kata pengantar eksekusi.pdf · diselenggarakan di pengadilan agama sanggau, dengan maksud : ... apa...
TRANSCRIPT
Kata Pengantar
Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penyusun ucapkan teriring selesainya tulisan
ini yang disusun sejak mendapatkan laporan hasil rapat pengurus IKAHI Lingkungan PTA
Kalimantan Barat tanggal 30 Oktober 2017. Penyusun merasa berat untuk menyusun makalah
Bab III tentang Eksekusi dan Problematiknya yang terkait dengan putusan Basyarnas, hak
tanggungan dan putusan pengadilan. Eksekusi putusan Basyarnas dan eksekusi hak tanggungan
merupakan dua hal baru, sedang pengetahuan penyusun terhadap keduanya baru sebatas teori
dan belum pernah memperoleh pengalaman empiris dalam pelaksanaannya.
Disamping itu, judul Bab III langsung membahas eksekusi dan problematiknya tanpa di
antar oleh sebuah pengertian, prosedur dan segala hal yang terkait dengan putusan pengadilan,
putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga penyusun kesulitan dalam mencari dan
merumuskan problematika yang mungkin terjadi. Dari kesulitan tersebut, timbul suatu gagasan
untuk menyimpangi sedikit kerangka yang telah ditetapkan namun masih dalam koridor
pembahasan problematika eksekusi dalam masalah putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan
hak tanggungan, sehingga menjadi kerangka berfikir ta’rif ma’ruf sebagai berikut :
1. Pengertian Eksekusi.
2. Pengertian Problematika.
3. Putusan Pengadilan.
4. Putusan Yang Dapat Diajukan Permohonan Eksekusi.
5. Hal-hal Yang Terkait Dengan Basyarnas.
6. Hal-hal Yang Terkait Dengan Hak Tanggungan.
7. Memproyeksi Problematika Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Pengadilan, Putusan Basyarnas dan Hak Tanggungan.
Makalah ini diinformasikan secara terbuka dalam rentang waktu yang cukup panjang
dengan pelaksanaan deskusi yang membahas topik tersebut pada tahap ke III yang akan
diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud :
a. Keterbatasan pengetahuan penyusun dalam kaitannya dengan eksekusi, baik mengenai
eksekusi putusan pengadilan, putusan Basyarnas maupun hak tanggungan perlu ditutup
dengan masukan pendapat dan pemikiran dari anggota IKAHI Lingkungan khusunya dan
Keluarga Besar PTA Kalimantan Barat pada umumnya.
b. Mengharap sumbangan pikiran sebagai masukan untuk penyempurnaan makalah ini yang
dikemas dengan sikap kritis terhadap paparan yang ada, disampaikan berdasarkan pola
pikir logis yuridis dan disajikan secara sistimatis sehingga mudah difahami oleh siapapun
yang membacanya.
Kedua hal tersebut diatas sangat penyusun perlukan, untuk lebih memudahkan penyusun
dalam mengkolaborasikan apa yang telah ada di dalam makalah ini dengan saran maupun
pendapat yang pembaca sampaikan dan apalagi konon hasil deskusi berkelanjutan ini akan
disusun menjadi sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman bagi aparat peradilan agama di
Kalimantan Barat.
Sekian, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekuarangannya.
Pontianak, 14 Desember 2017
Penyusun,
Ali Masykuri Haidar
1
BAB III
EKSEKUSI DAN PROBLEMATIKANYA
A. Putusan yang dapat diajukan permohonan eksekusi.
1. Pengertian Eksekusi.
Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo yang
dikutip oleh Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP, M.Hum dalam bukunya berjudul
Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al
Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001, halaman 213 memberikan definisi bahwa
eksekusi pada hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak
yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan
tersebut (Amran Suaidi : 171).
Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan hukum
yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara
merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata (Yahya Harahap :
130).
Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo, yang
menyatakan bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat
yang dipakai oleh alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk
menjalankan putusan Hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi
bunyi putusan dalam waktu yang ditentukan (Soepomo :119).
Dari berbagai definisi dari ketiga pakar dan pakar-pakar hukum acara
perdata yang lain dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah tindakan pengadilan
kepada pihak yang kalah atas permohonan pihak yang menang dalam berperkara
agar menjalankan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap menurut tata
cara yang telah ditentukan oleh hukum acara perdata.
2. Pengertian Problematika.
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris problematic yang
artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema
berarti hal yang belum dapat dipecahkan, yang menimbulkan permasalahan.
( KBBI : 276).
Sedangkan ahli lain menyatakan bahwa definisi problematika adalah
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan
atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu
(Syukir : 65).
Prajudi Atmosudirjo mengatakan bahwa masalah adalah sesuatu yang
menyimpang dari apa yang diharapkan, direncanakan, ditentukan untuk dicapai,
sehingga merupakan rintangan menuju tercapainya tujuan (Syukir : 65).
Berangkat dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa
problematika eksekusi adalah peristiwa yang menyebabkan pelaksanaan eksekusi
berjalan tidak sesuai dengan apa yang direncakanan sehingga berakibat hasil akhir
tidak seperti yang diharapkan, oleh karena timbulnya sebab-sebab yang diluar
perkiraan atau yang telah diprediksi sebelumnya, baik yang dapat diketemukan
solusinya maupun yang tidak diperoleh pemecahannya.
2
3. Eksekusi Putusan Pengadilan.
Eksekusi terhadap putusan pengadilan adalah hal menjalankan putusan
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang
dieksekusi adalah putusan pengadilan yang mengandung amar perintah kepada
salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan
yang memerintah pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan
untuk melaksanakannya.
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang
mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan eksekutorial
pada putusan pengadilan adalah terletak pada putusan yang memuat irah-irah yang
berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan untuk
pengadilan agama didahului lafadh “Bismillahirrahmanirrahim”. Disamping itu,
amar putusan harus bersifat kondemnator, yaitu putusan yang menyatakan suatu
penghukuman untuk melakukan sesuatu, dengan menetapkan suatu keadaan hukum
dan menetapkan suatu penghukuman, misalnya penghukuman untuk membayar
sejumlah uang tertentu atau penghukuman untuk menyerahkan sesuatu benda
tertentu.
4. Asas-Asas Putusan Yang Dapat Dieksekusi.
4.1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap :
Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap
dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum
antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, yaitu hubungan hukum itu
mesti ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat), baik
secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum (Yahya
Harahap : 6).
Dari uraian tersebut dapat difahami, bahwa selama putusan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum
berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan
memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi
putusan secara suka rela (Amran Suaidi : 171-172).
Ada pengecualian terhadap asas ini :
a. Pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Menurut Pasal
180 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) R.Bg, eksekusi dapat dijalankan
pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang
bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Amran Suaidi
: 172).
Drs. H.Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum dalam bukunya yang berjudul
Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 88
mengingatkan kepada Hakim dalam melaksanakan putusan lebih dahulu
(uitvoerbaar bij voorraad) agar sangat berhati-hati mengingat beberapa
rambu-rambu yang telah digariskan oleh Mahkamah Agung, yaitu :
3
- SEMA-RI Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli 1964, yang intinya
menginstruksikan kepada Hakim agar sedapat mungkin tidak
meluluskan permohonan putusan uitvoerbaar bij voorraad. Hakim
sebelum meluluskan permintaan putusan uitvoerbaar bij voorraad
harus betul-betul mempertimbangkan dari berbagai segi supaya
putusan yang dijatuhkan itu tidak mempunyai kesulitan di kemudian
hari.
- SEMA-RI Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 2 Juni 1968, yang
menegaskan bahwa ada putusan uitvoerbaar bij voorraad diajukan
permohonan banding, kemudian di lain pihak diajukan permohonan
untuk pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung RI menyerahkan
kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa,
mempertimbangkan dan memutuskan dapat atau tidaknya permintaan
tersebut dikabulkan.
- SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 17 Mei 1971, disamping
mencabut kedua SEMA diatas, menegaskan bahwa agar para Hakim
supaya berhati-hati menggunakan lembaga uitvoerbaar bij voorraad,
karena apabila dalam tingkat banding atau kasasi putusan pengadilan
dibatalkan, maka akan timbul kesulitan di kemudian hari dan sulit
untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan banyak pihak akan
menderita rugi.
- SEMA-RI Nomor 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, yang
mengetengahkan pendapat Mahkamah Agung bahwa oleh karena Pasal
180 ayat (10) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg hanya memberikan
kewenangan diskretioner kepada para Hakim yang tidak bersifat
imperatif, maka Hakim tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij
voorraad meskipun syarat-syarat yang dikemukakan dalam Pasal 180
ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi, lebih-lebih
apabila ada sita jaminan yang cukup..
- SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1978 tanggal 1 April 1978, menegaskan
kembali kepada Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri seluruh
Indonesia agar tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad
walaupun syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 180 ayat
(1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi secara
keseluruhan.
4.2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela (Amran Suaidi : 173).
Pada prinsipnya ada dua cara menjalankan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yaitu :
a. Menjalankan putusan secara sukarela. Pihak yang kalah (tergugat)
memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Apabila
tergugat sudah memenuhi isi putusan dengan sukarela dan sempurna,
berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan, maka tidak diperlukan lagi
tindakan paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara suka rela,
hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara
suka rela dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang dilaksanakan di
tempat putusan tersebut dipenuhi dan ditanda tangani oleh jurusita
pengadilan, dua orang saksi dan penggugat maupun tergugat.
4
Penerbitan berita acara ini bertujuan :
- Agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh
Hakim.
- Dasar pengisian register perkara bahwa perkara yang bersangkutan
telah benar-benar selesai dengan sempurna.
b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi.
Menjalan putusan dengan jalan eksekusi baru terjadi apabila :
1). Pihak yang kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara
sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut
eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat
menjalankan isi putusan pengadilan.
2). Adanya permohonan oleh pihak yang menang (penggugat) kepada
pengadilan agar isi putusan dipenuhi oleh pihak yang kalah
(tergugat).
Tidak ada istilah batas waktu (kedaluwarsa) bagi pihak yang
menang (penggugat) dalam mengajukan permohonan eksekusi, kerena
tidak ada aturan yang menentukan kapan pihak yang menang
(penggugat) harus mengajukan permohonan eksekusi. Hal ini berangkat
dari prinsip bahwa pengajuan permohonan eksekusi merupakan hak
penuh bagi pihak yang menang (penggugat) meskipun akan berakibat
pada tingkat penyelesaian perkara dan administrasi yustisial tidak
selesai secara tuntas dan sempurna.
4.3. Putusan bersifat kondemnatoir.
Maksud putusan bersifat kondemnatoir adalah putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsur “penghukuman”, sedang putusan yang amar atau
diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau
non eksekutabel (Amaran : 173).
Seringkali terjadi, dalam perkara gugat waris, baik disengaja atas
kehendak pihak-pihak berperkara, atau kelalaian serta kurangnya pengetahuan
pihak penggugat dalam surat guagatannya tidak mencantumkan petitum yang
memohon penghukuman agar tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek
sengketa kepada tergugat. Sehingga dengan petitum yang tidak mencantumkan
penghukuman kepada pihak tergugat, akan lahir putusan hakim bersifat
deklarator.
Keadaan seperti hal tersebut dapat dipecahkan dengan jalan mengajukan
perkara gugatan dan didaftarkan sebagai perkara baru di pengadilan agama
yang sama dengan sengketa pokok permohonan agar tergugat dihukum untuk
menyerahkan obyek sengketa yang telah ditetapkan hukum sebagai harta
warisan. Dasar diajukannya gugatan tersebut adalah adanya putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap yang telah menetapkan kedudukan para pihak
sebagai ahli waris, obyek sengketa sebagai harta waris dan besarnya bagian
masing-masing sebagai ahli waris.
Dengan sendirinya, hal-hal yang hukumnya telah ditetapkan dalam
putusan yang lalu, tidak perlu lagi diperdebatkan atau dipermasalahkan atau
dibuktikan lagi dalam persidangan perkara tersebut. Dalam hal ini pengadilan
agama hanyalah akan memeriksa yang berkekanaan dengan petitum tunggal
penggugat, mengenai penghukuman terhadap tergugat untuk menyerahkan
obyek sengketa kepada penggugat sebagian atau seluruhnya.
5
Akan tetapi dalam segi yang lain, terjadinya amar dalam sengketa waris
tersebut bersifat deklaratoir adalah memang disengaja oleh majelis hakim
pengadilan agama tersebut, yaitu karena menurut pertimbangan majelis hakim,
yang dapat dibuktikan hanyalah kedudukan para pihak saja sebagai ahli waris,
sedang terhadap obyek sengketa, mungkin tidak dapat dibuktikan sebagai harta
waris. Dengan sendirinya, untuk kasus seperti ini tidak mungkim dapat
diajukan gugat baru yang semata-mata meminta penghukuman untuk
menyerahkan obyek sengketa sebagai harta waris (Hensyah Syahlani : 16-18).
4.4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)
R.Bg dengan surat penetapan dari Ketua Pengadilan Agama, tidak
diperkenankan perintah secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk
ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta
pertanggungjawabannya. Dengan adanya surat penetapan tersebut, akan tampak
jelas dan terperinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh Panitera
atau Jurusita. Disamping itu, Ketua Pengadilan Agama akan mudah melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan eksekusi tersebut (Amran Suaidi : 174).
5. Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan.
Ada beberapa perkara yang dapat dipridiksi dalam pelaksanaan putusannya akan
mengalami kendala atau permasalahan, antara lain :
a. Eksekusi putusan hadhonah.
Dalam melaksanakan putusan hadhanah, kemungkinan ada perlawanan dari
pihak terseksekusi atau kuasanya, bahwa eksekusi terhadap hadhanah tidak ada
aturannya dalam HIR dan Rbg atau peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku khusus di lingkungan peradilan agama. Belum adanya hukum yang
mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa
putusan hadhanah itu tidak bisa dijalankan, melainkan harus dapat dilaksanakan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum.
Berangkat dari asumsi bahwa belum adanya aturan khusus yang mengatur
mengenai eksekusi hadhanah di lingkungan peradilan agama, menimbulkan dua
pendapat bagi para pakar hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa anak
tidak dapat dieksekusi dengan alasan karena selama ini yusrisprudensi yang ada
tentang eksekusi, semuanya hanya dalam bidang hukum benda. Kelompok
kedua yang dipelopori Abdul Manan tahun 2005 mengatakan putusan hadhanah
dapat dilaksanakan dengan argumentasi bahwa masalah hadhanah yang
putusannya bersifat kondemnator, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka
putusan tersebut dapat dieksekusi dan pengadilan agama memiliki wewenang
untuk menempuh upaya paksa dalam melaksanakan putusan tersebut.
Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam praktek peradilan agama dikenal dua
macam eksekusi, yaitu :
1). Eksekusi riil sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal
218 ayat (2) RBg dan Pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,
pengosongan, pembongkaran, pembagian dan melakukan sesuatu.
2). Eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagaimana tersebut dalam Pasal
200 HIR dan 215 RBg. Eksekusi kedua ini dilakukan dengan menjual
lelang barang-barang debitor, atau dilakukan dalam pembagian harta
6
apabila pembagian in natura tidak disetujui oleh para pihak atau tidak
mungkin dilakukan pembagian in natura dalam sengketa warisan atau
harta bersama.
Sejalan dengan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan
pengadilan agama tidak hanya terbatas pada eksekusi bidang hukum perdata,
akan tetapi sudah merambah dalam eksekusi hadhanah. Nampaknya eksekusi
hak hadhanah dapat dikatagorikan pada jenis eksekusi bentuk pertama, yaitu
eksekusi riil.
Keadaan lain yang menjadi kendala dalam pelaksanaan eksekusi
putusan hadhanah, adalah keberadaan anak yang disengketakan. Pada saat
sebelum dilakukan eksekusi, pemohon eksekusi memberikan keterangan
kepada pengadilan agama bahwa yang yang akan dieksekusi berada di rumah
terseksekusi. Namun setelah panitera sampai di rumah tereksekusi, ternyata
anak yang akan dieksekusi tersebut tidak berada di tempat dan menurut
informasi tetangganya telah pergi meninggalkan tempat eksekusi yang telah
ditetapkan oleh panitera. Hal ini akan menambah kesulitan bagi pengadilan,
apabila keberadaan anak dan pihak terkesekusi tidak jelas atau ia berada di
wilayah pengadilan agama lain.
b. Adanya perlawanan terhadap eksekusi.
Sebelum membicarakan perlawanan pihak ketiga, ada baiknya apabila
diterangkan terlebih dahulu perbedaan antara gugatan dan perlawanan. Gugatan
diajukan terhadap hak-hak yang dilanggar atau belum terpenuhi, namun belum
ada putusan pengadilan yang memutus sengketa tersebut. Artinya dalam
perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh
pengadilan.
Sedangkan derden verzet adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak
lawan berperkara sendiri (party verzet) atau perlawanan yang diajukan oleh
pihak ketiga (derden verzet). Memang pada dasarnya putusan pengadilan
hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak
ketiga. Namun tidak menutup kemungkinan ada pihak ketiga yang merasa
dirugikan oleh putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang
merasa dirugikan dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang
memutus perkara tersebut (www.hukumline.com, 7-12-2017).
Pada dasarnya derden verzet hanya ditujukan terhadap eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi prinsip ini
dikembangakan dan dilembagakan penerapannya melalui gugatan pihak ketiga
terhadap suatu proses yang masih berlangsung. Dengan demikian, meskipun
putusan belum berkekuatan hukum tetap dimungkinkan mengajukan derden
verzet sejak proses di pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi.
Adapun yang menjadi faktor keabsahan formal pengajuan perlawanan
eksekusi adalah diajukan sebelum putusan yang dilawan belum selesai
dieksekusi. Jika sudah selesai dieksekusi, upaya perlawanan dianggap
melanggar tata tertib hukum acara perdata yang berlaku. Akibatnya perlawanan
dinyatakan tidak dapat diterima dan tuntutan penundaan berubah menjadi
tuntutan pembatalan eksekusi melalui gugatan biasa (www.hukumline.com, 7-
12-2017).
7
Hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas mengenai penundaan
eksekusi, akan tetapi untuk mencegah timbulnya kekosongan hukum, maka
hakim dapat menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Indonesia memang
tidak menganut asas preseden yang mewajibkan untuk mengikuti putusan
hakim yang terdahulu, tetapi putusan hakim tersebut dapat dijadikan sumber
hukum apabila belum ada pengaturan oleh undang-undang.
Pada prinsipnya pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan eksekusi
suatu putusan berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR dan Pasal 206 ayat
(6) RBg. Sedangkan satu-satunya syarat pihak lain (pihak ketiga) diterima
untuk mengajukan perlawanan tersebut adalah bahwa barang yang dieksekusi
adalah miliknya.
Pasal 207 HIR dan Pasal 227 RBg menegaskan bahwa adanya
perlawanan pihak ketiga tidak menunda eksekusi kecuali Ketua Pengadilan
Agama memberi perintah agar eksksekusi ditunda sampai dijatuhkannya
putusan pengadilan terhadap perlawanan tersebut.
Rakornas Uldilag dengan badan peradilan agama tangal 27 sampai
dengan 29 Januari 2016 memutuskan bahwa putusan yang masih ada upaya
hukum peninjauan kembali hendaknya eksekusinya ditangguhkan walaupun
peninjauan kembali tidak menghalangai eksekusi.
Adapun syarat-syarat pengajuan derden verzet adalah :
a. Diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Jika derden verzet diajukan
setelah eksekusi dilaksanakan maka satu-satunya cara adalah
mengajukan gugatan baru.
b. Perlawanan diajukan atas alasan hak milik (Pasal 195 ayat (6) HIR atau
Pasal 2016 ayat (6) RBg).
c. Barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan atau
barang yang akan dieksekusi dalam jaminan pihak ketiga. Karena asas
eksekusi adalah melarang eksekusi terhadap barang yang telah
dijamnikan kepada pihak ketiga (Yahya Harahap : 290).
Sikap pengadilan agama terhadap derden verzet :
1. Jika dalam perkara derden verzet, pelawan dinyatakan sebagai pelawan
yang benar, perlawanan dikabulkan serta perkara yang dimohonkan
eksekusi dibatalkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara
derden verzet berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan
sebagai pihak yang menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan
harus segera diangkat.
2. Jika dalam perkara derden verzet pelawan tidak dapat membuktikan
perlawanannya dan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan
perlawanan ditolak serta mempertahankan putusan yang dimohonkan
eksekusi, maka eksekusi tetap dilaksanakan tanpa menunggu upaya
hukum pelawan (Yahya Harahap : 293).
Perlawanan eksekusi yang dilakukan oleh pihak tereksekusi sama seperti
perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pada dasarnya tidak
menangguhkan eksekusi, kecuali jika Ketua Pengadilan Agama memerintahkan
agar eksekusi tersebut ditunda dengan penetapan.
Biasanya pengajuan perlawanan eksekusi oleh tereksekusi segera setelah
permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi. Pendaftaran
perlawanan oleh terseksekusi harus diabaikan dan tidak perlu didaftar sebagai
8
perkara, sebab jika hal ini didaftar sebagai perkara penyelesaiannya akan
menjadi rumit. Perlu dimaklumi bahwa proses perkara telah berjalan begitu
panjang sehingga telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Sehingga kita dapat menilai terseksekusi yang tetap mengajukan perlawanan
itu, merupakan sikap yang tidak taat pada hukum. Surat perlawanan tersebut
cukup dijawab dengan surat biasa (bukan penetapan) yang inti surat tersebut
adalah adalah menyatakan bahwa perkara telah selesai, saat ini tinggal
pelaksanaan putusan (eksekusi) dan selanjutnya tidak perlu menangguhkan
eksekusi.
Apabila perlawanan diajukan sebelum adanya penetapan eksekusi
sebaiknya eksekusi ditangguhkan sementara dalam status quo sambil menunggu
perlawanan pelawan tersebut mendapat putusan. Jika perlawanan pelawan
dikabulkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet
berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang
menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan harus segera diangkat. Begitu
pula sebaiknya apabila perlawanan ditolak, maka Ketua Pengadilan Agama
dengan surat penetapan memerintahkan eksekusi dilanjutkan.
c. Amar putusan tidak jelas.
Apabila amar putusan tidak jelas, maka Ketua Pengadilan Agama harus
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1). Meneliti pertimbangan hukum putusan, sebab amar dan pertimbangan
hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
2). Jika pertimbangan hukumnya tidak jelas maka bertanya kepada ketua
majelis hakim yang menyidangkan.
3). Apabila usaha-usaha tersebut belum juga memberikan kejelasan, maka
Ketua Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan non
eksekutabel (tidak dapat dieksekusi).
d. Pengerahan masa atau campur tangan pihak lain.
Pengerahan masa yang dimobilisasi oleh termohon eksekusi atau campur
tangan pihak ketiga dengan tujuan agar pelaksanaan eksekusi terhambat atau
bahkan menjadi gagal, merupakan salah satu kendala yang sering dialami dalam
pelaksanaan eksekusi. Untuk keselamatan petugas pengadilan, kondisi yang
demikian itu dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi sampai dengan
waktu tepat.
e. Obyek sengketa berada di wilayah pengadilan agama lain.
1). Pendelegasian eksekusi.
Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi berada di
luar wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya.
Dalam keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195
HIR dan Pasal 206 RBg, yang menggariskan langkah-langkah sebagai
berikut :
a). Membuat surat penetapan.
Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh
pemohon eksekusi, maka Ketua Pengadilan Agama membuat surat
penetapan yang isinya memerintahkan kepada Panitera atau
Jurusita Pengadilan Agama yang memutus perkara melalui
9
Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama tempat obyek yang akan
dieksekusi.
Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala
hal yang dieksekusi secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap
harus jelas ukurannya, luas dan batas-batasnya. Jika berupa barang
bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang
diperlukan.
Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi
dikirim kepada Ketua Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi
berada dengan surat pengantar Ketua Pengadilan Agama atau
Panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama.
b). Berita acara eksekusi.
Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi
segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi
pengadilan agama yang meminta pelaksanaan eksekusi.
Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi tidak
dibenarkan menilai isi penetapan eksekusi yang dikirim oleh
pengadilan agama yang meminta eksekusi.
Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Panitera atau
Jurusita Pengadilan Agama yang menerima permintaan eksekusi
yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian Ketua
Pengadilan Agama tersebut segera mengirimkannya kepada
Ketua Pengadilan Agama yang meminta pelaksanaan eksekusi.
c). Mengenai ketentuan biaya eksekusi.
Yang menaksir biaya eksekusi adalah pengadilan agama
yang meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar biaya
eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan.
Teknis pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta
bantuan eksekusi, bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan
surat pengantar permohonan bantuan eksekusi dikirim.
Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil
dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang
menerima permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya
eksekusi kepada pengadilan agama yang meminta bantuan
eksekusi dengan melampirkan kebutuhan nyata yang telah
dikeluarkan atau dibutuhkan.
d). Perlawanan pihak ketiga (derden verzet).
Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg dan Pasal 195 ayat (6)
HIR dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden verzet)
atas pelaksanaan putusan hakim diajukan dan diadili oleh
pengadilan agama yang melaksanakan putusan tersebut atau
diajukan dan diadili oleh pengadilan agama dimana eksekusi
dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan dalam Pasal 379 Rv,
perlawanan pihak ketiga harus diajukan di pengadilan agama
yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan agama yang
melaksanakan eksekusi.
Terhadap dua pendapat tersebut, biasanya praktisi hukum mengambil
jalan tengah bahwa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang demikian
10
itu, diadili di pengadilan agama yang memutuskan perkara, sedangkan
pendaftarannya melalui pengadilan agama tempat eksekusi dilaksanakan.
Hal ini lebih logis, sebab pengadilan agama yang memutus perkara lebih
tahu permasalahannya, lebih lengkap dokumen-dokumen perkaranya dan
memiliki nomor perkara pokok (Abdul Manan : 224). Maksudnya
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara dengan
nomor baru, tidak memakai nomor perkara pokok/lama. Berbeda dengan
perkara verzet atas putusan verstek tidak didaftar sebagai perkara baru, akan
tetapi memakai perkara pokok atau perkara lama (Buku II : 1).
Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut diputus oleh
pengadilan agama yang memeriksa pokok perkaranya dan kemudian dikirim
kepada pihak pelawan melalui pengadilan agama yang menjalankan
eksekusi. Penaksir biaya derden verzet adalah pengadilan agama yang
memeriksa pokok perkara dan yang membukukan dalam register perkara
juga pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara (Abdul Manan : 222-
224).
6. Putusan Basyarnas.
Sejak berlakunya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka model Alternative Despute Resolotian
(ADR) sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dilembagakan dalam
sistem hukum Indonesia.
Nonlitigasi merupakan penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan yang
bertujuan memberikan bantuan dan nasihat hukum dalam rangka mengantisipasi dan
mengurangi adanya sengketa, pertentangan dan perbedaan serta mengantisipasi
adanya masalah-masalah hukum yang timbul. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan merupakan upaya tawar-menawar atau kompromi untuk memperoleh
jalan keluar yang saling menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral tidak
untuk memutus sengketa, melainkan para pihak sendiri yang mengambil keputusan
akhir (Amran Suaidi : 174).
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan
wasit, sedangkan orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa
untuk memberikan keputusan yang akan ditaati kedua belah pihak disebut arbiter
(Amran Suaidi : 80).
Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, obyek penyelesaian dengan arbitrase
hanyalah sengketa di bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Adapun kegiatan di bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Dalam
Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-
sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d
1854 (Amran Suaidi : 80).
11
Lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah adalah Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas). Menurut penjelasan
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 bahwa lembaga
arbitrase yang akan dipergunakan untuk mengatasi sengketa bank syari’ah adalah
Basyarnas yang berdomisili paling dekat dengan kantor bank yang bersangkutan atau
yang ditunjuk sesuai kesepakatan antara bank dan nasabah. Adapun tempat kantor
Basyarnas menurut Pasal 4 ayat (4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Bamui tanggal 27 Oktober 1993 adalah berada di setiap provinsi, sedangkan Kantor
Pusat Basyarnas terletak di Jakarta.
Menurut Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur bahwa perjanjian arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian
tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (Amran
Suaidi : 82).
Adapun menurut Pasal 7 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999
menentukan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka perjanjian arbitrasi muncul karena adanya klausul
kesepakatan yang terdiri dari dua bentuk :
a. Pactum de compromittendo, yaitu klausul arbitrase sebelum timbul sengketa.
b. Acta compromitendo, yaitu klausul arbitrase setelah timbulnya sengketa.
Berkenaan dengan kewenangan arbritase tersebut, terdapat perbedaan
pendapat dalam menyikapi Pactum de compromitendo, sebagai berikut :
1. Tetap dapat diselesaikan di pengadilan, dengan alasan :
a. Suatu klausul arbitrase berkaitan dengan niet van openbaar orde (bukan
ketertiban umum).
b. Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat
diajukan ke pengadilan perdata.
c. Pengadilan tetap berwenang, sepanjang pihak lawan tidak mengajukan
eksepsi; dan
d. Dengan tidak mengajukan eksepsi, pihak lawan dianggap melepaskan haknya
atas klausul arbitrase.
2. Harus diselesaikan di arbitrase sesuai kesepakatan, alasannya adalah asas pacta
sunt servanda secara positif terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa :
a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak.
b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; dan
c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak.
Dilihat dari bentuknya, lembaga arbitrase di Indonesia terdiri dari dua
bentuk :
1). Arbitrase institusional, yaitu bersifat permanen atau melembaga, sehingga
disebut pula sebagai permanent arbital body. Terdapat dua jenis arbitrase
semacam ini di Indonesia, yaitu :
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977; dan
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh
Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 dan kemudian
12
pada tahun 2002 diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas).
2). Arbitrase at hoc, disebut juga sebagai arbitrase volunter yaitu badan arbitrase
yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer
saja, karena dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan
perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu. Ketentuan dalam
Reglement Rechtvodering (Rv) dalam Pasal 615 ayat (1) menjelaskan bahwa
arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan
sengketa tertentu atau dengan kata lain bersifat insidentil.
Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur arbitrase ad hoc
yang menjelaskan bahwa dalam arbitrase ad hoc bagi setiap ketidak sepakatan
dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Adapun
untuk mengetahui jenis arbitrase mana yang dipilih oleh para pihak dapat
melihat rumusan klausul pactum de compromittendo (Amran Suaidi : 83).
Adapun ciri pokok arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut :
1. Penunjukan arbiternya secara perorangan;
2. Salah satu diantara arbiternya tetap ada yang netral yang tidak ditunjuk
oleh oleh para pihak;
3. Tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase; dan
4. Bersifat insidentil.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun
1999 menjelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga
arbitrase hanya sengketa di bidang perdata (muamalah) dan menurut hukum
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain-lain, dimana para pihak sepakat
secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiaannya kepada
Basyarnas.
b. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu
sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas
permintaan para pihak (Amran Suaidi : 84).
Terkait Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di lembaga keuangan syariah mempunyai tujuan :
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain-lain; dan
2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu
pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut.
Untuk menyelesaikan perkara atau perselisihan secara damai dalam
keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga
dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator).
13
Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu
sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Sebelum memasuki pembahasan tentang eksekusi dan pembatalan
putusan Basyarnas, sangat bermanfaat apabila diketahui perjalanan dan
perjuangan panjang sehingga kedua hal tersebut menjadi kewenangan
peradilan agama.
Perkara yang masuk ke dalam Basyarnas adalah sengketa perbankan
syariah antara nasabah dan bank syariah terkait akad mudharabah dan
murabahah dengan sistim profit and loss sharing. Bahkan sejak tahun 1993
sampai dengan 2006 Basyarnas baru menangani dan menyelesaikan 14 (empat
belas) perkara (Hasbi Hasan : 167).
Perkara yang ditangani oleh Basyarnas adalah perkara sengketa
ekonomi syariah dan proses penyelesaiannya berdasar prinsip syariah, yang
putusannya bersifat final dan mengikat. Akan tetapi oleh karena Basyarnas
bukan merupakan lembaga yudikatif, sehingga tidak bisa melaksanakan
eksekusi putusannya. Oleh karena itu, diperlukan bantuan lembaga litigasi
yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk itu. Namun peradilan
mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas masih
dualisme.
Atas alasan tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas yang memberikan
kewenangan mengeksekusi dan membatalkan putusan Basyarnas adalah
lembaga dalam lingkup peradilan agama.
Terkait kewenangan absolut peradilan agama terhadap perkara
ekonomi syariah berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung tersebut,
sayangnya masih terdapat perundang-undangan yang muncul dan kemudian
menimbulkan ketidak pastian hukum dalam isi pasalnya. Perundang-undangan
tersebut adalah Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang dalam Pasal 59 ayat (3) menerangkan bahwa dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah)
secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka secara tidak langsung
mengandung makna hukum bahwa pengadilan agama tidak berwenang
terhadap penyelesaian eksekusi putusan Basyarnas.
Keberadaan Pasal 59 ayat (3) tersebut telah dianggap sebagai
problem kewenangan, oleh karena itu Dr. Drs Dadang Muttaqin, M.Hum
sempat mengajukan peninjauan kembali (judicial reviw) pasal tersebut pada
tanggal 18 Februari 2010 bersamaan dengan uji materiil Pasal 55 ayat (2)
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 beserta penjelasannya. Akan tetapi
dicabut oleh yang bersangkutan pada tanggal 10 Maret 2010 dengan alasan
mengingat Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut masih sangat baru
dan belum operasional serta belum tersosialisasi secara luas di tengah
masyarakat.
Sayangnya, dua bulan kemudian justru Pasal 59 ayat (3) Undang
Undang Nomor 48 Tahun 2009 bergayung sambut dan dijadikan dasar
dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 yang
membatalkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008, yang isi
14
pokoknya menyatakan bahwa eksekusi putusan Basyarnas adalah kewenangan
pengadilan negeri. Mahkamah Agung mendasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2010 pada Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor
48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela,
maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Akar permasalahannya adalah bukan terletak pada Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010, akan tetapi justru terletak pada dasar
hukum yang dipergunakan dalam pengeluaran surat edaran tersebut, yakni
Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009. Oleh karena itu,
selama pasal tersebut masih eksis, maka ketentuan pelaksanaan eksekusi
maupun pembatalan putusan Basyarnas akan difahami menjadi kewenangan
pengadilan negeri. Sehingga hal tersebut akan menghilangkan kewenangan
absolut pengadilan agama yang telah diberikan berdasarkan Pasal 49 huru (i)
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006. Hal ini menggambarkan adanya tarik
menarik kewenangan antar dua lembaga peradilan di bawah Mahkamah
Agung. Selain itu, adanya ketentuan tersebut, merupakan pereduksian
kewenangan bagi pengadilan agama, sehingga mendorong terbentuknya opini
negatif kepada publik bahwa untuk menangani perkara ekonomi syariah,
pengadilan agama belum siap dan belum mampu.
Dengan fakta tersebut menunjukkan ketidak jelasan rumusan
perundang-undangan sehingga menimbulkan banyak interpretasi dalam
pelaksanaannya, karena seharusnya kewenangan merupakan suatu hal yang
jelas dan pasti. Hal ini juga menunjukan bahwa pembentuk undang-undang
(legislator) tidak konsisten dalam membentuk undang-undang yang terkait
dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, karena di satu sisi
memberikan kewenangan secara absolut kepada pengadilan agama yang
terdapat pada aturan pokok bukan pada penjelasan, yaitu Pasal 49 huruf (i)
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, akan tetapi di sisi yang lain
memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri dengan munculnya Pasal
59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Padahal kedua lembaga peradilan (litigation) tersebut mempunyai
kompetensi dengan batasan masing-masing serta penggunaan prinsip yang
berbeda. Pada gilirannya perbedaan tersebut akan menimbulkan permasalahan
hukum berupa kerancuan bahkan ketidak pastian hukum, baik bagi penegak
hukum sendiri maupun masyarakat pencari keadilan.
Pada tahun 2012 lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 atas peninjauan kembali terhadap
penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut mempertegas kewenangan pengadilan agama
sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menangani sengketa
bank syariah.
Pembahasan eksekusi putusan arbitrase (Basyarnas) belum terbahas
secara tuntas, bahkan Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun
2009 masih eksis sampai sekarang, sedangkan perkara yang ditangani di
Basyarnas tidak hanya perbankan syariah, melainkan mencakup semua
15
wilayah sengketa perkara ekonomi syariah dengan keberadaan Pasal 59 ayat
(3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, maka memberikan
pengaruh terhadap pengadilan agama.
Kini Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Tatacara Penyelesaian Ekonomi Syariah yang dalam Pasal 13 ayat (2) dan
ayat (3) telah menguatkan kedudukan dan kewenangan pengadilan agama
untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Adapun bunyi kedua ayat
tersebut adalah :
1. Ayat (2) : “Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan
pembatalannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.”
2. Ayat (3) : “Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”
(Saiful Annas : http://drive.google.com.)
Mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, selain ADR
dan arbitrase (lembaga Basyarnas) dapat pula melalui jalur pengadilan agama
(litigasi), yaitu melalui lembaga peradilan agama sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Selanjutnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku pada Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), maka ketentuan dan prosedur
penyelesaian sengketa yang masuk ke Basyarnas, sebagai berikut :
a. Permohonan pendaftaran kepada sekretaris Basyarnas dalam register
yang melampirkan kesepakatan penyelesaian sengketa di Basyarnas
oleh para pihak;
b. Apabila kesepakatan tersebut tidak menunjuk Basyarnas, maka
permohonan itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard). Jika menunjuk Basyarnas, maka ditetapkan atau ditunjuk
arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa sesuai dengan
berat ringannya masalah; dan
c. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan surat
permohonan dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari selambat-
lambatnya pihak lawan harus menyampaikan jawaban atau
tanggapan;
d. Setelah diterima jawaban, maka dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari arbiter memerintahkan para pihak menghadap di
muka sidang, baik diwakili kuasa hukum atau tidak;
e. Pada prinsipnya pemeriksaan secara langsung dan tertulis di
persidangan, namun dibolehkan pemeriksaa secara lisan (oral
hearing) dengan pemeriksaan yang persis sama dengan litigasi;
f. Arbiter wajib mengupayakan perdamaian;
g. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara selambat-lambatnya adalah 6
(enam) bulan.
h. Dalam putusan arbitrase harus memuat alasan-alasan atas kepatutan
dan keadilan (ex aequo et bono); dan
16
i. Sama halnya dengan peradilan negara, putusan arbiter dilakukan
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan untuk
Basyarnas dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahiim”.
Selanjutnya Pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999
menyebutkan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak batal karena hal sebagai
berikut :
a. Meninggal dunia;
b. Bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi (pembaharuan utang);
d. Insolvensi salah satu pihak (keadaan tidak mampu membayar);
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. Dialihtugaskan pada pihak ketiga; dan
h. Atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Berkenaan dengan isi klausul arbitrase, adalah mengenai hal-hal
yang boleh dicantumkan dan diperjanjikan, yang dimuat dalam undang-
undang dan konvensi, sebagai berikut :
1. Tidak melampaui perjanjian pokok;
2. Isi klausul boleh secara umum;
3. Klausula arbitrase secara terperinci;
4. Klausula binding opinion (pendapat yang mengikat).
Adapun terhadap putusan arbitrase sebagaimana ketentuan Pasal 70
sampai dengan Pasal 72 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrasi di pengadilan
agama :
1. Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis ditujukan kepada
ketua pengadilan.
2. Tenggang waktu pengajuan permohonan paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada panitera pengadilan.
3. Jika pendaftaran permohonan pembatalan diterima, maka ketua
pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan.
4. Dalam hal para pihak tidak puas atas putusan pengadilan, dapat
mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus tingkat
pertama dan terakhir. Mahkamah Agung hanya diberi waktu maksimal
30 (tiga puluh) hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut.
Ketentuan terhadap putusan Basyarnas :
a. Putusan yang sudah ditanda tangani oleh arbiter bersifat final dan
mengikat.
17
b. Salinan putusan yang telah ditanda tangani oleh arbiter harus diberikan
kepada para pihak.
c. Putusan tidak boleh diumumkan kecuali disepakati oleh para pihak.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasarkan
Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 antara lain :
1. Mengenai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dan dalam hal para
pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3).
2. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional harus
dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan :
a). Pendaftaran putusan arbitrase oleh salah satu pihak.
b). Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
3. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua
Pengadilan Agama).
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 s/d
Pasal 64 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai berikut :
1. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara suka
rela.
2. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejang tanggal
diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama).
3. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh
Panitera Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama) dan
arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut
merupakan akta pencatatan.
4. Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan diatas berakibat putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran
dibebankan kepada para pihak.
6. Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama) sebelum
memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang
Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Adapun bunyi Pasal 4 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 :
a. Ayat (1) berbunyi : dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa
sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan
para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para
pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.
b. Ayat (2) berbunyi : persetujuan untuk menyelesaikan melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu
dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak.
c. Ayat (3) berbunyi : dalam hal disepakati penyelesaian sengketa
melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka
pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk
18
sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
penerimaan oleh para paihak.
Sedangkan bunyi Pasal 5 Undang Undang Nomor 30 Tahun
1999 :
a. Ayat (1) : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
b. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undngan tidak
dapat diadakan perdamaian.
7. Apabila ternyata putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4
dan Pasal 5 tersebut, Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua
Pengadilan Agama) menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan
terhadap putusan Pengadilan Negeri (baca : Pengadilan Agama) tidak
terbuka upaya hukum apapun.
8. Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama) tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
9. Perintah Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama)
ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang
dikeluarkan.
10. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan
Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama), dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Permasalahan ketika melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas, pada
dasarnya tidak lebih dari permasalahan yang timbul ketika melaksanakan
putusan pengadilan. Begitu pula tidak jauh dengan problematika yang timbul
pada saat melakukan eksekusi hak tanggungan, oleh karena obyek yang
diseksekusi adalah sama, yakni tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
4. Hak Tanggungan.
4.1. Pengertian Hak Tanggungan.
Pasal 1 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau dapat disebut
Undang Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor- kreditor lain.
Menurut Pasal 1 angka 23 dan Penjelasan Pasal 8 Undang Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan menjelaskan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
19
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR. tanggal
28 Februari 1991 menjelaskan bahwa jaminan adalah suatu keyakinan kreditor
bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kridit sesuai yang diperjanjkan.
4.2. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena
kesalahan debitor baik karena kesengajaan atau kelalaian. Sedangkan menurut
J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitor tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat
dipersalahkan kepadanya” (Amran Suaidi : 130).
Yahya Harahap yang pendapatnya dikutip oleh Amran Suaidi,
memberikan pengertian bahwa wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya,
sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitor untuk memberikan atau
membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh
salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian
(Amran Suaidi : 130).
Lain halnya, Subekti memberikan definisi wanprestasi adalah suatu
peristiwa atau keadaan di mana debitur tidak dapat memenuhi kewajiban
prestasi akadnya/perikatan/perjanjian dengan baik dan punya unsur salah.
Unsur salah adalah keadaan di luar kesalahannya. (Subekti : 150).
Adapun bentuk wanprestasi antara lain:
a. Debitor tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
b. Debitor berprestasi tapi tidak tepat waktu;
c. Debitor berprestasi tapi tidak baik;
d. Debitor melakukan sesuatu yang menurut perikatan tidak boleh dilakukan.
(Amran Suaidi : 131).
Sedangkan tatacara menyatakan wanprestasi, yaitu:
a. Somasi, peringatan tertulis dari pengadilan;
b. Ingebreke stelling, peringatan tidak melalui pengadilan.
Syarat terjadinya wanprestasi
a. Syarat materiil, yaitu ada unsur kesalahan (disengaja/lalai);
b. Syarat formal, yaitu ada peringatan/teguran terhadap debitor.
Hak kreditor apabila terjadi waprestasi :
a. Menuntut pemenuhan perikatan.
b. Menuntut pemutusan perikatan atau pembatalan.
c. Menuntut ganti-rugi.
Bisa juga dengan ingebreke stelling: Tidak melalui pengadilan
4.3. Perbuatan Melawan Hukum(Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata)
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Pasal 1365 BW
(onrechtmatig) menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang
menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah
karena menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Sedangkan unsur-
unsur perbuatan melawan hukum adalah :
20
a. Perbuatan melawan hukum;
b. Ada kesalahan;
c. Ada kerugian;
d. Sebab.
Kriteria perbuatan melawan hukum meliputi :
a. Melanggar hak subjektif orang lain;
b. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri;
c. Melanggar etika pergaulan hidup;
d. Melanggar kewajiban sebagai anggota masyarakat.
Pasal 1365 KUHPerdata, mengatur barang siapa melakukan perbuatan
melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
Jikalau wanprestasi, maka cukup ia yang menunjuk perjanjian yang
dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian bahwa tidak terjadi
wanprestasi.
Sedangkan perbuatan melawan hukum, maka penggugat yang harus
membuktikan tentang adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan
yang dilakukan oleh tergugat.
Ganti-rugi wanprestasi dapat diperkirakan karena adanya perjanjian,
sedangkan perbuatan melawan hukum diserahkan pada hakim untuk
menilainya. Jikalau wanprestasi, maka cukup ia yang menunjuk perjanjian yang
dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian bahwa tidak terjadi
wanprestasi.
4.4. Isi Peringatan.
a. Teguran kreditor supaya debitor segera melaksanakan prestasi;
b. Dasar teguran;
c. Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9
Agustus 2017).
Somasi (peringatan) paling tidak telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang
akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah
teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat
memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243
KUHPerdata (Amran Suaidi : 131).
4.5. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi.
Adapun akibat hukum dari debitor yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukuman atau sanksi berupa:
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditor (ganti rugi);
b. Pembatalan perjanjian;
c. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak
dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitor;
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim
(Amran Suaidi : 132).
Disamping debitor harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat
dilakukan oleh kreditor dalam menghadapi debitor yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata) :
21
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
6. Ganti rugi yang dapat dituntut.
Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap
tidak memenuhi prestasi itu. (Pasal 1243 KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari
biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh suatu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor
yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah
dibayarkan atau dihitung oleh kreditor.
Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal)
dengan ingkar janji (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau
sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.
Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan
hanya karena kesalahan debitor (lalai atau kesengajaan) tetapi juga terjadi
karena keadaan memaksa.
Yang dimaksud dengan kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui
dan dikehendaki, sedang kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya
mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
4.6. Pembelaan Debitor yang Dituntut Membayar Ganti Rugi.
a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa. Misalnya: karena barang
yang diperjanjikan musnah atau hilang, terjadi kerusuhan, bencana alam,
dan lain-lain.
b. Mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai (execptio non adimreti
contractus). Misalnya, si pembeli menuduh penjual terlambat
menyerahkan barangnya, tetapi ia sendiri tidak menetapi janjinya untuk
menyerahkan uang muka.
c. Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rehtsverwerking). Misalnya, si pembeli menerima barang yang
tidak memuaskan kualitasnya, namun pembeli tidak menegor si penjual
atau tidak mengembalikan barangnya.
4.7. Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeur)
a. Pengertian:
Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur) tidak dirumuskan
dalam undang-undang, akan tetapi dipahami makna yang terkandung dalam
pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur tentang overmacht.
Overmacht adalah suatu keadaan di mana debitor tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di
luar kekuasaannya, seperti karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-
lain (Amran : 134).
Misalkan, seseorang menjanjikan akan menjual seekor kuda (schenking)
dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir.
22
4.8. Akibat keadaan memaksa:
a. Kreditor tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
b. Debitor tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
c. Resiko tidak beralih kepada debitor.
4.9. Adapun unsur-unsur keadaan memaksa :
a. Peristiwa yang memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan;
b. Peristiwa yang menghalangi debitor berprestasi;
c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui oleh kreditor/debitor sewaktu
dibuatnya perjanjian.
4.10. Sifat Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Keadaan memaksa absolute, adalah suatu keadaan di mana debitor sama
sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditor, oleh karena
adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh : A ingin
membayar utangnya pada B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin
melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali
tidak dapat membayar utangnya pada B.
b. Keadaan memaksa yang relative, adalah suatu keadaan yang menyebabkan
debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan
prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang
tidak seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
Contoh: seorang penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk menyanyi di
suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar
bahwa anaknya meninggal dunia.
4.11. Sebelum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan penting untuk memastikan
terpenuhinya unsur-unsur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan, yaitu sebagai
berikut :
a. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan utang;
b. Merupakan hak atas tanah sesuai UUPA;
c. Dibebankan atas tanah dan dapat pula dibebankan berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
d. Utang yang dijamin adalah utang tertentu;
e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya;
4.12. Subyek dan Obyek Hukum Dalam Hak Tanggungan.
Pasal 4 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah :
a. Hak milik.
b. Hak guna usaha.
c. Hak guna bangunan.
d. Hak pakai atas tanah negara.
e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan milik pemegang hak atas tanah.
4.13. Prinsip obyek hak tanggungan :
Hak-hak atas tanah yang mempunyai dua persyaratan :
a. Wajib didaftarkan untuk memenuhi asas publisitas.
23
b. Dapat dipindah tangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran
yang dijaminkan pelunasannya.
c. Hak pakai atas tanah negara yang diberikan kepada instansi pemerintah,
lembaga keagamaan, sosial dan perwakilan negara asing walaupun wajib
didaftarkan, akan tetapi karena menurut sifatnya tidak dapat dipindah
tangankan, maka bukan merupakan obyek hak tanggungan.
4.14. Subyek hukum hak tanggungan menurut Pasal 8 dan Pasal 9 Undang Undang
Nomor 4 Tahun 1996 adalah :
a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan obyek
tanggungan.
b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak
tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikan.
4.15. Asas-asas hak tanggungan :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference). Artinya
hak mendahului yang dimiliki oleh pemegang hak jaminan kebendaan
untuk mendapatkan pelunasan utang dari penjualan benda yang dijadikan
jaminan baginya.
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek
itu berada (droit de suite). Menurut Pasal 7 UUHT menjelaskan bahwa hak
tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek
tersebut berada.
Sifat ini merupakan jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak
tanggungan. Walaupun obyek dari hak tanggungan sudah berpindah tangan
dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan
haknya melakukan eksekusi jika debitor cidera janji.
Tanah dan rumah yang dijadikan obyek hak tanggungan, kemudian
rumah dijual dan telah berpindah tangan menjadi milik pihak ketiga,
namun selama debitor belum melunasi utangnya, maka rumah tersebut
masih menjadi obyek hak tanggungan, meskipun sudah menjadi milik
orang lain.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga.
Asas ini terdapat pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang menegaskan
bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta
pemberian Hak Tanggungan. Oleh karena itu, tidak dicantumkannya secara
lengkap hal-hal yang disebut dalam Akta pemberian Hak Tanggungan
mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan
dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan baik
mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin.
d. Asas publisitas ini dapat diketahui pada Pasal 13 ayat (1) UUHT yang
menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
kantor pertanahan. Oleh karena itu dengan didaftarkannya hak tanggungan
tersebut, merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut
dan mengikat terhadap pihak ketiga.
e. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi. Hak tanggungan membebani
secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Dengan
telah dilunasinya sebagian utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya
obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, melainkan hak
24
tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa
utang yang belum dilunasi.
f. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah, juga benda yang
berkaitan dengan tanah tersebut. Maksudnya, jika yang menjadi obyek
adalah sebuah tanah yang diatasnya terdapat rumah, pohon atau basement,
maka benda-benda tersebut menjadi satu kesatuan atas obyek hak
tanggungan yang dijaminkan.
g. Hak tanggungan dapat dibebankan atas bendan-benda yang baru akan ada
di kemudian hari. Penjelasannya adalah, apabila yang dijadikan obyek hak
tanggungan adalah tanah kosong dan pada kemudian hari dibangun sebuah
rumah diatasnya, maka rumah yang akan dibangun itu menjadi satu
kesatuan dengan tanah yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan
tersebut.
h. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Salah satu ciri dari hak
tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya jika debitor cidera janji. Hal ini karena adanya sifat hak
melakukan eksekusi dari pemegang hak tanggungan berdasarkan akta
pemberian hak tanggungan yang mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa”
4.16. Hak tanggungan hapus atau berakhir apabila :
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penatapan peringkat oleh
pengadilan.
d. Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan.
e. Setelah hak tanggungan hapus, maka Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan
sertifikatnya.
4.17. Tahapan pemberian hak tanggungan dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Adanya perjanjian utang piutang.
b. Perjanjian utang piutang inilah yang menjadi dasar pemberian hak
tanggungan dan perjanjian utang piutang dapat dibuat secara notariil
maupun dibawah tangan;
4.18. Proses yang harus dilakukan bagi setiap orang yang berhubungan dengan
bank atau lembaga keuangan lainnya adalah menandaangani perjanjian kredit
(PK) diikuti dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan
berdasarkan perjanjian kredit tersebut.
a. Pembuatan akta hak tanggungan.
1). Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
penanda tanganan APHT.
2). Kemudian PPAT wajib mengirimkan APHT beserta surat-surat lain
yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
b. Pendaftaran hak tanggungan.
25
1). Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membuatkan buku tanah hak
tanggungan dan mencatatnya dalam buku hak atas tanah yang menjadi
obyek hak tanggungan.
2). Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
3). Tanggal yang dicatat pada hak tanggungan adalah tanggal ke 7 (tujuh)
setelah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerima secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
4). Sebagai bukti sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHT telah
lahirnya hak tanggungan, pemegang hak tanggungan akan diberikan
sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
5). Sertifikat hak tanggungan memuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan mulai saat itu sertifikat
hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial.
6). Jika diperlukan membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan.
c. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda
yang merupakan obyek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi
hak tanggungan tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. Adapun
pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 20 ayat (2) Undang Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :
1). Eksekusi dengan jalan menjual dibawah tangan secara langsung.
Maksud eksekusi ini adalah penjualan obyek hak tanggungan
berdasarkan adanya kesepakatan antara pemberi hak tanggungan
(debitor) dengan pemegang hak tanggungan (kreditor). Dengan cara ini
akan diperoleh harga tinggi, karena tidak dipotong berbgai biaya dan
ongkos.
2). Eksekusi dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa
ikut campur tangan pengadilan. (Pasal 6 UUHT).
Ketentuan ini telah memberikan kepada pemegang hak
tanggungan pertama langsung datang ke kantor lelang untuk
melakukan pelelangan atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan
apabila jalan damai tidak tercapai.
Untuk dapat menggunakan kewenangan menjual obyek hak
tanggungan tanpa persetujuan lebih dahulu dari debitor diperlukan
adanya janji debitor yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e
UUHT dan janji itu wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (Amran Suaidi :199).
3). Eksekusi atas titel ekskutorial.
Dasar eksekusi ini adalah sertifikat hak tanggungan sebagaimana
dimaksud Pasal 14 ayat (2) UUHT dengan irah-irah “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Eksekusi hak tanggungan atas titel ekskutorial ini dapat
dilakukan melalui Ketua Pengadilan Agama, karena titel ekskutorial
pada sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kesamaan dengan
putusan penguaidi :199).
d. Kewenagan Relatif Permohonan Hak Tanggungan.
26
Untuk menentukan kompetensi relatif atas permohonan eksekusi hak
tanggungan yang diajukan oleh pihak bank, sebagaimana penjelasan
Amran Suaidi, maka berdasarkan Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1)
RBg, maka permohonan diajukan ke pengadilan agama dalam wilayah
hukum tempat tinggal termohon eksekusi. Apabila termohon eksekusi
mempunyai alamat berlainan, pemohon eksekusi dapat memilih salah satu
pengadilan agama dalam wilayah hukum tempat tinggal termohon
eksekusi. Permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi dengan
memilih salah satu alamat tersebut tidak melanggar asas actor sequitur
forum rei yang digariskan Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg. Hak
tanggungan karena obyeknya jelas-jelas adalah berupa tanah, maka
penerapan yurisdiksi berdasarkan tempat tinggal termohon eksekusi sudah
tidak tepat lagi. Berbeda jika obyeknya berupa benda bergerak, maka
penerapan yurisdiksi berdasarkan tempat tinggal termohon eksekusi (asas
actor sequitur forum rei) memang harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 142 ayat (1) RBg. Bahkan dalam Rv, hal ini disebutkan
dengan jelas dalam Pasal 99 ayat (1).
Sementara itu, jika obyek harta tanah yang disebut dalam sertifikat
hak tanggungan berada di luar wilayah tempat tinggal termohon eksekusi,
maka pengajuan permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan ke
pengadilan agama dalam wilayah hukum dimana obyek harta tanah
tersebut berada, bukan berpatokan pada tempat tinggal termohon eksekusi.
Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (3) HIR dan Pasal 142
ayat (5) RBg yakni tunduk pada asas forum rei sitae.
Berikutnya jika obyek eksekusi hak tanggungan terletak di beberapa
daerah dan disana terdapat pengadilan agama, maka pihak pemohon
eksekusi hak tanggungan (bank) selaku kreditor boleh memilih salah satu
pengadilan agama tersebut, untuk tempat diajukannya permohonan
eksekusi hak tanggungan.
Selanjutnya apabila diketemukan dalam klausul perjanjian para pihak
yang dibuat dalam bentuk akta tertulis telah menyepakati memimilih
aengadilan agama tertentu yang berwenang menyelesaikan masalahnya,
seperti eksekusi hak tanggungan jika terjadi masalah debitor wan
prestasi/cidera janji, maka hal ini harus dilaksanakan oleh pengadilan
agama tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah
pihak, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (4) HIR dan Pasal
Pasal 142 ayat (4) RBg. Persetujuan para pihak yang memilih salah satu
pengadilan agama tertentu untuk menyelesaikan masalahnya merupakan
prinsip yang harus dilaksanakan dan tunduk pada asas freedom of contract
(kebebasan berkontrak) sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1338
KUHPerdata (Amran Suaidi : 198).
Adapun prosedur penyelesaian eksekusi hak tanggungan di
pengadilan agama adalah sebagai berikut :
a. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Agama dengan melampirkan :
27
1). Fotocopi sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2). Fotokopi perjanjian (akad syariah) utang piutang antara pihak
kreditor dengan debitor;
3). Fotokopi bukti pendaftaran hak tanggungan pada kantor
pertanahan;
4). Fotokopi surat-surat tegoran dari bank kepada debitor atas
kelalaiannya membayar cicilan utang; dan
5). Surat kuasa yang masih berlaku, jika pemohon eksekusi
menggunakan kuasa hukum.
b. Aanmaning.
1) Setelah menerima permohonan eksekusi, Ketua Pengadilan
Agama memerintahkan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti untuk
memanggil termohon eksekusi/debitor yang ingkar janji untuk
ditegor (di aanmaning).
2). Tegoran ini sebaiknya dilakukan sebanyak dua kali, agar dalam
waktu paling lama 8 (delapan) hari dari aanmaning, harus
memenuhi keawjiban, yaitu membayar utangnya dengan suka rela.
3). Apabila debitor suami istri maka harus dipanggil keduanya guna
mengetahui faktor apa yang menjadi penyebab tidak dipenuhinya
perjanjian dan sekaligus diberi peringatan agar keduanya dapat
segera memenuhi isi perjanjian tersebut.
c. Dilakukan sita eksekusi.
1). Ketua Pengadilan Agama memerintahkan kepada Panitera atau
Jurusita agar tanah obyek hak tanggungan tersebut disita dengan
sita eksekutorial dengan dibantu 2 (dua) orang saksi yang
memenuhi persyaratan undang-undang.
2). Panitera atau Jurusita membuat berita acara penyitaan dan
memberitahukan kepada tersita, apabila ia hadir.
3). Apabila barang yang disita berupa tanah yang sudah didaftarkan di
kantor pertanahan, maka berita acara penyitaan tersebut harus
diberitahukan kepada kantor pendaftaran tanah dimaksud.
4). Apabila barang yang disita berupa tanah yang belum didaftarkan
di kantor pertanahan, maka berita acara penyitaan tersebut harus
diumumkan oleh Panitera atau Jurusita, dengan meminta Kepala
Desa atau Lurah untuk mengumumkan seluas-luasnya ditempat
dengan cara yang lazim.
5). Jika setelah disita ternyata debitor tetap lalai, maka tanah tersebut
akan dijual lelang.
d. Penjualan lelang.
1). Pengadilan Agama sebagai penjual mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL), dilampiri surat-surat :
a). Penetapan Ketua Pengadilan Agama tentang perintah
eksekusi;
b). Berita acara aanmaning/tegoran;
c). Penetapan sita eksekusi atas hak tanggungan;
d). Berita acara sita eksekusi;
28
e). Perincian utang;
f). Pemberitahuan lelang kepada termohon lelang; dan
g). Fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah dan sertifikat
hak tanggungan.
2). Kepala KPKNL menetapkan hari, tanggal pelaksanaan lelang
setelah dilakukan analisis kelengkapan dokumen.
3). Pemohon lelang/pengadilan agama mengumumkan lelang melalui
surat kabar harian yang terbit di kota itu atau media elektronik
yang tempatnya berdekatan dengan obyek yang akan dilelang.
Pengumuman pertama dengan pengumuman kedua
berjarak 15 (lima belas) hari dan pengumuman kedua dengan
pelaksanaan lelang tidak boleh kurang dari 14 (empat belas) hari.
(Pasal 200 ayat (7) HIR/Pasal 217 RBg).
4). Peserta lelang menyetor uang jaminan rekening ke KPKNL.
5). Pemenang lelang akan mendapatkan petikan risalah lelang dan
dokumen pendudukung lainnya.
6). Pengadilan Agama sebagai pemohon lelang akan mendapatkan
salinan risalah lelang.
7). Hasil penjualan lelang diambil terlebih dahulu untuk membayar
biaya lelang, dan pembayaran utang debitor dan apabila masih ada
sisa dikembalikan kepada debitor.
4.19. Problematika Eksekusi Hak Tanggungan.
Sebagimana analisis Amran Suaidi, problematika eksekusi hak
tanggungan dapat terjadi dalam hal sebagai berikut :
a. Kreditor harus mendapat perlindungan hukum.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan telah
menentukan obyek hak tanggungan tidak hanya tanah saja, tetapi berikut
benda-benda lain di atas tanah yang bersangkutan yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah. Hal ini harus dimuat secara tegas dalam surat kuasa
untuk membebankan hak tanggungan dan dimasukkan pula dalam akta hak
tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai
bentuk perlindungan hukum kepada kreditor. Nasabah atau debitor yang
jelas-jelas cidra janji/wanprestasi, tidak boleh sampai merugikan
kepentingan kreditor.
Permohonan eksekusi obyek hak tanggungan yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Agama, ada yang dapat dilakukan eksekusinya dan ada
pula yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah
eksekusi obyek hak tanggungan atas tanah dan benda-benda yang ada di atas
tanah tersebut dalam prakteknya tidak semudah yang diperkirakan atau
dengan kata lain masalah eksekusi hak tanggungan masih banyak kendala
dalam praktek.
Dalam prakteknya, kreditor sering menerima jaminan tanah, sedang
tanah dan bangunan yang mana sertifikat tanah sudah tidak sesuai lagi
dengan keadaan yang sebenarnya, karena tanah, tanah dan bangunan tersebut
telah dijual dengan membuat Akta PPAT, namun balik nama belum
dilakukan oleh kantor pertanahan yang bersangkutan. Kalau terjadi hal
demikian pengikatan jaminan bisa dilakukan bersamaan dengan proses balik
29
nama setelah itu dilakukan pendaftaran hak tanggungannya oleh kantor
pertanahan yang bersangkutan.
b. Pemberi hak tanggungan tidak bersedia melaksanakan pengosongan dengan
suka rela.
Untuk menyikapi kasus seperti ini, jika benar-benar pemberi hak
tanggungan, atau keluarganya tidak bersedia mengosongkan atau keluar dari
obyek yang telah dieksekusi itu, maka pelaksanaannya dilakukan atas
perintah Ketua Pengadilan Agama dimana obyek hak tanggungan itu
terletak, setelah adanya permohonan pengosongan dari pihak pemenang
lelang sebagai pemegang hak atas tanah atau tanah dari bangunannya yang baru.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 200 ayat (11) HIR yang berbunyi “Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau meninggalkan barang-barang yang tidak
bergerak itu, maka Ketua Pengadilan Agama atau magishaat yang dikuasakan
harus memberi surat perintah kepada seorang yang berhak menyita, supaya kalau
perlu dengan bantuan polisi, pihak yang dikalahkan itu beserta keluarganya
disuruh meninggalkan/mengosongkan barang yang tidak bergerak itu.
c. Pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan.
Sering terjadi dimana ketika pelaksanaan eksekusi dilakukan atas
permohonan pemegang hak tanggungan pertama, atau pada saat sita eksekusi,
pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan
dengan dalil bahwa pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya juga
berhak atas obyek yang disita eksekusi tersebut, mengingat debitor yang cidra
janji itu telah menjadikan obyek eksekusi tersebut sebagai agunan kepada
pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya. Terhadap masalah
seperti ini undang-undang hak tanggungan tidak ada mengaturnya, tetapi
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui materi hukum acara perdata.
Dalam menghadapi perlawanan demikian, hakim/Ketua Pengadilan Agama
harus menolak, karena perlawanan terhadap sita eksekusi hanya dapat dilakukan
oleh pihak ketiga atas dasar dalil adanya kepemilikan. Pemegang hak tanggungan
kedua, ketiga dan serusnya bukanlah pemilik, tetapi ia mempunyai hak untuk
memohon pelunasan piutangnya yang juga dijamin atas tanah yang disita eksekusi
tersebut. Pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya jika ingin agar
pelunasan piutangnya dibayar, maka caranya dengan mengajukan permohonan
eksekusi ke pengadilan agama tersebut atas dasar hak tanggungan yang
dimilikinya. Sehingga perolehan uang dari hasil lelang eksekusi tersebut, setelah
dibayarkan terlebih dahulu kepada pemegang hak tanggungan pertama, kemudian
sisanya jika masih ada dibayarkan kepada pemegang hak Tanggungan kedua,
ketiga dan seterusnya.
d. Objek hak tanggungan bukan atas nama debitor sendiri, tetapi pihak ke tiga
yang pada akhirnya keberatan dengan eksekusi karena merasa tidak pernah
menyetujui kepemilikannya dijadikan jaminan.
Setelah mempelajari berkas permohonan eksekusi yang diajukan oleh
pemohon (kreditur), selanjutnya KPA memerintah jurus sita untuk memanggil
pemohon dan termohon eksekusi.
30
Ternyata di saat aanmaning dilaksanakan, terungkap bahwa obyek yang
dijadikan tanggungan atas nama ayah kandung pemohon (pihak ketiga) atau
bukan atas nama dirinya.
Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak ketiga (ayah
kandung debitor) untuk meminta konfirmasi dan keterangan yang sebenarnya
dan ternyata ayah kandung debitor keberatan dan menyangkal telah menyetujui
obyek atas miliknya dijadikan hak tanggungan oleh anak kandungnya.
Bahwa, dalam pengakuan debitor ternyata sertifikat tanah atas nama
ayah kandungnya tersebut dicuri untuk dijadikan obyek tanggungan dengan
memalsukan tanda tangan persetujuan ayah kandungnya (Amran Suaidi : 202).
Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama perlu mengambil langkah
sebagai berikut :
1). Memanggil semua pihak yang terkait dalam eksekusi hak tanggungan
syari’ah ini untuk meminta keterangan yang seutuhnya agar
mendapatkan gambaran penyelesaian yang menyeluruh dan tuntas.
2). Melakukan cek mendalam dan mencocokkan tanda tangan pihak ketiga
(ayah kandung debitor) dalam persetujuan obyek miliknya dijadikan
jaminan, dan ternyata Ketua Pengadilan Agama menemukan tanda
tangan pihak ketiga (ayah kandung debitor) dipalsukan oleh debitor
sendiri.
3). Dalam kondisi seperti ini Ketua Pengadilan Agama mencoba
memaksimalkan upaya mediasi diantara pemohon eksekusi dan
termohon eksekusi serta pihak ketiga.
4). Akhirnya dengan upaya mediasi yang maksimal, pihak ketiga (ayah
kandung termohon eksekusi) akhirnya merelakan dan menyatakan tidak
keberatan atas sikap anaknya yang telah memalsukan tanda tangannya
untuk persetujuan objek miliknya dijaminkan.
e. Objek hak tanggungan dikuasai oleh pihak ketiga (pemilik pertama) yang
keberatan dengan eksekusi dikarenakan pihak debitor masih berhutang kepada
pihak ketiga sebagai pemilik pertama di saat proses pembelian dulu, sementara
pihak debitor melakukan balik nama sertifikat obyek dan kemudian
menjaminkannya ke Bank Syariah.
f. Alasan keamanan dalam pelaksanaan sita eksekusi hak tanggungan syariah
menjadi pertimbangan utama bagi Ketua Pengadilan Agama untuk menunda
ataukah melanjutkan sita eksekusi.
Adapun langkah yang perlu dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut :
1). Memanggil semua pihak yang terkait dalam eksekusi hak tanggungan
syari’ah ini untuk meminta keterangan yang seutuhnya agar mendapatkan
gambaran penyelesaian.
2). Melakukan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak keamanan
(kepolisian sektor) untuk memastikan kelancaran dan potensi kisruh di
lapangan saat sita eksekusi dilaksanakan.
3). Atas dasar laporan dan pertimbangan atas permontaan dari pihak kepolisian
agar Ketua Pengadilan Agama menunda pelaksanaan sita ekseskusi
dikarenakan potensi konflik yang sangat besar tidak dapat dihindarkan,
maka Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak kreditor dan debitor
untuk membicarakan hal ini.
31
4). Atas pertimbangan keamanan tersebut, maka Ketua Pengadilan Agama
akhirnya menyatakan menunda pelaksanaan sita eksekusi sampai waktu
dan keadaan memungkinkan, sembari memerintahkan kepada debitor untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan pihak ketiga.
g. Pendelegasian eksekusi.
Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi berada di luar
wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya. Dalam
keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195 HIR dan
Pasal 206 RBg, sebgai berikut :
1). Membuat surat penetapan.
Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh pemohon eksekusi,
maka Ketua Pengadilan Agama membuat surat penetapan yang isinya
memerintahkan kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang
memutus perkara melalui Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama
tempat obyek yang akan dieksekusi.
Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal
yang dieksekusi secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap harus
jelas ukurannya, luas dan batas-batasnya. Jika berupa barang bergerak
harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang diperlukan.
Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi dikirim
kepada Ketua Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi berada
dengan surat pengantar Ketua Pengadilan Agama atau Panitera atas
nama Ketua Pengadilan Agama.
2). Berita acara eksekusi.
Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi segera
melaksanakan sesuai dengan penetapan eksekusi pengadilan agama
yang meminta pelaksanaan eksekusi. Pengadilan agama yang
menerima permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi penetapan
eksekusi yang dikirim oleh pengadilan agama yang meminta eksekusi.
Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Panitera atau Jurusita
yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian Ketua
Pengadilan Agama segera mengirimknnya kepada Ketua Pengadilan
Agama yang memimta pelaksanaan eksekusi.
3). Mengenai ketentuan biaya eksekusi.
Yang menaksir biaya eksekusi adalah pengadilan agama yang
meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar biaya eksekusi
yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan. Teknis
pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta bantuan
eksekusi, bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan surat
pengantar permohonan bantuan eksekusi dikirim.
Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil
dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang
menerima permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya
eksekusi kepada pengadilan agama yang meminta bantuan eksekusi
dengan melampirkan kebutuhan nyata yang telah dikeluarkan atau
dibutuhkan.
4). Perlawanan pihak ketiga (derden verzet).
32
Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg dan Pasal 195 ayat (6) HIR
dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden verzet) atas
pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan dan diadili oleh pengadilan
agama yang melaksanakan putusan tersebut atau pada pengadilan
agama dimana eksekusi dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan
dalam Pasal 379 Rv, perlawanan pihak ketiga harus diajukan di
pengadilan agama yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan
agama yang melaksanakan eksekusi.
Terhadap dua pendapat tersebut, biasanya praktisi hukum
mengambil jalan tengan bahwa pengajuan perlawanan pihak ketiga
(derden verzet) diajukan di pengadilan agama yang memutuskan
perkara, melalui pengadilan agama tempat eksekusi dilaksanakan. Hal
ini lebih logis, sebab pengadilan agama yang memutus perkara lehih
tahu permasalahannya, lebih lengkat dokumen-dokumen perkaranya
dan memiliki nomor perkara pokok (Abdul Manan : 224). Maksudnya
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara
dengan nomor baru, tidak memakai nomor perkara pokok/lama.
Berbeda dengan perkara verzet atas putusan verstek tidak didaftar
sebagai perkara baru, akan tetapi memakai perkara pokok atau perkara
lama (Buku II : 1).
Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut diputus
oleh pengadilan agama yang memeriksa pokok perkaranya dan dikirim
kepada pihak pelawan melalui pengadilan agama yang menjalankan
eksekusi. Penaksir biaya derden verzet adalah pengadilan agama yang
memeriksa pokok perkara dan yang membukukan dalam register
perkara juga pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara.
(Abdul Manan : 222-224).
1
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001.
Amran Suaidi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori dan Praktek, Kencana,
Jakarta,2017.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2005.
Hasbi Hasan, Menyoal Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi Nomor 73-2011.
Hensyah Syahlani, Penemuan Dan Pemecahan Hukum Dalam Peradilan Agama, Tanpa
Penerbit, Jakarta, 1998.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Direktorat
Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Edisi Revisi,
2014.
Soebekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Cetakan Ke III,
Jakarta, 1989.
Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwah Islam, Al Ikhlas, 1983.
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Pertdata, Binacipta,
Bandung, 1989.
--------, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Ke V, Jakarta, 2007.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Soedaryo Soimin, Sinar Grafika, Cetakan ke XV,
2015
Himpunan Peraturan Perundang Undangan Di Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat
Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014.
Himpunan Peraturan Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Bulan Bintang,
2002.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat
Madani, Kencana, Cetakan ke II, Jakarta, 2017.
htp : //drive.google.com, Syaiful Annas, Kewenangan Eksekusi Putusan Basyarnas, diakses
tanggal 27-10-2017.
htp : // hukumonline.com., diakses atanggal 27-10-2017.
htp : //drive.google.com, dibaca 27-10-2017.
htp : www.google.co.id., Maria Amanda, diakses tanggal 7-11-2017.
htp : eprint.undip.ac.it.,dikses 8-11-2017.