kaum perantauan suku batak.docx

Upload: yunita-puspitasari

Post on 19-Oct-2015

58 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRATEGI ADAPTASI KAUM RANTAU SUKU BATAKYunita Dwi Esti Puspitasari[footnoteRef:1] [1: Mahasiswi Pendidikan Sejarah jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang angkatan 2010 - 100731403640]

Merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman (id.wikipedia.org diakses pada tanggal 20 Oktober 2013). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merantau berarti pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dsb. Sama halnya yang diungkapkan oleh Usman Pelly (1994:291) yang mengatakan bahwa merantau merupakan fenomena sosial yang sangat penting untuk dikaji, tidak saja karena menyangkut perpindahan berbagai kelompok etnis seperti Minangkabau, Bugis, Batak, Bawean, Banjar, Ambon/Maluku dan lain-lain, dari daerah asal mereka ke berbagai kota dan pemukiman baru.Efeknya dari fenomena sosial ini menimbulkan semakin berwarnya kemajemukkan masyarakat Indonesia di tempat-tempat tersebut. Setiap fenomena sosial pasti menimbulkan dampak negatif dan dampak positif. Berbagai catatan demografis dan penelitian-penelitian di bidang sosio-antropologis menunjukkan bahwa dampak perantauan kelompok-kelompok etnis tersebut telah menimbulkan berbagai kesenjangan dan pemborosan sumber daya manusia dan sumber daya alam, baik di kampung halaman mereka maupun di daerah rantau yang mereka mukimi.Dalam tulisan ini, sebenarnya saya bukan ingin menyinggung permasalahan yang ditimbulkan dari fenomena merantau, tapi lebih ke nilai-nilai mengapa seseorang merantau dan bagaimana kehidupan saat etnis tersebut melakukan perantauan di negeri orang. Fokus tulisan saya membahas tentang kaum rantau asal suku Batak yang mayoritas beragama kristen.A. Suku BatakBatak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Suku Batak sendiri dikategorikan berasal wilayah, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Ciri khas dari orang Batak[footnoteRef:2] adalah selain memiliki logat yang unik, juga merupakan penganut agama kristen protestan, kristen katolik, dan sebagian menganut islam sunni. [2: Sebutan Orang Jawa untuk memanggil etnis Batak yang merantau di Jawa]

Gb 1. Kabupaten-kabupaten yang berwarna menunjukkan bahwa daerah tersebut mayoritas penduduknya merupakan suku Batak.

R.W Liddle mengatakan bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya, sampai abad ke-19, interaksi sosialdi daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok, kekerabatan, atau antar kampung.Pendapat lain mengatakan bahwa munculnya kesadran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. J. Pardede, dalam disertasinya mengemukakan bahwa istilah Tanah Batak dan rakyat Batak diciptakan oleh pihak asing. Pihak asing ini kemungkinan besar adalah kaum penjajah, entah itu Inggris ataupun Belanda.Sebaliknya Siti Omas Manurung, putra seorang pendeta Batak Toba menyatakan bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai orang Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyebutkan bahwa kelahiran bangsa Batak berasal dari Pucuk Buhit, sebuah nama puncak di barat Danau Toba. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir (http://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 20 Oktober 2013). Adanya keterkaitan antara asal-usul bangsa Batak ini jelas terkait dengan legenda Danau Toba.Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatera. Penelitian tentang marga Batak dilakukan oleh J.H Neumann berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah lokal, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamili pun diperkirakan sebagai bagian yang membentuk masyarakat Karo. Hal ini terbukti dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di panatai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan dari Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus (Tideman, J. Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: Uitgave van het Bataksche Institut no 23. hlm.56).

B. Perantau BatakMengenai Batak sebagai seorang perantau, saya mengambil beberapa tulisan tentang Batak dari internet, salah satunya di wordpress dengan alamat website http://johnferrysihotang.wordpress.com. Pemilik blog ini bernama John Ferry Sitohang, yang bila dilihat dari nama belakangnya bisa dipastikan jika itu adalah salah satu marga dari Batak. Dalam wordpress-nya, John Ferry Sitohang mencoba mengungkapkan bagaimana identitas Batak itu sebagai seorang perantau di negeri orang, lalu falsafah-falsafah yang dibawa Batak perantau di negeri orang dan nilai-nilai moral ketika sang Batak itu merantau dan bermukim di negeri orang, baik permanen maupun sementara.Tulisan ini berjudul Menjadi Batak Rantau Keren yang diposting pada tanggal 14 Juli 2010, diawali dengan cerita ketika penulis bertemu dengan seorang Batak yang merupakan sopir taksi. Dari situ, dia berkenalan dan pada akhirnya, penulis mengetahui bahwa dia seorang Batak dengan marga Lubis. Sebutan penulis kepada si sopir dengan panggilan uda, bisa kita tarik kesimpulan bahwa sang penulis sangat menghormati si sopir yang ternyata juga sama memiliki darah keturunan Batak. Disini, sang penulis mencoba pembaca untuk tidak memiliki rasa memicingkan sebelah mata terhadap etnis Batak. Dia menyakinkan bahwa sang Batak yang merupakan sopir taksi biasa, yang kadang tak sanggup membayar setoran ke perusahaan pemilik taksi, anak sulung dari sebelas bersaudara mencoba untuk menghidupi istrinya bernama Boru Parna dan dua anak balitanya. Penulis menggambarkan bagaimana caranya si Batak bertahan dengan kondisi rumah mengontrak di daerah pinggiran Jakarta, tetap mencoba untuk bekerja dengan jujur.

1) Falsafah dan Migrasi Orang BatakSebuah ungkapan Batak Ndang marimbar tano hamateon yang berarti tidak berbeda tempat untuk mati menjadi semboyan orang Batak yang ingin merantau ke daerah orang. Hal inilah yang juga mendasari tingginya mobilitas bangsa Batak untuk menjadikan para Batak-Batak ini menyebar ke semua tempat dari Sabang sampai Merauke, termasuk Jawa.Beberapa faktor penting yang mendorong orang Batak merantau ada dua. Faktor pertama adalah faktor ekonomi. Faktor ini menjadi faktor utama alasan seorang Batak bermigrasi. Sulitnya mencari pekerjaan di daerah, dan banyaknya lapangan pekerjaan di kota, sumber daya alam yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk, serta terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di daerah asal.Faktor kedua adalah faktor sosial budaya. Faktor ini bisa jadi muncul karena adanya gengsi sosial pada masyarakat Batak di daerah aslinya. Mereka lebih menghormati Batak yang perantau daripada yang tinggal di kampung. Selain itu, layaknya orang Minangkabau yang memiliki misi budaya Memperkaya dan Memperkuat Alam Minangkabau, kaum Batak juga memiliki misi budaya, yaitu untuk memperluas daerah teritorialnya dan mendirikan kerajaan ditempat yang baru (sahala harajaon) (Napitu, 1995). Kedua faktor ini menjadi alasan utama kaum Batak merantau walaupun masih ada faktor-faktor lain, seperti terusir karena melanggar adat, melakukan kriminal, paksaan keluarga, dll.Falsafah yang mengatakan ndang marimbar tano hamateon menciptakan orang Batak yang pemberani, bermental kuat untuk merantau. Walau mereka bertahan dan mapan di perantauan, namun mereka tidak meninggalkan hubungan dengan daerah asal (bona pasogit). Identitas bona pasogit ini selalu melekat pada kaum Batak yang selalu dibawa kemanapun pergi. Banyaknya perkumpulan marga (punguan atau toga) dan daerah asal (punguan sahuta) yang ada di daerah perkotaan jadi bukti nyata. Kuatnya hubungan dengan bona pasogit terlihat ketika arus mudik ke Sumatera Utara ketika menjelang Natal dan tahun baru.2) Kehidupan Perantau Batak di PerkotaanKota-kota besar di Indonesia atau yang biasa disebut metropolitan, seperti Kota Medan, Jakarta dan Surabaya memang menjadi tujuan favorit, namun yang paling terfavorit sebagai tujuan merantau untuk orang Batak adalah ibukota.Orang-orang Batak di perkotaan mulai beradaptasi dengan masyarakat heterogen, sehingga pergaulan dengan suku lain juga bermbas pada pola tingkah laku dan pemikiran mereka. Sehingga, secara sadar mereka akan mengubah kebiasaan dan tingkah laku mereka untuk bertahan hidup. Walaupun begitu, mereka tidak melupakan jiwa bona pasogit dan daerah asal (punguan sahuta) mereka. Mereka tetap menjunjung kedua hal tersebut di daerah rantau dan sistem nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup orang Batak secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dijunjung oleh mereka adalah: hamoraon (kekayaan, kelimpahan, materi), hagabeon (bnayak keturunan) dan hasapangon (kehormatan, kemuliaan). Bagi warga Batak Toba yang mayoritas memeluk agama Kristen biasanya mereka mendirikan gereja HKBP di tempat baru untuk beribadah.

Daftar RujukanAnomim. 2013. Merantau. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Merantau#Suku_Batak, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013).Anomim. 2013. Suku Batak. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak#Identitas_Batak, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013).Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi. Jakarta:LP3ES.Sinaga, Hasiholan. 2013. Menggugat Arti Batak Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online), (http://batak.web.id/2013/06/menggugat-arti-batak-kamus-besar-bahasa-indonesia/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013)Sitohang, John Ferry. 2010. Menjadi Batak Rantau Keren. (Online), (http://johnferrysihotang.wordpress.com/2010/07/14/menjadi-batak-rantau-keren/ , diakses pada tanggal 21 Oktober 2013).

Arsip NasionalTideman, J. Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: Uitgave van het Bataksche Institut no 23. hlm.56.