kasus tambang

39
SatuNegeri.com - Tindakan 26 perusahaan perusahaan yang bergerak di bidang tambang dan perkebunan yang diduga melakukan pelanggaran dan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi pada 2011, berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 90,6 miliar dan 38 ribu dolar AS. Hal itu disampaikan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa mendatangi Mabes Polri saat akan melaporkan ke-26 perusahaan tersebut. "Salah satu perusahaan yang melakukan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi adalah perusahaan tambang milik negara berinisial AT," kata Anggota IV BPK ini kepada pers di Jakarta, Selasa (26/2/2013). Salah satu bentuk pelanggarannya menurut Musa adalah diabaikannya proses izin dalam eksplorasi hutan. "Dari hasil audit, bahasanya itu pembiaran. Sudah dieksplorasi, dieksploitasi tapi dibiarkan," kata Ali Masykur. Menanggapi laporan tersebut, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Sutarman mengatakan, polisi akan mengusut laporan ini. "Mudah- mudahan secepatnya. Di pertambangan dan perkebunanan memang tidak mudah karena memang prosesnya panjang," kata Sutarman. Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zensi Suhadi mengatakan, jumlah perusahaan yang terlibat dalam eksplorasi hutan tanpa prosedur, jauh lebih besar dari yang disampaikan oleh BPK. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3064/DAMPAK %20SOSIAL%20KEBERADAAN%20PT%20VALE%20INDONESIA%20Tbk%20TERHADAP %20KEHIDUPAN%20MASYARAKAT.pdf PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan Kedaulatan RI Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal

Upload: marlinatogumajuniartinapitupulu

Post on 05-Jan-2016

79 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

KASUS TAMBANG

TRANSCRIPT

SatuNegeri.com - Tindakan 26 perusahaan perusahaan yang bergerak di bidang tambang dan perkebunan yang diduga melakukan pelanggaran dan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi pada 2011, berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 90,6 miliar dan 38 ribu dolar AS.

Hal itu disampaikan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa mendatangi Mabes Polri saat akan melaporkan ke-26 perusahaan tersebut.

"Salah satu perusahaan yang melakukan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi adalah perusahaan tambang milik negara berinisial AT," kata Anggota IV BPK ini kepada pers di Jakarta, Selasa (26/2/2013).

Salah satu bentuk pelanggarannya menurut Musa adalah diabaikannya proses izin dalam eksplorasi hutan.  "Dari hasil audit, bahasanya itu pembiaran. Sudah dieksplorasi, dieksploitasi tapi dibiarkan," kata Ali Masykur.

Menanggapi laporan tersebut, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Sutarman mengatakan, polisi akan mengusut laporan ini. "Mudah-mudahan secepatnya. Di pertambangan dan perkebunanan memang tidak mudah karena memang prosesnya panjang," kata Sutarman.

Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zensi Suhadi mengatakan, jumlah perusahaan yang terlibat dalam eksplorasi hutan tanpa prosedur, jauh lebih besar dari yang disampaikan oleh BPK.

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3064/DAMPAK%20SOSIAL%20KEBERADAAN%20PT%20VALE%20INDONESIA%20Tbk%20TERHADAP%20KEHIDUPAN%20MASYARAKAT.pdf

PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan Kedaulatan RISudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Namun setelah 44 tahun apakah posisi tawar pemerintah Indonesia masih rendah? Tentu tidak!

Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi sebanyak 35

persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.

Menurut Direktur dan CEO Freeport Indonesia, Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia.

Salah seorang pengamat Hankam yang sudah senior, Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah dana kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di atas tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan aparat keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari APBN bukan dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang merasa asing di rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan justru lebih membela kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri. Padahal mereka  harusnya menindak Freeport yang notabene telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi, menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per jam. Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.Menurut seorang pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi Freeport ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK)

yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengerjar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.

Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.

Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota Badan Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut beliau, pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend perang dalam masa sekarang adalah perang untuk memperebukan sumber daya alam atauresource war. Sekarang negara-negara besar sedag berperang untuk merebutkan sumber daya alam. Dan ini suah terjadi di berbagai negara seperti Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll. Urusan perebutan masalah sumber daya alam ini sejatinya tidak memperdulikan berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi penembakan di Papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra daerah Papua sendiri.Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman yang mendalam juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak  kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik Indonesia.

http://km.itb.ac.id/site/kasus-freeport-bagaimana-nasib-papua/

Sampit, Kalteng (ANTARA News) - DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah menyarankan aparat penegak hukum menyelidiki dugaan tindak pidana dalam operasional dua perusahaan tambang di Kecamatan Parenggean.

"Minggu depan akan RDP dan kemungkinan akan kita serahkan ke aparat hukum karena ini masalah hukum, pengrusakan aset daerah. Kalau nanti ada dugaan keterlibatan oknum pemerintah daerah maka silakan aparat penegak hukum memprosesnya," tegas Ketua DPRD Kotim, Jhon Krisli, di Sampit, Sabtu.

Seperti diketahui, dua perusahaan tambang bauksit yaitu PT Billy Indonesia dan PT Indonesia Batubauksit Bajarau menjadi sorotan lantaran dituding melakukan aktivitas penambangan dekat

dengan permukiman.

Menindaklanjuti informasi itu, rombongan DPRD Kotim dipimpin langsung Jhon Krisli melakukan inspeksi mendadak pada Jumat kemarin. Mereka kini bahkan menuding bahwa salah satu perusahaan pertambangan itu menggarap lahan milik pemerintah daerah yang sudah dicadangkan untuk rencana pembangunan rumah sakit dan stadion olahraga Parenggean.

Jhon menilai telah terjadi pelanggaran hukum karena lahan tersebut merupakan aset daerah yang didapat melalui ganti rugi, khususnya lahan rumah sakit yang telah diganti rugi Rp 250 juta oleh Dinas Kesehatan Kotim pada 2012 lalu.

Seharusnya, kata Jhon, aktivitas apapun di lahan yang menjadi aset daerah, harus sepengetahuan dan seizin pihaknya di DPRD. Untuk itulah dia meminta penegak hukum untuk turun menyelidiki dugaan pembiaran dan pelanggaran dalam masalah ini.

"Pekan depan kami akan menggelar rapat dengar pendapat tentang masalah ini. Hasilnya nanti mungkin dalam bentuk rekomendasi, apakah ke polisi, kejaksaan atau KPK. Kita lihat saja nanti seperti apa hasilnya," tegas Jhon.

Sementara itu, Bupati Kotim, H Supian Hadi mengaku mendapat informasi bahwa PT Billy Indonesia belum melakukan eksplorasi. Terkait tudingan bahwa perusahaan tersebut menggarap lahan yang dicadangkan untuk pembangunan rumah sakit dan stadio, Supian belum berkomentar lebih jauh.

Hanya, dia mengakui ada informasi yang sampai kepadanya bahwa rencana penyiapan lahan rumah sakit terkendala karena tanahnya berbukit. Karena itulah pihak kecamatan meminta perusahaan untuk melakukan pengerukan.

"Pihak kecamatan meminta membantu pengerukan lahan tersebut. Tapi mudah-mudahan permasalahan ini tidak sampai menjadi kendala batalnya pembangunan rumah sakit karena ini sangat diperlukan masyarakat. Tidak ada kepentingan apapun, kepentingan masyarakat yang terpenting," tandas Supian.

Supian menegaskan akan mempertahankan kawasan kota dan tidak akan membiarkan ada investasi masuk ke Kotim namun justru merusak lingkungan di daerah ini, termasuk di Parenggean. Apalagi, kata dia, Parenggean merupakan kampung tempat dia pernah menetap.

"Tapi kita menghormati Pak Gubernur. Beliau ingin mengutus Distamben, ya kita hormati itu. Menurut saya, mungkin aktivitasnya saja yang menjadi kendala, kalau perizinannya sesuai saja," pungkas Supian. 

Pertambangan Indonesia Hadapi Dilema

Tunda Investasi atau Ubah Status Hutan Lindung

SEDIKITNYA 150 perusahaan tambang menunda investasi di Indonesia, karena wilayah pertambangan yang sudah diberikan pemerintah ternyata ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pemerintah

menghadapi dilema, apakah fungsi hutan lindung akan diubah menjadi hutan produksi, sebab harus memilih, mengubah kebijakan menjaga kelestarian hutan atau membiarkan untuk usaha pertambangan terbuka dengan risiko kerusakan lingkungan.Persoalan mandeknya investasi tambang akibat status hutan lindung, dipicu lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU No 41/1999) mengenai Kehutanan. Dalam UU tersebut sudah jelas penegasan bahwa tidak boleh dilaksanakan pertambangan terbuka di atas hutan lindung.

Pada Pasal 19 UU No 41/1999, Ayat (1) disebutkan bahwa "Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu"; Ayat (2) disebutkan "perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan luas, serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)"; Ayat (3) disebutkan bahwa "ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Dalam penjelasan undang-undang tersebut, disebutkan bahwa penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian. Oleh karena itu, penelitian diselenggarakan oleh lem-baga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.

Sementara, yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik, seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) Wimpy S Tjetjep, mengakui, sektor pertambangan di Indonesia memang berada pada kondisi yang sangat sulit berkembang. Sektor pertambangan mendapat tantangan yang sangat besar bukan hanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun datang dari pemerintah daerah (pemda) maupun departemen lain yang terkait.

Namun, tertahannya investasi dari 150 proyek tambang baru dan perluasan tambang, hanya salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pertambangan di Indonesia. Pada tahun 2001, industri pertambangan Indonesia juga menghadapi tantangan baru, di antaranya tekanan masalah harga mineral, situasi politik, ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di Indonesia.

Bersamaan dengan ketidakpastian iklim perundang-undangan, tampaknya akan memberikan dampak negatif kepada industri pertambangan secara keseluruhan. Peraturan yang tumpang tindih, sering membuat pengusaha pertambangan kesulitan dalam melaksanakan kegiatannya.

Tidak dapat dimungkiri, perusahaan asing telah menjadi katalisator bagi pembangunan sebagian besar dari industri pertambangan Indonesia. Sebagai catatan penting, pada tahun ini keputusan tentang kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC)-dimiliki bersama Rio Tinto dan BP-kemungkinan akan menimbulkan konsekuensi yang luas kepada industri, maupun bagi Indonesia dalam arti yang luas.

Masalah KPC yang dianggap dapat mengancam daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi pertambangan, adalah masalah gugatan Pemda Kalimantan Timur terhadap KPC atas kasus divestasi 51 persen saham KPC. Pemegang saham KPC menilai, langkah Pemda Kaltim yang mengajukan gugatan perdata sebagai cermin dari ancaman investasi bagi investor asing di Indonesia.

Direktur KPC, Lex Graefe, beberapa waktu lalu mengatakan, bila cara semacam ini terus dipakai oleh pemda, tidak mustahil para investor akan hengkang. Selain mencemaskan investor, tindakan tersebut juga dapat mengganggu jalannya investasi ke Indonesia di masa mendatang.

***

PADAHAL, tahun 2002 menjadi harapan, agar produksi tambang Indonesia dapat meningkat, khususnya dengan adanya peserta baru yang akan memaksimalkan operasinya. Dengan cara memanfaatkan kelebihan kapasitas industri, terutama di sektor batu bara dengan terjadinya perbaikan harga batu bara dunia belakangan ini.Namun, banyak persoalan, khususnya pada produksi batu bara yang terpengaruh kegiatan penambangan tanpa izin (peti) yang jumlahnya belakangan ini meningkat secara signifikan di Indonesia. Khususnya pada sektor timah dan batu bara, kecuali pemerintah segera memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengatasi masalah ini.Investasi dalam industri pertambangan Indonesia pada tahun 2002, juga diperkirakan akan merosot dengan tajam, khususnya dalam pengeluaran untuk pengembangan dan untuk aktiva tetap. Sementara itu, pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan diperkirakan tetap berada pada tingkat rendah yang telah dialami sejak tahun 1997.Hal ini menjadi gambaran, kurangnya proyek baru dan keinginan perusahaan pertambangan di Indonesia untuk memusatkan perhatian kepada operasi mereka yang telah mapan. Kondisi ini, diperkirakan akan berlanjut sampai adanya kejelasan mengenai iklim perundang-undangan, serta stabilnya situasi politik dan ekonomi Indonesia.Dari survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers terhadap 32 perusahaan pertambangan yang telah berproduksi, dan lebih dari 250 perusahaan eksplorasi yang terlibat dalam eksplorasi di Indonesia selama tahun 1996-2000, menunjukkan pengeluaran industri tambang di Indonesia oleh responden terus merosot pada tahun 2000. Dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1999 sebesar 2,53 milyar dollar AS, pengeluaran tahun 2000 turun 3 persen menjadi 2,46 milyar dollar AS.Pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan mengalami penurunan yang jauh lebih besar. Pada tahun 1999 pengeluaran untuk sektor itu mencapai nilai sebesar 77,9 juta dollar AS, tahun 2000 turun sebesar 14 persen menjadi 67,3 juta dollar AS. Angka pada tahun 2000 itu mencerminkan hanya 42 persen dari puncak pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan yang terjadi pada tahun 1996, tercatat pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan dalam tahun 1996-2000 mencapai 556,7 juta dollar AS.Jumlah pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan responden dalam persentase terhadap pengeluaran eksplorasi dunia tidak bergerak dari tahun sebelumnya, yaitu 2,9 persen. Dalam masa lima tahun tersebut, pengeluaran eksplorasi Indonesia umumnya mengikuti kecenderungan dunia dalam persentase yang hampir statis, berkisar 3,5 persen pada tahun 1996 sampai kepada yang terendah 2,7 persen pada tahun 1997.Menurunnya pengeluaran eksplorasi ini menimbulkan keprihatinan, karena keberhasilan jangka panjang industri pertambangan Indonesia, bergantung kepada eksplorasi yang berkesinambungan dan penemuan, serta pengembangan endapan baru. Tingkat keberhasilan eksplorasi terhadap penemuan endapan yang ekonomis, beserta dengan lamanya proses penemuan sampai kepada produksi, menekankan pentingnya kegiatan eksplorasi dewasa ini.Pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva tetap, mencapai 847,8 juta dollar AS pada tahun 2000, atau turun sebesar 482,5 juta dollar AS dari tahun sebelumnya. Pengeluaran untuk pengembangan turun 48 persen menjadi 191,2 juta dollar AS dan pengeluaran untuk aktiva tetap turun 32 persen menjadi 656,6 juta dollar AS, karena perusahaan pertambangan memusatkan pengeluaran investasi mereka kepada proyek yang sudah "matang".Program investasi utama yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini, di antaranya perluasan Grasberg oleh Freeport dan Rio Tinto sebesar satu milyar dollar AS, perluasan fasilitas pengolahan Inco Soroako sebesar 0,6 milyar dollar AS dan Proyek Batu Hijau Newmont, sebesar dua milyar dollar AS.Tingkat investasi yang direncanakan pada tahun 2001 menunjukkan penurunan 55 persen dari tingkat pengeluaran tahun sebelumnya, dan penurunan 36 persen dari pengeluaran aktual rata-rata dalam lima tahun sebelumnya. Penurunan jumlah investasi yang direncanakan dibandingkan dengan tahun lalu dengan rata-rata empat tahun sebelumnya terjadi dalam semua bagian investasi, terutama yang berhubungan dengan aktiva tetap dan pengembangan.Sembilan perusahaan yang telah berproduksi dan tujuh perusahaan eksplorasi melaporkan rencana investasi tahun 2001 sebesar 413 juta-226,4 juta dollar AS untuk aktiva tetap. Lalu, 71,9 juta dollar AS

untuk eksplorasi dan studi kelayakan, 74,7 juta dollar AS untuk kegiatan berhubungan dengan pertimbangan.Penurunan yang signifikan pada rencana investasi tahun 2001 tersebut, sebagian mencerminkan kekurangpercayaan para investor. Hal ini disebabkan berlanjutnya ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia, serta ketidakpastian di sekitar pemberlakuan undang-undang pertambangan yang baru, dampak otonomi daerah, dan bentuk, serta isi kontrak pertambangan generasi berikutnya.Namun, ada juga pos pengeluaran yang meningkat, sebab jumlah pembelian meningkat sebesar 38 persen menjadi 1.547,6 juta dollar AS pada tahun 2000. Peningkatan terjadi pada barang-barang yang diimpor oleh perusahaan maupun yang dibeli di dalam negeri. Masing-masing meningkat sebesar 46 persen menjadi 977,3 juta dollar AS dan 38 persen menjadi 567,4 juta dollar AS. Meningkatnya pembelian dalam negeri kembali memperlihatkan bahwa industri pertambangan terus mendukung ekonomi Indonesia.Namun, kenapa pemerintah terkait tidak mencoba untuk berkoordinasi dalam upaya mempertahankan sektor ini tetap menarik, bagi investor lokal maupun asing. Tentunya tanpa harus mengabaikan hancurnya lingkungan, hanya karena ketidaktegasan hukum. Ditambah lemahnya keteguhan para pejabat publik untuk memberlakukan sanksi bagi perusahaan pertambangan yang jelas-jelas tidak kooperatif dengan lingkungan, masyarakat sekitar, dan kepentingan ekonomi negara. (Buyung Wijaya Kusuma) mbelian dalam negeri kembali memperlihatkan bahwa industri pertambangan terus mendukung ekonomi Indonesia.Namun, kenapa pemerintah terkait tidak mencoba untuk berkoordinasi dalam upaya mempertahankan sektor ini tetap menarik, bagi in

29 Kasus Pelanggaran Izin Oleh 26 Pebisnis Tambang Dilaporkan BPK ke Bareskrim PolriOleh Aji Wihardandi,  February 27, 2013 1:30 am A+ | A-

Share

inShare 1

Peta Survey Berbagai Isu terkait tambang yag terjadi antara tahun 2005 honga 2008. Bahkan sebelum BPK melaporkan hasil audit mereka dari tahun anggaran 2011, berbagai kasus pelanggaran pertambangan banyak terjadi di lapangan dan masih belum tertangani. Sumber: Departemen ESDM. Klik untuk memperbesar peta.

TERKAIT Laporan: Terusir Tambang Nikel, Suku Sawai Tak Mendapat Akses Keadilan Konflik Tak Kunjung Padam, Sumbang PAD 68 Miliar Setahun Laporan: Lewat Batubara, Bank-bank Inggris ‘Bakar’ Alam Kalimantan Razia Penambangan Tanpa Izin Bentrok, Dua Warga Tewas Jaringan Masyarakat Gambut Riau: Investasi Bisnis di Lahan Gambut Dorong Munculnya Konflik

Duapuluh enam perusahaan bisnis pertambangan di Indonesia dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan  ke Bareskrim Polri karena melanggar aturan eksplorasi pertambangan dan merugikan negara hingga lebih dari 90 miliar rupiah. Beritahukum.com melansir, laporan ini diserahkan oleh anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Maskur Musa kepada Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI, Komjen Sutarman di Gedung Bareskrim tanggal 26 Februari 2013 kemarin.Laporan penyimpangan ini dilandasi oleh berbagai temuan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh 26 perusahaan pertambangan tersebut, baik yang swasta maupun perusahaan berplat merah. Seperti dirilis olehsuaramerdeka.com, setidaknya 29 pelanggaran dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini.BPK melaporkan berbagai pelanggaran atas izin tambang ini berdasarkan hasil audit yang dilakukan terhadap puluhan perusahaan tambang di Indonesia di tahun anggaran 2011. Empat poin utama yang dilakukan dala audit BPK ini, seperti dilansir oleh tempo.co, adalah terkait tata ruang atas penggunaan sumber daya alam, proses izin atas penggunaan lahan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hak negara atas konsesi yang diberikan kepada swasta maupun BUMN, dan poin terakhir adalah pengelolaan pasca tambang.

Peta Distribusi Batubara di Indonesia. Batubara adalah salah satu komoditi yang seringkali menimbulkan problem lingkungan dan sosial di Indonesia selain perkebunan kelapa sawit. Klik untuk memperbesar peta.

Pelanggaran paling besar dilakukan oleh 22 perusahaan pemegang Isin Uzaha Pertambangan yang tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan RI, dan bisa dijerat denga Pasal 50 UU No.41/1999 tentang Kehutanan yang mengatur kegiatan eksplorasi tambang di kawasan hutan. Penambangan tanpa izin Kementerian Kehutanan bisa dikenai denda 5 miliar rupiah atau hukuman 10 tahun penjara.

Kesalahan ini terbanyak dilakukan oleh pihak perusahaan karena tidak mendahulukan prosedur eksplorasi dan eksploitasi hutan secara legal.

Sementara empat perusahaan lainnya dijerat kesalahan akibat tidak mengantongi izin pemanfaatan kayu dan penebagan hutan produksi yang akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Sementara kesalahan lain yang

juga terkait perizinan adalah kesalahan dalam penerbitan SUrat keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB) sebanyak 119 ribu kubik kayu, yang merugika negara 58 miliar rupiah.

Tak hanya merusak hutan, pertambangan dengan izin pengelolaan yang tidak tuntas secara prosedural merugikan keuangan negara. Foto: Rhett A. Butler

Seperti dilansir oleh beritahukum.com, beberapa perusahaan di Kalimantan Tengah yaitu PT KBI, FPI, CKA GST, dan ZI adalah sebagian dari perusahaan yang dilaporkan ke Bareskrim Polri untuk diusut lebih lanjut. Perusahaan lainnya adalah PT MPI, CP, UD dan sebuah perusahaan milik pemerintah bernama AT.Pihak Bareskrim Polri sendiri, seperti disampaikan oleh Komjen Sutarman berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini lebih jauh.

Selain melaporkan 26 perusahaan tambang yang bermasalah secara legal prosedural ini, BPK kini juga tengah melakukan audit di Daerah Aliran Sungai Citarum terkait limbah B3 yang membahayakan kesehatan masyarakat dan akan segera diserahkan kepada pihak Dewan Perwakilan Rakyat.

Data Konflik Masyarakat dan Tambang Tahun 2011. Sumber: Wahana Lingkungan Hidup

Share

inShare 1

http://www.mongabay.co.id/2013/02/27/29-kasus-pelanggaran-izin-oleh-26-pebisnis-tambang-dilaporkan-bpk-ke-bareskrim-polri/

Kasus Longsor di Freeport, Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah!

SENIN, 20 MEI 2013 - 08:23

Bagaimana mungkin perusahaan tambang internasional sekelas Freeport tidak

memiliki jalur evakuasi jika terjadi kecelakaan di fasilitas yang jauh berada di perut

bumi. Tak terbayangkan pula sampai kapan operasi penyelamatan itu bakal selesai jika

hal itu dilakukan tanpa peralatan berat. Padahal kecepatan merupakan kunci

keberhasilan penyelamatan seperti itu. Kita sulit membayangkan bagaimana ke-23

orang yang sedang menjalani pelatihan tentang standard operational procedure di

terowongan bawah tanah itu bisa bertahan,

Jakarta, Seruu.com - Peristiwa longsor yang terjadi di PT. Freeport Indonesia, perusahaan pemegang Kontrak Karya tambang mineral terbesar di negeri ini, bahkan menduduki posisi salah satu yag terbesar di dunia untuk hasil tambang emas, merupakan pukulan telak bagi Pemerintah Indonesia sebagai regulator langsung dalam hal ini.

Berita Terkait

Apemindo: Hapuskan Bea Keluar Ekspor Bijih Mineral

KAMIS, 29 AGUSTUS 2013 - 14:44

APEMINDO Apresiasi Langkah KPK Sikat Para Pengemplang Royalti!

SENIN, 8 JULI 2013 - 09:21

Soroti SPK, APEMINDO Tegur Kepala Daerah Se Indonesia!

RABU, 3 JULI 2013 - 13:40

Desak Kemenhut Bertindak, APEMINDO Soroti Izin PPKH Tambang!

KAMIS, 27 JUNI 2013 - 15:47

Pasalnya, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industri tambang asing yang notabene mendapatkan kuasa yang berlebihan dinilai menjadi biang keladi kecelakaan yang menewaskan sejumlah pekerja tambang Freeport itu.

"Dari 2 kecelakaan tambang yang terjadi di kawasan yang dikuasai PT. Freeport Indonesia yaitu pada tahun 2003 dan baru-baru ini, kita bisa mendeteksi bahwa ada sejumlah kesalahan mendasar dalam prosedur penambangan yang murni terjadi akibat kelalaian perusahaan dan lemahnya kontrol pemerintah sebagai regulator untuk mengawasi proses penambangan di perusahaan tersebut. Ini sangat memalukan," tutur Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Poltak Sitanggang dalam rilisnya, Senin (20 Mei 2013).

Menurut Poltak selama ini tidak pernah ada audit menyeluruh yang serius terhadap kinerja perusahaan tambang asing di negeri ini yang dilakukan oleh Pemerintah secara transparan.

"Tahun lalu kita sama-sama tahu ada audit lingkungan yang digelar oleh BPK RI terhadap 3 perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya, diantaranya Freeport. Tapi hasilnya tidak pernah diumumkan secara transparan ke publik. Prosesnya sendiri tidak transparan dan tidak mengikut sertakan para ahli ataupun aktivis lingkungan hidup sebagai bagian dari masyarakat yang

memiliki wewenang kontrol publik dan berkepentingan terhadap hasil audit itu. Ini bukti bahwa semua proses yang dibangun hanya merupakan formalitas belaka," tegas Poltak.

Lebih lanjut Poltak mengkritisi mengenai berbagai kejanggalan yang terjadi di Freeport saat peristiwa longsor itu, "Bagaimana mungkin perusahaan tambang internasional sekelas Freeport tidak memiliki jalur evakuasi jika terjadi kecelakaan di fasilitas yang jauh berada di perut bumi. Tak terbayangkan pula sampai kapan operasi penyelamatan itu bakal selesai jika hal itu dilakukan tanpa peralatan berat. Padahal kecepatan merupakan kunci keberhasilan penyelamatan seperti itu. Kita sulit membayangkan bagaimana ke-23 orang yang sedang menjalani pelatihan tentang standard operational procedure di terowongan bawah tanah itu bisa bertahan," paparnya.

Apa yang terjadi di Freeport saat ini baik dalam respon Pemerintah maupun reaksi dari PT Freeport mengindikasikan ketidakseriusan dibandingkan kekhawatiran atas hilangnya nyawa manusia.

"Kita tahu bahwa kecelakaan di pertambangan seperti ini bukanlah yang pertama di dunia. Kita masih ingat runtuhnya tambang emas di Cile pada 2010. Sebanyak 33 pekerja akhirnya bisa keluar dalam keadaan selamat setelah terkubur di bawah tanah selama 17 hari. Hal itu karena di dalam tambang tersedia air, makanan, dan oksigen yang cukup untuk keadaan darurat. Waktu itu Presiden Cile Sebastian Pinera harus mempersingkat lawatannya ke Kolombia dan tinggal di kemah dekat area tambang untuk memimpin operasi penyelamatan. Disini, hanya mengucapkan duka lewat Twitter kan," tandasnya.

"Masyarakat tentu tidak menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bermalam di terowongan Gossan guna menunjukkan perhatian pemerintah terhadap nasib para pekerja tambang yang mengalami kecelakaan ini. Tapi kita juga tentu tidak ingin para pekerja tambang mengalami hal yang sama dengan di Cina, di mana kecelakaan tambang seperti dianggap hal biasa," imbuh Poltak.

Menurutnya Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan dengan melibatkan polisi dan pakar independen. Investigasi tersebut harus bisa membuktikan apakah cuaca buruk menjadi penyebab tunggal ataukah ada faktor kesalahan manusia dalam kecelakaan tersebut, termasuk konstruksi bangunan, persediaan peralatan dan bahan makanan dalam keadaan darurat, keberadaan jalur evakuasi, serta operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan. Penyelidikan juga harus ditujukan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pengawas keselamatan kerja.

"Sayangnya, pemerintah terkesan tak terlalu serius menangani persoalan keselamatan kerja ini. Meskipun aturan soal ini tergolong banyak, rata-rata sanksi terhadap para pelanggarnya sangat ringan. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menetapkan, para pelanggar hanya dikenai hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda paling banyak Rp 100 ribu. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan lebih lumayan: hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 15 juta, sedangkan UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mencantumkan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp 50 juta," tuturnya.

"Sanksi berat harus diberikan kepada Freeport agar kejadian serupa tak terulang, baik oleh perusahaan Amerika itu sendiri maupun perusahaan lain. Kalau perlu ditutup," pungkas Poltak.

 

Seperti diketahui puluhan pekerja PT Freeport dan perusahaan kontraktornya itu tertimbun material longsor di lokasi tambang bawah tanah Big Gossan pada Selasa (14/5) sekitar pukul 08.15 WIT saat mengikuti Kelas QMS Annual Refresher atau latihan keselamatan kerja.

Insiden runtuhnya tambang bawah tanah (underground) PT Freeport kali ini merupakan yang terbesar dengan jumlah korban terbanyak dalam beberapa tahun terakhir.  Kejadian runtuhnya tambang yang menimpa pekerja pernah terjadi di lokasi tambang terbuka Grassberg tahun 2003 yang menewaskan sejumlah pekerja.

Aktivis Lingkungan Minta Freeport Ditindak

Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Haris Balubun, saat dihubungi, Rabu (15/5) menuturkan, peristiwa longsor yang menewaskan empat orang karyawan Freeport menjadi petunjuk bahwa lingkungan di sekitar lokasi tambang sudah dalam keadaan kritis.

Hal ini sekaligus membuktikan tidak adanya upaya CSR dari perusahaan itu terhadap alam yang dirusak oleh aktivitas pertambangan mereka. Fakta lainnya, kata dia, hampir semua pekerja yang berada di tempat kecelakaan masih berstatus dalam pelatihan. “Ini jelas menyalahi prosedur ketenagakerjaan. Harusnya para pekerja training itu ditempatkan di lokasi yang risiko kecelakaannya lebih rendah,” ujarnya.

Haris juga menyayangkan sikap manajemen Freeport yang menurutnya tidak manusiawi. Mereka, kata dia, ternyata tidak memprioritaskan penyelamatan karyawannya saat longsor itu terjadi. Yang pertama kali dilakukan Freeport justru berkoordinasi dengan Kementerian ESDM di Jakarta, bukan mengambil tindakan langsung dengan menghubungi polisi atau Basarnas setempat.

Ia mengecam sikap dan cara Freeport dalam mengelola kecelakaan kerja ini. Seharusnya, perusahaan tersebut bisa menerapkan standar operasional dan prosedur keselamatan kerja secara profesional dan penuh tanggung jawab. Apalagi, kata dia, Freeport bukan satu atau dua tahun beroperasi di sana, melainkan hampir empat dekade.

Sementara Manajer Kampanye Tambang dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pius Ginting menilai dalam musibah tersebut dinilai ada unsur kelalaian PT Freeport dalam melakukan proses pertambangan tanpa mengedepankan unsur keselamatan.

Oleh karena itu, ia mengindikasikan pemerintah tidak memfasilitasi dari segi keamanan. Maka dari itu lanjut Pius Freeport sendirilah yang mengambil peran tersebut, sehingga terjadilah kewenangan besar yang diambil Freeport ketimbang dari pemerintah.

“Tidak ada pengawasan dari pemerintahan itu tidak ada, nah ini misalnya terjadi reruntuhan dan ada 25 orang lebih yang masih terjebak di dalam, apa tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah lah yang memiliki fasilitas di sini. Karena Pemerintah tidak memiliki alat, itu alat semuanya dimiliki oleh Freeport, yang harganya sedemikian besarnya itu dilepaskan semua ke Freeport, dan Kepolisian disana hanya memantau saja untuk apa yang dilakukan oleh Freeport,” katanya di

Kantor Walhi, Mampang, Jakarta, Jumat (17/5/2013).

Selain itu, sebelumnya Freeport harus membuat sebuah perencanaan bagi pekerja untuk bergerak ke bawah tanah melakukan kegiatan pertambangan, karena jika tidak dilakukan hal tersebut kata Pius adalah sebuah pembiaran yang hanya menunggu waktu terjadinya sebuah kecelakaan.

“Karenanya penambangan bawah tanah itu sendiri adalah kesalahan dari Freeport, harus di berikan sanksi dan harus di hentikan,”imbuhnya.

Ia menambahkan, Freeport sudah terlampau dibiarkan karena besarnya, jadi tidak bisa terkontrol lagi, apalagi dari segi keamanaannya, maka dia menilai ada kelalaian terkait keamanan itu. “Kelalaiannya itu sudah sistemik ya, ketika melakukan penambangan dibawah tanah, dan itu sudah dipastikan bahwa daerah yang tidak stabil, karena daerah tersebut rawan gempa,” tegasnya.

Ia menegaskan kepada aparat hukum untuk melakukan tindakan tegas pada PT. Freeport. “Harus di tutup pertambangannya, kemudian CEO dan Direktunya harus diusut dengan kesalahan melakuakan kelalaian sehingga orang meninggal disana,” jelasnya.

DPR Nilai Freeport Bersalah

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menilai terjadinya longsor di Freeport yang menewaskan sejumlah  korban menunjukkan lemahnya sistem keamanan di Freeport. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penanganan terhadap Freeport perlu dilakukan investigasi terlebih dulu.

“Apakah kecelakaan ini terjadi karena adanya  prosedur operasi yang  kurang tepat atau trainer-nya yang tidak disiplin dalam pelatihan standar prosedur keselamatan? Ini perlu diketahui,” kata Effendi, Kamis (16/5).

Pekan depan, lanjut Effendi, kemungkinan akan dilakukan penyelidikan terhadap penyebab kecelakaan di Freeport. “Kami akan memanggil  Freeport. Perlu ada peninjauan  ulang terhadap standar operasi prosedur Freeport,” ujarnya.

Ia juga meminta agar para korban terowongan yang  belum ditemukan terus dicari sampai ditemukan. Sedangkan para korban selamat, tambah dia, harus mendapatkan perawatan terbaik.

- See more at: http://esdm.seruu.com/read/2013/05/20/164172/kasus-longsor-di-freeport-bukti-

lemahnya-pengawasan-pemerintah#sthash.PE6602RB.dpuf

Pelajaran dari Australia Menghukum Tambang

OPINI | 02 August 2013 | 16:20  Dibaca: 210     Komentar: 3     2

Selamat sore Kompasianer yang budiman. Salam sehat selalu.

Ada berita perusahaan tambang dihukum denda karena menodai situs suci suku Aborigin di Australia. Mereka dihukum sekitar 2 milyar rupiah. Kata berita itu : Ini adalah kasus penodaan pertama terhadap sebuah perusahaan tambang berdasarkan hukum Australia. Perusahaan itu terbukti bersalah atas dua dakwaan merusak sebuah situs yang dikenal sebagai Two Women Sitting Down di tambang Bootu Creek, di utara Tennant Creek, pada Juli 2011.

Kasus penghukuman perusahaan tambang ini penting untuk dijadikan pelajaran.Pertama, bahwa dalam satu kerangka eksploitasi sumber daya mineral, negara dan kebijakan perlindungan terhadap masyarakat adat/asli (Indigenous People) harus tegas. Situs milik suku Aborigin, yang populasinya hanya 2,5 % total sekitar 22 juta jiwa dengan 90%nya manusia Eropa, harus menjadi prioritas yang dilindungi oleh kebijakan negara. Sebuah tindakan afirmatif terhadap indigenous people.

Kedua, kasus penghukuman perusahaan tambang ini juga menggambarkan satu persenyawaan nilai dan hukum antara negara dan masyarakat adat yang tak boleh kalah karena keserakahan investasi. Masyarakat adat, yang umumnya merupakan masyarakat asal, juga tidak boleh diposisikan sebagai subordinat atau masa lalu yang sebaiknya mati digilas arak-arakan modernitas. tegas kata, masyarakat adat tak boleh dilemahkan di depan negara atau kapital/investor.

Ketiga, dengan penghukuman ini, kita juga bisa memetik pelajaran bahwa kehadiran negara dalam menghukum pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang itu justru menegakkan daulat negara. Tindakan tidak seperti ini tidak perlu dikhawatirkan akan membuat investor tidak nyaman dan enggan masuk. Sejauh taat pada hukum nasional negara, kebenaran hukum harus ditegakkan. Selain juga, masa depan masyarakat dan lahan kehidupannya yang harus diutamakan dari sekedar keuntungan ekonomi.

Tentulah kabar dihukumnya perusahaan tambang ini tidak lantas menjadi kesimpulan bahwa pemerintah Australia sudah berada dalam jalur yang benar dalam melindungi populasi suku Aborigin yang jumlahnya sudah sangat sedikit. Karena sesekali kita masih mendengar aksi-aksi rasisme disana yang menyerang orang Aborigin.

Yang barangkali penting kita jadikan perbandingan adalah dengan menghadapkan perisitiwa ini ke negeri sendiri. Negeri yang sedang terbuka habis untuk investasi.

Dari kabar ini, saya lalu merenungkan situasi yang sama untuk Tanah Papua. Dalam hemat saya, untuk konteks Manusia Papua, yang kini disebut-sebut sedang berada dalam gerak slow motion genocide (karena populasi pribumi yang terus menyusut dibandingkan pendatang), pelajaran dari Aborigin ini kiranya penting. Bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak boleh tunduk, kalah apalagi mengalah terhadap kuasa pertambangan asing pun kombinasi asing-nasional.

Ini bukan sekedar pembagian royalti atau tertibnya dana CSR digelontorkan sepanjang tahun dari PT. Freeport misalnya, tetapi yang lebih prinsip adalah bagaimana menciptakan satu hubungan kerja ekonomi yang tidak menghancurkan daulat Manusia Papua di rumahnya sendiri. Dengan kata lain, bagaimana pembangunan memanusiakan manusia.

Hal inilah yang hilang dari kebijakan investasi di Indonesia. Di balik kecanggihan judul pembangunan dan investasi, masyarakat asli/indigenous people seringkali hanya dianggap sebagai sisa-sisa zaman antik yang tidak memiliki ruang eksistensial lagi fungsional dalam peradaban ekonomi modern.

Tak perlu heran dari kondisi begini, dimana masyarakat asli ‘dihilangkan’ dari pembangunan, mereka memilih caranya sendiri untuk menegaskan eksistensi politik-kulturalnya. Bukan saja melawan tambang, tetapi juga melawan negara yang dipandang hanya menjadi pelayan tuan-tuan tambang.

Salam.

Sumber berita

http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/08/02/negara-tambang-dan-perlindungan-situs-suci-578619.html

KASUS TAMBANG: Churchill Perkuat Gugatannya pada Pemerintah Jadi Rp20 Triliun

Oleh Newswire on Monday, 25 March 2013Share on Facebook Twitter Delicious Digg

IST

JAKARTA–Churchill Mining Plc. memperkuat gugatannya terhadap pemerintah RI hampir Rp20 triliun (dua miliar dolar AS) dalam kasus pencabutan sepihak izin tambang perusahaan

pertambangan Inggris itu oleh Bupati Kutai Timur Isran Noor.“Churchill Mining telah memperbaharui penjelasannya kepada para investor menyangkut gugatan terhadap Pemerintah Indonesia lewat arbitrase internasional, dan ditegaskan langkah ini fokus utama perusahaan,” kata pihak Churchill lewat situsnya yang diakses Antara, Senin.Churchill mengatakan bahwa gugatan diperkuat dengan cara menyertakan anak perusahaannya di Australia, Planet Mining Pty., yang punya 5 persen saham dalam proyek pengembangan batu bara Kutai Timur, untuk secara terpisah mengajukan gugatan melalui lembaga ICSID (International Centre for Investment Disputes) di Washington, AS.Churchill telah pula meminta ganti rugi penuh berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian perlindungan investasi bilateral yang ditandatangani pada tahun 1976 (Agreement between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of Investments).Sebeumnya, Churchill telah menggugat Pemkab Kutai Timur (Kutim) dan pemerintah RI dia miliar dolar AS (berkisar Rp19,2 triliun) pada tanggal 22 Mei 2012 dengan mengajukan upaya hukum kepada ICSID. Chruchill merasa dirugikan 1,8 miliar dolar AS karena izin usaha tambangnya dicabut Pemkab Kutim.Menyusul langkah Churchill itu, Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini mengatakan bahwa strategi Pemerintah RI dalam hal ini adalah menempatkan Pemkab Kutim mewakili Pemerintah pusat dalam mengikuti setiap agenda persidangan (14/8, 2012).Menurut Wamen ESDM, yang mencabut izin lahan tambang Churchill adalah Pemda Kutim sehingga lebih tepat gugatan diarahkan kepada pemda bukan pemerintah. Akan tetapi, Pemerintah telah menunjuk Kejaksaaan Agung (Kejagung) sebagai pemimpin operasional dalam menangani gugatan Churchill.Namun, Pemerintah juga sudah mengirim pemberitahuan penunjukan Kejaksaan Agung RI sebagai kuasa hukum kepada ICSID International Center for Settlement of Investments Disputes (ICSID) untuk memimpin operasional menghadapi gugatan tersebut.Terkait dengan itu, Bupati Kutim Isran Noor menyatakan yakin akan lolos dari jerat hukum dan sedang menyiapkan menghadapi sidang ketiga soal materi yang akan digelar di Singapura, 31 Mei 2013.“Kami pasti menang, saya orangnya yakinlah,” ujarnya usai menjadi pembicara dalam sarasehan PWI Jatim dan peringatan HPN 2013 di Hotel Mercure Surabaya (7/3, 2013).Isran mengakui bahwa pihaknya telah mencabut secara sepihak empat izin eksplorasi batu bara Grup Ridlatama di Kabupaten Kutai Timur sangat merugikan induk Grup Ridlatama, Churchill Mining Plc. Gugatan yang diajukan Churchill sebelumnya melalui PTUN tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah

Agung telah ditolak. Oleh karena itu, tak ada alasan Chruchill akan bisa menang di tingkat arbitrase internasional.Menurut dia, Grup Ridlatama adalah perusahaan yang memiliki empat izin tambang batu bara. Namun, kemudian izinnya dicabut oleh pemerintah Kutai Timur karena menjual perusahaan kepada asing.“Churchill mengakuisisi Ridlatama secara diam-diam. Padahal perusahaan asing tidak boleh pegang IUP, ini alasan izin Grup Ridlatama dicabut,” kata Bupati Kutim tersebut.Proyek tambang batu bara itu dikelola Grup Ridlatama dan Churchill dengan komposisi saham 25 persen dan 75 persen. Akan tetapi, empat izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi batubara yang dipegang atas nama Grup Ridlatama inilah yang telah dicabut Isran Noor.Proyek Batubara Kutai Timur yang digugat Churchil itu diperkirakan mengandung simpanan batu bara kualitas thermal terbaik di dunia dengan perkiraaan kandungannya mencapai 2,7 miliar ton, berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan pada September 2010. (ant/mnk)

Perusahaan Tambang Australia di Malaysia Didemo WargaABC Australia - detikNewsJakarta - Perusahaan pertambangan bahan mineral bumi langka dari Australia Lynas Corporation memicu kemarahan publik Malaysia. Setelah perusahaan itu menolak membeberkan lokasi fasilitas penyimpanan limbah permanen dari pabrik pengolahan tambangnya di Malaysia.

Awal tahun ini, Lynas mulai memproduksi bahan tambang mineral langka, yang menggunakan serangkaian besar peralatan teknologi, tapi perusahaan tambang yang berlokasi di Pesisir Timur Tanjung Malaysia terganggu dengan isu operasional.

Selama 3 tahun, aktifis lingkungan dan warga setempat terlibat konflik sengit dengan perusahaan tambang tersebut, dan dalam aksi terakhirnya, perwakilan dari warga setempat serta aktifis lingkungan melaporkan kasus ini ke parlemen di Kuala Lumpur.

Tan Bun Teet dari kelompok kontra, Save Malaysia Stop Lynas ingin menyampaikan surat protes kepada Menteri Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi, menuntut agar ijin operasi perusahaan tersebut dibekukan dan pertambangan ditutup.

"Sebagai Menteri Ia seharusnya mewakili kepentingan warga bukan Lynas," katanya.

Ketika delegasi tiba di parlemen, namun laporan mereka hanya diterima oleh wakil menteri dan tidak berselang lama dokumen itu diterima dengan senyum dan jabatan tangan, pertemuan itu berubah menjadi penuh kemarahan.

Sebelum kekacauan terjadi, Wakil Menteri, Abu Bakar Mohamad Diah berusaha memastikan perwakilan warga dan aktifis lingkungan kalau perusahaan tambang mineral langka itu aman.

"Saya telah mengunjungi pertambangan itu 3 pekan lalu – kondisinya sama dengan pabrik kecap," katanya.

"Saya jamin kalau perusahaan itu sangat aman dan saya akan mengundang kalian semua untuk datang ke Lynas kapan saja anda mau.

"Saya bisa menyediakan bus dan makan siang.” Tambahnya lagi.

Undangan itu membuat perusahaan Lynas terkejut.

Juru bicara perusahaan mengatakan kunjungan ke lokasi pertambangan tidak akan mungkin dilakukan, sebelum konflik antara perusahaan dengan warga diselesaikan.

Protes warga dan aktifis lingkungan didasarkan pada kekhawatiran rencana perusahaan tambang Lynas yang akan membangun tempat penyimpanan limbah tambang.

Sebagai bagian dari persyaratan ijin operasi, Lynas diharuskan untuk mendaftarkan rencana ke Badan Energi Atom Malaysia mengenai rencana pembangunan fasilitas penampungan limbah tambang permanen atau PDF, tapi baik Badan tersebut maupun perusahaan menutupi lokasi penampungan limbah tersebut.

Pengacara warga Kuantan menyurati Badan Energi Atom Malaysia menanyakan rincian dari rencana pembangunan PDF tersebut, namun tidak direspon.

Perusahaan Lynas mengklaim pihaknya berupaya agar penambangan yang dilakukan tidak berdampak pada kesehatan dan secara natural radiasi yang terjadi di kawasan tambang akan berkurang hingga nol.

Namun janji tersebut tidak menenangkan kelompok yang kontra, mereka tetap mengkhawatirkan polusi radioaktif.

Di kasus lain, Lynas mengatakan pihaknya mungkin tidak akan pernah membutuhkan fasilitas pembuangan limbah permanen tersebut, karena seluruh limbah konsentrat mineral langka yang sudah diproses akan didaur ulang untuk produk industri, seperti aspal.

Anggota parlemen dari Kuantan, Fuziah Salleh mengatakan warga pemilihnya memiliki hak untuk khawatir.

"Mereka ;gusar karena pemerintah tuli dan tidak mendengarkan suara protes warga Kuantan," katanya.

Perusahaan tambang Australia merugi

Konflik dengan warga setempat dan kalangan aktifis lingkungan ini mempengaruhi kinerja pertambangan.

Lynas merugi lebih dari $107 juta dalam tahun keuangan tahun lalu, dan menginformasikan pasar kalau perusahaannya akan mengurangi jumlah produksinya menyusul masih berlangsungnya masalah operasional ini.

Produksi komersial Lynas sejak pertengahan Juni lalu mencatat, Lynas hanya mampu menjual produksi mineral langkanya sekitar 117 ton saja, sangat jauh dari target penjualan yang ditentukan tahun ini yakni 11 ribu ton.

Permohonan ABC untuk berbicara dengan perwakilan Lynas ditolak.

Analis dari Sumber Daya Deutsche Bank, Chris Terry mengatakan saat ini kondisi perusahaan tambang Lynas terus mengalami pasang surut .

"Saat ini, perusahaan masih menghadapi sejumlah kendala di depan, akibat dari serangkaian masalah yang terjadi dimasa lalu dan semakin diperberat dengan konflik yang terjadi selama 18 tahun terakhir,” katanya.

Kapal tambang Lynas mengangkut konsentrat mineral ; langka dari tambang miliknya di Australia Barat untuk diproses di pabrik pemrosesan tambang mineral di Kawasan Industri Gebeng didekat Kota Kuantan, dimana perusahaan menilai biaya produksinya lebih efektif.

Mineral langka digunakan untuk membuat banyak jenis komponen alat-alat teknologi tinggi, termasuk Ponsel pintar, TV, Turbin Angin dan mobil.http://news.detik.com/read/2013/10/09/190923/2382929/1513/perusahaan-tambang-australia-di-malaysia-didemo-warga

Perusahaan tambang Australia di Malaysia didemo wargaTerbit 9 October 2013, 19:24 AEST

Perusahaan pertambangan bahan mineral bumi langka dari Australia Lynas Corporation memicu kemarahan publik Malaysia. Setelah perusahaan itu menolak membeberkan lokasi fasilitas penyimpanan limbah permanen dari pabrik pengolahan tambangnya di Malaysia.

Awal tahun ini, Lynas mulai memproduksi bahan tambang mineral langka, yang menggunakan serangkaian besar

peralatan teknologi, tapi perusahaan tambang yang berlokasi di Pesisir Timur Tanjung Malaysia terganggu dengan

isu operasional.

Selama 3 tahun, aktifis lingkungan dan warga setempat  terlibat konflik sengit dengan perusahaan tambang tersebut,

dan dalam aksi terakhirnya, perwakilan dari warga setempat serta aktifis lingkungan melaporkan kasus ini ke

parlemen di Kuala Lumpur.

Tan Bun Teet dari kelompok kontra, Save Malaysia Stop Lynas ingin menyampaikan surat protes kepada Menteri

Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi, menuntut agar ijin operasi perusahaan tersebut dibekukan dan

pertambangan ditutup.

"Sebagai Menteri Ia seharusnya mewakili kepentingan warga bukan Lynas," katanya.

Ketika delegasi tiba di parlemen, namun laporan mereka hanya diterima oleh wakil menteri dan tidak berselang lama

dokumen itu diterima dengan senyum dan jabatan tangan, pertemuan itu berubah menjadi penuh kemarahan.

Sebelum kekacauan terjadi, Wakil Menteri, Abu Bakar Mohamad Diah berusaha memastikan perwakilan warga dan

aktifis lingkungan kalau perusahaan tambang mineral langka itu aman.

"Saya  telah mengunjungi pertambangan itu 3 pekan lalu – kondisinya sama dengan pabrik kecap," katanya.

"Saya jamin kalau perusahaan itu sangat aman dan saya akan mengundang kalian semua untuk datang ke Lynas

kapan saja anda mau.

"Saya bisa menyediakan bus dan makan siang.” Tambahnya lagi.

Undangan itu membuat perusahaan Lynas terkejut.

Juru bicara perusahaan mengatakan kunjungan ke lokasi pertambangan tidak akan mungkin dilakukan, sebelum

konflik antara perusahaan dengan warga diselesaikan.

Protes warga dan aktifis lingkungan didasarkan pada kekhawatiran rencana perusahaan tambang Lynas yang akan

membangun tempat penyimpanan limbah tambang.

Sebagai bagian dari persyaratan ijin operasi, Lynas diharuskan untuk mendaftarkan rencana ke Badan Energi Atom

Malaysia mengenai rencana pembangunan fasilitas penampungan limbah tambang permanen atau PDF, tapi baik

Badan tersebut maupun perusahaan menutupi lokasi penampungan limbah tersebut.

Pengacara warga Kuantan menyurati Badan Energi Atom Malaysia menanyakan rincian dari rencana pembangunan

PDF tersebut, namun tidak direspon.

Perusahaan Lynas mengklaim pihaknya berupaya agar penambangan yang dilakukan tidak berdampak pada

kesehatan dan secara natural radiasi yang terjadi di kawasan tambang akan berkurang hingga nol.

Namun janji tersebut tidak menenangkan kelompok yang kontra, mereka tetap mengkhawatirkan polusi radioaktif.

Di kasus lain, Lynas mengatakan pihaknya mungkin tidak akan pernah membutuhkan fasilitas pembuangan limbah

permanen tersebut, karena seluruh limbah konsentrat mineral langka yang sudah diproses akan didaur ulang untuk

produk industri, seperti aspal.

Anggota parlemen dari Kuantan, Fuziah Salleh mengatakan warga pemilihnya memiliki hak untuk khawatir.

"Mereka  gusar karena pemerintah tuli dan tidak mendengarkan suara protes warga Kuantan," katanya.

Perusahaan tambang Australia merugi

Konflik dengan warga setempat dan kalangan aktifis lingkungan ini mempengaruhi kinerja pertambangan.

Lynas merugi lebih dari $107 juta dalam tahun keuangan tahun lalu, dan  menginformasikan pasar kalau

perusahaannya akan mengurangi jumlah produksinya  menyusul masih berlangsungnya masalah operasional ini.

Produksi komersial Lynas sejak pertengahan Juni lalu mencatat, Lynas  hanya mampu menjual produksi mineral

langkanya sekitar 117 ton saja, sangat jauh dari target penjualan yang ditentukan tahun ini yakni 11 ribu ton.

Permohonan ABC untuk berbicara dengan perwakilan Lynas ditolak.

Analis dari Sumber Daya Deutsche Bank, Chris Terry mengatakan saat ini kondisi perusahaan tambang Lynas terus

mengalami pasang surut .

"Saat ini,  perusahaan masih menghadapi sejumlah kendala di depan, akibat dari serangkaian masalah  yang terjadi

dimasa lalu dan semakin diperberat dengan konflik yang terjadi selama 18 tahun terakhir,” katanya.

Kapal tambang Lynas mengangkut konsentrat mineral  langka dari tambang miliknya di Australia Barat untuk

diproses  di pabrik pemrosesan tambang mineral di Kawasan Industri Gebeng didekat Kota Kuantan, dimana

perusahaan menilai biaya produksinya lebih efektif.

Mineral langka digunakan untuk membuat banyak jenis komponen alat-alat teknologi tinggi, termasuk Ponsel pintar,

TV, Turbin Angin dan mobil.

http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-10-09/perusahaan-tambang-australia-di-malaysia-didemo-warga/1202542

Hati-hati Hadapi Perusahaan Tambang dari China

Penulis :

Wisnu Dewabrata

Rabu, 29 Februari 2012 | 08:28 WIB

0

0

0

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia didesak agar berhati-hati

menghadapi perilaku buruk para investor dan perusahaan tambang

bermasalah dari China, yang hingga saat ini terus beroperasi di Indonesia.

Berbagai kasus pencemaran, seperti pencemaran minyak di Kepulauan

Seribu, DKI Jakarta; kebocoran gas di Tuban, Jawa Timur; pelanggaran hak

asasi manusia oleh sejumlah perusahaan terkait perusahaan tambang China

seperti di Pacitan, Jawa Timur; dan Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara; dinilai

telah menjadi bukti potret buruk perilaku investasi tambang dari negeri itu.

Hal itu disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Advokasi

Tambang (Jatam), dalam siaran persnya yang diterima Kompas, Rabu

(29/2/2012).

Siaran pers itu juga berisi pemberitahuan rencana aksi mereka akan

menggelar unjuk rasa di depan Kedutaan Besar China, di bilangan Mega

Kuningan, Jakarta Selatan, hari ini mulai pukul 10.00.

Lebih lanjut dalam siaran persnya, Jatam memaparkan, sudah jadi rahasia

umum kalau China selama ini menjadi negara yang juga dikenal dengan

reputasi buruk dalam hal perburuhan, lingkungan hidup, dan tingkat

keamanan operasional tambang-tambangnya.

Banyak insiden terkait pertambangan terjadi di negeri itu dalam beberapa

tahun terakhir. Pada tahun 2010 saja 2.433 orang pekerja tambang di China

tewas dalam kecelakaan tambang. Hal itu terus berulang, hingga Februari

2012 sebanyak 13 orang pekerja tambang tewas akibat ledakan gas di lokasi

tambang batubara di China Barat Daya.

Lebih lanjut Jatam melansir perilaku buruk seperti itu juga dipraktikkan di

Indonesia dan bahkan sudah berlangsung lama. Perusahaan dan investor

tambang bermasalah asal China, menurut mereka, diyakini memang akan

melakukan segala cara demi menjaga stabilitas pasokan sumber daya energi

dan mineral, termasuk dari Indonesia.

Aksi yang rencananya akan digelar Jatam itu lebih lanjut akan mengusung

tema "Menuntut China Membawa Pulang Reputasi Buruk Pertambangannya".

Barrick Janji Membayar Upah Tinggi 

   Elko, Kompas        Perusahaan tambang emas Barrick Gold Corporation dari Kanada yang    terlihat optimis bakal mengantungi izin pemerintah untuk menggarap    Busang, menjanjikan akan memberikan komitmen yang sama di Busang,    sebagaimana diterapkan di pertambangan emasnya, Goldstrike, di Nevada,    Amerika Serikat (AS).        Di antara komitmen yang dijanjikan perusahaan itu adalah ribuan    lapangan kerja bagi masyarakat setempat dengan upah tinggi, beasiswa    bagi semua anak para pekerja, alih teknologi paling mutakhir,    pelatihan terbaik dan perlindungan terhadap lingkungan.        "Barrick sekarang ini tengah berusaha menyelesaikan perundingan dengan    Bre-X dan mitra Indonesianya, Askatindo dan Amsalina," ujar Vinve    Borg, Vice President of Corporate Communications Barrick kepada para    wartawan Indonesia termasuk wartawan KompasSri Hartati Samhadi, di    Elko, Nevada, Minggu (2/2) atau Senin WIB. Kedua perusahaan dari    Kanada itu diberi waktu hingga 17 Februari untuk menyelesaikan    perundingan dengan kedua mitra lokalnya.        Pernyataan ini diungkapkan Borg sehari setelah ia menegaskan angka 10    persen untuk Indonesia yang ditawarkan Barrick sudah tak bisa diubah    lagi (fixed), dan Barrick tidak akan memperbarui tawarannya hanya 

   karena pesaingnya, Placer Dome Inc, juga dari Kanada, menawarkan    hingga 40 persen bagi Indonesia.        Namun alasan yang dia kemukakan lebih bersifat membandingkan antara    kondisi Barrick dan Placer Dome. Sementara tuntutan atau keinginan    Indonesia untuk terlibat lebih besar dalam kegiatan penggalian wilayah    dengan deposit emas terkaya dunia itu tak terjawab.        Sementara itu, Manajer Umum Placer Pacific Ltd -perwakilan Placer Dome    untuk Asia- John E Loney hari Selasa (4/2) di Jakarta, mengemukakan,    Placer Dome memiliki reputasi cukup baik khususnya dalam pengalaman    pertambangan di kawasan tropis. "Kami punya pengalaman sekitar 33    tahun di Filipina dan juga di Papua Nugini," ujarnya.        Seraya mengungkapkan kekuatan Placer Dome juga bagus -punya fasilitas    kredit sebesar 13 milyar dollar AS dan diakui lembaga peringkat dunia    seperti Standard & Poors and Moody's- Loney mengatakan, perusahaan    sudah punya komitmen pada Indonesia sejak tahun 1993. Penegasan ini    berkaitan dengan pernyataan bahwa Placer Domes secara keuangan tidak    meyakinkan.        Keuntungan        Sedangkan Borg dari Barrick menegaskan, di luar 10 persen saham    Busang, dengan mempercayakan lokasi tersebut pada Barrick, Indonesia    juga akan memetik keuntungan yang tak ditawarkan perusahaan lain.    Misalnya kekuatan pendanaan yang menyebabkan penundaan lebih jauh    penggarapan Busang bisa dihindari.        "Kami yakin ini akan memberikan keuntungan ekonomi, sosial dan manfaat    bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, kebijakan hedgingemas    Barrick yang sudah terbukti, bakal memaksimalkan pendapatan dan    meminimalkan risiko bagi Busang," ujarnya.        Menyinggung beberapa pengalaman Indonesia berkaitan munculnya berbagai    kemelut di masyarakat akibat kegiatan penambangan seperti kasus    Freeport di Irian Jaya, Borg dan beberapa pimpinan Barrick lainnya    dalam suatu kesempatan sebelumnya menegaskan itu tidak akan terjadi.    Barrick sekarang ini menurut mereka sudah memiliki kebijakan-kebijakan    dan program-program mengenai perlindungan terhadap lingkungan, pekerja 

   dan penduduk, yang harus dipatuhi dalam setiap operasi    pertambangannya. (ppg) 

LSM: Perusahaan Tambang China Rugikan IndonesiaPius Lima Klobor

Ilustrasi: Istimewa

RRC adalah negara bereputasi buruk dalam keamanan operasional tambang.

JAKARTA, Jaringnews.com - Investasi pertambangan kembali menjadi sorotan. Masyarakat Indonesia diminta berhati-hati terhadap sejumlah perusahaan pertambangan asal China.

Kasus pencemaran minyak seperti yang terjadi di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; kebocoran gas di Tuban, Jawa Timur; kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh sejumlah perusahaan tambang China seperti di Pacitan, Jawa Timur,  dan Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara; adalah bukti potret buruk perilaku investasi tambang dari negeri China.

Demikian disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dalam siaran persnya yang diterima Jaringnews.com, Rabu (29/2/2012).

Lebih lanjut menurut Jatam, guna melayani pertumbuhan ekonomi dan industrialisasinya, negara itu terus melancarkan invasi ke negara-negara lain, yang dapat menjamin pasokan energi mereka seperti Indonesia yang potensial sebagai

lokasi pengerukan. Selain itu, ketersediaan bahan mentah, tenaga kerja atau buruh murah, sangat mendukung bagi peningkatan keuntungan.

Jatam menilai, RRC adalah negara dengan reputasi buruk dalam hal buruh, lingkungan hidup dan tingkat keamanan operasional tambang. Puluhan hingga ratusan insiden ledakan tambang terjadi di negeri itu dalam beberapa tahun terakhir ini.

Tahun 2010 saja, sebanyak 2.433 pekerja tewas dalam kecelakaan tambang. Hal ini terus berulang, terakhir Februari 2012, kembali 13 pekerja tewas akibat ledakan gas di lokasi tambang batubara China Barat Daya.

Menurut Jatam, RRC dapat leluasa masuk ke Indonesia karena mereka memanfaatkan celah pemerintah Indonesia yang korup dan lemah. “Hanya di Indonesia polisi dan  pengadilan sebagai lembaga hukum yang paling korup. Sehingga sangat wajar kasus-kasus pencemaran, penyerobotan, pelanggaran HAM oleh pertambangan, banyak yang tak terselesaikan dan menemui rasa adil bagi rakyat".

Dengan demikian, menurut Jatam, hal ini hanya akan menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia jika perusahaan-perusahaan tambang tersebut tetap dibiarkan menghancurkan sumber-sumber penghidupan rakyat Indonesia.

Atas dasar itu, Jatam menuntut agar pemerintah RRC menghentikan invasi pengerukan sumber daya tambang, sumber energi primer, dan investasi-investasi yang tidak memperhatikan aspek keselamatan warga dan keberlangsungan alam di Indonesia.

Selain itu, meminta pemerintah RRC bertanggung jawab atas utang ekologis yang selama ini ditimbulkan. Di mana pasokan kebutuhan produksi dan konsumsi energi untuk pertumbuhan ekonomi serta industrialisasi di RRC merupakan hasil jarahan dari kekayaan alam Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia menanggung kehancuran ekologis, pelanggaran HAM, dan potensi konflik di berbagai daerah.

(Pio / Dhi)http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/04/0080.html

http://www.jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/10786/lsm-perusahaan-tambang-china-rugikan-indonesia