 149, 150, 153, 156, 157 jawhar (lihat: atom) 44-50, 84, 106,

148, 149, 151-158, 224, 226, 227, 252, 257

jiwa manusia 73, 147, 160, 179, 188, 196, 197, 204

jiwa rasional 157, 177, 178, 181, 219 Kalam 23-25, 29, 41-43, 46, 48, 49,

55, 60, 61, 84, 104, 107, 110, 113, 149, 185, 216, 224-229,

Page 370: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

355

K A U S A L I TA S : H U K U M A L A M ATA U T U H A N ?

246, 248, 254, 272, 273, 299, 323

kausalitas: kepastian ~ 259, 261; kon-sep ~ 7, 1012, 16-23, 25, 26, 32-34, 36, 57, 61, 62, 75, 82, 84, 89, 133, 229, 278; hukum ~ 56, 58, 84, 171; prinsip ~ 31, 58, 65, 86, 227, 253, 256, 262, 290, 326; kausalitas alam 17, 22, 233, 243, 245, 259, 320, 326; kausali-tas efisien 21; kausalitas empiris 283; kausalitas Ilahi 2-4, 11, 17, 64, 67, 82, 84, 86, 231, 235, 243, 245, 262, 327; kausalitas logis 283; kausalitas ontologis 261; kausalitas sekunder 24, 158, 245, 252, 262, 283

keajaiban supranatural 41kebenaran abadi 311kebenaran agama 213kebenaran Ilahi 193kebenaran intelektual 213, 309kebenaran ontologis 252kebenaran rasional 101, 102, 218kebenaran wahyu 193kehendak Ilahi 56, 248, 250kepastian logika 78komposisi hilomorfis 72kosmogoni al-Quran 43, 44kosmologi 26, 41, 66, 70, 71, 126,

134, 135, 169, 170kualitas ontologis positif 18LauÍ al-MaÍfËÐ 99, 144-147, 179,

180, 196, 219, 238, 277 logika filosofis 185metode iluminasi 320moda eksistensi 53Mu‘tazilah 4, 22, 27, 45, 53, 55, 56,

123, 124, 148, 153, 155, 166, 226, 264, 265, 270, 271, 274

Muhammad Iqbal 217, 218 Mukjizat 16, 35, 187, 189, 220, 233,

244, 250-252, 257-259, 274, 278, 290, 295, 318, 319, 326

mutakallimËn 8, 23, 27, 41-48, 51-56, 59, 74, 85, 174, 228, 229, 234, 246, 260, 261, 272-274, 306, 307, 321

Naquib al-Attas 11, 12, 14, 15, 96, 144, 159, 218

negasi pengetahuan 255, 278, 279 neksus logis 18Neo-Platonisme 2, 8, 42, 55, 66, 70,

109, 135, 144, 148, 224, 233, 234

objek investigasi empiris 320okasionalisme Islam 8omnipotensi 45ontologi ada 231ontologi makhluk 152, 158, 225, 252ontologis wujud 80paradigma metafisika 10paradigma sekuler modern 16paradigmatik pengetahuan 6, 292pembuktian demonstratif 303pembuktian kebenaran 212pembuktian rasional 111pembuktian silogisme 300pengalaman spiritual 214pengamatan empiris 250pengetahuan agama 22, 182, 184,

185, 188, 192-194, 219, 220 pengetahuan diskursif 188, 189, 191,

207 pengetahuan empiris 20, 96, 302pengetahuan Ilahi 21pengetahuan intelektual 192, 194pengetahuan rasional 7, 186, 187,

191, 193, 217, 219-221, 293, 304, 309, 311

pengetahuan realitas lahiriah 201, 204

pengetahuan sejati 146pengetahuan tentang Tuhan 26, 111,

173, 175, 182-184, 197-199, 201-203

Page 371: Kausalitasrepo.unida.gontor.ac.id/206/2/Buku Kausalitas al-Ghazali.pdf · 2020. 6. 14. · Zarkasyi, Hamid Fahmy Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan? Ponorogo; UNIDA Gontor Press, 2018

356

H A M I D F A H M Y Z A R K A S Y I

pengetahuan Tuhan 43, 105, , 112, 123, 124, 183, 201, 248, 287

pengetahuan wahyu 193, 214Penggerak Pertama 63, 67, 81, 87Penggerak Utama 242Penyebab Utama yang esensial 80persepsi kenabian 197persepsi manusia 101, 102, 204, 307perspektif metafisika 11, 169Pikiran Tuhan 69prinsip ontologis 80, 86potensi intelektual 135prinsip metafisika 16, 81, 83, 231,

232, 281prioritas ontologis 3, 83qadar 37, 38, 241-243, 246, 285, 295,

326realitas manusia 160, 162, 269realitas metafisika 328realitas spiritual 107, 143, 147, realitas tertinggi 35, 126, 219sabab 3, 28-33, 86, 228, 234-236 sebab esensial 80, 230sebab Ilahi 10, 21, 33, 51, 62, 63, 85,

87, 223sebab ontologis 230Sebab Pertama 63, 65, 69-71, 73, 74,

76, 78, 85, 86, 129Sebab Tertinggi 273Silogisme 127, 185, 187, 207, 208,

220, 278, 280, 294, 296-303, 305, 312, 315, 319, 327; ~ deduktif 189, 208; ~ demon-stratif 227; ~ kausal 297

sistem metafisika 10, 11, 26skema deterministik alam 292spekulasi intelektual 312, 328tatanan ontologis eksistensi 92temporal 51, 56, 83, 123, 128, 153,

155, 156, 188, 226, 230, 240, 273, 303, 312, 314, 326; ada

temporal 235; entitas-entitas temporal 317; hubungan tem-poral; momen temporal 56, 246; peristiwa temporal 128, 129, 132, 236, 257, 285, 325; prinsip temporalitas 155, 252; tempo-ralitas dunia 51

teori kausalitas ganda 245teori prioritas ontologis 3waÍdat al-shuhËd 119, 182waÍdat al-wujËd 118, 119WÉjib al-WujËd 76-78, 80, 81, 86, 91 worldview Islam vi-vii, 12, 14-16, 26,

28, 32-34, 42, 49, 55, 61, 75, 84, 87, 104, 119, 173, 233, 323-325, 327, 330

Wujud Murni 82Wujud Yang Niscaya 91, 95, 108,

109