kata pengantar · palembang, sumatera selatan 26 ... royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan...

37
Kata Pengantar Upaya pembangunan akan selalu menghadapi tantangan inklusivitas. Dalam implementasi sebuah program pembangunan manusia misalnya, akan selalu menyisakan mereka yang sebenarnya berhak menerima manfaat, namun tidak tercakup di lapangan. Penyebabnya tentunya karena berbagai macam faktor, baik dari sisi ketercakupan pendataan, bahkan hingga marginalisasi aktif baik dari masyarakat setempat maupun aparatur. Ini adalah tantangan yang wajib dijawab. Sebuah tantangan yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dalam sebuah kolaborasi lintas pelaku. Buku ini merupakan sebuah catatan atas upaya pembangunan manusia yang inklusif melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Didalamnya terdapat kesaksian-kesaksian atas proses perubahan menuju cita- cita Revolusi Mental yang berasal langsung dari lapangan. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan, Bapak/Ibu/Saudara. Selamat membaca! Deputi Koordinasi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan. Nyoman Shuida 1

Upload: vodieu

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kata Pengantar Upaya pembangunan akan selalu menghadapi tantangan inklusivitas. Dalam implementasi sebuah program pembangunan manusia misalnya, akan selalu menyisakan mereka yang sebenarnya berhak menerima manfaat, namun tidak tercakup di lapangan. Penyebabnya tentunya karena berbagai macam faktor, baik dari sisi ketercakupan pendataan, bahkan hingga marginalisasi aktif baik dari masyarakat setempat maupun aparatur. Ini adalah tantangan yang wajib dijawab. Sebuah tantangan yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dalam sebuah kolaborasi lintas pelaku. Buku ini merupakan sebuah catatan atas upaya pembangunan manusia yang inklusif melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Didalamnya terdapat kesaksian-kesaksian atas proses perubahan menuju cita-cita Revolusi Mental yang berasal langsung dari lapangan. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan, Bapak/Ibu/Saudara. Selamat membaca! Deputi Koordinasi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan.

Nyoman Shuida

1

Daftar Isi

Bab 1. Menggagas Inklusi Sosial 3 Pemberdayaan Masyarakat

Menuju Gerakan Inklusi Sosial 3 Bab 2. Pembangunan Manusia Inklusif

dan Gerakan Revolusi Mental 9 Gerakan Indonesia Melayani 12 Gerakan Indonesia Tertib 13 Gerakan Indonesia Mandiri 14 Gerakan Indonesia Bersatu 15

Bab 3. Cerita Perubahan Signifikan 16 Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK)

Aceh Utara, Aceh 16 Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW)

Tangerang, Banten 19 Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)

Banjarmasin, Kalimantan Selatan 21 Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI)

Mataram, Nusa Tenggara Barat 23 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

Palembang, Sumatera Selatan 26 Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdatul Ulama Mataram, Nusa Tenggara Barat 29

Bab 4. Penutup 33

2

1

Menggagas Inklusi Sosial Pemberdayaan Masyarakat Menuju Gerakan Inklusi Sosial Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu upaya

yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai

program dengan pendekatan yang berbeda telah

dilakukan dalam upaya untuk menurunkan jumlah

penduduk miskin. Walaupun dalam satu dekade, jumlah

penduduk miskin terus menunjukkan penurunan, namun

masih terdapat beberapa kelompok miskin dan marjinal

yang belum tersentuh dengan program pembangunan atau

mendapatkan layanan dasar. Misalnya kelompok

masyarakat adat dan kelompok difabel.

3

Belum meratanya akses layanan dasar dan keterlibatan

kelompok marjinal untuk berpartisipasi dalam

pembangunan disebabkan oleh berbagai aspek sebagai

berikut : a. Dinamika politik dan pergantian rezim pemerintahan

di Indonesia yang mempengaruhi keberlanjutan dari

program pembangunan. b. Paradigma program penanggulangan kemiskinan

yang belum menempatkan kelompok miskin sebagai

subjek pembangunan. Sehingga menyebabkan

masyarakat miskin kurang memiliki kemandirian

untuk keluar dari perangkap kemiskinan. c. Pendekatan pembangunan yang seragam dan belum

memperhatikan kebutuhan kelompok miskin dan

marjinal yang cukup beragam.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam

penanggulangan kemiskinan secara intensif dalam satu

dekade terakhir adalah menggunakan pendekatan

pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan memiliki

keunggulan dibandingkan dengan pendekatan lainnya,

terutama pada aspek memberdayakan kelompok miskin

sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.

Selain itu, pemerintah lebih banyak berperan untuk

memfasilitasi dan mengawal proses perubahan yang

diinginkan oleh masyarakat. Kegiatan pemberdayaan pada

kelompok miskin yang pertama kali dilakukan oleh

pemerintah adalah melalui Program Inpres Desa

Tertinggal (IDT). Program IDT sebenarnya merupakan

4

koreksi terhadap karakter pendekatan program

penanggulangan kemiskinan yang dijalankan sebelumnya

oleh pemerintah yang bersifat karitatif. Setidaknya ada

dua pertimbangan yang mendasari pelaksanaan Program

IDT yaitu :

a. Memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk dapat

mengelola dana yang dititipkan kepada mereka untuk

digunakan sesuai dengan keinginannya. Jumlah dana

yang diberikan oleh pemerintah untuk dikelola

masyarakat miskin secara berkelompok sebesar Rp.

20.000.000 pada 18.321 desa tertinggal di Indonesia. b. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam

pelaksanaan program yang ditujukan untuk

masyarakat miskin. Pengalaman menunjukkan

semakin banyak campur tangan pemeritah akan

memperpanjang rantai birokrasi yang berujung pada

peningkatan biaya pembangunan. Selain itu,

meningkatnya campur tangan pemerintah dalam

suatu program, terkadang kurang memberikan ruang

untuk menumbuhkan kreatifitas masyarakat, serta

kurangnya rasa kepemilikan terhadap program

penanggulangan kemiskinan.

Inpres Desa Tertinggal tersebut merupakan tonggak

sejarah dimana untuk pertama kali Pemerintah/negara

memberikan kepercayaan kepada rakyatnya untuk

merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program

5

yang disusun oleh masyarakat sendiri. Pemberdayaan

masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut1 : a) Meningkatkan potensi atau daya yang ada di

masyarakat untuk bisa bersaing dengan kelompok

yang lebih maju dalam aturan dan lingkungan yang

lebih adil. Masyarakat pasti memiliki daya atau

kemampuan karena apabila masyarakat sudah tidak

memiliki daya, maka masyarakat itu sudah lama

musnah karena kalah dalam seleksi alam dan

persaingan dalam memperebutkan sumber daya

dengan kelompok lainnya; b) Pemerintah harus berpihak kepada kelompok yang

paling lemah, agar kelompok ini mampu bertahan di

dalam persaingan memperebutkan sumber daya

dengan kelompok-kelompok yang lebih mampu atau

lebih kuat; c) Pemerintah harus menciptakan suasana dan

lingkungan yang kondusif agar persaingan dalam

memperebutkan sumber daya berlaku dengan adil

dan menumbuhkembangkan kemitraan dan sinergi di

antara kelompok, sehingga yang lemah dapat

terangkat oleh kelompok yang lebih mampu.

Pada era 1990-2000, pendekatan Program IDT kemudian

diperluas pada program lain yang dimiliki pemerintah

seperti Program Pembangunan Sarana & Prasarana Dasar

Pedesaan, Program Pengembangan Kecamatan, serta

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. Pada

1

Ginandjar Kartasasmita et.al, Bappenas, 1992

6

kontek ini, Intervensi program penanggulangan

kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sudah mulai

memperhatikan karakteristik kewilayahan (desa dan

kota), mengoptimalkan peran kelompok masyarakat

sebagai salah satu ciri khas budaya indonesia yaitu gotong

royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan tenaga

pendamping/ fasilitator ditingkat masyarakat.

Walaupun program penanggulangan kemiskinan ditingkat

pedesaan dan perkotaan cukup berhasil dalam

meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar

dan menurunkan jumlah penduduk miskin, namun belum

dapat menjawab beberapa karakteristik persoalan yang

dihadapi oleh masyarakat miskin dalam berbagai aspek

kehidupan. Misalnya dalam peningkatan layanan

kesehatan maupun dalam pengembangan penghidupan

masyarakat. Pada kontek itu, pada tahun 2007 kemudian

diinisasi program nasional pemberdayaan masyarakat

yang tidak hanya berorientasi pada pembangunan

infrastruktur semata, akan tetapi juga mulai

memperhatikan pembangunan manusia, pengembangan

sektor, serta secara khusus mulai memberdayakan

kelompok perempuan. Bahkan 25% dari dana bantuan

digunakan untuk mendorong kegiatan usaha ekonomi

produktif dikelola oleh perempuan. Walaupun implementasi program nasional pemberdayaan

masyarakat menuai kesuksesan dalam perbaikan

infrastruktur dasar dan penurunan jumlah penduduk

miskin, namun masih menyisakan sejumlah persoalan

yang terkait dengan kelompok rentan dan marjinal yang

7

belum dapat mengakses layanan dasar, karena berbagai

sebab. Misalnya karena mengalami penolakan dari

kelompok masyarakat, mendapatkan stigma, atau berada

pada daerah yang terisolir. Pada kontek itu, kebutuhan

untuk mendorong inklusi sosial menjadi suatu kebutuhan

untuk menjangkau kelompok rentan dan marjinal yang

sulit dalam mengakses layanan dasar dan program

pembangunan. Pada tahun 2011, pemerintah mulai

menginisiasi program inklusi sosial yang saat ini dikenal

sebagai Program Peduli yang menyasar pada sejumlah

kelompok target seperti kelompok difabel, masyarakat

adat, perempuan dan anak, maupun sejumlah kelompok

minoritas lainnya. Program Peduli memiliki tujuan untuk

mengembalikan harkat dan martabat dari kelompok

marjinal serta untuk mencegah mereka dari perlakuan

yang tidak adil ditingkat masyarakat ataupun pemerintah

untuk berpartisipasi dalam pembangunan ataupun dalam

mengakses layanan dasar.

Upaya ini sejalan dengan visi nawacita yang dimiliki oleh

pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yaitu

menghadirkan kembali negara untuk melindungi senegap

bangsa Indonesia dan memberikan rasa aman bagi seluruh

warga negara, serta gerakan revolusi mental yaitu gerakan

Indonesia Melayani dan Indonesia Bersatu yang

mengedepankan peran pemerintah dalam pelayanan

tanpa membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku,

agama, maupun ras, serta memperteguh kebhinekaan

sebagai kekayaan sebuah bangsa. Di masa yang akan

datang, pemerintah dapat mendorong paradigma

8

pembangunan yang inklusif, khususnya pada gerakan

inklusi sosial yang mencakup beberapa aspek sebagai

berikut : a. Memberikan kesempatan kepada kelompok marjinal

untuk dapat berperan dan terlibat dalam

pembangunan. Khususnya dalam upaya

meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. b. Menggunakan potensi yang dimiliki oleh kelompok

marjinal melalui proses pendampingan dan

pemberdayaan yang memungkinkannya untuk

berpartisipasi dalam pembangunan secara setara dan

berkeadilan. c. Memastikan agar aparatur negara dan kelompok

masyarakat dapat menjamin dan menumbuhkan

lingkungan yang kondusif dan tidak diskriminatif,

sehingga memungkinkan kelompok marjinal untuk

dapat mengakses haknya sebagai warga negara.

9

2

Pembangunan Manusia Inklusi dan Gerakan Revolusi Mental Gerakan Revolusi Mental adalah gerakan nasional yang

dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden

Jusuf Kalla sebagai respons terhadap kondisi bangsa

terkini, dimana terjadi perubahan-perubahan

institusional, namun belum menyentuh perubahan

paradigma, budaya, maupun perilaku untuk memastikan

perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Hingga hari ini, kita masih dihadapkan pada berbagai

persoalan terkait dengan perilaku koruptif, intoleransi,

diskriminasi, serta perilaku pelanggaran hukum. Dalam

konteks tersebut, maka diperlukan suatu gerakan nasional

untuk melakukan revolusi terhadap karakter bangsa

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

10

Penggunaan istilah revolusi sendiri dalam gerakan

revolusi mental ini bermaksud untuk mendasarkan diri

pada upaya membangun terobosan penyelesaian

persoalan negara dan bangsa. Oleh sebab itu, gerakan

revolusi mental tidak hanya berlaku bagi birokrasi dan

aparatur sipil negara ditingkat pusat dan daerah, namun

juga berlaku bagi seluruh pemangku kepentingan.

Presiden Joko Widodo dalam tulisannya pada Harian Kompas menyebutkan bahwa; “Indonesia memerlukan

suatu terobosan budaya politik untuk memberantas

setuntas tuntasnya segala praktik praktik buruk yang

sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak era

Orde Baru hingga saat ini. Revolusi mental berbeda dengan

revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan

darah. Namun usaha ini tetap memerlukan dukungan moril,

spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin, dan

selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh

masyarakat. Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih,

andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani

kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah

yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum,

yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan

negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang

berdasarkan hukum.”

Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan

Nasional Revolusi Mental adalah landasan kebijakan

gerakan revolusi mental ini, yang menetapkan 5 agenda

beserta fokus perubahan ditingkat nasional dan daerah.

Kelima agenda perubahan yang ditetapkan

11

tersebut adalah Gerakan Indonesia melayani; Indonesia

Bersih; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri; serta

Indonesia Bersatu. Program Peduli yang telah berjalan sangat selaras dengan

spirit revolusi mental tersebut, khususnya terkait dengan

kepentingan kelompok marjinal yang mengalami eksklusi

sosial. Program Peduli menggunakan pendekatan inklusi

dengan mendorong proses menjalin hubungan

kesetiakawanan dalam masyarakat, yang tidak hanya

melibatkan kelompok marjinal saja, namun juga

masyarakat luas dan para pihak. Pendekatan inklusi sosial

berupaya membangun hubungan sosial harmonis

berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, partisipatif,

multikultural, kewarganegaraan, non deskriminatif dan

non eksploitatif. Dalam konteks gerakan revolusi mental,

setidaknya ada 4 agenda revolusi mental terkait dengan

pelaksanaan Program Peduli tersebut, yaitu agenda

Indonesia Melayani; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri;

serta Indonesia Bersatu. Gerakan Indonesia Melayani. Sinergi Program Peduli dengan Agenda Indonesia

Melayani terlihat dari upaya berbagai mitra di tingkat

daerah dalam mendorong penyediaan dan akses

pelayanan publik yang responsif kebutuhan kelompok

marjinal. Misalnya layanan pengurusan administrasi

kependudukan, layanan kesehatan, maupun layanan

pendidikan. Selama ini, komunitas marjinal kurang

mendapatkan atau tidak dapat mengakakses pelayanan

publik karena berbagai sebab, terutama karena isolasi

12

geografis, agama dan kepercayaan yang berbeda, maupun

akibat perlakuan deskriminatif. Saat ini, pemerintah

daerah mitra Program Peduli telah memfasilitasi proses

perekaman data maupun penerbitan dokumen

kependudukan bagi kelompok marjinal. Selain itu,

beberapa pemerintah daerah juga menyediakan layanan

publik pada kelompok marjinal yang sulit dijangkau akibat

isolasi geografis, seperti halnya yang dilakukan oleh

Pemerintah Kabupaten Sigi yang membangun sekolah

SMA pada komunitas adat Topo Uma di dataran tinggi

Pipikoro.

Gerakan Indonesia Tertib Ada dua fokus gerakan Indonesia Tertib yang beririsan

dengan implementasi Program Peduli, yaitu tertib

administrasi kependudukan dan menumbuhkan

lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan

komunitas yang bebas kekerasan. Persoalan yang banyak

ditemui pada kelompok marjinal adalah minimnya akses

dan kepemilikan dokumen kependudukan. Beberapa

komunitas marjinal yang didampingi Program Peduli

memiliki kekhususan, sehingga memerlukan respons

birokrasi pemerintahan dalam melakukan pelayanan.

Misalnya pada orang dengan disabilitas, komunitas

masyarakat adat yang belum menetap, maupun komunitas

anak yang mengalami kerentanan. Untuk menghadapi hal

tersebut, beberapa Pemerintah Daerah membangun unit

pelaksana teknis dinas untuk secara khusus

memperhatikan kelompok marjinal tersebut. Misalnya;

Pertama, UPTD Dinas Sosial Kabupaten Merangin

13

melayani secara khusus pengurusan pelayanan publik,

pendataan, dan pembarian bantuan bagi Suku Anak

Dalam. Kedua, Pemerintah Desa Sendang Tirto di

Kabupaten Sleman membangun akses yang memudahkan

kelompok difabel dalam menerima layanan publik. Ketiga,

upaya menumbuh kembangkan lingkungan keluarga yang

bebas dari kekerasan dengan meningkatkan kapasitas

orang tua melalui Pendidikan pengasuhan dalam

menangani komunitas anak yang dilacurkan, anak buruh

migran, serta anak yang menjalani pidana penjara.

Gerakan Indonesia Mandiri Selain pendampingan komunitas marjinal untuk

mendapatkan hak-hak kewarganegaraan, Program Peduli

juga meningkatkan kapasitas kelompok marjinal,

khususnya terkait dengan penghidupan layak dari

pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.

Misalnya kelompok masyarakat adat Baduy dan

Bulukumba memanfaatkan sumberdaya hutan untuk

berbagai kebutuhan, dan memastikan hutannya tetap

lestari. Ada 3 fokus implementasi Program Peduli terkait

dengan gerakan Indonesia Mandiri ini yaitu; peningkatan

perilaku yang mendorong tercapainya kemandirian

bangsa dalam berbagai sektor kehidupan; pengembangan

potensi daerah tertinggal; serta peningkatan kapasitas dan

kompetensi tenaga kerja. Upaya yang dilakukan adalah

melakukan pelatihan dan pengembangan keterampilan

kelompok marjinal dan menyediakan kegiatan promosi

produk yang dihasilkan oleh kelompok marjinal. Misalnya,

14

Yakkum bersama mitranya di Kabupaten Sumba Barat dan

Timur mendorong pengembangan industri rumahan yang

mempekerjakan kelompok difabel. Selain itu, Yakkum

bekerjasama dengan Dinas Sosial setempat untuk

menyusun perencanaan pembangunan yang berpihak

pada kelompok difabel, seperti penyediaan bantuan

permodalan dan peralatan kerja yang sesuai dengan

kelompok difabel.

Gerakan Indonesia Bersatu Agenda gerakan Indonesia Bersatu memiliki banyak

keterkaitan dengan implementasi Program Peduli.

Setidaknya terlihat dari Peningkatan perilaku toleran dan

kerukunan inter dan antar umat beragama; Peningkatan

perilaku yang memberikan pengakuan dan perlindungan

terhadap kaum minoritas, marjinal, dan berkebutuhan

khusus; Peningkatan perilaku kerjasama inter dan antar

lembaga, kompenen masyarakat, dan lintas sektor; serta

Peningkatan peran lembaga agama, keluarga, media publik

dalam persemaian nilai-nilai budi pekerti, toleransi, dan

hidup rukun. Toleransi, persatuan, keberagaman, dan

kerjasama antar pemangku kepentingan tersebut

merupakan spirit penting gerakan Indonesia Bersatu.

15

3

Cerita Perubahan Signifikan

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Aceh Utara

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)

tentang Isbath Nikah menjadi salah satu capaian penting

untuk mewujudkan akses layanan publik yang lebih baik

dan mendorong inklusi sosial bagi masyarakat korban

konflik Aceh, terutama bagi kelompok perempuan.

Perjanjian ini ditandatangani pada 8 Mei 2017 yang lalu di

Kantor Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan ditandatangani

bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama,

Kepala Dinas Syariat Islam, Ketua Mahkamah Syariah, dan

Kepala Dinas Registrasi Kependudukan Aceh.

Dalam kesempatan tersebut, Zaini Abdullah

menyampaikan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk

memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang

belum memiliki akta atau buku nikah karena situasi

16

konflik dan bencana tsunami. Empat lembaga yang ikut

menandatangani MoU tersebut selanjutnya akan

menyediakan layanan dalam bentuk proses sidang Isbath

Nikah oleh Mahkamah Syariah, penerbitan buku nikah

yang dilakukan oleh Kementerian Agama, dan penerbitan

akta kelahiran oleh Dinas Registrasi Kependudukan.

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) sebagai

salah satu CSO pilar HAM dan Restorasi Sosial bekerja

bersama dengan jaringan di tingkat provinsi untuk

mendorong kebijakan ini. Kebijakan mengenai Isbath

Nikah ini, meski ditandatangani di tingkat provinsi, secara

otomatis juga akan berlaku di tingkatan

Kabupaten/Kotamadya termasuk di Aceh Utara, daerah

kerja RPuK untuk program Peduli. Pencapaian ini sejalan

dengan fokus kerja RPuK dalam memperkuat kelompok

perempuan korban

17

pelanggaran HAM masa lalu, yang salah satunya termasuk

membantu perempuan memperoleh akses terhadap

administrasi kependudukan (surat nikah).

Adapun manfaat langsung dari sidang Isbath Nikah yang

disediakan oleh pemerintah Aceh ini baru akan dirasakan

paling cepat di tahun depan. Virlian Nurkristi dari

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) berpendapat bahwa

meski pengalokasian anggaran di dalam APBD untuk

kebijakan ini bisa memakan waktu, adanya kebijakan ini

sendiri sudah menjadi suatu capaian penting yang akan

menjadi pijakan bagi penyusunan anggaran tersebut.

18

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta – Tangerang

Komunitas Cina Benteng merupakan komunitas adat Etnis Tionghoa berada di Kampung Sewan Lebakwangi, Kota Tangerang. Mereka tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1740 setelah tragedi perang di Batavia. Atas kebijakan jajahan mereka diisolasi di daerah yang menyulitkan mereka untuk berasimilasi. Komunitas ini sudah beratus-ratus tahun menempati lahan disepanjang sungai Cisadane. Sejak tahun 2015, Program Peduli bekerja untuk memingkat akses terhadap layanan publik, terutama untuk perempuan China Benteng, dan meningkatkan penerimaan sosial masyarakat Etnis Tionghoa tradisional.

Sebelum Program Peduli masuk ke Kelurahan Mekarsari,

ibu-ibu Cina Benteng tidak memiliki aktivitas apapun

selain mengurus rumah tangga. Peristiwa bentrokan

antara warga dengan Pemerintah Kota Tangerang terkait

relokasi paksa warga cina benteng disepanjang sungai

19

cisadane untuk kepentingan pembangunan jalur hijau

sungai cisadane pada tahun 2009, membuat mereka

khawatir dengan ‘orang baru’ yang masuk ke dalam

lingkungannya, situasi ini membuat komunitas sedikit

tertutup terhadap orang luar.

Sampai Juni 2017, Program Peduli telah berhasil membuka akses dan kemudahan bagi perempuan Cina Benteng dalam memperoleh Adminduk sebanyak 290 berkas (130 Kartu Keluarga, 30 Kartu Identitas, 144 Akta Kelahiran, 2 surat nikah), memperoleh akses kesehatan reproduksi tes iva, akses bantuan sosial dari Pemerintah (Kartu BPJS PBI, bedah rumah, Program Keluarga Harapan), dan akses berbagai pelatihan untuk peningkatan kapasitas dari pemerintah.

Perempuan Cina Benteng berhasil membangun kekuatan kolektif untuk mampu menyuarakan kepentingan dan gagasannya. Program Peduli telah berhasil memfasilitasi ibu-ibu Cina Benteng membentuk Koperasi Wanita Pengembang Sumberdaya (KWPS) Lentera Benteng Jaya beranggotakan 260 orang dengan asset Rp 165.849.337,-.

20

Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)- Banjarmasin

Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Banjarmasin adalah salah satu organisasi penyandang disabilitas (OPD) yang didampingi oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dalam kerja-kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan Kota Inklusi melalui Program Peduli. Menurut Umi dari SAPDA, sebelumnya OPD belum pernah berpartisipasi sama sekali dalam perencanaan kota. Namun, setelah ada pendampingan dan peningkatan kapasitas, OPD dapat terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kecamatan dan kota, bahkan diundang untuk menghadiri Musrenbang di tingkat provinsi.

21

Dalam Musrenbang tingkat Kota, Pak Slamet, Ketua Cabang PPDI Banjarmasin, menyampaikan aspirasi perihal lokasi Puskesmas yang berada di gang-gang kecil yang susah diakses oleh difabel. Berkat partisipasi PPDI dalam Musrenbang ini, Pemerintah Kota Banjarmasin berjanji untuk memindahkan lokasi-lokasi Puskesmas yang sulit diakses difabel pada tahun 2018. Selain terlibat dalam Musrenbang Kota, PPDI juga mulai dilibatkan dalam perencanaan bantuan dari Dinas Sosial untuk program pemberdayaan ekonomi bagi disabilitas tuli yang direncanakan oleh Walikota Banjarmasin. Terkait dengan rencana ini, Dinas Sosial mengadakan pertemuan dengan PPDI untuk meminta data difabel tuli di Kota Banjarmasin dan mendiskusikan konsep program bantuan yang akan dijalankan.

Meski bantuan SAPDA dalam pengembangan kapasitas,

terutama tentang bagaimana menjalankan organisasi dan

melakukan advokasi, dinilai sangat membantu kerja-kerja

PPDI, Pak Slamet berharap mereka dapat semakin proaktif

dalam melakukan advokasi secara mandiri, dan tidak

semata-mata mengandalkan dampingan dari SAPDA. Pak

Slamet juga berharap ke depannya tidak hanya ketua dan

pengurus PPDI saja yang bisa ikut dalam Musrenbang,

tetapi juga anggota-anggota PPDI dan organisasi

penyandang disabilitas lainnya di Banjarmasin.

22

Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) – Mataram Program Peduli 2015-2016 di NTB telah berhasil mendorong terbitnya Surat edaran Gubernur NTB Nomor 400/10/BP3AKB tanggal 18 Januari 2017 tentang perlindungan Anak Buruh Migran. SE ini ditujukan bagi Bupati/Walikota se NTB dan Kepala SKPD/Unit Pelaksana Kerja Pemerintah Provinsi NTB. SE diterbitkan dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak buruh migran dalam mengakses layanan (pendidikan, kesehatan, dan hak sipil serta bantuan social lainnya) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan non diskriminasi. Tiga hal yang tertera dalam SE tersebut adalah (1) koordinasi untuk membangun sinergi para pihak baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota bersama menuntaskan persoalan anak buruh mingran, memberikan layanan social dasar berupa bantuan siswa miskin (BSM), Kartu Indonesia Pintar (KIP), BPJS Kesehatan/Kartu Indonesia

23

Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), akte kelahiran gratis; (2) Bupati/Walikota membuat dan mengimplementasikan kebijakan, perencanaan penganggaran yang responsive terhadap perlindungan anak buruh migran termasuk terakomodir dalam penggunaan Dana Desa; (3) Meningkatkan dana memperkuat partisipasi masyarakat dan lembaga multipihak lainnya yang peduli anak melalui forum-forum warga dan forum multipihak yang sudah ada secara berjenjang dari tingkat dusun, desa, hingga provinsi.

Pengawalan terhadap implementasi Surat Edaran tersebut mulai dilakukan pada Program Phase 2017-2018. Upaya – upaya yang dilakukan oleh mitra pelaksana program peduli (CSO) SANTAI Mataram dalam mengawal proses implementasi Surat Edaran Gubernur NTB adalah:

Memastikan bahwa surat edaran tersebut

tersosialisasi dan terimplementasikan sampai ke tingkat pemerintah desa.

Membangun koordinasi mulai dari tingkat Propinsi hingga tingkat desa

Melakukan penguatan pada kader – kader desa untuk terus melakukan advokasi di tingkat desa dalam mendorong alokasi dana desa

Melakukan pendampingan dan assistensi kepada anak, orangtua, pengasuh dan masyarakat dalam gerakan inklusi social bagi seluruh anak buruh migrant.

Upaya – upaya ini bukan saja dilakukan untuk wilayah

dampingan lama program peduli di Lombok Timur akan

tetapi juga dalam rangka memperluas wilayah dampingan

yang baru di Kabupaten Lombok Tengah. Pemerintah

24

Kabupaten Lombok Tengah merespon baik dan positif

terkait implementasi SE ini dan memberikan dukungan

atas rencana pelaksanaan program peduli di wilayah ini

tepatnya di Desa Jago dan Desa Sukaraja yang mendapat

sambutan baik dari pihak kepala desa wilayah tersebut.

Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan

Tokoh agama sangat mendukung kegiatan yang dilakukan

dan sudah terpetakan tokoh pemuda dan kader yang akan

mendukung gerakan inklusi anak buruh migran di tingkat

desa hingga kecamatan.

25

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) – Palembang

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan yang lebih dikenal sebagai LPKA Pakjo adalah LPKA yang sebelumnya lebih menekankan pada pengawasan dan

pengamanan. Berbekal Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)

Nomor.11 tahun 2012, LPKA sempat kebingungan dalam melakukan implementasi UU SPPA tersebut. Akirnya pada tahun 2014 bersama dengan PKBI melalui dukungan Program Peduli melakukan perubahan perspektif pada kepala dan seluruh staff LPKA yang mulanya menekankan pada perinsip pengawasan dan pengamanan, berganti menjadi pembinaan dan pendampingan. Hal ini menjadi awal perubahan mendasar yang mendorong pada perubahan-perubahan lainnya di lingkungan LPKA Pakjo yang lebih ramah terhadap anak. “Capaian yang diperoleh LPKA Pakjo saat ini adalah kontribusi berbagai pihak salah satunya adalah PKBI melalui program Peduli” –Endang Lintang Hardiman (Kepala LPKA Pakjo).

26

PKBI melalui Program Peduli mendorong dan memfasilitasi pihak LPKA Pakjo untuk mengajak pihak lain baik itu institusi pemerintah maupun non pemerintah berpartisipasi melalui forum peduli anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Melalui forum tersebut telah berhasil dikembangkan pemberian akses layanan, yaitu: Layanan Pendidikan Sekolah Filial (SD, SMP, SMA/SMK) , Pendidikan Alternatif (Las, menjahit, mekanik, dan komputer), Pembinaan minat dan bakat anak, maupun pembinaan keagamaan. “Forum peduli anak memudahkan LPKA untuk berdialog terkait identifikasi kemungkinan program yang dapat dilakukan di LPKA dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak” - Fahriyuddin Jusep (Staf LPKA Pakjo).

Berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA Pakjo dalam rangka pemenuhan 4 hak dasar anak (hidup layak, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi) yang dilakukan melalui perubahan fasilitas fisik gedung, keterlibatan keluarga, keterlibatan pihak lain (pemerintah dan non pemerintah), petugas yang mulai memiliki perspektif terhadap anak, serta adanya dukungan komunitas dan teman sebaya anak di luar LPKA menjadi pesona dan titik terang di tengah-tengah mandeknya implementasi UU SPPA no.11 tahun 2012. Perjuangan LPKA Pakjo dalam pemenuhan hak dasar anak yang sedang menjalani pembinaan khusus mendapatkan perhatian dari Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan pengentasan Anak – Joko Setiono,Bc IP, SH, MM (Ditjen KUMHAM) dan jajarannya. Kunjungan pun dilakukan oleh Pak Joko dan jajarannya ke LPKA Pakjo, dimana beliau sangat terkesan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA. Kesan yang didapatkan ini menjadi

27

dasar beliau untuk merekomendasikan LPKA Pakjo kepada KKP dan PA untuk mendapatkan penghargaan.

Pada tanggal 22 Juli 2017, LPKA Pakjo mendapatkan apresiasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupa penghargaan “LPKA terbaik layak anak berbasis budi pekerti dan responsif hak anak”. Penghargaan tersebut diberikan kepada Kepala LPKA

Palembang oleh Menteri KPP & PA di Pekan Baru Riau.

Penghargaan yang diperoleh oleh LPKA Palembang

tersebut, telah menambah semangat perubahan untuk

terus melakukan peningkatan dan perbaikan layanan

dalam rangka pemenuhan hak dasar anak yang menjalani

pembinaan khusus di LPKA. Penghargaan dari KPP dan PA

memberikan harapan kepada LPKA yang lain untuk dapat

memberikan perhatian dan pelayanan yang terbaik bagi

anak melalui kerja sama multi pihak.

28

Lakpesdam Nahdatul Ulama – Mataram Lakpesdam NU adalah sebuah lembaga khusus dari

Nahdatul Ulama (NU), lembaga keagamaan terbesar di

Indonesia yang terkenal karena upayanya dalam

menggiatkan nilai-nilai demokrasi, pluralism dan

multiculturalism. Lakpesdam NU melakukan penelitian

dan program mengenai transformasi sosial, keadilan dan

kemanusiaan, dan telah menjadi mitra Peduli sejak tahun

2010.

Upaya Lakpesdam dalam mendorong inklusi sosial yang

lebih luas bagi komunitas Ahmadiyah di Lombok

dirancang dengan keinginan untuk membangun

perdamaian dan memfasilitasi rekonsiliasi merupakan

prasyarat bagi perubahan sosial.

Di tingkat daerah pemerintah telah mengambil langkah-

langkah antisipatif guna mencegah konflik antara

kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Sebagai

contoh, untuk mengurangi perlawanan politik dan resiko

dituding bersimpati pada kelompok Ahmadiyah,

pemerintah kota Mataram menunda pemberian bantuan

kepada keluarga penganut Ahmadiyah pada saat mereka

pertama tiba di Transito. Lakpesdam bekerja untuk

menuntut komitmen lebih dari pemerintah daerah untuk

memberikan bantuan dan merealisasikan hak-hak

penganut Ahmadiyah. Dengan melakukan dialog melalui

pelatihan mengenai hak-hak warganegara dengan

penyedia layanan terdepan, Lurah dan Walikota. Di level

pemerintah provinsi dengan memberikan informasi

29

mengenai program yang dijalankan dan berusaha untuk

membangun dukungan, mengingat adanya pandangan

negative dari pemerintah provinsi terhadap jemaat

Ahmadiyah. Upaya advokasi ini juga berlanjut ke tingkat

nasional. Lakpesdam bekerjasama dengan Kementerian

Agama telah melakukan pembahasan mengenai toleransi

beragama.

Lakpesdam juga bekerja erat dengan komunitas untuk

menciptakan ruang interaksi, dialog dan pertukaran sosial.

Dengan cara memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial yang

membuka ruang bagi keluarga pengikut Ahmdiyah dan

warga setempat berkumpul mengerjakan kepentingan

bersama dan membangun relasi orang ke orang.

Pada tahun 2014 terjadi sebuah terobosan pada saat

pemerintah Kota Mataram menyetujui keluarga pengikut

Ahmadiyah boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan

kartu kependudukan, buku nikah dan akta kelahiran.

Seluruh Biaya penerbitan dokumen kependudukan bagi

semua pasangan suami istri dan anak-anak di Transito

ditanggung oleh pemerintah daerah. “Ini adalah kewajiban

kami untuk warga kami,” kata Ibu Baiq Baktiyanti, Lurah

Pejanggik. “Ini soal kependudukaan, bukan soal agama,”

ditambahkan Ibu Baktiyanti, beliau percaya bahwa

masyarakat tidak boleh diabaikan hanya karena agama

yang mereka anut. Dengan kepemilikan kartu tanda

penduduk (KTP) ini, komunitas Ahmadiyah kini memiliki

hak yang sama terhadap akses layanan dan program

perlindungan sosial seperti halnya warga lain.

30

Mengingat kompleksitas dari diskriminasi sosial dan

struktural yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di

Lombok, besarnya perubahan yang telah dicapai dalam

dua tahun terakhir adalah hal yang sangat berkesan.

Beberapa faktor kunci yang mendukung perubahan ini

antara lain: Kepemimpinan lokal – Tokoh Pemerintah Daerah : Lompatan besar ini dapat terjadi karena adanya komitmen pejabat Kota Mataram yang memperlakukan isu ini sebagai isu kewarganegaraan dan yang berkomitmen dalam menjalankan tanggungjawab mereka untuk memberikan layanan dan melindungi hak-hak semua warga negara. Kepemimpinan Ibu Baiq Baktiyanti yang menunjukkan dedikasinya sebagai seorang pegawai negeri dan komitmennya dalam mendorong nilai-nilai inklusi di antara pegawainya telah menjadi hal yang sangat penting dalam keberhasilan inklusi. Beliau memisahkan isu ini dari isu keagamaan dan berfokus pada kewajiban pemerintah terhadap warganya. Relasi antar kelompok: Lakpesdam mampu mengindetifikasi tokoh-tokoh moderat, tokoh-tokoh ini mampu menggunakan peran mereka dalam masyarakat untuk mendorong inklusi. Fokus pada Kesamaan dan Hak: Dengan menggunakan pendekatan sosial budaya yang berusaha untuk berfokus pada persamaan antar kelompok dan bukan perbedaan antar agama. Lakpesdam dapat menghindari argument filosofis dengan pihak pemerintah daerah dan terus berfokus terhadap kewarganegaraan sebagai isu utama.

31

Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Islam mengambil pengalaman Lakpesdam dan Program Peduli untuk dijadikan model penanganan konflik. Model pendekatan humanis yang digunakan di Transito akan di gunakan oleh Kementerian Agama di daerah lain di Indonesia. Resolusi konflik antar umat beragama adalah bidang baru di Ditjen Bimas Islam, dan saat ini sedang mencari model penanganan konflik yang tepat. Setelah selama ini mendapat banyak masukan dari MUI, dan melihat sendiri praktik penanganan konflik di Sampang dan Mataram.

32

4

Penutup

Membuka akses sebesar-besarnya pada pembangunan,

pelayanan dan pelaksanaan pemberdayaan bagi

kelompok-kelompok marjinal tereksklusi menjadi penting

untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif.

Pendekatan inklusif berupaya membangun hubungan

sosial harmonis berdasarkan nilai-nilai kesetaraan,

partisipatif, multikultural, kewarganegaraan, non

deskriminatif dan non eksploitatif. Dengan pendekatan ini,

kelompok-kelompok marjinal mampu menjadi aktor

pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan inklusif sendiri selaras dengan spirit

gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintah,

yaitu suatu gerakan nasional berlatar belakang kesadaran

33

untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan, seperti

maraknya perilaku koruptif, intoleransi, diskriminasi,

serta prilaku melanggar hukum. Gerakan revolusi mental

adalah gerakan yang tidak hanya bertujuan untuk

mengubah tatanan kelembagaan, namun juga tatanan

sosial-budaya yang lebih baik. Oleh sebab itu, gerakan

revolusi mental meliputi semua elemen bangsa, bukan

hanya bagi Aparat Sipil Negara, namun juga masyarakat. Ulasan cerita-cerita perubahan atau praktik baik dalam

buku ini menjelaskan bahwa pendekatan inklusif dalam

pembangunan dan layanan dasar sepadan dengan tujuan

gerakan revolusi mental, misalnya, pertama ; Gerakan

Indonesia Melayani dan Gerakan Indonesia Tertib

terlaksana dalam praktik baik di Aceh Utara, yaitu

Pemerintah Daerah setempat dan Instansi terkait

membuka akses seluas-luasnya terhadap perempuan

korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan dokumen –

dokumen identitas legal (kependudukan dan pernikahan).

Selain itu, praktik baik pelaksanaan Gerakan Indonesia

Melayani dan Indonesia Tertib juga terlihat di Provinsi

Nusa Tenggara Barat, Kota Palembang Provinsi Sumatera

Selatan dan Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan

Selatan, dengan melahirkan kebijakan untuk memastikan

pemantapan kelembagaan, mekanisme dan akses

pelayanan dan melaksanakan model layanan inklusif

berbasis pemberdayaan bagi kelompok marjinal anak

yang bermasalah hukum, anak buruh migran dan

penyandang disabilitas.

34

Kedua, Gerakan Indonesia Mandiri terlihat dari praktik

baik pemberdayaan perempuan-perempuan komunitas

cina benteng di Kota Tangerang Provinsi Provinsi Banten

melalui gerakan ekonomi koperasi yang di dukung

Pemerintah setempat. Pemberdayaan ini telah berhasil

mencairkan isolasi sosial dan membangun kemandirian

perempuan warga komunitas cina benteng. Ketiga,

Gerakan Indonesia Bersatu terlihat dari praktik baik

membangun perdamaian pasca konflik di Kota Mataram

Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menimpa kelompok

minoritas Ahmadiyah dengan pendekatan inklusif.

Pembelajaran praktik-praktik baik diatas dapat kita petik

bahwa pondasi keberhasilan pelaksanaan gerakan

revolusi mental bermula dari perubahan paradigma

pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan para pihak

yang menggunakan nilai-nilai inklusif dalam mengatasi

persoalan-persoalan konkrit yang kompleks. Perubahan

paradigma tersebut melahirkan gerakan pemberdayaan,

kolaborasi multipihak, dan inisiatif kebijakan untuk

membangun kelembagaan dan mekanisme inklusif untuk

memastikan kelompok-kelompok marjinal terlibat aktif

dalam pembangunan.

Dalam rangka memperluas skala dampak Gerakan

Revolusi Mental ini setidaknya kita merekomendasikan

dua hal, yaitu; pertama; koordinasi efektif lintas sektor

berbasis pada pengurusan kelompok-kelompok marjinal.

Koordinasi ini dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-

persoalan kelompok marjinal yang pada kenyataannya

melingkupi berbagai sektor-sektor Pemerintahan. Kedua,

35

memperkuat kolaborasi multipihak antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah dan Kelompok Masyarakat Sipil

sehingga mampu mengatasi persoalan kelompok marjinal

yang multi dimensi dan kompleks.

------------------------------------0----------------------------------

36

Penanggungjawab Magdalena – Asisten Deputi Pemberdayaan Masyarakat

Tim Penyusun

Sujana Royat

Rizki Sisindra

Yaury Tetanel

Nurul Firmansyah

Harliani

37