kata pengantar eksekusi.pdf · diselenggarakan di pengadilan agama sanggau, dengan maksud : ... apa...

34
Kata Pengantar Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penyusun ucapkan teriring selesainya tulisan ini yang disusun sejak mendapatkan laporan hasil rapat pengurus IKAHI Lingkungan PTA Kalimantan Barat tanggal 30 Oktober 2017. Penyusun merasa berat untuk menyusun makalah Bab III tentang Eksekusi dan Problematiknya yang terkait dengan putusan Basyarnas, hak tanggungan dan putusan pengadilan. Eksekusi putusan Basyarnas dan eksekusi hak tanggungan merupakan dua hal baru, sedang pengetahuan penyusun terhadap keduanya baru sebatas teori dan belum pernah memperoleh pengalaman empiris dalam pelaksanaannya. Disamping itu, judul Bab III langsung membahas eksekusi dan problematiknya tanpa di antar oleh sebuah pengertian, prosedur dan segala hal yang terkait dengan putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga penyusun kesulitan dalam mencari dan merumuskan problematika yang mungkin terjadi. Dari kesulitan tersebut, timbul suatu gagasan untuk menyimpangi sedikit kerangka yang telah ditetapkan namun masih dalam koridor pembahasan problematika eksekusi dalam masalah putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga menjadi kerangka berfikir ta’rif ma’ruf sebagai berikut : 1. Pengertian Eksekusi. 2. Pengertian Problematika. 3. Putusan Pengadilan. 4. Putusan Yang Dapat Diajukan Permohonan Eksekusi. 5. Hal-hal Yang Terkait Dengan Basyarnas. 6. Hal-hal Yang Terkait Dengan Hak Tanggungan. 7. Memproyeksi Problematika Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan, Putusan Basyarnas dan Hak Tanggungan. Makalah ini diinformasikan secara terbuka dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan pelaksanaan deskusi yang membahas topik tersebut pada tahap ke III yang akan diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : a. Keterbatasan pengetahuan penyusun dalam kaitannya dengan eksekusi, baik mengenai eksekusi putusan pengadilan, putusan Basyarnas maupun hak tanggungan perlu ditutup dengan masukan pendapat dan pemikiran dari anggota IKAHI Lingkungan khusunya dan Keluarga Besar PTA Kalimantan Barat pada umumnya. b. Mengharap sumbangan pikiran sebagai masukan untuk penyempurnaan makalah ini yang dikemas dengan sikap kritis terhadap paparan yang ada, disampaikan berdasarkan pola pikir logis yuridis dan disajikan secara sistimatis sehingga mudah difahami oleh siapapun yang membacanya. Kedua hal tersebut diatas sangat penyusun perlukan, untuk lebih memudahkan penyusun dalam mengkolaborasikan apa yang telah ada di dalam makalah ini dengan saran maupun pendapat yang pembaca sampaikan dan apalagi konon hasil deskusi berkelanjutan ini akan disusun menjadi sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman bagi aparat peradilan agama di Kalimantan Barat. Sekian, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekuarangannya. Pontianak, 14 Desember 2017 Penyusun, Ali Masykuri Haidar

Upload: votram

Post on 01-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penyusun ucapkan teriring selesainya tulisan

ini yang disusun sejak mendapatkan laporan hasil rapat pengurus IKAHI Lingkungan PTA

Kalimantan Barat tanggal 30 Oktober 2017. Penyusun merasa berat untuk menyusun makalah

Bab III tentang Eksekusi dan Problematiknya yang terkait dengan putusan Basyarnas, hak

tanggungan dan putusan pengadilan. Eksekusi putusan Basyarnas dan eksekusi hak tanggungan

merupakan dua hal baru, sedang pengetahuan penyusun terhadap keduanya baru sebatas teori

dan belum pernah memperoleh pengalaman empiris dalam pelaksanaannya.

Disamping itu, judul Bab III langsung membahas eksekusi dan problematiknya tanpa di

antar oleh sebuah pengertian, prosedur dan segala hal yang terkait dengan putusan pengadilan,

putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga penyusun kesulitan dalam mencari dan

merumuskan problematika yang mungkin terjadi. Dari kesulitan tersebut, timbul suatu gagasan

untuk menyimpangi sedikit kerangka yang telah ditetapkan namun masih dalam koridor

pembahasan problematika eksekusi dalam masalah putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan

hak tanggungan, sehingga menjadi kerangka berfikir ta’rif ma’ruf sebagai berikut :

1. Pengertian Eksekusi.

2. Pengertian Problematika.

3. Putusan Pengadilan.

4. Putusan Yang Dapat Diajukan Permohonan Eksekusi.

5. Hal-hal Yang Terkait Dengan Basyarnas.

6. Hal-hal Yang Terkait Dengan Hak Tanggungan.

7. Memproyeksi Problematika Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan

Pengadilan, Putusan Basyarnas dan Hak Tanggungan.

Makalah ini diinformasikan secara terbuka dalam rentang waktu yang cukup panjang

dengan pelaksanaan deskusi yang membahas topik tersebut pada tahap ke III yang akan

diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud :

a. Keterbatasan pengetahuan penyusun dalam kaitannya dengan eksekusi, baik mengenai

eksekusi putusan pengadilan, putusan Basyarnas maupun hak tanggungan perlu ditutup

dengan masukan pendapat dan pemikiran dari anggota IKAHI Lingkungan khusunya dan

Keluarga Besar PTA Kalimantan Barat pada umumnya.

b. Mengharap sumbangan pikiran sebagai masukan untuk penyempurnaan makalah ini yang

dikemas dengan sikap kritis terhadap paparan yang ada, disampaikan berdasarkan pola

pikir logis yuridis dan disajikan secara sistimatis sehingga mudah difahami oleh siapapun

yang membacanya.

Kedua hal tersebut diatas sangat penyusun perlukan, untuk lebih memudahkan penyusun

dalam mengkolaborasikan apa yang telah ada di dalam makalah ini dengan saran maupun

pendapat yang pembaca sampaikan dan apalagi konon hasil deskusi berkelanjutan ini akan

disusun menjadi sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman bagi aparat peradilan agama di

Kalimantan Barat.

Sekian, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekuarangannya.

Pontianak, 14 Desember 2017

Penyusun,

Ali Masykuri Haidar

Page 2: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

1

BAB III

EKSEKUSI DAN PROBLEMATIKANYA

A. Putusan yang dapat diajukan permohonan eksekusi.

1. Pengertian Eksekusi.

Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo yang

dikutip oleh Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP, M.Hum dalam bukunya berjudul

Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al

Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001, halaman 213 memberikan definisi bahwa

eksekusi pada hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak

yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan

tersebut (Amran Suaidi : 171).

Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan hukum

yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara

merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang

berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata (Yahya Harahap :

130).

Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo, yang

menyatakan bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat

yang dipakai oleh alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk

menjalankan putusan Hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi

bunyi putusan dalam waktu yang ditentukan (Soepomo :119).

Dari berbagai definisi dari ketiga pakar dan pakar-pakar hukum acara

perdata yang lain dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah tindakan pengadilan

kepada pihak yang kalah atas permohonan pihak yang menang dalam berperkara

agar menjalankan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap menurut tata

cara yang telah ditentukan oleh hukum acara perdata.

2. Pengertian Problematika.

Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris problematic yang

artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema

berarti hal yang belum dapat dipecahkan, yang menimbulkan permasalahan.

( KBBI : 276).

Sedangkan ahli lain menyatakan bahwa definisi problematika adalah

kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan

atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu

(Syukir : 65).

Prajudi Atmosudirjo mengatakan bahwa masalah adalah sesuatu yang

menyimpang dari apa yang diharapkan, direncanakan, ditentukan untuk dicapai,

sehingga merupakan rintangan menuju tercapainya tujuan (Syukir : 65).

Berangkat dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa

problematika eksekusi adalah peristiwa yang menyebabkan pelaksanaan eksekusi

berjalan tidak sesuai dengan apa yang direncakanan sehingga berakibat hasil akhir

tidak seperti yang diharapkan, oleh karena timbulnya sebab-sebab yang diluar

perkiraan atau yang telah diprediksi sebelumnya, baik yang dapat diketemukan

solusinya maupun yang tidak diperoleh pemecahannya.

Page 3: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

2

3. Eksekusi Putusan Pengadilan.

Eksekusi terhadap putusan pengadilan adalah hal menjalankan putusan

pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang

dieksekusi adalah putusan pengadilan yang mengandung amar perintah kepada

salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan

yang memerintah pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau

melaksanakan secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan

untuk melaksanakannya.

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang

mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan eksekutorial

pada putusan pengadilan adalah terletak pada putusan yang memuat irah-irah yang

berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan untuk

pengadilan agama didahului lafadh “Bismillahirrahmanirrahim”. Disamping itu,

amar putusan harus bersifat kondemnator, yaitu putusan yang menyatakan suatu

penghukuman untuk melakukan sesuatu, dengan menetapkan suatu keadaan hukum

dan menetapkan suatu penghukuman, misalnya penghukuman untuk membayar

sejumlah uang tertentu atau penghukuman untuk menyerahkan sesuatu benda

tertentu.

4. Asas-Asas Putusan Yang Dapat Dieksekusi.

4.1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap :

Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap

dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum

antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, yaitu hubungan hukum itu

mesti ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat), baik

secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum (Yahya

Harahap : 6).

Dari uraian tersebut dapat difahami, bahwa selama putusan belum

mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum

berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan

memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang

tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi

putusan secara suka rela (Amran Suaidi : 171-172).

Ada pengecualian terhadap asas ini :

a. Pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Menurut Pasal

180 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) R.Bg, eksekusi dapat dijalankan

pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang

bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Amran Suaidi

: 172).

Drs. H.Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum dalam bukunya yang berjudul

Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 88

mengingatkan kepada Hakim dalam melaksanakan putusan lebih dahulu

(uitvoerbaar bij voorraad) agar sangat berhati-hati mengingat beberapa

rambu-rambu yang telah digariskan oleh Mahkamah Agung, yaitu :

Page 4: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

3

- SEMA-RI Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli 1964, yang intinya

menginstruksikan kepada Hakim agar sedapat mungkin tidak

meluluskan permohonan putusan uitvoerbaar bij voorraad. Hakim

sebelum meluluskan permintaan putusan uitvoerbaar bij voorraad

harus betul-betul mempertimbangkan dari berbagai segi supaya

putusan yang dijatuhkan itu tidak mempunyai kesulitan di kemudian

hari.

- SEMA-RI Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 2 Juni 1968, yang

menegaskan bahwa ada putusan uitvoerbaar bij voorraad diajukan

permohonan banding, kemudian di lain pihak diajukan permohonan

untuk pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung RI menyerahkan

kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa,

mempertimbangkan dan memutuskan dapat atau tidaknya permintaan

tersebut dikabulkan.

- SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 17 Mei 1971, disamping

mencabut kedua SEMA diatas, menegaskan bahwa agar para Hakim

supaya berhati-hati menggunakan lembaga uitvoerbaar bij voorraad,

karena apabila dalam tingkat banding atau kasasi putusan pengadilan

dibatalkan, maka akan timbul kesulitan di kemudian hari dan sulit

untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan banyak pihak akan

menderita rugi.

- SEMA-RI Nomor 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, yang

mengetengahkan pendapat Mahkamah Agung bahwa oleh karena Pasal

180 ayat (10) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg hanya memberikan

kewenangan diskretioner kepada para Hakim yang tidak bersifat

imperatif, maka Hakim tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij

voorraad meskipun syarat-syarat yang dikemukakan dalam Pasal 180

ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi, lebih-lebih

apabila ada sita jaminan yang cukup..

- SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1978 tanggal 1 April 1978, menegaskan

kembali kepada Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri seluruh

Indonesia agar tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad

walaupun syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 180 ayat

(1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi secara

keseluruhan.

4.2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela (Amran Suaidi : 173).

Pada prinsipnya ada dua cara menjalankan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap, yaitu :

a. Menjalankan putusan secara sukarela. Pihak yang kalah (tergugat)

memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Apabila

tergugat sudah memenuhi isi putusan dengan sukarela dan sempurna,

berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan, maka tidak diperlukan lagi

tindakan paksa kepadanya (eksekusi).

Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara suka rela,

hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara

suka rela dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang dilaksanakan di

tempat putusan tersebut dipenuhi dan ditanda tangani oleh jurusita

pengadilan, dua orang saksi dan penggugat maupun tergugat.

Page 5: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

4

Penerbitan berita acara ini bertujuan :

- Agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh

Hakim.

- Dasar pengisian register perkara bahwa perkara yang bersangkutan

telah benar-benar selesai dengan sempurna.

b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi.

Menjalan putusan dengan jalan eksekusi baru terjadi apabila :

1). Pihak yang kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara

sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut

eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat

menjalankan isi putusan pengadilan.

2). Adanya permohonan oleh pihak yang menang (penggugat) kepada

pengadilan agar isi putusan dipenuhi oleh pihak yang kalah

(tergugat).

Tidak ada istilah batas waktu (kedaluwarsa) bagi pihak yang

menang (penggugat) dalam mengajukan permohonan eksekusi, kerena

tidak ada aturan yang menentukan kapan pihak yang menang

(penggugat) harus mengajukan permohonan eksekusi. Hal ini berangkat

dari prinsip bahwa pengajuan permohonan eksekusi merupakan hak

penuh bagi pihak yang menang (penggugat) meskipun akan berakibat

pada tingkat penyelesaian perkara dan administrasi yustisial tidak

selesai secara tuntas dan sempurna.

4.3. Putusan bersifat kondemnatoir.

Maksud putusan bersifat kondemnatoir adalah putusan yang amar atau

diktumnya mengandung unsur “penghukuman”, sedang putusan yang amar atau

diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau

non eksekutabel (Amaran : 173).

Seringkali terjadi, dalam perkara gugat waris, baik disengaja atas

kehendak pihak-pihak berperkara, atau kelalaian serta kurangnya pengetahuan

pihak penggugat dalam surat guagatannya tidak mencantumkan petitum yang

memohon penghukuman agar tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek

sengketa kepada tergugat. Sehingga dengan petitum yang tidak mencantumkan

penghukuman kepada pihak tergugat, akan lahir putusan hakim bersifat

deklarator.

Keadaan seperti hal tersebut dapat dipecahkan dengan jalan mengajukan

perkara gugatan dan didaftarkan sebagai perkara baru di pengadilan agama

yang sama dengan sengketa pokok permohonan agar tergugat dihukum untuk

menyerahkan obyek sengketa yang telah ditetapkan hukum sebagai harta

warisan. Dasar diajukannya gugatan tersebut adalah adanya putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap yang telah menetapkan kedudukan para pihak

sebagai ahli waris, obyek sengketa sebagai harta waris dan besarnya bagian

masing-masing sebagai ahli waris.

Dengan sendirinya, hal-hal yang hukumnya telah ditetapkan dalam

putusan yang lalu, tidak perlu lagi diperdebatkan atau dipermasalahkan atau

dibuktikan lagi dalam persidangan perkara tersebut. Dalam hal ini pengadilan

agama hanyalah akan memeriksa yang berkekanaan dengan petitum tunggal

penggugat, mengenai penghukuman terhadap tergugat untuk menyerahkan

obyek sengketa kepada penggugat sebagian atau seluruhnya.

Page 6: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

5

Akan tetapi dalam segi yang lain, terjadinya amar dalam sengketa waris

tersebut bersifat deklaratoir adalah memang disengaja oleh majelis hakim

pengadilan agama tersebut, yaitu karena menurut pertimbangan majelis hakim,

yang dapat dibuktikan hanyalah kedudukan para pihak saja sebagai ahli waris,

sedang terhadap obyek sengketa, mungkin tidak dapat dibuktikan sebagai harta

waris. Dengan sendirinya, untuk kasus seperti ini tidak mungkim dapat

diajukan gugat baru yang semata-mata meminta penghukuman untuk

menyerahkan obyek sengketa sebagai harta waris (Hensyah Syahlani : 16-18).

4.4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)

R.Bg dengan surat penetapan dari Ketua Pengadilan Agama, tidak

diperkenankan perintah secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk

ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta

pertanggungjawabannya. Dengan adanya surat penetapan tersebut, akan tampak

jelas dan terperinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh Panitera

atau Jurusita. Disamping itu, Ketua Pengadilan Agama akan mudah melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan eksekusi tersebut (Amran Suaidi : 174).

5. Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan.

Ada beberapa perkara yang dapat dipridiksi dalam pelaksanaan putusannya akan

mengalami kendala atau permasalahan, antara lain :

a. Eksekusi putusan hadhonah.

Dalam melaksanakan putusan hadhanah, kemungkinan ada perlawanan dari

pihak terseksekusi atau kuasanya, bahwa eksekusi terhadap hadhanah tidak ada

aturannya dalam HIR dan Rbg atau peraturan perundang-undangan lain yang

berlaku khusus di lingkungan peradilan agama. Belum adanya hukum yang

mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa

putusan hadhanah itu tidak bisa dijalankan, melainkan harus dapat dilaksanakan

berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum.

Berangkat dari asumsi bahwa belum adanya aturan khusus yang mengatur

mengenai eksekusi hadhanah di lingkungan peradilan agama, menimbulkan dua

pendapat bagi para pakar hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa anak

tidak dapat dieksekusi dengan alasan karena selama ini yusrisprudensi yang ada

tentang eksekusi, semuanya hanya dalam bidang hukum benda. Kelompok

kedua yang dipelopori Abdul Manan tahun 2005 mengatakan putusan hadhanah

dapat dilaksanakan dengan argumentasi bahwa masalah hadhanah yang

putusannya bersifat kondemnator, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka

putusan tersebut dapat dieksekusi dan pengadilan agama memiliki wewenang

untuk menempuh upaya paksa dalam melaksanakan putusan tersebut.

Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam praktek peradilan agama dikenal dua

macam eksekusi, yaitu :

1). Eksekusi riil sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal

218 ayat (2) RBg dan Pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,

pengosongan, pembongkaran, pembagian dan melakukan sesuatu.

2). Eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagaimana tersebut dalam Pasal

200 HIR dan 215 RBg. Eksekusi kedua ini dilakukan dengan menjual

lelang barang-barang debitor, atau dilakukan dalam pembagian harta

Page 7: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

6

apabila pembagian in natura tidak disetujui oleh para pihak atau tidak

mungkin dilakukan pembagian in natura dalam sengketa warisan atau

harta bersama.

Sejalan dengan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan

pengadilan agama tidak hanya terbatas pada eksekusi bidang hukum perdata,

akan tetapi sudah merambah dalam eksekusi hadhanah. Nampaknya eksekusi

hak hadhanah dapat dikatagorikan pada jenis eksekusi bentuk pertama, yaitu

eksekusi riil.

Keadaan lain yang menjadi kendala dalam pelaksanaan eksekusi

putusan hadhanah, adalah keberadaan anak yang disengketakan. Pada saat

sebelum dilakukan eksekusi, pemohon eksekusi memberikan keterangan

kepada pengadilan agama bahwa yang yang akan dieksekusi berada di rumah

terseksekusi. Namun setelah panitera sampai di rumah tereksekusi, ternyata

anak yang akan dieksekusi tersebut tidak berada di tempat dan menurut

informasi tetangganya telah pergi meninggalkan tempat eksekusi yang telah

ditetapkan oleh panitera. Hal ini akan menambah kesulitan bagi pengadilan,

apabila keberadaan anak dan pihak terkesekusi tidak jelas atau ia berada di

wilayah pengadilan agama lain.

b. Adanya perlawanan terhadap eksekusi.

Sebelum membicarakan perlawanan pihak ketiga, ada baiknya apabila

diterangkan terlebih dahulu perbedaan antara gugatan dan perlawanan. Gugatan

diajukan terhadap hak-hak yang dilanggar atau belum terpenuhi, namun belum

ada putusan pengadilan yang memutus sengketa tersebut. Artinya dalam

perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh

pengadilan.

Sedangkan derden verzet adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak

lawan berperkara sendiri (party verzet) atau perlawanan yang diajukan oleh

pihak ketiga (derden verzet). Memang pada dasarnya putusan pengadilan

hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak

ketiga. Namun tidak menutup kemungkinan ada pihak ketiga yang merasa

dirugikan oleh putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang

merasa dirugikan dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang

memutus perkara tersebut (www.hukumline.com, 7-12-2017).

Pada dasarnya derden verzet hanya ditujukan terhadap eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi prinsip ini

dikembangakan dan dilembagakan penerapannya melalui gugatan pihak ketiga

terhadap suatu proses yang masih berlangsung. Dengan demikian, meskipun

putusan belum berkekuatan hukum tetap dimungkinkan mengajukan derden

verzet sejak proses di pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi.

Adapun yang menjadi faktor keabsahan formal pengajuan perlawanan

eksekusi adalah diajukan sebelum putusan yang dilawan belum selesai

dieksekusi. Jika sudah selesai dieksekusi, upaya perlawanan dianggap

melanggar tata tertib hukum acara perdata yang berlaku. Akibatnya perlawanan

dinyatakan tidak dapat diterima dan tuntutan penundaan berubah menjadi

tuntutan pembatalan eksekusi melalui gugatan biasa (www.hukumline.com, 7-

12-2017).

Page 8: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

7

Hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas mengenai penundaan

eksekusi, akan tetapi untuk mencegah timbulnya kekosongan hukum, maka

hakim dapat menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Indonesia memang

tidak menganut asas preseden yang mewajibkan untuk mengikuti putusan

hakim yang terdahulu, tetapi putusan hakim tersebut dapat dijadikan sumber

hukum apabila belum ada pengaturan oleh undang-undang.

Pada prinsipnya pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan eksekusi

suatu putusan berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR dan Pasal 206 ayat

(6) RBg. Sedangkan satu-satunya syarat pihak lain (pihak ketiga) diterima

untuk mengajukan perlawanan tersebut adalah bahwa barang yang dieksekusi

adalah miliknya.

Pasal 207 HIR dan Pasal 227 RBg menegaskan bahwa adanya

perlawanan pihak ketiga tidak menunda eksekusi kecuali Ketua Pengadilan

Agama memberi perintah agar eksksekusi ditunda sampai dijatuhkannya

putusan pengadilan terhadap perlawanan tersebut.

Rakornas Uldilag dengan badan peradilan agama tangal 27 sampai

dengan 29 Januari 2016 memutuskan bahwa putusan yang masih ada upaya

hukum peninjauan kembali hendaknya eksekusinya ditangguhkan walaupun

peninjauan kembali tidak menghalangai eksekusi.

Adapun syarat-syarat pengajuan derden verzet adalah :

a. Diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Jika derden verzet diajukan

setelah eksekusi dilaksanakan maka satu-satunya cara adalah

mengajukan gugatan baru.

b. Perlawanan diajukan atas alasan hak milik (Pasal 195 ayat (6) HIR atau

Pasal 2016 ayat (6) RBg).

c. Barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan atau

barang yang akan dieksekusi dalam jaminan pihak ketiga. Karena asas

eksekusi adalah melarang eksekusi terhadap barang yang telah

dijamnikan kepada pihak ketiga (Yahya Harahap : 290).

Sikap pengadilan agama terhadap derden verzet :

1. Jika dalam perkara derden verzet, pelawan dinyatakan sebagai pelawan

yang benar, perlawanan dikabulkan serta perkara yang dimohonkan

eksekusi dibatalkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara

derden verzet berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan

sebagai pihak yang menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan

harus segera diangkat.

2. Jika dalam perkara derden verzet pelawan tidak dapat membuktikan

perlawanannya dan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan

perlawanan ditolak serta mempertahankan putusan yang dimohonkan

eksekusi, maka eksekusi tetap dilaksanakan tanpa menunggu upaya

hukum pelawan (Yahya Harahap : 293).

Perlawanan eksekusi yang dilakukan oleh pihak tereksekusi sama seperti

perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pada dasarnya tidak

menangguhkan eksekusi, kecuali jika Ketua Pengadilan Agama memerintahkan

agar eksekusi tersebut ditunda dengan penetapan.

Biasanya pengajuan perlawanan eksekusi oleh tereksekusi segera setelah

permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi. Pendaftaran

perlawanan oleh terseksekusi harus diabaikan dan tidak perlu didaftar sebagai

Page 9: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

8

perkara, sebab jika hal ini didaftar sebagai perkara penyelesaiannya akan

menjadi rumit. Perlu dimaklumi bahwa proses perkara telah berjalan begitu

panjang sehingga telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Sehingga kita dapat menilai terseksekusi yang tetap mengajukan perlawanan

itu, merupakan sikap yang tidak taat pada hukum. Surat perlawanan tersebut

cukup dijawab dengan surat biasa (bukan penetapan) yang inti surat tersebut

adalah adalah menyatakan bahwa perkara telah selesai, saat ini tinggal

pelaksanaan putusan (eksekusi) dan selanjutnya tidak perlu menangguhkan

eksekusi.

Apabila perlawanan diajukan sebelum adanya penetapan eksekusi

sebaiknya eksekusi ditangguhkan sementara dalam status quo sambil menunggu

perlawanan pelawan tersebut mendapat putusan. Jika perlawanan pelawan

dikabulkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet

berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang

menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan harus segera diangkat. Begitu

pula sebaiknya apabila perlawanan ditolak, maka Ketua Pengadilan Agama

dengan surat penetapan memerintahkan eksekusi dilanjutkan.

c. Amar putusan tidak jelas.

Apabila amar putusan tidak jelas, maka Ketua Pengadilan Agama harus

melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1). Meneliti pertimbangan hukum putusan, sebab amar dan pertimbangan

hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

2). Jika pertimbangan hukumnya tidak jelas maka bertanya kepada ketua

majelis hakim yang menyidangkan.

3). Apabila usaha-usaha tersebut belum juga memberikan kejelasan, maka

Ketua Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan non

eksekutabel (tidak dapat dieksekusi).

d. Pengerahan masa atau campur tangan pihak lain.

Pengerahan masa yang dimobilisasi oleh termohon eksekusi atau campur

tangan pihak ketiga dengan tujuan agar pelaksanaan eksekusi terhambat atau

bahkan menjadi gagal, merupakan salah satu kendala yang sering dialami dalam

pelaksanaan eksekusi. Untuk keselamatan petugas pengadilan, kondisi yang

demikian itu dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi sampai dengan

waktu tepat.

e. Obyek sengketa berada di wilayah pengadilan agama lain.

1). Pendelegasian eksekusi.

Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi berada di

luar wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya.

Dalam keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195

HIR dan Pasal 206 RBg, yang menggariskan langkah-langkah sebagai

berikut :

a). Membuat surat penetapan.

Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh

pemohon eksekusi, maka Ketua Pengadilan Agama membuat surat

penetapan yang isinya memerintahkan kepada Panitera atau

Jurusita Pengadilan Agama yang memutus perkara melalui

Page 10: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

9

Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama tempat obyek yang akan

dieksekusi.

Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala

hal yang dieksekusi secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap

harus jelas ukurannya, luas dan batas-batasnya. Jika berupa barang

bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang

diperlukan.

Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi

dikirim kepada Ketua Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi

berada dengan surat pengantar Ketua Pengadilan Agama atau

Panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama.

b). Berita acara eksekusi.

Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi

segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi

pengadilan agama yang meminta pelaksanaan eksekusi.

Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi tidak

dibenarkan menilai isi penetapan eksekusi yang dikirim oleh

pengadilan agama yang meminta eksekusi.

Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Panitera atau

Jurusita Pengadilan Agama yang menerima permintaan eksekusi

yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian Ketua

Pengadilan Agama tersebut segera mengirimkannya kepada

Ketua Pengadilan Agama yang meminta pelaksanaan eksekusi.

c). Mengenai ketentuan biaya eksekusi.

Yang menaksir biaya eksekusi adalah pengadilan agama

yang meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar biaya

eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan.

Teknis pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta

bantuan eksekusi, bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan

surat pengantar permohonan bantuan eksekusi dikirim.

Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil

dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang

menerima permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya

eksekusi kepada pengadilan agama yang meminta bantuan

eksekusi dengan melampirkan kebutuhan nyata yang telah

dikeluarkan atau dibutuhkan.

d). Perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg dan Pasal 195 ayat (6)

HIR dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden verzet)

atas pelaksanaan putusan hakim diajukan dan diadili oleh

pengadilan agama yang melaksanakan putusan tersebut atau

diajukan dan diadili oleh pengadilan agama dimana eksekusi

dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan dalam Pasal 379 Rv,

perlawanan pihak ketiga harus diajukan di pengadilan agama

yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan agama yang

melaksanakan eksekusi.

Terhadap dua pendapat tersebut, biasanya praktisi hukum mengambil

jalan tengah bahwa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang demikian

Page 11: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

10

itu, diadili di pengadilan agama yang memutuskan perkara, sedangkan

pendaftarannya melalui pengadilan agama tempat eksekusi dilaksanakan.

Hal ini lebih logis, sebab pengadilan agama yang memutus perkara lebih

tahu permasalahannya, lebih lengkap dokumen-dokumen perkaranya dan

memiliki nomor perkara pokok (Abdul Manan : 224). Maksudnya

perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara dengan

nomor baru, tidak memakai nomor perkara pokok/lama. Berbeda dengan

perkara verzet atas putusan verstek tidak didaftar sebagai perkara baru, akan

tetapi memakai perkara pokok atau perkara lama (Buku II : 1).

Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut diputus oleh

pengadilan agama yang memeriksa pokok perkaranya dan kemudian dikirim

kepada pihak pelawan melalui pengadilan agama yang menjalankan

eksekusi. Penaksir biaya derden verzet adalah pengadilan agama yang

memeriksa pokok perkara dan yang membukukan dalam register perkara

juga pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara (Abdul Manan : 222-

224).

6. Putusan Basyarnas.

Sejak berlakunya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka model Alternative Despute Resolotian

(ADR) sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dilembagakan dalam

sistem hukum Indonesia.

Nonlitigasi merupakan penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan yang

bertujuan memberikan bantuan dan nasihat hukum dalam rangka mengantisipasi dan

mengurangi adanya sengketa, pertentangan dan perbedaan serta mengantisipasi

adanya masalah-masalah hukum yang timbul. Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan merupakan upaya tawar-menawar atau kompromi untuk memperoleh

jalan keluar yang saling menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral tidak

untuk memutus sengketa, melainkan para pihak sendiri yang mengambil keputusan

akhir (Amran Suaidi : 174).

Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan

wasit, sedangkan orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa

untuk memberikan keputusan yang akan ditaati kedua belah pihak disebut arbiter

(Amran Suaidi : 80).

Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, obyek penyelesaian dengan arbitrase

hanyalah sengketa di bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum

dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.

Adapun kegiatan di bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan,

perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Dalam

Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-

sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian

sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d

1854 (Amran Suaidi : 80).

Page 12: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

11

Lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa ekonomi

syari’ah adalah Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas). Menurut penjelasan

Pasal 10 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 bahwa lembaga

arbitrase yang akan dipergunakan untuk mengatasi sengketa bank syari’ah adalah

Basyarnas yang berdomisili paling dekat dengan kantor bank yang bersangkutan atau

yang ditunjuk sesuai kesepakatan antara bank dan nasabah. Adapun tempat kantor

Basyarnas menurut Pasal 4 ayat (4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Bamui tanggal 27 Oktober 1993 adalah berada di setiap provinsi, sedangkan Kantor

Pusat Basyarnas terletak di Jakarta.

Menurut Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur bahwa perjanjian arbitrase

adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian

tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian

arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (Amran

Suaidi : 82).

Adapun menurut Pasal 7 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999

menentukan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau

akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan

ketentuan tersebut, maka perjanjian arbitrasi muncul karena adanya klausul

kesepakatan yang terdiri dari dua bentuk :

a. Pactum de compromittendo, yaitu klausul arbitrase sebelum timbul sengketa.

b. Acta compromitendo, yaitu klausul arbitrase setelah timbulnya sengketa.

Berkenaan dengan kewenangan arbritase tersebut, terdapat perbedaan

pendapat dalam menyikapi Pactum de compromitendo, sebagai berikut :

1. Tetap dapat diselesaikan di pengadilan, dengan alasan :

a. Suatu klausul arbitrase berkaitan dengan niet van openbaar orde (bukan

ketertiban umum).

b. Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat

diajukan ke pengadilan perdata.

c. Pengadilan tetap berwenang, sepanjang pihak lawan tidak mengajukan

eksepsi; dan

d. Dengan tidak mengajukan eksepsi, pihak lawan dianggap melepaskan haknya

atas klausul arbitrase.

2. Harus diselesaikan di arbitrase sesuai kesepakatan, alasannya adalah asas pacta

sunt servanda secara positif terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa :

a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak.

b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; dan

c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak.

Dilihat dari bentuknya, lembaga arbitrase di Indonesia terdiri dari dua

bentuk :

1). Arbitrase institusional, yaitu bersifat permanen atau melembaga, sehingga

disebut pula sebagai permanent arbital body. Terdapat dua jenis arbitrase

semacam ini di Indonesia, yaitu :

a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar

Dagang dan Industri (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977; dan

b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh

Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 dan kemudian

Page 13: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

12

pada tahun 2002 diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah

Nasional (Basyarnas).

2). Arbitrase at hoc, disebut juga sebagai arbitrase volunter yaitu badan arbitrase

yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer

saja, karena dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan

perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu. Ketentuan dalam

Reglement Rechtvodering (Rv) dalam Pasal 615 ayat (1) menjelaskan bahwa

arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan

sengketa tertentu atau dengan kata lain bersifat insidentil.

Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur arbitrase ad hoc

yang menjelaskan bahwa dalam arbitrase ad hoc bagi setiap ketidak sepakatan

dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk menunjuk seorang

arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Adapun

untuk mengetahui jenis arbitrase mana yang dipilih oleh para pihak dapat

melihat rumusan klausul pactum de compromittendo (Amran Suaidi : 83).

Adapun ciri pokok arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut :

1. Penunjukan arbiternya secara perorangan;

2. Salah satu diantara arbiternya tetap ada yang netral yang tidak ditunjuk

oleh oleh para pihak;

3. Tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase; dan

4. Bersifat insidentil.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun

1999 menjelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga

arbitrase hanya sengketa di bidang perdata (muamalah) dan menurut hukum

dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan beberapa ketentuan

sebagai berikut:

a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan,

industri, keuangan, jasa dan lain-lain, dimana para pihak sepakat

secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiaannya kepada

Basyarnas.

b. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu

sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas

permintaan para pihak (Amran Suaidi : 84).

Terkait Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga alternatif

penyelesaian sengketa di lembaga keuangan syariah mempunyai tujuan :

1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-

sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan,

industri, keuangan, jasa dan lain-lain; dan

2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu

perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu

pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan

perjanjian tersebut.

Untuk menyelesaikan perkara atau perselisihan secara damai dalam

keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga

dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator).

Page 14: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

13

Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu

sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.

Sebelum memasuki pembahasan tentang eksekusi dan pembatalan

putusan Basyarnas, sangat bermanfaat apabila diketahui perjalanan dan

perjuangan panjang sehingga kedua hal tersebut menjadi kewenangan

peradilan agama.

Perkara yang masuk ke dalam Basyarnas adalah sengketa perbankan

syariah antara nasabah dan bank syariah terkait akad mudharabah dan

murabahah dengan sistim profit and loss sharing. Bahkan sejak tahun 1993

sampai dengan 2006 Basyarnas baru menangani dan menyelesaikan 14 (empat

belas) perkara (Hasbi Hasan : 167).

Perkara yang ditangani oleh Basyarnas adalah perkara sengketa

ekonomi syariah dan proses penyelesaiannya berdasar prinsip syariah, yang

putusannya bersifat final dan mengikat. Akan tetapi oleh karena Basyarnas

bukan merupakan lembaga yudikatif, sehingga tidak bisa melaksanakan

eksekusi putusannya. Oleh karena itu, diperlukan bantuan lembaga litigasi

yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk itu. Namun peradilan

mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas masih

dualisme.

Atas alasan tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran

Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas yang memberikan

kewenangan mengeksekusi dan membatalkan putusan Basyarnas adalah

lembaga dalam lingkup peradilan agama.

Terkait kewenangan absolut peradilan agama terhadap perkara

ekonomi syariah berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung tersebut,

sayangnya masih terdapat perundang-undangan yang muncul dan kemudian

menimbulkan ketidak pastian hukum dalam isi pasalnya. Perundang-undangan

tersebut adalah Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang dalam Pasal 59 ayat (3) menerangkan bahwa dalam hal para

pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah)

secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka secara tidak langsung

mengandung makna hukum bahwa pengadilan agama tidak berwenang

terhadap penyelesaian eksekusi putusan Basyarnas.

Keberadaan Pasal 59 ayat (3) tersebut telah dianggap sebagai

problem kewenangan, oleh karena itu Dr. Drs Dadang Muttaqin, M.Hum

sempat mengajukan peninjauan kembali (judicial reviw) pasal tersebut pada

tanggal 18 Februari 2010 bersamaan dengan uji materiil Pasal 55 ayat (2)

Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 beserta penjelasannya. Akan tetapi

dicabut oleh yang bersangkutan pada tanggal 10 Maret 2010 dengan alasan

mengingat Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut masih sangat baru

dan belum operasional serta belum tersosialisasi secara luas di tengah

masyarakat.

Sayangnya, dua bulan kemudian justru Pasal 59 ayat (3) Undang

Undang Nomor 48 Tahun 2009 bergayung sambut dan dijadikan dasar

dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 yang

membatalkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008, yang isi

Page 15: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

14

pokoknya menyatakan bahwa eksekusi putusan Basyarnas adalah kewenangan

pengadilan negeri. Mahkamah Agung mendasarkan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 8 Tahun 2010 pada Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor

48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak

melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela,

maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri

atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Akar permasalahannya adalah bukan terletak pada Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010, akan tetapi justru terletak pada dasar

hukum yang dipergunakan dalam pengeluaran surat edaran tersebut, yakni

Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009. Oleh karena itu,

selama pasal tersebut masih eksis, maka ketentuan pelaksanaan eksekusi

maupun pembatalan putusan Basyarnas akan difahami menjadi kewenangan

pengadilan negeri. Sehingga hal tersebut akan menghilangkan kewenangan

absolut pengadilan agama yang telah diberikan berdasarkan Pasal 49 huru (i)

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006. Hal ini menggambarkan adanya tarik

menarik kewenangan antar dua lembaga peradilan di bawah Mahkamah

Agung. Selain itu, adanya ketentuan tersebut, merupakan pereduksian

kewenangan bagi pengadilan agama, sehingga mendorong terbentuknya opini

negatif kepada publik bahwa untuk menangani perkara ekonomi syariah,

pengadilan agama belum siap dan belum mampu.

Dengan fakta tersebut menunjukkan ketidak jelasan rumusan

perundang-undangan sehingga menimbulkan banyak interpretasi dalam

pelaksanaannya, karena seharusnya kewenangan merupakan suatu hal yang

jelas dan pasti. Hal ini juga menunjukan bahwa pembentuk undang-undang

(legislator) tidak konsisten dalam membentuk undang-undang yang terkait

dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, karena di satu sisi

memberikan kewenangan secara absolut kepada pengadilan agama yang

terdapat pada aturan pokok bukan pada penjelasan, yaitu Pasal 49 huruf (i)

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, akan tetapi di sisi yang lain

memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri dengan munculnya Pasal

59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Padahal kedua lembaga peradilan (litigation) tersebut mempunyai

kompetensi dengan batasan masing-masing serta penggunaan prinsip yang

berbeda. Pada gilirannya perbedaan tersebut akan menimbulkan permasalahan

hukum berupa kerancuan bahkan ketidak pastian hukum, baik bagi penegak

hukum sendiri maupun masyarakat pencari keadilan.

Pada tahun 2012 lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 atas peninjauan kembali terhadap

penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut mempertegas kewenangan pengadilan agama

sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menangani sengketa

bank syariah.

Pembahasan eksekusi putusan arbitrase (Basyarnas) belum terbahas

secara tuntas, bahkan Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun

2009 masih eksis sampai sekarang, sedangkan perkara yang ditangani di

Basyarnas tidak hanya perbankan syariah, melainkan mencakup semua

Page 16: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

15

wilayah sengketa perkara ekonomi syariah dengan keberadaan Pasal 59 ayat

(3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, maka memberikan

pengaruh terhadap pengadilan agama.

Kini Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang

Tatacara Penyelesaian Ekonomi Syariah yang dalam Pasal 13 ayat (2) dan

ayat (3) telah menguatkan kedudukan dan kewenangan pengadilan agama

untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Adapun bunyi kedua ayat

tersebut adalah :

1. Ayat (2) : “Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan

pembatalannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama.”

2. Ayat (3) : “Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) mengacu pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”

(Saiful Annas : http://drive.google.com.)

Mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, selain ADR

dan arbitrase (lembaga Basyarnas) dapat pula melalui jalur pengadilan agama

(litigasi), yaitu melalui lembaga peradilan agama sebagaimana dijelaskan

dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

Selanjutnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku pada Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), maka ketentuan dan prosedur

penyelesaian sengketa yang masuk ke Basyarnas, sebagai berikut :

a. Permohonan pendaftaran kepada sekretaris Basyarnas dalam register

yang melampirkan kesepakatan penyelesaian sengketa di Basyarnas

oleh para pihak;

b. Apabila kesepakatan tersebut tidak menunjuk Basyarnas, maka

permohonan itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard). Jika menunjuk Basyarnas, maka ditetapkan atau ditunjuk

arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa sesuai dengan

berat ringannya masalah; dan

c. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan surat

permohonan dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari selambat-

lambatnya pihak lawan harus menyampaikan jawaban atau

tanggapan;

d. Setelah diterima jawaban, maka dalam waktu selambat-lambatnya 14

(empat belas) hari arbiter memerintahkan para pihak menghadap di

muka sidang, baik diwakili kuasa hukum atau tidak;

e. Pada prinsipnya pemeriksaan secara langsung dan tertulis di

persidangan, namun dibolehkan pemeriksaa secara lisan (oral

hearing) dengan pemeriksaan yang persis sama dengan litigasi;

f. Arbiter wajib mengupayakan perdamaian;

g. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara selambat-lambatnya adalah 6

(enam) bulan.

h. Dalam putusan arbitrase harus memuat alasan-alasan atas kepatutan

dan keadilan (ex aequo et bono); dan

Page 17: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

16

i. Sama halnya dengan peradilan negara, putusan arbiter dilakukan

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan untuk

Basyarnas dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahiim”.

Selanjutnya Pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999

menyebutkan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak batal karena hal sebagai

berikut :

a. Meninggal dunia;

b. Bangkrutnya salah satu pihak;

c. Novasi (pembaharuan utang);

d. Insolvensi salah satu pihak (keadaan tidak mampu membayar);

e. Pewarisan;

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

g. Dialihtugaskan pada pihak ketiga; dan

h. Atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Berkenaan dengan isi klausul arbitrase, adalah mengenai hal-hal

yang boleh dicantumkan dan diperjanjikan, yang dimuat dalam undang-

undang dan konvensi, sebagai berikut :

1. Tidak melampaui perjanjian pokok;

2. Isi klausul boleh secara umum;

3. Klausula arbitrase secara terperinci;

4. Klausula binding opinion (pendapat yang mengikat).

Adapun terhadap putusan arbitrase sebagaimana ketentuan Pasal 70

sampai dengan Pasal 72 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak

dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga

mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrasi di pengadilan

agama :

1. Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis ditujukan kepada

ketua pengadilan.

2. Tenggang waktu pengajuan permohonan paling lama 30 (tiga puluh)

hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase

kepada panitera pengadilan.

3. Jika pendaftaran permohonan pembatalan diterima, maka ketua

pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan.

4. Dalam hal para pihak tidak puas atas putusan pengadilan, dapat

mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus tingkat

pertama dan terakhir. Mahkamah Agung hanya diberi waktu maksimal

30 (tiga puluh) hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut.

Ketentuan terhadap putusan Basyarnas :

a. Putusan yang sudah ditanda tangani oleh arbiter bersifat final dan

mengikat.

Page 18: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

17

b. Salinan putusan yang telah ditanda tangani oleh arbiter harus diberikan

kepada para pihak.

c. Putusan tidak boleh diumumkan kecuali disepakati oleh para pihak.

Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasarkan

Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 antara lain :

1. Mengenai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dan dalam hal para

pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3).

2. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional harus

dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan :

a). Pendaftaran putusan arbitrase oleh salah satu pihak.

b). Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di di Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.

3. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua

Pengadilan Agama).

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 s/d

Pasal 64 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai berikut :

1. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara suka

rela.

2. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejang tanggal

diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase

diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera

Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama).

3. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan

penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh

Panitera Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama) dan

arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut

merupakan akta pencatatan.

4. Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan diatas berakibat putusan

arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran

dibebankan kepada para pihak.

6. Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama) sebelum

memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah

putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang

Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Adapun bunyi Pasal 4 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 :

a. Ayat (1) berbunyi : dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa

sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan

para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang

menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para

pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.

b. Ayat (2) berbunyi : persetujuan untuk menyelesaikan melalui

arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu

dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak.

c. Ayat (3) berbunyi : dalam hal disepakati penyelesaian sengketa

melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka

pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk

Page 19: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

18

sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan

penerimaan oleh para paihak.

Sedangkan bunyi Pasal 5 Undang Undang Nomor 30 Tahun

1999 :

a. Ayat (1) : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang

menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

b. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah

sengketa yang menurut peraturan perundang-undngan tidak

dapat diadakan perdamaian.

7. Apabila ternyata putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4

dan Pasal 5 tersebut, Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua

Pengadilan Agama) menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan

terhadap putusan Pengadilan Negeri (baca : Pengadilan Agama) tidak

terbuka upaya hukum apapun.

8. Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama) tidak

memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

9. Perintah Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama)

ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang

dikeluarkan.

10. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan

Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama), dilaksanakan sesuai

ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Permasalahan ketika melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas, pada

dasarnya tidak lebih dari permasalahan yang timbul ketika melaksanakan

putusan pengadilan. Begitu pula tidak jauh dengan problematika yang timbul

pada saat melakukan eksekusi hak tanggungan, oleh karena obyek yang

diseksekusi adalah sama, yakni tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah.

4. Hak Tanggungan.

4.1. Pengertian Hak Tanggungan.

Pasal 1 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau dapat disebut

Undang Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda

lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor- kreditor lain.

Menurut Pasal 1 angka 23 dan Penjelasan Pasal 8 Undang Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan menjelaskan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang

diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Page 20: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

19

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR. tanggal

28 Februari 1991 menjelaskan bahwa jaminan adalah suatu keyakinan kreditor

bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kridit sesuai yang diperjanjkan.

4.2. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena

kesalahan debitor baik karena kesengajaan atau kelalaian. Sedangkan menurut

J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitor tidak memenuhi

janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat

dipersalahkan kepadanya” (Amran Suaidi : 130).

Yahya Harahap yang pendapatnya dikutip oleh Amran Suaidi,

memberikan pengertian bahwa wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban

yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya,

sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitor untuk memberikan atau

membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh

salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian

(Amran Suaidi : 130).

Lain halnya, Subekti memberikan definisi wanprestasi adalah suatu

peristiwa atau keadaan di mana debitur tidak dapat memenuhi kewajiban

prestasi akadnya/perikatan/perjanjian dengan baik dan punya unsur salah.

Unsur salah adalah keadaan di luar kesalahannya. (Subekti : 150).

Adapun bentuk wanprestasi antara lain:

a. Debitor tidak melaksanakan prestasi sama sekali;

b. Debitor berprestasi tapi tidak tepat waktu;

c. Debitor berprestasi tapi tidak baik;

d. Debitor melakukan sesuatu yang menurut perikatan tidak boleh dilakukan.

(Amran Suaidi : 131).

Sedangkan tatacara menyatakan wanprestasi, yaitu:

a. Somasi, peringatan tertulis dari pengadilan;

b. Ingebreke stelling, peringatan tidak melalui pengadilan.

Syarat terjadinya wanprestasi

a. Syarat materiil, yaitu ada unsur kesalahan (disengaja/lalai);

b. Syarat formal, yaitu ada peringatan/teguran terhadap debitor.

Hak kreditor apabila terjadi waprestasi :

a. Menuntut pemenuhan perikatan.

b. Menuntut pemutusan perikatan atau pembatalan.

c. Menuntut ganti-rugi.

Bisa juga dengan ingebreke stelling: Tidak melalui pengadilan

4.3. Perbuatan Melawan Hukum(Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata)

Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan

dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Pasal 1365 BW

(onrechtmatig) menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang

menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah

karena menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan

dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Sedangkan unsur-

unsur perbuatan melawan hukum adalah :

Page 21: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

20

a. Perbuatan melawan hukum;

b. Ada kesalahan;

c. Ada kerugian;

d. Sebab.

Kriteria perbuatan melawan hukum meliputi :

a. Melanggar hak subjektif orang lain;

b. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri;

c. Melanggar etika pergaulan hidup;

d. Melanggar kewajiban sebagai anggota masyarakat.

Pasal 1365 KUHPerdata, mengatur barang siapa melakukan perbuatan

melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.

Jikalau wanprestasi, maka cukup ia yang menunjuk perjanjian yang

dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian bahwa tidak terjadi

wanprestasi.

Sedangkan perbuatan melawan hukum, maka penggugat yang harus

membuktikan tentang adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan

yang dilakukan oleh tergugat.

Ganti-rugi wanprestasi dapat diperkirakan karena adanya perjanjian,

sedangkan perbuatan melawan hukum diserahkan pada hakim untuk

menilainya. Jikalau wanprestasi, maka cukup ia yang menunjuk perjanjian yang

dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian bahwa tidak terjadi

wanprestasi.

4.4. Isi Peringatan.

a. Teguran kreditor supaya debitor segera melaksanakan prestasi;

b. Dasar teguran;

c. Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9

Agustus 2017).

Somasi (peringatan) paling tidak telah dilakukan sebanyak tiga kali

oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka

kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang

akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah

teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat

memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara

keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243

KUHPerdata (Amran Suaidi : 131).

4.5. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi.

Adapun akibat hukum dari debitor yang telah melakukan wanprestasi

adalah hukuman atau sanksi berupa:

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditor (ganti rugi);

b. Pembatalan perjanjian;

c. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak

dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitor;

d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim

(Amran Suaidi : 132).

Disamping debitor harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat

dilakukan oleh kreditor dalam menghadapi debitor yang wanprestasi ada lima

kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata) :

Page 22: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

21

1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

3. Membayar ganti rugi;

4. Membatalkan perjanjian; dan

5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

6. Ganti rugi yang dapat dituntut.

Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap

tidak memenuhi prestasi itu. (Pasal 1243 KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari

biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah

dikeluarkan oleh suatu pihak;

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor

yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah

dibayarkan atau dihitung oleh kreditor.

Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal)

dengan ingkar janji (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau

sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.

Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan

hanya karena kesalahan debitor (lalai atau kesengajaan) tetapi juga terjadi

karena keadaan memaksa.

Yang dimaksud dengan kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui

dan dikehendaki, sedang kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya

mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.

4.6. Pembelaan Debitor yang Dituntut Membayar Ganti Rugi.

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa. Misalnya: karena barang

yang diperjanjikan musnah atau hilang, terjadi kerusuhan, bencana alam,

dan lain-lain.

b. Mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai (execptio non adimreti

contractus). Misalnya, si pembeli menuduh penjual terlambat

menyerahkan barangnya, tetapi ia sendiri tidak menetapi janjinya untuk

menyerahkan uang muka.

c. Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi (rehtsverwerking). Misalnya, si pembeli menerima barang yang

tidak memuaskan kualitasnya, namun pembeli tidak menegor si penjual

atau tidak mengembalikan barangnya.

4.7. Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeur)

a. Pengertian:

Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur) tidak dirumuskan

dalam undang-undang, akan tetapi dipahami makna yang terkandung dalam

pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur tentang overmacht.

Overmacht adalah suatu keadaan di mana debitor tidak dapat melakukan

prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di

luar kekuasaannya, seperti karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-

lain (Amran : 134).

Misalkan, seseorang menjanjikan akan menjual seekor kuda (schenking)

dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir.

Page 23: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

22

4.8. Akibat keadaan memaksa:

a. Kreditor tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.

b. Debitor tidak dapat lagi dinyatakan lalai.

c. Resiko tidak beralih kepada debitor.

4.9. Adapun unsur-unsur keadaan memaksa :

a. Peristiwa yang memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan;

b. Peristiwa yang menghalangi debitor berprestasi;

c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui oleh kreditor/debitor sewaktu

dibuatnya perjanjian.

4.10. Sifat Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Keadaan memaksa absolute, adalah suatu keadaan di mana debitor sama

sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditor, oleh karena

adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh : A ingin

membayar utangnya pada B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin

melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali

tidak dapat membayar utangnya pada B.

b. Keadaan memaksa yang relative, adalah suatu keadaan yang menyebabkan

debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan

prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang

tidak seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan

manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.

Contoh: seorang penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk menyanyi di

suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar

bahwa anaknya meninggal dunia.

4.11. Sebelum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan penting untuk memastikan

terpenuhinya unsur-unsur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan, yaitu sebagai

berikut :

a. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan utang;

b. Merupakan hak atas tanah sesuai UUPA;

c. Dibebankan atas tanah dan dapat pula dibebankan berikut benda-benda

lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

d. Utang yang dijamin adalah utang tertentu;

e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lainnya;

4.12. Subyek dan Obyek Hukum Dalam Hak Tanggungan.

Pasal 4 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah :

a. Hak milik.

b. Hak guna usaha.

c. Hak guna bangunan.

d. Hak pakai atas tanah negara.

e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada

atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan

merupakan milik pemegang hak atas tanah.

4.13. Prinsip obyek hak tanggungan :

Hak-hak atas tanah yang mempunyai dua persyaratan :

a. Wajib didaftarkan untuk memenuhi asas publisitas.

Page 24: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

23

b. Dapat dipindah tangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran

yang dijaminkan pelunasannya.

c. Hak pakai atas tanah negara yang diberikan kepada instansi pemerintah,

lembaga keagamaan, sosial dan perwakilan negara asing walaupun wajib

didaftarkan, akan tetapi karena menurut sifatnya tidak dapat dipindah

tangankan, maka bukan merupakan obyek hak tanggungan.

4.14. Subyek hukum hak tanggungan menurut Pasal 8 dan Pasal 9 Undang Undang

Nomor 4 Tahun 1996 adalah :

a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan obyek

tanggungan.

b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak

tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikan.

4.15. Asas-asas hak tanggungan :

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference). Artinya

hak mendahului yang dimiliki oleh pemegang hak jaminan kebendaan

untuk mendapatkan pelunasan utang dari penjualan benda yang dijadikan

jaminan baginya.

b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek

itu berada (droit de suite). Menurut Pasal 7 UUHT menjelaskan bahwa hak

tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek

tersebut berada.

Sifat ini merupakan jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak

tanggungan. Walaupun obyek dari hak tanggungan sudah berpindah tangan

dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan

haknya melakukan eksekusi jika debitor cidera janji.

Tanah dan rumah yang dijadikan obyek hak tanggungan, kemudian

rumah dijual dan telah berpindah tangan menjadi milik pihak ketiga,

namun selama debitor belum melunasi utangnya, maka rumah tersebut

masih menjadi obyek hak tanggungan, meskipun sudah menjadi milik

orang lain.

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak

ketiga.

Asas ini terdapat pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang menegaskan

bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta

pemberian Hak Tanggungan. Oleh karena itu, tidak dicantumkannya secara

lengkap hal-hal yang disebut dalam Akta pemberian Hak Tanggungan

mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan

dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan baik

mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin.

d. Asas publisitas ini dapat diketahui pada Pasal 13 ayat (1) UUHT yang

menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada

kantor pertanahan. Oleh karena itu dengan didaftarkannya hak tanggungan

tersebut, merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut

dan mengikat terhadap pihak ketiga.

e. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi. Hak tanggungan membebani

secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Dengan

telah dilunasinya sebagian utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya

obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, melainkan hak

Page 25: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

24

tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa

utang yang belum dilunasi.

f. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah, juga benda yang

berkaitan dengan tanah tersebut. Maksudnya, jika yang menjadi obyek

adalah sebuah tanah yang diatasnya terdapat rumah, pohon atau basement,

maka benda-benda tersebut menjadi satu kesatuan atas obyek hak

tanggungan yang dijaminkan.

g. Hak tanggungan dapat dibebankan atas bendan-benda yang baru akan ada

di kemudian hari. Penjelasannya adalah, apabila yang dijadikan obyek hak

tanggungan adalah tanah kosong dan pada kemudian hari dibangun sebuah

rumah diatasnya, maka rumah yang akan dibangun itu menjadi satu

kesatuan dengan tanah yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan

tersebut.

h. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Salah satu ciri dari hak

tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan

eksekusinya jika debitor cidera janji. Hal ini karena adanya sifat hak

melakukan eksekusi dari pemegang hak tanggungan berdasarkan akta

pemberian hak tanggungan yang mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan

Berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa”

4.16. Hak tanggungan hapus atau berakhir apabila :

a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.

b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.

c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penatapan peringkat oleh

pengadilan.

d. Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan.

e. Setelah hak tanggungan hapus, maka Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan

sertifikatnya.

4.17. Tahapan pemberian hak tanggungan dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Adanya perjanjian utang piutang.

b. Perjanjian utang piutang inilah yang menjadi dasar pemberian hak

tanggungan dan perjanjian utang piutang dapat dibuat secara notariil

maupun dibawah tangan;

4.18. Proses yang harus dilakukan bagi setiap orang yang berhubungan dengan

bank atau lembaga keuangan lainnya adalah menandaangani perjanjian kredit

(PK) diikuti dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan

berdasarkan perjanjian kredit tersebut.

a. Pembuatan akta hak tanggungan.

1). Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) dan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah

penanda tanganan APHT.

2). Kemudian PPAT wajib mengirimkan APHT beserta surat-surat lain

yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

b. Pendaftaran hak tanggungan.

Page 26: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

25

1). Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membuatkan buku tanah hak

tanggungan dan mencatatnya dalam buku hak atas tanah yang menjadi

obyek hak tanggungan.

2). Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menyalin catatan

tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

3). Tanggal yang dicatat pada hak tanggungan adalah tanggal ke 7 (tujuh)

setelah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerima secara lengkap

surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.

4). Sebagai bukti sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHT telah

lahirnya hak tanggungan, pemegang hak tanggungan akan diberikan

sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

5). Sertifikat hak tanggungan memuat irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan mulai saat itu sertifikat

hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial.

6). Jika diperlukan membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan.

c. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda

yang merupakan obyek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi

hak tanggungan tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. Adapun

pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 20 ayat (2) Undang Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :

1). Eksekusi dengan jalan menjual dibawah tangan secara langsung.

Maksud eksekusi ini adalah penjualan obyek hak tanggungan

berdasarkan adanya kesepakatan antara pemberi hak tanggungan

(debitor) dengan pemegang hak tanggungan (kreditor). Dengan cara ini

akan diperoleh harga tinggi, karena tidak dipotong berbgai biaya dan

ongkos.

2). Eksekusi dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa

ikut campur tangan pengadilan. (Pasal 6 UUHT).

Ketentuan ini telah memberikan kepada pemegang hak

tanggungan pertama langsung datang ke kantor lelang untuk

melakukan pelelangan atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan

apabila jalan damai tidak tercapai.

Untuk dapat menggunakan kewenangan menjual obyek hak

tanggungan tanpa persetujuan lebih dahulu dari debitor diperlukan

adanya janji debitor yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e

UUHT dan janji itu wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan (Amran Suaidi :199).

3). Eksekusi atas titel ekskutorial.

Dasar eksekusi ini adalah sertifikat hak tanggungan sebagaimana

dimaksud Pasal 14 ayat (2) UUHT dengan irah-irah “Demi Keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diterbitkan oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota.

Eksekusi hak tanggungan atas titel ekskutorial ini dapat

dilakukan melalui Ketua Pengadilan Agama, karena titel ekskutorial

pada sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kesamaan dengan

putusan penguaidi :199).

d. Kewenagan Relatif Permohonan Hak Tanggungan.

Page 27: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

26

Untuk menentukan kompetensi relatif atas permohonan eksekusi hak

tanggungan yang diajukan oleh pihak bank, sebagaimana penjelasan

Amran Suaidi, maka berdasarkan Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1)

RBg, maka permohonan diajukan ke pengadilan agama dalam wilayah

hukum tempat tinggal termohon eksekusi. Apabila termohon eksekusi

mempunyai alamat berlainan, pemohon eksekusi dapat memilih salah satu

pengadilan agama dalam wilayah hukum tempat tinggal termohon

eksekusi. Permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi dengan

memilih salah satu alamat tersebut tidak melanggar asas actor sequitur

forum rei yang digariskan Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg. Hak

tanggungan karena obyeknya jelas-jelas adalah berupa tanah, maka

penerapan yurisdiksi berdasarkan tempat tinggal termohon eksekusi sudah

tidak tepat lagi. Berbeda jika obyeknya berupa benda bergerak, maka

penerapan yurisdiksi berdasarkan tempat tinggal termohon eksekusi (asas

actor sequitur forum rei) memang harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan

ketentuan Pasal 142 ayat (1) RBg. Bahkan dalam Rv, hal ini disebutkan

dengan jelas dalam Pasal 99 ayat (1).

Sementara itu, jika obyek harta tanah yang disebut dalam sertifikat

hak tanggungan berada di luar wilayah tempat tinggal termohon eksekusi,

maka pengajuan permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan ke

pengadilan agama dalam wilayah hukum dimana obyek harta tanah

tersebut berada, bukan berpatokan pada tempat tinggal termohon eksekusi.

Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (3) HIR dan Pasal 142

ayat (5) RBg yakni tunduk pada asas forum rei sitae.

Berikutnya jika obyek eksekusi hak tanggungan terletak di beberapa

daerah dan disana terdapat pengadilan agama, maka pihak pemohon

eksekusi hak tanggungan (bank) selaku kreditor boleh memilih salah satu

pengadilan agama tersebut, untuk tempat diajukannya permohonan

eksekusi hak tanggungan.

Selanjutnya apabila diketemukan dalam klausul perjanjian para pihak

yang dibuat dalam bentuk akta tertulis telah menyepakati memimilih

aengadilan agama tertentu yang berwenang menyelesaikan masalahnya,

seperti eksekusi hak tanggungan jika terjadi masalah debitor wan

prestasi/cidera janji, maka hal ini harus dilaksanakan oleh pengadilan

agama tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah

pihak, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (4) HIR dan Pasal

Pasal 142 ayat (4) RBg. Persetujuan para pihak yang memilih salah satu

pengadilan agama tertentu untuk menyelesaikan masalahnya merupakan

prinsip yang harus dilaksanakan dan tunduk pada asas freedom of contract

(kebebasan berkontrak) sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1338

KUHPerdata (Amran Suaidi : 198).

Adapun prosedur penyelesaian eksekusi hak tanggungan di

pengadilan agama adalah sebagai berikut :

a. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan

Agama dengan melampirkan :

Page 28: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

27

1). Fotocopi sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

2). Fotokopi perjanjian (akad syariah) utang piutang antara pihak

kreditor dengan debitor;

3). Fotokopi bukti pendaftaran hak tanggungan pada kantor

pertanahan;

4). Fotokopi surat-surat tegoran dari bank kepada debitor atas

kelalaiannya membayar cicilan utang; dan

5). Surat kuasa yang masih berlaku, jika pemohon eksekusi

menggunakan kuasa hukum.

b. Aanmaning.

1) Setelah menerima permohonan eksekusi, Ketua Pengadilan

Agama memerintahkan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti untuk

memanggil termohon eksekusi/debitor yang ingkar janji untuk

ditegor (di aanmaning).

2). Tegoran ini sebaiknya dilakukan sebanyak dua kali, agar dalam

waktu paling lama 8 (delapan) hari dari aanmaning, harus

memenuhi keawjiban, yaitu membayar utangnya dengan suka rela.

3). Apabila debitor suami istri maka harus dipanggil keduanya guna

mengetahui faktor apa yang menjadi penyebab tidak dipenuhinya

perjanjian dan sekaligus diberi peringatan agar keduanya dapat

segera memenuhi isi perjanjian tersebut.

c. Dilakukan sita eksekusi.

1). Ketua Pengadilan Agama memerintahkan kepada Panitera atau

Jurusita agar tanah obyek hak tanggungan tersebut disita dengan

sita eksekutorial dengan dibantu 2 (dua) orang saksi yang

memenuhi persyaratan undang-undang.

2). Panitera atau Jurusita membuat berita acara penyitaan dan

memberitahukan kepada tersita, apabila ia hadir.

3). Apabila barang yang disita berupa tanah yang sudah didaftarkan di

kantor pertanahan, maka berita acara penyitaan tersebut harus

diberitahukan kepada kantor pendaftaran tanah dimaksud.

4). Apabila barang yang disita berupa tanah yang belum didaftarkan

di kantor pertanahan, maka berita acara penyitaan tersebut harus

diumumkan oleh Panitera atau Jurusita, dengan meminta Kepala

Desa atau Lurah untuk mengumumkan seluas-luasnya ditempat

dengan cara yang lazim.

5). Jika setelah disita ternyata debitor tetap lalai, maka tanah tersebut

akan dijual lelang.

d. Penjualan lelang.

1). Pengadilan Agama sebagai penjual mengajukan permohonan

secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan

Lelang (KPKNL), dilampiri surat-surat :

a). Penetapan Ketua Pengadilan Agama tentang perintah

eksekusi;

b). Berita acara aanmaning/tegoran;

c). Penetapan sita eksekusi atas hak tanggungan;

d). Berita acara sita eksekusi;

Page 29: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

28

e). Perincian utang;

f). Pemberitahuan lelang kepada termohon lelang; dan

g). Fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah dan sertifikat

hak tanggungan.

2). Kepala KPKNL menetapkan hari, tanggal pelaksanaan lelang

setelah dilakukan analisis kelengkapan dokumen.

3). Pemohon lelang/pengadilan agama mengumumkan lelang melalui

surat kabar harian yang terbit di kota itu atau media elektronik

yang tempatnya berdekatan dengan obyek yang akan dilelang.

Pengumuman pertama dengan pengumuman kedua

berjarak 15 (lima belas) hari dan pengumuman kedua dengan

pelaksanaan lelang tidak boleh kurang dari 14 (empat belas) hari.

(Pasal 200 ayat (7) HIR/Pasal 217 RBg).

4). Peserta lelang menyetor uang jaminan rekening ke KPKNL.

5). Pemenang lelang akan mendapatkan petikan risalah lelang dan

dokumen pendudukung lainnya.

6). Pengadilan Agama sebagai pemohon lelang akan mendapatkan

salinan risalah lelang.

7). Hasil penjualan lelang diambil terlebih dahulu untuk membayar

biaya lelang, dan pembayaran utang debitor dan apabila masih ada

sisa dikembalikan kepada debitor.

4.19. Problematika Eksekusi Hak Tanggungan.

Sebagimana analisis Amran Suaidi, problematika eksekusi hak

tanggungan dapat terjadi dalam hal sebagai berikut :

a. Kreditor harus mendapat perlindungan hukum.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan telah

menentukan obyek hak tanggungan tidak hanya tanah saja, tetapi berikut

benda-benda lain di atas tanah yang bersangkutan yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah. Hal ini harus dimuat secara tegas dalam surat kuasa

untuk membebankan hak tanggungan dan dimasukkan pula dalam akta hak

tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai

bentuk perlindungan hukum kepada kreditor. Nasabah atau debitor yang

jelas-jelas cidra janji/wanprestasi, tidak boleh sampai merugikan

kepentingan kreditor.

Permohonan eksekusi obyek hak tanggungan yang ditujukan kepada

Ketua Pengadilan Agama, ada yang dapat dilakukan eksekusinya dan ada

pula yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah

eksekusi obyek hak tanggungan atas tanah dan benda-benda yang ada di atas

tanah tersebut dalam prakteknya tidak semudah yang diperkirakan atau

dengan kata lain masalah eksekusi hak tanggungan masih banyak kendala

dalam praktek.

Dalam prakteknya, kreditor sering menerima jaminan tanah, sedang

tanah dan bangunan yang mana sertifikat tanah sudah tidak sesuai lagi

dengan keadaan yang sebenarnya, karena tanah, tanah dan bangunan tersebut

telah dijual dengan membuat Akta PPAT, namun balik nama belum

dilakukan oleh kantor pertanahan yang bersangkutan. Kalau terjadi hal

demikian pengikatan jaminan bisa dilakukan bersamaan dengan proses balik

Page 30: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

29

nama setelah itu dilakukan pendaftaran hak tanggungannya oleh kantor

pertanahan yang bersangkutan.

b. Pemberi hak tanggungan tidak bersedia melaksanakan pengosongan dengan

suka rela.

Untuk menyikapi kasus seperti ini, jika benar-benar pemberi hak

tanggungan, atau keluarganya tidak bersedia mengosongkan atau keluar dari

obyek yang telah dieksekusi itu, maka pelaksanaannya dilakukan atas

perintah Ketua Pengadilan Agama dimana obyek hak tanggungan itu

terletak, setelah adanya permohonan pengosongan dari pihak pemenang

lelang sebagai pemegang hak atas tanah atau tanah dari bangunannya yang baru.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 200 ayat (11) HIR yang berbunyi “Jika

pihak yang dikalahkan tidak mau meninggalkan barang-barang yang tidak

bergerak itu, maka Ketua Pengadilan Agama atau magishaat yang dikuasakan

harus memberi surat perintah kepada seorang yang berhak menyita, supaya kalau

perlu dengan bantuan polisi, pihak yang dikalahkan itu beserta keluarganya

disuruh meninggalkan/mengosongkan barang yang tidak bergerak itu.

c. Pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan.

Sering terjadi dimana ketika pelaksanaan eksekusi dilakukan atas

permohonan pemegang hak tanggungan pertama, atau pada saat sita eksekusi,

pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan

dengan dalil bahwa pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya juga

berhak atas obyek yang disita eksekusi tersebut, mengingat debitor yang cidra

janji itu telah menjadikan obyek eksekusi tersebut sebagai agunan kepada

pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya. Terhadap masalah

seperti ini undang-undang hak tanggungan tidak ada mengaturnya, tetapi

penyelesaiannya dapat dilakukan melalui materi hukum acara perdata.

Dalam menghadapi perlawanan demikian, hakim/Ketua Pengadilan Agama

harus menolak, karena perlawanan terhadap sita eksekusi hanya dapat dilakukan

oleh pihak ketiga atas dasar dalil adanya kepemilikan. Pemegang hak tanggungan

kedua, ketiga dan serusnya bukanlah pemilik, tetapi ia mempunyai hak untuk

memohon pelunasan piutangnya yang juga dijamin atas tanah yang disita eksekusi

tersebut. Pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya jika ingin agar

pelunasan piutangnya dibayar, maka caranya dengan mengajukan permohonan

eksekusi ke pengadilan agama tersebut atas dasar hak tanggungan yang

dimilikinya. Sehingga perolehan uang dari hasil lelang eksekusi tersebut, setelah

dibayarkan terlebih dahulu kepada pemegang hak tanggungan pertama, kemudian

sisanya jika masih ada dibayarkan kepada pemegang hak Tanggungan kedua,

ketiga dan seterusnya.

d. Objek hak tanggungan bukan atas nama debitor sendiri, tetapi pihak ke tiga

yang pada akhirnya keberatan dengan eksekusi karena merasa tidak pernah

menyetujui kepemilikannya dijadikan jaminan.

Setelah mempelajari berkas permohonan eksekusi yang diajukan oleh

pemohon (kreditur), selanjutnya KPA memerintah jurus sita untuk memanggil

pemohon dan termohon eksekusi.

Page 31: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

30

Ternyata di saat aanmaning dilaksanakan, terungkap bahwa obyek yang

dijadikan tanggungan atas nama ayah kandung pemohon (pihak ketiga) atau

bukan atas nama dirinya.

Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak ketiga (ayah

kandung debitor) untuk meminta konfirmasi dan keterangan yang sebenarnya

dan ternyata ayah kandung debitor keberatan dan menyangkal telah menyetujui

obyek atas miliknya dijadikan hak tanggungan oleh anak kandungnya.

Bahwa, dalam pengakuan debitor ternyata sertifikat tanah atas nama

ayah kandungnya tersebut dicuri untuk dijadikan obyek tanggungan dengan

memalsukan tanda tangan persetujuan ayah kandungnya (Amran Suaidi : 202).

Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama perlu mengambil langkah

sebagai berikut :

1). Memanggil semua pihak yang terkait dalam eksekusi hak tanggungan

syari’ah ini untuk meminta keterangan yang seutuhnya agar

mendapatkan gambaran penyelesaian yang menyeluruh dan tuntas.

2). Melakukan cek mendalam dan mencocokkan tanda tangan pihak ketiga

(ayah kandung debitor) dalam persetujuan obyek miliknya dijadikan

jaminan, dan ternyata Ketua Pengadilan Agama menemukan tanda

tangan pihak ketiga (ayah kandung debitor) dipalsukan oleh debitor

sendiri.

3). Dalam kondisi seperti ini Ketua Pengadilan Agama mencoba

memaksimalkan upaya mediasi diantara pemohon eksekusi dan

termohon eksekusi serta pihak ketiga.

4). Akhirnya dengan upaya mediasi yang maksimal, pihak ketiga (ayah

kandung termohon eksekusi) akhirnya merelakan dan menyatakan tidak

keberatan atas sikap anaknya yang telah memalsukan tanda tangannya

untuk persetujuan objek miliknya dijaminkan.

e. Objek hak tanggungan dikuasai oleh pihak ketiga (pemilik pertama) yang

keberatan dengan eksekusi dikarenakan pihak debitor masih berhutang kepada

pihak ketiga sebagai pemilik pertama di saat proses pembelian dulu, sementara

pihak debitor melakukan balik nama sertifikat obyek dan kemudian

menjaminkannya ke Bank Syariah.

f. Alasan keamanan dalam pelaksanaan sita eksekusi hak tanggungan syariah

menjadi pertimbangan utama bagi Ketua Pengadilan Agama untuk menunda

ataukah melanjutkan sita eksekusi.

Adapun langkah yang perlu dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama

adalah sebagai berikut :

1). Memanggil semua pihak yang terkait dalam eksekusi hak tanggungan

syari’ah ini untuk meminta keterangan yang seutuhnya agar mendapatkan

gambaran penyelesaian.

2). Melakukan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak keamanan

(kepolisian sektor) untuk memastikan kelancaran dan potensi kisruh di

lapangan saat sita eksekusi dilaksanakan.

3). Atas dasar laporan dan pertimbangan atas permontaan dari pihak kepolisian

agar Ketua Pengadilan Agama menunda pelaksanaan sita ekseskusi

dikarenakan potensi konflik yang sangat besar tidak dapat dihindarkan,

maka Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak kreditor dan debitor

untuk membicarakan hal ini.

Page 32: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

31

4). Atas pertimbangan keamanan tersebut, maka Ketua Pengadilan Agama

akhirnya menyatakan menunda pelaksanaan sita eksekusi sampai waktu

dan keadaan memungkinkan, sembari memerintahkan kepada debitor untuk

menyelesaikan masalah tersebut dengan pihak ketiga.

g. Pendelegasian eksekusi.

Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi berada di luar

wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya. Dalam

keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195 HIR dan

Pasal 206 RBg, sebgai berikut :

1). Membuat surat penetapan.

Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh pemohon eksekusi,

maka Ketua Pengadilan Agama membuat surat penetapan yang isinya

memerintahkan kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang

memutus perkara melalui Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama

tempat obyek yang akan dieksekusi.

Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal

yang dieksekusi secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap harus

jelas ukurannya, luas dan batas-batasnya. Jika berupa barang bergerak

harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang diperlukan.

Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi dikirim

kepada Ketua Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi berada

dengan surat pengantar Ketua Pengadilan Agama atau Panitera atas

nama Ketua Pengadilan Agama.

2). Berita acara eksekusi.

Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi segera

melaksanakan sesuai dengan penetapan eksekusi pengadilan agama

yang meminta pelaksanaan eksekusi. Pengadilan agama yang

menerima permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi penetapan

eksekusi yang dikirim oleh pengadilan agama yang meminta eksekusi.

Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Panitera atau Jurusita

yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian Ketua

Pengadilan Agama segera mengirimknnya kepada Ketua Pengadilan

Agama yang memimta pelaksanaan eksekusi.

3). Mengenai ketentuan biaya eksekusi.

Yang menaksir biaya eksekusi adalah pengadilan agama yang

meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar biaya eksekusi

yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan. Teknis

pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta bantuan

eksekusi, bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan surat

pengantar permohonan bantuan eksekusi dikirim.

Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil

dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang

menerima permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya

eksekusi kepada pengadilan agama yang meminta bantuan eksekusi

dengan melampirkan kebutuhan nyata yang telah dikeluarkan atau

dibutuhkan.

4). Perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

Page 33: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

32

Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg dan Pasal 195 ayat (6) HIR

dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden verzet) atas

pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan dan diadili oleh pengadilan

agama yang melaksanakan putusan tersebut atau pada pengadilan

agama dimana eksekusi dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan

dalam Pasal 379 Rv, perlawanan pihak ketiga harus diajukan di

pengadilan agama yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan

agama yang melaksanakan eksekusi.

Terhadap dua pendapat tersebut, biasanya praktisi hukum

mengambil jalan tengan bahwa pengajuan perlawanan pihak ketiga

(derden verzet) diajukan di pengadilan agama yang memutuskan

perkara, melalui pengadilan agama tempat eksekusi dilaksanakan. Hal

ini lebih logis, sebab pengadilan agama yang memutus perkara lehih

tahu permasalahannya, lebih lengkat dokumen-dokumen perkaranya

dan memiliki nomor perkara pokok (Abdul Manan : 224). Maksudnya

perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara

dengan nomor baru, tidak memakai nomor perkara pokok/lama.

Berbeda dengan perkara verzet atas putusan verstek tidak didaftar

sebagai perkara baru, akan tetapi memakai perkara pokok atau perkara

lama (Buku II : 1).

Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut diputus

oleh pengadilan agama yang memeriksa pokok perkaranya dan dikirim

kepada pihak pelawan melalui pengadilan agama yang menjalankan

eksekusi. Penaksir biaya derden verzet adalah pengadilan agama yang

memeriksa pokok perkara dan yang membukukan dalam register

perkara juga pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara.

(Abdul Manan : 222-224).

Page 34: Kata Pengantar Eksekusi.pdf · diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : ... apa yang telah ada di dalam makalah ... pedoman bagi aparat peradilan agama di

1

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001.

Amran Suaidi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori dan Praktek, Kencana,

Jakarta,2017.

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2005.

Hasbi Hasan, Menyoal Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara

Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi Nomor 73-2011.

Hensyah Syahlani, Penemuan Dan Pemecahan Hukum Dalam Peradilan Agama, Tanpa

Penerbit, Jakarta, 1998.

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1996.

Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Direktorat

Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Edisi Revisi,

2014.

Soebekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Cetakan Ke III,

Jakarta, 1989.

Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwah Islam, Al Ikhlas, 1983.

Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Pertdata, Binacipta,

Bandung, 1989.

--------, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cetakan Ke V, Jakarta, 2007.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Soedaryo Soimin, Sinar Grafika, Cetakan ke XV,

2015

Himpunan Peraturan Perundang Undangan Di Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat

Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014.

Himpunan Peraturan Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Republik

Indonesia, 2017.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Bulan Bintang,

2002.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat

Madani, Kencana, Cetakan ke II, Jakarta, 2017.

htp : //drive.google.com, Syaiful Annas, Kewenangan Eksekusi Putusan Basyarnas, diakses

tanggal 27-10-2017.

htp : // hukumonline.com., diakses atanggal 27-10-2017.

htp : //drive.google.com, dibaca 27-10-2017.

htp : www.google.co.id., Maria Amanda, diakses tanggal 7-11-2017.

htp : eprint.undip.ac.it.,dikses 8-11-2017.