kata pengantar penelitian tentang “kaji ulang peran koperasi
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Penelitian tentang “Kaji Ulang Peran Koperasi Dalam Menunjang
Ketahanan Pangan” bertujuan untuk mengetahui sejauhmana koperasi berperan
dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras setelah pemerintah
merubah kebijakan-kebijakan pada pupuk dan beras.
Laporan akhir ini memuat hasil-hasil analisis tentang perilaku para
distributor, para pengecer dan petani pengguna pupuk dalam merespon
perubahan kebijakan yang ada. Masalah kelangkaan pupuk dan lonjakan harga
serta tingkat income petani turut diungkapkan dalam laporan ini. Juga pembelian
gabah, produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi serta kinerja usaha
koperasi mendapat penekanan utama. Simulasi beberapa skenario kebijakan
dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan pupuk dan beras yang telah
berjalan berserta rekomendasi kebijakan terbaik yang dapat diaplikasi.
Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pihak-pihak yang turut
mendukung terselanggaranya kajian dan pelaporan ini.
Semoga bermanfaat bagi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Pebruari 2006
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. ii DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2. Dimensi Permasalahan .......................................................... 2 1.3. Tujuan Kajian ......................................................................... 4 1.4. Ruang Lingkup ........................................................................ 5
II. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................ 6
III. METODE KAJIAN ........................................................................... 12 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 12 3.2. Metode Penarikan Contoh ..................................................... 12 3.3. Model dan Metode Analisis Data ......................................... 14 3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model ............................. 14 3.3.2. Identifikasi dan Pendugaan Model ............................. 18 3.3.3. Validasi Model ............................................................ 19 3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal .................. 19 3.4. Defenisi Variabel Operasional .............................................. 20
IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS .................................................................... 23
4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan ................................................................... 23 4.2. Subsidi Pupuk .......................................................................... 24 4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk ................................................... 25 4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras .................................. 27 4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk .................................................. 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 33 5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk, Produksi Gabah dan Beras, dan Usaha Koperasi .................. 34 5.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer, Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Tingkat Petani ....................... 34
5.1.1.1. Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer ........................................... 34 5.1.1.2. Harga Pupuk Tingkat Petani ......................... 40 5.1.1.3. Penggunaan Pupuk oleh Petani ..................... 42
ii
5.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani; Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak; dan Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produsi Beras Koperasi ......... 48
5.1.2.1. Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani ............................... 48
5.1.2.2. Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak ........ 56 5.1.2.3. Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas
Produksi Beras Koperasi ............................... 64 5.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi ................ 71
5.1.3.1. Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi ................................................ 71
5.1.3.2. Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi ................................. 76
5.1.3.3. Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha ............................... 81
5.2. Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras ...................................................................................... 86 5.2.1. Validasi Model .............................................................. 86 5.2.2. Skenario Simulasi ....................................................... 87 5.2.3. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Pupuk .......................... 88 5.2.4. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Beras .......................... 91 5.3. Analisis Dampak Perubahan Kebijakan Alternatif untuk Mendukung Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan .................................................................................. 92 5.3.1. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Pertama .......... 94 5.3.2. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Kedua ............. 97
5.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras Koperasi ............................................................ 99
VI. KESIMPULAN DAN MODEL ALTERNATIF ..................................... 103 6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam
Menunjang Ketahanan Pangan ............................................... 103 6.2. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Distribusi Pupuk dan
Pengadaan Gabah/Beras ........................................................ 106 6.3. Kebijakan-kebijakan Alternatif Pendukung Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ................................................. 107 6.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ........................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 108 LAMPIRAN ................................................................................................ 109
KAJI ULANG PERAN KOPERASI DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN
ABSTRAK
Koperasi sejak lama telah menjadi badan usaha yang strategis dalam meningkatkan
ekonomi anggotanya maupun masyarakat pada umumnya. Di sektor pertanian, koperasi /
KUD di masa lalu telah cukup efektif mendorong peningkatan produksi di subsektor
pangan, yakni berperan menyalurkan prasarana dan sarana produksi (pupuk, bibit, obat-
obatan dan RMU) kepada petani, juga terlibat dalam pemasaran gabah atau beras.
Kini, seiring perubahan pemerintahan dan kondisi ekonomi yang diikuti
dengan perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan, koperasi / KUD praktis tidak
beperan lagi secara maksimal. Perubahan kebijakan seperti Kepmen Perindag Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004, tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD
menyalurkan pupuk kepada petani, melainkan kepada swasta (lebih dominan) dan juga
kepada koperasi/KUD. Juga Inpres Nomor 9 tahun 2002 tidak lagi memberi kewenangan
kepada koperasi/KUD sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah.
Perubahan kebijakan-kebijakan diatas menyebabkan terjadi kelangkaan pupuk
pada petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), terjadi
monopoli penyaluran pupuk oleh swasta yang menyebabkan koperasi/KUD nyaris tidak
berperan lagi dalam penyaluran pupuk. Dalam pengadaan pangan, peran koperasi menurun
drastis akibat fasilitas-fasilitas penunjang seperti gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain
tidak lagi beroperasi maksimal atau menganggur. Semua dampak ini melemahkan
kemampuan ketahanan pangan di dalam negeri.
Dampak-dampak tersebut mendorong dilakukan riset tentang ”Kaji Ulang Peran
Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan” dengan tujuan : (1) menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan
berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras, (2)
menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan
kebijakan pemerintah dimaksud, (3) menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut
terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan, dan (4) merumuskan model alternatif yang dapat
diimplementasikan oleh koperasi guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Riset berlangsung bulan Juli hingga Agustus 2005 dan mengambil sampel 7 (tujuh)
propinsi masing-masing Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
2
Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang menurunkan kemampuan penyediaan pupuk koperasi adalah (1) kuota penyaluran
pupuk koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, (3)
kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor pupuk ilegal ke luar negeri, pengalihan
penjulan pupuk ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu
sehingga menyulitkan koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi
petani, (4) jumlah permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa yang terus
meningkat, (5) harga pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan
kendala pembiayaan bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada petani.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam
pengadaan pangan/beras adalah : (1) jumlah produksi dan penjualan gabah petani yang
menurun akibat penggunaan pupuk di bawah kebutuhan normal, (2) harga jual gabah yang
berfluktuasi, (3) jumlah pembelian gabah koperasi yang menurun akibat permodalan yang
terbatas, (4) produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan
pendukung yang beroperasi di bawah kapasitas normal (menganggur), dan (5) kapasitas
prasarana dan sarana produksi beras koperasi seperti RMU, gudang dan lantai jemur,
peralatan penunjang lainnya yang telah mengalami penurunan fisik karena tidak beroperasi
secara normal atau tidak terpakai.
Melalui analisis simulasi ditemukan bahwa ”kebijakan distribusi pupuk dan
pengadaan beras” yang sedang dijalankan sekarang tidak efektif menciptakan kemampuan
produksi pangan (beras) dalam negeri. Temuan beberapa alternatif kebijakan yang cukup
layak untuk diterapkan adalah :
1. Kebijakan memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk maupun
pada pengadaan pangan/beras. Alternatif kebijakan ini dapat meningkatkan produksi
gabah dan pendapatan petani (hingga 17.05 %) dan produksi beras koperasi (hingga
30.24 %), serta menghilangkan kelangkaan pupuk dan kelebihan harga pupuk di atas
Harga Eceran Tertinggi (HET). Kebijakan ini juga akan lebih menjamin pencapaian
ketahanan pangan (beras) di dalam negeri.
2. Kebijakan peningkatan penggunaan pupuk secara langsung pada petani (25 %),
peningkatan harga gabah 10 %, peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk
pembelian gabah 10 %, peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras
koperasi 25 % serta peningkatan kenaikan aset dan volume usaha koperasi 10 %.
Kebijakan ini akan menunjang pengadaan pangan/beras koperasi dan pengembangan
sistem bank padi yang telah dijalankan koperasi.
3
Model alternatif penyaluran pupuk yang dapat diterapkan koperasi sesuai hasil
kajian ini adalah seperti pada Gambar 1. Sedangkan model alternatif pengadaan
pangan/beras adalah seperti pada Gambar 2 dan 3.
KO
PER
AS
I D
ISTR
IBU
TOR
GUDANG PUPUK KAB. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
GUDANG PUPUK KAB. B
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
GUDANG PUPUK KAB. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
Gambar 1. Model Alternatif Penyaluran Pupuk Koperasi
4
Unit TPK Petani
HET
Produksi Gabah
Satuan Pem-belian Gabah
Koperasi
Unit Pengo-lahan Gabah
• RMU • Gudang &
lantai jemur • Peralatan
penunjang.
Harga Gabah
Produksi Beras Kualitas :
A, B, C, D, dst
Harga Beras
Pasar Umum
Gambar 2. Model Alternatif Pengadaan Pangan/Beras
raskin
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Petani
Pasar Umum
PEMDA
Masyarakat Miskin
Gambar 3. Produksi Beras secara Spesifik pada Level Kabupaten
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki
kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup
strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada
gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian
misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong
peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an,
koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang
diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi
produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal
penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan,
RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras. Meskipun demikian dari sisi
konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan
perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi.
Sementara itu, di dalam negeri telah terjadi berbagai perubahan seiring
dengan berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan kondisi
tersebut membawa konsekuensi serius dalam hal pengadaan bahan pangan.
Secara konseptual liberalisasi ekonomi dengan menyerahkan kendali roda
perekonomian kepada mekanisme pasar ternyata dalam prakteknya belum tentu
secara otomatis berpihak kepada komunitas ekonomi lemah atau kecil. Kondisi
yang relatif identik berlangsung di sektor pangan dan diperkirakan karena belum
tertatanya sistem produksi dan distribusi dalam mengantisipasi perubahan yang
sudah terjadi. Semula peran Bulog sangat dominan dalam pengadaan pangan dan
penyangga harga dasar, tetapi sekarang setelah tiadanya paket skim kredit
pengadaan pangan melalui koperasi dan dihapuskannya skim kredit pupuk
bersubsidi maka pengadaan pangan hampir sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Sebagai dampaknya, peran koperasi dalam pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan semakin tidak berarti lagi. Bahkan sulit dibantah
apabila terdapat pengamat yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi
2
memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas
memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang
menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000)
terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM,
2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam
bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi
model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung
pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa
selama tiga tahun terakhir (tahun 2001–2003), terdapat kesenjangan antara
produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi
dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini
menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. Ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan
lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan
dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen.
Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk
meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional,
khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi,
Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting
dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan nasional.
1.2. Dimensi Permasalahan
Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan
beras memberikan dampak serius bagi ketahanan pangan nasional. Kepmen
Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada
koperasi/ KUD menyalurkan pupuk kepada petani. Dampak kebijakan ini adalah
petani mudah memperoleh pupuk, tepat waktu, dan harga terjangkau (memenuhi
Prinsip 6 Tepat). Kini kebijakan tersebut telah berubah menjadi Kepmen Perindag
Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan
baik oleh swasta maupun koperasi/KUD. Dampak perubahan kebijakan ini adalah
3
terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi
di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk
oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD dalam penyaluran
pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit
dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam
tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi
dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah
krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa
kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah.
Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri selanjutnya akan dijadikan
alasan untuk membuka impor beras meskipun kita tahu bahwa hal ini mengancam
dan merugikan para petani.
Dalam hal pengadaan gabah/beras dan penyalurannya kepada konsumen,
kini tidak ada lagi skim kredit bagi koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian
dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres
Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi
lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga
dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya
ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus
memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras
yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang
lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas
produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama
pada waktu panen raya.
Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan
bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir
4
mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional.
Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar
dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk
dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani
di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani,
membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani.
Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa
model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung
pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin
persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit
pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang
sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu
bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan
penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.
Berdasarkan masalah di atas perlu dianalisis sejauh mana efektifitas
perubahan kebijakan pemerintah dimaksud (distribusi pupuk dan pengadaan
beras) yakni menyalurkan pupuk kepada petani guna meningkatkan produksi
gabah dan pengadaan gabah/beras untuk pencapaian ketahanan pangan bagi
masyarakat. Juga perlu dikaji pengembangan model bank padi, lumbung pangan,
dan sentra-sentra pengolahan padi guna memperkuat ketahanan pangan
nasional.
1.3. Tujuan Kajian
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan
pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.
2. Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras
sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan
gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan.
4. Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi
guna mendukung ketahanan pangan nasional.
5
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai
perubahan kebijakan yang ada.
2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan
pengadaan gabah/beras oleh koperasi.
3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra
pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.
4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.
5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa
daerah.
6. Kebijakan daerah dan kebijakan nasional untuk ketahanan pangan.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam
rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas,
mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan
ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2002).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996,
diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi
masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan
nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air
menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan
pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,
daerah, dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat
besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan
pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil
langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan
instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam
Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama
telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan
khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai
dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuh-kembangkan
kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang
7
sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air.
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di
sektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi
pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di
masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan
prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran
produk.
Meskipun demikian kini jaman telah berubah, dan telah terjadi perubahan
seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih
mendorong dan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini
telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan
beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah
ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga
terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam
Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi
gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di
dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan pendapatan mereka. Sementara di
sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai
lembaga untuk terlibat dalam pengadaan pangan akan menjamin stabilitas
persediaan Dalam Negeri.
Secara umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapi beberapa
konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk
(Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan
pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke
konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor :
378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak lagi memberikan kewenangan
penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan pupuk, yang berarti peran
koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini menurun.
Perubahan kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek
mengganggu sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan
pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu
produksi gabah petani. Kekurangan ketersediaan pupuk dan penurunan produksi
8
gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena itu kekurangan pupuk
sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya kekurangan beras
mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan
sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan
mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani menurun. Secara
nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan peningkatan permintaan beras
di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam jangka pendek impor beras berguna
mengatasi kekurangan persediaan dalam negeri, tetapi dalam jangka panjang
menguras sumberdaya domestik (menguras devisa) dan melemahkan stabilitas
nasional.
Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi
pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian
kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi
sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan
merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam
tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan
lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain. Hal
ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk dengan
harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan
tersebut telah menghadapi kondisi beroperasi di bawah kapasitas terpasang (idle
capacity). Indikasi idle capacity koperasi juga terlihat pada penurunan jumlah
koperasi yang berfungsi melayani kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu
kebijakan dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku
lain. Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu
kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen)
tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua
pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku
setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan
perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka
dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage
supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta
9
peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang
membawahinya.
Selalu terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui
kebijakan yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendak dicapai.
Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan
pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk
mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang
diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut sebagai biaya pengadaan produksi
pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada resiko yang harus dibayar sebagai
akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian, jika kebijakan
distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi sangat kuat mengancam produksi
petani (karena petani sebagai pelaku utama supply side) maka secara substansial
kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan non-
koperasi (swasta) dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan
yang mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan
permintaan pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan
excess supply pupuk, dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas
HET. Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tangan
petani sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yang
menyalurkan pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk.
Ketimpangan peran koperasi akibat idle capacity yang dialami berpeluang
mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan karena : (1)
koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak
langsung melalui penyaluran pupuk), (2) koperasi melakukan pengadaan dan
pengolahan gabah/beras petani, dan (3) koperasi menyalurkan beras kepada
konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak
petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi
produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi
surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan
kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen.
Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas
gabah/beras, dan menjamin bahwa surplus gabah tersebut aman untuk tersedia
10
dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi
hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi,
lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi
kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan
gabah/beras bagi ketahanan pangan.
Jika model ini disandingkan dengan distribusi beras kepada konsumen,
kemungkinan akan dicapai jalur distribusi yang mantap dan menjamin beras
tersedia dengan kualitas, kuantitas, dan harga terjangkau bagi masyarakat. Ini
adalah model yang kontradiktif dengan model mekanisme pasar. Mekanisme
pasar dalam beberapa hal mungkin unggul tetapi ia sangat dekat dengan prinsip
“profit maximization” dan mengabaikan “fungsi-fungsi sosial”. Beras merupakan
komoditi strategis bagi ketahanan nasional dan juga sebagai komoditi publik
dimana jika dilepaskan ke dalam mekanisme pasar maka akibat yang merugikan
masyarakat luas akan segera muncul. Akibat tersebut antara lain harga tinggi,
suplai menjadi langka, dan akses masyarakat luas untuk menikmatinya akan
terbatas.
Mengkaji dan menganalisis model mana yang terbaik bagi tujuan
ketahanan pangan nasional sangatlah diperlukan. Mengutamakan sumberdaya
dalam negeri adalah prioritas utama, dan bukanlah mencari alternatif untuk
bergantung seluruhnya pada kekuatan impor. Betapapun kuatnya kita mengimpor
untuk ketahanan pangan akan sangat beresiko jika pasar pangan dunia
mengalami goncangan. Pasar pangan dunia layaknya juga seperti pasar pangan
dalam negeri yang sewaktu-waktu mengalami goncangan. Karena itu adalah
bijaksana jika ketahanan itu dibangun berdasarkan kekuatan dalam negeri.
Dengan membangun sebuah model yang menjelaskan fenomena di atas dan
menganalisisnya secara kuantitatif akan terlihat sebesar apa koperasi berperan
dalam pengadaan pangan khususnya gabah/beras.
Gambar 1 di bawah ini disajikan skema kerangka berpikir sebagaimana
penjelasan di atas.
11
!"#$%"&'$(%!"#$%$!!$$$!&!$'(!
)*+,%$!)*%--.%,!).)./!)*+'%,-(-./(01%*#"!
2345678,9494:;,,
)*+,%$!)*%--.%,!).)./!)*+'%,/(01%*#"!2345678,9494:;,
/(-#'<1-,,
)*+'%,-(-./(01%*#"!/(-#'<1-,,
)*+'%,/(01%*#",
0%(!'#1-,0'0'/!"#$%$!!$!&!$$$(!
)*%-*0*1!-(-./(01%*#"! )*%-*0*1!/(01%*#",
)123./4$!-,5,6!)*+,%$!!)*+'%,-(-./(01%*#"!2345678,=7>78;,
,
)123./4$!-,5,6!)*+,%$!!)*+'%,/(01%*#"!2345678,=7>78;,
-,5,6!3,%!5*1,4!!
-(-./(01%*#"!2345678,=7>78,,?7 ,>!"7#;,
,
-,5,6!3,%!5*1,4!!/,(,0,1,%,*,#,"!
2345678,=7>78,?7 ,>!"7#;,478797!:!;78<9=79!/>?> !7=779!"!!• 579#! $7%<&! ?' !'9=! $79=79&!(>9)87!$>9=*?7+79!$7%<&!%??,!
• .9<)! 4< $79! )<9-7 &! 47$8*)79&!/*$>87(<!)>8#7<),!
• 3<97(! /*$>87(<&! )> %7&! $9()79(<!)>8#7<),!
/*+,6,%,%!),%-,%!!"4+2/!5*1,4!%,4$2%,#(!"!
0%(!'/#",!(<1#$"/,,,,$,,,,"<0(%,!
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterkaitan Distribusi Pupuk, Produksi Gabah dan Distribusi Beras untuk Ketahanan Pangan.
/1&")*/*-,0'0'/!
/1&")*/*-,&1%*#!
-,5,6!3,%!5*1,4!!&,',+,(,%!
2345678,=7>78,?7 ,>!"7#;,
,
III. METODE KAJIAN
Berdasarkan bentuk permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penelitian,
kajian ini akan menggunakan metode survei. Metode survei adalah suatu metode
yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat
penelitian dilakukan sehingga dapat diketahui kondisi variabel dalam suatu situasi
tertentu (Babie, 1973). Pengetahuan atas kondisi peubah yang telah ditentukan
tersebut akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan timbal-balik antar peubah,
membandingkannya dengan kondisi lain atau sebelumnya, dan untuk menilai
efektifitas suatu kebijakan atau program, di samping untuk menguji suatu hipotesis
(Ary, 1979).
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 7 propinsi yang merupakan daerah produsen
dan konsumen pangan, masing-masing adalah : Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2005.
3.2. Metode Penarikan Contoh
Penarikan contoh (sample) kajian dilakukan dengan Purposive Sampling
Method. Berdasarkan propinsi yang telah ditetapkan, selanjutnya dipilih beberapa
kabupaten contoh yang dominan menyelenggarakan pengadaan pangan. Dari
kabupaten terpilih, dipilih beberapa KUD dan Non-Koperasi yang dominan
melakukan kegiatan distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras beserta para
petani yang terkait dengannya. Secara umum, pengambilan contoh direncanakan
sesuai data Tabel 1.
Responden penelitian ini adalah pengurus KUD, perusahaan swasta,
anggota KUD, dan petani non-anggota KUD. Data yang dikumpulkan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dari para responden
melalui wawancara langsung dengan menggunakan Daftar Pertanyaan yang telah
disusun secara terstruktur. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari BPS
(pusat dan daerah), Dinas Koperasi tingkat propinsi dan kabupaten, lembaga/
13
instansi penyalur pupuk, dan lembaga-lembaga di daerah yang telah
melaksanakan model-model pengadaan pangan.
Untuk memperoleh hasil analisis yang baik, penelitian ini akan
menggunakan gabungan data (pool data) yakni data cross-section dan data time-
series. Data cross-section mengukur sebuah variabel pada suatu waktu tertentu
untuk fakta-fakta atau identitas yang memang berbeda. Sedangkan data time-
series atau data deret waktu mengukur sebuah variabel tertentu selama beberapa
periode waktu berturut-turut (Intriligator et al, 1996). Penggunaan pool data ini
mutlak diperlukan mengingat aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini
mengandung perbedaan antar pelaku (sesuai lokasi) dan perbedaan antar waktu
terkait ketahanan pangan dan peran koperasi di waktu lalu, kini, dan waktu yang
akan datang.
Tabel 1. Sebaran Sampel dan Responden Penelitian
Sampel Sumut Sumbar Jabar Jatim Jateng Bali NTB
Kop/KUD 6 6 6 6 6 6 6
Anggota* 30 30 30 30 30 30 30
Non Anggota** 30 30 30 30 30 30 30
Swasta*** 6 6 6 6 6 6 6
Dinas Propvinsi
1 1 1 1 1 1 1
Dinas Kabupaten
2 2 2 2 2 2 2
Keterangan : * Anggota adalah para petani anggota koperasi/KUD. ** Non anggota adalah para petani bukan anggota koperasi tetapi masih berada di wilayah tersebut. *** Swasta adalah penyalur pupuk di Lini IV.
14
3.3. Model dan Metode Analisis Data
3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model
Spesifikasi atau perumusan model dalam penelitian ini didasarkan pada
peranan koperasi di dalam ketahanan pangan. Untuk menunjang menciptakan
ketahanan pangan khususnya dalam penyediaan beras yang adalah bahan
pangan pokok, koperasi memiliki sejumlah peran yakni mendorong dan
meningkatkan produksi gabah petani, mengolah dan menyediakan gabah/beras
yang menjamin persediaan Dalam Negeri, dan menyediakan sarana produksi
terutama pupuk guna penyelenggaraan produksi gabah petani.
Fenomena yang terjadi dan kini dihadapi adalah adanya perubahan
kebijakan penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Perubahan ini akan merubah
fungsi dan peran para pelaku yang terlibat di dalamnya. Para pelaku disini adalah
pihak swasta dan koperas/KUD yang mendistribusikan pupuk kepada petani dan
pengadaan gabah/beras untuk menjamin persediaan dalam negeri. Masing-
masing pelaku memiliki fungsi dan peran melayani unit-unit individu tertentu
dimana semua fungsi dan peran mereka bertujuan menciptakan ketahanan
pangan nasional.
Dengan memformulasi struktur kegiatan masing-masing pelaku akan
memberikan penjelasan konprehensif sejauh mana masing-masing pelaku
berperan dengan baik menjalankan fungsi mereka. Setelah melakukan analisis
data akan diketahui sejauh mana koperasi berperan di dalam pengadaan pangan
khususnya gabah/beras yakni : (1) perannya di dalam distribusi pupuk ke tangan
petani yang kemudian meningkatkan produksi gabah, (2) peran di dalam
pengadaan stok beras nasional, (3) peran meningkatkan income dan
pengembangan bisnis petani serta peran sosial lainnya. Hasil analisis secara
menyeluruh digunakan sebagai dasar evaluasi apakah penetapan kebijakan
penyaluran pupuk dan pengadaan beras memberikan hasil maksimal sesuai
tujuan penetapannya. Struktur kegiatan masing-masing pelaku sesuai kebijakan
distribusi pupuk dan beras dimodel dalam sebuah model ekonometrika sistem
persamaan simultan. Pada Gambar 2 ditunjukkan kerangka analisis dari model
yang dibangun dan keluaran yang dihasilkan.
15
Masalah
1. Reposisi peran koperasi dalam ketahanan pangan. 2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan beras
akibat perubahan kebijakan pemerintah terhadap kedua komoditi tersebut.
!" Pengembangan model-model pengadaan dan pengolahan gabah/beras oleh koperasi untuk tujuan ketahanan pangan.#
Model Pendekatan
Model ekonometrika sistem persamaan simultan!!
Spesifikasi/Perumusan Model
1. Penawaran/permintaan pupuk oleh produsen, non-koperasi, koperasi, dan petani.
2. Produksi gabah petani. 3. Pengadaan gabah/beras oleh koperasi. 4. Model koperasi dan jaringan kelembagaan.
Identifikasi : Overidenfied: Metode Pendugaan : 2 SLS
Evaluasi dan Validasi Model
S I M U L A S I
H a s i l
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.
2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Besaran dampak kebijakan yang diambil terhadap pengadaan gabah/ beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
4. Model koperasi ketahanan pangan. #
Gambar 2. Kerangka Analisis Model.
16
Model untuk mempelajari distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras
oleh koperasi dan non koperasi dibagi dalam beberapa kelompok persamaan
antara lain : (1) persamaan-persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV, (2)
persamaan harga dan permintaan pupuk di tingkat petani, (3) persamaan produksi
gabah, jumlah penjualan dan pendapatan petani, (4) persamaan harga dan
pembelian gabah, dan penawaran beras oleh Non-Koperasi dan Koperasi, dan (5)
persamaan koperasi dan jaringan kelembagaan. Penjelasan tentang kelompok-
kelompok persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
1. Persamaan Penawaran Pupuk dari Lini II sampai Lini IV
Persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV seperti terlihat pada
lampiran menjelaskan tentang perilaku penawaran pupuk pada masing-masing lini
tersebut. Persamaan-persamaan ini menjelaskan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi perilaku penawaran pupuk para pelaku pada masing-masing lini,
dan faktor-faktor mana yang sesuai hasil analisis nanti potensial mendorong
peningkatan penawaran pupuk oleh setiap pelaku. Apakah penawaran pupuk
dilakukan sesuai tujuan kebijakan yang diberikan pemerintah ataukah lebih berat
kepada tujuan meraih keuntungan sesuai mekanisme pasar yang ada. Dengan
persamaan-persamaan ini kita juga akan mengetahui perilaku membuat
kecurangan dari para pelaku dalam penyaluran pupuk hingga ke petani, dan
karena itu pada kelompok persamaan kedua akan terlihat dampaknya terhadap
jumlah penggunaan pupuk oleh para petani.
2. Persamaan Harga dan Permintaan Pupuk di Tingkat Petani
Kelompok persamaan ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku harga pupuk di tingkat petani dan jumlah penggunaan pupuk oleh petani.
Petani disini dikelompokkan atas petani non-koperasi dan petani anggota
koperasi. Fluktuasi harga pupuk di tingkat petani dapat disebabkan akibat adanya
excess demand dan excess supply pupuk. Harga pupuk yang meningkat dapat
menyebabkan penggunaan pupuk oleh petani mungkin menurun yang selanjutnya
berdampak pada produksi gabah petani (kelompok persamaan bagian ketiga).
Jumlah pupuk yang digunakan petani secara teori dan empiris dipengaruhi
oleh luas sawah mereka, harga pupuk di tingkat petani, jumlah permintaan kredit,
17
jumlah penawaran pupuk oleh pengecer, dan kemudahan-kemudahan atau
keterikatan yang disediakan oleh lembaga koperasi dan non-koperasi yang ada.
Perilaku para petani dalam penggunaan pupuk disini akan menjelaskan realitas
penyaluran pupuk hingga ke tingkat petani.
3. Persamaan Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani
Jumlah gabah yang dihasilkan para petani, jumlah yang dijual, dan tingkat
pendapatan mereka dapat dijelaskan dalam bagian kelompok persamaan ini. Para
petani merupakan sasaran akhir dari penyaluran pupuk, dan jumlah pupuk yang
digunakan mereka akan mempengaruhi jumlah gabah yang dihasilkan.
Selanjutnya, dalam rangka menghasilkan income yang tinggi petani menjual
gabah mereka kepada lembaga pembeli yang menawarkan harga gabah lebih
tinggi. Selain itu, keputusan petani dalam menentukan tempat penjualan
gabahnya juga dipengaruhi oleh kemudahan dan peluang-peluang yang
disediakan lembaga-lembaga koperasi, non-koperasi, dan Bulog/Dolog di wilayah
setempat. Secara implicit, hal ini menunjukkan peran lembaga-lembaga tersebut
dalam menunjang dan meningkatkan income petani.
4. Persamaan Harga dan Pembelian Gabah, dan Produksi Beras oleh Koperasi
Kelompok persamaan ini menjelaskan harga gabah yang terbentuk di pasar
dimana faktor yang mempengaruhinya secara teoritis dipengaruhi excess yang
terjadi antara penawaran dan permintaan, dan berdasarkan patokan harga gabah
yang ditetapkan pemerintah. Pembelian gabah ditelusuri pada lembaga Koperasi,
dan dianalisis dari sisi produksi dan sisi persaingan pasar. Secara alami analisis
sisi produksi menjelaskan faktor-faktor yang seharusnya berpengaruh terhadap
keputusan pembelian gabah tersebut.
5. Persamaan Koperasi dan Jaringan Kelembagaan
Kelompok persamaan ini secara khusus menjelaskan kondisi internal
koperasi yang menangani distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.
Persamaan disini menjelaskan kinerja koperasi dalam pengadaan gabah/beras,
produktivitas yang diwujudkan, dan hubungan dengan lembaga lain dalam
pengadaan gabah/beras. Secara umum kelompok persamaan ini tidak terlepas
dari model secara keseluruhan.
18
3.3. 2. Identifikasi dan Pendugaan Model
Dalam formulasi model, identifikasi menjadi persoalan penting. Apabila
model tidak teridentifikasi maka parameter-parameternya tidak bisa diestimasi.
Suatu model dikatakan identified jika dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang
menghasilkan estimasi parameter yang unik. Menurut Koutsoyianis (1977)
terdapat dua dalil pengujian identifikasi yaitu order condition dan rank condition
yang diterapkan pada bentuk struktural model.
Dalil order condition menyatakan bahwa suatu persamaan dikatakan
identified bila jumlah seluruh variabel (predetermined dan endogen) yang tidak
terdapat dalam persamaan tersebut tetapi terdapat dalam persamaan lain harus
sama banyaknya dengan jumlah seluruh variabel endogen dalam model dikurangi
satu. Sedangkan rank condition menyatakan bahwa suatu sistem yang terdiri dari
G persamaan, suatu persamaan disebut identified jika dan hanya jika memiliki
satu determinan yang tidak sama dengan nol yang berdimensi (G - 1) dari
koefisien-koefisien variabel yang dimasukkan dalam persamaan tersebut tetapi
terkandung dalam persamaan lain dalam model. Order condition diekspresikan
sebagai berikut :
(K - M ) ≥ (G – 1)
dimana :
G = Jumlah peubah endogen dalam model
K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan eksogen)
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukan
dalam suatu persamaan.
Jika (K – M) = (G – 1) maka suatu persamaan dikatakan exactly identified,
(K – M) > (G – 1) dikatakan overidentified, dan (K – M) < (G – 1) dikatakan
underidentified. Order merupakan necessary condition tetapi not sufficient artinya
walaupun satu persamaan identified menurut oder condition, tetapi bisa saja
menjadi not-identified bila diuji dengan rank condition.
Setelah model diidentifikasi dengan menggunakan order condition,
diperoleh seluruh persamaan adalah “overidentified” sehingga metode pendugaan
yang dapat diterapkan adalah metode 2 SLS. Untuk menguji apakah peubah-
peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap
19
peubah endogen, maka pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F.
Untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual
berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing
persamaan digunakan uji statistik t.
3.3.3. Validasi Model
Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk
mengetahui apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan
kriteria statistik Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent
Error (RMSPE), U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient) dan Koefisien Determinasi
(R2). Penggunaan kriteria statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual
dengan nilai dugaan peubah endogen. Kriteria-kriteria statistik tersebut
dirumuskan sebagai berikut :
( )!=
−=!
"#$%
#&'#&
!"()*+ ; !
=
−=
""#
$%%&
'!"#
$
%#&
%#&'
#&!"()*,+
( )
( ) ( )!=
+!=
!=
−=
!
"#$%
#&!"!
"#$'
#&!"
!
"#$%
#&'#&
!"
-
dimana : s
tY = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
atY = Nilai aktual variabel observasi
n = Jumlah periode observasi.
Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE dan U semakin baik modelnya. Nilai U
berkisar antara 0 dan 1, sedangkan nilai R2 yang baik adalah mendekati satu.
3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal
Setelah melalui proses validasi dan model dinyatakan valid, maka
dilakukan simulasi terhadap variabel-variabel kebijakan seperti perubahan
kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang semula dominan ditangani
koperasi/KUD tetapi kini telah dilepas kepada mekanisme pasar. Juga simulasi
20
terhadap variabel-variabel kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk dan
Harga Pembelian Gabah oleh pemerintah dimana keduanya merupakan variabel
signal pasar dan umum digunakan para pelaku pasar dalam operasionalisasi
keputusan-keputusan mereka.
Simulasi ketiga variabel kebijakan ini akan dilihat dampaknya terhadap
perubahan variabel-variabel keputusan di dalam model. Variabel-variabel utama
yang dilihat adalah keputusan menyalurkan pupuk baik oleh koperasi dan non-
koperasi, jumlah pupuk yang tersedia dan digunakan petani, produksi gabah dan
tingkat income petani, pembelian dan pengadaan gabah/beras oleh masing-
masing lembaga, dan variabel-variabel keputusan lainnya. Perubahan variabel-
variabel dimaksud akan selalu dibandingkan antara koperasi dan non-koperasi
untuk menguji efektifitas kebijakan dimaksud, dan semuanya akan menjelaskan
peranan masing-masing lembaga di dalam ketahanan pangan khususnya
pengadaan beras.
Selain terhadap variabel kebijakan di atas, simulasi juga dilakukan terhadap
faktor-faktor eksternal (variabel-variabel non-kebijakan) untuk mengetahui dampak
yang ditimbulkan bagi variabel-variabel keputusan yang dianalisis. Hasil-hasil
simulasi ini selain menjelaskan peranan lembaga koperasi dan non-koperasi, juga
sekaligus digunakan sebagai dasar membentuk model ketahanan pangan.
3.4. Definisi Variabel Operasional
1. Penawaran pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV adalah jumlah pupuk
yang ditawarkan oleh masing-masing pelakunya ke pasar. Khusus pada Lini
IV, penawaran ini terbagi atas dua yaitu penawaran oleh koperasi dan non-
koperasi. Penawaran pupuk diukur dalam satuan ton.
2. Permintaan pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV dan oleh petani
adalah jumlah pupuk yang diminta oleh masing-masing pelaku. Khusus pada
Lini IV, permintaan pupuk terbagi atas dua bagian yaitu permintaan oleh
koperasi dan non-koperasi. Mengikuti permintaan pupuk di Lini IV,
permintaan pupuk pada tingkat petani juga terbagi atas dua bagian yaitu
permintaan pupuk oleh petani sebagai anggota koperasi dan permintaan
pupuk oleh petani yang bukan anggota koperasi (petani non-koperasi).
Permintaan pupuk diukur dalam satuan ton dan kilogram.
21
3. Produksi gabah terdiri atas gabah petani anggota koperasi dan gabah petani
non-koperasi adalah jumlah gabah yang dihasilkan masing-masing petani
selama satu periode panen, diukur dalam satuan ton atau kilogram.
4. Total produksi gabah petani adalah penjumlahan dari gabah petani anggota
koperasi dan gabah petani non-koperasi, diukur dalam satuan ton atau
kilogram.
5. Jumlah gabah yang dijual oleh petani anggota koperasi dan petani non-
koperasi adalah bagian dari produksi gabah yang dapat mereka jual. Tidak
semua gabah yang dihasilkan petani dijual untuk mendapatkan uang tetapi
sebagian dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Jumlah penjualan gabah
diukur dalam satuan ton atau kilogram.
6. Pendapatan petani anggota koperasi dan petani non-koperasi adalah
pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi yakni dari hasil penjualan
gabah mereka, diukur dalam satuan rupiah.
7. Jumlah gabah yang dibeli koperasi, non-koperasi, Bulog/Dolog, dan
Pemerintah Daerah setempat adalah jumlah gabah yang dibeli masing-
masing lembaga dalam satu musim panen atau satu tahun, diukur dalam
satuan ton.
8. Total pembelian gabah adalah penjumlahan dari pembelian gabah masing-
masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
9. Kontribusi pembelian gabah adalah kontribusi masing-masing lembaga
dalam pembelian gabah per musim panen atau per tahun, diukur dalam
satuan persen.
10. Jumlah gabah masing-masing lembaga adalah total jumlah gabah yang
dimiliki masing-masing lembaga per musim panen atau per tahun, terdiri atas
gabah yang baru dibeli dan stok gabah yang telah ada, diukur dalam satuan
ton.
11. Total penawaran gabah (mewakili propinsi) adalah total jumah gabah yang
ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan
dari jumlah gabah masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
12. Penawaran beras masing-masing lembaga adalah jumlah beras yang
diproduksi dan ditawarkan masing-masing lembaga per musim panen atau
per tahun, diukur dalam satuan ton.
22
13. Total penawaran beras (mewakili propinsi) adalah total jumlah beras yang
ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan
dari jumlah beras masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
14. Total modal koperasi adalah total jumlah modal yang dimiliki koperasi dalam
satu tahun, merupakan penjumlahan dari modal sendiri anggota koperasi dan
modal luar. Modal sendiri anggota koperasi adalah bagian modal koperasi
yang berasal dari modal anggota, sedangkan modal luar koperasi adalah
bagian modal yang diperoleh dari luar koperasi. Ketiganya diukur dalam
satuan rupiah.
15. Aset koperasi adalah total nilai aset koperasi per tahun, diukur dalam satuan
rupiah.
16. Kapasitas produksi beras koperasi adalah kemampuan menghasilkan beras
per musim panen atau per tahun berdasarkan kapasitas sarana dan
prasarana yang dimiliki koperasi, diukur dalam satuan ton atau kwintal.
17. Produksi beras koperasi adalah jumlah beras yang diproduksi per musim
panen atau per tahun, diukur dalam satuan ton atau kwintal.
18. Volume usaha koperasi (volume) adalah total nilai hasil usaha koperasi per
tahun, diukur dalam satuan rupiah.
19. SHU adalah nilai sisa hasil usaha koperasi per tahun, diukur dalam satuan
rupiah.
20. Bagian sisa hasil usaha anggota koperasi adalah bagian SHU yang diterima
masing-masing anggota dihitung secara rata-rata, diukur dalam satuan
rupiah.
21. Produktivitas koperasi adalah angka atau indeks yang mengukur
produktivitas anggota, asset, modal, dan SHU. Formulanya adalah volume
usaha dibagi satuan variabel yang bersangkutan.
IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS
4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan
Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan
pangan nasional. Pupuk sebagai bahan kimia atau organisme berperan dalam
penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak
langsung. Melalui pupuk tanaman pangan menghasilkan produksi pangan. Pupuk
digunakan petani untuk meningkatkan produksi gabah mereka. Kekurangan
penggunaan pupuk mengakibatkan produksi gabah petani menurun. Dengan
demikian kebutuhan akan pupuk adalah hal yang utama bagi petani dalam
peningkatan produksi gabah mereka.
Gabah petani menghasilkan beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok.
Dalam sistem ketahanan pangan nasional, beras memiliki peran penting meskipun
bukan lagi merupakan bahan pangan satu-satunya sumber karbohidrat. Beras
merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sejak
turun temurun. Budidaya tanaman padi penghasil beras telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat tani Indonesia. Karena itu komoditi beras memiliki peran
ganda terutama bagi petani sebagai sumber pangan dan lapangan usaha maupun
bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan sebagai bahan pangan pokok
dalam sistem ketahanan pangan nasional.
Pemerintah memandang ketahanan pangan sebagai hal yang sangat
penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia
Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai ketahanan pangan
tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu,
bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Beras merupakan salah satu bahan pangan
pokok penting di dalam sistem ketahanan pangan sehingga dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah merasa penting untuk mengatur
produksi dan pengadaan beras agar tersedia bagi masyarakat.
24
4.2. Subsidi Pupuk
Beras terkait dengan pupuk dan keduanya menyatu dengan petani.
Ketiganya merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Pupuk
sebagaimana fungsinya dapat memacu peningkatan produksi tanaman pangan.
Karena itu pupuk merupakan komoditi yang memiliki peran strategis dalam
mendukung sektor pertanian dan dalam upaya meningkatkan produksi gabah dan
beras petani. Untuk mewujudkan ketahanan pangan pemerintah merasa perlu
mendorong peningkatan produksi gabah dan beras di sektor pertanian.
Pupuk telah menjadi kebutuhan pokok bagi petani dalam produksi
gabahnya. Tetapi penggunaan pupuk memerlukan biaya dan biaya tersebut
merupakan beban bagi petani dalam proses produksi. Karena itu pada satu sisi
pemerintah bermaksud membantu beban biaya pupuk petani dan mendorong
peningkatan produksi gabah mereka. Sementara pada sisi lain pemerintah
menganggap pupuk memiliki peran sangat penting didalam peningkatan
produktivitas dan produksi komoditas pertanian untuk mewujudkan Program
Ketahanan Pangan Nasional. Dengan demikian pemerintah merasa perlu
mesubsidi pupuk.
Subsidi pupuk sekarang ini diberikan pemerintah melalui subsidi harga gas
kepada industri pupuk. Subsidi harga gas kepada industri pupuk tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani
dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah yaitu Harga Eceran Tertinggi
(HET). Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 106/Kpts/SR.130/2/2004
tentang kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan Nomor
64/Kpts/SR.130/3/2005 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk
bersubsidi untuk sektor pertanian, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang
pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi
(HET) di tingkat pengecer resmi.
Jenis-jenis pupuk yang disubsidi sesuai Kepmen tersebut adalah pupuk
Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi 15 : 15 : 15 dan diberi label “Pupuk
Bersubsidi Pemerintah.” Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah adalah : Pupuk Urea Rp. 1.050,- per kg; Pupuk ZA Rp. 950,- per kg;
Pupuk SP-36 Rp. 1.400,- per kg; dan Pupuk NPK 1.600,- per kg. Jenis pupuk
bersubsidi ini disediakan untuk pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura,
25
Perkebunan dan atau Hijauan Makanan Ternak. Perkebunan yang dimaksudkan
disini adalah usaha milik sendiri atau bukan, dengan luasan tidak melebihi 25
hektar dan tidak membutuhkan izin usaha perkebunan. Pupuk bersubsidi bukan
diperuntukan bagi perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan,
perusahaan hortikultura dan perusahaan peternakan.
Kebutuhan pupuk yang akan disubsidi dihitung berdasarkan usulan
kebutuhan pupuk dari seluruh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan di
Propinsi dengan mempertimbangkan alokasi anggaran subsidi pupuk masing-
masing tahun. Karena itu jumlah pupuk yang disubsidi menurut propinsi dan dirinci
per kabupaten adalah tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Pertanian
tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian
pada masing-masing tahun.
4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi komoditi pertanian
untuk mewujudkan program ketahanan pangan nasional, pemerintah merasa perlu
untuk menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi saat dibutuhkan petani.
Penjaminan pemerintah ini memenuhi prinsip 6 (enam) tepat yaitu tepat jenis,
jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Beberapa kebijakan pemerintah dalam
penyaluran pupuk antara lain Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan
Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada
koperasi/KUD menyalurkan pupuk hingga ke petani. Bagan penyaluran pupuk
sesuai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Selanjutnya pada tahun 2004 pemerintah telah merubah kebijakan
sebelumnya dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004. Kebijakan baru ini memberikan peluang lebih besar kepada
pengusaha non-koperasi yang berprinsip profit oriented untuk menjadi pelaku tata
niaga pupuk. Bagan penyaluran pupuk sesuai kebijakan baru ini dapat dilihat pada
Gambar 4.
26
PT. PUPUK KUJANG
PT. PUPUK KALTIM
PT.PUSRI PT. PETROKIMIA
PT. ISKANDAR MUDA
KUD PENYALUR
KUD PENGECER
PETANI
KOORDINATOR PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI
PT. PUSRI
TANGGUNG JAWAB DARI LINI I S/D LINI III
TANGGUNG JAWAB DARI LINI III S/D LINI IV
TANGGUNG JAWAB DARI LINI IV S/D PETANI
Gambar 3. Struktur Penyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1988
5 produsen dengan wilayah tanggung jawab masing-masing
PRODUSEN PUPUK
DISTRIBUTOR
PENGECER
PETANI
• UREA • ZA • SP-36 • NPK
TANGGUNG JAWAB S/D LINI III
TANGGUNG JAWAB LINI III S/D LINI IV
TANGGUNG JAWAB LINI IV S/D PETANI
Gambar 4. Struktur Penyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004
27
4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras
Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan telah
menetapkan beberapa kebijakan perberasan. Kebijakan pemerintah sesuai Inpres
Nomor 2 Tahun 1997 tentang penetapan harga dasar gabah menugaskan
koperasi dalam pembelian gabah petani. KUD ditugaskan membeli gabah petani
sesuai Harga Dasar Gabah yang ditetapkan pemerintah. Juga KUD dapat menjual
beras kepada BULOG sesuai Harga Pembelian Beras yang ditetapkan
pemerintah. Sedangkan BULOG ditugaskan untuk membeli gabah dan beras dari
KUD dan Non-KUD (swasta) sesuai harga penetapan pemerintah. Selanjutnya
melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.017/2000, pemerintah
menyediakan kredit bagi ketahanan pangan. Koperasi sesuai tugasnya telah
menggunakan kredit tersebut untuk membeli gabah petani. Pada Gambar 5
berikut disajikan rantai tataniaga gabah dan beras yang terjadi di pasar sesuai
kebijakan di atas maupun sesuai kebijakan beras tahun-tahun sebelumnya
dimana koperasi/KUD ditugaskan secara utama dalam pengadaan pangan.
Selanjutnya di dalam Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9
Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan perberasan, tidak terdapat lagi harga
dasar gabah di tingkat petani dan KUD tidak lagi diberikan tugas dalam pembelian
gabah dan penjualan beras. Harga Dasar Pembelian Gabah dan Beras hanya
diberikan di tingkat gudang BULOG dan dilaksanakan oleh BULOG. Secara umum
sesuai kebijakan baru tersebut pengadaan pangan diserahkan kepada mekanisme
pasar.
4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk
Beberapa fakta keberhasilan telah dicapai koperasi saat berlakunya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan Nomor: 378/MPP/KEP/8/1998
dimana koperasi/KUD diberikan kewenangan penuh untuk menyalurkan pupuk
hingga ke petani. Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005 melaporkan bahwa
pada periode dimana kebijakan di atas berlaku, PT. PUSRI telah menunjuk 2.335
unit KUD sebagai penyalur dan pengecer pupuk kepada petani. Dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut, penyaluran pupuk berjalan dengan lancar
sehingga kebutuhan pupuk petani terlayani dengan baik tanpa ada kelangkaan
pupuk ataupun harga pupuk yang tinggi.
28
Setelah diberlakukannya Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 dimana penyaluran pupuk
diserahkan kepada mekanisme pasar, muncul beberapa permasalahan.
Kelangkaan pupuk terjadi terutama di daerah sentra produksi beras pada bulan
Mei, Juni, Nopember dan Desember 2004. Harga pupuk di tingkat petani berada di
atas HET (di Jawa Tengah) yakni antara Rp. 1.450 – Rp. 1.600, per kilogram.
Munculnya keluhan petani dari beberapa daerah bahwa ada beberapa distributor
Tingkat Propinsi Kabupaten Kota Besar
Tingkat Desa Kecamatan
Tingkat Propinsi
IMPOR
Lumbung Desa P E T A N I
Pedagang Kecil
Penebas & Pengijon
Buruh Pe- manen/
Penderep
KUD Penggilingan Penyimpanan
Penggilingan Kecil
Penggilingan Besar
Gudang DOLOG
Pedagang Besar
Satuan Tugas
KUD MODEL
K O N S U M E N
Pengecer
Gambar 5. Rantai Tataniaga Gabah dan Beras oleh Sektor Pemerintah, Koperasi dan Swasta Menurut Mears dan Ellis, 1992.
Keterangan : Gabah Sektor Pemerintah Sektor Swasta Beras Sektor Koperasi
29
yang berkedudukan di luar kabupaten yang menjadi wilayah tanggung jawabnya.
Jumlah koperasi/KUD yang terlibat dalam penyaluran pupuk setelah kebijakan
baru tersebut menurut data sementara PT. PUSRI, PT. PETRO KIMIA GRESIK
dan PT. PUPUK KALTIM hanya tersisia 40 % atau 934 unit koperasi (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2005).
Media Industri dan Perdagangan pada Maret 2006 menyebutkan bahwa
hampir setiap tahun khususnya menjelang musim tanam padi, Indonesia dilanda
isu kelangkaan pupuk di berbagai daerah. Isu kelangkaan pupuk yang hampir
terjadi secara berulang setiap menjelang musim tanam padi disebabkan oleh (1)
turunnya produksi pupuk akibat gangguan pasokan gas bumi dan adanya
gangguan teknis pabrik, (2) terjadinya peningkatan kebutuhan pupuk nasional
terutama di Pulau Jawa, (3) beberapa produsen dan distributor pupuk tidak
melaksanakan Keputusan Menperindag Nomor 70/MPP/Kep/2/2003 secara
penuh, (4) adanya disparitas harga pupuk urea antara pupuk bersubsidi untuk
petani dengan pupuk untuk perkebunan dan industri, dan (5) sejumlah pedagang
pengumpul menjual pupuk urea bersubsidi kepada pihak perusahaan swasta
besar (perkebunan atau industri) atau bahkan menyelundupkannya ke luar negeri.
Pada Propinsi Sumatera Barat, pengurus KUD dan KTNA Kabupaten/Kota
se-Sumatera Barat pada musim tanam 2005/2006 menyebutkan bahwa monopoli
penyaluran pupuk oleh pihak swasta begitu berat dan tertutup. Penyaluran pupuk
bersubsidi bahkan pupuk non-bersubsidi-pun dilakukan oleh para distributor yang
sama dan tidak transparan. Karena itu kondisi tersebut sulit diawasi. Keterlibatan
Pusat KUD Sumatera Barat sebagai salah satu distributor pupuk, hanya ditunjuk
untuk melayani KUD-KUD di tiga Rayonering yang telah ditentukan oleh PT.
PUSRI, yaitu Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Kabupaten Tanah Datar/Padang
Panjang dan Kabupaten Dharmasyara. Sementara kios-kios KUD yang berada di
luar rayonering Pusat KUD Sumatera Barat tidak mendapatkan pelayanan. Kios-
kios KUD yang selama ini dipersiapkan dan terbukti berhasil dalam menunjang
program peningkatan pangan/swasembada, sekarang tidak difungsikan lagi.
Dengan tidak difungsikannya kios-kios KUD ini, petani/kelompok tani sangat sulit
untuk mendapatkan pupuk. Kelangkaan pupuk tersebut mendorong kenaikan
harga cukup tinggi. Harga pupuk urea di tingkat petani sesuai fakta di lapangan
30
mencapai harga Rp. 70.000,-/zak. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) yang
ditetapkan pemerintah hanya Rp. 52.500,-/zak.
Kasus penyaluran pupuk yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan
harga di Pulau Jawa relatif berbeda dengan daerah lain. Di Propinsi Jawa Barat
misalnya, kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk di atas HET juga terjadi.
Kariyasa dan Yusdja (2005) menyebutkan bahwa di Jawa Barat kelangkaan pupuk
dan kenaikan harga pupuk terjadi disebabkan oleh sistem distribusi pupuk yang
tidak efektif. Pengaturan sistem distribusi pupuk memiliki tujuan agar petani dapat
memperoleh pupuk dengan enam azas tepat yaitu tepat tempat, jenis, waktu,
jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah
satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan
realisasi.
Selama tahun 2005, rencana kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk
tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662 ribu ton. Rencana kebutuhan per
bulannya berkisar 5.000 – 8.000 ton. Rencana kebutuhan pupuk tertinggi terjadi
di Kabupaten Indramayu (65 ribu ton) dan terendah di Kabupaten Purwakarta
(13,6 ribu ton). Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk urea
bersubsidi di Propinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74 persen dari rencana
penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah sekitar 103,29 persen dari rencana
penyaluran sampai bulan Juni. Berarti, realisasi penyaluran pupuk secara
keseluruhan di Jawa Barat sudah mencapai 3,29 persen di atas rencana.
Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan
Januari, April, Mei dan Juni, yaitu dengan volume penyaluran berkisar 105,29 –
113,66 persen. Sementara realisasi penyaluran pupuk masih di bawah rencana
hanya terjadi pada bulan Pebruari dan Maret, yaitu dengan penyaluran
berkisar 85,21 – 92,56 persen. Realisasi penyaluran pupuk menurut kabupaten
menunjukkan bahwa pada beberapa kabupaten tertentu sudah terjadi penyaluran
pupuk di atas rencana, sebaliknya pada beberapa kabupaten lainnya masih di
bawah rencana. Sampai dengan bulan Juni, dari 16 kabupaten yang ada,
sebanyak 10 kabupaten (Bogor, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Ciamis) realisasi penyaluran
pupuknya sudah di atas rencana penyaluran. Sementara realisasi penyaluran
31
pupuk di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, dan
Tasikmalaya masih di bawah rencana.
Realisasi penyaluran pupuk baik di atas maupun dibawah rencana akan
menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun
antar daerah. Sebagai contoh, realisasi penyaluran pupuk di atas rencana pada
bulan-bulan tertentu akan menyebabkan kekurangan pasok dan lonjak harga pada
bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk urea bersubsidi jumlahnya sudah
ditentukan sebelumnya. Demikian juga, realisasi penyaluran pupuk pada
beberapa kabupaten sudah di atas rencana menyebabkan terjadi langka pasok
dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Selain masalah pasokan atau jumlah
dan harga, enam azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan
adanya ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat,
jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di lini IV
(pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh pengecer itu sendiri, juga
sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh
distributor pada lini III. Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para
pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh kedekatan
pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing
distributor itu sendiri.
Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor
sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di tingkat petani. Jumlah
permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan
pengalaman jumlah permintaan pada musim-musim tahun sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk
kepada masing-masing distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery
order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang
produsen (PT. Kujang dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke para
pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup membawa
DO dari distributornya, sudah diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke
gudang produsen.
Beberapa kasus yang terjadi tahun 2006 di Sumatera Utara antara lain
harga pupuk mencapai Rp.1.300 per kg di daerah yang jauh dari Medan. Hal ini
32
masih dianggap wajar oleh Kasubdis Perdagangan Dalam Negeri dan Kasubdis
Bina Industri Kimia Agro Sumatera Utara karena ketika pengiriman pupuk ke
daerah yang lokasinya lebih jauh maka ongkos pengiriman pun akan semakin
besar. Alokasi pupuk urea bersubsidi tahun 2006 di Sumut untuk tanaman pangan
189 ribu ton, lebih rendah dari permintaan sebesar 240 ribu ton. Sementara tahun
2005 alokasi pupuk sebesar 170 ribu ton tetapi yang terealisir hanya 159 ribu ton.
Terjadinya kelangkaan pupuk di Sumatera Utara tahun 2006 diakui pejabat
instansi terkait setempat disebabkan karena adanya penyelundupan pupuk ke
Malaysia. Penyelundupan terjadi karena insentif selisih harga pupuk antara
Malaysia dan Sumatera Utara yang cukup lumayan. Kelangkaan pupuk juga
terjadi karena kurang adanya koordinasi antara dinas di kab/kota dengan
pemerintah daerah sehingga informasi tentang ketersediaan pupuk pun menjadi
terhambat. Sering terjadi kelangkaan pupuk namun di kios-kios ada tersedia
pupuk tetapi dengan sistem ijon sehingga harga pupuk jauh lebih mahal.
Media cetak Kompas pada bulan Desember 2005 melaporkan
di Bojonegoro, Jawa Timur, petani harus antri berjam-jam untuk mendapatkan
pupuk. Bahkan, mereka harus menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP). Antrian
petani terlihat di distributor CV Usaha Tani, Desa Sukorejo. Pembelian dibatasi
maksimal pupuk urea dan TSP masing-masing satu karung (isi 50 kg). Harga
pupuk urea Rp 55.000 per zak, sedangkan pupuk SP-36 Rp 72.500 per kg.
Kondisi serupa terjadi di Karawang, Jawa Barat, dan Padang, Sumatera Barat.
Direktor Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan Republik
Indonesia pada bulan Maret 2006 melaporkan bahwa pupuk bersubsidi telah
diselundupkan ke negara tetangga oleh oknum dalam PT. Pupuk Kaltim Tbk demi
semata-mata untuk keuntungan pribadinya. Sebanyak 96 kapal telah mengekspor
pupuk bersubsidi secara ilegal dalam tahun 2004 sampai Juni 2005. Jumlah
pupuk yang telah diselundupkan sebanyak 380.756 matriks ton dan diperkirakan
kerugian negara mencapai Rp.127 miliar.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum bab ini membahas tentang distribusi pupuk dan pengadaan
gabah dan beras berdasarkan analisis masing-masing propinsi sampel penelitian.
Untuk menjawab tujuan pertama yakni faktor-faktor yang mempengaruhi peran
koperasi dalam menunjang ketahanan pangan maka dilakukan analisis perilaku.
Analisis perilaku adalah analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi pupuk dari Lini II atau level propinsi hingga ke petani, kemudian
penggunaan pupuk petani mempengaruhi produksi gabah mereka, dan produksi
gabah tersebut mempengaruhi pendapatan petani. Selanjutnya produksi gabah
petani mempengaruhi jumlah pembelian gabah koperasi dan produksi beras yang
dapat dihasilkan koperasi. Produksi beras koperasi akan mempengaruhi volume
usaha yang dicapainya yang berarti kinerja koperasi akan juga dipengaruhi. Jadi,
faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan-persamaan pada distribusi pupuk
dan kemudian pada penggunaan pupuk petani, pada akhirnya akan
mempengaruhi persamaan-persamaan pada koperasi. Dengan demikian
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan akan dimulai dari analisis terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi pupuk.
Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga dilakukan analisis simulasi.
Simulasi dibagi atas dua kelompok yaitu (1) kelompok simulasi untuk evaluasi
kebijakan dan (2) kelompok simulasi alternatif. Secara spesifik, untuk mengetahui
efektif tidaknya kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang ada
sekarang (tujuan kedua), simulasi (kelompok pertama) dilakukan melalui dua
skenario. Tujuan kedua skenario tersebut adalah untuk melihat dampak yang
ditimbulkan pada nilai-nilai peubah di dalam model. Jika hasil yang ditimbulkan
skenario tersebut adalah baik (positif) maka dikatakan skenario tersebut efektif
meningkatkan nilai peubah endogen model. Sebaliknya jika hasil yang ditimbulkan
adalah buruk (negatif) maka skenario tersebut tidak efektif atau berdampak
menurunkan nilai peubah endogen model.
Simulasi alternatif untuk menjawab tujuan ketiga dimaksudkan untuk
menemukan kebijakan alternatif dalam upaya mengatasi kelangkaan pupuk,
meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani, meningkatkan produksi
beras koperasi untuk menunjang ketahanan pangan serta meningkatkan kinerja
34
koperasi dalam bidang pangan. Hasil skenario alternatif tersebut digunakan
sebagai landasan untuk membentuk model alternatif (tujuan keempat) yang dapat
diimplementasikan oleh koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk, Produksi Gabah dan Beras, dan Usaha Koperasi
5.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer, Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Tingkat Petani
5.1.1.1. Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer
Pengadaan pupuk setiap tahun pada level propinsi ditetapkan dengan
Surat Keputusan Menteri Pertanian. Jumlah pupuk yang ditetapkan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing. Secara alami kebutuhan pupuk
ditentukan oleh permintaan atau kebutuhan semua kabupaten-kabupaten yang
ada, dan diasumsikan dari waktu-waktu kebutuhan tersebut terus meningkat.
Untuk mengetahui kondisi riil pengadaan pupuk masing-masing daerah sampel
penelitian, peubah harga pupuk turut digunakan sebagai alat evaluasi terkait
dengan realisasi pengadaan dan penyaluran pupuk.
Pada masing-masing propinsi sampel (Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah), kegiatan
penyaluran pupuk memiliki pasar terintegrasi antara pasar level atas (level
propinsi) dan pasar level bawah (level petani). Para pengecer yang menyalurkan
pupuk kepada petani, menyediakan jumlah pupuk sesuai kebutuhan petani.
Jumlah kebutuhan pupuk level petani mempengaruhi jumlah yang harus
disediakan level kabupaten dan propinsi.
Pada Lini III atau level kabupaten, jumlah pengadaan pupuk ditentukan
oleh jumlah pengadaan yang dilakukan oleh para pengecer swasta dan pengecer
koperasi, dan harga-harga pupuk level kabupaten dan level pengecer. Harga
pupuk terutama pada level pengecer sering muncul sebagai faktor pendorong kuat
bagi para pengecer untuk meningkatkan pengadaannya guna meraih keuntungan.
Harga pupuk dapat naik melebihi HET jika terjadi kelangkaan pupuk di pasar.
Peluang seperti ini akan dimanfaatkan oleh para pengecer pupuk.
Pada level pengecer (Lini IV), sesuai kebijakan pupuk saat ini dimana
penyaluran pupuk bersubsidi diserahkan kepada pasar, para pengecer swasta
mengambil peran sangat dominan dalam penyaluran pupuk kepada petani.
35
Sementara itu data lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan pengecer koperasi
di setiap propinsi dalam penyaluran pupuk kepada petani hanya sekitar 30 %.
Sesuai kondisi ini, pengadaan pupuk level pengecer diwakilkan oleh pengadaan
pengecer swasta. Secara teoritis jumlah pupuk yang harus disediakan oleh para
pengecer dan dijual kepada petani tergantung pada jumlah permintaan pupuk
petani. Dari sisi produsen, harga merupakan peubah indikator atau sebagai signal
seberapa banyak jumlah yang harus mereka tawarkan ke pasar.
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan pengadaan pupuk level
Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan
level kabupaten (S3KAB) dan level pengecer swasta (S4ECNKO) tetapi tidak
dipengaruhi oleh pengadaan pengecer koperasi. Sebaliknya pengadaan level
propinsi tersebut dipengaruhi negatif oleh harga pupuk level propinsi (P2). Peubah
S3KAB bersifat elastis (1.05) sedangkan peubah lainnya hanya bersifat inelastis.
Pengadaan pupuk level Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat
(Lampiran 3 dan 7) secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan level
kabupaten, level pengecer dan harga pupuk level propinsi (S3KAB, S4ECKOP,
S4ECNKO dan P2). Hasil estimasi pada Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8) juga
sama dengan kedua propinsi di atas tetapi tidak dipengaruhi oleh harga pupuk.
Semua peubah ini pada ketiga propinsi hanya bersifat inelastis yakni pada
Sumatera Barat nilai-nilai elastisitasnya sebesar 0.67, 0.05, 0.28 dan 0.02.
Sedangkan pada Propinsi Nusa Tenggara Barat elastisitas peubah tersebut
sebesar 0.12, 0.67, 0.12 dan 0.09. Pada Jawa Tengah, elastisitas ketiga peubah
adalah 0.73, 0.14 dan 0.10.
Hasil estimasi pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali (Lampiran
4, 5 dan 6), pengadaan level propinsi secara signifikan dipengaruhi positif oleh
pengadaan level kabupaten dan pengecer (S3KAB, S4ECKOP, dan S4ECNKO),
dan dipengaruhi negatif oleh harga pupuk (P2). Keempat peubah ini hanya
bersifat inelastis yakni pada Jawa Barat nilai-nilai elastisitasnya sebesar 0.66,
0.12, 0.31 dan – 0.05. Pada Propinsi Jawa Timur nilai elastisitas sebesar 0.62,
0.05, 0.39, dan – 0.4 dan pada Bali bernilai sebesar 0.44, 0.12, 0.52 dan – 0.13.
Pada Lini III atau level kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, hasil
estimasi (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pengadaan pupuk secara signifikan
36
dipengaruhi positif oleh peubah harga pupuk lini tersebut (P3KAB) dan
dipengaruhi negatif oleh harga pupuk level pengecer (P4KOP). Sesuai nilai
elastisitas, peubah P3KAB bersifat sangat elastis (6.24) berarti ia memiliki respon
sangat kuat terhadap peningkatan pengadaan pupuk level kabupaten di Propinsi
Sumatera Utara.
Pada Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat (Lampiran 3
dan 7), pengadaan pupuk level kabupaten secara signifikan dipengaruhi positif
oleh pengadaan para pengecer dan harga pupuk lini tersebut (S4ECKOP,
S4ECNKO dan P3KAB). Pada Propinsi Sumatera Barat peubah P3KAB bersifat
elastis (1.08) sedangkan peubah S4ECKOP dan S4ECNKO bersifat inleastis (0.10
dan 0.86). Pada Propinsi Nusa Tenggara Barat ketiga peubah di atas semuanya
bersifat inelastis (0.78, 0.17 dan 0.04).
Pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali (Lampiran 4,
5, 8 dan 6), pengadaan pupuk level kabupaten di keempat propinsi secara
signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan pengecer koperasi dan pengecer
swasta (S4ECKOP dan S4ECNKO). Khusus Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali,
pengadaan pupuk level kabupaten juga secara signifikan dipengaruhi negatif oleh
harga pupuk lini tersebut (P3KAB). Nilai elastisitas peubah S4ECKOP dan
S4ECNKO pada Propinsi Jawa Barat adalah 0.11 dan 0.88, pada Jawa Timur
sebesar 0.06 dan 0.99, pada Jawa Tengah sebesar 0.56 dan 0.44. Sedangkan
pada Propinsi Bali peubah S4ECNKO bersifat elastis (1.02) dan peubah
S4ECKOP bersifat inelastis (0.10). Peubah harga (P3KAB) pada Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Bali hanya bersifat inelastis (– 0.05, 0.07 dan – 0.14).
Pada Lini IV atau level pengecer di Propinsi Sumatera Utara (Lampiran 2),
pengadaan pupuk pengecer swasta (S4ECNKO) secara signifikan dipengaruhi
negatif oleh permintaan pupuk petani (DPPETNKO). Sedangkan peubah harga
pupuk tingkat petani tidak signifikan mempengaruhi keputusan pengadaan pupuk
pengecer swasta. Nilai elastisitas peubah DPPETNKO sebesar – 0.15, berarti ia
bersifat inelastis dan tidak memiliki respon kuat terhadap peningkatan pengadaan
pupuk pengecer swasta.
Pengadaan pupuk pengecer swasta di Propinsi Sumatera Barat
(Lampiran 3) secara signifikan dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk para
petani (DPPETNKO), dan dipengaruhi positif oleh jumlah SISA pupuk. Sedangkan
37
peubah harga pupuk tingkat petani tidak signifikan mempengaruhi keputusan
pengadaan pupuk pengecer swasta. Peubah DPPETNKO dan SISA hanya
bersifat inelastis. Pada Propinsi Jawa Barat (Lampiran 4), pengadaan pengecer
swasta secara signifikan dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk para petani
(DPPETNKO), dan dipengaruhi positif oleh peubah harga pupuk tingkat petani
(PPETNKO). Peubah DPPETNKO hanya bersifat inelastis sedangkan PPETNKO
bersifat elastis.
Sedangkan di Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8), pengadaan pengecer
swasta secara signifikan dipengaruhi positif oleh permintaan pupuk petani anggota
dan non-anggota koperasi, dan harga pupuk level pengecer swasta (DPPETKOP,
DPPETNKO dan P4NKO). Di Jawa Timur (Lampiran 5), pengadaan pupuk
tersebut juga dipengaruhi positif oleh permintaan para petani (DPPETKOP dan
DPPETNKO) tetapi tidak dipengaruhi oleh peubah harga pupuk tingkat petani.
Pada kedua propinsi peubah DPPETNKO bersifat elastis (1.56 dan 1.23) dan
peubah lainnya bersifat inelastis.
Pada Propinsi Bali, pengadaan pengecer swasta secara signifikan
dipengaruhi positif oleh permintaan pupuk petani anggota dan non-anggota
koperasi dan peubah SISA (DPPETKOP, DPPETNKO dan SISA), dan tidak
dipengaruhi oleh peubah harga pupuk tingkat petani. Ketiga peubah hanya
bersifat inelastis (0.20, 0.18 dan 0.16). Pada Propinsi Nusa Tenggara Barat,
pengadaan pengecer swasta secara signifikan dipengaruhi positif oleh peubah
SISA dan harga pupuk level petani non-anggota koperasi (SISA, PPETNKO) dan
dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk petani anggota dan non-anggota
koperasi dan harga pupuk tingkat petani anggota koperasi (DPPETKOP,
DPPETNKO dan PPETKOP). Peubah PPETKOP bersifat elastis (–2.88)
sedangkan semua peubah lainnya bersifat inelastis. Pada Propinsi Jawa Tengah,
pengadaan pengecer swasta secara signifikan dipengaruhi positif oleh permintaan
pupuk petani anggota dan non-anggota koperasi dan harga pupuk level pengecer
swasta (DPPETKOP, DPPETNKO dan P4NKO). Peubah DPPETKOP bersifat
elastis (1.56) dan kedua peubah lainnya hanya bersifat inelastis (0.40 dan 0.51).
Dari hasil-hasil estimasi yang ditunjukkan di atas, pada Propinsi Sumatera
Utara pengadaan pupuk dipengaruhi oleh permintaan-permintaan level kabupaten
dan pengecer swasta. Pengecer koperasi belum memiliki pengaruh terhadap
38
pengadaan level propinsi. Selanjutnya pada level kabupaten, pengadaan pupuk
tidak lagi dipengaruhi oleh permintaan level pengecer tetapi lebih kuat dipengaruhi
positif oleh harga pupuk level kabupaten. Faktor harga pupuk ini memiliki respon
sangat kuat untuk mendorong peningkatan pengadaan pupuk lini tersebut. Tetapi
pada level pengecer, pengadaan pengecer swasta tidak dipengaruhi oleh faktor
harga pupuk tingkat petani melainkan dipengaruhi oleh jumlah permintaan pupuk
mereka. Sesuai hasil estimasi, kenaikan permintaan pupuk oleh petani
mengakibatkan penurunan pengadaan pengecer swasta. Ini menunjukkan bahwa
ketika petani membutuhkan pupuk, pupuk tidak ada di pasar. Indikasi yang
nampak adalah adanya kelangkaan pupuk dan faktor harga pupuk menjadi insentif
kelangkaan tersebut.
Pada Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, pengadaan
pupuk level propinsi maupun level kabupaten secara positif dipengaruhi oleh
permintaan level kabupaten dan para pengecer (swasta dan koperasi) serta faktor
harga masing-masing lini. Semakin tinggi permintaan pupuk masing-masing level
dan semakin tinggi harga pupuknya semakin tinggi pula pengadaan level propinsi
dan kabupaten. Akan tetapi pada tingkat pengecer di Sumatera Barat pengadaan
pupuk dipengaruhi negatif oleh permintaan para petani dan dipengaruhi positif
oleh peubah SISA. Peubah SISA merupakan selisih antara jumlah pengadaan
pupuk yang disediakan pada level propinsi dan jumlah pupuk yang ditawarkan
pengecer kepada petani. Semakin besar jumlah SISA ini berarti jumlah pupuk
SISA tersebut menguap dan tidak ditawarkan oleh pengecer ke petani. Ini
menunjukkan bahwa pupuk semakin langka di tingkat petani. Sama seperti
Propinsi Sumatera Utara, hubungan negatif dengan peubah permintaan pupuk
petani menunjukkan kebutuhan pupuk petani kurang terpenuhi. Juga bersama-
sama dengan hubungan positif peubah SISA, kedua peubah tersebut
menunjukkan adanya kelangkaan pupuk di Propinsi Sumatera Barat.
Sedangkan pada Nusa Tenggara Barat, indikasi kelangkaan pupuk pada
level pengecer semakin kuat ditunjukkan baik oleh peubah SISA dan permintaan
pupuk para petani, juga ditunjukkan oleh harga-harga pupuk tingkat petani
anggota dan non-anggota koperasi. Pengadaan pupuk pengecer swasta semakin
tinggi jika harga pupuk pada petani non-anggota koperasi meningkat. Sedangkan
ketika petani anggota koperasi membeli pupuk dengan harga tinggi, pupuk tidak
tersedia di pasar (pengadaan pengecer swasta menurun).
39
Pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali, pengadaan pupuk pada
level propinsi dan kabupaten secara positif dipengaruhi oleh permintaan level
kabupaten dan level pengecer (swasta dan koperasi) dan dipengaruhi negatif oleh
peubah harga masing-masing lini. Hubungan negatif dari peubah harga pupuk
memiliki arti harga berperan sebagai faktor koreksi. Pada level pengecer Propinsi
Jawa Barat, hubungan negatif dengan permintaan pupuk petani dan hubungan
positif dengan harga pupuk petani menunjukkan tanda-tanda kelangkaan pupuk.
Sementara di Bali, kelangkaan pupuk semakin kuat ditunjukkan oleh hubungan
positif peubah SISA.
Sedangkan pada level pengecer Propinsi Jawa Timur kelangkaan pupuk
tidak terlihat dengan jelas karena peubah-peubah harga pupuk dan SISA tidak
memberikan hasil yang signifikan sehingga kedua peubah dikeluarkan dari
persamaan. Meskipun demikian, data lapangan menunjukkan bahwa persediaan
pupuk para pengecer sering terbatas sehingga mendorong kenaikan harga. Pada
persamaan pengecer, terdapat hubungan positif antara pengadaan pengecer
swasta dengan permintaan pupuk petani. Artinya semakin tinggi permintaan
pupuk oleh petani, semakin tinggi pula pengadaan para pengecer. Sebaliknya
pengadaan pengecer swasta tidak dipengaruhi oleh peubah harga pupuk tingkat
petani.
Pada Propinsi Jawa Tengah, pengadaan pupuk level propinsi dan
kabupaten secara positif dipengaruhi oleh permintaan level kabupaten dan para
pengecer swasta dan pengecer koperasi. Sebaliknya harga pupuk tidak
mempengaruhi pengadaan dimaksud. Artinya pengadaan pupuk level propinsi
berlangsung bukan karena tarikan faktor harga. Pada level kabupaten, harga
pupuk bersifat koreksi yakni harga pupuk melebihi HET maka pengadaan akan
dikurangi. Pada level pengecer, semakin tinggi permintaan pupuk para petani dan
semakin tinggi harga, maka pengadaan pengecer swasta semakin tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa para pengecer tertarik dengan faktor harga sehingga
pengadaan mereka akan bertambah besar jika harga pupuk mengalami kenaikan.
Kemungkinan kenaikan harga pupuk disini disebabkan karena kekurangan
persediaan pupuk pada pengecer.
40
5.1.1.2. Harga Pupuk Tingkat Petani
Penelitian ini menggolongkan para petani atas dua kelompok yaitu petani
anggota koperasi dan petani non-anggota koperasi. Umumnya harga pupuk yang
berlaku pada kedua kelompok petani ini relatif sama. Dengan demikian
persamaan harga pupuk dari petani anggota koperasi dapat digunakan untuk
mewakili kedua golongan petani tersebut. Harga pupuk di tingkat petani
seharusnya sebesar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Akan tetapi harga tersebut hanya berlaku jika pemerintah berhasil mengendalikan
pasar yakni mengendalikan jumlah persediaan agar sesuai permintaan konsumen.
Jika tidak, pasar akan terdistorsi yakni terjadi excess demand dan atau sortage
supply maka harga pupuk akan berubah sesuai kondisi pasar yang ada.
Kondisi empiris menunjukkan para petani sering kesulitan mendapatkan
pupuk pada saat musim tanam. Kondisi ini sudah pasti mempengaruhi harga
pupuk yang seharusnya berlaku di tingkat petani yakni sebesar HET. Fakta di
lapangan, petani membeli pupuk dengan harga yang jauh di atas HET. Juga
pupuk sering langka di pasar. Jadi, harga pupuk di tingkat petani koperasi disini
digunakan untuk mengetahui kondisi riil di lapangan.
Harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh jumlah pupuk yang
disediakan baik oleh pengecer koperasi maupun pengecer swasta. Juga harga
pupuk ditentukan oleh kondisi kekurangan persediaan pupuk di tingkat petani
yang dalam hal ini dapat dijelaskan oleh peubah SISA. Peubah SISA adalah
selisih jumlah pupuk antara pengadaan level propinsi dan jumlah yang disediakan
para pengecer. Harga pupuk di tingkat petani juga ditentukan oleh perbedaan
harga yang terjadi antara HET dan harga tebusan pupuk di tingkat pengecer.
Hasil estimasi (Lampiran 2) menunjukkan harga pupuk tingkat petani
di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh selisih harga
antara HET dan harga tebusan di tingkat pengecer, tetapi tidak dipengaruhi oleh
pengadaan pupuk para pengecer dan peubah kelangkaan pupuk (SISA). Semakin
tinggi selisih harga ini semakin tinggi pula harga pupuk level petani. Peubah
selisih harga (SELHETEC) hanya bersifat inelastis (0.27). Pada Propinsi Sumatera
Barat (Lampiran 3) harga pupuk tingkat petani secara signifikan dipengaruhi positif
oleh peubah selisih harga pupuk (SELHETEC) dan dipengaruhi negatif oleh
pengadaan pupuk level kabupaten dan level para pengecer (S3KAB, S4ECKOP
41
dan S4ECNKO). Keempat peubah disini hanya bersifat inelastis (0.09, – 0.60,
– 0.08 dan – 0.53).
Pada Propinsi Jawa Barat (Lampiran 4) harga pupuk tingkat petani secara
signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan pengecer koperasi, dan dipengaruhi
negatif oleh pengadaan pengecer swasta. Sedangkan di Jawa Timur
(Lampiran 5), harga pupuk petani secara signifikan dipengaruhi positif oleh
peubah SELHETEC, dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan pupuk pengecer
swasta. Pengadaan pengecer koperasi tidak mempengaruhi harga pupuk petani.
Semua peubah signifikan pada kedua propinsi hanya bersifat inelastis.
Pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (Lampiran 6 dan 7) harga
pupuk tingkat petani secara signifikan dipengaruhi positif oleh peubah SISA, dan
dipengaruhi negatif oleh pengadaan pengecer koperasi dan pengecer swasta.
Sebaliknya harga pupuk tingkat petani tidak dipengaruhi oleh peubah SELHETEC.
Semua peubah signifikan pada kedua propinsi hanya bersifat inelastis.
Pada Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8) harga pupuk tingkat petani
secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan pengecer swasta dan
peubah SELHETEC, tetapi dipengaruhi negatif oleh pengadaan pengecer
koperasi. Peubah SELHETEC bersifat elastis (1.35) dan semua peubah lainnya
bersifat inelastis.
Sesuai hasil-hasil estimasi yang ditunjukkan di atas, harga pupuk di tingkat
petani di Propinsi Sumatera Utara dipengaruhi positif oleh selisih antara HET dan
harga tebusan pupuk level pengecer. Ini menunjukkan bahwa harga pupuk
semakin bergerak naik dari level propinsi hingga level pengecer. Pergerakan
kenaikan harga inilah yang mendorong kenaikan harga pupuk pada level petani.
Pada pengadaan pupuk level kabupaten sudah diketahui bahwa faktor harga
pupuk level tersebut sangat kuat mempengaruhi pengadaannya. Tarikan harga
pupuk ini selanjutnya mengalir ke bawah dan mempengaruhi harga pada level
petani. Perlu diperhatikan bahwa bukan tingginya harga riil pupuk level petani
yang merupakan insentif bagi para pengecer pupuk untuk meningkatkan
pengadaannya melainkan faktor harga level kabupaten.
Pada Propinsi Sumatera Barat, harga pupuk di tingkat petani akan menurun
jika jumlah pengadaan pupuk para pengecer meningkat. Ini adalah suatu perilaku
yang normal. Akan tetapi keadaan lapangan menunjukkan bahwa benar-benar
42
pupuk langka di pasar tingkat petani. Dengan demikian perilaku yang normal disini
sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas pasar pupuk yang benar-benar
terganggu. Harga pupuk tingkat petani juga begerak naik beriringan dengan
kenaikan selisih HET dan harga tebusan tingkat pengecer. Tarikan kenaikan
harga pupuk dari level propinsi hingga pengecer ini akan menarik keatas harga di
tingkat petani.
Pada Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, ketika pengadaan pengecer
swasta meningkat, akan menurunkan harga pupuk di tingkat petani. Kondisi ini
adalah kondisi normal yang menunjukkan bahwa kelangkaan pupuk di kedua
propinsi ini relatif kecil. Di Jawa Timur harga pupuk di tingkat petani dapat naik jika
selisih harga HET dan harga tebusan di tingkat pengecer semakin besar.
Pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, harga pupuk di tingkat petani
akan menurun jika jumlah pengadaan pupuk para pengecer meningkat. Namun ini
bukanlah menunjukkan suatu keadaan normal melainkan keadaan kelangkaan.
Hal ini disebabkan karena harga pupuk tingkat petani juga dipengaruhi oleh
kenaikan peubah kelangkaan pupuk yaitu peubah SISA. Karena itu di Bali dan
NTB kenaikan harga pupuk petani dipicu juga oleh kelangkaan pupuk.
Pada Propinsi Jawa Tengah, meskipun pengadaan pupuk pada level
propinsi dan kabupaten relatif berlangsung normal dan tidak menunjukkan gejala
kelangkaan, tetapi pada level petani terdapat kecenderungan kenaikan harga
pupuk. Kecenderungan ini bergerak searah besaran selisih antara HET dan harga
tebusan tingkat pengecer. Sesuai nilai elastisitasnya, besaran selisih ini memiliki
respon kuat. Karena itu disini terdapat kecenderungan pasar pupuk di tingkat
petani memasuki kondisi tidak normal yakni gejala kenaikan harga yang cukup
kuat.
5.1.1.3. Penggunaan Pupuk oleh Petani
Jumlah permintaan pupuk baik petani anggota maupun non-anggota
koperasi ditentukan oleh luas areal sawah masing-masing, ketersediaan pupuk
yang disuplai oleh para pengecer dan harga pupuk di tingkat petani. Disini, harga
pupuk diwakili oleh harga pada petani anggota koperasi karena harga pupuk di
tingkat petani anggota maupun non-anggota koperasi relatif sama.
43
Petani Anggota Koperasi
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan permintaan pupuk petani
anggota koperasi (DPPETKOP) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani, pengadaan pupuk koperasi, dan
harga pupuk di tingkat petani (AREALKOP, S4ECKOP dan PPETKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh pengadaan swasta (S4ECNKO). Peubah AREALKOP
dan PPETKOP bersifat elastis (1.01 dan 1.13) sedangkan peubah S4ECKOP dan
S4ECNKO bersifat inelastis (0.11 dan – 0.09).
Hasil estimasi pada Propinsi Sumatera Barat (Lampiran 3) menunjukkan
permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan pengadaan pupuk koperasi
(AREALKOP dan S4ECKOP), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan swasta
dan harga pupuk di tingkat petani (S4ECNKO dan PPETKOP). Peubah
AREALKOP bersifat elastis (1.80) sedangkan peubah S4ECKOP, S4ECNKO dan
PPETKOP bersifat inelastis (0.12, – 0.10 dan – 0.76).
Permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) di Propinsi Jawa
Barat (Lampiran 4) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah
petani dan pengadaan pupuk swasta (AREALKOP dan S4ECNKO), tetapi tidak
dipengaruhi oleh pengadaan koperasi dan harga pupuk di tingkat petani. Peubah
AREALKOP bersifat elastis (1.03) sedangkan peubah S4ECNKO bersifat inelastis
(0.007).
Berbeda dengan Jawa Barat, di Propinsi Jawa Timur (Lampiran 5)
permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani, pengadaan pupuk koperasi dan
swasta (AREALKOP, S4ECKOP dan S4ECNKO), dan dipengaruhi negatif oleh
harga pupuk di tingkat petani (PPETKOP). Peubah AREALKOP bersifat elastis
(1.69) sedangkan peubah S4ECKOP, S4ECNKO dan PPETKOP bersifat inelastis
(0.04, 0.02, dan –0.54).
Pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (Lampiran 6 dan 7),
permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani masing-masing. Sedangkan
peubah-peubah harga pupuk dan pengadaan para pengecer tidak mempengaruhi
permintaan pupuk petani. Peubah AREALKOP di Bali dan di Nusa Tenggara Barat
bersifat elastis (1.56 dan 1.41).
44
Pada Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8), permintaan pupuk petani
anggota koperasi (DPPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas
areal sawah petani, pengadaan pupuk koperasi dan oleh harga pupuk petani.
Sedangkan peubah-peubah harga pupuk dan pengadaan para pengecer
tidak mempengaruhi permintaan pupuk petani. Peubah AREALKOP bersifat
elastis (1.12).
Secara keseluruhan hasil-hasil estimasi di atas menunjukkan pada
dasarnya jumlah penggunaan pupuk oleh petani anggota koperasi di semua
propinsi sampel sangat kuat dipengaruhi luas areal sawah mereka. Di Propinsi
Sumatera Utara, kenaikan harga pupuk juga sangat kuat mendorong peningkatan
penggunaan pupuk oleh petani. Keadaan ini menunjukkan pasar pupuk yang
dihadapi petani tidak beroperasi secara normal atau mengalami distorsi berat.
Para petani koperasi menghadapi kondisi kekurangan pupuk yang cukup parah
sehingga pada satu sisi memaksa harga pupuk meningkat tetapi pada sisi lain
petani akan tetap meminta pupuk meskipun dalam jumlah relatif sama dengan
kebutuhan pokoknya ataupun cenderung makin menurun, atau bahkan makin
tinggi akibat dorongan faktor lain. Indikasi kelangkaan pupuk juga ditunjukkan oleh
perilaku pengadaan pupuk swasta. Ketika pengadaan swasta meningkat,
penggunaan pupuk oleh petani menurun. Secara normal penggunaan pupuk oleh
petani akan meningkat sejalan dengan semakin besarnya jumlah pupuk yang
disediakan pengecer swasta di pasar. Karena itu kondisi tidak normal ini
menunjukkan petani menghadapi kelangkaan pupuk.
Pada Propinsi Sumatera Barat jumlah penggunaan pupuk petani anggota
koperasi akan meningkat sejalan meningkatnya areal sawah petani dan jumlah
pupuk yang disediakan pengecer koperasi. Tetapi jika pengadaan pupuk swasta
meningkat, penggunaan pupuk petani koperasi menurun. Kontradiksi ini
menunjukkan suatu fenomena kelangkaan pupuk. Hasil penelitian lapang
menunjukkan petani anggota koperasi selalu menghadapi kekurangan pupuk.
Untuk memenuhi kebutuhan petani, pihak koperasi membeli kembali pupuk dari
pengecer swasta dan kemudian menjualnya kepada petani anggota koperasi. Ini
menunjukkan pada satu sisi jumlah pengadaan koperasi bertambah untuk
memenuhi kebutuhan petani, dan pada saat yang sama pupuk yang disediakan
pengecer swasta tidak dilepaskan ke pasar.
45
Di Propinsi Jawa Barat, penggunaan pupuk petani koperasi akan meningkat
sejalan dengan peningkatan areal sawah mereka dan peningkatan pengadaan
pupuk swasta. Ini adalah suatu perilaku normal yakni kenaikan pengadaan pupuk
swasta mendorong kenaikan penggunaan pupuk oleh petani. Kondisi ini
menunjukkan kemungkinan petani anggota koperasi tidak menghadapi kesulitan
ketika membutuhkan pupuk.
Petani anggota koperasi di Propinsi Jawa Timur juga relatif tidak
menghadapi kesulitan saat membutuhkan pupuk. Selain dipengaruhi oleh luas
areal sawah petani, jumlah penggunaan pupuk petani juga akan meningkat
sejalan dengan kenaikan pengadaan pupuk koperasi dan swasta. Ini menunjukkan
suatu perilaku yang normal pada pasar pupuk petani. Juga hasil estimasi
menunjukkan jika harga pupuk meningkat, jumlah yang diminta petani akan
menurun. Diduga petani di Jawa Timur pada umumnya tetap mendapatkan pupuk
saat-saat dibutuhkan.
Sedangkan pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat penggunaan
pupuk oleh petani semata-mata hanya dipengaruhi oleh luas areal petani masing-
masing. Sementara harga pupuk tingkat petani tidak mempengaruhi lagi jumlah
penggunaan pupuk petani. Ini dapat berarti berapapun harga pupuk yang tercipta
di pasar, kemungkinan petani tetap membeli pupuk untuk memenuhi
kebutuhannya.
Pada Propinsi Jawa Tengah, selain dipengaruhi oleh luas areal petani,
jumlah penggunaan pupuk petani juga akan meningkat sejalan dengan kenaikan
pengadaan pupuk pengecer koperasi. Meskipun kedua kondisi diatas memberikan
indikasi normal, namun kenaikan permintaan pupuk berlangsung searah kenaikan
harga pupuk. Dalam hal ini pada satu sisi kondisi normal hanya ditunjukkan oleh
pupuk yang selalu tersedia jika diperlukan petani tetapi pada sisi lain harga pupuk
cenderung meningkat. Data lapangan menunjukkan, petani mengeluhkan harga
pupuk yang cenderung melebihi HET.
Petani Non-Anggota Koperasi
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa permintaan pupuk
petani non-anggota koperasi (DPPETNKO) di Propinsi Sumatera Utara secara
signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani, pengadaan pupuk
swasta, dan harga pupuk di tingkat petani (AREALNKO, S4ECNKO dan
46
PPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan koperasi (S4ECKOP).
Peubah AREALNKO bersifat elastis (1.06) sedangkan peubah S4ECNKO,
PPETKOP dan S4ECKOP bersifat inelastis (0.31, 0.44 dan – 0.30).
Pada Propinsi Sumatera Barat (Lampiran 3), permintaan pupuk petani non-
anggota koperasi (DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas
areal sawah petani dan pengadaan pupuk koperasi (AREALNKO dan S4ECKOP),
dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan swasta dan harga pupuk di tingkat petani
(S4ECNKO dan PPETKOP). Keempat peubah bersifat inelastis (0.51, 0.03, – 0.21
dan – 0.28).
Permintaan pupuk petani non-anggota koperasi (DPPETNKO) di Propinsi
Jawa Barat (Lampiran 4) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal
sawah petani dan harga pupuk di tingkat petani (AREALNKO dan PPETNKO), dan
tidak dipengaruhi oleh pengadaan pupuk swasta. Peubah AREALNKO bersifat
elastis (1.06) dan peubah PPETNKO bersifat inelastis (0.10).
Pada Propinsi Jawa Timur (Lampiran 5) permintaan pupuk petani non-
anggota koperasi (DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas
areal sawah petani dan pengadaan pupuk koperasi dan swasta (AREALNKO,
S4ECKOP dan S4ECNKO), dan tidak dipengaruhi oleh harga pupuk di tingkat
petani. Peubah AREALNKO bersifat elastis (1.12) sedangkan peubah S4ECKOP
dan S4ECNKO bersifat inelastis (0.01 dan 0.07).
Pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (Lampiran 6 dan 7),
permintaan pupuk petani non-anggota koperasi (DPPETNKO) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan harga pupuk petani
(AREALNKO dan PPETNKO), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan swasta
(S4ECNKO). Semua peubah penjelas dalam masing-masing persamaan hanya
bersifat inelastis.
Pada Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8), permintaan pupuk petani non-
anggota koperasi (DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas
areal sawah petani dan pengadaan swasta (AREALNKO dan S4ECNKO), dan
dipengaruhi negatif oleh pengadaan koperasi (S4ECKOP) tetapi tidak dipengaruhi
oleh harga pupuk. Semua peubah penjelas dalam masing-masing persamaan
hanya bersifat inelastis.
47
Berdasarkan hasil-hasil estimasi di atas, umumnya jumlah penggunaan
pupuk petani non-anggota koperasi di semua propinsi sampel sangat kuat
dipengaruhi luas areal sawah mereka. Ini berarti banyaknya jumlah penggunaan
pupuk masih dominan ditentukan oleh luas areal sawah yang dimiliki masing-
masing petani. Meskipun demikian, data lapangan menunjukkan bahwa sering
petani menyesuaikan penggunaan pupuk mereka dengan persediaan pupuk di
pasar dan harga pupuk yang berlaku.
Di Propinsi Sumatera Utara, jumlah penggunaan pupuk petani non-anggota
koperasi makin bertambah mengikuti gerak kenaikan pengadaan pupuk swasta.
Juga jumlah penggunaan pupuk akan bergerak naik seiring kenaikan harga pupuk
level petani. Meskipun dalam respon yang lemah, perilaku seperti ini menunjukkan
adanya keadaan yang tidak normal pada pasar pupuk. Dalam keadaan normal jika
harga pupuk meningkat, permintaan atau jumlah penggunaan petani cenderung
menurun. Karena itu hal ini menjadi suatu indikasi bahwa pasar pupuk petani
beroperasi secara tidak normal. Secara umum petani non-anggota koperasi juga
mengalami kelangkaan pupuk dan kecenderungan kenaikan harga pupuk seperti
yang dialami petani anggota koperasi. Kondisi ini mempengaruhi penggunaan
pupuk para petani.
Pada Propinsi Sumatera Barat, jumlah penggunaan pupuk petani non-
anggota koperasi meningkat sejalan dengan kenaikan luas areal sawah mereka.
Tetapi ketika kebutuhan pupuk meningkat, pengadaan pupuk para pengecer
swasta menurun. Ini menunjukkan perilaku tidak normal antara penggunaan
pupuk petani dan ketersediaan pupuk di pasar yang disediakan pengecer swasta.
Karena itu petani non-anggota koperasi mengalami kelangkaan pupuk sama
seperti yang dialami petani anggota koperasi.
Di Propinsi Jawa Barat, penggunaan pupuk petani non-anggota koperasi
akan meningkat sejalan dengan peningkatan areal sawah mereka tetapi jumlah
penggunaan pupuk ini tidak dipengaruhi secara nyata oleh banyak atau sedikitnya
pupuk yang disediakan para pengecer di pasar. Ini memberikan indikasi bahwa
jumlah kebutuhan pupuk oleh petani non-anggota koperasi tidak banyak
terganggu oleh jumlah persediaan pasar yang ditawarkan pengecer swasta.
Sama seperti petani anggota koperasi, petani non-anggota koperasi di
Propinsi Jawa Timur juga relatif tidak menghadapi kesulitan saat membutuhkan
pupuk. Selain dipengaruhi oleh luas areal petani, jumlah penggunaan pupuk
48
petani akan meningkat sejalan dengan kenaikan pengadaan pupuk koperasi dan
swasta. Jumlah penggunaan pupuk petani juga tidak dipengaruhi oleh harga
pupuk di tingkat petani. Ini berarti petani tetap membeli pupuk meskipun terjadi
kenaikan atau penurunan harga pupuk.
Pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat penggunaan pupuk oleh
petani non-anggota koperasi akan bergerak naik seiring kenaikan luas areal
sawah mereka. Tetapi ketika kebutuhan pupuk petani meningkat, jumlah pupuk
yang disediakan swasta di pasar menurun. Disini, petani menghadapi kelangkaan
pupuk, dan kelangkaan ini akan mendorong kenaikan harga pupuk. Petani
terpaksa harus membeli dalam harga yang lebih tinggi.
Sedangkan di Jawa Tengah penggunaan pupuk oleh petani non-anggota
koperasi akan bergerak naik seiring kenaikan luas areal sawah mereka dan
jumlah pupuk yang disediakan swasta. Jumlah permintaan pupuk petani disini
tidak dipengaruhi harga pupuk. Hal ini menunjukkan petani kemungkinan tetap
mampu membeli pupuk meskipun harganya meningkat.
5.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani; Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak; dan Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi
5.1.2.1. Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani
Jumlah produksi gabah para petani ditentukan oleh luas areal sawah
mereka masing-masing, jumlah penggunaan pupuk, dan tingkat harga gabah di
pasar. Secara teoritis, sebuah produksi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input
yang dalam hal ini adalah luas areal sawah dan jumlah pupuk, dan tingkat harga
jual produk yang dihasilkan. Jika petani dalam proses produksinya berorientasi ke
pasar maka tingkat harga gabah akan merupakan indikator keberhasilan yang
akan dicapai petani. Harga gabah Bulog tidak dimasukan ke dalam persamaan
karena data lapangan menunjukkan petani tidak menjual gabahnya ke Devisi
Bulog atau Dolog setempat.
Jumlah pejualan gabah petani anggota dan non-anggota koperasi
ditentukan oleh jumlah produksi gabah mereka masing-masing dan harga gabah
koperasi dan tengkulak. Sedangkan pendapatan petani anggota dan non-anggota
koperasi ditentukan oleh jumlah penjualan gabah mereka, harga gabah yang
ditetapkan koperasi dan para tengkulak, dan besar biaya produksi masing-masing
49
petani. Peubah harga koperasi dan harga para tengkulak dimasukkan bersama-
sama dalam masing-masing persamaan pendapatan petani untuk melihat
kontribusi masing-masing terhadap pendapatan para petani.
Petani Anggota Koperasi
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan jumlah produksi gabah petani
anggota koperasi (GPETKOP) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani, jumlah penggunaan pupuk
mereka dan harga gabah koperasi (AREALKOP, DPPETKOP dan PGKOP).
Ketiga peubah ini hanya bersifat inelastis (0.79, 0.17 dan 0.11). Selanjutnya
jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (JGPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah dan harga gabah koperasi
(GPETKOP dan PGKOP). Peubah GPETKOP bersifat elastis (1.00) dan peubah
PGKOP bersifat inelastis (0.03).
Pada Propinsi Sumatera Barat, jumlah produksi gabah petani anggota
koperasi (GPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah
petani, jumlah penggunaan pupuk mereka dan harga gabah koperasi
(AREALKOP, DPPETKOP dan PGKOP). Peubah PGKOP bersifat elastis (4.14)
sedangkan peubah AREALKOP dan DPPETKOP bersifat inelastis (0.54 dan
0.22). Jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (JGPETKOP) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah, harga gabah koperasi
dan harga gabah tengkulak (GPETKOP, PGKOP dan PGNKO). Ketiga peubah ini
bersifat inelastis (0.91, 0.20 dan 0.06).
Pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat,
jumlah produksi gabah petani anggota koperasi (GPETKOP) masing-masing
secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan jumlah
penggunaan pupuk petani masing-masing (AREALKOP dan DPPETKOP).
Sementara peubah harga gabah tidak mempengaruhi produksi gabah petani.
Elastisitas peubah AREALKOP dan DPPETKOP pada persamaan produksi gabah
petani di Jawa Barat sebesar 0.91 dan 0.11, di Jawa Timur 0.48 dan 0.45, Bali
1.01 dan 0.05, dan di NTB 0.75 dan 0.26. Peubah AREALKOP di Propinsi Bali
bersifat elastis sedangkan semua peubah lainnya bersifat inelastis.
Jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (JGPETKOP) di Jawa
Barat secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah, harga
50
gabah koperasi dan harga gabah tengkulak (GPETKOP, PGKOP dan PGNKO).
Ketiga peubah ini bersifat inelastis (0.69, 0.57 dan 0.40). Pada Propinsi Jawa
Timur, Bali dan Nusa Tenggara, penjualan gabah petani anggota koperasi
(JGPETKOP) masing-masing secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
produksi gabah dan harga gabah koperasi (GPETKOP dan PGKOP). Pada
Propinsi Jawa Timur, peubah GPETKOP bersifat elastis (1.03) dan pada Bali dan
Nusa Tenggara Barat, peubah PGKOP bersifat elastis (1.89 dan 1.76).
Sedangkan semua peubah lainnya pada masing-masing persamaan bersifat
inelastis.
Hasil estimasi Lampiran 8 menunjukkan jumlah produksi gabah petani
anggota koperasi (GPETKOP) di Propinsi Jawa Tengah secara signifikan
dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan jumlah penggunaan pupuk
mereka (AREALKOP dan DPPETKOP). Selanjutnya jumlah penjualan gabah
petani anggota koperasi (JGPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah produksi gabah dan harga gabah koperasi (GPETKOP dan PGKOP).
Keempat peubah dalam kedua persamaan tersebut hanya bersifat inelastis).
Untuk pendapatan petani, hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan
di Propinsi Sumatera Utara besaran pendapatan petani anggota koperasi
(IPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah,
harga gabah koperasi dan tengkulak (JGPETKOP, PGKOP dan PGNKO), dan
dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani (CPETKOP). Peubah JGPETKOP
bersifat elastis (1.20) sedangkan ketiga peubah lainnya bersifat inelastis (0.34,
0.13 dan – 0.36).
Hasil estimasi Lampiran 3 menunjukkan pendapatan petani di Propinsi
Sumatera Barat (IPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
penjualan gabah dan harga gabah pihak koperasi (JGPETKOP dan PGKOP).
Sebaliknya pendapatan petani tidak dipengaruhi oleh harga gabah tengkulak dan
biaya produksi petani. Peubah JGPETKOP dan PGKOP hanya bersifat inelastis
(0.66 dan 0.11).
Pada Propinsi Jawa Barat, sesuai hasil estimasi pada Lampiran 4,
pendapatan petani (IPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
penjualan gabah (JGPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani
(CPETKOP). Besaran pendapatan petani tidak dipengaruhi oleh harga gabah
51
koperasi maupun tengkulak. Peubah JGPETKOP bersifat elastis (1.96) dan
peubah CPETKOP bersifat inelastis (– 0.37).
Hasil estimasi pada Lampiran 5 dan 8 menunjukan pendapatan petani
(IPETKOP) di Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah dan harga gabah koperasi
(JGPETKOP dan PGKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani
(CPETKOP). Pada Jawa Timur, ketiga peubah semuanya bersifat inelastis (0.89,
0.18 dan – 0.04) dan pada Jawa Tengah peubah PGKOP bersifat elastis (1.19).
Hasil estimasi pada Lampiran 6 dan 7 menunjukan pendapatan petani
(IPETKOP) di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani masing-masing
(JGPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani (CPETKOP).
Kedua peubah (JGPETKOP dan CPETKOP) pada masing-masing propinsi
bersifat inelastis (0.47, – 0.10 dan 0.50, – 0.11).
Dalam hal produksi gabah, di Propinsi Sumatera Utara produksi gabah
petani anggota koperasi tergantung pada luas areal sawah petani, jumlah
penggunaan pupuk dan signal harga gabah koperasi. Selanjutnya jumlah produksi
gabah ini mempengaruhi jumlah penjualan mereka dan jumlah penjualan
mempengaruhi besaran pendapatan yang akan diterima petani. Meskipun ketiga
peubah jumlah produksi gabah, jumlah penjualan dan besaran pendapatan petani
turut dipengaruhi oleh harga-harga gabah koperasi dan para tengkulak, akan
tetapi peubah harga tidak memiliki respon yang kuat mempengaruhi ketiga
peubah dimaksud. Suatu keterkaitan yang berlaku pada petani anggota koperasi
di Propinsi Sumatera Utara adalah pendapatan petani sangat ditentukan oleh
jumlah penjualan gabah, dan jumlah penjualan gabah ditentukan oleh jumlah
produksi, dan jumlah produksi sangat kuat dipengaruhi oleh jumlah penggunaan
pupuk. Karena itu pembatasan penggunaan pupuk akan potensial membatasi
besaran pendapatan petani. Dalam hal ini gangguan penggunaan pupuk petani
bersumber dari kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk level petani.
Pada Propinsi Sumatera Barat, produksi gabah petani anggota koperasi
akan meningkat sejalan peningkatan luas areal sawah, peningkatan jumlah
penggunaan pupuk dan kenaikan harga gabah koperasi. Meskipun dalam besaran
estimasi, harga gabah memberikan kontribusi yang relatif kecil terhadap
52
peningkatan produksi gabah, tetapi ia bersifat elastis. Karena itu harga gabah
merupakan faktor penarik sangat kuat mendorong peningkatan produksi gabah
petani. Jumlah produksi gabah kemudian mempengaruhi jumlah penjualannya.
Juga jumlah penjualan gabah petani akan meningkat searah kenaikan harga
gabah koperasi dan harga gabah para tengkulak. Selanjutnya jumlah penjualan
gabah akan menentukan besaran pendapatan petani yakni semakin tinggi jumlah
penjualan semakin tinggi pula pendapatan petani.
Sama seperti di Propinsi Sumatera Utara, petani koperasi di Propinsi
Sumatera Barat menghadapi berbagai hambatan mulai dari penggunaan pupuk
hingga pencapaian besaran pendapatan tertentu. Besaran pendapatan petani
dipengaruhi oleh jumlah penjualan gabah dan jumlah penjualan gabah
dipengaruhi produksi petani. Sementara produksi gabah tergantung jumlah
penggunaan pupuk dimana kebutuhan pupuk menghadapi kendala kelangkaan.
Karena itu tekanan terhadap jumlah penggunaan pupuk akan menyebabkan
produksi menurun, selanjutnya penjualan gabah menurun dan kemudian
pendapatan petani menurun. Jika gangguan berupa kenaikan harga pupuk terus
terjadi atau penurunan terhadap harga gabah maka tekanan terhadap besaran
pendapatan petani akan semakin besar.
Fenomena yang sama dalam hal produksi gabah hingga ke pendapatan
petani juga terjadi pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Jawa Tengah. Produksi gabah petani anggota koperasi pada kelima
propinsi ini dipengaruhi kuat areal petani dan jumlah penggunaan pupuk. Produksi
gabah kemudian mempengaruhi jumlah penjualan petani dan seterusnya jumlah
penjualan mempengaruhi besaran pendapatan yang diterima petani. Pada
Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah jumlah kebutuhan pupuk
petani relatif tidak mengalami kendala kelangkaan. Dengan demikian besaran
pendapatan petani mungkin tidak terhalangi oleh faktor kelangkaan pupuk.
Sedangkan pada Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dimana peluang
kelangkaan pupuk makin terbuka, maka tekanan terhadap pencapaian tingkat
pendapatan yang tinggi akan semakin besar terjadi.
Peluang lain bagi peningkatan pendapatan petani koperasi pada kelima
propinsi diatas muncul dari faktor harga gabah. Pada Propinsi Jawa Barat, petani
koperasi mengambil pilihan menjual gabah ke koperasi dan para tengkulak. Jika
harga gabah pada kedua pihak ini cenderung meningkat maka peluang
53
peningkatan pendapatan petani pada kedua propinsi akan meningkat. Sementara
di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara dan Jawa Tengah petani koperasi lebih
dominan menjual gabah ke koperasi. Karena itu kenaikan harga gabah koperasi
akan memberikan insentif bagi peningkatan pendapatan petani pada ketiga
propinsi ini.
Petani Non-Anggota Koperasi
Hasil estimasi pada Lampiran 2 sampai 8 menunjukkan jumlah produksi
gabah petani non-anggota koperasi (GPETNKO) di semua propinsi secara
signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan jumlah penggunaan
pupuk mereka (AREALNKO dan DPPETNKO). Pada Propinsi Sumatera Barat,
peubah AREALNKO bersifat elastis (1.00) dan DPPETNKO bersifat inelastis
(0.44). Sedangkan kedua peubah ini pada semua propinsi lainnya hanya bersifat
inelastis.
Selanjutnya jumlah penjualan gabah petani non-anggota koperasi
(JGPETNKO) pada Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif
oleh jumlah produksi gabah dan harga gabah koperasi (GPETNKO dan PGKOP).
Peubah GPETNKO bersifat elastis (1.02) dan PGKOP bersifat inelastis (0.11).
Pada Propinsi Sumatera Barat dan Jawa Barat, jumlah penjualan gabah petani
non-anggota koperasi (GPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah produksi gabah, harga gabah tengkulak dan harga gabah koperasi
(GPETNKO, PGNKO dan PGKOP). Pada Sumatera Barat, ketiga peubah bersifat
inelastis (0.55, 0.97 dan 0.06), sedangkan pada Jawa Barat peubah PGNKO
bersifat elastis (3.44), dan peubah GPETNKO dan PGKOP bersifat inelastis (0.26
dan 0.20).
Pada Propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah jumlah
penjualan gabah petani non-anggota koperasi (GPETNKO) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah dan harga gabah tengkulak
(GPETNKO dan PGNKO). Pada Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, peubah
PGNKO bersifat elastis (2.82 dan 1.05) dan peubah GPETNKO bersifat inelastis
(0.64 dan 0.24). Sebaliknya pada NTB, peubah GPETNKO bersifat elastis 1.01
dan peubah PGNKO bersifat inelastis (0.13). Sedangkan pada Propinsi Bali
jumlah penjualan gabah hanya dipengaruhi oleh jumlah produksi petani
54
(GPETNKO) dan tidak dipengaruhi oleh harga gabah tengkulak. Peubah
GPETNKO bersifat elastis (1.02).
Dalam hal pendapatan petani, hasil estimasi pada Lampiran 2
menunjukkan bahwa di Propinsi Sumatera Utara besaran pendapatan petani non-
anggota koperasi (IPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
penjualan gabah, harga gabah tengkulak dan harga gabah koperasi (JGPETNKO,
PGNKO dan PGKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani
(CPETNKO). Peubah JGPETNKO bersifat elastis (1.06) sedangkan ketiga peubah
lainnya bersifat inelastis (0.09, 0.16 dan – 0.22).
Pada Propinsi Sumatera Barat (Lampiran 3) pendapatan petani non-
anggota koperasi (IPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
penjualan gabah dan harga gabah koperasi (JGPETNKO dan PGKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani (CPETNKO). Sebaliknya
pendapatan petani tidak dipengaruhi oleh harga gabah tengkulak. Peubah
JGPETNKO bersifat elastis (1.75) sedangkan peubah PGKOP dan CPETNKO
bersifat inelastis (0.30 dan – 0.49).
Hasil estimasi pada pada Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa
Tenggara Barat menunjukkan bahwa pendapatan petani non-anggota koperasi
(IPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah
petani (JGPETNKO), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani masing-
masing (CPETNKO). Pada Propinsi Jawa Timur income petani tidak dipengaruhi
oleh biaya produksi mereka. Pada Jawa Barat dan Bali, peubah JGPETNKO
elastis (1.60 dan 1.44) sedangkan semua peubah lainnya bersifat inelatis.
Pada Propinsi Jawa Tengah, pendapatan petani non-anggota koperasi
secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani dan
harga gabah para tengkulak (JGPETNKO dan PGNKO), dan dipengaruhi negatif
oleh biaya produksi petani (CPETNKO). Peubah JGPETNKO bersifat elastis
(1.17) dan peubah lainnya bersifat inelastis.
Sesuai hasil-hasil estimasi yang ditunjukkan di atas diketahui bahwa jumlah
produksi gabah petani non-anggota koperasi di semua propinsi sampel akan
bergerak naik atau makin meningkat searah dengan makin luasnya areal sawah
mereka. Begitu juga poduksi gabah tersebut makin meningkat sejalan dengan
55
makin banyaknya jumlah pupuk yang digunakan petani. Faktor harga gabah yang
berperan sebagai variabel signal bagi petani untuk meningkatkan produksi gabah
mereka belum menunjukkan perannya. Hal ini diduga berkaitan dengan perilaku
harga gabah pasar yang tidak menunjukkan peningkatan berarti tetapi cenderung
tetap bahkan menurun jauh ketika panen raya. Di Propinsi Sumatera Barat, faktor
luas areal memiliki respon yang kuat untuk meningkatkan jumlah produksi gabah
petani sedangkan jumlah penggunaan pupuk memberikan respon lemah. Ini
berarti faktor dominan yang mendorong kenaikan produksi gabah petani disana
adalah luas areal.
Selanjutnya kenaikan jumlah produksi akan meningkatkan jumlah penjualan
gabah dan kenaikan jumlah penjualan akan mempertinggi besaran pendapatan
yang diterima petani. Di Propinsi Sumatera Utara, jumlah penjualan gabah petani
non-anggota koperasi akan makin meningkat sejalan kenaikan produksi gabah
mereka dan kenaikan pada harga gabah koperasi. Berarti kenaikan harga gabah
pada koperasi akan mendorong penjualan gabah petani non-anggota lebih
banyak. Ini menunjukkan petani luar yang bukan termasuk anggota koperasi juga
memilih untuk menjual gabahnya pada koperasi. Sedangkan harga gabah para
tengkulak belum dijadikan patokan dalam penjualan gabah petani. Diduga,
fluktuasi harga gabah tengkulak menjadi penyebabnya.
Pada Propinsi Sumatera Barat dan Jawa Barat, jumlah penjualan gabah
petani non-anggota koperasi ditentukan juga oleh harga gabah tengkulak. Jumlah
penjualan gabah petani disini akan bergerak naik sejalan kenaikan produksi gabah
mereka, dan kenaikan harga-harga gabah baik dari pihak koperasi maupun para
tengkulak. Petani pada kedua propinsi memilih koperasi maupun para tengkulak
sebagai pasar gabah mereka. Sesuai besaran estimasi kedua peubah harga
gabah tersebut (Lampiran 3 dan 4), harga gabah tengkulak memberikan kontribusi
lebih besar. Ini berarti petani non-anggota koperasi di kedua propinsi lebih
dominan memilih menjual gabahnya kepada para tengkulak.
Pada Propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah jumlah
penjualan gabah petani non-anggota akan meningkat sejalan kenaikan produksi
gabah petani dan kenaikan harga gabah para tengkulak. Disini, para petani
dominan memilih menjual gabahnya kepada para tengkulak. Meskipun perilaku
penjualan gabah pada ketiga propinsi ini dipengaruhi oleh peubah-peubah yang
sama, tetapi pada Jawa Timur peubah harga gabah tengkulak memiliki respon
56
sangat kuat terhadap peningkatan pejualan gabah petani. Ini berarti kenaikan
harga gabah tengkulak memiliki insentif kuat mendorong peningkatan penjualan
gabah petani. Sedangkan di NTB dan Jawa Tengah, respon yang kuat ditimbulkan
oleh peubah produksi gabah petani.
Dalam hal pendapatan petani, umumnya pada semua propinsi besaran
pendapatan petani non-anggota koperasi akan mengalami peningkatan sejalan
dengan kenaikan jumlah penjualan gabah dan harga gabah di pasar. Sebaliknya
pendapatan petani menurun sejalan dengan kenaikan biaya produksi petani
masing-masing. Pada semua propinsi, peubah jumlah penjualan gabah memiliki
respon kuat terhadap peningkatan pendapatan petani. Sedangkan peubah harga
gabah dan biaya produksi hanya memiliki respon lemah. Data lapangan
menunjukkan baik harga gabah maupun biaya produksi petani relatif tidak
mengalami fluktuasi drastis. Secara umum harga gabah ditetapkan berdasarkan
harga pembelian pemerintah dan harga tersebut cenderung mengalami
perubahan lebih dari satu tahun. Dengan demikian kedua peubah tersebut tidak
cukup kuat menimbulkan perubahan berarti pada pendapatan petani. Oleh karena
itu upaya meningkatkan pendapatan petani padi/gabah dapat dilakukan melalui
peningkatan produksi dan penjualan gabah petani.
5.1.2.2. Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak
Harga gabah yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak pada
dasarnya berpedoman pada harga pembelian pemerintah. Secara empiris, harga
yang ditetapkan pihak koperasi dan para tengkulak di pasar ditentukan oleh
jumlah produksi dan penjualan gabah para petani. Juga harga gabah yang
ditetapkan berpedoman pada tingkat harga pupuk level petani. Di dalam pasar
produk terdapat hubungan yang erat antara input dan output. Harga-harga input
dapat mempengaruhi penetapan harga output yakni semakin tinggi harga input
maka penetapan harga output juga makin tinggi. Karena itu untuk mengetahui
perilaku penetapan harga gabah baik pada koperasi maupun para tengkulak,
dimasukan variabel harga pupuk kedalam kedua persamaan harga gabah.
Data lapangan menunjukkan bahwa pasar gabah bersifat persaingan
monopolistis dimana terdapat sejumlah pembeli gabah yakni pihak koperasi dan
para tengkulak yang saling bersaing mendapatkan gabah petani. Para petani
57
berpeluang memilih pembeli gabah yang menguntungkan dan memberi
kemudahan kepada mereka. Karena itu kedalam masing-masing persamaan
harga gabah dimasukkan juga harga gabah kompetitor masing-masing.
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa harga gabah yang
ditetapkan pihak koperasi (PGKOP) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan
dipengaruhi positif oleh harga gabah kompetitor (tengkulak), jumlah penjualan
gabah petani anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani
(PGNKO, JGPETKOP dan PPETKOP). Sebaliknya harga gabah tersebut
dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi gabah petani koperasi (GPETKOP).
Keempat peubah masing-masing bersifat inelastis (0.21, 0.79, 0.15 dan – 0.85).
Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh harga gabah kompetitir (koperasi), jumlah produksi gabah
petani non-anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani (PGKOP,
GPETNKO dan PPETNKO). Harga gabah tersebut dipengaruhi negatif oleh
jumlah penjualan gabah petani non-anggota koperasi (JGPETNKO). Peubah
PGKOP, GPETNKO dan JGPETNKO bersifat elastis (– 2.06, 7.43 dan –7.77)
sedangkan PPETNKO bersifat inelastis (0.86)
Pada Propinsi Sumatera Barat, hasil estimasi Lampiran 3 menunjukkan
harga gabah yang ditetapkan pihak koperasi (PGKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi
(JGPETKOP). Sebaliknya harga gabah tersebut dipengaruhi negatif oleh jumlah
produksi gabah petani koperasi (GPETKOP). Hasil estimasi menunjukkan harga
gabah koperasi tidak dipengaruhi oleh harga gabah kompetitornya dan harga
pupuk. Peubah JGPETKOP bersifat elastis (1.34) dan peubah GPETKOP bersifat
inelastis (– 0.71). Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani non-
anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani (JGPETNKO dan
PPETNKO). Harga gabah tersebut juga dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi
gabah petani non-anggota koperasi (GPETNKO). Ketiga peubah JGPETNKO,
PPETNKO dan GPETNKO bersifat inelastis (0.62, 0.37 dan – 0.29).
Pada Propinsi Jawa Barat (Lampiran 4), harga gabah yang ditetapkan
pihak koperasi (PGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
penjualan gabah petani anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level
58
petani (JGPETKOP dan PPETKOP), tetapi tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi
gabah petani koperasi. Peubah JGPETKOP dan PPETKOP bersifat inelastis (0.24
dan 0.22). Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani non-anggota
koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani (JGPETNKO dan PPETNKO).
Sebaliknya harga gabah tersebut dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi gabah
petani non-anggota koperasi (GPETNKO). Peubah JGPETNKO, PPETNKO dan
GPETNKO bersifat inelastis (0.23, 0.29 dan – 0.03).
Pada Propinsi Jawa Timur (Lampiran 5), harga gabah yang ditetapkan
pihak koperasi (PGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi
gabah petani anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani
(GPETKOP dan PPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah penjualan gabah
petani koperasi (JGPETKOP). Peubah GPETKOP dan JGPETKOP bersifat elastis
(1.26 dan –1.07). Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh tingkat harga pupuk pada level petani
(PPETNKO) dan dipengaruhi negatif oleh jumlah penjualan gabah petani
non-anggota koperasi. Akan tetapi harga gabah ini tidak dipengaruhi oleh
jumlah produksi gabah. Peubah PPETNKO dan JGPETNKO bersifat elastis (1.15
dan – 1.04).
Pada Propinsi Bali (Lampiran 6), harga gabah yang ditetapkan pihak
koperasi (PGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan
gabah petani dan tingkat harga pupuk pada level petani (JGPETKOP dan
PPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi gabah petani koperasi
(GPETKOP). Ketiga peubah bersifat inelastis (0.33, 0.04 dan –0.09). Sedangkan
harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh jumlah produksi dan penjualan gabah petani non-anggota koperasi dan
tingkat harga pupuk pada level petani (GPETNKO, JGPETNKO dan PPETNKO).
Ketiga peubah bersifat inelastis (0.01, 0.27 dan 0.21).
Sesuai hasil estimasi pada (Lampiran 7), harga gabah yang ditetapkan
pihak koperasi (PGKOP) di Propinsi NTB secara signifikan dipengaruhi positif oleh
harga gabah kompetitor (tengkulak), jumlah penjualan gabah petani dan tingkat
harga pupuk pada level petani (PGNKO, JGPETKOP dan PPETKOP). Sebaliknya
harga gabah dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi gabah petani koperasi
(GPETKOP). Keempat peubah bersifat inelastis (0.12, 0.32, 0.05 dan –0.07).
59
Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak (PGNKO) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh harga gabah kompetitor (koperasi), jumlah penjualan
gabah petani non-anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani
(PGKOP, JGPETNKO dan PPETNKO). Harga gabah juga dipengaruhi negatif
oleh jumlah produksi petani (GPETNKO). Keempat peubah bersifat inelastis (0.18,
0.60, 0.23 dan – 0.34).
Pada Propinsi Jawa Tengah (Lampiran 8), harga gabah yang ditetapkan
pihak koperasi (PGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi
gabah petani koperasi, jumlah penjualan gabah mereka dan tingkat harga pupuk
;evel petani (GPETKOP, JGPETKOP dan PPETKOP). Ketiga peubah bersifat
inelastis (0.16, 0.24 dan 0.05). Sedangkan harga gabah yang ditetapkan tengkulak
(PGNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah petani
non-anggota koperasi dan tingkat harga pupuk pada level petani (JGPETNKO dan
PPETNKO). Sebaliknya harga juga dipengaruhi negatif oleh jumlah produksi
petani non-anggota koperasi (GPETNKO). Peubah PPETNKO bersifat elastis
(1.23) sedangkan peubah lainnya bersifat inelastis.
Hasil-hasil estimasi di atas menunjukkan bahwa di Propinsi Sumatera Utara
kompetisi penetapan besaran harga gabah antara tengkulak dan pihak koperasi
cukup kuat. Harga gabah yang ditetapkan koperasi makin bergerak naik searah
gerak kenaikan harga gabah tengkulak, gerakan kenaikan jumlah penjualan petani
dan gerakan kenaikan harga pupuk. Penjualan gabah petani dapat dilakukan
setiap saat sesuai kebutuhan petani dan kondisi harga pasar. Karena itu
hubungan positif antara kenaikan harga gabah dan jumlah penjualan petani dapat
saja terjadi. Sementara penetapan harga gabah yang bergerak naik searah
kenaikan harga pupuk merupakan hal yang normal karena pupuk adalah input
dalam produksi gabah. Sedangkan kenaikan jumlah produksi yang menjelaskan
surplus saat panen raya, menyebabkan harga gabah koperasi menurun.
Kompetisi harga gabah antara koperasi dan tengkulak dapat dilihat dari hubungan
positif antara keduanya. Gerak kenaikan harga gabah yang ditetapkan tengkulak
dapat mendorong kenaikan harga gabah yang ditetapkan koperasi. Pada
dasarnya hal ini dilakukan untuk mendapatkan lebih banyak petani dan jumlah
gabahnya.
Pada para tengkulak, penetapan harga gabah meningkat searah kenaikan
harga pupuk. Tetapi dalam hal jumlah produksi dan penjualan gabah, para
60
tengkulak mengambil sikap yang berbeda. Pada koperasi, penurunan harga
gabah terjadi bersamaan jumlah produksi yang melimpah saat panen raya. Tetapi
bagi tengkulak, penetapan harga gabah yang lebih rendah dilakukan pada saat-
saat penjualan gabah petani melimpah. Inilah sikap para tengkulak sebagai pelaku
bisnis murni dibanding koperasi yang lebih dominan kepada pelayanan sosial.
Sebagai pesaing dalam pembelian gabah petani, gerak kenaikan harga
gabah koperasi akan mendorong para tengkulak menaikan harga gabahnya. Hal
seperti ini juga dilakukan oleh pihak koperasi. Tetapi perbedaan diantara mereka
adalah sesuai nilai elastisitas masing-masing yakni reaksi tengkulak sangat kuat
sedangkan reaksi koperasi lemah. Ini menunjukkan ketika koperasi menaikan
harga gabah, para tengkulak langsung memberikan respon sangat kuat menaikan
juga harga gabah mereka. Sebaliknya jika tengkulak yang menaikkan harga
gabahnya, tidak begitu mendapat respon yang kuat dari pihak koperasi untuk turut
menaikkan harga gabahnya.
Jika dibandingkan respon peubah-peubah jumlah produksi dan penjualan
gabah terhadap harga gabah koperasi dan tengkulak, maka dapat ditemukan
bahwa respon yang diberikan pada harga gabah tengkulak adalah sangat kuat. Ini
berarti kenaikan harga gabah tengkulak akibat kenaikan jumlah produksi gabah
petani, dan penurunan harga gabah tersebut akibat melimpahnya penjualan
gabah, keduanya menyebabkan harga gabah tengkulak berfluktuasi sangat kuat.
Karena itu hasil disini membuktikan bahwa harga gabah tengkulak potensial
berfluktuasi tetapi koperasi tidak.
Pada Propinsi Sumatera Barat perilaku harga gabah serupa dengan yang
terjadi di Sumatera Utara. Dalam hal ini harga gabah yang ditetapkan koperasi
makin bergerak naik searah gerak kenaikan jumlah penjualan petani, dan
sebaliknya ia akan bergerak menurun searah kenaikan produksi gabah petani. Ini
berarti pasa saat panen raya dimana produksi melimpah, harga gabah koperasi
juga cenderung menurun. Akan tetapi sesuai responnya, kenaikan produksi gabah
tidak cukup mendorong penurunan harga gabah yang ditetapkan koperasi. Ini
menunjukkan meskipun harga gabah koperasi cenderung menurun saat-saat
produksi melimpah, akan tetapi penurunan tersebut tidak drastis. Sementara
harga gabah kompetitor dan harga pupuk tidak berpengaruh terhadap pergerakan
harga gabah koperasi.
61
Pada tengkulak, penetapan harga gabah akan makin meningkat searah
kenaikan jumlah penjualan gabah dan kenaikan harga pupuk. Sebaliknya harga
gabah tersebut bergerak makin menurun ketika produksi gabah petani melimpah.
Harga gabah tengkulak cenderung menurun saat panen raya, dan ini sama seperti
perilaku harga gabah koperasi. Juga sesuai responnya, penurunan harga gabah
tengkulak saat panen raya tidak begitu drastis. Karena itu penetapan harga gabah
baik oleh koperasi maupun oleh tengkulak, keduanya tidak menurun drastis pada
saat-saat produksi gabah melimpah di Sumatera Barat.
Pada Propinsi Jawa Barat, harga gabah yang ditetapkan koperasi makin
bergerak naik searah gerak kenaikan jumlah penjualan petani dan gerak kenaikan
harga pupuk. Tetapi gerak harga gabah koperasi ini tidak dipengaruhi oleh banyak
atau sedikitnya produksi gabah petani. Karena itu pergerakan harga gabah
koperasi kemungkinan konstan saat-saat panen raya yakni saat produksi
melimpah. Sementara pada tengkulak, penetapan harga gabah makin meningkat
searah kenaikan jumlah penjualan gabah dan kenaikan harga pupuk. Sebaliknya
harga gabah tersebut bergerak menurun ketika produksi gabah petani melimpah.
Sebagai perbandingan, pada saat panen raya, harga gabah tengkulak lebih
cenderung menurun dibanding harga gabah pada koperasi yang relatif konstan.
Secara umum, semua peubah yang signifikan mempengaruhi perilaku
pergerakkan harga gabah baik pada koperasi maupun pada tengkulak disini tidak
memiliki respon kuat. Karena itu secara umum perilaku fluktuasi harga gabah
pada Propinsi Jawa Barat relatif tidak terjadi secara dratis.
Sedangkan pada Propinsi Jawa Timur, perilaku harga gabah koperasi
serupa dengan perilaku harga gabah tengkulak di Propinsi Sumatera Utara.
Di Jawa Timur, harga gabah yang ditetapkan koperasi makin bergerak naik searah
gerak kenaikan jumlah produksi gabah petani dan gerak kenaikan harga pupuk.
Tetapi penetapan harga gabah tersebut makin bergerak menurun ketika penjualan
gabah petani koperasi melimpah. Sementara pada tengkulak, penetapan harga
gabah bergerak naik searah kenaikan harga pupuk, sebaliknya harga gabah
tersebut bergerak menurun ketika penjualan gabah petani melimpah. Hasil disini
menunjukkan perilaku penetapan harga gabah dari pihak koperasi dan tengkulak
relatif sama. Disini, baik koperasi maupun tengkulak keduanya memperhatikan
62
perilaku penjualan gabah oleh petani. Berdasarkan nilai elastisitas, peubah
penjualan gabah petani pada harga gabah koperasi dan tengkulak memiliki respon
yang kuat. Karena itu baik harga gabah koperasi maupun tengkulak memiliki
kecenderungan kuat untuk berfluktuasi. Ini berarti di Propinsi Jawa Timur ketika
penjualan gabah melimpah harga-harga gabah berpotensi untuk menurun drastis.
Pada Propinsi Bali, harga gabah yang ditetapkan koperasi makin bergerak
naik searah gerak kenaikan jumlah penjualan gabah petani, dan sebaliknya
penetapan harga gabah tersebut makin bergerak menurun ketika produksi gabah
makin tinggi. Sedangkan penetapan harga gabah tersebut tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi harga pupuk. Sementara pada tengkulak, penetapan harga gabah
meningkat searah kenaikan harga pupuk, dan sebaliknya tidak dipengaruhi oleh
kenaikan jumlah produksi dan jumlah penjualan gabah petani. Hasil disini
menunjukkan perilaku penetapan harga gabah dari pihak koperasi dapat
menjelaskan perilaku fluktuasi harga gabah saat panen raya. Ketika panen raya
terjadi dan produksi gabah melimpah harga gabah cenderung makin menurun.
Sedangkan hubungan antara harga-harga input dan output dapat dijelaskan oleh
persamaan harga gabah tengkulak. Yakni harga-harga pupuk yang makin
bergerak naik akan juga cenderung untuk menaikkan harga gabah tengkulak.
Nilai-nilai elastisitas peubah pada kedua persamaan harga gabah (koperasi dan
tengkulak) di atas hanyalah bersifat inelastis. Ini menunjukkan bahwa respon
mereka (peubah produksi gabah, jumlah penjualan dan harga pupuk) tidak kuat
dalam merubah gerak perubahan harga-harga gabah oleh koperasi dan tengkulak.
Dengan demikian hasil ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga gabah baik oleh
koperasi maupun tengkulak di Propinsi Bali tidaklah begitu drastis.
Secara umum di Propinsi Nusa Tenggara Barat, perilaku penetapan harga
gabah oleh koperasi dan oleh tengkulak keduanya relatif sama. Penetapan harga
gabah keduanya makin bergerak naik searah gerak kenaikan jumlah penjualan
gabah petani, gerak kenaikan harga pupuk, dan gerak kenaikan harga gabah
kompetitornya masing-masing. Secara khusus penetapan harga gabah oleh
koperasi makin bergerak menurun ketika jumlah produksi gabah petani meningkat.
Sementara pada tengkulak, penetapan harga gabah mereka tidak dipengaruhi
oleh jumlah produksi gabah petani. Dengan demikian perilaku harga gabah
63
koperasi dapat digunakan untuk menjelaskan keadaan penurunan harga saat
surplus produksi.
Sama seperti propinsi lain, penjualan gabah petani dapat dilakukan setiap
saat sesuai kebutuhan petani dan kondisi harga pasar. Karena itu hubungan
positif antara kenaikan harga gabah dan jumlah penjualan petani dapat saja
terjadi. Sementara penetapan harga gabah yang bergerak naik searah kenaikan
harga pupuk merupakan hal yang normal karena pupuk adalah input dalam
produksi gabah. Kompetisi harga gabah antara koperasi dan tengkulak dapat
dilihat dari hubungan positif antara keduanya. Gerak kenaikan harga gabah yang
ditetapkan tengkulak dapat mendorong kenaikan harga gabah pada koperasi.
Begitu juga sebaliknya, kenaikan harga gabah koperasi dapat mendorong
kenaikan harga gabah tengkulak. Meskipun mereka berkompetisi, tetapi nilai-nilai
elastisitas menunjukkan bahwa kompetisi mereka tidak berlangsung dalam reaksi
yang kuat. Artinya ketika salah satu pihak menaikan harganya tidak cukup kuat
direspon oleh pihak lain. Disamping itu, elastisitas semua peubah lainnya yang
juga bersifat inelastis maka dapat diketahui bahwa harga gabah baik oleh koperasi
maupun tengkulak di Propinsi NTB tidak berfluktuasi secara drastis.
Pada Propinsi Jawa Tengah perilaku harga gabah yang ditetapkan koperasi
makin bergerak naik searah gerak kenaikan jumlah produksi dan penjualan gabah
petani, dan kenaikan harga pupuk level petani. Hasil ini menunjukkan bahwa
perilaku harga gabah koperasi tidak berlangsung searah dan menjelaskan kondisi
panen raya gabah dimana saat ini harga-harga gabah cenderung menurun.
Sementara pada tengkulak, penetapan harga gabah akan makin meningkat
searah kenaikan jumlah penjualan gabah dan kenaikan harga pupuk. Sebaliknya
harga gabah tersebut bergerak makin menurun ketika produksi gabah petani
melimpah. Karena perilaku harga gabah tengkulak ini dapat menjelaskan kondisi
pada panen raya dimana saat itu harga gabah cenderung jatuh. Berdasarkan
elastisitas, kondisi produksi melimpah saat panen raya dan jumlah penjualan
gabah hanya memiliki respon yang lemah terhadap penetapan harga-harga gabah
baik oleh pihak koperasi maupun pihak tengkulak. Pada tengkulak, kenaikan
harga pupuk memiliki respon kuat mempengaruhi fluktuasi harga gabah yang
ditetapkan mereka.
64
5.1.2.3. Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi
Pembelian gabah oleh koperasi ditentukan oleh besar harga yang
ditetapkan dan kapasitas peralatan produksi koperasi diantaranya RMU, gedung
dan lantai jemur, dan peralatan penunjang lainnya. Sebelum perubahan kebijakan
oleh pemerintah dengan menyerahkan distribusi pupuk dan pengadaan
gabah/beras kepada swasta, koperasi telah aktif dalam pembelian dan pengadaan
gabah/beras. Dalam hal ini koperasi beroperasi penuh dengan menggunakan
semua kapasitas peralatan yang ada. Akan tetapi setelah perubahan kebijakan,
koperasi mengalami penurunan cukup besar dalam kegiatan pembelian dan
pengadaan gabah/beras. Jadi, persamaan pembelian gabah koperasi digunakan
untuk mengukur kegiatan koperasi dalam pengadaan gabah dan beras dimaksud.
Setelah pemerintah merubah kebijakan perberasan nasional dengan
melibatkan pihak swasta, terdapat indikasi bahwa koperasi mengalami penurunan
cukup besar dalam kemampuan pengadaan beras. Untuk mengevaluasi eksistensi
koperasi dalam produksi beras, dimodelkan persamaan-persamaan produksi
beras dan kapasitas produksi beras koperasi. Peubah-peubah yang dianggap
menentukan jumlah produksi beras koperasi adalah kapasitas produksinya, jumlah
pembelian gabah, dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras.
Sedangkan kapasitas produksi beras ditentukan oleh peubah-peubah total
kapasitas prasarana dan sarana produksi beras, kapasitas RMU, dan kapasitas
gudang dan lantai jemur koperasi serta kenaikan produksi beras.
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa jumlah pembelian
gabah koperasi (BGKOP) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan
dipengaruhi positif oleh kapasitas RMU yang dimilikinya (CPRMUKOP), dan
dipengaruhi negatif kapasitas gudang/lantai jemur dan peralatan penunjang
koperasi, dan besaran harga gabah yang ditetapkan koperasi sendiri
(CPGLJKOP, CPLATKOP dan PGKOP). Peubah CPRMUKOP bersifat elastis
(1.82), dan ketiga peubah lainnya bersifat inelastis (– 0.61, – 0.30 dan –0.93).
Produksi beras koperasi (PROBRKOP) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh kapasitas produksi beras dan jumlah pembelian gabah koperasi
(CPPRODBR dan BGKOP) dan dipengaruhi negatif oleh total kapasitas prasaran
dan sarana produksi beras koperasi (TCPSARBR). Ketiga peubah disini bersifat
inelastis (0.29, 0.72 dan – 0.46). Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi
65
(CPPRODBR) secara signifikan dipengaruhi positif oleh kapasitas peralatan
penunjang produksi beras dan oleh total kapasitas prasaran dan sarana produksi
beras yang ada, (CPLATKOP dan TCPSARBR), dan dipengaruhi negatif oleh total
kapasitas RMU kopearsi (CPRMUKOP). Ketiga peubah bersifat inelastis (0.45,
0.54 dan – 0.19).
Pada Propinsi Sumatera Barat, hasil estimasi (Lampiran 3) menunjukkan
bahwa jumlah pembelian gabah koperasi (BGKOP) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh kapasitas RMU dan penetapan harga gabah koperasi (CPRMUKOP
dan PGKOP). Tetapi jumlah pembelian gabah ini tidak dipengaruhi oleh kapasitas
gugang/lantai jemur dan peralatan penunjang lainnya. Kedua peubah bersifat
inelastis (0.35 dan 0.48). Produksi beras koperasi (PROBRKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh kapasitas produksi beras dan jumlah pembelian gabah
koperasi (CPPRODBR dan BGKOP) dan dipengaruhi negatif oleh total kapasitas
prasaran dan sarana produksi beras koperasi (TCPSARBR). Peubah CPPRODBR
bersifat elastis (1.13) dan peubah BGKOP dan TCPSARBR bersifat inelastis (0.08
dan – 0.09). Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi (CPPRODBR) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh produksi beras, kapasitas gudang/lantai jemur
dan peralatan penunjang (PROBRKOP, CPGLJKOP dan CPLATKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh total kapasitas prasaran dan sarana produksi beras yang
ada (TCPSARBR). Kapasitas RMU tidak mempengaruhi kapasitas produksi beras
koperasi. Semua peubah disini bersifat inelastis.
Pada Propinsi Jawa Barat, hasil estimasi (Lampiran 4) menunjukkan jumlah
pembelian gabah koperasi (BGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
kapasitas RMU (CPRMUKOP) dan dipengaruhi negatif oleh penetapan harga
gabah koperasi (PGKOP). Jumlah pembelian gabah disini tidak dipengaruhi oleh
kapasitas gugang dan lantai jemur dan peralatan penunjang lainnya. Peubah
PGKOP bersifat elastis (– 1.27) dan peubah CPRMUKOP bersifat inelastis (0.69).
Produksi beras koperasi (PROBRKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
kapasitas produksi beras dan jumlah pembelian gabah koperasi (CPPRODBR dan
BGKOP) dan tidak dipengaruhi oleh total kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras koperasi. Kedua peubah bersifat inelastis (0.40 dan 0.31).
Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi (CPPRODBR) secara signifikan
66
dipengaruhi positif oleh produksi beras dan kapasitas RMU (PROBRKOP dan
CPRMUKOP), dan dipengaruhi negatif peralatan penunjang (CPRMUKOP dan
CPLATKOP). Tetapi produksi beras tidak dipengaruhi oleh kapasitas
gudang/lantai jemur. Peubah PROBRKOP bersifat elastis (1.32), sedangkan
kedua peubah lainnya bersifat inelastis (– 0.33 dan – 0.03).
Sesuai hasil estimasi pada Lampiran 5, jumlah pembelian gabah koperasi
(BGKOP) di Propinsi Jawa Timur secara signifikan dipengaruhi positif oleh
kapasitas RMU, gudang/lantai jemur, peralatan penunjang, dan harga gabah
koperasi (CPRMUKOP, CPGLJKOP, CPLATKOP dan PGKOP). Keempat peubah
tersebut bersifat inelastis (0.73, 0.42, 0.05 dan 0.68). Produksi beras koperasi
(PROBRKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh kapasitas produksi beras
dan jumlah pembelian gabah koperasi (CPPRODBR dan BGKOP). Peubah
BGKOP bersifat elastis (1.18) dan peubah CPPRODBR bersifat inelastis (0.34).
Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi (CPPRODBR) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh produksi beras, kapasitas RMU, dan kapasitas
gudang/lantai jemur (PROBRKOP, CPRMUKOP dan CPGLJKOP), tetapi
dipengaruhi negatif oleh kapasitas peralatan penunjang (CPLATKOP). Keempat
peubah bersifat inelastis (0.24, 0.50, 0.15 dan – 0.04).
Pada Propinsi Bali, hasil estimasi pada Lampiran 6 menunjukkan jumlah
pembelian gabah koperasi (BGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
kapasitas RMU dan peralatan penunjang (CPRMUKOP dan CPLATKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh harga gabah koperasi (PGKOP). Pembelian gabah tidak
dipengaruhi oleh kapasitas gudang dan lantai jemur. Peubah CPRMUKOP bersifat
elastis (1.02) dan kedua peubah lainnya bersifat inelastis (0.03 dan –0.36).
Produksi beras koperasi (PROBRKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
kapasitas produksi beras dan jumlah pembelian gabah koperasi (CPPRODBR dan
BGKOP), dan dipengaruhi negatif oleh total kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras yang ada (TCPSARBR). Ketiga peubah bersifat inelastis (0.22,
0.81 dan –0.02). Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi (CPPRODBR)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh produksi beras dan kapasitas peralatan
penunjang koperasi (PROBRKOP dan CPLATKOP). Tetapi ia dipengaruhi negatif
oleh kapasitas RMU (CPRMUKOP), dan tidak dipengaruhi oleh kapasitas
67
gudang/lantai jemur. Peubah PROBRKOP bersifat elastis (1.52) dan peubah
lainnya bersifat inelastis (0.08 dan – 0.59).
Pada Propinsi Nusa Tenggara Barat, hasil estimasi pada Lampiran 7
menunjukkan jumlah pembelian gabah koperasi (BGKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh kapasitas RMU dan peralatan penunjang (CPRMUKOP
dan CPLATKOP), dan dipengaruhi negatif oleh harga gabah koperasi (PGKOP).
Pembelian gabah tidak dipengaruhi oleh kapasitas gudang dan lantai jemur.
Peubah CPRMUKOP bersifat elastis (1.01) dan kedua peubah lainnya bersifat
inelastis (0.09 dan –0.31). Produksi beras koperasi (PROBRKOP) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh kapasitas produksi beras, jumlah pembelian
gabah, dan harga jual beras koperasi (CPPRODBR, BGKOP dan PBRKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras
yang ada (TCPSARBR). Keempat peubah bersifat inelastis (0.15, 0.88, 0.02 dan
–0.02). Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi (CPPRODBR) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh produksi beras dan kapasitas peralatan
penunjang koperasi (PROBRKOP dan CPLATKOP). Tetapi ia dipengaruhi negatif
oleh kapasitas gudang/lantai jemur (CPGLJKOP), dan tidak dipengaruhi oleh
kapasitas RMU. Peubah PROBRKOP bersifat elastis (1.20) dan peubah lainnya
bersifat inelastis (0.11 dan – 0.06).
Pada Propinsi Jawa Tengah, hasil estimasi pada Lampiran 8 menunjukkan
jumlah pembelian gabah koperasi (BGKOP) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh kapasitas RMU, kapasitas gudang dan lantai jemur, dan total kapasitas
prasarana dan sarana produksi beras koperasi (CPRMUKOP, CPGLJKOP dan
TCPSARBR). Sebaliknya pembelian gabah dipengaruhi negatif oleh harga gabah
koperasi (PGKOP). Keempat peubah disini hanya bersifat inelastis. Produksi
beras koperasi (PROBRKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh kapasitas
produksi beras dan jumlah pembelian gabah (CPPRODBR dan BGKOP). Kedua
peubah hanya bersifat inelastis. Sedangkan kapasitas produksi beras koperasi
(CPPRODBR) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi beras
dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi (PROBRKOP
dan TCPSARBR). Kedua peubah disini hanya bersifat inelastis.
68
Hasil-hasil estimasi di atas secara keseluruhan memperlihatkan bahwa
pada semua propinsi sampel, jumlah pembelian gabah koperasi terus meningkat
searah kenaikan kapasitas RMU yang dimiliki. Ini berarti dalam hal pembelian
gabah, unit-unit RMU sebagai peralatan utama penghasil beras masih digunakan
sebagai indikator penentu seberapa banyak gabah yang akan dibeli. Pada sisi
lain, hal inipun diartikan sebagai masih berfungsinya RMU tersebut. Pada Propinsi
Sumatera Utara, Bali dan NTB, peubah kapasitas RMU ini memiliki respon yang
kuat. Karena itu pada ketiga propinsi tersebut, upaya menambahkan atau
memperbesar kapasitas RMU akan meningkatkan jumlah pembelian gabah
koperasi. Sedangkan propinsi lainnya respon tersebut hanya lemah.
Pada dasarnya selain kapasitas RMU, kapasitas gudang dan lantai jemur
dan peralatan penunjang lainnya turut mendorong peningkatan jumlah pembelian
gabah koperasi. Tetapi di Propinsi Sumatera Utara terjadi hal sebaliknya yakni
kenaikan kapasitas gudang/lantai jemur dan peralatan penunjang lainnya malahan
menyebabkan jumlah pembelian gabah menurun. Ini merupakan suatu kondisi
yang tidak normal. Karena itu kondisi ini menunjukan bahwa kedua kapasitas
tersebut tidak lagi dijadikan indikator seberapa banyak gabah yang akan dibeli.
Dengan kata lain gudang dan lantai jemur dan peralatan penunjang di Sumatera
Utara kemungkinan tidak beroperasi dengan normal atau tidak intensif lagi
digunakan sebagai prasarana dan sarana penunjang produksi beras. Serupa
dengan Sumatera Utara, beberapa propinsi seperti Sumatera Barat, Jawa Barat,
Bali dan NTB, jumlah pembelian gabah malahan tidak dipengaruhi sama sekali
oleh kapasitas gudang dan lantai jemur. Ini menunjukkan peran prasarana ini tidak
lagi ada dan prasarana tersebut telah menganggur atau tidak terpakai.
Sementara pada Propinsi Jawa Timur yang mana koperasi-koperasi
menjalankan unit usaha bank padi, terlihat bahwa kenaikan kapasitas semua
peralatan yang ada (RMU, gudang dan lantai jemur dan peralatan penunjang
lainnya) turut mendukung kenaikan jumlah pembelian gabah koperasi. Ini berarti
kehadiran unit-unit bank padi akan signifikan mendorong kenaikan pembelian
gabah koperasi, dan hal ini potensial bagi peningkatan produksi beras. Begitu juga
dengan Jawa Tengah dimana kapasitas RMU, gudang/lantai jemur dan total
prasarana dan sarana beras secara keseluruhan masih mendukung secara baik
pembelian gabah koperasi.
69
Dari sisi harga gabah koperasi, pada Propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat,
Bali, NTB dan Jawa Tengah penetapan harga gabah yang makin tinggi akan
mendorong pengurangan terhadap jumlah pembelian. Sedangkan pada Propinsi
Sumatera Barat dan Jawa Timur, penetapan harga gabah koperasi makin tinggi
tetap menyebabkan pembelian gabah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok propinsi pertama menghadapi ketidakmampuan pembelian gabah
sebagai akibat kenaikan harga gabah. Dalam hal ini faktor penyebab pokok
adalah koperasi kekurangan modal pembelian gabah. Sementara pada kelompok
propinsi kedua, koperasi-koperasi relatif mampu membeli gabah jika harga gabah
tetap naik.
Hasil-hasil estimasi tentang produksi beras koperasi yang ditunjukkan di
atas memperlihatkan bahwa pada semua propinsi sampel, jumlah produksi beras
koperasi semakin meningkat searah kenaikan kapasitas produksi berasnya dan
kenaikan jumlah pembelian gabah mereka masing-masing. Ini berarti kenaikan
kedua faktor ini akan membawa dampak positif terhadap peningkatan produksi
beras koperasi. Akan tetapi terdapat juga kendala pada Propinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bali dan NTB, dimana total kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras yang dimiliki koperasi tidak lagi mendukung sepenuhnya produksi
beras koperasi. Beberapa faktor penyebab antara lain kapasitas prasarana dan
sarana tersebut masih kecil dan belum memadai, dan sebagian lagi tidak
berfungsi secara baik karena kurang dioperasikan. Hal ini sebagai akibat koperasi
meninggalkan usaha pengadaan pangan dan beralih kepada unit-unit usaha lain.
Sementara pada Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, produksi beras tidak
mengalami gangguan terkait prasarana dan sarana produksi yang dimiliki
sekarang. Bahkan di Jawa Timur, dengan dibangunnya bank padi oleh beberapa
koperasi mengakibatkan semua prasarana dan sarana produksi tersedia
memberikan dukungan kuat terhadap kenaikan produksi beras. Hal ini ditunjukkan
juga oleh nilai elastisitas peubah pembelian gabah koperasi, dimana kenaikan
pembelian gabah sangat kuat mendorong peningkatan produksi beras koperasi.
Semuanya ini dapat terjadi karena prasarana dan sarana pendukung beroperasi
secara penuh.
70
Pada beberapa propinsi, koperasi telah mengalami penurunan kapasitas
produksi berasnya. Pada Propinsi Sumatera Utara, kapasitas produksi selain
didukung oleh kapasitas peralatan penunjang seperti angkutan yang dimiliki
koperasi, juga masih didukung oleh prasarana dan sarana produksi beras yang
ada dilihat secara keseluruhan. Akan tetapi jika dilihat secara bagian, kapasitas
RMU dan gudang dan lantai jemur tidak lagi mendukung secara maksimal.
Penyebabnya antara lain karena prasarana tersebut cenderung menganggur.
Pada Propinsi Sumatera Barat terjadi hal sebaliknya. Secara bagian,
kapasitas gudang/lantai jemur dan peralatan penunjang lainnya masih mendukung
kapasitas produksi yang ada. Bahkan jika produksi beras terus meningkat maka
akan juga mendorong perluasan kapasitas produksi yang ada. Tetapi secara
keseluruhan semua prasarana dan sarana produksi yang dimiliki koperasi
sekarang tidak lagi mendukung terhadap peningkatan kapasitas produksi beras.
Sementara pada Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, kapasitas produksi
beras masih didukung secara baik oleh kapasitas RMU, gudang dan lantai jemur
yang dimiliki koperasi, sebaliknya peralatan penunjang kurang lagi mendukung
kapasitas produksi beras yang ada. Pada Jawa Tengah, kapasitas produksi
didukung oleh total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Pada Propinsi
Bali dan NTB, kapasitas peralatan penunjang masih mendukung kapasitas
produksi beras koperasi. Juga jika produksi beras dengan kapasitas terpasang
sekarang terus mengalami kenaikan maka akan mendorong peningkatan terhadap
kapasitas produksi yang ada. Akan tetapi kapasitas peralatan utama seperti RMU,
gudang dan lantai jemur tidak lagi memberikan dukungan maksimal terhadap
kapasitas produksi yang ada.
Berdasarkan penjelasan diatas terlihat bahwa pada satu sisi jumlah
pembelian gabah dan kapasitas produksi beras koperasi sangat bergantung pada
kapasitas prasarana dan sarana produksi beras yang ada. Sementara pada sisi
lain pembelian gabah dan kapasitas produksi tersebut sangat menentukan
produksi beras, maka untuk tujuan meningkatkan produksi beras koperasi secara
keseluruhan diperlukan pemecahan terhadap kendala-kendala yang dihadapi
koperasi pada masing-masing propinsi.
71
5.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi
5.1.3.1. Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi
Untuk mengetahui sejuah mana perkembangan operasional kelembagaan
koperasi setelah perubahan kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras oleh
pemerintah, perilaku usaha koperasi akan menjelaskan keadaan aktual koperasi.
Kondisi koperasi yang diamati adalah permodalannya, volume usaha, Sisa Hasil
Usaha (SHU), dan produktivitas koperasi. Bagian permodalan terdiri dari modal
sendiri, modal luar, dan jumlah aset koperasi.
Modal sendiri koperasi ditentukan oleh jumlah anggota dan simpanan para
anggotanya. Semakin besar kedua peubah tersebut maka semakin besar pula
modal sendiri koperasi. Koperasi-koperasi contoh yang dipilih dalam kajian ini
adalah koperasi pengadaan pangan. Untuk melihat keterkaitan antara
kemampuan pengadaan pangan dan pembentukan modal sendiri koperasi,
dimasukkan dalam analisis peubah kapasitas produksi beras koperasi. Kapasitas
produksi beras koperasi terkait erat dengan seluruh prasarana dan sarana
pendukungnya. Kepemilikan prasarana dan sarana tersebut merupakan bagian
dari pemupukan modal. Karena itu besaran kapasitas produksi berkorelasi dengan
besaran pembentukan modal sediri. Diasumsikan, jika koperasi aktif dan maju
dalam pengadaan dan pengelolaan gabah/beras maka pemilikan kapasitas
produksi beras akan berkontribusi dalam pembentukan modal sendiri koperasi.
Modal luar koperasi ditentukan oleh jumlah pemilikan aset, jumlah modal
sendiri, jumlah anggota dan jumlah unit usaha koperasi. Diasumsikan semakin
besar pemilikan aset, jumlah anggota dan jumlah unit usaha maka semakin besar
modal luar koperasi. Sedangkan jumlah pemilikan aset koperasi ditentukan oleh
total modal koperasi dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras.
Dengan asumsi bahwa koperasi contoh adalah koperasi pangan, maka besaran
kapasitas prasarana dan sarana produksi beras akan memberikan kontribusi
cukup besar pada total aset koperasi. Hal ini juga menunjukkan seberapa besar
dominasi unit usaha pengadaan pangan dalam keseluruhan operasional koperasi.
Hasil estimasi pada (Lampiran 2) menunjukkan modal sendiri koperasi
(MOSE) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah anggota, jumlah simpanan anggota dan kapasitas produksi beras koperasi
(ANG, SIMA dan CPPRODBR). Modal luar koperasi (MOLU) secara signifikan
72
dipengaruhi positif oleh jumlah aset, jumlah anggota dan jumlah unit usaha
koperasi (ASET, ANG dan JUS), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah modal
sendiri koperasi (MOSE). Sedangkan aset koperasi secara signifikan dipengaruhi
positif oleh total modal dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras
koperasi (MOTO dan TCPSARBR). Semua peubah dalam ketiga persamaan
bersifat inelastis.
Pada Propinsi Sumatera Barat, hasil estimasi (Lampiran 3) menunjukkan
modal sendiri koperasi (MOSE) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
anggota, jumlah simpanan anggota dan kapasitas produksi beras koperasi (ANG,
SIMA dan CPPRODBR). Modal luar koperasi (MOLU) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah aset dan jumlah kredit koperasi (ASET dan
KREDKOP), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah modal sendiri koperasi (MOSE).
Sedangkan aset koperasi secara signifikan dipengaruhi positif oleh total modal
dan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi (MOTO dan
TCPSARBR). Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis, kecuali
peubah ASET pada persamaan modal luar bersifat elastis (1.18).
Pada Propinsi Jawa Barat, hasil estimasi (Lampiran 4) menunjukkan modal
sendiri koperasi (MOSE) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah anggota
dan jumlah simpanan anggota (ANG dan SIMA), dan tidak dipengaruhi oleh
kapasitas produksi beras koperasi. Modal luar koperasi (MOLU) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah aset (ASET), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah
modal sendiri koperasi (MOSE). Sedangkan aset koperasi secara signifikan
dipengaruhi positif oleh total modal dan total kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras koperasi (MOTO dan TCPSARBR). Peubah ASET pada
persamaan modal luar dan peubah MOTO pada persamaan aset, keduanya
bersifat elastis (1.06 dan 1.16). Sedangkan semua peubah lainnya bersifat
elastis.
Hasil estimasi pada Propinsi Jawa Timur (Lampiran 5) menunjukkan modal
sendiri koperasi (MOSE) secara signifikan hanya dipengaruhi positif oleh jumlah
anggota (ANG), dan tidak dipengaruhi oleh jumlah simpanan anggota dan
kapasitas produksi beras koperasi. Modal luar koperasi (MOLU) secara signifikan
hanya dipengaruhi positif oleh jumlah aset (ASET), dan tidak dipengaruhi oleh
jumlah modal sendiri koperasi (MOSE). Sedangkan aset koperasi secara
signifikan dipengaruhi positif oleh total modal koperasi dan jumlah anggotanya
73
(MOTO dan ANG) tetapi tidak dipengaruhi total kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras koperasi. Semua peubah pada ketiga persamaan bersifat inelastis.
Pada Propinsi Bali, hasil estimasi (Lampiran 6) menunjukkan modal sendiri
koperasi (MOSE) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah anggota dan
jumlah simpanan anggota koperasi (ANG dan SIMA), dan tidak dipengaruhi oleh
kapasitas produksi beras koperasi. Modal luar koperasi (MOLU) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah aset dan jumlah unit usaha koperasi (ASET dan
JUS), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah modal sendiri koperasi (MOSE).
Sedangkan aset koperasi secara signifikan dipengaruhi positif oleh total modal
koperasi dan jumlah unit usaha koperasi (MOTO dan JUS), dan dipengaruhi
negatif oleh total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi
(TCPSARBR). Semua peubah pada ketiga persamaan bersifat inelastis kecuali
peubah ASET pada persamaan modal luar bersifat elastis (1.08).
Pada Propinsi Nusa Tenggara Barat, hasil estimasi (Lampiran 7)
menunjukkan modal sendiri koperasi (MOSE) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh jumlah anggota dan jumlah simpanan anggota koperasi (ANG dan SIMA),
dan tidak dipengaruhi oleh kapasitas produksi beras koperasi. Modal luar koperasi
(MOLU) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah unit usaha dan jumlah
kredit koperasi (JUS dan KREDKOP), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah modal
sendiri koperasi (MOSE). Sedangkan aset koperasi secara signifikan dipengaruhi
positif oleh total modal koperasi dan jumlah unit usaha koperasi (MOTO dan JUS).
Semua peubah pada ketiga persamaan bersifat inelastis.
Sedangkan pada Propinsi Jawa Tengah, hasil estimasi (Lampiran 8)
menunjukkan modal sendiri koperasi (MOSE) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh jumlah anggota (ANG), dan tidak dipengaruhi oleh kapasitas produksi beras
koperasi dan jumlah simpanan anggota. Modal luar koperasi (MOLU) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh nilai aset koperasi (ASET) dan tidak dipengaruhi
oleh modal sendiri (MOSE). Sedangkan aset koperasi secara signifikan
dipengaruhi positif oleh total modal dan jumlah anggota koperasi (MOTO dan
ANG), tetapi tidak dipengaruhi oleh total kapasitas prasarana dan sarana produksi
beras koperasi. Semua peubah pada ketiga persamaan bersifat inelastis.
Modal sendiri merupakan bagian dari permodalan koperasi yang perlu
ditumbuhkan untuk mendorong kemandirian koperasi dan peningkatan
74
kemampuan serta peningkatan produksinya. Pada Propinsi Sumatera Utara dan
Sumatera Barat, jumlah modal sendiri koperasi memiliki perilaku makin bertambah
searah kenaikan jumlah anggota, kenaikan jumlah simpanan anggota dan
kenaikan besaran kapasitas produksi beras koperasi. Hasil-hasil estimasi
menunjukkan kontribusi setiap individu anggota terhadap pembentukan modal
sendiri koperasi pada masing-masing propinsi relatif sangat kecil yaitu per individu
sebesar Rp. 45 396, dan Rp. 67 395, per tahun. Ini menunjukkan, para anggota
koperasi belum memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk mendorong
peningkatan modal sendiri koperasi mereka. Hasil seperti ini juga dialami oleh
semua propinsi sampel lainnya. Dengan demikian secara umum para anggota
koperasi relatif masih memiliki kemampuan rendah dalam pembentukan modal
sendiri koperasi.
Hal serupa terjadi pada kapasitas produksi beras koperasi. Kontribusi
kapasitas produksi beras koperasi terhadap modal sendiri relatif kecil. Pada
Propinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat, penambahan kapasitas produksi
beras sebesar satu ton masing-masing hanya berkontribusi pada pembentukan
modal sendiri sebesar Rp. 13 771, dan Rp. 58 711, per tahun. Ini menunjukkan
bahwa secara umum unit usaha pangan yang dijalankan koperasi belum
memberikan kontribusi berarti bagi pembentukan modal sendiri usaha koperasi
secara keseluruhan. Sedangkan kontribusi simpanan anggota untuk masing-
masing propinsi relatif cukup besar. Berarti penggunaan simpanan anggota untuk
meningkatkan modal sendiri pada masing-masing propinsi relatif cukup besar.
Pada Propinsi Jawa Barat, Bali dan NTB, jumlah modal sendiri koperasi
memiliki perilaku makin bertambah searah kenaikan jumlah anggota dan kenaikan
jumlah simpanan anggota, tetapi tidak dipengaruhi oleh kapasitas produksi beras
koperasi. Hasil-hasil estimasi menunjukkan kontribusi simpanan anggota untuk
masing-masing ketiga propinsi ini relatif cukup besar. Ini berarti penggunaan
simpanan anggota untuk meningkatkan modal sendiri pada masing-masing
propinsi relatif cukup besar. Sedangkan pada Propinsi Jawa Timur dan Jawa
Tengah modal sendiri koperasi hanya dipengaruhi oleh jumlah anggota dan tidak
dipengaruhi oleh kapasitas produksi beras. Semakin bertambah jumlah anggota
semakin besar modal sendiri.
Pada semua propinsi sampel penelitian, semua peubah yang
mempengaruhi besaran modal sendiri koperasi hanya bersifat inelastis. Berarti
75
tidak ada peubah yang memiliki respon kuat mendorong kenaikan modal sendiri
koperasi. Karena itu dapat diketahui bahwa modal sendiri koperasi tidak memiliki
insentif kuat untuk meningkat secara drastis. Dengan kata lain secara internal,
pertumbuhan modal sendiri koperasi berjalan lambat.
Pada semua propinsi sampel kecuali Jawa Timur dan Jawa Tengah,
penggunaan modal sendiri dan modal luar koperasi masih bersifat kompetitif.
Kenaikan jumlah salah satu jenis modal potensial membatasi peningkatan jumlah
modal lainnya. Kedua jenis modal tidak bersifat kompelementer dalam
penggunaannya. Hasil-hasil estimasi menunjukkan bahwa pada semua propinsi,
kenaikan modal sendiri menyebabkan modal luar makin menyusut. Meskipun
demikian, hubungan keduanya inelastis yang menunjukkan tidak ada
kecenderungan yang kuat untuk penyusutan modal luar terjadi dengan sempurna.
Pada Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, kenaikan modal luar tidak
dipengaruhi oleh berapapun jumlah modal sendiri. Ini berarti pada kedua propinsi
tersebut, penggunaan kedua jenis modal ini oleh koperasi bersifat komplementer.
Pada satu sisi modal luar dapat terus meningkat dan pada sisi lain modal sendiri
juga terus meningkat. Dengan demikian kedua modal akan digunakan secara
akumulasi dalam pendanaan usaha koperasi keseluruhan.
Modal luar makin bergerak naik searah kenaikan nilai aset. Pada Propinsi
Sumatera Utara dan NTB, kontribusi nilai aset pada modal luar sangat kecil yakni
kenaikan nilai aset sebesar 1 % hanya menaikan modal luar 0.17 % dan 0.09 %.
Sedangkan pada Propinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Bali nilai aset memberikan kontribusi cukup besar masing-masing 0.61 %,
0.93 %, 0.70 %, 0.71 % dan 0.51 %. Hasil ini menunjukkan sebenarnya kenaikan
nilai aset dominan disumbangkan oleh modal luar. Pada Propinsi Sumatera Barat,
Jawa Barat dan Bali nilai aset ini memiliki respon kuat. Dengan demikian kenaikan
nilai aset akan meningkatkan secara drastis besaran modal luar koperasi.
Khusus pada Sumatera Utara, Bali dan NTB penambahan satu unit usaha
baru pada koperasi akan meningkatkan jumlah modal luarnya. Hasil-hasil estimasi
menunjukkan, penambahan satu unit usaha baru pada koperasi di ketiga propinsi
tersebut membutuhkan modal luar masing-masing sebesar Rp. 45 600 524,
Rp. 21 121 028, dan Rp. 30 918 577. Ini menunjukkan koperasi membutuhkan
modal luar cukup besar untuk mendirikan unit usaha baru. Juga khusus pada
76
Sumatera Barat dan NTB, kenaikan kredit koperasi turut meningkatkan modal luar.
Disini, kredit digunakan koperasi untuk menambah modal luarnya.
Pada Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Barat nilai aset
koperasi memiliki perilaku makin bertambah searah kenaikan modal total dan
kenaikan total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi. Sesuai
hasil-hasil estimasi, kontribusi total kapasitas prasarana dan sarana produksi
beras terhadap nilai aset koperasi relatif masih rendah. Ini menunjukkan kapasitas
prasarana dan sarana dimaksud berserta unit usaha pengadaan pangan yang
dijalankan koperasi belum memberikan kontribusi berarti pada total nilai aset
koperasi. Hal ini kemungkinan disebabkan unit usaha pangan koperasi hanyalah
unit usaha relatif berskala kecil. Juga kemungkinan disebabkan prasarana dan
sarana tersebut tidak lagi beroperasi maksimal. Khusus pada Propinsi Bali, total
kapasitas prasarana dan sarana produksi beras malahan memberikan kontribusi
negatif terhadap nilai aset. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana dan sarana
dimaksud tidak beroperasi maksimal lagi. Sedangkan pada Jawa Timur dan Jawa
Tengah, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras tidak memberikan
kontribusi apapun pada nilai aset koperasi karena sesuai hasil estimasi peubah ini
tidak signifikan. Pada Propinsi Bali dan NTB, jumlah unit usaha yang dijalankan
koperasi mempengaruhi besaran nilai aset koperasi. Penambahan satu unit usaha
baru pada masing-masing propinsi akan meningkatkan nilai aset koperasi sebesar
Rp. 34 604 059, dan Rp. 34 340 026. Ini berarti untuk mendiringan sebuah unit
usaha baru dibutuhkan modal di atas Rp. 30 juta.
5.1.3.2. Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi
Volume usaha koperasi pada dasarnya ditentukan oleh nilai volume usaha
dari pelayanan anggota dan nilai volume dari pelayanan terhadap pasar umum.
Juga dianalisis keterkaitan pengadaan pupuk dengan volume usaha, dan apa
yang terjadi jika pihak koperasi dan swasta masing-masing diberi peran lebih
tinggi dalam distribusi pupuk.
Sisa hasil usaha koperasi (SHU) ditentukan oleh volume usaha, besaran
nilai aset dan produktivitas anggota. Semakin besar volume usaha koperasi akan
semakin besar juga SHU yang akan diterima. Semakin besar nilai total aset
koperasi menunjukkan peluang menerima SHU yang besar semakin terbuka.
77
Diasumsikan jika produktivitas anggota koperasi semakin baik berpeluang
meningkatkan SHU yang diterima koperasi. Sebaliknya, semakin besar SHU yang
diterima koperasi maka makin besar bagian yang akan diterima anggota masing-
masing. Begitu juga semakin tinggi produkvitas seorang anggota semakin besar
bagian SHU yang ia terima.
Hasil estimasi pada (Lampiran 2) menunjukkan volume usaha koperasi
(VOLUME) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah pengadaan pupuk koperasi, nilai volume usaha dari pelayanan kepada
anggota dan pelayanan kepada pasar umum (S4ECKOP, VOLA dan VOLPSR),
dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan pupuk pengecer swasta (S4ECNKO).
Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara signifikan dipengaruhi positif oleh volume
usaha, jumlah aset dan indeks produktivitas anggota (VOLUME, ASET dan
PRAN). Sedangkan bagian SHU yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh besaran SHU dan indeks produktivitas anggota (SHU dan
PRAN). Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis.
Pada Propinsi Sumatera Barat, hasil estimasi (Lampiran 3) menunjukkan
volume usaha koperasi (VOLUME) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah pengadaan pupuk koperasi dan nilai volume usaha dari pelayanan kepada
anggota (S4ECKOP dan VOLA). Tetapi ia dipengaruhi negatif oleh pengadaan
pupuk pengecer swasta (S4ECNKO). Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh volume usaha dan jumlah aset koperasi
(VOLUME dan ASET), tetapi tidak dipengaruhi oleh indeks produktivitas anggota.
Sedangkan bagian SHU yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh besaran SHU dan indeks produktivitas anggota (SHU dan
PRAN). Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis, kecuali peubah
S4ECKOP pada persamaan volume usaha bersifat elastis (1.19).
Pada Propinsi Jawa Barat, hasil estimasi (Lampiran 4) menunjukkan
volume usaha koperasi (VOLUME) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
jumlah pengadaan pupuk koperasi, jumlah pengadaan pupuk swasta dan nilai
volume usaha dari pelayanan kepada anggota (S4ECKOP, S4ECNKO dan
VOLA). Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
volume usaha dan jumlah aset koperasi (VOLUME dan ASET). Sedangkan bagian
SHU yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan dipengaruhi positif oleh
78
besaran SHU dan indeks produktivitas anggota (SHU dan PRAN). Semua peubah
dalam ketiga persamaan bersifat inelastis.
Hasil estimasi pada Lampiran 5 menunjukkan volume usaha koperasi
(VOLUME) di Propinsi Jawa Timur secara signifikan hanya dipengaruhi positif oleh
nilai volume usaha dari pelayanan kepada anggota (VOLA), dan tidak dipengaruhi
baik oleh jumlah pengadaan pupuk koperasi maupun jumlah pengadaan pupuk
swasta. Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh volume usaha dan jumlah aset koperasi (VOLUME dan ASET). Sedangkan
bagian SHU yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan hanya dipengaruhi
positif oleh besaran SHU, dan tidak dipengaruhi oleh indeks produktivitas anggota
koperasi. Peubah VOLUME pada persamaan SHU dan peubah SHU pada
persamaan SHUA keduanya bersifat elastis (1.01 dan 1.19). Sedangkan semua
peubah lainnya bersifat inelastis.
Pada Propinsi Bali, hasil estimasi pada Lampiran 6 menunjukkan volume
usaha koperasi (VOLUME) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
pengadaan pupuk dan produksi beras koperasi, dan nilai volume usaha dari
pelayanan kepada anggota (S4ECKOP, PROBRKOP dan VOLA). Tetapi ia tidak
dipengaruhi oleh jumlah pengadaan pupuk swasta. Sisa Hasil Usaha koperasi
(SHU) secara signifikan dipengaruhi positif oleh volume usaha dan indeks
produktivitas anggota koperasi (VOLUME dan PRAN). Sedangkan bagian SHU
yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan dipengaruhi positif oleh besaran
SHU, jumlah anggota dan indeks produktivitas anggota koperasi (SHU, ANG,
PRAN). Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis.
Pada Propinsi NTB, hasil estimasi pada Lampiran 7 menunjukkan volume
usaha koperasi (VOLUME) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah
pengadaan pupuk koperasi dan nilai volume usaha dari pelayanan kepada
anggota (S4ECKOP dan VOLA), dan dipengaruhi negatif jumlah pengadaan
pupuk swasta (S4ECNKO). Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh volume usaha dan indeks produktivitas anggota koperasi
(VOLUME dan PRAN). Sedangkan bagian SHU yang diterima anggota (SHUA)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh besaran SHU dan jumlah anggota (SHU
dan ANG), tetapi tidak dipengaruhi oleh indeks produktivitas anggota koperasi.
Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis.
79
Pada Propinsi Jawa Tengah hasil estimasi pada Lampiran 8 menunjukkan
volume usaha koperasi (VOLUME) secara signifikan dipengaruhi positif oleh nilai
volume usaha dari pelayanan kepada anggota dan pelayanan kepada pasar
umum (VOLA dan VOLPSR), dan tidak dipengaruhi oleh jumlah pengadaan pupuk
baik oleh pengecer koperasi maupun swasta dan oleh jumlah produksi beras
koperasi. Sisa Hasil Usaha koperasi (SHU) secara signifikan dipengaruhi positif
oleh volume usaha dan besaran nilai aset koperasi (VOLUME dan ASET).
Sedangkan bagian SHU yang diterima anggota (SHUA) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh besaran SHU dan nilai indeks produktivitas anggota
koperasi (SHU dan PRAN). Semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat
inelastis.
Pada semua propinsi sampel, volume usaha koperasi memiliki perilaku
makin meningkat searah kenaikan nilai volume usaha dari pelayanan kepada para
anggota koperasi. Secara umum, semua koperasi lebih dominan kepada
pelayanan kepada para anggotanya dibanding pelayanan kepada pasar umum. Ini
merupakan wujud fungsi sosial yang tengah diemban koperasi. Khusus pada
beberapa propinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat dan NTB volume
usaha koperasi makin menurun searah kenaikan jumlah pengadaan pupuk oleh
pengecer swasta. Ini berarti kehadiran pengecer swasta dalam penyaluran pupuk
turut mengurangi kesempatan koperasi-koperasi pada propinsi-propinsi tersebut
untuk menambah volume usahanya. Sebelum kebijakan baru distribusi pupuk dan
pengadaan beras yang berlaku saat ini, kebijakan sebelumnya memberikan
kewenangan penuh kepada koperasi dalam penyaluran pupuk dan pengadaan
beras. Dengan kebijakan tersebut, banyak koperasi telah terlibat dalam distribusi
pupuk dan pengadaan pangan sehingga unit-unit usaha penyaluran pupuk dan
pengadaan pangan turut memberikan kontribusi signifikan terhadap volume usaha
koperasi. Setelah kebijakan baru berlaku, koperasi tersaingi oleh pihak swasta
dan karena itu mempengaruhi besaran volume usaha mereka.
Secara khusus pada Propinsi Jawa Barat volume usaha koperasi malahan
makin meningkat searah kenaikan jumlah pengadaan pupuk oleh pengecer
swasta. Bahkan pada Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah volume usaha
koperasi tidak dipengaruhi sama sekali oleh jumlah pengadaan pupuk baik oleh
pengecer swasta maupun pengecer koperasi. Juga di Bali, volume usaha tidak
dipengaruhi oleh pengadaan pupuk pengecer swasta. Hal ini menunjukkan pada
80
propinsi-propinsi tersebut usaha koperasi tetap berjalan normal tanpa terganggu
oleh perubahan kebijakan yang memberikan wewenang lebih besar kepada pihak
swasta. Sedangkan pada semua propinsi kecuali Jawa Timur dan Jawa Tengah,
kenaikan pengadaan pupuk oleh pengecer koperasi turut mendorong kenaikan
volume usaha koperasi. Pada Sumatera Barat, pengadaan pupuk pengecer
koperasi ini memiliki respon kuat untuk meningkatkan volume usaha.
Hasil-hasil estimasi menunjukkan bahwa gerak kenaikan volume usaha dan
kenaikan besaran nilai aset akan mendorong kenaikan besaran SHU yang
diterima koperasi. Hal ini terjadi pada hampir semua propinsi. Ini menunjukkan
bahwa kedua peubah ini berhubungan erat dengan besaran SHU. Selain itu
kenaikan indeks produktivitas anggota turut mendorong kenaikan nilai SHU.
Produktivitas anggota menunjukkan seberapa besar kemampuan mereka
menyumbangkan return pada besaran volume usaha. Kenaikan indeks
produktivitas ini merupakan suatu indikator bagi kenaikan SHU koperasi. Pada
Propinsi Suametara Utara, Bali dan NTB besaran SHU koperasi dipengaruhi juga
produktivitas anggota ini. Meskipun demikian, peubah produksivitas indeks
produktivitas anggota koperasi ini masih memberikan kontribusi yang kecil bagi
pembentukan SHU.
Sedangkan bagian SHU yang diterima para anggota makin meningkat
sejalan dengan kenaikan nilai SHU yang dicapai koperasi. Perilaku ini terjadi di
semua propinsi dan menunjukkan bahwa kenaikan besaran SHU akan
memberikan peluang lebih besar kepada para anggota untuk menerima bagiannya
masing-masing. Beberapa propinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Bali dan Jawa Tengah indeks produktivitas anggota turut mempengaruhi
kenaikan bagian SHU yang akan mereka terima. Meskipun demikian kontribusi
peubah produktivitas anggota terhadap besaran bagian SHU yang diterima
anggota masih begitu kecil, juga ia tidak memiliki respon yang kuat terhadap
kenaikan bagian SHU. Sedangkan pada Propinsi Jawa Timur dan NTB, indeks
produktivitas anggota tidak mempengaruhi besaran bagian SHU yang akan
diterima anggota.
81
5.1.3.3. Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha
Produktivitas anggota merupakan sebuah angka yang mengukur seberapa
banyak output yang dapat dihasilkan oleh seorang anggota koperasi. Semakin
tinggi angka tersebut semakin tinggi pula produktivitas anggota. Angka ini
merupakan rasio antara volume usaha dan jumlah anggota koperasi. Koperasi-
koperasi dengan anggota banyak cenderung menghasilkan volume usaha lebih
besar. Sedangkan produktivitas aset merupakan angka yang mengukur
produktivitas dari kekayaan aset koperasi. Aset-aset yang ditanamkan memiliki
nilai dan karena itu ia harus menerima return-nya. Produktivitas aset dihitung
dengan membagi antara volume usaha dan total nilai aset koperasi. Semakin
tinggi volume usaha koperasi semakin tinggi pula return yang diterima aset yang
ditanamkan dan berarti semakin tinggi produktivitas aset tesebut. Produktivitas
usaha merupakan angka yang mengukur besarnya bagian SHU (%) dari total
volume usaha yang dicapai koperasi. Jika pencapaian suatu volume usaha
sanggup memberikan bagian terbesar bagi SHU berarti diperoleh produktivitas
usaha yang lebih tinggi. Angka produktivitas usaha diperoleh dengan mencari
prosentase besaran SHU dari volume usaha.
Produktivitas anggota (PRAN) diasumsikan ditentukan oleh volume usaha,
jumlah tempat pelayanan koperasi, jumlah karyawan dan produktivitas modal total.
Semakin besar volume usaha, semakin banyak tempat pelayanan koperasi dan
semakin tinggi produktivitas modal total maka semakin besar pula produktivitas
anggota. Sedangkan semakin banyak jumlah karyawan koperasi semakin
berkurang produktivitas anggota. Produktivitas aset (PRAS) ditentukan oleh
volume usaha, produktivitas anggota dan produktivitas modal total. Semakin besar
volume usaha, semakin tinggi produktivitas anggota dan produktivitas modal total
maka semakin tinggi pula produktivitas aset koperasi. Produktivitas usaha (PRUS)
ditentukan oleh produktivitas anggota dan produktivitas kredit yang diambil
koperasi. Semakin besar kedua peubah tersebut semakin besar pula produktivitas
usaha. Kredit digunakan koperasi untuk mendanai berbagai kegiatan produktif
koperasi. Diharapkan penggunaan kredit akan mendatangkan output yang lebih
besar bagi koperasi. Jika kredit tersebut cukup produktif mendatangkan output, itu
berarti ia meningkatkan produktifitas usaha.
82
Hasil estimasi pada Lampiran 2 menunjukkan indeks produktivitas anggota
koperasi (PRAN) di Propinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif
oleh nilai volume usaha, jumlah tempat pelayanan koperasi dan indeks
produktivitas modal total (VOLUME, JTPK dan PRMOTO). Tetapi ia dipengaruhi
negatif oleh jumlah karyawan yang dipekerjakan pada koperasi (JKAR). Indeks
produktivitas aset koperasi (PRAS) secara signifikan dipengaruhi positif oleh nilai
volume usaha dan indeks produktivitas modal total (VOLUME dan PRMOTO),
tetapi ia dipengaruhi negatif oleh indeks produktivitas anggota (PRAN).
Sedangkan indeks produktivitas usaha (PRUS) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh indeks produktivitas anggota dan indeks produktivitas kredit koperasi
(PRAN dan PRKRED). Peubah VOLUME baik pada persamaan PRAN maupun
pada persamaan PRAS, dan peubah JKAR pada persamaan PRAN, ketiganya
bersifat elastis (1.95, 1.10 dan – 2.23). Sedangkan semua peubah lainnya bersifat
inelastis.
Pada Propinsi Sumatera Barat, hasil estimasi (Lampiran 3) menunjukkan
indeks produktivitas anggota koperasi (PRAN) di Propinsi Sumatera Utara secara
signifikan dipengaruhi positif oleh nilai volume usaha koperasi (VOLUME), dan
dipengaruhi negatif oleh jumlah karyawan yang dipekerjakan pada koperasi
(JKAR). Indeks produktivitas aset koperasi (PRAS) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh nilai volume usaha (VOLUME), dan dipengaruhi negatif oleh indeks
produktivitas anggota dan indeks produktivitas modal total (PRAN dan PRMOTO).
Sedangkan indeks produktivitas usaha (PRUS) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh indeks produktivitas anggota, indeks produktivitas biaya operasional
koperasi dan indeks produktivitas kredit (PRAN, PRCOST dan PRKRED). Peubah
VOLUME pada persamaan PRAN bersifat elastis (1.28), sedangkan semua
peubah lainnya bersifat inelastis.
Hasil estimasi pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa di Propinsi Jawa
Barat indeks produktivitas anggota koperasi (PRAN) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh nilai volume usaha koperasi (VOLUME), dan dipengaruhi negatif oleh
jumlah karyawan yang dipekerjakan pada koperasi (JKAR). Indeks produktivitas
aset koperasi (PRAS) secara signifikan dipengaruhi positif oleh indeks
produktivitas modal total (PRMOTO), dan tidak dipengaruhi oleh volume usaha
maupun SHU. Sedangkan indeks produktivitas usaha (PRUS) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh indeks produktivitas aset, indeks produktivitas anggota
83
dan indeks produktivitas kredit (PRAS, PRAN dan PRKRED). Peubah VOLUME
pada persamaan PRAN bersifat elastis (1.22), sedangkan semua peubah lainnya
bersifat inelastis.
Hasil estimasi pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa di Propinsi Jawa
Timur indeks produktivitas anggota koperasi (PRAN) secara signifikan dipengaruhi
positif oleh nilai volume usaha koperasi dan jumlah tempat pelayanan koperasi
(VOLUME dan JTPK), dan dipengaruhi negatif oleh jumlah karyawan yang
dipekerjakan pada koperasi (JKAR). Indeks produktivitas aset koperasi (PRAS)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh volume usaha dan indeks produktivitas
modal total (VOLUME dan PRMOTO). Sedangkan indeks produktivitas usaha
(PRUS) secara signifikan dipengaruhi positif oleh indeks produktivitas anggota
dan indeks produktivitas kredit (PRAN dan PRKRED). Peubah VOLUME pada
persamaan PRAN bersifat elastis (1.19), sedangkan semua peubah lainnya
bersifat inelastis.
Hasil estimasi pada Lampiran 6 dan 7 menunjukkan bahwa di Propinsi Bali
dan Nusa Tenggara Barat indeks produktivitas anggota koperasi (PRAN) secara
signifikan dipengaruhi positif oleh nilai SHU dan indeks produktivitas modal total
(SHU dan PRMOTO). Indeks produktivitas aset koperasi (PRAS) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh volume usaha dan indeks produktivitas anggota (VOLUME
dan PRAN). Sedangkan indeks produktivitas usaha (PRUS) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh volume usaha, indeks produktivitas anggota dan indeks
produktivitas biaya operasional (VOLUME, PRAN dan PRCOST). Pada Propinsi
Bali, semua peubah dalam ketiga persamaan bersifat inelastis. Sedangkan pada
NTB, peubah SHU pada persamaan PRAN bersifat elastis (1.14), dan semua
peubah lainnya bersifat inelastis.
Pada Propinsi Jawa Tengah, hasil estimasi pada Lampiran 8 menunjukkan
bahwa indeks produktivitas anggota koperasi (PRAN) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh besaran volume usaha koperasi (VOLUME), dan tidak
dipengaruhi oleh jumlah tempat pelayanan koperasi. Indeks produktivitas aset
koperasi (PRAS) secara signifikan hanya dipengaruhi positif oleh indeks
produktivitas modal total koperasi (PRMOTO), dan tidak dipengaruhi oleh volume
usaha dan indeks produktivitas anggota. Sedangkan indeks produktivitas usaha
(PRUS) secara signifikan dipengaruhi positif oleh volume usaha, indeks
produktivitas anggota dan indeks produktivitas biaya operasional (VOLUME,
84
PRAN dan PRCOST). Peubah VOLUME pada persamaan produktivitas anggota
bersifat elastis (1.05), sedangkan semua peubah lainnya bersifat inelastis.
Hasil-hasil estimasi menunjukkan, pada Propinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah indeks produktivitas
anggota koperasi makin meningkat searah kenaikan nilai volume usaha.
Sedangkan pada Propinsi Bali dan NTB, indeks produktivitas anggota koperasi
makin meningkat searah kenaikan besaran nilai SHU. Ini berarti pada semua
propinsi terdapat kecenderungan kenaikan produktivitas anggota koperasi. Adalah
suatu kemajuan yang menggembirakan jika dari waktu ke waktu produktivitas
anggota-anggota koperasi makin meningkat, dan kenaikan produktivitas tersebut
terwujud melalui kenaikan dalam volume usaha dan SHU.
Tetapi berdasarkan hasil estimasi kontribusi volume usaha dan SHU
terhadap kenaikan produktivitas anggota relatif sangat kecil. Yakni dengan
kenaikan volume usaha dan SHU masing-masing sebesar 10 % hanya mampu
mendorong kenaikan produktivitas anggota koperasi pada masing-masing
Propinsi Sumatera Utara 0.10 %, Sumatera Barat 0.09 %, Jawa Barat 0.10 %,
Jawa Timur 0.001 %, Bali 0.36 %, NTB 0.84 % dan Jawa Tengah 0.002 %. Hasil
ini menunjukkan bahwa kenaikan produktivitas anggota koperasi pada seluruh
propinsi masing-masing sangat kecil. Meskipun kontribusinya kecil, peubah SHU
pada NTB dan peubah volume usaha memiliki respon yang kuat terhadap
kenaikan produktivitas anggota. Karena itu dari waktu ke waktu produktivitas
anggota berpotensi untuk meningkat jika volume usaha dan SHU terus
ditingkatkan.
Pada Propinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur indeks produktivitas
anggota koperasi juga makin meningkat searah kenaikan jumlah tempat
pelayanan koperasi. Semakin banyak tempat pelayanan koperasi, semakin
mendorong kenaikan produktivitas para anggotanya. Sementara pada Propinsi
Bali dan NTB, indeks produktivitas anggota koperasi juga makin meningkat searah
kenaikan indeks produktivitas modal total. Sesuai hasil-hasil estimasi, kedua
peubah jumlah tempat pelayanan koperasi dan indeks produktivitas modal total
tidak memiliki respon kuat terhadap kenaikan produktivitas anggota.
85
Untuk indeks produktivitas aset, hasil-hasil estimasi menunjukkan pada
Propinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur indeks produktivitas aset koperasi makin
meningkat searah kenaikan nilai volume usaha dan kenaikan indeks produktivitas
modal total. Peubah volume usaha dan modal total adalah peubah-peubah utama
dalam sebuah koperasi. Karena itu kenaikan keduanya tentu mendorong kenaikan
produktivitas aset. Tetapi pada Propinsi Sumatera Barat, produktivitas aset hanya
dipengaruhi positif oleh volume usaha dan sebaliknya dipengaruhi negatif oleh
produktivitas modal total. Hal ini menunjukkan adanya kondisi tidak normal di
dalam operasional koperasi. Kondisi tidak normal juga terjadi pada Propinsi Jawa
Barat dan Jawa Tengah dimana produktivitas aset hanya dipengaruhi positif oleh
produktivitas modal total tetapi tidak dipengaruhi oleh volume usaha dan nilai
SHU. Khusus pada Propinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat, produktivitas
aset makin menurun ketika produktivitas anggota makin meningkat. Kondisi tidak
normal menunjukkan adanya kelemahan pada produktivitas anggota yang belum
memberikan kontribusi positif terhadap kenaikan produktivitas aset.
Untuk produktivitas usaha, hasil-hasil estimasi menunjukkan pada Propinsi
Sumatera Utara dan Jawa Timur indeks produktivitas usaha koperasi makin
meningkat searah kenaikan indeks produktivitas anggota dan kenaikan indeks
produktivitas kredit koperasi. Meskipun kenaikan keduanya akan meningkatkan
indeks produktivitas usaha koperasi, akan tetapi hasil-hasil estimasi menunjukkan
bahwa kontribusi keduanya sangatlah kecil.
Para Propinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, NTB dan Jawa Tengah
ada penambahan peubah yang mempengaruhi indeks produktivitas usaha
koperasi. Di Sumatera Barat, Bali, NTB dan Jawa Tengah terdapat peubah
produktivitas biaya operasional dan di Jawa Barat ada peubah produktivitas aset.
Kenaikan pada semua peubah-peubah ini akan mendorong kenaikan produktivitas
usaha koperasi. Tetapi sesuai hasil estimasi, kontribusi dari peubah-peubah
tersebut relatif masih sangat kecil.
86
5.2. Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras
Untuk mengetahui efektif tidaknya penyaluran pupuk dan pengadaan beras
sesuai kebijakan yang telah ada, dilakukan simulasi terhadap model yang telah
dibangun. Tujuan melakukan simulasi adalah untuk menganalisis dampak
perubahan peubah-peubah endogen dan eksogen tertentu terhadap keseluruhan
peubah endogen di dalam model. Perubahan terhadap peubah-peubah dimaksud
dilakukan dengan cara mengubah nilainya. Sedangkan peubah yang disimulasi
adalah peubah yang terkait dan menjelaskan tentang kebijakan distribusi pupuk
dan pengadaan gabah dan beras yang ada, serta peubah-peubah kebijakan
lainnya.
5.2.1. Validasi Model
Sebelum dilakukan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk
mengetahui apakah model tersebut valid untuk dilakukan simulasi. Indikator yang
digunakan untuk menilai apakah model valid atau tidak adalah Mean Square Error
(MSE), Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error
(RMSPE), U-Theil (nilai koefisien pendugaan Theil), dan Koefisien Determinasi
(R2). Nilai-nilai MSE, RMSE, RMSPE dan U-Theil yang diharapkan adalah kecil
atau mendekati nol sedangkan nilai R2 mendekati satu.
Hasil validasi model semua propinsi dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel
tersebut dapat dilihat bahwa indikator RMSE pada masing-masing model (sesuai
propinsi) menunjukkan lebih kecil dari 50 % peubah endogen bernilai mendekati
nol. Ini berarti indikator RMSE tidak dapat digunakan untuk menetapkan model
valid. Indikator RMSPE menunjukkan model pada Propinsi Sumatera Utara, Jawa
Barat dan Jawa Timur valid untuk disimulasi karena 50 % peubah endogennya
bernilai mendekati nol, sedangkan model propinsi lainnya tidak valid. Indikator
Koefisien Determinasi (R2) dan nilai koefisien pendugaan Theil (U-Theil)
menunjukkan semua model valid karena lebih dari 50 % peubah endogen
memenuhi kriteria masing-masing indikator. Secara umum dengan menggunakan
indikator R2 dan U-Theil, seluruh model dinilai valid untuk dilakukan simulasi.
87
Tabel 2. Hasil Validasi Model
Persentase Peubah Sesuai Indikator Propinsi RMSE RMSPE R2 U-Theil
Evaluasi
1. Sumatera Utara 34.61 53.85 80.77 76.92 Valid
2. Sumatera Barat 34.61 34.61 76.92 76.92 Valid
3. Jawa Barat 30.77 57.69 57.69 61.54 Valid
4. Jawa Timur 30.77 50.00 70.08 84.61 Valid
5. Bali 30.77 42.31 96.15 96.15 Valid
6. Nusa Tenggara Barat 30.77 38.46 92.31 92.31 Valid
7. Jawa Tengah 30.77 46.15 76.92 80.77 Valid
5.2.2. Skenario Simulasi
Sebelum dilakukan simulasi terlebih dahulu ditetapkan skenario-skenario
yang akan disimulasikan. Skenario di bawah ini disusun dengan tujuan untuk
menganalisis sejauh mana kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang
telah berjalan efektif : (1) mengatasi kelangkaan pupuk pada petani, (2)
meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani, (3) meningkatkan produksi
dan kapasitas produksi beras koperasi, dan (4) meningkatkan kinerja usaha-usaha
koperasi.
Skenario yang ditetapkan antara lain :
1. Kenaikan pengadaan pupuk oleh pengecer swasta dan kenaikan kelangkaan
pupuk yang ditunjukkan oleh peubah SISA sebesar 25 %,
2. Penurunan pembelian gabah oleh koperasi sebesar 25 %. Skenario pertama diambil berdasarkan fakta bahwa pemerintah telah
mengambil kebijakan distribusi pupuk yang baru yang memberikan kesempatan
lebih besar kepada penyalur swasta. Data lapangan menunjukkan sekitar 70 %
penyaluran pupuk dilakukan oleh pihak swasta dan hanya 30 % oleh pihak
koperasi. Pada satu sisi, pihak swasta mendominasi penyaluran pupuk tetapi pada
sisi lain terjadi kelangkaan pupuk pada petani. Karena itu pada skenario ini, jika
peran swasta ditingkatkan akan paralel dengan kenaikan kelangkaan pupuk.
Kenaikan 25 % pada peran swasta dan kelangkaan pupuk dimaksudkan
untuk menganalisis jika pemerintah masih terus mempercayakan pihak swasta
dalam penyaluran pupuk kepada petani. Besaran persentase 25 % disini diambil
berdasarkan fakta-fakta umum yang telah berlaku yakni sebelum perubahan
88
kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras dimana swasta ikut
berpartisipasi, koperasi diberikan tanggung jawab penuh (100 %). Tetapi ketika
terjadi perubahan kebijakan, partisipasi koperasi tersisa sekitar 30 – 40 %.
Karena itu luas skenario yang diambil berkisar antara 25 – 100 %.
Skenario kedua diambil berdasarkan beberapa kebijakan pemerintah dalam
pengadaan pangan/beras. Sesuai Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1997 tentang
penetapan harga dasar gabah dan beras, koperasi diberikan tanggung jawab
terlibat dalam pembelian gabah dan beras petani. Tetapi dalam kebijakan
perberasan selanjutnya antara lain Inpres Nomor 8 Tahun 2000, Inpres Nomor 9
Tahun 2001 dan 2002, dan Inpres Nomor 2 Tahun 2005, koperasi tidak lagi
diberikan tanggung jawab membeli gabah dan beras petani, dan pengadaan
pangan seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itu disini diambil
skenario pengurangan pembelian gabah oleh koperasi sebesar 25 %.
5.2.3. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Pupuk
Evaluasi dampak skenario dapat dilihat terhadap kondisi kelangkaan pupuk
dan penyediaan pupuk bagi petani, penggunaan pupuk oleh petani yang
berdampak pada produksi gabah dan pendapatan mereka, pengadaan beras oleh
koperasi dan pencapaian volume usaha, SHU dan tingkat produktivitas koperasi.
Enam kelompok peubah di dalam model yang dapat dievaluasi masing-masing (1)
pengadaan pupuk level propinsi dan kabupaten, (2) harga pupuk riil tingkat petani,
(3) kelompok peubah petani anggota koperasi, (4) kelompok peubah petani non-
anggota koperasi, (5) pengadaan gabah dan produksi beras koperasi, dan (6)
kinerja usaha koperasi.
Hasil simulasi pada masing-masing propinsi sampel dapat dilihat pada
Tabel 3. Jika peran swasta dalam kebijakan pupuk ditingkatkan 25 % akan
berdampak meningkatkan pengadaan pupuk level propinsi dan kabupaten pada
semua propinsi sampel. Akan tetapi kenaikan peran swasta tersebut memberikan
dampak negatif terhadap pengadaan beras koperasi yakni menurunkan jumlah
pembelian gabah koperasi, juga menurunkan jumlah produksi beras dan kapasitas
produksi beras koperasi pada semua propinsi sampel. Dampak negatif juga
ditimbulkan pada kinerja koperasi semua propinsi sampel yakni menurunkan
volume usaha, SHU dan indikator-indikator produktivitas koperasi. Dampak yang
ditimbulkan pada petani adalah merugikan para petani anggota koperasi semua
89
propinsi sampel kecuali Jawa Tengah. Kerugian yang dialami petani disini adalah
dalam hal penurunan penggunaan pupuk, penurunan jumlah produksi gabah,
penurunan jumlah penjualan gabah dan tingkat pendapatan petani. Dampak
kerugian yang sama juga terjadi bagi petani non-anggota koperasi khsusnya pada
Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Tabel 3. Hasil Simulasi Skenario Kebijakan Pupuk
P R O P I N S I
SUMUT SUMBAR JABAR JATIM BALI NTB JATENG PEUBAH
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
LINI II & III S2… 27.24 32.17 11.86 32.85 21.53 3.94 4.47 S3KAB 27.66 24.13 12.11 33.59 25.66 4.17 4.78
HARGA PUPUK PPETKOP -0.41 0.00 0.14 -0.69 3.02 3.25 1.47
PETANI KOPERASI DPPETKOP -2.73 -0.86 -0.06 -0.33 -0.24 -0.19 0.02
GPETKOP -0.36 -0.19 -0.01 -0.15 -0.01 -0.05 0.00 JGPETKOP -0.33 -0.21 0.03 -0.21 0.56 -0.22 0.01 IPETKOP -0.59 -0.15 0.06 -0.17 0.26 -0.28 0.07
PETANI NON-KOP DPPETNKO 7.56 -0.72 0.00 1.86 0.83 -1.41 2.03 GPETNKO 2.55 -0.34 0.00 1.00 0.30 -0.29 0.12 JGPETNKO 2.69 -0.24 0.04 0.12 0.32 -0.25 0.14 IPETNKO 2.64 -0.50 0.07 0.09 0.46 -0.36 0.18
BERAS KOPERASI PGKOP 0.86 -0.10 0.08 0.04 0.08 0.38 0.08 BGKOP -0.80 -0.07 -0.05 0.04 -0.11 -0.13 -0.02 PROBRKOP -0.63 -0.05 -0.03 -0.11 -0.14 -0.14 -0.05 CPPRODBR -0.19 -0.03 -0.08 -0.11 -0.21 -0.16 -0.02
KINERJA KOPERASI MOSE -0.05 -0.12 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 MOLU 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VOLUME -5.72 -11.57 -1.43 -0.50 -0.26 -8.20 -0.19 SHU -3.08 -3.82 -0.68 -0.68 -0.08 -10.71 -0.22 SHUA -5.13 -6.47 -0.55 -1.36 -0.04 -8.52 -0.25 PRAN -11.16 -37.82 -0.04 -0.47 -0.05 -12.20 -0.19 PRAS -2.02 -0.23 -0.09 -0.38 -0.28 -11.04 -0.03 PRUS
-7.17
-7.17
-0.05
-0.41
0.00
-6.57
-0.02
90
Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan distribusi
pupuk yang lebih memerankan pihak swasta secara parmanen merugikan para
pelaku utama produsen beras yakni petani dan pihak koperasi di dalam
pengadaan pangan/beras. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan distribusi
pupuk yang ada sekarang tidak efektif mencapai tujuannya yakni untuk
mendukung ketahanan pangan nasional.
Tabel 4. Daftar Peubah-peubah Simulasi dalam Model
PEUBAH Keterangan
LINI II & III S2… Pengadaan Pupuk Level Propinsi Masing-masing S3KAB Pengadaan Pupuk Level Kabupaten Masing-masing Propinsi
HARGA PUPUK PPETKOP Harga Pupuk Tingkat Petani Anggota Koperasi
PETANI KOP. DPPETKOP Penggunaan Pupuk Petani Anggota Koperasi
GPETKOP Jumlah Produksi Gabah Petani Anggota Koperasi JGPETKOP Jumlah Penjualan Gabah Petani Anggota Koperasi IPETKOP Pendapatan Petani Anggota Koperasi
PETANI NKOP DPPETNKO Penggunaan Pupuk Petani Non-Anggota Koperasi GPETNKO Jumlah Produksi Gabah Petani Non-Anggota Koperasi JGPETNKO Jumlah Penjualan Gabah Petani Non-Anggota Koperasi IPETNKO Pendapatan Petani Non-Anggota Koperasi
BERAS KOP PGKOP Harga Gabah yang Ditetapkan Koperasi BGKOP Jumlah Pembelian Gabah Koperasi PROBRKOP Jumlah Produksi Beras Koperasi CPPRODBR Kapasitas Produksi Beras Koperasi
LEMBAGA KOP MOSE Modal Sendiri Koperasi MOLU Modal Luar Koperasi ASET Nilai Aset Koperasi VOLUME Volume Usaha Koperasi SHU Sisa Hasil Usaha Koperasi SHUA Bagian Sisa Hasil Usaha yang Diterima Anggota Koperasi PRAN Indeks Produktivitas Anggota Koperasi PRAS Indeks Produktivitas Aset Koperasi PRUS
Indeks Produktivitas Usaha Koperasi
91
5.2.4. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Beras
Hasil simulasi skenario kebijakan beras pada masing-masing propinsi
sampel dapat dilihat pada Tabel 5. Ketika kebijakan perberasan berubah dimana
koperasi tidak lagi diberikan tanggung jawab penuh dalam pengadaan pangan dan
tidak ada lagi kredit untuk pengadaan pangan, koperasi mengalami penurunan
dalam pembelian gabah. Penurunan ini disebabkan oleh kendala permodalan
koperasi yang lemah maupun pengurangan kegiatan pengadaan pangan pada
sebagian koperasi. Hasil simulasi pada Tabel 5 menunjukkan penurunan
pembelian gabah koperasi berdampak menurunkan produksi beras koperasi pada
semua propinsi sampel antara 11.82 % hingga 30.72 %. Juga kapasitas produksi
beras koperasi pada semua propinsi sampel mengalami penurunan antara
5.87 % hingga 45.93 %.
Dampak tersebut menunjukkan koperasi telah mengalami penurunan
signifikan dalam produksi maupun kapasitas produksi berasnya. Secara nasional,
kemampuan dalam negeri untuk menciptakan ketahanan pangan sesungguhnya
terbangun oleh semua komponen pelaku produksi pangan nasional. Dalam hal ini
produksi dan kapasitas produksi pagan/beras koperasi yang sebelumnya telah
terbangun adalah bagian dari kapasitas produksi pangan nasional yang telah ada.
Karena itu penurunan sebagian kapasitas pangan nasional yang telah ada
merupakan suatu penurunan kemampuan ketahanan pangan secara terstruktur
di dalam negeri.
Pada sisi lain koperasi mewadahi sebagian besar petani dimana koperasi
menjadi pasar bagi gabah para petani. Karena itu penurunan pembelian gabah
koperasi menciptakan kesulitan pasar bagi para petani. Hasil penelitian lapang
menunjukkan sebagian petani menempuh cara tebas dalam menjual gabahnya
yaitu gabah dijual kepada tengkulak dalam keadaan masih sebagai tanaman padi
di sawah. Cara ini ditempuh untuk menghindari biaya panen yang cukup besar
maupun karena alasan-alasan lainnya. Jika harga gabah terus berfluktuasi dan
petani tidak menjamin kualitas gabahnya maka posisi tawar mereka tetap lemah
yang berarti petani akan tetap mengalami kerugian. Hasil survei lapangan
menunjukkan petani tidak menjual gabahnya kepada Perum Bulog setempat.
Karena itu petani akan tetap menghadapi para tengkulak dengan posisi tawar
yang lemah.
92
Berdasarkan hasil simulasi dan pembahasan di atas dapat dikatakan
bahwa kebijakan perberasan yang ada sekarang tidak efektif meningkatkan
kapasitas produksi beras nasional. Sebaliknya kebijakan tersebut mengurangi
sebagian kapasitas produksi beras yang telah dimiliki koperasi sebelumnya.
Tabel 5. Hasil Simulasi Skenario Kebijakan Beras
P R O P I N S I
SUMUT SUMBAR JABAR JATIM BALI NTB JATENG PEUBAH
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
BERAS KOPERASI PGKOP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 BGKOP - - - - - - - PROBRKOP -19.70 -12.87 -11.82 -25.25 -30.24 -27.03 -30.72 CPPRODBR -5.87 -6.23 -15.09 -6.14 -45.93 -32.34 -17.27
KINERJA KOPERASI MOSE -1.59 -1.02 -0.33 -0.53 -0.49 -2.43 -2.64 MOLU 0.27 0.03 0.04 0.01 0.29 0.87 -0.28 ASET -0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 -0.02 0.00 VOLUME 0.00 0.01 -1.32 0.00 -7.17 0.00 -0.39 SHU 0.00 0.00 -0.63 0.00 -2.24 0.00 -0.46 SHUA 0.00 0.00 -0.51 0.00 -0.97 0.00 -0.53 PRAN 0.00 0.00 -2.59 0.00 -1.26 0.00 -0.41 PRAS 0.00 0.00 -0.09 0.00 -7.50 0.00 -0.03 PRUS
0.00
0.00
-0.04
0.00
-2.51
0.00
0.02
5.3. Analisis Dampak Perubahan Kebijakan Alternatif untuk Mendukung Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Sebagai tindak lanjut mengatasi persoalan pupuk dan beras dilakukan
simulasi terhadap dua kelompok skenario alternatif. Kelompok pertama mencakup
tiga skenario yang bertujuan untuk menemukan kebijakan alternatif yang efektif
mengatasi kelangkaan pupuk pada petani, meningkatkan produksi gabah dan
pendapatan petani, meningkatkan pembelian gabah dan produksi beras koperasi
serta meningkatkan kinerja koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
Skenario-skenario tersebut adalah :
1. Pengurangan penyaluran pupuk oleh pengecer swasta dan pengurangan
kelangkaan pupuk sebesar 50 %, dan kenaikan pengadaan pupuk oleh
pengecer koperasi sebesar 50 %.
93
2. Pengurangan penyaluran pupuk pengecer swasta dan pengurangan
kelangkaan pupuk sebesar 50 %, kenaikan pengadaan pupuk oleh pengecer
koperasi 50 %, kenaikan penggunaan pupuk petani anggota koperasi dan
petani non-anggota koperasi masing-masing 25 %, dan kenaikan pembelian
gabah koperasi 25 %.
3. Kenaikan pengadaan pupuk oleh pengecer koperasi sebesar 100 %, kenaikan
penggunaan pupuk oleh petani anggota koperasi maupun petani non-anggota
koperasi masing-masing 25 %, dan kenaikan pembelian gabah oleh koperasi
25 %, dan pengurangan pengadaan pupuk oleh pengecer swasta dan
pengurangan kelangkaan pupuk masing-masing sebesar 100 %.
Skenario pertama dimaksudkan untuk melihat dampak pada model ketika
koperasi dan swasta diberikan peran yang sama dalam penyaluran pupuk.
Skenario kedua merupakan pengembangan dari skenario pertama yakni disertai
tindakan riil mengatasi kelangkaan pupuk pada petani yaitu dengan menaikkan
jumlah penggunaan pupuk petani baik petani anggota maupun petani non-anggota
koperasi sebesar 25 % dan meningkatkan pembelian gabah koperasi.
Peningkatan pembelian gabah disini dimaksudkan sebagai memerankan kembali
koperasi dalam pembelian gabah dan beras petani. Skenario ketiga adalah jika
koperasi diberikan peran sepenuhnya dalam penyaluran pupuk, diikuti tindakan
pencegahan kelangkaan pupuk dan mengatasi kelangkaan pada petani serta
peningkatan peran koperasi dalam pembelian gabah dan beras petani.
Untuk tujuan pemecahan masalah penyaluran pupuk dan pengadaan beras
secara menyeluruh dilakukan juga simulasi terhadap skenario alternatif kelompok
kedua. Skenario kelompok kedua ini disusun berdasarkan peubah-peubah
indikator kebijakan yang signifikan mempengaruhi model pada masing-masing
propinsi dan memiliki respon kuat. Pada keseluruhan model, peubah-peubah
tersebut adalah harga pupuk tingkat petani, harga gabah, penggunaan pupuk
petani, jumlah pembelian gabah koperasi, kapasitas RMU, gudang dan lantai
jemur koperasi dan peralatan penunjang, serta aset dan volume usaha koperasi.
Skenario kapasitas RMU, gudang dan lantai jemur dan peralatan penunjang
koperasi dimaksudkan untuk menunjang pengembangan sistem bank padi yang
sedang dijalankan koperasi.
94
Skenario yang diambil disini adalah :
1. Kenaikan harga pupuk level petani 5 % dan kenaikan harga gabah 10 %.
2. Kenaikan penggunaan pupuk petani sebesar 25 %, kenaikan harga gabah dan
jumlah pembelian gabah koperasi masing-masing sebesar 10 %.
3. Penurunan penggunaan pupuk petani dan harga gabah sebesar 10 %.
4. Kenaikan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi : RMU,
gudang dan lantai jemur, dan peralatan penunjang sebesar 25 %.
5. Kenaikan aset dan volume usaha koperasi sebesar 10 %.
5.3.1. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Pertama
Hasil simulasi skenario kebijakan alternatif kelompok pertama dapat dilihat
pada Tabel 6, 7 dan 8. Tabel 6 menyajikan hasil simulasi peran swata dan
koperasi seimbang dalam distribusi pupuk. Pada tabel tersebut dapat dilihat
bahwa jika swasta dan koperasi diberikan peran sama dalam distribusi pupuk
berdampak menurunkan pengadaan pupuk level propinsi dan kabupaten. Juga
skenario tersebut berdampak menurunkan penggunaan pupuk, produksi gabah,
penjualan gabah dan pendapatan petani non-anggota koperasi sebagian besar
propinsi sampel dan menurunkan pembelian gabah, produksi beras dan kapasitas
produksi beras koperasi di Propinsi Jawa Barat. Sebaliknya, skenario tersebut
berdampak meningkatkan penggunaan pupuk, produksi gabah dan pendapatan
dari petani anggota koperasi sebagian besar propinsi sampel serta meningkatkan
peubah-peubah kinerja koperasi semua propinsi.
Berdasarkan hasil simulasi di atas, kebijakan memerankan pihak swasta
dan koperasi secara bersama-sama dalam distribusi pupuk masih merugikan
pihak petani. Karena itu skenario ini tidak layak untuk diterapkan.
95
Tabel 6. Hasil Simulasi Skenario Peran Swasta dan Koperasi Seimbang
P R O P I N S I
SUMUT SUMBAR JABAR JATIM BALI NTB JATENG PEUBAH
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
LINI II & III S2SMUT -37.51 -33.30 -45.77 -40.08 -35.70 -33.81 -0.62 S3KAB -38.90 -33.29 -52.01 -42.39 -46.12 -30.83 -0.31 HARGA PUPUK PPETKOP 0.14 0.06 4.70 0.92 -7.81 -7.50 -10.12
PETANI KOPERASI DPPETKOP 10.14 2.31 -0.25 0.40 0.62 0.51 1.70
GPETKOP 1.31 0.52 -0.03 0.18 0.03 0.14 1.01 JGPETKOP 1.18 0.56 0.93 0.18 -1.45 0.79 0.86 IPETKOP 2.21 0.41 2.00 0.21 -0.68 0.91 3.29
PETANI NON-KOP DPPETNKO -30.51 -1.60 0.00 -1.89 -1.66 2.80 -14.78 GPETNKO -10.27 -0.75 0.00 -1.01 -0.60 0.57 -0.86 JGPETNKO -10.86 -0.56 1.27 0.30 -0.65 0.46 -1.00 IPETNKO -10.65 -1.15 2.01 0.24 -0.94 0.67 -1.29
BERAS KOPERASI PGKOP -3.44 0.39 1.25 0.31 -0.15 -1.14 -1.01 BGKOP 3.21 0.18 -1.49 0.00 0.28 0.36 0.55 PROBRKOP 2.53 0.14 -0.98 0.20 0.34 0.39 0.53 CPPRODBR 0.75 0.08 -1.26 0.22 0.52 0.47 0.30
KINERJA KOPERASI MOSE 0.20 -0.02 -0.03 0.00 0.01 0.04 0.05 MOLU -0.03 0.02 0.00 0.00 0.00 0.13 0.00 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.54 0.00 VOLUME 21.79 44.32 7.28 3.63 9.51 3.63 1.88 SHU 11.71 23.34 3.47 4.93 2.97 3.62 2.19 SHUA 19.54 26.37 2.82 9.88 1.29 1.91 2.54 PRAN 42.47 38.80 1.11 3.46 1.68 2.16 1.94 PRAS 7.71 1.71 0.26 2.77 9.94 2.70 0.10 PRUS 27.29 21.67 0.23 2.99 0.01 2.36 0.19
Hasil simulasi pengembangan dari skenario peran swata dan koperasi
seimbang pada Tabel 7 dan hasil simulasi peningkatan peran koperasi secara
penuh pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kedua skenario berdampak
meningkatkan nilai semua peubah-peubah pada petani anggota dan non-anggota
koperasi, produksi dan kapasitas produksi beras koperasi serta peubah-peubah
kinerja koperasi. Akan tetapi skenario peran koperasi secara penuh memberikan
dampak dengan persentase yang lebih besar. Sebaliknya kedua skenario
menurunkan pengadaan pupuk pada level propinsi dan kabupaten.
96
Berdasarkan hasil simulasi di atas, kedua skenario tersebut memberikan
dampak yang lebih baik pada semua model. Karena itu kedua skenario ini
diprioritaskan untuk diterapkan. Meskipun masih terdapat dampak penurunan
pada pengadaan pupuk level propinsi dan kabupaten, tetapi kerugian ini
kemungkinan hanya bersifat jangka pendek akibat pengalihan wewenang yang
semula dari pihak swasta kepada pihak koperasi. Pemulihan secara cepat dapat
dicapai pemerintah melalui pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan baru
yang diambil.
Tabel 7. Hasil Simulasi Skenario Pengembangan dari Peran Swasta dan Koperasi Secara Seimbang
P R O P I N S I
SUMUT SUMBAR JABAR JATIM BALI NTB JATENG PEUBAH
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
LINI II & III S2… -37.51 -30.77 -45.77 -40.08 -35.70 33.81 0.62 S3KAB -38.90 -30.64 -52.01 -42.39 -46.12 30.83 -0.31
HARGA PUPUK PPETKOP 0.14 0.36 4.70 0.92 -7.81 -9.05 -10.12
PETANI KOPERASI DPPETKOP - - - - - - -
GPETKOP 4.39 5.42 2.64 11.35 1.14 6.63 5.37 JGPETKOP 4.44 5.83 3.87 11.67 8.60 1.76 3.04 IPETKOP 4.72 4.26 8.38 10.70 12.41 0.87 8.02
PETANI NON-KOP DPPETNKO - - - - - - - GPETNKO 8.36 12.08 6.28 13.33 8.98 5.04 1.57 JGPETNKO 8.72 8.70 8.17 13.59 9.24 5.19 1.83 IPETNKO 8.67 17.05 12.92 10.88 13.38 7.57 2.36
BERAS KOPERASI PGKOP 1.72 3.95 2.08 2.00 2.61 -0.28 -0.84 BGKOP - - - 1.81 - - - PROBRKOP 19.74 10.37 24.55 2.76 30.24 26.74 15.36 CPPRODBR 5.88 6.54 31.21 30.60 45.93 32.00 8.64
KINERJA KOPERASI MOSE 1.60 2.95 0.68 0.64 0.49 3.52 1.32 MOLU -0.27 0.02 -0.05 -0.01 -0.29 1.14 0.14 ASET 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 2.66 0.00 VOLUME 21.79 44.32 10.14 3.63 16.60 10.39 2.07 SHU 11.71 23.34 4.84 4.93 5.18 4.41 2.41 SHUA 19.54 26.37 3.93 9.88 2.25 2.01 2.79 PRAN 42.47 38.80 1.60 3.46 2.93 7.04 2.13 PRAS 7.71 1.71 0.35 2.77 17.36 5.38 0.10 PRUS 27.29 21.67 0.33 2.99 0.49 9.93 0.22
97
Tabel 8. Hasil Simulasi Skenario Peran Koperasi secara Penuh
P R O P I N S I
SUMUT SUMBAR JABAR JATIM BALI NTB JATENG PEUBAH
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
LINI II & III S2S… -75.03 -73.85 -64.46 -87.15 -71.41 -67.64 -6.42 S3KAB -77.80 -73.46 -76.35 -91.92 -92.23 -61.65 -4.92 HARGA PUPUK PPETKOP 0.41 0.48 9.04 1.91 -15.62 -18.10 -18.54
PETANI KOPERASI DPPETKOP - - - - - - -
GPETKOP 4.39 5.42 2.64 11.35 1.14 6.63 5.37 JGPETKOP 4.44 5.83 4.75 11.66 9.01 3.35 6.17 IPETKOP 4.72 4.26 10.27 10.75 12.41 6.20 15.25
PETANI NON-KOP DPPETNKO - - - - - - - GPETNKO 8.36 12.08 6.28 13.33 8.98 5.04 1.57 JGPETNKO 8.72 8.70 9.35 14.54 9.20 5.06 1.83 IPETNKO 8.67 17.05 14.78 11.64 13.38 7.38 2.36
BERAS KOPERASI PGKOP 1.72 3.95 3.25 2.30 2.61 -1.52 -1.85 BGKOP - - - 1.90 - - - PROBRKOP 21.95 25.90 24.55 2.98 30.24 26.74 15.36 CPPRODBR 13.52 15.24 31.21 30.60 45.93 32.00 8.64
KINERJA KOPERASI MOSE 3.67 2.95 -0.07 0.64 0.49 3.57 1.32 MOLU -0.62 0.02 0.00 -0.01 -0.29 1.18 0.14 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.71 0.00 VOLUME 43.58 66.21 17.75 7.36 26.04 13.58 3.74 SHU 23.43 34.35 8.47 10.00 8.12 6.73 4.34 SHUA 39.09 29.60 6.87 20.05 3.54 3.11 5.03 PRAN 84.95 44.60 4.12 7.02 4.59 9.21 3.84 PRAS 15.45 9.56 0.61 5.61 27.23 8.28 0.17 PRUS
54.58
30.71
0.57
6.05
0.49
14.89
0.36
5.3.2. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Kedua
Hasil simulasi skenario kebijakan alternatif kelompok kedua pada masing-
masing propinsi sampel dapat dilihat pada Lampiran 9 – 15. Hasil simulasi
skenario kenaikan harga pupuk dan harga gabah pada Propinsi Sumatera Utara,
Jawa Barat dan Jawa Tengah memberikan dampak yang relatif sama. Kenaikan
harga pupuk 5 % diikuti kenaikan harga gabah 10 % berdampak meningkatkan
peubah-peubah petani dan kinerja koperasi tetapi menurunkan pembelian gabah,
98
produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi. Sementara pada Propinsi
Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali dan NTB, kenaikan harga pupuk dan kenaikan
harga gabah memberikan dampak negatif kepada para petani.
Hasil simulasi skenario alternatif ini menunjukkan pada dasarnya di
Propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah harga pupuk dan harga
gabah dapat dinaikan. Sementara pada keempat propinsi lainnya kenaikan harga
gabah menguntungkan bagi petani, tetapi kenaikan harga pupuk sebesar 5 % saja
sudah merugikan petani.
Hasil simulasi skenario-skenario selanjutnya pada semua propinsi adalah
relatif sama. Skenario kenaikan penggunaan pupuk oleh petani sebesar 25 %
diikuti harga gabah dan pembelian gabah oleh koperasi sebesar 10 % ketiganya
berdampak positif secara umum pada semua peubah model. Karena itu skenario
ini potensial untuk diterapkan. Sebaliknya skenario yang berlawanan yakni
penurunan terhadap penggunaan pupuk dan harga gabah memberikan dampak
serius menurunkan produksi gabah dan pendapatan para petani serta kinerja
koperasi. Skenario ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berbagai sebab
dan alasan bahkan kebijakan yang diambil pemerintah yang menyebabkan
penurunan penggunaan pupuk pada petani, pada dasarnya merugikan para
petani.
Skenario peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras
koperasi dimaksudkan untuk mengoperasikan kembali prasarana dan sarana
koperasi yang telah menganggur akibat kebijakan pupuk dan beras yang telah
dijalankan. Skenario tersebut sekaligus meningkatkan kemampuan koperasi
dalam penanganan pengadaan pangan. Skenario ini juga dimaksudkan untuk
mendukung sistem bank padi yang sedang dijalankan koperasi.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika kapasitas RMU koperasi yang ada
sekarang ditingkatkan, juga gudang dan lantai jemur dan peralatan pendukung
lainnya diperluas maka menjamin peningkatan pembelian gabah, produksi dan
kapasitas produksi beras koperasi. Juga skenario ini memberikan dampak positif
pada kinerja koperasi. Jika kemudian dilanjutkan dengan kebijakan untuk
mendorong peningkatan nilai aset dan volume usaha koperasi maka akan
memberikan hasil yang cukup besar bagi peningkatan kinerja koperasi.
99
Untuk pengembangan sistem bank padi ke depan maka gabungan
beberapa skenario alternatif di atas merupakan kesatuan kebijakan yang penting.
Gabungan skenario kebijakan peningkatan penggunaan pupuk petani secara
langsung, kebijakan menaikan harga gabah, pemberian kredit atau modal kepada
koperasi untuk pembelian gabah dan kenaikan kapasitas prasarana dan sarana
produksi beras koperasi serta kebijakan mendorong kenaikan aset dan volume
usaha koperasi adalah kesatuan kebijakan yang menunjang pengembangan
system bank padi. Lebih dari itu, kebijakan alternatif tersebut secara bersama-
sama akan menjamin produksi dan pendapatan para petani maupun produksi
beras yang dihasilkan koperasi.
5.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras Koperasi
Berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan beberapa
kelompok analisis simulasi di atas, berikut ini dibangun model alternatif penyaluran
pupuk dan pengadaan gabah/beras bagi koperasi. Model yang dibangun
didasarkan pada upaya umum menunjang koperasi dalam pengadaan pangan.
Secara spesifik model alternatif ditujukan untuk mengatasi masalah kelangkaan
pupuk dan lonjakan harga pupuk, membantu petani menyediakan pupuk sesuai
dengan kebutuhannya, mendorong kenaikan produksi gabah dan pendapatan
petani sesuai harga yang layak, mengatasi masalah surplus produksi saat panen
raya dan menyediakan beras dengan harga yang layak bagi petani dan konsumen
serta menunjang program pemerintah menyediakan beras bagi masyarakat
miskin.
Pada model alternatif penyaluran pupuk, beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian sesuai hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh dan
analisis simulasi adalah kelangkaan pupuk yang memicu kenaikan harga pupuk di
atas Harga Eceran Tertinggi (HET) dan harga gabah yang sering berfluktuasi dan
tidak menjadi signal yang baik bagi para petani untuk meningkatkan produksi dan
penadapatannya. Juga faktor pengolahan gabah oleh koperasi yang menjadi unit
utama menjamin ketersediaan beras baik bagi petani maupun masyarakat luas
dan harga beras dengan berbagai kualitas yang layak bagi konsumen. Karena itu
model alternatif penyaluran pupuk bagi koperasi adalah sesuai Gambar 6 berikut.
100
KO
PE
RA
SI
DIS
TRIB
UTO
R
GUDANG PUPUK KAB. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
GUDANG PUPUK KAB. B
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
GUDANG PUPUK KAB. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. C
KOPERASI SAPROTAN
KEC. A
KOPERASI SAPROTAN
KEC. B
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
TPK. A
TPK. B
TPK. C
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
KELOMPOK TANI/
PETANI
Gambar 6. Model Alternatif Penyaluran Pupuk Koperasi
101
Pada model alternatif pengadaan gabah/beras, keterkaitan antara
penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras koperasi tetap diutamakan. Faktor
harga pupuk sesuai HET atau berada dalam kisaran HET sangat diutamakan
untuk menunjang para petani dalam proses produksi. Sementara harga gabah dan
pasar gabah merupakan dua faktor yang tidak boleh diabaikan mengingat pada
satu sisi kompetisi pasar gabah dapat merugikan petani dan pada sisi lain harga
gabah merupakan indikator seberapa besar kenaikan pendapatan petani dapat
dicapai. Pengabaian terhadap kedua faktor tersebut dapat menjadikan kebijakan
ketahanan pangan tidak bermakna.
Faktor lain yang penting diperhatikan adalah unit pengolahan gabah yang
merupakan unit utama produksi beras. Dalam hal ini, langkah yang tepat telah
dilakukan oleh beberapa koperasi yakni pengolahan gabah/beras dengan sistem
bank padi. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah produksi beras dalam berbagai
kualitas yang dapat memasuki berbagai golongan pasar termasuk para petani dan
masyarakat miskin. Sehubungan dengan hal ini, faktor harga beras juga mendapat
perhatian dan perlu dijamin baik oleh pihak koperasi maupun pemerintah sebagai
pengambil kebijakan. Untuk penyaluran beras kepada golongan masyarakat
miskin diperlukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat. Gambar 7 dan
8 menyajikan model alternatif pengadaan gabah/beras koperasi.
Unit TPK Petani
HET
Produksi Gabah
Satuan Pem-belian Gabah
Koperasi
Unit Pengo-lahan Gabah
• RMU • Gudang &
lantai jemur • Peralatan
penunjang.
Harga Gabah
Produksi Beras Kualitas :
A, B, C, D, dst
Harga Beras
Pasar Umum
Gambar 7. Model Alternatif Pengadaan Pangan/Beras
102
raskin
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Produksi Beras
Petani
Pasar Umum
PEMDA
Masyarakat Miskin
Gambar 8. Produksi Beras secara Spesifik pada Level Kabupaten
VI. KESIMPULAN DAN MODEL ALTERNATIF
Berdasarkan hasil kaji ulang peran koperasi dalam menunjang ketahanan
pangan dengan fokus pada masalah distribusi pupuk dan pengadaan pagan/beras
pada tujuh daerah survei masing-masing Propinsi Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah,
diambil kesimpulan sesuai tujuan penelitian sebagai berikut :
6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan dapat dilihat dari dua
sisi yaitu kemampuan menyediakan pupuk bagi petani dan kemampuan
pengadaan pangan/beras. Sesuai hasil-hasil estimasi, faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan penyediaan pupuk koperasi adalah :
1. Jumlah penyaluran pupuk koperasi. Jumlah pupuk yang disalurkan koperasi
relatif kecil yakni hanya sekitar 30 %. Jumlah ini sesuai dengan kebijakan
pupuk yang sedang berlaku dimana koperasi hanya diberikan kesempatan
kecil sementara swasta lebih dominan. Dengan demikian kemampuan
koperasi dalam penyaluran pupuk sudah dibatasi oleh kebijakan pupuk yang
ada sekarang.
2. Jumlah penyaluran pupuk swasta. Swasta sangat dominan dalam penyaluran
pupuk sehingga jumlah yang disalurkan juga besar. Sesuai fakta lapangan,
dominasi swasta makin menekan kesempatan koperasi untuk menyalurkan
pupuk. Hal ini terkait dengan posisi tawar swasta yang lebih besar dan
monopoli swasta di pasar pupuk.
3. Kelangkaan pupuk. Kelangkaan pupuk disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya pupuk diekspor ke luar negeri, dijual ke perusahaan perkebunan
besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu. Kuota pupuk yang kecil bagi
koperasi disertai kelangkaan pupuk menyulitkan koperasi menyediakan pupuk
dalam jumlah yang memadai bagi petani.
4. Jumlah permintaan pupuk petani. Permintaan pupuk petani khususnya di
Pulau Jawa terus meningkat. Penyebabnya adalah terjadi pergeseran musim
tanam, adanya perluasan tanam gadu, dan perluasan areal tanaman pangan.
Sementara koperasi mewadahi sejumlah besar petani yang sejak lama terbina
104
dengan baik. Kecilnya kuota penyaluran pupuk oleh koperasi disertai
terjadinya kelangkaan pupuk dan makin meningkatnya permintaan petani
semakin melemahkan kemampuan koperasi menyediakan pupuk bagi petani.
5. Harga pupuk. Harga riil pupuk tingkat petani yang melebihi Harga Eceran
Tertinggi (HET) dan tidak dapat dikontrol oleh koperasi, melemahkan fungsi
pelayanan ”sosial” koperasi. Selain itu monopoli pasar pupuk dan penyaluran
pupuk oleh swasta yang menyebabkan harga pupuk lebih tinggi kemungkinan
memberikan kendala pembiayaan bagi koperasi untuk menyediakan pupuk
bagi petani.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam
pengadaan pangan/beras adalah :
1. Jumlah produksi dan penjualan gabah petani. Kemampuan koperasi dalam
pengadaan pangan/beras bermula dari kemampuannya mendorong kenaikan
produksi gabah petani yang kemudian meningkatkan jumlah penjualan
mereka. Produksi gabah petani dapat meningkat bila dukungan koperasi
dalam penyediaan pupuk juga berlangsung secara baik. Dukungan koperasi
pada penyediaan pupuk relatif kecil maka dukungan tidak langsung pada
produksi gabah dan penjualan petani juga relatif kecil. Selain itu dukungan
koperasi dalam hal kelembagaan kepada petani banyak mengalami
penurunan sehingga turut mempengaruhi produksi gabah petani. Koperasi
belum berperan maksimal sebagai tempat bagi penjualan gabah petani.
2. Harga gabah. Harga gabah berfluktuasi sesuai musim panen dan
berkompetisi antara pihak koperasi dan tengkulak. Harga gabah koperasi
relatif stabil sedangkan harga tengkulak fluktuatif. Saat-saat panen raya
dimana harga gabah menurun, harga gabah koperasi yang relatif stabil
menguntungkan bagi para petani. Sementara saat-saat paceklik dimana harga
gabah naik, tengkulak lebih menguntungkan bagi petani.
3. Pembelian gabah. Koperasi mengalami kendala pembelian gabah karena
permodalan yang terbatas.
4. Produksi dan kapasitas produksi beras. Produksi dan kapasitas produksi
beras koperasi relatif mengalami penurunan akibat kapasitas peralatan
pendukung yang sudah beroperasi di bawah kapasitas normal.
105
5. Kapasitas prasarana dan sarana produksi beras. Kapasitas RMU, gudang dan
lantai jemur, peralatan penunjang lainnya bahkan prasarana dan sarana
secara keseluruhan telah mengalami penurunan karena tidak beroperasi
secara normal. Faktor penyebabnya adalah berkurangnya kegiatan
pengadaan pangan koperasi akibat berubahnya kebijakan pengadaan
pangan.
Secara umum, bagan faktor-faktor yang mempengaruhi di atas dapat dilihat pada
Gambar 9.
Harga gabah
PERAN KOPERASI DALAM KETAHANAN PANGAN
PRODUKSI BERAS
Pembe- lian gabah
Kapasitas produksi
Harga pupuk
Produksi dan jum- Lah pen- jualan gabah petani
Jumlah pupuk petani
• PENGECER SWASTA
• Kelangkaan pupuk
• PENGECER KOPERASI
• Kapasitas : • RMU • Gudang & lantai jemur • Peralatan penunjang • Total prasarana dan
sarana produksi beras.
Gambar 9. Bagan Keterkaitan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan
106
6.2. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras
Berdasarkan hasil-hasil estimasi, analisis simulasi dan kesimpulan faktor-
faktor yang mempengaruhi di atas, beberapa kesimpulan tentang efektif tidaknya
kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang telah dijalankan pemerintah
adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan distribusi pupuk saat ini telah memberikan dampak yang positif
yakni efektif pada penyaluran pupuk level propinsi hingga ke kabupaten.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi menunjukkan distribusi pupuk dari
level propinsi hingga ke kabupaten pada semua propinsi sampel relatif
berlangsung normal. Namun pada level pengecer, muncul berbagai kegagalan
antara lain pupuk langka di pasar ketika petani membutuhkannya dan harga
riil pupuk di pasar secara umum berada di atas HET.
2. Hasil analisis faktor yang mempengaruhi menunjukkan terdapat
kecenderungan para distributor dan pengecer pupuk terutama pengecer
swasta menggunakan signal harga sebagai indikator dalam menyalurkan
pupuk ke petani. Pada hal pupuk adalah komoditi publik yang disubsidi
pemerintah guna meningkatkan produksi pangan petani dalam rangka
pengamanan pangan nasional. Secara tegas perilaku seperti ini bertentangan
dengan jiwa kebijakan distribusi pupuk pemerintah.
3. Hasil analisis faktor yang mempengaruhi juga menunjukkan unit-unit koperasi
yang telah menjalankan usaha pengadaan pangan pada waktu lalu
mengalami kemundurun signifikan. Unit-unit koperasi pada 4 dari 7 propinsi
sampel penelitian mengalami penurunan kapasitas produksi atau mereka
beroperasi di bawah kapasitas terpasang. Jika semula unit-unit koperasi yang
telah menjalankan usaha-usaha pengadaan pangan/beras adalah bahagian
dari total kapasitas terpasang produksi pangan nasional maka penurunan
kapasitas koperasi karena perubahan kebijakan sekarang telah berdampak
menurunkan kapasitas produksi pangan (gabah/beras) nasional.
4. Hasil-hasil simulasi dua skenario pada Tabel 3 dan 5 menunjukkan, dampak
yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintah melepaskan distribusi pupuk
dan pengadaan beras ke pasar adalah secara umum menekan penggunaan
pupuk petani. Akibatnya produksi gabah dan pendapatan petani menurun,
107
yang selanjutnya menurunkan produksi beras dan juga kapasitas produksi
beras koperasi, dan menurunkan kinerja usaha-usaha koperasi.
5. Kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang sedang dijalankan
sekarang tidak efektif menciptakan kemampuan produksi pangan (beras)
dalam negeri.
6.3. Kebijakan-kebijakan Alternatif Pendukung Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras
Hasil simulasi skenario alternatif kelompok pertama pada Tabel 6 – 8
memberikan kesimpulan bahwa terdapat dua alternatif kebijakan yang
diprioritaskan untuk diterapkan, masing-masing :
1. Kebijakan memerankan swasta dan koperasi secara seimbang dalam
penyaluran pupuk disertai kenaikan penggunaan pupuk para petani sebesar
25 %, dikombinasikan dengan kebijakan memerankan kembali koperasi
dalam pembelian gabah dan beras yakni peningkatan pembelian gabah
koperasi 25 %.
2. Kebijakan memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk
maupun pada pengadaan pangan/beras.
Hasil simulasi alternatif kelompok kedua menghasilkan beberapa kebijakan
alternatif tambahan antara lain :
1. Harga gabah dapat dinaikan sebesar 10 % dan harga pupuk sebesar 5 %.
2. Untuk menunjang pengadaan pangan/beras koperasi dan pengembangan
sistem bank padi yang telah dijalankan koperasi, paket kebijakan yang yang
mendukung adalah peningkatan penggunaan pupuk secara langsung pada
petani (25 %), peningkatan harga gabah 10 %, peningkatan kredit atau modal
kepada koperasi untuk pembelian gabah 10 %, peningkatan kapasitas
prasarana dan sarana produksi beras koperasi 25 % serta peningkatan
kenaikan aset dan volume usaha koperasi 10 %.
6.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras
Model alternatif penyaluran pupuk yang dapat diterapkan koperasi adalah
seperti pada Gambar 6. Sedangkan model alternatif pengadaan pangan/beras
adalah pada Gambar 7 dan 8.
108
DAFTAR PUSTAKA Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Kebijakan Umum Pemantapan Pangan
Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2006. Ekspor Ilegal Pupuk Bersubsidi.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Donald Ary, L. Ch. Yacobs and Razavich. 1979. Introduction in Research
Education 2nd Editon. Hott Rinehart and Winston, Sydney. Earl R. Babie. Survey Research Methods. 1973. Belmont, Wadsworth Publication
Co., California. Frank Ellis, 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge
University Press. Cambridge. Intriligator. M, Bodkin. R, Hsiao. C. 1996. Econometric Models, Techniques, and
Applications. Second Edition. Prentice-Hall International, Inc. USA. Just.R.E, Hueth.D.L, and Schmit. A. 1982. Applied Welfare Economics and Public
Policy. Prentice-Hall, Inc., USA. Kariyasa K. dan Yusdja Y. 2005. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk
Urea di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Kementerian Koperasi dan UMK, 2005. Konsep Usulan Proposal Penyempurnaan
Tataniaga Pupuk Bersubsidi. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, Jakarta.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. Media Industri dan Perdagangan, 2006. Pupuk, Komoditas Strategis yang Harus
Diamankan. Media Industri dan Perdagangan, Jakarta.
109
Lampiran 1. Keterangan Peubah-peubah Model
S2... = Pengadaan pupuk di Lini II masing-masing propinsi (ton)
S3KAB = Pengadaan pupuk di Lini III pada kabupaten (ton)
S4ECKOP = Pengadaan pupuk pengecer koperasi (ton)
S4ECNKO = Pengadaan pupuk pengecer swasta (ton)
DPPETKOP = Penggunaan pupuk petani anggota koperasi (ton)
DPPETNKO = Penggunaan pupuk petani non-anggota koperasi (ton)
GPPETKOP = Produksi gabah petani anggota koperasi (ton)
GPPETNKO = Produksi gabah petani non-anggota koperasi (ton)
JGPETKOP = Jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (ton)
JGPETNKO = Jumlah penjualan gabah petani non-anggota koperasi (ton)
IPETKOP = Income petani anggota koperasi (Rp)
IPETNKO = Income petani non-anggota koperasi (Rp)
PPETKOP = Harga pupuk di tingkat petani anggota koperasi (Rp/kg)
PPETNKO = Harga pupuk di tingkat petani non-anggota koperasi (Rp/kg)
PGNKO = Harga gabah di tingkat tengkulak (Rp/kg)
PGKOP = Harga gabah di tingkat koperasi (Rp/kg)
BGKOP = Jumlah pembelian gabah koperasi (ton)
PROBRKOP = Jumlah produksi beras koperasi (ton)
CPPRODBR = Kapasitas produksi beras koperasi (ton)
MOSE = Modal sendiri koperasi (Rp)
MOLU = Modal luar koperasi (Rp)
ASET = Total nilai aset koperasi (Rp)
VOLUME = Total nilai volume usaha koperasi (Rp)
SHU = Jumlah sisa hasil usaha koperasi (Rp)
SHUA = Bagian sisa hasil usaha koperasi yang diterima anggota (Rp)
PRAN = Indeks produktivitas anggota koperasi (indeks)
PRAS = Indeks produktivitas aset koperasi (indeks)
PRUS = Indeks produktivitas usaha koperasi (indeks)
P2 = Harga pupuk pada Lini II (Rp/kg)
P3KAB = Harga pupuk pada Lini III (Rp/kg)
P4KOP = Harga pupuk di tingkat pengecer koperasi (Rp/kg)
P4NKO = Harga pupuk di tingkat pengecer swasta (Rp/kg)
110
LS... = Peubah lag endogen masing-masing persamaan
SISA = Selisih pupuk pada Lini II dan Lini IV (ton)
SELHETEC = Selisih harga pupuk antara HET dan harga riil petani (Rp/kg)
AREAL... = Luas areal sawah para petani (ha)
CPET... = Biaya produksi petani (Rp)
CPRMUKOP = Kapasitas RMU koperasi (ton)
CPGLJKOP = Kapasitas gudang dan lantai jemur koperasi (ton)
CPLATKOP = Kapasitas peralatan pendukung koperasi (ton)
TCPSARBR = Total kapasitas prasarana dan sarana produksi beras kop. (ton)
PBRKOP = Harga jual beras koperasi (Rp/kg)
ANG = Jumlah anggota koperasi (orang)
SIMA = Jumlah simpanan anggota koperasi (Rp)
MOTO = Jumlah modal total koperasi (Rp)
JUS = Jumlah usaha koperasi (unit)
JTPK = Jumlah tempat pelayanan koperasi (unit)
JKAR = Jumlah karyawan koperasi (orang)
KREDIT = Jumlah kredit koperasi (Rp)
VOLA = Jumlah volume usaha dari pelayanan kepada anggota (Rp)
VOLPSR = Jumlah volume usaha dari pelayanan kepada pasar umum (Rp)
PRMOTO = Indeks produktivitas modal total koperasi (indeks)
PRCOST = Indeks produktivitas biaya operasional koperasi (indeks)
PRKRED = Indeks produktivitas kredit koperasi (indeks).
111
Lampiran 2. Hasil Estimasi Propinsi Sumatera Utara
S2SMUT = 1.9512 + 2.3764 S3KAB + 1.4234 S4ECKOP (0.0001 A) (0.3888)
+ 1.4538 S4ECNKO – 9.0957 P2 – 0.0427 LS2 (0.1807 B) (0.0075 A) (0.0001 A)
Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9995; Adj R2 = 0.9995. S3KAB = – 3.5407 + 4.1427 S4ECKOP + 6.7113 S4ECNKO (0.5010) (0.3582) + 148.5960 P3KAB – 173.5206 P4KOP – 0.1735 LS3KAB
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9650; Adj R2 = 0.9635. S4ECNKO = 71.8633 – 248.4135 DPPETNKO + 0.1006 PPETNKO (0.2264 C) (0.5098) + 0.9770 LS4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9352; Adj R2 = 0.9335. PPETKOP = 1127.3593 – 0.0424 S4ECKOP – 0.0262 S4ECNKO (0.7584) (0.6922) + 2.2150 SLHETEC1 + 0.0003 SISA
(0.0001 A) (0.3436) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8207; Adj R2 = 0.8185. DPPETKOP = – 0.6735 + 0.5774 AREALKOP + 0.000138 S3ECKOP (0.0001 A) (0.2232 B) – 0.0000557 S4ECNKO + 0.000444 PPETKOP
(0.3058 C) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8818; Adj R2 = 0.8777. DPPETNKO = – 0.2868 + 0.6001 AREALNKO – 0.00037 S4ECKOP (0.0001 A) (0.0054 A) + 0.000182 S4ECNKO + 0.000168 PPETKOP
(0.0045 A) (0.0003 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9259; Adj R2 = 0.9233. GPETKOP = – 0.3574 + 3.8153 AREALKOP + 1.4110 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0013 A) + 0.000528 PGKOP
(0.0006 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9005; Adj R2 = 0.8979. GPETNKO = – 0.2986 + 2.6632 AREALNKO + 2.6612 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0008 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8966; Adj R2 = 0.8949.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
112
JGPETKOP = – 0.1150 + 0.7315 GPETKOP + 0.000122 PGKOP (0.0001 A) (0.1577 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9367; Adj R2 = 0.9356. JGPETNKO = – 0.4334 + 0.7486 GPETNKO + 0.000354 PGKOP (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9808; Adj R2 = 0.9805. IPETKOP = – 1452557 + 1580692 JGPETKOP + 1552.5149 PGKOP (0.0001 A) (0.0001 A)
+ 1834.0582 PGNKO – 1.0282 CPETKOP (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8928; Adj R2 = 0.8891. IPETNKO = – 397886 + 1243375 JGPETNKO + 1083.6412 PGNKO (0.0001 A) (0.0001 A)
+ 597.5572 PGKOP – 0.5181 CPETNKO (0.0067 A) (0.0019 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9426; Adj R2 = 0.9406. PGKOP = 1173.5957 + 0.6670 PGNKO – 181.7582 GPETKOP (0.0001 A) (0.0863 A) + 229.6016 JGPETKOP + 0.1153 PPETNKO (0.1058 B) (0.0781 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5050; Adj R2 = 0.4878.
PGNKO = 854.3236 + 0.6609 PGKOP + 561.6500 GPETNKO
(0.0001 A) (0.0006 A) – 800.2122 JGPETNKO + 0.2064 PPETNKO
(0.0003 A) (0.0333 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5417; Adj R2 = 0.5258. BGKOP = 12784 – 11. 1639 PGKOP + 39678 CPRMUKOP (0.2024 C) (0.0001 A) – 118.8532 CPGLJKOP – 353.7574 CPLATKOP (0.0003 A) (0.0415 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6890; Adj R2 = 0.6782. PROBRKOP = 1.6476 + 0.0020 CPPRODBR + 0.000213 BGKOP (0.1622 B) (0.0001 A) – 0.0183 TCPSARBR (0.0743 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.4273; Adj R2 = 0.4125. CPPRODBR = 108.9591 + 3.1208 TCPSARBR – 181.4595 CPRMUKOP (0.0014 A) (0.0098 A)
+ 3.7616 CPLATKOP (0.0082 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.4575; Adj R2 = 0.4435. MOSE = – 1727013 + 67395 ANG + 0.9014 SIMA + 13771 CPPRODBR
(0.0001 A) (0.0002 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9433; Adj R2 = 0.9418.
113
MOLU = – 26070211 + 0.1754 ASET – 0.7397 MOSE + 313863 ANG (0.0015 A) (0.2931 C) (0.0001 A) + 45600524 JUS (0.0071 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8143; Adj R2 = 0.8078. ASET = – 1244467 + 0.3076 MOTO + 1981588 TCPSARBR (0.0003 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8248; Adj R2 = 0.8218. VOLUME = – 3971595 + 107491 S4ECKOP – 57059 S4ECNKO
(0.0782 A) (0.0541 A) + 1.4748 VOLA + 0.2715 VOLPSR
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9939; Adj R2 = 0.9937. SHU = 210799 + 0.003772 VOLUME + 0.009243 ASET + 0.375902 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7581; Adj R2 = 0.7519. SHUA = 152670 + 0.1892 SHU + 0.2397 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8388; Adj R2 = 0.8360.
PRAN = 146834 + 0.012863 VOLUME + 3085680 JTPK
(0.0001 A) (0.0001 A) – 1874680 JKAR + 276818 PRMOTO
(0.0001 A) (0.0083 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7148; Adj R2 = 0.7048. PRAS = – 0.030880 + 0.0000000014237 VOLUME
(0.0001 A) – 0.00000007508 PRAN + 0.10179 PRMOTO
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8644; Adj R2 = 0.8609. PRUS = 2.3795 + 0.000003775 PRAN + 0.00000000029513 PRKRED
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6861; Adj R2 = 0.6808.
114
Lampiran 2 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Sumatera Utara
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2SMUT 13084.56749 S3KAB 5785.117492 2.376413 1.050690321 S4ECKOP 457.4591833 1.423441 0.049765967 S4ECNKO 953.10085 1.453851 0.105900835 P2 236.4279083 -9.095664 -0.16435154 LS2 12907.7425 -0.042732 -0.042154519 2 S3KAB 5785.117492 S4ECKOP 457.4591833 4.142691 0.32758402 S4ECNKO 953.10085 6.711272 1.105685244 P3KAB 243.0737417 148.595971 6.24356873 P4KOP 216.87585 -173.52056 -6.505039698 LS3KAB 5707.9425 -0.173501 -0.171186451 3 S4ECNKO 953.10085 DPPETNKO 0.560016667 -248.413553 -0.145961185 PPETNKO 1388.361233 0.100556 0.146477733 LS4ECNKO 901.5091917 0.976967 0.924083459 4 PPETKOP 1477.920858 S4ECKOP 457.4591833 -0.042425 -0.013131763 S4ECNKO 953.10085 -0.026252 -0.016929732 SLHETEC1 177.2918833 2.215044 0.265717423 SISA 7299.450825 0.000312 0.001540968 5 DPPETKOP 0.58025 AREALKOP 1.016666667 0.57741 1.011690651 S4ECKOP 457.4591833 0.000138 0.108796842 S4ECNKO 953.10085 -0.000055657 -0.091420481 PPETKOP 1477.920858 0.000444 1.130886447 6 DPPETNKO 0.560016667 AREALNKO 0.991766667 0.600051 1.062665837 S4ECKOP 457.4591833 -0.00037 -0.302240822 S4ECNKO 953.10085 0.000182 0.309748558 PPETKOP 1477.920858 0.000168 0.443363062 7 GPETKOP 4.8925 AREALKOP 1.016666667 3.815299 0.792823161 DPPETKOP 0.58025 1.411037 0.167348844 PGKOP 1045.7502 0.000528 0.112857661 8 GPETNKO 4.4301 AREALNKO 0.991766667 2.663169 0.596203752 DPPETNKO 0.560016667 2.661166 0.336402635 9 JGPETKOP 3.591508333 GPETKOP 4.8925 0.731466 0.996432995 PGKOP 1045.7502 0.000122 0.035523104
115
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 10 JGPETNKO 3.253108333 GPETNKO 4.4301 0.748642 1.019504604 PGKOP 1045.7502 0.000354 0.113797492
11 IPETKOP 4739813.542 JGPETKOP 3.591508333 1580692 1.19774089 PGKOP 1045.7502 1552.514922 0.34253305 PGNKO 334.7924333 1834.058165 0.129547036 CPETKOP 1675054.653 -1.028188 -0.363362626
12 IPETNKO 3808263.542 JGPETNKO 3.253108333 1243375 1.062120184 PGNKO 334.7924333 1083.641213 0.095265171 PGKOP 1045.7502 597.557178 0.164089363 CPETNKO 1595080.972 -0.518077 -0.216995162
13 PGKOP 1045.7502 PGNKO 334.7924333 -0.667032 -0.213547429 GPETKOP 4.8925 -181.758235 -0.850348549 JGPETKOP 3.591508333 229.60161 0.788540223 PPETNKO 1388.361233 0.115321 0.153102725
14 PGNKO 334.7924333 PGKOP 1045.7502 -0.660908 -2.064397532 GPETNKO 4.4301 561.650044 7.431965637 JGPETNKO 3.253108333 -800.212165 -7.775494913 PPETNKO 1388.361233 0.206448 0.856125681
15 BGKOP 12446.23412 PGKOP 1045.7502 -11.163859 -0.938003228 CPRMUKOP 0.572033333 39678 1.823614949 CPGLJKOP 64.3007 -118.853171 -0.61402847 CPLATKOP 10.50903333 -353.757442 -0.298696675
16 PROBRKOP 3.681483333 CPPRODBR 534.084125 0.00199 0.288695429 BGKOP 12446.23412 0.000213 0.720103183 TCPSARBR 91.98083333 -0.018295 -0.457095468
17 CPPRODBR 534.084125 PROBRKOP 3.681483333 TCPSARBR 91.98083333 3.120768 0.537463721 CPRMUKOP 0.572033333 -181.459531 -0.194353091 CPGLJKOP 64.3007 3.761623 0.452878078
18 MOSE 27096777.43 ANG 239.1423917 67395 0.594794032 SIMA 5937588.618 0.90139 0.197517325 CPPRODBR 534.084125 13771 0.271429786
117
Lampiran 3. Hasil Estimasi Propinsi Sumatera Barat
S2SBAR = 1.5114 + 0.9572 S3KAB + 0.3025 S4ECKOP
(0.0001 A) (0.0302 A) + 0.5079 S4ECNKO + 0.9354 P2 – 0.0260 LS2
(0.0465 A) (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9992; Adj R2 = 0.9992. S3KAB = – 2.6065 + 0.4437 S4ECKOP + 1.1109 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 27.6455 P3KAB + 0.0088 LS3KAB
(0.0348 A) (0.0275 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9996; Adj R2 = 0.9995. S4ECNKO = – 407.0623 – 380.8328 DPPETNKO + 0.2304 PPETNKO (0.2533 C) (0.6676) + 1.6842 SISA + 0.1105 LS4ECNKO
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9817; Adj R2 = 0.9811. PPETKOP = 926.1996 – 0.0918 S4ECKOP – 0.1872 S4ECNKO (0.0209 A) (0.0112 A) – 0.1668 S3KAB + 0.3942 PPETNKO + 3.7851 SELHETEC (0.0121 A) (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6459; Adj R2 = 0.6303. DPPETKOP = – 0.1052 + 2.8385 AREALKOP + 0.000172 S3ECKOP (0.0001 A) (0.0642 A) – 0.000044994 S4ECNKO – 0.000926 PPETKOP
(0.1184 B) (0.0568 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7799; Adj R2 = 0.7723. DPPETNKO = 0.4766 + 0.1966 AREALNKO – 0.000011269 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0054 A) + 0.000026656 S4ECKOP – 0.000099286 PPETNKO
(0.0620 A) (0.0558 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8908; Adj R2 = 0.8870. GPETKOP = 0.8757 + 1.9964 AREALKOP + 0.5095 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.000337 PGKOP
(0.2937 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8846; Adj R2 = 0.8816. GPETNKO = – 2.3155 + 3.3616 AREALNKO + 3.7825 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0005 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9776; Adj R2 = 0.9773.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
118
JGPETKOP = – 0.5934 + 0.6467 GPETKOP + 0.000679 PGKOP (0.0001 A) (0.0004 A) + 0.000158 PGNKO (0.2494 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9331; Adj R2 = 0.9314. JGPETNKO = – 1.7266 + 0.3146 GPETNKO + 0.002113 PGNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.000177 PGKOP (0.2745 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9604; Adj R2 = 0.9593. IPETKOP = 1080951 + 795317 JGPETKOP + 444.8364 PGKOP (0.0001 A) (0.1477 B)
– 33.7370 PGNKO – 0.020587 CPETKOP (0.8699) (0.3100) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8351; Adj R2 = 0.8294. IPETNKO = – 3623532 + 3755839 JGPETNKO + 1862.4081 PGKOP (0.0001 A) (0.0150 A)
– 1.990283 CPETNKO (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9531; Adj R2 = 0.9519. PGKOP = 388.0159 – 148.8016 GPETKOP + 391.5483 JGPETKOP (0.0518 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5254; Adj R2 = 0.5172.
PGNKO = 408.0288 – 75.5377 GPETNKO + 281.8804 JGPETNKO
(0.0005 A) (0.0001 A) + 0.3145 PPETNKO
(0.0013 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5664; Adj R2 = 0.5552. BGKOP = 12.6682 + 0.0279 PGKOP + 0.4022 CPRMUKOP (0.0001 A) (0.0001 A) – 0.0671 CPGLJKOP – 0.1358 CPLATKOP (0.5559) (0.7520) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5856; Adj R2 = 0.5712. PROBRKOP = – 8.2756 + 0.5290 CPPRODBR + 0.0898 BGKOP (0.0001 A) (0.5695) – 0.0501 TCPSARBR (0.0012 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8450; Adj R2 = 0.8410. CPPRODBR = 0.5727 + 1.4205 PROBRKOP – 0.0678 CPRMUKOP (0.0001 A) (0.5798) + 2.4385 CPGLJKOP + 1.3674 CPLATKOP (0.0001 A) (0.2976 C) – 0.1252 TCPSARBR (0.0087 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9001; Adj R2 = 0.8958.
119
MOSE = – 7137890 + 45396 ANG + 2.5364 SIMA + 58711 CPPRODBR (0.0001 A) (0.0003 A) (0.0001 A)
Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8774; Adj R2 = 0.8743. MOLU = – 2282292 + 0.6068 ASET – 0.5872 MOSE + 10608 ANG (0.0001 A) (0.0001 A) (0.4799) + 1.0656 KREDKOP (0.0071 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8725; Adj R2 = 0.8681. ASET = 6257780 + 0.9812 MOTO + 8296.5349 TCPSARBR (0.0001 A) (0.1070 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9616; Adj R2 = 0.9610. VOLUME = – 17677877 + 216653 S4ECKOP – 14955 S4ECNKO
(0.0001 A) (0.0001 A) + 0.6972 VOLA + 0.6920 VOLPSR
(0.0002 A) (0.6570) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9641; Adj R2 = 0.9628. SHU = 18926382 + 0.5386 VOLUME + 0.4579 ASET + 7.0790 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.3202) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9631; Adj R2 = 0.9621. SHUA = – 143277 + 0.0536 SHU + 1.5585 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9947; Adj R2 = 0.9946. PRAN = – 239045 + 0.00942 VOLUME – 117228 JKAR
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9648; Adj R2 = 0.9642. PRAS = 0.004881 + 2.5304286E-9 VOLUME – 0.000000261 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) – 0.3450 PRMOTO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6457; Adj R2 = 0.6366. PRUS = 0.1844 + 0.000000423 PRAN + 0.09253 PRCOST
(0.0001 A) (0.0001 A) + 2.336877E-12 PRKRED (0.2496 C)
Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9707; Adj R2 = 0.9699.
120
Lampiran 3 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Sumatera Barat
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2SBAR 8934.942467 S3KAB 6279.884133 0.957251 0.672799561 S4ECKOP 1492.492467 0.302532 0.050534934 S4ECNKO 4878.559058 0.507938 0.277338723 P2 238.40705 0.935389 0.024958564 LS2 8850.484142 -0.026047 -0.025800788
2 S3KAB 6279.884133 S4ECKOP 1492.492467 0.443711 0.10545343 S4ECNKO 4878.559058 1.110906 0.863012822 P3KAB 246.53205 27.645537 1.085292462 P4KOP 269.3653833 -24.761068 -1.06208561 LS3KAB 6223.950808 0.00882 0.008741443
3 S4ECNKO 4878.559058 DPPETNKO 0.606333333 -380.8328 -0.047331931 PPETNKO 1635.624967 0.230423 0.077253469 SISA 2734.5508 1.684191 0.944029946 LS4ECNKO 4832.417475 0.110533 0.109487575
4 PPETKOP 1730.798567 S4ECKOP 1492.492467 0.09178 0.079143212 S4ECNKO 4878.559058 0.187235 0.527754658 S3KAB 6279.884133 -0.166771 -0.605097888 PPETNKO 1635.624967 0.394198 0.372521738 SELHETEC 41.40573333 3.785082 0.090550165
5 DPPETKOP 2.095833333 AREALKOP 1.327333333 2.838456 1.79765118 S4ECKOP 1492.492467 0.000172 0.122485266 S4ECNKO 4878.559058 -0.000044994 -0.104734419 PPETKOP 1730.798567 -0.000926 -0.764717045
6 DPPETNKO 0.606333333 AREALNKO 1.56325 0.196578 0.506817854 S4ECKOP 1492.492467 -0.000011269 -0.027738699 S4ECNKO 4878.559058 0.000026656 0.214474223 PPETKOP 1730.798567 -0.000099286 -0.283415173
7 GPETKOP 4.94075 AREALKOP 1.327333333 1.996411 0.536336157 DPPETKOP 2.095833333 0.509481 0.216118456 PGKOP 1030.333675 0.000337 4.13569E-05
8 GPETNKO 5.233 AREALNKO 1.56325 3.361654 1.004224272 DPPETNKO 0.606333333 3.782489 0.438266609
121
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 9 JGPETKOP 3.518108333 GPETKOP 4.94075 0.646673 0.908172609 PGKOP 1030.333675 0.000679 0.19885589 PGNKO 1375.208458 0.000158 0.061761298
10 JGPETNKO 3.00885 GPETNKO 5.233 0.314617 0.547182731 PGNKO 1375.208458 0.002113 0.965756177 PGKOP 1030.333675 0.000177 0.060610885
11 IPETKOP 4220483.917 JGPETKOP 3.518108333 795317 0.662959845 PGKOP 1030.333675 444.836453 0.108596546 PGNKO 1375.208458 -33.737021 -0.010992919 CPETKOP 3420407.45 -0.020587 -0.016684326
12 IPETNKO 6458814.167 JGPETNKO 3.00885 3755839 1.749664239 PGKOP 1030.333675 1862.408148 0.297098164 CPETNKO 1576314.444 -1.990283 -0.485741153
13 PGKOP 1030.333675 GPETKOP 4.94075 -148.801606 -0.713547031 JGPETKOP 3.518108333 391.548302 1.336954598
14 PGNKO 1375.208458 GPETNKO 5.233 -75.537661 -0.287439026 JGPETNKO 3.00885 281.880409 0.616732586 PPETNKO 1635.624967 0.314456 0.374002997
15 BGKOP 59.90880833 PGKOP 1030.333675 0.027861 0.479163704 CPRMUKOP 52.36889167 0.402164 0.351549021 CPGLJKOP 24.73403333 -0.067103 -0.027704237 CPLATKOP 6.384033333 -0.135829 -0.01447428
16 PROBRKOP 70.33415833 CPPRODBR 150.2923667 0.528976 1.130333494 BGKOP 59.90880833 0.089798 0.076487603 TCPSARBR 125.2790333 -0.050056 -0.089159627
17 CPPRODBR 150.2923667 PROBRKOP 70.33415833 1.4205 0.664768771 CPRMUKOP 52.36889167 -0.067831 -0.023635494 CPGLJKOP 24.73403333 2.438469 0.401305634 CPLATKOP 6.384033333 1.367445 0.058085548 TCPSARBR 125.2790333 -0.125167 -0.104335311
122
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 18 MOSE 21256500 ANG 267.675725 45396 0.571656068 SIMA 2925075.001 2.536404 0.34903074 CPPRODBR 150.2923667 58711 0.415111384
19 MOLU 29431558.35 ASET 57030614.5 0.606763 1.175747011 MOSE 21256500 -0.587213 -0.42410575 ANG 267.675725 10608 0.096478211 KREDKOP 6336666.668 1.065609 0.229427506
20 ASET 57030614.5 MOTO 50688058.35 0.981167 0.872048295 TCPSARBR 125.2790333 8296.534879 0.018224981
21 VOLUME 271093143.8 S4ECKOP 1492.492467 216653 1.192774431 S4ECNKO 4878.559058 -14955 -0.269128351 VOLA 49415408.33 0.697177 0.127082838 VOLPSR 5756650.001 0.681975 0.014481707
22 SHU 205129533.7 VOLUME 271093143.8 0.538601 0.711799202 ASET 57030614.5 0.457927 0.127313984 PRAN 1988453.519 7.07896 0.068620947
23 SHUA 13942609.65 SHU 205129533.7 0.05356 0.787997233 PRAN 1988453.519 1.558539 0.222274197
24 PRAN 1988453.519 VOLUME 271093143.8 0.009421 1.284399401 JKAR 2.78405 -117228 -0.16413188
25 PRAS 0.458291667 VOLUME 271093143.8 2.53E-09 1.50E+00 PRAN 1988453.519 -2.61E-07 -1.13E+00 PRMOTO 0.828958333 0.345019 6.24E-01
26 PRUS 1.224008333 PRAN 1988453.519 0.000000423 6.87E-01 PRCOST 1.777033333 9.25E-02 1.34E-01
PRKRED 14180992887 2.34E-12 2.71E-02
123
Lampiran 4. Hasil Estimasi Propinsi Jawa Barat
S2JBAR = – 2272.5011 + 0.9284 S3KAB + 0.1258 S4ECKOP
(0.0079 A) (0.0001 A) + 0.6735 S4ECNKO – 10.3084 P2 – 0.0118 LS2
(0.1545 B) (0.0871 A) (0.5766) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9820; Adj R2 = 0.9812. S3KAB = – 1377.5864 + 0.0781 S4ECKOP + 1.3469 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 1.2268 P3KAB + 0.0510 LS3KAB
(0.7947) (0.0883 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9743; Adj R2 = 0.9734. S4ECNKO = – 53238 – 2345.7147 DPPETNKO + 48.0056 PPETNKO (0.2088 C) (0.2428 C) + 0.7671 LS4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6173; Adj R2 = 0.6074. PPETKOP = 1296.2125 + 0.009054 S3KAB + 0.00268 S4ECKOP (0.0617 A) (0.0001 A) – 0.0135 S4ECNKO
(0.0576 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5402; Adj R2 = 0.5283. DPPETKOP = – 0.0274 + 1.4083 AREALKOP + 0.000000182 S4ECKOP (0.0001 A) (0.3285) + 0.000000604 S4ECNKO – 0.00003746 PPETKOP
(0.0470 A) (0.5769) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9857; Adj R2 = 0.9852. DPPETNKO = – 0.4670 + 1.5001 AREALNKO – 4.808039E-9 S4ECNKO (0.0001 A) (0.9823) + 0.000212 PPETNKO
(0.1082 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9960; Adj R2 = 0.9959. GPETKOP = – 0.1076 + 4.5008 AREALKOP + 0.3855 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0662 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9982; Adj R2 = 0.9980. GPETNKO = – 0.0827 + 3.7582 AREALNKO + 0.8674 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0098 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9976; Adj R2 = 0.9971.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
124
JGPETKOP = – 3.6522 + 0.5101 GPETKOP + 0.0025 PGKOP (0.0001 A) (0.0782 A) + 0.001648 PGNKO (0.0458 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7856; Adj R2 = 0.7801. JGPETNKO = – 24.3656 + 0.2181 GPETNKO + 0.0214 PGNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.001342 PGKOP (0.0238 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9456; Adj R2 = 0.9442. IPETKOP = – 4994564 + 3044805 JGPETKOP – 1.9182 CPETKOP (0.0001 A) (0.0610 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6442; Adj R2 = 0.6381. IPETNKO = – 10914837 + 5049926 JGPETNKO – 3.3606 CPETNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9728; Adj R2 = 0.9723. PGKOP = 611.9884 + 7.7257 GPETKOP + 55.9169 JGPETKOP (0.6661) (0.0525 A) + 0.1975 PPETKOP (0.0004 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6248; Adj R2 = 0.6151.
PGNKO = 678.1929 – 3.6213 GPETNKO + 37.7826 JGPETNKO
(0.0753 A) (0.0001 A) + 0.2819 PPETNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9297; Adj R2 = 0.9279. BGKOP = 19487 – 12.6627 PGKOP + 4145.4016 CPRMUKOP (0.0319 A) (0.0001 A) + 29.7645 CPGLJKOP – 87.2867 CPLATKOP (0.5106) (0.8008) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5971; Adj R2 = 0.5831. PROBRKOP = 62.4442 + 0.0752 CPPRODBR + 0.005419 BGKOP (0.0001 A) (0.0001 A) – 0.0152 TCPSARBR (0.9173) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5203; Adj R2 = 0.5079. CPPRODBR = 82.7651 + 7.0871 PROBRKOP + 182.6843 CPRMUKOP (0.0001 A) (0.0001 A)
– 1.9826 CPGLJKOP – 16.6013 CPLATKOP (0.3247) (0.2908 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5046; Adj R2 = 0.4874. MOSE = 3501576 + 48795 ANG + 0.9860 SIMA + 228.1387 CPPRODBR (0.0001 A) (0.0001 A) (0.9292) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8443; Adj R2 = 0.8413.
125
MOLU = 18683686 + 0.9282 ASET – 0.6781 MOSE (0.0001 A) (0.0011 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9426; Adj R2 = 0.9416. ASET = – 35079804 + 1.0008 MOTO + 297262 TCPSARBR (0.0001 A) (0.0313 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9466; Adj R2 = 0.9457. VOLUME = 6277124 + 153.1093 S4ECKOP + 146.7587 S4ECNKO
(0.0026 A) (0.1347 B) + 8394.6308 PROBRKOP + 0.9846 VOLA
(0.8834) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9852; Adj R2 = 0.9847. SHU = 172898 + 0.020946 VOLUME + 0.002324 ASET
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9569; Adj R2 = 0.9561. SHUA = 136564 + 0.1892 SHU + 0.437975 PRAN
(0.0001 A) (0.2427 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9456; Adj R2 = 0.9447. PRAN = – 193834 + 0.011334 VOLUME – 22285 JKAR
(0.0001 A) (0.2763 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9774; Adj R2 = 0.9771. PRAS = 0.0987 + 1.1403792E-8 SHU + 0.145433 PRMOTO
(0.4720) (0.0096 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6702; Adj R2 = 0.6646. PRUS = 0.3848 + 3.3344 PRAS + 0.00000012 PRAN + 0.2677 PRKRED
(0.0001 A) (0.1228 B) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6819; Adj R2 = 0.6737.
126
Lampiran 4 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Jawa Barat
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2JBAR 49521.16713 S3KAB 35681.8508 0.928441 0.668976423 S4ECKOP 48264.4591 0.12581 0.122617296 S4ECNKO 23201.6758 0.673463 0.315531137 P2 238.7716333 -10.308363 -0.049702881 LS2 48224.67131 -0.011842 -0.011531969
2 S3KAB 35681.8508 S4ECKOP 48264.4591 0.078126 0.105675828 S4ECNKO 23201.6758 1.346914 0.875813929 P3KAB 238.7716333 1.22682 0.008209491 LS3KAB 34193.78414 0.051037 0.048908566
3 S4ECNKO 23201.6758 DPPETNKO 2.913625 -2345.714699 -0.294570662 PPETNKO 1371.69445 48.005643 2.838117153 LS4ECNKO 22714.38414 0.767123 0.75101155
4 PPETKOP 1434.400025 S3KAB 35681.8508 0.009054 0.22522551 S4ECKOP 48264.4591 0.00268 0.090176205 S4ECNKO 23201.6758 -0.013544 -0.219076612
5 DPPETKOP 2.0462 AREALKOP 1.494433333 1.408269 1.028523182 S4ECKOP 48264.4591 0.000000182 0.0042929 S4ECNKO 23201.6758 0.000000604 0.006848701 PPETKOP 1434.400025 -0.000037461 -0.026260414
6 DPPETNKO 2.913625 AREALNKO 2.059833333 1.5001 1.06051945 S4ECNKO 23201.6758 -4.81E-09 -3.82872E-05 PPETNKO 1371.69445 0.000212 0.099806675
7 GPETKOP 7.407366667 AREALKOP 1.494433333 4.500789 0.908032424 DPPETKOP 2.0462 0.385529 0.10649796
8 GPETNKO 10.18583333 AREALNKO 2.059833333 3.758231 0.76000944 DPPETNKO 2.913625 0.86739 0.248114131
9 JGPETKOP 5.491475 GPETKOP 7.407366667 0.510114 0.688084975 PGKOP 1259.583383 0.002501 0.573656084 PGNKO 1344.166667 0.001648 0.403386461
127
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 10 JGPETNKO 8.366666667 GPETNKO 10.18583333 0.218116 0.265541023 PGNKO 1344.166667 0.021441 3.444654681 PGKOP 1259.583383 0.001342 0.202035167
11 IPETKOP 8540431.042 JGPETKOP 5.491475 3044805 1.957801715 CPETKOP 1660690.139 -1.918163 -0.372987542
12 IPETNKO 26461479.17 JGPETNKO 8.366666667 5049926 1.596700142 CPETNKO 1450535.417 -3.360644 -0.184219979
13 PGKOP 1259.583383 GPETKOP 7.407366667 7.72566 0.045433115 JGPETKOP 5.491475 55.916944 0.243784178 PPETKOP 1434.400025 0.197505 0.224916572
14 PGNKO 1344.166667 GPETNKO 10.18583333 -3.6213 -0.027441506 JGPETNKO 8.366666667 37.782633 0.235175223 PPETNKO 1371.69445 0.281947 0.287721117
15 BGKOP 12505.71261 PGKOP 1259.583383 -12.662673 -1.275392535 CPRMUKOP 2.084025 4145.401632 0.690813943 CPGLJKOP 18.242425 29.764522 0.043418322 CPLATKOP 2.442475 -87.286696 -0.017047855
16 PROBRKOP 216.9751583 CPPRODBR 1163.066892 0.075202 0.403110462 BGKOP 12505.71261 0.005419 0.31233279 TCPSARBR 46.0925 -0.015177 -0.003224083
17 CPPRODBR 1163.066892 PROBRKOP 216.9751583 7.087151 1.322138667 CPRMUKOP 2.084025 -182.684306 -0.327340296 CPGLJKOP 18.242425 -1.982567 -0.031096087 CPLATKOP 2.442475 -16.60133 -0.034863286
18 MOSE 37537473.7 ANG 530.7421667 48795 0.689912279 SIMA 7984830.085 0.985965 0.209730763 CPPRODBR 1163.066892 228.138748 0.007068686
19 MOLU 116131105 ASET 132415466.7 0.928163 1.058313678 MOSE 37537473.7 -0.678141 -0.219197948
128
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 20 ASET 132415466.7 MOTO 153668578.7 1.000814 1.161447894 TCPSARBR 46.0925 297262 0.10347393
21 VOLUME 121574995.8 S4ECKOP 48264.4591 153.109281 0.060783359 S4ECNKO 23201.6758 146.758693 0.028007795 PROBRKOP 216.9751583 8394.630773 0.014981916 VOLA 104291313.5 0.984566 0.844595393
22 SHU 3027151.484 VOLUME 121574995.8 0.020946 0.841223135 ASET 132415466.7 0.002324 0.101657795
23 SHUA 1595393.818 SHU 3027151.484 0.437975 0.831027836 PRAN 1129264.146 0.117788 0.083373625
24 PRAN 1129264.146 VOLUME 121574995.8 0.011334 1.22020256 JKAR 2.459158333 -22285 -0.048529251
25 PRAS 0.256433333 SHU 3027151.484 1.14E-08 1.35E-01 PRMOTO 0.847458333 1.45E-01 4.81E-01
26 PRUS 1.701225 PRAS 0.256433333 3.334382 5.03E-01 PRAN 1129264.146 1.20E-07 7.97E-02 PRKRED 1.217533333 2.68E-01 1.92E-01
129
Lampiran 5. Hasil Estimasi Propinsi Jawa Timur S2JTIM = – 988.3745 + 0.6875 S3KAB + 1.9355 S4ECKOP
(0.0001 A) (0.0001 A) + 0.5439 S4ECNKO – 13.1032 P2 – 0.01026 LS2
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.0723 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9984; Adj R2 = 0.9984.
S3KAB = – 1241.8236 + 2.1208 S4ECKOP + 1.2431 S4ECNKO (0.0008 A) (0.0001 A) – 10.9059 P3KAB + 0.0156 LS3KAB
(0.0033 A) (0.1163 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9952; Adj R2 = 0.9950.
S4ECNKO = – 46085 + 42953 DPPETNKO + 12411 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.2289 LS4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8320; Adj R2 = 0.8271. PPETKOP = 1147.7165 – 0.00161 S4ECKOP – 0.000746 S4ECNKO (0.9325) (0.0357 A) + 42.0251 SELHETEC
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6012; Adj R2 = 0.5897. DPPETKOP = – 0.4131 + 2.5176 AREALKOP + 0.00004047 S4ECKOP (0.0001 A) (0.0944 A) + 0.000000823 S4ECNKO – 0.000724 PPETKOP
(0.1982 B) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9633; Adj R2 = 0.9618. DPPETNKO = – 0.2930 + 2.2264 AREALNKO + 0.0000114 S4ECKOP (0.0001 A) (0.2656 C) + 0.0000019 S4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9832; Adj R2 = 0.9827.
GPETKOP = 0.2066 + 1.0831 AREALKOP + 0.6835 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9678; Adj R2 = 0.9672. GPETNKO = 0.0733 + 0.8552 AREALNKO + 0.5822 DPPETNKO (0.0223 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9627; Adj R2 = 0.9620.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
130
JGPETKOP = – 0.02048 + 0.9472 GPETKOP + 0.00006198 PGKOP (0.0001 A) (0.0849 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9994; Adj R2 = 0.9994. JGPETNKO = – 3.5684 + 0.6147 GPETNKO + 0.004201 PGNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7708; Adj R2 = 0.7665.
IPETKOP = – 51317 + 652303 JGPETKOP + 341.7181 PGKOP (0.0001 A) (0.0001 A)
– 0.0281 CPETKOP (0.0003 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9933; Adj R2 = 0.9931. IPETNKO = 272472 + 600865 JGPETNKO – 0.033376 CPETNKO (0.0001 A) (0.4686) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7296; Adj R2 = 0.7244. PGKOP = 502.6757 + 444.8519 GPETKOP – 413.4800 JGPETKOP (0.2055 C) (0.2662 C) + 0.2367 PPETKOP (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5546; Adj R2 = 0.5418.
PGNKO = – 280.6278 + 22.1056 GPETNKO – 68.0042 JGPETNKO
(0.3848) (0.0065 A) + 0.9413 PPETNKO
(0.0005 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.4773; Adj R2 = 0.4622. BGKOP = – 434.2612 + 6.4897 PGKOP + 2.9412 CPRMUKOP (0.0045 A) (0.0001 A) + 1.8079 CPGLJKOP + 28.7345 CPLATKOP (0.0009 A) (0.2206 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9526; Adj R2 = 0.9507. PROBRKOP = 4883.6969 + 9.6187 CPPRODBR + 3.6541 BGKOP (0.0028 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9799; Adj R2 = 0.9795. CPPRODBR = 161.0221 + 0.0084 PROBRKOP + 0.2218 CPRMUKOP (0.0404 A) (0.0001 A)
+ 0.0682 CPGLJKOP – 2.4423 CPLATKOP (0.0060 A) (0.2845 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9229; Adj R2 = 0.9199. MOSE = 1934875 + 49164 ANG + 3122.4477 CPPRODBR
(0.0001 A) (0.6272) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8287; Adj R2 = 0.8254. MOLU = 2022657 + 0.7032 ASET – 0.0319 MOSE (0.0001 A) (0.9005) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9367; Adj R2 = 0.9355.
131
ASET = – 23151692 + 1.0157 MOTO + 39322 ANG (0.0001 A) (0.0012 A) + 2189.1366 TCPSARBR (0.7799) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9549; Adj R2 = 0.9536.
VOLUME = 21225298 + 5260.3508 S4ECKOP – 51.7966 S4ECNKO
(0.3328) (0.6528) + 25.6516 VOLA
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9818; Adj R2 = 0.9813.
SHU = – 763990 + 0.0139 VOLUME + 0.002115 ASET
(0.0001 A) (0.0174 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9360; Adj R2 = 0.9348. SHUA = – 101972 + 0.1643 SHU – 0.5800 PRAN
(0.0001 A) (0.6799) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9706; Adj R2 = 0.9700. PRAN = 701.8694 + 0.00016 VOLUME + 16780 JTPK
(0.0001 A) (0.0009 A) – 8927.0879 JKAR
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8857; Adj R2 = 0.8824. PRAS = 0.0646 + 3.1871664E-9 VOLUME + 0.3388 PRMOTO
(0.0001 A) (0.0229 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9794; Adj R2 = 0.9790. PRUS = 0.0119 + 0.000011527 PRAN + 0.054786 PRKRED
(0.0001 A) (0.0449 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9469; Adj R2 = 0.9459.
132
Lampiran 5 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Jawa Timur
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2JTIM 68883.75078 S3KAB 62515.54337 0.68751 0.623950652 S4ECKOP 1847.88963 1.935482 0.051921637 S4ECNKO 49705.7193 0.543903 0.392474125 P2 230.6518241 -13.103186 -0.043874988 LS2 67958.95449 -0.010261 -0.010123241
2 S3KAB 62515.54337 S4ECKOP 1847.88963 2.120835 0.062689514 S4ECNKO 49705.7193 1.243095 0.988377095 P3KAB 267.2478982 -10.905947 -0.046621868 LS3KAB 61623.74708 0.015642 0.015418864
3 S4ECNKO 49705.7193 DPPETNKO 1.420138889 42953 1.227207383 DPPETKOP 1.911907407 12411 0.477383351 LS4ECNKO 48320.94153 0.228924 0.222546286
4 PPETKOP 1422.561787 S4ECKOP 1847.88963 -0.00161 -0.002091369 S4ECNKO 49705.7193 -0.000746 -0.02606598 SELHETEC 7.493185185 42.025069 0.221362353
5 DPPETKOP 1.911907407 AREALKOP 1.286666667 2.517629 1.694302402 S4ECKOP 1847.88963 0.000040467 0.039112014 S4ECNKO 49705.7193 0.000000823 0.021396333 PPETKOP 1422.561787 -0.000724 -0.538694881
6 DPPETNKO 1.420138889 AREALNKO 0.717592593 2.226402 1.124995306 S4ECKOP 1847.88963 0.000011403 0.014837623 S4ECNKO 49705.7193 0.0000019 0.066501148
7 GPETKOP 2.907037037 AREALKOP 1.286666667 1.083112 0.47938987 DPPETKOP 1.911907407 0.683498 0.449524678
8 GPETNKO 1.513796296 AREALNKO 0.717592593 0.855184 0.405387241 DPPETNKO 1.420138889 0.582205 0.546184426
9 JGPETKOP 2.669388889 GPETKOP 2.907037037 0.947232 1.031561388 PGKOP 1028.842685 -0.000061981 -0.023888875
133
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 10 JGPETNKO 1.448074074 GPETNKO 1.513796296 0.614697 0.642595609 PGNKO 972.6852315 0.004201 2.821851955
11 IPETKOP 1963918.908 JGPETKOP 2.669388889 652303 0.886620305 PGKOP 1028.842685 341.71815 0.179016668 CPETKOP 2756765.972 -0.028145 -0.039507323
12 IPETNKO 1082556.648 JGPETNKO 1.448074074 600865 0.803742723 CPETNKO 1798069.985 -0.033376 -0.055435791
13 PGKOP 1028.842685 GPETKOP 2.907037037 444.851928 1.256947296 JGPETKOP 2.669388889 -413.479982 -1.072796537 PPETKOP 1422.561787 0.236689 0.327265511
14 PGNKO 972.6852315 GPETNKO 1.513796296 22.105615 0.034403111 JGPETNKO 1.448074074 698.004197 1.039145809 PPETNKO 1191.234546 0.941355 1.152864832
15 BGKOP 9767.324176 PGKOP 1028.842685 6.489733 0.683597084 CPRMUKOP 2427.263991 2.941222 0.730918942 CPGLJKOP 2284.639 -1.807876 -0.422873649 CPLATKOP 17.95381482 28.734471 0.052818291
16 PROBRKOP 30317.0464 CPPRODBR 1066.444546 -9.618687 -0.33835078 BGKOP 9767.324176 3.654138 1.177263443
17 CPPRODBR 1066.444546 PROBRKOP 30317.0464 0.008414 0.239194461 CPRMUKOP 2427.263991 0.221843 0.504922199 CPGLJKOP 2284.639 0.068157 0.146012412 CPLATKOP 17.95381482 -2.442286 -0.041116391
18 MOSE 62432489.09 ANG 1162.787796 49164 0.915665866 CPPRODBR 1066.444546 3122.44774 0.05333629
19 MOLU 237158149.6 ASET 337227980.7 0.703167 0.999871132 MOSE 62432489.09 -0.031908 -0.008399863
20 ASET 337227980.7 MOTO 299590638.7 1.015726 0.902362848 ANG 1162.787796 39322 0.135585255 TCPSARBR 4729.856602 2189.136649 0.030704162
134
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 21 VOLUME 387736925.9 S4ECKOP 1847.88963 5260.350789 0.025069956 S4ECNKO 49705.7193 -51.796595 -0.006640036 VOLA 14009472.22 25.651621 0.926828599
22 SHU 5325649.714 VOLUME 387736925.9 0.013866 1.009521937 ASET 337227980.7 0.002115 0.133924914
23 SHUA 737278.3478 SHU 5325649.714 0.164291 1.186738116 PRAN 61560.36069 -0.579993 -0.048427542
24 PRAN 61560.36069 VOLUME 387736925.9 0.00016 1.007757386 JTPK 1.963694444 16780 0.535259904 JKAR 3.843333333 -8927.08789 -0.557335501
25 PRAS 1.471509259 VOLUME 387736925.9 3.19E-09 8.40E-01 PRMOTO 0.505166667 3.39E-01 1.16E-01
26 PRUS 0.757657407 PRAN 61560.36069 1.15E-05 9.37E-01 PRKRED 0.658722222 5.48E-02 4.76E-02
135
Lampiran 6. Hasil Estimasi Propinsi Bali S2BALI = – 11.1472 + 0.4646 S3KAB + 0.2916 S4ECKOP
(0.0074 A) (0.0001 A) + 0.7457 S4ECNKO – 3.4049 P2 + 0.0525 LS2
(0.0026 A) (0.0001 A) (0.0027 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9909; Adj R2 = 0.9904.
S3KAB = – 4.679831 + 0.2353 S4ECKOP + 1.3783 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) – 3.3641 P3KAB + 0.0171 LS3KAB
(0.0001 A) (0.2599 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9907; Adj R2 = 0.9903. S4ECNKO = – 918.7907 + 1170.5277 DPPETNKO + 79.5196 DPPETKOP (0.2116 C) (0.0001 A) + 0.2709 SISA + 0.6227 LS4ECNKO (0.0082 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6984; Adj R2 = 0.6876.
PPETKOP = 1180.5448 – 0.0171 S4ECKOP – 0.0153 S4ECNKO (0.0023 A) (0.0001 A) + 0.0877 SISA
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7685; Adj R2 = 0.7623. DPPETKOP = – 5.3334 + 4.7348 AREALKOP – 0.000684 PPETKOP (0.0001 A) (0.6013) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9551; Adj R2 = 0.9543. DPPETNKO = 0.0147 + 0.4317 AREALNKO – 0.000005024 S4ECNKO (0.0001 A) (0.1429 B) + 0.000120 PPETNKO
(0.1868 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6833; Adj R2 = 6748.
GPETKOP = – 0.7954 + 4.8870 AREALKOP + 0.0733 DPPETKOP (0.0001 A) (0.2658 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9934; Adj R2 = 0.9933. GPETNKO = 0.1461 + 2.6026 AREALNKO + 2.6269 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9191; Adj R2 = 0.9177. JGPETKOP = – 13.6365 + 0.2315 GPETKOP + 0.0190 PGKOP (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8312; Adj R2 = 0.8282.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
136
JGPETNKO = – 0.2981 + 0.8393 GPETNKO + 0.000162 PGNKO (0.0001 A) (0.5451) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9903; Adj R2 = 0.9902. IPETKOP = 9917923 + 687039 JGPETKOP – 0.2972 CPETKOP (0.0001 A) (0.1291 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5874; Adj R2 = 0.5801. IPETNKO = – 1756580 + 2918365 JGPETNKO – 1.1893 CPETNKO (0.0001 A) (0.0007 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9607; Adj R2 = 0.9600.
PGKOP = 766.8768 – 5.5346 GPETKOP + 33.2436 JGPETKOP (0.0116 A) (0.0001 A) + 0.030051 PPETKOP (0.4558) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5445; Adj R2 = 0.5323.
PGNKO = 666.0641 + 3.8122 GPETNKO + 85.8647 JGPETNKO
(0.9695) (0.4605) + 0.2414 PPETNKO
(0.1016 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6402; Adj R2 = 0.6306. BGKOP = 134103 – 144.4745 PGKOP + 188765 CPRMUKOP (0.0310 A) (0.0001 A) + 14.9835 CPGLJKOP (0.0351 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7711; Adj R2 = 0.7649. PROBRKOP = – 129.0716 + 0.4574 CPPRODBR + 0.0255 BGKOP (0.0343 A) (0.0001 A) – 0.2967 TCPSARBR (0.0030 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9508; Adj R2 = 0.9495. CPPRODBR = 188.0016 + 0.7250 PROBRKOP – 1639.2582 CPRMUKOP (0.0001 A) (0.0401 A)
– 0.3621 CPGLJKOP + 33.2206 CPLATKOP (0.4398) (0.2836 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7783; Adj R2 = 0.7703. MOSE = 9799299 + 19232 ANG + 2.4198 SIMA + 97.6107 CPPRODBR (0.0001 A) (0.0001 A) (0.8829) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7799; Adj R2 = 0.7740. MOLU = – 5181062 + 0.513493 ASET – 0.879545 MOSE (0.0001 A) (0.0193 A) + 27121028 JUS (0.0061 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6801; Adj R2 = 0.6715.
137
ASET = 3446393 + 0.845756 MOTO + 34604059 JUS (0.0001 A) (0.0001 A) – 9124.9235 TCPSARBR (0.0745 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8503; Adj R2 = 0.8463. VOLUME = 21844568 + 28488 S4ECKOP – 872.7816 S4ECNKO
(0.0001 A) (0.8077) + 7474.90158 PROBRKOP + 1.217124 VOLA
(0.0079 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7677; Adj R2 = 0.7593. SHU = – 329847 + 0.004424 VOLUME + 13.817230 PRAN
(0.2756 C) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7836; Adj R2 = 0.7798. SHUA = 149890 + 0.075785 SHU + 1372.0617 ANG + 1.3848 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9474; Adj R2 = 0.9459.
PRAN = 39718 + 0.0356 SHU + 117660 PRMOTO
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8066; Adj R2 = 0.8032. PRAS = – 0.0333 + 2.0575334E-9 VOLUME + 0.000000196 PRAN
(0.0001 A) (0.0058 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8095; Adj R2 = 0.8044. PRUS = – 0.2685 + 3.6124785E-9 VOLUME + 0.000001194 PRAN
(0.0119 A) (0.0003 A) + 1.5120 PRCOST (0.0001 A)
Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8147; Adj R2 = 0.8097.
138
Lampiran 6 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Bali
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2BALI 6351.669586 S3KAB 5991.485621 0.464579 0.43823413 S4ECKOP 2626.173207 0.291609 0.120569203 S4ECNKO 4457.704672 0.745711 0.523352067 P2 242.6516552 -3.40493 -0.130077909 LS2 6013.171922 0.052474 0.049677519
2 S3KAB 5991.485621 S4ECKOP 2626.173207 0.23535 0.103158032 S4ECNKO 4457.704672 1.378353 1.025503689 P3KAB 258.9878621 -3.364147 -0.145418565 LS3KAB 6139.58744 0.017115 0.017538061
3 S4ECNKO 4457.704672 DPPETNKO 0.6735 1170.527671 0.176851192 DPPETKOP 11.17116379 79.51961 0.199278923 SISA 2568.890483 0.270936 0.156135268 LS4ECNKO 4823.440026 0.622753 0.673847185
4 PPETKOP 1292.959776 S4ECKOP 2626.173207 -0.017093 -0.034718156 S4ECNKO 4457.704672 -0.015255 -0.052594277 SISA 2568.890483 0.087706 0.174256858
5 DPPETKOP 11.17116379 AREALKOP 3.67262931 4.734841 1.556625268 PPETKOP 1292.959776 -0.000684 -0.079166728
6 DPPETNKO 0.6735 AREALNKO 1.160344828 0.431708 0.743771559 S4ECNKO 4457.704672 0.000005024 0.033252425 PPETNKO 1125.51744 0.00012 0.200537628
7 GPETKOP 17.97189655 AREALKOP 3.67262931 4.887045 0.998687292 DPPETKOP 11.17116379 0.073317 0.045573165
8 GPETNKO 4.935215517 AREALNKO 1.160344828 2.602576 0.611905516 DPPETNKO 0.6735 2.626865 0.35848355
9 JGPETKOP 10.63168103 GPETKOP 17.97189655 0.231511 0.391348436 PGKOP 1059.698302 0.018975 1.891307236
10 JGPETNKO 4.055405172 GPETNKO 4.935215517 0.839258 1.021332993 PGNKO 1304.784603 0.000162 0.052121822
139
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 11 IPETKOP 15633352 JGPETKOP 10.63168103 687039 0.467230541 CPETKOP 5346175.402 -0.297213 -0.101638652
12 IPETNKO 8210692.943 JGPETNKO 4.055405172 2918365 1.44143163 CPETNKO 1570552.63 -1.189313 -0.227493425
13 PGKOP 1059.698302 GPETKOP 17.97189655 -5.534653 -0.093864651 JGPETKOP 10.63168103 33.243594 0.333524445 PPETKOP 1292.959776 0.030051 0.036665846
14 PGNKO 1304.784603 GPETNKO 4.935215517 3.81218 0.014419184 JGPETNKO 4.055405172 85.864733 0.26687645 PPETNKO 1125.51744 0.241391 0.208225771
15 BGKOP 418913.8106 PGKOP 1059.698302 -144.474461 -0.365467399 CPRMUKOP 2.260655172 188765 1.018664372 CPGLJKOP 745.9662069 14.983458 0.026681272
16 PROBRKOP 13235.61235 CPPRODBR 6318.138302 0.457375 0.21833206 BGKOP 418913.8106 0.025546 0.808543793 TCPSARBR 763.5982414 -0.296729 -0.017119098
17 CPPRODBR 6318.138302 PROBRKOP 13235.61235 0.724968 1.518706137 CPRMUKOP 2.260655172 -1639.258218 -0.586533151 CPGLJKOP 745.9662069 -0.362088 -0.042750791 CPLATKOP 15.37137931 33.220646 0.080822408
18 MOSE 57561276.48 ANG 947.1472672 19232 0.316454696 SIMA 11955300.04 2.41982 0.502589169 CPPRODBR 6318.138302 97.610678 0.010714109
19 MOLU 86049270.35 ASET 180607571.5 0.513493 1.077763046 MOSE 57561276.48 -0.879545 -0.588357492 JUS 1.811043103 27121028 0.570804965
20 ASET 180607571.5 MOTO 143610546.8 0.845756 0.672504927 JUS 1.811043103 34604059 0.346992332 TCPSARBR 763.5982414 -9124.923474 -0.038579642
140
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 21 VOLUME 417187036.4 S4ECKOP 2626.173207 28488 0.17933065 S4ECNKO 4457.704672 -872.781589 -0.009325799 PROBRKOP 13235.61235 7474.90158 0.237147588 VOLA 185258341.7 1.217124 0.540482695
22 SHU 11659037.2 VOLUME 417187036.4 0.004424 0.158300846 PRAN 734091.8869 13.81723 0.869978907
23 SHUA 3349624.854 SHU 11659037.2 0.075785 0.263784804 ANG 947.1472672 1372.061682 0.387967169 PRAN 734091.8869 1.384852 0.303499246
24 PRAN 734091.8869 SHU 11659037.2 0.035625 0.565805463 PRMOTO 2.371431035 117660 0.380092166
25 PRAS 0.845215517 VOLUME 417187036.4 2.06E-09 1.02E+00 PRAN 734091.8869 1.96E-07 1.70E-01 PRMOTO 2.371431035 -0.052295 -1.47E-01
26 PRUS 4.751206897 VOLUME 417187036.4 3.61E-09 3.17E-01 PRAN 734091.8869 1.19E-06 1.84E-01
PRKRED 1.743362069 1.51E+00 5.55E-01
141
Lampiran 7. Hasil Estimasi Propinsi Nusa Tenggara Barat S2NTB = 5.3267 + 0.1167 S3KAB + 0.8074 S4ECKOP
(0.0038 A) (0.0001 A) + 0.6711 S4ECNKO + 2.2526 P2
(0.001 A) (0.0778 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9839; Adj R2 = 0.9833. S3KAB = – 3.6785 + 0.9704 S4ECKOP + 0.9211 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.9014 P3KAB + 0.0138 LS3KAB
(0.0012 A) (0.0067 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9991; Adj R2 = 0.9990. S4ECNKO = 3092.1856 – 750.6434 DPPETNKO – 10.1189 DPPETKOP (0.0142 A) (0.0542 A) + 0.2292 SISA – 2.5024 PPETKOP + 0.6146 PPETNKO (0.0006 A) (0.0011 A) (0.1664 B) + 0.5795 LS4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5406; Adj R2 = 0.5153. PPETKOP = 1188.4990 – 0.0129 S4ECKOP – 0.0478 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.0885 SISA
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7820; Adj R2 = 0.7762. DPPETKOP = – 3.9492 + 3.7607 AREALKOP – 0.0005 PPETKOP (0.0001 A) (0.5078) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9854; Adj R2 = 0.9852. DPPETNKO = 0.0037 + 0.4358 AREALNKO – 0.0000338 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0271 A) + 0.000200 PPETNKO
(0.0226 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7213; Adj R2 = 7138. GPETKOP = – 0.2622 + 4.0097 AREALKOP + 0.5343 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9993; Adj R2 = 0.9993. GPETNKO = 0.3456 + 3.2403 AREALNKO + 1.4808 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9600; Adj R2 = 0.9593.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
142
JGPETKOP = – 11.5910 + 0.1552 GPETKOP + 0.0177 PGKOP (0.0001 A) (0.0006 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7737; Adj R2 = 0.7697. JGPETNKO = – 0.5740 + 0.8414 GPETNKO + 0.000407 PGNKO (0.0001 A) (0.1606 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9896; Adj R2 = 0.9894. IPETKOP = 9486017 + 732946 JGPETKOP – 0.3077 CPETKOP (0.0001 A) (0.1271 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5785; Adj R2 = 0.5710. IPETNKO = – 1587119 + 2881328 JGPETNKO – 1.2996 CPETNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9688; Adj R2 = 0.9682. PGKOP = 603.3013 + 0.1007 PGNKO – 3.3363 GPETKOP (0.0485 A) (0.0435 A) + 32.1384 JGPETKOP + 0.0452 PPETKOP (0.0001 A) (0.2749 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5118; Adj R2 = 0.4942.
PGNKO = 431.5768 + 0.2181 PGKOP – 89.1888 GPETNKO
(0.0714 A) (0.3793) + 189.7351 JGPETNKO + 0.2689 PPETNKO
(0.1016 A) (0.0003 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6670; Adj R2 = 0.6550. BGKOP = 101142 – 121.9797 PGKOP + 188760 CPRMUKOP (0.0960 A) (0.0001 A) – 17.0416 CPGLJKOP + 2148.5476 CPLATKOP (0.5452) (0.2422 C) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7733; Adj R2 = 0.7651. PROBRKOP = – 444.9052 + 0.3238 CPPRODBR + 0.0277 BGKOP (0.2644 C) (0.0001 A) + 1.6910 PBRKOP – 0.2789 TCPSARBR (0.0081 A) (0.0113 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9420; Adj R2 = 0.9399. CPPRODBR = – 81.4329 + 0.5713 PROBRKOP – 649.5052 CPRMUKOP (0.0001 A) (0.3421)
– 0.4953 CPGLJKOP + 43.9487 CPLATKOP (0.2615 C) (0.1314 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7938; Adj R2 = 0.7863.
MOSE = 8287326 + 8615.3166 ANG + 3.1176 SIMA (0.0880 A) (0.0001 A) + 683.2265 CPPRODBR
(0.3408) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7442; Adj R2 = 0.7374.
143
MOLU = – 7055349 + 0.0976 ASET – 0.5419 MOSE (0.4373) (0.1395 B) + 30918577 JUS + 0.5963 KREDKOP (0.0029 A) (0.0004 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6930; Adj R2 = 0.6820. ASET = – 5925248 + 0.7833 MOTO + 34340026 JUS (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8460; Adj R2 = 0.8433. VOLUME = – 105726875 + 2354.5149 S4ECKOP – 61009 S4ECNKO
(0.2699 C) (0.0001 A) + 1.2479 VOLA
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7365; Adj R2 = 0.7295. SHU = – 352547 + 0.0115 VOLUME + 7.4982 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9142; Adj R2 = 0.9127. SHUA = 126108 + 0.2644 SHU + 631.6704 ANG + 0.0448 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) (0.8483) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9690; Adj R2 = 0.9681. PRAN = – 195599 + 0.0842 SHU + 50283 PRMOTO
(0.0001 A) (0.0027 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8679; Adj R2 = 0.8656. PRAS = – 0.0332 + 2.3373068E-9 VOLUME + 0.000000149 PRAN
(0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9006; Adj R2 = 0.8979. PRUS = – 0.2238 + 2.8321295E-9 VOLUME + 0.000001739 PRAN
(0.1001 B) (0.0001 A) + 0.2811 PRCOST (0.0002 A)
Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8168; Adj R2 = 0.8119.
144
Lampiran 7 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi NTB
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2NTB 6077.364328 S3KAB 6212.146914 0.11671 0.119298371 S4ECKOP 5012.202948 0.807455 0.665934789 S4ECNKO 1122.471966 0.671106 0.123951376 P2 242.6516552 2.252578 0.089938952
2 S3KAB 6212.146914 S4ECKOP 5012.202948 0.970362 0.782925991 S4ECNKO 1122.471966 0.921146 0.166441743 P3KAB 258.9878621 0.901407 0.037580159 LS3KAB 6139.58744 0.013805 0.013643754
3 S4ECNKO 1122.471966 DPPETNKO 0.6735 -750.643429 -0.450397306 DPPETKOP 11.17116379 -10.118877 -0.100705974 SISA 2516.174966 0.229168 0.513711524 PPETKOP 1292.959776 -2.502409 -2.882489968 PPETNKO 1125.51744 0.617599 0.61927466 LS4ECNKO 1057.172836 0.57952 0.545806774
4 PPETKOP 1292.959776 S4ECKOP 5012.202948 -0.012905 -0.050026675 S4ECNKO 1122.471966 -0.047785 -0.041484139 SISA 2516.174966 0.088539 0.172302046
5 DPPETKOP 11.17116379 AREALKOP 4.18987069 3.760684 1.410486853 PPETKOP 1292.959776 -0.000492 -0.056944489
6 DPPETNKO 0.6735 AREALNKO 1.10862069 0.435764 0.717293224 S4ECNKO 5012.202948 -0.000033812 -0.251629705 PPETNKO 1125.51744 0.0002 0.334229381
7 GPETKOP 22.50637931 AREALKOP 4.18987069 4.009675 0.746455906 DPPETKOP 11.17116379 0.534287 0.265196259
8 GPETNKO 4.935215517 AREALNKO 1.10862069 3.240316 0.727887434 DPPETNKO 0.6735 1.480791 0.202080889
9 JGPETKOP 10.63168103 GPETKOP 22.50637931 0.155187 0.328517896 PGKOP 1059.698302 0.017675 1.76173151
145
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 10 JGPETNKO 4.108853448 GPETNKO 4.935215517 0.841369 1.010582976 PGNKO 1304.784603 0.000407 0.129244652
11 IPETKOP 15633352 JGPETKOP 10.63168103 732946 0.498450242 CPETKOP 5346175.402 -0.307717 -0.105230731
12 IPETNKO 8210692.943 JGPETNKO 4.108853448 2881328 1.441894682 CPETNKO 1570552.63 -1.299633 -0.248595586
13 PGKOP 1059.698302 PGNKO 1304.784603 0.100716 0.124009528 GPETKOP 22.50637931 -3.336338 -0.070858742 JGPETKOP 10.63168103 32.138443 0.322436749 PPETKOP 1292.959776 0.045158 0.055098208
14 PGNKO 1304.784603 PGKOP 1059.698302 0.218111 0.177141772 GPETNKO 4.935215517 -89.188823 -0.337347683 JGPETNKO 4.108853448 189.73507 0.597488348 PPETNKO 1125.51744 0.268897 0.231952663
15 BGKOP 418913.8106 PGKOP 1059.698302 -121.979727 -0.308563973 CPRMUKOP 2.260655172 188760 1.018637389 CPGLJKOP 745.9662069 -17.041569 -0.030346182 CPLATKOP 15.37137931 2148.547569 0.078837553
16 PROBRKOP 13235.61235 CPPRODBR 6318.138302 0.32385 0.154592703 BGKOP 418913.8106 0.027731 0.877700146 PBRKOP 136.2078362 1.690979 0.017401884 TCPSARBR 763.5982414 -0.278935 -0.016092514
17 CPPRODBR 6318.138302 PROBRKOP 13235.61235 0.571324 1.196843536 CPRMUKOP 2.260655172 -649.505206 -0.232395562 CPGLJKOP 745.9662069 -0.49533 -0.058482329 CPLATKOP 15.37137931 43.94868 0.106922609
18 MOSE 57561276.48 ANG 892.1041638 8615.316602 0.133523095 SIMA 11955300.04 3.117569 0.64750949 CPPRODBR 6318.138302 683.22625 0.074993437
146
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 19 MOLU 86049270.35 ASET 180607571.5 0.097588 0.204826045 MOSE 57561276.48 -0.541883 -0.362483924 JUS 1.811043103 30918577 0.650730394 KREDKOP 84978374.81 0.596341 0.588919451
20 ASET 180607571.5 MOTO 143610546.8 0.755419 0.600673243 MOLU 86049270.35 0.046697 0.022248474 JUS 1.811043103 34213636 0.343077364
21 VOLUME 417187036.4 S4ECKOP 5012.202948 2354.514891 0.028287807 S4ECNKO 1122.471966 61009 0.164149137 VOLA 185258341.7 1.247868 0.554135043
22 SHU 9934899.268 VOLUME 417187036.4 0.011465 0.481439141 PRAN 734091.8869 7.498226 0.554045564
23 SHUA 3349624.854 SHU 9934899.268 0.264435 0.784307259 ANG 892.1041638 631.67041 0.168232512 PRAN 734091.8869 0.044773 0.009812292
24 PRAN 734091.8869 SHU 9934899.268 0.084194 1.139447151 PRMOTO 1.854189655 50283 0.127006196
25 PRAS 0.845215517 VOLUME 417187036.4 2.34E-09 1.15E+00 PRAN 734091.8869 1.49E-07 1.29E-01 PRMOTO 1.854189655 -0.111016 -2.44E-01
26 PRUS 3.843896552 VOLUME 417187036.4 2.83E-09 3.07E-01 PRAN 734091.8869 1.74E-06 3.32E-01
PRCOST 5.725206897 2.81E-01 4.19E-01
147
Lampiran 8. Hasil Estimasi Propinsi Jawa Tengah S2JTENG = 1553.1550 + 0.8216 S3KAB + 0.2670 S4ECKOP
(0.0001 A) (0.0001 A) + 0.2035 S4ECNKO + 0.7709 P2
(0.0002 A) (0.6199) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9980; Adj R2 = 0.9979.
S3KAB = 2828.1789 + 0.9977 S4ECKOP + 0.8228 S4ECNKO (0.0008 A) (0.0001 A) – 9.1396 P3KAB + 0.0300 LS3KAB
(0.0005 A) (0.0353 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9916; Adj R2 = 0.9913.
S4ECNKO = – 51034 + 93284 DPPETNKO + 22769 DPPETKOP (0.0001 A) (0.0204 A) + 32.5037 P4NKO + 0.2289 LS4ECNKO
(0.0001 A) (0.1436 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7542; Adj R2 = 0.7446. PPETKOP = 69.6551 – 0.0120 S4ECKOP + 0.0037 S4ECNKO (0.0001 A) (0.0001 A) + 9.5325 SELHETEC
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8684; Adj R2 = 0.8646. DPPETKOP = – 0.1161 + 0.9120 AREALKOP + 0.000000898 S4ECKOP (0.0001 A) (0.0257 A) + 0.00002133 PPETKOP
(0.6915) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6238; Adj R2 = 0.6129. DPPETNKO = – 0.003324 + 0.7635 AREALNKO – 0.00000233 S4ECKOP (0.0001 A) (0.0001 A) + 0.000005714 S4ECNKO
(0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9564; Adj R2 = 0.9551.
GPETKOP = 0.28165 + 7.2206 AREALKOP + 0.1887 DPPETKOP (0.0001 A) (0.1551 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9835; Adj R2 = 0.9832. GPETNKO = 0.4217 + 6.1760 AREALNKO + 0.4991 DPPETNKO (0.0001 A) (0.0273 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9358; Adj R2 = 0.9346.
Keterangan : Nilai ( ) menunjukkan nilai probabilitas t, sedangkan abjad A, B, dan C menunjukkan : A = Tingkat signifikansi α 1 sampai 10 %, B = Tingkat signifikansi α 11 sampai 20 %, dan C = Tingkat signifikansi α 21 sampai 30 %.
148
JGPETKOP = 0.5587 + 0.3618 GPETKOP + 0.000596 PGKOP (0.0001 A) (0.1785 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6680; Adj R2 = 0.6617. JGPETNKO = – 1.0824 + 0.8841 GPETNKO + 0.000723 PGNKO (0.0001 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9758; Adj R2 = 0.9754.
IPETKOP = 198357 + 802396 JGPETKOP + 5091.6454 PGKOP (0.0050 A) (0.0007 A)
– 0.8543 CPETKOP (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9480; Adj R2 = 0.9465. IPETNKO = – 2002858 + 1855356 JGPETNKO + 1086.3298 PGNKO (0.0001 A) (0.0105 A) – 0.0680 CPETNKO (0.0059 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9889; Adj R2 = 0.9886. PGKOP = 657.4587 + 35.2039 GPETKOP + 89.5969 JGPETKOP (0.0553 A) (0.0371 A) + 0.0989 PPETKOP (0.0028 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6095; Adj R2 = 0.5982.
PGNKO = – 637.7806 – 70.3989 GPETNKO + 183.3788 JGPETNKO
(0.2792 C) (0.0073 A) + 1.2600 PPETNKO
(0.0009 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.6126; Adj R2 = 0.6014. BGKOP = 1024.1309 – 2.2652 PGKOP + 2.0370 CPRMUKOP (0.2068 C) (0.0001 A) + 2.2554 CPGLJKOP + 0.5301 TCPSARBR (0.0001 A) (0.1481 B) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.8488; Adj R2 = 0.8429. PROBRKOP = – 855.2005 + 2.5142 CPPRODBR + 0.5977 BGKOP (0.0002 A) (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9740; Adj R2 = 0.9736. CPPRODBR = 123.9557 + 0.1055 PROBRKOP + 0.0472 TCPSARBR (0.0001 A) (0.0017 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9081; Adj R2 = 0.9064. MOSE = 5277559 + 43395 ANG + 4766.7784 CPPRODBR
(0.0001 A) (0.4265) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.7733; Adj R2 = 0.7690. MOLU = 248874 + 0.71235 ASET + 0.1357 MOSE (0.0001 A) (0.5731) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9464; Adj R2 = 0.9454.
149
ASET = – 26359542 + 0.9853 MOTO + 35885 ANG (0.0001 A) (0.0005 A) + 2606.2335 TCPSARBR (0.7310) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9589; Adj R2 = 0.9578. VOLUME = 26457315 + 181.9906 S4ECKOP – 173.9747 S4ECNKO
(0.8178) (0.4799) + 454.1683 PROBRKOP + 25.8199 VOLA + 2.3543 VOLPSR
(0.7969) (0.0001 A) (0.0321 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9829; Adj R2 = 0.9821.
SHU = – 345816 + 0.0147 VOLUME + 0.0011 ASET
(0.0001 A) (0.0333 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9621; Adj R2 = 0.9613. SHUA = – 60922 + 0.1347 SHU + 3.7363 PRAN
(0.0001 A) (0.0003 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9730; Adj R2 = 0.9725. PRAN = 469.3288 + 0.000209 VOLUME – 2070.8726 JTPK
(0.0001 A) (0.3939) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9072; Adj R2 = 0.9054. PRAS = – 0.0940 + 2.004995E-12 VOLUME + 0.000000486 PRAN
(0.9966) (0.8235) + 3.0274 PRMOTO (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.9077; Adj R2 = 0.9050. PRUS = 0.1827 + 1.1710087E-9 VOLUME – 0.000006921 PRAN
(0.0654 A) (0.0179 A) + 0.2153 PRCOST (0.0001 A) Prob. F = 0.0001; R2 = 0.5170; Adj R2 = 0.5030.
150
Lampiran 8 A. Nilai Elastisitas Peubah Propinsi Jawa Tengah
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 1 S2JTENG 68670.88021 S3KAB 61205.83392 0.821617 0.732300991 S4ECKOP 34208.94502 0.286982 0.142962365 S4ECNKO 32842.81543 0.203551 0.097351132 P2 424.6979537 0.770947 0.004767954
2 S3KAB 61205.83392 S4ECKOP 34208.94502 0.997704 0.557633139 S4ECNKO 32842.81543 0.822771 0.441495759 P3KAB 497.3403241 -9.139594 -0.074265611 LS3KAB 58996.85246 0.030012 0.028928836
3 S4ECNKO 32842.81543 DPPETNKO 0.551083333 93284 1.565251243 DPPETKOP 0.580648148 22769 0.402547026 P4NKO 511.8284815 32.503724 0.506544018 LS4ECNKO 32842.81543 0.079527 0.079527
4 PPETKOP 618.9820926 S4ECKOP 34208.94502 -0.011966 -0.661318382 S4ECNKO 32842.81543 0.003716 0.197168712 SELHETEC 87.76657407 9.532549 1.351637112
5 DPPETKOP 0.580648148 AREALKOP 0.715833333 0.911978 1.12430265 S4ECKOP 34208.94502 0.000000898 0.052905762 PPETKOP 618.9820926 0.000021333 0.022741388
6 DPPETNKO 0.551083333 AREALNKO 0.584814815 0.763535 0.810270521 S4ECKOP 34208.94502 -0.000002333 -0.144822868 S4ECNKO 32842.81543 0.000005714 0.340536242
7 GPETKOP 5.559953704 AREALKOP 0.715833333 7.220564 0.929633711 DPPETKOP 0.580648148 0.188726 0.019709409
8 GPETNKO 4.308601852 AREALNKO 0.584814815 6.17603 0.838284428 DPPETNKO 0.551083333 0.499078 0.0638336
9 JGPETKOP 3.291666667 GPETKOP 5.559953704 0.361825 0.611158557 PGKOP 1209.305648 0.000596 0.218960861
10 JGPETNKO 3.610935185 GPETNKO 4.308601852 0.884114 1.054933147 PGNKO 1222.037083 0.000723 0.244682545
151
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 11 IPETKOP 5184607.426 JGPETKOP 3.291666667 802396 0.509434939 PGKOP 1209.305648 5091.645379 1.187622323 CPETKOP 4462399.954 -0.854322 -0.73531632
12 IPETNKO 5707739.387 JGPETNKO 3.610935185 1855356 1.173769475 PGNKO 1222.037083 1086.329796 0.232585128 CPETNKO 4655863.676 -0.06798 -0.055452008
13 PGKOP 1209.305648 GPETKOP 5.559953704 35.203877 0.161854802 JGPETKOP 3.291666667 89.59693 0.243878153 PPETKOP 618.9820926 0.098859 0.050600897
14 PGNKO 1222.037083 GPETNKO 4.308601852 -70.398912 -0.248209229 JGPETNKO 3.610935185 183.378805 0.541856698 PPETNKO 1191.234546 1.260012 1.228252271
15 BGKOP 5710.361204 PGKOP 1209.305648 -2.265158 -0.479701417 CPRMUKOP 1303.032509 2.036967 0.464810215 CPGLJKOP 1003.814917 2.255373 0.396468276 TCPSARBR 4729.856602 0.530098 0.43907687
16 PROBRKOP 4670.046398 CPPRODBR 840.1297315 2.514244 0.452306242 BGKOP 5710.361204 0.597678 0.730818706
17 CPPRODBR 840.1297315 PROBRKOP 4670.046398 0.105519 0.586550633 TCPSARBR 4729.856602 0.047231 0.265906382
18 MOSE 63265822.43 ANG 1243.9915 43395 0.85327289 CPPRODBR 840.1297315 4766.778422 0.063299774
19 MOLU 251695186.6 ASET 340931684.4 0.71235 0.964907945 MOSE 63265822.43 0.135674 0.034102866
20 ASET 340931684.4 MOTO 314961009.1 0.985275 0.910221087 ANG 1243.9915 35885 0.130937185 TCPSARBR 4729.856602 2606.233465 0.036157128
21 VOLUME 365560651.7 S4ECKOP 34208.94502 181.990586 0.017030569 S4ECNKO 34208.94502 -173.974706 -0.016280448 PROBRKOP 4670.046398 454.16835 0.005802012 VOLA 12765953.7 25.819888 0.901671154 VOLPSR 2911626.26 2.354345 0.018751944
152
No. Peubah Nilai Rataan Koefisien Elastisitas 22 SHU 5411965.297 VOLUME 365560651.7 0.014728 0.994828493 ASET 340931684.4 0.001096 0.069043518
23 SHUA 939912.607 SHU 5411965.297 0.134668 0.775410966 PRAN 72804.08171 3.736288 0.289406712
24 PRAN 72804.08171 VOLUME 365560651.7 0.000209 1.049421604 JTPK 1.963694444 -2070.872581 -0.055856222
25 PRAS 1.471509259 VOLUME 365560651.7 2.00E-12 4.98E-04 PRAN 72804.08171 4.86E-07 2.40E-02 PRMOTO 0.505166667 3.02743500E+00 1.04E+00
26 PRUS 0.757657407 VOLUME 365560651.7 1.17E-09 5.65E-01 PRAN 72804.08171 -6.92E-06 -6.65E-01
PRCOST 3.022203704 0.215336 8.59E-01
153
Lampiran 9. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada SUMUT
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2SMUT -0.20 -0.20 -2.36 0.97 0.00 0.00 -2.36 S3KAB -0.21 -0.21 -2.39 0.99 0.00 0.00 -2.39 S4ECNKO -0.19 -0.19 -2.17 0.88 0.00 0.00 -2.17
HARGA PUPUK PPETKOP - - 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
PETANI KOP. DPPETKOP 5.67 5.67 - - 0.00 0.00 -
GPETKOP 0.95 2.07 5.32 -2.79 0.00 0.00 5.32 JGPETKOP 0.95 2.42 5.66 -3.14 0.00 0.00 5.66 IPETKOP 1.09 7.63 5.85 -3.14 0.00 0.00 11.51
PETANI NON-KOP DPPETNKO 2.16 2.16 - - 0.00 0.00 - GPETNKO 0.73 0.73 8.36 -3.41 0.00 0.00 8.36 JGPETNKO 0.75 1.87 9.66 -4.61 0.00 0.00 9.66 IPETNKO 0.75 4.59 8.70 -3.57 0.00 0.00 12.86
BERAS KOP. PGKOP 0.10 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -0.04 -9.35 - - 22.78 0.00 - PROBRKOP -0.03 -7.38 7.91 7.42 10.72 0.00 8.66 CPPRODBR -0.01 -2.20 2.36 2.21 19.87 0.00 16.88
LEMBAGA KOP. MOSE 0.00 -0.60 0.64 0.60 5.39 0.00 4.58 MOLU 0.00 0.10 -0.11 -0.10 5.85 3.01 2.23 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 20.07 - - VOLUME 0.04 0.04 0.50 -0.20 0.03 - - SHU 0.02 0.02 0.26 -0.11 11.14 10.32 10.32 SHUA 0.04 0.04 0.44 -0.18 6.44 11.82 11.82 PRAN 0.08 0.08 0.97 -0.39 0.07 19.49 19.49 PRAS 0.03 0.03 0.20 -0.07 0.03 3.54 3.54 PRUS 0.05 0.05 0.62 -0.25 0.04 12.52 12.52
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.
154
Lampiran 10. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada SUMBAR
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2SBAR -0.05 5.82 0.48 7.38 -0.05 0.00 2.10 S3KAB 0.00 5.86 0.74 7.42 0.00 0.00 2.30 S4ECNKO 0.00 5.90 -0.10 7.74 0.00 0.00 0.00
HARGA PUPUK PPETKOP - - 0.24 0.24 -0.06 0.00 4.53
PETANI KOP.
DPPETKOP -3.66 -4.50 - - 0.00 0.00 - GPETKOP -0.83 -0.18 6.05 -2.89 0.00 0.00 8.21 JGPETKOP -0.87 3.29 8.97 -4.57 0.00 0.00 10.66 IPETKOP -0.64 3.43 7.18 -3.76 0.00 0.00 8.39
PETANI NON-KOP DPPETNKO 0.00 -0.42 - - 0.00 0.00 - GPETNKO 0.00 -0.85 8.08 -4.66 0.00 8.64 10.54 JGPETNKO -0.09 5.86 10.89 -9.55 0.00 7.80 15.37 IPETNKO -0.36 6.40 9.36 -10.45 0.00 13.61 19.41
BERAS KOP. PGKOP -0.49 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -0.27 5.83 - 4.03 7.61 1.92 - PROBRKOP -0.21 10.04 14.27 2.49 40.60 11.70 34.32 CPPRODBR -0.12 2.46 8.80 2.28 33.43 11.29 33.44
LEMBAGA KOP. MOSE -0.21 2.07 2.44 1.84 33.71 14.72 17.56 MOLU 2.95 2.39 2.79 2.58 13.93 8.50 10.50 ASET 1.97 1.47 1.53 1.46 16.91 - - VOLUME -0.04 4.48 6.38 3.92 8.04 - - SHU 2.39 5.47 6.50 5.17 2.70 4.74 14.74 SHUA 2.32 6.08 7.54 5.65 2.63 4.54 8.54 PRAN -0.12 10.27 16.49 0.44 3.12 4.17 14.17 PRAS 0.00 5.97 5.97 5.92 1.00 1.55 6.55 PRUS -0.03 5.00 6.17 4.66 3.03 3.85 8.85
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.
155
Lampiran 11. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada JABAR
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2JBAR 20.86 20.86 -12.77 4.98 0.00 0.00 -4.65 S3KAB 21.31 21.31 -13.04 5.09 0.00 0.00 -3.14 S4ECNKO 23.72 23.72 -14.51 5.66 0.00 0.00 -3.24
HARGA PUPUK PPETKOP - - 0.22 -0.07 0.00 0.00 3.69
PETANI KOP. DPPETKOP -0.03 -0.03 - - 0.00 0.00 -
GPETKOP 0.00 0.00 6.64 -1.06 0.00 0.00 11.03 JGPETKOP 0.10 10.03 12.81 -11.57 0.00 0.00 18.56 IPETKOP 0.03 13.86 27.70 -25.02 0.00 0.00 16.14
PETANI NON-KOP DPPETNKO 0.45 0.45 - - 0.00 0.00 - GPETNKO 0.11 0.11 6.28 -2.45 0.00 0.00 9.51 JGPETNKO 0.86 9.20 11.98 -33.83 0.00 0.00 12.23 IPETNKO 0.04 11.96 24.77 -53.47 0.00 0.00 12.06
BERAS KOP. PGKOP 2.17 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -2.50 -10.95 - 12.20 16.79 0.00 - PROBRKOP -1.66 -7.27 13.64 8.10 13.44 0.00 6.81 CPPRODBR -2.12 -9.28 17.30 3.30 14.09 0.00 9.97
LEMBAGA KOP. MOSE -0.05 -0.20 0.38 0.22 1.09 1.02 5.77 MOLU 0.00 0.02 0.02 0.02 3.34 3.93 3.95 ASET 0.00 0.00 0.01 0.00 3.70 - - VOLUME 2.32 1.69 3.01 1.51 1.39 - - SHU 1.11 0.81 1.00 0.72 1.27 4.28 4.28 SHUA 0.90 0.66 0.00 0.58 0.92 4.27 4.27 PRAN -3.59 -2.87 0.11 -2.67 1.57 2.06 2.06 PRAS 0.09 0.09 0.00 0.00 0.09 1.22 1.22 PRUS 0.07 0.05 0.00 0.04 0.04 5.39 5.39
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.
156
Lampiran 12. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada JATIM
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2JTIM -1.49 -1.49 5.49 -2.15 0.00 0.00 3.14 S3KAB -1.53 -1.53 5.62 -2.60 0.00 0.00 3.46 S4ECNKO -1.55 -1.55 2.35 -0.89 0.00 0.00 1.06
HARGA PUPUK PPETKOP - - -1.07 0.46 0.00 0.00 2.73
PETANI KOP. DPPETKOP -2.36 -2.36 - - 0.00 0.00 -
GPETKOP -1.05 -1.05 11.35 -4.32 0.00 0.00 17.41 JGPETKOP -1.12 1.37 11.43 -4.25 0.00 0.00 17.64 IPETKOP -0.76 0.89 12.23 -5.36 0.00 0.00 18.08
PETANI NON-KOP DPPETNKO -0.09 -0.09 - - 0.00 0.00 - GPETNKO -0.04 -0.04 13.33 -5.42 0.00 0.00 20.58 JGPETNKO -1.58 3.01 14.88 -8.24 0.00 0.00 24.15 IPETNKO -1.87 2.44 16.75 -5.62 0.00 0.00 22.93
BERAS KOP. PGKOP 1.29 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -0.80 -7.30 - -5.54 10.24 0.00 - PROBRKOP -0.87 -7.96 13.84 -6.03 6.46 0.00 12.01 CPPRODBR -0.27 -2.01 3.39 -1.47 16.85 0.00 14.01
LEMBAGA KOP. MOSE 0.02 0.17 0.29 -0.13 1.44 5.23 5.64 MOLU 0.00 0.00 0.00 0.00 1.86 3.68 3.66 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 1.90 - - VOLUME 0.02 0.02 1.76 0.31 2.00 - - SHU 0.03 0.03 1.04 0.41 0.40 3.16 3.16 SHUA 0.06 0.06 0.08 0.83 0.84 2.15 2.15 PRAN 0.02 0.02 0.73 0.29 0.87 2.74 2.74 PRAS 0.02 0.02 0.58 0.24 1.02 1.76 1.76 PRUS 0.03 0.03 0.61 0.27 1.01 3.14 3.14
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.
157
Lampiran 13. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada BALI
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2BALI 0.08 0.08 8.11 -3.23 0.00 0.00 8.11 S3KAB 0.10 0.10 9.65 -3.86 0.00 0.00 9.65 S4ECNKO 0.11 0.11 9.42 -3.75 0.00 0.00 9.42
HARGA PUPUK PPETKOP - - -0.46 0.23 0.00 0.00 -0.46
PETANI KOP. DPPETKOP -0.40 -0.40 - - 0.00 0.00 -
GPETKOP -0.02 -0.02 1.14 -0.46 0.00 0.00 1.14 JGPETKOP 0.93 18.90 19.35 -19.10 0.00 0.00 19.35 IPETKOP 0.43 8.83 9.04 -8.92 0.00 0.00 9.04
PETANI NON-KOP DPPETNKO 1.01 1.01 - - 0.00 0.00 - GPETNKO 0.36 0.36 8.98 -3.57 0.00 0.00 8.98 JGPETNKO 0.39 0.80 9.69 -4.10 0.00 0.00 9.69 IPETNKO 0.57 1.16 14.04 -5.95 0.00 0.00 14.04
BERAS KOP. PGKOP 0.47 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -0.18 -3.65 - 3.66 26.13 0.00 - PROBRKOP -0.22 -4.42 12.10 4.42 26.49 0.00 6.97 CPPRODBR -0.33 -6.71 18.38 6.71 26.53 0.00 -3.12
LEMBAGA KOP. MOSE 0.00 -0.07 0.20 0.07 0.28 0.00 -0.03 MOLU 0.00 0.04 -0.12 -0.04 -1.60 13.11 13.13 ASET 0.00 0.00 0.00 0.00 -1.33 - - VOLUME -0.05 -1.05 2.78 1.08 6.28 - - SHU -0.02 -0.33 0.87 0.34 1.96 3.12 3.12 SHUA -0.01 -0.14 0.38 0.15 0.85 1.36 1.36 PRAN -0.01 -0.19 0.49 0.19 1.11 1.76 1.76 PRAS -0.06 -1.10 2.90 1.12 6.57 10.45 10.45 PRUS -0.02 -0.37 0.97 0.38 2.20 3.50 3.50
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.
158
Lampiran 14. Hasil Simulasi dan Prioritas Skenario Kebijakan Alternatif pada NTB
ALTERNATIF KEBIJAKAN
PEUBAH !"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%
!"#$"%&'(&')%&*+"(,-%.%/%0%1%2"#$"%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-.7/08%2#$%$"3"2%1%3*9-%$"(3"2%.450%
6'&')%&*(+",-%:",%2"#$"%$"(3"2%(450%%
6#";"#"(,"<;"#","%&#=:');-%3*#";%)=&%%.%7/%0%
>;*+%.%?=(9' *%';"(2"%.%45%0%%
!"3',$",!%%
LINI II - IV S2NTB -1.95 -1.95 -2.48 0.99 0.00 0.00 -2.48 S3KAB -2.06 -2.06 -2.61 1.05 0.00 0.00 -2.61 S4ECNKO -12.35 -12.35 -15.61 6.33 0.00 0.00 -15.61
HARGA PUPUK PPETKOP - - 0.62 -0.23 0.00 0.00 0.62
PETANI KOP. DPPETKOP -0.28 -0.28 - - 0.00 0.00 -
GPETKOP -0.08 -0.08 6.63 -2.65 0.00 0.00 6.63 JGPETKOP 1.88 18.52 20.73 -17.85 0.00 0.00 20.73 IPETKOP 0.94 9.19 10.30 -8.86 0.00 0.00 10.30
PETANI NON-KOP DPPETNKO 2.36 2.36 - - 0.00 0.00 - GPETNKO 0.48 0.48 5.04 -2.03 0.00 0.00 5.04 JGPETNKO 0.61 1.62 6.34 -3.14 0.00 0.00 6.34 IPETNKO 0.89 2.36 9.25 -4.57 0.00 0.00 9.25
BERAS KOP. PGKOP 1.04 - - - 0.00 0.00 - BGKOP -0.33 -3.22 - 2.95 26.64 0.00 - PROBRKOP -0.35 -3.46 10.61 3.17 27.33 0.00 9.24 CPPRODBR -0.43 -4.14 12.69 3.79 28.11 0.00 6.48
LEMBAGA KOP. MOSE -0.03 -0.31 0.95 0.29 2.11 0.00 0.49 MOLU 0.01 0.11 -0.34 -0.10 -0.75 1.18 1.01 ASET 0.00 0.00 0.03 0.00 0.02 - - VOLUME -2.03 -2.03 -2.56 1.03 0.00 - - SHU -2.65 -2.65 -3.35 1.35 0.00 13.07 13.07 SHUA -2.11 -2.11 -2.66 1.07 0.00 10.39 10.39 PRAN -3.02 -3.02 -3.81 1.54 0.00 14.89 14.89 PRAS -2.72 -2.72 -3.44 1.40 0.00 13.47 13.47 PRUS -1.63 -1.63 -2.06 0.83 0.00 8.02 8.02
Prioritas : * Skenario Gabungan :
Kenaikan penggunaan pupuk petani 25 %, harga gabah 10 %, pembelian gabah 10 %, kapasitas prasarana dan sarana produksi beras 25 %, aset dan volume usaha koperasi 10 %.